Pedang Asmara Jilid 22

Cerita silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 22
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 22 karya Kho Ping Hoo - TENTU saja Siangkoan Kun Hok tidak dapat membantah dan dia pun lalu memasang kuda-kuda dan berseru, "Orang muda, bersiaplah dan sambut seranganku!" setelah berkata demikian, pedangnya membuat gerakan melengkung ke atas dan pedang itu menyambar dengan serangan yang dahsyat.

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Melihat serangan ini, Kok Kongcu menggerakkan tombaknya untuk menangkis. Ketika gagang tombak menyambar dari bawah untuk menangkis, Siangkoan Kun Hok terkejut dan mengurangi tenaganya karena dia tidak ingin membikin putus tombak itu, apalagi sampai melukai Kok Kongcu.

"Crakkk!" Siangkoan Kun Hok terkejut sekali dan karena bukan pedangnya yang membacok gagang tombak, melainkan gagang tombak itu sendiri yang menyambar dan menghantam pedang sehingga gagang tombak itu patah menjadi dua potong!

"Hemmm....!" Serunya dan dia melangkah kebelakang. Bagaimana pun juga, biar pemuda itu tidak terlalu memandang rendah dan suka memilih pengganti senjata yang lebih kuat.

"Sudah kukatakan tadi, tombak itu kurang kuat lebih baik engkau mengambil senjata lagi sebagai gantinya."

Akan tetapi, Kok Kongcu malah melontarkau tombak yang sudah buntung ke arah rak sudut. tombak itu melayang dan meluncur turun, dan dengan tepatnya memasuki lubang pada rak itu, tepat tempatnya semula! Kini yang berada di tangan Kok Kongcu hanya gagang tombak atau sepotong bambu yang panjangnya sama dengan sulingnya. Memang inilah yang dia kehendaki. Dia sudah terbiasa menggunakan huncwe atau suling sebagai senjata, maka potongan gagang tombak dari bambu ini sungguh merupakan pengganti suling yang tepat sekali.

"Lo-cian-pwe, saya akan menggunakan gagang tombak ini sebagai senjataku, melayani permainan pedang Lo cian-pwe. silakan!" berkata demikian dia menggerakkan tangan kanannya dan potongan bambu itu kini berputar putaran cepat sekali di antara jari-jari tangannya sehingga lenyap bentuk bambunya berubah menjadi sinar yang mengeluarkan suara berdengung-denguug.

Siangkoan Kun Hok terbelalak, kini dia tidak merasa dipandang rendah karena dia tahu bahwa lawannya memang berilmu tinggi dan agaknya memang ahli mempergunakan sepotong bambu sebugai senjata. Maka dia pun memutar pedangnya di atas kepala.

"Kok Tay Ki, jagalah seranganku ini!" teriaknya dengan suara mengandung kegembiraan dan kekaguman, dan guru silat itu lalu menggerakkan pedangnya dengan mantap, cepat dan kuat.

Kok Kongcu cepat mengelak, namun sinar pedang itu sudah mengejarnya dengan kecepatan yang lebih daripada sambaran pertama. Pemuda itu kagum dan juga gembira. Dia pun mempercepat gerakannya dan sudah berhasil mengelak berturut-turut menghadapi serangan pedang yang bertubi-tubi sampai tujuh kali Serangan yang ke delapan tak mungkin dapat dia elakkan begitu saja, maka sambil bergerak mengelak, bambu di tangannya menyambar ke samping dan ujung bambu itu menotok ke arah pergelengan tangan yung memegang pedang.

"Hemmm.....!" Siangkoan Kun Ho terkejut dan kagum. Nyaris pergelangan tangannya lebih dulu kena ditotok ujung tongkat sebelum pedangnya mendekati lawan. Dia memutar pergelangan tangannya dan pedangnya membuat gerukan berputar.

"Trangg!" Pedangnya menyimpang dan serangannya kembali gagal. Guru silat itu semakin kagum. Kini, serangan ilmu pedangnya yang memang hebat itu membuat Kok Tay Ki tidak berani bersikap sembarangan lagi. Pemuda itu diharuskan membuka kedoknya dan memperlihatkan wajah yang sesungguhnya, seolah-olah demikian.

Kini Kok Tay Ki tidak lagi bergerak biasa seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat, melainkan kini dia mulai bersilat dengan gerakan aneh. Biarpun demikian, hanya kalau dia sudah terdesak hebat sajalah pemuda itu membalas dengan serangannya yang aneh dan berbahaya. Tahu-tahu ujung tongkat pendek itu meluncur dan menotok ke arah jalan darah yang berbahaya.

Semua serangan ini dia lakukan hanya untuk menghentikan desakan lawan. Dia lebih banyak mengelak sambil memperhatikan jalannya jurus-jurus serangan lawan dengan penuh perhatian. Dan dia pun mengambil keputusan untuk mempelajari pula Ngo-heng-kiamsut yang di anggapnya cukup dahsyat untuk menjadi ilmunya cukup pantas untuk dipelajarinya.

Setelah Kok Tay Ki berhasil membendung gelombang serangan pedang dari Siangkoan Kun Hok selama tiga puluh jurus, seperti terbukalah mata tiga orang yang menjadi saksi peristiwa itu. Terutama sekali Siangkoan Leng dan Tang Hu. Mereka berdua harus mengakui bahwa mereka masing-masing tidak akan kuat bertahan kalau harus menghadapi gelombang serangan demikian dahsyatnya dari pelatih mereka.

Dan pemuda itu mampu bertahan hanya dengan menggunakan senjata sepotong bambu! Padahal, Siangkoan Kun Hok mempergunakan seluruh jurus pilihan dan tenaga sinkang yang dimilikinya! Juga isteri Siangkoan Kun Hok berkali-kali menarik napas panjang dan mengangguk-angguk.

"Leng Leng, pemuda itu hebat.... ayahmu masih belum mampu menandinginya....."

Siangkoan Leng hanya mengangguk, akan tetapi kini wajahnya berubah kemerahan dan ia merasa betapa jantungnya berdebar keras. Hanya ibunya yang pernah mendengar pengakuannya sendiri bahwa ia hanya mau menjadi isteri seorang yang memiliki ilmu silat yang melebihi dirinya. Dan sekarang, pemuda itu sukar hanya lebih pandai daripada dirinya, bahkan lebih lihai daripada ayahnya!

Dan pemuda itu, harus diakuinya, amat tampan dan halus sikapnya. Mengingat betapa tadi dua kali kakinya dipegang, bahkan yang kedua kalinya, kedua sepatunya terlepas di tangan pemuda itu, ia merasa semakin malu, akan tetapi juga girang!

Pertandingan itu berjalan sampai lima puluh jurus. Tiba-tiba Kok Kongcu berseru, "Sudah cukup, Locianpwe!" Dia meloncat keluar dari kepungan sinar pedang dan berdiri tegak dengan sepotong bambu di tangan. Dia nampak masih segar dan sama sekali tidak kelihatan lelah.

Ketika tiga orang penonton itu memandang kepada Siangkoan Kun Hok mereka terkejut dan jelaslah bagi mereka bahwa biarpun dalam adu silat itu tidak ada yang kelihatan kalah, namun kelihatan dengan jelas siapa yang lebih unggul. Siangkoan Kun Hok kelihatan letih sekali wajahnya berkeringat dan pernapasannya pun agak memburu. Dia tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya.

Gerak Kok Kongcu sedemikian cepatnya sehingga dia pun terbawa cepat dan tak pernah mengendurkan tenaganya. Ketika dia melihat betapa lawannya itu sama sekali tidak nampak letih, diam-diam guru silat ini menjadi semakin kagum. Pada saat itu pun dia sudah menentukan pilihannya. Kalau pemuda ini belum menikah, dia akan menariknya untuk menjadi mantunya!

Sambil menghapus keringatnya setelah menyimpan kembali pedangnya, Siangkoan Kun Hok bertanya, "Bagaimana, orang muda, apakah engkau masih beranggapan bahwa ilmu pedang kami pantas untuk kau pelajari?"

Kok Kongcu sudah melepaskan bambunya dan dia pun cepat memberi hormat sambil berkata, "Sungguh ilmu pedang yang amat hebat, Lo-cian-pwe dan kalau Lo-cian-pwe memperbolehkan, saya ingin sekali mempelajari ilmu pedang dan ilmu tendangan dari ilmu silat keluarga Siangkoan."

Mendengar ini, hati Siangkoan Kun Hok girang, akan tetapi dia berpura-pura mencela. "Akan tetapi, baik ilmu tendangan maupun ilmu pedang kami tidak mampu mengalahkanmu."

"Tidak demikian, Lo-cianpwe. Kalau saja nona Siangkoan sudah dapat menguasai ilmu tendangan itu dengan sempurna, dan kalau Lo-cianpwe tadi tidak sungkan dan mengalah terhadap saya, tentu saya tidak akan mampu menandinginya. Saya sungguh ingin mempelajari kedua ilmu itu, tentu saja kalau Lo-cianpwe tidak merasa keberatan."

Siangkoan Kun Hok menghela napas panjang. Dia tahu bahwa pemuda ini hanya merendahkan diri. Dia maklum benar bahwa dia bukanlah lawan pemuda lihai ini dan kalau tadi pemuda ini membalas serangannya, tentu dia sudah roboh. "Baik, marilah kita masuk ke ruang dalam. Aku ingin sekali bicara denganmu mengenai hal ini."

Setelah berkata demikian, Siangkoan Kun Hok memberi isyarat dengan matanya kepada isterinya. Keluarga itu lalu bersama Kok Kongcu memasuki ruangan dalam, sedangkan Ta Hu yang tahu diri, tinggal di lian-bu thia, masih duduk melamun dengan hati risau. Dia merasa betapa dirinya kecil dan tidak berharga kalau dibandingkan dengan pemuda tampan tadi.

Baik mengenai ketampanan, atau kemewahan, apalagi kepandaian silat. Dan dia pun tahu diri, merasakan benar bahwa di. tidak pantas mendampingi sumoinya sebagai suami. Yang pantas adalah seorang pemuda seperti Kok Tay Ki tadilah. Dan dia pun merasa berduka.

Berbahagialah orang yang dapat menerima apa adanya sebagai anugerah Tuhan Allah Yang Maha Kuasa. Apa adanya ini dapat saja berupa wajah dan keadaan diri sendiri, atau apa saja yang terjadi menimpa diri tanpa membedakan baik buruk. Orang yang dapat menerima apa adanya sebagai suatu yang wajar, bagai suatu yang sudah dikehendaki Tuhan, tidak akan mengeluh. Tidak akan menyambut gembira kalau dirasa enak dan menyambut dengan kecewa kalau dirasa tidak enak.

Hati dan pikiran yang bijaksana akan menyambut setiap peristiwa dengan waspada, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Tuhan kalau dianggap menguntungkan lahir dan batin, sebaliknya kalau dianggap merugikan lahir dan batin tidak mengeluh, tidak mencela siapapun, melainkan meneliti diri sendiri, mencari kesalahan atau kekeliruan apa gerangan yang telah dilakukannya. Segala hal yang terjadi, bahkan yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi, berjalan dengan wajar. Tuhan Maha Adil!

Kita seringkali lupa diri, lupa bahwa kita ini pembuat dosa dan kesalahan yang sudah tidak dapat dihitung lagi banyaknya sehingga kalau ada hal tidak baik menimpa diri kita, kita mengeluh bagaikan seorang yang tidak pernah merasa bersalah! Kalau setiap hal yang kita anggap buruk dan merugikan menimpal diri kita, kita seyogianya meneliti diri, introspeksi terhadap segala perbuatan kita, dan kita akan merasa bahwa semua ini sudah sewajarnya dan seadilnya.

Kalau hal buruk itu menimpa diri, hanya ada dua hal, yaitu sebagai hukuman atas dosa kita atau pun sebagai ujian terhadap keimanan kita. Kita tidak sepatutnya berkeluh kesah, bahkan harus memperkuat iman kita terhadap kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Maha Kasih, tidak akan menyiksa manusia. Kita sendirilah, perbuatan kita sendiri, hati dan akal pikiran kita sendiri, nafsu-nafsu kita sendiri., yang mendatangkan penyiksaan terhadap diri kita.

Tang Hu berduka karena hatinya dilanda iri! Timbulnya dari keinginan hatinya memiliki Siangkoan Leng, lalu dia melihat betapa keinginannya itu tidak ada harapan, menimbulkan kecewa dan iba diri yang bersatu menjadi duka. Duka ini menjadi bertambah menyakitkan karena dia membanding-bandingkan keadaan dirinya dengan pemuda lain. Rasa iba diri makin mencekam.

Kesenian yang paling besar dan paling indah dalam kehidupan kita ini adalah menerima keadaan seperti apa adanya tanpa menilai, dengan penuh rasa syukur dan penuh kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Sekali kesenian hidup ini mendarah daging dalam diri lahir batin, maka kebahagiaan hidup bukan hanya menjadi istilah semata.

Di ruangan dalam, Kok Kongcu duduk dengan sikap hormat berhadapan dengan keluarga Siangkoan yang terdiri dari tiga orang itu. Mereka menghadapi sebuah meja segi empat. Siangkoan Kun Hok duduk berhadapan dengan Kok Kongcu, Siangkoan Leng duduk di sebelah kanan pemuda ini dan ibu gadis itu di sebelah kirinya.

Kok Kongcu diam saja, duduk dengan sopan dan menundukkan mukanja walaupun seluruh perhatiannya tercurah kepada gadis yang duduk di sebelah kanannya. Siangkoan Leng juga menundukkan mukanya. Entah bagaimana, sekarang ia merasa malu untuk menatap wajah yang tampan itu.

"Kok Tay Ki, kami harap engkau suka bicara secara terus terang kepada kami. Sesungguhnya, untuk apakah engkau ini mempelajari ilmu-ilmu silat keluarga kami kalau engkau sendiri sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, bahkan lebih tinggi tingkat kepandaianmu dibandingkan kami? Apa sebenarnya yang menjadi keinginan?" Pertanyaan ini diajukan Siangkoan Kun Hok dengan suara bersungguh sungguh dan sepasang matanya menatap tajam wajah pemuda itu.

Kok Kongcu mengangkat mukanya dan dengan tenang dia menyambut tatapan mata tuan rumah itu, kemudian dia menjawab. "Lo-cianpwe, sudah saya katakan tadi bahwa saya suka sekali akan ilmu silat dan saya mempelajarinya dari mana saja. Saya berkelana dan setiap kali mendengar ada seorang ahli silat pandai, saya berusaha untuk mempelajari ilmunya. Kebetulan saya mendengar akan nama besar Siangkoan Bu-koan maka saya sengaja datang untuk mempelajari ilmu keluarga Siangkoan untuk menambah pengetahuan saya."

"Ilmu silatmu sudah tinggi, untuk apa engkau terus mengumpulkan ilmu silat itu, orang muda?" Isteri Siangkoan Kun Hok membantu suaminya, bertanya untuk nengetahui apa latar belakang pemuda itu.

Kok Kongcu menarik napas panjang. "Di dunia ini terdapat banyak sekali lawan tangguh sehingga mempelajari ilmu silat sampai tua sekalipun, kiranya masih belum cukup."

"Maksudmu, banyak terdapat penjahat yang berilmu tinggi sehingga engkau akan mampu menentang dan membasmi mereka?" tanya Siangkoan Kun Hok.

Di sudut hatinya, tentu saja Kok Kongcu tidak setuju dengan pertanyaan itu, akan tetapi dia mengangguk. "Demikianlah, Lo-cianpwe."

"Kok Tay Ki, tadi engkau mengatakan bahwa engkau sebatang kara dan yatim piatu. Apakah engkau sama sekali tidak mempunyai keluarga? Isteri atau tunangan juga tidak?"

Mendengar pertanyaan guru silat itu, di dalam hatinya Kok Kongcu tertawa dan sebagai seorang pemuda yang amat cerdik, dia pun tahu ke mana arah angin bertiup. "Saya tidak berkeluarga, tidak beristeri atau bertunangan." jawabnya tegas. Dia melihat betapa wajah suami isteri itu berseri, dan kepala Siangkoan Leng semakin menunduk sampai dagunya menempel di dada.

"Kok Tay Ki, ketahuilah bahwa di dalam perguruan kami terdapat suatu peraturan yang sudah ditentukan dan tidak boleh dilanggar sama sekali. Peraturan itu antara lain adalah bahwa ilmu silat keluarga Siangkoan hanya boleh diajarkan kepada murid atau kepada anggauta keluarga. Melihat tingginya tingkat kepandaianmu, tidak mungkin kalau engkau diterima sebagai murid di sini. Mana ada muridnya lebih pandai dari gurunya? Kalau engkau ingin mempelajari ilmu pedang Ngo-heng-kiam dan ilmu tendangan Ngo-heng-twi, satu-satunya jalan bagimu adalah menjadi anggauta keluarga kami!"

Tentu saja Kok Kongcu tahu apa yang dimaksudkan tuan rumah, akan tetapi dia sama sekali tidak mengerling ke arah Siangkoan Leng, bahkan pura-pura terbelalak heran dan bertanya, "Lo-cian-pwe, apa yang kaumaksudkan? Menjadi anggauta keluarga Siangkoan? Saya tidak mengerti....."

"Kok Tay Ki, kami hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu puteri kami Siangkoan Leng ini. Leng Leng berusia sembilan belas tahun dan belum bertunangan. Kami akan senang sekali kalau engkau suka menjadi suami puteri kami, dan kalau engkau menjadi mantu kami, tentu saja engkau boleh mempelajari ilmu silat keluarga Siangkoan."

Kok Tay Ki pura-pura terkejut, wajahnya berubah kemerahan dan sinar matanya berseri gembira. "Ah, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya! Akan tetapi.... apakah.... apakah nona Siangkoan sudi bersuamikan saya.....?" Baru sekarang dia menoleh kepada Siangkoan Leng. Gadis itu makin menunduk dan mukanya merah sekali.

"Leng Leng, engkau sudah mendengar semuanya. Ayah ibumu sudah setuju bagaimana jawabanmu?" Isteri Siangkoan Kun Hok bertanya kepada puterinya.

Dengan muka yang merah sekali Siang koan Leng tersipu dan senyum-senyum urung, mengerling sekali ke arah Kok Kongcu, "Ihhh..... Ibu.....! Bagaimana Ayah dan Ibu sajalah.....!"

Dan gadis itupun bangkit lalu berlari sambil menutup mukanya menuju ke kamarnya! Melihat ini, Siangkoan Kun Hok tertawa dengan hati puas dan lega, juga isterinya tersenyum karena ayah dan ibu ini sudah mengenal benar watak puteri mereka. Kalau puteri mereka itu tidak setuju dengan tegas ia akan menolaknya. Sikapnya tadi sebaliknya jelas menunjukkan bahwa Siangkoan Leng setuju menjadi calon isteri pemuda tampan yang amat lihai itu.

"Ha-ha-ha! Kok Tay Ki, kami sekeluarga, ayah ibu dan anak sudah setuju, tinggal engkau seorang. Bagaimana jawabmu? Sukakah engkau menjadi mantu kami, menjadi suami Siangkoan Leng?"

Kok Kongcu yang pandai mengambil hati lalu tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu sambil berkata, "Bagaimana saya berani menolaknya? Ini merupakan anugerah yang amat besar bagi saya, merupakan kebahagiaan dan kehormatan besar. Saya menerima dengan senang hati, hanya saya mohon agar pernikahan dilangsungkan setelah saya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Siangkoan agar saya dapat belajar tanpa terganggu."

"Tentu saja, kami pun tidak tergesa-gesa. Akan tetapi setelah semua pihak setuju, mulai saat ini engkau telah menjadi calon mantu kami dan engkau boleh menyebut kami ayah dan ibu. Dan tentu saja engkau boleh mulai mempelajari ilmu-ilmu yang kau kehendaki."

Dengan masih berlutut, Kok Tay Ki memberi hormat dan menyebut, ”Ayah Ibu, terimalah hormat anak mantumu!"

Suami isteri itu gembira sekali. Sambil tertawa Siangkoan Kun Hok lalu memegang kedua pundak Kok Kongcu menariknya bangun. "Duduklah, Tay Ki sungguh kami merasa gembira sekali. Kedatanganmu seolah-olah dituntun oleh Tuhan dan kami merasa beruntung sekali mendapatkan seorang calon mantu seperti engkau!"

Dalam kegembiraannya memperoleh seorang mantu yang sudah lama mereka idamkan, suami isteri itu agaknya terlengah dan tidak menyadari betapa keputusan mereka memilih mantu sungguh amat tergesa-gesa. Baru saja pemuda itu muncul, seorang yang sama sekali tidak mereka kenal, dan begitu datang langsung mereka angkat sebagai calon mantu Mereka hanya melihat keadaan lahiriah saja tanpa menjenguk dan menyelidiki keadaan batin pemuda itu.

Demikian pula dengan Siangkoan Leng. Gadis ini hanya tertarik oleh kecermelangan lahir belaka, melihat ketampanan, kehalusan sikap, dan ketinggian ilmu kepandaian Kok Kongcu tanpa menyelidiki bagaimana watak orang yang akan dijadikan teman hidup selamanya itu. Keluarga Siangkoan ini agaknya lupa bahwa yang gemerlapan belum tentu emas. Buah yang indah menarik kulitnya belum tentu baik isinya.

"Ayah dan Ibu terlalu memuji. Saya hanyalah seorang yang bodoh dan sebatang kara, dan sayalah yang berbahagia besar sekali mendapat kemurahan dan menerima budi kebaikan Ji-wi (Anda berdua) yang berlimpah. Saya mohon agar dapat mempelajari Ngo-heng-kiam dari Ayah sendiri, dan mempelajari Ngo-heng-twi dari..... kalau boleh, dari adik Siangkoan Leng."

Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum bahagia. "Tentu saja boleh, dan tentu Leng Leng akan senang sekali mengajarkan Ngo-heng-twi kepadamu."

Kok Kongcu yang memiliki pendengaran amat tajam, dapat mendengar suara gerakan orang di luar ruangan itu. Dia mengira bahwa tentu Leng Leng yang mencuri dengar percakapan itu dan ketika langkah lembut itu meninggalkan tempat. itu, dia tersenyum. Kok Kongcu rupanya dapat mendengar, tidak dapat melihat, maka dia tidak tahu bahwa yang disangkanya Leng Leng itu sesungguhnya adalah Tang Hu!

Pemuda inilah yang mencuri dengar dan dapat dibayangkan betapa hancur perasaannya. Pemuda ini memasuki ruangan belakang, kemudian meninggalkan rumah gurunya dari pintu samping, tanpa pamit. Dia mengeram diri di dalam kamar di rumahnya dan melempar tubuh ke atas pembaringannya, menelungkup dan menangis! Dunia bagaikan kiamat rasanya bagi Tang Hun.

Wahai engkau cinta asmara betapa engkau mempermainkan manusia membuat mereka menjadi tokoh tokoh sandiwara memaksa mereka menangis atau tertawa di atas panggung kehidupan dunia.


Pak-ong Ji Hiat bersama Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin membeli sebuah rumah yang pekarangannya luas di kota Shu-nyi, sebelah timur laut kota Yen-cing (Peking). Tadinya, datuk besar ini hendak membeli rumah di kota raja Peking, akan tetapi dengan cerdiknya Tiong Sin dapat membujuknya agar tidak tinggal di kota raja.

"Teecu (murid) mengetahui benar bahwa nama besar Suhu sudah amat terkenal di kota raja. Dan di sana banyak terdapat banyak sekali jagoan istana dan panglima-panglima yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau mereka itu tahu bahwa Suhu berada di kota raja, tentu mereka itu akan membikin repot saja. Sebagai seorang datuk besar yang terkenal, tentu Suhu akan mendapatkan banyak permusuhan dari para jagoan."

"Huh! Siapa takut menghadapi para jagoan itu? Mereka itu seperti segerombolan anjing peliharaan para bangsawan dan hartawan, terlalu banyak makan enak dan minum arak, gemuk-gemuk akan tetapi tidak terlalu kuat. Mana aku takut?"

"Tentu saja teecu percaya bahwa tidak akan ada seorang pun jagoan yang mampu menandingi Suhu." kata Tio Sin. "Akan tetapi, Suhu, di antara mereka terdapat panglima-panglima yang memiliki pasukan besar."

"Ha-ha-ha, tikus-tikus itu! Takut apa? Aku tidak takut sama sekali! Selama tinggal di utara, mereka pun tidak ada yang berani mengganggu aku. Di kota raja pun mereka tidak akan berani mengusirku kalau mereka menyayang nyawa mereka!"

"Ayah, kenapa Ayah berkeras? Apa yang dikemukakan Suheng memang benar sekali. Ayah tentu mampu menandingi setiap orang jagoan kota raja, akan tetapi kalau mereka itu maju bersama pasukan yang ribuan orang jumlahnya bahkan puluhan atau ratusan ribu, bagaimana Ayah seorang diri akan mampu melawannya? Kalau Ayah tinggal di luar kota raja, seperti dahulu, tentu mereka tidak akan mengganggu. Akan tetapi kalau tinggal di kota raja, lalu mereka itu mengganggu, memang membikin repot saja!" kata Kui Lan sambil memandang ayahnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut.

Pak Ong terkenal galak dan kejam, Akan tetapi dia mempunyai satu kelemahan, yaitu apabila menghadapi puterinya, dia selalu tidak dapat membantah. Dia terlalu sayang dan terlalu memanjakan puteri yang menjadi anak tunggal ini, juga yang menemani hidupnya semenjak ibu gadis itu meninggal dunia.

"Hemmm, lalu ke mana kita harus tinggal?" akhirnya dia bertanya dengan wajah kesal.

"Serahkan saja kepada Suheng dan aku. Kami yang akan mencarikan sebuah tempat tinggal yang baik untuk kita."

Pak ong menurut saja dan akhirnya, atas usul Tiong Sin, mereka membeli sebuah rumah di kota Shu-nyi. Ketika meninggalkan utara, Pak-ong dan puterinya membawa banyak emas sehingga dengan mudah saja mereka membeli rumah dan semua prabotnya, dan hidup sebagai seorang penduduk baru yang kaya raya di kota itu. Tak seorang pun mengetahui bahwa kakek yang tinggi kurus itu adalah Pak-ong Ji Hiat, seorang diantara Empat Datuk Besar dunia persilatan.

Pak Ong ternyata telah menjadi korban gerakan orang Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan. Dia dan puterinya terpaksa lari mengungsi! Betapapun lihainya seorang datuk besar, menghadapi pasukan besar Mongol, tentu saja dia tidak mampu berbuat sesuatu untuk melawan dan jalan terbaik hanyalah ia mengungsi.

Kecuali kalau dia mau menghambakan diri kepada pasukan Mongol. Biarpun dia seorang datuk besar yang condong sebagai tokoh sesat, Pak Ong adalah seorang yang tinggi hati dan dia tidak sudi menghambakan diri kepada orang Mongol, maka dia pun memilih lari mengungsi.

Setelah menjadi murid Pak Ong, Tiong Sin memperoleh kemajuan pesat sekali. Bukan hanya karena dia memang cerdik dan memiliki bakat yang baik, akan tetapi juga karena Pak Ong melatihnya dengan sungguh-sungguh. Datuk besar ini selain sayang kepada Tiong Sin yang pandai mengambil hati, juga dia didesak selalu oleh puterinya yang makin lama semakin mendalam perasaan cintanya kepada Tiong Sin.

Tiong Sin memang cerdik sekali. Dia sengaja membujuk gurunya agar tidak tinggal di kota raja dan walaupun alasannya itu juga kuat, namun bukan itulah yang ditakutinya. Yang dia takuti alah Yeliu Cutay, ayah angkatnya! Ayah angkatnya itu menjadi seorang pejabat tinggi yang memiliki kekuasaan di kota raja.

Kalau ayah angkatnya itu nengetahui bahwa dia berada di kota raja, tentu akan dikerahkannya pasukan untuk menangkapnya. Terhadap ayah angkatnya itu, tentu saja dia tidak takut sama sekali. Akan tetapi, kota raja adalah tempat yang berbahaya, selain banyak terdapat ahli-ahli silat tingkat tinggi, juga terdapat pasukan keamanan yang besar jumlahnya.

Kini mereka tinggal di kota Shu-nyi dan Tiong Sin jarang keluar rumah. Dia tekun berlatih, dan diam-diam dia pun makin tergila-gila kepada sumoinya. Gadis itu amat manis dan memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan. Dia sendiri seorang pria yang haus wanita, dan sekarang, berada di dekat Kui Lan dan Pak Ong, dia tidak berani berkutik.

Dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk bermain-main dengan wanita, dan untuk diam-diam pergi meninggalkan mereka untuk bermain-main dengan wanita, dia tidak berani, takut kalau ketahuan Kui Lan. Oleh karena itu, dalam keadaan kehausan itu dan setiap hari bergaul dan dekat dengan seorang gadis manis seperti Kui Lan, dia merasa tersiksa sekali. Seolah-olah seorang yang kehausan melihat air jernih dekat sekali akan tetapi tidak bisa diminumnya!

Dia tidak berani mencoba-coba menggoda Kui Lan dengan Pedang Asmara karena dia ngeri membayangkan akibatnya. Dia belum tahu apakah Kui Lan cinta padanya, juga tidak tahu apakah Pak Ong tidak akan marah kalau dia mengetahui bahwa puterinya diganggu. Sampai pada suatu hari terjadilah perubahan yang mendatangkan kegembiraan besar dalam hati Tiong Sin.

Ketika itu, pada suatu sore, Pak Ong memanggilnya. Gurunya itu sedang duduk di taman rumah mereka ketika Tiong Sin datang menghadap. Taman itu luas dan di tengah-tengah terdapat petak rumput yang cukup luas, merupakan tempat yang baik sekali untuk berlatih silat, di udara terbuka, walaupun mereka memiliki juga sebuah ruangan tertutup untuk berlatih silat di bagian belakang rumah itu.

"Tiong Sin, menurut keterangan Kui Lan, engkau telah memperoleh kemajuan pesat karena engkau berlatih dengan tekun setiap hari. Sudah beberapa bulan aku tidak melihat kemajuanmu. Coba, sekarang engkau mainkan ilmu silat tangan kosong Hek-ma Sin-kun (Silat Sakti Kuda Hitam), kerahkan semua tenaga dan kecepatanmu."

"Baik, Suhu." kata Tiong Sin dengan gembira. Memang selama ini dia tiada hentinya berlatih silat, bukan saja karena dia ingin cepat memperoleh kemajuan, akan tetapi juga atas desakan Kui Lan! Hampir tidak ada waktu luang baginya selalu dia berlatih silat atau berlatih sinkang, bahkan sampai jauh malam, lalu bangkit dan mulailah dia bersilat ilmu silat yang amat aneh, yang mula mula membuat Tiong Sin selalu ingin tertawa karena geli.

Ilmu silat ini yang memiliki pasangan kuda-kuda aneh dengan pinggul diacungkan ke atas digoyang-goyang sedikit, presis pinggul seekor kuda yang sedang dalam berahi. Akan tetapi setelah dia bersilat, gerakannya liar dan dahsyat seperti seekor kuda yang mengamuk dan marah. Kedua tangannya menghantam dengan ganas kakinya menendang-nendang dan ketika dia mainkan Kui-ma Sin-tui (Tendang Sakti Kuda Setan).

Maka tendangan tendangan yang bertubi-tubi dan aneh namun berbahaya melayang. Kadang kadang kakinya menyepak seperti kaki kuda. Kalau tempat itu tidak ditilami rumput tebal, tentu debu sudah mengebul tinggi. Banyak rumput yang jebol berserakan, dan angin pukulannya membuat ranting pohon kembang di sekeliling tempat itu bergoyang seperti dilanda angin keras!

"Coba mainkan Toat-beng Tiam-hoat (Ilmu Menotok Pencabut Nyawa)!" kata Pak Ong dan wajah kakek ini berseri, matanya bersinar-sinar. Puterinya tidak membohong. Pemuda ini benar-benar telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Agaknya, dibandingkan dengan Kui Lan sendiri, pemuda itu tidak kalah pandai! Bahkan pemuda itu memiliki kecerdikan yang akan dapat membuat dia mampu memperkembangkan ilmu yang sudah dikuasainya.

Mendengar perintah itu, Tiong Sin mengubah gerakan silatnya dan kini kedua tangannya meluruskan dua buah jari sedangkan yang lainnya ditekuk, dan kedua tangan itu menusuk-nusuk dengan totokan-totokan yang mengeluarkan suara angin bercuitan dan terasa hawa yang dingin. Totokan Toat-beng Tiam-hoat memang didasari sin-kang yang dingin dan amatlah berbahaya bagi lawan.

Pak Ong merasa puas sekali dan setelah muridnya itu menghentikan permainan silatnya sampai jurus terakhir lalu berlutut di depannya, dia meraba kepala muridnya itu dan saking girangnya dia melontarkan kata-kata pujian.

"Bagus sekali, muridku! Kalau begini kemajuanmu, kelak engkau tidak akan membikin malu aku! Engkau tentu akan mampu mengalahkan para murid tiga orang datuk lainnya! Dan kalau engkau menang, engkau akan kujodohkan dengan Kui Lan ha-ha-ha!"

Dua orang muda itu saling pandang Tadinya Tiong Sin merasa terkejut karena mengira bahwa Kui Lan akan marah Akan tetapi, dia melihat betapa wajah gadis itu berubah merah dan mulut yang manis itu tersenyum! Matanya mengerling ke arahnya dengan lirikan yang genit menarik.

"Aihhh, Ayah! Enak saja Ayah menjodohkan orang! Belum juga bertanya kepada yang bersangkutan apakah dia mau menjadi mantumu!" kata gadis itu.

Pak Ong menoleh kepada Tiong Sin "Tidak mau? Apakah minta kuhancurkan kepalanya? Hayo Tiong Sin, jawab! Maukah engkau kelak kujodohkan dengan Kui lan?"

Tiong Sin memberi hormat. "Teecu menerimanya sebagai suatu kehormatan dan anugerah yang membahagiakan hati, Suhu, hanya..... teecu khawatir Sumoi yang tidak sudi....."

"Ha ha-ha, ia mesti mau, mesti mau, ha-ha-ha! Hayo, Kui Lan, jawablah sejujurnya. Engkau mencinta suhengmu ini sejak pertama kali bertemu, bukan? Ha-ha-ha!"

Kalau gadis lain menghadapi godaan seperti ini, tentu akan tersipu malu dan melarikan diri. Akan tetapi tidak demikian dengan Kui Lan. Wajahnya memang menjadi kemerahan, akan tetapi ia mengerling ke arah Tiong Sin dan menjawab dengan suara tegas. "Harus dia buktikan dulu bahwa dia akan dapat menangkan murid para datuk lainnya, barulah dia berharga untuk menjadi jodohku."

"Ha-ha-ha, nah, kau dengar sendiri, Tiong Sin. Bagaimana jawabmu?"

"Teecu akan berusaha sekuat tenaga dengan taruhan nyawa untuk mempertahankan nama dan kehormatan Suhu." kata pemuda itu dengan sikap gagah.

Kakek itu tertawa lalu pergi sambil berkata. "Nah, kalian dapat saling melatih, dapat saling mengisi agar kelak kalian sanggup menghadapi musuh!"

Setelah kakek itu pergi dan mereka berdua saja di dalam taman, Tiong Sin merasa betapa hatinya besar dan gembira sekali. Setelah kini suhunya bermaksud menjodohkannya dengan Kui Lan, maka lain lagi persoalannya. Dia tidak usah takut-takut lagi untuk bergaul lebih akrab, untuk mendekati gadis yang setiap malam menjadi buah mimpi itu.

Keduanya berdiam diri, bagaimanapun juga, ucapan-ucapan Pak Ong membuat mereka rikuh dan salah tingkah, tidak tahu harus berkata apa. Bahkan Kui Lan yang tabah, pendiam dan berwatak aneh itu pun kini agak tersipu. Selama ini, ia seorang gadis yang angkuh, tidak pernah mau didekati pemuda, apalagi menjadi sasaran pengakuan cinta. Mungkin akan dibunuhnya kalau ada pemuda yang berani mengaku cinta kepadanya.

Bahkan ia suka mempermainkan dan mengejek pemuda yang dari pandang matanya jatuh cinta kepadanya. Ia pun tahu bahwa suhengnya ini amat tertarik kepadanya, akan tetapi karena belum pernah menyatakan cinta, ia pun belum yakin apakah Tiong Sin mencinta dirinya. Andaikata sebelum ini Tiong Sin berani menyatakan cinta, besar kemungkinan ia pun akan memandang rendah!

Akan tetapi Tiong Sin tidak pernah mengaku cinta, dengan pandang mata pun tidak! Inilah yang membuat hatinya tertarik sekali, juga penasaran. Dan sekarang, ayahnya yang memiliki penglihatan tajam itu sudah tahu bahwa diam-diam ia mencinta Tiong Sin, dan menjanjikan ikatan jodoh antara mereka.

Ketika ia mengangkat muka memandang, ia melihat betapa pemuda itu pun sedang menatap wajahnya. Keduanya saling pandang dan sejenak pandang mata mereka bertemu dan bertaut. Betapa tajamnya pandang mata pemuda itu, pikir Kui Lan, dan betapa tampan gagah wajahnya. Ia pun menunduk kembali.

"Sumoi.....terdengar suara Tiong Sin, lirih, "engkau..... tidak marah kepadaku?"

Kembali Kui Lan mengangkat muka memandang. Biasanya, pergaulan mereka cukup akrab dan murah senyum. Akan tetapi sekarang, karena rasa malu, Kui Lan tidak tersenyum. "Mengapa harus marah? Hanya kulihat engkau ini sungguh lancang sekali, Suheng."

Tiong Sin terkejut. Apakah gadis ini tidak setuju dan menjadi marah karena dia tadi secara tidak langsung menyatakan cintanya dengan mengatakan setuju akan perjodohan itu? Dia disebut lancang sekali, lancang karena menerima usul perjodohan?

"Maaf, Sumoi. Aku..... aku tidak mengerti." Biarpun dalam hatinya dia merasa mendongkol, namun wajahnya tidak memperlihatkan perasaan ini, bahkan dia merendahkan diri walaupun hatinya berbisik gemas. "Awas kau kalau sudah tunduk kepadaku!"

"Engkau lancang, Suheng, menerima begitu saja syarat yang diajukan ayah. Apa kau kira mudah saja mengalahkan murid-murid tiga orang datuk besar lainnya itu? Mereka itu amat lihai dan rata-rata mereka sudah mewarisi ilmu kepandaian guru masing-masing. Karena itu aku tadi mengatakan kepada ayah bahwa engkau harus dapat membuktikan dulu bahwa engkau akan mampu menangkan murid tiga orang datuk besar lainnya."

Bukan main lega rasa hati Tiong Sin mendengar ucapan itu. Kiranya gadis itu tidak menyesal karena dia mengaku suka berjodoh dengannya, melainkan menyesal karena dia berani dan sanggup untuk menandingi para murid tiga orang datuk besar lainnya. Berarti bahwa gadis itu mengkhawatirkan dirinya, takut kalau kelak dia tidak sanggup menang. Maka Tiong Sin tersenyum.

"Sumoi, aku yakin kelak akan dapat memenangkan mereka. Aku sama sekali tidak khawatir!"

"Hemmm, jangan sombong, Suheng."

"Sama sekali tidak sombong. Aku mempunyai seorang suhu yang sakti, dan di sini terdapat engkau, seorang sumoi yang selain lihai juga amat baik hati yang akan selalu menjadi teman berlatih. Tentu aku akan memperoleh kemajuan berkat suhu dan engkau."

Gadis itu menarik napas panjang tidak marah karena ucapan pemuda itu secara tidak langsung memujinya. "Suheng, engkau sungguh tidak tahu mereka! Tiga orang datuk besar itu memiliki ilmu setingkat dengan ayah, dan murid-murid mereka pun lihai sekali. Aku khawatir kalau kelak engkau tidak mampu mengalahkan mereka dan...." Ia tidak melanjutkan, akan tetapi Tiong Sin yang cerdik dapat menduga bahwa sambungan ucapan itu tentulah "..... dan kita tidak dapat saling berjodoh."

Tiong Sin merasa girang dan yakin bahwa gadis ini mencintanya dan amat mengharapkan perjodohan antara mereka Gadis ini mencintanya. Ayahnya setuju kalau mereka berjodoh. Menanti apa lagi?

"Sumoi, jangan khawatir. Suhu sudah mengajarkan bagaimana aku memainkan pedang berdasarkan ilmu golok Swat-in-to (Golok Salju) dari suhu. Dengan menggabungkan ilmu golok itu dengan Ilmu pedangku Thay-san Kiam-sut, maka aku telah berhasil menciptakan ilmu pedang yang hebat. Engkau hendak melihatnya? Mari kita berlatih, Sumoi, kau-pergunakan golokmu dan aku mempergunakan pedangku. Marilah!"

Kui Lan menjadi gembira. Ini merupakan berita baru baginya. Pantas sudah lama pemuda itu tidak pernah mengajaknya berlatih silat menggunakan senjata, hanya berlatih dengan tangan kosong saja. Kiranya diam-diam Tiong Sin telah menciptakan suatu ilmu pedang yang baru, yaitu penggabungan antara Swat-in-to dengan Thay-san Kiam-sut yang sudah dikuasainya sebelum menjadi murid ayahnya. Gadis ini pun menggerakkan tangan kanan dan ia sudah menghunus goloknya yang tipis dan ringan.

"Mari, aku sudah siap, Suheng!" katanya sambil memasang kuda-kudanya yang aneh dan menggairahkan, yaitu kuda-kuda berdasarkan Hek-ma Sin-kun, dengan pinggul yang digoyang-goyang!

Tiong Sin tersenyum. Kalau selama ini dia tidak mau mengajak sumoinya berlatih silat dengan senjata, adalah karena dia tidak ingin membahayakan keadaannya. Dia mengenal benar pengaruh yang hebat dari Pedang Asmara terhadap wanita. Kalau dia menghunus pedang itu dan berlatih melawan Kui Lan tentu gadis itu akan terpengaruh dan kalau sampai terjadi pelanggaran.

Ketika itu dia takut dan ngeri membayangkan kemarahan suhunya. Akan tetapi sekarang lain lagi. Dia tidak akan ragu lagi, bahkan dia sudah mengambil keputusan untuk memuaskan kehausannya, akan melepas rindunya terhadap Kui Lan tanpa rasa takut.

"Singgg.....!" Nampak sinar berkilat ketika pedang itu dicabutnya, sinar kehijauan yang amat indah dan tidak menyilaukan mata. Melihat pedang telanjang itu, tiba-tiba pandang mata Kui Lan berubah redup, akan tetapi ia sudah mengeluarkan teriakan nyaring.

"Suheng, awas serangan golokku!" golok tipis itu menyambar bagaikan kilat cepatnya, akan tetapi Tiong Sin yang sudah mengenal baik ilmu golok Swat-in-to, dapat mengelak dengan tepat. Hanya angin dingin yang dibawa golok itu yang terasa olehnya. Ilmu golok dari Pak Ong ini memang hebat sekali, selain cepat dan kuat, juga mengandung sinkang yang berhawa dingin. Makin pandai orang yang memainkannya, makin dinginlah hawa sambaran senjata itu.

Kembali golok itu menyambar dan menyerang bertubi-tubi. Karena ingin melihat suhengnya yang kini menjadi tunangannya itu cepat memperoleh kemajuan, maka Kui Lan menyerang dengan sungguh-sungguh, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Tentu saja ia melakukan hal ini dengan berani tanpa khawatir karena ia sudah yakin benar bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Tiong Sin sudah sebanding dengan tingkatnya sendiri.

Tiong Sin menggerakkan pedangnya dan sinar hijau bergulung-gulung menyambut sinar putih dari golok tipis itu. Tiong Sin maklum akan keampuhan pedangnya, maka dia menjaga agar jang sampai golok di tangan sumoinya itu patah oleh pedangnya. Tangkisannya dilakukan dengan bagian pedang yang tidak tajam, yaitu dengan miringkan pedangnya sehingga berulang kali terdengar bunyi berdenting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar menerangi cuaca yang mulai suram.

Dia juga membalas dengan pedangnya, tidak takut kalau sampai pedangnya melukai sumoinya karena dia tahu bahwa tubuh sumoinya, dari pinggang sampai leher, dilindungi oleh baju dalam terbuat dari benang emas yang kebal, dapat menahan tusukan senjata pusaka yang ampuh sekalipun.

Terjadilah serang menyerang dan setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Kui Lan terdesak! Gadis ini diam-diam merasa kagum sekali. Ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan memainkan semua jurus pilihan, namun suhengnya yang sudah hafal akan semua jurus Swat-sin to, dapat menghindarkan diri dengan elakan maupun tangkisan.

Sebaliknya, setelah kini Tiong Sin menyerangnya, ia makin lama menjadi semakin bingung karena dalam gerakan pedang lawan itu, nampak jelas gerakan Swat-sin-to, akan tetapi juga lain sekali perkembangannya. Ini yang membuat ia merasa bingung dan segera ia hanya mampu memutar golok melindungi tubuhnya, terdesak dan tidak mampu membalas.

Sementara itu, juga jantungnya berdebar dan terguncang keras dan ada perasaan mesra dan sayang yang amat luar biasa di dalam hatinya terhadap pemuda itu, ada rangsangan birahi yang membuat kedua matanya menjadi semakin redup.

Tiong Sin melihat perubahan ini dan tiba-tiba, ketika pedangnya menusuk dada dan ditangkis golok, dia mengerahkan tenaga, pedangnya mengandung tenaga menempel, lalu pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga gadis itu berseru kaget dan goloknya terlepas dari tangan dan sebelum ia mampu menangkis, tiba-tiba saja pedang di tangan Tiong Sin sudah menempel di leher dan dadanya melintang di antara kedua buah dadanya.

Dan Tiong Sin menggunakan tangan kirinya untuk memegang lengan kanan gadis itu, menariknya mendekat dan berkata lirih. "Bagaimana, Sumoi? Apakah engkau belum mengaku kalah?"

Tubuh gadis itu gemetar, mukanya merah sekali, matanya setengah terpejam napasnya terengah dan dadanya bergelombang, mulutnya berbisik lirih, "..Ya aku..... aku menyerah..... aku mengaku kalah....."

Pada saat itu, Tiong Sin merangkulnya dan mencium mulutnya. Gadis itu merintih dan kedua lengannya lalu merangkul leher Tiong Sin, membalas ciuman itu dengan penuh gairah. Tubuhnya terasa panas sekali bagaikan terbakar api gairah berahi dan mulutnya mengeluarkan suara merintih yang tidak jelas artinya.

Tiong Sin sudah seringkali membayangkan peristiwa ini. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan. Diambilnya golok gadis itu, lalu sambil berangkulan mereka memasuki rumah dengan hati-hati melalui pintu belakang agar tidak terlihat oleh Pak Ong walaupun Kui Lan bersikap tidak peduli lagi. Mereka berdua masuk ke kamar Tiong Sin dan gadis itu bukan hanya menyerah saja dirinya digauli Tiong Sin, bahkan membalas dengan asmara yang membara.

Tiong Sin memang cerdik. Dia membawa gadis itu ke kamarnya, bukan ke kamar gadis itu agar kalau sampai Pak Ong menyalahkannya dia dapat mengambil alasan bahwa sumoinya yang datang ke kamarnya, bukan dia mendatangi sumoinya di dalam kamar gadis itu!

Sebetulnya akal ini tidak perlu. Sejak mereka berlatih tadi, Pak Ong sudah mengintai dari jauh. Datuk besar ini terlampau lihai untuk dapat dikelabui begitu saja. Dia melihat mereka berdua ketika bertanding tadi dan dia pun merasa kagum melihat permainan pedang muridnya itu yang sungguh dapat mengatasi permainan golok puterinya.

Pemuda itu memang boleh diandalkan dan diam diam dia merasa gembira karena dia sudah membayangkan betapa "jagoannya" atau muridnya ini akan memperoleh kemenangan sehingga dia akan mendapatkan muka terang di antara para datuk besar. Maka, ketika melihat betapa latihan itu berakhir dengan permainan cinta antara puterinya dan muridnya, Pak Ong hanya senyum lebar dan pergi ke kamarnya!

Sikap Pak Ong ini bukan karena dia menyayang puterinya dan membiarkan puterinya berbuat apa saja yang disukainya, melainkan didasari cinta kepada dirinya sendiri, mementingkan nama besar dan kesenangan hatinya sendiri. Andaikata pemuda itu bukan Tiong Sin yang dia harapkan akan dapat mewakilinya mengalahkan para murid datuk lain, tentu akan dibunuhnya pada saat pemuda itu berani mencium puterinya!

Bagi seorang datuk besar yang berjiwa sesat seperti Pak Ong, apa yang dilakukan puterinya itu bukan hal yang sesat karena dihubungkan dengan kepentingannya sendiri. Andaikata kelak Tiong Sin mengecewakan dan kalah, mudah saja membunuh murid dan calon mantu itu. Pendeknya, bagi seorang manusia seperti Pak Ong, apapun yang terjadi dan menyangkut dirinya haruslah mempunyai satu arah saja, yaitu menguntungkan dirinya!

Watak seperti yang dimiliki Pak Ong ini, tanpa kita sadari, seringkah hinggap pula pada batin kita. Kalau kita mau membuka mata dan dengan waspada melihat keadaan apa adanya, melihat ke inti persolan, menguak dan menjenguk lebih dalam lagi, akan nampaklah oleh kita sendiri betapa kita pun hampir selalu mementingkan diri sendiri.

Sungguh pun akal pikiran kita yang memang pandai dan penuh tipu muslihat selalu mengelak dan bahkan selalu mencari alasan menutupi kepentingan diri sendiri itu dengan kepentingan orang lain! Betapa banyaknya di antara kita beranggapan bahwa apa yang kita lakukan adalah demi kebaikan anak kita, demi keuntungan anak kita.

Padahal, karena yang mempertimbangkan dan berpendapat demikian itu adalah kita, maka di balik semua itu sesungguhnya kita mementingkan perasaan kita sendiri. Kita selalu ingin anak kita memilih sesuatu atau seseorang yang cocok dengan selera kita, yang kita senangi. Kalau anak kita memilih sesuatu, apalagi seseorang calon jodoh, yang tidak mencocoki selera kita, maka kita rasa tidak senang!

Bukankah ini juga merupakan suatu bentuk pementingan diri sendiri? Hampir setiap detik, setiap hubungan dengan orang lain, kita dasari dengan pementingan diri sendiri. Inilah sumber segala pertentangan di dunia ini. Mengapa kita tidak pernah belajar memperhatikan kepentingan orang lain dan sesekali meniadakan kepentingan diri sendiri secara sungguh-sungguh, bukan secara munafik?

Hanya cinta kasih yang akan dapat mengalahkan ke-aku-an ini, mengalahkan pementingan diri sendiri. Kalau ada kasih sayang, maka segala tindakan kita yang ada hubungannya dengan orang lain itu, tentu kita lakukan demi kepentingan orang yang kita kasihi, sama sekali tidak ingat untuk kepentingan atau kebutuhan sendiri. Cinta kasih, bukan nafsu berahi!

Di dalam hatinya, Ji Kui Lan memang sudah amat tertarik kepada suhengnya yang baru itu, karena memamg Tiong Sin seorang pemuda yang menarik hati, tampan dan gagah, juga berbakat sekali dalam ilmu silat. Dan gadis anak tunggal Pak Ong ini sejak kecil dididik oleh seorang manusia aneh, seorang datuk besar yang sesat dan yang berhati kejam, mau menang sendiri saja, dia tidak terikat atau tidak mau terikat oleh segala macam hukum apa saja, baik hukum manusia, hukum adat, tidak mengenal apa yang dinamakan tata-susila.

Yang menjadi hukum adalah kehendaknya yang harus ditaati orang lain. Tidak mengherankan kalau Kui Lan juga menjadi seorang gadis yang berwatak aneh sekali. Ia memang manis dan jelita, menarik dengan bentuk tubuh yang indah menggiurkan. Ia galak, kadang pendiam, akan tetapi wataknya berubah-ubah, kadang dingin seperti es dan kadang panas seperti api.

Karena ia memang sudah tertarik kepada Tiong Sin, maka amat mudah ia terpengaruh oleh Pedang Asmara. Dengan penuh kepasrahan, bahkan dengan gairah yang berkobar, ia menyerahkan dirinya Kepada Tiong Sin sebulatnya. Setelah semua itu terjadi, tidak terdapat penyesalan di dalam hati Kui Lan. Baginya, peristiwa yang menimpa dirinya itu setiap waktu pasti akan terjadi!

Hanya kebetulan saja banwa peristiwa yang pertama kali terjadi dengan Tiong Sin. Baginya, kehormatan pun terletak di dalam goloknya, bukan di dalam dirinya, apalagi dalam tingkah lakunya! Apakah kelak Tiong Sin menjadi suaminya atau tidak, ia tidak begitu peduli, walaupun keperawanannya telah diserahkannya kepada pemuda itu!

Bagi seorang gadis puteri Pak Ong ini, tidak ada apa yang dinamakan kesetiaan. Akan tetapi, setelah selesai dan pengaruh Pedang Asmara tidak mencengkeramnya lagi karena pedang itu disimpan oleh Tiong Sin, ia hanya berkata dengan nada mengancam.

"Bu Tiong Sin, ingatlah baik-baik. Hari ini aku telah menyerahkan diriku kepadamu, oleh karena itu, mulai sekarang, engkau harus mentaati setiap perintahku. Sekali saja engkau membangkang dan menyakiti hatiku, aku akan minta kepada ayah untuk membunuhmu. Dan mulai sekarang engkau harus berlatih dengan sungguh-sungguh, karena kalau kelak dalam pertandingan antar Empat Datuk itu engkau kalah oleh murid para datuk lainnya, engkau tidak akan menjadi suamiku dan engkau tidak usah mengharapkan akan tinggal hidup. Sebaliknya, kalau engkau menang, barulah aku akan senang menjadi isterimu."

Diam-diam Tiong Sin terkejut juga. Sejak kecil dia digembleng oleh seorang gagah yang berjiwa pendekar, yaitu Yeli Cutay. Tentu saja didikan itu sedikit banyak mempengaruhi wataknya. Hanya karena memang pada dasarnya dia mempunyai perangai yang kurang sehat, maka dia sampai melakukan penyeleweng sehingga bertentangan dengan ayah angkat dan gurunya itu.

Bagaimanapun juga segala macam peraturan dan hukum yang berlaku sudah tertanam di dalam hatinya maka tentu saja dia terkejut dan heran mendengar ucapan gadis itu. Kui Lan jelas seorang perawan ketika menyerahkan diri kepadanya, dan biarpun dia tahu bahwa gadis itu terpengaruh Pedang Asmara, namun jelas pula bahwa gadis ini memiliki berahi yang besar.

Akan tetapi setelah menyerahkan keperawanannya kepadanya, kini gadis itu enak saja menyatakan bahwa kalau dia kelak kalah dalam pertandingan, gadis itu tidak mau menjadi isterinya! Bukan main! Kalau gadis lain, tentu mati-matian akan mempertahankan haknya dan menuntut agar dia mau memperisterinya karena kalau tidak maka gadis itu yang akan menderita aib dan malu. Agaknya, kehilangan kegadisan bagi Kui Lan bukan merupakan hal yang penting!

Akan tetapi, Bu Tiong Sin sendiri bukan seorang laki-laki jantan yang penuh tanggung jawab. Dan dia bukan mencinta Kui Lan setulus hatinya, melainkan cinta berahi seorang pria yang melihat orang gadis muda yang cantik menarik. Kini, setelah hasratnya terpenuhi, gairahnya terhadap Kui Lan menurun banyak sekali. Dia bahkan membayangkan betapa akan sengsara hidupnya kelak kalau sampai menjadi suami Kui Lan. Tentu dia akan menjadi seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya!

Dia sendiri tidak takut kepada Kui Lan, akan tetapi ayahnya. Maka, giranglah hatinya mendengar ucapan gadis itu, karena dengan demikian dia tidak perlu takut bahwa kelak harus menjadi suami Kui Lan. Tentu kelak dia akan mendapatkan jalan untuk mengelak tidak menjadi suami Kui Lan, setiap saat boleh menikmati tubuhnya, dan juga tidak sampai terancam oleh Pak Ong. Dia akan mencari akal dan menemukan jalannya!


Sementara itu, gerakan bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Jenghis Khan dan para panglimanya yang pandai dan gagah perkasa, merupakan malapetaka bagi rakyat yang tinggal di antara kota raja Yen-cing (Peking) dan Tembok Besar. Dusun-dusun yang dilewati pasukan Mongol itu seperti dilanda air bah yang menghanyutkan dan membasmi segalanya, atau seperti api yang melalap habis sebuah hutan kering.

Pasukan itu membakar rumah, membunuh, merampok, dan memperkosa. Mereka agaknya berpendapat bahwa setiap orang Han yang ditemui harus dibunuh karena hal itu berarti mengurangi jumlah musuh! Mengurangi kemungkinan adanya mata-mata musuh. Bagaimanapun juga, di mana-mana Jenghis Khan menghadapi perlawanan dari pasukan-pasukan Kerajaan Cin yang kuat dan yang banyak sekali jumlahnya.

Untunglah bahwa para perajuritnya adalah orang-orang yang gemblengan dan banyak pengalaman dalam pertempuran. Rata-rata pandai menunggang kuda, mampu bergerak cepat, bertenaga besar, berdaya tahan amat kuat dan pandai pula memainkan golok atau tombak. Semua perlawanan pasukan Cin disapu bersih setiap kali terjadi pertempuran di medan terbuka.

Pasukan Cin yang selama ini hanya bermalas-malasan, jarang berlatih sehingga rata-rata berperut gendut dan bergerak lamban, bukanlah lawan jago-jago berkelahi seperti para perajurit Mongol itu. Akan tetapi setiap kali menghadapi benteng pasukan Cin, Jenghis Khan kewalahan! Pasukannya hanya kuat dan ampuh kalau melakukan pertempur di lapangan terbuka, pandai bersiasat mengelabui lawan, juga memiliki kuda yang cepat. Kalau dihadapkan benteng yang kuat, tembok tebal yang sukar diruntuhkan, dengan penjagaan ketat di atas benteng, pasukan Mongol kehilangan akal.

Inilah sebabnya mengapa dalam penyerbuan pertama itu, biarpun pasukannya sudah dapat mencapai dekat benteng tembok Yen-cing, namun dia tidak berhasil membobol benteng itu, bahkan mengalami kerugian besar karena tentara Cin memiliki senjata-senjata lontar yang ampuh, yang dihujankan dari atas tembok benteng dan membuat pasukan Mongol yang mengepung di luar benteng menderita kerugian besar dan kocar-kacir.

Pasukan Cin memiliki alat-alat perang ampuh yang belum dikenal bangsa Mongol. Ada alat pelempar batu batu besar, busur raksasa yang talinya ditarik dan direntangkan sepuluh orang. Ada pula pelempar batu raksasa yang direntangkan oleh dua ratus orang dan dapat melemparkan sejumlah batu besar ke luar benteng. Ada pula "api terbang", semacam ranjau yang diledakkan dalam tabung bambu dan melontarkan bola api ke arah musuh di luar benteng.

Menghadapi. penyerangan dari dalam benteng jarak jauh ini, sedangkan pihak musuh terlindung oleh tembok benteng yang tebal sebaliknya pasukannya di medan terbuka, Jenghis Khan kewalahan. Pasukannya hanya memiliki anak panah untuk melawan semua senjata jarak jauh yang ampuh itu, dan pasukannya tidak terlindung. Bahkan dalam pertempuran pertama, Jenghis Khan menderita luka di pahanya yang membuat dia terpaksa menarik mundur pasukannya.

Kini luka-lukanya sudah mulai sembuh dan biarpun belum sembuh sama sekali, dia sudah mengerahkan pasukannya lagi untuk menyerbu ke selatan. Kini pasukannya sudah beristirahat dan dia sudah menghimpun kekuatan baru. Sekali ini, Jenghis Khan menghadapi perlawanan yang lebih kuat dari pihak Kerajaan Cin yang juga sudah bersiap-siaga.

Terjadilah pertempuran hebat di mana-mana. Pasukan Mongol terpaksa harus merampas kembali daerah yang pernah mereka kuasai dalam perang terdahulu. Dan kembali pasukan Mongol yang dipimpin oleh panglima-panglima perang yang amat pandai itu memperlihatkan keunggulan di medan terbuka. Pasukan Cin dipukul mundur dan biarpun di pihak pasukan Mongol banyak pula jatuh korban, namun akhirnya Jenghis Khan dapat membagi balatentaranya menjadi tiga pasukan besar yang menyerbu dari tiga jurusan.

Para putera Jenghis Khan yang besar dalam perang itu memimpin pasukan menyerbu Shan-si. Dari utara sebuah pasukan lagi dipimpin oleh Panglima Yuci melintasi Pegunung Khing-an-san, bergabung dengan pasukan dari Liao-tung, sekutu mereka. Jenghis Khan sendiri memimpin induk pasukan terus menyerbu sampai ke tepi laut dekat Yen-king.

Dalam penyerbuan ke dua ini, Jenghis Khan menggunakan siasat baru untuk menundukkan kota-kota yang dilindungi benteng yang kuat. Dia menyuruh pasukannya menangkapi para petani dan memaksa mereka berjalan di depan pasukannya sebagai perisai, dan memaksa mereka membukakan pintu gerbang dengan janji bahwa kalau mereka membantu, mereka tidak akan dibunuh.

Mereka yang tidak mentaati perintah ini, dibantai habis-habisan! Sawah ladang mereka basmi, lumbung-lumbung mereka bakar dan semua orang yang tidak dapat mereka pergunakan atau manfaatkan, biar anak kecil atau perempuan sekalipun mereka bunuh tanpa ampun lagi. Sepak terjang penuh kebuasan inilah yang membuat pasukan Mongol kemudian terkenal di seluruh dunia sebagai pasukan yang amat kuat dan sukar dikalahkan oleh bangsa manapun yang mereka serbu! Pihak lawan sudah menjadi giris dan ngeri mendengar akan kebuasan mereka.

Sekali ini, Kerajaan Cin menjadi panik. Agaknya pasukan Mongol mengadakan perang total, mengerahkan tenaga habis-habisan dan kini telah mengepung benteng tembok kota raja Yen-king. Bahkan ketika mereka menyerbu melewati benteng-benteng pertahanan di luar kota Yen-king, banyak panglima Kerajaan Cin menjadi ketakutan dan kehilangan akal lalu dengan sisa pasukannya, beberapa orang panglima menyerah dan taluk kepada pasukan Mongol!

Mereka tidak di basmi, hanya yang luka saja mereka bunuh semua, sedangkan yang tidak terluka, mereka terima sebagai tentara taklukan dan Jenghis Khan yang membutuhkan tenaga banyak orang itu menempatkan mereka untuk menjaga daerah yang telah dikuasai pasukannya! Dia sendiri bersama semua pasukan yang telah bergabung, kini berkemah di dekat kota Yen-king, menghadapi benteng yang amat kokoh itu.

Akan tetapi, setelah berhasil tiba di dekat Yen-king, kota raja di mana tinggal Kaisar Wai Wang dari Kerajaan Cin, bala tentara Mongol sudah kelelahan, banyak di antara mereka tewas dan banyak pula yang menderita luka-luka. Bahkan banyaknya orang yang tewas dan kurang terawat mayat mereka, akibat pembantaian di sepanjang perjalanan, timbullah wabah penyakit yang merajalela ke mana-mana. Banyak pula di antara para perajurit Mongol terserang wabah ini.

Kuda tunggangan mereka pun sudah kelelahan dan kurang terpelihara sehingga keadaan mereka buruk sekali. Ketika Jenghis Khan yang belum sembuh benar lukanya beristirahat di dalam perkemahannya, membiarkan pasukannya beristirahat pula, ia dihadap oleh para panglima dan puteranya yang gagah dan setia.

Para panglima yang sudah melihat hasil baik penyerbuan mereka, tinggal menghadapi benteng Yen-king saja, mengemukakan pendapat mereka bahwa sebaiknya benteng Yen-king itu mereka serang saja dan Kaisar Wai Wang mereka tangkap. Kalau kaisar itu sudah dapat ditawan, tentu semua perlawanan pasukan Cin akan terhenti, kata mereka.

Akan tetapi Jenghis Khan mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya, sambil bersandar pada kursinya, sebuah kursi kesayangan yang selalu dibawa oleh seorang pengawalnya dan selalu didudukinya kalau dia beristirahat, Jenghis Khan memandang kepada para pembantunya dan berkata, suaranya lembut.

"Kalian memang telah berjasa besar dan kita memperoleh kemajuan pesat. Berkat kegagahan pasukan kalian, maka kita berhasil menalukkan dan menduduki seluruh propinsi di sebelah utara Sungai Kuning. Setiap orang perajurit berjiwa besar dalam perang ini. Untuk sementara kemenangan ini sudah cukup bagi kita akan tetapi bagaimana mungkin kita kembali ke tanah air dengan tangan hampa? Kita harus mendapatkan barang berharga untuk dibagikan kepada setiap orang perajurit dan panglima yang telah berjasa besar, untuk menyenangkan dan menenangkan hati mereka, agar mereka itu semua dapat membawa oleh-oleh untuk keluarga mereka..."

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.