Pendekar Naga dan Harimau Jilid 45 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
TITIK balik dari pertempuran itu-pun tiba, kalau sejak pertempuran dimulai tadi pasukan Ui-ih-kun terus mendesak dengan mengandalkan jumlah yang banyak, maka semakin siang jumlah kedua pasukan semakin berimbang, sebab setiap orang Hwe-liong-pang yang gugur tentu "mengajak" dua atau tiga orang lawannya untuk gugur pula.

Ketangguhan anggota-anggota Hwe-liong-pang itu bukan saja membuat giris lawannya, tapi juga mengobarkan semangat teman-teman dari Kay-pang dan sebagainya. Lagipula jumlah orang berilmu di pihak laskar Hek-ku-nia lebih banyak, sedang di dalam Ui-ih-kun yang berilmu hanyalah para perwira, itupun tidak ada yang lebih tinggi dari Muyong Beng. Dengan demikian susutnya jumlah prajurit-prajurit Ui-ih-kun lebih cepat dari berkurangnya lawan-lawan mereka.

Dalam hal daya tahan tubuh, prajurit-prajurit Ui-ih-kun juga kalah, meskipun mereka latihan dua hari sekali tapi latihan-latihan mereka itu hanya lebih berat sedikit 'dari gerak badan. Sedangkan orang-orang Hwe liong-pang melakukannya setiap hari, pagi dan sore. Kalau pagi, lereng-lereng Tiau-im-hong yang terjal dan berliku-liku itu merupakan "sarapan pagi" mereka untuk menguatkan otot kaki, memanjangkah napas dan melatih ketahanan tubuh secara luar biasa. Kalau sore, mereka berlatih silat menurut alirannya masing-masing.

Ketika matahari mencapai puncaknya dan mulai bergeser ke barat, maka laskar di Hek-ku-nia itu sedikit demi sedikit balik mendesak Ui-ih-kun yang sudah setengah hati itu. yang bertempur sungguh-sungguh hanyalah prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang letaknya dekat perwira-perwira mereka karena takut dituduh tidak sungguh-sungguh.

Tapi secara keseluruhan memang pasukan Ui-ih-kun sedikit demi sedikit digiring' kembali ke kaki bukit. Sorakan-sorakan bersemangat dari orang-orang Hwe-l-iong-pang terdengar di mana-mana, membuat semangat kian berkobar, sebaliknya semangat musuh kian merosot.

Alangkah geramnya Muyong Beng melihat semuanya itu. Ingin rasanya ia menerjunkan diri ke tengah-tengah orang-orang Hwe-liong-pang itu dan membunuhi mereka semua. Namun sambaran-sambaran senjata Hong-pian-jan di depan hidungnya seolah menyadarkannya bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja belum berhasil dilewatinya.

Bahkan nasibnyapun sama dengan nasib prajurit-prajuritnya, yaitu terdesak mundur terus-menrus. Ilmu tombaknya sebetulnya cukup lihai, namun ia adalah seorang panglima yang gemar mengumbar nafsu terhadap wanita, bahkan malam menjelang pertempuran kemarinpun ia masih tidur dengan seorang perempuan penghibur yang didatangkan kekemahnya dari kota terdekat.

Sebaliknya Bu-gong Hweshio lebih ketat dalam menjaga kesucian dirinya, ia seorang pendeta yang tidak pantang minum Arak dan daging, namun menjaga batas terhadap perempuan, sehingga tenaga dalamnyapun terpupuk kuat. Karena itulah seorang panglima pemogoran macam Muyong Beng semakin lama merasa semakin berat menahan hantaman senjatanya.

Akhirnya barisan Ui-ih-kun itu tidak dapat dipertahankan keutuhannya. Di beberapa bagian mereka sudah kocar-kacir dan mundur ke pinggang bukit, di beberapa bagian lainnya masih cukup rapi barisannya namun juga sudah terdesak mundur. Muyong Beng melihat bahwa pasukannya hari itu bertempur lebih buruk dari hari kemarin, sebaliknya musuh berkelahi seperti kesetanan.

Muyong Beng akhirnya memutuskan bahwa pasukannya harus ditarik mundur, sebelumnya ia sudah mendengar bagaimana To Hok-leng mati, meskipun rasa-rasanya sulit dipercaya bahwa orang selihai itu dapat terbunuh di peperangan oleh seorang anak muda yang baru saja turun dari perguruannya. Lalu muncul pula berita tentang munculnya Tong Lam-hou di berbagai arah, berpihak kepada Hwe-liong-pang.

Dan semua berita itu sudah tentu tidak menyenangkan Muyong Beng. la juga sadar bahwa ada pendekar pendekar dunia persilatan yang ilmu tenaga dalamnya begitu tinggi sehingga sanggup berkelahi tiga hari tiga malam tanpa mengaso, sedang prajurit-juritnya sendiri terang tidak mampu berbuat demikian.

Dengan seribu satu macam pertimbangan, akhirnya Muyong Beng memerintahkan pasukannya untuk mundur. Maka seperti air yang sedang surut di tepi laut, pasukan berbaju kuning itupun segera mundur teratur, untungnya tidak sampai tercerai berai. Namun dalam pertempuran hari itu jelaslah kekalahan ada di pihak Ui-ih-kun, dan Hwe-liong-pang telah menebus kekalahan kemarin hari.

Sorak-sorai orang-orang Hwe-liong-pang dari atas bukit terasa menyakitkan hati prajurit-prajurit Ui-ih-kun, namun apa boleh buat, mereka memang harus mundur kalau tidak ingin terjebak hancur di puncak bukit itu. Dalam perkelahian di tanah datar kemarin, Ui-ih-kun lebih unggul sebab mereka selain berjumlah banyak juga lebih mahir dalam membentuk barisan-perang yang sering membinungkan musuh.

Tapi dalam pertempuran di atas bukit yang tempatnya tidak datar dan di tengah-tengah barak Hek-ku-nia yang banyak lika-likunya itu, barisan perang tidak bisa diatur dan pertempuran lebih mengandalkan kepada ketrampilan perorangan atau ketinggian ilmu silat masing-masing. Dalam bidang itu, jelaslah di pihak Ui-ih-kun tidak ada orang orang yang setangguh Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin atau pendekar-pendekar lainnya, bahkan To Hok-leng yang dianggap paling tangguhpun telah mampus di tangan Sebun Him. Di sinilah letaknya sumber kekalahan Ui-ih-kun.

Melihat pasukan itu mundur, Tong Wi-hong sebagai pimpinan di Hek-ku-nia mencegah seluruh laskar untuk mencegahnya. Ia tahu bahwa jika orang-orangnya mengejarnya sampai ke dataran berumput di bawah bukit itu maka mungkin sekali pasukan musuh akan berbalik menggencet dan mengurung mereka.

Demikian perang berakhir pada hari kedua itu, tidak sampai sore hari tetapi baru tengah hari lewat sedikit. Orang-orang Hwe-liong-pang dan lain-lainnya boleh bangga kehilangan banyak teman-teman mereka dan juga tokoh-tokoh berbagai pihak yang membantu Hwe-liong-pang. Si tokoh cemerlang dari Hoa-san-pay, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng bersama-sama dengan tiga orang yang tadi melompat keluar pintu gerbang, yaitu Bu-sian Hweshio, Bu-teng Hweshio dan Lam-ki Tongcu In Yong, telah gugur semua dengan luka-luka hampir di seluruh tubuh mereka.

Namun di sekitar keempat mayat pendekar itu bergelimpangan pula ratusan mayat prajurit-prajurit musuh. Kematian mereka telah "mengajak" sekian banyak musuh untuk gugur bersama. Selain kematian-kematian yang menyedihkan itu, sebagian besar barak itu ternyata telah menjadi abu, sehingga malam nanti mereka akan tidur di udara terbuka. Juga pintu gerbang sudah rusak, dan beberapa bagian dari dinding barak.

Semuanya menerima kepahitan itu dengan sikap yang tidak berlebih-lebihan, tidak ada jerit tangis melolong-lolong seperti perempuan, yang ada hanyalah tekad untuk meneruskan perlawanan meskipun mereka bakal menyusul rekan-rekan mereka itu ke akherat.

Di tengah-tengah kehancuran, di mana bau darah dan api tercium tajam. Tong Lam-hou berdiri termangu-mangu dengan hati yang tersayat-sayat. Hatinya sama pedihnya melihat mayat prajurit kerajaan maupun mayat lawan-lawan mereka. Ia tahu prajurit-prajurit hanya menjalankan perintah Pakkiong An yang gila kekuasaan, sementara orang-orang di Hek-ku-nia hanyalah dipaksa untuk mempertahankan diri.

Kehancuran yang di depan mata itu mengingatkannya kepada sebuah desa kecil yang manis di kaki pegunungan Tiam-jong-san di Hunlam sana, desa Jit-si-ong-tin, yang hancur lebur tanpa sisa oleh kebiadaban perang. Dan ia tahu masih banyak desa-desa yang mengalami nasib yang sama selama perang belum dihentikan, selama orang Manchu dan orang Han masih merasa sama-sama lebih unggul satu sama lain sehingga mere-kapun tidak segan-segan menghunus senjata masing-masing untuk membuktikan keungulannya.

Lamunan Tong Lam-hou berhenti ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendekatinya, dan suara yang dingin menusuk hati, "Seperti inikah persaudaraan antara Han dan Manchu seperti yang selalu kau teriak-teriak-kan?"

Tanpa menolehpun Tong Lam-hou sudah bisa menebak siapa yang bersuara itu, namun ia menoleh juga, dan dilihatnya Sebun Him dengan pedang yang belum kering dan darah juga tengah menatap ke arahnya. Sesaat kedua anakmuda itu bertatapan dengan tajamnya, sampai Sebun Him mengalihkan pandangannya ke tanah.

Sementara Tong Lam-hou berkata, "Saudara Sebun, peristiwa di bukit ini jangan dijadikan alasan untuk tidak bisa berdamai lagi dengan orang Manchu. Kita harus melihat segala persoalan setepat-tepatnya menurut keadaan sebenarnya, bukan sekedar menyama-ratakan saja. Ketika kita..."

"Tidak usah menciptakan banyak alasan untuk mengelabuhi kami," potong Sebun Him. "Gagasanmu tentang perdamaian antara Han an Manchu itu hanyalah akal licik orang Manchu yang hendak melestarikan kekuasaaan mereka atas negeri ini. Kau juga tidak lebih dari alat mereka, anjing penjilat pantat Kaisar mereka, dan karena itu kau tidak berharga untuk berada di sini. Kami jijik melihatmu!"

Dengan kepribadiannya yang kokoh, Tong Lam-hou tidak gampang terseret gejolak perasaannya, namun bagaimanapun juga dia adalah seorang anakmuda yang darahnya sama panasnya dengan darah Sebun Him. Cercaan Sebun Him yang semena-mena itu telah membuat kupingnya menjadi merah juga. Tapi sekuat tenaga ia masih berusaha menghindari perkelahian karena hal itu semakin menimbulkan kesalah-pahama; buat dirinya. Sahutnya,

"Barangkali aku keliru, saudara Sebun, tetapi menurut pengalamanku maka kesalah-pahaman yang bagaimanapun bisa dibuat lurus kembali asalkan kedua pihak mau berbicara secara baik-baik dan beritikad baik."

"Siapa sudi bicara dengan orang Manchu atau anjing-anjing peliharaan semacammu?" teriak Sebun Him sambil mengangkat pedangnya. "Tong Lam-hou, angkat pedangmu dan kita tentukan siapa yang lebih hebat antara si Harimau Selatan atau si Beruang Barat!"

"Kalau hanya itu yang kau inginkan, saudara Sebun, kenapa tidak bicara langsung dari tadi saja? Kita tidak usah berkelahi, gelar pendekar nomor satu itu biarlah kau sandang saja. Anggap saja Lam-hou seorang pengecut yang dikalahkan oleh Sebun him tanpa pertempuran!"

Waktu itu, pertengkaran kedua anakmuda itu telah membuat laskar Hek-ku-nia berkerumun membentuk sebuah lingkaran besar. Dan orang-orang itu dengan bingung melihat bagaimana Sebun Him nampaknya sangat getol untuk berkelahi, padahal bukankah Tong Lam-hou juga sudah ikut berjasa untuk mengundurkan pasukan Ui-ih-kun? Meskipun cara mengundurkannya itu tidak selalu dengan pedangnya melainkan juga dengan bujukan-bujukannya.

Tetapi beberapa orang yang sudah mengenal watak Sebun Him, tahu bahwa kegetolan Sebun Him itu bukan karena "demi perjuangan bangsa Han" melainkan semata-mata hanyalah karena takut tersaingi dan sekaligus ingin mengangkat nama. Semangat tempur Sebun Him sedang menyala-nyala sehebat-hebatnya sebab hari itu ia berhasil menjadi pahlawan dengan membunuh To Hok-leng si gembong golongan hitam, dan Sebun Him berharap namanya akan lebih harum lagi kalau berhasil membunuh Tong Lam-hou yang terkenal dengan alasan "membunuh si anjing Manchu".

Ditonton banyak orang, Sebun Him jadi semakin bersemangat. Bahkan ia berteriak sekelilingnya untuk menarik dukungan orang-orang, "Saudara-saudara, pantas atau tidak kalau anjing Manchu ini aku hajar agar dia menqaku sisasat busuk apa yang sedang dijalankannya terhadap gerakan kita?"

Beberapa orang yang tidak tahu menahu persoalannya, segera saja menjawab "setuju!" atau "hajar anjing Manchu" dan sebagainya. Tetapi sebagian masih bungkam karena ragu-ragu, mana yang benar? Sebun Him atau Tong Lam-hou?

Sementara Sebun Him nampak puas. Katanya keras, "Pedangku ini memang selalu haus akan darah pengkhianat tanah air. Siang ini ia baru saja menghisap darah Im-kan-hong-kui To Hok-leng, namun agaknya pedang ini belum puas dan masih ingin menghisap darah seorang anjing Manchu lainnya!"

Waktu itu kesabaran Tong Lam-hou sudah habis melihat kecongkakan Sebun Him, katanya dengan suara bergetar karena marah, "Kau cuma bisa membuka mulutmu lebar-lebar, Sebun Him. Tapi kau tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapku sebab kau terlalu kerdil untukku!"

Meledaklah kemarahan Sebun Him. Tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera menyabet mendatar ke arah leher Tong Lam-hou. Tapi yang diserang sempat menunduk rendah dengan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) dan membalas dengan Wan-kiong-sia-tau (Mementang Busur Mengincar Rajawali) ke pundak Sebun Him. Cepat Sebun Him memutar pedangnya untuk menangkis.

Maka kedua anak muda yang sudah sama-sama mendidih darahnya itupun berkelahi dengan sengitnya. Gerak pedang mereka mula-mula masih kelihatan, tapi semakin lama semakin cepat dan semakin cepat terus, sampai akhirnya kedua pedang itu cuma berwujud dua gumpal cahaya keperak-perakan yang berpusing dengan dahsyatnya, sementara berpuluh-puluh kali bunga api memancar keudara apabila kedua pedang berbenturan. Bahkan lama kelamaan gulungan pedang itupun menyatu seperti prahara yangb bertubrukan, menimbulkan penglihatan yang menyeramkan.

Sebun Him yang berharap mengalahkan Tong Lam-hou untuk mendapat nama besar itu, kini terpaksa menelan ludahnya karena terbentur kenyataan yang tak terduga. Nama besar Si Harimau Selatan bukan nama kosong belaka, bahkan setelah Sebun Him mengerahkan Kun-goan-sin-kangnya sampai ke taraf tertinggi, ia tetap tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou. Jngan lagi mengalahkan, sedang mengimbanginyapun tidak bisa.

Setelah berlangsung seratus jurus lebih, Sebun Him sudah melangkah mundur sampai ke pinggir arena, bagamanapun usahanya tapi ia tidak bisa melepaskan diri dari kurungan dan tekanan Tong Lam-hou. Pedang Tong Lam-hou berdesing semakin dekat ke tubuhnya, sementara iapun dengan tegar meladeni setiap kali Sebun Him mengajak adu kekuatan dengan membenturkan pedang sekuat-kuatnya. Dan setiap kali pula Sebun Him merasa tangannya tergetar seolah membacok dinding baja yang tak bergeming, makin keras bacokannya akan makin sakit tangannya sendiri.

Tong Lam-hou yang bertubuh lebih kecil daripadanya itu ternyata bukan saja bisa mengimbangi tenaganya, bahkan melebihinya. Sedang dalam hal kecepatan, jangan harap Sebun Him menandingi kecepatan ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang tidak mengutamakan keindahan gerak tapi hanyalah kecepatan dan ketepatan itu. Alangkah marah dan malunya Sebun Him menghadapi kenyataan itu, alih-alih ingin mengakat nama, malahan yang sudah diperolehnya bakalan hancur pada hari itu.

Dalam keadaan terjepit itu, Sebun Him mendengar suara mengejek Tong Lam-hou, "Sekarang kau percaya, saudara Sebun? Bahwa kau sama sekali tidak berarti?"

Sebun Him menggertakkan giginya, tapi tidak sempat menjawab sebab ujung pedang Tong Lam-hou bagaikan beribu-ribu banyaknya seperti serombongan tawon yang mengitari tubuhnya dan siap menyengat begitu ia lengah sedikit saja, menyusul pahanya dan kemudian punggungnya pula.

"Pertahanan yang jelek!" ejek Tong lam-hou pula. "Sekarang hati-hatilah dengan pedangmu, aku akan mengambilnya!“

Sebun Him menggenggam erat-erat pedangnya sambil berteriak, "Anjing Manchu, kau bisa mengambil pedangku hanya jika bersama dengan nyawaku!"

Tong Lam-hou tertawa dingin, "Tidak, aku cuma butuh pedangmu dan bukan nyawamu!" Lalu ujung pedang Tong Lam-hou selincah seekor lalat di musim panas, berhasil menyusup pertahanan Sebun Him dan menusuk pelan ke jalan darah ceng-ling-hiat di balik siku kiri lengan Sebun Him.

Di sini nampak kelihaian Tong Lam-hou dalam mengatur tenaganya, ujung pedangnya yang tajam itu melukai kulit namun hanya menekan dengan tenaga yang pas untuk membuat lengan Sebun Him kesemutan dan pegangannya atas pedangnya jadi mengendor. Lalu kaki kiri Tong Lam-hou secepat kilat naik menendang dengan gerakan yang disebut Pay-lian-ka (Tendangan Teratai Bergoyang). Tepat mengenai pergelangan tangan kiri Sebun Him sehingga pedangnyapun lepas.

Sebun Him menyeringai salah tingkah sambil memegangi siku tangan kirinya yang kesemutan. Ditatapnya Tong Lam-hou penuh dendam, namun juga heran dan gentar. Sulit dipercaya orang bisa selihai itu dalam permainan pedang. Saat itulah di dalam hati Sebun Him terngiang kembali petunjuk gurunya, Auyang Seng, bahwa ilmu pedang tidak bisa dimainkan melulu dengan kekuatan, jasmani, tapi juga dengan mencurahkan segenap perasaan dan pikiran.

Ilmu pedang yang hanya menggunakan tenaga memang berguna menghadapi orang yang berkelahi seperti kerbau gila mirip To Hok-leng tadi, namun tidak ada gunanya berhadapan dengan "ahli pedang murni" seperti Tong Lam-hou. Baru kini Sebun Him menyadari hai itu. Namun sungguh menyakitkan hati bahwa kekalahannya yang begitu telak disaksikan begitu banyak orang, sehingga akan pudarlah kecemerlangan yang selama ini dirintisnya dengan kemenangan demi kemenangan.

Bagaimana kalau Ting Hun-giok mendengar hal ini, atau bahkan ia melihat sendiri dari antara kerumunan penonton yang melingkari tempat itu? Bukankah gadis itu akan semakin mengejeknya dan kemudian semakin membangga-banggakan kakak-misannya yang berjuluk Lam-hou itu?

Sebun Him menatap wajah-wajah yang berkeliling di tempat itu, dan ia agak lega melihat Ting Hun-giok tidak berada di situ. Tiba-tiba ia melompat meraih pedangnya yang tergeletak di tanah itu, lalu berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di tempat itu, "Terhadap anjing Manchu semacam ini, tidak perlu kita pakai banyak peraturan untuk membinasakannya. Saudara-saudara, hayo kita cincang dia bersama-sama untuk membalaskan kematian The Ciangkun, Sun Tiang-lo, Kwa Tongcu, Auyang Susiok dan sebagainya!"

Sengaja Sebun Him menyebut sederetan nama-nama tokoh-tokoh laskar yang telah gugur untuk membakar hati orang-orang yang berkerumun di tenpat itu. Dan usahanya itupun agak berhasil juga, belasan orang telah mencabut senjata mereka dan dengan pandangan mata beringas tak takut mati, mereka mulai memasuki arena.

Tapi orang-orang Hwe-liong-pang tetap tidak bergerak dari tempatnya masing-masing. Mereka terikat dalam tata tertib yang tinggi, dan mereka juga tahu bahwa Tong Lam-hou justru telah berbuat banyak untuk pihak mereka, bukankah menurut surat Tong Wi-hong dari Pak-khia dulu disebutkan, "Tong Lam-hou hendak dihukum mati karena menolak perintah Kaisar untuk membasmi Hwe-liong-pang"? Namun orang orang Hwe-liong-pang itupun kebingungan harus, mengambil sikap bagaimana sebab Sebun Him juga seorang jago dari pihak mereka?

"Saudara-saudara Hwe-liong-pang," teriak Sebun Him ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang masih belum bergerak. "Jangan hiraukan bahwa Tong Lam hou adalah anak dari mendiang Ketua kalian, atau keponakan dari Tong Tayhiap. Siapapun yang memihak bangsa Manchu harus kita tumpas habis tanpa pandang bulul Hayo cabut senjata kalian. Hari kemarin kalian kehilangan Ui-ki Tongcu Kwa Heng dan hari ini kalian kehilangan Lam-ki Tongcu In Yong yang terbunuh di ujung senjata orang Manchu, kenapa kalian masih ragu-ragu?"

Tong Lam-hou tidak bisa membiarkan kesalah-pahaman itu berlarut-larut sehingga ia harus bertentangan dengan orang-orang itu. Ia hendak membantah, tapi Sebun Him telah mendahului berteriak, "Siapa yang bernyali laki-laki, ikuti aku untuk membinasakan anjing Manchu ini! Siapa yang banci, tidak usah berbuat apa-apa, cukup menonton saja!"

Maka berlompatanlah orang-orang itu dengan didahului oleh Sebun Him. Namun sebelum mereka mendekati tubuh Tong Lam-hou, masih kurang beberapa langkah dari tubuh Tong Lam-hou merekapun berlompatanlah mundur kembali dengan wajah terkejut, bahkan Sebun Him yang memiliki tenaga dalam Kun-goan-sah-kang itupun ikut-ikutan melompat mundur dengan muka pucat membiru dan tubuh agak menggigil. Dengan menarik napas bebeapa kali sambil mengerahkan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya, barulah ia berhasil mengusir hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya tadi. Namun wajahnya jelas menunjukkan tasa kejutnya.

Terdengar Tong Lam-hou berkata dengan nada berat, "Aku tidak ingin bertempur dengan kalian, sebab aku ingin berdamai dengan siapa saja dan mendamaikan siapa saja. Tapi jika kalian memaksaku untuk bertindak, jangan menyesal...!”

Sebun Him tidak membiarkan kawan-kawannya terpengaruh oleh sikap yang angker dari Tong Lam-hou itu, teriaknya, "Maju, teman-teman!"

Lalu Sebun Him sendiri dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi kulitnya, telah menyerang Tong Lam-hou. Tapi toh masih terasa hawa dingin yang menyusup ke pori-pori kulitnya membuat gerakannya jadi agak kaku karena pembuluh darahnya yang terpengaruh hawa dingin itu membuat darah mengalir tidak lancar. Namun dengan keras kepala Sebun Him terus menerjang membabi buta.

Sedang yang lain-lainya yang tidak memiliki tenaga dalam sehebat. Sebun him terpaksa jadi penonton saja. Mereka tidak mampu mendekati tubuh Tong Lam-hou kurang dari jarak lima langkah. Dengan begitu perkelahian satu lawan satu terulang untuk kedua kalinya. Kali ini Sebun Him merasa lebih berat dari pertempuran yang tadi, karena sekarang Tong Lam-hou sudah menggunakan Han-im-ciangnya. Seluruh otot-ototnya terasa kaku karena hawa dingin, bagaimanapun ia mengerahkan tenaga.

Tidak sampai duapuluh lima jurus, ia sudah terdesak lebih hebat dari tadi. Pada jurus ke tigapuluh kembali pedangnya terpental dari tangannya, sementara tubuhnyapun terpental roboh karena sebuah tendangan keras dari Tong Lam-hou mengenai perutnya.

Saat itulah tiba-tiba kerumunan itu tersibak, lalu Tong Wi-hong muncul di tempat itu diiringi beberapa tokoh-tokoh pendekar seperti Siang-koan Hong dan Lim Hong-pin, para Tong-cu serta Bu-gong Hweshio yang semuanya berwajah murung itu. Tong Wi-hong sendiri dengan wajah yang menampakkan ketidak senangannya telah berkata kepada Tong Lam-hou, "Kau tahu bahwa kita dalam keadaan prihatin dan berkabung, kau malah muncul untuk membuat keributan ini?"

Diam-diam ada beberapa orang menjadi penasaran, sebab mereka tahu Sebun Him lah yang lebih dulu membuat gara-gara, kenapa sekarang Tong Lam-hou yang disalahkan? Kemudian setelah menegur Tong Lam-hou, maka Tong Wi-hong menoleh kepada Sebun Him sambil bertanya, "Sebun Him (keponakan Sebun yang baik), ada apa sebenarnya?"

Tanpa ragu-ragu Sebun Him menjawab, "Saudara Tong ini tadi pagi masih belum ada di sini, tapi siang ini tiba-tiba muncul dengan kelakuan yang mencurigakan. Aku hendak menanyainya secara baik, namun agaknya dia punya maksud yang kurang baik sehingga pertanyaanku itu membuatnya marah dan aku diserangnya sehingga terpaksa harus membela diri."

Tong Lam-hou terkejut mendengar jawaban Sebun Him yang berbalik secara tidak tahu malu itu. Tadinya ia masih menganggap Sebun Him hanya seorang anak muda yang seperti umumnya gila kemenangan dan mungkin sedikit sombong. Namun setelah mendengar itu, tong Lam-hou tahu bahwa Sebun Him seorang yang berjiwa sempit dan berwatak rendah.

Dengan agak cemas, Tong Lam-hou menatap ke arah wajah-wajah di sekelilingnya, mencoba menjajagi bagaimana tanggapan mereka terhadap u-capan Sebun Him itu. Dan ia lega bercampur heran ketika melihat wajah orang-orang itu kebanyakan malah menampilkan rasa muak atau sinis terhadap Sebun Him. Yang Tong Lam-hou herankan, kenapa ada begitu banyak orang yang tidak senang kepada Sebun Him, terutama orang-orang Hwe-liong-pang.

Kata Tong Lam-hou, "Paman, aku tidak ingin membantah apa yang saudara Sebun katakan itu, sebab kalian lebih dekat kepadanya sehingga condong berpihak kepadanya, itu wajar dan aku tidak marah. Aku hanya minta beberapa saksi yang sanggup disumpah di depan Sang Buddha untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Kalian semua boleh berpegang sepenuhnya kepada kesaksian orang itu untuk melepaskan aku atau mencincang aku, aku pasrah."

Di kalangan orang-orang Hek-ku-nia itu memangnya sudah banyak yang meragukan kejujuran Sebun Him, sehingga tidak semua kata-katanya ditelan begitu saja. Sebaliknya sikapi Tong Lam-hou begitu mantap, meyakinkan dan tidak takut menghadapi apapun juga, malah menimbulkan kesan baik, meskipun Tong Lam-hou adalah "orang baru" di lingkungan mereka. Apalagi yang sudah mendengar riwayat Tong Lam-hou, asal-usulnya dan bagaimana ia sampai dipecat dari ketentaraan Kerajaan Manchu.

Yang serba salah adalah Tong Wi-hong yang harus "menghakimi" kedua orang itu. Di satu pihak ia sudah paham betul akan watak keponakannya yang meskipun keras tetapi tidak akan menyerang orang dengan alasan yang sepele-sepele saja, sehingga iapun yakin Tong Lam-hou tidak seperti yang dituduhkan oleh Sebun Him. Sebaliknya Tong Wi-hong juga tidak bisa menyalahkan Sebun Him begitu saja, sebab anak muda berjiwa sempit itu akan tersinggung dan mungkin meninggalkan laskar, padahal tenaganya masih sangat dibutuhkan dalam laskar yang sudah babak belur itu.

Maka Tong Wi-hong lalu menggunakan jalan tangah saja yang tidak menyinggung kedua belah pihak, "Sudahlah, kalian anak-anak muda yang berdarah panas, wajar saja kalau begitu gampang menghunus pedang dan kemudian bertempur satu sama lain. Tapi untuk selanjutnya kendalikanlah diri kalian, sebab bagaimanapun juga kalian berada dalam satu barisan sekarang, kalian harus bersatu hati. Tong Lam-hou, saudara Sebun itu sudah berjasa banyak dalam perjuangan ini, bahkan seorang pentolan musuh-bernama To Hok-leng sudah dibunuhnya. Karena itu tentunya dia tidak bermaksud jahat kepadamu tadi..."

Akal yang digunakan Tong Wi-hong untuk menonjolkan jasa Sebun Him itu bertujuan untuk melunakkan hati anak muda Hoa-san-pay itu, dan memang merupakan akal yang tepat. Sebun Him segera mengangkat wajahnya dan membusungkan dada, sinar kemarahan di wajahnya berangsur hilang dan digantikan dengan sinar kebanggaan. Beberapa orang ingin muntah rasanya melihat sikap itu, namun ditahankannya supaya tidak mengacau saling pengertian yang sedang ditimbulkan oleh Tong Wi-hong.

Lalu Tong Wi-hong berkata lagi, "Saudara Sebun, Tong Lam-hou itu jasanya tidak sebesar jasamu, tapi sedikit banyak punya andil dalam mengundurkan pasukan musuh tadi, maka sudah sepantasnya kalau kita terima dia di tengah-tengah kita."

Sebun Him mendengus, "Menerima seorang musuh dalam selimut di tubuh laskar kita adalah hal yang berbahaya. Tapi aku tahu ucapanku ini tidak akan digubris oleh kalian, karena itu apabila kelak kalian menyadarinyapun mungkin sudah terlambat."

Kemudian Sebun Him memungut pedangnya yang dijatuhkan Tong Lam-hou sampai kedua kalinya itu, menyarungkannya dan kemudian melangkah pergi dari tempat itu dengan sikap congkak. Sampai para pendekar tua seperti Tong Wi-hong dan sebagainya juga tidak diberi anggukan kepala sedikitpun. Beberapa orang geleng-geleng kepala melihat sikap Sebun Him itu, namun tak berkomentar sedikitpun.

Sementara itu Tong Lam-hou dengan tenang menyarungkan pedangnya kembali, lalu dengan ramah memberi hormat kepada pamannya, bibinya dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Ia menyatakan penyesalannya bahwa ia datang terlambat, sehingga meskipun pasukan musuh berhasil dipukul mundur tetapi sudah terlanjur jatuh korban sebanyak itu.

Tengah mereka bercakap-cakap sementara hari menjadi semakin sore, tiba-tiba seorang anak buah Hwe-liong-pang yang ditugasi mengawasi gerak-gerik musuh di kaki, bukit, telah datang bergegas-gegas dengan wajah yang tegang. Teriaknya, "Tong Tayhiap! Tong Tayhiap!"

"Ada apa?"

"Pasukan musuh mendapat bala bantuan!"

Berita itu tentu saja menggemparkan sekalian orang. Biarpun hari itu pihak Hek-ku-nia berhasil memukul mundur pasukan Ui-ih-kun, namun dengan pengorbanan yang cukup besar. Bukan saja kehilangan beberapa tokoh, tapi jumlah laskar yang kemarin tiga ribu orang itu menyusut tajam sampai tinggal seribu orang lebih yang masih sanggup bertempur.

Lainnya kalau tidak gugur ya luka-luka berat. Ibarat manusia, bisa dikatakan babak belur, dan kini mendengar tambahan kekuatan bagi musuh, tentu saja hal ini ibarat mendengar lonceng kematian mereka. Jika besok pagi musuh meluruk lagi ke atas bukit, mereka hanya bisa bertahan sampai titik darah terakhir tapi tidak mungkin menang.

Tong lam-hou lalu bertanya kepada pengawas itu, "Berapa besar jumlah musuh, dan bagaimana pakaian atau bendera meraka?"

Sahut si pengawas, "Aku mencoba menghitung jumlah kemah dan biasanya satu kemah berisi tiga orang, maka kira-kira ada tujuh ribu limaratus orang yang datang. Seragam mereka bukan kuning seperti yang menyerang kita kemarin dan hari ini, tetapi hitam-hitam dengan topi hitam pula berhias benang merah. Lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang..."

Hampir bersamaan beberapa mulut menggumamkan nama yang menggetarkan sukma, "Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang)!"

Beberapa orang bertukar pandangan dengan wajah yang agak memucat. Mereka sudah mendengar betapa hebatnya pasukan terkenal itu, yang daya gempurnya jauh lebih hebat dari Ui-ih-kun-nya Muyong Beng. Sampai ada yang mengatakan, yang bisa menghentikan majunya prajurit-prajurit Hui-liong-kun hanya dua hal: perintah Panglimanya dan Kematian. Istilah "mundur" karena terdesak atau takut, tidak mereka kenal.

Tong Wi-hong tidak membiarkan laskarnya menjadi kalah semangat, "Mereka masih segar dan berjumlah banyak, dan kita tahu pasti bahwa mereka akan menang. Tetapi kita akan menjual kemenangan kepada mereka itu dengan harga yang semahal-mahalnya!"

Semuanya paham ucapan itu, artinya mereka akan bertempur mati-matian sampai orang terakhir. Maka dengan dipelopori orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus senjata-senjata mereka dan mengangkat ke langit, segenap laskar itupun mengikuti jejaknya dengan meneriakkan kata-kata yang membakar semangat.

"Siapa yang tidak ingin kehilangan nyawa, sekarang belum terlambat untuk menyingkir dari barisan dan aku tidak akan menghalangi!" teriak Tong Wi-hong lagi.

Namun disambut dengan teriakan orang-orang Hwe-liong-pang, "Kami tidak takut mati demi kehormatan Hwe-liong-pang...!"

Suasana memang menggetarkan, dan ketika suasana mulai tenang kembali, maka mulailah Tong Lam-hou berbicara dengan suara hebat, "Paman Tong Wi-hong, kesediaan seluruh laskar untuk bertempur mati-matian patut dibanggakan. Tapi aku mengusulkan sebuah cara lain untuk menghindari jatuhnya korban di kedua pihak. Maaf, saudara-saudara, aku harus berterus-terang bahwa aku sama sedihnya melihat mayat prajurit kerajaan dengan melihat mayat saudara-saudara...."

Suatu keterus-terangan yang mengejutkan, sebab selagi semua orang berteriak-teriak siap melawan tentara Manchu, Tong Lam-hou malahan menyatakan sedih melihat tentara Manchu terbunuh. Tapi suasana tetap sunyi senyap menunggu kelanjutan kata-kata Tong Lam-hou tadi.

"Apa usulmu, Hou-ji?" tanya pamannya.

"Jika aku menyerahkan diri kepada Pakkiong Liong, barangkali perang akan dapat dihindari sampai di sini saja," kata Tong Lam-hou. "Pasukan kerajaan itu datang dan bertempur begitu jauh ke sini hanya untuk menangkap aku sendiri. Pantaskah jika hanya untuk melindungi diriku ini aku harus membiarkan berpuluh-puluh saudara-saudara di sini serta berpuluh-puluh prajurit di pihak sana?"

"Itu kurang tepat," tiba-tiba Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat menimbrung dengan suaranya yang kasar namun mencerminkan kejujuran hatinya itu. "Masalahnya, kita bukan mempertahankan saudara Tong Lam-hou secara pribadi, tetapi mempertahankan pendirian. Lagi pula bagaimana jika pihak Manchu mengingkari janji? Misalnya saudara Tong Lam-hou sudah menyerahkan diri tetapi Pakkiong Liong tetap saja menggerakkan pasukannya untuk menyerang kita? Bukankah kita yang dirugikan?"

Tong Lam-hou mengangguk hormat ke arah Ji Tiat dan berkatu, "Terima kasih saudara Ji memperhatikan keselamatanku. Tapi aku kenal benar pribadi Pakkiong Liong yang jauh berbeda dengan pamannya maupun dengan manusia-manusia semacam Muyong Beng atau Tam-tai Au-kha. la seorang laki-laki sejati yang lebih suka tubuhnya hancur daripada menjilat ludahnya sendiri. Dia juga bukan seorang yang haus darah dan gemar berperang, biarpun setiap tugas negara dijalankan sebaik-baiknya. Kepadanya aku bisa menyerahkan diri dengan mantap, tidak seperti jika aku menyerah kepada Muyong Beng atau Tamtai Au-kha."

"Jadi bagaimana?"

"Aku akan berbicara dengan Pakkiong Liong malam ini, aku yakin dia masih sejantan Pakkiong Liong yang kukenal terakhir kalinya aku di di Pak-khia, meskipun sekarang kami berdiri bersebrangan."

Semua bisa melihat tekad Tong Lam hou yang terpancar dari sepasang mata anak muda itu, tekad yang tak tergoyahkan lagi untuk berusaha sejauh mungkin mengurangi korban-korban yang hampir jatuh. Beberapa Tongcu Hwe-liong-pang yang tadinya menganggap remeh dan kecewa terhadap kepribadian Tong Lam-hou yang dikiranya memihak Manchu hanya untuk mendapat kedudukan dan kemuliaan duniawi, kini merobah pandangannya setelah melihat sendiri bagaimana pribadi Tong Lam-hou itu.

Mereka juga tidak heran lagi kalau Tong Wi-hong yang terkenal berpendirian sangat teguh anti Manchu itu sepulangnya dari Pak-khia tiba-tiba saja mengalami perubahan pendirian yang sangat tajam, agaknya bukan sekedar karena Tong Lam-hou adalah keponakannya, tapi karena sang keponakan itu memiliki kepribadian yang mengagumkan.

Sementara itu, dipesanggrahan Muyong Beng, panglima itu dengan geram tengah merenungi kekalahannya hari itu. Hari ini jumlah pasukannya susut banyak sekali, dan yang lebih gawat lagi semangat tempur prajurit-prajuritnyapun merosot dengan tajam pula. Bagaimana mungkin bisa memenangkan perang kalau prajurit-prajuritnya sendiri memanggul senjata dengan setengah hati? Apakah harus mundur kembali ke Pak-akhia dengan menelan kekalahan yang sangat memalukan itu? Atau nekad menyerang terus dengan kemungkinan hancur bersama-sama?

Pada saat pikiran Muyong Beng terombang-ambing tak menentu itu, datanglah laporan seorang prajuritnya bahwa pasukan gelombang ketiga dari Pak-khia sudah datang untuk membantu. Mula-mula Muyong Beng hampir melonjak gembira ketika mendengar datangnya bala bantuan itu, namun kemudian kegembiraannya itu susut banyak ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah tujuhribu limaratus prajurit Hui-liong kun di bawah pimpinan seorang yang sangat dibencinya, Pakkiong Liong si Naga Utara.

Persaingan antara Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun memang begitu tajam meskipun kedua pasukan itu dipimpin oleh paman dan keponakan, dan persaingan tajam itu kadang-kadang terbawa juga sampai ke medan perang meskipun kedua pasukan itu harusnya bekerja sama karena mereka menjalankan tugas negara yang sama. Meskipun hatinya merasa, tidak senang, tapi Muyong Beng mengajak juga semua perwira-perwiranya untuk keluar menyambut Pakiong Liong dan pasukannya.

Di depan pesanggrahan itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun berbaris dengan rapi, meskipun wajah dan pakaian mereka kotor oleh debu karena menandakan mereka baru berjalan jauh, namun tekad dan kesungguhan yang mereka pancarkan nampak di mata mereka. Muyong Beng melihatnya dengan perasaan rendah diri, dan harus mengakui bahwa pasukannya kalah jauh dari pasukan berani matinya Kerajaan Manchu ini.

Pakkiong Liong dengan seragam panglimanya, lengkap dengan topinya yang berhias burung merak itupun berjalan menyongsong Muyong Beng dengan diiringi tiga orang perwiranya. Han Yong-kim si orang Korea yang mahir bermain kenjitsu (Seni Pedang) dari negeri matahari terbit, Hu Lan-to si orang Mongol dan Wanyen Hui. Ketiga-tiganya memiliki nama besar yang membuat jantung Muyong Beng serta Tamtai Au-kha tergetar.

Setelah berhadapan dan saling memberi hormat, Pakkiong Liong segera bertanya, "Ada kemajuan dalam tugasmu, saudara Muyong?"

Sahut Muyong Beng, "Dua hari ini sudah kami hancurkan sebagian besar kekuatan mereka, dan besok untuk membuat mereka lenyap dari muka bumi adalah sama gampangnya dengan memijit mampus seekor semut."

Pakkiong Liong tertawa dingin mendengar jawaban Muyong Beng itu, diedarkannya pandangannya kepada prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang bertebaran di tempat itu. Dilihatnya pasukan yang "babak belur" itu bukan saja jumlahnya sudah kurang dari separuh, namun juga tidak terlihat semangat yang menyala pada diri prajurit-prajurit itu.

Mereka memang berbaris rapi, tapi ada yang nampak mengantuk, sedang lainnya ada yang kelihatan sedang melamun, mungkin sedang membayangkan seekor ayam panggang saus tomat di rumah makan terkenal di Pak-khia sana. Tentu, saja sebagai seorang Panglima berpengalaman, Pakkiong Liong tidak bisa dikelabuhi oleh Muyong Beng yang malu mengakui kekalahannya itu.

Namuan Pakkiong Liong tidak ingin membuat Muyong Beng kehilangan muka, sebab bgaimanapun juga orang itu sekarang adalah rekan kerjanya, biarpun Pakkiong Liong sering tidak setuju tingkah laku Muyong Beng di medan perang. Maka Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Syukurlah, saudara Muyong. Dengan datangnya pasukanku, mudah-mudahan besok dapat kita rampungkan pekerjaan kita. Dan tentang pimpinan seluruh pasukan, aku mengambil-alih dari tangan saudara."

Muyong Beng terkejut dan mukanya menjadi merah padam, ucapan Pakkiong Liong yang terlalu terus terang itu telah menyingungnya. "Ada surat perintah dari Peng-po Siangsi, saudara Pakkiong?" tanya Muyong Beng.

Sahut Pakkiong Liong, "Tidak ada surat apa-apa. Hanya menurut kebiasaan, panglima yang terbaik yang memimpin, bukan panglima tolol yang dalam dua hari belum bisa menyelesaikan pekerjaannya."

Andaikata bukan Pakkiong Liong yang berada di hadapannya, Muyong Beng maupun Tamtai Au-kha pasti sudah melompat untuk merobek-robek tubuh orang yang berani berkata macam itu kepadanya. Tapi kali ini Muyong Beng mati kutu karena ia tahu siapakah Pakkiong Liong itu, maka ketika Pakkiong Liong mengulurkan tangannya untuk meminta bendera kekuasaan, Muyong Beng tidak berani tidak memberikannya meskipun dengan darah yang mendidih.

"Terima kasih, saudara Muyong, sekarang tidak peduli prajurit Hui-liong-kun maupun Ui-ih-kun ada di bawah perintahku dan tidak seorangpun boleh melangkahi wewenangku!" kata Pakkiong Liong tegas. "Hari sudah sore dan kuperintahkan semua pasukan untuk beristirahat."

"Apakah tidak perlu merundingkan siasat penyerangan untuk besok pagi?" tanya Tamtai Au-kha.

"Aku akan lebih dulu berpikir sendiri di kemahku!” kata Pakkiong Liong sambil melangkah pergi ke kemahnya yang sudah disediakan oleh prajurit-prajuritnya itu. Sementara itu prajurit-prajurit Hui-liong-kunpun segera menempatkan diri pula.

Matahari sudah tenggelam dan kini di dataran berumput di kaki bukit hek-ku-nia itu muncul ratusan perapian dari para prajurit yang beristirahat. Meskipun besok mereka akan bahu membahu mengahdapi musuh, tapi kelihat an sekali ada garis pemisah antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan Hui liong-kun, dan mereka berkelompok sendiri-sendiri dalam lingkaran perapiannya masing-masing.

Sementara itu, di Hek-ku-nia telah diputuskan bahwa Tong Lam-hou malam itu juga akan diberi kesempatan untuk menemui dan berbicara kepada Pakkiong Liong.

"Tapi bukan untuk mengemis minta hidup kepada orang-orang Manchu itu," pesan Siangkoan Hong kepada Tong Wi-hong. "Kami seluruh Hwe-liong-pang tidak gentar kepada siapapun, kami hanya punya satu nyawa dan akan kami lepaskan nyawa kami dengan harga setinggi-tingginya. Tapi sampai matipun kami tidak akan mengemis mohon dihidupi kepada siapapun!"

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara itu Ji Tiat berkata, "Saudara Tong Lam-hou, apabila pihak Manchu kelihatannya akan berbuat curang dalam perundingan denganmu nanti, misalnya hendak menangkapmu secara kekerasan tanpa mempedulikan syarat syarat yang hendak kau ajukan, maka kau boleh bersuit dua kali dan seluruh anggota Hwe-liong-pang siap menerjang ke bawah bukit untuk gugur bersama-sama denganmu."

"Terima kasih, saudara Ji."

Meskipun Tong Lam-hou menjawab demikian, namun dalam hatinya ia bersumpah biarpun mampus dicincang ia tidak akan bersuit dua kali seperti yang dianjurkan Ji Tiat itu. Ia tidak memiliki setitik keragu-raguanpun akan sifat jantan Pakkiong Liong sahabatnya iti.. Jawabannya kepada Ji Tiat itu hanya akan menenteramkan hati orang-orang Hwe-liong-pang saja.

Tetapi Tong Lam-hou tidak ingin orang-orang Hwe-liong-pang menempuh bahaya hanya untuk dirinya seorang. Korban sudah cukup banyak dalam dua hari ini, dan ia tidak ingin menambahnya lagi. Maka dalam keremangan senja, Tong Lam-hou melangkah tegap menuruni lereng Hek-ku-nia untuk menuju ke perkemahan pasukan musuh. Tidak sebatang senjatapun yang dibawanya.

Sebun Him menatap langkah-langkah Tong Lam-hou itu dengan senyuman sinis, jumamnya sendirian, "Hemm, berlagak sebagai pahlawan. Tetapi aku yakin tindakan ini tidak akan ada gunanya. Orang Manchu tidak akan bisa bertindak jantan, mereka hanyalah suku liar dari luar Tembok Besar yang tidak kenal peradaban dan sopan santun. Perang adalah bahasa yang paling mereka pahami."

Tak seorangpun menggubris gerutuan Sebun Him itu. Sementara itu, dengan langkah-langkah yang lurus dan tidak goyah sedikitpun, mencerminkan pula ketegaran hatinya yang tidak ragu-ragu setitik-pun akan apa yang hendak dilakukannya, Tong Lam-hou menuju keperkemahan. Makin dekat makin jelas terlihat hilir mudiknya prajurit-prajurit yang memanggul tombak atau pedang, dan gelak tertawa dari prajurit-prajurit yang sedang mengelilingi perapian.

Tong Lam-hou langsung melangkah ke arah kemah besar yang di bagian atasnya ada bendera hitam dengan lukisan seekor naga berwarna putih yang sedang menginjak segumpal mega berwarna putih pula. Bendera yang sangat dikenalnya sebab Tong Lam-hou pernah menjadi seorang perwira yang bernaung di bawah bendera itu.

Melihat bendera itu bergerak-gerak sedikit digoyangkan angin malam, tak terasa Tong Lam-hou tersenyum sendiri karena bertemu dengan seorang "sahabat lama" yang seakan sedang melambaikan salam selamat datang kepadanya. Dan ia berharap sebentar lagi akan bertemu bukan saja dengan sehelai bendera tapi dengan sesosok manusia yang telah menjadi sahabat karibnya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san dulu.

"Berhenti!" bentakan itu membuyarkan Tong Lam-hou yang tengah melangkah sambil melamun itu. Beberapa ujung tombak ternyata telah melekat di dada nya dan di pungungnya, beberapa prajurit Ui-ih-kun sudah mengepungnya. Saat itulah baru Tong Lam-hou sadar bahwa ia sedang berada di dekat perkemahan prajurit yang sedang dalam suasana perang.

Melihat siapa yang mereka tangkap itu, seorang prajurit Ui-ih-kun yang bermata juling dan pangkatnya perwira rendah, segera tertawa sinis. "Wah, rupanya yang masuk ke dalam jaring kita malam ini adalah seekor kakap besar. Kawan-kawan, inilah orangnya yang bernama Tong Lam-hou dan kabarnya berkepala tiga, bertangan enam dan bernyawa rangkap tujuh!"

Sebagian dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu terperanjat ketika tahu siapa yang mereka tangkap itu dan nyali merekapun surut sampai seujung rambut, namun beberapa prajurit justru bangga bahwa dalam tugas ronda mereka telah berhasil menangkap "kakap" dari pihak musuh.

"Kita bawa dia menghadap Muyong Ciangkun, tentu kita akan mendapat hadiah besar," kata seorang prajurit yang mukanya penuh jerawat. "Atau kita sembelih dia langsung di sini saja dan kepalanya saja yang kita bawa menghadap Muyong Ciangkun?"

Sementara mereka bicara itu, ujung-ujung tombak itupun menekan tubuh Tong Lam-hou semakin keras, sehingga Tong Lam-hou berkata, "Jangan terlalu keras menekan tubuhku, saudara-saudara, kalian bisa melukai aku."

Jawab perwira berjerawat itu. “Persetan dengan dirimu. Dalam perang siang tadi kau sudah banyak membunuh teman-teman kami yang tidak menuruti anjuran pengecutmu untuk mengundurkan diri. Sekarang kau kami cincang pun tidak usah mengeluh lagi!"

"Benar, cincang sajal" kata prajurit-prajurit lainnya.

"Bawa aku menghadap Pakkiong Ciangkun untuk berbicara!" kata Tong Lam-hou. "Setelah itu, apakah aku akan kalian rangket atau kalian cincang, terserah kalian!"

"Kenapa harus menghadap Pakkiong Ciangkun? Atasan kami adalah Muyong Ciangkun dan bukan Pakkiong Ciangkun!"

"Aku ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan Pakkiong Ciang-kun," Tong Lam-hou menerangkan.

"Bohong. Kau pasti sedang memata-matai kami karena kau sekarang sudah berpihak kepada pemberontak, dan karena tertangkap maka kau hendak memakai siasat licikmu untuk minta perlindungan Pakkiong Ciangkun yang bekas atasanmu itu!"

"Benar, dia pasti mata-mata yang kata-katanya tidak usah kita percayai. Bahkan kita berhak mencincangnya di tempat ini juga!"

Kehabisan kesabarannya karena dianggapnya tingkah prajurit-prajurit ini bisa mengacaukan urusan pentingnya, maka Tong Lam-hou menjawab keras, "Kalian benar-benar tidak tahu diri di hadapanku. Tahukah kalian bahwa jika perundinganku dengan Pakkiong Ciangkun berhasil maka mungkin kalian akan pulang ke rumah dengan selamat? Atau kalian lebih suka mampus di ujung pedang orang-orang Hwe-liong-pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan sebagainya!"

"Omong kosong belaka!" teriak perwira berjerawat itu. "Teman-teman, cincang dia! Muyong Ciangkun pasti tidak akan menyalahkan kita!"

Waktu itu enam ujung tombak sudah menempel di tubuh Tong Lam-hou, Tiga menempel dada dan tiga menempel punggung, orang yang berilmu silat setangguh apapun tidak akan bisa berkutik lagi. Prajurit-prajurit itu tinggal menekan sedikit tombak mereka dan di tubuh Tong Lam-hou akan muncul enam lubang yang mengantarnya ke neraka.

Namun yang terjadi kemudian tidak demikian. Tong Lam-hou tertawa sinis, "Mencincangku? Tahu dirilah sedikit!" Berbareng dengan habisnya kata-kata-itu itu maka keenam prajurit yang menodongnya itu tiba-tiba berlompatan mundur dengan wajah pucat. Bahkan ada dua orang yang langsung saja meringkuk di tanah dan kemudian menggigil kedinginan seperti orang kena demam berat.

Perwira berjerawat itu melongo kaget, rasanya sulit dipercaya bahwa Tong Lam-hou yang sudah terkepung ujung-ujung tombak itu masih mampu membebaskan diri, bahkan tanpa menggerakkan ujung jarinya sedikitpun dan tahu-tahu prajuritnya sudah bergelimpangan. Tanpa pikir panjang lagi, perwira berjerawat itu segera berteriak, "Bunyikan tanda bahaya! Panggil bala bantuan dan katakan ada pengacau di sini!"

Tapi sebelum tanda bahaya berbunyi dan bala bantuan datang, di tempat itu muncul regu kecil prajurit lainnya, yang tidak berseragam kuning tetapi berseragam hitam-hitam dengan kepala terhias topi bulu berwarna hitam pula, berbeda dengan prajurit Ui-ih-kun yang memakai tudung bambu berhias benang merah. Merekalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun.

Melihat keributan di tempat itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu segera berlari-larian mendekat dengan senjata terhunus. Namun begitu melihat siapa yang terkepung itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu malahan berteriak gembira, "Tong Congpeng, kiranya kau!"

"Ada apa yang terjadi di sini?" tanya seorang perwira Hui-liong-kun yang berkumis lebat sehingga seluruh permukaan wajahnya hampir tertutup rambut. Memangnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah merasa penasaran sejak di Pak-khia dulu Tong Lam-hou diadili secara sewenang-wenang oleh hakim-hakim yang merupakan kaki tangan Pakkiong An, maka sekarang mereka gembira dapat bertemu Tong Lam-hou lagi.

Prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu malah melongo ketika melihat prajurit-prajurit Hui-liong-kun memberi hormat secara ketentaraan kepada Tong Lam-hou dan sedikitpun tak ada sikap permusuhan. Malahan senjata-senjata yang sudah dihunuspun disarungkan kembali.

Perwira Ui-ih-kun yang mukanya jerawatan itu berteriak penasaran, "Apa-apaan ini? Jangan lupa bahwa Tong Lam-hou sudah diputuskan oleh pengadilan sebagai pengkhianat dan dipecat dari ketentaraan, setiap prajurit yang menemuinya wajib berusaha menangkapnya, kenapa kalian malah...."

Perwira Hui-liong-kun berkumis lebat itu menyahut, "Hemm, keputusan pengadilan yang semuanya sudah dikendalikan oleh Pakkiong An itu sama sekali tidak mencerminkan keadilan atas diri Tong Congpeng. Bagi kami, Tong Congpeng yang pernah berjuang di medan laga untuk menegakkan kejayaan negeri kita, jauh lebih berharga daripada Pakkiong An yang cuma membangga-banggakan darah bangsawannya namun tidak pernah berbuat apapun kecuali menyebarkan fitnah ke kanan kiri!"

Akhirnya malah terjadi ketegangan antara kedua kelompok prajurit yang pada dasarnya memang tidak saling menyenangi itu. Prajurit-prajurit yang berdatangan ke tempat itupun segera berdiri di kelompoknya masing-masing dan saling melotot kepada kelompok lainnya.

Tetapi pihak prajurit Ui-ih-kun akhirnya menyadari bahwa menentang prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan bunuh diri. Maka perwira berjerawat itu segera mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu, sambil mengancam prajurit-prajurit Hui-liong-kun,

"Anggap saja kalian menang saat ini, tapi jika kelak kalian kembali ke Pak-khia dan melihat disana telah terjadi perubahan susunan pemerintahan, saat itu kalian akan menyesal. Kalian merangkak-rangkak minta maaf kepada kamipun tak ada gunanya."

Setelah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu pergi membawa kedongkolan hati mereka, maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun berebutan menyalami Tong Lam-hou dengan sikap akrab seperti terhadap teman lama, dan menanyakan bagaimana keadaan Tong Lam-hou selama ini.

Tong Lam-hou hanya tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu, namun kemudian ia menjawab, "Saudara-saudara, sebenarnya aku sangat senang berbicara dengan sahabat-sahabat baik seperti kalian, bahkan sahabat seperjuangan mati hidup ketika kita berada di medan perang Tay tong dulu. Tapi saat ini aku sebagai utusan laskar Hek-ku-nia membawa pesan penting dari pimpinan laskar di atas bukit sana, untuk dirundingkan dengan Pakkiong Ciangkun. Harap kalian suka mengantar aku ke kemah Pakkiong Ciangkun supaya tidak mendapat kesulitan lagi."

Mendengar itu, para prajurit Hui-liong-kun itu bagaikan diguyur air dingin kepala mereka, sebab mereka seolah diperingatkan secara halus bahwa sekarang ini Tong Lam-hou ada di pihak Hwe-liong-pang, artinya di pihak yang berseberangan dengan mereka. Kalau besok pertempuran dimulai, bukankah mereka akan berhadapan dengan Tong Lam-hou sebagai lawan?

"Marilah kuantarkan ke kemah Pakkiong Ciangkun, Tong Congpeng," kata perwira berberewok lebat itu. Meskipun Tong Lam-hou bukan prajurit Hui-liong-kun lagi, namun kebiasaan untuk menyebut "Tong Congpeng" belum berubah juga.

Waktu itu Pakkiong Liong sedang duduk merenung sendiri di dalam kemahnya. Temannya hanyalah arak. Selamanya ia belum pernah menolak perintah untuk maju ke peperangan, dan setiap tugas dipikulnya dengan penuh tanggung jawab dan semangat menyala, tapi kali ini ia maju perang dengan setengah hati.

Ia benar-benar tidak rela dirinya dijadikan seperti bidak catur yang digerakkan ke medan perang oleh tangan Pakkiong An meskipun lewat Peng-po Siangsi, pikirannya justru menguatirkan keadaan di Ibukota di mana pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar Khong-hi disingkir-singkirkan ke tempat jauh dan digantikan dengan pasukan pasukan yang sudah dipengaruhi oleh Pakkiong An.

Tapi Pakkiong Liong benar benar tidak dapat menolak perintah ke medan perang, sebab surat perintah Peng-po Siangsi itu diberi cap Peng-po Ceng-tong yang syah dan menentangnya berarti menentang perintah. Dan di Hek-ku-nia ini, Pakkiong Liong sedih bahwa dirinya tidak lebih dari seekor jangkrik aduan, diadu melawan orang-orang Hwe-liong-pang yang merupakan pendekar-pendekar sejati pembela rakyat.

Dan barangkali di peperangan besok pagi ia akan berhadapan pula dengan sahabatnya yang sangat dicintainya Tong Lam-hou. Tegakah Tong Lam-hou besok menikamkan pedang ke jantungnya? Tegakah ia besok menyabetkan pedang ke leher Tong Lam-hou demi tugas yang dipikulnya? Semuanya adalah bayangan yang menakutkan. Selama Ini antara dirinya dan Tong Lam-hou selalu bersama-sama, kenapa keadaan' bisa berbalik. seperti ini?

Baru saja ia memikirkan Tong Lam-hou, seorang prajurit telah masuk ke kemahnya, berlutut dan melapor, "Ciangkun. Tong Congpeng mohon menghadap."

"Suruh dia masuk," sahut Pakkiong Liong acuh tak acuh sambil menenggak araknya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget seperti disengat kalajengking, prajurit yang sudah hampir keluar itu-pun diteriakinya, "He, siapa yang hendak menghadap tadi?!”

"Tong Congpeng," sahut prajurit itu.

"Tong Congpeng siapa?"

"Tong Congpeng Tong Lam-hou..."

Begitu bibir prajurit itu terkatup, Pakkiong Liong sudah melompat ke pintu kemah dan hampir saja bertabrakan dengan Tong Lam-hou yang telah melangkah masuk....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 45

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
TITIK balik dari pertempuran itu-pun tiba, kalau sejak pertempuran dimulai tadi pasukan Ui-ih-kun terus mendesak dengan mengandalkan jumlah yang banyak, maka semakin siang jumlah kedua pasukan semakin berimbang, sebab setiap orang Hwe-liong-pang yang gugur tentu "mengajak" dua atau tiga orang lawannya untuk gugur pula.

Ketangguhan anggota-anggota Hwe-liong-pang itu bukan saja membuat giris lawannya, tapi juga mengobarkan semangat teman-teman dari Kay-pang dan sebagainya. Lagipula jumlah orang berilmu di pihak laskar Hek-ku-nia lebih banyak, sedang di dalam Ui-ih-kun yang berilmu hanyalah para perwira, itupun tidak ada yang lebih tinggi dari Muyong Beng. Dengan demikian susutnya jumlah prajurit-prajurit Ui-ih-kun lebih cepat dari berkurangnya lawan-lawan mereka.

Dalam hal daya tahan tubuh, prajurit-prajurit Ui-ih-kun juga kalah, meskipun mereka latihan dua hari sekali tapi latihan-latihan mereka itu hanya lebih berat sedikit 'dari gerak badan. Sedangkan orang-orang Hwe liong-pang melakukannya setiap hari, pagi dan sore. Kalau pagi, lereng-lereng Tiau-im-hong yang terjal dan berliku-liku itu merupakan "sarapan pagi" mereka untuk menguatkan otot kaki, memanjangkah napas dan melatih ketahanan tubuh secara luar biasa. Kalau sore, mereka berlatih silat menurut alirannya masing-masing.

Ketika matahari mencapai puncaknya dan mulai bergeser ke barat, maka laskar di Hek-ku-nia itu sedikit demi sedikit balik mendesak Ui-ih-kun yang sudah setengah hati itu. yang bertempur sungguh-sungguh hanyalah prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang letaknya dekat perwira-perwira mereka karena takut dituduh tidak sungguh-sungguh.

Tapi secara keseluruhan memang pasukan Ui-ih-kun sedikit demi sedikit digiring' kembali ke kaki bukit. Sorakan-sorakan bersemangat dari orang-orang Hwe-l-iong-pang terdengar di mana-mana, membuat semangat kian berkobar, sebaliknya semangat musuh kian merosot.

Alangkah geramnya Muyong Beng melihat semuanya itu. Ingin rasanya ia menerjunkan diri ke tengah-tengah orang-orang Hwe-liong-pang itu dan membunuhi mereka semua. Namun sambaran-sambaran senjata Hong-pian-jan di depan hidungnya seolah menyadarkannya bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja belum berhasil dilewatinya.

Bahkan nasibnyapun sama dengan nasib prajurit-prajuritnya, yaitu terdesak mundur terus-menrus. Ilmu tombaknya sebetulnya cukup lihai, namun ia adalah seorang panglima yang gemar mengumbar nafsu terhadap wanita, bahkan malam menjelang pertempuran kemarinpun ia masih tidur dengan seorang perempuan penghibur yang didatangkan kekemahnya dari kota terdekat.

Sebaliknya Bu-gong Hweshio lebih ketat dalam menjaga kesucian dirinya, ia seorang pendeta yang tidak pantang minum Arak dan daging, namun menjaga batas terhadap perempuan, sehingga tenaga dalamnyapun terpupuk kuat. Karena itulah seorang panglima pemogoran macam Muyong Beng semakin lama merasa semakin berat menahan hantaman senjatanya.

Akhirnya barisan Ui-ih-kun itu tidak dapat dipertahankan keutuhannya. Di beberapa bagian mereka sudah kocar-kacir dan mundur ke pinggang bukit, di beberapa bagian lainnya masih cukup rapi barisannya namun juga sudah terdesak mundur. Muyong Beng melihat bahwa pasukannya hari itu bertempur lebih buruk dari hari kemarin, sebaliknya musuh berkelahi seperti kesetanan.

Muyong Beng akhirnya memutuskan bahwa pasukannya harus ditarik mundur, sebelumnya ia sudah mendengar bagaimana To Hok-leng mati, meskipun rasa-rasanya sulit dipercaya bahwa orang selihai itu dapat terbunuh di peperangan oleh seorang anak muda yang baru saja turun dari perguruannya. Lalu muncul pula berita tentang munculnya Tong Lam-hou di berbagai arah, berpihak kepada Hwe-liong-pang.

Dan semua berita itu sudah tentu tidak menyenangkan Muyong Beng. la juga sadar bahwa ada pendekar pendekar dunia persilatan yang ilmu tenaga dalamnya begitu tinggi sehingga sanggup berkelahi tiga hari tiga malam tanpa mengaso, sedang prajurit-juritnya sendiri terang tidak mampu berbuat demikian.

Dengan seribu satu macam pertimbangan, akhirnya Muyong Beng memerintahkan pasukannya untuk mundur. Maka seperti air yang sedang surut di tepi laut, pasukan berbaju kuning itupun segera mundur teratur, untungnya tidak sampai tercerai berai. Namun dalam pertempuran hari itu jelaslah kekalahan ada di pihak Ui-ih-kun, dan Hwe-liong-pang telah menebus kekalahan kemarin hari.

Sorak-sorai orang-orang Hwe-liong-pang dari atas bukit terasa menyakitkan hati prajurit-prajurit Ui-ih-kun, namun apa boleh buat, mereka memang harus mundur kalau tidak ingin terjebak hancur di puncak bukit itu. Dalam perkelahian di tanah datar kemarin, Ui-ih-kun lebih unggul sebab mereka selain berjumlah banyak juga lebih mahir dalam membentuk barisan-perang yang sering membinungkan musuh.

Tapi dalam pertempuran di atas bukit yang tempatnya tidak datar dan di tengah-tengah barak Hek-ku-nia yang banyak lika-likunya itu, barisan perang tidak bisa diatur dan pertempuran lebih mengandalkan kepada ketrampilan perorangan atau ketinggian ilmu silat masing-masing. Dalam bidang itu, jelaslah di pihak Ui-ih-kun tidak ada orang orang yang setangguh Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin atau pendekar-pendekar lainnya, bahkan To Hok-leng yang dianggap paling tangguhpun telah mampus di tangan Sebun Him. Di sinilah letaknya sumber kekalahan Ui-ih-kun.

Melihat pasukan itu mundur, Tong Wi-hong sebagai pimpinan di Hek-ku-nia mencegah seluruh laskar untuk mencegahnya. Ia tahu bahwa jika orang-orangnya mengejarnya sampai ke dataran berumput di bawah bukit itu maka mungkin sekali pasukan musuh akan berbalik menggencet dan mengurung mereka.

Demikian perang berakhir pada hari kedua itu, tidak sampai sore hari tetapi baru tengah hari lewat sedikit. Orang-orang Hwe-liong-pang dan lain-lainnya boleh bangga kehilangan banyak teman-teman mereka dan juga tokoh-tokoh berbagai pihak yang membantu Hwe-liong-pang. Si tokoh cemerlang dari Hoa-san-pay, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng bersama-sama dengan tiga orang yang tadi melompat keluar pintu gerbang, yaitu Bu-sian Hweshio, Bu-teng Hweshio dan Lam-ki Tongcu In Yong, telah gugur semua dengan luka-luka hampir di seluruh tubuh mereka.

Namun di sekitar keempat mayat pendekar itu bergelimpangan pula ratusan mayat prajurit-prajurit musuh. Kematian mereka telah "mengajak" sekian banyak musuh untuk gugur bersama. Selain kematian-kematian yang menyedihkan itu, sebagian besar barak itu ternyata telah menjadi abu, sehingga malam nanti mereka akan tidur di udara terbuka. Juga pintu gerbang sudah rusak, dan beberapa bagian dari dinding barak.

Semuanya menerima kepahitan itu dengan sikap yang tidak berlebih-lebihan, tidak ada jerit tangis melolong-lolong seperti perempuan, yang ada hanyalah tekad untuk meneruskan perlawanan meskipun mereka bakal menyusul rekan-rekan mereka itu ke akherat.

Di tengah-tengah kehancuran, di mana bau darah dan api tercium tajam. Tong Lam-hou berdiri termangu-mangu dengan hati yang tersayat-sayat. Hatinya sama pedihnya melihat mayat prajurit kerajaan maupun mayat lawan-lawan mereka. Ia tahu prajurit-prajurit hanya menjalankan perintah Pakkiong An yang gila kekuasaan, sementara orang-orang di Hek-ku-nia hanyalah dipaksa untuk mempertahankan diri.

Kehancuran yang di depan mata itu mengingatkannya kepada sebuah desa kecil yang manis di kaki pegunungan Tiam-jong-san di Hunlam sana, desa Jit-si-ong-tin, yang hancur lebur tanpa sisa oleh kebiadaban perang. Dan ia tahu masih banyak desa-desa yang mengalami nasib yang sama selama perang belum dihentikan, selama orang Manchu dan orang Han masih merasa sama-sama lebih unggul satu sama lain sehingga mere-kapun tidak segan-segan menghunus senjata masing-masing untuk membuktikan keungulannya.

Lamunan Tong Lam-hou berhenti ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendekatinya, dan suara yang dingin menusuk hati, "Seperti inikah persaudaraan antara Han dan Manchu seperti yang selalu kau teriak-teriak-kan?"

Tanpa menolehpun Tong Lam-hou sudah bisa menebak siapa yang bersuara itu, namun ia menoleh juga, dan dilihatnya Sebun Him dengan pedang yang belum kering dan darah juga tengah menatap ke arahnya. Sesaat kedua anakmuda itu bertatapan dengan tajamnya, sampai Sebun Him mengalihkan pandangannya ke tanah.

Sementara Tong Lam-hou berkata, "Saudara Sebun, peristiwa di bukit ini jangan dijadikan alasan untuk tidak bisa berdamai lagi dengan orang Manchu. Kita harus melihat segala persoalan setepat-tepatnya menurut keadaan sebenarnya, bukan sekedar menyama-ratakan saja. Ketika kita..."

"Tidak usah menciptakan banyak alasan untuk mengelabuhi kami," potong Sebun Him. "Gagasanmu tentang perdamaian antara Han an Manchu itu hanyalah akal licik orang Manchu yang hendak melestarikan kekuasaaan mereka atas negeri ini. Kau juga tidak lebih dari alat mereka, anjing penjilat pantat Kaisar mereka, dan karena itu kau tidak berharga untuk berada di sini. Kami jijik melihatmu!"

Dengan kepribadiannya yang kokoh, Tong Lam-hou tidak gampang terseret gejolak perasaannya, namun bagaimanapun juga dia adalah seorang anakmuda yang darahnya sama panasnya dengan darah Sebun Him. Cercaan Sebun Him yang semena-mena itu telah membuat kupingnya menjadi merah juga. Tapi sekuat tenaga ia masih berusaha menghindari perkelahian karena hal itu semakin menimbulkan kesalah-pahama; buat dirinya. Sahutnya,

"Barangkali aku keliru, saudara Sebun, tetapi menurut pengalamanku maka kesalah-pahaman yang bagaimanapun bisa dibuat lurus kembali asalkan kedua pihak mau berbicara secara baik-baik dan beritikad baik."

"Siapa sudi bicara dengan orang Manchu atau anjing-anjing peliharaan semacammu?" teriak Sebun Him sambil mengangkat pedangnya. "Tong Lam-hou, angkat pedangmu dan kita tentukan siapa yang lebih hebat antara si Harimau Selatan atau si Beruang Barat!"

"Kalau hanya itu yang kau inginkan, saudara Sebun, kenapa tidak bicara langsung dari tadi saja? Kita tidak usah berkelahi, gelar pendekar nomor satu itu biarlah kau sandang saja. Anggap saja Lam-hou seorang pengecut yang dikalahkan oleh Sebun him tanpa pertempuran!"

Waktu itu, pertengkaran kedua anakmuda itu telah membuat laskar Hek-ku-nia berkerumun membentuk sebuah lingkaran besar. Dan orang-orang itu dengan bingung melihat bagaimana Sebun Him nampaknya sangat getol untuk berkelahi, padahal bukankah Tong Lam-hou juga sudah ikut berjasa untuk mengundurkan pasukan Ui-ih-kun? Meskipun cara mengundurkannya itu tidak selalu dengan pedangnya melainkan juga dengan bujukan-bujukannya.

Tetapi beberapa orang yang sudah mengenal watak Sebun Him, tahu bahwa kegetolan Sebun Him itu bukan karena "demi perjuangan bangsa Han" melainkan semata-mata hanyalah karena takut tersaingi dan sekaligus ingin mengangkat nama. Semangat tempur Sebun Him sedang menyala-nyala sehebat-hebatnya sebab hari itu ia berhasil menjadi pahlawan dengan membunuh To Hok-leng si gembong golongan hitam, dan Sebun Him berharap namanya akan lebih harum lagi kalau berhasil membunuh Tong Lam-hou yang terkenal dengan alasan "membunuh si anjing Manchu".

Ditonton banyak orang, Sebun Him jadi semakin bersemangat. Bahkan ia berteriak sekelilingnya untuk menarik dukungan orang-orang, "Saudara-saudara, pantas atau tidak kalau anjing Manchu ini aku hajar agar dia menqaku sisasat busuk apa yang sedang dijalankannya terhadap gerakan kita?"

Beberapa orang yang tidak tahu menahu persoalannya, segera saja menjawab "setuju!" atau "hajar anjing Manchu" dan sebagainya. Tetapi sebagian masih bungkam karena ragu-ragu, mana yang benar? Sebun Him atau Tong Lam-hou?

Sementara Sebun Him nampak puas. Katanya keras, "Pedangku ini memang selalu haus akan darah pengkhianat tanah air. Siang ini ia baru saja menghisap darah Im-kan-hong-kui To Hok-leng, namun agaknya pedang ini belum puas dan masih ingin menghisap darah seorang anjing Manchu lainnya!"

Waktu itu kesabaran Tong Lam-hou sudah habis melihat kecongkakan Sebun Him, katanya dengan suara bergetar karena marah, "Kau cuma bisa membuka mulutmu lebar-lebar, Sebun Him. Tapi kau tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadapku sebab kau terlalu kerdil untukku!"

Meledaklah kemarahan Sebun Him. Tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera menyabet mendatar ke arah leher Tong Lam-hou. Tapi yang diserang sempat menunduk rendah dengan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) dan membalas dengan Wan-kiong-sia-tau (Mementang Busur Mengincar Rajawali) ke pundak Sebun Him. Cepat Sebun Him memutar pedangnya untuk menangkis.

Maka kedua anak muda yang sudah sama-sama mendidih darahnya itupun berkelahi dengan sengitnya. Gerak pedang mereka mula-mula masih kelihatan, tapi semakin lama semakin cepat dan semakin cepat terus, sampai akhirnya kedua pedang itu cuma berwujud dua gumpal cahaya keperak-perakan yang berpusing dengan dahsyatnya, sementara berpuluh-puluh kali bunga api memancar keudara apabila kedua pedang berbenturan. Bahkan lama kelamaan gulungan pedang itupun menyatu seperti prahara yangb bertubrukan, menimbulkan penglihatan yang menyeramkan.

Sebun Him yang berharap mengalahkan Tong Lam-hou untuk mendapat nama besar itu, kini terpaksa menelan ludahnya karena terbentur kenyataan yang tak terduga. Nama besar Si Harimau Selatan bukan nama kosong belaka, bahkan setelah Sebun Him mengerahkan Kun-goan-sin-kangnya sampai ke taraf tertinggi, ia tetap tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou. Jngan lagi mengalahkan, sedang mengimbanginyapun tidak bisa.

Setelah berlangsung seratus jurus lebih, Sebun Him sudah melangkah mundur sampai ke pinggir arena, bagamanapun usahanya tapi ia tidak bisa melepaskan diri dari kurungan dan tekanan Tong Lam-hou. Pedang Tong Lam-hou berdesing semakin dekat ke tubuhnya, sementara iapun dengan tegar meladeni setiap kali Sebun Him mengajak adu kekuatan dengan membenturkan pedang sekuat-kuatnya. Dan setiap kali pula Sebun Him merasa tangannya tergetar seolah membacok dinding baja yang tak bergeming, makin keras bacokannya akan makin sakit tangannya sendiri.

Tong Lam-hou yang bertubuh lebih kecil daripadanya itu ternyata bukan saja bisa mengimbangi tenaganya, bahkan melebihinya. Sedang dalam hal kecepatan, jangan harap Sebun Him menandingi kecepatan ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang tidak mengutamakan keindahan gerak tapi hanyalah kecepatan dan ketepatan itu. Alangkah marah dan malunya Sebun Him menghadapi kenyataan itu, alih-alih ingin mengakat nama, malahan yang sudah diperolehnya bakalan hancur pada hari itu.

Dalam keadaan terjepit itu, Sebun Him mendengar suara mengejek Tong Lam-hou, "Sekarang kau percaya, saudara Sebun? Bahwa kau sama sekali tidak berarti?"

Sebun Him menggertakkan giginya, tapi tidak sempat menjawab sebab ujung pedang Tong Lam-hou bagaikan beribu-ribu banyaknya seperti serombongan tawon yang mengitari tubuhnya dan siap menyengat begitu ia lengah sedikit saja, menyusul pahanya dan kemudian punggungnya pula.

"Pertahanan yang jelek!" ejek Tong lam-hou pula. "Sekarang hati-hatilah dengan pedangmu, aku akan mengambilnya!“

Sebun Him menggenggam erat-erat pedangnya sambil berteriak, "Anjing Manchu, kau bisa mengambil pedangku hanya jika bersama dengan nyawaku!"

Tong Lam-hou tertawa dingin, "Tidak, aku cuma butuh pedangmu dan bukan nyawamu!" Lalu ujung pedang Tong Lam-hou selincah seekor lalat di musim panas, berhasil menyusup pertahanan Sebun Him dan menusuk pelan ke jalan darah ceng-ling-hiat di balik siku kiri lengan Sebun Him.

Di sini nampak kelihaian Tong Lam-hou dalam mengatur tenaganya, ujung pedangnya yang tajam itu melukai kulit namun hanya menekan dengan tenaga yang pas untuk membuat lengan Sebun Him kesemutan dan pegangannya atas pedangnya jadi mengendor. Lalu kaki kiri Tong Lam-hou secepat kilat naik menendang dengan gerakan yang disebut Pay-lian-ka (Tendangan Teratai Bergoyang). Tepat mengenai pergelangan tangan kiri Sebun Him sehingga pedangnyapun lepas.

Sebun Him menyeringai salah tingkah sambil memegangi siku tangan kirinya yang kesemutan. Ditatapnya Tong Lam-hou penuh dendam, namun juga heran dan gentar. Sulit dipercaya orang bisa selihai itu dalam permainan pedang. Saat itulah di dalam hati Sebun Him terngiang kembali petunjuk gurunya, Auyang Seng, bahwa ilmu pedang tidak bisa dimainkan melulu dengan kekuatan, jasmani, tapi juga dengan mencurahkan segenap perasaan dan pikiran.

Ilmu pedang yang hanya menggunakan tenaga memang berguna menghadapi orang yang berkelahi seperti kerbau gila mirip To Hok-leng tadi, namun tidak ada gunanya berhadapan dengan "ahli pedang murni" seperti Tong Lam-hou. Baru kini Sebun Him menyadari hai itu. Namun sungguh menyakitkan hati bahwa kekalahannya yang begitu telak disaksikan begitu banyak orang, sehingga akan pudarlah kecemerlangan yang selama ini dirintisnya dengan kemenangan demi kemenangan.

Bagaimana kalau Ting Hun-giok mendengar hal ini, atau bahkan ia melihat sendiri dari antara kerumunan penonton yang melingkari tempat itu? Bukankah gadis itu akan semakin mengejeknya dan kemudian semakin membangga-banggakan kakak-misannya yang berjuluk Lam-hou itu?

Sebun Him menatap wajah-wajah yang berkeliling di tempat itu, dan ia agak lega melihat Ting Hun-giok tidak berada di situ. Tiba-tiba ia melompat meraih pedangnya yang tergeletak di tanah itu, lalu berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di tempat itu, "Terhadap anjing Manchu semacam ini, tidak perlu kita pakai banyak peraturan untuk membinasakannya. Saudara-saudara, hayo kita cincang dia bersama-sama untuk membalaskan kematian The Ciangkun, Sun Tiang-lo, Kwa Tongcu, Auyang Susiok dan sebagainya!"

Sengaja Sebun Him menyebut sederetan nama-nama tokoh-tokoh laskar yang telah gugur untuk membakar hati orang-orang yang berkerumun di tenpat itu. Dan usahanya itupun agak berhasil juga, belasan orang telah mencabut senjata mereka dan dengan pandangan mata beringas tak takut mati, mereka mulai memasuki arena.

Tapi orang-orang Hwe-liong-pang tetap tidak bergerak dari tempatnya masing-masing. Mereka terikat dalam tata tertib yang tinggi, dan mereka juga tahu bahwa Tong Lam-hou justru telah berbuat banyak untuk pihak mereka, bukankah menurut surat Tong Wi-hong dari Pak-khia dulu disebutkan, "Tong Lam-hou hendak dihukum mati karena menolak perintah Kaisar untuk membasmi Hwe-liong-pang"? Namun orang orang Hwe-liong-pang itupun kebingungan harus, mengambil sikap bagaimana sebab Sebun Him juga seorang jago dari pihak mereka?

"Saudara-saudara Hwe-liong-pang," teriak Sebun Him ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang masih belum bergerak. "Jangan hiraukan bahwa Tong Lam hou adalah anak dari mendiang Ketua kalian, atau keponakan dari Tong Tayhiap. Siapapun yang memihak bangsa Manchu harus kita tumpas habis tanpa pandang bulul Hayo cabut senjata kalian. Hari kemarin kalian kehilangan Ui-ki Tongcu Kwa Heng dan hari ini kalian kehilangan Lam-ki Tongcu In Yong yang terbunuh di ujung senjata orang Manchu, kenapa kalian masih ragu-ragu?"

Tong Lam-hou tidak bisa membiarkan kesalah-pahaman itu berlarut-larut sehingga ia harus bertentangan dengan orang-orang itu. Ia hendak membantah, tapi Sebun Him telah mendahului berteriak, "Siapa yang bernyali laki-laki, ikuti aku untuk membinasakan anjing Manchu ini! Siapa yang banci, tidak usah berbuat apa-apa, cukup menonton saja!"

Maka berlompatanlah orang-orang itu dengan didahului oleh Sebun Him. Namun sebelum mereka mendekati tubuh Tong Lam-hou, masih kurang beberapa langkah dari tubuh Tong Lam-hou merekapun berlompatanlah mundur kembali dengan wajah terkejut, bahkan Sebun Him yang memiliki tenaga dalam Kun-goan-sah-kang itupun ikut-ikutan melompat mundur dengan muka pucat membiru dan tubuh agak menggigil. Dengan menarik napas bebeapa kali sambil mengerahkan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya, barulah ia berhasil mengusir hawa dingin yang menyusup ke tubuhnya tadi. Namun wajahnya jelas menunjukkan tasa kejutnya.

Terdengar Tong Lam-hou berkata dengan nada berat, "Aku tidak ingin bertempur dengan kalian, sebab aku ingin berdamai dengan siapa saja dan mendamaikan siapa saja. Tapi jika kalian memaksaku untuk bertindak, jangan menyesal...!”

Sebun Him tidak membiarkan kawan-kawannya terpengaruh oleh sikap yang angker dari Tong Lam-hou itu, teriaknya, "Maju, teman-teman!"

Lalu Sebun Him sendiri dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi kulitnya, telah menyerang Tong Lam-hou. Tapi toh masih terasa hawa dingin yang menyusup ke pori-pori kulitnya membuat gerakannya jadi agak kaku karena pembuluh darahnya yang terpengaruh hawa dingin itu membuat darah mengalir tidak lancar. Namun dengan keras kepala Sebun Him terus menerjang membabi buta.

Sedang yang lain-lainya yang tidak memiliki tenaga dalam sehebat. Sebun him terpaksa jadi penonton saja. Mereka tidak mampu mendekati tubuh Tong Lam-hou kurang dari jarak lima langkah. Dengan begitu perkelahian satu lawan satu terulang untuk kedua kalinya. Kali ini Sebun Him merasa lebih berat dari pertempuran yang tadi, karena sekarang Tong Lam-hou sudah menggunakan Han-im-ciangnya. Seluruh otot-ototnya terasa kaku karena hawa dingin, bagaimanapun ia mengerahkan tenaga.

Tidak sampai duapuluh lima jurus, ia sudah terdesak lebih hebat dari tadi. Pada jurus ke tigapuluh kembali pedangnya terpental dari tangannya, sementara tubuhnyapun terpental roboh karena sebuah tendangan keras dari Tong Lam-hou mengenai perutnya.

Saat itulah tiba-tiba kerumunan itu tersibak, lalu Tong Wi-hong muncul di tempat itu diiringi beberapa tokoh-tokoh pendekar seperti Siang-koan Hong dan Lim Hong-pin, para Tong-cu serta Bu-gong Hweshio yang semuanya berwajah murung itu. Tong Wi-hong sendiri dengan wajah yang menampakkan ketidak senangannya telah berkata kepada Tong Lam-hou, "Kau tahu bahwa kita dalam keadaan prihatin dan berkabung, kau malah muncul untuk membuat keributan ini?"

Diam-diam ada beberapa orang menjadi penasaran, sebab mereka tahu Sebun Him lah yang lebih dulu membuat gara-gara, kenapa sekarang Tong Lam-hou yang disalahkan? Kemudian setelah menegur Tong Lam-hou, maka Tong Wi-hong menoleh kepada Sebun Him sambil bertanya, "Sebun Him (keponakan Sebun yang baik), ada apa sebenarnya?"

Tanpa ragu-ragu Sebun Him menjawab, "Saudara Tong ini tadi pagi masih belum ada di sini, tapi siang ini tiba-tiba muncul dengan kelakuan yang mencurigakan. Aku hendak menanyainya secara baik, namun agaknya dia punya maksud yang kurang baik sehingga pertanyaanku itu membuatnya marah dan aku diserangnya sehingga terpaksa harus membela diri."

Tong Lam-hou terkejut mendengar jawaban Sebun Him yang berbalik secara tidak tahu malu itu. Tadinya ia masih menganggap Sebun Him hanya seorang anak muda yang seperti umumnya gila kemenangan dan mungkin sedikit sombong. Namun setelah mendengar itu, tong Lam-hou tahu bahwa Sebun Him seorang yang berjiwa sempit dan berwatak rendah.

Dengan agak cemas, Tong Lam-hou menatap ke arah wajah-wajah di sekelilingnya, mencoba menjajagi bagaimana tanggapan mereka terhadap u-capan Sebun Him itu. Dan ia lega bercampur heran ketika melihat wajah orang-orang itu kebanyakan malah menampilkan rasa muak atau sinis terhadap Sebun Him. Yang Tong Lam-hou herankan, kenapa ada begitu banyak orang yang tidak senang kepada Sebun Him, terutama orang-orang Hwe-liong-pang.

Kata Tong Lam-hou, "Paman, aku tidak ingin membantah apa yang saudara Sebun katakan itu, sebab kalian lebih dekat kepadanya sehingga condong berpihak kepadanya, itu wajar dan aku tidak marah. Aku hanya minta beberapa saksi yang sanggup disumpah di depan Sang Buddha untuk menceritakan hal yang sebenarnya. Kalian semua boleh berpegang sepenuhnya kepada kesaksian orang itu untuk melepaskan aku atau mencincang aku, aku pasrah."

Di kalangan orang-orang Hek-ku-nia itu memangnya sudah banyak yang meragukan kejujuran Sebun Him, sehingga tidak semua kata-katanya ditelan begitu saja. Sebaliknya sikapi Tong Lam-hou begitu mantap, meyakinkan dan tidak takut menghadapi apapun juga, malah menimbulkan kesan baik, meskipun Tong Lam-hou adalah "orang baru" di lingkungan mereka. Apalagi yang sudah mendengar riwayat Tong Lam-hou, asal-usulnya dan bagaimana ia sampai dipecat dari ketentaraan Kerajaan Manchu.

Yang serba salah adalah Tong Wi-hong yang harus "menghakimi" kedua orang itu. Di satu pihak ia sudah paham betul akan watak keponakannya yang meskipun keras tetapi tidak akan menyerang orang dengan alasan yang sepele-sepele saja, sehingga iapun yakin Tong Lam-hou tidak seperti yang dituduhkan oleh Sebun Him. Sebaliknya Tong Wi-hong juga tidak bisa menyalahkan Sebun Him begitu saja, sebab anak muda berjiwa sempit itu akan tersinggung dan mungkin meninggalkan laskar, padahal tenaganya masih sangat dibutuhkan dalam laskar yang sudah babak belur itu.

Maka Tong Wi-hong lalu menggunakan jalan tangah saja yang tidak menyinggung kedua belah pihak, "Sudahlah, kalian anak-anak muda yang berdarah panas, wajar saja kalau begitu gampang menghunus pedang dan kemudian bertempur satu sama lain. Tapi untuk selanjutnya kendalikanlah diri kalian, sebab bagaimanapun juga kalian berada dalam satu barisan sekarang, kalian harus bersatu hati. Tong Lam-hou, saudara Sebun itu sudah berjasa banyak dalam perjuangan ini, bahkan seorang pentolan musuh-bernama To Hok-leng sudah dibunuhnya. Karena itu tentunya dia tidak bermaksud jahat kepadamu tadi..."

Akal yang digunakan Tong Wi-hong untuk menonjolkan jasa Sebun Him itu bertujuan untuk melunakkan hati anak muda Hoa-san-pay itu, dan memang merupakan akal yang tepat. Sebun Him segera mengangkat wajahnya dan membusungkan dada, sinar kemarahan di wajahnya berangsur hilang dan digantikan dengan sinar kebanggaan. Beberapa orang ingin muntah rasanya melihat sikap itu, namun ditahankannya supaya tidak mengacau saling pengertian yang sedang ditimbulkan oleh Tong Wi-hong.

Lalu Tong Wi-hong berkata lagi, "Saudara Sebun, Tong Lam-hou itu jasanya tidak sebesar jasamu, tapi sedikit banyak punya andil dalam mengundurkan pasukan musuh tadi, maka sudah sepantasnya kalau kita terima dia di tengah-tengah kita."

Sebun Him mendengus, "Menerima seorang musuh dalam selimut di tubuh laskar kita adalah hal yang berbahaya. Tapi aku tahu ucapanku ini tidak akan digubris oleh kalian, karena itu apabila kelak kalian menyadarinyapun mungkin sudah terlambat."

Kemudian Sebun Him memungut pedangnya yang dijatuhkan Tong Lam-hou sampai kedua kalinya itu, menyarungkannya dan kemudian melangkah pergi dari tempat itu dengan sikap congkak. Sampai para pendekar tua seperti Tong Wi-hong dan sebagainya juga tidak diberi anggukan kepala sedikitpun. Beberapa orang geleng-geleng kepala melihat sikap Sebun Him itu, namun tak berkomentar sedikitpun.

Sementara itu Tong Lam-hou dengan tenang menyarungkan pedangnya kembali, lalu dengan ramah memberi hormat kepada pamannya, bibinya dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Ia menyatakan penyesalannya bahwa ia datang terlambat, sehingga meskipun pasukan musuh berhasil dipukul mundur tetapi sudah terlanjur jatuh korban sebanyak itu.

Tengah mereka bercakap-cakap sementara hari menjadi semakin sore, tiba-tiba seorang anak buah Hwe-liong-pang yang ditugasi mengawasi gerak-gerik musuh di kaki, bukit, telah datang bergegas-gegas dengan wajah yang tegang. Teriaknya, "Tong Tayhiap! Tong Tayhiap!"

"Ada apa?"

"Pasukan musuh mendapat bala bantuan!"

Berita itu tentu saja menggemparkan sekalian orang. Biarpun hari itu pihak Hek-ku-nia berhasil memukul mundur pasukan Ui-ih-kun, namun dengan pengorbanan yang cukup besar. Bukan saja kehilangan beberapa tokoh, tapi jumlah laskar yang kemarin tiga ribu orang itu menyusut tajam sampai tinggal seribu orang lebih yang masih sanggup bertempur.

Lainnya kalau tidak gugur ya luka-luka berat. Ibarat manusia, bisa dikatakan babak belur, dan kini mendengar tambahan kekuatan bagi musuh, tentu saja hal ini ibarat mendengar lonceng kematian mereka. Jika besok pagi musuh meluruk lagi ke atas bukit, mereka hanya bisa bertahan sampai titik darah terakhir tapi tidak mungkin menang.

Tong lam-hou lalu bertanya kepada pengawas itu, "Berapa besar jumlah musuh, dan bagaimana pakaian atau bendera meraka?"

Sahut si pengawas, "Aku mencoba menghitung jumlah kemah dan biasanya satu kemah berisi tiga orang, maka kira-kira ada tujuh ribu limaratus orang yang datang. Seragam mereka bukan kuning seperti yang menyerang kita kemarin dan hari ini, tetapi hitam-hitam dengan topi hitam pula berhias benang merah. Lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang..."

Hampir bersamaan beberapa mulut menggumamkan nama yang menggetarkan sukma, "Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang)!"

Beberapa orang bertukar pandangan dengan wajah yang agak memucat. Mereka sudah mendengar betapa hebatnya pasukan terkenal itu, yang daya gempurnya jauh lebih hebat dari Ui-ih-kun-nya Muyong Beng. Sampai ada yang mengatakan, yang bisa menghentikan majunya prajurit-prajurit Hui-liong-kun hanya dua hal: perintah Panglimanya dan Kematian. Istilah "mundur" karena terdesak atau takut, tidak mereka kenal.

Tong Wi-hong tidak membiarkan laskarnya menjadi kalah semangat, "Mereka masih segar dan berjumlah banyak, dan kita tahu pasti bahwa mereka akan menang. Tetapi kita akan menjual kemenangan kepada mereka itu dengan harga yang semahal-mahalnya!"

Semuanya paham ucapan itu, artinya mereka akan bertempur mati-matian sampai orang terakhir. Maka dengan dipelopori orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus senjata-senjata mereka dan mengangkat ke langit, segenap laskar itupun mengikuti jejaknya dengan meneriakkan kata-kata yang membakar semangat.

"Siapa yang tidak ingin kehilangan nyawa, sekarang belum terlambat untuk menyingkir dari barisan dan aku tidak akan menghalangi!" teriak Tong Wi-hong lagi.

Namun disambut dengan teriakan orang-orang Hwe-liong-pang, "Kami tidak takut mati demi kehormatan Hwe-liong-pang...!"

Suasana memang menggetarkan, dan ketika suasana mulai tenang kembali, maka mulailah Tong Lam-hou berbicara dengan suara hebat, "Paman Tong Wi-hong, kesediaan seluruh laskar untuk bertempur mati-matian patut dibanggakan. Tapi aku mengusulkan sebuah cara lain untuk menghindari jatuhnya korban di kedua pihak. Maaf, saudara-saudara, aku harus berterus-terang bahwa aku sama sedihnya melihat mayat prajurit kerajaan dengan melihat mayat saudara-saudara...."

Suatu keterus-terangan yang mengejutkan, sebab selagi semua orang berteriak-teriak siap melawan tentara Manchu, Tong Lam-hou malahan menyatakan sedih melihat tentara Manchu terbunuh. Tapi suasana tetap sunyi senyap menunggu kelanjutan kata-kata Tong Lam-hou tadi.

"Apa usulmu, Hou-ji?" tanya pamannya.

"Jika aku menyerahkan diri kepada Pakkiong Liong, barangkali perang akan dapat dihindari sampai di sini saja," kata Tong Lam-hou. "Pasukan kerajaan itu datang dan bertempur begitu jauh ke sini hanya untuk menangkap aku sendiri. Pantaskah jika hanya untuk melindungi diriku ini aku harus membiarkan berpuluh-puluh saudara-saudara di sini serta berpuluh-puluh prajurit di pihak sana?"

"Itu kurang tepat," tiba-tiba Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat menimbrung dengan suaranya yang kasar namun mencerminkan kejujuran hatinya itu. "Masalahnya, kita bukan mempertahankan saudara Tong Lam-hou secara pribadi, tetapi mempertahankan pendirian. Lagi pula bagaimana jika pihak Manchu mengingkari janji? Misalnya saudara Tong Lam-hou sudah menyerahkan diri tetapi Pakkiong Liong tetap saja menggerakkan pasukannya untuk menyerang kita? Bukankah kita yang dirugikan?"

Tong Lam-hou mengangguk hormat ke arah Ji Tiat dan berkatu, "Terima kasih saudara Ji memperhatikan keselamatanku. Tapi aku kenal benar pribadi Pakkiong Liong yang jauh berbeda dengan pamannya maupun dengan manusia-manusia semacam Muyong Beng atau Tam-tai Au-kha. la seorang laki-laki sejati yang lebih suka tubuhnya hancur daripada menjilat ludahnya sendiri. Dia juga bukan seorang yang haus darah dan gemar berperang, biarpun setiap tugas negara dijalankan sebaik-baiknya. Kepadanya aku bisa menyerahkan diri dengan mantap, tidak seperti jika aku menyerah kepada Muyong Beng atau Tamtai Au-kha."

"Jadi bagaimana?"

"Aku akan berbicara dengan Pakkiong Liong malam ini, aku yakin dia masih sejantan Pakkiong Liong yang kukenal terakhir kalinya aku di di Pak-khia, meskipun sekarang kami berdiri bersebrangan."

Semua bisa melihat tekad Tong Lam hou yang terpancar dari sepasang mata anak muda itu, tekad yang tak tergoyahkan lagi untuk berusaha sejauh mungkin mengurangi korban-korban yang hampir jatuh. Beberapa Tongcu Hwe-liong-pang yang tadinya menganggap remeh dan kecewa terhadap kepribadian Tong Lam-hou yang dikiranya memihak Manchu hanya untuk mendapat kedudukan dan kemuliaan duniawi, kini merobah pandangannya setelah melihat sendiri bagaimana pribadi Tong Lam-hou itu.

Mereka juga tidak heran lagi kalau Tong Wi-hong yang terkenal berpendirian sangat teguh anti Manchu itu sepulangnya dari Pak-khia tiba-tiba saja mengalami perubahan pendirian yang sangat tajam, agaknya bukan sekedar karena Tong Lam-hou adalah keponakannya, tapi karena sang keponakan itu memiliki kepribadian yang mengagumkan.

Sementara itu, dipesanggrahan Muyong Beng, panglima itu dengan geram tengah merenungi kekalahannya hari itu. Hari ini jumlah pasukannya susut banyak sekali, dan yang lebih gawat lagi semangat tempur prajurit-prajuritnyapun merosot dengan tajam pula. Bagaimana mungkin bisa memenangkan perang kalau prajurit-prajuritnya sendiri memanggul senjata dengan setengah hati? Apakah harus mundur kembali ke Pak-akhia dengan menelan kekalahan yang sangat memalukan itu? Atau nekad menyerang terus dengan kemungkinan hancur bersama-sama?

Pada saat pikiran Muyong Beng terombang-ambing tak menentu itu, datanglah laporan seorang prajuritnya bahwa pasukan gelombang ketiga dari Pak-khia sudah datang untuk membantu. Mula-mula Muyong Beng hampir melonjak gembira ketika mendengar datangnya bala bantuan itu, namun kemudian kegembiraannya itu susut banyak ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah tujuhribu limaratus prajurit Hui-liong kun di bawah pimpinan seorang yang sangat dibencinya, Pakkiong Liong si Naga Utara.

Persaingan antara Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun memang begitu tajam meskipun kedua pasukan itu dipimpin oleh paman dan keponakan, dan persaingan tajam itu kadang-kadang terbawa juga sampai ke medan perang meskipun kedua pasukan itu harusnya bekerja sama karena mereka menjalankan tugas negara yang sama. Meskipun hatinya merasa, tidak senang, tapi Muyong Beng mengajak juga semua perwira-perwiranya untuk keluar menyambut Pakiong Liong dan pasukannya.

Di depan pesanggrahan itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun berbaris dengan rapi, meskipun wajah dan pakaian mereka kotor oleh debu karena menandakan mereka baru berjalan jauh, namun tekad dan kesungguhan yang mereka pancarkan nampak di mata mereka. Muyong Beng melihatnya dengan perasaan rendah diri, dan harus mengakui bahwa pasukannya kalah jauh dari pasukan berani matinya Kerajaan Manchu ini.

Pakkiong Liong dengan seragam panglimanya, lengkap dengan topinya yang berhias burung merak itupun berjalan menyongsong Muyong Beng dengan diiringi tiga orang perwiranya. Han Yong-kim si orang Korea yang mahir bermain kenjitsu (Seni Pedang) dari negeri matahari terbit, Hu Lan-to si orang Mongol dan Wanyen Hui. Ketiga-tiganya memiliki nama besar yang membuat jantung Muyong Beng serta Tamtai Au-kha tergetar.

Setelah berhadapan dan saling memberi hormat, Pakkiong Liong segera bertanya, "Ada kemajuan dalam tugasmu, saudara Muyong?"

Sahut Muyong Beng, "Dua hari ini sudah kami hancurkan sebagian besar kekuatan mereka, dan besok untuk membuat mereka lenyap dari muka bumi adalah sama gampangnya dengan memijit mampus seekor semut."

Pakkiong Liong tertawa dingin mendengar jawaban Muyong Beng itu, diedarkannya pandangannya kepada prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang bertebaran di tempat itu. Dilihatnya pasukan yang "babak belur" itu bukan saja jumlahnya sudah kurang dari separuh, namun juga tidak terlihat semangat yang menyala pada diri prajurit-prajurit itu.

Mereka memang berbaris rapi, tapi ada yang nampak mengantuk, sedang lainnya ada yang kelihatan sedang melamun, mungkin sedang membayangkan seekor ayam panggang saus tomat di rumah makan terkenal di Pak-khia sana. Tentu, saja sebagai seorang Panglima berpengalaman, Pakkiong Liong tidak bisa dikelabuhi oleh Muyong Beng yang malu mengakui kekalahannya itu.

Namuan Pakkiong Liong tidak ingin membuat Muyong Beng kehilangan muka, sebab bgaimanapun juga orang itu sekarang adalah rekan kerjanya, biarpun Pakkiong Liong sering tidak setuju tingkah laku Muyong Beng di medan perang. Maka Pakkiong Liong mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Syukurlah, saudara Muyong. Dengan datangnya pasukanku, mudah-mudahan besok dapat kita rampungkan pekerjaan kita. Dan tentang pimpinan seluruh pasukan, aku mengambil-alih dari tangan saudara."

Muyong Beng terkejut dan mukanya menjadi merah padam, ucapan Pakkiong Liong yang terlalu terus terang itu telah menyingungnya. "Ada surat perintah dari Peng-po Siangsi, saudara Pakkiong?" tanya Muyong Beng.

Sahut Pakkiong Liong, "Tidak ada surat apa-apa. Hanya menurut kebiasaan, panglima yang terbaik yang memimpin, bukan panglima tolol yang dalam dua hari belum bisa menyelesaikan pekerjaannya."

Andaikata bukan Pakkiong Liong yang berada di hadapannya, Muyong Beng maupun Tamtai Au-kha pasti sudah melompat untuk merobek-robek tubuh orang yang berani berkata macam itu kepadanya. Tapi kali ini Muyong Beng mati kutu karena ia tahu siapakah Pakkiong Liong itu, maka ketika Pakkiong Liong mengulurkan tangannya untuk meminta bendera kekuasaan, Muyong Beng tidak berani tidak memberikannya meskipun dengan darah yang mendidih.

"Terima kasih, saudara Muyong, sekarang tidak peduli prajurit Hui-liong-kun maupun Ui-ih-kun ada di bawah perintahku dan tidak seorangpun boleh melangkahi wewenangku!" kata Pakkiong Liong tegas. "Hari sudah sore dan kuperintahkan semua pasukan untuk beristirahat."

"Apakah tidak perlu merundingkan siasat penyerangan untuk besok pagi?" tanya Tamtai Au-kha.

"Aku akan lebih dulu berpikir sendiri di kemahku!” kata Pakkiong Liong sambil melangkah pergi ke kemahnya yang sudah disediakan oleh prajurit-prajuritnya itu. Sementara itu prajurit-prajurit Hui-liong-kunpun segera menempatkan diri pula.

Matahari sudah tenggelam dan kini di dataran berumput di kaki bukit hek-ku-nia itu muncul ratusan perapian dari para prajurit yang beristirahat. Meskipun besok mereka akan bahu membahu mengahdapi musuh, tapi kelihat an sekali ada garis pemisah antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun dengan Hui liong-kun, dan mereka berkelompok sendiri-sendiri dalam lingkaran perapiannya masing-masing.

Sementara itu, di Hek-ku-nia telah diputuskan bahwa Tong Lam-hou malam itu juga akan diberi kesempatan untuk menemui dan berbicara kepada Pakkiong Liong.

"Tapi bukan untuk mengemis minta hidup kepada orang-orang Manchu itu," pesan Siangkoan Hong kepada Tong Wi-hong. "Kami seluruh Hwe-liong-pang tidak gentar kepada siapapun, kami hanya punya satu nyawa dan akan kami lepaskan nyawa kami dengan harga setinggi-tingginya. Tapi sampai matipun kami tidak akan mengemis mohon dihidupi kepada siapapun!"

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara itu Ji Tiat berkata, "Saudara Tong Lam-hou, apabila pihak Manchu kelihatannya akan berbuat curang dalam perundingan denganmu nanti, misalnya hendak menangkapmu secara kekerasan tanpa mempedulikan syarat syarat yang hendak kau ajukan, maka kau boleh bersuit dua kali dan seluruh anggota Hwe-liong-pang siap menerjang ke bawah bukit untuk gugur bersama-sama denganmu."

"Terima kasih, saudara Ji."

Meskipun Tong Lam-hou menjawab demikian, namun dalam hatinya ia bersumpah biarpun mampus dicincang ia tidak akan bersuit dua kali seperti yang dianjurkan Ji Tiat itu. Ia tidak memiliki setitik keragu-raguanpun akan sifat jantan Pakkiong Liong sahabatnya iti.. Jawabannya kepada Ji Tiat itu hanya akan menenteramkan hati orang-orang Hwe-liong-pang saja.

Tetapi Tong Lam-hou tidak ingin orang-orang Hwe-liong-pang menempuh bahaya hanya untuk dirinya seorang. Korban sudah cukup banyak dalam dua hari ini, dan ia tidak ingin menambahnya lagi. Maka dalam keremangan senja, Tong Lam-hou melangkah tegap menuruni lereng Hek-ku-nia untuk menuju ke perkemahan pasukan musuh. Tidak sebatang senjatapun yang dibawanya.

Sebun Him menatap langkah-langkah Tong Lam-hou itu dengan senyuman sinis, jumamnya sendirian, "Hemm, berlagak sebagai pahlawan. Tetapi aku yakin tindakan ini tidak akan ada gunanya. Orang Manchu tidak akan bisa bertindak jantan, mereka hanyalah suku liar dari luar Tembok Besar yang tidak kenal peradaban dan sopan santun. Perang adalah bahasa yang paling mereka pahami."

Tak seorangpun menggubris gerutuan Sebun Him itu. Sementara itu, dengan langkah-langkah yang lurus dan tidak goyah sedikitpun, mencerminkan pula ketegaran hatinya yang tidak ragu-ragu setitik-pun akan apa yang hendak dilakukannya, Tong Lam-hou menuju keperkemahan. Makin dekat makin jelas terlihat hilir mudiknya prajurit-prajurit yang memanggul tombak atau pedang, dan gelak tertawa dari prajurit-prajurit yang sedang mengelilingi perapian.

Tong Lam-hou langsung melangkah ke arah kemah besar yang di bagian atasnya ada bendera hitam dengan lukisan seekor naga berwarna putih yang sedang menginjak segumpal mega berwarna putih pula. Bendera yang sangat dikenalnya sebab Tong Lam-hou pernah menjadi seorang perwira yang bernaung di bawah bendera itu.

Melihat bendera itu bergerak-gerak sedikit digoyangkan angin malam, tak terasa Tong Lam-hou tersenyum sendiri karena bertemu dengan seorang "sahabat lama" yang seakan sedang melambaikan salam selamat datang kepadanya. Dan ia berharap sebentar lagi akan bertemu bukan saja dengan sehelai bendera tapi dengan sesosok manusia yang telah menjadi sahabat karibnya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san dulu.

"Berhenti!" bentakan itu membuyarkan Tong Lam-hou yang tengah melangkah sambil melamun itu. Beberapa ujung tombak ternyata telah melekat di dada nya dan di pungungnya, beberapa prajurit Ui-ih-kun sudah mengepungnya. Saat itulah baru Tong Lam-hou sadar bahwa ia sedang berada di dekat perkemahan prajurit yang sedang dalam suasana perang.

Melihat siapa yang mereka tangkap itu, seorang prajurit Ui-ih-kun yang bermata juling dan pangkatnya perwira rendah, segera tertawa sinis. "Wah, rupanya yang masuk ke dalam jaring kita malam ini adalah seekor kakap besar. Kawan-kawan, inilah orangnya yang bernama Tong Lam-hou dan kabarnya berkepala tiga, bertangan enam dan bernyawa rangkap tujuh!"

Sebagian dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu terperanjat ketika tahu siapa yang mereka tangkap itu dan nyali merekapun surut sampai seujung rambut, namun beberapa prajurit justru bangga bahwa dalam tugas ronda mereka telah berhasil menangkap "kakap" dari pihak musuh.

"Kita bawa dia menghadap Muyong Ciangkun, tentu kita akan mendapat hadiah besar," kata seorang prajurit yang mukanya penuh jerawat. "Atau kita sembelih dia langsung di sini saja dan kepalanya saja yang kita bawa menghadap Muyong Ciangkun?"

Sementara mereka bicara itu, ujung-ujung tombak itupun menekan tubuh Tong Lam-hou semakin keras, sehingga Tong Lam-hou berkata, "Jangan terlalu keras menekan tubuhku, saudara-saudara, kalian bisa melukai aku."

Jawab perwira berjerawat itu. “Persetan dengan dirimu. Dalam perang siang tadi kau sudah banyak membunuh teman-teman kami yang tidak menuruti anjuran pengecutmu untuk mengundurkan diri. Sekarang kau kami cincang pun tidak usah mengeluh lagi!"

"Benar, cincang sajal" kata prajurit-prajurit lainnya.

"Bawa aku menghadap Pakkiong Ciangkun untuk berbicara!" kata Tong Lam-hou. "Setelah itu, apakah aku akan kalian rangket atau kalian cincang, terserah kalian!"

"Kenapa harus menghadap Pakkiong Ciangkun? Atasan kami adalah Muyong Ciangkun dan bukan Pakkiong Ciangkun!"

"Aku ada urusan penting yang hendak dibicarakan dengan Pakkiong Ciang-kun," Tong Lam-hou menerangkan.

"Bohong. Kau pasti sedang memata-matai kami karena kau sekarang sudah berpihak kepada pemberontak, dan karena tertangkap maka kau hendak memakai siasat licikmu untuk minta perlindungan Pakkiong Ciangkun yang bekas atasanmu itu!"

"Benar, dia pasti mata-mata yang kata-katanya tidak usah kita percayai. Bahkan kita berhak mencincangnya di tempat ini juga!"

Kehabisan kesabarannya karena dianggapnya tingkah prajurit-prajurit ini bisa mengacaukan urusan pentingnya, maka Tong Lam-hou menjawab keras, "Kalian benar-benar tidak tahu diri di hadapanku. Tahukah kalian bahwa jika perundinganku dengan Pakkiong Ciangkun berhasil maka mungkin kalian akan pulang ke rumah dengan selamat? Atau kalian lebih suka mampus di ujung pedang orang-orang Hwe-liong-pang, Kay-pang, Ki-lian-pay dan sebagainya!"

"Omong kosong belaka!" teriak perwira berjerawat itu. "Teman-teman, cincang dia! Muyong Ciangkun pasti tidak akan menyalahkan kita!"

Waktu itu enam ujung tombak sudah menempel di tubuh Tong Lam-hou, Tiga menempel dada dan tiga menempel punggung, orang yang berilmu silat setangguh apapun tidak akan bisa berkutik lagi. Prajurit-prajurit itu tinggal menekan sedikit tombak mereka dan di tubuh Tong Lam-hou akan muncul enam lubang yang mengantarnya ke neraka.

Namun yang terjadi kemudian tidak demikian. Tong Lam-hou tertawa sinis, "Mencincangku? Tahu dirilah sedikit!" Berbareng dengan habisnya kata-kata-itu itu maka keenam prajurit yang menodongnya itu tiba-tiba berlompatan mundur dengan wajah pucat. Bahkan ada dua orang yang langsung saja meringkuk di tanah dan kemudian menggigil kedinginan seperti orang kena demam berat.

Perwira berjerawat itu melongo kaget, rasanya sulit dipercaya bahwa Tong Lam-hou yang sudah terkepung ujung-ujung tombak itu masih mampu membebaskan diri, bahkan tanpa menggerakkan ujung jarinya sedikitpun dan tahu-tahu prajuritnya sudah bergelimpangan. Tanpa pikir panjang lagi, perwira berjerawat itu segera berteriak, "Bunyikan tanda bahaya! Panggil bala bantuan dan katakan ada pengacau di sini!"

Tapi sebelum tanda bahaya berbunyi dan bala bantuan datang, di tempat itu muncul regu kecil prajurit lainnya, yang tidak berseragam kuning tetapi berseragam hitam-hitam dengan kepala terhias topi bulu berwarna hitam pula, berbeda dengan prajurit Ui-ih-kun yang memakai tudung bambu berhias benang merah. Merekalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun.

Melihat keributan di tempat itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu segera berlari-larian mendekat dengan senjata terhunus. Namun begitu melihat siapa yang terkepung itu, prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu malahan berteriak gembira, "Tong Congpeng, kiranya kau!"

"Ada apa yang terjadi di sini?" tanya seorang perwira Hui-liong-kun yang berkumis lebat sehingga seluruh permukaan wajahnya hampir tertutup rambut. Memangnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah merasa penasaran sejak di Pak-khia dulu Tong Lam-hou diadili secara sewenang-wenang oleh hakim-hakim yang merupakan kaki tangan Pakkiong An, maka sekarang mereka gembira dapat bertemu Tong Lam-hou lagi.

Prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu malah melongo ketika melihat prajurit-prajurit Hui-liong-kun memberi hormat secara ketentaraan kepada Tong Lam-hou dan sedikitpun tak ada sikap permusuhan. Malahan senjata-senjata yang sudah dihunuspun disarungkan kembali.

Perwira Ui-ih-kun yang mukanya jerawatan itu berteriak penasaran, "Apa-apaan ini? Jangan lupa bahwa Tong Lam-hou sudah diputuskan oleh pengadilan sebagai pengkhianat dan dipecat dari ketentaraan, setiap prajurit yang menemuinya wajib berusaha menangkapnya, kenapa kalian malah...."

Perwira Hui-liong-kun berkumis lebat itu menyahut, "Hemm, keputusan pengadilan yang semuanya sudah dikendalikan oleh Pakkiong An itu sama sekali tidak mencerminkan keadilan atas diri Tong Congpeng. Bagi kami, Tong Congpeng yang pernah berjuang di medan laga untuk menegakkan kejayaan negeri kita, jauh lebih berharga daripada Pakkiong An yang cuma membangga-banggakan darah bangsawannya namun tidak pernah berbuat apapun kecuali menyebarkan fitnah ke kanan kiri!"

Akhirnya malah terjadi ketegangan antara kedua kelompok prajurit yang pada dasarnya memang tidak saling menyenangi itu. Prajurit-prajurit yang berdatangan ke tempat itupun segera berdiri di kelompoknya masing-masing dan saling melotot kepada kelompok lainnya.

Tetapi pihak prajurit Ui-ih-kun akhirnya menyadari bahwa menentang prajurit-prajurit Hui-liong-kun sama saja dengan bunuh diri. Maka perwira berjerawat itu segera mengajak teman-temannya untuk pergi dari tempat itu, sambil mengancam prajurit-prajurit Hui-liong-kun,

"Anggap saja kalian menang saat ini, tapi jika kelak kalian kembali ke Pak-khia dan melihat disana telah terjadi perubahan susunan pemerintahan, saat itu kalian akan menyesal. Kalian merangkak-rangkak minta maaf kepada kamipun tak ada gunanya."

Setelah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu pergi membawa kedongkolan hati mereka, maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun berebutan menyalami Tong Lam-hou dengan sikap akrab seperti terhadap teman lama, dan menanyakan bagaimana keadaan Tong Lam-hou selama ini.

Tong Lam-hou hanya tertawa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang datang bertubi-tubi itu, namun kemudian ia menjawab, "Saudara-saudara, sebenarnya aku sangat senang berbicara dengan sahabat-sahabat baik seperti kalian, bahkan sahabat seperjuangan mati hidup ketika kita berada di medan perang Tay tong dulu. Tapi saat ini aku sebagai utusan laskar Hek-ku-nia membawa pesan penting dari pimpinan laskar di atas bukit sana, untuk dirundingkan dengan Pakkiong Ciangkun. Harap kalian suka mengantar aku ke kemah Pakkiong Ciangkun supaya tidak mendapat kesulitan lagi."

Mendengar itu, para prajurit Hui-liong-kun itu bagaikan diguyur air dingin kepala mereka, sebab mereka seolah diperingatkan secara halus bahwa sekarang ini Tong Lam-hou ada di pihak Hwe-liong-pang, artinya di pihak yang berseberangan dengan mereka. Kalau besok pertempuran dimulai, bukankah mereka akan berhadapan dengan Tong Lam-hou sebagai lawan?

"Marilah kuantarkan ke kemah Pakkiong Ciangkun, Tong Congpeng," kata perwira berberewok lebat itu. Meskipun Tong Lam-hou bukan prajurit Hui-liong-kun lagi, namun kebiasaan untuk menyebut "Tong Congpeng" belum berubah juga.

Waktu itu Pakkiong Liong sedang duduk merenung sendiri di dalam kemahnya. Temannya hanyalah arak. Selamanya ia belum pernah menolak perintah untuk maju ke peperangan, dan setiap tugas dipikulnya dengan penuh tanggung jawab dan semangat menyala, tapi kali ini ia maju perang dengan setengah hati.

Ia benar-benar tidak rela dirinya dijadikan seperti bidak catur yang digerakkan ke medan perang oleh tangan Pakkiong An meskipun lewat Peng-po Siangsi, pikirannya justru menguatirkan keadaan di Ibukota di mana pasukan-pasukan yang setia kepada Kaisar Khong-hi disingkir-singkirkan ke tempat jauh dan digantikan dengan pasukan pasukan yang sudah dipengaruhi oleh Pakkiong An.

Tapi Pakkiong Liong benar benar tidak dapat menolak perintah ke medan perang, sebab surat perintah Peng-po Siangsi itu diberi cap Peng-po Ceng-tong yang syah dan menentangnya berarti menentang perintah. Dan di Hek-ku-nia ini, Pakkiong Liong sedih bahwa dirinya tidak lebih dari seekor jangkrik aduan, diadu melawan orang-orang Hwe-liong-pang yang merupakan pendekar-pendekar sejati pembela rakyat.

Dan barangkali di peperangan besok pagi ia akan berhadapan pula dengan sahabatnya yang sangat dicintainya Tong Lam-hou. Tegakah Tong Lam-hou besok menikamkan pedang ke jantungnya? Tegakah ia besok menyabetkan pedang ke leher Tong Lam-hou demi tugas yang dipikulnya? Semuanya adalah bayangan yang menakutkan. Selama Ini antara dirinya dan Tong Lam-hou selalu bersama-sama, kenapa keadaan' bisa berbalik. seperti ini?

Baru saja ia memikirkan Tong Lam-hou, seorang prajurit telah masuk ke kemahnya, berlutut dan melapor, "Ciangkun. Tong Congpeng mohon menghadap."

"Suruh dia masuk," sahut Pakkiong Liong acuh tak acuh sambil menenggak araknya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget seperti disengat kalajengking, prajurit yang sudah hampir keluar itu-pun diteriakinya, "He, siapa yang hendak menghadap tadi?!”

"Tong Congpeng," sahut prajurit itu.

"Tong Congpeng siapa?"

"Tong Congpeng Tong Lam-hou..."

Begitu bibir prajurit itu terkatup, Pakkiong Liong sudah melompat ke pintu kemah dan hampir saja bertabrakan dengan Tong Lam-hou yang telah melangkah masuk....
Selanjutnya;