Pendekar Naga dan Harimau Jilid 37Karya : Stevanus S.P |
Kaisar bangkit dari kursinya lalu berjalan mondar-mandir di ruangan itu dengan kedua tangan di belakang tubuhnya. Lalu katanya, "Masih ada satu golongan pengacau yang masih berkeliaran dengan bebas dan bahkan kudengar belakangan ini mengadakan pameran kekuatan di Tiau-im-hong, katanya hendak mengangkat Ketua baru segala macam. Mereka itu semakin lama semakin kurang ajar, jika dibiarkan saja mereka akan tumbuh semakin kuat seperti bisul yang semakin besar, dan akhirnya mematikan kita."
Kali ini pungung Tong Lam-hou benar-benar dibasahi keringat dingin, apalagi karena Kaisar sudah menyebut-nyebut pula tentang "pengangkatan Ketua baru Hwe-liong-pang di Tiau-im-hong" yang menyangkut dirinya. Dialah yang oleh Siangkoan Hong dicalonkan menjadi Ketua baru itu. Bagaimana sikap Kaisar kalau mengetahui hal itu? Dan saat yang mendebarkan itupun tiba ketika Kaisar mengajukan pertanyaan, "Tong Lam-hou, mudah-mudahan pendengaranku atau pendengaran dari orang-orangku yang salah. Tapi aku pernah mendengar bahwa orang yang dicalonkan sebagai Ketua oleh pengacau-pengacau Hwe-liong-pang itu adalah kau. Apakah desas-desus itu benar?" Kini keringat dingin bukan saja mengembun di punggung tapi juga di wajah Tong Lam-hou, bahkan Pakkiong Liong ketularan pula. Sesaat Tong Lam-hou menenangKan hatinya, dan menjawab dengan hati-hati, "Benar, paduka." Kasiar yang sedang menghadap keluar jendela dan menikmati keindahan bunga teratai yang memenuhi kolam itu, membalikkan badannya dengan cepat ketika mendengar jawaban Tong Lam-hou itu. Keningnya berkerut sedikit dan ia bertanya, "Benar? Kalau begitu kau ini seorang anggota Hwe-liong-pang yang menyusup masuk ke tubuh keprajuritan kami dengan memendam suatu tujuan?" "Bukan, paduka. Hamba bukan orang Hwe-liong-pang." Kaisar menempatkan kembali tubuhnya di kursi bambunya sambil berkata, "Kau harus memberi penjelasan." "Paduka, ketika pertempuran di Tay-tong itu hampir berakhir, hamba dipaksa dibawa pergi oleh seorang adik seperguruan dari mendiang ayah hamba yang bernama Siangkoan Hong, dan tanpa minta persetujuan hamba lagi, maka Siangkoan Susiok itu langsung saja menyiarkan kabar bahwa hambalah calon Ketua Hwe-liong-pang yang baru. Namun hamba yang masih merasa terikat dengan tugas-tugas hamba sebagai prajurit, berhasil melepaskan diri dari kekangan Siangkoan Hong dan kembali ke Pak-khia." "Benarkah ucapanmu itu?" "Kalau hamba bohong, tentunya mata-mata yang paduka sebarkan tentu tidak akan berbohong kepada paduka. Apakah paduka mendengar berita tentang bagaimana akhirnya dari upacara pengangkatan Ketua baru yang direncanakan di Tiau-im-hong itu?" "Ya, aku dengar upacara itu gagal karena calon ketuanya sendiri malah menghilang di tengah jalan. Kau memang tidak bohong. Ada beberapa pertanyaan lagi." "Silahkan, paduka. Hamba akan menjawab sebenar-benarnya." "Dari beberapa sumber berita, kudengar kau adalah putera Ketua Hwe-liong-pang yang lama, Tong Wi-siang. Apakah itu benar?" "Benar, paduka." Kaisar Khong-hi menatap Tong Lam-hou dengan tajamnya, agak di luar dugaan bahwa Tong Lam-hou menjawab selangsung itu. Sesaat ruangan itu menjadi hening, hanya di bagian luar terdengar hilir-mudiknya langkah-langkah para pengawal yang melindungi keselamatan Kaisar. Sementara itu Kaisar Khong-hi sendiri menjadi ragu-ragu bagaimana harus bersikap kepada Tong Lam-hou. Di satu pihak perwira muda itu sudah menunjukkan pengabdiannya yang tinggi kepada Kerajaan, di lain pihak dia adalah keturunan dari gembong Hwe-liong pang dan saat itu Hwe-liong-pang adalah golongan penentang Kerajaan Man-chu yang tidak kalah tangguhnya dibandingkan sisa-sisa dinasti Beng itu. Sekilas Kaisar yang muda itu teringat akan ucapan si panglima tua Pakkiong An, "Untuk menguji kesetiaan Tong Lam-hou, hadapkan dia dengan Hwe-liong-pang.” Hanya terdengar helaan napas-napas berat diruaganan itu, dari tiga orang lelaki yang masih muda, dan ketiganyapun memiliki kekerasan hati yang sama pula. Sampai terdengar suara Kaisar Khong-hi memecah kesunyian, "Tong Lam-hou, kalau kutugaskan menghadapi Hwe-liong-pang dan menumpas habis mereka, apakah kau sanggup?" Hati Tong Lam-hou berguncang keras, sesaat ia kebingungan harus menjawab bagaimana. Di Hun-lam, ia pernah berhadapan dengan sebagian dari orang Hwe-liong-pang, dan saat itu ia mendapat kesan bahwa mereka adalah orang-orang yang memegang teguh kejantanan dan harga diri, pembela orang-orang kecil yang gigih. Begitu pula di dusun terpencil di mana seorang yang mengaku sebagai siluman kelelawar mengganggu penduduk dengan minta seorang gadis untuk dihisap darahnya setiap waktu tertentu. Saat itu-pun ia bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang bersikap ksatria dan menimbulkan kesan baik di hatinya. Kenapa harus ditumpas? Lebih dari itu, ia tahu bahwa Hwe-liong-pang dibangun dengan susah payah oleh mendiang ayahnya, akankah sekarang ia sebagai puteranya yang meruntuhkan jerih payah ayahnya itu? "Jawab pertanyaanku, Tong Lam-hou!” "Hamba siap menumpas golongan mana saja yang akan mengacau negara." "Kau kira Hwe-liong-pang bukan pengacau negara, begitu? Mereka ikut membobol penjara kerajaan tempo hari, mereka juga menyusun kekuatan yang kalau tidak ditujukan kepada kita lalu kepada siapa lagi?" "Ampuni hamba, Hong-siang, bolehkah hamba mengemukakan pendapat hamba tentang Hwe-liong-pang?" "Katakan." "Menurut pendapat hamba, selama ini kesalah-pahaman antara pihak kita dengan pihak Hwe-liong-pang harus diperbaiki. Kita ingin membuat negeri ini makmur sejahtera untuk seluruh rakyat, sedang tujuan Hwe-liong-pang juga demikian. Mereka dan kita sebenarnya bisa sejalan, kenapa harus bermusuhan dan akhirnya yang untung hanya pihak ketiga yang ingin memancing di air keruh? Paduka, menurut hamba Hwe-liong-pang sebaiknya dijinakkan dan dijadikan kawan kita daripada kita jadikan musuh, itu akan lebih besar manfaatnya." Diam-diam Pakkiong Liong kuatir bahwa ucapan Tong Lam-hou itu akan membuat Kaisar merasa tidak senang. Ketika ia mencoba melirik wajah Kaisar ternyata air muka Kaisar itu biasa-biasa saja, tidak menunjukkan rasa senang dan juga tidak menunjukkan kemarahan. Kaisar yang masih muda itu benar-benar telah menunjukkan kematangannya sebagai seorang negarawan tulen. "Jadi kau menolak perintahku?" tanya Kaisar Khong-hi. Tong Lam-hou cepat bangkit dari kursi bambunya dan berlutut dengan sebelah kaki ditekuk, sahutnya, "Hamba tidak berani paduka. Ucapan hamba yang tadi hanya sebuah usul agar kita menghindari peperangan sejauh-jauh kita bisa. Dalam perang, siapapun yang menang maka rakyat juga yang akan menerima akibatnya." "Ya, aku juga memikirkan rakyatku. Tapi kalau Hwe-liong-pang dibiarkan berkembang terus, mereka akan semakin kuat dan untuk menindas mereka tentu diperlukan sebuah perang besar. Sedang jika mereka kita tumpas sekarang, hanya akan terjadi perang kecil yang sedikit mengejutkan rakyat saja." "Apakah paduka sudah menemukan bukti-bukti pengacauan mereka?" "Mereka pengikut Li Cu-seng, dan mereka tentu mendendam kepada kita karena kita mengalahkan Li Cu-seng." Kepala Tong Lam-hou tertunduk dalam-dalam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sementara Kaisar tiba-tiba bertanya kepada Pakkiong Liong, "Kakanda, bagaimana pendapatmu?" Pakkiaong Liong tergagap sejenak, namun kemudian menyahut, "Hamba mohon agar paduka mempertimbangkan lagi keputusan untuk membuka permusuhan dengan Hwe-liong-pang, ini bukan karena kita takut kepada mereka, tapi pemerintah kita memang masih harus merangkul teman sebanyak mungkin. Hamba sendiri sudah beberapa kali bertempur dengan mereka dan hamba mengambil kesimpulan bahwa mereka hanya menjadi beringas apabila melihat rakyat kecil yang terinjak. Mereka tidak menyenangi kita, itu kita akui, tapi hanya sekedar tidak menyenangi dan belum sampai ada niat untuk berontak, di beberapa wilayah bahkan mereka bahu-membahu dengan prajurit-prajurit kita untuk menumpas penjahat yang mengusik rakyat jelata." Wajah Kaisar nampak ragu-ragu mendengar permohonan Pakkiong Liong itu. Dari Pakkiong An ia mendengar sendiri betapa Hwe-liong-pang telah "menyusun kekuatan dengan melatih balatentara yang kuat untuk memberontak" dan sekarang dari keponakan Pakkiong An sendiri ia mendengar hal yang sebaliknya. Apakah Pakkiong An yang terlalu bercuriga, atau Pakkiong Liong yang terlalu lengah sehingga menganggap Hwe-liong-pang bukan ancaman? Akhirnya Kaisar Khong-hi mengambil suatu jalan tengah yang dirasanya paling baik, "Terima kasih, kakanda, aku akan mempertimbangkan. Memang selama ini aku mendengar laporan yang simpang-siur tentang Hwe-liong-pang, apakah mereka berbahaya atau tidak. Tapi aku perintahkan pasukan Hui-liong-kun untuk bersiap-siap, dalam beberapa hari ini aku akan menjatuhkan keputusan apakah Hwe-liong-pang harus digasak atau tidak, aku akan menyebar orang-orangku sendiri untuk melihat-lihat keadaan. Keputusan bisa kuberitakan langsung dalam Sidang Istana, bisa juga melalui Peng-po-siangsi (Menteri Peperangan)." "Hamba siap melaksanakan semua titah Hong-siang," kata Pakkiong Liong. Sementara di dalam hatinya Pakkiong Liong berharap mudah-mudahan dalam beberapa hari ini Kaisar Khong-hi yang cerdik namun masih kurang pengalaman ini tidak mendapat gosokan dari beberapa menteri atau panglima yang gila perang, atau mereka yang berpandangan membeda-bedakan derajat sesama rakyat berdasarkan keturunan, misalnya keturunan Manchu derajatnya lebih tinggi dari keturunan Mongol atau Han dan sebagainya. Menggolong-golongkan penduduk dengan cara itu sama saja dengan meletakkan segumpal bara di bawah tumpukan sekam, seolah-olah tidak kelihatan namun nanti pada saatnya menyala menghanguskan tanpa bisa dipadamakan lagi. Dan Pakkiong Liong merasa cemas bahwa para Menteri atau Panglima tua "tukang gosok" itu berkeliaran di sekitar Kaisar dengan lidah beracun mereka. Dengan dalih "ikut memikirkan kelangsungan negara" mereka kadang-kadang bisa mempengaruhi jalan pikiran Kaisar sehingga Kaisar mengambil keputusan-keputusan yang keras. Pakkiong Liong juga merasa kurang senang bahwa hari-hari belakangan ini pamannya, Pakkiong An, kelihatan semakin dekat dengan Kaisar. Bukan karena dengki atau iri, namun Pakkiong Liong tahu orang macam apa pamannya itu, seorang yang sangat haus kekuasaan demi kepentingan pribadinya, dan dengan pengambilan keputusan-keputusan penting. Pakkiong Liong hanya berdoa mudah-mudahan Kaisar dapat menyaring sendiri yang baik maupun yang buruk. Kaisar sendiri mempunyai kepribadian yang kuat, namun seperti anak-anak muda umumnya, ia berdarah panas dan kurang pertimbangan, dan inilah yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang sejenis Pakkiong An. Setelah memberi hormat kepada Kaisar, maka Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou diijinkan meninggalkan tempat itu untuk kembali. Ruangan pertemuan dengan Kaisar itu seolah-olah menjadi terlalu pengab dan menggelisahkan bagi Tong Lam-hou, sehingga begitu ia melangkah keluar maka udara di luar yang sudah mulai gelap karena sore itu, terasa amat menyejukkan. Baju di bagian punggungnya sudah lengket dengan kulitnya karena punggungnya basah keringat akibat kegelisahannya. Di luar sudah menunggu si perwira Wanyen Liu yang akan, mengantarkan mereka kembali keluar. Sambil berjalan, mereka tidak banyak bercakap-cakap, bahkan juga ketika mereka sudah sampai di luar Istana dan duduk di atas punggung kudanya masing-masing. Tong Lam-hou tengah sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri sampai suatu ketika ia tidak dapat menahan diri dan tercetuslah dari mulutnya, "A-liong, andaikata beberapa hari kemudian Kaisar memerintahkan kita untuk menumpas Hwe-liong-pang, bagaimana?" Pakkiong Liong menararik napas dalam-dalam, baru kali ini ia melihat sahabatnya dalam kebimbangan semacam itu, dan iapun tahu sebabnya. Pertanyaan itu sungguh bukan suatu pertanyaan seorang prajurit yang baik, sebab bagaimana seorang prajurit berani mempertanyakan perintah rajanya? Namun Pakakiong Liong tahu bahwa Tong Lam-hou benar-benar sedang berdiri di sebuah simpang jalan yang sulit. Diam-diam ia merasa kasihan dan menjawab dengan bijaksana, "Bukan kau saja yang merasa sulit dengan pilihan ini, akupun merasa sulit pula. Bukan karena aku punya hubungan baik dengan orang-orang Hwe-liong-pang seperti kau, tapi karena tindakan sewenang-wenang dari pemerintah dengan menghantam perkumpulan perkumpulan yang belum terbukti memberontak, hanya akan menimbulkan kemarahan rakyat, kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng adalah contoh yang masih bisa ingat bagaimana ia tergilas oleh kemarahan rakyat. Tetapi, A-hou, andaikata perintah itu jatuh juga, kita bisa bagaimana lagi? Seorang prajurit boleh saja mengajukan pertimbangan ini atau itu, tetapi hanya sebelum perintah dijatuhkan." Tong Lam-hou menundukkan kepalanya, apalagi karena dalam kalimat terakhir itu Pakkiona Liong sengaja memberi tekanan pada kata-kata "sebelum". Tong Lam-hou cukup paham hal itu. Ketika tiba di simpang jalan yang menuju ke rumahnya, merekapun berpisah. Meskipun perasaannya agak murung, namun Tong Lam-hou sempat juga bergurau, "Besok bajumu yang bagus ini akan kukembalikan, setelah dicuci oleh bibi Ciu. Apakah aku terlihat seperti memakai baju pinjaman?" Pakkiong Liong tersenyum dan menjawab gurauan itu, "Sangat kelihatan." Keduanyapun berpisahan. Tong Lam-hou berkuda perlahan-lahan menyusuri jalanan kota Pak-khia yang tetap ramai meskipun malam hari itu. Dan di tengah keramaian itu Tong Lam-hou nampak murung sekali, beberapa kelompok prajurit yang memberi hormat kepadanya disambutnya dengan tawar saja. Namun Tong Lam-hou tidak bisa bersikap tawar ketika seseorang memanggilnya dari tepi jalan, "Hou-ji (anak Hou)" Suatu panggilan kekeluargaan yang bagi telinga Tong Lam-hou masih terasa janggal. Ia menoleh, dan dilihatnya seorang lelaki pertengahan umur yang bertubuh tegap menandakan selalu berlatih ilmu silat, memakai jubah panjang warna putih dan celana putih pula. Kepalanya yang dikuncir itu tidak memakaia topi dan kuncirnya hanya dilibatkan saja di lehernya. Tong Lam-hou tercengang karena orang yang memanggilnya itu adalah Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong, pemimpin dari Tiong-gi Piauhang (perusahaan Pengawalan Budi-pekerti) yang berpusat di kota Tay-beng,dan merupakan perusahaan pengawalan terbesar di daratan bagian utara sungai besar itu. Tapi lebih dari itu, Tong Lam-hou tahu bahwa paman kandungnya ketika seseorang memanggilnya dari tepi jalan, itu adalah seorang penentang Kerajaan Man-chu yang gigih luar biasa, sehingga berdiri berseberangan dengan dirinya. Kini Tong Lam-hou terheran-heran menemui pamannya ternyata berada di Pak-khia, hendak apa lagi dia? Membujuk lagi agar dirinya meninggalkan seragam prajuritnya dan bergabung dengan para pembangkang yang menyebut diri pecinta tanah-air? Meskipun antara pihaknya dan pihak sang paman itu bermusuhan, tapi secara pribadi orang itu adalah paman kandungnya, adik kandung dari ayahnya sehingga diapun harus menghormatinya. Maka Tong Lam-hou meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat lebih dulu sambil menyapa, "Selamat datang di Pak khia, paman." Tong Wi-hong menyambut salam itu dengan tawar saja, namun secara basa-basi ia bertanya juga, "Dari mana kau dengan pakaian sebagus itu?" "Aku baru saja menghadap Yang Mulia Kaisar." Kening Tong Wi-hong berkerut dengar keponakannya itu menyebut "Yang Mulia" dengan nada amat hormat kepada Kaisar Manchu yang dianggapnya menjajah tanah-airnya itu. Namun untuk tidak merusak suasana, Tong Wi-hong berkata dengan suara yang dibuat sehangat mungkin, "Aku sudah beberapa hari ini berada di Pak-khia dan berusaha mencarimu, namun baru malam ini kebetulan bertemu denganmu di tengah jalan ini." "Paman tidak bertanya kepada prajurit? Hampir semua dari mereka mengetahui letak rumahku." "Bertanya kepada kuku garuda itu? Aku akan ditangkapnya sebab aku dimata mereka sudah dianggap pengacau." "Tapi kenyataannya paman bukan pengacau, begitu?" tanya Tong Lam-hou tajam. Tong Wi-hong memang punya tujuan tertentu, tidak peduli sikap keponakannya itu, dia berkata, "Kalau kau bersedia, aku ingin berbicara banyak denganmu. Di mana kita bisa berbicara dengan tenang? Tentunya tidak di tengah jalan semacam ini." Sebenarnya Tong Lama-hou agak segan meladeni pamannya ini, bukannya karena tidak hormat kepada orang tua, tetapi karena ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh pamannya ini. Sang paman pasti akan membujuknya untuk berubah pendirian. Tetapi tiba-tiba timbul sebuah pikrian dalam benak Tong Lam-hou. Ia tahu pamannya ini meskipun bukan orang Hwe-liong-pang tetapi bersahabat baik dengan orang-orang Hwe-liong-pang. Lewat pamannya ini barangkali ia bisa titip pesan kepada orang-orang Hwe-liong-pang agar mereka membatasi gerak-gerik mereka jangan sampai menimbulkan kesan melawan pemerintah kerajaan, sebab bukankah tadi Kasiar Khong-hi sudah mengatakan akan menyebar mata-mata untuk mengamati gerak-gerik Hwe-liong-pang dan dalam beberapa hari ini akan mengambil keputusan? Karena itu Tong Lam-hcu meloncat turun dari kudanya dan berkata, "Kalau paman suka, kita bisa berbicara di rumahku yang tidak jauh lagi dari sini." "Baik," sahut Tong Wi-hong. "Marilah ke rumahmu. Kau tinggal bersama siapa?" "Sendirian saja. Jika siang ada sepasang suami-isteri tua yang membantu merawat rumah dan memasakkan makanan buatku. Paman sudah makan?" Sikap Tongi Lam-hou yang ternyata agak di luar dugaan itu menyenangkan hati pamannya juga. Jauh-jauh Tong Wi-hong menuju ke Pak-khia untuk menemui keponakannya ini dan menyadarkannya, dan melihat sikap Tong Lam-hou yang ramah itu maka sang paman berharap usahanya tidak akan menemui kesulitan. Ketika mereka tiba di rumah Tong Lam-hou, maka suami-isteri tua she Ciu itu sudah lama pulang, namun keadaan rumah sudah bersih dan rapi. Lampu-lampu di segala sudut rumah sudah dinyalakan, bahkan di meja ruangan tengah sudah terhidang nasi dan lauk-pauknya yang sudah agak dingin dan tertutup dengan tudung bambu. Paman dan keponakan itu sempat juga makan bersama meskipun dalam suasana yang canggung. Pada kesempatan itu Tong Lam-hou teringat bagaimana ia hampir mati keracunan ketika Te-liong Hiangcu menaruh binatang-binatang berbisa dalam makannya. Tapi andaikata tidak keracunanpun dirinya akan tetap dibinasakan oleh Te-liong Hiangcu dengan tangannya seandainya saat itu Siangkoan Hong tidak muncul. Selesai makan, keduanyapun mulai bercakap-cakap. Pada kalimat-kalimat pertama saja sudah kelihatan silang pendapat antara paman dan keponakan itu, hanya saja masing-masing berusaha menahan diri agar suasananya tidak menjadi panas pada permulaan pembicaraan, sebab kalau baru mulai sudah panas, maka yang terjadi bukannya pembicaraan baik-baik melainkan sekedar saling membentak, barangkali malah masing-masing pihak akan menggunakan pedangnya. Apa yang sudah diduga oleh Tong Lam-hou ternyata tepat. Pamannya itu dengan kata-kata yang sabar bernada rendah, berusaha membujuk Tong Lam-hou agar menanggalkan seragam perwira Man-chunya yang disebut oleh pamannya "membantu bangsa asing untuk menindas bangsa sendiri". "Setelah aku menanggalkan seragam perwiraku dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang paman katakan sebagai pejuang-pejuang itu, lalu bagaimana?" tanya Tong Lam-hou. "Kita akan berjuang mengusir orang orang Manchu." "Mereka sangat kuat, berperang untuk mengusir mereka akan makan waktu belasan tahun lamanya dan bahkan lebih." "Biarpun sepuluh tahun atau ratusan tahun, kami tidak akan berhenti berperang sampai musuh terusir pergi." Sahut Tong Lama-hou, "Kalau begitu kalian sebenarnya tidak merasa kasihan sedikitpun kepada rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun mengalami perang dan kehidupan merekapun sudah cukup hancur oleh peperangan itu. Paman dan orang-orang yang sependirian dengan paman boleh saja beralasan bahwa semua itu dilakukan demi rakyat, tapi pernahkah rakyat itu sendiri ditanyai kehendaknya? Kalau mereka ditanyai, aku yakin sebagian besar dari mereka lebih menghendaki perdamaian dan suasana tenteram, siapapun yang memerintah." Sang paman termangu mendengar jawaban keponakannya itu, terasa juga kebenarannya. Namun ia masih membantah, "Tapi pemerintahan sekarang ini dikuasai orang Manchu..." Tong Lam-hou menukas cepat, "Kalau orang Manchu bagaimana? Paman, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri dalam perjalanan pulangku dari Tay-tong, bahwa Kaisar Khong-hi yang bertahta sekarang ini berhasil meningkatkan kesejahteraan dan keamanan negeri, itulah yang didambakan oleh rakyat sejak dulu namun tak pernah didapatkannya sejak raja-raja jaman dinasti Beng yang bobrok itu sekalipun. Bangsa Manchu dan bangsa Han apa bedanya, tadinya mereka dan kita hanya terpisah selapis tembok di San-hai-koan sana dan tembok itupun buatan manusia. Kenapa kita lebih senang melihat dan membesar-besarkan perbedaan-perbedaan di antara kita. daripada mengecilkankannya dan kemudian bekerja sama untuk memanfaatkan bersama pula?" Tong Wi-hong terbungkam tak bisa menjawab, ia agak heran bahwa pendiriannya yang sudah dianutnya bertahun-tahun itu tiba-tiba saja terancam roboh hanya dengan beberapa patah kalimat. Namun orang berhati sekeras Tong Wi-hong sudah tentu tidak menyerah begitu saja, setelah berpikir ia pun menyahut, "Hou-ji, yang kau ucapkan itu ada betulnya juga, tetapi kalau kita mendukung pemerintahan Manchu, sama saja kita mendukung sikap seorang perampas yang merampas hak milik korbannya. Bukankah bangsa Manchu merebut negeri kita ini dengan kekerasan...?" |
Selanjutnya;
|