Pedang Asmara Jilid 11

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo. Pedang Asmara Jilid 11
Sonny Ogawa

Pedang Asmara Jilid 11 karya Kho Ping Hoo - SAN HONG mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Suhu Pek-ciang Yok-sian pernah bercerita tentang datuk sesat timur itu, akan tetapi menurut suhu orang itu berwatak aneh, memandang rendah orang lain, tidak mau tunduk kepada siapapun juga dan termasuk jahat."

Novel silat Mandarin karya Kho Ping Hoo

Gadis itu tersenyum. "Lebih dari itu malah. Pendeknya, hanya akulah yang akan dapat memaksa dia untuk mengobatimu, Twako."

"Tapi, Nona, bagaimana caranya.....?"

"Ihhh! Engkau sungguh membikin perutku panas! Satu di antara yang menjengkelkan hatiku adalah karena kau menyebut aku nona-nona! Engkau bukan bujangku dan aku bukan nonamu!"

Melihat gadis itu marah-marah, San Hong cepat berkata, "Maafkan aku.... Bwee-moi....."

"Nah, itu baru enak didengar! Aku pun belum pernah bertemu dengan Tung-Hai Kiam-ong. Akan tetapi aku akan mencari akal agar dia mau mengobatimu. Mari kita pergi, Twako."

Gadis itu membantu San Hong mengumpulkan barangnya yang berceceran, bahkan ia menggendong buntalan pemuda itu di punggungnya, disatukan dengan buntalan pakaiannya sendiri, lalu membantu San Hong bangkit berdiri.

Sejenak San Hong merasa betapa jantungnya berdebar ketika gadis itu merangkul dan membantunya bangun, dengan tubuh yang begitu dekatnya sehingga dia dapat merasakan kehangatan tubuh itu dan tubuh yang mengeluarkan bau yang sedap baginya.

"Tapi.... kenapa kau melakukan semua kebaikan ini, Bwee-moi? Kenapa kau mau susah-susah....."

Gadis itu memandang wajah San Hong beberapa lamanya. Senja telah mendatang, cuaca mulai menjadi redup. Ia menggeleng kepalanya. "Entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa aku begini mempedulikanmu. Mungkin karena rasa suka itu atau rasa kagum itu, mungkin juga karena kasihan....."

"Atau mungkin karena aku tolol!" sambung San Hong, dan dia tersenyum sendiri karena merasa lucu.

Gadis itu pun tersenyum dan akhirnya mereka berdua tertawa. "Aih, lega hatiku engkau mau tertawa lagi bersamaku, Twako. Mari kita pergi. Makin cepat kita dapat berhadapan dengan Tung-hai Kiam-ong, makin baik!"

Sekali ini San Hong tidak membantah dan mereka pun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke arah timur. Bagaimanapun juga, setelah kini dapat berkumpul lagi dengan Siang Bwee, mencinta dia atau pun tidak, ada perasaan lega dan gembira di dalam hatinya, dan harapan yang tadinya sudah hilang dari hatinya, kini mulai bertunas kembali.


Berkat kegagahan, kecerdikan dan semangatnya yang amat besar untuk membuat bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat, mempersatukan semua suku dengan cara mendekati mereka dan menundukkan yang menentang, Temucin mulai memperlebar sayapnya dan mengkuat kukunya, bagaikan seekor rajawali yang mulai menjadi dewasa.

Pada waktu itu, memang di daerah utara, di luar Tembok Besar, di daerah Mongol dikuasai oleh banyak suku yang memiliki pasukan besar dan kuat. Antara mereka yang terkenal adalah suku bangsa Karuit, bangsa Naiman, Merkit dan Uigur. Mereka ini merupakun suku suku bangsa yang memiliki kekuatan cukup besar dan mereka saling hantam sendiri untuk memperebutkan kekuasaan dan daerah peternakan yang subur.

Temucin, dengan siasatnya yang cerdik, berhasil mendekati kepala bangsa Karait yang bernama Togrul, kepala suku yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Togrul juga terkenal dengan nama Pendeta Yohanes, karena dia dan suku bangsa Karait yang dipimpinnya beragama Nasrani yang sudah bercampur dengan Agama Syamanisme.

Demikian pandainya Temucin mengambil hati kepala suku Karait ini sehingga dia diangkat sebagai putera! Ini merupakan suatu langkah yang amat cerdik dan Temucin memperoleh kemajuan, karena bukankah dengan demikian berarti dirinya mulai diakui dan dia memiliki sekutu yang amat kuat, yaitu bangsa Karait yang termasuk satu di antara suku bangsa yang besar dan kuat di utara?

Hubungannya sebagai putera angkat dari Togrul melicinkan jalan menuju ke arah tercapainya segala yang diidamkannya. Ketika suku bangsa Karait diserbu pasukan-pasukan dari barat yang bergabung dengan suku bangsa Merkit, musuh lama bangsa Karait, dan suku bangsa Karait mengalami kekalahan dan nyaris hancur, Temucin segera mengirim pasukannya di bawah panglima panglima yang terpandai untuk membantu bangsa Karait!

Akhirnya, para penyerbu itu dapat dipukul mundur dan bangsa Karait akhirnya memperoleh kemenangan. Tentu saja hal ini berkat jasa Temucin yang datang menolong dengan cepatnya. Kepala bangsa Karait, Togrul atau Pendeta Yohanes semakin percaya kepada putera angkatnya ini, dan nama besar Temucin sebagai seorang pemimpin muda semakin disegani dan dihormati.

Sementara itu, di sebelah selatan Tembok Besar, daratan Cina dikuasi oleh dua dinasti, atau dua kerajaan. Di sebelah utara dipimpin oleh Kerajaan Cin, sedangkan di selatan dipimpin oleh Kerajaan Sung. Sudah lama Kerajaan Cin diganggu oleh bangsa Tar-tar yang menyerang daerah Tembok Besar. Bangsa Tartar ini mernbuat benteng pertahanan di daerah Danau Buyar, dan gangguan-gungguan mereka sungguh memusingkan pemerintah!

Kerajaan Cin, terutama sekali mengganggu keamanan lalu lintas perdagangan. Oleh karena itu, Kaisar Cin lalu mengirim balatentara yang cukup besar jumlahnya untuk menghancurkan para penyerbu itu. Akan tetapi, biarpun pasukan besar ini mampu mengusir pasukan Tartar keluar tembok Besar, namun barisan yang sebagian besar terdiri dari perajurit perajurit tak berkuda ini sukar untuk dapat membasmi musuh yang merupakan pasukan penunggang kuda yang mahir, dengan kuda tunggangan yang gesit.

Pasukan Tartar dapat melarikan diri dengan cepat kalau terdesak, kemudian kembali lagi dan membuat penyerbuan mendadak yang membuat pasukan Cin cukup menjadi kalang kabut. Perang seperti ini amat merugikan dan melelahkan pasukan Cin karena pihak musuh melakukan siasat pukul dan lari..Dari para penyelidikannya, Temucin mendengar akan pertempuran antara bangsa Tartar dan bangsa Cin.

Kesempatan baik untuk mengangkat namanya agar bukan saja terkenal di antara bangsa bangsa di utara, akan tetapi sebagai salam perkenalannya kepada Kerajaan Cin di selatan, tidak disia-siakan oleh Temucin yang cerdik. Dia segera menghubungi Pendeta Yohanes atau Raja Togrul dari bangsa Karait itu, mengatakan bahwa bangsa Tar-tar merupakan musuh mereka bersama, apalagi karena dahulu ayahnya juga tewas di tangan bangsa Tar-tar ini.

Kepala suku Karait menyetujui dan mereka berdua menggabungkan pasukan mereka, lalu menyerang barisan Tar-tar. Tentu saja bangsa Tar-tar menjadi kalang-kabut, diserang oleh gabungan pasukan Mongol dari belakang, dan dari depan terdapat pasukan Cin. Mereka dalam keadaan terjepit, banyak yang tewas dan banyak pula menjadi tawanan dan orang-orang taklukan bangsa Mongol sisanya melarikan diri sedapatnya.

Kemenangan besar ini membuat nama Temucin semakin menonjol. Pimpinan pasukan Kerajaan Cin mengakui jasa Temucin dan Togrul. Bahkan kepala bangsa Karait itu, Pendeta Yohanes atau Togrul, oleh Raja Cin dianugerahi julukan Wang Khan (Rajanya Segala Khan) sedangkan Temucin juga menerima julukan Panglima Pembasmi Pcmberontak.

Selain gelar panglima, Temucin juga menerima hadiah sebuah ayunan kanak kanak terbuat dari perak terukir dengan hiasan kain emas. Gelar dan hadiah ini menakjubkan dan membesarkan hati Temucin yang selama hidupnya belum pernah melihat benda seindah itu!

Nama besar Temucin ini menarik hati banyak kelompok yang berduyun-duyun datang untuk menggabungkan diri dengan pasukan Temucin yang jaya. Makin banyak pula pendekar gagah perkasa yang bergabung. Bahkan putera-putera Temucin juga mulai digembleng dalam ilmu pertempuran, terutama sekali oleh Chepe Noyon, seorang di antara panglima-panglima Temucin yang gagah perkasa dan amat setia.

Akan tetapi, seperti sudah lajim terjadi di dunia ini, suatu keadaan tentu ada kebalikan atau lawannya. Demikian pula dengan Temucin. Banyak orang kagum dan datang menggabungkan diri dengan pasukannya, namun tidak kurang-kurang pula yang merasa iri hati kepadanya! Iri hati yang menimbulkan kebencian, apalagi mendengar betapa Wang Khan, julukan baru kepala suku Karait, selalu memuji-muji putera angkatnya yang bernama Temucin itu!

Bahkan putera-putera dari Wang Khan sendiri merasa iri dan benci kepada Temucin. Mereka menghasut para panglima ayah mereka untuk membenci Temucin sehingga sebagian besar pasukan Karait memandang rendah orang-orang Mongol di bawah pimpinan Temucin yang dianggap membonceng kebesaran pasukan Karait dan nama Wang Khan. Komplotan yang membenci Temucin ini perlahan-lahan berhasil pula mempengaruhi hati Wang Khan yang sudah tua itu dengan bujukan-bujukan mereka.

"Harap Ayahanda berhati-hati menghadapi seorang licik dan cerdik seperti Temucin," demikian antara lain para putera Wang Khan membujuk ayah mereka. "Lihat saja, dari orang biasa saja dia kini telah mengangkat diri menjadi pemimpin bangsa Mongol dan agaknya dia hendak menyaingi kedudukan Ayah. Kami semua tidak merasa heran kalau akhirnya dia akan mendesak kekuasaan bangsa kami. Ayahanda memelihara seekor harimau, di waktu masih kecil jinak dan menyenangkan, akan tetapi kalau sudah besar, mungkin akan menerkam Ayah sendiri."

Akhirnya, Wang Khan yang terkena bujukan itu tidak lagi melarang atau menghalangi ketika komplotan itu mengatur siasat dan merencanakan untuk membunuh Temucin dan menghancurkan pasukannya! Panglima yang dipercaya oleh Temucin, yaitu Chepe Noyon, mempunyai seorang putera yang sudah digemblengnya menjadi seorang pemuda yang tegap dan gagah, bernama Yuci.

Pemuda berusia dua puluh tahun ini cukup ganteng dan memiliki keahlian dalam hal berburu dan juga berperang, pantas menjadi putera seorang panglima seperti Chepe Noyon. Pemuda ini yang menjadi sasaran komplotan orang-orang Karait. Dipilih mereka seorang puteri kepala suku antara mereka, yang remaja dan cantik jelita, untuk dijodohkan dengan Yuci.

Melihat betapa gadis itu amat cantik juga pandai, Chepe Noyon dan Yuci setuju. Pihak keluarga gadis itu mengajukan sebuah syarat bahwa untuk mengangkat martabat keluarganya, maka dalam pesta pernikahan itu harus dihadiri oleh Temucin sendiri dan semua panglima Mongol, sedangkan semua panglima Karait, sampai Wang Khan sendiri juga akan hadir dan merestui. Syarat ini diterima dan disetujui oleh Chepe Noyon setelah mendapat persetujuan dari Temucin.

Komplotan itu terdiri dari putera-putera Wang Khan sendiri yang bergabung dengan kepala suku Merkit yang bernama Toukta Beg, juga dengan Chamuka yang terkenal dengan julukan Si Cerdik, bahkan juga beberapa orang paman Temucin sendiri ikut dalam komplotan itu.

Mereka bersepakat untuk membunuh Temucin apabila kepala suku bangsa Mongol yang mulai terkenal ini menghadiri pesta pernikahan, dan kalau usaha ini gagal, mereka telah mempersiapkan pasukan yang besar jumlahnya untuk menyerang pasukan Temucin dan menghancurkannya.

Namun, Temucin bukanlah seorang bodoh. Dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, di waktu para pimpinan suku-suku bangsa saling berlumba dan bersaingan untuk memperebutkan kekuasaan terbesar, tidak seorang pun boleh dipercaya! Dia selalu harus bercuriga dan waspada, mengamati setiap orang baik yang dianggap saudara dan sahabat sendiri sekalipun. Dia maklum bahwa sekali dia lengah, tentu akan dipergunakan oleh pihak yang tidak suka kepadanya untuk menjatuhkannya.

Maka, sikap orang-orang Karait yang baik itu tidak membuatnya lepas dari kewaspadaan. Bahkan setelah ada pengikatan perjodohan antara puteri seorang suku bangsa atau kelompok suku Karait dengan Yuci putera pembantunya yang setia, Chepi Noyon, Temucin juga bersikap waspada menduga yang paling buruk, yaitu bahwa sikap itu hanya merupakan siasat saja yang harus dihadapi dengan penuh kewaspadaan.

Diam-diam dia segera mengirim lima orang perajurit penyelidik ke wilayah kekuasaan suku Karait untuk melakukan penyelidikan teliti, menguak tabir yang mungkin menutupi sikap berbesan itu. Dan apa jadinya? Lima orang perajurit penyelidik itu tidak pernah kembali!

Agaknya sejarah akan lain jadinya dan belum tentu nama Temucin kelak akan menjadi Jenghis Khan yang maha terkenal kalau saja tidak terjadi hal yang amat tidak disangka-sangka. Lima orang penyelidik itu telah tertawan musuh dan di bawah siksaan yang amat mengerikan, akhirnya seorang di antara mereka mengaku bahwa Temucin merasa curiga.

Dan mengutus mereka untuk menyelidiki keadaan di wilayah suku Karait, menyelidiki apakah di balik pernikahan Yuci itu tidak terkandung maksud buruk! Tentu saja pihak Karait terkejut bukan main. Hampir saja rahasia mereka diketahui Temucin! Maka, mereka lalu berunding dan memutuskan untuk melakukan penyerbuan secara tiba-tiba.

Namun, hal yang tidak tersangka sangka itu pun terjadilah. Dua orang penggembala kuda yang melihat ditangkapnya lima orang mata-mata itu, juga mereka yang bekerja sebagai penggembala kuda milik para perwira Karait mendengar bahwa mereka harus mempersiapkan semua kuda karena akan dlpergunakan untuk menyerbu pasukan Mongol dibawah pimpinan Temucin, segera malam malam mereka melarikan diri berkunjung ke perkemahan Temucin.

Mereka ada dua orang yang sudah lama mengagumi Temucin, dan mereka mendengar betapa pimpinan orang Mongol yang masih muda ini pandai sekali memimpin, adil dan juga menghargai jasa orang-orang yang membantunya. Mereka berpikir bahwa kalau mereka tetap menghambakan dirinya kepada Wang Khan, mereka hanya akan menjadi penggembala kuda seumur hidup.

Sebaliknya, kalau mereka menghambakan diri kepada Temucin sambil membawa berita penting yang merupakan jasa yang besar, tentu mereka akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Maka, malam-malam mereka meninggalkan perkemahan suku Karait, dan menghadap Temucin.

"Mereka, suku Karait dan sekutu mereka, merencanakan untuk menyerang perkemahan Paduka pada malam hari. Mereka berniat keras untuk membunuh Paduka dan menghancurkan pasukan Paduka!" demikian dua orang penggembala kuda itu melapor.

Biarpun jantungnya berdebar karena mendengar laporan ini, namun Temucin tetap tenang. "Coba ceritakan dari permulaan, bagaimana kalian dapat mengetahui akan hal itu, dan apa yang terjadi di sana."

Dua orang penggembala itu lalu bercerita tentang tertawannya lima orang mata-mata yang dikirim Temucin, kemudian tentang persiapan yang dibuat oleh pasukan Karait untuk menggempur malam hari nanti.

Temucin mengangguk-angguk, tidak meragukan lagi kebenaran laporan itu. "Berapakah besarnya pasukan mereka?"

"Besar sekali, Khan yang Mulia! Suku Karait sendiri mengerahkan sedikitnya tiga belas ribu orang, dan ditambah dengan sekutu mereka, maka hamba kira tidak akan kurang dari lima belas ribu orang!"

Temucin mengucapkan terima kasih memberi balas jasa berupa kedudukan sebagai kepala pengurus kuda seluruh pasukannya. Kepala! Tinggal mengawal dan memerintah banyak anak buah, bukan hanya penggembala kuda yang setiap hari bau keringat dan kotoran kuda! Termucin lalu mengumpulkan semua pnnglimanya untuk diajak berunding menghadap keadaan yang gawat itu.

Jumlah musuh ada lima belas ribu orang, sedangkan pasukannya sendiri hanya kurang lebih lima ribu orang saja. Satu lawan tiga! Kalau seimbang saja jumlahnya, dia akan menyambut dengan penuh semangat. Biarpun dia tahu bahwa pasukan Karait merupakan perajurit perajurit yang tangguh, namun perajuritnya sendiri merupakan orang-orang gemblengan.

Tentu saja kalau harus menyambut musuh yang tiga kali lipat banyaknya dari depan, merupakan bunuh diri yang bodoh. Mereka lalu mengadakan perundingan untuk mengatur siasat. Mereka harus bertindak cepat karena waktunya hanya sedikit sekali. Dalam waktu beberapa jam saja, pihak musuh tentu sudah datang menyerbu seperti yang dikabarkan oleh dua orang penggembala kuda itu.

Setelah mengadakan perundingan masak-masak dengan para pembantunya, diambillah keputusan untuk mengungsikan semua keluarga mereka. Semua orang dibangunkan dan semua ternak disingkirkan dari perkemahan itu, dipencar-pencar. Keluarga cepat diungsikan dengan kereta-kereta, juga barang-barang berharga mereka.

Mereka itu, dengan patuh sekali tanpa mengeluh, malam-malam segera melarikan diri mengungsi, berbondong-bondong mereka menuju ke perkemahan tetap mereka yang letaknya jauh dari situ. Gerobak-gerobak sapi yang besar tidak dibawa, dibiarkan berdiri mengelilingi perkemahan mereka seperti semula. Api unggun tetap dinyalakan, bahkan beberapa orang yang gagah berani, dengan kuda yang dapat berlari cepat, mendapat tugas menjaga agar api unggun itu tidak padam.

Setelah semua keluarga lari paling depan, barulah para panglima memimpin pasukan untuk meninggalkan perkemahan itu di bagian belakang, untuk melindungi pelarian para keluarga mereka dari serbuan musuh yang tentu akan melakukan pengejaran. Tujuan mereka adalah daerah berbukit yang berada di depan, kurang lebih sepuluh mil jauhnya. Daerah berbukit itu akan dapat melindungi mereka, dapat mereka jadikan semacam benteng pertahanan.

Setelah pasukan Temucin menyeberang sebuah sungai, mereka membiarkan kuda mereka minum dan bahkan memberi makan dan membiarkan kuda mereka ini melepaskan lelah. Mereka amat membutuhkan tenaga kuda mereka besok maka malam ini binatang-binatang harus dapat memulihkan tenaga mereka dan tidak terlalu lelah.

Sementara itu, sesuai dengan siasat mereka, orang-orang Karait datang menyerbu lewat tengah malam, menjelang subuh. Mereka memperhitungkan bahwa waktu seperti itu, semua orang Mongol tentu sedang tidur nyenyak, apalagi hawa udara demikian dinginnya. Melihat semua api unggun masih bernyala, mereka memperhitungkan bahwa yang tidak tidur tentulah hanya beberapa orang penjaga api unggun.

Dengan penuh semangat dan kegembiraan, penuh kepastian akan memperoleh kemenangan besar, pasukan Karait itu menghujankan anak panah di perkemahan itu. Akan tetapi, mereka tidak mendapatkan perlawanan sama sekali! Mereka menyerbu ke perkemahan dan barulah mereka melihat kenyataan yang mengherankan dan membingungkan, yaitu bahwa perkemahan itu kosong!

Atas perintah Temucin yang mengatur siasat, banyak permadani dan pelana-pelana ditinggalkan di dalam perkemahan dan keadaan kacau balau. Hal ini menjadi petunjuk bagi para penyerbu bahwa orang-orang Mongol itu tentu terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri cerai berai. Karena bingung menghadapi keadaan yang sama sekali tidak mereka duga itu, dan kecewa karena mereka tidak berhasil menemukan Temucin yang akan mereka bunuh, mereka lalu mengadakan perundingan.

"Api unggun mereka masih bernyala peralatan berharga banyak yang mereka tinggalkan dan keadaannya kacau balau. Jelas mereka itu melarikan diri. Tentu kedudukan mereka lemah sekali. Mari kita kejar mereka!" demikian mereka mengambil keputusan.

Nampak jejak-jejak orang-orang Mongol yang melarikan diri menuju ke timur, maka pasukan orang Karait itu melakukan pengejaran, memacu kuda mereka yang sudah lelah dan tak pernah diberi waktu istirahat itu. Barisan Karait yang amat besar jumlahnya itu merupakan deretan panjang, mengejar orang orang Mongol yang mereka anggap tentu dalam keadaan kacau dan lemah, tidak teratur. Mereka seperti hendak berlumba lebih dulu membunuhi orang Mongol lebih dulu merampok harta benda dan memilih wanita yang paling cantik.

Temucin sudah siap siaga. Tentu saja dia dan para pembantunya sudah menduga akan datangnya musuh. Dari jauh mereka mengintai dan melihat pihak musuh mengejar dengan tidak teratur. Temucin memecah pasukannya menjadi dua. Mereka memacu kuda mereka yang segar dan sudah beristirahat itu, menyeberangi sungai dan menyerang musuh dengan cara menggunting dari kanan kiri.

Terjadilah pertempuran yang hebat! Andaikata Temucin dan para pembantunya belum beristirahat dan kuda mereka tidak segar seperti saat itu, apalagi degan cara penyerangan tiba-tiba dari kanan kiri, tentu pasukan Mongol itu akan mudah dihancurkan pasukan Karait yang jauh lebih besar jumlahnya.

Namun, orang-orang Karait dan kuda mereka sudah lelah, dan mereka diserang oleh musuh yang mereka anggap sudah lemah dan ketakutan itu, maka mereka menjadi panik dan banyak perajurit mereka yang roboh dan tewas oleh amukan para perajurit Mongol.

Namun, karena jumlah orang Karait itu ternyata lebih besar daripada laporan dua orang penggembala kuda, tidak kurang dari dua puluh ribu orang, maka biarpun pasukan Mongol itu menyerang penuh semangat dengan merobohkan banyak lawan, tetap saja mereka tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak musuh itu.

Apalagi ketika matahari mulai terbenam setelah bertempur selama setengah hari dengan cara berlari-larian mempergunakan daerah berbukit-bukit untuk memencarkan pihak musuh, akhirnya Temucin maklum bahwa pasukannya akan habis kalau pertempuran itu di lanjutkan. Temucin melihat bahwa satu-satunya tempat yang akan menyelamatkan pasukannya hanyalah sebuah bukit yang diberi nama Bukit Gupta, sebuah bukit yang berada di belakang pihak musuh.

Bukit itu memang tempat yang amat baik untuk bertahan terhadap serangan musuh yang lebih besar. Bukit yang dikelilingi jurang yang amat curam dan jalan naik ke puncak bukit itu hanya satu, jalan sempit yang diapit tebing curam. Kalau mereka dapat mencapai bukit itu, maka mereka akan selamat. Akan tetapi siapakah yang dapat ditunjuk sebagai pelopor karena bukit itu berada di sebelah belakang musuh? Untuk mencapainya harus mencari jalan darah, yaitu harus melingkari pasukan musuh!

Majulah Guildar, kepala suku Manhut yang menjadi seorang di antara pembantu dan panglima Temucin yang setia. Guildar terkenal pandai sekali menunggang kuda, juga amat pemberani dan cerdik, ditambah pula pandai dia memainkan pedang sambil menunggang kuda.

"Khan yang mulia, biarlah saya yang akan memegang panji Paduka. Biarpun saya sudah letih, namun akan saya pergunakan seluruh sisa tenaga saya untuk memancangkan panji Paduka di puncak Bukit Gupta. Akan saya terjang semua musuh yang menghalangi saya. Biarlah semua orang melihat keberanian dan kesetiaan saya. Kalau saya gagal dan tewas, harap Paduka suka memelihara keluarga saya!"

Temucin menghampiri dan merangkul Guildar, kemudian menyerahkan panji dan pedangnya. Guildar menunggang kuda, disusul para perajurlt yang dipimpin para panglima, melindungi Temucin dan Guildar menerjang pasukan musuh bagian samping kiri lalu menyerang bagian belakang. Keadaan musuh menjadi kacau balau dan panik melihat keberanian Guildar dan pasukan Mongol, ditambah pula malam mulai tiba.

Akhirnya, biarpun terluka, Guildar berhasil memancangkan panji Temucin di puncak Bukit Gupta! Pihak pasukan Karait menjadi gentar. Banyak sekali perajurit mereka yang gugur, apalagi seorang putera dari Wang Khan luka parah, maka terpaksa mereka menghentikan penyerangan dan mundur. Bagaimanapun juga, harus mereka akui bahwa kerugian di pihak mereka lebih besar!

Pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan pengejaran. Namun semangat mereka telah melemah sehingga biarpun banyak pula perajurit Mongol yang tewas, namun Temucin dapat menyelamatkan diri berikut keluarganya! Bahkan pasukan inti suku-suku yang berlindung di bawah panjinya masih utuh Akhirnya, pasukan Karait mendapat perintah dari atasan untuk menghentikan pengejaran.

"Bukan main dia itu.....!" Wang Khan menarik napas panjang ketika mendengar pelaporan tentang kegagalan membunuh Temucin itu. "Kita telah salah perhitungan. Orang seperti Temucin itu lebih menguntungkan kalau dijadikan sekutu bukan musuh! Lebih baik dia menjadi kawan daripada lawan."

Namun, semua telah terlanjur dan dia tahu bahwa Temucin tidak mungkin mau melupakan atau memaafkan penyerangan yang licik dan curang itu. Dugaan raja tua ini memang tepat sekali. Bukan seorang calon raja besar kalau Temucin melupakan kecurangan seperti itu, yang mengakibatkan kekalahan yang dideritanya, kehilangan banyak perajurit harta benda.

Beberapa hari kemudian semenjak terjadi piristiwa itu, Wang Khan, yaitu julukan baru yang dianugerahkan Kaisar Kerajaan Cin kapada kepala suku Karait yang tadinya bernama Toghrul atau juga Pendeta Yohanes ini, malah menerima sepucuk surat dari Temucin.

Surat itu ditulis dengan huruf-huruf yang bagus, disusun dalam kata-kata yang indah, nampaknya halus dan sopan seperti sepatutnya seorang putera angkat menulis sepucuk surat kepada ayah angkatnya yang dihormati.

"Ayahanda Wang Khan yang mulia,
Ingatkah ayahanda, ketika ayahanda dikejar musuh, bukankah saya mengirimkan para panglima saya untuk menolong ayahanda? Ayahanda datang kepada saya menunggang seekor kuda buta, dengan pakaian compang camping dan badan kurus kelaparan. Bukankah saya memberi ayahanda ternak biri-biri dan kuda dalam jumlah yang berlebihan?

Dahulu, pasukan ayahanda merampas barang-barang rampasan perang yang menjadi hak pasukan saya. Kemudian rampasan itu dirampas musuh-musuh ayahanda, dan para panglima saya yang berhasil mengembalikannya kepada ayahanda. Di tepi Sungai Hitam kita telah berjanji untuk bersatu, tidak mendengarkan kata-kata fitnah mereka yang hendak memisahkan kita.

Saya tidak pernah menuntut ganjaran yang lebih dari ayahanda. Andaika kekuasaan ayahanda merupakan kereta, maka saya adalah sebuah di antara roda kereta itu. Kalau kereta hilangan sebuah rodanya, takkan berjalan maju. Kenapa ayahanda marah kepada saya dan menyerang saya?"

Demikianlah bunyi surat itu, sopan halus namun mengandung penyesalan besar, bahkan merendahkan. Ancaman yang mengerikan mulai menghantui hati Wang Khan. Dia merasa menyesal sekali mengapa menuruti bujukan para puteranya dan para musuh Temucin. Namun penyesalan yang terlambat datangnya tidak ada artinya lagi.

Temucin menyusun kekuatan yang besar sekali. Setelah melakukan penyelidikan untuk mengetahui keadaan dan kekuatan suku Karait, mulailan Temucin melakukan penyerangan. Sebuah pertempuran hebat terjadi. Pertempuran seru dan mati-matian antara dua buah pasukan yang hampir sama besarnya dan yang saling membenci. Dua buah di antara suku-suku terbesar di daerah Mongol.

Suku Karait merupakan suku yang tua dan besar, bahkan Kerajaan Cin di sebelah selatan Tembok Besar juga segan terhadap suku Karait. Kini, suku bangsa itu mengalami penyerbuan besar-besaran dari Temucin. Mereka melakukan perlawanan mati-matian. Namun, Temucin sudah memperhitungkan secara masak-masak sebelum melakukan penyerbuan itu.

Para panglimanya mengambil posisi yang tepat, mengepung pusat benteng bangsa Karait itu. Pertempuran berlangsung dari subuh, sehari penuh dan akhirnya, menjelang senja, perlawanan bangsa Karait dapat dipatahkan. Raja tua Wang Khan dan puteranya menderita luka-luka dan mereka berdua melarikan diri sebelum benteng terakhir bobol.

Perkemahan besar bangsa Karait diserbu dan diduduki. Harta benda bangsa Karait yang ditinggalkan lari pasukan yang kalah itu dirampas, wanita-wanita ditawan. Temucin sendiri tidak membutuhkan harta benda dan para wanita itu. Dia membagi-bagikan harta dan wanita itu kepada para panglima dan perajurit yang berjasa!

Bahkan perkemahan Wang Khan sendiri yang dihias dengan sulaman emas, diberikan seluruhnya kepada dua orang penggembala kuda yang pernah berjasa memberi kabar ketika pasukannya akan diserbu oleh suku Karait tempo dulu, sehingga terjadi pertempuran di Buki Gupta itu. Pasukan Temucin mengejar sisa tentara Karait. Setelah pasukan musuh itu terkepung, Temucin yang cerdik menahan pasukannya agar tidak membasmi mereka.

Dia memberi kesempatan kepada sisa pasukan Karait untuk menyerah dan menakluk, menawarkan agar mereka suka bergabung dengan pasukannya yang semakin besar dan jaya. Karena melihat betapa raja mereka sudah dihancurkan musuh, maka tidak ada pilihan lain bagi pasukan Karait untuk menaluk kepala raja baru yang besar itu.

Temucin tidak mau bertindak kepalang tanggung. Dia memerintahkan untuk mencari dan menangkap para penggerak persekutuan yang memusuhinya. Akhirnya, Chamuka, masih keponakannya sendiri yang berjuluk Si Cerdik itu, tertangkap dan melihat betapa orang ini biarpun cerdik namun amat culas dan membencinya karena iri hati. Temucin lalu menghukum mati padanya.

Dia juga menyuruh orang-orangnya menyelidiki kemana larinya Wang Khan dan puteranya. Dan biarpun tidak secara terang-terangan, Temucin berhasil pula menyuruh mata-matanya untuk melakukan pengejaran, pencarian kemudian membunuh pula Wang Khan dan puteranya. Karena hal itu dilakukan secara rahasia.

Maka tidak ada yang menyangka bahwa dia yang menyuruh orang membunuh bekas ayah angkatnya itu. Bermacam-macam berita tentang kematian Wang Khan. Ada yang mengatakan dia dan puteranya dalam pelarian itu dibunuh perampok, ada yang mengabarkan dibunuh orang-orang Turki.

Semenjak berhasil mengalahkan suku Karait, bahkan kini seluruh sisa suku Karait bergabung di bawah panji Temucin, maka raja muda ini menjadi semakin terkenal dan besar kekuasaannya. Para kepala kelompok menjadi gentar. Kalau suku Karait yang demikian besar dan kuat sampai dapat dikalahkan, maka pada waktu itu, kiranya tidak ada pemimpin yang akan mampu menandingi kebesaran Temucin.

Semakin banyak kepala kelompok yang menakluk sebelum diserang menggabungkan diri, mengakui kekuasaan Temucin. Mereka yang tidak mau tunduk diserbu dan dihancurkan. Dalam hal ini Temucin bertangan besi. Suku yang tidak mau taluk, diserbu dan dibasmi habis kecuali para wanitanya yang dibagi-bagikan kepada para perajuritnya, dan kanak kanak yang sehat dipelihara karena kelak dapat menggantikan para perajurit yang tua.

Ternyata Temucin merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana. Dia memberi hadiah yang amat besar, bahkan tidak sayang memberikan barang milik pribadinya kepada panglima yang berjasa. Para panglima yang menjadi pembantu utamanya dan sudah menumpuk jasa dihormatinya dan diberi kekuasaan mutlak sehingga mereka itu dapat saja setiap saat memasuki kemahnya!

Bahkan banyak di antara para panglima berjasa ini yang melakukan kesalahan besar, yang menurut kebiasaan seharusnya dihukum mati, ternyata diampuni oleh Temucin. Sebaliknya, kepada musuh-musuhnya, yaitu suku yang tidak mau mengakui kekuasaannya, dia bertindak kejam bukan main, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi.

Berduyun-duyun datanglan kelompok-lompok baru dan akhirnya, hampir seluruh suku di daerah Mongol yang membentang luas dari barat ke timur dan dari Tembok Besar ke utara, taluk dan bergabung dengan pasukan Temucin. Bangsa Mongol menjadi bangsa yang besar, bersatu dan amat kuat. Demikian besarnya kekuasaan Temucin sehingga suku-suku yang tadinya saling bermusuhan turun temurun.

Setelah mereka bergabung dengan Temucin, maka permusuhan di antara mereka itu dilupakan. Dan kelompok-kelompok yang berlainan agama, ada yang beragama Buddha dan Syaman, pemuja berhala, Kaum Muslimin dan penganut Agama Nasrani Nestorian, dapat bersatu di bawah panji Temucin!

Temucin yang hendak mengukuhkan kedudukannya itu mengusulkan untuk mengadakan rapat besar di antara para pimpinan kelompok. "Kita telah menjadi bangsa yang besar dan semua kelompok dan suku telah bersatu padu. Untuk memimpin bangsa yang besar ini, kita membutuhkan seorang pemimpin, seorang Khan (Raja) yang dapat membimbing kita menjadi bangsa yang besar, Jaya dan kuat, bukan bangsa yang berkeliaran tanpa tempat tertentu seperti kebanyakan dari kita." Demikian antara lain Temucin mengajukan usul yang diterima oleh semua kepala kelompok.

Ketika itu, bangsa Turki juga menyatakan dirinya bersatu dengan bangsa Mongol yang semakin kuat itu. Ketika diadakan sidang atau rapat besar yang terjadi dalam tahun 1206, dalam pemilihan raja, tentu saja semua pemimpin kelompok menunjuk dan memilih Temucin. Tak seorang pun meragukan kemampuannya, melihat betapa pandainya Temucin memimpin bangsa Mongol selama beberapa tahun ini.

Dengan suara bulat, Temucin diangkat menjadi raja dan atas usul seorang ahli nujum, Temucin diberi gelar Jenghis Khan (Yang Teragung Diantara Raja) dan kemudian terkenal dalam sejarah sebagai Jenghis Khan! Dengan sikap yang agung dan hati yang besar Temucin menerima pengangkatan itu dan sejak itu dia pun menjadi raja besar Jenghis Khan yang kelak akan mengguncangkan sebagian dunia dan namanya dikenal oleh seluruh dunia.


Tebing itu curam sekali. Hati merasa ngilu kalau orang berdiri di tepi tebing dan menjenguk ke bawah. Bukan main curamnya. Tidak kurang dari seribu kaki Dan jauh di bawah sana nampak air laut. Dari jarak sejauh itu, air laut nampak tenang sekali, seperti hamparan kain beledu biru. Batu-batu karang nampak kecil-kecil menghias pantai di bawah.

Padahal kalau orang berada di bawah tebing, air laut itu bergelora tak pernah berhenti, menghantami batu karang mengeluarkan suara berdebur keras dan mengguncangkan karang besar. Yang nampak dari atas hanya garis-garis putih, yaitu puncak alun yang membuih. Anehnya, di atas tebing curam yang amat sunyi itu, di tepi pantai Laut Timur, berdiri sebuah bangunan yang megah. Sepi sekali tebing itu dan tidak nampak ada rumah lain.

Memang daerah itu terpencil. Tentu saja tidak ada orang yang suka membangun sebuah dusun di atas tebing curam yang sunyi seperti itu Apa yang diharapkan dari tempat seperti itu? Tanahnya batu kapur yang tidak dapat ditanami. Tebingnya curam sehingga tidak mungkin orang mengharapkan pencaharian ikan di lautan.

Hutannya juga tidak subur, hanya ditumbuhi pohon pohon liar yang tidak dapat dimanfaatkan, dan hampir tidak ada binatang buruan di daerah itu. Karena itu, maka sungguh aneh melihat ada sebuah rumah besar tanpa tetangga di tempat itu.

Rumah terpencil itu cukup besar dan megah. Genteng-gentengnya masih nampak bersih dan kuat, temboknya juga haru saja dikapur lagi. Pekarangan rumah itu ditanami bunga-bunga, pemandangan yang aneh di daerah berbatu kapur itu. Kalau orang mendekat, baru dia tahu bahwa pekarangan itu agaknya ditimbuni tanah subur yang tentu didatangkan dari bawah tebing, di daerah yang tanahnya subur lebih menengah ke daratan.

Dan rupanya ada sumber air dari atas tebing itu, hal yang cukup aneh. Mungkin air itu mengalir dari puncak tebing yang lebih tinggi dan air ini ditampung dan cukup memenuhi kebutuhan penghuni rumah itu, juga untuk menyirami tanaman di pekarangan kalau musim kering tiba. Rumah itu dikurung pagar tembok dan kalau orang memasuki rumah itu, dia akan semakin terheran-heran melihat perabot rumah yang serba indah dan mahal!

Rumah dengan prabot, seperti itu sepatutnya berada di kota, menjadi tempat tinggal keluarga bangsawan berpangkat tinggi atau setidaknya keluarga seorang hartawan besar. Apalagi melihat adanja belasan orang wanita muda yang kesemuanya cantik manis, dari usia dua puluh sampai tiga puluh tahun yang bekerja di rumah besar itu. Tentu rumah bangsawan tinggi. Dan di pintu depan nampak gardu jaga di mana terdapat lima orang penjaga yang bertubuh kekar dan bersikap bengis.

Bukan, bukan pejabat, karena kalau rumah pejabat, tentu penjaganya perajurit berpakaian seragam Padahal, para penjaga ini tidak berpakaian seragam, melainkan pakaian seperi ahli silat tukang pukul. Memang aneh keadaan rumah itu berdiri di tempat yang aneh dan tidak pada tempatnya. Akan tetapi, pemilik rumah itu memang bukan manusia biasa melainkan seorang manusia yang aneh, manusia yang ditakuti dunia kang-ow dan dianggap seperti bukan manusia melainkan lebih mendekati iblis!

Dia adalah Tung-hai Kiam-ong (Raja Pedang Laut Timur) Cu Sek Lam yang juga dianggap sebagai datuk besar wilayah timur. Dia ditakuti di dunia kang-ouw dan tidak ada tokoh sesat yang tidak tunduk kepadanya. Bahkan para pimpinan gerombolan sesat banyak yang suka mengirim bingkisan tanda kehormatan kepada datuk besar itu sehingga Tung-hai Kiam-ong yang sudah kaya raya itu tak pernah berkurang kekayaannya, bahkan makin bertambah.

Datuk ini memiliki sebuah kereta besar dan setiap tiga hari sekali, orang-rangnya mengendarai kereta pergi ke kota Si-yang, belasan li jauhnya dari tebing itu, untuk pergi berbelanja segala barang yang dibutuhkan keluarga Cu Sek Lam. Dan biarpun rumah itu berdiri terpencil di tempat sunyi, namun penghuninya tak pernah merasa kesunyian. Hampir setiap malam tentu terdengar musik dibunyikan di ruangan belakang, di mana para pelayan wanita itu bermain musik, bernyanyi, menari dan menghibur hati majikan mereka.

Dan ternyata bahwa belasan orang wanita muda cantik bukan hanya menjadi pelayan dan mengurus rumah tangga itu, melainkan juga menjadi penghibur, pandai bermain musik pandai pula bermain silat sehingga mereka merupakan pasukan keamanan sebelah dalam rumah, dan juga mereka menjadi selir-selir Tung Kiam yang menemani tidur majikan itu setiap kali mereka dibutuhkan.

Beberapa hari sekali, ada saja tamu yang datang berkunjung. Mereka adalah tokoh-tokoh sesat, pemimpin-pemimpin gerombolan yang datang untuk menyampaikan hormat dan bingkisan mereka. Mereka itu bukan memberi dengan percuma, karena pertama, mereka tentu akan dianggap sebagai sahabat oleh datuk besar itu, dan ke dua, sehelai surat saja dari si datuk besar sudah merupakan suatu jaminan bagi mereka. Takkan ada seorangpun berani mengganggu sahabat dari datuk besar Tung-hai Kiam-ong!

Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun yang berperawakan sedang dan wajah tampan. Dia kelihatan pendiam, wibawa, bahkan congkak, memandang rendah orang lain dan merasa bahwa dialah orang yang paling hebat di dunia ini! Pantangannya adalah kalau ada orang memandang rendah atau tidak menghargainya.

Siapapun orang itu tentu akan dicarinya, ditantang berkelahi dan dibunuhnya! Dia telah kematian isterinya, namun duda ini tidak pernah merasa kesepian karena lima belas orang wanita muda yang bekerja mengurus gedungnya merupakan selir-selir yang cantik dan menyenangkan hatinya.

Tung Kiam hidup di gedung itu bersama seorang pemuda bernama Cu See Han, yaitu putera dan anak tunggalnya. Pemuda ini telah berusia dua puluh tiga tahun, tampan dan gagah seperti ayahnya, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi mewarisi ilmu-ilmu ayahnya. Dia bahkan mempelajari pula kesusastraan sehingga dia menjadi seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastra) yang berwajah tampan dan berkepandaian tinggi.

Selain mewarisi ilmu kepandaian ayahnya, juga Cu See Han mewarisi kesombongan ayahnya, dan ditambah lagi dia berwatak cabul dan mata keranjang! Semenjak dia remaja dan berangkat dewasa, semenjak ibu kandungnya meninggal dunia, See Han memperoleh guru-guru yang amat pandai dalam hal kecabulan, yaitu para pelayan atau selir-selir ayahnya sendiri!

Dan merekalah dia menjadi hamba nafsu berahi dan mereka itu semua dengan senang hati akan suka menjadi gurunya yang penuh gairah! Tung Kiam tahu akan hal ini, tahu bahwa puteranya menjadi kekasih semua selirnya, namun dia tidak peduli dan hanya tertawa saja!

Namun, lima belas orang selir ayahnya itu akhirnya membosankan pula hati pemuda ini dan mulailah dia pergi ke kota Si-yang dan menjadi langganan tetap rumah-rumah pelacuran yang hanya terdapat di kota itu. Dan dia juga amal terkenal, disuka di kalangan pelacuran karena dia muda, tampan, jantan dan kaya raya, royal dengan uangnya. Karena orang-orang mengenal Cu-kongcu (tuan muda Cu) ini sebagai putera datuk besar yang tinggal di tebing, tak seorang pun berani bersaing dengan dia.

Inilah perbedaan antara ayah dan anak itu. Kalau si ayah selalu bersikap angkuh dan tidak mau merendahkan diri dengan berkeliaran ke rumah pelacuran, sebaliknya puteranya menjadi langganan rumah-rumah pelesir itu. Dan kalau si ayah seorang yang pendiam, sebaliknya di dalam kesombongannya Cu See Han pandai bicara dan pandai memikat hati wanita. Entah sudah berapa banyaknya wanita terjatuh ke dalam pelukan pemuda ini, baik ia wanita isteri orang, atau perawan yang belum bersuami.

Jarang ada wanita yang mampu bertahan, mampu menolak rayuan maut Cu See Han. Dan para suami yang isterinya diganggu, orang-orang tua yang anaknya diganggu, tidak ada yang berani memperlihatkan kemarahan mereka terhadap pemuda itu. Mereka hanya diam-diam menceraikan isteri mereka, atau mengusir anak mereka yang telah mendatangkan aib kepada keluarga mereka.

Tentu saja para wanita itu yang akhirnya menjadi korban karena tentu saja Cu See Han tidak pernah mau bertanggung-jawab, apalagi mengawini para wanita itu! Kalau sudah bosan, dia pun pergi meninggalkan, mereka begitu saja. Dan dia seorang pemuda pembosan. Tak pernah ada wanita yang dapat memikatnya selama lebih dari satu bulan saja.

Beberapa bulan yang lalu, pernah Cu See Han berhasil memikat hati seorang gadis puteri seorang ahli silat yang tinggal di kota Jian-hu, sebelah selatan kota Si-yang. Gadis itu tergila-gila kepada See Han dan akhirnya seperti juga banyak wanita lain, ia terpikat dan menyerahkan diri kepada See Han. Orang yang sudah tergila-gila seperti mabuk dan tidak sadar lagi apa yang ia lakukan.

Ayah gadis itu, seorang ahli silat Bu tong-pai, terkejut dan marah ketika melihat puterinya dinodai Cu See Han. Akan tetapi dia pun sudah mendengar siapa pemuda itu. Sebagai seorang yang gagah dia pun langsung saja pergi berkunjung ke rumah kediaman Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam untuk minta pertanggungan jawab orang tua pemuda itu.

Dia cukup tahu diri, tidak memperlihatkan kemarahan hanya mohon agar datuk besar itu suka menjodohkan puterinya yang telah ternoda itu dengan See Han. Akan tetapi, Tung Kiam menyambut permohonan itu dengan marah. Akhirnya, ayah yang malang ini dengan gagah mempertahankan kehormatan puterinya dan menantang Tung Kiam!

Namun, dia bagaikan seekor anjing yang pemberani menantang seekor harimau! Dalam belasan jurus saja, pedang di tangan Raja Pedang itu telah menembus jantungnya dan dia pun tewas! Mendengar peristiwa ini, gadis itu minta pertanggungan jawab See Han. Ia malah ditertawakan dan pada malam harinya, gadis itu pun menggantung diri, memilih mati menyusul ayahnya daripada hidup terhina!

Karena banyak peristiwa seperti itu terjadi, akhirnya banyak gadis yang berhati-hati. Mereka tahu akan ketampanan dan kejantanan Cu See Lam, namun mereka tahu pula bahwa pemuda itu hanya mempermainkan cinta seorang wanita, dan akhirnya setelah bosan wanita itu akan ditinggalkan begitu saja. Setelah mendapatkan nama buruk di kalangan wanita, See Han yang tampan itu terasing di kota Si-yang dan sekitarnya!

Sukar sekali baginya untuk mendapatkan korban baru. Untuk bermain-main di rumah pelacuran tentu saja dia masih diterima dengan gembira, akan tetapi dia bosan dengan para pelacur itu. Kalau dia mau, tentu saja amat mudah baginya, untuk memaksakan kehendaknya kepada gadis atau wanita yang manapun juga. Akan tetapi, dia tidak pernah dan tidak mau melakukan paksaan, tidak pernah mau memperkosa wanita.

Ketinggian hatinya, kepercayaan kepada diri sendiri bahwa dia tampan, kaya-raya, menarik dan pasti mampu menjatuhkan hati wanita, membuat dia merasa malu dan rendah kalau harus memperkosa wanita! Memperkosa wanita itu berarti dia mengakui bahwa wanita itu tidak mau menyerahkan diri kepadanya dengan sukarela tidak runtuh oleh rayuannya!

Mulailah Cu See Han mencari korban di lain kota, dimana dia belum dikenal orang, walaupun namanya, terutama nama ayahnya, sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama di bagian timur sepanjang pantai, dari utara sampai selatan. Mulailah dia menjelajahi kota-kota besar dan dusun-dusun yang jauh dari tempat tinggalnya, mulai dengan petualangannya menjatuhkan hati wanita, baik yang sudah bersuami maupun yang belum, dengan rayuannya.

Tentu saja tidak sembarang wanita, melainkan wanita yang kecantikannya cocok dengan seleranya dan yang memikat hatinya. Dan dia pun mulai jarang berada di rumah. Namun ayahnya, yang tahu akan kesukaan puteranya dan sudah sepenuhnya percaya akan kepandaian See Han untuk berjaga diri dan akan kebesaran namanya sehingga takkan ada orang berani mengganggu puteranya, mendiamkan saja.


Pada suatu hari, ketika matahari mulai muncul di balik tebing sebelah timur yang tinggi, dua orang nampak mendaki tebing, melalui jalan raya yang sengaja dibuat oleh Tung Kiam menuju ke rumah gedungnya. Jalan ini cukup baik, dan-dibuat untuk jalan kereta orang-orangnya, juga untuk para tamu yang hendak datang berkunjung. Dua orang itu bukan lain adalah Kwee Hong dan Ang Siang Bwee.

Seperti kita ketahui, dalam perjumpaannya dengan Nam Tok yang dianggap musuh besar diserangnya, San Hong menderita luka pukulan Hek-in Pay-san yang amat dahsyat dan yang mengandung racun sehingga dia terluka hebat di dalam dadanja. Biarpun dia memiliki tenaga sinkang yang kuat, namun kalau dia tidak memperoleh pengobatan yang tepat, nyawanya takkan dapat lebih dari setahun umurnya tepat seperti yang dikatakan Nam-Tokong Ang Leng Ki atau Nam Tok musuh besar itu!

Dan sebelum memperoleh pengobatan, dia menjadi seorang yang lemah karena setiap kali dia mengerahkan sin-kang, tenaga itu akan memarahkan luka di dalam dadanya yang dapat membunuhnya seketika.

Selama dalam perjalanan mereka mencari pengobatan, sikap Siang Bwee membuat San Hong merasa terharu berterima kasih sekali. Sikap gadis itu amat ramah dan menjaganya dengan penuh ketelitian. Dia merasa seperti dimanja, seperti seorang anak kecil tak berdaya, bahkan untuk makan mereka berdua saja gadis itulah yang selalu berusaha mendapatkannya.

Dan hampir setiap hari gadis itu memaksanya untuk membiarkan ia mengerahkan sinkang melalui telapak tangan pada punggung yang terluka, bukan untuk menyembuhkan luka itu, hal ini tidak mungkin, melainkan untuk mengurangi rasa nyeri yang menyiksa diri San Hong. Pagi-pagi sekali tadi mereka berdua meninggalkan kota Si-yang di mana mereka bermalam di rumah penginapan semalam.

"Lihat, itulah rumahnya." kata.Siang Bwee sambil menudingkan telunjuknya ke arah tebing setelah mereka tiba di bawah tebing.

San Hong memandang dan jantungnya berdebar tegang. Dia sudah pernah mendengar para gurunya bercerita tentang seorang di antara para datuk besar dunia kang-ouw yang berjuluk Tung-hai Kiam ong itu. Menurut gurunya, para datuk besar merupakan orang-orang aneh yang kadang-kadang dapat berbuat amat kejam dan aneh. Watak mereka aneh dan sukar sekali didekati.

Dia sendiri sudah merasakan keanehan dan kekejaman watak ayah Ang Siang Bwee, yaitu Nam Tok, seorang di antara para datuk besar itu. Bagaimana sekarang Siang Bwee berani membawanya ke rumah Tung Kiam yang terkenal jahat? Bukankah itu mencari penyakit saja? Bukan mengobati, bahkan mungkin mereka berdua akan mengalami celaka di tempat itu, pikirnya.

Ah tetapi siapa tahu. Mungkin karena ayah Siang Bwee juga seorang datuk besar maka Tung Kiam mau memenuhi permintaan gadis itu. Dia tidak dapat berbuat lain kecuali pasrah, dan dia sudah percaya sepenuhnya kepada gadis ini, gadis berpakaian pria yang wataknya juga aneh, akan tetapi yang sejak dia tahu seorang wanita telah menjatuhkan hatinya.

"Bwee-moi, aku masih merasa khawatir sekali. Kita berdua belum pernah bertemu dengan Tung Kiam dan engkau sendiri sudah bercerita kepadaku betapa aneh dan jahat wataknya. Aku tidak khawatir terhadap diriku sendiri. Bagaimanapun juga, aku sudah dibayangi maut, akan tetapi bagaimana kalau sampai dia mengganggumu dan sampai dia... membunuhmu?"

Siang Bwee memandang kepada pemuda itu dan tersenyum manis. "Hong-ko, kalau aku mati, bukankah itu berarti bahwa kita tidak akan saling berpisah lagi? Aku hanya akan menemanimu mati, Hong-ko."

Bukan main merdunya kata-kata itu terdengar oleh telinga San Hong, bagaikan tangan yang lembut mengelus hatinya. Akan tetapi pandang mata gadis itu berseri dan dia tahu bahwa dia itu hanya bergurau.

"Jangan main-main, Bwee-moi. Aku benar-benar mengkhawatirkan engkau."

"Tidak perlu khawatir, Hong-ko. Aku bukan orang yang begitu ceroboh dan bodoh. Sebelum bertindak aku selalu mempertimbangkan dan memperhitungkannya masak-masak. Aku sudah mempelajari watak-watak dari Tung Kiam maka aku berani menemuinya, bahkan aku berani menjamin bahwa dia pasti akan mengobatimu sampai sembuh! Marilah, kita percepat langkah kita agar segera dapat bertemu dengan dia. Aku pun agak tegang dan ingin cepat-cepat bertemu dan melihat dia mengobatimu."

San Hong tidak membantah lagi. Dia sendiri tidak mengkhawatirkan dirinya dan kini gadis itu menggandeng tangannya. Betapa halus tangan itu, betapa, hangat dan penuh ketulusan hati. Seorang gadis yang luar biasa! Dia tidak merasa canggung karena andaikata ada orang lain melihat mereka, apa salahnya kalau dua orang pria muda saling bergandeng tangan sebagai dua orang yang bersahabat karib?

"Bwee-moi....." Dia berkata ragu.

"Apa lagi, Hong-ko? Di depan mereka yang berada di atas itu, aku harus menyebut engkau bagaimana? Siauwmoi ataukah siauw-te?"

Siang Bwee tersenyum. "Terserah kepadamu, Hong ko. Kalau orang lain, mungkin, dapat kukelabui dengan penyamaran ini, akan tetapi siapa mampu mengelabui orang macam Tung Kiam? Seperti mengelabui ayahku, sungguh tidak mudah! Orang macam Tung Kiam dan para datuk besar itu, sekali dua kali pandang saja tentu akan tahu bahwa aku seorang wanita."

"Kalau begitu, mengapa engkau menyamar? Menghadapi seorang lo-cianpwe yang berkedudukan tinggi, bukankah lebih baik kalau berterus terang saja agar tidak menimbulkan kecurigaan?"

"Aih, engkau benar, Hong-ko. Engkau benar sekali hampir aku lupa akan hal itu! Dalam pandangan pertama, kita tidak boleh membuat dia curiga atau marah. Tunggu sebentar, aku harus berganti pakaian wanita!" Gadis itu lalu berlari ke balik sebuah batu kering di tepi jalan. Batu itu cukup besar sehingga dapat menyembunyikan dirinya.

San Hong tersenyum dan dia pun duduk di atas batu dan menanti dengan jantung berdebar. Bagaimana rupanya Siang Bwee kalau berpakaian wanita, pikirnya dan jantungnya berdebar tegang. Selama ini, Siang Bwee selalu mengenakan pakaian pria dan juga rambutnya diatur seperti rambut pria sehingga sukar baginya untuk membayangkan Siang Bwee dalam pakaian wanita! Juga dia tidak mengira bahwa di dalam buntalan pakaiannya itu terdapat pakaian wanita!

Tadinya dia mengira bahwa tentu akan lama dia menanti. Bukankah menurut pendapat orang, seorang gadis itu menggunakan waktu yang lama sekali kalau berganti pakaian dan berdandan! Bahkan mendiang ibunya dahulu juga menggunakan waktu paling lama kalau berdandan, sehingga ayahnya sering mengomel kalau mereka hendak pergi bersama dan ayahnya harus menanti sampai lama! Akan tetapi selagi dia masih melamun, tiba-tiba terdengar suara di belakangnya.

"Hayo, Hong-ko!"

Dia terkejut. Memang tadi dia duduk membelakangi batu besar itu dan karena tidak menduga gadis itu akan selesai sedemikan cepatnya, maka dia agak terkejut dan membalikkan, tubuh. Dan..... ia terpesona! Hampir dia tidak percaya bahwa yang berdiri di depannya itu adalah Siang Bwee! Seorang gadis yang cantik jelita dan manis luar biasa! Wajahnya demikian manis, dengan dagu kecil meruncing, sepasang mata yang lebar dan jeli, tersenyum dengan mulut yang amat manis, dihias lesung pipit. Wajah itu dibedaki sedikit sehingga lebih putih mulus daripada biasanya.

"Heiii, Hong-ko! Kau kenapa? Melihat apa? Apakah aku buruk seperti setan maka engkau memandang terbelalak seperti itu?"

"Ah, tidak..... sama sekali tidak. Engkau..... engkau seperti..... bidadari......"

Akan tetapi wajahnya berubah lebih merah daripada wajah Siang Bwee yang menjadi kemerahan seperti bunga mawar mekar, karena dia merasa kelepasan bicara dan khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Akan tetapi ternyata Siang Bwee tidak marah, melainkan memandang kepadanya dengan mata bersinar, wajah berseri dan bibir yang tersenyum manis sekali.

"Hong-ko, pernahkah engkau melihat bidadari?"

San Hong tertegun, lalu menggeleng kepala. "Hanya membaca dari dongeng dan mendengar cerita mendiang ibu. Tapi aku pernah melihat bidadari dalam... mimpi."

"Hemmm, seperti apa macamnya?"

"Pendeknya, ia wanita yang paling cantik jelita, tidak ada cacat celanya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki seperti..... seperti..... engkau inilah!" Kembali San Hong terkejut dan merasa telah kelepasan bicara.

"Wah, engkau merayu, Hong-ko. Apakah rayuanmu itu rayuan gombal."

San Hong terbelalak. "Ehhh? Apa itu gombal?" Dia memang tidak mengerti.

"Gombal adalah kain yang lapuk compang camping, kotor dan tidak ada harganya sama sekali, benda yang busuk dan buruk. Rayuan gombal berarti rayuan yang busuk, palsu, menjilat dan mencari muka, berpamrih, pendeknya bukan pujian yang keluar dari hati yang murni."

"Ah, sama sekali tidak, Bwee-moi! Aku memujimu karena dorongan hati yang merasa kagum. Sebagai seorang pemuda engkau amat tampan, dan aku tak pernah membayangkan bagaimana keadaanmu sebagai seorang gadis. Dan ternyata, engkau memang..... hemmm, cantik jelita dan manis sekali."

Dengan sikap lucu Siang Bwee menjura. "Terima kasih atas pujianmu, Hong-ko? Dan marilah kita cepat mendaki bukit ini. Siapa tahu dari atas sana Tung Kiam sudah melihat kedatangan kita dan dia menjadi curiga kalau kita berlama-lama di sini." Sambil berkata demikian, Siang Bwee lalu memegang tangan San Hong dan seperti tadi menggandeng tangan pemuda itu diajak melanjutkan perjalanan.

San Hong merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Biarpun sudah sering gadis itu menggandeng tangannya dengan akrab seperti dua orang sahabat baik namun sekali ini sungguh lain rasanya. Apalagi dari pakaian Siang Bwee terhambur keharuman bunga, membuat hatinya semakin berdebar. Tangan itu mendadak saja menjadi terasa lebih hangat, lebih lembut dan lunak. Dia sama sekali tidak tahu betapa dara itu pun berdebar, penuh ketegangan, bukan karena tangan mereka saling menggandeng, melainkan karena kekhawatiran.

Siang Bwee sudah mendengar banyak tentang Tung Kiam dan mengetahui bahwa mereka berdua seperti sedang menghampiri sarang harimau yang amat buas dan berbahaya. Banyak sekali kemungkinan mereka tidak akan dapat turun lagi dari bukit ini karena Pedang Timur itu kabarnya amat ganas dan bukan manusia biasa, melainkan iblis sendiri yang mudah saja membunuh orang tanpa sebab kalau hatinya sedang tidak senang.

Akan tetapi, terpaksa dia mengajak San Hong menghadap datuk besar itu, karena selain ayahnya, yang pasti tidak mau mengobati San Hong, satu-satunya orang yang kiranya dapat menolong pemuda itu adalah Tung Kiam. Ia mendengar bahwa Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam selain memiliki imu pedang yang membuat dia dijuluki Raja Pedang Lautan Timur, juga terkenal sekali dengan keahliannya ilmu pengobatan tusuk jarum.

Tidak ada penyakit yang tak dapat dia sembuhkan, tidak ada luka beracun yang tidak dapat dia sembuhkan, tentu saja kalau memang belum saatnya orang itu mati. Jarum-jarumnya amat terkenal, bahkan ada yang bilang lebih berbahaya daripada pedangnya. Jarum-jarum itu selain dapat dipergunakan sebagai alat pengobatan, juga dapat dia pakai sebagai alat pembunuh yang mengerikan!

Kalau sudah mendengar bahwa datuk ini ganas, kejam dan tidak lumrah manusia, mengapa Siang Bwee berani mengajak San Hong berkunjung ke lembah dan tebing curam itu? Apakah itu bukan berarti ia mencari penyakit dan bunuh diri? Sama sekali tidak! Siang Bwee bukanlah seorang gadis bodoh. Sebaliknya malah, ia amat cerdik. Ia mendengar pula bahwa di samping kehebatannya itu Tung Kiam terkenal sebagai seorang yang tinggi hati, angkuh dan sombong. Mungkin agak mirip ayahnya sendiri!

Memandang rendah orang lain dan tak pernah mau mengaku kalah. Watak inilah yang membuat ia memberanikan diri mengajak San Hong menghadap datuk itu. Ia mendapatkan akal untuk memaksa datuk besar itu mengobati San Hong, dengan mempertahankan watak sombongnya itu. Tentu saja perbuatannya ini bukan tidak mengandung bahaya besar bagi dirinya sendiri pula!

Dua orang muda itu kini berdiri di luar pintu gerbang besar di mana terdapat lima orang penjaga yang wajahnya bengis dan tubuhnya kekar. Selalu ada lima orang penjaga di pintu gerbang ini Mereka itu adalah anak buah Tung Kiam yang semua berjumlah dua puluh lima orang, tinggal di pondok-pondok yang dibangun di sudut kebun paling belakang.

Mereka menjaga pintu gerbang masuk ini siang malam, bergiliran dan setiap rombongan terdiri dari lima orang. Mereka adalah anak buah yang. rata-rata memiliki kepandaian silat dan tenaga yang besar, dan amat patuh dan setia kepada Tung Kiam yang menggaji mereka dengan royal sekali.

Lima orang itu segera keluar dari dalam gardu dan berdiri berjajar menghalang pintu masuk. Mereka sudah biasa menerima kedatangan tamu-tamu, yaitu para tokoh kang-ouw, orang-orang sesat yang datang untuk menghaturkan persembahan mereka kepada si datuk besar Tung Kiam. Oleh karena itu, mereka pun kini menyambut San Hong dan Siang-Bwee dengan sikap tegas namun hormat.

Mengira bahwa dua orang muda ini tentu tamu-tamu yang hendak mengirim persembahan pula. Bagaimanapun juga, mereka agak heran melihat munculnya seorang gadis yang cantik molek karena belum pernah ada gadis cantik datang berkunjung, kecuali kalau gadis itu dibawa oleh kongcu mereka, yaitu Cu See Han.

"Harap berhenti dulu!" berkata kepala rombongan penjaga itu yang bermula hitam dan wajah yang sudah menyeramkan itu ditambah lagi dengan brewok yang memenuhi mukanya. "Kalian siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat ini...?"

Selanjutnya,
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.