X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 38

Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api episode Pendekar Naga dan Harimau Jilid 38 Karya Stevanus S.P

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 38

Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
TONG LAM-HOU tertawa pendek, tanpa bermaksud mengejek pamannya, tapi dalam suara tertawanya itu terkandung kesinisan terhadap pendapat seperti itu, sahutnya,

"Kita lihat sejarah, selama ratusan tahun dan kita lihat bahwa macam-macam suku bangsa di darat an ini saling menyerang dan saling menjajah, saLing meluaskan daerah dengan merebut daerah bangsa lain. Begitu pula bangsa Han. Di jaman Tong, Song kaisar-kaisar berdarah Han meluaskan daerah ke barat, timur dan selatan, dan untuk itu kita tidak pernah mau disebut 'penjajah' melainkan memakai istilah muluk 'membudayakan suku liar'. Kalau ganti orang Nuchen atau orang Manchu yang berkuasa, kita merasa dijajah merasa penasaran kenapa 'suku liar' menguasai suku kita yang 'beradab' itu adalah sikap yang tidak adil. Sikapmenganqgap diri kita sendiri yang paling beradab dan tidak pernah mau menghargai kebudayaan lain yang kita anggap liar. Jaman dinasti Beng malahan bangsa Han kita lebih serakah lagi, mengirim kapal-kapal perang sampai negeri-negeri jauh di seberang lautan sana."

Tong Wi-hong terbungkam oleh "serangan" gencar itu, sementara Tong Lam-hou melanjutkan, "Kalau kita merobohkan sebuah rumah, apakah kita sudah punya bahan-bahan dan rencana untuk membangun yang baru? Kalau sudah punya yang direncanakan lebih baik, silahkan, tetapi kalau belum punya maka tingkah kita ini hanyalah pengacau liar saja. Apakah di antara tokoh-tokoh bangsa Han paman punya seorang calon yang kira-kira lebih baik dari Sri Baginda Khong-hi sekarang ini? Seorang tokoh yang kira-kira bisa mengendalikan negara besar ini?"

Tong Wi-hong masih belum menjawab, tapi ketika kemudian ia menjawab maka jawabannya itu tidak cocok dengan pertanyaannya, "Tetapi apakah kita bangsa Han rela dijajah oleh bangsa Man-chu? Coba lihat, mereka mengharuskan kita menguncir rambut seperti mereka, bukankah ini berarti mereka akan memusnahkan bangsa kita dan menjadikan kita bagian dari mereka?"

"Tidak, dua pihak bisa menjadi satu kekuatan bila sama-sama bersikap memberi dan menerima. Kita menguncir rambut seperti bangsa Manchu dan berpakaian seperti mereka pula, tapi bukankah orang-orang Manchu-pun memakai banyak unsur kebudayaan kita, bahasa kita dan cara hidup kita? Jika itu diterima dengan dada lapang oleh semua pihak, kita akan, menjadi kerajaan yang besar dan kuat untuk menghadapi ancaman orang-orang barat yang kehadirannya di lautan semakin terasa. Beberapa negara di kepulauan selatan sudah berperang dengan mereka yang ingin menjajah berkedok berdagang. Malaka dan Campa juga sudah ada pangkalan mereka, dan mereka kini bersekutu dengan Jepang untuk mengincar kita. Masihkah kita disibukkan rambut dikuncir atau tidak, sampai suatu ketika kesadaran kita datang terlambat?"

Kedatangan Tong Wi-hong ke Pak-khia adalah untuk membalikkan pendirian keponakannya itu, tak terduga di ruangan ini malahan dia yang diberondong habis-habisan oleh keponakannya ini. Pendirian yang sudah digenggamnya bertahun-tahun tentu saja sulit runtuh begitu saja hanya dengan beberapa patah kata, namun segala yang diucapkan Tong Lam-hou itu bukannya ngawur, melainkan ada dasar kuatnya dan sulit dibantah. Dipikir-pikir benar juga. Manusia memang senang membuat batas-batas antara golongannya dengan golongan lain, lalu masing-masing bersaing dan kalau perlu saling hantam, padahal bukankah garis-garis buatan manusia itu juga bisa dihapuskan oleh perbuatannya sendiri?

Merasa ‘kalah angin" maka Tong wi-hong tidak membantah lagi, namun bukan berarti ia berganti pendirian begitu saja. Otaknya masih saja berputar mencari alasan-alasan penopang pendiriannya, namun ibarat orang bermain catur maka semua langkahnya nampak buntu. Semua jalur dan kotak sudah dikuasai oleh "lawan" yaitu Tong Lam-hou.

Sedangkan Tong Lam-hou sendiri merasa agak puas bisa mencurahkan isi hatinya sehingga didengar oleh pamannya itu, meskipun pamannya belum tentu setuju dengan pendapatnya, tapi paling tidak ia sudah mendengar pendiriannya. Tong Lam-hou tidak suka dituduh bahwa berpihaknya kepada pemerihtah Manchu itu karena mencari kedudukan dan kemuliaan, melainkan semata-mata karena ingin membantu pemerintah menghentikan perang secepatnya. Ia sudah melihat beberapa desa yang hancur lebur karena peperangan, dan ia berpendapat bahwa itu harus dihentikan.

Tong Wi-hong berada di rumah Tong Lam-hou itu beberapa hari, dan selama itu pula mereka menjalani kehidupan yang aneh. Di siang hari atau sore hari, mereka kadang-kadang bercakap-cakap dengan gembira membicarakan hal-ringan, berlatih silat bersama atau makan di rumah-rumah makan yang memiliki masakan-masakan khas yang Namun di malam hari mereka kembali berdebat sengit dan saling menyerang pendirian mereka ma.sing-masing sehingga kadang-kadang berlangsung sampai hampir pagi.

Namun dalam beberapa hal perdebat an itu, paman dan keponakan itu saling menjenguk isi hati masing-masing dan merekapun semakin memahami kepribadian mereka satu sama lain, dan saling menghormati pula, bahkan semakin lama pendirian mereka semakin melunak dan semakin banyak titik temu dari pendirian mereka yang bisa mereka temukan. Barangkali inilah untungnya orang yang tidak terburu-buru menghunus pedang, dan tidak membiarkan kepala mereka menjadi panas karena terpengaruh oleh hati yang panas pula. Meskipun lambat seperti jalan-siput, toh kedua orang she Tong itu semakin saling memahami.

Tadinya Tong Wi-hong sangat sedih mendengar bahwa keponakannya itu menjadi "budak penjilat Manchu", sedih dan geram, dan dianggapnya keponakannya itu tidak mempunyai kepribadian yang kuat sehingga mudah saja silau oleh kemuliaan dan kedudukan yang ditawarkan oleh bangsa Manchu. Namun setelah melalui malam-malam yang penuh perdebatan itu, Tong Wi-hong tahu sebabnya kenapa keponakannya itu bersikap berpihak kepada Kerajaan Manchu.

Dan Tong Wi-hong sebagai seorang yang sudah berusia setengah abad, pernah mengalami masa pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari Kerajaan Beng, yang kalau dibandingkan dengan masa Kaisar Khong-hi dari dinasti Jing sekarang ini sungguh berbeda. Dulu kesejahteraan rakyat diabaikan, sekarang diperhatikan, entah ini siasat Kaisar untuk mengambil hati rakyat atau tidak, nyatanya di banyak daerah rakyat sudah mengalami peningkatan hidup. Haruskah karena rasa kesukuan yang dikobar-kobarkan dengan berbagai alasan itu maka semuanya itu berantakan, dan negeri terjerumus kembali ke dalam peperangan?

Tong Wi-hong tidak menutup mata bahwa banyak orang yang mengaku "pembebas negeri" itu tak lain memperjuangkan kedudukan bagi dirinya sendiri seperti Pangeran Cu Leng-ong misalnya. Tong Wi-hong juga tidak menutup mata bahwa pemerintahan Kaisar Khong-hi yang masih muda itu mempunyai banyak segi-segi baiknya, meskipun kadang-kadang Kaisar nampak bengis karena timbulnya kekacauan di beberapa tempat, itu karena Kaisar masih muda dan orang semua maklum bahwa darah muda adalah darah yang panas.

Barangkali sebagai orang Han terasa sakit mengakui kelebihan Kaisar Khong-hi yang Manchu dibandingkan Kaisar Cong-ceng yang orang Han, tapi begitu petingkah sakit hati segelintir orang itu sehingga melibatkan ribuan orang di medan perang? Menjungkir-balikkan kembali tatanan yang sudah rapi?

Sebaliknya Tong Lam-hou juga harus merubah pandangannya tentang Hwe-liong-pang yang tadinya dianggap hanya sebagai "pahlawan-pahlawan kesiangan" yang sekedar mengacau untuk membalaskan dendam Li Cu-seng. Memang ada beberapa tokoh Hwe-liong-pang yang berwatak kesyatria yang dikagumi Tong Lam-hou, namun gambaran bahwa Hwe-liong-pang adalah pengacau belum hilang seluruhnya dari benak Tong Lam-hou. Kalau ada yang pendekar, paling-paling beberapa gelintir saja, dan itulah yang menyebabkan Tong Lam-hou pernah kabur ketika hendak diangkat menjadi Ketua Hwe-liong-pang, sebab ia tidak ingin menjadi "ketua gerombolan pengacau".

Tapi sekarang ia mengerti bahwa perjuangan Hwe-liong-pang itu ada dasarnya, bukan sekedar melampiaskan sakit hati atau kemarahan saja. Di beberapa tempat, memang tentara Manchu bersikap terlalu keras terhadap rakyat sehingga Hwe-liong-pang pun turun tangan membela rakyat. Tapi di tempat-tempat lain di mana pemerintah Manchu memperhatikan kesejahteraan rakyat, ternyata Hwe-liong-pang juga tidak mengacau, bahkan tidak jarang bekerja-sama dengan tentara pemerintah.

Itulah yang membuat Hwe-liong-pang dulu tidak akur dengan Jit-goat-pang (Serikat Matahari dan Rembulan) yang main hantam di mana saja ada Tentara Manchu, tidak perduli tindakannya itu membuahkan kekacauan. Contoh yang tidak bisa dilupakan Tong Lam-hou adalah desa Jit-siong-tin dekat tempat tinggalnya di Tiam-jong-san.

Hasil perdebatan selama beberapa malam itu menghasilkan sikap yang melunak di kedua belah pihak. Seperti dua bongkah batu yang kasar dan tajam permukaannya, namun karena saling bergesekan terus-menerus akhirnya menjadi halus dan tidak melukai lagi, meskipun batu tetap batu dan tidak mungkin batu menjadi empuk seperti tanah-liat.

Tetapi Tong lam-hou telah berbuat kelengahan, ia sering mengajak pamannya itu berjalan-jalan sekeliling Pak-khia, dan mungkin minum seteeguk teh di warung-warung terkenal. Tanpa disadari olehnya, ada pihak-pihak yang tidak senang telah bersiap memanfaatkan kejadian itu untuk menjatuhkan kedudukannya dan nanti pada gilirannya akan menjatuhkan Hui-liong-kun yang dianggap sebagai penghalang menuju cita-citanya. Dalam percaturan kekuasaan tingkat tinggi di Ibukota Kerajaan semacam di Pak-khia itu, lidah yang tajam memang jauh lebih berbahaya dari pedang dan tombak.

Di dalam gedungnya yang besar dan mewah, Pakkiong An meninju pahanya keras-keras ketika mendengar laporan dari mata-matanya tentang kehadiran Tong Wi-hong di rumah Tong Lam-hou selama beberapa hari itu. Seru Pakkiong An dengan kegirangan, "Inilah kesempatan baik yang bisa dimanfaatkan untuk mempereteli kekuatan Hui-liong-kun dan sekaligus menyudutkan Pakkiong Liong!"

Di hadapannya sedang duduk putera tunggalnya, Pakkiong Hok, yang baru pulang dari Ki-lian-san dengan membawa kabar buruk tentang gagalnya rencana "penjaringan kakap-kakap pemberontak" serta hancurnya Te-liong Hiangcu bersama seluruh kekuatannya. Tadinya Pakkiong An merasa agak kecewa juga mendengar rencananya hancur, namun bukan berarti ia sayang kepada Te-liong Hiangcu, sebab persekutuan antara kedua pihak itu hanyalah saling memperalat saja. Panglima tua itu juga tidak sedih sedikitpun mendengar kauar kematian Hehou Im yang sudah bertahun-tahun setia kepadanya itu.

Bahkan kemudian Pakkiong An malah merasa lega mendengar kehancuran sekutunya itu, sebab belakangan hari ini ia makin tidak senang kepada sekutunya yang kalau menjumpainya selalu merahasiakan diri dengan mengerudungi wajahnya dan keluar masuk di rumahnya dengan seenaknya saja. Kini Pakkiong An merasa punya sekutu yang lebih bisa diandalkan dalam meraih tujuannya, yaitu bersekutu dengan beberapa orang istana yang berhasil ia pikat karena Pakkiong An memang terkenal sebagai seorang yang kaya-raya.

"Bagaimana rencana ayah?" tanya Pakkiong Hok.

"Awasi terus rumah Tong Lam-hou siang ini, nanti malam ketika seluruh kota sudah tidur, kita akan menyergapnya untuk menangkap Tong Lam-hou sekaligus Tong Wi-hong," kata sana ayah mantap. Tong Wi-hong adalah adik dari Ketua Hwe-liong-pang yang sudah mampus, sehingga tertangkapnya dia di tempat Tong Lam-hou akan membuktikan adanya hubungan erat antara Tong Lam-hou dengan gerombolan liar itu. Ini berarti menyudutkan Pakkiong Liong yang selama ini seolah hampir tidak pernah berbuat kesalahan setitikpun di hadapan Sri Baginda."

Wajah Pakkiong Hok ikut berseri-seri mendengarkan itu. "Rencana yang sangat rapi, ayah. Apalagi sekarang ini ayah nampaknya semakin dekat dengan Sri Baginda dengan sedikit gosokan maka kesalahan Pakkiong Liong akan kelihatan seolah-olah berkali lipat besarnya, dan bukan mustahil Sri Baginda akan langsung memecatnya sebagai Panglima. Ha-ha-ha... aku tidak bisa membayangkan Hui-liong-kun tanpa Pakkiong Liong."

Ayahnya nampak berseri-seri mukanya mendengarkan pujian anaknya itu. "Benar, tapi kita jangan menghitung terlalu jauh. Andaikata Pakkiong Liong tidak dipecat, paling tidak Tong Lam-hou pasti akan dipecat dan ini berarti sudah mengurangi kekuatan Hui-liong-kun, sementara aku akan semakin dipercaya oleh Sri Baginda sedang Pak-kiong-liong akan semakin tersingkir dari percaturan kekuasaan di sekitar Istana. Inipun sudah merupakan suatu kemajuan buat kita."

Pakkiong An memang seorang yang cukup lihai "memainkan bidak-bidaknya" dalam percaturan kekuasaan tingkat tinggi untuk mewujudkan ambisinya itu. Kalau belum bisa memakan bidak-bidak utama musuh, maka bidak-bidak kecil musuhpun jadi, asal bias membuka jalan lebih lanjut ke sasarannya.

Selama ini Pakkiong Liong memendam niat untuk suatu ketika naik ke singgasana sebagai Kaisak dan Pakkiong Liong dengan pasukannya dianggap sebagai penghalang yang harus disingkir kannya karena ia tahu bahwa Pakkiong Liong menjunjung tinggi kesetiaannya kepada Negara di ats keselamatan nyawanya sendiri.

Kalau tidak disingkirkan, dia dan pasukannya pasti akan merintangi usaha perebutan kekuasaan yang didalangi pamannya sendiri itu. Maka ia harus disingkirkan, demikian tekad Pakkiong An, kalau tidak secara sekaligus ya secara bertahap, paling tidak kekuatannya dikurangi terus.

Malam harinya, serombongan jago-jago pilihan anakbuah Pakkiong An menuju ke sasaran dengan berpencar-pencar dan tidak menyolok. Mereka dipecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok yang akan menyergap Tong Lam-hou serta Tong Wi-hong dipimpin langsung oleh Pakkiong Hok dan terdiri dari belasan jago-jago lihai, sebab mereka pernah mendengar betapa lihainya paman dan keponakan she Tong itu. Pamannya adalah si Walet Perak sedang keponakannya adalah Si Harimau Selatan.

Di antaranya terdapat Hwe-niau (Si Burung Api) dari Tibet dan beberapa jago sewaan lainnya. Selain-itu masih ada beberapa kelompok yang bertugas menyumbat jalur-jalur jalan di sekitar rumah Tong Lam-hou untuk menutup kemungkinan lolosnya sasaran mereka. Bahkan pasukan panah sudah disiapkan pula.

Malam itu Tong Lam-hou dan pamannya, seperti biasa sehabis makan malam, kembali terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan tentang keadaan negara dan bagaimana pemecahan masalahnya. Perdebatan malam ini sudah tidak se "panas" pada mula-mula mereka bertemu dulu, tidak ada lagi kata-keras dengan nada yang tinggi, atau tudingan telunjuk yang penuh kemarahan, melainkan sekarang mereka bicara dengan nada santai dan seakan bercakap-cakap biasa saja.

Keduanya sudan banyak saling memahami satu sama lain, meskipun tidak diingkari bahwa antara keduanyapun masih terdapat banyak simpang pendapat. Tapi masing-masing menyadari bahwa perbedaan pendapat memang selalu terjadi di antara dua pribadi yang sama-sama kuat, dan ketiadaan perbedaan pendapat hanya terjadi antara satu pihak yang kuat dengan satu pihak penjilat.

Tengah mereka asyik berbicara dengan diselingi meneguk teh hangat mereka, tiba-tiba pintu depan diketuk orang dengan kerasnya. Berulang kali dan terdengar suara seseorang bertriak-teriak, "Buka pintu, Tong Cong-peng! Aku membawa berita penting dan peng-po-ceng-tong (Kementerian Perang) Buka Pintu!"

Wajah Tong Lam-hou menjadi tegang mendengar itu, dan pamannya bertanya, "Kau kenal suara itu, Hou-ji?"

Sahut Tong Lam-hou sambil mengangguk, "Aku mengenalnya. Itu suara Pakkiong Hok, saudara sepupu dari Pakkiong Liong dan putera dari Panglima Ui-ih-kun Pakkiong An. Satu dari beberapa Panglima Manchu yang bersikap tidak bersahabat kepada suku bangsa Han."

"Apakah wajar kalau Peng-po-ceng-tong menyuruhnya untuk menggedor rumah seorang perwira di tengah malam buta seperti ini?"

Dengan wajah tetap tegang Tong Lam hou menyahut, "Sangat tidak wajar, sebab andaikata Peng-po-ceng-tong menyampaikan kabar penting, tentu kabar itu disampaikan lebih dulu kepada Pakkiong Liong sebagai pimpinan tertinggi Hui-liong-kun, setelah itu baru Pakkiong Liong menyuruh untuk menyampaikan kepada perwira-perwiranya termasuk aku. Lagipula Peng-po-ceng-tOng tidak mungkin menyuruh anaknya Pakkiong An itu, sebab di Peng-po-ceng tong ada pesuruhnya atau petugas untuk itu. Dugaanku ialah..."

Meskipun Tong Lam-hou tidak menyelesaikan kalimatnya, tetapi Tong Wi-hong dapat menduga apa yang hendak dikatakan keponakannya itu. Katanya, "Keberadaanku di sini?"

Dengan berat hati Tong Lam-hou menganggukkan kepalanya, namun kemudian Tong Lam-hou berkata dengan tegas, "Tapi kunjungan paman kepadaku adalah kunjungan pribadi dan untuk ini Kaisar pun tidak bisa menggugatku. Biar kutemui mereka untuk menjelaskan...."

Tong Lam-hou telah bangkit dari kursinya dan hendak melangkah ke pintu depan, tapi tangannya disambar oleh pamannya .dam cegah pamannya, "Jangan, Hou-ji, biar aku menyingkir atau bersembunyi sementara dan itu tidak ada halangannya bagiku."

Tong Lam-hou gembira melihat sikap pamannya itu, sebab sikap yang mau mengalah selangkah itu menandakan bahwa sang paman kini bisa menghormati pendiriannya meskipun pendiriannya itu berbeda dengan pendirian pamannya. Andaikata hal itu terjadi beberapa hari yang lalu, pamannya pasti akan mengnunus pedang sambil berteriak, "Nah, kebetulan bangsat-bangsat Manchu itu datang dan biar kubabat mereka!" tanpa mempedulikan kedudukan Tong Lam-hou yang menjadi sulit untuk hari-hari esok. Tapi ternyata tidak, dan sang paman bersedia untuk menyelamatkan kedudukan keponakannya.

Gedoran-gedoran di pintu depan itu masih terdengar bertubi-tubi dan makin gencar. Agaknya Pakkiong Hok masih merasa segan juga kepada Tong Lam-hou yang terkenal itu, sehingga ia tidak menyuruh jago-jagonya untuk meloncati dinding, meskipun kesabarannya hampir habis. Hwe-niau si orang Tibet itu mengusulkan kepada Pakkiong Hok, "Kita dobrak saja pintunya, atau kita loncati dinding!"

"Jangan! Bagaimanapun juga dia adalah seorang Congpeng dan selama ia belum terbukti bersalah maka dalam kedudukannya sebagai Congpeng ia tetap memiliki hak-hak istimewa. Ia bisa melaporkan ke Peng-po-ceng-tong akan tindakan kita yang tidak sopan dan kita bisa tersudut."

"Tapi terlalu lama pintu tidak dibuka, dan si buronan itu bisa keburu melarikan diri...!”

"Jangan kuatir. Rumah ini sudah terkepung meskipun tidak kentara. Seekor nyamuk saja tidak akan dapat terbang lolos dari rumah ini tanpa diketahui oleh orang-orang kita."

"Mudah-mudahan benar!" kata Hwe-niau tidak sabar, sambil menimang-nimang pisau kukri-nya.

Terdengar Pakkiong Hok mendengus, "Tentu saja benar. Kau kira aku begitu tololnya untuk membuat perhitungan yang meleset dan memungkinkan pemberontakan itu untuk kabur? Apabila bangsat, she Tong..."

Pakkiong Hok tidak melanjutkan kata-katanya karena mendengar pintu berkelotak menandakan palang pintu yang diangkat, lalus Tong lam-hou muncul dari balik pintu yang terbuka itu dengan pakaian yang kusut dan sikap yang sangat mengantuk. Kata Tong Lam-hou, "Oh... kiranya Pakkiong Huciangkun yang datang semalam ini, silahkan masuk...."

Pakkiong Hok agak sungkan juga menghadapi sikap Tong Lam-hou itu, sambil menunjukkan leng-ci (lencana perintah) dari Peng-po-ceng-tong, ia berkata, "Aku membawa perintah Peng-po ceng-tong untuk menangkap seorang gembong pemberontak yang diduga bersembunyi di sekitar tempat ini. Mohon dengan sangat agar Tong Congpeng membiarkan kami memeriksa tempat ini, barangkali dia bersembunyi di rgmah ini dgn dapat membahayakan keselamatan Congpeng."

Meskipun Pakkiong Hok menggunakan kata "mohon dengan sangat" tetapi ia mengangkat leng-ci dari Peng-po-ceng-tong yang dipegangnya, sehingga itu berarti perintah yang tidak dapat ditolak. Kaki tangan Pakkiong An begitu banyak tersebar di tubuh pemerintahan ada pula yang di Peng-po-ceng-tong, sehingga dapat mencuri sebuah leng-ci yang kini dipegang Pakkiong Hok itu. Andaikata Peng-po Siangsi (Menteri Peperangan) tahu leng-cinya dicuri sebuah oleh Pakkiong An.

Maka ia tidak akan berani membuat urusan menjadi terbuka, lebih baik bersikap pura-pura tidak tahu saja. Ia ingat beberapa bulan yang lalu beberapa pejabat yang menentang dan mempermalukan Pakkiong An telah mati mendadak dan secara aneh. Waktu itu Pakkiong An menggunakan "jasa" Te-liong Hiancu untuk membereskan orang-orang yang menentangnya.

Tong Lam-hou menunjukkan sikap amat terkejut dan marah, katanya, "Ada pemberontak yang bersembunyi di rumahku? Sungguh berani mati orang itu, apakah ia tidak tahu siapa aku?"

Pakkiong hok tertawa ia sudah tidak sabar ingin menggeledah seluruh rumah, namun dengan Tong Lam-hou berdiri di tengah-tengah pintu yang tidak lebar itu, tentu saja ia tidak menerobos begitu saja karena ia tahu siapa Tong Lam-hou itu. Katanya, "Kalau gembong pemberontak itu tahu rumah ini adalah rumah Tong Congpeng, tentu dia akan menjauhinya dah bukan justru memasukinya. Tapi barangkali ia tidak tahu sehingga ia berani memasukinya, karena itu biarlah kami memeriksanya!"

Suara Pakkiong Hok mulai tidak sabar karena ia tahu Tong Lam-hou sedang mengulur waktu. "Aku berbuat semuanya demi. Tong Congpeng sendiri."

Tong Lam-houpun sebenarnya merasa agak tegang di dalam hatinya, dan pada saat ia yakin bahwa pamannya sudah menemukan persembunyian yang baik, maka iapun tidak ingin bentrok secara terbuka dengan putera Pakkiong An itu. Iapun menepi memberi jalan kepada Pakkiong Hok dan lima orang-orangnya yang rata-rata bertampang beringas itu, sambil berkata, "Wah, terima kasih banyak, Huciangkun, tak kusangka Huciangkun begitu memperhatikan keselamatanku. Silahkan.”

Pakkiong Hok tidak peduli kata-kata yang mengandung sindirian halus itu, dia dan kelima jagoannya segera berpencaran menggeledah seluruh rumah Tong Lam-hou yang memang tidak besar itu. Halaman rumahpun tidak ketinggalan mereka aduk, namun para jago-jago Pakkiong Hok itu tidak berani bersikap kasar atau merusakkan barang-barang, sebab mereka kuatir kalau sampai menimbulkan kemarahan tuan rumah bisa jadi mereka akan keluar dari rumah itu sebagai hantu-hantu tanpa kepala.

Puas menggeledah sana menggeledah sini, bahkan sampai kakuspun mereka periksa sambil menutup hidung, namun bayangan seekor tikuspun tidak mereka temukan. Seandainya Pakkiong Hok dan tukang tukang pukulnya agak cermat sedikit saja, mereka pasti akan menemukan kejanggalan di ruangan tengah. Di situ ada dua buah cangkir teh hangat yang belum sempat disembunyikan oleh Tong Lain-hou, tapi Tong Lam-hou agaknya masih beruntung bahwa orang-orang kasar itu kurang memperhatikan kejanggalan kecil itu.

"Ketemu atau tidak?" tanya Tong Lam-hou yang duduk dengan santai di sebuah bangku batu di tengah halaman.

Agak tersipu Pakkiong Hok menjawab, “Mungkin aku salah lihat. Maaf telah mengganggu kenyenyakan tidur Congpeng."

"Tidak apa-apa, Huciangkun, tugas dari Peng-po-ceng-tong harus dijalankan bukan ?" Pakkiong Hok agak berdesir mendengar ucapan yang terasa seperti menyindir itu, apakah Tong Lam-hou sudah tahu bahwa leng-ci dari Peng-po-ceng-tong itu hanya leng-ci curian? Tapi Pakkiong Hok tidak peduli, setelah berpamitan ia segera mengajak orang-orangnya untuk pergi.

Tong Lam-hou sendiri segera menutup kembali pintu itu, memasang palang pintunya dengan perasaan lega. Ia sadar sebagai seorang yang cerdik Pakkiong Hok tentu tidak puas begitu saja dengan hasil penggeledahannya tadi, namun Tong Lam-hou yakin pamannya tentu sudah pergi jauh. Ia tahu pamannya berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) karena keunggulannya dalam hal ilmu meringankan tubuh, dan sekarang tentu telah berada di tempat sembunyinya yang aman entah di mana.

Namun yang kemudian terjadi adalah di luar keinginan Tong Lam-hou. Baru beberapa langkah Pakkiong Hok dan kelima orang jagoannya itu meninggalkan rumah Tong Lam-hou, maka dari mulut lorong di depan sana tiba-tiba terdengar suitan pendek dua kali berturut-turut. Itulah isyarat dari orang-orang Pakkiong Hok yang di tempatkan di sana, menandakan bahwa orang-orangnya di tempat itu telah melihat jejak orang yanq mereka cari.

Di antara mereka, yang ilmunya paling tinggi adalah Pakkiong Hok dan Hwe-mau, maka begitu mendengar suitan segera mereka melayang bagaikan dua ekor burung menuju ke arah suitan itu. Sedang jagoan-jagoan lainnyapun segera berlari-larian menyusul namun gerakan mereka tidak sepesat Pakkiong Hok dan Hwe-niau itu.

Ketika kedua orang itu tiba di tempat itu, maka yang mereka lihat adalah bahwa sebagian besar dari anak-buah mereka sudah bergelimpangan luka-luka atau tewas, sedang sebagian kecil masih melawan seorang lelaki setengah abad yang tampan dan berpakaian serba putih dan bersenjata pedang. Namun pakaian putih lelaki itu kini sudah berhias bercak-bercak merah seperti sulaman gambar bunga, karena terciprat darah musuh-musuhnya.

Begitu melihat Tong Wi-hong, lelaki baju putih yang tengah dikeroyok itu, maka Hwe-niau langsung berteriak, "Huciangkun, dia adalah salah seorang yang pernah ikut menyerang Penjara Kerajaan dan membebaskan para tawanan dulu! Aku tidak lupa akan tampangnya!"

Begitu berteriak, begitu pula ia bergerak. Sesuai dengan julukannya sebagai Hwe-niau (Si Burung Api) yang lebih dikenal dari nama asli pemberian orang tuanya, maka orang Tibet itu memang cukup hebat. Tubuhnya yang berpakaian serba merah itu demikian cepa»-gerakahnya sehingga hanya mirip segumpal api yang terlontar di langit, tahu tahu pisau kukri di tangannya telah berubah menjadi seleret cahaya putih keperak-perakan yang melesat ke leher Tong Wi-hong.

Saat itu Tong Wi-hong sedang sibuk melayani desakan empat orang musuhnya yang rata-rata berilmu cukup, dipimpin seorang perwira bertubuh bulat yang tangkas sekali dalam memainkan goloknya. Perwira bertubuh bulat itu adalah Ibun Hong, salah seorang "orang dekat"nya Pakkiong An. Maka terjangan Hwe-niau yang hebat itu memaksa Tong Wi-hong harus berhati hati, lebih dulu ia harus lepas dari kepungan lawan-lawannya.

Maka sambil membentak keras pedangnyapun terpecah menjadi puluhan bayangan pedang yang menebar dalam gerakan Pat-hong-hong-i (Hujan Angin Delapan Penjuru) untuk melonggarkan kepungan lawan, kemudian dengan tubuh terjungkir balik dia melesat ke udara dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (Si Walet Membalikkan Badan). Dengan, demikian Hwe-niau hanya menubruk tempat kosong, bahkan sambil menghindarpun Tong Wi-hong masih sempat membabat roboh seorang musuh lagi dengan gerakan Hui-nian-hoat-sa (Burung Terbang Menggurat Pasir).

Hwe-niau penasaran karena serangannya gagal. Dia juga seorang ahli ilmu meringankan tubuh, sehingga loncatan indah yang diperagakan Tong Ki-hong itu dianggapnya sebagai tantangan untuk mengadu gin-kang. Disertai sebuah suitan panjang maka kaki Hwe-niau menjejak tanah dan iapun melesat mengejar Tong Wi-hong. Saat itu Tong Wi-hong sedang sibuk melayani desakan empat orang musuhnya yang rata-rata berilmu cukup, dipimpin seorang perwira bertubuh bulat yang tangkas sekali dalam memainkan goloknya.

Maka muncullah pemandangan yang "indah" Tong Wi-hong yang berpakaian serba putih itu meluncur di depan dan Hwe-niau yang berpakaian serba merah itu mengejar di belakangnya, seperti seekor elang mengejar seekor merpati putih. Namun Hwe-niau sungguh keliru kalau mengira bahwa yang sedang diburunya itu sekedar seekor merpati jinak yang dengan mudah diterkam dan dirobek-robek di tengah udara.

Di tengah-tengah "terbang"nya itu Tong Wi-hong telah melakukan gerakan maha sulit yang disebut Leng-khong-po-hi (Melangkah Kosong di Udara), suatu gerak yang bukan saja membutuhkan keringanan tubuh yang luar biasa namun juga tenaga dalam yang hebat. Sepasang kaki Tong Wi-hong bergerak seperti lari di tengah udara kosong, dan tahu-tahu luncurannya yang pesat itu berbelok di tengah udara. Berbareng dengan itu pedangnyapun menyerang ke belakang tanpa menoleh dengan Khong-ciak-kay-peng (Merak Membuka Sayap).

Tadinya, ketika Hwe-niau memburu Tong Wi-hong, orang Tibet itu merasa dirinya mampu menandingi orang yang bergelar Si Walet Perak yang terkenal itu, namun kini ia menjadi kelabakan karena terperangkap oleh kesombongannya sendiri, tak diduganya di tengah udara tanpa pijakan Tong Wi-hong bisa berbuat semacam itu. Dengan kelabakan ia menggunakan pisau kukri-nya di depan dada untuk menangkis. Akibat dari benturan senjata itu ialah terpentalnya pisau Hwe-niau dari tangannya dan bahkan ujung pedang lawan masih sempat "mampir" di pundaknya pula.

Untung Pakkiong Hok juga tidak membiarkan bawahannya itu mengalami kesulitan sendiri. Bagaikan seekor elang mementang sayapnya, iapun melesat maju untukn menikam punggung Tong Wi-hong dengan pedangnya. Kedatangannya itu membuat Hwe-niau mendapat kesempatan untuk memungut kembali pusakanya yang jatuh tadi.

Sementara itu, Tong Wi-hong sendiri tidak berniat melayani bertempur musuh-musuhnya. Saat itu memang benar dia masih bisa bertahan melawan Pakkiong Hok, Hwe-niau serta Ibun Hong dibantu beberapa jagoan atau perwira, itu, namun ia tahu bahwa bala bantuan untuk musuhs akan terus berdatangan dan dirinya akan terjebak kesulitan kalau tidak cepat-cepat pergi. Maka Pakkiong Huk hanya dilayaninya beberapa jurus, setelah itu dengan gin-kangnya yang hebat dia terus melompat ke wuwungan atap di sekitar lorong itu.

Pakkiong Hok dan Hwe-niau yang merasa punya ilmu meringankan tubuh yang cukup lihai pula tidak membiarkannya kabur begitu saja. Kedua-nyapun berloncatan ke atas genteng dan dengan pesatnya mengejar Tong Wi-hong yang bergerak seperti angin itu. Ibun Hong dan jago-jago lainnya yang ilmu meringakan tubuhnya kurang, mengikuti dari bawah saja, sambil memberi suitan Isyarat agar orang-orang di bagian depan siap menghadang musuh dengan panah-panah mereka.

Tempat itu belum jauh dari rumah Tong Lam-hou. Baru saja Tong Lam-hou merasa lega dan hendak tidur, tahu-tahu di malam sunyi itu ia mendengar suara suit-suit nyaring, benturan senjata dan juga bentakan-bentakan orang yang bertempur, maka hati Tong lam-hou menjadi waswas. Mungkinkah yang bertempur itu adalah pamannya yang kepergok orang-orangnya Pakkiong Hok?

Tong Lam-hou sesaat menjadi kebingungan harus berbuat bagaimana. Menyelamatkan pamannya atau membiarkannya saja tergantung nasibnya sendiri? Bagaimana cara menyelamatkan pamannya tanpa harus bentrok dengan Pakkiong Hok, padahal ayah Pakkiong Hok adalah seorang yang cukup berpengaruh di Istana? Namun Tong Lam-hou kemudian mengambil keputusan tegas, ia akan membantu pamannya untuk lolos tanpa menunjukkan dirinya sendiri.

Cepat ia masuk ke kamarnya dan berganti dengan pakaian serba hitam, dan ketika ia menoleh ke dinding kamarnya maka dilihatnya sehuah topeng berwajah iblis yang terbuat dari perunggu yang kuning kehijauan sehingga nampak seram sekali. Itulah topeng milik Te-liong Hiangcu yang dulu ketinggalan di rumahnya, ketika Te-liong Hiangcu berusaha membunuhnya namun saat itu digagalkan dengan munculnya Siangkoan Hong. Tanpa pikir panjang Tong Lam-hou meraih topeng itu dan memakai di wajahnya.

Setelah yakin bahwa dirinya tidak bakal dikenali oleh Pakkiong Hok atau lain-lainnya, maka Tong Lam-houpun melesat ke arah suara pertempuran itu. Gerakannya yang cepat seperti terbang, pakai annya yang serba hitam serta topeng perunggu yang menyeramkan itu, membuat ia benar-benar mirip sesosok hantu yang beterbangan mencari mangsa di malam hari.

Ketika ia tiba, dilihatnya tiga sosok bayangan tengah berkejaran bagaikan tiga ekor burung di atas genteng-genteng rumah yang tinggi rendahnya tidak rata itu. Yang depan berpakaian putih dan membawa pedang, sedang yang memburunya adalah dua orang yang bukan lain Pakkiong Hok dan Hwe-niau. Jago-jago lainnya hanya mengikuti dari bawah saja sebab mereka tidak memiliki gin-kang setinggi ketiga orang itu.

Dalam kejar mengejar itu Tong Lam-hou melihat bahwa ilmu meringankan tubuhnya dari sang paman beberapa tingkat lebih unggul dari kedua pengejarnya. Melihat itu, Tong lam-hou merasa lebih baik tidak usah menampakkan diri saja daripada bermusuhan dengan Pakkiong Hok yang sama-sama tentara kerajaan, toh kelihatannya pamannya tidak akan sulit untuk meloloskan diri.

Namun di saat Tong Wi-hong hampir meninggalkan lawan-lawannya, tiba-tiba dari balik sebuah wuwungan muncul sepasukan prajurit pemanah, dan dengan satu aba-aba maka hujan panahpun menghambur ke arah Tong Wi-hong. Cara memanah mereka juga cukup terlatih, jika sebagian prajurit membidik maka sebagian lainnya siap-siap memasang anakpanah. Dengan begitu anakpanah itu bagaikan hujan lebat menghambur ke tubuh Tong Wi-hong.

Dengan putaran pedangnya yang rapat bagaikan perisai, tak seujung panahpun yang mampu menyentuh uj ung bajunya sekalipun, semuanya tersapu runtuh oleh pedangnya dan bahkan ada yang membalik melukai prajurit-prajurit itu. Beberapa dari mereka terguling jatuh dari genteng sambil menjerit kesakitan.

Tetapi munculnya para pemanah yang menghadang langkahnya, yang memang sudah disisapkan oleh pakkiong Hok itu, bagaimanapun juga telah melambatkan usaha Tong Wi-hong melarikan diri. Ban selagi pendekar dari Soat-san-pay sibuk dengan panah-panah yang menyerangnya dari depan, maka dari belakangpun datang serangan-serangan licik yang tidak kenal malu. Hwe-niau telah melontarkan beberapa batang pisau-pisau kecil ke punggung yang tak terjaga itu.

Tong Lam-hou yang sebenarnya tidak berniat menampakkan diri itu, terkejut bukan main melihat serangan licik kepada pamannya itu. Ia adalah seorang yang paling membenci perbuatan pengecut semacam itu, tidak peduLi dilakukan oleh pihak kawan sendiri, sebaliknya sanqat menghargai sifat-sifat jantan meskipun dilakukan oleh pihak lawan. Melihat serangan licik itu sekuat tenaga Tong Tong Lam-hou meloncat keluar untuk mencoba menyelamatkan pamannya, dan iapun lupa akan penyamarannya, sehingga ia berteriak, "Awas paman!"

Sebenarnya Tong Wi--hong sendiri sudah mengetahui serangan licik itu dengan mendengar suara desir anginnya saja. Tapi pendekar yang bagaimanapun lihainya kalau diserang dari muka dan belakang secara gencar seperti itu tentu repot juga. Mati-matian Tong Wi-hong bergulingan di atas genteng namun sebatang pisau Hwe-niau hinggap juga di punggungnya, begitu telak sehingga hanya gagang pisau kecil itu saja yang tinggal kelihatan di luar. Dan terdengar pendekar yang bergelar Gin-yan-cu itu mengeluh pendek, baju putihnya yang menjadi ciri kuasnya itu berubah warna menjadi merah di bagian punggungnya.

Melihat paman kandungnya, bagian dari darah dagingnya sendiri, roboh karena kelicikan lawannya, maka Tong Lam-hou dalam marahnya telah kehilangan pengendalian diri. Ia mengira pamannya tewas karena pisau kecil itu, maka dengan kemarahan meluap Tong Lam-hou melompat kepada Hwe-niau dan melancarkan pukulan maha dingin Han-im-ciang dengan sekuat tenaganya.

Baru saja Hwe-niau hendak bersorak kegirangan karena mengira pahalanya yang besar yang bakal diterimanya, tahu-tahu sesosok tubuh berbaju serba hitam dan bertopeng perunggu yang menyeramkan telah menyergapnya dengan pukulan telapak tangan. Begitu cepat gerakan orang itu sehingga Hwe-niau tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghindarinya, mau melakukan gerakan mengelak yang paling gampangpun sudan tidak sempat lagi. Apalagi karena mendadak segulung hawa dingin menggulung tubuhnya, membuat urat-urat seluruh tubuhnya menjadi kaku dan tak dapat diperintah otak.

Pukulan "sitopeng perunggu" itu telak menghantam dadanya, menghancurkan isi dadanya namun tak setetes darahpun mengalir keluar sebab seluruh darah di tubuhnya sudah membeku saat itu juga. Tubuhnya terpental ke bawah genteng tanpa nyawanya lagi. Begitulah seorang jago yang malang-melintang di sekitar pegunungan Himalaya itu mati hanya dengan sekali pukul yang dilakukan orang yang tak dikenalnva. Ia mati penasaran.

Pakkiong Hok yang berdiri beberapa langkah dari Hwe-niau tadi, juga menggigil kedinginan karena merasakan sambaran angin yang begitu dingin dari orang bertopeng perunggu itu. Baik penampilannya maupun gerakannya yang cepat seperti hantu itu membuat Pakkiong Hok teringat akan sekutu ayahnya, Te-liong Hiangcu. Namun sesaat Pakkiong Hok menjadi kebingungan sebab ia tahu pasti dari seorang mata-matanya bahwa le-liong Hiangcu sudah mati di lereng Ki-lian-san, bahkan dengan tubuh dan kepala yang terpenggal.

Tapi Pakkiong Hok bukan orang berotak tumpul, sejak menggeledah rumah Tong Lam-hou tadi dia sudah curiga kepada perwira Hui— liong-kun (Pasukan Naga Terbang) itu, dan tadi iapun sempat mendengar bagaimana orang bertopeng perunggu itu berteriak "paman" kepada Tong Wi-hong. Maka dengan geram Pakkiong Hok -telah berteriak, "Bagus, Tong Congpeng, kau bukannya membantu sesama prajurit Kerajaan untuk menangkap pembangkang, malahan membunuh orang sendiri untuk membantu pemberontak!"

Memang dia pintar bisa menebak bahwa orang bertopeng itu adalah Tong lam-hou, namun dia bodoh bahwa dia berani membentak Tong Lam-hou semacam itu. Tong Lam-hou yang tidak ingin kedoknya terbongkar itu memutuskan untuk bertindak tidak tanggung-tanggung dan untuk itu ia tidak sayangkan nyawa Pakkiong Hok yang dikenalnya sebagai seorang pembenci bangsa Han.

Karena itu, baru saja mulut Pakkiong Hok terkatup, kaki Tong Lam-hou secepat kilat telah menendang pisau kukri milik Hwe-niau yang tergeletak di atas genteng di dekat kakinya itu. Pisau itu melesat dan menancap tepat di perut Pakkiong Hok. Tanpa mengeluh lagi Pakkiong Hok pun terguling jatuh dari atas genteng.

Sesaat Tong Lam-hou ragu-ragu haruskah ia membabat habis prajurit-prajurit pemanah yang telah terlanjur mendengar ucapan Pakkiong Hok tentang dirinya tadi? Tapi kemudian Tong Lam-hou tidak sampai hati, sebab dianggapnya prajurit-prajurit itu belum tentu mendengar ucapan tadi karena jaraknya yang cukup jauh dari Pakkiong Hok, lagipula bukankah mereka sama-sama prajurit kerajaan seperti dirinya dan hanya menjalankan perintah saja? Tak terduga oleh Tong Lam hou bahwa keputusannya inilah yang nanti menimbulkan kesulitan buat dirinya.

Kini lebih dulu ia harus membawa tubuh pamannya yang masih tertelungkup tak bergerak entah hidup entah mati itu. Dengan sekali sambar ia memanggul tubuh itu dan dibawa kabur secepatnya. Tapi ia masih mencoba mengaburkan siapa dirinya di hadapan para prajurit pemanah yang terlongong-longong kehilangan pemimpin itu. Sambil tertawa tinggi melengking dengan suara yang bukan suara aslinya, ia berteriak kepada prajurit-prajurit itu, "He, katakan kepada si tua Pakkiong An bahwa akulah Te-liong Hiangcu yang bertanggung-jawab atas semua perbuatan ini...!”

Andakata saja Tong Lam-hou tahu bahwa Te-liong Hiangcu sudah mati, tentu ia tidak akan mengakui nama itu sebab sama saga dengan membongkar kedoknya sendiri. Namun ia tidak tahu, dan tanpa peduli para prajurit itu percaya atau tidak iapun melesat pergi membawa tubuh pamannya. Dalam gugupnya memikirkan keselamatan pamannya, Tong Lam-hou masih sempat ingat untuk mengalabuhi prajurit-prajurit itu dengan cara menuju ke arah yang berlawanan dari arah rumahnya sendiri.

Kini ia berada di lorong-lorong kota Pak-khia yang gelap dan sunyi, dan di pundaknya ia masih merasa degup gantung pamannya masih bekerja. Masih ada harapan untuk mengobati dan menyelamatkannya. Namun di mana? Jelas tidak mungkin di rumahnya, sebab ada kemungkinan rumahnya akan digeledah sekali lagi jika ada kecurigaan ke arah dirinya. Ke rumah paman dan bibi Ciu, suami isteri pembantu rumahnya itu?

Tidak mungkin. Paman dan bibi Ciu sendiri barangkali bersedia menolong, namun mereka mempunyai beberapa orang anak kecil yang belum tentu sanggup menyimpan rahasia. Ke rumah salah seorang Yahudi sahabatnya? Juga tidak mungkin, sebab mereka adalah kaum pedagang yang belum tentu mau mempertaruhkan keselamatannya untuk melindungi orang yang tak dikenal.

Tengah Tong Lam-hou kebingungan kemana hendak membawa pamannya, tiba-tiba di lorong gelap yang kiri kanannya pintu-pintu sudah tertutup itu, muncul dua orang yang berpakaian compang-camping dan membawa tongkat. Merekalah dua orang pengemis yang masih muda. Namun berbeda dengan pengemis-pengemis biasa yang berjalan dengan kemalas-malasan sambil menadahkan tangan untuk minta sedekah, maka pengemis-pengemis ini justru bersikap gagah. Lagipula terasa janggal juga bahwa di tengah malam buta ada pengemis berkeliaran.

Tanpa sikap ragu-ragu, kedua pengemis itu mendekati Tong Lam-hou yang waktu itu sudah membuang topengnya, dan kata salah seorang dari mereka, "Kami adalah anggota-anggota Kay-pang yang bertugas mengawasi keselamatan Tayhiap (pendekar besar) Tong Wi-hong dari kejauhan. Kini Tayhiap terluka, serahkanlah kepada kami untuk merawatnya, kami juga punya tempat persembunyian yang aman yang tidak bakal diketemukan oleh Pakkiong Hok atau orang-orangnya."

Tong Lam-hou tidak menyerahkan tubuh pamannya begitu saja saja ia masih ragu-ragu, bukannya ia tidak yakin bahwa kedua pengemis adalah anggota Kay-pang (Serikat Pengemis), tapi karena pertimbangan lain. Meskipun Serikat Pengemis tidak secara terang-terangan menentang Pemerintahan Manchu, tapi tidak jarang pengemis-pengemis itu melakukan tindakan-tindakan yang menentang, dengan cara menyembunyikan buronan, menyebarkan rahasia dan sebagainya.

Yang membuat Tong Lam-hou ragu-ragu, haruskah ia sekarang berbaikan dengan orang-orang Kay-pang itu? Padahal dirinya adalah Bukannya Kerajaan Manchu yang bukan terbatas pada pakaian seragamnya saja, tapi kesetiaannya kepada kerajaan juga mendarah daging dalam dirinya.

Salah seorang pengemis itu, yang bertubuh agak gemuk, berkata, "Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kami orang Kay-pang dan kau prajurit kerajaan tentu berdiri berseberangan, tapi kita sama-sama berkepentingan untuk keselamatan Tong Tayhiap, sebab Tong Tayhiap bukan saja pamanmu tetapi juga tokoh pejuang yang menjadi sahabat Kay-pang. Karena itu, serahkan kepada kami biar ia mendapat perawatan yang baik."

Ketika pamannya yang dipondong itu terdengar mengeluh sekali lagi dengan muka pucat dan mata terpejam, maka Tong Lam-hou membuang jauh-jauh semua kebimbangannya. Diserahkannya tubuh pamannya kepada kedua orang Kay-pang yang dipercaya akan merawat pamannya dengan baik itu.

Meskipun demikian, Tong Lam-hou sempat juga berkata dengan nada yang lunak bercampur keras, "Sebagai pribadi Tong Lam-hou aku mengucapkan terima kasih kepada Kay-pang yang mau merawat pamanku. Sebagai seorang prajurit Kerajaan Manchu aku memperingatkan agar kalian berhenti membuat kerusuhan-kerusuhan, sebab kalau kalian tidak menghiraukan peringatanku ini, kalian akan memancing tindakan yang keras dari pihak kerajaan dan itu sangat menyusahkan rakyat."

Wajah kedua pengemis itu semburat merah oleh kemarahan mereka, sahut salah seorang di antara mereka, "Jadi selama beberapa hari kau mendengar nasehat pamanmu ini ternyata hatimu belum berubah juga? Dan jika kau lihat rakyat menderita maka kau timpakan tanggung-jawabnya kepada kami?"

Sahut Tong lam-hou, "Semua yang kuperbuat adalah demi ketenangan negeri ini, dan untuk itu pamanku sendiri sudan dapat memahaminya, silahkan kalian tanyakan sendiri kepadanya jika ia telah sembuh kelak."

Sementara itu diam-diam Tong Lam-hou heran juga mendengar bahwa pengemis-pengemis itu ternyata mengetahui beradanya Tong Wi-hong di rumahnya. Maka dia menduga, tentunya pihak penentang Manchu telah memasang pamannya itu sebagai "umpan" di ujung sehelai tali yang diulur panjang, andaikata umpannya dicaplok atau tidak oleh sang ikan, akan dapat segera diketahui. Dan dirinya sendirinyalah ikan itu.

Masing-masing pihakpun berpisah. Cepat Tong Lam-hou menuju ke rumahnya kembali namun untuk itu ia harus melangkah dengan sangat berhati-hati. Di beberapa lorong dan persimpangan masih nampak orang-orangnya Pakkiong Hok berjaga-jaga dengan tegang. Tapi dibantu oleh gelapnya malam dan kepandaiannya yang tinggi, Tong Lam-hou berhasil menerobos penjagaan-penjagaan itu, dan sambil berbuat demikian ia sempat juga mendengar beberapa percakapan mereka yang menduga-duga bahwa Pakkiong Hok mungkin sudah mati.

Diam-diam agak menyesal juga Tong Lam-hou ketika mendengar percakapan itu, sebab bagaimanapun sikap Pakkiong Hok dalam membenci suku Han atau mempengaruhi jalannya pemerintahan untuk kepentingan ayahnya sendiri, namun sesunguhnya ia cukup bersikap baik kepada Tong Lam-hou dan bahkan agak sungkan. Tapi apa boleh buat, tindakan licik Pakkiong Hok dan orang-oangnya terhadap pamannya tadi telah membuat Tong Lam-hou mata gelap.

Tiba di rumahnya, cepat-cepat Tong Lam-hou memeriksa keadaan rumahnya dan legalah hatinya ketika ia tidak menemukan bekas-bekas penggeledahan untuk kedua kalinya, palang pintu juga masih terpasang rapi dari dalam. Andaikata rumahnya digeledah sementara ia tidak berada di rumah tadi, maka ia akan tersudut ke dalam keadaan yang sulit, kecurigaan atas dirinya pasti akan menumpuk.

Cepat dilepasnya pakaiannya yang mirip Te-liong Hiangcu itu, lalu dilemparkannya ke kolong pembaringan. Ia punya rencana besok akan memusnahkan benda itu. Lalu ia memakai pakaian tidurnya yang berwarna putih terbuat dari bahan ringan dan tipis.

Tapi malam itu agaknya memang malam yang menegangkan, baru saja ia merasa nyaman dan hangat terbaring di kasurnya yang empuk, dan matanyapun mulai terasa berat hendak terkatup, kembali terdengar suara langkah kaki hilir-mudik di depan rumah maupun di lorong-lorong sekitar rumahnya. Kali ini nampaknya yang datang bukan cuma beberapa orang seperti tadi, tapi nampaknya sepasukan. Apakah mereka sedang mengejar pamannya?

Kemudian daun pintu depan dipukul bertubi-tubi dengan kasar sekali. Disertai teriakan seseorang, "Kiu-bun Tetok (Panglima Sembilan Pintu) Tam Liong membawa perintah Peng-po Siangei untuk Tong Lam-hou!"

Tong Lam-hou agak waswas mendengarnya. Kiu-bun Tetok Tam Liong adalah seorang Panglima yang pasukannya bertugas mengawasi keamanan Ibukota Pak-khia Keterlibatannya tidak mengheran-kan sebab Tam Liong memang dikenal berhubungan baik dengan Pakkiong An, tapi yang mencemaskan Tong Lam-hou ialah dugaan jangan-jangan penyamarannya sebagai Te-liong Hiangcu tadi tetap tidak menjamin keamanan dirinya?

Gedoran di pintu semakin bertubi-tubi dan semakin keras, sementara Tong Lam-hou dengan tergesa-gesa mengenakan pakaiannya yang pantas untuk menyambut kedatangan seorang Panglima di rumahnya. Begitu ia membuka pintu, Tam Liong yang bertubuh tegap dengan berewok kaku di sekitar mulutnya itu telah berdiri di depan pintu dengan seragam Panglimanya lengkap dengan pedang di pinggangnya.

Tam Liong mengulurkan sebuah sampul bercap "Peng-po-ceng-tong kepada Tong Lam-hou dan berkata dengan suaranya yang berat, "Tong Congpeng, kau ditangkap, inilah surat perintah Peng-po Siangsi yang ditulis sendiri oleh beliau malam ini.”

Jantung Tong Lam-hou terguncang keras mendengar ucapan Tam Liong itu, dengan tangan gemetar ia, membuka dan membaca surat Peng-po Siangsi itu. Isinya memang tegas, Tong Lam-hou harus ditangkap dan diadili karena membantu kaburnya seorang gembong pemberontak dari tangkapan prajurit kerajaan yang sedang bertugas. Dan cap Peng-po Siang-si itupun tidak mungkin dipalsukan atau dicuri oleh Pakkiong An, betapapun besar nyali Panglima Ui-ih-kun itu.

"Tong Congpeng sudah jelas?" tanya Tam Liong sambil mundur selangkah dan dengan tangan kanan menempel di gagang pedangnya. Agaknya ia siap untuk menghadapi kemungkinan apabila Tong Lam-hou menolak perintah itu.

Tong Lam-hou menarik napas melihat sikap Tam Liong itu. Ia melihat keluar pintu dan melihat kenyataan bahwa rumahnya telah dikepung rapat oleh ratusan prajurit yang seragamnya campuran. Ada yang berseragam kuning dari Pasukan Ui-ih-kun, lainnya adalah anak buah Kiu-bun Tetok Tam Liong yang berseragam merah dan hitam serta memakai topi runcing lebar yang mirip tudung bambu itu. Menangkap seekor harimau biasa saja memerlukan persiapan yang baik, apalagi kalau yang hendak ditangkapnya itu adalah Harimau Selatan yang nama besarnya sejajar dengan Naga Utara itu.

Tong Lam-hou mengulurkan tangannya dan seorang prajurit memasang borgol pada kedua tangan itu serta mengalungkan rantai di lehernya, sambil berkata agak sungkan, "Maaf, Tong Congpeng."

Sahut Tong Lam-hou, "Aku adalah prajurit yang setia kepada kerajaan, dan karena itu aku tidak akan mempersulit tugas dari sesama prajurit kerajaan."

Ketegangan di wajah Tam Liong mengendor dan tangannyapun menjauh dari gagang pedangnya. Katanya, "Terima kasih Tong Congpeng tidak mempersulit pekerjaan kami. Silahkan."

Dengan tangan terborgol kuat Tong Lam-hou melangkah. Di antara prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu nampak sebuah tanda yang dijaga sekelilingnya, dan ketika Tong Lam-hou melewati tandu itu maka tirai tandu tiba-tiba tersibak. Yang duduk di dalam tandu ternyata adalah Pakkiong Hok, yang meskipun wajahnya pucat namun kali ini nampak menyeringai kegirangan. Bajunya tidak dipakai secara benar melainkan hanya dikerudungkan di pundaknya saja, sedang di perutnya ada baluran kain putih yang berbercak merah.

Sambil menatap Tong Lam-hou dengan penuh kemenangan, Pakkiong Hok berkata, "Kau tidak menduga kalau aku belum mampus bukan? Ha-ha-ha... malam ini adalam malam naas bagimu. Akulah yang akan menjadi saksi yang memastikan bahwa kau narus dihukum penggal kepala karena berkhianat kepada kerajaan.”

Tong Lam-hou tahu bahwa ucapan Pakkiong Hok itu bukan omong kosong belaka. Dengan kekuatan uangnya, dia pasti dapat menyogok saksi-saksi palsu yang akan memberatkan dirinya di mahkamah nanti, dan Tong Lam-hou tidak menjadi gentar karenanya, namun yang menyedihkan adalah jika dia sampai mati dengan cap "pengkhianat" pada namanya.

Sahut Tong Lam-hou, "Kalau aku tidak setia kepada Negara dan Kaisar, kau kira aku mau diborgol dan dikalungi rantai seperti ini? Aku tetap seorang prajurit yang menghormati hukum kerajaan dan karena itu pula aku menyerah kepada Tam Ciangkun tanpa perlawanan, sebab Tam Ciangkun membawa tanda wewenang dari Peng-po Siangsi!"

Namun Pakkiong Hok sudah terlanjur dendam kepada Tong Lam-hou karena nyawanya hampir saja melayang di tangan Tong Lam-hou. Dengan mata menyala ia membentak, "Tutup mulutmu, kutu busuk Han! Aku dan ayahku punya kekuasaan untuk mempengaruhi para hakim agar menjatuhkan hukuman paling berat terhadapmu! Kau akan dipecat dengan tidak hormat dari ketentaraan, namamu diumumkan sebagai pengkhianat yang sekotor-kotornya, tubuhmu dihukum picis dan kemudian kepalamu dipotong dan ditancapkan di ujung tombak untuk diletakkan dekat persimpangan jalan. Setiap orang yang lewat di situ harus meludahi kepalamu!"

Banyak prajurit-prajurit disekitar rumah Tong Lam-hou itu yang bergidik ketika mendengar ancaman Pakkiong Hok terhadap Tong-Lam-hou. Itu adalah hukuman lahir batin yang paling mengerikan bagi setiap prajurit, bahkan sampai jasadnyapun tetap mendapat penghinaan yang luar biasa. Kiu-bun Tetok Tam Liong yang berhati keras itupun berdiri bulu kuduknya mendengar ancaman itu, dan ia percaya bahwa Pakkiong An cukup punya pengaruh untuk melaksanakan hal itu atas diri Tong Lam-hou. Diam-diam ia bersimpati kepada Tong Lam-hou, namun sekaligus juga semakin ngeri terhadap Pakkiong An dan Pakkiong Hok. Mereka ayah dan anak lebih baik dijadikan rekan daripada dijadikan musuh dalam percaturan kekuasaan di sekitar Istana.

Sementara itu Tong Lam-hou tidak dapat menahan kemarahannya lagi, sikap Pakkiong Hok itu benar-benar sudah keterlaluan. Ingin ia menghantam muka orang itu sampai hancur, namun tangan dan kakinya diborgol semua dengan borgol kayu tebal atau rantai. Maka teringatlah ia kepada Han-im-ciangnya. Diam-diam ia mengerahkan ilmu khasnya itu, namun tidak disalurkan ke tangannya seperti biasanya, melainkan ke seluruh permukaan kulitnya.

Dan alangkah terkejutnya orang-orang di sekitarnya ketika merasa tiba-tiba udara menjadi amat dingin, suhu menurun dengan tajamnya. Beruntung bagi orang lain yang masih bisa menghindari sumber hawa dingin itu, yaitu Tong Lam-hou. Tapi bagi Pakkiong Hok yang duduk dalam tandu dan bergerakpun sulit, maka udara dingin yang tiba-tiba melingkupi sekitarnya itu tidak dapat dihindarinya lagi.

Bibirnya sedang bergerak hendak memaki lagi, namun kemudian bibir itu menjadi biru kaku tak dapat bergerak lagi, matanya membelalak lebar dengan terkejut, menyusul permukaan kulitnyapun membiru dan tubuhnyapun tersandar ke sandaran tandunya tanpa bergerak lagi. Ditambah dengan daya tahan tubuhnya yang sangat lemah karena luka-lukanya, maka hawa dingin yang disebarkan Tong Lam-hou itu langsung mencabut nyawanya.

Ketika udara menjadi wajar kembali karena Tong Lam-hou sudah "menyimpan" kembali ilmunya, maka beberapa orang pengawal Tong Lam-hou maupun pengawal Pakkiong Hok mendekati kembali ke arah tandu. Terdengar salah seorang pengawal Pakkiong Hok itu berteriak kaget, "Kongcu telah tewas!"

"Ya, kulitnya membiru kedinginan seolah-olah baru, saja dicemplungkan ke sumur es!" sahut lainnya.

Seorang tukang pukul Pakkiong Hok yang agak bernyali besar, segera menuding Tong Lam-hou sambil berteriak sengit, "Pasti bangsat ini yang membunuh Pakkiong Kongcu!"

Tong Lam-hou tertawa dingin, "Ratusan pasang mata dari prajurit-prajurit di sini melihat semuanya betapa jarak antara aku dan Pakkiong Kongcu mu itu ada tiga langkah lebih, dan aku seujung rambutpun tidak menggerakkan tangan dan kakiku, bagaimana aku bisa membunuhnya? Kau ini bicara dengan sadar atau sedang mengingau...?"

Selanjutnya;