Pedang Asmara Jilid 15

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 15
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - JENGHIS KHAN sudah memperhitungkan bahwa saatnya telah tiba untuk menyerbu Kerajaan Cin! Ketika kaisar tua masih hidup, dia masih merasa agak sungkan karena hubungannya dengan kaisar tua cukup baik dan sikap kaisar tua juga baik kepadanya. Biarpun dia tidak pernah mengirim upeti, Kaisar Kerajaan Cin yang tua tidak pernuh menegur. Akan tetapi seorang kaisar baru?

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Dia merasa tidak perlu untuk tunduk kepada Kaisar Wai Wang. Dalam pertemuan besar dengan para pembantu dan sekutunyu itu, Jenghis Khan menceritakan rencana penyerbuannya ke selatan Tembok Besar. Para sekutunya adalah suku-suku bangsa yang suka berperang, karena berperang dan menang perang berarti keuntungan besar sekali bagi mereka!

Maka, dalam pertemuan itu diambil kesepakatan untuk menyatakan permusuhan secara berterang kepada Kerajaan Cin melalui utusan yang menjadi tamu itu. Demikianlah, pada keesokan harinya Jenghis Khan memanggil utusan Kaisar Wai Wang menghadap, lalu dia berkata dengan suara lantang.

"Sampaikan pesan kami kepada Kaisar Kerajaan Cin! Kami akan berkunjung ke Kathai dengan balatentara yang amat banyak dan amat kuat. Terserah kepada Wui Wang apakah dia akan menyambut kami sebagai kawan atau sebagai lawan. Kalau dia ingin menjadi kawan kami maka kami akan mengangkat dia sebagai raja muda dan daerahnya berada di bawah kekuasaan kami. Kalau dia lebih suka berperang, kami akan menghancurkan negaranya sampai lumat dan menjadikan Kerajaan Cin sebagai lautan api."

Pesan itu sungguh amat menghina dan keras. Biarpun mukanya berubah merah sekali, namun perwira utusan itu tidak mampu berbuat atau berkata sesuatu kecuali menerima pesan itu, dicatatnya baik-baik semua kata yang keluar dari mulut Jenghis Khan, kemudian mohon diri dan meninggalkan tempat itu, kembali ke selatan bersama selosin perajuril pengawalnya.

Tentu saja Kaisar Wui Wang dari Kerajaan Cin menjadi marah bukan main mendengar laporan utusannya tentang penghinaan yang dilakukan Jenghis Khan terhadap dirinya. "Keparat!" Dia mengumpat. "Jenghis Khan kepala suku liar berani menghina kami? Akan kuhancur leburkan dia!"

Kaisar Wai Wang lalu memanggil komandan pasukan yang berjaga di perbatasan utara. Panglima itu datang menghadap. "Hem, apa saja kerja kalian di perbatasan? Coba katakan, apa yang dilakukan oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan?"

Panglima itu menjadi gentar melihat kaisar yang baru itu marah-marah kepadanya. "Mereka.... mereka hidup dengan aman, mereka membuat anak panah dan memelihara kuda....."

"Bodoh kau! Tidak melihat gerak-gerik lawan yang menentang kami!" Kaisar memaki dan panglima itu pun disuruhnya tangkap dan dimasukkan dalam penjara. Lalu Kaisar Wai Wang mengangkat seorang panglima lain untuk membuat persiapan dan memperkuat penjagaan di perbatasan utara.

Pada waktu itulah Barcan pulang ke utara dan menghadap Jenghis Khan sambil mengajak Bu Tiong Sin. Juga Barcan membawa laporan lengkap tentang keadaan di perbatasan. Dengan gembira Jenghis Khan menerima pembantunya itu dan menyambutnya dengan hidangan. Akan tetapi, dia memandang kepada Bu Tiong Sin dengan alis berkerut.

Pemuda tampan yang nampaknya lemah ini hendak membantunya? Menurut laporan Barcan, pemuda ini berkepandaian tinggi akan tetapi melihat keadaan tubuhnya tubuh yang sedang saja besarnya bahkan kelihatan lemah lembut, Jenghis Khan menjadi sangsi.

Setelah mendengarkan laporan Barcan tentang Bu Tiong Sin, Jenghis Khan menatap wajah pemuda yang duduk di depannya itu. Sebagai seorang yang banyak pengalamannya, dalam usianya yang sudah limapuluh tahun, Jenghis Khan tidak mungkin dapat menerima penghambaan diri seorang asing begitu saja tanpa mengujinya. Dia menoleh kepada Chepe Noyon, panglimanya yang amat dipercaya da disayangnya.

”Panggil puteramu Yuci ke sini dan suruh dia menguji kepandaian Bu Tiong Sin ini!"

Chepe Noyon segera pergi memanggil puteranya dan tak lama kemudian dia datang bersama seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan jelas nampak bahwa dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Sepasang matanya tajam dan cerdik, usianya sekitar dua puluh tahun lebih, sebaya dengan Tiong Sin. Pemuda itu memberi hormat kepada junjungannya dengan berlutut sebelah kaki.

"Yuci, pemuda ini bernama Bu Tiong Sin dan dia datang bersama pamanmu Barcan, hendak mengabdikan diri di sini. Coba engkau menguji kepandaiannya, apakah dia pantas untuk menjadi pembantu kami apakah tidak?"

"Hamba siap, Khan yang mulia!" Jawab pemuda yang berkulit coklat gelap itu dengan sikap gagah.

"Bu Tiong Sin, kalau engkau mampu menandingi kekuatan dan kepandaian Yuci, baru kami akan mempertimbangkan apakah kami dapat menerima penghambaan dirimu ataukah tidak."

"Hamba siap, Sribaginda'" jawab Tiong Sin tidak kalah gagahnya.

Para panglima yang hadir di situ menjadi gembira sekali. Mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan dan semua orang tahu belaka bahwa Yuci, putera Chepe Noyon itu adalah seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, bahkan telah mewarisi kepandaian dan kegagahan ayahnya, dan mungkin sudah dapat mengimbangi kekuatan dan ketrampilan ayahnya sendiri. Tidak mudah menandingi kekuatan dan kepandaian Yuci! Tentu saja di dalam hati, mereka itu condong untuk memihak Yuci.

Akan tetapi, Barcan hanya tersenyum. Dia sudah tahu benar akan kelihaian Tiong Sin, dan melihat sendiri betapa Tiong Sin melukai banyak anak buah Hek-eng-pang dan dapat meloloskan diri dari kepungan banyak sekali orang yang mengepung dan mengeroyoknya, bahkan mampu menandingi pengeroyokan para jagoan benteng. Dan Barcan juga tahu sampai di mana tingkat kepandaian Yuci, jago muda Mongol itu.

Memang Yuci, merupakan seorang pemuda yang gemblengan, kuat dan jarang tandingannya di antara para jagoan Mongol yang masih muda, bertenaga besar dan kuat, dan memiliki ilmu gulat yang hebat, pandai menunggang kuda dan pandai melepas anak panah karena dia sendiri yang mengajari pemuda itu. Akan tetapi dibandingkan dengan pemuda bangsa Han yang pandai silat ini, agaknya akan sukar bagi Yuci untuk dapat memenangkannya.

"Mulailah kalian, tidak perlu saling melukai. Siapa terjatuh ke atas tanah dia kalah!" kata pula Jenghis Khan berkata dengan gembira.

Yuci sudah melepaskan bajunya dan hanya meugenakan cawat saja, seperti biasanya kalau gulat hendak mengadu tenaga dan kepandaian. Akan tetapi, Tiong Sin tidak mau lepas bajunya. Melihat ini, dengan logat asing, Yuci berkata kepada Tiong Sin dalam bahasa Han yang dikuasainya. "Saudara Bu Tiong Sin, lepaskanlah bajumu agar tidak sampai robek!"

Ucapan ini saja sudah menunjukkan bahwa Yuci ialah seorang pemuda gagah perkasa yang jujur dan adil. Kalau lawannya berpakaian maka hal itu akan amat menguntungkan dirinya, karena dengan mudah dia akan dapat mencengkeram baju lawan dan membantingnya, berbeda kalau lawan bertelanjang dada. Namun, dia tidak mengatakan demikian, hanya memakai alasan agar baju lawan tidak sampai robek. Sikap rendah hati yang sederhana.

"Harap jangan sungkan, saudara Yuci. Biarpun saya memakai baju ini dan kalau karena itu aku dirugikan dan sampai kalah, aku tidak akan menyesal."

Karena jawaban ini tidak mengandung kesombongan, Yuci tersenyum dan pemuda yang cerdik ini bersikap hati-hati. Kalau saja Tiong Sin menjawab dengan nada sombong, dia malah akan memandang rendah calon lawan itu. Akan tetapi karena Tiong Sin sama sekali tidak memperlihatkan kesombongan, Yuci dapat menduga bahwa tentu lawannya itu memiliki sesuatu yang dapat diandalkan maka dia pun bersikap hati-hati sekali.

"Saudara Bu Tiong Sin, karena engkau adalah tamu atau rekan baru, silakan mulai, aku sudah siap!" kembali Yuci berkata, dan dia memasang kuda-kuda, dengan kedua kaki di depan dan belakang, tubuh agak membungkuk, kedua tangan terbuka dan tangan kiri di depan tangan kanan di pinggang, tubuhnya miring yang kiri di depan, matanya menintai dari muka yang agak menunduk.

"Baiklah, aku akan menyerangmu lebih dulu. Lihat pukulan, saudara Yuci! " kata Tiong Sin dan sembarangan saja tangan kanannya digerakkan untuk menampar ke arah pelipis lawan.

Yuci membuat gerakan merendahkan tubuh untuk menghindarkan tamparan itu akan tetapi dia bukan hanya menekuk lutut merendahkan diri, melainkan langsung dia menubruk dari bawah lengan Tiong Sin yang menampar dengan maksud memeluk pinggang lawan dengan ilmu gulatnya! Tubrukannya itu cepat dan amat kuat dan sukarlah bagi lawan biasa untuk menghindarkan diri dari tubrukan yang dilakukan sebagai lanjutan pengelakan tadi.

Tak tersangka-sangka memang gerakan Yuci ini, menunjukkan bahwa dia memang seorang ahli gulat yang lihai. Tiong Sin maklum bahwa melawan orang ahli gulat harus diusahakan agar jangan sampai tubuhnya kena ditangkap, karena hal itu amat berbahaya bagi dirinya. Maka, melihat tubrukan tiba-tiba itu dengan gerakan amat cepat dia pun menghindar dengan lemparan tubuh ke kiiri, kakinya lalu bergeser dan dia sudah memutar ke arah belakang tubuh lawan.

Namun, dengan cekatan sekali Yuci sudah membalikkan tubuhnya, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, dengan jari tangan membentuk cakar dan kembali tubrukan tadi diulanginya, kini lebih ganas dan kedua tangannya menutup jalan keluar lawan dari kanan kiri.

"Bagus!" Tiong Sin memuji dan dengan pengerahan ginkang yang tinggi membuat tubuhnya tiba-tiba melesat dan meloncat ke atas, melalui kepala Yuci dan kembali dia berada di belakang tubuh lawan. Yuci mengeluarkan suara gerengan seperti biruang marah dan kini membalik cepat, tidak menubruk lagi seperti tadi melainkan sambil membalik, kaki kanannya mencuat dalam tendangan kilat ke arah muka Tiong Sin!

Pemuda ini sudi siap siaga, maka dengan mudah dia miringkan tubuh ke kanan dan kaki Yuci meluncur lewat. Secepat kilat sambil meloncat, kaki kiri Yuci menyusul pada saat kaki kanannya turun dan tendangan ke dua menyusul. Diam-diam Tiong Sin kagum. Pemuda Mongol ini memang lihai pikirnya, dan tendangannya itu pun tendangan yang terlatih matang sehingga mengandung tenaga dahsyat.

Kaki kiri itu menyambar ke arah pusarnya. Tiong Sin miringkan tubuhnya dan tangannya bergerak cepat, tidak nampak oleh lawan saking cepatnya dan dia sudah berhasil mendorong tumit kaki kiri yang menendang, mengerahkan tenaga dan mendorongnya dengan sentakan yang mengejutkan! Pada saat itu, baru saja kaki kanan Yuci menyentuh tanah sehingga tentu saja tanpa berpijak tanah, kuda-kudanya tidak ada dan begitu kakinya kena dorong, tubuhnya sudah terlempar ke belakang!

Namun, dia memang lihai dan tubuhnya selain kuat juga cekatan ke belakang, Yuci membuat gerakan jungkir balik sampai tiga kali untuk mematahkan tenaga dorongan yang akan membuat dia terbanting itu. Dengan lunaknya dia mendarat di atas kedua kakinya dan memandang kepada lawan dengan alis berkerut, pandang matanya penuh kagum dan juga penasaran di samping keheranan. Lawannya itu tidak pernah membalas serangan, akan tetapi hampir saja membuat dia terbanting!

"Saudara Bu Tiong Sin, kami menghargai kegagahan dalam adu tenaga dan kepandaian, bukan selalu menghindarkan diri menjauhkan adu tenaga dan hanya menggunakan akal. Mari kita bertanding sebagai laki-laki!" tantang Yuci yang mulai merasa penasaran.

Tiong Sin tersenyum. Pemuda Mongol yang gagah itu terlalu polos sehingga tidak mengerti bahwa lawan telah mengalah dan hendak menjaga mukanya agar jangan sampai kalah secara keras. Kini, ditantang begitu, dia pun lalu menjawab sambil menggulung lengan baju agar jangan sampai bajunya robek.

"Begitu kehendakmu, saudara Yuci. Baiklah, aku akan melayani semua keinginanmu. Nah, maju dan seranglah, pergunakan semua kekuatan dan kepandaianmu!" kata Tiong Sin dan dia pun sudah siap dengan memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sin-kangnya.

Dia kini mulai mengenal watak Yuci, seorang pemuda Mongol yang gagah perkasa dan yang sudah biasa menghargai kekuatan dan kekerasan. Lawan seperti ini baru akan tunduk kalau dikalahkan dengan tenaga kasar. Tentu saja kalau harus mengadu otot, dia akan kalah. Namun, dia memiliki tenaga dalam, tenaga sin-kang yang akan mampu menalukkan kekuatan otot lawan yang jauh lebih besar.

''Awas, lihat seranganku!" Yuci berseru dengan lantang dan dia pun sudah menubruk lagi ke depan, kini seluruh tenaga ototnya dia kerahkan ke arah lengan kanan yang menghantam ke arah dada lawan. Sekali ini Tiong Sin yang sudah siap itu lalu menangkis dengan memutar lengan kirinya dari bawah ke atas, sambil mengerahkan sin-kang. Kini tanpa dapat dicegah lagi, dua buah lengan bertemu.

"Dukkk!" Akibat benturan hebat ini, tubuh Yuci terjengkang dan hampir dia roboh, akan tetapi kedua kakinya masih dapat menahan sehingga dia hanya terhuyung. Dia meringis, merasa betapa lengannya nyeri bukan main. Gerakan memutar lengan yang menangkis tadi ternyata amat kuat, dan dia tadi merasa seolah-olah lengannya bertemu dengan batangan baja yang kuat sekali.

Hal ini membuat dia penasaran. Jarang ada orang di antara para rekannya yang mampu menandingi tenaganya, maka kini dia pun menyerang lagi dengan dorongan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka. Maksudnya untuk mendorong atau menangkap lawan. Melihat ini, Tiong Sin juga cepat menggerakkan kedua tangannya menyambut dengan kedua tangan terbuka.

"Plakkkkk!" dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Yuci terpental dan terpelanting keras!

Melihat ini, para penonton mengeluarkan seruan panjang karena kaget dan juga kecewa melihat betapa jagoan mereka terpelanting roboh. Yuci adalah seorang pemuda gagah yang pantang menyerah. Bukan karena kesombongan, melainkan karena sejak kecil dia digembleng keras oleh ayahnya, sehingga dia memiliki semangat bertanding yang amat besar dan dalam setiap pertandingan, hanya ada satu tekad yaitu dia harus menang!

Maka, biarpun sudah dua kali dia merasakan kehebatan tenaga lawan, dia masih penasaran dan sambil mengeluarkan suara menggereng dahsyat dia pun melompat dan menyerang lagi dengan gerakan yang cepat dan kuat, bertubi-tubi dia mengirim pukulan, tendangan dan cengkeraman.

Tiong Sin yang melihat betapa lawannya itu mengamuk, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mengelak ke sana-sini, dan ketika dia melihat kesempatan baik, dia pun membalas tamparannya yang cukup keras, mengenai dada lawan.

"Bukkk" Tiong Sin terkejut. Dada itu demikian kerasnya sehingga dia seperti menampar bantal karet yang keras sekali! Tangannya membalik. Kiranya tubuh jagoan muda Mongol ini juga tergembleng dan menjadi kuat dan kebal.

Sementara itu, Yuci yang terkena tamparan seperti tidak merasakan apa-apa dan dia semakin hebat menyerang. Tiong Sin lalu menghindar dan dari samping, kakinya menendang ke arah lutut, kedua tangannya bergerak pula, yang kiri menotok pundak dan yang kanan menampar lambung.

"Uhhh.....!" Kini tak dapat dicegah lagi, Yuci jatuh berlutut karena lututnya seperti lumpuh rasanya, dan tubuh kesemutan tak mampu bergerak karena totokan tadi, di samping lambung yang terasa mulas oleh tamparan lawan. Kini mengertilah dia bahwa dia kalah jauh oleh lawannya dan dengan sikap gagah dia pun lalu memberi hormat kepada Snbaginda Raja Jenghis Khan.

"Khan Yang Mulia, hamba mengaku keunggulan saudara Bu Tiong Sin. Saudara Bu Tiong Sin, aku mengaku kalah!"

Terdengar suara orang-orang bertepuk tangan, didahului oleh Jenghis Khan yang merasa girang sekali melihat betapa pemuda Han yang hendak menghamba diri padanya itu dapat mengalahkan Yuci. Biarpun di lubuk hatinya, dia tetap tidak senang melihat kemenangan atas Yuci itu, namun dia melihat bahwa pemuda Han itu dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik.

Dia lebih senang melihat seorang gagah menang atas perkelahian dengan cara yang adil dan jujur, mempergunakan kekuatan otot kesigapan dan ketebalan kulitnya kekerasan tulangnya. Akan tetapi, dia tahu bahwa Bu Tiong Sin tidak mempergunakan atau tidak sepenuhnya mengandalkan kemenangannya kepada tenaga otot dan tebalnya kulit.

Melainkan lebih mengandalkan cara dan akal licik yang dipergunakan orang-orang Han dengan ilmu silat dan tenaga mujijat mereka! Orang Mongol lebih mengandalkan tubuh yang digembleng sehingga menjadi kuat, semangat pantang mundur dan keberanian yang tak mengenal takut.

Mulai hari itu, Bu Tiong Sin diterima pengabdiannya, bahkan diangkat menjadi seorang panglima muda yang bekerjasama dengan Yuci. Bahkan pada hari berikutuya, Jenghis Khan memanggil Bu Tiong Sin dan Yuci untuk menghadap.

"Kalian berdua kami beri tugas yang teramat penting," kata Jenghis Khan. "Tugas itu penting akan tetapi juga berbahaya. Apakah engkau berani menempuh bahaya itu, Yuci?"

"Khan Yang Mulia, hamba siap untuk mempertaruhkan nyawa hamba demi pelaksanaan perintah Paduka!"

"Bagimana dengan engkau, Bu Tiong Sin?"

"Akan hamba laksanakan tugas itu sampai berhasil baik. Kalau gagal, hamba bersedia menerima hukuman apa pun." jawab Tiong Sin walaupun di dalam hatinya, dia merasa gelisah dan tentu saja kalau tugas itu gagal, dia tidak akan sudi kembali ke situ menyerahkan nyawanya! Dia menghambakan diri kepada Jenghis Khan untuk mencari kedudukan dan kemuliaan, bukan untuk mengorbankan nyawa!

Dua orang muda itu diberi keterangan sejelasnya tentang tugas yang harus mereka laksanakan. Kiranya Jenghis Khan sudah mulai mengatur persiapannya untuk menyerbu ke sebelah selatan Tembok Besar, menyerbu Negara Khatai atau Kerajaan Cin. Dia tidak mau tergesa gesa. Memang semenjak dia mengirim pasukan ke selatan atas permintaan Kaisar Cin membantu Kerajaan Cin memerangi musuhnya di selatan, yaitu Kerajaan Sung Selatan.

Para panglima di bawah Jengnis Khan yang melihat keindahan kerajaan di selatan itu, dengan semangat berkobar-kobar mereka mengusulkan pada Jenghis Khan untuk menyerbu negara di selatan Tembok Besar itu. Namun, Jenghis Khan, biarpun juga amat berkobar semangatnya dan bernafsu besar untuk menduduki Kerajaan Cin, dia tidak mau tergesa-gesa.

Penyerbuan ke selatan harus dilaksanakan dengan penuh perhitungan. Harus sekali serbu berhasil. Karena kalau terjadi sebaliknya, yaitu kalau sampai dia dan pasukannya menderita kekalahan di selatan, hal itu berarti kehancurannya. Para suku yang telah ditundukkan di Gurun Go-bi tentu akan bangkit dan memberontak kalau melihat ia kalah dan lemah.

Tidak, sekali serbu dia harus menang. Sudah bersusah payah dia mengumpulkan kekuatan selama ini. Bahkan akhir-akhir ini dia pun sudah berhasil menundukkan Kerajaan Hia yang aneh, kerajaan para penyamun yang keras dan berbahaya, yang terdiri dari orang-orang Tibet yang termasuk golongan hitam bersama penjahat-penjahat kejam pelarian dari Kerajaan Cin. Dia berhasil menundukkan kerajaan itu, bahkan untuk membuat ikatan persekutuan antara mereka lebih erat.

Jenghis Khan menerima seorang puteri Kerajaan Hia menjadi seorang isterinya. Demikian pula dengan kelompok yang disebut Kathai Hitam dan juga bangsa Kirgiz. Dia telah berhasil menundukkan mereka semua yang akan dapat merupakan rintangan pertama dalam penyerbuannya ke Negara Cin.

Dan sekerang tinggal satu lagi rintangan itu, yaitu suku bangsa Liau. Suku atau kerajaan kecil bangsa Liau ini berada di sebelah utara Kerajaan Cin, sehingga akan menjadi penghalang nomor satu. Hanya ada satu keuntungan yang dilihat oleh Jenghis Khan, yaitu bahwa pernah terjadi perang antara Kerajaan Cin dan Kerajaan Liau-tung ini, dan pernah bangsa Liau-tung ditundukkan.

Oleh karena itu, jelas banwa bangsa Liau ini menaruh dendam kepada Kerajaan Cin dan mereka juga terkenal sebagai bangsa yang suka berperang. Kalau dia mampu bersekutu dengan bangsa Liau-tung, maka kekuatannya akan bertambah di samping tidak adanya perintang berat yang akan menghalangi penyerbuannya ke selatan.

Kini, Jenghis Khan mengutus Yuci dan Bu Tiong Sin untuk berkunjung kekerajaan Liau-tung itu dan menawarkan persekutuan antara Jenghis Khan dan Kerajaan Liau yang pada waktu itu dipimpin oleh seorang pangeran yang bernama Pangeran Pang Sun. Semenjak suku Liau-tung dikalahkan oleh Kerajaan Cin, hampir tiga puluh tahun yang lalu, suku Liau-tung tidak pernah lagi mempunyai seorang raja karena hal ini dilarang oleh Kerajaan Cin.

Sebaliknya, yang menjadi pemimpin mereka haruslah atas petunjuk Kerajaan Cin yang memilih para pangeran dan pada waktu itu, Pangeran Pang Sun yang menjadi kepala suku Liau-tung. Yuci dan Bu Tiong Sin menjadi utusan Jenghis Khan, membawa surat dari raja besar itu untuk Pangeran Pang Sun, juga membawa banyak barang hadiah di samping membawa pula pasukan pilihan yang jumlahnya lima puluh orang.

Setelah mengadakan persiapan, berangkatlah pasukan berkuda ini dipimpin oleh Yuci dan Tiong Sin, menuju ke selatan, membawa tugas yang amat penting akan tetapi juga berbahaya. Penting karena kalau tugas itu berhasil dan suku bangsa Liau-tung mau diajak bersekutu, maka penyerbuan terhadap Kerajaan Cin dapat segera dilakukan.

Sebaliknya, kalau pangeran itu menolak, bukan saja rencana penyerbuan itu akan gagal atau setidaknya harus diundur, juga nasib kedua orang muda ini dapat diancam maut di tangan orang-orang Liau-tung yang suka berkelahi itu.

Pasukan yang dipimpin Yuci dan Tiong Sin terpaksa menghentikan perjalanan mereka ketika senja tiba dan mereka sibuk membuat perkemahan untuk melewatkan malam. Mereka sudah tiba di perbatasan daerah utara negara kecil bangsa Liau-tung dan Yuci mengatakan kepada Tiong Sin bahwa sebagai utusan yang membawa uluran tangan raja mereka untuk tugas perdamaian, amat tidak baik kalau berkunjung di waktu malam. Kunjungan pada malam hari, apalagi membawa pasukan, akan menimbulkan kecurigaan dan salah paham.

"Lebih baik kita melewatkan malam di sini dan besok setelah matahari bersinar baru kita memasuki daerah Liau-tung."

Tiong Sin yang merasa kalah pengalaman dalam urusan itu, hanya menurut saja. Setelah para perajurit itu selesai membuat perkemahan dan mereka semua mengaso sambil makan ransum perbekalan mereka, Yuci dan Tiong Sin juga makan. Kemudian, keduanya berjalan-jalan di luar perkemahan, mendaki sebuah bukit kecil untuk melihat-lihat keadaan daerah Liau-tung di selatan yang akan mereka kunjungi.

Pemandangan di sebelah selatan, dilihat dari puncak bukit itu, sudah nampak indah dan berbeda dengan pemandangan di utara. Mulai nampak bukit-bukit hijau dan hutan hutan, dusun-dusun dengan bangunan rumah sederhana, tiba-tiba Yuci menunjuk ke bawah.

"Lihat, ada rombongan orang membuat api unggun di sana, tidak jauh di kaki bukit ini sebelah selatan. Dekat hutan itu!"

Tiong Sin memandang dan dia melihat sekelompok orang duduk mengelilingi api unggun. Matahari sore masih tinggi dan cuaca belum gelap sedangkan hawa udara juga tidak dingin. Maka api unggun yang nampak dari jauh itu pasti bukan untuk membuat penerangan atau mengusir dingin, melainkan untuk masak. Hatinya tertarik.

"Yuci, apakah tidak sebaiknya kita turun dan mengunjungi mereka? Kalau mereka itu orang-orang Liau-tung, setidaknya dapat kita pakai ukuran bagaimana sikap mereka terhadap kita."

Yuci mengangguk-angguk dan menganggap usul itu baik sekali. "Baik, mari kita turun ke sana. Akan tetapi, apapun yang terjadi, engkau harus dapat menahan diri dan jangan sembarangan bergerak melakukan penyerangan, Tiong Sin ingat, tugas kita adalah membawa persekutuan dan perdamaian, jangan di rusak dengan permusuhan kalau mereka itu benar orang-orang Liau-tung."

Tiong Sin mengangguk. Memang dia dalam perjalanan ini hanya membantu Yuci saja. Yuci lebih berpengalaman dan lebih tahu akan politik rajanya. Dua orang muda yang gagah perkasa itu lalu berlari menuruni bukit itu dan setelah menuruni lereng terakhir, mereka tidak dapat lagi melihat orang-orang yang membuat api unggun di bawah. Akan tetapi, mereka sudah dapat mengetahui di mana mereka berada dan cepat mereka berdua lalu menghampiri tepi hutan itu.

Ketika mereka sudah tiba di dekat, walaupun mereka belum melihat sekelompok orang itu, namun hidung mereka telah lebih dahulu bertemu dengan bau yang amat sedap, bau gurih daging dipanggang! Biarpun baru saja mereka makan kenyang, namun mencium bau sedap ini, bukan hanya sedapnya daging panggang, melainkan sedapnya bumbu yang terbakar.

Yuci dan Tiong Sin saling pandang dan tersenyum menyeringai dengan kalamenjing (jakun) naik turun! Tiong Sin tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikannya sendiri. Memang dari atas tadi dia sudah menduga banwa api unggun itu tentu digunakan orang-orang yang berada di sana untuk memasak.

Ketika mereka melangkah semakin dekat, mulai terdengar suara orang-orang itu dan kembali Yuci dan Tiong Sin saling pandang, kini mata mereka terbelalak heran dan alis mereka berkerut. Yang terdengar oleh mereka adalah para wanita-wanita bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dengan suara mereka yang merdu! Bahasa mereka adalah bahasa Mancu karena memang suku Liau-tung adalah satu di antara suku-suku bangsa Mancu.

Tiong Sin juga dapat mengerti bahasa ini, demikian pula Yuci, dan mereka mempercepat langkah. Ketika mereka berdua muncul dari belakang sebuah semak belukar yang lebar, dan tiba-tiba mereka berhadapan dengan rombongan wanita itu, mereka berdiri terpesona! Dan para wanita itu pun mengeluarkan seruan seruan kaget dan seketika percakapan mereka terhenti.

Tiong Sin dan Yuci terpesona melihat lima orang gadis yang berusia antara enam belas sampai dua puluh tahun, berpakaian pemburu yang ringkas, dan mereka itu rata-rata memiliki tubuh yang padat berisi dan agaknya biasa dengan kerjaan keras, akan tetapi wajah mereka pun semua cantik dan manis-manis! Ada tiga orang gadis Mancu atau Liau-tung, dan dua orang gadis Han.

Hal ini mudah dikenal dari cara mereka berpakaian, juga dari kulit mereka. Gadis-gadis Han lebih putih dibandingkan dengan kulit gadis Mancu yang lebih kemerahan. Akan tetapi, yang membuat Yuci dan Tiong Sin sejak tadi bengong adalah kecantikan seorang di antara tiga orang gadis Mancu itu. Sungguh seorang gadis yang luar biasa cantik jelita! Dan pakaiannya paling indah daripada kawan-kawannya.

Usianya paling banyak delapan belas tahun dan agaknya bukan hanya kecantikannya saja yang menonjol di antara mereka, akan tetapi juga sikapnya. Ia kini berdiri di kanan kirinya agak di belakang, seolah-olah gadis tercantik itu yang menjadi pemimpin. Tak jauh dari situ, nampak, lima ekor kuda dan nampak pula sebuah tenda besar.

Jelas bahwa mereka itu adalah lima orang gadis yang habis berburu dan kini masak hasil buruan mereka di situ, bermaksud untuk melewatkan malam disitu pula. Kulit dan tulang seekor rusa masih nampak di situ, dan daging itulah yang tadi mereka panggang sehingga baunya amat sedap.

Biarpun hatinya merasa tertarik sekali, terutama kepada gadis yang paling cantik itu, namun bukan sikap Tiong Sin untuk memperlihatkan sikap tertarik kepada wanita. Dia memang memiliki watak yang angkuh terhadap wanita, tinggi hati dan merendahkan, walaupun di balik sikap itu dia berwatak mata keranjang dan mudah tergila-gila kepada seorang wanita.

Sebaliknya, Yuci yang berwatak jujur, tidak menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap para gadis itu, terutama sekali gadis bertopi bulu putih yang amat cantik itu. Dia tersenyum dan menganggukkan kepala tanda hormat. Akan tetapi, lima orang gadis itu masih kelihatan terkejut dan khawatir. Mereka terbelalak memandang dua orang pemuda yang tampan dan gagah itu.

Yuci adalah seorang pemuda Mongol yang amat gagah. Wajah dan bentuk badan seorang ksatria, pemuda idaman setiap hati wanita Mongol. Sedangkan Tiong Sin dalam pakaiannya yang rapi, nampak sebagai seorang kongcu yang juga amat menarik hati dengan sikapnya yang nampak halus dan senyumnya yang sopan itu.

Akan tetapi, kini gadis yang bertopi bulu putih itu melangkah maju, sikapnya tidak lagi khawatir, melainkan heran dan ingin tahu, juga agaknya marah karena merasa terganggu. "Siapakah kalian dan mau apa kalian datang ke sini mengganggu kami lima orang gadis yang sedang bersenang-senang?"

Suaranya lembut dan kata-katanya halus. Dari ucapannya ini saja Yuci sudah dapat menduga bahwa .gadis ini bukan gadis sembarangan, bukan gadis Mancu yang liar, melainkan masih berbau "bangsawan'' atau setidaknya tentu puteri seorang kepala suku atau seorang hartawan.

"Aku bernama Yuci dan kawanku ini bernama Bu Tiong Sin. Kami melihat kalian dan api unggun dari atas buki sana, kami tidak tahu bahwa kalian adalah lima orang gadis. Kami hanya ingin menjumpai orang-orang yang membuat api unggun di sini. Kiranya kalian lima orang gadis sedang memanggang daging dengan sedapnya, membuat kami berdua merasa kelaparan lagi." Yuci memang ramah dan sudah menjadi kelajiman antara suku bangsa pengelana di utara itu untuk bersikap ramah kepada tamu asalkan tamu itu beriktikad baik.

Gadis bertopi bulu putih itu mengerutkan alisnya. "Nanti dulu, biar kami sudah mengetahui nama kalian, akan tetapi kami belum yakin apakah kalian datang dengan niat baik. Ketahuilah bahwa kami bukan gadis sembarangan dan kalau perlu kami mampu mengusir kalian dengan kekerasan! Nah, katakan apakah yang tersembunyi di dalam hatimu terhadap kami!"

Melihat gadis itu menurunkan busur kecil dan di punggung gadis cantik itu terdapat tempat anak panah, diam-diam Yuci merasa kagum dan juga geli. Dia sendiri adalah seorang ahli panah, murid tersayang dari Barcan, ahli panah yang terkenal itu, dan sekarang gadis itu seperti hendak memamerkan kepandaiannya memanah untuk menggertak dia dan Tiong Sin!

Kini, dua orang gadis yang berpakaian seperti wanita Han itu melangkah maju dan seorang di antara mereka berkata kepada gadis bertopi bulu itu, "Nona Maimi, perlu apa banyak cakap dengan mereka? Kami melihat dua orang ini pasti memiliki iktikad buruk, maka pada senja hari begini mereka berani mengganggu kita. Biarlah kami berdua mengusir mereka!"

Berkata demikian, dua orang gadis Han itu mencabut pedang yang tergantung di pinggang, dan dari cara mereka mencabut pedang saja, tahulah Tiong Sin bahwa mereka bukan sekedar membawa pedang sebagai hiasan atau untuk menakut-nakuti, melainkan mereka memang memiliki kemahiran bersilat pedang.

"Nanti dulu, Siauw Cin dan Siauw Lin, biar kita mendengar dulu apa yang menjadi maksud mereka maka mereka berkeliaran di daerah kita ini." kata gadis bertopi bulu yang disebut "nona Maimi" itu.

Melihat sikap gadis bernama Maimi itu, Yuci dapat menduga bahwa benar seperti dugaannya, gadis ini tentu puteri seorang kepala suku. Berbahaya kalau sampai gadis ini menaruh curiga. Jangan jangan banyak anak buah sukunya yang berada di situ dan kalau sampai dia di sangka buruk, bisa saja dia dan Tiong Sin dikeroyok puluhan orang! Maka dia pun cepat membuat pengakuan sejujurnya.

"Nona, ketahuilah bahwa aku Yuci dan sahabatku Bu Tiong Sin ini adalah dua orang utusan yang sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh raja besar kami, yaitu yang mulia Jenghis Khan. Pasukan kami berada di balik bukit itu melewatkan malam di sana sebelum melanjutkan perjalanan besok pagi."

"Aihhh...!" Maimi nampak terkejut sekali, demikian pula empat orang kawannnya. Siapa yang tidak akan terkejut mendengar disebutnya nama Jenghis Khan? Setiap orang, dari anak-anak sampai orang tua di seluruh Gurun Go-bi mengenal belaka nama ini, nama yang mereka kagumi sekaligus mereka takuti. Tidak terkecuali Maimi, gadis yang angkuh itu, bersama empat orang temannya terbelalak kaget mendengar bahwa dua orang muda di depannya itu adalah utusan Jenghis Khan!

"Kalian utusan Jenghis Khan? Benarkan itu? Dan kalian mau apa mendatangi kami?"

"Nona, tugas kami tentu saja sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalian berlima. Kami dan pasukan diutus untuk berkunjung kepada Pangeran Pang Sun kepala suku Liau-tung, membawa hadiah dan juga membawa surat dari maharaja kami. Karena kemalaman maka berada di balik bukit, dan tadi secara iseng kami berdua berjalan jalan lalu melihat api unggun kalian dan datang ke sini."

Gadis itu nampak tertarik sekali. "Selama ini bangsa Liau-tung tidak pernah berurusan dengan bangsa Mongol juga bukan negeri talukan Mongol. Mengapa kalian hendak berkunjung? Mau menyerang kami?"

Yuci terkejut. Baru dia tahu bahwa gadis ini seorang gadis Liau-tung! "Aih, tidak sama sekali. Raja kami mengulurkan tangan persahabatan kepada bangsa Liau-tung."

Gadis itu tersenyum. Kini ia tidak nampak gelisah lagi dan mulai memandang kedua pemuda itu dengan sinar mata menyelidik. "Hemmm, kami banyak mendengar bahwa Jenghis Khan memiliki panglima-panglima yang pandai. Tidak tahu apakah kalian berdua yang menjadi utusan dan masih begini muda ini juga memiliki kepandaian tinggi!"

Ia memandang ke arah busur di punggung Yuci. Dan agaknya engkau pandai juga bermain panah? Hendak kulihat sampai di mana kehebatan seorang utusan Jenghis Khan!" Gadis itu dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu telah melolos sebatang anak panah dari punggungnya. Pada saat itu, banyak terdapat rombongan burung yang hendak pulang ke sarang menghadapi malam yang tak lama lagi datang. Mereka terbang berkelompok.

Ketika Maimi menengadah dan melihat kelompok burung terbang, ia lalu membidikkan anak panahnya ke atas, "Mampukah engkau melakukan seperti ini?" Busurnya menjepret dan sinar anak panahnya meluncur ke atas. Tak lama kemudian, seekor burung jatuh dari atas, tubuhnya tertembus anak panah tadi, tepat pada dadanya dan tembus sampai di punggung. Ketika terjatuh mengeluarkan suara berdebuk.

Yuci tersenyum dan mengambil burung itu, mengamatinya lalu berkata. "Ah, Nona. Sungguh sayang kalau memanah burung seperti ini. Dagingnya menjadi rusak oleh anak panahmu yang menembus dada. Ada dua cara lain untuk memanah burung tanpa merusak daging tubuhnya, Nona."

Maimi mengerutkan alisnya. "Hemmm, mampukah engkau?"

Yuci tersenyum. "Tentu saja, akan kujatunkan dua ekor burung tanpa merusak daging tubuhnya sehingga kalau dimasak atau dipanggang, dagingnya masih utuh, tidak rusak seperti yang kau panah jatuh ini." Yuci mengambil dua batang anak panah dan memasangnya pada busurnya sekaligus!

Melihat ini, Maimi dan kawan-kawannya memandang heran. Benarkah pemuda itu akan dapat sekaligus meluncurkan dua batang anak panah dan mengenai dua ekor burung dalam waktu yang sama? Bahkan Tiong Sin sendiri memandang penuh perhatian. Dia sudah mendengar akan kepandaian orang Mongol mempergunakan anak panah, akan tetapi belum melihat sendiri kepandaian Yuci walaupun dia pernah mengagumi kepandaian memanah dari Barcan.

Pada saat itu, senja mulai datang dan cuaca tidaklah terlalu terang lagi. Sekelompok burung terbang di atas mereka dan Yuci sudah membidikkan dua batang anak panahnya. Begitu busurnya menjepret, terdengar bunyi dua batang anak panah berdesing dan meluncur dengan amat cepatnya ke atas, tidak dapat diikuti dengan pandang mata.

Akan tetapi, dalam melepas dua batang anak panah tadi, Yuci sudah mengukur tenaganya agar jangan terlalu cepat, agar dua batang anak panahnya jangan sampai menembus dan hilang. Tidak nampak ketika dua ekor burung terkena anak panah karena memang cuaca sudah mulai suram, akan tetapi tiba-tiba nampak dua ekor burung jatuh. Yuci memungutnya sambil tersenyum dan menyerahkannya kepada Maimi yang segera menerimanya dan bersama empat orang kawannya, ia mengamati dua ekor burung itu.

Mereka segera bicara riuh rendah memuji dan merasa kagum bukan main. Tiong Sin yang melihat juga merasa kagum sekali. Seekor burung telah terpanggang anak panah pada lehernya, dan seekor lagi pada sayap kirinya. Keduanya memang sama sekali tidak rusak dagingnya, tidak seperti yang tertembus anak panah Maimi pada dadanya tadi.

"Bukan main! Engkau hebat sekali, pantas sekali menjadi utusan Jenghis Khan dan menjadi tamu kami!" kata Maimi. "Aku adalah Puteri Maimi, puteri Pangeran Pang Sun yang akan kalian kunjungi."

Yuci cepat memberi hormat. "Ah, kalau begitu maafkan kami, Puteri."

"Tidak mengapa. Kami bahkan amat kagum kepada kepandaianmu memanah Yuci. Akan tetapi, kami masih ragu terhadap kawanmu ini. Kalau dia juga utusan Jenghis Khan, apa kemampuannya? Kulihat dia bukan bangsa Mongol."

"Dia seorang bangsa Han yang menghambakan diri kepada raja kami, Puteri. Akan tetapi dia memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi."

"Bagus! Kalau begitu, biarkan kami mengujinya, nona Maimi!" kata seorang di antara dua orang gadis Han tadi. Mereka itu berwajah sama, juga bentuk tubuh mereka dan pakaian mereka sama, Mudah diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung, bahkan melihat usia mereka yang sebaya, orang akan menduga bahwa mereka adalah saudara kembar.

Dan memang demikianlah. Siauw Cin dan Siauw Lin adalah dua orang gadis kembar berusia sembilan belas tahun, Ayah mereka seorang Han yang menikah dengan seorang wanita Liau-tung dan kini ayah mereka menjadi anak buah suku bangsa yang dipimpin oleh Pangeran Pang Sun.

"Bagus, kalian boleh mengujinya. Siapa namamu tadi? Bu Tiong Sin? Kalau engkau memang gagah, coba hadapi pedang dari dua orang saudara kembar ini." kata sang puteri kepada Tiong Sin. Pemuda ini mengangguk, dan berkata kepada Yuci.

"Haruskah aku melawannya, Yuci?"

"Tentu saja. Buktikan bahwa engkau memang patut menjadi utusan raja kita Jenghis Khan!" kata Yuci vang juga ingin melihat adu kepandaian itu, dan dia menduga bahwa dua orang gadis kembar bangsa Han ini tentu lihai pula.

Siauw Cin dan Siauw Lin sudah mencabut pedang dan menghadapi Tiong Sin. Mereka itu sama cantik dan manisnya, dan ketika meloncat, gerakan mereka pun ringan dan cekatan sekali.

"Keluarkan senjatamu dan mari kau hadapi pedang-pedang kami!" kata Siauw Cin dengan sikap menantang.

Tiong Sin menggeleng kepala. "Memalukan kalau melawan dua orang gadis lemah harus mempergunakan pedang. Biarlah kuhadapi pedang kalian dengan ini saja!" Dia mengambil sebatang kayu kering yang dipakai sebagai bahan bakar. Panjangnya nanya selengan, dan kayu ini besarnya tidak lebih sepergelangan tangan.

Melihat itu, sepasang gadis kembar mengerutkan alis mereka. Pemuda ini terlalu sombong, pikir mereka. Seorang pria jagoan saja dari suku Liau-tung tidak akan mampu mengalahkan seorang di antara mereka, walaupun pria itu boleh memilih senjata apa pun. Dan kini pemuda ini, menghadapi mereka berdua yang berpedang hanya dengan sebatang kayu!

Sepasang saudara kembar ini marah dipandang rendah, maka muka mereka berubah merah karena marah. "Baik engkau yang memilih sendiri, jangat salahkan kami kalau sampai engkau terluka atau tewas!" kata Siauw Lin marah.

Tiong Sin tidak pernah menghargai wanita. Dia selalu memandang rendah dan menganggap bahwa wanita sepantasnya hanya menjadi alat penghibur atau permainan belaka. Maka, mendengar ucapan itu, dia pun tertawa mengejek. "Aku takkan menyalahkan kalian, bahkan akan menghajar kalian dengan kayu ini. mulailah!"

Siauw Cin dan Siauw Lin menjadi semakin marah, apalagi ketika pada saat itu, Yuci yang wataknya lebih terbuka dan gembira berkata, "Saudaraku yang baik, jangan terlalu keras engkau memukul dengan kayu itu, kasihan mereka!"

"Lihat pedang!" bentak Siauw Cin dan Siauw Lin, dan keduanya sudah menerjang maju dengan gerakan pedang mereka yang cepat. Terdengar bunyi kedua pedang itu berdesing-desing, dan nampak dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar ke arah Tiong Sin.

Namun, pemuda ini bersikap tenang saja, seolah olah dia tidak peduli akan ancaman maut dari dua batang pedang itu. Akan tetapi, begitu pedang-pedang itu menyambar dekat, tangannya bergerak dan kayu yang menjadi senjatanya itu bergerak cepat menangkis.

"Trek! Trakkk!"

"Ihhhhh.....!" Dua orang gadis kembar itu meloncat kebelakang sambil memeriksa pedang masing-masing dan barulah hati mereka lega melihat bahwa pedang mereka tidak rusak.

Tentu saja mereka tadi terkejut bukan main ketika kayu itu menangkis, mereka rasakan betapa tenaga yang amat kuat membuat pedang mereka hampir terlepas dari pegangan tangan mereka! Pedang mereka tergetar begitu keras sehingga mereka khawatir kalau senjata mereka itu rusak. Kini, dengan marah mereka lalu menerjang lagi dari kanan kiri, mengeluarkan ilmu pedang mereka yang gerakannya cepat sekali.

Namun, Tiong Sin tersenyum mengejek dan dia pun segera menggerakkan kayu di tangannya, memainkannya seperti sebatang pedang dan dia sudah menyambut serangan dua orang pengeroyoknya itu dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedang Thai-san Kiam-sut yang hebat! Ilmu pedang yang dipelajarinya dengan baik sekali dari Yeliu Cutay ini merupakan ilmu pedang yang hebat, tingkatnya tinggi dan jauh lebih tinggi daripada ilmu pedang yang dimainkan dua orang gadis kembar itu.

Oleh karena itu, maka dalam waktu singkat saja gulungan sinar pedang kedua orang gadis itu menjadi semakin tertekan dan semakin sempit, bahkan akhirnya mereka sama sekali tidak mampu membalas serangan pemuda itu karena mereka melihat seolah-olah kayu itu berubah menjadi puluhan potong yang menyerang mereka dari segala jurusan!

Tak lama kemudian, terdengarlah dua orang gadis itu menahan jeril-jerit kecil ketika ujung kayu itu mulai menyentuh tubuh mereka. Memukul pinggul, mengusap dada dan perut. Kalau Tiong Sin menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat merobohkan dua orang gadis itu. Bahkan kayu di tangannya seperti mewakili tangannya, membelai, menowel bagian-bagian tubuh kedua orang gadis itu, bagian yang biasanya terlarang dan tidak boleh disentuh orang lain!

Dua orang gadis itu menjerit-jerit dan akhirnya mereka berloncatan melarikan diri bersembunyi di balik Puteri Maimi, dan keduanya kini menundukkan muka mereka yang kemerahan dan ada air mata menitik keluar dari sepasang mata mereka. Mereka merasa malu dan terhina sekali dan di dalam lubuk hati mereka, dua orang gadis kembar ini merasa benci sekali kepada Tiong Sin yang diam-diam telah memperlakukan mereka dengan cabul itu.

Tentu saja hanya mereka berdua yang tahu dan merasakan. Orang lain yang nonton pertandingan itu hanya melihat betapa dua orang gadis itu terdesak dan menjerit-jerit sambil menggeliat-geliat. Demikian cepatnya gerakan kayu di tangan Tiong Sin sehingga tidak dapat terlihat oleh lain orang betapa ujung kayu itu mempermainkan tubuh dua orang gadis yang mengeroyoknya.

Yuci merasa bangga sekali melihat kemenangan Tiong Sin yang sudah diduganya. Dia lalu memberi hormat kepada Puteri Maimi dan bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Tuan Puteri? Suda patutkah kami berdua menjadi utusan Yang Mulia Jenghis Khan?"

Maimi sekarang tersenyum ramah. Ia merasa kagum sekali, baik tadi melihat ilmu memanah dari Yuci atau juga ilmu pedang dari Tiong Sin. "Sekarang aku yakin bahwa berita tentang kehebatan para panglima Jenghis Khan bukanlah omong kosong belaka. Marilah, kalian berdua, cukup terhormat untuk menjadi tamu kami. Silakan makan dan menikmati panggang daging rusa bersama kami."

Tentu saja kedua orang muda itu menjadi girang walaupun Tiong Sin tidak memperlihatkan hal ini. Mereka lali duduk mengelilingi api unggun, di atas tikar indah yang dibentangkan oleh para gadis itu, dan dua orang pemuda itu menerima hidangan panggang daging rusa yang .enak dan sedap, ditemani para gadis yang kini bersikap ramah pula. Kecuali dua orang gadis kembar yang tetap bersikap dingin terhadap Tiong Sin dan hanya ramah kepada Yuci.

Para gadis itupun mengeluarkah perbekalan mereka, roti dan anggur. Biarpun tadi sudah makan malam, menghadapi hidangan daging panggang hangat-hangat itu, ditemani lima orang gadis cantik manis yang lebih hangat lagi, dua orang muda itu makan dengan lahapnya! Dan diam-diam Tiong Sin mengamati wajah dan bentuk tubuh Puteri Maimi. Inilah seorang gadis yang hebat, bisiknya dalam hati yang bergelora. Setelah makan minum, Yuci menghaturkan terima kasih kepada Puteri Maimi.

"Besok pagi-pagi kami akan pulang dan akan kukabarkan kepada ayahku tentang kunjungan kalian sebagai utusan Jenghis Khan." janji sang puteri kepadanya dan Yuci mengucapkan terima kasih. Kemudian, dua orang pemuda itu kembali ke perkemahan mereka dengan hati penuh kenangan manis.

"Hebat Puteri Maimi itu!" beberapa kali Yuci berseru kepada sahabatnya, sepasang matanya berkilat dan wajahnya berseri-seri, tanda bahwa pemuda Mongol ini terkagum-kagum.

Tiong Sin mengerutkan alisnya. "Yuci, apakah kau jatuh cinta kepadanya?"

Yuci terkejut, lalu tersenyum mengangguk-angguk. "Mungkin sekali... Siapa yang tidak jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Maimi? Cantik jelita puteri kepala suku, baik budi bahasanya, ramah sikapnya, dan bagi seorang wanita kepandaiannya memanah mengagumkan!"

Tiong Sin memandang kepadanya dengan tajam. "Dan engkau hendak minta kepada ayahmu untuk meminangnya?"

Kembali Yuci tersenyum. "Hemm siapa tahu? Mungkin saja, akan tetapi tentu setelah gerakan Sribaginda berhasil"

Tiong Sin tidak banyak bertanya dan menjadi pendiam. Hatinya tidak puas dan merasa iri. Dia tahu bahwa sebagai seorang panglima besar dari Jenghis Khan, ayah Yuci, yaitu Chepe Noyon, amat terkenal dan dihormati. Maka, kalau Chepe Noyon melamar Maimi kepada kepala suku Liau-tung itu, besar kemungkinan akan diterima dengan gembira.

Berbeda dari dirinya. Siapa yang akan melamarkannya kalau dia pada suatu hari menjatuhkan pilihannya? Tidak ada! Dan lebih lagi puteri kepala suku seperti Maimi. Jelas bahwa dia sebagai seorang muda Han perantau yang sudah tidak mempunyai orang tua, akan ditolak mentah-mentah. Bahkan mungkin pinangannya akan dianggap penghinaan dan dia akan dianggap musuh!

Tiong Sin pura-pura tidur pulas dalam tenda di mana dia tidur bersama Yuci. Pemuda Mongol itu sudah cepat tidur pulas dengan bibir tersenyum, agaknya sudah mulai mimpi bertemu Puteri Maimi. Dengan hati-hati Tiong Sin bangkit dan mengenakan sepatunya sambil melirik ke arah Yuci dan dia pun tersenyum mengejek.

"Boleh kau jumpai ia dalam mimpi Yuci, akan tetapi aku akan menjumpainya dalam kenyataan!” Dengan hati-hati dia pun keluar dari tenda besar dan dia menghilang dalam kegelapan malam.

Langit hitam penuh bintang cemerlang. Tiada awan segumpal pun menghalangi sinar bintang-bintang yang bagaikan ratna mutu manikam berserakan di atas permadani hitam di atas sana. Sejenak, kalau mata memandang tanpa dikacau pemikiran, kita lupa bahwa bintang-bintang itu berada di atas dan kita di bawah. Tidak ada lagi batas, tidak ada lagi ruang, tidak ada lagi atas maupun bawah, kanan maupun kiri.

Demikian maha besar kekuasaan Tuhan, meliputi seluruh jagat raya, seluruh alam mayapada, melihat seluruh benda bergerak maupun tidak bergerak, yang nampak oleh mata manusia maupun yang tidak! Demikian gaibnya semua itu. Kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, menyusup sampai ke rambut-rambut di kepala, sampai ke bulu-bulu di seluruh badan, menumbuhkan, memelihara, mengatur!

Tak terukur oleh ukuran hati dan akal pikiran, tak terjangkau oleh segala alat yang. ada. Terlalu tinggi bagi kita manusia, terlalu besar, terlalu luas.!. Baru menengadah melihat bintang-bintang di langit begitu saja, kita merasa betapa kecilnya diri kita, betapa tidak ada artinya, bagaikan setitik di antara debu.

Namun, betapa besar kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang! Sayang kepada semua mahluknya, kepada semua ciptaannya, kepada kita! Seluruh yang ada, yang nampak maupun tidak nampak, seluruhnya diciptakan untuk kebahagiaan kita. Tanah, air, tumbuh-tumbuhan, hewan, bahkan sinar matahari dan bulan, angin yang tidak nampak, semua... semua itu untuk kita manusia!

Semua itu menunjang kehidupan kita! Kita hanya mampu bersyukur, berterima kasih, mohon ampun akan semua dosa kita dan... menyerah! Penyerahan diri penuh iman, penuh tawakal, penuh ikhlas, merupakan kebaktian yang sempurna kepada Tuhan! Kita menyerah, sepenuh jiwa raga, dan kekuasaan Tuhan akan mengatur segalanya.

Kalau hati dan akal pikiran kita yang mengatur, maka kekacauanlah akibatnya karena hati dan akal pikiran kita bergelimang nafsu. Namun, kalau kekuasaan Tuhan yang mengaturnya, segala berjalan dengan sempurna.

Suasana yang sunyi meliputi perkemahan di mana lima orang gadis itu berada Puteri Maimi telah tidur pulas, demikian pula dua orang gadis Liau-tung yang lain. Adapun gadis Han yang kembar itu sedang mendapat giliran jaga. Nanti lewat tengah malam, mereka akan di gantikan oleh dua orang gadis Liau-tung dan mereka akan beristirahat dan tidur Tentu saja Puteri Maimi tidak mendapat giliran berjaga malam!

Malam itu hawanya amat dingin dan dua orang gadis kembar membuat api unggun di luar perkemahan. Mereka duduk dekat api unggun. Sementara itu Puteri Maimi yang tidur di dalam tenda .sudah pulas, berselimut tebal. Dua orang gadis Liau-tung juga tidur di sudut tenda besar itu, saling peluk untuk menghangatkan tubuh.

Siauw Cin dan Siauw Lin duduk termenung. Mereka masih merasa penasaran atau terkenang akan peristiwa sore tadi, ketika mereka mengeroyok pemuda bernama Bu Tiong Sin itu. Kadang-kadang, ada sebutir air mata mengalir turun dari mata mereka, menuruni pipi yang berkulit putih mulus itu. Keduanya tidak bicara karena tanpa bicara pun dua orang saudara kembar ini dapat merasakan apa yang berada dalam hati masing-masing.

Apalagi dalam keadaan melamun seperti itu. Bahkan andaikata mereka sedang waspada pun, sukar bagi mereka untuk dapat melihat berkelebatnya bayangan orang lain yang menyelinap di balik tenda. Gerakan orang ini selain cepat juga ringan sekali tanpa mengeluarkan suara.

Sejenak orang itu mengintai dan melihat betapa dua orang gadis kembar itu duduk dekat api unggun depan kemah, dalam keadaan lengah, dia pun cepat sekali sudah menyelinap memasuki tenda. Tenda itu remang-remang karena hanya diterangi sebatang lilin di sudut. Bayangan itu adalah Bu Tiong Sin Sejenak dia memandang keadaan dalam tenda dan dapat melihat apa yang dicarinya.

Puteri Maimi sedang tidur pulas, tubuhnya tergulung selimut. Yang nampak hanya wajahnya yang sebagian rambutnya yang terurai lepas. Wajah itu tersenyum, manis sekali. Cepat Tiong Sin mendekati, lalu tangannya bergerak cepat, membuka selimut dan melakukan totokan dengan jari tangannya.

Puteri Maimi terkejut, matanya terbelalak, akan tetapi ia segera lemas lunglai kembali karena ia merasa betapa ia tidak mampu bergerak, juga tidak mampu bersuara! Orang yang belum dikenalnya benar itu sudah menggulung tubuhnya dalam selimut dan memanggulnya. Seperti tadi ketika masuk, dia pun menyelinap keluar tanpa diketahui oleh Siauw Cin dan Siauw Lin.

Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri rasa hati Puteri Miami. Ia bukan seorang gadis lemah lagi penakut, sama sekali tidak. Bahkan ayahnya sering mengomelinya karena sebagai seorang puteri, seorang anak dari kepala suku yang sudah dianggap sebagai raja kecil, seorang pangeran, Maimi masih suka berkeliaran tanpa pengawal, hanya ditemani oleh empat orang gadis yang menjadi sahabat dan juga orang-orang kepercayaannya itu.

Maimi adalah seorang gadis yang suka berburu, pandai menunggang kuda, pandai menggunakan anak panah dan sudah belajar bermain pedang. Juga empat orang sahabatnya itu bukan gadis-gadis lemah. Mereka berlima seringkali berkeliaran sampai jauh meninggalkan rumah, sampai di perbatasan daerah kekuasaan Liau-tung. Maka, Maimi bukan gadis penakut.

Akan tetapi, malam ini, digulung dalam selimut dan tubuhnya sama sekali tidak dapat digerakkan, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara, lalu diculik dan dibawa pergi orang keluar dari perkemahan, sungguh membuat ia merasa ngeri dan takut! Kalau ia mampu bergerak, tentu ia dapat membela diri. Akan tetapi, ia merasa sama sekali tidak berdaya karena tidak mampu bergerak, tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Tanpa ragu-ragu Tiong Sin membawa puteri itu ke sebuah pohon besar. Memang sebelumnya dia telah memilih tempat. Di bawah pohon besar itu penuh dengan rumput yang gemuk, dan dia pun menurunkan buntalan atau gulungan selimut di atas rumput itu, lalu dibentangkan selimut itu di atas rumput.

Maimi kini menggeletak tak mampu bergerak telentang dan sepasang matanya yang indah dan lebar itu terbelalak memandang sebuah wajah di bawah sinar bintang bintang yang suram, apalagi sinar bintang terhalang daun-daun pohon. Bagaimanapun juga, ia dapat mengenal saja dalam kesuraman cuaca itu, wajah Bu Tiong Sin, pemuda tampan yang sore tadi dijamunya makan bersama Yuci!

Dengan tenang Tiong Sin melepaskan jubahnya, lalu menghunus pedangnya, ditempelkan pedang itu ke dada Maimi, kemudian, dengan lembut dia membebaskan totokan dari tubuh Maimi. Begitu dapat bergerak dan dapat bicara, Maimi cepat bangkit duduk, akan tetapi Tiong Sin merangkulnya dengan tangan kiri sedangkan Pedang Asmara telah telanjang dan ditempelkan di dada gadis itu.

"Kau..... kau..... Bu Tiong Sin...! Apa yang kau lakukan ini? Mengapa engkau membawaku ke sini? Apa artinya ini?" Ia bertanya dengan mata terbelalak ketakutan dan napasnya terengah-engah.

Tiong Sin yang sudah digulung gelombang nafsu itu merangkul semakin erat, lalu membisikkan rayuan dengan mulut menempel di pipi dekat telinga puteri itu. "Artinya, Maimi, bahwa aku cinta padamu. Tak usah berpura-pura lagi, Maimi, kita saling mencinta....."

Dan Tiong Sin lalu merebahkan kembali sang puteri, mendekap dan menciuminya dan dia pun tersenyum karena kini puteri itu sama sekali tidak melawan, hanya memejamkan matanya dan mulutnya berbisik-bisik tanpa arti. Sama sekali Maimi tidak melawan bahkan menyambut dan melayani Tiong Sin dengan gairah yang sama panasnya. Semua itu dilakukannya seperti dalam mimpi!

Siauw Cin dan Siauw Lin menguap terserang rasa kantuk karena hangatnya api unggun yang mengusir dingin dan nyamuk. "Ih, aku ngantuk sekali," kata Siauw Lin kepada encinya. "Enci Cin, tolong kau tengok dulu nona Maimi sebelum kita ketiduran di sini."

"Uh, engkau memang pemalas... waaahhhhl.... nah, aku ketularan mengantuk. Biar kujenguk dulu kedalam...." Siauw Cin bangkit lalu menghampiri tenda dan menguak pintu masuk. Ia memandang heran, lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian, ia sudah berada di luar lagi dan mengguncang pundak adiknya.

"Lin-moi..... bangun! Celaka...... nona Maimi tidak berada ditenda!"

Seketika Siauw Lin meloncat bangkit berdiri dan matanya terbelalak. "Apa kau bilang? Apakah engkau sudah mimpi?"

"Hushhh! Aku baru saja menjenguk ke dalam dan nona Maimi tidak berada di dalam! Juga selimutnya yang tebal itu tidak ada, dan dua orang pemalas di dalam itu tidur mendengkur!"

Siauw Lin melompat ke dalam tenda dan ia pun keluar dengan alis berkerut. "Engkau benar! Ke mana ia pergi? Dan kalau ia meninggalkan tenda, bagaimana kita sampai tidak mengetahuinya? Kita baru mengantuk, belum tertidur."

"Hatiku tidak enak, Lin-moi. Mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Mari kita mencarinya!"

"Ke mana kita harus mencari kalau kita tidak tahu ia pergi ke mana?" tanya Siauw Lin.

"Ke mana saja, sekitar tempat ini. Hayolah, mungkin ia menyelinap keluar untuk mencari burung kepala merah yang siang tadi dikejarnya tanpa hasil."

"Atau ia mungkin mimpi dan berjalan-jalan!" Siauw Lin mengomel karena ia sudah mengantuk harus bekerja mencari nonanya tanpa tujuan.

Ketika mereka mencari-cari dan tiba di bawah pohon, keduanya terbelalak dan sampai beberapa lamanya mereka itu memandang dengan bengong ke atas hamparan selimut di atas rumput bawah pohon besar itu! Nona mereka tertidur pulas, saling peluk dengan seorang pemuda yang mereka kenal baik, yaitu yang sore tadi mengalahkan mereka dengan ranting kayu!

Mereka menggosok-gosok mata merasa seperti dalam mimpi. Tidak mungkin nona Maimi, puteri ketua Liau-tung, demikian mudahnya menyerahkan diri kepada seorang pemuda asing! Akan tetapi jelas, nona mereka itu tidak diperkosa, tidak dipaksa karena lengan nona itu yang berkulit putih kemerahan, jelas nampak merangkul leher pemuda itu, lengan yang tidak berbaju! Juga kaki nona mereka yang tersembul di bawah selimut itu telanjang...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.