Pedang Asmara Jilid 31 karya Kho Ping Hoo - "MOHON Paduka maafkan kalau hamba bersikap kasar kepada mereka."
"Lihat serangan!" lima orang itu mulai menyerang dengan membentuk pengepungan setengah lingkaran. Mereka berlima menerjang dengan pukulan, tamparan atau tendangan, yang dilakukan dengan cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga serangan mereka itu mendatangkan angin menyambar dan suara bersiutan.
Kakek itu nampak tenang sekali, seolah tidak tahu bahwa ada lima orang menyerangnya dengan dahsyat dari depan, kiri dan kanan. Dia hanya menggerakkan kedua lengannya yang tertutup jubah, seolah olah jubahnya menjadi perisai melindungi dirinya dari setengah lingkaran di depan, dan entah apa yang terjadi karena lengannya tersembunyi jubah.
Hanya nampak tangannya dengan jari terkembung bergerak ke depan dan terdengarlah teriakan kesakitan dan dua diantara lima orang itu pun terjengkang roboh dan tidak dapat bangkit, hanya duduk sambil terengah engah dan menyeringai kesakitan! Mereka merasa betapa dada mereka panas seperti dibakar dari dalam!
Tiga orang itu terkejut bukan main. Mereka maklum bahwa kakek itu menggunakan ilmu "meminjam tenaga lawan" dan "mencari peluang dalam serangan lawan" Mereka maklum bahwa kakek itu lihai bukan main dan begitu mereka menyerang, berarti mereka membuka diri untuk menerima sambutan serangan kakek itu. Maka, ketiganya kini hanya mengepung dari depan dan tidak berani menyerang, menanti sampai kakek itu yang menyerang, baru mereka akan membarengi dengan pengeroyokan.
Melihat sikap mereka, Nam Tok tersenyum, "Heh heh heh, bukankah kalian yang hendak menguji kepandaianku? Kalau kalian diam saja, bagaimana dapat mengukur kepandaianku? Majulah!"
Akan tetapi, tiga orang itu diam saja, tidak berani mendahului dengan serangan mereka.
"Ho-ho-ho, jadi kalian menghendaki agar aku yang maju membuka serangan? Bagus, kalian sambutlah ini!" Dan kakek itu pun menggerakkan kaki tangannya menyerang, setiap kali tangannya menyambar, angin besar bertiup dan tiga orang itu menjadi repot sekali berloncatan ke sana-sini dan mencoba menangkis. Namun, mereka bagaikan melawan badai yang bergelombang, tubuh mereka terhuyung dan dalam beberapa jurus saja, mereka tidak mampu lagi menghindarkan diri dari tamparan Nam Tok.
"Plak! Plak! Plak!"
Berturut-turut tangan kakek itu mengenai tubuh mereka dari tiga orang itu pun terpelanting dan tidak mampu bangkit lagi, mengaduh aduh sambil memegangi bagian tubuh yang kena tampar. Seperti dua orang terdahulu, mereka bertiga pun merasa bagian yang terpukul itu panas dan nampak bagian itu merah menghitam!
Nam Tok mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku jubahnya, mengambil lima butir pil kuning dan menyerahkan kepada mereka seorang sebutir. "Cepat telan obat ini, kalau tidak, dalam waktu sehari semalam kalian tak-kan dapat tertolong lagi."
Lima orang itu terkejut, tahulah mereka bahwa setiap tamparan dari Nam Tok itu mengandung hawa beracun dan ketika mereka terkena tamparan, maka mereka menderita luka beracun yabg amat berbahaya. Mereka cepat menelan pil itu dan betapa lega rasa hati mereka karena perasaan panas dan nyeri di bagian yang terpukul itu seketika menghilang.
"Ha-ha-ha sungguh nama besar Nam Tok bukan kosong belaka!" kata Kaisar Wai Wang yang menjadi kagum dan girang sekali mendapatkan seorang jagoan yang demikian lihainya.
Lima orang itu terkejut bukan main. Kiranya kakek yang mereka hadapi itu adalah Nam Tok! Kini mereka tidak merasa heran atau penasaran lagi dan mereka cepat menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar. Nam Tok juga memberi hormat dengan membungkuk ke arah kaisar.
"Yeliu Cutay, sekarang baru kami percaya. Ang Leng Ki memang cocok dan patut sekali menjadi komandan pengawal istana!"
Mendengar ini, Nam Tok cepat memberi hormat dan berkata lantang, "Mohon Paduka suka memaafkan hamba, sesungguhnya, hamba bermaksud untuk mengabdi kepada Paduka karena melihat ancaman musuh terhadap negara. Bukan sekali-kali maksud hamba untuk mencari kedudukan. Oleh karena itu, hamba mohon diberi kebebasan di istana dan kota raja, dan hamba akan melindungi keselamatan Paduka dan akan membantu Yeliu Ciangkun untuk membasmi mata-mata yang mengacau di kota raja. Tanpa diberi kedudukan yang hanya akan mengikat hamba dengan tugas-tugas tertentu."
Tentu saja Sribaginda mengerutkan alisnya mendengar permohonan aneh ini. Berani sekali kakek ini menolak anugerah yang diberikan olehnya! Akan tetapi, Yeliu Cutay yang mengerti keadaan segera berlutut menghadap dan berkata dengan suara yang tegas.
"Hamba mohon kebijaksanaan Paduka untuk memaklumi keadaan Nam Tok. dia adalah seorang locian pwe yang biasa hidup bebas di dunia persilatan, tidak biasa terikat jabatan dan tugas. Oleh karena itu, permohonannya itu dapat dimengerti dan hamba kira, kalau Paduka bijaksana dan mengabulkan permohonannya itu, maka Lo-cian-pwe ini sebagai pelindung di istana lebih bermanfaat dari pada seratus orang pengawal. Mohon pertimbangan Paduka!"
Kaisar Wai Wang mengelus jenggotnya dan perlahan lahan bayangan tidak senang di wajahnya itu menghilang Dia mengangguk-angguk dan berkata kepada Yeliu Cutay. "Baiklah kalau begitu. Engkau atur saja dan kami memberi kebebasan kepada Nam Tok Ang Leng Ki. Akan tetapi, kalian para panglima yang menghadap saat ini dan mengajak Nam Tok, harus bertanggung jawab terhadap dia!"
Para panglima menyatakan setuju dan siap, lalu mengundurkan diri, diikuti oleh Nam Tok yang diam-diam merasa tidak senang. Dia adalah seorang yang biasa bebas dari segala macam peraturan, melakukan apa saja yang dia ingin lakukan. Akan tetapi di sini, dia harus bersikap demikian hormat dan menjilat terhadap kaisar, bahkan segala gerak-geriknya akan dibatasi. Dia merasa seperti terkekang, terbelenggu atau terkurung.
Mulai hari itu, Nam Tok merupakan satu-satunya orang yang bebas keluar masuk istana! Dia jarang bertemu dengan kaisar, akan tetapi diam-diam dia selalu waspada. Dia mengatur pasukan pengawal yang terdiri dari lima belas orang jagoan istana yang dia pilih menjadi anak buahnya, mengatur mereka melakukan penjagaan secara bergantian dan setiap waktu mereka itu dapat menghubungi dia kalau membutuhkan bantuan. Dia mendapatkan sebuah kamar besar di lingkungan istana.
Selain menjaga keamanan kaisar, juga dia membantu Yeliu Cutay melakukan pembersihan terhadap jaringan mata-mata di kota raja sehingga sukar bagi Jenghis Khan untuk menyelundupkan mata-matanya ke kota raja. Maka, Jenghis Khan mempergunakan cara lain, yaitu dia menyusup dan membeli pejabat-pejabat yang bersedia menjadi pengkhianat.
Baru kurang lebih sebulan Nam Tok berada di istana, dia melihat hal-hal yang sungguh membuat dia merasa tidak senang, bahkan muak. Kaisar Wai Wang ternyata adalah seorang pengecut yang lemah menurut pandangan Nam Tok. Ketika dia berada di situ, kaisar ini menerima serombongan utusan dari Jenghis Khan menerimanya dengan segala kehormatan.
Bahkan menjamu para utusan Jengnis Khan itu dengan pesta pora yang membuat Nam Tok mengepal tinju dan tidak sudi menghadiri pesta itu adalah ketika dia melihat betapa kaisar tidak segan-segan untuk menyuguhi para tamu Mongol itu dengan hiburan yang amat keterlaluan.
Kaisar menyuruh beberapa orang selirnya sendiri yang cantik untuk menemani para tamu! Ini sudah keterlaluan dan andaikata tidak ada Yeliu Cutay yang menyabarkannya, tentu Nam Tok sudah menyerbu rombongan utusan Jenghis Khan itu dan membunuh mereka!
Memang Kaisar Wai Wang memperlihatkan sikap yang amat tidak terpuji menghadapi ancaman Jenghis Khan. Padahal, kalau dia mau, dia dapat mengerahkan semua kekuatan, baik pasukannya maupun dari rakyat, untuk menghalau orang-orang Mongol. Akan tetapi, dengan dalih menyelamatkan rakyatnya dari perang, dia rela untuk bersikap demikian rendah terhadap Jenghis Khan.
Bukan saja dia mengirim hadiah dan juga wanita-wanita cantik akan tetapi juga dia bersikap merendahkan diri secara keterlaluan. Bukan ini saja yang membuat Nam Tok mual. Bahkan dia mendengar rencana kaisar untuk mengungsi ke selatan! Ketika terdengar berita bahwa Jenghis Khan kembali mengirim pasukan-pasukannya dari daerah Liao-tung yang sudah dikuasainya, menuju ke selatan, Kaisar Wai Wang menjadi panik.
Dan sebulan setelah Nam Tok berada di istana, Kaisar Wai Wang benar-benar memboyong keluarga dan kekayaannya ke selatan! Kaisar memanggil Nam Tok menghadap dan memerintahkan kakek ini untuk ikut mengawal rombongan kaisar yang mengungsi ke selatan.
Dengan muka merah Nam Tok hampir saja berteriak kepada kaisar. Akan tetapi dia masih dapat menahan dirinya dan dengan sikap tegas dia lalu menjawab "Hamba tidak akan melarikan diri dari orang Mongol, Sribaginda! Biarlah para jagoan dan pengawal melakukan pengawalan kepada Paduka, sedangkan hamba akan tinggal di kota raja, membantu pertahanan pasukan dari ancaman pasukan Mongol."
Kaisar Wai Wang juga hampir saja marah dan memerintahkan hukuman, akan tetapi dia teringat bahwa sampai saat itu, Nam Tok merupakan orang bebas, bukan seorang pejabat yang harus tunduk kepadanya. Maka, kaisar tidak membujuk lebih lanjut, melainkan memberi isyarat dengan tangan agar Nam Tok meninggalkannya. Nam Tok pergi dengan dada terasa panas. Sungguh memuakkan sikap kaisar yang demikian pengecut!
Kaisar Wai Wang dan rombongannya mengungsi ke selatan. Untuk menjaga agar namanya masih tegak di singgasana dan kekuasaannya masih belum melepaskan pemerintah pusat di Yen-king, dia meninggalkan Putera Mahkota di istana, mewakilinya dan menjadi lambang kekuasaannya. Dengan membawa pasukan besar berangkatlah Kaisar Wai Wang mengungsi ke selatan. Saat itulah mulai kehancuran Kerajaan Cin di Yen-king.
Perbuatan kaisar yang pengecut ini sungguh mendatangkan kekacauan. Semangat perlawanan terhadap orang Mongol menurun banyak. Apalagi mereka yang lebih mementingkan keselamatan diri daripada membela negara, ikut-ikutan melarikan diri membawa harta benda mereka dan keluarga mereka.
Selama beberapa bulan, keadaan di kota raja menjadi kacau. Bahkan banyak pejabat tinggi dan panglima, yang sejak lama sudah makan suapan Jenghis Khan, meninggalkan kota raja membawa pengikut masing-masing, bahkan ada pula yang membawa pasukan untuk pergi ke utara dan menggabungkan diri dengan barisan orang Mongol dan Liao-tung!
Akan tetapi, masih banyak panglima dan pejabat tinggi yang setia kepada Kerajaan Cin. Mereka ini berkumpul dan bersumpah setia terhadap kerajaan, siap untuk membantu Pangeran Mahkota melakukan perang dan perlawanan sampai akhir terhadap ancaman Mongol. Dan tentu saja Yeliu Cutay termasuk seorang di antara mereka, bahkan yang paling menonjol semangatnya.
Akan tetapi Nam Tok tidak mencampuri semua itu. Setelah Kaisar Wai Wang mengungsi ke selatan, secara pengecut mencari keamanan lebih dulu bagi diri sendiri, hati datuk besar ini sudah menjadi hambar. Tidak ada gunanya membantu seorang kaisar yang demikian pengecut, pikirnya. Maka, setelah waktu pertemuan puncak antara empat datuk besar sudah mendekat, dia menemui Yeliu Cutay dan berpamit dari panglima itu.
"Ciangkun, aku terpaksa meninggalkan kota raja untuk menghadiri pertemuan puncak antara Empat Datuk Besar. Dalam kesempatan itu, kalau dapat aku bersama Pak Ong akan menghancurkan See Mo dan Tung Kiam yang berkhianat dan bersekongkol dengan orang Mongol. Kalau aku dapat selamat keluar dari tempat pertemuan itu, pasti aku akan kembali dan akan membantu bangsa dan negara menentang orang-orang Mongol."
"Baiklah, Lo-cianpwe. Saya mengerti dan dalam keadaan seperti sekarang inilah munculnya orang-orang munafik dan orang-orang yang benar-benar gagah perkasa. Saya sendiri seorang dari suku bangsa Liao-tung yang kini telah ditaklukkan Mongol dan bekerja sama dengan Mongol. Akan tetapi, bagi saya yang penting adalah setia kepada tugas kewajibannya. Sejak, kakek dan ayah, mereka telah menghambakan diri kepada Kerajaan Cin, dan saya tidak akan berkhianat, akan saya bela sampai akhir."
Nam Tok menarik napas panjang dan memandang kagum. "Banyak orang gagah jatuh karena silau akan kedudukan dan kemuliaan, karena dicekam rasa takut, karena ingin mengejar keuntungan bagi diri sendiri. Akan tetapi engkau tetap setia kepada tugas dan walaupun kaisar telah melarikan diri, engkau tetap melaksanakan tugasmu. Sungguh gagah dan mengagumkan."
Nam Tok lalu meninggalkan Yeliu Cutay, bahkan dia lalu melangkah ke arah pintu gerbang sebelah barat untuk keluar dari kota raja dan menuju ke Pegunungan Thai-san di mana akan diadakan pertemuan puncak itu.
Goa di lereng Pegunungan Thai-san itu besar. Sejak dua hari yang lalu, Nam Tok sudah berada di situ. Dia datang terlalu pagi karena hari pertemuan puncak itu, pada bulan purnama dari bulan ke sepuluh, masih beberapa hari lagi.
Dia memang sengaja datang pagi karena dia harus menanti datangnya Siang Bwee dan mudah-mudahan puterinya itu datang bersama San Hong karena dia sudah mengambil keputusan untuk mengangkat San Hong menjadi muridnya. Hal ini bukan karena dia suka kepada pemuda itu, melainkan karena dia sudah terlanjur menjodohkan San Hong dengan puteri Pak Ong dan mengakui pemuda itu sebagai muridnya.
Pula, mendengar betapa San Hong, dengan mengandalkan kecerdikan Siang Bwee, telah berhasil mempelajari ilmu-ilmu dari Pak Ong, dia menaruh harapan bahwa San Hong akan mampu mewakilinya, di samping Siang Bwee, menghadapi murid para lawannya. Kalau masih ada waktu, dia dapat menggembleng pemuda itu.
Sudah dua hari Nam Tok berada di goa itu. Setiap hari dia melakukan siu-lian (meditasi) untuk menghimpun hawa murni dan memperkuat tubuh dalam persiapannya menghadapi lawan-lawan berat. Yang membosankannya hanyalah tentang makan dan minum. Nam Tok seorang yang suka makan dan minum enak.
Apalagi baru saja dia bekerja di istana di mana setiap hari dia mendapatkan makanan dan minuman yang serba mahal dan lezat. Dan sekarang, di dalam goa itu, dia hanya makan roti kering dan minum air sumber karena arak yang dibawanya telah habis. Roti bekalnya juga sudah menjadi keras!
Dia tahu bahwa pada bulan purnama nanti akan terjadi pertempuran besar di Puncak Kabut Putih. Dia sudah dapat menduga bahwa See Mo dan Tung Kiam yang bersekongkol tentu akan bertindak curang, mungkin mengerahkan banyak orang untuk mengeroyok dia dan Pak Ong. Tentu saja dia tidak takut menghadapi ancaman itu, akan tetapi dalam pembicaraannya dengan Yeliu Cutay, panglima itu berpendapat lain. Yeliu Cutay akan mengirim pasukan jagoan istana yang pernah menjadi anak buah Nam Tok pada saat pertemuan di puncak itu.
Nam Tok tidak mau dibantu, akan tetapi setelah Yeliu Cutay menjelaskan bahwa pasukan yang dikirimnya itu hanya akan turun tangan apabila pihak See Mo dan Tung Kiam menggunakan kecurangan dengan pengeroyokan, Nam Tok tidak menolak lagi. Kalau pasukan yang dikirim Yeliu Cutay itu hanya menghadapi anak buah See Mo dan Tung Kiam dan tidak mencampuri adu kepandaian antara Empat Datuk Besar dan murid-murid mereka, dia pun tidak peduli.
Pada hari ke tiga itu, pagi-pagi sekali Nam Tok sudah mandi di sumber, merasa tubuhnya segar dan sehat, juga lapar. Akan tetapi dia tidak makan. Baru melihat saja roti kering itu, lehernya seperti dicekik rasanya. Dia duduk bersila dengan perut kosong, namun tubuh segar dan nyaman, menghadap keluar.
"Ayah..."
Nam Tok tidak terkejut melihat munculnya Siang Bwee. Tadi pun dia sudah mendengar langkah puterinya itu. "Hernmm, kau baru tiba?" tegurnya dengan wajah cerah karena tubuh yang segar sehat itu mendatangkan perasaan yang nyaman pula. Dan Nam Tok memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.
Sepasang mata gadis itu mengamati wajah ayahnya dengan tajam penuh selidik. Ia tahu bahwa ayahnya mencari San Hong! Akan tetapi tidak tahu mencari dengan perasaan bagaimana? Ia memang menyuruh San Hong bersembunyi dan tidak ikut dengannya menghadap ayahnya, khawatir kalau-kalau ayahnya marah dan menyerangnya. Dan benar saja, ayahnya mencari-cari dengan pandang matanya. Hanya anehnya, ia tidak melihat sinar kemarahan atau kebencian pada pandang mata itu, maka ia pun berani memancing.
"Ayah mencari siapakah?"
"Hemmm.....? Tidak! Tidak mencari siapa-siapa!" Memang telah menjadi watak Nam Tok untuk tidak memperlihatkan sikap lemah, tidak mau memperlihatkan keinginannya mengharapkan bantuan orang lain. Andaikata dia membenci San Hong, tentu dia akan mengatakan bahwa dia mencari San Hong untuk dibunuhnya!
Dan Siang Bwee sudah mengenal benar watak ayahnya ini maka diam-diam ia merasa gembira bukan main. Kalau ayahnya menyangkal mencari San Hong, hal itu berarti bahwa ayahnya tidak marah kepada San Hong! "Sudah berapa hari Ayah di sini?"
"Sudah dua malam."
"Aihhh! Maafkan keterlambatanku, Ayah. Lalu, bagaimana Ayah makan selama dua hari ini?"
Nam Tok mengerutkan alisnya dan melirik ke arah bungkusan roti kering di dekat situ. "Huh, aku sudah muak dengan roti kering itu, dan sejak malam tadi aku belum makan apa-apa."
"Aduh kasihan.....! Ayah biasanya suka makan enak. Tunggu, biar kubuatkan sarapan yang enak untuk Ayah!"
Gadis itu dengan cekatan menurunkan buntalan besar dari punggungnya dan dari dalam buntalan itu ia seperti bermain sulap saja mengeluarkan segala macam bumbu masak, panci dan sayur-sayuran segar, bahkan ada beras dan seekor ayam yang masih hidup! Kiranya gadis yang amat cerdik ini sudah mempersiapkannya terlebih dahulu, dengan perhitungan untuk lebih dulu menyerang perut ayahnya dengan masakan lezat sehingga hati orang tua itu akan menjadi senang!
Bukan main senangnya hati Nam Tok melihat kesibukan puterinya mempersiapkan sarapan untuknya di dalam goa itu. Perutnya yang lapar segera memberontak ketika tercium bau masakan bubur ayam sedap. Akan tetapi, untuk tidak memperlihatkan kesenangan hatinya, dia memejamkan mata dan bersamadhi lagi.
Setelah masakan siap, Siang Bwe memanggil ayahnya dan mereka lalu makan bersama. Gadis itu memang ahli masak, dan sudah beberapa hari lamanya Nam Tok tidak bertemu masakan enak apalagi perutnya memang lapar, maka kini dia makan dengan lahapnya. Hatinya senang sekali, terutama melihat keadaan puterinya yang sehat dan semakin cantik. Siang Bwee yang cerdik tidak lupa membawa arak kesukaan ayahnya.
Setelah sarapan dengan puas, Nam Tok duduk dan memandang kepada puterinya yang mencuci mangkok dan panci membersihkan lantai goa dari sisa makanan. Anaknya itu selain cantik jelita juga pandai, cerdik dan rajin bukan main, di samping keahliannya memasak, bernyanyi, menari dan ilmu silat. Sungguh seorang gadis yang sukar dicari keduanya dan dia merasa bangga sekali. Setelah Siang Bwee selesai dengan pekerjaannya dan duduk di dekat ayahnya, barulah Nam Tok bertanya. "Di mana muridku Kwee San Hong?"
Siang Bwee adalah seorang gadis yang cerdik dan tabah, akan tetapi sekali ini ia terbelalak heran memandang wajah ayahnya. Hatinya lega melihat wajah itu cerah berseri dan mulut ayahnya tersenyum. "Murid? Ayah tadi menyebut murid kepada Kwee San Hong?"
Nam Tok mengangguk. "Ya, Kwee San Hong adalah muridku."
"Tapi..... sejak kapan Ayah mengakuinya sebagai murid?" Siang Bwee masih belum yakin karena herannya.
"Sejak dia pergi bersamamu. Aku tahu bahwa setelah dia pergi denganmu, sudah pasti dia melatih ilmu-ilmu kita darimu. Maka, dengan sendirinya dia adalah muridku."
Saking gembiranya Siang Bwee menggeser duduknya, menghampiri ayahnya dan menyentuh tangan ayahnya, matanya memandang tajam penuh selidik. "Ayah, sekali ini Ayah bicara sebenarnya? Ayah tidak marah kepada Hong koko dan benar-benar Ayah menerimanya sebagai murid?"
"Hemmm, sejak kapan engkau mengira ayahmu pembohong? Tentu saja dia muridku dan aku ingin menggemblengnya sebelum nanti mewakili aku di malam bulan purnama!"
"Ayah.....!!" Siang Bwee merangkul leher ayahnya saking gembira hatinya.
Dirangkul seperti itu oleh puterinya, anak tunggalnya, biarpun Nam Tok seorang datuk besar berhati baja, tetap saja dia merasa terharu dan dia pun balas memeluk dan mengusap rambut kepala anaknya itu, teringat betapa ketika Siang Bwee masih kecil, sering dipondongnya dan diusap kepalanya seperti itu.
"Ayah, terima kasih, Ayah. Engkau memang seorang ayah yang paling baik di seluruh dunia ini!"
"Sudahlah, lekas panggil dia ke sini. Aku ingin memberi petunjuk dan gemblengan agar dia tidak sampai kalah mewakili aku melawan murid para datuk lainnya."
Siang Bwee melepaskan rangkulannya dan tertawa riang. "Aih, jangan khawatir, Ayah. Sekali ini, biar murid tiga orang datuk itu maju bersama, mereka tidak akan mungkin mampu menandingi Hong-koko. Ayah tidak tahu, dia telah memperoleh kemajuan yang hebat sekali!"
Nam Tok tersenyum. Ia tahu bahwa San Hong pernah diberi pelajaran ilmu oleh Pak Ong, akan tetapi tidak mungkin memperoleh kemajuan yang sedemikian hebatnya seperti yang dikatakan puterinya. Dia menganggap puterinya itu membual saja.
"Panggil dia ke sini, ingin aku membuktikan omonganmu."
Siang Bwee tersenyum manis lalu menghadap ke selatan dan berseru dengan pengerahan khi-kangnya. "Hong-koko! Kesinilah! Ayah ingin bicara denganmu....!"
Nam Tok diam-diam merasa girang dan kagum. Dari teriakan melengking itu saja dia sudah dapat menilai bahwa puterinya telah memperoleh kemajuan yang besar. Dia tidak merasa heran. Dia tahu bahwa puterinya memiliki kecerdikan yang luar biasa dan dengan kecerdikannya itu, tidak aneh kalau ia dapat mengibuli para datuk lainnya sehingga mereka mau menurunkan ilmu mereka kepadanya.
Akan tetapi, dia lebih terkejut dan kagum ketika tiba-tiba saja melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Kwee San Hong telah muncul di depannya, dan pemuda ini langsung saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.
"Suhu, terimalah hormat teecu (murid)!"
Kakek ini selain amat lihai, juga amat cerdik, pantas menjadi ayah kandung Siang Bwee yang cerdas. Hanya sejenak dia tertegun, akan tetapi dia segera mengerti bahwa pemuda ini memang lihai sekali, tadi telah dapat mendengar percakapan antara dia dan puterinya tanpa dia mengetahui bahwa pemuda itu ikut mendengarkan. Ini saja sudah menjadi bukti cukup bahwa puterinya agaknya tidak membual dan bahwa pemuda ini memang lihai dan memperoleh kemajuan pesat.
"Hem, Hong-koko. Engkau sudah tahu bahwa Ayah menerimamu sebagai murid? Bagus! Aku ikut girang sekali, Koko! Tak kusangka bahwa sesungguhnya Ayah amat mencintaku dan dia baik sekali, dia orang yang paling baik di dunia ini!"
"Siang Bwee, dia suhengmu, engkau harus menyebut suheng padanya." kata Nam Tok, suaranya ketus.
Siang Bwee tertawa. "Aih, benar juga kata Ayah. Nah, Hong-suheng, terimalah hormat sumoimu ini!" Dengan gaya lucu Siang Bwee lalu memberi hormat kepada San Hong.
"San Hong, tahukah engkau mengapa aku yang menerimamu sebagai murid, sengaja melukaimu dan menyakitimu tempo hari?"
San Hong adalah seorang pemuda yang jujur dan polos. Kejujuran dan kepolosan ini membuat dia nampak bodoh dalam kehidupan di dunia kang-ouw yang penuh dengan tipu muslihat dan kepalsuan. Pertanyaan itu akan dijawab sejujurnya pula bahwa Nam Tok dahulu melukainya karena Nam Tok tidak suka kepadanya, bahkan membencinya.
Akan tetapi, Siang Bwee mengenal benar watak pria yang dicintanya itu. Justeru satu di antara segi yang membuatnya kagum setengah mati adalah kejujuran dan kepolosan pemuda itu, walaupun seringkali pula menjengkelkan hatinya. Maka, sebelum kekasihnya itu menjawab yang bukan-bukan sesuai dengan kejujurannya, ia pun mendahului dengan tertawa,
"Aih, Ayah menggunakan cara yang teramat cerdik, bagaimana Hong-koko...... ah, Suheng, dapat menangkapnya? Ayah sengaja melukainya dengan pukulan beracun, dan membiarkan dia pergi bersamaku. Hal itu jelas sekali bahwa Ayah bermaksud agar Suheng, dengan bantuanku dapat mengobati lukanya dan memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi. Bukankah begitu? Suheng, ketahuilah bahwa sejak dahulu ayahku ini amat suka kepadamu, dan sejak dahulu diam-diam telah menerimamu sebagal muridnya."
San Hong yang berwatak polos itu tentu saja sama sekali tidak menduga bahwa ucapan Siang Bwee ini pun merupakan balasan siasat dari gadis itu untuk menghadapi ayahnya. Dia mengira kekasihnya itu bicara dengan sungguh-sungguh, maka di dalam hatinya San Hong berterima kasih sekali kepada Nam Tok.
Dia memberi hormat dengan membentur benturkan dahinya pada tanah sampai delapan, kali. "Terima kasih atas budi kebaikan dan budi kecintaan Suhu. Teecu tidak akan pernah melupakan dan teecu akan mentaati semua perintah Suhu sebagal balas budi."
"Berdirilah, San Hong." kata Nam Tok. "Dan perlihatkan kepadaku sampai di mana tingkat kepandaian kalian. Sekarang saatnya kalian bersiap-siap mewakili aku menghadapi para murid dari datuk-datuk yang lain. Siang Bwee, coba kau latihan dengan Suhengmu dan keluarkan semua ilmu yang sudah kau pelajari dariku atau dari siapa saja. Jangan main-main, berlatih yang sungguh agar aku dapat menilai dengan baik dan memberi petunjuk!"
Kakek itu lalu duduk di atas sebuah batu besar di depan goa. San Hong bangkit dan menghampiri Siang Bwee yang sudah siap di depan goa, di lapangan yang cukup luas, di bawah sebatang pohon besar. Gadis itu tersenyum manis dan sinar matanya membayangkan kegembiraan besar. Bagaimana ia tidak akan merasa gembira melihat sikap ayahnya terhadap kekasihnya.
Tadinya ia mengira bahwa ayahnya tentu akan menyerang San Hong dan untuk itu, kekasihnya sudah siap melayani ayahnya agar mampu bertahan sampai seratus jurus! Akan tetapi, ayahnya menerimanya dengan ramah, bahkan mengakuinya sebagai murid! Ini merupakan pertanda yang teramat baik dan tentu saja ia merasa amat gembira.
"Koko.... eh, Suheng, waspadalah. Aku akan menyerang dengan seluruh tenaga dan kepandaianku. Hyaaattttt.....!"
Gadis itu kini mulai bergerak, menyerang sambil mengeluarkan teriakan melengking. Serangannya dahsyat, cepat dan kuat. Bahkan kini kedua tangannya berubah merah, tanda bahwa ia juga mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun, yaitu ilmu khas dari ayahnya yang berjuluk Nam-san Tok-ong (Raja Racun Bukit Selatan) atau disingkat Nam Tok (Racun Selatan).
Ia tidak merasa khawatir menyerang dengan ilmu yang berbahaya itu, karena ia yakin benar bahwa kekasihnya telah mengenal semua gerakan serangannya dengan baik, dan juga dalam hal tenaga, suhengnya itu jauh lebih kuat darinya.
San Hong dengan tenang menghadapi serangan itu, mengelak dan menangkis lalu balas menyerang. Biarpun nampaknya serangan Siang Bwee itu dahsyat dan ganas, namun karena dia sudah sering sekali berlatih dengan gadis itu, maka baginya tidak mengkhawatirkan sama sekali. Sesudah mereka melakukan perjalanan bersama, hampir tidak ada hari terlewat tanpa latihan.
Gadis itu selalu mendesak bahkan memaksanya untuk berlatih, setiap kali mereka mendapatkan sebuah ilmu baru. Apalagi setelah mereka menerima ilmu-ilmu dari Lo Koay dan Nenek Coa Eng Cun, Siang Bwee selalu mengajaknya berlatih, bahkan waktu gadis itu menyerangnya secara tiba-tiba.
Kini, menghadapi serangan-serangan dahsyat itu dia sama sekali tidak menjadi gugup, apalagi gentar. Dia mampu menghindarkan diri dari setiap serangan dengan amat baiknya, dan membalas dengan serangan yang lebih dahsyat lagi dibandingkan serangan Siang Bwee.
Melihat serangan-serangan yang amat berbahaya dari San Hong, Nam Tok sempat terkejut, akan tetapi dia memandang kagum. Kiranya puterinya itu dapat menghindarkan semua serangan balasan dari San Hong dengan langkah-langkah kaki yang amat aneh!
Setelah memperhatikan kedua orang muda itu bertanding, makin lama Nam Tok menjadi semakin heran, juga terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, San Hong telah menguasai begitu banyak ilmu silat yang tinggi-tinggi! Bukan saja San Hong mampu menguasai ilmu silatnya yang tentu dipelajarinya dari puterinya.
Akan tetapi juga dia melihat betapa pemuda itu mampu memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu dari Tung Kiam dan Pak Ong! Dan ada pula ilmu-ilmu yang bahkan tidak dikenalnya. Juga puterinya kini mahir memainkan beberapa macam ilmu silat yang bukan darinya, bahkan ilmu langkah kaki ajaib itu sungguh hebat! Diam-diam dia girang. Dia dapat menggunakan San Hong untuk menghadapi para lawannya. Biarlah pemuda itu menjadi wakilnya, bersama Siang Bwee.
Biarkan mereka itu mewakilinya dulu dan baru kelak dia akan memberi tahu tentang perjodohan mereka dengan puteri dan murid Pak Ong yang telah dia putuskan bersama Pak Ong. Sekarang belum saatnya memberi tahu. Dia mengenal watak keras puterinya. Kalau sekarang dia beritahu dan puterinya itu berkeras menolak, lalu marah-marah dan mereka berdua tidak mau membantunya dan mewakilinya, tentu dia akan rugi besar.
"Bagus, bagus! Cukup sudah. Ilmu silat kalian sudah cukup baik, aku hanya perlu memberi petunjuk sedikit untuk menyempurnakannya. Biarpun malam nanti belum bulan purnama penuh, namun cahaya bulan sudah amat kuat. Kalian akan kulatih semalam suntuk selama bulan menampakkan diri."
"Ayah hendak mengajarkan cara menampung tenaga cahaya bulan? Goat-im Sin-kang (Hawa Sakti Inti Bulan)?" tanya Siang Bwee dengan girang sekali.
Ayahnya mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada mereka dan suaranya terdengar lembut ketika dia bicara. "Sekarang ceritakan bagaimana kalian mempelajari ilmu-ilmu yang kalian mainkan tadi."
Mereka duduk di dalam goa dan dengan asyik Siang Bwee lalu bercerita. Gadis ini memang pandai sekali bicara, maka ceritanya juga enak dan mengasyikkan untuk didengar. Berkali-kali Nam Tok tak dapat menahan ketawanya ketika mendengar cerita anaknya bagaimana anaknya yang nakal dan cerdik itu dapat mempermainkan dan mengelabui orang-orang seperti Tung Kiam dan Pak Ong, bahkan dengan kaget dia mendengar pula betapa dengan ilmunya memasak dan menari, puterinya berhasil mempermainkan Lo Koay dan Nenek Coa Eng Cun.
"Ahhh! Kiranya kalian menerima pelajaran dari Lo Koay? Dan nenek Coa Eng Cun? Pantas kalau begitu! Kalian telah memperoleh ilmu-ilmu yang paling tinggi untuk masa kini." serunya kagum setelah puterinya menyelesaikan ceritanya.
"Aih, Ayah! Di mana Tongkat Naga Ayah? Baru sekarang aku teringat bahwa sejak tadi Ayah tidak pernah memegang Tongkat Naga itu, padahal dahulu, tidak pernah Ayah melepaskannya!"
Tentu saja ini hanya pura-pura, karena sejak tadi gadis ini sudah tahu akan hal ini dan diam-diam ia merasa heran dan juga khawatir, karena hal itu sungguh amat luar biasa. Nam Tok tanpa tongkat naga itu sungguh merupakan suatu hal yang aneh sekali. Dan yang membuat gadis ini sejak tadi merasa kaget, juga gelisah adalah ketika ia melihat sebatang pedang di punggung ayahnya.
Ayahnya memegang pedang dan tongkatnya tidak ada! Apa artinya itu? Kemudian, ketika bercerita tadi, ia berkesempatan untuk melihat pedang itu baik-baik, melihat sarungnya dan bentuk gagangnya dan matanya yang jeli dan tajam itu segera dapat menduga bahwa pedang itu bukan lain adalah Pedang Asmara milik Yeliu Cutay yang dilarikan oleh Bu Tiong Sin yang sudah menjadi murid Pak Ong!
Bagaimana Pedang Asmara milik pemuda rtu dapat berada di punggung ayahnya? Dan bagaimana pula ayahnya melepaskan tongkat naganya? Otaknya yang cerdik itu sejak tadi sudah membuat tanya-jawab dan perhitungan, dan ia pun merasa khawatir sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu! Ia pun teringat akan persekutuan antara Tung Kiam dan See Mo.
Ayahnya yang luar biasa cerdiknya itu agaknya sudah tahu akan persekutuan itu, dan besar sekali kemungkinan ayahnya menghubungi Pak Ong untuk membicarakan persekutuan Tung Kiam dan See Mo yang akan berkhianat. Dan mungkin terjadi sesuatu antara ayahnya dan Pak Ong. Hilangnya Tongkat Naga dan munculnya Pedang Asmara di punggung ayahnya!
Jangan-jangan memang kedua benda pusaka itu ditukar! Ditukar untuk apa? Jangan-jangan untuk tanda ikatan perjodohan, Jantungnya sudah berdebar tegang dan tidak enak sekali, namun ia masih mampu berpura-pura heran ketika bertanya di mana adanya Tongkat Naga.
Mendengar pertanyaan anaknya yang wajar, Nam Tok tertawa. "Ha-ha-ha, matamu awas sekali, Siang Bwee! Tongkat itu memang sengaja kutinggalkan, berabe saja membawanya ke sini."
Siang Bwee terlampau cerdik untuk dapat dibohongi sesederhana itu. Akan tetapi ia berpura-pura tidak sadar bahwa ia dibohongi dan ia berseru heran. "Tapi, Ayah! Bukankah Ayah naik ke Thai-san ini untuk bertanding mengadu ilmu melawan saingan-saingan Ayah yang paling lihai seperti Pak Ong, See Mo dan Tung Kiam? Justeru untuk melawan mereka Ayah membutuhkan sekali senjata yang ampuh itu. Kenapa malah Ayah tinggalkan?" Ia memandang ayahnya dengan khawatir.
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu memandang rendah ayahmu sendiri, Siang Bwee! Apa kau kira tanpa tongkat itu ayahmu tidak mampu mengalahkan mereka? Ha-ha-ha! Apalagi sebagai gantinya Ayah mempunyai pedang pusaka ini!" Nam Tok menepuk sarung pedang di punggungnya.
Mendengar ucapan itu, Siang Bwee diam-diam merasa semakin gelisah. Tanpa di sengaja, ayahnya telah kelepasan bicara dan kata "sebagai gantinya" tadi tentu mengandung arti penting. Akan tetapi dengan cerdik ia membiarkan kata itu lewat.
"Ayah berpedang? Sungguh aneh. Apalagi, mana ada pedang yang cocok untuk Ayah? Pedang pusaka apakah yang begitu Ayah andalkan?"
"Anak bodoh! Ini adalah pedang pusaka yang disebut Pedang Dewa Hijau atau Pedang Asmara! Ampuhnya bukan main!"
Siang Bwee terbelalak dan ia melirik kepada San Hong. Akan tetapi pemuda itu sejak tadi diam dan menundukkan kepala saja, seolah tidak mempedulikan atau tidak tertarik. Padahal, di dalam hatinya San Hong juga bertanya-tanya dan merasa heran mengapa Pedang Asmara yang oleh pemiliknya, Yeliu Cutay, diberikan kepadanya setelah dia berhasil, merampasnya kembali dari Bu Tiong Sin, kini tahu-tahu telah berada ditangan Nam Tok.
Akan tetapi karena takut kalau dia salah bersikap atau bicara, dia pun menunduk saja dan menyerahkan urusan itu kepada Siang Bwee.
"Pedang Asmara? Aih, begitu indah namanya. Aku belum percaya akan keampuhannya kalau tidak melihat sendiri. Ayah, aku ingin melihat pedang pusaka itu!"
Nam Tok sedang bersenang hati melihat kelihaian puterinya dan San Hong yang membesarkan hatinya. Sekali ini dia merasa yakin bahwa pertandingan antar murid tentu akan dimenangkan pihaknya. Maka dia pun melolos sarung pedang itu dan menyerahkan kepada puterinya. Dengan senyum seperti mengejek dan tidak percaya, Siang Bwee mencabut pedang itu.
"Singgg...!"
Sinar hijau berkilauan dan Siang Bwee merasa betapa jantungnya berdebar kencang. "Wah, bagus sekali pedang ini, Ayah!" Ia mengibas-ngibaskan dan membuat gerakan membacok dan menusuk. "Dan enak sekali dipakai, tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan." Ia lalu memainkan beberapa jurus ilmu pedang dari Tung Kiam. Gerakannya Indah sekali.
"Haiii... ! Bukankah itu Tung-kiam Liong-kiam, ilmu pedang andalan Tung Kiam?" Nam Tok berseru kaget dan heran.
Siang Bwee menghentikan gerakannya, menoleh kepada ayahnya dan tersenyum manis. "Tentu saja, Ayah. Dengan pedang ini di tangan, dan ilmu pedang itu, aku akan mengalahkan murid-murid Tung Kiam!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Mengalahkan mereka dengan ilmu pedang mereka sendiri. Ha-ha-ha, alangkah lucunya!"
"Ayah, kalau aku berhadapan dengan murid-murid Tung Kiam, bolehkah aku meminjam pedang Ayah ini untuk melawan dan mendapatkan kemenangan?"
"Ha-ha-ha, tentu saja boleh, anakku."
"Kalau begitu, aku harus berlatih dengan pedang ini agar tidak kaku kalau nanti menggunakannya. Ayah, aku pinjam sebentar untuk berlatih! Mari, Koko..... eh, Suheng, kita berlatih disana agar tidak mengganggu Ayah!"
"Hati-hati jangan sampai hilang pedang itu, Siang Bwee!" Nam Tok berseru melihat anaknya pergi membawa pedang itu.
San Hong memberi hormat lalu mengikuti Siang Bwee yang lari menuju ke sebuah lapangan rumput tak jauh dari situ. Nam Tok tersenyum lalu duduk bersamadhi lagi untuk menghimpun kekuatan. Hatinya tenang dan tenteram rasanya. Dia yakin bahwa dengan bantuan dua orang muda itu, akhirnya dia akan mencapai kemenangan.
Dan bahkan akan mampu menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang bersekongkol dengan orang Mongol. Mereka telah berada di lapangan rumput, tidak begitu jauh dari goa itu, akan tetapi mereka dapat melihat goa itu sehingga mereka akan tahu andaikata Nam Tok keluar dari goa.
"Cepat, Koko. Kita harus bekerja cepat." kata gadis itu dan ia duduk di atas sebuah batu, menghadap ke arah goa agar ia dapat terus mengamati kalau-kalau ayahnya keluar dari dalam goa.
"Bekerja apa?" tanya San Hong, menghampiri.
Kadang-kadang Siang Bwee merasa gemas akan kelambatan jalan pemikiran kekasihnya. "Aih, tidakkah engkau melihat bahwa ini adalah Pedang Asmara yang kita cari-cari?"
"Tentu saja aku tahu, dan pedang ini telah menjadi milik ayahmu."
"Tidak, pedang ini adalah milikmu, milik kita. Bukankah Yeliu Ciangkun telah memberikannya kepadamu?"
"Tapi aku harus merampasnya dari Bu Tiong Sin, dan sekarang telah menjadi milik ayahmu. Apa yang dapat kita lakukan?"
"Bodoh, lupakah engkau bahwa aku telah membuat pedang tiruannya ini?" Siang Bwee mengeluarkan pedang tiruan itu dari dalam buntalan yang sejak tadi dibawanya.
San Hong terbelalak, "Bwee-moi.... apa yang hendak kau lakukan?"
"Bodoh kau Hong-ko! Untuk apa aku membuat pedang tiruan ini? Sekarang tiba saatnya yang baik. Kita tukar pedang ini, kita tukar gagangnya dan sarungnya."
"Tidak, Bwee-moi. Tidak! Aku tidak berani....."
"Eh? Engkau takut kepada ayah?"
"Bukan takut kepada ayahmu atau kepada siapapun, melainkan takut melakukan sesuatu yang tidak benar. Kalau sampai ketahuan, ke mana akan kutaruh muka ini?"
"Tentu saja dikepalamu, Koko! Sudahlah, jangan bodoh. Kau tahu milik siapa pedang pusaka ini?"
"Milik ayahmu."
"Huh, bagaimana sih jalan pikiranmu itu? Pedang Asmara ini milikmu, milik kita! Pemiliknya yang aseli, Yeliu Ciangkun sudah memberikannya kepada kita. Kalau tadinya berada di tangan Tiong Sin adalah karena dia mencurinya, jadi tidak sah. Pemiliknya yang sah adalah engkau. Dan sekarang terjatuh ke tangan ayahku....."
"Mungkin ayahmu sudah membunuh Tiong Sin, atau setidaknya merampas pedang ini dari tangannya."
"Bukan begitu! Kau tidak melihat betapa Tongkat Naga itu tidak berada pada ayah? Aku mengenal benar watak ayah. Sampai mati pun dia tidak akan melepaskan tongkat itu, kecuali kalau..." Ia berhenti.
"Kalau apa, Moi-moi?"
"Kalau tongkat itu diberikan kepada orang lain dan sebagai gantinya ayah menerima pedang ini."
"Untuk apa?"
"Tanda ikatan jodoh tentunya. Bodoh sekail engkau! Aku khawatir bahwa ayah telah bersepakat dengan Pak Ong untuk menjodohkan aku dengan Tiong Sin murid Pak Ong itu, dan sebagai ikatan jodoh, dua pusaka itu ditukar."
"Aduh celaka....! Kau dijodohkan Tiong Sin? Habis, aku bagaimana.....?" San Hong bengong dan sekali ini memang nampak bodoh sekali.
Mau tidak mau Siang Bwee tersenyum geli dan kemarahannya pun terbang pergi. "Karena itulah, Koko, kita harus bertindak. Kalau pedang ini kita ganti dengan tiruan, dan kukatakan kepada ayah bahwa dia ditipu, diberi pedang tiruan oleh Pak Ong, tentu ayah marah dan ikatan jodoh itu dibatalkan. Dan pedang aselinya menjadi milikmu, karena memang engkau pemiliknya yang sah. Nah, hayo cepat bantu aku. Gagangnya harus dicopot dan diganti yang tiruan. Cepat, kau cabut. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai rusak."
Mendengar bahwa tindakan mereka itu untuk menggagalkan perjodohan antara Siang Bwee dengan Tiong Sin, timbullah semangat San Hong dan dia lalu perlahan-lahan mengerahkan tenaganya dan mencabut gagang pedang yang aseli dan yang palsu.
"Aku akan beritahu ayah tentang palsunya Pedang Asmara ini kalau sudah selesai pertemuan puncak itu. Biarkan ayah bersama Pak Ong menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang bersekutu dan kita membantu ayah. Setelah semua selesai dan ayah bicara tentang perjodohanku dengan orang lain, baru aku akan beri tahu tentang palsunya pedang. Mengerti engkau?"
San Hong mengangguk-angguk dan kini dia telah selesai menukar gagang kedua pedang itu. "Wah, yang ini sukar!" tiba-tiba Siang Bwee berkata sambil memegang kedua pedang itu dengan kedua tangan, membanding-bandingkan. San Hong juga ikut melihat dan dia kagum. Buatan ahli pembuat pedang itu memang hebat. Kedua pedang itu presis sekali bentuknya.
"Apanya yang sukar?" tanyanya.
"Engkau tidak melihat perbedaannya yang menyolok?"
San Hong menggeleng kepala. "Bagiku sudah mirip sekali, sukar dilihat perbedaannya."
Siang Bwee cemberut dan melirik tajam. "Tidak kau lihat noda merah pada pedang yang aseli ini?"
San Hong mengamati dan benar saja. Ada noda kemerahan pada pedang yang aseli, sedangkan yang palsu tidak ada tanda kemerahan itu. Dia meneliti dan mencium. "Hemmm, agaknya ini noda darah." katanya.
Gadis itu tersenyum manis sekali. "Sekali ini engkau benar. Ah, ternyata engkau dapat juga bersikap cerdik, Koko. Ini memang noda darah. Dan untuk menyamakannya, kita harus memberi noda darah kepada pedang tiruan ini." Siang Bwee melepas tusuk konde dan hendak menusuk betisnya setelah menyingkap celana sebelah kaki kiri. Akan tetapi San Hong menangkap tangan yang memegang tusuk konde itu dan merampasnya.
"Jangan! Sayang kalau betismu yang kulitnya mulus itu nanti dinodai bekas luka. Biar betisku saja!"
"Ah, apa bedanya. Betismu pun tentu akan ada tanda lukanya."
"Tapi betisku kan tidak semulus betismu, dan luka kecil bekas tusukan tusuk konde ini akan tertutup bulu kakiku!" kata San Hong dan dia pun menusukkan tusuk konde itu kepada jalan darah di betisnya. Ketika dicabutnya, mengalirlah darah keluar dari luka kecil itu.
Tanpa ragu-ragu Siang Bwe mengambil darah dari betis itu dengan jari telunjuk kanannya dan dioleskannya pada pedang tiruan, digambarnya presis seperti bentuk noda darah pada Pedang Asmara yang aseli. Kini, kedua pedang itu presis, atau mirip sekail dan sukar dibedakan.
Mereka saling pandang dengan hati puas. "Biar kuobati luka di betismu itu." kata Siang Bwee yang mengeluarkan, buntalan obat bubuk mengobati luka kecil di betis yang sebetulnya tidak ada artinya itu.
Ketika la membungkuk dan mengobati kaki itu, muka Siang Bwee begitu dekati dengan muka San Hong. Dua buah jantung itu bergoncang hebat, membuat muka mereka kemerahan dan pandang mata mereka sayu.
"Bwee-moi, engkau sungguh cantik jelita..." bisik San Hong, memandang bagaikan terpesona.
Siang Bwee mengangkat muka. Kedua muka saling berhadapan. Dua pasang mata bertaut. "Aih, Koko....."
Tiba-tiba saja mereka itu saling rangkul dan saling dekap, saling berciuman dengan sepenuh perasaan yang berkobar penuh gairah. Demikian penuh semangat mereka itu sehingga mereka terguling dan rebah miring sambil masih saling rangkul dan saling berciuman. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka berdua telah tercengkeram oleh pengaruh ajaib dari Pedang Asmara!
Pada dasarnya, mereka memang saling mencinta sehingga sudah terdapat kemesraan di antara mereka, saling merindukan dan selalu ingin berdekatan dan bermesraan sebagai pernyataan dari rasa asmara. Namun selama ini mereka masih dapat mengekang diri, terutama San Hong, tidak mau menurunkan dorongan gairah hati dan selalu membatasi diri. Akan tetapi, kini pengaruh ajaib dari Pedang Asmara membuat mereka bagaikan lupa diri.
Bagaimanapun juga, pada dasarnya San Hong adalah seorang pemuda yang amat kuat pertahanan batinnya. Seorang yang jujur polos dan jantan. Begitu merasa bahwa ada sesuatu kekuatan ajaib mendorongnya dan membuatnya seperti mabuk, dia cepat memejamkan mata dan mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri yang baru saja dipelajarinya dan dilatihnya dari Lo Koay.
"Aahhhhh.....!" Dengan kekuatan sakti yang amat kuat ini, seketika buyarlah kekuatan mujijat yang mencengkeramnya dan dia pun melepaskan rangkulannya, kemudian dengan lembut dia mendorong tubuh Siang Bwee. Gadis itu terpental sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting jatuh.
"Aih, Koko, kenapa kau menyerangku.,..?" Siang Bwee bangkit berdiri. Rasa nyeri pada pantatnya yang terbanting ke atas tanah itu juga membuyarkan pengaruh asmara yang membuat gairahnya berkobar tadi.
"Bwee-moi, kita... kita tidak boleh....."
Sadarlah kini Siang Bwee. Mukanya berubah merah dan ia pun cepat menutupkan kembali bajunya yang setengah terbuka. Gadis yang amat cerdik ini memandang ke arah dua batang pedang telanjang di atas tanah dan ia pun mengerti. Gara-gara Pedang Asmara! Ia meloncat dan menyambar kedua batang pedang itu, dimasukkan ke dalam sarung masing-masing, yaitu sarung yang ditukar.
Kini pedang yang aseli memiliki gagang dan sarung palsu, sebaliknya pedang yang palsu memiliki gagang dan sarung yang aseli. Ia memandang kepada Pedang Asmara aseli di tangan kanannya dengan gentar dan bulu tengkuknya meremang.
"Ihhh....! Pedang ini ada setannya! Engkau saja yang menyimpannya, Koko. Engkau kuat menahan pengaruh mengerikan itu!"
San Hong menerima Pedang Asmara dan menarik napas panjang. "Kalau ayahmu mengetahui hal ini, dia tentu akan membunuhku."
"Dia tidak akan tahu. Pula, dia tidak berhak menentukan perjodohanku! Bukankah dulu sudah dia ketahui bahwa aku hanya memilih engkau untuk menjadi jodohku? Kalau dia tahu dan marah, kita hadapi berdua, dan kalau perlu, kita mati bersama! Hong-ko, maukah engkau mati bersama dengan aku?"
San Hong tersenyum memandang wajah kekasihnya. Dia merasa kasihan sekali dan tidak tega untuk tidak mengiyakan saja permintaan gadis itu. Akan tetapi dia terlampau jujur. "Kalau disuruh memilih, aku lebih suka memilih hidup bersama denganmu, Bwee-moi, bukan mati bersama. Aku akan melindungimu dan siapapun juga, biar ayahmu sendiri, tidak akan dapat membunuhmu selama aku masih hidup. Aku boleh mati, akan tetapi engkau harus tetap hidup!"
Tiba-tiba Siang Bwee cemberut dan marah, la melempar pedang palsu ke atas tanah, lalu kedua tangannya bertolak pinggang dan kedua kakinya dibanting-banting bergantian. "Engkau tidak cinta padaku, Koko! Ah, engkau tidak cinta padaku!"
"Ehhh? Siapa bilang? Aku cinta padamu, Bwee-moi. Karena itu pula aku ingin melihat engkau tetap hidup."
"Kalau engkau mati dan aku hidup sendiri, bagaimana engkau akan dapat melihat aku hidup? Engkau tidak mau mati bersamaku, berarti engkau tidak cinta padaku!" Ia hampir menangis.
San Hong menjadi bingung, akhirnya dia terpaksa menyerah. "Baiklah, Bwee-moi, kalau itu yang kau kehendaki. Aku mau mati bersamamu, kapan saja!"
"Hong-ko.....!" Gadis itu meloncat, merangkulkan kedua lengan di leher pemuda itu, bergantung beberapa lamanya dan membenamkan mukanya di dada yang bidang itu. "Aku tahu engkau cinta padaku, Koko. Kita hidup bersama mati bersama pula."
San Hong mengusap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Hatinya membantah. Hidup bersama, itu biasa dan mudah dilakukan. Akan tetapi mati bersama? Apakah kalau yang seorang mati, yang lain lalu harus membunuh diri? Gila! Akan tetapi untuk menyenangkan hati kekasihnya dia pun menjawab lirih, "Kita hidup bersama dan mati bersama pula, Bwee-moi,"
Gadis itu melepaskan diri dan kini ia tersenyum cerah sekali walaupun matanya masih basah berair. "Koko, cepat simpan pedang itu, tidak perlu disembunyikan, bahkan pasang saja di punggungmu biar ayah melihatnya. Sarung dan gagangnya lain sama sekali, tentu dia tidak akan mencurigai sesuatu."
"Tapi aku biasanya membawa Pek-lui-kiam di punggung."
"Aih, benar juga. Kalau tiba-tiba ada perubahan tentu akan menimbulkan perhatian. Nah, sembunyikan di balik bajumu saja, Koko. Mari kita kembali kepada ayah. Jangan sampai dia menjadi curiga kalau terlalu lama."
Gadis itu memang cerdik sekali. Sambil menanti datangnya bulan purnama, ia lebih sering meminjam pedang dari ayahnya itu sehingga boleh dibilang hampir tiada kesempatan bagi Nam Tok untuk memegang pedangnya. Hal ini tentu saja melegakan hati kedua orang muda itu.
Kini mereka berdua semakin sadar dan yakin akan bahayanya pengaruh ajaib darl Pedang Asmara. Biasanya, sebelum San Hong membawa pedang itu, kalau mereka bersama, mereka mampu menguasai diri dan untuk menyalurkan kerinduan dan gairah mereka, cukup dengan sendau gurau, saling pandang, saling senyum dan mengucapkan kata-kata mesra, atau paling banyak hanya saling berpegang tangan dan sekali-kali saling peluk dan jarang sekali saling berciuman.
Akan tetapi sekarang, setiap kali berdekatan, mereka dirangsang oleh gairah yang tidak wajari Karena itu, untuk menjaga agar mereka tidak sampai menjadi mabuk dan lupa, mereka selalu saling menjauh. Hal ini mudah mereka lakukan karena di situ ada Nam Tok. Kehadiran orang tua ini sudah cukup membuat mereka harus saling menjauh dan tidak terlalu akrab agar tidak memancing kemarahan Nam Tok.
Beberapa hari kemudian, malam yang dinanti-nanti tiba. Sore-sore mereka sudah siap siaga. Nam Tok memanggil puterinya dan San Hong yang segera menghadap. Mereka duduk di depan goa dan kini sikap Nam Tok bersungguh-sungguh.
"Kalian dengar baik-baik. Pertemuan puncak sekali ini tidak boleh disamakan dengan dahulu, Siang Bwee."
"Tentu saja, Ayah. Sekarang ini jauh lebih berbahaya, bahkan mungkin yang akan terjadi bukan pertandingan adu kepandaian lagi, melainkan pertempuran mati-matian."
"Eh, apa maksudmu?" Kakek itu bertanya, alisnya berkerut. Puterinya ini seringkali membuatnya terkejut dan terheran, juga bangga. Biarpun anaknya itu hanya seorang wanita, namun memiliki kecerdikan yang kadang membuat dia sendiri kewalahan.
"Mungkin saja dalam pertemuan ini. Tung Kiam dan See Mo akan menggunakan orang-orang Mongol untuk mengeroyok kita, Ayah."
"Hai, dari mana engkau tahu?"
"Aku tidak pantas menjadi puteri Ayah kalau tidak tahu segalanya!" Gadis itu berkata dengan bangga. Tentu saja ucapan ini dimaksudkan untuk menyenangkan hati ayahnya karena secara tidak langsung ia memuji ayahnya.
"Ketahuilah, Ayah. Aku belum menceritakan betapa aku dan Koko.... eh, Suheng ini telah memergoki ketika Tung Kiam dan See Mo mengadakan pertemuan di mana mereka membicarakan persekongkolan mereka dengan orang-orang Mongol. Suheng marah sekali dan keluar memaki mereka sehingga kami diserang oleh mereka. Tentu kami akan tewas kalau saja tidak muncul Lo Koay yang telah menolong kami, bahkan kemudian mengajarkan beberapa ilmu kepada kami."
Gadis itu lalu menceritakan dengan jelas dan lengkap apa yang ia dengar dari percakapan rahasia antara dua orang datuk yang bersekutu dengan orang Mongol itu.
Nam Tok mengangguk-angguk. "Aku juga sudah mendengarnya dan memang keadaan amat berbahaya. Akan tetapi, dua orang tua bangka pengkhianat bangsa itu sudah gila kalau mengira aku dan Pak Ong adalah orang-orang bodoh. Sekarang Pak Ong sedang mengumpulkan para patriot untuk menghadapi orang-orang Mongol, dan kurasa sekarang sudah tiba saatnya dia datang."
"Ha-ha-ha, engkau benar, Nam Tok. Kami datang!" Terdengar suara parau dan muncullah kakek tinggi kurus itu, diikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin.
Melihat munculnya Pak Ong, Siang Bwee yang pernah mengakali kakek Itu cepat maju memberi hormat sambil tersenyum manis. "Aih, kiranya Paman Ji Hiat telah datang. Paman, terimalah hormatku. Heiii, suheng Kwee San Hong, cepat memberi hormat kepada Paman Ji!" Ia sengaja menyebut San Hong dengan suheng untuk meyakinkan mereka bahwa San Hong adalah murid ayahnya dan akan mewakili ayahnya dalam pertandingan adu kepandaian!
San Hong cepat maju dan memberi hormat kepada Pak Ong. "Lo-cianpwe, saya menghaturkan selamat datang dan terimalah hormat saya."
Pak Ong Ji Hiat tertawa. Tentu saja dia sudah tahu bahwa San Hong adalah murid Nam Tok, bahkan telah dijodohkan dengan puterinya! Adapun Kui Lan dan Tiong Sln kini memandang kepada San Hong dan Siang Bwee dengan muka merah dan jantung berdebar. Melihat sikap puteri dan muridnya, Pak Ong berseru.
"Ihhh! Kalian ini bagaimana sih? Tidak cepat-cepat memberi hormat kepada Nam Tok? Memalukan aku yang menjadi orang tua saja!"
Kui Lan dan Tiong Sin cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Nam Tok. Kakek ini menerima penghormatan mereka sambil tersenyum dan mengangguk. Siang Bwee melihat betapa Tongkat Naga milik ayahnya kini dipegang Bu Tiong Sin. Perasaannya mendongkol bukan main. Kini jelaslah sudah. Dugaan yang mengkhawatirkan hatinya memang ternyata benar.
Tentu ayahnya telah menjodohkan ia dengan Bu Tiong Sin maka ayahnya menukar tongkatnya dengan Pedang Asmara. Ia pun tahu bahwa ayahnya melakukan hal itu karena menginginkan Pedang Asmara. Di dalam hatinya ia mencela ayahnya. Masa ayahnya lebih memberatkan sebatang pedang pusaka daripada puterinya! Akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti dan ia memandang kepada Bu Tiong Sin, lalu berkata dengan suara nyaring.
"Ahhh....! Bu Tiong Sin, bagaimana engkau berani mencuri pusaka Tongkat Naga milik Ayah? Kembalikan!"
Tentu saja Tiong Sin terkejut dan sejenak dia menjadi gugup. Gadis yang dijodohkan dengan dia itu memahg cantik molek dan manis bukan main, akan tetapi galaknya tidak kalah oleh Kui Lan, bahkan kini gadis itu memandang kepadanya seperti seorang dewasa memandang seorang anak kecil nakal yang sedang ditegur dan dimarahinya.
"Ahhh..... ehhh..... ini..... ini oleh Ang Lo-cianpwe ditukar dengan pedangku....."
"Huh? Apa kau mimpi? Siapa percaya omongan itu? Tongkat Naga ayah adalah sebuah pusaka ampuh yang selama puluhan tahun telah mengangkat nama besar ayah di dunia persilatan, jauh sebelum engkau lahir! Dan ayah mau menukar pusaka ampuh itu dengan pedangmu? Pedang picisan yang tidak ada harganya itu?"
"Ahhh..... tapi..... tapi....." Kui Lan memandang dengan alis berkerut dan mulut mengejek. Ia muak melihat betapa suhengnya itu mendadak saja menjadi seperti seorang tolol yang penakut begitu menghadapi Siang Bwee.
Melihat keadaan muridnya, Pak Ong tertawa. "Ha-ha-ha, Nam Tok! Apakah engkau belum memberitahu puterimu? Heiii, Siang Bwee yang nakal! Engkau adalah calon mantuku, calon isteri Bu Tiong Sin. Karena itu, ayahmu menukar tongkatnya dengan pedang, sebagai tukar tanda ikatan jodoh! Jodoh antara engkau dengan Bu Tiong Sin, dan antara puteriku dengan Kwee San Hong! Ha-ha-ha!"
Biarpun sudah menduga bahwa ia dijodohkan dengan Tiong Sin, Siang Bwae terkejut mendengar bahwa Kwea San Hong juga sudah dijodohkan dengan Ji Kui Lan! Ia merasa dada dan perutnya panas oleh cemburu!
Nam Tok mengerutkan alisnya. Bodoh benar Pak Ong, pikirnya. Menghadapi urusan besar masih mengganggu dengan urusan pribadi yang hanya akan menimbulkan perasaan tidak enak saja. Maka, sebelum puterinya mengamuk, dia mendahului. "Pak Ong, bukan waktunya bicara tentang urusan pribadi. Bagaimana dengan usahamu mengumpulkan bala bantuan?"
"Mereka sudah siap. Ada lima puluh orang kawan-kawan kita yang siap membela negara dan bangsa, kini mereka sudah siap di sekitar puncak dan setiap saat dapat kita pergunakan. Dan dalam perjalanan tadi, penyelidikku memberitahu bahwa mereka itu telah mengatur barisan pendam yang terdiri dari orang-orang Mongol dengan para ahli panahnya, berjumlah kurang lebih seratus orang."
Nam Tok mengerutkan alisnya. "Hemm, dua kali lebih banyak dari orang yang kau kumpulkan?"
"Tapi jangan khawatir, Nam Tok. Lima puluh orang kawan kita adalah orang-orang yang tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan dua atau tiga orang Mongol."
Tiba-tiba mereka semua menengok. Mereka, enam orang itu, adalah ahli-ahli silat yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi dan pendengaran mereka amat tajam. Sedikit suara saja dapat mereka tangkap dan kini mereka semua menengok ke arah timur.
Malam mulai tiba, cuaca mulai gelap karena cahaya bulan belum berjaya. Dari kegelapan itu muncullah dua sosok bayangan orang yang gerakannya cepat sekali. Yang seorang pendek gendut dan orang ke dua tinggi kurus, dua bentuk tubuh yang berlawanan.
Setelah mereka tiba di depan mereka, nampaklah si gendut pendek itu berkepala botak dan si tinggi kurus itu matanya sipit sekali. Kalau si gendut itu seperti orang menyeringai tersenyum terus, si kurus itu mulutnya tiada hentinya cemberut.
"Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam), kalian baru datang?" kata Siang Bwee sebagai salam kepada dua orang berpakaian hitam yang usianya sekitar lima pulun tahun itu.
Mereka adalah Thian-te-mo dan Im-yang-mo, keduanya dikenal sebagai Hek I Siang-mo dan mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Nam Tok. Mereka memberi hormat kepada Nam Tok dengan membungkuk dalam, kemudian memberi hormat pula kepada Siang Bwee.
"Nona Bwee, ternyata telah tiba lebih dulu, heh-heh-heh." kata Thian-te-mo sambil tersenyum lebar...