Pedang Asmara Jilid 28

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 28
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 28 karya Kho Ping Hoo - JELAS bahwa kakek itu telah berubah. Disebut lo cian-pwe oleh San Hong yang biasanya menyebut Siauw Koay, dia menerimanya biasa saja. Seolah baginya tidak ada bedanya disebut Siauw Koay atau pun lo-cianpwe!

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Terima kasih, San Hong! Engkau anak baik dan aku girang telah memberi kau sebagian ilmuku kepadamu. Kalau engkau bertemu dengan lima orang gurumu, Katakan bahwa tak lama lagi mungkin aku akan tinggal pula di Thai-san!"

"Baik, Lo-cianpwe...!"

"Wah-wah-wah, bagaimana ini? Dari Siauw Koay menjadi lo-cian-pwe! Bagaimana pula aku harus menyebutmu? Masih tetap Siauw Koay ataukah juga harus lo-cianpwe?" tanya Siang Bwee sambil tertawa tawa.

Lo Koay juga tertawa. "Sesukamulah! Sebutan hanyalah suara, bukan bendanya, atau orangnya! Disebut apa pun juga, apa bedanya? Si benda tidak berubah. Yang berubah-ubah hanyalah sebutannya. Nah, kalau engkau masih menyebut Siauw Koay, tentu aku akan menyebutmu Enci Bwee, agar sesuai. Terserah kepadamu. Kalau aku disebut Siauw Koay, senang saja karena berarti aku awet muda, belum tua dan tetap seperti kanak-kanak. Sebaliknya, kalau engkau suka disebut enci oleh seorang kakek, berarti engkau sudah nenek-nenek, sudah jompo dan tua sekali, ha-ha-ha-ha-ha!"

Tentu saja Siang Bwee cemberut mendengar ini. "Ih, engkau nakal! Aku tidak sudi disebut enci lagi olehmu! Biar sebut engkau Lo Koay saja!"

"Jangan marah, Siang Bwee yang manis. Kalau engkau memanggil Lo Koay aku akan memanggilmu Siang Bwee. Nah sudah cocok, bukan? Akan tetapi engkau jangan berubah menjadi pemarah, akan hilang manismu kalau engkau pemarah."

"Dan engkau pun jangan melanggar janji. Engkau harus mengajarkan ilmu sinkang Perisai Diri dan ilmu ginkang menunggang Angin kepada Hong-ko!"

"Tidak bisa dua ilmu itu untuk dua orang. Dia tidak akan kuat. Biar kuujarkan sin-kang Perisai Diri kepadanya setelah dia makan sebagian dari jamur emas, dan gin-kang Menunggang Angin Kuajarkan kepadamu."

"Horeee.....! Engkau Lo Koay yang baik!"

"Ssttt...! Jangan ribut, Bwee-moi. Apa kau ingin para penjaga di pintu gerbang sana itu mendengar suaramu?" Sun Hong menegur Siang Bwee.

"Pasti kuajarkan, kedua ilmu itu akan kuberikan kepada kalian, akan tetapi dengan syarat....."

"Aih, kaukira aku pun orang yang suka melanggar janji? Akan kumasakkan sup sirip naga laut, daging setan laut saos tomat, dan goreng cacing kering kepadamu, ditambah tarian bidadari!"

"Bukan itu saja, ada tambahannya!"

"Wah kau setelah menjadi Lo Koay, mau curang? Bukankah janjinya hanya itu?"

"Ditambah sedikit, yaitu engkau mengajarkan rahasia masak-masak agar dapat lezat seperti masakanmu itu kepada Cui Eng Cun!"

Siang Bwee tersenyum geli, "Hemm dan mengajarkan ilmu menari juga?"

"Tidak usah. ia suduh mulai tua, tidak perlu menari, asal pandai masak pun bagiku sudah cukup."

"Lo Koay, ada satu hal yang ingin sekali kutanyakan kepadamu. Akan tetapi janji dulu, kau tidak akan marah oleh pertanyaanku ini."

Lo Koay tersenyum. "Apakah aku pernah marah kepadamu, Siang Bwee? Sungguh aneh kalau ada orang dapat marah kepada seorang gadis seperti engkau ini. Tanyakan, apakah yang ingin kauketahui itu?"

"Begini, Lo Koay. Setelah melihat pertemuan antara Lo Koay dan Bibi Cun aku merasa heran sekali. Apakah orang tua kalian berdua masih mempunyai gairah berahi maka kalian begitu mesra dan hendak hidup bersama?"

San Hong terbelalak dan berusaha untuk mengamati wajah gadis itu. Akan tetapi cuaca terlampau gelap sehingga dia tidak dapat melihat apa-apa pada muka itu kecuali bayangannya saja. Dia merasa heran sekali walaupun sudah mengenal watak Siang Bwee yang terbuka dan tidak malu malu, akan tetapi pertanyaan yang diajukan kepada Lo Koay itu sungguh luar biasa. Dia sendiri sebagai seorang laki-laki saja akan merasa sungkan dan malu bertanya seperti itu!

Akan tetapi gadis itu bertanya dengan nada suara polos saja, seolah yang di tanyakan itu soal biasa sehari-hari. Bagaimanapun juga San Hong mempunyai latar belakang kehidupan dan kebudayaan yang berbeda dibandingkan Siang Bwee. Lingkungan hidupnya jauh berbeda. San Hong masih terikat banyak belenggu kesusilaan dan kesopanan, sedangkan Siang Bwee lebih bebas dan polos. Pertanyaan yang diajukannya itu sesungguhnya juga biasa saja baginya, pertanyaan yang timbul dari hati, bukan bermaksud untuk kurang ajar atau tidak sopan.

Mendengar pertanyaan ini, dan pendengarannya yang tajam mendengar napas tertahan lalu agak memburu dari San Hong, Lo Koay tertawa geli. Dia dapat membayangkan betapa terkejutnya seorang pemuda biasa seperti San Hong mendengar gadis yang dicintanya itu mengajukan pertanyaan seperti itu pada seorang kakek! Akan tetapi dia sendiri menerima pertanyaan itu dengan gembira, sedikit pun tidak merasa tersinggung.

"Ha-ha-ha, anak baik. Kau kira kebahagiaan bisa diperoleh hanya melalui pelepasan gairah berahi saja? Kau kira cinta kasih adalan cinta berahi? Itu kesalahan banyak orang sehingga akhirnya mereka kecewa! Siapa yang menganggap bahwa cinta kasih itu gairah berahi, akan kecelik dan kecewa oleh nafsu berahi itu sendiri. Segala macam nafsu tidak membahagiakan, hanya menyenangkan. Kesenangan bukanlah kebahagiaan. Kesenangan hanya saudara kembar kesusahan. Yang puas akan kecewa, yang senang akan susah.

Orang setua kami tidak lagi terbelenggu oleh gairah berahi, Siang Bwee. Kami sudah cukup bahagia kalau melihat bahwa orang yang kita cinta itu hidup dalam keadaan gembira, tidak menderita sengsara. Karena itu, kebersamaan merupakan suatu kebahagiaan pula, baik itu antara saudara, antara sahabat, atau antara suami isteri."

Mendengar jawaban itu, tahulah kini betapa pentingnya pertanyaan yang diajukan kekasihnya tadi, walaupun nampaknya kasar dan tidak sopan. Pertanyaan itu sesungguhnya merupakan pertanyaan biasa, dan menyangkut kepentingan kehidupan setiap orang manusia yang sudah dewasa.

Cinta kasih sudah demikian sarat oleh arti seperti ditafsirkan semua orang. Kalau bisa digambarkan, kiranya bukan cinta kasih, karena yang dapat digambarkan hanyalah sesuatu yang menyenangkan. Dan segala yang menyenangkan itu menimbulkan nafsu untuk mengejarnya, untuk mempertahankan dan memilikinya. Yang jelas, kita hanya dapat mengerti apa yang BUKAN cinta kasih. Yang mendatangkan sengsara, yang mendatangkan duka, yang mendatangkan pertentangan, jelas bukan cinta kasih.

Karena itu, gairah berahi bukanlah cinta kasih karena gairah berahi dapat mendatangkan banyak macam masalah, dapat mendatangkan kekecewaan dan makin banyak orang meneguknya, dia akan menjadi semakin kehausan. Cemburu, iri hati, rasa takut keinginan menyenangkan diri sendiri bukanlah cinta kasih karena semua itu dapat mendatangkan duka dan perselisihan.

Segala macam keinginan untuk senang jelas bukanlah cinta kasih. Keinginan menimbulkan pamrih, dan pamrih jelas pekerjaan nafsu. Bukan berarti bahwa kita harus melenyapkan segala nafsu. Hal ini tidak mungkin sekali dan hanja terdapat dalam angan-angan mereka yang ingin menemukan kebahagiaan melalui akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu pula!

Ada orang bertapa ke puncak gunung ke gua-gua atau di tepi samudera, seolah tidak mempedulikan lagi urusan dunia tidak mempedulikan urusan badani, jarang makan jarang tidur dan hampir tel4njang. Seolah dengan penyiksaan diri mereka itu dapat mengendalikan nafsu, menghajar nafsu, memusuhi nafsu dan akhirnya akan mencapai apa yang mereka idamkan, yaitu kesempurnaan hidup, kebahagiaan hidup.

Pendeknya suatu keadaan yang amat baik atau lebih baik daripada keadaan sehari-hari kehidupan yang masih dikuasai oleh nafsu. Usaha seperti itu akan sia-sia belaka dan andaikata ada yang berhasil, maka tentu dia bukan manusia lagi! Kalau kita masih menjadi manusia, yaitu manusia yang hidup di dunia ini, memakai badan jasmani seperti sekarang ini, kita tidak mungkin ditinggalkan nafsu-nafsu. Karena nafsu-nafsu inilah bahan bakar kehidupan, mendorong kehidupan.

Segala macam daya rendah yang menjadi nafsu inilah yang menjadi alat bagi badan kita untuk tetap hidup. Nafsu yang timbul dari daya kebendaan membuat manusia mampu menggunakan akal pikirannya untuk membuat segala macam benda keperluan kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu dari daya rendah kebendaan, kita tidak akan mampu membuat apa-apa. Nafsu yang timbul dari daya rendah tumbuh-tumbuhan membual kita dapat makan, terasa enak sehingga tubuh kita dapat bertumbuh, terpelihara dan makanan itu menjadi darah daging kita.

Daya rendah hewani juga menghidupkan, melalui daging yang kita makan, melalui binatang kecil-kecil yang kita telan melalui sayuran, melalui ai melalui udara, menimbulkan nafsu da semangat kekuatan kepada kita. Hubungan antar manusia juga mendatangkan nafsu, membuat kita berkeinginan untuk berkembang biak, hubungan antara pria dan wanita.

Tuhan Yang Maha Kasih memang sudah memberkahi manusia dengan berkah yang berlimpahan. Kita dilahirkan dunia dengan bekal nafsu-nafsu yang sungguhnya amat penting bagi kehidupai manusia di dunia sebagai alat, sebagai abdi, untuk menjaga agar tubuh yang di huni jiwa itu terpelihara, sehat dan jug dapat menikmati segala macam kesenangan di dunia. Itulah rahmat, berkah yang berlimpahan.

Namun, nafsu merupakan alat yang amat penting, merupakan abdi yang amat berguna dan baik, kalau saja tidak dibiarkan merajalela dan mengubah kedudukannya dari alat menjadi yang memperalat, dari hamba menjadi majikan! Celakalah hidup ini kalau kita yang diperalat nafsu, kalau kita yang diperhamba nafsu. Jungkir balik jadinya!

Nafsu yang sudah memperalat manusia, yang sudah memperhamba manusia, dapat membuat manusia-manusia menjadi mahluk yang sekejam-kejamnya dan sejahat-jahatnya. Dan kalau sudah begitu, hidup hanya berarti siksa dan derita, duka dan sengsara sebagai imbalan merajalelanya nafsu dan kesenangan.

Sejak kita lahir, kita telah disertai oleh nafsu yang timbul karena adanya daya-daya rendah, namun ketika kita masih bayi dan akal pikiran belum menguasai seluruh diri, maka kita masih dekat sekali dengan kekuasaan Tuhan yang membimbing kita. Namun, semakin besar, semakin banyak pengertian kita, semakin dewasa akal pikiran kita, semakin tergantunglah kita kepada alat-alat kita itu.

Akhirnya seluruh hidup kita dikuasai oleh hati dan akal pikiran yang digelimangi nafsu daya rendah. Dan beginilah jadinya kehidupan di dunia ini. Penuh konflik, penuh pertentangan, kebencian, permusuhan, perang! Semua ini adalah ulah kita yang telah diperhamba oleh nafsu. Setan yang memegang kemudi dalam diri kita.

Kalau ada kesadaran akan keadaan ini dalam batin kita, lalu kita berusaha untuk melepaskan diri dari nafsu, maka selalu kita menghadapi kegagalan. Betapa banyaknya contoh di dunia ini. Agama agama berkembang luas dan setiap pemerintahan negara manapun mengajarkan kebaikan-kebaikan kepada rakyatnya, agar kembali ke jalan benar.

Dan jangan terjadi kekacauan, kejahatan dalam bentuk apapun. Pemerintah negara manapun juga, para pemimpin negara manapun juga selalu berusaha untuk mendatangkan ketenteraman dan kemakmuran bagi kehidupan rakyatnya. Namun, apa hasilnya. Semua usaha itu hanyalah usaha yang dilakukan oleh hati dan akal pikiran padahal hati dan akal pikiran itu sejak lama telah bergelimang nafsu daya rendah.

Orang boleh pergi ke puncak bukit, ke gua-gua, ke tempat sunyi mengasingkan diri, dengan pamrih untuk membebaskan diri dari nafsu, untuk memperoleh kembali kepribadiannya yang hilang sebagai seorang manusia yang ber-Tuhan. Namun, usaha ini saja sudah berpamrih untuk membebaskan diri dari kesengsaraan akibat mengamuknya nafsu, pamrih untuk mendapatkan kebahagiaan, kesenangan.

Dan biasanya, usaha ini tidak berhasil, bahkan mungkin saja kita dibawa menyeleweng oleh setan ke arah jalan sesat yang penuh keanehan kekuasaan hitam, kekuasaan setan yang dapat membuat kita pandai melakukan hal yang aneh-aneh! Dan kalau sudah begitu, berarti kita terperosok ke dalam lumpur yang lebih dalam lagi!

Lalu kepada siapakah kita dapat minta tolong? Tidak ada lain kekuasaan yang dapat menolong kita, dapat membebaskan kita dari cengkeraman nafsu daya rendah, selain kekuasaan Tuhan! Kita hanya dapat menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, ketawakalan dan kesabaran. Kita hanya dapat mengembalikan kesemuanya itu kepada Sang Maha Pencipta! Pasrah dan waspada terhadap keadaan diri sendiri.

Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu melepaskan kita dari cengkeraman nafsu, yang akan dapat memulihkan keadaan seperti semula, yaitu semua nafsu daya rendah itu menjadi pengikut, menjadi pelayan, menjadi alat untuk kepentingan hidup badaniah kita. Bukan menjadi majikan lagi! Dan kalau sudah begitu, maka kehidupan kita akan dipenuhi cahaya kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita, bukan lagi hati dan akal pikiran.

Hati dan akal pikiran lalu melaksanakan tugas yang semula, yang sebenarnya yaitu tugas menjaga agar badan kita tetap pelihara dalam kehidupan ini sehingga nafsu daya rendah tidak lagi merajalela tidak dapat lagi menimbulkan dengki, iri, cemburu, benci, takut dan sebegainya yang mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang sesat dan jahat. Kekuasaan Tuhan memenuhi diri kita dengan Kasih, seperti yang menjadi sifat-Nya.

Semalam itu mereka bertiga tidak tidur, karena bagaimanapun juga, janji nenek Coa Eng Cun yang akan menyusul mereka di pagi hari mendatangkan perasaan tegang di dalam hati mereka, walaupun tak seorang pun di antara mereka pernah mengatakannya. Terdengar ayam jantan berkeruyuk di kejauhan. Ada pula kokok ayam hutan di sebelah utara dan suara burung-burung berkicauan. Betapa indahnya suara-suara di pagi hari menjelang matahari mengirim sinarnya itu. Indah nian!

Seolah semua suara itu merupakan nyanyian puja puji terhadap kebesaran, keagungan dan kecintaan Yang Maha Kuasa terhadap segala mahluk, yang nampak maupun yang tidak nampak. Pohon-pohon besar pun seperti baru terjaga dari tidur dan memanjatkan doa kepada Sang Maha Pencipta, doa tanpa suara yang hanya di dengar oleh yang berdoa dan Sang Penerima Doa.

Sesosok bayangan berpakaian kuning keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan. Mula-mula, komandan jaga di pintu gerbang itu bersama belasan orang anak buahnya menghadang dengan sikap keren karena sebelum pintu gerbang dibuka, umum dilarang keras untuk keluar masuk kota raja tanpa ijin.

Akan tetapi, begitu komandannya melihat siapa yang berpakaian kuning dan ingin keluar melalui pintu gerbang itu, dia cepat memberi hormat. Tentu saja dia mengenal nenek Coa Eng Cun, bekas selir kaisar yang kini dikenal pula sebagai seorang di antara kepercayaan kaisar dan menjadi jagoan istana yang menjaga keamanan istana dan keluarga kaisar!

"Buka pintu gerbang, aku hendak keluar melaksanakan tugas!" kata nenek itu setelah melihat komandan itu dan anak buahnya berdiri tegak memberi hormat. Komandan itu lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuka pintu gerbang. Nenek berpakaian kuning itu pun keluar. Ia menggendong buntalan pakaian dan gerakannya gesit dan cepat sekali ketika ia melesat keluar.

Karena sudah janji lebih dahulu, nenek itu dapat menduga di mana Lo Koay, bekas kekasihnya itu, dan dua orang muda yang datang bersamanya itu menantinya. Maka ia pun cepat berlari menuju ke sekelompok pohon di luar sebuah hutan tak jauh dari pintu gerbang itu. Lo Koay juga cepat bangkit menyambut ketika dia melihat berkelabatnya bayangan kuning, diikuti olah Siang Bwee dan San Hong.

Cuaca masih remang-remang bahkan gardu penjagaan di pintu gerbang tidak nampak dari situ, yang nampak hanya berkelap-kelipnya lampu gantung yang dipasang di luar dan di dalam pintu gerbang. Nenek itu berhenti di depan Lo Koay. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan dua orang muda hanya menjadi penonton di sebelah kiri kakek itu.

"Cun Cun, engkau memenuhi janjimu.....!" akhirnya Lo Koay berkata dan suaranya terdengar mengandung keharuan dan kegembiraan.

Nenek yang masih nampak cantik dan ramping itu menundukkan muka seperti orang yang merasa malu-malu!. Kemudian ia pun mengeluarkan ucapan lirih, "Mulai saat ini aku akan berusaha untuk memenuhi apa saja yang kujanjikan, Kiong San."

Ucapan ini membuat Siang Bwee dan San Hong merasa terharu pula. Mereka semalam telah mendengar cerita Lo Koay tentang hubungan antara kakek dan nenek. itu, betapa dahulu di waktu muda mereka berdua saling mencinta, akan tetapi sayang, mereka terpaksa saling berpisah karena Coa Eng Cun, nenek itu yang dahulunya seorang gadis cantik jelita, lebih suka menjadi selir pangeran!

Dan agaknya peristiwa itulah yang membuat nenek itu tadi mengatakan bahwa mulai saat ini ia akan memenuhi apa saja yang janjikan! Jelas bahwa dahulu, ia telah menyalahi janji cintanya kepada Lo Koay dan sekarang mereka telah bertemu dan berkumpul kembali, dan nenek itu merasa menyesal akan perbuatannya yang sudah lalu.

"Eng Cun, engkau tidak lupa membawa jamur emas itu, bukan?" tanya Lo Koay.

"Tentu saja tidak. Akan tetapi tidak enak kita bicara di sini. Aku merasa bahwa ada yang mencurigai kepergianku. Mari kita pergi dari sini, menjauhi kota raja....."

Tiba-tiba nenek itu menghentikan ucapannya dan serentak ia dan kakek itu membalikkan tubuh. Juga San Hong dan Siang Bwee membalik dan benar saja pendengaran mereka yang tajam tadi menangkap suara tidak wajar. Kiranya di situ telah berdiri lima orang laki-laki yang usianya antara lima puluh tahun, berpakaian ringkas dan di punggung mereka nampak gagang pedang beronce beraneka warna.

Di antara mereka ada yang gendut, ada pula yang kurus, ada yang brewok, ada pula yang mukanya bersih, akan tetapi kelimanya bersikap gagah dan angkuh. Melihat lima orang ini, nenek Coa Eng Cun nampak terkejut, akan tetapi ia menenangkan hatinya lalu melangkah maju menghampiri mereka.

"Hemmm, kiranya Sin-kiam Ngo-liong (Lima Naga Pedang Sakti) yang datang!" Nenek itu menegur dengan suara halus, akan tetapi disambung dengan suara yang keren, "Mau apa kalian membayangi aku sampai di sini?"

Lima orang yang sikapnya angkuh itu kini nampak seperti orang yang sungkan dan salah tingkah, mereka lalu memberi hormat ke arah nenek itu dengan merangkap kedua tangan depan dada, kemudian orang tertua di antara mereka yang bertubuh kurus dan mukanya bersih tak berkumis atau berjenggot, melangkah, maju mewakili teman-temannya.

"Harap maafkan kami....."

"Hemmm, Sin-kiam Ngo-liong, tidak tahukah kalian siapa aku?" bentak pula nenek itu.

"Tentu saja!" kata pula orang kurusi itu. "Toa-nio (Nyonya Besar) adalah Coa Cun Eng Toa-nio yang terhormat, kepala jaga yang bertanggung jawab atas keamanan gudang pusaka, bahkan Paduka pernah menjadi selir Sribaginda Kaisar....."

"Nah, kalau sudah tahu, bagaimana kalian berani kurang ajar membayangi aku? Pergilah kalian!"

"Maaf, Toanio. Bukan kami hendak kurang ajar. Hanya tadi di istana, kami melihat sikap Toanio yang tidak wajar. Toanio meninggalkan gudang pusaka tanpa mengunci daun pintunya juga tidak memberi tahu kepada pasukan pengawal. Toanio keluar secara diam-diam dari istana, bahkan Toanio lalu keluar kota dan mengadakan pertemuan dengan mereka ini. Dan ah, bukankah dua orang muda ini yang pernah dijamu sebagai tamu oleh Sribaginda akan tetapi kemudian melarikan diri? Ah, kami harus menangkap mereka berdua, Toanio!"

"Jangan kalian berani mencampuri urusanku! Pergi kataku!" bentak nenek itu dengan sikap yang berwibawa.

"Maaf Toanio. Terpaksa kami tidak dapat pergi karena telah menjadi tugas kami untuk melakukan dua hal, yaitu yang pertama, menangkap pemuda dan gadis itu, dan ke dua, mengajak Toanio kembali ke istana dengan menghadap Sribaginda Kaisar karena bagaimanapun juga, kami mencurigai kepergian Toanio dari istana secara rahasia itu."

Kini wajah nenek itu berubah merah dan matanya memancarkan sinar kemarahan. "Kim Liong (Naga Emas), engkau sudah mengenal aku dan masih berani membangkang? Apakah engkau sudah bosan hidup dan ingin merasakan lihainya hud-tim (kebutan) di tanganku?"

"Kami hanya melaksanakan tugas!" kata orang pertama dari Sin-kiam Ngo liong itu. Mereka adalah lima orang bersaudara yang telah menjadi pengawal atau jagoan-jagoan istana, selalu bekerja sama dan mereka memiliki ilmu silat yang tinggi. Terutama sekali ilmu pedang mereka amat hebat sehingga mereka dikenal dengan julukan Sin-kiam Ngo-liong.

Orang pertama yang bicara tadi yang bermuka halus dan bertubuh kurus berjuluk Kim Liong (Naga Emas), orang ke dua bermuka halus pula akan tetapi perutnya gendut dijuluki Sui Liong (Naga Air), Yang ke tiga Thian Liong (Naga Angkasa) bermuka brewok dan bertubuh tinggi besar. Ke empat Tee Liong (Naga Bumi) bermuka bopeng dan hitam, sedangkan orang ke lima yang termuda berjuluk Hay Liong (Naga Lautan) bermuka kemerahan dan halus, berperawakan sedang.

Kini, mendengar ucapan pemimpin mereka, tangan mereka bergerak dan sebatang pedang mengkilap telah melintang di depan dada masing-masing. Mereka sudah siap siaga mempergunakan kekerasan untuk melaksanakan tugas mereka, yaitu menangkap Siang Bwee dan San Hong, dan mengiringkan nenek Coa En Cun kembali ke istana.

"Srattt.....!" Nampak sinar putih berkelebat dan sebatang hud-tim (kebutan pertapa) telah berada di tangan nenek itu. "Keparat, kalian berlima memang sudah bosan hidup!" bentaknya.

"Heiiit..... heiiiiittt.... nanti dulu, Cun Cun. Jangan perjumpaan kita yang membahagiakan ini dirayakan dengan pertumpahan darah, biarpun hanya darah lima ekor cacing istana. Kita berdua sudah tua, tidak pantas lagi berkelah. Biarlah kita wakilkan saja kepada yang muda-muda. Hei, Hong-ko dan Bwee ci, kini coba perlihatkan apa yang pernah kalian pelajari. Wakili kami berdua untuk mengusir lima ekor cacing Istana itu!” Setelah berkata demikian, Lo Koay memegang tangan nenek Coa Eng Cun dan diajaknya duduk di atas batu besar di bawah pohon untuk nonton.

Kalau San Hong masih ragu-ragu karena dia disuruh memusuhi dan berkelahi dengan lima orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan tanpa sebab sama sekali, sebaliknya Siang Bwee sudah meloncat ke depan dan menudingkan telunjuknya ke arah lima orang itu, satu demi satu seperti menghitung mereka dengan menunjuk hidung mereka.

"Haiii, kalian ini lima ekor cacing tanah berani sekali menantang dua orang lo-cianpwe yang kami hormati, ya? Tidak usah dengan mereka, hayo kalian lawan aku saja kalau memang kalian sudah bosan hidup! Mau maju satu lawan satu atau mau maju semua silakan, aku tidak takut! Kalian disuruh kaisar kalian untuk menangkap aku? Katakan kepada kaisar kalian itu bahwa dia tidak tahu diri, sudah kami selamatkan dari serangan musuh, eh, malah hendak menghina aku. Hayo, majulah, pengecut!"

Gadis ini memang pandai bicara dan galak, juga cerdik sekali. Dengan memaki dan menghina kalang-kabut itu, dengan sendirinya ia menyinggung harga diri lima orang itu yang terkenal sebagai lima orang jagoan istana. Apalagi di akhir ucapannya tadi ditambah dengan makian "pengecut", maka tentu saja kalau mereka maju berlima, jelas bahwa makian itu memang tepat. Lima orang jagoan istana, semua pria yang usianya sudah setengah abad, tentu saja amat memalukan kalau harus mengeroyok seorang gadis belia! Itu benar perbuatan dan sikap pengecut namanya!

Sui Liong, orang ke dua yang perutnya gendut, terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan gila wanita cantik, tidak seperti empat orang saudara lainnya. Melihat tingkah gadis Itu, perutnya yang gendut sudah bergerak naik turun, bukan hanya karena marah, akan tetapi juga karena gemas dan bangkit gairahnya. Seorang gadis remaja yang binal seperti seekor kuda betina yang liar!

Sungguh menyenangkan kalau dia dapat menjinakkannya! Maka, dia pun segera meloncat ke depan menghadapi Siang Bwee. Sejenak mereka berpandangan, akhirnya Siang Bwee yang tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perut dengan tangan kiri dan menutup mulut dengan tangan kanan.

Melihat ini, San Hong mengerutkan alisnya. Kenapa sih kekasihnya itu! Menghadapi lawan yang lihai, jagoan istana belum apa-apa sudah terpingkal-pingkal seperti itu! Jangan-jangan ketawanya itu tidak wajar, terkena sihir!

"Heiii, Bwee-moi, kau kenapa sih? Kenapa tertawa-tawa seperti itu?" teriaknya khawatir.

Siang Bwee menghentikan tawanya dan kini telunjuk kirinya menuding ke arah perut Sui Liong. "Hong-koko, kau lihat baik-baik. Cacing itu perutnya gendut bukan main! Kata orang, cacing suka makan lumpur. Entah isi perutnya itu lumpur atau bangkai, sukar diketahui!"

Mendengar ini, San Hong tersenyum lalu menarik napas panjang. Kekasihnya itu memang bengal bukan main. Menghadapi lawan tangguh masih berkelakar seperti itu. Sebaliknya, Sui Liong kini memandang dengan mata melotot dan muka merah seperti udang direbus. Dia menudingkan pedangnya ke arah muka Siang Bwee.

Dan lenyaplah semua gairah berahinya yang tadi bangkit karena dia membayangkan akan dapat menangkap gadis itu, merangkul dan melingkarkan lengannya di pinggang ramping itu. Kini dia marah dan yang dibayangkan adalah membabat leher dan pinggang gadis itu dengan pedangnya sehingga patah-patah!

"Bocah lancang mulut! Cepat kau keluarkan senjatamu. Aku tidak sudi menyerang lawan yang tidak memegang senjata! Aku akan memenggal lehermu dan membawa kepalamu ke istana!"

Siang Bwee menjulurkan lidahnya yang kecil merah dan panjang, mengejek. "Mudah dan enaknya! Kaukira leherku ini begitu lunak? Hemmm, jangan-jangan perutmu yang gendut itu yang akan kulubangi sehingga anginnya membocor keluar dan mengempis. Hanya aku khawatir, aku tidak akan dapat menahan bau busuknya!"

"Keparat, tutup mulutmu dan keluarkan senjatamu!" teriak Sui Liong yang sudah tidak dapat menahan marahnya lagi.

Sambil tersenyum-senyum Siang Bwee lalu mengambil sebatang ranting tak jauh dari situ. Hanya sebatang ranting yang besarnya tidak melebihi lengan tangannya yang kecil dan panjang kurang lebih satu meter. Sungguh merupakan sebuah senjata yang tidak sepadan dan amat lemah kalau harus dipergunakan menghadapi sebatang pedang tajam di tangan musuh.

Akan tetapi tentu saja San Hong lebih mengetahui dan dia pun tenang-tenang saja. Kekasihnya itu baru benar-benar amat berbahaya sekali kalau sudah memegang tongkat di tangannya! Ilmunya yang lain masih boleh dilawan, akan tetapi sekali ia menggunakan tongkat, ia berbahaya dan amat sukar dikalahkan!

"Nah, gendut, inilah senjataku. Kalau memang kau berani, majulah dan coba kalahkan aku!"

Melihat betapa gadis itu hanya memegang sebatang ranting, tentu saja Sui Liong merasa dihina. Kalau saja dia hanya berhadapan berdua dengan gadis itu, tentu dia tidak peduli dan sudah diserangnya gadis itu habis-habisan. Akan tetapi di situ ada empat orang saudaranya, bahkan ada pula pemuda itu, kakek tua renta dan juga Coa Toanio yang dihormatinya. Dia akan menjadi bahan tertawaan. Seorang jagoan istana seperti dia memegang pedang menyerang seorang gadis remaja yang hanya memegang ranting!

"Bocah sombong! Jangan main-main kau. Cepat keluarkan senjatamu, jangan sampai aku kehabisan kesabaran!" bentaknya, masih belum mau menggerakkan pedangnya.

Siang Bwee membelalakkan matanya seperti orang terheran dan terkejut. "Eh-eh-eh, bocah gendut ini! Berani sekali menghina senjataku ini, ya. Kau tahu? Dibandingkan pedangmu, ranting di tanganku ini seribu kali lebih berharga! Pedangmu itu hanya dibuat oleh tangan manusia, ditempa dari baja. Akan tetapi kau tahu siapa yang membikin ranting ini? Tangan Tuhan sendiri yang menciptakan, kau tahu? Manusia mana yang mampu membuat dan membentuk sebatang ranting? Nah, hayo jawab. Mana lebih berharga, ranting buatan Tuhan ini ataukah pedangmu yang hanya buatan seorang pandai besi?"

Sui Liong termangu. Biarpun sifatnya berkelakar dan mempermainkan saja, namun harus dia akui bahwa ucapan gadis itu memang benar! Setiap orang pandai besi dapat membuat pedang, akan tetapi tak seorang manusia mampu membuat ranting pohon!

"Bocah sombong, aku sudah memperingatkan agar engkau menggunakan senjata, akan tetapi engkau berkeras hendak menggunakan ranting itu melawan aku! yang berpedang. Semua orang di sini menjadi saksi bahwa aku tidak berbuat curang. Nah, majulah!"

"Nanti dulu, Gendut! Engkau dan empat orang kawanmu ini siapa sih yang mengundang datang ke sini? Kami tidak mengundang, kami tidak pula mengajak berkelahi. Melainkan kalian yang hendak menangkap dan menyerang kami. Maka, kalau memang engkau berani, bukan hanya besar mulut dan besar perut, hayo cepat kau mainkan pedang dapurmu itu!"

Ini sudah keterlaluan! Sui Liong yang biasanya pandai mengejek orang dan mata keranjang pandai merayu wanita itu sekali ini mati kutu tidak pandai bicara karena kalah jauh oleh Siang Bwee, juga kemarahan membuat dia tidak lagi mampu membuka suara. Pedangnya menyambar ganas dan dia sudah menyerang dengan dahsyatnya.

Di dalam hatinya sudah tidak ada lagi sisa gairah berahinya terhadap gadis itu, yang ada hanyalah kebencian dan kemarahan. Dia merasa pasti bahwa pedangnya akan mampu membikin putus ranting itu berikut leher si gadis, maka sambaran pedang itu pun penuh dengan pengerahan tenaga sin-kang.

Namun, orang ke dua dari Sin-kiam Ngo-liong ini sama sekali tidak tahu dengan siapa dia berhadapan. Kalau saja dia tahu bahwa gadis itu adalah puteri tunggal Nam-san Tok-ong atau Nam Tok, yang tentu saja sudah didengar nama besarnya, tentu akan lain sikapnya. Siang Bwee bukan saja telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayahnya, akan tetapi juga bersama San Hong ia telah berhasil "mencuri" ilmu-ilmu dari Tung Kiam dan Pak Ong.

Bahkan telah pula mematangkan kepandaiannya setelah bertualang bersama Lo Koay yang aneh. Melihat gerakan pedang si gendut itu diam-diam Siang Bwee menjadi geli Kalau hanya seperti itu saja kepandaian lawannya, biar dikeroyok dua pun ia merasa mampu menandingi dan mengalahkan mereka!

Karena ia ingin memamerkan kepandaiannya kepada Lo Koay yang sengaja. menyuruh ia dan San Hong untuk mewakili kakek dan nenek itu, begitu menggerakkan tongkat menyambut serangan lawan. Siang Bwee sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat ayahnya yaitu Hwe-liong-jio-cu!

Ilmu tongkat ini memang hebat. Kalau dimainkan, maka tongkat di tangan itu berubah seperti naga beterbangan dan menyambar-nyambar dahsyat, seperti hendak memperebutkan mustika. Dalam hal ini, yang menjadi mustikanya adalah kepala lawan.

Repotlah Sui Liong menghadapi tongkat yang berubah menjadi gulungan sinar kehijauan yang panjang seperti naga itu, menyambar-nyambar dan mengancam kepala dan tubuh bagian atas. Terpaksa karena tidak mungkin dapat mengimbangi kecepatan gerakan tongkat itu, dia memutar pedangnya di atas kepala untuk melindungi tubuhnya dari ancaman tongkat naga itu.

"Menggelindinglah!" Tiba-tiba Siang Bwee berseru dan kaki kirinya melayang.

"Bukkk!!" Perut yang gendut itu terkena tendangan dan tubuh Sui Liong terjengkang dan terlempar, dan terpaksa dia melempar diri ke belakang dan bergulingan kalau tidak ingin terbanting.

"Gadis jahat!" bentak Kim Liong, orang pertama dari lima jagoan istana itu. Dia pun sudah memegang pedang. Akan tetapi sebelum dia sempat menyerang Siang Bwee, San Hong sudah menghadang di depan gadis itu dan berkata.

"Bwee-moi baru saja melayani seorang di antara kalian, biar ia mengaso dan akulah yang menghadapimu!" katanya. Biarpun pedang Pek-lui-kiam berada di dalam buntalan pakaiannya, namun San Hong tidak mengambil pedang itu karena melihat gerakan orang yang tadi menyerang Siang Bwee, dia pun merasa sanggup menghadapi lawan seperti itu hanya dengan tangan kosong saja.

"Kiong San, bukankah ilmu tongkat yang dimainkan gadis itu tadi Hwe-liong jio-cu dari Nam Tok?" Nenek Coa Eng Cun bertanya heran kepada Lo Koay ketika tadi ia melihat permainan tongkat itu. Lo Koay yang sejak tadi nonton perkelahian hanya mengangguk sambil tersenyum.

Kini, Kim Liong sudah mencabut pedang dan memasang kuda-kuda. Akan tetapi, seperti juga Sui Liong tadi, dia merasa malu kalau harus melawan seorang pemuda yang tidak memegang senjata. Bagaimanapun juga, nama Sin-kiam Ngo-liong sebagai jago-jago istana sudah terkenal, apalagi Kim Liong adalah orang pertama, "Orang muda, keluarkan senjatamu!"

Namun San Hong menjawab tenang. "Paman, aku tidak ingin berkelahi denganmu, akan tetapi kalian yang memaksa. Kalau engkau hendak menyerangku dengan pedang, silakan. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong."

"Hong-koko, kau boleh mencoba kehebatan Kuda Goyang!" tiba-tiba Siang Bwee berkata dengan tertawa.

San Hong tersenyum. Dia tahu apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Dia disuruh mencoba ilmu yang berhasil mereka "curi" dari Pak Ong, dan ilmu silat dari Pak Ong memang mempunyai ciri khas, yaitu dalam gerak pinggul yang bergoyang-goyang seperti pinggul kuda! Dia mengerti maksud gadis itu, agar dalam kesempatan ini dia mencoba ilmu hasil curian itu, maka dia pun mengangguk, lalu memasang kuda-kuda dengan pinggul ditunggingkan ke atas dan digoyang-goyang! Nampak lucu dan seperti mengejek lawan!

Merahlah Kim Liong. Karena semua orang tadi mendengar ucapan pemuda itu yang mengaku sendiri hendak menghadapi padangnya dengan tangan kosong, maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring kemudian menggerakkan pedangnya meluncur, menusuk ke arah dada pemuda itu. Namun, sekali pinggul itu bergoyang ke kiri, tubuh itu telah mengelak dan pedang meluncur lewat di samping tubuh dan pada saat itu, tangan San Hong yang miring membacok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang!

"Ehhh.....!” Kim Liong terkejut dan terpaksa dia menarik tangannya sambil meloncat kebelakang, karena dengan keadaan menyerang, dialah sebaliknya yang terancam! Sambil melompat ke belakang, dia membalik dan kini pedangnya menyerang dengan jurus-jurus pilihan, mengurung diri pemuda yang menjadi lawan-nya itu dari segala penjuru dengan sinar pedangnya. Dan kini San Hong benar benar memainkan ilmu silat Hek-ma Sin-kun yang telah dicurinya dari Pak Ong!

Kemana saja pedang menyambar, dia selalu dapat mengelak, apalagi karena dia menyempurnakan gerakan ilmu curian itu dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dia pelajari dari Bu Eng Sian-jin, seorang di antara Thian-san Ngo-sian, yaitu lima orang gurunya.

"Gerak pinggul itu, bukankah itu ilmu dari Pak Ong?" kembali nenek Coa Eng Cun berseru lirih kepada Lo Koay yang kembali hanya mengangguk dan terus menonton dengan gembira.

"Hakkk!" Tiba-tiba tangan kiri San Hong berhasil menampar pundak belakang lawannya dan tubuh Kim Liong terpelanting. Akan tetapi dia masih dapat menggulingkan tubuhnya dan meloncat bangkit kembali dengan pedang masih di tangan.

Melihat betapa saudara pertama dan ke dua kalah, walaupun tidak terluka parah, tiga orang yang lain menjadi marah dan seperti dikomando saja, mereka lalu menerjang dengan pedang di tangan, mengeroyok San Hong!

"Hei-hei, kalian curang!" Bentak Siang Bwee dan dengan tongkatnya, gadis ini pun sudah menyambut terjangan mereka. Tongkatnya menyambar-nyambar ganas dan tiga orang itu terkejut karena setiap kali tongkat bertemu pedang, mereka merasakan getaran hebat pada tangan mereka yang memegang pedang.

Melihat keadaan yang berbahaya ini, karena kalau mereka berlima itu maju bersama merupakan lawan yang amat tangguh, San Hong cepat melompat, mengambil pedang dari buntalannya dan nampaklah pedang Pek-lui-kiam menyambar-nyambar.

"Wah, bukankah itu Pek-lui-kiam? Dan pemuda itu memainkan ilmu pedang yang seperti pernah kukenal..... ah, bukankah itu ilmu pedang dari Tung kiam?"

Lo Koay hanya mengangguk, akan tetapi dia meringis seperti orang kesakitan. Barulah nenek itu teringat. Cepat ia mengeluarkan buntalannya dan mengeluarkan sebungkus benda yang bentuknya aneh seperti payung kecil dan warnanya kuning emas. Itulah Jamur Emas!

"Kau makanlah ini untuk menghilangkan racun di tubuhmu." kata si nenek sambil mengeluarkan pula seguci anggur.

Lo Koay menerima bungkusan itu, dan hanya mengambil sedikit untuk cepat dikunyahnya dan ditelannya bersama anggur yang diminumnya. Sisanya dia bungkus kembali dan dia masukkan ke dalam saku bajunya.

Agaknya nenek itu tidak mempedulikan hal ini. "Duduklah bersila, selagi obat itu bekerja, biar kubantu pengerahan tenaga pada punggungmu!"

Lo Koay tidak membantah. Dia menanggalkan bajunya, kemudian duduk bersila menghadap ke arah mereka yang berkelahi. Nenek itu duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu, mengerahkan sin-kang yang mengalir lembut ke dalam tubuh sang kakek yang agaknya merasa keenakan.

Keduanya agaknya tidak khawatir sama sekali akan nasib dua orang muda itu karena mereka maklum bahwa dua orang muda itu pasti akan mampu mengalahkan lima orang pengeroyok itu. Dan keduanya, biarpun duduk tak bergerak, tak pernah melepaskan perhatian terhadap pertandingan yang kini berlangsung amat seru.

Memang sesungguhnya, setelah maju bersama, lima orang itu ternyata merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka merupakan kiam-tin (barisan pedang) yang teratur rapi, dengan kerja sama. yang baik dan kokoh kuat sehingga kalau bukan Siang Bwee dan San Hong yang mereka keroyok, tentu akan menjadi kewalahan.

Namun, pada waktu itu, tingkat kepandaian dua orang muda ini sudah tinggi sekali. Jangankan baru lima orang itu mengeroyok mereka, biar ditambahi lima lagi, akan sukarlah untuk dapat mengalahkan dua orang muda ini. Siang Bwee tetap memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat ayahnya, yaitu Hwee-liong jio-cu, sedangkan San Hong dengan pedang kilatnya memainkan ilmu pedang yang dicurinya dari Tung Kiam.

Mereka berdua teringat akan teguran dan anjuran Lo Koay tadi untuk memperlihatkan apa yang telah mereka pelajari. Maka, mereka pun tidak ingin cepat-cepat merobohkan lima orang pengeroyok mereka. Demikianlah, Siang Bwee juga mencampurkan ilmu tongkatnya dengan ilmu-ilmu lain, seperti Jurus Kuda Goyang dari Pak Ong, kemudian mencoba pula ilmu totok It-sin-ci juga dari Pak Ong, memainkan Tung-hai Mo-kun dari Tung Kiam, dan juga mengeluarkan ilmu-ilmunya sendiri dari ayahnya.

Demikian pula San Hong yang mengubah-ubah ilmunya. Kadang dia mengubah ilmu pedang Tung-hai Liong-kiam itu dengan ilmu golok Swat-sin-to dari Pak Ong, bahkan mengeluarkan pula ilmu pedang Pek-lui kiam-sut dari gurunya yang pertama, yaitu Lui-kong Kiam-sian, seorang di antara Thian-san Ngo-sian.

Nenek Coa Eng Cun mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya melihat kelihaian dua orang muda yang menguasai banyak macam ilmu silat itu, melainkan terutama sekali melihat keadaan tubuh bekas kekasihnya yang tadinya mengaku luka berat karena pukulan beracun. Ketika tadi ia menyalurkan tenaga sakti melalui telapak tangannya, ia mendapat kenyataan bahwa luka beracun di tubuh kakek itu ternyata hanya ringan saja kalau diukur menurut kemampuan dan kesaktian Lo Koay.

"Ihhh, Kiong San. Siapa sebenarnya mereka itu dan mengapa engkau menipu aku?"

Kakek itu menarik napas, lalu mengenakan kembali pakaian atasnya karena nenek itu pun sudah menurunkan kembali telapak tangannya. "Nanti kuceritakan semua, sekarang mari kita usir dulu lima ekor anjing itu agar tidak terlalu lama mengganggu!"

Mereka bangkit berdiri dan biarpun keduanya sudah tua renta, namun sekali kaki mereka bergerak, tubuh mereka sudah berkelebat ke medan perkelahian dan entah apa yang terjadi, terlalu cepat diikuti pandang mata, tahu-tahu lima orang jagoan istana itu berpentalan dan roboh terbanting keras sehingga pedang mereka terlepas dari pegangan.

Nenek Coa Eng Cun dengan penuhi wibawa melangkah maju menghadapi mereka yang merangkak bangkit duduk sambil mengaduh aduh.

"Sin-kiam Ngo-liong, kami tidak membunuh kalian karena kalian hanya melaksanakan tugas kalian. Akan tetapi jelas kalian bukan lawan kami dan kembalilah kalian ke istana, katakan kepada Sribaginda Kaisar bahwa aku sudah terlalu lama tinggal di istana dan sudah banyak pula mengabdi kepada beliau. Biarlah gudang pusaka diperiksa baik-baik. Tidak ada yang hilang kecuali Jamur Emas yang kuambil untuk menolong nyawa orang sebagal obat. Apa artinya Jamur obat itu dibandingkan jasaku selama puluhan tahun ini? Nah, pergilah kalian, aku tidak akan kembali ke istana lagi."

"Baik, Toa-nio, dan terima kasih....." kata Kim Liong sambil merangkak bangun, dan diikuti oleh empat orang saudaranya mereka lalu memungut pedang masing-masing dan pergi dari tempat itu. Bagaimanapun juga, mereka merasa terbebas dari maut karena kalau nenek itu menghendaki tentu mereka berlima akan tewas di tempat itu tanpa ada yang dapat menyelamatkan mereka.

Setelah lima orang itu pergi, nenek Coe Eng Cun berkata, "Sekarang kita harus cepat pergi dari sini, setelah jauh dan tidak akan dapat dikejar jagoan-jagoan istana yang lain, baru kita bicara." Berkata demikian, ia lalu meloncat jauh ke depan. Melihat ini, Lo Koay menarik napas panjang, mengomel lemah akan tetapi lalu meloncat pula mengejar. Melihat ini, Siang Bwee menutup mulutnya agar suara ketawanya tidak terdengar keras.

"Hi-hi-hik, habis sudah kebebasan Siauw Koay. Mulai detik ini, dia menjadi seperti seekor kerbau jantan yang diikat hidungnya!"

"Uhhh, kalau begitu kelak engkau pun akan mengikat hidungku seperti kerbau, Bwee-moi?"

Gadis itu tertawa. "Aku tidak menganggap engkau kerbau, Hong-ko!"

"Tapi Lo Koay....."

"Dia lain dengan kamu. Sudah ah, lihat mereka sudah jauh. Mari kita kejar mereka!"

Gadis itu meloncat dan lari cepat sekali. Terpaksa San Hong juga mengerahkan gin-kangnya dan lari mengejar. Tanpa disadarinya sendiri, dia pun menghela napas dan menggeleng kepala, presis seperti yang dilakukan Lo Koay tadi. Akan tetapi dia tidak mengomel. Tidak, segala perbuatan dan gerak-gerik yang dilakukan Siang Bwee selalu menarik dan menyenangkan baginya.

"Nah, sekarang engkau harus menceritakan sejujurnya kepadaku, Gu Kiong San. Kalau engkau berbohong, maka aku akan meninggalkanmu dan selamanya aku tidak akan sudi bertemu muka kembali denganmu."

"Aihhh, Cun Cun....."

"Hayo cepat ceritakan, atau sekarang juga aku akan pergi!"

Melihat ini, Siang Bwee segera berkata, "Lo Koay, ceritakanlah segalanya. Perlu apa berbohong. Engkau dan Bibi ini saling mencinta bukan? Kalau engkau bercerita sejujurnya, aku yakin bahwa Bibi ini tentu akan selamanya tinggal bersamamu, hidup sampai di akhir jaman. Bukankah benar kata-kataku tadi, Bibi?"

Nenek itu cemberut, merasa disudutkan oleh ucapan gadis yang ia tahu luar biasa cerdiknya itu. "Engkau anak kecil tahu apa, tidak perlu ikut-ikut. Dan aku tahu tentang keadilan, tentu saja kalau dia jujur, aku pun jujur. Hayo, Kiong San, berceritalah engkau!"

Lo Koay nampak gugup! "Wah, bagaimana, ya? Ceritanya panjang sekali, dan aku sudah pikun, banyak lupa. Enci Bwee, engkau saja yang bercerita tentang pertemuan kita, dan kalau ada yang keliru, aku yang akan membetulkan. Bagaimana? Tolonglah, enci Bwee, aku tidak bisa bercerita. Bukan tukang dongeng sih!"

Siang Bwee mendongkol juga dimaki anak kecil tadi oleh nenek itu. Akan tetapi ia tahu bahwa tanpa bantuan nenek itu, kekasihnya tidak akan dapat mewarisi ilmu yang hebat dari Lo Koay, maka ia menahan amarahnya dan melirik ke arah nenek itu.

"Aku hanya anak kecil tahu apa?" Ia sengaja mengulang untuk menyatakan kedongkolan hatinya. "Aku mau bercerita asal omonganku tidak dianggap anak kecil lagi."

"Ho-ho-ho, Bwee ci. Engkau kusebut enci, bagaimana bisa dibilang anak kecil? Berceritalah, dan aku yakin Cun Cun akan percaya kepadamu."

Coa Eng Cun mengenal watak kekasihnya yang selain aneh, juga tidak suka banyak membicarakan diri sendiri. Dan ia pun tahu pula bahwa gadis yang amat cerdik itu tentu tidak berani berbohong, maka ia berkata singkat, "Ceritakanlah!" Lalu ia mengerling ke arah San Hong dan melanjutkan, "Akan tetapi sebelum menceritakan tentang pertemuan kalian dengan Lo Koay ini, dan tentang permainan sandiwara kalian untuk mendapatkan Jamur Emas, aku lebih dulu ingin mengetahui, siapa sebenarnya kalian orang-orang muda ini. Dari ilmu-ilmu silat kalian, aku telah mendapatkan kesan buruk atas diri kalian!"

"Baik, Bibi, dan harap jangan terkejut kalau aku mengaku terus terang. Ketahuilah bahwa namaku adalah Ang Siang Bwee, dan ayahku bernama Ang Leng Ki...."

"Heiiiiitttttt.....!" Tubuh nenek itu melambung tinggi sekali dan bagaikan seekor burung elang, ia menyambar ke bawah, ke arah Siang Bwee dengan lecutan kebutannya.

"Eng Cun, jangan.....!" Lo Koay juga meloncat dan mendorong tubuh Siang Bwee sehingga gadis itu terpental sampai jauh. Gadis itu terkejut bukan main dan juga marah.

"Ihhh, apa yang Bibi lakukan itu? Kenapa tiba-tiba Bibi hendak membunuh aku dengan serangan keji tanpa alasan? Kalau memang aku bersalah, terangkan dulu duduknya perkara, bukan langsung menyerang seperti itu! Dan engkau, Lo Koay, mengapa kau lemparkan aku dengan doronganmu tadi, kukira aku tidak akan mati hanya dengan sekali serang oleh bibi Coa! Kalau memang ia mau membunuh aku tanpa alasan, silakan, aku akan membela diri dan engkau tidak perlu membantuku!" Gadis itu marah sekali, berdiri tegak dan memandang kepada nenek itu dengan sinar mata berapi.

"Bwee-moi, sabarlah dan tenanglah." kata San Hong yang juga sudah berdiri di sampingnya karena pemuda ini pun sudah siap untuk melindungi kekasihnya.

Sementara itu, nenek Coa Eng Cun kini juga sudah turun dan berdiri berhadapan dengan Lo Koay, mukanya merah karena marah dan mulutnya cemberut.

"Gu Kiong San, apa yang kau lakukan ini? Engkau bahkan melindungi puteri si jahanam Nam Tok? Dan agaknya hubunganmu dengan puteri jahanam itu baik sekali. Pantas aku tadi mengenal ilmu tongkatnya, kiranya ia puteri Nam Tok! Hayo jelaskan apa artinya semua ini!"

"Eng Cun, engkau harap bersabar. Memang ia puteri Nam Tok, akan tetapi dibandingkan ayahnya, bedanya seperti bumi dengan langit. Dan engkau, enci Bwee, jangan kaget kalau Eng Cun tadi hendak menyerangmu karena memang ayahmu pernah bersalah besar terhadap dirinya. Dahulu sekali, ayahmu pernah bertanding melawan Eng Cun. Ayahmu kalah lihai, akan tetapi ayahmu lalu bertindak curang, ketika Eng Cun hendak mengobati lukanya, ayahmu menyerangnya sehingga ia menderita luka pukulan beracun. Itulah yang membuat ia membenci ayahmu setengah mati."

Akan tetapi keterangan itu masih belum memuaskan hati Siang Bwee. "Ayahku memang dikenal sebagai Nam-san Tok-ong, seorang datuk besar yang tidak pantang melakukan kekerasan. Kalau bibi Coa pernah dicuranginya dan membencinya, aku pun tidak peduli. Akan tetapi kenapa bibi Coa hendak menumpahkan kebenciannya kepadaku? Apa kesalahanku terhadap dirinya? Hayo jawab, apa kesalahanku?"

"Kesalahanmu karena engkau puteri Nam Tok!" bentak nenek itu.

Siang Bwee tertawa! Tertawa mengejek dan tentu saja perbuatannya ini membuat kakek dan nenek itu heran dan terkejut. Bahkan San Hong sendiri terkejut sekali. Betapa beraninya Siang Bwee, mentertawakan nenek yang amat lihat itu.

"Kalau begitu engkau adalah manusia yang lebih jahat daripada siapapun yang jahat, bibi Coa. Bayangkan saja, engkau adalah manusia yang membenci dan menentang Tuhan! Tidak jahat bukan mainkah itu?"

Kalau tadinya marah-marah, kini nenek itu melengak saking herannya. "Apa kau bilang? Aku membenci dan menentang Tuhan? Apa maksudmu, anak setan?"

"Bibi tentu tahu bahwa aku terlahir sebagai puteri Nam Tok, sama sekali bukan kehendak Nam Tok, melainkan kehendak Tuhan. Dan sekarang Bibi membenci dan hendak membunuh aku, bukankah itu berarti Bibi membenci kehendak Tuhan. Hayo, betapapun lihainya Bibi, beranikah Bibi menentang kehendak Tuhan?"

Nenek itu tertegun. Biarpun ucapan gadis itu seperti ngawur dan kacau, namun di balik itu terkandung suatu makna yang membuat ia tertegun dan tidak dapat membantah lagi! Melihat ini, Lo Koay diam-diam merasa geli. Dia sendiri sudah mengenal kelihaian otak gadis itu, yang amat cerdik sehingga dia sendiri pun kena dikibuli dan telah diperas pula ilmu-ilmunya tanpa dia merasa rugi!

"Sudahlah, Eng Cun. Seperti kukatakan tadi, biarpun ia puteri Nam Tok, namun ia lain lagi. Ia bukan orang jahat, bahkan selama ini ia telah membuat aku bahagia. Bayangkan saja, setiap hari ia membuat masakan-masakan yang hanya pantas dihidangkan kepada kaisar, setiap hari ia bernyanyi dan menari untuk menghibur aku. Akulah yang mintakan ampun baginya kepadamu, Eng Cun."

Nenek itu menghela napas panjang. Tanpa dimintakan ampun oleh Lo Koay sekalipun, semua nafsunya untuk menyerang dan membunuh gadis itu telah lenyap sama sekali, bahkan ia merasa ngeri ketika gadis itu menyebut-nyebut bahwa ia membenci dan hendak menentang Tuhan!

"Dan siapakah pemuda ini? Apakah dia juga putera seorang iblis dunia kang ouw?"

"Lo-cian-pwe, nama saya San Hong," kata pemuda itu dengan sikap hormat.

"Cun Cun, pemuda ini masih terhitung cucu muridku sendiri. Dia murid Thian-san Hgo-sian."

"Hemmm, murid macam apa dia ini? Murid Thian-san Ngo-sian akan tetapi kulihat tadi dia memainkan ilmu-ilmu sesat kalau tidak salah dari Tung Kiam dan dari Pak Ong! Kiong San, tak kusangka engkau makin tua makin gila, bergaul dengan segala macam orang muda yang tidak karuan!"

"Ho-ho-ho, engkau keliru sangka, Cun Cun. Dia hanya mempelajari ilmu-ilmu dari para datuk besar itu karena cintanya kepada enci Siang Bwee ini! Demi cintanya, agar kelak dapat menikah dengan enci Bwee, Hong-ko ini mau melakukan apa saja, ho-ho-ho."

"Hemmm, apa pula maksudnya ini?" Nenek ini kini benar-benar bingung mendengar keterangan yang simpang siur itu.

"Sudah kukatakan, aku tidak pandai bercerita. Biarlah enci Bwee yang melanjutkan ceritanya, akan tetapi engkau jangan marah-marah dulu. Enci Bwee, lanjutkan ceritamu."

Siang Bwee seorang gadis yang galak dan pemberani, akan tetapi juga cerdik, walaupun hatinya masih mendongkol kepada nenek itu, ia tahu juga batasnya. Nenek itu harus diberitahu sampai jelas, kalau tidak, mungkin ia dan San Hong akan kesulitan untuk memperdalam ilmu mereka dari Lo Koay.

"Begini, Bibi yang baik. Harap Bibi dengarkan dengan sabar, akan kuceritakan semuanya. Aku adalah puteri Nam Tok dan pada suatu hari aku bertemu dengan koko Kwee San Hong ini. Kami saling jatuh cinta!"

Mendengar ini, San Hong menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Bukan main kekasihnya itu. Demikian enak saja membuat pengakuan tentang cinta mereka, tanpa sungkan sedikit pun. Akan tetapi, Siang Bwee adalah puteri Nam Tok, tentu saja berbeda dengan gadis biasa, tidak pernah malu-malu kucing, bak pernah berpura-pura.

"Akan tetapi ayahku tidak setuju kalau kami berjodoh, Bibi. Malah ayah hampir membunuhnya. Aku maju menghalangi dan siap membela dengan nyawaku!"

Pandang mata nenek itu yang tadinya keras kini melembut. Ia terharu. Betapa besar rasa cinta dan kesetiaan puteri Nam Tok itu kepada kekasihnya, tidak seperti ia.

"Ayah lalu memukul Hong-koko dengan pukulan beracun yang akan membunuhnya kalau dia tidak cepat mendapatkan pengobatan yang tepat, dan mengajukan syarat bahwa kalau kelak Hong-koko mampu mengalahkan semua murid para datuk lain, dan bahkan mampu menahan serangan ayah sampai ayah merasa puas. Jelas ayah menentang. Akan tetapi aku tidak takut.

"Aku lalu membawanya kepada Tung Kiam dan menggunakan akal sehingga Tung Kiam bukan saja mau mengobati Hong-ko dengan tusuk jarum, akan tetapi juga berkenan menurunkan beberapa macam ilmu silat agar kelak Hong-ko mampu mengalahkan Nam Tok, musuh besarnya.

"Aku ingin melihat Hong-koko mendapat ilmu-ilmu yang akan membuat dia mampu mengalahkan murid semua datuk, maka kami lalu pergi menemui Pak Ong. Aku menggunakan akal dan Pak Ong berkenan mengajarkan pula beberapa ilmu pukulan penting."

"Hemmm, engkau cerdik dan licik seperti iblis!" kata nenek itu, akan tetapi bukan memaki atau marah, melainkan ada pujian terkandung di dalam suaranya.

"Ingat, Bibi. Aku puteri Nam Tok, anak satu-satunya. Kalau aku tidak cerdik, mana pantas menjadi puteri Nam Tok? Baik aku lanjutkan ceritaku. Kami berdua berhasil mempelajari ilmu-ilmu simpanan Tung Kiam dan Pak Ong, juga kuajarkan ilmu simpanan dari ayahku, Nam Tok, kepada Hong-koko. Ketika kami melanjutkan perjalanan, kami melihat Tung Kiam dan See Mo sedang mengadakan pertemuan. Mereka bersekutu untuk mengkhianati negara, untuk membantu masuknya pasukan Mongol....."

"Jahanam mereka itu! Pengkhianat bangsa! Tak tahu malu!" Nenek itu mengepal tinju.

"Benar sekali pendapat Bibi itu! Aku pun mengutuk mereka. Aku yakin ayahku sendiri, walaupun dia seorang di antara Empat Datuk Besar, tidak sudi menghambakan diri kepada orang Mongol. Tung Kiam dan See Mo bukan saja bersekutu untuk membantu orang Mongol, bahkan mereka berdua juga bersekongkol untuk kelak, dalam pertemuan antara Empat Datuk Besar di Puncak Kabut Putih di Thai-san pada bulan purnama bulan ke sepuluh, mereka berdua akan bertindak curang, mengeroyok dan membunuh Nam Tok dan Pak Ong agar mereka berdua yang merajai dunia kang-ouw.

"Ketika aku dan Hong-ko sedang mengintai mereka mengadakan pertemuan gelap itu, sayang sekali mereka memergoki kami. Kami berdua tentu saja mengadakan perlawanan mati-matian. Lalu muncul Lo Koay ini membantu kami. Kalau tidak muncul dia, tentu.... agak sukar juga kami akan dapat mengalahkan mereka!"

"Ha-ha-ho-ho-ho, kau bocah sombong besar kepala!" Lo Koay berseru. "Enci Bwee, kalau tidak aku si tua bangka, engkau dan Hong-koko tentu sudah menjadi tawanan mereka, mati atau hidup!"

"Teruskan ceritamu." kata nenek itu.

"Dengan bantuan Lo Koay, kami berhasil mengusir Tung Kiam dan See Mo, Bibi. Kemudian, karena bersyukur atas bantuan Lo Koay, aku lalu membuat masakan yang enak-enak untuknya, bernyanyi dan menari untuk menyenangkan hatinya, melayani segala keperluannya bersama Hong-ko....."

"Ehhh, enak saja! Apa kau kira aku seorang yang tidak mengenal budi dan mau memperbudak kalian? Kalian juga menerima beberapa macam ilmu dariku sebagai gantinya!" Lo Koay berseru.

Siang; Bwee cemberut. "Hanya beberapa pukulan dan tendangan cakar ayam itu? Bibi, bayangkan saja. Setiap hari aku membuat masakan yang tiada duanya di dunia ini, dan aku bersusah payah menari dan bernyanyi untuknya dan apa yang dia berikan kepada kami, hanya beberapa macam pukulan dan tendangan untuk kanak-kanak saja. Dia pelit dan licik.

"Akhirnya, kami mengadakan perjanjian. Aku akan menghidangkan masakan-masakan yang tak mungkin dia peroleh di dunia ini, juga tarian yang hanya ada di sorga. Tiga macam masakan dan sebuah tarian sorga kujanjikan kepadanya, ditukar hanya dengan dua macam ilmu. Bukankah itu sudah adil namanya?"

Kini nenek itu tersenyum. Ia mulai mengenal Siang Bwee dan tahu bahwa ketika ia masih muda, banyak persamaannya dengan gadis ini. Lincah, lihai, pemberani dan cerdik seperti setan!

"Hemmm, jangan engkau menipu Lo Koay yang memang tolol sejak dulu! Mana ada masakan dan tarian sorga? Masakan apa yang kaujanjikan itu, dan tarian apa pula? Kalau benar-benar hebat, aku pun ingin mencicipi dan menontonnya."

"Benar, Bibi? Boleh, asal sebagai biayanya engkau akan mengajarkan semacam ilmu kepadaku."

"Ilmu apa?"

"Ilmu awet muda dan awet cantik!"

Kini nenek itu tertawa. Memang masih manis sekali ia kalau tertawa. Dan ia mengangguk. "Baik! Akan tetapi kalau engkau membonongi dan menipu kakek tolol yang kebetulan menjadi kekasihku ini, aku pasti akan menghukummu! Nah, katakan masakan-masakan macam apa itu? Dan tarian apa?"

Dengan suara bangga Siang Bwee menjawab, 'Tiga macam masakan itu adalah sup sirip naga laut, daging setan laut dimasak saos tomat, dan cacing gemuk goreng kering, ditambah arak wangi dari Su-couw, arak buah apel!"

Nenek itu terbelalak. Ia pernah menjadi selir pangeran, bahkan kemudian pangeran itu menjadi kaisar. Tentu saja ia pernah makan masakan yang lezat, langka dan mahal-mahal, masakan istana. Akan tetapi selama nidupnya belum pernah ia mendengar masakan-masakan se-aneh itu. Bagaimana bisa mencari daging setan laut, dan sirip naga laut? Dan cacing gemuk digoreng kering? Hihhh!

"Benarkan semua itu?" tanyanya, terbelalak. "Engkau dapat membuat semua masakan aneh itu?"

Cuping hidung Siang Bwee berkembang, "Tentu saja, Bibi! Kalau tidak pandai, bagaimana mungkin aku berani menjanjikan kepada Lo Koay? Dan aku tidak berani membohongi Lo Koay dan engkau. Memangnya nyawaku rangkap berapa berani membohongi kalian?"

"Ia tidak bohong, Cun Cun. Memang masakan-masakannya luar biasa, dan tarian-tariannya juga hebat. Ia malah sudah berjanji akan mengajarkan seni memasak kepadamu sebelum mereka berdua itu berpisah dengan kita."

"Baik, aku percaya. Sekarang, ceritakan tentang sandiwara untuk mendapatkan Jamur Emas itu?"

Wajah Lo Koay yang tadinya gembira itu kini menjadi muram dan dia kelihatan khawatir sekali, memandang kepada Siang Bwee dengan sinar mata minta tolong. Siang Bwee tersenyum tenang saja, lalu ia berkata kepada nenek Coa.

"Begini, Bibi. Untuk membuat tiga macam masakan yang kusebutkan tadi, bukan main sukarnya, karena itu, aku sudah berjanji dengan Lo Koay bahwa dia akan menukar masakan dan tarian itu dengan dua macam ilmu. Dia akan mengajarkan gin-kang Menunggang Angin kepadaku, dan mengajarkan sin-kang Perisai Diri kepada Hong-ko..."

"Wah, Kiong San tua bangka tolol. Habis sudah kalau kau berikan kedua ilmu itu kepada mereka! Mereka akan menjadi orang-orang yang sukar dikalahkan, bagaimana kalau mereka menggunakan kedua ilmu itu untuk kejahatan? Engkau yang bertanggung jawab...!"

Selanjutnya,
PEDANG ASMARA JILID 29
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.