X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 43

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Pendekar Naga dan Harimau Jilid 43 Karya Stevanus S.P

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 43

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
BEBERAPA perwira bawahan Muyong Beng diam-diam bergidik juga mendengar ucapan panglima mereka itu. Namun mereka harus mempersiapkan pasukan mereka untuk bekerja keras besok pagi, sebab seperti kebiasaannya maka Muyong Beng pasti akan bekerja sampai tuntas, sampai musuh tertumpas.

Sebenarnya di luar perhitungan Panglima yang buas itu, kekuatan di atas bukit Hek-ku-nia telah menjadi beberapa kali lipat dari kekuatan ketika masih di Liong-powe-nia. Orang-orang Hwe-liong-pang yang mempercepat perjalanannya karena disusul oleh Siangkoan Hong itu, menjelang sore hari telah tiba di Hek-ku-nia tapi dari arah barat, sehingga tak terlihat oleh mata-mata Muyong Beng yang hanya mengintai di sisi timur bukit itu.

Biarpun orang-orang Hwe-liong-pang itu nampak agak kelelahan karena perjalanan yang tergesa-gesar wajah dan pakaian mereka berlumur keringat dan debu, namun sinar mata mereka justru bersinar-sinar siapapun demi cita-cita yang telah mempersatukan mereka di bawah satu bendera Hwe-liong-pang.

Jumlah mereka kira-kira delapan ratus orang dan disambut dengan hangat oleh anak buah Lim Kan, karena memang mereka dulunya juga anggota-anggota Hwe-liong-pang, sehingga terjadilah pertemuan antara teman-teman lama yang menggembirakan namun sekaligus dalam suasana tegang juga, sebab di hadapan hidung mereka telah siap sebuah kekuatan besar musuh.

Tak lama kemudian, orang-orang Kay-pang juga muncul dan menggabungkan diri, dalam jumlah sedikit lebih banyak dari jumlah orang-orang Hwe-liong-pang. Mereka naik ke bukit dengan memutar dari sebelah barat, sebab sisi timur sudah terhalang Oleh pesanggrahan pasukan Muyong Beng.

Dan kemudian ternyata bukan hanya Hwe-liong-pang dan Kay-pang saja yang bergabung, namun juga kelompok-kelompok kecil atau perorangan yang merasa setia-kawan dengan Hwe-liong-pang yang hendak ditumpas itu. Mereka terus mengalir ke Hek-ku-nia dari pagi sampai malam hari, tanpa diketahui oleh Muyong Beng.

ehingga bukit Hek-ku-nia menjadi penuh sesak dengan sukarelawan yang bergabung itu. Kalau dijumlah, seluruhnya hampir tiga ribu orang, suatu jumlah yang tentu akan mengejutkan Muyong Beng besok pagi, apalagi karena banyak di antara mereka yang memiliki ilmu silat cukup tangguh.

Malam harinya, diadakan pertemuan, antara para tokoh tertinggi dari orang orang yang berkumpul di Hek-ku-nia itu. Diangkatlah seorang "Panglima" yang ditunjuk adalah Tong Wi-hong. Meskipun di tempat itu ada orang-orang yang ilmunya lebih tinggi dari Tong Wi-hong, misalnya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, namun kedua orang itu terus terang menyatakan diri mereka "buta huruf” sama sekali dalam siasat-siasat perang.

Sehingga mereka lebih rela menyerahkan jabatan "panglima" kepada Tong Wi-hong yang pengetahuannya lebih luas, lagi pula Tong Wi-hong bagi Hwe-liong-pang mempunyai kedudukan khusus, karena dia adalah adik laki-laki dari mendiang pendiri Hwe-liong-pang, dan juga dihormati oleh kaum pendekar yang dulunya menentang Hwe-liong-pang sekalipun.

Sebelum menentukan siasat, lebih dulu Tong Wi-hong membagi laskarnya yang campur aduk itu menjadi kelompok-kelompok seratusan orang agar lebih mudah menyalurkan perintah-perintah atau petunjuk-petunjuk. Meskipun mereka bukan prajurit resmi, namun dengan kesadaran tinggi mereka mencoba bersikap seperti prajurit-prajurit asli. Tong Wi-hong juga menunjuk kepala-kepala kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu yang cukup seperti Auyang Seng, Ting Bun, Bu-gong hweshio, Siangkoan Hong Lim Hong-pin, kedelapan Tongcu, Sebun Him dan sebagainya.

Sebun Him kurang puas bahwa dirinya hanya ditunjuk sebagai pemimpin sebuah kelompok kecil terdiri dari seratus orang, namun dia bertekad membuktikan dalam perang bahwa dia sebenarnya pantas untuk kedudukan yang lebih tinggi. Ia juga kurang senang bahwa Tong Wi-hong yang "lembek" dan dianggapnya "kurang tegas terhadap bangsa Manchu" itu malah dijadikan pemimpin seluruh laskar.

Namun Sebun Him tidak membantah keputusan itu, sebab ia merasa dirinya akan kekurangan dukungan. Ia hanya berkata dalam hatinya, "Besok dalam peperangan akan terbukti bahwa kunci kemenangan adalah diriku, bukan Tong Wi-hong yang bernama besar namun sudah mulai pikun itu."

Sementara orang-orang di Hek-ku-nia mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh mengatur siasat menghadapi musuh, maka di pesanggrahan pasukan Ui-ih-kun tidak nampak persiapan yang sungguh-sungguh. Pasukan yang merasa dirinya sangat kuat itu sudah yakin akan menang sebab yang bakal mereka hadapi cuma "segerombolan kecil bandit bandit pasaran".

Meskipun penjagaan nampak juga, namun prajurit-prajurit penjaga nampak begitu santai, sementara yang tidak mendapat tugas jaga banyak yang berkerumun di sekitar api unggun sambil bergurau dan minum arak. Muyong Beng tidak melarang apa yang dilakukan anakbuahnya itu, biar saja mereka bergembira sepuas hati sebab musuh tidak terlalu kuat.

Malahan Muyong Beng sendiri di kemahnya berpesta-pora bersama perwira-perwira lainnya seperti Tamtai Au-kha, Ibun Hong serta jago-jago bayaran Pakkiong An lainnya. Malah beberapa wanita penghibur didatangkan dari kota terdekat.

Keesokan harinya, pasukan siap menyerang. Namun wajah-wajah para prajurit tidak ada yang tegang, sebagian besar masih diwarnai sikap memandang enteng musuh. Dengan satu-aba-aba, pasukannya bergerak mendekati hutan yang merupakan perisai terdepan Hek-ku-nia.

Tapi pasukan yang melangkah dengan congkak itu terkejut ketika tiba-tiba dari hutan di depan mereka berhamburanlah anak panah dan lembing-lembing bagaikan hujan lebatnya. Prajurit-prajurit yang tidak siap mendapat serangan itu segera menjadi, panik. Prajurit-prajurit yang paling depan sebagian besar tidak sempat mengangkat perisai mereka untuk menangkis.

Sehingga berpuluh-puluh orang langsung roboh, sedang yang di belakangnya menjadi panik, gerakan maju menjadi agak terhambat karena yang di depan berhenti dan bahkan ada yang melangkah mundur sedangkan yang di berakang terus mendesak ke depan, sehingga keadaan menjadi gaduh.

Muyong Beng dan perwira-perwira yang berilmu serta jagoan-jagoannya Pakkiong An memang dengari mudah menghalau panah-panah dan lembing-lembing itu sehingga tak terluka seujung rambutpun, namun yang membuat mereka marah adalah bahwa pasukan mereka sudah kehilangan puluhan prajurit sedang pihak Hek-ku-nia belum kehilangan se-orangpun. Suatu peristiwa yang betapapun juga akan memerosotkan semangat pasukannya.

Sambil memutar pedangnya, Muyong Beng tetap menghalau panah dan lembing yang tidak berkurang derasnya, ia berteriak, "Yang membawa perisai maju ke depan!. Terus maju dan menebar, kuasai hutan! Pemanah dan pelempar lembing membalas!"

Perintah itu sedikit banyak dapat memberi pegangan kepada pasukannya, meskipun masih ada sedikit kepanikan di sana-sini, tapi perintah itu segera dilakukan. Prajurit-prajurit yang membawa perisai segera mendesak ke barisan muka untuk melindungi teman-temannya, dan dengan berani mereka berlari ke depan di bawah hujan panah dan lembing.

Sementara teman-teman mereka yang tidak berperisai mengikuti di belakang teman-teman mereka itu dengan berlari setengah membungkuk. Ada juga prajurit-prajurit kerajaan yang mencoba membalas melontarkan panah atau lembing, namun serangan balasan mereka tidak berarti sebab "direndam" oleh dedaunan dan pepohonan yang rapat.

Tapi desakan pasukan Muyong Beng yang berjumlah besar itu bagaikan gelombang samudera yang digerakkan oleh badai untuk menggempur pantai. Biarpun belasan prajurit masih saja roboh oleh panah dan lembing musuh, namun yang lainnya terus merangsek maju dengan diiringi sorak sorai membahana, yang di belakang meloncati mayat teman teman mereka sendiri sebab merekapun didorong oleh yang di belakangnya lagi.

Tong-hai-siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Laut Timur) Thia Peng dan Thia Hong berdampingan dengan Muyong Beng memutar senjata-senjata mereka untuk maju paling depan, mereka tidak butuh perisai sebab putaran senjata mereka sudah sama rapatnya dengan sehelai perisai.

Di sebelah lain kelihatan Ibun Hong dengan pasukannya sendiri juga berusaha mencapai hutan untuk memaksa para pemanah musuh bertempur dalam jarak pendek, juga terlihat pula Hui-tho-koay Ki Koat dan Im-kan-hong-kui To Hok-leng mempelopori para prajurit untuk menerjang ke arah hutan. Meskipun mereka bukan prajurit, namun mereka maju dengan bersemangat karena sudah ingin membunuh lawan se banyak-banyaknya, jadi bukan karena mencintai tugas mereka.

Namun pemanah-pemanah dan pelempar pelempar lembing dari dalam hutan itu tidak ingin diri mereka digulung oleh gelombang pasukan musuh yang jauh lebih besar itu. Mereka terdiri dari duaratus orang yang ahli panah dan ahli melempar lembing, dipimpin oleh dua orang Tongcu Hwe-liong-pang yaitu In Yong dan Anyang Siau-pa, Lam-ki Tongcu-(Tongcu Bendera Hijau) dan Jingki Tongcu Bendera Merah).

Tugas mereka bukan untuk menghadang pasukan musuh, sebab tidak mungkin menghadang sepuluh ribu prajurit hanya dengan duaratus laskar. Tugas mereka hanyalah memancing kemarahan musuh agar maju lebih cepat, yang lebih tepat memancing kemarahan pemimpin-pemimpin musuh tapi merontokkan semangat tempur prajurit-prajurit rendahannya.

Begitu melihat musuh menyerbu semakin dekat ke hutan, In Yong merasa tugasnya sudah berhasil. Tanyanya kepada Auyang Siau-pa yang duduk di dahan pohon di sebelahnya, "Apakah sudah cukup, saudara Auyang?"

Auyang Siau-pa sesaat mengintai dari balik dedaunan bagaimana Muyong Beng dan lain-lainnya dengan muka merah padam memimpin pasukannya untuk maju terus di bawah hujan panah dan lembing dari pihaknya. Kemudian Auyang Siau-pa menjawab, "Aku kira cukup, saudara In. Kita mundur!"

Hampir bersamaan kedua Tongcu itu mengeluarkan suitan panjang, memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk mundur sebelum hutan itu "tergenang" prajurit musuh yang bagaikan air bah itu. Maka berloncatanlah para pelempar lembing dan pemanah itu dari persembunyiannya masing-masing, ada yang dari balik semak-semak dan ada yang melompat dari atas pohon. Selincah kelinci-kelinci yang berlari menyusup semak-semak, mereka menghilang semakin dalam ke hutan.

Cepat, gesit namun tidak kelihatan gugup meskipun gemuruh suara pasukan musuh sudah terdengar dekat di pinggir hutan. In Yong dan Anyang Siau-pa ikut bergerak mundur namun justru paling akhir untuk melindungi anak buahnya, andaikata tersusul oleh musuh maka kedua Tongcu itu siap melindungi anak-buah mereka.

Sementara itu pasukan Ui-ih-kun dengan gemuruh telah memasuki hutan, lebih lancar sebab tidak ada serangan panah dan lembing lagi. Prajurit-prajurit yang paling depan membabat-babatkan senjata mereka ke semak-semak dan pohon kecil-kecil untuk membuka jalan bagi belakangnya. Begitu bersemangat mereka menerjang kesana kemari dalam nutan, tapi yang berhasil mereka takut takuti hanya beberapa jenis kelinci, rusa dan marmut-marmut kecil serta burung-burung yang bertengger di dahan-dahan.

Pemanah-pemanah dan pelempar pelempar lembing musuh tadi sudah tak kelihatan batang hidungnya seorangpun, yang ada hanya bekas-bekasnya berupa lembing atau panah, yang tidak sempat mereka bawa, dan juga tak ada mayat musuh seorangpun sehingga dapat disimpulkan bahwa serangan balasan pasukan Muyong Beng tadi luput semua.

Hal ini cukup membuat Muyong Beng naik darah, "Maju terus sampai ke seberang hutan! Ingin kulihat sampai di mana pengecut-pengecut Hwe-liong-pang itu bisa menyembunyikan diri mereka!"

Maka hutan yang biasanya sunyi itu sekarang gemuruh dengan hebatnya karena diterejang oleh pasukan besar itu. Bukan hanya ribut tetapi juga hancur, sebab prajurit-prajurit yang marah itu melampiaskan kemarahan mereka kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang hutan yang mereka jumpai. Bahkan harimau-harimau besarpun lari pontang-panting, tidak berani menghadapi ribuan prajurit yang seolah mabuk itu.

Tapi begitu pasukan itu tiba di seberang hutan, tertegunlah mereka melihat dataran berumput di hadapan mereka. Bukan dataran berumput, itu yang mengejutkan mereka, namun ketika melihat di bawah kaki bukit Hek-ku-nia telah berbaris sebuah pasukan yang siap menyongsong mereka. Meskipun laskar Hek-ku-nia itu hanya sepertiga dari besarnya pasukannya, tapi Muyong Beng tidak berani memandang ringan melihat cara musuh mengatur barisannya itu.

Dilihatnya laskar Hek-ku-nia itu berbaris tidak dalam bentuk menebar lebar, namun memanjang sempit dan terpecah menjadi tiga jalur, sehingga mirip sebuah trisula rasaksa yang ujung-ujungnya menghadap ke dada musuh. Barisan yang demikian adalah barisan yang sulit dikepung, kecuali oleh pasukan yang berpuluh kali lipat jumlahnya, sedang pasukan yang dibawa Muyong Beng itu meskipun besar pula namun belum cukup untuk mengepungnya.

Pada ujung "trisula" yang tengah terlihat seorang berpakaian putih yang memimpin barisan, dialah Tong Wi-hong yang didampingi oleh Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong serta beberapa tokoh lainnya. Ujung trisula sebelah selatan dipimpin Siangkoan Hong, ujung trisula sebelah utara dipimpin Lim Hong-pin. Wanita-wanita seperti Tong Wi-lian, Cian Ping dan Ting Hun-giok tidak ikut terjun ke medan laga, sebab diperhitungkan bahwa pertempuran akan menjadi sangat sengit dan kurang baik bagi perempuan, tidak peduli perempuan yang berilmu tinggi sekalipun.

Melihat susunan laskar Hek-ku-nia itu, Muyong Beng menarik napas, diam-diam dikaguminya orang yang mengatur seperti itu. Dan untuk menghadapinya maka ia tidak bisa memerintahkan prajuritnya untuk asal menyerbu saja, melainkan harus diatur dalam satu barisan perang pula. Dengan jumlah orangnya yang berkali lipat, ia memilih bentuk menebar melengkung seperti bulan sabit untuk menjaring musuh.

Ia berharap perwira-perwiranya di ujung-ujung pasukannya akan cukup cerdik untuk memancing terjadinya garis bentrokan yang melebar sehingga pihaknya akan merasakan keuntungan dengan pasukan yang lebih banyak. Tidak akan a-da prajurit-prajurit yang menganggur di garis belakang dan semuanya maju ke depan karena medan yang melebar.

Sementara itu pihak Hek-ku-nia, Tong Wi-hong segera melihat bentuk barisan perang musuh itu, dan diapun mengirim pesan kepada Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin di kanan kirinya agar tetap menguasai barisan masing-masing agar tidak terpancing musuh dalam pertempuran melebar yang merugikan pihaknya.

Meskipun demikian Tong Wi-hong merasa cemas dalam hati bahwa pesannya itu tidak akan bisa ditaati sepenuhnya, sebab sebagian besar dari laskarnya adalah orang-orang yang tidak terbiasa bertempur dalam barisan yang rapi, melainkan sudah terbiasa mengandalkan kemampuan perseorangan dan berkelahi dengan kemauannya sendiri-sendiri.

Hanya orang-orang Hwe-liong-pang saja yang agaknya bisa diharapkan bertempur dengan tertib dalam barisan, sebab mereka pernah menjadi prajurit-prajuritnya Coan-ong Li Cu-seng di jaman pergolakan menumbangkan dinasti Beng dulu. Mudah-mudahan orang-orang Hwe-liong-pang yang ada dalam setiap bagian laskar itu dapat mengendalikan teman-teman mereka, demikian harapan Tong Wi-hong.

Kini dua barisan yang sudah berhadapan dengan barisan perangnya masing-masing itu mulai bergerak saling mendekati di tengah-tengah dataran berumput itu. Masing-masing pihak makin lama makin jelas melihat siapa saja orang-orang di dalam barisan lawannya, dan wajah-wajahnyapun mulai menegang.

Prajurit-prajurit. Ui-ih-kun yang semalam sempat bersuka-ria dan bahkan tadi pagipun masih menganggap enteng lawan mereka, kini dengan jantung berdebar melangkah maju mendekati lawan, dan melihat bagaimana lawan dapat mengatur barisannya dengan baik. Tapi prajurit Ui-ih-kun masih saja menyandarkan kekuatan mereka kepada jumlah mereka yang lebih tiga kali lipat jumlah lawannya.

Yang lebih dulu menyerang malahan pihak laskar Hek-ku-nia. Begitu aba-aba terdengar, segera ketiga "ujung trisula" itupun meluncur pesat ke depan. Karena yang paling depan itu rata-rata adalah para pendekar yang cukup tangguh, maka gerakan mereka ketika majupun begitu pesat, meskipun masih tetap menjaga agar jangan terpisah dari anak buah mereka yang berlari-lari di belakng mereka. Sementara dengan sorak gemuruh yang bagaikan hendak meruntuhkan langit, pasukan Mu-yong Beng pun menyongsong maju.

Dataran rumput itu segera riuh rendah dengan ribuan manusia yang berlaga dengan hebatnya, gemerincing ribuan senjata yang berbenturan dan teriakan-teriakan memberi semangat atau justru teriakan-teriakan kesakitan dan kematian yang menggetarkan hati.

Begitu benturan antara dua kekuatan terjadi, maka orang-orang di bagian depan prajurit Ui-ih-kun segera bertumbangan karena mereka bertemu dengan ujung tombak laskar Hek-ku-nia yang terdiri dari pendekar-pendekar berilmu tinggi itu.

Nampaklah di sayap kiri itu ada Lim Hong-pin yang dengan tangan kosong saja menerjang ke tengah-tengah barisan musuh. Hanya dengan sepasang tangannya yang kecil-kecil dan tidak berotot kekar itu, ternyata gerak-gerik Lim Hong-pin mampu menggemparkan pasukan musuh. Seenaknya saja dia mencengekram tubuh prajurit yang berada di dekatnya dan prajurit yang dicengkeramnya itu tentu lumpuh tubuhnya seketika, kemudian dengan ringannya ia melempar-lemparkan tubuh para prajurit itu ke tengah teman-teman mereka sendiri.

Atau memutar-mutar tubuh itu sebagai “senjata” untuk menghantam rekan-rekan mereka sendiri. Kadang-kadang muncul penglihatan aneh, di mana Lim Hong-pin yang kurus dan kecil itu seenaknya memutar-mutarkan tubuh seorang prajurit yang bertubuh tinggi besar seolah-olah memutar-mutar seekor ayam atau bebek saja.

Meskipun prajuarit-prajurit Ui-ih-kun dengan berkelompok-kelompok mencoba "menjaring" lelaki kurus itu, namun setiap kali jaring-jaring yang terbentuk itu porak poranda kembali. Apalagi karena Lim Hong-pin tidak sendirian tapi juga disampingi orang-orang macam Bu-gong Hweshio, Lu Siong dan Oh Yun-kim yang masing-masing kemampuannya seperti limabelas atau dua-puluh prajurit biasa, di samping orang orang Hwe-liong-pang sendiri yang berkelahi seperti serigala-serigala kelaparan.

Pasukan Ui-ih-kun yang tadinya memandang remeh laskar Hek-ku-nia karena mengandalkan jumlah yang jauh banyak, kini melihat kenyataan bagaimana garangnya lawan-lawan mereka. Untunglah sebelum prajurit-prajurit itu patah semangat, muncul seorang tua bertubuh bungkuk, berkepala gundul dan berhidung seperti paruh burung betet.

Orang ini setelah membunuh belasan orang laskar Hek-ku-nia juga dengan tangan kosong, meloncat menghadang Lim Hong-pin sambil membentak, "Bangsat, sebutkan namamu sebelum kukirim kau ke akherat!"

Sambil melemparkan tubuh dua orang prajurit dengan tangan kedua-duanya, Lim Hong-pin menjawab dingin, "Kaulah yang mengantar nyawa kepadaku."

Hui-tho-koay Ki Koat yang terlalu bangga dengan nama besarnya itu menjadi marah, "Dengarkan baik-baik, akulah Hu-tho-koay Ki Koat yang ditakuti di wilayah timur!"

Nama itu memang cukup menggetarkan, tapi jawaban Lim Hong-pin tetap seenaknya aja, "Kalau begitu kau adalah adik seperguruan Ang-mo-coa-ong yang dulu menjadi anak buahku, kau harus berlutut kepadaku!"

"Siapa kau?"

"Kim-liong Hiangcu."

Betapapun tinggi ilmunya, namun bergetar juga hati Hui-tho-koay Ki Koat mendengar nama itu, nama dari seorang tokoh puncak Hwe-liong-pang yang menggetarkan rimba persilatan. Tapi sudah terlanjur berhadapan, ia malu jika harus mundur, apalagi di hadapan sekian banyak prajurit yang melihatnya. Maka ia segera mengeluarkan senjatanya berupa seutas rantai kecil yang di ujungnya ada sebentuk cakar setan berjari lima yang runcing-runcing. Senjata yang jarang sekali ia keluarkan kecuali menghadapi musuh yang benar-benar tangguh.

Dan tokoh golongan hitam itu dengan curang tidak memberi kesempatan kepada Lim Hong-pin untuk mempersiapkan senjata macam apapun, rantainya segera berputar dengan suara berdesing dan cakar baja di ujung rantai itupun segera menyambar ke wajah Lim Hong-pin, dibarengi sebuah tendangan keras ke bawah pusar.

Namuan kecurangan itu masih belum bisa mempecundangi Lim Hong-pin yang berilmu tinggi itu. Hanya dengan kibasan lengan bajunya naik turun, kedua serangan itu sudah dapat dihalau balik, bahkan cakar setan itu membalik ke wajah Ki Koat sendiri. Dengan kelabakan si bungkuk gundul itu meloncat mundur sambil menyentakkan rantainya untuk mengendalikan senjatanya. Saat itulah Lim Hong-pin sudah menyerang maju dengan kekuatan seperti badai di tengah samudera.

Dalam gebrakan-gebrakan pertama saja segera terlihat Ki Koat sudah terdesak beberapa langkah mundur. Bagaimanapun gigihnya ia bertahan dan memainkan senjatanya, namun diam-diam tokoh golongan hitam itu mengeluh dalam hati karena ia telah memilih lawan yang salah. Tapi sudah terlanjur, satu-satunya jalan sekarang adalah bertahan segigih-gigihnya supaya tidak kelihatan terlalu konyol di hadapan para prajurit.

Sementara Lim Hong-pin sudah "mendapat pekerjaan", maka Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena mahirnya dalam Tae-kyun (silat tendangan gaya Korea) juga menerjang ke tengah pasukan musuh dengan beraninya. Bahkan ia tidak bersenjata sama sekali, hanya mengandalkan sepasang tangan dan kakinya yang dapat menghantam lebih keras dari martil besi itu.

Dulunya ia hanya ahli dalam tendangan saja, namun setelah bertahun-tahun bersahabat dengan Lu Siong yang berjulukan Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) yang jago dalam mainkan sepasang tinju, Oh Yun-kim mulai belajar pukulan juga, sehingga bukan saja kakinya yang berbahaya tapi juga sepasang tinjunya. Dan sekarang hal itu terbukti di arena adu nyawa yang kisruh itu.

Dengan tangkasnya bagaikan seekor harimau menerjang di antara kerumunan domba-domba, ia memainkan sepasang tangan dan kakinya sehingga musuhpun kocar-kacir. Kakinya begitu tangkas dan cepat sehingga benar-benar "tanpa bayangan" sesuai julukannya, entah berapa buah rusuk yang telah dijebol oleh kakinya, atau rahang yang dibikin retak dengan tangannya, dan agaknya masih akan bertambah terus.

Tidak jauh daripadanya, sahabatnya Lu Siong juga mengamuk dengan kedua tinjunya yang sekeras batu padas itu. Agaknya antara dia dan Oh Yun-kim telah saling menukar ilmu andalannya masing-masing. Lu Siong belajar menendang dari oh Yun-kim, sebaliknya iapun mengajarkan ilmu pukulannya yang membuat ia sampai dijuluki Jian-kin-sin-kun oleh kalangan persilatan itu. Dengan demikian kedua pihak mendapat kemajuan ilmu.

Di seluruh dataran rumput di kaki Hek-ku-nia itu pertempuran sudah berkobar hebat. Bentuk barisan perang dari masing-masing pihak sudah tidak serapi semula sebab jika orang-orang kedua pihak sudah berkelahi maka mereka-pun terpaksa keluar beberapa langkah dari barisan. Tubuh-tubuh yang berlumuran darah dengan luka yang menganga mulai bertumbangan dari kedua belah pihak.

Tapi yang di belakang tanpa rerasa gentar telah melangkahi tubuh teman mereka, tidak peduli teman-teran mereka merintih minta tolong. Alih alih menolong, mereka lebih suka mengayun senjata untuk menambah jumlah korban. Pokoknya menang dulu, baru nanti bicara soal perikemanusiaan. Itulah perang.

Desak mendesak antara kedua pihak terus berlangsung sampai matahari naik tinggi di langit. Kedua pihak sara-sama penasaran. Pihak Ui-ih-kun penasaran kenapa mereka yang jauh lebih banyak tidak dapat segera menggulung habis musuh dengan musuhnya seperti mereka bayangkan kemarin? Sebaliknya pihak Hek-ku-nia juga penasaran karena mereka merasa diri mereka secara perorangan lebih baik dari prajurit-prajurit Ui-ih-kun, kenapa belum menang juga?

Padahal di antara merekapun banyak terdapat pendekar-pendekar berilmu tinggi. Sesungguhnya pandangan yang terlalu memandang ringan Ui-ih-kun itu adalah pandangan yang gegabah. Ui-ih-kun memang bukan pasukan yang cukup baik untuk dibandingkan pasukan-pasukan kerajaan yang lain, tapi bukan berarti mereka terdiri dari prajurit-prajurit lemah sama sekali.

Betapapun kecil andil pasukan ini, tapi mereka pernah ikut menyerbu San-hai-koan di jaman dinasti Beng dulu, kemudian ikut pula bertempur untuk mendepak Li Cu-seng angkat kaki dari singgasana di Pak-khia. Apalagi sejak Pakkiong An menetapkan sasaran untuk merebut singgasana Kaisar Khong-hi, maka latihan untuk pasukannya itupun ditingkatkan, sehingga prajurit-prajurit Ui-ih-kun bukannya tidak becus sama sekali seperti yang sering diduga banyak orang.

Begitulah sampai matahari ada di tengah langit, belum diketahui pasukan siapa yang bakal memenangkan pertempuran. Masing-nwasing pihak kadang-kadang bersorak menggemuruh, namun kemenangan itu hanya di sebagian kecil medan perang, sementara di bagian lain malahan pihak musuh masing-masing yang bersorak gembira. Beberapa orang yang berilmu tingi sudah ketemu dengan lawan seimbang, namun ada yang belum menemui lawan seimbang sehingga masih saja membabat orang-orang rendahan yang tidak seimbang dengan mereka.

Di bagian tengah, kelihatan Im-kan hong-kui (Iblis Gila dari Neraka) To Hok-leng dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kampaknya yang juga besar, ia menyapu orang-orang yang merintanginya. Begitu banyak batok kepala yang terbelah sehingga dengan ngeri orang-orang laskar Hek-ku-nia menjauhinya, paling-paling hanya melempar-lemparkan tombak atau senjata rahasia namun hal itupun tak banyak menolong. Setiap kali tentu kampak To Hok-leng berhasil menggapai kepala seorang korban, meskipun si korban sudah berusaha menjauhkan dirinya.

Melihat keganasan si Setan Gila dari Neraka itu, si sesepuh Serikat Pengemis Sun Ciok-peng tidak membiarkannya. Ia tahu laskar Hek-ku-nia tidak gentar, apalagi orang-orang Hwe-liong-pang yang seolah-olah tidak sayang nyawa sendiri itu, namun Sun Ciok peng tidak ingin membiarkan orang-orang Hwe-liong-pang itu seperti serangga-serangga yang menubruk api ketika mereka mencoba menghadang si ra-saksa berkampak yang luar biasa itu. Sun Ciok-peng sendiri tidak yakin apakah dirinya bisa menang berkelahi melawan To Hok-leng, tapi ia tidak peduli menang-kalah lagi, ia hanya ingin mencegah korban berjatuhan di pihaknya.

Demikianlah, ketika To Hok-leng hamper saja berhasil membelah kepala seorang laskar, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dari samping disertai segulung angin senjata yang deras mengaraha ke pelipisnya. Cepat To Hok-leng menghentikan serangannya dan terpaksa melompat ke samping, lalu bentaknya, "Siapa orang yang bosan hidup ini?”

Sun Ciok-peng yang luput dengan sabetan tongkat besinya itu, berputar sekali di udara dan kemudian menapakkan kaki di tanah dengan manisnya. Tubuhnya yang pendek gemuk, bundar seperti bola itu ternyata tidak mereint-angi kegesitan pengemis yang berwajah seperti bayi sehat itu. Bahkan kemplangan tongkat besinyapun membawa kekuatan yang hebat.

To Hok-leng yang merasa gerak-geriknya dirintangi, segera memutar kapak besarnya dan mulai bertempur melawan Sun Ciok-peng. Ternyata kepandaian, kekuatan maupun kecepatan To Hok-leng begitu hebatnya, sehingga kampaknya dapat berputar begitu cepat sampai tak kelihatan bentuknya, hanya berujud segumpal cahaya kehitaman yang desingnya menggetarkan hati.

Sementara putaran tongkat Sun Ciok-peng rasanya semakin terjepit dan tenggelam dalam gulungan senjata lawannya. Mamun tidak ada tempat untuk mengeluh atau mengadu bagi Sun Ciok-peng, sebab ia sudah berada ditengah medan perang dan disana semua orang sibuk mempertahankan nyawanya sendiri-sendiri. Tapi Sun Ciok-peng menghadapinya dengan tabahnya, bahkan kematianpun sudah tidak dihiraukannya lagi, dan itu membuatnya merasa sangat tenang meskipun kampak To Hok-leng terasa semakin lama semakin dekat dengan kulitnya.

Di bagian lain, Siangkoan Hong juga sudah bertempur melawan tiga orang, yaitu Tong-hai-siang-sat Thia Peng dan Thia heng ditambah seorang perwira bertubuh Kecil namun lincah bukan main dengan sepasang senjatanya, perisai di tangan kiri dan pedang di tangan kanan. Menghadapi ketiga lawannya itu Siangkoan Hong kelihatan santai saja dan belum mengerahkan seluruh tenaganya, tetapi toh ketiga lawannya tidak sanggup mendesaknya seujung rambutpun.

Dua saudara Thia yang terkenal kejahatannya di kawasan timur itu merasa marah dan heran bukan main bahwa mereka berdua, masih ditambah seorang perwira yang cukup lihay, masih belum ada tanda-tanda bakal memenangkan pertarungan melawan lelaki setengah tua bertangan kosong itu.

Itu karena pada awal pertempuran tadi kedua saudara itu belum menanyakan siapa lawan mereka itu, andaikata saja mereka tahu bahwa yang mereka hadapi itu adalah Thian-liong Hiangcu (Hulubalang Naga Langit) dari hwe-liong-pang, maka mereka tentu tidak akan heran lagi bahwa mereka berdua belum dapat mengalahkan lawan mereka.

Sementara itu jalannya pertempuran semakin ramai. Berganti-ganti kedua pasukan saling desak mendesak dengan sorakan-sorakan menggemuruh, tapi makin lama kelihatan bahwa jumlah yang lebih banyak dari Ui-ih-kun telah mempengaruhi keadaan juga. Ui-ih-kun lebih sering mendesak daripada pihak Hek-ku-nia yang sebagian terdiri orang-orang Hwe-liong-pang dan Kay-pang itu. Meskipun Ui-ih-kun mendapat perlawanan yang sangat gigih dari lawannya, tapi jumlah yang tiga kali lipat lebih itu membuat serangan mereka tak putus-putusnya seperti gelombang samudera.

Di tengah-tengah, berada paling depan kelihatanlah Mu-yong Beng mengamuk dengan tombaknya vang sudah basah oleh darah. Ia memang sepeerti seekor Harimau jantan yang dengan kuatnya menerkam dan merobek-robek mangsanya. Yang sudah menjadi korban tombaknya bukan saja laskar laskar rendahan namun juga Ketua Ki-lian-pay The Toan-yong serta sesepuh Kay-pang Pek-siau-thian.

"Mana orang-orang Hwe-liong-pang yang katanya gagah perkasa?!" teriaknya dengan garang dari tengah-tengah riuhnya baku hantam itu, sambil memutar tombaknya untuk merobohkan seorang laskar yang menyerangnya. "Keluar dan tunjukkan batang hidung kalian, supaya kalian bisa merasakan tajamnya tombakku ini!"

Sebagai jawaban, dari antara kerumunan laskar Hwe-liong-pang itu melompatlah seorang bertubuh ramping tegap, meskipun rambut di pelipisnya telah berwarna abu-abu Karena usianya yang mendekati setengah abad. Di tangannya ada sepasang kampak bergadang pendek yang digenggamnya dengan mantap, menandakan bahwa sepasang senjata itu bukan sekedar untuk jual tampang namun sudah merupakan "bagian tubuhnya"nya.

"Bangsat Manchu, mari kulihat sampai dimana kehebatan ilmu silatmu, apakah sesuai dengan mulutmu yang besar itu atau tidak!" kata orang itu.

"Siapa kau? Korban-korbanku yang terdahulu sudah menyebut namanya masing-masing sebelum aku berbaik hati mengantarkannya ke surga."

"Aku Ji Tiat, menjabat Ang-ki Tongcu dalam Hwe-liong-pang!" sahut orang bersenjata sepasang kampak pendek itu. "Siapa saja yang sudah menjadi korban kebiadabanamu?"

Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang dengan nada bangga, "Sudah ada kuhitung duapuluh delapan orang laskar biasa yang kubunuh, dan dua orang pentolan ,masing-masing The Toan-yong dari Ki-lian-pay dan Pek Siau-thian dari Kay-pang. Kau yang ketiga!"

Gigi Ji Tiat gemeretak karena marahnya ketika mendengar jawaban itu ia ingat bahwa serbuan pasukan kerajaan itu sebenarnya tujuan utamanya hendak menghancurkan Hwe-liong-pang, terutama tokoh-tokohnya termasuk dirinya sendiri, namun yang menjadi korban malahan The Toan-yong serta Pek Siau-thian yang ikut bertempur karena kesetia-kawanan terhadap Hwe-liong-pang. Karena itu Ji Tiat bertekad untuk membunuh panglima Manchu yang ada di depannya ini demi membalaskan sakit hati sahabat-sahabat Hwe-liong-pang itu.

Namun sebelum ia mulai bertempur, tiba-tiba ia teringat ucapan Tong Wi-hong yang mengatakan bahwa sikap pasukan Ui-ih-kun yang keras itu jangan disamakan dengan sikap pemerintah Manchu yang mulai melunaK terhadap orang Han itu. Timbul niat Ji Tiat untuk membuktikan apakah ucapan Tong Wi-hong itu benar atau sekedar karena pendekar itu sudah terpengaruh oleh keponakannya, Tong Lam-hou.

Katanya memancing, "Kudengar bahwa sikap Kaisar terhadap orang Han sudah mulai membalik, tidak sekeras dahulu lagi, kenapa tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba kalian menyerbu kami yang merupakan pembela-pembela rakyat ini?"

"Hah, enak saja kalian mengaku diri kalian sebagai pembela rakyat, sedang sebenarnya kalian adalah kelompok yang sedang menyiapkan pemberontakan untuk menggulingkan pemerintahan kami. Dulu kalian sudah berani menyerbu Penjara Pak-khia untuk membebaskan para tahanan, dan yang terakhir ini kalian sudah berani membawa lari Tong Lam-hou yang sudah dijatuhi mati. He, orang Hwe-liong-pang, lebih baik kau ajak semua teman-temanmu untuk menyerah daripada aku memaksa kalian dengan kekerasan."

"Apakah ini perintah Kaisar?"

Muyong Beng tiba-tiba tertawa mendengar pertanyaan itu, memperhitungkan bahwa gerakan Pakkiong An di Ibukota Kerajaan sudah berhasil baik, maka tanpa takut-takut lagi Muyong Beng menjawab seperti itu, "Ha-ha-ha, Kaisar ingusan Khong-hi itu bisa apa tentang pemerintahan? Dia bersikap terlalu lemah menghadapi orang-orang macam kalian, sehingga jika singgasana naga terus diduduki orang-macam dia akan membuat negara ini runtuh. Saat ini rencana besar Pakkiong Ciangkun untuk menyelamatkan negara pasti sudah berhasil dan Pakkiong Ciangkun pasti sudah duduk diatas tahta menggantikan si bocah Khong-hi itu. Itu berarti nasib buruk buat kalian, sebab Pakkiong Ciangkun tidak mungkin mengampuni bandit-bandit pengacau negara macam kalian!”

Mendengar itu, Ji Tiat mulai percaya bahwa dalam menjalankan pemerintahan dalam tubuh pemerintahan manchu sendiri ternyata terdapat sikap yang berbeda-beda. Ada yang menganggap bangsa Han hanyalah bangsa taklukan yang tidak berhak menentang meskipun diperlakukan sewenang-wenang, tapi pihak lain menganggap orang Han sebagai sesama rakyat negeri yang harus diperlakukan sama dengan orang Manchu.

Persatuan diutamakan untuk menghadapi orang-orang Eropa yang mulai berkeliaran di laut timur dengan kapal kapal dagang mereka, namun kapal-kapal dagang yang diperlengkapi dengan meriam sehingga patut diragukan ketulusannya mereka dalam berdagang. Dan Ji-tiat juga menyadari bahwa sikap yang mana yang akan mempengaruhi pemerintahan Manchu, akan dipengaruhi pula bagaimana sikap pergerakan-pergerakan bangsa Han. Kalau pergerakan-pergerakan itu bersikap keras, maka pemerintah di Pak-khia akan menjawabnya dengan sikap yang keras pula, dan sebaliknya.

"Kau melamun menyesalkan nasibmu?" tanya Muyong Beng sambil tertawa mengejek melihat Ji Tiat termangu-mangu. "Tidak ada gunanya, Pakkiong Ciangkun sebagai Kaisar sudah menetapkan bahwa kalian harus diberantas dari muka bumi."

Dengan mengangkat wajahnya dan menatap Muyong Beng tajam-tajam, Ji Tiat berkata tegas, "Dan Hwe-liong-pang kami juga bertekad memusnahkan orang-orang Manchu yang suka menindas bangsa Han seperti panglimamu Pakkiong An itu. Sebelum induknya kami babat, biarlah keroco-keroconya macam kau ini yang kami habiskan lebih dulu!"

Habis berkata begitu, Ji Tiat dengan kampak ditangan kanannya langsung menghantam tegak ke batok kepala Muyong Beng. Muyong Beng dengan beraninya memalangkan gagang tombaknya yang terbuat dari besi itu untuk menangkis, artinya ia mengajak keras lawan keras alias adu tenaga. Dua senjata dan dua kekuatan berbenturan, tangan kedua belah pihak sama-sama bergetar.

Tapi Ji Tiat dengan tangkas menggerakkan kampak di tangan kiri untuk membabat rendah ke pinggang Muyong Beng. Si perwira Ui-ih-kun cepat melakukan gerak lompatan ke belakang, sementara ujung tombaknyapun dengan gerakan kilat menusuk ke leher Ji Tiat dengan Boan-liong-seng-thian (Naga Naik ke Angkasa).

Begitulah kedua orang itu segera bergebrak. Mula-mula mereka saling membenturkan senjata untuk saling menjajagi kekuatan, lalu bergerak saling menyerang yang semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya mereka nampak saling menerkam dengan garangnya.

Muyong Beng yang mahir bermain tombak panjang itu mencoba menahan musuhnya dalam jarak tertentu yang tidak terlalu dekat untuk memberi keuntungan kepada senjatanya Namun Ji Tiat dengan kampak bergagang pendeknya berusaha sebaliknya. Dan kedua pihak saling menyadari bahwa kini mereka bertemu lawan keras.

Sementara itu, dalam pertempuran yang semakin riuh itu terlihatlah bahwa laskar Hek-ku-nia selangkah demi selangkah mulai terdesak ke belakang. Meskipun mereka mempunyai tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi seperti malaikat seperti Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, namun apakah artinya dua orang itu dalam perang campuh yang dahsyat antara ribuan manusia itu?

Bagaimanapun juga jumlah turut menentukan. Apalagi Muyong Beng sebagai kepala perang pasukan Ui-ih-kun tidak peduli berapapun jumlah prajuritnya yang harus jadi korban, pokoknya ia hanya memerintahkan untuk maju dan menggempur Hwe-liong-pang sampai tuntas.

Di tengah-tengah riuh-rendahnya saling bantai itu, kelihatan Sun Ciok-peng si tokoh Kay-pang dengan gigih bertahan dari lawannya yang memiliki ilmu beberapa lapis lebih tinggi daripadanya. Im-kan-hong-kui To Hok-leng, si Iblis Gila dari Akherat. Pengemis bertubuh pendek gemuk itu terus terdesak selangkah demi selangkah, menghindari sambaran kampak besar lawannya yang rasanya semakin cepat saja.

Tangannya yang memegang tongkat besi sudah pegal karena setiap kali menangkis kekuatan yang lebih besar, bahkan telapak tangannya sudah perih dan berdarah, namun dengan keras kepala ia bertahan terus. Suatu ketika sebuah serangan To Hok-leng tak sempat ditangkisnya, dan hanya dihindarinya, tapi elakannya itupun kurang sempurna sehingga perutnya yang bulat itupun terserempet kampak sehingga menimbulkan luka memanjang berdarah.

To Hok-leng menyeringai buas melihat darah yang mulai terpancar dari tubuh Sun Ciok-peng. Dengan beringas ia terus merangsek maju, dengan sekali putaran maka tangkai kampaknya sekali lagi menghantam pundak Sun Ciok-peng sehingga pengemis itu terpelanting ke samping dengan muka yang memucat namun bukan karena ketakutan.

Saat lawannya belum dapat memperbaiki keseimbangannya, kampak To Hok-leng terayun dari atas ke bawah, dipegang dengan dua tangan dan tepat menetak tengkuk Sun Ciok-peng yang tengah terbungkuk itu. Habislah riwayat pengemis Kay-pang itu, dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya.

Seperti seorang gila, To Hok-leng tertawa terbahak-bahak memandang tubuh pengemis itu, dan baik kawan maupun lawan menjadi ngeri ketika melihat To Hok-leng dengan lahapnya menjilati mata kampaknya yang berlumuran darah itu sampai mengkilat kembali, dan kini mulutnyalah yang berlepotan darah manusia.

Selesai "membersihkan" kampaknya, sambi tertawa terbahak-bahak To Hok-leng kembali memutar kampaknya menerjang ke barisan musuh sambil berteriak teriak, "Hayo, siapa lagi yang akan menyusul teman-temannya ke akherat!"

Beberapa anggota Kay-pang yang marah karena sesepuh mereka terbunuh, dengan nekad menerjang To Hok-leng untuk membalas dendam. Tapi mereka yang kurang perhitungan itu ibarat menyerahkan nyawa saja, To Hok-leng menyambut mereka dengan putaran kampaknya yang besar, dua kepala pengemis menggelinding ke tanah dan seorang lagi robek dadanya.

Sementara itu beberapa pengemis yang cukup berani telah berusaha membawa tubuh dan kepal Sun Ciok-peng ke garis belakang untuk diurus selayaknya. Beberapa anggota Hwe-liong-pang melindungi gerakan rekan-rekan dari Kay-pang itu dibantu beberapa anggota perguruan lain yang bergabung dalam laskar. Tapi belum seorangpun yang sanggup menghadang si iblis gila itu.

Prajurit-prajurit di Ui-ih-kun bersorak-sorai dengan penuh semangat ketika melihat kemenangan jagoannya itu, dan merekapun mendesak musuh dengan hebatnya. Sementara pihak laskar Hek-ku-nia bertahan sebisa-bisanya agar barisan mereka tidak berantakan, dan selama bertahan itu To Hok-leng sudah mengambil korban beberapa orang lagi yang setiap kali darahnya dijilati di kampaknya.

Untunglah keadaan itu tidak berlarut-larut. Dihadapan To Hok-leng segera muncul seorang pemuda yang bertubuh tinggi besar, sama tinggi besarnya dengan To Hok-leng sendiri, dan memegang pedang dengan cara kidal yaitu dengan tangan kiri. Pedang yang dipegangnyapun satu setengah kali besarnya dari pedang ukuran biasa.

Dia bukan lain adalah jago muda Hoa-san-pay yang sedang menanjak namanya, Se-bun Him, yang dengan bangga sering menyebut dirinya sendiri Sebun him (si Beruang Barat) yang disejajarkannya dengan Pak-liong (Naga Utara) dan Lam-hou.(Harimau Selatan).

Melihat Sebun Him menghadangnya, To Hok-leng sambil menyeringai sombong membentak, "Anak muda, kau sudah bosan punya kepala?"

Sahut Sebun Him, "Bukan, aku hanya bosan melihatmu berkepala!" Dan anak muda yang sangat mendambakan ketenaran itu merasa mendapat kesempatan untuk mengangkat nama besar di medan perang itu. Maka tanpa banyak bicara lagi pedangnya segera berkelebat ke leher lawannya dengan gerak Pek-hong-koan-jit (Pelangi Putih Menutup Sang Surya).

Tadinya To Hok-leng agak meremehkan Sebun Him, namun setelah melihat gerak pedang anak muda itu ia pun terkejut. Cepat, kuat dan rapi. Cepat To Hok-leng menundukkan kepalanya rendah-rendah, berbareng dengan mengayunkan kampaknya mendatar menebas perut Sebun Him dengan gerakan Pek-lou-heng-kang (Embun Putih Melintang di Sungai). Serangan maupun serangan balasan sama-sa ma dilakukan dengan cepat tanpa kenal ampun, membuat kedua pihak sama-sama terkejut.

Sebun Him meloncat tinggi menghindari tabasan ke perutnya itu, dan tanpa menarik pedangnya ia telah meneruskan geraknnya dengan Liu-seng-kan-goat (Bintang Sapu Mengejar Rembulan), tubuhnya datar sejajar dengan tanah dan ujung pedangnya meluncur ke arah tengah-tengah antara dua mata To Hok-leng. Dengan kaget To Hok-leng mendoyongkan badannya ke belakang sambil melakukan tangkisan Heng-ka-kim-liang (Melintangkan Belandar Emas).

Dua kekuatan beradu lewat senjata masing-masing, menimbulkan datang yang memekakkan telinga serta bunga api yang memercik. Sebun Him yang tengah mengapung di udara dan tak punya pijakan itu, menggunakan tenaga pantulan benturan itu untuk meloncat mundur dan dengan satu putaran tubuh yang manis ia mendarat di tanah dengan pedang yang tetap siap di depan tubuhnya.

Sementara To Hok-leng sendiri merasa betapa ada getaran tenaga merambat lewat gagang kampaknya dan menggetarkan lengannya. Diam-diam ia terkejut akan hal itu, sulit dipercaya ada orang yang bisa menandingi kekuatannya, apalagi hanya seorang anak-muda yang usianya barangkali baru dua-puluh tiga atau duapuluh empat tahun. Sekilas nampak nafsu untuk membunuh menghiasi wajah To Hok-leng.

Tanpa banyak bicara, keduanya bertarung sengit. Pedang dan kampak beradu dengan dahsyatnya berpuluh-puluh kali tanpa ada yang mengalah untuk adu k«ras otot semacam itu. Masing-masing pihak berharap agar pihak lawanlah yang lebih dulu tidak betak dengan adu tenaga itu, namun agaknya kedua-duanya memang harus sabar sebab pihak lawan sanggup mengimbangi tenaga mereka.

Tidak jauh dari situ, Auyang Seng yang telah bertempur melawan keroyokan dua orang perwira musuh bernama Ibun Hong dan Hui Bong, diam-diam menarik napas dan geleng-geleng kepala menyaksikan cara bertempur keponakan muridnya yang sama sekali tidak menghemat tenaga itu. Itu bukan cara bertempur seorang ahli pedang, sebab ahli pedang lebih mengutamakan keluwesan, kecepatan dan gerak tipu yang rumit, bukan sekedar memutar pedang seperti seorang mabuk seperti itu.

Namun agaknya Sebun Him akan dapat mengatasi lawannya, sebab lawannya itu bukan seorang cukup pintar pula, seorang yang hanya mengandalkan tenaga besarnya dan sedikit berpikir. Dengan demikian Auyang Seng tidak terlalu mencemaskan keponakan muridnya itu.

Ketika itu laskar Hek-ku-nia sudah terdorong mundur sampai mendekati kaki bukit. Bentuk barisan perang mereka yang mirip trisula tadi, kini sudah berantakan tergencet pasukan Ui-ih-kun yang terus merangsek maju dengan penuh semangat itu. Sementara matahari sudah condong ke cakrawala barat. Namun untuk dapat menumpas habis orang-orang Hek-ku-nia sama sekali, pasukan Ui-ih-kun agaknya akan memerlukan waktu yang cukup lama.

Mungkin sampai malam hari nanti atau bahkan besok pagi, sebab musuh bertahan dengan mati-matian. Dan ia menarik mundur dipertanyakan apakah daya tahan prajurit-prajurit Ui-ih-kun akan cukup memadai untuk melanjutkan pertempuran jangka panjang itu? Bagaimanapun juga Ui-ih-kun berbeda dengan Hui-liong-kun, pasukan berani matinya Pakkiong Liong yang tergembleng begitu hebatnya sampai disebut bertubuh dan bersemangat baja itu.

Muyong Beng sebagai kepala perang saat itu, agaknya sudah memperhitungkan hal itu. Pasukannya tidak terlatih untuk bertempur sehari semalam seperti yang dibayangkannya, malahan bisa ambruk sendiri karena kelelahan. Tapi iapun tidak sudi melepaskan gen-cetannya terhadap laskar musuh, sebab ia menganggap bahwa laskar musuh sudah hampir berhasil dihancurkan.

Jika ia menarik mundur pasukannya untuk menyerang lagi besok pagi, berarti memberi kesempatan untuk bernapas bagi laskar musuh, dan hal sebodoh itu tidak akan dilakukan oleh Muyong Beng. Maka ia berpikir sudah tiba saatnya untuk memberi pukulan yang mematikan kepada laskar musuh.

Saat itu ia tengah bertempur seimbang melawan Ji Tiat yang berjuluk Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) itu. Kedua pihak sama uletnya, sama lihainya dengan senjata masing-masing, dan jika dibiarkan saja agaknya pertempuran satu lawan satu itu akan berlangsung lama tanpa diketahaui siapa, bakal menang dan siapa bakal mampus.

Namun tiba-tiba Muyong Beng mundur meninggalkan lawannya sambil berteriak, "Petugas penghubung!"

Seorang prajurit keluar dari barisan di bawah perlindungan beberapa tamannya, dan prajurit itu menjawab, "Siap, Panglima!"

“Lepaskan isyarat untuk pasukan berkuda agar segera masuk ke arena!" perintah Muyong Beng.

Sehabis meneriakkan perintah itu, kembali Muyong Beng bertarung sengit melawan Ji Tiat. Ji Tiat sendiri terkejut ketika mendengar perintah itu. Tak terduga bahwa musuh ternyata masih punya "simpanan kekuatan" berupa pasukan berkuda yang tentunya akan membuahkan kehancuran bagi laskar Hek-ku-nia yang memang sudah terdesak itu. Sedang di pihak Hek-ku-nia sendiri tak punya kekuatan cadangan seperti itu, kekuatan untuk pukulan terakhir yang biasanya akan sangat menentukan.

Dalam bingungnya, sambil bertempur melawan Muyong Beng maka Ji Tiat berteriak kepada seorang anggota Hwe-liong-pang yang berada beberapa langkah daripadanya, "He, kau, cari Tong Tayhiap dan bilang bahwa musuh akan melepaskan pasukan berkudanya!"

"Baik, Tongcu" sahut anggota Hwe-liong-pang itu. Lalu iapun mundur ke dalam barisannya dan menyusup untuk mencari Tong Wi-hong sebagai pimpinan seluruh laskar, agar seluruh laskar dapat bergerak sesuai dengan perubahan gerak pasukan musuh.

Sambil melancarkan serangan Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar Burung Hong Menari) dengan tombak panjangnya yang bergelombang dahsyat, Muyong Beng berkata mengejek musuhnya, "Tidak usah sekarat, detik-detik terakhir hidup kalian sudah di tanganku dan aku sudah menjatuhkan keputusan untuk menumpas kalian tanpa sisa seorang pun!"

Sementara prajurit Ui-ih-kun yang ditugasi melepas isyarat itupun telah melepaskan panah bersuara dua kali berturut-turut ke udara. Pasukan berkuda Tamtai Au-kha yang belum bergerak dan masih bersembunyi dalam hutan di kiri kanan medan tempur karena pasukan itu dipecah dua, begitu mendengar isyarat itu segera mempersiapkan diri.

Kemudian dengan satu aba-aba maka gemuruhlah derap kaki ribuan ekor kuda dengan penunggang-penungggangnya yang tangkas memasuki medan perang. Separoh pasukan berkuda yang menerjang dari utara dipimpin Tamtai Au-kha sendiri, sedang yang menyerang dari selatan dipimpin seorang perwira pasukan berkuda bernama Yehlu Im.

Datangnya serangan pasukan berkuda dari dua jurusan, pada saat laskar Hek ku-nia mulai kelelahan itu, benar-benar merupakan malapetaka bagi laskar yang gagah berani itu. Prajurit-prajurit yang masih segar yang menyerbu di atas kuda-kudanya yang tegar tegar, membuat laskar Hek-ku-nia porak-poranda di kedua sisinya. Banyak yang gugur atau luka-luka, bukan saja oleh sabetan pedang atau tusukan tombak, melainkan karena terjatuh dan kemudian kena terjangan kaki-kaki kuda yang tegar-tegar itu.

Dari utara, Tamtai Au-kha benar-benar mirip seorang malaikat dari neraka yang menyebar maut dari atas kuda tunggangannya. Ia memimpin pasukannya dengan berkuda paling depan, sebentar-sebenatar ia membungkuk di atas kuda sambil menyabetkan golok lenakung di tangannya dan setiap kali seorang laskar musuh ditewaskannya.

Hujan panah dan lembing yang dilepaskan orang-orang Hek-ku-nia tidak sepenuhnya dapat menahan gerak maju pasukan berkuda ini, hanya dapat.menjatuhkan beberapa prajurit dari punggung kudanya, namun yang lainnya terus menerjang maju.

Dari antara laskar Hek-ku-nia yang agak kocar-kacir itu, tiba-tiba saja meloncatlah dua orang yang dengan beraninya menghadang derap ribuan kuda itu. Yang seorang bertubuh gempal dengan muka putih, kemerah-merahan seperti anak-anak, namun matanya tajam bukan main. Tangannya memegang sebatang golok Tan-to, sementara di pinggangnya ada sepasang senjata yang disebut Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan).

Seorang lagi bertubuh ramping dan juga berwajah angker,dengan sepasang tangan memegang Siang-hap-to (Sepasang Golok Pendek Lebar), kedua orang ini sama-sama berpakaian hitam menandakan orang Hwe-liong-pang.

Mereka bukan lain adalah Jai-ki Tongcu (Tongcu Bendera Coklat) Ma Hiong yang berjuluk Siau-lo-cia i (Dewa Locia Kecil) dan Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Eiru) In Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir).

Seorang prajurit berkuda berderap menerjang Ma Hiong sambil menyabetkan goloknya. Tapi prajurit itu salah memilih sasaran. Dengan tangkas Ma Hiong menangkis bacokan itu, sementara tanganhya yang lain dengan gerakan yang cepat telah menarik lengan prajurit itu dengan sekuat tenaga. Tak ampun lagi prajurit itu terpelanting jatuh dari kudanya, dan sesaat kemudian terdengar jeritan ngerinya karena tubuhnya remuk diinjak kuda-kuda teman-temannya sendiri.

Sementara Ma Hiong sendiri dengan tangkasnya sudah duduk diatas punggung kuda yang baru saja kehilangan penunggangnya itu. Dalam hal pertempuran berkuda, Ma Hiong pun memiliki cukup pengalaman selama ia dulu berkeliaran di padang ilalang di wilayah Hun-lam sana untuk bergerilya melawan Peng-se-ong Bu-san-kui. Maka kini ia dengan mahirnya melarikan kudanya kian kemari dan setiap kali ada prajurit musuh yang terjungkal dari kudanya.

Di dekatnya, In Yong juga berhasil merampas seekor kuda, dan kemudian menungganginya untuk melawan serbuan musuh. Namun apa artinya dua orang dibandingkan ribuan orang? Betapapun kedua Tongcu itu bekerja keras, mereka hanya dapat menumbangkan musuh satu demi satu, sementara pasukan berkuda musuh terus saja mendesak maju dengan menimbulkan korban berlipat kali.

Pada saat laskar Hek-ku-nia sudah sangat genting keadaannya itu, maka dari mulut kemulut menjalarlah perintah dari Tong Wi-hong sebagai pemimpin, agar semua laskar mundur ke bukit dengan memanjat lereng. Dengan cara itu diharapkan pasukan berkuda akan kehilangan keampuhanya sedang terhadap pasukan berjalan kaki dari Ui-ih-kun akan dicapai keunggulan keletakkan tanah.

Meskipun orang-orang Hek-ku-nia bukanlah prajurit-prajurit, tetapi hanya sekedar orang-orang yang memiliki ilmu silat, tapi gerakan mundur semacam itu memang sudah dirundingkan lebih dahulu cara-cara bagaimana sebaiknya. Maka, meskipun kurang begitu teratur, tokoh-tokoh yang berilmu tinggi seperti Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, Ting Bun, para Tongcu Hwe-liong-pang dan lain-lainnya segera maju menjadi lapisan terdepan untuk melindungi seluruh laskar mundur ke bukit.

Tentu saja perlindungan itu kurang memadai, sebab bagaimana mungkin mereka yang hanya puluhan orang itu sanggup menahan ribuan prajurit? Namun ada pengaruhnya juga, apalagi kemudian dari lereng-lereng bukit dilemparkan pula panah dan lembing yang membantu para pendekar itu. Kemudian orang-orang berilmu itupun naik ke bukit pula sambil mempertahankan diri.

"Kejar dan hancurkan mereka malam ini juga!" teriak Muyong Beng. Ia ingin mencapai kemenangan sebelum hari menjadi malam, sebab saat itu matahari sudah separuh tenggeleam di ufuk barat. Jika hari menjadi gelap, itu bisa menjadi tabir penyelamat bagi orang-orang Hek-ku-nia yang dianggapnya sudah hampir hancur itu.

Memerintahkannya mudah, tapi ternyata melaksanakannya sukar bukan main. Dalam hal ketangksan memanjat lereng bukit yang cukup terjal itu, prajurit-pidjurit Ui-ih-kun masih kalah dibanding orang-orang Hek-ku-nia yang terbiasa hidup di alam keras itu. Sedang prajurit-prajurit Ui-ih-kun terbiasa hanya di Kotaraja Pak-khia yang jalannya sudah rata dan halus itu. Kini karena pertempuran terjadi di lereng bukit, di mana orang Hek-ku-nia di atas dan musuh di bawah, maka percuma pasukan Ui-ih-kun mengandalkan jumlahnya yang lebih banyak.

Laskar Hek-ku-nia terus mundur sasubil bertahan, dan ketika mereka sudah sampai ke barak mereka, maka me-reKapun melancarkan serangan balasan yang lebih berbahaya dari sekedar panah atau lembing. Yaitu balok-balok kayu yang panjang-panjang atau, batuba-tu besar yang digulung-gulungkan dari atas bukit.

Dengan suara gemuruh seperti air bah, balok-balok kayu dan batu-batu besar itu menyapu prajurit-prajurit Ui-ih-kun yang baru mencapai kaki bukit itu, sehingga mereka berlari-larian mundur kembali. Beberapa yang tak sempat menghindar telah memperdengarkan jeritan ngeri mereka ketika tubuh mereka tergulung serangan dari atas bukit itu. Apalagi senja sudah mulai gelap sehingga balok-balok dan batu-batu itu lebih sulit lagi untuk dihindari...

Selanjutnya;