Sementara itu, dipesanggrahan Muyong Beng, panglima itu dengan geram tengah merenungi kekalahannya hari itu. Hari ini jumlah pasukannya susut banyak sekali, dan yang lebih gawat lagi semangat tempur prajurit-prajuritnyapun merosot dengan tajam pula. Bagaimana mungkin bisa memenangkan perang kalau prajurit-prajuritnya sendiri memanggul senjata dengan setengah hati? Apakah harus mundur kembali ke Pak-akhia dengan menelan kekalahan yang sangat memalukan itu? Atau nekad menyerang terus dengan kemungkinan hancur bersama-sama?
Pada saat pikiran Muyong Beng terombang-ambing tak menentu itu, datanglah laporan seorang prajuritnya bahwa pasukan gelombang ketiga dari Pak-khia sudah datang untuk membantu. Mula-mula Muyong Beng hampir melonjak gembira ketika mendengar datangnya bala bantuan itu, namun kemudian kegembiraannya itu susut banyak ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah tujuhribu limaratus prajurit Hui-liong kun di bawah pimpinan seorang yang sangat dibencinya, Pakkiong Liong si Naga Utara. Persaingan antara Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun memang begitu tajam meskipun kedua pasukan itu dipimpin oleh paman dan keponakan, dan persaingan tajam itu kadang-kadang terbawa juga sampai ke medan perang meskipun kedua pasukan itu harusnya bekerja sama karena mereka menjalankan tugas negara yang sama. Meskipun hatinya merasa, tidak senang, tapi Muyong Beng mengajak juga semua perwira-perwiranya untuk keluar menyambut Pakiong Liong dan pasukannya. Di depan pesanggrahan itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun berbaris dengan rapi, meskipun wajah dan pakaian mereka kotor oleh debu karena menandakan mereka baru berjalan jauh, namun tekad dan kesungguhan yang mereka pancarkan nampak di mata mereka. Muyong Beng melihatnya dengan perasaan rendah diri, dan harus mengakui bahwa pasukannya kalah jauh dari pasukan berani matinya Kerajaan Manchu ini. Pakkiong Liong dengan seragam panglimanya, lengkap dengan topinya yang berhias burung merak itupun berjalan menyongsong Muyong Beng dengan diiringi tiga orang perwiranya. Han Yong-kim si orang Korea yang mahir bermain kenjitsu (Seni Pedang) dari negeri matahari terbit, Hu Lan-to si orang Mongol dan Wanyen Hui. Ketiga-tiganya memiliki nama besar yang membuat jantung Muyong Beng serta Tamtai Au-kha tergetar. Setelah berhadapan dan saling memberi hormat, Pakkiong Liong segera bertanya, "Ada kemajuan dalam tugasmu, saudara Muyong?" Sahut Muyong Beng, "Dua hari ini sudah kami hancurkan sebagian besar kekuatan mereka, dan besok untuk membuat mereka lenyap dari muka bumi adalah sama gampangnya dengan memijit mampus seekor semut." Pakkiong Liong tertawa dingin mendengar jawaban Muyong Beng itu, diedarkannya pandangannya kepada prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang bertebaran di tempat itu. Dilihatnya pasukan yang "babak belur" itu bukan saja jumlahnya sudah kurang dari separuh, namun juga tidak terlihat semangat yang menyala pada diri prajurit-prajurit itu. Mereka memang berbaris rapi, tapi ada yang nampak mengantuk, sedang lainnya ada yang kelihatan sedang melamun, mungkin sedang membayangkan seekor ayam panggang saus tomat di rumah makan terkenal di Pak-khia sana. Tentu, saja sebagai seorang Panglima berpengalaman, Pakkiong Liong tidak bisa dikelabuhi oleh Muyong Beng yang malu mengakui kekalahannya itu. Namuan Pakkiong Liong tidak ingin membuat Muyong Beng kehilangan muka, sebab bgaimanapun juga orang itu sekarang adalah rekan kerjanya, biarpun Pakkiong Liong sering tidak setuju tingkah laku Muyong Beng di medan perang. Maka Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Syukurlah, saudara Muyong. Dengan datangnya pasukanku, mudah-mudahan besok dapat kita rampungkan pekerjaan kita. Dan tentang pimpinan seluruh pasukan, aku mengambil-alih dari tangan saudara." Muyong Beng terkejut dan mukanya menjadi merah padam, ucapan Pakkiong Liong yang terlalu terus terang itu telah menyingungnya. "Ada surat perintah dari Peng-po Siangsi, saudara Pakkiong?" tanya Muyong Beng. Sahut Pakkiong Liong, "Tidak ada surat apa-apa. Hanya menurut kebiasaan, panglima yang terbaik yang memimpin, bukan panglima tolol yang dalam dua hari belum bisa menyelesaikan pekerjaannya." Andaikata bukan Pakkiong Liong yang berada di hadapannya, Muyong Beng maupun Tamtai Au-kha pasti sudah melompat untuk merobek-robek tubuh orang yang berani berkata macam itu kepadanya. Tapi kali ini Muyong Beng mati kutu karena ia tahu siapakah Pakkiong Liong itu, maka ketika Pakkiong Liong mengulurkan tangannya untuk meminta bendera kekuasaan, Muyong Beng tidak berani tidak memberikannya meskipun dengan darah yang mendidih. "Terima kasih, saudara Muyong, sekarang tidak peduli prajurit Hui-liong-kun maupun Ui-ih-kun ada di bawah perintahku dan tidak seorangpun boleh melangkahi wewenangku!" kata Pakkiong Liong tegas. "Hari sudah sore dan kuperintahkan semua pasukan untuk beristirahat." "Apakah tidak perlu merundingkan siasat penyerangan untuk besok pagi?" tanya Tamtai Au-kha. "Aku akan lebih dulu berpikir sendiri di kemahku!” kata Pakkiong Liong sambil melangkah pergi ke kemahnya yang sudah disediakan oleh prajurit-prajuritnya itu. Sementara itu prajurit-prajurit Hui-liong-kunpun segera menempatkan diri pula. Matahari sudah tenggelam dan kini di dataran berumput di kaki bukit hek-ku-nia itu muncul ratusan perapian dari para prajurit yang beristirahat. Meskipun besok mereka akan bahu membahu mengahdapi musuh, tapi kelihat an sekali ada garis pemisah antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan Hui liong-kun, dan mereka berkelompok sendiri-sendiri dalam lingkaran perapiannya masing-masing. Sementara itu, di Hek-ku-nia telah diputuskan bahwa Tong Lam-hou malam itu juga akan diberi kesempatan untuk menemui dan berbicara kepada Pakkiong Liong. "Tapi bukan untuk mengemis minta hidup kepada orang-orang Manchu itu," pesan Siangkoan Hong kepada Tong Wi-hong. "Kami seluruh Hwe-liong-pang tidak gentar kepada siapapun, kami hanya punya satu nyawa dan akan kami lepaskan nyawa kami dengan harga setinggi-tingginya. Tapi sampai matipun kami tidak akan mengemis mohon dihidupi kepada siapapun!" Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara itu Ji Tiat berkata, "Saudara Tong Lam-hou, apabila pihak Manchu kelihatannya akan berbuat curang dalam perundingan denganmu nanti, misalnya hendak menangkapmu secara kekerasan tanpa mempedulikan syarat syarat yang hendak kau ajukan, maka kau boleh bersuit dua kali dan seluruh anggota Hwe-liong-pang siap menerjang ke bawah bukit untuk gugur bersama-sama denganmu." "Terima kasih, saudara Ji." Meskipun Tong Lam-hou menjawab demikian, namun dalam hatinya ia bersumpah biarpun mampus dicincang ia tidak akan bersuit dua kali seperti yang dianjurkan Ji Tiat itu. Ia tidak memiliki setitik keragu-raguanpun akan sifat jantan Pakkiong Liong sahabatnya iti.. Jawabannya kepada Ji Tiat itu hanya akan menenteramkan hati orang-orang Hwe-liong-pang saja. Tetapi Tong Lam-hou tidak ingin orang-orang Hwe-liong-pang menempuh bahaya hanya untuk dirinya seorang. Korban sudah cukup banyak dalam dua hari ini, dan ia tidak ingin menambahnya lagi. Maka dalam keremangan senja, Tong Lam-hou melangkah tegap menuruni lereng Hek-ku-nia untuk menuju ke perkemahan pasukan musuh. Tidak sebatang senjatapun yang dibawanya. Sebun Him menatap langkah-langkah Tong Lam-hou itu dengan senyuman sinis, jumamnya sendirian, "Hemm, berlagak sebagai pahlawan. Tetapi aku yakin tindakan ini tidak akan ada gunanya. Orang Manchu tidak akan bisa bertindak jantan, mereka hanyalah suku liar dari luar Tembok Besar yang tidak kenal peradaban dan sopan santun. Perang adalah bahasa yang paling mereka pahami." Tak seorangpun menggubris gerutuan Sebun Him itu. Sementara itu, dengan langkah-langkah yang lurus dan tidak goyah sedikitpun, mencerminkan pula ketegaran hatinya yang tidak ragu-ragu setitik-pun akan apa yang hendak dilakukannya, Tong Lam-hou menuju keperkemahan. Makin dekat makin jelas terlihat hilir mudiknya prajurit-prajurit yang memanggul tombak atau pedang, dan gelak tertawa dari prajurit-prajurit yang sedang mengelilingi perapian. Tong Lam-hou langsung melangkah ke arah kemah besar yang di bagian atasnya ada bendera hitam dengan lukisan seekor naga berwarna putih yang sedang menginjak segumpal mega berwarna putih pula. Bendera yang sangat dikenalnya sebab Tong Lam-hou pernah menjadi seorang perwira yang bernaung di bawah bendera itu. Melihat bendera itu bergerak-gerak sedikit digoyangkan angin malam, tak terasa Tong Lam-hou tersenyum sendiri karena bertemu dengan seorang "sahabat lama" yang seakan sedang melambaikan salam selamat datang kepadanya. Dan ia berharap sebentar lagi akan bertemu bukan saja dengan sehelai bendera tapi dengan sesosok manusia yang telah menjadi sahabat karibnya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san dulu. "Berhenti!" bentakan itu membuyarkan Tong Lam-hou yang tengah melangkah sambil melamun itu. Beberapa ujung tombak ternyata telah melekat di dada nya dan di pungungnya, beberapa prajurit Ui-ih-kun sudah mengepungnya. Saat itulah baru Tong Lam-hou sadar bahwa ia sedang berada di dekat perkemahan prajurit yang sedang dalam suasana perang. Melihat siapa yang mereka tangkap itu, seorang prajurit Ui-ih-kun yang bermata juling dan pangkatnya perwira rendah, segera tertawa sinis. "Wah, rupanya yang masuk ke dalam jaring kita malam ini adalah seekor kakap besar. Kawan-kawan, inilah orangnya yang bernama Tong Lam-hou dan kabarnya berkepala tiga, bertangan enam dan bernyawa rangkap tujuh!" Sebagian dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu terperanjat ketika tahu siapa yang mereka tangkap itu dan nyali merekapun surut sampai seujung rambut, namun beberapa prajurit justru bangga bahwa dalam tugas ronda mereka telah berhasil menangkap "kakap" dari pihak musuh. "Kita bawa dia menghadap Muyong Ciangkun, tentu kita akan mendapat hadiah besar," kata seorang prajurit yang mukanya penuh jerawat. "Atau kita sembelih dia langsung di sini saja dan kepalanya saja yang kita bawa menghadap Muyong Ciangkun?" Sementara mereka bicara itu, ujung-ujung tombak itupun menekan tubuh Tong Lam-hou semakin keras, sehingga Tong Lam-hou berkata, "Jangan terlalu keras menekan tubuhku, saudara-saudara, kalian bisa melukai aku." Jawab perwira berjerawat itu. “Persetan dengan dirimu. Dalam perang siang tadi kau sudah banyak membunuh teman-teman kami yang tidak menuruti anjuran pengecutmu untuk mengundurkan diri. Sekarang kau kami cincang pun tidak usah mengeluh lagi!" "Benar, cincang sajal" kata prajurit-prajurit lainnya. "Bawa aku menghadap Pakkiong Ciangkun untuk berbicara!" kata Tong Lam-hou. "Setelah itu, apakah aku akan kalian rangket atau kalian cincang, terserah kalian!" "Kenapa harus menghadap Pakkiong Ciangkun? Atasan kami adalah Muyong Ciangkun dan bukan Pakkiong Ciangkun!" "Aku ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan Pakkiong Ciang-kun," Tong Lam-hou menerangkan. "Bohong. Kau pasti sedang memata-matai kami karena kau sekarang sudah berpihak kepada pemberontak, dan karena tertangkap maka kau hendak memakai siasat licikmu untuk minta perlindungan Pakkiong Ciangkun yang bekas atasanmu itu!" "Benar, dia pasti mata-mata yang kata-katanya tidak usah kita percayai. Bahkan kita berhak mencincangnya di tempat ini juga!" Kehabisan kesabarannya karena dianggapnya tingkah prajurit-prajurit ini bisa mengacaukan urusan pentingnya, maka Tong Lam-hou menjawab keras, "Kalian benar-benar tidak tahu diri di hadapanku. Tahukah kalian bahwa jika perundinganku dengan Pakkiong Ciangkun berhasil maka mungkin kalian akan pulang ke rumah dengan selamat? Atau kalian lebih suka mampus di ujung pedang orang-orang Hwe-liong-pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan sebagainya!" "Omong kosong belaka!" teriak perwira berjerawat itu. "Teman-teman, cincang dia! Muyong Ciangkun pasti tidak akan menyalahkan kita!" Waktu itu enam ujung tombak sudah menempel di tubuh Tong Lam-hou, Tiga menempel dada dan tiga menempel punggung, orang yang berilmu silat setangguh apapun tidak akan bisa berkutik lagi. Prajurit-prajurit itu tinggal menekan sedikit tombak mereka dan di tubuh Tong Lam-hou akan muncul enam lubang yang mengantarnya ke neraka. Namun yang terjadi kemudian tidak demikian. Tong Lam-hou tertawa sinis, "Mencincangku? Tahu dirilah sedikit!" Berbareng dengan habisnya kata-kata-itu itu maka keenam prajurit yang menodongnya itu tiba-tiba berlompatan mundur dengan wajah pucat. Bahkan ada dua orang yang langsung saja meringkuk di tanah dan kemudian menggigil kedinginan seperti orang kena demam berat. Perwira berjerawat itu melongo kaget, rasanya sulit dipercaya bahwa Tong Lam-hou yang sudah terkepung ujung-ujung tombak itu masih mampu membebaskan diri, bahkan tanpa menggerakkan ujung jarinya sedikitpun dan tahu-tahu prajuritnya sudah bergelimpangan. Tanpa pikir panjang lagi, perwira berjerawat itu segera berteriak, "Bunyikan tanda bahaya! Panggil bala bantuan dan katakan ada pengacau di sini!" Tapi sebelum tanda bahaya berbunyi dan bala bantuan datang, di tempat itu muncul regu kecil prajurit lainnya, yang tidak berseragam kuning tetapi berseragam hitam-hitam dengan kepala terhias topi bulu berwarna hitam pula, berbeda dengan prajurit Ui-ih-kun yang memakai tudung bambu berhias benang merah. Merekalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Melihat keributan di tempat itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu segera berlari-larian mendekat dengan senjata terhunus. Namun begitu melihat siapa yang terkepung itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu malahan berteriak gembira, "Tong Congpeng, kiranya kau!" "Ada apa yang terjadi di sini?" tanya seorang perwira Hui-liong-kun yang berkumis lebat sehingga seluruh permukaan wajahnya hampir tertutup rambut. Memangnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah merasa penasaran sejak di Pak-khia dulu Tong Lam-hou diadili secara sewenang-wenang oleh hakim-hakim yang merupakan kaki tangan Pakkiong An, maka sekarang mereka gembira dapat bertemu Tong Lam-hou lagi. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu malah melongo ketika melihat prajurit-prajurit Hui-liong-kun memberi hormat secara ketentaraan kepada Tong Lam-hou dan sedikitpun tak ada sikap permusuhan. Malahan senjata-senjata yang sudah dihunuspun disarungkan kembali. Perwira Ui-ih-kun yang mukanya jerawatan itu berteriak penasaran, "Apa-apaan ini? Jangan lupa bahwa Tong Lam-hou sudah diputuskan oleh pengadilan sebagai pengkhianat dan dipecat dari ketentaraan, setiap prajurit yang menemuinya wajib berusaha menangkapnya, kenapa kalian malah...." Perwira Hui-liong-kun berkumis lebat itu menyahut, "Hemm, keputusan pengadilan yang semuanya sudah dikendalikan oleh Pakkiong An itu sama sekali tidak mencerminkan keadilan atas diri Tong Congpeng. Bagi kami, Tong Congpeng yang pernah berjuang di medan laga untuk menegakkan kejayaan negeri kita, jauh lebih berharga daripada Pakkiong An yang cuma membangga-banggakan darah bangsawannya namun tidak pernah berbuat apapun kecuali menyebarkan fitnah ke kanan kiri!" Akhirnya malah terjadi ketegangan antara kedua kelompok prajurit yang pada dasarnya memang tidak saling menyenangi itu. Prajurit-prajurit yang berdatangan ke tempat itupun segera berdiri di kelompoknya masing-masing dan saling melotot kepada kelompok lainnya. Tetapi pihak prajurit Ui-ih-kun akhirnya menyadari bahwa menentang prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan bunuh diri. Maka perwira berjerawat itu segera mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu, sambil mengancam prajurit-prajurit Hui-liong-kun, "Anggap saja kalian menang saat ini, tapi jika kelak kalian kembali ke Pak-khia dan melihat disana telah terjadi perubahan susunan pemerintahan, saat itu kalian akan menyesal. Kalian merangkak-rangkak minta maaf kepada kamipun tak ada gunanya." Setelah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu pergi membawa kedongkolan hati mereka, maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun berebutan menyalami Tong Lam-hou dengan sikap akrab seperti terhadap teman lama, dan menanyakan bagaimana keadaan Tong Lam-hou selama ini. Tong Lam-hou hanya tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu, namun kemudian ia menjawab, "Saudara-saudara, sebenarnya aku sangat senang berbicara dengan sahabat-sahabat baik seperti kalian, bahkan sahabat seperjuangan mati hidup ketika kita berada di medan perang Tay tong dulu. Tapi saat ini aku sebagai utusan laskar Hek-ku-nia membawa pesan penting dari pimpinan laskar di atas bukit sana, untuk dirundingkan dengan Pakkiong Ciangkun. Harap kalian suka mengantar aku ke kemah Pakkiong Ciangkun supaya tidak mendapat kesulitan lagi." Mendengar itu, para prajurit Hui-liong-kun itu bagaikan diguyur air dingin kepala mereka, sebab mereka seolah diperingatkan secara halus bahwa sekarang ini Tong Lam-hou ada di pihak Hwe-liong-pang, artinya di pihak yang berseberangan dengan mereka. Kalau besok pertempuran dimulai, bukankah mereka akan berhadapan dengan Tong Lam-hou sebagai lawan? "Marilah kuantarkan ke kemah Pakkiong Ciangkun, Tong Congpeng," kata perwira berberewok lebat itu. Meskipun Tong Lam-hou bukan prajurit Hui-liong-kun lagi, namun kebiasaan untuk menyebut "Tong Congpeng" belum berubah juga. Waktu itu Pakkiong Liong sedang duduk merenung sendiri di dalam kemahnya. Temannya hanyalah arak. Selamanya ia belum pernah menolak perintah untuk maju ke peperangan, dan setiap tugas dipikulnya dengan penuh tanggung jawab dan semangat menyala, tapi kali ini ia maju perang dengan setengah hati. Ia benar-benar tidak rela dirinya dijadikan seperti bidak catur yang digerakkan ke medan perang oleh tangan Pakkiong An meskipun lewat Peng-po Siangsi, pikirannya justru menguatirkan keadaan di Ibukota di mana pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar Khong-hi disingkir-singkirkan ke tempat jauh dan digantikan dengan pasukan pasukan yang sudah dipengaruhi oleh Pakkiong An. Tapi Pakkiong Liong benar benar tidak dapat menolak perintah ke medan perang, sebab surat perintah Peng-po Siangsi itu diberi cap Peng-po Ceng-tong yang syah dan menentangnya berarti menentang perintah. Dan di Hek-ku-nia ini, Pakkiong Liong sedih bahwa dirinya tidak lebih dari seekor jangkrik aduan, diadu melawan orang-orang Hwe-liong-pang yang merupakan pendekar-pendekar sejati pembela rakyat. Dan barangkali di peperangan besok pagi ia akan berhadapan pula dengan sahabatnya yang sangat dicintainya Tong Lam-hou. Tegakah Tong Lam-hou besok menikamkan pedang ke jantungnya? Tegakah ia besok menyabetkan pedang ke leher Tong Lam-hou demi tugas yang dipikulnya? Semuanya adalah bayangan yang menakutkan. Selama Ini antara dirinya dan Tong Lam-hou selalu bersama-sama, kenapa keadaan' bisa berbalik. seperti ini? Baru saja ia memikirkan Tong Lam-hou, seorang prajurit telah masuk ke kemahnya, berlutut dan melapor, "Ciangkun. Tong Congpeng mohon menghadap." "Suruh dia masuk," sahut Pakkiong Liong acuh tak acuh sambil menenggak araknya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget seperti disengat kalajengking, prajurit yang sudah hampir keluar itu-pun diteriakinya, "He, siapa yang hendak menghadap tadi?!” "Tong Congpeng," sahut prajurit itu. "Tong Congpeng siapa?" "Tong Congpeng Tong Lam-hou..." Begitu bibir prajurit itu terkatup, Pakkiong Liong sudah melompat ke pintu kemah dan hampir saja bertabrakan dengan Tong Lam-hou yang telah melangkah masuk.... |
Selanjutnya;
|
Sementara itu, dipesanggrahan Muyong Beng, panglima itu dengan geram tengah merenungi kekalahannya hari itu. Hari ini jumlah pasukannya susut banyak sekali, dan yang lebih gawat lagi semangat tempur prajurit-prajuritnyapun merosot dengan tajam pula. Bagaimana mungkin bisa memenangkan perang kalau prajurit-prajuritnya sendiri memanggul senjata dengan setengah hati? Apakah harus mundur kembali ke Pak-akhia dengan menelan kekalahan yang sangat memalukan itu? Atau nekad menyerang terus dengan kemungkinan hancur bersama-sama?
Pada saat pikiran Muyong Beng terombang-ambing tak menentu itu, datanglah laporan seorang prajuritnya bahwa pasukan gelombang ketiga dari Pak-khia sudah datang untuk membantu. Mula-mula Muyong Beng hampir melonjak gembira ketika mendengar datangnya bala bantuan itu, namun kemudian kegembiraannya itu susut banyak ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah tujuhribu limaratus prajurit Hui-liong kun di bawah pimpinan seorang yang sangat dibencinya, Pakkiong Liong si Naga Utara. Persaingan antara Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun memang begitu tajam meskipun kedua pasukan itu dipimpin oleh paman dan keponakan, dan persaingan tajam itu kadang-kadang terbawa juga sampai ke medan perang meskipun kedua pasukan itu harusnya bekerja sama karena mereka menjalankan tugas negara yang sama. Meskipun hatinya merasa, tidak senang, tapi Muyong Beng mengajak juga semua perwira-perwiranya untuk keluar menyambut Pakiong Liong dan pasukannya. Di depan pesanggrahan itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun berbaris dengan rapi, meskipun wajah dan pakaian mereka kotor oleh debu karena menandakan mereka baru berjalan jauh, namun tekad dan kesungguhan yang mereka pancarkan nampak di mata mereka. Muyong Beng melihatnya dengan perasaan rendah diri, dan harus mengakui bahwa pasukannya kalah jauh dari pasukan berani matinya Kerajaan Manchu ini. Pakkiong Liong dengan seragam panglimanya, lengkap dengan topinya yang berhias burung merak itupun berjalan menyongsong Muyong Beng dengan diiringi tiga orang perwiranya. Han Yong-kim si orang Korea yang mahir bermain kenjitsu (Seni Pedang) dari negeri matahari terbit, Hu Lan-to si orang Mongol dan Wanyen Hui. Ketiga-tiganya memiliki nama besar yang membuat jantung Muyong Beng serta Tamtai Au-kha tergetar. Setelah berhadapan dan saling memberi hormat, Pakkiong Liong segera bertanya, "Ada kemajuan dalam tugasmu, saudara Muyong?" Sahut Muyong Beng, "Dua hari ini sudah kami hancurkan sebagian besar kekuatan mereka, dan besok untuk membuat mereka lenyap dari muka bumi adalah sama gampangnya dengan memijit mampus seekor semut." Pakkiong Liong tertawa dingin mendengar jawaban Muyong Beng itu, diedarkannya pandangannya kepada prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang bertebaran di tempat itu. Dilihatnya pasukan yang "babak belur" itu bukan saja jumlahnya sudah kurang dari separuh, namun juga tidak terlihat semangat yang menyala pada diri prajurit-prajurit itu. Mereka memang berbaris rapi, tapi ada yang nampak mengantuk, sedang lainnya ada yang kelihatan sedang melamun, mungkin sedang membayangkan seekor ayam panggang saus tomat di rumah makan terkenal di Pak-khia sana. Tentu, saja sebagai seorang Panglima berpengalaman, Pakkiong Liong tidak bisa dikelabuhi oleh Muyong Beng yang malu mengakui kekalahannya itu. Namuan Pakkiong Liong tidak ingin membuat Muyong Beng kehilangan muka, sebab bgaimanapun juga orang itu sekarang adalah rekan kerjanya, biarpun Pakkiong Liong sering tidak setuju tingkah laku Muyong Beng di medan perang. Maka Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Syukurlah, saudara Muyong. Dengan datangnya pasukanku, mudah-mudahan besok dapat kita rampungkan pekerjaan kita. Dan tentang pimpinan seluruh pasukan, aku mengambil-alih dari tangan saudara." Muyong Beng terkejut dan mukanya menjadi merah padam, ucapan Pakkiong Liong yang terlalu terus terang itu telah menyingungnya. "Ada surat perintah dari Peng-po Siangsi, saudara Pakkiong?" tanya Muyong Beng. Sahut Pakkiong Liong, "Tidak ada surat apa-apa. Hanya menurut kebiasaan, panglima yang terbaik yang memimpin, bukan panglima tolol yang dalam dua hari belum bisa menyelesaikan pekerjaannya." Andaikata bukan Pakkiong Liong yang berada di hadapannya, Muyong Beng maupun Tamtai Au-kha pasti sudah melompat untuk merobek-robek tubuh orang yang berani berkata macam itu kepadanya. Tapi kali ini Muyong Beng mati kutu karena ia tahu siapakah Pakkiong Liong itu, maka ketika Pakkiong Liong mengulurkan tangannya untuk meminta bendera kekuasaan, Muyong Beng tidak berani tidak memberikannya meskipun dengan darah yang mendidih. "Terima kasih, saudara Muyong, sekarang tidak peduli prajurit Hui-liong-kun maupun Ui-ih-kun ada di bawah perintahku dan tidak seorangpun boleh melangkahi wewenangku!" kata Pakkiong Liong tegas. "Hari sudah sore dan kuperintahkan semua pasukan untuk beristirahat." "Apakah tidak perlu merundingkan siasat penyerangan untuk besok pagi?" tanya Tamtai Au-kha. "Aku akan lebih dulu berpikir sendiri di kemahku!” kata Pakkiong Liong sambil melangkah pergi ke kemahnya yang sudah disediakan oleh prajurit-prajuritnya itu. Sementara itu prajurit-prajurit Hui-liong-kunpun segera menempatkan diri pula. Matahari sudah tenggelam dan kini di dataran berumput di kaki bukit hek-ku-nia itu muncul ratusan perapian dari para prajurit yang beristirahat. Meskipun besok mereka akan bahu membahu mengahdapi musuh, tapi kelihat an sekali ada garis pemisah antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan Hui liong-kun, dan mereka berkelompok sendiri-sendiri dalam lingkaran perapiannya masing-masing. Sementara itu, di Hek-ku-nia telah diputuskan bahwa Tong Lam-hou malam itu juga akan diberi kesempatan untuk menemui dan berbicara kepada Pakkiong Liong. "Tapi bukan untuk mengemis minta hidup kepada orang-orang Manchu itu," pesan Siangkoan Hong kepada Tong Wi-hong. "Kami seluruh Hwe-liong-pang tidak gentar kepada siapapun, kami hanya punya satu nyawa dan akan kami lepaskan nyawa kami dengan harga setinggi-tingginya. Tapi sampai matipun kami tidak akan mengemis mohon dihidupi kepada siapapun!" Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara itu Ji Tiat berkata, "Saudara Tong Lam-hou, apabila pihak Manchu kelihatannya akan berbuat curang dalam perundingan denganmu nanti, misalnya hendak menangkapmu secara kekerasan tanpa mempedulikan syarat syarat yang hendak kau ajukan, maka kau boleh bersuit dua kali dan seluruh anggota Hwe-liong-pang siap menerjang ke bawah bukit untuk gugur bersama-sama denganmu." "Terima kasih, saudara Ji." Meskipun Tong Lam-hou menjawab demikian, namun dalam hatinya ia bersumpah biarpun mampus dicincang ia tidak akan bersuit dua kali seperti yang dianjurkan Ji Tiat itu. Ia tidak memiliki setitik keragu-raguanpun akan sifat jantan Pakkiong Liong sahabatnya iti.. Jawabannya kepada Ji Tiat itu hanya akan menenteramkan hati orang-orang Hwe-liong-pang saja. Tetapi Tong Lam-hou tidak ingin orang-orang Hwe-liong-pang menempuh bahaya hanya untuk dirinya seorang. Korban sudah cukup banyak dalam dua hari ini, dan ia tidak ingin menambahnya lagi. Maka dalam keremangan senja, Tong Lam-hou melangkah tegap menuruni lereng Hek-ku-nia untuk menuju ke perkemahan pasukan musuh. Tidak sebatang senjatapun yang dibawanya. Sebun Him menatap langkah-langkah Tong Lam-hou itu dengan senyuman sinis, jumamnya sendirian, "Hemm, berlagak sebagai pahlawan. Tetapi aku yakin tindakan ini tidak akan ada gunanya. Orang Manchu tidak akan bisa bertindak jantan, mereka hanyalah suku liar dari luar Tembok Besar yang tidak kenal peradaban dan sopan santun. Perang adalah bahasa yang paling mereka pahami." Tak seorangpun menggubris gerutuan Sebun Him itu. Sementara itu, dengan langkah-langkah yang lurus dan tidak goyah sedikitpun, mencerminkan pula ketegaran hatinya yang tidak ragu-ragu setitik-pun akan apa yang hendak dilakukannya, Tong Lam-hou menuju keperkemahan. Makin dekat makin jelas terlihat hilir mudiknya prajurit-prajurit yang memanggul tombak atau pedang, dan gelak tertawa dari prajurit-prajurit yang sedang mengelilingi perapian. Tong Lam-hou langsung melangkah ke arah kemah besar yang di bagian atasnya ada bendera hitam dengan lukisan seekor naga berwarna putih yang sedang menginjak segumpal mega berwarna putih pula. Bendera yang sangat dikenalnya sebab Tong Lam-hou pernah menjadi seorang perwira yang bernaung di bawah bendera itu. Melihat bendera itu bergerak-gerak sedikit digoyangkan angin malam, tak terasa Tong Lam-hou tersenyum sendiri karena bertemu dengan seorang "sahabat lama" yang seakan sedang melambaikan salam selamat datang kepadanya. Dan ia berharap sebentar lagi akan bertemu bukan saja dengan sehelai bendera tapi dengan sesosok manusia yang telah menjadi sahabat karibnya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san dulu. "Berhenti!" bentakan itu membuyarkan Tong Lam-hou yang tengah melangkah sambil melamun itu. Beberapa ujung tombak ternyata telah melekat di dada nya dan di pungungnya, beberapa prajurit Ui-ih-kun sudah mengepungnya. Saat itulah baru Tong Lam-hou sadar bahwa ia sedang berada di dekat perkemahan prajurit yang sedang dalam suasana perang. Melihat siapa yang mereka tangkap itu, seorang prajurit Ui-ih-kun yang bermata juling dan pangkatnya perwira rendah, segera tertawa sinis. "Wah, rupanya yang masuk ke dalam jaring kita malam ini adalah seekor kakap besar. Kawan-kawan, inilah orangnya yang bernama Tong Lam-hou dan kabarnya berkepala tiga, bertangan enam dan bernyawa rangkap tujuh!" Sebagian dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu terperanjat ketika tahu siapa yang mereka tangkap itu dan nyali merekapun surut sampai seujung rambut, namun beberapa prajurit justru bangga bahwa dalam tugas ronda mereka telah berhasil menangkap "kakap" dari pihak musuh. "Kita bawa dia menghadap Muyong Ciangkun, tentu kita akan mendapat hadiah besar," kata seorang prajurit yang mukanya penuh jerawat. "Atau kita sembelih dia langsung di sini saja dan kepalanya saja yang kita bawa menghadap Muyong Ciangkun?" Sementara mereka bicara itu, ujung-ujung tombak itupun menekan tubuh Tong Lam-hou semakin keras, sehingga Tong Lam-hou berkata, "Jangan terlalu keras menekan tubuhku, saudara-saudara, kalian bisa melukai aku." Jawab perwira berjerawat itu. “Persetan dengan dirimu. Dalam perang siang tadi kau sudah banyak membunuh teman-teman kami yang tidak menuruti anjuran pengecutmu untuk mengundurkan diri. Sekarang kau kami cincang pun tidak usah mengeluh lagi!" "Benar, cincang sajal" kata prajurit-prajurit lainnya. "Bawa aku menghadap Pakkiong Ciangkun untuk berbicara!" kata Tong Lam-hou. "Setelah itu, apakah aku akan kalian rangket atau kalian cincang, terserah kalian!" "Kenapa harus menghadap Pakkiong Ciangkun? Atasan kami adalah Muyong Ciangkun dan bukan Pakkiong Ciangkun!" "Aku ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan Pakkiong Ciang-kun," Tong Lam-hou menerangkan. "Bohong. Kau pasti sedang memata-matai kami karena kau sekarang sudah berpihak kepada pemberontak, dan karena tertangkap maka kau hendak memakai siasat licikmu untuk minta perlindungan Pakkiong Ciangkun yang bekas atasanmu itu!" "Benar, dia pasti mata-mata yang kata-katanya tidak usah kita percayai. Bahkan kita berhak mencincangnya di tempat ini juga!" Kehabisan kesabarannya karena dianggapnya tingkah prajurit-prajurit ini bisa mengacaukan urusan pentingnya, maka Tong Lam-hou menjawab keras, "Kalian benar-benar tidak tahu diri di hadapanku. Tahukah kalian bahwa jika perundinganku dengan Pakkiong Ciangkun berhasil maka mungkin kalian akan pulang ke rumah dengan selamat? Atau kalian lebih suka mampus di ujung pedang orang-orang Hwe-liong-pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan sebagainya!" "Omong kosong belaka!" teriak perwira berjerawat itu. "Teman-teman, cincang dia! Muyong Ciangkun pasti tidak akan menyalahkan kita!" Waktu itu enam ujung tombak sudah menempel di tubuh Tong Lam-hou, Tiga menempel dada dan tiga menempel punggung, orang yang berilmu silat setangguh apapun tidak akan bisa berkutik lagi. Prajurit-prajurit itu tinggal menekan sedikit tombak mereka dan di tubuh Tong Lam-hou akan muncul enam lubang yang mengantarnya ke neraka. Namun yang terjadi kemudian tidak demikian. Tong Lam-hou tertawa sinis, "Mencincangku? Tahu dirilah sedikit!" Berbareng dengan habisnya kata-kata-itu itu maka keenam prajurit yang menodongnya itu tiba-tiba berlompatan mundur dengan wajah pucat. Bahkan ada dua orang yang langsung saja meringkuk di tanah dan kemudian menggigil kedinginan seperti orang kena demam berat. Perwira berjerawat itu melongo kaget, rasanya sulit dipercaya bahwa Tong Lam-hou yang sudah terkepung ujung-ujung tombak itu masih mampu membebaskan diri, bahkan tanpa menggerakkan ujung jarinya sedikitpun dan tahu-tahu prajuritnya sudah bergelimpangan. Tanpa pikir panjang lagi, perwira berjerawat itu segera berteriak, "Bunyikan tanda bahaya! Panggil bala bantuan dan katakan ada pengacau di sini!" Tapi sebelum tanda bahaya berbunyi dan bala bantuan datang, di tempat itu muncul regu kecil prajurit lainnya, yang tidak berseragam kuning tetapi berseragam hitam-hitam dengan kepala terhias topi bulu berwarna hitam pula, berbeda dengan prajurit Ui-ih-kun yang memakai tudung bambu berhias benang merah. Merekalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Melihat keributan di tempat itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu segera berlari-larian mendekat dengan senjata terhunus. Namun begitu melihat siapa yang terkepung itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu malahan berteriak gembira, "Tong Congpeng, kiranya kau!" "Ada apa yang terjadi di sini?" tanya seorang perwira Hui-liong-kun yang berkumis lebat sehingga seluruh permukaan wajahnya hampir tertutup rambut. Memangnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah merasa penasaran sejak di Pak-khia dulu Tong Lam-hou diadili secara sewenang-wenang oleh hakim-hakim yang merupakan kaki tangan Pakkiong An, maka sekarang mereka gembira dapat bertemu Tong Lam-hou lagi. Prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu malah melongo ketika melihat prajurit-prajurit Hui-liong-kun memberi hormat secara ketentaraan kepada Tong Lam-hou dan sedikitpun tak ada sikap permusuhan. Malahan senjata-senjata yang sudah dihunuspun disarungkan kembali. Perwira Ui-ih-kun yang mukanya jerawatan itu berteriak penasaran, "Apa-apaan ini? Jangan lupa bahwa Tong Lam-hou sudah diputuskan oleh pengadilan sebagai pengkhianat dan dipecat dari ketentaraan, setiap prajurit yang menemuinya wajib berusaha menangkapnya, kenapa kalian malah...." Perwira Hui-liong-kun berkumis lebat itu menyahut, "Hemm, keputusan pengadilan yang semuanya sudah dikendalikan oleh Pakkiong An itu sama sekali tidak mencerminkan keadilan atas diri Tong Congpeng. Bagi kami, Tong Congpeng yang pernah berjuang di medan laga untuk menegakkan kejayaan negeri kita, jauh lebih berharga daripada Pakkiong An yang cuma membangga-banggakan darah bangsawannya namun tidak pernah berbuat apapun kecuali menyebarkan fitnah ke kanan kiri!" Akhirnya malah terjadi ketegangan antara kedua kelompok prajurit yang pada dasarnya memang tidak saling menyenangi itu. Prajurit-prajurit yang berdatangan ke tempat itupun segera berdiri di kelompoknya masing-masing dan saling melotot kepada kelompok lainnya. Tetapi pihak prajurit Ui-ih-kun akhirnya menyadari bahwa menentang prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan bunuh diri. Maka perwira berjerawat itu segera mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu, sambil mengancam prajurit-prajurit Hui-liong-kun, "Anggap saja kalian menang saat ini, tapi jika kelak kalian kembali ke Pak-khia dan melihat disana telah terjadi perubahan susunan pemerintahan, saat itu kalian akan menyesal. Kalian merangkak-rangkak minta maaf kepada kamipun tak ada gunanya." Setelah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu pergi membawa kedongkolan hati mereka, maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun berebutan menyalami Tong Lam-hou dengan sikap akrab seperti terhadap teman lama, dan menanyakan bagaimana keadaan Tong Lam-hou selama ini. Tong Lam-hou hanya tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu, namun kemudian ia menjawab, "Saudara-saudara, sebenarnya aku sangat senang berbicara dengan sahabat-sahabat baik seperti kalian, bahkan sahabat seperjuangan mati hidup ketika kita berada di medan perang Tay tong dulu. Tapi saat ini aku sebagai utusan laskar Hek-ku-nia membawa pesan penting dari pimpinan laskar di atas bukit sana, untuk dirundingkan dengan Pakkiong Ciangkun. Harap kalian suka mengantar aku ke kemah Pakkiong Ciangkun supaya tidak mendapat kesulitan lagi." Mendengar itu, para prajurit Hui-liong-kun itu bagaikan diguyur air dingin kepala mereka, sebab mereka seolah diperingatkan secara halus bahwa sekarang ini Tong Lam-hou ada di pihak Hwe-liong-pang, artinya di pihak yang berseberangan dengan mereka. Kalau besok pertempuran dimulai, bukankah mereka akan berhadapan dengan Tong Lam-hou sebagai lawan? "Marilah kuantarkan ke kemah Pakkiong Ciangkun, Tong Congpeng," kata perwira berberewok lebat itu. Meskipun Tong Lam-hou bukan prajurit Hui-liong-kun lagi, namun kebiasaan untuk menyebut "Tong Congpeng" belum berubah juga. Waktu itu Pakkiong Liong sedang duduk merenung sendiri di dalam kemahnya. Temannya hanyalah arak. Selamanya ia belum pernah menolak perintah untuk maju ke peperangan, dan setiap tugas dipikulnya dengan penuh tanggung jawab dan semangat menyala, tapi kali ini ia maju perang dengan setengah hati. Ia benar-benar tidak rela dirinya dijadikan seperti bidak catur yang digerakkan ke medan perang oleh tangan Pakkiong An meskipun lewat Peng-po Siangsi, pikirannya justru menguatirkan keadaan di Ibukota di mana pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar Khong-hi disingkir-singkirkan ke tempat jauh dan digantikan dengan pasukan pasukan yang sudah dipengaruhi oleh Pakkiong An. Tapi Pakkiong Liong benar benar tidak dapat menolak perintah ke medan perang, sebab surat perintah Peng-po Siangsi itu diberi cap Peng-po Ceng-tong yang syah dan menentangnya berarti menentang perintah. Dan di Hek-ku-nia ini, Pakkiong Liong sedih bahwa dirinya tidak lebih dari seekor jangkrik aduan, diadu melawan orang-orang Hwe-liong-pang yang merupakan pendekar-pendekar sejati pembela rakyat. Dan barangkali di peperangan besok pagi ia akan berhadapan pula dengan sahabatnya yang sangat dicintainya Tong Lam-hou. Tegakah Tong Lam-hou besok menikamkan pedang ke jantungnya? Tegakah ia besok menyabetkan pedang ke leher Tong Lam-hou demi tugas yang dipikulnya? Semuanya adalah bayangan yang menakutkan. Selama Ini antara dirinya dan Tong Lam-hou selalu bersama-sama, kenapa keadaan' bisa berbalik. seperti ini? Baru saja ia memikirkan Tong Lam-hou, seorang prajurit telah masuk ke kemahnya, berlutut dan melapor, "Ciangkun. Tong Congpeng mohon menghadap." "Suruh dia masuk," sahut Pakkiong Liong acuh tak acuh sambil menenggak araknya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget seperti disengat kalajengking, prajurit yang sudah hampir keluar itu-pun diteriakinya, "He, siapa yang hendak menghadap tadi?!” "Tong Congpeng," sahut prajurit itu. "Tong Congpeng siapa?" "Tong Congpeng Tong Lam-hou..." Begitu bibir prajurit itu terkatup, Pakkiong Liong sudah melompat ke pintu kemah dan hampir saja bertabrakan dengan Tong Lam-hou yang telah melangkah masuk.... |
Selanjutnya;
|