Naga Pamungkas - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Naga Pamungkas
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
SEKELEBAT bayangan melintasi hutan di kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit. Tak ada orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena mereka takut terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam. Lubang itu tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman rambat yang menutup rapat lubang tersebut seolah-olah berguna sebagai tanaman penjebak.

Kelihatannya tempat itu datar dan bertanaman rambat biasa, tapi sebenarnya di bawah tanaman rambat itu terdapat lubang besar yang mengerikan. Lubang itu dikenal orang dengan nama Sumur Tembus Jagat. Hanya orang-orang yang tersesat saja yang berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata Langit itu.

Salah satu orang yang tersesat adalah pemuda berpakaian coklat dengan celana putih. Pemuda itu berambut panjang dan mempunyai ketampanan menghebohkan kaum wanita. Di punggung pemuda itu tersandang sebatang bambu tempat tuak. Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh dunia persilatan sudah tak asing lagi dan sangat mengenalnya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting.

"Kurang ajar! Lari ke mana dia tadi? Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah sana. Sebaiknya kuhadang lewat sini saja," pikir Suto dengan mulai melangkah mengendap-ngendap. Rimbunan semak dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak berkedip menatap bagian bawah semak-semak itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak menimbulkan bunyi yang mencurigakan.

Slap, slap...!

Bayangan putih melompat dari bawah semak belukar itu, menerobos masuk ke rimbunan semak tak berduri. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan ikut menerabas semak tak berduri.

Bruus...! Buk...!

"Auh...!" Pendekar Mabuk terpekik karena sakit. Rupanya di dalam semak tak berduri itu terdapat bongkahan batu besar yang tertutup hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar Mabuk menabrak batu itu hingga terpaksa pejamkan mata sesaat karena menahan rasa sakit di tulang hidungnya.

"Sial! Untung tulang hidungku tak sampai patah!" gerutunya sambil mengusap-usap wajah. Dagunya pun terasa sakit karena diadu dengan batu.

Slap, slap...!

Bayangan putih melesat lagi meninggalkan semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke arah yang sama, lalu menerkam bagai seekor singa.

Bruuus...!

"Kena kau sekarang!" Seekor kelinci hutan tergenggam di kedua tangan Pendekar Mabuk. Kelinci hutan itu berusaha meronta dengan matanya yang memancarkan ketakutan, tapi kedua tangan Suto semakin erat menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun menampakkan kelegaan hatinya. Kelinci buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk dijadikan santapan dengan membakarnya.

Tetapi mata bening sang kelinci membuat Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk membunuh binatang tersebut. Mata bening binatang itu bagai memandangi Suto dan mohon belas kasihan.

"Ah, kau...!" gumam Suto dengan hati mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga membuat hatiku iba. Ah, benar-benar tak tega kalau aku harus menyantap mu. Tapi... perutku lapar, suaranya sampai seperti lesung bertalu. Aku harus menyantapmu, Kelinci yang baik hati. Maafkan aku."

Mata kelinci itu berkedip-kedip seakan pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk itu kian bimbang diguncang rasa iba hati.

"Ah, kasihan sekali kau. Kenapa wajahmu tidak buruk saja, supaya aku tega menyantapmu? Kau terlalu manis dan lembut. Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan lapar untuk sementara. Pergilah sana. Aku tak jadi menyantapmu." kata Suto Sinting sambil melepaskan binatang tersebut. Tambahnya lagi, "Tolong panggilkan serigala. Biar aku menyantap dagingnya sebagai penggantimu, Kelinci!"

Slap, slap...!

Kelinci itu melompat dua kali, kemudian berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan pemuda itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kelinci itu pun melompat lagi beberapa kali dan masuk kesemak-semak tanaman berdaun lebar.

Bruush...!

Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu beberapa teguk. Napasnya terhempas lepas menandakan kelegaan. Walau perut lapar, asal sudah kemasukan tuak, rasa lapar itu bagaikan mereda untuk beberapa saat. Suto Sinting memang merasa lebih baik menahan rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak.

Ia paling tak bisa menahan haus tuak. Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan melebihi sepiring nasi, bahkan menyamai kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang dibakar. Walau kadang Suto merasa bosan dengan tuak dan ingin sesekali menelan nasi atau daging dan makanan lainnya, tapi jika memang tak ada makanan lainnya, tuakpun masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.

Suto Sinting baru saja ingin melangkahkan kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun lebar tempat menghilangnya kelinci itu muncul seraut wajah cantik berkulit kuning. Tentu saja Suto Sinting terkejut kaget dan jadi terbengong beberapa saat.

"Lho...? Kelinci itu kusuruh memanggil serigala tapi kenapa yang muncul seraut wajah cantik? Jangan-jangan kelinci itu tak bisa membedakan antara serigala dan gadis cantik? Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam Suto dalam hati.

Wajah cantik itu tampak menyimpan ketegangan. Wajah cantik itu pun menyembunyikan kecemasan di balik sikap tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting. Pakaiannya yang berwarna merah muda sangat memancing perhatian, karena pada bagian dadanya terbuka sedikit lebar, sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih jelas dan sepertinya tantangan lain bagi Suto. Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun tantangan adu kekuatan batin. Dan ternyata batin Suto masih kuat untuk tidak mudah tergiur dan terpancing bayangan mesra kepada gadis berambut panjang itu.

"Apakah kau jelmaan seekor kelinci yang tadi kutangkap dan kulepaskan lagi, Nona?" tegur Suto Sinting dengan senyum dan keramahan yang membuat gadis itu justru merasa kian cemas. Ia mundurkan langkah satu tindak dengan mati tak berkedip.

Suto merasa heran melihat sikap sang gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis itu justru melompat mundur dan mencabut pedangnya yang terbuat dari logam kuningan.

Sraaang...!

Mau tak mau Pendekar Mabuk hentikan langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan siap serang dengan jurus pedangnya. Bibirnya yang mungil dan tampak selalu basah itu masih terkatup tanpa berucap sedikitpun. Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang menatap tajam bersikap bermusuhan.

"Sekali lagi aku hanya ingin bertanya, apakah kau jelmaan dari kelinci yang kulepaskan tadi?"

Gadis itu diam saja. Matanya sedikit menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak. Tapi tiba-tiba gadis itu sentakkan kakinya ke tanah dan melompat menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bambu tuak diraih Suto dan berkelebat menangkis tebasan pedang gadis berpakaian merah jambu itu.

Traang...!

Pedang itu bagaikan membentur sebongkah besi baja. Benturan pedang dengan bambu tuak memercikkan bunga api warna merah. Akibat benturan pedang dengan bambu telah membuat tubuh gadis itu terpental. Kekuatan tenaga dalam yang menghantam bambu lewat pedangnya telah berbalik mengenai dirinya sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya terjungkal ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan.

Brrug...!

Jaraknya hanya empat langkah dari tempat Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau menyerangnya, itu bukan pekerjaan yang sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau memberikan serangan balasan. Ia hanya melangkah satu tindak lagi dan si gadis buru-buru bangkit dari kejatuhannya. Kuda- kuda terpasang lagi, mata semakin tajam, napas kian menderu.

"Tulangku terasa ngilu semua," pikir gadis itu. "Kekuatan apa yang ada pada bambu itu, sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik menyerangku? Rupanya pemuda ini bukan manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh menganggap remeh kepadanya. Hmmm... tapi ketampanannya membuat keberanianku sempat susut beberapa kali. Kurang ajar! Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus bisa melupakannya kalau tak ingin mati di ujung bambunya itu!"

"Tahan seranganmu, Nona," kata Suto Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu. Toh aku telah melepaskanmu dan tak jadi menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.

Sang gadis masih belum mau bicara kecuali hanya memandang tajam. Tak ada kesan bersahabat atau ramah sedikit pun. Yang ada hanya kesan sinis. Bahkan cenderung menampakkan sikap angkuhnya.

"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tak tega menyantapmu? Kenapa kau masih memusuhiku? Apakah kau pikir aku masih ingin menyantapmu?"

"Tutup mulutmu, Pemuda Binal!" geram gadis itu.

Suto hanya tertawa kecil mendengar dirinya dipanggil pemuda binal oleh gadis itu. "Aku bukan pemuda binal. Aku pemuda sinting, sebab namaku Suto Sinting!"

Tiba-tiba gadis itu mengendurkan ketegangannya. Matanya yang tajam dalam memandang kini sudah mulai surut dan berangsur-angsur lembut. Sikap kuda- kudanya pun mulai tegak. Tapi pedangnya masih tergenggam erat di tangan. "Ben... benarkah kau... kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"

"Benar," jawab Suto dalam ulasan senyum tipis yang menambah pesona ketampanannya.

Gadis itu menjadi gelisah menerima tatapan mata yang begitu lembut dari Suto Sinting. Kegelisahan tersebut segera ditutupi dengan sikap curiga yang dibuat-buat. Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum sinis. "Tak mungkin kau si Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan keluyuran ke hutan ini. Karena di sini tak ada pusaka dan orang sakti."

"Kau pikir aku mencari pusaka? Oh, tidak. Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini karena tersesat gara-gara mengejarmu tadi."

Dahi si cantik berkerut. "Mengejarku?"

"Maksudku, waktu kau menjadi kelinci tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan santapanku. Tapi begitu kau berubah menjadi gadis yang cantik, aku malu untuk menyantapmu dan..."

"Aku bukan siluman kelinci!" sergah gadis itu. "Aku manusia biasa dan seumur hidupku belum pernah berubah menjadi kelinci."

"O, maaf. Jadi...," Suto tertawa, tak jadi melanjutkan kata-katanya karena merasa malu dengan salah duganya itu.

"Namaku Citradani, bekas murid Perguruan Kuil Elang Putih."

"Ooo...." Suto manggut-manggut. "Kalau begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani terkejut. "Kau mengenal bekas guruku itu?"

"Cukup kenal. Juga kepada Anjarwati, Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku pun mengenal mereka. Bukankah mereka teman-temanmu?"

"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi." jawab Citradani sambil memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

"Kenapa kau sampai keluar dari Kuil Elang Putih?"

"Karena melanggar kesalahan." Citradani kelihatan sedih mengenang masa lalunya. Ia bersandar di sebuah pohon dalam keadaan masih berdiri.

Suto kian mendekat, matanya memandang sekeliling sebagai tanda bahwa ia selalu waspada di mana pun berada. "Kalau boleh kutahu, apa kesalahanmu terhadap Kuil Elang Putih?"

"Aku menghilangkan sebuah pusaka yang bernama Lintang Suci."

"Lintang Suci? Sebuah pedang atau..."

"Sebuah kalung," jawab Citradani dengan memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung itu bisa untuk mengubah-ubah diri menjadi bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai emas kalung itu, sebab rantai tersebut terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu orang yang bisa menyambung rantai emas keramat itu. Orang tersebut adalah Ki Padmanaba..."

Suto terperanjat. "Ki Padmanaba?! Dia sekarang sudah meninggal!"

"Mungkin saja begitu. Karena peristiwa yang kualami itu sudah cukup lama. Aku ditugaskan membawa pusaka Lintang Suci kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut sudah tersambung rantainya, tugasku adalah membawa pulang kepada Guru Ratu Embun Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh seorang pemuda, dan kami pun saling berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda itu sudah lama mengincar kalung Lintang Suci. Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu berhasil dicurinya dan dia pergi entah ke mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih, tak diizinkan kembali ke sana jika tidak bersama pusaka tersebut. Mau tak mau aku harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu supaya aku bisa diterima kembali di Kuil Elang Putih."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepalanya. "Sampai sekarang kau belum temukan di mana pemuda itu berada?"

"Belum. Sesekali aku melihat kelebatan bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia bisa menghilang dalam persembunyiannya. Aku selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku melihatnya melintas kemari. Kukejar dia dan akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahu-tahu aku bertemu denganmu. Aku sangsi, kusangka kau adalah pemuda itu yang merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang Suci itu."

"Lalu, kau percaya kalau aku bukan pemuda itu?"

"Percaya."

"Apa yang membuatmu percaya padaku?"

"Tebasan pedangku walaupun ditangkis akan memudarkan samarannya dan membuatnya kembali ke wujud aslinya."

"Ooo...," Suto manggut-manggut. Ia ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya berkelebat cepat menempel di dada Citradani. Citradani terpekik kaget dan malu, dadanya terpegang oleh tangan Suto.

Plaaak...! Sebuah tamparan pedas diterima oleh pipi Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya sempat merah sedikit.

"Kurang ajar kau!" gertak Citradani.

"Maaf..." kata Suto, lalu tangan yang tadi menempel di dada Citradani hingga menyentuh ujung bukitnya itu kini diperlihatkan kepada gadis itu. Sebuah senjata rahasia telah terselip di antara jemari Suto.

Citradani terperanjat dan segera menyadari apa sebenarnya yang dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar Mabuk baru saja menyelamatkan jiwa Citradani dari ancaman senjata rahasia yang dilemparkan oleh seseorang dari tempat yang tersembunyi. Senjata rahasia itu berupa sepotong bulu landak yang tajam dan beracun ganas. Jika tangan Suto tidak menutup ujung bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu yang akan menancap di sana. Tapi dengan gerakan tangan Suto menutup ujung bukit dada Citradani, maka senjata rahasia itu hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit kuat agar tak menyentuh kulit dada gadis itu.

"Kau mengenal siapa pemilik senjata ini?" tanya Suto Sinting.

"Tidak. Tapi aku melihat sekelebat bayangan lari kesana. Aku akan mengejarnya!"

"Tunggu dulu, aku akan..."

Wuuusss!

Citradani sudah melesat lebih dulu sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan gerakannya yang menyerupai hembusan angin itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya berilmu tinggi. Setidaknya ia mempunyai ilmu tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Suto memang bisa mengungguli kecepatan gerak Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik dengan suara teriakan seseorang yang terdengar samar-samar dari tempatnya.

"Toloong. !"

Suara itu kecil sekali, kentara kalau letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk pun segera melesat ke arah yang berlawanan dengan Citradani. "Biarlah Citradani mengejar penyerang gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga diri dengan ketinggian ilmunya itu. Aku akan menolong seseorang yang agaknya dalam bahaya besar," kata Suto membatin.

Suara orang minta tolong itu hanya sesekali terdengar. Sepertinya orang tersebut berusaha untuk melepaskan diri dan kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut gagal, sehingga sesekali ia berteriak minta tolong. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah ketika suara teriakan itu menghilang. Ia kebingungan mengambil arah langkah kakinya.

"Di mana orang itu? Kenapa suaranya tak terdengar lagi.? Apakah kepalanya sudah telanjur ditelan harimau? Mengapa ia tak coba-coba berteriak lagi dari dalam perut harimau, siapa tahu mulut harimau itu kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai keluar perut harimau?" gumam Suto Sinting bagai orang gila yang bicara sendiri. Langkahnya masih tergesa-gesa sambil memastikan arah dan mencari orang yang dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baik-baik, sampai akhirnya angin pegunungan membawa suara teriakan tersebut dari arah timur.

"Tolooong...!"

"Nah, suaranya di sana! Ya, di timur sana! Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto. Sikap berbuat baik kepada seseorang dan saling tolong-menolong memang selalu dimiliki dalam jiwa Suto Sinting.

Genangan air yang dipijak Suto membuatnya sedikit curiga. Kelembaban tanah di sekitarnya membuat Pendekar Mabuk semakin hati-hati dalam melangkah. Matanya memandangi padang ilalang yang mengelilingi tanaman rambat seperti kangkung yang merimbun seluas sepuluh langkah lebih.

"Sepertinya di depanku itu adalah paya-paya yang berbahaya. Tapi kenapa ditumbuhi tanaman rambat cukup lebat dan luas? Oh, ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"

Mata Suto Sinting memperhatikan tanaman rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di seberang sana, sehingga jika Suto ingin mendekati gerakan tersebut ia harus melewati bentangan tanaman rambat itu. Karena curiga ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya atau rawa yang tertutup tanaman, maka Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melintasi tempat tersebut.

Tab, tab, tab, tab...!

Pendekar Mabuk melompati daun demi daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi membuat telapak kakinya yang menyentuh ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun bagaikan tidak tersentuh apa pun kecuali angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun tersebut, Suto baru menyadari bahwa ia sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu lubang yang tertutup tanaman rambat dengan rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu setelah ia merasakan tekanan daun yang dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti di bagian bawah daun tak ada alas penyangga, tak ada air, tak ada tanah. Daun itu bagaikan tumbuh mengambang di udara.

"Lubang besar! Gawat! Salah perhitungan sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam lubang besar ini?!" pikir Suto Sinting sambil semakin mendekati benda yang bergerak-gerak di bawah kerimbunan tanaman rambat itu.

"Tolooong...!" Suara itu sangat jelas, datangnya dari gerakan-gerakan di bawah tanaman itu.

Suto segera menyimpulkan, "Ternyata ada orang yang terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh, kasihan sekali."

Suto menyangka orang yang terperosok itu mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan karena dililit tanaman rambat. Maka dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar telapak tangan seseorang yang tampak tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman rambat. Sayang sekali sebelum Suto berhasil menyambar tangan orang tersebut, tiba-tiba si pemilik tangan telah melesat keluar dari kedalaman lubang.

Bruuussh...! Jleeg...!

Dengan bersalto dua kali di udara, orang tersebut berhasil menempatkan diri di tanah datar. Berdiri dengan tegak. Memandang Suto dengan senyum berkesan jumawa. Orang itu adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, seusia dengan Suto. Rambutnya ikal sedikit panjang diikat dengan ikat kepala dari kain berbenang emas.

Pakaiannya biru muda cerah. Di pinggangnya menyandang pedang pendek seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna putih perak. Gagang pedang itu berbentuk kepala naga, bagian mata kepala naga terdapat batuan warna merah cerah.

Suto Sinting hampir saja terkecoh masuk ke lubang besar itu. Untung ia segera meliukkan badan dengan menggunakan selembar daun untuk tumpuan jarinya, sehingga dalam sekejap Suto pun sudah berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu. Mata memandang penuh curiga, sedangkan lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.

"Sayang sekali kau yang datang. Padahal aku hanya ingin memancing seseorang yang bukan dirimu. Sobat!" kata si baju biru itu.

"Siapa kau?! Mengapa berpura-pura minta tolong?"

"Aku Wiratmoko. Aku orang yang gemar bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin menjebak temanku sendiri. Aku ingin menertawakannya jika ia terkecoh olehku."

"Siapa temanmu itu, Wiratmoko?"

"Kau tak perlu tahu. Sobat," jawabnya dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu baik padaku, sebutkan namamu supaya kita saling kenal."

"Namaku Suto."

"Nama yang sederhana, tapi mudah diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan," kata Wiratmoko bernada angkuh. "Apakah kau tersesat di hutan ini?"

"Tidak semata-mata tersesat."

"Ha, ha, ha, ha...," Wiratmoko tertawa melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu. Suto. Aku tahu kau benar-benar tersesat. Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah yang kau lalui tadi adalah permukaan sebuah lubang maut yang bernama Sumur Tembus Jagat."

Suto Sinting berkerut dahi, matanya memandang ke arah tanaman rambat yang tadi dilaluinya. Ia baru tahu bahwa lubang itu adalah Sumur Tembus Jagat. Tapi ia tak paham apa artinya.

"Sumur Tembus Jagat ini termasuk sumur tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke dalamnya ia tak akan bisa ditemukan lagi. Mungkin mati di pertengahan lorong sumur atau terbuang ke sisi belahan bumi lainnya. Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat dari maut yang ada di Sumur Tembus Jagat itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sehingga kau tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu mau menolongku."

Napas Pendekar Mabuk terhempas bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk tuaknya sebentar, dan pada saat itu Wiratmoko memperhatikan dengan dahi berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu pada diri Suto, namun ia tidak mau menyebutkannya. Ketika Suto selesai meneguk tuaknya, tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya putih yang menyerang ke arah Wiratmoko dari belakang. Suto Sinting segera berseru,

"Awas...!"

Suto terlambat berbuat sesuatu. Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui datangnya bahaya. Kilatan cahaya putih yang melesat itu menghantam punggung Wiratmoko. Duub...! Tubuh Wiratmoko kejang seketika, matanya mendelik dan semua gerakannya terhenti. Ia bagaikan menjadi patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat cerah itu menjadi kemerah-merahan. Hidungnya mulai melelehkan cairan merah kehitaman. Kejap berikut muncul seorang kakek berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang begitu saja, tak diketahui dari mana asalnya. Suto Sinting sempat terperangah dengan kemunculan kakek itu.

"Jangan berkawan dengan dia kalau kau ingin selamat!" kata kakek berjubah putih kumal itu. Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas, hinggap di dahan pohon yang dipunggunginya. Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang kakek pergi dengan cepat seperti lenyap ditelan angin.

* * *

DUA
PENGEJARAN Citradani sampai ke pesisir selatan. Musuh yang melemparkan senjata rahasia dan berhasil ditangkap oleh Suto itu ternyata seorang perempuan berusia lima tahun lebih tua dari usia Citradani yang mencapai dua puluh empat tahun itu. Perempuan yang dikejar Citradani itu mengenakan pakaian kuning menyala, rambutnya disanggul sebagian. Perempuan itu hentikan langkah ketika telah mencapai pesisir selatan. Ia tampak dengan terpaksa melayani maksud pengejaran Citradani. Keduanya kini saling berhadapan dalam jarak lima langkah.

"Ternyata kaulah orangnya, Tandak Ayu!" geram Citradani.

Tandak Ayu yang berhidung mancung dengan bentuk wajah bulat telur itu tersenyum sinis. Pedang yang ada di punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap berdirinya yang tegak dengan kaki sedikit merenggang menandakan ia siap mencabut pedang sewaktu-waktu.

"Ternyata kau seorang wanita yang pengecut, Tandak Ayu!"

"Jaga mulutmu agar tak robek dari mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan kalem namun menandakan kegeraman hatinya.

"Mengapa kau ingin membunuhku dengan senjata rahasiamu itu, hah?"

"Karena aku tak ingin kau memiliki barang yang kau cari-cari selama ini!"

Jawaban itu membuat Citradani berkerut dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak Ayu. Hatinya pun terkejut melihat Tandak Ayu ternyata mengenakan kalung Lintang Suci. "Jahanam kau, Tandak Ayu! Rupanya kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin menggeram, bagaikan menahan amarah mati-matian.

Tandak Ayu hanya sunggingkan senyum sinis. "Serahkan benda itu padaku sebelum terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"

"Rebutlah dengan nyawamu kalau kau mampu!" tantang Tandak Ayu.

"Jangan menyesal kau, Pencuri Busuk! Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan kilatan cahaya yang melesat dari sebuah pukulan.

Begitu cepatnya gerakan itu, hingga Tandak Ayu tak sempat berkedip dan menghindar. Tahu-tahu ia merasakan tubuhnya dilanda gumpalan badai yang membuatnya terpental sejauh lima tombak.

Brruhg...!

Tandak Ayu jatuh terpuruk. Mulutnya keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit sebelum Citradani lancarkan pukulan tenaga dalamnya tanpa wujud itu.

Wuuut...!

Tandak Ayu melenting ke udara dalam satu sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam Citradani yang dilepaskan melalui telapak tangan kirinya itu mengenai tempat kosong. Akibatnya pasir yang terkena pukulan itu menyembur ke atas. Pasir yang berwarna putih itu menjadi hitam legam saat menyembur ke atas, menandakan pukulan tenaga dalam tersebut cukup berbahaya jika mengenai tubuh lawannya. Beruntung Tandak Ayu mampu menghindarinya. Jika tidak ia akan menjadi hangus seperti pasir-pasir tersebut.

Tangan perempuan berpakaian kuning dengan ikat rambut pita kuning itu segera merapatkan kedua telapak tangannya di dada. Dalam sekejap ternyata ia telah berubah menjadi seekor kelinci putih. Claaap...!

Citradani hanya tersenyum sinis. Ia tahu Tandak Ayu bisa berubah begitu karena kekuatan kalung Lantang Suci yang dikenakan. Bahkan menjadi binatang yang lebih menyeramkan pun sangat mudah. Citradani segera memahami, bahwa yang dimaksud kelinci buruan Suto tadi rupanya adalah perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si pemuda tampan itu tentunya tidak mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah Tandak Ayu.

Kelinci putih itu melompat di balik karang. Citradani segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya bercahaya merah.

Wuuut...!

Blaaar...! Karang hancur seketika menjadi serbuk warna merah membara dan panas. Kelinci itu hilang. Entah kemana perginya.

Citradani mencari kebingungan. Hatinya kian panas, dadanya ingin meledak karena kehilangan lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang ajar! Dia pasti berubah menjadi undur-undur!" Sambil mengorek-ngorek tanah berpasir mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu, Citradani bertanya-tanya dalam hatinya,

"Bagaimana mungkin kalung itu bisa ada ditangannya? Apakah ia berhasil merebut kalung itu dari si tampan berhati iblis itu? Semudah itukah Tandak Ayu mampu merebutnya? Padahal aku tahu persis ilmu si Tandak Ayu tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia murid Nyai Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu 'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia belum mewarisi ilmu itu. Nyai Demang Ronggeng tak akan semudah itu menurunkan ilmu andalannya kepada sang murid!"

Mencari undur-undur adalah pekerjaan yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar dan tekun. Setiap tanah dikoreknya pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam dada Citradani sudah semakin menyerupai lahar gunung berapi yang ingin mendobrak kepundannya.

"Kugites dan kutumbuk selembut mungkin kalau undur-undur itu berhasil kutemukan!" geram Citradani sambil menyiapkan segenggam batu.

Ketekunan mengorek-ngorek tanah membuat Citradani terkejut ketika mendengar sapaan dari belakangnya. "Rupanya ada anak kecil yang gemar memburu undur-undur!"

Seet...! Citradani cepat palingkan wajah. Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah berdiri seorang gadis berpakaian kuning gading dan berambut lurus dengan poni di dahinya. Gadis itu tersenyum geli. Tapi Citradani justru makin cemberut. Lalu ia sentakkan tangannya yang mengeluarkan cahaya merah berkelebat.

Wuuut...!

Gadis berambut lurus itu pun menyentakkan tangannya hingga dari telapak tangan melesat sinar hijau yang langsung membentur sinar merah itu.

Wuuut...!

Blaar...! Ledakan dahsyat menggelegar, menggema bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu timbulkan gelombang hebat, hingga keduanya sama-sama terpental menjauh dan saling berjatuhan tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Dua gugusan batu karang itu retak, padahal jaraknya ke kanan-kiri mereka cukup jauh. Ombak lautan yang sedang menuju ke pantai pun menyibak tinggi berbalik arah. Gemuruh ombak bagai suara bumi mau kiamat. Rupanya keduanya sama-sama melepaskan pukulan berbahaya yang berkekuatan cukup tinggi.

Beberapa saat kemudian, gadis berambut lurus yang menyandang pedang berhias batu ungu di ujung gagangnya itu berdiri dengan sedikit limbung. Kejap berikutnya ia mampu tegak kembali dan memperhatikan Citradani yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.

"Gila dia melepaskan pukulan yang tidak tanggung-tanggung," pikir gadis berambut lurus itu. "Kalau tidak kuhadapi dengan pukulan mautku, mungkin aku akan mati dalam beberapa kejap saja."

Sementara itu, Citradani pun membatin, "Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus 'Merah Delima' yang hanya bisa ditangkis oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika begitu, dia mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin memang Nyai Demang Ronggeng telah mewariskan segala ilmunya kepada Tandak Ayu. Oh, aku harus hati-hati menghadapinya."

Kini keduanya sama sama mendekat dalam langkah yang penuh waspada. Masing-masing siap lepaskan serangan penangkis dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak enam langkah, mereka saling berhenti.

"Apa maksudmu menyerangku, Gadis Kecil?"

Citradani menggeletukkan gigi dipanggil 'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa dan mampu merobek mulut lawannya itu. Pandangan mata Citradani menjadi semakin benci dan mempertajam permusuhannya. Tapi ia menjadi sedikit heran melihat kalung Lintang Suci yang berbentuk bintang segi lima dari batuan kristal putih itu tidak kelihatan di leher lawannya.

"Tak perlu berpura-pura, Tandak Ayu! Sekali ini kalau kau tak mau serahkan benda itu, akan kubuat musnah tanpa bekas dirimu!"

Dahi gadis yang tangannya bertato mawar merah tepat di pergelangannya menjadi berkerut tajam menandakan keheranannya. "Siapa Tandak Ayu itu? Benda apa yang kau inginkan dariku?"

"Hmm...! Kau pikir aku mudah tertipu oleh penyamaranmu?!" Citradani melangkah ke kiri membentuk lingkaran, sedangkan gadis itu melangkah ke kanan penuh waspada.

"Mungkin kau salah duga. Aku bukan Tandak Ayu!"

"Akan kupaksa mulutmu agar mengaku. Hiaaat...!" Citradani melompat maju, menghantamkan pukulannya ke wajah gadis berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan telapak tangannya.

Plaak...!

Pukulan Citradani mengenai telapak tangan itu. Percikan bunga api menyembur dari perpaduan tangan mereka. Citradani merasa tertahan pukulannya, sehingga ia terpaksa melepaskan pukulan tangan kirinya dengan cepat ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi pukulan itu mampu ditangkis dengan mengadu pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi; kraak...!

Wuuut...! Bag, bag...! Duaaar...!

Kedua telapak tangan mereka saling beradu, ledakan kecil kembali terdengar menandakan kedua pukulan mereka cukup bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama terpental mundur, namun mereka tak sampai jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama berdiri dengan kaki merenggang dan memasang kuda-kuda siap serang.

"Edan! Bagian dalam tubuhku seperti sedang dibakar api setelah mengadu telapak tangan tadi." kata gadis itu dalam hati, "Apa maunya dia sebenarnya?"

"Serat-serat dagingku bagai disayat-sayat!" pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku karena beradu telapak tangan dengannya. Ilmunya memang tak boleh disepelekan. Tapi kurasa ilmu itu bukan dari Nyai Demang Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu memperoleh ilmu seperti itu?"

Setelah keduanya menyalurkan hawa murni dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang mereka alami pun mulai reda. Napas mereka yang terengah-engah menjadi tenang kembali. Tapi kedua mata mereka masih saling beradu pandang dengan sama-sama tajamnya.

"Aku tak akan membiarkan kau lolos, Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu darimu, akan kusiksa dirimu dengan jurus 'Pembakar Jantung'-ku nanti!"

"Persetan dengan anggapanmu! Aku bukan Tandak Ayu!"

"Omong kosong! kau pasti Tandak Ayu yang merubah diri menjadi wujud lain!"

"O, kurasa kau benar-benar salah anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan Tandak Ayu. Namaku adalah Kirana, murid Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar Seruni!"

Citradani diam sebentar, mulai merenungi kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana diperhatikan baik-baik dengan hati dililit kebimbangan. Sementara itu, Kirana sendiri segera ajukan tanya kepada Citradani.

"Sebutkan siapa dirimu, supaya kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa kita salah satu."

"Aku Citradani, bekas murid dari Kuil Elang Putih."

Kirana terkejut, "Jadi, kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani ganti terkejut. "Kau mengenal guruku? Apakah kau punya hubungan dengan guruku?"

"Aku pernah saling membantu dengan orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun menjelaskan peristiwa yang dialami bersama Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Pedang Emas). Kirana menambahkan penjelasannya pula, "Dan aku sekarang dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"

Citradani mengendurkan ketegangannya, meredakan kemarahan dan permusuhannya. Bahkan ia berjalan mendekati Kirana. Berdiri di depan gadis itu dengan jarak dua langkah. Matanya tidak lagi tajam, bahkan berkesan penuh penyesalan.

"Maaf, aku memang salah duga kalau begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu, karena Tandak Ayu tadi mengenakan pakaian kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik guruku itu yang bisa membuat dirinya mampu berubah-ubah wujud."

Citradani segera menceritakan riwayatnya menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang Putih. Pertemuannya dengan Suto pun diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan Citradani sempat bertanya dalam nada curiga. "Apakah kau kekasihnya Suto Sinting?"

Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya sahabatnya, karena memang begitulah anggapan Suto kepadaku selama ini."

"Mengapa kau tak mau menjadi kekasihnya?"

"Hanya gadis bodoh yang tak mau menjadi kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan pernah bisa menolak. Tapi agaknya Suto sudah mempunyai gadis pilihan."

"Siapa gadisnya itu?"

"Tanyakan sendiri kepada Suto Sinting. Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya, karena aku sudah lama tidak jumpa dengannya. Aku suka berpetualang bersamanya."

Kini Citradani mulai tersenyum penuh persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati Suto mencair dan mau menjadi kekasihmu."

"Itu harapan terakhir yang berusaha kulupakan," kata Kirana.

"Kalau begitu, mari kutunjukkan di mana aku bertemu Suto tadi."

"Lalu bagaimana dengan lawanmu, si Tandak Ayu?"

"Sudah terlalu sulit untuk kukejar jika ia sudah berubah menjadi undur-undur. Tapi aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengannya lagi dan mampu merebut kembali kalung Lintang Suci itu."

"Akan kubantu kau, karena hubunganku dengan gurumu pun baik!"

Citradani segera membawa Kirana ke kaki Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu. Tapi Citradani tak tahu kalau Suto sudah pergi dari kaki Bukit Mata Langit. Pendekar Mabuk telah membawa pergi Wiratmoko yang terkena pukulan kakek berjenggot panjang yang amat berbahaya. Suto membawa Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi tanaman. Bongkahan-bongkahan batu cadas lebih banyak tumbuh di sana, membentuk dinding-dinding alami, seperti lorong-lorong pendek.

Di sanalah tubuh Wiratmoko dibaringkan dalam keadaan kaku, mata mendelik dan mulut ternganga. Sementara itu, dari lubang hidungnya masih keluarkan cairan darah merah busuk yang memang menyebarkan aroma tak sedap. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi sedikit tuak tersebut masuk ke tenggorokan Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya Wiratmoko tampak mulai bisa menelan tuak tersebut.

Tangannya mulai melemas. Dadanya bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa berkedip-kedip. Apa yang membuatnya kaku menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari hidungnya. Semakin lama semakin membaik keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu sempat tertidur beberapa saat, dan Suto Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir membayangkan wajah kakek berjenggot panjang itu.

"Siapa tokoh tua itu? Mengapa ia menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya? Mengapa pula ia melarangku bergaul dengan Wiratmoko? Apakah ia tak mau melibatkan diriku? Apakah dia tak mau bentrok denganku? Mengapa tak mau? Ah, aneh sekali tokoh tua itu. Seharusnya aku mengejarnya dan menanyakan penyebab kata-katanya itu. Tapi. ke mana aku harus mencarinya?"

Suto Sinting mencoba naik ke tempat yang lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya sudah bisa melesat ke atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan cadas yang tinggi. Dari sana Suto memandang alam sekitarnya. Beberapa saat ia memandang, tak ditemukan gerakan mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan bayangan berkelebat dari tokoh tua tadi pun tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di ketinggian tersebut.

Tapi pada waktu Pendekar Mabuk ingin bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba pandangan matanya menangkap suatu gerakan lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa dipandang mata. Gerakan lari itu seperti bayangan putih yang samar-samar berkelebat menyelinap melalui celah-celah pohon di seberang sana.

Suto segera melesat dengan cepat. Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih itu. Dalam waktu singkat Suto Sinting sudah berhasil berdiri menghadang langkah bayangan putih. Orang tersebut segara hentikan langkahnya dan merasa kaget melihat Suto sudah berdiri didepannya.

"Kau lagi!" gumam kakek berjenggot panjang itu.

Ternyata harapan Suto terkabul. Ia berhasil bertemu dengan kakek penyerang Wiratmoko. Mata Suto memperhatikan dengan seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih lusuh dan menggenggam tongkat berkelok-kelok seperti seekor ular warnanya hitam. Rambutnya yang panjang sepunggung tidak diikat apa pun, sehingga hembusan angin memainkan rambut itu, menyingkap dan menutup sebagian wajahnya.

Kakek kurus itu mempunyai sapasang mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang membuat lawan atau orang lain menjadi segan kepadanya. Suto pun merasa demikian, namun ia memaksakan diri untuk tetap berdiri menghadang kakek tersebut.

"Maaf, Pak Tua...." sapa Suto dengan sopan, "Aku terpaksa menghentikan langkahmu. Ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu dan membuatku sangat ingin tahu."

Kakek berambut panjang itu berkata, "Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan campuri urusanku!"

Suto Sinting terkejut mendengar kakek itu mengenal nama gurunya. "Sekali lagi, maafkan aku, Pak Tua. Aku hanya ingin mengetahui siapa dirimu, sehingga menyerang Wiratmoko dan melarangku berteman dengannya?"

"Tanyakan saja pada gurumu siapa Raja Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya dia mendengar persoalanku dengan Wiratmoko yang menjadi murid tunggalnya Dampu Sabang."

"Siapakah Dampu Sabang itu, Pak Tua?"

"Tanyakan pada gurumu, Bodoh!" bentak Raja Maut dengan wajah semakin tampak keras dan berwibawa. "Aku harus selesaikan urusanku dengan seseorang di Pulau Blacan. Lain kali kita bertemu lagi, Suto Sinting!"

Slaap...!

Raja Maut pergi dengan sangat cepat sehingga berkesan seperti menghilang. Suto Sinting ingin mengejarnya, tapi tertahan oleh keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke tempat Wiratmoko dibaringkan. Ia ingin bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya yang bernama Dampu Sabang itu. Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah tak ada. Bekas telapak kakinya pun tak terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun timbul kesangsian kembali.

"Apakah dia pergi dengan sendirinya, atau ada yang membawanya lari? Jika ia pergi sendiri ke mana arahnya, jika ada yang membawa lari siapa orangnya?"

* * *

TIGA
MATAHARI pagi mulai meninggi. Sinarnya memancar terang menyiram tubuh kekar Pendekar Mabuk yang sedang berjalan menyusuri lembah. Lembah itu berpohon renggang dengan jenis tanaman terbanyak adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan besar dan bercabang-cabang. Pada salah satu dahan itulah terdengar suara tangis seorang gadis yang meratap memilukan.

Langkah Suto Sinting terhenti di bawah pohon itu. Wajahnya mendongak memperhatikan gadis berkepang dua dan berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau terang, menyelipkan pisau emas di pinggangnya yang berukuran sekitar dua jengkal. Gadis itu menangis dengan keadaan duduk di dahan besar, dagunya diletakkan di atas kedua lutut yang ditekuk ke atas.

"Kasihan. Gadis itu menangis sendirian di atas pohon tak ada temannya," pikir Pendekar Mabuk, "Kedengarannya tangis itu sangat memilukan hati. Apa gerangan yang terjadi sehingga ia harus menangis di atas sana? Oo... ya, ya... aku tahu, pasti dia menangis karena tak bisa turun dari atas pohon. He, he, he... gadis itu cantik tapi bodoh. Sudah tahu tak bisa turun dari atas pohon mengapa harus naik ke atas sana?" Pendekar Mabuk segera serukan suaranya, "Gadis manis, maukah kau kutolong untuk turun dari pohon itu?"

Tangis tersebut tiba-tiba hilang, tapi isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Ia memalingkan wajah bagaikan ingin bersembunyi dari tatapan mata Suto Sinting.

"Lain kali kalau tak bisa turun dari pohon jangan coba-coba naik ke atas pohon, Nona!" Setelah berkata demikian, Suto segera menendang pohon tersebut dengan tendangan miring.

Wuuut...! Duuhg...! Wwwrrr...!

Pohon itu terguncang hebat. Gadis berkepang dua itu terpelanting jatuh tak sempat berpegang dahan di atasnya. Ia menjerit saat melayang dari atas pohon tersebut. "Aaa...!"

Buhhg...!

Suara jatuhnya bagai nangka jatuh dari atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak ilalang, sehingga tubuhnya tak terluka sedikit pun. Hanya tulang pinggulnya sedikit terasa ngilu karena membentur tanah keras.

"Kurang ajar!" bentak gadis itu ketika berdiri. Ia langsung melesat bagaikan terbang menyerang Pendekar Mabuk dengan tendangan kakinya.

Wuuus...!

Plak, plak...!

Dua tendangan beruntun itu berhasil ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan yang kedua membuat tubuh itu terpelanting dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau merangkak.

"Maaf, aku lupa menadah tubuhmu saat jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi seharusnya kau berucap terima kasih kepadaku, karena aku sudah membantumu turun dari atas pohon."

"Dasar bodoh!" geramnya dalam sentakan menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku menangis bukan karena tak bisa turun dari atas pohon!"

"Lho...?!" Suto Sinting terbengong malu.

"Aku menangis karena sebab lain, tahu?!" bentak gadis berkepang dua itu.

"Mmm...maaf. Maafkan aku kalau begitu. Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab pertanyaanku yang pertama, jadi kusimpulkan sendiri apa yang kulihat dalam tangismu, Nona. Maafkan aku. Aku tak sengaja mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan aku pergi dan silakan melanjutkan tangismu lagi."

Suto berbalik arah dan melangkah. Dua langkah kemudian ia merasa ada angin panas yang menuju ke arah punggungnya. Suto Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis berkepang dua itu melepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto dengan menyilangkan bumbung tuak ke depan dada.

Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!

Bumbung tuak itu memantul balikkan pukulan tersebut sehingga gadis itu kebingungan menghadapi serangannya sendiri. Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih besar dari yang dikeluarkan. Akibatnya gadis itu melompat ke kiri dan kakinya terhempas kuat akibat terkena tenaga pantulan tersebut. Tubuh yang melompat itu cepat berputar terjungkir dan jatuh telentang dengan amat menyedihkan.

Blaak...!

"Uuh...!" Ia mengerang, meringis kesakitan. Pinggangnya terasa patah.

"Jangan menyerangku, Nona. Kau bisa celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku mau kau serang, kau tak akan celaka. Lain kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu padaku supaya aku rela menerima seranganmu."

"Setan!" geramnya sambil berdiri. "Kau pasti teman orang itu!"

Suto celingak-celinguk ke sekelilingnya. "Orang yang mana maksudmu?"

"Iblis Naga Pamungkas!"

Suto Sinting kerutkan dahi, karena merasa asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang dua yang punya tahi lalat kecil di sudut mata kirinya itu hanya mencibir sinis melihat keheranan Suto.

"Aku tidak kenal dengan nama itu."

"Bohong!"

"Aku berani bersumpah. Justru kalau kau mau, tolong jelaskan siapa orang berjuluk Iblis Naga Pamungkas itu?"

"Tentu saja orang yang mempunyai Pedang Naga Pamungkas!"

"Aku tidak tahu siapa pemilik pedang tersebut, Nona."

Gadis itu diam. Tangannya membersihkan tanah yangBmelekat di pakaian hijau cerahnya itu. Sambil menepiskan tanah-tanah dari pakaiannya, matanya memandang tajam penuh selidik. Dari ujung rambut Suto diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto Sinting tetap kalem. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu kali. Kesannya menganggap ringan kepada gadis yang sedang cemberut itu.

"Baiklah, Nona," kata Suto, "Kalau kau tak mau jelaskan apa sebab kau menangis dan apa hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas, aku akan teruskan langkahku mencari seorang teman."

"Siapa dirimu sebenarnya? Sebutkan dulu, baru aku akan jelaskan masalahku."

"O, kau tanya namaku? Namaku Suto Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi membuat mata gadis itu terbelalak dan berbinar-binar.

"Jadi...jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk itu?"

"Hei, kau mengenali julukanku?"

Ketegangan gadis itu pun mengendur. Ia mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat ciri-ciri Pendekar Mabuk yang sering didengarnya dari mulut para tokoh rimba persilatan. Gadis itu kini duduk di sebongkah batu di bawah pohon yang tadi digunakan untuk menangis. Ia merenung sesaat, dan Pendekar Mabuk mendekatinya dengan senyum masih tersungging dibibirnya.

"Kalau kau sudah tahu siapa diriku, sekarang giliranku mengetahui dirimu."

Tanpa memandang Suto, gadis itu menjawab dengan suara datar, "Namaku Mega Dewi. Ayahku Ki Lurah Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis Naga Pamungkas dalam keadaan sangat mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah ayahku ada di bawah tiga pohon rapat sebelah barat itu."

Gadis yang mengaku bernama Mega Dewi itu memandang tiga pohon cemara liar yang tumbuh berjajar merapat di sebelah barat mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan pohon itu, belum mau bergerak sedikitpun. Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju pohon yang dimaksud, Suto segera mengikutinya.

"Itulah jenazah ayahku," ucap Mega Dewi sambil menahan tangis, walau air matanya kembali meleleh membasahi pipinya yang merah jambu itu.

Suto Sinting terperangah kaget melihat jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Semalam?! Pertarungan itu terjadi semalam?!"

"Ya. Semalam. Aku lari bersembunyi di atas pohon sampai pagi menjelang dan kau pun datang."

Suto kembali menatap jenazah Ki Lurah Pramadi yang telah berwujud menjadi tengkorak rapuh, seperti layaknya orang yang mati sudah bertahun-tahun. Tak ada kulit atau daging yang tersisa sedikit pun. Bahkan bentuk kerangkanya sudah kusam. Sebagian ada yang rapuh. Tengkorak kepalanya bagian kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya pun tak ada. Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin jika Ki Lurah Pramadi dibunuh tadi malam.

"Aku tak percaya kalau ayahmu dibunuh tadi malam."

"Mulanya aku pun tak percaya dengan penglihatanku. Tapi mau tak mau aku terpaksa percaya karena aku melihat sendiri pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada, beliau sempat berseru agar aku bersembunyi dan menjauhi pertarungannya. Maka aku pun bersembunyi di pohon sana."

Mata Pendekar mabuk masih menatap heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi itu. Ia bergumam dengan suara terdengar di telinga Mega Dewi, "Jurus apa yang digunakan iblis Naga Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi seperti ini? Alangkah bahayanya jurus itu?"

"Ia menggunakan Pedang Naga Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan dari kejauhan, ia menggunakan pedang itu pada saat ia telah terdesak oleh serangan ayahku. Ia tebaskan pedang itu menyilang, melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak berhasil mencariku. Ketika kuhampiri, ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti ini."

"Apa masalahnya sehingga ayahmu bentrok dengan Iblis Naga Pamungkas?"

"Balas dendam!" jawab Mega Dewi.

"Balas dendam yang bagaimana? Coba jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.

"Ayahku termasuk musuh utama dari gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku pernah membunuh salah satu dari ketiga istri gurunya Iblis Naga Pamungkas."

"Siapa gurunya Iblis Naga Pamungkas itu?"

"Aku tak mendengar ia sebutkan nama sang Guru, aku hanya mendengar persoalannya saja, bahwa Iblis Naga Pamungkas ditugaskan oleh gurunya untuk membantai habis para musuh utamanya."

"Apakah kau tahu siapa saja musuh utamanya?"

"Tidak. Tapi kudengar ia menyebutkan orang berikutnya yang akan disambangi dengan Pedang Naga Pamungkasnya itu."

"Siapa nama orang tersebut?"

"Ki Gendeng Sekarat."

"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut dengan melebarkan matanya.

Mega Dewi menatap heran, "Apakah kau kenal dengan nama itu?"

"Sangat kenal. Ki Gendeng Sekarat adalah bekas pelayan guruku dan hubunganku dengan beliau sangat baik. Beliau banyak membantuku dalam beberapa urusan. Jelas aku tak akan membiarkan Iblis Naga Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng Sekarat!" Pendekar Mabuk termenung beberapa saat membayangkan wajah Ki Gendeng Sekarat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat). Bagi Suto, Ki Gendeng Sekarat bukan saja seorang sahabat, namun sudah dianggap seperti orang tua sendiri, pengganti gurunya dalam meminta berbagai pertimbangan. Tentu saja Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat seperti nasib Ki Lurah Pramadi.

"Tahukah kau ke mana perginya Iblis Naga Pamungkas itu?" tanya Suto bagai kehilangan senyum.

"Yang kutahu ia menghilang setelah bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.

"Kalau begitu, akan kukejar dia ke sana. Selamat tinggal, Mega Dewi."

"Tunggu!" cegah Mega Dewi membuat Suto urungkan langkah. Mega Dewi mendekat saat Suto berpaling memandangnya. "Aku harus ikut denganmu, Suto!"

"Tidak ada keharusan. Aku tak mau pergi denganmu, karena aku tak ingin kau menjadi korban seperti ayahmu."

Mega Dewi menggelengkan kepala. "Aku harus ikut demi membalas kematian ayahku. Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat kalahkan Iblis Naga Pamungkas. Aku tahu, aku akan kalah jika melawannya sendiri. Tapi dengan membantumu, aku sudah merasa membalaskan kematian ayahku."

"Kalau kau sendiri yang akhirnya menjadi korban, bagaimana?"

"Aku sudah siap mati demi pembelaan terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa bisa membalaskan dendam atas kematian ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak memiliki orangtua lagi. Ayahku tiada, ibuku pun sudah lama meninggal. Kini hidupku sebatang kara, tak punya arti bagi saudara dan orangtua." Mega Dewi menangis dengan tundukkan wajah.

Suto Sinting hanya menarik napas. Menahan keharuan dan rasa iba hati atas nasib Mega Dewi. Ki Gendeng Sekarat yang menjadi sasaran keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu kalau dirinya sedang diincar bahaya. Ki Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto Sinting untuk satu keperluan, yaitu tugas dari Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum.

Wanita anggun dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia menderita sakit karena rindu ingin jumpa dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat ditugaskan mencari Suto agar membawanya pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk beberapa saat. Tetapi dalam perjalanannya itu, Ki Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang telah tertidur di bawah pohon tepi jalan menuju sebuah desa.

Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun berambut ikal putih mengenakan ikat kepala hitam itu dengan enaknya duduk melonjor kaki, punggung bersandar batang pohon, mulut ternganga mengeluarkan dengkur tipis. Ia tampak nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya yang berupa kipas putih masih terselip di pinggang.

Seorang bocah penggembala kambing melintas di jalanan depan Ki Gendeng Sekarat. Bocah itu tersenyum geli melihat Ki Gendeng Sekarat tidur seenaknya. Dengan usil bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu melemparkan batu ke arah Ki Gendeng Sekarat. Wuuut..! Lalu ia bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, membiarkan kambingnya memakan rumput di seberang sana.

Tetapi sang bocah segera kaget, karena batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap oleh tangan kiri Ki Gendeng Sekarat. Taaab...! Bocah itu bertambah heran karena pada saat batu tertangkap tangan Ki Gendeng Sekarat masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya terdengar samar-samar.

"Dia pasti bukan pengemis. Dia pasti orang sakti," pikir bocah itu. "Alangkah senangnya jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa bangun dulu dia bisa tangkap lemparan batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk melemparkan batu yang lebih kecil lagi ke arahnya. Apakah ia masih bisa menangkapnya?"

Wuuut...! Batu itu dilemparkan dari balik persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki Gendeng Sekarat berkelebat menyambar batu tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya sedikit bergeser lebih merendah lagi, namun dengkurannya tetap terdengar samar-samar.

"Gila dia masih tetap tidur?!" pikir bocah penggembala dengan herannya. Tiba-tiba bocah itu terkejut saat ingin keluar dari persembunyian. Hal yang membuatnya terkejut adalah munculnya seekor harimau hitam dari arah timur. Harimau hitam itu melangkah dengan pelan, lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan mencium bau sedapnya makanan. Suara geramannya pun mulai terdengar. Bocah penggembala kambing menjadi gemetar ketakutan.

"Celaka! Harimau itu menuju kemari. Pasti ia akan menyantapku, bukan menyantap kambing-kambingku?! Aduh, bagaimana ini? Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan kalah cepat dengan larinya."

Bocah penggembala kambing masih bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, ia bermaksud memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa harimau kumbang itu mampu memanjat pohon dengan cepat. Menggigil juga sekujur tubuh yang mengeluarkan keringat dingin itu. Harimau tersebut semakin dekat.

"Oh, dia menuju ke orang tua itu? Celaka! Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui kalau ada bahaya datang. Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan orang tua yang tertidur itu. Jika tidak, pasti dia akan mati diterkam harimau hitam."

Bocah penggembala segera mencari sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua kali genggaman tangannya. Pada saat itu harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki Gendeng Sekarat. Binatang itu sudah bersiap-siap untuk melompat dan menerkam Ki Gendeng Sekarat. Bocah penggembala segera keluar dari persembunyiannya. Ia berlari lebih mendekati lalu melemparkan batu itu ke arah harimau hitam.

"Mati kau macan keling!"

Wuuut...! Buuhg...!

"Ggrrrrr...!"

Batu itu mengenai perut sang harimau. Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke samping. Lalu arahnya berbalik menghadap kepada bocah tersebut. Matanya memancarkan keganasan yang mengerikan. Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari karena paniknya. Harimau hitam segera melompat dengan mulut ternganga dan taringnya yang runcing siap merobek tubuh bocah tersebut.

"Grrraaaow...!"

Wuuuusst...! Bocah kecil itu menutup mata kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena ingin berteriak namun tak mampu keluarkan suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia merasa sudah mati dan tinggal rohnya saja yang melesat terbang di udara bebas. Namun ketika ia buka mata, ternyata ia dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap tertidur dengan mata terpejam walau sudah berpindah tempat. Rupanya bocah itu disambar oleh Ki Gendeng Sekarat sehingga terkaman harimau hitam itu tidak menemukan sasarannya, melainkan menemukan tempat kosong.

"Bocah dungu! Untuk apa kau melawan macan hitam itu, hah?! Bisa mati sia-sia kau, Nak! Cepat sembunyi di belakang pohon itu!"

Kata-kata Ki Gendeng Sekarat membuat si bocah terbengong-bengong, karena Ki Gendeng Sekarat bicara dalam keadaan tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang sedang mengigau.

"Cepat sembunyi, Bodoh! Macan itu berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil mendorong bocah itu agar segera lari ke balik pohon.

Bocah itu memang lari untuk sembunyi, tapi wajahnya masih berpaling memandang ke arah harimau hitam yang kini sedang mengaum mengerikan dengan melompat cukup tinggi hendak menerkam Ki Gendeng Sekarat. Dalam keadaan masih tidur, Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sepercik sinar kuning terlepas terbang dan menghantam tubuh harimau hitam itu.

Buuhg...!

"Grraaaoow...!" Binatang tersebut terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung yang mendirikan bulu kuduk si bocah. Harimau itu jatuh berguling-guling bagaikan diterjang badai amat besar. Tubuhnya sempat membentur bongkahan batu cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah penggembala. Binatang itu meraung-raung di sana.

Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang, amat menyilaukan, membuat si bocah mengecilkan mata. Ketika sinar putih menyilaukan itu hilang, bocah penggembala terkejut bukan kepalang, karena wujud harimau hitam itu berubah sama sekali, berganti rupa perempuan cantik berpakaian kuning terang.

Terdengar pula suara Ki Gendeng Sekarat yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya terkulai lemas ke samping. "Kalau tak salah kenal... kau adalah Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng! Aku masih ingat wajahmu, Cah Ayu!"

"Ternyata kau belum pikun, Raja Molor!" ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri, merapikan pakaian sebentar, memandang dengan sengit karena penyamarannya mampu dipudarkan oleh pukulan Ki Gendeng Sekarat.

"Mengapa kau menyerangku, Tandak Ayu!"

"Seseorang telah berpesan padaku, agar jika bertemu denganmu aku harus membunuhmu, Ki Gendeng Sekarat."

"Lupakan pesan itu dan jangan lakukan, nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki Gendeng Sekarat masih dengan tertidur nyenyak.

Agaknya Tandak Ayu tidak pedulikan anjuran itu. Ia segera cabut pedang di punggungnya. Serrt...! Kemudian segera melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia lakukan tanpa suara supaya Ki Gendeng Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan pedang. Tandak Ayu tidak mengetahui bahwa Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam keadaaan tidur daripada dalam keadaan melek.

Pedang perempuan itu menebas dari atas ke bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng Sekarat. Tetapi dengan sigap dan cepat Ki Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang tahu-tahu sudah menyambar kipas putih. Traak...! Kipas putih itu menahan gerakan pedang di atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng Sekarat yang satunya lagi menghantam siku pemegang pedang.

Kraak...!

"Aauh...!" Tandak Ayu memekik. Tulang lengannya terasa patah karena sentakan telapak tangan Ki Gendeng Sekarat.

Sedangkan bocah penggembala itu semakin terkagum-kagum melihat kehebatan jurus Ki Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat melakukan perlawanan masih dalam keadaan tidur.

"Tinggalkan diriku dan jangan lakukan pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua tulangmu bisa patah kalau kau nekat menyerangku, Cah Ayu!"

"Persetan! Aku masih punya tangan kiri yang lebih berbahaya dalam memainkan pedangku. Hiaaah...!"

Wuuut...! Wuuuurt..!

Ki Gendeng Sekarat kibaskan kipasnya dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak Ayu. Angin besar melanda dan menumbangkan tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu terjungkir balik terhempas tak tentu arah. Praaak..! Kepalanya membentur gugusan batu cadas. Darah mengucur, namun ia masih sempat larikan diri.

"Bagus! Pergilah dengan cepat sebelum murkaku datang, Tandak Ayu!"

"Kita akan bertemu lagi, Ki Gendeng Sekarat!"

"Terserah kalau memang kau tak jera dengan bocornya kepalamu itu!"

Tandak Ayu telah sampai di kejauhan dalam waktu yang hanya beberapa kejap. Bocah penggembala keluar dari persembunyiannya, memandangi arah pelarian Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa saat di tempatnya, merasa heran dengan perempuan yang bisa merubah diri menjadi seekor harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak Ayu pun punya ilmu tinggi dan cukup sakti, tapi kenapa hanya sekali gebrak dengan kipas Ki Gendang Sekarat saja bisa lari tunggang-langgang. Jika bukan karena Ki Gendeng Sekarat punya ilmu lebih tinggi, tak mungkin Tandak Ayu melarikan diri walau kepalanya sempat bocor dan berdarah.

"Aku harus bicara dengan Pak Tua itu," kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia berpaling memandang Ki Gendeng Sekarat, ternyata orang tersebut telah kembali ke tempat duduknya semula, tertidur dengan bersandar pohon dan sedikit merebah dari semula. Suara dengkurannya terdengar samar-samar.

"Yaah... tidur lagi?!" bocah itu mengeluh kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki Gendeng Sekarat yang dikaguminya itu. "Kek... Kakek... Kek, bangunlah sebentar, Kek." Bocah itu hanya berani berkata-kata namun tak berani menyentuh tubuh Ki Gendeng Sekarat. "Kakek yang sakti, bangunlah sebentar."

Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya bagaikan lengket dan tak bisa dibuka. Tapi ia menjawab suara si bocah dengan suara parau. "Ada apa? Mau melemparkan batu lagi?"

"Buk... bukan... bukan itu, Kek. Hmmm... anu... saya... saya ingin menjadi muridmu, Kek."

"Murid apa?" jawab Ki Gendeng Sekarat dengan sangat lemah dan malas.

"Saya... saya ingin menjadi sakti seperti Kakek."

"Sakti? Sakti itu apa? Tak tahu aku. Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin menjadi muridku. Murid tidur, apa susahnya? Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari gurunya. Sini, tidur disampingku!"

Sang bocah bingung dan terbengong-bengong. Ia ragu menuruti saran tersebut. "Apakah dengan tidur di sampingnya aku bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir sang bocah dengan lugu.

EMPAT BOCAH berkulit hitam tertidur di samping Ki Gendeng Sekarat. Dalam tidurnya ia bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh Ki Gendeng Sekarat.

"Namamu siapa, Nak?"

"Angon Luwak, Kek."

"Angon Luwak? Lho, apakah tidak keliru? Setahuku kau angon kambing, alias menggembala kambing."

"Itu pekerjaanku, Kek. Tapi namaku sejak kecil adalah Angon Luwak, Kek"

"Ya sudahlah. Itu urusan orangtuamu. Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan nama seperti itu. Sekarang yang penting kau ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan berikan beberapa jurus untuk membela dirimu jika dalam bahaya. Tapi tak boleh kau gunakan untuk sombongkan diri. Setuju?!"

"Ya, Kek. Setuju."

"Bagus. Sekarang remaslah batu hitam ini sampai pecah."

Dalam mimpi sang bocah, ia diberi batu hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu disuruh meremasnya sampai pecah. Angon Luwak tak sanggup lakukan walau sudah berulang kali mencobanya. "Sulit, Kek."

"Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya bakar jagung lalu dimakan, itu mudah," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kerahkan semua tenagamu ke tangan kanan. Kencangkan semua otot, tahan napasmu dalam meremas batu itu. Lakukan!"

Bocah yang mengaku bernama Angon Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu saja ia tetap tak bisa meremas batu hitam itu. Ia meringis dan berkata, "Malah sakit, Kek."

"Ya memang sakit. Kalau yang tidak sakit adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu tidak akan sakit."

"Kalau bisa pelajaran yang lainnya saja, Kek."

"Pelajaran yang lainnya aku sudah tak ingat bagaimana mengajarkannya. Yang kuingat pelajaran meremas benda keras menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran itu, ya sudah cari guru lain saja," kata Ki Gendeng Sekarat dengan seenaknya.

Angon Luwak melakukan pelajaran meremas batu berkali-kali, tapi yang ia peroleh hanya telapak tangan yang lecet dan perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh Angon Luwek membuka telapak tangannya yang perih itu.

"Coba buka telapak tanganmu!"

Angon Luwak membuka telapak tangannya. Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya putih perak memancar dari perpaduan telapak tangan tersebut. Bocah itu heran, namun rasa herannya harus segera disingkirkan karena Ki Gendeng Sekarat segera berkata,

"Telapak tangan yang kiri juga dibuka sekalian!"

Angon Luwak membuka telapak tangan yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar putih perak berkilat kembali. Hanya sekejap dan sangat cepat, tahu-tahu sudah hilang tanpa asap sedikitpun. Tapi Angon Luwak merasakan getaran panas yang masuk dalam tubuhnya melalui lengan tersebut.

"Sekarang, coba remas lagi batu hitam itu!" perintah Ki Gendeng Sekarat.

Bocah kecil berambut lurus agak panjang itu menggenggam batu hitam dan meremasnya dengan mengencangkan seluruh urat lengan.

Praak...!

"Wah, bisa! Bisa hancur, Kek?!" bocah itu kegirangan.

"Belum," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kau belum berhasil. Batu itu harus menjadi lembut. Tidak boleh menjadi bongkahan-bongkahan kecil begini."

"Harus lembut seperti pasir, Kek?"

"Terserah. Mau seperti pasir atau seperti debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Ayo, ulangi lagi!"

Batu yang lainnya diambil. Diremas dalam genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih belum selembut pasir. Angon Luwak mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan beberapa bongkah batu hitam. Sampai akhirnya, kejap berikut ia meremas batu hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya.

Pruuss...!

Batu hitam itu menjadi lembut seperti pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil berseru kepada Ki Gendeng Sekarat, "Berhasil, Kek! Aku berhasil meremas sampai lembut. Lihat, Kek...!"

Ki Gendeng Sekarat memeriksa sebentar, lalu menggumam sambil manggut-manggut, "Ya, ya... baik. Kau sudah berhasil. Sekarang kau sudah jadi muridku dan sudah tamat belajar."

"Lho, kok cuma sebentar, Kek? Pelajarannya kok cuma satu saja?"

"Iya. Karena kalau semua ilmuku kau pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk mewarisi semua ilmuku. Lihat, kambingmu sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya tak hilang."

Angon Luwak berlari, kakinya tersandung akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak menggeragap ketika terbangun dari tidurnya. Ia memandang sekeliling, ternyata kelima kambingnya masih memakan rumput di tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah tak ada disampingnya.

"Ah, sayang semuanya cuma mimpi. Tapi ke mana perginya kakek itu?"

Angon Luwak menganggap semua itu hanya mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng Sekarat, ia segera bangkit dan menghampiri kambingnya. Salah satu kambing ada yang memisahkan diri dan ingin makan tanaman beracun. Angon Luwak segera menghalau kambingnya supaya jangan makan tanaman beracun. Ia mengambil batu dan melemparkannya sambil berseru,

"Husy...Husyah...!"

Batu pun dilemparkan. Wuuur...!

"Lho...?!" Angon Luwak terperanjat dan sangat heran. Batu yang dilemparkan ternyata telah menjadi serpihan-serpihan lembut walau tidak selembut pasir. Mata bocah itu memandangi serpihan tersebut, juga memandangi kedua telapak tangannya. Ia memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya seperti yang dilakukan dalam mimpinya. Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya menjadi pasir hitam.

"Hahh...?!" Angon Luwak kian terperanjat. "Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras itu? Ah, sepertinya apa yang kulakukan tadi hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa menjadi nyata? Tapi..., sebaiknya kucoba lagi dengan batu yang agak besar dan lebih keras lagi."

Angon Luwak memungut batu yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya. Ia meremasnya dengan satu sentakan tangan menggenggam.

Pruus...!

Ternyata batu itu berhasil diremukkan hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia segera memungut sebatang dahan kayu yang masih belum keropos tapi sudah kering. Pruuus...! Batang kayu itu pun hancur lebur dalam genggaman tangannya.

"Oh, aku telah bisa...! Aku berhasil mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh, ternyata mimpiku itu bisa menjadi kenyataan? Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi apakah ini pun bukan sekadar mimpi seperti tadi?" pikir bocah itu dengan bingung sendiri. Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya untuk mengabarkan berita kehebatannya itu.

Tetapi dalam perjalanan menuju desanya, ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis. Yang satu mengenakan pakaian hitam-hitam, yang satunya lagi mengenakan pakaian biru tua. Keduanya sama-sama menyandang senjata kapak di pinggang. Kapak mereka sama panjang dan sama bentuknya. Kedua lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Angon Luwak sama sekali tidak mengenal siapa kedua orang berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin bahwa kedua orang tersebut adalah orang jahat.

"Hei, Bocah...!" sapa yang baju hitam. "Di mana rumah Empu Sakya?"

"Empu Sakya?" bocah itu termenung memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya. Ia kenal nama Empu Sakya, yaitu seorang pembuat senjata keris pusaka bernama Keris Setan Kobra. Angon Luwak juga pernah mendengar beberapa orang memburu Keris Setan Kobra, tapi keris itu selalu dipertahankan oleh Ki Empu Sakya. Bahkan kabarnya pernah ada orang yang berminat menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong permata, tapi ditolak oleh Ki Empu Sakya.

Melihat tampang bengis kedua orang itu, Angon Luwak menjadi curiga. Ia beranggapan kedua orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya tersebut dengan cara kasar dan kejam.

"Anu... saya tidak tahu kok, Paman." jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan pertanyaan serupa.

"Kau bocah desa Kukusan, bukan?" tanya si baju biru.

"Betul, Paman."

"Kau pasti tahu rumah Empu Sakya! Karena dia tinggal di desa Kukusan."

"Tidak. Saya tidak tahu, Paman."

Yang berbaju hitam segera meremas rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana, kalau tak mau kepalamu kupancung biar pisah dengan ragamu!"

Angon Luwak meringis kesakitan. "Ampun, Paman... saya... saya memang tidak tahu, Paman. Saya tidak tahu!"

"Kecil-kecil sudah mau berbohong kamu, hah?!" si baju hitam semakin memperkuat jambakannya sampai kaki Angon Luwak berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan rambutnya ke atas.

"Sakit, Paman...," rengeknya sambil tangannya berusaha menggenggam pergelangan tangan si baju hitam.

Sementara itu, si baju biru hanya tertawa-tawa sambil berkata, "Tarik terus ke atas sampai copot kulit kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama anak kecil, ha, ha, ha...!"

Jambakan itu terasa semakin sakit. Tangan Angon Luwak kian meremas pergelangan tangan Wongso. Kraak...!

"Aaaouh...! " Wongso terpekik kesakitan dengan mata mendelik. Tulang di pergelangan tangannya menjadi remuk karena genggaman Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan rasa sakit yang membuat Wongso terbungkuk-bungkuk sambil mendekap pergelangan tangan kanannya.

"Kenapa kau ini, hah?! Digenggam bocah ingusan saja menjerit-jerit seperti itu?!"

"Matamu picek, Mayong! Tulang lenganku remuk!" geram Wongso sambil menyeringai kesakitan.

Mendengar ucapan itu, Mayong segera memandang tajam kepada Angon Luwak yang telah mundur sejauh tujuh langkah. Bocah bercelana kumal warna hitam dengan baju kusut warna hitam tanpa lengan itu semakin ketakutan mendapat pandangan sangar dari Mayong.

"Hei, kemari kau!" gertak Mayong memanggil Angon Luwak.

"Tidak. Saya tidak mau!"

"Ke sini kau!" bentak Mayong makin keras sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan cepat bocah itu pun segera melarikan diri kembali ke arah semula.

"Berhenti kau!" seru Mayong, lalu mengejar bocah itu dengan nafsu ingin menangkapnya. Tapi Angon Luwak berlari ketakutan secepat mungkin.

Mayong berseru mengancamnya, "Kalau kau tak mau berhenti kulempar kapak ke kepalamu, Bocah Tolol!"

Angon Luwak tak pedulikan ancaman itu. Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh Mayong, sementara Wongso mengikuti dari belakang sambil masih mendekap pergelangan tangan kanannya yang segera berwarna biru legam itu.

"Bangsat betul bocah itu!"geram Wongso. Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan kapakmu! Bunuh bocah itu!Dia benar-benar telah meremukkan tulang tanganku, Mayong!"

Langkah Mayong berhenti sebentar. Kapak dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke punggung Angon Luwak.

Wuuung...! Jraab...!

"Haihhh...?!" Angon Luwak terbelalak kaget. Kapak itu menyambar di atas kepalanya kalau saja ia tidak jatuh tersandung batu. Kapak itu menancap di batang pohon tepat di depan Angon Luwak. Serta merta Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak tersebut. Tapi karena daya tancapnya cukup dalam, maka kapak itu tak mudah dicabut.

"Hoi...! Berani kau mencabut kapakku, hah?!" bentak Mayong sambil bergegas menyusul bocah kecil itu.

Karena kapak sukar dicabut maka genggaman tangan Angon Luwak menjadi sangat kuat. Dan gagang kapak pun menjadi hancur seketika itu pula. Proos...!

Mayong terhenti dari langkahnya karena kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu sebagian. Wongso pun mendelik melihat hal itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget karena tak sengaja meremukkan gagang kapak dari kayu jati yang amat keras itu. Melihat kapak berhasil diremukkan, maka Angon Luwak coba coba meremas bagian mata kapak yang tidak sempat terbenam di batang pohon.

Pruuuss...!

Kapak besi itu hancur jadi serbuk lembut diremas dengan kedua tangan. Hal itu menambah kedua manusia bertampang bengis sama-sama kian terperanjat begong. Angon Luwak membuang rasa bangganya, karena sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan datang. Maka ia segera larikan diri kembali tak mempedulikan remukan kapak besi tersebut.

"Bocah setan" maki Mayang. "Kapakku bisa diremukkan dengan tangan sekecil itu. Kurang ajar!"

"Kejar dia sampai dapat dan bunuh tanpa ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan rasa sakit pada pergelangan tangan yang remuk itu.

Angon Luwak semakin mempercepat larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia dikejar-kejar dua orang dewasa. Dikepung dua arah. Sampai akhirnya Angon Luwak terpojok ketika membawa pelariannya ke atas bukit. Ia tak dapat bergerak lagi karena di depannya ada jurang cukup dalam, sementara dua pengejarnya sudah merapat di belakangnya.

"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!" bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari pinggang Wongso, karena ia tahu Wongaso tak bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan tangan kanannya remuk, sedangkan tangan kiri Wongso tidak begitu piawai untuk memainkan senjata apapun.

Mata bocah itu membelalak tegang. Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan keluar lagi kecuali nekat menerobos kepungan dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayun-ayunkan oleh Mayong itu membuat hati bocah itu menjadi ciut nyali dan menggigil tubuhnya.

"Kalau kau bisa remukkan kapakku, maka kepalamu pun akan kuremukkan!" geram Mayong sambil kian mendekat.

Angon Luwak kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa keluarkan suara apa pun. Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari belakang Mayong dan Wongso,

"Memalukan sekali. Bocah kecil dikeroyok dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar memalukan!"

Kedua lelaki bertampang bengis itu segera balikkan badan menatap orang yang dianggap bicara sembarangan itu. Ternyata seorang gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda menyandang bumbung tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar Mabuk dan Mega Dewi.

"Jangan lancang mulutmu, Gadis Dungu! Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu, tahu?!" geram Mayong kepada Mega Dewi.

Gadis itu hanya tersenyum sinis. Suto Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut campur. Karena ia merasa yakin bahwa Mega Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang bengis itu. Mega Dewi maju sendirian tanpa rasa takut sedikit pun, sebab ia percaya kalaupun ia terdesak dan hampir kalah, pasti Suto Sinting tak akan tinggal diam.

"Apa salah bocah itu sampai kalian berdua mengeroyoknya? Apakah tak malu pada diri sendiri?!"

"Persetan dengan kata-katamu! Kami punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur!" geram Wongso dengan menahan rasa sakit dan berpura-pura tidak mengalami remuk tulang.

"Biarkan bocah itu pergi. Jangan kalian takut-takuti dengan kapak itu!"

"Berani-beraninya kau memerintah si Kapak Kembar, hah?! Apakah kau belum mendengar keganasan kami, si Kapak Kembar ini?!"

"Tak perlu kudengar, karena keganasanmu hanya kepada anak kecil. Kau tak akan berani ganas kepada orang seusiaku!"

Wongso menggeram dengan gigi menggeletuk, wajahnya merah menahan marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya mulai semburat merah menandakan kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun. "Apa maumu sebenarnya, Gadis Dungu?!"

"Bebaskan bocah itu. Kalau kalian ingin murka, jangan kepada bocah itu. Dia bukan tandingan kalian. Akulah tandingan kalian!"

"Keparat! Rasakan jurus 'Kapak Malaikat' ini, Gadis Dungu! Heaaah...!" Mayong maju menyerang dengan tubuh berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap membabat apa saja yang dikenainya.

Tetapi Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya melenting di udara. Kakinya menjejak bagai orang berlari cepat, tepat mengenai kepala Mayong beberapa kali dan secara beruntun.

Dug, dug, dug, dug...!

Mayong menggeloyor hendak jatuh. Namun ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga dipijakkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan tendangan putar yang amat kuat.

Wuuut...!

Plook...! Wajah Mega Dewi terkena tendangan putar itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang. Untung ia bisa menahan gerakannya, sehingga urung masuk ke jurang. Ia sentakkan kakinya dan bersalto mundur dua kali. Tab, tab...! Tahu-tahu tiba di samping Wongso. Kaki Wongso segera menyambar kembali dengan jurus tendangan yang sama. Mega Dewi rendahkan badan, lalu dengan tangan bertumpu di tanah ia menendang rusuk Wongso dengan kaki kanannya yang miring.

Duuus...!

"Ahg...!" Wongso tersentak hingga terhuyung huyung beberapa langkah. Pada waktu itu Mayong datang menghantamkan kapaknya untuk membelah punggung Mega Dewi. Namun dengan cepat Mega Dewi bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya sudah terhunus. Pisau itu ditikamkan ke arah bagian bawah ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil ditangkis dengan kaki merentang tinggi.

Jruub...!

"Aaahg...!" Mayong terpekik. Kapaknya jatuh ke tanah. Bocah berkulit hitam itu segera menyambar kapak itu pada saat Mayong dibabat ujung pisau dari samping kanan ke kiri.

Breeet...!

Dada Mayong koyak seketika. Darah mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai rahang Mayong. Serta-merta Mega Dewi lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa lagi. Wajah Mayong menyeringai menahan sakit pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak yang jatuh. Namun terkejut melihat kapak itu sudah di tangan Angon Luwak. Bocah itu meremas mata kapak dengan kuat.

Praaas...! Hancur menjadi serbuk besi yang amat mengagumkan. Kapak itu tinggal bagian gagangnya saja, lalu gagang kapak itu diserahkan kepada Mayong. Ketika Mayong ingin meraih dengan terbungkuk-bungkuk karena sakit. Angon Luwak menghantamkan gagang kapak ke kepala Mayong dengan telaknya.

Pletok...!

"Adaaaoow...!" kedua tangan Mayong jadi berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak dibuang. Angon Luwak berlari mendekati Mega Dewi, seakan berlindung di sana dari pembalasan Mayong.

"Tinggalkan mereka! Cepat!" seru Wongso sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka pun segera lari. Tak sedikit pun berpaling ke belakang.

Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun bengong memandangi Angon Luwak, merasa kagum melihat bocah kecil mampu meremukkan besi mata kapak itu. Suto segera bertanya, "Siapa yang memberimu ilmu untuk meremukkan benda keras itu, Nak?"

"Kakek... eh, anu... guru saya. Kang."

"Siapa gurumu?" tanya Suto lagi.

"Hmmm... namanya...," Angon Luwak mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya, Kang."

"Lho, kok sampai lupa? Kau belajar di mana?"

"Di... di alam mimpi, Kang."

Pendekar Mabuk dan Mega Dewi saling pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian mereka kembali memandang Angon Luwak. Mega Dewi bertanya setelah memasukkan pisaunya.

"Jawab yang benar, di mana kau belajar ilmu itu?"

"Di mimpi, Kang. Sumpah!"

"Di mimpi...?!" gumam Suto Sinting.

Angon Luwak berkata, "Soalnya, guruku tukang tidur, Kang."

"Maksudmu tukang tidur bagaimana?" tanya Mega Dewi.

"Dia bertarung sambil tidur."

Suto menyahut dalam gumam, "Jangan-jangan Ki Gendeng Sekarat!"

"Nah, betul!" teriak Angon Luwak. "Itu nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng Sekarat!"

Suto dan Dewi semakin terperangah dan sama-sama beradu pandang. "Sejak kapan Ki Gendeng Sekarat mengangkat murid?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.

"Pokoknya ya sejak aku disuruh tidur di sampingnya," kata Angon Luwak menyangka diajak bicara Suto.

"Sekarang ke mana gurumu itu? Ke mana Ki Gendeng Sekarat?!"

"Pergi."

"Pergi ke mana?"

"Ndak tahu, Kang! Waktu aku bangun dari tidur dia sudah pergi!"

"Coba tunjukkan di mana tempat kalian tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari sana!" kata Suto.

Kemudian Angon Luwak membawa mereka ke tempat pertemuannya dengan Ki Gendeng Sekarat.

LIMA

PENDEKAR Mabuk lemparkan pandangan ke sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak dengan Ki Gendeng Sekarat. Tak ada jejak yang bisa digunakan untuk melacak perginya Ki Gendeng Sekarat. Angon Luwak menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan seekor harimau hitam jelmaan seorang perempuan yang diingatnya bernama Tandak Ayu. Mendengar nama Tandak Ayu, Mega Dewi terperanjat dan wajahnya berubah tegang. Hal itu diketahui oleh Suto Sinting.

"Apakah kau kenal dengan Tandak Ayu?"

"Dia muridnya Nyai Demang Ronggeng, satu-satunya tokoh tua yang punya jurus 'Tarian Mayat'," jawab Mega Dewi menyimpan kecemasan.

"Tarian Mayat?" gumam Suto. "Seingatku Ki Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus 'Pembangkit Mayat', dan ia bisa membekali ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang dibangkitkan. Ketika dia tinggal di Pulau Mayat, dia punya pasukan mayat sendiri."

Wajah gadis itu kian menegang, "Apakah Ki Gendeng Sekarat pernah tinggal di Pulau Mayat?"

"Justru pertemuanku dengannya justru di Pulau Mayat."

"Kalau begitu dia murid dari Eyang Pramban Jati?!"

"Benar. Dia pernah menceritakan hal itu kepadaku. Dari mana kau tahu?"

"Ayahku pernah bercerita tentang murid Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid Eyang Pramban Jati ada dua, yaitu Ki Gendeng Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng. Tapi murid perempuan Eyang Pramban Jati lari ke aliran sesat. Hanya Ki Gendeng Sekarat yang berhasil menyerap semua ilmu Eyang Pramban Jati. Dulu, ayahku pernah ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."

Setelah merenung sejenak, Suto pun berkata seperti bicara pada diri sendiri, "Lalu, apa alasannya murid Nyai Demang Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat? Apakah itu perintah dari gurunya?"

"Mungkin saja. Dan tidak menutup kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng Sekarat pergi menemui Nyai Demang Ronggeng untuk menuntut balas atas penyerangan muridnya itu."

"Apakah kau tahu di mana Nyai Demang Ronggeng bertempat tinggal?"

"Sayang sekali tidak," jawab gadis berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal seseorang yang mengetahui tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Orang itu tinggal di desa Kukusan, dia seorang pandai besi yang berjuluk Ki Empu Sakya!"

Mendengar nama Ki Empu Sakya, bocah penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah Ki Empu Sakya, Kang!"

"O, kau tahu?"

"Ya. Kedua orang bengis yang mengejarku itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke rumah Ki Empu Sakya. Tapi aku tak mau. Kang."

"Kenapa kau tak mau?"

"Karena orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta pusaka secara kasar. Aku kasihan kepada Ki Empu Sakya."

"Pusaka apa?"

"Setahuku, banyak orang yang membujuk Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris pusaka yang bernama Keris Setan Kobra, Kang."

"Keris Setan Kobra?!" Mega Dewi terkejut secara terang-terangan.

Suto semakin ingin tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi sebelum Suto Sinting bertanya, gadis berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan maksudnya. "Keris Setan Kobra mempunyai kekuatan ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan hilang lenyap tak berbekas sedikit pun. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui kehebatan keris tersebut dan mengetahui siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki Empu Sakya untuk memiliki keris itu, setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga diserang oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki Empu Sakya mempertahankan keris tersebut."

"Kalau begitu sebaiknya kita temui saja Ki Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat pergi ke sana menanyakan di mana tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng."

"Mari kutunjukkan rumah Ki Empu Sakya, Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa. Padahal tanpa Angon Luwak, Mega Dewi sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya, karena dulu ia pernah diajak almarhum ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.

Ternyata orang yang berjuluk Ki Empu Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh pendek, seperti anak kecil. Tinggi badannya sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak. Tetapi dari raut wajahnya, dari uban rata di rambut dan jenggot tipisnya, orang dapat menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki yang berusia di atas enam puluh tahun. Ia gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala kain hitam.

Pakaiannya menyerupai pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan sisanya diselempangkan ke pundak kanan. Ikat kepalanya menutup sebagian rambut putih, bersimpul di bagian belakang. Sekalipun demikian keadaan Ki Empu Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting sangat menghormat kepada Ki Empu Sakya. Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap hormat dan sungkan kepada Suto. Sampai-sampai ketika ia menerima kedatangan Suto, ia lebih dulu membungkukkan badan memberi hormat setelah menatap Suto beberapa saat.

"Jangan menghormat kepadaku, Ki Empu Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu menerima hormatmu."

"Anak muda, bagi orang lain bisa saja tidak menghormatmu, tapi bagiku harus menghormatmu, karena aku melihat tanda di keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya gelar tinggi dari Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."

Mega Dewi kerutkan dahinya mendengar kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada saat Ki Empu Sakya berkata, "Hanya seorang Manggala Yudha yang mendapatkan tanda seperti itu di keningmu, Anak Muda."

Suto Sinting menjadi tak enak hati dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh buat, tanda merah di keningnya itu tak bisa ditutupi. Hanya orang-orang berilmu tinggi yang bisa melihat tanda merah kecil sebesar biji jagung itu. Jika Ki Empu Sakya bisa melihatnya, berarti dia orang berilmu tinggi.

"Apa maksud kata-kata Ki Empu Sakya itu?" bisik Mega Dewi kepada Suto.

"Lupakan saja kata-kata tersebut. Biarkan beliau beranggapan apa saja," Suto menyembunyikan penghormatan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

Angon Luwak menceritakan pengejaran kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki Empu Sakya. Lelaki kurus dan kecil yang sudah banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon Luwak sambil mengucap terima kasih atas tekad sang bocah yang tidak mau menunjukkan tempat tinggalnya.

"Si Kapak Kembar adalah orang sesat yang ingin menguasai aliran hitam sejak dulu. Sekalipun ia tak bakal mampu memaksaku, tapi aku menghargai niat baikmu, Angon Luwak. Sekarang pulanglah dulu dan urus kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku ini. Nanti malam datanglah kemari bersama teman-temanmu, aku akan mendongeng tentang tokoh-tokoh yang masuk dalam aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti akan tertarik mendengarkannya."

"Terima kasih, Ki, Aku akan memberitahukan mereka untuk datang mendengarkan ceritamu!" Angon Luwak berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu akrab dengan Ki Empu Sakya, karena Ki Empu Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa Kukusan untuk menceritakan dongeng tentang jago-jago silat dan para tokoh tua di rimba persilatan.

"Bagaimana kabar ayahmu, Mega Dewi?"

Pertanyaan itu dijawab dengan linangan air mata. Gadis berkepang dua menceritakan pertarungan ayahnya dengan Iblis Naga Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu Sakya tarik napas dalam-dalam, menyembunyikan perasaan duka, menahan geram kemarahan. Ternyata ia termasuk orang yang pandai mengendalikan nafsu amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah kelihatan tenang kembali.

Lalu, Suto Sinting pun menanyakan tentang Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya tidak mau membicarakan tentang Iblis Naga Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat hati Mega Dewi semakin pedih jika hal itu dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki Empu Sakya menghindari percakapan tentang keris pusakanya itu, sehingga ia lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Suto Sinting.

"Gendeng Sekarat memang baru saja pergi dari sini, tapi bukan untuk menanyakan tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Ia hanya menengokku dan mencarimu, Suto Sinting. Ia sekarang pergi ke arah barat."

"Jika begitu saya harus segera menyusulnya, Ki Empu Sakya."

"Silahkan. Tapi kuharap Mega Dewi mau tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Mega Dewi. Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu itu. Apakah kau bersedia?"

"Saya bersedia," jawab Mega Dewi setelah memandang Suto sesaat, karena hatinya ingin ikut Suto, tapi si sisi lain ia merasa perlu berbicara tentang kematian ayahnya dengan tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.

Kini Pendekar Mabuk mengejar Ki Gendeng Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan keterangan Ki Empu Sakya, Suto berlari ke arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki Gendeng Sekarat. Sebab ia tahu, jika Ki Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada pesan yang harus disampaikan kepada Suto dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang dicintai itu.

Ingat tentang wanita cantik yang dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk ingat pula pada seraut wajah beku milik Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang selalu tampil dengan jubah hitam bagaikan El Maut itu sampai sekarang belum berhasil dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala itu merupakan syarat untuk mengawini Dyah Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh Nyawa itu terlalu licin, sehingga sudah beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil menjumpai tokoh sesat yang amat ditakuti oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran hitam itu.

Perjalanan Suto Sinting terpaksa terhenti karena merasa dihadang oleh seorang pemuda berpakaian merah dengan hiasan benang emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan bangsawan dilihat dari jenis pakaian dan penampilannya. Ia menyelipkan sebilah pedang bersarungkan logam emas. Pedang kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah pada bagian gagangnya. Pemuda itu berusia sedikit lebih muda dari Suto Sinting. Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang menampakkan kesan keningratannya.

Pemuda itu turun dari atas kuda putihnya, sementara kedua pengawalnya berbadan besar juga segera melompat turun dari masing-masing kudanya. Salah seorang pengawal yang mengenakan ikat kepala dari logam perak itu maju mendampingi pemuda tampan tersebut, sedangkan yang satunya lagi mengurus kuda, membawanya ke bawah pohon.

"Paman Gandra, tak salah lagi penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi kulihat berjalan bersama Mega Dewi!" kata pemuda berpakaian bangsawan itu kepada pengawalnya.

"Kalau begitu biar saya yang menanganinya, Raden Udaya!" kata sang pengawal yang bernama Gandra dengan suaranya yang besar. Ia segera memanggil temannya, "Rangku, kepung orang ini!"

Wuut...! Jleeg...!

Orang bermata lebar yang dipanggil dengan nama Rangku itu cepat melompat dan bersalto di udara satu kali. Dalam sekejap ia sudah berada di sebelah kiri Suto Sinting. Gandra yang berkumis tebal itu ada di sebelah kanan, sedangkan pemuda tampan yang bernama Raden Udaya itu berhadapan di depan Suto.

Pendekar Mabuk hanya kerutkan dahi sebentar, lalu kembali bersikap tenang. Matanya memandang ke arah Raden Udaya tanpa kesan takut sedikit pun. "Apa maksudmu menghentikan langkahku, Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip nama yang disebutkan Gandra tadi.

"Kita punya perhitungan sendiri atas kelancanganmu berani pergi dengan Mega Dewi!" kata Raden Udayana dengan ketus dan bernada sombong.

"Apa salahku pergi dengan gadis itu?"

"Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya.

Tetapi Suto Sinting justru tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata.

"Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"

Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba-tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu.

"Paman Gandra! Kenapa kau?!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang.

"Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah?! bentak Rangku kepada Suto Sinting.

"Hei...! Bukan aku yang menyerangnya!" kata Suto membela diri.

Sementara Gandra segera terkulai lemas dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku menyerang Suto Sinting dengan menebaskan kapak bermata dua dalam satu lompatan liarnya. "Heaaah ..!"

Clap...! Deess...!

Kilatan cahaya hijau terlihat melintas di depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya hijau kecil itu tepat kena di dada Rangku. Orang itu robek seketika. Mengerang dan berkelojotan di tanah.

"Aaahhgg...! Uuhgg...!"

Wajah Rangku menjadi biru, matanya mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa warna merah darah. Hal itu membuat Raden Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai ciut nyali melihat dua pengawalnya roboh dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu jurus saja. Raden Udaya memandang ngeri kepada Rangku yang masih kelojotan bagai ingin temui ajalnya.

Suto Sinting sendiri merasa heran melihat kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya. "Siapa orang yang telah membantuku secara diam-diam?"

Pertanyaan itu segera terjawab dengan munculnya seorang pemuda berpakaian biru cerah. Pemuda itu muncul dari balik pohon dengan senyum kemenangan.

"Wiratmoko?!" gumam Suto dengan terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum geli melihat kemunculan Wiratmoko.

Raden Udaya lebih terkejut lagi melihat kemunculan pria berambut ikal agak panjang itu. Wajah berkumis tipis itu makin tegang dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur beberapa tindak begitu Wiratmoko memandang ke arahnya. Ia tampak sekali ketakutan.

"Bawa pergi kedua pengawalmu kalau kau tak ingin lebih parah dari mereka!" kata Wiratmoko dengan tegas.

Perintah itu membuat Raden Udaya gemetar. Dengan susah payah ia membawa kedua pengawalnya yang masih bernyawa, menaikkan ke punggung kuda masing-masing, lalu segera membawanya pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari Wiratmoko terdengar di sela derap kaki kuda.

"Kenapa kau menolongku, Wiratmoko?"

"Karena kau pernah selamatkan nyawaku dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai ucapan terima kasihku padamu, Suto Sinting!" jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk pundak Suto Sinting bagai melepas rasa rindu karena lama tak jumpa.

"Tapi kenapa waktu itu kau menghilang?"

"Karena aku kebingungan mencarimu," jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana untuk mengucapkan terima kasihku padamu, tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai menghilang rupanya."

"Justru kau yang pandai menghilang, karena aku tak berhasil temukan dirimu setelah itu," kata Suto dengan sikap bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan Raden Udaya itu tadi?"

"Dia kenal diriku, karena aku pernah bantu ayahnya mengusir dua pengacau dari pelataran kadipaten. Aku tak tahu nama pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang adipati. Ah, sudahlah! Lupakan pemuda yang memang sombong dan sering berlagak jago itu. Sekarang kau mau ke mana, Suto?"

"Mencari seseorang. Tokoh tua yang sangat akrab denganku. Namanya Ki Gendeng Sekarat. Dia mencariku, pasti ada keperluan penting untuk urusan pribadi. Kabarnya dia pergi ke arah barat dan aku mengejarnya, tapi terhalang oleh orang kadipaten itu."

Wiratmoko manggut-manggut. "Mari kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, Suto."

Sambil melangkah seiring, Suto bertanya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Tentang orang yang menyerangku dari belakang itu. Apakah kau tahu siapa orangnya?"

"Apakah kau tak kenali jenis pukulan mautnya?"

"Tidak," jawab Wiratmoko dengan sungguh- sungguh. "Sebab itulah aku ingin tahu, siapa orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan mati dalam beberapa kejap saja."

"Ya. Aku memang mengenalnya, karena aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah ia berhasil memukulmu itu. Orang tersebut adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu, rambutnya panjang tak diikat, juga berwarna abu abu, mengenakan jubah putih kusam, tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."

"Hmmm...," Wiratmoko menggumam sambil manggut-manggut.

"Kau pasti mengenali ciri-ciri itu!"

"Ya. Dia adalah si Raja Maut, tokoh tua dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh bebuyutan guruku..."

"Dampu Sabang?" potong Suto.

Wiratmoko terkejut. "Dari mana kau tahu nama guruku?"

"Raja Maut yang mengatakannya."

"Oh...?" wajah Wiratmoko tampak menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang ia katakan padamu, Suto?"

"Tidak banyak. Dia hanya bilang, bahwa kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia mengingatkan padaku agar jangan turut campur dengan urusannya. Rupanya kau punya urusan pribadi dengan Raja Maut itu, Wiratmoko."

"Memang. Urusan itu sangat pribadi sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang jelas, Raja Maut adalah tokoh tua yang serakah dan ingin menguasai dunia persilatan. Dia ingin menumbangkan beberapa tokoh tua dengan ilmu yang baru diperolehnya."

"Ilmu apa?"

"Naga Pamungkas!"

Suto Sinting terkejut sampai hentikan langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang bergelar Iblis Naga Pamungkas?"

"Betul!" jawab Wiratmoko dengan tegas. "Dia ingin membunuh para tokoh tua dari golongan hitam ataupun putih. Salah satu orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu sendiri si Gila Tuak!"

Bagaikan petir menyambar di ujung hidung Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik kuat dan jantung bagaikan berhenti. Darah Suto mendidih mendengar gurunya akan dibunuh. Terbayang nasib Ki Lurah Pramadi yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas. Suto tak ingin gurunya mengalami nasib yang sekejam itu.

* * *

ENAM
SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan.

"Biarkan dia berhadapan dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Suto Sinting sempat terperanjat.

"Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?"

"Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau melarikan diri terbirit-birit."

"Seberapa dekat kau mengenal Nyai Demang Ronggeng?"

"Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!"

"Pantas jika Iblis Naga Pamungkas ingin membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar Iblis Naga Pamungkas itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara seperguruan, sama-sama murid Eyang Pramban Jati."

"O, jadi Ki Gendeng Sekarat juga akan dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas? Kau tahu dari siapa, Suto?"

"Namanya Mega Dewi, anak gadis Ki Lurah Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas. Dialah yang memberitahukan rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan membunuh Ki Gendeng Sekarat. Karenanya aku harus segera menemukan Ki Gendeng Sekarat dan memberitahukan ancaman itu, sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis Naga Pamungkas itu!"

Setelah melangkah sambil termenung sesaat, tiba-tiba langkah Wiratmoko terhenti. Tangannya menahan tangan Suto dengan dahi berkerut. Suto memandang dengan rasa ingin tahu.

"Jangan-jangan Raja Maut memburu Mega Dewi? Sebab Mega Dewi adalah anak Ki Lurah Pramadi, tentunya Raja Maut tak ingin ada bibit dendam yang kelak dapat menjadi duri dalam hidupnya. Aku yakin Raja Maut tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari Mega Dewi untuk dibunuh, biar kelak tak ada yang menyimpan dendam kepadanya."

Suto kian tajam mengerutkan dahinya. "Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya dalam gumam. "Tapi selama aku bersama Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan Raja Maut. Kupikir dia benar-benar pergi ke pulau Blacan."

"Dia pun mencari Mega Dewi, tapi tak ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan tahu permusuhannya yang ganas itu kepada Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada dimana?"

"Di rumah Ki Empu Sakya. Kurasa dia aman bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya Ki Empu Sakya mempunyai keris pusaka yang amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."

"Celaka! Raja Maut pasti menuju ke sana!" kata Wiratmoko dengan tegang.

"Dari mana kau yakin begitu?"

"Sebab Keris Setan Kobra adalah pusaka yang diincarnya. Dia takut dikalahkan dengan keris pusaka itu. Aku pernah dengar keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika Raja Maut sebagai Iblis Naga Pamungkas ingin menguasai keris pusaka itu supaya tak ada saingannya."

"Tapi Ki Empu Sakya pasti mampu mengatasi Raja Maut!"

"Belum tentu!" bantah Wiratmoko tegas-tegas. "Jika Ki Empu Sakya terlambat menggunakan keris itu, ia akan mati di tangan Raja Maut. Tak urung gadis itu pun akan dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."

"Benar juga perhitunganmu," gumam Suto mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan jika begini? Mencari Ki Gendeng Sekarat atau kembali ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi?"

"Begini saja," kata Wiratmoko. "Kau teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku akan pergi ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah rumah Ki Empu Sakya, karena aku belum pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat, susullah kami. Aku dan Mega Dewi menunggu kedatangan kalian di rumah Ki Empu Sakya."

"Apakah kau sanggup mengalahkan Raja Maut?"

"Tentunya jika dengan dibantu Ki Empu Sakya kami bisa kalahkan dia!"

"Baiklah. Jika begitu kita berpencar mulai sekarang!"

Suto memutuskan langkah. Ia meneruskan mencari Ki Gendeng Sekarat sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah Ki Empu Sakya setelah mendapat keterangan arah rumah empu sakti itu. Pengejaran menyusul Ki Gendeng Sekarat bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali mengalami hambatan dengan munculnya kelinci yang berlari-lari di tepian semak.

"Hei, itu seperti kelinci yang kuburu tempo hari?!" pikirnya. Suto sempat tersenyum geli kemudian segera mengejar-ngejar kelinci itu. Ciri yang tak dapat dilupakan Pendekar Mabuk pada kelinci itu adalah terletak di bagian ujung telinga kiri. Kelinci itu mempunyai bulu hitam di telinga kirinya, berbentuk seperti gambar hati. Bulu hitam kecil itu mempercantik kelinci tersebut, sehingga waktu itu Suto Sinting tak tega untuk menyantap kelinci itu. Kali ini ia menangkapnya karena gemas dan ingin bercanda dengan kelinci cantik tersebut.

Anehnya, kelinci itu kini tidak terlalu liar dan mudah ditangkap. Dua kali gagal, ketiga kalinya kelinci itu sudah jatuh dalam genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.

"Nah, nah, nah... kau tertangkap sekarang! Mau ke mana kau, Manis? Mau menggodaku lagi? Oh, kau memang nakal! Hhmmm...!"

Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke pipinya dengan gemas-gemas senang. Sambil melangkah ia berbicara dan bercanda dengan kelinci itu. Perut kelinci digelitiknya sehingga binatang itu menggerinjal beberapa kali karena kegelian. Suto tertawa senang melihat kelinci itu kegelian. Namun ketika Suto Sinting melewati bawah pohon rindang dengan ilalang rimbun di sana-sini, tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang bagai ditendang kelinci.

Slaaap...! Cahaya terang menyala kuat timbulkan tenaga pendorong yang membuat Suto hampir jatuh terjengkang ke belakang. Matanya pun segera terbelalak lebar melihat kelinci itu berubah wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat telur, hidung mancung, mata sedikit lebar berkesan nakal menggoda. Rambutnya disanggul sebagian, dadanya sekal dibungkus pakaian kuning cerah. Di rambutnya yang disanggul terlilit pita kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya.

Pendekar Mabuk terperangahkagum melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci itu. Perempuan tersebut tertawa kecil dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih merasakan sisa geli karena gelitikan Suto tadi. Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika kelinci tadi diciumkan kepipinya, berarti gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.

"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?"

"Benar. Sekarang kau tahu wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."

Suto semakin malu dan tersipu. Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya.

"Apakah sekarang kau masih berani menggelitik perutku?"

Suto Sinting semakin salah tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli sendiri di dalam hatinya.

"Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto Sinting nekat mendekati wajah itu.

"Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke batang pohon. Pundak dan lengannya disandarkan di batang pohon itu, tapi matanya masih tertuju kepada Tandak Ayu.

"Kalau tak salah dengar, namamu Suto Sinting, bukan?"

"Ya. Tapi aku belum tahu namamu," kata Suto Sinting.

"Namaku...," Tandak Ayu berpikir sejenak. "Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti." Tandak Ayu memalsukan nama karena maksud tertentu.

"Suti? Oh, hampir sama dengan namaku?"

"Memang sepertinya kita memang dijodohkan Suto ketemu Suti, sungguh pasangan yang serasi dan pasti akan abadi."

Agaknya Tandak Ayu tertarik kepada ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara membatasi diri dan menjaga perasaannya agar tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu. Suto hanya tertawa kecil mendengar kata-kata itu. Tandak Ayu melangkah sambil memetik-metik daun ilalang, lama-lama berada dalam jarak dekat dengan Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah membuat Suto sempat kian berdebar-debar karena melihat jelas rona kecantikan Tandak Ayu dan belahan dadanya yang menonjol bagaikan sengaja dipamerkan itu.

"Kelihatannya kau lelah dalam perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin beristirahat di balik rimbunan semak sebelah sana? Tempatnya teduh dan sepi. Rapat dari incaran mata manusia nakal." kata Tandak Ayu dengan suara merdu.

"Aku memang lelah, tapi bagiku cukup beristirahat di bawah pohon ini saja."

"Di sini tak aman," bisik Tandak Ayu yang kian merapat. Kini ia berani menaruh tangannya di pundak Suto Sinting. Senyum dan tatapan mata kian menggoda. Gemuruh di dalam dada Suto berusaha ditekan habis-habisan, namun hal itu amat sulit dilakukan oleh Suto.

"Aku bisa memijat bagian tubuhmu yang lelah, Suto."

"Aku tak sangka kalau kau ternyata tukang pijat."

"Iiih...! Menghina!" Tandak Ayu merajuk, manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto semakin panas dingin. Tandak Ayu tak mau berhenti membujuk, suaranya semakin terdengar manja menggairahkan.

"Aku bukan seorang tukang pijat. Tapi aku bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal itu bisa kulakukan, Suto. Cukup lama aku mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin sekali memijat bagian tubuhmu yang lelah. Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat orang. Aku malu. Kita ke semak-semak sana saja."

"Apa bedanya memijat di sini dan di sana?" pancing Suto ingin tahu.

"Di sana aku berani memijat bagian mana saja, sesuai dengan yang kau suka. Di sini aku tak bisa menuruti permintaanmu," jawabnya dalam berbisik, mata beningnya tak berkedip, bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah Suto Sinting dari jarak dekat. "Ayolah ke sana...," Tandak Ayu menarik-narik tangan Suto, tapi pemuda itu hanya tersenyum-senyum tak mau beranjak dari tempatnya.

Tiba-tiba dari semak di belakang Tandak Ayu melesat sekelebat bayangan yang langsung menendang punggung wanita itu.

Wruuss...! Duuhg...!

"Aahg...! Tandak Ayu terpekik tertahan. Tubuhnya terpental ke depan dan berguling-guling di rerumputan.

Suto Sinting terkejut bukan kepalang tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang kuda-kuda untuk menyerang. Tapi kuda-kuda itu segera mengendur setelah Suto mengenal wajah penyerang tersebut. "Kirana...?!"

"Maaf aku mengganggumu, karena aku tahu dia perempuan jalang!" kata Kirana dengan wajah ketus, seakan menaruh cemburu kepada peristiwa tadi.

Sebelum Suto Sinting bicara lagi, dari arah lain muncul Citradani yang melompat dengan lincahnya, lalu mendaratkan kaki dengan sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto makin terperangah heran.

"Citradani?! Kau ada di sini pula?"

"Ya, aku dan Kirana mencarimu. Ternyata kau justru berkasih-kasih dengan perempuan jalang itu!"

"Aku tidak... tidak... hmmm.... Dia yang merayuku dan mengajakku ke semak-semak sana. Katanya dia mau memijatku, sesuai dengan bagian yang kuperintahkan untuk dipijat."

"Kenapa kau tak pergi ke semak-semak sana?" ketus Kirana.

"Karena..., karena aku tak berani. Di sana banyak setan. Aku takut dikalahkan oleh setan."

"Perempuan itulah ratu setan!" geram Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang kini telah berdiri. Tulang punggungnya bagaikan mau patah karena tendangan Kirana.

Mata Tandak Ayu memandang benci kepada Kirana dan Citradani. "Kalian memang cari penyakit!" geram Tandak Ayu.

"Memang benar. Mau apa kau?!" sentak Citradani sambil maju selangkah.

"Tunggu! Kalian salah paham. Jangan bentrok karena kesalahpahaman!" cegah Pendekar Mabuk. Ketika mau maju, tangan Kirana yang ada di sampingnya segera menahan lengannya.

"Biarkan Citradani menanganinya. Dia punya urusan pribadi dengan perempuan jalang itu!" kata Kirana masih ketus seperti tadi.

"Tapi kalian salah paham. Aku belum diapa-apakan oleh Suti!"

"Siapa yang bernama Suti? Dia...?! Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya Tandak Ayu, bukan Suti!"

"Tandak Ayu...?!" Suto Sinting terkejut, ingat dengan cerita Angon Luwak tentang pertarungan singkat Tandak Ayu dengan Ki Gendeng Sekarat. Suto segera berkata dengan sikap tak bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah murid Nyai Demang Ronggeng, yang menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan berubah wujud menjadi harimau hitam?!"

Tandak Ayu melirik sinis pada Suto. Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya tidak berhasil. Tapi perhatiannya kini tercurah kepada Citradani, karena Citradani berseru dengan suara lantang.

"Kembalikan kalung pusaka Lintang Suci itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang juga, Tandak Ayu!"

Mendengar kalung pusaka Lintang Suci disebut-sebut, mata Suto segera memperhatikan kalung berbandul kristal bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu. Hatinya pun berkata, "O, benar. Kalau begitu dia memang Tandak Ayu. Dia punya urusan pribadi dengan Citradani, terbukti kalung yang pernah diceritakan Citradani kepadaku itu ada di leher Suti, eh. Tandak Ayu!"

Terdengar pula Tandak Ayu perdengarkan suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa langkahi mayatku, ambillah kalung ini!"

"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali bolak-balik!"

"Lakukanlah! Aku sudah siap menerima seranganmu. Citradani!"

"Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan kipasnya.

Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu. Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.

Duuuhg...!

"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi meraka masing-masing.

Rupanya Citradani masih kuat walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih panjang dari pedang milik Citradani. Tapi Citradani tidak gentar sedikitpun.

"Hiaaaat...!"

"Heaaah...!"

Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang, trang...!

Mereka sama-sama lompat ke udara dan beradu pedang di sana dengan gerakan sama cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka. Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan tepat mengenai bawah pundak kiri lawannya.

Duuhg...! Wuuuus...!

Brruk...! Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri kesempatan sedikit pun kepada lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya disabetkan ke arah perut Tandak Ayu.

Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan bau hangus tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang berkekuatan tenaga dalam itu.

Kini keduanya sama-sama berdiri tegak lagi. Masing-masing mata tertuju dengan tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih memburu karena tendangan kaki Citradani tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat dihela. Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat. Bahkan Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan Citradani.

"Kau tak akan berhasil menumbangkan diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu sekalian?"

Kirana merasa sebagai orang yang dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan.Ia menggeram dan mengepalkan kedua tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan tangan Suto.

"Kita menjadi penonton yang baik saja!" kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah kejengkelannya.

Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan kirinya walaupun tangan kanan sudah memainkan jurus pedangnya. Sentakan tangan kiri keluarkan cahaya merah bagaikan selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu. Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya di depan dada. Sinar merah itu menghantam pedang tersebut.

Blaaar...!

Traang...! Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah. Kini tinggal bagian gagangnya saja yang digenggamnya. Maka gagang pedang itu segera dibuang. Kedua tangan segera dirapatkan.

Melihat gelagat begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta Citradani melompat maju sambil tebaskan pedang ke arah leher Tandak Ayu, "Heaaah...!"

Craaas...!

"Aaauuh..." Tandak Ayu memekik kesakitan. Telapak tangan kirinya putus ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah. Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan. Hal itu membuat mata Tandak Ayu berkunang-kunang.

Citradani mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak mau buang buang waktu. Ia berbalik memunggungi lawannya, namun pedangnya segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat.

Jruuub...!

"Uuhg...?!" Tandak Ayu terpekik tertahan. Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia mengejang sesaat, lalu Citradani menarik pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.

Brruk...! Tandak Ayu roboh dengan mulut terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu. Mulut perempuan yang menjelang ajal itu bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.

"Sam... paikan... salamku... pada.... Wiratmoko..."

Suto berkerut dahi mendengar nama Wiratmoko, ia makin mendekati Tandak Ayu bersama-sama Kirana. Saat itu Citradani perdengarkan suaranya,

"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"

"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya padaku..."

"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"

"Kkkau... akan... mati di tangan... Iblis Naga... Pamungkas itu..."

"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu?!"

"Wii...rat... mo... ko..."

"Wiratmoko?!" sentak Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat itulah Tandak Ayu hembuskan napasnya yang terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi berkerut tajam.

"Wiratmoko...?!" gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk Iblis Naga Pamungkas? Bukankah orang yang berjuluk itu adalah si Raja Maut? Tapi... tapi menurut keterangan Mega Dewi, ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika lawannya itu mencabut pedang dan menebaskannya di punggung Ki Lurah Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak mempunyai senjata pedang, tapi... tapi Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang pedangnya berbentuk kepala naga. Oh, celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si Iblis Naga Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki Empu Sakya dalam bahaya!"

Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat diterima kembali sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang Putih. Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko adalah pemuda yang berhasil merayuku dan mencuri kalung ini."

"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkata-kata karena ia melihat Suto segera berlari meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras, "Suto, tungguuu...!"

Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya, berlari mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak seperti anak panah lepas dari busurnya. Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari menyusul Kirana.

* * *

TUJUH
KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat lirih.

Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu.

Tiga orang tersebut adalah para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama, ilmunya pun sama setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah mereka tak ada yang menunjukkan wajah damai. Bengis dan angker semuanya.

Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan dingin, gigi tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai kumis setebal Gaok Lodra, matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai codet di pipi kanan yang menambah angker wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis senjata besar. Pedang, sabit, dan rantai bola berduri, semua berukuran besar.

Mereka mempunyai usia yang hampir sama, sekitar tiga puluh lima tahun, tapi tingkat kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung paling rendah kecerdasannya dibanding kedua temannya itu. Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan suara keras ketika mengatakan,

"Yang penting kita sudah tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru sampai di sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita serahkan kepada sang Ketua!"

"Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-waktu. Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati kudanya.

"Di sini tak ada manusia, kenapa takut bicara?"

"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia?!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada orang lain kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak bicara sembarangan. Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik saja!"

Nenggolo menyentakkan kepala Sabit Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras! Goblok! Memberi peringatan kepada teman kok diri sendiri bicaranya keras-keras," Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia duduk di batu tepat bawah pohon.

"Menurutmu apakah ada orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.

"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah. Hanya kita-kita orang saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"

Mereka terus bicara, mengatur siasat dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari, seseorang yang tidur di atas pohon itu mendengar semua percakapan tersebut. Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak, namun telinga terpasang tajam, sehingga suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.

Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu lanjutkan perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah menyelidiki rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan tempat-tempat yang harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana itu adalah Nenggolo, sehingga secara tak langsung kedua temannya menganggap Nenggolo sebagai ketua perjalanan.

Dengan mata masih lengket dan sukar dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang pohon, tapi kepalanya terbentur batang tersebut.

Duug...!

"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil berjalan. Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat segera mengikuti tiga utusan tersebut. Mulutnya berucap kata sendirian. "Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa Tapak! Untung mereka bicara di bawahku, sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka bertiga. Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk selamatkan Keris Setan Kobra. Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan itu akan melenyapkan semua penduduk bumi yang tidak mau tunduk kepadanya. Tapi kalau bisa, sebelum mereka tiba di desa Kukusan sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa kerahkan tenaga untuk mengejar mereka! Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"

Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi. Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.

Bruus...! Serumpun pohon pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.

Beberapa saat kemudian, suara deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng Sekarat menunggu mereka. Kejap berikutnya, bayangan hitam tampak datang dari arah barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di balik pepohonan. Salah satu pohon randu dihantam dengan pangkal telapak tangannya, Duuugh...!

Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin lama makin miring dan akhirnya tumbang dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke atas.

Bruuuss!

"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik dan membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan. Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah yang masuk matanya, sedangkan tiga utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat lompatkan badan dan lepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.

Wuuut...! Duuugh!

Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut membuat tiga penunggang kuda segera hentikan perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak beraturan.

"Ada seseorang yang berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata Nenggolo dengan mata memandang ke arah sekeliling. Kedua rekannya itu pun memandang sekeliling.

Sabit Guntur perdengarkan suaranya mirip orang menggerutu. "Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"

"Kalian kalau bicara memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan kepada kedua rekannya. "Coba periksa di semak-semak sebelah kiri itu!"

Gaok Lodra memacu kudanya untuk menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra menerabas masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu dengan waspada.

Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas salah satu pohon yang masih utuh. Ketika Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas putihnya lalu lompat kebawah bagaikan kelelawar terbang.

Wuuut...! Craaass...!

Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng Sekarat. Orang yang dipandang hanya tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.

"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.

"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku hanya inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan coba-coba merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"

"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis. "Kau belum tahu kekuatan orang-orang Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat tak akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat kami, tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan jangan halangi kami!"

"Betulkah tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"

"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.

"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu memotong telingamu."

Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata daun telinga itu telah hilang dari tempatnya. "Hahhh...?!" Gaok Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih itu. Darah pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan lengan kirinya.

"Telingaku ..?! Oh...?! Telingaku?!" suara Gaok Lodra gemetar. Ia baru menyadari bahwa daun telinganya telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda. Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan kipasnya dengan sangat cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si korban. Kemarahannya yang meluap membuat Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan wajah merah dan gemetar. "Bangsat kau...!"

"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"

Gaok Lodra segera cabut rantai bola berduri dari tempatnya di pelana kuda.

"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang hilang!"

"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.

Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok Lodra?!!"

"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil bersungut-sungut.

"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"

"Memang menjengkelkan pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat." Nenggolo menimpali.

Tapi beberapa saat kemudian terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan menjengkelkan!"

Nenggolo palingkan wajah, buang muka ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi Sabit Guntur memperhatikan kemunculan kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok kuda tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di atas punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi tubuhnya membungkuk ke depan sementara wajah tertunduk.

"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur.

Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan wajah dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda mendekat dengan sendirinya. Nenggolo menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok Lodra.

"Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu tidak bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada musuh di balik semak belukar itu.

"Serang dia!" perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke semak ilalang yang rimbun itu.

Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!

Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri. Sedangkan kedua musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil meluncurkan kata makian yang kasar dan kotor, sulit ditirukan. Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke arah semak-semak tempat kedua temannya mencari musuh itu.

Wuuut...! Buuhg...!

"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra.

Ki Gendeng Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.

"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di jalanan!"

Kedua kuda muncul bersama penunggangnya yang sudah semakin merah wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri dengan berkipas-kipas santai, Nenggolo segera melompat dari punggung kuda bersama pedang besarnya yang mampu untuk memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.

"Hiaaat...!"

Wuuung...! Suara pedang besar mendengung ketika menebas tempat kosong, karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah dengan serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di belakang kedua tunggangan Sabit Guntur membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.

Cruk...!

"Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa permisi menginjak-nginjak dada dan perut Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.

"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha mencari kesempatan untuk menghirup udara. Mulutnya tercengap-cengap dengan mata sesekali terbeliak.

"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya siap terangkat di atas kepala dengan kuda-kuda siap serang.

"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu Sakya!"

"Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!" Nenggolo menyerang maju dengan pedang dikibaskan ke berbagai arah secara cepat. Bunyi gaung dari logam besar itu sempat membuat daun-daun ilalang terbabat putus dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas pedang itu disertai tenaga dalam tinggi yang memancar ke sana-sini.

Tetapi Ki Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas itu menolak datangnya kekuatan tenaga dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun memancarkan angin penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali tersentak mundur ketika mau dekati Ki Gendeng Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti, Nenggolo berhasil mendekat dan tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat.

Wuuut...! Slaap...!

Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya. Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju menendang tepat di dahi Nenggolo.

Praak...!

Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat dan keras membuat darah menyembur dari mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting memutar sambil tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru saja berdiri dan siap menggunakan sabitnya. Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri Sabit Guntur tanpa disengaja.

Craas...!

"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keras-keras karena tangan itu segera putus tepat pada bagian siku. Tangan yang buntung membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.

Claap...! Sinar biru petir menyambar ke arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki Gendeng Sekarat sinar biru itu dikibaskan memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah dan tepat mengenai tengkuk kepala Nenggolo.

Blaaar...!

Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu. Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.

"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali, sehingga sinar biru petir terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima sinar. Semuanya tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Dengan menggunakan kipasnya. Ki Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi ledakan dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir membuat Ki Gendeng Sekarat terpental kebelakang, karena salah satu sinar biru petir sengaja ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya daya ledak itu menghentak melemparkan Ki Gendeng Sekarat ke belakang.

Bruuk!

"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini?!" gerutu Ki Gendeng Sekarat sambil mencoba bangkit kembali.

Tapi pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat segera lompat ke kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut. Ki Gendeng Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali.

Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Mabuk.

"Ki Gendeng Sekarat...?!"

"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu yang tadi ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya terlepas lega.

Sementara itu Suto Sinting memandangi mayat Nenggolo dan potongan tangan Sabit Guntur. "Apa yang terjadi, Ki?"

"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"

"Ratu Tanpa Tapak?!" gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.

"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini? Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"

"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."

"O, ya... aku kenal orang itu!"

"Mereka terancam maut di tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."

"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas itu siapa? Wiratmoko?!"

"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran berikutnya."

"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa lama.

"Tapi ketika aku tiba di rumah Empu Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"

"Maksudmu?"

"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak- poranda. Aku tak tahu pasti apakah mereka dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan sekarang masih dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu?!"

* * *

DELAPAN
RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui akan kedatangan Wiratmoko yang membawa Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung ketika tahu-tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.

"Kita mau ke mana, Ki?!"

"Ke mana saja, yang penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.

"Selamat? Apakah jiwaku terancam bahaya?"

"Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga dalam bahaya."

"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."

Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakyabaru menjelaskan maksudnya kepada Mega Dewi. "Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan pusaka ku."

Mega Dewi pun segera terkejut mendengar penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena hatinya diguncang rasa takut namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi punya gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas itu. "Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga Pamungkas.”

Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam hatimu, Anak Manis. Kematian adalah perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan perjalanan awal dari suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan dendam. Itu hanya akan merusak ketenangan jiwamu."

"Tapi... orang itu memang layak dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak lagi."

"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi. Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika ketinggian ilmumu tidak seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya. Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."

"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"

Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan menemukan Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah diketahui oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."

"Tapi..." Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar suara langkah kaki orang mendekat ke arahnya juga detak jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.

"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega Dewi.

"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita akan tahu siapa orangnya."

Anehnya telinga Mega Dewi tidak mendengar suara langkah kaki orang. Yang didengar hanya hembusan angin lereng bukit. Bahkan mereka sempat mendekam di semak-semak itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.

"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya. Sungguh tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."

Mulanya Mega Dewi sempat sangsi, "Jangan-jangan tak ada yang datang kemari?! Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali. Pasti Ki Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."

Tapi beberapa saat setelah membatin kata begitu, gadis berkepang dua mendengar langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega Dewi menjadi yakin, memang ada yang mendekati tempat mereka. Sesosok tubuh kecil muncul dari balik tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari persembunyian.

"Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari. Angon Luwak?!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah penggembala kambing itu.

"Aku hanya ingin beritahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik rumahmu. Orangnya membawa pedang bergagang kepala naga dari logam putih." tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.

"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu. "Sekarang apa yang harus kitalakukan, Ki?"

"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu."

"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.

"Apakah kau tak akan dicari oleh orangtuamu?"

"Orangtuaku yang suruh aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu.

"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu."

"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan. Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golongan putih. Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.

Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk membongkar seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga rumah bambu itu sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali menemukan rumah itu telah kosong, bahkan keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.

Saat ia keluar untuk mencari jejak kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul seorang berpakaian serba merah. Rambutnya panjang berwarna merah, juga jenggot dan kumisnya yang berwarna merah. Orang bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar. Wajah angkernya tampak menyeramkan. Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.

"Oh, rupanya kau datang untuk maksud yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko kepada orang yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu, Wiratmoko!"

"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko dengan sikap sombongnya.

"Apakah dia lari membawa pusakanya?"

"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan," jawab Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak akan memburu pusaka itu lagi jika sudah ditemukan oleh dirinya.

Tapi rupanya Dewa Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang dikenal di rimba persilatan dengan keganasan napas apinya itu dulu pernah dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu golongan hitam yang punya musuh banyak dan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan menggunakan keris pusakanya Empu Sakya. Karenanya, dengan penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra kepadanya.

"Apa pun ancamanmu aku tidak akan serahkan keris itu, Dewa Api!"

"Kalau begitu kau harus lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"

"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang.

Dewa Api agaknya belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas yang konon telah terkubur ratusan tahun, milik seorang raja penguasa alam gaib. Kedua tangan Dewa Api yang berkuku panjang itu segera membentang terbuka. Kedua kakinya pun merendah, matanya memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau membuang-buang waktu, maka dicabutlah Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya.

Sraang...!

Dewa Api sempat terkesip melihat pedang itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya. Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak mungkin anak ingusan itu memiliki Pedang Naga Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."

"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.

"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi.

Woosss...!

Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung kelima jari keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan membungkus tubuh Wiratmoko. Tetapi Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit dengan menggulingkan tubuh ke tanah, sehingga lima larik sinar itu mengenai sebatang pohon dan pohon itu terbakar dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk daunnya lagi kecuali kobaran api yang mengerikan.

Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah, kaki Dewa Api berusaha menginjaknya. Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi hangus dan berasap. Warna tanah menjadi hitam arang. Wiratmoko berkelebat bangkit dalam liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya merendah dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan ke kiri.

Wuuut...! Crass...!

"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan. Luka itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih kekuning-kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap itu semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh tanpa suara dan asap masih membungkusnya.

Beberapa penduduk desa memperhatikan pertarungan itu dari jarak jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu hilang dan tubuh Dewa Api telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka keropos, seperti kerangak mayat yang sudah puluhan tahun lamanya.

"Edan! Senjata apa itu membuat lawan bisa jadi kerangka seketika?!" bisik salah seorang penduduk desa.

"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa dibuat menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana, coba?! Ayo, pergi saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia sangat ketakutan dan wajahnya menjadi pucat.

Seorang perempuan desa yang tak seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati Wiratmoko. Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga mengintai pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam itu melakukan hal yang sama seperti tadi.

Ternyata Wiratmoko hanya bertanya, "Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis cantik berpakaian hijau?"

"K... ke... ke selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang daripada bernasib seperti Dewa Api.

"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas ke arah selatan.

* * *

Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah berantakan. Ia ingin menanyakan kepada salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba-tiba mendengar ledakan di tempat pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat. Kini setelah Suto datang bersama Ki Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko. Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki Gendeng Sekarat adalah orangyang lebih kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut dijawab dengan benar.

"Mereka... mereka pergi ke selatan!"

"Apakah bersama orang lain?"

"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya keselatan."

"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"

"Saya memberitahukan. Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan polos.

Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit menuju goa, gerakannya terlihat oleh Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu Sakya segera menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk bersembunyi.

"Terpaksa aku harus menghadapinya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pertarungan dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa. Apa boleh buat."

"Tapi kau tidak membawa keris pusaka, Ki!"

"Akan kuhadapi tanpa pusaka itu. Cepatlah bersembunyi!"

Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin menghindari Wiratmoko dengan melarikan diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan terakhir membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap menunggu,

"Kalau memang bisa kukalahkan dengan omongan, tak akan kulakukan pertarungan. Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan pertarungan akhirku!" ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega Dewi mendengar dari tempat persembunyian.

Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu Sakya hanya diam saja. Matanya memandang tajam tak berkedip, penuh wibawa dan kharisma. "Apa maksudmu mengejar-ngejarku, Wiratmoko?!"

"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."

"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak selamanya orang sesat akan berjalan ditempat yang salah. Suatu saat dia akan kembali kejalan yang benar. Siapa tahu kau kembali kejalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan maksudmu, Wiratmoko!"

Tawa Wiratmoko bernada angkuh, melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya. "Tiap orang punya pandangan yang berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh memandang langkahku adalah sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia pada perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata agar jangan jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki Empu Sakya. Aku khawatir keris itu mampu direbut oleh orang serakah. Aku akan mempertahankan dan menyelamatkannya."

"Gurunya sendiri sesat, bagaimana muridnya?!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari persembunyian. Rupanya Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan kebencian dibalik persembunyiannya. Ia keluar dengan mata tajam penuh tantangan.

Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan tenang, bahkan sempat tersenyum sinis memuakkan hati gadis berkepang dua itu. "Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya. "Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"

"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga! Pemuda iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku pun punya pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu. Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit benci.

"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan ketangkasan!"

"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.

"Biarkan aku menghadapinya, Ki! Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang Wiratmoko.

Wuuut...!

Wiratmoko sempat terkejut dengan hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri dengan lompat ke samping yang membuat tebasan pedang pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera dikibaskan ke samping, breet...!

Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya tergores ujung pisau tajam. Kemarahan Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian Mega Dewi kian tinggi. Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang.

Ki Empu Sakya mulai cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang Wiratmoko sambil tangan kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan tangan kanannya menyambar tubuh Mega Dewi.

Wuuut...! Claap...! Blaar...!

Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar membanana, namun tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.

Gema ledakan itu diterima oleh telinga Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat. Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah sampai ke tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang menuju Mega Dewi untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu Sakya menotok jalan darahnya.

Deb...!

Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi matanya masih bisa memandang dan memahami keadaan sekeliling. Sedangkan Angon Luwak masih ada di tempat persembunyiannya. Ketika ia melihat kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya menjadi girang, wajahnya pun ceria.

"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara pelan.

Wiratmoko tersenyum kalem melihat kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga Pamungkas masih tergenggam ditangannya. Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi lanjutkan langkahnya, karena mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada Wiratmoko dengan nada tegas.

"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku, Wiratmoko!"

"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara kita tidak punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan diri dalam permasalahanku, Sobat."

"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada didepanmu!"

"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat, menyingkirlah dan biarkan aku yang menghadapinya."

"Aku masih mampu melumpuhkan tikus sawah itu! Biarkan aku saja!"

"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"

"Tidak!"

"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru Suto Sinting.

Ki Gendeng Sekarat jadi memandang, lemas, dan akhirnya ia melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk menyombongkan gelar kehormatannya, namun hanya untuk menghindari korban yang tak diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa Ki Gendeng Sekarat itu.

"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi jika kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat itu. Jangan gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu. Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah pembela kebenaran."

"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau telah pastikan diri sebagai tandinganku, sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan menjadi kerangka tulang keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto Sinting!"

Suto pun melangkah ke kiri ketika Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka membentuk lingkaran gerak dan masing-masing memandang dengan mata tajam penuh kewaspadaan. Suto Sinting telah memindahkan bumbung tuaknya ke tangan, sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan menunggu mangsanya tiba.

"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang ditebaskan dari atas ke bawah.

Blaaar...!

Pedang itu membentur bambu tuak. Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu, gelombang ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu dengan lompatan ringan yang menghasilkan tenaga tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan. Sasarannya adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke bawah, lalu menebas ke samping.

Wuuut...!

Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko. Kakinya segera menendang ke depan.

Dees...! Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto. Pemuda itu terpelanting jatuh akibat tendangan keras yang membuat telinganya mulai berdarah. Wiratmoko berlutut setengah merangkak merasakan sakit ditelinganya. Ia yakin gendang telinganya menjadi pecah akibat tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah, sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu Jagat'. Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat tangan Suto menggerakkan bumbung tuak untuk menangkisnya.

Trang...!

Duaaar...! Suto memutar tubuh, bumbungnya disodokkan ke belakang, tepat mengenai punggung Wiratmoko.

Buuhg...!

"Hegghh...?!" Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat kering karena sodokan bambu itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.

"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak bisa menggunakan wujud nyata dalam menyerangnya," pikir Wiratmoko.

Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan, belakang, memutar, dan begitu seterusnya sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko berubah menjadi asap.

Suto Sinting mencoba menyodokkan bambunya, tapi menemui tempat kosong. Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang walau tak terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang ada disitu mempunyai rasa kagum yang tak sama besar-kecilnya.

Wuuus...!

Pedang itu berkelebat nyaris merobek punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari dengan berguling ke depan satu kali dan kembali berdiri dengan sigap.

"Suto akan kewalahan jika melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir Ki Gendeng Sekarat. Tetapi apa yang dipikirkan Ki Gendeng Sekarat ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.

Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting. Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko bergerak dalam bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke tanah satu kali.

Duug...!

Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar tenaga penghisap yang amat kuat. Asap tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang berseru lantang,

"Hai, jurus apa ini?! Hai... tunggu! Tunggu, Suto!"

Syuuurrppp...!

Deb...! Suto segera menutup lubang bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar suara Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh, aaauh...! Hai, siapa yang menghajarku ini?! Hai... aauh... aaauh... huuggh...! Sutooooo...!"

Di dalam bumbung itu tersimpan cincin Manik Intan yang mempunyai kekuatan tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam bumbung bambu. Yang jelas seruan dan ratapan Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting. Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak. Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.

"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu Sakya.

"Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan gurunya Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu genggamannya. Gagang pedang diremas kuat-kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus. Lalu mata pedang yang berasap itu pun diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itupun hancur menjadi serbuk halus.

Toosss...!

"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap usap rambut Angon Luwak.

"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"

"Bagus, bagus, bagus...!" Ki Gendeng Sekarat manggut-manggut, membuat Suto Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli melihat kebanggaan Angon Luwak, walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon Luwak meremukkan gagang Pedang Naga Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan 'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah memberikan ilmu itu kepada Angon Luwak.

"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan totokan Mega Dewi."

"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"

Taab...! Ki Empu Sakya bebaskan totokan Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat pergi dengan cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang jauh, dikaki bukit tersebut.

"Sutooo...! Mau ke mana kau?!"

"Membuang asap ini ke Sumur Tembus Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena menurutnya tak ada tempat lain untuk memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur Tembus Jagat.

Sedangkan Wiratmoko yang ada di dalam bambu itu menjadi amat ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat. "Jangan, Suto...! Jangan buang aku kesana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"

Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur Tembus Jagat berada.

"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain adalah Kirana. "Aku ikut!" Gadis itu pun berlari mengejar Suto, kini ia tidak bersama Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke Kuil Elang Putih untuk serahkan kalung pusaka Lintang Suci itu. "Aku ikut, Sutooo...!"

"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana yang cantik dan bandel itu.

SELESAI

Naga Pamungkas

Serial Pendekar Mabuk
Naga Pamungkas
Karya Suryadi

Cerita Silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
SEKELEBAT bayangan melintasi hutan di kaki bukit. Orang mengenal bukit itu dengan nama Bukit Mata Langit. Tak ada orang yang berani melintasi hutan di Bukit Mata Langit itu, karena mereka takut terperosok ke sebuah lubang yang amat dalam. Lubang itu tertutup oleh tanaman rambat sehingga tidak mudah diketahui oleh siapa pun. Tanaman rambat yang menutup rapat lubang tersebut seolah-olah berguna sebagai tanaman penjebak.

Kelihatannya tempat itu datar dan bertanaman rambat biasa, tapi sebenarnya di bawah tanaman rambat itu terdapat lubang besar yang mengerikan. Lubang itu dikenal orang dengan nama Sumur Tembus Jagat. Hanya orang-orang yang tersesat saja yang berani masuk dan melintasi hutan Bukit Mata Langit itu.

Salah satu orang yang tersesat adalah pemuda berpakaian coklat dengan celana putih. Pemuda itu berambut panjang dan mempunyai ketampanan menghebohkan kaum wanita. Di punggung pemuda itu tersandang sebatang bambu tempat tuak. Melihat ciri-ciri tersebut, para tokoh dunia persilatan sudah tak asing lagi dan sangat mengenalnya. Pemuda itu tak lain adalah Pendekar Mabuk si Gila Tuak yang dikenal dengan nama Suto Sinting.

"Kurang ajar! Lari ke mana dia tadi? Sepertinya masuk ke semak-semak sebelah sana. Sebaiknya kuhadang lewat sini saja," pikir Suto dengan mulai melangkah mengendap-ngendap. Rimbunan semak dikelilinginya. Mata tajam si tampan itu tidak berkedip menatap bagian bawah semak-semak itu. Napasnya tertahan beberapa saat agar tak menimbulkan bunyi yang mencurigakan.

Slap, slap...!

Bayangan putih melompat dari bawah semak belukar itu, menerobos masuk ke rimbunan semak tak berduri. Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan ikut menerabas semak tak berduri.

Bruus...! Buk...!

"Auh...!" Pendekar Mabuk terpekik karena sakit. Rupanya di dalam semak tak berduri itu terdapat bongkahan batu besar yang tertutup hijaunya dedaunan. Wajah Pendekar Mabuk menabrak batu itu hingga terpaksa pejamkan mata sesaat karena menahan rasa sakit di tulang hidungnya.

"Sial! Untung tulang hidungku tak sampai patah!" gerutunya sambil mengusap-usap wajah. Dagunya pun terasa sakit karena diadu dengan batu.

Slap, slap...!

Bayangan putih melesat lagi meninggalkan semak duri itu. Suto Sinting cepat lompatkan diri ke arah yang sama, lalu menerkam bagai seekor singa.

Bruuus...!

"Kena kau sekarang!" Seekor kelinci hutan tergenggam di kedua tangan Pendekar Mabuk. Kelinci hutan itu berusaha meronta dengan matanya yang memancarkan ketakutan, tapi kedua tangan Suto semakin erat menggenggamnya. Wajah pemuda itu pun menampakkan kelegaan hatinya. Kelinci buruannya berhasil ditangkap, dan siap untuk dijadikan santapan dengan membakarnya.

Tetapi mata bening sang kelinci membuat Pendekar Mabuk menjadi tak tega untuk membunuh binatang tersebut. Mata bening binatang itu bagai memandangi Suto dan mohon belas kasihan.

"Ah, kau...!" gumam Suto dengan hati mulai kecewa. "Kau manis sekali, sehingga membuat hatiku iba. Ah, benar-benar tak tega kalau aku harus menyantap mu. Tapi... perutku lapar, suaranya sampai seperti lesung bertalu. Aku harus menyantapmu, Kelinci yang baik hati. Maafkan aku."

Mata kelinci itu berkedip-kedip seakan pasrah pada sang nasib. Hati Pendekar Mabuk itu kian bimbang diguncang rasa iba hati.

"Ah, kasihan sekali kau. Kenapa wajahmu tidak buruk saja, supaya aku tega menyantapmu? Kau terlalu manis dan lembut. Hmmm... kalau begitu, biarlah aku menahan lapar untuk sementara. Pergilah sana. Aku tak jadi menyantapmu." kata Suto Sinting sambil melepaskan binatang tersebut. Tambahnya lagi, "Tolong panggilkan serigala. Biar aku menyantap dagingnya sebagai penggantimu, Kelinci!"

Slap, slap...!

Kelinci itu melompat dua kali, kemudian berhenti. Ia berpaling memandangi Suto, dan pemuda itu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kelinci itu pun melompat lagi beberapa kali dan masuk kesemak-semak tanaman berdaun lebar.

Bruush...!

Pendekar Mabuk segera meraih bumbung tuaknya. Ia menenggak tuak dari bumbung itu beberapa teguk. Napasnya terhempas lepas menandakan kelegaan. Walau perut lapar, asal sudah kemasukan tuak, rasa lapar itu bagaikan mereda untuk beberapa saat. Suto Sinting memang merasa lebih baik menahan rasa lapar ketimbang menahan rasa haus tuak.

Ia paling tak bisa menahan haus tuak. Baginya, seteguk tuak mempunyai kekuatan melebihi sepiring nasi, bahkan menyamai kenyangnya makan seekor kelinci hutan yang dibakar. Walau kadang Suto merasa bosan dengan tuak dan ingin sesekali menelan nasi atau daging dan makanan lainnya, tapi jika memang tak ada makanan lainnya, tuakpun masih bisa menjadi pengganjal rasa laparnya.

Suto Sinting baru saja ingin melangkahkan kakinya, tiba-tiba dari semak-semak berdaun lebar tempat menghilangnya kelinci itu muncul seraut wajah cantik berkulit kuning. Tentu saja Suto Sinting terkejut kaget dan jadi terbengong beberapa saat.

"Lho...? Kelinci itu kusuruh memanggil serigala tapi kenapa yang muncul seraut wajah cantik? Jangan-jangan kelinci itu tak bisa membedakan antara serigala dan gadis cantik? Oh, dasar kelinci bodoh!" gumam Suto dalam hati.

Wajah cantik itu tampak menyimpan ketegangan. Wajah cantik itu pun menyembunyikan kecemasan di balik sikap tertegunnya dalam memandangi Suto Sinting. Pakaiannya yang berwarna merah muda sangat memancing perhatian, karena pada bagian dadanya terbuka sedikit lebar, sehingga belahan dada itu pun tersumbul lebih jelas dan sepertinya tantangan lain bagi Suto. Bukan tantangan adu ilmu kanuragan, namun tantangan adu kekuatan batin. Dan ternyata batin Suto masih kuat untuk tidak mudah tergiur dan terpancing bayangan mesra kepada gadis berambut panjang itu.

"Apakah kau jelmaan seekor kelinci yang tadi kutangkap dan kulepaskan lagi, Nona?" tegur Suto Sinting dengan senyum dan keramahan yang membuat gadis itu justru merasa kian cemas. Ia mundurkan langkah satu tindak dengan mati tak berkedip.

Suto merasa heran melihat sikap sang gadis. Ia mencoba mendekatinya. Tapi gadis itu justru melompat mundur dan mencabut pedangnya yang terbuat dari logam kuningan.

Sraaang...!

Mau tak mau Pendekar Mabuk hentikan langkah. Gadis itu pasang kuda kuda, seakan siap serang dengan jurus pedangnya. Bibirnya yang mungil dan tampak selalu basah itu masih terkatup tanpa berucap sedikitpun. Matanya yang bening bak kelinci tadi sekarang menatap tajam bersikap bermusuhan.

"Sekali lagi aku hanya ingin bertanya, apakah kau jelmaan dari kelinci yang kulepaskan tadi?"

Gadis itu diam saja. Matanya sedikit menyipit. Suto langkahkan kaki satu tindak. Tapi tiba-tiba gadis itu sentakkan kakinya ke tanah dan melompat menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bambu tuak diraih Suto dan berkelebat menangkis tebasan pedang gadis berpakaian merah jambu itu.

Traang...!

Pedang itu bagaikan membentur sebongkah besi baja. Benturan pedang dengan bambu tuak memercikkan bunga api warna merah. Akibat benturan pedang dengan bambu telah membuat tubuh gadis itu terpental. Kekuatan tenaga dalam yang menghantam bambu lewat pedangnya telah berbalik mengenai dirinya sendiri. Tak heran jika gadis itu akhirnya terjungkal ke belakang dalam keadaan hilang keseimbangan.

Brrug...!

Jaraknya hanya empat langkah dari tempat Pendekar Mabuk berdiri. Kalau saja Suto mau menyerangnya, itu bukan pekerjaan yang sulit. Tapi ternyata Suto tidak mau memberikan serangan balasan. Ia hanya melangkah satu tindak lagi dan si gadis buru-buru bangkit dari kejatuhannya. Kuda- kuda terpasang lagi, mata semakin tajam, napas kian menderu.

"Tulangku terasa ngilu semua," pikir gadis itu. "Kekuatan apa yang ada pada bambu itu, sehingga tenaga dalamku menjadi berbalik menyerangku? Rupanya pemuda ini bukan manusia hutan sembarangan. Aku tak boleh menganggap remeh kepadanya. Hmmm... tapi ketampanannya membuat keberanianku sempat susut beberapa kali. Kurang ajar! Persetan dengan ketampanan itu. Aku harus bisa melupakannya kalau tak ingin mati di ujung bambunya itu!"

"Tahan seranganmu, Nona," kata Suto Sinting dengan kalem. "Aku bukan musuhmu. Toh aku telah melepaskanmu dan tak jadi menyantapmu," tambah Suto karena ia yakin gadis itu jelmaan dari kelinci tadi.

Sang gadis masih belum mau bicara kecuali hanya memandang tajam. Tak ada kesan bersahabat atau ramah sedikit pun. Yang ada hanya kesan sinis. Bahkan cenderung menampakkan sikap angkuhnya.

"Bukankah tadi sudah kukatakan bahwa aku tak tega menyantapmu? Kenapa kau masih memusuhiku? Apakah kau pikir aku masih ingin menyantapmu?"

"Tutup mulutmu, Pemuda Binal!" geram gadis itu.

Suto hanya tertawa kecil mendengar dirinya dipanggil pemuda binal oleh gadis itu. "Aku bukan pemuda binal. Aku pemuda sinting, sebab namaku Suto Sinting!"

Tiba-tiba gadis itu mengendurkan ketegangannya. Matanya yang tajam dalam memandang kini sudah mulai surut dan berangsur-angsur lembut. Sikap kuda- kudanya pun mulai tegak. Tapi pedangnya masih tergenggam erat di tangan. "Ben... benarkah kau... kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"

"Benar," jawab Suto dalam ulasan senyum tipis yang menambah pesona ketampanannya.

Gadis itu menjadi gelisah menerima tatapan mata yang begitu lembut dari Suto Sinting. Kegelisahan tersebut segera ditutupi dengan sikap curiga yang dibuat-buat. Gadis itu memaksakan diri untuk tersenyum sinis. "Tak mungkin kau si Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Pendekar Mabuk tak akan keluyuran ke hutan ini. Karena di sini tak ada pusaka dan orang sakti."

"Kau pikir aku mencari pusaka? Oh, tidak. Sama sekali tidak, Nona Cantik. Aku ke sini karena tersesat gara-gara mengejarmu tadi."

Dahi si cantik berkerut. "Mengejarku?"

"Maksudku, waktu kau menjadi kelinci tadi, aku mengejar-ngejarmu untuk kujadikan santapanku. Tapi begitu kau berubah menjadi gadis yang cantik, aku malu untuk menyantapmu dan..."

"Aku bukan siluman kelinci!" sergah gadis itu. "Aku manusia biasa dan seumur hidupku belum pernah berubah menjadi kelinci."

"O, maaf. Jadi...," Suto tertawa, tak jadi melanjutkan kata-katanya karena merasa malu dengan salah duganya itu.

"Namaku Citradani, bekas murid Perguruan Kuil Elang Putih."

"Ooo...." Suto manggut-manggut. "Kalau begitu kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani terkejut. "Kau mengenal bekas guruku itu?"

"Cukup kenal. Juga kepada Anjarwati, Mahasi, Dewi Anjani, dan yang lainnya, aku pun mengenal mereka. Bukankah mereka teman-temanmu?"

"Benar. Tapi sekarang sudah tidak lagi." jawab Citradani sambil memasukkan pedang ke dalam sarungnya.

"Kenapa kau sampai keluar dari Kuil Elang Putih?"

"Karena melanggar kesalahan." Citradani kelihatan sedih mengenang masa lalunya. Ia bersandar di sebuah pohon dalam keadaan masih berdiri.

Suto kian mendekat, matanya memandang sekeliling sebagai tanda bahwa ia selalu waspada di mana pun berada. "Kalau boleh kutahu, apa kesalahanmu terhadap Kuil Elang Putih?"

"Aku menghilangkan sebuah pusaka yang bernama Lintang Suci."

"Lintang Suci? Sebuah pedang atau..."

"Sebuah kalung," jawab Citradani dengan memotong kata-kata Suto Sinting. "Kalung itu bisa untuk mengubah-ubah diri menjadi bentuk apa pun. Rantai kalung itu pernah patah. Tak ada yang bisa menyambung rantai emas kalung itu, sebab rantai tersebut terbuat dari emas keramat. Hanya ada satu orang yang bisa menyambung rantai emas keramat itu. Orang tersebut adalah Ki Padmanaba..."

Suto terperanjat. "Ki Padmanaba?! Dia sekarang sudah meninggal!"

"Mungkin saja begitu. Karena peristiwa yang kualami itu sudah cukup lama. Aku ditugaskan membawa pusaka Lintang Suci kepada Ki Padmanaba. Ketika kalung tersebut sudah tersambung rantainya, tugasku adalah membawa pulang kepada Guru Ratu Embun Salju. Tetapi di perjalanan aku tergoda oleh seorang pemuda, dan kami pun saling berkasih-kasihan. Aku tak tahu kalau pemuda itu sudah lama mengincar kalung Lintang Suci. Aku tertipu. Saat aku tak sadar, kalung itu berhasil dicurinya dan dia pergi entah ke mana. Aku ditolak pulang ke Kuil Elang Putih, tak diizinkan kembali ke sana jika tidak bersama pusaka tersebut. Mau tak mau aku harus mencari pusaka kalung Lintang Suci itu supaya aku bisa diterima kembali di Kuil Elang Putih."

Suto Sinting angguk-anggukkan kepalanya. "Sampai sekarang kau belum temukan di mana pemuda itu berada?"

"Belum. Sesekali aku melihat kelebatan bayangannya. Tapi tiap kali kukejar ia bisa menghilang dalam persembunyiannya. Aku selalu kehilangan jejak. Seperti saat ini aku melihatnya melintas kemari. Kukejar dia dan akhirnya aku kehilangan jejak kembali. Tahu-tahu aku bertemu denganmu. Aku sangsi, kusangka kau adalah pemuda itu yang merubah diri dengan kekuatan kalung Lintang Suci itu."

"Lalu, kau percaya kalau aku bukan pemuda itu?"

"Percaya."

"Apa yang membuatmu percaya padaku?"

"Tebasan pedangku walaupun ditangkis akan memudarkan samarannya dan membuatnya kembali ke wujud aslinya."

"Ooo...," Suto manggut-manggut. Ia ingin bicara lagi, tapi tiba-tiba tangannya berkelebat cepat menempel di dada Citradani. Citradani terpekik kaget dan malu, dadanya terpegang oleh tangan Suto.

Plaaak...! Sebuah tamparan pedas diterima oleh pipi Suto. Pemuda itu meringis kesakitan. Pipinya sempat merah sedikit.

"Kurang ajar kau!" gertak Citradani.

"Maaf..." kata Suto, lalu tangan yang tadi menempel di dada Citradani hingga menyentuh ujung bukitnya itu kini diperlihatkan kepada gadis itu. Sebuah senjata rahasia telah terselip di antara jemari Suto.

Citradani terperanjat dan segera menyadari apa sebenarnya yang dilakukan oleh Suto. Ternyata Pendekar Mabuk baru saja menyelamatkan jiwa Citradani dari ancaman senjata rahasia yang dilemparkan oleh seseorang dari tempat yang tersembunyi. Senjata rahasia itu berupa sepotong bulu landak yang tajam dan beracun ganas. Jika tangan Suto tidak menutup ujung bukit dada Citradani maka senjata rahasia itu yang akan menancap di sana. Tapi dengan gerakan tangan Suto menutup ujung bukit dada Citradani, maka senjata rahasia itu hanya terselip di sela jari Suto dan dijepit kuat agar tak menyentuh kulit dada gadis itu.

"Kau mengenal siapa pemilik senjata ini?" tanya Suto Sinting.

"Tidak. Tapi aku melihat sekelebat bayangan lari kesana. Aku akan mengejarnya!"

"Tunggu dulu, aku akan..."

Wuuusss!

Citradani sudah melesat lebih dulu sebelum Suto selesai bicara. Kecepatan gerakannya yang menyerupai hembusan angin itu menandakan bahwa gadis itu sebenarnya berilmu tinggi. Setidaknya ia mempunyai ilmu tenaga peringan tubuh yang cukup tinggi. Suto memang bisa mengungguli kecepatan gerak Citradani, tapi ia tak mau. Suto lebih tertarik dengan suara teriakan seseorang yang terdengar samar-samar dari tempatnya.

"Toloong. !"

Suara itu kecil sekali, kentara kalau letaknya sangat jauh. Maka, Pendekar Mabuk pun segera melesat ke arah yang berlawanan dengan Citradani. "Biarlah Citradani mengejar penyerang gelapnya. Aku percaya dia mampu menjaga diri dengan ketinggian ilmunya itu. Aku akan menolong seseorang yang agaknya dalam bahaya besar," kata Suto membatin.

Suara orang minta tolong itu hanya sesekali terdengar. Sepertinya orang tersebut berusaha untuk melepaskan diri dan kesulitannya, tapi merasa cemas dan takut gagal, sehingga sesekali ia berteriak minta tolong. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah ketika suara teriakan itu menghilang. Ia kebingungan mengambil arah langkah kakinya.

"Di mana orang itu? Kenapa suaranya tak terdengar lagi.? Apakah kepalanya sudah telanjur ditelan harimau? Mengapa ia tak coba-coba berteriak lagi dari dalam perut harimau, siapa tahu mulut harimau itu kebetulan ternganga dan suaranya bisa sampai keluar perut harimau?" gumam Suto Sinting bagai orang gila yang bicara sendiri. Langkahnya masih tergesa-gesa sambil memastikan arah dan mencari orang yang dalam bahaya itu. Telinganya dipasang baik-baik, sampai akhirnya angin pegunungan membawa suara teriakan tersebut dari arah timur.

"Tolooong...!"

"Nah, suaranya di sana! Ya, di timur sana! Aku harus segera menolongnya!" tekad Suto. Sikap berbuat baik kepada seseorang dan saling tolong-menolong memang selalu dimiliki dalam jiwa Suto Sinting.

Genangan air yang dipijak Suto membuatnya sedikit curiga. Kelembaban tanah di sekitarnya membuat Pendekar Mabuk semakin hati-hati dalam melangkah. Matanya memandangi padang ilalang yang mengelilingi tanaman rambat seperti kangkung yang merimbun seluas sepuluh langkah lebih.

"Sepertinya di depanku itu adalah paya-paya yang berbahaya. Tapi kenapa ditumbuhi tanaman rambat cukup lebat dan luas? Oh, ada sesuatu yang bergerak di ujung sana?"

Mata Suto Sinting memperhatikan tanaman rambat yang bergerak-gerak. Letaknya di seberang sana, sehingga jika Suto ingin mendekati gerakan tersebut ia harus melewati bentangan tanaman rambat itu. Karena curiga ladang yang akan dilintasi adalah paya-paya atau rawa yang tertutup tanaman, maka Pendekar Masuk terpaksa menggunakan ilmu peringan tubuhnya untuk melintasi tempat tersebut.

Tab, tab, tab, tab...!

Pendekar Mabuk melompati daun demi daun. Ilmu peringan tubuhnya yang tinggi membuat telapak kakinya yang menyentuh ujung daun tidak terbenam. Daun itu pun bagaikan tidak tersentuh apa pun kecuali angin kecil. Pada saat melintasi daun-daun tersebut, Suto baru menyadari bahwa ia sedang berjalan di atas lubang besar, yaitu lubang yang tertutup tanaman rambat dengan rata dan tak kentara. Suto menyadari hal itu setelah ia merasakan tekanan daun yang dipijaknya terasa sangat ringan. Berarti di bagian bawah daun tak ada alas penyangga, tak ada air, tak ada tanah. Daun itu bagaikan tumbuh mengambang di udara.

"Lubang besar! Gawat! Salah perhitungan sedikit tubuhku bisa tenggelam ke dalam lubang besar ini?!" pikir Suto Sinting sambil semakin mendekati benda yang bergerak-gerak di bawah kerimbunan tanaman rambat itu.

"Tolooong...!" Suara itu sangat jelas, datangnya dari gerakan-gerakan di bawah tanaman itu.

Suto segera menyimpulkan, "Ternyata ada orang yang terperosok di sana! Ia tak bisa naik. Oh, kasihan sekali."

Suto menyangka orang yang terperosok itu mengalami kesulitan untuk naik ke permukaan karena dililit tanaman rambat. Maka dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk menyambar telapak tangan seseorang yang tampak tersumbul dari bawah kerimbunan tanaman rambat. Sayang sekali sebelum Suto berhasil menyambar tangan orang tersebut, tiba-tiba si pemilik tangan telah melesat keluar dari kedalaman lubang.

Bruuussh...! Jleeg...!

Dengan bersalto dua kali di udara, orang tersebut berhasil menempatkan diri di tanah datar. Berdiri dengan tegak. Memandang Suto dengan senyum berkesan jumawa. Orang itu adalah seorang lelaki berusia sekitar dua puluh delapan tahun, seusia dengan Suto. Rambutnya ikal sedikit panjang diikat dengan ikat kepala dari kain berbenang emas.

Pakaiannya biru muda cerah. Di pinggangnya menyandang pedang pendek seukuran satu depa. Gagang pedang berwarna putih perak. Gagang pedang itu berbentuk kepala naga, bagian mata kepala naga terdapat batuan warna merah cerah.

Suto Sinting hampir saja terkecoh masuk ke lubang besar itu. Untung ia segera meliukkan badan dengan menggunakan selembar daun untuk tumpuan jarinya, sehingga dalam sekejap Suto pun sudah berdiri tegak di depan lelaki sebayanya itu. Mata memandang penuh curiga, sedangkan lelaki itu menatap dalam senyum sinisnya.

"Sayang sekali kau yang datang. Padahal aku hanya ingin memancing seseorang yang bukan dirimu. Sobat!" kata si baju biru itu.

"Siapa kau?! Mengapa berpura-pura minta tolong?"

"Aku Wiratmoko. Aku orang yang gemar bercanda. Hmmm... aku sengaja ingin menjebak temanku sendiri. Aku ingin menertawakannya jika ia terkecoh olehku."

"Siapa temanmu itu, Wiratmoko?"

"Kau tak perlu tahu. Sobat," jawabnya dalam senyum. "Yang jelas, jika maksudmu baik padaku, sebutkan namamu supaya kita saling kenal."

"Namaku Suto."

"Nama yang sederhana, tapi mudah diingat, mudah pula dihilangkan dari ingatan," kata Wiratmoko bernada angkuh. "Apakah kau tersesat di hutan ini?"

"Tidak semata-mata tersesat."

"Ha, ha, ha, ha...," Wiratmoko tertawa melecehkan. "Jangan menutupi kebodohanmu. Suto. Aku tahu kau benar-benar tersesat. Buktinya kau tidak mengetahui bahwa tanah yang kau lalui tadi adalah permukaan sebuah lubang maut yang bernama Sumur Tembus Jagat."

Suto Sinting berkerut dahi, matanya memandang ke arah tanaman rambat yang tadi dilaluinya. Ia baru tahu bahwa lubang itu adalah Sumur Tembus Jagat. Tapi ia tak paham apa artinya.

"Sumur Tembus Jagat ini termasuk sumur tanpa dasar. Jika seseorang masuk ke dalamnya ia tak akan bisa ditemukan lagi. Mungkin mati di pertengahan lorong sumur atau terbuang ke sisi belahan bumi lainnya. Yang jelas tak akan ada orang bisa selamat dari maut yang ada di Sumur Tembus Jagat itu. Beruntung sekali kau mempunyai ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sehingga kau tidak terperosok ke dalam sumur itu waktu mau menolongku."

Napas Pendekar Mabuk terhempas bagaikan melepas kelegaan. Ia meneguk tuaknya sebentar, dan pada saat itu Wiratmoko memperhatikan dengan dahi berkerut. Sepertinya ia menemukan sesuatu pada diri Suto, namun ia tidak mau menyebutkannya. Ketika Suto selesai meneguk tuaknya, tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya putih yang menyerang ke arah Wiratmoko dari belakang. Suto Sinting segera berseru,

"Awas...!"

Suto terlambat berbuat sesuatu. Wiratmoko sendiri juga terlambat mengetahui datangnya bahaya. Kilatan cahaya putih yang melesat itu menghantam punggung Wiratmoko. Duub...! Tubuh Wiratmoko kejang seketika, matanya mendelik dan semua gerakannya terhenti. Ia bagaikan menjadi patung bernyawa. Kulit wajahnya yang coklat cerah itu menjadi kemerah-merahan. Hidungnya mulai melelehkan cairan merah kehitaman. Kejap berikut muncul seorang kakek berjenggot panjang warna abu-abu. Ia datang begitu saja, tak diketahui dari mana asalnya. Suto Sinting sempat terperangah dengan kemunculan kakek itu.

"Jangan berkawan dengan dia kalau kau ingin selamat!" kata kakek berjubah putih kumal itu. Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat bagaikan terbang ke atas, hinggap di dahan pohon yang dipunggunginya. Suto ingin mengatakan sesuatu, tapi sang kakek pergi dengan cepat seperti lenyap ditelan angin.

* * *

DUA
PENGEJARAN Citradani sampai ke pesisir selatan. Musuh yang melemparkan senjata rahasia dan berhasil ditangkap oleh Suto itu ternyata seorang perempuan berusia lima tahun lebih tua dari usia Citradani yang mencapai dua puluh empat tahun itu. Perempuan yang dikejar Citradani itu mengenakan pakaian kuning menyala, rambutnya disanggul sebagian. Perempuan itu hentikan langkah ketika telah mencapai pesisir selatan. Ia tampak dengan terpaksa melayani maksud pengejaran Citradani. Keduanya kini saling berhadapan dalam jarak lima langkah.

"Ternyata kaulah orangnya, Tandak Ayu!" geram Citradani.

Tandak Ayu yang berhidung mancung dengan bentuk wajah bulat telur itu tersenyum sinis. Pedang yang ada di punggungnya masih belum diraih. Tapi sikap berdirinya yang tegak dengan kaki sedikit merenggang menandakan ia siap mencabut pedang sewaktu-waktu.

"Ternyata kau seorang wanita yang pengecut, Tandak Ayu!"

"Jaga mulutmu agar tak robek dari mulutku, Citradani," ucap Tandak Ayu dengan kalem namun menandakan kegeraman hatinya.

"Mengapa kau ingin membunuhku dengan senjata rahasiamu itu, hah?"

"Karena aku tak ingin kau memiliki barang yang kau cari-cari selama ini!"

Jawaban itu membuat Citradani berkerut dahi. Matanya segera tertuju ke leher Tandak Ayu. Hatinya pun terkejut melihat Tandak Ayu ternyata mengenakan kalung Lintang Suci. "Jahanam kau, Tandak Ayu! Rupanya kaulah pemakai kalung itu!" Citradani semakin menggeram, bagaikan menahan amarah mati-matian.

Tandak Ayu hanya sunggingkan senyum sinis. "Serahkan benda itu padaku sebelum terjadi pertumpahan darah, Tandak Ayu!"

"Rebutlah dengan nyawamu kalau kau mampu!" tantang Tandak Ayu.

"Jangan menyesal kau, Pencuri Busuk! Hiaaat...!" Citradani menerjang bagaikan kilatan cahaya yang melesat dari sebuah pukulan.

Begitu cepatnya gerakan itu, hingga Tandak Ayu tak sempat berkedip dan menghindar. Tahu-tahu ia merasakan tubuhnya dilanda gumpalan badai yang membuatnya terpental sejauh lima tombak.

Brruhg...!

Tandak Ayu jatuh terpuruk. Mulutnya keluarkan darah segar. Tapi ia segera bangkit sebelum Citradani lancarkan pukulan tenaga dalamnya tanpa wujud itu.

Wuuut...!

Tandak Ayu melenting ke udara dalam satu sentakan kakinya. Pukulan tenaga dalam Citradani yang dilepaskan melalui telapak tangan kirinya itu mengenai tempat kosong. Akibatnya pasir yang terkena pukulan itu menyembur ke atas. Pasir yang berwarna putih itu menjadi hitam legam saat menyembur ke atas, menandakan pukulan tenaga dalam tersebut cukup berbahaya jika mengenai tubuh lawannya. Beruntung Tandak Ayu mampu menghindarinya. Jika tidak ia akan menjadi hangus seperti pasir-pasir tersebut.

Tangan perempuan berpakaian kuning dengan ikat rambut pita kuning itu segera merapatkan kedua telapak tangannya di dada. Dalam sekejap ternyata ia telah berubah menjadi seekor kelinci putih. Claaap...!

Citradani hanya tersenyum sinis. Ia tahu Tandak Ayu bisa berubah begitu karena kekuatan kalung Lantang Suci yang dikenakan. Bahkan menjadi binatang yang lebih menyeramkan pun sangat mudah. Citradani segera memahami, bahwa yang dimaksud kelinci buruan Suto tadi rupanya adalah perubahan dari wujud asli Tandak Ayu. Tapi si pemuda tampan itu tentunya tidak mengetahui bahwa kelinci tersebut adalah Tandak Ayu.

Kelinci putih itu melompat di balik karang. Citradani segera menghantamkan pukulan jarak jauhnya bercahaya merah.

Wuuut...!

Blaaar...! Karang hancur seketika menjadi serbuk warna merah membara dan panas. Kelinci itu hilang. Entah kemana perginya.

Citradani mencari kebingungan. Hatinya kian panas, dadanya ingin meledak karena kehilangan lawannya. Ia hanya bisa menggerutu, "Kurang ajar! Dia pasti berubah menjadi undur-undur!" Sambil mengorek-ngorek tanah berpasir mencari undur-undur jelmaan Tandak Ayu, Citradani bertanya-tanya dalam hatinya,

"Bagaimana mungkin kalung itu bisa ada ditangannya? Apakah ia berhasil merebut kalung itu dari si tampan berhati iblis itu? Semudah itukah Tandak Ayu mampu merebutnya? Padahal aku tahu persis ilmu si Tandak Ayu tidak seberapa tinggi. Sekalipun ia murid Nyai Demang Ronggeng yang kesohor dengan ilmu 'Tarian Mayat'-nya, tapi aku yakin ia belum mewarisi ilmu itu. Nyai Demang Ronggeng tak akan semudah itu menurunkan ilmu andalannya kepada sang murid!"

Mencari undur-undur adalah pekerjaan yang memuakkan bagi Citradani. Harus sabar dan tekun. Setiap tanah dikoreknya pelan-pelan. Sementara itu gemuruh dalam dada Citradani sudah semakin menyerupai lahar gunung berapi yang ingin mendobrak kepundannya.

"Kugites dan kutumbuk selembut mungkin kalau undur-undur itu berhasil kutemukan!" geram Citradani sambil menyiapkan segenggam batu.

Ketekunan mengorek-ngorek tanah membuat Citradani terkejut ketika mendengar sapaan dari belakangnya. "Rupanya ada anak kecil yang gemar memburu undur-undur!"

Seet...! Citradani cepat palingkan wajah. Cepat pula ia berdiri ketika diketahui telah berdiri seorang gadis berpakaian kuning gading dan berambut lurus dengan poni di dahinya. Gadis itu tersenyum geli. Tapi Citradani justru makin cemberut. Lalu ia sentakkan tangannya yang mengeluarkan cahaya merah berkelebat.

Wuuut...!

Gadis berambut lurus itu pun menyentakkan tangannya hingga dari telapak tangan melesat sinar hijau yang langsung membentur sinar merah itu.

Wuuut...!

Blaar...! Ledakan dahsyat menggelegar, menggema bagai memenuhi alam lautan. Ledakan itu timbulkan gelombang hebat, hingga keduanya sama-sama terpental menjauh dan saling berjatuhan tanpa bisa menjaga keseimbangan badan. Dua gugusan batu karang itu retak, padahal jaraknya ke kanan-kiri mereka cukup jauh. Ombak lautan yang sedang menuju ke pantai pun menyibak tinggi berbalik arah. Gemuruh ombak bagai suara bumi mau kiamat. Rupanya keduanya sama-sama melepaskan pukulan berbahaya yang berkekuatan cukup tinggi.

Beberapa saat kemudian, gadis berambut lurus yang menyandang pedang berhias batu ungu di ujung gagangnya itu berdiri dengan sedikit limbung. Kejap berikutnya ia mampu tegak kembali dan memperhatikan Citradani yang bangkit dengan terhuyung-huyung pula.

"Gila dia melepaskan pukulan yang tidak tanggung-tanggung," pikir gadis berambut lurus itu. "Kalau tidak kuhadapi dengan pukulan mautku, mungkin aku akan mati dalam beberapa kejap saja."

Sementara itu, Citradani pun membatin, "Hebat sekali dia, bisa menandingi jurus 'Merah Delima' yang hanya bisa ditangkis oleh orang-orang berilmu tinggi. Jika begitu, dia mempunyai ilmu cukup tinggi pula. Mungkin memang Nyai Demang Ronggeng telah mewariskan segala ilmunya kepada Tandak Ayu. Oh, aku harus hati-hati menghadapinya."

Kini keduanya sama sama mendekat dalam langkah yang penuh waspada. Masing-masing siap lepaskan serangan penangkis dengan mata tak berkedip sedikit pun. Dalam jarak enam langkah, mereka saling berhenti.

"Apa maksudmu menyerangku, Gadis Kecil?"

Citradani menggeletukkan gigi dipanggil 'gadis kecil' karena ia merasa sudah dewasa dan mampu merobek mulut lawannya itu. Pandangan mata Citradani menjadi semakin benci dan mempertajam permusuhannya. Tapi ia menjadi sedikit heran melihat kalung Lintang Suci yang berbentuk bintang segi lima dari batuan kristal putih itu tidak kelihatan di leher lawannya.

"Tak perlu berpura-pura, Tandak Ayu! Sekali ini kalau kau tak mau serahkan benda itu, akan kubuat musnah tanpa bekas dirimu!"

Dahi gadis yang tangannya bertato mawar merah tepat di pergelangannya menjadi berkerut tajam menandakan keheranannya. "Siapa Tandak Ayu itu? Benda apa yang kau inginkan dariku?"

"Hmm...! Kau pikir aku mudah tertipu oleh penyamaranmu?!" Citradani melangkah ke kiri membentuk lingkaran, sedangkan gadis itu melangkah ke kanan penuh waspada.

"Mungkin kau salah duga. Aku bukan Tandak Ayu!"

"Akan kupaksa mulutmu agar mengaku. Hiaaat...!" Citradani melompat maju, menghantamkan pukulannya ke wajah gadis berambut lurus. Gadis itu menangkis dengan telapak tangannya.

Plaak...!

Pukulan Citradani mengenai telapak tangan itu. Percikan bunga api menyembur dari perpaduan tangan mereka. Citradani merasa tertahan pukulannya, sehingga ia terpaksa melepaskan pukulan tangan kirinya dengan cepat ke arah dada gadis itu. Tapi lagi-lagi pukulan itu mampu ditangkis dengan mengadu pergelangan tangan yang menimbulkan bunyi; kraak...!

Wuuut...! Bag, bag...! Duaaar...!

Kedua telapak tangan mereka saling beradu, ledakan kecil kembali terdengar menandakan kedua pukulan mereka cukup bertenaga tinggi. Keduanya pun sama-sama terpental mundur, namun mereka tak sampai jatuh seperti tadi. Keduanya sama-sama berdiri dengan kaki merenggang dan memasang kuda-kuda siap serang.

"Edan! Bagian dalam tubuhku seperti sedang dibakar api setelah mengadu telapak tangan tadi." kata gadis itu dalam hati, "Apa maunya dia sebenarnya?"

"Serat-serat dagingku bagai disayat-sayat!" pikir Citradani. "Perih semua sekujur tubuhku karena beradu telapak tangan dengannya. Ilmunya memang tak boleh disepelekan. Tapi kurasa ilmu itu bukan dari Nyai Demang Ronggeng. Lalu dari mana Tandak Ayu memperoleh ilmu seperti itu?"

Setelah keduanya menyalurkan hawa murni dalam tubuh masing-masing, rasa sakit yang mereka alami pun mulai reda. Napas mereka yang terengah-engah menjadi tenang kembali. Tapi kedua mata mereka masih saling beradu pandang dengan sama-sama tajamnya.

"Aku tak akan membiarkan kau lolos, Tandak Ayu. Sebelum ku peroleh benda itu darimu, akan kusiksa dirimu dengan jurus 'Pembakar Jantung'-ku nanti!"

"Persetan dengan anggapanmu! Aku bukan Tandak Ayu!"

"Omong kosong! kau pasti Tandak Ayu yang merubah diri menjadi wujud lain!"

"O, kurasa kau benar-benar salah anggapan. Perlu kuluruskan. Aku bukan Tandak Ayu. Namaku adalah Kirana, murid Nyai Punding Sunyi dari Perguruan Mawar Seruni!"

Citradani diam sebentar, mulai merenungi kemungkinan salah pahamnya. Wajah Kirana diperhatikan baik-baik dengan hati dililit kebimbangan. Sementara itu, Kirana sendiri segera ajukan tanya kepada Citradani.

"Sebutkan siapa dirimu, supaya kesalahpahaman ini tidak merenggut nyawa kita salah satu."

"Aku Citradani, bekas murid dari Kuil Elang Putih."

Kirana terkejut, "Jadi, kau muridnya Ratu Embun Salju?"

Citradani ganti terkejut. "Kau mengenal guruku? Apakah kau punya hubungan dengan guruku?"

"Aku pernah saling membantu dengan orang-orang Kuil Elang Putih..." Kirana pun menjelaskan peristiwa yang dialami bersama Embun Salju dan Pendekar Mabuk, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Rahasia Pedang Emas). Kirana menambahkan penjelasannya pula, "Dan aku sekarang dalam perjalanan mencari Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"

Citradani mengendurkan ketegangannya, meredakan kemarahan dan permusuhannya. Bahkan ia berjalan mendekati Kirana. Berdiri di depan gadis itu dengan jarak dua langkah. Matanya tidak lagi tajam, bahkan berkesan penuh penyesalan.

"Maaf, aku memang salah duga kalau begitu. Kusangka kau adalah Tandak Ayu, karena Tandak Ayu tadi mengenakan pakaian kuning juga dan ia mempunyai pusaka milik guruku itu yang bisa membuat dirinya mampu berubah-ubah wujud."

Citradani segera menceritakan riwayatnya menjadi murid yang tersingkir dari Kuil Elang Putih. Pertemuannya dengan Suto pun diceritakan pula oleh Citradani. Bahkan Citradani sempat bertanya dalam nada curiga. "Apakah kau kekasihnya Suto Sinting?"

Kirana tersenyum kecil. "Aku hanya sahabatnya, karena memang begitulah anggapan Suto kepadaku selama ini."

"Mengapa kau tak mau menjadi kekasihnya?"

"Hanya gadis bodoh yang tak mau menjadi kekasihnya. Kalau Suto mau, aku tak akan pernah bisa menolak. Tapi agaknya Suto sudah mempunyai gadis pilihan."

"Siapa gadisnya itu?"

"Tanyakan sendiri kepada Suto Sinting. Yang jelas, sekarang aku ingin mencarinya, karena aku sudah lama tidak jumpa dengannya. Aku suka berpetualang bersamanya."

Kini Citradani mulai tersenyum penuh persahabatan. "Kurasa kau menunggu hati Suto mencair dan mau menjadi kekasihmu."

"Itu harapan terakhir yang berusaha kulupakan," kata Kirana.

"Kalau begitu, mari kutunjukkan di mana aku bertemu Suto tadi."

"Lalu bagaimana dengan lawanmu, si Tandak Ayu?"

"Sudah terlalu sulit untuk kukejar jika ia sudah berubah menjadi undur-undur. Tapi aku yakin suatu saat aku akan bertemu dengannya lagi dan mampu merebut kembali kalung Lintang Suci itu."

"Akan kubantu kau, karena hubunganku dengan gurumu pun baik!"

Citradani segera membawa Kirana ke kaki Bukit Mata Langit. Kirana tak tahu tempat itu. Tapi Citradani tak tahu kalau Suto sudah pergi dari kaki Bukit Mata Langit. Pendekar Mabuk telah membawa pergi Wiratmoko yang terkena pukulan kakek berjenggot panjang yang amat berbahaya. Suto membawa Wiratmoko menjauhi tempat itu. Ia tiba di kaki bukit lain yang jarang ditumbuhi tanaman. Bongkahan-bongkahan batu cadas lebih banyak tumbuh di sana, membentuk dinding-dinding alami, seperti lorong-lorong pendek.

Di sanalah tubuh Wiratmoko dibaringkan dalam keadaan kaku, mata mendelik dan mulut ternganga. Sementara itu, dari lubang hidungnya masih keluarkan cairan darah merah busuk yang memang menyebarkan aroma tak sedap. Suto Sinting segera menuangkan tuaknya pelan-pelan ke mulut Wiratmoko yang ternganga itu. Sedikit demi sedikit tuak tersebut masuk ke tenggorokan Wiratmoko. Beberapa kejap berikutnya Wiratmoko tampak mulai bisa menelan tuak tersebut.

Tangannya mulai melemas. Dadanya bernapas dengan teratur. Matanya mulai bisa berkedip-kedip. Apa yang membuatnya kaku menjadi lemas. Darah tak keluar lagi dari hidungnya. Semakin lama semakin membaik keadaan Wiratmoko. Bahkan pemuda itu sempat tertidur beberapa saat, dan Suto Sinting membiarkannya. Ia hanya berpikir membayangkan wajah kakek berjenggot panjang itu.

"Siapa tokoh tua itu? Mengapa ia menyerang Wiratmoko dengan jurus mautnya? Mengapa pula ia melarangku bergaul dengan Wiratmoko? Apakah ia tak mau melibatkan diriku? Apakah dia tak mau bentrok denganku? Mengapa tak mau? Ah, aneh sekali tokoh tua itu. Seharusnya aku mengejarnya dan menanyakan penyebab kata-katanya itu. Tapi. ke mana aku harus mencarinya?"

Suto Sinting mencoba naik ke tempat yang lebih tinggi. Dengan satu kali sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya sudah bisa melesat ke atas, bersalto satu kali dan hinggap di gugusan cadas yang tinggi. Dari sana Suto memandang alam sekitarnya. Beberapa saat ia memandang, tak ditemukan gerakan mencurigakan di sekitar tempat itu. Bahkan bayangan berkelebat dari tokoh tua tadi pun tidak dilihatnya. Suto Sinting akhirnya menenggak tuaknya dengan tetap berdiri di ketinggian tersebut.

Tapi pada waktu Pendekar Mabuk ingin bergerak turun dari ketinggian, tiba-tiba pandangan matanya menangkap suatu gerakan lari yang amat cepat. Hampir-hampir tak bisa dipandang mata. Gerakan lari itu seperti bayangan putih yang samar-samar berkelebat menyelinap melalui celah-celah pohon di seberang sana.

Suto segera melesat dengan cepat. Gerakannya melebihi kecepatan bayang putih itu. Dalam waktu singkat Suto Sinting sudah berhasil berdiri menghadang langkah bayangan putih. Orang tersebut segara hentikan langkahnya dan merasa kaget melihat Suto sudah berdiri didepannya.

"Kau lagi!" gumam kakek berjenggot panjang itu.

Ternyata harapan Suto terkabul. Ia berhasil bertemu dengan kakek penyerang Wiratmoko. Mata Suto memperhatikan dengan seksama. Kakek itu mengenakan jubah putih lusuh dan menggenggam tongkat berkelok-kelok seperti seekor ular warnanya hitam. Rambutnya yang panjang sepunggung tidak diikat apa pun, sehingga hembusan angin memainkan rambut itu, menyingkap dan menutup sebagian wajahnya.

Kakek kurus itu mempunyai sapasang mata yang cekung dan tubuh yang kurus. Namun sorot pandangan matanya itu bagai mempunyai kekuatan yang membuat lawan atau orang lain menjadi segan kepadanya. Suto pun merasa demikian, namun ia memaksakan diri untuk tetap berdiri menghadang kakek tersebut.

"Maaf, Pak Tua...." sapa Suto dengan sopan, "Aku terpaksa menghentikan langkahmu. Ada sesuatu yang ingin kuketahui darimu dan membuatku sangat ingin tahu."

Kakek berambut panjang itu berkata, "Menyingkirlah, Murid si Gila Tuak. Jangan campuri urusanku!"

Suto Sinting terkejut mendengar kakek itu mengenal nama gurunya. "Sekali lagi, maafkan aku, Pak Tua. Aku hanya ingin mengetahui siapa dirimu, sehingga menyerang Wiratmoko dan melarangku berteman dengannya?"

"Tanyakan saja pada gurumu siapa Raja Maut. Dia kenal namaku itu dan tentunya dia mendengar persoalanku dengan Wiratmoko yang menjadi murid tunggalnya Dampu Sabang."

"Siapakah Dampu Sabang itu, Pak Tua?"

"Tanyakan pada gurumu, Bodoh!" bentak Raja Maut dengan wajah semakin tampak keras dan berwibawa. "Aku harus selesaikan urusanku dengan seseorang di Pulau Blacan. Lain kali kita bertemu lagi, Suto Sinting!"

Slaap...!

Raja Maut pergi dengan sangat cepat sehingga berkesan seperti menghilang. Suto Sinting ingin mengejarnya, tapi tertahan oleh keragu-raguan. Ia pun bergegas kembali ke tempat Wiratmoko dibaringkan. Ia ingin bertanya kepada Wiratmoko tentang gurunya yang bernama Dampu Sabang itu. Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika mengetahui Wiratmoko sudah tak ada. Bekas telapak kakinya pun tak terlihat, sehingga dalam hati Suto Sinting pun timbul kesangsian kembali.

"Apakah dia pergi dengan sendirinya, atau ada yang membawanya lari? Jika ia pergi sendiri ke mana arahnya, jika ada yang membawa lari siapa orangnya?"

* * *

TIGA
MATAHARI pagi mulai meninggi. Sinarnya memancar terang menyiram tubuh kekar Pendekar Mabuk yang sedang berjalan menyusuri lembah. Lembah itu berpohon renggang dengan jenis tanaman terbanyak adalah cemara. Cemara liar mempunyai dahan besar dan bercabang-cabang. Pada salah satu dahan itulah terdengar suara tangis seorang gadis yang meratap memilukan.

Langkah Suto Sinting terhenti di bawah pohon itu. Wajahnya mendongak memperhatikan gadis berkepang dua dan berwajah mungil cantik. Pakaiannya hijau terang, menyelipkan pisau emas di pinggangnya yang berukuran sekitar dua jengkal. Gadis itu menangis dengan keadaan duduk di dahan besar, dagunya diletakkan di atas kedua lutut yang ditekuk ke atas.

"Kasihan. Gadis itu menangis sendirian di atas pohon tak ada temannya," pikir Pendekar Mabuk, "Kedengarannya tangis itu sangat memilukan hati. Apa gerangan yang terjadi sehingga ia harus menangis di atas sana? Oo... ya, ya... aku tahu, pasti dia menangis karena tak bisa turun dari atas pohon. He, he, he... gadis itu cantik tapi bodoh. Sudah tahu tak bisa turun dari atas pohon mengapa harus naik ke atas sana?" Pendekar Mabuk segera serukan suaranya, "Gadis manis, maukah kau kutolong untuk turun dari pohon itu?"

Tangis tersebut tiba-tiba hilang, tapi isaknya masih terdengar sesekali. Gadis itu buru-buru menghapus air matanya. Ia memalingkan wajah bagaikan ingin bersembunyi dari tatapan mata Suto Sinting.

"Lain kali kalau tak bisa turun dari pohon jangan coba-coba naik ke atas pohon, Nona!" Setelah berkata demikian, Suto segera menendang pohon tersebut dengan tendangan miring.

Wuuut...! Duuhg...! Wwwrrr...!

Pohon itu terguncang hebat. Gadis berkepang dua itu terpelanting jatuh tak sempat berpegang dahan di atasnya. Ia menjerit saat melayang dari atas pohon tersebut. "Aaa...!"

Buhhg...!

Suara jatuhnya bagai nangka jatuh dari atas pohon. Beruntung ia jatuh di semak ilalang, sehingga tubuhnya tak terluka sedikit pun. Hanya tulang pinggulnya sedikit terasa ngilu karena membentur tanah keras.

"Kurang ajar!" bentak gadis itu ketika berdiri. Ia langsung melesat bagaikan terbang menyerang Pendekar Mabuk dengan tendangan kakinya.

Wuuus...!

Plak, plak...!

Dua tendangan beruntun itu berhasil ditangkis dengan kibasan tangan Suto. Kibasan yang kedua membuat tubuh itu terpelanting dan jatuh dalam keadaan bagai orang mau merangkak.

"Maaf, aku lupa menadah tubuhmu saat jatuh dari atas tadi," kata Suto. "Tapi seharusnya kau berucap terima kasih kepadaku, karena aku sudah membantumu turun dari atas pohon."

"Dasar bodoh!" geramnya dalam sentakan menampakkan kejengkelan hatinya. "Aku menangis bukan karena tak bisa turun dari atas pohon!"

"Lho...?!" Suto Sinting terbengong malu.

"Aku menangis karena sebab lain, tahu?!" bentak gadis berkepang dua itu.

"Mmm...maaf. Maafkan aku kalau begitu. Aku salah duga. Habis kau tak mau menjawab pertanyaanku yang pertama, jadi kusimpulkan sendiri apa yang kulihat dalam tangismu, Nona. Maafkan aku. Aku tak sengaja mengganggu tangismu. Jika begitu, biarkan aku pergi dan silakan melanjutkan tangismu lagi."

Suto berbalik arah dan melangkah. Dua langkah kemudian ia merasa ada angin panas yang menuju ke arah punggungnya. Suto Sinting cepat balikkan badan. Ternyata gadis berkepang dua itu melepaskan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Pukulan itu ditangkis Suto dengan menyilangkan bumbung tuak ke depan dada.

Wuuut...! Duub...! Wuuuss...!

Bumbung tuak itu memantul balikkan pukulan tersebut sehingga gadis itu kebingungan menghadapi serangannya sendiri. Serangan tersebut mempunyai tenaga lebih besar dari yang dikeluarkan. Akibatnya gadis itu melompat ke kiri dan kakinya terhempas kuat akibat terkena tenaga pantulan tersebut. Tubuh yang melompat itu cepat berputar terjungkir dan jatuh telentang dengan amat menyedihkan.

Blaak...!

"Uuh...!" Ia mengerang, meringis kesakitan. Pinggangnya terasa patah.

"Jangan menyerangku, Nona. Kau bisa celaka jika menyerangku. Kecuali jika aku mau kau serang, kau tak akan celaka. Lain kali jika ingin menyerangku, bilanglah dulu padaku supaya aku rela menerima seranganmu."

"Setan!" geramnya sambil berdiri. "Kau pasti teman orang itu!"

Suto celingak-celinguk ke sekelilingnya. "Orang yang mana maksudmu?"

"Iblis Naga Pamungkas!"

Suto Sinting kerutkan dahi, karena merasa asing dengan nama tersebut. Gadis berkepang dua yang punya tahi lalat kecil di sudut mata kirinya itu hanya mencibir sinis melihat keheranan Suto.

"Aku tidak kenal dengan nama itu."

"Bohong!"

"Aku berani bersumpah. Justru kalau kau mau, tolong jelaskan siapa orang berjuluk Iblis Naga Pamungkas itu?"

"Tentu saja orang yang mempunyai Pedang Naga Pamungkas!"

"Aku tidak tahu siapa pemilik pedang tersebut, Nona."

Gadis itu diam. Tangannya membersihkan tanah yangBmelekat di pakaian hijau cerahnya itu. Sambil menepiskan tanah-tanah dari pakaiannya, matanya memandang tajam penuh selidik. Dari ujung rambut Suto diperhatikan sampai ke bagian kakinya. Suto Sinting tetap kalem. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya dari bumbung bambu satu kali. Kesannya menganggap ringan kepada gadis yang sedang cemberut itu.

"Baiklah, Nona," kata Suto, "Kalau kau tak mau jelaskan apa sebab kau menangis dan apa hubungannya dengan Iblis Naga Pamungkas, aku akan teruskan langkahku mencari seorang teman."

"Siapa dirimu sebenarnya? Sebutkan dulu, baru aku akan jelaskan masalahku."

"O, kau tanya namaku? Namaku Suto Sinting," jawab Suto dengan kalem, tapi membuat mata gadis itu terbelalak dan berbinar-binar.

"Jadi...jadi kau yang berjuluk Pendekar Mabuk itu?"

"Hei, kau mengenali julukanku?"

Ketegangan gadis itu pun mengendur. Ia mempercayai pengakuan Suto, karena ia ingat ciri-ciri Pendekar Mabuk yang sering didengarnya dari mulut para tokoh rimba persilatan. Gadis itu kini duduk di sebongkah batu di bawah pohon yang tadi digunakan untuk menangis. Ia merenung sesaat, dan Pendekar Mabuk mendekatinya dengan senyum masih tersungging dibibirnya.

"Kalau kau sudah tahu siapa diriku, sekarang giliranku mengetahui dirimu."

Tanpa memandang Suto, gadis itu menjawab dengan suara datar, "Namaku Mega Dewi. Ayahku Ki Lurah Pramadi. Semalam tewas dikalahkan oleh Iblis Naga Pamungkas dalam keadaan sangat mengerikan. Kalau kau ingin melihat jenazah ayahku ada di bawah tiga pohon rapat sebelah barat itu."

Gadis yang mengaku bernama Mega Dewi itu memandang tiga pohon cemara liar yang tumbuh berjajar merapat di sebelah barat mereka. Suto Sinting hanya memperhatikan pohon itu, belum mau bergerak sedikitpun. Namun ketika Mega Dewi melangkah menuju pohon yang dimaksud, Suto segera mengikutinya.

"Itulah jenazah ayahku," ucap Mega Dewi sambil menahan tangis, walau air matanya kembali meleleh membasahi pipinya yang merah jambu itu.

Suto Sinting terperangah kaget melihat jenazah Ki Lurah Pramadi. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Semalam?! Pertarungan itu terjadi semalam?!"

"Ya. Semalam. Aku lari bersembunyi di atas pohon sampai pagi menjelang dan kau pun datang."

Suto kembali menatap jenazah Ki Lurah Pramadi yang telah berwujud menjadi tengkorak rapuh, seperti layaknya orang yang mati sudah bertahun-tahun. Tak ada kulit atau daging yang tersisa sedikit pun. Bahkan bentuk kerangkanya sudah kusam. Sebagian ada yang rapuh. Tengkorak kepalanya bagian kiri terlihat keropos. Sisa rambutnya pun tak ada. Itulah sebabnya Suto merasa tak yakin jika Ki Lurah Pramadi dibunuh tadi malam.

"Aku tak percaya kalau ayahmu dibunuh tadi malam."

"Mulanya aku pun tak percaya dengan penglihatanku. Tapi mau tak mau aku terpaksa percaya karena aku melihat sendiri pertarungan itu. Sebelum Ayah tiada, beliau sempat berseru agar aku bersembunyi dan menjauhi pertarungannya. Maka aku pun bersembunyi di pohon sana."

Mata Pendekar mabuk masih menatap heran pada kerangka mayat Ki Lurah Pramadi itu. Ia bergumam dengan suara terdengar di telinga Mega Dewi, "Jurus apa yang digunakan iblis Naga Pamungkas, sehingga lawannya bisa menjadi seperti ini? Alangkah bahayanya jurus itu?"

"Ia menggunakan Pedang Naga Pamungkas," kata Mega Dewi. "Kuperhatikan dari kejauhan, ia menggunakan pedang itu pada saat ia telah terdesak oleh serangan ayahku. Ia tebaskan pedang itu menyilang, melukai punggung Ayah. Lalu asap tebal membungkus tubuh Ayah, setelah itu Ayah pun roboh tanpa suara lagi. Iblis Naga Pamungkas pergi tinggalkan Ayah setelah tak berhasil mencariku. Ketika kuhampiri, ternyata Ayah sudah dalam keadaan seperti ini."

"Apa masalahnya sehingga ayahmu bentrok dengan Iblis Naga Pamungkas?"

"Balas dendam!" jawab Mega Dewi.

"Balas dendam yang bagaimana? Coba jelaskan!" desak Suto penasaran sekali.

"Ayahku termasuk musuh utama dari gurunya Iblis Naga Pamungkas. Konon, ayahku pernah membunuh salah satu dari ketiga istri gurunya Iblis Naga Pamungkas."

"Siapa gurunya Iblis Naga Pamungkas itu?"

"Aku tak mendengar ia sebutkan nama sang Guru, aku hanya mendengar persoalannya saja, bahwa Iblis Naga Pamungkas ditugaskan oleh gurunya untuk membantai habis para musuh utamanya."

"Apakah kau tahu siapa saja musuh utamanya?"

"Tidak. Tapi kudengar ia menyebutkan orang berikutnya yang akan disambangi dengan Pedang Naga Pamungkasnya itu."

"Siapa nama orang tersebut?"

"Ki Gendeng Sekarat."

"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut dengan melebarkan matanya.

Mega Dewi menatap heran, "Apakah kau kenal dengan nama itu?"

"Sangat kenal. Ki Gendeng Sekarat adalah bekas pelayan guruku dan hubunganku dengan beliau sangat baik. Beliau banyak membantuku dalam beberapa urusan. Jelas aku tak akan membiarkan Iblis Naga Pamungkas menghabisi nyawa Ki Gendeng Sekarat!" Pendekar Mabuk termenung beberapa saat membayangkan wajah Ki Gendeng Sekarat. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Prahara Pulau Mayat). Bagi Suto, Ki Gendeng Sekarat bukan saja seorang sahabat, namun sudah dianggap seperti orang tua sendiri, pengganti gurunya dalam meminta berbagai pertimbangan. Tentu saja Suto tak ingin nasib Ki Gendeng Sekarat seperti nasib Ki Lurah Pramadi.

"Tahukah kau ke mana perginya Iblis Naga Pamungkas itu?" tanya Suto bagai kehilangan senyum.

"Yang kutahu ia menghilang setelah bergerak ke utara," jawab Mega Dewi.

"Kalau begitu, akan kukejar dia ke sana. Selamat tinggal, Mega Dewi."

"Tunggu!" cegah Mega Dewi membuat Suto urungkan langkah. Mega Dewi mendekat saat Suto berpaling memandangnya. "Aku harus ikut denganmu, Suto!"

"Tidak ada keharusan. Aku tak mau pergi denganmu, karena aku tak ingin kau menjadi korban seperti ayahmu."

Mega Dewi menggelengkan kepala. "Aku harus ikut demi membalas kematian ayahku. Aku harus ikut sumbangkan tenaga buat kalahkan Iblis Naga Pamungkas. Aku tahu, aku akan kalah jika melawannya sendiri. Tapi dengan membantumu, aku sudah merasa membalaskan kematian ayahku."

"Kalau kau sendiri yang akhirnya menjadi korban, bagaimana?"

"Aku sudah siap mati demi pembelaan terhadap ayahku. Percuma aku hidup tanpa bisa membalaskan dendam atas kematian ayahku, karena aku sendiri hidup sudah tak memiliki orangtua lagi. Ayahku tiada, ibuku pun sudah lama meninggal. Kini hidupku sebatang kara, tak punya arti bagi saudara dan orangtua." Mega Dewi menangis dengan tundukkan wajah.

Suto Sinting hanya menarik napas. Menahan keharuan dan rasa iba hati atas nasib Mega Dewi. Ki Gendeng Sekarat yang menjadi sasaran keganasan Iblis Naga Pamungkas tidak tahu kalau dirinya sedang diincar bahaya. Ki Gendeng Sekarat justru sedang mencari Suto Sinting untuk satu keperluan, yaitu tugas dari Gusti Mahkota Sejati, penguasa Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum.

Wanita anggun dan cantik itu adalah calon istri Suto. Ia menderita sakit karena rindu ingin jumpa dengan Suto, karenanya Ki Gendeng Sekarat ditugaskan mencari Suto agar membawanya pulang ke Puri Gerbang Surgawi untuk beberapa saat. Tetapi dalam perjalanannya itu, Ki Gendeng Sekarat yang doyan tidur itu memang telah tertidur di bawah pohon tepi jalan menuju sebuah desa.

Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun berambut ikal putih mengenakan ikat kepala hitam itu dengan enaknya duduk melonjor kaki, punggung bersandar batang pohon, mulut ternganga mengeluarkan dengkur tipis. Ia tampak nyenyak sekali dalam tidurnya. Senjatanya yang berupa kipas putih masih terselip di pinggang.

Seorang bocah penggembala kambing melintas di jalanan depan Ki Gendeng Sekarat. Bocah itu tersenyum geli melihat Ki Gendeng Sekarat tidur seenaknya. Dengan usil bocah berusia sekitar sepuluh tahun itu melemparkan batu ke arah Ki Gendeng Sekarat. Wuuut..! Lalu ia bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, membiarkan kambingnya memakan rumput di seberang sana.

Tetapi sang bocah segera kaget, karena batu yang dilemparkan itu tiba-tiba ditangkap oleh tangan kiri Ki Gendeng Sekarat. Taaab...! Bocah itu bertambah heran karena pada saat batu tertangkap tangan Ki Gendeng Sekarat masih tertidur dengan nyenyak. Dengkurnya terdengar samar-samar.

"Dia pasti bukan pengemis. Dia pasti orang sakti," pikir bocah itu. "Alangkah senangnya jika aku diangkat murid oleh orang itu. Tanpa bangun dulu dia bisa tangkap lemparan batuku. Ah, kucoba sekali lagi untuk melemparkan batu yang lebih kecil lagi ke arahnya. Apakah ia masih bisa menangkapnya?"

Wuuut...! Batu itu dilemparkan dari balik persembunyian, tapi dengan cepat tangan Ki Gendeng Sekarat berkelebat menyambar batu tersebut. Taab...! Dan posisi tidurnya hanya sedikit bergeser lebih merendah lagi, namun dengkurannya tetap terdengar samar-samar.

"Gila dia masih tetap tidur?!" pikir bocah penggembala dengan herannya. Tiba-tiba bocah itu terkejut saat ingin keluar dari persembunyian. Hal yang membuatnya terkejut adalah munculnya seekor harimau hitam dari arah timur. Harimau hitam itu melangkah dengan pelan, lalu hidungnya mendengus-dengus bagaikan mencium bau sedapnya makanan. Suara geramannya pun mulai terdengar. Bocah penggembala kambing menjadi gemetar ketakutan.

"Celaka! Harimau itu menuju kemari. Pasti ia akan menyantapku, bukan menyantap kambing-kambingku?! Aduh, bagaimana ini? Kalau aku lari pasti akan dikejarnya. Aku akan kalah cepat dengan larinya."

Bocah penggembala kambing masih bersembunyi di balik bongkahan batu cadas, ia bermaksud memanjat pohon, tapi ia segera sadar bahwa harimau kumbang itu mampu memanjat pohon dengan cepat. Menggigil juga sekujur tubuh yang mengeluarkan keringat dingin itu. Harimau tersebut semakin dekat.

"Oh, dia menuju ke orang tua itu? Celaka! Orang itu masih tetap tidur, tak mengetahui kalau ada bahaya datang. Aku harus segera bertindak untuk menyelamatkan orang tua yang tertidur itu. Jika tidak, pasti dia akan mati diterkam harimau hitam."

Bocah penggembala segera mencari sebongkah batu. Ia temukan batu sebesar dua kali genggaman tangannya. Pada saat itu harimau hitam sudah semakin dekat dengan Ki Gendeng Sekarat. Binatang itu sudah bersiap-siap untuk melompat dan menerkam Ki Gendeng Sekarat. Bocah penggembala segera keluar dari persembunyiannya. Ia berlari lebih mendekati lalu melemparkan batu itu ke arah harimau hitam.

"Mati kau macan keling!"

Wuuut...! Buuhg...!

"Ggrrrrr...!"

Batu itu mengenai perut sang harimau. Untuk sesaat harimau itu terlonjak ke samping. Lalu arahnya berbalik menghadap kepada bocah tersebut. Matanya memancarkan keganasan yang mengerikan. Bocah itu menggigil dan tak sempat berlari karena paniknya. Harimau hitam segera melompat dengan mulut ternganga dan taringnya yang runcing siap merobek tubuh bocah tersebut.

"Grrraaaow...!"

Wuuuusst...! Bocah kecil itu menutup mata kuat-kuat, mulutnya juga ternganga karena ingin berteriak namun tak mampu keluarkan suara. Tubuhnya terasa melayang, sehingga ia merasa sudah mati dan tinggal rohnya saja yang melesat terbang di udara bebas. Namun ketika ia buka mata, ternyata ia dalam pelukan Pak Tua yang masih tetap tertidur dengan mata terpejam walau sudah berpindah tempat. Rupanya bocah itu disambar oleh Ki Gendeng Sekarat sehingga terkaman harimau hitam itu tidak menemukan sasarannya, melainkan menemukan tempat kosong.

"Bocah dungu! Untuk apa kau melawan macan hitam itu, hah?! Bisa mati sia-sia kau, Nak! Cepat sembunyi di belakang pohon itu!"

Kata-kata Ki Gendeng Sekarat membuat si bocah terbengong-bengong, karena Ki Gendeng Sekarat bicara dalam keadaan tertidur. Suaranya pun parau bagaikan orang sedang mengigau.

"Cepat sembunyi, Bodoh! Macan itu berbalik ke arah kita!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil mendorong bocah itu agar segera lari ke balik pohon.

Bocah itu memang lari untuk sembunyi, tapi wajahnya masih berpaling memandang ke arah harimau hitam yang kini sedang mengaum mengerikan dengan melompat cukup tinggi hendak menerkam Ki Gendeng Sekarat. Dalam keadaan masih tidur, Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan telapak tangan kirinya ke depan. Sepercik sinar kuning terlepas terbang dan menghantam tubuh harimau hitam itu.

Buuhg...!

"Grraaaoow...!" Binatang tersebut terjungkal ke belakang sambil keluarkan raung yang mendirikan bulu kuduk si bocah. Harimau itu jatuh berguling-guling bagaikan diterjang badai amat besar. Tubuhnya sempat membentur bongkahan batu cadas yang tadi dipakai bersembunyi si bocah penggembala. Binatang itu meraung-raung di sana.

Dan tiba-tiba tubuhnya menyala terang, amat menyilaukan, membuat si bocah mengecilkan mata. Ketika sinar putih menyilaukan itu hilang, bocah penggembala terkejut bukan kepalang, karena wujud harimau hitam itu berubah sama sekali, berganti rupa perempuan cantik berpakaian kuning terang.

Terdengar pula suara Ki Gendeng Sekarat yang masih berdiri sambil tertidur, kepalanya terkulai lemas ke samping. "Kalau tak salah kenal... kau adalah Tandak Ayu, murid Nyai Demang Ronggeng! Aku masih ingat wajahmu, Cah Ayu!"

"Ternyata kau belum pikun, Raja Molor!" ucap Tandak Ayu sambil bergegas berdiri, merapikan pakaian sebentar, memandang dengan sengit karena penyamarannya mampu dipudarkan oleh pukulan Ki Gendeng Sekarat.

"Mengapa kau menyerangku, Tandak Ayu!"

"Seseorang telah berpesan padaku, agar jika bertemu denganmu aku harus membunuhmu, Ki Gendeng Sekarat."

"Lupakan pesan itu dan jangan lakukan, nanti kau menyesal akibatnya!" kata Ki Gendeng Sekarat masih dengan tertidur nyenyak.

Agaknya Tandak Ayu tidak pedulikan anjuran itu. Ia segera cabut pedang di punggungnya. Serrt...! Kemudian segera melompat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Ia lakukan tanpa suara supaya Ki Gendeng Sekarat tak sadar jika sedang diserang dengan pedang. Tandak Ayu tidak mengetahui bahwa Ki Gendeng Sekarat lebih berbahaya dalam keadaaan tidur daripada dalam keadaan melek.

Pedang perempuan itu menebas dari atas ke bawah, sasarannya pundak Ki Gendeng Sekarat. Tetapi dengan sigap dan cepat Ki Gendeng Sekarat sentakkan tangannya yang tahu-tahu sudah menyambar kipas putih. Traak...! Kipas putih itu menahan gerakan pedang di atas punggung, lalu tangan Ki Gendeng Sekarat yang satunya lagi menghantam siku pemegang pedang.

Kraak...!

"Aauh...!" Tandak Ayu memekik. Tulang lengannya terasa patah karena sentakan telapak tangan Ki Gendeng Sekarat.

Sedangkan bocah penggembala itu semakin terkagum-kagum melihat kehebatan jurus Ki Gendeng Sekarat, karena ia tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat melakukan perlawanan masih dalam keadaan tidur.

"Tinggalkan diriku dan jangan lakukan pesan seseorang itu. Tandak Ayu! Semua tulangmu bisa patah kalau kau nekat menyerangku, Cah Ayu!"

"Persetan! Aku masih punya tangan kiri yang lebih berbahaya dalam memainkan pedangku. Hiaaah...!"

Wuuut...! Wuuuurt..!

Ki Gendeng Sekarat kibaskan kipasnya dalam jarak dua langkah dari tempat Tandak Ayu. Angin besar melanda dan menumbangkan tubuh Tandak Ayu hingga perempuan itu terjungkir balik terhempas tak tentu arah. Praaak..! Kepalanya membentur gugusan batu cadas. Darah mengucur, namun ia masih sempat larikan diri.

"Bagus! Pergilah dengan cepat sebelum murkaku datang, Tandak Ayu!"

"Kita akan bertemu lagi, Ki Gendeng Sekarat!"

"Terserah kalau memang kau tak jera dengan bocornya kepalamu itu!"

Tandak Ayu telah sampai di kejauhan dalam waktu yang hanya beberapa kejap. Bocah penggembala keluar dari persembunyiannya, memandangi arah pelarian Tandak Ayu. Ia terbengong beberapa saat di tempatnya, merasa heran dengan perempuan yang bisa merubah diri menjadi seekor harimau hitam. Menurut bocah itu, Tandak Ayu pun punya ilmu tinggi dan cukup sakti, tapi kenapa hanya sekali gebrak dengan kipas Ki Gendang Sekarat saja bisa lari tunggang-langgang. Jika bukan karena Ki Gendeng Sekarat punya ilmu lebih tinggi, tak mungkin Tandak Ayu melarikan diri walau kepalanya sempat bocor dan berdarah.

"Aku harus bicara dengan Pak Tua itu," kata hati bocah penggembala. Tapi ketika ia berpaling memandang Ki Gendeng Sekarat, ternyata orang tersebut telah kembali ke tempat duduknya semula, tertidur dengan bersandar pohon dan sedikit merebah dari semula. Suara dengkurannya terdengar samar-samar.

"Yaah... tidur lagi?!" bocah itu mengeluh kecewa. Tapi ia nekat membangunkan Ki Gendeng Sekarat yang dikaguminya itu. "Kek... Kakek... Kek, bangunlah sebentar, Kek." Bocah itu hanya berani berkata-kata namun tak berani menyentuh tubuh Ki Gendeng Sekarat. "Kakek yang sakti, bangunlah sebentar."

Ki Gendeng Sekarat tetap tertidur, matanya bagaikan lengket dan tak bisa dibuka. Tapi ia menjawab suara si bocah dengan suara parau. "Ada apa? Mau melemparkan batu lagi?"

"Buk... bukan... bukan itu, Kek. Hmmm... anu... saya... saya ingin menjadi muridmu, Kek."

"Murid apa?" jawab Ki Gendeng Sekarat dengan sangat lemah dan malas.

"Saya... saya ingin menjadi sakti seperti Kakek."

"Sakti? Sakti itu apa? Tak tahu aku. Tidurlah sini di sampingku kalau kau ingin menjadi muridku. Murid tidur, apa susahnya? Tidur tak perlu dipelajari dan tak perlu dicari gurunya. Sini, tidur disampingku!"

Sang bocah bingung dan terbengong-bengong. Ia ragu menuruti saran tersebut. "Apakah dengan tidur di sampingnya aku bisa menjadi sakti seperti dia?" pikir sang bocah dengan lugu.

EMPAT BOCAH berkulit hitam tertidur di samping Ki Gendeng Sekarat. Dalam tidurnya ia bermimpi sedang dilatih ilmu kanuragan oleh Ki Gendeng Sekarat.

"Namamu siapa, Nak?"

"Angon Luwak, Kek."

"Angon Luwak? Lho, apakah tidak keliru? Setahuku kau angon kambing, alias menggembala kambing."

"Itu pekerjaanku, Kek. Tapi namaku sejak kecil adalah Angon Luwak, Kek"

"Ya sudahlah. Itu urusan orangtuamu. Kalau aku jadi orangtuamu tak mau berikan nama seperti itu. Sekarang yang penting kau ingin belajar ilmu silat padaku. Aku akan berikan beberapa jurus untuk membela dirimu jika dalam bahaya. Tapi tak boleh kau gunakan untuk sombongkan diri. Setuju?!"

"Ya, Kek. Setuju."

"Bagus. Sekarang remaslah batu hitam ini sampai pecah."

Dalam mimpi sang bocah, ia diberi batu hitam oleh Ki Gendeng Sekarat. Batu itu disuruh meremasnya sampai pecah. Angon Luwak tak sanggup lakukan walau sudah berulang kali mencobanya. "Sulit, Kek."

"Memang sulit. Kalau cari yang mudah, ya bakar jagung lalu dimakan, itu mudah," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kerahkan semua tenagamu ke tangan kanan. Kencangkan semua otot, tahan napasmu dalam meremas batu itu. Lakukan!"

Bocah yang mengaku bernama Angon Luwak itu melakukan sebisa-bisanya. Tentu saja ia tetap tak bisa meremas batu hitam itu. Ia meringis dan berkata, "Malah sakit, Kek."

"Ya memang sakit. Kalau yang tidak sakit adalah makan nasi pakai ayam bakar. Itu tidak akan sakit."

"Kalau bisa pelajaran yang lainnya saja, Kek."

"Pelajaran yang lainnya aku sudah tak ingat bagaimana mengajarkannya. Yang kuingat pelajaran meremas benda keras menjadi hancur. Kalau kau tak mau pelajaran itu, ya sudah cari guru lain saja," kata Ki Gendeng Sekarat dengan seenaknya.

Angon Luwak melakukan pelajaran meremas batu berkali-kali, tapi yang ia peroleh hanya telapak tangan yang lecet dan perih. Ki Gendeng Sekarat menyuruh Angon Luwek membuka telapak tangannya yang perih itu.

"Coba buka telapak tanganmu!"

Angon Luwak membuka telapak tangannya. Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan bocah itu. Plaak...! Sekilas cahaya putih perak memancar dari perpaduan telapak tangan tersebut. Bocah itu heran, namun rasa herannya harus segera disingkirkan karena Ki Gendeng Sekarat segera berkata,

"Telapak tangan yang kiri juga dibuka sekalian!"

Angon Luwak membuka telapak tangan yang kiri. Ki Gendeng Sekarat memukulkan telapak tangannya sendiri ke telapak tangan kiri Angon Luwak. Plaak...! Sinar putih perak berkilat kembali. Hanya sekejap dan sangat cepat, tahu-tahu sudah hilang tanpa asap sedikitpun. Tapi Angon Luwak merasakan getaran panas yang masuk dalam tubuhnya melalui lengan tersebut.

"Sekarang, coba remas lagi batu hitam itu!" perintah Ki Gendeng Sekarat.

Bocah kecil berambut lurus agak panjang itu menggenggam batu hitam dan meremasnya dengan mengencangkan seluruh urat lengan.

Praak...!

"Wah, bisa! Bisa hancur, Kek?!" bocah itu kegirangan.

"Belum," kata Ki Gendeng Sekarat. "Kau belum berhasil. Batu itu harus menjadi lembut. Tidak boleh menjadi bongkahan-bongkahan kecil begini."

"Harus lembut seperti pasir, Kek?"

"Terserah. Mau seperti pasir atau seperti debu pokoknya lembut!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Ayo, ulangi lagi!"

Batu yang lainnya diambil. Diremas dalam genggaman. Praak...! hancur lagi, tapi masih belum selembut pasir. Angon Luwak mencobanya berkali-kali hingga menghabiskan beberapa bongkah batu hitam. Sampai akhirnya, kejap berikut ia meremas batu hitam yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya.

Pruuss...!

Batu hitam itu menjadi lembut seperti pasir. Angon Luwak tertawa kegirangan sambil berseru kepada Ki Gendeng Sekarat, "Berhasil, Kek! Aku berhasil meremas sampai lembut. Lihat, Kek...!"

Ki Gendeng Sekarat memeriksa sebentar, lalu menggumam sambil manggut-manggut, "Ya, ya... baik. Kau sudah berhasil. Sekarang kau sudah jadi muridku dan sudah tamat belajar."

"Lho, kok cuma sebentar, Kek? Pelajarannya kok cuma satu saja?"

"Iya. Karena kalau semua ilmuku kau pelajari, kau tak punya waktu cukup untuk mewarisi semua ilmuku. Lihat, kambingmu sudah berlari-lari tak tentu arah. Kejar supaya tak hilang."

Angon Luwak berlari, kakinya tersandung akar pohon lalu jatuh. Bruuk...! Angon Luwak menggeragap ketika terbangun dari tidurnya. Ia memandang sekeliling, ternyata kelima kambingnya masih memakan rumput di tempatnya. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sudah tak ada disampingnya.

"Ah, sayang semuanya cuma mimpi. Tapi ke mana perginya kakek itu?"

Angon Luwak menganggap semua itu hanya mimpi. Merasa ditinggalkan oleh Ki Gendeng Sekarat, ia segera bangkit dan menghampiri kambingnya. Salah satu kambing ada yang memisahkan diri dan ingin makan tanaman beracun. Angon Luwak segera menghalau kambingnya supaya jangan makan tanaman beracun. Ia mengambil batu dan melemparkannya sambil berseru,

"Husy...Husyah...!"

Batu pun dilemparkan. Wuuur...!

"Lho...?!" Angon Luwak terperanjat dan sangat heran. Batu yang dilemparkan ternyata telah menjadi serpihan-serpihan lembut walau tidak selembut pasir. Mata bocah itu memandangi serpihan tersebut, juga memandangi kedua telapak tangannya. Ia memungut batu lagi. Ia mencoba meremasnya seperti yang dilakukan dalam mimpinya. Pruuus...! Ternyata batu yang diremasnya menjadi pasir hitam.

"Hahh...?!" Angon Luwak kian terperanjat. "Aku benar-benar bisa meremas batu sekeras itu? Ah, sepertinya apa yang kulakukan tadi hanya dalam mimpi, mana mungkin bisa menjadi nyata? Tapi..., sebaiknya kucoba lagi dengan batu yang agak besar dan lebih keras lagi."

Angon Luwak memungut batu yang ukurannya sedikit lebih besar dari genggaman tangannya. Ia meremasnya dengan satu sentakan tangan menggenggam.

Pruus...!

Ternyata batu itu berhasil diremukkan hingga menjadi pasir hitam. Angon Luwak tersenyum, matanya berbinar-binar. Ia segera memungut sebatang dahan kayu yang masih belum keropos tapi sudah kering. Pruuus...! Batang kayu itu pun hancur lebur dalam genggaman tangannya.

"Oh, aku telah bisa...! Aku berhasil mempunyai jurus 'Peremuk Benda'. Oh, ternyata mimpiku itu bisa menjadi kenyataan? Alangkah girangnya aku hari ini! Tapi..., tapi apakah ini pun bukan sekadar mimpi seperti tadi?" pikir bocah itu dengan bingung sendiri. Kemudian ia segera lari menemui orangtuanya untuk mengabarkan berita kehebatannya itu.

Tetapi dalam perjalanan menuju desanya, ia dihadang oleh dua orang berwajah bengis. Yang satu mengenakan pakaian hitam-hitam, yang satunya lagi mengenakan pakaian biru tua. Keduanya sama-sama menyandang senjata kapak di pinggang. Kapak mereka sama panjang dan sama bentuknya. Kedua lelaki berwajah bengis itu berusia sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Angon Luwak sama sekali tidak mengenal siapa kedua orang berwajah bengis itu. Tapi hati kecilnya yakin bahwa kedua orang tersebut adalah orang jahat.

"Hei, Bocah...!" sapa yang baju hitam. "Di mana rumah Empu Sakya?"

"Empu Sakya?" bocah itu termenung memikirkannya. Ia tahu rumah Empu Sakya. Ia kenal nama Empu Sakya, yaitu seorang pembuat senjata keris pusaka bernama Keris Setan Kobra. Angon Luwak juga pernah mendengar beberapa orang memburu Keris Setan Kobra, tapi keris itu selalu dipertahankan oleh Ki Empu Sakya. Bahkan kabarnya pernah ada orang yang berminat menukar Keris Setan Kobra dengan sekantong permata, tapi ditolak oleh Ki Empu Sakya.

Melihat tampang bengis kedua orang itu, Angon Luwak menjadi curiga. Ia beranggapan kedua orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya agar menyerahkan pusakanya tersebut dengan cara kasar dan kejam.

"Anu... saya tidak tahu kok, Paman." jawab Angon Luwak setelah dibentak dengan pertanyaan serupa.

"Kau bocah desa Kukusan, bukan?" tanya si baju biru.

"Betul, Paman."

"Kau pasti tahu rumah Empu Sakya! Karena dia tinggal di desa Kukusan."

"Tidak. Saya tidak tahu, Paman."

Yang berbaju hitam segera meremas rambut Angon Luwak. "Antarkan kami kesana, kalau tak mau kepalamu kupancung biar pisah dengan ragamu!"

Angon Luwak meringis kesakitan. "Ampun, Paman... saya... saya memang tidak tahu, Paman. Saya tidak tahu!"

"Kecil-kecil sudah mau berbohong kamu, hah?!" si baju hitam semakin memperkuat jambakannya sampai kaki Angon Luwak berjingkat-jingkat mengimbangi tarikan rambutnya ke atas.

"Sakit, Paman...," rengeknya sambil tangannya berusaha menggenggam pergelangan tangan si baju hitam.

Sementara itu, si baju biru hanya tertawa-tawa sambil berkata, "Tarik terus ke atas sampai copot kulit kepalanya, Wongso! Masa kau kalah sama anak kecil, ha, ha, ha...!"

Jambakan itu terasa semakin sakit. Tangan Angon Luwak kian meremas pergelangan tangan Wongso. Kraak...!

"Aaaouh...! " Wongso terpekik kesakitan dengan mata mendelik. Tulang di pergelangan tangannya menjadi remuk karena genggaman Angon Luwak. Pekikan itu disertai raungan rasa sakit yang membuat Wongso terbungkuk-bungkuk sambil mendekap pergelangan tangan kanannya.

"Kenapa kau ini, hah?! Digenggam bocah ingusan saja menjerit-jerit seperti itu?!"

"Matamu picek, Mayong! Tulang lenganku remuk!" geram Wongso sambil menyeringai kesakitan.

Mendengar ucapan itu, Mayong segera memandang tajam kepada Angon Luwak yang telah mundur sejauh tujuh langkah. Bocah bercelana kumal warna hitam dengan baju kusut warna hitam tanpa lengan itu semakin ketakutan mendapat pandangan sangar dari Mayong.

"Hei, kemari kau!" gertak Mayong memanggil Angon Luwak.

"Tidak. Saya tidak mau!"

"Ke sini kau!" bentak Mayong makin keras sambil menghampiri Angon Luwak. Dengan cepat bocah itu pun segera melarikan diri kembali ke arah semula.

"Berhenti kau!" seru Mayong, lalu mengejar bocah itu dengan nafsu ingin menangkapnya. Tapi Angon Luwak berlari ketakutan secepat mungkin.

Mayong berseru mengancamnya, "Kalau kau tak mau berhenti kulempar kapak ke kepalamu, Bocah Tolol!"

Angon Luwak tak pedulikan ancaman itu. Ia tetap berlari dan tetap dikejar oleh Mayong, sementara Wongso mengikuti dari belakang sambil masih mendekap pergelangan tangan kanannya yang segera berwarna biru legam itu.

"Bangsat betul bocah itu!"geram Wongso. Lalu berseru kepada Mayong, "Lepaskan kapakmu! Bunuh bocah itu!Dia benar-benar telah meremukkan tulang tanganku, Mayong!"

Langkah Mayong berhenti sebentar. Kapak dicabut dari pinggang, lalu dilemparkan ke punggung Angon Luwak.

Wuuung...! Jraab...!

"Haihhh...?!" Angon Luwak terbelalak kaget. Kapak itu menyambar di atas kepalanya kalau saja ia tidak jatuh tersandung batu. Kapak itu menancap di batang pohon tepat di depan Angon Luwak. Serta merta Angon Luwak bangkit dan mencabut kapak tersebut. Tapi karena daya tancapnya cukup dalam, maka kapak itu tak mudah dicabut.

"Hoi...! Berani kau mencabut kapakku, hah?!" bentak Mayong sambil bergegas menyusul bocah kecil itu.

Karena kapak sukar dicabut maka genggaman tangan Angon Luwak menjadi sangat kuat. Dan gagang kapak pun menjadi hancur seketika itu pula. Proos...!

Mayong terhenti dari langkahnya karena kaget melihat gagang kapaknya menjadi debu sebagian. Wongso pun mendelik melihat hal itu. Bahkan bocah itu sendiri sempat kaget karena tak sengaja meremukkan gagang kapak dari kayu jati yang amat keras itu. Melihat kapak berhasil diremukkan, maka Angon Luwak coba coba meremas bagian mata kapak yang tidak sempat terbenam di batang pohon.

Pruuuss...!

Kapak besi itu hancur jadi serbuk lembut diremas dengan kedua tangan. Hal itu menambah kedua manusia bertampang bengis sama-sama kian terperanjat begong. Angon Luwak membuang rasa bangganya, karena sadar sebentar lagi ancaman bahaya akan datang. Maka ia segera larikan diri kembali tak mempedulikan remukan kapak besi tersebut.

"Bocah setan" maki Mayang. "Kapakku bisa diremukkan dengan tangan sekecil itu. Kurang ajar!"

"Kejar dia sampai dapat dan bunuh tanpa ragu lagi!" teriak Wongso sambil menahan rasa sakit pada pergelangan tangan yang remuk itu.

Angon Luwak semakin mempercepat larinya mendengar seruan Wongso. Kini ia dikejar-kejar dua orang dewasa. Dikepung dua arah. Sampai akhirnya Angon Luwak terpojok ketika membawa pelariannya ke atas bukit. Ia tak dapat bergerak lagi karena di depannya ada jurang cukup dalam, sementara dua pengejarnya sudah merapat di belakangnya.

"Mau lari ke mana kau, Bocah Setan?!" bentak Mayong. Lalu ia mencabut kapak dari pinggang Wongso, karena ia tahu Wongaso tak bisa menggunakan kapak itu dalam keadaan tangan kanannya remuk, sedangkan tangan kiri Wongso tidak begitu piawai untuk memainkan senjata apapun.

Mata bocah itu membelalak tegang. Napasnya terengah-engah. Ia tak punya jalan keluar lagi kecuali nekat menerobos kepungan dua orang tersebut. Tapi kapak yang diayun-ayunkan oleh Mayong itu membuat hati bocah itu menjadi ciut nyali dan menggigil tubuhnya.

"Kalau kau bisa remukkan kapakku, maka kepalamu pun akan kuremukkan!" geram Mayong sambil kian mendekat.

Angon Luwak kian tegang, wajahnya pucat pasi, tak bisa keluarkan suara apa pun. Tetapi tiba-tiba terdengar suara dari belakang Mayong dan Wongso,

"Memalukan sekali. Bocah kecil dikeroyok dua orang. Bersenjata lagi! Benar-benar memalukan!"

Kedua lelaki bertampang bengis itu segera balikkan badan menatap orang yang dianggap bicara sembarangan itu. Ternyata seorang gadis berkepang dua. Di belakang gadis itu ada seorang pemuda menyandang bumbung tempat tuak. Mereka tak lain adalah Pendekar Mabuk dan Mega Dewi.

"Jangan lancang mulutmu, Gadis Dungu! Kapak ini bisa beralih sasaran ke lehermu, tahu?!" geram Mayong kepada Mega Dewi.

Gadis itu hanya tersenyum sinis. Suto Sinting diam saja, seakan tidak mau ikut campur. Karena ia merasa yakin bahwa Mega Dewi pasti mampu menumbangkan dua orang bengis itu. Mega Dewi maju sendirian tanpa rasa takut sedikit pun, sebab ia percaya kalaupun ia terdesak dan hampir kalah, pasti Suto Sinting tak akan tinggal diam.

"Apa salah bocah itu sampai kalian berdua mengeroyoknya? Apakah tak malu pada diri sendiri?!"

"Persetan dengan kata-katamu! Kami punya urusan sendiri, kau tak perlu ikut campur!" geram Wongso dengan menahan rasa sakit dan berpura-pura tidak mengalami remuk tulang.

"Biarkan bocah itu pergi. Jangan kalian takut-takuti dengan kapak itu!"

"Berani-beraninya kau memerintah si Kapak Kembar, hah?! Apakah kau belum mendengar keganasan kami, si Kapak Kembar ini?!"

"Tak perlu kudengar, karena keganasanmu hanya kepada anak kecil. Kau tak akan berani ganas kepada orang seusiaku!"

Wongso menggeram dengan gigi menggeletuk, wajahnya merah menahan marah. Sama halnya dengan Mayong. Matanya mulai semburat merah menandakan kemarahannya mulai naik ke ubun-ubun. "Apa maumu sebenarnya, Gadis Dungu?!"

"Bebaskan bocah itu. Kalau kalian ingin murka, jangan kepada bocah itu. Dia bukan tandingan kalian. Akulah tandingan kalian!"

"Keparat! Rasakan jurus 'Kapak Malaikat' ini, Gadis Dungu! Heaaah...!" Mayong maju menyerang dengan tubuh berputar bagaikan gangsing dan kapaknya siap membabat apa saja yang dikenainya.

Tetapi Mega Dewi segera sentakkan kakinya ke tanah, tubuhnya melenting di udara. Kakinya menjejak bagai orang berlari cepat, tepat mengenai kepala Mayong beberapa kali dan secara beruntun.

Dug, dug, dug, dug...!

Mayong menggeloyor hendak jatuh. Namun ia berhasil menjaga keseimbangan tubuhnya. Saat itu juga dipijakkan kakinya ke tanah. Jleeg...! Tahu-tahu Wongso menyerang dengan tendangan putar yang amat kuat.

Wuuut...!

Plook...! Wajah Mega Dewi terkena tendangan putar itu. Ia terpelanting hampir jatuh ke jurang. Untung ia bisa menahan gerakannya, sehingga urung masuk ke jurang. Ia sentakkan kakinya dan bersalto mundur dua kali. Tab, tab...! Tahu-tahu tiba di samping Wongso. Kaki Wongso segera menyambar kembali dengan jurus tendangan yang sama. Mega Dewi rendahkan badan, lalu dengan tangan bertumpu di tanah ia menendang rusuk Wongso dengan kaki kanannya yang miring.

Duuus...!

"Ahg...!" Wongso tersentak hingga terhuyung huyung beberapa langkah. Pada waktu itu Mayong datang menghantamkan kapaknya untuk membelah punggung Mega Dewi. Namun dengan cepat Mega Dewi bangkit, berbalik arah dan tahu-tahu pisaunya sudah terhunus. Pisau itu ditikamkan ke arah bagian bawah ketiak tangan pemegang kapak yang berhasil ditangkis dengan kaki merentang tinggi.

Jruub...!

"Aaahg...!" Mayong terpekik. Kapaknya jatuh ke tanah. Bocah berkulit hitam itu segera menyambar kapak itu pada saat Mayong dibabat ujung pisau dari samping kanan ke kiri.

Breeet...!

Dada Mayong koyak seketika. Darah mengalir deras. Robekan itu sampai mengenai rahang Mayong. Serta-merta Mega Dewi lompat ke kiri untuk cari tempat lebih leluasa lagi. Wajah Mayong menyeringai menahan sakit pada lukanya. Ia berusaha mengambil kapak yang jatuh. Namun terkejut melihat kapak itu sudah di tangan Angon Luwak. Bocah itu meremas mata kapak dengan kuat.

Praaas...! Hancur menjadi serbuk besi yang amat mengagumkan. Kapak itu tinggal bagian gagangnya saja, lalu gagang kapak itu diserahkan kepada Mayong. Ketika Mayong ingin meraih dengan terbungkuk-bungkuk karena sakit. Angon Luwak menghantamkan gagang kapak ke kepala Mayong dengan telaknya.

Pletok...!

"Adaaaoow...!" kedua tangan Mayong jadi berpegangan pada kepalanya. Gagang kapak dibuang. Angon Luwak berlari mendekati Mega Dewi, seakan berlindung di sana dari pembalasan Mayong.

"Tinggalkan mereka! Cepat!" seru Wongso sambil menahan sakit di rusuknya. Mereka pun segera lari. Tak sedikit pun berpaling ke belakang.

Tapi Suto dan Mega Dewi tertegun bengong memandangi Angon Luwak, merasa kagum melihat bocah kecil mampu meremukkan besi mata kapak itu. Suto segera bertanya, "Siapa yang memberimu ilmu untuk meremukkan benda keras itu, Nak?"

"Kakek... eh, anu... guru saya. Kang."

"Siapa gurumu?" tanya Suto lagi.

"Hmmm... namanya...," Angon Luwak mengingat-ingat. "Entah. Saya lupa namanya, Kang."

"Lho, kok sampai lupa? Kau belajar di mana?"

"Di... di alam mimpi, Kang."

Pendekar Mabuk dan Mega Dewi saling pandang. Mereka sama sama heran. Kemudian mereka kembali memandang Angon Luwak. Mega Dewi bertanya setelah memasukkan pisaunya.

"Jawab yang benar, di mana kau belajar ilmu itu?"

"Di mimpi, Kang. Sumpah!"

"Di mimpi...?!" gumam Suto Sinting.

Angon Luwak berkata, "Soalnya, guruku tukang tidur, Kang."

"Maksudmu tukang tidur bagaimana?" tanya Mega Dewi.

"Dia bertarung sambil tidur."

Suto menyahut dalam gumam, "Jangan-jangan Ki Gendeng Sekarat!"

"Nah, betul!" teriak Angon Luwak. "Itu nama guruku dalam mimpi, Kang. Ki Gendeng Sekarat!"

Suto dan Dewi semakin terperangah dan sama-sama beradu pandang. "Sejak kapan Ki Gendeng Sekarat mengangkat murid?" gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.

"Pokoknya ya sejak aku disuruh tidur di sampingnya," kata Angon Luwak menyangka diajak bicara Suto.

"Sekarang ke mana gurumu itu? Ke mana Ki Gendeng Sekarat?!"

"Pergi."

"Pergi ke mana?"

"Ndak tahu, Kang! Waktu aku bangun dari tidur dia sudah pergi!"

"Coba tunjukkan di mana tempat kalian tidur! Siapa tahu aku bisa melacaknya dari sana!" kata Suto.

Kemudian Angon Luwak membawa mereka ke tempat pertemuannya dengan Ki Gendeng Sekarat.

LIMA

PENDEKAR Mabuk lemparkan pandangan ke sekeliling tempat pertemuan Angon Luwak dengan Ki Gendeng Sekarat. Tak ada jejak yang bisa digunakan untuk melacak perginya Ki Gendeng Sekarat. Angon Luwak menceritakan pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan seekor harimau hitam jelmaan seorang perempuan yang diingatnya bernama Tandak Ayu. Mendengar nama Tandak Ayu, Mega Dewi terperanjat dan wajahnya berubah tegang. Hal itu diketahui oleh Suto Sinting.

"Apakah kau kenal dengan Tandak Ayu?"

"Dia muridnya Nyai Demang Ronggeng, satu-satunya tokoh tua yang punya jurus 'Tarian Mayat'," jawab Mega Dewi menyimpan kecemasan.

"Tarian Mayat?" gumam Suto. "Seingatku Ki Gendeng Sekarat juga mempunyai jurus 'Pembangkit Mayat', dan ia bisa membekali ilmu tinggi kepada mayat-mayat yang dibangkitkan. Ketika dia tinggal di Pulau Mayat, dia punya pasukan mayat sendiri."

Wajah gadis itu kian menegang, "Apakah Ki Gendeng Sekarat pernah tinggal di Pulau Mayat?"

"Justru pertemuanku dengannya justru di Pulau Mayat."

"Kalau begitu dia murid dari Eyang Pramban Jati?!"

"Benar. Dia pernah menceritakan hal itu kepadaku. Dari mana kau tahu?"

"Ayahku pernah bercerita tentang murid Eyang Pramban Jati. Menurut Ayah, murid Eyang Pramban Jati ada dua, yaitu Ki Gendeng Sekarat dan Nyai Demang Ronggeng. Tapi murid perempuan Eyang Pramban Jati lari ke aliran sesat. Hanya Ki Gendeng Sekarat yang berhasil menyerap semua ilmu Eyang Pramban Jati. Dulu, ayahku pernah ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat dan menjadi bersahabat."

Setelah merenung sejenak, Suto pun berkata seperti bicara pada diri sendiri, "Lalu, apa alasannya murid Nyai Demang Ronggeng menyerang Ki Gendeng Sekarat? Apakah itu perintah dari gurunya?"

"Mungkin saja. Dan tidak menutup kemungkinan kalau sekarang Ki Gendeng Sekarat pergi menemui Nyai Demang Ronggeng untuk menuntut balas atas penyerangan muridnya itu."

"Apakah kau tahu di mana Nyai Demang Ronggeng bertempat tinggal?"

"Sayang sekali tidak," jawab gadis berkepang dua dengan tegas. "Tapi aku kenal seseorang yang mengetahui tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Orang itu tinggal di desa Kukusan, dia seorang pandai besi yang berjuluk Ki Empu Sakya!"

Mendengar nama Ki Empu Sakya, bocah penggembala itu menyahut. "Aku tahu rumah Ki Empu Sakya, Kang!"

"O, kau tahu?"

"Ya. Kedua orang bengis yang mengejarku itu tadi memaksaku untuk mengantarkan ke rumah Ki Empu Sakya. Tapi aku tak mau. Kang."

"Kenapa kau tak mau?"

"Karena orang bengis itu pasti akan memaksa Ki Empu Sakya untuk meminta pusaka secara kasar. Aku kasihan kepada Ki Empu Sakya."

"Pusaka apa?"

"Setahuku, banyak orang yang membujuk Ki Empu Sakya untuk mendapatkan keris pusaka yang bernama Keris Setan Kobra, Kang."

"Keris Setan Kobra?!" Mega Dewi terkejut secara terang-terangan.

Suto semakin ingin tahu melihat kekagetan Mega Dewi. Tapi sebelum Suto Sinting bertanya, gadis berkepang dua itu sudah lebih dulu jelaskan maksudnya. "Keris Setan Kobra mempunyai kekuatan ampuh. Siapa yang terkena keris itu akan hilang lenyap tak berbekas sedikit pun. Hanya orang-orang tertentu yang mengetahui kehebatan keris tersebut dan mengetahui siapa pemiliknya. Ayahku pernah membujuk Ki Empu Sakya untuk memiliki keris itu, setidaknya meminjamnya untuk jaga-jaga diserang oleh Iblis Naga Pamungkas. Tapi Ki Empu Sakya mempertahankan keris tersebut."

"Kalau begitu sebaiknya kita temui saja Ki Empu Sakya. Kurasa Ki Gendeng Sekarat pergi ke sana menanyakan di mana tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng."

"Mari kutunjukkan rumah Ki Empu Sakya, Kang!" Angon Luwak menawarkan jasa. Padahal tanpa Angon Luwak, Mega Dewi sendiri sudah tahu rumah Ki Empu Sakya, karena dulu ia pernah diajak almarhum ayahnya pergi ke tempat Empu sakti itu.

Ternyata orang yang berjuluk Ki Empu Sakya itu adalah seorang lelaki kurus bertubuh pendek, seperti anak kecil. Tinggi badannya sedikit melebihi tinggi tubuh Angon Luwak. Tetapi dari raut wajahnya, dari uban rata di rambut dan jenggot tipisnya, orang dapat menduga bahwa Ki Empu Sakya adakah lelaki yang berusia di atas enam puluh tahun. Ia gemar mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala kain hitam.

Pakaiannya menyerupai pakaian biksu, hanya dililitkan ke tubuh dan sisanya diselempangkan ke pundak kanan. Ikat kepalanya menutup sebagian rambut putih, bersimpul di bagian belakang. Sekalipun demikian keadaan Ki Empu Sakya, namun Mega Dewi dan Suto Sinting sangat menghormat kepada Ki Empu Sakya. Sebaliknya Ki Empu Sakya pun bersikap hormat dan sungkan kepada Suto. Sampai-sampai ketika ia menerima kedatangan Suto, ia lebih dulu membungkukkan badan memberi hormat setelah menatap Suto beberapa saat.

"Jangan menghormat kepadaku, Ki Empu Sakya." kata Suto. "Aku merasa malu menerima hormatmu."

"Anak muda, bagi orang lain bisa saja tidak menghormatmu, tapi bagiku harus menghormatmu, karena aku melihat tanda di keningmu. Kau pasti orang pilihan yang punya gelar tinggi dari Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."

Mega Dewi kerutkan dahinya mendengar kata-kata itu. Ia pandangi Suto Sinting pada saat Ki Empu Sakya berkata, "Hanya seorang Manggala Yudha yang mendapatkan tanda seperti itu di keningmu, Anak Muda."

Suto Sinting menjadi tak enak hati dipandangi oleh Mega Dewi. Tapi apa boleh buat, tanda merah di keningnya itu tak bisa ditutupi. Hanya orang-orang berilmu tinggi yang bisa melihat tanda merah kecil sebesar biji jagung itu. Jika Ki Empu Sakya bisa melihatnya, berarti dia orang berilmu tinggi.

"Apa maksud kata-kata Ki Empu Sakya itu?" bisik Mega Dewi kepada Suto.

"Lupakan saja kata-kata tersebut. Biarkan beliau beranggapan apa saja," Suto menyembunyikan penghormatan itu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah)

Angon Luwak menceritakan pengejaran kedua orang bertampang bengis itu kepada Ki Empu Sakya. Lelaki kurus dan kecil yang sudah banyak umur itu mengusap-usap kepala Angon Luwak sambil mengucap terima kasih atas tekad sang bocah yang tidak mau menunjukkan tempat tinggalnya.

"Si Kapak Kembar adalah orang sesat yang ingin menguasai aliran hitam sejak dulu. Sekalipun ia tak bakal mampu memaksaku, tapi aku menghargai niat baikmu, Angon Luwak. Sekarang pulanglah dulu dan urus kambingmu, aku akan melayani kedua tamuku ini. Nanti malam datanglah kemari bersama teman-temanmu, aku akan mendongeng tentang tokoh-tokoh yang masuk dalam aliran hitam. Kau dan teman-temanmu pasti akan tertarik mendengarkannya."

"Terima kasih, Ki, Aku akan memberitahukan mereka untuk datang mendengarkan ceritamu!" Angon Luwak berseri-seri kegirangan. Rupanya bocah itu akrab dengan Ki Empu Sakya, karena Ki Empu Sakya sering kumpulkan bocah-bocah desa Kukusan untuk menceritakan dongeng tentang jago-jago silat dan para tokoh tua di rimba persilatan.

"Bagaimana kabar ayahmu, Mega Dewi?"

Pertanyaan itu dijawab dengan linangan air mata. Gadis berkepang dua menceritakan pertarungan ayahnya dengan Iblis Naga Pamungkas. Cerita itu membuat Ki Empu Sakya tarik napas dalam-dalam, menyembunyikan perasaan duka, menahan geram kemarahan. Ternyata ia termasuk orang yang pandai mengendalikan nafsu amarah, sehingga dalam sekejap ia sudah kelihatan tenang kembali.

Lalu, Suto Sinting pun menanyakan tentang Ki Gendeng Sekarat, karena Ki Empu Sakya tidak mau membicarakan tentang Iblis Naga Pamungkas. Mungkin ia tak ingin membuat hati Mega Dewi semakin pedih jika hal itu dibicarakan panjang-lebar. Mungkin juga Ki Empu Sakya menghindari percakapan tentang keris pusakanya itu, sehingga ia lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan Suto Sinting.

"Gendeng Sekarat memang baru saja pergi dari sini, tapi bukan untuk menanyakan tempat tinggal Nyai Demang Ronggeng. Ia hanya menengokku dan mencarimu, Suto Sinting. Ia sekarang pergi ke arah barat."

"Jika begitu saya harus segera menyusulnya, Ki Empu Sakya."

"Silahkan. Tapi kuharap Mega Dewi mau tinggal di sini untuk beberapa saat. Ada yang ingin kubicarakan denganmu, Mega Dewi. Tentunya berkaitan dengan kematian ayahmu itu. Apakah kau bersedia?"

"Saya bersedia," jawab Mega Dewi setelah memandang Suto sesaat, karena hatinya ingin ikut Suto, tapi si sisi lain ia merasa perlu berbicara tentang kematian ayahnya dengan tokoh tua yang berpenampilan kalem itu.

Kini Pendekar Mabuk mengejar Ki Gendeng Sekarat hanya sendirian. Sesuai dengan keterangan Ki Empu Sakya, Suto berlari ke arah barat. Harapannya dapat menyusul Ki Gendeng Sekarat. Sebab ia tahu, jika Ki Gendeng Sekarat mencarinya, berarti ada pesan yang harus disampaikan kepada Suto dari Dyah Sariningrum, calon istrinya yang dicintai itu.

Ingat tentang wanita cantik yang dicintainya itu, pikiran Pendekar Mabuk ingat pula pada seraut wajah beku milik Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat yang selalu tampil dengan jubah hitam bagaikan El Maut itu sampai sekarang belum berhasil dipenggal kepalanya oleh Suto Sinting, padahal kepala itu merupakan syarat untuk mengawini Dyah Sariningrum. Sayang sekali Siluman Tujuh Nyawa itu terlalu licin, sehingga sudah beberapa saat lamanya Suto tidak berhasil menjumpai tokoh sesat yang amat ditakuti oleh beberapa tokoh sakti di kalangan aliran hitam itu.

Perjalanan Suto Sinting terpaksa terhenti karena merasa dihadang oleh seorang pemuda berpakaian merah dengan hiasan benang emas. Pemuda itu tampak seperti keturunan bangsawan dilihat dari jenis pakaian dan penampilannya. Ia menyelipkan sebilah pedang bersarungkan logam emas. Pedang kecil itu mempunyai hiasan bebatuan indah pada bagian gagangnya. Pemuda itu berusia sedikit lebih muda dari Suto Sinting. Wajahnya tampan dengan kumis tipis yang menampakkan kesan keningratannya.

Pemuda itu turun dari atas kuda putihnya, sementara kedua pengawalnya berbadan besar juga segera melompat turun dari masing-masing kudanya. Salah seorang pengawal yang mengenakan ikat kepala dari logam perak itu maju mendampingi pemuda tampan tersebut, sedangkan yang satunya lagi mengurus kuda, membawanya ke bawah pohon.

"Paman Gandra, tak salah lagi penglihatanku, pemuda liar inilah yang tadi kulihat berjalan bersama Mega Dewi!" kata pemuda berpakaian bangsawan itu kepada pengawalnya.

"Kalau begitu biar saya yang menanganinya, Raden Udaya!" kata sang pengawal yang bernama Gandra dengan suaranya yang besar. Ia segera memanggil temannya, "Rangku, kepung orang ini!"

Wuut...! Jleeg...!

Orang bermata lebar yang dipanggil dengan nama Rangku itu cepat melompat dan bersalto di udara satu kali. Dalam sekejap ia sudah berada di sebelah kiri Suto Sinting. Gandra yang berkumis tebal itu ada di sebelah kanan, sedangkan pemuda tampan yang bernama Raden Udaya itu berhadapan di depan Suto.

Pendekar Mabuk hanya kerutkan dahi sebentar, lalu kembali bersikap tenang. Matanya memandang ke arah Raden Udaya tanpa kesan takut sedikit pun. "Apa maksudmu menghentikan langkahku, Raden Udaya?" tanya Suto dengan mengutip nama yang disebutkan Gandra tadi.

"Kita punya perhitungan sendiri atas kelancanganmu berani pergi dengan Mega Dewi!" kata Raden Udayana dengan ketus dan bernada sombong.

"Apa salahku pergi dengan gadis itu?"

"Dia kekasihku! Dia calon istriku?" sentak Raden Udaya mulai menampakkan kemarahannya.

Tetapi Suto Sinting justru tersenyum geli. Ia meneguk tuaknya bagai tak peduli kemarahan lawannya. Ia kelihatan tak khawatir sedikit pun walau telah dikepung oleh Gandra dan Rangku yang masing-masing telah mencabut senjatanya berupa trisula dan kapak dua mata.

"Paman Gandra, hajar dia! Beri pelajaran supaya tahu adat!"

Gandra ingin maju menyerang, tapi tiba-tiba punggungnya bagaikan ada yang menendang dengan sangat kuat. Pukulan jarak jauh dilepaskan seseorang dari tempat persembunyian. Pukulan itu membuat Gandra terhentak dengan napas tertahan dan badan melengkung ke depan. Ketika badan itu kembali tegak, tahu-tahu darah mengalir dari mulut lelaki berkumis lebat itu.

"Paman Gandra! Kenapa kau?!" Raden Udaya kaget dan menjadi tegang.

"Keparat! Mau coba-coba melawan orang kadipaten kamu, hah?! bentak Rangku kepada Suto Sinting.

"Hei...! Bukan aku yang menyerangnya!" kata Suto membela diri.

Sementara Gandra segera terkulai lemas dan ditolong oleh Raden Udaya, Rangku menyerang Suto Sinting dengan menebaskan kapak bermata dua dalam satu lompatan liarnya. "Heaaah ..!"

Clap...! Deess...!

Kilatan cahaya hijau terlihat melintas di depan Suto dari arah kanan ke kiri. Cahaya hijau kecil itu tepat kena di dada Rangku. Orang itu robek seketika. Mengerang dan berkelojotan di tanah.

"Aaahhgg...! Uuhgg...!"

Wajah Rangku menjadi biru, matanya mendelik, mulutnya keluarkan cairan berbusa warna merah darah. Hal itu membuat Raden Udaya semakin panik. Putra adipati itu mulai ciut nyali melihat dua pengawalnya roboh dalam waktu yang sangat singkat. Hanya satu jurus saja. Raden Udaya memandang ngeri kepada Rangku yang masih kelojotan bagai ingin temui ajalnya.

Suto Sinting sendiri merasa heran melihat kejadian itu. Dalam hatinya ia bertanya. "Siapa orang yang telah membantuku secara diam-diam?"

Pertanyaan itu segera terjawab dengan munculnya seorang pemuda berpakaian biru cerah. Pemuda itu muncul dari balik pohon dengan senyum kemenangan.

"Wiratmoko?!" gumam Suto dengan terperangah. Lalu ia pun sunggingkan senyum geli melihat kemunculan Wiratmoko.

Raden Udaya lebih terkejut lagi melihat kemunculan pria berambut ikal agak panjang itu. Wajah berkumis tipis itu makin tegang dan menjadi pucat pasi. Ia melangkah mundur beberapa tindak begitu Wiratmoko memandang ke arahnya. Ia tampak sekali ketakutan.

"Bawa pergi kedua pengawalmu kalau kau tak ingin lebih parah dari mereka!" kata Wiratmoko dengan tegas.

Perintah itu membuat Raden Udaya gemetar. Dengan susah payah ia membawa kedua pengawalnya yang masih bernyawa, menaikkan ke punggung kuda masing-masing, lalu segera membawanya pergi dengan terburu-buru. Tawa keras dari Wiratmoko terdengar di sela derap kaki kuda.

"Kenapa kau menolongku, Wiratmoko?"

"Karena kau pernah selamatkan nyawaku dari pukulan maut seseorang. Ini sebagai ucapan terima kasihku padamu, Suto Sinting!" jawab Wiratmoko dengan wajah berseri-seri tampak ceria sekali. Ia menepuk-nepuk pundak Suto Sinting bagai melepas rasa rindu karena lama tak jumpa.

"Tapi kenapa waktu itu kau menghilang?"

"Karena aku kebingungan mencarimu," jawab Wiratmoko. "Kau kucari ke mana-mana untuk mengucapkan terima kasihku padamu, tapi baru sekarang kujumpa dirimu, Suto Sinting. Benar-benar hebat. Kau pandai menghilang rupanya."

"Justru kau yang pandai menghilang, karena aku tak berhasil temukan dirimu setelah itu," kata Suto dengan sikap bersahabat sekali. "O, ya... kau kenal dengan Raden Udaya itu tadi?"

"Dia kenal diriku, karena aku pernah bantu ayahnya mengusir dua pengacau dari pelataran kadipaten. Aku tak tahu nama pemuda itu, tapi aku tahu dia putra seorang adipati. Ah, sudahlah! Lupakan pemuda yang memang sombong dan sering berlagak jago itu. Sekarang kau mau ke mana, Suto?"

"Mencari seseorang. Tokoh tua yang sangat akrab denganku. Namanya Ki Gendeng Sekarat. Dia mencariku, pasti ada keperluan penting untuk urusan pribadi. Kabarnya dia pergi ke arah barat dan aku mengejarnya, tapi terhalang oleh orang kadipaten itu."

Wiratmoko manggut-manggut. "Mari kudampingi. Sekalian aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, Suto."

Sambil melangkah seiring, Suto bertanya, "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Tentang orang yang menyerangku dari belakang itu. Apakah kau tahu siapa orangnya?"

"Apakah kau tak kenali jenis pukulan mautnya?"

"Tidak," jawab Wiratmoko dengan sungguh- sungguh. "Sebab itulah aku ingin tahu, siapa orangnya yang bisa menyerangku sedahsyat itu. Kalau tak ada kau, aku pasti akan mati dalam beberapa kejap saja."

"Ya. Aku memang mengenalnya, karena aku sempat jumpa dengannya dua kali setelah ia berhasil memukulmu itu. Orang tersebut adalah tokoh tua, berjenggot abu-abu, rambutnya panjang tak diikat, juga berwarna abu abu, mengenakan jubah putih kusam, tongkat hitam meliuk-liuk seperti seekor ular."

"Hmmm...," Wiratmoko menggumam sambil manggut-manggut.

"Kau pasti mengenali ciri-ciri itu!"

"Ya. Dia adalah si Raja Maut, tokoh tua dari Bukit Sembereni. Dia adalah musuh bebuyutan guruku..."

"Dampu Sabang?" potong Suto.

Wiratmoko terkejut. "Dari mana kau tahu nama guruku?"

"Raja Maut yang mengatakannya."

"Oh...?" wajah Wiratmoko tampak menyembunyikan kecemasan. "Apa saja yang ia katakan padamu, Suto?"

"Tidak banyak. Dia hanya bilang, bahwa kau murid tunggal Dampu Sabang. Dia mengingatkan padaku agar jangan turut campur dengan urusannya. Rupanya kau punya urusan pribadi dengan Raja Maut itu, Wiratmoko."

"Memang. Urusan itu sangat pribadi sehingga tak bisa kuceritakan padamu. Yang jelas, Raja Maut adalah tokoh tua yang serakah dan ingin menguasai dunia persilatan. Dia ingin menumbangkan beberapa tokoh tua dengan ilmu yang baru diperolehnya."

"Ilmu apa?"

"Naga Pamungkas!"

Suto Sinting terkejut sampai hentikan langkah, "Jadi, dia itulah orangnya yang bergelar Iblis Naga Pamungkas?"

"Betul!" jawab Wiratmoko dengan tegas. "Dia ingin membunuh para tokoh tua dari golongan hitam ataupun putih. Salah satu orang yang akan dibunuhnya adalah gurumu sendiri si Gila Tuak!"

Bagaikan petir menyambar di ujung hidung Suto. Rasa kagetnya membuat napas tertarik kuat dan jantung bagaikan berhenti. Darah Suto mendidih mendengar gurunya akan dibunuh. Terbayang nasib Ki Lurah Pramadi yang mati di tangan Iblis Naga Pamungkas. Suto tak ingin gurunya mengalami nasib yang sekejam itu.

* * *

ENAM
SEKALIPUN Suto Sinting mengetahui bahwa Raja Maut pergi ke Pulau Blacan, tapi Wiratmoko sarankan tak perlu mengejarnya ke sana. Menurut Wiratmoko lebih baik cari dulu Ki Gendeng Sekarat, siapa tahu membawa pesan lebih penting dari mengejar Raja Maut ke Pulau Blacan.

"Biarkan dia berhadapan dengan Nyai Demang Ronggeng di Pulau Blacan. Dia pasti akan dikubur hidup-hidup oleh Nyai Demang Ronggeng!" kata Wiratmoko yang membuat Suto Sinting sempat terperanjat.

"Jadi, Nyai Demang Ronggeng bersemayam di Pulau Blacan?"

"Ya. Dan aku tahu bahwa Nyai Demang Ronggeng punya kesaktian yang mampu membuat Raja Maut tumbang atau melarikan diri terbirit-birit."

"Seberapa dekat kau mengenal Nyai Demang Ronggeng?"

"Tidak terlalu dekat. Hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut!"

"Pantas jika Iblis Naga Pamungkas ingin membunuh Ki Gendeng Sekarat, rupanya Raja Maut yang bergelar Iblis Naga Pamungkas itu juga mengkincar kematian Nyai Demang Ronggeng. Padahal Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat adalah saudara seperguruan, sama-sama murid Eyang Pramban Jati."

"O, jadi Ki Gendeng Sekarat juga akan dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas? Kau tahu dari siapa, Suto?"

"Namanya Mega Dewi, anak gadis Ki Lurah Pramadi yang mati dibunuh oleh Iblis Naga Pamungkas. Dialah yang memberitahukan rencana Iblis Naga Pamungkas yang akan membunuh Ki Gendeng Sekarat. Karenanya aku harus segera menemukan Ki Gendeng Sekarat dan memberitahukan ancaman itu, sekaligus melindunginya dari keganasan Iblis Naga Pamungkas itu!"

Setelah melangkah sambil termenung sesaat, tiba-tiba langkah Wiratmoko terhenti. Tangannya menahan tangan Suto dengan dahi berkerut. Suto memandang dengan rasa ingin tahu.

"Jangan-jangan Raja Maut memburu Mega Dewi? Sebab Mega Dewi adalah anak Ki Lurah Pramadi, tentunya Raja Maut tak ingin ada bibit dendam yang kelak dapat menjadi duri dalam hidupnya. Aku yakin Raja Maut tidak pergi ke Pulau Blacan, tapi mencari Mega Dewi untuk dibunuh, biar kelak tak ada yang menyimpan dendam kepadanya."

Suto kian tajam mengerutkan dahinya. "Perkiraanmu mendekati kebenaran," katanya dalam gumam. "Tapi selama aku bersama Mega Dewi, aku tak pernah jumpa dengan Raja Maut. Kupikir dia benar-benar pergi ke pulau Blacan."

"Dia pun mencari Mega Dewi, tapi tak ditemuinya. Andai dia bertemu maka kau akan tahu permusuhannya yang ganas itu kepada Mega Dewi. Hmmm... sekarang Mega Dewi ada dimana?"

"Di rumah Ki Empu Sakya. Kurasa dia aman bersama Ki Empu Sakya, sebab kabarnya Ki Empu Sakya mempunyai keris pusaka yang amat ampuh, yaitu Keris Setan Kobra."

"Celaka! Raja Maut pasti menuju ke sana!" kata Wiratmoko dengan tegang.

"Dari mana kau yakin begitu?"

"Sebab Keris Setan Kobra adalah pusaka yang diincarnya. Dia takut dikalahkan dengan keris pusaka itu. Aku pernah dengar keampuhan keris pusaka tersebut. Wajar jika Raja Maut sebagai Iblis Naga Pamungkas ingin menguasai keris pusaka itu supaya tak ada saingannya."

"Tapi Ki Empu Sakya pasti mampu mengatasi Raja Maut!"

"Belum tentu!" bantah Wiratmoko tegas-tegas. "Jika Ki Empu Sakya terlambat menggunakan keris itu, ia akan mati di tangan Raja Maut. Tak urung gadis itu pun akan dibunuhnya dan keris itu akan diperolehnya."

"Benar juga perhitunganmu," gumam Suto mulai bingung. "Apa yang harus kulakukan jika begini? Mencari Ki Gendeng Sekarat atau kembali ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi?"

"Begini saja," kata Wiratmoko. "Kau teruskan mencari Ki Gendeng Sekarat, aku akan pergi ke rumah Ki Empu Sakya untuk menyelamatkan Mega Dewi. Berikan arah rumah Ki Empu Sakya, karena aku belum pernah ke sana. Nanti setelah kau berhasil bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat, susullah kami. Aku dan Mega Dewi menunggu kedatangan kalian di rumah Ki Empu Sakya."

"Apakah kau sanggup mengalahkan Raja Maut?"

"Tentunya jika dengan dibantu Ki Empu Sakya kami bisa kalahkan dia!"

"Baiklah. Jika begitu kita berpencar mulai sekarang!"

Suto memutuskan langkah. Ia meneruskan mencari Ki Gendeng Sekarat sedangkan Wiratmoko segera pergi ke rumah Ki Empu Sakya setelah mendapat keterangan arah rumah empu sakti itu. Pengejaran menyusul Ki Gendeng Sekarat bukanlah sesuatu yang mulus. Suto kembali mengalami hambatan dengan munculnya kelinci yang berlari-lari di tepian semak.

"Hei, itu seperti kelinci yang kuburu tempo hari?!" pikirnya. Suto sempat tersenyum geli kemudian segera mengejar-ngejar kelinci itu. Ciri yang tak dapat dilupakan Pendekar Mabuk pada kelinci itu adalah terletak di bagian ujung telinga kiri. Kelinci itu mempunyai bulu hitam di telinga kirinya, berbentuk seperti gambar hati. Bulu hitam kecil itu mempercantik kelinci tersebut, sehingga waktu itu Suto Sinting tak tega untuk menyantap kelinci itu. Kali ini ia menangkapnya karena gemas dan ingin bercanda dengan kelinci cantik tersebut.

Anehnya, kelinci itu kini tidak terlalu liar dan mudah ditangkap. Dua kali gagal, ketiga kalinya kelinci itu sudah jatuh dalam genggaman kedua tangan Pendekar Mabuk.

"Nah, nah, nah... kau tertangkap sekarang! Mau ke mana kau, Manis? Mau menggodaku lagi? Oh, kau memang nakal! Hhmmm...!"

Suto Sinting menempelkan mulut kelinci ke pipinya dengan gemas-gemas senang. Sambil melangkah ia berbicara dan bercanda dengan kelinci itu. Perut kelinci digelitiknya sehingga binatang itu menggerinjal beberapa kali karena kegelian. Suto tertawa senang melihat kelinci itu kegelian. Namun ketika Suto Sinting melewati bawah pohon rindang dengan ilalang rimbun di sana-sini, tiba-tiba tubuhnya terpental ke belakang bagai ditendang kelinci.

Slaaap...! Cahaya terang menyala kuat timbulkan tenaga pendorong yang membuat Suto hampir jatuh terjengkang ke belakang. Matanya pun segera terbelalak lebar melihat kelinci itu berubah wujud menjadi wanita cantik berwajah bulat telur, hidung mancung, mata sedikit lebar berkesan nakal menggoda. Rambutnya disanggul sebagian, dadanya sekal dibungkus pakaian kuning cerah. Di rambutnya yang disanggul terlilit pita kuning. Sebilah pedang tersandang di punggungnya.

Pendekar Mabuk terperangahkagum melihat kecantikan wanita jelmaan kelinci itu. Perempuan tersebut tertawa kecil dengan sikap malu-malu. Rupanya ia masih merasakan sisa geli karena gelitikan Suto tadi. Suto sendiri menjadi tersipu karena ketika kelinci tadi diciumkan kepipinya, berarti gadis cantik itulah yang tadi mencium pipinya.

"Kkkau... kau jelmaan kelinci buruanku yang dulu pernah kutangkap itu?"

"Benar. Sekarang kau tahu wujudku, karena... karena kau telah menyuruhku mencium pipimu, Pemuda Tampan."

Suto semakin malu dan tersipu. Untuk menutupi rasa malunya ia tertawa bagaikan orang menggumam. Wajahnya dipalingkan ke arah lain sesaat, lalu kembali lagi memandang Tandak Ayu ketika gadis itu mendekatinya.

"Apakah sekarang kau masih berani menggelitik perutku?"

Suto Sinting semakin salah tingkah. Rasa sesal dan malu bercampur menjadi satu, menimbulkan rasa geli sendiri di dalam hatinya.

"Kalau kau masih ingin menggelitikku, silakan!" Tandak Ayu menantang dengan semakin maju. Matanya memandang nakal, penuh godaan yang mendebarkan hati setiap lelaki. Senyumnya pun merupakan senyum pemikat, yang hampir-hampir membuat Suto Sinting nekat mendekati wajah itu.

"Maaf, aku tak tahu kalau kau kelinci jelmaan," kata Suto sambil melangkah ke batang pohon. Pundak dan lengannya disandarkan di batang pohon itu, tapi matanya masih tertuju kepada Tandak Ayu.

"Kalau tak salah dengar, namamu Suto Sinting, bukan?"

"Ya. Tapi aku belum tahu namamu," kata Suto Sinting.

"Namaku...," Tandak Ayu berpikir sejenak. "Namaku Suti Asmara. Panggil saja Suti." Tandak Ayu memalsukan nama karena maksud tertentu.

"Suti? Oh, hampir sama dengan namaku?"

"Memang sepertinya kita memang dijodohkan Suto ketemu Suti, sungguh pasangan yang serasi dan pasti akan abadi."

Agaknya Tandak Ayu tertarik kepada ketampanan Suto Sinting. Tetapi Suto segara membatasi diri dan menjaga perasaannya agar tidak mudah terpikat oleh rayuan Tandak Ayu. Suto hanya tertawa kecil mendengar kata-kata itu. Tandak Ayu melangkah sambil memetik-metik daun ilalang, lama-lama berada dalam jarak dekat dengan Pendekar Mabuk. Jaraknya yang hanya dua langkah membuat Suto sempat kian berdebar-debar karena melihat jelas rona kecantikan Tandak Ayu dan belahan dadanya yang menonjol bagaikan sengaja dipamerkan itu.

"Kelihatannya kau lelah dalam perjalananmu, Suto. Apakah kau tak ingin beristirahat di balik rimbunan semak sebelah sana? Tempatnya teduh dan sepi. Rapat dari incaran mata manusia nakal." kata Tandak Ayu dengan suara merdu.

"Aku memang lelah, tapi bagiku cukup beristirahat di bawah pohon ini saja."

"Di sini tak aman," bisik Tandak Ayu yang kian merapat. Kini ia berani menaruh tangannya di pundak Suto Sinting. Senyum dan tatapan mata kian menggoda. Gemuruh di dalam dada Suto berusaha ditekan habis-habisan, namun hal itu amat sulit dilakukan oleh Suto.

"Aku bisa memijat bagian tubuhmu yang lelah, Suto."

"Aku tak sangka kalau kau ternyata tukang pijat."

"Iiih...! Menghina!" Tandak Ayu merajuk, manja, mencubit pipi Suto Sinting. Suto semakin panas dingin. Tandak Ayu tak mau berhenti membujuk, suaranya semakin terdengar manja menggairahkan.

"Aku bukan seorang tukang pijat. Tapi aku bisa memijat. Dan hanya kepadamu hal itu bisa kulakukan, Suto. Cukup lama aku mengikutimu secara diam-diam, lalu aku ingin sekali memijat bagian tubuhmu yang lelah. Tapi..., kalau kulakukan di sini bisa dilihat orang. Aku malu. Kita ke semak-semak sana saja."

"Apa bedanya memijat di sini dan di sana?" pancing Suto ingin tahu.

"Di sana aku berani memijat bagian mana saja, sesuai dengan yang kau suka. Di sini aku tak bisa menuruti permintaanmu," jawabnya dalam berbisik, mata beningnya tak berkedip, bahkan sedikit sayu ketika memandangi wajah Suto Sinting dari jarak dekat. "Ayolah ke sana...," Tandak Ayu menarik-narik tangan Suto, tapi pemuda itu hanya tersenyum-senyum tak mau beranjak dari tempatnya.

Tiba-tiba dari semak di belakang Tandak Ayu melesat sekelebat bayangan yang langsung menendang punggung wanita itu.

Wruuss...! Duuhg...!

"Aahg...! Tandak Ayu terpekik tertahan. Tubuhnya terpental ke depan dan berguling-guling di rerumputan.

Suto Sinting terkejut bukan kepalang tanggung. Sampai-sampai ia segera pasang kuda-kuda untuk menyerang. Tapi kuda-kuda itu segera mengendur setelah Suto mengenal wajah penyerang tersebut. "Kirana...?!"

"Maaf aku mengganggumu, karena aku tahu dia perempuan jalang!" kata Kirana dengan wajah ketus, seakan menaruh cemburu kepada peristiwa tadi.

Sebelum Suto Sinting bicara lagi, dari arah lain muncul Citradani yang melompat dengan lincahnya, lalu mendaratkan kaki dengan sigap. Kemunculan Citradani membuat Suto makin terperangah heran.

"Citradani?! Kau ada di sini pula?"

"Ya, aku dan Kirana mencarimu. Ternyata kau justru berkasih-kasih dengan perempuan jalang itu!"

"Aku tidak... tidak... hmmm.... Dia yang merayuku dan mengajakku ke semak-semak sana. Katanya dia mau memijatku, sesuai dengan bagian yang kuperintahkan untuk dipijat."

"Kenapa kau tak pergi ke semak-semak sana?" ketus Kirana.

"Karena..., karena aku tak berani. Di sana banyak setan. Aku takut dikalahkan oleh setan."

"Perempuan itulah ratu setan!" geram Citradani sambil menuding Tandak Ayu yang kini telah berdiri. Tulang punggungnya bagaikan mau patah karena tendangan Kirana.

Mata Tandak Ayu memandang benci kepada Kirana dan Citradani. "Kalian memang cari penyakit!" geram Tandak Ayu.

"Memang benar. Mau apa kau?!" sentak Citradani sambil maju selangkah.

"Tunggu! Kalian salah paham. Jangan bentrok karena kesalahpahaman!" cegah Pendekar Mabuk. Ketika mau maju, tangan Kirana yang ada di sampingnya segera menahan lengannya.

"Biarkan Citradani menanganinya. Dia punya urusan pribadi dengan perempuan jalang itu!" kata Kirana masih ketus seperti tadi.

"Tapi kalian salah paham. Aku belum diapa-apakan oleh Suti!"

"Siapa yang bernama Suti? Dia...?! Hmmm...!" Citradani mencibir sinis. "Namanya Tandak Ayu, bukan Suti!"

"Tandak Ayu...?!" Suto Sinting terkejut, ingat dengan cerita Angon Luwak tentang pertarungan singkat Tandak Ayu dengan Ki Gendeng Sekarat. Suto segera berkata dengan sikap tak bersahabat lagi, "Kalau begitu kau adalah murid Nyai Demang Ronggeng, yang menyerang Ki Gendeng Sekarat dengan berubah wujud menjadi harimau hitam?!"

Tandak Ayu melirik sinis pada Suto. Hatinya menjadi dongkol karena rayuannya tidak berhasil. Tapi perhatiannya kini tercurah kepada Citradani, karena Citradani berseru dengan suara lantang.

"Kembalikan kalung pusaka Lintang Suci itu, atau kuhabisi riwayatmu sekarang juga, Tandak Ayu!"

Mendengar kalung pusaka Lintang Suci disebut-sebut, mata Suto segera memperhatikan kalung berbandul kristal bentuk bintang segi lima di leher Tandak Ayu. Hatinya pun berkata, "O, benar. Kalau begitu dia memang Tandak Ayu. Dia punya urusan pribadi dengan Citradani, terbukti kalung yang pernah diceritakan Citradani kepadaku itu ada di leher Suti, eh. Tandak Ayu!"

Terdengar pula Tandak Ayu perdengarkan suaranya kepada Citradani, "Kalau kau bisa langkahi mayatku, ambillah kalung ini!"

"Mulut ember, sesumbar seenaknya saja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa melangkahi mayatmu tujuh kali bolak-balik!"

"Lakukanlah! Aku sudah siap menerima seranganmu. Citradani!"

"Heaaat...!" Citradani lompat ke depan, tubuhnya berputar cepat melayangkan tendangan kipasnya.

Wuuutt...! Tendangan itu dihindari oleh Tandak Ayu. Kejab berikutnya Tandak Ayu berhasil pukul punggung Citradani dengan sentakan telapak tangannya.

Duuuhg...!

"Uhhg...!" Citradani tersentak ke depan, darah muncrat dari mulutnya. Hal itu membuat Suto Sinting sempat cemas. Kirana sudah gatal, tak sabar ingin ikut terjun ke pertarungan itu. Tetapi ia menahan diri mengingat pertarungan itu adalah urusan pribadi meraka masing-masing.

Rupanya Citradani masih kuat walau telah menyemburkan darah segar dari mulutnya. Terbukti ia segera berbalik menghadap ke arah lawannya dengan pedang dicabut dari sarungnya. Sraaang...! Rupanya Tandak Ayu tak mau kalah serang, ia pun mencabut pedang dari punggungnya. Pedang itu lebih panjang dari pedang milik Citradani. Tapi Citradani tidak gentar sedikitpun.

"Hiaaaat...!"

"Heaaah...!"

Wuuut, wuuut...! Trang, trang, trang, trang...!

Mereka sama-sama lompat ke udara dan beradu pedang di sana dengan gerakan sama cepatnya. Satu pun tak ada yang terluka. Tetapi Citradani sempat menggunakan kakinya untuk menendang dan tepat mengenai bawah pundak kiri lawannya.

Duuhg...! Wuuuus...!

Brruk...! Tandak Ayu jatuh di rerumputan. Citradani yang telah pijakan kakinya ke tanah tak mau beri kesempatan sedikit pun kepada lawan. Ia gulingkan tubuhnya ke tanah, lalu pedangnya disabetkan ke arah perut Tandak Ayu.

Trang...! Pedang Tandak Ayu masih bisa menangkisnya sambil ia berguling dan cepat bangkitkan diri. Asap dan bau hangus tercium hidung Suto dan Kirana akibat perpaduan dua pedang berkekuatan tenaga dalam itu.

Kini keduanya sama-sama berdiri tegak lagi. Masing-masing mata tertuju dengan tajam. Napas Tandak Ayu tampak lebih memburu karena tendangan kaki Citradani tadi bagaikan menyumbat saluran pernapasan sehingga napasnya menjadi berat dihela. Bagian dalam tubuh Tandak Ayu terasa nyeri semua, namun ditahannya kuat-kuat. Bahkan Tandak Ayu sempat berkoar di hadapan Citradani.

"Kau tak akan berhasil menumbangkan diriku, Citradani! Mengapa gadis buruk itu tidak kau suruh membantumu sekalian?"

Kirana merasa sebagai orang yang dimaksud dan dikatakan gadis buruk. Hatinya semakin dibakar api kemarahan.Ia menggeram dan mengepalkan kedua tangannya. Ia bergerak maju, namun tertahan tangan Suto.

"Kita menjadi penonton yang baik saja!" kata Suto Sinting yang membuat Kirana lepas desah kejengkelannya.

Tiba-tiba Citradani sentakkan tangan kirinya walaupun tangan kanan sudah memainkan jurus pedangnya. Sentakan tangan kiri keluarkan cahaya merah bagaikan selarik sinar yang tertuju ke dada Tandak Ayu. Slaaap...! Tandak Ayu sempat terkejut, tapi dengan cepat ia silangkan pedangnya di depan dada. Sinar merah itu menghantam pedang tersebut.

Blaaar...!

Traang...! Pedang Tandak Ayu patah menjadi delapan keping. Mata Tandak Ayu terperangah melihat pedangnya patah. Kini tinggal bagian gagangnya saja yang digenggamnya. Maka gagang pedang itu segera dibuang. Kedua tangan segera dirapatkan.

Melihat gelagat begitu, Citradani tahu kalau Tandak Ayu mau merubah wujudnya. Maka serta-merta Citradani melompat maju sambil tebaskan pedang ke arah leher Tandak Ayu, "Heaaah...!"

Craaas...!

"Aaauuh..." Tandak Ayu memekik kesakitan. Telapak tangan kirinya putus ditebas pedang lawan dan jatuh ke tanah. Pluk...! Dan darah pun mengucur deras dari pergelangan tangan. Hal itu membuat mata Tandak Ayu berkunang-kunang.

Citradani mengetahui lawannya mulai lemah. Ia tak mau buang buang waktu. Ia berbalik memunggungi lawannya, namun pedangnya segera ditekuk ke belakang dan dihujamkan dengan kuat.

Jruuub...!

"Uuhg...?!" Tandak Ayu terpekik tertahan. Mulutnya ternganga. Ulu hatinya ditembus pedang Citradani tanpa ampun lagi. Ia mengejang sesaat, lalu Citradani menarik pedangnya hingga lepas dari tubuh lawan.

Brruk...! Tandak Ayu roboh dengan mulut terbuka berusaha mencari napasnya. Matanya mulai terbeliak-beliak mendekati ajal. Citradani dengan cepat melepaskan kalung pusaka Lintang Suci dari leher Tandak Ayu. Mulut perempuan yang menjelang ajal itu bergerak-gerak, bersuara lirih tapi terdengar sampai di telinga Suto dan Kirana.

"Sam... paikan... salamku... pada.... Wiratmoko..."

Suto berkerut dahi mendengar nama Wiratmoko, ia makin mendekati Tandak Ayu bersama-sama Kirana. Saat itu Citradani perdengarkan suaranya,

"Apakah kalung ini pemberian Wiratmoko?"

"Bet...tul. Seb... sebagai...tanda cintanya padaku..."

"Memang keparat betul Wiratmoko itu!"

"Kkkau... akan... mati di tangan... Iblis Naga... Pamungkas itu..."

"Siapa Iblis Naga Pamungkas itu?!"

"Wii...rat... mo... ko..."

"Wiratmoko?!" sentak Suto dengan amat terkejut, lalu wajah itu menjadi tegang sekali, sedangkan wajah Tandak Ayu menjadi kendur, napasnya terhempas. Saat itulah Tandak Ayu hembuskan napasnya yang terakhir. Suto Sinting mundur dengan dahi berkerut tajam.

"Wiratmoko...?!" gumamnya lagi dalam kebimbangan. "Benarkah dia yang berjuluk Iblis Naga Pamungkas? Bukankah orang yang berjuluk itu adalah si Raja Maut? Tapi... tapi menurut keterangan Mega Dewi, ayahnya mati di tangan Iblis Naga Pamungkas ketika lawannya itu mencabut pedang dan menebaskannya di punggung Ki Lurah Pramadi. Sedangkan Raja Maut tidak mempunyai senjata pedang, tapi... tapi Wiratmoko mempunyai pedang, dan gagang pedangnya berbentuk kepala naga. Oh, celaka! Aku telah tertipu olehnya! Benar kata Tandak Ayu, Wiratmoko itulah si Iblis Naga Pamungkas. Kalau begitu Mega Dewi dan Ki Empu Sakya dalam bahaya!"

Citradani tersenyum lega. Kalung pusaka milik gurunya telah kembali diperolehnya. Itu berarti dia dapat diterima kembali sebagai murid Embun Salju dan berhak tinggal di Kuil Elang Putih. Kepada Kirana, Citradani berkata, "Kalung inilah pusaka yang kumaksud. Wiratmoko adalah pemuda yang berhasil merayuku dan mencuri kalung ini."

"Kalau begitu...," Kirana tak jadi berkata-kata karena ia melihat Suto segera berlari meninggalkan tempat itu. Ia bahkan berteriak keras, "Suto, tungguuu...!"

Kirana pun segera menggunakan ilmu peringan tubuhnya, berlari mengejar Suto Sinting yang mampu bergerak seperti anak panah lepas dari busurnya. Melihat Kirana berlari mengejar Suto Sinting, Citradani pun ikut-ikutan berlari menyusul Kirana.

* * *

TUJUH
KALAU saja Pendekar Mabuk kala itu tidak berbalik arah dan meneruskan langkahnya, maka ia akan bertemu dengan Ki Gendeng Sekarat di kaki bukit Cadas Putih. Itupun kalau mata Suto Sinting cukup awas, sebab siang itu Ki Gendeng Sekarat ternyata tertidur di atas sebuah pohon berdaun lebat. Pohon itu mempunyai dahan yang berjajar rapat dan enak dipakai untuk tidur. Orang yang doyan tidur itu tidak mau menyia-nyiakan tempat seperti itu, tak heran jika dalam waktu cepat ia sudah tidur dengan dengkuran yang amat lirih.

Dengkuran itu tak terdengar dari jalanan di bawah pohon tersebut. Ketika jalanan itu dipakai lewat tiga kuda, tak satu pun dari ketiga penunggang kuda tersebut mendengar dengkuran Ki Gendeng Sekarat. Bahkan tiga orang itu sempat beristirahat di bawah pohon tersebut karena tak jauh dari sana ada sendang kecil berair jernih. Mereka menyempatkan cuci muka dan minum air sendang itu.

Tiga orang tersebut adalah para utusan dari Gunung Sesat yang dikuasai oleh tokoh golongan hitam berjuluk Ratu Tanpa Tapak. Tiga utusan tersebut berbadan kekar semua, tingginya sama, ilmunya pun sama setingkat, keganasannya juga sama liarnya. Wajah mereka tak ada yang menunjukkan wajah damai. Bengis dan angker semuanya.

Nenggolo, walaupun tanpa kumis tebal seperti Gaok Lodra, tapi punya wajah runcing, mata cekung berkesan dingin, gigi tonggos bertaring runcing. Sedangkan si Sabit Guntur mempunyai kumis setebal Gaok Lodra, matanya juga lebar ganas, tapi mempunyai codet di pipi kanan yang menambah angker wajahnya. Senjata mereka pun termasuk jenis senjata besar. Pedang, sabit, dan rantai bola berduri, semua berukuran besar.

Mereka mempunyai usia yang hampir sama, sekitar tiga puluh lima tahun, tapi tingkat kecerdasannya berbeda. Gaok Lodra terhitung paling rendah kecerdasannya dibanding kedua temannya itu. Tak heran jika Gaok Lodra bicara dengan suara keras ketika mengatakan,

"Yang penting kita sudah tahu letak rumah Empu Sakya. Tak perlu terburu-buru sampai di sana. Keris Pusaka Setan Kobra pasti berhasil kita rebut dan kita serahkan kepada sang Ketua!"

"Ssst...! Jaga mulutmu, jangan seperti ember sumur yang bisa bocor sewaktu-waktu. Tugas ini tak boleh diketahui siapa pun!" kata Nenggolo sambil mendekati kudanya.

"Di sini tak ada manusia, kenapa takut bicara?"

"Apa 'dapurmu' itu bukan manusia?!" hardik Sabit Guntur. "Sekalipun tak ada orang lain kecuali kita bertiga, tapi kita harus menjaga mulut supaya tidak bicara sembarangan. Apalagi membicarakan soal keris pusaka itu, lebih baik dengan berbisik saja!"

Nenggolo menyentakkan kepala Sabit Guntur. "Kau sendiri bicaranya cukup keras! Goblok! Memberi peringatan kepada teman kok diri sendiri bicaranya keras-keras," Nenggolo bersungut-sungut. Kemudian ia duduk di batu tepat bawah pohon.

"Menurutmu apakah ada orang lain yang mendahului kita merebut keris Pusaka Setan Kobra itu?" tanya Gaok Lodra kepada Sabit Guntur.

"Sekalipun ada tak mungkin berhasil. Empu Sakya bukan orang berilmu rendah. Hanya kita-kita orang saja yang bisa mengungguli ilmunya Empu Sakya!"

Mereka terus bicara, mengatur siasat dan mencari kemungkinan-kemungkinan yang perlu disiapkan. Tanpa mereka sadari, seseorang yang tidur di atas pohon itu mendengar semua percakapan tersebut. Sekalipun dalam keadaan tertidur nyenyak, namun telinga terpasang tajam, sehingga suara bisikan pun bisa sampai di telinga Ki Gendeng Sekarat.

Beberapa saat setelah beristirahat, ketiga utusan dari Gunung Sesat itu lanjutkan perjalanannya menuju desa Kukusan. Agaknya salah seorang dari mereka pernah menyelidiki rumah Ki Empu Sakya, sehingga ia tahu persis keadaan di mana dan tempat-tempat yang harus dijaga agar Ki Empu Sakya tak bisa lolos. Orang yang mengetahui keadaan di sana itu adalah Nenggolo, sehingga secara tak langsung kedua temannya menganggap Nenggolo sebagai ketua perjalanan.

Dengan mata masih lengket dan sukar dibuka, Ki Gendeng Sekarat mulai turun dari pohon. Kakinya sempat terpeleset, ia hampir jatuh terpelanting. Untung tangannya segera berpegang pada batang pohon, tapi kepalanya terbentur batang tersebut.

Duug...!

"Aduh...!" Ki Gendeng Sekarat akhirnya buka mata sambil meringis mengusap-usap keningnya. Kalau tidak terbentur, mungkin ia masih dalam keadaan tertidur sambil berjalan. Dengan mata terbuka, Ki Gendeng Sekarat segera mengikuti tiga utusan tersebut. Mulutnya berucap kata sendirian. "Mereka pasti orang-orang Ratu Tanpa Tapak! Untung mereka bicara di bawahku, sehingga aku tahu tujuan mereka. Empu Sakya akan terdesak jika melawan mereka bertiga. Ilmu orang-orang Gunung Sesat tak boleh direndahkan. Aku harus menolong Empu Sakya untuk selamatkan Keris Setan Kobra. Kalau sampai Keris Setan Kobra jatuh ke tangan Ratu Tanpa Tapak, hancurlah seluruh isi dunia ini. Ratu keji tak berperasaan itu akan melenyapkan semua penduduk bumi yang tidak mau tunduk kepadanya. Tapi kalau bisa, sebelum mereka tiba di desa Kukusan sudah kulumpuhkan lebih dulu. Yah, terpaksa kerahkan tenaga untuk mengejar mereka! Sialnya mereka berkuda semua. Mau tak mau aku harus berpacu kalahkan tenaga kuda!"

Ilmu peringan tubuh yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat bukan ilmu tingkat rendah. Tak heran jika ia mampu bergerak secepat badai menerabas semak belukar memotong arah untuk bisa menghadang tiga utusan Gunung Sesat itu. Gerakan larinya yang cepat itu membuat tubuhnya bagaikan ditiup angin semilir dan rasa kantuknya datang lagi. Matanya pun mulai mengecil dan kepala mulai terangguk-angguk, namun langkah larinya tetap cepat tak berkurang sedikit pun.

Bruus...! Serumpun pohon pisang diterjangnya. Wajahnya tersabut daun pisang. Perih. Tapi justru membuat kantuknya jadi hilang. Matanya pun terbuka kembali dengan terang. Ketika tiba di perbatasan desa, rasa kantuk itu sama sekali lenyap dan membuat tubuh Ki Gendeng Sekarat tampak tegar. Ia menunggu tiga utusan yang menurut perkiraannya tidak lama lagi akan datang melalui jalan tersebut.

Beberapa saat kemudian, suara deru kuda mulai terdengar di kejauhan. Makin lama semakin jelas, pertanda derap kaki kuda itu makin mendekati tempat Ki Gendeng Sekarat menunggu mereka. Kejap berikutnya, bayangan hitam tampak datang dari arah barat. Ki Gendeng Sekarat saat itu berada di balik pepohonan. Salah satu pohon randu dihantam dengan pangkal telapak tangannya, Duuugh...!

Wwrrr...! Pohon itu berguncang, makin lama makin miring dan akhirnya tumbang dalam keadaan akarnya tercabut, mencuat ke atas.

Bruuuss!

"Sial!" maki Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengucal matanya. Tanah akar memercik dan membuat mata Ki Gendeng Sekarat kelilipan. Ia sedikit kebingungan menghilangkan tanah yang masuk matanya, sedangkan tiga utusan itu sudah semakin dekat. Mau tak mau sambil mengucal mata, Ki Gendeng Sekarat lompatkan badan dan lepaskan tendangan bertenaga dalam cukup tinggi ke arah batang pohon jati.

Wuuut...! Duuugh!

Kraaaaakk...! Bruuuusg...! Pohon itu pun tumbang melintang jalan seperti pohon yang tadi. Keadaan tersebut membuat tiga penunggang kuda segera hentikan perjalanannya. Jalanan tertutup, kuda tak dapat lewat begitu saja karena dahan pohon mencuat ke sana-sini tak beraturan.

"Ada seseorang yang berniat menghadang perjalanan kita, Gaok Lodra!" kata Nenggolo dengan mata memandang ke arah sekeliling. Kedua rekannya itu pun memandang sekeliling.

Sabit Guntur perdengarkan suaranya mirip orang menggerutu. "Cari penyakit betul orang itu. Agaknya dia mengetahui rencana kedatangan kita!"

"Kalian kalau bicara memang mirip mulut kalkun!" gerutu Nenggolo ditujukan kepada kedua rekannya. "Coba periksa di semak-semak sebelah kiri itu!"

Gaok Lodra memacu kudanya untuk menerabas semak-semak sebelah kiri, sebab pohon yang roboh adalah pohon pada jajaran sebetah kiri mereka. Gaok Lodra menerabas masuk semakin dalam, memeriksa keadaan di sekitar pohon yang roboh itu. Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur menunggu dengan waspada.

Ki Gendeng Sekarat bersembunyi di atas salah satu pohon yang masih utuh. Ketika Gaok Lodra melintasi bagian bawah pohon, Ki Gendeng Sekarat segera cabut kipas putihnya lalu lompat kebawah bagaikan kelelawar terbang.

Wuuut...! Craaass...!

Ki Gendeng Sekarat daratkan kakinya ke tanah tanpa bunyi gaduh. Hal itu membuat Gaok Lodra sedikit terkejut. Matanya segera memandang tajam kepada Ki Gendeng Sekarat. Orang yang dipandang hanya tersenyum tipis dengan kipas masih tertutup dan ada di tangan kanannya.

"Manusia atau jin kau ini?" geram Gaok Lodra tetap tenang di atas kuda.

"Apa saja anggapanmu tak jadi masalah bagiku," kata Ki Gendeng Sekarat, "Aku hanya inginkan kau dan kedua rekanmu itu kembali ke Gunung Sesat dan jangan coba-coba merampas Keris Setan Kobra dari tangan Empu Sakya!"

"Hmm...!" Gaok Lodra tersenyum sinis. "Kau belum tahu kekuatan orang-orang Gunung Sesat rupanya. Perlu kau catat dalam ingatanmu, orang-orang Gunung Sesat tak akan mundur sebelum tugasnya berhasil. Tak satu pun ada yang mampu menahan niat kami, tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kami. Jadi kusarankan, pergilah dan jangan halangi kami!"

"Betulkah tak satu pun ada yang mampu menyentuh tubuh kalian?"

"Coba saja kalau kau ingin bukti!" tantang Gaok Lodra.

"Sudah kucoba, dan ternyata aku mampu memotong telingamu."

Gaok Lodra terkesiap. Ia segera memegang daun telinga kirinya yang mulai terasa dingin itu. Dan ternyata daun telinga itu telah hilang dari tempatnya. "Hahhh...?!" Gaok Lodra terkejut sekali, matanya terbelalak melihat tangannya berlumur darah. Rasa sakit mulai terasa dan ia mulai meringis menahan rasa perih itu. Darah pun ternyata sudah sejak tadi meleleh hingga membasahi pundak dan lengan kirinya.

"Telingaku ..?! Oh...?! Telingaku?!" suara Gaok Lodra gemetar. Ia baru menyadari bahwa daun telinganya telah terpotong dan jatuh di bawah kaki kuda. Hal itu dilakukan Ki Gendeng Sekarat pada saat ia meluncur turun dari atas pohon dan mengibaskan kipasnya dengan sangat cepat, sehingga pemotongan itu tidak terasa bagi si korban. Kemarahannya yang meluap membuat Gaok Lodra tak mampu lagi serukan suara, ia hanya menggeram dengan wajah merah dan gemetar. "Bangsat kau...!"

"Eh, jangan memakiku. Tak sopan itu!"

Gaok Lodra segera cabut rantai bola berduri dari tempatnya di pelana kuda.

"Eh, jangan mau menyerangku, kau bisa kehilangan nyawa. Bukan telinga saja yang hilang!"

"Gggrrr...!" Gaok Lodra benar-benar merasa dipermainkan nafsu amarahnya.

Sementara itu, Nenggolo dan Sabit Guntur mulai tak sabar menunggu hasil pemeriksaan Gaok Lodra. Nenggolo pun berseru keras, "Apa yang kau temukan di sana, Gaok Lodra?!!"

"Aahg...!" terdengar suara pekik pendek tertahan dari dalam kerimbunan semak itu. Suara pekik tertahan yang pendek itu membuat Sabit Guntur menggerutu sambil bersungut-sungut.

"Kurang ajar! Disuruh memeriksa keadaan malah buang hajat dulu!"

"Memang menjengkelkan pergi bersama Gaok Lodra. Sebentar-sebentar cari tempat buat buang hajat." Nenggolo menimpali.

Tapi beberapa saat kemudian terdengar langkah kuda dan ringkikan yang pelan. Kaki kuda menerabas semak ilalang. Nenggolo dan Sabit Guntur sudah pasang wajah geram dan cemberut. Nenggolo sempat berkata kepada Sabit Guntur, "Jangan terlalu dekat dengannya kalau dia habis begitu! Pasti tak pernah bersih dan menjengkelkan!"

Nenggolo palingkan wajah, buang muka ketika moncong kuda mulai terlihat. Tapi Sabit Guntur memperhatikan kemunculan kuda dengan dahi berkerut. Matanya menjadi terbelalak ketika sosok kuda tunggangan Gaok Lodra terlihat jelas, dan tubuh Gaok Lodra terkulai di atas punggung kuda. Keadaannya masih seperti menunggang kuda, tapi tubuhnya membungkuk ke depan sementara wajah tertunduk.

"Gaok Lodra!" panggil Sabit Guntur.

Tapi tak ada jawaban. Gaok Lodra tetap terbungkuk dan tertunduk lemas. Seruan itu membuat Nenggolo segera palingkan wajah dan pandangi Gaok Lodra. Sang kuda mendekat dengan sendirinya. Nenggolo menghampiri, lalu menegakkan tubuh Gaok Lodra.

"Bangsat!" geramnya penuh amarah. Leher Gaok Lodra telah robek dan orang itu tidak bernyawa lagi. Kedua temannya menjadi panik, tegang, senjata mulai dicabut karena sadar ada musuh di balik semak belukar itu.

"Serang dia!" perintah Nenggolo sambil memacu kudanya untuk menerabas masuk ke semak ilalang yang rimbun itu.

Wuuut...! Wes, wes, jleeg...!

Ki Gendeng Sekarat justru bersalto di udara dua kali dan tiba di tempat kuda Gaok Lodra berdiri. Sedangkan kedua musuhnya masuk ke dalam mencarinya sambil meluncurkan kata makian yang kasar dan kotor, sulit ditirukan. Ki Gendeng Sekarat segera sentakkan kedua tangannya ke depan, dan mayat Gaok Lodra pun terlempar dengan sendirinya ke arah semak-semak tempat kedua temannya mencari musuh itu.

Wuuut...! Buuhg...!

"Aoow...!" pekik Sabit Guntur. Rupanya ia kejatuhan mayat Gaok Lodra.

Ki Gendeng Sekarat tertawa tanpa suara, tapi bersikap menunggu kemunculan lawannya dengan terlebih dulu mengusir kuda bekas tunggangan Gaok Lodra.

"Maling busuk! Monyet kembung!" rutuk Sabit Guntur. "Nenggolo, orang itu ada di jalanan!"

Kedua kuda muncul bersama penunggangnya yang sudah semakin merah wajahnya. Melihat Ki Gendeng Sekarat berdiri dengan berkipas-kipas santai, Nenggolo segera melompat dari punggung kuda bersama pedang besarnya yang mampu untuk memotong tubuh lawan dengan sekali tebas.

"Hiaaat...!"

Wuuung...! Suara pedang besar mendengung ketika menebas tempat kosong, karena Ki Gendeng Sekarat ternyata sudah ada di sisi lain yang berlawanan arah dengan serangan Nenggolo. Keadaannya yang ada di belakang kedua tunggangan Sabit Guntur membuat Ki Gendeng Sekarat mencocokkan ujung kipasnya ke pantat kuda. Tentu saja ujung kapas itu dialiri tenaga dalam tinggi.

Cruk...!

"Hieeeee...!" Kuda meringkik sambil terlonjak mengamuk. Sabit Guntur terlempar ke depan, jatuh ke tanah dalam keadaan telentang. Kaki kuda yang mengamuk tanpa permisi menginjak-nginjak dada dan perut Sabit Guntur, lalu lari tunggang langgang karena merasa sakit yang amat berat akibat ditusuk pakai ujung kipas.

"Uuhhg...!" Sabit Guntur mendelik susah bernapas karena dadanya terasa remuk diinjak-injak kuda yang mengamuk. Ia berusaha bangkit pelan-pelan dan berusaha mencari kesempatan untuk menghirup udara. Mulutnya tercengap-cengap dengan mata sesekali terbeliak.

"Biadab! Siapa kau sebenarnya, hah?!" bentak Nenggolo kepada Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya siap terangkat di atas kepala dengan kuda-kuda siap serang.

"Sampaikan salamku kepada Ratu Tanpa Tapak. Katakan kepadanya, Gendeng Sekarat tidak izinkan dia memiliki pusakanya Empu Sakya!"

"Persetan dengan ucapanmu! Heaaah...!" Nenggolo menyerang maju dengan pedang dikibaskan ke berbagai arah secara cepat. Bunyi gaung dari logam besar itu sempat membuat daun-daun ilalang terbabat putus dengan sendirinya. Tentu saja gerakan tebas pedang itu disertai tenaga dalam tinggi yang memancar ke sana-sini.

Tetapi Ki Gendeng Sekarat tetap berdiri tegak dan berkipas-kipas dengan santai. Rupanya angin kibasan kipas itu menolak datangnya kekuatan tenaga dalam dari kibasan pedang besar. Sekalipun kipas itu hanya bergerak pelan, namun memancarkan angin penolak tenaga luar yang cukup kuat. Nenggolo beberapa kali tersentak mundur ketika mau dekati Ki Gendeng Sekarat. Manakala kibasan kipas itu berhenti, Nenggolo berhasil mendekat dan tebaskan pedang memotong perut Ki Gendeng Sekarat.

Wuuut...! Slaap...!

Ki Gendeng Sekarat hentakkan kedua kaki dan tubuhnya terangkat tinggi, sehingga pedang besar itu tak berhasil kenai tubuhnya. Tapi kaki Ki Gendeng Sekarat cepat bergerak maju menendang tepat di dahi Nenggolo.

Praak...!

Ki Gendeng Sekarat bagaikan menendang sebongkah keramik. Tendangan cukup kuat dan keras membuat darah menyembur dari mulut, hidung, dan telinga Nenggolo. Orang itu pun terpelanting memutar sambil tetap memegangi pedangnya. Pada waktu itu, Sabit Guntur baru saja berdiri dan siap menggunakan sabitnya. Tapi gerakan putar Nenggolo mengenai dirinya. Pedang besar menebas tangan kiri Sabit Guntur tanpa disengaja.

Craas...!

"Aoooww...!" Sabit Guntur memekik keras-keras karena tangan itu segera putus tepat pada bagian siku. Tangan yang buntung membuat Sabit Guntur semakin liar. Ia menebaskan sabitnya dengan gerakan cepat.

Claap...! Sinar biru petir menyambar ke arah Ki Gendeng Sekarat. Namun oleh Ki Gendeng Sekarat sinar biru itu dikibaskan memakai kipasnya. Sinar itu membalik arah dan tepat mengenai tengkuk kepala Nenggolo.

Blaaar...!

Tak ayal lagi leher Nenggolo pun putus terpotong oleh kekuatan sinar biru petir itu. Sabit Guntur mendelik melihat sinar birunya justru memotong leher teman sendiri.

"Keparat...! Heaaaat...! Sabit Guntur mengibaskan sabitnya beberapa kali, sehingga sinar biru petir terlepas dari ujung sabit, jumlahnya lebih dari lima sinar. Semuanya tertuju ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Dengan menggunakan kipasnya. Ki Gendeng Sekarat membuang sinar-sinar ke arahnya, dan sinar-sinar itu membentur benda apa saja yang dicapainya. Bunyi ledakan dahsyat terjadi berkali-kali, merobohkan dua batang pohon dan yang terakhir membuat Ki Gendeng Sekarat terpental kebelakang, karena salah satu sinar biru petir sengaja ditangkis oleh kipasnya. Akibatnya daya ledak itu menghentak melemparkan Ki Gendeng Sekarat ke belakang.

Bruuk!

"Uhg...! Sial! Pinggangku bisa bengkak atau patah kalau begini?!" gerutu Ki Gendeng Sekarat sambil mencoba bangkit kembali.

Tapi pada saat itu, Sabit Guntur yang merasa tak akan mampu melawan Ki Gendeng Sekarat segera lompat ke kuda bekas tunggangan Nenggolo. Dengan menggunakan satu tangan ia memacu kudanya, melarikan diri, meninggalkan tempat tersebut. Ki Gendeng Sekarat sengaja tak mau mengejarnya, karena tulang punggungnya terasa ngilu sekali.

Bertepatan dengan hilangnya Sabit Guntur, muncul sesosok bayangan yang berkelebat ke arah Ki Gendeng Sekarat. Dengan cepat Ki Gendeng Sekarat siap-siap kibaskan kipasnya untuk merobek kulit tubuh bayangan yang baru datang. Namun gerakan itu segera tertahan karena Ki Gendeng Sekarat segera mengetahui bahwa bayangan yang datang ke arahnya itu adalah sosok tubuh Pendekar Mabuk.

"Ki Gendeng Sekarat...?!"

"Ah, Gusti Manggala Yudha... Kenapa baru sekarang munculnya?" gerutu Ki Gendeng Sekarat. Ia bersungut-sungut sambil mencari tempat untuk duduk. Sebatang kayu yang tadi ditumbangkan berhasil diduduki, napasnya terlepas lega.

Sementara itu Suto Sinting memandangi mayat Nenggolo dan potongan tangan Sabit Guntur. "Apa yang terjadi, Ki?"

"Mereka ingin mendatangi Empu Sakya untuk merebut Keris Setan Kobra. Mereka orang-orang utusan dari Gunung Sesat, anak buah Ratu Tanpa Tapak!"

"Ratu Tanpa Tapak?!" gumam Suto Sinting dengan dahi kian berkerut.

"Kau sendiri bagaimana bisa sampai sini? Kulihat arahmu dari desa Kukusan!"

"Benar, Ki. Aku dari rumah Empu Sakya untuk menyelamatkan Empu Sakya dan Mega Dewi, anak Ki Lurah Pramadi."

"O, ya... aku kenal orang itu!"

"Mereka terancam maut di tangan iblis Naga Pamungkas. Aku terkecoh..."

"Tunggu! Maksudmu Iblis Naga Pamungkas itu siapa? Wiratmoko?!"

"Benar. Murid Dampu Sabang, Ki. Dia juga mengancam nyawamu. Kaulah sasaran berikutnya."

"Dampu Sabang!" geram Ki Gendeng Sekarat sambil matanya menyipit, menatap arah jauh, bagaikan mengenang peristiwa lama.

"Tapi ketika aku tiba di rumah Empu Sakya, mereka sudah tak ada, Ki!"

"Maksudmu?"

"Empu Sakya dan Mega Dewi tidak ada di tempat. Keadaan rumahnya sudah porak- poranda. Aku tak tahu pasti apakah mereka dibawa lari oleh Iblis Naga Pamungkas, atau melarikan diri dan sekarang masih dalam pengejaran murid Dampu Sabang itu?!"

* * *

DELAPAN
RUPANYA Ki Empu Sakya sudah mengetahui akan kedatangan Wiratmoko yang membawa Pusaka Pedang Naga Pamungkas. Sebelum musibah itu datang, firasat batin Ki Empu Sakya untuk memberi isyarat. Maka ia pun segera membawa pergi Mega Dewi. Tentu saja gadis itu merasa bingung ketika tahu-tahu disuruh berkemas dan diajak pergi.

"Kita mau ke mana, Ki?!"

"Ke mana saja, yang penting selamat untuk dirimu," jawab Ki Empu Sakya.

"Selamat? Apakah jiwaku terancam bahaya?"

"Bukan jiwamu saja, tapi jiwaku juga dalam bahaya."

"Aku tak mengerti maksud Ki Empu Sakya."

Setibanya di lereng bukit, Ki Empu Sakyabaru menjelaskan maksudnya kepada Mega Dewi. "Iblis Naga Pamungkas sedang menuju ke rumahku. Pasti ia menghendaki nyawamu dan pusaka ku."

Mega Dewi pun segera terkejut mendengar penjelasan itu. Ia mulai gemetar karena hatinya diguncang rasa takut namun dibakar rasa dendam pula. Akhirnya Mega Dewi punya gagasan untuk melawan Iblis Naga Pamungkas itu. "Kalau kau mengizinkan, pinjamkanlah pusakamu itu, Ki. Akan kupakai untuk membalas kematian ayahku kepada Iblis Naga Pamungkas.”

Ki Empu Sakya gelengkan kepala, "Jangan membiasakan dendam bersarang dalam hatimu, Anak Manis. Kematian adalah perjalanan akhir dari suatu kehidupan di alam fana, dan perjalanan awal dari suatu kehidupan di alam baka. Tak perlu kau buru dengan dendam. Itu hanya akan merusak ketenangan jiwamu."

"Tapi... orang itu memang layak dimusnahkan, Ki. Jika tidak ia akan memakan korban lebih banyak lagi."

"Menurutku itu bukan tugasmu, Mega Dewi. Sekalipun kau kupinjami keris pusakaku, tapi jika ketinggian ilmumu tidak seimbang, sama saja kau akan menemui ajal di tangannya. Kekuatan keris itu tidak bisa dipakai untuk menentukan kemenangan. Tergantung ketinggian ilmu kanuragan kita. Kecuali jika lawanmu tidak akan menyerang, maka kau tetap akan menang dengan menggunakan keris pusakaku itu."

"Tapi...," Mega Dewi berkerut dahi memperhatikan Ki Empu Sakya, "Ku lihat kau tidak membawa benda apa-apa, Ki. Apakah keris pusaka itu ditinggalkan di rumahmu itu?"

Ki Empu Sakya tersenyum tipis, "Biar siapa pun menggali rumahku tidak akan menemukan Keris Pusaka Setan Kobra. Keris itu kusimpan di suatu tempat yang tak mudah diketahui oleh siapa pun, kecuali diriku sendiri."

"Tapi..." Kata-kata itu tak jadi dilanjutkan karena Ki Empu Sakya segera menarik tangan Mega Dewi dan menutup mulut gadis itu dengan tangan. Mereka masuk ke semak-semak yang rimbun, karena Ki Empu Sakya mendengar suara langkah kaki orang mendekat ke arahnya juga detak jantung orang lain yang ada di kejauhan sana.

"Apakah ia datang kemari, Ki?" bisik Mega Dewi.

"Entahlah. Yang jelas ada seseorang yang bergerak kemari. Sebentar lagi kita akan tahu siapa orangnya."

Anehnya telinga Mega Dewi tidak mendengar suara langkah kaki orang. Yang didengar hanya hembusan angin lereng bukit. Bahkan mereka sempat mendekam di semak-semak itu cukup lama. Kaki Mega Dewi sampai terasa pegal.

"Orangnya masih jauh, tapi telinga Ki Empu Sakya sudah mendengar langkahnya. Sungguh tinggi ilmu pendengaran Ki Empu Sakya ini."

Mulanya Mega Dewi sempat sangsi, "Jangan-jangan tak ada yang datang kemari?! Sudah sembunyi lama sekali tapi tak ada yang datang, uuh...! Menyebalkan sekali. Pasti Ki Empu Sakya salah dengar atau mungkin salah duga."

Tapi beberapa saat setelah membatin kata begitu, gadis berkepang dua mendengar langkah kaki menginjak rerumputan. Langkah itu makin mendekat ke arahnya. Mega Dewi menjadi yakin, memang ada yang mendekati tempat mereka. Sesosok tubuh kecil muncul dari balik tikungan semak. Mega Dewi dan Ki Empu Sakya sama-sama hempaskan napas lega, lalu keduanya berdiri dan keluar dari persembunyian.

"Ya, ampuun...! Kenapa kau ikut kemari. Angon Luwak?!" tegur Ki Empu Sakya kepada bocah penggembala kambing itu.

"Aku hanya ingin beritahukan padamu, Ki... ada orang yang mengobrak-abrik rumahmu. Orangnya membawa pedang bergagang kepala naga dari logam putih." tutur Angon Luwak penuh kesetiaan.

"Iblis Naga Pamungkas!" gumam Mega Dewi percaya dengan firasat yang dimiliki Ki Empu Sakya. Ia semakin kagum terhadap ketinggian ilmu orang tua bertubuh kecil itu. "Sekarang apa yang harus kitalakukan, Ki?"

"Ke goa! Aku punya goa tempatku bertapa dulu. Mudah-mudahan belum tertutup reruntuhan batu."

"Aku ikut, ya Ki?" usul Angon Luwak.

"Apakah kau tak akan dicari oleh orangtuamu?"

"Orangtuaku yang suruh aku memberitahukan padamu tentang kedatangan orang itu, Ki," jawab Angon Luwak dengan lugu.

"Baiklah kalau kau memaksa mau ikut. Tapi tempatnya tinggi. Kalau kau lelah mendaki tak ada orang yang sanggup menggendongmu."

"Aku akan berjalan sendiri. Ki," kata Angon Luwak dengan penuh semangat. Bocah itu sangat kagum dengan Ki Empu Sakya, juga menyukai petualangan di rimba persilatan. Cerita-cerita tentang tokoh golongan putih yang pernah dan sering dituturkan oleh Ki Empu Sakya memacu jiwa bocah itu untuk masuk ke dunia persilatan golongan putih. Karenanya, semangat untuk mengikuti Ki Empu Sakya cukup tinggi. Orang tuanya sendiri tak mampu mencegah kehendaknya.

Pada saat Ki Empu Sakya membawa Mega Dewi ke goa bekas tempat pertapaannya dulu, Wiratmoko sedang sibuk membongkar seluruh isi rumah Ki Empu Sakya. Ia lakukan dengan kasar, sehingga rumah bambu itu sempat miring ke kiri karena diguncang kekasaran Wiratmoko. Hatinya jengkel sekali menemukan rumah itu telah kosong, bahkan keris pusaka yang dicarinya pun tidak ada.

Saat ia keluar untuk mencari jejak kepergian Ki Empu Sakya, tiba-tiba muncul seorang berpakaian serba merah. Rambutnya panjang berwarna merah, juga jenggot dan kumisnya yang berwarna merah. Orang bertubuh tinggi, besar dan bermata lebar. Wajah angkernya tampak menyeramkan. Kulitnya sedikit coklat kemerah-merahan.

"Oh, rupanya kau datang untuk maksud yang sama, Dewa Api?" sapa Wiratmoko kepada orang yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.

"Aku hanya ingin bertemu dengan Empu Sakya. Bukan ingin bertemu denganmu, Wiratmoko!"

"Empu Sakya sudah pergi, lari terbirit-birit sebelum aku datang!" kata Wiratmoko dengan sikap sombongnya.

"Apakah dia lari membawa pusakanya?"

"Tidak. Pusakanya berhasil kudapatkan dan kini baru saja selesai kusembunyikan," jawab Wiratmoko dengan harapan Dewi Api tidak akan memburu pusaka itu lagi jika sudah ditemukan oleh dirinya.

Tapi rupanya Dewa Api punya rencana tersendiri. Tokoh yang dikenal di rimba persilatan dengan keganasan napas apinya itu dulu pernah dihajar habis oleh Dampu Sabang, guru Wiratmoko, tetapi sebelum ajalnya tiba ia sudah lebih dulu melarikan diri. Dewa Api adalah salah satu golongan hitam yang punya musuh banyak dan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya dengan menggunakan keris pusakanya Empu Sakya. Karenanya, dengan penuh tekad Dewa Api memaksa Wiratmoko untuk serahkan Keris Pusaka Setan Kobra kepadanya.

"Apa pun ancamanmu aku tidak akan serahkan keris itu, Dewa Api!"

"Kalau begitu kau harus lumer di ujung napasku, Wiratmoko!"

"Akan kubalik kenyataannya nanti!" kata Wiratmoko dengan tenang.

Dewa Api agaknya belum mengetahui bahwa Wiratmoko telah berhasil menemukan Pedang Naga Pamungkas yang konon telah terkubur ratusan tahun, milik seorang raja penguasa alam gaib. Kedua tangan Dewa Api yang berkuku panjang itu segera membentang terbuka. Kedua kakinya pun merendah, matanya memandang tajam. Tapi Wiratmoko tidak punya rasa gentar sedikit pun. Ia tak mau membuang-buang waktu, maka dicabutlah Pedang Naga Pamungkas dari sarungnya.

Sraang...!

Dewa Api sempat terkesip melihat pedang itu kepulkan asap putih yang tiada habisnya. Ia menaruh curiga, tapi kecurigaan itu segera disingkirkan dengan bantahan, "Tak mungkin anak ingusan itu memiliki Pedang Naga Pamungkas. Pasti pedang itu tipuan belaka."

"Majulah, Dewa Api...!" geram Wiratmoko memancing kemarahan Dewa Api.

"Heaaahh...! Dewa Api sentakkan napas dari mulutnya. Napas itu berubah menjadi lidah api yang menjilat dalam kobaran tinggi.

Woosss...!

Wiratmoko cepat sentakkan kaki dan bersalto di udara melintasi atas kepala Dewa Api. Dengan cepat Dewa Api lepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui kelima jari tangan kanannya. Ujung kelima jari keluarkan lima larik sinar merah api yang bertujuan membungkus tubuh Wiratmoko. Tetapi Wiratmoko lebih lincah lagi, ia berkelit dengan menggulingkan tubuh ke tanah, sehingga lima larik sinar itu mengenai sebatang pohon dan pohon itu terbakar dengen cepat. Nyaris tak terlihat bentuk daunnya lagi kecuali kobaran api yang mengerikan.

Pada saat Wiratmoko terguling ke tanah, kaki Dewa Api berusaha menginjaknya. Buuhg...! Injakan itu meleset, membuat tanah yang terkena injakan kaki menjadi hangus dan berasap. Warna tanah menjadi hitam arang. Wiratmoko berkelebat bangkit dalam liukan tubuh bagaikan menari berputar. Tepat ketika ia tegak, tubuhnya merendah dan pedangnya menebas dengan cepat dari kanan ke kiri.

Wuuut...! Crass...!

"Ohhg...!" Dewa Api terbelalak merasakan perutnya robek terkena pedang lawan. Luka itu tidak timbulkan darah. Tapi asap makin lama makin tebal. Asap putih kekuning-kuningan itu bagai keluar dari luka panjang di perut. Semakin lama asap itu semakin banyak, semakin membungkus tubuh Dewa Api. Walau ia melawan dengan semburan apinya, tapi hal itu tidak menolong. Asap kian rapat membungkus tubuh Dewa Api. Suara Dewa Api segera hilang. Napas tak terdengar lagi. Ia roboh tanpa suara dan asap masih membungkusnya.

Beberapa penduduk desa memperhatikan pertarungan itu dari jarak jauh. Mereka menjadi sangat terkejut ketika asap itu hilang dan tubuh Dewa Api telah berubah menjadi tulang-tulang atau kerangka keropos, seperti kerangak mayat yang sudah puluhan tahun lamanya.

"Edan! Senjata apa itu membuat lawan bisa jadi kerangka seketika?!" bisik salah seorang penduduk desa.

"Sudahlah, jangan dibicarakan. Nanti dia dengar dan menghampiri kita. Kita bisa dibuat menjadi tulang seperti itu. Terus kalau kita mau cuci muka bagaimana, coba?! Ayo, pergi saja sebelum dia mendatangi kita!" kata teman orang tadi. Ia sangat ketakutan dan wajahnya menjadi pucat.

Seorang perempuan desa yang tak seberapa jauh tinggalnya dari rumah Ki Empu Sakya segera didekati Wiratmoko. Tentu saja perempuan itu menggigil ketakutan karena ia juga mengintai pertarungan tadi. Ia merasa ngeri membayangkan nasibnya akan seperti Dewa Api jika pemuda tampan berhati kejam itu melakukan hal yang sama seperti tadi.

Ternyata Wiratmoko hanya bertanya, "Tahukah kau ke mana perginya Ki Empu Sakya dan seorang gadis cantik berpakaian hijau?"

"K... ke... ke selatan," jawab perempuan itu merasa lebih baik berterus terang daripada bernasib seperti Dewa Api.

"Terima kasih," jawab Wiratmoko dengan senyum kemenangan. Ia pun segera bergegas ke arah selatan.

* * *

Waktu Suto Sinting tiba di rumah Ki Empu Sakya, ia terkejut melihat keadaan sudah berantakan. Ia ingin menanyakan kepada salah satu penduduk desa tersebut, tapi tiba-tiba mendengar ledakan di tempat pertarungan Ki Gendeng Sekarat, sehingga niatnya untuk bertanya ditundanya sesaat. Kini setelah Suto datang bersama Ki Gendeng Sekarat, Suto pun menanyakan perihal Ki Empu Sakya kepada perempuan yang tadi mengigil ditanyai Wiratmoko. Perempuan itu takut kalau Suto dan Ki Gendeng Sekarat adalah orangyang lebih kejam lagi, sehingga pertanyaan tersebut dijawab dengan benar.

"Mereka... mereka pergi ke selatan!"

"Apakah bersama orang lain?"

"Tid... tidak. Tapi saya lihat seorang pemuda tampan yang membunuh orang besar sampai menjadi tulang itu juga menyusulnya keselatan."

"Dari mana dia tahu kalau Ki Empu Sakya pergi ke selatan?"

"Saya memberitahukan. Karena... karena saya takut," jawab perempuan itu dengan polos.

Itulah sebabnya ketika Ki Empu Sakya bersama Mega Dewi sedang mendaki bukit menuju goa, gerakannya terlihat oleh Wiratmoko dari kaki bukit. Pemuda itu tertawa kecil, lalu berlari mengejarnya. Suara langkah kaki membuat Ki Empu Sakya segera menyuruh Mega Dewi dan Angon Luwak untuk bersembunyi.

"Terpaksa aku harus menghadapinya. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak melakukan pertarungan dengan siapa pun. Tapi agaknya kali ini aku dipaksa. Apa boleh buat."

"Tapi kau tidak membawa keris pusaka, Ki!"

"Akan kuhadapi tanpa pusaka itu. Cepatlah bersembunyi!"

Ki Empu Sakya merasa sudah tak mungkin menghindari Wiratmoko dengan melarikan diri. Cepat atau lambat Wiratmoko pasti akan berhasil menemukannya. Maka pilihan terakhir membuat Ki Empu Sakya sengaja bersikap menunggu,

"Kalau memang bisa kukalahkan dengan omongan, tak akan kulakukan pertarungan. Tapi jika memang tak berhasil kutundukkan dengan kata-kata, aku terpaksa bertindak dan ini merupakan pertarungan akhirku!" ucapnya bagaikan bicara dengan diri sendiri, tapi Mega Dewi mendengar dari tempat persembunyian.

Lawan yang ditunggu pun datang. Wiratmoko sunggingkan senyum jumawa, tapi Ki Empu Sakya hanya diam saja. Matanya memandang tajam tak berkedip, penuh wibawa dan kharisma. "Apa maksudmu mengejar-ngejarku, Wiratmoko?!"

"Tentunya kau tahu sendiri apa maksudku."

"Memang. Tapi siapa tahu apa yang telah kuketahui itu salah, karena tidak selamanya orang sesat akan berjalan ditempat yang salah. Suatu saat dia akan kembali kejalan yang benar. Siapa tahu kau kembali kejalan yang benar! Jadi aku perlu menanyakan maksudmu, Wiratmoko!"

Tawa Wiratmoko bernada angkuh, melecehkan kata-kata Ki Empu Sakya. "Tiap orang punya pandangan yang berbeda, Ki Empu Sakya. Kau boleh memandang langkahku adalah sesat, tapi aku menganggap langkahku ini benar. Setia pada perintah Guru. Dan kalau aku inginkan keris pusakamu itu hanya semata-mata agar jangan jatuh ke tangan orang serakah. Kau tidak mempunyai kekuatan seperti yang kumiliki, Ki Empu Sakya. Aku khawatir keris itu mampu direbut oleh orang serakah. Aku akan mempertahankan dan menyelamatkannya."

"Gurunya sendiri sesat, bagaimana muridnya?!" sahut Mega Dewi yang tahu-tahu muncul dari persembunyian. Rupanya Mega Dewi tak tahan menyimpan dendam dan kebencian dibalik persembunyiannya. Ia keluar dengan mata tajam penuh tantangan.

Tapi Wiratmoko menyambutnya dengan tenang, bahkan sempat tersenyum sinis memuakkan hati gadis berkepang dua itu. "Mega Dewi," tegur Ki Empu Sakya. "Kembalilah ke tempatmu. Biar kuhadapi orang ini!"

"Tidak! Kalau toh aku harus mati seperti ayahku, aku rela mati sekarang juga! Pemuda iblis itu bagianku, Ki Empu Sakya! Aku tak mau takut oleh pusakanya. Aku pun punya pedang yang mampu kalahkan pusakanya itu. Siapa cepat dia menang, siapa lambat dia tumbang!" kata Mega Dewi dengan kegeraman yang amat dalam. Ia bahkan maju mendekati Ki Empu Sakya dan berkata kepada Wiratmoko dengan mata menyipit benci.

"Cabut pedangmu, kita adu kecepatan dan ketangkasan!"

"Mega Dewi...," bujuk Ki Empu Sakya.

"Biarkan aku menghadapinya, Ki! Hiaaat...!" tiba-tiba Mega Dewi cabut pedangnya dan segera lompat serang Wiratmoko.

Wuuut...!

Wiratmoko sempat terkejut dengan hadirnya serangan yang secara tiba-tiba itu. Ia cepat hindarkan diri dengan lompat ke samping yang membuat tebasan pedang pendek itu meleset dari sasarannya. Pedang yang menyerupai pisau itu segera dikibaskan ke samping, breet...!

Wiratmoko tersentak kaget. Pipinya tergores ujung pisau tajam. Kemarahan Wiratmoko meluap, sedangkan keberanian Mega Dewi kian tinggi. Sraang...! Wiratmoko mulai cabut Pedang Naga Pamungkasnya. Asap mengepul tipis dari mata pedang.

Ki Empu Sakya mulai cemas. Lalu dengan kecepatan tinggi ia berkelebat menerjang Wiratmoko sambil tangan kirinya menyentakkan pukulan berwarna sinar merah, sedangkan tangan kanannya menyambar tubuh Mega Dewi.

Wuuut...! Claap...! Blaar...!

Wiratmoko berhasil menahan pukulan sinar merah itu dengan pedang tersebut. Dentuman keras menggelegar membanana, namun tidak menimbulkan sentakan kuat yang mampu mengguncangkan sikap berdiri Wiratmoko.

Gema ledakan itu diterima oleh telinga Pendekar Mabuk dan Ki Gendeng Sekarat. Langkah mereka semakin cepat, arahnya kian jelas. Dalam sekejap mereka sudah sampai ke tempat pertarungan tersebut. Pada saat itu, Ki Empu Sakya sedang menuju Mega Dewi untuk diam di tempat. Tapi karena Mega Dewi memberontak terus, akhirnya Ki Empu Sakya menotok jalan darahnya.

Deb...!

Mega Dewi diam tak berkutik lagi. Tapi matanya masih bisa memandang dan memahami keadaan sekeliling. Sedangkan Angon Luwak masih ada di tempat persembunyiannya. Ketika ia melihat kehadiran Ki Gendeng Sekarat, hatinya menjadi girang, wajahnya pun ceria.

"Nah, Guru datang!" katanya dengan suara pelan.

Wiratmoko tersenyum kalem melihat kedatangan Pendekar Mabuk. Pedang Naga Pamungkas masih tergenggam ditangannya. Ki Gendeng Sekarat diam menatap Wiratmoko dengan pandangan dingin. Ki Empu Sakya tak jadi lanjutkan langkahnya, karena mereka segera mendengar suara Suto berkata kepada Wiratmoko dengan nada tegas.

"Tak kusangka akhirnya kaulah lawanku, Wiratmoko!"

"Suto Sinting, kumohon kau tak perlu ikut campur urusan ini, karena di antara kita tidak punya masalah apa-apa. Jangan melibatkan diri dalam permasalahanku, Sobat."

"Kau punya tugas dari Dampu Sabang untuk membunuhku!" kata Ki Gendeng Sekarat. "Sekarang lakukanlah, Wiratmoko! Aku sudah ada didepanmu!"

"Tidak!" sentak Suto Sinting. "Ki Gendeng Sekarat, kumohon dengan hormat, menyingkirlah dan biarkan aku yang menghadapinya."

"Aku masih mampu melumpuhkan tikus sawah itu! Biarkan aku saja!"

"Ki Gendeng Sekarat, menyingkirlah!"

"Tidak!"

"Ini perintah dari Manggala Yudha!" seru Suto Sinting.

Ki Gendeng Sekarat jadi memandang, lemas, dan akhirnya ia melangkah menepi. Jika Suto sudah gunakan gelar kehormatannya seperti itu, Ki Gendeng Sekarat tak akan berani menentang keputusan Suto Sinting. Tetapi hal itu digunakan Suto bukan semata-mata untuk menyombongkan gelar kehormatannya, namun hanya untuk menghindari korban yang tak diinginkan. Suto tahu wajah Ki Gendeng Sekarat memang kecewa, tapi ia paksakan diri untuk tidak pedulikan wajah kecewa Ki Gendeng Sekarat itu.

"Wiratmoko, sekarang kita tentukan siapa yang unggul dalam pertarungan ini. Tapi jika kau turuti saranku, pulanglah dan tinggalkan tugas dari gurumu yang sesat itu. Jangan gunakan lagi Pedang Naga Pamungkas itu. Hiduplah dengan damai terhadap sesama, dan jadilah pembela kebenaran."

"Cuih...!" Wiratmoko jadi jengkel dan meludah. "Aku tak butuh saranmu! Kalau kau telah pastikan diri sebagai tandinganku, sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini! Kau akan menjadi kerangka tulang keropos dalam waktu kurang dari seratus hitungan, Suto Sinting!"

Suto pun melangkah ke kiri ketika Wiratmoko melangkah ke kanan, mereka membentuk lingkaran gerak dan masing-masing memandang dengan mata tajam penuh kewaspadaan. Suto Sinting telah memindahkan bumbung tuaknya ke tangan, sehingga sewaktu-waktu mampu digunakan sebagai senjata pengganti pedang. Sedangkan senjata Wiratmoko sendiri sejak tadi kepulkan asap terus, seakan dalam kelaparan dan menunggu mangsanya tiba.

"Hiaaat...!" Wiratmoko maju menyerang dengan satu lompatam rendah. Pedang ditebaskan dari atas ke bawah.

Blaaar...!

Pedang itu membentur bambu tuak. Sedikit pun tak ada luka pada bambu. Tetapi akibat benturan itu, gelombang ledakan terjadi amat kuat dan Wiratmoko terlempar hingga tujuh langkah dari tempatnya berdiri semula. Ia segera bangkit, lalu dengan lompatan ringan yang menghasilkan tenaga tinggi, ia meluncur bagaikan terbang dengan pedang terarah ke depan. Sasarannya adalah dada Suto Sinting. Tetapi ketika ujung pedang itu sudah mendekat, tiba-tiba Wiratmoko menggerakkan pedang ke bawah, lalu menebas ke samping.

Wuuut...!

Suto Sinting sentakkan kaki dan lompat tinggi di atas permukaan tubuh Wiratmoko. Kakinya segera menendang ke depan.

Dees...! Pelipis Wiratmoko menjadi sasaran kaki Suto. Pemuda itu terpelanting jatuh akibat tendangan keras yang membuat telinganya mulai berdarah. Wiratmoko berlutut setengah merangkak merasakan sakit ditelinganya. Ia yakin gendang telinganya menjadi pecah akibat tendangan tadi. Amarahnya kian bertambah, sehingga dengan gerakan cepat ia berkelebat melancarkan jurus 'Pedang Sapu Jagat'. Gerakan itu hampir saja tak terlihat oleh mata Suto Sinting. Namun kelebatan asapnya membuat tangan Suto menggerakkan bumbung tuak untuk menangkisnya.

Trang...!

Duaaar...! Suto memutar tubuh, bumbungnya disodokkan ke belakang, tepat mengenai punggung Wiratmoko.

Buuhg...!

"Hegghh...?!" Wiratmoko mendelik, napasnya bagai tersumbat dan tak mampu dihela lagi. Kerongkongannya terasa amat kering karena sodokan bambu itu mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup tinggi. Ia pun segera menguasai keadaan dirinya dengan mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya. Kejab berikut ia kembali sigap di depan Suto.

"Bambu itu benar-benar gila! Kerasnya melebihi baja mana pun. Agaknya aku tak bisa menggunakan wujud nyata dalam menyerangnya," pikir Wiratmoko.

Tiba-tiba ia menggerakkan pedang dengan sangat cepat, menebas kanan, kiri, depan, belakang, memutar, dan begitu seterusnya sehingga tubuhnya sendiri mulai dibungkus asap putih. Makin lama asap itu semakin tebal dan sepenuhnya raga Wiratmoko berubah menjadi asap.

Suto Sinting mencoba menyodokkan bambunya, tapi menemui tempat kosong. Asap itu tidak berubah sedikit pun. Asap itu masih tetap menggenggam pedang walau tak terlihat tangan penggenggamnya. Semua yang ada disitu mempunyai rasa kagum yang tak sama besar-kecilnya.

Wuuus...!

Pedang itu berkelebat nyaris merobek punggung Suto. Tetapi berhasil dihindari dengan berguling ke depan satu kali dan kembali berdiri dengan sigap.

"Suto akan kewalahan jika melawan asap begitu. Tak ada yang bisa dipukul," pikir Ki Gendeng Sekarat. Tetapi apa yang dipikirkan Ki Gendeng Sekarat ternyata berbeda dengan apa yang dipikirkan Pendekar Mabuk.

Tutup bambu itu dibuka oleh Suto Sinting. Keadaan bambu dimiringkan, lubang bambu yang berisi tuak tinggal sedikit itu diarahkan ke depan. Ketika Wiratmoko bergerak dalam bentuk asap dan ingin menebaskan pedangnya kembali, kaki Suto pun menghentak ke tanah satu kali.

Duug...!

Tiba-tiba dari bumbung bambu itu keluar tenaga penghisap yang amat kuat. Asap tersebut tersedot masuk ke dalam bumbung bambu. Terdengar suara Wiratmoko yang berseru lantang,

"Hai, jurus apa ini?! Hai... tunggu! Tunggu, Suto!"

Syuuurrppp...!

Deb...! Suto segera menutup lubang bambu ketika asap itu tersedot habis masuk ke dalam bambu. Terdengar suara Wiratmoko menjerit-jerit di dalam bumbung bambu.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Suto...! Aaauh, aaauh...! Hai, siapa yang menghajarku ini?! Hai... aauh... aaauh... huuggh...! Sutooooo...!"

Di dalam bumbung itu tersimpan cincin Manik Intan yang mempunyai kekuatan tersendiri. Mungkin kekuatan cincin itulah yang menghajar Wiratmoko di dalam bumbung bambu. Yang jelas seruan dan ratapan Wiratmoko tidak dihiraukan oleh Suto Sinting. Pedang Naga Pamungkas yang jatuh tak ikut tersedot ke dalam bambu itu segera dipungutnya. Tapi ternyata gerakan Suto terlambat. Pedang itu sudah disambar lebih dulu oleh bocah kecil; Angon Luwak. Semua mata memandang kaget kepada Angon Luwak.

"Angon Luwak, serahkan pedang berbahaya itu kepada Kang Suto!" perintah Ki Empu Sakya.

"Tidak!" kata Angon Luwak. Ia mendekati Ki Gendeng Sekarat, lalu di depan gurunya Angon Luwak unjuk kebolehan ilmu genggamannya. Gagang pedang diremas kuat-kuat. Praaas...! Hancur menjadi serbuk halus. Lalu mata pedang yang berasap itu pun diremas pelan-pelan. Sinar putih berkilauan memancar. Tapi mata pedang itupun hancur menjadi serbuk halus.

Toosss...!

"He, he, he, he...!" Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh sambil mengusap usap rambut Angon Luwak.

"Tidak ada yang bisa gunakan kejahatan pakai pedang ini lagi, Guru!"

"Bagus, bagus, bagus...!" Ki Gendeng Sekarat manggut-manggut, membuat Suto Sinting dan Ki Empu Sakya pun tersenyum geli melihat kebanggaan Angon Luwak, walau tadi Ki Empu Sakya sempat kaget melihat Angon Luwak meremukkan gagang Pedang Naga Pamungkas. Setelah mendengar Angon Luwak menyebut Ki Gendeng Sekarat dengan sebutan 'guru', maka Ki Empu Sakya pun segera tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat telah memberikan ilmu itu kepada Angon Luwak.

"Ki Empu Sakya, kumohon bebaskan totokan Mega Dewi."

"Oh, iya...! Hampir saja aku lupa!"

Taab...! Ki Empu Sakya bebaskan totokan Mega Dewi. Tapi pada saat itu tahu-tahu Suto telah melesat pergi dengan cepatnya. Mega Dewi melihat Suto sudah ada di seberang jauh, dikaki bukit tersebut.

"Sutooo...! Mau ke mana kau?!"

"Membuang asap ini ke Sumur Tembus Jagat?" seru Pendekar Mabuk, karena menurutnya tak ada tempat lain untuk memenjarakan Wiratmoko kecuali di Sumur Tembus Jagat.

Sedangkan Wiratmoko yang ada di dalam bambu itu menjadi amat ketakutan mendengar dirinya akan dibuang ke Sumur Tembus Jagat. "Jangan, Suto...! Jangan buang aku kesana! Jangan, Suto! Sutoooo...!"

Tapi Suto Sinting tetap berlari menuju ke Bukit Mati Langit tempat di mana Sumur Tembus Jagat berada.

"Sutooo...! seru suara wanita yang tak lain adalah Kirana. "Aku ikut!" Gadis itu pun berlari mengejar Suto, kini ia tidak bersama Citradani, sebab Citradani harus segera pulang ke Kuil Elang Putih untuk serahkan kalung pusaka Lintang Suci itu. "Aku ikut, Sutooo...!"

"Terserah!" teriak Suto di kejauhan sambil membiarkan dirinya dikejar Kirana yang cantik dan bandel itu.

SELESAI