Pedang Asmara Jilid 01

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 01
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 01 karya Kho Ping Hoo - Debu dan pasir mengepul tinggi ketika seorang pria muda membalapkan kudanya melintasi padang pasir itu. Dia seorang pemuda yang berusia baru kurang lebih lima belas tahun, menunggang seekor kuda yang tinggi besar dan kokoh kuat. Pemuda itu sendiri memiliki tubuh seperti orang yang telah dewasa benar, tinggi besar dan kokoh kuat pula.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Mukanya yang halus tak berkumis atau berjenggot itu bukan muka seorang pemuda remaja, melainkan wajah seorang muda yang sudah matang. Muka itu berbentuk persegi empat, dengan dahi lebar, telinga, yang panjang dan lebar seperti telinga patung Buddha.

Sepasang matanya tidak sipit, mata yang memerikan sinar yang akan membuat orang bergidik ngeri karena sinarnya mencorong seperti mata harimau dalam gelap. Hidungnya mancung dan lurus, di atas mulut yang membayangkan kekerasan hati dan ketabahan besar. Pakaiannya serba ringkas, pakaian seorang pemuda bangsa Mongol dan kepalanya tertutup kain kepala berwarna biru.

Dia terus membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit di ujung gurun pasir itu. Bukit itu cukup subur, nampak kehijauan ditumbuhi pohon-pohon dan disana nampak pula dusun dengan rumah rumah yang berdinding putih. Ke lereng bukit itulah dia kini membalapkan kudanya. Peluh mengalir di leher kuda dan leher penunggangnya karena sejak pagi tadi mereka berdua sudah membiarkan diri disengat sinar matahari dan melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti sampai kini matahari telah naik tinggi.

Di dalam dusun di lereng bukit itu sendiri nampak adanya kesibukan, sekelompok suku bangsa Mongol berdiam didusun itu, berdiam untuk sementara karena memang suku bangsa Mongol merupakan suku nomad yang suka berpindah pindah. Mereka hidup berkelompok, dengan keluarga mereka, merantau dan berpindah pindah mencari tempat yang lebih tepat dan lebih subur. Mereka bukan petani-petani yang baik, melainkan peternak dan pemburu yang amat cekatan.

Mereka bukan hanya membutuhkan tumbuh-tumbuhan untuk mereka sendiri, juga untuk ternak mereka dan karena tidak pandai bercocok tanam, maka begitu suatu daerah yang mereka tinggali telah menjadi gundul karena tumbuh-tumbuhan di sana habis mereka makan bersama ternak mereka, maka kelompok itu lalu mencari tempat lain yang lebih baik untuk ditinggali.

Akan tetapi kelompok suku bangsa Mongol yang kini tinggal di lereng bukit di ujung gurun pasir itu telah menetap di situ selama beberapa tahun dan mereka belum juga pergi. Hal ini adalah karena bukit itu memang memiliki tanah subur dan ada sumber air besar di sana. Dan kelompok yang tinggal di situ merupakan kelompok yang sudah mempunyai pengetahuan lumayan tentang bercocok tanam.

Tanah bukit yang amat subur itu memudahkun hidupnya tanaman dan mereka dapat bertahan sampai lama di tempat itu sehingga kelompok keluarga mereka makin lama menjadi semakin besar dengan adanya anggauta keluarga yang menikah dan anak beranak di situ.

Karena kelompok ini dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang terkenal disegani oleh para kelompok lain, maka sebentar saja dusun di bukit itu terkenal di antara para suku bangsa Mongol. Nama Galasing, kepala dusun itu, cukup terkenal sebagai seorang pria yang tangkas dan pandai di antara suku bangsa Mongol.

Pada waktu itu, daerah Mongolia ini dihuni oleh berbagai suku bangsa yang dikenal sebagai suku bangsa nomad atau oleh mereka yang merasa diri lebih pandai dan lebih "beradab", suku bangsa yang berkeliaran sebagai bangsa nomad di daerah Mongolia disebut suku "liar"!

Banyak sekali suku bangsa yang kecil-kecil dan di antara mereka, yang paling besar jumlahnya dan dianggap paling kuat hanya tiga suku bangsa. Mereka adalah suku bangsa Mongol sendiri, suku bangsa Naiman dan suku bangsa Kerait. Mereka ini sesungguhnya merupakan bangsa dengan darah campuran. Ada pengaruh bangsa Nepal dan India di barat, bangsa Eskimo di dekat kutub, dan bangsa "beradab" di selatan.

Di antara tiga suku bangsa yang sering kali berperang karena mereka saling memperebutkan pengaruh kekuasaan, yang paling kuat adalah suku bangsu Kerait dan Naiman. Bahkan suku bangsa Mongol sendiri, yang merupakan suku bangsa pribumi, pada permulaan abad ke dua belas tunduk kepada suku bangsa Kerait yang banyak dipengaruhi olen darah bangsa Nepal.

Karena merasa tertekan oleh suku bungsa Naiman dan terutama suku bangsa Kerait, maka suku bangsa Mongol berpencaran dan diam-diam mereka ini menaruh dendam dan penasaran bahwa sebagai suku pribumi mereka itu sampai harus tunduk kepada suku bangsa pendatang atau peranakan.

Mulailah suku bungsa Mongol berusaha untuk mengadakan persatuan di antara mereka sendiri dan yang mereka butuhkan sekarang adalah seorang pemimpin yang cakap dan yang mampu membawa bangsa mereka menjadi bangsa yang jaya kembali, yang menjadi tuan dari tanah air mereka sendiri!

Pada siang hari itu, di dusun lereng bukit itu, terjadi, kesibukan karena dusun itukedatangan tamu dari kelompok-kelompok lain yang berdatangan ke situ untuk mengadakan pemilihan seorang kepala suku di antara mereka. Pemilihan seorang kepala suku ini penting sekali bagi mereka. Dengan adanya seorang kepala suku yang ditaati oleh semua kepala kelompok.

Maka hal ini akan mencegah terjadinya pertikaian antara kepala kelompok sendiri dan kalau sudah ada persatuan di antara kepala kelompok, di bawah pimpinan seorang kepala suku, maka barulah seluruh suku bangsa Mongol akan dapat dipersatukan dan dari sini muncul kekuatan yang dahsyat yang akan mampu membuat bangsa Mongol kembali jaya. Tidak kurang dari sembilan orang kepala kelompok suku bangsa Mongol sudah berdatangan dan berkumpul di dusun lereng bukit itu.

Mereka datang bersama kelompok mereka yang terdiri dari puluhan orang berkuda datang dari tempat-tempat yang cukup jauh karena mereka itu memang tinggal berpencaran dalam jarak yang cukup jauh agar tidak sampai terjadi perebutan daerah penggembalaan ternak mereka. Selain pasukan kecil, mereka membawa pula calon-calon mereka, yaitu seorang yang mereka pandang cukup cakap untuk menjadi calon kepala suku.

Di antara sembilan orang itu, hanya dua orang saja yang membawa calon bukan kepala kelompok mereka sendiri, sedangkan yang tujuh kelompok mengajukan kepala kelompok mereka untuk menjadi calon ketua suku. Tentu saja kepala kelompok yang tinggal di dusun itu, Galasing, sibuk bukan main menyambut rekan-rekannya.

Mereka harus disambut dengan pesta, karena kalau tidak begitu, mereka tentu akan merasa tersinggung dan hal ini bukan mustahil akan mendatangkan pertikaian, permusuhan dan perkelahian bunuh membunuh antara mereka sendiri. Para gadis penghuni dusun itu dikerahkan untuk melayani para tamu, domba-domba disembelih dan dagingnya dimasak atau dipanggang. Suara musik dibunyikan untuk menyatakan kegembiraan.

Galasing dan kelompoknya dalam menyambut para kepala kelompok yang hendak mengadakan pemilihan calon ketua suku itu. Kelompok dusun itu sendiri tidak mempunyai pilihan lain, mengajukan Galasing sebagai calon mereka walaupun sebagian besar di antara mereka tadinya ingin memilih Temucin, keponakan Galasing untuk menjadi calon.

Temucin adalah seorang pemuda anggauta kelompok yang dipimpin Galasing. Akan tetapi Temucin yang baru berusia lima belas tahun itu tidak suka tinggal diam saja di dusun itu. Dia lebih suka merantau, menunggang kudanya dan pergi berburu. Dia seorang pemuda yang tangkas, pemberani dan kuat sehingga dia dikagumi oleh semua penghuni dusun.

Tidak ada seorangpun berani menentangnya karena dia memang kuat sekali, juga pandai ilmu berkelahi karena perantauannya membuat dia bertemu dengan orang-orang pandai dan pemuda ini memang selalu haus akan ilmu kejantanan.

Galasing sendiri sebagai pamannya, tidak mampu menguasainya, bahkan diam-diam Galasing khawatir kalau-kalau pada suatu hari pemuda itu akan menjatuhkannya dan mengangkat diri menjadi pemimpin kelompok. Galasing tidak mencalonkan Temucin, karena biarpun pemuda itu keponakannya sendiri, diam-diam Galasing tidak menyukai watak Temucin yang keras itu.

Demikianlah, pada siang hari itu, Galasing menyambut sembilan orang rekannya yang datang berkumpul di dusun itu untuk bersama-sama mengadakan pemilihan calon, kepala suku. Yang menjadi pemenangnya, akan menjadi calon kepala suku yang akan diadakan di utara beberapa bulan lagi, mewakili calon kepala suku yang datang dari daerah selatan.

Semua ini sudah direncanakan dan diatur di antara para kepala kelompok dalam usaha mereka menegakkan kembali kejayaan bangsa Mongol, Setelah menjamu semua tamunya dengan hidangan daging domba panggang dan semacam roti dari gandum sambil menikmati pertunjukkan tari-tarian para gadis cantik diiringi musik suling, tambu dan siter.

Akhirnya dimulailah pertandingan yang menjadi sayembara pemiliha calon ketua suku daerah selatan. Kini sepuluh orang calon sudah berdiri d tempat yang disediakan, yaitu di tanah lapang di sebelah utara dusun. Pertandingan itu akan dipimpin oleh seorang kepala kelompok tertua yang dihormat oleh semua calon.

Pertandingan pertama adalah ketangkasan berkuda sambil menombak sasaran. Sasaran itu berupa seekor tikus besar yang dilepas pada saat seorang calon melarikan kudanya dan tikus itu harus dirobohkan dengan lemparan tombak. Lalu seekor burung dilepas dan penunggang kuda itu harus mampu menjatuhkan burung dengan anak panahnya. Hanya mereka yang dapat menjatuhkan kedua ekor binatang itu yang dinyatakan lulus dan dapat mengikuti pertandingan selanjutnya.

Seorang demi seorang dari sepuluh orang peserta itu maju. Delapan orang sudah mengikuti ujian ketangkasan berkuda dan mempergunakan tombak dan anak panah itu. Lima orang berhasil dan yang tiga orang gagal sehingga otomatis mereka yang gagal itu dinyatakan gugur dan tidak boleh mengikuti pertandingan atau ujian selanjutnya.

Peserta nomor sembilan dipanggil dan majulah Galasing. Tentu saja semua anggauta kelompok yang dipimpinnya, yaitu penghuni dusun itu, menyambutnya dengan soraksorai dan tepuk tangan gembira. Mereka hendak memberi semangat kepada kepala kelompok mereka. Galasing lalu melepaskan tali pengikat kudanya.

Sikap orang bertubuh tinggi kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun ini tenang saja dan dia tersenyum gembira oleh sambutan anak buahnya. Akan tetapi selagi dia menerima sebatang tombak dan memasangkan gendewa dan anak panah dipundaknya, tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh datangnya seekor kuda yang berlari cepat, di tunggangi oleh seorang pemuda yang tadi nampak membalapkan kuda memasuki dusun itu.

Debu mengebul tinggi ketika kuda itu memasuki tempat pertandingan dan kuda itu berhenti di depan Galasing yang masih menuntun kuda. Pemuda, yang berada di atas punggung kudanya itu lalu melemparkan sebuah benda yang berat dan besar, yang tadi ditaruh di atas punggung kuda, di depan tubuhnya.

"Brukkk!" Benda itu terbanting di depan kaki Galasing dan kepala kelompok ini memandang dengan mata terbelalak. Ternyata benda itu adalah seekor harimau kumbang yang besar. Binatang itu sudah tewas, di lehernya terdapat luka yang masih memerah, mata bangkai binatang itu terbuka, juga mulut yang penuh dengan taring yang tajam meruncing itu terbuka.

Teringatlah Galasing akan percakapannya dengan keponakannya, Temucin pemuda penunggang kuda itu dua hari yang lalu! Temucin telah menyatakan keinginannya kepada Galasing bahwa dia ingin mengikuti pemilihan calon kepala suku itu, sebagal wakil dari kelompoknya. Akan tetapi karena di lubuk hati Galasing sendiri pun ada keinginan itu, dan dia merasa tidak enak menolak begitu saja permintaan keponakannya yang berhati baja, dia lalu menemukan akal yang agak licik.

Dia minta kepada Temucin untuk mendapatkan seekor harimau kumbang. Kalau pemuda itu berhasil membunuh seekor harimau kumbang dalam perburuannya, barulah pemuda itu akan diperbolehkan mewakili kelompoknya. Hal ini dikatakannya adil karena dia sendiri pernah menangkap seekor harimau kumbang, maka Temucin juga harus memperlihatkan dan membuktikan kemampuannya dengan membunuh seekor harimau kumbang.

Padahal, Galasing maklum bahwa hanya di suatu hutan yang amat jauh saja mungkin dapat ditemukan seekor harimau kumbang, dan bahwa amatlah berbahaya dan sukar untuk dapat membunuh seekor harimau kumbang seorang diri saja. Dia pernah membunuh seekor harimau, akan tetapi hal itu terjadi secara kebetulan saja ketika mereka pergi berburu beramai-ramai dan seekor harimau kumbang lari ketakutan dan kebetulan lewat di depannya lalu dirobohkannya dengan anak panah.

Tentu saja jauh bedanya dengan pergi mencari dan berburu seorang diri. Temucin pergi dan dia hanya mempunyai waktu dua hari saja. Akan tetap ternyata kini dia berhasil! Seekor hari mau kumbang yang amat besar, jantan dan muda lagi, kini telah menggeletak didepan kakinya, menjadi bangkai yang dagingnya dan darahnya masih segar.

"Ah, engkau telah, berhasil, Temucin! katanya," agak gugup. "Akan tetapi... perlombaan sudah dimulai dan sebagai wakil kelompok kita, aku sudah mengajukan diriku...."

"Paman Galasing," kata pemuda itu dengan suara yang tenang sekali, akan tetapi justeru dalam suara yang tenang dan dalam ini terkandung sesuatu yang berwibawa dan membuat jantung Galasing berdebar. "Seorang laki-laki baru disebut jantan kalau dia memegang semua janjinya, kalau dia tidak menelan kembali air ludah yang sudah keluar dari mulutnya. Hal ini tentu Paman ketahui. Kulihat Paman belum mengikuti perlombaan, maka belum terlambat untuk mengganti nama Paman dengan namaku!"

Berkata demikian, Temucin melompat turun dari kudanya, mengambil bangkai harimau dan memanggulnya sambil menuntun kudanya ke pinggir, ke arah para penghuni dusun itu berkelompok. Mereka menyambut pemuda yang memanggul bangkai harimau kumbang besar itu dengan penuh kegembiraan dan kebanggaan.

Bahkan para tamu memandang pemuda itu dengan sinar mata kagum. Tidak sembarang orang mampu membunuh seekor harimau kumbang sebesar itu seorang diri saja dan mereka menduga-duga siapa adanya pemuda bertubuh tinggi besar yang gagah perkasa itu.

Sementara itu, Galasing berdiri termenung sambil memegangi tombak dengan tangan kiri, dan kendali kuda dengan tangan kanan. Belum juga ditungganginya kuda itu dan dia termenung. Teringat dia kepada kakaknya yang telah meninggal dunia, ayah dari Temucin. Pemuda itu sungguh mirip benar dengan ayahnya, mirip dengan kakaknya yang ketika hidup juga merupakan seorang kepala kelompok yang gagah perkasa, juga memiliki kekerasan hati membaja.

Kalau dia tidak menuruti keinginan hati Temucin, berarti dia menanamkan kebencian dalam hati orang muda itu dan hal ini amat berbahaya. Pula, dia akan mendapat malu besar karena melanggar janjinya sendiri. Dengan langkah lebar dia lalu maju ke depan dan dengan suara lantang dia membuat pengumuman.

"Karena keponakan kami, Temucin, sudah pulang, maka aku mengundurkan diri sebagai wakil kelompok kami dan mengangkat Temucin sebagai wakil kelompok dan calon kepala suku!"

"Hidup Temucin.....!"

Dengan hati lega dan girang karena pamannya memegang janjinya, Temucin lalu menghampiri Galasing untuk menerima tombak, anak panah dan gendewa, juga kuda itu, seekor kuda milik Galasing yang merupakan kuda terbaik milik kelompok itu. Dengan singkat Galasing menerangkan kepada keponakannya tentang ujian yang akan diadakan, dan Temucin mengangguk maklum.

Dia harus melarikan kudanya melalui padang terbuka itu, yang sudah diberi rintangan-rintangan, dan harus mampu merobohkan seekor tikus besar dengan tombaknya dan seekor burung dengan anak panahnya. Hal seperti itu tidak asing dan tidak sukar bagi seorang pemburu perkasa seperti dia.

Sekali melompat, Temucin sudah berada di punggung kuda hitam tinggi besar itu, kendali kuda di tangan kiri dan tangan kanan memegang tombak, anak panah dan gendewa tergantung di punggung. Dia sudah siap siaga dan pengatur pertandingan sudah pula menerima pergantian calon ini, lalu dia memberi aba-aba dengan teriakannya yang panjang melengking.

Temucin menendang perut kudanya. Kuda itu meloncat ke depan dengan cepat dan setelah melompati dua rintangan tinggi dan lebar, seorang pembantu melepaskan seekor tikus besar hitam dari samping. Melihat ini, Temucin siap dengan tombaknya dan begitu kudanya melompat dan dia sudah membidik, tombaknya diluncurkan ke depan.

"Ceppp!" Tombak itu menancap di atas tanah dan tergetar gagangnya, dan tikus hitam besar itu terpantek pada tanah. Tepuk tangan riuh menyambut keberhasilan ini dan memang semua orang harus mengakui betapa tangkasnya Temucin menunggang kuda dan betapa loncatan tombaknya tadi pun cepat, kuat dan tepat sekali.

Kini Temucin sudah mempersiapkan gendewa dan anak panahnya. Begitu dari samping ada yang melepaskan seekor burung gagak, Temucin membidik sambil menunggang kuda yang berlari congklang.

"Wirrrrr..... singgggg.....!" Sebatang anak panah meluncur ke udara mengejar titik hitam itu dan tak lama kemudian burung itu pun jatuh ke bawah, tubuhnya ditembusi anak panah tepat pada perutnya! Kembali terdengar tepuk tangan dan sorak-sorai riuh rendah menyambut kehebatan pemuda itu.

Biarpun dia sendiri meresa bangga atas keberhasilannya, namun Temucin tetap bersikap tenang saja dan dia lalu melarikan kudanya menuju ke pinggir lapangan di mana para peserta lain berkumpul. Peserta terakhir, nomor sepuluh, maju akan tetapi dia gagal menjatuhkan burung dengan anak panahnya. Dengan demikian, hanya empat orang calon, termasuk Temucin yang berhasil. Mereka berempat inilah yang berhak untuk melanjutkan pertandingan sampai terpilih seorang yang terbaik di antara mereka.

Pertandingan atau perlombaan ke dua adalah memanggul seekor binatang yak, sejenis lembu yang berambut panjang sambil berlari mengelilingi lapangan itu tiga kali. Pertandingan ini bukan ringan! Seekor binatang yak beratnya melebihi berat manusia dewasa, dan memanggulnya saja sudah membutuhkan tenaga yang kuat, apalagi sambil berlari mengitari lapangan yang cukup luas itu! Hal ini membutuhkan daya tahan yang kuat, napas yang panjang.

Tidaklah mengherankan apabila padal akhir pertandingan ini, hanya dua orang saja yang kuat mengitari lapangan sampai tiga kali, yaitu Temucin sendiri dan Yubikai, seorang jagoan dari timur, juga dari suku Yakka Mongol yang sudah peranakan dan usianya sudah empat puluh tahun lebih.

Dua orang inilah yang disambut sorak-sorai ketika mereka berdua berhasil mengakhiri putaran ke tiga dalam waktu yang hampir bersamaan. Temucin kalah cepat beberapa tombak, akan tetapi setelah mereka berdua menurunkan binatang Yak dari punggung, Yubikai nampak terengah-engah dan keringat membasahil seluruh tubuhnya. Temucin juga berkeringat, akan tetapi napasnya tidak terengah-engah.

Tinggal dua orang peserta yang masih dapat melanjutkan perlombaan itu, pertandingan terakhir yang berupa pertandingan gulat! Sebuah papan panggung telah dibuat untuk keperluan ini dan orang-orang sudah siap menonton dengan duduk memutari panggung itu. Dua orang peserta itu diperbolehkan mengaso sebentar karena lomba memanggul yak sambil berlari mengitari lapangan itu memang sudah merupakan perlombaan yang amat berat.

Dua orang jagoan itu beristirahat sambil duduk di atas tanah di dekat panggung. Peluh membuat tubuh yang tak berbaju itu mengkilat. Hanya cawat saja yang menutupi tubuh mereka. Tubuh Yubikai tetap gempal dengan otot melingkar-lingkar, agak pendek. Temucin bertubuh ramping dan sedang, agak tinggi untuk usianya yang baru lima belas tahun itu.

Biarpun Temucin baru berusia lima belas tahun, namun Yubikai tidak memandangnya sebagai anak-anak. Yubikai maklum dengan siapa dia berhadapan. Dia mengenal baik mendiang ayah dari Temucin, yang bernama Yesukai. Yesukai ini seorang "khan", yaitu semacam raja kecil atau kepala suku dari suku Yakka yang berjumlah besar, seorang yang gagah perkasa sekali dan pernah dikagumi oleh Yubikai.

Maka, kini melihat betapa lawan tunggalnya adalah Temucin, putera mendiang raja suku itu, dia sama sekali tidak berani memandang ringan. Bahkan mereka berdua bercakap cakap seperti dua orang yang saling mengagumi seperti dua orang kawan baik yang saling menghargai kegagahan masing-maslng.

Temucin menurunkan sebuah kantung dari pinggangnya, kantung yang masih terisi sisa "kumiss" yang dibawanya untuk bekal berburu kemarin. Kumiss adalah susu yang disimpan dalam kantung sampai mengeluarkan ragi. Makanan ini sehat dan menguatkan tubuh, akan tetapi karena meragi maka dapat memabukkan dan menjadi makanan orang dewasa.

Dengan adanya kantung kumiss di pinggangnya sebagai bekal perjalanan saja sudah menunjukkan bahwa Temucin sudah di terima sebagai laki-laki dewasa di antara kelompok sukunya! Dibukanya kantung kumiss itu ditawarkan kepada Yubikai tanpa kata. Yubikai mengangguk dan mengambil sedikit kumiss yang berwarna putih kekuningan, lalu memakannya. Temucin juga mengambil sedikit dan makan kumiss.

Setelah makan kumiss, Temucin memandang calon lawannya. Kebetulan Yubikai juga memandang kepadanya dan keduanya tersenyum. "Aku takkan menang melawan engkau yang kuat dan pandai kata Temucin sambil mengamati kedua lengan lawan yang penuh otot melingkar-lingkar itu. "Aku tahu bahwa engkau adalah juara gulat di kelompokmu."

Yubikai menggeleng kepala dan mengerutkan kedua alisnya. "Aku meragukan apakah aku akan mampu mengalahkan putera mendiang Yesukai yang gagah perkasa." Dia lalu menggeleng-geleng kepala penuh kesangsian karena biarpun calon lawannya masih muda, namun sudah jelas memperlihatkan sifat-sifat gagah dari mendiang ayahnya, khan dari suku Yakka yang terkenal itu.

Kini pemimpin pertandingan meniup terompet tanduk sebagai tanda bahwa pertandingan terakhir akan dimulai. Temucin dan Yubikai bangkit berdiri, keduanya menaiki panggung. Semua mata ditujukan kepada dua orang jagoan ini dan suasana menjadi hening penuh ke tegangan. Sukar menentukan siapa yang akan menang dalam pertandingan ini.

Kalau melihat usia dan keadaan tubuh, agaknya Yubikai yang akan menang. Dia seorang ahli gulat, penuh pengalaman dan bertenaga raksasa pula. Akan tetapi, Temucin yang muda itu dikenal sebagai seorang pemuda yang berwatak jantan, pantang mundur dan tidak pernah mau mengaku kalah, memiliki tekad membaja.

Kedua orang jagoan itu kini saling berhadapan, berdiri dengan tubuh agak membungkuk, kedua tangan siap menerkam lawan, dua pasang mata saling mengincar dan mengerling dari muka yang agak ditundukkan. Tiba-tiba keduanya membuat gerakan ke depan, bagaikan dua ekor biruang saling terkam dan sepasang lengan mereka saling cengkeram, kemudian mereka mulai mengerahkan tenaga untuk saling angkat atau saling dorong, agar lawan terpelanting.

Namun, keduanya amat kuat dan kokoh kuat, sukar untuk dirobohkan. Otot-otot melingkar-lingkar di leher dan kedua lengan Yubikai dan karena dia memang seorang ahli gulat, dia pandai membuat gerakan-gerakan tipuan yang membuat Temucin yang masih kurang pengalaman itu hampir saja terpelanting.

Namun, pemuda yang cekatan ini mampu mempertahankan diri dan tidak sampai terbanting jatuh, hanya terhuyung saja. Namun, bayangan kemenangan ini saja sudah cukup membuat para pendukung Yubikai bersorak gembira.

Temucin juga berusaha merobohkan lawan, namun dia mendapat kenyataan bahwa Yubikai memang kuat bukan main. Latihan ilmu gulat membuat tubuh lawan ini licin bagaikan belut, dan kedua kakinya bagaikan berakar pada tanah, sukar untuk diangkat dan dirobohkan.

Namun, dalam perantauannya, Temucin sudah mempelajari banyak macam ilmu. Dia pernah bertemu dengan seorang pertapa di Pegunungan Go-bi dan dari pertapa itu dia telah mempelajari ilmu menotok jalan darah.

Karena dia tahu bahwa dalam hal tenaga, dia hanya mampu mengimbangi saja lawannya, bahkan mungkin kalah kuat sedikit, dan dalam ilmu gulat dia pun mungkin kalah, maka Temucin hendak mempergunakan ilmu yang pernah dipelajarinya itu.

Ketika Yubikai mengerahkan tenaga mengungkit ke kiri sambil menarik lengannya dan hendak merobohkan Temucin lewat pundak yang direndahkan, dengan cerdik Temucin juga merendahkan diri dan menyuruk ke samping yang berlawanan sehingga lengannya yang terpentang itu terlepas.

Bagaikan dua ekor biruang marah, mereka sudah saling terkam lagi, akan tetapi sekali ini, Temucin mengerahkan tenaga pada jari tangannya dan seperti tidak disengaja, seperti hendak menangkap dengan tangan terbuka seperti lajimnya dalam adu gulat, dua jari tangannya menotok ke arah jalan darah di dekat siku kanan lawan.

Begitu terkena totokan. di siku kanannya, Yubikai terkejut karena lengan kanan itu seketika seperti lumpuh, tidak ada tenaganya lagi, maka ketika Temucin menangkapnya dan memuntirnya, dia tidak mampu bertahan dan sekali Temucin menjegal kakinya dan membanting, tubuh Yubikai terbanting.

Temucin cepat menubruk dan menghimpit Yubikai di atas tanah sehingga lawan iti terlentang dan tidak mampu bergerak melepaskan diri lagi. Tentu saja Temucin dinyatakan sebagai pemenang dan kini semua orang bersorak menyambut kemenangan Temucin. Bahkan kelompok lain juga memuji karena Yubikai terkenal sebagai seorang jago gulat yang pandai namun dalam waktu singkat saja telah dibuat tidak berdaya oleh Temucin.

Yubikai sendiri merangkul Temucin dan berkata, "Aku bangga sekali dikalahkan oleh putera Yesukai Khan!"

Tentu saja kemenangan Temucin ini menggembirakan dan membanggakan hati semua anggauta kelompoknya dan kemenangan itu dirayakan dengan pest pora. Beberapa ekor sapi dan domba disembelih dan hal ini merupakan pesta besar bagi suku bangsa itu.

Temucin memang bukan orang sembarangan. Ayahnya yang bernama Yesukai terkenal gagah perkasa dan pernah menjadi khan dari suku Yekka, mengepalai suku yang amat besar jumlahnya. Sampai ratusan ribu orang suku Yakka tunduk dan mengakui Yesukai sebagai raja mereka. Ibunya bernama Holun, seorang wanita suku Mongol yang amat cantik.

Ketika Holun masih gadis, ia sudah ditunangkan dengan orang lain, akan tetapi ketika ia dikawinkan dan sedang diarak sebagai pengantin wanita menuju ke rumah pengantin pria, di tengah perjalanan pengantin wanita ini dirampas oleh Yesukai! Holun yang berhati keras itu tadinya hendak menolak, namun akhirnya dia tunduk pula kepada Yesukai yang gagah perkasa dan menjadi isterinya yang pertama.

Temucin menjadi putera dan anak sulung dari Yesukai Khan dan dia banyak mempunyai adik tiri yang lahir dari banyak isteri muda Yesukai. Yesukai berasal dari sebuah suku Mongol yang terkenal sebagal suku yang lebih tinggi kebudayaan dan peradabannya dibandingkan suku lain, yaitu suku Borcikun yang berarti "orang bermata kelabu".

Nenek moyang Yesukai juga merupakan tokoh-tokoh terkenal, mengepalai kelompok-kelompok besar dan disebut khan. Bahkan menurut dongeng, ada seorang nenek moyangnya yang bernama Kabul Khan yang. dalam kemarahannya berani mencabut jenggot kaisar negeri Kathai. Sebagai akibat dari perbuatannya ini, Kabul Khan tewas diracuni!

Mendiang Yesukal Khan juga merupakan orang besar. Biarpun dia hanya merupakan kepala suku Yakka, namun dia bersahabat karib dengan Togrul Khan raja suku Kerait yang merupakan suku terkuat di antara semua suku yang mendiami Gurun Go-bi yang luas. Dua tahun yang lalu, ketika Temucin berusia tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia secara menyedihkan.

Ketika itu, Temucin yang baru berusia tiga belas tahun ikut bersama ayahnya berkunjung ke perkemahan seorang kepala suku lain di luar daerah mereka dan disambut dengan hormat oleh kepala suku itu dani dijamu sebagal seorang tamu yang dipandang tinggi. Dalam perjamuan ini hadir pula seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih sepuluh tahun. Anak perempuan ini adalah puteri kepala suku tuan rumah dan ia bernama Bortay.

Melihat anak perempuan ini, hati Temucin tertarik sekali. Biarpun usianya sendiri baru tiga belas tahun, namun kehidupan yang keras di gurun pasir membuat dia cepat dewasa seperti anak-anak Mongol lainnya. Tanpa rasa malu dia lalu berbisik kepada ayahnya bahwa dia suka kepada gadis cilik itu dan kalau boleh, Ingin menjadi suaminya?

Yesukai tersenyum dan dia pun memandang anak perempuan itu, lalu berkata, "Ah, ia masih terlalu kecil."

"Ayah, kalau kelak ia sudah dewasa, tentu ia cantik sekali dan cocok untuk menjadi isteriku." Ucapan ini merupakan dorongan kepada ayahnya untuk membicarakan urusan ikatan jodoh agar gadis cilik itu terikat kepadanya sebagai seorang tunangan.

Yesukai mengangguk-angguk dan diam-diam dia pun kagum akan ketajaman mata puteranya. Memang tak dapat diragukan lagi, kelak Bortay tentu akan menjadi seorang gadis yang cantik rupawan. Maka, dia pun mengajukan pinangan kepada tuan rumah.

"Akan tetapi, anakku ini masih kecil sekali," kata tuan rumah, akan tetapi dengan gembira dia menerima pinangan itu dan merasa bangga bahwa puterinya akan menjadi mantu keluarga yang terhormat dan menjadi khan yang berpengaruh itu.

Sesuai dengan adat kebiasaan setempat, sebagai seorang calon mantu, Temucin diharuskan tinggal beberapa pekan lamanya di rumah calon mertuanya. Hal ini selain untuk mempererat hubungan, agar kedua orang anak itu dapat saling berkenalan, juga tentu saja memberi kesempatan kepada calon mertua untuk menilai perangai calon mantunya. Maka berangkatlah Yesukai meninggalkan putera sulungnya itu di rumah ayah Bortay.

Beberapa hari lamanya Temucin tinggal di rumah calon mertuanya yang bernama Karugai atau juga Munlik. Dia semakin suka kepada Bortay yang ternyata selain cantik mungil, juga pemberani dan cerdik. Sekecil itu Bortay telah pandai menunggang kuda, bahkan pandai pula mempergunakan gendewa dan anak panah. Juga wataknya jujur dan hal ini amat menyenangkan hati Temucin.

Karugai atau Munlik, kepala kelompok suku yang menaruh harapan besar atas diri calon mantunya, membiarkan puterinya bergaul dengan Temucin, bahkan memberi kesempatan kepada dua orang anak-anak itu untuk berduaan saja. Pada suatu hari, Temucin dan Bortay menunggang kuda mendaki sebuah bukit. Bortay yang lincah itu sambil tertawa-tawa mengajak Temucin untuk berlomba naik kuda.

"Kita turun dari bukit dan menuju ke bukit di depan itu!" ajaknya dan tanpa menanti jawaban, ia sudah membalapkan kuda yang ditungganginya. Kuda itu milik ayahnya, merupakan kuda pilihan dan biarpun kuda yang ditunggangi Temucin juga seekor kuda yang baik, namun masih kalah dibandingkan kuda yang ditunggangi Bortay itu

. Temucin tersenyum dan dia pun menendang perut kudanya, membalapkan kuda itu mengejar. Dua orang anak itu kini berkejaran, akan tetapi kuda yang ditunggangi Temucin tak pernah dapat menyusul kuda di depan. Melihat betapa kudanya menang, anak perempuan itu tertawa-tawa gembira dan beberapa kali menoleh. Temucin merasa penasaran dan makin membalapkan kudanya, akan tetapi karena memang kudanya kalah kuat dan kalah cepat larinya, tetap saja dia tertinggal.

Selagi mereka membalapkan kuda mendaki bukit, tiba-tiba mereka melihat debu mengebul di depan, dan ada beberapa orang penunggang kuda sudah lebih dahulu membalapkan kuda mereka ke puncak bukit. Bortay menahan kudanya sehingga Temucin dapat menyusulnya dan anak perempuan itu berkata dengan heran sambil menunjuk ke depan.

"Temucin, seorang di antara mereka itu adalah ayahku!"

Temucin juga merasa heran mendengar ini. "Kalau begitu, mari kita pulang saja, jangan sampai mendapat marah ayahmu."

"Tidak, ayah tidak pernah marah kepadaku karena aku pergi denganmu dan ayah sudah menyetujui. Tidak seperti Bailun yang malang. Aku kasihan kepadanya."

"Siapakah Bailun?"

"Ia saudara sepupuku, keponakan ayah dan sejak kecil ia sudah yatim piatu, ikut ayah. Ia bergaul dengan seorang pemuda putera kepala kelompok di sebelah barat. Sebetulnya ayah tidak berkeberatan kalau Bailun berjodoh dengan pemuda itu, akan tetapi, keluarga pemuda itu tidak setuju karena Bailun bukan puteri ayah, melainkan seorang gadis yatim piatu. Karena pihak keluarga Harkai, nama pemuda itu, tidak setuju, tentu saja ayan pun melarang Bailun bergaul dengan dia."

"Sekarang kita hendak ke mana?" tanya Temucin melihat Bortay melompat turun dari atas punggung kudanya dan mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon. Dia pun melompat turun.

"Aku ingin tahu apa yang akan di lakukan ayah dan para pembantunya itu di atas bukit. Mari, kita tambatkan kuda di sini dan kita mendahului mereka ke puncak."

"Mana mungkin? Dengan berkuda pun kita akan ketinggalan, apalagi dengan jalan kaki."

Gadis cilik itu berdiri bertolak pinggang di depan Temucin, alisnya berkerut dan sikapnya lincah dan cerdik sekali. "Temucin, engkau memandang rendah padaku! Aku tidaklah demikian tolol. Kalau aku mengajakmu mendahului mereka dengan jalan kaki, itu berarti bahwa aku mempunyai cara yang baik. Mari ikutilah aku!"

Bortay segera berlari dan Temucin mengikutinya. Anak perempuan itu turut naik jurang dan agaknya ia hafal sekali akan jalan setapak di bukit ini. Biarpm rombongan ayahnya berkuda, namun rombongan itu harus mengambil jalan yang memutar, maka tentu saja Bortay dapat mendahului mereka dengan memotong jalan yang langsung melalui jurang.

"Di puncak sana terdapat sebuah pondok kecil yang dibuat ayah untuk mengaso setelah berburu di bukit ini. Hayo kita ke sana."

Sementara itu, di puncak bukit, dalam sebuah pondok yang berdiri di tempat sunyi itu, terdapat sepasang muda-mudi yang saling menumpahkan berahi masing-masing. Bisik-bisik dan cumbu rayu mereka bagaikan gelombang yang menggetarkan pondok sunyi itu. Mereka adalah Harkai dan Bailun, dua orang muda mudi yang saling mencinta.

Namun yang menemui rintangan dari pihak keluarga Harkai. Pemuda itu berusia dua puluh tahun. tinggi tegap dan gagah perkasa, wajahnya tampan. Adapun Bailun adalah seorang gadis enam belas tahun yang manis dan berkulit putih mulus.

Setelah saling menumpahkan berahi cinta mereka di pondok sunyi itu, kini keduanya lalu berlutut, menghadap dipan kayu di mana mereka tadi berlangen asmara (bermain cinta) dan kini di atas dipan itu terdapat sebuah benda yang mengeluarkan cahaya kehijauan. Benda itu sebesar lengan seorang manusia, bulat panjang, seperti semacam batu yang bercahaya.

"Marilah kita bersumpah, Bailun kekasihku. Kita bersumpah disaksikan oleh Baja Dewa Hijau ini, bahwa kita takkan berpisah lagi dan hanya kematian yang akan memisahkan kita!"

"Baiklah, Harkai. Aku telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu dan mati hidup aku harus selalu berada di sisimu." jawab Bailun dengan kedua mata basah karena gadis ini merasa terharu dan berbahagia. Keduanya sambil berlutut lalu bersumpah.

Kemudian mereka duduk bersanding di atas dipan. Benda bercahaya kehijauan berada di pangkuan mereka, melintang dan Bailun mengusap-usap benda itu penuh keheranan.

"Harkai, sesungguhnya apakah Baja Dewa Hijau ini dan bagaimana dapat menjadi milikmu?"

"Aku menemukannya dua tahun yung lalu secara aneh, Bailun. Ketika itu aku sedang berburu ke utara dan aku berhasil melukai seekor biruang jantan yang besar dengan anak panahku. Anak panah itu menancap di dadanya dan binatang itu melarikan diri. Aku mengikutinya terus sampai malam tiba dan ternyata ia masuk ke dalam sebuah goa besar. Karena gelap, aku tidak berani sembarangan masuk, hanya merangkak ke atas goa dan menanti sampai keesokan harinya.

"Setelah matahari, menyinari permukaan goa, baru aku berani mengintai ke dalam dan ternyata di situ terdapat dua ekor biruang. Seekor biruang betina sedang menjilati luka di dada biruang jantan, dan anak panah itu telah tercabut. Mereka itu nampak mesra sekali, bahkan kemudian kedua binatang itu bermain cinta. Dan yang lebih mentakjubkan lagi, dalam goa itu nampak ada cahaya kehijauan yang aneh.

"Aku menanti sampai dua ekor binatang itu selesai bermesraan, dan mereka lalu keluar dari goa sambil berangkulan, agaknya hendak mencari obat luka berupa daun-daunan di dalam hutan. Aku tidak berani menyerang dua ekor biruang besar, apalagi yang seekor telah terluka. Terlalu berbahaya bagiku. Setelah mereka keluar, aku lalu masuk ke dalam goa dan aku menemukan benda ajaib ini, setengah terpendam di dinding goa. Kubongkar dinding itu dan kuambil benda ini, kubawa pulang."

"Menarik sekali," kata Bailun sambi mengelus benda itu. "Akan tetapi kenapa namanya Baja Dewa Hijau?"

"Seorang kakek tua di dalam kelompok kami ketika mendengar ceritaku tentang benda ini lalu datang memeriksa dan dialah yang bercerita bahwa benda ini adalah semacam benda mustika yang langka, disebut Baja Dewa Hijau atau juga disebut Batu Asmara."

"Batu Asmara?"

"Benar, katanya benda ini yang berupa batu bercampur logam memiliki khasiat yang amat hebat, dapat melekatkan dua hati yang saling mencinta, membuat orang awet muda dan setia terhadap cintanya."

Wajah Bailun menjadi merah. "Aih, seperti kita.... Kalau begitu, apakah cinta kita dipengaruhi oleh benda ini?"

Harkai merangkul leher kekasihnya dan mencium kepalanya. "Hushhh, tanpa benda ini pun kita sudah saling mencinta. Hanya kita berdoa semoga khasiat benda ini akan lebih mempererat ikatan batin antara kita."

Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan kedua orang muda itu terkejut. "Ada yang datang....." bisik Bailun sambil merangkul pundak kekasihnya. "Jangan khawatir, ada aku di sini."

"Tapi.... hatiku merasa tidak enak, Harkai, aku..... aku takut."

"Jangan takut, ingat, bukankah kita sudah bersumpah takkan saling berpisah lagi?"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari luar pondok itu. "Harkai.....! Keluarlah!"

"Itu suara ayah," bisik Harkai kepada kekasihnya. "Mari kita keluar."

Harkai membawa Baja Dewa Hijau di tangan kanannya sedangkan tangan kiri merangkul pinggang kekasihnya, lalu mereka pun keluar dari pondok. Biarpun di tahu bahwa ayannya tidak menyetuju hubungannya dengan Bailun dan tentu ayahnya akan marah sekali melihat dia berada di situ bersama kekasihnya itu namun Harkai bersikap tenang dan sudah mengambil keputusan untuk menentang ayahnya kalau ayahnya melarang dia hidup bersama Bailun yang dicintanya.

Seperti telah diduganya, begitu ayah Harkai melihat puteranya keluar dari dalam pondok bersama Bailun, wajahnya menjadi merah padam dan matanya mengeluarkan sinar marah. Dia merasa malu sekali, terutama terhadap empat orang yang datang bersama dia.

Seorang diantara mereka adalah sahabatnya yang akan ditariknya sebagai besan. Putera sahabatnya itu cantik dan pandai, dan mengingat akan kedudukan sahabatnya yang menjadi kepala kelompok di selatan dekat Tembok Besar, yang hanya mempunyai seorang anak saja, dia lebih condong untuk menikahkan puteranya dengan gadis itu.

Akan tetapi sekarang, calon besan itu melihat sendiri betapa puteranya berduaan saja dengan seorang gadis lain! Dia sama sekali tidak mengira akan menemukan Harkai bersama gadis yatim piatu itu, ketika tadi dia kedatangan tamu sahabatnya kemudian mengajak sahabatnya sama-sama mencari puteranya yang dia tahu suka naik ke puncak bukit ini.

"Harkai! Apa artinya ini?" bentaknya dengan suara gemetar saking marahnya.

Harkai sudah siap menghadapi kemarahan ayahnya dan dia mempererat rangkulannya ke pinggang Bailun, bahkan menarik gadis itu mendekat dan merapat dengannya. "Artinya, Ayah, bahwa aku dan Bailun telah menjadi suami isteri. Bailun ini adalah isteriku dan mantumu, Ayah, dan sekarang juga akan kuajak pulang."

"Tidak!!" Bentakan ini nyaring sekali dan mata orang tua itu mendelik. "Engkau tidak boleh membawa pulang perempuan yatim piatu ini! Aku melarang ia menginjakkan kakinya yang sial ke tempat kediaman kita! Engkau harus pulang sendirian, meninggalkan perempuan ini."

"Aku tidak bisa, Ayah. Sampai mati aku tidak bisa berpisah dari Bailun."

"Keparat! Engkau harus meninggalkannya! Kalau perlu engkau akan kubelenggu dan kuseret pulang, dan perempuan ini kubunuh. Lebih baik aku melihat engkau mati daripada harus menikah dengan perempuan ini, atau engkau baru dapat memperisteri ia kalau sudah melangkahi mayatku!"

Wajah Harkai menjadi pucat mendengar ucapan ayahnya itu. Dia memandang kepada Baja Dewa Hijau yang berada di tangan kanannya, menarik napas panjang lalu mengangkat muka memandang ayahnya, dan terdengar suaranya sedih dan lirih, "Baiklah, Ayah. Kalau Ayah lebih suka melihat aku mati, dari pada Ayah yang harus mati, lebih baik aku. Selagi hidup, aku tidak mungkin dapat dipisahkan dari Bailun." Tiba-tiba dia mengangkat benda hijau itu, dipukulkan ke atas kepalanya sendiri.

"Prokkk.....!" Harkai roboh terkulai dan kepalanya pecah, darah dan otak muncrat dan membasahi benda bercahaya hijau itu!

Bailun memandang dengan mata terbelalak, mukanya pucat sekali dan melihat betapa kekasihnya roboh dengan kepala berlumuran darah, dia lalu menjerit, "Harkaiiiii.....!" dan menubruk tubuh kekasihnya, merangkul lalu pingsan!

Temucin dan Bortay melihat semua peristiwa ini dari tempat persembunyian mereka, di belakang batu besar tak jauh dari pondok. Kedua orang anak ini terkejut dan tak mampu bergerak melihat peristiwa hebat itu. Pada saat itu, terdengar bunyi kaki kuda dan bermunculanlah Karugai, ayah Bortay bersama sembilan orang pengikutnya.

Karugai memang hendak berangkat berburu dan seperti biasa, dia berburu di daerah ini dan selalu melewati pondok yang dibangunnya itu. Melihat ada ribut-ribut di depan pondoknya, dia mempercepat larinya kuda dan diikuti sembilan orang anak buahnya, dia pun tiba di situ.

Dia melihat Harkai menggeletak dengan kepala pecah, dan ayah pemuda itu bersama empat orang lain, berdiri termangu-mangu seperti orang terkejut dan berduka. Kemudian dia melihat pula Bailun yang menggeletak pingsan di atas mayat Harkai.

"Apakah yang telah terjadi di sini?" tanyanya dengan heran dan juga penasaran.

Melihat munculnya ayah angkat atau paman dari gadis yang menyebabkan puteranya membunuh diri, ayah Harkai mengerutkan alisnya dan memandang Karugai dengan marah. "Apa yang telah terjadi? Lihat, keponakanmu itu, perempuan yatim piatu itu, telah menyebabkan kematian puteraku!"

Tiba-tiba terdengar jerit menyayat hati dari Bailun. "Harkai.... kau tunggu aku.....!" Dan sebelum pamannya dapat mencegahnya, gadis itu telah mengangkat Baja Dewa Hijau dengan kedua tangannya dan menghantamkannya sekuat tenaga ke atas kepalanya.

"Prakkkkk!" Ia pun terkulai dan roboh di atas mayat kekasihnya dengan kepala pecah. Untuk ke dua kalinya, Baja Dewa Hijau itu berlepotan darah dan otak yang muncrat dari kepala itu.

"Bailun..!" Karugai berteriak, namun terlambat karena gadis itu telah tewas!

Kini ayah Harkai dan Karugai saling pandang dengan mata merah. Diam-diam ayah Harkai merasa lega melihat gadis itu membunuh diri pula. Agak mereda kemarahannya dan melihat betapa perkelahian tidak akan menguntungkannya karena Karugai datang bersama sembilan orang anak buah, dia pun segera mengangkut jenazah puteranya, dibantu teman-temannya dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi jenazah itu.

Karugai sejenak termenung memandang jenazah keponakannya, lalu menarik napas panjang dan menyuruh para pengikutnya untuk mengangkat jenazah itu, dibawa pulang ke perkampungan kelompoknya. Dia tidak jadi pergi berburu.

Setelah dua rombongan itu pergi, dan suasana di depan pondok kembali sunyi, barulah Temucin dan Bortay keluar dari tempat persembunyian mereka. Keduanya masih merasa tegang sekali dan ikut terharu menyaksikan peristiwa tadi. Mereka menghampiri depan pondok dan masih nampak darah di situ, di atas tanah dan pasir.

Kemudian Temucin melihat benda yang bercahaya kehijauan itu, berlepotan darah dan otak. Dia menghampiri dari diambilnya benda itu. Benda itu ternyata-cukup berat, pantas saja sekali pukul membuat kepala pecah! Melihat Temucin mengambil benda itu, Bortay bergidik.

"Untuk apa, kau ambil benda mengerikan itu? Buang saja, Temucin!" kati Bortay.

"Ah, jangan memandang benda ini Bortay. Benda ini sama sekali tidak mengerikan, bahkan dia telah berjasa besar bagi sepasang kekasih tadi."

"Berjasa? Dia telah membunuh Bailun dan Harkai!"

"Itulah jasanya yang besar. Bayangkan saja kalau dua orang itu tidak mati tentu mereka akan dipaksa untuk saling berpisah dan hidup menderita selamanya. Akan tetapi sekarang, setelah mereka itu tewas dengan menggunakan benda ini, biarpun tubuh mereka berpisah, namun nyawa mereka akan dapat berkumpul dan tidak ada seorangpun manusia yang mampu melarang mereka. Nah, bukankah benda ini berjasa sekali? Heiii, aneh sekali!"

"Apa yang aneh?" Bortay mendekati dan ia melihat Temucin menimang-nimang, dan memeriksa benda itu.

"Lihat, benda ini semakin mencorong cahayanya! Dan anehnya, ketika noda darah itu hendak kubersihkan, ternyata tidak dapat, seolah-olah darah ini sudah melekat dan masuk ke dalam. Lihat, bukankah darah itu seperti menembus kedua sisinya? Dan baunya..... harum-harum aneh!"

Bortay ikut memeriksa dan menciumi dan memang benar. Darah itu pada permukaan benda itu sudah kering sama sekali dan biarpun digosok dengan batu tidak dapat lenyap, dan baunya harum dan aneh, bukan bau amis atau busuk. Melihat betapa Temucin menyimpan benda itu diselipkan di pinggang di balik bajunya, Bortay semakin heran. Temucin, untuk apa kausimpan benda itu? Apa gunanya?"

"Entah mengapa, Bortay, akan tetapi aku suka sekali kepada benda ini. Benda ini mengingatkan aku akan cinta kasih antara dua orang manusia, cinta kasih pria dan wanita yang penuh dengan kesetiaan dan pengorbanan. Peristiwa tadi amat mengharukan hatiku dan aku ingin memiliki benda ini. Kuharap saja ada pertalian cinta seperti itu antara kita."

Kembali wajah anak perempuan itu menjadi merah. Ia menunduk tanpa menjawab, akan tetapi jantungnya berdebar mieh. ia masih terlalu muda untuk dapat mengerti tentang cinta, akan tetapi ia telah merasa betapa hatinya penuh dengan rasa aman dan percaya kepada Temucin.

Ketika mereka berdua kembali ke perkampungan Karugai, mereka disambut dengan wajah yang serius dan mengandung duka oleh Karugai dan keluarganya. Tadinya Bortay mengira bahwa kedukaan yang terbayang di wajah ayah ibunya adalah karena kematian Bailun. Akan tetapi ternyata bukan. Karugai segera mengatakan kepada Temucin bahwa tadi telah datang seorang utusan dari Yesuki Khan, ayah Temucin yang membawa berita bahwa Yesukai menderita sakit parah dan agar Temucin segera pulang.

Mendengar berita ini, Temucin terkejut sekali dan hatinya diliputi kekhawatiran besar. Tanpa membuang waktu lagi dia segera berpamit dari keluar Karugai dan membalapkan kudanya menuju pulang. Dia melakukan perjalanan secepatnya, memacu kudanya sekuatnya dan tidak pernah berhenti.

Pada sore harinya dia tiba di ordo (perkemanan) kelompok suku yang dipimpin ayahnya. Dan dia terlambat! Ayahnya, Yesukai yang gagah perkasa itu yang beberapa hari yang lalu masih melakukan perjalanan bersama dia, telah meninggal dunia! Ketika dengan hati sedih dan penasaran Temucin bertanya-tanya, dia mendengar bahwa begitu pulang, Yesukai menderita sakit yang amat hebat dalam perutnya.

Menurut pemeriksaan tabib, diduga keras bahwa ayahnya telan keracunan. Ayahnya telah makan atau minum sesuatu yang mengandung racun, yang mungkin disuguhkan oleh orang yang mendendam dan memusuhinya secara diam-diam.

Setelah Yesukal meninggal dunia, terjadilah perubahan besar di antara para kelompok. Sebagian besar kepala kelompok yang tadinya menganggap Yesukai sebagai pemimpin suku, kini melepaskan diri untuk mencari pelindung baru bagi kelompok mereka. Mereka sudah mendengar bahwa Yesukai memiliki banyak orang putera, dan yang sulung adalah Temucin, yang mungkin menggantikan kedudukan ayahnya.

Akan tetapi Temucin masih kanak-kanak dan mereka tidak percaya dia akan mampu melindungi kelompok mereka. Holun, ibu Temucin yang cantik dan berwatak gagah, ketika mendengar bahwa banyak kelompok yang hendak melepaskan atau memisahkan diri, segera membawa pasukan kecil untuk melakukan pengejaran.

Ia membawa panji dari kelompoknya yang terdiri dari Sembilan buah ekor yak (lembu berbulu), lalu mengejar mereka. Setelah ada yang tersusul, ia membujuk mereka itu untuk kembali dengan ternak dan keluarga mereka. Usaha wanita yang gagah ini ada pula hasilnya walaupun tidak semua kelompok mau kembali.

Ketika melihat ibunya menangis di depan jenazah ayahnya karena kegagalannya membujuk semua kepala kelompok yang melepaskan diri, Temucin mendekai ibunya. "Ibu," katanya dengan suara yang tegas, "Harap ibu jangan cemas. Aku yang kelak akan mengumpulkan kembali mereka semua. Aku akan memimpin mereka, bukan hanya suku Yakka, melainkan seluruh suku bangsa yang berada di permukaan Gurun Go-bi! Aku akan membangkitkan kebesaran dan kejayaan Mongol!"

Ucapan pemuda cilik berusia tiga belas tahun ini ternyata kemudian bukan hanya cetusan hati sekejap mata saja melainkan membakar semangat Temucin dan kelak ternyata bahwa semua keinginannya itu terbukti!

Memang telah terjadi perubahan besar dalam hubungan antara kelompok suku bangsa di Gurun Pasir Go-bi setelah Yesukai meninggal dunia. Bukan hanya para kepala kelompok yang lalu meninggalkan kelompok pimpinan Yesukai, melainkan terjadilah perebutan kekuasaan karena banyak yang berlomba untuk menggantikan kedudukan Yesukai, yaitu memimpin semua kelompok suku Yakka.

Kekuasaan mendiang Yesukai meliputi daerah utara Gurun Go-bi, daerah yung luas dan di bagian ini terdapat banyak daerah yang baik dan subur. Di atas tanah yang terbentang luas antara Danau Haikal dan Pegunungan Khing-an di sebelah timur terdapat banyak tanah subur, yaitu sepanjang dua batang sungai yang mengalir di daerah itu, yaitu Sungai Kerulon dan Sungai Onon. Selain air dari dua batang sungai itu, juga air yang berasal dari salju di gunung-gunung membuat daerah itu menjadi daerah subur.

Bukit-bukit ditumbuhi hutan lebat dan padang rumput terdapat di mana-mana, sangat baik untuk memelihara ternak dan kebutuhan makan keluarga. Karena itu tidak mengherankan apabila daerah kini menjadi rebutan para kepala kelompok setelah Yesukai, pemimpin yang segani itu meninggal.

Kebutuhan hidup suku bangsa Mongol amat sederhana, dan daerah yang subur itumenghasilkan segala yang mereka butuhkan. Padang rumput membuat ternak mereka sehat dan gemuk dan ternak ini merupakan sumber penghidupan mereka.

Bulu-bulu ternak dapat mereka pilih dan pintal menjadi tali-tali yang mereka butuhkan untuk mengikat kemah dan lain-lain, tulang-tulang binatang peliharaan itu dapat dijadikan mata anak panah, kulit ternak dapat dibuat pelana kuda, pakaian kuda dan kantung-kantung penyimpan barang dan makanan, terutama menyimpan susu yang setelah membeku dan meragi dinamakan Kumiss.

Juga suhu udaranya tidak begitu keras di waktu musim dingin tidak terlampau dingin. Di sungai-sungai itu pun terdapat banyak ikan yang merupakan bahan makanan yang cukup menyehatkan.

Kematian Yesukai memang merupakan pukulan hebat bagi kelompoknya. Bahkan para kepala kelompok yang tidak melepaskan diri dari kelompok Yesuki, kini menghentikan kebiasaan mereka mengirim macam upeti kepada kelompok itu. Mereka agaknya merasa ragu dan juga segan untuk tunduk kepada seorang bocah berusia tiga belas tahun seperti Temucin.

Maka, mulailah keluarga Temucin yang terdiri dari Holun, ibunya, dan beberapa orang saudara tirinya, hidup terasing, menghadapi masa suram, bahkan terancam oleh bekas musuh-musuh Yesukai.

Adik-adik Temucin masih kecil, dan di antara mereka ada dua orang yang dapat diharapkan tenaganya untuk membantunya, yaitu Kassar yang pandai sekali dalam ilmu memanah, dan Belgutai yang amat setia dan patuh kepada Temucin.

Karena tidak adanya lagi upeti-upeti, maka keluarga Temucin mulai hidup menderita dan serba kekurangan. Terpaksa mereka makan hasil buruan yang biasanya dianggap rendah dan hina, seperti daging marmot atau tikus gunung. Tidak ada lagi daging biri-biri dan makanan yang paling enak kini hanyalah kalau mereka berhasil mendapatkan ikan.

Kesengsaraan makin hebat ketika seorang yang bernama Targoutai, juga keturunan suku Bourcikum yang bermata kelabu mengangkat diri menjadi pengganti Yesukai dan menyatakan bahwa dialah yang sekarang berkuasa di bagian utara Gurun Go-bi, menggantikan kedudukan Yesukai yang baru saja meninggal dunia.

Targoutai adalah seorang yang licik dan berani, penuh kekejaman, dan biarpun dia mengaku sebagai keturunan darah suku Bourcikum, namun dia kini menjadi kepala kelompok suku Taljut yang sejak lama bermusuhan dengan bangsa Mongol. Memang pengaruhnya besar dan dia memiliki banyak sekutu, kepala-kepala kelompok yang tunduk kepadanya.

Kini dengan pengaruhnya, dia berhasil pula membujuk sebagian besar kepala-kepala kelompok yang tadinya memisahkan diri dari kelompok Yesukai untuk memihak kepadanya dan menjadi sekutunya. Makin besar kekuasaannya dan mulailah Targoutai mengerahkan orang-orangnya untuk mencari Temucin, kepala suku Mongol yang menggantikan kedudukan ayahnya itu, untuk dibunuhnya.

Seperti seekor serigala mengejar anak srigala, Targoutai mulai melakukan serbuan pada kelompok-kelompok Mongol yang tidak mau tunduk, merampok ternak dan wanita, membunuh mereka yang melawan dan terus mencari Temucin dan keluarganya.

Mulailah Temucin dan keluarga ibunya melarikan diri. Ibunya, Holun yang gagah berani, mengepalai para madunya untuk melarikan diri membawa ternak dan anak-anak mereka yang paling besar, biarpun baru berusia belasan tahun namun sudah bersikap dewasa dan gagah. Mereka berdua inilah yang kadang-kadang melindungi keluarga itu dengan melepaskan anak-anak panah ke arah para pengejar.

Setelah mereka tiba di kaki bukit dan melihat betapa para pengejar semakin dekat, Temucin berkata kepada rombongannya. "Mereka itu mencari aku. Mereka tidak akan mengganggu kalian. Oleh karena itu, di tempat ini sebaiknya kita berpencar. Ibu dan para ibu yang lain dan adik-adik kecil membawa ternak melanjutkan perjalanan, mencari perlindungan pada kelompok yang masih bersahabat. Aku dan Kassar akan berpisah dan mencari jalan masing-masing untuk menyelamatkan diri. Hanya aku dan Kassar yang akan mereka bunuh."

"Tapi, anakku. Bagaimana kalau engkau tertawan mereka?" Holun, ibunya berkata khawatir.

"Tidak ada tapi, Ibu! Perintahku itu harus dilaksanakan karena itulah yang terbaik!" kata Temucin dan di sini, dihadapan ibunya, telah nampak jiwa kepimpinannya. Ibunya sendiri yang juga berhati keras, melihat sikap puteranya ini, diam-diam merasa bangga dan iapun tidak banyak membantah lagi.

Maka bepencarlah keluarga itu. Holun memimpin keluarganya untuk melanjutkan pelariannya dan memang benar seperti yang telah diperhitungkan Temucin, ketika para pengejar itu melihat Holun dan para madunya, juga anak-anak yang masih kecil, mereka tidak mengganggunya. Yang dicari oleh Targoutai hanyalah Temucin dan Kassar, yang dianggap sebagai ancaman bagi kedudukannya di kemudian hari.

Mereka cepat melakukan pengejaran dengan berpencar, maklum bahwa Temucin dan Kassar melarikan diri meninggalkan kelompok ibunya. Orang-orang Gurun Pasir Go-bi memang merupakan pemburu-pemburu yang pandai. Mereka biasa berburu binatang dan pandai melacak jejak kaki buruan mereka. Kini, mereka pun dapat melacak jejak kaki Temucin dan mereka melakukan pengejaran secepatnya.

Temucin melarikan diri ke atas bukit yang penuh dengan hutan dan goa. Dia bersembunyi ke dalam sebuah goa yang tertutup semak belukar. Pandai dia menghilangkan jejaknya dengan cara memasuki goa itu dari atas, merangkak dengan hati-hati tanpa meninggalkan jejak, tidak menginjak semak belukar.

Para anak buah Targoutai mencari terus tanpa hasil. Namun karena Targoutai merasa yakin bahwa Temucin bersembunyi di bukit itu, maka mereka belum meninggalkan tempat itu dan terus menanti sampai keluarnya Temucin. Sampai tiga hari tiga malam lamanya Temucin bersembunyi di dalam goa. Karena dia tidak membawa bekal makanan.

Maka dia menderita kelaparan dan kehausan dan pada hari ke empat, dia tidak tahu lagi lalu keluar dari dalam goa. Tidak ada jalan lain baginya kecuali nekat berusaha menerobos kepungan para anak buah Targoutai. Berdiam terus di goa berarti mati kelaparan...!

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.