Pedang Asmara karya Kho Ping Hoo - DEBU dan pasir mengepul tinggi ketika seorang pria muda membalapkan kudanya melintasi padang pasir itu. Dia seorang pemuda yang berusia baru kurang lebih lima belas tahun, menunggang seekor kuda yang tinggi besar dan kokoh kuat.
Pemuda itu sendiri memiliki tubuh seperti orang yang telah dewasa benar, tinggi besar dan kokoh kuat pula. Mukanya yang halus tak berkumis atau berjenggot itu bukan muka seorang pemuda remaja, melainkan wajah seorang muda yang sudah matang. Muka itu berbentuk persegi empat, dengan dahi lebar, telinga, yang panjang dan lebar seperti telinga patung Buddha.
Sepasang matanya tidak sipit, mata yang memerikan sinar yang akan membuat orang bergidik ngeri karena sinarnya mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Hidungnya mancung dan lurus, di atas mulut yang membayangkan kekerasan hati dan ketabahan besar. Pakaiannya serba ringkas, pakaian seorang pemuda bangsa Mongol dan kepalanya tertutup kain kepala berwarna biru.
Dia terus membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit di ujung gurun pasir itu. Bukit itu cukup subur, nampak kehijauan ditumbuhi pohon-pohon dan disana nampak pula dusun dengan rumah rumah yang berdinding putih. Ke lereng bukit itulah dia kini membalapkan kudanya.
Peluh mengalir di leher kuda dan leher penunggangnya karena sejak pagi tadi mereka berdua sudah membiarkan diri disengat sinar matahari dan melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti sampai kini matahari telah naik tinggi.
Di dalam dusun di lereng bukit itu sendiri nampak adanya kesibukan, sekelompok suku bangsa Mongol berdiam didusun itu, berdiam untuk sementara karena memang suku bangsa Mongol merupakan suku nomad yang suka berpindah pindah. Mereka hidup berkelompok, dengan keluarga mereka, merantau dan berpindah pindah mencari tempat yang lebih tepat dan lebih subur.
Mereka bukan petani-petani yang baik, melainkan peternak dan pemburu yang amat cekatan. Mereka bukan hanya membutuhkan tumbuh-tumbuhan untuk mereka sendiri, juga untuk ternak mereka dan karena tidak pandai bercocok tanam, maka begitu suatu daerah yang mereka tinggali telah menjadi gundul karena tumbuh-tumbuhan di sana habis mereka makan bersama ternak mereka, maka kelompok itu lalu mencari tempat lain yang lebih baik untuk ditinggali.
Akan tetapi kelompok suku bangsa Mongol yang kini tinggal di lereng bukit di ujung gurun pasir itu telah menetap di situ selama beberapa tahun dan mereka belum juga pergi. Hal ini adalah karena bukit itu memang memiliki tanah subur dan ada sumber air besar di sana. Dan kelompok yang tinggal di situ merupakan kelompok yang sudah mempunyai pengetahuan lumayan tentang bercocok tanam.
Tanah bukit yang amat subur itu memudahkun hidupnya tanaman dan mereka dapat bertahan sampai lama di tempat itu sehingga kelompok keluarga mereka makin lama menjadi semakin besar dengan adanya anggauta keluarga yang menikah dan anak beranak di situ.
Karena kelompok ini dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang terkenal disegani oleh para kelompok lain, maka sebentar saja dusun di bukit itu terkenal di antara para suku bangsa Mongol. Nama Galasing, kepala dusun itu, cukup terkenal sebagai seorang pria yang tangkas dan pandai di antara suku bangsa Mongol.
Pada waktu itu, daerah Mongolia ini dihuni oleh berbagai suku bangsa yang dikenal sebagai suku bangsa nomad atau oleh mereka yang merasa diri lebih pandai dan lebih beradab, suku bangsa yang berkeliaran sebagai bangsa nomad di daerah Mongolia disebut suku liar...!