Ratu Tanpa Tapak - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Ratu Tanpa Tapak
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
OMBAK bergulung-gulung melemparkan riak ke pantai. Cuaca cerah. Langit jernih. Matahari baru beberapa saat muncul dari peraduannya. Udara segar enak untuk berlatih pernapasan. Dan di atas sebongkah batu karang runcing, duduklah seorang lelaki bersila tanpa kenakan baju. Batu karang itu benar-benar runcing. Bahkan runcing sekali. Tapi lelaki itu duduk bersila di atasnya dengan tenang dan tidak merasa kesakitan. Yang jelas siapa pun akan kagum melihat pria tampan itu mampu duduk di atas sebuah keruncingan.

Badannya yang tidak berbaju tampak kekar. Berkilauan karena dipanggang panas matahari pagi. Dadanya tegak. Wajahnya memandang lurus ke cakrawala. Kedua tangannya ada di samping. Lemas tanpa kekerasan otot apa pun. Dada bidang itu tampak kekar. Bergerak naik turun dengan teratur. Rambutnya yang panjang tak diikat meriap-riap dipermainkan angin.

Lelaki tampan itu bukan tak punya baju. Ternyata ia memang sengaja melepas bajunya. Baju itu ditaruh dibebatuan pantai. Di samping baju ada bambu tempat tuak. Warna bambunya coklat muda, sedangkan warna bajunya coklat tua gelap. Celana yang dikenakan berwarna putih. Jelas itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk. Apakah karena mabuk dia duduk di atas keruncingan yang tajam?

O, tidak! Dia sengaja duduk di keruncingan yang tajam untuk melatih ilmu peringan tubuhnya. Kalau dia tak memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, sudah pasti pantatnya akan tertusuk oleh ujung batu karang runcing itu. Para tokoh berilmu tinggi tahu persis hal itu, dan pasti akan mengatakan bahwa si Pendekar Mabuk punya ilmu peringan tubuh yang tinggi, hampir mendekati sempurna.

Perlahan-lahan badan Pendekar Mabuk bergerak. Bukan miring ke kiri atau ke kanan, melainkan naik ke atas. Hebat sekali. Dalam keadaan tetap duduk tubuh itu bisa bergerak naik pelan-pelan. Sekarang pantatnya tidak menyentuh ujung runcing itu. Tapi mengambang. Jaraknya sedikit sekali. Kira-kira setinggi separuh batang korek api. Tapi semakin lama, semakin jauh jarak itu. Sekarang malah ukuran jarak pantat dengan ujung batu karang ada sejengkal. Itu yang dinamakan ilmu 'Layang Raga', yaitu ilmu peringan tubuh yang bisa mengangkat tubuh menjadi tetap di tempat tanpa tumpuan apa pun.

Ilmu 'Layang Raga' dilatih sejak lama. Kian hari kian mencapai tingkatan tinggi. Lihat saja, sekarang Pendekar Mabuk bisa mengambang di udara dalam jarak satu hasta dari tempat duduknya. Padahal ia tetap duduk bersila dengan urat-urat dilemaskan. Seolah-olah ia bisa duduk di udara lepas. Mengagumkan sekali ilmu itu. Tentunya tak mudah dimiliki sembarang orang. Latihannya dilakukan sejak Pendekar Mabuk masih berusia lima belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun. Bayangkan, berapa lama ia berlatih ilmu 'Layang Raga' dengan tekun? Pantas kalau mencapai tingkatan yang tinggi.

Tubuh yang masih bersila itu bergerak turun secara pelan-pelan. Tak ada yang menarik, tak ada yang menekan. Dia turun sendiri. Sebab ilmu 'Layang Raga' adalah perpaduan kendali napas dan pemusatan pikiran yang terlatih. Kapan saja pikiran dan hatinya menyatu untuk menghendaki tubuh bergerak naik, maka sang tubuh pun bergerak naik. Jika menghendaki bergerak turun, ya akan turun dengan sendirinya.

Kalau ilmu itu sudah benar-benar dikuasai dan mencapai titik ketinggiannya, maka Pendekar Mabuk bisa naik-turun sendiri dalam kecepatan cukup tinggi. Tidak menutup kemungkinan ia akan bisa terbang. Tapi bukan terbang seperti burung. Melainkan berpindah tempat dengan cepat dalam keadaan duduk, jongkok, atau apa pun juga. Tentunya tak bisa jauh-jauh. Ada batasnya sendiri.

Ilmu itu memang mengagumkan. Buktinya bocah kecil yang sejak tadi memperhatikan dari tempat persembunyiannya sampai lupa menutup mulutnya yang terbengong melompong. Akibat lupa menutup mulut, seekor lalat masuk. Hab!

"Cuih...!" bocah kecil itu meludah, lalat pun selamat dari mulutnya, tapi bocah itu bergidik jijik. Bocah berusia sepuluh tahun yang sejak tadi mengintip latihannya Pendekar Mabuk itu berkulit hitam kecoklatan. Rambutnya lurus agak panjang. Tubuhnya kurus namun bukan berarti ceking. Matanya sedikit lebar, wajahnya polos. Siapa bocah itu?

Angon Luwak namanya. Dia pernah mengikuti pertarungan Pendekar Mabuk dengan Wiratmoko yang bergelar Iblis Naga Pamungkas. Malahan bocah penggembala kambing itu pernah menjadi 'murid' Ki Gendeng Sekarat dalam mimpi, ia seorang bocah yang amat menggemari cerita-cerita kependekaran, sehingga dalam angan-angannya ia selalu ingin menjadi seorang pendekar berilmu tinggi. (Kalau ingin tahu riwayat bocah itu, baca saja episode Naga Pamungkas)

Bocah itu memang bandel, tapi punya tekad dan keberanian yang tinggi. Kebandelannya terletak pada keingin tahuannya terhadap segala macam jenis ilmu yang aneh-aneh. Sejak bertemu Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu, Angon Luwak menjadi pengagum berat kesaktian Pendekar Mabuk. Maka diam-diam dia mengikuti ke mana perginya Suto Sinting, ia tak berani terang-terangan, takut dimarahi atau disuruh pulang oleh Suto Sinting.

Tapi kali ini ia ingin tampakkan diri dan bertepuk tangan sebagai tanda memuji kehebatan ilmu 'Layang Raga' itu. Sayang niatnya tertunda karena kemunculan dua tokoh tua yang datang dari arah timur pantai. Angon Luwak makin merapatkan diri di persembunyiannya, ia ingin tahu apa yang dilakukan dua tokoh tua yang baru datang itu.

Kedua tokoh tersebut punya ciri-ciri yang berbeda. Yang berpakaian abu-abu mempunyai rambut putih panjang, pakai ikat kepala merah, membawa tongkat kayu coklat yang ujungnya tak berbentuk apa-apa. Sedangkan yang mengenakan jubah merah berambut putih pendek, botak bagian tengahnya, sehingga keningnya kelihatan lebar, ia membawa tongkat kayu warna putih, ujungnya berbentuk seperti ujung anak panah. Runcing tapi tidak tajam sekali.

Keduanya mempunyai tinggi badan yang sama, usia yang sama sekitar enam puluh tahunan. Sekalipun tua, tapi mereka melangkah dengan tegak dan tegap. Seolah-olah tenaganya masih muda. Pada saat melangkah tongkatnya digunakan sebagai tumpuan yang mengayun. Mereka berhenti dalam jarak tujuh langkah dari tempat Suto menaruh baju dan bumbung tempat menyimpan tuaknya. Mereka memperhatikan Suto beberapa saat, sementara Suto belum sadar atas kehadiran dua tokoh tua itu. Suto masih duduk di atas keruncingan ujung batu karang. Lima langkah di belakang kedua tokoh tua itu, terdapat pohon dan kerimbunan semak. Di situlah Angon Luwak bersembunyi.

"Benarkah dia orangnya?" kata si jubah merah kepada jubeh abu-abu.

"Tak salah lagi, memang dialah orangnya."

"Hmmm..., agaknya ilmunya memang cukup tinggi."

"Murid si Gila Tuak tentunya mewarisi segala ilmu gurunya," kata si jubah abu-abu seperti orang menggumam. Percakapan itu didengarkan oleh Angon Luwak. Tapi bocah itu tidak berulah apa-apa kecuali hanya diam dan tetap mengintai.

"Sejak kapan kau mengenal dia, Lumaksono?" tanya si jubah merah.

Orang berambut putih panjang yang ternyata bernama Ki Lumaksono itu menjawab dengan kalem, "Kami belum pernah saling kenal, Parandito. Tapi aku pernah melihat pertarungannya di suatu tempat dari kejauhan."

Jubah merah yang ternyata bernama Ki Parandito itu manggut-manggut. Ia berkumis dan berjenggot pendek warna putih, sedangkan Ki Lumaksono hanya berkumis putih tanpa jenggot.

"Apakah kita perlu panggil dia sekarang juga, Parandito?"

"Jangan. Biar diselesaikan dulu latihannya. Tak enak kalau kita harus mengganggu kesibukannya."

Pendekar Mabuk mulai mendengar suara kasak-kusuk itu. Karenanya ia segera berpaling ke darat, dan sedikit kaget melihat dua tokoh tua sedang memperhatikannya, ia tak enak hati. Lalu segera turun dari atas batu karang, melangkah mendekati baju dan bumbung tuaknya. Matanya memandang ramah.

Ki Lumaksono mendekat lebih dulu dan menyapa secara baik-baik, kemudian Ki Parandito menyusulnya, sehingga jarak mereka dengan Suto hanya empat langkah.

"Kami tidak bermaksud mengganggu latihanmu, Suto Sinting."

"O, aku tidak merasa terganggu," jawab Suto dengan sopan. "Aku hanya merasa heran, karena belum pernah bertemu dengan Kakek berdua."

"Aku Pawang Gempa, juga dipanggil Ki Lumaksono. Dan ini...," ia menunjuk si botak berjubah merah, "...ini adalah saudara seperguruanku. Namanya Ki Parandito, alias Juru Bungkam."

Sambil mengenakan bajunya yang tanpa lengan itu, Suto Sinting ajukan pertanyaan tetap dengan sopan, "Lalu apa keperluan Ki Lumaksono dan Ki Parandito menemuiku di sini?"

"Tak ada maksud apa-apa kecuali hanya ingin meminta bantuanmu, Pendekar Mabuk," jawab Ki Parandito.

"Bantuan apa?"

Kedua tokoh itu saling pandang sebentar. Sepertinya mereka saling berserah diri untuk menjelaskan maksud sebenarnya. Ki Lumaksono segera mengambil keputusan untuk bicara kepada Pendekar Mabuk. "Kami kehilangan mayat guru kami."

Suto Sinting kerutkan dahi. Aneh sekali mendengar kabar itu. Mayat bisa hilang. Siapa yang mau mencuri mayat? Dan untuk apa?

Ki Lumaksono teruskan kata, "Guru kami yang berjuluk Sokobumi, telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Jenazahnya kami awetkan dan kami simpan dalam sebuah gua. Kami melakukan hal itu bukan untuk maksud jahat, namun untuk mengenang dan melampiaskan rindu kami yang datang sewaktu-waktu. Guru kami bukan saja sebagai guru namun juga kami anggap sebagai ayah kami. Ia hidup sampai berusia sembilan puluh tahun lebih. Kami sangat menyayangi dan menghormati Guru, karena ajaran-ajarannya selalu membimbing kami kepada kebenaran. Sebulan yang lalu kami periksa gua itu, ternyata mayat Guru sudah lenyap dari peti kaca."

"Dicuri orang atau jalan sendiri?" tanya Suto Sinting.

"Tak mungkin jalan sendiri, karena sudah lama tak bernyawa," tukas Ki Parandito yang membuat Suto Sinting jadi tersipu, karena merasa telah mengajukan pertanyaan yang bodoh.

Ki Lumaksono lanjutkan kata, "Seseorang telah mencuri jenazah guru kami. Orang yang mencuri jenazah guru kami sudah kami ketahui."

"Siapa?" tanya Suto.

"Nila Cendani yang juga dikenal dengan nama Ratu Tanpa Tapak. Dia penguasa Gunung Sesat, dan memang tokoh alot dari golongan hitam."

"Lalu, kenapa Ki Lumaksono tidak merebut mayat itu darinya?"

Ki Lumaksono hanya geleng-geleng kepala. Raut wajahnya menampakkan semangat yang pudar. Suto Sinting heran dan berkata, "Apakah Nila Cendani berilmu tinggi dan tidak bisa ditandingi oleh Ki Lumaksono maupun Ki Parandito?"

"Kira-kira begitu," jawab Ki Lumaksono.

Tapi Ki Parandito segera menambahkan keterangannya, "Nila Cendani berilmu tinggi. Tubuhnya tak bisa disentuh oleh seorang lelaki, kecuali lelaki itu masih perjaka ting-ting. Belum pernah bercampur dengan wanita. Tetapi orang tersebut juga harus berilmu tinggi untuk mengimbangi ilmunya."

"Aneh sekali," gumam Suto Sinting. "Tidak bisa disentuh lelaki yang sudah bukan perjaka lagi?"

"Maksudnya yang belum pernah tidur dengan wanita," jelas Ki Lumaksono.

"Ya, ya... aku paham. Tapi bagaimana dengan dia sendiri? Apakah bisa menyentuh pria yang bukan perjaka?"

"Tidak bisa juga. Tapi dia bisa lepaskan serangan jarak jauhnya dan mampu membunuh pria yang bukan perjaka. Sedangkan pria seperti kami, tidak bisa menyerangnya, karena serangan sehebat apa pun yang kami lancarkan akan membalik arah. Tidak akan sampai dan tidak akan mampu melukainya walaupun dari jarak jauh. Demikian pula kepada kaum wanita yang masih perawan, akan bisa menyerang dan menyentuhnya, tapi yang bukan perawan tidak akan bisa menyerang dan menyentuhnya."

Ki Lumaksono tambahkan kata lagi, "Serangannya sangat berbahaya dan mematikan. Sulit ditangkis dan dihindari."

"Lalu mengapa akulah orang yang terpilih untuk menghadapi Nila Cendani?"

"Karena kami yakin kau masih perjaka?"

"Dari mana Ki Lumaksono mengetahuinya?"

"Pernah kulihat tanda merah di dahimu. Sekarang pun kami melihat tanda merah itu sebagai tanda penghormatan yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."

"Tapi tanda merah ini bukan jaminan keperjakaanku, Ki."

"Ratu Kartika Wangi tak akan berikan penghargaan setinggi itu kepada pemuda yang sudah tidak perjaka. Sekalipun beliau berikan penghargaan bertanda merah kepada yang bukan perjaka, maka warna merahnya berbeda, sedikit lebih gelap. Sedangkan tanda merah di dahimu itu sangat terang dan cerah, itu tandanya kau masih perjaka. Kelak jika kau sudah tidak perjaka lagi, maka warna merah itu akan keruh, tidak secerah saat ini."

Suto Sinting diam termenung, ia memang memiliki noda merah kecil di tengah dahinya sebagai tanda penghormatan dan gelar Manggala Yudha dari calon mertuanya, yaitu ibu dari Dyah Sariningrum, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah). Hanya orang-orang yang tingkat ilmunya cukup tinggi yang bisa melihat noda merah itu. Tetapi Suto sendiri tak tahu kalau noda merah itu sebagai tanda keperjakaannya pula.

"Untung aku tidak pernah nyeleweng dengan perempuan lain. Kalau aku nyeleweng dan berbuat mesum, pasti Dyah Sariningrum dan ibunya akan mengetahui dengan melihat cerah atau keruhnya wama merah ini," pikir Suto. "Kini aku tahu, warna merah ini juga sebagai pemantau bagi Dyah Sariningrum dan ibunya untuk mengetahui apakah aku berbuat tak senonoh dengan wanita lain atau tidak. Ah, kenapa baru sekarang aku mengetahuinya?"

Renungan Pendekar Mabuk terhenti karena suara Ki Lumaksono. "Gurumu, si Gila Tuak, pasti kenal dengan Eyang Sokobumi; guru kami itu. Karena beliau-beliau adalah tokoh aliran putih yang disegani musuh. Jadi sepantasnya kami memohon bantuanmu untuk merebut kembali Jenazah guru kami dari tangan Nila Cendani. Bila perlu kami akan meminta izin lebih dulu kepada Ki Sabawana alias si Gila Tuak itu."

Belum sempat Pendekar Mabuk ucapkan kata lagi, tiba-tiba dari arah timur pantai muncul seorang penunggang kuda berkecepatan tinggi. Kuda hitam itu ditunggangi seorang wanita cantik berpakaian ketat warna ungu muda. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya dibiarkan lepas meriap-riap karena kecepatannya dalam mengendarai kuda. Wanita cantik itu menyandang pedang di punggungnya. Jubah ungu tua yang melapisi pakaian ketatnya melambai-lambai bagaikan sayap burung raksasa.

Melihat kemunculan wanita cantik itu, kedua tokoh tua tampak mulai tegang. Ki Parandito menyimpan kecemasan, demikian pula Ki Lumaksono. Seolah-olah mereka ingin lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Angon Luwak yang ada di persembunyiannya juga memandang ke arah datangnya kuda hitam tersebut. Tapi ia tetap tidak lakukan apa-apa di balik kerimbunan semak.

Kuda masih berlari tak begitu cepat. Wanita berpakaian ungu itu melompat turun dengan lincahnya. Kuda berhenti sendiri tanpa diperintah. Wanita cantik yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu melangkah mendekati Suto Sinting. Matanya yang bening indah tapi berkesan galak itu memandang ke arah Pawang Gempa dan Juru Bungkam.

"Tak salah dugaanku, kalian berdua pasti menemui pemuda ini!" kata wanita cantik itu. Suto hanya diam, tapi otaknya mencatat sikap permusuhan si wanita kepada dua tokoh tua itu.

Ki Lumaksono berkata kepada wanita tersebut, "Sekali lagi kuingatkan, jangan campuri urusan kami, Pelangi Sutera. Uruslah urusanmu sendiri dan kami akan mengurus urusan kami sendiri."

"Kalian punya urusan sendiri denganku yang belum dijelesaikan! Karenanya aku mengejar kalian kemari untuk selesaikan urusan kita sekarang juga."

Wuuut...! Ki Parandito menyambar tempat kosong dan tangannya menggenggam, bagaikan habis menyambar nyamuk. Itulah jurus pembungkam andalannya, supaya orang yang dimaksud tak mampu lanjutkan bicara. Tapi wanita cantik yang ternyata bernama Pelangi Sutera itu justru meludah ke samping.

"Cuih! Kau tak bisa membungkamku, Ki Parandito. Ilmu bungkammu tak akan berguna bagi diriku!"

Ki Parandito pun melepaskan genggamannya, merasa sia-sia usahanya. Sedangkan Pelangi Sutera bergerak makin dekati kedua tokoh tua itu.

"Kita teruskan urusan kita dan kita selesaikan di sini juga!"

"Gadis sombong!" geram Pawang Gempa, ia mulai tampak tak sabar. "Kalau kau memaksa kami, aku yang akan mengawali. Hiaaat...!"

Wuuut...!

Pawang Gempa menebaskan tongkatnya untuk menghancurkan kepala Pelangi Sutera. Tetapi gadis itu ternyata cukup lincah. Kecepatan tebas tongkat itu dapat dihindari dengan merundukkan kepala, lalu menyentakkan tangan ke depan.

Slaaap...! Selarik sinar hijau menghantam perut Pawang Gempa. Tetapi Pawang Gempa segera lompat ke kiri, sehingga sinar hijau itu membentur gugusan batu karang di kejauhan sana.

Blaaar...! Batu karang itu pecah menjadi serpihan sebesar batuan kerikil.

Juru Bungkam tak mau tinggal diam. Dengan tongkatnya yang berbentuk anak panah itu ia melompat ke arah Pelangi Sutera. Tongkat itu dihunjamkan ke punggung gadis tersebut. Sinar putih bagaikan baja melesat dari ujung tongkat menuju punggung Pelangi Sutera.

Jruub...!

Punggung itu terkena sinar putih dengan telak. Mengepul asap kehitaman dari bekas luka. Tapi dalam sekejap tubuh yang terluka hangus itu menjadi pulih seperti sediakala dengan hanya menarik napas satu kali. Bahkan baju jubahnya yang tadi tampak mau terbakar itu menjadi padam dan utuh seperti semula.

Pelangi Sutera kelebatkan tangannya bagai menyambar sesuatu di depannya. Dari ujung jari-jarinya memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuning-kuningan. Bunga-bunga api itu berbintik-bintik dan sangat banyak jumlahnya. Bunga-bunga api itu membungkus tubuh Ki Parandito. Tetapi sebelum tubuh itu terbungkus rapat, Ki Lumaksono hentakkan tongkatnya ke bumi satu kali.

Duug!

Tanah berguncang, pantai bagai dilanda gempa. Bunga-bunga api yang hendak membungkus tubuh Ki Parandito pun rontok dan lenyap bagai ditelan tanah. Gadis berjubah ungu itu melompat tinggi dan bersalto di udara. Rupanya di sana ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk selarik sinar merah.

Slaaap...!

Sinar itu menghantam dada Ki Lumaksono. Tapi dengan sigap orang itu menangkisnya dengan menyilangkan tongkat di depan dada.

Blaaar...!

Ledakan dahsyat terjadi, menghentakkan tubuh tua Ki Lumaksono yang segera terlempar dan terjungkal ke perairan pantai.

Byuuur...!

"Tinggalkan dia! Buang-buang waktu saja!" seru Juru Bungkam sambil melompat pergi, sedangkan KiLumaksono pun cepat bangkit dan pergi dengan kecepatan tinggi.

Wuuut...!

Pelangi Sutera ingin mengejarnya, namun hanya maju dua langkah dan membatalkan niatnya. Napasnya sempat terengah-engah tipis, ia berpaling memandang Suto Sinting yang dari tadi diam saja, tak mau ikut campur sedikitpun. Malahan sesekali terlihat meneguk tuaknya dengan tenang, seakan tidak peduli dengan pertarungan tersebut. Kini ia memandang Pelangi Sutera yang wajahnya masih memancarkan kemarahan, ia sengaja tidak membuka kata, karena ia yakin Pelangi Sutera akan mengawali bicara lebih dulu.

"Dugaanku ternyata benar. Kaulah orang incaran mereka berdua."

"Siapa mereka sebenarnya?"

"Utusan dari Gunung Sesat. Mereka para penasihat Ratu Tanpa Tapak."

Pendekar Mabuk terperanjat dan segera berkerut dahi. Keterangan itu sangat bertentangan dengan penjelasan kedua tokoh tua tadi. Suto menjadi bingung sendiri mencari kebenarannya. "Kau sendiri siapa? Sepertinya kau telah mengenalku?"

"Namaku Pelangi Sutera, murid Raja Maut!" jawabnya tegas.

"Raja Maut...?!" gumam Suto Sinting, ia merasa pernah bertemu dan mengenal nama itu. Raja Maut adalah orang yang nyaris membunuh Wiratmoko dalam kisah Naga Pamungkas. Raja Maut agaknya kenal baik dengan guru Suto, tapi pada waktu itu ia katakan akan menyelesaikan urusan dengan seseorang di Pulau Blacan. Raja Maut pun kenal dengan Ki Gendeng Sekarat. Jika gadis cantik yang berkesan galak itu memang benar murid Raja Maut, tentunya ia termasuk tokoh muda golongan putih.

"Apa persoalanmu dengan kedua tokoh tua itu?" tanya Suto agak ragu.

"Mereka orang-orang yang diutus oleh Ratu Tanpa Tapak untuk mencari pemuda lajang yang masih perjaka dan membawanya ke Gunung Sesat. Dugaanku mereka pasti mencarimu, karena kau berilmu tinggi. Ternyata benar. Tapi untung mereka belum sempat membawamu kesana. Hampir saja kau menjadi tumbal cintanya ratu Tanpa Tapak!"

"Tumbal?!" gumam Suto semakin bingung. "Mana yang benar kalau begini?" pikir Suto sambil berkerut dahi.

* * *

DUA
PULAU Blacan adalah sebuah pulau yang tidak terlalu besar. Bentuknya seperti telur ayam. Kesuburannya terjamin. Dari kejauhan pulau itu tampak hijau segar. Penghuninya hanya beberapa orang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan mencari ikan. Tetapi sejak kedatangan Nyai Demang Ronggeng pulau itu menjadi sepi. Sebagian penduduknya lari meninggalkan pulau, sebagian mati meninggalkan dunia. Nyai Demang Ronggeng bukan sekadar manusia biasa, namun merupakan bencana dan malapetaka bagi penduduk Pulau Blacan. Perempuan itu bukan saja galak, tapi juga ganas dan tak segan-segan mencabut nyawa orang dengan seenaknya sendiri.

Ketika menjadi saudara seperguruan dengan Ki Gendeng Sekarat, hubungannya sering dihiasai oleh perang dingin dan perbedaan pendapat. Terlalu sering Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat beradu debat dengan sengit, yang pada akhirnya melahirkan pertarungan kecil. Jauh-jauh hari Ki Gendeng Sekarat sudah menduga bahwa Nyai Demang Ronggeng kelak akan menjadi tokoh silat golongan hitam. Ternyata dugaan Ki Gendeng Sekarat itu memang benar.

Nyai Demang Ronggeng mencuri kitab pusaka milik kakak dari gurunya. Kitab itu dipelajarinya sendiri dan membuat kekuatan yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng bertambah, ilmunya berbeda dengan Ki Gendeng Sekarat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sendiri sudah selesaikan semua ilmu yang dituntut dari sang Guru. Eyang Pramban Jati, guru Ki Gendeng Sekarat, telah turunkan semua ilmunya kepada Ki Gendeng Sekarat, sehingga sekalipun Nyai Demang Ronggeng berhasil pelajari kitab dari Eyang Wisbo, kakak Eyang Pramban Jati, Ki Gendeng Sekarat tidak merasa kalah ilmu dengan perempuan itu.

Eyang Wisbo sendiri mempunyai murid tunggal, yaitu Raja Maut. Ketika Eyang Wisbo akan meninggal, Raja Maut mendapat pesan agar merebut kitab yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng apabila Raja Maut telah turunkan sebagian besar ilmunya kepada seorang murid. Raja Maut juga mendapat tugas untuk pelajari seluruh ilmu yang ada di dalam Kitab Sukma Sukmi itu.

Dengan menggunakan dua lembar daun talas, Raja Maut meluncur di permukaan air laut, menyeberang menuju Pulau Blacan. Ia bagaikan perahu tanpa layar yang didorong angin dari belakang cukup kuat. Berdiri di atas dua lembar daun talas bukan pekerjaan yang mudah. Jika tidak berilmu tinggi sudah pasti akan tenggelam sebelum sampai di pertengahan laut.

Jenggot panjang dan rambut panjang abu-abu tak diikat itu meriap-riap bagaikan benang-benang layar yang rawis. Jubah putih kusam berkelebat melambai- lambai mirip bendera kapal penghantar mati. Tongkatnya yang meliuk-liuk seperti ular itu digenggam dengan tangan kanan dan dipakai untuk bersedekap di depan dadanya. Tubuh kurus bermata cekung itu tampak tenang dalam mengendarai 'perahu daun' yang kecepatannya melebihi kapal layar tiga tiang. Gelombang lautan membuat ia sesekali tampak timbul tenggelam dalam kesendiriannya di tengah samudera.

Tetapi agaknya kedatangan Raja Maut dari Bukit Semberani itu sudah diketahui oleh firasat Nyai Demang Ronggeng. Tak heran jika kedatangan Raja Maut itu segera disambut oleh Nyai Demang Ronggeng sebelum sang tamu mencapai Pulau Blacan. Nyai Demang Ronggeng menggunakan pelepah daun kelapa sebagai alas kaki menyeberangi lautan. Dengan berdiri di atas pelepah daun kelapa, ia pun meluncur bagaikan didorong angin kencang dari belakang.

Pertemuan di tengah lautan membuat Raja Maut sempat sedikit kaget karena tak menyangka kalau akan disambut di sana. Tapi rasa kaget itu hanya sekilas. Raja Maut kembali tenang dan memperhatikan sosok perempuan berpakaian hitam meluncur di atas pelepah daun kelapa. Rambutnya yang putih meriap-riap pula. Jubah hitamnya bagai sayap kelelawar yang haus darah.

Sekalipun rambut telah memutih semua, tapi Nyai Demang Ronggeng mempunyai raut wajah yang masih tetap cantik, kulitnya kencang tidak berkeriput, matanya tajam dan badannya masih tampak sekal, ia mirip wanita berusia tiga puluhan, karena ia memang mempunyai ilmu pengawet kecantikan dan keelokan tubuh. Hanya warna rambut yang tak bisa diawetkan. Dan dari warna rambutnya yang putih itulah dapat diketahui bahwa sebenarnya ia telah berusia banyak.

Dalam jarak lebih dari lima belas tombak, Nyai Demang Ronggeng sudah kirimkan serangan berupa sinar merah bagaikan bola yang melesat cepat ke arah Raja Maut. Bola berapi itu keluar dari sentakan tangan kanannya. Semakin lama melayang di udara semakin bertambah besar ukurannya. Ketika melesat keluar dari telapak tangannya berukuran sebesar kelereng, tapi ketika mendekati Raja Maut ukurannya sudah menjadi sebesar kelapa tanpa sabut.

Wuuuooos...!

Raja Maut tetap tenang. Jari telunjuknya menuding benda berapi itu. Ujung jari telunjuk tersebut keluarkan selarik sinar hijau. Slaaap...! Tepat kenai benda berapi itu.

Blaar...!

Gelegar gemuruh dari dentuman itu membuat gelombang air laut naik melambung tinggi. Asap hitam pekat mengepul ke atas dari hasil ledakan benda tersebut. Nyai Demang Ronggeng tampak kecewa dan kian menggeram jengkel, ia berhenti ketika Raja Maut pun diam di tempatnya, hanya bergerak-gerak karena alunan ombak laut. Kedua mata mereka saling tatap dengan tajam dalam jarak sepuluh langkah.

Nyai Demang Ronggeng kelebatkan kedua tangannya bagaikan menari dari belakang ke depan. Telapak tangan terbuka serentak sewaktu sampai di depan, dan melesatlah bola-bola api dari kedua tangannya itu. Masing-masing mempunyai tujuh bola api yang berendeng bagaikan rangkaian kalung, semakin lama semakin besar ukurannya.

Wuuuurrrsss...!

Raja Maut segera putarkan tongkatnya di atas kepala dengan cepat sampai timbul suara menggaung bagaikan gangsing. Suara gaung itu memancarkan sinar bergelombang warna biru. Sinar gelombang membentuk lingkaran yang makin lama semakin melebar dan bersusun-susun, sehingga akhirnya menjadi perisai bagi diri Raja Maut. Maka ketika bola-bola api yang mirip kalung terdiri dari dua kelompok itu mengenai sinar gelombang biru, terdengarlah bunyi ledakan yang beruntun dan mengguncangkan permukaan laut cukup hebat.

Keduanya bagaikan ingin dihempas ombak ke sana-sini. Namun keduanya tetap kuat berdiri tegak. Guncangan air laut reda. Mereka sudah dalam jarak lebih dekat lagi, sekitar tujuh langkah. Suara Nyai Demang Ronggeng terdengar lantang.

"Sisa hidupmu tinggal sedikit, Raja Maut! Tak perlu bikin ulah yang bukan-bukan di depanku!"

"Aku hanya menuntut hakku atas Kitab Sukma Sukmi yang kau curi dari guruku itu, Nyai!" suara Raja Maut terdengar tenang, tidak bernafsu dalam melontarkan kata-kata tuntutannya.

"Kau tidak akan memperolehnya, Raja Maut. Jika kau nekat mau merebut Kitab Sukma Sukmi, maka yang akan kau temui adalah ajal yang lebih cepat dari semestinya. Sebaiknya, pulanglah!"

"Aku bukan anak kecil yang mudah kau usir dan takut kau gertak. Kalau kau tak mau serahkan kitab itu, maka aku pun akan bertindak lebih keji dari yang terbayang dalam pikiranmu, Nyai Demang Ronggeng!"

"Aku tak bisa memberikan kitab itu, karena sudah terbakar saat aku bertarung melawan seorang musuh. Hampir saja ia terbakar bersama tubuhku."

"Semakin tua semakin pandai kau bersilat lidah, Kiswanli!" Raja Maut sebutkan nama asli Nyai Demang Ronggeng.

Perempuan itu lontarkan tawa yang mengikik pantang. "Kalau aku mau bersilat lidah tak akan dengan pria setua kau, tapi memilih yang lebih muda dan tampan. Rasa rasanya lebih hangat bersilat lidah dengan pria yang muda daripada yang peot sepertimu, Prasonco!" kala Nyai Demang Ronggeng yang juga sebutkan nama asli Raja Maut, yaitu Prasonco.

"Pikiranmu masih sekotor dulu, Kiswanti. Tak pantas kau memiliki Kitab Sukma Sukmi. Kuharap kau cepat sadari kesalahanmu selama ini, dan jangan sampai terjadi pertumpahan darah di antara kita gara-gara kitab itu. Sebaiknya serahkan padaku sekarang juga, Kiswanti. Aku tidak akan menjatuhkan hukuman padamu seperti pesan eyang guruku."

"Aku tidak akan serahkan apa-apa padamu kecuali kematian!"

"Kau tak akan bisa menandingiku, Kiswanti."

"Hmm...! Congkak amat kau di depanku? Buktikan kekuatanmu, Prasonco!"

"Kalau kau memaksa memang akan kubuktikan."

"Tapi sebelumnya, terimalah dulu jurus 'Lidah Neraka' ini. Heaaah...!"

Slaaap...!

Sinar merah besar keluar dari tengah kening Nyai Demang Ronggeng yang menyentakkan kedua tangannya membuka ke samping dan sedikit rendahkan badan. Sinar merah itu begitu cepat melesat menghantam Raja Maut.

Blaaar...!

Untung Raja Maut cepat sentakkan tongkatnya ke depan wajah. Ujung tongkat keluarkan sinar putih perak menyebar bagaikan piringan. Sinar itulah yang menangkis sinar merahnya Nyai Demang Ronggeng. Tapi akibatnya cukup berbahaya. Tubuh Raja Maut tersentak mundur bagaikan diseret sesuatu dengan kuat. Kakinya masih menapak pada daun talas. Namun sentakan itu mengakibatkan keluarnya darah dari hidung Raja Maut.

Nyai Demang Ronggeng tertawa melengking tinggi. Musuhnya kini berada dalam jarak lima belas langkah. Kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki membuat pelepah daun kelapa itu bergerak maju satu sentakan. Wuuutt...! Lalu berhenti dalam jarak sekitar enam langkah. Raja Maut bagaikan tak pedulikan darah yang keluar dari hidungnya, ia menatap tajam pada Nyai Demang Ronggeng. Napasnya tertahan beberapa saat.

"Kalau kau..." Kata-kata Nyai Demang Ronggeng terhenti, karena tiba-tiba dari mata Raja Maut keluar sepasang sinar merah berkelok-kelok dan menyambar kepala perempuan itu.

Slaap, slaap...! Blaaarr!

Kelebatan kedua tangan Nyai Demang Ronggeng membuat percikan sinar kuning membentang di depan wajah, menghalang datangnya sinar merah tersebut. Tapi agaknya sinar yang keluar dari mata Raja Maut itu punya kekuatan dahsyat. Ledakannya membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terjungkal dalam keadaan terbang, ia kehilangan keseimbangan. Jatuh tepat di ujung pelepah daun kelapa. Ia cepat-cepat menuju ke tengah pelepah dan berdiri tegak kembali dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat, mulutnya lelehkan darah yang tak mampu ditahannya. Darah itu kental dan berwarna merah kehitam-hitaman. Itu tandanya Nyai Demang Ronggeng terluka dalam oleh ledakan tadi.

"Jahanam kau!" geramnya antara terdengar dan tidak.

"Kalau aku jahanam, kau adalah biang jahanam!" balas Raja Maut dalam geramnya yang tetap kelihatan bersikap tenang.

"Rupanya memang tak ada jalan lain kecuali harus memusnahkan dirimu, Prasonco! Baiklah, akan kulakukan walau sebenarnya aku tak tega!"

"Akan kulawan seluruh kekuatanmu demi tugas dari guruku!"

Slaaap...! Slaaap...!

Sinar kuning tua sebesar jari kelingking melesat keluar dari kedua mata Nyai Demang Ronggeng. Tapi bertepatan dengan itu pula, dari kedua mata Raja Maut juga keluar sinar hijau muda dan bening, besarnya juga seukuran kelingking. Kedua sinar itu bertemu di penengahan jarak.

Blaab...! Ujung pertemuan memancarkan cahaya lebar warna kebiru-biruan.

Mereka saling bertahan. Kedua sinar tetap bertemu di pertengahan jarak. Napas mereka sama-sama tertahan. Tenaga mereka sama-sama tercurah. Tubuh Raja Maut gemetar, demikian juga tubuh Nyai Demang Ronggeng. Kekuatan mereka semakin lama semakin bertambah. Terbukti dari warna sinar di pertemuan itu menjadi kian merah, makin lama semakin jelas membara.

Getaran tubuh Raja Maut diiringi asap putih yang merembes keluar dari pori-pori tubuhnya. Asap putih itu makin lama makin berubah warnanya menjadi merah samar-samar. Sedangkan Nyai Demang Ronggeng hanya gemetaran saja. Asap yang merah samar-samar itu menandakan keadaan dalam tubuh Raja Maut mulai berbahaya. Darah pun mulai jelas-jelas keluar dari telinga dan lubang hidung. Mulut Raja Maut tetap terkatup rapat, tapi lama-lama keluar pula darah segar dari sela bibirnya.

Tiba-tiba dari arah samping mereka meluncur dua ekor kura-kura berukuran kecil. Dua ekor kura-kura itu meluncur sejajar, di punggungnya berdiri kaki seorang lelaki berikat kepala hitam, berpakaian merah. Orang tersebut tak lain adalah Ki Gendeng Sekarat. Kecepatan luncurnya tidak seperti kecepatan berenangnya seekor kura-kura. Tentu saja kura-kura tersebut digerakkan dengan tenaga dalam yang tinggi sehingga Ki Gendeng Sekarat mampu melesat bagaikan anak panah, ia melewati bagian belakang Raja Maut, lalu menyambar tubuh Raja Maut dengan cepatnya.

Wuuut...! Taaab...!

Raja Maut telah ada di atas pundak Ki Gendeng Sekarat. Salah satu tangannya melemparkan sesuatu ke arah Nyai Demang Ronggeng. Blaaarr...! Sinar putih menghantam pelepah daun kelapa yang dipakai sebagai tempat berpijak kaki Nyai Demang Ronggeng. Daun kelapa itu hancur berkeping-keping menjadi arang. Akibatnya tubuh perempuan itu jatuh terjerembab ke dalam air.

Byuuur...!

"Monyet busung! Kau mau ikut campur urusanku. Gendeng Sekarat?!" Nyai Demang Ronggeng lontarkan makian dan kemarahan.

Tapi Ki Gendeng Sekarat tidak pedulikan suara itu. Ia tetap melesat membawa pergi Raja Maut yang terkulai lemas di atas pundaknya. Nyai Demang Ronggeng ingin mengejar, tapi ia tak mempunyai alas kaki untuk berpijak. Sedangkan gelombang lautan pun mengamuk menggulung-gulung tubuh Nyai Demang Ronggeng, seakan ingin mengejar pelarian Ki Gendeng Sekarat. Perempuan itu hanya berusaha bertahan dan menyelam timbul-tenggelam.

Sementara itu Ki Gendeng Sekarat sudah jauh dari jangkauan pandangnya. Orang itu menuju ke pantai. Ketika tiba di pantai masih berlari meninggalkan dua ekor kura-kura yang saling pandang dan bingung bagaikan tak sadar apa yang dilakukannya tadi. Raja Maut pingsan di atas pundak Ki Gendeng Sekarat. Ia dibawa ke hutan dan dicarikan tempat untuk berlindung. Sebab menurut dugaan Ki Gendeng Sekarat. Nyai Demang Ronggeng tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pengejaran terhadap dirinya.

Sebab Ki Gendeng Sekarat tahu persis watak Nyai Demang Ronggeng yang selalu penasaran jika belum berhasil melihat lawannya tak bernyawa. Sebab itu, Ki Gendeng Sekarat perlu menyembunyikan Raja Maut ke dalam sebuah gua yang ditemukan di kaki sebuah bukit. Satu hal yang tidak diduga-duga, ternyata di dalam gua itu terdapat seorang manusia yang sedang beristirahat dengan santainya. Orang tersebut baru saja meneguk tuaknya dari bambu penyimpanan.

Orang itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, yang merasa perlu menenangkan diri akibat kebingungannya mendengar penjelasan berbeda antara Pelangi Sutera dengan Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Di gua itu Suto berharap dapat menemukan kesimpulan, mana yang benar dari dua penjelasan tersebut.

"Suto, kebetulan kita bertemu di sini." Ki Gendeng Sekarat letakkan tubuh Raja Maut di sebidang tanah datar dalam gua tersebut.

Wajah Suto Sinting yang tadi kaget melihat kemunculan Ki Gendeng Sekarat, sekarang menjadi heran melihat Raja Maut terluka pingsan begitu. "Apa yang terjadi pada dirinya, Ki?"

"Berikan dulu tuakmu padanya, biar luka-lukanya tak sempat merenggut jiwa. Semburkanlah tuakmu, Suto."

"Dia akan lupa pada diriku jika kulakukan penyembuhan menggunakan ilmu 'Sembur Husada' itu, Ki. Sebaiknya bikin dia bisa menelan tuakku."

"Dia pingsan. Mana mungkin orang pingsan bisa menelan tuak?"

"Buat dia sadar dulu dengan cara bagaimanapun."

Ki Gendeng Sekarat menarik napas. Matanya memandang iba kepada Raja Maut. Tapi mulutnya bersungut-sungut dalam gerutuan yang lirih. "Dasar bodoh kau, Prasonco. Melawan orang itu pakai adu kekuatan mata tak akan bisa terkalahkan. Harus dengan siasat."

Rupanya di gua itu Suto Sinting tidak sendirian. Seorang bocah muncul dari luar gua membawa beberapa buah segar. Bocah itu terkejut melihat Ki Gendeng Sekarat dan segera menyapa dengan wajah ceria, "Guru, selamat datang, kita jumpa lagi!"

Bocah itu tak lain adaiah Angon Luwak. Ki Gendeng Sekarat hanya berkerut dahi melihat kemunculan Angon Luwak. Sejak perpisahannya di rumah Ki Empu Sakya, tak terbayangkan kalau ia akan menemui bocah itu lagi. Waktunya sudah berjalan tiga purnama, ternyata pertemuan itu pun masih bisa terjadi. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala melihat keberanian dan keuletan Angcn Luwak yang bercita-cita menjadi pendekar untuk berpetualang. Agaknya bocah itu mendidik diri sejak kecil menjadi petualang.

"Hei, apakah emak dan bapakmu tidak kebingungan mencarimu?!" kata Ki Gendeng Sekarat kepada Angon Luwak.

"Mereka sudah izinkan aku berkelana, Guru. Lalu, diam-diam kuikuti kepergian Kang Suto."

Suto Sinting menambahkan kata, "Aku tak tahu, dan baru kuketahui sejak aku mau meninggalkan pantai, kemarin siang. Akhirnya kubiarkan dia mengikutiku."

"Apakah kau ingin angkat dia sebagai muridmu?"

Suto Sinting tertawa. "Aku belum pantas jadi guru," jawabnya geli sendiri. "Kalau Ki Gendeng Sekarat bersedia, angkat saja dia sebagai muridmu. Kurasa kau akan mempunyai murid yang tangguh dan tidak mengecawakan, Ki."

Ki Gendeng Sekarat memandang Angon Luwak sambil menarik napas. Yang dipandang tersenyum berseri-seri seakan penuh harap dapat diterima sebagai murid Ki Gendeng Sekarat.

"Entahlah. Kutangani si Raja Maut ini dulu, supaya nyawanya belum terlanjur minggat jauh-jauh dari raganya!"

Ki Gendeng Sekarat menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Raja Maut dengan cara menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Raja Maut. Pengerahan tenaga itu membuat tubuh Ki Gendeng Sekarat gemetar dan berkeringat, ia melakukannya beberapa kali. Biasanya tak sampai lama orang yang mendapat saluran hawa murninya akan sadar dari pingsannya. Tapi agaknya luka yang diderita Raja Maut itu cukup parah. Ki Gendeng Sekarat memaklumi, karena ia tahu jurus 'Surya Ganda' yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng itu memang cukup berbahaya dan besar sekali kekuatannya. Wajar jika Raja Maut sampai separah itu.

Angon Luwak memperhatikan cara Ki Gendeng Sekarat melakukan penyembuhan. Hati anak itu bangga melihat orang yang dikagumi bisa melakukan penyembuhan. Buktinya Raja Maut akhirnya siuman, walau tak bisa apa-apa dan mengerang kecil sambil napasnya tersendat-sendat.

Suto Sinting segera meminumkan tuaknya. Mulut Raja Maut dibuka oleh dua tangan Ki Gendeng Sekarat bagaikan seekor ular akan didulang makanan. Begitu mulut terbuka, Suto mengucurkan tuak ke dalamnya sedikit demi sedikit. Angon Luwak tertawa melihat Ki Gendeng Sekarat membuka mulut Raja Maut seperti merenggangkan besi perangkap musang.

"Cukup. Sudah cukup banyak tuak yang masuk," kata Suto sambil menjauh.

"Auuuh...!" Ki Gendeng Sekarat terpekik.

"Kenapa, Ki?" Suto kaget.

Ki Gendeng Sekarat menuding-nuding ke arah mulut Raja Maut. Suto Sinting dan Angon Luwak tertawa melihat tiga jari tangan Ki Gendeng Sekarat terjepit mulut Raja Maut yang mengatup itu. Ia bagaikan sedang digigit oleh Raja Maut. Ki Gendeng Sekarat meringis antara sakit dan geli sendiri. Ki Gendeng Sekarat mengibas-ngibaskan tangannya yang tergigit mulut Raja Maut setelah tangan itu berhasil dilepaskan dari mulut tersebut.

Sedangkan Raja Maut segera tertidur setelah mendapat tuangan tuak beberapa teguk. Biasanya jika orang habis meminum tuaknya Suto, ia akan tertidur dan begitu bangun keadaannya akan menjadi segar, lebih segar dari sebelumnya. Luka-luka pun hilang tak berbekas sedikit pun. Itulah keistimewaan tuak yang sudah tersimpan di dalam bumbung bambu tersebut.

Suto Sinting manggut-manggut ketika Ki Gendeng Sekarat menceritakan pertarungan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Suto pun jadi mengerti apa sebab waktu itu Raja Maut bilang mau ke Pulau Blacan untuk satu urusan. Rupanya urusan tentang Kitab Sukma Sukmi yang berisikan jurus-jurus ilmu maut di dalamnya.

"Mengapa Ki Gendeng Sekarat tidak ikut merebut kitab itu?"

"Karena Eyang Pramban Jati melarang. Kitab itu haknya Raja Maut. Aku tak boleh serakah dan berusaha memilikinya. Karena itu hubunganku dengan Raja Maut selama ini baik-baik saja."

"Kalau begitu, sebaiknya Raja Maut segera kita antarkan ke Bukit Semberani, tempatnya bersemayam. Biar si Pelangi Sutera merawatnya."

"Pelangi Sutera?!" gumam Ki Gendeng Sekarat dengan dahi berkerut heran. "Siapa Pelangi Sutera itu?"

"Bukankah Raja Maut mempunyai murid bernama Pelangi Sutera?!"

Ki Gendeng Sekarat tertegun dalam keheranan. Kejap berikutnya ia berkata, "Raja Maut memang mempunyai seorang murid, tapi namanya bukan Pelangi Sutera. Kalau tak salah murid Raja Maut bernama Srimurti."

"Lho, jadi Pelangi Sutera itu siapa?" Suto menjadi heran kembali. "Dia mengaku sebagai murid Raja Maut di depanku. Apa perlunya? Tapi... tapi dia kelihatannya unggul di depan Ki Lumaksono dan Ki Parandito, utusan Gunung Sesat itu. Kedua tokoh tua itu takut berhadapan dengannya."

"Siapa? Lumaksono dan Parandito?! Mana mungkin dia takut menghadapi murid Raja Maut, sebab kedua tokoh itu ilmunya lebih tinggi dari Raja Maut. Dan mereka... ah, apa benar mereka utusan dari Gunung Sesat? Rasa-rasanya tak mungkin," Ki Gendeng Sekarat bingung, Suto Sinting sendiri akhirnya juga tambah bingung.

* * *

TIGA
PIKIRAN Pendekar Mabuk masih tertuju pada gadis cantik yang bernama Pelangi Sutera. Bukan memikirkan kecantikannya, tapi memikirkan keperluan gadis itu. Mengapa harus mengaku-aku sebagai murid Raja Maut? Sayang Raja Maut masih tertidur sampai sore tiba, sehingga Suto tidak dapat tanyakan berapa sebenarnya murid Raja Maut itu? Satu, dua, tiga, atau seribu?

"Kutunggu di kaki Bukit Semberani esok sore. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."

Itulah kata-kata Pelangi Sutera sebelum berpisah dengan Suto. Kata-kata itu sampai kini terngiang di telinga Pendekar Mabuk. Sedangkan pikiran pemuda itu sedang dikacaukan oleh keterangan dari Ki Gendeng Sekarat tentang murid Raja Maut. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk pergi meninggalkan gua tanpa menunggu Raja Maut bangun, ia pergi sendiri. Angon Luwak tidak diizinkan ikut. Bocah itu tidak keberatan karena dia punya maksud mau dekati Ki Gendeng Sekarat.

Pesan dari Pelangi Sutera mempunyai makna yang sangat rahasia. Ada sesuatu yang perlu diketahui Suto. Sesuatu apa?! Ini yang membuat Suto Sinting gemas dan bergegas menuju Bukit Semberani, tempat persinggahan Raja Maut. Bukit itu sebenarnya tanah tinggi yang ada di tepi pantai. Letaknya di sebelah timur. Dinding bukit sebagian dan batu karang yang tegak jurus dengan permukaan air laut.

Tapi bagian sisi lainnya landai, ditumbuhi oleh tanaman dan mempunyai hutan tak begitu rimbun. Sangat mudah mencari Bukit Semberani, karena bentuk dan cirinya dapat dilihat dari pantai. Tak heran jika sebelum matahari tenggelam Pendekar Mabuk sudah mencapai kaki Bukit Semberani. Tapi di mana Pelangi Sutera berada? Ini yang membuat Pendekar Mabuk berhenti dan garuk-garuk kepala.

"Mungkinkah ia ada di atas bukit, di tempat tinggalnya Raja Maut? Kalau benar begitu, berarti aku harus mendaki bukit itu," pikir Suto.

Tapi sebelum Pendekar Mabuk mengawali pendakiannya, mendadak langkahnya terhenti karena cahaya biru melintas dari arah kirinya. Suto Sinting melompat ke belakang sambil bersalto satu kali.

Wuuut...!

Kilatan cahaya biru itu menghantam gundukan batu karang sebesar rumah. Blaaarrr...!

Wuuut...! Suto Sinting melompat lagi ke belakang sambil bersalto, langsung menelungkupkan badan di rerumputan. Jika tidak begitu, batu sebesar rumah yang pecah menjadi serpihan-serpihan seukuran kepalan tangan manusia dewasa itu akan menghantam kepala Suto Sinting. Untunglah Suto cepat menelungkup di tanah, sehingga kepalanya tak sempat bocor. Tapi ada satu batu yang jatuh di punggungnya.

Taak...! Batu itu mengenai bambu tuak. Kalau tidak, pasti Suto akan nyengir kesakitan ditimpa batu sebesar genggamannya.

Siapa pengirim cahaya biru yang cukup dahsyat itu? Siapa yang punya pukulan dapat menghancurkan batu sebesar rumah menjadi lenyap begitu saja? Mata Pendekar Mabuk pun melirik ke sekelilingnya dengan penuh waspada. Ternyata tak ada manusia disana-sini.

"Pasti dia bersembunyi!" pikirnya. "Kalau begitu aku juga bersembunyi di bawah semak sebelah sana!" Pendekar Mabuk merangkak pelan-pelan mendekati semak-semak rimbun. Begitu wajahnya mendekati semak-semak, ia menjadi terkejut sekali karena di balik semak-semak itu ada seekor babi hutan yang bersembunyi. Moncongnya tepat ada di depan wajah Suto Sinting.

"Jabang bayi!" sentak Suto kaget. Babi hutan itu juga kaget. Karena kagetnya, babi hutan itu menerjang Suto. Sebab ia tak bisa berbelok arah dalam waktu singkat. Suto Sinting terpaksa merapatkan badan ke tanah, ia dilompati babi hutan yang ketakutan. Babi itu segera lari tak mau menengok ke belakang lagi. Tapi jantung Suto sempat deg-degan karena rasa kagetnya.

"Dasar babi!" umpatnya dengan jengkel. Lalu ia tertawa sendiri dalam hati. Tapi segera berpikir curiga dan menggumam sendiri, "Jangan-jangan babi hutan itu yang menyerangku dengan pukulan bercahaya biru?"

Kecurigaan itu segera hilang, karena Suto segera melihat kelebatan bayangan manusia yang melintas di kerimbunan lain. Batin Suto langsung menduga, orang itulah yang menyerangnya tadi. Ia harus mengejarnya. Apakah orang itu Pelangi Sutera atau orang lain?

Claaap...!

Suto Sinting melesat pergi mengejar orang itu. Gerakannya benar-benar cepat, sehingga jika dilukis hanya berupa garis coklat putih saja. Tak bisa dilihat bentuk keseluruhannya. Tapi agaknya orang itu punya siasat untuk lari menghindari kejaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah. Mungkin larinya terlalu cepat sehingga orang yang dikejar tertinggal di belakangnya.

Buktinya ketika Suto berhenti dan celingak-celinguk, tiba-tiba ia merasakan ada hawa panas menyerang dirinya dari belakang. Suto Sinting membiarkan serangan itu datang, meluncur dengar cepat sekali. Suto merasa tenang karena bumbung tuaknya ada di belakang, ia hanya bergeser sedikit ke kiri, maka pukulan jarak jauh berwarna biru itu mengenai bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu membalik ke arah semula, tapi warnanya sudah bukan biru lagi. Merah.

Pasti pemilik pukulan itu merasa heran dan kebingungan, karena gerakan sinar merah itu dua kali lebih cepat dari gerakan semula. Kekuatannya pun berlipat ganda. Tak mungkin si pemilik pukulan itu berani menangkisnya.

Gusraaak...!

Ada orang melompat dari semak yang satu ke semak yang lain. Dan pada saat itu pula sinar merah menghantam pohon dengan telaknya.

Glegaaarrr...! Blaar!

"Edan! Kenapa jadi lebih dahsyat dari aslinya?" pikir si pemilik pukuian. Ia tertegun bengong. Empat pohon hancur seketika dihantam pukulan balik yang berubah warna itu. Dua pohon hancur seketika karena terkena langsung, dua pohon lagi hancur karena terkena getaran gelombang sedaknya.

"Ada orang yang ingin main-main denganku," pikir Suto Sinting. "Akan kulayani biar aku sendiri tahu siapa orangnya."

Pendekar Mabuk segera berlari biasa, seakan kebingungan mencari penyerangnya. Beberapa saat kemudian, ia menampakkan wajah takutnya, ia pun segera lari bagaikan orang ketakutan. Tentunya wajah ketakutan Suto membuat penyerangnya kembali bersemangat untuk melakukan serangan berikutnya. Pancingan Suto berhasil. Orang itu menghadang langkah Suto.

Jleg...!

"Wow...?! Gede amat?!" gumam Suto pelan namun penuh rasa kagum, ia terpaksa mendongak karena orang yang menghadangnya lebih tinggi darinya.

Lelaki bermata besar itu menyerupai raksasa. Singo Bodong masih kalah besar. Benar-benar menyeramkan bagi orang awam. Kulitnya hitam kelam. Kepalanya botak, tapi tengahnya ada sejumlah rambut yang bisa dikuncir. Kumisnya lebat turun ke bawah, ia hanya mengenakan cawat, tanpa pakaian lain. Ia mengenakan anting-anting tapi hanya telinga kirinya saja.

"Ini manusia atau jin?" pikir Suto Sinting sambil memandangi orang tinggi besar berkuncir itu. Wajah angkernya benar-benar menyeramkan. Matanya bagai mau keluar karena melotot kepada Suto Sinting, ia diam saja tanpa bicara. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya menggenggam kuat-kuat. Mengenakan gelang besi hitam di kanan-kirinya. Kakinya tanpa alas. Berdiri tegak dan renggang. Bulu-bulu kakinya tidak begitu lebat tapi berjarak renggang dan panjang.

Baru sekarang Suto berhadapan dengan lawan yang begitu besarnya. Tapi pemuda itu toh tetap tenang, tak tampak gentar sedikit pun. Bahkan ia sempat mengambil bumbung tuaknya, menenggak dua kali tegukan dengan mata tetap melirik ke arah orang tinggi besar itu. Sedangkan orang tersebut justru memandanginya dengan kepala sedikit dimiringkan. Hidungnya mendengus-dengus bau tuak. Dahinya sedikit berkerut, sepertinya merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh Suto.

"Tuak!" ucapnya dengan suara besar.

Setelah itu diam. Suto melirik sambil pelan-pelan menutup bumbung.

"Tuak!" katanya lagi.

Suto menjawab. "Ya. Tuak." Kemudian dahi Suto Sinting berkerut heran. Kemudian pula bambu tuak itu diacungkan. "Kau mau tuak?"

Orang tinggi besar seperti raksasa itu gelengkan kepala. "Mabuk," katanya. Agaknya orang besar itu takut mabuk. Mungkin ia tidak terbiasa minum tuak. Apakah mungkin ia orang baik-baik? Alisnya tebal ke atas, menandakan dia orang sangar. Tak ada tampang jadi orang baik sedikit pun. Suto jadi sangat ingin tahu apa maksud orang besar itu menghadangnya.

"Siapa namamu?"

"Logo," jawabnya singkat seperti tadi.

"Logo...?" gumam Suto sambil manggut-manggut. Ia melangkah ke kiri sambil memandangi Logo, dan mata orang besar itu mengikutinya dengan tajam. Suto kembali ke tempat semula, mata itu mengikuti. Suto berjalan ke kanan, mata itu mengikuti. Suto kembali melangkah ke kiri, juga diikuti. Lama-lama orang besar itu memalangkan kakinya di depan Suto.

"Pusing!" katanya.

Suto tertawa kecil. Hatinya merasa geli. Ia tahu maksud ucapan itu. Logo merasa pusing melihat Suto mondar-mandir. "Kalau kau pusing melihatku mondar-mandir, tinggalkanlah aku."

Logo gelengkan kepala. "Tugas," katanya.

"Tugas? Kau punya tugas apa?"

Tangkap... kau!" ia menuding Suto. Suaranya sedikit menggeram.

"Siapa yang memberimu tugas menangkapku?"

"Ratu," jawabnya tegas dan singkat.

"Ratu siapa? Ratu Kidul?"

Logo geleng-geleng kepala. "Bukan." Setelah itu dia diam saja.

Suto tak sabar dan segera ajukan tanya lagi. "Ratu siapa?"

"Nila Cendani."

"O, Ratu Tanpa Tapak?"

"Tanpa!" jawab Logo sambil anggukkan kepala.

Suto manggut-manggut. Ternyata orang besar itu utusan Ratu Tanpa Tapak. Tugasnya menangkap dirinya. Tentu saja Pendekar Mabuk merasa heran dan tak mau pasrah begitu saja. "Mengapa Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu menangkapku? Apa salahku?"

"Bunuh!"

"Siapa yang kubunuh?"

"Utusan."

Suto Sinting muiai jengkel. "Hei, coba kau bicara yang jelas. Jangan sepotong-sepotong begitu!"

Logo geleng-gelengkan kepala. "Pesan Ratu aku tak boleh banyak bicara. Sedikit bicara banyak bekerja. Jadi aku jawab sepotong-sepotong saja!"

"Konyol!"

"Tidak!" bantah Logo seakan menganggap ungkapan rasa kesal Suto suatu pernyataan yang sungguh-sungguh akan dirinya.

"Artinya jangan banyak bicara adalah jangan bicara melantur," kata Suto menjelaskan. "Kau hanya boleh bicara hal-hai yang perlu, misalnya menjelaskan beberapa masalah yang perlu dijelaskan. Bukan berarti ngomongnya hanya sepotong-sepotong seperti tadi! Biar kau ngomong sepotong-sepotong, tapi kalau sampai sehari semalam, itu sama saja banyak bicara sedikit bekerja. Mengerti?"

"Mengerti!" jawab Logo sambil mengangguk.

"Nah, sekarang jelaskan, apa sebab Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu menangkapku atas tuduhan membunuh utusan! Utusan yang mana maksudnya?"

"Nenggolo, Gaok Lodra, dan Sabit Guntur. Dua dari mereka kau bunuh. Satu pulang, tangannya buntung."

"Aku tidak membunuh mereka."

"Bohong!" gertaknya.

"Bertemu mereka pun tidak. Tapi kalau bertemu mayatnya memang iya!"

"Bohong juga! Kau yang bunuh dia. Kau yang punya nama Gendeng Sekarat!"

"Salah!"

"Benar!" Logo ngotot.

"Aku bukan Ki Gendeng Sekarat! Aku Suto Sinting!"

Logo diam. Kepalanya dimiring-miringkan memperhatikan Suto.

"Aku Pendekar Mabuk, namaku Suto Sinting. Sumpah!"

Logo menyodorkan tangan, mengajak bersalaman. "Sumpah...?!"

"Ya. Sumpah!" lalu Suto Sinting menjabat tangan Logo. Rupanya Logo percaya kata-kata seseorang itu benar jika sudah bersalaman sambil mengucap sumpah.

"Seperti anak kecil saja?" pikir Suto menahan geli. "Oh, remasan tangannya cukup kuat. Untung kutahan dengan tenaga dalam yang sejak tadi telah tersalur di tanganku, jadi jari-jari tanganku tak sempat patah digenggamnya. Tenaganya tinggi dan besar sekali. Sekali jotos, muka orang bisa melesak."

Kreeek...!

Logo menyeringai kesakitan. Rupanya Suto balas meremas tangan Logo dengan kekuatan tenaga dalamnya. Tulang-tulang jari Logo sampai berbunyi, menandakan tenaga remas Suto cukup besar. Logo sendiri membatin dalam hatinya,

"Edan. Sakit juga diremas olehnya. Aku harus hati-hati kalau begini caranya. Tak boleh gegabah dengan orang ini. Selama ini belum ada orang yang bisa membuat jari tanganku gemeretak karena remasannya."

Setelah jabat tangan dilepaskan, Logo manggut-manggut. Matanya yang besar masih memandangi Suto Sinting. Yang dipandang segera naik ke atas gugusan batu, supaya lehernya tidak capek dipakai untuk mendongak terus. Setelah di atas gugusan batu, Suto dapat saling pandang dengan sedikit datar. Tapi masih saja ukurannya lebih tinggi Logo.

"Kurasa kau salah sasaran, Logo. Tapi ada baiknya kau bertemu denganku, sebab aku ada di pihak Ki Gendeng Sekarat."

Logo berkerut dahi hingga alis tebalnya saling bertemu. "Kau tak boleh berpihak kepada Gendeng Sekarat."

"Kenapa?"

"Nanti kau mati di tanganku juga."

"Kau tak akan bisa menjamahku kalau aku sudah mau bertindak."

"Bohong!"

"Sekarang pun kau tak akan bisa memegangku, Logo. Cobalah kalau tak percaya. Ayo, cobalah!" tantang Suto.

Logo segera menyambar tubuh Suto dengan tangan kanannya. Wuuut...! Suto Sinting melompat hanyadengan sentakan kecil ujung jempol kakinya. Suuut...! Tangan Logo justru digunakan pijakan. Dess...! Suto melompat lagi dengan bertumpu menggunakan lengan tangan itu, lalu ia bersalto melintasi kepala Logo. Tangannya memegang kepala botak berkuncir. Plaak...! Telapak tangan itu menyentak di permukaan kepala botak, lalu tubuh Suto kian melayang ke belakang dan bersalto lagi satu kali. Gerakan saltonya cukup cepat. Sambil bersalto ia menjejak tengkuk kepala orang besar itu. Duuhhg...! Keras sekali bunyi yang keluar dari jejakan tersebut.

Logo terdorong ke depan, hampir jatuh tersungkur. Itu tandanya tendangan kaki Suto mempunyai kekuatan yang sungguh besar. Hampir saja kepala dan wajah Logo membentur pohon. Untung kedua tangannya segera menghadang sehingga wajah dan kepalanya tak jadi membentur batang pohon. Tapi pohon itu segera berguncang, daun-daunnya rontok akibat sentakan tangan Logo yang tak sengaja.

Wwrrr...!

Daun-daun yang berjatuhan tak dihiraukan. Logo segera berpaling ke belakang. Suto Sinting sudah bertengger di atas gugusan batu lainnya. Mata Logo menatap garang, tapi mata Pendekar Mabuk memandang lembut, bahkan diiringi seulas senyum tipis di bibirnya.

"Kurang sopan!" geram Logo sambil mengusap kepalanya yang tadi digunakan tumpuan tangan Suto Sinting.

Senyum pemuda itu kian lebar. Logo kian menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat dan siap menyerang Suto. Tetapi Pendekar Mabuk segera ulurkan tangan ke depan dengan telapak tangan terbuka, ia bermaksud menahan gerakan Logo.

"Tunggu, tunggu...! Jangan marah dulu!" katanya. "Itu tadi hanya contoh. Ya, contoh bahwa kau tak akan bisa menjamahku jika kau mau melawanku. Sedangkan aku di pihak Ki Gendeng Sekarat. Kalau kau mau menangkap dia, berarti kau harus berhadapan denganku. Padahal aku tak bisa kau jamah, tapi akulah yang dengan mudah menjamahmu. Apakah itu bukan berarti kau akan mendapat celaka jika bertarung melawanku?"

Logo diam tanpa bicara. Tapi ketegangan amarahnya mengendur. Makin lama makin kendor lagi. Sementara dahi tetap berkerut.

"Coba bayangkan dan pikirkan apa jadinya jika kau bertarung dengan orang yang tak bisa kau jamah!" bujuk Suto Sinting, sebab menurut dugaan Suto, orang itu hanya besar badan dan tenaga tapi otaknya kecil. Mungkin sekecil merica.

"Kalau aku bisa menjamahmu berarti aku bisa memukulmu sewaktu-waktu. Tapi kau tak akan bisa memukulku. Kalau sudah begitu maka siapa yang akan bonyok?"

"Aku!" jawab Logo tegas sambil memegang dadanya.

"Apakah kau mau bonyok?"

Logo menggeleng dengan sedih. "Tidak!" jawabnya.

"Karena itu kau tak boleh melawanku. Paham?" "Paham!" ia mengangguk.

"Kalau kau tak boleh melawanku, berarti kau tak boleh menangkap Ki Gendeng Sekarat. Mengerti?"

"Mengerti," ia mengangguk patuh.

"Sekarang sebaiknya kau pulang saja dan katakan kepada Ratu Tanpa Tapak bahwa kau tidak berhasil menangkap Ki Gendeng Sekarat karena ada Pendekar Mabuk yang menjadi perisainya!'

Logo geleng-geleng kepala lagi. "Tak mau pulang."

"Kenapa?"

"Takut."

"Takut apa?"

"Hukuman."

"Apakah Ratu Tanpa Tapak akan menghukummu jika kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat?"

Logo mengangguk dengan muka sedih, ia mengibaskan jarinya ke leher sambil berkata, "Dipancung!"

"Ooo... jadi kalau kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat, kau akan dipancung sebagai hukumannya?"

"Ya," jawabnya dengan makin sedih, ia pun mundur beberapa langkah dan bersandar pada sebatang pohon besar. Wajahnya tampak sedih, hati Suto Sinting mulai tergerak. Tak mau bersikap bermusuhan dengan Logo.

"Berapa lama kau mengabdi kepada Ratu Tanpa Tapak?"

"Dua."

"Dua tahun?"

"Dua purnama."

"O, dua purnama?!" Suto manggut-manggut. "Apakah kau tak berani melawan Ratu Tanpa Tapak?"

Logo menggelengkan kepala. "Kalah."

"Kalah kuat?"

"Kalah sakti," jawabnya.

"Kalau begitu... hmmm... sekarang apa rencanamu jika tak berani pulang?"

"Ikut...," sambil menuding Suto.

"Maksudmu ikut aku?"

Logo menganggukkan kepala jelas-jelas. "Kenapa kau mau ikut aku?"

"Sulit dijamah."

Suto tertawa sedikit keras. Logo pun ikut tertawa. Tapi tiba-tiba suara tawanya yang bergemuruh itu hilang seketika. Senyap. Wajahnya menjadi tegang. Matanya melirik ke sana-sini dengan cemas. Suto Sinting memperhatikan dengan heran. Lalu, Suto pun ajukan tanya padanya.

"Kenapa?!"

"Ada orang."

"Mana?"

"Entah," jawabnya, tapi tampak kian tegang.

Suto ikut memasang indera pendengarannya. "O, benar. Ada orang menuju kemari," kata Suto dalam hati. "Tajam juga pendergar si Logo itu."

Tak berapa lama, sesosok tubuh melesat dari balik kerimbunan. Melompat dengan tangkas dan lincah. Jleeg...! Tahu-tahu orang itu ada di depan Suto dan Logo. Orang tersebut tak lain adalah si cantik Pelangi Sutera.

"Pelangi Sutera?! Syukurlah kau akhirnya bertemu denganku di sini. Jadi aku tak perlu mencari-carimu," kata Suto Sinting.

Tapi gadis itu memandang Logo dengan bertolak pinggang, tak ada rasa takut sedikit pun. Bahkan kesan jijik melihat Logo hanya mengenakan cawat saja tak ada pada wajah gadis itu. Yang ada hanya sikap angkuh dan berani. Logo cepat-cepat rapatkan kedua kakinya. Lalu ia membungkukkan badan, memberi hormat kepada Pelangi Sutera. Melihat hal itu, Pendekar Mabuk menjadi bingung bercampur heran. Suara ringkik kuda yang ditinggalkan Pelangi Sutera di kejauhan sana tak dihiraukan. Suto lebih tertarik untuk bertanya dalam hati,

"Mengapa Logo bersikap hormat dan takut kepada Pelangi Sutera? Siapa gadis ini sebenarnya?"

* * *

EMPAT
SEBUAH gua karang tepi laut menjadi tempat bernaung menghindar malam. Yang ada di dalam gua itu hanya Suto Sinting dan Pelangi Sutera. Orang besar berkulit hitam ada di luar gua, seolah-olah menjadi penjaga. Di dalam gua itu, mereka nyalakan api unggun. Gua itu agak dalam, bebas dari air laut yang sedang surut. Bukan hanya bebatuan karang yang ada di sana, tapi juga batuan gunung warna hitam pun ada. Gua itu berlangit-langit tinggi. Ada lumut dan kelembaban. Tapi itu tidak mengganggu mereka.

Di depan api unggun Suto duduk bersanding dengan bambu tuak. Bukan bersanding dengan Pelangi Sutera. Gadis itu ada di depannya. Duduk bersandar batu hitam yang tergolong halus permukaannya. Jubah ungu tuanya terbuka lebar-lebar, tapi kain penutup dada dan celana ketatnya masih dipakai. Sumbulan dua bukit di balik kain pinjung penutup dada warna ungu muda itu membuat pemandangan segar bagi seorang lelaki. Hanya saja, Suto tak mau terlalu memperhatikan ke arah kemontokan itu, takut ada sesuatu yang bangkit dan memberontak dalam dirinya.

"Logo adalah anak jin. Jin yang kawin dengan manusia. Ibunya bernama Sumbaruni, ayahnya jin yang bernama Kazmat," tutur Pelangi Sutera dengan mata memandang mesra kepada Suto Sinting. Kalau tak ganteng, tak mungkin dipandang selembut itu.

"Teruskan," kata Suto sambil mengorek kayu api agar api itu tak padam.

"Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa di Gunung Sesat. Waktu itu nama gunung tersebut adalah Gunung Winukir. Petapa itu tak punya anak, dan tak punya istri. Ketika mau meninggal, seluruh ilmunya diturunkan kepada Sumbaruni."

"Apakah Sumbaruni tidak diambil istri sang petapa?"

"Tidak. Petapa itu pantang menikah. Tak punya selera kepada wanita. Sumbaruni bukan hanya diwarisi ilmu, tapi juga diwarisi tempat, yaitu puncak Gunung Winukir. Petapa itu berharap Sumbaruni mau pertahankan Gunung Winukir. Tapi jika memang sudah tak sanggup, sang petapa pun tak melarang Sumbaruni turun gunung. Pada mulanya memang Sumbaruni bertahan tinggal di puncak Gunung Winukir. Ia menjadi wanita yang kesepian. Lalu datang seorang pemuda tampan, ia terpikat dan jatuh cinta. Segala-galanya diserahkan kepada pemuda itu, termasuk kesuciannya. Karena ia wanita yang punya selera, tak mampu bertahan sepi seumur hidup. Akhirnya Sumbaruni hamil oleh perbuatan pemuda tampan itu."

"Apakah tidak mengurangi kekuatan ilmu yang dimiliki?"

"Tidak. Justru bertambah tinggi," kata Pelangi Sutera dengan sungguh-sungguh. "Tapi pada suatu malam, ketika Sumbaruni mau bercumbu dengan pemuda tampan itu, tiba-tiba hujan turun. Petir menyambar gubuknya. Atap gubuk terbakar. Pemuda itu kecewa dan marah. Kemarahan yang disebabkan karena gairah tertunda itu membuat pemuda tampan berubah wujud menjadi jin. Itulah wujud asli pemuda tampan tersebut."

"Jin...?"

"Ya. Jin itu bernama Jin Kazmat. Tentu saja Sumbaruni takut dan tak mau jadi istrinya lagi. Jin Kazmat sedih, ia tak bisa merubah diri menjadi manusia lagi karena murkanya terlontar pada saat hujan turun itu. Akhirnya Jin Kazmat mengakui keberadaannya yang memang tak mungkin beristri Sumbaruni lagi. Ia hanya berpesan agar kandungan Sumbaruni jangan digugurkan, dan mohon agar Sumbaruni mau melahirkan bayinya. Sumbaruni juga punya permintaan yaitu kecantikan masa mudanya dan kesaktian yang bertambah. Jin Kazmat setuju, Sumbaruni pun setuju, akhirnya ia melahirkan seorang bayi yang semakin banyak terkena angin semakin cepat besar. Maka jadilah manusia besar bernama Logo."

"Sejak itu Sumbaruni masih diam di puncak gunung Winukir?"

"Tidak. Sumbaruni berkelana mencari anaknya yang hilang karena badai besar. Bertahun-tahun dia mencari sang anak, akibatnya Gunung Winukir dikuasai oleh Nila Cendani."

"Mengapa Sumbaruni tidak merebut gunung itu dari kekuasaan Nila Cendani? Apakah ia kalah sakti dengan Nila Cendani?"

"Sumbaruni tidak membutuhkan gunung. Sumbaruni membutuhkan anaknya, ia tidak akan berbuat apa-apa sebelum temukan anaknya."

"Apakah ia kawin lagi?"

"Menurut kabar, ia tidak kawin lagi. Perhatiannya terpusat pada sang anak yang hilang. Sekalipun anak itu tumbuh menjadi anak jin yang besar, tapi Sumberuni sayang kepada anak itu. Dari tahun ke tahun Sumbaruni hidup berkelana mencari anaknya. Beberapa tokoh silat tingkat tinggi mengenalnya, tapi tidak semua. Hanya orang-orang dari golongan putih saja yang mengenal Sumbaruni. Tapi Sumbaruni mengenal mereka satu persatu. Seberapa tinggi kekuatan ilmu mereka, sangat dikenali oleh Sumbaruni."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto dengan heran.

"Kabarnya Sumbaruni punya ilmu yang bernama 'Getar Sukma'. Ilmu itu yang membuat Sumbaruni mengetahui ukuran ketinggian ilmu seseorang. Dengan menyebut nama atau mendengar nama seseorang, Sumbaruni punya getaran sukma yang bisa mengukur tinggi-rendahnya ilmu orang tersebut. Makin kencang dan kuat getarannya semakin tinggi ilmu orang tersebut."

"Hebat sekali?!"

Pelangi Sutera tersenyum manis, berkesan menggoda. "Sumbaruni memang orang hebat, tapi dia tak mau menampakkan kehebatannya. Bahkan ia jarang ikut campur di dunia persilatan. Mungkin gurumu sendiri kenal dengan Sumbaruni. Walau tak secara langsung, mungkin pernah mendengar nama Sumbaruni."

"Guruku yang mana? Bidadari Jalang atau Gila Tuak?"

"Keduanya," jawab Pelangi Sutera seakan yakin betul dengan jawabannya. "Dulu, banyak orang yang ingin berguru kepada Sumbaruni, tapi Sumbaruni tidak mau turunkan ilmunya, kecuali untuk sang anak."

"Apakah akhirnya Sumbaruni bertemu dengan anaknya?"

"Ya. Tapi ia sudah tidak mau kembali ke Gunung Winukir."

"Kenapa?"

"Gunung itu telah kotor. Ketamakan dan kelaliman Nila Cendani telah mengotori gunung itu dan Sumbaruni tidak mau peduli lagi. Sekarang yang dilakukan oleh Sumbaruni hanya satu."

"Apa itu?"

"Mencari suami manusia."

Suto manggut-manggut. Sesekali tangannya mengutik-utik api unggun agar tak padam. Sebatang kayu kering yang digunakan mengorek api unggun itu sejak tadi dibuat mainan tangannya sambil mendengar cerita Pelangi Sutera, ia tak sadar kalau dirinya ditatap terus oleh Pelangi Sutera. Tatapan itu punya makna tersendiri. Hati Pelangi Sutera tersentuh dan berbunga-bunga jika sedang berpapasan pandang dengan Suto Sinting. Senyumnya sesekali mekar, cantik, dan manis, seakan dipamerkan kepada Suto.

Secara jujur Suto Sinting mengakui ada rasa tertarik kepada Pelangi Sutera. Tetapi ia ingat calon istrinya Dyah Sariningrum. Rasa tertarik itu pun dibantainya habis-habisan dengan tarikan napas berulang-ulang yang dilakukan dengan tidak kentara. Tapi apakah ia mampu bertahan terus membantai rasa suka yang selalu cepat tumbuh jika berpapasan pandang dengan gadis itu? Pendekar Mabuk cemas, sebab ia tak yakin akan kemampuan bertahannya. Untuk membantu kekuatan imannya, Suto Sinting sering meneguk tuak dan mengosongkan pikiran selama dua-tiga helaan napas. Itulah cara terampuh baginya.

"Lalu, apa maksudmu membuat janji bertemu denganku di kaki Bukit Semberani ini? Apakah benar kau murid Raja Maut?"

"Kau percaya syukur, tidak ya tidak apa-apa," jawab Pelangi Sutera sengaja dibuat samar-samar. "Yang jelas ada sesuatu yang perlu kau ketahui dariku."

"Tentang apa itu?"

"Ancaman jiwamu."

Mata si tampan itu cepat-cepat menatap Pelangi Sutera. Tatapan itu diterima oleh pandangan mata Pelangi Sutera. Diresapi sebagai sebentuk keindahan. Hatinya pun berdebar, jiwa pun gemetar, perut pun lapar. Tapi semua itu sengaja tidak dipedulikan dulu oleh Pelangi Sutera, karena ia harus lanjutkan penjelasannya agar si tampan tak kebingungan.

"Dalam waktu dekat ini kau akan terseret pada perkara yang membuatmu akan terperangkap dalam pelukan Ratu Tanpa Tapak."

"Bagaimana kau bisa tahu hal itu?"

"Logo adalah pengawal sang Ratu. Dulu Logo pernah dikalahkan oleh sang Ratu. Sang Ratu kecewa atas kematian dua utusannya. Logo diutus menyeret pembunuhnya."

"Ya, aku sudah dengar dari mulut Logo sendiri, apa tugas orang besar itu."

"Ki Gendeng Sekarat orang yang diincar oleh sang Ratu untuk dibunuh dalam keputusan pengadilannya. Kau tentunya akan ikut campur karena kau ada di pihak Ki Gendeng Sekarat. Dan jika kau berhadapan dengan Nila Cendani si Ratu Tanpa Tapak itu, jelas keputusan sang Ratu akan berubah. Dia akan naksir kamu dan ingin menikah denganmu."

Pendekar Mabuk tersenyum malu. "Ah, itu belum tentu. Tak ada alasannya sang Ratu berbalik pikiran begitu."

"Alasannya ada. Alasannya ialah... kau tampan dan menawan hati," jawaban ini agak pelan, seakan tercetus tulus dari dasar lubuk hati Pelangi Sutera. Tapi murid si Gila Tuak itu hanya cengar-cengir mencoba tak mengakui kebenaran ucapan itu.

"Aku bersungguh-sungguh. Kau punya daya pikat yang luar biasa. Mungkin kau punya ilmu pemberian bibi gurumu; Bidadari Jalang, yang dapat membuatmu menjadi pemikat kaum wanita. Kalau saja hidup wanita itu mempunyai kebebasan bertindak dan berkuasa atas seluruh kaum lelaki, maka semua wanita akan berusaha menjadi istrimu."

"Ah, kau berlebihan, Pelangi Sutera."

"Tidak. Ini bukan berlebihan. Ini kenyataan. Karena apa yang kurasakan dalam hatiku adalah demikian."

Suto Sinting menatap Pelangi Sutera dengan pandangan yang aneh, namun tak sampai berkerut dahi. Pelangi Sutera membalas dengan pandangan yang lebih dalam lagi, sehingga hati murid sinting si Gila Tuak itu bergetar cukup kuat. Desir-desir keindahan muncul di dalam dada Suto Sinting, ia menjadi salah tingkah dan berusaha mengosongkan pikiran beberapa kali.

Tetapi Pelangi Sutera mendekat. Duduknya pindah ke samping Suto. Tangannya menggenggam lengan Suto. Wajahnya mendekat penuh harap. Suaranya berucap pelan bagai orang berbisik. "Pria sepertimulah yang diharapkan mau menjadi suami Sumbaruni."

"Dari mana kau tahu?"

"Karena akulah Sumbaruni."

"Hahhh...?!"

Mata Suto seperti ditaburi kunang-kunang. Pendekar Mabuk merasa tidak sedang mabuk, tapi pandangan matanya menjadi guncang. Hatinya gemetar, jantungnya deg-degan. Kerongkongan terasa kering. Mulut pun sulit dikatupkan kembali. Kayu yang dipegangnya sampai terlepas begitu mendengar jawaban gadis itu.

Belum sempat terjadi percakapan lebih lanjut, atau tindakan mesra berikut, tiba-tiba Logo masuk ke dalam gua. Ia berdiri dan membungkuk sebentar, kemudian berkata kepada Pelangi Sutera,

"Hawa panas. Ibu, bolehkah aku mandi di laut?"

"Pergilah mandi, tapi jangan lama-lama. Kalau terlalu lama kau bisa masuk angin. Kalau kau masuk angin Ibu susah ngeroki badanmu, Nak."

"Terima kasih, Ibu. Saya akan kerokan sendiri kalau masuk angin."

Setelah itu Logo pergi. Langkahnya membuat gua bergetar. Atap gua menaburkan serpihan tanah dan batu. Tapi tak sampai di bagian atas kepala Suto. Hanya saja, mata Suto Sinting pun memandangi anak jin yang pergi mandi itu. Ternyata apa yang diakui oleh Pelangi Sutera bukan hal yang main-main. Gadis itu, yang ditaksir usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, ternyata benar-benar ibu dari Logo, si anak jin tersebut. Pengakuan itu sulit dipercaya oleh akal sehat Suto, tapi kenyataan yang ada tak bisa dibantahnya.

"Suto," suara Pelangi Sutera terdengar lembut, ia mengusap tangan Suto. Pelan dan penuh perasaan. "Kuingatkan padamu, jangan melibatkan diri dalam perkara ini. Jangan sampai bertemu dengan Ratu Tanpa Tapak, nanti dia jatuh cinta padamu dan menggunakan ilmu pemikatnya untuk menjerat hatimu. Kalau kau sudah terjerat oleh ilmu pemikatnya, kau sulit keluar dari pelukannya."

Suto Sinting menelan ludahnya sendiri untuk basahi tenggorokannya. Ada yang ingin diucapkan. Tapi ia tak tahu harus berucap apa kepada bekas istri jin yang masih imut-imut itu?

"Logo sudah tak berani pulang kepada Ratu Tanpa Tapak. Itu berarti Logo sudah berpihak kepadamu. Untuk menghindari bencana itu, turutilah saranku, Suto. Jangan sampai kau jatuh dalam pelukan Nila Cendani, sebab jika terjadi begitu maka aku akan mengadu nyawa dengannya. Pasti dia yang akan tumbang."

"Kenapa tidak kau tumbangkan saja ratu itu?"

"Dalam urutan silsilah, aku adalah neneknya Nila Cendani. Dia cucu dari almarhum adik bungsuku."

Karena bingungnya, Suto Sinting hanya berkata, "Udara memang panas. Aku perlu cari angin ke luar gua dulu."

"Boleh aku menemanimu?"

Murid sinting si Gila Tuak itu hanya memandang dan memberikan seulas senyum, ia sudah berdiri, tapi tak memberi jawaban pasti, ia melangkah keluar gua. Ternyata di luar keadaan terang benderang. Rembulan memancarkan sinarnya ke bumi tidak tanggung-tanggung lagi. Udara panas itu mungkin disebabkan uap air laut yang menyimpan panas matahari pada waktu siangnya.

Di sebelah barat, tampak anak jin mandi dengan jingkrak-jingkrak, ia berteman ombak dan riak. Suto Sinting memperhatikan sejenak, tersenyum tipis, kemudian melangkah pelan-pelan ke arah timur. Langkah kaki menyusuri pantai begitu pelannya, seakan menikmati alam pikirannya yang sedang berkecamuk tentang Pelangi Sutera.

"Pantas jika Juru Bungkam dan Pawang Gempa takut kepada Pelangi Sutera. Kurasa mereka berdua sudah tahu siapa Pelangi Sutera sebenarnya. Pantas juga Pelangi Sutera menakut-nakuti akan dijadikan tumbal Ratu Tanpa Tapak, karena ia tak ingin aku jumpa dengan ratu itu. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat bertatap muka dengan Pelangi Sutera, pasti dia akan tahu juga siapa sebenarnya si cantik yang menggemaskan itu."

Hawa malam cukup segar. Siraman cahaya rembulan membuat malam hampir mirip dengan pagi. Semilir angin yang berhembus bagaikan membuka kekusutan otak Suto. Karenanya Pendekar Mabuk sengaja duduk di atas batu, menikmati semilirnya angin sambil merenungi apa yang ada dalam kenyataan itu.

Pelangi Sutera akhirnya tak tahan membiarkan Suto sendirian di pantai, ia juga tak tahan membiarkan dirinya di dalam gua. Maka wanita cantik imut-imut itu pun menyusulnya, ia berdiri tak jauh dari Suto, memandang alunan ombak laut yang tak begitu ganas. Jaraknya hanya dua langkah dari Suto. Sambil menatap ke arah lautan, Pelangi Sutera perdengarkan suaranya di sela keheningan malam dan deburan ombak samar-samar itu.

"Tak bolehkah aku mencintaimu, Suto?"

Bingung lagi Suto menjawabnya. Akhirnya ia hanya berkata, "Cinta tak bisa datang secepat ini. Punya perjalanan dan pengalaman sendiri."

"Sebenarnya, cinta ini tumbuh sudah lama. Sejak kau terlibat perkara dengan Siluman Tujuh Nyawa, aku sudah mengikuti perjalananmu secara diam-diam. Aku sering memperhatikan dirimu dalam semadiku. Dan hatiku tertarik padamu. Aku kagum dengan kehebatan ilmumu. Lebih kagum lagi dengan jiwamu. Aku jadi ingin mendapatkan dirimu. Tapi aku tahu, penghalangku terbesar adalah penguasa Pulau Serindu, Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum."

Suto Sinting terkejut mendengar Pelangi Sutera menyebutkan nama itu. Ia cepat-cepat menatap wajah yang menyamping pandangannya. Pelangi Sutera tatap tenang, bicaranya penuh kesungguhan.

"Aku tahu hatimu terpatri di hati Dyah Sariningrum. Tapi percayalah...," ia berpaling memandang Suto. "Aku sanggup mengalahkan dia untuk merebutmu!"

Pendekar Mabuk bagai disambar petir ujung lidahnya. Kaget sekali. Duduknya sampai berdiri. Terhenyak dari batu. Tegang memandang gadis ayu itu.

"Aturlah pertarunganku dengannya. Kapan, dimana, dan bagaimana. Aku siap. Sungguh-sungguh siap bertarung dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi. Aku tak takut pada ibunya, yang menjadi penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib dan bernama Ratu Kartika Wangi itu. Aku tidak takut, Suto!"

Gawat kalau sudah begini, ini benar-benar cinta nekat, ini benar-benar nekatnya cinta. Ratu Kartika Wangi sampai ditantang secara tak langsung oleh Pelangi Sutera. Calon istri sampai ditantang duel pertarungan demi merebutkan cinta. Oh, celaka. Suto benar-benar terpaku di pertengahan cinta, ia jadi muak. Muak kepada cinta yang nekat itu.

"Kau tak mungkin bertarung dengan Dyah Sariningrum, Pelangi Sutera."

"Kenapa tak mungkin? Aku berani. Aku tak takut mati."

"Barangkali kau memang benar-benar berani. Tapi keberanianmu itu memaksaku untuk bertindak tega kepadamu. Sebab sebelum kau bertarung dengan Dyah Sariningrum, kau harus bertarung denganku dulu dan harus bisa membunuhku."

Mata gadis itu menatap tajam. Punya arti tersendiri bagi jiwanya. Suto pun tak kalah tajam memandang, ia segera mendengar wanita itu berbisik, "Sebesar itukah cintamu kepadanya?"

"Ya!" jawab Suto tegas sekali.

Pada saat mereka adu pandang tanpa berkedip, mereka sama-sama mendengar suara langkah cepat dari arah barat. Langkah itu adalah langkah orang berlari. Makin lama makin dekat, dan mereka sama-sama berpaling ke barat. Suto Sinting terkejut melihat siapa yang datang menemuinya di malam terang bulan itu.

Bruuuk...!

"Angon Luwak...?!" seru Suto ketika bocah itu jatuh tersungkur, ia segera menolong dengan mendekatinya.

Angon Luwak ngos-ngosan, tak bisa bicara karena napasnya bagaikan menyumpal tenggorokan. Pelangi Sutera ikut mendekati bocah itu. Suto segera menjelaskan kepada Pelangi Sutera siapa Angon Luwak itu.

"Aku sudah tahu," kata Pelangi Sutera. "Aku juga tahu dia punya ilmu 'Genggam Buana'. Gendeng Sekarat yang memberikan ilmu itu lewat mimpinya."

"Tapi... tapi apakah kau tahu sebabnya datang kemari?"

"Tanyakan saja padanya. Aku bukan peramal," Pelangi Sutera agak ketus.

"Angon Luwak, mengapa kau kemari? Mengapa berlari-lari begini?"

"Guru diculik orang."

"Gurunya siapa?"

"Gur... guruku, Kang!"

"Maksudmu, Ki Gendeng Sekarat?"

"Bet... betul. Diculik orang... hhmmm... jumlahnya... ada tujuh orang."

"Ki Gendeng Sekarat bukan orang lemah, Angon Luwak. Kau tahu sendiri."

"Ya. Tapi... tapi mereka semula menawanku. Guru terpaksa menyerah dan membiarkan dirinya dirantai, lalu dibawa pergi ke... ke Gunung Sesat."

"Celaka!"

"Aku sendiri hampir celaka, Kang! Tapi aku segera dilepaskan."

"Mengapa kau tidak melawan dengan ilmu 'Genggam Buana' yang kau miliki itu?! Apakah kau tak mau menolong Ki Gendeng Sekarat?"

"Kedua tanganku sudah dicekal mereka lebih dulu. Aku tak bisa apa-apa."

"Lalu...?" Suto Sinting tampak gelisah, ia memandang Pelangi Sutera, tapi yang dipandang diam saja. Angon Luwak berusaha meredakan napasnya yang terengah-engah. Suto Sinting kembali bertanya dengan tegang.

"Lalu... bagaimana dengan Raja Maut?"

"Kakek Raja Maut tumbang, Kang."

"Mereka yang menumbangkan?"

"Benar."

"Jadi... Raja Maut mati?"

"Belum," jawab Angon Luwak. "Waktu kutinggal lari mencarimu, dia belum mati. Entah kalau sekarang. Lukanya parah sekali."

Mata Pendekar Mabuk kembali menatap Pelangi Sutera. "Aku harus ke sana. Setidaknya melihat keadaan Raja Maut. Bukankah kau pernah mengaku sebagai muridnya?"

"Aku bohong padamu, supaya kau percaya saranku."

"Lain kali jangan bohongi aku lagi. Aku tak suka. Dan..., mari kita ke sana, Angon Luwak. Mudah-mudahan Raja Maut belum terlambat kutangani."

"Bagaimana dengan guruku, Kang? Apakah kau tak ingin menolongnya?'

"Dari sana nanti kita langsung pergi ke Gunung Sesat! Kita"

"Tidak!" potong Pelangi Sutera. "Aku tidak izinkan kau ke sana!"

"Ki Gendeng Sekarat sudah kuanggap ayahku sendiri, Pelangi Sutera. Aku tak bisa membiarkan Ki Gendeng Sekarat menjadi tawanan Nila Cendani. Pasti dia akan mati di tangan Ratu Tanpa Tapak itu!"

"Kataku, jangan!" tegas Pelangi Sutera. "Kalau kau nekat, aku akan menghalangi langkahmu!"

"Aku akan melawanmu kalau kau menghalangiku!" balas Suto membuat Pelangi Sutera menatap kian tajam, dan Suto tegang menghadapinya.

Dari arah timur muncul Logo yang melangkah mendekati ibunya. Angon Luwak kaget, takut, lalu berseru sambil bersembunyi di belakang Suto.

"Kaaang... ada setan, Kang. Aku takuuuut!"

"Ssst ! Dia bukan setan!"

"Setan, Kang. Setan asli!" Angon Luwak gemetar ketakutan sambil sembunyikan wajahnya, masuk ke dalam baju Suto bagian belakang.

Suto menggelinjang kegelian karena punggungnya di dusal-dusal oleh wajah bocah itu. Pelangi Sutera tak kuat menahan tawa. Ia tundukkan kepala sambil tersenyum. Hal itu digunakan Suto untuk membujuk Pelangi Sutera.

"Biarkan aku datang. Jangan halangi aku ke sana."

* * *

LIMA
KALAU bukan karena demi menyelamatkan Angon Luwak, Ki Gendeng Sekarat tak mungkin menyerah kepada orang-orang Gunung Sesat, dua dari tujuh orang yang menangkap Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan. Satu orang dilumpuhkan oleh Raja Maut, satu lagi dilumpuhkan oleh Ki Gendeng Sekarat sendiri. Tetapi Raja Maut segera tumbang di tangan Lasogani, pentolan dari ketujuh orang tersebut. Sedangkan Ki Gendeng Sekarat terpaksa hentikan perlawanannya karena Angon Luwak digunakan sandera oleh mereka.

Kini tubuh Ki Gendeng Sekarat dililit rantai. Kedua tangannya dikebelakangkan dalam keadaan terbelenggu rantai. Dari bawah pundak sampai ke perut pun dililit rantai. Rantai itu bukan sembarang rantai. Lasogani mempunyai rantai penjerat yang dinamakan 'Rantai Neraka'. Jika orang yang dijerat rantai itu berontak ingin melepaskan diri, maka rantai itu akan menjadi lebih kencang sendiri.

Semakin orang yang dijerat berontak terus, semakin kuat rantai itu menjerat. Bisa-bisa memotong bagian tubuh orang tersebut karena kekuatan jeratnya. Rantai Neraka merupakan senjata bagi Lasogani baik untuk pertarungan maupun untuk menangkap buronan.

Tujuh orang utusan dari Gunung Sesat itu kini yang masih punya kekuatan hanya lima orang. Yang dua terpuruk di atas punggung kuda, namun masih bernyawa. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena seluruh tulangnya bagai dipatahkan oleh serangan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut. Dua orang yang terpuruk itu dijadikan satu di atas punggung kuda. Sedangkan satu ekor kuda lainnya digunakan untuk membawa Ki Gendeng Sekarat.

Kuda yang dipakai membawa Ki Gendeng Sekarat dalam penjagaan dua orang di kanan kiri, sedangkan tali kekang kuda ada di tangan Lasogani yang menunggang kuda di depannya. Kedua kaki Ki Gendong Sekarat juga diikat dengan rantai yang dililitkan ke badan kuda. Sekalipun kuda berlari cepat, tubuh Ki Gendeng Sekarat tak akan jatuh terpental dari atas kuda.

Mereka tak langsung membunuh Ki Gendeng Sekarat. Ratu Tanpa Tapak memerintahkan mereka untuk menangkap Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan hidup. Pengadilan sang Ratu nantinya yang akan menjatuhkan hukuman untuk Ki Gendeng Sekarat; dipancung atau digantung. Keduanya memang sama-sama mematikan. Tapi agaknya sang Ratu tak ingin Ki Gendeng Sekarat mati di tangan anak buahnya tanpa keputusan yang pasti dari dirinya.

Gunung Sesat letaknya agak jauh dari tempat penangkapan itu. Mereka menempuhnya dalam satu malam lebih. Mereka tidur di atas punggung kuda secara bergantian. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tidur dengan nyenyak bagaikan tak mau peduli lagi dengan nasib dirinya. Sampai matahari menyingsing pun Ki Gendeng Sekarat yang memang doyan tidur itu masih memejamkan mata. Tetapi ia mulai sadar bahwa derap kaki kuda menjadi pelan dan akhirnya mereka berhenti.

Ada apa mereka berhenti? Ki Gendeng Sekarat tetap mengetahui sebabnya walau ia dalam keadaan tidur. Dua orang tokoh itu berdiri menghadang langkah mereka. Yang satu berambut putih panjang berikat kepala kain merah dan berjubah abu-abu, sedangkan yang satunya lagi rambut putih pendek botak tengahnya, berjubah merah dengan tongkatnya yang berujung runcing panah.

"Balung Kere, temui mereka! Tanyakan apa maunya menghadang kital" perintah Lasogani kepada Balung Kere yang kurus kering dengan pakaian compang-camping mirip pengemis. Itulah sebabnya ia dijuluki Balung Kere alias Tulang Miskin. Sekalipun kurus kering mirip tengkorak, tapi Balung Kera punya keberanian cukup tinggi. Tak ada rasa gentar sedikit pun ketika ia mendekati dua penghadangnya itu.

Dengan mata cekung dan dingin ia menyapa, "Mau bertingkah apa lagi kalian berdua, hah?! Kuingatkan kepada kalian, Pawang Gempa dan Juru Bungkam, kami tak punya waktu untuk main-main dengan orang tua ingusan seperti kalian. Jadi sebaiknya pergilah dari hadapan kami. Jangan bikin kami murka pada kalian!"

Kedua penghadang itu ternyata adalah Ki Lumaksono atau si Pawang Gempa dan saudara seperguruannya; Ki Parandito atau si Juru Bungkam. Meraka tampak tenang menghadapi gertakan Balung Kera.

"Aku tahu siapa orang yang kau tawan itu," kata Pawang Gempa yang memegang tongkat berujung tanpa bentuk. "Aku kenal dengan Gendeng Sekarat. Dia sahabatku. Jadi kusarankan lepaskan saja dia. Karena jika tidak kalian lepaskan, kami bisa tampakkan murka di depan kalian."

Juru Bungkam berseru, "Gendeng Sekarat! Bangunlah! Kami ada di depanmu!"

Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan tidur berkata malas-malasan, "Aku tahu, kau Parandito dan Lumaksono! Kalem saja, Sobat!"

Balung Kere berjalan mendekati Lasogani tanpa menggunakan kuda. "Kau dengar sendiri ancaman mereka, Lasogani. Manis sekali, bukan?"

"Manis dengkulmu!" geram Lasogani. "Hadapi mereka berdua. Bunuh!"

"Yah, kalau memang kau perintahkan untuk membunuh, apa boleh buat. Aku pun tak akan sia-siakan perintah itu," kata Balung Kere yang segera kembali menghadapi kedua tokoh tua tersebut. "Kau dengar sendiri, Pawang Gempa. Aku disuruh membunuh kalian berdua. Saranku, jangan banyak tingkah. Pasrah saja. Aku punya cara membunuh tanpa menimbulkan rasa sakit."

"Kurang ajar! Seenaknya dia bicara, Juru Bungkam!"

Juru Bungkam masih diam. Balung Kere mencabut kapak di pinggangnya. Caranya mencabut tenang sekali. Bahkan sedikit kesulitan karena ujung gagang kapak tersangkut ikat pinggangnya. Sementara yang lain masih tetap duduk di punggung kuda, menunggu perintah dari Lasogani.

Balung Kere sudah berhasil mencabut kapaknya, ia maju setindak dan berkata bagaikan tanpa perasaan apa-apa. "Sekarang sudah waktunya un... un... un... un..."

Balung Kere sulit bicara, karena Juru Bungkam menyambar sesuatu di depan dadanya dan tangan menggenggam bagaikan menangkap lalat. Itulah jurus pembungkam yang dimilikinya, membuat Balung Kere menjadi sulit bicara. Tapi agaknya Balung Kere masih memaksakan diri untuk bicara, sehingga mulutnya tercengap-cengap dan badannya bergerak-gerak, kepalanya oleng sana-sini karena ingin ucapkan sesuatu.

"Kuuk... mmuuk... kekk... seeekk... buuuk... ngggiiik... ngiiik"

"Hoi...!" bentak Lasogani. "Ngomong apa kau ngak-ngik, ngak-ngik, begitu?!"

Balung Kere menuding-nuding Juru Bungkam sambil memandang Lasogani. "Sul... sulll suull... ngiiik... ngook... nyuk... nyuk"

"Dia dibungkam orang itu," kata Tamboi yang berada tak jauh dari Lasogani. Hal itu membuat Lasogani kian jengkel.

Tangan Ki Parandito masih menggenggam di depan dada. Balung Kere masih ngak-ngik, ngak-ngik tak karuan. Lasogani segera melemparkan sesuatu dari tangannya. Slaaap.! Senjata rahasia berbentuk bintang segi delapan melesat ke arah Ki Parandito, si Juru Bungkam. Kilatan cahaya putih mengkilap itu disambut dengan lemparan tangan yang menggenggam.

Slaaap...! Sinar merah melesat dan menghantam senjata rahasia Lasogani.

Blaarr!

Asap mengepul akibat benturan senjata rahasia dengan sinar merah yang meledak cukup dahsyat. Balung Kere terpental jatuh terduduk dan meringis karena tulang ekornya terbentur batu. Ia tak bisa mengaduh karena masih dalam keadaan dibungkam oleh Ki Parandito. Karena setelah melemparkan sinar merah tadi tangan Ki Parandito kembali menggenggam bagaikan memberangus mulut lawan.

"Tamboi, turun dan serang dia. Jangan banyak bicara!" perintah Lasogani.

"Heaaat...!" Tamboi yang berbadan gemuk segera melompat dari punggung kuda. Golok besarnya cepat dicabut dari pinggang dan ditebaskan ke arah Juru Bungkam.

Wuuung!

Tapi Juru Bungkam bagaikan lenyap dalam sekejap. Padahal ia melompat mundur dengan sangat cepatnya. Golok besar itu menebas tempat kosong, sampai di depan mata Ki Lumaksono. Dengan cepat dan sigap Ki Lumaksono sentakkan tongkatnya ke atas untuk menangkis laju golok besar itu.

Traak...! Krang...!

Golok itu gompal. Patah bagian tajamnya. Tamboi terperangah sekejap memandangi gompalan goloknya. "Monyet..!" geramnya. Tapi ia tahu ujung golok masih runcing, sehingga dengan cepat ia hunjamkan ujung golok itu ke leher Ki Lumaksono.

Wuuut...!

Jubah abu-abu itu hanya memiringkan badan untuk menghindar. Seet...! Tapi alangkah kagetnya, karena ternyata golok itu belum bergerak maju. Dalam penglihatannya tadi golok itu sudah dihunjamkan, ternyata masih ada di tempatnya. Sehingga ketika Ki Lumaksono miring ke kanan, golok itu pun benar-benar maju ke depan menghunjamnya.

Wuuut...! Trak...!

Untung Ki Lumaksono punya gerak yang amat cepat untuk mengangkat tongkatnya. Ujung golok itu menancap di kepala tongkat. Tamboi menekan terus, ia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya hingga ujung golok bagaikan membakar kepala tongkat. Ki Lumaksono pun kerahkan tenaga dalamnya melalui tongkat tersebut. Sehingga kejap berikutnya golok tersebut menjadi merah membara, bagaikan terpanggang api yang amat panas. Lalu Ki Lumaksono meludahi golok itu.

Jrooss...! Golok itu padam dan tahu-tahu sudah menjadi arang tak berguna. Pruuus...! Golok itu hancur menjadi serpihan hitam.

Mata Tamboi terbelalak. Ki Lumaksono cepat sentakkan kakinya ke depan. Wuuut...! Tak sampai menyentuh perut Tamboi. Tapi kekuatan tenaga dalam yang terpancar di ujung kaki itu menghantam telak ulu hati Tamboi.

Buuhg...!

"Heggh...!" Tamboi kian mendelik. Mulutnya ternganga seketika sambil semburkan darah segar dari mulutnya, ia tertatih-tatih limbung mundur. Kedua tangannya masih merenggang badannya sedikit membungkuk ke depan. Akhirnya Tamboi pun jatuh tepat di depan kuda Lasogani.

Bruugh ...!

"Tewas...," gumam Balung Kere dengan sedih melihat nasib temannya.

"Tewas matamu!" sentak Lasogani kepada Balung Kere dengan marah sekali. "Maju, balas dia!"

"Hiaaat...!" suara kecilnya melengking seketika walaupun ia belum melompat dan belum bergerak apa-apa. "Hiaat...!" teriaknya lagi panjang dan lengking sambil mencari di mana kapaknya tadi tertinggal saat jatuh. "Hiaaat...!" teriaknya sekali lagi. Tapi tiba-tiba,

plook...!

Wajah kurus itu ditampar kuat oleh Lasogani yang melompat dari punggung kuda. Balung Kere terpental jatuh telentang dengan gelagapan. Wajahnya merah karena bekas tamparan keras tadi.

"Napas Setan! Tangani dua orang itu! Cepat!"

Napas Setan yang sejak tadi diam saja di samping kuda Ki Gendeng Sekarat segera turun. Wajahnya angker. Tak ada senyum sedikit pun. Napas Setan segera mencabut golok berujung trisula dari tempatnya di sisi pelana kuda. Pada saat itu Ki Gendeng Sekarat perdengar suaranya.

"Kau akan mati juga di tanganku, Nak!"

Napas Setan yang kira-kira berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang Ki Gendeng Sekarat yang tundukkan kepala karena tidur, ia menggeram dan segera ingin menikamkan tombak trisulanya. Tapi Lasogani segera berseru,

"Bukan dia! Tapi dua orang itu, Tolol!"

Napas Setan mendengus benci sebelum pergi. Ki Gendeng Sekarat masih terkulai tidur bagai tak pedulikan dengusan itu.

"Cepaaat...!" teriak Lasogani dengan berang sekali.

Napas Setan tiba-tiba sentakkan kaki dan tubuhnya melayang menukik dengan tombak trisula mengarah ke dada Ki Lumaksono. "Heaaahhh...!" teriaknya serak dan menyeramkan, sesuai dengan tubuhnya yang kekar dan tinggi.

Tetapi Ki Lumaksono justru melompat ke samping, tak mau menangkis atau membalas serangannya. Namun Ki Parandito yang ada di belakangnya segera sentakkan tongkatnya lurus ke depan. Claaap...! Dari ujung tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu rupanya adalah panah besi yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas Setan segera menangkis dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke samping.

Trang...! Duaaar...!

Nyala api memercik akibat tangkisan dua senjata ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Bahkan ada beberapa dahan yang masih muda patah dan berjatuhan. Tombak trisula itu diputar cepat.

Wut, wut, wut...!

Tahu-tahu sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri tegak dengan kaki kekar merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang tajam mempunyai gairah membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat Ki Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera melangkah dengan santai sambil mengayunkan tongkatnya. Kini jarak Ki Parandito dengan Napas Setan hanya tiga tindak.

Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan ketenangannya walau ia berkata dengan suara berat, "Keluarkan semua ilmumu, aku akan melayanimu, Bocah Bagus!"

Fuih..! Napas Setan sentakkan napasnya melalui hidung. Ki Parandito kaget menerima napas yang bagaikan gelombang panas cukup besar itu. Wuuut...! Tubuh Ki Parandito terlempar tujuh langkah ke belakang tanpa berguling-guling.

Ki Lumaksono juga kaget. Segera disentakkan tongkatnya menghantam tanah. Duuug...! Lalu bumi berguncang bagaikan dilanda gempa. Tubuh Napas Setan terlempar ke atas. Wuuut...! Keseimbangannya limbung. Ki Parandito yang sudah tegak kembali itu segera sentakkan tongkatnya.

Wuuut...! Claaap...!

Anak panah merah meluncur dari ujung tombak. Karena Napas Setan dalam keadaan kaget saat terlempar di luar dugaan, maka ia tak sempat menangkis anak panah itu. Akibatnya anak panah yang kali ini menancap tepat di jantungnya.

Jruub! Blaaar...!

Pecah. Anak panah itu bagai tombol peledak, begitu menyentuh benda langsung meledak. Karena yang disentuh adalah jantung Napas Setan, maka jantung itu pun segera pecah bersama serpihan tubuh Napas Setan.

Lasogani belum sempat menyadari saat terjadinya peristiwa itu, karena ia sendiri terguncang dan terlempar ketika Ki Lumaksono timbulkan gempa setempat. Tubuh Lasogani menjatuhi Balung Kere yang terhimpit badan kuda milik Tamboi.

"Mati aku...!" suaranya berat dan ngotot dengan mata mendelik. Balung Kere berusaha menahan beban. Karena bukan hanya kuda dan tubuh Lasogani yang kebetulan jatuh menindih dirinya, tapi kedua tubuh temannya yang sudah dilumpuhkan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut itu juga terlempar karena gempa dan jatuh tepat menutup wajahnya.

Ki Gendeng Sekarat hampir saja tumbang dari atas kuda karena getaran gempa tadi. Ia hanya terkulai di punggung kuda dalam keadaan tengkurap. Tapi masih saja tertidur. Bahkan semakin merebah, menempelkan pipinya di leher kuda bagaikan tidur di atas bantal. Dengkurannya terdengar samar-samar.

Sementara itu si Patuh Pendek, orang yang berleher pendek dan menjadi satu-satunya penjaga tawanan, juga terpelanting jatuh dari punggung kuda akibat getaran gempa tadi. Namun ia tidak mengalami cedera apa-apa karena ketika jatuh ia cepat-cepat berpegangan pelana kuda.

Lasogani bangkit dengan bertambah berang. "Jahanam busuk!" makinya dengan memandang tajam kedua lawannya. "Balung Kere...! Jaga tawanan itu. Balung Kere...?! Mana dia, Paruh Pendek?! Balung Kere...! Bangsat itu lari?!"

"Aku di siniii...," seru Balung Kere tertutup badan kuda dan kedua tubuh temannya. Kuda itu sendiri mengalami patah kaki hingga sulit berdiri.

Lasogani makin jengkel melihat Balung Kere tak berkutik, ia biarkan orang itu melepaskan diri dari tubuh kuda yang meringkik ringkik itu. Ia segera dekati Paruh Pendek, orang yang bagai tak memiliki leher itu.

"Maju, lawan mereka. Bunuh semuanya! Aku yang jaga tawanan ini!"

"Dari tadi mestinya kau tugaskan aku begitu!"

"Kerjakaaan...!" teriak Lasogani yang bertubuh kekar berkumis tebal dan berkepala sedikit botak bagian belakangnya.

Paruh Pendek maju menghadapi Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Tombak berujung sabit diambil dari tempatnya di samping pelana kuda. Kilatan matahari memantul dari ketajaman sabit tersebut.

Lasogani sempat menggerutu melihat Ki Gendeng Sekarat yang tidur tengkurap di atas punggung kuda. "Monyet juling! Yang lain bertarung taruhan nyawa, dia malah enak-enak tidur. Uuuh...! Kalau tak takut perintah sang Ratu, sudah kubunuh orang ini sejak tadi!"

Paruh Pendek memainkan jurus tombaknya didepan Ki Parandito. Gerakan jurusnya begitu cepat, sehingga tombak itu bagaikan membentuk perisai yang rapat dan sukar ditembus. Tetapi Ki Parandito bukan orang bodoh, ia sengaja diam saja dan tetap tenang, seperti yang dilakukan Ki Lumaksono. Ia memperhatikan gerakan itu baik-baik. Tapi anehnya Paruh Pendek sejak tadi bergerak terus tiada hentinya, seakan tak pernah merasa lelah dalam gerakan secepat itu. Wajahnya bagai sulit dipandang lagi karena kecepatan gerak tombaknya menutupinya. Suara gerakan tombak itu mendengung bagaikan lebah.

"Mundur. Biar aku yang hadapi," kata Ki Lumaksono kepada Ki Parandito.

Tongkat warna coklat segera diputar di atas kepala. Bunyinya seperti gaung gangsing. Itu menandakan putaran tongkat lebih cepat dari putaran gerak tombak Paruh Pendek. Rupanya kecepatan putaran tongkat itu menimbulkan lingkaran gelombang cahaya biru. Semakin lama semakin melebar dan mendekati gerakan tombak Paruh Pendek. Sedangkan gerakan tombak itu makin lama makin keluarkan asap yang membungkus diri.

"Heaaah...!" sentak Ki Lumaksono sambil hentakkan kaki ke tanah.

Duug...!

Lingkaran sinar biru melesat menerjang asap tersebut. Memerciklah bunga api beberapa saat mirip percikan kembang api mainan. Tetapi dalam kejap berikut, sebuah ledakan dahsyat terdengar menggelegar dan membahana.

Duaaar...!

Asap semakin tebal, menjulang ke langit bagai letusan gunung. Warnanya hitam kebiru-biruan. Suara gaung gangsing hilang. Suara dengung lebah hilang. Mereka memandang tubuh Paruh Pendek yang dibungkus asap tebal itu. Tegang dan penasaran, ingin tahu hasilnya. Asap itu makin lama makin menipis. Dan wujud Paruh Pendek terlihat samar-samar. Orang itu masih berdiri tegak dengan tombak tergenggam di tangannya. Tapi pakaiannya sudah rusak berat. Compang-camping mirip gelandangan. Pakaian itu rusak karena ledakan dahsyat tadi.

Ki Lumaksono dan Ki Parandito merasa heran. Dalam bisikan Ki Parandito terdengar melambangkan rasa kagumnya. "Biasanya orang yang terkena jurus 'Petir Biru' milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh. Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali?!"

Ki Lumaksono agak malu juga mendengar bisikan itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan seperti si Paruh Pendek. Ki Lumaksono hanya diam, terpaku di tempat memandangi Paruh Pendek. Asap makin hilang, wujud Paruh Pendek makin jelas. Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami cedera. Balung Kere yang sudah berhasil bangkit lagi itu tertegun bengong melihat keadaan Paruh Pendek yang hampir tidak berpakaian itu.

"Serang lagi! Serang lagi mereka, Paruh Pendek!" seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap tersungging tipis sejak tadi.

Lasogani pun segera memberi perintah, "Balas perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga, Bodoh!"

Tetapi Balung Kere menjadi berkerut dahi melihat Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pelan-pelan ia mendekat dan memeriksanya, ia menyentuh tubuh Paruh Pendek dengan maksud untuk menyadarkan temannya itu. Tapi alangkah kagetnya setelah tangan Balung Kere menyentuh lengan Paruh Pendek, ternyata daging lengan itu terbawa ke tangan Balung Kere. Pluk...! Daging yang lengket di jari Balung Kere jatuh ke tanah. Balung Kere penasaran, ia memegang punggung Paruh Pendek. Croob...!

"Astaga! Dia sudah mati empuk!" seru Balung Kere kepada Lasogani.

Sentuhan itu membuat tubuh Paruh Pendek terguncang dan akhirnya jatuh. Lasogani mendelik melihat Paruh Pendek jatuh bagaikan pepaya busuk. Lembek dan langsung bonyok. Rupanya sejak tadi Paruh Pendek sudah tak bernyawa, ia mati dalam keadaan daging dan tulangnya menjadi empuk bagai habis direbus lahar gunung berapi. Tombaknya sendiri segera menjadi debu sampai bagian besi sabitnya.

Ternyata jurus 'Petir Biru' milik Ki Lumaksono punya akibat yang amat buruk bagi lawan. Kali ini memang lawan tak bisa hancur, namun mati empuk seperti pepaya busuk. Ki Parandito akhirnya tersenyum tipis dan manggut-manggut, mengakui kehebatan jurus itu. Hanya Ki Lumaksono yang mampu pelajari jurus itu, karena dulu Ki Parandito gagal menerima jurus tersebut dari gurunya.

"Kalian benar-benar keterlaluan!" geram Lasogani. "Sudah saatnya kalian mati di tanganku, Tua Bangka! Heaaatt...!" Lasogani segera melompat menyerang Ki Lumaksono dengan tangan kosong. Tapi kedua telapak tangannya sudah berubah menjadi bara merah yang mengepulkan asap.

Balung Kere pun tak mau tinggal diam karena tak mau disalahkan Lagi. Ia melompat dengan kapak siap dihantamkan ke kepala Ki Parandito. Gerakannya cukup cepat dan liar. Tetapi Ki Parandito segera melompat juga menyongsong serangan lawannya. Tongkatnya dikibaskan menghadang ayunan kapak tersebut.

Traaang...! Trrang...! Praak...!

Kapak itu bagaikan membentur besi baja. Parahnya lagi, ujung tongkat Ki Parandito sempat menghantam gagang kapak dan membuat gagang kapak patah seketika. Kapak itu menjadi sangat pendek. Balung Kere kaget saat dia memandangi kapaknya. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Parandito untuk menendang dada Balung Kere dengan tendangan putar yang amat cepat.

Weees...! Buuhg...!

"Uuhhg...!" Balung Kere terlempar jauh dan memuntahkan darah kental, ia mendelik dan tercengap-cengap sambil pegangi dadanya.

Pada saat itu, Lasogani sedang beradu kekuatan tenaga dalam dengan Ki Lumaksono. Ketika kedua telapak tangan Lasogani menghantam tubuh Ki Lumaksono, tongkat tokoh tua berjubah abu-abu itu menyilang di dada. Akibatnya telapak tangan itu terhalang tongkat Ki Lumaksono memegangi bagian tengah tongkat sedangkan tangan Lasogani ada di kanan-kiri tongkat.

Mereka saling dorong dan saling adu kekuatan. Tongkat itu pun mengepulkan asap hitam karena remasan tangan Lasogani membakar kayu coklat tersebut Ki Lumaksono salurkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi ke tongkat itu. Sebab jika tongkat patah, maka tangan lawan akan menyentuh dadanya, dan pasti tubuh Ki Lumaksono akan bolong terbakar tangan membara tersebut.

Wuuut...! Buuhg...!

Tongkat Ki Parandito tiba-tiba berkelebat menghantam pinggang belakang Lasogani. Akibatnya Lasogani mendelik dan tak bisa terpekik karena rasa sakit yang luar biasa bagaikan mematahkan tulang belakangnya. Pada saat ia mendelik dan kekuatannya berkurang, Ki Lumaksono menendang lurus ke ulu hatinya. Tak sampai menyentuh, namun tenaga dalam yang keluar dari ujung kaki sama besar dengan yang dilepaskan untuk Tamboi tadi.

Buuhg...!

"Uuhg...!" Lasogani terlempar mundur dan jatuh terguling-guling, ia memuntahkan darah dari mulutnya, tapi hanya sedikit. Ia masih sanggup berdiri dengan satu lutut. Itu menandakan ilmunya lebih tinggi dari Tamboi tadi. Jika tidak, maka nasibnya akan semalang Tamboi. Nyatanya Lasogani masih bisa angkat wajah dan menggeram penuh dendam.

"Kuat juga dia?!" gumam Ki Lumaksono. "Biar kuhabiskan kalau dia tak mau lepaskan Gendeng Sekarat!" kata Ki Parandito sambil melangkah maju sampai berjarak empat tindak dari depan Lasogani. Ia berkata dengan tenang tanpa engahan napas.

"Bebaskan Gendeng Sekarat dari pengaruh rantai pusakamu itu! Atau kau akan menemui nasib seperti ketiga temanmu itu?"

"Kau yang akan menyusul mereka ke alam baka! Hiaaat...!" Lasogani sentakkan tangannya dalam keadaan masih berdiri satu lutut. Cahaya kuning melesat menghantam Ki Parandito.

Tapi tangan Ki Parandito pun melepaskan pukulan maut bersinar merah. Pukulan sinar itu saling membentur. Blaar...! Lasogani terpelanting jatuh ke belakang. Wajahnya merah matang. Ki Parandito ingin menghabisi lawannya agar tak terlalu membuang waktu banyak. Tetapi ketika ia melompat dengan tongkat siap dihunjamkan, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dan menerjangnya dari samping.

Wuuut...! Bruuus...!

Ki Parandito terpental jatuh enam langkah jauhnya. Tubuh yang menerjangnya berdiri dengan sigap dan kekar. Ki Parandito terkejut, demikian pula Ki Lumaksono yang mendelik melihat siapa tokoh yang datang bermaksud menyelamatkan Lasogani dan Balung Kere itu.

"Guru....!" Ki Lumaksono tersentak dengan suara berat.

Orang yang baru datang itu berambut panjang sampai sebatang pinggang, warnanya putih rata. Berpakaian jubah putih kusam hingga menyerupai warna coklat. Tubuhnya kurus, matanya dingin. Kukunya panjang dan runcing. Kemunculannya membuat Ki Parandito mundur hingga berjajar dengan Ki Lumaksono.

"Apakah dia benar-benar guru kita Eyang Sokobumi?!"

"Tak salah lagi, Parandito!" jawab Ki Lumaksono dengan gemetar.

"Tapi... bukankah beliau telah wafat sepuluh tahun lamanya?"

"Ya. Tapi Ratu Tanpa Tapak telah mencuri mayatnya dan kini membangkitkan beliau untuk menjadi pihaknya."

"Celaka! Kita tak mungkin bisa mengalahkan beliau!" gumam Ki Parandito dengan suara gemetar pula.

Pendapat Ki Lumaksono itu benar, sama dengan pendapat Raja Maut. Setelah Raja Maut ditemukan Suto Sinting pada malam itu juga, ia berhasil ditolong dengan bantuan tuaknya. Hanya Suto Sinting yang ada di situ bersama Angon Luwak. Pelangi Sutera ditinggalkan di gua tepi pantai bersama si anak jin; Logo itu. Kedatangan Suto Sinting hampir saja terlambat.

Luka dalam Raja Maut lebih parah dibanding luka yang diterima dari Nyai Demang Ronggeng. Tapi luka separah apa pun, jika sudah terkena tuaknya Suto dari bumbung sakti itu, maka kesembuhan pun akan cepat datang dan jiwa sang luka pun tertolong.

Di ujung pagi, Raja Maut sudah bisa diajak bicara dan badannya merasa segar. Mereka membicarakan penangkapan atas diri Ki Gendeng Sekarat. Raja Maut tampak sedih dan kecewa karena ia gagal menyelamatkan sahabatnya itu. "Aku yakin, Gendeng Sekarat dalam bahaya besar jika jatuh di tangan Nila Cendani! Perempuan itu berilmu tinggi, demikian pula para bawahannya."

"Apakah termasuk Ki Parandito dan Ki Lumaksono?"

Raja Maut cepat pandangi Suto dengan rasa kaget dan heran. "Mengapa kau menyangka Parandito dan Lumaksono adalah orangnya Nila Cendani?!"

Suto sedikit kesulitan menjelaskannya, karena sebenarnya ia sudah tahu bahwa keterangan dari Pelangi Sutera saat bertemu di pantai dulu adalah keterangan palsu. Tapi Suto punya cara lain memperkuat dugaannya.

"Ki Parandito dan Ki Lumaksono pernah temui saya dan meminta bantuan saya untuk merebut mayat gurunya."

"Maksudmu jenazah si Sokobumi?"

"Betul. Menurut mereka, jenazah Eyang Sokobumi dicuri oleh Nila Cendani!"

"Celaka!" gumam Raja Maut dengan menerawang tegang. "Berarti dia akan menggunakan kekuatan Sokobumi untuk maksud-maksud tertentu."

"Tapi Eyang Sokobumi sudah tak bernyawa lagi, bukan?"

"Nila Cendani bisa membangkitkannya dan membuatnya bernyawa dengan memindahkan kekuatan hidup milik seseorang. Kekuatan hidup itu hanya menggerakkan tubuh yang mati, tapi naluri dan tenaga intinya masih menggunakan tenaga inti yang dimiliki si mayat semasa hidupnya. Jadi jika Nila Cendani berhasil menghidupkan Sokobumi, maka kekuatan inti yang ada ialah kekuatan inti Sokobumi semasa hidupnya. Padahal semasa hidupnya Sokobumi adalah orang sakti yang ketinggian ilmunya hampir sejajar dengan gurumu; si Gila Tuak!"

"Bahaya juga kalau begitu," gumam Pendekar Mabuk.

"Jika kita harus menyelamatkan Gendeng Sekarat, besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan Sokobumi, itu kalau Nila Cendani sudah membangkitkan jenazah Sokobumi!"

"Kalau begitu aku harus segera bertindak sebelum Nila Cendani membangkitkan jenazah Eyang Sokobumi!"

"Firasatku mengatakan, kau terlambat! Getaran naluriku mengatakan, Sokobumi telah dibangkitkan. Tapi entah di mana ia sekarang. Satu-satunya jalan kau harus minta bantuan gurumu; si Gila Tuak. Sebab aku tak yakin kalau kau mampu kalahkan Sokobumi!"

* * *

ENAM
JIKA Pendekar Mabuk menghubungi gurunya, akan membutuhkan waktu lama. Perjalanan ke persinggahan gurunya tidak cukup ditempuh waktu satu malam saja. Dan itu berarti keterlambatan yang berbahaya bagi nasib Ki Gendeng Sekarat. Karenanya, Suto Sinting akhirnya sepakati usul Raja Maut. Suto Sinting mengejar orang-orang Gunung Sesat sementara Raja Maut pergi temui si Gila Tuak.

Angon Luwak bersikeras mau ikut Suto Sinting, tapi berulang kali Suto melarangnya. Suto tak ingin bocah tanpa dosa itu ikut menjadi korban keganasan Nila Cendani bersama orang-orangnya. Sebab itu Suto sarankan Angon Luwak untuk pulang ke desanya atau ikut Raja Maut. Angon Luwak sedih, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya. Tapi benarkah ia rela pulang begitu saja, sedangkan hatinya sudah telanjur menaruh kekaguman kepada Suto dan Ki Gendeng Sekarat?

Tidak. Angon Luwak bocah bandel, ia hanya pura-pura pulang ke desanya. Tapi diam-diam ia mengikuti ke mana perginya Pendekar Mabuk. Hatinya punya niat keras untuk ikut membebaskan Ki Gendeng Sekarat yang dianggap sebagai gurunya, ia pun tak rela kalau Ki Gendeng Sekarat dijatuhi hukuman mati oleh orang- orang sesat. Hasrat membela guru sangat besar dihati bocah itu.

Suto Sinting tidak menyangka, sebab perhatiannya tercurah kepada cara menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat sebelum tukang tidur itu diadili oleh Ratu Tanpa Tapak. Ia harus bisa mencegat perjalanan para utusan itu. Sebab diam-diam Suto punya kecemasan juga jika terus berhadapan dengan Ratu Tanpa Tapak. Kecemasan itu adalah rasa takut terpikat dan dipikat, seperti yang dikhawatirkan oleh Pelangi Sutera.

Perjalanan Pendekar Mabuk mengejar rombongan pembawa Ki Gendeng Sekarat akhirnya menemui sedikit hambatan. Hambatan itu datang dari Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Mereka terkulai di rerumputan ketika Suto melintasi daerah itu. Wajah mereka memar membiru, jubah mereka robek-robek, bahkan mata kiri Ki Lumaksono menjadi lebam. Darah mengering di lubang hidung, mulut, dan telinga mereka. Luka dalam diderita berat oleh kedua tokoh tua yang menurut Ki Gendeng Sekarat punya ilmu tinggi.

Suto Sinting menjadi heran menemui kedua tokoh tua itu dalam keadaan luka parah begitu, ia segera menolong mereka, meminumkan sedikit tuak kepada mereka, setelah itu baru ajukan tanya secara sopan.

"Siapa yang lakukan semua ini, Ki?"

Ki Lumaksono berkata, "Guru kami. Beliau menghajar habis diri kami."

Dahi pendekar tampan itu berkerut tajam. "Maksudnya... Eyang Sokobumi?"

Ki Parandita menjawab, "Benar. Ratu Tanpa Tapak berhasil menghidupkan guru kami. Sekarang guru kami ada di pihaknya. Usaha kami merebut Ki Gendeng Sekarat dari tangan para utusan gagal karena kemunculan Eyang Sokobumi."

"Celaka!" gumam Suto dalam kecemasan yang bernada geram. "Sudah lamakah mereka pergi dari sini?"

"Mungkin sudah sampai di Gunung Sesat," jawab Ki Lumaksono.

"Aku harus segera ke sana!"

"Tunggu!" tangan Ki Parandito menahan lengan Suto Sinting. Sikap itu membuat Suto heran dan menatap dengan dahi berkerut.

"Kau tak boleh melawan guruku!" kata Ki Parandito lagi.

"Kenapa tak boleh?"

"Apa pun yang terjadi, kami ada di pihak Guru. Jika kau melawan guru kami, berarti kau melawan kami, Suto Sinting!"

Napas panjang dihempaskan dari hidung Suto Sinting. Kejengkelan terpendam kuat-kuat. Ia mencoba untuk tidak marah namun bersikap sabar terhadap kedua tokoh tua itu.

"Apakah kita harus biarkan seseorang berada di jalan yang sesat, Ki? Apakah kita harus hormati orang yang sudah bukan lagi berkehendak atas dirinya sendiri? Kurasa itu tidak benar, Ki. Kita harus melawan tindakan siapa pun yang berjalan di jalur yang salah. Kurasa pendapat ini sama dengan pendapat Ki Parandito dan Ki Lumaksono, karena guruku pun berpendapat begitu. Jadi bukan pribadi Eyang Sokobumi yang kulawan, melainkan kekuatan iblis yang disalurkan lewat dirinya oleh Ratu Tanpa Tapak itu."

"Kami masih menghormati Eyang Guru!" kata Ki Lumaksono.

"Dan ikut memihak Ratu Tanpa Tapak?" tanya Suto Sinting.

Pertanyaan itu membuat kedua tokoh tua itu sama-sama diam. Mereka tak mengerti persis apa yang harus mereka lakukan. Tapi akhirnya Ki Lumaksono mempunyai pendapat yang menurutnya lebih bijaksana.

"Begini saja, Suto. Seranglah Ratu Tanpa Tapak itu, bebaskan sahabatku Gendeng Sekarat. Tapi jangan lukai jasad guru kami."

"Bagaimana bisa jika Eyang Sokobumi bertindak sebagai orang andalan Ratu Tanpa Tapak? Aku harus barhadapan dengan beliau. Dan tak mungkin aku bisa tidak melukainya jika aku sendiri dilukai."

"Jika kau nekat melukai beliau, aku akan pertaruhkan nyawa untuk membela!" sahut Ki Parandito dengan nada mulai meninggi.

"Jika memang terpaksa, mungkin kita memang harus bertarung, Ki!" kata Suto Sinting dengan tegas pula.

Sekalipun luka itu masih ada walau tak seberapa parah, Ki Parandito segera berdiri dan ambil sikap perlawanan. Melihat saudara seperguruannya ambil sikap perlawanan, Ki Lumaksono pun bangkit juga bersikap serupa. Suto Sinting sedikit bingung. Melawan mereka bukan hal yang ditakuti. Tapi menghindari pertarungan yang tidak semestinya terjadi adalah sesuatu yang sulit dicari jalan keluarnya.

Karena kedua tokoh tua itu sama-sama bersikeras membela gurunya, walaupun mereka tahu yang bertindak itu adalah bukan gurunya melainkan kekuatan jahat Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting masih diam, tak mau bertindak gegabah. Matanya memandangi mereka secara bergantian. Tegang juga suasana di antara mereka bertiga.

Ki Parandito menarik napas, lalu menahannya di dada dengan satu hentakan tangan menggenggam di dada.

Seet...! Suto Sinting merasakan ada tenaga yang menahan lehernya kuat-kuat. Ia tercekik tiba-tiba. Tapi secepatnya ia hembuskan napas dari hidung tanpa dendam dan kemarahan. Fuuih...!

Napas yang melesat dari lubang hidung itu menuju ke bawah, seakan menghantam tangan yang mencekik lehernya. Seketika itu pula leher Pendekar Mabuk merasakan terbebas dari himpitan kuat. Tapi di seberang sana tubuh Ki Parandito terpelanting ke kiri bagaikan ada yang menendangnya dari kanan.

Wuuut...! Bruuhg...!

Ki Parandito jatuh, namun tak sampai parah, ia masih bisa berlutut dengan berpegangan pada tongkatnya. Napasnya terengah-engah dengan wajah menahan rasa sakit, ia bahkan sempat terbatuk-batuk beberapa kali. Pawang Gempa memandangi rekannya dengan menyimpan rasa kagum kepada Suto.

"Gila anak muda itu! Dengan kekuatan napas inti ia mampu membuat Parandito terpelanting begitu. Agaknya harus kucoba dengan jurus 'Lindu Jantan'. Apakah ia bisa mengatasi jurusku itu?"

Pawang Gempa segera menggenggam kuat tongkatnya. Tiba-tiba ia bergerak memutar di luar dugaan Suto. Satu putaran langsung menyodokkan kepala tongkat ke tanah tempat Suto berdiri.

Wuuuk...! Suuut...!

Kraaak...! Tanah itu retak dalam satu sentakan. Dari dalam keretakan keluar nyala bara merah berasap. Kaki Suto Sinting menjadi merenggang ke kiri dan kanan. Karena keretakan itu cukup lebar, maka kaki Suto Sinting pun memanjang ke samping hingga nyaris sejajar dengan permukaan tanah. Kedua kaki Suto masih berpijak pada tanah sehingga ia tidak jatuh terperosok dalam keretakan itu.

Dalam keadaan kaki merentang sejajar, Pendekar Mabuk segera hentakkan kedua pundaknya ke bawah. Wuuut...! Tubuhnya pun melesat ke atas dan bersalto di tempat yang aman. Jleeg...! Ia berdiri dengan tegap. Kaki kanannya segera menghentak ke tanah. Duug...! Dan tubuh Ki Lumaksono tiba-tiba amblas ke tanah sedalam satu lutut.

Bluuus...!

"Hahh...?!" Ki Lumaksono kaget sekali tubuhnya bisa terpendam satu lutut, seperti ada kekuatan yang menyedot dari dalam bumi. Tongkatnya pun ikut terbenam ke dalam tanah dengan batas yang sama.

Ki Parandito terkejut, melongo sebentar, lalu berkata, "Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'. Hati-hati, Lumaksono!"

Repotnya lagi, tubuh Ki Lumaksono bagaikan dijepit oleh tanah yang menelannya, sehingga tak bisa bergerak dan berusaha keluar dari sana. Ia sempat tegang sesaat. Tapi Suto Sinting segera menghentakkan tumit kakinya ke tanah dengan pelan.

Duug...!

Bruuus...! Tubuh Ki Lumaksono terbang ke atas bagaikan ada yang mencabut atau mendorongnya dari dalam tanah. Tubuh yang melayang itu segera bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap. Matanya beradu pandang dengan mata Suto Sinting.

"Ilmumu sungguh mengagumkan, Nak," kata Ki Lumaksono.

"Terpaksa kulakukan karena kau menyerangku, Ki."

"Heaaat...!"

"Tahan!" sentak Ki Lumaksono kepada Juru Bungkam itu. Ki Parandito hanya membuka kuda-kuda, lalu berhenti tak lanjutkan gerak. Matanya melirik Ki Lumaksono yang segera mendekatinya dari belakang ke samping kanan. Dengan tetap memandang Suto yang berdiri tenang, Ki Lumaksono berkata kepada Ki Parandito,

"Agaknya jalan pikirannya cukup baik. Kita yang keliru." Ki Parandito menarik napas, mengendurkan ketegangan uratnya.

"Apakah kau akan biarkan guru kita dihajar oleh anak semuda dia?"

"Kalau beliau masih guru kita, beliau tidak akan menghajar kita," jawab Ki Lumaksono pelan, lebih berkesan sedih. Ki Parandito segera hembuskan napas pelan juga. Ia termenung beberapa saat memandangi saudara seperguruannya.

Suto Sinting perdengarkan suaranya dengan lebih tenang lagi, tak ada kesan bermusuhan. "Aku hanya ingin memukul kekuatan jahat yang bersarang di dalam raga Eyang Sokobumi. Kasihan sekali beliau, sudah tiada tapi raganya masih dipermainkan oleh kekuatan jahat dari Ratu Tanpa Tapak. Kumohon langkahku ini bisa dimengerti, Ki."

Ki Lumaksono pun berkata, "Baiklah. Kudampingi kepergianmu ke Gunung Sesat, Suto Sinting. Kami akan ada di belakangmu, siap membantumu sewaktu-waktu."

"Terima kasih," jawab Suto dengan senyum lega. "Aku mohon seteguk tuakmu. Luka dalamku agak parah lagi karena seranganmu tadi, Suto."

Senyum Pendekar Mabuk kian melebar. "Ambillah, Ki. Maafkan kelancanganku tadi. Aku sangat terpaksa."

Ki Parandito meneguk tuak Suto. Ki Lumaksono juga ikut-ikutan minta seteguk. Kemudian keduanya bergegas berangkat ke Gunung Sesat. Tapi sepuluh langkah kemudian, ketiga orang itu terpaksa harus berhenti karena dari atas pohon turun sesosok tubuh hitam berukuran tinggi dan besar. Orang berkulit hitam itu mengenakan cawat dan kepalanya gundul berkuncir tengah. Kuncirnya melengkung ke belakang sedikit kaku.

"Logo...?!" sapa Suto Sinting dengan heran. Anak jin itu maju satu tindak. Hembusan napasnya membuat rambut Suto meriap ke samping.

"Ibu tidak izinkan kau temui Nila Cendani, Suto," kata Logo dengan suara besarnya.

"Tak ada alasan melarangku ke sana. Ibumu tak punya hak apa-apa terhadap diriku, Logo!"

"Aku ditugaskan menghambatmu, Suto Sinting."

Napas Suto ditarik dalam-dalam, memendam kejengkelan yang tak ingin dilampiaskan kepada Logo. Sebab ia tahu Logo hanya anak jin yang lugu dan polos, segala tindakannya hanya semata-mata mengikuti perintah orang yang dihormati. Pandangan mata Suto tertuju pada kedua tokoh tua tersebut. Ternyata mereka tampak cemas melihat kemunculan Logo. Mereka sembunyikan gelisah dengan memandang arah lain. Suto Sinting menegur dengan suara pelan.

"Haruskah kusingkirkan dengan kekerasan, Ki?"

"Jangan! Jangan begitu!" Ki Lumaksono semakin jelas kecemasannya. Bahkan saat berkata begitu ia merasa takut dan sedikit menggeragap. "Anak jin itu mempunyai seorang ibu yang berilmu tinggi. Sebenarnya kalau kau mau tahu, gadis yang bernama Pelangi Sutera itu sebenarnya..."

"Sumbaruni, ibu dari anak jin itu!" sahut Suto Sinting membuat kedua tokoh tua itu terperangah heran.

"Kau sudah mengenalnya?"

"Ya. Tapi dia tak punya hak untuk melarangku bertemu dengan Ratu Tanpa Tanpa Tapak. Dia bukan apa-apaku, bukan pula pihak sang Ratu."

"Tapi...," Ki Parandito agak ragu, "Kalau bisa... hmmm... terserah kau sajalah!" akhirnya ia pasrah, tak bisa memberi pendapat apa-apa.

Murid sinting si Gila Tuak segera berkata kepada Logo, "Jangan halangi aku, nanti aku bisa menyerangmu dan kau akan sakit, Logo!"

"Harus! Karena Ibu perintahkan begitu padaku."

"Kalau begitu jangan salahkan aku jika kau menerima sikap kasarku."

"Tidak," jawab Logo sambil menggelengkan kepala.

Ki Parandito dan Ki Lumaksono mundur, seakan tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Tetapi Suto Sinting masih berdiri dengan tenang. Logo juga masih memandang penuh siaga. Suto segera gunakan jurus 'Jari Guntur' dari jarak lima langkah di depan Logo. Ia menyentilkan jarinya dua kali.

Tas, tas...!

"Uuhg...!" Logo terkejut dan menggeram, berdirinya langsung lemah, ia memegangi kedua lututnya yang terasa bagaikan dihantam palu godam. Bahkan kini ia jatuh terduduk karena lututnya tak kuat menyangga beban berat tubuhnya yang besar itu.

Dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya melayang di udara. Melesat melewati kepala Logo yang juga dipakai pijakan kaki kirinya. Dari kepala Logo, Suto menyentakkan kaki kirinya dan melesat lagi lebih jauh.

"Jangan nekat, Sutooo...!" teriak Logo dengan panik, ia berusaha mengejar Suto Sinting, tapi tubuhnya jatuh lagi karena lututnya belum kuat menyangga beban berat tubuh.

"Kita lari lewat sana!" bisik Ki Parandito kepada Ki Lumaksono. Keduanya segera lari menyusul dengan kecepatan bagaikan angin berhembus tapi melalui arah sisi lain.

"Ibuuu...! Suto pergiii.. ! Suto pergi, Ibuuu...!" teriak Logo menggetarkan semua pohon yang ada di sekelilingnya, merontokkan dedaunan yang ada.

* * *

TUJUH
ANGON Luwak kehilangan jejak. Tentu saja, sebab Suto menggunakan jurus peringan tubuh dalam larinya. Kecepatannya tidak ada sekuku hitam dengan kecepatan lari bocah berusia sepuluh tahun itu. Tak heran jika Angon Luwak tertinggal sangat jauh. Tetapi Angon Luwak tidak mau menyerah, ia menggunakan ilmu kira-kira. Dari tempatnya berhenti ia memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menjadi penunjuk jalan.

Bocah itu segera memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa dan mengambil airnya, ia haus sekali. Dan pada saat ia sampai di atas pohon kelapa, ia melihat sebuah gunung menjulang tak seberapa tinggi. Arahnya ada di sebelah utaranya.

"Pasti itulah yang bernama Gunung Sesat! Berarti aku harus melangkah ke arah sana. Pasti lama-lama akan sampai juga."

Pikiran Angon Luwak sangat sederhana. Maka selesai bersusah payah membolongi kelapa untuk diminum airnya, Angon Luwak pun segera menuju ke arah utara. Bocah itu bukan hanya pantang menyerah, namun juga tak mudah lelah. Larinya tidak cepat, tapi yakin dan pasti arah yang dituju adalah benar.

"Kalau aku bisa ikut membebaskan Guru, pasti aku akan dikasih ilmu lagi. Kalau aku tidak bisa ikut membebaskan Guru, ilmuku hanya sekecil ini. Jadi, aku harus bisa ikut serta dalam membebaskan Guru. Kang Suto memang tak mengizinkan, tapi Guru pasti senang jika melihat aku ikut membebaskan beliau," pikir Angon Luwak secara sederhana sekali. "Kalau aku mati, Guru akan semakin bangga punya murid berani mati."

Tentunya memang begitu. Seorang guru akan merasa bangga punya murid berani mati. Tapi bukan berarti mati konyol pun harus berani. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat tahu bahwa Angon Luwak nekat menyusul ke Gunung Sesat, tentu saja Ki Gendeng Sekarat tidak akan setuju, sebab bagi Angon Luwak itu namanya mati konyol. Sayangnya Ki Gendeng Sekarat tidak tahu kehadiran Angon Luwak di tanah wilayah Gunung Sesat. Ki Gendeng Sekarat sedang sibuk menghadapi penguasa lalim daerah itu.

Sebuah istana kecil dipagar benteng tinggi dari batuan hitam yang kokoh. Di dalam benteng yang ada di kaki gunung itu tidak hanya terdapat bangunan istana saja, tapi juga ada bangunan kuil pemujaan, ruang pertarungan, ruang sidang, barak punggawa tempat untuk tidur para anak buah Ratu Tanpa Tapak, dan beberapa bangunan lainnya.

Ki Gendeng Sekarat tiba di tempat itu masih dalam keadaan tidur, ia diseret memasuki gerbang benteng oleh Sokobumi. Rantai Neraka masih melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai itu makin kuat menjerat tubuh karena di perjalanan tadi Ki Gendeng Sekarat sempat berusaha meronta lepas dari rantai itu. Tapi usahanya gagal karena rantai makin kuat menjerat dengan sendirinya.

Bruuk...!

Sokobumi mendorong Ki Gendeng Sekarat dengan kasar. Orang itu jatuh, kepalanya membentur lantai marmer istana. Barulah ia sadar dan terbangun dari tidurnya, ia memandang dengan mata mengerjap-ngerjap. Ternyata ia sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik dan tampak masih muda seperti berusia dua puluh delapan tahun. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya menggemaskan dan tampak selalu basah. Matanya bening indah tapi berkesan jalang.

Perempuan cantik itu kenakan jubah hijau dengan dalaman kuning beludru yang ketat tubuh, dadanya kelihatan membusung montok menggemaskan tiap lelaki. Rambutnya disanggul bagian tengah, sisanya meriap ke bawah. Perhiasannya lengkap dari kalung, cincin, sampai gelang kaki.

"Nila Cendani," gumam Ki Gendeng Sekarat begitu mengenali perempuan yang duduk di singgasana berukir emas itu.

"Syukurlah kalau kau masih ingat aku!" kata Ratu Tanpa Tapak alias Nila Cendani. Ia kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi buat Ki Gendeng Sekarat keangkuhan dan kewibawaan itu tidak ada apa-apanya.

"Kelancanganmu tidak bisa dimaafkan lagi, Gendeng Sekarat! Gara-gara ulahmu aku gagal mendapatkan pusaka Keris Setan Kobra. Padahal yang kukirim adalah utusanku yang terpilih. Aku kecewa padamu, Gendeng Sekarat."

"Aku tidak," kata Ki Gendeng Sekarat seenaknya sambil matanya memandangi isi istana yang berpliar beton dilapisi lempengan logam putih mengkilap.

Ratu Tanpa Tapak memandang dengan mata menyipit sedikit, pertanda ia sedang menahan kebencian. Ki Gendeng Sekarat sama sekali tak punya rasa takut atau gugup. Walaupun ia tahu saat itu dikelilingi orang-orang pilihan Nila Cendani, termasuk Sokobumi, tapi ia bagaikan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Ia berdiri seenaknya di depan seorang ratu yang dihormati mereka.

"Gendeng Sekarat!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Kau kujatuhi hukuman mati karena kesalahanmu!"

"Kesalahan yang mana?"

"Membunuh utusanku pada saat mereka hampir mendapatkan keris pusaka!"

"Itu bukan kesalahanku, itu kesalahanmu. Mengapa kau kirimkan utusanmu untuk merebut keris pusaka milik Empuk Sakya. Bukankah keris itu bukan milikmu dan kau tak punya hak apa-apa? Kau yang salah, Nila Cendani!"

"Setan! Aku tidak pernah salah. Aku berhak punya keinginan apa saja. Siapa pun yang menentangku layak dihukum mati!"

"Dunia ini bukan milikmu sendiri, Nila Cendani! Dunia ini milik orang banyak. Mereka bukan sekadar numpang di dunia ini, tapi punya hak memiliki dan merawat kelestariannya. Mengapa kau merasa berhak berkeinginan apa saja? Kau pikir para anak buahmu itu tidak punya keinginan apa-apa? Kurasa mereka juga punya keinginan dalam hidupnya. Tapi mereka tidak semata-mata bertindak jahat demi keinginannya tercapai?! Betul begitu, Saudara-saudara?!"

"Betuulll...!" jawab mereka serempak tanpa sadar.

"Diam semua!" bentak sang Ratu, membuat mereka jadi takut dan sadar bahwa jawaban serempak mereka itu tidak benar. Seharusnya mereka tidak menjawab begitu. Ratu bisa marah dan menyangka mereka mendukung Ki Gendeng Sekarat. Setelah hening tercipta beberapa saat dan wajah ratu cemberut kusam, terdengarlah suara sang Ratu berkata dengan tegas.

"Kau layak mendapat hukuman pancung!"

"Aku tidak mau," jawab Ki Gendeng Sekarat seenaknya. "Kau pikir dipancung itu enak? Tidak! Tidak enak. Aku tidak mau kehilangan kepala."

"Kau tak bisa menolak keputusanku! Akulah yang berkuasa di sini!" suara Nila Cendani semakin kuat dan keras.

Tapi Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kalem tanpa gentar sedikit pun. "Aku tidak bersalah di mata dunia. Aku tidak mau dipancung."

"Bersalah atau tidak, keputusannya ada di pengadilanku. Dan kau kunyatakan bersalah karena membunuh Gaok Lodra dan Nenggolo, serta membuntungi tangan Sabit Guntur. Maka kau kujatuhi hukuman mati dengan dipancung! Sebelum hukuman itu kau jalankan, kebijaksaanku mengatakan bahwa kau boleh mengajukan satu permintaan yang akan kupenuhi sebagai permintaan akhir hidupmu. Sebutkan permintaanmu, Gendeng Sekarat."

"Aku minta dibebaskan."

"Bukan itu maksudku!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Permintaan yang lain!"

"Baik. Aku minta kau bunuh diri di depanku."

"Kurang ajar!" geram Ratu Tanpa Tapak. Matanya mendelik sangar.

"Kau menyuruhku mengajukan permintaan terakhir, giliran kuajukan permintaan kau selalu marah. Kau ini ratu apa kusir delman?"

Nila Cendani tarik napas kuat-kuat, menggeram gemas menahan murka. "Kebijaksaanku kucabut kembali. Kau tidak kuizinkan mengajukan permintaan apa-apa!" katanya, dan membuat Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh.

Seorang pengawal mendekat dan memukul wajah Ki Gendeng Sekarat dengan hantaman tangan kanan. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tahu-tahu sudah berpindah tempat, sehingga orang itu bagaikan memukul tempat kosong, ia bahkan kebingungan mencari di mana sasarannya berada. Ketika ia berpaling ke belakang, ploook...! Kaki Ki Gendeng Sekarat menendang pipinya.

Bruuuk...! Orang itu jatuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mulutnya menyemburkan darah, ia terkapar di lantai. Kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata mati tanpa sungkan-sungkan pula.

"Tendangannya punya jalur tenaga ke arah jantung," pikir Nila Cendani. "Pasti ia gunakan ilmu 'Kendali Indera'. Ada baiknya kalau kupakai sebagai tontonan rakyatku, biar mereka terhibur. Dia akan kuadu dengan Sokobumi."

Lalu, Ratu Tanpa Tapak segera berseru, "Gendeng Sekarat, aku punya gagasan baru. Kau akan kubebaskan jika memenangkan pertarungan sebanyak lima kali dengan orang-orang pilihanku. Kau bebas jika bisa membunuh mereka di arena!"

"Aku bukan kuda lumping yang enak dijadikan tontonan."

"Kalau kau tak mau, sekarang juga akan kulaksanakan hukumanmu itu!"

KI Gendeng Sekarat diam beberapa saat. Caranya berpikir sambil memandang ke sana-sini, seenaknya saja dalam bersikap. Hal itu membuat geram dan kebencian bagi beberapa pengawal pilihan Niia Cendani. Salah seorang pengawal pilihan yang bernama Jagalopa segera berkata setelah memberi hormat kepada Ratu Tanpa Tapak lebih dulu.

"Gusti Ratu, izinkan saya menjadi orang pertama yang diadu dengan orang itu! Saya sanggup membuatnya mati dalam dua jurus saja!"

Nila Cendani sunggingkan senyum, sebuah seringai kebanggaan seorang ratu yang mendengar keberanian pengawalnya. "Baik. Gendeng Sekarat, pertama-tama kau akan kuadu dengan Jagalopa. Apakah kau mampu mengalahkan pengawal pilihanku itu?"

Ki Gendeng Sekarat memandang orang bertubuh tinggi, tegap, berkumis, dan berambut panjang, usianya sekitar tiga puluh dua tahun. Badan kekarnya mempunyai otot yang bertonjolan. Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum. "Ini kesempatan meruntuhkan Nila Cendani dari dalam. Kalau tantangan ini kutolak, maka aku akan kehilangan kesempatan menghancurkan kekuasaannya," pikir Ki Gendeng Sekarat. Maka ia pun segera menyanggupi tantangan itu.

"Siapkan arena!" seru Nila Cendani kepada anak buahnya.

Arena yang digunakan adalah tempat berlatih para anak buah Nila Cendani. Tempat itu berbentuk tapal kuda mempunyai barisan tangga-tangga sebagai tempat duduk penonton. Orang-orang pengikut RatuTanpa Tapak berkumpul mengelilingi arena. Sedangkan di bagian lain, terdapat panggung kehormatan yang dipakai duduk sang Ratu bersama beberapa pengawalnya.

Sebelum maju ke arena, Ratu Tanpa Tapak turun dari takhtanya untuk mendekati Ki Gendeng Sekarat. Langkahnya tegap, tapi bekas langkahnya tidak meninggalkan bayangan telapak kaki. Bahkan suara langkahnya tak terdengar sama sekali. Rupanya perempuan cantik itu berjalan tidak menyentuh tanah karena ketinggian ilmu peringan tubuhnya.

Karena telapak kakinya jarang menyentuh tanah, maka permukaan telapak kaki itu selalu tampak bersih dan sering dirawat seperti merawat wajahnya. Bersih, putih, dan halus lembut. Itulah sebabnya ia berani bergelar Ratu Tanpa Tapak. Seandainya ia berjalan di tempat yang kotor, maka kakinya tidak akan kotor dan tempat itu tidak akan membekas telapak kakinya.

"Ingat, lima kali pertarungan kau menang, kau bebas dari hukuman!"

"Seratus kali pertarungan pun kusanggupi," kata Ki Gendeng Sekarat. Karena menurutnya, semakin banyak orang yang diadu dengannya semakin banyak kesempatan melumpuhkan kekuatan orang-orang Gunung Sesat.

Nila Cendani hanya tersenyum sinis, lalu kembali ke tempat duduknya sambil berseru kepada seorang pengawal, "Lepaskan rantainya, tapi biarkan kedua tangannya terbelenggu ke depan!"

"Curang!" sahut Ki Gendeng Sekarat.

Ratu Tanpa Tapak berpaling, "Itulah syarat untuk bebas dari hukuman!"

Lasogani yang masih menderita luka dalam terpaksa melepaskan rantai yang melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai yang membelenggu pergelangan tangannya masih tetap saling terkait kuat. Tetapi Lasogani mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengendorkan rantai pembelenggu tangan. Dengan keadaan rantai sedikit kendor, Ki Gendeng Sekarat disuruh memutar tangannya dengan cara melewati pantat dan kedua kakinya, sehingga tangan menjadi ada di depan. Secepatnya Lasogani mempererat kembali rantai belenggu tangan dengan ilmu 'Rantai Neraka'-nya itu. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil memperhatikan kedua tangannya tetap terantai.

"Kalau kusentakkan, rantai ini tak mungkin lepas tapi justru semakin kuat menjerat. Sebaiknya kubiarkan saja. Aku harus bisa bertarung dengan kedua tangan terbelenggu ke depan. Ini masih untung daripada kedua tangan terbelenggu ke belakang," pikirnya waktu di tengah arena. "Bagaimana dengan kipasku yang ada di balik bajuku ini? Ah, merepotkan kalau harus kuambil. Biar saja. Tak perlu pakai senjata. Kakiku lebih tajam dari pedang. Kekuatan batinku lebih runcing dari tombak. Tak ada yang kusangsikan lagi."

Jagalopa melengkapi dirinya dengan dua pisau di pinggang dan satu tombak bermata kapak dua sisi. Ia juga mengenakan baju besi untuk penutup dada sampai atas perutnya. Ulu hatinya terlindung baju besi yang beratnya lebih dari dua puluh lima kilogram itu. Bagian pergelangan tangannya memakai gelang besi yang lebarnya setengah jengkal dan dilengkapi dengan duri-duri besi runcing. Duri-duri besi runcing itu mempunyai racun yang berbahaya jika mengenai kulit tubuh lawan. Sedangkan dua jari tengah kanan-kiri mengenakan cincin berduri cula yang konon keganasan racunnya sangat tinggi.

"Pertarungan dimulai!" seru seorang pengawal setelah diberi isyarat oleh Nila Cendani.

Gong pun segera ditabuh. Doooeeeng...!

Jagalopa maju ke tengah arena dalam riuh sorak para penonton yang tak lain adalah kawan-kawannya sendiri. Ki Gendeng Sekarat memandangi kedatangan Jagalopa dengan tertawa geli.

"Kau mau bertarung atau mau main wayang?" katanya mengejek, sengaja memancing kemarahan lawan biar tenaga terkuras oleh kemarahannya sendiri.

"Tutup mulutmu, Bangkai Busuk!"

"He, he, he, he...! Kalau kau jalan di pasar pakai pakaian itu, tidak membuat orang sepasar bubar, tapi malah akan diikuti anak-anak kecil disangka orang gila takut masuk angin!" ledek Ki Gendeng Sekarat membuat darah Jagalopa makin mendidih, napasnya memburu cepat karena kemarahannya yang meluap.

"Hiaaat...!" Jagalopa segera menebaskan tombak berujung kapak besar dua sisi itu sambil melompat kedepan.

Wuuuusss...! Tombak kapak itu melesat di atas kepala Ki Gendeng Sekarat. Kalau tak merundukkan kepala secepatnya, pasti leher akan terpenggal habis. Jagalopa mengulangi beberapa kali, tapi Ki Gendeng Sekarat hanya menghindar terus-menerus. Para penonton geregetan sendiri, saling berteriak kepada Ki Gendeng Sekarat,

"Serang! Ayo, serang!"

"Balas! Jangan menghindar saja! Balas...!"

"Lima puluh sikal untuk kemenangan Jagalopa! Ayo, kau berani berapa sikal? Cepat, mumpung tak ada penjaga melihat pertaruhan kita!" bisik seseorang.

"Baik. Lima puluh sikal. Tapi kalau tawanan kita yang menang kau bayar aku dua puluh lima sikal saja tak apa!" kata temannya. Suasana itu dipergunakan untuk berjudi bagi sekelompok orang yang memang gemar judi.

Agaknya Ki Gendeng Sekarat berhasil memancing murka Jagalopa sehingga lelaki bertubuh kekar dan berotot itu mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tidak segesit serangan pertama. Ki Gendeng Sekarat bersalto mundur untuk melihat seberapa cepat Jagalopa mampu mengejarnya. Ternyata tak seberapa cepat.

"Tiba saatnya melumpuhkannya," kata Ki Gendeng Sekarat dalam hati.

Ki Gendeng Sekarat berjalan ke kiri, Jagalopa berjalan ke kanan. Mereka sama-sama mencari kesempatan untuk menyerang. Tapi agaknya Jagalopa lebih dulu merasa punya celah untuk serangan berikutnya. Tombak kapaknya dikibaskan daribawah samping kiri ke atas samping kanan. Itu gerak tipuan.

Wuuut...!

Ki Gendeng Sekarat melompat mundur. Pada saat itu Jagalopa maju dua tindak dan membalikkan gerakan kapak dari atas ke bawah, tepat membelah kepala Ki Gendeng Sekarat. Tapi lawannya itu justru menyambut gerakan kapak dengan kedua tangannya yang dirantai.

Craaak...!

Mata kapak masuk ke pertengahan jarak pergelangan tangan. Rantai itu terhantam mata kapak yang dialiri tenaga tinggi. Akibatnya rantai tersebut putus dengan menimbulkan percikan api dan kepulan asap.

"Edan!" geram Lasogani melihat rantainya putus. "Jagalopa bodoh sekali! Mengapa ia adu kekuatannya dengan kekuatan yang kutinggalkan di rantai. Tentu saja aku kalah, sebab dia memang punya tingkatan lebih tinggi dariku?!"

Ucapan itu terdengar di telinga Nila Cendani. "Tenanglah. Jagalopa tak akan kalah walau tawanan kita telah bebas dari belenggu. Dia masih punya banyak kesempatan untuk menumbangkannya.'

Ki Gendeng Sekarat nyengir kegirangan. Kini tangannya bebas bergerak walau masih bergelang rantai di masing-masing lengan. Begitu Jagalopa menyerang lagi dengan tebasan tombak kapaknya, Ki Gendeng Sekarat menangkis gagang kapak ditepatkan pada sisi rantai.

Traaak...! Tombak terhenti, tangan kiri Ki Gendeng Sekarat segera mencekal dan meremasnya. Kruuus...!

"Hahh...! Besi gagang tombak itu remuk diremasnya?!" ujar seorang penonton dengan terbengong melompong. Tentu saja mata kapak pun terlepas dari gagangnya. Ki Gendeng Sekarat segera menggunakannya untuk menyerang Jagalopa dengan melemparkan kapak itu seperti melemparkan sebuah pisang.

Ziiing...!

Jagalopa merunduk menghindari kapak terbangnya. Tetapi tak disangka-sangka kapak itu berbelok arah dalam putaran cepat. Tahu-tahu datang dari arah kiri Jagalopa. Ki Gendeng Sekarat memancing perhatian Jagalopa dengan serangan kaki yang menendang beruntun di depan wajah. Tentu saja Jagalopa sibuk menghindari tendangan kaki itu, sampai ia ta sadar kapak itu datang.

Wuuut...! Craaas...!

Mata kapak yang terbang tepat menebas leher Jagalopa. Rupanya ia dikendalikan oleh kekuatan Indera Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika kepala Jagalopa sudah menggelinding jatuh, kapak itu masih terbang di antara para penonton. Membabat siapa saja yang ada di depannya.

"Aaaaah...!"

Crassss...!

"Auhhh...!"

"Aaaaaahg...!"

Keadaan menjadi kacau. Mata kapak yang terbang itu mengamuk membawa korban cukup banyak. Kapak terbang memutar cepat bagaikan baling-baling sampai ketempat sang Ratu. Para pengawal di panggung kehormatan itu lari pontang-panting menghindari kekuatan kapak terbang tersebut.

Craas...!

"Aaahg...!" Lasogani mendelik, tengkuknya dihajar kapak dan terkoyak lebar. Akhirnya ia tumbang tanpa nyawa.

Blaaar...! Glegaaar...!

Ledakan menggelegar terjadi setelah Ratu Tanpa Tapak melepaskan pukulan selarik sinar merah dari telapak tangan kirinya. Sinar merah menghantam kapak terbang dan hancurlah kapak itu. Suasana gaduh yang tunggang-langgang mulai reda kembali. Tetapi mereka kebingungan melihat arena kosong. Ki Gendeng Sekarat hilang dari arena.

"Setan buntung!" maki Ratu Tanpa Tapak. "Dia melarikan diri saat suasana menjadi kacau. Pasti tak jauh dari sini."

"Gusti Ratu, tawanan kita melarikan diri! Hilang dari arena!"

Seruan itu membuat tangan Ratu Tanpa Tapak berkelebat bagaikan memercikkan air. Tapi yang keluar dari jemarinya adalah sinar-sinar api yang memercik mengenai dada pengawal itu.

Craaasss...!

"Aaahg...!" Pengawal itu memekik dengan mata mendelik. Dadanya menjadi berasap. Banyak lubang hitam di dada itu. Ternyata bagian dalam dadanya telah terbakar. Tak heran jika pengawal itu pun tumbang dan enggan bernapas karena kehilangan nyawa.

"Tutup pintu gerbang! Jaga sekeliling benteng dengan ketat!" teriak Ratu Tanpa Tapak. "Cari dia! Cari semuanya. Dia pasti masih ada di sini!"

Orang-orang yang tergabung dalam benteng segera berlarian sambil mencabut senjata masing-masing. Mereka menyebar mencari Ki Gendeng Sekarat ke berbagai arah. Jumlah mereka lebih dari lima puluh orang. Ratu Tanpa Tapak sendiri bergegas masuk ke istana didampingi oleh seorang pengawal muda yang tak pernah pakai baju dan berkulit coklat.

Linggana. Itulah pengawal pribadi Ratu Tanpa Tapak yang berilmu tinggi, dan belum pernah tidur dengan perempuan, sehingga masih bisa disentuh atau menyentuh Ratu Tanpa Tapak.

"Beri kabar padaku kalau tawanan itu sudah tertangkap!" kata Ratu Tanpa Tapak sambil masuk ke kamar pribadinya, sedangkan Linggana menjaga di depan pintu kamar tersebut.

"Aku di sini, Nila Cendani!"

"Hahh...?!" Ratu Tanpa Tapak kaget setengah mati.

Ternyata Ki Gendeng Sekarat sedang berbaring di atas ranjangnya. Murka sang Ratu bukan kepalang besarnya. Tapi senyum sang tawanan kian berkesan kurang ajar.

* * *

DELAPAN
SEMENTARA itu dalam perjalanannya menuju Jurang Lindu, Raja Maut juga mengalami hambatan yang menyebalkan. Nyai Demang Ronggeng muncul pada saat Raja Maut mendekati kawasan Jurang Lindu, tempat si Gila Tuak berada. Rupanya ikut campurnya Ki Gendeng Sekarat dalam pertarungan di tengah laut tempo hari membuat Nyai Demang Ronggeng sangat penasaran.

Dalam pikirannya, selama Raja Maut masih hidup maka ketenangannya akan terganggu sewaktu-waktu demi menyelamatkan Kitab Sukma Sukmi. Tak ada jalan lain untuk memperoleh ketenangan hidup kecuali dengan cara membunuh Raja Maut. Karenanya, Nyai Demang Ronggeng memburu Raja Maut untuk dilenyapkan.

Pertemuannya dengan Raja Maut kali ini adalah sesuatu yang tak diduga. Nyai Demang Ronggeng bermaksud mencari muridnya; Tandak Ayu, untuk memberi tugas melenyapkan Raja Maut. Ia belum tahu kalau Tandak Ayu sudah mati di tangan Citradani, murid Embun Salju dari Perguruan Kuil Elang Putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas). Tetapi kali ini yang ditemui justru Raja Maut sendir. Tak heran jika Nyai Demang Ronggeng langsung mengatakan,

"Pucuk dicinta ulam tiba!" sambil senyum sinisnya mengembang.

Raja Maut pun mengambil sikap tenang walau berkesan menyimpan dendam. "Kalau kau ingin lanjutkan pertarungan kita, kuharap jangan sekarang, Nyai Demang Ronggeng. Aku masih punya urusan yang lebih penting dari melenyapkan dirimu," kata Raja Maut sambil menggenggam erat tongkatnya yang terbuat dari jenis akar hitam meliuk-liuk seperti ular itu.

"Kau takut menghadapiku lagi, Prasonco?!"

"Apakah kau dewa pencabut nyawa, sehingga aku harus takut padamu? Hmm...! Kau tidak ubahnya seperti lalat bagiku, Kiswanti! Sekali tepuk habislah riwayatmu. Tapi aku merasa sekarang belum saatnya untuk menepuknya."

"Sesumbarmu dari dulu selalu melebihi geledek, Prasonco. Tapi tak pernah ada bukti sedikit pun yang bisa kau tunjukkan didepanku."

"Sekarang apa maumu sebenarnya?!" Raja Maut tak sabar lagi.

"Tentunya melenyapkan sepupu seperguruanku!" jawab Nyai Demang Ronggeng, ketus sekali. "Kalau perlu, Gendeng Sekarat pun akan kulenyapkan biar tak mengganggu Kitab Sukma Sukmi lagi!"

"Jangan sesali tindakanku ini, Kiswanti! Heaah...!"

Wuuut...!

Raja Maut lemparkan tongkatnya. Dalam keadaan terbang tongkat itu berubah menjadi seekor ular hitam bermata merah.

Claap...!

Ular itu langsung menyerang Nyai Demang Ronggeng dengan gerakan amat cepat. Mulutnya ternganga menampakkan kedua gigi depannya yang runcing dan sangat berbisa. Dari mulut itu pun tersembur keluar asap beracun warna biru keabu-abuan.

Wooos...!

Nyai Demang Ronggeng segera mengambil kipas merah berbulu yang terselip di pinggangnya sambil lakukan lompatan ke atas. Kipas itu pun cepat-cepat dibuka terbentang dan dikibaskan dengan seluruh tenaga dalamnya.

Wuuusst...!

Asap beracun dari mulut ular membalik mengenai badan ular itu sendiri. Sang ular menjadi kelojotan. Tapi ia berusaha lompat menyerang lawannya dengan semakin ganas. Nyai Demang Ronggeng tak mau buang-buang waktu, ia lepaskan pukulan tenaga dalam melalui kipas yang dikatupkan. Dari ujung kipas keluar sinar merah bagaikan selarik tali kaku.

Slaaap...! Dueer...!

Kepala ular hancur seketika. Asap mengepul membungkus tubuh ular. Dan ketika asap itu lenyap, ternyata bangkai ular berubah menjadi sebatang tongkat seperti semula dengan ujungnya yang hancur sebagian. Tongkat itu segera dipungut Raja Maut dengan menggulingkan diri, lalu berdiri satu lutut dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan kirinya.

Slaap...! Sinar hijau berbentuk piringan melesat menghantam dada Nyai Demang Ronggeng.

Blaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi ketika sinar hijau itu ditangkis dengan kipas merah yang dibentangkan di depan dada. Ledakan itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental ke belakang, bahkan sempat berjungkir balik di tanah.

"Sekali lagi kuingatkan padamu, Kiswanti... jangan sesali tindakanku ini. Kau memaksaku menyelesaikan urusan sekarang juga. Maka akan kurampungkan setuntas mungkin!"

Kiswanti atau Nyai Demang Ronggeng tidak membalas ucapan apa pun. Tapi tubuhnya segera bangkit berdiri pelan-pelan. Kedua tangannya membentang lalu meliuk ke kiri bersama tubuhnya, sedangkan kedua kakinya merapat dan berdiri di atas jari-jarinya. Nyai Demang Ronggeng pun memutar tubuh pelan-pelan dengan gerakan orang menari.

"Celaka! Dia mulai pergunakan jurus 'Tarian Mayat'," pikir Raja Maut. "Jurus ini tak boleh diremehkan. Aku juga harus gunakan jurus 'Tarian Ular' untuk mengimbanginya!"

Maka tubuh Raja Maut pun segera merendah serendah mungkin. Kedua kakinya saling berjajar ke depan, tongkatnya meliuk ke belakang bersama tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menguncup merayap di tanah. Kini tubuhnya pun mulai meliuk-liuk bagai seekor ular menari.

Nyai Demang Ronggeng bergerak gemulai dengan kedua tangan lama-lama saling melilit tubuh sendiri, kaki melompat-lompat dalam keadaan merapat. Dan tiba-tiba kedua tangan yang melilit itu membentang dengan cepat dalam satu sentakan kuat bersama seruan lengkingnya. "Hiaaaah...!"

Dari sekujur tubuh keluar sinar biru yang menyebar ke berbagai arah. Tiga pohon yang ada di belakangnya hangus seketika dan menjadi keropos meninggalkan kepulan asap. Demikian pula batu di sebelah kirinya menjadi onggokan arang tanpa kekerasan sedikit pun. Sinar biru itu pun menghantam ke arah Raja Maut sebagai akibat terlepasnya jurus 'Tarian Mayat' andalannya.

Namun Raja Maut telah bersiap diri melawannya. Tubuh Raja Maut pun melompat bagai seekor ular melayang menyerang mangsa. Tongkatnya ditancapkan ke tanah. Jrub...! Lalu dari tanah sekitar tongkat itu melesat sinar merah berbentuk bayangan puluhan ekor ular yang menyerang Nyai Demang Ronggeng. Sinar merah dalam bentuk bayangan ular itu menghantam sinar biru. Jurus 'Tarian Mayat' beradu dengan jurus 'Tarian Ular'. Akibatnya, bumi bagaikan kiamat. Ledakan dahsyat terjadi menggemparkan keadaan sekeliling.

Blegaaar...!

Kedua tubuh itu saling terlempar berbeda arah. Gelombang ledakan dahsyat membuat beberapa pohon hangus dan tumbang tak beraturan. Rumput ilalang tiba- tiba menjadi kering, rata dengan tanah. Semak lainnya ada yang terbakar walau tidak keluarkan lidah api, namun bara dan asapnya masih ada. Batu-batu hancur menjadi serbuk sesuai warna aslinya.

Gemuruh itu guncangkan bumi, seakan langit akan runtuh, tanah akan merekah. Perpaduan jurus maut itu telah mengundang perhatian tersendiri bagi manusia maupun hewan yang ada di sekitar tempat itu sekalipun jauhnya lebih dari lima puluh langkah. Tak ada hewan yang tetap tinggal di situ. Semua berlarian meninggalkan tempat tersebut dengan rasa takut.

Raja Maut terkapar dengan wajah biru legam. Darah keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah itu berwarna hitam. Tepian mata menjadi merah bagaikan terkelupas. Kulitnya melepuh di sana-sini. Namun ia masih berusaha bangkit walau dengan susah payah dan napas sukar dihela.

Nyai Demang Ronggeng sendiri sudah berdiri sejak tadi. Keadaannya masih tergolong segar walaupun mulutnya melelehkan darah tapi tak banyak. Wajahnya hanya pucat pias, kain jubahnya tercabik-cabik bagian tepinya. Kipas merah masih utuh tanpa kerusakan apa pun. Nyai Demang Ronggeng masih bisa sunggingkan senyum kemenangan melihat Raja Maut dalam keadaan luka parah. Ini menandakan bahwa jurus 'Tarian Mayat' ternyata lebih unggul dibanding jurus 'Tarian Ular'. Nyai Demang Ronggeng tampak bangga, namun masih menyimpan rasa penasaran, sehingga ia pun berseru,

"Saatnya untuk menyelesaikan hidupmu, Prasonco!" dan kipas merah yang dibentangkan itu segera dikibaskan dari kiri ke kanan. Wuuut...! Memancarlah cahaya merah bagai lempengan pedang panjang bergerak menyamping seakan ingin memotong-motong tubuh Raja Maut.

Slaaap...! Wuuuusss...!

Tetapi tiba-tiba sinar merah panjang itu terhantam sinar ungu kecil di bagian tengahnya. Jlegaaaar...!

Tubuh Nyai Demang Ronggeng bukan saja terpental melainkan terjungkal di udara dan terhempas tanpa keseimbangan tubuh lagi. Ia terbang bagaikan segenggam kapas yang disapu badai besar. Jika tidak ada sisa pohon di belakangnya, ia akan terhempas sampai jauh. Tapi karena ada sisa pohon yang menjadi arang, maka tubuhnya terhenti di sana.

Braaasss...!

Praaak...! Pohon itu roboh dan hancur, tubuh Nyai Demang Ronggeng terpuruk di bawah bekas pohon itu. Mulut, hidung, dan telinganya keluarkan darah. Kulit tubuhnya menjadi legam membiru seperti keadaan Raja Maut. Pakaiannya rusak, tataan rambutnya pun berantakan. Sebagian ujung rambut menjadi keriting karena terbakar oleh gelombang panas dari ledakan tadi.

Siapa orang yang melepaskan pukulan dahsyatnya berupa sinar ungu kecil itu? Nyai Demang Ronggeng yakin, pukulan itu jelas bukan pukulan milik Raja Maut. Ia kenal betul jenis jurus-jurus yang dimiliki Raja Maut. Wajahnya terangkat pelan-pelan, dan matanya pun memandang samar-samar wujud sesosok lelaki berpakaian serba hijau tapi mengenakan baju jubah kuning. Rambutnya putih rata, kumis, jenggot, alis tebalnya juga putih rata. Rambut itu mengenakan ikat kepala kain hitam, tapi jelas bukan Ki Gendeng Sekarat yang juga rambut putihnya diikat kain hitam. Keremangan pandang akibat luka dalam itu lama-lama membuat Nyai Demang Ronggeng mengenali lelaki yang berusia sekitar sembilan puluh tahun lebih itu.

"Gila Tuak...!" gumam Nyai Demang Ronggeng dengan suara gemetar.

"Apakah kau tetap ingin membunuh sepupu seperguruanmu ini, Kiswanti?!"

Daya tahan perempuan itu terasa semakin melemah, ia merasa tak mungkin bisa melawan tokoh sakti yang selama ini sembunyikan diri dari keramaian. Nyai Demang Ronggeng gemetar di hadapan guru Pendekar Mabuk itu. Ia merasa tak akan sanggup melawan si Gila Tuak, apalagi dalam keadaan terluka parah. Maka tak ada cara lain untuk selamatkan diri kecuali cepat-cepat lari meninggalkan Raja Maut dan tanah yang ternyata telah masuk kawasan Jurang Lindu itu.

"Sial! Gila Tuak ikut campur. Modar aku!" gerutunya sambil melarikan diri tanpa pamit.

Sabawana yang bergelar si Gila Tuak itu membiarkan Nyai Demang Ronggeng melarikan diri. Tokoh sakti yang sebenarnya enggan campur tangan di rimba persilatan lagi itu, kali ini terpaksa pergunakan jurus kecil-kecilan saja untuk selamatkan Raja Maut yang menjadi sahabatnya itu.

"Pasti perkara Kitab Sukma Sukmi!" kata Gila Tuak dengan tegas.

"Ya, memang," jawab Raja Maut dengan keadaan napas sesak tubuh lemas. "Tapi aku ke sini sengaja untuk temui kau, Gila Tuak."

"Kalau begitu, mari kubantu pergi ke pondokku. Kau butuh pertolongan secepatnya, Prasonco!"

"Bb... ba... baik," jawab Prasonco dengan susah payah. "Aku hanya ingin sampaikan kabar... muridmu melabrak Nila Cendani."

"Nila Cendani?!" Gila Tuak menjadi heran. "Apa urusannya Suto sampai melabrak Ratu Tanpa Tapak itu?"

"Gendeng Sekarat ditawan mereka!"

"Oh, dasar gendeng orang itu. Mau-maunya ditawan? Apakah dia tak bisa bereskan Nila Cendani sendiri, sehingga muridku jadi ikut campur?"

"Kau pikir Gendeng Sekarat mampu kalahkan ilmunya Nila Cendani?"

Gila Tuak diam, tapi ia masih membantu Raja Maut untuk melangkah pelan-pelan. Kejap berikutnya Raja Maut berkata,

"Datanglah ke Gunung Sesat. Bantu muridmu, Gila Tuak! Bocah itu bisa celaka dan mati konyol kalau melawan Nila Cendani!"

"Tidak," jawab Gila Tuak dengan tegas. "Aku tidak ingin memanjakan bocah tanpa pusar itu. Kalau dia berani melabrak ke sana, berarti dia sudah punya perhitungan matang. Kalau dia ada apa-apa, itu salahnya sendiri. Aku mendidiknya bukan dari segi otot dan tenaga saja, tapi otaknya pun kusuruh menggunakan sebaik mungkin. Biarlah dia membebaskan Gendeng Sekarat dengan caranya sendiri."

Raja Maut terbengong mendengar pernyataan dan sikap Gila Tuak. Ia tak menyangka sebagai guru Gila Tuak tega membiarkan muridnya melawan orang sesakti Nila Cendani itu. Tapi Raja Maut tak tahu bahwa Gila Tuak merasa tenang, tidak merasa khawatir dan cemas akan keselamatan Suto Sinting. Gila Tuak yakin, Suto mampu kalahkan Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu. Ia tak sangsi lagi dengan kemampuan muridnya, karena di dalam diri Suto bukan hanya ada warisan ilmunya saja, tapi juga warisan ilmu dari Bidadari Jalang pun ada pada Pendekar Mabuk, dan anak itu telah menelan Tuak Setan, sehingga jika napas Tuak Setan dipergunakan maka Nila Cendani bukan apa-apa bagi Pendekar Mabuk.

"Kau tak takut kalau muridmu mati di tangan Ratu Tanpa Tapak?!"

"Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dibuatnya lari pontang-panting, tentunya Nila Cendani akan dibuat tak berdaya oleh Suto, sebab Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Nila Cendani!"

Raja Maut bengong lagi. Ia kenal betul nama Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Ia tak sangka kalau Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal sakti dan ganas itu lari pontang-panting dalam pengejaran Pendekar Mabuk. Kalau saja Raja Maut mendengar kabar itu sejak lama, maka ia tidak akan datang temui si Gila Tuak dan menyampaikan kecemasannya itu.

Alam pikiran Suto Sinting ternyata sama dengan pikiran gurunya. Ketika dalam perjalanan menuju kaki Gunung Sesat, hatinya pun berkata, "Kenapa aku harus takut dengan Ratu Tanpa Tapak? Siluman Tujuh Nyawa saja kuhadapi dan kukejar-kejar, apalagi hanya Nila Cendani?! Apakah kesaktian Nila Cendani lebih tinggi dari Durmala Sanca, si Siluman Tujuh Nyawa itu?! Ah, sekalipun lebih tinggi, aku tak takut. Cepat atau lambat aku harus bisa membebaskan Ki Gendeng Sekarat sebelum orang yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri itu mendapat celaka di tangan Ratu Tanpa Tapak!"

Langkah Pendekar Mabuk sengaja dihentikan sejenak. Matanya mulai menangkap bayangan sebuah benteng di kejauhan sana. Warna hitam memanjang sudah pasti benteng istana Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting meneguk tuaknya yang tadi ketika melewati sebuah desa sempat diisi dengan tuak baru di sebuah kedai.

Glek, glek, glek...! Tiga teguk cukup untuk menyegarkan tubuh. Tuak itu, ibarat zaman sekarang merupakan dopping bagi seluruh ilmu dan kekuatan Suto. Kesegaran dan keberaniannya semakin bertambah jika habis meneguk tuak. Wajah Suto Sinting saat itu berseri-seri memandangi benteng sang Ratu.

"Kuhancurkan benteng itu, atau aku masuk menyelinap secara diam-diam?" pikirnya penuh perhitungan. Perhitungannya menjadi buyar karena tiba-tiba ia merasakan ada suatu gelombang panas yang menyerangnya dari samping kiri. Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya pun melambung di udara dengan cepat.

Suuuut...!

Blaaar...! Gelombang panas itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu rompal bagian batangnya. Hampir saja tumbang terpotong. Melihat keadaan pohon hanya rompal, berarti penyerangnya menggunakan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Mungkin ia tidak bermaksud membunuh Suto Sinting. Tapi siapa penyerangnya itu?

"Oh, kau...!" Suto Sinting bernada keluh.

Gadis berpakaian ketat ungu muda dengan bentuk belahan dada yang menantang itu tak lain adalah Pelangi Sutera. Ibu dari anak jin; si Logo, ternyata telah menyusulnya dan bermaksud menghalangi niat Suto datang ke benteng itu.

"Sudah kubilang, jangan temui Ratu Tanpa Tapak. Mengapa kau nekat?" kata Pelangi Sutera yang bernama asli Sumbaruni itu.

"Apa hakmu melarangku, Sumbaruni?!"

"Ini bukan masalah hak. Ini masalah kecemasanku."

"Itu tak perlu," jawab Suto kalem sambil tersenyum geli. "Untuk apa kau mencemaskan diriku, Sumbaruni? Tak akan ada gunanya."

Perempuan yang tampak masih muda sekian kali lipat dari usia sebenarnya, mendekati Suto dengan sorot pandang matanya yang berwibawa dan punya kharisma tersendiri. Suto Sinting membiarkannya dan juga memandangi tanpa kesan bermusuhan. Dalam jarak dua langkah, Sumbaruni berhenti dan saling adu pandang beberapa saat. Lama-lama terdengar suaranya berucap bagai bisikan.

"Aku tak mau kau terjerat cinta di sana!"

Suto Sinting tertawa dengan suara pelan. "Jangan takut. Aku punya penangkalnya, Sumbaruni."

"Omong kosong! Kau akan kalah jika Nila Cendani pergunakan ilmu 'Serap Sukma Asmara' yang dimilikinya. Aku tahu kau masih perjaka, dan kau pasti bisa menyentuh serta menyerangnya. Kalian bisa bersentuhan, dan itu sangat berbahaya bagi keadaan jiwa mudamu, Pendekar Mabuk."

"Apa kehebatan ilmu 'Serap Sukma Asmara' itu, sehingga kau amat mengkhawatirkan diriku, Pelangi Sutera?"

"Apabila dia menggigit bibirnya sendiri dalam senyum, maka hatimulah yang digigitnya. Jika hatimu sudah digigit, maka kau akan jatuh cinta padanya, kau akan tunduk dengan segala perintahnya, dan kau akan menjadi pelayan cintanya sepanjang masa. Sampai saatnya dia tidak lagi membutuhkan dirimu, kau akan sanggup memenuhi perintahnya untuk lakukan bunuh diri."

"Bagaimana kalau sebelum dia menggigit bibirnya, aku lebih dulu menggigitnya?" kata Suto menganggap canda kecemasan itu. Tapi Sumbaruni menjadi sangat jengkel, maka ditamparnya pipi Suto tidak terlalu keras.

Plaak...! Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia justru semakin tertawa geli. "Aku bersungguh-sungguh, Suto. Aku benar-benar takut."

Kata-kata itu diucapkan sangat pelan dan dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Akhirnya Suto Sinting mencoba memahami perasaan Pelangi Sutera, ia tahu wanita itu amat mencintainya dan berharap dapat hidup bersamanya. Sekalipun Suto tetap ingat pada calon istrinya: Dyah Sariningrum, tapi Suto menghargai perasaan seorang wanita seperti Pelangi Sutera itu. Maka ia pun berkata dengan nada bersungguh-sungguh.

"Percayalah, aku tidak akan terpikat oleh perempuan itu. Aku mampu menghindarinya, Pelangi Sutera."

Tapi perempuan itu gelengkan kepala dan berkata, "Aku sangsi"

Suto Sinting menarik napas panjang. "Baiklah. Kau sangsi atau tidak aku tetap harus ke sana dan membebaskan Ki Gendeng Sekarat!"

"Suto !"

"Aku tak bisa berlama-lama diam di sini sementara nyawa Ki Gendeng Sekarat sedang di ujung lidah perempuan itu!" kata Suto sambil segera melangkah menuju benteng tersebut. Kecemasan Pelangi Sutera semakin kuat, sehingga dengan gerakan cepat perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri menghadang langkah Suto Sinting. "Kalau kau nekat kesana, aku terpaksa melumpuhkanmu, Suto!" ancamnya dengan suara dingin.

"Aku tak mau. Aku pasti akan melawanmu, Pelangi Sutera!"

"Baik. Kalau begitu kita coba siapa yang unggul dalam pertarungan kita!"

Slaaap...! Tiba-tiba gerakan tangan Pelangi Sutera bagaikan melemparkan senjata rahasia ke dada Suto Sinting. Tapi yang keluar dari lemparan tangannya itu adalah sinar kuning berbentuk bintang berputar. Kecepatan lemparan sinar itu sangat tinggi. Suto Sinting tak sempat menghindar dan menangkis. Akibatnya sinar kuning itu memang mengenai dada Suto Sinting.

Duuub...!

"Uuuffh...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat. Tubuhnya melengkung, kedua tangannya mendekap dada. Napasnya bagaikan tersumbat di dalam dada. Kerongkongannya seakan kering dan lengket, tak bisa bersuara. Baru sekarang Suto Sinting menerima serangan secepat itu. Lebih cepat dari loncatan kilat. Lebih cepat dari tarikan napas. Dan jurus itu sangat aneh. Tubuh Suto menjadi lemas. Lemas sekali. Matanya berkunang-kunang. Untuk menggerakkan jemarinya saja tak mampu. Akhirnya Suto Sinting jatuh terkulai.

Bruuuk...! Punggungnya tak bisa dipakai untuk duduk. Tulang punggung sepertinya hilang sama sekali. Urat-urat dalam tubuhnya bagaikan putus semua. Bruuuk...! Suto terpuruk, mirip cucian basah jatuh dari jemurannya. Tapi otaknya masih berjalan, kesadarannya masih ada. Matanya masih bisa berkedip-kedip, hanya saja kekuatannya bagaikan dikebiri, lenyap tanpa bekas sedikit pun dari dirinya.

"Maafkan aku, Suto," Pelangi Sutera mendekat dan berwajah sedih. Tangannya mengusap-usap rambut Suto setelah ia berlutut di depan pemuda tampan itu. "Maafkan aku, karena kau bandel dan aku tak punya cara lain! Aku terpaksa menggunakan jurus 'Anak Rembulan' supaya kau tidak bisa menemui Ratu Tanpa Tapak itu. Kau akan lumpuh selama belum mendapat seranganku kembali. Aku akan menyerangmu menggunakan jurus 'Lidah Mentari' untuk membakar kekuatanmu agar pulih lagi. Tetapi itu nanti, setelah aku berhasil membebaskan orang yang kau anggap seperti ayahmu sendiri itu. Aku sendiri yang akan menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat, Suto. Aku terpaksa melawan cucuku sendiri demi menyelamatkan hatimu dari jeratan ilmu 'Serap Sukma Asmara' milik Nila Cendani!"

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Suto Sinting, tapi lidahnya bagaikan tak bisa digerakkan sama sekali. Lidah itu lemas tak punya urat. Akhirnya Suto hanya diam saja, matanya berkedip-kedip memperhatikan wajah Pelangi Sutera yang penuh sesal dan kegeraman. Wanita cantik ibu anak jin itu pergi bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Arahnya menuju benteng hitam itu. Tapi otak Suto masih sempat berpikir dalam kecemasan.

"Jika dia kalah melawan Ratu Tanpa Tapak, jika dia mati, lantas bagaimana nasib Ki Gendeng Sekarat? Bagaimana dengan nasibku ini?! Hanya dia yang bisa pulihkan kekuatanku dengan jurus 'Lidah Mentari'. Tapi kalau dia mati, siapa yang akan lepaskan jurus 'Lidah Mentari' kepada diriku? Tak ada. Dan itu berarti aku akan lumpuh selama-lamanya! Celaka! Apakah dia bisa unggul melawan Ratu Tanpa Tapak?"

* * *

SEMBILAN
PADA saat itu, Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan oleh Ratu Tanpa Tapak. Ketika di kamar tidur sang Ratu, Ki Gendeng Sekarat berhasil diserang dengan dua jurus jebakan. Empat jari tangan Nila Cendani disentakkan, maka melesatlah empat larik sinar hijau dari masing-masing ujung jari berkuku runcing itu. Arahnya sengaja sedikit ke kanan, supaya Ki Gendeng Sekarat menghindar ke kiri.

Sraab...!

Dugaan Nila Cendani benar. Ki Gendeng Sekarat berguling di atas ranjang ke arah kanan. Tapi pada saat itu juga Nila Cendani sentakkan keempat jari kanannya yang memancarkan empat larik sinar putih perak berkilauan.

Sraaab...! Arahnya lebih ke kiri dari tubuh Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika Ki Gendeng Sekarat menghindari ke kiri, maka ia terperangkap sinar putih perak itu.

Jraaab...!

"Uuhg...!" Tubuh Ki Gendeng Sekarat mengejang dengan kepala terdongak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh itu menjadi kaku dan kejang sekali. Nila Cendani segera memanggil pengawalnya.

"Tangkap dan ikat dia dengan akar Serat Hantu!" perintah sang Ratu.

Dalam beberapa waktu, keadaan kejang itu sudah menjadi kendor. Ki Gendeng Sekarat memang hanya mengalami kekakuan sesaat. Jurus sinar perak tadi memang berguna hanya untuk melumpuhkan lawan, bukan untuk membunuh. Tetapi sekalipun keadaan Ki Gendeng Sekarat sudah menjadi seperti biasa, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kedua tangannya dikebelakangkan dan diikat dengan akar Serat Hantu.

Akar Serat Hantu adalah tali dari jenis tanaman yang mengandung racun. Semakin lama menempel di kulit tubuh, maka orang tersebut akan mengalami perasaan takut kepada siapa pun. Terbukti semakin lama terikat dengan akar itu, Ki Gendeng Sekarat semakin deg-degan dan memandang siapa saja dengan rasa takut. Bahkan ia tak berani menatap ratu yang cantik itu, karena kecantikan tersebut dianggapnya sesuatu yang amat menakutkan. Tak heran jika napas Ki Gendeng Sekarat terengah-engah terus karena diliputi perasaan takut.

"Pancung dia di pelataran depan!" perintah Ratu Tanpa Tapak kepada para pengawalnya, lalu kedua orang pengawal segera membawa Ki Gendeng Sekarat ke pelataran depan istana.

Ki Gendeng Sekarat ketakutan melihat dua pengawal yang membawanya. "Tidak! Tidak! Jangan dekati aku! Aku takut pada beruang! Takuuut...!"

Plook! Wajah itu ditampar seenaknya oleh seorang pengawal. "Aku bukan beruang, Goblok!"

"Jangan! Jangan! Aku takuuut...!" teriak Ki Gendeng Sekarat sambil meronta-ronta. Biasanya ia tak pernah punya rasa takut, apalagi sampai berteriak-teriak begitu. Bahkan ketika menuruni tangga serambi istana, Ki Gendeng Sekarat yang menundukkan wajahnya menjadi menjerit dan melompat-lompat,

"Aaaa...! Takuuut...! Takuuut...! Ada semut dua ekor mau mengeroyokku! Uwaaa...!" Ia semakin meronta-ronta menghindari dua ekor mata semut yang menurut penglihatannya amat besar dan ingin mencaplok kakinya.

Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orangnya Nila Cendani yang siap menyaksikan hukum pancung di pelataran istana. Di sana sudah ada dua tiang pengikat tangan orang yang akan dipancung. Tetapi karena keadaan Ki Gendeng Sekarat harus tetap berlilitkan akar Serat Hantu, maka Ki Gendeng Sekarat tidak jadi diikatkan pada dua tiang, melainkan seluruh tubuhnya disuruh merendah dan diikat pada satu tiang saja dalam keadaan berlutut.

Lalu sebatang kayu menekan punggungnya supaya merunduk. Dengan begitu, leher Ki Gendeng Sekarat mudah terpancung oleh algojo yang ditugaskan. Algojo itu mengenakan kain selubung penutup kepala warna hitam, bagian atasnya runcing, yang terlihat hanya bagian matanya saja. Ki Gendeng Sekarat sempat berteriak ketakutan.

"Jangaaan...! Huaaww...! Jangan dekatkan aku dengan setan pocong! Aku takut! Takuuut...!"

Yang lain tertawa mendengar algojo dikatakan setan pocong. Algojo sendiri sebenarnya tertawa geli, tapi karena mulutnya tertutup selubung hitam maka tak diketahui bahwa ia ikut menertawakan sang tawanan. Sedangkan Ratu Tanpa Tapak hanya tersenyum sinis, siap memperhatikan hukuman pancung dilaksanakan.

Sang Algojo menunggu perintah pancung dari ratunya. Pedang besar sudah siap di tangan, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang. Ki Gendeng Sekarat sempat melirik kepada pedang yang putih besar berkilauan, ia sempat merintih ketakutan dalam keadaan tertunduk.

"Oh, gigi siapa itu yang dibawa-bawanya. Besar sekali! Ooh... aku takut sekali pada gigi itu. Singkirkan gigi itu, Ratuuu...!"

Gelak tawa mereka sengaja dibiarkan oleh sang Ratu, karena setiap orang yang diikat dengan akar Serat Hantu memang tingkah ketakutannya menggelikan. Setelah tawa itu mereda, Ratu Tanpa Tapak pun segera berkata dengan suara keras dan tegas.

"Demi membalas kematian dua utusan kita yang hampir mendapatkan keris pusaka Setan Kobra itu, maka orang ini layak dihukum mati dengan dipancung. Inilah satu bukti, bahwa aku; Ratu Tanpa Tapak, akan selalu melindungi orang-orangku dari gangguan siapa pun." Setelah itu, Ratu Tanpa Tapak memandang algojo dan berseru, "Laksanakan!"

Algojo mengangguk, lalu mengangkat pedang besarnya. Pada saat pedang terangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan, tiba-tiba seberkas sinar merah menyerupai ujung anak panah melesat cepat dan menembus dada sang algojo.

Wuuut...! Sraab...! Blaaarr...!

Seluruh orang menjerit dan menjadi panik melihat tubuh sang Algojo pecah. Ki Gendeng Sekarat sendiri berteriak-teriak sangat ketakutan. Beberapa pasang mata tertuju ke atas benteng, ternyata di sana telah berdiri seorang perempuan yang mengenakan jubah ungu tua dengan pedang di punggung dibungkus kain beludru warna ungu pula.

"Serang dia!" teriak Sabit Guntur yang berdiri di samping kanan Nila Cendani.

"Heeaaaahhhh...!" semua menyerang Pelangi Sutera dengan senjata dan tenaga dalam masing-masing.

Tetapi wanita muda itu cepat menghilang, tahu-tahu berada di samping Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya dicabut, dan ditebaskan dengan cepat ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Wes, wes, wes, wes, wuuut...! Tras...!

Dalam gerakan pedang yang begitu cepat, semua tali yang mengikat Ki Gendeng Sekarat telah terputuskan. Ki Gendeng Sekarat bebas dari pengaruh akar Serat Hantu. Ia segera terbelalak melihat Pelangi Sutera yang dikenalinya itu.

"Sumbaruni...?!"

"Habisi mereka, Gendeng Sekarat! Jangan bengong saja! Hiaaat...!"

Pertarungan pun terjadi dengan seru. Ki Gendeng Sekarat mendampingi Samburani menyerang mereka. Tak satu pun ada yang mampu melukai atau memukul jatuh kedua tokoh tua tersebut. Tetapi mereka berdua tidak bisa menyerang Ratu Tanpa Tapak, karena mereka berdua sudah bukan perawan dan perjaka lagi. Akibatnya mereka hanya terdesak beberapa kali oleh serangan Ratu Tanpa Tapak yang menggunakan jurus-jurus berbahaya. Tiga tiang utama istananya sendiri sempat hancur menjadi debu karena serangannya yang dihindari oleh Pelangi Sutera.

"Monyet busuk! Bagaimana dia bisa masuk ke bentengku?!" pikir Nila Cendani memandangi Sumbaruni. Ratu Tanpa Tapak tidak tahu kalau semua penjaga di pintu gerbang sudah dilumpuhkan oleh Pelangi Sutera terlebih dulu, sehingga wanita itu dapat dengan mudah melompat naik ke dinding benteng dan menggagalkan acara hukuman pancung tersebut.

Kini lebih dari tiga puluh orang terkapar tanpa nyawa karena amukan Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera. Sabit Guntur sendiri yang tangannya buntung juga mati di tangan Ki Gendeng Sekarat dengan tebasan kipas putihnya. Sementara itu Nila Cendani semakin murka, menyerang mereka berdua dengan melayang tanpa menginjak tanah sejak tadi. Ki Gendeng Sekarat sempat terjungkir baik ke belakang ketika ia mencoba menahan pukulan sinar hijau dari mata Nila Cendani.

Pukulan itu amat kuat dan berbahaya, membuat Ki Gendeng Sekarat hampir saja mati membeku jika tidak menahannya memakai bentangan kipas putihnya. Tetapi sebagai akibat, ia terlempar dan terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Telinga dan hidungnya mengucurkan darah segar.

Sedangkan Pelangi Sutera masih menebaskan pedangnya ke sana-sini. Tebasan pedangnya itu seperti kilasan angin yang tak diketahui datangnya, tak didengar suaranya, tiba-tiba saja korbannya merasakan hawa dingin pada tubuhnya. Tahu-tahu kepalanya jatuh dari raga, atau dadanya robek, tembus dan sebagainya. Bahkan ada yang masih sempat melakukan lompatan menyerang tanpa disadari bahwa kedua kakinya telah ditebas buntung oleh pedang ungunya Pelangi Sutera.

"Sumbaruni!" sentak Nila Cendani. "Hentikan tingkah keparatmu itu, Setan!"

Pelangi Sutera menghentikan serangannya, ia memandang dengan senyum sinis. Anak buah Nila Cendani tinggal beberapa gelintir manusia saja. Mungkin hanya delapan atau sembilan orang yang masih hidup tanpa luka. Mereka berada di belakang Ratu Tanpa Tapak. Siap menyerang kapan saja perintah datang.

"Apa maksudmu ikut campur urusanku ini, hah?!" bentak Nila Cendani.

Sumbaruni hanya menjawab dengan sinis, "Aku hanya ingin membebaskan si Gendeng Sekarat ini!"

"Apa urusanmu dengannya?"

"Tidak ada!"

"Kalau begitu kau memang cari penyakit dengan mendatangi kekuasaanku ini!"

"Nila Cendani, pandanglah aku. Siapa diriku sebenarnya? Mengapa kau masih bersikap keras di depan nenekmu ini?! Kembalilah ke jalan yang benar, Nila Cendani! Kau boleh tempati gunung ini tapi lakukanlah kebaikan!"

"Persetan dengan nasihatmu! Aku harus menjadi penguasa dunia! Siapa pun tak boleh menentang kehendakku. Tak peduli kau adalah nenekku, kalau kau menentang keinginanku, kau harus kumusnahkan, Sumbaruni!"

"Sayang sekali jiwamu benar-benar sesat!"

"Peduli apa denganmu! Kalau kau memang mau menentangku, coba lukai aku! Coba sentuh diriku!"

"Sesumbarmu seperti kaleng rombeng! Jangan kau pikir tak ada orang yang mampu melukaimu. Nila Cendani!"

"Hmmm...! Aku tahu kau sudah tak perawan lagi! Kau sudah beranak dan ke mana anakmu itu? Si anak jin itu akhirnya berkhianat padaku dan menjadi menuruti perintahmu, bukan? Hmmm...! Aku dapat meneropongnya dari sini, Sumbaruni. Sekali aku bertemu dengannya, maka ia tak akan selamat dari tanganku!"

Sumbaruni merasa dibakar darahnya mendengar anaknya diancam, ia segera melepaskan pukulan dari tangan kirinya, berupa percikan sinar warna-warni seperti pelangi. Tetapi sinar-sinar itu tak ada yang mengenai tubuh Nila Cendani, bahkan menyimpang pecah mengenai empat anak buah Nila Cendani yang semuanya menjadi pecah tanpa serpihan daging dan tulang lagi kecuali semburan darah kental kesana-sini.

Ratu Tanpa Tapak kian murka, ia mencabut kipas berbulu merak yang terselip di pinggang belakang. Kipas itu ditebaskan. Wuuuut...! Maka ratusan jarum beracun memancar menyebar. Srrraabb...! Jruuub...!

"Auhg...!"

"Aaahg...!"

Jarum-jarum yang bergerak bagaikan angin itu menancap di tubuh Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat. Seketika itu pula tubuh mereka menggigil dan membiru. Pori-pori kulit mereka melebar dan mengeluarkan cairan merah darah.

"Kita harus lekas pergi dari sini, Sumbaruni!" bisik Ki Gendeng Sekarat dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Kita tak akan bisa melukainya!"

Wuuut...! Wuuut...!

Pelangi Sutera segera melesat pergi mendengar usul Ki Gendeng Sekarat, dan Ki Gendeng Sekarat sendiri ikut melesat menyamai kecepatan gerak Pelangi Sutera. Pintu gerbang ditabraknya. Duaaar...! Jebol menjadi kepingan-kepingan besi bercampur kayu.

Tetapi kekuatan gerak mereka terbatas, tenaga mereka telah direnggut racun ganas. Begitu mereka tiba di depan pintu gerbang dalam jarak dua puluh langkah, mereka berdua saling berjatuhan. Tubuh mereka semakin merah karena penuh cairan darah yang keluar dari pori- pori tubuhnya.

"Gendeng... aku tak kuat," ratap Pelangi Sutera ketika jatuh tersungkur dan mencoba merangkak untuk bangun. Ki Gendeng Sekarat pun terpelanting jatuh karena tenaganya bagaikan hilang.

"Hi, hi, hi, hi...!" terdengar tawa Ratu Tanpa Tapak yang menyusul keluar bersama sisa anak buahnya. "Kalian tak akan bisa hidup lebih dari seratus hitungan! Jarum 'Pengikis Jantung' mempunyai racun yang tak mudah ditawarkan. Tapi ada baiknya daripada kalian terlalu lama menunggu ajal. Akan kupercepat dengan jurus pembantaiku ini! Hiaaaat...!"

Wuuut...!

Sinar merah meluncur dari mata Nila Cendani. Sinar merah itu semula berbentuk lidi kecil, tapi makin jauh makin menyebar lebar dan menghantam tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera. Hanya saja, sebelum kedua sinar yang terlepas dari kedua mata Nila Cendani itu sampai di tubuh mereka berdua, seberkas sinar ungu melesat dan menghantam kedua sinar merah tersebut secara melintas cepat dari samping kanan.

Blaaar...! Glegaaarrr...!

Bunyi ledakan itu luar biasa dahsyatnya. Tubuh Ki Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera sama-sama terpental dan terguling-guling di rerumputan. Tapi yang lebih aneh lagi, tubuh Ratu Tanpa Tapak pun terlempar ke belakang dan sempat berjungkir balik sampai jatuh tersungkur di tanah belakangnya, ia segera bangkit dengan merasa heran mengalami peristiwa seperti itu. Matanya segera memandang mencari penyerang yang menggunakan sinar ungu itu.

Ketika pandangan matanya menemukan sesosok pemuda tampan berdiri tegak dengan baju coklat tanpa lengan, Ratu Tanpa Tapak itu terperangah dan berdebar-debar hatinya. Sedangkan saat itu, Pelangi Sutera yang masih bertahan untuk bisa bangkit walau dengan setengah merangkak, segera serukan gumam keheranannya.

"Suto...?!"

Tentu saja Pelangi Sutera merasa terheran-heran, sebab ia tak menyangka kalau Suto bisa pulih seperti sedia kala, padahal mestinya harus dihantam dengan jurus 'Lidah Mentari' dulu supaya kekuatannya pulih kembali. Tapi ternyata tanpa pukulan itu Pendekar Mabuk sudah bisa berdiri tegak dan pulih seperti sediakala. Pelangi Sutera menyangka saat itu Suto masih terpuruk lunglai tanpa daya di bawah pohon.

Di samping Suto Sinting berdiri seorang bocah berusia sepuluh tahun. Angon Luwak. Apakah bocah itu yang sembuhkan Suto dan pulihkan kekuatan si Pendekar Mabuk itu? Rasa-rasanya tak mungkin, menurut Pelangi Sutera. Jurus 'Anak Rembulan' tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali orang yang punya pukulan 'Lidah Mentari'. Sedangkan orang yang punya jurus 'Lidah Mentari' tak ada lainnya kecuali dirinya sendiri.

Pelangi Sutera tidak tahu bahwa kehadiran Angon Luwak telah menyelamatkan Suto Sinting dari pengaruh jurus 'Anak Rembulan'. Bocah itu tahu keadaan Suto yang lemas pasti karena sakit. Tapi ia tak tahu sakit apa yang diderita Suto sebab Suto tidak bisa kasih penjelasan padanya. Namun bocah itu punya gagasan untuk meminumkan tuak dari bumbung ke mulut Suto. Sebab ia pernah melihat Suto mengobati Raja Maut dengan cara seperti itu. Tuak tersebut mempunyai kekuatan dahsyat melebihi pukulan 'Lidah Mentari'. Dengan meminum tuak itu, meka kekuatan Suto menjadi pulih kembali dan badannya menjadi lebih segar.

Kini kecemasan Pelangi Sutera bukan terletak kepada mati-hidupnya Pendekar Mabuk, melainkan terletak pada hati si pendekar tampan itu. Ketika Suto meminumkan tuaknya ke mulut Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat, wanita cantik berhati jahat yang ingin menguasai dunia itu sedang berusaha bangkit dengan dibantu sisa anak buahnya yang masih perjaka. Hanya ada dua orang yang masih perjaka, sehingga bisa menyentuh Ratu Tanpa Tapak. Dan agaknya karena sinar ungunya Suto tadi, sang Ratu Tanpa Tapak kali ini terpaksa menapakkan kakinya ke tanah sebab ia mengalami luka panas di bagian urat nadinya.

"Oh, pemuda itu...?! Ketampanannya sangat menggiurkan hatiku, kegagahannya sangat menarik perhatianku. Sebaiknya kuusahakan untuk berdamai saja dengannya dan aku bisa menarik hatinya untuk menjadi pelayan cintaku...," pikir Ratu Tanpa Tapak yang sudah kehilangan banyak anak buah itu.

"Sut... Suto... hati-hati, dia memandangimu dengan aneh," bisik Pelangi Sutera.

Tetapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata lirih, "Sudah kupersiapkan perisai penolak ilmu cinta segala macam. Kau tak perlu khawatir. Akan kutangani dia!"

"Hati-hati, Suto," ujar Ki Gendeng Sekarat yang sedang menunggu pulihnya kekuatan karena ia sudah meneguk tuak beberapa kali.

Suto Sinting tampil ke depan, sengaja berjalan mendekati Ratu Tanpa Tapak. Sang Ratu tersenyum nakal, ia mulai mengigit bibirnya. Tapi serta-merta Suto segera lepaskan pukulan mautnya. Jurus 'Surya Dewata' dari kedua tangan yang memancarkan sinar ungu menghantam tubuh Nila Cendani dengan amat cepat.

Claaap...! Blaaarrr...!

"Aaahg...!" Ratu Tanpa Tapak terpekik tertahan. Tubuhnya terpental sampai membentur sisi gerbang.

Duuurrr...!

Benteng itu berguncang nyaris roboh karena benturan tubuh sang Ratu. Bagian atas benteng ada yang rontok sebagian. Jika bukan ilmu yang dahsyat yang melayangkan tubuh cantik itu, tak mungkin benteng sekokoh itu bisa bergetar sedemikian rupa. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin pula Nila Cendani akan terlempar sejauh itu. Pasti dia akan pecah dan mati seketika. Tak sampai bergeser sejengkal pun. Tapi karena Nila Cendani orang berilmu tinggi, maka pukulan 'Surya Dewata' hanya membuatnya terpental terbang dan berdarah di bagian kepalanya, hidung, telinga, mulut, dan lubang tubuh lainnya.

Ia masih hidup. Masih bisa berdiri dengan sempoyongan. Masih bisa berteriak nyaring dan keras sekali, "Sokobumiii...! Keluar dari tempatmu!"

Kejap berikutnya, tembok tebal yang menjadi dinding benteng itu jebol diterjang sesosok tubuh dari dalam. Tubuh yang mampu melesat menjebol tembok benteng sekeras itu adalah tubuh kurus, berambut panjang sepinggang, berkuku runcing, itulah jazad dari almarhum Sokobumi yang telah dihidupkan lagi oleh Nila Cendani menggunakan sumber kekuatan inti orang lain.

"Suto! Biar kami yang hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia dan Ki Parandito sempat tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi. Kedua tokoh tua itu segera melesat mendekati Suto. "Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati jika beliau terluka!"

Tapi baru saja mereka bersepakat begitu, Sokobumi melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang menyerang kedua tokoh tua dan Suto Sinting. Puluhan bintang itu tentu saja berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tidak terlihat lagi.

"Awas...!" teriak Suto sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan secara serempak. Tendangan itu mengenai tubuh Ki Lumaksono yang ada di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya. Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Suto segera mengibaskan bumbung tuaknya ke depan.

Wuuut...! Srrraaabbb...!

Bumbung itu bagaikan mempunyai tenaga magnit. Bintang-bintang itu menjadi mengarah ke bumbung bambu tersebut. Semuanya menuju bambu tuak, tapi tidak sampai menancap. Bintang-bintang itu membalik arah setelah saling memantul di kulit bambu.

Traaak...! Praaaffs...!

Bintang-bintang itu menjadi lebih besar dari ukuran semula dan kecepatan geraknya melebihi kecepatan semula. Sokobumi tampak kebingungan menangkis bintang-bintang yang kembali ke arahnya dengan menggunakan sehelai ilalang yang dicabutnya.

Trang, trang, triing...! Traang...! Jrab, jrab, trang...! Jrruub...!

Ilalang yang dijadikan pedang memang mampu menangkis beberapa bintang, tetapi lebih dari tujuh bintang menancap di tubuh Sokobumi. Bintang-bintang yang menancap itu akhirnya meledak secara bersamaan dan membuat tubuh Sokobumi hancur berkeping-keping, tak mungkin bisa dibangkitkan lagi dengan kekuatan apa pun.

Blaaarrr...!

"Guruuu..,!" teriak Ki Lumaksono dan Ki Parandito secara bersamaan.

Sementara itu, Ratu Tanpa Tapak terperanjat kaget bukan kepalang melihat kehebatan ilmu pemuda tampan itu. Tapi ia menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berseru, "Tunggu pembalasanku setelah kudapatkan Keris Setan Kobra...!"

"Jangan lari kau, Cantik!" teriak Suto Sinting, lalu segera mengejarnya.

Pelangi Sutera pun berseru tegang, "Tidaaak...! Jangan kejar dia, Sutooo!"

Tetapi Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu tetap mengejar dengan kecepatan melebihi melesatnya anak panah, ia tak peduli seruan Sumbaruni, juga tak peduli dengan ratapan kedua tokoh tua; Pawang Gempa dan Juru Bungkam itu.

Ki Gendeng Sekarat segera bangkit, keadaannya lebih baik. Ia segera terkejut begitu melihat Angon Luwak bergegas mau mengikuti Suto. "Angon Luwak! Jangan kejar dia!"

"Tapi..., bagaimana jika Kang Suto dilawan memakai Keris Setan Kobra, Guru?"

"Keris?! Oh, bahaya! Memang bahaya kalau Nila Cendani berhasil dapatkan keris pusaka itu. Dia bisa mati tanpa jasad sedikit pun!" gumam Ki Gendeng Sekarat.

Lalu, Sumbaruni segera berkata, "Kita harus susul dia! Jangan sampai dia terpikat oleh jeratan cinta Nila Cendani!"

"Cinta, cinta...! Keris itu sangat berbahaya!" bentak Ki Gendeng Sekarat.

"Keris tidak berbahaya! Cinta yang berbahaya! Cinta melebihi senjata apa pun, baik kekuatannya maupun bahayanya!"

Setelah berkata demikian, Sumbaruni segera melesat pergi dengan kecepatan gerak mengimbangi Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat mau tak mau segera berlari menyusulnya.

Angon Luwak hanya tertegun bengong, memandang anak buah Ratu Tanpa Tapak yang lari pontang-panting ke berbagai arah, memandang kedua tokoh tua yang menangisi kehancuran jasad jenazah gurunya, Sokobumi, juga memandang kepergian Ki Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera. Bocah itu hanya berkata lirih pada dirinya sendiri,

"Mereka mencari keris milik Ki Empu Sakya! Apakah mereka tahu di mana Ki Empuk Sakya menyembunyikan Keris Setan Kobra itu? Aku tak yakin mereka bisa menemukannya. Tapi seandainya mereka mau membawaku pergi, aku yakin mereka berhasil mengetahui letak keris itu disembunyikan oleh Ki Empu Sakya!"

Angon Luwak berjalan pelan-pelan sambil memandangi kedua tokoh tua yang masih menangisi kehancuran jenazah gurunya itu.

SELESAI

Ratu Tanpa Tapak

Serial Pendekar Mabuk
Ratu Tanpa Tapak
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
OMBAK bergulung-gulung melemparkan riak ke pantai. Cuaca cerah. Langit jernih. Matahari baru beberapa saat muncul dari peraduannya. Udara segar enak untuk berlatih pernapasan. Dan di atas sebongkah batu karang runcing, duduklah seorang lelaki bersila tanpa kenakan baju. Batu karang itu benar-benar runcing. Bahkan runcing sekali. Tapi lelaki itu duduk bersila di atasnya dengan tenang dan tidak merasa kesakitan. Yang jelas siapa pun akan kagum melihat pria tampan itu mampu duduk di atas sebuah keruncingan.

Badannya yang tidak berbaju tampak kekar. Berkilauan karena dipanggang panas matahari pagi. Dadanya tegak. Wajahnya memandang lurus ke cakrawala. Kedua tangannya ada di samping. Lemas tanpa kekerasan otot apa pun. Dada bidang itu tampak kekar. Bergerak naik turun dengan teratur. Rambutnya yang panjang tak diikat meriap-riap dipermainkan angin.

Lelaki tampan itu bukan tak punya baju. Ternyata ia memang sengaja melepas bajunya. Baju itu ditaruh dibebatuan pantai. Di samping baju ada bambu tempat tuak. Warna bambunya coklat muda, sedangkan warna bajunya coklat tua gelap. Celana yang dikenakan berwarna putih. Jelas itu ciri-ciri si Pendekar Mabuk. Apakah karena mabuk dia duduk di atas keruncingan yang tajam?

O, tidak! Dia sengaja duduk di keruncingan yang tajam untuk melatih ilmu peringan tubuhnya. Kalau dia tak memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi, sudah pasti pantatnya akan tertusuk oleh ujung batu karang runcing itu. Para tokoh berilmu tinggi tahu persis hal itu, dan pasti akan mengatakan bahwa si Pendekar Mabuk punya ilmu peringan tubuh yang tinggi, hampir mendekati sempurna.

Perlahan-lahan badan Pendekar Mabuk bergerak. Bukan miring ke kiri atau ke kanan, melainkan naik ke atas. Hebat sekali. Dalam keadaan tetap duduk tubuh itu bisa bergerak naik pelan-pelan. Sekarang pantatnya tidak menyentuh ujung runcing itu. Tapi mengambang. Jaraknya sedikit sekali. Kira-kira setinggi separuh batang korek api. Tapi semakin lama, semakin jauh jarak itu. Sekarang malah ukuran jarak pantat dengan ujung batu karang ada sejengkal. Itu yang dinamakan ilmu 'Layang Raga', yaitu ilmu peringan tubuh yang bisa mengangkat tubuh menjadi tetap di tempat tanpa tumpuan apa pun.

Ilmu 'Layang Raga' dilatih sejak lama. Kian hari kian mencapai tingkatan tinggi. Lihat saja, sekarang Pendekar Mabuk bisa mengambang di udara dalam jarak satu hasta dari tempat duduknya. Padahal ia tetap duduk bersila dengan urat-urat dilemaskan. Seolah-olah ia bisa duduk di udara lepas. Mengagumkan sekali ilmu itu. Tentunya tak mudah dimiliki sembarang orang. Latihannya dilakukan sejak Pendekar Mabuk masih berusia lima belas tahun. Sekarang usianya sudah dua puluh dua tahun. Bayangkan, berapa lama ia berlatih ilmu 'Layang Raga' dengan tekun? Pantas kalau mencapai tingkatan yang tinggi.

Tubuh yang masih bersila itu bergerak turun secara pelan-pelan. Tak ada yang menarik, tak ada yang menekan. Dia turun sendiri. Sebab ilmu 'Layang Raga' adalah perpaduan kendali napas dan pemusatan pikiran yang terlatih. Kapan saja pikiran dan hatinya menyatu untuk menghendaki tubuh bergerak naik, maka sang tubuh pun bergerak naik. Jika menghendaki bergerak turun, ya akan turun dengan sendirinya.

Kalau ilmu itu sudah benar-benar dikuasai dan mencapai titik ketinggiannya, maka Pendekar Mabuk bisa naik-turun sendiri dalam kecepatan cukup tinggi. Tidak menutup kemungkinan ia akan bisa terbang. Tapi bukan terbang seperti burung. Melainkan berpindah tempat dengan cepat dalam keadaan duduk, jongkok, atau apa pun juga. Tentunya tak bisa jauh-jauh. Ada batasnya sendiri.

Ilmu itu memang mengagumkan. Buktinya bocah kecil yang sejak tadi memperhatikan dari tempat persembunyiannya sampai lupa menutup mulutnya yang terbengong melompong. Akibat lupa menutup mulut, seekor lalat masuk. Hab!

"Cuih...!" bocah kecil itu meludah, lalat pun selamat dari mulutnya, tapi bocah itu bergidik jijik. Bocah berusia sepuluh tahun yang sejak tadi mengintip latihannya Pendekar Mabuk itu berkulit hitam kecoklatan. Rambutnya lurus agak panjang. Tubuhnya kurus namun bukan berarti ceking. Matanya sedikit lebar, wajahnya polos. Siapa bocah itu?

Angon Luwak namanya. Dia pernah mengikuti pertarungan Pendekar Mabuk dengan Wiratmoko yang bergelar Iblis Naga Pamungkas. Malahan bocah penggembala kambing itu pernah menjadi 'murid' Ki Gendeng Sekarat dalam mimpi, ia seorang bocah yang amat menggemari cerita-cerita kependekaran, sehingga dalam angan-angannya ia selalu ingin menjadi seorang pendekar berilmu tinggi. (Kalau ingin tahu riwayat bocah itu, baca saja episode Naga Pamungkas)

Bocah itu memang bandel, tapi punya tekad dan keberanian yang tinggi. Kebandelannya terletak pada keingin tahuannya terhadap segala macam jenis ilmu yang aneh-aneh. Sejak bertemu Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting itu, Angon Luwak menjadi pengagum berat kesaktian Pendekar Mabuk. Maka diam-diam dia mengikuti ke mana perginya Suto Sinting, ia tak berani terang-terangan, takut dimarahi atau disuruh pulang oleh Suto Sinting.

Tapi kali ini ia ingin tampakkan diri dan bertepuk tangan sebagai tanda memuji kehebatan ilmu 'Layang Raga' itu. Sayang niatnya tertunda karena kemunculan dua tokoh tua yang datang dari arah timur pantai. Angon Luwak makin merapatkan diri di persembunyiannya, ia ingin tahu apa yang dilakukan dua tokoh tua yang baru datang itu.

Kedua tokoh tersebut punya ciri-ciri yang berbeda. Yang berpakaian abu-abu mempunyai rambut putih panjang, pakai ikat kepala merah, membawa tongkat kayu coklat yang ujungnya tak berbentuk apa-apa. Sedangkan yang mengenakan jubah merah berambut putih pendek, botak bagian tengahnya, sehingga keningnya kelihatan lebar, ia membawa tongkat kayu warna putih, ujungnya berbentuk seperti ujung anak panah. Runcing tapi tidak tajam sekali.

Keduanya mempunyai tinggi badan yang sama, usia yang sama sekitar enam puluh tahunan. Sekalipun tua, tapi mereka melangkah dengan tegak dan tegap. Seolah-olah tenaganya masih muda. Pada saat melangkah tongkatnya digunakan sebagai tumpuan yang mengayun. Mereka berhenti dalam jarak tujuh langkah dari tempat Suto menaruh baju dan bumbung tempat menyimpan tuaknya. Mereka memperhatikan Suto beberapa saat, sementara Suto belum sadar atas kehadiran dua tokoh tua itu. Suto masih duduk di atas keruncingan ujung batu karang. Lima langkah di belakang kedua tokoh tua itu, terdapat pohon dan kerimbunan semak. Di situlah Angon Luwak bersembunyi.

"Benarkah dia orangnya?" kata si jubah merah kepada jubeh abu-abu.

"Tak salah lagi, memang dialah orangnya."

"Hmmm..., agaknya ilmunya memang cukup tinggi."

"Murid si Gila Tuak tentunya mewarisi segala ilmu gurunya," kata si jubah abu-abu seperti orang menggumam. Percakapan itu didengarkan oleh Angon Luwak. Tapi bocah itu tidak berulah apa-apa kecuali hanya diam dan tetap mengintai.

"Sejak kapan kau mengenal dia, Lumaksono?" tanya si jubah merah.

Orang berambut putih panjang yang ternyata bernama Ki Lumaksono itu menjawab dengan kalem, "Kami belum pernah saling kenal, Parandito. Tapi aku pernah melihat pertarungannya di suatu tempat dari kejauhan."

Jubah merah yang ternyata bernama Ki Parandito itu manggut-manggut. Ia berkumis dan berjenggot pendek warna putih, sedangkan Ki Lumaksono hanya berkumis putih tanpa jenggot.

"Apakah kita perlu panggil dia sekarang juga, Parandito?"

"Jangan. Biar diselesaikan dulu latihannya. Tak enak kalau kita harus mengganggu kesibukannya."

Pendekar Mabuk mulai mendengar suara kasak-kusuk itu. Karenanya ia segera berpaling ke darat, dan sedikit kaget melihat dua tokoh tua sedang memperhatikannya, ia tak enak hati. Lalu segera turun dari atas batu karang, melangkah mendekati baju dan bumbung tuaknya. Matanya memandang ramah.

Ki Lumaksono mendekat lebih dulu dan menyapa secara baik-baik, kemudian Ki Parandito menyusulnya, sehingga jarak mereka dengan Suto hanya empat langkah.

"Kami tidak bermaksud mengganggu latihanmu, Suto Sinting."

"O, aku tidak merasa terganggu," jawab Suto dengan sopan. "Aku hanya merasa heran, karena belum pernah bertemu dengan Kakek berdua."

"Aku Pawang Gempa, juga dipanggil Ki Lumaksono. Dan ini...," ia menunjuk si botak berjubah merah, "...ini adalah saudara seperguruanku. Namanya Ki Parandito, alias Juru Bungkam."

Sambil mengenakan bajunya yang tanpa lengan itu, Suto Sinting ajukan pertanyaan tetap dengan sopan, "Lalu apa keperluan Ki Lumaksono dan Ki Parandito menemuiku di sini?"

"Tak ada maksud apa-apa kecuali hanya ingin meminta bantuanmu, Pendekar Mabuk," jawab Ki Parandito.

"Bantuan apa?"

Kedua tokoh itu saling pandang sebentar. Sepertinya mereka saling berserah diri untuk menjelaskan maksud sebenarnya. Ki Lumaksono segera mengambil keputusan untuk bicara kepada Pendekar Mabuk. "Kami kehilangan mayat guru kami."

Suto Sinting kerutkan dahi. Aneh sekali mendengar kabar itu. Mayat bisa hilang. Siapa yang mau mencuri mayat? Dan untuk apa?

Ki Lumaksono teruskan kata, "Guru kami yang berjuluk Sokobumi, telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Jenazahnya kami awetkan dan kami simpan dalam sebuah gua. Kami melakukan hal itu bukan untuk maksud jahat, namun untuk mengenang dan melampiaskan rindu kami yang datang sewaktu-waktu. Guru kami bukan saja sebagai guru namun juga kami anggap sebagai ayah kami. Ia hidup sampai berusia sembilan puluh tahun lebih. Kami sangat menyayangi dan menghormati Guru, karena ajaran-ajarannya selalu membimbing kami kepada kebenaran. Sebulan yang lalu kami periksa gua itu, ternyata mayat Guru sudah lenyap dari peti kaca."

"Dicuri orang atau jalan sendiri?" tanya Suto Sinting.

"Tak mungkin jalan sendiri, karena sudah lama tak bernyawa," tukas Ki Parandito yang membuat Suto Sinting jadi tersipu, karena merasa telah mengajukan pertanyaan yang bodoh.

Ki Lumaksono lanjutkan kata, "Seseorang telah mencuri jenazah guru kami. Orang yang mencuri jenazah guru kami sudah kami ketahui."

"Siapa?" tanya Suto.

"Nila Cendani yang juga dikenal dengan nama Ratu Tanpa Tapak. Dia penguasa Gunung Sesat, dan memang tokoh alot dari golongan hitam."

"Lalu, kenapa Ki Lumaksono tidak merebut mayat itu darinya?"

Ki Lumaksono hanya geleng-geleng kepala. Raut wajahnya menampakkan semangat yang pudar. Suto Sinting heran dan berkata, "Apakah Nila Cendani berilmu tinggi dan tidak bisa ditandingi oleh Ki Lumaksono maupun Ki Parandito?"

"Kira-kira begitu," jawab Ki Lumaksono.

Tapi Ki Parandito segera menambahkan keterangannya, "Nila Cendani berilmu tinggi. Tubuhnya tak bisa disentuh oleh seorang lelaki, kecuali lelaki itu masih perjaka ting-ting. Belum pernah bercampur dengan wanita. Tetapi orang tersebut juga harus berilmu tinggi untuk mengimbangi ilmunya."

"Aneh sekali," gumam Suto Sinting. "Tidak bisa disentuh lelaki yang sudah bukan perjaka lagi?"

"Maksudnya yang belum pernah tidur dengan wanita," jelas Ki Lumaksono.

"Ya, ya... aku paham. Tapi bagaimana dengan dia sendiri? Apakah bisa menyentuh pria yang bukan perjaka?"

"Tidak bisa juga. Tapi dia bisa lepaskan serangan jarak jauhnya dan mampu membunuh pria yang bukan perjaka. Sedangkan pria seperti kami, tidak bisa menyerangnya, karena serangan sehebat apa pun yang kami lancarkan akan membalik arah. Tidak akan sampai dan tidak akan mampu melukainya walaupun dari jarak jauh. Demikian pula kepada kaum wanita yang masih perawan, akan bisa menyerang dan menyentuhnya, tapi yang bukan perawan tidak akan bisa menyerang dan menyentuhnya."

Ki Lumaksono tambahkan kata lagi, "Serangannya sangat berbahaya dan mematikan. Sulit ditangkis dan dihindari."

"Lalu mengapa akulah orang yang terpilih untuk menghadapi Nila Cendani?"

"Karena kami yakin kau masih perjaka?"

"Dari mana Ki Lumaksono mengetahuinya?"

"Pernah kulihat tanda merah di dahimu. Sekarang pun kami melihat tanda merah itu sebagai tanda penghormatan yang diberikan oleh Ratu Kartika Wangi dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib."

"Tapi tanda merah ini bukan jaminan keperjakaanku, Ki."

"Ratu Kartika Wangi tak akan berikan penghargaan setinggi itu kepada pemuda yang sudah tidak perjaka. Sekalipun beliau berikan penghargaan bertanda merah kepada yang bukan perjaka, maka warna merahnya berbeda, sedikit lebih gelap. Sedangkan tanda merah di dahimu itu sangat terang dan cerah, itu tandanya kau masih perjaka. Kelak jika kau sudah tidak perjaka lagi, maka warna merah itu akan keruh, tidak secerah saat ini."

Suto Sinting diam termenung, ia memang memiliki noda merah kecil di tengah dahinya sebagai tanda penghormatan dan gelar Manggala Yudha dari calon mertuanya, yaitu ibu dari Dyah Sariningrum, (Baca serial pendekar Mabuk dalam episode Manusia Seribu Wajah). Hanya orang-orang yang tingkat ilmunya cukup tinggi yang bisa melihat noda merah itu. Tetapi Suto sendiri tak tahu kalau noda merah itu sebagai tanda keperjakaannya pula.

"Untung aku tidak pernah nyeleweng dengan perempuan lain. Kalau aku nyeleweng dan berbuat mesum, pasti Dyah Sariningrum dan ibunya akan mengetahui dengan melihat cerah atau keruhnya wama merah ini," pikir Suto. "Kini aku tahu, warna merah ini juga sebagai pemantau bagi Dyah Sariningrum dan ibunya untuk mengetahui apakah aku berbuat tak senonoh dengan wanita lain atau tidak. Ah, kenapa baru sekarang aku mengetahuinya?"

Renungan Pendekar Mabuk terhenti karena suara Ki Lumaksono. "Gurumu, si Gila Tuak, pasti kenal dengan Eyang Sokobumi; guru kami itu. Karena beliau-beliau adalah tokoh aliran putih yang disegani musuh. Jadi sepantasnya kami memohon bantuanmu untuk merebut kembali Jenazah guru kami dari tangan Nila Cendani. Bila perlu kami akan meminta izin lebih dulu kepada Ki Sabawana alias si Gila Tuak itu."

Belum sempat Pendekar Mabuk ucapkan kata lagi, tiba-tiba dari arah timur pantai muncul seorang penunggang kuda berkecepatan tinggi. Kuda hitam itu ditunggangi seorang wanita cantik berpakaian ketat warna ungu muda. Rambutnya disanggul sebagian, sisanya dibiarkan lepas meriap-riap karena kecepatannya dalam mengendarai kuda. Wanita cantik itu menyandang pedang di punggungnya. Jubah ungu tua yang melapisi pakaian ketatnya melambai-lambai bagaikan sayap burung raksasa.

Melihat kemunculan wanita cantik itu, kedua tokoh tua tampak mulai tegang. Ki Parandito menyimpan kecemasan, demikian pula Ki Lumaksono. Seolah-olah mereka ingin lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Angon Luwak yang ada di persembunyiannya juga memandang ke arah datangnya kuda hitam tersebut. Tapi ia tetap tidak lakukan apa-apa di balik kerimbunan semak.

Kuda masih berlari tak begitu cepat. Wanita berpakaian ungu itu melompat turun dengan lincahnya. Kuda berhenti sendiri tanpa diperintah. Wanita cantik yang berusia sekitar dua puluh lima tahun itu melangkah mendekati Suto Sinting. Matanya yang bening indah tapi berkesan galak itu memandang ke arah Pawang Gempa dan Juru Bungkam.

"Tak salah dugaanku, kalian berdua pasti menemui pemuda ini!" kata wanita cantik itu. Suto hanya diam, tapi otaknya mencatat sikap permusuhan si wanita kepada dua tokoh tua itu.

Ki Lumaksono berkata kepada wanita tersebut, "Sekali lagi kuingatkan, jangan campuri urusan kami, Pelangi Sutera. Uruslah urusanmu sendiri dan kami akan mengurus urusan kami sendiri."

"Kalian punya urusan sendiri denganku yang belum dijelesaikan! Karenanya aku mengejar kalian kemari untuk selesaikan urusan kita sekarang juga."

Wuuut...! Ki Parandito menyambar tempat kosong dan tangannya menggenggam, bagaikan habis menyambar nyamuk. Itulah jurus pembungkam andalannya, supaya orang yang dimaksud tak mampu lanjutkan bicara. Tapi wanita cantik yang ternyata bernama Pelangi Sutera itu justru meludah ke samping.

"Cuih! Kau tak bisa membungkamku, Ki Parandito. Ilmu bungkammu tak akan berguna bagi diriku!"

Ki Parandito pun melepaskan genggamannya, merasa sia-sia usahanya. Sedangkan Pelangi Sutera bergerak makin dekati kedua tokoh tua itu.

"Kita teruskan urusan kita dan kita selesaikan di sini juga!"

"Gadis sombong!" geram Pawang Gempa, ia mulai tampak tak sabar. "Kalau kau memaksa kami, aku yang akan mengawali. Hiaaat...!"

Wuuut...!

Pawang Gempa menebaskan tongkatnya untuk menghancurkan kepala Pelangi Sutera. Tetapi gadis itu ternyata cukup lincah. Kecepatan tebas tongkat itu dapat dihindari dengan merundukkan kepala, lalu menyentakkan tangan ke depan.

Slaaap...! Selarik sinar hijau menghantam perut Pawang Gempa. Tetapi Pawang Gempa segera lompat ke kiri, sehingga sinar hijau itu membentur gugusan batu karang di kejauhan sana.

Blaaar...! Batu karang itu pecah menjadi serpihan sebesar batuan kerikil.

Juru Bungkam tak mau tinggal diam. Dengan tongkatnya yang berbentuk anak panah itu ia melompat ke arah Pelangi Sutera. Tongkat itu dihunjamkan ke punggung gadis tersebut. Sinar putih bagaikan baja melesat dari ujung tongkat menuju punggung Pelangi Sutera.

Jruub...!

Punggung itu terkena sinar putih dengan telak. Mengepul asap kehitaman dari bekas luka. Tapi dalam sekejap tubuh yang terluka hangus itu menjadi pulih seperti sediakala dengan hanya menarik napas satu kali. Bahkan baju jubahnya yang tadi tampak mau terbakar itu menjadi padam dan utuh seperti semula.

Pelangi Sutera kelebatkan tangannya bagai menyambar sesuatu di depannya. Dari ujung jari-jarinya memerciklah bunga-bunga api warna merah kekuning-kuningan. Bunga-bunga api itu berbintik-bintik dan sangat banyak jumlahnya. Bunga-bunga api itu membungkus tubuh Ki Parandito. Tetapi sebelum tubuh itu terbungkus rapat, Ki Lumaksono hentakkan tongkatnya ke bumi satu kali.

Duug!

Tanah berguncang, pantai bagai dilanda gempa. Bunga-bunga api yang hendak membungkus tubuh Ki Parandito pun rontok dan lenyap bagai ditelan tanah. Gadis berjubah ungu itu melompat tinggi dan bersalto di udara. Rupanya di sana ia lepaskan pukulan tenaga dalamnya berbentuk selarik sinar merah.

Slaaap...!

Sinar itu menghantam dada Ki Lumaksono. Tapi dengan sigap orang itu menangkisnya dengan menyilangkan tongkat di depan dada.

Blaaar...!

Ledakan dahsyat terjadi, menghentakkan tubuh tua Ki Lumaksono yang segera terlempar dan terjungkal ke perairan pantai.

Byuuur...!

"Tinggalkan dia! Buang-buang waktu saja!" seru Juru Bungkam sambil melompat pergi, sedangkan KiLumaksono pun cepat bangkit dan pergi dengan kecepatan tinggi.

Wuuut...!

Pelangi Sutera ingin mengejarnya, namun hanya maju dua langkah dan membatalkan niatnya. Napasnya sempat terengah-engah tipis, ia berpaling memandang Suto Sinting yang dari tadi diam saja, tak mau ikut campur sedikitpun. Malahan sesekali terlihat meneguk tuaknya dengan tenang, seakan tidak peduli dengan pertarungan tersebut. Kini ia memandang Pelangi Sutera yang wajahnya masih memancarkan kemarahan, ia sengaja tidak membuka kata, karena ia yakin Pelangi Sutera akan mengawali bicara lebih dulu.

"Dugaanku ternyata benar. Kaulah orang incaran mereka berdua."

"Siapa mereka sebenarnya?"

"Utusan dari Gunung Sesat. Mereka para penasihat Ratu Tanpa Tapak."

Pendekar Mabuk terperanjat dan segera berkerut dahi. Keterangan itu sangat bertentangan dengan penjelasan kedua tokoh tua tadi. Suto menjadi bingung sendiri mencari kebenarannya. "Kau sendiri siapa? Sepertinya kau telah mengenalku?"

"Namaku Pelangi Sutera, murid Raja Maut!" jawabnya tegas.

"Raja Maut...?!" gumam Suto Sinting, ia merasa pernah bertemu dan mengenal nama itu. Raja Maut adalah orang yang nyaris membunuh Wiratmoko dalam kisah Naga Pamungkas. Raja Maut agaknya kenal baik dengan guru Suto, tapi pada waktu itu ia katakan akan menyelesaikan urusan dengan seseorang di Pulau Blacan. Raja Maut pun kenal dengan Ki Gendeng Sekarat. Jika gadis cantik yang berkesan galak itu memang benar murid Raja Maut, tentunya ia termasuk tokoh muda golongan putih.

"Apa persoalanmu dengan kedua tokoh tua itu?" tanya Suto agak ragu.

"Mereka orang-orang yang diutus oleh Ratu Tanpa Tapak untuk mencari pemuda lajang yang masih perjaka dan membawanya ke Gunung Sesat. Dugaanku mereka pasti mencarimu, karena kau berilmu tinggi. Ternyata benar. Tapi untung mereka belum sempat membawamu kesana. Hampir saja kau menjadi tumbal cintanya ratu Tanpa Tapak!"

"Tumbal?!" gumam Suto semakin bingung. "Mana yang benar kalau begini?" pikir Suto sambil berkerut dahi.

* * *

DUA
PULAU Blacan adalah sebuah pulau yang tidak terlalu besar. Bentuknya seperti telur ayam. Kesuburannya terjamin. Dari kejauhan pulau itu tampak hijau segar. Penghuninya hanya beberapa orang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan mencari ikan. Tetapi sejak kedatangan Nyai Demang Ronggeng pulau itu menjadi sepi. Sebagian penduduknya lari meninggalkan pulau, sebagian mati meninggalkan dunia. Nyai Demang Ronggeng bukan sekadar manusia biasa, namun merupakan bencana dan malapetaka bagi penduduk Pulau Blacan. Perempuan itu bukan saja galak, tapi juga ganas dan tak segan-segan mencabut nyawa orang dengan seenaknya sendiri.

Ketika menjadi saudara seperguruan dengan Ki Gendeng Sekarat, hubungannya sering dihiasai oleh perang dingin dan perbedaan pendapat. Terlalu sering Nyai Demang Ronggeng dan Ki Gendeng Sekarat beradu debat dengan sengit, yang pada akhirnya melahirkan pertarungan kecil. Jauh-jauh hari Ki Gendeng Sekarat sudah menduga bahwa Nyai Demang Ronggeng kelak akan menjadi tokoh silat golongan hitam. Ternyata dugaan Ki Gendeng Sekarat itu memang benar.

Nyai Demang Ronggeng mencuri kitab pusaka milik kakak dari gurunya. Kitab itu dipelajarinya sendiri dan membuat kekuatan yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng bertambah, ilmunya berbeda dengan Ki Gendeng Sekarat. Tetapi Ki Gendeng Sekarat sendiri sudah selesaikan semua ilmu yang dituntut dari sang Guru. Eyang Pramban Jati, guru Ki Gendeng Sekarat, telah turunkan semua ilmunya kepada Ki Gendeng Sekarat, sehingga sekalipun Nyai Demang Ronggeng berhasil pelajari kitab dari Eyang Wisbo, kakak Eyang Pramban Jati, Ki Gendeng Sekarat tidak merasa kalah ilmu dengan perempuan itu.

Eyang Wisbo sendiri mempunyai murid tunggal, yaitu Raja Maut. Ketika Eyang Wisbo akan meninggal, Raja Maut mendapat pesan agar merebut kitab yang dicuri oleh Nyai Demang Ronggeng apabila Raja Maut telah turunkan sebagian besar ilmunya kepada seorang murid. Raja Maut juga mendapat tugas untuk pelajari seluruh ilmu yang ada di dalam Kitab Sukma Sukmi itu.

Dengan menggunakan dua lembar daun talas, Raja Maut meluncur di permukaan air laut, menyeberang menuju Pulau Blacan. Ia bagaikan perahu tanpa layar yang didorong angin dari belakang cukup kuat. Berdiri di atas dua lembar daun talas bukan pekerjaan yang mudah. Jika tidak berilmu tinggi sudah pasti akan tenggelam sebelum sampai di pertengahan laut.

Jenggot panjang dan rambut panjang abu-abu tak diikat itu meriap-riap bagaikan benang-benang layar yang rawis. Jubah putih kusam berkelebat melambai- lambai mirip bendera kapal penghantar mati. Tongkatnya yang meliuk-liuk seperti ular itu digenggam dengan tangan kanan dan dipakai untuk bersedekap di depan dadanya. Tubuh kurus bermata cekung itu tampak tenang dalam mengendarai 'perahu daun' yang kecepatannya melebihi kapal layar tiga tiang. Gelombang lautan membuat ia sesekali tampak timbul tenggelam dalam kesendiriannya di tengah samudera.

Tetapi agaknya kedatangan Raja Maut dari Bukit Semberani itu sudah diketahui oleh firasat Nyai Demang Ronggeng. Tak heran jika kedatangan Raja Maut itu segera disambut oleh Nyai Demang Ronggeng sebelum sang tamu mencapai Pulau Blacan. Nyai Demang Ronggeng menggunakan pelepah daun kelapa sebagai alas kaki menyeberangi lautan. Dengan berdiri di atas pelepah daun kelapa, ia pun meluncur bagaikan didorong angin kencang dari belakang.

Pertemuan di tengah lautan membuat Raja Maut sempat sedikit kaget karena tak menyangka kalau akan disambut di sana. Tapi rasa kaget itu hanya sekilas. Raja Maut kembali tenang dan memperhatikan sosok perempuan berpakaian hitam meluncur di atas pelepah daun kelapa. Rambutnya yang putih meriap-riap pula. Jubah hitamnya bagai sayap kelelawar yang haus darah.

Sekalipun rambut telah memutih semua, tapi Nyai Demang Ronggeng mempunyai raut wajah yang masih tetap cantik, kulitnya kencang tidak berkeriput, matanya tajam dan badannya masih tampak sekal, ia mirip wanita berusia tiga puluhan, karena ia memang mempunyai ilmu pengawet kecantikan dan keelokan tubuh. Hanya warna rambut yang tak bisa diawetkan. Dan dari warna rambutnya yang putih itulah dapat diketahui bahwa sebenarnya ia telah berusia banyak.

Dalam jarak lebih dari lima belas tombak, Nyai Demang Ronggeng sudah kirimkan serangan berupa sinar merah bagaikan bola yang melesat cepat ke arah Raja Maut. Bola berapi itu keluar dari sentakan tangan kanannya. Semakin lama melayang di udara semakin bertambah besar ukurannya. Ketika melesat keluar dari telapak tangannya berukuran sebesar kelereng, tapi ketika mendekati Raja Maut ukurannya sudah menjadi sebesar kelapa tanpa sabut.

Wuuuooos...!

Raja Maut tetap tenang. Jari telunjuknya menuding benda berapi itu. Ujung jari telunjuk tersebut keluarkan selarik sinar hijau. Slaaap...! Tepat kenai benda berapi itu.

Blaar...!

Gelegar gemuruh dari dentuman itu membuat gelombang air laut naik melambung tinggi. Asap hitam pekat mengepul ke atas dari hasil ledakan benda tersebut. Nyai Demang Ronggeng tampak kecewa dan kian menggeram jengkel, ia berhenti ketika Raja Maut pun diam di tempatnya, hanya bergerak-gerak karena alunan ombak laut. Kedua mata mereka saling tatap dengan tajam dalam jarak sepuluh langkah.

Nyai Demang Ronggeng kelebatkan kedua tangannya bagaikan menari dari belakang ke depan. Telapak tangan terbuka serentak sewaktu sampai di depan, dan melesatlah bola-bola api dari kedua tangannya itu. Masing-masing mempunyai tujuh bola api yang berendeng bagaikan rangkaian kalung, semakin lama semakin besar ukurannya.

Wuuuurrrsss...!

Raja Maut segera putarkan tongkatnya di atas kepala dengan cepat sampai timbul suara menggaung bagaikan gangsing. Suara gaung itu memancarkan sinar bergelombang warna biru. Sinar gelombang membentuk lingkaran yang makin lama semakin melebar dan bersusun-susun, sehingga akhirnya menjadi perisai bagi diri Raja Maut. Maka ketika bola-bola api yang mirip kalung terdiri dari dua kelompok itu mengenai sinar gelombang biru, terdengarlah bunyi ledakan yang beruntun dan mengguncangkan permukaan laut cukup hebat.

Keduanya bagaikan ingin dihempas ombak ke sana-sini. Namun keduanya tetap kuat berdiri tegak. Guncangan air laut reda. Mereka sudah dalam jarak lebih dekat lagi, sekitar tujuh langkah. Suara Nyai Demang Ronggeng terdengar lantang.

"Sisa hidupmu tinggal sedikit, Raja Maut! Tak perlu bikin ulah yang bukan-bukan di depanku!"

"Aku hanya menuntut hakku atas Kitab Sukma Sukmi yang kau curi dari guruku itu, Nyai!" suara Raja Maut terdengar tenang, tidak bernafsu dalam melontarkan kata-kata tuntutannya.

"Kau tidak akan memperolehnya, Raja Maut. Jika kau nekat mau merebut Kitab Sukma Sukmi, maka yang akan kau temui adalah ajal yang lebih cepat dari semestinya. Sebaiknya, pulanglah!"

"Aku bukan anak kecil yang mudah kau usir dan takut kau gertak. Kalau kau tak mau serahkan kitab itu, maka aku pun akan bertindak lebih keji dari yang terbayang dalam pikiranmu, Nyai Demang Ronggeng!"

"Aku tak bisa memberikan kitab itu, karena sudah terbakar saat aku bertarung melawan seorang musuh. Hampir saja ia terbakar bersama tubuhku."

"Semakin tua semakin pandai kau bersilat lidah, Kiswanli!" Raja Maut sebutkan nama asli Nyai Demang Ronggeng.

Perempuan itu lontarkan tawa yang mengikik pantang. "Kalau aku mau bersilat lidah tak akan dengan pria setua kau, tapi memilih yang lebih muda dan tampan. Rasa rasanya lebih hangat bersilat lidah dengan pria yang muda daripada yang peot sepertimu, Prasonco!" kala Nyai Demang Ronggeng yang juga sebutkan nama asli Raja Maut, yaitu Prasonco.

"Pikiranmu masih sekotor dulu, Kiswanti. Tak pantas kau memiliki Kitab Sukma Sukmi. Kuharap kau cepat sadari kesalahanmu selama ini, dan jangan sampai terjadi pertumpahan darah di antara kita gara-gara kitab itu. Sebaiknya serahkan padaku sekarang juga, Kiswanti. Aku tidak akan menjatuhkan hukuman padamu seperti pesan eyang guruku."

"Aku tidak akan serahkan apa-apa padamu kecuali kematian!"

"Kau tak akan bisa menandingiku, Kiswanti."

"Hmm...! Congkak amat kau di depanku? Buktikan kekuatanmu, Prasonco!"

"Kalau kau memaksa memang akan kubuktikan."

"Tapi sebelumnya, terimalah dulu jurus 'Lidah Neraka' ini. Heaaah...!"

Slaaap...!

Sinar merah besar keluar dari tengah kening Nyai Demang Ronggeng yang menyentakkan kedua tangannya membuka ke samping dan sedikit rendahkan badan. Sinar merah itu begitu cepat melesat menghantam Raja Maut.

Blaaar...!

Untung Raja Maut cepat sentakkan tongkatnya ke depan wajah. Ujung tongkat keluarkan sinar putih perak menyebar bagaikan piringan. Sinar itulah yang menangkis sinar merahnya Nyai Demang Ronggeng. Tapi akibatnya cukup berbahaya. Tubuh Raja Maut tersentak mundur bagaikan diseret sesuatu dengan kuat. Kakinya masih menapak pada daun talas. Namun sentakan itu mengakibatkan keluarnya darah dari hidung Raja Maut.

Nyai Demang Ronggeng tertawa melengking tinggi. Musuhnya kini berada dalam jarak lima belas langkah. Kekuatan tenaga dalam yang disalurkan ke kaki membuat pelepah daun kelapa itu bergerak maju satu sentakan. Wuuutt...! Lalu berhenti dalam jarak sekitar enam langkah. Raja Maut bagaikan tak pedulikan darah yang keluar dari hidungnya, ia menatap tajam pada Nyai Demang Ronggeng. Napasnya tertahan beberapa saat.

"Kalau kau..." Kata-kata Nyai Demang Ronggeng terhenti, karena tiba-tiba dari mata Raja Maut keluar sepasang sinar merah berkelok-kelok dan menyambar kepala perempuan itu.

Slaap, slaap...! Blaaarr!

Kelebatan kedua tangan Nyai Demang Ronggeng membuat percikan sinar kuning membentang di depan wajah, menghalang datangnya sinar merah tersebut. Tapi agaknya sinar yang keluar dari mata Raja Maut itu punya kekuatan dahsyat. Ledakannya membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terjungkal dalam keadaan terbang, ia kehilangan keseimbangan. Jatuh tepat di ujung pelepah daun kelapa. Ia cepat-cepat menuju ke tengah pelepah dan berdiri tegak kembali dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat, mulutnya lelehkan darah yang tak mampu ditahannya. Darah itu kental dan berwarna merah kehitam-hitaman. Itu tandanya Nyai Demang Ronggeng terluka dalam oleh ledakan tadi.

"Jahanam kau!" geramnya antara terdengar dan tidak.

"Kalau aku jahanam, kau adalah biang jahanam!" balas Raja Maut dalam geramnya yang tetap kelihatan bersikap tenang.

"Rupanya memang tak ada jalan lain kecuali harus memusnahkan dirimu, Prasonco! Baiklah, akan kulakukan walau sebenarnya aku tak tega!"

"Akan kulawan seluruh kekuatanmu demi tugas dari guruku!"

Slaaap...! Slaaap...!

Sinar kuning tua sebesar jari kelingking melesat keluar dari kedua mata Nyai Demang Ronggeng. Tapi bertepatan dengan itu pula, dari kedua mata Raja Maut juga keluar sinar hijau muda dan bening, besarnya juga seukuran kelingking. Kedua sinar itu bertemu di penengahan jarak.

Blaab...! Ujung pertemuan memancarkan cahaya lebar warna kebiru-biruan.

Mereka saling bertahan. Kedua sinar tetap bertemu di pertengahan jarak. Napas mereka sama-sama tertahan. Tenaga mereka sama-sama tercurah. Tubuh Raja Maut gemetar, demikian juga tubuh Nyai Demang Ronggeng. Kekuatan mereka semakin lama semakin bertambah. Terbukti dari warna sinar di pertemuan itu menjadi kian merah, makin lama semakin jelas membara.

Getaran tubuh Raja Maut diiringi asap putih yang merembes keluar dari pori-pori tubuhnya. Asap putih itu makin lama makin berubah warnanya menjadi merah samar-samar. Sedangkan Nyai Demang Ronggeng hanya gemetaran saja. Asap yang merah samar-samar itu menandakan keadaan dalam tubuh Raja Maut mulai berbahaya. Darah pun mulai jelas-jelas keluar dari telinga dan lubang hidung. Mulut Raja Maut tetap terkatup rapat, tapi lama-lama keluar pula darah segar dari sela bibirnya.

Tiba-tiba dari arah samping mereka meluncur dua ekor kura-kura berukuran kecil. Dua ekor kura-kura itu meluncur sejajar, di punggungnya berdiri kaki seorang lelaki berikat kepala hitam, berpakaian merah. Orang tersebut tak lain adalah Ki Gendeng Sekarat. Kecepatan luncurnya tidak seperti kecepatan berenangnya seekor kura-kura. Tentu saja kura-kura tersebut digerakkan dengan tenaga dalam yang tinggi sehingga Ki Gendeng Sekarat mampu melesat bagaikan anak panah, ia melewati bagian belakang Raja Maut, lalu menyambar tubuh Raja Maut dengan cepatnya.

Wuuut...! Taaab...!

Raja Maut telah ada di atas pundak Ki Gendeng Sekarat. Salah satu tangannya melemparkan sesuatu ke arah Nyai Demang Ronggeng. Blaaarr...! Sinar putih menghantam pelepah daun kelapa yang dipakai sebagai tempat berpijak kaki Nyai Demang Ronggeng. Daun kelapa itu hancur berkeping-keping menjadi arang. Akibatnya tubuh perempuan itu jatuh terjerembab ke dalam air.

Byuuur...!

"Monyet busung! Kau mau ikut campur urusanku. Gendeng Sekarat?!" Nyai Demang Ronggeng lontarkan makian dan kemarahan.

Tapi Ki Gendeng Sekarat tidak pedulikan suara itu. Ia tetap melesat membawa pergi Raja Maut yang terkulai lemas di atas pundaknya. Nyai Demang Ronggeng ingin mengejar, tapi ia tak mempunyai alas kaki untuk berpijak. Sedangkan gelombang lautan pun mengamuk menggulung-gulung tubuh Nyai Demang Ronggeng, seakan ingin mengejar pelarian Ki Gendeng Sekarat. Perempuan itu hanya berusaha bertahan dan menyelam timbul-tenggelam.

Sementara itu Ki Gendeng Sekarat sudah jauh dari jangkauan pandangnya. Orang itu menuju ke pantai. Ketika tiba di pantai masih berlari meninggalkan dua ekor kura-kura yang saling pandang dan bingung bagaikan tak sadar apa yang dilakukannya tadi. Raja Maut pingsan di atas pundak Ki Gendeng Sekarat. Ia dibawa ke hutan dan dicarikan tempat untuk berlindung. Sebab menurut dugaan Ki Gendeng Sekarat. Nyai Demang Ronggeng tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pengejaran terhadap dirinya.

Sebab Ki Gendeng Sekarat tahu persis watak Nyai Demang Ronggeng yang selalu penasaran jika belum berhasil melihat lawannya tak bernyawa. Sebab itu, Ki Gendeng Sekarat perlu menyembunyikan Raja Maut ke dalam sebuah gua yang ditemukan di kaki sebuah bukit. Satu hal yang tidak diduga-duga, ternyata di dalam gua itu terdapat seorang manusia yang sedang beristirahat dengan santainya. Orang tersebut baru saja meneguk tuaknya dari bambu penyimpanan.

Orang itu tak lain adalah Pendekar Mabuk, yang merasa perlu menenangkan diri akibat kebingungannya mendengar penjelasan berbeda antara Pelangi Sutera dengan Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Di gua itu Suto berharap dapat menemukan kesimpulan, mana yang benar dari dua penjelasan tersebut.

"Suto, kebetulan kita bertemu di sini." Ki Gendeng Sekarat letakkan tubuh Raja Maut di sebidang tanah datar dalam gua tersebut.

Wajah Suto Sinting yang tadi kaget melihat kemunculan Ki Gendeng Sekarat, sekarang menjadi heran melihat Raja Maut terluka pingsan begitu. "Apa yang terjadi pada dirinya, Ki?"

"Berikan dulu tuakmu padanya, biar luka-lukanya tak sempat merenggut jiwa. Semburkanlah tuakmu, Suto."

"Dia akan lupa pada diriku jika kulakukan penyembuhan menggunakan ilmu 'Sembur Husada' itu, Ki. Sebaiknya bikin dia bisa menelan tuakku."

"Dia pingsan. Mana mungkin orang pingsan bisa menelan tuak?"

"Buat dia sadar dulu dengan cara bagaimanapun."

Ki Gendeng Sekarat menarik napas. Matanya memandang iba kepada Raja Maut. Tapi mulutnya bersungut-sungut dalam gerutuan yang lirih. "Dasar bodoh kau, Prasonco. Melawan orang itu pakai adu kekuatan mata tak akan bisa terkalahkan. Harus dengan siasat."

Rupanya di gua itu Suto Sinting tidak sendirian. Seorang bocah muncul dari luar gua membawa beberapa buah segar. Bocah itu terkejut melihat Ki Gendeng Sekarat dan segera menyapa dengan wajah ceria, "Guru, selamat datang, kita jumpa lagi!"

Bocah itu tak lain adaiah Angon Luwak. Ki Gendeng Sekarat hanya berkerut dahi melihat kemunculan Angon Luwak. Sejak perpisahannya di rumah Ki Empu Sakya, tak terbayangkan kalau ia akan menemui bocah itu lagi. Waktunya sudah berjalan tiga purnama, ternyata pertemuan itu pun masih bisa terjadi. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala melihat keberanian dan keuletan Angcn Luwak yang bercita-cita menjadi pendekar untuk berpetualang. Agaknya bocah itu mendidik diri sejak kecil menjadi petualang.

"Hei, apakah emak dan bapakmu tidak kebingungan mencarimu?!" kata Ki Gendeng Sekarat kepada Angon Luwak.

"Mereka sudah izinkan aku berkelana, Guru. Lalu, diam-diam kuikuti kepergian Kang Suto."

Suto Sinting menambahkan kata, "Aku tak tahu, dan baru kuketahui sejak aku mau meninggalkan pantai, kemarin siang. Akhirnya kubiarkan dia mengikutiku."

"Apakah kau ingin angkat dia sebagai muridmu?"

Suto Sinting tertawa. "Aku belum pantas jadi guru," jawabnya geli sendiri. "Kalau Ki Gendeng Sekarat bersedia, angkat saja dia sebagai muridmu. Kurasa kau akan mempunyai murid yang tangguh dan tidak mengecawakan, Ki."

Ki Gendeng Sekarat memandang Angon Luwak sambil menarik napas. Yang dipandang tersenyum berseri-seri seakan penuh harap dapat diterima sebagai murid Ki Gendeng Sekarat.

"Entahlah. Kutangani si Raja Maut ini dulu, supaya nyawanya belum terlanjur minggat jauh-jauh dari raganya!"

Ki Gendeng Sekarat menyalurkan hawa murninya ke dalam tubuh Raja Maut dengan cara menempelkan kedua telapak tangannya ke dada Raja Maut. Pengerahan tenaga itu membuat tubuh Ki Gendeng Sekarat gemetar dan berkeringat, ia melakukannya beberapa kali. Biasanya tak sampai lama orang yang mendapat saluran hawa murninya akan sadar dari pingsannya. Tapi agaknya luka yang diderita Raja Maut itu cukup parah. Ki Gendeng Sekarat memaklumi, karena ia tahu jurus 'Surya Ganda' yang dimiliki Nyai Demang Ronggeng itu memang cukup berbahaya dan besar sekali kekuatannya. Wajar jika Raja Maut sampai separah itu.

Angon Luwak memperhatikan cara Ki Gendeng Sekarat melakukan penyembuhan. Hati anak itu bangga melihat orang yang dikagumi bisa melakukan penyembuhan. Buktinya Raja Maut akhirnya siuman, walau tak bisa apa-apa dan mengerang kecil sambil napasnya tersendat-sendat.

Suto Sinting segera meminumkan tuaknya. Mulut Raja Maut dibuka oleh dua tangan Ki Gendeng Sekarat bagaikan seekor ular akan didulang makanan. Begitu mulut terbuka, Suto mengucurkan tuak ke dalamnya sedikit demi sedikit. Angon Luwak tertawa melihat Ki Gendeng Sekarat membuka mulut Raja Maut seperti merenggangkan besi perangkap musang.

"Cukup. Sudah cukup banyak tuak yang masuk," kata Suto sambil menjauh.

"Auuuh...!" Ki Gendeng Sekarat terpekik.

"Kenapa, Ki?" Suto kaget.

Ki Gendeng Sekarat menuding-nuding ke arah mulut Raja Maut. Suto Sinting dan Angon Luwak tertawa melihat tiga jari tangan Ki Gendeng Sekarat terjepit mulut Raja Maut yang mengatup itu. Ia bagaikan sedang digigit oleh Raja Maut. Ki Gendeng Sekarat meringis antara sakit dan geli sendiri. Ki Gendeng Sekarat mengibas-ngibaskan tangannya yang tergigit mulut Raja Maut setelah tangan itu berhasil dilepaskan dari mulut tersebut.

Sedangkan Raja Maut segera tertidur setelah mendapat tuangan tuak beberapa teguk. Biasanya jika orang habis meminum tuaknya Suto, ia akan tertidur dan begitu bangun keadaannya akan menjadi segar, lebih segar dari sebelumnya. Luka-luka pun hilang tak berbekas sedikit pun. Itulah keistimewaan tuak yang sudah tersimpan di dalam bumbung bambu tersebut.

Suto Sinting manggut-manggut ketika Ki Gendeng Sekarat menceritakan pertarungan Raja Maut dengan Nyai Demang Ronggeng. Suto pun jadi mengerti apa sebab waktu itu Raja Maut bilang mau ke Pulau Blacan untuk satu urusan. Rupanya urusan tentang Kitab Sukma Sukmi yang berisikan jurus-jurus ilmu maut di dalamnya.

"Mengapa Ki Gendeng Sekarat tidak ikut merebut kitab itu?"

"Karena Eyang Pramban Jati melarang. Kitab itu haknya Raja Maut. Aku tak boleh serakah dan berusaha memilikinya. Karena itu hubunganku dengan Raja Maut selama ini baik-baik saja."

"Kalau begitu, sebaiknya Raja Maut segera kita antarkan ke Bukit Semberani, tempatnya bersemayam. Biar si Pelangi Sutera merawatnya."

"Pelangi Sutera?!" gumam Ki Gendeng Sekarat dengan dahi berkerut heran. "Siapa Pelangi Sutera itu?"

"Bukankah Raja Maut mempunyai murid bernama Pelangi Sutera?!"

Ki Gendeng Sekarat tertegun dalam keheranan. Kejap berikutnya ia berkata, "Raja Maut memang mempunyai seorang murid, tapi namanya bukan Pelangi Sutera. Kalau tak salah murid Raja Maut bernama Srimurti."

"Lho, jadi Pelangi Sutera itu siapa?" Suto menjadi heran kembali. "Dia mengaku sebagai murid Raja Maut di depanku. Apa perlunya? Tapi... tapi dia kelihatannya unggul di depan Ki Lumaksono dan Ki Parandito, utusan Gunung Sesat itu. Kedua tokoh tua itu takut berhadapan dengannya."

"Siapa? Lumaksono dan Parandito?! Mana mungkin dia takut menghadapi murid Raja Maut, sebab kedua tokoh itu ilmunya lebih tinggi dari Raja Maut. Dan mereka... ah, apa benar mereka utusan dari Gunung Sesat? Rasa-rasanya tak mungkin," Ki Gendeng Sekarat bingung, Suto Sinting sendiri akhirnya juga tambah bingung.

* * *

TIGA
PIKIRAN Pendekar Mabuk masih tertuju pada gadis cantik yang bernama Pelangi Sutera. Bukan memikirkan kecantikannya, tapi memikirkan keperluan gadis itu. Mengapa harus mengaku-aku sebagai murid Raja Maut? Sayang Raja Maut masih tertidur sampai sore tiba, sehingga Suto tidak dapat tanyakan berapa sebenarnya murid Raja Maut itu? Satu, dua, tiga, atau seribu?

"Kutunggu di kaki Bukit Semberani esok sore. Ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."

Itulah kata-kata Pelangi Sutera sebelum berpisah dengan Suto. Kata-kata itu sampai kini terngiang di telinga Pendekar Mabuk. Sedangkan pikiran pemuda itu sedang dikacaukan oleh keterangan dari Ki Gendeng Sekarat tentang murid Raja Maut. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk pergi meninggalkan gua tanpa menunggu Raja Maut bangun, ia pergi sendiri. Angon Luwak tidak diizinkan ikut. Bocah itu tidak keberatan karena dia punya maksud mau dekati Ki Gendeng Sekarat.

Pesan dari Pelangi Sutera mempunyai makna yang sangat rahasia. Ada sesuatu yang perlu diketahui Suto. Sesuatu apa?! Ini yang membuat Suto Sinting gemas dan bergegas menuju Bukit Semberani, tempat persinggahan Raja Maut. Bukit itu sebenarnya tanah tinggi yang ada di tepi pantai. Letaknya di sebelah timur. Dinding bukit sebagian dan batu karang yang tegak jurus dengan permukaan air laut.

Tapi bagian sisi lainnya landai, ditumbuhi oleh tanaman dan mempunyai hutan tak begitu rimbun. Sangat mudah mencari Bukit Semberani, karena bentuk dan cirinya dapat dilihat dari pantai. Tak heran jika sebelum matahari tenggelam Pendekar Mabuk sudah mencapai kaki Bukit Semberani. Tapi di mana Pelangi Sutera berada? Ini yang membuat Pendekar Mabuk berhenti dan garuk-garuk kepala.

"Mungkinkah ia ada di atas bukit, di tempat tinggalnya Raja Maut? Kalau benar begitu, berarti aku harus mendaki bukit itu," pikir Suto.

Tapi sebelum Pendekar Mabuk mengawali pendakiannya, mendadak langkahnya terhenti karena cahaya biru melintas dari arah kirinya. Suto Sinting melompat ke belakang sambil bersalto satu kali.

Wuuut...!

Kilatan cahaya biru itu menghantam gundukan batu karang sebesar rumah. Blaaarrr...!

Wuuut...! Suto Sinting melompat lagi ke belakang sambil bersalto, langsung menelungkupkan badan di rerumputan. Jika tidak begitu, batu sebesar rumah yang pecah menjadi serpihan-serpihan seukuran kepalan tangan manusia dewasa itu akan menghantam kepala Suto Sinting. Untunglah Suto cepat menelungkup di tanah, sehingga kepalanya tak sempat bocor. Tapi ada satu batu yang jatuh di punggungnya.

Taak...! Batu itu mengenai bambu tuak. Kalau tidak, pasti Suto akan nyengir kesakitan ditimpa batu sebesar genggamannya.

Siapa pengirim cahaya biru yang cukup dahsyat itu? Siapa yang punya pukulan dapat menghancurkan batu sebesar rumah menjadi lenyap begitu saja? Mata Pendekar Mabuk pun melirik ke sekelilingnya dengan penuh waspada. Ternyata tak ada manusia disana-sini.

"Pasti dia bersembunyi!" pikirnya. "Kalau begitu aku juga bersembunyi di bawah semak sebelah sana!" Pendekar Mabuk merangkak pelan-pelan mendekati semak-semak rimbun. Begitu wajahnya mendekati semak-semak, ia menjadi terkejut sekali karena di balik semak-semak itu ada seekor babi hutan yang bersembunyi. Moncongnya tepat ada di depan wajah Suto Sinting.

"Jabang bayi!" sentak Suto kaget. Babi hutan itu juga kaget. Karena kagetnya, babi hutan itu menerjang Suto. Sebab ia tak bisa berbelok arah dalam waktu singkat. Suto Sinting terpaksa merapatkan badan ke tanah, ia dilompati babi hutan yang ketakutan. Babi itu segera lari tak mau menengok ke belakang lagi. Tapi jantung Suto sempat deg-degan karena rasa kagetnya.

"Dasar babi!" umpatnya dengan jengkel. Lalu ia tertawa sendiri dalam hati. Tapi segera berpikir curiga dan menggumam sendiri, "Jangan-jangan babi hutan itu yang menyerangku dengan pukulan bercahaya biru?"

Kecurigaan itu segera hilang, karena Suto segera melihat kelebatan bayangan manusia yang melintas di kerimbunan lain. Batin Suto langsung menduga, orang itulah yang menyerangnya tadi. Ia harus mengejarnya. Apakah orang itu Pelangi Sutera atau orang lain?

Claaap...!

Suto Sinting melesat pergi mengejar orang itu. Gerakannya benar-benar cepat, sehingga jika dilukis hanya berupa garis coklat putih saja. Tak bisa dilihat bentuk keseluruhannya. Tapi agaknya orang itu punya siasat untuk lari menghindari kejaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk sempat kehilangan arah. Mungkin larinya terlalu cepat sehingga orang yang dikejar tertinggal di belakangnya.

Buktinya ketika Suto berhenti dan celingak-celinguk, tiba-tiba ia merasakan ada hawa panas menyerang dirinya dari belakang. Suto Sinting membiarkan serangan itu datang, meluncur dengar cepat sekali. Suto merasa tenang karena bumbung tuaknya ada di belakang, ia hanya bergeser sedikit ke kiri, maka pukulan jarak jauh berwarna biru itu mengenai bumbung tuaknya. Traak...! Sinar itu membalik ke arah semula, tapi warnanya sudah bukan biru lagi. Merah.

Pasti pemilik pukulan itu merasa heran dan kebingungan, karena gerakan sinar merah itu dua kali lebih cepat dari gerakan semula. Kekuatannya pun berlipat ganda. Tak mungkin si pemilik pukulan itu berani menangkisnya.

Gusraaak...!

Ada orang melompat dari semak yang satu ke semak yang lain. Dan pada saat itu pula sinar merah menghantam pohon dengan telaknya.

Glegaaarrr...! Blaar!

"Edan! Kenapa jadi lebih dahsyat dari aslinya?" pikir si pemilik pukuian. Ia tertegun bengong. Empat pohon hancur seketika dihantam pukulan balik yang berubah warna itu. Dua pohon hancur seketika karena terkena langsung, dua pohon lagi hancur karena terkena getaran gelombang sedaknya.

"Ada orang yang ingin main-main denganku," pikir Suto Sinting. "Akan kulayani biar aku sendiri tahu siapa orangnya."

Pendekar Mabuk segera berlari biasa, seakan kebingungan mencari penyerangnya. Beberapa saat kemudian, ia menampakkan wajah takutnya, ia pun segera lari bagaikan orang ketakutan. Tentunya wajah ketakutan Suto membuat penyerangnya kembali bersemangat untuk melakukan serangan berikutnya. Pancingan Suto berhasil. Orang itu menghadang langkah Suto.

Jleg...!

"Wow...?! Gede amat?!" gumam Suto pelan namun penuh rasa kagum, ia terpaksa mendongak karena orang yang menghadangnya lebih tinggi darinya.

Lelaki bermata besar itu menyerupai raksasa. Singo Bodong masih kalah besar. Benar-benar menyeramkan bagi orang awam. Kulitnya hitam kelam. Kepalanya botak, tapi tengahnya ada sejumlah rambut yang bisa dikuncir. Kumisnya lebat turun ke bawah, ia hanya mengenakan cawat, tanpa pakaian lain. Ia mengenakan anting-anting tapi hanya telinga kirinya saja.

"Ini manusia atau jin?" pikir Suto Sinting sambil memandangi orang tinggi besar berkuncir itu. Wajah angkernya benar-benar menyeramkan. Matanya bagai mau keluar karena melotot kepada Suto Sinting, ia diam saja tanpa bicara. Mulutnya terkatup rapat. Tangannya menggenggam kuat-kuat. Mengenakan gelang besi hitam di kanan-kirinya. Kakinya tanpa alas. Berdiri tegak dan renggang. Bulu-bulu kakinya tidak begitu lebat tapi berjarak renggang dan panjang.

Baru sekarang Suto berhadapan dengan lawan yang begitu besarnya. Tapi pemuda itu toh tetap tenang, tak tampak gentar sedikit pun. Bahkan ia sempat mengambil bumbung tuaknya, menenggak dua kali tegukan dengan mata tetap melirik ke arah orang tinggi besar itu. Sedangkan orang tersebut justru memandanginya dengan kepala sedikit dimiringkan. Hidungnya mendengus-dengus bau tuak. Dahinya sedikit berkerut, sepertinya merasa heran dengan apa yang dilakukan oleh Suto.

"Tuak!" ucapnya dengan suara besar.

Setelah itu diam. Suto melirik sambil pelan-pelan menutup bumbung.

"Tuak!" katanya lagi.

Suto menjawab. "Ya. Tuak." Kemudian dahi Suto Sinting berkerut heran. Kemudian pula bambu tuak itu diacungkan. "Kau mau tuak?"

Orang tinggi besar seperti raksasa itu gelengkan kepala. "Mabuk," katanya. Agaknya orang besar itu takut mabuk. Mungkin ia tidak terbiasa minum tuak. Apakah mungkin ia orang baik-baik? Alisnya tebal ke atas, menandakan dia orang sangar. Tak ada tampang jadi orang baik sedikit pun. Suto jadi sangat ingin tahu apa maksud orang besar itu menghadangnya.

"Siapa namamu?"

"Logo," jawabnya singkat seperti tadi.

"Logo...?" gumam Suto sambil manggut-manggut. Ia melangkah ke kiri sambil memandangi Logo, dan mata orang besar itu mengikutinya dengan tajam. Suto kembali ke tempat semula, mata itu mengikuti. Suto berjalan ke kanan, mata itu mengikuti. Suto kembali melangkah ke kiri, juga diikuti. Lama-lama orang besar itu memalangkan kakinya di depan Suto.

"Pusing!" katanya.

Suto tertawa kecil. Hatinya merasa geli. Ia tahu maksud ucapan itu. Logo merasa pusing melihat Suto mondar-mandir. "Kalau kau pusing melihatku mondar-mandir, tinggalkanlah aku."

Logo gelengkan kepala. "Tugas," katanya.

"Tugas? Kau punya tugas apa?"

Tangkap... kau!" ia menuding Suto. Suaranya sedikit menggeram.

"Siapa yang memberimu tugas menangkapku?"

"Ratu," jawabnya tegas dan singkat.

"Ratu siapa? Ratu Kidul?"

Logo geleng-geleng kepala. "Bukan." Setelah itu dia diam saja.

Suto tak sabar dan segera ajukan tanya lagi. "Ratu siapa?"

"Nila Cendani."

"O, Ratu Tanpa Tapak?"

"Tanpa!" jawab Logo sambil anggukkan kepala.

Suto manggut-manggut. Ternyata orang besar itu utusan Ratu Tanpa Tapak. Tugasnya menangkap dirinya. Tentu saja Pendekar Mabuk merasa heran dan tak mau pasrah begitu saja. "Mengapa Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu menangkapku? Apa salahku?"

"Bunuh!"

"Siapa yang kubunuh?"

"Utusan."

Suto Sinting muiai jengkel. "Hei, coba kau bicara yang jelas. Jangan sepotong-sepotong begitu!"

Logo geleng-gelengkan kepala. "Pesan Ratu aku tak boleh banyak bicara. Sedikit bicara banyak bekerja. Jadi aku jawab sepotong-sepotong saja!"

"Konyol!"

"Tidak!" bantah Logo seakan menganggap ungkapan rasa kesal Suto suatu pernyataan yang sungguh-sungguh akan dirinya.

"Artinya jangan banyak bicara adalah jangan bicara melantur," kata Suto menjelaskan. "Kau hanya boleh bicara hal-hai yang perlu, misalnya menjelaskan beberapa masalah yang perlu dijelaskan. Bukan berarti ngomongnya hanya sepotong-sepotong seperti tadi! Biar kau ngomong sepotong-sepotong, tapi kalau sampai sehari semalam, itu sama saja banyak bicara sedikit bekerja. Mengerti?"

"Mengerti!" jawab Logo sambil mengangguk.

"Nah, sekarang jelaskan, apa sebab Ratu Tanpa Tapak menyuruhmu menangkapku atas tuduhan membunuh utusan! Utusan yang mana maksudnya?"

"Nenggolo, Gaok Lodra, dan Sabit Guntur. Dua dari mereka kau bunuh. Satu pulang, tangannya buntung."

"Aku tidak membunuh mereka."

"Bohong!" gertaknya.

"Bertemu mereka pun tidak. Tapi kalau bertemu mayatnya memang iya!"

"Bohong juga! Kau yang bunuh dia. Kau yang punya nama Gendeng Sekarat!"

"Salah!"

"Benar!" Logo ngotot.

"Aku bukan Ki Gendeng Sekarat! Aku Suto Sinting!"

Logo diam. Kepalanya dimiring-miringkan memperhatikan Suto.

"Aku Pendekar Mabuk, namaku Suto Sinting. Sumpah!"

Logo menyodorkan tangan, mengajak bersalaman. "Sumpah...?!"

"Ya. Sumpah!" lalu Suto Sinting menjabat tangan Logo. Rupanya Logo percaya kata-kata seseorang itu benar jika sudah bersalaman sambil mengucap sumpah.

"Seperti anak kecil saja?" pikir Suto menahan geli. "Oh, remasan tangannya cukup kuat. Untung kutahan dengan tenaga dalam yang sejak tadi telah tersalur di tanganku, jadi jari-jari tanganku tak sempat patah digenggamnya. Tenaganya tinggi dan besar sekali. Sekali jotos, muka orang bisa melesak."

Kreeek...!

Logo menyeringai kesakitan. Rupanya Suto balas meremas tangan Logo dengan kekuatan tenaga dalamnya. Tulang-tulang jari Logo sampai berbunyi, menandakan tenaga remas Suto cukup besar. Logo sendiri membatin dalam hatinya,

"Edan. Sakit juga diremas olehnya. Aku harus hati-hati kalau begini caranya. Tak boleh gegabah dengan orang ini. Selama ini belum ada orang yang bisa membuat jari tanganku gemeretak karena remasannya."

Setelah jabat tangan dilepaskan, Logo manggut-manggut. Matanya yang besar masih memandangi Suto Sinting. Yang dipandang segera naik ke atas gugusan batu, supaya lehernya tidak capek dipakai untuk mendongak terus. Setelah di atas gugusan batu, Suto dapat saling pandang dengan sedikit datar. Tapi masih saja ukurannya lebih tinggi Logo.

"Kurasa kau salah sasaran, Logo. Tapi ada baiknya kau bertemu denganku, sebab aku ada di pihak Ki Gendeng Sekarat."

Logo berkerut dahi hingga alis tebalnya saling bertemu. "Kau tak boleh berpihak kepada Gendeng Sekarat."

"Kenapa?"

"Nanti kau mati di tanganku juga."

"Kau tak akan bisa menjamahku kalau aku sudah mau bertindak."

"Bohong!"

"Sekarang pun kau tak akan bisa memegangku, Logo. Cobalah kalau tak percaya. Ayo, cobalah!" tantang Suto.

Logo segera menyambar tubuh Suto dengan tangan kanannya. Wuuut...! Suto Sinting melompat hanyadengan sentakan kecil ujung jempol kakinya. Suuut...! Tangan Logo justru digunakan pijakan. Dess...! Suto melompat lagi dengan bertumpu menggunakan lengan tangan itu, lalu ia bersalto melintasi kepala Logo. Tangannya memegang kepala botak berkuncir. Plaak...! Telapak tangan itu menyentak di permukaan kepala botak, lalu tubuh Suto kian melayang ke belakang dan bersalto lagi satu kali. Gerakan saltonya cukup cepat. Sambil bersalto ia menjejak tengkuk kepala orang besar itu. Duuhhg...! Keras sekali bunyi yang keluar dari jejakan tersebut.

Logo terdorong ke depan, hampir jatuh tersungkur. Itu tandanya tendangan kaki Suto mempunyai kekuatan yang sungguh besar. Hampir saja kepala dan wajah Logo membentur pohon. Untung kedua tangannya segera menghadang sehingga wajah dan kepalanya tak jadi membentur batang pohon. Tapi pohon itu segera berguncang, daun-daunnya rontok akibat sentakan tangan Logo yang tak sengaja.

Wwrrr...!

Daun-daun yang berjatuhan tak dihiraukan. Logo segera berpaling ke belakang. Suto Sinting sudah bertengger di atas gugusan batu lainnya. Mata Logo menatap garang, tapi mata Pendekar Mabuk memandang lembut, bahkan diiringi seulas senyum tipis di bibirnya.

"Kurang sopan!" geram Logo sambil mengusap kepalanya yang tadi digunakan tumpuan tangan Suto Sinting.

Senyum pemuda itu kian lebar. Logo kian menggeram jengkel. Kedua tangannya menggenggam kuat-kuat dan siap menyerang Suto. Tetapi Pendekar Mabuk segera ulurkan tangan ke depan dengan telapak tangan terbuka, ia bermaksud menahan gerakan Logo.

"Tunggu, tunggu...! Jangan marah dulu!" katanya. "Itu tadi hanya contoh. Ya, contoh bahwa kau tak akan bisa menjamahku jika kau mau melawanku. Sedangkan aku di pihak Ki Gendeng Sekarat. Kalau kau mau menangkap dia, berarti kau harus berhadapan denganku. Padahal aku tak bisa kau jamah, tapi akulah yang dengan mudah menjamahmu. Apakah itu bukan berarti kau akan mendapat celaka jika bertarung melawanku?"

Logo diam tanpa bicara. Tapi ketegangan amarahnya mengendur. Makin lama makin kendor lagi. Sementara dahi tetap berkerut.

"Coba bayangkan dan pikirkan apa jadinya jika kau bertarung dengan orang yang tak bisa kau jamah!" bujuk Suto Sinting, sebab menurut dugaan Suto, orang itu hanya besar badan dan tenaga tapi otaknya kecil. Mungkin sekecil merica.

"Kalau aku bisa menjamahmu berarti aku bisa memukulmu sewaktu-waktu. Tapi kau tak akan bisa memukulku. Kalau sudah begitu maka siapa yang akan bonyok?"

"Aku!" jawab Logo tegas sambil memegang dadanya.

"Apakah kau mau bonyok?"

Logo menggeleng dengan sedih. "Tidak!" jawabnya.

"Karena itu kau tak boleh melawanku. Paham?" "Paham!" ia mengangguk.

"Kalau kau tak boleh melawanku, berarti kau tak boleh menangkap Ki Gendeng Sekarat. Mengerti?"

"Mengerti," ia mengangguk patuh.

"Sekarang sebaiknya kau pulang saja dan katakan kepada Ratu Tanpa Tapak bahwa kau tidak berhasil menangkap Ki Gendeng Sekarat karena ada Pendekar Mabuk yang menjadi perisainya!'

Logo geleng-geleng kepala lagi. "Tak mau pulang."

"Kenapa?"

"Takut."

"Takut apa?"

"Hukuman."

"Apakah Ratu Tanpa Tapak akan menghukummu jika kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat?"

Logo mengangguk dengan muka sedih, ia mengibaskan jarinya ke leher sambil berkata, "Dipancung!"

"Ooo... jadi kalau kau gagal menangkap Ki Gendeng Sekarat, kau akan dipancung sebagai hukumannya?"

"Ya," jawabnya dengan makin sedih, ia pun mundur beberapa langkah dan bersandar pada sebatang pohon besar. Wajahnya tampak sedih, hati Suto Sinting mulai tergerak. Tak mau bersikap bermusuhan dengan Logo.

"Berapa lama kau mengabdi kepada Ratu Tanpa Tapak?"

"Dua."

"Dua tahun?"

"Dua purnama."

"O, dua purnama?!" Suto manggut-manggut. "Apakah kau tak berani melawan Ratu Tanpa Tapak?"

Logo menggelengkan kepala. "Kalah."

"Kalah kuat?"

"Kalah sakti," jawabnya.

"Kalau begitu... hmmm... sekarang apa rencanamu jika tak berani pulang?"

"Ikut...," sambil menuding Suto.

"Maksudmu ikut aku?"

Logo menganggukkan kepala jelas-jelas. "Kenapa kau mau ikut aku?"

"Sulit dijamah."

Suto tertawa sedikit keras. Logo pun ikut tertawa. Tapi tiba-tiba suara tawanya yang bergemuruh itu hilang seketika. Senyap. Wajahnya menjadi tegang. Matanya melirik ke sana-sini dengan cemas. Suto Sinting memperhatikan dengan heran. Lalu, Suto pun ajukan tanya padanya.

"Kenapa?!"

"Ada orang."

"Mana?"

"Entah," jawabnya, tapi tampak kian tegang.

Suto ikut memasang indera pendengarannya. "O, benar. Ada orang menuju kemari," kata Suto dalam hati. "Tajam juga pendergar si Logo itu."

Tak berapa lama, sesosok tubuh melesat dari balik kerimbunan. Melompat dengan tangkas dan lincah. Jleeg...! Tahu-tahu orang itu ada di depan Suto dan Logo. Orang tersebut tak lain adalah si cantik Pelangi Sutera.

"Pelangi Sutera?! Syukurlah kau akhirnya bertemu denganku di sini. Jadi aku tak perlu mencari-carimu," kata Suto Sinting.

Tapi gadis itu memandang Logo dengan bertolak pinggang, tak ada rasa takut sedikit pun. Bahkan kesan jijik melihat Logo hanya mengenakan cawat saja tak ada pada wajah gadis itu. Yang ada hanya sikap angkuh dan berani. Logo cepat-cepat rapatkan kedua kakinya. Lalu ia membungkukkan badan, memberi hormat kepada Pelangi Sutera. Melihat hal itu, Pendekar Mabuk menjadi bingung bercampur heran. Suara ringkik kuda yang ditinggalkan Pelangi Sutera di kejauhan sana tak dihiraukan. Suto lebih tertarik untuk bertanya dalam hati,

"Mengapa Logo bersikap hormat dan takut kepada Pelangi Sutera? Siapa gadis ini sebenarnya?"

* * *

EMPAT
SEBUAH gua karang tepi laut menjadi tempat bernaung menghindar malam. Yang ada di dalam gua itu hanya Suto Sinting dan Pelangi Sutera. Orang besar berkulit hitam ada di luar gua, seolah-olah menjadi penjaga. Di dalam gua itu, mereka nyalakan api unggun. Gua itu agak dalam, bebas dari air laut yang sedang surut. Bukan hanya bebatuan karang yang ada di sana, tapi juga batuan gunung warna hitam pun ada. Gua itu berlangit-langit tinggi. Ada lumut dan kelembaban. Tapi itu tidak mengganggu mereka.

Di depan api unggun Suto duduk bersanding dengan bambu tuak. Bukan bersanding dengan Pelangi Sutera. Gadis itu ada di depannya. Duduk bersandar batu hitam yang tergolong halus permukaannya. Jubah ungu tuanya terbuka lebar-lebar, tapi kain penutup dada dan celana ketatnya masih dipakai. Sumbulan dua bukit di balik kain pinjung penutup dada warna ungu muda itu membuat pemandangan segar bagi seorang lelaki. Hanya saja, Suto tak mau terlalu memperhatikan ke arah kemontokan itu, takut ada sesuatu yang bangkit dan memberontak dalam dirinya.

"Logo adalah anak jin. Jin yang kawin dengan manusia. Ibunya bernama Sumbaruni, ayahnya jin yang bernama Kazmat," tutur Pelangi Sutera dengan mata memandang mesra kepada Suto Sinting. Kalau tak ganteng, tak mungkin dipandang selembut itu.

"Teruskan," kata Suto sambil mengorek kayu api agar api itu tak padam.

"Sumbaruni adalah pelayan seorang petapa di Gunung Sesat. Waktu itu nama gunung tersebut adalah Gunung Winukir. Petapa itu tak punya anak, dan tak punya istri. Ketika mau meninggal, seluruh ilmunya diturunkan kepada Sumbaruni."

"Apakah Sumbaruni tidak diambil istri sang petapa?"

"Tidak. Petapa itu pantang menikah. Tak punya selera kepada wanita. Sumbaruni bukan hanya diwarisi ilmu, tapi juga diwarisi tempat, yaitu puncak Gunung Winukir. Petapa itu berharap Sumbaruni mau pertahankan Gunung Winukir. Tapi jika memang sudah tak sanggup, sang petapa pun tak melarang Sumbaruni turun gunung. Pada mulanya memang Sumbaruni bertahan tinggal di puncak Gunung Winukir. Ia menjadi wanita yang kesepian. Lalu datang seorang pemuda tampan, ia terpikat dan jatuh cinta. Segala-galanya diserahkan kepada pemuda itu, termasuk kesuciannya. Karena ia wanita yang punya selera, tak mampu bertahan sepi seumur hidup. Akhirnya Sumbaruni hamil oleh perbuatan pemuda tampan itu."

"Apakah tidak mengurangi kekuatan ilmu yang dimiliki?"

"Tidak. Justru bertambah tinggi," kata Pelangi Sutera dengan sungguh-sungguh. "Tapi pada suatu malam, ketika Sumbaruni mau bercumbu dengan pemuda tampan itu, tiba-tiba hujan turun. Petir menyambar gubuknya. Atap gubuk terbakar. Pemuda itu kecewa dan marah. Kemarahan yang disebabkan karena gairah tertunda itu membuat pemuda tampan berubah wujud menjadi jin. Itulah wujud asli pemuda tampan tersebut."

"Jin...?"

"Ya. Jin itu bernama Jin Kazmat. Tentu saja Sumbaruni takut dan tak mau jadi istrinya lagi. Jin Kazmat sedih, ia tak bisa merubah diri menjadi manusia lagi karena murkanya terlontar pada saat hujan turun itu. Akhirnya Jin Kazmat mengakui keberadaannya yang memang tak mungkin beristri Sumbaruni lagi. Ia hanya berpesan agar kandungan Sumbaruni jangan digugurkan, dan mohon agar Sumbaruni mau melahirkan bayinya. Sumbaruni juga punya permintaan yaitu kecantikan masa mudanya dan kesaktian yang bertambah. Jin Kazmat setuju, Sumbaruni pun setuju, akhirnya ia melahirkan seorang bayi yang semakin banyak terkena angin semakin cepat besar. Maka jadilah manusia besar bernama Logo."

"Sejak itu Sumbaruni masih diam di puncak gunung Winukir?"

"Tidak. Sumbaruni berkelana mencari anaknya yang hilang karena badai besar. Bertahun-tahun dia mencari sang anak, akibatnya Gunung Winukir dikuasai oleh Nila Cendani."

"Mengapa Sumbaruni tidak merebut gunung itu dari kekuasaan Nila Cendani? Apakah ia kalah sakti dengan Nila Cendani?"

"Sumbaruni tidak membutuhkan gunung. Sumbaruni membutuhkan anaknya, ia tidak akan berbuat apa-apa sebelum temukan anaknya."

"Apakah ia kawin lagi?"

"Menurut kabar, ia tidak kawin lagi. Perhatiannya terpusat pada sang anak yang hilang. Sekalipun anak itu tumbuh menjadi anak jin yang besar, tapi Sumberuni sayang kepada anak itu. Dari tahun ke tahun Sumbaruni hidup berkelana mencari anaknya. Beberapa tokoh silat tingkat tinggi mengenalnya, tapi tidak semua. Hanya orang-orang dari golongan putih saja yang mengenal Sumbaruni. Tapi Sumbaruni mengenal mereka satu persatu. Seberapa tinggi kekuatan ilmu mereka, sangat dikenali oleh Sumbaruni."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto dengan heran.

"Kabarnya Sumbaruni punya ilmu yang bernama 'Getar Sukma'. Ilmu itu yang membuat Sumbaruni mengetahui ukuran ketinggian ilmu seseorang. Dengan menyebut nama atau mendengar nama seseorang, Sumbaruni punya getaran sukma yang bisa mengukur tinggi-rendahnya ilmu orang tersebut. Makin kencang dan kuat getarannya semakin tinggi ilmu orang tersebut."

"Hebat sekali?!"

Pelangi Sutera tersenyum manis, berkesan menggoda. "Sumbaruni memang orang hebat, tapi dia tak mau menampakkan kehebatannya. Bahkan ia jarang ikut campur di dunia persilatan. Mungkin gurumu sendiri kenal dengan Sumbaruni. Walau tak secara langsung, mungkin pernah mendengar nama Sumbaruni."

"Guruku yang mana? Bidadari Jalang atau Gila Tuak?"

"Keduanya," jawab Pelangi Sutera seakan yakin betul dengan jawabannya. "Dulu, banyak orang yang ingin berguru kepada Sumbaruni, tapi Sumbaruni tidak mau turunkan ilmunya, kecuali untuk sang anak."

"Apakah akhirnya Sumbaruni bertemu dengan anaknya?"

"Ya. Tapi ia sudah tidak mau kembali ke Gunung Winukir."

"Kenapa?"

"Gunung itu telah kotor. Ketamakan dan kelaliman Nila Cendani telah mengotori gunung itu dan Sumbaruni tidak mau peduli lagi. Sekarang yang dilakukan oleh Sumbaruni hanya satu."

"Apa itu?"

"Mencari suami manusia."

Suto manggut-manggut. Sesekali tangannya mengutik-utik api unggun agar tak padam. Sebatang kayu kering yang digunakan mengorek api unggun itu sejak tadi dibuat mainan tangannya sambil mendengar cerita Pelangi Sutera, ia tak sadar kalau dirinya ditatap terus oleh Pelangi Sutera. Tatapan itu punya makna tersendiri. Hati Pelangi Sutera tersentuh dan berbunga-bunga jika sedang berpapasan pandang dengan Suto Sinting. Senyumnya sesekali mekar, cantik, dan manis, seakan dipamerkan kepada Suto.

Secara jujur Suto Sinting mengakui ada rasa tertarik kepada Pelangi Sutera. Tetapi ia ingat calon istrinya Dyah Sariningrum. Rasa tertarik itu pun dibantainya habis-habisan dengan tarikan napas berulang-ulang yang dilakukan dengan tidak kentara. Tapi apakah ia mampu bertahan terus membantai rasa suka yang selalu cepat tumbuh jika berpapasan pandang dengan gadis itu? Pendekar Mabuk cemas, sebab ia tak yakin akan kemampuan bertahannya. Untuk membantu kekuatan imannya, Suto Sinting sering meneguk tuak dan mengosongkan pikiran selama dua-tiga helaan napas. Itulah cara terampuh baginya.

"Lalu, apa maksudmu membuat janji bertemu denganku di kaki Bukit Semberani ini? Apakah benar kau murid Raja Maut?"

"Kau percaya syukur, tidak ya tidak apa-apa," jawab Pelangi Sutera sengaja dibuat samar-samar. "Yang jelas ada sesuatu yang perlu kau ketahui dariku."

"Tentang apa itu?"

"Ancaman jiwamu."

Mata si tampan itu cepat-cepat menatap Pelangi Sutera. Tatapan itu diterima oleh pandangan mata Pelangi Sutera. Diresapi sebagai sebentuk keindahan. Hatinya pun berdebar, jiwa pun gemetar, perut pun lapar. Tapi semua itu sengaja tidak dipedulikan dulu oleh Pelangi Sutera, karena ia harus lanjutkan penjelasannya agar si tampan tak kebingungan.

"Dalam waktu dekat ini kau akan terseret pada perkara yang membuatmu akan terperangkap dalam pelukan Ratu Tanpa Tapak."

"Bagaimana kau bisa tahu hal itu?"

"Logo adalah pengawal sang Ratu. Dulu Logo pernah dikalahkan oleh sang Ratu. Sang Ratu kecewa atas kematian dua utusannya. Logo diutus menyeret pembunuhnya."

"Ya, aku sudah dengar dari mulut Logo sendiri, apa tugas orang besar itu."

"Ki Gendeng Sekarat orang yang diincar oleh sang Ratu untuk dibunuh dalam keputusan pengadilannya. Kau tentunya akan ikut campur karena kau ada di pihak Ki Gendeng Sekarat. Dan jika kau berhadapan dengan Nila Cendani si Ratu Tanpa Tapak itu, jelas keputusan sang Ratu akan berubah. Dia akan naksir kamu dan ingin menikah denganmu."

Pendekar Mabuk tersenyum malu. "Ah, itu belum tentu. Tak ada alasannya sang Ratu berbalik pikiran begitu."

"Alasannya ada. Alasannya ialah... kau tampan dan menawan hati," jawaban ini agak pelan, seakan tercetus tulus dari dasar lubuk hati Pelangi Sutera. Tapi murid si Gila Tuak itu hanya cengar-cengir mencoba tak mengakui kebenaran ucapan itu.

"Aku bersungguh-sungguh. Kau punya daya pikat yang luar biasa. Mungkin kau punya ilmu pemberian bibi gurumu; Bidadari Jalang, yang dapat membuatmu menjadi pemikat kaum wanita. Kalau saja hidup wanita itu mempunyai kebebasan bertindak dan berkuasa atas seluruh kaum lelaki, maka semua wanita akan berusaha menjadi istrimu."

"Ah, kau berlebihan, Pelangi Sutera."

"Tidak. Ini bukan berlebihan. Ini kenyataan. Karena apa yang kurasakan dalam hatiku adalah demikian."

Suto Sinting menatap Pelangi Sutera dengan pandangan yang aneh, namun tak sampai berkerut dahi. Pelangi Sutera membalas dengan pandangan yang lebih dalam lagi, sehingga hati murid sinting si Gila Tuak itu bergetar cukup kuat. Desir-desir keindahan muncul di dalam dada Suto Sinting, ia menjadi salah tingkah dan berusaha mengosongkan pikiran beberapa kali.

Tetapi Pelangi Sutera mendekat. Duduknya pindah ke samping Suto. Tangannya menggenggam lengan Suto. Wajahnya mendekat penuh harap. Suaranya berucap pelan bagai orang berbisik. "Pria sepertimulah yang diharapkan mau menjadi suami Sumbaruni."

"Dari mana kau tahu?"

"Karena akulah Sumbaruni."

"Hahhh...?!"

Mata Suto seperti ditaburi kunang-kunang. Pendekar Mabuk merasa tidak sedang mabuk, tapi pandangan matanya menjadi guncang. Hatinya gemetar, jantungnya deg-degan. Kerongkongan terasa kering. Mulut pun sulit dikatupkan kembali. Kayu yang dipegangnya sampai terlepas begitu mendengar jawaban gadis itu.

Belum sempat terjadi percakapan lebih lanjut, atau tindakan mesra berikut, tiba-tiba Logo masuk ke dalam gua. Ia berdiri dan membungkuk sebentar, kemudian berkata kepada Pelangi Sutera,

"Hawa panas. Ibu, bolehkah aku mandi di laut?"

"Pergilah mandi, tapi jangan lama-lama. Kalau terlalu lama kau bisa masuk angin. Kalau kau masuk angin Ibu susah ngeroki badanmu, Nak."

"Terima kasih, Ibu. Saya akan kerokan sendiri kalau masuk angin."

Setelah itu Logo pergi. Langkahnya membuat gua bergetar. Atap gua menaburkan serpihan tanah dan batu. Tapi tak sampai di bagian atas kepala Suto. Hanya saja, mata Suto Sinting pun memandangi anak jin yang pergi mandi itu. Ternyata apa yang diakui oleh Pelangi Sutera bukan hal yang main-main. Gadis itu, yang ditaksir usianya sekitar dua puluh lima tahun itu, ternyata benar-benar ibu dari Logo, si anak jin tersebut. Pengakuan itu sulit dipercaya oleh akal sehat Suto, tapi kenyataan yang ada tak bisa dibantahnya.

"Suto," suara Pelangi Sutera terdengar lembut, ia mengusap tangan Suto. Pelan dan penuh perasaan. "Kuingatkan padamu, jangan melibatkan diri dalam perkara ini. Jangan sampai bertemu dengan Ratu Tanpa Tapak, nanti dia jatuh cinta padamu dan menggunakan ilmu pemikatnya untuk menjerat hatimu. Kalau kau sudah terjerat oleh ilmu pemikatnya, kau sulit keluar dari pelukannya."

Suto Sinting menelan ludahnya sendiri untuk basahi tenggorokannya. Ada yang ingin diucapkan. Tapi ia tak tahu harus berucap apa kepada bekas istri jin yang masih imut-imut itu?

"Logo sudah tak berani pulang kepada Ratu Tanpa Tapak. Itu berarti Logo sudah berpihak kepadamu. Untuk menghindari bencana itu, turutilah saranku, Suto. Jangan sampai kau jatuh dalam pelukan Nila Cendani, sebab jika terjadi begitu maka aku akan mengadu nyawa dengannya. Pasti dia yang akan tumbang."

"Kenapa tidak kau tumbangkan saja ratu itu?"

"Dalam urutan silsilah, aku adalah neneknya Nila Cendani. Dia cucu dari almarhum adik bungsuku."

Karena bingungnya, Suto Sinting hanya berkata, "Udara memang panas. Aku perlu cari angin ke luar gua dulu."

"Boleh aku menemanimu?"

Murid sinting si Gila Tuak itu hanya memandang dan memberikan seulas senyum, ia sudah berdiri, tapi tak memberi jawaban pasti, ia melangkah keluar gua. Ternyata di luar keadaan terang benderang. Rembulan memancarkan sinarnya ke bumi tidak tanggung-tanggung lagi. Udara panas itu mungkin disebabkan uap air laut yang menyimpan panas matahari pada waktu siangnya.

Di sebelah barat, tampak anak jin mandi dengan jingkrak-jingkrak, ia berteman ombak dan riak. Suto Sinting memperhatikan sejenak, tersenyum tipis, kemudian melangkah pelan-pelan ke arah timur. Langkah kaki menyusuri pantai begitu pelannya, seakan menikmati alam pikirannya yang sedang berkecamuk tentang Pelangi Sutera.

"Pantas jika Juru Bungkam dan Pawang Gempa takut kepada Pelangi Sutera. Kurasa mereka berdua sudah tahu siapa Pelangi Sutera sebenarnya. Pantas juga Pelangi Sutera menakut-nakuti akan dijadikan tumbal Ratu Tanpa Tapak, karena ia tak ingin aku jumpa dengan ratu itu. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat bertatap muka dengan Pelangi Sutera, pasti dia akan tahu juga siapa sebenarnya si cantik yang menggemaskan itu."

Hawa malam cukup segar. Siraman cahaya rembulan membuat malam hampir mirip dengan pagi. Semilir angin yang berhembus bagaikan membuka kekusutan otak Suto. Karenanya Pendekar Mabuk sengaja duduk di atas batu, menikmati semilirnya angin sambil merenungi apa yang ada dalam kenyataan itu.

Pelangi Sutera akhirnya tak tahan membiarkan Suto sendirian di pantai, ia juga tak tahan membiarkan dirinya di dalam gua. Maka wanita cantik imut-imut itu pun menyusulnya, ia berdiri tak jauh dari Suto, memandang alunan ombak laut yang tak begitu ganas. Jaraknya hanya dua langkah dari Suto. Sambil menatap ke arah lautan, Pelangi Sutera perdengarkan suaranya di sela keheningan malam dan deburan ombak samar-samar itu.

"Tak bolehkah aku mencintaimu, Suto?"

Bingung lagi Suto menjawabnya. Akhirnya ia hanya berkata, "Cinta tak bisa datang secepat ini. Punya perjalanan dan pengalaman sendiri."

"Sebenarnya, cinta ini tumbuh sudah lama. Sejak kau terlibat perkara dengan Siluman Tujuh Nyawa, aku sudah mengikuti perjalananmu secara diam-diam. Aku sering memperhatikan dirimu dalam semadiku. Dan hatiku tertarik padamu. Aku kagum dengan kehebatan ilmumu. Lebih kagum lagi dengan jiwamu. Aku jadi ingin mendapatkan dirimu. Tapi aku tahu, penghalangku terbesar adalah penguasa Pulau Serindu, Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum."

Suto Sinting terkejut mendengar Pelangi Sutera menyebutkan nama itu. Ia cepat-cepat menatap wajah yang menyamping pandangannya. Pelangi Sutera tatap tenang, bicaranya penuh kesungguhan.

"Aku tahu hatimu terpatri di hati Dyah Sariningrum. Tapi percayalah...," ia berpaling memandang Suto. "Aku sanggup mengalahkan dia untuk merebutmu!"

Pendekar Mabuk bagai disambar petir ujung lidahnya. Kaget sekali. Duduknya sampai berdiri. Terhenyak dari batu. Tegang memandang gadis ayu itu.

"Aturlah pertarunganku dengannya. Kapan, dimana, dan bagaimana. Aku siap. Sungguh-sungguh siap bertarung dengan penguasa Puri Gerbang Surgawi. Aku tak takut pada ibunya, yang menjadi penguasa Puri Gerbang Surgawi di alam gaib dan bernama Ratu Kartika Wangi itu. Aku tidak takut, Suto!"

Gawat kalau sudah begini, ini benar-benar cinta nekat, ini benar-benar nekatnya cinta. Ratu Kartika Wangi sampai ditantang secara tak langsung oleh Pelangi Sutera. Calon istri sampai ditantang duel pertarungan demi merebutkan cinta. Oh, celaka. Suto benar-benar terpaku di pertengahan cinta, ia jadi muak. Muak kepada cinta yang nekat itu.

"Kau tak mungkin bertarung dengan Dyah Sariningrum, Pelangi Sutera."

"Kenapa tak mungkin? Aku berani. Aku tak takut mati."

"Barangkali kau memang benar-benar berani. Tapi keberanianmu itu memaksaku untuk bertindak tega kepadamu. Sebab sebelum kau bertarung dengan Dyah Sariningrum, kau harus bertarung denganku dulu dan harus bisa membunuhku."

Mata gadis itu menatap tajam. Punya arti tersendiri bagi jiwanya. Suto pun tak kalah tajam memandang, ia segera mendengar wanita itu berbisik, "Sebesar itukah cintamu kepadanya?"

"Ya!" jawab Suto tegas sekali.

Pada saat mereka adu pandang tanpa berkedip, mereka sama-sama mendengar suara langkah cepat dari arah barat. Langkah itu adalah langkah orang berlari. Makin lama makin dekat, dan mereka sama-sama berpaling ke barat. Suto Sinting terkejut melihat siapa yang datang menemuinya di malam terang bulan itu.

Bruuuk...!

"Angon Luwak...?!" seru Suto ketika bocah itu jatuh tersungkur, ia segera menolong dengan mendekatinya.

Angon Luwak ngos-ngosan, tak bisa bicara karena napasnya bagaikan menyumpal tenggorokan. Pelangi Sutera ikut mendekati bocah itu. Suto segera menjelaskan kepada Pelangi Sutera siapa Angon Luwak itu.

"Aku sudah tahu," kata Pelangi Sutera. "Aku juga tahu dia punya ilmu 'Genggam Buana'. Gendeng Sekarat yang memberikan ilmu itu lewat mimpinya."

"Tapi... tapi apakah kau tahu sebabnya datang kemari?"

"Tanyakan saja padanya. Aku bukan peramal," Pelangi Sutera agak ketus.

"Angon Luwak, mengapa kau kemari? Mengapa berlari-lari begini?"

"Guru diculik orang."

"Gurunya siapa?"

"Gur... guruku, Kang!"

"Maksudmu, Ki Gendeng Sekarat?"

"Bet... betul. Diculik orang... hhmmm... jumlahnya... ada tujuh orang."

"Ki Gendeng Sekarat bukan orang lemah, Angon Luwak. Kau tahu sendiri."

"Ya. Tapi... tapi mereka semula menawanku. Guru terpaksa menyerah dan membiarkan dirinya dirantai, lalu dibawa pergi ke... ke Gunung Sesat."

"Celaka!"

"Aku sendiri hampir celaka, Kang! Tapi aku segera dilepaskan."

"Mengapa kau tidak melawan dengan ilmu 'Genggam Buana' yang kau miliki itu?! Apakah kau tak mau menolong Ki Gendeng Sekarat?"

"Kedua tanganku sudah dicekal mereka lebih dulu. Aku tak bisa apa-apa."

"Lalu...?" Suto Sinting tampak gelisah, ia memandang Pelangi Sutera, tapi yang dipandang diam saja. Angon Luwak berusaha meredakan napasnya yang terengah-engah. Suto Sinting kembali bertanya dengan tegang.

"Lalu... bagaimana dengan Raja Maut?"

"Kakek Raja Maut tumbang, Kang."

"Mereka yang menumbangkan?"

"Benar."

"Jadi... Raja Maut mati?"

"Belum," jawab Angon Luwak. "Waktu kutinggal lari mencarimu, dia belum mati. Entah kalau sekarang. Lukanya parah sekali."

Mata Pendekar Mabuk kembali menatap Pelangi Sutera. "Aku harus ke sana. Setidaknya melihat keadaan Raja Maut. Bukankah kau pernah mengaku sebagai muridnya?"

"Aku bohong padamu, supaya kau percaya saranku."

"Lain kali jangan bohongi aku lagi. Aku tak suka. Dan..., mari kita ke sana, Angon Luwak. Mudah-mudahan Raja Maut belum terlambat kutangani."

"Bagaimana dengan guruku, Kang? Apakah kau tak ingin menolongnya?'

"Dari sana nanti kita langsung pergi ke Gunung Sesat! Kita"

"Tidak!" potong Pelangi Sutera. "Aku tidak izinkan kau ke sana!"

"Ki Gendeng Sekarat sudah kuanggap ayahku sendiri, Pelangi Sutera. Aku tak bisa membiarkan Ki Gendeng Sekarat menjadi tawanan Nila Cendani. Pasti dia akan mati di tangan Ratu Tanpa Tapak itu!"

"Kataku, jangan!" tegas Pelangi Sutera. "Kalau kau nekat, aku akan menghalangi langkahmu!"

"Aku akan melawanmu kalau kau menghalangiku!" balas Suto membuat Pelangi Sutera menatap kian tajam, dan Suto tegang menghadapinya.

Dari arah timur muncul Logo yang melangkah mendekati ibunya. Angon Luwak kaget, takut, lalu berseru sambil bersembunyi di belakang Suto.

"Kaaang... ada setan, Kang. Aku takuuuut!"

"Ssst ! Dia bukan setan!"

"Setan, Kang. Setan asli!" Angon Luwak gemetar ketakutan sambil sembunyikan wajahnya, masuk ke dalam baju Suto bagian belakang.

Suto menggelinjang kegelian karena punggungnya di dusal-dusal oleh wajah bocah itu. Pelangi Sutera tak kuat menahan tawa. Ia tundukkan kepala sambil tersenyum. Hal itu digunakan Suto untuk membujuk Pelangi Sutera.

"Biarkan aku datang. Jangan halangi aku ke sana."

* * *

LIMA
KALAU bukan karena demi menyelamatkan Angon Luwak, Ki Gendeng Sekarat tak mungkin menyerah kepada orang-orang Gunung Sesat, dua dari tujuh orang yang menangkap Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan. Satu orang dilumpuhkan oleh Raja Maut, satu lagi dilumpuhkan oleh Ki Gendeng Sekarat sendiri. Tetapi Raja Maut segera tumbang di tangan Lasogani, pentolan dari ketujuh orang tersebut. Sedangkan Ki Gendeng Sekarat terpaksa hentikan perlawanannya karena Angon Luwak digunakan sandera oleh mereka.

Kini tubuh Ki Gendeng Sekarat dililit rantai. Kedua tangannya dikebelakangkan dalam keadaan terbelenggu rantai. Dari bawah pundak sampai ke perut pun dililit rantai. Rantai itu bukan sembarang rantai. Lasogani mempunyai rantai penjerat yang dinamakan 'Rantai Neraka'. Jika orang yang dijerat rantai itu berontak ingin melepaskan diri, maka rantai itu akan menjadi lebih kencang sendiri.

Semakin orang yang dijerat berontak terus, semakin kuat rantai itu menjerat. Bisa-bisa memotong bagian tubuh orang tersebut karena kekuatan jeratnya. Rantai Neraka merupakan senjata bagi Lasogani baik untuk pertarungan maupun untuk menangkap buronan.

Tujuh orang utusan dari Gunung Sesat itu kini yang masih punya kekuatan hanya lima orang. Yang dua terpuruk di atas punggung kuda, namun masih bernyawa. Mereka tak bisa berbuat apa-apa karena seluruh tulangnya bagai dipatahkan oleh serangan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut. Dua orang yang terpuruk itu dijadikan satu di atas punggung kuda. Sedangkan satu ekor kuda lainnya digunakan untuk membawa Ki Gendeng Sekarat.

Kuda yang dipakai membawa Ki Gendeng Sekarat dalam penjagaan dua orang di kanan kiri, sedangkan tali kekang kuda ada di tangan Lasogani yang menunggang kuda di depannya. Kedua kaki Ki Gendong Sekarat juga diikat dengan rantai yang dililitkan ke badan kuda. Sekalipun kuda berlari cepat, tubuh Ki Gendeng Sekarat tak akan jatuh terpental dari atas kuda.

Mereka tak langsung membunuh Ki Gendeng Sekarat. Ratu Tanpa Tapak memerintahkan mereka untuk menangkap Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan hidup. Pengadilan sang Ratu nantinya yang akan menjatuhkan hukuman untuk Ki Gendeng Sekarat; dipancung atau digantung. Keduanya memang sama-sama mematikan. Tapi agaknya sang Ratu tak ingin Ki Gendeng Sekarat mati di tangan anak buahnya tanpa keputusan yang pasti dari dirinya.

Gunung Sesat letaknya agak jauh dari tempat penangkapan itu. Mereka menempuhnya dalam satu malam lebih. Mereka tidur di atas punggung kuda secara bergantian. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tidur dengan nyenyak bagaikan tak mau peduli lagi dengan nasib dirinya. Sampai matahari menyingsing pun Ki Gendeng Sekarat yang memang doyan tidur itu masih memejamkan mata. Tetapi ia mulai sadar bahwa derap kaki kuda menjadi pelan dan akhirnya mereka berhenti.

Ada apa mereka berhenti? Ki Gendeng Sekarat tetap mengetahui sebabnya walau ia dalam keadaan tidur. Dua orang tokoh itu berdiri menghadang langkah mereka. Yang satu berambut putih panjang berikat kepala kain merah dan berjubah abu-abu, sedangkan yang satunya lagi rambut putih pendek botak tengahnya, berjubah merah dengan tongkatnya yang berujung runcing panah.

"Balung Kere, temui mereka! Tanyakan apa maunya menghadang kital" perintah Lasogani kepada Balung Kere yang kurus kering dengan pakaian compang-camping mirip pengemis. Itulah sebabnya ia dijuluki Balung Kere alias Tulang Miskin. Sekalipun kurus kering mirip tengkorak, tapi Balung Kera punya keberanian cukup tinggi. Tak ada rasa gentar sedikit pun ketika ia mendekati dua penghadangnya itu.

Dengan mata cekung dan dingin ia menyapa, "Mau bertingkah apa lagi kalian berdua, hah?! Kuingatkan kepada kalian, Pawang Gempa dan Juru Bungkam, kami tak punya waktu untuk main-main dengan orang tua ingusan seperti kalian. Jadi sebaiknya pergilah dari hadapan kami. Jangan bikin kami murka pada kalian!"

Kedua penghadang itu ternyata adalah Ki Lumaksono atau si Pawang Gempa dan saudara seperguruannya; Ki Parandito atau si Juru Bungkam. Meraka tampak tenang menghadapi gertakan Balung Kera.

"Aku tahu siapa orang yang kau tawan itu," kata Pawang Gempa yang memegang tongkat berujung tanpa bentuk. "Aku kenal dengan Gendeng Sekarat. Dia sahabatku. Jadi kusarankan lepaskan saja dia. Karena jika tidak kalian lepaskan, kami bisa tampakkan murka di depan kalian."

Juru Bungkam berseru, "Gendeng Sekarat! Bangunlah! Kami ada di depanmu!"

Ki Gendeng Sekarat dalam keadaan tidur berkata malas-malasan, "Aku tahu, kau Parandito dan Lumaksono! Kalem saja, Sobat!"

Balung Kere berjalan mendekati Lasogani tanpa menggunakan kuda. "Kau dengar sendiri ancaman mereka, Lasogani. Manis sekali, bukan?"

"Manis dengkulmu!" geram Lasogani. "Hadapi mereka berdua. Bunuh!"

"Yah, kalau memang kau perintahkan untuk membunuh, apa boleh buat. Aku pun tak akan sia-siakan perintah itu," kata Balung Kere yang segera kembali menghadapi kedua tokoh tua tersebut. "Kau dengar sendiri, Pawang Gempa. Aku disuruh membunuh kalian berdua. Saranku, jangan banyak tingkah. Pasrah saja. Aku punya cara membunuh tanpa menimbulkan rasa sakit."

"Kurang ajar! Seenaknya dia bicara, Juru Bungkam!"

Juru Bungkam masih diam. Balung Kere mencabut kapak di pinggangnya. Caranya mencabut tenang sekali. Bahkan sedikit kesulitan karena ujung gagang kapak tersangkut ikat pinggangnya. Sementara yang lain masih tetap duduk di punggung kuda, menunggu perintah dari Lasogani.

Balung Kere sudah berhasil mencabut kapaknya, ia maju setindak dan berkata bagaikan tanpa perasaan apa-apa. "Sekarang sudah waktunya un... un... un... un..."

Balung Kere sulit bicara, karena Juru Bungkam menyambar sesuatu di depan dadanya dan tangan menggenggam bagaikan menangkap lalat. Itulah jurus pembungkam yang dimilikinya, membuat Balung Kere menjadi sulit bicara. Tapi agaknya Balung Kere masih memaksakan diri untuk bicara, sehingga mulutnya tercengap-cengap dan badannya bergerak-gerak, kepalanya oleng sana-sini karena ingin ucapkan sesuatu.

"Kuuk... mmuuk... kekk... seeekk... buuuk... ngggiiik... ngiiik"

"Hoi...!" bentak Lasogani. "Ngomong apa kau ngak-ngik, ngak-ngik, begitu?!"

Balung Kere menuding-nuding Juru Bungkam sambil memandang Lasogani. "Sul... sulll suull... ngiiik... ngook... nyuk... nyuk"

"Dia dibungkam orang itu," kata Tamboi yang berada tak jauh dari Lasogani. Hal itu membuat Lasogani kian jengkel.

Tangan Ki Parandito masih menggenggam di depan dada. Balung Kere masih ngak-ngik, ngak-ngik tak karuan. Lasogani segera melemparkan sesuatu dari tangannya. Slaaap.! Senjata rahasia berbentuk bintang segi delapan melesat ke arah Ki Parandito, si Juru Bungkam. Kilatan cahaya putih mengkilap itu disambut dengan lemparan tangan yang menggenggam.

Slaaap...! Sinar merah melesat dan menghantam senjata rahasia Lasogani.

Blaarr!

Asap mengepul akibat benturan senjata rahasia dengan sinar merah yang meledak cukup dahsyat. Balung Kere terpental jatuh terduduk dan meringis karena tulang ekornya terbentur batu. Ia tak bisa mengaduh karena masih dalam keadaan dibungkam oleh Ki Parandito. Karena setelah melemparkan sinar merah tadi tangan Ki Parandito kembali menggenggam bagaikan memberangus mulut lawan.

"Tamboi, turun dan serang dia. Jangan banyak bicara!" perintah Lasogani.

"Heaaat...!" Tamboi yang berbadan gemuk segera melompat dari punggung kuda. Golok besarnya cepat dicabut dari pinggang dan ditebaskan ke arah Juru Bungkam.

Wuuung!

Tapi Juru Bungkam bagaikan lenyap dalam sekejap. Padahal ia melompat mundur dengan sangat cepatnya. Golok besar itu menebas tempat kosong, sampai di depan mata Ki Lumaksono. Dengan cepat dan sigap Ki Lumaksono sentakkan tongkatnya ke atas untuk menangkis laju golok besar itu.

Traak...! Krang...!

Golok itu gompal. Patah bagian tajamnya. Tamboi terperangah sekejap memandangi gompalan goloknya. "Monyet..!" geramnya. Tapi ia tahu ujung golok masih runcing, sehingga dengan cepat ia hunjamkan ujung golok itu ke leher Ki Lumaksono.

Wuuut...!

Jubah abu-abu itu hanya memiringkan badan untuk menghindar. Seet...! Tapi alangkah kagetnya, karena ternyata golok itu belum bergerak maju. Dalam penglihatannya tadi golok itu sudah dihunjamkan, ternyata masih ada di tempatnya. Sehingga ketika Ki Lumaksono miring ke kanan, golok itu pun benar-benar maju ke depan menghunjamnya.

Wuuut...! Trak...!

Untung Ki Lumaksono punya gerak yang amat cepat untuk mengangkat tongkatnya. Ujung golok itu menancap di kepala tongkat. Tamboi menekan terus, ia kerahkan kekuatan tenaga dalamnya hingga ujung golok bagaikan membakar kepala tongkat. Ki Lumaksono pun kerahkan tenaga dalamnya melalui tongkat tersebut. Sehingga kejap berikutnya golok tersebut menjadi merah membara, bagaikan terpanggang api yang amat panas. Lalu Ki Lumaksono meludahi golok itu.

Jrooss...! Golok itu padam dan tahu-tahu sudah menjadi arang tak berguna. Pruuus...! Golok itu hancur menjadi serpihan hitam.

Mata Tamboi terbelalak. Ki Lumaksono cepat sentakkan kakinya ke depan. Wuuut...! Tak sampai menyentuh perut Tamboi. Tapi kekuatan tenaga dalam yang terpancar di ujung kaki itu menghantam telak ulu hati Tamboi.

Buuhg...!

"Heggh...!" Tamboi kian mendelik. Mulutnya ternganga seketika sambil semburkan darah segar dari mulutnya, ia tertatih-tatih limbung mundur. Kedua tangannya masih merenggang badannya sedikit membungkuk ke depan. Akhirnya Tamboi pun jatuh tepat di depan kuda Lasogani.

Bruugh ...!

"Tewas...," gumam Balung Kere dengan sedih melihat nasib temannya.

"Tewas matamu!" sentak Lasogani kepada Balung Kere dengan marah sekali. "Maju, balas dia!"

"Hiaaat...!" suara kecilnya melengking seketika walaupun ia belum melompat dan belum bergerak apa-apa. "Hiaat...!" teriaknya lagi panjang dan lengking sambil mencari di mana kapaknya tadi tertinggal saat jatuh. "Hiaaat...!" teriaknya sekali lagi. Tapi tiba-tiba,

plook...!

Wajah kurus itu ditampar kuat oleh Lasogani yang melompat dari punggung kuda. Balung Kere terpental jatuh telentang dengan gelagapan. Wajahnya merah karena bekas tamparan keras tadi.

"Napas Setan! Tangani dua orang itu! Cepat!"

Napas Setan yang sejak tadi diam saja di samping kuda Ki Gendeng Sekarat segera turun. Wajahnya angker. Tak ada senyum sedikit pun. Napas Setan segera mencabut golok berujung trisula dari tempatnya di sisi pelana kuda. Pada saat itu Ki Gendeng Sekarat perdengar suaranya.

"Kau akan mati juga di tanganku, Nak!"

Napas Setan yang kira-kira berusia sekitar empat puluh tahun itu memandang Ki Gendeng Sekarat yang tundukkan kepala karena tidur, ia menggeram dan segera ingin menikamkan tombak trisulanya. Tapi Lasogani segera berseru,

"Bukan dia! Tapi dua orang itu, Tolol!"

Napas Setan mendengus benci sebelum pergi. Ki Gendeng Sekarat masih terkulai tidur bagai tak pedulikan dengusan itu.

"Cepaaat...!" teriak Lasogani dengan berang sekali.

Napas Setan tiba-tiba sentakkan kaki dan tubuhnya melayang menukik dengan tombak trisula mengarah ke dada Ki Lumaksono. "Heaaahhh...!" teriaknya serak dan menyeramkan, sesuai dengan tubuhnya yang kekar dan tinggi.

Tetapi Ki Lumaksono justru melompat ke samping, tak mau menangkis atau membalas serangannya. Namun Ki Parandito yang ada di belakangnya segera sentakkan tongkatnya lurus ke depan. Claaap...! Dari ujung tongkatnya keluar panah kecil berwarna merah. Panah itu rupanya adalah panah besi yang amat beracun dan bertenaga dalam tinggi. Napas Setan segera menangkis dengan tombak trisula, mengibaskan panah itu ke samping.

Trang...! Duaaar...!

Nyala api memercik akibat tangkisan dua senjata ampuh itu. Ledakan yang timbul merontokkan dedaunan di sekeliling mereka. Bahkan ada beberapa dahan yang masih muda patah dan berjatuhan. Tombak trisula itu diputar cepat.

Wut, wut, wut...!

Tahu-tahu sudah berada di samping Napas Setan yang berdiri tegak dengan kaki kekar merenggang sedikit, ia menampakkan sikap perkasanya dengan lirikan mata yang tajam mempunyai gairah membunuh dengan kejamnya. Lirikan mata itu membuat Ki Lumaksono tersenyum tipis. Ki Parandito segera melangkah dengan santai sambil mengayunkan tongkatnya. Kini jarak Ki Parandito dengan Napas Setan hanya tiga tindak.

Tokoh tua berjubah merah itu menampakkan ketenangannya walau ia berkata dengan suara berat, "Keluarkan semua ilmumu, aku akan melayanimu, Bocah Bagus!"

Fuih..! Napas Setan sentakkan napasnya melalui hidung. Ki Parandito kaget menerima napas yang bagaikan gelombang panas cukup besar itu. Wuuut...! Tubuh Ki Parandito terlempar tujuh langkah ke belakang tanpa berguling-guling.

Ki Lumaksono juga kaget. Segera disentakkan tongkatnya menghantam tanah. Duuug...! Lalu bumi berguncang bagaikan dilanda gempa. Tubuh Napas Setan terlempar ke atas. Wuuut...! Keseimbangannya limbung. Ki Parandito yang sudah tegak kembali itu segera sentakkan tongkatnya.

Wuuut...! Claaap...!

Anak panah merah meluncur dari ujung tombak. Karena Napas Setan dalam keadaan kaget saat terlempar di luar dugaan, maka ia tak sempat menangkis anak panah itu. Akibatnya anak panah yang kali ini menancap tepat di jantungnya.

Jruub! Blaaar...!

Pecah. Anak panah itu bagai tombol peledak, begitu menyentuh benda langsung meledak. Karena yang disentuh adalah jantung Napas Setan, maka jantung itu pun segera pecah bersama serpihan tubuh Napas Setan.

Lasogani belum sempat menyadari saat terjadinya peristiwa itu, karena ia sendiri terguncang dan terlempar ketika Ki Lumaksono timbulkan gempa setempat. Tubuh Lasogani menjatuhi Balung Kere yang terhimpit badan kuda milik Tamboi.

"Mati aku...!" suaranya berat dan ngotot dengan mata mendelik. Balung Kere berusaha menahan beban. Karena bukan hanya kuda dan tubuh Lasogani yang kebetulan jatuh menindih dirinya, tapi kedua tubuh temannya yang sudah dilumpuhkan Ki Gendeng Sekarat dan Raja Maut itu juga terlempar karena gempa dan jatuh tepat menutup wajahnya.

Ki Gendeng Sekarat hampir saja tumbang dari atas kuda karena getaran gempa tadi. Ia hanya terkulai di punggung kuda dalam keadaan tengkurap. Tapi masih saja tertidur. Bahkan semakin merebah, menempelkan pipinya di leher kuda bagaikan tidur di atas bantal. Dengkurannya terdengar samar-samar.

Sementara itu si Patuh Pendek, orang yang berleher pendek dan menjadi satu-satunya penjaga tawanan, juga terpelanting jatuh dari punggung kuda akibat getaran gempa tadi. Namun ia tidak mengalami cedera apa-apa karena ketika jatuh ia cepat-cepat berpegangan pelana kuda.

Lasogani bangkit dengan bertambah berang. "Jahanam busuk!" makinya dengan memandang tajam kedua lawannya. "Balung Kere...! Jaga tawanan itu. Balung Kere...?! Mana dia, Paruh Pendek?! Balung Kere...! Bangsat itu lari?!"

"Aku di siniii...," seru Balung Kere tertutup badan kuda dan kedua tubuh temannya. Kuda itu sendiri mengalami patah kaki hingga sulit berdiri.

Lasogani makin jengkel melihat Balung Kere tak berkutik, ia biarkan orang itu melepaskan diri dari tubuh kuda yang meringkik ringkik itu. Ia segera dekati Paruh Pendek, orang yang bagai tak memiliki leher itu.

"Maju, lawan mereka. Bunuh semuanya! Aku yang jaga tawanan ini!"

"Dari tadi mestinya kau tugaskan aku begitu!"

"Kerjakaaan...!" teriak Lasogani yang bertubuh kekar berkumis tebal dan berkepala sedikit botak bagian belakangnya.

Paruh Pendek maju menghadapi Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Tombak berujung sabit diambil dari tempatnya di samping pelana kuda. Kilatan matahari memantul dari ketajaman sabit tersebut.

Lasogani sempat menggerutu melihat Ki Gendeng Sekarat yang tidur tengkurap di atas punggung kuda. "Monyet juling! Yang lain bertarung taruhan nyawa, dia malah enak-enak tidur. Uuuh...! Kalau tak takut perintah sang Ratu, sudah kubunuh orang ini sejak tadi!"

Paruh Pendek memainkan jurus tombaknya didepan Ki Parandito. Gerakan jurusnya begitu cepat, sehingga tombak itu bagaikan membentuk perisai yang rapat dan sukar ditembus. Tetapi Ki Parandito bukan orang bodoh, ia sengaja diam saja dan tetap tenang, seperti yang dilakukan Ki Lumaksono. Ia memperhatikan gerakan itu baik-baik. Tapi anehnya Paruh Pendek sejak tadi bergerak terus tiada hentinya, seakan tak pernah merasa lelah dalam gerakan secepat itu. Wajahnya bagai sulit dipandang lagi karena kecepatan gerak tombaknya menutupinya. Suara gerakan tombak itu mendengung bagaikan lebah.

"Mundur. Biar aku yang hadapi," kata Ki Lumaksono kepada Ki Parandito.

Tongkat warna coklat segera diputar di atas kepala. Bunyinya seperti gaung gangsing. Itu menandakan putaran tongkat lebih cepat dari putaran gerak tombak Paruh Pendek. Rupanya kecepatan putaran tongkat itu menimbulkan lingkaran gelombang cahaya biru. Semakin lama semakin melebar dan mendekati gerakan tombak Paruh Pendek. Sedangkan gerakan tombak itu makin lama makin keluarkan asap yang membungkus diri.

"Heaaah...!" sentak Ki Lumaksono sambil hentakkan kaki ke tanah.

Duug...!

Lingkaran sinar biru melesat menerjang asap tersebut. Memerciklah bunga api beberapa saat mirip percikan kembang api mainan. Tetapi dalam kejap berikut, sebuah ledakan dahsyat terdengar menggelegar dan membahana.

Duaaar...!

Asap semakin tebal, menjulang ke langit bagai letusan gunung. Warnanya hitam kebiru-biruan. Suara gaung gangsing hilang. Suara dengung lebah hilang. Mereka memandang tubuh Paruh Pendek yang dibungkus asap tebal itu. Tegang dan penasaran, ingin tahu hasilnya. Asap itu makin lama makin menipis. Dan wujud Paruh Pendek terlihat samar-samar. Orang itu masih berdiri tegak dengan tombak tergenggam di tangannya. Tapi pakaiannya sudah rusak berat. Compang-camping mirip gelandangan. Pakaian itu rusak karena ledakan dahsyat tadi.

Ki Lumaksono dan Ki Parandito merasa heran. Dalam bisikan Ki Parandito terdengar melambangkan rasa kagumnya. "Biasanya orang yang terkena jurus 'Petir Biru' milikmu itu akan hancur. Tapi orang itu tetap utuh. Hanya pakaiannya yang rusak berat. Hebat sekali?!"

Ki Lumaksono agak malu juga mendengar bisikan itu. Seolah-olah jurus andalannya tidak berguna bagi lawan seperti si Paruh Pendek. Ki Lumaksono hanya diam, terpaku di tempat memandangi Paruh Pendek. Asap makin hilang, wujud Paruh Pendek makin jelas. Lasogani sedikit lega melihat temannya tak mengalami cedera. Balung Kere yang sudah berhasil bangkit lagi itu tertegun bengong melihat keadaan Paruh Pendek yang hampir tidak berpakaian itu.

"Serang lagi! Serang lagi mereka, Paruh Pendek!" seru Balung Kere memberi semangat. Tetapi Paruh Pendek tetap diam di tempat dengan senyum tetap tersungging tipis sejak tadi.

Lasogani pun segera memberi perintah, "Balas perbuatan mereka, Paruh Pendek. Balas sekarang juga, Bodoh!"

Tetapi Balung Kere menjadi berkerut dahi melihat Paruh Pendek tidak bergerak sejak tadi. Pelan-pelan ia mendekat dan memeriksanya, ia menyentuh tubuh Paruh Pendek dengan maksud untuk menyadarkan temannya itu. Tapi alangkah kagetnya setelah tangan Balung Kere menyentuh lengan Paruh Pendek, ternyata daging lengan itu terbawa ke tangan Balung Kere. Pluk...! Daging yang lengket di jari Balung Kere jatuh ke tanah. Balung Kere penasaran, ia memegang punggung Paruh Pendek. Croob...!

"Astaga! Dia sudah mati empuk!" seru Balung Kere kepada Lasogani.

Sentuhan itu membuat tubuh Paruh Pendek terguncang dan akhirnya jatuh. Lasogani mendelik melihat Paruh Pendek jatuh bagaikan pepaya busuk. Lembek dan langsung bonyok. Rupanya sejak tadi Paruh Pendek sudah tak bernyawa, ia mati dalam keadaan daging dan tulangnya menjadi empuk bagai habis direbus lahar gunung berapi. Tombaknya sendiri segera menjadi debu sampai bagian besi sabitnya.

Ternyata jurus 'Petir Biru' milik Ki Lumaksono punya akibat yang amat buruk bagi lawan. Kali ini memang lawan tak bisa hancur, namun mati empuk seperti pepaya busuk. Ki Parandito akhirnya tersenyum tipis dan manggut-manggut, mengakui kehebatan jurus itu. Hanya Ki Lumaksono yang mampu pelajari jurus itu, karena dulu Ki Parandito gagal menerima jurus tersebut dari gurunya.

"Kalian benar-benar keterlaluan!" geram Lasogani. "Sudah saatnya kalian mati di tanganku, Tua Bangka! Heaaatt...!" Lasogani segera melompat menyerang Ki Lumaksono dengan tangan kosong. Tapi kedua telapak tangannya sudah berubah menjadi bara merah yang mengepulkan asap.

Balung Kere pun tak mau tinggal diam karena tak mau disalahkan Lagi. Ia melompat dengan kapak siap dihantamkan ke kepala Ki Parandito. Gerakannya cukup cepat dan liar. Tetapi Ki Parandito segera melompat juga menyongsong serangan lawannya. Tongkatnya dikibaskan menghadang ayunan kapak tersebut.

Traaang...! Trrang...! Praak...!

Kapak itu bagaikan membentur besi baja. Parahnya lagi, ujung tongkat Ki Parandito sempat menghantam gagang kapak dan membuat gagang kapak patah seketika. Kapak itu menjadi sangat pendek. Balung Kere kaget saat dia memandangi kapaknya. Kesempatan itu digunakan oleh Ki Parandito untuk menendang dada Balung Kere dengan tendangan putar yang amat cepat.

Weees...! Buuhg...!

"Uuhhg...!" Balung Kere terlempar jauh dan memuntahkan darah kental, ia mendelik dan tercengap-cengap sambil pegangi dadanya.

Pada saat itu, Lasogani sedang beradu kekuatan tenaga dalam dengan Ki Lumaksono. Ketika kedua telapak tangan Lasogani menghantam tubuh Ki Lumaksono, tongkat tokoh tua berjubah abu-abu itu menyilang di dada. Akibatnya telapak tangan itu terhalang tongkat Ki Lumaksono memegangi bagian tengah tongkat sedangkan tangan Lasogani ada di kanan-kiri tongkat.

Mereka saling dorong dan saling adu kekuatan. Tongkat itu pun mengepulkan asap hitam karena remasan tangan Lasogani membakar kayu coklat tersebut Ki Lumaksono salurkan tenaga dalamnya lebih tinggi lagi ke tongkat itu. Sebab jika tongkat patah, maka tangan lawan akan menyentuh dadanya, dan pasti tubuh Ki Lumaksono akan bolong terbakar tangan membara tersebut.

Wuuut...! Buuhg...!

Tongkat Ki Parandito tiba-tiba berkelebat menghantam pinggang belakang Lasogani. Akibatnya Lasogani mendelik dan tak bisa terpekik karena rasa sakit yang luar biasa bagaikan mematahkan tulang belakangnya. Pada saat ia mendelik dan kekuatannya berkurang, Ki Lumaksono menendang lurus ke ulu hatinya. Tak sampai menyentuh, namun tenaga dalam yang keluar dari ujung kaki sama besar dengan yang dilepaskan untuk Tamboi tadi.

Buuhg...!

"Uuhg...!" Lasogani terlempar mundur dan jatuh terguling-guling, ia memuntahkan darah dari mulutnya, tapi hanya sedikit. Ia masih sanggup berdiri dengan satu lutut. Itu menandakan ilmunya lebih tinggi dari Tamboi tadi. Jika tidak, maka nasibnya akan semalang Tamboi. Nyatanya Lasogani masih bisa angkat wajah dan menggeram penuh dendam.

"Kuat juga dia?!" gumam Ki Lumaksono. "Biar kuhabiskan kalau dia tak mau lepaskan Gendeng Sekarat!" kata Ki Parandito sambil melangkah maju sampai berjarak empat tindak dari depan Lasogani. Ia berkata dengan tenang tanpa engahan napas.

"Bebaskan Gendeng Sekarat dari pengaruh rantai pusakamu itu! Atau kau akan menemui nasib seperti ketiga temanmu itu?"

"Kau yang akan menyusul mereka ke alam baka! Hiaaat...!" Lasogani sentakkan tangannya dalam keadaan masih berdiri satu lutut. Cahaya kuning melesat menghantam Ki Parandito.

Tapi tangan Ki Parandito pun melepaskan pukulan maut bersinar merah. Pukulan sinar itu saling membentur. Blaar...! Lasogani terpelanting jatuh ke belakang. Wajahnya merah matang. Ki Parandito ingin menghabisi lawannya agar tak terlalu membuang waktu banyak. Tetapi ketika ia melompat dengan tongkat siap dihunjamkan, tiba-tiba sekelebat bayangan melintas dan menerjangnya dari samping.

Wuuut...! Bruuus...!

Ki Parandito terpental jatuh enam langkah jauhnya. Tubuh yang menerjangnya berdiri dengan sigap dan kekar. Ki Parandito terkejut, demikian pula Ki Lumaksono yang mendelik melihat siapa tokoh yang datang bermaksud menyelamatkan Lasogani dan Balung Kere itu.

"Guru....!" Ki Lumaksono tersentak dengan suara berat.

Orang yang baru datang itu berambut panjang sampai sebatang pinggang, warnanya putih rata. Berpakaian jubah putih kusam hingga menyerupai warna coklat. Tubuhnya kurus, matanya dingin. Kukunya panjang dan runcing. Kemunculannya membuat Ki Parandito mundur hingga berjajar dengan Ki Lumaksono.

"Apakah dia benar-benar guru kita Eyang Sokobumi?!"

"Tak salah lagi, Parandito!" jawab Ki Lumaksono dengan gemetar.

"Tapi... bukankah beliau telah wafat sepuluh tahun lamanya?"

"Ya. Tapi Ratu Tanpa Tapak telah mencuri mayatnya dan kini membangkitkan beliau untuk menjadi pihaknya."

"Celaka! Kita tak mungkin bisa mengalahkan beliau!" gumam Ki Parandito dengan suara gemetar pula.

Pendapat Ki Lumaksono itu benar, sama dengan pendapat Raja Maut. Setelah Raja Maut ditemukan Suto Sinting pada malam itu juga, ia berhasil ditolong dengan bantuan tuaknya. Hanya Suto Sinting yang ada di situ bersama Angon Luwak. Pelangi Sutera ditinggalkan di gua tepi pantai bersama si anak jin; Logo itu. Kedatangan Suto Sinting hampir saja terlambat.

Luka dalam Raja Maut lebih parah dibanding luka yang diterima dari Nyai Demang Ronggeng. Tapi luka separah apa pun, jika sudah terkena tuaknya Suto dari bumbung sakti itu, maka kesembuhan pun akan cepat datang dan jiwa sang luka pun tertolong.

Di ujung pagi, Raja Maut sudah bisa diajak bicara dan badannya merasa segar. Mereka membicarakan penangkapan atas diri Ki Gendeng Sekarat. Raja Maut tampak sedih dan kecewa karena ia gagal menyelamatkan sahabatnya itu. "Aku yakin, Gendeng Sekarat dalam bahaya besar jika jatuh di tangan Nila Cendani! Perempuan itu berilmu tinggi, demikian pula para bawahannya."

"Apakah termasuk Ki Parandito dan Ki Lumaksono?"

Raja Maut cepat pandangi Suto dengan rasa kaget dan heran. "Mengapa kau menyangka Parandito dan Lumaksono adalah orangnya Nila Cendani?!"

Suto sedikit kesulitan menjelaskannya, karena sebenarnya ia sudah tahu bahwa keterangan dari Pelangi Sutera saat bertemu di pantai dulu adalah keterangan palsu. Tapi Suto punya cara lain memperkuat dugaannya.

"Ki Parandito dan Ki Lumaksono pernah temui saya dan meminta bantuan saya untuk merebut mayat gurunya."

"Maksudmu jenazah si Sokobumi?"

"Betul. Menurut mereka, jenazah Eyang Sokobumi dicuri oleh Nila Cendani!"

"Celaka!" gumam Raja Maut dengan menerawang tegang. "Berarti dia akan menggunakan kekuatan Sokobumi untuk maksud-maksud tertentu."

"Tapi Eyang Sokobumi sudah tak bernyawa lagi, bukan?"

"Nila Cendani bisa membangkitkannya dan membuatnya bernyawa dengan memindahkan kekuatan hidup milik seseorang. Kekuatan hidup itu hanya menggerakkan tubuh yang mati, tapi naluri dan tenaga intinya masih menggunakan tenaga inti yang dimiliki si mayat semasa hidupnya. Jadi jika Nila Cendani berhasil menghidupkan Sokobumi, maka kekuatan inti yang ada ialah kekuatan inti Sokobumi semasa hidupnya. Padahal semasa hidupnya Sokobumi adalah orang sakti yang ketinggian ilmunya hampir sejajar dengan gurumu; si Gila Tuak!"

"Bahaya juga kalau begitu," gumam Pendekar Mabuk.

"Jika kita harus menyelamatkan Gendeng Sekarat, besar kemungkinan kita akan berhadapan dengan Sokobumi, itu kalau Nila Cendani sudah membangkitkan jenazah Sokobumi!"

"Kalau begitu aku harus segera bertindak sebelum Nila Cendani membangkitkan jenazah Eyang Sokobumi!"

"Firasatku mengatakan, kau terlambat! Getaran naluriku mengatakan, Sokobumi telah dibangkitkan. Tapi entah di mana ia sekarang. Satu-satunya jalan kau harus minta bantuan gurumu; si Gila Tuak. Sebab aku tak yakin kalau kau mampu kalahkan Sokobumi!"

* * *

ENAM
JIKA Pendekar Mabuk menghubungi gurunya, akan membutuhkan waktu lama. Perjalanan ke persinggahan gurunya tidak cukup ditempuh waktu satu malam saja. Dan itu berarti keterlambatan yang berbahaya bagi nasib Ki Gendeng Sekarat. Karenanya, Suto Sinting akhirnya sepakati usul Raja Maut. Suto Sinting mengejar orang-orang Gunung Sesat sementara Raja Maut pergi temui si Gila Tuak.

Angon Luwak bersikeras mau ikut Suto Sinting, tapi berulang kali Suto melarangnya. Suto tak ingin bocah tanpa dosa itu ikut menjadi korban keganasan Nila Cendani bersama orang-orangnya. Sebab itu Suto sarankan Angon Luwak untuk pulang ke desanya atau ikut Raja Maut. Angon Luwak sedih, ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke desanya. Tapi benarkah ia rela pulang begitu saja, sedangkan hatinya sudah telanjur menaruh kekaguman kepada Suto dan Ki Gendeng Sekarat?

Tidak. Angon Luwak bocah bandel, ia hanya pura-pura pulang ke desanya. Tapi diam-diam ia mengikuti ke mana perginya Pendekar Mabuk. Hatinya punya niat keras untuk ikut membebaskan Ki Gendeng Sekarat yang dianggap sebagai gurunya, ia pun tak rela kalau Ki Gendeng Sekarat dijatuhi hukuman mati oleh orang- orang sesat. Hasrat membela guru sangat besar dihati bocah itu.

Suto Sinting tidak menyangka, sebab perhatiannya tercurah kepada cara menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat sebelum tukang tidur itu diadili oleh Ratu Tanpa Tapak. Ia harus bisa mencegat perjalanan para utusan itu. Sebab diam-diam Suto punya kecemasan juga jika terus berhadapan dengan Ratu Tanpa Tapak. Kecemasan itu adalah rasa takut terpikat dan dipikat, seperti yang dikhawatirkan oleh Pelangi Sutera.

Perjalanan Pendekar Mabuk mengejar rombongan pembawa Ki Gendeng Sekarat akhirnya menemui sedikit hambatan. Hambatan itu datang dari Ki Lumaksono dan Ki Parandito. Mereka terkulai di rerumputan ketika Suto melintasi daerah itu. Wajah mereka memar membiru, jubah mereka robek-robek, bahkan mata kiri Ki Lumaksono menjadi lebam. Darah mengering di lubang hidung, mulut, dan telinga mereka. Luka dalam diderita berat oleh kedua tokoh tua yang menurut Ki Gendeng Sekarat punya ilmu tinggi.

Suto Sinting menjadi heran menemui kedua tokoh tua itu dalam keadaan luka parah begitu, ia segera menolong mereka, meminumkan sedikit tuak kepada mereka, setelah itu baru ajukan tanya secara sopan.

"Siapa yang lakukan semua ini, Ki?"

Ki Lumaksono berkata, "Guru kami. Beliau menghajar habis diri kami."

Dahi pendekar tampan itu berkerut tajam. "Maksudnya... Eyang Sokobumi?"

Ki Parandita menjawab, "Benar. Ratu Tanpa Tapak berhasil menghidupkan guru kami. Sekarang guru kami ada di pihaknya. Usaha kami merebut Ki Gendeng Sekarat dari tangan para utusan gagal karena kemunculan Eyang Sokobumi."

"Celaka!" gumam Suto dalam kecemasan yang bernada geram. "Sudah lamakah mereka pergi dari sini?"

"Mungkin sudah sampai di Gunung Sesat," jawab Ki Lumaksono.

"Aku harus segera ke sana!"

"Tunggu!" tangan Ki Parandito menahan lengan Suto Sinting. Sikap itu membuat Suto heran dan menatap dengan dahi berkerut.

"Kau tak boleh melawan guruku!" kata Ki Parandito lagi.

"Kenapa tak boleh?"

"Apa pun yang terjadi, kami ada di pihak Guru. Jika kau melawan guru kami, berarti kau melawan kami, Suto Sinting!"

Napas panjang dihempaskan dari hidung Suto Sinting. Kejengkelan terpendam kuat-kuat. Ia mencoba untuk tidak marah namun bersikap sabar terhadap kedua tokoh tua itu.

"Apakah kita harus biarkan seseorang berada di jalan yang sesat, Ki? Apakah kita harus hormati orang yang sudah bukan lagi berkehendak atas dirinya sendiri? Kurasa itu tidak benar, Ki. Kita harus melawan tindakan siapa pun yang berjalan di jalur yang salah. Kurasa pendapat ini sama dengan pendapat Ki Parandito dan Ki Lumaksono, karena guruku pun berpendapat begitu. Jadi bukan pribadi Eyang Sokobumi yang kulawan, melainkan kekuatan iblis yang disalurkan lewat dirinya oleh Ratu Tanpa Tapak itu."

"Kami masih menghormati Eyang Guru!" kata Ki Lumaksono.

"Dan ikut memihak Ratu Tanpa Tapak?" tanya Suto Sinting.

Pertanyaan itu membuat kedua tokoh tua itu sama-sama diam. Mereka tak mengerti persis apa yang harus mereka lakukan. Tapi akhirnya Ki Lumaksono mempunyai pendapat yang menurutnya lebih bijaksana.

"Begini saja, Suto. Seranglah Ratu Tanpa Tapak itu, bebaskan sahabatku Gendeng Sekarat. Tapi jangan lukai jasad guru kami."

"Bagaimana bisa jika Eyang Sokobumi bertindak sebagai orang andalan Ratu Tanpa Tapak? Aku harus barhadapan dengan beliau. Dan tak mungkin aku bisa tidak melukainya jika aku sendiri dilukai."

"Jika kau nekat melukai beliau, aku akan pertaruhkan nyawa untuk membela!" sahut Ki Parandito dengan nada mulai meninggi.

"Jika memang terpaksa, mungkin kita memang harus bertarung, Ki!" kata Suto Sinting dengan tegas pula.

Sekalipun luka itu masih ada walau tak seberapa parah, Ki Parandito segera berdiri dan ambil sikap perlawanan. Melihat saudara seperguruannya ambil sikap perlawanan, Ki Lumaksono pun bangkit juga bersikap serupa. Suto Sinting sedikit bingung. Melawan mereka bukan hal yang ditakuti. Tapi menghindari pertarungan yang tidak semestinya terjadi adalah sesuatu yang sulit dicari jalan keluarnya.

Karena kedua tokoh tua itu sama-sama bersikeras membela gurunya, walaupun mereka tahu yang bertindak itu adalah bukan gurunya melainkan kekuatan jahat Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting masih diam, tak mau bertindak gegabah. Matanya memandangi mereka secara bergantian. Tegang juga suasana di antara mereka bertiga.

Ki Parandito menarik napas, lalu menahannya di dada dengan satu hentakan tangan menggenggam di dada.

Seet...! Suto Sinting merasakan ada tenaga yang menahan lehernya kuat-kuat. Ia tercekik tiba-tiba. Tapi secepatnya ia hembuskan napas dari hidung tanpa dendam dan kemarahan. Fuuih...!

Napas yang melesat dari lubang hidung itu menuju ke bawah, seakan menghantam tangan yang mencekik lehernya. Seketika itu pula leher Pendekar Mabuk merasakan terbebas dari himpitan kuat. Tapi di seberang sana tubuh Ki Parandito terpelanting ke kiri bagaikan ada yang menendangnya dari kanan.

Wuuut...! Bruuhg...!

Ki Parandito jatuh, namun tak sampai parah, ia masih bisa berlutut dengan berpegangan pada tongkatnya. Napasnya terengah-engah dengan wajah menahan rasa sakit, ia bahkan sempat terbatuk-batuk beberapa kali. Pawang Gempa memandangi rekannya dengan menyimpan rasa kagum kepada Suto.

"Gila anak muda itu! Dengan kekuatan napas inti ia mampu membuat Parandito terpelanting begitu. Agaknya harus kucoba dengan jurus 'Lindu Jantan'. Apakah ia bisa mengatasi jurusku itu?"

Pawang Gempa segera menggenggam kuat tongkatnya. Tiba-tiba ia bergerak memutar di luar dugaan Suto. Satu putaran langsung menyodokkan kepala tongkat ke tanah tempat Suto berdiri.

Wuuuk...! Suuut...!

Kraaak...! Tanah itu retak dalam satu sentakan. Dari dalam keretakan keluar nyala bara merah berasap. Kaki Suto Sinting menjadi merenggang ke kiri dan kanan. Karena keretakan itu cukup lebar, maka kaki Suto Sinting pun memanjang ke samping hingga nyaris sejajar dengan permukaan tanah. Kedua kaki Suto masih berpijak pada tanah sehingga ia tidak jatuh terperosok dalam keretakan itu.

Dalam keadaan kaki merentang sejajar, Pendekar Mabuk segera hentakkan kedua pundaknya ke bawah. Wuuut...! Tubuhnya pun melesat ke atas dan bersalto di tempat yang aman. Jleeg...! Ia berdiri dengan tegap. Kaki kanannya segera menghentak ke tanah. Duug...! Dan tubuh Ki Lumaksono tiba-tiba amblas ke tanah sedalam satu lutut.

Bluuus...!

"Hahh...?!" Ki Lumaksono kaget sekali tubuhnya bisa terpendam satu lutut, seperti ada kekuatan yang menyedot dari dalam bumi. Tongkatnya pun ikut terbenam ke dalam tanah dengan batas yang sama.

Ki Parandito terkejut, melongo sebentar, lalu berkata, "Dia menguasai ilmu 'Telan Bumi'. Hati-hati, Lumaksono!"

Repotnya lagi, tubuh Ki Lumaksono bagaikan dijepit oleh tanah yang menelannya, sehingga tak bisa bergerak dan berusaha keluar dari sana. Ia sempat tegang sesaat. Tapi Suto Sinting segera menghentakkan tumit kakinya ke tanah dengan pelan.

Duug...!

Bruuus...! Tubuh Ki Lumaksono terbang ke atas bagaikan ada yang mencabut atau mendorongnya dari dalam tanah. Tubuh yang melayang itu segera bersalto satu kali dan mendarat dengan sigap. Matanya beradu pandang dengan mata Suto Sinting.

"Ilmumu sungguh mengagumkan, Nak," kata Ki Lumaksono.

"Terpaksa kulakukan karena kau menyerangku, Ki."

"Heaaat...!"

"Tahan!" sentak Ki Lumaksono kepada Juru Bungkam itu. Ki Parandito hanya membuka kuda-kuda, lalu berhenti tak lanjutkan gerak. Matanya melirik Ki Lumaksono yang segera mendekatinya dari belakang ke samping kanan. Dengan tetap memandang Suto yang berdiri tenang, Ki Lumaksono berkata kepada Ki Parandito,

"Agaknya jalan pikirannya cukup baik. Kita yang keliru." Ki Parandito menarik napas, mengendurkan ketegangan uratnya.

"Apakah kau akan biarkan guru kita dihajar oleh anak semuda dia?"

"Kalau beliau masih guru kita, beliau tidak akan menghajar kita," jawab Ki Lumaksono pelan, lebih berkesan sedih. Ki Parandito segera hembuskan napas pelan juga. Ia termenung beberapa saat memandangi saudara seperguruannya.

Suto Sinting perdengarkan suaranya dengan lebih tenang lagi, tak ada kesan bermusuhan. "Aku hanya ingin memukul kekuatan jahat yang bersarang di dalam raga Eyang Sokobumi. Kasihan sekali beliau, sudah tiada tapi raganya masih dipermainkan oleh kekuatan jahat dari Ratu Tanpa Tapak. Kumohon langkahku ini bisa dimengerti, Ki."

Ki Lumaksono pun berkata, "Baiklah. Kudampingi kepergianmu ke Gunung Sesat, Suto Sinting. Kami akan ada di belakangmu, siap membantumu sewaktu-waktu."

"Terima kasih," jawab Suto dengan senyum lega. "Aku mohon seteguk tuakmu. Luka dalamku agak parah lagi karena seranganmu tadi, Suto."

Senyum Pendekar Mabuk kian melebar. "Ambillah, Ki. Maafkan kelancanganku tadi. Aku sangat terpaksa."

Ki Parandito meneguk tuak Suto. Ki Lumaksono juga ikut-ikutan minta seteguk. Kemudian keduanya bergegas berangkat ke Gunung Sesat. Tapi sepuluh langkah kemudian, ketiga orang itu terpaksa harus berhenti karena dari atas pohon turun sesosok tubuh hitam berukuran tinggi dan besar. Orang berkulit hitam itu mengenakan cawat dan kepalanya gundul berkuncir tengah. Kuncirnya melengkung ke belakang sedikit kaku.

"Logo...?!" sapa Suto Sinting dengan heran. Anak jin itu maju satu tindak. Hembusan napasnya membuat rambut Suto meriap ke samping.

"Ibu tidak izinkan kau temui Nila Cendani, Suto," kata Logo dengan suara besarnya.

"Tak ada alasan melarangku ke sana. Ibumu tak punya hak apa-apa terhadap diriku, Logo!"

"Aku ditugaskan menghambatmu, Suto Sinting."

Napas Suto ditarik dalam-dalam, memendam kejengkelan yang tak ingin dilampiaskan kepada Logo. Sebab ia tahu Logo hanya anak jin yang lugu dan polos, segala tindakannya hanya semata-mata mengikuti perintah orang yang dihormati. Pandangan mata Suto tertuju pada kedua tokoh tua tersebut. Ternyata mereka tampak cemas melihat kemunculan Logo. Mereka sembunyikan gelisah dengan memandang arah lain. Suto Sinting menegur dengan suara pelan.

"Haruskah kusingkirkan dengan kekerasan, Ki?"

"Jangan! Jangan begitu!" Ki Lumaksono semakin jelas kecemasannya. Bahkan saat berkata begitu ia merasa takut dan sedikit menggeragap. "Anak jin itu mempunyai seorang ibu yang berilmu tinggi. Sebenarnya kalau kau mau tahu, gadis yang bernama Pelangi Sutera itu sebenarnya..."

"Sumbaruni, ibu dari anak jin itu!" sahut Suto Sinting membuat kedua tokoh tua itu terperangah heran.

"Kau sudah mengenalnya?"

"Ya. Tapi dia tak punya hak untuk melarangku bertemu dengan Ratu Tanpa Tanpa Tapak. Dia bukan apa-apaku, bukan pula pihak sang Ratu."

"Tapi...," Ki Parandito agak ragu, "Kalau bisa... hmmm... terserah kau sajalah!" akhirnya ia pasrah, tak bisa memberi pendapat apa-apa.

Murid sinting si Gila Tuak segera berkata kepada Logo, "Jangan halangi aku, nanti aku bisa menyerangmu dan kau akan sakit, Logo!"

"Harus! Karena Ibu perintahkan begitu padaku."

"Kalau begitu jangan salahkan aku jika kau menerima sikap kasarku."

"Tidak," jawab Logo sambil menggelengkan kepala.

Ki Parandito dan Ki Lumaksono mundur, seakan tidak mau ikut campur dalam perkara itu. Tetapi Suto Sinting masih berdiri dengan tenang. Logo juga masih memandang penuh siaga. Suto segera gunakan jurus 'Jari Guntur' dari jarak lima langkah di depan Logo. Ia menyentilkan jarinya dua kali.

Tas, tas...!

"Uuhg...!" Logo terkejut dan menggeram, berdirinya langsung lemah, ia memegangi kedua lututnya yang terasa bagaikan dihantam palu godam. Bahkan kini ia jatuh terduduk karena lututnya tak kuat menyangga beban berat tubuhnya yang besar itu.

Dengan cepat Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya melayang di udara. Melesat melewati kepala Logo yang juga dipakai pijakan kaki kirinya. Dari kepala Logo, Suto menyentakkan kaki kirinya dan melesat lagi lebih jauh.

"Jangan nekat, Sutooo...!" teriak Logo dengan panik, ia berusaha mengejar Suto Sinting, tapi tubuhnya jatuh lagi karena lututnya belum kuat menyangga beban berat tubuh.

"Kita lari lewat sana!" bisik Ki Parandito kepada Ki Lumaksono. Keduanya segera lari menyusul dengan kecepatan bagaikan angin berhembus tapi melalui arah sisi lain.

"Ibuuu...! Suto pergiii.. ! Suto pergi, Ibuuu...!" teriak Logo menggetarkan semua pohon yang ada di sekelilingnya, merontokkan dedaunan yang ada.

* * *

TUJUH
ANGON Luwak kehilangan jejak. Tentu saja, sebab Suto menggunakan jurus peringan tubuh dalam larinya. Kecepatannya tidak ada sekuku hitam dengan kecepatan lari bocah berusia sepuluh tahun itu. Tak heran jika Angon Luwak tertinggal sangat jauh. Tetapi Angon Luwak tidak mau menyerah, ia menggunakan ilmu kira-kira. Dari tempatnya berhenti ia memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda yang bisa digunakan untuk menjadi penunjuk jalan.

Bocah itu segera memanjat pohon kelapa untuk memetik buah kelapa dan mengambil airnya, ia haus sekali. Dan pada saat ia sampai di atas pohon kelapa, ia melihat sebuah gunung menjulang tak seberapa tinggi. Arahnya ada di sebelah utaranya.

"Pasti itulah yang bernama Gunung Sesat! Berarti aku harus melangkah ke arah sana. Pasti lama-lama akan sampai juga."

Pikiran Angon Luwak sangat sederhana. Maka selesai bersusah payah membolongi kelapa untuk diminum airnya, Angon Luwak pun segera menuju ke arah utara. Bocah itu bukan hanya pantang menyerah, namun juga tak mudah lelah. Larinya tidak cepat, tapi yakin dan pasti arah yang dituju adalah benar.

"Kalau aku bisa ikut membebaskan Guru, pasti aku akan dikasih ilmu lagi. Kalau aku tidak bisa ikut membebaskan Guru, ilmuku hanya sekecil ini. Jadi, aku harus bisa ikut serta dalam membebaskan Guru. Kang Suto memang tak mengizinkan, tapi Guru pasti senang jika melihat aku ikut membebaskan beliau," pikir Angon Luwak secara sederhana sekali. "Kalau aku mati, Guru akan semakin bangga punya murid berani mati."

Tentunya memang begitu. Seorang guru akan merasa bangga punya murid berani mati. Tapi bukan berarti mati konyol pun harus berani. Kalau saja Ki Gendeng Sekarat tahu bahwa Angon Luwak nekat menyusul ke Gunung Sesat, tentu saja Ki Gendeng Sekarat tidak akan setuju, sebab bagi Angon Luwak itu namanya mati konyol. Sayangnya Ki Gendeng Sekarat tidak tahu kehadiran Angon Luwak di tanah wilayah Gunung Sesat. Ki Gendeng Sekarat sedang sibuk menghadapi penguasa lalim daerah itu.

Sebuah istana kecil dipagar benteng tinggi dari batuan hitam yang kokoh. Di dalam benteng yang ada di kaki gunung itu tidak hanya terdapat bangunan istana saja, tapi juga ada bangunan kuil pemujaan, ruang pertarungan, ruang sidang, barak punggawa tempat untuk tidur para anak buah Ratu Tanpa Tapak, dan beberapa bangunan lainnya.

Ki Gendeng Sekarat tiba di tempat itu masih dalam keadaan tidur, ia diseret memasuki gerbang benteng oleh Sokobumi. Rantai Neraka masih melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai itu makin kuat menjerat tubuh karena di perjalanan tadi Ki Gendeng Sekarat sempat berusaha meronta lepas dari rantai itu. Tapi usahanya gagal karena rantai makin kuat menjerat dengan sendirinya.

Bruuk...!

Sokobumi mendorong Ki Gendeng Sekarat dengan kasar. Orang itu jatuh, kepalanya membentur lantai marmer istana. Barulah ia sadar dan terbangun dari tidurnya, ia memandang dengan mata mengerjap-ngerjap. Ternyata ia sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik dan tampak masih muda seperti berusia dua puluh delapan tahun. Hidungnya mancung, kulitnya putih, bibirnya menggemaskan dan tampak selalu basah. Matanya bening indah tapi berkesan jalang.

Perempuan cantik itu kenakan jubah hijau dengan dalaman kuning beludru yang ketat tubuh, dadanya kelihatan membusung montok menggemaskan tiap lelaki. Rambutnya disanggul bagian tengah, sisanya meriap ke bawah. Perhiasannya lengkap dari kalung, cincin, sampai gelang kaki.

"Nila Cendani," gumam Ki Gendeng Sekarat begitu mengenali perempuan yang duduk di singgasana berukir emas itu.

"Syukurlah kalau kau masih ingat aku!" kata Ratu Tanpa Tapak alias Nila Cendani. Ia kelihatan angkuh dan berwibawa. Tapi buat Ki Gendeng Sekarat keangkuhan dan kewibawaan itu tidak ada apa-apanya.

"Kelancanganmu tidak bisa dimaafkan lagi, Gendeng Sekarat! Gara-gara ulahmu aku gagal mendapatkan pusaka Keris Setan Kobra. Padahal yang kukirim adalah utusanku yang terpilih. Aku kecewa padamu, Gendeng Sekarat."

"Aku tidak," kata Ki Gendeng Sekarat seenaknya sambil matanya memandangi isi istana yang berpliar beton dilapisi lempengan logam putih mengkilap.

Ratu Tanpa Tapak memandang dengan mata menyipit sedikit, pertanda ia sedang menahan kebencian. Ki Gendeng Sekarat sama sekali tak punya rasa takut atau gugup. Walaupun ia tahu saat itu dikelilingi orang-orang pilihan Nila Cendani, termasuk Sokobumi, tapi ia bagaikan tidak menghiraukan mereka sedikit pun. Ia berdiri seenaknya di depan seorang ratu yang dihormati mereka.

"Gendeng Sekarat!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Kau kujatuhi hukuman mati karena kesalahanmu!"

"Kesalahan yang mana?"

"Membunuh utusanku pada saat mereka hampir mendapatkan keris pusaka!"

"Itu bukan kesalahanku, itu kesalahanmu. Mengapa kau kirimkan utusanmu untuk merebut keris pusaka milik Empuk Sakya. Bukankah keris itu bukan milikmu dan kau tak punya hak apa-apa? Kau yang salah, Nila Cendani!"

"Setan! Aku tidak pernah salah. Aku berhak punya keinginan apa saja. Siapa pun yang menentangku layak dihukum mati!"

"Dunia ini bukan milikmu sendiri, Nila Cendani! Dunia ini milik orang banyak. Mereka bukan sekadar numpang di dunia ini, tapi punya hak memiliki dan merawat kelestariannya. Mengapa kau merasa berhak berkeinginan apa saja? Kau pikir para anak buahmu itu tidak punya keinginan apa-apa? Kurasa mereka juga punya keinginan dalam hidupnya. Tapi mereka tidak semata-mata bertindak jahat demi keinginannya tercapai?! Betul begitu, Saudara-saudara?!"

"Betuulll...!" jawab mereka serempak tanpa sadar.

"Diam semua!" bentak sang Ratu, membuat mereka jadi takut dan sadar bahwa jawaban serempak mereka itu tidak benar. Seharusnya mereka tidak menjawab begitu. Ratu bisa marah dan menyangka mereka mendukung Ki Gendeng Sekarat. Setelah hening tercipta beberapa saat dan wajah ratu cemberut kusam, terdengarlah suara sang Ratu berkata dengan tegas.

"Kau layak mendapat hukuman pancung!"

"Aku tidak mau," jawab Ki Gendeng Sekarat seenaknya. "Kau pikir dipancung itu enak? Tidak! Tidak enak. Aku tidak mau kehilangan kepala."

"Kau tak bisa menolak keputusanku! Akulah yang berkuasa di sini!" suara Nila Cendani semakin kuat dan keras.

Tapi Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum kalem tanpa gentar sedikit pun. "Aku tidak bersalah di mata dunia. Aku tidak mau dipancung."

"Bersalah atau tidak, keputusannya ada di pengadilanku. Dan kau kunyatakan bersalah karena membunuh Gaok Lodra dan Nenggolo, serta membuntungi tangan Sabit Guntur. Maka kau kujatuhi hukuman mati dengan dipancung! Sebelum hukuman itu kau jalankan, kebijaksaanku mengatakan bahwa kau boleh mengajukan satu permintaan yang akan kupenuhi sebagai permintaan akhir hidupmu. Sebutkan permintaanmu, Gendeng Sekarat."

"Aku minta dibebaskan."

"Bukan itu maksudku!" sentak Ratu Tanpa Tapak. "Permintaan yang lain!"

"Baik. Aku minta kau bunuh diri di depanku."

"Kurang ajar!" geram Ratu Tanpa Tapak. Matanya mendelik sangar.

"Kau menyuruhku mengajukan permintaan terakhir, giliran kuajukan permintaan kau selalu marah. Kau ini ratu apa kusir delman?"

Nila Cendani tarik napas kuat-kuat, menggeram gemas menahan murka. "Kebijaksaanku kucabut kembali. Kau tidak kuizinkan mengajukan permintaan apa-apa!" katanya, dan membuat Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh.

Seorang pengawal mendekat dan memukul wajah Ki Gendeng Sekarat dengan hantaman tangan kanan. Tetapi Ki Gendeng Sekarat tahu-tahu sudah berpindah tempat, sehingga orang itu bagaikan memukul tempat kosong, ia bahkan kebingungan mencari di mana sasarannya berada. Ketika ia berpaling ke belakang, ploook...! Kaki Ki Gendeng Sekarat menendang pipinya.

Bruuuk...! Orang itu jatuh tanpa sungkan-sungkan lagi. Mulutnya menyemburkan darah, ia terkapar di lantai. Kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak. Setelah diperiksa, ternyata mati tanpa sungkan-sungkan pula.

"Tendangannya punya jalur tenaga ke arah jantung," pikir Nila Cendani. "Pasti ia gunakan ilmu 'Kendali Indera'. Ada baiknya kalau kupakai sebagai tontonan rakyatku, biar mereka terhibur. Dia akan kuadu dengan Sokobumi."

Lalu, Ratu Tanpa Tapak segera berseru, "Gendeng Sekarat, aku punya gagasan baru. Kau akan kubebaskan jika memenangkan pertarungan sebanyak lima kali dengan orang-orang pilihanku. Kau bebas jika bisa membunuh mereka di arena!"

"Aku bukan kuda lumping yang enak dijadikan tontonan."

"Kalau kau tak mau, sekarang juga akan kulaksanakan hukumanmu itu!"

KI Gendeng Sekarat diam beberapa saat. Caranya berpikir sambil memandang ke sana-sini, seenaknya saja dalam bersikap. Hal itu membuat geram dan kebencian bagi beberapa pengawal pilihan Niia Cendani. Salah seorang pengawal pilihan yang bernama Jagalopa segera berkata setelah memberi hormat kepada Ratu Tanpa Tapak lebih dulu.

"Gusti Ratu, izinkan saya menjadi orang pertama yang diadu dengan orang itu! Saya sanggup membuatnya mati dalam dua jurus saja!"

Nila Cendani sunggingkan senyum, sebuah seringai kebanggaan seorang ratu yang mendengar keberanian pengawalnya. "Baik. Gendeng Sekarat, pertama-tama kau akan kuadu dengan Jagalopa. Apakah kau mampu mengalahkan pengawal pilihanku itu?"

Ki Gendeng Sekarat memandang orang bertubuh tinggi, tegap, berkumis, dan berambut panjang, usianya sekitar tiga puluh dua tahun. Badan kekarnya mempunyai otot yang bertonjolan. Ki Gendeng Sekarat hanya tersenyum. "Ini kesempatan meruntuhkan Nila Cendani dari dalam. Kalau tantangan ini kutolak, maka aku akan kehilangan kesempatan menghancurkan kekuasaannya," pikir Ki Gendeng Sekarat. Maka ia pun segera menyanggupi tantangan itu.

"Siapkan arena!" seru Nila Cendani kepada anak buahnya.

Arena yang digunakan adalah tempat berlatih para anak buah Nila Cendani. Tempat itu berbentuk tapal kuda mempunyai barisan tangga-tangga sebagai tempat duduk penonton. Orang-orang pengikut RatuTanpa Tapak berkumpul mengelilingi arena. Sedangkan di bagian lain, terdapat panggung kehormatan yang dipakai duduk sang Ratu bersama beberapa pengawalnya.

Sebelum maju ke arena, Ratu Tanpa Tapak turun dari takhtanya untuk mendekati Ki Gendeng Sekarat. Langkahnya tegap, tapi bekas langkahnya tidak meninggalkan bayangan telapak kaki. Bahkan suara langkahnya tak terdengar sama sekali. Rupanya perempuan cantik itu berjalan tidak menyentuh tanah karena ketinggian ilmu peringan tubuhnya.

Karena telapak kakinya jarang menyentuh tanah, maka permukaan telapak kaki itu selalu tampak bersih dan sering dirawat seperti merawat wajahnya. Bersih, putih, dan halus lembut. Itulah sebabnya ia berani bergelar Ratu Tanpa Tapak. Seandainya ia berjalan di tempat yang kotor, maka kakinya tidak akan kotor dan tempat itu tidak akan membekas telapak kakinya.

"Ingat, lima kali pertarungan kau menang, kau bebas dari hukuman!"

"Seratus kali pertarungan pun kusanggupi," kata Ki Gendeng Sekarat. Karena menurutnya, semakin banyak orang yang diadu dengannya semakin banyak kesempatan melumpuhkan kekuatan orang-orang Gunung Sesat.

Nila Cendani hanya tersenyum sinis, lalu kembali ke tempat duduknya sambil berseru kepada seorang pengawal, "Lepaskan rantainya, tapi biarkan kedua tangannya terbelenggu ke depan!"

"Curang!" sahut Ki Gendeng Sekarat.

Ratu Tanpa Tapak berpaling, "Itulah syarat untuk bebas dari hukuman!"

Lasogani yang masih menderita luka dalam terpaksa melepaskan rantai yang melilit di tubuh Ki Gendeng Sekarat. Rantai yang membelenggu pergelangan tangannya masih tetap saling terkait kuat. Tetapi Lasogani mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengendorkan rantai pembelenggu tangan. Dengan keadaan rantai sedikit kendor, Ki Gendeng Sekarat disuruh memutar tangannya dengan cara melewati pantat dan kedua kakinya, sehingga tangan menjadi ada di depan. Secepatnya Lasogani mempererat kembali rantai belenggu tangan dengan ilmu 'Rantai Neraka'-nya itu. Ki Gendeng Sekarat geleng-geleng kepala sambil tertawa kecil memperhatikan kedua tangannya tetap terantai.

"Kalau kusentakkan, rantai ini tak mungkin lepas tapi justru semakin kuat menjerat. Sebaiknya kubiarkan saja. Aku harus bisa bertarung dengan kedua tangan terbelenggu ke depan. Ini masih untung daripada kedua tangan terbelenggu ke belakang," pikirnya waktu di tengah arena. "Bagaimana dengan kipasku yang ada di balik bajuku ini? Ah, merepotkan kalau harus kuambil. Biar saja. Tak perlu pakai senjata. Kakiku lebih tajam dari pedang. Kekuatan batinku lebih runcing dari tombak. Tak ada yang kusangsikan lagi."

Jagalopa melengkapi dirinya dengan dua pisau di pinggang dan satu tombak bermata kapak dua sisi. Ia juga mengenakan baju besi untuk penutup dada sampai atas perutnya. Ulu hatinya terlindung baju besi yang beratnya lebih dari dua puluh lima kilogram itu. Bagian pergelangan tangannya memakai gelang besi yang lebarnya setengah jengkal dan dilengkapi dengan duri-duri besi runcing. Duri-duri besi runcing itu mempunyai racun yang berbahaya jika mengenai kulit tubuh lawan. Sedangkan dua jari tengah kanan-kiri mengenakan cincin berduri cula yang konon keganasan racunnya sangat tinggi.

"Pertarungan dimulai!" seru seorang pengawal setelah diberi isyarat oleh Nila Cendani.

Gong pun segera ditabuh. Doooeeeng...!

Jagalopa maju ke tengah arena dalam riuh sorak para penonton yang tak lain adalah kawan-kawannya sendiri. Ki Gendeng Sekarat memandangi kedatangan Jagalopa dengan tertawa geli.

"Kau mau bertarung atau mau main wayang?" katanya mengejek, sengaja memancing kemarahan lawan biar tenaga terkuras oleh kemarahannya sendiri.

"Tutup mulutmu, Bangkai Busuk!"

"He, he, he, he...! Kalau kau jalan di pasar pakai pakaian itu, tidak membuat orang sepasar bubar, tapi malah akan diikuti anak-anak kecil disangka orang gila takut masuk angin!" ledek Ki Gendeng Sekarat membuat darah Jagalopa makin mendidih, napasnya memburu cepat karena kemarahannya yang meluap.

"Hiaaat...!" Jagalopa segera menebaskan tombak berujung kapak besar dua sisi itu sambil melompat kedepan.

Wuuuusss...! Tombak kapak itu melesat di atas kepala Ki Gendeng Sekarat. Kalau tak merundukkan kepala secepatnya, pasti leher akan terpenggal habis. Jagalopa mengulangi beberapa kali, tapi Ki Gendeng Sekarat hanya menghindar terus-menerus. Para penonton geregetan sendiri, saling berteriak kepada Ki Gendeng Sekarat,

"Serang! Ayo, serang!"

"Balas! Jangan menghindar saja! Balas...!"

"Lima puluh sikal untuk kemenangan Jagalopa! Ayo, kau berani berapa sikal? Cepat, mumpung tak ada penjaga melihat pertaruhan kita!" bisik seseorang.

"Baik. Lima puluh sikal. Tapi kalau tawanan kita yang menang kau bayar aku dua puluh lima sikal saja tak apa!" kata temannya. Suasana itu dipergunakan untuk berjudi bagi sekelompok orang yang memang gemar judi.

Agaknya Ki Gendeng Sekarat berhasil memancing murka Jagalopa sehingga lelaki bertubuh kekar dan berotot itu mulai kehabisan tenaga. Gerakannya tidak segesit serangan pertama. Ki Gendeng Sekarat bersalto mundur untuk melihat seberapa cepat Jagalopa mampu mengejarnya. Ternyata tak seberapa cepat.

"Tiba saatnya melumpuhkannya," kata Ki Gendeng Sekarat dalam hati.

Ki Gendeng Sekarat berjalan ke kiri, Jagalopa berjalan ke kanan. Mereka sama-sama mencari kesempatan untuk menyerang. Tapi agaknya Jagalopa lebih dulu merasa punya celah untuk serangan berikutnya. Tombak kapaknya dikibaskan daribawah samping kiri ke atas samping kanan. Itu gerak tipuan.

Wuuut...!

Ki Gendeng Sekarat melompat mundur. Pada saat itu Jagalopa maju dua tindak dan membalikkan gerakan kapak dari atas ke bawah, tepat membelah kepala Ki Gendeng Sekarat. Tapi lawannya itu justru menyambut gerakan kapak dengan kedua tangannya yang dirantai.

Craaak...!

Mata kapak masuk ke pertengahan jarak pergelangan tangan. Rantai itu terhantam mata kapak yang dialiri tenaga tinggi. Akibatnya rantai tersebut putus dengan menimbulkan percikan api dan kepulan asap.

"Edan!" geram Lasogani melihat rantainya putus. "Jagalopa bodoh sekali! Mengapa ia adu kekuatannya dengan kekuatan yang kutinggalkan di rantai. Tentu saja aku kalah, sebab dia memang punya tingkatan lebih tinggi dariku?!"

Ucapan itu terdengar di telinga Nila Cendani. "Tenanglah. Jagalopa tak akan kalah walau tawanan kita telah bebas dari belenggu. Dia masih punya banyak kesempatan untuk menumbangkannya.'

Ki Gendeng Sekarat nyengir kegirangan. Kini tangannya bebas bergerak walau masih bergelang rantai di masing-masing lengan. Begitu Jagalopa menyerang lagi dengan tebasan tombak kapaknya, Ki Gendeng Sekarat menangkis gagang kapak ditepatkan pada sisi rantai.

Traaak...! Tombak terhenti, tangan kiri Ki Gendeng Sekarat segera mencekal dan meremasnya. Kruuus...!

"Hahh...! Besi gagang tombak itu remuk diremasnya?!" ujar seorang penonton dengan terbengong melompong. Tentu saja mata kapak pun terlepas dari gagangnya. Ki Gendeng Sekarat segera menggunakannya untuk menyerang Jagalopa dengan melemparkan kapak itu seperti melemparkan sebuah pisang.

Ziiing...!

Jagalopa merunduk menghindari kapak terbangnya. Tetapi tak disangka-sangka kapak itu berbelok arah dalam putaran cepat. Tahu-tahu datang dari arah kiri Jagalopa. Ki Gendeng Sekarat memancing perhatian Jagalopa dengan serangan kaki yang menendang beruntun di depan wajah. Tentu saja Jagalopa sibuk menghindari tendangan kaki itu, sampai ia ta sadar kapak itu datang.

Wuuut...! Craaas...!

Mata kapak yang terbang tepat menebas leher Jagalopa. Rupanya ia dikendalikan oleh kekuatan Indera Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika kepala Jagalopa sudah menggelinding jatuh, kapak itu masih terbang di antara para penonton. Membabat siapa saja yang ada di depannya.

"Aaaaah...!"

Crassss...!

"Auhhh...!"

"Aaaaaahg...!"

Keadaan menjadi kacau. Mata kapak yang terbang itu mengamuk membawa korban cukup banyak. Kapak terbang memutar cepat bagaikan baling-baling sampai ketempat sang Ratu. Para pengawal di panggung kehormatan itu lari pontang-panting menghindari kekuatan kapak terbang tersebut.

Craas...!

"Aaahg...!" Lasogani mendelik, tengkuknya dihajar kapak dan terkoyak lebar. Akhirnya ia tumbang tanpa nyawa.

Blaaar...! Glegaaar...!

Ledakan menggelegar terjadi setelah Ratu Tanpa Tapak melepaskan pukulan selarik sinar merah dari telapak tangan kirinya. Sinar merah menghantam kapak terbang dan hancurlah kapak itu. Suasana gaduh yang tunggang-langgang mulai reda kembali. Tetapi mereka kebingungan melihat arena kosong. Ki Gendeng Sekarat hilang dari arena.

"Setan buntung!" maki Ratu Tanpa Tapak. "Dia melarikan diri saat suasana menjadi kacau. Pasti tak jauh dari sini."

"Gusti Ratu, tawanan kita melarikan diri! Hilang dari arena!"

Seruan itu membuat tangan Ratu Tanpa Tapak berkelebat bagaikan memercikkan air. Tapi yang keluar dari jemarinya adalah sinar-sinar api yang memercik mengenai dada pengawal itu.

Craaasss...!

"Aaahg...!" Pengawal itu memekik dengan mata mendelik. Dadanya menjadi berasap. Banyak lubang hitam di dada itu. Ternyata bagian dalam dadanya telah terbakar. Tak heran jika pengawal itu pun tumbang dan enggan bernapas karena kehilangan nyawa.

"Tutup pintu gerbang! Jaga sekeliling benteng dengan ketat!" teriak Ratu Tanpa Tapak. "Cari dia! Cari semuanya. Dia pasti masih ada di sini!"

Orang-orang yang tergabung dalam benteng segera berlarian sambil mencabut senjata masing-masing. Mereka menyebar mencari Ki Gendeng Sekarat ke berbagai arah. Jumlah mereka lebih dari lima puluh orang. Ratu Tanpa Tapak sendiri bergegas masuk ke istana didampingi oleh seorang pengawal muda yang tak pernah pakai baju dan berkulit coklat.

Linggana. Itulah pengawal pribadi Ratu Tanpa Tapak yang berilmu tinggi, dan belum pernah tidur dengan perempuan, sehingga masih bisa disentuh atau menyentuh Ratu Tanpa Tapak.

"Beri kabar padaku kalau tawanan itu sudah tertangkap!" kata Ratu Tanpa Tapak sambil masuk ke kamar pribadinya, sedangkan Linggana menjaga di depan pintu kamar tersebut.

"Aku di sini, Nila Cendani!"

"Hahh...?!" Ratu Tanpa Tapak kaget setengah mati.

Ternyata Ki Gendeng Sekarat sedang berbaring di atas ranjangnya. Murka sang Ratu bukan kepalang besarnya. Tapi senyum sang tawanan kian berkesan kurang ajar.

* * *

DELAPAN
SEMENTARA itu dalam perjalanannya menuju Jurang Lindu, Raja Maut juga mengalami hambatan yang menyebalkan. Nyai Demang Ronggeng muncul pada saat Raja Maut mendekati kawasan Jurang Lindu, tempat si Gila Tuak berada. Rupanya ikut campurnya Ki Gendeng Sekarat dalam pertarungan di tengah laut tempo hari membuat Nyai Demang Ronggeng sangat penasaran.

Dalam pikirannya, selama Raja Maut masih hidup maka ketenangannya akan terganggu sewaktu-waktu demi menyelamatkan Kitab Sukma Sukmi. Tak ada jalan lain untuk memperoleh ketenangan hidup kecuali dengan cara membunuh Raja Maut. Karenanya, Nyai Demang Ronggeng memburu Raja Maut untuk dilenyapkan.

Pertemuannya dengan Raja Maut kali ini adalah sesuatu yang tak diduga. Nyai Demang Ronggeng bermaksud mencari muridnya; Tandak Ayu, untuk memberi tugas melenyapkan Raja Maut. Ia belum tahu kalau Tandak Ayu sudah mati di tangan Citradani, murid Embun Salju dari Perguruan Kuil Elang Putih, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Naga Pamungkas). Tetapi kali ini yang ditemui justru Raja Maut sendir. Tak heran jika Nyai Demang Ronggeng langsung mengatakan,

"Pucuk dicinta ulam tiba!" sambil senyum sinisnya mengembang.

Raja Maut pun mengambil sikap tenang walau berkesan menyimpan dendam. "Kalau kau ingin lanjutkan pertarungan kita, kuharap jangan sekarang, Nyai Demang Ronggeng. Aku masih punya urusan yang lebih penting dari melenyapkan dirimu," kata Raja Maut sambil menggenggam erat tongkatnya yang terbuat dari jenis akar hitam meliuk-liuk seperti ular itu.

"Kau takut menghadapiku lagi, Prasonco?!"

"Apakah kau dewa pencabut nyawa, sehingga aku harus takut padamu? Hmm...! Kau tidak ubahnya seperti lalat bagiku, Kiswanti! Sekali tepuk habislah riwayatmu. Tapi aku merasa sekarang belum saatnya untuk menepuknya."

"Sesumbarmu dari dulu selalu melebihi geledek, Prasonco. Tapi tak pernah ada bukti sedikit pun yang bisa kau tunjukkan didepanku."

"Sekarang apa maumu sebenarnya?!" Raja Maut tak sabar lagi.

"Tentunya melenyapkan sepupu seperguruanku!" jawab Nyai Demang Ronggeng, ketus sekali. "Kalau perlu, Gendeng Sekarat pun akan kulenyapkan biar tak mengganggu Kitab Sukma Sukmi lagi!"

"Jangan sesali tindakanku ini, Kiswanti! Heaah...!"

Wuuut...!

Raja Maut lemparkan tongkatnya. Dalam keadaan terbang tongkat itu berubah menjadi seekor ular hitam bermata merah.

Claap...!

Ular itu langsung menyerang Nyai Demang Ronggeng dengan gerakan amat cepat. Mulutnya ternganga menampakkan kedua gigi depannya yang runcing dan sangat berbisa. Dari mulut itu pun tersembur keluar asap beracun warna biru keabu-abuan.

Wooos...!

Nyai Demang Ronggeng segera mengambil kipas merah berbulu yang terselip di pinggangnya sambil lakukan lompatan ke atas. Kipas itu pun cepat-cepat dibuka terbentang dan dikibaskan dengan seluruh tenaga dalamnya.

Wuuusst...!

Asap beracun dari mulut ular membalik mengenai badan ular itu sendiri. Sang ular menjadi kelojotan. Tapi ia berusaha lompat menyerang lawannya dengan semakin ganas. Nyai Demang Ronggeng tak mau buang-buang waktu, ia lepaskan pukulan tenaga dalam melalui kipas yang dikatupkan. Dari ujung kipas keluar sinar merah bagaikan selarik tali kaku.

Slaaap...! Dueer...!

Kepala ular hancur seketika. Asap mengepul membungkus tubuh ular. Dan ketika asap itu lenyap, ternyata bangkai ular berubah menjadi sebatang tongkat seperti semula dengan ujungnya yang hancur sebagian. Tongkat itu segera dipungut Raja Maut dengan menggulingkan diri, lalu berdiri satu lutut dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui telapak tangan kirinya.

Slaap...! Sinar hijau berbentuk piringan melesat menghantam dada Nyai Demang Ronggeng.

Blaar...! Ledakan cukup dahsyat terjadi ketika sinar hijau itu ditangkis dengan kipas merah yang dibentangkan di depan dada. Ledakan itu membuat tubuh Nyai Demang Ronggeng terpental ke belakang, bahkan sempat berjungkir balik di tanah.

"Sekali lagi kuingatkan padamu, Kiswanti... jangan sesali tindakanku ini. Kau memaksaku menyelesaikan urusan sekarang juga. Maka akan kurampungkan setuntas mungkin!"

Kiswanti atau Nyai Demang Ronggeng tidak membalas ucapan apa pun. Tapi tubuhnya segera bangkit berdiri pelan-pelan. Kedua tangannya membentang lalu meliuk ke kiri bersama tubuhnya, sedangkan kedua kakinya merapat dan berdiri di atas jari-jarinya. Nyai Demang Ronggeng pun memutar tubuh pelan-pelan dengan gerakan orang menari.

"Celaka! Dia mulai pergunakan jurus 'Tarian Mayat'," pikir Raja Maut. "Jurus ini tak boleh diremehkan. Aku juga harus gunakan jurus 'Tarian Ular' untuk mengimbanginya!"

Maka tubuh Raja Maut pun segera merendah serendah mungkin. Kedua kakinya saling berjajar ke depan, tongkatnya meliuk ke belakang bersama tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menguncup merayap di tanah. Kini tubuhnya pun mulai meliuk-liuk bagai seekor ular menari.

Nyai Demang Ronggeng bergerak gemulai dengan kedua tangan lama-lama saling melilit tubuh sendiri, kaki melompat-lompat dalam keadaan merapat. Dan tiba-tiba kedua tangan yang melilit itu membentang dengan cepat dalam satu sentakan kuat bersama seruan lengkingnya. "Hiaaaah...!"

Dari sekujur tubuh keluar sinar biru yang menyebar ke berbagai arah. Tiga pohon yang ada di belakangnya hangus seketika dan menjadi keropos meninggalkan kepulan asap. Demikian pula batu di sebelah kirinya menjadi onggokan arang tanpa kekerasan sedikit pun. Sinar biru itu pun menghantam ke arah Raja Maut sebagai akibat terlepasnya jurus 'Tarian Mayat' andalannya.

Namun Raja Maut telah bersiap diri melawannya. Tubuh Raja Maut pun melompat bagai seekor ular melayang menyerang mangsa. Tongkatnya ditancapkan ke tanah. Jrub...! Lalu dari tanah sekitar tongkat itu melesat sinar merah berbentuk bayangan puluhan ekor ular yang menyerang Nyai Demang Ronggeng. Sinar merah dalam bentuk bayangan ular itu menghantam sinar biru. Jurus 'Tarian Mayat' beradu dengan jurus 'Tarian Ular'. Akibatnya, bumi bagaikan kiamat. Ledakan dahsyat terjadi menggemparkan keadaan sekeliling.

Blegaaar...!

Kedua tubuh itu saling terlempar berbeda arah. Gelombang ledakan dahsyat membuat beberapa pohon hangus dan tumbang tak beraturan. Rumput ilalang tiba- tiba menjadi kering, rata dengan tanah. Semak lainnya ada yang terbakar walau tidak keluarkan lidah api, namun bara dan asapnya masih ada. Batu-batu hancur menjadi serbuk sesuai warna aslinya.

Gemuruh itu guncangkan bumi, seakan langit akan runtuh, tanah akan merekah. Perpaduan jurus maut itu telah mengundang perhatian tersendiri bagi manusia maupun hewan yang ada di sekitar tempat itu sekalipun jauhnya lebih dari lima puluh langkah. Tak ada hewan yang tetap tinggal di situ. Semua berlarian meninggalkan tempat tersebut dengan rasa takut.

Raja Maut terkapar dengan wajah biru legam. Darah keluar dari lubang hidung dan mulutnya. Darah itu berwarna hitam. Tepian mata menjadi merah bagaikan terkelupas. Kulitnya melepuh di sana-sini. Namun ia masih berusaha bangkit walau dengan susah payah dan napas sukar dihela.

Nyai Demang Ronggeng sendiri sudah berdiri sejak tadi. Keadaannya masih tergolong segar walaupun mulutnya melelehkan darah tapi tak banyak. Wajahnya hanya pucat pias, kain jubahnya tercabik-cabik bagian tepinya. Kipas merah masih utuh tanpa kerusakan apa pun. Nyai Demang Ronggeng masih bisa sunggingkan senyum kemenangan melihat Raja Maut dalam keadaan luka parah. Ini menandakan bahwa jurus 'Tarian Mayat' ternyata lebih unggul dibanding jurus 'Tarian Ular'. Nyai Demang Ronggeng tampak bangga, namun masih menyimpan rasa penasaran, sehingga ia pun berseru,

"Saatnya untuk menyelesaikan hidupmu, Prasonco!" dan kipas merah yang dibentangkan itu segera dikibaskan dari kiri ke kanan. Wuuut...! Memancarlah cahaya merah bagai lempengan pedang panjang bergerak menyamping seakan ingin memotong-motong tubuh Raja Maut.

Slaaap...! Wuuuusss...!

Tetapi tiba-tiba sinar merah panjang itu terhantam sinar ungu kecil di bagian tengahnya. Jlegaaaar...!

Tubuh Nyai Demang Ronggeng bukan saja terpental melainkan terjungkal di udara dan terhempas tanpa keseimbangan tubuh lagi. Ia terbang bagaikan segenggam kapas yang disapu badai besar. Jika tidak ada sisa pohon di belakangnya, ia akan terhempas sampai jauh. Tapi karena ada sisa pohon yang menjadi arang, maka tubuhnya terhenti di sana.

Braaasss...!

Praaak...! Pohon itu roboh dan hancur, tubuh Nyai Demang Ronggeng terpuruk di bawah bekas pohon itu. Mulut, hidung, dan telinganya keluarkan darah. Kulit tubuhnya menjadi legam membiru seperti keadaan Raja Maut. Pakaiannya rusak, tataan rambutnya pun berantakan. Sebagian ujung rambut menjadi keriting karena terbakar oleh gelombang panas dari ledakan tadi.

Siapa orang yang melepaskan pukulan dahsyatnya berupa sinar ungu kecil itu? Nyai Demang Ronggeng yakin, pukulan itu jelas bukan pukulan milik Raja Maut. Ia kenal betul jenis jurus-jurus yang dimiliki Raja Maut. Wajahnya terangkat pelan-pelan, dan matanya pun memandang samar-samar wujud sesosok lelaki berpakaian serba hijau tapi mengenakan baju jubah kuning. Rambutnya putih rata, kumis, jenggot, alis tebalnya juga putih rata. Rambut itu mengenakan ikat kepala kain hitam, tapi jelas bukan Ki Gendeng Sekarat yang juga rambut putihnya diikat kain hitam. Keremangan pandang akibat luka dalam itu lama-lama membuat Nyai Demang Ronggeng mengenali lelaki yang berusia sekitar sembilan puluh tahun lebih itu.

"Gila Tuak...!" gumam Nyai Demang Ronggeng dengan suara gemetar.

"Apakah kau tetap ingin membunuh sepupu seperguruanmu ini, Kiswanti?!"

Daya tahan perempuan itu terasa semakin melemah, ia merasa tak mungkin bisa melawan tokoh sakti yang selama ini sembunyikan diri dari keramaian. Nyai Demang Ronggeng gemetar di hadapan guru Pendekar Mabuk itu. Ia merasa tak akan sanggup melawan si Gila Tuak, apalagi dalam keadaan terluka parah. Maka tak ada cara lain untuk selamatkan diri kecuali cepat-cepat lari meninggalkan Raja Maut dan tanah yang ternyata telah masuk kawasan Jurang Lindu itu.

"Sial! Gila Tuak ikut campur. Modar aku!" gerutunya sambil melarikan diri tanpa pamit.

Sabawana yang bergelar si Gila Tuak itu membiarkan Nyai Demang Ronggeng melarikan diri. Tokoh sakti yang sebenarnya enggan campur tangan di rimba persilatan lagi itu, kali ini terpaksa pergunakan jurus kecil-kecilan saja untuk selamatkan Raja Maut yang menjadi sahabatnya itu.

"Pasti perkara Kitab Sukma Sukmi!" kata Gila Tuak dengan tegas.

"Ya, memang," jawab Raja Maut dengan keadaan napas sesak tubuh lemas. "Tapi aku ke sini sengaja untuk temui kau, Gila Tuak."

"Kalau begitu, mari kubantu pergi ke pondokku. Kau butuh pertolongan secepatnya, Prasonco!"

"Bb... ba... baik," jawab Prasonco dengan susah payah. "Aku hanya ingin sampaikan kabar... muridmu melabrak Nila Cendani."

"Nila Cendani?!" Gila Tuak menjadi heran. "Apa urusannya Suto sampai melabrak Ratu Tanpa Tapak itu?"

"Gendeng Sekarat ditawan mereka!"

"Oh, dasar gendeng orang itu. Mau-maunya ditawan? Apakah dia tak bisa bereskan Nila Cendani sendiri, sehingga muridku jadi ikut campur?"

"Kau pikir Gendeng Sekarat mampu kalahkan ilmunya Nila Cendani?"

Gila Tuak diam, tapi ia masih membantu Raja Maut untuk melangkah pelan-pelan. Kejap berikutnya Raja Maut berkata,

"Datanglah ke Gunung Sesat. Bantu muridmu, Gila Tuak! Bocah itu bisa celaka dan mati konyol kalau melawan Nila Cendani!"

"Tidak," jawab Gila Tuak dengan tegas. "Aku tidak ingin memanjakan bocah tanpa pusar itu. Kalau dia berani melabrak ke sana, berarti dia sudah punya perhitungan matang. Kalau dia ada apa-apa, itu salahnya sendiri. Aku mendidiknya bukan dari segi otot dan tenaga saja, tapi otaknya pun kusuruh menggunakan sebaik mungkin. Biarlah dia membebaskan Gendeng Sekarat dengan caranya sendiri."

Raja Maut terbengong mendengar pernyataan dan sikap Gila Tuak. Ia tak menyangka sebagai guru Gila Tuak tega membiarkan muridnya melawan orang sesakti Nila Cendani itu. Tapi Raja Maut tak tahu bahwa Gila Tuak merasa tenang, tidak merasa khawatir dan cemas akan keselamatan Suto Sinting. Gila Tuak yakin, Suto mampu kalahkan Nila Cendani, si Ratu Tanpa Tapak itu. Ia tak sangsi lagi dengan kemampuan muridnya, karena di dalam diri Suto bukan hanya ada warisan ilmunya saja, tapi juga warisan ilmu dari Bidadari Jalang pun ada pada Pendekar Mabuk, dan anak itu telah menelan Tuak Setan, sehingga jika napas Tuak Setan dipergunakan maka Nila Cendani bukan apa-apa bagi Pendekar Mabuk.

"Kau tak takut kalau muridmu mati di tangan Ratu Tanpa Tapak?!"

"Jika Siluman Tujuh Nyawa saja dibuatnya lari pontang-panting, tentunya Nila Cendani akan dibuat tak berdaya oleh Suto, sebab Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Nila Cendani!"

Raja Maut bengong lagi. Ia kenal betul nama Siluman Tujuh Nyawa yang punya nama asli Durmala Sanca itu. Ia tak sangka kalau Siluman Tujuh Nyawa yang terkenal sakti dan ganas itu lari pontang-panting dalam pengejaran Pendekar Mabuk. Kalau saja Raja Maut mendengar kabar itu sejak lama, maka ia tidak akan datang temui si Gila Tuak dan menyampaikan kecemasannya itu.

Alam pikiran Suto Sinting ternyata sama dengan pikiran gurunya. Ketika dalam perjalanan menuju kaki Gunung Sesat, hatinya pun berkata, "Kenapa aku harus takut dengan Ratu Tanpa Tapak? Siluman Tujuh Nyawa saja kuhadapi dan kukejar-kejar, apalagi hanya Nila Cendani?! Apakah kesaktian Nila Cendani lebih tinggi dari Durmala Sanca, si Siluman Tujuh Nyawa itu?! Ah, sekalipun lebih tinggi, aku tak takut. Cepat atau lambat aku harus bisa membebaskan Ki Gendeng Sekarat sebelum orang yang sudah kuanggap seperti ayahku sendiri itu mendapat celaka di tangan Ratu Tanpa Tapak!"

Langkah Pendekar Mabuk sengaja dihentikan sejenak. Matanya mulai menangkap bayangan sebuah benteng di kejauhan sana. Warna hitam memanjang sudah pasti benteng istana Ratu Tanpa Tapak. Suto Sinting meneguk tuaknya yang tadi ketika melewati sebuah desa sempat diisi dengan tuak baru di sebuah kedai.

Glek, glek, glek...! Tiga teguk cukup untuk menyegarkan tubuh. Tuak itu, ibarat zaman sekarang merupakan dopping bagi seluruh ilmu dan kekuatan Suto. Kesegaran dan keberaniannya semakin bertambah jika habis meneguk tuak. Wajah Suto Sinting saat itu berseri-seri memandangi benteng sang Ratu.

"Kuhancurkan benteng itu, atau aku masuk menyelinap secara diam-diam?" pikirnya penuh perhitungan. Perhitungannya menjadi buyar karena tiba-tiba ia merasakan ada suatu gelombang panas yang menyerangnya dari samping kiri. Suto Sinting sentakkan kaki dan tubuhnya pun melambung di udara dengan cepat.

Suuuut...!

Blaaar...! Gelombang panas itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu rompal bagian batangnya. Hampir saja tumbang terpotong. Melihat keadaan pohon hanya rompal, berarti penyerangnya menggunakan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Mungkin ia tidak bermaksud membunuh Suto Sinting. Tapi siapa penyerangnya itu?

"Oh, kau...!" Suto Sinting bernada keluh.

Gadis berpakaian ketat ungu muda dengan bentuk belahan dada yang menantang itu tak lain adalah Pelangi Sutera. Ibu dari anak jin; si Logo, ternyata telah menyusulnya dan bermaksud menghalangi niat Suto datang ke benteng itu.

"Sudah kubilang, jangan temui Ratu Tanpa Tapak. Mengapa kau nekat?" kata Pelangi Sutera yang bernama asli Sumbaruni itu.

"Apa hakmu melarangku, Sumbaruni?!"

"Ini bukan masalah hak. Ini masalah kecemasanku."

"Itu tak perlu," jawab Suto kalem sambil tersenyum geli. "Untuk apa kau mencemaskan diriku, Sumbaruni? Tak akan ada gunanya."

Perempuan yang tampak masih muda sekian kali lipat dari usia sebenarnya, mendekati Suto dengan sorot pandang matanya yang berwibawa dan punya kharisma tersendiri. Suto Sinting membiarkannya dan juga memandangi tanpa kesan bermusuhan. Dalam jarak dua langkah, Sumbaruni berhenti dan saling adu pandang beberapa saat. Lama-lama terdengar suaranya berucap bagai bisikan.

"Aku tak mau kau terjerat cinta di sana!"

Suto Sinting tertawa dengan suara pelan. "Jangan takut. Aku punya penangkalnya, Sumbaruni."

"Omong kosong! Kau akan kalah jika Nila Cendani pergunakan ilmu 'Serap Sukma Asmara' yang dimilikinya. Aku tahu kau masih perjaka, dan kau pasti bisa menyentuh serta menyerangnya. Kalian bisa bersentuhan, dan itu sangat berbahaya bagi keadaan jiwa mudamu, Pendekar Mabuk."

"Apa kehebatan ilmu 'Serap Sukma Asmara' itu, sehingga kau amat mengkhawatirkan diriku, Pelangi Sutera?"

"Apabila dia menggigit bibirnya sendiri dalam senyum, maka hatimulah yang digigitnya. Jika hatimu sudah digigit, maka kau akan jatuh cinta padanya, kau akan tunduk dengan segala perintahnya, dan kau akan menjadi pelayan cintanya sepanjang masa. Sampai saatnya dia tidak lagi membutuhkan dirimu, kau akan sanggup memenuhi perintahnya untuk lakukan bunuh diri."

"Bagaimana kalau sebelum dia menggigit bibirnya, aku lebih dulu menggigitnya?" kata Suto menganggap canda kecemasan itu. Tapi Sumbaruni menjadi sangat jengkel, maka ditamparnya pipi Suto tidak terlalu keras.

Plaak...! Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia justru semakin tertawa geli. "Aku bersungguh-sungguh, Suto. Aku benar-benar takut."

Kata-kata itu diucapkan sangat pelan dan dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Akhirnya Suto Sinting mencoba memahami perasaan Pelangi Sutera, ia tahu wanita itu amat mencintainya dan berharap dapat hidup bersamanya. Sekalipun Suto tetap ingat pada calon istrinya: Dyah Sariningrum, tapi Suto menghargai perasaan seorang wanita seperti Pelangi Sutera itu. Maka ia pun berkata dengan nada bersungguh-sungguh.

"Percayalah, aku tidak akan terpikat oleh perempuan itu. Aku mampu menghindarinya, Pelangi Sutera."

Tapi perempuan itu gelengkan kepala dan berkata, "Aku sangsi"

Suto Sinting menarik napas panjang. "Baiklah. Kau sangsi atau tidak aku tetap harus ke sana dan membebaskan Ki Gendeng Sekarat!"

"Suto !"

"Aku tak bisa berlama-lama diam di sini sementara nyawa Ki Gendeng Sekarat sedang di ujung lidah perempuan itu!" kata Suto sambil segera melangkah menuju benteng tersebut. Kecemasan Pelangi Sutera semakin kuat, sehingga dengan gerakan cepat perempuan itu tiba-tiba sudah berdiri menghadang langkah Suto Sinting. "Kalau kau nekat kesana, aku terpaksa melumpuhkanmu, Suto!" ancamnya dengan suara dingin.

"Aku tak mau. Aku pasti akan melawanmu, Pelangi Sutera!"

"Baik. Kalau begitu kita coba siapa yang unggul dalam pertarungan kita!"

Slaaap...! Tiba-tiba gerakan tangan Pelangi Sutera bagaikan melemparkan senjata rahasia ke dada Suto Sinting. Tapi yang keluar dari lemparan tangannya itu adalah sinar kuning berbentuk bintang berputar. Kecepatan lemparan sinar itu sangat tinggi. Suto Sinting tak sempat menghindar dan menangkis. Akibatnya sinar kuning itu memang mengenai dada Suto Sinting.

Duuub...!

"Uuuffh...!" Suto Sinting mengejang dengan mata terpejam kuat. Tubuhnya melengkung, kedua tangannya mendekap dada. Napasnya bagaikan tersumbat di dalam dada. Kerongkongannya seakan kering dan lengket, tak bisa bersuara. Baru sekarang Suto Sinting menerima serangan secepat itu. Lebih cepat dari loncatan kilat. Lebih cepat dari tarikan napas. Dan jurus itu sangat aneh. Tubuh Suto menjadi lemas. Lemas sekali. Matanya berkunang-kunang. Untuk menggerakkan jemarinya saja tak mampu. Akhirnya Suto Sinting jatuh terkulai.

Bruuuk...! Punggungnya tak bisa dipakai untuk duduk. Tulang punggung sepertinya hilang sama sekali. Urat-urat dalam tubuhnya bagaikan putus semua. Bruuuk...! Suto terpuruk, mirip cucian basah jatuh dari jemurannya. Tapi otaknya masih berjalan, kesadarannya masih ada. Matanya masih bisa berkedip-kedip, hanya saja kekuatannya bagaikan dikebiri, lenyap tanpa bekas sedikit pun dari dirinya.

"Maafkan aku, Suto," Pelangi Sutera mendekat dan berwajah sedih. Tangannya mengusap-usap rambut Suto setelah ia berlutut di depan pemuda tampan itu. "Maafkan aku, karena kau bandel dan aku tak punya cara lain! Aku terpaksa menggunakan jurus 'Anak Rembulan' supaya kau tidak bisa menemui Ratu Tanpa Tapak itu. Kau akan lumpuh selama belum mendapat seranganku kembali. Aku akan menyerangmu menggunakan jurus 'Lidah Mentari' untuk membakar kekuatanmu agar pulih lagi. Tetapi itu nanti, setelah aku berhasil membebaskan orang yang kau anggap seperti ayahmu sendiri itu. Aku sendiri yang akan menyelamatkan Ki Gendeng Sekarat, Suto. Aku terpaksa melawan cucuku sendiri demi menyelamatkan hatimu dari jeratan ilmu 'Serap Sukma Asmara' milik Nila Cendani!"

Sebenarnya ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Suto Sinting, tapi lidahnya bagaikan tak bisa digerakkan sama sekali. Lidah itu lemas tak punya urat. Akhirnya Suto hanya diam saja, matanya berkedip-kedip memperhatikan wajah Pelangi Sutera yang penuh sesal dan kegeraman. Wanita cantik ibu anak jin itu pergi bagaikan anak panah yang melesat dari busurnya. Arahnya menuju benteng hitam itu. Tapi otak Suto masih sempat berpikir dalam kecemasan.

"Jika dia kalah melawan Ratu Tanpa Tapak, jika dia mati, lantas bagaimana nasib Ki Gendeng Sekarat? Bagaimana dengan nasibku ini?! Hanya dia yang bisa pulihkan kekuatanku dengan jurus 'Lidah Mentari'. Tapi kalau dia mati, siapa yang akan lepaskan jurus 'Lidah Mentari' kepada diriku? Tak ada. Dan itu berarti aku akan lumpuh selama-lamanya! Celaka! Apakah dia bisa unggul melawan Ratu Tanpa Tapak?"

* * *

SEMBILAN
PADA saat itu, Ki Gendeng Sekarat sudah berhasil dilumpuhkan oleh Ratu Tanpa Tapak. Ketika di kamar tidur sang Ratu, Ki Gendeng Sekarat berhasil diserang dengan dua jurus jebakan. Empat jari tangan Nila Cendani disentakkan, maka melesatlah empat larik sinar hijau dari masing-masing ujung jari berkuku runcing itu. Arahnya sengaja sedikit ke kanan, supaya Ki Gendeng Sekarat menghindar ke kiri.

Sraab...!

Dugaan Nila Cendani benar. Ki Gendeng Sekarat berguling di atas ranjang ke arah kanan. Tapi pada saat itu juga Nila Cendani sentakkan keempat jari kanannya yang memancarkan empat larik sinar putih perak berkilauan.

Sraaab...! Arahnya lebih ke kiri dari tubuh Ki Gendeng Sekarat, sehingga ketika Ki Gendeng Sekarat menghindari ke kiri, maka ia terperangkap sinar putih perak itu.

Jraaab...!

"Uuhg...!" Tubuh Ki Gendeng Sekarat mengejang dengan kepala terdongak menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tubuh itu menjadi kaku dan kejang sekali. Nila Cendani segera memanggil pengawalnya.

"Tangkap dan ikat dia dengan akar Serat Hantu!" perintah sang Ratu.

Dalam beberapa waktu, keadaan kejang itu sudah menjadi kendor. Ki Gendeng Sekarat memang hanya mengalami kekakuan sesaat. Jurus sinar perak tadi memang berguna hanya untuk melumpuhkan lawan, bukan untuk membunuh. Tetapi sekalipun keadaan Ki Gendeng Sekarat sudah menjadi seperti biasa, namun ia tak dapat berbuat apa-apa, karena kedua tangannya dikebelakangkan dan diikat dengan akar Serat Hantu.

Akar Serat Hantu adalah tali dari jenis tanaman yang mengandung racun. Semakin lama menempel di kulit tubuh, maka orang tersebut akan mengalami perasaan takut kepada siapa pun. Terbukti semakin lama terikat dengan akar itu, Ki Gendeng Sekarat semakin deg-degan dan memandang siapa saja dengan rasa takut. Bahkan ia tak berani menatap ratu yang cantik itu, karena kecantikan tersebut dianggapnya sesuatu yang amat menakutkan. Tak heran jika napas Ki Gendeng Sekarat terengah-engah terus karena diliputi perasaan takut.

"Pancung dia di pelataran depan!" perintah Ratu Tanpa Tapak kepada para pengawalnya, lalu kedua orang pengawal segera membawa Ki Gendeng Sekarat ke pelataran depan istana.

Ki Gendeng Sekarat ketakutan melihat dua pengawal yang membawanya. "Tidak! Tidak! Jangan dekati aku! Aku takut pada beruang! Takuuut...!"

Plook! Wajah itu ditampar seenaknya oleh seorang pengawal. "Aku bukan beruang, Goblok!"

"Jangan! Jangan! Aku takuuut...!" teriak Ki Gendeng Sekarat sambil meronta-ronta. Biasanya ia tak pernah punya rasa takut, apalagi sampai berteriak-teriak begitu. Bahkan ketika menuruni tangga serambi istana, Ki Gendeng Sekarat yang menundukkan wajahnya menjadi menjerit dan melompat-lompat,

"Aaaa...! Takuuut...! Takuuut...! Ada semut dua ekor mau mengeroyokku! Uwaaa...!" Ia semakin meronta-ronta menghindari dua ekor mata semut yang menurut penglihatannya amat besar dan ingin mencaplok kakinya.

Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan orang-orangnya Nila Cendani yang siap menyaksikan hukum pancung di pelataran istana. Di sana sudah ada dua tiang pengikat tangan orang yang akan dipancung. Tetapi karena keadaan Ki Gendeng Sekarat harus tetap berlilitkan akar Serat Hantu, maka Ki Gendeng Sekarat tidak jadi diikatkan pada dua tiang, melainkan seluruh tubuhnya disuruh merendah dan diikat pada satu tiang saja dalam keadaan berlutut.

Lalu sebatang kayu menekan punggungnya supaya merunduk. Dengan begitu, leher Ki Gendeng Sekarat mudah terpancung oleh algojo yang ditugaskan. Algojo itu mengenakan kain selubung penutup kepala warna hitam, bagian atasnya runcing, yang terlihat hanya bagian matanya saja. Ki Gendeng Sekarat sempat berteriak ketakutan.

"Jangaaan...! Huaaww...! Jangan dekatkan aku dengan setan pocong! Aku takut! Takuuut...!"

Yang lain tertawa mendengar algojo dikatakan setan pocong. Algojo sendiri sebenarnya tertawa geli, tapi karena mulutnya tertutup selubung hitam maka tak diketahui bahwa ia ikut menertawakan sang tawanan. Sedangkan Ratu Tanpa Tapak hanya tersenyum sinis, siap memperhatikan hukuman pancung dilaksanakan.

Sang Algojo menunggu perintah pancung dari ratunya. Pedang besar sudah siap di tangan, ia berdiri dengan kaki sedikit merenggang. Ki Gendeng Sekarat sempat melirik kepada pedang yang putih besar berkilauan, ia sempat merintih ketakutan dalam keadaan tertunduk.

"Oh, gigi siapa itu yang dibawa-bawanya. Besar sekali! Ooh... aku takut sekali pada gigi itu. Singkirkan gigi itu, Ratuuu...!"

Gelak tawa mereka sengaja dibiarkan oleh sang Ratu, karena setiap orang yang diikat dengan akar Serat Hantu memang tingkah ketakutannya menggelikan. Setelah tawa itu mereda, Ratu Tanpa Tapak pun segera berkata dengan suara keras dan tegas.

"Demi membalas kematian dua utusan kita yang hampir mendapatkan keris pusaka Setan Kobra itu, maka orang ini layak dihukum mati dengan dipancung. Inilah satu bukti, bahwa aku; Ratu Tanpa Tapak, akan selalu melindungi orang-orangku dari gangguan siapa pun." Setelah itu, Ratu Tanpa Tapak memandang algojo dan berseru, "Laksanakan!"

Algojo mengangguk, lalu mengangkat pedang besarnya. Pada saat pedang terangkat tinggi-tinggi dan siap diayunkan, tiba-tiba seberkas sinar merah menyerupai ujung anak panah melesat cepat dan menembus dada sang algojo.

Wuuut...! Sraab...! Blaaarr...!

Seluruh orang menjerit dan menjadi panik melihat tubuh sang Algojo pecah. Ki Gendeng Sekarat sendiri berteriak-teriak sangat ketakutan. Beberapa pasang mata tertuju ke atas benteng, ternyata di sana telah berdiri seorang perempuan yang mengenakan jubah ungu tua dengan pedang di punggung dibungkus kain beludru warna ungu pula.

"Serang dia!" teriak Sabit Guntur yang berdiri di samping kanan Nila Cendani.

"Heeaaaahhhh...!" semua menyerang Pelangi Sutera dengan senjata dan tenaga dalam masing-masing.

Tetapi wanita muda itu cepat menghilang, tahu-tahu berada di samping Ki Gendeng Sekarat. Pedangnya dicabut, dan ditebaskan dengan cepat ke arah Ki Gendeng Sekarat.

Wes, wes, wes, wes, wuuut...! Tras...!

Dalam gerakan pedang yang begitu cepat, semua tali yang mengikat Ki Gendeng Sekarat telah terputuskan. Ki Gendeng Sekarat bebas dari pengaruh akar Serat Hantu. Ia segera terbelalak melihat Pelangi Sutera yang dikenalinya itu.

"Sumbaruni...?!"

"Habisi mereka, Gendeng Sekarat! Jangan bengong saja! Hiaaat...!"

Pertarungan pun terjadi dengan seru. Ki Gendeng Sekarat mendampingi Samburani menyerang mereka. Tak satu pun ada yang mampu melukai atau memukul jatuh kedua tokoh tua tersebut. Tetapi mereka berdua tidak bisa menyerang Ratu Tanpa Tapak, karena mereka berdua sudah bukan perawan dan perjaka lagi. Akibatnya mereka hanya terdesak beberapa kali oleh serangan Ratu Tanpa Tapak yang menggunakan jurus-jurus berbahaya. Tiga tiang utama istananya sendiri sempat hancur menjadi debu karena serangannya yang dihindari oleh Pelangi Sutera.

"Monyet busuk! Bagaimana dia bisa masuk ke bentengku?!" pikir Nila Cendani memandangi Sumbaruni. Ratu Tanpa Tapak tidak tahu kalau semua penjaga di pintu gerbang sudah dilumpuhkan oleh Pelangi Sutera terlebih dulu, sehingga wanita itu dapat dengan mudah melompat naik ke dinding benteng dan menggagalkan acara hukuman pancung tersebut.

Kini lebih dari tiga puluh orang terkapar tanpa nyawa karena amukan Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera. Sabit Guntur sendiri yang tangannya buntung juga mati di tangan Ki Gendeng Sekarat dengan tebasan kipas putihnya. Sementara itu Nila Cendani semakin murka, menyerang mereka berdua dengan melayang tanpa menginjak tanah sejak tadi. Ki Gendeng Sekarat sempat terjungkir baik ke belakang ketika ia mencoba menahan pukulan sinar hijau dari mata Nila Cendani.

Pukulan itu amat kuat dan berbahaya, membuat Ki Gendeng Sekarat hampir saja mati membeku jika tidak menahannya memakai bentangan kipas putihnya. Tetapi sebagai akibat, ia terlempar dan terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Telinga dan hidungnya mengucurkan darah segar.

Sedangkan Pelangi Sutera masih menebaskan pedangnya ke sana-sini. Tebasan pedangnya itu seperti kilasan angin yang tak diketahui datangnya, tak didengar suaranya, tiba-tiba saja korbannya merasakan hawa dingin pada tubuhnya. Tahu-tahu kepalanya jatuh dari raga, atau dadanya robek, tembus dan sebagainya. Bahkan ada yang masih sempat melakukan lompatan menyerang tanpa disadari bahwa kedua kakinya telah ditebas buntung oleh pedang ungunya Pelangi Sutera.

"Sumbaruni!" sentak Nila Cendani. "Hentikan tingkah keparatmu itu, Setan!"

Pelangi Sutera menghentikan serangannya, ia memandang dengan senyum sinis. Anak buah Nila Cendani tinggal beberapa gelintir manusia saja. Mungkin hanya delapan atau sembilan orang yang masih hidup tanpa luka. Mereka berada di belakang Ratu Tanpa Tapak. Siap menyerang kapan saja perintah datang.

"Apa maksudmu ikut campur urusanku ini, hah?!" bentak Nila Cendani.

Sumbaruni hanya menjawab dengan sinis, "Aku hanya ingin membebaskan si Gendeng Sekarat ini!"

"Apa urusanmu dengannya?"

"Tidak ada!"

"Kalau begitu kau memang cari penyakit dengan mendatangi kekuasaanku ini!"

"Nila Cendani, pandanglah aku. Siapa diriku sebenarnya? Mengapa kau masih bersikap keras di depan nenekmu ini?! Kembalilah ke jalan yang benar, Nila Cendani! Kau boleh tempati gunung ini tapi lakukanlah kebaikan!"

"Persetan dengan nasihatmu! Aku harus menjadi penguasa dunia! Siapa pun tak boleh menentang kehendakku. Tak peduli kau adalah nenekku, kalau kau menentang keinginanku, kau harus kumusnahkan, Sumbaruni!"

"Sayang sekali jiwamu benar-benar sesat!"

"Peduli apa denganmu! Kalau kau memang mau menentangku, coba lukai aku! Coba sentuh diriku!"

"Sesumbarmu seperti kaleng rombeng! Jangan kau pikir tak ada orang yang mampu melukaimu. Nila Cendani!"

"Hmmm...! Aku tahu kau sudah tak perawan lagi! Kau sudah beranak dan ke mana anakmu itu? Si anak jin itu akhirnya berkhianat padaku dan menjadi menuruti perintahmu, bukan? Hmmm...! Aku dapat meneropongnya dari sini, Sumbaruni. Sekali aku bertemu dengannya, maka ia tak akan selamat dari tanganku!"

Sumbaruni merasa dibakar darahnya mendengar anaknya diancam, ia segera melepaskan pukulan dari tangan kirinya, berupa percikan sinar warna-warni seperti pelangi. Tetapi sinar-sinar itu tak ada yang mengenai tubuh Nila Cendani, bahkan menyimpang pecah mengenai empat anak buah Nila Cendani yang semuanya menjadi pecah tanpa serpihan daging dan tulang lagi kecuali semburan darah kental kesana-sini.

Ratu Tanpa Tapak kian murka, ia mencabut kipas berbulu merak yang terselip di pinggang belakang. Kipas itu ditebaskan. Wuuuut...! Maka ratusan jarum beracun memancar menyebar. Srrraabb...! Jruuub...!

"Auhg...!"

"Aaahg...!"

Jarum-jarum yang bergerak bagaikan angin itu menancap di tubuh Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat. Seketika itu pula tubuh mereka menggigil dan membiru. Pori-pori kulit mereka melebar dan mengeluarkan cairan merah darah.

"Kita harus lekas pergi dari sini, Sumbaruni!" bisik Ki Gendeng Sekarat dengan menahan sakit di sekujur tubuhnya. "Kita tak akan bisa melukainya!"

Wuuut...! Wuuut...!

Pelangi Sutera segera melesat pergi mendengar usul Ki Gendeng Sekarat, dan Ki Gendeng Sekarat sendiri ikut melesat menyamai kecepatan gerak Pelangi Sutera. Pintu gerbang ditabraknya. Duaaar...! Jebol menjadi kepingan-kepingan besi bercampur kayu.

Tetapi kekuatan gerak mereka terbatas, tenaga mereka telah direnggut racun ganas. Begitu mereka tiba di depan pintu gerbang dalam jarak dua puluh langkah, mereka berdua saling berjatuhan. Tubuh mereka semakin merah karena penuh cairan darah yang keluar dari pori- pori tubuhnya.

"Gendeng... aku tak kuat," ratap Pelangi Sutera ketika jatuh tersungkur dan mencoba merangkak untuk bangun. Ki Gendeng Sekarat pun terpelanting jatuh karena tenaganya bagaikan hilang.

"Hi, hi, hi, hi...!" terdengar tawa Ratu Tanpa Tapak yang menyusul keluar bersama sisa anak buahnya. "Kalian tak akan bisa hidup lebih dari seratus hitungan! Jarum 'Pengikis Jantung' mempunyai racun yang tak mudah ditawarkan. Tapi ada baiknya daripada kalian terlalu lama menunggu ajal. Akan kupercepat dengan jurus pembantaiku ini! Hiaaaat...!"

Wuuut...!

Sinar merah meluncur dari mata Nila Cendani. Sinar merah itu semula berbentuk lidi kecil, tapi makin jauh makin menyebar lebar dan menghantam tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan Pelangi Sutera. Hanya saja, sebelum kedua sinar yang terlepas dari kedua mata Nila Cendani itu sampai di tubuh mereka berdua, seberkas sinar ungu melesat dan menghantam kedua sinar merah tersebut secara melintas cepat dari samping kanan.

Blaaar...! Glegaaarrr...!

Bunyi ledakan itu luar biasa dahsyatnya. Tubuh Ki Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera sama-sama terpental dan terguling-guling di rerumputan. Tapi yang lebih aneh lagi, tubuh Ratu Tanpa Tapak pun terlempar ke belakang dan sempat berjungkir balik sampai jatuh tersungkur di tanah belakangnya, ia segera bangkit dengan merasa heran mengalami peristiwa seperti itu. Matanya segera memandang mencari penyerang yang menggunakan sinar ungu itu.

Ketika pandangan matanya menemukan sesosok pemuda tampan berdiri tegak dengan baju coklat tanpa lengan, Ratu Tanpa Tapak itu terperangah dan berdebar-debar hatinya. Sedangkan saat itu, Pelangi Sutera yang masih bertahan untuk bisa bangkit walau dengan setengah merangkak, segera serukan gumam keheranannya.

"Suto...?!"

Tentu saja Pelangi Sutera merasa terheran-heran, sebab ia tak menyangka kalau Suto bisa pulih seperti sedia kala, padahal mestinya harus dihantam dengan jurus 'Lidah Mentari' dulu supaya kekuatannya pulih kembali. Tapi ternyata tanpa pukulan itu Pendekar Mabuk sudah bisa berdiri tegak dan pulih seperti sediakala. Pelangi Sutera menyangka saat itu Suto masih terpuruk lunglai tanpa daya di bawah pohon.

Di samping Suto Sinting berdiri seorang bocah berusia sepuluh tahun. Angon Luwak. Apakah bocah itu yang sembuhkan Suto dan pulihkan kekuatan si Pendekar Mabuk itu? Rasa-rasanya tak mungkin, menurut Pelangi Sutera. Jurus 'Anak Rembulan' tak ada yang bisa menyembuhkan kecuali orang yang punya pukulan 'Lidah Mentari'. Sedangkan orang yang punya jurus 'Lidah Mentari' tak ada lainnya kecuali dirinya sendiri.

Pelangi Sutera tidak tahu bahwa kehadiran Angon Luwak telah menyelamatkan Suto Sinting dari pengaruh jurus 'Anak Rembulan'. Bocah itu tahu keadaan Suto yang lemas pasti karena sakit. Tapi ia tak tahu sakit apa yang diderita Suto sebab Suto tidak bisa kasih penjelasan padanya. Namun bocah itu punya gagasan untuk meminumkan tuak dari bumbung ke mulut Suto. Sebab ia pernah melihat Suto mengobati Raja Maut dengan cara seperti itu. Tuak tersebut mempunyai kekuatan dahsyat melebihi pukulan 'Lidah Mentari'. Dengan meminum tuak itu, meka kekuatan Suto menjadi pulih kembali dan badannya menjadi lebih segar.

Kini kecemasan Pelangi Sutera bukan terletak kepada mati-hidupnya Pendekar Mabuk, melainkan terletak pada hati si pendekar tampan itu. Ketika Suto meminumkan tuaknya ke mulut Pelangi Sutera dan Ki Gendeng Sekarat, wanita cantik berhati jahat yang ingin menguasai dunia itu sedang berusaha bangkit dengan dibantu sisa anak buahnya yang masih perjaka. Hanya ada dua orang yang masih perjaka, sehingga bisa menyentuh Ratu Tanpa Tapak. Dan agaknya karena sinar ungunya Suto tadi, sang Ratu Tanpa Tapak kali ini terpaksa menapakkan kakinya ke tanah sebab ia mengalami luka panas di bagian urat nadinya.

"Oh, pemuda itu...?! Ketampanannya sangat menggiurkan hatiku, kegagahannya sangat menarik perhatianku. Sebaiknya kuusahakan untuk berdamai saja dengannya dan aku bisa menarik hatinya untuk menjadi pelayan cintaku...," pikir Ratu Tanpa Tapak yang sudah kehilangan banyak anak buah itu.

"Sut... Suto... hati-hati, dia memandangimu dengan aneh," bisik Pelangi Sutera.

Tetapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum dan berkata lirih, "Sudah kupersiapkan perisai penolak ilmu cinta segala macam. Kau tak perlu khawatir. Akan kutangani dia!"

"Hati-hati, Suto," ujar Ki Gendeng Sekarat yang sedang menunggu pulihnya kekuatan karena ia sudah meneguk tuak beberapa kali.

Suto Sinting tampil ke depan, sengaja berjalan mendekati Ratu Tanpa Tapak. Sang Ratu tersenyum nakal, ia mulai mengigit bibirnya. Tapi serta-merta Suto segera lepaskan pukulan mautnya. Jurus 'Surya Dewata' dari kedua tangan yang memancarkan sinar ungu menghantam tubuh Nila Cendani dengan amat cepat.

Claaap...! Blaaarrr...!

"Aaahg...!" Ratu Tanpa Tapak terpekik tertahan. Tubuhnya terpental sampai membentur sisi gerbang.

Duuurrr...!

Benteng itu berguncang nyaris roboh karena benturan tubuh sang Ratu. Bagian atas benteng ada yang rontok sebagian. Jika bukan ilmu yang dahsyat yang melayangkan tubuh cantik itu, tak mungkin benteng sekokoh itu bisa bergetar sedemikian rupa. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin pula Nila Cendani akan terlempar sejauh itu. Pasti dia akan pecah dan mati seketika. Tak sampai bergeser sejengkal pun. Tapi karena Nila Cendani orang berilmu tinggi, maka pukulan 'Surya Dewata' hanya membuatnya terpental terbang dan berdarah di bagian kepalanya, hidung, telinga, mulut, dan lubang tubuh lainnya.

Ia masih hidup. Masih bisa berdiri dengan sempoyongan. Masih bisa berteriak nyaring dan keras sekali, "Sokobumiii...! Keluar dari tempatmu!"

Kejap berikutnya, tembok tebal yang menjadi dinding benteng itu jebol diterjang sesosok tubuh dari dalam. Tubuh yang mampu melesat menjebol tembok benteng sekeras itu adalah tubuh kurus, berambut panjang sepinggang, berkuku runcing, itulah jazad dari almarhum Sokobumi yang telah dihidupkan lagi oleh Nila Cendani menggunakan sumber kekuatan inti orang lain.

"Suto! Biar kami yang hadapi!" teriak seseorang yang ternyata Ki Lumaksono. Ia dan Ki Parandito sempat tersesat jalan dan tiba di tempat ketika Nila Cendani terlempar tadi. Kedua tokoh tua itu segera melesat mendekati Suto. "Biar kami yang hadapi, supaya kami tak sakit hati jika beliau terluka!"

Tapi baru saja mereka bersepakat begitu, Sokobumi melepaskan serangannya berupa puluhan bintang yang menyerang kedua tokoh tua dan Suto Sinting. Puluhan bintang itu tentu saja berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi. Gerakannya sangat cepat dan nyaris tidak terlihat lagi.

"Awas...!" teriak Suto sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri dan ke kanan secara serempak. Tendangan itu mengenai tubuh Ki Lumaksono yang ada di kirinya dan Ki Parandito yang ada di kanannya. Akibatnya mereka berdua terlempar jauh dan terhindar dari puluhan bintang berbahaya itu. Sedangkan untuk menyelamatkan dirinya, Suto segera mengibaskan bumbung tuaknya ke depan.

Wuuut...! Srrraaabbb...!

Bumbung itu bagaikan mempunyai tenaga magnit. Bintang-bintang itu menjadi mengarah ke bumbung bambu tersebut. Semuanya menuju bambu tuak, tapi tidak sampai menancap. Bintang-bintang itu membalik arah setelah saling memantul di kulit bambu.

Traaak...! Praaaffs...!

Bintang-bintang itu menjadi lebih besar dari ukuran semula dan kecepatan geraknya melebihi kecepatan semula. Sokobumi tampak kebingungan menangkis bintang-bintang yang kembali ke arahnya dengan menggunakan sehelai ilalang yang dicabutnya.

Trang, trang, triing...! Traang...! Jrab, jrab, trang...! Jrruub...!

Ilalang yang dijadikan pedang memang mampu menangkis beberapa bintang, tetapi lebih dari tujuh bintang menancap di tubuh Sokobumi. Bintang-bintang yang menancap itu akhirnya meledak secara bersamaan dan membuat tubuh Sokobumi hancur berkeping-keping, tak mungkin bisa dibangkitkan lagi dengan kekuatan apa pun.

Blaaarrr...!

"Guruuu..,!" teriak Ki Lumaksono dan Ki Parandito secara bersamaan.

Sementara itu, Ratu Tanpa Tapak terperanjat kaget bukan kepalang melihat kehebatan ilmu pemuda tampan itu. Tapi ia menjadi ketakutan dan segera melarikan diri sambil berseru, "Tunggu pembalasanku setelah kudapatkan Keris Setan Kobra...!"

"Jangan lari kau, Cantik!" teriak Suto Sinting, lalu segera mengejarnya.

Pelangi Sutera pun berseru tegang, "Tidaaak...! Jangan kejar dia, Sutooo!"

Tetapi Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak itu tetap mengejar dengan kecepatan melebihi melesatnya anak panah, ia tak peduli seruan Sumbaruni, juga tak peduli dengan ratapan kedua tokoh tua; Pawang Gempa dan Juru Bungkam itu.

Ki Gendeng Sekarat segera bangkit, keadaannya lebih baik. Ia segera terkejut begitu melihat Angon Luwak bergegas mau mengikuti Suto. "Angon Luwak! Jangan kejar dia!"

"Tapi..., bagaimana jika Kang Suto dilawan memakai Keris Setan Kobra, Guru?"

"Keris?! Oh, bahaya! Memang bahaya kalau Nila Cendani berhasil dapatkan keris pusaka itu. Dia bisa mati tanpa jasad sedikit pun!" gumam Ki Gendeng Sekarat.

Lalu, Sumbaruni segera berkata, "Kita harus susul dia! Jangan sampai dia terpikat oleh jeratan cinta Nila Cendani!"

"Cinta, cinta...! Keris itu sangat berbahaya!" bentak Ki Gendeng Sekarat.

"Keris tidak berbahaya! Cinta yang berbahaya! Cinta melebihi senjata apa pun, baik kekuatannya maupun bahayanya!"

Setelah berkata demikian, Sumbaruni segera melesat pergi dengan kecepatan gerak mengimbangi Suto Sinting. Ki Gendeng Sekarat mau tak mau segera berlari menyusulnya.

Angon Luwak hanya tertegun bengong, memandang anak buah Ratu Tanpa Tapak yang lari pontang-panting ke berbagai arah, memandang kedua tokoh tua yang menangisi kehancuran jasad jenazah gurunya, Sokobumi, juga memandang kepergian Ki Gendeng Sekarat dan Pelangi Sutera. Bocah itu hanya berkata lirih pada dirinya sendiri,

"Mereka mencari keris milik Ki Empu Sakya! Apakah mereka tahu di mana Ki Empuk Sakya menyembunyikan Keris Setan Kobra itu? Aku tak yakin mereka bisa menemukannya. Tapi seandainya mereka mau membawaku pergi, aku yakin mereka berhasil mengetahui letak keris itu disembunyikan oleh Ki Empu Sakya!"

Angon Luwak berjalan pelan-pelan sambil memandangi kedua tokoh tua yang masih menangisi kehancuran jenazah gurunya itu.

SELESAI