Pedang Asmara Jilid 13

Cerita silat Mandarin online karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 13
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 13 karya Kho Ping Hoo - SEMENTARA itu, setelah dua orang muda itu pergi, Cu See Han mencela ayahnya. "Ayah kenapa Ayah membiarkan ia pergi? Kalau memang Ayah setuju bahwa gadis itu menjadi isteriku, aku pun setuju sekali dan mengapa kita tidak menahannya saja di sini dan langsung menjadi isteriku?"

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

"Ha-ha-ha, mengapa tergesa-gesa, See Han? Kalau engkau begitu membutuhkan wanita, engkau boleh mencari di sini juga banyak. Siang Bwee tidak boleh kau perlakukan seperti wanita lain. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Num Tok. Jangan khawatir, ia pasti akan menjadi isterimu. Bukankah ia sudah menyatakan mau, bahkan tadi membiarkan dirinya kaucium? Ha ha ha!"

"Tapi aku masih belum percaya padanya, Ayah. Ia cerdik sekali dan agaknya kita berdua telah menjadi korban penipuannya!"

Tung Kiam mengerutkan alisnya. "Apa kau bilang? Apa maksudmu?"

"Ayah, ketika tadi kami bicara di sini, ia mengaku bahwa pemuda yang bernama Kwee San Hong itu adalah calon suaminya!"

"Ehhh? Benarkah itu?"

"Ia yang memberitahu begitu, Ayah."

Kini Tung Kiam mengerutkan alisnya dan berpikir keras. "Wah, memang ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang utusan ayahnya dan agaknya ia jatuh cinta kepada pemuda yang memusuhi ayahnya sendiri itu. Akan tetapi, ada pula kemungkinan lain! Mungkin ia hanya bermain sandiwara dalam usahanya mencari penyembuhan untuk pemuda yang dicintanya. Bagaimanapun juga, aku kelak dapat menemui Nam Tok untuk minta penjelasan, sekalian meminangnya dengan resmi."

"Tapi, pemuda itu harus kubunuh, Ayah. Dia menjadi penghalang. Sekarang juga aku akan mengejarnya!"

Tung Kium memegang lengan puteranya. "Jangan, See Han. Pertama, ilmu kepandaiannya cukup tinggi. Dia murid dari kelima Thian-san Ngo-sian, dan dia sudah kuberi beberapa jurus ilmu simpanan yang ampuh untuk menghadapi Nam Tok."

"Apakah Ayah masih percaya dia benar-benar musuh Nam Tok?"

"Tentu saja! Kalau bukan, tentu dia tidak dipukul sehebat itu, pukulan yang membahayakan nyawanya, dan pemuda itu kulihat jujur bukan main, tentu tidak mungkin dapat berbohong. Jadi, jangan kejar, biarkan saja dia berkelahi sendiri melawan Nam Tok. Kalau perlu, kelak masih banyak waktu untuk mencarinya. Sekarang yang penting, engkau harus memperdalam ilmu-ilmumu, jangan berkeliaran mencari perempuan saja!"

Akan tetapi diam-diam See Han merasa penasaran sekali. Bagaimanapun juga, dia memang merasa perlu untuk memperdalam ilmunya dan agaknya kini ayahnya akan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan dia harus tekun berlatih diri.


"Bwee-moi, berhenti dulu...." San Hong berseru. Mereka telah berlari hampir setengah malam penuh. Kini sinar matahari pagi sudah mulai membayang di ufuk timur.

Mereka terus berlari tanpa berkata sepatah pun dan kini San Hong merasa perlu untuk menghentikan gadis itu. Siang Bwee berhenti dan mereka tiba di luar sebuah hutan. Mereka berdiri saling pandang di keremangan subuh dan keduanya menggunakan saputangan untuk mengusap keringat.

"Bwee-moi, kenapa kita berlari-lari seperti dikejar setan?" San Hong mengeluarkan isi hatinya, perasaan penasaran yang pertama.

"Hong-ko, kalau hanya setan yang mengejar, aku tidak akan mengajakmu berlari-lari seperti itu! Akan tetapi yang mengejar jauh lebih ganas dan kejam daripada setan, yaitu Tung Kiam dan puteranya."

"Apakah mereka mengejar kita? Kenapa?"

"Belum tentu, akan tetapi besar kemungkinannya. Dan kalau benar dugaanku mereka mengejar kita, maka kalau sampai kita tersusul, kita tentu akan ditawan atau dibunuh!"

"Tapi mengapa?"

"Karena tentu Tung Kiam telah mengetahui atau dapat menduga bahwa semua itu adalah siasatku belaka, permainan sandiwara dengan tujuan agar dia mau menyembuhkanmu."

"Tidak mungkin! Bukankah dia sudah percaya kepadamu dan telah mengobatiku sampai sembuh?"

"Aih, Hong-ko. Engkau adalah seorang yang jujur dan belum banyak pengalaman. Engkau tidak tahu betapa berbahaya dan jahatnya orang-orang kang-ouw dan betapa cerdiknya seorang datuk besar seperti Tung Kiam. Dia tentu sudah tahu akan tipu muslihatku, karena aku telah salah bicara. Sedikit saja salah bicara, dia tentu akan dapat membongkar semua rahasiaku."

"Salah bicara bagaimana, Bwee-moi? Aku tidak mengerti,"

"Di taman itu, ketika engkau dan Tung Kiam belum muncul, Cu See Han menemuiku dan mengajak aku bercakap cakap. Dalam percakapan itulah aku telah kesalahan bicara, aku mengatakan kepadanya bahwa engkau adalah calon suamiku....."

"Ahhh!" San Hong mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya di atas rumput untuk menenangkan hatinya. Siang Bwee juga ikut duduk di atas rumput. Mereka kelelahan, tidak peduli bahwa rumput itu basah oleh embun sehingga membasahi celana mereka.

"Bwee-rnoi, dua kali engkau membohongi orang dengan mengatakan bahwa aku adalah calon suamimu. Yang pertama kali, engkau membohongi ayahmu sendiri....."

"Aku membohonginya agar dia tidak membunuhmu, Hong-ko."

San Hong menghela napas panjang. Justeru alasan itulah yang selalu menyakitkan hati bila dikenang. Pengakuan calon suami. itu hanya bohong belaka, hanya untuk menyelamatkan dirinya. "Dan kali ini? Untuk apa kebohongan itu kaukatakan kepada putea Tung Kiam?"

"Karena..... karena aku mendongkol sekali kepadanya, karena aku terpaksa harus menyetujui dijodohkan dengan dia! Biar dia tahu bahwa aku tidak suka kepadanya, maka aku katakan bahwa engkau adalah calon suamiku."

"Lalu, kenapa dengan pengakuan itu maka Tung Kiam akan mengetahui bahwa engkau telah bersiasat.....?"

"Aih, kenapa engkau begini bodoh, Hong-ko?"

"Memang aku bodoh, dan aku ingin penjelasanmu." jawab San Hong, kini tidak merasa sakit hatinya lagi kalau dibodohkan gadis itu. Dia sudah mulai menjadi terbiasa.

"Setelah kita pergi, tentu anak manja itu akan memberitahukan ayahnya tentang pengakuanku dan tentu Tung Kiam yang amat cerdik itu akan dapat menduga bahwa semua yang kulakukan itu hanya siasat belaka untuk menipunya, agar dia mau mengobatimu, mempergunakan kelemahan hatinya yang penuh kesombongan itu. Dan tentu mereka akan melakukan pengejaran, maka aku memaksamu untuk berlari cepat tanpa henti-henti."

San Hong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum. Memang gadis ini luar biasa cerdiknya. Cerdik, berani, tabah, cantik jelita, manis dan juga pandai sekali ilmu silatnya. Gadis yang aduhai, tiada bandingnya di dunia ini!

Pertanyaan-pertanyaan yang tadi mengaduk hatinya, sudah banyak yang sudah terjawab, di antaranya mengapa mereka lari seperti dikejar setan. Akan tetapi masih ada beberapa pertanyaan lagi menggodanya. "Tapi mengapa kita lari dengan meninggalkan semua barang kita?

Bungkusan pakaian dan lain-lainnya? Sebaiknya kalau tadi kita ambil dulu barang-barang kita."

"Dan untuk pakaian itu kita tertawan oleh mereka? Aih, apa artinya pakaian itu dibanding keselamatan kita, Hongko?"

'Tapi.... tapi tanpa bekal pakaian, kita tidak dapat berganti pakaian....."

Gadis itu tertawa, suara ketawanya renyah dan ia kini nampak sudah biasa kembali, tidak dicekam kekhawatiran. "Aih, Kong-ko. Engkau ini ribut soal pakaian saja. Tentu tidak mungkin kita tidak pernah berganti pakaian. Itu tidak sehat dan kotor menjijikkan. Namun, betapa mudahnya membeli pakaian baru..."

"Harus memakai uang....."

"Jangan khawatir, perhiasanku selalu berada di saku bajuku. Baru sebuah gelangku ini saja, cukup untuk ditukar dengan sepuluh stel pakaian untukmu dan untukku, Hongko!"

"Tapi kita butuh untuk makan dan lain-lain. Ah, kalau saja aku dapat membawa kantung emasku itu....."

"Inikah?" bagaikan bermain sulap saja gadis itu sudah mengeluarkan buntalan kain berisi emas milik San Hong.

Pemuda itu terbelalak dan menerima buntalan itu. "Tapi, bagaimana engkau...."

''Memang sudah kupersiapkan pelarian ini, Hong-ko. Maka ketika aku menantimu di taman, buntalan emas itu sudah kubawa."

"Terima kasih engkau memang cerdik bukan main, Bweemoi. Tadinya kukira emas ini tertinggal di sana."

"Tapi aku masih memiliki perhiasan..."

"Ah, aku seorang laki-laki, Bwee-moi. Tentu aku malu sekali kalau harus menerima pakaian hasil penjualan perhiasanmu. Andaikata engkau tidak membawa emasku ini, aku tentu akan mencari pekerjaan untuk dapat memperoleh uang pembeli pakaian dan makanan kita. Sudahlah, kini kita dapat melakukan perjalanan dengan tenang. Akan tetapi, Bwee-moi, bukankah seharusnya kita menuju ke selatan? Kenapa engkau mengajak aku melarikan diri ke utara?"

"Tentu saja, Hong-ko. Kalau kita melarikan diri ke selatan, tentu sekarang ini kita sudah dapat dikejar oleh mereka Tung Kiam dan puteranya tentu melakukan pengejaran ke selatan, mengira kita kembali ke sana. Karena itu, aku mengambil jalan memutar, menuju ke utara, kemudian membelok ke barat, baru ke selatan."

San Hong merasa bingung, akan tetapi dia hanya mengangguk dan tidak membantah. Bicara dengan gadis ini dia memang merasa ketinggalan dalam segala hal. Dia tidak tahu bahwa memang di samping alasan yang dikemukakan Siang Bwee, gadis ini mempunyai niat lain. Ia ingin memperpanjang perjalanannya berdua dengan San Hong, untuk mengenal, pemuda itu lebih baik.

Dan untuk memberi kesempatan kepada San Hong agar kesehatannya pulih sama sekali dan agar pemuda itu mematangkan ilmu silatnya sehingga kelak akan benar dapat bertahan kalau diuji ayahnya selama dua ratus jurus! Memang benar pemuda itu telah menerima gemblengan dari Tung Kiam, akan tetapi apa artinya gemblengan yang hanya seminggu itu?

Pemuda ini harus menerima gemblengan lain yang lebih hebat, agar dia benar-benar menjadi seorang yang akan keluar sebagai pemenang di depan ayahnya, agar ayahnya menganggap bahwa pemuda ini benar-benar pantas menjadi calon suaminya! Tanpa setahu San Hong, diam-diam Siang Bwee telah jatuh cinta setengah mati kepada pemuda tinggi besar dan serba canggung ini!


Perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) di kota Wang-cun terkenal sebagai perkumpulan orang orang yang pandai silat. Kota Wang-cun terletak di sebelah selatan Tembok Besar dan merupakan kota perbatasan yang banyak dilewati para pedagang yang suka membawa dagangan untuk dijual kepada para suku bangsa di luar Tembok Besar. Karena itu, kota ini cukup ramai dan setiap hari tentu ada saja rombongan pedagang lewat dan bermalam di situ.

Para anggauta Hek-eng-pang semua memiliki ilmu silat yang bagi para penghuni kota itu sudah amat mengagumkan. Dan para anggauta Hek-eng-pang juga bersikap gagah, selalu menentang kerusuhan, bahkan oleh pejabat setempat perkumpulan ini diandalkan untuk ikut menjaga ketenteraman, membantu pasukan keamanan yang ada. Oleh karena itu, maka kedudukan perkumpulan itu kuat dan namanya pun amat baik, disegani oleh semua penduduk.

Hek-eng-pang kini diketuai oleh Tang Cin Siok yang menggantikan mendiang ayahnya. Tang Cin Siok atau biasa disebut Tang Pangcu ini berusia "empat puluh" lima tahun dan isterinya telah meninggal dunia. meninggalkan seorang puteri bernama Tang Li Hwa yang kini sudah berusia delapan belas tahun, seorang gadis yang berkulit putih mulus dan berwajah manis.

Tang Pangcu menikah lagi dengan seorang wanita bernama Teng Kwi Nio yang kini berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang wanita yang cukup cantik. Karena kedudukan Hek eng-pang yang baik dan berpengaruh, menerima banyak sumbangan dari para saudagar yang merasa terlindungi keselamatan dan keamanan mereka, maka kehidupan keluarga Tang ini cukup berlebihan, bahkan para anggauta Hek-eng-pang juga kebagian rejeki dan mereka hidup berkecukupan.

Anggauta Hek-eng-pang berjumlah kurang lebih lima puluh orang, diantaranya terdapat lima orang murid wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Lima orang murid wanita ini tinggal di rumah ketua mereka, bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga penjaga keselamatan dalam rumah keluarga Tang.

Bahkan Teng Kwi Nio yang kini menjadi nyonya Tang Cin Siok, tadinya juga seorang anggauta atau murid wanita Hek-eng-pang. Adapun para murid lain, yang belum berkeluarga tinggal di asrama Hek-eng-pang, sebuah bangunan yang bersambung dengan rumah keluarga Tang, sedangkan mereka yang sudah berkeluarga tinggal di luar asrama.

Pada suatu hari, ketika matahari mulai menggunakan sinarnya mengusir kegelapan dan hawa dingin, disambut oleh semua mahluk termasuk manusia dengan perasaan gembira, dari pintu gerbang selatan masuklah seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih ke dalam kota Wang-cun. Dia memasuki pintu gerbang sambil menuntun kudanya, seekor kuda yang baik dengan tubuh yang tinggi besar dan ramping, berbulu hitam.

Akan tetapi kuda itu tidak ditunggang karena kaki depan sebelah kanan agak pincang. Kuda ini terjatuh ketika tiba di luar kota, saking lelahnya, dan kaki depan itu terluka sehingga pincang. Maka terpaksa pemiliknya tidak menungganginya dan menuntunnya memasuki kota, dengan niat untuk mengobati kuda itu atau menjualnya.

Kemunculan pemuda dengan kuda pincang ini tidak menarik perhatian karena kota itu seringkali didatangi bermacam orang dari segala golongan. Pemuda itu berpakaian ringkas, berwajah tampan gagah dengan sepasang mata yang tajam. Ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia pun menuntun kudanya memasuki pekarangan rumah penginapan itu.

Seorang pelayan segera menyambutnya dan kepada pelayan, pemuda itu minta agar kudanya dirawat, dibawa ke dalam kandang dan diberi makan secukupnya. Dia sendiri minta sebuah kamar dan langsung minta disediakan air untuk mandi. Tak larna kemudian, pemuda itu sudah keluar lagi dari rumah penginapan, berjalan kaki, dengan wajah segar dan pakaian bersih.

Di rumah penginapan tadi dia sudah bertanya-tanya di mana letaknya asrama dari perkumpulan Hek-eng-pang. Keterangan tentang perkumpulan itu dapat diperoleh dengan mudah karena semua orang di kota itu tahu belaka di mana adanya Hek-eng-pang. Pemuda tampan itu bukan lain adalan Yeliu Tiong Sin, atau sesudah dia melarikan diri dari ayah angkat dan juga gurunya, Yeliu Cutay, dia mengenakan nama keturunan asalnya, yaitu Bu. Selanjutnya dia pun bernama lengkap Bu Tiong Sin.

Seperti kita ketahui, Bu Tiong Sin minggat dari rumah gurunya; dan membawa serta Pedang Asmara, di samping beberapa potong emas berharga yang diperlukannya sebagai bekal dalam perjalanan merantau. Ayah angkat dan juga gurunya melakukan pengejaran, akan tetapi, ketika tersusul. Bu liong Sin melawan dengan Pedang Asmara di tangan, dia berhasil membuat gurunya sendiri kewalahan.

Kini Bu Tiong Sin tiba di kota Wang cun dengan maksud mencari perkumpulan Hek eng-pang. Dia mempunyai perhitungan dengan perkumpulan itu, karena dia mendengar dari gurunya bahwa mendiang ayahnya yang bernama Bu Siang Hok tewas di tangan orang-orang Hek-eng pang. Dia mendendam kepada Hek-eng-pang, walaupun mendiang ibu kandungnya sendiri adalah puteri ketua Hek-eng-pang.

Berita yang dia dapat bahwa kini Hek-eng-pang dipimpin oleh ketuanya yang. bernama Tang Cin Siok membuat dia agak bingung. Bukankah menurut penuturan gurunya, ketuanya, ayah dari Ibunya atau kakeknya sendiri itu kini sudah berusia tujuh puluh lima tahun lebih? Dan menurut keterangan yang diperolehnya ketua ini usianya baru empat puluh lima tahun.

Namun Tiong Sin adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia menduga-duga. Kalau ibunya masih hidup, tentu usia ibunya sudah empat puluh tahun. Dan ibunya she Tang, sama dengan she Tang Cin Siok, ketua Hek-eng pang yang sekarang. Mudah diduga bahwa tentu ada hubungan keluarga antara ibunya dan ketua itu.

Agaknya, ketua yang sekarang adalah kakak dari ibunya. Dia harus menyelidiki dengan teliti sebelum turun tangan membalas mereka yang dulu membunuh ayahnya. Hek-engpang tidak menyetujui perjodohan antara ibunya dan ayannya, dan menurut gurunya, ayah kandungnya tentu tewas oleh orang-orang Hek-eng-pang yang melakukan pengejaran, sedangkan ibunya meninggal dunia ketika melahirkan dia.

Dia akan menyelundup ke Hek-eng-pang dan mencari keterangan sejelasnya, siapakah di antara mereka yang dulu ikut mengeroyok dan membunuh ayahnya. Satelah itu, baru dia akan turun tangan melakukan balas dendamnya. Demikianlah, dengan sikap gagah namun sopan, dia memasuki pintu gerbang perkumpulan Hek-eng-pang yang garang itu. Segera dua orang murid Hek-eng-pang yang bertugas, jaga, menghadangnya.

Dua orang murid itu memandang tajam penuh selidik dan seorang di antara mereka bertanya dengan tegas, matanya menatap wajah tampan itu. "Saudara siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat kami?"

Dengan sikap sopan Tiong Sin memberi hormat dan menjawab, "Namaku Tiong Sin, Yeliu Tiong Sin, dan kedatanganku ini hendak menghadap pangcu dari Hek-eng pang untuk urusan pribadi. Harap ji-wi suka berbaik hati menyampaikan berita kedatanganku agar pangcu suka menerimaku."

Dua orang murid Hek-eng-pang itu senang melihat sikap yang sopan dari pemuda itu, maka mereka pun mengangguk. "Baiklah, saudara Yeliu. Silakan duduk dan menunggu di sini sebentar, akan kulaporkan kepada pangcu." kata seorang di antara mereka dengan sikap ramah. Tiong Sin menghaturkan terima kasih dan duduk menunggu di atas bangku, ditemani anggauta penjaga yang seorang lagi.

Tiong Sin melemparkan pandangan ke empat penjuru. Pekarangan itu lebar, bangunan itu besar dan megah dan di kanan kirinya masih terdapat tanah pekarangan yang luas. Lalu pandang matanya terpancang pada papan nama perkumpulan itu. Huruf-huruf besar berbunyi HEK ENG PANG dengan gagahnya tertulis di papan tulis berdasar warna kuning.

''Aku telah mendengar bahwa Hek-eng-pang kini telah menjadi sebuah perkumpulan yang maju sekali," kata Tiong Sin sambil lalu kepada murid penjaga itu, tentu sekarang para murid yang menjadi anggauta Hek-eng-pang amat banyak. Apakah ada seratus orang, Toako?"

Melihat sikap yang sopan dan ramah dari tamu muda itu, murid Hek-eng-pang itu menjawab dengan sejujurnya. "Ah, tidak begitu banyak, hanya kurang lebih lima puluh orang saja. Akan tetapi, kami semua adalah murid yang sudah belajar sedikitnya sepuluh tahun, jadi.... ya boleh diandalkan begitulah!" kata murid Hek-eng-pang itu tanpa bermaksud menyombongkan diri.

Tiong Sin mengangguk-angguk. "Aku sudah lama mendengar akan kehebatan. ilmu dari para anggauta Hek eng-pang. Tentu pangcunya lebih lihai lagi, dan entah siapa di antara para murid Hek-eng-pang yang paling lihai."

Karena cara Tiong Sin bicara-bukan seperti orang melakukan penyelidikan, maka mudah saja anggauta itu dipancing. "Ah, kalau tingkat kepandaian para murid hanya terbagi dua, yaitu tingkat pertama dan ke dua. Akan tetapi, di antara para murid, kiranya tidak ada yang akan mampu menandingi tingkat kepandaian nona Tang yang telah mewarisi semua kepandaian pangcu kami."

"Nona Tang?" Tiong Sin bertanya, akan tetapi sikapnya juga sambil lalu, tidak terlalu serius.

"Ah, benar, engkau agaknya seorang pendatang baru di sini maka belum tahu tentang nona kami!" Dalam suaranya terkandung kebanggaan. "Nona kami merupakan puteri dan anak tunggal dari pangcu kami, namanya nona Tang Li Hwa. Ia bukan saja ahli silat yang terpandai di antara kami, bahkan sukar mencari bandingnya di kota Wang-cun ini, baik mengenai kelihaiannya maupun kecantikannya!"'

Mendengar ini, tentu saja hati. Tiong Sin tergerak sekali dan dia merasa amat tertarik. Dia hendak menyelidiki siapa saja diantara para anggauta Hek-eng-pang yang dulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah kandungnya, dan sudah pasti bahwa gadis yang bernama Tang Li Hwa itu tidak ikut mengeroyok ayahnya! Mendengar puji-pujian yang demikian muluk mengenai diri Tang Li Hwa, timbul keinginan hatinya untuk melihat sendiri bagaimana keadaan gadis itu.

Pada saat itu, penjaga yang melapor ke dalam nampak datang sambil tersenyum dan mempersilakan Tiong Sin mengikutinya masuk ke dalam karena Tang Pangcu berkenan menerimanya di ruangan tamu yang berada di samping rumah. Setelah tiba di depan pintu ruangan tamu, murid Hek-eng-pang itu berseru dengan suara lantang, "Saudara Yeliu Tiong Sin datang menghadap Pangcu!"

Dari dalam kamar itu terdengar suara yang tenang dan berwibawa, "Silakan masuk!"

Penjaga itu memberi isyarat kepada Tiong Sin untuk masuk, sedangkan dia sendiri lalu kembali ke depan karena tugasnya telah selesai. Tiong Sin memasuki ruangan itu dan ternyata ruangan itu cukup luas, dengan kursi-kursi yang diatur dengan santai. Seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun bangkit dari duduknya ketika melihat dia melangkah masuk.

Pria itu berpakaian sederhana, namun sikapnya gagah dan pandang matanya tajam, wajahnya berwibawa. Mudah bagi Tiong Sin untuk menduganya bahwa tentu pria ini yang menjadi ketua Hek-eng-pang dan diam-diam ada perasaan bangga di hatinya bahwa pria gagah ini masih saudara dari mendiang ibu kandungnya.

Akan tetapi, perasaan bangga ini segera lenyap ketika dia teringat betapa keluarga Tang telah bersikap kejam, menentang perjodohan ibunya dengan ayahnya sehingga mengakibatkan ayah ibunya tewas. Kalau ibunya tidak terpaksa melarikan diri dalam keadaan mengandung tua, belum tentu ibunya meninggal dunia, adapun ayahnya, jelas dibunuh oleh orang-orang Hek-eng-pang.

Tiong Sin cepat memberi hormat, merangkap kedua tangan di dada sambil membungkuk. Tuan rumah juga membalas pengnormatan itu. "Tang Pangcu, harap maafkan aku kalau kedatanganku ini mengganggu." kata Tiong Sin, hormat namun tidak merendahkan diri.

Pria itu memang Tang Cin Siok, ketua dari Hek-engpang, kakak dari mendiang Tang Siok Hwa ibu kandung Tiong Sin. Setelah memandang tajam kepada tamu muda itu dan diam-diam merasa kagum, Tang Cin Siok lalu menggerakkan tangan mempersilakan. "Duduklah, orang muda, dan jangan sungkan-sungkan."

"Terima kasih, Pangcu."

Setelah keduanya duduk berhadapan, terhalang meja, ketua Hek-eng-pang itu lalu berkata sambil menatap wajah tamunya. "Nah, Saudara Yeliu, katakan apa yang dapat kami lakukan untuk membantumu? Ada persoalan apakah?"

Dari sikap dan ucapan ketua ini saja hati Tiong Sin sudah merasa senang. Dia sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa sikap yang amat ramah dan baik dari tuan rumah itu sebagian besar karena pengaruh pedang pusaka yang berada di balik jubahnya. Pedang Asmara itu di mana memancarkan pengaruhnya yang aneh, membuat kaum pria merasa senang berhadapan dengan Tiong Sin, dan kaum wanita seketika jatuh cinta.

"Sekali lagi maaf, Pangcu. Kedatanganku ini untuk menghaturkan terima kasih kepada Hek-eng-pang yang telah membunuh musuh besarku pada sekitar dua puluh tahun yang lalu. Karena baru sekarang aku mengetahui, maka aku merasa berterima kasih sekali dan aku ingin sekali berjumpa dengan mereka yang telah membunuh musuh besarku itu untuk dapat menghaturkan terima kasih secara langsung kepada mereka, dan memberi sekedar tanda mata untuk menyatakan terima kasihku itu."

Tang Pangcu memandang heran. "Dua puluh tahun yang lalu? Apa yang kau maksudkan ini, orang muda? Ceritakanlah yang jelas karena sungguh aku tidak mengerti peristiwa mana yang kaumaksudkan."

Tiong Sin menarik napas panjang. Dia harus bersikap sabar dan tenang, karena tanpa mempergunakan akal, rasanya tidak akan mudah baginya untuk dapat mengetahui siapa saja yang dulu mengeroyok dan membunuh ayah kandungnya.

"Begini ceritanya, Pangcu. Mendiang ayahku, pada dua puluh tahun lebih yang lalu, tewas di tangan seorang musuh besar. Karena ketika itu aku masih kecil, maka ibu membawaku melarikan diri. Setelah dewasa, aku pergi hendak mencari musuh besar itu, untuk membalas dendam kematian ayahku. Akan tetapi, aku mendengar bahwa musuh besar itu telah tewas di tangan para pendekar Hek-eng-pang. Oleh karena itu, selain untuk minta keterangan apakah hal itu benar terjadi, aku pun datang hendak menghaturkan. terima kasihku kepada mereka yang telah berjasa membunuh musuh besarku itu."

Tang Cin Siok mengerutkan alisnya semakin dalam, mengingat-ingat. "Du puluh tahun yang lalu adalah waktu yang sudah lama. Ketika itu aku belum menjadi ketua Hek-eng-pang, dan ketuanya masih mendiang ayahku. Katakanlah siapa nama musuh besarmu itu, orang muda?"

Sambil mengamati wajah tuan rumah dengan sinar matanya yang mencorong Tiong Sin menjawab, "Namanya adalai Bu Siang Hok!"

"Ah, dia....??" Jelas nampak betapa tuan rumah terkejut bukan main mendengar nama yang agaknya tidak disangka-sangkanya itu.

"Karena musuh besarku itu dibunuh oleh para pendekar Hek-eng-pang, sudah tentu Pangcu mengenalnya, bukan?"

Tang Cin Siok termenung, seolah olah tidak mendengar pertanyaan pemuda itu. Karena tidak menyangka sama sekali bahwa musuh besar tamunya ini adalah Bu Siang Hok, maka disebutnya nama itu membuat dia terkejut dan tercengang kemudian melamun karena dia teringatkan adiknya yang tercinta, yaitu Tang Siok Hwa!

"Bagaimana, Pangcu? Tentu Pangcu mengenal Bu Siang Hok, bukan?" Tiong Sin mendesak ketika melihat tuan rumah termenung.

Tang Pangcu baru sadar dan terkejut. "Ah, ya..... ya, tentu saja aku mengenal nama itu. Dia..... dia dimusuhi Hek eng pang, dia dibunuh oleh..... mendiang ayahku dan dibantu oleh beberapa orang murid Hek-eng-pang."

Tiong Sin mengangguk-angguk. "Aku sudah mendengar akan hal itu, Pangcu. Sayang bahwa ayah Pangcu, yaitu lo-cianpwe Tang sudah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat langsung menghaturkan terima kasih kepada beliau. Akan tetapi dapat diwakili Pangcu, dan aku mohon sudilah kiranya Pangcu memanggil para murid yang telah ikut membunuh musuh besarku itu agar aku dapat menghaturkan terima kasih secara langsung kepada mereka!"

”Tidak mungkin dilakukan seketika, orang muda. Mereka itu terdiri dari dua puluh orang lebih dan beberapa orang di antara mereka sudah ada yang meninggal. Kini tinggal beberapa belas orang lagi saja dan banyak di antara mereka yang tinggal di luar asrama."

"Aku tidak tergesa-gesa, Pangcu. Mohon kebijaksanaan Pangcu untuk memberitahukan mereka dan kapan kiranya aku dapat bertemu dengan mereka semua di asrama Hekeng-pang? Aku ingin menghaturkan terima kasih dan memberi hormat kepada mereka semua sekaligus."

Tang Cin Siok mengangguk-angguk, biarpun sikapnya kini kurang bersemangat, seolah-olah urusan itu membuat hatinya merasa tidak enak. "Baiklah, harap kau suka datang lagi ke sini dalam tiga hari ini, dan mereka akan kusuruh berkumpul di sini. Tiga hari lagi, pada pagi hari."

”Terima kasih, Pangcu. Terima kasih! Sungguh Pangcu seorang yang bijaksana dan baik budi. Saya mohon diri dan tiga hari lagi saya akan datang berkunjung."

Setelah memberi hormat, Tiong Sin lalu cepat meninggalkan asrama Hek-eng-pang, meninggalkan ketua Hek-eng-pang duduk termenung lagi seorang diri. Terbayanglah dia akan peristiwa menyedihkan itu, peristiwa yang selalu mendatangkan kesedihan di hatinya.

Dia amat mencinta adiknya, yaitu Tang Siok Hwa. Ketika adiknya itu jatuh cinta kepada Bu Siang Hok, dan ayahnya sama sekali tidak menyetujui, dia diam-diam tidak setuju dengan sikap ayahnya, walaupun dia juga tidak suka kepada pribadi Bu Siang Hok.

Maka, ketika ayahnya mengejar adiknya yang melarikan diri bersama kekasihnya itu, dalam keadaan mengandung, dia tidak mau ikut mengejar. Kemudian ayahnya dan rombongannya pulang membawa jenazah adiknya, juga Jenazah Bu Siang Hok!

Ayahnya menyesal sekali melihat akibat puterinya tewas dan kekasih puterinya juga tewas dalam tangannya dan para murid Hek-eng-pang. Dan dia sendiri merasa berduka sekali. Kini, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang ingin menghaturkan terima kasih bahwa orang-orang Hek-engpang telah membunuh Bu Siang Hok! Kemudian dia teringat bahwa cerita pemuda she Yeliu itu belum lengkap.

Belum diceritakannya mengapa ayahnya tewas di tangan Bu Siang Hok. Akan tetapi, itu bukan urusannya dan bagaimanapun juga, dia memang tidak begitu suka kepada Bu Siang Hok, walaupun demi cintanya terhadap adiknya, dia rela membiarkan adiknya itu menikah dengan pria yang dipilihnya sendiri.

Biarlah, pikirnya. Biarlah peristiwa yang menyedihkan itu kini agak terobati. Peristiwa yang membuat hampir semua anggauta Hek-eng-pang merasa menyesal, terutama yang dahulu pernah membantu ayahnya ikut membunuh Bu Siang Hok, kini agak terhibur karena perbuatan mereka itu ternyata dapat menyenangkan orang lain yang kini ingin menghaturkan terima kasih kepada mereka!

Maka, dia pun bangkit dan mulailah dia menyuruh panggil mereka yang dahulu ikut mengeroyok Bu Siang Hok, agar tiga hari kemudian mereka datang pagi-pagi menghadapnya di asrama Hek-eng-pang.

Sementara itu, dengan hati lega Tiong Sin kembali ke rumah penginapan. Karena tidak mau pusing mengurus kudanya yang pincang, dia menjual kuda itu lalu membeli lagi seekor kuda yang baik, masih muda dan bertubuh kuat, juga sudah jinak. Dia mempunyai banyak waktu. Dia harus menanti sampai hari ke tiga. Maka dia lalu mencari keterangan tentang tanah kuburan di kota itu.

Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi dia sudah perrgi ke tanah kuburan untuk mencari kalau-kalau mendiang ayahnya dikubur di tempat itu. Tanah kuburan itu, seperti biasa, nampak sunyi. Memang hanya pada hari-hari tertentu saja keluarga berkunjung ke tanah kuburan, yang pasti pada hari Cengbeng.

Pada hari itu para keluarga berkunjung kemakam nenek moyang atau kakek dan orang tua, membersihkan makam dan bersembahyang. Kemudian makam itu ditinggalkan lagi bersunyi diri sampai hari tertentu di tahun berikutnya!

Semua orang, baik dia pernah menjadi orang terkenal maupun orang biasa, kaya maupun miskin, tinggi maupun rendah, akan mengalami nasib terakhir yang sama. Hanya tinggal segunduk tanah dijadikan kenangan dan dikunjungi keluarga setahun sekali atau dua kali.

Akan tetapi ketika Tiong Sin memasuki tanah kuburan yang luas dan di situ terdapat banyak sekali makam dengan berbagai corak, dia tertarik sekali melihat dua orang wanita memasuki tanah kuburan. Seorang wanita berusia kurang lebih liga puluh tahun, anggun dan jelita, bersama seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik manis. Tiong Sin terpesona. Dua orang wanita itu memang cantik menarik, terutama sekali gadis itu!

.Dan mereka berdua sungguh berani, sepagi itu memasuki tanah kuburan yang masih sunyi, tanpa seorang pun pengawal pria. Karena tertarik, dan dia sendiri belum tahu di mana makam ayahnya, kalau memang di makamkan di tempat itu, maka diam diam dia lalu membayangi kedua orang wanita itu dari jauh, dengan pura-pura berjalan-jalan di tanah kuburan itu.

Dua orang wanita itu agaknya tidak ragu-ragu lagi ke mana harus mereka tuju. Tak lama kemudian mereka berdua sudah bersembahyang di depan sebuah makam. Tiong Sin memperhatikan dari jauh, kemudian dia melangkah, mendekat karena dia ingin melihat makam siapa yang disembahyangi dua orang wanita itu. Dengan perlahan dia berjalan melewati makam itu, pura-pura melihat-lihat makam-makam yang berjajar di situ.

Dan ketika melewati makam yang disembahyangi, dia melirik ke arah huruf-huruf yang diukir di tembok nisan. Jantungnya berdebar tegang ketika dia membaca bahwa makam itu adalah makam Nyonya Tang Cin Siok yang meninggal dunia dalam usia tiga puluh tahun! Ah, kalau begitu gadis itu..... ah, tentu saja. Tang Li Hwa, puteri ketua Hek-eng-pang!

Akan tetapi, cepat dia membuang muka dan pura-pura tidak melihat ketika tiba-tiba gadis itu membalikkan tubuh dan memandang kepadanya. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa gadis itu dapat mendengar gerak langkah kakinya, dan hal ini hanya menunjukkan bahwa ia adalah seorang gadis yang memiliki pendengaran tajam, seperti pendengaran seorang ahli silat yang terlatih.

Tiong Sin melangkah terus dan memandang ke kanan kiri, membaca nama nama pada batu nisan makam-makam itu. Tiba-tiba dia menahan langkahnya dan matanya terbelalak memandang kepada batu nisan sebuah makam yang agak besar gundukan tanahnya. Batu nisan yang hanya sebuah itu ternyata mengandung dua nama!

Nama Bu Siang Hok dan Tang Siok Hwa! Dia terbelalak dan mukanya pucat. Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa dia akan berhadapan dengan makam ayah dan ibu kandungnya! Ayah dan ibunya dikubur dalam sebuah makam! Hal ini sungguh tidak pernah disangkanya sama sekali. Bukankah ayah kandungnya amat dibenci oleh Hek-eng-pang sehingga dia keroyok dan dibunuhnya?

Bagaimana kini makamnya menjadi satu dengan ibunya puteri ketua lama Hek-eng-pang? Hal ini tidak mungkin terjadi! Pihak Hek-eng pang tentu tidak akan memperbolehkan kalau andaikata ada keluarga ayah kandungnya yang melakukan hal ini! Dia merasa bingung akan tetapi juga terharu hingga dia tidak menyadari bahwa sejak tadi dia berdiri termenung seperti patung, hanya memandang ke arah dua nama yang terukir di batu nisan itu.

"Sobat, apa hubunganmu dengan makam bibiku ini maka sejak tadi engkau memandang saja dan berdiri mematung di tempat ini?"

Teguran dengan suara halus namun mantap itu mengejutkan hati Tiong Sin dan ketika dia menoleh, wajahnya yang tadinya pucat berubah kemerahan, akan tetapi dia segera dapat menenangkan hatinya dan tersenyum ramah sekali, dengan gayanya yang biasanya memikat kaum wanita. Karena dia sudah menduga dengan siapa dia berhadapan, maka cepat dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap sopan, lalu menjawab dengan suara yang halus.

"Maaf, Toanio (Nyonya) dan Nona. Aku tidak tahu bahwa ini adalah makam keluargamu, akan tetapi melihat nama Bu Siang Hok, aku terkejut sekali. Nama itu amat kukenal!" Dia tidak mau berbohong karena dia menduga bahwa mungkin sekali gadis ini sudah mendengar dari ayahnya akan niatnya bertemu dengan mereka yang telah membunuh Bu Siang Hok yang diakui sebagai musuh besarnya.

Kini dia melihat betapa sepasang mata yang indah dan jeli itu memandang tajam lalu bersinar-sinar. "Aih, kiranya engkau yang bernama Yeliu Tiong Sin itu? Dan mendiang Bu Siang Hok ini musuh besar keluargamu?"

Tiong Sin pura-pura kaget dan memandang heran. "Benar sekali dugaanmu Nona! Akan tetapi bagaimana.... Nona dapat mengenalku.....?"

Gadis yang sama sekali tidak pemalu ini tersenyum. "Aku bernama Tang Li Hwa, dan ketua Hek-eng-pang adalah ayahku. Dan ini ibuku, Teng Kwi Nio."

Tiong Sin cepat memberi hormat lagi. Ah, kiranya Toanio dan Nona adalah keluarga Tang Pangcu? Maaf kalau aku tadi bersikap kurang hormat. Aku mengharapkan bantuan ayahmu, Nona, karena aku ingin sekali menghaturkan terima kasih kepada para pendekar Hek-eng-pang yang telah menewaskan musuh besarku."

"Kami sudah mendengar dari ayah, dan ibuku ini... ia adalan ibu tiriku, ibu kandungku telah meninggal dunia dan makamnya di sana itu."

"Ah, kiranya Nona sudah kehilangan ibu kandung, seperti juga aku yang sejak kecil sudah kenilangan ayah dan ibu. Akan tetapi, tadi aku sungguh terkejut dan heran melihat makam..... eh, musuh besarku ini. Kenapa di sini ditulis nama dua orang? Siapakah yang bernama Tang siok Hwa itu? Ia..... kenapa she Tang?"

"Ia adalah bibiku, adik dari ayahku!"

”Aih, mana mungkin ini.....?" Tiong Sin pandai sekali bermain sandiwara sehingga dia kelihatan benar-benar terkejut, bahkan wajahnya berubah seperti orang yang terkejut sekali.

Gadis itu tersenyum akan tetapi senyumnya itu mengandung kegetiran, walaupun masih nampak manis sekali. "Demikianlah kenyataannya, sobat Yeliu Tiong Sin. Dan karena hubungannya dengan bibiku itulah maka kongkong dan para paman di Hek-eng-pang membunuhnya!"

"Apa..... apa yang terjadi.....?" Tio Sin mendesak, nampaknya ingin tahu sekali, padahal tentu saja dia sudah mendengar dari ayah angkatnya, juga gurunya tentang riwayat ayah dan ibunya.

Teng Kwi Nio atau Nyonya Tang Cin Siok yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, kini berkata kepada Li Hwa, "Li Hwa, sudahlah, mari kita pulang saja. Tidak baik bercakap-cakap dengan seorang laki-laki asing di tempat ini...."

Akan tetapi ia melirik ke arah Tiong Sin dengan sinar mata yang tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya terhadap pemudi itu.

"Maaf, Toanio," Tiong Sin membantah cepat, dengan suara lembut. "Akan tetapi, aku bukanlah seorang laki-laki asing. Aku sudah menghadap suami Toanio dan diterima sebagai sahabat yang berterima kasih. Dan aku pun hanya ingin mendengar tentang kedua orang yang di makamkan menjadi satu di sini.....!"

Tang Li Hwa tersenyum. "Tidak mengapa Ibu. Biar kujelaskan sebentar kepada saudara Yeliu ini agar dia tidak merasa penasaran. Begini, saudara Yeliu. Mendiang bibiku, Tang Siok Hwa, saling mencinta dengan mendiang Bu Siang Hok ini. Mendiang kakekku tidak menyetujui, dan akibatnya, mereka berdua lalu melarikan diri, padahal mendiang bibi sedang dalam keadaan mengandung tua.

"Sebetulnya, menurut pengakuan ayahku kepadaku, ayah sendiri tidak setuju dengan kekerasan sikap kakekku. Akan tetapi kakek memang keras hati dan sekali tidak setuju, dia tetap tidak setuju. Kakek lalu membawa dua puluh orang paman yang menjadi muridnya melakukan pengejaran. Dia berhasil menyusul bibi dan Bu Siang Hok yang melarikan diri.

"Akan tetapi ternyata bibi telah meninggal dunia ketika melahirkan. Dalam kedukaan dan kemarahannya, kakek lalu menyerang Bu Siang Hok, dibantu para paman dan akhirnya Bu Siang Hok tewas pula." Gadis itu berhenti berbicara dan kelihatan betapa ia merasa ikut berduka dengan nasibnya.

"Akan tetapi, bagaimana lalu mereka dapat dimakamkan bersama dalam satu makam di sini?" tanya Tiong Sin, kini tidak berpura-pura lagi karena dia memang merasa heran melihat betapa ayah dan ibu kandungnya dapat dikubur dalam satu makam.

"Setelah melihat keduanya meninggal dunia, kakek lalu timbul perasaan menyesal dan baru dia menyadari betapa dia telah bersikap terlalu keras sehingga mengakibatkan kematian puterinya sendiri. Maka, untuk menebus perasaan menyesal itu, kakek lalu memerintahkan agar kedua jenazah itu dimakamkan dalam satu lubang."

Hening sejenak. Biarpun di dalam hatinya Tiong Sin merasa terharu, namun dia tidak memperlihatkan perubahan wajahnya. Bahkan dia masih dapat memancing, "Lalu, apa yang terjadi dengan anak yang dilahirkan bibimu itu, Nona?"

"Entahlah. Ketika masih hidupnya kong-kong sudah berusaha mencari, bahkan ayahku juga berusaha mencari, namun gagal. Anak bibi itu lenyap tanpa meninggalkan bekas."

"Li Hwa, sudahlah, mari kita pulang. Nanti kita dinanti-nanti ayahmu.....!" kata pula ibu tirinya, melihat betapa sudah ada beberapa orang datang berkunjung ke pemakaman itu dan tentu saja ada yang melihat mereka berdua di situ, bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing!

Li Hwa lalu mengangguk dan mereka pun berpamit. Tiong Sin cepat memberi hormat. "Ah, sebetulnya aku masih ingin sekali bercakap-cakap dengan Toanio dan nona. Sungguh menyenangkan sekali dapat berkenalan dan bercakap-cakap dengan Ji-wi (kalian). Sayang bahwa Ji-wi hendak pulang. Kalau saja aku boleh datang berkunjung untuk melanjutkan percakapan kita, alangkah akan senangnya hatiku. Bolehkah kalau aku datang berkunjung malam ini?"

Sungguh sebuah pertanyaan yang amat berani. Akan tetapi Tiong Sin sudah mengucapkannya dengan penuh perhitungan sambil menyingkap mantelnya sehingga pedangnya nampak. Dia tahu benar akan khasiat pedang itu dan pengaruhnya terhadap wanita, maka dia berani mengeluarkan pertanyaan yang berbahaya itu.

Benar saja. Kedua orang wanita itu nampak terkejut sekali mendengar pertanyaan yang mengandung kekurang-ajaran ini, akan tetapi sungguh aneh, keduanya tidak jadi marah, bahkan tersenyum senyum dengan muka berubah kemerahan, lalu keduanya membalikkan tubuh dan pergi tersipu-sipu. Mereka itu sama sekali tidak marah, bahkan kelihatan malu malu kucing!

Setelah mereka pergi, Tiong Sin tersenyum seorang diri. Boleh jadi Tang Cin Siok tidak ikut mengeroyok ayah kandungnya. Akan tetapi yang jelas dia adalah putera ketua lama Hek-eng pang, dan justeru ayahnya itulah yang telah membunuh ayah kandungnya. Karena ayahnya sudah meninggal dunia maka kewajiban puteranya untuk membayar! Dan dia tahu bagaimana dia akan membalas kepada ayah Li Hwa!


Malam itu hawa amat dinginnya sehingga sore-sore orang sudah memasuki rumah, Jarang yang tinggal di luar kalau tidak ada keperluan penting. Lebih enak tinggal di dalam rumah yang terlindung dari hawa udara yang, amat dinginnya. Apalagi kalau berada di dekat perapian, yang hangat. Banyak pula yang segera memasuki kamar dan.berlindung di bawah selimut atau mencari kehangatan dengan pasangan masing-masing.

Di rumah keluarga Tang juga sudah sunyi. Tang Pangcu sendiri baru saja pulang dari sebuah pesta pernikahan keluarga seorang pembesar daerah, dan dia pulang dalam keadaan mabuk. Begitu tiba di rumah, dia langsung tidur di dalam kamarnya, sebentar saja sudah mendengkur dengan pulasnya. Lima orang murid wanita yang juga bertugas sebagai pembantu rumah tangga dan penjaga, juga sudah memasuki kamar mereka di belakang.

Hanya ada seorang saja yang masih belum tidur, bahkan ia berada di taman bunga di belakang rumah, berlatih ilmu silat. Karena hawa udara dingin sekali, ia berlatih silat golok untuk memanaskan tubuhnya dari sengatan hawa dingin. Orang itu bukan lain adalah Tang Li Hwa. Li Hwa bukan hanya karena kedinginan maka ia sengaja berlatih golok untuk memanaskan badan, juga ia merasa gelisah bukan main.

Hatinya gelisah tak menentu semenjak ia pulang dari tanah kuburan, semenjak ia bertemu dan bercakap cakap dengan Yeliu Tiong Sin! Tak pernah ia dapat melupakan wajah pemuda itu, dan selalu terngiang-ngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika mereka hendak berpisah.

"Bolehkah kalau aku datang berkunjung malam ini?" Kata-kata itulah yang membuat ia merasa gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Ia dihantui harapan bahwa pemuda itu akan benar-benar datang berkunjung!

Akan tetapi harapan ini diserang oleh pendapat bahwa hal itu sungguh tidak semestinya, tidak sopan dan bahwa pemuda itu kurang ajar sekali. Akan tetapi, hati yang sudah condong tertarik kepada pemuda itu selalu membantah dan bahkan membela Tiong Sin. Dia hanya datang untuk bercakap-cakap, mengapa tidak sopan?

Karena perang batin ini, ia meresa gelisah, lalu ia keluar dari dalam kamar, menuju ke taman sambil membawa goloknya, yaitu senjata keluarga ketua Hek-eng-pang dan ia pun berlatih silat golok, untuk mendatangkan kehangatan tubuh dan juga untuk mengusir kegelisahan hatinya. Anehnya, terselip pula harapan bahwa pemuda itu akan datang berkunjung sehingga ia seolah-olah "menanti" kunjungannya itu di dalam taman bunga, dengan dalih berlatih silat!

Sesungguhnya, malam itu amat indah, teramat indah! Bulan purnama telah muncul sejak sore, menciptakan suatu keindahan yang sukar diceritakan. Bukan hanya keindahan yang dapat dinikmati mata dan telinga, bahkan suatu keindahan yang menembus ke dalam batin. Dunia seolah-olah telah berubah dari biasanya.

Semua yang nampak bermandikan cahaya bulan yang keemasan, kadang-kadang kalau ada awan tipis melayang lewat dan menyaring cahaya bulan, maka terciptalah sinar yang kehijauan. Pohon-pohon besar nampak hidup dan penuh gairah, daun-daunnya melambai tertiup semilir angin, ranting-rantingnya seperti menggapai dan gemersiknya daun seperti suara tawa halus mulut-mulut manis yang tidak nampak.

Namun semua itu tidak nampak oleh Li Hwa. Juga hampir tidak disadarinya pula betapa begitu ia memasuki taman hidungnya disambut semerbak harum bunga-bunga di taman. Keharuman bunga bunga itu makin kuat ketika tertimpa cahaya bulan purnama. Li Hwa yang sudah sepenuhnya dicengkeram kesibukan pikiran yang gelisah itu sudah kehilangan segala kewaspadaan, kehilangan kesadaran untuk dapat melihat, mendengar atau mencium keadaan yang sebenarnya.

Tuhan Maha Kasih! Alam semesta telah diciptakanNya sedemikian sempurna demikian indahnya dan segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak ini seolah-olah sengaja diciptakan untuk kepentingan manusia! Namun sungguh sayang sekali, kepribadian kita, Jiwa kita sudah dicengkeram oleh kesibukan pikiran.

Pikiran yang bergelimang dengan daya-daya rendah, membangkitkan nafsu-nafsu, selalu menguasai diri kita sehingga kita seolah-olah telah menjadi buta akan segala nikmat itu, segala berkah itu, segala keindahan itu. Sekali-sekali, kalau keadaan pikiran-pikiran kita tenang, baru kita dapat sedikit merasakan kenikmatan dalam kehidupan ini, sedikit saja. Seolah-olah kita hanya kadang-kadang melihat ujung dari kebahagiaan, tanpa pernah mampu bertemu dan bersatu dengan kebahagiaan itu sendiri.

Semua ini adalah karena hati dan pikiran kita yang tadinya memang disertakan kepada kita sebagal alat untuk dapat menikmati dan mensyukuri ciptaan dan berkah dari Tuhan, telah berubah menjadi penyeret kita ke dalam pengejaran kesenangan nafsu belaka. Mungkinkah bagi kita untuk dapat berbahagia, untuk dapat membebaskan diri dari cengkeraman nafsu-nafsu yang di timbulkan oleh daya-daya rendah yang sudan melekat pada hati dan pikiran?

Jelas tidak mungkin, karena "kita" yang hendak melepaskan diri ini pun timbul dari pikiran! "Kita" yang ingin bebas itu pun sudah bergelimang dengan nafsu sudah berada dalam cengkeraman nafsu daya rendah, maka segala usana kita untuk bebas pun masih dalam lingkungi nafsu! Namun, ada yang lebih berkuasa dari segala nafsu daya rendah. Ialah Sang Pencipta! Pencipta dari segala yang ada. Tuhan Sang Maha Pencipta!

Hanya Tuhanlah, hanya kekuasaan Tuhanlah yang akan mampu memulihkan keadaan kita, mampu membebaskan kita dari belenggu nafsu. Ingat dan waspada, itulah obatnya. Ingat selalu kepada Tuhan, setiap saat dan menyerahkan segalanya kepada kekuasaan Tuhan! Waspada terhadap setiap gerak gerik badan dan batin, yaitu hati dan akal pikiran, tanpa ingin mengubahnya Mengapa tanpa ingin mengubah?

Karena KEINGINAN MENGUBAH ini pun masih merupakan kesibukan dari pikiran yang mendorong, maka sudah pasti bahwa di balik keinginan mengubah itu terdapat pamrih! Pamrih untuk memperoleh kesenangan dari perubahan itu! Akibatnya bukan berubah melainkan bertambah sarat dengan keinginan nafsu. Hanya Tuhan yang mampu mengubah dan membersihkan!

Kekuasaan Tuhan meliputi segala, yang paling atas dan paling bawah, yang paling dalam dan paling luar. Dan kita tinggal menyerah, penuh kepasrahan, penuh keikhlasan, penuh kesabaran dan ketawakalan. Ingat dan waspada selalu. Ingat kepada Tuhan setiap saat, menyerah total. Dan waspada terhadap gerak-gerik badan, hati dan akal pikiran seperti kalau dalam perjuangan kita waspada terhadap gerak-gerik musuh yang amat berbahaya.

Li Hwa tidak melihat semua keindahan malam yang dingin itu. Ia berlatih silat golok dan memang dalam latihan yang sungguh sungguh ini, tubuhnya menjadi hangat, darah mengalir cepat dan pencurahan perhatian kepada latihannya membuat ia melupakan kegelisahan, hatinya.

Tiba-tiba terdengar suara orang memuji. "Hebat, to-hoat (ilmu golok) yang indah dan hebat sekali!"

Li Hwa terkejut, menghentikan gerakan goloknya, membalik dan seketika ia merasa jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Pemuda yang tadi selalu menggoda pikirannya itu telah berada di depannya! Tiong Sin kini mencabut Pedang Asmara, perlahan-lahan, lalu membungkuk sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

"Nona, malam dingin sekali, memang enak untuk berlatih. Bolehkah aku menemanimu berlatih? Sedikit-sedikit aku pernah belajar ilmu pedang, dan kumohon petunjuk darimu, Nona!"

Li Hwa yang tadinya merasa sungkan dan malu-malu, kini tersenyum. Ia adalah murid terpandai dari Hek-engpang bahkan telah mewarisi seluruh kepandaian ayahnya. Tentu saja ia tidak gentar menghadapi siapapun juga, apalagi pemuda yang asing ini, dan hanya untuk berlatih. Bahkan ia berkesempatan untuk menguji kepandaian orang, dan untuk memamerkan ilmu sitatnya kepada pemuda itu dengan mengalahkannya.

"Akulah yang mohon petunjuk dan pelajaran darimu, saudara Yeliu!" jawabnya sambil balas memberi hormat dan melintangkan goloknya depan dada.

Tiong Sin tersenyum. "Baiklah, mari kita sama-sama saling belajar dan bersiaplah, Nona, aku mulai menyerang!"

Pedangnya membuat gerakan menusuk dan gadis itu cepat mengelak ke kiri sambil membalas dengan babatan goloknya dari samping ke arah pinggang lawan. Keduanya bergerak perlahan seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau gerakan senjata mereka benar-benar mengenai tubuh lawan yang disayangnya.

Akan tetapi, setelah masing-masing merasa yakin akan kelincahan lawan, gerakan mereka makin lama semakin cepat dan belasan jurus kemudian, bukan main rasa kagum dalam hati Li Hwa karena ia mendapatkan kenyataan bahwa pemuda lawannya itu selain memiliki ilmu pedang yang hebat, juga amat lincah dan memiliki tenaga yang kuat! Lebih-lebih pedang di tangannya itu, sinarnya membuat ia seringkali silau dan membuat jantungnya berdebar kencang penuh gairah!

"Haiiiittt.....!" Tiba-tiba golok itu membacok dari atas kebawah, menyerang kepala Tiong Sin. Pemuda ini miringkan tubuh, menjauh dan pedangnya menyambar ketika menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

"Tranggggg..... aihhh.....!" Golok itu terlepas dari tangan Li Hwa dan menancap ke atas tanah, sedangkan gadis itu menjerit lirih karena tubuhnya terpelanting. Akan tetapi, lengan kiri Tiong Sin sudah merangkulnya sehingga ia tidak terbanting jatuh ke atas tanah, melainkan terjatuh ke dalam rangkulan pemuda itu!

"Ahhhhh.....!" Li Hwa yang hendak meronta dan marah itu tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemah lunglai dan ia memejamkan matanya tanpa melawan ketika merasa betapa bibir pemuda itu membelai pipi dan lehernya dan ia mendengar bisiknya.

"Siauw-moi..... di luar begini dingin... aku ingin bicara denganmu di dalam..., marilah kita masuk ke rumah....."

Bagaikan orang dalam mimpi, atau yang sudah ling-lung kehilangan semua perlawanannya, Li Hwa mengangguk lalu melangkah meninggalkan taman, menuju ke bangunan rumah keluarganya. Tiong Sin masih sempat mengambil golok gadis itu, kemudian sambil menggandeng tangan gadis yang seperti kehilangan semangat itu, dia mengikutinya berjalan ke arah rumah besar yang nampak sunyi.

"Di mana kamarmu.... kita masuk dari jendela saja agar tidak kelihatan orang lain....." Tiong Sin berbisik dan dengan tangan kanan dia memegang Pedang Asmara yang terhunus.

Gadis itu hanya mengangguk. Samar-samar ia masih teringat betapa janggal keadaan ini dan bahwa ia seharusnya menolak, Namun, ada kekuasaan dan kekuatan lain yang melumpuhkan seluruh kesadarannya. Ia merasa demikian gembira, merasa betapa cinta kasih pemuda itu terhadapnya demikian besarnya, dan ia merasa pula bahwa ia telah jatuh cinta sepenuhnya kepada Yeliu Tiong Sin!

Mereka tiba di depan daun jendela itu. Bagaikan dalam mimpi saja, Li Hwa membuka daun jendela itu lalu meloncat masuk ke dalam diikuti oleh Tiong Sin. Setibanya di dalam kamar, Tiong Sin menutupkan daun jendela, meletakkan pedang dan golok di atas meja, lalu dia merangkul dan mendekap Li Hwa yang hanya pasrah dengan tubuh lemas sambil memejamkan mata.

Selanjutnya, Li Hwa hanya pasrah dan tidak pernah melawan sedikit pun, menuruti segala yang diinginkan Tiong Sin! Sungguh tidak disangka sama sekali bahwa seorang gadis seperti Li Hwa, yang memiliki kegagahan, memiliki kekerasan hati, memiliki harga diri yang tinggi, pada malam hari itu berubah menjadi seperti malam lunak yang mandah saja diperlakukan sesukanya oleh seorang pemuda yang baru saja dijumpainya.

la menyerahkan diri tanpa menolak, tanpa membantah, bahkan dengan suka rela dan dengan hati penuh rasa gembira, sama sekali tidak sadar bahwa aib dan noda telah mengotori diri dan namanya sebagai seorang gadis terhormat! Sama sekali ia tidak menyadari hal ini, bahkan ia terlena, terseret oleh arus nufsu berahi dan pada saat itu hanya tahu bahwa apa yang dilakukanny adalah menyenangkan dan benar!

Dua orang muda itu membiarkan dirinya hanyut dan setelah keduanya terkulai, masih saja Li Hwa terbuai dalam kemesraan. Dalam keadaan setengah pulas itu, tiba-tiba daun pintu kamar Li Hwa diketuk orang. Perlahan saja ketuan itu, disusul suara wanita yang memanggil nama Li Hwa.

"Li Hwa, bukakan pintunya.....!"

Tentu saja Li Hwa dan Tiong Sin yang sudah hampir pulas itu, terkejut bukan main mendengar suara ini. "Ibu tiriku...." kata Li Hwa, berbisik. "Cepat, engkau pergilah dari sini...”

"Li Hwa...." kembali terdengar suar Kwi Nio, ibu tiri Li Hwa, di luar, "Bukalah, aku tadi telah melihat kalian...."

"Celaka....!" Li Hwa berbisik lagi. "Ia telah melihat kita!"

Tiong Sin merangkulnya. "Tenanglah Li Hwa. Kalau ia sudah melihat kita satu-satunya jalan adalah melibatkan ia dengan hubungan ini. Nah, engkau pura-pura tidur saja, biar aku yang menghadapinya." Berkata demikian, Tiong Sin meloncat turun dari pembaringan, meniup padam lilin di atas, meja, lalu menuju ke plntu kamar itu.

Daun pintu kamar dibuka. Kwi Nio melangkah masuk kamar yang gelap itu memanggil, "Li Hwa....."

"Ia sudah tidur, Toanio. Yang ada aku, marilah kita bicara di dalam."

Tiba-tiba ada dua lengan yang merangkulnya lalu menariknya ke dalam kamar itu, dan daun pintunya ditutup kembali. Kwi Nio segera maklum bahwa pemuda itu yang merangkulnya. Ia hendak meronta, hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas dan ia tidak mampu mengeluarkan suara karena tubuhnya sudah tertotok.

Akan tetapi tidak lama kemudian, belaian dan rayuan pemuda itu, terutama didorong oleh kekuatan dan pengaruh Pedang Asmara yang menggeletak tel4njang di atas meja, membuat nyonya itu sama sekali tidak ingin meronta dan menjerit lagi. Ketika totokannya itu dibebaskan, ia pun menyerah, bahkan menyambut belaian pemuda itu dengan penuh gairah.

Demikianlah, dua orang wanita itu seperti telah kehilangan kesadaran mereka, telah dikuasai iblis dan nafsu berahi yang berkobar-kobar, membuat mereka sama sekali tidak sadar bahwa mereka berdua telah melakukan hal yang amat kotor dan yang dapat menghancurkan nama dan kehormatan mereka....

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.