Pendekar Naga dan Harimau Jilid 44Karya : Stevanus S.P |
Bu-gong Hweshio nampaknya berhasil mendesak Muyong Beng. Namun apa artinya kemenangan seorang atas seorang lainnya dalam pertempuran besar-besaran, macam itu? Bu-gong Hweshio hanya berharap bila ia berhasil membunuh Muyong Beng maka pasukannya akan kocar-kacir kehilangan pimpinan. Perhitungan yang terlalu sederhana dari seorang pendekar rimba persilatan yang sama sekali tidak tahu seluk-beluk peperangan . Lagipula Muyong Beng bukan seorang yang berilmu silat rendahan, namun memiliki ilmu tombak yang cukup berbahaya dan dikuasainya dengan baik.
Waktu itu, laskar Hek-ku-nia yang berdiri di atas dinding sudah tidak nampak lagi. Semuanya sudah dikerahkan ke bawah untuk melawan musuh yang jauh lebih banyak. Sedangkan prajurit-prajuritnya Muyong Beng yang bertugas merusak pintu itupun sudah berhasil membuat lubang besar dengan kampak-kampak mereka. Maka dengan dahului oleh perwira-perwira berilmu silat tinggi yang memegang perisai di depan tubuh mereka, merekapun menyerbu masuk lewat lubang itu. Di antara mereka terlihat To Hok-leng ikut menerobos masuk. Pertempuran baru segera berkobar di balik pintu gerbang yang dengan sia-sia sudah dicoba untuk dipertahankan oleh Bu-gong Hweshio berlima itu. Begitu berada di dalam, kampak besar To-hok-leng kembali terayun menyebarkan irama maut dan beberapa korbanpun jatuh bergelimpangan. Tapi ia tidak bisa mengumbar nafsu haus darahnya sepuas hati, sebab ia bertemu lagi dengan musuhnya yang kemarin juga. Sebun Him, si pendekar muda bertangan kidal dari Hoa-san-pay yang sedang getol-getolnya mengangkat nama besar buat dirinya sendiri. Di tangan kirinya tergenggamlah pedangnya yang lebih besar, lebih tebal dan lebih panjang dari pedang ukuran biasanya, sesuai dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar. "Kemarin pertempuran kita terlalu singkat waktunya sehingga aku tidak sempat memenggal kepalamu," kata Sebun Him dingin. "Sekarang akan kutuntaskan pekerjaanku yang kemarin belum Belesai." Hati To Hok-leng bergetar karena kemarin ia sudah merasakan betapa lihainya anak muda itu. Tapi di hadapan sekian banyak kawan maupun lawan, sudah tentu To Hok-leng sebagai gembong golongan hitam terkenal tidak sudi menunjukkan rasa takutnya kepada Sebun Him yang munculnya di dunia persilatan belum genap setahun itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia segera melompat ke depan dengan jurus Hek-hau-tiau-kan-(Macan Hitam Meloncati Parit) di mana mata kampaknya menebas tegak ke dada Sebun Him. Ketika Sebun Him meloncat mundur maka ia lanjutkan dengan Hek-hou-teng-san (Macan Hitam Naik ke Gunung), dengan tubuh setengah berjongkok ia gerakkan kampaknya untuk menebas leher lawan dari bawah ke atas. Tapi lagi-lagi Sebun Him dapat mengelakkannya dengan loncatan pendek, dan detik berikutnya pedang Sebun Himlah yang bergulung melibat lawannya. Meskipun semangat tempur To Hok-leng tidak sebesar kemarin, tetapi kalau sudah menyangkut urusan keselamatan nyawa, terpaksa iapun mempertahankan dirinya dengan sungguh-sungguh. Tapi ia sadar bahwa Sebun Him benar-benar merupakan lawan yang sulit diatasinya. Dalam pertempuran-pertempuran sebelumnya, dengan mengandalkan tenaga besarnya dia selalu berusaha membenturkan senjatanya ke senjata lawan agar kedudukan lawan rusak. Namun kali ini ia tidak bisa berbuat demikian, sebab itu sama saja dengan mencari penyakit. Sedang dalam hal kecepatan gerakpun dia ternyata kalah dari lawannya yang muda itu, sehingga dalam beberapa puluh jurus saja ia sudah terdesak oleh Sebun Him. Tapi gambaran pertempuran Sebun Him dengan To Hok-leng itu bukan gambaran yang mewakili medan perang secara keseluruhan. Di bagian manapun, laskar Hek-ku-nia terdesak mundur setapak demi setapak, meskipun mereka sudah bertahan sekuat tenaga, dan para pendekar berilmu tinggipun sudah mengerahkan segenap kemahiran mereka masing-masing. Namun untuk maju setapak demi setapakpun pihak Ui-ih-kun harus berjuang maha keras, setiap jengkal tanah mereka rebut dengan berpuluh-puluh korban di pihak mereka. Dimedan sebelah timur, Tong Wi-hong dan lain-lainnyapun sudah terdesak sehingga dari semua arah laskar Hek-ku-nia bagaikan "digiring" ke tengah barak untuk dimusnahkan di situ. Dalam hiruk-pikuknya pertempuran hebat itu, Ting Hun-giok telah terpisah dari rombongan ayah ibunya, pamannya dan saudara-saudara sepupunya. Seorang diri ia terjebak di sebuah lorong, kiri kanannya adalah barak-barak yang sudah terbakar, sementara dari depan dan dari belakang prajurit-prajurit musuh terus menyerbu. Sambil mengertak gigi, gadis itu memutar goloknya yang sudah berwarna merah darah itu, belasan musuh sudah dirobohkannya. Tapi gadis itupun mulai kelelahan, keringat membasahi seluruh wajah dan tubuhnya, sementara tangannya yang memegang golok mulai terasa pegal-pegal dan gerakannyapun tidak mantap lagi, sementara musuh kelihatannya tidak semakin berkurang tetapi malahan semakin banyak. Yang membuat Ting Hun-giok merasa ngeri bukanlah kematian, bahkan andaikata tubuhnya tercincang hancur sekalipun, melainkan ketika melihat sikap prajurit-prajurit yang mengepungnya itu sangat kurang ajar. Yang terancam bukan cuma nyawanya tetapi juga kehormatannya. "Jangan lukai, tangkap dia hidup-hidup! teriak seorang perwira setengah tua yang hidungnya merah dan matanya berair, menandakan orang yang memanjakan nafsunya. "Dia masih perawan dan tentu lebih hebat mainnya dari perempuan di kota Wan-cuan dulu!" Prajurit-prajurit lainnyapun tertawa-tawa sambil mengeluarkan kata-kata cabul yang memerahkan telinga Ting Hun-giok. Namun prajurit-prajurit itu juga harus berhati-hati sebab di tangan Ting Hun-giok masih ada sebatang golok yang salah-salah bisa menggorok leher mereka. Ada dua rekan mereka yang mampus tersambar golok ketika mencoba merayu gadis itu. Sementara itu Ting Hun-giok bisa mengertak gigi dengan geram sambil melawan mati-matian. Jika menuruti perasaan kewanitaannya, tentu ia ingin menangis dan menjerit sepuasnya untuk melampiaskan kepepatan hatinya, tapi ia mengerti bahwa jika ia berbuat demikian maka lawan-lawannya akan semakin senang menggangunya. Karena itulah Ting Hun-giok bertekad melawan mati-matian, kemudian jika sudah tidak sanggup melawan lagi barulah ia akan menggigit lidahnya sendiri sampai mati. Lebih baik mati daripada tubuhnya dijadikan sasaran pesta pora prajurit-prajuritnya Pakkiong An itu. "Kuda betina ini agak binal juga, thongleng (tuan perwira)!" teriak seorang prajurit sambil enangkis golok Ting Hun-giok dengan perisainya. "Aku justru senang, semakin binal akan semakin mengasyikkan untuk menungganginya!" sahut perwira berhidung merah itu. Namun kemudian tempa: itu digetarkan teriakan kesakitan dari prajurit yang menyebut Tong Hun-giok dengan sebutan, "kuda b|tina" tadi. Sebab di saat perisainya menangkis golok gadis itu dari atas, maka tanpa terlihat tahu-tahu kaki Ting Hun-giok sudah melayang dan mendarat keras di antara kedua pahanya sampai mengeluarkan suara berdetak keras. Dalam hal ilmu menendang, Ting Hun-giok sudah mendapat gemblengan ibunya yang ahli dalam soal menendang itu, sehingga tendangannya kali inipun langsung membuat prajurit itu terjungkal dengan wajah pucat. Entah hanya pingsan entah langsung mampus, tapi Ting Hun-giok tidak sempat memperhatikannya sebab sebatang tangkai tombak telah melayang dari samping menghantam pundaknya sehingga gadis itu sempoyongan. Agaknya prajurit itu sengaja tidak menggunakan ujung tombaknya, karena ia hanya ingin menangkapnya hidup-hidup. Di saat itulah seorang prajurit lainnya juga mengambil kesempatan untuk menendang pergelangan tangan kanan Ting Hun-giok, sehingga golok gadis itu terpental lepas dari tangannya. Lalu dengan tangan kiri ia siap melumpuhkan gadis itu dengan tangan kirinya yang dipukulkan ke tengkuk. Namun tiba-tiba terdengar bentakan dahsyat menggertakkan tempat itu, "Tahan!" Bukan, bentakan yang asal keras saja, namun mengandung perrbawa yang berat sehingga membuat hati prajurit-prajurit itu tergoncarg, bahkan beberapa orang sampai ciut nyalinya. Itulah ilmu Sau-cu-hau (Geraman Harimau). Prajurit yang hampir berhasil memukul Ting Hun-giok pada tengkuknya itupun tak terasa membatalkan tindakannya, sehingga memberi kesempatan kepada Ting Hun-giok untuk menjotoskan kepalanya ke pingggang dengan gerakan Hek-hou-tou-sim (Macan Hitam Mencuri Jantung), sehingga prajurit itu terjungkal pingsan. Kini semua mata menoleh ke arah asal suara bentakan itu, dan tidak peduli mata Ting Hun-giok maupun mata para prajurit itu sama-sama terbelalak karena hampir tak percaya akan apa yang mereka lihat. Beberapa prajurit mengucak-ucak matanya, namun yang dilihatnya itu memang kenyataan dan bukan gambaran semua saja. Di antara kobaran api yang dahsyat yang tengah menelan sebuah barak itu, nampak sesosok tubuh berpakaian serba hitam dengan kedok hitam pula yang menutupi separuh mukanya, berdiri di tengah-tengah kobaran api namun tak terjilat oleh api. Dari tempatnya berdiri, sejauh dua tombak keliling api padam dengan sendirinya seolah tak dapat mendekati tubuh orang berpakaian serba hitam itu. Orang yang melihatnya jadi kebingungan entah berhadapan dengan malaikat atau siluman? Orang berpakaian serba hitam itu lalu melangkah keluar dari tengah-tengah korban api itu dengan tenangnya seperti berjalan di taman bunga saja, dan api yang berkobar padam sendirinya jika ia melewati tempat itu, bahkan baranya yang menyalapun padam seperti disiram air. Setelah orang itu cukup dekat dengan Ting Hun-giok dan prajurit-prajurit itu barulah terasa bahwa dari tubuh orang itu ternyata memancarkan hawa yang begitu dinginnya sampai mengatasi kobaran api, sehingga di mana dia lewat maka ia mampu menindas kobaran api dengan hawa dingin di tubuhnya itu. Jelaslah orang ini memiliki ketinggian ilmu yang bukan main-main, udara dingin dari tubuhnya itu apabila dipancarkan dengan pukulan akan sanggup membekukan seluruh cairan dalam tubuh sasarannya termasuk darahnya, dan tentu saja si korban akan mampus seketika. Dengan tajamnya orang berkedok itu menatap para prajurit, dan berkata dingin, "menyingkir, supaya aku tidak perlu bertindak keras dengan membuat kalian mati beku di tempat ini." Prajurit-prajurit itu banyak yang berasal dari Pak-khia, sehingga samar-samar merekapun dapat mengenali bentuk tubuh maupun suara orang berkedok hitam itu. Si perwira setengah tua berhidung . merah itu dengan suara gemetar berkata, "Kau...kau... Tong Congpeng?" Orang berkedok itu tertegun, kedoknya agaknya tidak dapat menyembunyikan diri sepenuhnya dari pandangan mata prajurit-prajurit itu, karena di Pak-khia dia adalah seorang yang memiliki ketenaran sejajar dengar Pakkiong Liong, Panglima Hui-liong-kun. Akhirnya orang berkedok itupun merenggut kedoknya dari wajahnya, dan ternyata dia memang Tong Lam-hou. Kepada prajurit-prajurit di hadapannya itu. Tong Lam-hou berkata setengah membujuk setengah mengancam, "Saudara-saudara, mengingat akupun bekas prajurit kerajaan seperti kalian, aku tidak akan membunuh kalian apabila kalian cukup tahu diri untuk menyingkir dari sini." Para prajurit itu tahu benar bagaimana dahsyatnya Tong Lam-hou di medan perang, beritanya sampai mengguncangkan seluruh negeri. Namun untuk mundur begitu saja, para prajurit itu-pun takut dihukum oleh atasannya. Kata perwira berhidung merah itu sambil memberi hormat, "Tong Congpeng, kau bekas seorang prajurit sehingga kau tentu tahu pula bagaimana kewajiban seorang prajurit terhadap tugas yang diletakkan di pundaknya. Gugur demi kerajaan yang besar ini akan menjadi kebanggaan kami." Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kalian di sini bukan gugur demi Negara dan Kaisar, melainkan demi Pakkiong An si tua bengek itu. Ia mengorbankan ribuan prajurit macam kalian di medan perang hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan atas kematian anaknya, Pakkiong Hok. Dan selama kalian mengadu jiwa di sini, di Pak-khia sendiri Pakkiong An sudah merebut kekuasaan pemerintahan. Dan kalian tidak usah mengharap tanda jasa apapun untuk bahaya yang kalian tempuh di sini, yang akan menerima tanda jasa adalah Muyong Beng, Tamtai Au-kha dan sebagainya sementera banyak isteri kalian menjadi janda, anak-anak kalian menjadi kelaparan dan menanyakan ayahnya, tapi sudikah Pakkiong An memperhatikan hal itu?" Para prajurit itu termangu-mangu merasakan kebenaran kata-kata Tong Lam hou yang betapapun adalah bekas orang yang mereka hormati di Pak-khia, biarpun berbeda pasukan. Sementara Tong Lam-hou berkata lebih lanjut, "Aku tahu kalian akan menang dalam perang ini. Tapi kalian lihat bagaimana orang orang Hwe-liong-pang itu melawan? Meskipun kalian menang tapi bangkai kalian akan bertumpuk-tumpuk memenuhi bukit ini, yang pulang ke Pak-khia barangkali hanya seperlima dari kalian. Orang-orang Hwe-liong-pang boleh saja merasa berharga karena kematian mereka demi mempertahankan cita-cita dan pendirian mereka. Tapi kalian? Kalian bukan pahlawan, tapi mati konyol karena ditipu Pakkiong An dan hanya memenuhi nafsu serakah panglima tua yang gila kekuasaan itu!" Dengan ucapan-ucapannya itu Tong Lam-hou memang berhasil mematahkan se mangat prajurit-prajurit itu. Maka perwira berhidung merah itu segera memberi hormat kepada Tong Lam-hou secara ketentaraan, sahutnya, "Ucapan Congpeng memang benar, kami hanyalah seperti kayu-kayu kering yang dilemparkan ke dalam api, sementara dia. sendiri enak-enak di Pak-khia bermain kekuasaan. Terima kasih, Congpeng, aku mohon diri." Maka prajurit-prajurit itupun mengeloyor pergi. Mereka masih ikut bertempur di bagian lain, namun hanya dengan setengah hati dan lebih banyak cari selamat saja. Mereka masih ingin pulang kembali kepada keluarga mereka dengan badan utuh dan nyawa masih menempel di badan. Ucapan Tong Lam-hou masih saja terngiang-ngiang di telinga. Sementara itu, Ting Hun-giok bersyukur sekali dengan kedatangan Tong Lam-hou yang menolongnya dari malapetaka itu. Ia menganggukkan kepala dengan agak canggung, dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Cong-peng eh... piau-ko (kakak misan)!" Tong Lam-hou tersenyum melihat kecanggungan gadis itu, tadi ia sudah menyaksikan keberanian dan kebandelan gadis itu dan itu mengingatkannya kepada seorang gadis Manchu adik sepupu Pakkiong Liong di Pak-khia sana, yang mirip betul dengan adik sepupunya ini. Pakkiong Liong sering dibikin pusing oleh adik sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sepupunya itu, mungkinkah sekarang ia juga akan mengalami nasib sama dengan sahabatnya di Pak-khia i-tu? Sahut Tong Lam-hou, "Sudahlah, jangan seperti terhadap orang lain kita kan bersaudara. Yang penting, segeralah bergabung dengan ayah-ibumu dan paman serta bibimu, dan lebih berhati-hati, mengerti?" "Piau-ko sendiri hendak ke mana, kalau tidak bergabung dengan kami?" tanya Ting Hun-giok. "Paman Wi-hong sudah menerangkan kepada sekalian pendekar tentang pendirianmu yang menginginkan perdamaian dengan bangsa Manchu itu, dan nampaknya bisa diterima. meskipun kemudian suasana dirusak oleh kedatangan pasukan kerajaan yang hendak membantai kami ini." Sahut Tong Lam-hou, "A-giok, pasukan ini tidak diperintahkan oleh Sri Baginda Khong-hi melainkan hanyalah pokal Pakkiong An sendiri. Bahkan menurut perhitunganku, saat ini Sri Baginda di Pak-khia malahan juga sedang dibahayakan oleh pokal Pakkiong An yang memang sudah lama ingin mendongkel Sri Baginda dari singgasananya. Tolong kau sebarkan keterangan ini terhadap teman-temanmu. Nah, pergilah, aku masih harus berkeliling seluruh arena untuk mencoba mengundurkan pasukan Pakkiong An." “Baik, piau-ko, apakah piau-ko akan membabat mereka dengan ilmu udara dinginmu yang hebat itu?" "Itu hanya senjata terakhir. Manusia dikaruniai mulut dan akal budi untuk menyelesaikan segala persoalan dengan damai lebih dulu, meskipun ke dada karunia itu jarang digunakan. Manusia lebih sering menggunakan pedang lebih dulu, baru mulutnya. Aku kalau bisa ingin membujuk prajurit-prajurit musuh agar mereka jangan mau dikorbankan demi nafsu berkuasa Pakkiong An. Kalau tidak mau kunasehati, barulah kuhunus pedangku." "Jadi piau-ko akan bertempur di pihak kami melawan tentara Man...eh tentara Pakkiong An?" "Benar," sahut Tong Lam-hou, dan bersamaan dengan selesainya kata-katanya itu tubuhnya telah melayang pergi. Kobaran api yang menjilat langit dan panasnya bukan kepalang itu diterjang begitu saja seolah tidak ada apa-apanya. Ting Hun-giok menatap kakak sepupunya itu dengan kekaguman melihat kesaktiannya, sambil bergumam sendirian, "Piau-ko begitu lihai namun tingkah lakunya begitu lembut dan mengagumkan, berbeda dengan Sebun Him yang meskipun lihai namun bukan main sombongnya." Sementara itu, Tong Lam-hou benar-benar mengelilingi arena pertempuran itu. Apa yang dilakukannya adalah sama dengan yang dilakukan di tempat ia menemui Ting Hun-giok tadi. Diyakin-kannya para prajurit dan bahkan para perwira bahwa tidak ada gunanya membuang nyawa untuk Pakkiong An di bukit terpencil ini, sementara Pakkiong An sendiri bukan seorang yang menghargai hasil kerja bawahannya. Di satu bagian Tong Lam-hou berhasil, tapi di lain bagian ia bertemu dengan prajurit prajurit atau perwira-perwira yang setia kepada Pakkiong An sampai ke tulang sungsumnya, sehingga terhadap diri mereka itu tidak ada jalan lain bagi Tottg Lam-hou kecuali bertindak keras. Namun secara keseluruhan, kemunculan Tong Lam-hou itu mempengaruhi medan perang. Sebagian prajurit yang telah mendengar ucapannya menjadi setengah hati dalam bertempur, asal mempertahankan hidup saja. Sementara sebagian lainnya kehilangan dukungan teman-temannya. Maka desakan pasukan Ui-ih-kun yang tadinya terasa berat hampir tak tertahankan oleh pihak Hwe-li-ong-pang dan teman-temannya itu, tiba-tiba terasa mengendor dibeberapa bagian, padahal saat itu tengah haripun belum dan mustahil sebuah pasukan Ui-ih-kun kelelahan begitu cepat, padahal kemarin mereka sanggup berkelahi dari pagi sampai sore. Keheranan bukan saja menghinggapi orang-orang Hwe-liong-pang dan teman teman mereka, tapi juga prajurit-prajurit Ui-ih-kun sendiri. Mereka yang ada di garis depan dan membutuhkan bantuan dari barisan belakang supaya serangan dapat mengalir lancar, begitu yang diajarkan dalam latihan prajurit, tiba-tiba merasakan bantuan dari barisan belakang tidak lancar lagi. Terputus-putus, sehingga malah o-rang-orang Hwe-liong-pang mendapat kesempatan untuk mendesak balik. Sebagai panglima yang banyak pengalaman dan berpandangan tajam, Muyong Beng yang belum selesai bertarung melawan Bu-gong Hweshio itu juga dapat merasakan kemerosotan semangat prajurit-prajuritnya itu, meskipun hanya sebagian. Karena itu, sambil menangkis serangan-serangan Bu-gong Hweshio yang gencar, ia mengeluarkan perintahnya, "Sebarkan perintahku. Yang bertempur dengan sungguh-sungguh akan mendapat hadiah, yang berkelahi dengan setengah hati akan kehilangan kepalanya malam ini juga!" Ketika perintah itu merata ke segenap pasukan, maka prajurit-prajurit yang mulai lesu itupun terpaksa harus menunjukkan kesungguhannya lagi, sebab kalau ketidak sungguhan itu terlihat oleh teman mereka sendiri dan kemudian dilaporkan ke atasan, maka celakalah mereka. Akhirnya mereka memilih lebih suka bertempur dengan sungguh-sungguh daripada dihukum mati dengan nama yang ternoda sebagai pengkhianat. Di arena pertempuran di dekat pintu gerbang, terlihat To Hok-leng sudah mulai terdesak oleh lawannya, Sebun Him. Kampaknya yang mengerikan dan sudah memenggal beratus-ratus kepala manusia itu, kini tidak lebih hanyalah alat bertahan yang diputar rapat di sekeliling badannya. Itupun kadang-kadang ujung pedang Sebun Him beberapa kali berhasil menerobos pertahanannya dan melukai tubuhnya. Bukan luka mematikan memang, tapi darah yang terus menerus mengalir dari luka telah membuat To Hok-leng semakin lemah. Kini, Im-kan-hong-kui (Iblis Gila Dari Akherat) itu barulah merasakan apa artinya ketakutan terhadap maut. Biasanya dia gembira melihat calon korbannya menggigil ketakutan atau meratap-ratap minta ampun, namun ia tidak pernah menaampuninya dan setiap kalipun.kampaknya terayun menebas leher korbannya. Karena ia tidak percaya adanya pengampunan antara dua orang yang bertempur, bahkan, menganggap hal itu tolol, maka kini diapun yakin, bahwa Sebun Him tidak akan mengampuninya. To Hok-leng sudah kehilangan harapan, apalagi melihat wajah Sebun Him yang beringas itu nampaknya juga bukan wajah seorang pemaaf. Suatu ketika, Sebun Him melakukan sebuah jurus Hoa-san-pay yang disebut Hui-tou-goat-hong-tian-ci (Memutar Kepala Melihat Rembulan, Burung Hong Membuka Sayap). Jurus yang namanya indah seperti sebuah syair, namun kehebatannya luar biasa, apalagi dimainkan Sebun Him yang memiliki kekuatan dahsyat karena ilmu Kun-goan-sin-kang-nya. Pedangnya menderu luar biasa dan bergulung hebat ke arah lawan, sulit dibedakan mana yang serangan asli dan mana yang hanya gerak tipu saja. To Hok-leng mati-matian dan meloncat mundur pula, tetapi cahaya pedang Sebun Him bagaikan mulur mengejarnya. To Hok-leng memalangkan kampaknya di depan dada, tapi pedang Sebun Him bagaikan ular tiba-tiba menggeliat dan tangan kiri To Hok-leng pun tertabas putus. Di tengah seringai kesakitannya, tanpa malu-malu lagi To Hok-leng berkata, "Ampuni aku, siauhiap..." dan sinar matanya juga memancarkan ketakutan luar biasa. Sangat berbeda dengan sinar matanya ketika kemarin ia menjilati darah korban-korbannya yang melekat di mata kampaknya. Waktu itu matanya memancarkan kemenangan bercampur kebuasan hewani, dan juga kebanggaan karena orang-orang lain menatapnya dengan rasa ngeri. Yang matanya mirip dengan dirinya ketika menjilati darah di kampak kemarin itu kini adalah mata Sebun Him. Anak muda itu tidak menjawab sepatah katapun akan permintaan ampun To Hok-leng itu, melainkan dijawabnya dengan sebuah sabetan pedang yang membuat kepala To Hok-leng menggelundung. Sebun Him merasa bangga setelah melakukan itu. la memandang berkeliling, lalu tiba-tiba iapun meloncat menerjang prajurit-prajurit Ui-ih-kun dan kemudian pedangnyapun terayun ke-sana kemari menjatuhkan korban di antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun. Demikianlah, pembunuhan di mana-mana terjadi, di segala sudut barak itu. Baik Ui-ih-kun maupun lawannya kehilangan banyak orang. Orang-orang Hwe-liong-pang telah menunjukkan cara bertarung yang sangat menggetarkan hati kawan maupun lawan, cara bertempur yang sampai hampir matipun masih berusaha keras untuk mengayunkan senjata atau menendang untuk mencari tambahan korban baru. Dengan demikian prajurit-prajurit Ui-ih-kun itupun mulai merosot semangatnya, bagaimanapun juga kata-kata Tong Lam-hou selalu terngiang di telinga mereka. Buat apa mereka bertempur seperti ini? Buat menyenangkan Pakkiong An, atau cuma sekedar sebuah "langkah catur" dari si panglima tua itu...? |
Selanjutnya;
|