Pendekar Naga dan Harimau Jilid 46 (Tamat) |
Pada saat pertempuran semakin seru, maka kira-kira tiga atau empat li di sebelah timur arena itu ada seorang penunggang kuda yang berpacu menuju ke arena tanpa peduli hujan yang membuat tubuhnya dan tubuh kudanya basah kuyup. Pakaiannya adalah pakaian yang indah seperti pakaian pejabat istana, dilengkapi dengan pedang bersarung perak yang tergantung di pinggang kirinya.
Namun pakaiannya yang indah itu jadi nampak tidak karuan karena sudah diguyur air hujan. Sementara orangnya sendiri nampak bermata merah karena kurang tidur, namun dengan nekad ia terus berpacu ke arah pesanggrahan para prajurit. Ketika ia mendekati pesanggrahan, beberapa prajurit hendak merintaginya karena belum kenal siapa orang itu, namun orang berkuda itu cepat mengangkat segulung kain berwarna kuning emas yang terpegang dengan tangan kanannya, sambil berteriak, "Aku To Ki-hong perwira berpangkat bu-ciang dari Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana) membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! Siapa yang memperlambat jalannya perintah ini terancam hukuman mati!" Melihat bahwa orang itu benar-benar membawa gulungan perintah Kaisar, para prajurit itu tidak berani merintanginya. Orang itu bertanya, "Di mana Pakkiong Liong dan Muyong Beng? Suruh keluar!" "Mereka berada di arena. Pakkiong Ciangkun sedang melakukan duel untuk menentukan kesudahan perang ini, melawan Tong Cong... eh, Tong Lam-hou..." Tanpa menantikan selesainya jawaban itu, si pembawa perintah Kaisar yang mengaku bernama To Ki-hong itu segera membedalkan kudanya ke arah suara ramai-ramai di kejauahan sana. Ia yakin bahwa itulah tempat yang dijadikan arena duel Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou itu. Para prajurit tidak merintanginya lagi meskipun merasa heran bahwa seroang perwira dari Pasukan Pelindung Istana bisa berkeliaran sampai sedemikian jauhnya dari Pak-khia dan nampak terburu-buru pula. Sementara itu, duel antara Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sudah melewati puncaknya namun tetap belun bisa ditebak siapa yang akan mengalahkan lawannya. Kedua orang itu sudah sama-sama terluka dan gerakan merekapun mulai mengendor karena kelelahan. Saat itulah arena dikejutkan dengan munculnya To Ki-hong yang menerjangkan kudanya ke tengah-tengah arena itu sambil mengangkat tinggi-tinggi gulungan kuningnya dan berteriak, "Hentikan! Hentikan...!" Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou memang agak mengendorkan gerakan-gerakan mereka namun tidak berhenti. Tapi setelah penunggang kuda itu berteriak, "Aku membawa perintah Kaisar untuk Pakkiong Liong dan Muyong Beng! barulah Pakkiong Liong terpaksa meloncat mundur dari gelanggang sambil berteriak, "Aku minta waktu, A-hou!" Tong Lam-hou pun menghentikan serangannya sambil berkata, "Silahkan, A-liong." Pakkiiong Liong dan Muyong Beng segera berlutut di deapan pembawa peintah Kaisar, sementara perwira-perwira lainnya seperti Han Yong Kim, Tamtai Au-kha dan lain-lainnyapun berlutut pula, jantung anak buat Pakkiong An seperti Muyong Beng dan Tamtai Au-kha diam-diam berdebar kencang sebab mereka menebak-nebak dalam hati, siapakah yang disebut “Kaisar” sekarang ini? Masih si “ingusan” Hian-hua yang bergelar Khong-hi ataukah sudah berhasil diambil alih oleh Pakkiong An? Sementara para perwira musuh berlutut mendengarkan pemabacaan perintah kaisar itu ternyata pihak Hwe-liong-pang dan kawan-kawannya tidak berbuat apa-apa kecuali ikut mendengarkan perintah kaisar itu meskipun tanpa berlutut, mereka ikut menghormati sikap Tong Lam-hou yang menghentikan duelnya sejenak untuk gencatan senjata. To Ki-hong si perwira Lwe-teng-wi si pembawa perintah Kaisar itupun berdiri tegak dan membuka gulungan kain kuning itu untuk dibacakan dengan suara lantang, "Perintah Kaisar! Pakkiong Liong dan Huyong Beng harus segera menarik pasukannya ke Pak-khia. Perintah untuk menangkap Tong Lam-hou dicabut sebab ternyata Tong Lam-hou tidak bersalah dan hanya terfitnah saja. Tertanda Khong-hi" Pakkiong Liong, han Yong-kim dan perwira-perwira Hui-liong-kun lainnya segera berseru serempak, "Ban-swe! (Panjang umur Kaisar)" Sebaliknya Muyong Beng dan Tamtai Au-kha yang merupakan pengikut-pengikut setia Pakkiong An itu menjadi terkejut dan kecewa mendengar hal itu. Sadarlah mereka bahwa gerakan pengambil-alihan Singgasana Naga yang diatur selama bertahun-tahun oleh Pakkiong An itu ternyata telah gagal, artinya lenyap pula impian tentang pangkat yang tinggi serta gelar kebangsawanan yang selama ini dijanjikan Pakkiong An kepada pengikut-pengikut-rijra. Bahkan apabila seluruh komplotan Pakakiong An gagal, berarti mereka semua terancam hukuman mati, termasuk Muyong Beng dan Tamtai Au-kha, sebab mencoba menggulingkan Kaisar adalah kesalahan tak berampun. Karena itu tiba-tiba saja Muyong Beng meloncat sambil menghunus pedangnya dan menikam ke arah To Ki-hong sambil berteriak, "Bohongi. Berani kau memalsukan perintah Kaisar?!" Namun perwira Lwe-teng-wi-su itu-pun bukan seorang yang berilmu rendah. Prajurit-prajurit Pengawal Istana adalah prajurit-prajurit yana terkenal ketangguhannya, apalagi kalau seseorang sampai berhasil mencapai pangkat perwira, tentu telah dianggap cukup mampu sesuai dengan kedudukannya. Maka tikaman Muyong Beng dapat dielakkannya dengan melompat ke belakang, bahkan kemudian ia pun menyabut pedangnya dan membentak ,"Muyong beng, berani kau bersikap kurang ajar terhadap seorang utusan Kaisar?" Muyong Beng agaknya sudah begitu goncang jiwanya sehingga pengendalian dirinya sudah buyar beterbangan. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan berteriak, “Utusan Kaisar? ha-ha-ha, mana bisa di ingusan Khong-hi itu bertahan di singgasananya kalau Pakkiong Ciangkun sudah mengincarnya?! Ha-ha saat ini Pakkiong Ciangkung (maksudanya Pakkiong An) tentu sudah menjadi kaisar dan siapa yang tidak tunduk kepada Kaisar baru itu akan berhadapan dengan aku, aku adalah Panglima Besar kepercayaan Sri Baginda Pakkiong An!” Demikian Muyong Beng berteriak-teriak, menandakan bahwa sarafnya sudah terganggu karena terpukul oleh kekecewaannya yang luar biasa. Akhirnya ia kehabisan tenaga dan kemudian guling-guling di tanah yang basah oleh air hujan sambil menangis tersedu-sedu, bercampur tertawa dan bercampur pula dengan caci maki entah kepada siapa. Dengan gampang dua orang prajurit kemudian meringkusnya dan mengikatnya. Sedang Tamtai Au-kha juga tidak melawan sedikitpun ketika hendak diikat, tapi ia masih berkata untuk meringankan keslahannya, "Aku memang sering diajak bicara oleh Pakkiong An, namun sungguh sungguh mati aku tidak tahu kalau ada urusan semacam ini..." Sahut si utusan Kaisar, "Jangan kuatir, saudara Tamtai, kalau kau terbukti tidak bersalah tentu akan dibebaskan dan dikembalikan ke kedudukannya yang semula. Pengadilan akan berjalan bersih, tidak seperti pengadilan yang diatur oleh Pakkiong An ketika mengadili saudara Tong Lam-hou dulu." Sementara itu, kaum pendekar di Hek-ku-nia menyaksikan apa yang terjadi di depan mata itu dengan melongo heran. Tadinya mereka menganggap bahwa apa yang dikatakan Tong Wi-hong atau Tong Lam-hou tentang adanya perbedaan antara "Manchu yang jahat” dan "Manchu yang baik" itu cuma dibuat-buat saja, namun kini adegan yang terpampang di depan mata mencerminkan betapa di Pak-khia sendiri selalu terjadi pergolakan perebutan pengaruh antara kekuatan-kekuatan di Istana. Pergolakan yang tidak menggunakan senjata, tetapi akibatnya tidak kalah gawatnya sebab bisa menentukan ke arah mana kerajaan besar itu hendak diarahkan Dan meskipun dengan beberapa kelemahan, Kaisar Khong-hi dapatlah disebut "Manchu yang baik hati” dan jauh lebih baik daripada negara dikendalikan orang semacam Pakkiong An, atau bahkan semacam Kaisar Congceng dari dinasti Beng. Sementara itu, To Ki-hong menoleh kepada Tong Lam-hou dan berkata, "Kaisar menyampaikan beberapa pesan lisan kepadamu, saudara Tong.” Cepat Tong lam-hou membungkuk hormat namun tidak berlutut, sambil menyahut, "Tong Lam-hou mendapat kehormatan besar dengan hal ini, saudara To. Silahkan bicara." "Sri Baginda masih muda, namun ia menyadari bahwa ia telah khilaf dalam beberapa tindakannya terhadapmu dan terhadap Hwe-liong-pang, untuk itu Kaisar tidak segan-segan minta maaf..." kata To Ki-hong, namun kata-katanya itu terputus oleh ucapan Tong Lam-hou. "Nanti dulu, saudara To, biar orang-orang Hwe-liong-pang sendiri mendengar pesan Kaisar itu. Kau tidak keberatan?" To Ki-hong ragu-ragu sejenak, "Kalau mereka mendengar permintaan maaf dari Kaisar, apakah martabat Kaisar tidak akan jatuh di mata mereka?" Sahut Tong Lam-hou, "Justru tidak, orang justru akan menganggap Kaisar adalah seorang berjiwa besar yang sanggup melihat kesalahannya sendiri dan punya keberanian untuk minta maaf secara jantan. Orang akan bertambah hormat kepada beliau. Lagi pula, apa gunanya permintaan maaf kalau tidak didengar sendiri oleh pihak yang hendak dimintai maaf?" "Kau benar, saudara Tong, mudah-mudahan hal ini tidak menjatuhkan martabat Kaisar tapi malahan bisa menambah tenteramnya negeri ini. Nah, panggillah mereka mendekat." Tong Lam-hou segera memanggil Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan para Tongcu untuk mendekat. Bahkan juga Tong Wi-hong serta beberapa tokoh dari macam-macam perguruan. Di hadapan mereka To Ki-hong berkata, "Saudara-saudara, aku membawa pesan lisan Kaisar untuk saudara Tong Lam-hou dan juga untuk Hwe-liong-pang. Kaisar memang masih seorang muda sehingga ia merasa bersikap agak keterlaluan terhadap saudara Tong dan Hwe-liong-pang. Untuk itu Kaisar menyatakan penyesalan, sekaligus bahwa di kemudian hari kalian bisa diajak kerjasama untuk mensejahterkan negeri ini." Orang-orang Hwe-liong-pang itu tertegun mendengar itu, betapapun hati mereka masih terpengaruh oleh kemarahan, namun mendengar bahwa pihak "musuh" berani minta maaf lebih dulu maka mereka tersentuh juga perasaannya. Sesaat mereka saling bertukar pandangan, dan kemudian Siangkoan Hong berkata mewakili kaumnya, "Bagus, kalau seorang Kaisar berani melihat kekeliruan dirinya sendiri, itu berarti negeri ini ada harapan untuk mencapai kemakmuran dibawah pemerintahannya. Tidak seperti Cong-ceng yang dengan gampang menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang tidak disenanginya." Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban Siangkoan Hong itu. Tapi ia masih bertanya kepada lain-lainnya, "Bagaimana pendapat saudara-saudara Hwe-liong-pang lain." "Aku kira, pendapat Siangkoan Hiangcu cukup mewakili pendapat kami. Bunuh membunuh memang sebaiknya dihentikan. Asal Kaisar bisa menjadi pelindung yang baik bagi rakyatnya, kamipun tidak akan mengacau, tapi kalau tidak, kami akan mengangkat senjata," kata Oh Yun-kim. "Apakah selama ini Kaisar kurang baik?" tanya To Ki-hong dengan alis berkerut karena melihat "kekurangajaran" Oh Yun-kim itu. Sahut Oh Yun-kim, "Cukup baik. Hanya saja jangan mudah terhasut oleh kawanan dorna semacam Pakkiong An. Dan sebaiknya sering keluar istana untuk mencoba melihat dan merasakan sendiri bahwa masih ada sebagian rakyat yang hidup susah. Nasib mereka harus diperbaiki." "Sejak kapan kau diangkat jadi Penasehat Kaisar?" bentak To Ki-hong dengan mata melotot. Suasana jadi memanas sejenak, tapi Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou cepat-cepat menengahinya. Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong, "Saudara To, jangan mudah menjadi panas mendengar ucapan macam itu. Bagaimanapun rakyat kecil berhak menyuarakan keluhannya, sebab bagi mereka Kaisar adalah bagaikan ayah mereka. Kita harus mendengarkan apa yang mereka katakan." "Aku mengerti, saudara Pakkiong. Tapi orang harus bicara sedikit sopan dalam menyebut-nyebut nama Kaisar junjungan kita." "Benar, namun terlalu banyak pulasan malah membuat seseorang jadi munafik, sedang orang yang kedengarannya bicaranya kasar malahan menunjukkan isi hatinya yang sebenarnya. Tidak ada yang tersembunyi lagi. Jangan seperti pamanku sendiri, Pakkiong An, yang pintar bicara dan bermanis-manis muka di hadapan Kaisar tapi ternyata malah ia punya niat untuk berkhianat!" Akhirnya To Ki-hong dapat menerimanya, dan suasana pun "mendingin" kembali. Oh Yun-kim juga mulai reda kemarahannya. Ia harus menahan diri "supaya perdamaian yang hampir tercapai itu menjadi berantakan kembali hanya karena salah seorang tidak bias mengendalikan diri. "Saudara To, sebenarnya apa yang sudah terjadi di ibukota, sehingga kau menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa seperti ini?" Saat itu sebenarnya To Ki-hong sudah ingin tidur, karena sudah empat malam ia berpacu di atas kuda tanpa tidur sekejappun, demi menjalankan perintah Kaisar agar jangan sampai terlambat. Namun kini terpaksa ia bercerita dengan didengarkan oleh perwira-perwira kerajaan maupun para pendekar. "Pakkiong Ciangkun, sebenarnya inilah hasil karyamu yang gemilang, meskipun kau jauh dari Ibukota tetapi kehadiranmu terasa sekali di Ibukota, meskipun tidak langsung, sehingga Kaisar sangat berterima kasih kepadamu...." Pakkiong Liong tertawa, "Kau bicara berputar-putar, saudara To." To Ki-hongpun tertawa, "Baik, aku bicara singkat. Setelah Ibukota Kerajaan kau tinggalkan, saudara Pakkiong, maka gerak-gerik Pakkiong An makin mencurigakan dan makin berani, agaknya karena dia beranggapan tidak ada lagi yang cukup berarti untuk merintangi ambisinya untuk menduduki tahta. Namun karena kelengahannya, segala gerak-geriknya itu berhasil dibongkar oleh seorang perwira dari pasukan rahasiamu saudara Pakkiong, yaitu Lim Tong-eng. Lim Tong-eng segera melaporkan kepada Ha To-ji yang mewakilimu di Pak-khia, dan Ha To-ji lapor kepada Kaisar sambil menggalang kekuatan-kekuatan yang setia kepada Kaisar. Ketika Pakkiong An mencium itu, iapun berusaha menggerakkan kekuatannya untuk merebut tahta secara kekerasan, namun karena kurang persiapan maka akhirnya Pakkiong An sendirilah yang tergulung beserta semua komplotannya. Saat ini barangkali ia dan kawan-kawannya sudah menjadi setan-setan tanpa kepala..." Pakkiong Liong menarik napas. Dalam percaturan kekuasaan, Pakkiong An adalah lawannya, tapi dari hubungan keluarga ia adalah pamanya, maka ia agak sedih juga mendengar berita kematiannya. Namun itu adalah salah pamannya sendiri yang terlalu haus kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun yang dipakai, akhirnya yang didapatkannya bukannya singgasana melainkan golok sang algojo. Tapi kegembiraan yang didapatkan hari itu lebih besar dari kesedihannya. Ia tidak jadi saling bunuh dengan Tong Lam-hou, selain itu kaum Hwe-liong-pangpun agaknya dapat "dilunakkan" sehingga tahun-tahun mendatang diharapkan keadaan negeri akan lebih tenteram. Bagaimanapun Hwe-liong-pang adalah golongan yang terbesar yang menentang pemerintahan Manchu, maka apabila itu menjadi "jinak" maka golongan-golongan lain pun akan kehilangan semangatnya. Kemudian To Ki-hong berkata kepada Tong Lam-hou, "Saudara Tong, Kaisar tidak ingin memaksamu, tapi kedudukanmu yang telah kau tinggalkan karena pokal Pakkiong An dulu, dapat kau tempati kembali bila kau mau." Namun sebelum Tong Lam-hou menjawab, terdengar Auyang Siau-pa sebagai Jinq-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijaui Hwe-liong-pang berkata, "Saudara Tong, kami sudah melihat keteguhan hatimu dan cita-cita luhurmu untuk perdamaian negeri ini, karena itu saudara harus memimpin Hwe-liong-pang." "Benar," sahut Yu Leng-hoa yang baru beberapa hari menjabat Ui-ki Tong cu (Tongcu Bendera Kuning) menggantikan Kwa Heng yang gugur itu. "Dalam diri Tong Pangcu kita seolah-olah menemukan pribadi mendiang Tong pangcu seutuhnya." Segera Tong-cu-tongcu lainnya pun bersorak mendukung usul itu. Melihat itu, Pakkiong Liong berkata kepada To Ki-hong sambil tersenyum, "Saudara To, kalau melihat gelagatnya, kita harus mengalah. Perdamaian negeri seperti yang dicita-citakan Sri Baginda akan lebih cepat tercapai apabila Hwe-liong-pang dipimpin orang sematang Tong Lam-hou." "Kita tanyai saudara Tong dulu. “Bagaimana, saudara Tong?" Sahut Tong Lam-hou, "Saudara To, pengabdianku kepada negeri ini sama saja lewat jalur yang manapun. Tapi daripada saudara-saudara Hwe-liong-pang ini berkeliaran seperti anak ayam kehilangan induknya, dan mudah dihasut oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh, lebih baik kalau aku bersama mereka." To Ki-hong tak dapat bersikap lain kecuali memberi hormat, "Kalau begitu, ucapan selamatku untuk Tong Pangcu (Ketua Tong), mudah-mudahan Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tong Pangcu akan semakin berkembang ke arah yang menguntungkan perdamaian." Sementara Pakkiong Liong berkata pula, "Aku juga mengucapkan selamat. Sekarang antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang harus bantu membantu demi kepentingan majikan bersama kita..." Ucapan itu agak mengejutkan orang-orang Hwe-liong-pang. Dengan alis berkerut kurang senang Lu Siong bertanya, "Siapa majikan itu?!" Pakkiong Liong menjawab sambil tersenyum, "Rakyat, bukankah kita sama-sama berkewajiban untuk membuat majikan kita itu hidup tenteram, kenyang dan berpakaian pantas?" Orang-orang Hwe-liong-pang yang hampir marah mendenar ucapan Pakkiong Liong tadi, kini tertawa pula mendengar jawaban itu. Dan merekapun mengangguk-angguk setuju. Sementara Pakkiong Liong telah saling menggenggam tangan dengan Tong Lam-hou, sambil berkata, "A-hou yang tadi itu rasanya seperti mimpi buruk bukan?" "Benar, terlalu mengerikan untuk sebuah latihan. Betapa ngerinya seandainya utusan Kaisar itu datang setelah salah satu dari kita terkapar mampus." "Nah, aku akan kembali ka Pak-khia. Kapan kaupun berkunjung ke Pak-khia, sebab kau tidak dianggap buronan lagi? Di sana ada seorang yang menunggumu. Bukan Ha Toji, tentunya." Wajah Tong Lam-hou agak tersipu merah seperti anak perawan ditawari untuk kawin. Katanya, "Aku akan ke sana setelah membenahi kembali Hwe-liong-pang yang kini terbeban di pundakku. Aku minta kau mewakili aku untuk menyuguhkan tiga cawan arak, masing-masing kepada Lim Tong-eng dan Ha To-ji. Dan sembah sujudku untuk Sri Baginda." "Akan kusampaikan. Jangan lagi hanya tiga cawan, sedangkan tiga ratus cawanpun kulakukan karena akupun bersyukur kepada mereka." "Selamat jalan." "Selamat tinggal." Hujan berhenti dan mendung tersingkir, matahari muncul kembali ketika pasukan kerajaan itu membentuk sebuah barisan panjang dan meninggalkan dataran rumput yang meninggalkan kesan mendalam pada diri mereka itu. Tong Lam-hou termangu-mangu memandangi bendera Hui-liong-kun yang seakan melambai-lambai kepada dirinya itu, sampai terasa ada seseorang yang menggamitnya dari samping dan bertanya, "Siapa yang oleh Pakkiong Ciangkun dimaksudkan masih menunggumu di Pak-khia itu?" Tong Lam-hou menoleh dan melihat bahwa yang bertanya itu adalah Ting Hun-giok, maka dijawabnya, "Dia adalah lawan beratmu dalam hal kecerewetan, kejahilan mengganggu orang lain, dan juga keayuan." "Wah, kapan aku boleh memanggilnya Soso (kakak ipar perempuan)?" "Jangan cerewet." "Aku akan melaporkannya kepada paman Wi-hong..." "Jangan!" Tapi Ting Hun-giok berlari menjauh, sementara Im Yao terus "melekat" seperti lintah di belakang gadis itu. Tong Lam-hou tersenyum. "Ibu harus segera diberitahu pula dan kalau bisa pindah ke Tiau-im-hong di markas Hwe-liong-pang..." Sementara itu, jauh dari arena pertempuran, Sebun Him berjalan seorang diri sambil menggerutu, "Keparat! Perhatian semua orang hanya ditujukan kepada Tong Lam-hou yang hanya bermain sandiwara dengan Pakkiong Liong, seolah dia seolah-olah pahlawan besar. Sedangkan aku yang sudah banyak berbuat untuk laskar malahan didiamkan saja Keparat. Suatu ketika kelak mereka akan menggigil ketakutan mendengar nama Sebun Him." TAMAT
|
Selanjutnya;
|