Malaikat Jubah Keramat

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk episode Malaikat Jubah Keramat karya Suryadi
Sonny Ogawa
Serial Pendekar Mabuk
Malaikat Jubah Keramat
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
DARI balik kerimbunan hutan berpohon rapat, terdengar suara jeritan yang panjang dan memilukan. Siapa yang menjerit, itu tak jelas. Yang pasti jeritan itu adalah jeritan kematian. Suaranya yang melengking menggema panjang itu bagaikan membangunkan setiap jasad yang sudah terkubur mati.

Sementara itu, hembusan angin cukup kencang dan menderu. Gumpalan awan hitam bergulung-gulung di langit, menyekap matahari, membuat alam terasa mati. Sesekali terdengar gelegar petir melecutkan lidahnya bagai ingin membelah langit. Agaknya alam yang memberikan tanda-tanda bagai kiamat datang itu tak dihiraukan oleh tiga orang berusia sebaya itu. Satu di antaranya telah terkapar mati tanpa darah. Dua dari mereka masih melanjutkan pertarungannya dengan sengit.

Rupanya mereka bertarung di atas dataran berbatu rata. Dataran tersebut adalah lantai dari sebuah petilasan keraton yang telah hancur sekian puluh tahun yang lalu, bahkan mungkin sekian ratus tahun yang lalu. Sisa pilar-pilarnya masih tertinggal sebagian, namun tak ada yang utuh. Sisa dinding-dindingnya juga masih tertinggal sebagian, tak ada yang utuh sampai ke atap.

Petilasan itu ibarat pohon tua yang sedang meranggas untuk menunggu tumbang. Tak ada atap, tak ada pagar, tak ada pula ruangan. Reruntuhan itu hampir rata dengan tanahnya. Bongkahan batu bekas dinding dan pilar masih terlihat berserakan di sana-sini.

Salah satu dari dua orang yang bertarung di atas reruntuhan keraton itu tiba-tiba menghentikan serangannya. Orang itu memakai pakaian biru tua, berbadan sedikit gemuk, dan berkumis tebal, berusia sekitar lima puluh tahun. Matanya yang lebar memandang temannya yang telah tak bernyawa. Sebentar kemudian mata itu kembali menatap lawannya yang berbadan kurus, berwajah lonjong dengan dagu sedikit panjang. Orang yang berbaju biru tua itu berkata,

"Tega betul kau membunuh temanmu sendiri Tapak Getih!"

"Siapa pun yang menghalangi langkahku pasti kubunuh, Julung Boyo! Tak peduli dia teman sendiri, tak peduli orang lain. Tapak Getih pantang diganggu langkahnya!" kata orang kurus berwajah lonjong itu. Dia dikenal dengan nama Tapak Getih, karena setiap lawan yang terkena pukulan telapak tangannya, langsung mati tanpa memiliki darah setetes pun di dalam tubuhnya.

Tapak Getih yang mengenakan jubah merah dan pakaian dalam serba hitam itu berkata lagi kepada Julung Boyo. "Sebab itu kuingatkan padamu, Julung Boyo... Pergilah lekas dari hadapanku dan jangan memaksaku membunuhmu, seperti yang dialami oleh Cakar Macan itu!"

"Kau benar-benar manusia picik, Tapak Getih! Kau bujuk kami untuk menunjukkan tempat ini, sekarang kau mau bunuh kami di sini juga! Kau binatang dan aku binatang, tapi aku masih punya sisa jiwa manusia yang tak akan tega bertindak seperti dirimu, Tapak Getih!"

"Hem...!" Tapak Getih sunggingkan senyum tipis yang lebih berkesan sebagai hinaan. "Manusia-manusia bodoh itu adalah kau dan Cakar Macan, Julung Boyo! Sudah tahu aku berjiwa binatang yang keji, masih saja nekat mau menahan langkahku untuk mencari pintu masuk petilasan ini! Kalau aku menjadi kau, lebih baik aku pergi dan tak mau korbankan nyawa buat petilasan seperti ini!"

"Mulanya aku hanya ingin mencegahmu agar tidak diterkam maut yang ada di petilasan ini! Kau adalah sahabatku, dan juga sahabat si Cakar Macan. Sikap kami hanya semata-mata ingin melindungi seorang sahabat dari maut yang mengancam! Kami tahu, sudah dua orang hilang di sini dan tak pernah muncul lagi. Kami tak ingin kau menjadi seperti itu. Tapi rupanya mata hatimu buta, Tapak Getih! Dan sekarang sikapku bukan untuk melindungi kamu, tapi untuk membalas kematian si Cakar Macan!"

"Haii...! Saudara bukan, adik pun bukan, mengapa kau menjadi sebodoh itu, Julung Boyo! Hubungan kita bertiga hanya sebatas sahabat! Tak ada ikatan darah apa pun! Kenapa kau menuntut kematian si Cakar Macan?"

"Karena nyawaku pernah diselamatkan olehnya! Dua kali aku hampir mati terancam bahaya, dan Cakar Macan berhasil meloloskan aku dari maut itu! Wajar rasanya kalau aku pun punya rasa bela pati terhadap dia, Tapak Getih!"

"O, jadi kau ingin ikut-ikutan mati seperti Cakar Macan? Baiklah kalau kau memang ingin ikut-ikutan mati! Bersiaplah, aku akan mendekatkan arwahmu dengan arwah si Cakar Macan!" Orang kurus berambut abu-abu panjang tak terikat kepala itu mulai mengangkat kedua tangannya. Kakinya pun bersikap untuk melakukan satu lompatan menyerang.

Julung Boyo mencabut goloknya. Srekk...! Sambil menggeram dan menggenggam kencang gagang goloknya, Julung Boyo ucapkan kata, "Buatku kau sudah bukan lagi manusia utuh, melainkan iblis yang harus kubantai sekarang juga!"

"Mampukah kau membantai iblis, Orang Bodoh?! Hiaaah...!"

"Heeaaah. !" Julung Boyo ternyata melompat lebih dulu, kemudian Tapak Getih pun melompat menyerang. Julung Boyo segera tebaskan goloknya membacok kepala Tapak Getih. Tapi golok itu tidak bisa mengenai sasaran karena Tapak Getih menangkisnya dengan telapak tangannya. Dess...! Golok tajam itu bagai memukul benda keras yang kenyal. Dan karena goloknya tertahan di atas, maka rusuk Julung Boyo terbuka dan saat itulah Tapak Getih menghantamkan tangan kanannya dengan cepat.

Wuttt...! Blukk...!

"Aaahg...!" Julung Boyo memekik keras. Tubuhnya limbung dan jatuh ke tanah tak bisa menjaga keseimbangan lagi. Ia rubuh begitu saja bagaikan barang mati yang tak berguna lagi. Sedangkan Tapak Getih masih bisa kendalikan keseimbangannya, sehingga ia menapakkan kakinya tepat di atas sebongkah batu reruntuhan yang agak besar dan tinggi itu.

Jlegg...!

Dari atas batu itu, ia melihat Julung Boyo menggelinjang beberapa saat dengan mulut ternganga-nganga dan mata terpejam kuat. Lalu tubuh itu kejang beberapa saat dalam keadaan terkapar, setelah itu lemas seluruh uratnya, dan Julung Boyo akhirnya menghembuskan napas terakhir dengan wajah pucat seputih kapas dan sekujur tubuhnya pun demikian. Julung Boyo mati tanpa ada darah setetes pun dalam jasadnya.

Tapak Getih menghempaskan napas lega. Ia melompat turun sambil membatin dalam hatinya, "Tak ada lagi perintangku! Aku harus cepat mencari pintu masuk kedalam reruntuhan ini! Pasti ada jalan menuju ruang bawah tanah! Harus cepat kucari sebelum hujan turun!"

Baru tiga langkah Tapak Getih tinggalkan tempat, tiba-tiba sebuah gerakan berkelebat dari arah kanannya. Wuttt...! Crapp...! Sebatang tombak berujung garpu tiga mata menancap di sela-sela bebatuan yang menjadi lantai petilasan itu. Tombak tersebut datangnya dari arah atas pohon. Kalau Tapak Getih tidak cepat hentakkan kaki dan melompat mundur, ia akan dihujam tombak tersebut tanpa ampun lagi. Beruntung ia mempunyai gerakan bagus sehingga mampu menghindari maut yang hampir merenggut nyawa itu.

Cepat-cepat Tapak Getih melemparkan pandangannya ke arah pohon, tempat datangnya tombak tersebut. Dari atas pohon melayang sesosok tubuh berpakaian serba kuning. Rambutnya panjang diikat memakai tali warna coklat. Orang itu ternyata seorang pemuda yang mempunyai wajah lumayan ganteng. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun,

"Marta Kumba...!" sapa Tapak Getih dengan suara ketus, lalu ia tersenyum sinis. Marta Kumba, pemuda yang mempunyai badan tegap itu, segera menghampiri Tapak Getih dengan senyum sinisnya pula. "Kau mau membunuhku, Marta Kumba?!"

"Ya!" jawab Marta Kumba. "Tapi kau menghindar. Sayang sekali! Seharusnya kau jangan menghindar supaya kau mati!"

"Bocah goblok!" geram Tapak Getih.

"Memang goblok!" jawab Marta Kumba seenaknya.

"Untuk apa kau datang ke sini, hah?"

"Mengikuti pamanku, yang ternyata sudah kau bunuh itu!" Marta Kumba memandang Julung Boyo, pamannya.

"Kau mau ikut-ikutan mati seperti pamanmu?"

"Tidak! Aku mau mencari jubah keramat itu!"

"Cuih...!" Tapak Getih jengkel dan meludah.

"Cuih...!" Marta Kumba ikut meludah tanpa mengerti maknanya.

"Urungkan niatmu! Kau masih muda, Marta! Jangan mau mati gara-gara tergiur oleh jubah keramat itu!"

Marta Kumba memandangi tombak berujung tiga mata seperti garpu itu, kemudian memandang Tapak Getih dan berkata dengan nada polos, "Maksudku kemari juga ingin mengantarkan senjatamu yang ketinggalan, Paman Tapak Getih! Kau lupa membawanya waktu makan di kedai sana, jadi aku menyusul kemari! Terimalah...!"

Wusss...!

Dengan gerakan begitu cepat, Marta Kumba melemparkan tombak itu ke arah Tapak Getih. Gerakan itu datang dengan sangat tiba-tiba dan mengejutkan Tapak Getih. Karena cepatnya tombak itu melesat, Tapak Getih tak bisa menghindari, ia hanya berusaha menahan dengan kedua telapak tangan terbuka. Tetapi hentakan tombak itu sangat kuat, sehingga telapak tangan yang bagaikan kebal tak bisa tertusuk tombak itu mendesak ke belakang, akibatnya ujung tombak yang tengah menancap di bawah leher Tapak Getih.

Jrabb...!

"Agrrr...!" Tapak Getih tak bisa berteriak. Matanya mendelik dan mulutnya menyemburkan darah. Tombak itu menancap begitu kuatnya dalam keadaan telapak tangan si Tapak Getih tergencet antara ujung tombak kanan-kiri dengan dada kanan-kiri. Punggungnya sendiri beradu dengan sisi dinding petilasan yang masih tersisa agak tinggi itu.

Marta Kumba melangkah santai mendekati Tapak Getih. Rupanya orang kurus itu belum mati secara tuntas, ia masih punya usaha untuk mendorong tombak itu agar lepas dari lehernya. Tapi tenaganya begitu lemah dan tak punya daya untuk mendorong lebih keras lagi. Sedangkan Marta Kumba hanya memandanginya saja, bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum.

"Kau ini bagaimana?" katanya dengan santai, seenaknya saja bicara, "Kukembalikan tombakmu malah dipakai buat bunuh diri?"

Tapak Getih melorot turun dari berdirinya yang rapat ke sisi dinding, lalu jatuh terduduk, dan akhirnya menggeloso mati. Marta Kumba hanya tertawa geli. Kembali ia geleng-geleng kepala.

"Payah betul kau ini, Paman Tapak Getih! Akhirnya kalau begini kau mati juga, bukan? Makanya kalau ada orang melemparkan tombak, jangan ditangkap dari depannya, tapi tangkaplah gagangnya! Wah, wah, wah... sudah tua tapi masih bodoh juga kau, Paman! Ya, sudah! Terserah maumu sajalah...!"

Pemuda berpakaian kuning dengan kumis tipis menambah ketampanannya itu segera melangkah dengan pelan, memandangi keadaan sekeliling. Ia memperhatikan petilasan yang sudah lama dicari-carinya, yaitu Petilasan Teratai Dewa. Percakapan Tapak Getih dengan si Cakar Macan dan Julung Boyo di sebuah kedai ternyata disadap oleh telinga pemuda berambut ikal sebatas punggung itu. Diam-diam ia menguntit ketiga orang tua yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa, dan akhirnya ia menemukan tempat itu.

"Lewat mana kalau mau masuk ke ruang bawah tanah? Tak ada pintu di sini?!" gumamnya sendiri sambil memandangi lantai, mencari pintu masuk ruang bawah tanah.

Sementara itu, langit tergores kilatan cahaya biru. Petir menyambar, bunyi menggelegar bagai mengguncangkan reruntuhan itu. Marta Kumba masih tetap santai, tidak tampak tergesa-gesa dan tegang, ia masih pandangi tiap jengkal tempat yang sudah berantakan itu. Tiba-tiba ekor matanya menangkap sekilas cahaya di balik rerimbunan semak. Sekilas cahaya itu seperti sepasang mata yang mengintainya dari sana.

Marta Kumba berlagak tidak melihat ada yang mengintipnya, ia berjalan pelan sambil pandang sana-pandang sini. Begitu tiba di depan semak tempat bersembunyinya sepasang mata itu, Marta Kumba duduk di atas sebongkah batu yang menjadi bagian dari reruntuhan petilasan itu. Dari sana ia berkata dengan keras, tapi nadanya acuh tak acuh, seperti bicara pada diri sendiri,

"Sepi sekali tempat ini! Sayang tak ada manusia lain. Kalau saja ada manusia lain, bisa kuajak kerja sama untuk menemukan apa yang kucari! Atau... barangkali ada orang yang malu-malu menampakkan diri di depanku! Mungkin dia punya hidung gerumpung, sehingga tak berani menampakkan diri di depanku. Atau... mungkin bibirnya sumbing dan sulit diajak bicara?!"

Marta Kumba duduk memunggungi semak yang dipakai bersembunyi sepasang mata itu. Sengaja ia duduk begitu, memancing diri supaya diserang dari belakang. Tetapi sejak tadi ia tidak merasakan serangan atau tanda-tanda akan diserang. Ia kembali bicara sendiri.

"Sebentar lagi hujan turun! Biasanya kalau mau hujan begini, ular-ular yang ada di semak-semak akan keluar menunggu katak atau mangsa yang akan disantapnya! Tempat seperti ini tidak mungkin tidak dihuni oleh ular-ular berbisa! Biasanya semak-semak adalah tempat yang dipakai bersarang oleh ular-ular ganas. Tak lama lagi pasti akan keluar satu atau dua ekor ular dari salah satu semak di sini...!"

Marta Kumba sengaja bicara seperti itu untuk menakut-nakuti orang yang mengintai dari balik semak-semak. Paling tidak akan membuat cemas dan waswas orang tersebut, sehingga mereka menampakkan diri. Tapi karena beberapa saat ditunggu tak kunjung muncul juga si pengintai itu, maka Marta Kumba kembali bicara sendiri dengan keras,

"Biasanya, kalau ular ganas mencium bau darah manusia, ia akan datang secara tiba-tiba dan mematuk kaki, atau mungkin melilit leher dari atas sebuah pohon. Dan kalau ular... kalau ular..."

Marta Kumba berhenti bicara. Matanya terkesiap, kepalanya tegak, tak berani menengok ke bawah. Karena ia merasakan ada gerakan lembut yang menjalar mendekati kakinya. Mata yang terkesiap itu segera memandang ke bawah pelan-pelan. Marta Kumba menahan napas. Ada ular sedang merayap melingkari kakinya. Ular itu sebesar lengannya sendiri.

"Mati aku..!" keluhnya dalam hati. Ia tak berani bergerak sedikit pun. Keringat dinginnya mengucur deras dari kening dan leher. Jantungnya berdetak-detak cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi. Ular itu berwarna merah kehitam-hitaman. Jenis ular ganas yang bisa mengejar lawan dengan satu sentakan terbang. Marta Kumba tahu, ular itu mempunyai bisa yang luar biasa mautnya. Sekali gigit orang, dalam lima hitungan orang itu pasti mati. Ular itu bernama Ular Welang Jantan.

Marta Kumba gemetar, napasnya bagai hilang ketika ular tersebut merayap sampai ke betis, lidahnya terjulur-julur naik. Matanya yang merah memancarkan keganasan. Oh, Marta Kumba tak berani menatap mata ular itu. Sekujur tubuhnya telah dingin, bulu kuduknya pun merinding. Hatinya berucap kata,

"Mati aku... matilah sekarang aku.... Aduh, kenapa dia jadi benar-benar nongol di sini... mati aku... mati sudah riwayatku!"

Tiba-tiba sebuah tangan berkelebat menyambar ular tersebut dan menghantamkan ke salah sebuah dinding batu. Plokk...! Ular sebesar lengan itu hancur kepalanya dengan sekali sabet. Kemudian bangkainya yang masih mengggerinjal-gerinjal itu dibuang begitu saja oleh tangan yang menyambarnya tadi. Tangan itu milik seorang gadis berpakaian merah jambu sebatas dada. Pundak dan punggungnya yang terbuka memancarkan warna kulit kuning langsat itu ditutup dengan baju jubah tak berlengan. Baju jubahnya itu berwarna hijau muda, tipis, dari bahan kain sutera.

Marta Kumba memandang bengong kepada gadis cantik berhidung mancung yang punya rambut digulung naik, tapi sisanya masih meriap ke bawah. Gadis itu tersenyum, dan senyumnya sungguh elok menawan hati. Marta Kumba tak mampu bicara sepatah kata pun setelah ia sadar, ternyata si pengintai yang ditakut-takuti ular tadi adalah seorang perempuan muda yang cantik yang berani memegang ular. Perempuan yang menyelipkan pedang di pinggangnya itu berkata,

"Kalau hari mau turun hujan, memang banyak ular keluar dari sarangnya. Hati-hati, nanti kau mampus ditelan ular!"

Malu sekali Marta Kumba mendengar kata-kata itu. Ia mengusap wajahnya yang berkeringat dan memenangkan jantungnya yang masih berdebar-debar dengan kaki dan tangan masih gemetar. Marta Kumba malu pada ucapannya sendiri, menakut-nakuti tentang ular, begitu ada ular dia sendiri yang ketakutan setengah mati. Sebagai penutup rasa malunya, Marta Kumba berkata,

"Aku bukan takut sama ular, cuma merasa jijik!"

"Ya. Jijik boleh-boleh saja, tapi tak perlu sampai berkeringat dingin begitu. Tak perlu sampai sepucat mayat begitu. Dan, jijik pun tak perlu sampai gemetaran kaki dan tangannya begitu...!" gadis cantik berdada sekal itu memalingkan wajah sambil tersenyum, matanya memandang bangkai ular yang sudah tidak bergerak lagi.

Seribu kata, sejuta bahasa, bagaikan hilang lenyap dari mulut Marta Kumba menghadapi rasa malu di depan seorang gadis. Kalau yang menyambar ular tadi seorang kakek atau lelaki berbadan kurus sekalipun, Marta Kumba tidak akan malu. Tapi kenyataannya yang menyelamatkan nyawanya dari ular ganas dan berbahaya itu justru seorang gadis cantik yang usianya sebaya dengannya. Sungguh sulit melukiskan rasa malu yang ada pada diri Marta Kumba, karena sebagai pemuda berbadan tegap, kekar, ganteng, berkumis, tapi sama ular saja menjadi pucat pasi dan gemetaran.

"Siapa namamu?" tanya gadis yang tampak berjiwa tegas dan pemberani itu.

"Namaku...? Oh, namaku Marta Kumba!"

"Mau apa datang kemari dan membunuh orang tua itu?"

"Mau... mau... mau mencari sesuatu," jawab Maria Kumba dengan sisa kepanikannya.

"Maksudmu, mencari jubah keramat?"

"Ya. Benar. Jubah keramat."

"Kalau begitu, kau harus bertarung dulu denganku!"

"Hah...?!"

* * *

DUA
LIMA ekor kuda berderap lari menuju ke sebuah lereng bukit. Penunggangnya orang-orang gagah yang berpakaian mewah. Dua kuda di depan, dua lagi di belakang, satu kuda ada di tengah-tengah keempatnya. kuda yang di tengah itu berwarna bulu putih, dan ditunggangi seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dengan pakaian rapat berwarna ungu, hiasan emas pada bagian dada, berupa rantai yang melengkung pendek. Kancing pada bagian pergelangan baju juga terbuat dari emas. Celananya juga berwarna ungu dari bahan mahal yang dihiasi sulaman benang emas pada tepiannya.

Kelima kuda ini agaknya melaju dengan terburu-buru karena mendung telah menggantung. Orang yang ada di atas punggung kuda putih itu agaknya tak mau dirinya sampai kehujanan. Sebagai orang yang berpenampilan mewah, menyandang keris di depan perutnya, orang ini menampakkan dirinya sebagai orang terhormat, yang kaya akan harta dan punya suatu kedudukan. Keempat kuda di sekelilingnya itu adalah para pengawalnya yang terpilih.

Orang berpakaian ungu itu mempunyai mata sedikit besar tapi tajam, memancarkan cahaya kewibawaan. kumisnya tebal tapi teratur rapi, menambah kesan tegas dalam jiwanya, ia mengenakan ikat kepala dari kain batik gelap yang mempunyai bros pada bagian tengahnya dari emas berbatu berlian tepat di tengah bros bentuk bunga mawar kecil itu.

Derap kaki kuda itu mulai melamban setelah satu orang pengawal di depan mengangkat tangan memberi isyarat. Orang itu berpakaian hijau menyandang pedang dipunggungnya, dan pengawal sebelahnya berpakaian putih, dengan pedang di punggung juga. Mereka berambut agak panjang tapi rapi. Diikat dengan logam berbentuk rantai emas dengan hiasan batu merah pada bagian tengah keningnya

Rupanya kelima kuda itu menuju ke sebuah tanah lapang yang tidak banyak ditanami pepohonan. Di sana seseorang sudah menunggu dengan berdiri tegak, dan kedua tangan terlipat di dada. Orang itu berwajah angker, dingin, rambutnya kucai, tipis tapi panjang, bertubuh kurus. Tubuh kurusnya itu dibungkus dengan pakaian abu-abu rangkap jubah hijau tua. Orang ini tergolong serakah, karena mempunyai dua pedang, satu pedang di pinggang bergagang cula badak, satu pedang lagi di punggung berlogam emas sampai pada bagian gagang dan sarungnya.

Pedang itu berukir gambar naga. Dan pedang itulah yang dinamakan Pusaka Pedang Wukir Kencana, milik Ki Padmanaba. Pedang itulah yang dicuri orang tersebut dengan menyamar sebagai Embun Salju, guru dari Perguruan Kuil Elang Putih. Orang itulah yang bernama Rangka Cula, bekasanak buah Logayo dari Perguruan Kobra Hitam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Pedang Emas)

Lima kuda berhenti di depan Rangka Cula. Orang berpakaian ungu itu menghentikan kudanya sejajar dengan pengawalnya yang bersenjata pedang di punggung, sedangkan dua pengawal yang bersenjata tombak dan panah di punggung, mengenakan pakaian putih-putih itu, tetap mengambil posisi di belakang mereka bertiga. Matanya memandang ke belakang, ke samping dan sekeliling, penuh pangawasan ketat. Orang berpakaian ungu itu segera berkata kepada Rangka Cula,

"Kaukah yang bernama Rangka Cula?"

"Benar," jawab Rangka Cula yang termasuk orang yang jarang bicara itu.

"Sudah tahu tugasmu?"

"Mencari jubah keramat!"

"Betul! Aku sangat membutuhkan jubah itu. Dan aku sudah siapkan hadiah buatmu!" Orang berpakaian ungu itu mengambil kantong uang dari dalam bajunya, kantong itu berwarna merah beludru, memakai tali khusus pada bagian penutupnya. Kantong itu segera dilemparkan.

Wuttt...!

Diterima oleh tangan kiri Rangka Cula dengan mata tetap memandang dingin ke arah orang berpakaian ungu itu. Crikk...! Rupanya di dalam kantong merah itu berisi uang kepingan dari emas.

"Separo bagianmu sudah kuberikan, Rangka Cula! Separo lagi akan kuberikan setelah kau serahkan jubah keramat itu padaku!"

Rangka Cula menganggukkan kepala.

"Sudah tahu tempatnya di mana jubah keramat itu bisa kau dapatkan?"

"Petilasan Teratai Dewa!" jawab Rangka Cula dengan suara datar.

"Bagus! Kapan bisa kudapatkan jubah itu?"

"Secepatnya!"

"Dua hari?"

"Tidak pasti," jawab Rangka Cula tetap dingin dan datar.

"Baiklah. Tapi bagaimana kau bisa menyampaikannya padaku? Apakah kau tahu di mana aku tinggal?"

"Kadipaten Lambungbumi!"

Orang berpakaian ungu itu sedikit berkerut dahi. "Kalau begitu, kau sudah tahu siapa aku?"

"Adipati Lambungbumi!"

Maka orang yang berpakaian ungu itu pun saling pandang dengan pengawalnya yang berpakaian hijau, lalu ia berkata, "Kalau begitu, Sirpakana tidak bisa dipercaya! Dia menyebutkan siapa diriku sebenarnya kepada Rangka Culai. Padahal sudah kuwanti-wanti agar jangan menyebutkan siapa diriku!"

"Sirpakana membutuhkan jaminan kepercayaan untuk Rangka Cula. Mungkin begitulah yang terjadi, Kanjeng Adipati, sehingga ia terpaksa menyebutkan siapa orang yang membutuhkan jubah keramat itu!"

"Baiklah. Sudah telanjur, yang penting jubah itu harus benar-benar terbukti ada ditanganku!"

Kemudian Adipati Lambungbumi segera berkata kepada Rangka Cula, "Apa jaminanmu kalau ternyata kau gagal mendapatkan jubah itu?"

"Nyawa!" jawab Rangka Cula. Singkat, tegas, tapi berkesan ganas.

"Baik. Mudah-mudahan kau berhasil dan nyawamu tidak melayang!"

Rangka Cula diam saja, memandang dengan lirikan matanya kepada dua orang pengawal Adipati Lambungbumi.

"Kami pamit!" ucap Adipati Lambungbumi sebelum pergi, dan Rangka Cula yang berwajah kaku itu hanya menganggukkan kepala tanpa senyum sedikit pun. Bahkan ia tetap diam bagaikan patung ketika rombongan Adipati Lambungbumi meninggalkan tempat, semakin jauh dan jauh sekali.

Tak lama kemudian, Rangka Cula segera melesat pergi juga setelah memasukkan kantong uang emas ke dalam balik bajunya yang hijau itu. Tetapi dalam kejap berikutnya, langkahnya terhenti karena kemunculan seorang nenek yang berusia antara tujuh puluh tahunan.

Jleggg...!

Lompatan nenek itu masih mantap ketika mendaratkan kakinya ke tanah. Rambutnya sudah memutih semua, badannya sedikit bungkuk, ia membawa tongkat penyangga tubuhnya jika berdiri dan berjalan. Matanya sama cekungnya dengan Rangka Cula. Nenek itu memakai jubah hitam lusuh dan pakaian dalamnya putih kusam. Rambutnya yang putih rata itu dibiarkan meriap tanpa disanggul atau diikat. Wajahnya yang berpipi cekung kempot itu kelihatan berkulit kisut, berlipat-lipat walau tidak terlalu jelas lipatannya. Nenek itu berbadan kurus kering, bagian tangan dan kakinya bergusik putih.

"Masih kenal aku, Rangka Cula?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Nyai Cungkil Nyawa!"

"Betul! Hik hik hik hik...! Rupanya otakmu masih ada gunanya, Rangka Cula! Dan aku dengar apa yang kau bicarakan dengan orang berpakaian ungu itu! Rupanya kau menjadi orang upahan sang Adipati. Rangka Cula!"

"Benar!" jawab Rangka Cula, setelah itu diam saja.

"Kau mau mencari jubah keramat itu?"

"Ya!"

"Hi hi hi hik...! Tak mungkin bisa kau mendapatkannya! Tak mungkin berhasil, Rangka Cula!"

"Bisa!"

"Tidak akan bisa! Selama aku masih hidup, tidak akan bisa kau mendapatkan jubah itu! Sebab akulah juru taman Keraton Teratai Dewa yang bertugas menjaga segala sesuatu yang..."

Buhgg...! Plokk!

Belum habis Nyai Cungkil Nyawa bicara, pukulan dan tendangan Rangka Cula sudah menyerang dengan tiba-tiba. Nenek tua itu terlempar dari tempatnya berdiri, sekitar lima tombak jauhnya. Rangka Cula memandang dengan mata ganasnya, ia biarkan nenek itu bangkit dan terhuyung-huyung bersama tongkatnya.

"Bocah sapi!" makinya dari kejauhan. "Mau menyerang tidak bilang-bilang. Benar-benar bocah tak tahu sopan! Hih...!"

Wessst...! Sinar merah bagaikan kilatan cahaya petir melesat dari ujung jari yang dikibaskan. Sinar merah itu cepat sekali sampai di depan hidung Rangka Cula. Tapi ia bergerak cepat menjatuhkan diri dalam posisi melayang. Tubuhnya melengkung ke belakang dan tangannya menyanggah di atas tanah. Ketika sinar merah itu melesat lewat, tubuh Rangka Cula bangkit kembali dengan gerakan cepat. Begitu ia bangkit tegak, tahu-tahu Nyai Cungkil Nyawa sudah ada di depannya. Tangan nenek itu menghantam dengan telapak tangan yang terbuka.

Desss...!

Tepat mengenai mulut Rangka Cula, sehingga Rangka Cula terpental ke belakang dan terhuyung-huyung nyaris jatuh. Ada antara lima tindak ia tersentak ke belakang, setelah itu kembali berdiri tegak walau ia merasakan ada sesuatu yang mengalir dari dalam hidungnya. Sesuatu itu tak lain adalah darah. Pukulan nenek tua itu jelas dibarengi dengan tenaga dalam. Jika tidak, tak mungkin bisa membuat hidung Rangka Cula mengucurkan darah. Rangka Cula diam saja memandangi Nyai Cungkil Nyawa.

Mata nenek itu mulanya berseri-seri karena bisa membuat hidung Rangka Cula berdarah. Tapi mata itu jadi menyipit heran begitu melihat darah yang mengalir dari hidung itu tiba-tiba meresap hilang, seperti masuk ke dalam pori-pori kulit. Dan wajah Rangka Cula menjadi bersih tanpa setitik noda merah pun. Bahkan tangannya yang tadi dipakai mengusap darah itu juga kering tanpa bekas darah setetespun.

"Semakin sakti saja kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa dengan pelan, seakan bicara pada dirinya sendiri.

Dan tiba-tiba, wukkk...! Api menyala membakar tanah mengelilingi Nyai Cungkil Nyawa. Api yang membuat lingkaran besar itu berkobar-kobar dan tetap dipandangi oleh Rangka Cula dengan mata menyorot dingin. Nyai Cungkil Nyawa terkurung, sementara api makin lama semakin besar dan nyaris membakar tanaman sekelilingnya.

"Ilmu sihirmu cukup lumayan, Rangka Cula!" kata Nyai Cungkil Nyawa. "Tapi sama sekali tidak membuatku gentar!"

Setelah bicara begitu, nenek bungkuk itu menegakkan badan serta memejamkan mata. Mulutnya berkomat-kamit beberapa saat dengan gerakan bibir yang cepat. Dan tiba-tiba lingkaran api yang mengurungnya itu padam seketika. Zrubbb...! Tanah mengepulkan asap, dan angin meniup asap itu ke arah Rangka Cula. Kejap berikutnya, Rangka Cula jatuh terlutut. Tanaman di belakang Rangka Cula layu, dan segera mengerut. Pohon besar menjadi berkeriput dan mengerti. Rumput menjadi keriting kecil-kecil, batu menjadi rapuh dan berguguran bagai gundukan abu.

Rangka Cula menundukkan kepalanya. Menahan napas dengan keringat mulai membasah di tubuhnya. Nyai Cungkil Nyawa masih berkomat-kamit dalam sikap berdiri tegak, seakan menghilangkan bungkuk badannya. Sedangkan tanah masih mengepulkan asap putih yang terbawa angin menerpa tubuh Rangka Cula.

"Tak ada yang bisa menghindari 'Asap Kematian' ini, Rangka Cula!" geram Nyai Cungkil Nyawa dengan suara tuanya.

Tiba-tiba Rangka Cula yang berlutut lemas itu menghentakkan tangannya, memukul tanah satu kali. Blukkk...! Dan seketika itu pula tubuh Nyai Cungkil Nyawa terlonjak terbang bersamaan dengan tubuh Rangka Cula yang terlonjak ke atas juga. Tapi pada saat itu Rangka Cula segera bersalto satu kali, dan kakinya menjejak tubuh Nyai Cungkil Nyawa dengan keras.

Beggh...! Tepat mengenai dadanya. Tak heran jika tubuh kering yang tua renta itu terlempar cukup jauh dan membentur batang pohon dengan kerasnya. Buhggg...! Wrrr...! Pohon itu terguncang hebat. Daun-daunnya berguguran. Tubuh Nyai Cungkil Nyawa melorot sampai ke tanah dalam keadaan memuntahkan darah pada bagian mulut dan hidungnya. Jelas tendangan itu adalah tendangan bertenaga dalam tinggi. Masih untung dada itu tidak jebol. Jika Nyai Cungkil Nyawa tidak memiliki lapisan tenaga dalam cukup tinggi pula, maka dadanya akan jebol oleh tendangan kedua kaki Rangka Cula.

Tubuh tua yang telah terluka parah itu segera dihantam oleh pukulan jarak jauh Rangka Cula yang berwarna hijau berpendar-pendar. Pukulan sinar hijau itu keluar dari genggaman tangan Rangka Cula. Zlappp...! Cepat sekali gerakannya, sehingga tak punya waktu lagi Nyai Cungkil Nyawa menghindarinya. Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan menyambar tubuhnya dari samping kanan.

Wutt...!

Blarrr...! Sinar hijau itu menghantam pohon yang tadi rontok daunnya. Pohon itu pecah terbelah memanjang dari bawah sampai ke atas, menjadi potongan-potongan kayu panjang antara sepuluh bagian.

Rangka Cula menggerakkan matanya memandang ke arah hilangnya Nyai Cungkil Nyawa. Tapi tak terlihat lagi seseorang di sana, tak terlihat pula bayangan yang berkelebat menyelamatkan tubuh Nyai Cungkil Nyawa itu. Rangka Cula masih diam di tempat, menyapu keadaan sekelilingnya dengan lirikan mata ganasnya.

"Ha ha ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah belakang Rangka Cula.

Segera orang kurus berjubah abu-abu itu berpaling ke belakang. Gerakannya cukup gesit dan tampak liar. Ia memandang seorang lelaki yang berbadan agak gemuk mengenakan pakaian dari kulit rusa. Celana dan rompi tanpa lengan berwarna coklat kulit rusa. Tapi diberi sabuk hitam besar pada pinggangnya. Sabuk hitam itu digunakan untuk menyelipkan sebilah golok besar bergagang hitam. Golok itu adalah golok pemenggal leher, bukan untuk membeset kulit. Tetapi tentu saja jika keadaan memaksa, bisa saja dipakai untuk membeset kulit. Panjang golok itu antara separo tombak lebih sedikit, dan besarnya seukuran paha manusia.

"Kau kehilangan mangsamu, Rangka Cula? Ha ha ha ha...!" orang berkumis lebat dan berambut pendek tanpa ikat kepala itu tertawa geli melihat Rangka Cula kebingungan mencari mangsanya tadi.

Mendengar orang itu menertawakan dirinya, Rangka Cula diam saja. Wajahnya tak ada kesan damai sedikit pun. Ia menatap orang itu tanpa berkedip. Tajam sekali pandangan matanya itu, sehingga sulit dilawan dengan sinar matahari.

"Kau pasti lupa padaku, Rangka Cula, karena cukup lama kita tidak bertemu!"

"Setan Bangkai."

"Oh ohh... oho oho ho ho...!" orang itu semakin tertawa. "Ternyata kau masih ingat namaku, Rangka Cula?! Ya. Benar. Akulah si Setan Bangkai! Syukurlah kalau kau masih ingat aku. Berarti kau masih ingat dengan istriku yang kau bunuh seenaknya di Rawa Kebo itu, hah?! Masih ingat?!"

"Masih!" jawab Rangka Cula dengan tegas.

"Bagus!" Setan Bangkai segera mencabut goloknya pelan-pelan dan berkata tanpa senyum, juga tanpa tawa. "Kalau begitu kau masih ingat, bahwa kau punya hutang nyawa padaku, Rangka Cula?!"

"Ya!"

"Kalau waktu itu aku terluka oleh ilmumu, tapi sekarang kau tak akan bisa melukaiku lagi! Sudah kusiapkan jurus istimewa untuk memenggal kepalamu, Rangka Cula!"

"Silahkan!"

"Tapi terlebih dulu aku ingin kau menjawab pertanyaanku!"

"Katakan."

"Mana si raksasa yang bergelar Dewa Murka itu?! Mana Logayo?!"

"Sudah mati!"

"Setan!" geram orang yang wajahnya mulai sama-sama ganas itu. "Siapa yang berani lancang membunuh Logayo?! Apakah orang itu tidak tahu bahwa nyawa Logayo itu jatahku?! Siapa yang membunuhnya?! Jawaaab...!"

"Kirana!"

"Siapa itu Kirana?!" bentaknya lagi.

"Entah!"

"Biadab! Kalau begitu, aku hanya bisa membunuh satu musuhku! Kau...!" mulutnya sambil maju ke depan dengan penuh dendam. "Kaulah satu-satunya musuhku yang belum mati, dan sekarang akan mati!"

Rangka Cula tetap berwajah dingin dan diam saja. Matanya tak beralih pandang sedikit pun, sehingga ia tahu kaki Setan Bangkai mulai mau bergerak maju untuk melompat. Maka, Rangka Cula mendahului melompat dengan pedang tercabut seketika.

Wut...! Crasss...!

"Aaah...!" Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Rangka Cula bagaikan angin lewat di samping kirinya dan berhasil melukai lengan kirinya. Tahu-tahu orang kurus itu sudah ada di belakang Setan Bangkai dan memunggunginya. Pedang bergagang Cula badak masih digenggam dengan satu tangan. Dan seketika Setan Bangkai berbalik arah sambil mengibaskan golok besarnya ke arah leher Rangka Cula, berkelebatlah tangan Rangka Cula yang memegangi pedangnya itu. Gerakannya cepat, kelebatan itu tepat mengenai golok besar.

Trangng...! Wess...! Golok tersingkirkan dari arah leher Rangka Cula. Lalu, dengan tersingkirnya golok besar itu, Rangka Cula punya kesempatan membabatkan pedangnya ke arah perut Setan Bangkai.

Wutt! Crasss...!

"Aahg...!" Robek perut Setan Bangkai seketika itu pula. Darah meluap keluar. Tapi isi perut tak sempat keluar. Setan Bangkai masih bertahan dengan mundur dua tindak, dan segera mendekap lukanya. Luka itu diusap dengan telapak tangan kirinya. Seet...! Luka itu hilang dan perutnya kembali utuh. Demikian pula lengan kiri yang terluka tadi, diusap memakai tangan kanan. Seet...! Luka tersebut lenyap, lengan kiri itu kembali utuh, seperti tak pernah terluka.

Rupanya itulah ilmu andalan Setan Bangkai dalam melawan Rangka Cula kali ini. Ia menyeringai dengan bangga memamerkan kesaktian barunya. Rangka Cula diam saja, tanpa ada rasa heran ataupun kagum. Terkesiap pun tidak. Tapi Rangka Cula segera memasukkan pedangnya ke tempat semula. Agaknya ia merasa percuma melawan Setan Bangkai memakai pedang, karena setiap luka dapat disembuhkan seketika dengan usapan tangan.

"Ayo, majulah! Tebas tubuhku yang mana saja, silahkan pilih!" kata Setan Bangkai sambil memajukan perutnya. "Ayo, maju! Pilih sendiri mana yang mau kau tebas...!"

Wutt...! Dasss...!

Tanpa banyak bicara, tahu-tahu pukulan tenaga dalam dilepaskan oleh Rangka Cula. Pukulan yang memancarkan sinar merah itu dengan telaknya mengenai dada Setan Bangkai. Dada itu menjadi hitam sebesar piring nasi. Setan Bangkai menyeringai kesakitan. Kali ini ia terluka dalam dan tak mungkin bisa dijamah tangannya.

"Bangsat kau!" geramnya. "Tunggu beberapa waktu lagi...!"

Wuttt...! Setan Bangkai pun cepat menghilang pergi, ia tak sanggup melawan Rangka Cula, karena Rangka Cula tidak menggunakan pedang, ia tak mampu mengobati lukanya jika Rangka Cula melukai bagian dalam tubuhnya. Rangka Cula sendiri diam saja memandangi kepergian lawannya.

* * *

TIGA
LANGIT tak jadi sebarkan hujan ke bumi. Entah mengapa, mendung berjalan santai meninggalkan matahari. Tapi karena sore telah tiba, sinar mentari pun surut ditelan senja. Di dalam sebuah gubuk kosong yang reot tanpa penghuni itu, Nyai Cungkil Nyawa dibaringkan. Tergeletak di lantai beralaskan tikar dari anyaman daun kelapa kering. Orang yang membawanya ke gubuk itu adalah pemuda tampan berpakaian coklat putih, menyandang bumbung tuak. Siapa lagi jika bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang tak pernah pakai ikat kepala itu.

Nyai Cungkil Nyawa diberi minum tuak dalam keadaan setengah pingsan. Tuak diteguk oleh nenek bungkuk, beberapa saat kemudian luka-luka di dalam tubuhnya pun mulai membaik. Napasnya mulai lancar, kepucatan wajahnya mulai sirna, dan menjadi tampak segar. Pertama kali membuka matanya, ia menyipit memandang pemuda tampan yang ada di sampingnya, ia berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,

"Apakah aku sudah berada di surga...?!"

Pemuda tampan yang tak lain adalah Suto Sinting itu hanya tersenyum menahan geli. Tanpa bicara ia segera menjauhkan diri dari nenek bergusik itu.

Sang nenek segera berkata, "Dewa, jangan tinggalkan aku...!"

"Kau belum mati, Nek!" kata Suto sambil tertawa pelan. "Kau masih hidup di bumi!"

"Masih hidup...?! Bukankah... bukankah aku tadi dibunuh oleh Rangka Cula?!"

"Belum sempat!" jawab Suto, kemudian ia menenggak tuaknya.

"Jadi, kau menyelamatkan aku?"

"Yang kuasa yang menyelamatkan kamu, Nek. Cuma, akulah yang dijadikan perantara sementara ini!" kata Suto merendahkan diri.

Nenek itu pelan-pelan bangkit dan duduk sambil menghembuskan napas kelegaan. "Kamu siapa, Nak?" tanyanya.

"Namaku Suto Sinting!"

"Ooo... bocah sinting."

"Suto Sinting, Nek! Bukan bocah sinting!"

"Lha, iya...! Suto itu anak, sinting itu..., ya sinting! Jadi Suto Sinting itu bocah sinting!"

Tawa pun terdengar pelan. Pendekar Mabuk segera menutup bumbung tuaknya. Nenek itu bertanya setelah memandang keadaan gubuk tersebut, "Ini rumahmu, Suto?"

"Bukan."

"Lalu, rumah siapa yang begini bagusnya?" sindir Nyai Cungkil Nyawa.

Suto tersenyum sambil menjawab. "Aku sendiri tidak tahu, Nek. Kutemukan gubuk reot ini dalam keadaan kosong. Kupikir tadi mau hujan, jadi untuk sementara kau kubawa kemari! Kalau kau tak suka tinggal di sini, aku tak keberatan kalau kau mau cari penginapan di desa terdekat sini, Nek."

"Aku tidak bilang begitu. Aku cuma tanya saja!" katanya sambil bersungut-sungut, lalu bangkit dengan menggunakan tongkatnya. Rupanya tongkat itu pun tetap tergenggam di tangan saat ia terlempar dan membentur pohon tadi. Dan Suto pun menyelamatkan nenek itu tanpa sadar kalau sang nenek masih menggenggam tongkatnya.

"Suto Sinting..."

"Ada apa?"

"Aku hanya menggumam sendiri! Aku seperti pernah mendengar nama Suto Sinting! Nyai Cungkil Nyawa berkerut dahi sambil mengulang-ulang menyebut nama Suto Sinting.

"Sudahlah, tak perlu diingat-ingat," kata Suto. "Yang penting aku pun tahu namamu adalah Nyai Cungkil Nyawa."

"Dari mana kau tahu namaku?"

"Kudengar percakapanmu dengan Rangka Cula sebelum kalian saling beradu kesaktian dan ilmu sihir tadi!"

"O, begitu?! Lalu, mengapa kau tidak segera menolongku?"

"Karena kulihat tadinya kau imbang melawan Rangka Cula. Aku sendiri sedang mengincarnya. Pikirku, kalau kau lari darinya, aku akan maju menghadapi dia! Tapi kulihat kau kewalahan dan dalam bahaya, Nek. Jadi, kuutamakan menyelamatkan nyawamu lebih dulu."

"Manusia yang satu itu sukar dikalahkan! Tapi suatu saat dia akan mati di tanganku!"

"Mudah-mudahan harapanmu terkabul, Nek!"

Tiba-tiba nenek itu menatap Suto dengan curiga dan bertanya, "Apa maksudmu menolong nyawaku?"

"Apa itu hal yang buruk?" Suto ganti bertanya.

"Kurasa kau punya maksud-makaud tertentu! Kurasa kau ingin memiliki jubah keramat itu!"

Ails Pendekar Mabuk itu berkerut hingga nyaris beradu. Heran sekali Suto dituduh begitu, sementara dia sendiri ingin tahu apa yang dimaksud jubah keramat dalam percakapan Nyai Cungkil Nyawa dengan Rangka Cula dipertarungkan itu. Maka, Suto pun bertanya, "Jubah apa maksudmu, Nek?"

"Jubah keramat! Apa kau belum dengar tentang jubah keramat?"

Suto menggelengkan kepala. "Aku justru ingin dengar dari mulutmu, Nek! Ceritakanlah, karena aku percaya kau tokoh tua di rimba persiiatan yang tahu banyak tentang jubah keramat itu!"

"Ya, memang aku tahu banyak tentang jubah keramat! Karena akulah penjaga Petilasan Teratai Dewa itu!"

"Apa pula Teratai Dewa itu?" tanya Suto semakin heran.

"Banyak orang menyangka, Petilasan Teratai Dewa adalah sebuah keraton yang sudah runtuh. Mungkin karena luasnya dan ada bekas pilar-pilarnya, maka orang menyangka petilasan itu adalah reruntuhan sebuah istana. Padahal bukan!"

"Dari mana kau tahu kalau petilasan itu bukan reruntuhan sebuah istana?" tanya Suto semakin terpancing ingin tahu.

"Karena akulah penjaga Teratai Dewa! Dari sejak cicitku, canggahku, buyutku, kakekku, bapakku, sampai akhirnya aku... adalah juru kunci atau penjaga makam tersebut."

"Makam yang mana?"

"Ya makam Teratai Dewa itu!" sentak nenek bergusik rada dongkol. "Petilasan Teratai Dewa itu sebenarnya sebuah makam. Jelasnya, sebuah makam yang di atasnya dibangun pesanggrahan bagi para leluhur dan ahli waris berkumpul. Lalu, di situ menjadi suatu tempat untuk mengolah ilmu kanuraga dan tenaga batin. Maka muncullah sebuah nama perguruan yang pada masa itu disegani orang, yaitu Perguruan Teratai Dewa!"

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, makam yang ada di bawahnya itu makam siapa, Nek?"

"Itu makam Prabu Indrabayu, seorang raja dari Lereng Gangga yang melarikan diri karena serangan musuh, hingga sampai di tanah Jawa dan kawin dengan puteri raja di tanah Jawa ini. Ketika beliau wafat, sang puteri, yaitu istrinya, minta supaya jenazah suaminya dimakamkan di tanah tempat pertama kali mereka berjumpa. Maka dibangunlah makam di dalam hutan sana, dan menjadi sebuah pesanggrahan keramat. Menurut kabarnya, pada masa tempat itu menjadi pesanggrahan, para murid Perguruan Teratai Dewa itu, sering didatangi arwah Prabu Indrabayu, atau melihat kelebatan sang Prabu memakai jubah saktinya!"

"Ooo... jadi Prabu Indrabayu itu mempunyai jubah sakti?"

"Iya! Dan jubah itu ikut dimakamkan juga di kuburannya itu!"

"Seberapa tinggi kesaktian jubah itu, Nek?"

"Tinggi sekali, sampai bisa disambar petir segala!" jawab nenek itu seenaknya saja.

"Maksudku, kesaktiannya itu bagaimana? Seberapa hebatnya kok sampai kelihatannya diincar betul oleh Rangka Cula?!"

"Rangka Cula hanya orang upahan sang Adipati Lambungbumi! Dan karena ulah mulut sang Adipati itulah maka jadi banyak orang mengincar jubah keramat itu! Sebab sang Adipati tahu adanya jubah keramat peninggalan Prabu Indrabayu, karena dulu kakek moyangnya ikut membangun makam Prabu Indrabayu."

"Yang kutanyakan, kehebatan jubah itu!" tegas Suto lagi.

"Ooo... kehebatannya?" nenek itu terbatuk sebentar, setelah itu melanjutkan ceritanya, "Jubah itu mampu menciptakan khayalan menjadi kenyataan."

"Maksudnya... maksudnya bagaimana?" Suto mendekat semakin tertarik.

"Seseorang yang mengenakan jubah itu, bisa mempunyai kekuatan indera ketujuh, yaitu kekuatan menghadirkan sesuatu yang ada dalam pikirannya. Dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada, yang ada bisa menjadi tidak ada! Jadi misalnya begini...," nenek bergusik itu pun bersemangat sekali menuturkan kehebatan Jubah Keramat tersebut.

"Misalnya kau memakai jubah itu, maka apa yang kau bayangkan dalam benakmu bisa menjadi kenyataan. Kalau misalnya kau menghadapi lawanmu, lalu kau membayangkan lawanmu terpenggal kepalanya, maka dalam beberapa kejap saja lawanmu benar-benar terpenggal kepalanya tanpa ada yang menyentuhnya, tanpa ada yang memenggalnya. Misalnya lagi, kau membayangkan batu di depan gubuk ini pecah, maka tanpa kau ucapkan, tanpa kau sentuh, batu itu akan pecah sendiri seperti apa yang kau bayangkan. Mungkin pecah menjadi dua atau menjadi seratus, itu tergantung yang ada dalam benakmu!"

"Wah, hebat sekali jubah itu!" gumam Suto dengan kagum.

"Kalau tak hebat, tak akan jadi bahan rebutan!" kata sang nenek dengan cepat dan merasa bangga bisa menceritakan kehebatan jubah keramat itu. Lalu, sambungnya lagi,

"Jubah itu diperoleh sang Prabu Indrabayu ketika bertapa di kedalaman Gunung Wijayakusuma, yaitu tempat asal tanaman kembang Wijayakusuma. Jadi kalau kau memakai jubah itu, lalu kau membayangkan perempuan cantik maka kau bisa benar-benar mendapatkan perempuan cantik sesuai dalam bayangan benakmu. Orang yang mempunyai jubah keramat itu harus orang yang bersih pikirannya, bersih hatinya, bersih pula khayalannya. Kalau tidak, akan menimbulkan malapetaka di mana-mana! Kalau setiap orang dibayangkan buntung kepalanya, maka di tanah Jawa ini akan penuh dengan manusia tanpa kepala! Nah, jadi hanya orang yang berjiwa bersih yang pantas memiliki atau memakai jubah tersebut! Tugas leluhurku adalah menjaga agar jangan sampai jubah itu dicuri maling! Tapi karena mulut Adipati Lambungbumi berkoar ke mana-mana, mengupah setiap orang untuk mencari jubah keramat itu, nah... akhirnya banyak maling yang mengincar Jubah keramat itu!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu ia merenung panjang ketika matahari makin surut dan petang pun tiba. Nenek bergusik itu keluar sebentar dari gubuk. Ketika ia kembali lagi sudah membawa sebongkah batu satu genggaman tangan. Batu itu cekung di permukaannya, lalu diberinya tuak sedikit dengan meminta tuaknya Suto, diberi pula kain sedikit dari sobekan ikat pinggangnya sendiri, dan dengan satu kali tunjuk jari, terpeciklah api yang segera menyambar kain bagaikan sumbu lentera itu, lalu menyala kain tersebut menjadi sebuah pelita yang cukup ajaib. Dengan bahan bakar tuak, bisa menyala sampai beberapa saat lamanya, bahkan sampai besok pagi pun bisa, begitu kata si nenek bergusik itu. Rupanya percakapan itu ada yang menyadap dari luar gubuk. Nenek bergusik itu berkata lirih pada Pendekar Mabuk.

"Ada maling!"

Suto berkerut dahi, menelengkan telinganya, mencari dengar suara yang mencurigakan. Nenek itu berkata lagi dengan lirih, "Kau mendengar degub jantungnya?"

"Tidak."

"Bodoh kamu!" ucap nenek itu seenaknya saja. "Aku mendengar degub jantungnya. Keras. Itu tandanya dia deg-degan!"

"Aku hanya mendengar desir darahnya mengalir di sekujur tubuh."

"Wah, itu lebih hebat! Suara desiran darah bisa sampai di telingamu, itu hebat!"

"Tapi sepertinya darahmu sendiri yang kudengar, Nek!"

"Wah, itu bodoh namanya! Karena aku berada di dekatmu jadi kau mendengar desir darahku! Eh, tapi... tadi agaknya maling itu makin mendekati kita, Suto! Degub jantungnya makin kudengar jelas!"

Pendekar Mabuk bergegas keluar dari gubuk itu. Tapi Nyai Cungkil Nyawa segera menahannya dan berbisik makin pelan, "Diam saja di tempat. Seolah-olah kita tidak mengetahui kehadirannya. Diam saja! Kita bicara soal lain!"

Suto manggut-manggut tanda setuju. Kemudian, Suto segera bertanya, "Sebenarnya, nama aslimu siapa, Nek?"

"Nama asliku sewaktu masih gadis cantik adalah Sendang Katon."

"Kenapa diganti dengan nama Nyai Cungkil Nyawa?"

"Biar seram! Hik hik hik...!" nenek itu tertawa. Lalu tambahnya lagi, "Pekerjaanku dulu tukang mencungkil nyawa orang yang mau mengganggu makam Prabu Indrabayu. Jadi kuberi nama julukan Cungkil Nyawa."

"Apa sekarang kau masih bisa mencungkil nyawa orang?"

"Kalau ada yang berbuat kurang ajar padaku, tentu saja aku bisa mencungkil sepuluh nyawa dalam satu kali cungkilan!"

Setelah bicara begitu, Nyai Cungkil Nyawa berbisik di dekat telinga Suto. "Dia semakin dekat. Sekarang ada di pintu masuk!"

Suto tetap tenang dan melirik sekejap ke arah pintu masuk, ia kembali berpura-pura asyik ngobrol dengan nenek itu. "Apa kerjamu sehari-hari ini, Nyai?"

"Yah, tidak tentu! Kadang-kadang aku menjadi dukun bayi, atau tukang masak jika ada orang punya hajat dan...," Nyai Cungkil Nyawa tidak melanjutkan bicaranya. Matanya memandang ke arah pintu masuk.

Suto Sinting pun ikut memandang ke sana, dan menjadi sangat terkejut begitu melihat 'maling' yang dikatakan Nyai Cungkil Nyawa itu sudah ada di depan pintu dan sedang memandang ke arah Suto. Maling itu adalah seekor harimau loreng bermata merah. Jantung Suto hampir saja putus karena kagetnya. Harimau itu tampak ganas dan mulai menggeram dengan kepala merendah, itu tandanya dia siap menerkam mangsanya. Suto Sinting berkata dengan sedikit cemas, "Ini bukan saja maling, Nek! Ini lebih berbahaya daripada maling!"

"Ggrrrr...!" harimau loreng berbadan besar itu menggeram dengan mulut menyeringai, menampakkan taringnya yang menyeramkan.

"Tenang saja... tenang...," ucap nenek itu. Ia sendiri kelihatan agak gemetar. Lalu mulutnya komat-kamit entah membaca mantera apa, Suto tak tahu. Yang dilakukan Suto adalah memandang mata harimau yang berwarna merah itu. Maka timbul keyakinan dalam diri Suto Sinting bahwa harimau itu bukan sembarang harimau.

"Gggrrr... aaaoow...!" harimau itu mengaum, suaranya bagai mau merubuhkan bambu-bambu penyangga atap gubuk itu. Nenek bergusik itu gemetar dan tetap membaca mantera. Sedangkan Pendekar Mabuk buru-buru meraih bumbung tuaknya, dan menenggak tuak dengan cepat. Tuak tidak ditelan tapi ditampung di mulut. Maka ketika harimau itu pada akhirnya benar-benar melompat dan menerkam ke arah si nenek, Suto segera menyemburkan tuak di dalam mulutnya yang dinamakan ilmu 'Sembur Siluman'.

Brusss...! Clappp...!

Brukkk...! Nenek itu jatuh telentang ditindih oleh sesosok tubuh manusia berpakaian hitam-hitam. Lelaki berpakaian hitam itu segera disentakkan tubuhnya oleh nenek bergusik dan jatuh terlempar di dekat pintu masuk tadi.

Brakkk...! Gubuk hampir saja ambruk. Tubuh orang berpakaian hitam itu membentur tiang penyangga pintu.

Nenek bergusik segera memaki, "Monyet kusut! Rupanya kau yang berubah menjadi harimau tadi, Sonokeling?!"

Orang berpakaian hitam itu tertawa terkekeh-kekeh. Usianya hampir sama dengan Nyai Cungkil Nyawa. Rambutnya juga putih dan kulitnya sudah keriput. Tubuhnya pun sama kurusnya dengan nenek bergusik itu. "Memang aku, Nyai," kata orang yang ternyata bernama Sonokeling itu.

"Kambing bandot kumis kucing!" serapah nenek itu. "Sekali lagi kau berusaha menciumku dengan cara apa pun kubunuh kau saat itu juga, Sonokeling!"

"Siapa dia, Nek?" tanya Suto.

"Orang gila!" jawab Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja. Kemudian nenek itu bicara kepada orang yang bernama Sonokeling, "Apa maksudmu datang kemari, hah?!"

"Aku... aku rindu padamu, Nyai!"

"Puih...! Rindu, rindu...!" Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut cemberut.

Suto Sinting segera paham siapa orang itu, lalu ia tersenyum, dan Nyai Cungkil Nyawa melirik Pendekar Mabuk, kemudian berkata kepada orang berpakaian hitam itu, "Tidak malu sama anak muda ini! Sudah tua peot masih bicara soal rindu! Mengacalah dulu, Sonokeling?! Lihatlah dirimu, masih muda atau sudah tua?!"

"Apa yang boleh punya rindu hanya anak muda?!" Ki Sonokeling duduk melonjorkan kaki seenaknya saja.

"Sudah tak pantas orang seusia kita bicara soal rindu!"

"Kalau tak pantas ya sudah!" kata Ki Sonokeling kemudian. "Aku ke sini juga mau kasih tahu kamu, Nyai! Tempatmu disatroni pencuri!"

"Apa...?!" nenek bergusik kaget.

"Kulihat ada tiga mayat lagi yang tergeletak di atas petilasan itu! Dan kulihat juga ada sepasang muda-mudi di sana!"

"Siapa mereka?!"

"Entah. Aku tak menegur muda-mudi itu! Waktu kutinggalkan mencari kamu, mereka sedang bertarung! Pokok masalahnya sudah pasti soal jubah keramat itu!"

"Suto!" kata nenek itu kemudian, "Aku harus segera ke petilasan! Aku harus mencegah kedua anak muda itu saling berebut jubah keramat! Mereka harus kuberi pelajaran agar tidak seenaknya menginjak-injak Pesanggrahan Teratai Dewa!"

"Kalau begitu, aku ikut de..."

Clappp!

Suto terkejut, nenek itu lenyap begitu saja. Entah kemana perginya dan entah bagaimana bergeraknya. Suto hanya merasakan hembusan angin melesat di depannya. Tetapi Ki Sonokeling masih ada di tempatnya sedang garuk-garuk kepala.

* * *

EMPAT
SEPERTI apa yang dikatakan Ki Sonokeling, di pelataran Petilasan Teratai Dewa terdapat tiga mayat. Tentu saja mayat itu adalah mayat si Cakar Macan, Julung Boyo dan Tapak Getih. Tetapi dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ada. Nyai Cungkil Nyawa mencari-cari kedua muda-mudi itu ke beberapa tempat sambil menggerutu,

"Jangan-jangan mereka sedang mesra-mesraan di sini! Kugepruk habis kalau ketemu! Tempat suci kok mau dipakai remas-remasan?!"

Dalam keremangan cahaya langit yang sudah menjadi cerah dengan rembulan kece mengintip sangat sedikit, Nyai Cungkil Nyawa menyusuri tempat-lempat yang paling tidak memungkinkan dijamah manusia. Tetapi tetap saja dua remaja yang dikatakan Ki Sonokeling itu tidak ia temukan. Akhirnya Nyai Cungkil Nyawa kembali ke reruntuhan bagian depan. Mayat-mayat itu diseretnya satu persatu untuk dibuang ke jurang yang jaraknya tak seberapa jauh dari petilasan itu. Sambil menyeret mayat-mayat itu Nyai Cungkil Nyawa menggerutu,

"Sampai kapan orang-orang bodoh ini habis dari permukaan bumi?! Semakin banyak orang bodoh, maka akan semakin banyak lagi pekerjaanku menyeret mayat, membuangi mayat, menjadikan mereka mayat dan semua ini sungguh pekerjaan yang membosankan bagiku! Dari hari ke hari pekerjaanku hanya urusan kematian terus. Padahal aku tidak pernah punya cita-cita untuk menjadi petugas kematian!"

Nyai Cungkil Nyawa tertidur di pelataran reruntuhan, ia kecapekan menyeret tiga mayat sambil menggerutu. Suara dengkurnya samar-samar terdengar berirama naik turun. Kadang tinggi, kadang rendah, kadang pelan, kadang keras. Sesekali di sela sepinya malam ia terbatuk-batuk, lalu lelap lagi dan hadir kembali suara naik turun dari dengkurnya yang tidak punya kemerduan sama sekali itu.

Sebenarnya Suto Sinting sudah bisa sampai di petilasan sebelum nenek itu tertidur. Tapi agaknya Suto jadi punya urusan lain dengan Ki Sonokeling. Lelaki berpakaian serba hitam itu merasa kagum terhadap ilmu 'Sembur Siluman' milik Suto yang bisa membuat penyamarannya dari seekor harimau loreng menjadi pudar dan membuatnya kembali ke wujud manusia. 

Padahal selama ini tak ada manusia yang bisa memudarkan ilmu 'Siluman Macan'-nya. Nyai Cungkil Nyawa belum tahu bahwa harimau itu jelmaan Ki Sonokeling. Jika harimau loreng itu belum mengajaknya bicara dalam bahasa manusia, nenek itu belum bisa memastikan bahwa harimau itu jelmaan Ki Sonokeling.

"Aku heran padamu, Anak Muda! Kau bisa dengan mudah mengetahui bahwa harimau itu jelmaanku, dari mana kau menandainya?"

"Dalam penglihatanku, mata harimau itu merah. Jadi aku tahu harimau itu hanya siluman seseorang."

"Dan kau bisa mengubah wujud manusia diriku yang sebenarnya dengan hanya menyemburkan tuak, sungguh itu suatu ilmu yang langka. Setahuku ilmu sembur tuak begitu hanya dimiliki oleh tokoh tua yang dikenal dengan nama si Gila Tuak!"

"Aku muridnya si Gila Tuak, Ki Sonokeling!"

"Oh...?!" orang kurus berkulit hitam itu terkejut, ia memandangi Pendekar Mabuk dengan tatapan mata terheran-heran dan merasa kagum, ia berkata, "Jadi, kau... kau muridnya si Gila Tuak itu?"

"Benar, Ki!"

"Waaah... pantas!"

"Ki Sonokeling mengenal Guru?"

"Ya. Aku kenal dengan gurumu. Dia orang baik. Dia tahu aku punya ilmu 'Siluman Macan', tapi ia tak pernah menggangguku. Hanya saja, aku pernah melihat dia menyemburkan tuak kepada seekor buaya yang ternyata adalah jelmaan si Gunomukti, teman seperguruanku dulu. Dan dari situlah aku menjadi ciut nyali kalau ketemu si Gila Tuak, dalam keadaan sedang menjelma menjadi harimau! He he he...!"

Ki Sonokeling tertawa sendiri membayangkan rasa takutnya jika ia sedang menjadi harimau dan berpapasan dengan si Gila Tuak. Ilmu itu biasanya digunakan oleh Ki Sonokeling untuk menakut-nakuti lawannya, biar tidak terjadi pertarungan antara dirinya dengan lawan tersebut. Hanya jika terpaksa sekali, karena diserang terus, maka sebagai wujud siluman harimau, Ki Sonokeling terpaksa memangsa lawannya hingga mati.

"Boleh aku tahu namamu, Murid Gila Tuak?"

"Namaku Suto Sinting, Ki."

"O, Suto Sinting...? Ya ya ya... aku pernah dengar namamu dibicarakan oleh para tokoh di dunia persilatan ini. Kalau tidak salah kau yang berjuluk Pendekar Mabuk?"

"Benar, Ki."

"Berarti tak salah pula dugaanku, bahwa kaulah orangnya yang bisa menyembuhkan seseorang dengan tuakmu itu?"

"Aku hanya mencobanya, dan jika orang itu sembuh berarti Yang Maha kuasa memakaiku untuk menyembuhkannya. Aku hanya manusia biasa tanpa kekuatan apa-apa jika bukan kekuatan datang dari-Nya, Ki."

"Luar biasa jiwamu! Rupanya kau menjadi pewaris jiwa gurumu juga!"

"Guru selalu mendidikku begitu, Ki!"

"Ya, ya... aku percaya itu. Dan sekarang bisakah aku minta tolong padamu, Suto?"

"Tentang apa, Ki?"

"Aku mempunyai keponakan, dan keponakan itu punya anak, jadi anak itu termasuk cucuku, bukan?"

"Benar."

"Cucuku sedang sakit saat ini, Suto. Ia terkena racun pada waktu bertarung melawan orang sesat dari Perguruan Kobra Hitam, dan sampai sekarang racun itu masih merusak raganya, tak dapat kusembuhkan dengan berbagai cara."

"Siapa orang Kobra Hitam yang bertarung dengan cucumu itu?"

"Rangka Cula! Dia memang orang jahat dan..."

"Dan sedang kukejar-kejar, Ki!"

"O, ya?!" Ki Sonokeling terperanjat. "Kalau begitu, kau bisa tanyakan kepada cucuku itu ke mana larinya Rangka Cula!"

"Baiklah. Kita pergi ke tempat cucumu, Ki!"

Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Suto Sinting sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa.

"Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?"

"Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat."

"Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu."

"Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu tinggi ingin merusak makam tersebut. Tapi... Sendang Kedaton memang sakti dan..."

"Lho, namanya Sendang Kedaton atau Sendang Katon?!" potong Suto Sinting.

"Sendang Kedaton, itu nama sebenarnya. Tapi dia sering mengubahnya sendiri menjadi Sendang Katon. Maksudnya Katon adalah kelihatan, sedangkan maksudnya Kedaton adalah keraton atau istana. Sendang adalah air bening sejenis dengan air telaga."

"Ooo... terus, terus bagaimana kisah percintaan Ki Sonokeling dengan Nyai Cungkil Nyawa itu?"

"Ya tidak ada...!" jawabnya sambil melangkah dan garuk-garuk kepala. "Kisah percintaanku hanya berat sebelah. Tapi aku cukup puas dan senang, walau ia tidak membalas cintaku, tapi ia bersikap baik padaku! Padahal dulu dia seperti orang gila."

"Maksudnya?"

"Sering mencaci-maki aku dengan seribu kata makian tanpa sebab. Tapi karena aku tetap tabah, akhirnya dia jadi bosan bersikap galak padaku, dan berubah menjadi baik. Yaah. namanya saja perempuan, kalau kita tekun dan tabah, suatu saat akan tunduk juga!"

Ki Sonokeling terkekeh di tengah kegelapan malam yang remang itu, dan Pendekar Mabuk pun tertawa geli. Mereka masih melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat kediaman cucunya Ki Sonokeling. Pendekar Mabuk kembali mengajukan pertanyaan untuk mengisi waktu dalam perjalanan, biar tak sepi.

"Sebenarnya apa betul ada jubah keramat di dalam makam itu?"

"Betul! Banyak tokoh tua yang membicarakannya dan Nyai Cungkil Nyawa pun sering bercerita tentang hal itu kepadaku. Tapi sejauh ini, aku tak pernah diberitahu di mana letak pintu masuk menuju ruang bawah tanah. Aku pun tak ingin mendesaknya karana takut disangka punya maksud jahat separti mereka yang ingin memiliki jubah itu!"

"Apakah ia punya anak atau keluarga?"

"Tidak. Sejak pertama aku jumpa dia, dia tinggal di petilasan itu dan tak pernah punya anak, juga tak pernah punya suami. Dia selalu menolak ajakan kawin siapa pun, termasuk aku sendiri!"

"Barangkali itu sudah menjadi sumpahnya untuk menjadi penjaga makam Prabu Indrabayu, tidak boleh kawin dan tidak boleh punya anak! Mungkin juga tidak boleh punya murid!"

"Mungkin. Mungkin memang begitu. Aku tak bisa pastikan, sebab menurutku dia perempuan misterius yang menggemaskan hati, ingin mencubitnya setiap saat!"

"Ha ha ha ha...!" Suto Sinting tertawa geli mendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut orang setua Ki Sonokeling. Lalu, Suto sendiri segera berkata, "Biar misterius, tapi kau tentu bahagia walau hanya merawat taman di sana, Ki! Karena dengan begitu kau bisa jumpa dia setiap hari!"

"Ya, tapi... tapi sekarang taman itu sudah tidak ada! Hancur dirusak orang-orang serakah yang ingin memiliki jubah itu, sehingga aku tidak punya kesibukan di sana. Tak ada yang kuurus kecuali hanya mengurus cintaku padanya."

"Ha ha ha ha...!" Pendekar Mabuk melepaskan tawa yang membuat Ki Sonokeling tampak senang ditertawakan soal cintanya.

Suto terpaksa bermalam di rumah cucunya Ki Sonokeling. Ia telah berhasil menyembuhkan cucunya Ki Sonokeling itu, dan racun yang membuat kakinya busuk perlahan-lahan itu telah menjadi tawar. Esoknya, pagi-pagi sekali, mereka telah berangkat kembali menuju ke petilasan untuk menjumpai Nyai Cungkil Nyawa. Ki Sonokeling bernafsu sekali ingin segera menemui Nyai Cungkil Nyawa, sehingga pagi-pagi sekali ia sudah mengajak Suto berangkat, dan Suto yang sebenarnya masih mengantuk itu pun terpaksa menuruti ajakan tersebut, karena Ki Sonokeling berkata,

"Bumbung tuakmu sudah kupenuhi dengan tuak Mojolangu!"

"Oh, terima kasih! Terima kasih sekali, Ki!" jawab Suto kegirangan. Dan itulah penyebab mata Suto yang masih mengantuk menjadi melek.

* * *

Mata Nyai Cungkil Nyawa pun menjadi melek, tapi bukan karena mendengar tentang tuak, melainkan karena mendengar suara langkah kaki orang yang menuju ke Petilasan Teratai Dewa itu. Tapi nenek itu masih berlagak tidur. Orang yang mendekati petilasan itu sudah bisa diduga oleh Nyai Cungkil Nyawa, karena ia sudah hafal bau keringat orang itu. Tapi orang itu tidak tahu bahwa kedatangannya sengaja ditunggu oleh Nyai Cungkil Nyawa dalam lagak tidurnya.

Orang tersebut berpakaian merah-merah dengan bajunya yang tanpa pernah dikancingkan bagian depannya. Orang itu mempunyai badan tergolong besar dengan perut sedikit buncit. Wajahnya kasar, berkesan bengis. Alisnya tebal, kumisnya pun tebal. Matanya lebar dan kulit matanya sedikit mengendur ke bawah. Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan.

Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu.

Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik. Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.

Wusss...!

Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-tiba batu itu berhenti di udara, maju tidak, mundur pun tidak. Zepp...! Orang bermata lebar itu semakin memperlebar matanya lagi melihat batu bisa berhenti di udara, ia mundur dua tindak. Dan tiba-tiba batu itu berkelebat cepat, melesat ke arahnya sendiri. Orang itu menggeragap bingung, kemudian melompat ke samping dan batu pun lolos dari sasarannya, menghantam sisa pilar.

Durrr..! Bruss...! Sisa pilar itu hancur, padahal lebih besar dari batu itu sendiri.

Nyai Cungkil Nyawa menggeliat bangun pelan-pelan. Mulutnya menguap lebar dengan kedua tangan direntangkan. Pada waktu mulutnya menguap lebar, orang berpakaian merah itu cepat mengambil sebatang kayu yang agak runcing, lalu dilemparkan ke arah mulut itu.

Wuttt!

Tab...! Kayu itu cepat ditangkap dengan tangan kiri Nyai Cungkil Nyawa. Bersamaan dengan itu, Nyai Cungkil Nyawa membuka mata dan bangkitlah ia dengan sedikit limbung. "O, kamu lagi yang datang, Gandarwo! Apa belum jera melawanku?"

Orang yang ternyata bernama Gandarwo itu menggeram gemas. Dua kali usahanya membunuh Nyai Cungkil Nyawa tidak berhasil, ia segera mencabut kapak dua mata dari pinggangnya. "Aku belum puas kalau belum membunuhmu, Nyai!" geramnya.

"Ya silakan bunuh, biar kamu puas!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan seenaknya saja. Ia mulai melangkah dengan menggunakan tongkatnya yang tak seberapa panjang itu. Ia mendekat, tapi Gandarwo mundur dua tindak.

"Apa kau sudah punya ilmu baru, sehingga berani datang kemari?" kata Nyai Cungkil Nyawa.

"Sudah!" jawabnya membentak. "Kali ini kau tak akan bisa menghindari ilmu pukulanku yang terbaru! Heaaah...!"

Gandarwo menyentakkan kapaknya ke depan. Tiba-tiba ujung kapak yang berupa logam merah membara seperti mata tombak itu meluncur cepat, belakangnya berantai panjang. Rantai itu kecil dan mengikuti gerakan ujung kapak tersebut.

Suttt...! Zerrrr...!

Wut wut wut wut wut...!

Benda kecil yang berwarna merah itu bergerak terbang mengitari tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Rantai tersebut akhirnya melilit-lilit di tubuh Nyai Cungkil Nyawa dan menjadikan sang Nyai terikat dari lengan sampai kaki. Ia tak dapat bergerak. Terjerat kuat sekujur tubuhnya. Sedangkan mata tombak yang merah itu melesat kembali ke pemiliknya dan ditangkap dengan tangan kiri Gandarwo.

Serrrtt...!

Mata tombak itu ditarik, membuat rantainya mengencang dalam ikatan yang tak mudah dilepaskan itu. Gandarwo tertawa terbahak-bahak melihat Nyai Cungkil Nyawa terjerat begitu kuat.

"Ha ha ha ha...! Sekarang kau tak akan bisa berkutik, Nyai! Kau akan mati jika rantai ini kutarik dengan sentakan kuat, dan tubuhmu akan terpotong oleh rantai kecil ini! Ha ha ha ha...!"

"Husy! Berisik!" bentak Nyai Cungkil Nyawa yang membuat tawa itu lenyap seketika.

Kini Gandarwo menggeram penuh nafsu membunuh, ia berkata dengan mata angkernya yang memandang tajam, "Semua ilmuku sudah kulepaskan untuk membunuhmu tapi kau bisa mengimbanginya. Namun sekarang, jurus 'Rantai Pemotong Baja' ini, tidak akan bisa kau hindari lagi, Nyai. Tidak akan bisa kau lawan! Hanya ada satu yang bisa menyelamatkan kamu, yaitu sebutkan di mana letak pintu masuk ke ruang bawah tanah tempat ini!"

Dengan tenang, seakan tak menghiraukan tubuhnya yang terikat, Nyai Cungkil Nyawa berkata kepada Gandarwo, "Kau benar-benar manusia paling bodoh dari yang terbodoh, Gandarwo! Sejak kau masih muda, sampai usiamu sekarang sudah lewat dari lima puluh tahun, kerjamu hanya mengejar-ngejar jubah keramat saja! Apa tidak ada pekerjaan lain, hah?! Daripada mengejar-ngejar jubah yang belum kau tahu di mana letak pintu masuknya! Bodoh amat kau ini!"

"Persetan dengan omonganmu! Sekarang aku akan dapatkan letak pintu itu dari mulutmu! Kalau kau tidak sebutkan, kutarik rantai ini, dan terpotonglah tubuhmu menjadi beberapa potong!"

"Ilmu seperti ini kok mau diandalkan untuk melawanku, Gandarwo? Carilah ilmu lain yang bisa untuk membunuhku!"

"Nyatanya kau tak bisa meloloskan diri dari jeratanku!"

"Siapa bilang?! Aku ada di belakangmu, Gandarwo!"

Terkejut bukan kepalang tanggung Gandarwo mendengar suara berkata begitu di belakangnya. Ketika ia berpaling ke belakang, ternyata Nyai Cungkil Nyawa sudah berdiri di belakangnya. Gandarwo semakin membelalakkan matanya lebar-lebar, ia kembali memandang ke arah rantai yang mengikat tubuh Nyai Cungkil Nyawa.

"Lho...?!" Gandarwo terpekik, karena rantai itu ternyata dalam keadaan tergeletak menumpuk di lantai tanpa ada orang yang dijeratnya. Rantai itu mudah ditarik dan tak memiliki hambatan penjerat apa pun, malah nyaris kusut sendiri. Dalam satu sentakan, rantai itu bergerak sendiri masuk ke lubang gagang kapak, sehingga kini ujung rantai yang berupa logam merah seperti mata tombak itu telah kembali merapat di ujung kapak.

Belum sempat Gandarwo berbalik ke arah Nyai Cungkil Nyawa, punggungnya telah dihantam memakai telapak tangan kiri nenek bergusik itu. Dan seketika itu juga, tubuh besar melayang ke depan bagaikan daun pisang dilemparkan.

Wuttt...! Bruskk...!

"Woaaow...!" teriak Gandarwo karena ia membentur dinding sisa reruntuhan. Wajahnya beradu dengan kuat, membuat hidungnya berdarah dan tulang pipinya menjadi memar membiru. Ia membalik dengan terengah-engah, kemudian menggeram, "Manusia setan! Tunggu saatnya aku kembali lagi!" Dan setelah itu Gandarwo melesat pergi, melarikan diri.

Nyai Cungkil Nyawa hanya memandang sambil geleng-geleng kepala dan menggerutu, "Pagi-pagi cari penyakit saja anak itu...?!"

* * *

LIMA
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi.

Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.

Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil.

"Sudah kukatakann kau tak akan berhasil melukaiku, Ratna! Karena itu, berhentilah menyerangku dan biarkan aku mencari jubah keramat itu sendiri! Jangan menyerangku lagi. Hematlah tenagamu, Ratna. Lebih baik kau bantu aku mencari pintu masuk ke dalam ruang bawah tanah itu, supaya aku bisa mendapatkan jubah tersebut dan kau akan kuberi hadiah sesuka permintaanmu!"

Gadis memakai pakaian merah jambu sebatas dada dengan kain jubah tipis warna hijau muda tanpa lengan itu, memang menghentikan serangannya, namun masih tetap menggenggam pedangnya untuk sewaktu-waktu dikibaskan ke arah Marta Kumba. Matanya masih tajam memandang penuh rasa penasaran, tapi tak terlalu banyak cahaya permusuhan.

"Sebelum aku berhasil memukul atau melukaimu, aku tak akan berhenti menyerangmu, Marta Kumba!" geram gadis itu, yang ternyata bernama Ratna Prawitasari.

"Baiklah," kata Marta Kumba. "Kau boleh memukulku, tapi jangan melukaiku!"

"Aku ingin kau melawanku, Marta Kumba!"

"Aku tak tega, Ratna! Tak tega...!"

"Harus tega!" sentak Ratna Prawitasari. "Karena kau adalah lawanku dalam memperebutkan jubah keramat itu! Kita harus bertarung sampai mati bila perlu!"

"Kurasa tak perlu," kata Marta Kumba sambil mengangkat bahu sekejap. "Kurasa kita lebih baik bersatu daripada bermusuhan!"

"Karena kau menginginkan jubah itu dan aku pun menginginkannya, maka tak akan bisa kita bersatu!"

"Kalau begitu, kita cari jubah itu biar dipakai anak kita nanti?!"

"Hmm...!" Ratna Prawitasari mencibir. "Kau sangka aku mau menjadi istrimu?!"

"Kalau kau tidak mau, pasti kau sudah serang aku dengan jurus-jurus mautmu! Bukan dengan jurus main-main!" Marta Kumba tersenyum.

"Untuk apa menggunakan jurus maut melawan orang semacam kau! Kalau kau menyerangku, baru akan kugunakan jurus mautku! Seranglah aku sekarang juga, Marta Kumba!"

"Tak mau, ah!" jawab Marta Kumba sambil duduk di sebuah batu. Pemuda tampan itu sengaja melirik dalam tersenyum.

Ratna Prawitasari mendengus kesal, karena hatinya selalu berdebar-debar jika melihat lirikan mata dan senyuman bibir Marta Kumba, ia menjadi jengkel pada hatinya sendiri yang sering berbunga kagum dan terpesona menatap ketampanan Marta Kumba. Rasa jengkel dan kesalnya itu dilampiaskan dalam setiap serangan yang bertujuan menghajar Marta Kumba, agar tidak memancing asmara dalam hatinya lagi.

"Seranglah aku, Marta Kumbaaa...!" teriak Ratna Prawitasari dengan keras. Pedangnya masih siap melintang di atas kepala.

Marta Kumba hanya memandang dengan sorot mata yang menakjubkan hati Ratna Prawitasari.

"Jahanam kau!" geram Ratna Prawitasari. "Jangan tatap aku begitu!"

"Haruskah aku memejamkan mata melawanmu?"

"Tidak perlu! Tapi cara memandangmu aku tak suka!"

"Kenapa?"

"Kau menghadirkan asmara dalam hatiku dan aku tidak mau punya asmara bersamamu!"

"Kalau begitu, tinggalkan aku di sini! Pergilah sana!"

"Tidak bisa! Kau sainganku untuk mendapatkan jubah keramat dan kau harus kulenyapkan dulu! Hiaaat...!"

Wutt....! Trangng !

Pedang yang ditebaskan Ratna Prawitasari mengenai batu tempat duduk Marta Kumba, karena pemuda itu tiba-tiba melesat sebelum pedang sampai melukai tubuhnya. Tetapi tiba-tiba tubuh Marta Kumba tersentak dan terpental jauh hingga berguling-guling di pasir pantai. Seberkas cahaya hijau melesat dari bawah pohon kelapa di seberang sana, dan cahaya hijau itu mengenai punggung Marta Kumba. Keadaan itu membuat Ratna Prawitasari terperanjat kaget dan segera berlari menolong Marta Kumba yang tergeletak di pasir pantai. Wajah gadis itu tampak cemas.

"Marta...?! Kenapa kau?!"

Mulut Marta Kumba berdarah. Matanya terbeliak-beliak. Ratna Prawitasari menjadi tegang dan mulai panik. Ia segera membalikkan badan Marta Kumba, ternyata punggung itu hangus sebagian. Kain kuning pakaian Marta Kumba bagai habis terbakar. Buru-buru Ratna Prawitasari merapatkan telapak tangannya ke dada Marta Kumba. Telapak tangan itu bercahaya pijar putih terang. Beberapa saat kemudian, Marta Kumba tersentak batuk, dan keluarlah darah hitam yang kental. Tapi darah hitam itu justru membuat wajah Ratna Prawitasari menjadi kelihatan sedikit tenang, ia pun menghembuskan napas lega.

Seorang berpakaian merah dengan rambut panjang acak-acakan itu muncul dari bawah pohon kelapa. Orang itu tak lain adalah Gandarwo, yang melarikan diri dari serangan Nyai Cungkil Nyawa dan sampai di pantai tersebut. Gandarwo berkerut dahi kuat-kuat seraya melangkah mendekati Ratna Prawitasari.

"Gadis bodoh! Mengapa kau malah menolong lawanmu, hah?! Aku sudah memukulnya, dia akan mati dalam beberapa saat lagi! Tapi kau justru menolongnya membuang racun dalam tubuh pemuda itu?! Apa maumu sebenarnya, hah?!"

"Manusia lancang! Apa urusanmu ikut campur pertarunganku dengan dia?! Kau tak punya urusan dengan kami!"

"Grrr...! Dasar otak udang!" sentak Gandarwo dalam geramannya. "Kau kuselamatkan dari dia! Aku tak tega melihat gadis secantik kamu menjadi sasaran keganasan pemuda ingusan seperti dia! Kau tak pantas bertarung dengan anak ingusan itu!"

"Aku tidak ingusan!" kata Marta Kumba tiba-tiba. Badannya memang masih sedikit lemas, tapi rasa sakit dan panasnya telah hilang dari dalam dada. Ia bisa bangkit dan siap melawan Gandarwo.

"Lihat!" kata Gandarwo kepada Ratna Prawitasari. "Gara-gara kau salurkan hawa murni ke dalam tubuhnya, dia menjadi sehat dan tidak jadi mati, tahu?!"

"Sebaiknya kau saja yang menggantikan untuk mati, Manusia bengis!" kata Ratna Prawitasari dengan lantang.

"Ggrrr...! kumamah habis tubuhmu nanti, Perempuan Dungu!"

"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan.

"Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani.

"Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi.

"Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas.

"Lakukanlah,..!

Bedd...!

"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari. Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan.

Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku?!"

Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat lagi, dan kali ini Marta Kumba menyentakkan tangannya pula dan dari tangan itu keluar sinar merah yang menghantam sinar hijau.

Blarrr...! Wuuttt...!

Brruskk...! Tubuh Marta Kumba terpental lagi dan jatuh terguling-guling akibat gelombang ledakan yang amat besar dan kuat menyentak tubuhnya. Sedangkan Gandarwo hanya terbahak-bahak dan tetap berdiri di tempatnya dengan kokoh.

Wuttt... crasss...!

Pedang Ratna Prawitasari menebas dan melukai lengan Gandarwo. Lelaki besar itu tersentak kaget dan mendelik melihat lengannya berdarah. Wajahnya yang angker menjadi semakin menyeramkan. Kemudian ia menggeram dan mencabut kapaknya. "Gggrrrr...! Kau telah berani melukaiku, Gadis Dungu!"

"Karena kau melukai dia lagi!" kata Ratna Prawitasari sambil menuding Marta Kumba yang berdarah lagi mulutnya, tapi tidak separah tadi.

"Kalau begitu kalian berdua akan kulumatkan menjadi satu!"

"Lakukanlah!" sentak Ratna Prawitasari dengan tak sabar.

"Heaaah...!" Gandarwo segera menebaskan kapaknya ke samping kiri untuk memenggal kepala Ratna Prawitasari.

Tetapi Ratna Prawitasari segera membungkuk dan menebaskan pedangnya ke arah perut Gandarwo. Wuttt...! Wuttt...! Serangan mereka sama-sama meleset ke sasaran. Lalu, kaki Gandarwo menyentak maju menendang Ratna Prawitasari dengan tendangan miring. Ratna Prawitasari menangkisnya dengan tangan kiri.

Debb...! Wuttt!

Ratna Prawitasari terpental jauh. Tenaga tendang itu amat besar, bukan saja menyentakkan tubuh Ratna Prawitasari, namun juga membuat tulang lengan yang dipakai menangkis itu terasa mau patah. Dalam keadaan duduk, Marta Kumba melepaskan pukulan jarak jauhnya yang memancarkan seberkas sinar merah. Tapi sinar merah itu dihantam dengan sinar biru yang keluar dari ujung kapak Gandarwo.

Debb...! Blarrr...!

Zzrruttt...! Tubuh Marta Kumba terdorong cepat dalam keadaan tetap duduk, membuat pasir-pasir pantai berserakan dan akhirnya berhenti karena punggungnya membentur batu. Deggh...!

"Aaauh...!" Marta Kumba mengerang kesakitan. Tubuhnya menjadi satu dengan pasir pantai.

Melihat keadaan Marta Kumba diperlakukan demikian, kemarahan Ratna Prawitasari semakin bertambah. Dengan satu sentakan kaki, tubuhnya melenting di udara dan bersalto satu kali. Tubuh itu melayang melewati kepala Gandarwo, kemudian kaki Ratna Prawitasari menendang ke belakang dan tepat mengeni! bagian belakang kepala Gandarwo.

Duhgg...!

Gubruugg...! Tubuh besar itu tumbang, terguling ke depan karena tendangan yang amat kuat. Orang yang berambut acak-acakan itu segera mengibaskan kepalanya satu kali, membuang pening yang tiba-tiba menyerangnya itu. Ia berdiri dan mencari sasarannya. Namun, Ratna Prawitasari segera melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan sentakan pendek tangan kirinya.

Wuttt...! Zlaappp...!

Warna merah seperti bola api menyala dan berukuran satu genggaman tangan itu melesat menghantam dada Gandarwo.

Dasss...!

"Uhhgg...!" Gandarwo mendelik, mulutnya ternganga, ia bagai mengalami kesulitan bernapas. Tapi dada yang terkena pukulan merah itu menjadi berasap putih. Hangus sebagian dada itu.

"Hiaaat...!" Ratna Prawitasari memekik sambil melompat, lalu ia menyerang bersama kibasan pedangnya.

Trangng...! Kapak Gandarwo masih sempat berkelebat menangkis, tapi kaki Ratna Prawitasari dengan cepat menendang bawah ketiak lawan dengan sentakan bertenaga dalam cukup tinggi.

Duesss...!

"Haagh...!" Gandarwo semakin terpekik tertahan dalam keadaan tubuh besarnya melesat terpental ke belakang. Ia jatuh bergedebuk dan berguling-guling, kemudian di sana ia memuntahkan darah dari mulutnya. Pada waktu itu, Ratna Prawitasari sudah memekik lagi,

"Hiaaattt...!"

Melihat Ratna Prawitasari mau menyerang kembali, Gandarwo segera berdiri dan melompat pergi dengan cepat-cepat, ia melarikan diri dan Ratna Prawitasari yang penasaran dan marah karena melihat Marta Kumba diperlakukan seperti tadi, segera mengejarnya dengan seruan keras,

"Jangan lari kau, Manusia angker...! Kau telah melukai dia dan harus kau tebus dengan nyawamu, iblis...!!"

"Ratna, sudahlah!" seru Marta Kumba yang segera bergegas ikut berlari juga walau tak bisa cepat karena pinggang dan punggungnya masih terasa sakit. Tapi seruan itu tidak dihiraukan Ratna Prawitasari, dan gadis itu tetap memburu lawannya dengan pedang siap di tangan.

Gandarwo menjadi ketakutan melihat gadis muda itu mengamuk tak kenal kata ampun. Maka, dengan sekuat tenaga Gandarwo pun menyelamatkan diri. Sebab ia tahu, gadis itu bernafsu sekali untuk membunuhnya, dan ternyata ia punya ilmu cukup tinggi juga. Kejap berikutnya, Gandarwo menemukan celah sempit di sebuah tebing karang bercadas putih. Dengan agak susah payah ia masuk ke dalam celah sempit yang menurut dugaannya sebuah gua kecil.

Slepp...! Gandarwo merapatkan tubuh ke balik celah sempit itu dengan kapak siap menghadang. Jika musuhnya mengetahui ia masuk ke situ dan musuhnya ikut masuk, maka ia siap menyambutnya dengan tebasan kapaknya yang sudah pasti akan mengenai sasaran tak kenal ampun lagi. Ratna Prawitasari tahu lawannya masuk di celah sempit itu. Tapi ia tak segera mengejarnya masuk. Marta Kumba menyusul dari belakang dan berkata,

"Sudahlah, biarkan ia lari!"

"Dia patut mendapat hajaran lebih banyak lagi supaya tidak berani berbuat seenaknya lagi kepadamu!"

"Lukaku tak seberapa parah, Ratna!"

"Tapi aku belum puas jika dia belum bertekuk lutut d! depanmu dan mengharapkan ampunan darimu!"

"Terserah kamulah...!" Marta Kumba pasrah. "Kulihat dia masuk ke dalam gua itu!"

"Kau akan dihadangnya di sana!"

"Ya, aku tahu! Sebaiknya kututup saja pintu gua yang sempit itu!"

Ratna Prawitasari segera sentakkan tangan kirinya lurus ke depan. Wuttt...! Dan sinar biru melesat ke atas, menggempur cadas bercampur karang yang ada di atas lubang gua itu.

Blarrr...!

Wurrrr...! Grubuk grubuk grubuk...!

Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.

Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!"

"Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!"

"Rupanya kau kena dia, Ratna?!"

"Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"

Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di sampingnya, dan Ratna Prawitasari memandangi dari arah samping.

"Sakitkah tubuhmu?"

"Tak seberapa sakit. Hanya tulang punggungku yang terasa mau patah akibat terbentur batu besar tadi."

"Coba lihat, membaliklah ke sana...!"

Marta Kumba membalikkan badan. Ratna Prawitasari memijat bagian tulang punggung yang ada di belakang leher. Rupanya tulang punggung itu dipegang ujungnya, dan dari jari tangan yang menekan ujung tulang punggung memancar tenaga inti hawa murni. Terasa oleh Marta Kumba gerakan halus yang meresap dingin sampai ke tulang ekornya di bagian dekat pantat. Beberapa saat kemudian, rasa sakit itu pun hilang dan tubuh Marta Kumba menjadi terasa segar, ia bergerak membungkuk maupun meliuk ke kanan-kiri, terasa enteng tanpa rasa sakit.

"Hebat! Rupanya kau anak tabib, Ratna?!"

"Mungkin," jawab Ratna Prawitasari dengan ketus bersikap acuh tak acuh. "Sekarang sudah enak?"

"Terasa lebih enak dari sebelumnya!"

"Kalau begitu, kita lanjutkan pertarungan kita!"

"Aku... aku... aku tak sanggup!"

Ratna Prawitasari berdiri. "Harus sanggup!" katanya tegas.

"Tidak, Ratna! Kalau kau mau pukul aku, pukullah! Kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah! Tapi jangan paksa aku melawanmu!"

"Kita bertarung demi memperebutkan jubah keramat itu!"

"Tidak! Aku tidak ingin memperebutkan lagi! Kalau kau mau memiliki jubah itu, aku akan bantu mencarikan tempat masuk ke dalam ruang bawah tanah itu!"

"Kenapa kau jadi tidak ingin memiliki jubah keramat itu?!"

"Lebih baik kau yang memilikinya daripada aku harus bertarung dan harus melukaimu!"

"Kenapa?!" bentak Ratna Prawitasari keras.

"Karena... karena aku tak tahu mengapa aku jadi begini. Aku... mungkin kata orang, aku sedang jatuh cinta. Tapi menurutku, mungkin cuma hiasan saja. Ah, tak tahulah! Jangan desak aku untuk menjawabnya! Sebaiknya kita kembali ke sana dan kubantu kau mendapatkan jubah keramat itu, daripada kita bertarung berdebat memperebutkan jubah yang belum jelas ada di mana pintu masuknya!"

Dengan suara rendah Ratna Prawitasari pun berkata, "Kau punya perasaan aneh padaku, Marta?"

"Ya. Aneh sekali."

Ratna Prawitasari memandang, sambil manggut-manggut kecil, dan berkata pelan, "Aku pun punya perasaan aneh padamu! Itu sebabnya aku marah melihat kau dilukai oleh Gandarwo!"

"Itu namanya perasaan kasih sayang, Ratna!"

"Mungkin!" jawab Ratna Prawitasari masih berkesan tegas tanpa senyum.

"Kita kembali ke petilasan itu! Lekas, jangan sampai orang lain mendahului kita menemukan jalan masuknya!"

Dan mereka pun bergegas pergi, namun kali ini Ratna Prawitasari membiarkan Marta Kumba menggandeng tangannya. Makin berdesir indah hati Ratna Prawitasari.

* * *

ENAM
LANGKAH Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling masih tampak santai, tidak terlalu lamban, namun juga tidak cepat. Suto bersemangat untuk datang ke Petilasan Teratai Dewa, karena ia tahu Rangka Cula akan datang ke sana. Ia tak perlu susah-susah mencari Rangka Cula, cukup dengan menghadangnya di sana saja. Percakapan Rangka Cula dengan Nyai Cungkil Nyawa membuat Suto berkesimpulan demikian. Dan ia harus mempersiapkan diri melawan Rangka Cula yang jago ilmu pedang, jago ilmu sihir, ilmu racun, dan ilmu toya itu.

Tapi satu hal yang dikhawatirkan Pendekar Mabuk adalah perihal pedang emas yang harus direbutnya dari Rangka Cula itu. Jika tokoh lain mengetahui bahwa pedang emas itu adalah pusaka Pedang Wukir Kencana milik Ki Padmanaba, yang mempunyai kedahsyatan serta kesaktian tinggi itu, maka sudah pasti banyak musuh yang harus dihadapi Suto untuk memperebutkan pedang tersebut.

"Menurut cucuku, Rangka Cula menyandang pedang emas di punggungnya," kata Ki Sonokeling. "Aku jadi curiga, jangan-jangan itu pedang emas pusakanya Ki Padmanaba!"

"Ki Sonokeling kenal dengan Ki Padmanaba?"

"Kenal. Semasa mudanya aku sering bertandang ketempat tinggalnya. Tapi sejak ia menikah, aku tak pernah lagi bertemu dia. Hanya saja, aku tahu bahwa dia mempunyai pedang pusaka yang sungguh ampuh. Orang bodoh pun bisa memainkan pedang dengan jurus-jurus mautnya jika memegang pedang itu!"

"Andai pedang itu benar milik pusaka Ki Padmanaba, apakah Ki Sonokeling ingin memilikinya juga?"

"Buatku, hidup ini sudah tidak membutuhkan pedang-pedangan," jawab Ki Sonokeling. "Orang setua aku, apalagi yang diharapkan? Tinggal menunggu ajal menjemput saja!"

"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?"

"Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu."

"Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?"

"O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!"

"Ooo...!" Suto manggut-manggut.

"Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya?!"

"Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!"

"Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut.

"Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan ternyata dia adalah Rangka Cula! Sangat berbahaya jika pedang itu jatuh di tangan orang sesat seperti Rangka Cula!"

"Jadi..."

Tiba-tiba Suto mendorong tubuh Ki Sonokeling hingga orang itu tersungkur jatuh ke samping, kata-katanya terputus. Dan sebuah benda melesat cepat, melintasi tubuh Ki Sonokeling.

Wuttt...! Jrubbb...!

Kalau Suto tak mendorong tubuh Ki Sonokeiing, maka benda itu akan menancap di dada Ki Sonokeling. Benda tersebut adalah sebatang anak panah yang datangnya dari arah samping depan.

Zingngng! Jrubb!

"Aaaah...!" tiba-tiba terdengar suara orang memekik. Lalu sesosok tubuh jatuh dari atas pohon. Wuttt ! Brukk!

Sebentar kemudian, ketika Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeiing berdiri, terdengar lagi suara orang memekik dari atas pohon belakang Suto.

"Aaahg!"

Brruk!

Ki Sonokeling memandangi dua orang yang jatuh secara bergantian, ia menggumam heran, "Kenapa orang itu?"

"Kita periksa salah satunya!"

Lalu, Suto Sinting dan Ki Sonokeling memeriksa orang pertama yang jelas telah melepaskan anak panahnya ke arah Ki Sonokeling. Melihat orang itu, Ki Sonokeling berkerut dahi, kemudian menggumam,

"Ini muridnya Mandraloka...?!"

"Siapa Mandraloka itu, Ki?"

"Salah satu orang yang bernafsu untuk memiliki jubah keramat itu hingga mengirimkan beberapa muridnya untuk membongkar makam. Tapi aku dan Nyai Cungkil Nyawa berhasil mengalahkan mereka. Walau begitu, Mandraloka masih penasaran, sekali tempo ia mengirimkan muridnya untuk mencari dan membongkar makam, tapi aku atau Nyai Cungkil Nyawa selalu berhasil membunuhnya. Sampai lama-lama agaknya murid-murid Mandraloka habis binasa di tanganku dan di tangan Nyai Cungkil Nyawa! Mungkin sekarang tibalah dendam Mandraloka dan menyuruh muridnya yang masih tersisa untuk membunuhku. Kurasa ia juga mengirimkan muridnya untuk membunuh Nyai Cungkil Nyawa!"

Pendekar Mabuk mendengarkan penjelasan itu sambil memandangi dahi orang yang mati itu. Dahi tersebut ditancap kuat oleh senjata rahasia logam putih tajam mempunyai bentuk bintang segi enam. Pendekar Mabuk mulai menaruh curiga. Waktu itu, Ki Sonokeling bertanya,

"Siapa yang membunuhnya? Kaukah, Suto?"

"Bukan!"

Suto dan KI Sonokeling memeriksa orang kedua yang juga jatuh dari pohon. Ternyata orang itu mati dalam keadaan lehernya tertancap senjata rahasia yang sama dengan yang ada di dahi mayat pertama. Suto semakin curiga.

"Aaaahg...!"

Kembali terdengar suara orang memekik di arah belakang Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling. Mereka berdua sama-sama berpaling wajah ke belakang dan melihat orang sedang berdiri, memegang panah yang siap dilepaskan, tapi tak jadi dilepaskan karena tahu-tahu ia tumbang dengan mata mendelik. Setelah diperiksa oleh Suto dan Ki Sonokeling, orang itu mati karena lehernya tertancap senjata bintang segi enam juga.

"Siapa yang melakukan ini semua?" gumam Ki Sonokeling.

Suto hanya tersenyum. Kemudian meneguk tuaknya dengan tenang. Ki Sonokeling semakin bingung melihat sikap Pendekar Mabuk yang tenang-tenang saja itu. Dan setelah beberapa saat Suto selesai menenggak tuak, tiba-tiba matanya memandang sekeliling dan berseru,

"Kiranaaa...! Keluar kau!"

Maka sesosok tubuh berpakaian kuning gading muncul dari balik semak belukar. Melompatlah gadis berambut pendek berponi di dahinya, berwajah cantik dengan hidungnya yang mancung dan matanya yang bundar bening berbulu lentik itu. Wuttt...! Ia bersalto di tanah dua kali, lalu mendaratkan kakinya di depan Pendekar Mabuk dan Ki Sonokeling.

Kirana, gadis yang mendampingi Pendekar Mabuk saat mencari pedang emas itu, tersenyum tipis dengan pandangan mata yang masih memancarkan keberanian dan ketegasan. Pendekar Mabuk hanya geleng-geleng kepala sebentar sambil memperhatikan Kirana, kemudian berkata kepada Ki Sonokeling yang ada di sampingnya,

"Dialah yang membunuh Logayo, ketua Perguruan Kobra Hitam, yang menjadi atasannya Rangka Cula!"

"Dia...?! Oh, hebat sekali dia kalau begitu?!" Ki Sonokeling manggut-manggut.

Suto segera berkata kepada Kirana, "Kenapa kau menyusul juga akhirnya?"

"Karena aku mencemaskan dirimu, Suto! Takut ada bahaya mengancam dan kau hanya sendirian!"

"Sudah kubilang, kau tak perlu ikut! Aku bisa jaga diri sendiri, Kirana!"

"Termasuk bisa membunuh pemanah gelapmu tadi?"

Suto melemaskan tangannya, mendesah kesal. "Itu hanya satu orang dan belum sempat melukaiku!"

"Satu orang yang kau ketahui mau memanahmu, tapi yang belum kau ketahui, berapa orang?! Apakah kau pikir saat kau membawa lari nenek tua itu, kau tidak dibuntuti orang?"

"Maksudmu?!" Suto Sinting terperanjat dan berkerut dahi.

"Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!"

"Lima orang?!"

"Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya. "Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Suto!"

"Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Suto.

"Semalam!" jawab Kirana.

Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?"

"Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Suto, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.

Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Suto!"

"Suto," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"

Suto angkat bahu, "Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"

Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap kearah punggung Kirana. Wuttt...! Suto segera menarik tangan Kirana, memeluknya dan tangannya berkelebat menangkap benda itu di belakang Kirana. Tabb...!

Sebilah pisau terselip di dua jari Pendekar Mabuk. Pisau itu ditunjukkan kepada Kirana sambil berkata, "Kuharap kau tidak merepotkan aku, seperti saat ini!"

Kirana tersenyum tipis. "Baru satu kali kau menyelamatkan nyawaku, Suto! Jangan banyak mengaturkulah...!"

"Apa katamu, hah?!" sentak Suto sambil mendorong tubuh Kirana ke samping. Tubuh itu membentur Ki Sonokeling, dan tubuh mereka rubuh saling tindih. Sementara itu, bumbung tuak Pendekar Mabuk berkelebat ke tempat Kirana tadi berdiri. Sinar merah yang melesat cepat dari balik pohon itu membentur bumbung tuak Pendekar Mabuk, dubb...! Sinar tersebut membalik arah dengan lebih cepat dan lebih besar bentuknya. Kemudian sinar merah itu menghantam pohon besar di seberang sana.

Duarrr...! Wwrrr....!

Brrrukk...! Grussakkk...!

Pohon itu tumbang setelah terjadi ledakan akibat benturan sinar merah yang berbalik arah itu. Dari balik pohon besar tersebut melesat sesosok tubuh berambut putih dengan diikat kain merah.

Pendekar Mabuk berkata kepada Kirana, "Dua...!" sambil memperlihatkan dua jarinya. Maksudnya Suto mengingatkan Kirana, bahwa ia telah menyelamatkan nyawa Kirana dua kali. Kalau tadi tidak didorong Pendekar Mabuk, maka sinar merah itu jelas akan menghancurkan tubuh Kirana.

Ki Sonokeling segera bangkit dan memandang orang yang baru saja muncul dari balik pohon. Orang itulah yang tadi melemparkan pisau dan melepaskan pukulan jarak jauh dalam bentuk sinar merah. Ki Sonokeling segera menggumam, "Mandraloka...?!"

Suto pun cepat paham, rupanya orang berpakaian abu-abu dan menyandang pedang di pinggangnya itulah yang bernama Mandraloka. Sudah cukup tua, berusia sekitar enam puluh tahunan, tapi masih kelihatan gagah dan sigap. Badannya tak terlalu gemuk, namun berkesan masih kekar. Matanya tajam memandang dengan alisnya yang telah berwarna putih campur hitam sedikit.

"Mandraloka!" seru Ki Sonokeling, "Apa maksudmu menyerang kami dengan mengorbankan murid-muridmu, hah?!"

"Maksud apa lagi kalau bukan maksud membunuhmu terutama, Ki Sonokeling, kedua membunuh gadis itu! Karena sisa muridku dihabisi oleh gadis itu saat membuntuti pemuda berbaju coklat itu, sejak dia membawa kabur Nyai Cungkil Nyawa sampai berjalan malam bersamamu! Gadis itu agaknya gadis yang bodoh, karena melibatkan diri dalam urusan kita, Sonokeling!"

Kirana menyahut dengan lantang, "Muridmu membahayakan keselamatan orang jelek ini!" sambil menuding Suto, "Jadi aku terpaksa bertindak membunuhnya. Kurasa lebih baik muridmu yang mati dari pada orang jelek ini!" Kembali ia menuding Pendekar Mabuk, tapi tangannya segera ditampel oleh Pendekar Mabuk yang sedikit cemberut.

Mandraloka berkata dengan suaranya yang berat, "Kurasa kalian telah bersekongkol, dan terpaksa aku harus memusnahkan kalian bertiga!"

Suto Sinting segera maju dua tindak dan bertanya, "Apakah aku juga ingin kau musnahkan?"

"Ya!"

"Kalau begitu, kau melawan aku saja, tak perlu dengan kedua orang ini!"

Mandraloka tersenyum sinis "Aku ingin kalian bertiga maju bersama! Jangan kau sendiri, Anak ingusan! Kalau kau sendirian yang maju, nanti memboroskan ilmuku saja!"

"Biar aku saja, Suto!" kata Kirana sambil maju ke depan Suto. Dengan cepat lengannya ditarik Suto dan disingkirkan ke belakang.

"Aku sanggup melawannya!" bentak Kirana pada Suto.

"Kau memang sanggup, tapi dia tidak sanggup!" Suto ganti membentak, sengaja mengecilkan kemampuan Mandraloka, supaya nafsu amarah Mandraloka semakin terpancing dan akan membahayakan dirinya sendiri.

Ternyata pancingan Pendekar Mabuk mengenai sasaran. Mandraloka menggeram, wajahnya makin merah pertanda marahnya mulai memuncak, ia segera bergerak maju dua tindak. Namun tiba-tiba kembali tersentak mundur terhuyung-huyung. Rupanya Ki Sonokeling telah melepaskan kekuatan tenaga dalamnya dari jarak jauh dengan menggerakkan tangannya dengan pelan seperti orang menari. Tangan itu melambai ke sana kemari dengan gerakan kaki melangkah dan terangkat pelan-pelan. Setiap gerakan Ki Sonokeling menghadirkan kekuatan tenaga dalam yang terpancar lebih cepat dari gerakannya sendiri.

Mandraloka dibuat terhempas ke sana kemari dan sukar membalas serangan ke arah Ki Sonokeling. Melihat jurus Ki Sonokeling seperti orang menari dengan gemulai itu, Suto Sinting dan Kirana segera mundur beberapa tindak, membiarkan Ki Sonokeling melawan Mandraloka sendirian. Suto dan Kirana sama-sama memandang dengan mulut bengong, karena baru sekarang mereka melihat orang bertarung mengadu nyawa dengan gerakan selemah itu.

Tubuh Mandraloka mental ke samping kiri dan berguling-guling. Ki Sonokeling membalikkan badan, menghadap ke arah Mandraloka, kakinya terangkat maju dengan gerakan pelan tangannya naik ke atas, yang satu lurus ke depan. Dan Mandraloka terjengkang lagi ke belakang bagai terkena pukulan yang begitu besarnya.

"Apa dia dulunya seorang penari?" bisik Kirana.

"Entahlah!" balas Suto membisik.

"Jurusnya aneh sekali! Aku jadi ingin mempelajarinya!"

"Mana bisa? Dia lebih lemas, lebih gemulai dalam bergerak daripada gerakanmu yang mirip gerakan raksasa murka," bisik Suto dan segera dipukul lengannya oleh Kirana, tapi ia tak mempedulikan. Mata Suto masih memandang ke arah Ki Sonokeling yang benar-benar seperti penari istana. Kelenturan tubuhnya melebihi lenturnya tubuh perempuan.

Dalam satu kesempatan, Mandraloka berhasil melepaskan pukulan jarak jauh yang memancarkan sinar warna kuning. Tetapi ketika sinar itu mendekati Ki Sonokeling, tubuh Ki Sonokeling bergerak miring meliuk dengan tangan mengibas pendek, lalu tubuh berputar cepat. Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur.

"Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.

Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari kedepan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.

Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret. Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah. Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning melesat dengan cepat dan menghantam batu di samping Mandraloka.

Duarrr! Batu pecah. Bongkahannya menghantam kepala Mandraloka. Plok!

"Aaaauh!" Kepala Mandraloka dihantam keras oleh batu itu, tapi tak sampai bocor. Memar, sudah jelas. Dan ketika ia ingin melepaskan serangannya lagi, tiba-tiba Ki Sonokeling melompat dengan sentakan pelan. Di udara ia berjungkir balik dua kali, dan begitu mendarat ke bumi, sudah menjadi seekor harimau loreng. "Grrrrr!"

"Hahh...?!" Kirana terpekik kaget dan ketakutan, ia segera membalikkan tubuh mau lari, tapi terhadang tubuh Suto, akhirnya ia melompat dalam gendongan Pendekar Mabuk seperti seekor monyet melompat ke dalam gendongan induknya.

Clubb...!

"Hai, apa-apaan ini?!" Pendekar Mabuk sempat kaget menerima tubuh Kirana yang tahu-tahu menemplok di depannya.

"Aku paling takut sama harimau!" ratap Kirana tampak ketakutan sekali.

"Turun!" Plak...! Pendekar Mabuk menepuk pantat Kirana, tapi Kirana masih belum mau turun dan ia gemetaran, wajahnya menjadi pucat ketakutan.

Sementara itu, Mandraloka segera melesat melarikan diri setelah melihat Ki Sonokeling berubah menjadi seekor harimau loreng. Harimau itu mengejarnya sebentar, kemudian segera kembali menemui Pendekar Mabuk setelah Mandraloka menghilang dan tak terkejar.

"Turunlah, Kirana! Harimaunya sudah tak ada!"

Kirana menoleh ke belakang. Harimau memang sudah tak ada. Ia pun turun sambil berkata, "Lain kali aku tak mau ikut kamu kalau harus menemui harimau! Aku paling takut sama harimau, tahu?! Dan..." Kirana berhenti bicara. Matanya terbelalak, karena Harimau itu ternyata ada di belakang Suto sedang mendekam duduk.

"Uaaa...!" Kirana berlari secepat-cepatnya hingga tak sadar tubuhnya menabrak pohon. Bruss...!

Pendekar Mabuk hanya menertawakan hal itu hingga terpingkal-pingkal.

* * *

TUJUH
AGAKNYA Marta Kumba memang sudah membulatkan hatinya untuk tidak memiliki jubah keramat itu. Ia sudah berjanji kepada Ratna Prawitasari untuk tidak berbuat curang, ia berkata, "Milikilah jubah keramat itu nanti, tapi biarkan aku memiliki dirimu, Ratna."

Gadis cantik yang pemberani itu menjawab, "Rasa-rasanya sulit melarang keinginanmu yang satu ini!"

Tak sadar gadis itu bahwa sebenarnya kemenangan berada di tangan Marta Kumba. Kalau memang nantinya jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari, dan Ratna Prawitasari menjadi milik Marta Kumba, berarti Marta Kumba yang menang. Karena dengan memiliki Ratna Prawitasari berarti ia juga memiliki jubah keramat itu.

Yang menjadi masalah sekarang adalah, apakah benar jubah keramat itu bisa menjadi milik Ratna Prawitasari? Apakah benar mereka bisa berhasil mendapatkan benda pusaka yang punya keampuhan aneh itu? Bukankah untuk menemukan pintu ke ruang bawah tanah petilasan itu, adalah hal yang paling sulit? Bukankah jika mereka ingin membongkar petilasan itu, mereka harus menghadapi Nyai Cungkil Nyawa? Apakah ilmu mereka sudah cukup menandingi ilmunya Nyai Cungkil Nyawa? Belum lagi jika Ki Sonokeling ikut memihak Nyai Cungkil Nyawa, apakah mereka mampu mengimbangi jurus tarian milik Ki Sonokeling?

Bisa ataupun tidak, toh nyatanya mereka berdua sudah tiba kembali ke petilasan tersebut. Tetapi mereka terkejut manakala seorang nenek rada bungkuk menghadang di lantai depan petilasan itu.

"Hei, menyingkirlah sana! Kalau kalian mau pacaran, cari tempat yang lain! Ini bukan tempat mesum!" kata Nyai Cungkil Nyawa sambil menggerak-gerakkan tongkatnya.

"Kami ke sini bukan untuk bermesum ria, Nek!" kata Marta Kumba sambil menahan tangan Ratna Prawitasari yang ingin maju menyerang nenek itu.

Kemudian, nenek itu bertanya ketus, "Jadi mau apa?!"

"Mau apa saja itu bukan urusanmu!" sahut Ratna Prawitasari dengan garang.

Nyai Cungkil Nyawa memandang dengan rasa tak suka, dan ia berkata kepada Marta Kumba, "Gadismu ini mulutnya seperti cabe rawit! Kecil-kecil sudah pandai membuat telinga pedas!"

Marta Kumba menyahut, "Makanya kalau makan cabe rawit jangan salah masuk ke telinga, Nek! Ke mulut!"

"Wah, bodoh juga kau rupanya!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil bergerak dengan kesan mau meninggalkan mereka, tak mau melayaninya. Tapi ia meninggalkan kata, "Kalau kalian nekat mau pacaran di sini, kalian berdua akan mati!"

Ratna Prawitasari menyahut dengan galak, "Kau mengancam kami?!"

Nenek itu berbalik memandang mereka lagi, "Ya...!" setelah itu berjalan memunggungi mereka berdua.

Ratna Prawitasari menjadi jengkel dan marah. Dengan cepat ia melompat dan melancarkan tendangan kakinya ke punggung yang bongkok itu. Tetapi dengan cepat tubuhnya itu tiba-tiba mental membalik ke belakang dan menabrak Marta Kumba.

Brrusss...!

"Auh...!" Marta Kumba terpekik karena dagunya tersodok kepala Ratna Prawitasari.

"Kurang ajar! Dia membalikkan serangankul" geram Ratna Prawitasari. Ketika ia mau maju menyerang lagi, Nyai Cungkil Nyawa membalikkan badan. Langkah Ratna Prawitasari tertahan.

"Sepertinya aku pernah mengenali jurus membokong orang dari belakang! Hmmm... siapa? Siapa kamu, Cah Ayu?"

"Ratna! Ratna Prawitasari!" sebut Ratna Prawitasari dengan tegas.

"Hmmm...." Nenek itu berkerut dahi memikirkan sesuatu sebentar, setelah itu baru berkata, "O, tidak, tidak...! Aku tidak kenal kamu. Aku lupa, bahwa semua orang yang suka menyerangku dari belakang sudah kubunuh semua!"

"Bicaranya pelan tapi memerahkan telinga orang ini!" bisiknya kepada Marta Kumba.

Pemuda berkumis tipis itu hanya tersenyum dan berkata kepada nenek bergusik itu, "Kau siapa, Nek? Mengapa ada di sini? Kau juga menghendaki jubah keramat itu?!"

Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!"

"Makam...?! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?"

"Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan disini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!"

"Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari. "Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!"

"Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba.

"Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...?!"

"Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari.

"Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun disini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.

Terdengar suara dengus dari hidung Ratna Prawitasari menandakan kekesalan hatinya. Kemudian, Ratna Prawitasari memberikan isyarat dengan mata kepada Marta Kumba agar menyerang nenek itu secara bersamaan. Marta Kumba mengangguk, maka melompatlah mereka dari arah kanan belakang dan kiri belakang.

Wuttt...wuuttt...!

Tiba-tiba kaki Nyai Cungkil Nyawa menjejak tanah didepannya, dan tubuhnya melayang mundur bersamaan majunya kedua tubuh anak muda itu. Dengan meluncur mundur, nenek itu melintas di pertengahan Marta Kumba dan Ratna Prawitasari.

Wusss...!

Lalu tongkatnya segera menyodok ke kanan-kiri dengan pegangan pada bagian tengah tongkat. Dug dug...!

"Uuhg...!" Marta Kumba terpekik dengan suara tertahan, ia langsung membungkuk, merasakan sakit pada pinggang kirinya yang terkena sodokan tongkat, dan Ratna Prawitasari pun membungkuk merasakan sakit pada pinggang kanannya.

"Kurang ajar orang pikun itu!" geram Ratna Prawitasari sambil menahan rasa sakit, karena pinggang kanannya terasa bagai disodok dengan tongkat besi yang cukup keras dan kuat sodokannya.

"Sudah kubilang, jangan nekat kalau mau selamat!" kata Nyai Cungkil Nyawa dengan tenang.

"Habisi saja dia!" ujar Ratna Prawitasari kepada Marta Kumba.

"Baik!" jawab Marta Kumba. Kemudian ia lebih dulu mencabut pedangnya dan Ratna Prawitasari pun segera mencabut pedang. Serta-merta mereka melompat dengan gerakan pedang menebas dan menyabet.

Wess wesss...!

Nenek itu mundur setindak, lalu dengan cepat tongkatnya bergerak menghantam pergelangan tangan kedua anak muda itu.

Tak tak...!

Trang...! Pedang Marta Kumba jatuh dan ia mengerang kesakitan. Tulang pergelangan tangannya menjadi bengkak dan membiru. Demikian pula halnya dengan Ratna Prawitasari yang cepat merunduk, memegangi pergelangan tangannya dengan merintih tertahan, tapi pedangnya masih mampu digenggam walau tak sekuat tadi.

Pukulan itu ternyata punya pengaruh lain. Sekujur tubuh mereka menjadi dingin sekali. Semakin lama semakin dingin bagian dalam tubuh mereka. Tak sadar mereka pun menggigil dengan persendian terasa menjadi kaku semua. Untuk bergerak pun sulit rasanya. Mereka akhirnya sama-sama mendekam jongkok dengan tubuh berguncang kedinginan.

Pada saat itu, Nyai Cungkil Nyawa segera berkata, "Sekarang, saatnya membunuh kalian berdua yang nekat minta dicabut nyawanya!"

Nyai Cungkil Nyawa menakut-nakuti dengan mengangkat kedua tangan, seakan benar-benar ingin menghantam mereka dengan pukulan yang mematikan. Tetapi tiba-tiba, tubuh Nyai Cungkil Nyawa tersentak ke depan dan terguling-guling jauh dari Marta Kumba dan Ratna Prawitasari. Bahkan tubuhnya yang kurus itu membentur bekas dinding yang tinggal separo bagian.

Brusskk...!

"Monyet edan...!" makinya sambil mengerang dan berusaha untuk berdiri lagi. Ia memandang ke arah datangnya serangan, ternyata di sana sudah berdiri seorang lelaki berpakaian abu-abu, rambut panjang warna putih diikat kain warna merah. Dialah Mandraloka yang sudah bertampang lumayan bonyok akibat dilemparkan kesana-sini oleh Ki Sonokeling tadi.

"Oh, ternyata sekarang kau sendiri yang datang untuk mengurus jenazah kedua muridmu ini, Mandraloka?!"

"Kedua anak ini bukan muridku!" ucap Mandraloka dengan geram.

"Lantas mengapa kau menyerangku?"

"Bukan menyerangmu, tapi membunuhmu! Tapi rupanya kau punya pelapis tenaga dalam cukup tinggi sehingga pukulanku tadi hanya membuatmu terpental! Bersyukurlah bahwa kau masih bisa bicara padaku! Tapi sebentar lagi kau akan mati, Nyai Cungkil Nyawa!"

"Mengapa kau membunuhku?"

"Baru mau membunuhmu!"

"Iya. Tapi mengapa kau punya rencana begitu?"

"Karena kau telah menghabisi murid-muridku!"

"O, karena itu? Bukankah jauh-jauh hari sudah kubilang padamu agar jangan mengirimkan muridmu ke sini, nanti muridmu bisa mati dan kau akan kehabisan murid! Aku sudah mengingatkan padamu begitu, tapi kau masih nekat mengirimkan muridmu untuk mencuri jubah keramat itu! Maka tak salah tindakanku jika muridmu kubunuh, sebab dengan mengirimkan muridmu ke sini, berarti kau menunjukkan pada muridmu jalan tercepat menuju neraka!"

"Iblis betina kau...!" geram Mandraloka.

Sementara itu, Ratna Prawitasari berhasil berdekatan dengan Marta Kumba dan ia mulai berbisik, "Nenek itu bukan lawan kita! Aku bisa merasakan tingginya ilmu yang ada pada dirinya!"

"Tulangku lemas semua, seperti keropos seluruhnya!"

"Bertahanlah dan kita cepat tinggalkan tempat ini untuk sementara waktu! Biarkan dulu nenek itu melawan kakek itu. Siapa tahu keduanya sama-sama mati! Kita bisa bebas mengacak-acak tempat ini! Ayo, kita lari, Marta...! Mari kubantu...!"

Nyai Cungkil Nyawa sebenarnya mengetahui kedua remaja itu melarikan diri secara diam-diam, tapi ia memang membiarkannya, ia lebih penting berhadapan dengan Mandraloka, seorang guru yang dianggap banyak menyesatkan muridnya itu.

"Sekarang apa maumu kemari? Mau menuntut balas kematian murid-muridmu atau mau mencuri jubah keramat itu?!"

"Keduanya!" jawab Mandraloka.

"Sekali lagi kau tampakkan diri sebagai guru yang serakah, Mandraloka!"

"Persetan dengan apa katamu, Nenek gerumpung! Hiaaah...!" Mandraloka melompat dengan cepat dan bersalto di udara satu kali.

Nyai Cungkil Nyawa pun sentakkan kaki dan tubuhnya melenting di udara tanpa membawa serta tongkatnya. Kedua tangannya segera dihantamkan ke depan saat Mandraloka mendekat, dan kedua tangan itu kini beradu dengan kedua telapak tangan Mandraloka.

Plak, plakk! Duarrr...! Glarrr...!

Dentuman yang dahsyat terdengar menggema ke mana-mana, membuat reruntuhan pesanggrahan itu berguncang. Sebagian batunya yang kecil-kecil berjatuhan dan bergerak-gerak seperti mengalami gempa. Daun-daun di sekitar petilasan itu pun berguncang, sebagian ada yang rontok, terutama yang sudah kering dan layu.

Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikitpun.

Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring. Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih.

Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh. Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang.

Pada waktu itu, nenek bergusik melompat dari ketinggian tempatnya dan mendarat dengan sigap, ia segera mengambil tongkatnya lagi, lalu melangkah mendekati Mandraloka. Cepat-cepat Mandraloka mengambil sikap kuda-kuda dengan tangan siap menyerang. Tapi Nyai Cungkil Nyawa menertawakan, dan berkata,

"Mau apa lagi kamu, hah?! Mau apa lagi...?! Mau hangus sekujur tubuhmu? Iya?! Mau mati seketika? Atau mau mati dengan tersiksa? Pilih salah satu!"

Mandraloka seperti mengambil sesuatu dari keningnya, lalu dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa. Wuttt...! Rupanya sinar biru bundar seperti bola bekel yang diambil dari tengah dahinya itu. Sinar biru tersebut merupakan inti tenaga dalam yang berpusat pada otaknya. Nenek bergusik itu sempat terkesiap, ia tahu itu ilmu berbahaya. Maka ia tak berani menangkisnya, ia hanya melompat dan berguling-guling cepat di tanah tak berbatu itu. Sedangkan sinar bulat biru melesat lolos dari dirinya dan menghantam sisa dinding reruntuhan.

Zrrrappp...!

Dinding itu hilang lenyap tanpa bekas. Beberapa sisa pilar yang terkena percikannya juga hilang lenyap. Bahkan sebuah pohon yang terkena percikan sinar yang memecah biru itu juga lenyap tak berbekas. Bekas akarnya pun tak ada. Sepertinya pohon itu belum pernah tumbuh di tanah tempatnya tadi berada. Alangkah berbahayanya jika sinar biru tadi mengenai tubuh Nyai Cungkil Nyawa. Dan kejadian itu membuat kedua tokoh tua itu tertegun bengong.

Nyai Cungkil Nyawa bengong karena melihat kedahsyatan serangan lawannya tadi, Mandraloka bengong karena menyesali kegagalan serangan mautnya, ia tak menyangka serangan secepat itu bisa dihindari oleh Nyai Cungkil Nyawa. Lebih menyesal lagi setelah tiba-tiba ia merasakan tulang rusuknya menjadi sangat panas karena mendapat sodokan dari tongkat Nyai Cungkil Nyawa yang datangnya tak diduga-duga.

Duggg...!

Mandraloka tersentak dan terpelanting seketika, ia sadar akan bahaya yang bisa menggempur kepalanya dalam keadaan ia mulai lemah begitu. Maka tanpa pamit lagi, Mandraloka cepat angkat kaki dan pergi melarikan diri. Padahal Nyai Cungkil Nyawa kala itu sudah siap melepaskan pukulan pamungkasnya yang jarang bisa dihindari lawan.

"Monyet kusut betul si Mandraloka itu! Dia buat berantakan tempat ini, dia lenyapkan beberapa petilasan yang ada! Tapi, biarlah... yang penting dia tidak temukan pintu menuju makam!" gerutu Nyai Cungkil Nyawa sambil bersungut-sungut dan mendekati bekas dinding yang lenyap itu.

Baru tujuh tindak ia melangkah, tiba-tiba tubuhnya berbalik dan tangannya melesat berkelebat. Wuttt...! Sinar merah dilepaskan dari telapak tangannya, seperti ia membuang sesuatu dalam keadaan tangan tetap sejajar dengan dadanya.

Crass...! Sinar merah itu mengenai kaki orang, dan orang itu memekik tertahan kuat.

"Uuhg...!" Orang itu jatuh ke tanah dalam keadaan duduk. Padahal ia tadi sudah berusaha melompat dan menghindari sinar merah, tapi rupanya ia sedikit terlambat, sehingga betisnya terkena sinar merah itu. Betis tersebut menjadi bengkak membiru dan ada satu titik pori-pori yang menggelembung kecil, lalu pecah.

"Aaauuhh...!" orang itu merintih kesakitan dengan menggeliat memegangi kaki kirinya. Orang itu berkepala gundul, tak mengenakan baju, celananya biru, ikat pinggangnya merah. Orang itu berbadan besar, gemuk, matanya besar, hidungnya bulat, parutnya gendut, kulitnya hitam. Di pinggangnya tersalip benda kecil bundar, namanya yoyo. Itulah senjata orang gemuk bulat itu.

Nyai Cungkil Nyawa memandangnya penuh curiga, ia merasa asing dengan wajah orang itu. Karenanya, ia segera bertanya, "Siapa kamu?"

"Ya. Aku memang tamu! Tapi tamu tak sengaja!" jawab orang gundul itu dengan menyeringai kesakitan.

Jawabannya itu membuet nenek bergusik berkerut dahi dan merasa heran, ia mengulang pertanyaannya, "Siapa kamu?!"

"Siapkan jamu! Oh, untuk apa aku menyiapkan jamu? Aku bukan tukang jamu gendongan!"

"Budek! Kubilang, siapa kamu?!" teriak nenek bergusik.

"O, kau tanya padaku, siapa aku?!" Orang itu mengejang sebentar, melirik lukanya di betis. Ternyata yang semula hanya setitik menjadi lebar dan tampak membusuk. Namun ia segera memperkenalkan diri. "Aku... Hantu Laut!"

"Jangan menakut-nakuti aku! Aku tidak takut sama hantu!"

Orang gundul itu berteriak, "Hantu Laut itu namaku! Bukan aku menakut-nakuti kamu sama hantu!"

"Ooo...!" Nenek itu merendahkan suara dan manggut-manggut. Kemudian nenek bergusik mengajukan pertanyaan lagi, "Mau apa kau kemari?!"

"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari?!"

Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari?!"

"Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pusaka Tombak Maut).

"Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Suto Sinting! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa..."

"Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Suto Sinting?"

"Aku anak buahnya Suto Sinting! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai dipugar di Pulau Serindu, dan Suto harus menghadiri peresmian itu dan..."

"Aku kenal dengan Suto! Tapi ke mana aku harus menunjukkan tempat dia kepadamu? Aku sendiri tak tahu apakah dia masih di gubuk itu atau sudah pergi dengan Ki Sonokeling! Tapi aku kenal baik sama dia! Aku adalah kawannya!"

"Kawan ya kawan, tapi bagaimana dengan lukaku ini? Semakin lama semakin besar boroknya!"

"Itu yang sedang kupikirkan, sebab aku tak bisa menyembuhkan racun yang sudah kulepaskan melalui pukulanku tadi! Mungkin kau harus menunggu Pendekar Mabuk sampai tiba di sini."

"Apa dia mau kemari?"

"Itu yang tidak kutahu. Apakah dia ke sini atau ke sana...?!" Nyai Cungkil Nyawa menjadi bingung bercampur rasa sesal.

* * *

DELAPAN
GANDARWO merasa terjebak oleh umpannya sendiri, ia tak bisa keluar dari dalam gua yang hanya mirip cadas berongga itu. Kalau ia gunakan tenaga dalamnya untuk menggempur batu penutup, maka pantulannya pasti akan mengenai dirinya juga. Di situ ruang sangat sempit, hanya muat untuk dua orang.

Dalam keadaan gelap itu, Gandarwo mempunyai sisi keuntungan, ia mempunyai kapak yang ujungnya menyala merah membara. Tapi di dalam gelap itu, ujung kapaknya menjadi terang bagai lentera. Dan karena mendapat penerangan dari ujung kapaknya itu, Gandarwo dapat melihat relief gambar bunga pada dinding gua sempit itu. Gandarwo memperhatikan sambil bicara sendiri,

"Siapa yang memahat gambar bunga di gua ini? Orang tersesat, atau orang yang menumpang berteduh karena hujan? Tapi... rasa-rasanya ini gambar bunga teratai?" tangan Gandarwo meraba-raba pahatan gambar bunga teratai itu.

Tanpa disadari, tangannya menekan sesuatu yang ada di tengah gambar teratai. Sesuatu itu seperti sebuah batu cincin berukuran besar berwarna ungu atau biru tak jelas, karena cahaya yang timbul dari ujung tongkat kapak itu adalah cahaya merah, jadi warna batu cincin itu samar-samar kelihatannya. Dan kalau tidak ada penerangan, gambar dan warna batu cincin itu tidak akan kelihatan.

Ketika tangannya menekan batu cincin tersebut, tiba-tiba dinding gua bergeser ke arah kiri. Gandarwo kaget. Ternyata dinding gua bergambar teratai itu adalah sebuah pintu. Di balik dinding tersebut terdapat ruangan panjang yang layaknya disebut lorong. Beratap tinggi dan lebar.

"Lorong...?!" mata Gandarwo mulai berbinar-binar. "Jangan-jangan inilah jalan masuk menuju ruang bawah tanah di patilasen itu? Lorong ini mempunyai lantai yang kelihatannya sengaja dirapikan oleh orang untuk jalan keluar-masuk! Coba aku menyusuri lorong ini, sampai di mana ujungnya?"

Ruangan itu lembab, tapi melalui penerangan cahaya kapak, Gandarwo melihat ruangan itu bersih, seperti ada yang merawatnya. Dinding kanan-kiri pun kelihatan halus, rata. Tidak seperti dinding gua alami. Langkah Gandarwo semakin mantap dan cepat.

Ternyata lorong itu cukup panjang dan sunyi. Hal yang membuat Gandarwo berdebar-debar antara cemas dan girang adalah bau wangi yang tercium olehnya di sepanjang lorong tersebut. Bau wangi itu seperti bau wangi bunga-bunga taman yang biasanya ada di keraton atau Istana. Ditambah lagi, semakin ke dalam lorong itu semakin lebar, dindingnya semakin licin dan halus.

Kapak digenggam, dibawa seperti membawa obor. Langkah dipercepat, mata membelalak ke kanan-kiri dan depan. Gandarwo mulai menemukan jalanan berlantai marmer. Warna marmer itu putih kehijau-hijauan. Semakin berdebar-debar hati Gandarwo, semakin dipercepat langkahnya. Walaupun lorong itu berliku-liku, namun membuat Gandarwo merasa tidak capek menyusurinya.

Semakin jauh semakin ditemukan relief dinding dengan gambar bunga teratai, yang kira-kira setiap sepuluh langkah terdapat satu gambar relief bunga teratai itu. Lebih jauh lagi, Gandarwo menemukan dinding mulai bermarmer hitam keputih-putihan. Lorong itu pun semakin membentuk ruangan yang lebar.

"Tak salah lagi, pasti ini jalan menuju ruang bawah tanah itu. Pasti gua kecil tadi adalah pintu yang sulit ditemukan orang!" Gandarwo kegirangan, langkahnya semakin tergesa-gesa. Ia merasakan jalanan menjadi menurun sedikit demi sedikit, dan bau wangi semakin tajam tercium olehnya.

Tiba-tiba terdengar suara, zrrrakk...! Gandarwo berguling ke depan dengan cepatnya. Delapan tombak membentuk pintu teralis turun dari atap lorong. Crakk...! Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga.

"Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan. "Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"

Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.

Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo buru-buru menutup hidung dan mulutnya serta menahan napas dan berlari menuruni tangga tersebut. Asap itu menurutnya pasti asap beracun. Terhirup sedikit sangat berbahaya.

Tangga berkelok-kelok membawa Gandarwo terus ke arah kedalaman. Seolah-olah akan mencapai dasar bumi. Sampai suatu saat, tibalah ia di ujung tangga, dan ia temukan ruangan besar penuh dengan perhiasan, senjata, pakaian, dan barang-barang mewah yang layaknya milik seorang raja.

Ruangan itu berbentuk lingkaran yang dindingnya mempunyai batu-batu putih memancarkan sinar fosfor. Batu-batu putih yang jumlahnya lebih dari tiga puluh biji itulah yang membuat ruangan itu menjadi terang-benderang, sehingga setiap barang bisa dilihat dengan tanpa menggunakan bantuan sinar merah di ujung kapaknya.

Di ruangan itulah, Gandarwo menemukan jenazah Prabu Indrabayu yang dilapisi kotak kaca. Jenazah itu masih utuh tanpa cacat sedikit pun. Gandarwo berdebar- debar melihat jenazah berpakaian seorang raja dalam keadaan dibaringkan di atas meja marmer berbentuk bundar, seperti penampang bunga teratai. Dan di dalam peti kaca itulah terdapat jubah berwarna hitam dari bahan sejenis beludru berbulu halus dan lembut kelihatannya. Jubah hitam itu bertepian hiasan bunga teratai kecil-kecil berwana putih. Tengahnya berwarna merah.

Gandarwo membatin sambil berdebar-debar gemetar, "Tak salah lagi, pasti itulah jubah keramat. Hmmm...! Tapi bagaimana cara mengambilnya? Kotak kaca ini kelihatannya tidak berpintu. Peti mati seperti ini, memang susah dicari pintunya. Kadang memang tidak diberi pintu supaya peti itu kosong udara dan mayat tidak lekas busuk. Kurasa begitulah keadaan peti mati berkaca itu. Selain tidak berudara, juga mayat tersebut dibalsam sebelumnya! Ah, persetan dengan jenazah itu, yang kubutuhkan jubah tersebut! Kuhancurkan saja petinya itu!"

Gandarwo mendekat, perutnya menyentuh tepian meja marmer. Kapaknya sudah diangkat mau dihantamkan ke kaca itu, tapi tiba-tiba lapisan kaca bagian atas bergerak sendiri turun membuka. Srrrt...!

Gandarwo terbelalak bengong. Setelah itu ia memandang ke kanan-kiri mencari tahu apa yang menjadi penyebab peti kaca itu bisa membuka sendiri. Rupanya perutnya tak sengaja telah menekan semacam tombol merah yang merupakan kunci pembuka tutup peti. Tombol itu hampir rata dengar tepian meja sehingga tak mudah diketahui orang. Dan lagi-lagi Gandarwo menyentuhnya dengan tidak sengaja.

Jubah segera diambil. Gandarwo pun mundur dari tepian meja, kaca penutup peti bergerak sendiri, kembali menutup seperti semula. Gandarwo tertawa terbahak-bahak kegirangan, ia telah menemukan apa yang dicari-cari sejak ia berusia dua puluh tiga tahun itu. Ternyata pencariannya dan ketekunannya itu tidak sia-sia. Itu sebabnya Gandarwo tertawa sambil jejingkrakan seperti anak kecil mendapatkan baju baru yang diidam-idamkan selama ini.

Jubah itu segera dipakainya. Walau tadinya Gandarwo sangsi, apakah jubah itu muat untuk tubuhnya yang besar, sedangkan jubah itu kecil, tapi ketika dipakai, jubah itu seperti mekar sendiri menyesuaikan bentuk ukuran tubuh orang yang memakainya. Ketika jubah itu dipakai, ada semacam sinar yang membungkus tubuh Gandarwo dalam sekejap. Clap...! Gandarwo menjadi bangga dan merasa dirinya gagah dengan mengenakan jubah itu.

Pada bagian leher jubah terdapat krah yang lebar dan kaku, membentuk seperti kelopak-kelopak bunga teratai. Krah itu berdiri kaku bagai melapisi sekeliling leher. Warnanya hitam bergaris-garis kuning emas. Jubah itu juga mempunyai tali pengikat bagian depan sampai dada, terbuat dari tali kuning emas. Jubah itu menyebarkan bau wangi yang menyegarkan pernapasan.

"Dengan mengenakan jubah ini, apa yang kubayangkan akan menjadi kenyataan! Jadi, aku tak perlu mengambil emas atau barang apa pun di sini! Kalau aku mau, dalam waktu singkat barang-barang di sini bisa pindah ke pondokku dalam sekejap dengan cara membayangkannya saja! Huah ha ha ha ha...! Eh, tapi... tapi tunggu dulu! Di sebelah sini ada satu peti mati lagi yang juga berkaca? Milik siapa? Kok kosong? Tidak ada penghuninya? Oh, masih tampak rapi dan bersih, sepertinya belum pernah dipakai. Oh, ya... tahu aku! Pasti ini peti mati untuk Istri Prabu Indrabayu yang sudah disediakan di sini, tapi entah karena apa, jenazah Istri prabu itu tidak jadi dimakamkan di sini! Ah, persetan dengan semua itulah!"

Ketika Gandarwo menginjakkan kakinya untuk menaiki tangga yang dilewatinya, ia diam sebentar, ia bermaksud mencoba kehebatan jubah keramat itu. Dibayangkan dalam otaknya, tangga itu bergerak jalan sendiri membawanya ke tempat masuknya tadi. Dan ternyata dalam kejap berikutnya, tangga itu memang berjalan sendiri. Tanpa susah-susah Gandarwo menaiki anak tangga, ia sudah dibawa oleh anak tangga itu naik ke atas dan sampai di lantai bermarmer putih itu.

"Ha ha ha ha ha...!" Gandarwo tertawa terbahak-bahak kegirangan. Bahkan ketika ia melewati tempat-tempat yang ada jebakannya, ia membayangkan semua jebakan itu lenyap dan tak berfungsi lagi. Ternyata jebakan-jebakan itu memang lenyap, jalanan menjadi mulus dan lancar.

Ketika tiba ia di mulut gua tempatnya masuk pertama kali, ia memandangi mulut gua yang tertutup batu rapat itu. Dan tiba-tiba batu itu lenyap karena Gandarwo membayangkan pintu gua itu tidak ada penutup apa-apa. Bahkan ia membayangkan lubang masuk pintu gua itu menjadi lebar, dan ternyata terbukti menjadi lebar sehingga ia bisa keluar dengan mudahnya.

"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah?! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha haha...!"

Clapp...! Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.

Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari dan Marta Kumba. Mereka sama-sama tertegun bengong di tempat pengintaiannya melihat Gandarwo keluar dari gua sudah mengenakan jubah, dan melihat seekor kuda muncul dengan secara ajaib.

"Dia telah mendapatkan jubah itu, Ratna!"

"Kurasa gua itulah pintu masuk ke ruang bawah tanah!"

"Sepertinya begitu! Jadi dia sangat beruntung masuk ke goa itu dan pintunya kau tutup. Mungkin dalam upaya mencari jalan keluar itulah, ia menemukan jalan menuju ruang bawah tanah di petilasan teraebut. Dan dia menemukan jubah itu!"

"Tapi apakah benar jubah itu adalah jubah keramat yang pernah menghebohkan dunia persilatan dan diperebutkan oleh para tokoh persilatan? Jangan-jangan itu jubah biasa?!"

"Kurasa tidak! Kurasa jubah itu memang jubah keramat. Aku pernah mendengar percakapan Paman Julung Boyo dengan Tapak Getih, bahwa jubah itu mempunyai kekuatan daya cipta yang tinggi."

"Maksudnya?"

"Orang yang memakai jubah itu, apa yang dibayangkan atau dikhayalkan, akan menjadi kenyataan dalam sekejap! Buktinya, tadi tahu-tahu di depan Gandarwo sudah ada kuda yang muncul secara gaib. Pasti tadi Gandarwo membayangkan seekor kuda hitam!"

"Oh, luar biasa kesaktian jubah itu! Kusangka hanya akan membuat orang yang memakainya menjadi bertambah banyak ilmunya dan kesaktiannya tak bisa dikalahkan. Ternyata punya daya cipta yang tinggi! Oh, aku jadi ingin sekali memiliki jubah itu, Marta Kumba! Mengapa kita kalah dengan Gandarwo...?!" Ratna Prawitasari menjadi murung. Badannya yang tadi lemas dan sudah menjadi sehat kembali, sekarang menjadi lemas lagi. Ia tampak sedih dan kecewa sekali.

Marta Kumba yang melihatnya, segera memeluknya dan berkata, "Jangan sedih, Ratna! Aku akan merebut jubah itu untukmu! Aku akan merebutnya untukmu! Jangan sedih, Ratna...!"

"Dapatkah kau merebutnya?"

"Harus dapat! Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan jubah itu! Jubah itulah tanda cintaku padamu, Ratna!"

"Apakah kau cinta padaku?"

"Ya!" jawab Marta Kumba dengan berdebar-debar antara takut dan malu.

Tapi kemudian Ratna Prawitasari menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu dengan hangat dan penuh kemesraan yang indah, ia berucap kata lagi, "Marta..., aku kepingin sekali punya jubah itu!" Ia mulai bernada manja, dan keberanian Marta mulai terbakar.

"Aku akan berangkat sekarang juga untuk merebut jubah itu dari tangan Gandarwo yang berwajah angker itu!"

Maka berangkatlah Marta Kumba mengejar kepergian Gandarwo yang telah mengubah namanya menjadi Malaikat Jubah Keramat. Khawatir terjadi sasuatu pada diri Marta Kumba, Ratna Prawitasari mengikutinya dari kejauhan, menjaga kemungkinan datangnya bahaya yang menyerang Marta Kumba.

Kuda hitam itu masih menyusuri pantai. Marta Kumba mengejarnya dengan susah payah, karena kuda itu berlari dengan cepat. Tapi pemuda itu agaknya tidak putus asa untuk mengejar kuda tersebut. Demi cintanya kepada Ratna Prawitasari, ia berlari terus memburu manusia berwajah angker yang memakai Jubah Keramat itu. Sementara itu di belakangnya, Ratna Prawitasari mengikuti dan mengawasi keadaan di sekitar tempat kekasihnya berada.

Sampai tiba di suatu tempat, Marta Kumba melihat kuda itu berhenti. Tapi agaknya ia tak bisa mendekat, karena di sana ada satu orang lagi yang pernah dilihat oleh Marta Kumba di patilasan. Orang itu adalah Mandraloka, yang sengaja menghadang kuda hitam dan membuat Gandarwo menghentikan langkah sang kuda.

"Gandarwo...! Kulihat kau mengenakan jubah semegah itu! Apakah itu jubah keramat yang dihebohkan para tokoh persilatan selama ini?!"

"Huah ha ha ha...! Mandraloka, mata tuamu ternyata belum rabun! Memang inilah jubah keramat yang dijadikan incaran para tokoh rimba persilatan selama ini! Akulah pemeliknya! Dan perlu kau ingat, jangan kau sebut lagi namaku Gandarwo! Tetapi sebut aku Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"

"Aku sangsi dengan bualanmu, Gandarwo!" kata Mandraloka sambil menahan rasa sakit akibat serangan dari Nyai Cungkil Nyawa tadi. Kemudian ia berkata, "Jika benar jubah itu adalah jubah keramat, tunjukkan padaku kehebatannya!"

Mandraloka sengaja memancingnya demikian, karena ia punya niat untuk merebut jubah itu dengan bertarung melawan Gandarwo. Tetapi terlebih dulu ia harus tahu persis bahwa jubah itu memang jubah keramat. Mandraloka tidak mau membuang tenaga secara sia-sia dengan mengadakan pertarungan melawan Gandarwo, jika ternyata jubah itu hanyalah jubah tipuan belaka.

Gandarwo berseru, "Kau ingin melihat kesaktian jubahku ini? Baik. Apa yang kau inginkan? Apa yang harus kulakukan?"

"Lenyapkan pohon besar itu dalam sekejap!" sambil Mandraloka menuding sebatang pohon besar berdaun rindang seperti beringin, yang tingginya melebihi pohon kelapa.

"Huah ha ha ha ha...! Buat Malaikat Jubah Keramat, itu pekerjaan yang amat mudah, Mandraloka! Lihat, pohon itu sudah hilang dengan sendirinya!"

Mandraloka memandang ke arah pohon yang tadi ditudingnya, dan ia terbelalak kaget, ternyata pohon besar itu sudah tidak ada. Lenyap tanpa bekas. Tapi Mandraloka masih diliputi kebimbangan, dan segera ia berkata, "Munculkan lagi dalam keadaan penuh dengan buah!"

"Apa yang kau katakan itu memang benar, pohon itu sudah berbuah lebat, Mandraloka!" sambil berkata begitu, Gandarwo membayangkan pohon tadi muncul dalam keadaan berbuah.

Maka, terbelalaklah mata Mandraloka melihat kemunculan pohon tersebut yang kini sudah berbuah lebat. Gemetar persendian tulang Mandraloka, berdebar hatinya, berdetak cepat jantungnya. Dalam hati ia mengakui kebenaran jubah tersebut. Maka dengan suara lantang ia berseru dan mencabut pedangnya, "Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga?!"

Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.

Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat. Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu?!"

"Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!"

"Kasihan...!"

"Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.

Gandarwo membayangkan Marta Kumba bunuh diri dengan pedangnya, maka terjadilah hal itu dan membuat sepasang mata yang mengintai kejadian itu menjadi mencucurkan air mata. Tangis itu terpendam, lalu gadis berjubah hijau muda itu pun cepat melarikan diri ketakutan melihat kekasihnya mati bunuh diri. Ia tahu, itu perbuatan pikiran jahat Gandarwo. Dan tawa Gandarwo pun bergema ke mana-mana sebagai tawa tokoh sakti yang bergelar Malaikat Jubah Keramat.

* * *

SEMBILAN
HANTU Laut memberitahukan tugasnya kepada Pendekar Mabuk, setelah Suto Sinting memberinya minum tuak sebagai pengobat kakinya yang luka. Kalau Suto terlambat datang, maka borok itu akan mengganas sampai pada bagian pahanya. Untung Suto cepat datang bersama Kirana dan Ki Sonokeling, sehingga Hantu Laut tak sampai mengalami luka ke bagian paha, kecuali hanya sekitar betis dan mata kaki.

"Jadi, aku harus ke Pulau Serindu?"

"Betul, Suto! Sebelum selesai purnama, kau harus sudah sampai ke sana! Karena Gusti Ratu Mahkota Sejati tinggal menunggu kedatanganmu, maka peresmian istana dari pemugarannya kembali itu akan dilaksanakan!"

"Aku boleh ikut?!" tanya Nyai Cungkil Nyawa.

Hantu Laut salah dengar sehingga ia berkata, "Kenapa kau harus takut, Nek?! Tidak ada yang perlu ditakuti!"

"Kataku, Ikut! Bukan takut!"

"O, kau mau ikut? Boleh saja ya, Suto?!"

Pendekar Mabuk hanya manggut-manggut sambil tersenyum.

Nyai Cungkil Nyawa bersungut-sungut sambil menggerutu, "Sejak tadi aku ngomong sama orang ini, kupingku jadi budek sendiri, Suto!"

Ki Sonokeling tertawa lebih terkekeh dari yang lain. Ki Sonokeling menimpali dengan ucapan, "Di tempat seperti ini mana ada yang jualan nasi gudeg, Nyai!"

"Budek! Kupingku jadi budek! Bukan aku kepingin nasi gudeg! Waaaah, kamu kenapa jadi ketularan budek begitu, Sonokeling?!"

"Lho, bukannya ngomong soal nasi gudeg sejak tadi?!" ujar Ki Sonokeling sambil bengong. Yang lainnya pun segera tertawa.

Pendekar Mabuk segera mendekati Kirana yang sejak tadi cemberut dan tak mau ikut tertawa. Suto berkata pelan, "Kenapa kau cemberut terus?"

"Kau mau pergi!"

"Ada tugas lain, Kirana."

"Tapi kau belum selesaikan tugasmu merebut pedang emas!"

"Akan kulakukan sebelum aku pergi ke Pulau Serindu!"

"Betul?"

"Ya! Jangan khawatir, aku tak akan menggantungkan tugas yang belum selesai. Sekarang mari kita cari Rangka Cula!"

"Kau bilang dia akan kemari sendiri!"

"Kalau kita menunggu akan lama jadinya!"

"Rangka Cula biar aku yang hadapi!" celetuk Nyai Cungkil Nyawa. "Kalau kau mau pergi, pergilah sana! Soal pedang emas itu, akan kusimpan sampai kau datang mengambilnya!"

Tiba-tiba muncul Ratna Prawitasari yang berlari dengan terangah-engah dan ketakutan, ia sendiri terkejut melihat di patilasan itu banyak orang, bukan hanya Nyai Cungkil Nyawa sendiri, ia menjadi ragu untuk mendekat, tapi wajah takutnya semakin jelas dan mengundang keheranan bagi semua yang ada disitu.

Melihat kehadiran Ratna Prawitasari, Nyai Cungkil Nyawa menjadi berang lagi dan berteriak menghardik, "Belum kapok kamu, hah?! Masih saja mau mengacak-acak tempat ini? Mau cari mampus kamu, hah?!"

"Hmm... anu... tidak, Nek!" Ratna Prawitasari melelehkan air mata karena terbayang saat ia menangkap ular di kaki Marta Kumba yang duduk di batu, dan batu itu sekarang ada di samping kirinya. Ratna Prawitasari tertunduk menahan tangis yang sukar dikendalikan.

Nyai Cungkil Nyawa segera mendekati dengan dahi berkerut pertanda heran melihat tangis gadis itu. "Ada apa kau menangis?" tanya Nyai Cungkil Nyawa. "Merengek-rengek supaya aku kasihan padamu dan memberitahukan letak pintu itu?"

Ratna Prawitasari menggeleng, kemudian dengan berburai air mata, Ratna Prawitasari menatap nenek itu dan berkata pelan, "Aku sudah tahu pintu itu ada di mana. Tapi sia-sia kalau aku masuk ke gua itu!"

Terperanjat Nyai Cungkil Nyawa begitu Ratna Prawitasari sebutkan kata gua. Ia segera membatin, "Dia benar-benar telah temukan pintunya! Tapi mengapa dia menangis?"

Ratna Prawitasari melanjutkan bicaranya, "Jubah itu sudah dicuri orang!"

"Hahh...?!" suara kejutan ini hampir serempak diucapkan oleh Nyai Cungkil Nyawa dan Ki Sonokeling. Lalaki berkulit hitam itu pun segera mendekati Ratna Prawitasari dan bertanya,

"Benarkah jubah itu sudah dicuri orang?!"

Ratna Prawitasari menganggukkan kepala. "Gandarwo-lah orangnya!"

"Gandarwo...?!" kedua kakek-nenek itu sama-sama terpekik dan matanya saling mendelik, lalu pelan-pelan wajah mereka berpaling saling memandang dengan mata tetap mendelik.

"Dia telah membunuh Mandraloka dan... kekasihku; Marta Kumba!" tertunduk lagi wajah Retna Prawitasari, ia sembunyikan tangis di sana.

Haru hati mereka, namun geram pula membayangkan Gandarwo berhasil menemukan jubah keramat itu. Semua tak ada yang bicara. Semua bagai terpaku bungkam oleh berita tersebut. Pendekar Mabuk ikut mendekat pada waktu Ratna Prawitasari berkata,

"Gandarwo menobatkan dirinya sebagai orang yang bergelar Malaikat Jubah Keramat, ia menunggang kuda hitam berpelana emas, yang muncul sendiri dari daya cipta di dalam pikirannya!"

"Keparat si Gandarwo busuk itu!" geram Nyai Cungkil Nyawa. Wajah tuanya tampak memerah menahan amarah. Matanya memancarkan murka yang tertahan. Lalu ia berkata kepada Ki Sonokeling, "Tetaplah di sini bersama mereka, aku akan mencari Gandarwo!"

"Jangan!" kata Ki Sonokeling. "Kalau kau melawannya, aku harus ikut! Kalau kau mati, aku pun ikut!"

Ratna Prawitasari pun menambahkan kata, "Dia dapat memenggal kepala Mandraloka tanpa menyentuh. Hanya dilihatnya saja, Nek. Kau pun bisa dipenggal seperti itu! Jangan ke sana! Sebaiknya menghindar saja!"

"Memenggal dengan hanya melihat...?!" gumam Nyai Cungkil Nyawa sambil merenung dalam kebimbangan. "Jubah itu... pasti jubah itu yang membuatnya dapat begitu!"

Pendekar Mabuk segera ikut bicara, "Apa kelemahan jubah itu, Nyai?"

"Kelemahannya...?!" Nyai Cungkil Nyawa berpikir beberapa saat, kemudian menjawab, "Tidak ada kelemahannya! Kecuali jika jubah itu dilepas, baru orang itu menjadi lemah!"

"Kalau begitu, biarlah aku yang menghadapinya," kata Pendekar Mabuk dengan tegas dan mantap.

Semua mata memandang ke arah Suto, termasuk Ratna Prawitasari. Tiba-tiba terdengar suara menyahut, "Aku yang menghadapi!"

Semua berpaling ke arah orang yang menyahut pembicaraan itu. Ternyata Rangka Cula sudah berdiri dalam jarak tujuh tombak dari tempat mereka. Nyai Cungkil Nyawa menggeram benci, ia ingin bergerak maju, tapi tangan Suto menahannya dan berkata,

"Mundurlah semua! Ini bagianku...!"

Semua menuruti kata Suto. Mereka mundur dengan wajah tegang ketika Suto melangkah mendekati Rangga Cula. Orang berwajah dingin itu diam saja. Suto berhenti dalam jarak lima langkah di depan Rangka Cula. Ia meneguk tuaknya sebentar, setelah itu berkata kepada Rangka Cula.

"Kita bertemu lagi, Rangka Cula!"

"Ya," Rangka Cula menjawab pendek.

"Aku akan merebut pedang itu lagi darimu!"

"Silakan!"

"Kau jago pedang, dan aku juga bisa memainkan pedang! Kita bertarung secara jantan!"

"Baik!"

"Kirana, pinjam pedangmu!" seru Pendekar Mabuk dengan gagahnya.

Kirana cepat mencabut pedangnya, dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk. Tabb...! Pendekar Mabuk menangkap pedang itu dengan cekatan. Bumbung tuak diselempangkan ke punggung. Pedang dipegang dengan dua tangan.

"Kau sudah siap, Rangka Cula?!"

"Sudah!"

"Cabut pedangmu!"

"Nanti!"

Suto mulai melangkah maju dua tindak. Rangka Cula mulai memegangi gagang pedang dari Cula badak itu. Suto diam, dengan kedua kaki merapat dan siap menebaskan pedangnya. Pedang itu sudah ada di sisi kanan dalam genggaman dua tangan, mengarah ke atas ujungnya. Rangka Cula sendiri memandang tak berkedip dengan kedua kaki yang satu ditekuk ke depan, satunya lagi dia tarik ke belakang, siap melakukan lompatan maut.

Mereka yang menyaksikan adegan itu menjadi berdebar-debar tegang. Ratna Prawitasari sendiri tahu, siapa Rangka Cula. Ia pernah melihat pertarungan Rangka Cula dengan seseorang yang mahir main pedang, tapi Rangka Cula unggul dan ternyata lebih mahir dari orang tersebut.

Sekarang Ratna Prawitasari merasa cemas dan hatinya bertanya-tanya, "Mampukah pemuda tampan itu mengalahkan ilmu pedangnya Rangka Cula?!"

Cukup lama mereka saling pandang dan saling menunggu kesempatan lengah lawannya. Tak ada gerakan apa pun pada diri mereka. Sungguh amat menegangkan bagi penontonnya. Tetapi, kejap berikut terdengar Rangka Cula berseru, "Hiaaat...!"

Wuttt, wuttt...!

Keduanya sama-sama berkelebat maju. Rangka Cula melompat sambil mencabut pedangnya, Pendekar Mabuk melompat sambil kelebatkan pedangnya. Mereka tiba di tempat berbeda, saling memunggungi. Sama-sama diam mematung beberapa saat. Lalu, mulailah menetes darah dari lengan Suto, dekat pundak. Kirana tersentak kaget melihat lengan Suto berdarah. Tapi Kirana juga sedikit lega melihat pergelangan tangan Rangka Cula juga berdarah. Keduanya sama-sama luka. Keduanya sama-sama tangguh.

Tetapi Rangka Cula segera berbalik manakala Pendekar Mabuk masih memunggunginya, lalu ia menebaskan pedangnya ke punggung Pendekar Mabuk dengan cepat.

Wuttt...! Trangng...!

Pendekar Mabuk menangkisnya tanpa memandang gerakan pedang lawan. Hanya dengan menengadahkan pedangnya ke atas kepala dan badannya sedikit merendah, pedang lawan tertangkis. Dan dengan cepat Pendekar Mabuk sedikit naikkan badan, lalu tangannya berkelebat menebas ke atas dengan cepat.

Trangng...!

Wuttt...! Pedang Rangka Cula terpilin pedang Pendekar Mabuk. Zrrrakk...! Pendekar Mabuk menyentakkan kuat, dan pedang itu lepas dari genggaman Rangka Cula. Itu karena genggaman tangan Rangka Cula sudah mulai melemah akibat terluka dalam oleh pedang Pendekar Mabuk dalam jurus pertama tadi. Rangka Cula segera melompat mundur ketika ia sadar tangannya sudah tidak memegang pedang. Kini pelan-pelan ia mulai mencabut pedang emas di punggungnya.

Kirana sudah mulai cemas, Ki Sonokeling pun menjadi tegang tak berkedip.

"Heeaaah...!" Suto memekik sambil bersalto ke samping, tapi pedang di tangannya dilemparkan cepat ke arah Rangka Cula.

Wuttt...! Trangng...!

Rangka Cula mengibaskan pedang emas untuk menangkis pedang yang melesat ke arah dadanya itu. Tapi di luar dugaan, Suto Sinting cepat melepaskan jurus 'Yudha', yaitu tangan disentakkan dalam keadaan miring dan dari tangan itu melesatlah sinar perak berbentuk bintang yang menembus perut Rangka Cula.

Clappp...!

Hanya Nyai Cungkil Nyawa yang melihat sinar perak itu berbentuk bintang.

Zrrrubb...! Jurus 'Yudha' mengenai sasarannya. Rangka Cula diam saja. Berdiri mematung dan tak bergerak.

Pendekar Mabuk menarik napas dan menghembuskan dengan kelegaan tersendiri. Bahkan ia sempat minum tuaknya dan membuat mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi heran.

Kejap berikutnya, mereka makin dibuat heran. Daun telinga Rangka Cula jatuh. Plukk...! Ruas jari tangannya menyusul jatuh. Pluk! Kini pergelangan tangan kirinya jatuh. Plukkk...! Dan tiap ruas tulang pada tubuh Rangka Cula mulai berjatuhan, terpoteng tanpa darah.

Pendekar Mabuk sendiri segera mengambil pedang emas itu dengan tenangnya. Dan tangan yang memegangi pedang emas itu pun jatuh terpotong rapi. Kini pedang emas sudah ada di tangan Suto Sinting. Dan tubuh Rangka Cula yang terkena jurus 'Yudha' itu menjadi terpotong-potong dengan sendirinya setiap ruasnya, sampai terakhir kepalanya jatuh ke tanah dalam keadaan sudah tidak sempurna lagi.

Brukk...! Tubuh Rangka Cula rubuh dalam keadaan paha dan lutut sudah terpisah. Dan itulah kehebatan jurus 'Yudha', yang menjadi satu dengan jurus 'Manggala', pemberian dari seorang ratu di alam gaib, yaitu Ratu Kartika Wangi. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

"Suto...! Kau berhasil...!" teriak Kirana dengan girangnya, ia segera memeluk Pendekar Mabuk yang sudah memegangi pedang emas bersama sarungnya.

Yang lain pun tersenyum merasa lega bercampur kagum. Terutama Ratna Prawitasari, tak henti-hentinya ia tersenyum memandangi kehebatan Suto, tak henti-hentinya ia terkesima memandangi ketampanan Suto, hingga lupa berkedip sejak tadi.

Namun, kegembiraan itu segera susut setelah mereka mendengar suara ringkik kuda. Mata mereka berpaling ke belakang dan melihat seekor kuda hitam ditunggangi orang berwajah angker dengan rambut panjang acak-acakan, mengenakan jubah yang mengejutkan wajah Nyai Cungkil Nyawa. Orang itu adalah Manusia Jubah Keramat yang enggan dipanggil dengan nama Gandarwo.

"Sedang apa kalian berkumpul di sini?! Mencari jubah keramat?! Oh, lupakan jubah itu! Lihat... jubah itu sudah kupakai! Dan akulah orang terkuat di seluruh pelosok penjuru dunia dengan gelar Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha ha...!"

Nyai Cungkil Nyawa mau bergerak, tapi mata Pendekar Mabuk memberikan isyarat agar nenek itu diam saja. Suto pun segera melangkah maju mendekati Gandarwo, yang lain tinggal di tempat semula. Yang lain memandang dengan berdebar-debar.

"Benarkah jubah itu jubah keramat, Malaikat Jubah Keramat?" tanya Suto dengan kalem, tidak menampakkan sikap permusuhan, tapi pedang emas sudah disiapkan di tangan kiri, masih dalam sarungnya.

"Kalau kau tak percaya, tanyakan saja pada nenek tua itu!" kata Gandarwo dengan sedikit ngotot.

"Melihat warnanya dan bentuknya yang megah, aku percaya kalau jubah itu jubah angker!"

"Jubah keramat! Bukan jubah angker!"

"Oh, ya...! Jubah keramat yang sakti!" Suto tersenyum.

"Betul!"

"Dan tentunya kau adalah orang sakti yang berilmu tinggi!"

"Tak salah lagi! Huah ha ha ha...!" Gandarwo kegirangan mendapat pujian dari Suto.

"Bagaimana kalau kutukar dengan pedang emas ini?!" kata Suto.

"Pedang emas?! Oh, tidak...! Aku tidak..."

"Dengar dulu, Malaikat Jubah Keramat!" potong Suto. "Pedang ini sangat bagus, lihat ukiran di dalamnya...!" Pendekar Mabuk meloloskan pedang dari sarung pedang, lalu menunjukkan ukiran naga di tengah mata pedang itu sambil berkata, "Nah, lihat... ukiran ini merupakan ukiran keramat juga..."

Pada waktu Gandarwo ikut memperhatikan ukiran pedang emas itu, tiba-tiba Suto menyentakkan pedang tersebut dengan cepat. Jrubb...! Tepat menusuk jantung Gandarwo. Orang itu, yang masih di atas punggung kuda, segera mendelik dan ternganga mulutnya. Untuk kemudian tumbang dari atas punggung kuda. Brukkk.! Dan kejap berikutnya ia menghembuskan napasnya yang terakhir.

Pendekar Mabuk segera melepas jubah yang dipakai Gandarwo. Sementara orang-orang yang menyaksikan gerakan cepat Pendekar Mabuk dalam menusukkan pedang tadi, masih tertegun bengong tak berkedip. Karena mereka sama sekali tidak menyangka kalau Suto akan melakukan gerakan secepat itu. Bahkan mereka tak menyangka Suto Sinting mempunyai rencana seperti itu. Kirana sendiri sempat cemas mendengar pedang emas mau ditukar dengan jubah keramat.

Pendekar Mabuk melakukan rencana tersebut, karena ia tahu bahwa lawannya sudah siap menyerang sewaktu-waktu, ia sama saja melawan pikiran seseorang yang bisa menghadirkan bencana dan maut setiap kejapnya. Untuk melawan pikiran berbahaya itu, Suto hanya mengalihkan pikiran tersebut hingga lawan pun lengah.

Mereka yang menyaksikan tindakan Pendekar Mabuk itu baru sadar dari rasa kagetnya setelah Pendekar Mabuk melipat jubah itu dan menyerahkannya kepada Nyai Cungkil Nyawa.

"Nyai, simpanlah kembali pada tempatnya, setelah itu tutup rapat-rapat pintu menuju makam! Tak perlu ada orang yang keluar masuk ke dalam makam Prabu Indrabayu."

"Suto...!" nenek itu memandang dengan iba hati dan kagum terhadap ketulusan hati Pendekar Mabuk, ia pun segera berucap kata, "Terima kasih banyak atas bantuanmu, Bocah Sinting! Aku tak mengerti harus bagaimana membalas budi baikmu ini!"

"Balaslah pada orang lain yang membutuhkan budi baikmu, Nyai!" jawab Pendekar Mabuk yang membuat Ki Sonokeling geleng-geleng kepala dan menggumam,

"Sebuah kalimat yang bagus"

"Sekarang, tugasku telah selesai! Pedang emas sudah kembali ada di tanganku, dan jubah keramat sudah kembali di tanganmu, Nyai. Rasa-rasanya kita harus berpisah untuk sementara waktu, karena aku punya tugas lain. Kalau ada orang yang berani mencuri jubah ini lagi, katakan padanya, aku Suto Sinting, murid si Gila Tuak, akan berhadapan dengan orang itu!"

Tiba-tiba ada yang menyahut, "Aku setuju!"

Semua berpaling ke arah orang yang baru datang itu, dan Kirana segera sunggingkan senyum sambil menyapa, "Nyai Guru Embun Salju?!"

Orang sakti dari Perguruan Elang Putih itu datang. Rupanya ia juga mencemaskan diri Suto, sehingga ia pribadi menyempatkan pergi dari kuil Elang Putih untuk menjaga kemungkinan bahaya yang bisa terjadi pada diri Pendekar Mabuk.

"Aku telah mendapatkan pedang ini, Nyai Embun Salju!" kata Suto sambil mendekat bersama Kirana.

Ratna Prawitasari pun ikut mendekat dan berkata, "Sembah hamba, Nyai Guru...!" Ratna Prawitasari menundukkan kepala memberi hormat kepada Embun Salju.

Rupanya Ratna Prawitasari adalah murid Perguruan Elang Putih yang dibuang dari Tanah Merah karena harus menjalani hukuman buang untuk sebuah kesalahan. Tapi Embun Salju dalam kesempatan itu memberi ampunan pula kepada Ratna Prawitasari, sehingga Ratna Prawitasari disarankan untuk ikut pulang ke kuil Elang Putih.

"Suto juga berhasil selamatkan jubah keramat milik Prabu Indrabayu, Guru!" kata Ratna Prawitasari yang sudah mengetahui nama Suto.

"Prabu Indrabayu?!" Embun Salju menggumam. "Oh ya... benar! Aku baru ingat, ini bekas Pesanggrahan Teratai Dewa?! Di sinilah Prabu Indrabayu disemayamkan bersama istrinya yang tercinta, yang bernama Sendang Kedaton."

"He!, bukankah itu nama asli Nyai Cungkil Nyawa, penjaga makam di sini, Nyai Embun Salju?!" kata Suto.

"Bukan! itu nama istri tercinta Prabu Indrabayu!"

"Itu nama penjaga makam di sini, Nyai!" Pendekar Mabuk ngotot. "Kalau tak percaya kita tanya pada orangnya...," Pendekar Mabuk berpaling ke belakang mencari Cungkil Nyawa. "Nyai...?! Nyai Cungkil Nyawa?!"

Ki Sonokeling yang menjawab, "Dia lenyap... hilang dari sampingku!"

"Oh, kalau begitu dia adalah jelmaan istri Prabu Indrabayu...?!" gumam Pendekar Mabuk sambil termenung terheran-heran. Dan sejak itu tak pernah ada yang menemui Nyai Cungkil Nyawa, ia hilang selama-lamanya.

SELESAI

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.