Manusia Seribu Wajah - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Mabuk
Manusia Seribu Wajah
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
BADAI Kelabu segera menghentikan langkah karena ia mendengar suara napas orang di belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah. Badai Kelabu cepat palingkan wajah ke belakang. Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya pun mulai curiga. Tapi Badai Kelabu kembali melangkahkan kaki dengan tenang.

"Aku merasakan gerakannya bukan gerakan Suto atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati. "Pasti orang lain yang punya maksud tak beres padaku. Hmmm... sebaiknya kudiamkan saja. Kupancing dia supaya keluar dari persembunyiannya!"

Badai Kelabu kembali langkahkan kaki dengan tenang, dan ia mendengar suara napas di belakangnya mulai mendekat kembali. Kejap berikut ia buru-buru palingkan wajah ke belakang. Suara napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah Badai Kelabu. Mata perempuan berusia tiga puluh tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi tak terlihat wujud orang yang mengikutinya.

Sekali ini Badai Kelabu langkahkan kaki tanpa berpaling sedikit pun. la biarkan suara napas yang mengikutinya dari belakang. Kejap lain, Badai Kelabu tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke depan sambil pegang perutnya, ia perdengarkan suara erang lirih sebagai tanda kesakitan. Tubuhpun oleng dan jatuh terkapar di tanah tak berumput.

Badai Kelabu tergolek di sana. Pakaiannya yang hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh memang sudah rusak akibat banyak luka yang diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan Hantu Laut di Pulau Kidung. (Baca serial Pendekar Mabuk di dalam episode Pusaka Tombak Maut). Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu tersentak dan melemas tak berkutik lagi.

Kejadian itu membuat sepasang mata terkesiap dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama sepasang mata itu menunggu gerakan Badai Kelabu, namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya. Namun akhirnya tak mampu lagi sabar menunggu. Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan melesat keluar dari persembunyiannya.

Orang tersebut mengenakan pakaian kuning sebatas dadanya yang sekal. Badannya terlihat elok dalam busana ketat seperti itu. Pinggangnya tampak ramping karena mengenakan celana ketat warna kuning pula. Celana itu hanya sebatas betis. Bentuk betisnya indah dan berkulit semulus kulit bayi. Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah jambu yang tak terkancingkan bagian depannya. Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera tipis hingga menampakkan bentuk pantatnya yang sekal menggiurkan setiap lelaki.

Orang bersenjata trisula kembar di pinggang kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi lalat kecil di atas bibir kirinya, bangir hidungnya, memiliki bola mata indah, lentik pula bulu matanya. Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut tergerai selewat punggung, diikat dengan kain warna biru muda. Di atas telinga kirinya tersemat sekuntum bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan. Menambah manis paras wajahnya. Jalannya melenggok saat ia mendekati Badai Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut orang itu tersentak kaget dan terlonjak ke belakang ketika Badai Kelabu tiba-tiba membentak.

"Hiaaat...!" sambil kakinya menyambar ke samping, dan tubuh pun berputar, tangan menyentak di tanah, badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan orang berjubah merah jambu itu.

"Babi, monyet, kodok, kuda, kambing...!" orang berjubah merah jambu itu memaki dengan menyebutkan banyak binatang karena rasa kagetnya tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya. la menyambung kata dengan suaranya yang besar bernada perempuan manja.

"Dasar kura-kura kamu, ah! Kupikir kamu modar, tak tahunya hanya pura-pura saja! Sial!" ia melengos dengan mulut cemberut manja.

"Apa maksudmu mengikutiku, Tanjung Bagus?!" sentak Badai Kelabu dengan satu tangan bertolak pinggang.

"Pasti ada tujuannya!"

"Sebutkan tujuanmu!"

"Biasalah... mau paksa kamu serahkan peta itu!"

"Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan peta itu, padahal sudah kubilang bahwa aku tak memiliki peta tersebut!"

"Mana mungkin... mana mungkin...!" bibirnya maju dan dicibir-cibirkan dengan genitnya. "Kamu sudah pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana mungkin kamu akan buang itu peta!" Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus melenggok-lenggok dan tangannya memainkan tepian jubah merah jambunya.

Badai Kelabu mendesis muak dan berkata. "Kau memang ingin cari perkara! Sekarang apa maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta Itu?!"

"Kita bertarung! Mungkin kalau nyawamu sudah diubun-ubun baru kau mau mengaku dan menyerahkan peta itu!"

"Tanjung Bagus, kalau itu maumu, kulayani tantanganmu!"

Di balik semak, Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling berbisik dengan suara sangat pelan. "Cantik sekali orang berjubah merah jambu itu," bisik Suto. "Dia mirip seorang bidadari."

"Tap... tapi... sepertinya dia punya persoalan dengan Badai Kelabu. Kita lihat saja urusan mereka sampai di man... man... mana!"

"Baik. Kita lihat saja dari sini sambil menjagai.

Percakapan yang kasak-kusuk tak membuat kedua orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai Kelabu telah siap menerima serangan dari Tanjung Bagus. Kedua kakinya merenggang kokoh, yang kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah keduanya. Tapi Tanjung Bagus masih melenggak-lenggokkan badan sambil memegangi tepian jubahnya.

"Tak sayangkah kamu dengan nyawamu itu, Badai Kelabu? Daripada kamu korbankan nyawa buat sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan padaku dan nyawamu tetap utuh, Badai Kelabu!"

"Peta itu ada di nyawaku!" jawab Badai Kelabu. "Kalau kau mau ambil peta itu, ambil pula nyawaku!"

"Aduuuh, sayang sekali aku harus bertindak kasar padamu, Badai Kelabu! Bersiaplah untuk mati, Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan badan dengan gemulai, mirip orang mau menari. Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu tangan itu meliuk pula ke arah depan dengan satu kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang kanan ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan, tubuhnya sedikit meliuk ke belakang, wajahnya agak mendongak, tapi mata tetap tertuju ke depan.

Di balik semak, Dewa Racun berbisik kepada Suto, "Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau mau menari?"

"Memang begitulah jurus yang dimilikinya, barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi seberapa besar tinggi ilmunya, kita masih belum bisa pastikan!"

"Dia desak Bad... Bad... Badai Kelabu untuk minta peta. Menurutmu pet... pet... pet...!"

"Peta! Menurutmu peta apa yang diminta? Apakah peta harta karun atau peta penyimpanan harta pus... pus... pus...."

"Pusaka!" sentak Dewa Racun dalam suara bisik yang jengkel.

Suto tersenyum menahan tawa dan ucapkan kata pelan, "Kita belum jelas peta apa yang diinginkan orang itu. Lihat saja, nanti kita juga akan tahu sendiri, Dewa Racun!"

Orang kerdil itu diam, tak lagi ajukan tanya. Mata orang kerdil terlempar pandang ke arah Badai Kelabu yang sedang bergerak menunggu kesempatan menyerang lawannya.

"Majulah, Setan! Tak segan-segan kuremukkan batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"

"Hmm...!" Tanjung Bagus melenggokkan kepala sambil mencibir genit dengan tangan masih bergerak-gerak seperti orang menari. Katanya lagi. "Jangan hanya bisa berkoar besar saja kau, Setan sawah! Tunjukkan kebolehanmu! Kulawan jurusmu dengan pukulan 'Daun Melambai'!"

Tanjung Bagus meliukkan badan dengan sangat lentur, hingga dadanya membungkuk hampir menyentuh tanah, kedua kakinya merentang lebar-lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana-sini sebagai upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.

Tiba-tiba Badai Kelabu setengah membungkuk lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua tangannya membentuk cakar kucing yang mencakar bagian di depannya secara berganti-ganti.

Wut wut wut wut...!

Plak plak plak plak...! Blakkk...!

Pukulan Badai Kelabu yang menyerupai cakaran kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan cepat tangan Tanjung Bagus. Kemudian, keduanya sama-sama memperoleh kesempatan untuk menghantamkan telapak tangannya. Tanjung Bagus berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah pundak kanan lawan, dan Badai Kelabu berhasil menghantam rahang Tanjung Bagus dengan telak sekali. Keduanya sama-sama terpental jatuh di tanah. Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan saling berdiri tegak siap menyerang kembali.

"Hmm...! Aku tahu dada kananmu memar!" kata Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna biru di dada kananmu, walau tertutup kain bajumu!"

"Hmm...!" Badai Kelabu pun sunggingkan senyum sinis. "Aku juga tahu gigi rahangmu yang belakang patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau simpan, nanti tertelan!"

"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel setelah meludah, karena memang gigi gerahamnya patah, dan bagian yang patah itu baru saja diludahkan keluar.

Sementara itu, Badai Kelabu menggerakkan pundak kanannya, karena memang pukulan Tanjung Bagus membekas biru di dada kanannya dan terasa sakit bagai disengat kalajengking. Gerakan pundak itu sebagai gerakan penahan rasa sakit di dada kanan.

Tiba-tiba keduanya sama-sama sentakkan kaki dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan, Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke bawah, sedangkan tangan kirinya maju ke depan siap menangkis pukulan lawan.

Tubuh mereka saling berbenturan diudara. Tangan kiri Badai Kelabu mengibaskan pukulan tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung Bagus berhasil menghantam dada kanan Badai Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu masuk ke tengah dada Tanjung Bagus. Tubuh mereka saling dorong, sama-sama terpental kebelakang. Lalu keduanya sama-sama mendaratkan kaki di tanah dengan kaki merendah, dan badan sama-sama sedikit melengkung ke depan.

Badai Kelabu tampak memucat, demikian pula Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara dalam tiga helaan napas. Tapi mata mereka saling beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus. Meleleh melalui sudut bibir. Sesaat kemudian keluar juga darah dari mulut Badai Kelabu, mengalir lewat pertengahan mulutnya.

"Cuih...!" Badai Kelabu meludahkan darah ke samping.

"Cuih...!" Tanjung Bagus pun meludahkan darah ke depan.

Badai Kelabu menyapu bibirnya dengan lengan baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain jubah. Beberapa saat setelah mereka sama-sama diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata, "Menyerahlah, Badai Kelabu! Serahkan peta itu padaku sebelum kuputuskan untuk mengakhiri riwayat hidupmu!"

"Jangan lagi bicara soal peta! Sudah kukatakan, aku tak menyimpan peta itu! Tapi kalau kau berkeras hati untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan siapa yang lebih dulu tercabut nyawanya!"

"Manusia keras kepala!" geram Tanjung Bagus, kemudian kedua tangannya cepat bergerak dari samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat. Wuuttt...! Pukulan tenaga dalam terlepas dari kedua tangan yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan tenaga dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis. Sasarannya tubuh Badai Kelabu.

Maka dengan cepat Badai Kelabu sentakkan kaki, tubuhnya melayang ke atas melewati batas gerakan sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu sentakkan dua jarinya dan meluncurlah sinar merah ke arah Tanjung Bagus.

Wuusss...!

Tanjung Bagus hanya miringkan badan ke samping dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah lewat di depannya, menghantam gugusan batu di kejauhan sana.

Blarr...! Gugusan batu itu pecah. Sementara sinar kuning dari Tanjung Bagus menghantam sebatang pohon berukuran satu pelukan manusia dewasa. Pohon itu tumbang dalam keadaan patah tak beraturan.

Brukkk...!

Tetapi di luar dugaan, telapak kiri Badai Kelabu bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke samping dengan merapatkan kaki tadi. Sebuah pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat dan menghantam pinggang Tanjung Bagus.

Buhggg...!

Tubuh Tanjung Bagus tersentak naik dan oleng ke samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat dorongan angin besar. Sampai di bawah sebuah pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu lutut dan ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Carilah peta itu ke neraka, Banci kurap! Hiaaat...!" Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga dalamnya melalui dua jari yang disentakkan ke depan dalam posisi tangan tengadah ke atas. Dari jari itu kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang.

Tanjung Bagus dalam keadaan lemah dan tak bisa bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak menghindar, lututnya terpeleset dan ia jatuh bertumpu tangan ditanah. Saat itu, sinar merah telah mendekat dan sangat dekat. Tapi tiba-tiba, wesss...!

Sesosok bayangan berjubah hitam melesat dan mengangkat tubuh Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai batang pohon, dan pohon itu pun pecah. Blarrr...! Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah berada di gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat Badai Kelabu berdiri.

Seorang nenek keriput sudah berdiri di samping Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh tahun itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian dalam dan celana berwarna putih kusam. Rambut putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya dibiarkan terurai sebatas punggung. la menggenggam tongkat berujung lengkung mirip tanda tanya. Tongkat itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu genggaman tangan. Mungkin hanya separo genggaman.

Badai Kelabu mengenali nenek kurus itu, karenanya dia segera menyapa dengan suara lantang. "Kau ingin membela muridmu juga, Nini Pasung?"

"Seorang Guru sudah selayaknya menyelamatkan muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara tuanya yang kecil melengking itu.

"Jika kau ingin selamatkan muridmu, cepatlah bawa pulang si Banci rapuh itu!"

"Hi hi hi hi...! Membawa pulang adalah hal yang mudah, Badai Kelabu. Tapi kulihat dia belum dapatkan peta itu darimu!"

"O, jadi kau yang suruh dia merebut peta dariku?"

"Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk jalan menuju gua itu, di mana terdapat Kolam Sabda Dewa! Hihihi...! Kurasa bukan hanya aku yang membutuhkan Kolam Sabda Dewa, tapi murid banciku ini juga membutuhkannya, untuk mengubah nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia ingin menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"

Kasak-kusuk di balik semak kembali terdengar, yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun. "Rupanya perempuan cantik itu banci?! Dia seorang lelaki?!"

"Kkaau... kau... tertipu, Suto! Kita berdua tertipu. He he...!"

"Ssst...!" Pendekar Mabuk mengingatkan supaya tawa Dewa Racun diredam agar suara mereka tidak terdengar. "Apakah kau pernah dengar Kolam Sabda Dewa, Dewa Racun?"

"Belum pernah! Ak... ak... aku tak tahu apa kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"

"Pasti kolam yang sangat penting dan punya nilai tinggi. Jika tidak, tak mungkin Tanjung Bagus dan gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta dari tangan Badai Kelabu!"

"Dan pas... pas... pas...!"

Pasar?!"

"Pasti! Dan pasti Badai Kelabu mengetahui apa kehebatan kolam tersebut, Suto! Jadi, nanti kamu tanyakan sendiri saja kepadanya!"

"Ya. Tapi aku tak sabar menunggu pertarungan mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat menemui gurunya Badai Kelabu untuk melakukan pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau Beliung sebelum Hantu Laut mengamuk di sana dengan Pusaka Tombak Maut di tangannya! Aku harus membantu Badai Kelabu agar cepat selesai urusannya...."

"Ssst...! Jang... jang... jang...."

"Jangkrik!"

"Jangan! Maksudku... jang... jangan dulu bertindak. Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan urusannya sendiri. Kalau memang dia terdesak, bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."

"Bantai!"

"Bantuan!" sentak Dewan Racun dengan gemas dan bersuara lirih.

"Menurutku Nini Pasung Jagat itu tidak seimbang jika melawan Badai Kelabu. Perempuan tua itu berilmu tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung Bagus saja sudah terlihat dia berilmu tinggi. Badai Kelabu bisa mati di tangannya. Aku harus segera menolongnya!"

"Ya. Tapi lakukanlah secara sem... sem..."

"Semut?"

"Sembunyi-sembunyi!" geram Dewa Racun dengan kegagapannya sendiri. "Tap... tapi... lihatlah, di atas pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"

"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan berpakaian merah di atas pohon itu memihak siapa? Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"

DUA

NlNI Pasung Jagat segera turun dari tempat yang tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali. Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin gelap. Ketika ia mendaratkan kakinya di tanah, jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil tetap berpegang pada tongkat melengkung setinggi telingahnya.

Badai Kelabu pasang kuda-kuda dengan penuh waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas kepala, telapak tangannya terbuka menghadap ke depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan dada, sebagai persiapan menangkis serangan mendadak dari depan.

"Hi hi hi hi...," Nini Pasung Jagat tertawakan gaya siaga dari lawannya. "Untuk apa kamu bersiap menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu? Apakah kamu pikir kamu bisa mengalahkan diriku? Apakah kamu pikir kamu bisa mematahkan seranganku?"

"Majulah kalau kau ingin mencoba ilmuku, Nini Pasung Jagat!"

"Hi hi hi hi...! Gurumu saja tunduk di depanku, apalagi kamu yang masih kemarin sore, Badai Kelabu!"

"Omong kosong! Guruku tak pernah berhadapan denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat guruku!" ketus Badai Kelabu.

"Kalau perlu, panggillah gurumu! Suruh dia menghadapiku sekarang juga! Kutunggu dia di sini!"

"Cukup aku yang menghadapimu, Nenek peot!"

Nini Pasung Jagat menggeram, menahan amarah dikatakan sebagai nenek peot. Tangannya menggenggam tongkat dengan kuat-kuat. Giginya yang sebagian ompong bagian depan itu menggeletak. Tiba-tiba rumput di bawah telapak kakinya itu bergerak-gerak. Warnanya berubah jadi kuning kecoklatan, lalu coklat tua dan akhirnya kering dalam keadaan hitam. Asap mengepul dari telapak kaki Nini Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya terpendam kuat-kuat hingga tenaga dalamnya tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang diinjaknya.

Jika tenaga dalam itu disentakkan ke depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya tenaga dalam itu muncul dari ilmu yang cukup tinggi. Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit, tapi cepat-cepat ia buang kegentaran hatinya.

"Badai Kelabu!" geram Nini Pasung Jagat. "Aku merasa sayang jika harus melukai tubuhmu. Kau perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya jika kecantikan itu harus kulukai. Ada baiknya kita berdamai saja. Kutukar peta Kolam Sabda Dewa itu dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"

"Aku tidak butuh perhiasan lagi! Aku sudah cukup banyak mempunyai perhiasan, Nini!"

"Bagaimana jika kutukar peta itu dengan jurus 'Rembulan Berdarah'?! Jurus ini belum pernah kuturunkan kepada murid siapa pun juga, karena merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau tak akan rugi menukar peta Kolam Sabda Dewa dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"

"Aku tidak butuh jurus murahanmu itu, Nenek peot!"

"Laknat kau!" sentak Nini Pasung Jagat, hilang sudah kesabarannya. Maka, dengan cepat ia sentakkan kakinya, dan tubuhnya melayang terbang ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai ingin menggaet leher lawannya.

Tapi Badai Kelabu sudah siap menghindar atau menangkis. Karena ia tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka Badai Kelabu pun segera sentakkan kaki dan melompat ke arah samping.

Wuusss...! Tongkat itu menebas tempat kosong. Tapi angin tebasannya cukup besar, hingga tubuh Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari tempatnya berdiri.

Nini Pasung Jagat bergerak memutar seperti orang mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar, hingga jubahnya mengembang mekar mirip bunga matahari. Tongkatnya direntangkan siap menyabet apa saja yang didekatinya.

Badai Kelabu cemas akan dirinya yang terdesak di antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu. Dengan berpijak pada pohon, ia bergerak naik dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing-masing berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat sentakkan kedua kaki dan tubuhnya melayang terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali, Wutt wuttt...!

Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat menyambar dua batang pohon pinus yang tadi digunakan panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu tongkat itu mengenai batang pohon, terdengarlah suara ledakan yang cukup keras dua kali. Bukan hanya Badai Kelabu yang tersentak kaget, tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan bersimpuh itu pun terkejut sehingga latah bancinya keluar.

"Eh, Ala... kuda, kucing, babi, kambing, marmut...! Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!" suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah lagi dari mulutnya. Darah itu adalah darah akibat luka pukulan Badai Kelabu tadi.

Badai Kelabu benar-benar tak diberi kesempatan menyerang oleh Nini Pasung Jagat. Setelah Badai Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari rubuhnya dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan menggunakan telapak tangan kirinya yang berwarna hitam separo itu. Wusss...!

"Modar kau, Bocah laknat!" teriak Nini Pasung Jagat. Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang seperti gulungan asap hitam, kadang menyala merah seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai Kelabu. Gerakannya begitu cepat, bahkan mengikuti ke mana pun perginya Badai Kelabu.

Perempuan muda itu kewalahan, berjumpalitan kesana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan asap yang berubah-ubah bentuk itu. Kadang Badai Kelabu menghindari dengan sentakan kaki yang membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi gumpalan asap itu ikut melesat naik memburu tubuh Badai Kelabu.

"Hi hi hi...! Tak akan bisa kau menghindari jurus 'Rembulan Berdarah', Bocah laknat! Itulah jurus yang akan kuturunkan padamu, tapi kamu menyepelekannya! Dan, ini satu lagi...! Hiaaat...!"

Kini dua gulungan asap hitam yang sering berubah menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya begitu cepat, sehingga Badai Kelabu merunduk, menggeliat ke samping, melompat dan bergerak apa saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap tersebut. Bahkan sampai Badai Kelabu berguling-guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih terus mengejarnya dari dua arah.

Kejap berikutnya Badai kelabu sentakkan kaki dan melesat tinggi. Tapi dari arah bawah ia dikejar gulungan asap pertama, dari arah belakang ia dihampiri gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar-benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya, mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang memancarkan warna biru. Namun warna sinar biru itu padam seketika begitu membentur gulungan asap. Dan ia masih diburu oleh dua gulungan asap sebesar kepala manusia dewasa.

Tiba-tiba dua gulungan asap itu pecah dan menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi. Pohon-pohon bergetar, daunnya berguguran. Tubuh Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan batu jika tidak segera berkelit lalu berguling di rerumputan.

Di atas tanah tinggi, Tanjung Bagus tersentak. Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik latah. "Kambing, kucing, kodok, jangkrik, babi ngepet...! Suara apa itu tadi, ya...?!" ia menjadi tegang dan ketakutan. Buru-buru ia menelungkupkan diri dengan kepala sedikit tersumbul mencari tahu penyebab suara ledakan yang menggelegar itu.

Sedangkan Nini Pasung Jagat terkesiap beberapa saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti bergerak bagaikan patung. Tapi matanya memandang kepulan asap yang membubung tinggi akibat dua ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu. Dalam hatinya ia membatin, "Keparat mana yang bisa meledakkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku?! Baru sekarang kulihat ada orang mematahkan jurus andalanku itu! Monyet kering!" rutuknya tiada berkesudahan.

Badai Kelabu terengah-engah. Terlalu letih tubuhnya bergerak menguras tenaga saat menghindari maut tadi. la masih terkulai di bawah pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap menghujamkan ujung tongkat yang tumpul itu, namun tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

Sebelum nenek keriput dan kurus itu menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba sebuah sinar hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat Nini Pasung Jagat hadangkan telapak tangan kirinya, dan sinar hijau bening itu menghantam telapak tangan kiri yang belang separo itu.

Blabbb...!

Letupan teredam mempunyai sentakan tenaga cukup kuat. Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke belakang, namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat jatuh. la kembali bisa berdiri tegak, memandang ke arah kiriman sinar hijau tadi.

"Babi kurap! Kau ikut campur juga rupanya?!" geram Nini Pasung Jagat kepada perempuan yang baru saja turun dari pohon.

Perempuan muda berusia sebaya dengan Badai Kelabu itu mengenakan rompi ketat tertutup depannya berwarna merah tua, celananya hitam bersabuk kuning kehitam-hitaman. la punya wajah lonjong, berambut panjang dikepang satu, melilit di lehernya. Ia mengenakan ikat kepala dari tali putih halus, sepertinya terbuat dari benang-benang sutera, ia menyandang pedang yang panjangnya setengah depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang coklat itu melintang di dadanya yang sekal. Perempuan itu adalah orang yang dilihat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun tadi.

Melihat kemunculan perempuan berambut kepang, Nini Pasung Jagat yang sudah mengenal siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri dalam hatinya. "Pukulan sinar hijaunya tidak seberapa. Tapi sehebat itukah dia? Begitu tinggi ilmu yang dimiliki jika benar dia yang telah menghancurkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku tadi?! Mungkinkah dia mempunyai kekuatan yang begitu hebat hingga bisa mematahkan jurusku? Tak disangka kalau dia ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan Berdarah', padahal belum lama ini Tanjung Bagus pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia punya ilmu tinggi yang bisa menghancurkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku tadi, mestinya ia dengan mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"

Melihat kemunculan temannya, Badai Kelabu merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata, "Terima kasih atas pertolonganmu, Melati Sewu! Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan, matilah aku. Sudah habis tenagaku untuk menghindarinya!"

"Bukan aku pelakunya," jawab Melati Sewu dengan berbisik, lalu ia menolong Badai Kelabu untuk bangkit. la kembali berbisik, "Justru aku sedang mencari siapa orang yang bisa menghancurkan jurus maut Nini Pasung Jagat itu?"

"Kalau begitu...," Badai Kelabu tidak melanjutkan kata-katanya. la segera membatin, "Pasti Pendekar Mabuk yang melakukannya! Hampir aku lupa kalau aku membawa Suto dan Dewa Racun. Tapi, sebaiknya biarlah mereka berada di tempatnya dulu. Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu kekuatan Melati Sewu!"

Segera terdengar kata-kata lepas dari Nini Pasung. "Melati Sewu! Kau datang ke pertarungan ini untuk serahkan peta Kolam Sabda Dewa atau untuk serahkan nyawa?!"

Tapi Melati Sewu berbisik kepada Badai Kelabu, "Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat? Aku hampir saja menyusulmu ke pulau Beliung, tapi terhenti di sini dan melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"

"Batu Galih Bumi tidak kudapatkan, Melati Sewu! Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya cukup tinggi."

"Kalau begitu, cepat kita bawa dia ke pesanggrahan biar Guru segera dapat tertolong!"

"Ya. Tapi bereskan dulu urusan ini, baru kita bawa dia ke sana!"

Nini Pasung Jagat membentak dengan suara keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"

Tapi Melati Sewu sengaja berbisik kepada Badai Kelabu supaya kemarahan Nini Pasung Jagat menyerang diri sendiri. "Kau istirahatlah, biar aku yang maju! Tapi tetap waspada!"

"Baik! Aku akan membantumu dari belakang!" Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat sentakkan tangan kirinya dengan jari berbentuk cakar. Wuttt...! Sebuah pukulan tanpa wujud dilepaskan untuk menegur sikap kedua perempuan itu yang dianggap meremehkan dirinya.

Tetapi Melati Sewu sudah siaga, Dengan cepat ia pun sentakkan tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling berbenturan di pertengahan jarak mereka. Asap mengepul naik, lalu hilang terbawa angin.

"Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung Jagat. "Jika kau memiliki peta itu, serahkan padaku! Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban sia-sia dalam pertarunganku ini!"

"Aku tak punya peta dan tak punya niat untuk menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan berani.

"Kalau begitu, terpaksa aku menghancurkan tubuhmu yang ramping keropos itu! Hiaaat...!"

Nini Pasung Jagat sentakkah tongkatnya. Nyala api biru melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi Melati Sewu tak kalah sigap. la kibaskan kepalanya dan kepang rambut pun lepas berkelebat menyabet bola biru itu. Tarr...!

Kepang itu melecut kuat, bola biru dihantamnya dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut itu segera ditarik kembali dan bergerak melilit ke leher lagi dalam satu sentakan kepala kecil. Wuttt... slleb!

"Hiaaaat...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras melayang melewati kepala Nini Pasung Jagat. Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak Melati Sewu yang beberapa waktu lalu hampir merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di tepi pantai. Tanjung Bagus telah mencabut dua trisulanya. Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi cepat ditusukkan ke dada Melati Sewu.

Tapi dengan cekatan Melati Sewu miringkan badan sehingga tusukan itu mengenai tempat kosong. Seketika itu juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan menyamping. Buhggg...! Cukup kuat pukulan menyamping dari Melati Sewu. Kena telak di bawah pundak kiri Tanjung Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik tertahan dengan langkah tersentak mundur dua tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan kedua trisulanya diadukan diatas kepala. Trangng...! Perpaduan dua trisula itu menimbulkan loncatan api biru yang segera menyambar Melati Sewu.

Melati Sewu mencabut pedang sambil bersalto ke belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya tersebut mengenai tempat kosong. Hanya membakar ilalang di belakang Melati Sewu. Sedangkan Melati Sewu sendiri cepat sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya itu ditebaskan ke arah Tanjung Bagus. Cepat-cepat Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil menyilangkan trisulanya diatas kepala untuk menahan tebasan pedang bergerigi.

Trangng...!

Cahaya api memercik akibat perpaduan pedang bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama tidak peduli. Mereka sama-sama jauhkan diri untuk cari peluang menyerang yang lebih baik lagi. Tapi pada saat Melati Sewu pijakkan kakinya ke bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus 'Rembulan Berdarah' lagi ke arah Melati Sewu. Gumpalan asap hitam melesat berganti-ganti wujud.

Badai Kelabu berseru dengan cemas. "Awas! Dia gunakan pukulan itu lagi...!"

Melati Sewu cepat sentakkan kaki dan berjungkir balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba-tiba meledak di pertengahan jarak.

Blarrr...!

"E, ala... kadal, babi, kambing, kucing, singa, semut...!" terlepas serapah latah dari mulut banci Tanjung Bagus. Ledakan itu sangat mengagetkan dan mengguncangkan bumi.

Melati Sewu terpental akibat hentakan daya ledak tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu. Kepala itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang mengalir perlahan di keningnya. Tapi ia cepat sigap berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.

Saat itulah muncul Pendekar Mabuk dengan bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa Racun yang tahu, bahwa ledakan yang mematahkan jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Jari Guntur'. Satu sentilan mempunyai tenaga dahsyat yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan Berdarah' itu.

Melihat kemunculan Pendekar Mabuk berwajah tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata berbinar-binar. Nini Pasung Jagat terperangah heran, demikian pula Melati Sewu. Mereka sama-sama belum pernah bertemu pendekar setampan itu dengan daya tarik yang luar biasa menggetarkan hati.

Melati Sewu mundur sampai mendekati Badai Kelabu dan berbisik, "Siapa dia?"

"Tabib muda yang kusebutkan tadi," bisik Badai Kelabu

"Luar biasa tampannya!"

"Lupakan hasratmu jika kau ingin memilikinya. Dia pemuda yang dingin terhadap perempuan! Tak punya minat bercinta sedikit pun!"

"Akan kucoba untuk melupakannya!" bisik Melati Sewu dengan masih memegang pedang bergeriginya.

Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar kegirangan. Tak mau ia kedipkan mata barang sekejap saja. Bahkan kini ia masukkan trisulanya dan mendekati pendekar tampan itu sambil jalannya melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan jenisnya.

"Tanjung Bagus!" sentak Nini Pasung Jagat. "Jangan dekati dia!"

"Aduh, Nini... jahat amat! Aku cuma mau dekat ke situ kok!" sambil Tanjung Bagus bergaya manja.

"Kurasa dia yang mematahkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku! Berarti dia musuh kita, Tanjung Bagus!"

"Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin dekat tak apalah"

"Mundur kau!" bentak Nini Pasung Jagat. Kali ini diiringi mata membelalak galak.

Tanjung Bagus terpaksa mundur dengan wajah kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini. "Uuh...! Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa bedakan mana musuh mana kekasih! Uuh...! Benci aku! Benci aku!"

Nini Pasung Jagat melirik muridnya, sang murid tak berani menggerutu lagi, tapi wajahnya tetap cemberut. Kemudian Nini Pasung Jagat tatapkan mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat bicara dengan nada ketus tak bersahabat. "Apa maksudmu mematahkan jurus Rembulan Berdarah-ku?"

"Sekadar mengingatkan kau, bahwa jurus berbahaya itu tak pantas kau pakai untuk menyerang kedua perempuan itu!" jawab Suto Sinting, lalu ia ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di depan Nini Pasung Jagat. Beberapa teguk tuak cukup sudah sebagai pembasah tenggorokannya.

"Kau telah campur tangan dalam urusanku!" Nini Pasung Jagat mendekat dengan langkahnya yang masih tegas. Lalu, ia sipitkan mata dan berkata dalam geram, "Sekali lagi kau ikut campur dalam urusanku, tak segan aku merobek-robek wajah tampanmu! Mengerti?!"

"Aku kurang mengerti," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.

"Manusia bodoh!"

"Bagaimana kau bisa merobek wajahku kalau menamparku saja tak bisa kena?!"

"Siapa bilang! Nih, rasakan...! Hiih...!"

Plakkk...! Keras sekali tamparan itu mendarat di pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini Pasung Jagat. Tapi melihat Pendekar Mabuk hanya tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.

"Tamparanmu terlalu ringan, Nini! Mana bisa menghancurkan wajahku?" kata Suto bagai memancing kemarahan nenek tua itu.

"Kurang ajar! Kalau kau ingin yang lebih keras, terimalah pukulan 'Elang Rakus' ini! Hihh...!"

Nini Pasung Jagat sodokkan tongkatnya dari bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali sodokannya. Wajah Pendekar Mabuk sempat tersentak ke belakang.

Desss...!

"Aauh...!"

Bukan Pendekar Mabuk yang memekik kesakitan, tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung Jagat. Badai Kelabu dan Melati Sewu memandang heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut tersentak ke belakang. Mereka segera lupakan hal itu, karena Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi seringainya menandakan seringai kesakitan yang sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya karena latah, tak perlu Tanjung Bagus menyeringai kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan darah kental.

Pendekar Mabuk tetap tersenyum kalem memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi heran juga dalam hatinya. Pendekar Mabuk segera berkata, "Mengapa tak kau gunakan pukulan 'Rembulan Berdarah'?! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah' bisa membuatku bergeser dua tindak!"

"Manusia sombong! Untuk membuatmu bergeser dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan Berdarah'. Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis Menjilat Karang', kau akan terlempar mundur lima tombak lebih jauhnya!"

Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan macam apa itu? 'Iblis Menjilat Karang', jelas itu pukulan iblis kurang kerjaan!"

Merasa diremehkan, Nini Pasung Jagat segera sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat. Pukulan yang menggunakan punggung pergelangan tangan itu menghantam telak dada Pendekar Mabuk.

Buhkkk...!

"Heggh...!"

Tanjung Bagus tersentak dengan pekik tertahan dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang bagaikan terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak lebih, punggungnya membentur pohon besar.

Blugg...!

Nini Pasung Jagat terkejut. Suto yang dipukul tapi muridnya sendiri yang terlempar jauh dan mulutnya mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat Karang' diderita oleh Tanjung Bagus. Nini Pasung Jagat tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang dipukul, orang lain yang merasakannya. Rasa sakit itu dialihkan Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat Tanjung Bagus beradu pandang dengannya. Jika bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto memiliki ilmu sehebat itu.

Nini Pasung Jagat segera mundur dua tindak sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut tajam. "Jahanam kau! Ternyata kau memiliki ilmu 'Alih Raga'! Setahuku hanya satu orang yang memiliki ilmu 'Alih Raga', yaitu si Gila Tuak dari tanah Jawa!"

"Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"

"Muridnya...?! Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, tidak! Aku tidak percaya! Tidak percaya...!" sambil Nini Pasung Jagat menjauh dengan wajah tegang. la hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena pukulan 'Iblis Menjilat Karang' tadi, lalu ia panggul banci genit itu, dan ia pun segera lari sambi! meninggalkan seruan, "Aku tak percaya! Aku tak percayaaaa...!"

Satu hal yang ada di dalam otak Suto Sinting adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung Jagat tidak percaya bahwa dia adalah murid si Gila Tuak.

* * *

TIGA

MELATI Sewu pasang lagak judes di depan Pendekar Mabuk. Hal itu ia lakukan supaya tak ada yang tahu bahwa hatinya mengagumi ketampanan Pendekar Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu mengetahui bahwa ia tertarik dengan Pendekar Mabuk yang sering bersikap acuh tak acuh kepadanya itu.

"Aku sangsi, apakah anak muda ini bisa menyembuhkan penyakit Guru atau hanya mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai Kelabu. Sengaja suaranya diperkeras supaya Suto mendengarnya.

Tapi Suto Sinting berlagak tidak mendengar ucapan itu. Dengan seenaknya ia menenggak tuak dari dalam bumbung bambunya, setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.

"Apakah kau belum melihat kehebatannya yang bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi? Apakah kau masih belum menyadari bahwa dia berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa sakit ke tubuh orang lain, seperti yang dialami Tanjung Bagus tadi?"

"Hanya itu yang kulihat. Mungkin memang hanya itu kehebatan yang ada padanya! Selebihnya ia tak memiliki ilmu apa-apa!"

"Jangan bicara begitu! Kubawa dia kemari dengan bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau sama saja meremehkan usahaku dalam mencari kesembuhan bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu terancam bahaya. Jika tidak bersamanya, mungkin aku tak akan sampai di pulau ini lagi, Melati Sewu!"

Akhirnya wanita berkepang panjang itu angkat bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau yakin dia bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti seperti apa kehebatannya."

"Badai Kelabu!" panggil Suto dengan mata memandang sekeliling. "Apa nama buah yang warnanya merah itu?"

"O, itu buah Malagasi! Kalau kau lapar, jangan kau makan buah itu, Suto. Sebab buah itu beracun ganas"

Pendekar Mabuk memandangi pohon mirip pohon palem yang mempunyai buah warna merah segar sebesar satu genggaman tangan. Ada banyak buah di pohon itu, tapi menurut keterangan Badai Kelabu, semua buah Malagasi mempunyai racun yang mematikan.

"Seorang perampok yang tertangkap oleh guruku dipaksa makan buah Malagasi. Baru tiga gigitan perampok itu tubuhnya jadi membiru semua, dan akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh hitungan sejak ia makan buah Malagasi."

Suto mendekati pohon buah Malagasi itu, lalu pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon tersebut. Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi membuat satu buah jatuh ke bumi dan cepat ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!

"Pendekar Mabuk, apa yang ingin kau lakukan dengan buah itu?!"

"Aku ingin mencoba memakannya. Tergiur hati ku untuk mencicipi kesegaran buah ini!"

"Jangan! Sudah kubilang buah itu beracun ganas yang mematikan! Kami sering menggunakannya untuk merendam senjata tajam kami!"

Tapi Pendekar Mabuk nekat. Buah itu dicuci dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk mencuci buah tersebut. Badai Kelabu kebingungan mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi Pendekar Mabuk, tapi Melati Sewu berbisik,

"Tabib bodoh begitu kau bawa kemari! Dia belum bisa membedakan mana makanan yang beracun dan yang tidak beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"

"Suto...!" Badai Kelabu ingin mencegahnya, tapi ragu-ragu. Dan Suto dengan santainya menggigit buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara krus, krus...! Tampak nikmat sekali.

"Hmm...! Enak sekali. Buah ini rasanya seperti jambu sukun! Manis dan segar!" kata Pendekar Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.

Dalam kecemasan yang mendebarkan jantung, Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu, "Hitunglah sampai dua puluh kali. Belum mencapai hitungan kelima belas, dia akan jatuh ke tanah dan mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"

Karena Badai Kelabu dicekam kecemasan yang membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang menghitung dengan suara pelan, "Satu, dua, tiga, empat..."

Badai Kelabu bergegas mendekati Pendekar Mabuk dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon buang buah itu! Jangan teruskan makan buah itu, Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di pulau ini, aku tahu mana buah yang bisa dimakan dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar Mabuk! Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"

"Nyatanya sudah lebih dari lima gigitan, badanku tidak biru!"

Mata perempuan itu memandang dengan dahi tetap berkerut menandakan kecemasannya yang tinggi. Tubuh Suto diperhatikan. Tak satu pun bagian tubuh Suto yang tampak membiru karena racun.

Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung dengan jantung berdebar-debar, "Tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas...."

Pendekar Mabuk berkata kepada Badai Kelabu, "Kalau temanmu itu kurang percaya dan meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita batalkan saja rencana kita untuk menyembuhkan gurumu!"

"Tidak! Jangan begitu, Pendekar Mabuk! Jangan hiraukan ucapan Melati Sewu tadi! Dia tidak tahu siapa dirimu!"

"Mungkin sebentar lagi dia akan tahu!"

"Ya. Tapi, kumohon buanglah buah itu dan... dan...!" ucapan Badai Kelabu terhenti setelah menyadari Pendekar Mabuk hampir habis memakan buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya yang mematikan. Bahkan samar-samar terdengar suara Melati Sewu menghitung.

"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam...!" Melati Sewu pun berhenti menghitung. Lalu, ia membatin, "Mestinya ia sudah mati seperti perampok tempo hari. Tapi sampai hitungan keempat puluh enam dia belum mati! Aneh?! Manusia apa dia itu sebenarnya? Malagasi dimakannya begitu saja! Bahkan… oh, bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu?! Edan! Tak pernah ada orang bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi! Hmmm... ya, ya. Aku tahu sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya karena mendengar ucapanku tadi meremehkan dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi! Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi!"

Sementara itu, Suto segera berdiri dengan santainya, Badai Kelabu berbisik, "Bagaimana kau bisa tetap hidup setelah memakan habis buah beracun ganas itu?!"

"Sebelumnya kucuci dulu dengan tuakku!"

"O, pantaaas...!"

Pendekar Mabuk tersenyum menang, Badai Kelabu tertawa geli sendiri. Namun mendadak mereka dikejutkan dengan suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari Melati Sewu. Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu cepat menghampiri ke balik gugusan batu tempat Melati Sewu berada.

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu dengan suara kaget, karena pada saat itu ia melihat Melati Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah. Mulutnya mengeluarkan darah kental. Di bagian dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas tangan dengan lima jari. Jelas ia terkena pukulan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Siapa yang menyerangmu, Melati Sewu?! Siapa...?!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta ia mencabut pedangnya. Srett...! Ia melompat dengan lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu. Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.

Pendekar Mabuk segera menolong tubuh Melati Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu. Tubuh tersebut dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih ingin berontak, tak mau dibaringkan. Matanya masih bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit dan tak mau dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.

Cemas hati Suto saat itu, karena ia bisa menduga apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke belakang dua tindak. la biarkan Melati Sewu berdiri dengan berpegangan pada gugusan batu yang menjulang tinggi itu.

"Aku... tak butuh pertolonganmu!" katanya kepada Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak merasa tersinggung. la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati Sewu. Darah kembali tersontak dari mulutnya.

Pendekar Mabuk hanya membatin, bahwa pukulan itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar racun yang cukup berbahaya.

"Diam di situ, Melati! Biar kucari penyerang gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu cepat ia memeriksa keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.

Tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat di depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya makin sayu itu masih sempat mengibaskan tangan, seakan ingin menepiskan tangan Pendekar Mabuk. la pun masih sempat berkata, "Tak perlu kau anggap lemah aku! Aku masih mampu... membalas serangan lawanku...."

"Aku hanya menangkap anak panah yang tadi hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar Mabuk sambil menunjukkan anak panah yang sudah tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran ada gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus dada Melati Sewu itulah, maka tadi Suto berkelebat tangannya di depan dada perempuan itu, hanya untuk menangkap gerakan anak panah tersebut.

Bahkan kali ini, ketika Suto Sinting memandang sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah bagian ekornya. Anak panah itu melesat dengan cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi gerakan mata Suto menangkap kelebatan benda kecil tersebut. Cepat-cepat Suto melompat di depan Melati Sewu yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari punggung.

Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat, dan Melati Sewu tak mengerti apa yang dilakukan Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu. Tapi ia segera melihat ada anak panah lagi di tangan Pendekar Mabuk yang sama pendek ukurannya dengan anak panah pertama, kira-kira hanya berukuran dua jengkal.

Brukk...! Tiba-tiba Melati Sewu jatuh bagaikan cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali tubuhnya. Dan telapak tangannya pun terasa dingin bagaikan es. Napasnya terhirup dengan tipis, hampir tak terlihat gerakan dadanya dalam menghirup napas.

Pendekar Mabuk buru-buru memaksa mulut Melati Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu datang sehabis memeriksa sekeliling dan mengatakan, "Tak ada manusia di sekeliling sini!"

"Lupakan manusia itu! Bantu aku membuka mulut temanmu ini, biar kupaksakan dia meneguk tuakku. Lukanya sangat parah dan berbahaya!"

Badai Kelabu memaksa mulut Melati Sewu terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari bumbungnya dengan perlahan-lahan. Beberapa teguk tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu, Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya.

"Biarkan ia berbaring dulu!" kata Pendekar Mabuk sambil melangkah dengan pelan, seakan sedang memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada anak panah yang terselip di tangan Pendekar Mabuk. la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu bahwa Suto saat itu sedang gelisah dan sengaja menjauhinya. Sampai di bawah sebuah pohon, Suto berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan bersandar di pohon itu. Tangannya mempermainkan kedua anak panah tersebut. Pendekar Mabuk berbicara pelan, "Dewa Racun turunlah!"

Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Pendekar Mabuk agak jengkel. Kaki kirinya menendang pelan batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba pohon itu berguncang, sesuatu jatuh dari atas Suto. Dewa Racun menyeringai memegangi pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk. Tulangnya terasa sakit membentur tanah keras. la jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar Mabuk hanya diam saja, tetap tenang sambil memandang was-was ke arah gugusan batu tempat Badai Kelabui merawat Melati Sewu.

Kedua anak panah yang berhasil ditangkap Suto itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun. Orang kerdil berkepala botak di bagian tengahnya itu segera mengambil anak panah itu setelah Pendekar Mabuk berkata, "Simpanlah anak panahmu itu! Jangan gunakan lagi untuk menyerang teman sendiri!"

Dewa Racun berdiri di depan Pendekar Mabuk. Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan mendongak. Raut wajahnya menampakkan kemarahan yang terpendam. Kemarahan itu agaknya bukan kemarahan yang sekadar main-main. Karena, Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto setelah Pendekar Mabuk bertanya, "Mengapa kau lakukan hal itu kepada Melati Sewu?!"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun. Pendekar Mabuk terpaksa bergegas menyusul langkah Dewa Racun. Agaknya orang kerdil itu melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru kepada Badai Kelabu, "Badai! Tetaplah di situ bersama Melati Sewu! Aku dan Dewa Racun akan periksa tempat di sana, mencari penyerang gelap itu!"

"Hati-hati, Pendekar Mabuk!" balas Badai Kelabu tanpa menaruh curiga kepada Dewa Racun.

Sebetulnya, sejak Suto melihat bekas hitam akibat pukulan telapak tangan dari jarak jauh yang tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk sudah berani memastikan pastilah bekas hitam itu adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran telapak tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa itu adalah telapak tangan Dewa Racun. Tapi ia tak berani katakan kepada Badai Kelabu, karena takut akan memancing kemarahan Badai Kelabu, dan terjadi perselisihan antara Badai Kelabu dengan Dewa Racun.

Tentunya Dewa Racun mempunyai alasan sendiri, mengapa ia melepaskan pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal itulah yang ingin diketahui oleh Pendekar Mabuk, sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang yang suka usil, menjajal ilmu orang lain dengan serangan membahayakan.

Dewa Racun sendiri masih membungkam ketika ia duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas pinggang Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu antara duka dan marah. Sekalipun Suto mempunyai ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap menaruh hormat karena usianya jauh lebih muda dibanding Dewa Racun yang saat itu sedang menyimpan kegundahan. Dengan hati-hati, setelah terdiam cukup lama Pendekar Mabuk ajukan tanya kepada Dewa Racun.

"Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia sebenarnya?"

"Pribadi," jawab Dewa Racun.

"Bisa kau jelaskan?"

Dewa Racun tetap tidak memandang Pendekar Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai wang tak pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap mengatakan, "Dia... dia... ternyata orang yang kuu... kuyu... kucari!"

"Kau punya dendam dengannya?"

"Ya," jawabnya pendek. Diam sebentar, lalu bicara lagi, "Ak... ak... aku pernah mempunyai seorang kekasih. Nnnaam... naaam... namanya... namanya Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun yang lalu, Gayanti diutus gur... gur... gurunya untuk menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang begawan yang sedang menderita sakit berat. Tapi diperjalanan dihadang oleh Melati Merah, yang kemudian berhasil membunuh Gayanti, meminum Air Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati Sewu. Padahal waktu itu, aku berada di belakang Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku terlambat datang. Ak... ak... aku baru datang saat Gayanti mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan... dan... dan ia ceritakan siapa pembunuhnya."

"Jangan-jangan bukan Melati Sewu yang itu yang membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"

"Pasti dia! Karena dia dan Gayanti dulu adalah teman seperguruan. Aku sering melihat Gayanti berjalan bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu melarangku menemui dia jika ada orang lain. Jadi, Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu bahwa aku adalah kekasih Gayanti. Tapi aku tahu bahwa dia adalah pembunuh kekasihku!"

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut, seakan ikut merasakan keguncangan hati Dewa Racun saat itu. Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya, "Lalu, apa kelebihan Melati Sewu setelah meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"

"Men... men... menurut kabar yang kudengar, orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai usia sampai seribu tahun, semasa ia tidak melakukan suatu tindakan yang amat ter... ter... terlarang, yaitu zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia kehilangan kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec... kecuali ia lakukan dengan suami sendiri, itu tak mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"

Pendekar Mabuk menarik napas setelah bungkam beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan, "Mudah-mudahan Air Tuk Sewu sudah tidak berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"

"Berr... berr... berguna atau tidak, aku tak mau peduli. Tapi yang kutuntut adalah kematian Gayanti!"

"Maksudmu bagaimana, Dewa Racun?"

"Aku harus menuntut balas atas kematian itu kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur membantu menyembuhkan gurunya!"

"Jangan begitu, Dewa Racun...."

"Tidak! Dendamku belum padam jika belum berhasil membunuh orang yang membuatku merana sampai sekarang ini!"

"Peristiwa itu sudah berlalu. Semuanya sudah telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa Racun! Kita tak bisa tentukan takdir kematian di tangan siapa atau sebab apa. Tak bisa! Satu contoh, kalau ternyata kelak takdirku adalah harus mati di tangan mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"

"Jik... jik... jika kematian Gayanti di tangan Melati Sewu itu kau anggap takdir, maka kematian Melati Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir! Mengapa kau mau menghalangiku?!"

"Aku bukan menghalangimu, tapi aku hanya mengingatkan kamu, bahwa dendam itu tidak membawa perdamaian! Dendam itu lingkaran setan yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup kita. Jika orang masih berpatokan pada dendam dan mau diperbudak oleh dendam, maka persoalan orang itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah terbalas akan menimbulkan dendam baru lagi bagi pihak yang terbalas. Begitu seterusnya, hingga tak ada lagi perdamaian dalam hidup kita, Dewa Racun!"

"Terserah apa kat... kat... katamu! Tapi aku tidak mau ikut membantumu dalam menyembuhkan gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya. Kau ada di pihakku atau di pihaknya, Pendekar Mabuk?"

* * *

EMPAT
SAMPAI mereka tiba di pesanggrahan tempat gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu maupun Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa penyerang gelap yang telah memukul Melati Sewu itu adalah Dewa Racun. Mereka sudah tidak mempermasalahkan penyerang gelap dengan pukulan maut yang hampir menewaskan Melati Sewu, karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu pun telah lenyap karena pengaruh tuak yang diminumkan oleh Pendekar Mabuk.

Tetapi Dewa Racun masih mempermasalahkan kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati Sewu. Andai Suto tidak membujuknya, Dewa Racun tidak akan ikut sampai ke pesanggrahan itu. Kerasnya dendam yang bagai membeku di darah Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah Pendekar Mabuk berkata,

"Boleh kau lampiaskan dendammu pada Melati Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan tak mau ingkar. Apa pun yang terjadi aku harus tetap sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu urusanmu! Kau mau pakai saranku atau tidak, itu hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan kamu, jangan turuti kata hati yang menabur dendam kemana-mana! Jangan mau diperbudak oleh dendam. Karena dendam tidak akan membawa kita damai sampai pada anak-cucu kita kelak!"

Dendam yang telah membeku di darah Dewa Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto. Tetapi, Dewa Racun tetap berkata, "Kuubb...kuubb...kubantu...kubantu kau menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu. Tapi jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik kepada Melati Sewu! Bila perlu, jangan suruh aku bic... bic... bicara dengannya!"

"Ya, itu terserah kamu! Kalau dia ajak kamu bicara, soal kamu mau jawab atau tidak, itu terserah kamu! Aku tak akan paksa kamu!"

Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan memang terjadi sedikit ketegangan dan kekakuan. Badai Kelabu mengajak Dewa Racun untuk bercanda, tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa Racun lebih banyak diam ketimbang ikut bicara bernada kelakar. Bahkan sesekali ia pandangi Melati Sewu dengan hasrat besar ingin cepat menyerangnya dengan jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat pesan dari Suto, sehingga hasrat itulah yang membuatnya kaku dalam menanggapi sapaan Badai Kelabu.

"Temanmu yang kecil itu agaknya mudah tersinggung. Aku tak berani mengajaknya bicara," kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.

"Kalau begitu, tak perlu kau ajak bicara jika tak penting. Dia memang sedang ada masalah dalam hatinya! Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak tahu kecemasan macam apa yang dimilikinya," kata Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya tidak terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa Racun.

Ketika mereka tiba di pesanggrahan, beberapa rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya dengan wajah-wajah cerah penuh harap. Dewa Racun sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan ingin menikmati keindahan alam sekeliling tempat itu. Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Dari sana bisa memandang ke arah laut yang membiru indah.

"Kau di luar dulu, aku mau masuk ke ruang istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata Badai Kelabu. "Melati Sewu, tolong temani dulu Pendekar Mabuk di pendapa!"

"Di mana pun aku sanggup," jawab Melati Sewu yang sudah berbalik sikap, menjadi ramah dan baik kepada Pendekar Mabuk sejak ia tertolong dari luka parahnya.

Di pendapa, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Melati Sewu, "Siapa sebenarnya Nini Pasung Jagat itu?"

"Dia orang sesat!" jawab Melati Sewu. "Dulu dia punya banyak murid, tapi semua muridnya lari kepada kami, karena dia tak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada muridnya untuk satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu murid, yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya minat naksir Tanjung Bagus?"

Pendekar Mabuk tertawa dan memancingnya dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir dia, apakah tak layak?"

"Sangat tak layak! Karena dia itu sebenarnya lelaki. Dia seorang yang punya kelainan dalam jiwanya. Dia merasa dirinya sebagai wanita, bukan sebagai lelaki. Padahal dia punya nama asli Legowo! Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan kecele."

Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau sebenarnya dia sudah tahu bahwa Tanjung Bagus itu banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada Tanjung Bagus. Dia hanya ingin menggiring pembicaraan itu sampai pada masalah peta yang diinginkan Nini Pasung Jagat itu.

"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat mengharapkan untuk mendapatkan peta dari Badai Kelabu. Kalau tak salah dengar, peta itu adalah peta Kolam Sabda Dewa?"

"Ya. Mereka menyangka Badai Kelabu mempunyai peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya Badai Kelabu yang pernah ke sana!"

"Apa yang dimaksud dengan Kolam Sabda Dewa itu, Melati Sewu?"

"Kolam yang bisa mengubah nasib sesuai dengan keinginan kita. Pada saat kita menyelam di dalam kolam keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati kita bisa terlaksana secara cepat dan gaib. Salah satu contohnya adalah Badai Kelabu...."

"Badai Kelabu? Ada apa dengan dirinya?" Pendekar Mabuk semakin penasaran.

"Badai Kelabu...," Melati Sewu melirik sekeliling sebentar, setelah merasa aman, segera berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Dulu, Badai Kelabu adalah gadis yang cacat kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga jalannya pun terpincang-pincang dengan susah. Wajah Badai Kelabu tidak secantik sekarang. Dulu wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang kanan panjang, sampai melebihi bibir bawahnya. Hidungnya pesek sekali, matanya besar, kulitnya bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Dulu dia lahir sebagai anak yang dikutuk oleh neneknya sendiri. Rambutnya pun trondol sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu saat, ia menemukan Kolam Sabda Dewa. la mandi dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari dalam air kolam, ia sudah berubah menjadi cantik seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir kepadanya, banyak sesama wanita yang mau berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat dengannya!"

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu, dia menyimpan peta menuju Kolam Sabda Dewa?"

"Menurut pengakuannya padaku, dia tak pernah membuat peta. Tapi dia masih ingat jalan menuju kesana. Aku tak pernah diberitahu tentang jalan itu olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam Sabda Dewa itu!"

"Apakah menurutmu, Nini Pasung Jagat ingin mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan mandi di kolam itu?"

"Jika bukan dengan maksud-maksud seperti itu, maksud apa lagi yang ia punyai? Tentunya dia ingin dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya. Tanjung Bagus pun pasti berkeinginan untuk menjadi wanita sejati setelah ia bisa mandi di dalam Kolam Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali mendapatkan peta dari Badai Kelabu!" tutur Melati Sewu dengan bersemangatnya, seakan ia merasa bangga sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.

"Apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memberi kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta umur panjang saat menyelam di kedalamannya?"

"Bisa! Bisa saja! Kita minta ingin jadi raja pun mungkin pulang dari sana ada rakyat yang mengangkat kita menjadi raja!"

"Apakah kita bisa minta usia sampai seribu tahun lamanya?"

"Bisa! Itu sangat bisa!"

"Apakah menurutmu, Air Tuk Sewu berasal dari sana?"

Terperanjat Melati Sewu mendengar Air Tuk Sewu disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas gurunya yang sudah almarhum itulah yang mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi sekarang Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak berulang kali itu mengetahui adanya air keramat tersebut. Melati Sewu sempat bingung memberikan jawabannya.

Pendekar Mabuk buru-buru berkata, "Apakah kau tahu, bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan Air Tuk Sewu?"

Melati Sewu belum bisa menjawab, tapi ia ganti bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang bernama Air Tuk Sewu?"

"Dari seorang teman perempuanku yang bernama Gayanti, atau si Giwang Kencana!"

"Oh...?!" wajah Melati Sewu jelas-jelas terkejut tegang.

"Satu purnama yang lalu dia bicara padaku ingin meminum Air Tuk Sewu."

"Satu purnama yang lalu?! Oh, tak mungkin!" sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak mungkin kau bicara dengannya satu purnama yang lalu!"

"Mengapa kau bilang tak mungkin?"

"Ka... ka... karena..., ah! Tak mungkin itu!" Melati Sewu bingung menjelaskan. Pandangan matanya pun kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat.

Pendekar Mabuk tersenyum tipis, tapi dalam hatinya sudah merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang membunuh Gayanti. Dewa Racun tak salah duga. Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin bicara lebih panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji Melati Sewu. Tapi Badai Kelabu telah lebih dulu menghampirinya dan berkata,

"Guru ingin bertemu denganmu! Ikutlah aku ke kamarnya!"

Badai Kelabu menyerahkan kain putih yang sudah terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi kain itu. Namun Badai Kelabu cepat-cepat menjelaskan,

"Sebagai tutup hidung! Karena di dalam kamar bau busuk amat menyengat hidung! Datangnya dari luka di sekujur tubuh Guru!"

Pendekar Mabuk hanya menggenggam kain putih menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di kamar yang dimaksud, Suto menenggak tuaknya beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai Kelabu yang masuk di sebuah ruangan lebar. Di situ bau busuk sudah tercium tajam. Tapi Suto tetap tenang.

Badai Kelabu sudah mulai tutupkan kain ke hidungnya. la memberi isyarat pada Suto agar segera menutup hidung, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum, sepertinya tak pernah merasakan bau busuk yang memualkan perut itu. Sebuah pintu kamar dibuka, Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk tidak menutup hidungnya. la bisa bernapas dengan lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk yang lebih tajam itu.

"Guru," kata Badai Kelabu. "Inilah tabib muda yang saya katakan tadi! Dia bersedia menyembuhkan Guru!"

"Hmmm... ya, suruh dia segera melakukan pengobatan untukku!" ucap orang yang berbaring dengan sekujur tubuh membusuk hitam. Hanya bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat-coklatan.

Pendekar Mabuk tertegun bengong memandang orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita itu. Orang itu bertubuh agak gemuk, usianya sekitar enam puluh lima tahun. Matanya lebar, berkumis lebat. Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa menilai kebengisan dan keganasan orang itu semasa mudanya. Bibirnya tebal, hidungnya agak besar. Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar Mabuk dapat membayangkan kalau rambut itu hitam dan lebat.

Sebilah pedang bergagang hitam ada di dinding dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar-debar memandang pedang itu. Darahnya bagaikan mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya dengan menelan napas beberapa kali. Tapi ia tak mampu menghentikan tangannya yang gemetaran, tak mampu menutup wajahnya yang menjadi pucat pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak berdaya itu.

Wajah Guru tersebut diperhatikan terus oleh mata Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk terasa mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia bergegas keluar dari kamar itu dengan terengah-engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera menyusul Pendekar Mabuk ke luar kamar.

"Suto, ada apa? Apa yang kau tahu tentang penyakit Guru?"

"Tidak apa-apa!" jawab Pendekar Mabuk sambil menggeletukkan gigi. la melangkah pelan dengan sorot pandangan mata menerawang tajam.

"Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk? Katakanlah! Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada apa sebenarnya, Pendekar Mabuk?!"

* * *

LIMA
DEWA Racun masih termenung sendirian atas batu besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas cakrawala antara langit dengan permukaan air laut. Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar gerakan air laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat oleh mata hati si kerdil berpakaian bulu putih itu. Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya, melainkan dendam yang nyaris membakar habis darahnya.

"Memang kadang kala dendam bisa merusak jiwa sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran. Dendam selalu menentang takdir, dan menentang takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh. Jika aku masih memburu dendam, seakan aku tidak mau menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa. Padahal aku ini hanyalah manusia biasa yang semua garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."

Si kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya kembali berkecamuk sendiri, "Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan pernyataan dari Yang Maha Kuasa, bahwa bukan dia jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui pembunuhan yang dilakukan Melati Merah, jika memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku dan dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih memburu dendam untuk menentang kodrat. Benar pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di hati orang yang masih memburu dendam. Tanpa sadar dendam itu telah merugikan hidup orang yang mau diperbudaknya. Sebaiknya kulupakan saja persoalan masa lalu itu. Biarlah pembalasan datang sendiri dari Yang Maha Kuasa. Pembalasan itu milik Dia, bukan milikku sendiri...."

Gemuruh di dalam hati Dewa Racun mulai mereda setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang, tidak sesak seperti tadi. la bahkan bermaksud ingin menyusul Suto ke dalam pesanggrahan. Tetapi, sebelum Dewa Racun bergerak, ternyata Pendekar Mabuk sudah muncul dari arah belakangnya.

Suto diam tanpa bicara, berdiri di sampingnya, memandang ke arah lautan lepas dengan wajah pucat berubah menjadi kemerah- merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik dalam tiap helaan napasnya.

"Bagaimana? Sudah kau obati gurunya Badai Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara lancar, karena sudah terlalu lama membisu. Nada bicaranya itu pun terdengar lebih ringan, lebih lepas tanpa ada ganjalan apa pun. Tidak seperti dalam perjalanan tadi.

Suto menarik napas panjang-panjang dan menahannya di dada beberapa saat. la masih belum mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas batu itu, hingga tingginya mencapai sebatas pundak Suto. Dewa Racun menatap wajah Pendekar Mabuk itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya keganjilan yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu, ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh Suto. Wajah merah itu jelas mencerminkan nafsu amarah yang mati-matian ditahan oleh Pendekar Mabuk.

"Ad... ad... ada apa sebenarnya, Suto?" tanya Dewa Racun dengan hati-hati. Pendekar Mabuk masih diam dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya lagi, "Apakah racun itu mengganas dan tak bisa kau atasi? Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan guru Badai Kelabu itu? Hmm... apakah dia mati karena pengobatanmu?"

Kini Pendekar Mabuk melemparkan pandang pada Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu yang ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya. Dewa Racun mendesak, "Bi... biiic... bicaralah, Suto!"

"Orang itu... orang itu parah," Pendekar Mabuk mulai mau bicara.

"Par... par... parah sekali?"

"Ya. Sekujur tubuhnya telah membusuk. Tak ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari-hari tapi masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, dia akan mati!"

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya saat Dewa Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali merebut Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat. Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah mencoba menawarkan racun itu memakai tuakmu?"

"Belum," jawab Pendekar Mabuk pelan dengan satu kaki diangkat dan ditaruh di atas sebuah batu setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena lengan kirinya bertumpu di atas kaki yang ada di batu. Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya masih berkerut memikirkan sesuatu yang membuatnya gundah gulana.

"Mengapa kau tidak mau menn... menn... mencoba menggunakan tuak saktimu itu?" tanya Dewa Racun sambil pandang wajah Suto.

"Aku tak bisa gunakan tuak saktiku."

"Cobalah dulu, Suto. Sebab aku sendiri merasa tidak sanggup menawarkan racun macam itu. Hanya Batu Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan... dan mungkin tuak saktimu!"

Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya menggenggam kuat. Makin galau pikirannya, makin gundah hatinya, dan hal itu sangat diketahui oleh Dewa Racun. Belum pernah Dewa Racun melihat Pendekar Mabuk segundah itu selama ia ikut bersama Suto. Kejap berikut, setelah mereka sama-sama saling bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,

"Suto, cobalah kau gunakan tuak saktimu untuk sembuhkan orang itu! Cob... cob... cobalah, Suto!"

"Aku... tidak bisa!"

"Mengapa tidak bisa?"

"Dia musuhku!" jawab Pendekar Mabuk datar dan dingin.

"Benarkah begitu, Suto?"

"Ya. Masih kuingat wajahnya dalam tiap tidurku! Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal Utara yang menghabisi nyawa keluargaku, dan yang membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang mengejar-ngejarku bersama Paman Dubang, sampai akhirnya Paman Dubang, pengasuhku itu jatuh ke jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku masih ingat, dia adalah Kombang Hitam!"

Nada bicara Suto makin lama semakin meninggi. Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya menggenggam kuat-kuat, hingga dari genggaman tangan itu mengepullah asap putih sebagai tanda panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.

Dewa Racun menjadi takut melihat Pendekar Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun bisa rasakan darah Suto yang kini mendidih karena bertemu dengan orang yang membantai habis keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Dewa Racun tahu, betapa sulitnya menolong dan menyembuhkan seseorang agar tetap hidup, sementara yang disembuhkan itu adalah orang yang membantai habis keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang teramat sulit menurut Dewa Racun. Menyembuhkan orang yang seharusnya dibunuh, lebih sulit daripada menghancurkan gunung dengan tangan kosong.

Sekarang bukan saja tangan yang berasap, tapi kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya semburat merah bercampur keringat dingin. Cahaya matanya menjadi bening, tapi berwarna merah samar-samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak banyak, lalu hempaskan napas sebagai pelega kesesakan di dadanya.

Dewa Racun tersentak kaget. Hembusan napas yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan badai kecil. Sekecil badai dari napas Suto, namun mampu membuat beberapa batuan besar tumbang dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa pohon yang posisinya ada di depan Suto menjadi meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada bagian pertengahan batangnya.

Krakkk...! Wuurrrr...! Brakkk...!

Suara-suara seperti itu berbunyi saling bersahutan, seakan bumi mau kiamat, langit akan runtuh dan tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan itu membuat heboh beberapa penduduk di sekitar tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan terheran-heran, tapi juga tak sedikit yang menjadi panik karena ketakutan.

"Suto... tahan amarahmu...," bisik Dewa Racun, sangat pelan sekali, karena ia sendiri takut kepada amarah Suto.

Menyadari apa yang terjadi di depannya, Suto terperanjat. la buru-buru menutup mulut dan hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan dan tegang. Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi. "Aku telah mengeluarkan napas Tuak Setan...," gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.

"Redakan murkamu it...it...itu, Suto! Redakanlah...!" bujuk Dewa Racun masih tak berani menggunakan kata-kata tegas dan keras.

Pendekar Mabuk masih menutup mulut dan hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke langit, ternyata mega-mega berkumpul menjadi satu dan bergulung-gulung mengikuti arah angin badai! Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu adalah amukan ombak laut yang tampak dari ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berada.

Dewa Racun berulang kali merinding dan bergidik. Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan Setan yang ada dalam diri Suto. Padahal napas yang keluar hanyalah napas kelegaan yang pelan seperti layaknya orang menghembuskan napas setelah habis minum. Tapi karena di dalam hati Pendekar Mabuk memendam amarah yang begitu besar, maka satu hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang cukup dahsyat, walau tidak sedahsyat kala ia hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).

Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Pendekar Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan. Si Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Karena siapa pun orangnya yang menelan Tuak Setan, maka napasnya akan menghadirkan badai yang sangat besar dan berbahaya sekali bagi orang lain.

Jika orang yang menelan Pusaka Tuak Setan dalam keadaan marah, walau marah yang tertahan, satu hembusan napas bisa menyalurkan seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan badai dahsyat, itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri tidak berani menelan Pusaka Tuak Setan, karena merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah, dan takut amarahnya itu membawa korban tak bersalah.

Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh Suto tanpa sengaja, sehingga mau tidak mau Suto harus selalu mengendalikan nafsu amarahnya agar napasnya tidak berubah menjadi badai yang membawa korban tak bersalah. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).

Badai Kelabu menyusul Pendekar Mabuk sambil memanggil-manggil dalam nada cemas. Itu disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri datangnya angin badai yang tidak sewajarnya. Perempuan itu takut Suto dan Dewa Racun mengalami cedera akibat hembusan badai aneh tersebut.

"Pendekar Mabuk, kenapa kalian ada di sini? Tidak tahukah kalian bahwa baru saja ada badai besar yang bisa menerbangkan rumah atau kapal?"

Suto berbisik kepada Dewa Racun, "Hadapilah dia, aku tak bisa bicara padanya! Dendam lamaku membakar seluruh darahku, Dewa Racun!"

"Jangan begitu! Bukankah... bukankah... bukankah kau sendiri yang bilang agar diriku jangan mau diperbudak oleh dendam?"

"Hadapilah dia dulu. Aku ingin tenangkan diri!" desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau Dewa Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.

Suto duduk di batu setinggi lututnya itu. Kedua lengannya bertumpu pada paha. Matanya memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba- tiba ia sadari, tanah di bawahnya menjadi cekung. Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu menyibak ke sekitar kakinya, semakin lama semakin dalam cekungan tanah tersebut. Suto buru-buru menutup hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak tangan yang dipakai menutup hidung itu karena terkena hembusan napas, tapi Suto menahan rasa panas itu ketimbang Badai Kelabu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu.

"Jang... jang... jangan ganggu Suto dulu," kata Dewa Racun. "Di... dia... dia sedang memikirkan cara pengobatan untuk gurumu!"

"Tapi dia tidak apa-apa?"

"Tidak. Bbi... bii... biarkan dia bersamaku. Kami perlu berembuk untuk melawan rraaa... raa... racun yang menyerang gurumu."

Badai Kelabu tampakkan kecemasannya. Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar Mabuk dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya sambil menggandeng Badai Kelabu menjauhi Pendekar Mabuk.

"Bbee... berapa usia gurumu itu?"

"Lebih dari enam puluh lima tahun. Mungkin tujuh puluh, mungkin juga lebih. Apakah hal itu perlu kalian ketahui?"

"Ya. Unn... unnn... untuk menakar obat yang harus diberikan kepada gurumu, kami harus tahu usia gurumu."

Padahal di dalam hati Dewa Racun bergumam, "Lebih dari enam puluh lima tahun?! Berarti sesuai dengan usianya pada saat ia mengejar-ngejar Suto. Kemudian, Dewa Racun kembali ajukan tanya, "Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"

"Manusia Seribu Wajah," jawab Badai Kelabu.

Dewa Racun kerutkan dahi bernada heran. la membatin, "Manusia Seribu Wajah? Kalau begitu, Pendekar Mabuk salah duga!"

"Ben... benar namanya itu?" tanya Dewa Racun menampakkan keraguan.

"Ya. Benar. Nama aslinya aku tak tahu. Tapi dia dikenal dengan julukan Manusia Seribu Wajah. Hmmm... dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam, tapi setelah ia mampu mengubah diri, ia memakai julukan Manusia Seribu Wajah."

"Kombang Hitam...," gumam Dewa Racun di dalam hatinya. "Kalau begitu, benarlah dugaan Suto, orang itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya. Hmmm... benar-benar Pendekar Mabuk dihadapkan pada satu persoalan yang sangat rumit dan berat!"

"Apakah nama itu perlu?"

"lyy... iyy... iya," jawab Dewa Racun. "Un... untuk membacakan mantera pengobatan, nama itu perlu diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba untuk senyumkan bibirnya walau terasa kaku. Lalu, ia ucapkan kata lagi, "Ting... ting... tinggalkanlah kami. Nanti kami akan datang sendiri ke sana. Jagailah gurumu!"

Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu segera tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang kerdil itu mendekati Suto dan berkata dengan penuh hati-hati, "Dugaanmu benar. Tap... tap... tapi sikapmu salah."

Suto Sinting palingkan wajah, menatap orang kerdil yang ada di depannya itu. Sebelum Suto ajukan sanggahan ataupun bantahan, Dewa Racun sudah lebih dulu ucapkan kata, "Tak boleh kau berrr... berrr... bersikap begini! Dia memang pembantai keluargamu, tapi tugasmu adalah menolong sesama manusia, tanpa pandang bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui adanya takdir dalam kehidupan kiiit... kiit... kita? Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat dihindari, tapi tidak perlu diburu dendamnya. Barangkali, kemmm... kemmm...Kematian keluargamu juga takdir yang tak dapat dihindari dan tidak perlu diburu dendamnya."

"Aku tahu. Tapi betapa sulitnya menghindari dendam yang telah membeku di darah ini!"

"Sesulit itulah diriku saat harus menerima saranmu. Tapi akk... akkk... aku ternyata bisa mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku untuk tidak membunuh Melati Sewu. Ap... ap... apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti apa yang kulakukan?"

Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. la mengakui kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak bicara tentang dendam dan takdir, sekarang ia sendiri yang harus menjalankan semua kata-katanya itu. Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya bisa bicara namun juga bisa berbuat. Maka, ia pun berusaha mati-matian menekan dendamnya agar tidak mendidihkan darah lagi.

la membatin di dalam hatinya, "Hidup, jodoh, dan kematian, adalah bagian dari kepastian yang sudah digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang kekuasaanNya. Sesulit apa pun, aku harus bisa belajar menerima garis kehidupanku ini! Kalau toh aku berhasil membunuh Kombang Hitam lantaran dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di pihaknya akan menyimpan dendam pula padaku. Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam pembalasan kepada mereka. Begitu seterusnya, dan tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia hidup tidak hanya untuk memburu dendam dan pembalasan? Tidak! Aku malu pada Dewa Racun. Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya, mengapa aku tidak?! Aku juga harus bisa meredam dendamku!"

Akhirnya Suto memutuskan diri untuk mengobati Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan julukan Kombang Hitam. Dewa Racun tampak senang melihat Suto berhasil meredakan dendam dan amarahnya, walau memakan waktu agak lama. Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan semadi sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu dilakukan untuk meredakan hawa nafsunya dan mengendalikan jiwanya.

Dua guci tuak disediakan untuk pengobatan tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk pengobatan selalu dimasukkan lebih dulu ke dalam bumbung bambu yang selalu ada di punggung Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak hanya sekadar meminumkan tuak kepada Manusia Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur badannya. Tentang mengguyurkan tuak ke badan si sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun, yang diam- diam, telah mempelajari cara kerja tuak Pendekar Mabuk dalam setiap pengobatan.

Suto juga melakukan pengobatan dengan ilmu 'Sembur Husada'. Sekujur tubuh Manusia Seribu Wajah itu disembur dengan tuak dari mulut Suto, seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini dimaksudkan Pendekar Mabuk selain supaya penyembuhan cepat terjadi, juga supaya Manusia Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu akan lupa pada diri Pendekar Mabuk. Karena Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu diingat-ingat lagi oleh Kombang Hitam.

Malam dibiarkan lewat oleh mereka. Dan ketika pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia Seribu Wajah sudah tidak lagi membusuk. Bahkan secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi bersih oleh luka, tanpa bekas dan menjadi seperti semula. Kesehatan Manusia Seribu Wajah juga pulih, bahkan terasa badannya lebih segar dari biasanya. Tentu saja hal itu menggembirakan murid-muridnya, termasuk Badai Kelabu dan Melati Sewu.

Manusia Seribu Wajah pun tampak gembira, ia menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa tabib muda itu kemari! Dia lebih ampuh dari Batu Galih Bumi!"

"Tak ada tabib yang seampuh Suto, si murid sinting Gila Tuak itu, Guru. Karenanya...."

"Tunggu!" potong Manusia Seribu Wajah. "Dia bernama Suto? Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, aku ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...! Mana dia sekarang?!" sentaknya mulai geram.

* * *

ENAM
SUTO Sinting baru saja selesai  memenuhi bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan semalam. Dewa Racun juga sudah siapkan diri untuk keberangkatan pulang ke Pulau Beliung untuk mengambil Singo Bodong. Tetapi ketika mereka berada di pelataran untuk menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang oleh Melati Sewu. Wajah perempuan Itu tampak tegang ketika ia ucapkan kata,

"Cepatlah pergi ke pantai. Di sana sudah ada perahu yang disiapkan untuk kalian! Pergilah secepatnya!"

"Kami baru akan pamit kepada gurumu, Melati Sewu," kata Pendekar Mabuk.

"Tidak perlu! Tidak perlu temui Guru lagi!"

Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling adu pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Melati Sewu, "Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada gurumu?"

"Beliau  sedang marah! Beliau tahu bahwa namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi berang! Pergilah cepat sebelum beliau membunuhmu, Pendekar Mabuk!"

"Membunuhku?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi sangat tajam. Dewa Racun hanya memandang dalam kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata kepada Dewa Racun, "'Sembur Husada' membuat seseorang lupa pada diriku, tapi sembuh dari sakitnya."

"Ak... ak... aku tahu. Dulu aku lihat sendiri hal itu terjadi pada Peramal Pikun. Tap... tapi mengapa Kombang Hitam masih ingat tentang dirimu?"

"Berarti ilmunya cukup tinggi! Ingatannya sulit dihapus dengan ilmu pengobatan 'Sembur Husada'!"

"Lekaslah pergi!" desak Melati Sewu. "Jangan sampai Guru temukan dirimu, Pendekar Mabuk! Nanti dia membunuhmu!"

"Jang... jang... jangan layani dia, Pendekar Mabuk. Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"

"Baiklah!" Suto Sinting segera bicara pada Melati Sewu, "Sampaikan salam dan pamitku kepada Badai Kelabu!"

"Ya. Akan kusampaikan!" jawab Melati Sewu bagai tak sabar lagi menunggu kepergian Pendekar Mabuk.

Pesanggrahan itu tidak seberapa jauh dari pantai. Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan sebagainya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka harus cepat tiba di pantai dan segera meninggalkan Pulau Hitam itu. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari arah belakang.

"Sutooo...! Tunggu sebentar, Sutoooo...!"

Dewa Racun cepat palingkan pandang ke belakang lalu berkata, "Bad... bad... Badai Kelabu, Pendekar Mabuk!" Mereka segera hentikan langkah.

Badai Kelabu berlari-lari menyusul Suto dengan wajah tegang. Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba di depan Suto dan Dewa Racun, napasnya tidak terengah-engah. Hanya wajahnya yang sedikit kaku, mungkin karena diliputi ketegangan.

"Ada apa. Badai Kelabu?"

"Ada yang lupa, belum kusampaikan padamu," jawab Badai Kelabu.

"Tentang apa itu?" tanya Pendekar Mabuk berkerut dahi.

Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai Kelabu menghantam kuat ke wajah Pendekar Mabuk. Cepat sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat menghindarinya. Pendekar Mabuk tersentak ke belakang dua tindak.

Tentu saja Dewa Racun ikut terperanjat melihat Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut Suto Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan tangan kosong, tapi dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk bukan orang berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan rontok giginya. Tapi karena Pendekar Mabut punya ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka pukulan keras bertenaga dalam itu hanya membuat merah dagunya saja.

Badai Kelabu cepat ambil sikap menyerang kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan menghadangkan diri di antara Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu.

"Tahan...! Tah... tah... tahan dulu, Badai Kelabu...."

"Jangan ikut campur, Kerdil!" bentak Badai Kelabu, lalu kakinya berkelebat menendang Dewa Racun.

Tubuh kecil Dewa Racun terlempar lima langkah jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada Pendekar Mabuk. Dugg...! Pendekar Mabuk pun mundur tersentak dua tindak.

Bukan karena Suto tak mau menangkis atau mengelak, tapi ia ingin rasakan sebesar apa tendangan Badai Kelabu. Ternyata cukup besar. Pendekar Mabuk kerutkan dahi makin tajam. Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan sebesar itu. Kendati diiringi dengan pengerahan tenaga dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa mengukur bahwa tendangan Badai Kelabu tak akan sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini, Pendekar Mabuk merasakan tendangan itu bagai ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang ditendang adalah dadanya.

Dewa Racun bangkit dan mau menyerang, tapi dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu, Suto cepat berbisik, "Ada yang tak beres pada dirinya!"

Dewa Racun cepat memandang Badai Kelabu dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan sana dua manusia perempuan berlari mendekati mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa Racun makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu sedang berlari bersama Badai Kelabu. Sedangkan orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu juga Badai Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat bingung beberapa kejap.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan tendangan sampingnya ke arah Badai Kelabu yang ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis tangan lawan. Gerakan menangkisnya begitu cepat dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga tulang kaki Pendekar Mabuk merasa linu beradu tulang tangan lawan.

Pendekar Mabuk cepat putarkan badan dengan merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang kanan memanjang dalam putaran bawah dan menyapu kaki lawan. Wusss...! Lawan melompat menghindarinya dengan melancarkan tendangan keras ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto sudah siaga, gerak pancingannya termakan lawan. Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto segera menotokkan dua jari tangannya ke mata kaki lawannya.

Ttebb...!

Satu kali totokan bertenaga tinggi telah membuat lawan mengerang panjang sambil tubuhnya mengejang. Dan tiba-tiba sosok tubuh sebagai Badai Kelabu itu berubah wujud menjadi sosok tubuh lelaki berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih, badan sedikit gemuk dengan pakaian hitam berjubah abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang bergagang hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah.

"Bangsat kau!" geram Manusia Seribu Wajah. "Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa membuyarkan perubahan wujudku, hah?!"

Pendekar Mabuk yang sudah menarik diri setelah wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya tersenyum tipis dengan tetap berdiri agak menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak berkedip.

Terdengar suara Badai Kelabu yang asli berseru, "Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan teruskan perselisihan ini!"

Kombang Hitam memandang kedua muridnya yang baru saja tiba dengan mata garang menyeramkan. Melati Sewu tak berani lebih dekat lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka begitu, apa saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan sasaran kemarahannya. Tapi Badai Kelabu yang merasa bertanggung jawab atas kedatangan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu, memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan membujuk amarahnya.

"Guru, saya mohon dengan hormat, jangan sakiti dia, Guru!"

Tangan Kombang Hitam berkelebat mengibas ke samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi sasarannya. Tubuh perempuan itu terpental empat langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi biru legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera ditolong untuk bangkit berdiri. Melati Sewu bisikkan kata,

"Hati-hati, jangan terlalu dekat dengan Guru jika beliau sedang begitu! Bisa mati kau!"

Kombang Hitam yang sudah berusia cukup banyak itu ternyata masih menyimpan semangat dendam seperti dulu kala. Matanya memancarkan api membunuh begitu jelas, sehingga napasnya pun terlihat cukup deras hembusannya. "Suto! Kau masih ingat siapa aku, hah?!" suaranya pun tegas.

"Ya. Aku masih ingat! Kau yang membantai keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.

"Bagus! Bagus kalau kau masih ingat, karena hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari pembantaian itu! Matiku tak akan tenang jika keluarga Wiseso yang tertinggal belum kubunuh!"

"Kombang Hitam! Sejak kulihat kau pertama dalam keadaan sekarat di dalam kamarmu, aku sudah mengenali siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan, mudah sekali membunuhmu dalam keadaan seperti itu!"

"Itu menandakan kau anak yang bodoh!" sentak Kombang Hitam.

"Terserah caramu menilai. Tapi yang jelas, aku tak mau diperbudak oleh dendam masa lalu! Ku lupakan masa lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang hampir merenggut nyawamu! Tapi seperti inikah pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"

"Ya!" jawab Kombang Hitam dengan menyentak keras. "Kau pun seharusnya mati pada usia delapan tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda! Kuberi kau kesempatan untuk hidup, menikmati masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan sekarang sudah waktunya kau menikmati masa kematianmu, Suto!"

"Aku tidak bersedia melayani dendammu, Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri! Selamat tinggal!"

Slappp...! Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat. Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit tertinggal oleh Pendekar Mabuk.

"Jangan lari kau, Sutooo...!" teriak Kombang Hitam. Ketika ia hendak mengejar Pendekar Mabuk, Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang Hitam.

"Guru! Jangan bunuh dia! Ingatlah, Guru…! Dia telah menolong menyembuhkan luka parah yang Guru derita! Dia telah menyelamatkan nyawa Guru! Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!" Badai Kelabu menangis sambil memeluk kaki gurunya.

Manusia Seribu Wajah itu menggeram dengan sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke depan dan tubuh Badai Kelabu terlempar kembali lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya membentur batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.

Tanpa peduli tangis dan rintih muridnya, Manusia Seribu Wajah cepat tinggalkan tempat dengan gerakan seperti Suto. Tubuhnya lenyap begitu saja, tak terlihat lagi bentuk dan wujudnya. Sedangkan Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang punggungnya segera dibantu oleh Melati Sewu untuk berdiri.

"Melati Sewu, tolong... cegah tindakan Guru! Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu sendiri, mereka telah menyelamatkan nyawa Guru! Mereka bukan orang jahat! Mereka bersikap baik kepada kita!"

"Iya, iya... aku tahu! Tapi bagaimana cara mencegah tindakan Guru? Kita tak bisa menahan amukan Guru! Melawan Guru sama saja melawan liang kubur, Badai Kelabu!"

"Bagaimanapun caranya, lakukan saja! Jangan sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh, aku jadi menyesal jika begini. Menyesal sekali mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu terancam oleh murka Guru?!"

Melati Sewu mengerti perasaan Badai Kelabu. Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan gurunya yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu menjadi kurang suka dengan gurunya. Tapi semua itu hanya bisa dipendamnya di dalam hati, tak berani dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati Sewu tak ingin mati akibat murka sang Guru.

"Begini saja," kata Melati Sewu, "Kita ikuti terus mereka, sambil kita menjaga Suto. Jika Suto dalam keadaan terdesak dan Guru mau merenggut nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan membuat ulah yang menghambat gerakan Guru!"

"Baik," jawab Badai Kelabu sambil mengakhiri isak tangisnya. "Kita susul mereka, Melati Sewu!"

Maka, kedua perempuan yang sudah memihak Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera melesat pergi. Kecepatannya masih belum sebanding dengan kecepatan Pendekar Mabuk dan Manusia Sampai di pantai, langkah Suto terhenti karena ia melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu mengenakan jubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih, menggenggam tongkat di tangan kanannya. Suto Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri menghadangnya, karena orang itu adalah si Gila Tuak, gurunya sendiri.

"Eyang Guru...?!" sapa Pendekar Mabuk sambil sedikit membungkuk memberi hormat kepada gurunya.

"Apa yang terjadi. Suto?" tanya si Gila Tuak dengan dingin.

"Kombang Hitam masih menaruh dendam pada saya dan ingin membunuh saya, Guru!"

"Menyingkirlah ke belakangku! Biar kuhadapi dia!"

"Tapi, Guru...."

"Pergilah ke belakangku! Lekas!" sentak si Gila Tuak.

Suto pun bergegas pergi ke belakang si Gila Tuak yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika Pendekar Mabuk berada di belakang si Gila Tuak, hatinya merasa sedikit tak enak melihat si Gila Tuak mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Seingat Suto Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang akar bahar. Kecurigaan itu terlambat. Tiba-tiba si Gila Tuak sodokkan tongkatnya ke belakang dan tepat mengenai ulu hati Pendekar Mabuk.

Buhgg...!

Pendekar Mabuk terbungkuk seketika. Sodokan tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang cukup besar. Mata Suto mendelik dan berkunang-kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan dada.

Si Gila Tuak segera balikkan badan sambil kakinya berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar Mabuk dengan kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar Mabuk tersentak ke samping, bersamaan dengan itu tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya membuang pandangan yang berkunang-kunang itu. Jari tangan bagian telunjuk kanan mulai mengeras, lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan dalam keadaan masih rebah miring di tanah. Sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tidak mempunyai wujud ataupun warna, namun gelombang tenaga dalam yang dikeluarkan cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si Gila Tuak.

Mata kaki itu tepat terkena sentilan 'Jari Guntur'! Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat kakinya yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan satu kaki, dan pada saat itu wujud si Gila Tuak pun pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias Kombang Hitam.

"Baru sekarang aku menghadapi lawan setangguh ini!" gumam Pendekar Mabuk di dalam hati, dan demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.

Keduanya saling berhadapan siap menyerang lagi. Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak melakukan penyerangan. la tidak ingin membunuh karena dendamnya yang telah membeku selama dua puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan memberi pelajaran kepada orang berilmu tinggi yang tak tahu balas budi itu.

"Bocah sinting! Semakin lama kau membuatku semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu, tahu?!"

"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu. Kendalikan nafsumu! Untuk apa kita saling membunuh jika persoalan itu sudah lama berlalu!"

"Tutup bacotmu, Bocah dungu!" sentak Kombang Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa keturunan Ronggo Wiseso, tak akan tenang arwahku bersemayam di alam baka nanti!"

"Kau benar-benar telah diperbudak oleh dendam, Kombang Hitam! Kau selalu memaksaku untuk membunuhmu! Padahal hal itu tak perlu terjadi. Kurang puaskah kau telah membantai semua keluargaku?!"

"Belum semuanya! Masih ada yang tersisa, yaitu kau!" sentak Kombang Hitam sambil tangannya dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras. Dari ujung jari itu keluar sinar merah berkelok-kelok bagai lidah petir.

Wuttt...!

Gerakan sinar yang cepat itu menghantam tubuh Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar Mabuk cepat ambil bumbung tuaknya dan dipakai untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...! Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul balik menjadi lebih besar serta lebih cepat. Wussss...!

"Aaahg...!" Kombang Hitam terpekik dengan mata mendelik. Karena ia tak menduga sama sekali bahwa sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Kombang Hitam tak punya kesempatan mengelak karena jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya antara lima langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai ujung pundak kirinya. Pundak kirinya itu menjadi bolong dari bagian depan di atas dada sampai ke belakang, di sudut punggung.

"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam segera mencabut pedangnya. Srett...! Lalu, ia melompat bagaikan harimau terbang dengan pedang siap ditebaskan dari atas kebawah.

Pendekar Mabuk berdiri agak merendah. Tabung tuaknya dipegang dengan dua tangan dan dihadangkan melintang ke atas kepala. Pedang itu pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan dengan bumbung bambu tempat menyimpan tuak itu.

Trasss...! Nyala api merah memercik ke mana-mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung bambu itu. Dan yang membuat Kombang Hitam makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa bagian, tinggal bagian kecil yang menancap di bagian gagangnya.

"Bangsat kau! Pedang pusakaku kau buat begini, hiiaaaat...!"

Begggh...! Kombang Hitam berhasil menendang lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam itu membuat Pendekar Mabuk terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah. la menjadi limbung dan bergerak oleng bagaikan orang mabuk parah. Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala ikut terayun lemas.

Melihat lawannya sempoyongan, Kombang Hitam tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya yang beradu rapat pada pangkal pergelangan tangan itu. Sentakan kedua tangan ke depan membuat cahaya biru melesat. Padahal jaraknya dengan Suto Sinting hanya antara empat sampai lima langkah. Tentu saja cahaya biru itu dengan cepat tiba di tempat Pendekar Mabuk.

Tetapi, Pendekar Mabuk yang disangkanya sempoyongan karena lemah itu, sebenarnya menyiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Jurus mabuknya memang sering menipu lawan, sehingga pada saat cahaya biru itu menghantamnya, Suto sudah siap menangkis dengan bumbung tuaknya.

Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya.

Blarrr...!

Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun. Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi hitam bagai habis disambar petir. Matanya merah, mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah kehitaman. Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak bernyawa lagi.

"Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.

Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam melepaskan pukulan kepada Pendekar Mabuk.

* * *

TUJUH
KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Mabuk akan memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia sudah berusaha tidak menyerang, tapi toh akhirnya Kombang Hitam itu mati pula di tangannya. Itulah suratan takdir!

Sambil mendayung perahunya yang mati karena tak ada angin, Suto masih merenungi kematian Kombang Hitam. Peristiwa itu telah mengingatkan dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa pembalasan akan tiba sendiri pada saatnya. Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun ia sudah berusaha agar tidak membalas kematian keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, tapi di pihak lawan justru serahkan nyawa sebagai penebus dan pembalasan atas pembantaian itu.

"Tak kusangka kematian Kombang Hitam akhirnya ada di tanganku juga, walau secara tidak sengaja," pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang dihajar habis oleh anak buah Kombang Hitam, terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh kasih sayang sering menciumi kepalanya.

Terbayang pula wajah kakaknya, yang sering mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang pula wajah pembantunya, yang sering merasa jengkel karena ulah kenakalan Suto. Pembantu itu pun mati terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang Hitam. Suto pun terbayang wajah Paman Dubang yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda oleh Paman Dubang. Terngiang di telinga Suto jerit kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke jurang dalam pengejaran Kombang Hitam, Hati Suto tergores pedih, namun ditahannya dengan cara menarik napas dalam-dalam,

"Aku sudah membalaskan kematian kalian, walau sebenarnya aku tidak menghendaki adanya pembalasan," kata Pendekar Mabuk di dalam hatinya yang seolah-olah bicara kepada roh para korban. "Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari Yang Maha Kuasa, melalui perantara tanganku sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan sana. Semoga Bapak dan Ibu bangga melihat anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat apa pun aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi begini jika tanpa kalian; pengasuhku, perawatku, pembimbingku, semasa aku masih bocah kecil!"

Kilat menyambar di langit. Mendung mulai menutupi mentari. Air laut bergelombang, makin lama terasa semakin meninggi ayunannya. Dewa Racun yang berada di haluan segera berseru, "Akan tur... tur... turun hujan, Suto!"

"Ya! Cepatlah masuk ke barak, biar aku yang kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan suara keras.

Angin menderu kencang. Hujan mulai turun rintik- rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya matahari karena senja semakin menua. Sekarang pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai diselimuti kain hitam raksasa.

Clap… claaap...! Glegaaar...! Guntur bersahutan di langit, seakan mengancam sebuah perahu berlayar tunggal yang sedang terombang-ambing dipermainkan ombak samudera. Kadang perahu meninggi, kadang jatuh terhempas menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang meliuk ke kanan. Hujan mengguyurnya semakin kuat dan deras. Tapi Suto tatap berada di haluan dan Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak beratap rendah Itu.

"Suto! tu.. tu... tu.. tutup layar supaya badai tidak melemparkan perahu ini!"

Hanya berdua mereka di atas perahu dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Rencananya, mereka hanya ingin mengambil Singo Bodong sambil memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah amukan badai laut. Dewa Racun menduga perahu akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah Jawa beberapa waktu yang lalu.

Tatapi rupanya perahu yang mereka gunakan kali ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan hembusan badai bisa ditahannya. Sayang sekali tak ada cukup minyak di dalam perahu itu, sehingga perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada sedikit minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai penerang barak dan sering dibawa ke sana-sini bila hujan mereda.

Tapi hujan datang silih berganti. Kadang terang kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun membiarkan perahunya terapung-apung di atas lautan bergelombang. Mereka cukup lelah menguras air yang masuk ke perahu yang tadi hampir menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di dalam barak, dan bangun di pagi hari dalam cuaca tak seburuk tadi malam.

Cuaca pagi itu sangat cerah. Matahari bersinar dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik mendung pun di sana. Tetapi Dewa Racun segera kerutkan dahi melihat sebuah pulau kecil berbentuk seperti garpu dua mata. Perahu itu terseret ombak sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.

"Sssuu... suuu… Suto!" panggil Dewa Racun yang ada di luar barak. "Per... perahu kita kandas!"

Suto bergegas bangun dan keluar dari barak. la memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan perahu sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang. Lambung kapal robek sedikit, namun tak sampai membuatnya bocor.

"Perahu kita hanya robek sedikit  bagian lambungnya!" kata Suto. "Aku akan turun melihat batu karang itu!"

"Tap... tap... tapi mengapa perahu kita miring dan... dan... banyak air di buritan!"

Suto terkesiap, cepat memeriksa bagian buritan. la terbengong, ternyata perahu bocor besar di bagian buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu berkata, "Kita harus menambal perahu ini, Dewa Racun!"

"Kit... kita... kita tidak punya per... per... per...."

"Perawan?!"

"Peralatan!" sentak Dewa Racun. "Kita tidak punya peralatan untuk menambal perahu, sedangkan Pulau Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"

"Belum! Kita belum melewati gunung karang yang runcing seperti waktu kita berangkat tempo hari. Ber... ber... ber...."

"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau Beliung!"

"Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk menambal perahu ini!"

Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf 'U' itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang, sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan air laut. Mau tak mau Pendekar Mabuk dan Dewa Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak diketahui namanya oleh mereka itu.

Tetapi Suto menjadi sangsi setelah menyadari pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau burung, tapi tak ada suara kehidupan manusia di dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan pun tak ada.

"Pulau ini kosong," kata Suto. "Tak berpenghuni kecuali burung dan binatang lainnya."

"Jad... jad... jadi kita terdampar di pulau kosong?"

"Mestinya begitu!"

"Wah, laa... laa... lalu kita mau minta bantuan kepada siapa? Kita mau pinjam peralatan buat tambal perahu kepada siapa?"

"Kepada burung," jawab Pendekar Mabuk sambil tertawa pendek. "Tapi coba kita periksa bagian pantai sebelah sana!"

Keduanya melangkahkan kaki melalui semak belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot bumi.

Bruuussss...!

"Sut... Sut... Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan suara gagapnya. Wajah kerdil itu menjadi tegang. la sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari dalam sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun memandang sekeliling sambil pegang busur dan anak panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak panah siap dilepaskan kapan saja terlihat ada yang mencurigakan.

Terdengar suara Suto Sinting dari kedalaman lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang tempat terperosoknya Suto Sinting. Ternyata lubang itu adalah sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi. Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak terlihat lubangnya. Sumur itu sudah tidak berair lagi. Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin karena hujan semalaman.

"Sutooo...! Baag...baaag... bagaimana keadaanmu?!"

"Cepatlah turun! Di sini ada ruangan lebar!"

Dewa Racun tak tanggung-tanggung lagi, ia segera ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass, bruuk...! la Jatuh di gundukan tanah berpasir. Anehnya tanah itu kering bagai tak pernah terkena curahan air hujan dari atas lubang sumur tersebut.

"Ssst...!" Dewa Racun kasih isyarat agar Pendekar Mabuk diam sebentar. la cepat pejamkan mata dan letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang sadap suara percakapan. Tapi beberapa saat kemudian la lepaskan telunjuk itu. "Sep... sepertinya ada orang di atas sana!"

"Kau dengar percakapan di atas sana?"

"Tid... tid... tid...."

"Tidur!"

"Tidak! Tidak ada percakapan. Hmmm... mungkin hanya perasaanku saja! Sepertinya tadi kita tidak menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan soal perasaanku ini! Sek... sek... sekarang kita ada di mana ini, Suto?"

"Di dasar sumur!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi lihatlah, ada lorong seperti kamar di sebelah sana. Atapnya cukup tinggi!"

"Ad... ada cahaya hijau juga. Mung... mungkinkah ada orang yang menyalakan lampu warna hijau di dalam kamar itu?"

"Mari kita periksa ke sana!"

Suto Sinting melangkahkan kaki lebih dulu. Ruang yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah lorong panjang. Cahaya hijau semakin terang di ujung sana. Lorong itu makin lama makin lebar. Dindingnya berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau bagai mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin ke dalam semakin luas dan membuat ruangan lebar tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.

"Tem... tem... tempat apa ini, Pendekar Mabuk?"

"Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak tadi," jawab Suto Sinting. "Justru aku sedang berpikir, tempat apa ini? Kelihatannya tempat ini belum pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang memancarkan cahaya hijau itu belum ada yang menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu menampakkan bahwa ruangan ini terjadi secara alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini cukup panjang rupanya!"

"Kit... kit... kita ikuti saja sampai di mana ujung lorong ini!"

Mereka melangkahkan kaki tidak dengan terburu-buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut bercahaya, mereka juga menikmati keindahan lekuk-lekuk langit lorong yang mirip lukisan alam. Ada yang bergelembung bagai bisul besar mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dan berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di kedalaman semakin mereka menemukan banyak keindahan.

Di sela tanaman lumut yang menyala itu, terdapat bebatuan yang berwarna-warni. Ada yang menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna kuning terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua yang bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut itu.

"Ap... ap... apakah ini surga, Pendekar Mabuk?"

"Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun rasanya. Begitu indah pemandangan di dalam gua panjang ini. Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak pernah ada di permukaan bumi mana pun juga. Lihat...!" Suto menunjuk ke satu arah. "Batuan itu berdiri seperti pilar penyanggah langit-langit gua, tapi jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti terjadi secara alami!"

Dewa Racun terkagum-kagum melihat batuan bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri bagai menopang langit-langit goa. Bentuknya tak beraturan, tapi warna merah lembayung begitu cerah dan indah. Sangat menakjubkan. Dewa Racun mendekatinya pelan-pelan dengan mulut terperangah. Tapi ketika ia mau memegang, tiba-tiba tangannya buru-buru ditarik mundur. la terkejut dengan mata terbelalak lebar.

Suto heran melihat Dewa Racun terkejut, lalu ajukan tanya, "Ada apa? Kenapa kau tak jadi memegangnya?"

"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang... jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!"

"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak tanganku baru mau menyentuh sudah terasa gatal!"

"Hmmm...," Suto menggumam sambil manggut-manggut. "Jelas sudah!"

"Ap... apanya yang jelas...?!"

Suto belum menjawab. Matanya tertarik pada batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara,

"lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann...ban... banyak sekali?!" Dewa Racun mendului mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali seperti tadi.

Wuuut...!

"Bat... bat... bat...."

"Batuk?"

"Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan menyentuhnya!"

"Semakin jelas," gumam Pendekar Mabuk.

"Apanya yaaang... yaaang.. jelas?!" tanya Dewa Racun makin penasaran dengan maksud Suto.

"Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati dengan mata. Boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang. Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"

Mengapa beg... beg... begitu?"

"Ajaran dari alam kehidupan," jawab Suto. "Di sekeliling kita banyak hal yang menarik dan memikat hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama jika bukan milik sendiri, kita tidak bisa mengambil barang itu! Agaknya gua ini punya ajaran kehidupan sendiri yang punya makna besar bagi manusia, bahwa apa yang sering kita anggap indah menawan hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan kita. Barangkali gua ini mengajarkan kita agar jangan mudah tergiur oleh keindahan dan kemegahan. Gua ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu waspada, bahwa di balik keindahan dan kemegahan terdapat maut yang tersimpan!"

Dewa Racun angguk-anggukkan kepala dan tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga bisa belajar dari gua ini, yaitu belajar mengendalikan nafsu pribadi agar tidak gegabah dalam bertindak. Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan mengambil salah satu batu yang indah di sini, maka kita akan mati direnggut racunnya yang berbahaya itu!"

"Ya. Benar pendapatmu, Dewa Racun!"

Mereka melangkah semakin ke dalam. Mereka tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak sadarkan diri, bahwa mereka telah cukup lama berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka adalah ketenangan batin, kegembiraan dan kedamaian.

Ruangan yang lebarnya lebih dari sepuluh tombak itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental menetes dari atas dan mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada yang berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata tombak raksasa, semuanya mengandung seni keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di permukaan bumi.

"Seee... semua pilar itu ber... ber... beracun! Jangan sampai tubuh kita tersentuh sedikit pun!" Dewa Racun mengingatkan.

Pilar-pilar itu semakin banyak, jaraknya semakin sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada satu sisi tertentu, Pendekar Mabuk hentikan langkah sambil berkata, "Dewa Racun...! Aku mendengar suara gemercik air di depan sana!"

"Aaa... air... air?!" Dewa Racun pejamkan mata dan tempelkan telunjuk di pelipis, lalu berkata lagi, "Ya, ad... ad... ada air di depan sana. Air yang tertampung dalam satu tempat!"

"Jangan-jangan... Kolam Sabda Dewa?!" Pendekar Mabuk berkata dengan tegang.

* * *

DELAPAN
LANGKAH demi langkah mereka susuri gua aneh yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu langkah yang memaksa mereka harus berhenti. Dewa Racun yang berjalan paling depan yang pertama kali menghentikan langkahnya, sehingga Suto Sinting pun turut berhenti dan tertegun sebentar di situ.

Pilar-pilar indah sudah tak ada. Tapi lumut yang memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya letaknya tidak lagi di dinding kanan kiri gua, melainkan di langit-langit gua tersebut. Lumut-lumut berdaun panjang itu menggantung bagai lampu- lampu hias yang memancarkan sinar hijau indah.

"Sut... Sut... Suto, haruskah kita tetap terus melangkah?"

"Pertimbangkan dulu sebelum melangkah," jawab Pendekar Mabuk.

Jelas Dewa Racun bimbang melanjutkan langkahnya, karena lantai gua bagian depan mereka bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa, melainkan dari kaca yang jernih dan bening sekali. Karena bening dan jernihnya, lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening yang sangat terang. Sedangkan pada dinding kanan kiri gua, masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna- warna cerah dan berkilap.

"Meng... meng... mengapa lantainya jernih sekali, Suto? Begitu jernihnya hingga sep... sep... seperti air yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata Dewa Racun.

"Gua ini benar-benar penuh arti kehidupan," kata Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi bebatuan yang ada di dinding lorong berikut. "Lantai ini jernih, merupakan peringatan bagi kita untuk memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui, memperhitungkan setiap tindakan yang akan kita lakukan. Jika kita berhati bersih, bening, dan berpikiran jernih, maka setiap langkah kita pasti membawa kemenangan tersendiri."

"La... lalu... lalu mengapa lumut-lumut itu sekarang tumbuh di atas kita?" tanya Dewa Racun.

"Hmmm...," Suto diam sejenak, kemudian berkata, "Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa rendah diri dan minder. Sekalipun kita nilainya hanya seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya terang kita tetap menjadi penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu kita, hendaknya kita bagikan kepada mereka yang membutuhkannya"

"See... se... sesuatu yang rendah belum pasti harus di bawah. Ada sisi lain yang kita bisa ambil dari yang paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita angkat menjadi sejajar atau lebih tinggi dari diri kita. Barangkali begitulah makna lain dari lumut-lumut yang memberi penerangan langkah kita di langit-langit gua ini!"

"Benar pendapat mu, Dewa Racun. Dan menurutku, kita tetap saja melangkah selama kita mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai kaca ini!"

Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya. Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal yang membuat mereka heran, tak ada bekas telapak kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.

Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam, seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat sinar dari arah depan.

"Pendekar Mabuk, ken... ken... kenapa bayangan kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"

Setelah diam berpikir beberapa kejap, Suto pun menjawab dengan suaranya yang tenang. "Bayangan hitam...? Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari kejelekan atau keburukan. Ini pun merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa kemana pun kita pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat buruk yang ada pada diri kita. Sifat buruk itu membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita sendiri, apakah kita mau memakai sisi buruk itu atau meninggalkannya? Tetapi pada awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti keburukan yang merupakan hal-hal yang bersifat rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat tamak, rencana untuk mementingkan diri sendiri dan sebagainya. Lantai cermin berbayangan hitam ini merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu ingat dan waspada, bahwa keburukan atau kejelekan selalu membayang-bayangi hidup kita. Jangan sampai kita lengah dan terkuasai oleh bayangan hitam diri kita sendiri!"

Dewa Racun melepaskan tawa pelan. "Luuu... luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi berteman denganmu walau sampai berusia seribu tahun lagi!"

Pendekar Mabuk pun membalas tawa dengan hati terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan langkah yang membuat Dewa Racun segera mengikuti dari belakang. Pandangan mata Suto Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah yang beraneka ragam bentuk dan warnanya.

Suara gemercik air semakin jelas. Pendekar Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik air itu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu hal. Dua orang perempuan berwajah cantik sekali datang dari arah depan Suto dan Dewa Racun. Dua orang perempuan yang masih muda itu sama-sama mengenakan pakaian semacam jubah putih dari bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus panjang, yang satu sebatas pinggang, satu lagi sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan hitam sehingga ketika dipakai berjalan gerakan rambut tampak gemulai sekali.

"Sssi... si... Siapa mereka itu?" bisik Dewa Racun sambil menyentak lembut tangan Pendekar Mabuk.

"Entahlah, kita tanyakan saja siapa mereka!"

Baru saja Suto ingin mendekati langkah mereka, tapi ternyata mereka sengaja berjalan mendekati Pendekar Mabuk. Senyum mereka mengembang dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama merasakan kebahagiaan yang tak dimengerti apa artinya.

Satu dari perempuan cantik berhidung mancung itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin atau kemben. Yang tidak membawa gulungan kain segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya yang lembut dan enak didengar, "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi...."

Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang Puri Gerbang Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam gua itu letak Puri Gerbang Surgawi, melainkan di Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto karena Dewa Racun diutus penguasa Puri Gerbang Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum, untuk membawa Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi mengapa sekarang perempuan bergaun putih itu mengatakan "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi?"

Sementara Suto dan Dewa Racun saling terbengong kebingungan, perempuan pembawa kain gulungan itu menebarkan kainnya. Warna merah beludru dibentang kearah jalan selanjutnya. Gulungan itu kecil, tapi ketika tangan berjari lentik itu menyentakkan gulungan tersebut, kain merah beludru menebar panjang dan berjalan sendiri mengikuti arah jalan berlantai kaca itu.

"Silakan berjalan di atas kain merah ini, jangan keluar dari atas kain merah," kata perempuan yang tadi membawa gulungan kain.

Perempuan yang satunya berkata, "Silakan melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah menanti kedatangan Tuan-tuan Pendekar."

Pendekar Mabuk mengawali langkahnya di atas bentangan kain merah, Dewa Racun ada di belakangnya. Dua perempuan itu mengawal di kanan-kiri mereka, tidak menginjak kain merah bludru. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan kepada perempuan di sebelah kanannya, "Siapa kalian sebenarnya?"

"Namaku Sang Wengi, dan yang di sebelah kirimu itu bernama Sang Ramu."

"Namaku..."

"Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak," sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan temanmu adalah Dewa Racun, yang punya nama asli Gatra Laksana?!"

"Dari mana kalian tahu namaku dan nama temanku itu?"

"Gusti Ratu yang memberitahukannya."

"Gusti Ratu siapa?"

"Gusti Ratu Kartika Wangi," jawab Sang Ramu.

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama hentikan langkah karena kaget dan merasa bingung. Dewa Racun segera berkata, "Apa... apa... apakah sekarang penguasa Puri Gerbang Surgawi sudah diganti?"

Sang Wengi yang menjawab, "Belum. Sebaiknya, mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai menunggu terlalu lama."

Mereka kembali melangkah dengan diliputi keheranan yang tiada kunjung reda. Ingin sekali Suto menanyakan mengapa nama Ratu Puri Gerbang Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum? Tapi lidahnya terasa kelu, pikirannya bercampur aduk, sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah sebuah kalimat, "Tak kusangka di gua indah ini ada penghuninya."

Sang Wengi segera berkata, "Hanya orang-orang yang bisa mengartikan makna keindahan di dalam gua ini yang bisa melihat kami."

Suto memperlambat langkah dan menatap wajah Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu mengatakan, "Selama ini baru kalian berdua yang bisa mengartikan apa makna keindahan di dalam gua ini. Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan falsafah kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini. Dan baru kalian berdua orang yang berhasil berperang melawan musuh yang paling berat."

"Musuh...? Siapa maksudmu?"

"Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan senyum bijak yang menawan hati. "Kalian berdua yang telah memenangkan pertarungan dendam di dalam batin dan jiwa kalian masing-masing."

"Pertarungan dendam?!" Suto menggumam sambil tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti maksudmu. Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil menahan diri agar tidak melampiaskan dendam kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia telah mati di tanganku."

"Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus begitu."

"Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati hangus?"

"Kami melihat semua kehidupan yang kami perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah ceria.

Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."

Dewa Racun ingin bertanya tentang Puri Gerbang Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah melihat lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar yang sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar dan luas yang sangat bening dan jernih. Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu putih yang memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan lempengan intan berukuran lebar dua tombak dan panjangnya mencapai lima tombak tiap lempengnya. Itulah sebabnya istana tersebut berpendar-pendar cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada dalam cahaya itu, mata sudah terbiasa memandang tanpa rasa silau.

Kain merah yang tadi digulirkan itu ternyata sangat panjang. Kain tersebut sampai ke tengah balairung istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai delapan pilar besar itu. Kain tersebut pecah menjadi dua bagian, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah terpisah begitu sampai di depan singgasana berlapiskan batuan putih intan itu. Orang-orang berwajah cantik seperti Sang Ramu dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto Sinting dan Dewa Racun. Senyum mereka ramah sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.

Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke kanan, Dewa Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai bundar yang ada di depan singgasana. Tinggi lantai itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai itu, kain merah sebagai alas berjalan mereka tadi hilang lenyap begitu saja.

Wuuut...!

Muncul pula perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi sama rata dengan pakaian serba kuning gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana yang bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah tempat Suto Sinting dan perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua tempat perempuan-perempuan berpakaian kuning gading berjajar mengelilingi dengan rapi.

Lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan berambut cepak berikat kepala seperti makhota emas kecil dan menyandang pedang merah di punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis warna merah, mengenakan tutup dada merah juga, dan dilapisi rompi panjang sebatas perut berwarna merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit- prajurit istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi seperti yang lainnya.

Terdengar suara bergaung menggema seperti genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu cantik, masih muda, wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum indah, hidungnya mancung, kulitnya putih.

Semua orang dari lantai bawah sampai lantai atas menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Melihat semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan satu kaki berlutut, yaitu kaki kanan, tangan kanan menggenggam ditempelkan lantai.

"Damai dan sejahtera buat kalian!" terdengar perempuan yang berdiri di depan singgasana itu berkata memberi salam. Lalu, mereka kembali bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun berdiri lagi.

Rupanya perempuan berpakaian ungu itulah yang disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk di dampar kencana berhias batuan intan berlian, lalu dengan senyum anggunnya ia menyapa Suto Sinting. "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi, Suto Sinting!"

Suto diam saja, tak tahu harus membalas dengan kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap tanda menghormat.

"Selamat datang pula Dewa Racun, abdi pilihan, Duta Terpuji!"

Dewa Racun bingung dikatakan Duta Terpuji. Lebih bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata Duta Terpuji.

"Apa maksudnya, Gusti Ratu?!" tanya Dewa Racun dengan bahasa yang lancar, tanpa tergagap-gagap.

"Gelar itu untukmu, Dewa Racun! Kau adalah utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk, membantu tiap ada kesulitan, mengarahkan pandang pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika sedang gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah gelar kehormatan, Duta Terpuji!"

"Mohon ampun sebelumnya, Gusti Ratu," kata Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya sebagai utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti Ratu?"

"Aku," jawab Ratu Kartika Wangi. "Aku yang mengutus kamu melalui mulut putriku, yaitu Dyah Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, berkuasa di Pulau Serindu, di Puri Gerbang Surgawi Nyata!"

Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Oooo... jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah Sariningrum dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua Puri Gerbang Surgawi, yang nyata dan yang tidak nyata!"

Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi berkata kepada Suto, "Benar apa kata batinmu, Suto Sinting! Ada Puri Gerbang Surgawi yang nyata dan yang tidak nyata!"

Terkejut sekali Pendekar Mabuk mendengar ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Mabuk membatin hal yang bukan-bukan.

Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu mertuamu, Suto Sinting. Karenanya aku ingin bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu, kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Dyah Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-mana kau selalu membawa kitab itu, maka semua ilmu dan jurus yang pernah kau pakai telah tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"

Pendekar Mabuk terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi, "Aku juga tahu kau menyimpan kasih sayang kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat sayang kepadamu. Tapi dia lebih rela jika kau mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu kepada adiknya yaitu Dyah Sariningrum. Aku melihat ketulusan hatimu dalam mencintai anakku, Suto. Aku terkesan dengan keperwiraanmu dan kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan matamu sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan matamu sebentar. Aku ingin memberimu tanda merah di tengah kening!"

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pejamkan mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan. Claap...! Keluar sinar merah jambu dari ujung telunjuk itu, masuk ke kening Pendekar Mabuk. Demikian juga dilakukan kepada Dewa Racun. Kini kedua kening itu telah bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa dingin ketika sinar itu menerpa dahi.

"Buka mata kalian," perintah sang Ratu. "Suto, angkat telapak tanganmu yang kanan dan hadapkan kemari!"

Pendekar Mabuk membuka telapak tangannya dan dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari tengah Ratu Kartika Wangi menunjuk, dan claap...! Sinar biru melesat dan menancap di telapak tangan kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di tengah telapak tangan Pendekar Mabuk. Tato itu bergambar pedang kecil yang ujung gagangnya terdapat bintang segi lima.

Ratu Kartika Wangit berkata kepada Suto, "Nah, Suto Sinting... tato di tangan kananmu itu adalah lambang bahwa mulai hari ini, sebagai calon menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya sendiri dengan kebajikan, maka aku mengangkatmu sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi panglima terdepan dari seluruh jajaran prajurit dan rakyat Puri Gerbang Surgawi...!"

Prok prok prok...! Mereka bertepuk tangan. Tepuk tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat seperti hormat yang dilakukan kepada sang Ratu Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri masih bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya memandangi orang-orang yang memberi hormat kepadanya, termasuk Dewa Racun sendiri, dan lama sekali mereka tidak kembali dalam posisi semula.

Maka, Suto pun segera ucapkan kata menirukan ucapan Ratu Kartika Wangi tadi, "Damai dan sejahtera buat kalian...!"

Mereka baru berhenti menghormat, kembali ke posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari tempat duduknya.

"Itu ucapan khusus dariku, Pendekar Mabuk. Kau harus bikin ucapan salam kepada mereka dengan bahasamu sendiri."

"Maaf, Ibu Ratu, saya belum tahu!"

"Pikirkanlah nanti saja. Yang jelas, kau dan Dewa Racun sudah menjadi warga Puri Gerbang Surgawi di bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini, hapuslah keningmu dengan tangan kanan, maka kau akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari alam kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika ingin melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk menembus alam siluman atau alam gaib lainnya, untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata telanjang, hapuslah keningmu dengan tangan kiri. Untuk menghilangkannya juga dengan menghapus kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa dilakukan pula oleh Dewa Racun!"

Dewa Racun membungkuk penuh rasa hormat dan berterima kasih, Suto mengikutinya. Karena dianggapnya, Dewa Racun lebih banyak tahu tentang adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang Surgawi.

"Tanda warna merah di kening kalian tidak akan bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak itu, Pendekar Mabuk. Dan juga orang-orang kita sendiri yang bisa melihat tanda merah di kening kalian berdua."

Dewa Racun membungkuk lagi. Hanya sedikit gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula. Agaknya Ratu Kartika Wangi semakin senang hatinya melihat sikap hormat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.

"Untukmu, Suto..., tanda tato di telapak tangan kananmu itu memang bergambar pedang kecil dengan bintang, karena itu simbol dari jabatan dan kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih; artinya Panglima Perang yang siap mati demi membela kebenaran di mana pun juga adanya! Tapi dengan menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring, kau akan bisa melepaskan pisau-pisau gaib yang jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang sebagai senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau atur dari napasmu yang tertahan. Jika kau lepas napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari telapak tanganmu itu akan berhenti dengan sendirinya. Adapun untuk jenisnya yang keluar dari tanganmu itu; apakah pisau atau bintang, tergantung sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan keluar bintang, jika sentakan napasmu berat akan keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak bisa dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang berilmu tinggi. Jurus itu kunamakan jurus 'Tapak Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya adalah jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam keadaan terpaksa dan sangat berbahaya!"

Pendekar Mabuk membungkukkan badan lalu berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu. Saya tidak keberatan mengemban tugas sebagai Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela kebenaran."

"Aku senang dan terkesan pada kesucian budimu, juga ketulusan jiwa Dewa Racun dalam menjalankan tugas sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku mempunyai hadiah khusus yang mudah-mudahan kau mau menerimanya!"

Trak trak...! Ratu menjentikkan jari tengah dan telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan perempuan berpakaian putih itu muncul satu orang yang sudah tidak asing lagi bagi Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.

Sang Ramu mendekati Ratu Kartika Wangi, memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah menunduk.

Sang Ratu berkata, "Dewa Racun, perjalananmu dari Pulau Serindu dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang Ramu ini. Dia tahu kau menyimpan dendam kepada Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi kau bisa kalahkan dendammu dengan hati yang tulus dan ikhlas. Sang Ramu sangat berkesan kepadamu dan ia tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima cintanya, Dewa Racun?!"

"Haah...?!" Dewa Racun terbengong kebingungan. Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum menggoda. Lalu, Dewa Racun berkata kepada Ratu Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu. Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"

Ratu Kartika Wangi tertawa, demikian pula semua orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa geli. Sang Ramu pun tertawa tapi tertahan dan tundukkan kepala.

Dewa Racun berkata pelan kepada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau menolaknya...!"

Pendekar Mabuk semakin geli mendengar ucapan itu.

* * *

SEMBILAN
SEPERTI Ratu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi dengan tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka mengusap dahi memakai telapak tangan kanan, kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas, dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman hijau menyala.

Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka. Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin mendekati tempat terang, semakin jelas suara gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun bertambah cepat.

Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti. Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar Pendekar Mabuk merundukkan kepala. Pendekar Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong. Pendekar Mabuk ikut mengintainya.

"Oh, rupanya gemercik air itu berasal dari kolam itu!" bisik Suto.

Dan Dewa Racun menjawab dengan suara yang kembali gagap, "Koo... ko... ko... Kolam Sabda Dewa!"

"Hah...?! Kelihatannya... ya, kelihatannya memang Kolam Sabda Dewa. Rupanya letak istana Puri Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam   Sabda Dewa...?!"

Dugaan mereka memang benar. Kolam itu berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran di tengahnya. Pancuran itu berupa curah air dari atas, tapi tak diketahui sumbernya. Sebab di bagian atas air yang mengucur ke bawah, terdapat langit-langit gua yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari atap gua melainkan dari udara bebas tanpa hambatan benda apa pun.

Sorot matahari masuk dari dua celah yang menjadi dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu menjadi terang karena sorot matahari. Mulut gua atau pintu masuk gua terletak sedikit miring ke atas, dan jalannya becek. Tapi sekeliling kolam yang bertepian batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi itu, keadaannya kering tanpa percikan air sedikit pun. Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu.

Di tengah kolam bergaris tengah tiga tombak itu ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada di situ, berwarna ungu. Warna ungu mengingatkan pakaian Ratu Kartika Wangi, sehingga Pendekar Mabuk berpendapat,

"Jangan-jangan kolam ini adalah pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi?! Sebab, kalau dihubungkan dengan langkah kita yang belum mencapai lima puluh langkah tadi, sepertinya kolam ini berada di belakang istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"

"Dugaanku pun mengatakan begitu. Tap... tap... tapi kalau se...."

"Ssst...!" Pendekar Mabuk cepat menepis ucapan Dewa Racun dan ia berkelebat pergi dari situ, bersembunyi di balik bongkah batu besar.

"Ad... ad... ada apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak menjawab hanya menuding ke arah pintu masuk gua. Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan matanya segera terkesiap.

Badai Kelabu datang bersama Melati Sewu. Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan bersama mayat guru mereka, yaitu Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan membawa mayat Kombang Hitam yang telah hangus itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang kering, mayat yang dibawa memakai usungan bambu itu diletakkan. Badai Kelabu dan Melati Sewu sama-sama hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi mereka.

"Kuharap Kolam Sabda Dewa bisa juga dipakai menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.

"Aku sangat berharap begitu! Aku lebih baik ikut mati jika Guru tidak bisa hidup kembali!" kata Melati Sewu.

"Buatku, Guru adalah bapakku sendiri! Dia yang menolong aku dari hinaan banyak orang. Cuma dia yang mau mendekatiku dan memberi makan ketika aku masih menjadi gadis yang cacat dan jelek rupa!"

"Ya, aku ingat itu!" jawab Melati Sewu.

Dewa Racun berbisik, "Mer... mer... mereka sama-sama inginkan Guru mereka hidup. Badai Kelabu punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak memberikan alasan mengapa dia mau ik... ik.. ikut mati jika gurunya tidak hidup kembali?"

"Entahlah. Yang jelas mereka mau coba-coba menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya ke kolam itu!"

Dalam hati Suto Sinting pun membatin, "Jika kolam itu adalah tempat pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke dalam kolam berarti suatu pencemaran air kolam. Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air yang dipakai untuk memandikan sesosok mayat. Ini harus kucegah!"

Maka, tanpa bicara apa-apa kepada Dewa Racun, Pendekar Mabuk pun segera muncul dari persembunyian. Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam. Suto cepat berseru, "Tahan...!"

Badai Kelabu dan Melati Sewu terkejut sekali. Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ada di situ.

"Suto...?! Oh, bagaimana mungkin kau bisa sampai di Kolam Sabda Dewa ini?! Kau tahu dari mana jalan menuju kemari, Suto?!"

"Secara kebetulan saja aku terperosok! Ternyata lorong sebelah sana itu tembusnya ke sini!"

"Kkka... kalian mau menceburkan mayat ini?" tanya Dewa Racun.

"Ya!" jawab Melati Sewu. "Sebab kau telah membunuh guru kami!" Sikap Melati Sewu bermusuhan kepada Suto. Bahkan semakin jelas permusuhannya karena ia segera mencabut pedang dari punggung.

Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari sarungnya.

"Melati Sewu, apa yang ingin kau lakukan?!" Badai Kelabu mencegah langkah Melati Sewu.

"Aku harus membalas kematian Guru!" katanya dengan ketus.

"Jangan! Jangan menyerang dia, Melati Sewu!" Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya dikibaskan oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu dan jatuh dalam jarak dua tindak dari tempatnya.

"Hutang nyawa balas nyawa, Pendekar Mabuk!" geram Melati Sewu.

Suto cepat menahan dengan kata-kata, "Melati Sewu, dia mati karena dendamnya sendiri. Aku tidak menyerangnya. Kau tahu aku telah mengalah dan melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"

"Tapi karena kesaktianmu itu maka Guru menjadi tewas!"

Melati Sewu bergerak mendekati Pendekar Mabuk. Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk memberi isyarat dengan tangannya agar tak perlu bertindak. Suto sendiri hanya diam saja, sekalipun jarak Melati Sewu dengan dirinya sudah tinggal tiga langkah. Pedang sudah diangkat dan siap ditebaskan. "Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu.

"Aku hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak setuju jika kau membalas kematian Guru. Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!"

"Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh, Badai Kelabu!"

"Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau menyerang Pendekar Mabuk, tapi seranglah aku! Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut kematian Guru!"

"Jangan membuat permusuhan denganku, Badai Kelabu!"

"Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"

"Dan tak perlu menentang kodrat dengan menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut kata.

"Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh, Sutooo...!" sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, melompat dengan pedang mengarah ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya berubah arah.

Heeegh...! Badai Kelabu melepaskan pukulan jarak jauhnya, tepat mengenai pinggang Melati Sewu. Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati Sewu tersentak dan oleng ke samping, Suto sendiri cepat melompat menghindari tebasan pedang bergerigi.

Wuut...!

Bruuk...! Melati Sewu jatuh telentang. Badai Kelabu segera lompatkan tubuh dan hendak menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi tubuh itu segera tersentak dan mental. Rupanya Suto berkelebat cepat menyambut tubuh Badai Kelabu membawanya ke tepi dinding.

"Kenapa kau larang aku menghajarnya?! Dia mau membunuhmu!" sentak Badai Kelabu kepada Pendekar Mabuk dengan hati dongkol sekali.

"Kalian satu perguruan. Tak baik saling bermusuhan!"

"Tapi dia menuntut kematian Guru, Suto! Dia inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin keras bicaranya.

Tanpa setahu Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu, Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang dengan pedangnya. "Mampuslah kalian berdua Hiaaat...!"

Dewa Racun segera melompat dengan sentakkan kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat.

Wuut...! Plaaak...!

Kakinya menendang pergelangan tangan Melati Sewu. Setelah itu, Dewa Racun segera melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati Sewu telah terpental ke seberang kolam. Gerakannya terlihat oleh Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu. Pedang itu terbang melayang dan menembus curahan air di tengah kolam. Tiba-tiba, claap...! Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.

"Jahanam kau!" geram Melati Sewu kepada Dewa Racun begitu tahu pedangnya lenyap secara gaib. la segera melompat menyerang Dewa Racun bagai singa betina yang buas.

Wuus...!

Dewa Racun tak mau menghadapi serangan itu. la melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat yang kosong. la menggeram dengan mata memandang tajam kepada Dewa Racun. Napasnya terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya hilang.

la segera bergegas mengangkat mayat Kombang Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut. Tapi secara ajaib air kolam menjadi surut. Gemercik air yang tercurah dari atas tanpa tahu di mana letak sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi kering kerontang tanpa setetes air pun kecuali tanah berlubang besar yang dalamnya antara satu ukuran tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada bebatuan dan kerak lumut kering di bagian dasarnya. Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin marah.

"Tidak! Tidaaaaak...! Guru harus hidup! Guru harus dimandikan ke dalam Kolam Sabda Dewa ini! Oh, mana airnya...? Mana airnya?!"

Dewa Racun diam saja diseberang sana, memandangi Melati Sewu yang menangis terisak-isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya tangis Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.

"Mengapa dia sampai begitu menderitanya terhadap kematian Guru?" pikir Badai Kelabu. "Apakah... apakah Guru itu adalah ayahnya?"

Heningnya suasana membuat Melati Sewu segera sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang, kehilangan gurunya dan kehilangan sebentuk harapan dari Kolam Sabda Dewa itu. Sepertinya ada sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati dan tak ada tempat untuk mencurahkannya. Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu, dengan membakar kebenciannya kepada Suto, dan membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.

"Biadab kau, Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"

Badai Kelabu mencoba menenangkan amukan Melati Sewu dengan berkata, "Melati Sewu..., kenapa kau masih belum mau menyadari kesalahan Guru kita itu?! Akuilah bahwa beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan dendamnya. Jangan salahkan Pendekar Mabuk!"

"Aku tidak bicara padamu murid murtad! Aku bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku! Cepaaat...!"

Dengan tenang Pendekar Mabuk menanggapinya. "Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup, Melati Sewu? Ada apa di balik niatmu? Katakanlah alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku akan berusaha sebisaku! Katakan alasanmu, Melati Sewu!"

"Karena aku tak mau anakku nanti lahir sebagai anak tanpa Ayah!"

"Ooh...?!" Badai Kelabu tersentak kaget, bahkan sempat terpekik. Matanya mendelik mulutnya ternganga. "Ja... jadi... kau...?!"

"Iya! Aku hamil, gurulah yang menanam benih ini di dalam kandunganku! Aku tak mau anakku lahir tanpa Ayah! Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku lahir dengan memiliki Ayah...!" Melati Sewu menangis terisak-isak.

Badai Kelabu ingin mendekat, tapi ia justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya lengannya saja.

"Guruuu...!" Melati Sewu segera menangisi Kombang Hitam. Memeluk mayat yang telah hangus itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama-sama, Guru! Kita akan mandi bersama supaya bisa hidup bersama, Guru...!"

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu ketika melihat Melati Sewu mengangkat mayat gurunya, lalu menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut penglihatannya masih berair jernih itu.

Bluuss...!

"Ooh...?!" pekik Badai Kelabu. "Dia hilang! Dia...dia... dia dan mayat Guru hilang, Suto!"

Tertegun Pendekar Mabuk dan Dewa Racun melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu kering, tapi ketika tubuh Melati Sewu dan mayat Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka lenyap tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,

"Mungkin mereka ditelan oleh suratan takdir yang tak bisa ditentang siapa pun!"

Badai Kelabu menangis dalam pelukan Pendekar Mabuk, dan Pendekar Mabuk memberinya ketenangan dalam pelukan seorang sahabat.

SELESAI

Manusia Seribu Wajah

Serial Pendekar Mabuk
Manusia Seribu Wajah
Karya Suryadi

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar Mabuk Karya Suryadi
SATU
BADAI Kelabu segera menghentikan langkah karena ia mendengar suara napas orang di belakangnya dalam jarak antara dua belas langkah. Badai Kelabu cepat palingkan wajah ke belakang. Ternyata di sana tak ada satu orang pun. Hatinya pun mulai curiga. Tapi Badai Kelabu kembali melangkahkan kaki dengan tenang.

"Aku merasakan gerakannya bukan gerakan Suto atau Dewa Racun!" ucap Badai Kelabu dalam hati. "Pasti orang lain yang punya maksud tak beres padaku. Hmmm... sebaiknya kudiamkan saja. Kupancing dia supaya keluar dari persembunyiannya!"

Badai Kelabu kembali langkahkan kaki dengan tenang, dan ia mendengar suara napas di belakangnya mulai mendekat kembali. Kejap berikut ia buru-buru palingkan wajah ke belakang. Suara napas orang itu lenyap bersama terhentinya langkah Badai Kelabu. Mata perempuan berusia tiga puluh tahunan itu memandang sekeliling dengan jeli. Tapi tak terlihat wujud orang yang mengikutinya.

Sekali ini Badai Kelabu langkahkan kaki tanpa berpaling sedikit pun. la biarkan suara napas yang mengikutinya dari belakang. Kejap lain, Badai Kelabu tersentak dan terhenti. Tubuhnya melengkung ke depan sambil pegang perutnya, ia perdengarkan suara erang lirih sebagai tanda kesakitan. Tubuhpun oleng dan jatuh terkapar di tanah tak berumput.

Badai Kelabu tergolek di sana. Pakaiannya yang hijau bertepian merah satin dibiarkan kotor, toh memang sudah rusak akibat banyak luka yang diderita waktu bertarung dengan Tapak Baja dan Hantu Laut di Pulau Kidung. (Baca serial Pendekar Mabuk di dalam episode Pusaka Tombak Maut). Tubuh Badai Kelabu mengejang sebentar, lalu tersentak dan melemas tak berkutik lagi.

Kejadian itu membuat sepasang mata terkesiap dari suatu tempat yang tersembunyi. Cukup lama sepasang mata itu menunggu gerakan Badai Kelabu, namun yang ditunggu tak juga bergerak. Sepasang mata itu memendam kuat-kuat rasa cemasnya. Namun akhirnya tak mampu lagi sabar menunggu. Sepasang mata itu cepat sentakkan kakinya dan melesat keluar dari persembunyiannya.

Orang tersebut mengenakan pakaian kuning sebatas dadanya yang sekal. Badannya terlihat elok dalam busana ketat seperti itu. Pinggangnya tampak ramping karena mengenakan celana ketat warna kuning pula. Celana itu hanya sebatas betis. Bentuk betisnya indah dan berkulit semulus kulit bayi. Pakaiannya itu dirangkap pakaian jubah warna merah jambu yang tak terkancingkan bagian depannya. Pakaian jubah merah jambu itu dari bahan sutera tipis hingga menampakkan bentuk pantatnya yang sekal menggiurkan setiap lelaki.

Orang bersenjata trisula kembar di pinggang kanan-kirinya itu punya wajah cantik jelita. Bertahi lalat kecil di atas bibir kirinya, bangir hidungnya, memiliki bola mata indah, lentik pula bulu matanya. Rambutnya yang panjang, hitam bersih, dan lembut tergerai selewat punggung, diikat dengan kain warna biru muda. Di atas telinga kirinya tersemat sekuntum bunga kamboja warna putih kekuning-kuningan. Menambah manis paras wajahnya. Jalannya melenggok saat ia mendekati Badai Kelabu yang terkapar di jalanan. Tapi kejap berikut orang itu tersentak kaget dan terlonjak ke belakang ketika Badai Kelabu tiba-tiba membentak.

"Hiaaat...!" sambil kakinya menyambar ke samping, dan tubuh pun berputar, tangan menyentak di tanah, badan terangkat dan kini ia berdiri tegap di depan orang berjubah merah jambu itu.

"Babi, monyet, kodok, kuda, kambing...!" orang berjubah merah jambu itu memaki dengan menyebutkan banyak binatang karena rasa kagetnya tadi. Tangannya melambai-lambai gemulai setiap ia bicara, bibirnya mencong sana-sini dengan genitnya. la menyambung kata dengan suaranya yang besar bernada perempuan manja.

"Dasar kura-kura kamu, ah! Kupikir kamu modar, tak tahunya hanya pura-pura saja! Sial!" ia melengos dengan mulut cemberut manja.

"Apa maksudmu mengikutiku, Tanjung Bagus?!" sentak Badai Kelabu dengan satu tangan bertolak pinggang.

"Pasti ada tujuannya!"

"Sebutkan tujuanmu!"

"Biasalah... mau paksa kamu serahkan peta itu!"

"Dari dulu kau merayuku untuk mendapatkan peta itu, padahal sudah kubilang bahwa aku tak memiliki peta tersebut!"

"Mana mungkin... mana mungkin...!" bibirnya maju dan dicibir-cibirkan dengan genitnya. "Kamu sudah pernah ke sana, pasti kamu simpan peta itu! Mana mungkin kamu akan buang itu peta!" Sambil berbicara begitu, Tanjung Bagus melenggok-lenggok dan tangannya memainkan tepian jubah merah jambunya.

Badai Kelabu mendesis muak dan berkata. "Kau memang ingin cari perkara! Sekarang apa maumu kalau kubilang aku tidak mempunyai peta Itu?!"

"Kita bertarung! Mungkin kalau nyawamu sudah diubun-ubun baru kau mau mengaku dan menyerahkan peta itu!"

"Tanjung Bagus, kalau itu maumu, kulayani tantanganmu!"

Di balik semak, Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling berbisik dengan suara sangat pelan. "Cantik sekali orang berjubah merah jambu itu," bisik Suto. "Dia mirip seorang bidadari."

"Tap... tapi... sepertinya dia punya persoalan dengan Badai Kelabu. Kita lihat saja urusan mereka sampai di man... man... mana!"

"Baik. Kita lihat saja dari sini sambil menjagai.

Percakapan yang kasak-kusuk tak membuat kedua orang yang saling berhadapan itu terganggu. Badai Kelabu telah siap menerima serangan dari Tanjung Bagus. Kedua kakinya merenggang kokoh, yang kanan ditarik sedikit ke belakang dan merendah keduanya. Tapi Tanjung Bagus masih melenggak-lenggokkan badan sambil memegangi tepian jubahnya.

"Tak sayangkah kamu dengan nyawamu itu, Badai Kelabu? Daripada kamu korbankan nyawa buat sembunyikan peta itu, lebih baik kau serahkan padaku dan nyawamu tetap utuh, Badai Kelabu!"

"Peta itu ada di nyawaku!" jawab Badai Kelabu. "Kalau kau mau ambil peta itu, ambil pula nyawaku!"

"Aduuuh, sayang sekali aku harus bertindak kasar padamu, Badai Kelabu! Bersiaplah untuk mati, Sayang...!" sambil Tanjung Bagus melenggokkan badan dengan gemulai, mirip orang mau menari. Tangannya diangkat merentang ke kiri-kanan, lalu tangan itu meliuk pula ke arah depan dengan satu kaki diangkat sebatas lutut, tangan yang kanan ditarik ke belakang, yang kiri maju ke depan, tubuhnya sedikit meliuk ke belakang, wajahnya agak mendongak, tapi mata tetap tertuju ke depan.

Di balik semak, Dewa Racun berbisik kepada Suto, "Men... men... menurutmu, dia mau bertarung atau mau menari?"

"Memang begitulah jurus yang dimilikinya, barangkali. Mirip orang menari. Lemah gemulai, tapi seberapa besar tinggi ilmunya, kita masih belum bisa pastikan!"

"Dia desak Bad... Bad... Badai Kelabu untuk minta peta. Menurutmu pet... pet... pet...!"

"Peta! Menurutmu peta apa yang diminta? Apakah peta harta karun atau peta penyimpanan harta pus... pus... pus...."

"Pusaka!" sentak Dewa Racun dalam suara bisik yang jengkel.

Suto tersenyum menahan tawa dan ucapkan kata pelan, "Kita belum jelas peta apa yang diinginkan orang itu. Lihat saja, nanti kita juga akan tahu sendiri, Dewa Racun!"

Orang kerdil itu diam, tak lagi ajukan tanya. Mata orang kerdil terlempar pandang ke arah Badai Kelabu yang sedang bergerak menunggu kesempatan menyerang lawannya.

"Majulah, Setan! Tak segan-segan kuremukkan batok kepalamu dengan kedua tanganku ini!"

"Hmm...!" Tanjung Bagus melenggokkan kepala sambil mencibir genit dengan tangan masih bergerak-gerak seperti orang menari. Katanya lagi. "Jangan hanya bisa berkoar besar saja kau, Setan sawah! Tunjukkan kebolehanmu! Kulawan jurusmu dengan pukulan 'Daun Melambai'!"

Tanjung Bagus meliukkan badan dengan sangat lentur, hingga dadanya membungkuk hampir menyentuh tanah, kedua kakinya merentang lebar-lebar, kedua tangan dan jemarinya meliuk ke sana-sini sebagai upaya mengumpulkan tenaga dalamnya.

Tiba-tiba Badai Kelabu setengah membungkuk lepaskan pukulan 'Cakar Kucing' dengan kaki rapat dan berjalan cepat mendekati lawan. Kedua tangannya membentuk cakar kucing yang mencakar bagian di depannya secara berganti-ganti.

Wut wut wut wut...!

Plak plak plak plak...! Blakkk...!

Pukulan Badai Kelabu yang menyerupai cakaran kucing beruntun itu selalu bisa ditangkis oleh gerakan cepat tangan Tanjung Bagus. Kemudian, keduanya sama-sama memperoleh kesempatan untuk menghantamkan telapak tangannya. Tanjung Bagus berhasil menghentakkan telapak tangannya di bawah pundak kanan lawan, dan Badai Kelabu berhasil menghantam rahang Tanjung Bagus dengan telak sekali. Keduanya sama-sama terpental jatuh di tanah. Tapi keduanya sama-sama cepat bangkitkan diri, dan saling berdiri tegak siap menyerang kembali.

"Hmm...! Aku tahu dada kananmu memar!" kata Tanjung Bagus. "Aku bisa lihat warna biru di dada kananmu, walau tertutup kain bajumu!"

"Hmm...!" Badai Kelabu pun sunggingkan senyum sinis. "Aku juga tahu gigi rahangmu yang belakang patah! Keluarkanlah dari mulutmu, tak perlu kau simpan, nanti tertelan!"

"Puih...!" Tanjung Bagus menggeram jengkel setelah meludah, karena memang gigi gerahamnya patah, dan bagian yang patah itu baru saja diludahkan keluar.

Sementara itu, Badai Kelabu menggerakkan pundak kanannya, karena memang pukulan Tanjung Bagus membekas biru di dada kanannya dan terasa sakit bagai disengat kalajengking. Gerakan pundak itu sebagai gerakan penahan rasa sakit di dada kanan.

Tiba-tiba keduanya sama-sama sentakkan kaki dan melayang di udara. Tanjung Bagus melebarkan kedua tangannya dengan telapak terbuka ke depan, Badai Kelabu meletakkan telapak tangannya yang kanan ke bawah ketiak dengan jari mengarah ke bawah, sedangkan tangan kirinya maju ke depan siap menangkis pukulan lawan.

Tubuh mereka saling berbenturan diudara. Tangan kiri Badai Kelabu mengibaskan pukulan tangan kanan Tanjung Bagus, tapi tangan kiri Tanjung Bagus berhasil menghantam dada kanan Badai Kelabu, dan tangan kanan Badai Kelabu masuk ke tengah dada Tanjung Bagus. Tubuh mereka saling dorong, sama-sama terpental kebelakang. Lalu keduanya sama-sama mendaratkan kaki di tanah dengan kaki merendah, dan badan sama-sama sedikit melengkung ke depan.

Badai Kelabu tampak memucat, demikian pula Tanjung Bagus. Keduanya sama-sama tak bicara dalam tiga helaan napas. Tapi mata mereka saling beradu pandang tanpa berkedip. Kejap berikut terlihat ada darah keluar dari bibir Tanjung Bagus. Meleleh melalui sudut bibir. Sesaat kemudian keluar juga darah dari mulut Badai Kelabu, mengalir lewat pertengahan mulutnya.

"Cuih...!" Badai Kelabu meludahkan darah ke samping.

"Cuih...!" Tanjung Bagus pun meludahkan darah ke depan.

Badai Kelabu menyapu bibirnya dengan lengan baju, Tanjung Bagus menyapu bibirnya dengan kain jubah. Beberapa saat setelah mereka sama-sama diam mematung dan saling mengumpulkan tenaga baru, Tanjung Bagus cepat serukan kata, "Menyerahlah, Badai Kelabu! Serahkan peta itu padaku sebelum kuputuskan untuk mengakhiri riwayat hidupmu!"

"Jangan lagi bicara soal peta! Sudah kukatakan, aku tak menyimpan peta itu! Tapi kalau kau berkeras hati untuk mencabut nyawaku, mari kita tentukan siapa yang lebih dulu tercabut nyawanya!"

"Manusia keras kepala!" geram Tanjung Bagus, kemudian kedua tangannya cepat bergerak dari samping kanan-kiri ke depan dan menyentak kuat. Wuuttt...! Pukulan tenaga dalam terlepas dari kedua tangan yang saling berhimpit pergelangannya itu. Pukulan tenaga dalam itu berwarna kuning dan berasap tipis. Sasarannya tubuh Badai Kelabu.

Maka dengan cepat Badai Kelabu sentakkan kaki, tubuhnya melayang ke atas melewati batas gerakan sinar kuning tingginya. Dari atas Badai Kelabu sentakkan dua jarinya dan meluncurlah sinar merah ke arah Tanjung Bagus.

Wuusss...!

Tanjung Bagus hanya miringkan badan ke samping dalam sikap kedua kaki merapat, dan sinar merah lewat di depannya, menghantam gugusan batu di kejauhan sana.

Blarr...! Gugusan batu itu pecah. Sementara sinar kuning dari Tanjung Bagus menghantam sebatang pohon berukuran satu pelukan manusia dewasa. Pohon itu tumbang dalam keadaan patah tak beraturan.

Brukkk...!

Tetapi di luar dugaan, telapak kiri Badai Kelabu bergerak cepat pada saat Tanjung Bagus berkelit ke samping dengan merapatkan kaki tadi. Sebuah pukulan tenaga dalam tanpa sinar melesat dan menghantam pinggang Tanjung Bagus.

Buhggg...!

Tubuh Tanjung Bagus tersentak naik dan oleng ke samping, lalu jatuh berguling-guling bagai mendapat dorongan angin besar. Sampai di bawah sebuah pohon, Tanjung Bagus berdiri dengan satu lutut dan ia memuntahkan darah segar dari mulutnya.

"Carilah peta itu ke neraka, Banci kurap! Hiaaat...!" Badai Kelabu kembali melepaskan tenaga dalamnya melalui dua jari yang disentakkan ke depan dalam posisi tangan tengadah ke atas. Dari jari itu kembali keluar sinar merah bagaikan lidi panjang.

Tanjung Bagus dalam keadaan lemah dan tak bisa bergerak cepat. Bahkan ketika ia mau bergerak menghindar, lututnya terpeleset dan ia jatuh bertumpu tangan ditanah. Saat itu, sinar merah telah mendekat dan sangat dekat. Tapi tiba-tiba, wesss...!

Sesosok bayangan berjubah hitam melesat dan mengangkat tubuh Tanjung Bagus. Sinar merah itu akhirnya mengenai batang pohon, dan pohon itu pun pecah. Blarrr...! Sedangkan Tanjung Bagus tahu-tahu sudah berada di gugusan tanah yang lebih tinggi letaknya dari tempat Badai Kelabu berdiri.

Seorang nenek keriput sudah berdiri di samping Tanjung Bagus. Orang berusia sekitar enam puluh tahun itu mengenakan jubah hitam dengan pakaian dalam dan celana berwarna putih kusam. Rambut putihnya digulung kecil di tengah kepala, sisanya dibiarkan terurai sebatas punggung. la menggenggam tongkat berujung lengkung mirip tanda tanya. Tongkat itu berwarna hitam yang ukurannya kurang dari satu genggaman tangan. Mungkin hanya separo genggaman.

Badai Kelabu mengenali nenek kurus itu, karenanya dia segera menyapa dengan suara lantang. "Kau ingin membela muridmu juga, Nini Pasung?"

"Seorang Guru sudah selayaknya menyelamatkan muridnya!" kata Nini Pasung Jagat dengan suara tuanya yang kecil melengking itu.

"Jika kau ingin selamatkan muridmu, cepatlah bawa pulang si Banci rapuh itu!"

"Hi hi hi hi...! Membawa pulang adalah hal yang mudah, Badai Kelabu. Tapi kulihat dia belum dapatkan peta itu darimu!"

"O, jadi kau yang suruh dia merebut peta dariku?"

"Aku membutuhkan peta sebagai penunjuk jalan menuju gua itu, di mana terdapat Kolam Sabda Dewa! Hihihi...! Kurasa bukan hanya aku yang membutuhkan Kolam Sabda Dewa, tapi murid banciku ini juga membutuhkannya, untuk mengubah nasibnya yang enggan menjadi laki-laki. Dia ingin menjadi wanita sejati! Hi hi hi...!"

Kasak-kusuk di balik semak kembali terdengar, yaitu bisikan Pendekar Mabuk dengan Dewa Racun. "Rupanya perempuan cantik itu banci?! Dia seorang lelaki?!"

"Kkaau... kau... tertipu, Suto! Kita berdua tertipu. He he...!"

"Ssst...!" Pendekar Mabuk mengingatkan supaya tawa Dewa Racun diredam agar suara mereka tidak terdengar. "Apakah kau pernah dengar Kolam Sabda Dewa, Dewa Racun?"

"Belum pernah! Ak... ak... aku tak tahu apa kehebatan Kolam Sabda Dewa itu!"

"Pasti kolam yang sangat penting dan punya nilai tinggi. Jika tidak, tak mungkin Tanjung Bagus dan gurunya mempertaruhkan nyawa untuk merebut peta dari tangan Badai Kelabu!"

"Dan pas... pas... pas...!"

Pasar?!"

"Pasti! Dan pasti Badai Kelabu mengetahui apa kehebatan kolam tersebut, Suto! Jadi, nanti kamu tanyakan sendiri saja kepadanya!"

"Ya. Tapi aku tak sabar menunggu pertarungan mereka yang tiada habisnya. Aku harus cepat menemui gurunya Badai Kelabu untuk melakukan pengobatan, lalu kita kembali ke Pulau Beliung sebelum Hantu Laut mengamuk di sana dengan Pusaka Tombak Maut di tangannya! Aku harus membantu Badai Kelabu agar cepat selesai urusannya...."

"Ssst...! Jang... jang... jang...."

"Jangkrik!"

"Jangan! Maksudku... jang... jangan dulu bertindak. Kita nanti jadi punya urusan dengan Nini Pasung Jagat itu! Biarkan Badai Kelabu menyelesaikan urusannya sendiri. Kalau memang dia terdesak, bolehlah kita kasih ban... ban... ban...."

"Bantai!"

"Bantuan!" sentak Dewan Racun dengan gemas dan bersuara lirih.

"Menurutku Nini Pasung Jagat itu tidak seimbang jika melawan Badai Kelabu. Perempuan tua itu berilmu tinggi. Dari gerakannya menyambut Tanjung Bagus saja sudah terlihat dia berilmu tinggi. Badai Kelabu bisa mati di tangannya. Aku harus segera menolongnya!"

"Ya. Tapi lakukanlah secara sem... sem..."

"Semut?"

"Sembunyi-sembunyi!" geram Dewa Racun dengan kegagapannya sendiri. "Tap... tapi... lihatlah, di atas pohon sana ada seseorang yang mengintai mereka!"

"O, ya! Aku melihatnya! Tapi... perempuan berpakaian merah di atas pohon itu memihak siapa? Badai Kelabu atau Tanjung Bagus?"

DUA

NlNI Pasung Jagat segera turun dari tempat yang tinggi itu. Gerakan turunnya bersalto satu kali. Jubahnya berkelebat bagaikan hembusan angin gelap. Ketika ia mendaratkan kakinya di tanah, jubahnya masih bergerak melambai turun bagaikan sayap seekor garuda. la berdiri dengan tegak, sambil tetap berpegang pada tongkat melengkung setinggi telingahnya.

Badai Kelabu pasang kuda-kuda dengan penuh waspada. Tangan kanannya sudah terangkat di atas kepala, telapak tangannya terbuka menghadap ke depan, tangan kirinya sedikit terlipat di depan dada, sebagai persiapan menangkis serangan mendadak dari depan.

"Hi hi hi hi...," Nini Pasung Jagat tertawakan gaya siaga dari lawannya. "Untuk apa kamu bersiap menggunakan kuda-kuda seperti itu, Badai Kelabu? Apakah kamu pikir kamu bisa mengalahkan diriku? Apakah kamu pikir kamu bisa mematahkan seranganku?"

"Majulah kalau kau ingin mencoba ilmuku, Nini Pasung Jagat!"

"Hi hi hi hi...! Gurumu saja tunduk di depanku, apalagi kamu yang masih kemarin sore, Badai Kelabu!"

"Omong kosong! Guruku tak pernah berhadapan denganmu! Kau selalu lari terbirit-birit jika melihat guruku!" ketus Badai Kelabu.

"Kalau perlu, panggillah gurumu! Suruh dia menghadapiku sekarang juga! Kutunggu dia di sini!"

"Cukup aku yang menghadapimu, Nenek peot!"

Nini Pasung Jagat menggeram, menahan amarah dikatakan sebagai nenek peot. Tangannya menggenggam tongkat dengan kuat-kuat. Giginya yang sebagian ompong bagian depan itu menggeletak. Tiba-tiba rumput di bawah telapak kakinya itu bergerak-gerak. Warnanya berubah jadi kuning kecoklatan, lalu coklat tua dan akhirnya kering dalam keadaan hitam. Asap mengepul dari telapak kaki Nini Pasung Jagat, itu menandakan kemarahannya terpendam kuat-kuat hingga tenaga dalamnya tersalur lewat kaki dan membakar rumput yang diinjaknya.

Jika tenaga dalam itu disentakkan ke depan untuk memukul Badai Kelabu, belum tentu Badai Kelabu bisa mengatasinya. Kelihatannya tenaga dalam itu muncul dari ilmu yang cukup tinggi. Badai Kelabu sendiri sempat merasa gentar sedikit, tapi cepat-cepat ia buang kegentaran hatinya.

"Badai Kelabu!" geram Nini Pasung Jagat. "Aku merasa sayang jika harus melukai tubuhmu. Kau perempuan yang cantik. Jadi, alangkah sayangnya jika kecantikan itu harus kulukai. Ada baiknya kita berdamai saja. Kutukar peta Kolam Sabda Dewa itu dengan sekotak perhiasan masa mudaku dulu!"

"Aku tidak butuh perhiasan lagi! Aku sudah cukup banyak mempunyai perhiasan, Nini!"

"Bagaimana jika kutukar peta itu dengan jurus 'Rembulan Berdarah'?! Jurus ini belum pernah kuturunkan kepada murid siapa pun juga, karena merupakan jurus andalan yang paling berbahaya! Kau tak akan rugi menukar peta Kolam Sabda Dewa dengan jurus 'Rembulan Berdarah'!"

"Aku tidak butuh jurus murahanmu itu, Nenek peot!"

"Laknat kau!" sentak Nini Pasung Jagat, hilang sudah kesabarannya. Maka, dengan cepat ia sentakkan kakinya, dan tubuhnya melayang terbang ke arah Badai Kelabu. Tongkatnya dikibaskan bagai ingin menggaet leher lawannya.

Tapi Badai Kelabu sudah siap menghindar atau menangkis. Karena ia tahu tongkat itu bukan sembarang tongkat, maka Badai Kelabu pun segera sentakkan kaki dan melompat ke arah samping.

Wuusss...! Tongkat itu menebas tempat kosong. Tapi angin tebasannya cukup besar, hingga tubuh Badai Kelabu tersentak mundur tiga langkah dari tempatnya berdiri.

Nini Pasung Jagat bergerak memutar seperti orang mabuk. Cepat sekali gerakan tubuhnya memutar, hingga jubahnya mengembang mekar mirip bunga matahari. Tongkatnya direntangkan siap menyabet apa saja yang didekatinya.

Badai Kelabu cemas akan dirinya yang terdesak di antara dua pohon. Maka dengan cepat, Badai Kelabu pijakkan kakinya di dua pohon yang bersebelahan itu. Dengan berpijak pada pohon, ia bergerak naik dengan cepat bersama kedua kaki tetap masing-masing berpijak pada pohon yang berbeda. Sedikit tinggi dari letak semula, Badai Kelabu cepat sentakkan kedua kaki dan tubuhnya melayang terbang di udara dengan berjungkir balik dua kali, Wutt wuttt...!

Pada saat itu tongkat Nini Pasung Jagat menyambar dua batang pohon pinus yang tadi digunakan panjatan kaki Badai Kelabu. Begitu tongkat itu mengenai batang pohon, terdengarlah suara ledakan yang cukup keras dua kali. Bukan hanya Badai Kelabu yang tersentak kaget, tapi Tanjung Bagus yang masih duduk dengan bersimpuh itu pun terkejut sehingga latah bancinya keluar.

"Eh, Ala... kuda, kucing, babi, kambing, marmut...! Aduh, kaget aku! Jantungku mau copot rasanya!" suaranya melenggok manja. la pun terbatuk-batuk dan mengeluarkan darah lagi dari mulutnya. Darah itu adalah darah akibat luka pukulan Badai Kelabu tadi.

Badai Kelabu benar-benar tak diberi kesempatan menyerang oleh Nini Pasung Jagat. Setelah Badai Kelabu melompat dan berguling untuk menghindari rubuhnya dua pohon itu, Nini Pasung Jagat cepat melancarkan pukulan jarak jauhnya dengan menggunakan telapak tangan kirinya yang berwarna hitam separo itu. Wusss...!

"Modar kau, Bocah laknat!" teriak Nini Pasung Jagat. Pukulan itu berubah-ubah wujudnya. Kadang seperti gulungan asap hitam, kadang menyala merah seperti bara. Sasarannya adalah kepala Badai Kelabu. Gerakannya begitu cepat, bahkan mengikuti ke mana pun perginya Badai Kelabu.

Perempuan muda itu kewalahan, berjumpalitan kesana-sini, tapi ia masih tetap dikejar oleh gumpalan asap yang berubah-ubah bentuk itu. Kadang Badai Kelabu menghindari dengan sentakan kaki yang membuat tubuhnya melenting di udara. Tapi gumpalan asap itu ikut melesat naik memburu tubuh Badai Kelabu.

"Hi hi hi...! Tak akan bisa kau menghindari jurus 'Rembulan Berdarah', Bocah laknat! Itulah jurus yang akan kuturunkan padamu, tapi kamu menyepelekannya! Dan, ini satu lagi...! Hiaaat...!"

Kini dua gulungan asap hitam yang sering berubah menjadi bara api mengejar Badai Kelabu. Gerakannya begitu cepat, sehingga Badai Kelabu merunduk, menggeliat ke samping, melompat dan bergerak apa saja untuk menghindari serangan dua gulungan asap tersebut. Bahkan sampai Badai Kelabu berguling-guling di tanah, kedua gulungan asap itu masih terus mengejarnya dari dua arah.

Kejap berikutnya Badai kelabu sentakkan kaki dan melesat tinggi. Tapi dari arah bawah ia dikejar gulungan asap pertama, dari arah belakang ia dihampiri gulungan bara kedua. Badai Kelabu benar-benar dalam bahaya. la sentakkan tangannya, mengirimkan pukulan bertenaga dalam yang memancarkan warna biru. Namun warna sinar biru itu padam seketika begitu membentur gulungan asap. Dan ia masih diburu oleh dua gulungan asap sebesar kepala manusia dewasa.

Tiba-tiba dua gulungan asap itu pecah dan menimbulkan ledakan yang mengguncang bumi. Pohon-pohon bergetar, daunnya berguguran. Tubuh Badai Kelabu pun terhempas bagai dilemparkan oleh tangan raksasa. Hampir saja ia membentur gugusan batu jika tidak segera berkelit lalu berguling di rerumputan.

Di atas tanah tinggi, Tanjung Bagus tersentak. Duduknya sampai terlonjak ke atas dan ia memekik latah. "Kambing, kucing, kodok, jangkrik, babi ngepet...! Suara apa itu tadi, ya...?!" ia menjadi tegang dan ketakutan. Buru-buru ia menelungkupkan diri dengan kepala sedikit tersumbul mencari tahu penyebab suara ledakan yang menggelegar itu.

Sedangkan Nini Pasung Jagat terkesiap beberapa saat lamanya, ia terbungkam mulutnya dan berhenti bergerak bagaikan patung. Tapi matanya memandang kepulan asap yang membubung tinggi akibat dua ledakan jurus 'Rembulan Berdarah'nya itu. Dalam hatinya ia membatin, "Keparat mana yang bisa meledakkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku?! Baru sekarang kulihat ada orang mematahkan jurus andalanku itu! Monyet kering!" rutuknya tiada berkesudahan.

Badai Kelabu terengah-engah. Terlalu letih tubuhnya bergerak menguras tenaga saat menghindari maut tadi. la masih terkulai di bawah pohon. Ia tak tahu, Nini Pasung Jagat telah bersiap menghujamkan ujung tongkat yang tumpul itu, namun tentunya mempunyai kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi.

Sebelum nenek keriput dan kurus itu menghujamkan tongkatnya, tiba-tiba sebuah sinar hijau bening melesat ke arahnya. Wuttt..! Cepat-cepat Nini Pasung Jagat hadangkan telapak tangan kirinya, dan sinar hijau bening itu menghantam telapak tangan kiri yang belang separo itu.

Blabbb...!

Letupan teredam mempunyai sentakan tenaga cukup kuat. Tubuh Nini Pasung Jagat terhempas ke belakang, namun hanya terhuyung-huyung dan tak sempat jatuh. la kembali bisa berdiri tegak, memandang ke arah kiriman sinar hijau tadi.

"Babi kurap! Kau ikut campur juga rupanya?!" geram Nini Pasung Jagat kepada perempuan yang baru saja turun dari pohon.

Perempuan muda berusia sebaya dengan Badai Kelabu itu mengenakan rompi ketat tertutup depannya berwarna merah tua, celananya hitam bersabuk kuning kehitam-hitaman. la punya wajah lonjong, berambut panjang dikepang satu, melilit di lehernya. Ia mengenakan ikat kepala dari tali putih halus, sepertinya terbuat dari benang-benang sutera, ia menyandang pedang yang panjangnya setengah depa, disematkan di punggung. Tali pedang yang coklat itu melintang di dadanya yang sekal. Perempuan itu adalah orang yang dilihat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun tadi.

Melihat kemunculan perempuan berambut kepang, Nini Pasung Jagat yang sudah mengenal siapa perempuan itu menjadi membatin sendiri dalam hatinya. "Pukulan sinar hijaunya tidak seberapa. Tapi sehebat itukah dia? Begitu tinggi ilmu yang dimiliki jika benar dia yang telah menghancurkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku tadi?! Mungkinkah dia mempunyai kekuatan yang begitu hebat hingga bisa mematahkan jurusku? Tak disangka kalau dia ternyata mampu menandingi jurus 'Rembulan Berdarah', padahal belum lama ini Tanjung Bagus pernah menghajarnya sampai hampir mati, walaupun Tanjung Bagus sendiri juga hampir mati. Tapi, jika ia punya ilmu tinggi yang bisa menghancurkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku tadi, mestinya ia dengan mudah bisa membunuh Tanjung Bagus!"

Melihat kemunculan temannya, Badai Kelabu merasa sedikit tenang. la cepat ucapkan kata, "Terima kasih atas pertolonganmu, Melati Sewu! Kalau gumpalan asap tadi tidak kau hancurkan, matilah aku. Sudah habis tenagaku untuk menghindarinya!"

"Bukan aku pelakunya," jawab Melati Sewu dengan berbisik, lalu ia menolong Badai Kelabu untuk bangkit. la kembali berbisik, "Justru aku sedang mencari siapa orang yang bisa menghancurkan jurus maut Nini Pasung Jagat itu?"

"Kalau begitu...," Badai Kelabu tidak melanjutkan kata-katanya. la segera membatin, "Pasti Pendekar Mabuk yang melakukannya! Hampir aku lupa kalau aku membawa Suto dan Dewa Racun. Tapi, sebaiknya biarlah mereka berada di tempatnya dulu. Kubereskan dulu si tua peot ini dengan dibantu kekuatan Melati Sewu!"

Segera terdengar kata-kata lepas dari Nini Pasung. "Melati Sewu! Kau datang ke pertarungan ini untuk serahkan peta Kolam Sabda Dewa atau untuk serahkan nyawa?!"

Tapi Melati Sewu berbisik kepada Badai Kelabu, "Guru semakin parah! Apakah kau mendapatkan Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat? Aku hampir saja menyusulmu ke pulau Beliung, tapi terhenti di sini dan melihatmu bertarung dengan si tua edan itu!"

"Batu Galih Bumi tidak kudapatkan, Melati Sewu! Tapi aku membawa seorang tabib muda yang ilmunya cukup tinggi."

"Kalau begitu, cepat kita bawa dia ke pesanggrahan biar Guru segera dapat tertolong!"

"Ya. Tapi bereskan dulu urusan ini, baru kita bawa dia ke sana!"

Nini Pasung Jagat membentak dengan suara keras, "Melati Sewu! Jawab pertanyaanku!"

Tapi Melati Sewu sengaja berbisik kepada Badai Kelabu supaya kemarahan Nini Pasung Jagat menyerang diri sendiri. "Kau istirahatlah, biar aku yang maju! Tapi tetap waspada!"

"Baik! Aku akan membantumu dari belakang!" Merasa disepelekan, Nini Pasung Jagat cepat sentakkan tangan kirinya dengan jari berbentuk cakar. Wuttt...! Sebuah pukulan tanpa wujud dilepaskan untuk menegur sikap kedua perempuan itu yang dianggap meremehkan dirinya.

Tetapi Melati Sewu sudah siaga, Dengan cepat ia pun sentakkan tangan kanan dan pukulan tanpa wujud itu saling berbenturan di pertengahan jarak mereka. Asap mengepul naik, lalu hilang terbawa angin.

"Keparat kau, Melati Sewu!" geram Nini Pasung Jagat. "Jika kau memiliki peta itu, serahkan padaku! Jika tidak, menyingkirlah biar tidak menjadi korban sia-sia dalam pertarunganku ini!"

"Aku tak punya peta dan tak punya niat untuk menyingkir!" kata Melati Sewu dengan lantang dan berani.

"Kalau begitu, terpaksa aku menghancurkan tubuhmu yang ramping keropos itu! Hiaaat...!"

Nini Pasung Jagat sentakkah tongkatnya. Nyala api biru melesat bagai bola kecil yang menerjang cepat. Tapi Melati Sewu tak kalah sigap. la kibaskan kepalanya dan kepang rambut pun lepas berkelebat menyabet bola biru itu. Tarr...!

Kepang itu melecut kuat, bola biru dihantamnya dan hancur dalam kepulan asap biru. Kepang rambut itu segera ditarik kembali dan bergerak melilit ke leher lagi dalam satu sentakan kepala kecil. Wuttt... slleb!

"Hiaaaat...!" tiba-tiba terdengar pekikan keras melayang melewati kepala Nini Pasung Jagat. Rupanya Tanjung Bagus tak sabar melihat lagak Melati Sewu yang beberapa waktu lalu hampir merenggut nyawanya dalam satu pertarungan di tepi pantai. Tanjung Bagus telah mencabut dua trisulanya. Satu dimainkan dalam keadaan berputar, satu lagi cepat ditusukkan ke dada Melati Sewu.

Tapi dengan cekatan Melati Sewu miringkan badan sehingga tusukan itu mengenai tempat kosong. Seketika itu juga tangan Melati Sewu menghantam dalam gerakan menyamping. Buhggg...! Cukup kuat pukulan menyamping dari Melati Sewu. Kena telak di bawah pundak kiri Tanjung Bagus. Pukulan itu membuat Tanjung Bagus memekik tertahan dengan langkah tersentak mundur dua tindak. Tapi ia cepat tegakkan kepala dan kedua trisulanya diadukan diatas kepala. Trangng...! Perpaduan dua trisula itu menimbulkan loncatan api biru yang segera menyambar Melati Sewu.

Melati Sewu mencabut pedang sambil bersalto ke belakang menghindari kilatan cahaya biru itu. Cahaya tersebut mengenai tempat kosong. Hanya membakar ilalang di belakang Melati Sewu. Sedangkan Melati Sewu sendiri cepat sentakkan kakinya dan tubuhnya melayang dengan pedang bergerigi di kedua sisinya itu ditebaskan ke arah Tanjung Bagus. Cepat-cepat Tanjung Bagus berlutut satu kaki sambil menyilangkan trisulanya diatas kepala untuk menahan tebasan pedang bergerigi.

Trangng...!

Cahaya api memercik akibat perpaduan pedang bergerigi dan trisula tersebut. Mereka sama-sama tidak peduli. Mereka sama-sama jauhkan diri untuk cari peluang menyerang yang lebih baik lagi. Tapi pada saat Melati Sewu pijakkan kakinya ke bumi, Nini Pasung Jagat kirimkan pukulan jurus 'Rembulan Berdarah' lagi ke arah Melati Sewu. Gumpalan asap hitam melesat berganti-ganti wujud.

Badai Kelabu berseru dengan cemas. "Awas! Dia gunakan pukulan itu lagi...!"

Melati Sewu cepat sentakkan kaki dan berjungkir balik di udara. Gumpalan itu mengejarnya. Tapi tiba-tiba meledak di pertengahan jarak.

Blarrr...!

"E, ala... kadal, babi, kambing, kucing, singa, semut...!" terlepas serapah latah dari mulut banci Tanjung Bagus. Ledakan itu sangat mengagetkan dan mengguncangkan bumi.

Melati Sewu terpental akibat hentakan daya ledak tadi. la jatuh dengan kepala membentur tepian batu. Kepala itu terluka dan lecet menimbulkan darah yang mengalir perlahan di keningnya. Tapi ia cepat sigap berdiri dan siap menghadapi serangan lawan.

Saat itulah muncul Pendekar Mabuk dengan bumbung tuak yang ada di punggungnya. Hanya Dewa Racun yang tahu, bahwa ledakan yang mematahkan jurus 'Rembulan Berdarah' tadi adalah karena ulah Pendekar Mabuk yang menggunakan jurus 'Jari Guntur'. Satu sentilan mempunyai tenaga dahsyat yang mampu memecahkan pukulan 'Rembulan Berdarah' itu.

Melihat kemunculan Pendekar Mabuk berwajah tampan itu, Tanjung Bagus jadi tertegun dengan mata berbinar-binar. Nini Pasung Jagat terperangah heran, demikian pula Melati Sewu. Mereka sama-sama belum pernah bertemu pendekar setampan itu dengan daya tarik yang luar biasa menggetarkan hati.

Melati Sewu mundur sampai mendekati Badai Kelabu dan berbisik, "Siapa dia?"

"Tabib muda yang kusebutkan tadi," bisik Badai Kelabu

"Luar biasa tampannya!"

"Lupakan hasratmu jika kau ingin memilikinya. Dia pemuda yang dingin terhadap perempuan! Tak punya minat bercinta sedikit pun!"

"Akan kucoba untuk melupakannya!" bisik Melati Sewu dengan masih memegang pedang bergeriginya.

Mata Tanjung Bagus semakin berbinar-binar kegirangan. Tak mau ia kedipkan mata barang sekejap saja. Bahkan kini ia masukkan trisulanya dan mendekati pendekar tampan itu sambil jalannya melenggok-lenggok memancing daya tarik lawan jenisnya.

"Tanjung Bagus!" sentak Nini Pasung Jagat. "Jangan dekati dia!"

"Aduh, Nini... jahat amat! Aku cuma mau dekat ke situ kok!" sambil Tanjung Bagus bergaya manja.

"Kurasa dia yang mematahkan jurus 'Rembulan Berdarah'-ku! Berarti dia musuh kita, Tanjung Bagus!"

"Musuh ya tinggal musuh. Kalau cuma ingin dekat tak apalah"

"Mundur kau!" bentak Nini Pasung Jagat. Kali ini diiringi mata membelalak galak.

Tanjung Bagus terpaksa mundur dengan wajah kecewa, menggerutu dengan bibir mencong sana-sini. "Uuh...! Payah! Dasar orang tua pikun! Tak bisa bedakan mana musuh mana kekasih! Uuh...! Benci aku! Benci aku!"

Nini Pasung Jagat melirik muridnya, sang murid tak berani menggerutu lagi, tapi wajahnya tetap cemberut. Kemudian Nini Pasung Jagat tatapkan mata kepada Pendekar Mabuk dan ia mulai angkat bicara dengan nada ketus tak bersahabat. "Apa maksudmu mematahkan jurus Rembulan Berdarah-ku?"

"Sekadar mengingatkan kau, bahwa jurus berbahaya itu tak pantas kau pakai untuk menyerang kedua perempuan itu!" jawab Suto Sinting, lalu ia ambil bumbung tuak, dan menenggak seenaknya di depan Nini Pasung Jagat. Beberapa teguk tuak cukup sudah sebagai pembasah tenggorokannya.

"Kau telah campur tangan dalam urusanku!" Nini Pasung Jagat mendekat dengan langkahnya yang masih tegas. Lalu, ia sipitkan mata dan berkata dalam geram, "Sekali lagi kau ikut campur dalam urusanku, tak segan aku merobek-robek wajah tampanmu! Mengerti?!"

"Aku kurang mengerti," jawab Pendekar Mabuk sambil tersenyum-senyum.

"Manusia bodoh!"

"Bagaimana kau bisa merobek wajahku kalau menamparku saja tak bisa kena?!"

"Siapa bilang! Nih, rasakan...! Hiih...!"

Plakkk...! Keras sekali tamparan itu mendarat di pipi Pendekar Mabuk. Hampir saja Badai Kelabu sentakkan kaki untuk menyerang balas kepada Nini Pasung Jagat. Tapi melihat Pendekar Mabuk hanya tersenyum tenang, niat itu dibatalkan.

"Tamparanmu terlalu ringan, Nini! Mana bisa menghancurkan wajahku?" kata Suto bagai memancing kemarahan nenek tua itu.

"Kurang ajar! Kalau kau ingin yang lebih keras, terimalah pukulan 'Elang Rakus' ini! Hihh...!"

Nini Pasung Jagat sodokkan tongkatnya dari bawah ke atas. Dagu Suto terkena telak. Keras sekali sodokannya. Wajah Pendekar Mabuk sempat tersentak ke belakang.

Desss...!

"Aauh...!"

Bukan Pendekar Mabuk yang memekik kesakitan, tapi Tanjung Bagus yang ada di belakang Nini Pasung Jagat. Badai Kelabu dan Melati Sewu memandang heran melihat kepala Tanjung Bagus ikut tersentak ke belakang. Mereka segera lupakan hal itu, karena Tanjung Bagus punya kebiasaan latah. Tapi seringainya menandakan seringai kesakitan yang sungguh-sungguh. Aneh juga, jika gerakan itu hanya karena latah, tak perlu Tanjung Bagus menyeringai kesakitan, juga tak perlu mulutnya mengeluarkan darah kental.

Pendekar Mabuk tetap tersenyum kalem memandangi Nini Pasung Jagat. Yang dipandangi heran juga dalam hatinya. Pendekar Mabuk segera berkata, "Mengapa tak kau gunakan pukulan 'Rembulan Berdarah'?! Mungkin pukulan 'Rembulan Berdarah' bisa membuatku bergeser dua tindak!"

"Manusia sombong! Untuk membuatmu bergeser dua tindak, tak perlu menggunakan jurus 'Rembulan Berdarah'. Cukup dengan menggunakan pukulan 'Iblis Menjilat Karang', kau akan terlempar mundur lima tombak lebih jauhnya!"

Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Pukulan macam apa itu? 'Iblis Menjilat Karang', jelas itu pukulan iblis kurang kerjaan!"

Merasa diremehkan, Nini Pasung Jagat segera sentakkan tangan kirinya dengan gerakan cepat. Pukulan yang menggunakan punggung pergelangan tangan itu menghantam telak dada Pendekar Mabuk.

Buhkkk...!

"Heggh...!"

Tanjung Bagus tersentak dengan pekik tertahan dan mata mendelik. Tubuhnya terlempar ke belakang bagaikan terbang dan jatuh dalam jarak lima tombak lebih, punggungnya membentur pohon besar.

Blugg...!

Nini Pasung Jagat terkejut. Suto yang dipukul tapi muridnya sendiri yang terlempar jauh dan mulutnya mengeluarkan asap. Berarti pukulan 'Iblis Menjilat Karang' diderita oleh Tanjung Bagus. Nini Pasung Jagat tak tahu bahwa Pendekar Mabuk telah menggunakan ilmu 'Alih Raga' dia yang dipukul, orang lain yang merasakannya. Rasa sakit itu dialihkan Pendekar Mabuk ke raga Tanjung Bagus, pada saat Tanjung Bagus beradu pandang dengannya. Jika bukan murid si Gila Tuak, tak mungkin Suto memiliki ilmu sehebat itu.

Nini Pasung Jagat segera mundur dua tindak sambil tetap pandangi Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut tajam. "Jahanam kau! Ternyata kau memiliki ilmu 'Alih Raga'! Setahuku hanya satu orang yang memiliki ilmu 'Alih Raga', yaitu si Gila Tuak dari tanah Jawa!"

"Aku muridnya! Pendekar Mabuk julukanku!"

"Muridnya...?! Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, tidak! Aku tidak percaya! Tidak percaya...!" sambil Nini Pasung Jagat menjauh dengan wajah tegang. la hampiri Tanjung Bagus yang tak berdaya karena pukulan 'Iblis Menjilat Karang' tadi, lalu ia panggul banci genit itu, dan ia pun segera lari sambi! meninggalkan seruan, "Aku tak percaya! Aku tak percayaaaa...!"

Satu hal yang ada di dalam otak Suto Sinting adalah sebuah pertanyaan, mengapa Nini Pasung Jagat tidak percaya bahwa dia adalah murid si Gila Tuak.

* * *

TIGA

MELATI Sewu pasang lagak judes di depan Pendekar Mabuk. Hal itu ia lakukan supaya tak ada yang tahu bahwa hatinya mengagumi ketampanan Pendekar Mabuk. Juga ia tak ingin Badai Kelabu mengetahui bahwa ia tertarik dengan Pendekar Mabuk yang sering bersikap acuh tak acuh kepadanya itu.

"Aku sangsi, apakah anak muda ini bisa menyembuhkan penyakit Guru atau hanya mempercepat kematian Guru!" katanya kepada Badai Kelabu. Sengaja suaranya diperkeras supaya Suto mendengarnya.

Tapi Suto Sinting berlagak tidak mendengar ucapan itu. Dengan seenaknya ia menenggak tuak dari dalam bumbung bambunya, setelah itu hembuskan napas lega dengan ringan.

"Apakah kau belum melihat kehebatannya yang bisa mematahkan jurus maut Nini Pasung Jagat tadi? Apakah kau masih belum menyadari bahwa dia berilmu tinggi, hingga bisa mengalihkan rasa sakit ke tubuh orang lain, seperti yang dialami Tanjung Bagus tadi?"

"Hanya itu yang kulihat. Mungkin memang hanya itu kehebatan yang ada padanya! Selebihnya ia tak memiliki ilmu apa-apa!"

"Jangan bicara begitu! Kubawa dia kemari dengan bertaruh nyawa, Melati Sewu! Kau sama saja meremehkan usahaku dalam mencari kesembuhan bagi Guru! Sepanjang perjalanan aku selalu terancam bahaya. Jika tidak bersamanya, mungkin aku tak akan sampai di pulau ini lagi, Melati Sewu!"

Akhirnya wanita berkepang panjang itu angkat bahu. "Terserah apa katamu! Kalau memang kau yakin dia bisa sembuhkan Guru, kita lihat saja nanti seperti apa kehebatannya."

"Badai Kelabu!" panggil Suto dengan mata memandang sekeliling. "Apa nama buah yang warnanya merah itu?"

"O, itu buah Malagasi! Kalau kau lapar, jangan kau makan buah itu, Suto. Sebab buah itu beracun ganas"

Pendekar Mabuk memandangi pohon mirip pohon palem yang mempunyai buah warna merah segar sebesar satu genggaman tangan. Ada banyak buah di pohon itu, tapi menurut keterangan Badai Kelabu, semua buah Malagasi mempunyai racun yang mematikan.

"Seorang perampok yang tertangkap oleh guruku dipaksa makan buah Malagasi. Baru tiga gigitan perampok itu tubuhnya jadi membiru semua, dan akhirnya ia mati tak lebih dari dua puluh hitungan sejak ia makan buah Malagasi."

Suto mendekati pohon buah Malagasi itu, lalu pangkal pergelangan tangannya menghentak pohon tersebut. Dugg...! Cukup pelan sentakan itu, tapi membuat satu buah jatuh ke bumi dan cepat ditangkap oleh tangan Pendekar Mabuk. Tapp...!

"Pendekar Mabuk, apa yang ingin kau lakukan dengan buah itu?!"

"Aku ingin mencoba memakannya. Tergiur hati ku untuk mencicipi kesegaran buah ini!"

"Jangan! Sudah kubilang buah itu beracun ganas yang mematikan! Kami sering menggunakannya untuk merendam senjata tajam kami!"

Tapi Pendekar Mabuk nekat. Buah itu dicuci dengan tuaknya. Sedikit tuak sudah cukup untuk mencuci buah tersebut. Badai Kelabu kebingungan mencegahnya. la hanya memandangi Suto, sama halnya dengan Melati Sewu, juga hanya memandangi Pendekar Mabuk, tapi Melati Sewu berbisik,

"Tabib bodoh begitu kau bawa kemari! Dia belum bisa membedakan mana makanan yang beracun dan yang tidak beracun! Mampuslah dia sebentar lagi...!"

"Suto...!" Badai Kelabu ingin mencegahnya, tapi ragu-ragu. Dan Suto dengan santainya menggigit buah Malagasi, lalu mengunyahnya dengan suara krus, krus...! Tampak nikmat sekali.

"Hmm...! Enak sekali. Buah ini rasanya seperti jambu sukun! Manis dan segar!" kata Pendekar Mabuk sambil mengunyah buah Malagasi.

Dalam kecemasan yang mendebarkan jantung, Badai Kelabu mendapat bisikan dari Melati Sewu, "Hitunglah sampai dua puluh kali. Belum mencapai hitungan kelima belas, dia akan jatuh ke tanah dan mati terkapar seperti perampok yang dulu itu!"

Karena Badai Kelabu dicekam kecemasan yang membingungkan, maka Melati Sewu sendiri yang menghitung dengan suara pelan, "Satu, dua, tiga, empat..."

Badai Kelabu bergegas mendekati Pendekar Mabuk dan berkata, "Pendekar Mabuk, kumohon buang buah itu! Jangan teruskan makan buah itu, Pendekar Mabuk! Aku sudah cukup lama tinggal di pulau ini, aku tahu mana buah yang bisa dimakan dan yang tidak! Percayalah padaku, Pendekar Mabuk! Badanmu akan menjadi biru dan kamu akan mati!"

"Nyatanya sudah lebih dari lima gigitan, badanku tidak biru!"

Mata perempuan itu memandang dengan dahi tetap berkerut menandakan kecemasannya yang tinggi. Tubuh Suto diperhatikan. Tak satu pun bagian tubuh Suto yang tampak membiru karena racun.

Sementara itu, Melati Sewu masih menghitung dengan jantung berdebar-debar, "Tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas...."

Pendekar Mabuk berkata kepada Badai Kelabu, "Kalau temanmu itu kurang percaya dan meremehkan kesanggupanku, sebaiknya kita batalkan saja rencana kita untuk menyembuhkan gurumu!"

"Tidak! Jangan begitu, Pendekar Mabuk! Jangan hiraukan ucapan Melati Sewu tadi! Dia tidak tahu siapa dirimu!"

"Mungkin sebentar lagi dia akan tahu!"

"Ya. Tapi, kumohon buanglah buah itu dan... dan...!" ucapan Badai Kelabu terhenti setelah menyadari Pendekar Mabuk hampir habis memakan buah itu. Tapi tak kelihatan diserang racun berbahaya yang mematikan. Bahkan samar-samar terdengar suara Melati Sewu menghitung.

"Empat puluh empat, empat puluh lima, empat puluh enam...!" Melati Sewu pun berhenti menghitung. Lalu, ia membatin, "Mestinya ia sudah mati seperti perampok tempo hari. Tapi sampai hitungan keempat puluh enam dia belum mati! Aneh?! Manusia apa dia itu sebenarnya? Malagasi dimakannya begitu saja! Bahkan… oh, bahkan sekarang ia sudah menghabiskan buah itu?! Edan! Tak pernah ada orang bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi! Hmmm... ya, ya. Aku tahu sekarang. Dia sedang pamer ilmu kesaktiannya karena mendengar ucapanku tadi meremehkan dirinya! Ya, ya... aku akui dia memang berilmu tinggi! Kalau bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa tetap hidup setelah makan buah Malagasi!"

Sementara itu, Suto segera berdiri dengan santainya, Badai Kelabu berbisik, "Bagaimana kau bisa tetap hidup setelah memakan habis buah beracun ganas itu?!"

"Sebelumnya kucuci dulu dengan tuakku!"

"O, pantaaas...!"

Pendekar Mabuk tersenyum menang, Badai Kelabu tertawa geli sendiri. Namun mendadak mereka dikejutkan dengan suara pekik yang tertahan. Suara itu datangnya dari Melati Sewu. Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu cepat menghampiri ke balik gugusan batu tempat Melati Sewu berada.

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu dengan suara kaget, karena pada saat itu ia melihat Melati Sewu terbungkuk dengan satu kaki berlutut di tanah. Mulutnya mengeluarkan darah kental. Di bagian dadanya, tampak kulit dada yang hangus membekas tangan dengan lima jari. Jelas ia terkena pukulan tenaga dalam yang cukup tinggi.

"Siapa yang menyerangmu, Melati Sewu?! Siapa...?!" Badai Kelabu menjadi gusar. Serta-merta ia mencabut pedangnya. Srett...! Ia melompat dengan lincahnya, hinggap di gugusan batu bertanah itu. Matanya memandang liar sekeliling tempat itu.

Pendekar Mabuk segera menolong tubuh Melati Sewu yang lemas dan tersengal-sengal napasnya itu. Tubuh tersebut dibaringkan. Tapi Melati Sewu masih ingin berontak, tak mau dibaringkan. Matanya masih bisa memandang dengan sayu. Ia berusaha bangkit dan tak mau dibantu oleh tangan Pendekar Mabuk.

Cemas hati Suto saat itu, karena ia bisa menduga apa yang terjadi setelah itu. Ia langkahkan kaki ke belakang dua tindak. la biarkan Melati Sewu berdiri dengan berpegangan pada gugusan batu yang menjulang tinggi itu.

"Aku... tak butuh pertolonganmu!" katanya kepada Suto, tapi Pendekar Mabuk tidak merasa tersinggung. la hanya biarkan saja apa yang dilakukan Melati Sewu. Darah kembali tersontak dari mulutnya.

Pendekar Mabuk hanya membatin, bahwa pukulan itu pasti pukulan berilmu tinggi dan mempunyai kadar racun yang cukup berbahaya.

"Diam di situ, Melati! Biar kucari penyerang gelapmu!" seru Badai Kelabu, lalu cepat ia memeriksa keadaan sekeliling dengan gerakan cepat dan lincah.

Tiba-tiba tangan Pendekar Mabuk berkelebat di depan dada Melati Sewu. Perempuan yang matanya makin sayu itu masih sempat mengibaskan tangan, seakan ingin menepiskan tangan Pendekar Mabuk. la pun masih sempat berkata, "Tak perlu kau anggap lemah aku! Aku masih mampu... membalas serangan lawanku...."

"Aku hanya menangkap anak panah yang tadi hampir saja menembus dadamu!" kata Pendekar Mabuk sambil menunjukkan anak panah yang sudah tergenggam di tangannya itu. Rupanya lantaran ada gerakan kilat dari anak panah yang mau menembus dada Melati Sewu itulah, maka tadi Suto berkelebat tangannya di depan dada perempuan itu, hanya untuk menangkap gerakan anak panah tersebut.

Bahkan kali ini, ketika Suto Sinting memandang sekeliling, datang lagi anak panah berbulu merah bagian ekornya. Anak panah itu melesat dengan cepat, hampir tak bisa terlihat. Tapi gerakan mata Suto menangkap kelebatan benda kecil tersebut. Cepat-cepat Suto melompat di depan Melati Sewu yang sedang kerepotan mencabut pedangnya dari punggung.

Lompatan Pendekar Mabuk begitu cepat, dan Melati Sewu tak mengerti apa yang dilakukan Pendekar Mabuk dalam gerakan melompat begitu. Tapi ia segera melihat ada anak panah lagi di tangan Pendekar Mabuk yang sama pendek ukurannya dengan anak panah pertama, kira-kira hanya berukuran dua jengkal.

Brukk...! Tiba-tiba Melati Sewu jatuh bagaikan cucian basah. Pucat sekali wajahnya. Lemas sekali tubuhnya. Dan telapak tangannya pun terasa dingin bagaikan es. Napasnya terhirup dengan tipis, hampir tak terlihat gerakan dadanya dalam menghirup napas.

Pendekar Mabuk buru-buru memaksa mulut Melati Sewu agar terbuka. Pada waktu itu, Badai Kelabu datang sehabis memeriksa sekeliling dan mengatakan, "Tak ada manusia di sekeliling sini!"

"Lupakan manusia itu! Bantu aku membuka mulut temanmu ini, biar kupaksakan dia meneguk tuakku. Lukanya sangat parah dan berbahaya!"

Badai Kelabu memaksa mulut Melati Sewu terbuka. Pendekar Mabuk mengucurkan tuak dari bumbungnya dengan perlahan-lahan. Beberapa teguk tuak berhasil ditelan Melati Sewu. Setelah itu, Pendekar Mabuk kembali menutup bumbung tuaknya.

"Biarkan ia berbaring dulu!" kata Pendekar Mabuk sambil melangkah dengan pelan, seakan sedang memikirkan sesuatu. Badai Kelabu tak mengerti ada anak panah yang terselip di tangan Pendekar Mabuk. la tidak memperhatikan ke sana. la juga tidak tahu bahwa Suto saat itu sedang gelisah dan sengaja menjauhinya. Sampai di bawah sebuah pohon, Suto berhenti. la berdiri dengan pundak dan lengan bersandar di pohon itu. Tangannya mempermainkan kedua anak panah tersebut. Pendekar Mabuk berbicara pelan, "Dewa Racun turunlah!"

Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Pendekar Mabuk agak jengkel. Kaki kirinya menendang pelan batang pohon yang disandarinya. Dugg...! Tiba-tiba pohon itu berguncang, sesuatu jatuh dari atas Suto. Dewa Racun menyeringai memegangi pinggangnya. la jatuh dalam keadaan terduduk. Tulangnya terasa sakit membentur tanah keras. la jatuh tepat di depan Pendekar Mabuk. Dan Pendekar Mabuk hanya diam saja, tetap tenang sambil memandang was-was ke arah gugusan batu tempat Badai Kelabui merawat Melati Sewu.

Kedua anak panah yang berhasil ditangkap Suto itu dilemparkan tepat jatuh di pangkuan Dewa Racun. Orang kerdil berkepala botak di bagian tengahnya itu segera mengambil anak panah itu setelah Pendekar Mabuk berkata, "Simpanlah anak panahmu itu! Jangan gunakan lagi untuk menyerang teman sendiri!"

Dewa Racun berdiri di depan Pendekar Mabuk. Karena ia kerdil, maka ia memandang Suto dengan mendongak. Raut wajahnya menampakkan kemarahan yang terpendam. Kemarahan itu agaknya bukan kemarahan yang sekadar main-main. Karena, Dewa Racun segera melangkah tinggalkan Suto setelah Pendekar Mabuk bertanya, "Mengapa kau lakukan hal itu kepada Melati Sewu?!"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh Dewa Racun. Pendekar Mabuk terpaksa bergegas menyusul langkah Dewa Racun. Agaknya orang kerdil itu melangkah ke tempat yang sepi dan agak jauh dari tempat semula. Pendekar Mabuk terpaksa berseru kepada Badai Kelabu, "Badai! Tetaplah di situ bersama Melati Sewu! Aku dan Dewa Racun akan periksa tempat di sana, mencari penyerang gelap itu!"

"Hati-hati, Pendekar Mabuk!" balas Badai Kelabu tanpa menaruh curiga kepada Dewa Racun.

Sebetulnya, sejak Suto melihat bekas hitam akibat pukulan telapak tangan dari jarak jauh yang tergambar di dada Melati Sewu, Pendekar Mabuk sudah berani memastikan pastilah bekas hitam itu adalah telapak tangan Dewa Racun. Ukuran telapak tangan yang kecil membuat Suto yakin betul, bahwa itu adalah telapak tangan Dewa Racun. Tapi ia tak berani katakan kepada Badai Kelabu, karena takut akan memancing kemarahan Badai Kelabu, dan terjadi perselisihan antara Badai Kelabu dengan Dewa Racun.

Tentunya Dewa Racun mempunyai alasan sendiri, mengapa ia melepaskan pukulan berbahayanya kepada Melati Sewu. Hal itulah yang ingin diketahui oleh Pendekar Mabuk, sebelum ia membela di salah satu pihak. Sebab setahu Pendekar Mabuk, Dewa Racun bukan orang yang suka usil, menjajal ilmu orang lain dengan serangan membahayakan.

Dewa Racun sendiri masih membungkam ketika ia duduk di salah satu batu yang tingginya sebatas pinggang Pendekar Mabuk. Wajah orang kerdil itu antara duka dan marah. Sekalipun Suto mempunyai ilmu lebih tinggi dari Dewa Racun, tapi ia tetap menaruh hormat karena usianya jauh lebih muda dibanding Dewa Racun yang saat itu sedang menyimpan kegundahan. Dengan hati-hati, setelah terdiam cukup lama Pendekar Mabuk ajukan tanya kepada Dewa Racun.

"Persoalan apa yang membuatmu menyerang dia sebenarnya?"

"Pribadi," jawab Dewa Racun.

"Bisa kau jelaskan?"

Dewa Racun tetap tidak memandang Pendekar Mabuk. Matanya bagai menatap jauh dalam terai wang tak pasti. Lalu, terdengar suaranya yang gagap mengatakan, "Dia... dia... ternyata orang yang kuu... kuyu... kucari!"

"Kau punya dendam dengannya?"

"Ya," jawabnya pendek. Diam sebentar, lalu bicara lagi, "Ak... ak... aku pernah mempunyai seorang kekasih. Nnnaam... naaam... namanya... namanya Gayanti, dengan julukan Giwang Kencana! Tiga tahun yang lalu, Gayanti diutus gur... gur... gurunya untuk menyampaikan Air Tuk Sewu kepada seorang begawan yang sedang menderita sakit berat. Tapi diperjalanan dihadang oleh Melati Merah, yang kemudian berhasil membunuh Gayanti, meminum Air Tuk Sewu, dan mengubah nama menjadi Melati Sewu. Padahal waktu itu, aku berada di belakang Gayanti, mengawasi dari kejauhan. Tapi aku terlambat datang. Ak... ak... aku baru datang saat Gayanti mau menghembuskan napasnya yang terakhir. Dan... dan... dan ia ceritakan siapa pembunuhnya."

"Jangan-jangan bukan Melati Sewu yang itu yang membunuh kekasihmu, Dewa Racun!"

"Pasti dia! Karena dia dan Gayanti dulu adalah teman seperguruan. Aku sering melihat Gayanti berjalan bersama dengan dia, tapi Gayanti selalu melarangku menemui dia jika ada orang lain. Jadi, Melati Merah sampai sekarang tak pernah tahu bahwa aku adalah kekasih Gayanti. Tapi aku tahu bahwa dia adalah pembunuh kekasihku!"

"Hmmm...!" Suto manggut-manggut, seakan ikut merasakan keguncangan hati Dewa Racun saat itu. Lalu, Pendekar Mabuk ajukan tanya, "Lalu, apa kelebihan Melati Sewu setelah meminum Air Tuk Sewu itu, Dewa Racun?"

"Men... men... menurut kabar yang kudengar, orang yang meminum Air Tuk Sewu akan mencapai usia sampai seribu tahun, semasa ia tidak melakukan suatu tindakan yang amat ter... ter... terlarang, yaitu zinah! Tapi kalau dia pernah melakukan zinah, dia kehilangan kekuatan khasiat dari Air Tuk Sewu. Kec... kecuali ia lakukan dengan suami sendiri, itu tak mengurangi khasiat Air Tuk Sewu!"

Pendekar Mabuk menarik napas setelah bungkam beberapa saat, lalu ia ucapkan kata pelan, "Mudah-mudahan Air Tuk Sewu sudah tidak berguna lagi bagi hidup Melati Sewu!"

"Berr... berr... berguna atau tidak, aku tak mau peduli. Tapi yang kutuntut adalah kematian Gayanti!"

"Maksudmu bagaimana, Dewa Racun?"

"Aku harus menuntut balas atas kematian itu kepada Melati Sewu. Dan aku tidak mau ikut campur membantu menyembuhkan gurunya!"

"Jangan begitu, Dewa Racun...."

"Tidak! Dendamku belum padam jika belum berhasil membunuh orang yang membuatku merana sampai sekarang ini!"

"Peristiwa itu sudah berlalu. Semuanya sudah telanjur terjadi. Itu namanya suratan takdir, Dewa Racun! Kita tak bisa tentukan takdir kematian di tangan siapa atau sebab apa. Tak bisa! Satu contoh, kalau ternyata kelak takdirku adalah harus mati di tangan mu, aku tak bisa mengelak dari takdir itu!"

"Jik... jik... jika kematian Gayanti di tangan Melati Sewu itu kau anggap takdir, maka kematian Melati Sewu di tanganku juga sebaiknya kau anggap takdir! Mengapa kau mau menghalangiku?!"

"Aku bukan menghalangimu, tapi aku hanya mengingatkan kamu, bahwa dendam itu tidak membawa perdamaian! Dendam itu lingkaran setan yang akan terus-menerus menyita ketenangan hidup kita. Jika orang masih berpatokan pada dendam dan mau diperbudak oleh dendam, maka persoalan orang itu tidak akan ada habisnya. Dendam yang sudah terbalas akan menimbulkan dendam baru lagi bagi pihak yang terbalas. Begitu seterusnya, hingga tak ada lagi perdamaian dalam hidup kita, Dewa Racun!"

"Terserah apa kat... kat... katamu! Tapi aku tidak mau ikut membantumu dalam menyembuhkan gurunya Melati Sewu itu! Aku akan menyerangnya. Kau ada di pihakku atau di pihaknya, Pendekar Mabuk?"

* * *

EMPAT
SAMPAI mereka tiba di pesanggrahan tempat gurunya Badai Kelabu bersemayam, baik Melati Sewu maupun Badai Kelabu tidak mengetahui bahwa penyerang gelap yang telah memukul Melati Sewu itu adalah Dewa Racun. Mereka sudah tidak mempermasalahkan penyerang gelap dengan pukulan maut yang hampir menewaskan Melati Sewu, karena keadaan Melati Sewu telah sehat dan segar kembali. Luka bakar yang membekas di dadanya itu pun telah lenyap karena pengaruh tuak yang diminumkan oleh Pendekar Mabuk.

Tetapi Dewa Racun masih mempermasalahkan kematian Gayanti dan ia tetap mengincar Melati Sewu. Andai Suto tidak membujuknya, Dewa Racun tidak akan ikut sampai ke pesanggrahan itu. Kerasnya dendam yang bagai membeku di darah Dewa Racun bisa menjadi sedikit lunak setelah Pendekar Mabuk berkata,

"Boleh kau lampiaskan dendammu pada Melati Sewu setelah kita selesaikan tugas menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu! Aku sudah terikat janji dan tak mau ingkar. Apa pun yang terjadi aku harus tetap sembuhkan gurunya Badai Kelabu. Setelah itu, kau mau lampiaskan dendammu atau tidak, itu urusanmu! Kau mau pakai saranku atau tidak, itu hakmu! Tapi sebagai teman aku sudah ingatkan kamu, jangan turuti kata hati yang menabur dendam kemana-mana! Jangan mau diperbudak oleh dendam. Karena dendam tidak akan membawa kita damai sampai pada anak-cucu kita kelak!"

Dendam yang telah membeku di darah Dewa Racun lama-lama menjadi cair oleh kata-kata Suto. Tetapi, Dewa Racun tetap berkata, "Kuubb...kuubb...kubantu...kubantu kau menyembuhkan gurunya Badai Kelabu itu. Tapi jangan pak... pak... paksa aku untuk bersikap baik kepada Melati Sewu! Bila perlu, jangan suruh aku bic... bic... bicara dengannya!"

"Ya, itu terserah kamu! Kalau dia ajak kamu bicara, soal kamu mau jawab atau tidak, itu terserah kamu! Aku tak akan paksa kamu!"

Sepanjang perjalanan menuju pesanggrahan memang terjadi sedikit ketegangan dan kekakuan. Badai Kelabu mengajak Dewa Racun untuk bercanda, tapi tak pernah ditanggapi seperti biasanya. Dewa Racun lebih banyak diam ketimbang ikut bicara bernada kelakar. Bahkan sesekali ia pandangi Melati Sewu dengan hasrat besar ingin cepat menyerangnya dengan jurus-jurus mautnya. Tapi ia selalu ingat pesan dari Suto, sehingga hasrat itulah yang membuatnya kaku dalam menanggapi sapaan Badai Kelabu.

"Temanmu yang kecil itu agaknya mudah tersinggung. Aku tak berani mengajaknya bicara," kata Melati Sewu kepada Pendekar Mabuk.

"Kalau begitu, tak perlu kau ajak bicara jika tak penting. Dia memang sedang ada masalah dalam hatinya! Dia punya kecemasan tersendiri yang kita tak tahu kecemasan macam apa yang dimilikinya," kata Pendekar Mabuk mengambil jalan tengah supaya tidak terjadi keributan antara Melati Sewu dan Dewa Racun.

Ketika mereka tiba di pesanggrahan, beberapa rekan seperguruan Badai Kelabu menyambutnya dengan wajah-wajah cerah penuh harap. Dewa Racun sengaja duduk di bawah pohon, di luar gerbang pesanggrahan. la tak mau ikut masuk, dengan alasan ingin menikmati keindahan alam sekeliling tempat itu. Sebab tempat itu ada di atas sebuah bukit yang tak terlalu tinggi. Dari sana bisa memandang ke arah laut yang membiru indah.

"Kau di luar dulu, aku mau masuk ke ruang istirahat Guru dan melaporkan kedatanganmu," kata Badai Kelabu. "Melati Sewu, tolong temani dulu Pendekar Mabuk di pendapa!"

"Di mana pun aku sanggup," jawab Melati Sewu yang sudah berbalik sikap, menjadi ramah dan baik kepada Pendekar Mabuk sejak ia tertolong dari luka parahnya.

Di pendapa, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Melati Sewu, "Siapa sebenarnya Nini Pasung Jagat itu?"

"Dia orang sesat!" jawab Melati Sewu. "Dulu dia punya banyak murid, tapi semua muridnya lari kepada kami, karena dia tak segan-segan menjatuhkan hukuman mati kepada muridnya untuk satu kesalahan kecil. Kini dia hanya punya satu murid, yaitu Tanjung Bagus itu. Apakah kau punya minat naksir Tanjung Bagus?"

Pendekar Mabuk tertawa dan memancingnya dengan pertanyaan, "Kalau aku punya minat naksir dia, apakah tak layak?"

"Sangat tak layak! Karena dia itu sebenarnya lelaki. Dia seorang yang punya kelainan dalam jiwanya. Dia merasa dirinya sebagai wanita, bukan sebagai lelaki. Padahal dia punya nama asli Legowo! Bukan Tanjung Bagus. Kalau kau naksir dia, kau akan kecele."

Pendekar Mabuk kembali tertawa, walau sebenarnya dia sudah tahu bahwa Tanjung Bagus itu banci, dan dia tak punya minat apa-apa kepada Tanjung Bagus. Dia hanya ingin menggiring pembicaraan itu sampai pada masalah peta yang diinginkan Nini Pasung Jagat itu.

"Kudengar Nini Pasung Jagat sangat mengharapkan untuk mendapatkan peta dari Badai Kelabu. Kalau tak salah dengar, peta itu adalah peta Kolam Sabda Dewa?"

"Ya. Mereka menyangka Badai Kelabu mempunyai peta Kolam Sabda Dewa, karena memang hanya Badai Kelabu yang pernah ke sana!"

"Apa yang dimaksud dengan Kolam Sabda Dewa itu, Melati Sewu?"

"Kolam yang bisa mengubah nasib sesuai dengan keinginan kita. Pada saat kita menyelam di dalam kolam keramat itu, apa yang kita inginkan dalam hati kita bisa terlaksana secara cepat dan gaib. Salah satu contohnya adalah Badai Kelabu...."

"Badai Kelabu? Ada apa dengan dirinya?" Pendekar Mabuk semakin penasaran.

"Badai Kelabu...," Melati Sewu melirik sekeliling sebentar, setelah merasa aman, segera berbisik kepada Pendekar Mabuk, "Dulu, Badai Kelabu adalah gadis yang cacat kakinya. Salah satu kakinya kecil dan pendek, hingga jalannya pun terpincang-pincang dengan susah. Wajah Badai Kelabu tidak secantik sekarang. Dulu wajahnya sangat buruk. Bahkan gigi taringnya yang kanan panjang, sampai melebihi bibir bawahnya. Hidungnya pesek sekali, matanya besar, kulitnya bersisik dan banyak borok gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Dulu dia lahir sebagai anak yang dikutuk oleh neneknya sendiri. Rambutnya pun trondol sebelah kiri. Lalu, ia dirawat oleh Guru. Dan suatu saat, ia menemukan Kolam Sabda Dewa. la mandi dan menyelam di dalam kolam itu. Ketika muncul dari dalam air kolam, ia sudah berubah menjadi cantik seperti sekarang, banyak pemuda yang naksir kepadanya, banyak sesama wanita yang mau berteman dengannya. Dulu, tak ada yang mau dekat dengannya!"

"Ooo...," Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu, dia menyimpan peta menuju Kolam Sabda Dewa?"

"Menurut pengakuannya padaku, dia tak pernah membuat peta. Tapi dia masih ingat jalan menuju kesana. Aku tak pernah diberitahu tentang jalan itu olehnya! la sangat merahasiakan tempat Kolam Sabda Dewa itu!"

"Apakah menurutmu, Nini Pasung Jagat ingin mengubah dirinya menjadi muda dan cantik dengan mandi di kolam itu?"

"Jika bukan dengan maksud-maksud seperti itu, maksud apa lagi yang ia punyai? Tentunya dia ingin dirinya cantik, muda dan beberapa keinginan lainnya. Tanjung Bagus pun pasti berkeinginan untuk menjadi wanita sejati setelah ia bisa mandi di dalam Kolam Sabda Dewa itu! Karenanya ia sangat bernafsu sekali mendapatkan peta dari Badai Kelabu!" tutur Melati Sewu dengan bersemangatnya, seakan ia merasa bangga sekali jika bisa menjelaskan apa saja yang belum diketahui oleh Pendekar Mabuk.

"Apakah Kolam Sabda Dewa juga bisa memberi kita umur panjang, jika di dalam hati kita meminta umur panjang saat menyelam di kedalamannya?"

"Bisa! Bisa saja! Kita minta ingin jadi raja pun mungkin pulang dari sana ada rakyat yang mengangkat kita menjadi raja!"

"Apakah kita bisa minta usia sampai seribu tahun lamanya?"

"Bisa! Itu sangat bisa!"

"Apakah menurutmu, Air Tuk Sewu berasal dari sana?"

Terperanjat Melati Sewu mendengar Air Tuk Sewu disebutkan Pendekar Mabuk. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Menurutnya, hanya dirinya dan bekas gurunya yang sudah almarhum itulah yang mengetahui adanya Air Tuk Sewu. Tapi sekarang Pendekar Mabuk yang sejak tadi meneguk tuak berulang kali itu mengetahui adanya air keramat tersebut. Melati Sewu sempat bingung memberikan jawabannya.

Pendekar Mabuk buru-buru berkata, "Apakah kau tahu, bagaimana caranya supaya bisa mendapatkan Air Tuk Sewu?"

Melati Sewu belum bisa menjawab, tapi ia ganti bertanya, "Dari mana kau tahu ada air keramat yang bernama Air Tuk Sewu?"

"Dari seorang teman perempuanku yang bernama Gayanti, atau si Giwang Kencana!"

"Oh...?!" wajah Melati Sewu jelas-jelas terkejut tegang.

"Satu purnama yang lalu dia bicara padaku ingin meminum Air Tuk Sewu."

"Satu purnama yang lalu?! Oh, tak mungkin!" sanggah Melati Sewu dengan hati gusar. "Tak mungkin kau bicara dengannya satu purnama yang lalu!"

"Mengapa kau bilang tak mungkin?"

"Ka... ka... karena..., ah! Tak mungkin itu!" Melati Sewu bingung menjelaskan. Pandangan matanya pun kelihatan nanar dan paras wajahnya pucat.

Pendekar Mabuk tersenyum tipis, tapi dalam hatinya sudah merasa lega, berarti memang Melati Sewu itulah yang membunuh Gayanti. Dewa Racun tak salah duga. Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin bicara lebih panjang tentang kematian Gayanti dan tindakan keji Melati Sewu. Tapi Badai Kelabu telah lebih dulu menghampirinya dan berkata,

"Guru ingin bertemu denganmu! Ikutlah aku ke kamarnya!"

Badai Kelabu menyerahkan kain putih yang sudah terlipat rapi. Pendekar Mabuk heran memandangi kain itu. Namun Badai Kelabu cepat-cepat menjelaskan,

"Sebagai tutup hidung! Karena di dalam kamar bau busuk amat menyengat hidung! Datangnya dari luka di sekujur tubuh Guru!"

Pendekar Mabuk hanya menggenggam kain putih menyerupai sapu tangan itu. Sebelum sampai di kamar yang dimaksud, Suto menenggak tuaknya beberapa teguk. Lalu, ia ikuti langkah Badai Kelabu yang masuk di sebuah ruangan lebar. Di situ bau busuk sudah tercium tajam. Tapi Suto tetap tenang.

Badai Kelabu sudah mulai tutupkan kain ke hidungnya. la memberi isyarat pada Suto agar segera menutup hidung, tapi Pendekar Mabuk hanya tersenyum, sepertinya tak pernah merasakan bau busuk yang memualkan perut itu. Sebuah pintu kamar dibuka, Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu masuk. Tetap saja Pendekar Mabuk tidak menutup hidungnya. la bisa bernapas dengan lancar, tanpa merasa terganggu bau busuk yang lebih tajam itu.

"Guru," kata Badai Kelabu. "Inilah tabib muda yang saya katakan tadi! Dia bersedia menyembuhkan Guru!"

"Hmmm... ya, suruh dia segera melakukan pengobatan untukku!" ucap orang yang berbaring dengan sekujur tubuh membusuk hitam. Hanya bagian wajahnya yang masih kelihatan kecoklat-coklatan.

Pendekar Mabuk tertegun bengong memandang orang yang berbaring dalam keadaan amat menderita itu. Orang itu bertubuh agak gemuk, usianya sekitar enam puluh lima tahun. Matanya lebar, berkumis lebat. Dari raut mukanya, Pendekar Mabuk bisa menilai kebengisan dan keganasan orang itu semasa mudanya. Bibirnya tebal, hidungnya agak besar. Walau rambutnya sudah memutih, tapi Pendekar Mabuk dapat membayangkan kalau rambut itu hitam dan lebat.

Sebilah pedang bergagang hitam ada di dinding dekat pembaringan itu. Pendekar Mabuk berdebar-debar memandang pedang itu. Darahnya bagaikan mendidih dan bergejolak tak tentu arah. Pendekar Mabuk berusaha memendam kegusaran hatinya dengan menelan napas beberapa kali. Tapi ia tak mampu menghentikan tangannya yang gemetaran, tak mampu menutup wajahnya yang menjadi pucat pasi melihat guru Badai Kelabu yang terkapar tak berdaya itu.

Wajah Guru tersebut diperhatikan terus oleh mata Pendekar Mabuk, membuat dada Pendekar Mabuk terasa mau pecah saat itu juga. Maka, segera ia bergegas keluar dari kamar itu dengan terengah-engah. Badai Kelabu merasa heran dan segera menyusul Pendekar Mabuk ke luar kamar.

"Suto, ada apa? Apa yang kau tahu tentang penyakit Guru?"

"Tidak apa-apa!" jawab Pendekar Mabuk sambil menggeletukkan gigi. la melangkah pelan dengan sorot pandangan mata menerawang tajam.

"Apa yang terjadi, Pendekar Mabuk? Katakanlah! Wajahmu begitu pucat! Tanganmu gemetaran! Ada apa sebenarnya, Pendekar Mabuk?!"

* * *

LIMA
DEWA Racun masih termenung sendirian atas batu besar. Pandangan matanya terlempar jauh di batas cakrawala antara langit dengan permukaan air laut. Dari tempatnya masih bisa dilihat samar-samar gerakan air laut. Tetapi bukan air laut itu yang dilihat oleh mata hati si kerdil berpakaian bulu putih itu. Bukan air laut yang dibicarakan oleh batinnya, melainkan dendam yang nyaris membakar habis darahnya.

"Memang kadang kala dendam bisa merusak jiwa sendiri, menyiksa perasaan dan merusak pikiran. Dendam selalu menentang takdir, dan menentang takdir adalah pekerjaan yang amat bodoh. Jika aku masih memburu dendam, seakan aku tidak mau menerima Keputusan dari Yang Maha Kuasa. Padahal aku ini hanyalah manusia biasa yang semua garis hidupnya sudah ditentukan dari atas."

Si kerdil berkepala botak bagian tengahnya itu menarik napasnya dalam-dalam, kemudian hatinya kembali berkecamuk sendiri, "Kematian Gayanti sesungguhnya merupakan pernyataan dari Yang Maha Kuasa, bahwa bukan dia jodohku dalam hidup selanjutnya. Toh tanpa melalui pembunuhan yang dilakukan Melati Merah, jika memang Gayanti bukan jodohku, tetap saja aku dan dia akan berpisah. Bodoh amat aku ini jika masih memburu dendam untuk menentang kodrat. Benar pula apa kata Suto, tak ada damai dan ketenangan di hati orang yang masih memburu dendam. Tanpa sadar dendam itu telah merugikan hidup orang yang mau diperbudaknya. Sebaiknya kulupakan saja persoalan masa lalu itu. Biarlah pembalasan datang sendiri dari Yang Maha Kuasa. Pembalasan itu milik Dia, bukan milikku sendiri...."

Gemuruh di dalam hati Dewa Racun mulai mereda setelah ia berpikir begitu. Napasnya kembali lapang, tidak sesak seperti tadi. la bahkan bermaksud ingin menyusul Suto ke dalam pesanggrahan. Tetapi, sebelum Dewa Racun bergerak, ternyata Pendekar Mabuk sudah muncul dari arah belakangnya.

Suto diam tanpa bicara, berdiri di sampingnya, memandang ke arah lautan lepas dengan wajah pucat berubah menjadi kemerah- merahan. Napas Pendekar Mabuk terhela dengan berat, sepertinya ada beban besar yang harus ditarik dalam tiap helaan napasnya.

"Bagaimana? Sudah kau obati gurunya Badai Kelabu itu?" Dewa Racun bertanya dengan suara lancar, karena sudah terlalu lama membisu. Nada bicaranya itu pun terdengar lebih ringan, lebih lepas tanpa ada ganjalan apa pun. Tidak seperti dalam perjalanan tadi.

Suto menarik napas panjang-panjang dan menahannya di dada beberapa saat. la masih belum mau memandang Dewa Racun yang berdiri di atas batu itu, hingga tingginya mencapai sebatas pundak Suto. Dewa Racun menatap wajah Pendekar Mabuk itu baik-baik, lalu mata hatinya menemukan adanya keganjilan yang dirasakan Suto. Dewa Racun tahu, ada ganjalan yang tak bisa ditutupi oleh Suto. Wajah merah itu jelas mencerminkan nafsu amarah yang mati-matian ditahan oleh Pendekar Mabuk.

"Ad... ad... ada apa sebenarnya, Suto?" tanya Dewa Racun dengan hati-hati. Pendekar Mabuk masih diam dengan dahi sedikit berkerut tajam. la ajukan tanya lagi, "Apakah racun itu mengganas dan tak bisa kau atasi? Atau... barangkali kau gagal menyembuhkan guru Badai Kelabu itu? Hmm... apakah dia mati karena pengobatanmu?"

Kini Pendekar Mabuk melemparkan pandang pada Dewa Racun. Lama ia masih terbungkam. Sesuatu yang ingin ia katakan tampak ragu dilepaskannya. Dewa Racun mendesak, "Bi... biiic... bicaralah, Suto!"

"Orang itu... orang itu parah," Pendekar Mabuk mulai mau bicara.

"Par... par... parah sekali?"

"Ya. Sekujur tubuhnya telah membusuk. Tak ubahnya seperti mayat yang sudah dikubur berhari-hari tapi masih bernapas. Dalam waktu dua atau tiga hari lagi, dia akan mati!"

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya saat Dewa Racun berkata, "Pantas Badai Kelabu ingin sekali merebut Batu Galih Bumi dari tangan Ratu Pekat. Tapi... tapi., tapi apakah kau sudah mencoba menawarkan racun itu memakai tuakmu?"

"Belum," jawab Pendekar Mabuk pelan dengan satu kaki diangkat dan ditaruh di atas sebuah batu setinggi lututnya. Suto sedikit membungkuk karena lengan kirinya bertumpu di atas kaki yang ada di batu. Tangan kanannya masih bertolak pinggang, dahinya masih berkerut memikirkan sesuatu yang membuatnya gundah gulana.

"Mengapa kau tidak mau menn... menn... mencoba menggunakan tuak saktimu itu?" tanya Dewa Racun sambil pandang wajah Suto.

"Aku tak bisa gunakan tuak saktiku."

"Cobalah dulu, Suto. Sebab aku sendiri merasa tidak sanggup menawarkan racun macam itu. Hanya Batu Galih Bumi yang bisa tawarkan racun itu, dan... dan mungkin tuak saktimu!"

Pendekar Mabuk menarik napas, tangannya menggenggam kuat. Makin galau pikirannya, makin gundah hatinya, dan hal itu sangat diketahui oleh Dewa Racun. Belum pernah Dewa Racun melihat Pendekar Mabuk segundah itu selama ia ikut bersama Suto. Kejap berikut, setelah mereka sama-sama saling bisu, Dewa Racun berkata penuh hati-hati,

"Suto, cobalah kau gunakan tuak saktimu untuk sembuhkan orang itu! Cob... cob... cobalah, Suto!"

"Aku... tidak bisa!"

"Mengapa tidak bisa?"

"Dia musuhku!" jawab Pendekar Mabuk datar dan dingin.

"Benarkah begitu, Suto?"

"Ya. Masih kuingat wajahnya dalam tiap tidurku! Masih terbayang kekejiannya, saat dia membantai keluargaku! Dia adalah Kombang Hitam, ketua Begal Utara yang menghabisi nyawa keluargaku, dan yang membuatku sebatang kara seperti saat ini! Dia yang mengejar-ngejarku bersama Paman Dubang, sampai akhirnya Paman Dubang, pengasuhku itu jatuh ke jurang, dan aku lari terus dalam pengejarannya! Aku masih ingat, dia adalah Kombang Hitam!"

Nada bicara Suto makin lama semakin meninggi. Wajahnya pun kian lama kian memerah. Tangannya menggenggam kuat-kuat, hingga dari genggaman tangan itu mengepullah asap putih sebagai tanda panasnya darah dendam yang sudah lama membeku.

Dewa Racun menjadi takut melihat Pendekar Mabuk pancarkan mata menyala-nyala. Dewa Racun bisa rasakan darah Suto yang kini mendidih karena bertemu dengan orang yang membantai habis keluarganya. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Bocah Tanpa Pusar). Dewa Racun tahu, betapa sulitnya menolong dan menyembuhkan seseorang agar tetap hidup, sementara yang disembuhkan itu adalah orang yang membantai habis keluarganya. Sungguh hal itu adalah pekerjaan yang teramat sulit menurut Dewa Racun. Menyembuhkan orang yang seharusnya dibunuh, lebih sulit daripada menghancurkan gunung dengan tangan kosong.

Sekarang bukan saja tangan yang berasap, tapi kaki Suto pun mengeluarkan asap, kulit tubuhnya semburat merah bercampur keringat dingin. Cahaya matanya menjadi bening, tapi berwarna merah samar-samar. Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi agak banyak, lalu hempaskan napas sebagai pelega kesesakan di dadanya.

Dewa Racun tersentak kaget. Hembusan napas yang tak seberapa keras itu telah mendatangkan badai kecil. Sekecil badai dari napas Suto, namun mampu membuat beberapa batuan besar tumbang dan berguling-guling tersapu terbang. Beberapa pohon yang posisinya ada di depan Suto menjadi meliuk-liuk hingga ujung-ujung pucuknya menyentuh tanah. Bahkan banyak yang menjadi patah pada bagian pertengahan batangnya.

Krakkk...! Wuurrrr...! Brakkk...!

Suara-suara seperti itu berbunyi saling bersahutan, seakan bumi mau kiamat, langit akan runtuh dan tanah menjadi retak. Keadaan alam yang mengerikan itu membuat heboh beberapa penduduk di sekitar tempat itu. Banyak yang memandang kagum dan terheran-heran, tapi juga tak sedikit yang menjadi panik karena ketakutan.

"Suto... tahan amarahmu...," bisik Dewa Racun, sangat pelan sekali, karena ia sendiri takut kepada amarah Suto.

Menyadari apa yang terjadi di depannya, Suto terperanjat. la buru-buru menutup mulut dan hidungnya, ia sendiri jadi ketakutan dan tegang. Wajahnya terlihat penyesalan yang tak tertutupi lagi. "Aku telah mengeluarkan napas Tuak Setan...," gumam Suto seperti bicara pada diri sendiri.

"Redakan murkamu it...it...itu, Suto! Redakanlah...!" bujuk Dewa Racun masih tak berani menggunakan kata-kata tegas dan keras.

Pendekar Mabuk masih menutup mulut dan hidungnya dengan sikap menyesal. la memandang ke langit, ternyata mega-mega berkumpul menjadi satu dan bergulung-gulung mengikuti arah angin badai! Suara gemuruh terdengar jelas. Suara gemuruh itu adalah amukan ombak laut yang tampak dari ketinggian tempat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berada.

Dewa Racun berulang kali merinding dan bergidik. Baru sekarang ia melihat hembusan napas Tuan Setan yang ada dalam diri Suto. Padahal napas yang keluar hanyalah napas kelegaan yang pelan seperti layaknya orang menghembuskan napas setelah habis minum. Tapi karena di dalam hati Pendekar Mabuk memendam amarah yang begitu besar, maka satu hembusan kecil pun sudah mendatangkan badai yang cukup dahsyat, walau tidak sedahsyat kala ia hembuskan kepada Nagadipa dan Putri Alam Baka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Pertarungan di Bukit Jagal).

Pusaka Tuak Setan telah tertelan oleh Pendekar Mabuk. Padahal seharusnya pusaka itu dilenyapkan. Si Gila Tuak, guru Suto, mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Karena siapa pun orangnya yang menelan Tuak Setan, maka napasnya akan menghadirkan badai yang sangat besar dan berbahaya sekali bagi orang lain.

Jika orang yang menelan Pusaka Tuak Setan dalam keadaan marah, walau marah yang tertahan, satu hembusan napas bisa menyalurkan seluruh tenaga dalamnya dalam wujud hembusan badai dahsyat, itulah sebabnya si Gila Tuak sendiri tidak berani menelan Pusaka Tuak Setan, karena merasa dirinya masih sering dihinggapi nafsu amarah, dan takut amarahnya itu membawa korban tak bersalah.

Tetapi, Pusaka Tuak Setan itu tertelan oleh Suto tanpa sengaja, sehingga mau tidak mau Suto harus selalu mengendalikan nafsu amarahnya agar napasnya tidak berubah menjadi badai yang membawa korban tak bersalah. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode Darah Asmara Gila).

Badai Kelabu menyusul Pendekar Mabuk sambil memanggil-manggil dalam nada cemas. Itu disebabkan karena Badai Kelabu melihat sendiri datangnya angin badai yang tidak sewajarnya. Perempuan itu takut Suto dan Dewa Racun mengalami cedera akibat hembusan badai aneh tersebut.

"Pendekar Mabuk, kenapa kalian ada di sini? Tidak tahukah kalian bahwa baru saja ada badai besar yang bisa menerbangkan rumah atau kapal?"

Suto berbisik kepada Dewa Racun, "Hadapilah dia, aku tak bisa bicara padanya! Dendam lamaku membakar seluruh darahku, Dewa Racun!"

"Jangan begitu! Bukankah... bukankah... bukankah kau sendiri yang bilang agar diriku jangan mau diperbudak oleh dendam?"

"Hadapilah dia dulu. Aku ingin tenangkan diri!" desak Pendekar Mabuk dalam bisik. Mau tak mau Dewa Racun menyongsong kedatangan Badai Kelabu.

Suto duduk di batu setinggi lututnya itu. Kedua lengannya bertumpu pada paha. Matanya memandang ke tanah dalam sikap merenung. Tiba- tiba ia sadari, tanah di bawahnya menjadi cekung. Setiap ia bernapas, pasir-pasir di tanah itu menyibak ke sekitar kakinya, semakin lama semakin dalam cekungan tanah tersebut. Suto buru-buru menutup hidung dan mulutnya. Terasa panas telapak tangan yang dipakai menutup hidung itu karena terkena hembusan napas, tapi Suto menahan rasa panas itu ketimbang Badai Kelabu mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di tempat itu.

"Jang... jang... jangan ganggu Suto dulu," kata Dewa Racun. "Di... dia... dia sedang memikirkan cara pengobatan untuk gurumu!"

"Tapi dia tidak apa-apa?"

"Tidak. Bbi... bii... biarkan dia bersamaku. Kami perlu berembuk untuk melawan rraaa... raa... racun yang menyerang gurumu."

Badai Kelabu tampakkan kecemasannya. Sebentar-sebentar ia pandang Pendekar Mabuk dalam kebimbangan. Dewa Racun segera bertanya sambil menggandeng Badai Kelabu menjauhi Pendekar Mabuk.

"Bbee... berapa usia gurumu itu?"

"Lebih dari enam puluh lima tahun. Mungkin tujuh puluh, mungkin juga lebih. Apakah hal itu perlu kalian ketahui?"

"Ya. Unn... unnn... untuk menakar obat yang harus diberikan kepada gurumu, kami harus tahu usia gurumu."

Padahal di dalam hati Dewa Racun bergumam, "Lebih dari enam puluh lima tahun?! Berarti sesuai dengan usianya pada saat ia mengejar-ngejar Suto. Kemudian, Dewa Racun kembali ajukan tanya, "Sssi... siapa... siapa nama gurumu sebenarnya?"

"Manusia Seribu Wajah," jawab Badai Kelabu.

Dewa Racun kerutkan dahi bernada heran. la membatin, "Manusia Seribu Wajah? Kalau begitu, Pendekar Mabuk salah duga!"

"Ben... benar namanya itu?" tanya Dewa Racun menampakkan keraguan.

"Ya. Benar. Nama aslinya aku tak tahu. Tapi dia dikenal dengan julukan Manusia Seribu Wajah. Hmmm... dulu, dia memakai julukan Kombang Hitam, tapi setelah ia mampu mengubah diri, ia memakai julukan Manusia Seribu Wajah."

"Kombang Hitam...," gumam Dewa Racun di dalam hatinya. "Kalau begitu, benarlah dugaan Suto, orang itu adalah pembantai seluruh anggota keluarganya. Hmmm... benar-benar Pendekar Mabuk dihadapkan pada satu persoalan yang sangat rumit dan berat!"

"Apakah nama itu perlu?"

"lyy... iyy... iya," jawab Dewa Racun. "Un... untuk membacakan mantera pengobatan, nama itu perlu diketahui oleh aku dan Suto," Dewa Racun coba untuk senyumkan bibirnya walau terasa kaku. Lalu, ia ucapkan kata lagi, "Ting... ting... tinggalkanlah kami. Nanti kami akan datang sendiri ke sana. Jagailah gurumu!"

Bujukan itu berhasil. Badai Kelabu segera tinggalkan Suto dan Dewa Racun. Cepat-cepat orang kerdil itu mendekati Suto dan berkata dengan penuh hati-hati, "Dugaanmu benar. Tap... tap... tapi sikapmu salah."

Suto Sinting palingkan wajah, menatap orang kerdil yang ada di depannya itu. Sebelum Suto ajukan sanggahan ataupun bantahan, Dewa Racun sudah lebih dulu ucapkan kata, "Tak boleh kau berrr... berrr... bersikap begini! Dia memang pembantai keluargamu, tapi tugasmu adalah menolong sesama manusia, tanpa pandang bulu! Bukankah kau mengajarku untuk mengakui adanya takdir dalam kehidupan kiiit... kiit... kita? Kematian Gayanti adalah takdir yang tak dapat dihindari, tapi tidak perlu diburu dendamnya. Barangkali, kemmm... kemmm...Kematian keluargamu juga takdir yang tak dapat dihindari dan tidak perlu diburu dendamnya."

"Aku tahu. Tapi betapa sulitnya menghindari dendam yang telah membeku di darah ini!"

"Sesulit itulah diriku saat harus menerima saranmu. Tapi akk... akkk... aku ternyata bisa mengikuti saranmu! Aku bisa meredakan dendamku untuk tidak membunuh Melati Sewu. Ap... ap... apakah kau sendiri tak bisa melakukan seperti apa yang kulakukan?"

Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. la mengakui kebenaran kata-kata Dewa Racun. Tadi ia banyak bicara tentang dendam dan takdir, sekarang ia sendiri yang harus menjalankan semua kata-katanya itu. Suto bertekad untuk menjadi orang yang tidak hanya bisa bicara namun juga bisa berbuat. Maka, ia pun berusaha mati-matian menekan dendamnya agar tidak mendidihkan darah lagi.

la membatin di dalam hatinya, "Hidup, jodoh, dan kematian, adalah bagian dari kepastian yang sudah digariskan oleh Dia. Aku tak ingin menjadi penentang kekuasaanNya. Sesulit apa pun, aku harus bisa belajar menerima garis kehidupanku ini! Kalau toh aku berhasil membunuh Kombang Hitam lantaran dendamku, mungkin Badai Kelabu atau orang di pihaknya akan menyimpan dendam pula padaku. Kalau aku berhasil dibunuh oleh mereka, mungkin orang yang ada di pihakku juga menyimpan dendam pembalasan kepada mereka. Begitu seterusnya, dan tak tahu kapan harus berakhir. Bukankah manusia hidup tidak hanya untuk memburu dendam dan pembalasan? Tidak! Aku malu pada Dewa Racun. Kalau Dewa Racun bisa meredam dendamnya, mengapa aku tidak?! Aku juga harus bisa meredam dendamku!"

Akhirnya Suto memutuskan diri untuk mengobati Manusia Seribu Wajah, yang dulu dikenal dengan julukan Kombang Hitam. Dewa Racun tampak senang melihat Suto berhasil meredakan dendam dan amarahnya, walau memakan waktu agak lama. Bahkan Pendekar Mabuk sempat melakukan semadi sebentar ketika hari menjelang petang. Semadi itu dilakukan untuk meredakan hawa nafsunya dan mengendalikan jiwanya.

Dua guci tuak disediakan untuk pengobatan tersebut. Setiap tuak yang akan dipakai untuk pengobatan selalu dimasukkan lebih dulu ke dalam bumbung bambu yang selalu ada di punggung Pendekar Mabuk itu. Cara pengobatannya pun tidak hanya sekadar meminumkan tuak kepada Manusia Seribu Wajah, tapi juga mengguyurkan ke sekujur badannya. Tentang mengguyurkan tuak ke badan si sakiti itu adalah saran dari Dewa Racun, yang diam- diam, telah mempelajari cara kerja tuak Pendekar Mabuk dalam setiap pengobatan.

Suto juga melakukan pengobatan dengan ilmu 'Sembur Husada'. Sekujur tubuh Manusia Seribu Wajah itu disembur dengan tuak dari mulut Suto, seperti yang dilakukan kepada Peramal Pikun. Hal ini dimaksudkan Pendekar Mabuk selain supaya penyembuhan cepat terjadi, juga supaya Manusia Seribu Wajah yang dulu berjuluk Kombang Hitam itu akan lupa pada diri Pendekar Mabuk. Karena Pendekar Mabuk itu merasa dirinya tak perlu diingat-ingat lagi oleh Kombang Hitam.

Malam dibiarkan lewat oleh mereka. Dan ketika pagi menjelang, ternyata sekujur tubuh Manusia Seribu Wajah sudah tidak lagi membusuk. Bahkan secara mengagumkan sekali tubuh itu menjadi bersih oleh luka, tanpa bekas dan menjadi seperti semula. Kesehatan Manusia Seribu Wajah juga pulih, bahkan terasa badannya lebih segar dari biasanya. Tentu saja hal itu menggembirakan murid-muridnya, termasuk Badai Kelabu dan Melati Sewu.

Manusia Seribu Wajah pun tampak gembira, ia menepuk-nepuk pundak Badai Kelabu sambil ucapkan kata, "Tak sia-sia kau membawa tabib muda itu kemari! Dia lebih ampuh dari Batu Galih Bumi!"

"Tak ada tabib yang seampuh Suto, si murid sinting Gila Tuak itu, Guru. Karenanya...."

"Tunggu!" potong Manusia Seribu Wajah. "Dia bernama Suto? Muridnya si Gila Tuak...?! Oh, aku ingat! Aku ingat siapa dia kalau begitu! Aku ingat...! Mana dia sekarang?!" sentaknya mulai geram.

* * *

ENAM
SUTO Sinting baru saja selesai  memenuhi bumbung tuaknya dengan tuak sisa penyembuhan semalam. Dewa Racun juga sudah siapkan diri untuk keberangkatan pulang ke Pulau Beliung untuk mengambil Singo Bodong. Tetapi ketika mereka berada di pelataran untuk menemui Manusia Seribu Wajah, ia sudah dihadang oleh Melati Sewu. Wajah perempuan Itu tampak tegang ketika ia ucapkan kata,

"Cepatlah pergi ke pantai. Di sana sudah ada perahu yang disiapkan untuk kalian! Pergilah secepatnya!"

"Kami baru akan pamit kepada gurumu, Melati Sewu," kata Pendekar Mabuk.

"Tidak perlu! Tidak perlu temui Guru lagi!"

Dewa Racun dan Pendekar Mabuk saling adu pandang, lalu Pendekar Mabuk lontarkan tanya kepada Melati Sewu, "Mengapa kami tak diizinkan pamit kepada gurumu?"

"Beliau  sedang marah! Beliau tahu bahwa namamu Suto dan murid dari si Gila Tuak, beliau jadi berang! Pergilah cepat sebelum beliau membunuhmu, Pendekar Mabuk!"

"Membunuhku?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi sangat tajam. Dewa Racun hanya memandang dalam kebingungan. Lalu, Pendekar Mabuk ucapkan kata kepada Dewa Racun, "'Sembur Husada' membuat seseorang lupa pada diriku, tapi sembuh dari sakitnya."

"Ak... ak... aku tahu. Dulu aku lihat sendiri hal itu terjadi pada Peramal Pikun. Tap... tapi mengapa Kombang Hitam masih ingat tentang dirimu?"

"Berarti ilmunya cukup tinggi! Ingatannya sulit dihapus dengan ilmu pengobatan 'Sembur Husada'!"

"Lekaslah pergi!" desak Melati Sewu. "Jangan sampai Guru temukan dirimu, Pendekar Mabuk! Nanti dia membunuhmu!"

"Jang... jang... jangan layani dia, Pendekar Mabuk. Sebaiknya kita memang harus cepat pergi!"

"Baiklah!" Suto Sinting segera bicara pada Melati Sewu, "Sampaikan salam dan pamitku kepada Badai Kelabu!"

"Ya. Akan kusampaikan!" jawab Melati Sewu bagai tak sabar lagi menunggu kepergian Pendekar Mabuk.

Pesanggrahan itu tidak seberapa jauh dari pantai. Banyak melewati jalanan menurun diselingi pohon-pohon pinus yang bercampur dengan pohon jati dan sebagainya. Pendekar Mabuk dan Dewa Racun menyusuri jalan itu tanpa banyak bicara. Mereka harus cepat tiba di pantai dan segera meninggalkan Pulau Hitam itu. Tetapi, tiba-tiba terdengar suara memanggil dari arah belakang.

"Sutooo...! Tunggu sebentar, Sutoooo...!"

Dewa Racun cepat palingkan pandang ke belakang lalu berkata, "Bad... bad... Badai Kelabu, Pendekar Mabuk!" Mereka segera hentikan langkah.

Badai Kelabu berlari-lari menyusul Suto dengan wajah tegang. Gerakannya lebih lincah dari biasanya. Ketika ia tiba di depan Suto dan Dewa Racun, napasnya tidak terengah-engah. Hanya wajahnya yang sedikit kaku, mungkin karena diliputi ketegangan.

"Ada apa. Badai Kelabu?"

"Ada yang lupa, belum kusampaikan padamu," jawab Badai Kelabu.

"Tentang apa itu?" tanya Pendekar Mabuk berkerut dahi.

Plokkk...! Tiba-tiba tangan Badai Kelabu menghantam kuat ke wajah Pendekar Mabuk. Cepat sekali gerakan tangannya itu, hingga Suto tak sempat menghindarinya. Pendekar Mabuk tersentak ke belakang dua tindak.

Tentu saja Dewa Racun ikut terperanjat melihat Badai Kelabu tiba-tiba menyerang. Bahkan menurut Suto Sinting, pukulan Badai Kelabu bukan pukulan tangan kosong, tapi dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup besar. Kalau Pendekar Mabuk bukan orang berilmu tinggi, pasti pecah bibirnya dan rontok giginya. Tapi karena Pendekar Mabut punya ilmu yang tidak seharusnya diremehkan, maka pukulan keras bertenaga dalam itu hanya membuat merah dagunya saja.

Badai Kelabu cepat ambil sikap menyerang kembali. Tapi Dewa Racun segera menengahi dengan menghadangkan diri di antara Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu.

"Tahan...! Tah... tah... tahan dulu, Badai Kelabu...."

"Jangan ikut campur, Kerdil!" bentak Badai Kelabu, lalu kakinya berkelebat menendang Dewa Racun.

Tubuh kecil Dewa Racun terlempar lima langkah jauhnya. Badai Kelabu cepat putarkan badan dan melayangkan tendangan kipas yang menyabet dada Pendekar Mabuk. Dugg...! Pendekar Mabuk pun mundur tersentak dua tindak.

Bukan karena Suto tak mau menangkis atau mengelak, tapi ia ingin rasakan sebesar apa tendangan Badai Kelabu. Ternyata cukup besar. Pendekar Mabuk kerutkan dahi makin tajam. Menurutnya, tendangan Badai Kelabu tak akan sebesar itu. Kendati diiringi dengan pengerahan tenaga dalamnya, tapi Pendekar Mabuk bisa mengukur bahwa tendangan Badai Kelabu tak akan sampai terasa di tulang belakang. Tapi kali ini, Pendekar Mabuk merasakan tendangan itu bagai ingin mematahkan tulang punggungnya walau yang ditendang adalah dadanya.

Dewa Racun bangkit dan mau menyerang, tapi dihalangi tangan Pendekar Mabuk. Pada saat itu, Suto cepat berbisik, "Ada yang tak beres pada dirinya!"

Dewa Racun cepat memandang Badai Kelabu dengan dahi berkerut tajam. Dan tiba-tiba di kejauhan sana dua manusia perempuan berlari mendekati mereka. Suara kecil memanggil Suto. Dewa Racun makin terkesiap matanya memandang Melati Sewu sedang berlari bersama Badai Kelabu. Sedangkan orang yang baru saja menendang Pendekar Mabuk itu juga Badai Kelabu. Dewa Racun sempat dibuat bingung beberapa kejap.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk melayangkan tendangan sampingnya ke arah Badai Kelabu yang ada di depannya. Tapi tendangan itu tertangkis tangan lawan. Gerakan menangkisnya begitu cepat dan mempunyai kekuatan cukup tinggi, hingga tulang kaki Pendekar Mabuk merasa linu beradu tulang tangan lawan.

Pendekar Mabuk cepat putarkan badan dengan merendah dan badan membungkuk. Kakinya yang kanan memanjang dalam putaran bawah dan menyapu kaki lawan. Wusss...! Lawan melompat menghindarinya dengan melancarkan tendangan keras ke arah wajah Pendekar Mabuk. Tapi Suto sudah siaga, gerak pancingannya termakan lawan. Pada saat kaki lawan menjejak wajahnya itulah Suto segera menotokkan dua jari tangannya ke mata kaki lawannya.

Ttebb...!

Satu kali totokan bertenaga tinggi telah membuat lawan mengerang panjang sambil tubuhnya mengejang. Dan tiba-tiba sosok tubuh sebagai Badai Kelabu itu berubah wujud menjadi sosok tubuh lelaki berwajah angker, berambut putih dan berkumis putih, badan sedikit gemuk dengan pakaian hitam berjubah abu-abu, di punggungnya terselip sebuah pedang bergagang hitam. Sosok itu tak lain adalah sosok si Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah.

"Bangsat kau!" geram Manusia Seribu Wajah. "Rupanya kau menguasai jurus 'Sekat Nadi' yang bisa membuyarkan perubahan wujudku, hah?!"

Pendekar Mabuk yang sudah menarik diri setelah wujud Kombang Hitam terlihat jelas itu, hanya tersenyum tipis dengan tetap berdiri agak menyamping. Matanya tajam menatap lawan tak berkedip.

Terdengar suara Badai Kelabu yang asli berseru, "Guru! Jangan teruskan, Guru! Saya mohon jangan teruskan perselisihan ini!"

Kombang Hitam memandang kedua muridnya yang baru saja tiba dengan mata garang menyeramkan. Melati Sewu tak berani lebih dekat lagi, sebab dia tahu jika gurunya sedang murka begitu, apa saja yang ada di dekatnya bisa dijadikan sasaran kemarahannya. Tapi Badai Kelabu yang merasa bertanggung jawab atas kedatangan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ke pulau itu, memaksakan diri untuk mendekati gurunya dan membujuk amarahnya.

"Guru, saya mohon dengan hormat, jangan sakiti dia, Guru!"

Tangan Kombang Hitam berkelebat mengibas ke samping dan wajah Badai Kelabu yang menjadi sasarannya. Tubuh perempuan itu terpental empat langkah jauhnya dengan tulang pipi menjadi biru legam. la jatuh tak jauh dari Melati Sewu, dan segera ditolong untuk bangkit berdiri. Melati Sewu bisikkan kata,

"Hati-hati, jangan terlalu dekat dengan Guru jika beliau sedang begitu! Bisa mati kau!"

Kombang Hitam yang sudah berusia cukup banyak itu ternyata masih menyimpan semangat dendam seperti dulu kala. Matanya memancarkan api membunuh begitu jelas, sehingga napasnya pun terlihat cukup deras hembusannya. "Suto! Kau masih ingat siapa aku, hah?!" suaranya pun tegas.

"Ya. Aku masih ingat! Kau yang membantai keluargaku!" kata Suto tak kalah tegasnya.

"Bagus! Bagus kalau kau masih ingat, karena hanya kau satu-satunya orang yang lolos dari pembantaian itu! Matiku tak akan tenang jika keluarga Wiseso yang tertinggal belum kubunuh!"

"Kombang Hitam! Sejak kulihat kau pertama dalam keadaan sekarat di dalam kamarmu, aku sudah mengenali siapa dirimu! Kalau aku mau lakukan, mudah sekali membunuhmu dalam keadaan seperti itu!"

"Itu menandakan kau anak yang bodoh!" sentak Kombang Hitam.

"Terserah caramu menilai. Tapi yang jelas, aku tak mau diperbudak oleh dendam masa lalu! Ku lupakan masa lalu itu, dan kusembuhkan luka parahmu yang hampir merenggut nyawamu! Tapi seperti inikah pembalasanmu padaku, Kombang Hitam?"

"Ya!" jawab Kombang Hitam dengan menyentak keras. "Kau pun seharusnya mati pada usia delapan tahun! Tapi niatku membunuhmu terpaksa kutunda! Kuberi kau kesempatan untuk hidup, menikmati masa remajamu, menikmati masa dewasamu, dan sekarang sudah waktunya kau menikmati masa kematianmu, Suto!"

"Aku tidak bersedia melayani dendammu, Kombang Hitam! Aku bukan budak nafsuku sendiri! Selamat tinggal!"

Slappp...! Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki dan pergi dengan begitu cepat bagaikan angin lewat. Dewa Racun pun mengikutinya walau sedikit tertinggal oleh Pendekar Mabuk.

"Jangan lari kau, Sutooo...!" teriak Kombang Hitam. Ketika ia hendak mengejar Pendekar Mabuk, Badai Kelabu cepat menyergap kedua kaki Kombang Hitam.

"Guru! Jangan bunuh dia! Ingatlah, Guru…! Dia telah menolong menyembuhkan luka parah yang Guru derita! Dia telah menyelamatkan nyawa Guru! Kumohon, jangan bunuh dia, Guru!" Badai Kelabu menangis sambil memeluk kaki gurunya.

Manusia Seribu Wajah itu menggeram dengan sangat marahnya. Maka, ia pun sentakkan kakinya ke depan dan tubuh Badai Kelabu terlempar kembali lebih jauh dari yang pertama. Tubuhnya membentur batang pohon dan jatuh sambi! memekik tertahan.

Tanpa peduli tangis dan rintih muridnya, Manusia Seribu Wajah cepat tinggalkan tempat dengan gerakan seperti Suto. Tubuhnya lenyap begitu saja, tak terlihat lagi bentuk dan wujudnya. Sedangkan Badai Kelabu yang merasa sakit di bagian tulang punggungnya segera dibantu oleh Melati Sewu untuk berdiri.

"Melati Sewu, tolong... cegah tindakan Guru! Kasihan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun! Kau tahu sendiri, mereka telah menyelamatkan nyawa Guru! Mereka bukan orang jahat! Mereka bersikap baik kepada kita!"

"Iya, iya... aku tahu! Tapi bagaimana cara mencegah tindakan Guru? Kita tak bisa menahan amukan Guru! Melawan Guru sama saja melawan liang kubur, Badai Kelabu!"

"Bagaimanapun caranya, lakukan saja! Jangan sampai Pendekar Mabuk mati di tangan Guru! Oh, aku jadi menyesal jika begini. Menyesal sekali mengapa aku membawa Pendekar Mabuk untuk menolong Guru kalau akhirnya nyawa penolong itu terancam oleh murka Guru?!"

Melati Sewu mengerti perasaan Badai Kelabu. Melati Sewu diam-diam juga mengecam tindakan gurunya yang tidak tahu berterima kasih kepada orang yang telah menolongnya. Seketika Melati Sewu menjadi kurang suka dengan gurunya. Tapi semua itu hanya bisa dipendamnya di dalam hati, tak berani dilampiaskan dalam bentuk apa pun, karena Melati Sewu tak ingin mati akibat murka sang Guru.

"Begini saja," kata Melati Sewu, "Kita ikuti terus mereka, sambil kita menjaga Suto. Jika Suto dalam keadaan terdesak dan Guru mau merenggut nyawanya, kita ganggu serangan Guru dengan membuat ulah yang menghambat gerakan Guru!"

"Baik," jawab Badai Kelabu sambil mengakhiri isak tangisnya. "Kita susul mereka, Melati Sewu!"

Maka, kedua perempuan yang sudah memihak Pendekar Mabuk secara tak langsung itu segera melesat pergi. Kecepatannya masih belum sebanding dengan kecepatan Pendekar Mabuk dan Manusia Sampai di pantai, langkah Suto terhenti karena ia melihat seseorang berdiri di depannya. Orang itu mengenakan jubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna hijau. Rambut dan jenggotnya putih, menggenggam tongkat di tangan kanannya. Suto Sinting sangat terkejut melihat orang itu berdiri menghadangnya, karena orang itu adalah si Gila Tuak, gurunya sendiri.

"Eyang Guru...?!" sapa Pendekar Mabuk sambil sedikit membungkuk memberi hormat kepada gurunya.

"Apa yang terjadi. Suto?" tanya si Gila Tuak dengan dingin.

"Kombang Hitam masih menaruh dendam pada saya dan ingin membunuh saya, Guru!"

"Menyingkirlah ke belakangku! Biar kuhadapi dia!"

"Tapi, Guru...."

"Pergilah ke belakangku! Lekas!" sentak si Gila Tuak.

Suto pun bergegas pergi ke belakang si Gila Tuak yang tak disangka-sangka datang ke pulau itu. Ketika Pendekar Mabuk berada di belakang si Gila Tuak, hatinya merasa sedikit tak enak melihat si Gila Tuak mengenakan gelang akar bahar warna hitam. Seingat Suto Sinting, gurunya tak pernah memakai gelang akar bahar. Kecurigaan itu terlambat. Tiba-tiba si Gila Tuak sodokkan tongkatnya ke belakang dan tepat mengenai ulu hati Pendekar Mabuk.

Buhgg...!

Pendekar Mabuk terbungkuk seketika. Sodokan tongkat itu begitu kuat dan dialiri tenaga dalam yang cukup besar. Mata Suto mendelik dan berkunang-kunang. Napasnya bagai terhenti di pertengahan dada.

Si Gila Tuak segera balikkan badan sambil kakinya berkelebat naik dan menendang wajah Pendekar Mabuk dengan kerasnya. Plokkk...! Wajah Pendekar Mabuk tersentak ke samping, bersamaan dengan itu tubuhnya terlempar oleng hingga jatuh di pasir pantai.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk kibaskan kepalanya membuang pandangan yang berkunang-kunang itu. Jari tangan bagian telunjuk kanan mulai mengeras, lalu ia sentilkan telunjuk itu ke depan dalam keadaan masih rebah miring di tanah. Sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tidak mempunyai wujud ataupun warna, namun gelombang tenaga dalam yang dikeluarkan cukup tinggi. Sentilan itu diarahkan di mata kaki si Gila Tuak.

Mata kaki itu tepat terkena sentilan 'Jari Guntur'! Si Gila Tuak meraung keras sambil mengangkat kakinya yang tersentil itu. la berjingkat-jingkat dengan satu kaki, dan pada saat itu wujud si Gila Tuak pun pudar, berganti ujud Manusia Seribu Wajah alias Kombang Hitam.

"Baru sekarang aku menghadapi lawan setangguh ini!" gumam Pendekar Mabuk di dalam hati, dan demikian pula gumam Kombang Hitam di batinnya.

Keduanya saling berhadapan siap menyerang lagi. Tapi dalam hati Suto selalu berusaha agar tidak melakukan penyerangan. la tidak ingin membunuh karena dendamnya yang telah membeku selama dua puluh tahun itu. la hanya ingin menghindari dan memberi pelajaran kepada orang berilmu tinggi yang tak tahu balas budi itu.

"Bocah sinting! Semakin lama kau membuatku semakin bernafsu untuk melenyapkan nyawamu, tahu?!"

"Kombang Hitam! Kuasailah amarahmu. Kendalikan nafsumu! Untuk apa kita saling membunuh jika persoalan itu sudah lama berlalu!"

"Tutup bacotmu, Bocah dungu!" sentak Kombang Hitam. "Sebelum kulenyapkan sisa keturunan Ronggo Wiseso, tak akan tenang arwahku bersemayam di alam baka nanti!"

"Kau benar-benar telah diperbudak oleh dendam, Kombang Hitam! Kau selalu memaksaku untuk membunuhmu! Padahal hal itu tak perlu terjadi. Kurang puaskah kau telah membantai semua keluargaku?!"

"Belum semuanya! Masih ada yang tersisa, yaitu kau!" sentak Kombang Hitam sambil tangannya dihentakkan ke depan dengan jari telunjuk mengeras. Dari ujung jari itu keluar sinar merah berkelok-kelok bagai lidah petir.

Wuttt...!

Gerakan sinar yang cepat itu menghantam tubuh Pendekar Mabuk. Namun pada saat itu Pendekar Mabuk cepat ambil bumbung tuaknya dan dipakai untuk menghadang kilatan sinar merah itu. Tubb...! Sinar itu membentur bumbung tuak dan memantul balik menjadi lebih besar serta lebih cepat. Wussss...!

"Aaahg...!" Kombang Hitam terpekik dengan mata mendelik. Karena ia tak menduga sama sekali bahwa sinar merah dari jarinya itu akan memantul balik dalam keadaan lebih besar dan lebih cepat. Kombang Hitam tak punya kesempatan mengelak karena jaraknya dengan Pendekar Mabuk hanya antara lima langkah. Akibatnya, sinar merah itu mengenai ujung pundak kirinya. Pundak kirinya itu menjadi bolong dari bagian depan di atas dada sampai ke belakang, di sudut punggung.

"Jahanam kaaauu...!" geram Kombang Hitam segera mencabut pedangnya. Srett...! Lalu, ia melompat bagaikan harimau terbang dengan pedang siap ditebaskan dari atas kebawah.

Pendekar Mabuk berdiri agak merendah. Tabung tuaknya dipegang dengan dua tangan dan dihadangkan melintang ke atas kepala. Pedang itu pun ditebaskan sekuat tenaga dan berbenturan dengan bumbung bambu tempat menyimpan tuak itu.

Trasss...! Nyala api merah memercik ke mana-mana akibat benturan pedang baja dengan bumbung bambu itu. Dan yang membuat Kombang Hitam makin mengganas adalah setelah ia melihat bahwa ternyata pedangnya itu patah menjadi beberapa bagian, tinggal bagian kecil yang menancap di bagian gagangnya.

"Bangsat kau! Pedang pusakaku kau buat begini, hiiaaaat...!"

Begggh...! Kombang Hitam berhasil menendang lengan Suto. Tendangan keras dan bertenaga dalam itu membuat Pendekar Mabuk terlempar ke samping dalam jarak tiga langkah. la menjadi limbung dan bergerak oleng bagaikan orang mabuk parah. Tubuhnya meliuk ke kiri dan ke kanan dengan kepala ikut terayun lemas.

Melihat lawannya sempoyongan, Kombang Hitam tak mau gunakan kesempatan secara sia-sia. Dengan cepat ia sentakkan kedua tangannya yang beradu rapat pada pangkal pergelangan tangan itu. Sentakan kedua tangan ke depan membuat cahaya biru melesat. Padahal jaraknya dengan Suto Sinting hanya antara empat sampai lima langkah. Tentu saja cahaya biru itu dengan cepat tiba di tempat Pendekar Mabuk.

Tetapi, Pendekar Mabuk yang disangkanya sempoyongan karena lemah itu, sebenarnya menyiapkan diri untuk menghadapi serangan berikutnya. Jurus mabuknya memang sering menipu lawan, sehingga pada saat cahaya biru itu menghantamnya, Suto sudah siap menangkis dengan bumbung tuaknya.

Cahaya biru itu membalik arah dan menjadi lebih besar serta lebih cepat. Kombang Hitam terkesiap dan terpaku di tempat. Akibatnya sinar biru dari pukulan mautnya itu menghantam telak dadanya.

Blarrr...!

Tubuh Kombang Hitam tidak tersentak sedikit pun. Tetap berdiri tegak. Tapi sekujur tubuhnya menjadi hitam bagai habis disambar petir. Matanya merah, mengucurkan darah, ia masih sempat menggeram benci sambil mulutnya mengucurkan darah merah kehitaman. Pada saat Badai Kelabu dan Melati Sewu tiba di tempat, Kombang Hitam rubuh ke tanah tak bernyawa lagi.

"Guruuu...!" teriak Badai Kelabu sambil berlari-lari.

Dewa Racun hanya diam saja, berdiri di bawah pohon sejak tadi. Tapi ia siap melancarkan serangan jika Badai Kelabu atau Melati Sewu diam-diam melepaskan pukulan kepada Pendekar Mabuk.

* * *

TUJUH
KALAU saja ada pilihan lain, Pendekar Mabuk akan memilih jalan lain. la sudah berusaha menghindar, ia sudah berusaha tidak menyerang, tapi toh akhirnya Kombang Hitam itu mati pula di tangannya. Itulah suratan takdir!

Sambil mendayung perahunya yang mati karena tak ada angin, Suto masih merenungi kematian Kombang Hitam. Peristiwa itu telah mengingatkan dirinya bahwa dendam tak perlu diburu, bahwa pembalasan akan tiba sendiri pada saatnya. Sekalipun ia sudah mengelak dari dendam, sekalipun ia sudah berusaha agar tidak membalas kematian keluarganya yang dibantai habis oleh Kombang Hitam, tapi di pihak lawan justru serahkan nyawa sebagai penebus dan pembalasan atas pembantaian itu.

"Tak kusangka kematian Kombang Hitam akhirnya ada di tanganku juga, walau secara tidak sengaja," pikir Suto. Lalu, terbayang wajah bapaknya yang dihajar habis oleh anak buah Kombang Hitam, terbayang pula wajah ibunya yang dengan penuh kasih sayang sering menciumi kepalanya.

Terbayang pula wajah kakaknya, yang sering mengatakan Suto sebagai anak bandel. Terbayang pula wajah pembantunya, yang sering merasa jengkel karena ulah kenakalan Suto. Pembantu itu pun mati terpenggal kepalanya oleh anak buah Kombang Hitam. Suto pun terbayang wajah Paman Dubang yang dengan setia mengasuhnya, bahkan waktu peristiwa itu terjadi, Suto sedang diajar naik kuda oleh Paman Dubang. Terngiang di telinga Suto jerit kematian Paman Dubang yang terperosok jatuh ke jurang dalam pengejaran Kombang Hitam, Hati Suto tergores pedih, namun ditahannya dengan cara menarik napas dalam-dalam,

"Aku sudah membalaskan kematian kalian, walau sebenarnya aku tidak menghendaki adanya pembalasan," kata Pendekar Mabuk di dalam hatinya yang seolah-olah bicara kepada roh para korban. "Namun pembalasan itu akhirnya datang juga, dari Yang Maha Kuasa, melalui perantara tanganku sendiri! Semoga kalian tenang di alam kelanggengan sana. Semoga Bapak dan Ibu bangga melihat anaknya menjadi seperti saat ini. Sehebat apa pun aku sekarang ini, tak akan mungkin bisa menjadi begini jika tanpa kalian; pengasuhku, perawatku, pembimbingku, semasa aku masih bocah kecil!"

Kilat menyambar di langit. Mendung mulai menutupi mentari. Air laut bergelombang, makin lama terasa semakin meninggi ayunannya. Dewa Racun yang berada di haluan segera berseru, "Akan tur... tur... turun hujan, Suto!"

"Ya! Cepatlah masuk ke barak, biar aku yang kemudikan perahu ini!" balas Suto Sinting dengan suara keras.

Angin menderu kencang. Hujan mulai turun rintik- rintik. Sebentar lagi tak akan ada sisa cahaya matahari karena senja semakin menua. Sekarang pun alam sudah menjadi gelap, langit bagai diselimuti kain hitam raksasa.

Clap… claaap...! Glegaaar...! Guntur bersahutan di langit, seakan mengancam sebuah perahu berlayar tunggal yang sedang terombang-ambing dipermainkan ombak samudera. Kadang perahu meninggi, kadang jatuh terhempas menjadi rendah. Kadang meliuk ke kiri, kadang meliuk ke kanan. Hujan mengguyurnya semakin kuat dan deras. Tapi Suto tatap berada di haluan dan Dewa Racun tak mau tinggal diam di dalam barak beratap rendah Itu.

"Suto! tu.. tu... tu.. tutup layar supaya badai tidak melemparkan perahu ini!"

Hanya berdua mereka di atas perahu dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Rencananya, mereka hanya ingin mengambil Singo Bodong sambil memeriksa apakah Hantu Laut sudah sampai di sana atau belum. Tetapi, keduanya kini berada di tengah amukan badai laut. Dewa Racun menduga perahu akan pecah seperti saat mereka tinggalkan tanah Jawa beberapa waktu yang lalu.

Tatapi rupanya perahu yang mereka gunakan kali ini lebih kokoh dan lebih tegar. Tamparan ombak dan hembusan badai bisa ditahannya. Sayang sekali tak ada cukup minyak di dalam perahu itu, sehingga perjalanan malam menjadi gelap gulita. Hanya ada sedikit minyak untuk menyalakan pelita kecil sebagai penerang barak dan sering dibawa ke sana-sini bila hujan mereda.

Tapi hujan datang silih berganti. Kadang terang kadang deras. Akibatnya, Suto dan Dewa Racun membiarkan perahunya terapung-apung di atas lautan bergelombang. Mereka cukup lelah menguras air yang masuk ke perahu yang tadi hampir menenggelamkan mereka. Keduanya tertidur di dalam barak, dan bangun di pagi hari dalam cuaca tak seburuk tadi malam.

Cuaca pagi itu sangat cerah. Matahari bersinar dengan terang sekali. Langit putih bersih tanpa setitik mendung pun di sana. Tetapi Dewa Racun segera kerutkan dahi melihat sebuah pulau kecil berbentuk seperti garpu dua mata. Perahu itu terseret ombak sampai ke relung perairan di tengah pulau kecil itu.

"Sssuu... suuu… Suto!" panggil Dewa Racun yang ada di luar barak. "Per... perahu kita kandas!"

Suto bergegas bangun dan keluar dari barak. la memeriksa bagian lambung kapal, ternyata keadaan perahu sedang terjepit di kedua tonjolan batu karang. Lambung kapal robek sedikit, namun tak sampai membuatnya bocor.

"Perahu kita hanya robek sedikit  bagian lambungnya!" kata Suto. "Aku akan turun melihat batu karang itu!"

"Tap... tap... tapi mengapa perahu kita miring dan... dan... banyak air di buritan!"

Suto terkesiap, cepat memeriksa bagian buritan. la terbengong, ternyata perahu bocor besar di bagian buritan. Suto menarik napas beberapa saat, lalu berkata, "Kita harus menambal perahu ini, Dewa Racun!"

"Kit... kita... kita tidak punya per... per... per...."

"Perawan?!"

"Peralatan!" sentak Dewa Racun. "Kita tidak punya peralatan untuk menambal perahu, sedangkan Pulau Beliung masih cukup jauh. Kita bel... bel... bel...,"

"Belum! Kita belum melewati gunung karang yang runcing seperti waktu kita berangkat tempo hari. Ber... ber... ber...."

"Berarti! Berarti kita masih jauh dari Pulau Beliung!"

"Kalau begitu, kita temui penduduk pulau ini dan minta bantuannya. Kita pinjam peralatan untuk menambal perahu ini!"

Pulau kecil itu memang penuh dikelilingi oleh karang. Pantainya sangat dangkal. Semestinya perahu tak bisa masuk ke celah di tengah pulau berbentuk garpu mata dua atau berbentuk huruf 'U' itu. Hanya saja, semalam agaknya air laut pasang, sehingga perahu bisa masuk ke relung itu, ketika air laut surut, perahu dalam keadaan terjepit dua gugusan karang yang tersumbul sedikit di permukaan air laut. Mau tak mau Pendekar Mabuk dan Dewa Racun menghubungi penduduk di pulau yang tak diketahui namanya oleh mereka itu.

Tetapi Suto menjadi sangsi setelah menyadari pulau kecil itu sunyi dari suara. Sesekali ada kicau burung, tapi tak ada suara kehidupan manusia di dalam kerimbunan hutan di bagian tengahnya. Bekas sisa makanan atau perahu yang pernah ditambatkan pun tak ada.

"Pulau ini kosong," kata Suto. "Tak berpenghuni kecuali burung dan binatang lainnya."

"Jad... jad... jadi kita terdampar di pulau kosong?"

"Mestinya begitu!"

"Wah, laa... laa... lalu kita mau minta bantuan kepada siapa? Kita mau pinjam peralatan buat tambal perahu kepada siapa?"

"Kepada burung," jawab Pendekar Mabuk sambil tertawa pendek. "Tapi coba kita periksa bagian pantai sebelah sana!"

Keduanya melangkahkan kaki melalui semak belukar. Tapi tiba-tiba tubuh Suto bagaikan tersedot bumi.

Bruuussss...!

"Sut... Sut... Sutoooo...!" teriak Dewa Racun dengan suara gagapnya. Wajah kerdil itu menjadi tegang. la sangka ada seseorang yang menarik kaki Suto dari dalam sebuah lubang. Capat-cepat Dewa Racun memandang sekeliling sambil pegang busur dan anak panahnya. Gerakannya cepat dan penuh selidik. Anak panah siap dilepaskan kapan saja terlihat ada yang mencurigakan.

Terdengar suara Suto Sinting dari kedalaman lubang. Dewa Racun segera memeriksa lubang tempat terperosoknya Suto Sinting. Ternyata lubang itu adalah sumur tua yang sudah tidak terpakai lagi. Sumur itu tertutup oleh tanaman liar hingga tak terlihat lubangnya. Sumur itu sudah tidak berair lagi. Tapi masih tampak lembab dindingnya, mungkin karena hujan semalaman.

"Sutooo...! Baag...baaag... bagaimana keadaanmu?!"

"Cepatlah turun! Di sini ada ruangan lebar!"

Dewa Racun tak tanggung-tanggung lagi, ia segera ceburkan diri ke dalam sumur tua itu. Wuuus...! Prass, bruuk...! la Jatuh di gundukan tanah berpasir. Anehnya tanah itu kering bagai tak pernah terkena curahan air hujan dari atas lubang sumur tersebut.

"Ssst...!" Dewa Racun kasih isyarat agar Pendekar Mabuk diam sebentar. la cepat pejamkan mata dan letakkan telunjuknya di pelipis kanan-kiri. la sedang sadap suara percakapan. Tapi beberapa saat kemudian la lepaskan telunjuk itu. "Sep... sepertinya ada orang di atas sana!"

"Kau dengar percakapan di atas sana?"

"Tid... tid... tid...."

"Tidur!"

"Tidak! Tidak ada percakapan. Hmmm... mungkin hanya perasaanku saja! Sepertinya tadi kita tidak menemukan gerakan manusia sedikit pun. Lupakan soal perasaanku ini! Sek... sek... sekarang kita ada di mana ini, Suto?"

"Di dasar sumur!" jawab Pendekar Mabuk. "Tapi lihatlah, ada lorong seperti kamar di sebelah sana. Atapnya cukup tinggi!"

"Ad... ada cahaya hijau juga. Mung... mungkinkah ada orang yang menyalakan lampu warna hijau di dalam kamar itu?"

"Mari kita periksa ke sana!"

Suto Sinting melangkahkan kaki lebih dulu. Ruang yang diibaratkan seperti kamar itu ternyata sebuah lorong panjang. Cahaya hijau semakin terang di ujung sana. Lorong itu makin lama makin lebar. Dindingnya berlumut, dan lumut itu mengeluarkan sinar hijau bagai mengandung fosfor. Cahaya hijau itu semakin ke dalam semakin luas dan membuat ruangan lebar tersebut dipenuhi oleh cahaya hijau.

"Tem... tem... tempat apa ini, Pendekar Mabuk?"

"Kalau kutahu sudah kukatakan padamu sejak tadi," jawab Suto Sinting. "Justru aku sedang berpikir, tempat apa ini? Kelihatannya tempat ini belum pernah dijamah manusia. Lumut-lumut yang memancarkan cahaya hijau itu belum ada yang menyentuhnya, keadaannya masih tumbuh secara alami. Tonjolan-tonjolan batu di dinding itu menampakkan bahwa ruangan ini terjadi secara alam, bukan buatan manusia! Hmmm... tapi lorong ini cukup panjang rupanya!"

"Kit... kit... kita ikuti saja sampai di mana ujung lorong ini!"

Mereka melangkahkan kaki tidak dengan terburu-buru. Selain merasa kagum melihat tanaman lumut bercahaya, mereka juga menikmati keindahan lekuk-lekuk langit lorong yang mirip lukisan alam. Ada yang bergelembung bagai bisul besar mau pecah, ada yang lonjong mirip hidung raksasa, ada yang pipih dan berbuku-buku. Semakin mereka melangkah jauh di kedalaman semakin mereka menemukan banyak keindahan.

Di sela tanaman lumut yang menyala itu, terdapat bebatuan yang berwarna-warni. Ada yang menggerombol berbentuk bulat-bulat berwarna kuning terang, ada yang dalam bentuk satu bongkahan besar berwarna merah bening, bahkan ada yang berbintik-bintik kecil mirip butiran biji salak berwarna coklat tua yang bening, dapat memantulkan sinar hijau dari tanaman lumut itu.

"Ap... ap... apakah ini surga, Pendekar Mabuk?"

"Entahlah! Aku tak bisa bicara apa pun rasanya. Begitu indah pemandangan di dalam gua panjang ini. Aku merasa berada di dalam sebuah istana yang tak pernah ada di permukaan bumi mana pun juga. Lihat...!" Suto menunjuk ke satu arah. "Batuan itu berdiri seperti pilar penyanggah langit-langit gua, tapi jelas bukan buatan tangan manusia! Pasti terjadi secara alami!"

Dewa Racun terkagum-kagum melihat batuan bening yang besarnya satu pelukan anak kecil, berdiri bagai menopang langit-langit goa. Bentuknya tak beraturan, tapi warna merah lembayung begitu cerah dan indah. Sangat menakjubkan. Dewa Racun mendekatinya pelan-pelan dengan mulut terperangah. Tapi ketika ia mau memegang, tiba-tiba tangannya buru-buru ditarik mundur. la terkejut dengan mata terbelalak lebar.

Suto heran melihat Dewa Racun terkejut, lalu ajukan tanya, "Ada apa? Kenapa kau tak jadi memegangnya?"

"Batu ini mempunyai racun yang berbahaya. Jang... jang.. jangan coba-coba menyentuhnya!"

"Getarannya kurasakan. Te...te...te... telapak tanganku baru mau menyentuh sudah terasa gatal!"

"Hmmm...," Suto menggumam sambil manggut-manggut. "Jelas sudah!"

"Ap... apanya yang jelas...?!"

Suto belum menjawab. Matanya tertarik pada batuan merah yang mirip buah anggur menggerombol di lorong depan. la segera dekati batuan itu, Dewa Racun mengikutinya. Dewa Racun cepat bicara,

"lt... itu... itu batu mirah delima! Woow, bann...ban... banyak sekali?!" Dewa Racun mendului mendekat. Memandang lebih jelas. Ketika tangannya mau menyentuh, tiba-tiba tangannya ditarik kembali seperti tadi.

Wuuut...!

"Bat... bat... bat...."

"Batuk?"

"Batu ini! Batu ini juga beracun. Jangan menyentuhnya!"

"Semakin jelas," gumam Pendekar Mabuk.

"Apanya yaaang... yaaang.. jelas?!" tanya Dewa Racun makin penasaran dengan maksud Suto.

"Semua keindahan ini hanya boleh dinikmati dengan mata. Boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang. Boleh dinikmati tapi tak boleh dimiliki!"

Mengapa beg... beg... begitu?"

"Ajaran dari alam kehidupan," jawab Suto. "Di sekeliling kita banyak hal yang menarik dan memikat hati, tapi tidak semuanya bisa kita miliki. Terutama jika bukan milik sendiri, kita tidak bisa mengambil barang itu! Agaknya gua ini punya ajaran kehidupan sendiri yang punya makna besar bagi manusia, bahwa apa yang sering kita anggap indah menawan hati, belum tentu menguntungkan bagi kehidupan kita. Barangkali gua ini mengajarkan kita agar jangan mudah tergiur oleh keindahan dan kemegahan. Gua ini juga mengajarkan pada manusia agar selalu waspada, bahwa di balik keindahan dan kemegahan terdapat maut yang tersimpan!"

Dewa Racun angguk-anggukkan kepala dan tambahkan kata, "Mung... mung... mungkin kita juga bisa belajar dari gua ini, yaitu belajar mengendalikan nafsu pribadi agar tidak gegabah dalam bertindak. Buktinya, kalau... kalau... kalau kita gegabah dan mengambil salah satu batu yang indah di sini, maka kita akan mati direnggut racunnya yang berbahaya itu!"

"Ya. Benar pendapatmu, Dewa Racun!"

Mereka melangkah semakin ke dalam. Mereka tidak merasakan letih sedikit pun. Mereka tidak sadarkan diri, bahwa mereka telah cukup lama berada di dalam gua keindahan itu dan melangkah sudah cukup jauh pula. Yang ada dalam hati mereka adalah ketenangan batin, kegembiraan dan kedamaian.

Ruangan yang lebarnya lebih dari sepuluh tombak itu mempunyai pilar-pilar alam yang berwarna-warni dan memancarkan kebeningan yang indah. Pilar-pilar itu seperti sesuatu yang kental menetes dari atas dan mengeras. Letak dan bentuknya tidak beraturan. Ada yang berongga, ada yang seperti dua tangan terjuntai, ada yang mirip buah labu, ada yang seperti mata tombak raksasa, semuanya mengandung seni keindahan yang mahal dan sukar didapatkan di permukaan bumi.

"Seee... semua pilar itu ber... ber... beracun! Jangan sampai tubuh kita tersentuh sedikit pun!" Dewa Racun mengingatkan.

Pilar-pilar itu semakin banyak, jaraknya semakin sempit. Langkah mereka semakin hati-hati. Dan pada satu sisi tertentu, Pendekar Mabuk hentikan langkah sambil berkata, "Dewa Racun...! Aku mendengar suara gemercik air di depan sana!"

"Aaa... air... air?!" Dewa Racun pejamkan mata dan tempelkan telunjuk di pelipis, lalu berkata lagi, "Ya, ad... ad... ada air di depan sana. Air yang tertampung dalam satu tempat!"

"Jangan-jangan... Kolam Sabda Dewa?!" Pendekar Mabuk berkata dengan tegang.

* * *

DELAPAN
LANGKAH demi langkah mereka susuri gua aneh yang penuh dengan keindahan itu, sampai pada satu langkah yang memaksa mereka harus berhenti. Dewa Racun yang berjalan paling depan yang pertama kali menghentikan langkahnya, sehingga Suto Sinting pun turut berhenti dan tertegun sebentar di situ.

Pilar-pilar indah sudah tak ada. Tapi lumut yang memancarkan cahaya hijau masih ada, hanya letaknya tidak lagi di dinding kanan kiri gua, melainkan di langit-langit gua tersebut. Lumut-lumut berdaun panjang itu menggantung bagai lampu- lampu hias yang memancarkan sinar hijau indah.

"Sut... Sut... Suto, haruskah kita tetap terus melangkah?"

"Pertimbangkan dulu sebelum melangkah," jawab Pendekar Mabuk.

Jelas Dewa Racun bimbang melanjutkan langkahnya, karena lantai gua bagian depan mereka bukan lagi dari tanah atau bebatuan biasa, melainkan dari kaca yang jernih dan bening sekali. Karena bening dan jernihnya, lumut-lumut di atas pun terpantul jelas, hingga lantai gua itu bagaikan memancarkan cahaya hijau bening yang sangat terang. Sedangkan pada dinding kanan kiri gua, masih terdapat aneka bebatuan yang punya warna- warna cerah dan berkilap.

"Meng... meng... mengapa lantainya jernih sekali, Suto? Begitu jernihnya hingga sep... sep... seperti air yang bening. Ak... aku takut menginjaknya!" kata Dewa Racun.

"Gua ini benar-benar penuh arti kehidupan," kata Pendekar Mabuk sambil matanya memandangi bebatuan yang ada di dinding lorong berikut. "Lantai ini jernih, merupakan peringatan bagi kita untuk memperhitungkan setiap langkah yang akan kita lalui, memperhitungkan setiap tindakan yang akan kita lakukan. Jika kita berhati bersih, bening, dan berpikiran jernih, maka setiap langkah kita pasti membawa kemenangan tersendiri."

"La... lalu... lalu mengapa lumut-lumut itu sekarang tumbuh di atas kita?" tanya Dewa Racun.

"Hmmm...," Suto diam sejenak, kemudian berkata, "Lumut itu menerangi kita, Dewa Racun. Dalam falsafah hidup, kiranya kita tak boleh selalu merasa rendah diri dan minder. Sekalipun kita nilainya hanya seperti lumut, tapi jika bisa menjadi penerang bagi sesama, hendaknya terang kita tetap menjadi penuntun kaki mereka agar tidak terperosok ke dalam lubang. Sekecil apa pun pengetahuan dan ilmu kita, hendaknya kita bagikan kepada mereka yang membutuhkannya"

"See... se... sesuatu yang rendah belum pasti harus di bawah. Ada sisi lain yang kita bisa ambil dari yang paling rendah itu, se... se... sehingga bisa kita angkat menjadi sejajar atau lebih tinggi dari diri kita. Barangkali begitulah makna lain dari lumut-lumut yang memberi penerangan langkah kita di langit-langit gua ini!"

"Benar pendapat mu, Dewa Racun. Dan menurutku, kita tetap saja melangkah selama kita mempunyai hati bersih dan pikiran sebening lantai kaca ini!"

Maka, Dewa Racun pun mengawali langkahnya. Mereka mulai menapak di lantai jernih itu. Satu hal yang membuat mereka heran, tak ada bekas telapak kaki mereka sedikit pun. Lantai kaca tetap menjadi lantai yang bersih, jernih, dan bening. Tapi hal yang membuat mereka lebih heran lagi adalah adanya bayangan diri mereka di dalam lantai kaca itu.

Bayangan tersebut bukan berbentuk wujud asli mereka, seperti jika mereka berdiri di depan cermin biasanya, melainkan membentuk bayangan hitam, seperti bayangan mereka jika terkena sinar matahari. Bayangan itu juga tidak berada dalam satu garis lurus dengan telapak kaki mereka, namun sedikit tertinggal di belakang mereka, sepertinya mereka mendapat sinar dari arah depan.

"Pendekar Mabuk, ken... ken... kenapa bayangan kita di cermin berbentuk hitam dan mengikuti kita?"

Setelah diam berpikir beberapa kejap, Suto pun menjawab dengan suaranya yang tenang. "Bayangan hitam...? Sesuatu yang hitam biasanya simbol dari kejelekan atau keburukan. Ini pun merupakan ajaran dari sisi kehidupan, bahwa kemana pun kita pergi selalu diikuti oleh sifat-sifat buruk yang ada pada diri kita. Sifat buruk itu membayangi kita senantiasa. Tergantung dari diri kita sendiri, apakah kita mau memakai sisi buruk itu atau meninggalkannya? Tetapi pada awalnya, kebaikan pasti datang paling depan, setelah itu baru diikuti keburukan yang merupakan hal-hal yang bersifat rencana untuk berbuat licik, rencana untuk berbuat tamak, rencana untuk mementingkan diri sendiri dan sebagainya. Lantai cermin berbayangan hitam ini merupakan peringatan bagi manusia, agar selalu ingat dan waspada, bahwa keburukan atau kejelekan selalu membayang-bayangi hidup kita. Jangan sampai kita lengah dan terkuasai oleh bayangan hitam diri kita sendiri!"

Dewa Racun melepaskan tawa pelan. "Luuu... luar... luar biasa cerdasnya otakmu, Suto! Tak rugi berteman denganmu walau sampai berusia seribu tahun lagi!"

Pendekar Mabuk pun membalas tawa dengan hati terasa sangat bahagia. Kemudian ia melanjutkan langkah yang membuat Dewa Racun segera mengikuti dari belakang. Pandangan mata Suto Sinting berseri-seri memperhatikan bebatuan indah yang beraneka ragam bentuk dan warnanya.

Suara gemercik air semakin jelas. Pendekar Mabuk ingin cepat sampai ke sumber suara gemercik air itu. Tapi lagi-lagi langkahnya terhenti karena suatu hal. Dua orang perempuan berwajah cantik sekali datang dari arah depan Suto dan Dewa Racun. Dua orang perempuan yang masih muda itu sama-sama mengenakan pakaian semacam jubah putih dari bahan kain sutera lembut Rambut mereka lurus panjang, yang satu sebatas pinggang, satu lagi sebatas punggung. Rambut itu begitu lembut dan hitam sehingga ketika dipakai berjalan gerakan rambut tampak gemulai sekali.

"Sssi... si... Siapa mereka itu?" bisik Dewa Racun sambil menyentak lembut tangan Pendekar Mabuk.

"Entahlah, kita tanyakan saja siapa mereka!"

Baru saja Suto ingin mendekati langkah mereka, tapi ternyata mereka sengaja berjalan mendekati Pendekar Mabuk. Senyum mereka mengembang dengan sangat indahnya. Begitu menawan hati sehingga Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama merasakan kebahagiaan yang tak dimengerti apa artinya.

Satu dari perempuan cantik berhidung mancung itu membawa gulungan kain merah, seperti angkin atau kemben. Yang tidak membawa gulungan kain segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya yang lembut dan enak didengar, "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi...."

Tentu saja hal itu sangat mengejutkan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun. Dewa Racun adalah orang Puri Gerbang Surgawi, dan ia merasa bukan di dalam gua itu letak Puri Gerbang Surgawi, melainkan di Pulau Serindu. Justru kedatangannya menemui Suto karena Dewa Racun diutus penguasa Puri Gerbang Surgawi, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang mempunyai nama asli Dyah Sariningrum, untuk membawa Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi. Tapi mengapa sekarang perempuan bergaun putih itu mengatakan "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi?"

Sementara Suto dan Dewa Racun saling terbengong kebingungan, perempuan pembawa kain gulungan itu menebarkan kainnya. Warna merah beludru dibentang kearah jalan selanjutnya. Gulungan itu kecil, tapi ketika tangan berjari lentik itu menyentakkan gulungan tersebut, kain merah beludru menebar panjang dan berjalan sendiri mengikuti arah jalan berlantai kaca itu.

"Silakan berjalan di atas kain merah ini, jangan keluar dari atas kain merah," kata perempuan yang tadi membawa gulungan kain.

Perempuan yang satunya berkata, "Silakan melangkah Tuan-tuan Pendekar, Gusti Ratu sudah menanti kedatangan Tuan-tuan Pendekar."

Pendekar Mabuk mengawali langkahnya di atas bentangan kain merah, Dewa Racun ada di belakangnya. Dua perempuan itu mengawal di kanan-kiri mereka, tidak menginjak kain merah bludru. Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan kepada perempuan di sebelah kanannya, "Siapa kalian sebenarnya?"

"Namaku Sang Wengi, dan yang di sebelah kirimu itu bernama Sang Ramu."

"Namaku..."

"Suto Sinting, Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak," sahut Sang Ramu dengan cepat. "Dan temanmu adalah Dewa Racun, yang punya nama asli Gatra Laksana?!"

"Dari mana kalian tahu namaku dan nama temanku itu?"

"Gusti Ratu yang memberitahukannya."

"Gusti Ratu siapa?"

"Gusti Ratu Kartika Wangi," jawab Sang Ramu.

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sama-sama hentikan langkah karena kaget dan merasa bingung. Dewa Racun segera berkata, "Apa... apa... apakah sekarang penguasa Puri Gerbang Surgawi sudah diganti?"

Sang Wengi yang menjawab, "Belum. Sebaiknya, mari kita melangkah lagi. Gusti Ratu jangan sampai menunggu terlalu lama."

Mereka kembali melangkah dengan diliputi keheranan yang tiada kunjung reda. Ingin sekali Suto menanyakan mengapa nama Ratu Puri Gerbang Surgawi bukan bernama Dyah Sariningrum? Tapi lidahnya terasa kelu, pikirannya bercampur aduk, sehingga yang terlontar pelan dari mulutnya hanyalah sebuah kalimat, "Tak kusangka di gua indah ini ada penghuninya."

Sang Wengi segera berkata, "Hanya orang-orang yang bisa mengartikan makna keindahan di dalam gua ini yang bisa melihat kami."

Suto memperlambat langkah dan menatap wajah Sang Wengi. Perempuan yang dipandangnya itu mengatakan, "Selama ini baru kalian berdua yang bisa mengartikan apa makna keindahan di dalam gua ini. Baru kalian berdua yang bisa menjabarkan falsafah kehidupan yang terpajang sepanjang lorong goa ini. Dan baru kalian berdua orang yang berhasil berperang melawan musuh yang paling berat."

"Musuh...? Siapa maksudmu?"

"Nafsu diri sendiri!" jawab Sang Wengi dengan senyum bijak yang menawan hati. "Kalian berdua yang telah memenangkan pertarungan dendam di dalam batin dan jiwa kalian masing-masing."

"Pertarungan dendam?!" Suto menggumam sambil tetap melangkah. "O, ya. Aku mengerti maksudmu. Aku dan Dewa Racun sama-sama telah berhasil menahan diri agar tidak melampiaskan dendam kepada musuh-musuh kami itu. Tapi..., aku telah membunuh musuhku, yaitu Kombang Hitam. Dia telah mati di tanganku."

"Dia telah mati oleh dendamnya sendiri, bukan oleh tanganmu. Jika dia bisa berperang melawan dendamnya seperti kamu, maka ia tidak akan menyerang kamu, dan kekuatannya tidak membalik mengenai dirinya sendiri, hingga dia mati hangus begitu."

"Dari mana kau tahu kalau Kombang Hitam mati hangus?"

"Kami melihat semua kehidupan yang kami perlukan dari sini!" jawab Sang Ramu dengan wajah ceria.

Sang Wengi menyambung kata, "Bagi orang-orang yang tidak memiliki hati bersih, gua ini tidak mempunyai keindahan sama sekali. Mereka tidak akan menemukan istana Puri Gerbang Surgawi."

Dewa Racun ingin bertanya tentang Puri Gerbang Surgawi, tetapi mulutnya sudah telanjur terperangah melihat lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar yang sangat indah dan megah. Pilar-pilarnya terbuat dari susunan batu mirah delima, safir, zamrut dan sebagainya. Lantainya bagai bentangan kaca lebar dan luas yang sangat bening dan jernih. Dindingnya terbuat dari lempengan-lempengan batu putih yang memancarkan cahaya terang, serupa betul dengan lempengan intan berukuran lebar dua tombak dan panjangnya mencapai lima tombak tiap lempengnya. Itulah sebabnya istana tersebut berpendar-pendar cahaya menyilaukan, tapi setelah beberapa saat ada dalam cahaya itu, mata sudah terbiasa memandang tanpa rasa silau.

Kain merah yang tadi digulirkan itu ternyata sangat panjang. Kain tersebut sampai ke tengah balairung istana yang berlangit-langit tinggi dan mempunyai delapan pilar besar itu. Kain tersebut pecah menjadi dua bagian, ke kiri dan ke kanan, seolah-olah terpisah begitu sampai di depan singgasana berlapiskan batuan putih intan itu. Orang-orang berwajah cantik seperti Sang Ramu dan Sang Wengi berdiri menyambut kedatangan Suto Sinting dan Dewa Racun. Senyum mereka ramah sekali, sehingga Suto Sinting dan Dewa Racun merasa damai dan bahagia yang tak bisa dilukiskan.

Sang Wengi dan Sang Ramu membawa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun berdiri terpisah. Suto ke kanan, Dewa Racun ke kiri. Mereka naik di atas lantai bundar yang ada di depan singgasana. Tinggi lantai itu kurang dari setengah jengkal, tapi merupakan tempat khusus untuk menghadap Ratu. Lantai yang menyerupai piringan tebal itu tanpa tempat duduk, lebarnya seukuran perisai lima jengkal. Ketika Pendekar Mabuk dan Dewa Racun naik ke atas lantai itu, kain merah sebagai alas berjalan mereka tadi hilang lenyap begitu saja.

Wuuut...!

Muncul pula perempuan-perempuan cantik yang punya tinggi sama rata dengan pakaian serba kuning gading. Mereka muncul dari satu pintu yang ada di lantai atas, yang mengelilingi bentuk istana yang bundar itu. Mata Suto dan Dewa Racun memandangi bagian atas. Rupanya istana itu mempunyai tiga lantai. Lantai bawah tempat Suto Sinting dan perempuan berpakaian putih berada, lantai kedua tempat perempuan-perempuan berpakaian kuning gading berjajar mengelilingi dengan rapi.

Lantai atasnya lagi, muncul serombongan perempuan berambut cepak berikat kepala seperti makhota emas kecil dan menyandang pedang merah di punggung. Jumlahnya lebih dari dua puluh lima orang. Mereka mengenakan celana ketat sebatas betis warna merah, mengenakan tutup dada merah juga, dan dilapisi rompi panjang sebatas perut berwarna merah pula. Sepertinya mereka adalah prajurit- prajurit istana pilihan. Mereka berjajar dengan rapi seperti yang lainnya.

Terdengar suara bergaung menggema seperti genta bertalu, Wuung...! Gema itu panjang, tapi tidak membuat berisik di telinga. Bersamaan dengan suara itu, muncul seorang berpakaian serba ungu, termasuk jubahnya yang berwarna ungu muda. Rambutnya disanggul, mengenakan mahkota besar, kalung susun tiga berhias batuan putih semacam mutiara dan intan, giwangnya tak terlalu besar tapi jelas terbuat dari berlian. Perempuan itu cantik, masih muda, wajahnya oval, atau lonjong, bibirnya ranum indah, hidungnya mancung, kulitnya putih.

Semua orang dari lantai bawah sampai lantai atas menundukkan kepala dengan satu kaki berlutut. Melihat semuanya begitu, Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun ikut-ikutan menunduk dengan satu kaki berlutut, yaitu kaki kanan, tangan kanan menggenggam ditempelkan lantai.

"Damai dan sejahtera buat kalian!" terdengar perempuan yang berdiri di depan singgasana itu berkata memberi salam. Lalu, mereka kembali bersikap biasa. Suto dan Dewa Racun pun berdiri lagi.

Rupanya perempuan berpakaian ungu itulah yang disebut Gusti Ratu Kartika Wangi. Buktinya ia duduk di dampar kencana berhias batuan intan berlian, lalu dengan senyum anggunnya ia menyapa Suto Sinting. "Selamat datang di Puri Gerbang Surgawi, Suto Sinting!"

Suto diam saja, tak tahu harus membalas dengan kata apa. la hanya menundukkan kepala sekejap tanda menghormat.

"Selamat datang pula Dewa Racun, abdi pilihan, Duta Terpuji!"

Dewa Racun bingung dikatakan Duta Terpuji. Lebih bingung lagi ketika ia melihat semua orang yang mengelilinginya bertepuk tangan menyambut kata Duta Terpuji.

"Apa maksudnya, Gusti Ratu?!" tanya Dewa Racun dengan bahasa yang lancar, tanpa tergagap-gagap.

"Gelar itu untukmu, Dewa Racun! Kau adalah utusan yang setia menemani Pendekar Mabuk, membantu tiap ada kesulitan, mengarahkan pandang pikirannya, dan menenteramkan hatinya jika sedang gundah. Maka kuanugerahkan kepadamu sebuah gelar kehormatan, Duta Terpuji!"

"Mohon ampun sebelumnya, Gusti Ratu," kata Dewa Racun. "Siapa yang mengutus saya sebagai utusan menjemput Suto Sinting ini sebenarnya, Gusti Ratu?"

"Aku," jawab Ratu Kartika Wangi. "Aku yang mengutus kamu melalui mulut putriku, yaitu Dyah Sariningrum, yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, berkuasa di Pulau Serindu, di Puri Gerbang Surgawi Nyata!"

Pendekar Mabuk menggumam dalam hati, "Oooo... jadi Gusti Ratu Kartika Wangi ini adalah ibu dari Dyah Sariningrum dan Betari Ayu. Jadi ternyata ada dua Puri Gerbang Surgawi, yang nyata dan yang tidak nyata!"

Tiba-tiba Ratu Kartika Wangi berkata kepada Suto, "Benar apa kata batinmu, Suto Sinting! Ada Puri Gerbang Surgawi yang nyata dan yang tidak nyata!"

Terkejut sekali Pendekar Mabuk mendengar ucapan Ratu. Ternyata kata batinnya bisa didengar oleh sang Ratu. Tak berani Pendekar Mabuk membatin hal yang bukan-bukan.

Ratu berkata lagi, "Aku adalah calon ibu mertuamu, Suto Sinting. Karenanya aku ingin bertemu denganmu dan memberimu tanda sebagai orang kehormatanku dan yang harus dilindungi kapan saja, di mana saja kau berada. Aku mengenal jiwamu yang polos, tegas, berani, dan bijaksana. Aku tahu, kau sudah siapkan Kitab Wedar Kesuma di punggungmu untuk mas kawin melamar putriku; Dyah Sariningrum. Tapi ketahuilah, Suto... karena ke mana-mana kau selalu membawa kitab itu, maka semua ilmu dan jurus yang pernah kau pakai telah tertulis dengan sendirinya di dalam kitab itu!"

Pendekar Mabuk terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Sang Ratu pun berkata lagi, "Aku juga tahu kau menyimpan kasih sayang kepada putri sulungku, yaitu Betari Ayu. Dia sangat sayang kepadamu. Tapi dia lebih rela jika kau mencurahkan segala cinta dan kesetiaanmu kepada adiknya yaitu Dyah Sariningrum. Aku melihat ketulusan hatimu dalam mencintai anakku, Suto. Aku terkesan dengan keperwiraanmu dan kependekaranmu. Sebab itu, pejamkan matamu sebentar, Suto. Juga kau, Dewa Racun, pejamkan matamu sebentar. Aku ingin memberimu tanda merah di tengah kening!"

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pejamkan mata. Lalu, telunjuk Ratu Kartika Wangi diacungkan. Claap...! Keluar sinar merah jambu dari ujung telunjuk itu, masuk ke kening Pendekar Mabuk. Demikian juga dilakukan kepada Dewa Racun. Kini kedua kening itu telah bertanda merah bulat sebesar biji jagung. Rasa dingin ketika sinar itu menerpa dahi.

"Buka mata kalian," perintah sang Ratu. "Suto, angkat telapak tanganmu yang kanan dan hadapkan kemari!"

Pendekar Mabuk membuka telapak tangannya dan dihadapkan kepada Ratu Kartika Wangi. Lalu, jari tengah Ratu Kartika Wangi menunjuk, dan claap...! Sinar biru melesat dan menancap di telapak tangan kanan Suto. Sinar biru itu membentuk tato kecil di tengah telapak tangan Pendekar Mabuk. Tato itu bergambar pedang kecil yang ujung gagangnya terdapat bintang segi lima.

Ratu Kartika Wangit berkata kepada Suto, "Nah, Suto Sinting... tato di tangan kananmu itu adalah lambang bahwa mulai hari ini, sebagai calon menantuku yang berhasil memadamkan dendamnya sendiri dengan kebajikan, maka aku mengangkatmu sebagai Manggala Yudha Kinasih yang akan menjadi panglima terdepan dari seluruh jajaran prajurit dan rakyat Puri Gerbang Surgawi...!"

Prok prok prok...! Mereka bertepuk tangan. Tepuk tangan itu hilang dan mereka segera memberi hormat seperti hormat yang dilakukan kepada sang Ratu Kartika Wangi. Pendekar Mabuk sendiri masih bingung dan tak tahu harus berbuat apa. la hanya memandangi orang-orang yang memberi hormat kepadanya, termasuk Dewa Racun sendiri, dan lama sekali mereka tidak kembali dalam posisi semula.

Maka, Suto pun segera ucapkan kata menirukan ucapan Ratu Kartika Wangi tadi, "Damai dan sejahtera buat kalian...!"

Mereka baru berhenti menghormat, kembali ke posisi semula. Ratu Kartika Wangi tertawa pelan dari tempat duduknya.

"Itu ucapan khusus dariku, Pendekar Mabuk. Kau harus bikin ucapan salam kepada mereka dengan bahasamu sendiri."

"Maaf, Ibu Ratu, saya belum tahu!"

"Pikirkanlah nanti saja. Yang jelas, kau dan Dewa Racun sudah menjadi warga Puri Gerbang Surgawi di bawah kekuasaanku. Jika kau ingin pergi dari sini, hapuslah keningmu dengan tangan kanan, maka kau akan berada di alam kasatmata. Demikian juga dari alam kasatmata ingin masuk kemari, hapuslah keningmu dengan tangan kanan. Tapi jika ingin melihat alam kasatmata di tempat lain, untuk menembus alam siluman atau alam gaib lainnya, untuk melihat sesuatu yang tak bisa dilihat mata telanjang, hapuslah keningmu dengan tangan kiri. Untuk menghilangkannya juga dengan menghapus kening memakai tangan kiri. Hal yang sama bisa dilakukan pula oleh Dewa Racun!"

Dewa Racun membungkuk penuh rasa hormat dan berterima kasih, Suto mengikutinya. Karena dianggapnya, Dewa Racun lebih banyak tahu tentang adat bersikap di lingkungan Puri Gerbang Surgawi.

"Tanda warna merah di kening kalian tidak akan bisa dilihat oleh siapa pun, kecuali oleh orang-orang berilmu sangat tinggi, seperti gurumu; si Gila Tuak itu, Pendekar Mabuk. Dan juga orang-orang kita sendiri yang bisa melihat tanda merah di kening kalian berdua."

Dewa Racun membungkuk lagi. Hanya sedikit gerakannya, dan Pendekar Mabuk mengikuti pula. Agaknya Ratu Kartika Wangi semakin senang hatinya melihat sikap hormat Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.

"Untukmu, Suto..., tanda tato di telapak tangan kananmu itu memang bergambar pedang kecil dengan bintang, karena itu simbol dari jabatan dan kehormatan sebagai Manggala Yudha Kinasih; artinya Panglima Perang yang siap mati demi membela kebenaran di mana pun juga adanya! Tapi dengan menyentakkan tenaga dalam yang kau salurkan lewat telapak tanganmu dalam keadaan terbuka miring, kau akan bisa melepaskan pisau-pisau gaib yang jumlahnya bisa ratusan, dan juga bintang-bintang sebagai senjata rahasia yang jumlahnya juga bisa kau atur dari napasmu yang tertahan. Jika kau lepas napasmu maka pisau atau bintang yang keluar dari telapak tanganmu itu akan berhenti dengan sendirinya. Adapun untuk jenisnya yang keluar dari tanganmu itu; apakah pisau atau bintang, tergantung sentakan napasmu yang pertama. Jika pelan, akan keluar bintang, jika sentakan napasmu berat akan keluar pisau. Gerakan kedua benda tersebut tidak bisa dilihat dan dihindari, kecuali oleh orang-orang berilmu tinggi. Jurus itu kunamakan jurus 'Tapak Manggala', untuk pisaunya, dan untuk bintangnya adalah jurus 'Tapak Yudha'! Pergunakan dalam keadaan terpaksa dan sangat berbahaya!"

Pendekar Mabuk membungkukkan badan lalu berkata, "Terima kasih atas semuanya ini, Ibu Ratu. Saya tidak keberatan mengemban tugas sebagai Manggala Yudha Kinasih, yang bertugas membela kebenaran."

"Aku senang dan terkesan pada kesucian budimu, juga ketulusan jiwa Dewa Racun dalam menjalankan tugas sebagai utusan! Untukmu, Dewa Racun, aku mempunyai hadiah khusus yang mudah-mudahan kau mau menerimanya!"

Trak trak...! Ratu menjentikkan jari tengah dan telunjuknya. Lalu dari salah satu barisan perempuan berpakaian putih itu muncul satu orang yang sudah tidak asing lagi bagi Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.

Sang Ramu mendekati Ratu Kartika Wangi, memberi hormat sebentar lalu berdiri dengan wajah menunduk.

Sang Ratu berkata, "Dewa Racun, perjalananmu dari Pulau Serindu dan sampai ke Pulau Hitam selalu diikuti oleh Sang Ramu ini. Dia tahu kau menyimpan dendam kepada Melati Sewu akibat kematian Gayanti. Tapi kau bisa kalahkan dendammu dengan hati yang tulus dan ikhlas. Sang Ramu sangat berkesan kepadamu dan ia tertarik untuk menjadi istrimu. Maukah kau menerima cintanya, Dewa Racun?!"

"Haah...?!" Dewa Racun terbengong kebingungan. Matanya memandang Pendekar Mabuk bagai minta pertimbangan. Suatu kerlingan mata dengan senyum menggoda. Lalu, Dewa Racun berkata kepada Ratu Kartika Wangi, "Terlalu cantik buat saya, Gusti Ratu. Kalau ada yang agak jelek sedikit tak apalah...!"

Ratu Kartika Wangi tertawa, demikian pula semua orang dalam ruang istana yang megah itu tertawa geli. Sang Ramu pun tertawa tapi tertahan dan tundukkan kepala.

Dewa Racun berkata pelan kepada Pendekar Mabuk, "Bodoh amat aku ini kalau menolaknya...!"

Pendekar Mabuk semakin geli mendengar ucapan itu.

* * *

SEMBILAN
SEPERTI Ratu Kartika Wangi, jika ingin keluar dari alam kehidupannya, cukup dengan mengusap dahi dengan tangan kanan. Maka Pendekar Mabuk dan Dewa Racun pun melakukannya. Begitu mereka mengusap dahi memakai telapak tangan kanan, kemewahan istana itu lenyap dalam sekejap. Yang ada hanya dinding gua berbatu lumut biasa, cadas, dan air. Tak ada lagi lantai kaca bening atau tanaman hijau menyala.

Tapi suara air semakin jelas didengar oleh mereka. Bias cahaya ada di lorong sebelah kanan. Mereka pun melangkah menyusuri lorong tersebut. Semakin mendekati tempat terang, semakin jelas suara gemericik air. Langkah Suto dan Dewa Racun bertambah cepat.

Tiba di sebuah tikungan lorong, langkah Dewa Racun terhenti. Pendekar Mabuk ikut-ikut berhenti. Dewa Racun memberi isyarat dengan tangan agar Pendekar Mabuk merundukkan kepala. Pendekar Mabuk mengikuti isyarat itu. Rupanya ada sesuatu yang diintai Dewa Racun dari balik tikungan lorong. Pendekar Mabuk ikut mengintainya.

"Oh, rupanya gemercik air itu berasal dari kolam itu!" bisik Suto.

Dan Dewa Racun menjawab dengan suara yang kembali gagap, "Koo... ko... ko... Kolam Sabda Dewa!"

"Hah...?! Kelihatannya... ya, kelihatannya memang Kolam Sabda Dewa. Rupanya letak istana Puri Gerbang Surgawi tak jauh dari Kolam   Sabda Dewa...?!"

Dugaan mereka memang benar. Kolam itu berbentuk lingkaran yang berair jernih. Ada pancuran di tengahnya. Pancuran itu berupa curah air dari atas, tapi tak diketahui sumbernya. Sebab di bagian atas air yang mengucur ke bawah, terdapat langit-langit gua yang kering. Sepertinya air itu tidak tercurah dari atap gua melainkan dari udara bebas tanpa hambatan benda apa pun.

Sorot matahari masuk dari dua celah yang menjadi dinding gua retak, dan pintu masuk gua. Keadaan itu menjadi terang karena sorot matahari. Mulut gua atau pintu masuk gua terletak sedikit miring ke atas, dan jalannya becek. Tapi sekeliling kolam yang bertepian batu-batu bongkahan tanpa tersusun rapi itu, keadaannya kering tanpa percikan air sedikit pun. Bahkan tanah itu berkesan tandus dan berdebu.

Di tengah kolam bergaris tengah tiga tombak itu ada bunga teratai. Hanya satu bunga teratai yang ada di situ, berwarna ungu. Warna ungu mengingatkan pakaian Ratu Kartika Wangi, sehingga Pendekar Mabuk berpendapat,

"Jangan-jangan kolam ini adalah pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi?! Sebab, kalau dihubungkan dengan langkah kita yang belum mencapai lima puluh langkah tadi, sepertinya kolam ini berada di belakang istana, sebagai tempat pemandian Gusti Ratu!"

"Dugaanku pun mengatakan begitu. Tap... tap... tapi kalau se...."

"Ssst...!" Pendekar Mabuk cepat menepis ucapan Dewa Racun dan ia berkelebat pergi dari situ, bersembunyi di balik bongkah batu besar.

"Ad... ad... ada apa?" bisik Dewa Racun. Suto tidak menjawab hanya menuding ke arah pintu masuk gua. Dewa Racun pun memandang ke arah sana, dan matanya segera terkesiap.

Badai Kelabu datang bersama Melati Sewu. Kedatangan mereka bukan hanya berdua, melainkan bersama mayat guru mereka, yaitu Kombang Hitam, alias Manusia Seribu Wajah. Mereka bergotongan membawa mayat Kombang Hitam yang telah hangus itu. Sampai di tepi kolam, di tanah yang kering, mayat yang dibawa memakai usungan bambu itu diletakkan. Badai Kelabu dan Melati Sewu sama-sama hempaskan napas dan menghapus keringat di dahi mereka.

"Kuharap Kolam Sabda Dewa bisa juga dipakai menghidupkan Guru!" kata Badai Kelabu.

"Aku sangat berharap begitu! Aku lebih baik ikut mati jika Guru tidak bisa hidup kembali!" kata Melati Sewu.

"Buatku, Guru adalah bapakku sendiri! Dia yang menolong aku dari hinaan banyak orang. Cuma dia yang mau mendekatiku dan memberi makan ketika aku masih menjadi gadis yang cacat dan jelek rupa!"

"Ya, aku ingat itu!" jawab Melati Sewu.

Dewa Racun berbisik, "Mer... mer... mereka sama-sama inginkan Guru mereka hidup. Badai Kelabu punya alasan yang masuk akal, tapi Melati Sewu tidak memberikan alasan mengapa dia mau ik... ik.. ikut mati jika gurunya tidak hidup kembali?"

"Entahlah. Yang jelas mereka mau coba-coba menentang kodrat dengan membawa mayat gurunya ke kolam itu!"

Dalam hati Suto Sinting pun membatin, "Jika kolam itu adalah tempat pemandian Gusti Ratu Kartika Wangi, maka masuknya mayat Kombang Hitam ke dalam kolam berarti suatu pencemaran air kolam. Gusti Ratu Kartika Wangi sama saja mandi dengan air yang dipakai untuk memandikan sesosok mayat. Ini harus kucegah!"

Maka, tanpa bicara apa-apa kepada Dewa Racun, Pendekar Mabuk pun segera muncul dari persembunyian. Waktu itu, Badai Kelabu dan Melati Sewu ingin menceburkan mayat Kombang Hitam. Suto cepat berseru, "Tahan...!"

Badai Kelabu dan Melati Sewu terkejut sekali. Lebih terkejut lagi setelah ia tahu bahwa Pendekar Mabuk dan Dewa Racun ada di situ.

"Suto...?! Oh, bagaimana mungkin kau bisa sampai di Kolam Sabda Dewa ini?! Kau tahu dari mana jalan menuju kemari, Suto?!"

"Secara kebetulan saja aku terperosok! Ternyata lorong sebelah sana itu tembusnya ke sini!"

"Kkka... kalian mau menceburkan mayat ini?" tanya Dewa Racun.

"Ya!" jawab Melati Sewu. "Sebab kau telah membunuh guru kami!" Sikap Melati Sewu bermusuhan kepada Suto. Bahkan semakin jelas permusuhannya karena ia segera mencabut pedang dari punggung.

Sreet...! Pedang bergerigi itu terlepas dari sarungnya.

"Melati Sewu, apa yang ingin kau lakukan?!" Badai Kelabu mencegah langkah Melati Sewu.

"Aku harus membalas kematian Guru!" katanya dengan ketus.

"Jangan! Jangan menyerang dia, Melati Sewu!" Badai Kelabu mencoba menahan, tapi tangannya dikibaskan oleh Melati Sewu. Tersentak Badai Kelabu dan jatuh dalam jarak dua tindak dari tempatnya.

"Hutang nyawa balas nyawa, Pendekar Mabuk!" geram Melati Sewu.

Suto cepat menahan dengan kata-kata, "Melati Sewu, dia mati karena dendamnya sendiri. Aku tidak menyerangnya. Kau tahu aku telah mengalah dan melarikan diri, tapi dia masih memburuku!"

"Tapi karena kesaktianmu itu maka Guru menjadi tewas!"

Melati Sewu bergerak mendekati Pendekar Mabuk. Dewa Racun mau bertindak, tapi Pendekar Mabuk memberi isyarat dengan tangannya agar tak perlu bertindak. Suto sendiri hanya diam saja, sekalipun jarak Melati Sewu dengan dirinya sudah tinggal tiga langkah. Pedang sudah diangkat dan siap ditebaskan. "Ingat, Melati Sewu...!" seru Badai Kelabu.

"Aku hanya setuju jika Guru dihidupkan kembali, tapi tidak setuju jika kau membalas kematian Guru. Bagaimanapun juga, Guru yang salah dalam hal ini!"

"Kalau kau membela dia, kau pun akan kubunuh, Badai Kelabu!"

"Cobalah!" teriak Badai Kelabu. "Jangan kau menyerang Pendekar Mabuk, tapi seranglah aku! Kalahkan aku dulu baru kau boleh menuntut kematian Guru!"

"Jangan membuat permusuhan denganku, Badai Kelabu!"

"Aku tidak membuat permusuhan denganmu! Aku cuma ingin ingatkan kamu, jangan menyerang Suto!"

"Dan tak perlu menentang kodrat dengan menghidupkan Guru kalian!" sambung Suto menyahut kata.

"Guru harus hidup!" teriak Melati Sewu. "Guru harus hidup lagi! Dan kau harus kubunuh, Sutooo...!" sambil berteriak begitu, Melati Sewu sentakkan kaki, melompat dengan pedang mengarah ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi mendadak gerakannya berubah arah.

Heeegh...! Badai Kelabu melepaskan pukulan jarak jauhnya, tepat mengenai pinggang Melati Sewu. Pukulan itu begitu berat dan keras, sehingga Melati Sewu tersentak dan oleng ke samping, Suto sendiri cepat melompat menghindari tebasan pedang bergerigi.

Wuut...!

Bruuk...! Melati Sewu jatuh telentang. Badai Kelabu segera lompatkan tubuh dan hendak menjejakkan kakinya ke dada Melati Sewu. Tapi tubuh itu segera tersentak dan mental. Rupanya Suto berkelebat cepat menyambut tubuh Badai Kelabu membawanya ke tepi dinding.

"Kenapa kau larang aku menghajarnya?! Dia mau membunuhmu!" sentak Badai Kelabu kepada Pendekar Mabuk dengan hati dongkol sekali.

"Kalian satu perguruan. Tak baik saling bermusuhan!"

"Tapi dia menuntut kematian Guru, Suto! Dia inginkan nyawamu juga!" Badai Kelabu semakin keras bicaranya.

Tanpa setahu Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu, Melati Sewu telah bangkit dan segera menerjang dengan pedangnya. "Mampuslah kalian berdua Hiaaat...!"

Dewa Racun segera melompat dengan sentakkan kaki pelan tapi menghasilkan gerakan cepat.

Wuut...! Plaaak...!

Kakinya menendang pergelangan tangan Melati Sewu. Setelah itu, Dewa Racun segera melompat menjauhinya. Pedang di tangan Melati Sewu telah terpental ke seberang kolam. Gerakannya terlihat oleh Pendekar Mabuk dan Badai Kelabu. Pedang itu terbang melayang dan menembus curahan air di tengah kolam. Tiba-tiba, claap...! Pedang itu lenyap tak berbekas sedikit pun.

"Jahanam kau!" geram Melati Sewu kepada Dewa Racun begitu tahu pedangnya lenyap secara gaib. la segera melompat menyerang Dewa Racun bagai singa betina yang buas.

Wuus...!

Dewa Racun tak mau menghadapi serangan itu. la melompat menjauhi. Melati Sewu mendarat di tempat yang kosong. la menggeram dengan mata memandang tajam kepada Dewa Racun. Napasnya terengah-engah dibakar amarah karena pedangnya hilang.

la segera bergegas mengangkat mayat Kombang Hitam untuk diceburkan ke dalam kolam tersebut. Tapi secara ajaib air kolam menjadi surut. Gemercik air yang tercurah dari atas tanpa tahu di mana letak sumbernya itu menjadi padam. Kolam cepat menjadi kering kerontang tanpa setetes air pun kecuali tanah berlubang besar yang dalamnya antara satu ukuran tombak. Tanpa air, tanpa kelembaban. Hanya ada bebatuan dan kerak lumut kering di bagian dasarnya. Hai itu membuat Melati Sewu menjadi semakin marah.

"Tidak! Tidaaaaak...! Guru harus hidup! Guru harus dimandikan ke dalam Kolam Sabda Dewa ini! Oh, mana airnya...? Mana airnya?!"

Dewa Racun diam saja diseberang sana, memandangi Melati Sewu yang menangis terisak-isak. Suasana menjadi sepi beberapa kejap, hanya tangis Melati Sewu yang terdengar di dalam gua itu.

"Mengapa dia sampai begitu menderitanya terhadap kematian Guru?" pikir Badai Kelabu. "Apakah... apakah Guru itu adalah ayahnya?"

Heningnya suasana membuat Melati Sewu segera sadar dari tangisnya. la telah kehilangan pedang, kehilangan gurunya dan kehilangan sebentuk harapan dari Kolam Sabda Dewa itu. Sepertinya ada sesuatu yang selama ini dipendamnya di dalam hati dan tak ada tempat untuk mencurahkannya. Sekarang inilah saatnya mencurahkan isi hatinya itu, dengan membakar kebenciannya kepada Suto, dan membulatkan tekadnya untuk membunuh Suto.

"Biadab kau, Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku atau kubunuh kau dengan seluruh ilmuku!"

Badai Kelabu mencoba menenangkan amukan Melati Sewu dengan berkata, "Melati Sewu..., kenapa kau masih belum mau menyadari kesalahan Guru kita itu?! Akuilah bahwa beliau memang terlalu mengumbar nafsu dan dendamnya. Jangan salahkan Pendekar Mabuk!"

"Aku tidak bicara padamu murid murtad! Aku bicara pada Pendekar Mabuk! Hidupkan guruku! Cepaaat...!"

Dengan tenang Pendekar Mabuk menanggapinya. "Kenapa kau berkeras hati agar gurumu tetap hidup, Melati Sewu? Ada apa di balik niatmu? Katakanlah alasanmu, kalau jelas alasanmu, aku akan berusaha sebisaku! Katakan alasanmu, Melati Sewu!"

"Karena aku tak mau anakku nanti lahir sebagai anak tanpa Ayah!"

"Ooh...?!" Badai Kelabu tersentak kaget, bahkan sempat terpekik. Matanya mendelik mulutnya ternganga. "Ja... jadi... kau...?!"

"Iya! Aku hamil, gurulah yang menanam benih ini di dalam kandunganku! Aku tak mau anakku lahir tanpa Ayah! Guru harus hidup, supaya... supaya... anakku lahir dengan memiliki Ayah...!" Melati Sewu menangis terisak-isak.

Badai Kelabu ingin mendekat, tapi ia justru terkena tendangan Melati Sewu. Untung hanya lengannya saja.

"Guruuu...!" Melati Sewu segera menangisi Kombang Hitam. Memeluk mayat yang telah hangus itu. "Kita akan mandi di kolam keramat ini bersama-sama, Guru! Kita akan mandi bersama supaya bisa hidup bersama, Guru...!"

"Melati Sewu...?!" pekik Badai Kelabu ketika melihat Melati Sewu mengangkat mayat gurunya, lalu menceburkan diri ke dalam kolam yang menurut penglihatannya masih berair jernih itu.

Bluuss...!

"Ooh...?!" pekik Badai Kelabu. "Dia hilang! Dia...dia... dia dan mayat Guru hilang, Suto!"

Tertegun Pendekar Mabuk dan Dewa Racun melihat kegaiban dari Kolam Sabda Dewa. Kolam itu kering, tapi ketika tubuh Melati Sewu dan mayat Kombang Hitam masuk ke dalamnya, mereka lenyap tak berbekas. Pendekar Mabuk hanya bisa berkata,

"Mungkin mereka ditelan oleh suratan takdir yang tak bisa ditentang siapa pun!"

Badai Kelabu menangis dalam pelukan Pendekar Mabuk, dan Pendekar Mabuk memberinya ketenangan dalam pelukan seorang sahabat.

SELESAI