X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 42

Cerita silat mandarin online serial Perserikatan Naga Api episode Pendekar Naga dan Harimau Jilid 42 karya Stevanus S.P

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 42

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Bagaimanapun Im Yao mengerahkan ilmu, kekuatan, kecepatan dan pengalamannya, ia sulit lolos dari serangan beruntun itu. Ambil mengertakkan gigi ia berusaha mundur untuk mengurangi tekanan sambil mengerahkan tenaga di pedangnya untuk menangkis. Namun begitu pedangnya bersentuhan dengan pedang Sebun Him, rasanya tersedot oleh angin pusaran yang maha dahsyat, dan pengerahan tenaganyapun tidak berhasil mempertahankan pedangnya. Tak tertahan lagi pedangnya terpental lepas dari tangannya, sementara pedang Sebun Him bukan berhenti tapi terus menerjang tubuhnya.

Semutpun akan bertahan untuk hidup jika diinjak, apalagi manusia, di saat berbahaya itu mati-matian Im Yao gunakan gerakan Tiat-pan-kio (Jembatan papan besi) untuk menekuk tubuhnya ke belakang sampai punggungnya hampir menyentuh tanah. Gerakan penghindaran yang sebenarnya sangat berbahaya sebab gerakan itu tidak punya banyak kemungkinan untuk gerak lanjutannya. Dan benar saja, Im Yao memang berhasil secepat kilat dengan sabetan tegak lurus dari atas ke bawah, Thay-san-ap-teng (Gunung Thay-san Roboh ke Kepala), maka hanya suatu keajaiban yang akan bisa menyelamatkan Im Yao.

Melihat Im Yao terancam, Ting Hun-giok tidak bisa tinggal diam. Digerakannya tubuhnya bagaikan dilontarkan dan sambil menghunus goloknya ia nekad menangkis pedang Sebun Him. Dalam keadaan biasa, dengan tingkatan ilmu silatnya yang tidak begitu tinggi, mustahil Ting Hun-giok mampu bergerak secepat dan sekuat itu. Namun manusia mempunyai tenaga tersembunyi yang biasanya "keluar" apabila melihat orang yang paling dicintainya terancam mauty atau jika dirinya sendiri terancam bahaya, misalnya seorang pencuri yang ketika diteriaki mendadak saja mampu melompati pagar yang biasanya tidak mampu dilompatinya. Begitu pula yang dialami Ting Hun-giok saat itu. Tenaga tersembunyinya terungkit keluar ketika melihat tubuh Im Yao hampir terbelah oleh pedang Sebun Him.

Sebun Him sendiri terkejut ketika pedangnya yang tinggal sejengkal dari tubuh Im Yao yang tergeletak di tanah itu tiba-tiba tertahan golok Ting Hun sehingga mental balik. Sulit dipercaya oleh Sebun Him bahwa tenaganya yang sudah dikerahkan itu masih bisa dipukul balik oleh seorang gadis. Dan ia bertambah tercengang melihat, betapa Ting Hun-giok dengan nekad menggunakan tubuhnya sendiri untuk menelungkupi tubuh Im Yao untuk melindunginya dari serangan berikutnya.

Waktu itu Im Yao sudah merasa bahwa sebelah kakinya sudah menginjak pintu neraka karena serangan pedang Sebun Him tadi tak mungkin dihindari. Ia percaya arwahnya bakal jadi penghuni neraka, bukan sorga, sebab kejahatannya jauh lebih banyak dari kebaikannya. Kejahatannya hampir seluruh hidupnya ia lakukan, sedang beberapa perbuatan baik baru dilakukannya hari-belakangan ini. Tapi ternyata ia tidak merasakan tubuhnya terbelah, bahkan dirasakannya ada sesosok tubuh yang lunak dan hangat menelungkupi badannya, hidungnyapun mencium bau harum dari rambut seorang gadis.

Setengah tidak percaya setengah percaya Im Yao membuka matanya dan tahu bahwa yang menjadikan tubuhnya sendiri sebagai perisai dari pedang Sebun Him itu bukan lain adalah Ting Hun-giok. Seorang gadis anak tunggal dari sebuah keluarga terhormat dan kaya, telah menempuh bahaya untuk melindungi seorang penjahat besar yang tidak punya apapun kecuali masa lalunya yang hitam seperti arang. Sulit dipercaya, namun ini bukan mimpi. Dada Im Yao bergolak oleh rasa haru dan bangga yang luar biasa.

Selama ini diam-diam ia memang mencintai gadis ini, dan rasa cintanya ini pula yang menerangi dan menghangatkan hatinya yang selama ini gelap dan dingin terhadap sesama manusia, seperti cahaya fajar yang mengusir gelapnya malam. Namun Im Yao memendam rasa cintanya itu dengan Ting Hun-giok, ia tidak berharap untuk memiliki gadis itu, cukup asal bisa berbuat sesuatu yang membahagiakan gadis itu, dia matipun puas.

Tapi kini ia bahkan mendapat perlindungan dari gadis yang menyediakan punggungnya sebagai perisai bagi pedang Sebun Him, sesuatu yang dia impikan saja tidak berani. Meskipun. Im Yao masih merasakan hembusan nafas Ting Hun-giok yang hangat di pipinya, namun dengan cemas ia masih juga bertanya, "Nona Ting, apakah kau tidak luka?"

Ting Hun-giok sendiri tidak luka seujung rambutpun, kecuali lengannya yang pegal ketika menangkis pedang Sabun Him tadi dan goloknya sendiri juga terpental. Namun berada di dekat tubuh Im Yao yang bidang itu ia merasakan kehangatan dan kenikmatan yang hampir saja membuat ia terlena, kalau tidak cepat-cepat mendengar pertanyaan Im Yao itu. Dengan wajah panas karena merasa malu, ia cepat-cepat mengangkat tubuhnya sambil menyahut, "Aku baik saja, Toako, bagaimana dengan Toako sendiri?"

Sementara itu Im Yao juga sudah meloncat bangkit pula, semangatnya berkobar-kobar dan rasa rendah dirinya tersapu sebagian besar. Detik-detik yang baru saja hampir mengantarkan nyawanya ke neraka itu tiba-tiba dirasakannya tadi sebagai detik-detik yang paling berbahagia dalam hidupnya. Hidupnya tiba-tiba saja terasa menjadi sangat berharga karena ada seseorang yang sanggup berkorban baginya.

Dipihak lain, Sebun Him dengan kecemburuan yang meluap-luap melihat cara bagaimana Ting Hun-giok menghalanginya membunuh Im Yao dengan "memasang" punggungnya sendiri sebagai perisai. Untung ia sempat mengendalikan pedangnya, kalau tidak, bukankah ia akan menyesal seumur hidup karena dialah yang membunuh gadis yang dicintainya itu? Namun "cinta" Sebun Him terhadap Ting Hun-giok adalah cinta yang sempat, "cinta" yang kalau gagal memiliki akan berubah menjadi benci dan dendam, "cinta" yang mementingkan diri sendiri.

"Nona Ting, apakah kau sudah gila?!" bentak Sebun Him dengan kasar karena luapan marah dan cemburunya, "Minggir!" Supaya aku bisa membereskan bajingan tengik dari Kui-kiong ini!"

Tapi Ting Hun-giok tidak bergeser seujung rambutpun dari depan tubuh Im Yao. Sebagai gadis yang berwatak lembut dan bijaksana, meskipun ia mulai marah dan muak kepada Sebun Him, tapi suaranya masih diusahakan sedapat mungkin untuk tidak menyakiti perasaan Sebun Him itu, "Sebun Siauhiap, sukalah kau menahan diri, tidak selayaknya kalau seorang yang datang dengan maksud baik malahan kita sambut dengan ujung senjata...”

Yang tak terkendali malahan Sebun Him, padahal orang umumnya menilai bahwa seorang laki-laki lebih dapat mengendalikan diri dari seorang perempuan. Teriak Sebun Him sambil mengacungkan pedangnya, "Minggir, ini peringatanku yang terakhir, nona Ting! Namamu dan keluargamu yang bersih dan harum itu terlalu berharga untuk kau korbankan buat seorang busuk yang tak patut lagi kembali ke masyarakat ramai!"

Mendidih juga Ting Hun-giok melihat sikap Sebun Him yang kepala batu itu, sahutnya, "Tidak. Lebih baik seorang penjahat besar ingin kembali ke jalan yang lurus daripada seorang pendekar dari perguruan terhormat ingin berbuat sewenang-wenang dengan kedok membasmi kejahatan!"

Im Yao tidak tinggal diam menyaksikan pertengkaran itu, ia dorong tubuh Ting Hun-giok yang menghalangi di depannya itu sambil berkata, "Ia benar nona Ting, orang sekotor aku mana mungkin hidup di bawah satu atap langit dengan orang yang suci bersih seperti dia. Nona minggirlah, tubuh dan kehormatan nona memang terlalu bernarga buat orang seperti aku. Jangan rintangi sang malaikat suci bersih itu mencincang aku si iblis kotor ini!"

"Tidak, Im Toako, aku bukan saja berhutang budi kepadamu tetapi juga hutang nyawa dan kehormatan. Kalau tidak kau lindungi dalam perjalanan dari kota Tiang-an sampai ke Kui-kiong dulu, tentu aku sudah menjadi seorang perempuan yang tak berharga lagi karena menjadi korban serigala-serigala macam Pui In-bun dan teman-temanmu yang lain. Aku hanya sanggup membayar kebaikanmu itu dalam penjelmaanku yang akan datang, yang kuperbuat sekarang ini tidak berarti dibandingkan kebaikan Toako dulu!"

lm Yao termangu-mangu dengan kerongkongan terasa tersekat karena keharuannya, sedang Sebun Him berteriak penasaran, "Nona Tong, kenapa kau selalu menyebut-nyebut budi baiknya saja? Memangnya aku tidak mempertaruhkan nyawa ketika menerobos masuk Kui-kiong dan membawamu keluar?"

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam. Semakin ia memahami watak asli Sebun Him maka semakin tipis pula rasa hormatnya terhadap anak muda Hoa-san-pay itu, tidak peduli Sebun Him memiliki tubuh yang gagah, wajah yang tampan, ilmu yang tinggi serta latar belakang terhormat dari sebuah perguruan terhormat seperti Hoa-san-pay. Namun Ting Hun-giok memaksakan dirinya untuk mengangkat kedua tangan di depan dada dan menjura dalam-dalam sambil berkata,

"Untuk pertolonganmu itu, Sebun Siauhiap yang maha perkasa dan berbudi amat luhur, untuk kesekian kalinya aku mengucapa terima kasih. Siauhiap dan Im Toako sama-sama berjasa kepadaku, maka aku mohon kalian jangan berkelahi dan untuk itu terima kasihku sebesar-besarnya kepada kalian. Kalian mau...?"

Dengan tegar Sebun Him menggelengkan kepalanya. "Tidak, ksyatria dan durjana tidak bisa hidup berdampingan. Aku tetap harus membunuhnya."

"Siauhiap bisa membunuhnya setelah melangkahi mayatku!"

Baik Sebun Him maupun Im Yao terkejut sekali mendengar jawaban Ting Hun-giok yang amat tegas itu. Sebun Him menjadi pucat mukanya, pedangnya bergetar dan katanya, "Nona Ting, kau... kau... mengigau?"

Sedang Im Yao berkata, "Terima kasih, nona Ting, tapi pengorbananmu itu terlalu berat bagiku dan malah akan menjadi beban perasaanku. Selamanya aku tidak percaya kekuasaan Tuhan, tapi kali ini biarlah kuserahkan bagaimana nasibku kepada-Nya. Jika harus dicincang oleh Sebun Him, biarlah aku dicincangnya malam ini, tidak perlu nona berusaha merubah takdir yang sudah digariskan kepadaku."

"Tidak, Im Toako, tidak ada takdir yang menggariskan seorang tersesat tidak boleh kembali ke jalan benar selamanya...”

Saat mereka berbantah itu, Sebun Him tiba-tiba telah melesat maju, tangan kanannya yang tidak memegang pedang itu tiba-tiba terluncur dengan sebuah totokan ke jalan darah kian-keng-hiat di pundak. Ting Hun-giok yang terkejut itu secara naluri segera menangkis meskipun dengana tubuh terhuyung-huyung, namun masih dapat bertahan dari usaha Sebun Him yang akan menyingkirkannya dari dekat Im Yao.

"Maafkan, nona Ting, aku bertindak keras kepadamuI"' kata Sebun Him.

Sambil membentak maka dengan gerak Heng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan), pedang di tangan kiri Sebun Him menyapu ke pinggang Im Yao, tapi Im Yao masih sempat menyelamatkan diri dengan lompatan Ui-hona-senq-thian (Bangau Kuning Terbang ke Langit).

Sementara itu Ting Hun-giok telah berkesempatan untuk memungut golok tipisnya yang tadi terpental dari tangan ketika berbenturan dengan pedang Sebun Him. Dengan golok di tangan ia nekad menyerang Sebun Him sambil berteriak setengah menangis, "Sebun Siauhiap, siapapun tidak berhak memisahkan kami berdua!"

Dengan kalimat singkat itulah tercurahkan isi hati gadis itu yang sebenarnya, membuat hati Sebun Him dan Im Yao tergetar pada saat yang bersamaan yang satu tergetar oleh kemarahan dan kekecewaan, lainnya tergetar karna kebahagiaan. Im Yao sadar, sekarang bahwa hidupnya ternyata tidak sia-sia, dan karena itu ia harus mempertahankan hidup ini sebisa-bisanya, bukan lagi menyerah untuk dicincang Sebun Him. Semuanya adalah demi Ting Hun-giok.

Sebaliknya Sebun Him menjadi sakit hati karena terucapkannya kalimat tadi dari mulut Ting Hun-giok adalah tanda yang tak dapat disangkal lagi bahwa pintu hati gadis itu sudah tertutup rapat baginya. Im Yao sudah mendahuluinya memasuki hati gadis itu. Dan keputus-asaan di dada Sebun Him berubah kemarahan dan kedengkian yang membuatnya mata gelap. Lenyaplah ajaran-ajaran kependekaran dan ajaran tentang berjiwa besar segala yang ditanamkan di hatinya sejak dari perguruannya, yang ada sekarang hanyalah tekadnya kalau ia tidak bisa memetik sekuntum bunga maka lebih baik bunga itu dihancurkan saja sama sekali.

Alangkah sakitnya hatinya apabila kelak ia melihat Ting Hun-giok hidup bahagia dengan Im Yao. Ya, Ting Hun-giok lebih baik dibunuh saja dari pada dimiliki oleh orang lain. Ia tidak takut andaikata perbuatannya itu mengakibatkan permusuhan dengan keluarga Tong, sebab ia merasa dengan telah memiliki Kun-goan-sin-kang ia tidak perlu takut lagi kepada siapapun. Kepada nama-nama besar seperti Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou saja ia tidak takut, apalagi hanya kepada Tong Wi-hong atau Tong Wi-lian atau Ting Bun.

Dengan tekad seperti itu dalam hatinya, maka tandang Sebun Him bagaikan sesosok iblis yang dengan nafsu haus darahnya ingin menelan korbannya bulat-bulat. Sasaran utama dari pedangnya adalah Im Yao, namun apabila Ting Hun-giok merintanginya maka Sebun Him melabrak gadis itu pula dengan serangan-serangan maut yang tidak ditahan-tahan lagi, la sudah tak peduli lagi andaikata kepala Ting Hun-giok terpenggal atau perutnya cobek oleh pedangnya.

Ting Hun-giok bertempur bahu-membahu dengan Im Yao, masing-masing dengan golok dan pedangnya, karena Im Yao telah sempat pula menjemput pedangnya yang terpental diri lebih dulu, namun setiap kali pula ia mendapat jawaban yang sama bahwa gadis itu hanya mau menyelamatkan, diri jika bersamanya. Kalau tidak, lebih baik gugur bersama-sama di lereng Liong-pwe-nia itu.

Bagaimana hebatnya sepasang merpati yang sedang dimabuk cinta itu mengerahkan ilmu silat mereka, namun mereka masih tetap terdesak menahan amukan Sebun Him yang kerasukan setan itu. Dua kekuatan seakan bertabung, kekuatan dendam dan kebencian yang diwakili Sebun Him serta kekuatan cinta dalam diri Im Yao dan Ting Hun-giok. Hanya tekad untuk mati atau hidup bersama itulah yang membuat kedua sejoli mampu mengerahkan kekuatan di luar batas kemampuan mereka untuk bertahan sekian lama.

Suatu ketika terdengar suara kain robek dan suara Im Yao yang mengaduh karena ujung pedang Sebun Him berhasil menyusupi pertahanannya dan membuat sebuah goresan memanjang di dadanya. Ting Hun-giok cepat melancarkan serangan gencar untuk menyelamatkan kekasihnya, tapi akhirnya malah pundaknyapun terluka oleh pedang Sebun Him yang kalap itu.

"Jangan korbankan dirimu, A-giok, tinggalkan tempat ini demi masa depanmu yang masih panjang," kata Im Yao di sela-sela deru pedang dan gemerincingnya senjata yang berbenturan. Tak terasa ia telah mengganti panggilannya dari "nona Ting" menjadi "A-giok" yang lebih akrab.

Sambil berloncatan mundur bersampingan dengan Im Yao, Ting Hun-giok menyahut, "Jangan halangi aku untuk melakukan sesuatu yang membuatku bahagia, Toako."

"Kau bahagia saat ini, A-giok?" tanya Im Yao sambil meloncat kesamping karena menghindari jurus Tiang-sian-ji-hun (Panah Panjang Menembus Mega) dari Sebun Him. Dan ketika Sebun Him mengubah gerakannya menjadi Hek-hou-tiau-kan (Macan Kumbang Melompati Parit) dehgan gerak pedang yang melebar ke rusuk Ting Hun-giok.

Maka gadis itupun meloncat menghindar sambil menjawab, "Ya, Toako, aku sangat bahagia sebab kita tidak dapat lagi saling bersembunyi dari perasaan kita masing-masing!"

Bekas luka yang memanjang dari kening sampai ke pipi di wajah Im Yao itu nampak bergerak-gerak karena guncangan perasaannya, dan kemudian iapun terbahak-bahak sambil berkata keras-keras, "Bagus! Malam ini aku mati-pun puas!"

Sebun Him dengan kalap terus memutar pedangnya dengan berbagai jurus mematikan, sudah tidak ada apa-apa lagi di dalam otaknya kecuali suatu hal membunuh. Membunuh karena "cinta"?

Di saat perkelahian semakin memuncak, tiba-tiba dari atas bukit Liong-pwe-nia meluncur beberapa sosok bayangan ke arah ajang perkelahian itu. Gerakan mereka yang gesit membuat mereka nampak seperti bayangan-bayangan hitam saja, nmamun semakin dekat semakin jelaslah wajah-wajah mereka. Tiga orang yang paling depan adalah Gin-yan-cu Tong Wi-wong, adik perempuannya Tong Wi-lian dan Kwa Teng-siong, itu Hek-ki longcu (Tongcu Bendera Hitam) dari Hwe-liong-pang yang terkenal gin-kangnya sehingga dijuluki Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam).

Beberapa langkah di belakang mereka kelihatan pula beberapa orang lainnya yang gin-kangnya kalah tinggi, meskipun tidak berarti ilmu silatnya kalah, merekalah Auyang Seng, Bu-gong Hweshio, beberapa Tongcu dan juga dua putera Tong Wi-hong. Rupanya orang-orang tadi berdatangan karena mendengar suara pertempuran di bawah bukit, yang terdengar cukup jelas di malam yang sunyi itu. Mengira ada musuh datang menyerbu, merekapun segera berhamburan ke bawah buki t untuk memeriksa segala bukit itu.

Dan setelah melihat siapa yang bertempur merekapun tercengang sebab melihat yang berkelahi itu ternyata adalah Sebun Him melawan Ting Hun-giok yang bertempur berpasangan dengan seorang pemuda baju hitam tak dikenal yang wajahnyaa ada bekas luka memanjang dari kening sampai ke pipi. Dan siapapun dapat melihat bahwa pertempuran yang tengah berlangsung itu adalah pertempuran mati-matian, bukan sekedar latihan atau saling menguji kepandaian.

Tong Wi-lian yang berkepentingan dengan keselamatan puterinya, anak satu-satunya itu, melihat bagaimana Ting Hun-giok dan pemuda berbaju hitam dengan luka di wajahnya itu sudah dalam keadaan gawat. Mereka berdua hanya tinggal bisa bertahan saja dari tekanan berat Sebun Him yang berilmu jauh lebih tinggi dari kedua orang itu. Bahkan kadang-kadang sekedar bertahanpun mengalami kesulitan apabila serangan Sebun Him datang membadai seperti angin ribut, dan saat itu Ting Hun-giok maupun Im Yao berloncatan mengelak seperti daun-daun kering yang terhantam badai.

Suatu saat, terjadi benturan keras antara golok Ting Hun-giok dengan pedang Sebun Him, dan tak terhindarkan lagi golok itu lepas dari tangan Ting Hun-giok sebab tenaga gadis itu bukan tandingan tenaga Sebun Him. Sedang pedang Sebun Him tak kenal ampun terus menerjang hendak merobek lamburg gadis itu yang tak punya kesempatan lagi untuk mengelak maupun menangkis.

Bahkan Im Yao itupun tidak dalam kedudukan yang cukup menguntungkan untuk memberikan pertolongan, ia hanya bisa berteriak cemas, "A-giok...!"

Tapi untunglah di tempat itu hadir pula banyak tokoh berilmu tinggi. Seutas ikat pinggang sutera berwarna merah jambu tiba-tiba meluncur ke tengah gelanggang seperti cepatnya, dan melibat pergelangan tangan Sebun Him yang memegang pedang, lalu dientakkan sehingga selamat lah Ting Hun-giok dari kematian.

Dengar marah Sebun Him memutar tubuhnya ke arah orang yang merintangi dirinya dengan selendang itu, dan ia-pun berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang terkenal dari An-yang-shia, Tong Wi-lian, yang juga tengah menatap Sebun Him dengan mata yang menyala-nyala, seperti seekor harimau betina yang sangat marah karena hampir saja kehilangan anaknya.

"Kau hampir membunuh anakku, kenapa?" Tong Wi-lian mengucapkan pertanyaannya dengan bibir yang gemetar karena marahnya.

Dan betapapun Sebun Him menguatkan hatinya namun ia tetap tidak sanggup menentang pandangan mata Tong Wi-lian yang tajam menusuk itu. Sambil membuang pandangannya ke samping karena tidak tahan, Sebun Him menjawab, "Karena, kau tidak sanggup mendidik anakmu sehingga ia bergaul dengan golongan penjahat dari Kui-kiong maka aku lebih baik menindaknya daripada terlanjur menjadi bibit bencana bagi kaum lurus!"

Tong Wi-lian bertambah marah oleh jawaban yang sama sekali tidak sopan itu, namun sebagai angkatan tua ia harus menahan diri untuk tidak memulai perkelahian melawan Sebun Him yang seangkatan dengan anaknya itu. Ia hanya menjawab dengan tajam, "Terima kasih atas pendidikanmu kepada anakku, Sebun Siauhiap, tapi kalau anakku berbuat tidak benar maka kami sebagai orang tuanyalah yang berhak menghajarnya, bukan orang luar."

Meskipun sudah menahan diri sekuatnya, toh nada suara Tong Wi-lian masih bergetar oleh kemarahan dan ketidaksenangannya, sebagai seorang ibu yang baru saja melihat nyawa anaknya hampir melayang oleh orang lain, maka sikap Tong Wi-lian itu lumrah. Tidak ada kasih sayang yang melebihi kasih ibu kepada anaknya, dan ibu yang satu ini baru saja melihat bagaimana seseorang sama sekali tidak menghargai nyawa anaknya.

Dalam hati kecilnya yang paling dalam, timbul juga perasaan bersalah Sebun Him, namun ditindasnya kuat-kuat. Dengan sikap yang dibuat segarang mungkin Sebun Him menjawab Tong Wi-li-an; "Bagus kalau kau ingin mengajar anakmu, lakukanlah sekarang. Lihat, dia begitu akrab dengan sisa-sisa pen jahat dari Kui-kiong yang sudah melakukan banyak kejahatan itu!"

Waktu itu, memang Ting Hun-giok dan Im Yao berdiri dengan berpegangan tangan, tidak peduli lagi di tempat itu banyak orang berdatangan. Sikap yang seolah-olah "mengumumkan" hubungan antara mereka berdua, dan juga siap menghadapi badai yang bagaimanapur dahsyatnya dalam melayarkan bahtera cinta mereka.

Ketika Tong Wi-lian menanyai anak gadisnya apakah benar ucapan Sebun Him itu, maka tanpa ragu-ragu Ting Hun-giok menjawab, "Im Toako dulu memang anak buah Te-liong Hiangcu, ibu, namun salahkah kalau dia ingin memperbaiki masa lalunya dengan membuat masa depan yang lebih baik? Ibu, inilah Im Toako yang pernah kuceritakan kepada ibu, yang sudah menolong nyawa dan kehormatanku sehingga aku tetap terjaga sejak diculik dari kota Tiang-an itu, dan Im Toako inilah yang memberitahukan kepada kita tentang rencana licik Te-liong Hiangcu di Ki-lian-san. Kalau tidak ada Im Toako ini, entah bagaimana jadinya dengan para pendekar yang menghadiri pengangkatan Ketua Ki-lian-pay dulu? Tapi begitu ia datang, bahkan dengan membawa berita penting, Sebun... Sebun Siauniap malah tidak memberinya kesempatan berbicara sepatah-katapun dan langsung menyerangnya dengan penuh kebencian. Aku terpaksa harus membela Im Toako."

Melihat sikap dan ucapan Ting Hun-giok, maka banyak orang-orang yang sudah berusia setengah abad segera tahu bahwa antara Ting Hun-giok dengan Im Yao bukan sekedar terjalin hubungan persahabatan, melainkan jauh lebih akrab dari sekedar persahabatan. Tong wi-lian menarik napas dalam-dalam, akankah ia bermenantukan seorang dari Kui-kiong yang di masa lalu adalah pusatnya segala kejahatan itu?

Namun dia tahu juga bahwa puterinya itu mewarisi darah keluarga Tong, darah dari keluarga yang memiliki kemauan keras luar biasa, sehingga mencegah hubungan itu hanya akan mempersulit persoalan. Sesaat ia kebingunan harus bersikap bagaimana dalam menghadapi masalah itu?

Sebelum Tong Wi-lian sempat berbicara, yang berbicara adalah The Toan-yong, Ketua Ki-lian-pay, yang berada dalam rombongan itu pula. Ia maju dan memberi hormat dalam-dalam kepada Im Yao sambil berkata, "Kalau begitu Siangseng (tuan Im) inilah yang secara tidak langsung menyelamatkan Ki-lian-pay dari kehancuran. Tuan Im, terimalah hormatku sebagai wakil dari seluruh anggota Ki-lian-pay..."

Sebagai bekas penjahat, Im Yao hanya pernah merasakan caci-maki umpatan kebencian dan bahkan senjata yang ditodongkan kepadanya, teapi sekalipun belum pernah menerima penghormatan semacam itu, apalagi dari seseorang Ketua Perguruan seperti The Toan-yong. Karena itu, sikapnya menjadi sangat canggung, namun dengan canggung pula dibalasnya penghormatan itu tanpa sepatah katapun.

Sedangkan Bu-gong Hweshio, si hwe-shio dari Giau-lim-pay yang bertenaga raksasa dan berjulukan Jian-kin-cun-tui (Palu oikut Seribu Kati) itupun menimbrung bicara dengan suaranya yang keras dan kasar seperti biasanya, "Seorang jahat yang mau balik ke jalan yang benar, patut kita sambut seperti kita menyambut seorang saudara yang pulang dari bepergian jauh. Saudara Im, terimalah ucapan selamatku!"

Begitulah banyak pendekar yang menyambut kedatangan Im Yao dengan sikap bersahabat. Kalau tidak mengucapkan terima kasih atas peristiwa Ki-lian-san, ya membesar-besarkan hati Im Yao dan mencoba merukunkan dengan Sebun Him. Semuanya itu sudah tentu membuat Sebun Him tidak suka, karena yang sebetulnya mengganjal di hatinya bukanlah masalah Im Yao itu orang Kui-kiong atau bukan, melainkan masalah Ting Hun-giok.

Tapi sudah tentu ia tidak akan mengakui hal itu di hadapan banyak orang, sebab hal itu bisa menyuramkan citra kepahlawanannya, dan ia harus selalu menyelubunginya seolah-olah semua yang dilakukannya itu adalah "demi kepentingan gerakan pembebasan tanah air" dan bukan demi dirinya pribadi.

Ketika merasakan bahwa suasana lebih menguntungkan diri Im Yao, maka Sebun Him jadi merasa tersudut, sehingga ia bungkam saja. Dengan suara keras ia menyarungkan pedangnya kembali sehingga beberapa orang menoleh kepadanya.

"Tampaknya ada suatu hal yang tidak berkenan di hatimu, Sebun Siauhiap?" tanya Ki-lian-pay The Toan-yong.

Sahut Sebun Him ketus, "Memang ada, yaitu semangat kependekaran mulai menjadi luntur hanya karena lagak beberapa orang yang dengan nama besarnya mencoba mempengaruhi orang banyak."

Habis berkata demikian, Sebun Him segera meninggalkan tempat itu, melangkah ke atas bukiit. Paman gurunya segera meninggalkan tempat itu, melangkah ke atas bukit. Paman gurunya, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, merasa tidak enak sendiri melihat kelakuan keponakan muridnya yang sejak dalam ruangan markas Jing-liong-pang tadi sudah menunjukkan sikap kurang sopan terhadap pendekar-pendekar angkatan tua.

Maka begitu melihat Sebun Him memisahkan diri, dia pun segera menyusulnya, dan setelah cukup jauh dari kerumunan orang-orang itu maka Auyang Seng berkata dengan tajam, "sebun Him, kau masih sanggup menjaga nama baik Hoa-san-pay atau tidak?"

Sebun Him terkejut mendengar pertanyaan itu, "Tentu sana, susiok."

"Kalau masih sanggup ubahlah sikapmu yang tidak sopan terhadap para pendekar itu, sebab nama baik setiap perguruan bukan cuma ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu silat tokoh-tokohnya, tapi juga perilaku murid-muridnya menurut tata-krama masyarakat beradab. Perguruan yang hanya mengajarkan ilmu silat kepada murid-muridnya, tanpa mengajarkan budi-pekerti, adalah perguruan yang hanya mencetak bandit-bandit saja dan tidak mencetak pendekar-pendekar. Aku tidak mau Hoa-san-pay dicap seperti itu."

Sebun Him merah kupingnya mendengar teguran paman-gurunya yang pedas itu, meskipun sekarang ia merasa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari susioknya punya andil besar dalam membina ilmu pedangnya sehingga mencapai tingkatan seperti sekarang ini. Dengan kepala tertunduk ia menjawab,

"Aku memang tidsk tahan lagi melihat sikap para pendekar yang mulai lembek itu. Budak Manchu semacam Tong Lam-hou mereka terima pikiran-pikiran-nya untuk berdamai dengan orang-orang Manchu. Dan sekarang penjahat busuk macam Im Yao juga disambut di sini seperti menyambut seorang pahlawan besar, aku yang sudah berbuat banyak bagi perjuangan melawan Manchu maupun melawan orang Kui-kiong, malahan mereka singkir-singkirkan. Siapa tidak penasaran?"

"Siapa yang tidak menghiraukanmu?" tanya Auyang Seng heran. "Mereka tidak menyingkirkanmu, tidak seorangpun mencoba mengucilkanmu, kau sendiri yang menyingkirkan dirimu. Menyatakan perbedaan pendapat boleh saja, tapi pakailah cara yang sopan supaya tidak menodai nama perguruan kita."

"Aku hanya bosan kepada sikap mereka, susiok. Aku tidak bisa menerima perdamaian dengan bangsa Manchu..."

Ucapan Sebun Him tidak terselesikan sebab paman gurunya telah memotongnya dengan ucapan yang langsung mengorek isi hati Sebun Him, "A-him, jangan kau selubungi semua tindakanmu seakan-akan kau benar-benar seorang pahlawan yang tanpa pamrih memperjuangkan tanah-airmu. Kau kira aku buta tidak bisa melihat sikapmu selama ini kepada gadis puteri Ting Tayhiap dari An-yang-shia itu?"

Dengan terkejut Sebun Him cepat-cepat membantah, "Susiok, semua yang kulakukan demi tanah air...."

"Jangan bohong, itu lebih buruk lagi. Aku hanya ingin memperingatkanmu agar menjaga kelakuanmu baik-baik jangan sembarangan membunuh orang sebelum terbukti orang itu melakukan kejahatan yang tak terampunkan."

Habis berkata demikian Auyang Seng sendiri tidak menunggu jawaban lagi dan segera berjalan meninggalkan keponakan-muridnya yang berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba Sebun Him mengertakkan gigi dan mencabut pedangnya, beberapa batang pohon di tempat itu dibacokinya untuk menumpahkan rasa geramnya. Pikirnya, "Paman Auyang sendiri sudah menjadi cengeng dan penakut. Sebenarnya dialah yang merusak nama baik Hoa-san-pay, bukan aku."

Meskipun belasan batang pohon sudah dibacoknya roboh, namun baru sebagian saja dari rasa jengekelnya yang terlampias. Dengan uring-uringan ia melangkah menuju ke barak Jing-liong-pang.

Sementara itu, di kaki gunung, para pendekar dengan wajah yang tegang mendengarkan keterangan Im Yao bahwa sebuah pasukan besar tengah menuju ke bukit itu. Pasukan berkuda pimpinan Tamtai Au-kha yang kemarin bentrok dengan para pendekar, hanyalah sebagian kecil dari sebuah pasukan besar yang sedang digerakkan untuk memusnahkan Hwe-liong-pang dan Tong Lam-hou sekalian.

Menurut keterangan yang berhasil diperoleh Im Yao, pasukan berjalan kaki itu berjumlah sepuluh ribu orang, ditambah dengan pasukan berkudanya Tamtai Au-kha yang baru berkurang sedikit karena pertempuran dengan para pendekar, maka kekuatan itu benar benar kekuatan rasaksa yang hampir tak tertandingi. Andaikata seluruh Hwe liong-pang dikerahkan kebukit inipun jumlahnya tetap kalah jauh, apalagi Hwe-liong-pang masih dalam perjalanan kemari, sedang yang sudah ada di sini cuma Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan kedelapan orang Tongcu.

"Siapa yang memimpin pasukan besar itu?" tanya Tong Wi-hong kepada Im Yao. "Apakah Pakkiong An sendiri?"

"Bukan, Tong Tayhiap," sahut Tm Yao. "Kepala perang dari pasukan yang menuju kemari itu adalah seorang bawahan Pakkiong An yang haus darah bernama Muyong Beng. Seorang yang tidak segan-segan menghabiskan seluruh pasukannya di medan perang asalkan mencapai pujian dari atasannya. Aku kenal betul watak Muyong Beng sebab kami pernah bertemu beberapa kali, ketika Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An masih bekerja-sama."

Apa yang dikabarkan Im Yao itu memang hal yang cukup gawat, sebab bagaimanapun tangguhnya para pendekar itu dengan ilmu silatnya masing-masing tapi bisakah melawan lebih dari selaksa prajurit yang cukup terlatih? Sanggupkah mereka memutar pedang terus menerus untuk menangkis panah-panah atau lembing-lembing yang tentu akan "dicurahkan" seperti hujan lebat?

Apalagi di antara pasukan musuh sebesar itu tentu bukan semuanya terdiri dari prajurit-praiurit biasa, tentu ada perwira-perwira yang berilmu tinggi dan patut diperhatikan, apalagi kabarnya Pakkiong An tidak segan-segan mengupah jago-jago bayaran yang kebanyakan dari golongan hitam untuk memperkuat pasukannya.

"Ini adalah masalah besar vanq harus dilaporkan kepada Lim Cecu (majikan benteng she Lim) sebagai tuan rumah tempat ini," kata Tong Wi-hong yang segera disetujui oleh banyak orang.

Maka berbondong-bondonglah mereka naik kembali ke bukit untuk menemui Lim Kan, pemimpin gerombolan yang menamakan diri Jing-liong-pang itu. Malam itu juga mereka berunding, dan karena menurut laporan Im Yao pasukan Muyong Beng itu sudah cukup dekat, maka diputuskan bahwa malam itu juga seluruh isi barak akan "mengungsi" tak ketinggalan seorangpun.

Keputusan itu diambil karena mereka tahu bahwa anggota Jing-liong-pang yang hanya kira-kira duaratus orang itu sudah tentu tidak dapat melawan sepuluh ribu prajurit berjalan kaki musuh dan dua-ribu limaratus prajurit berkuda, yang terjadi hanyalah pembantaian atau bunuh diri belaka.

Begitulah, malam itu juga terjadi kesibukan di barak itu, Anggota-anggota Jing-liong-pang berkemas-kemas meninggalkan bukit yang sudah bertahun-tahun menjadi tempat tinggal mereka. Ada perasaan berat hati juga, tapi semuanya harus dilakukan demi keselamatan diri. Meskipun Jing-liong-pang sering disebut sebagai "gerombolan rampok" oleh sementara pihak.

Namun dalam pengungsian itu ternyata tidak ada harta karun secuwil emaspun yang mereka bawa, semuanya hanya membawa bungkusan kecil yang berisi beberapa lembar pakaian dan tentu saja senjata mereka. Mereka memang sering merampok orang kaya atau orang berpangkat yang dikenalnya kikir, namun kemudian dibagikan kepada penduduk miskin yang memerlukannya dan tak tersisa sedikit-pun buat orang Jing-liong-pang sendiri. Untuk itu Lim Kan tak henti-henti menanamkan jiwa pengabdian kepada anak buahnya.

Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) Kwa Heng yang bergelar Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) sebagai Tongcu paling tua dari delapan Tongcu, mewakili rekan-rerkannya berkata kepada Lim Kan, "Saudara Lim, aku mengucapkan terima kasih bahwa untuk melindungi para Tongcu dari tangkapan pasukan musuh sehingga merepotkan kau dan seluruh saudara-saudara Jing-liong-pang untuk mengungsi.”

Tapi Lim Kan cepat-cepat menyahut, "Jangan berkata begitu Kwa Tongcu, jangan lupa bahwa aku pernah menjadi anggota Hwe-liong-pang juga, begitu pula seluruh anggota Jing-liong-pang kami. Jing-liong-pang atau Hwe-liong-pang tak ada bedanya."

Demikianlah, tidak menunggu sampai fajar terbit, para pendekat dan orang-orang Hwe-liong-pang, para pendekar serta orang-orang Jing-liong-pang pun berbondong-bondong menuruni lereng sebelah barat.

"Apakah saudara Lim sudah punya tujuan tertentu?" tanya Auyang Siaupa yang berjalan berdampingan dengan Lim Kan di bagian depan.

Sahut Lim Kan sambil tersenyum, "Bertahun-tahun kami hidup dengan bermain kucing-kucingan dengan pihak penguasa yang punya pasukan jauh lebih kuat daripada kami, karena itu kemungkinan seperti ini sudah kami perhitungkan jauh hari sebelumnya. Kami punya beberapa barak cadangan yang sudah kami siapkan untuk kemungkinan seperti ini."

"Jadi sekarang kita ke mana?"

"Barak Hek-ku-nia (bukit kura-kura hitam), duapuluh li sebelah barat daya dari tempat ini. Tempat itu sangat menguntungkan untuk bertahan dari pasukan yang jauh lebih besar, sebab barak itu seakan dikelilingi tiga perlindungan. Dua buatan alam dan satu buatan kami sendiri."

Yang mendengarkan penjelasan Lim Kam itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berjalan terus menembus malam, dan menjelang fajar sampailah mereka disebuah hutan. Kata Lim Kan, "Inilah perlindungan kami lapis pertama. Dari hutan ini kami bisa bersembunyi sambil melepaskan panah, lembing atau bandil-bandil tanpa kuatir balasan lawan karena daun-daunan yang lebat serta batang-batang pohon."

Mereka menyusup hutan yang meskipun tidak begitu lebat, namun agaknya dapat juga menghambat gerak laju sebuah pasukan besar. Apa yang dikatakan Lim Kan tadi memang tidak berlebih-lebihan, para Tongcu Hwe-liong-pang-yang pernah bertempur di pihak Coan-ong Li Cu-seng di jaman pergolakan dulu dan sedikit banyak mereka paham juga ilmu perang, dan ucapan Lim Kan dati memang tidak salah.

Setelah menyeberangi hutan, mereka tiba di sebuah dataran berumput yang cukup luas, dan di seberang dataran itu nampak bayangan bukit yang dinamakan Hek-ku-nia itu menggunduk kehitaman dalam keremangan pagi. Beriringan rombongan itu menyeberangi dataran, dan setelah mendekati bukit itu merekapun melihat sebuah celah besar di tengah bukit yang diapit lereng-lereng terjdi kiri kanannya.

Sedangkan lereng bukit yang menghadap ke dataran itupun tidak landai melainkan hampir tegak lurus, sehingga sulit diserang pula. Andaikata musuh nekad menyerang juga, maka dari atas bukit cukuplah digelundungkan batu-batu besar atau balok-balok kayu, sehingga musuh tak akan berdaya.

Tak terasa Siangkoan Hong berkata sambil mengangguk-angngukkan kepalanya, "Benteng alam yang bagus!" Biarpun ia tidak pernah membaca buku ilmu perang sama sekali, namun keadaan bukit itu sekilas pandang oleh orang awampun akan segera terlihat keuntungannya dari segi pertahanan.

"Benar, Hiangcu, itulah pertahanan pertahanan kami selama ini," sahut Lim Kan. "Tapi kita masih memiliki satu kelemahan."

"Kelemahan apa?" tanya beberapa pendekar hampir berbareng.

“Pasukan Pakkiong An sangat banyak, cukup melingkari bukit itu karena semua jalan keluar dikuasai oleh pasukan musuh, dan ransum dalam barak paling-paling hanya dapat bertahan beberapa hari."

Sambil berjalan, semua pendekar memutar otak untuk memecahkan masalah ini. Biarpun mereka bukan panglima-panglima yang berpengalaman memimpin pasukan, namun sebisa-bisanya mereka mencari jalan juga, sebab tidak mungkin bagi Lim Kam dan anak buahnya terus menerus melarikan diri, sebab suatu saat pasti akan terkejar dan dihancurkan oleh pasukan berkuda Tamtai Au-kha yang dapat bergerak cepat itu.

"Satu-satunya jalan, saudara-saudara Hwe-liong-pang yang sedang menuju ke tempat ini haruslah diberitahu agar mempercepat perjalanan mereka, supaya dapat segera memperkuat kedudukan kita di sini," kata Tong Wi-hong. "Sebab kurang baik kalau kita hanya bertahan saja. Dengan memanfaatkan keadaan alam yang menguntungkan kita, kita juga harus berusaha untuk balik menyerang dan kalau perlu memukul mundur atau memecahkan kepungan musuh."

Lim Kan mengerutkan alisnya, "Apakah tidak menambah jumlah korban saja? Aku mengerti bahwa seluruh anggota Hwe-liong-pang berjumlah tidak lebih dari seribu orang, meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan seperti prajurit yang baik, tapi tidak membawa banyak kemungkinan apabila dihadapkan kepada pasukan yang jauh lebih besar. Apalagi tentunya tidak semua anggota Hwe-liong-pang akan dikerahkan kemari, tentu ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjaga markas di Tiau-im-hong."

Kata Tong Wi-hong, "Memang cara itupun kurang sempurna, tetapi agaknya sementara ini kita belum menemukan cara yang lebih baik daripada itu. Lagipula kita memang tidak ingin menyamai jumlah prajurit musuh, sebab hal itu tidak mungkin mengingat kekuatan musuh yang begitu besar. Kita hanya ingin menambah kekuatan kita, agar dalam bertahanpun kita bukannya bertahan mutlak, tepi sekali-sekali membalas menyerang saja. Bagaimana pendapat saudara-saudara?"

Sun Ciok-peng dari Kay-pang (Serikat Pengemis) segera berkata, "Kalau begitu, biarlah aku Kerahkan pula anggota-anggota Kay-pang untuk memperkuat kita, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak sebab yang dapat dikerahkan tentunya hanyalah dari cabang-cabang terdekat dari sini..."

Mendengar kesanggupan Sun Ciok-peng itu, para Tongcu Hwe-liong-pang merasa berterima kasih, mengingat bahwa pertempuran yang bakal terjadi itu hanya karena ingin melindungi mereka dari tangkapan Pakkiong An. Kata Lam-ki Tongcu, "Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan saudara-saudara mengerahkan daya pikiran untuk melindungi kami. Tapi apabila korban yang jatuh diperkirakan akan terlalu banyak, lebih baik kami berdelapan saja yang menyongsong musuh, mati hidup biar kami serahkan kepada takdir Thian, jangan sampai, membuat orang lain jadi korban!"

Ucapan In Yong itu seketika disambut oleh ketujuh Tongcu lainnya. Sebagai ksyatria-ksyatria berwatak jantan, mereka merasa lebih lega menghadapi maut dengan kekuatan mereka sendiri, daripada melibatkan banyak orang untuk melindungi mereka sehingga akan banyak jatuh korban.

Tapi ucapan In Yong itu dibantah oleh Bu-gong Hweshio, "Ucapan saudara In tidak tepat. Masalahnya bukan sekedar menyangkut nyawa delapan gelintir nyawa para Tongcu, melainkan melawan kesewenang-wenangan yang dilakukan Pakkiong An. Kita sudah sepakati bersama bahwa apabila pemerintah Manchu bertindak sewenang-wenang kepada kita rakyat Han, kita akan lawan, mereka. Kalau mereka berbuat kebaikan kepada rakyat, kita tunduk. Bukankah begitu?"

Ucapan Bu-gong Hweshio inipun mendapat dukungan banyak orang yang sadar bahwa selama ini Hwe-liong-pang melambangkan perlawanan kepada kezaliman, sejak jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari Kerajaan Beng dulu. Dan kedelapan Tongcu sebagai lambang Hwe-liong-pang, tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada Pakkiong An yang kejam itu untuk dihukum tanpa kesalahan apa-apa, hanya karena oleh Pakkiong An dianggap memberontak padahal Hwe-liong-pang cuma membela keadilan.

"Nah, sekarang siapa yang akan berangkat untuk menyongsong rombongan Hwe-liong-pang?" tanya beberapa orang.

Beberapa Tongcu menyatakan kesanggupannya, namuan terputus oleh ucapan Siangkoan Hong, "Biar aku saja menjumpai mereka. Aku akan menggunakan ilmu meringankan tubuh Jian-po-leng-khong (Seribu Langkah Udara Kosong).”

Ilmu meringankan tubuh ajaran Bu-san-jit-kui itu adalah campuran antara ketangguhan tenaga dalam, dengan ilmu yang berbau gaib, apabila digunakan untuk menempuh perjalanan maka kecepatan berjalan orang itu akan lebih cepat dari seekor kuda yang paling baik sekalipun. Dengan sendirinya akan lebih cepat sampai, karena itu begitu mendengar Siangkoan Hong menyatakan kesanggupannya, tak ada orang lain lagi yang membantah.

"Kapan kau akan berangkat?" tanya Tong Wi-hong kepada Siangkoan Hong yang merupakan sahabat sekampung halaman mereka masih sama-sama anak kecil itu.

"Sekarang!" sahut Siangkoan Hong. Ketika ia mulai berbicara sepatah kata itu ia masih berada di tengah-tengah orang-orang itu, namun pada akhir katanya ia sudah berada belasan langkah jauhnya dari kerumunan itu. Begitu cepat gerakannya sehingga orang-orang yang berdekatan dengannya hanya merasakan angin berhembus, seolah yang lewat di dekat mereka itu bukan manusia melainkan hanya sesosok mahluk halus.

Melihat itu Bu-gong Hweshio mengomentari, "Ratusan tahun yang lalu, Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis dari Bu-san) adalah malapetaka bagi dunia persilatan, kemudian oleh pewaris-pewaris ilmu Bu-san-jit-kui, orang curiga bahwa malapetaka ratusan tahun yang lalu itu akan terulang kembali. Kecurigaan yang sempat membuahkan pertumpahan darah di Siong-san dan di Tiau-im-hong. Tapi ternyata terbukti tidak, kini malahan orang-orang Hwe-liong pang yang berdiri di barisan paling depan dalam membela kepentingan rakyat kecil."

Beberapa Tongcu Hwe-liong-pang tersenyum juga mendengar pendapat Bu-gong Hweshio tentang Hwe-liong-pang itu. Jian-kin-sin-kun (Pukulan Malaikat Seribu Kati) Lu Siong sebagai Ci-ki.Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) yang bersahabat baik dengan Bu-gong Hweshio itu lalu menyahut sambil tertawa, "Eh, pendeta gadungan, kadang-kadang dari mulutmu bisa keluar perkataan yang baik juga ya?"

Sementara itu Lim Kan telah berkata, "Mari kita naik ke Hek-ku-nia samba menunggu perkembangan keadaan."

Dengan demikian, meskipun anak-buah Lim Kan sudah mengungsi dari Liong-pwe-nia ke Hek-ku-nia, namun belum timbul perasaan aman sama sekali di hati mereka. Persiapan-persiapan tetap mereka lakukan untuk berjaga-jaga siapa tahu musuh yang menemukan kekosongan Liong-pwe-nia akan segera mengejar kemari. Namun mereka berbesar hati, sebab bagaimanapun keadaan tanah di Hek-ku-nia jauh lebih memungkinkan untuk pertahanan yang baik daripada di Liong-pwe-nia.

Dalam pada itu, menjelang tengah hari, di Liong-pwe-nia muncul sebuah pasukan besar di kaki bukit. Dari kejauhan, debu sudah mengepul tinggi ke langit karena teraduk oleh sepuluhribu pasang kaki-kaki kekar dari prajurit-prajurit yang berseragam kuning dan di bagian belakang dari barisan panjang itu duaribu lima ratus prajurit berkuda berderap perlahan.

Dilihat dari atas bukit, pasukan itu mirip dengan seekor ular kuning rasaksa yang menggeleser di permukaan bumi, siap menelan dan menghancurkan apa saja yang merintanginya. Ujung-ujung senjata yang rapat berkilat-kilat bagaikan sisik-sisik dari ular rasaksa itu, bendera-bendera yang berkibar-kibar membuat pasukan itu nampak begitu menggetarkan. Di ujung barisan ada sebuah bendera besar berwarna hitam dengan sulaman seekor naga kuning emas, itulah Ngo-jiau-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), bendera kerajaan.

Muyong Beng sebagai pemimpin tertinggi dari seluruh pasukan itu kelihatan gagah dalam pakaian seragamnya, lengkap dengan topinya yang berhiaskan bulu burung merak. Seperti umumnya orang-orang yang berasal dari daerah Siberia, ia berkulit putih salju jauh lebih putih dari orang Han, Manchu atau Mongol, dan matanya begitu sipit sehingga hanya menyerupai sepasang garis pendek di wajahnya yang membayangkan watak kejam luar biasa itu. Bahkan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Muyong Beng ini gemar makan daging mentah apa saja, konon termasuk daging manusia juga.

Ketika melihat bukit Liong-pwe-nia di depan mata. Muyong Beng dengan gerakan tangannya mengisyaratkan kepada seluruh pasukannya untuk berhenti. Maka barisan panjang itupun serempak berhenti dengan tertib. Dan dengan lambaian tangannya pula ia memanggil perwira-perwira pembantunya untuk mendekat. Kemudian kepada mereka ia menjatuhkan perintah,

"Kita sudah sampai ke bukit, yang oleh mata-mata kita dilaporkan sebagai sarang persembunyian bandit-bandit Hwe-liong-pang, dan barangkali si pengkhianat Tong Lam-hou itupun bersembunyi di atas bukit. Karena itu, kepung bukit ini."

Para perwira itu mengiyakan dan kemudian berpencar untuk kembali ke kelompoknya masing-masing. Tak lama kemudian pasukan besar itu bagaikan terpecah-pecah, setiap perwira membawa pasukannya masing-masing untuk menempati kedudukannya masing-masing. Dalam sekejap bukit itu sudah terkepung rapat oleh sebuah "gelang" pasukan Ui-ih-kun, dan Muyong Beng mengangguk-angguk puas melihat kesigapan pasukannya.

Ia percaya dengan pasukan sesigap itu ia akan meraih kemenangan, sekaligus ia bertekad untuk menimbulkan kematian sebanyak-banyaknya agar menggemparkan seluruh negeri, dengan demikian ia akan ditakuti lawan-lawannya dan hal itu sangat mem-banggakannya. Ia menyeringai sendiri ketika mengenang hal itu.

Lalu ia melambaikan tangannya pada beberapa orang berkuda yang tidak jauh dari padanya. Empat orang berkuda yang tidak berseragam prajurit dan bertampang buas-buas segera mendekatkan kudanya kepada Muyong Beng. Merekalah jago-jago bayaran yang diupah Pakkiong An untuk memperkuat pasukannya, merekalah orang-orang yang tidak bertarung demi cita-cita tertentu, melainkan demi uang belaka, selain demi kepuasan melihat mayat yang malang melintang di medan perang.

Dua di antara mereka adalah kakak beradik Thia Peng dan Thia Hong yang lebih dikenal oleh kalangan hitam di kawasan timur dengan julukan Tong-hai-siang-sat (Sepasang Pembunuh dari Lautan Timur) yang begitu jahatnya sampai orang-orang golongan hitam sendiripun benci kepada mereka. Biasanya mereka jarang naik ke daratan, namun kali ini mereka bergabung dengan Pakkiong An karena upah yang menggiurkan dan janji kedudukan yang enak apabila Pakkiong An berhasil dengan cita-citanya untuk merebut singgasana kelak.

Seorang lagi bertubuh bungkuk dan berkepala gundul licin, berhidung seperti paruh burung betet dan sepasang matanya tajam menggidikkan. Namanya Ki Koat dan berjulukan Hui-tho-koay (Siluman Bungkuk Terbang) yang kepandaiannya tinggi, sebab ia adalah adik seperguruan dari mendiang Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) yang tewas di Ki-lian-san, itu tokoh kepercayaan Te-liong Hiangcu.

Hui-tho-koay ingin membalas dendam kepada orang-orang Hwe-liong-pang sebab ia sudah mendengar bagaimana kakak seperguruan terpaksa membunuh diri karena didesak orang-oang Hwe-liong-pang.

Jadi ingin membalas dendam sekalian mendapat upah besar dari Pakkiong An. Yang terakhir adalah seorang bertubuh tinggi besar yang tangannya membawa sebatang kampak besar. Namunya To Hok-leng, julukannya Im-kan-hong-kui (Iblis gila dari akherat), satu-satunya "kebahagiaan" hidupnya di dunia ini adalah membelah batok kepala sesama manusia dengan kampak besarnya itu.

Mereka mendekati Muyong Beng, dan seperti biasa tidak memberi hormat sedikitpun, "Kau akan menyuruh apa lagi?"

Muyong Beng tidak mempedulikan sikap tak tahu adat dari pentolan-pentolan golongan hitam itu, yang penting kehadiran mereka di medan perang diharapkan akan membuat musuh-musuh menjadi gentar. Katanya, "Kalian berempat naik ke bukit itu, katakan kepada tikus-tikus di sana bahwa Tong Lam-hou dan pentolan-pentolan Hwe-liong-pang harus diserahkan kepadaku sebelum sore nanti. Katakan juga, kalau perintahku tidak dituruti maka pasukanku akan naik dan meratakan barak itu dengan tanah."

"Hanya sekedar menggertak dan tidak boleh berkelahi?" tanya Ki Koat dengan mata berkilat-kilat.

Sahut Muyong Beng, "Yang penting mereka dapat ditangkap dulu. Nanti jika mereka sudah di tangan kita, mudahlah kita urus, hendak dibagaimanakanpun Pakkiong Ciangkun pasti tidak keberatan.”

Hui-tho-koay Koat mengangguk-angguk dengan puas, "Aku hanya akan minta batok kepala delapan Tongcu Hwe-liong-pang serta batok kepala dari orang-orang yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin."

"Lalu bagaimana dengan aku?" tanya Im-kan-hong-kui To Hok-leng.

"Apa maksudmu?" tanya Muyong Beng.

Hok-leng mengangkat kampaknya dan menggoyang-goyangkan di depan tubuhnya sambil berkata menyeringai, "Sebulan lebih kampakku tidak berciuman dengan batok kepala orang. Kalau tidak terjadi peperangan, bukankah percuma saja aku jauh-jauh datang kemari?"

Diam-diam Muyong beng menarik napas untuk menekan kejengkelan dalam hatinya dalam menghadapi orang-orang golongan sesat itu. Namun kemudian ia sadar bahwa mereka memang bukan bawahan-bawahannya yang biasa diatur tata-tertib ketentaraan. Maka Muyong Beng merasa tak ada salahnya sedikit, menuruti "selera" dari orang-orang yang agak sakit jiwa itu, pokoknya tidak mengganggu pekerjaannya, toh, Muyong Beng sendiri bukan seorang yang cukup menghargai nyawa manusia.

Maka ia-pun menjawab, "Aku memang sudah merencanakan mereka menyerahkan orang-orang yang kuminta atau tidak, aku tetap akan menghancurkan mereka. Perintah Pakkiong Ciangkun memang begitu. Jadi kau bisa berpesta dengan kampakmu, To Hok-leng."

Wajah keempat penjahat itu berseri-seri. Bagi mereka, pesta darah adalah pesta yang paling mengasyikkan dari jenis pesta-pesta lainnya.

"Nah, naiklah ke bukit. Kalian tidak takut bukan?"

Pertanyaan "kalian tidak takut bukan?" itu ibarat obat manjur buat keempat orang gembong penjahat itu, sebab tak seorangpun dari mereka sudi disebut sebagai penakut. Mereka segera memutar kuda mereka dan mulai mendekati ke bukit. Tapi sebenarnya jauh di dasar hati mereka ada juga sedikit rasa berdebar, sebab mereka sudah pernah mendengar nama besar si Harimau Selatan, orang yang harus mereka tangkap di samping ke sepuluh tokoh Hwe-liong-pang itu. Namun dengan mengandalkan pasukan besar yang menjadi tulang punggung mereka, merekapun menjadi besar hati.

Muyong Beng sambil tersenyum dingin memandang keempat orang yang berkuda di jalan yang berliku-liku menuju ke atas bukit itu. Ia heran juga di dunia ada orang-orang macam itu, orang-orang yang hanya menuruti kesenangannya sendiri-sendiri yang termasuk kegemaran aneh. Biasanya Muyong Beng "bangga" dengan kebuasannya sendiri, namun terhadap keempat orang itu ia mau tidak mau harus mengaku kalah. Namun ia juga mentertawakan ketololan keempat orang itu yang mau begitu saja disuruh naik ke bukit, menghampiri sarang macan, dan apabila mereka mampus maka Muyong Beng tidak akan merasa menyesal sedikitpun.

Tak lama kemudian, keempat orang itu sudah turun kembali, dan wajah mereka tidak sedap dipandang. Kata Thia Hong, "Bangsat, tikus-tikus itu ternyata sudah kabur semua."

"Kabur semua bagaimana?" tanya Muyong Beng heran.

"Barak di atas bukit itu sudah kosong. Menilik jejaknya mereka kabur ke arah barat daya, tidak ada jejak kaki kuda, jadi mereka berjalan kaki saja. Kalau kita kejar berkuda pasti tertangkap."

"Tidak. Kita susul bersama seluruh pasukan, aku yakin mereka tidak akan lari jauh."

Demikianlah pasukan besar yang sudah bergerak mengepung bukit, malahan di beberapa bagian sudah bersiap siap mendirikan pesanggrahan untuk beristirahat, terpaksa ditarik kembali dalam satu barisan besar dan bergerak maju ke arah barat daya. Sebagian dari prajurit-prajurit itu berjalan sambil menggerutu karena sebenarnya mereka sudah kelelahan berjalan selama setengah hari dan ingin beristirahat.

Namun mereka tidak berani membantah Muyong Beng selama masih ingin kepala mereka bertengger di tempatnya. Prajurit Ui-ih-kun memang agak jauh berbeda dengan prajurit-prajuritnya Pakkiong Liong, Hui-liong-kun, yang tergembelng tangguh jasmani maupun semangat tempurnya sehingga sering disebut juga sebagai Pasukan Berani Mati itu.

Ketika matahari turun ke barat, pasukan yang berjalan agak lambat itu berhasil juga mencapai pinggiran hutan yang membentengi bukit. Hek-ku-nia. Menurut beberpa orang mata-mata yang dilepaskan untuk mendahului pasukan, di bukit Hek-ku-nia itulah terdapat pemusatan kekuatan dari "bandit-bandit" Hwe-iiong-pang yang melarikan diri dari Liong-pwe-nia, namun di bukit ini agaknya mereka tidak akan lari, bahkan sedang menyusun kekuatan untuk melawan.

Muyong Beng tertawa dingin mendengar laporan itu, katanya, "Orang-orang kekarat. Bagaimana mungkin mereka hendak mencoba melawan pasukanku yang sangat kuat ini? Malam ini pasukan kita akan beristirahat mutlak agar besok pagi menjadi segar, dan besok pagi kita sapu mereka sampai tak tersisa seorangpun. Sampai mayat-mayat mereka kalau ditumpuk bisa menjadi sebuah menara..."

Selanjutnya;