Pendekar Naga dan Harimau Jilid 36Karya : Stevanus S.P |
Te-liong Hiangcu tahu bahwa dengan kemusnahan ilmu silatnya itu maka seorang bakul obat di pinggir jalan yang sering mempertunjukkan sejurus dua jurus silat cakar ayampun akan dapat mengalahkannya. Munculnya bayangan bertangan kidal itu jelas mengancam keselamatan nyawa Te-liong Hiangcu. Tapi Te-liong Hiangcu yang setengah pasrah setengah nekad dan tidak lagi pikir mati hidupnya sendiri itu, tenang-tenang saja menghadapinya bayangan hitam itu. Tanyanya, "Siapa kau?"
"Supaya arwahmu tidak penasaran karena tidak tahu siapa yang membunuhmu, baik, dengarkanlah, aku Sebun Him dari Hoa-san-pay yang bergelar sebagai Se-him (Beruang Barat)," sahut bayangan hitam kidal yang memang bukan lain dari Sebun Him itu. Te-liong Hiangcu terkekeh. "Beruang Barat? Eh, kau mensejajarkan dirimu dengan Naga Utara atau Harimau Selatan yang terkenal itu? Sekedar meniru-niru atau sekalian membonceng nama besar mereka?" Sebun Him menjadi amat tersinggung kebanggaan dirinya. "Tutup mulutmu iblis tua. Apa bangganya membonceng nama mereka karena aku sendiri tidak kalah dari mereka? Sayang kau tidak berada di lereng timur Ki-lian-san dalam pertempuran tadi siang, sehingga kau tidak bisa menyaksikan bagaimana aku menandingi orangmu yang paling terpercaya, Ang-mo-coa-ong yang konon pernah termasuk dalam deretan sepuluh orang sakti puluhan tahun yang lalu itu!" Tak terduga Te-liong Hiangcu semakin keras tertawa, "Anak muda, seumur hidupku aku adalah seorang penjahat yang tidak pernah berbuat kebaikan, tapi biarlah sebelum pedangmu membabat leherku, aku akan berbuat kebaikan kepadamu dengan memberi sebuah nasehat yang berguna!" "Aku tak butuh nasehatmu!" bentak Sebun Him, tapi karena dorongan rasa tertarik dalam hatinya maka dengan suara lebih rendah iapun berkata, "Supaya kau mati lega, boleh juga kau ucapkan nasehat. busukmu itu meskipun aku tahu aku tak akan memakainya." "Inilah nasehatku, seorang yang ingin nyawanya awet jika berkelana dalam dunia persilatan, dia harus mengetahui tingkat ilmunya yang sebenarnya dan jangan terlalu tinggi menilai diri sendiri. Banyak anak-anak muda yang berbakat, tapi sedikit yang berhasil melewati saringan sehingga berhasil mendapatkan nama besar dalam dunia persilatan. Sebagian besar mampus muda karena ingin buru-buru mengangkat nama dengan menghadapi lawan-lawan yang terlalu kuat, akibatnya bukan mendapat nama tetapi mendapat kematian." Sebun Him mendengus congkak, "Maksudmu, akupun harus tahu diri bahwa ilmuku masih rendah, begitu? Dan kesanggupanku melawan Ang-mo-coa-ong itu bukan takaran ketinggian ilmuku?" "Anak muda, ilmu itu berkembang kencang sesuai ketekunan masing-masing pemiliknya dalam melakukan latihan. Puluhan tahun yang lalu orang-orang menyusun urutan-urutan siapa saja tokoh paling lihay, dari nomor satu sampai nomor sepuluh, namun dalam masa-masa sesudahnya toh urutan itu tidak dapat dijadikan pegangan, belum tentu seorang yang urutannya lebih tinggi itu bisa menang berkelahi dengan orang yang lebih rendah urutannya, bahkan yang tidak termasuk dalam urutan itu. Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po memang lihai duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun yang lalu, tapi tiap hari-hari terakhir ini kepandaiannya sudah tersusul dan bahkan terlampaui oleh Liong Pek-ji." Memang kurang menyenangkan mendengar bahwa sesuatu yang dibangga-banggakan itu diutik-utik oleh orang lain, begitu pula Sebun Him. ia segera membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kita tidak sedang membicarakan urut-urutan siapa yang paling lihai dalam dunia persilatan, namun sedang akan menyelesaikan utang-piutang darah di antara kita. Tapi jika kau mau menjawab dengan jujur sebuah pertanyaanku, aku akan membiarkan hidup dan mati sejndiri." "Pertanyaan apa?" tanya Te-liong Hiangcu. Terasa juga sesuatu yang getir di hatinya sebab digertak-gertak oleh seorang arak kemarin sore yang beberapa hari yang lalu masih hendak dijadikan patung itu. Biasanya dialah yang menggertak dan mengancam orang bukan sebaliknya, dan kini baru dirasakannya bagaimana ia dibentak-bentak dan dihina tanpa dapat melawan karena kepandaiannya sudah lenyap dari tubuhnya. Tanya Sebun Him, "Ada seorang anak buahmu bernama Im Yao dan berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) nah, di mana dia?" Tiba-tiba dalam diri Te-liong Hiangcu terbersit keinginan aneh, ingin melindungi anak buahnya itu meskipun dengan taruhan nyawanya sendiri. Sesuatu yang jarang dilakukannya di masa lalu, bahkan tidak pernah, sebaliknya ia sanggup mengorbankan puluhan nyawa orang lain hanya untuk kesenangan atau keselamatan diri sendiri. Mendengar nada pertanyaan Sebun Him itu, Te-Liong Hiangcu tahu bahwa tidak mungkin anakmuda yarg kidal itu bermaksud baik terhadap Im Yao, maka dijawabnya sambil menggelengkan kepalanya, "Aku yang mengatur penyerangan ke Ki-lian-san, dan diapun mendapat bagian untuk menyerang dari arah tertentu, entah kenapa dia tidak muncul." Sebun Him menggeram tidak sabar, pedangnya ditempelkan ke leher. Te-li-ong Hiangcu sambil mengancam, "Jangan main-main dengan seorang yang sedang mendendam dan kehabisan kesabaran. Itu tidak bijaksana, mengerti?" “Aku benar-benar tidak tahu..." "Mustahil kau tidak tahu. Atau barangkali kau sudah tahu pihakmu bakal kalah dan kau suruh dia pergi untuk melanjutkan pengacauan di kemudian hari, begitu?" "Aku benar-benar tidak tahu..." Kesabaran Sebun Him sampai ke batasnya dan pedangnyapun terayun mendatar. Kepala Te-liong Hiangcu menggelinding copot dari tubuhnya, bahkan Sebun Him masih ingin melampiaskan angkara murkanya sehingga diayunkannya pedangnya beberapa kali untuk membuat tubuh yang sudah tak berdaya itu terpotong menjadi beberapa bagian. Seorang murid Hoa-san-pay, perguruan aliran lurus yang mengajarkan budi pekerti dan peri-kemanusiaan kepada siswa-siswanya. Ternyata sanggup juga berbuat demikian keji dalam kemarahannya. Dan untuk itu Sebun Him tetap bisa membenarkan tindakannya sendiri itu dengan mengatakan bahwa kekejaman Te-liong Hiangcu di Kui-kiong berkali lipat dari hanya sekedar memotong-motong tubuh lawan. Jadi kekejaman dibalas dengan kekejaman, tak ada lagi pengampunan. Setelah membersihkan pedangnya dengan menancap-nancapkannya ke tanah beberapa kali Sebun Him melangkah ke gedung Ki-lian-pay di puncak gunung yang dari kejauhan nampak terang benderang itu. Hatinya baru setengah puas setelah mencacah-cacah tubuh Te-liong Hiangcu, tapi belum membunuh Im Yao yang dianggapnya merintangi hubungannya dengan Tina Hun-giok itu. Gerutu Sebun Him seorang diri, "Bangsat she Im, kau boleh bergembira malam ini karena aku tidak menemukanmu. Tapi kalau sampai aku menemukanmu, detik itu pulalah akhir hidupmu. Sekali penjahat kau tidak boleh berubah menjadi pahlawan yang putih bersih, tidak ada jalan untuk itu. Kau harus mati dalam keadaan yang paling kotor sehingga A-giok akan kecewa dan kemudian berpaling kepadaku." Ketika Sebun Him tiba di aula yang runtuh itu, nampak di situ sudah berderet-deret berpuluh peti mati yang semuanya dikeluarkan dari persediaan gudang Ki-lian-pay. Suasana amat sederhana tapi khidmat. Semua yang hadir tidak ada yang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah gumaman doa Hong-seng Hweshio yang memimpin upacara sembahyang secara agama Buddha, dan Kim-beng Tojin dari Bu-tong-pay secara agama To. Sebun Him segera mencari tempat berdiri di samping Ting Hun-giok lalu mulutnyapun berkemak-kemik membaca doa, tidak usah sampai ke dasar hati, cukup dilihat oleh orang banyak bahwa dia ikut berdoa. * * * * * * *
HARI masih agak pagi, matahari baru sejengkal di atas punggung Bwe-san, bukit yang bersejarah karena menjadi tempat bunuh dirinya Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng itu. Suatu tindakan sesat yang sekaligus menamatkan riwayat dinasti Kerajaan Beng, sebuah pemerintahan turun temurun keluarga Cu yang menjadi cikal-bakal oleh Cu Goan-ciang, si Kaisar pertama dinasti Beng yang tangannya berlumuran darah teman-temannya sendiri itu. Hutan perburuan di luar kota Pak-khia itu masih sepi, namun tiba-tiba muncul seekor kijang yang berlari kencang, dikejar oleh beberapa ekor kuda dengan penunggang-penunggangnya yang berpakaian ringkas dan memakai baiu rangkapan dari bulu binatang, serta topi bulu binatang pula untuk menahan udara dingin. Nampaknya mereka seperti pemburu-pemburu, namun bukan pemburu musiman yang sekedar menghibur diri. Apalagi tampang mereka bukan tampang kasar seperti umumnya pemburu, melainkan terawat baik seperti orang-orang kota yang hidup kecukupan. Penunggang kuda yang paling depan adalah seorang gadis bertubuh ramping dengan pakaian ringkas berlapis baju kulit pula, pakaian pemburu laki-laki namun rambutnya yang hitam bagus itu tersembul dari balik topi bulunya yang berwarna putih. Dengan kuda yang tetap berlari kencang, gadis itu mementang busurnya dan sebatang anak panah melesat ke arah rusa besar itu. Namun anakpanah hanya menyambar di atas kepala rusa itu, bahkan dalam terkejutnya binatang itu malah memperkencang larinya. "Rusa keparat! Aku ingin lihat kemana kau bisa kabur!" teriak gadis itu dengan jengkel. Dijepitnya perut kudanya dan dengan bernafsu ia terus memburu rusa itu. Empat orang lelaki yang mengikuti gadis itu, masih muda-muda semuanya dan nampaknya adalah teman-teman gadis itu. Mereka hanya mengikuti saja ke mana gadis itu mengejar buruannya, dan mereka kadang-kadang bertukar senyuman kalau mendengar gadis itu memaki-maki rusa buruannya yang selalu terhindar dari panahnya itu. Tapi gadis yang nampaknya keras hati itu tidak berhenti mengejar buruannya. Akhirnya keinginannya tercapai juga, ketika suatu ketika rusa itu melambatkan larinya karena melalui sebuah semak perdu berdahan rendah, maka anak panah gadis pemburu itupun meluncur pesat tanpa membuang waktu dan menancap di tubuh rusa itu. Tapi sebelum anakpanahnya yang menancap di tubuh rusa itu. Sebatang anakpanah yang meluncur begitu cepat dan kuatnya sehingga hampir setengah dari batang anakpanahnya amblas ke tubuh rusa yang cukup alot itu. Satu rusa dengan dua anak panah. Dari arah lain muncul pula seorang pemburu yang masih muda, bahkan baru belasan tahun agaknya, bertubuh ramping dan berpundak tegap dengan lengan-lengan yang kokoh teroungkus dalam baju pemburunya yang terbuat dari kulit macan tutul. Topinya dari kulit beruang yang menutup sampai ke telinganya. Meskipun masih muda, namun pemburu ini memiliki wajah yang memancarkan keagungan dan kewibawaan yang tidak lumrah orang biasa. Ia juga membawa beberapa pengiring yang semuanya berpakaian pemburu. dan di pelana kuda orang-orang itu bergantunganlah macam-macam binatang buruan seperti kelinci, rubah, rusa bahkan seekor ular yang besarnya hampir sepaha. Gadis pemburu yang pertama kali melepaskan anak panahnya itupun menunjuk ke bangkai rusa sambil bertanya, "Kau yang memanahnya?" "Benar," sahut pemburu muda itu singkat. "Tapi panahku lebih dulu mengenainya dan panahmu belakangan datangnya, jadi rusa itu menjadi hak ku," kata gadis itu. Mulanya gadis itu mengira si pemburu muda itu akan membantah, dan untuk itu ia sudah siap bertengkar, namun ternyata pemburu muda itu begitu saja mengiyakan, "Baik. Kalau nona ingin rusa itu, ambil sajalah. Hanya anak panahku harus kucabut lebih dulu..." "Huh, kau ini berlagak seolah-olah mengalah kepadaku, padahal rusa itu memang hakku dan itu bukan karena hadiah dari siapa-siapa," bantah gadis itu. "Tapi hanya karena ketangkasanku melepaskan panah..." Saat itu teman-teman dari gadis itu sudah menyusul tiba di tempat, itu? dan salah seorang dari mereka berseru, “Li-hua jangan bersikap kurang ajar terhadap Hong-siang (Kaisar)!" Menyusul itu, semua teman-teman gadis itupun berlompatan turun dari kudaanya masing-masing dan berlutut ke arah pemburu muda itu sambil berseru, "Ban-swe! Ban-swe!" Gadis yang dipanggil "Li-hua" itupun terkejut dan mukanya memucat, sungguh ia tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu ternyata adalah Kaisar sendiri, pantas saja sejak tadi ia merasa perbawa yang terpancar dari diri pemburu muda itu. Cepat iapun meloncat turun dan berlutut sambil berkata, "Hamba pantas dihukum mati karena kelancangan hamba. Hamba mohon belas kasihan paduka karena tidak tahu sedang berhadapan dengan paduka." Kaisar Khong-hi, raja kedua dari dinasti Manchu, memang naik tahta ketika usianya masih muda belia, menggantikan ayahandanya Sun-ti yang telah mencukur gundul kepalanya dan menjadi seorang pendeta-pertapa di kuil Jing-liag-si di Ngo-tay-san. Meskipun muda, namun ia memiliki kepribadian yang kuat dalam mengendalikan pemerintahan negara yang maha luas itu. Nasehat-nasehat para menteri dan sesepuh didengarkan, tapi bukan berarti ia tidak punya pendirian sendiri. Itulah yang menjadikan Khong-hi menjadi seorang Kaisar besar dari sepuluh Kaisar dinastinya, membawa negeri itu kemasa kejayaanya sampa disegani orang-orang dunia barat. Di satu pihak ia memajukan kebudayaan dan memikirkan kesejahteraan rakyat untuk mengokohkan negeri, sebab ia berpendapat, negeri yang kuat bukan negeri yang angkatan perangnya besar, melainkan negeri yang rakyatnya kenyang. Di lain pihak ia bertangan besi dalam menangani pihak-pihak yang belum mau menerima kehadiran dinasti Manchu, entah bekas pengikut Li Cu-seng, entah sisa-sisa dinasti Beng. Sehingga Khong-hi ibarat pribadi yang punya dua wajah, wajah seorang dewi yang welas asih, sekaligus wajah sesosok malaikat penyebar maut yang tak kenal ampun, kebesaran pemerintahannya hanya tersaingi oleh cucunya sendiri di kemudian hari, Kian-liong. Siang itu tidak ada Sidang Kerajaan, maka Khong-hi dengan diiringi oleh jago-jago Gi-cian-si-wi (Pengawal Pribadi Kaisar) serta beberapa Panglima dan keluarga istana, pergi berburu untuk menjaga kesegaran jasmaninya. Meskipun ia seorang Kaisar, namun ia membatasi nafsu bersenang-senangnya dengan selir-selirnya sebab ia tahu bahwa mengumbar nafsu akan membuat kesehatannya menurun dan malas memikirkan urusan negara. Kalau sudah begini, kendali pemerintahan tentu akan diambil alih oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, dan Khong-hi tidak menghendaki hal ini. Kepada orang yang berlutut di hadapannya itu Kaisar berkata, "Kalian bangkitlah. Tidak usah merasa bersalah, di dalam hutan ini kita sama-sama pemburu dan siapa yang lebih tangkas dialah yang mendapat buruan lebih banyak. Tidak ada perbedaan Kaisar atau rakyat biasa." "Terima kasih, paduka," sahut orang-orang yang berlutut itu sambil bangkit dari berlututnya. Mereka bukan lain adalah Pakkiong Liong dan beberapa perwira dekatnya, Tong Lam-hou, Han Yong-kim dan Ha To-Ji. Sedang gadis tadi adalah adik sepupu Pakkiong Liong, To Li-hua. Terdengar pula kata Kaisar yang masin muda itu kepada To Li-hua, "Rusa itu memang hakmu, dan kalian boleh melanjutkan perburuan kalian. Akupun sedang mengikuti jejak harimau ke arah barat." Setelah memberi hormat lagi, Pakkiong Liong dan teman-temannyapun meloncat keatas kuda masing-masing dan melanjutkan perburuan ke arah lain dari Sri Baginda dan rombongannya. Setelah mereka pergi Kaisar berkata kepada seorang tua bermata tajam yang duduk di atas punggung kuda di sebelahnya, "Aku senang melihat kelompok kecil itu. Mereka seakan menggambarkan persatuan negeri ini, meskipun terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Pakkiong Liong adalah seorang yang pandai mengatur dan melatih pasukannya yang terdiri macam-macam suku itu, sehingga mereka bersatu-padu di medan perang dan selalu memperoleh kemenangan. Bukankah begitu, paman?" Orang tua bermata tajam itu juga seorang Panglima, dari kesatuan yang disebut Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), dan bukan lain adalah paman dari Pakkiong Liong sendiri, Pakkiong An yang berhati dengki, terhadap keponakannya sendiri yang selalu berhasil dalam tugas-tugasnya itu. la mengerutkan alisnya ketika mendengar Kaisar memuji-mujki keponakannya itu. Sahutnya dengan hati-hati, "Benar, Sri Baginda, Pakkiong Liong ingin menunjukkan kesan betapa bersatunya negeri yang terdiri dari berbagai golongan ini terhadap lawan-lawan kita, baik lawan-lawan dalam negeri berupa pengikut Li Cu-seng atau sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran, ataupun lawan luar negeri berujud si Tokugawa yang denqan air liur menetes mengincar semenanjung Korea untuk merebutnya dari kita. Tetapi sungguhnya keponakaku Pakkiong liong itu telah melakukan tindakan yang gegabah." "Gegabah bagaimana, paman? Bukankah Hui-liong-kun selama ini adalah tiang utama Kerajaan Agung kita sehingga musuh-musuh kita gentar menatap kiia?" "Benar, paduka, kalau dilihat sepintas lalu saja. Tapi sesungguhnya bukan mustahil suatu ketika kelak Hui-liong-kun akan menjadi musuh dalam selimut yang lebih berbahaya dari musuh yang terang-terangan. Di dalamnya banyak bernaung orang-orang pandai yang bukan berdarah Manchu, bukan tidak mungkin bahwa orang-orang bukan Manchu itu suatu saat kelak akan menikam pungung kita dari belakang." Kaisar tertawa mendengar ucapan Pakkiong An itu, "Kau terlalu berprasangka, paman. Bukankah dalam pertempuran menumpas Pangeran Cu Leng-ong beberapa saat yang lalu, perwira-perwira yang tidak berdarah Manchu itu bertempur sama gigihnya dengan perwira perwira berdarah Manchu? Jangan suka membeda-bedakan kesetiaan orang berdasarkan keturunannya, paman, seorang yang berdarah Manchu asli belum tentu kesetiannya lebih tebal dari Tong Lam-hou, Ha To-ji atau Han Yong-kim. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh." "Hamba tidak berani membeda-bedakan sikap berdasarkan keturunan, paduka, apa yang hamba ucapkan tadi hanyalah bersumber dan kekuatiran hamba akan kelanggengan dinasti kita yang agung ini, paduka. Paduka sendiri adalah seorang berdada lapang dan berpikiran mulia, dengan dada lapang pula paduka memajukan kebudayaan bangsa Han, mensejahterakan rakyat Han, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Belum tentu bersikap sama seperti sikap paduka itu, bukankah buktinya di antara mereka masih ada saga gerakan-gerakan ketidak-puasan atas pemerintahan kita?“ "Prasangka paman itu sangat berbahaya jika menular kepada orang lain paman, kita sedang menggalang persatuan negeri dan paman jangan meracuni kami dengan prasangka buruk terhadap orang Han itu. Barangkali di antara mereka memang ada pembangkang-pembangkang, tapi itu hanya sebagian kecil dari mereka dan bukan semuanya. Kalau kita salah langkah, kita malahan akan menimbulkan perang saudara di negeri ini, lalu kita menjadi lemah dan Tokugawa yang bersekutu dengan orang-orang asing bermata biru berambut kuning itu akan menjarah negeri ini tanpa kita dapat, bangkit lagi." "Ampun paduka, sesungguhnya pendapat hamba yang tadi bukan sekedar didasari prasangka atau iri hati kepada keponakan hamba yang berhasil menghimpun jago-jago berbagai suku bangsa ke dalam pasukannya yang hebat, itu, paduka, melainkan karena hamba punya kecurigaan kuat bahwa masuknya orang-orang bukan Manchu itu, terutama orang-orang Han, ke dalam pasukan kerajaan punya tujuan-tujuan jahat tertentu. Mereka mungkin bertujuan merebut kedudukan-kedudukan penting dalam keprajuritan kita dan kemudian memanfaatkan itu untuk mengacau negeri dan merobohkan pemerintahan kita. Pakkiong Liong adalah seorang yang terlalu mudah percaya kepada orang lain, sehingga suatu saat nanti keponakan hamba itu akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan pasukannya yang sebagian terdiri dari orang-orang bukan Manchu itu. Orang-orang Mongol yang kejam, orang-orang Han yang licik dan orang-orang yang kepala batu..." |
Selanjutnya;
|