Pendekar Naga dan Harimau Jilid 36 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 36

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
SEDANGKAN Hehou Im sendiri sudah seperti seekor anak kambing yang dimasukkan ke kandang macan. Biarpun julukannya cukup menyeramkan, Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), namun saat itu keganasannya sudah tak terlihat sedikitpun di hadapan Lim Hong-pin, Kim-liong Hiangcu Hwe-liong-pang yang sama ditakutinya dengan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong itu.

Hehou Im sudah bertahun-tahun mengenal Pakkiong Hok sehingga iapun tahu benar watak Pakkiong Hok yang hanya mau untung tapi tidak mau rugi, apalagi berkorban untuk orang lain, jangan harap, meskipun orang itu sudah banyak berjasa kepadanya. Karena itu Hehou Im kini benar-benar tidak punya perlindungan apa-apa lagi, saking takutnya maka sepatah katapun sudah tidak mampu dikeluarkannya lagi.

Pakkiong Hok segera berkata kepada Hehou Im, "Jasamu kepadaku dan kepada ayahku cukup banyak, tetapi aku menyesal bahwa kepandaianku begitu rendah sehingga tidak dapat melindungimu lagi. Di Pak-khia nanti akan kuatur sebuah meja abu untuk menyembahyangi arwahmu."

Lalu Pakkiong Hok dan seluruh anakbuahnya pun segera berbaris pergi dari tempat itu. Sikapnya sudah jelas menyelamatkan diri sendiri bersama sisa-sisa pasukannya lebih dulu. Kalau Hehou Im yang merupakan kaki-tangannya yang setia itu saja tega dia korbankan, apalagi hanya orang-orang Kui-kiong yang hanya sekutu namun dalam persekutuan yang tidak tulus. Bahkan dalam hatinya ia bersyukur orang-orang Kui-kiong itu akan ditumpas oleh orang orang Hwe-liong-pang, sebab dengan demikian kekuatan Te-liong Hiangcu akan susut banyak.

Ketika mereka berbaris menuruni Ki-lian-san, maka orang-orang Kui-kiong mencaci-maki mereka, namun dengan kalemnya Pakkiong Hok terus berjalan tanpa menoleh lagi. Tidak ada salahnya menerima sedikit caci-maki dari orang-oang yang sebentar lagi bakal mampus, pikirnya.

Kemudian Lim Hong-pin menghadapi kerumunan orang-orang Kui-kiong alias orang-orang Hwe-liong-pang tapi yang berkhianat kepada Ketua yang sah berpuluh-puluh tahun yang lalu itu, katanya dingin, "Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian, kalian berdiri di dekat Hehou Im sana!"

Nama-nama yang dipanggil itu membuat pemiliknya menggigil, namun kemudian menjadi nekad seperti umumnya orang kalau orang sudah terjepit. Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po menghantamkan tongkat besinya ke tanah sambil berteriak, "Lim Hong-pin, di jaman Hwe-liong-pang dulu kau berhak memerintah aku sebab kedudukanmu lebih tinggi dari kedudukanku. Tapi sekarang? Aku bukan anak buahmu lagi, aku tidak sudi menuruti perintahmu!"

Wajah Lim Hong-pin yang tidak seseram wajah Siangkoan Hong, bahkan dalam keadaannya sehari-hari ia sungguh seorang teman bergurau yang menyenangkan bagi anakbuah Hwe-liong-pang yang kedudukannya paling rendah sekalipun. Tapi kali ini kemarahannya bangkit sehingga mukanya sangat menakutkan, "Bagus ular tua, agaknya kau menolak hukuman dengan minum Racun Penghancur Tubuh. Bagus...bagus...aku sediakan hukuman yang lebih enak lagi.”

Muka Ang-mo-coa-ong memucat. Ingin menolak hukuman tidak bisa, ingin melawan juga tidak bisa, akhirnya ia menjadi putus-asa. Tiba-tiba ia mengambil tindakan yang tak terduga oleh siapapun, secepat kilat diayunkannya tongkat besinya ke arah kepalanya sendiri, tak ada yang sempat mencegahnya, terdengar suara tulang tengkorak yang gemeretak pecah dan tokoh hitam dari Thay-san yang punya nama besar berpuluh-puluh tahun itupun mengakhiri hidupnya dengan cara itu.

Suasana sunyi senyap, semuanya dengan tegang menyaksikan Pengadilan Hwe-liong-pang atas tokoh-tokohnya sendiri yang berkhianat itu. Terdakwa berikutnya adalah bekas Tongcu, yaitu Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji, Sat-sin-kui Hehou Im, Hek-liong Tio Heng-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian. Kini orang-orang itu benar-benar menyadari betapa kerdil sebenarnya mereka itu, namun sudah terlambat. Menolak hukuman tidak bisa, laripun tidak bisa.

Maka jalan seperti yang diambil oleh Ang-mo-coa-ong itu agaknya yang terbaik daripada menelan Racun Penghancur Tubuh yang akan membuat tubuh mereka meleleh dan lenyap terserap tanah, atau hukuman siksaan lainnya yang pasti tidak akan tertanggungkan. Maka ketika terlihat Lim Hong-pin mengeluarkan botol keramik berwarna hitam dari balik jubahnya, tahulah mereka bahwa mereka akan disuruh menelan masing-masing sebutir racun Penghancur Tubuh. Mereka akan lenyap dan tinggal tengkoraknya saja seperti yang dialami oleh dua orang rekan mereka, Hwe-tan Seng Cu-bok dan Say-ya-jat Tong King-bun.

Dalam takutnya tiba-tiba Hehou Im menjerit dan lari sekencang-kencangnya dari tempat itu, namun sesosok bayangan putih tahu-tahu melesat menghadang langkahnya dan tahu-tahu si orang Korea Oh Yun-kim yang berkedudukan sebagai Pek-ki Tongcu (Tongcu Bendera Putih) itu telah menghadangnya sambil membentak, "Pengkhianat, jangan lari!"

Hehou Im menjadi nekad, senjata tiat-koannya diayun deras ke wajah Oh Yun-kim, tapi serangannya yang kacau dan tak diperhitungkan baik-baik itu dengan mudah dielakkan oleh Oh Yun-kim. Di lain kejap kaki Oh Yun-kim melayang secepat kilat mengenai pinggangnya dan membuat Hehou Im terpental balik ke tempatnya. Tidak percuma Oh Yun-kim berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan), gerakannya begitu cepat hampir tak terlihat.

Hehou Im tidak malu-malu berlutut kepada Lim Honq-pin dan juga kepada Oh Yun-kim sambil meratap-ratap, "Lim Hiangcu, ampunilah aku! Aku dulu...dulu tertipu oleh...oh!" Rupanya ketika dia meratap-ratap itu maka Lim Hong-pin telah menyentilkan sebutir pil hitam yang tepat masuk ke mulutnya yang tengah terbuka dan langsung tertelan.

Wajah Hehou Im menjadi seputih mayat, ketakutan yang luar biasa tergambar di wajahnya. Tapi itu tidak lama, sebab kemudian ia bergulingan kesakitan, kulitnya mulai melepuh hitam dan kemudian pecah mengalirkan air hitam berbau busuk. Sementara dagingnya seperti llilin yang kena api, mencair dengan cepat dan akhirnya Hehou Im tinggallah sebentuk kerangka putih tanpa daging secuwil pun.

Banyak orang-orang Ki-lian-pay atau tamunya yang memalingkan wajah ketika menyaksikan keganasan racun buatan Hwe-liong-pang menurut petunjuk ramuan yang tertulis dalam kitab Bu-san-jit-kui itu. Di mana mudanya, Tong Wi-lian juga pernah beberapa kali menyaksikan orang Hwe-liong-pang dihukum dengan cara itu. Karena itu ia menjadi tidak tega ketika ia tahu bahwa Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian adalah korban-korban berikutnya dari hukuman yang dahsyat itu.

Cepat Tong Wi-lian maju dan memberi hormat kepada Lim Hong-pin serta berkata dengan nada yang resmi, tidak seperti biasanya yang hanya saling memanggil dengan nama kecil saja, "Hiangcu, jika mereka harus dihukum mati, biarlah aku mohonkan ampun agar mereka dihukum mati dengan cara lain saja, jangan disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh yang sungguh mengerikan itu."

Lim Hong-pin juga bersikap sama resminya, "Maafkan, Tong Lihiap, ini adalah peraturan Hwe-liong-pang yang dibuat oleh mendiang kakakmu sendiri. Kami harus mentaatinya sampai ada seorang Ketua baru yang merubah peraturan ini, dan sampai saat ini kami belum mempunyai Ketua baru lagi."

Tengah kedua orang itu bercakap-cakap, terdengar keluhan tertahan. Ternyata Liong Pek-ji telah menikam sepasang belatinya ke dadanya sendiri, agaknya ia memilih mati dengan tubuh utuh daripada dagingnya meleleh seperti yang dialami He hou Im. Jika berusaha kabur dan tertangkap kembali maka nasibnya malahan akan lebih buruk lagi, sebab ia kenal betul Lim Hong-pin yang sekalipun termasuk orang yang paling "lembut." di antara orang-orang puncak Hwe-liong-pang.

Namun tetap saja mewarisi kesesatan Bu-san-jit-kui. Seribu satu cara-cara siksaan dikenai olehnya. Dan lagipula tempat itu telah dilingkari oleh bekas rekan-rekannya sendiri yang tetap setia kepada Hwe-liong-pang, yaitu ke delapan orang Tongcu dan delapan Hu-tongcu yang tingkat ilmunya sudah cukup ia kenal, jadi basa kabur ke mana lagi kalau bukan ke tempat nenek-moyangnya?

Tio Hong-bwe dan Song Hian juga tidak melihat cara lebih baik dari itu, sehingga orang-orang sesat tak kenal agama itupun beramai-ramai menggunakan senjata mereka kepada diri mereka sendiri. Demikianlah, bergeletakanlah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang dulu memberontak kepada Ketua yang sah dan menjadi pengikut Te-liong Hiangcu. Empat dari lima orang tokoh itu mati membunuh diri, kecuali Hehou Im yang tinggal tulang belulang itu.

Keteganganpun mengendor, kecuali bagi kaki-tangan Te-liong Hiangcu lainnya yang termasuk orang-orang dari berbagai perguruan yang telah terbujuk untuk mengkhianati perguruannya sendiri itu.

"Kalian akan kami tangkap dan kami adili dengan peraturan Hwe-liong-pang," kata Lim Hong-pin. "Letakkan senjata!"

Saat itulah Hong-seng Hweshio dari Siau-lim-pay maju memberi hormat kepada Lim Hong--pin sambil berkata, "Lim Hiangcu, bukannya aku ingin mencampuri urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang kalian, tetapi kami pihak Siau-lim juga ingin menegakkan peraturan-peraturan kami terhadap murid yang murtad, yang tega hendak membunuh paman gurunya dan saudara-saudara seperguruannya sendiri dengan bahan peledak. Aku hanya mohon diijinkan mengurus murid murtad itu," katanya sambil menuding ke arah Bu-thian Hweshio itu.

Murid murtad yang merasa terjepit itu tiba-tiba menjadi nekad. Daripada mati konyol lebih baik mati dengan melawan lebih dulu. Sebelum Lim Hong-pin menjawab, maka Bu-thian Hweshio telah bergerak lebih dulu, dengan sekuat tenaga dan secepat kilat ia melompat ke arah Hong-seng Hweshio dengan mengayun goloknya dalam serangan Thay-san-ap-teng (Gunung Thay-san roboh ke kepala). Begitu hebatnya sehingga di bawah matahari sore yang kemerahan itu nampak goloknya hanya berujud selapis cahaya memanjang yang sangat cepatnya.

"Susiok, awas!" hampir bersamaan Bu-gong Hweshio dan Bu-teng Hweshsio juga telah berteriak memperingatkan paman gurunya akan serangan mendadak itu. Bahkan Bu-gong Hweshio bukan cuma berteriak tapi juga telah melompat maju dengan siku tangan kanan menghantam dengan pukulan kebanggaannya, Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Sikut Baja Seribu Kati), kepunggung Suheng-nya yang berkhianat.

Tapi Hong-seng Hweshio sendiri bukannya menjadi lengah meskipun kelihatannya ia tidak sedang memperhatikan keponakan muridnya itu. Dengan kecepatan tinggi, kedua telapak tangannya tiba-tiba menepuk ke atas seperti menepuk seekor nyamuk yang terbang di atas kepalanya, dan sabetan golok Bu-thian Hweshio yang keras dan kuat itu tiba-tiba saja mandeg karena goloknya terjepit sepasang telapak tangan yang berlipat ganda kekuatannya dari kekuatannya sendiri. Dikerahkannya segenap kekuatannya tapi goloknya tidak dapat lagi maju ke sasarannya biarpun hanya seujung rambut.

Saat itulah Bu-gong Hweshio yang datang dari belakang itu juga tidak dapat menarik kembali serangannya yang tadi digerakkan oleh kecemasannya akan keselamatan paman gurunya itu. Hantaman sikut Jian-kin-cun-kang-tui itu meluncur deras ke punggung Bu-thian Hweshio.

Hong-seng Hweshio yang ingin menangkap hidup-hidup Bu-thian hweshio untuk dihukum di kuil Siau-lim itu, terkejut melihat itu dan berseru, "Bugong, tahan..."

Seruan itu terlambat sebab siku tangan kanan Bu-gong Hweshio yang di dunia persilatan terkenal kedahsyatannya itu dengan telak menghantam punggung bagian bawah Bu-thian Hweshio yang masih memeganggi goloknya yang terjepit itu. Tidak ada keluhan yang keluar dari Bu-thian Hweshio yang khianat itu, terdengar tulang punggungnya gemeretak patah demikian jelas suaranya sehingga orang-orang di sekitar arena itu dapat mendengarnya, tubuhnya seolah tertekuk tajam ke belakang dan mulutnya menyemburkan darah. Ia mati oleh saudara-seperguruannya sendiri.

Bu-gong hweshio sendiri termangu-mangu melihat hasil tindakannya sendiri itu. Tiba-tiba ia berlutut kepada Hong-seng Hweshio sambil berkata-y “Karena terdorong kecemasan dan kemarahan, Tecu (murid) telah tidak mendengarkan seruan Susiok tadi dan sekarang siap menerima hukuman."

Sambil menarik napas dalam-dalam, Hong-seng Hweshio menatap tubuh Bu-thian Hweshio yang sudah tewas dalam keadaan tubuh tertekuk ke belakang seperti sepotong kayu kering yang dipatahkan itu. lalu katanya kepada Bu-gong Hweshio, "Bangkitlah dari berlututmu, anakku, aku tahu maksudmu baik karena ingin menyelamatkan aku dari sergapannya. Barangkali saja suratan takdir sudah seperti itu bagi kakak seperguruanmu itu."

Mengikuti jejak Siau-lim-pay yang "membersihkan pintu perguruan", maka perguruan-perguruan yang hadir di Ki-lian-san itupun melakukan hal yang sama, yaitu menangkap murid-murid mereka yang terlibat komplotan Te-liong Hiangcu. Di antara mereka ada yang menyerah begitu saja tanpa melawan, ada yang nekad membunuh diri dan ada pula yang dengan nekad menghunus senjata untuk melawan. Maka terjadi pertempuran lagi, tetapi pertempuran yang singkat sama sekali tidak seru, dalam sekejap saja pertempuran itu sudah berakhir.

Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau, tanpa ampun telah membabat adik seperguruannya sendiri Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang) yang terlibat Te-liong Hiangcu dan sampai hati hendak meledakkan sekian banyak orang tak bersalah hanya demi meratakan jalan bagi ambisi Te-liong Hiangcu Karena Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian menolak tawaran menyerahnya, maka dengan berat hati Kongsun Tiau harus memusnahkannya agar tidak menjadi bibit bencana di dunia persilatan buat kemudian hari, khususnya juga untuk membersihkan Jing sia-pay.

Hal sama dilakukan pula oleh Ketua Hoas-an-pay, Kiau Bun-han atas diri anggota perguruannya yang berkhianat, Yo Ciong-wan, meskipun biasanya si adik seperguruan ini merupakan orang dekatnya yang selalu diajaknya bertukar pikiran dalam berbagai masalah. Namun kenyataannya adik seperguruannya itu adalah musuh dalam selimut yang bukan saja membahayakan Hoa-san-pay tapi juga seluruh umat manusia, sebab kemenangan Te-liong Hiangcu akan berarti malapetaka bagi dunia. Entah apa jadinya kalau manusia berjantung iblis itu memiliki kekuasaan Bulim Bengcu yang dapat memerintahkan ribuan jago-jago berilmu silat tinggi?

Semuanya berlangsung cepat, rencana keji itu digagalkan mutlak, namun orang-orang di tempat itu merasa masih ada sesuatu yang kurang. Kenapa Te-liong Hiangcu sendiri belum nampak? Ketika hal itu ditanyakan kepada Lim Hong-pin, maka ia menjawab,

"Saat ini Ji-suheng (kakak seperguruan kedua) Te-liong Hiangcu sedang diurus oleh Sam-suheng (kakak seperguruan ketiga) Thian-liong Hiangcu."

Ringan saja Lim Hong-pin mengucapkan kata-kata “sedang diurus" itu, namun menimbulkan gambaran yang dahsyat dalam benak orang-orang yang mendengarnya, sebab mereka membayangkan tokoh nomor dua dan nomor tiga dari Hwe-liong-pang itu tentu sedang saling gempur dengan sengitnya. Dua orang adik seperguruan Hwe-liong Pang-cu yang sama-sama berilmu tinggi karena mewarisi ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui.

"Kita lihat pertempuran merekal" kata Lim Hong-pin sambil beranjak pergi, diikuti oleh para Tongcu dan para anggota lainnya. Meskipun ajakan itu hanya ditujukan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, namun kekuatannya seperti besi berani menarik jarum-jarum kecil, semua orangpun. segera ikut beranjak pergi mengikuti mereka tanpa mempedulikan hari sudah menjadi gelap. Siapa orangnya yang tidak ingin menyaksikan pertarungan antara kedua tokoh yang menggemparkan itu?

Namun ada juga yang terpaksa tidak bisa ikut menonton, sebab mendapat tugas menguburkan yang gugur dan merawat yang luka-luka, tidak peduli kawan atau lawan. Sebagian orang-orang Hwe-liong-pang juga mendapat tugas menjaga tawanan-tawanan yang menyerah.

Maka iring-iringan itupun menuju ke belakang gunung yang jarang diinjak oleh orang-orang Ki-lian-pay sendiri. Dan di belakang gunung itu, dalam keremangan senja, kelihatanlah dua sosok bayangan hitam saling menyambar dengan dahsyatnya seperti dua ekor burung garuda yang berlaga di langit. Tempat sejauh beberapa tombak tempat mereka bertempur, sudah hancur lebur terlanda kedahsyatan tangan dan kaki mereka, sementara udara berpusar dengan hebatnya seperti ada angin lesus yang sanggup menerbangkan sebuah rumah sekalipun.

Itulah titik pertempuran antara sepasang saudara seperguruan yang saling membenci sejak muda dulu, Te-lionq Hiangcu yang bernama a-sliTan Goan-ciau dengan Thian-liong Hiangcu Siangkcan Hong. Yang satu telah berkhianat kepada kakak seperguruannya sendiri demi merebut kedudukan Ketua Hwe-liong-oang, yang lainnya dengan beringas berusaha untuk membalaskan sakit hati kakak seperguruannya.

Kehebatan pertarungan itu membuat orang-orang yang berilmu rendah tidak berani mendekati kurang dari lima tombak, sebab dalam jarak itu tekanan angin dari kedua orang yang berkelahi itu begitu terasa seolah mengiris kulit, belum lagi pecahan-pecahan batu atau kayu yang beterbangan terhantam oleh tangan mereka atau tanah yang diaduk dan bermuncratan ke udara bagaikan semburan peluru-peluru kecil itu. Bahkan orang-orang yang setingkat dengan Hong-seng Hweshio itu juga melongo menyaksikan perkelahian seperti itu.

Bagi orang-orang yang berpandangan tajam karena ketinggian ilmunya akan terasa bahwa perkelahian itu bukan sekedar mengadu otot, mengadu jurus atau ilmu silat saja tapi juga mengadu ilmu ilmu gaib warisan Bu-san Jit-kui yang sudah langka itu. Ilmu-ilmu warisan Bu san Jit-kui adulah ramuan dari silat, sihir dan ilmu racun.

Tidak mengherankan kalau dari tengah arena berlaganya kedua erang itu terdengar suara gumaman-gumaman manterta dalam bahasa yang aneh. Dengan nada yang begitu rendahnya hingga hampir tak terdengar, sedang di arena pertempuran itu juga terjadi hal-hal aneh yang sukar dicerna dengan akal sehat, tidak peduli oleh orang-orang macam Hong-seng Hweshio sekalipun.

Kadang-kadang terlihat salah satu dari Siang-koan Hong atau Te-liong Hiangcu tubuhnya "terpecah" menjadi tujuh wujud yang satu sama lain melakukan gerakan yang berbeda-beda, di lain saat ketujuh wujud itu "bersatu" kembali dan melancarkan pukulan atau tendangar yang menderu bagaikan badai. Lalu mata kedua orang yang bertanding itu mencorong kehijauan seperti mata kucing di malam hari, dan dalam gelapnya senja hari maka hal itu terlihat makin nyata.

Diam-diam Hong-seng Hweshio, Biau Bun-han dan tokoh-tokoh persilatan lainnya bergidik melihat ketinggian ilmu orang-orang tertinggi Hwe-liong-pang itu. Mereka sudah merasakan bagaimana seorang Te-liong Hiangcu saja sudah membuat dunia persilatan nyaris jatuh ke dalam genggamannya, apalagi kalau seumpama Te-liong Hiangcu,Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong bergabung, dan tentu sulit sekali mengatasinya.

Tapi untunglah bahwa itu hanya andaikata, sedang dalam kenyataannya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin ternyata masih sanggup berpikir jernih meskipun ilmu yang mereka pelajari adalah ilmu yang tergolong sesat. Di sini terasa bahwa kehadiran Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong itu sebagai suatu berkah bagi rimba persilatan.

Sementara mereka yang bertempur semakin seru, kedua orang saudara seperguruan itu memiliki kepandaian yang hampir tidak berselisih. Jenis ilmu yang dimiliki oleh salah satu pihak, dimiliki pula oleh lainnya dengan tingkatan yang sama. Namun semakin lama kelihatan juga bahwa Te-liong Hiangcu mulai agak terdesak. Berpuluh tahun vang lalu andaikata mereka berkelahi, mungkin hasilnya hanya sama kuat tanpa ada yang menang atau kalah, namun sekarang lain.

Selama hampir duapuluh lima tahun Te-liong Hiangcu sibuk mengatur jaringan Kui-kiongnya, menyusupkan orang-orang kepercayaannya kedudukan-kedudukan penting di perguruan-perguruan besar mencari hubungan kesana kemari, sehingga waktunya untuk berlatih ilmunya tinggal sedikit.

Sebaliknya Siangkoan Hong selama mengasingkan diri di kota Jiat-ho yang jauh di tenggara di luar Tembok Besar sana, kampung halamannya orang Manchu, mendapat kesempatan yang luas untuk melatih dirinya terus-menerus. Apalagi dengan terdorong oleh dendam yang membara atas keruntuhan Toa-suhengnya yang dikhianati oleh Ji-suhengnya.

Kini Te-liong Hiangcu yang memiliki ambisi luar biasa itu telah terbentur kepada kenyataan bahwa detik-detik kehancurannya sudah semakin dekat. Siangkoan Hong sendirian saja tidak bisa diatasinya, apalagi ketika ia melihat di sekeliling arena itu ada berpuluh-puluh bayangan yang berderet-deret seakan menutup jalan mundurnya. Dalam kegelapan malam ia tidak dapat melihat wajah mereka, tetapi ia tahu bahwa mereka adalah para Ketua atau sesepuh berbagai perguruan, para pendekar terkenal dan tidak ketinggalan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu.

Te-liong Hiangcu tahu, jika mereka sudah meninggalkan arena tentu itu suatu pertanda bahwa anak buahnya sudah berhasil dikalahkan. Mungkin tertumpas habis malah. Mengingat semuanya itu, maka Te-liong Hiangcu rasanya hampir gila memikirkannya, tidak ada yang lebih menyakitkan hati kecuali merasakan bahwa cita-citanya yang gemilang itu gagal mutlak jusru pada langkah langkah terakhir, pada saat sudah diambang pintu kemenangan, saat yang sudah diimpikan dan diperjuangkan sejak berpuluh tahun yang lalu. Hilang musnah cita-citanya untuk menjadi Bu-lim Bengcu dan bahkan menjadi Kaisar di negeri itu.

Dan ia menumpahkan kemarahan dan kekesalannya itu kepada Siangkoan Hong, Ingin rasanya mencincang hancur tubuh bekas adik seperguruannya itu, tidak peduli setelah itu dia sendiripun mungkin bakal dicincang beramai-ramai oleh Lim Hong-pin dan lain-lainnya, oleh kemarahannya yang berkobar-kobar itulah tandang Te-liong Hiangcu jadi semakin berbahaya, ia sudah tidak memikirkan lagi untuk keluar hidup-hidup dari tempat itu.

"Siangkoan Hong, kau telah menghancurkan cita-citaku," geram Te-liong Hiangcu bagaikan geraman sesosok iblis. "Hari, ini salah satu dari kita, atau kedua-duanya sekalian, harus mampus dari muka bumi!"

Sambil meladeni terjangan-terjangan Te-liong Hiangcu yang kalap itu, Siangkoan Kong masih sempat juga menyahut "Kau merasa sakit hati? Bagus. Dengan demikian kau juga merasakan pedihnya hati Toa-suheng ketika cita-cianya hancur berantakan karena ditikam dari belakang oleh seorang sahabatnya yang sangat dipercayainya sejak sama-sama masih remaja. Bagus kalau sekarang kau juga merasakan kepedihannya pada saat kau khianati itu.”

Te-liong Hiangcu tidak menyahut, hanya, sambil menggeram ia meningkatkan serangan-serangan sehingga seperti angin ribut, tetapi Siangkoan Hong tidak mau tergilas hancur sehingga diapun meningkatkan ilmunya untuk bertahan sekokoh sebuah gunung karang, yang tak bergeming sedikitpun oleh derasnya taufan yang melandanya. Siangkoan Hong tidak mau tergilas hancur sehingga diapun meningkatkan ilmunya untuk bertahan sekokoh sebuah gunung karang, yang tak bergeming sedikitpun oleh derasnya taufan yang melandanya.

Di sela-sela serangan Ji-suhengnya yang membadai itu, Siangkoan Hong masih sempat mengeluarkan ejekan, "sama-sama menemui kegagalan cita-cita, tapi ada bedanya antara Toa-suheng dengan dirimu. Setelah Toa-suheng mati, masih banyak orang yang, bertekad meneruskan cita-citanya, membalaskan dendamnya, mengenang namanya yang harum, itu berarti dia tetap hidup dalam jiwa dan semangat orang banyak. Sedangkan kau? Hari ini juga kau akan mati di tanganku, kematian seperti seekor cacing tanah yang begitu mati maka lenyap pula dari segala ingatan orang. Tak akan ada lagi yang mempedulikanmu, tak ada yang membalaskan sakit hatimu, bahkan namamu akan diinjak sama rendahnya dengan debu tanah untuk itukah kau membanting tulang selama berpuluh-puluh tahun ini?”

Setiap patah kata Siangkoan Hong itu bagaikan lembaran-lembaran sembilu yang menyayat hati Te-liong Hiangcu, justru karena terasa kebenaranya. Ya, dirinya yang masih hidup ternyata tetap tidak bisa menandingi Tong Wi-siang yang sudah mati. Tong Wi-siang masih punya begitu banyak sahabat setia, pengikut, orang yang meneruskan cita-citanya, bahkan seorang putra yang dihadapinya di Pak-khia sana.

Tapi dirinya benar-benar sendirian, tak ada teman, tak ada orang mempercayai karena ulahnya sendiri. Andaikata ya Cuma andaikata, ia berhasi menggapai semua cita-citanya, ya akan dikemanakan hasil kemenangannya itu kalau ia masuk liang kubur atau masuk ke api perabuan? Diwariskan? Diwariskan kepada siapa karena tak seorangpun yang dipercaya oleh dirinya? Tiba-tiba Te-liong hiangcu merasakan bahwa yang selama ini dikejarnya memang hampa belaka, apa yang di depannya dan apa yang ada dibelakangnya kosong semuanya.

Semangat hidupnya tiba-tiba merosot hebat justru di saat-saat pertempuran masih berlangsung ini. Setiap kali hati kecilnya yang selama ini ditindasnya tiba-tiba kini bangkit dan menudingkan jarinya sambil bertanya, “Nah, kau yang selama ini mempergunakan segala cara untuk mencapai tujuanmu, sekarang di ujung hidupmu ini apa yang kau punya?!”

Arena pertempuran itupun bagaikan digetarkan oleh suara Te-liong Hiangcu yang melengking tajam, “Benar! Kau benar! Aku tidak punya apa-apa lagi sekrang.! Bahkan hidupku inipun sudah bukan punyaku lagi….ha-ha-ha-ha!”

Itulah jeritan yang sangat menyeramkan dari seorang yang sudah kehilangan harapan sama sekali, kehilangan semangat hidup sama sekali, jauh lebih menyeramkan dari jerit kematian seorang terhukum yang mejalankan hukuman mati, sebab jeritan itu menandakan si terhukum masih mencoba meronta melawan maut, artinya masih punya keinginan untuk hidup. Tapi lengkingan Te-liong Hiangcu itu adalah campuran dari kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kehampaan dan keputus-asa-an, menjadi semacam "ramuan” suara yang sulit dilupakan oleh orang-orang di lereng Ki-lian-san itu.

Siangkoan Hong sendiri terkejut ketika melihat Te-liong Hiangcu tiba-tiba berhenti gerakannya, menghentikan perlawanan sama sekali dan ia cuma berdiri diam seolah pasrah mempersilahkan Siangkoan Hong menyerang sesuka hatinya, menghancurkan tubuhnya. Siangkoan Hongpun menghentikan gerakannya dan membentak, "Bangsat pengkhianat, kenapa kau berhenti melawan? Hayo angkat kembali tanganmu yang berlumuran darah orang tak berdosa itu untuk melawanku, kita tuntaskan semua perhitungan kita!"

Te-liong Hiangcu menggelengkan kepalanya dengan lemah, dan dengan lemah pula direnggutnya topeng perunggu dari wajahnya yang sebenarnya cukup tampan meskipun sudah setengah abad lebih itu. Dibuangkan topeng yang selama ini menjadi pembatas antara dirinya dengan sesama manusia, topeng yang membuat dirinya di sujudi dan ditakuti orang lain, namun sekaligus juga merampas hubungan akrab antar sesama dari hidupnya.

Kekosongan hatinya dicobanya diisi dengan kegemaran,yang aneh-aneh, membuat ratusan patung dari sesama manusia yang dikeringkan, atau "menikmati" siksaan-siksaan luar biasa kejamnya di ruangan siksaan di Kui-kiong sana. Semuanya itu belum juga memberi kepuasan batinnya, selalu ada yang terasa kosong dalam jiwanya. Kadang-kadang kekosongan itu terasa menggioit. namun ia berhasil mengalihkan perhatiannya dengan merancang cita-citanya vanq tidak tanggung-tanggung itu.

Tapi kini di lereng Ki-lian-san itu ia merasa bahwa kekosongan jiwa yang selama ini dirasakannya adalah musuh nomor satu yang tak dapat dikalahkannya, dan kini merampas semua tenaganya. Perlahan-lahan Te-liong Hiangcu duduk bersila di tanah, lalu katanya dengan nada yang rendah, jauh lebih rendah dari suaranya yang garang tadi,

"Samsute (adik seperguruan ketiga) atau Sisute (adik seperguruan keempat), kalau salah seorang dari kalian masih memiliki Racun Penghancur Tubuh, coba berikan sebutir kepadaku."

Siangkoan Hong terkejut mendengar permintaan itu, tangannya yang sudah terkepal siap untuk melanjutkan perkelahian itu kini tidak tahu mau dipukulkan ke mana. Betapapun bencinya ia kepada Te-liong Hiangcu yang ulahnya telah membuat Hwe-liong-pang kocar-kacir itu, namun sebagai seorang lelaki yang memiliki harga diri, sudah tentu ia tidak akan memukul lawannya yang dalam keadaan duduk tanpa tanda-tanda perlawanan itu. Ia hanya dapat menjejak-jejakkan kakinya tanah dengan gemas, dan akhirnya berteriak kepada Lim Hong-pin, "Sisute, berikan sebutir kepadanya!"

Namun ternyata Lim Hong-pin menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak ada yang lebih bahagia kalau kita masih sanggup mengampuni musuh yang sudah kembali ke jalan yang benar."

Te-liong Hiangcu yang duduk bersila dengan kepala tunduk itu mengangkat kepalanya ketika mendengar ucapan itu, lalu iapun berkata, "Terima kasih, Sisute, kalian tidak ingin menghukumku, baiklah aku menghukum diriku sendiri."

Terlihat gembong iblis yang puluhan tahun malang melintang menggemparkan dunia itu kini duduk bersila sambil menyilangkan tangan di dadanya, lalu terdengarlah dari dalam tubuhnya terdengar suara gemeretak lirih dan nampak wajah Te-liong Hiangcu berkerut kesakitan, bahkan basah dengan keringat dingin. Sesaat kemudian kerut kesakitan itu mereda dan Te-liong Hiangcu membuka kembali matanya, wajahnya nampak pucat namun matanya justru berseri.

Siapapun tahu bahwa yang yang dilakukan Te-liong Hiangcu tadi adalah cara untuk memusnahkan kepandaiannya sendiri dengan cara mengerahkan tenaga dalamnya untuk melukai otot-otot penting di tubuhnya sendiri. Dengan demikian maka Te-liong Hiangcu kini hanya dapat melakukan gerakan-gerakan silat sebagai gerak badan saja, namun Sudah tidak mungkin untak berkelahi lagi sebab kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Berkelahi dengan seorang pesilat pemula saja barangkali tidak akan menang.

Sambil menatap kaum pendekar serta orang-orang Hwe-liong-pang yang mengitarinya, Te-liong Hiangcu berkata, tetap dengan nada angkuh tatapi sudah tidak menimbulkan kebencian lagi, "Seumur hidupku aku sudah membunuh ribuan orang, di antaranya mungkin terdapat keluarga kalian, sahabat kalian, orang-orang seperguruan kalian dan sebagainya, dan mereka kubunuh kadang-kadang tanpa alasan yang jelas, hanya sekedar menuruti gejolak hatiku saja. Ku cincang mereka menurut seleraku, kujadikan patung, kusiksa sampai mati atau kucemplungkan ke telaga di sekitar Kui-kiong dan dengan gembira aku menyaksikannya meronta-ronta di dalam air karena dagingnya sedikit demi sedikit digerogoti ikan-ikan buas itu. Nah, siapa saja yang merasa kehilangan, sekarang ayunkan senjata kalian ke tubuhku!"

Para pendekar itu termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa-apa, termasuk Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin satu demi satu mereka berbalik meninggalkan tempat itu kembali ke gedung Ki-lian-pay yang sudah rusak sebagian itu.

Sementara Te-liong Hiangcu melihatnya sambil berteriak-teriak, "He, kenapa kalian pergi! Cepat, bacok atau nukul aku sepuas kalian! Ataukah tubuhku sudah demikian kotornya sehingga senjata kalianpun tidak sudi terkena darahku setitikpun.”

Ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang belum meninggalkan tempat itu, Te-liong Hiangcu berteriak, "In Yong, Ma Hiong, Oh Yun-kim dan lainnya, inilah saatnya untuk menunjukkan kesetiaan kalian kepada Ketua kalian yang kukhianati! In Yong, angkat golokmu dan jatuhkan ke leherku! Ma Hiong, kenapa tidak segera kau gunakan sepasang Jit-goat-siang-lunmu untuk menghantam pecah kepalaku? Hayo lekas lakukan!"

Tapi tak seorangpun beranjak dari tempatnya, yang terdengar adalah suara Lim hong-pin, "Kau menemukan dirimu sendiri bersalah, itu bagus, jika kau pegang terus itu dalam hidupmu maka kau tidak akan kosong lagi. Kau akan bisa bermanfaat bagi sesama manusia, karena bidang kehidupan ini bukan hanya ilmu silat saja. Bertani, bertukang, beternak dan sebagainya. Kau harus pegang terus ini dalam hidupmu."

Seperti diketahui, selama mengasingkan diri ini Lim Hong-pin menyamar sebagai pendeta di sebuah kuil terpencil. Sebagai "pendeta" tentu saja ia sering dimintai nasihat tentang masalah-masalah kehidupan oleh penduduk di sekitarnya, sehingga untuk dapat menjawab dengan baik ia "terpaksa" harus membaca-baca kitab agama, meskipun dengan setengah hati. Tapi lama kelamaan bacaannya yang serba setengah-setengah itu ada juga yang meresap dalam hatinya sehingga bukan saja menjadi tuntunan bagi orang lain tetapi juga untuk diri sendiri, bahkan kini ia dapat memberi nasehat kepada Te-liong Hiangcu.

Ketika orang-orang Hwe-liong-pang itu kelompok demi kelompok mulai bergerak meninggalkan tempat itu, maka Te-liong Hiangcu duduk bersila dan terpekur lama sekali, melamun sambil berkali-kali menarik napas panjang, tanpa peduli semut atau serangga-serangga lainnya yang menggigiti pantat dan kakinya. Sampai hampir tengah malam ia berbuat demikian, kemudian ia bangkit dan melangkah tertatih-tatih dari tempat itu tanpa dilihat seorangpun.

Ia tidak bisa lagi berlompatan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya sebab ilmu silatnya telah musnah. Kini ia tidak lebih dari seorang lelaki pertengahan abad seperti umumnya orang-orang seusianya, dan barangkali beberapa tahun lagi ia akan memerlukan sebatang tongkat untuk membantunya berjalan. Ia kehilangan impiannya dan cita-citanya, namun menemukan titik terang dalam hatinya yang bertekad akan digenggamnya erat-erat, menjelang hari esok.

Tapi agaknya tidak ada hari esok baginya, ketika dari balik semak-semak tiba-tiba muncul sesosok bayangan tinggi besar yang wajahnya tidak kelihatan jelas, namun jelas bahwa orang itu menggenggam pedangnya yang terhunus itu dengan tangan kirinya. Seorang kidal. Terdengar bayangan bertangan kidal itu menggeram sengit,

"Orang-orang cengeng Hwe-liong-pang atau orang-orang sok welas asih dari Siau-lim-pay dan lain-lainnya itu boleh saja mengampunimu seperti mereka mendapat sebutan sebagai orang-orang berhati mulia dan sebagainya. Tapi aku tidak. Ayahku sudah kalian bunuh, aku juga pernah kalian kurung dan hampir saja kau jadikan patung di ruangan patungmu yang terkutuk itu, dan sungguh enak betul kalau orang dengan kejahatan menumpuk seperti kau ini lalu dibebaskan begitu saja!"

Te-liong Hiangcu tahu bahwa dengan kemusnahan ilmu silatnya itu maka seorang bakul obat di pinggir jalan yang sering mempertunjukkan sejurus dua jurus silat cakar ayampun akan dapat mengalahkannya. Munculnya bayangan bertangan kidal itu jelas mengancam keselamatan nyawa Te-liong Hiangcu. Tapi Te-liong Hiangcu yang setengah pasrah setengah nekad dan tidak lagi pikir mati hidupnya sendiri itu, tenang-tenang saja menghadapinya bayangan hitam itu. Tanyanya, "Siapa kau?"

"Supaya arwahmu tidak penasaran karena tidak tahu siapa yang membunuhmu, baik, dengarkanlah, aku Sebun Him dari Hoa-san-pay yang bergelar sebagai Se-him (Beruang Barat)," sahut bayangan hitam kidal yang memang bukan lain dari Sebun Him itu.

Te-liong Hiangcu terkekeh. "Beruang Barat? Eh, kau mensejajarkan dirimu dengan Naga Utara atau Harimau Selatan yang terkenal itu? Sekedar meniru-niru atau sekalian membonceng nama besar mereka?"

Sebun Him menjadi amat tersinggung kebanggaan dirinya. "Tutup mulutmu iblis tua. Apa bangganya membonceng nama mereka karena aku sendiri tidak kalah dari mereka? Sayang kau tidak berada di lereng timur Ki-lian-san dalam pertempuran tadi siang, sehingga kau tidak bisa menyaksikan bagaimana aku menandingi orangmu yang paling terpercaya, Ang-mo-coa-ong yang konon pernah termasuk dalam deretan sepuluh orang sakti puluhan tahun yang lalu itu!"

Tak terduga Te-liong Hiangcu semakin keras tertawa, "Anak muda, seumur hidupku aku adalah seorang penjahat yang tidak pernah berbuat kebaikan, tapi biarlah sebelum pedangmu membabat leherku, aku akan berbuat kebaikan kepadamu dengan memberi sebuah nasehat yang berguna!"

"Aku tak butuh nasehatmu!" bentak Sebun Him, tapi karena dorongan rasa tertarik dalam hatinya maka dengan suara lebih rendah iapun berkata, "Supaya kau mati lega, boleh juga kau ucapkan nasehat. busukmu itu meskipun aku tahu aku tak akan memakainya."

"Inilah nasehatku, seorang yang ingin nyawanya awet jika berkelana dalam dunia persilatan, dia harus mengetahui tingkat ilmunya yang sebenarnya dan jangan terlalu tinggi menilai diri sendiri. Banyak anak-anak muda yang berbakat, tapi sedikit yang berhasil melewati saringan sehingga berhasil mendapatkan nama besar dalam dunia persilatan. Sebagian besar mampus muda karena ingin buru-buru mengangkat nama dengan menghadapi lawan-lawan yang terlalu kuat, akibatnya bukan mendapat nama tetapi mendapat kematian."

Sebun Him mendengus congkak, "Maksudmu, akupun harus tahu diri bahwa ilmuku masih rendah, begitu? Dan kesanggupanku melawan Ang-mo-coa-ong itu bukan takaran ketinggian ilmuku?"

"Anak muda, ilmu itu berkembang kencang sesuai ketekunan masing-masing pemiliknya dalam melakukan latihan. Puluhan tahun yang lalu orang-orang menyusun urutan-urutan siapa saja tokoh paling lihay, dari nomor satu sampai nomor sepuluh, namun dalam masa-masa sesudahnya toh urutan itu tidak dapat dijadikan pegangan, belum tentu seorang yang urutannya lebih tinggi itu bisa menang berkelahi dengan orang yang lebih rendah urutannya, bahkan yang tidak termasuk dalam urutan itu. Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po memang lihai duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun yang lalu, tapi tiap hari-hari terakhir ini kepandaiannya sudah tersusul dan bahkan terlampaui oleh Liong Pek-ji."

Memang kurang menyenangkan mendengar bahwa sesuatu yang dibangga-banggakan itu diutik-utik oleh orang lain, begitu pula Sebun Him. ia segera membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kita tidak sedang membicarakan urut-urutan siapa yang paling lihai dalam dunia persilatan, namun sedang akan menyelesaikan utang-piutang darah di antara kita. Tapi jika kau mau menjawab dengan jujur sebuah pertanyaanku, aku akan membiarkan hidup dan mati sejndiri."

"Pertanyaan apa?" tanya Te-liong Hiangcu. Terasa juga sesuatu yang getir di hatinya sebab digertak-gertak oleh seorang arak kemarin sore yang beberapa hari yang lalu masih hendak dijadikan patung itu. Biasanya dialah yang menggertak dan mengancam orang bukan sebaliknya, dan kini baru dirasakannya bagaimana ia dibentak-bentak dan dihina tanpa dapat melawan karena kepandaiannya sudah lenyap dari tubuhnya.

Tanya Sebun Him, "Ada seorang anak buahmu bernama Im Yao dan berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) nah, di mana dia?"

Tiba-tiba dalam diri Te-liong Hiangcu terbersit keinginan aneh, ingin melindungi anak buahnya itu meskipun dengan taruhan nyawanya sendiri. Sesuatu yang jarang dilakukannya di masa lalu, bahkan tidak pernah, sebaliknya ia sanggup mengorbankan puluhan nyawa orang lain hanya untuk kesenangan atau keselamatan diri sendiri. Mendengar nada pertanyaan Sebun Him itu, Te-Liong Hiangcu tahu bahwa tidak mungkin anakmuda yarg kidal itu bermaksud baik terhadap Im Yao, maka dijawabnya sambil menggelengkan kepalanya,

"Aku yang mengatur penyerangan ke Ki-lian-san, dan diapun mendapat bagian untuk menyerang dari arah tertentu, entah kenapa dia tidak muncul."

Sebun Him menggeram tidak sabar, pedangnya ditempelkan ke leher. Te-li-ong Hiangcu sambil mengancam, "Jangan main-main dengan seorang yang sedang mendendam dan kehabisan kesabaran. Itu tidak bijaksana, mengerti?"

“Aku benar-benar tidak tahu..."

"Mustahil kau tidak tahu. Atau barangkali kau sudah tahu pihakmu bakal kalah dan kau suruh dia pergi untuk melanjutkan pengacauan di kemudian hari, begitu?"

"Aku benar-benar tidak tahu..."

Kesabaran Sebun Him sampai ke batasnya dan pedangnyapun terayun mendatar. Kepala Te-liong Hiangcu menggelinding copot dari tubuhnya, bahkan Sebun Him masih ingin melampiaskan angkara murkanya sehingga diayunkannya pedangnya beberapa kali untuk membuat tubuh yang sudah tak berdaya itu terpotong menjadi beberapa bagian. Seorang murid Hoa-san-pay, perguruan aliran lurus yang mengajarkan budi pekerti dan peri-kemanusiaan kepada siswa-siswanya.

Ternyata sanggup juga berbuat demikian keji dalam kemarahannya. Dan untuk itu Sebun Him tetap bisa membenarkan tindakannya sendiri itu dengan mengatakan bahwa kekejaman Te-liong Hiangcu di Kui-kiong berkali lipat dari hanya sekedar memotong-motong tubuh lawan. Jadi kekejaman dibalas dengan kekejaman, tak ada lagi pengampunan.

Setelah membersihkan pedangnya dengan menancap-nancapkannya ke tanah beberapa kali Sebun Him melangkah ke gedung Ki-lian-pay di puncak gunung yang dari kejauhan nampak terang benderang itu. Hatinya baru setengah puas setelah mencacah-cacah tubuh Te-liong Hiangcu, tapi belum membunuh Im Yao yang dianggapnya merintangi hubungannya dengan Tina Hun-giok itu.

Gerutu Sebun Him seorang diri, "Bangsat she Im, kau boleh bergembira malam ini karena aku tidak menemukanmu. Tapi kalau sampai aku menemukanmu, detik itu pulalah akhir hidupmu. Sekali penjahat kau tidak boleh berubah menjadi pahlawan yang putih bersih, tidak ada jalan untuk itu. Kau harus mati dalam keadaan yang paling kotor sehingga A-giok akan kecewa dan kemudian berpaling kepadaku."

Ketika Sebun Him tiba di aula yang runtuh itu, nampak di situ sudah berderet-deret berpuluh peti mati yang semuanya dikeluarkan dari persediaan gudang Ki-lian-pay. Suasana amat sederhana tapi khidmat. Semua yang hadir tidak ada yang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah gumaman doa Hong-seng Hweshio yang memimpin upacara sembahyang secara agama Buddha, dan Kim-beng Tojin dari Bu-tong-pay secara agama To. Sebun Him segera mencari tempat berdiri di samping Ting Hun-giok lalu mulutnyapun berkemak-kemik membaca doa, tidak usah sampai ke dasar hati, cukup dilihat oleh orang banyak bahwa dia ikut berdoa.

* * * * * * *

HARI masih agak pagi, matahari baru sejengkal di atas punggung Bwe-san, bukit yang bersejarah karena menjadi tempat bunuh dirinya Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng itu. Suatu tindakan sesat yang sekaligus menamatkan riwayat dinasti Kerajaan Beng, sebuah pemerintahan turun temurun keluarga Cu yang menjadi cikal-bakal oleh Cu Goan-ciang, si Kaisar pertama dinasti Beng yang tangannya berlumuran darah teman-temannya sendiri itu.

Hutan perburuan di luar kota Pak-khia itu masih sepi, namun tiba-tiba muncul seekor kijang yang berlari kencang, dikejar oleh beberapa ekor kuda dengan penunggang-penunggangnya yang berpakaian ringkas dan memakai baiu rangkapan dari bulu binatang, serta topi bulu binatang pula untuk menahan udara dingin. Nampaknya mereka seperti pemburu-pemburu, namun bukan pemburu musiman yang sekedar menghibur diri. Apalagi tampang mereka bukan tampang kasar seperti umumnya pemburu, melainkan terawat baik seperti orang-orang kota yang hidup kecukupan.

Penunggang kuda yang paling depan adalah seorang gadis bertubuh ramping dengan pakaian ringkas berlapis baju kulit pula, pakaian pemburu laki-laki namun rambutnya yang hitam bagus itu tersembul dari balik topi bulunya yang berwarna putih. Dengan kuda yang tetap berlari kencang, gadis itu mementang busurnya dan sebatang anak panah melesat ke arah rusa besar itu. Namun anakpanah hanya menyambar di atas kepala rusa itu, bahkan dalam terkejutnya binatang itu malah memperkencang larinya.

"Rusa keparat! Aku ingin lihat kemana kau bisa kabur!" teriak gadis itu dengan jengkel. Dijepitnya perut kudanya dan dengan bernafsu ia terus memburu rusa itu.

Empat orang lelaki yang mengikuti gadis itu, masih muda-muda semuanya dan nampaknya adalah teman-teman gadis itu. Mereka hanya mengikuti saja ke mana gadis itu mengejar buruannya, dan mereka kadang-kadang bertukar senyuman kalau mendengar gadis itu memaki-maki rusa buruannya yang selalu terhindar dari panahnya itu. Tapi gadis yang nampaknya keras hati itu tidak berhenti mengejar buruannya.

Akhirnya keinginannya tercapai juga, ketika suatu ketika rusa itu melambatkan larinya karena melalui sebuah semak perdu berdahan rendah, maka anak panah gadis pemburu itupun meluncur pesat tanpa membuang waktu dan menancap di tubuh rusa itu. Tapi sebelum anakpanahnya yang menancap di tubuh rusa itu. Sebatang anakpanah yang meluncur begitu cepat dan kuatnya sehingga hampir setengah dari batang anakpanahnya amblas ke tubuh rusa yang cukup alot itu. Satu rusa dengan dua anak panah.

Dari arah lain muncul pula seorang pemburu yang masih muda, bahkan baru belasan tahun agaknya, bertubuh ramping dan berpundak tegap dengan lengan-lengan yang kokoh teroungkus dalam baju pemburunya yang terbuat dari kulit macan tutul. Topinya dari kulit beruang yang menutup sampai ke telinganya.

Meskipun masih muda, namun pemburu ini memiliki wajah yang memancarkan keagungan dan kewibawaan yang tidak lumrah orang biasa. Ia juga membawa beberapa pengiring yang semuanya berpakaian pemburu. dan di pelana kuda orang-orang itu bergantunganlah macam-macam binatang buruan seperti kelinci, rubah, rusa bahkan seekor ular yang besarnya hampir sepaha. Gadis pemburu yang pertama kali melepaskan anak panahnya itupun menunjuk ke bangkai rusa sambil bertanya, "Kau yang memanahnya?"

"Benar," sahut pemburu muda itu singkat. "Tapi panahku lebih dulu mengenainya dan panahmu belakangan datangnya, jadi rusa itu menjadi hak ku," kata gadis itu.

Mulanya gadis itu mengira si pemburu muda itu akan membantah, dan untuk itu ia sudah siap bertengkar, namun ternyata pemburu muda itu begitu saja mengiyakan, "Baik. Kalau nona ingin rusa itu, ambil sajalah. Hanya anak panahku harus kucabut lebih dulu..."

"Huh, kau ini berlagak seolah-olah mengalah kepadaku, padahal rusa itu memang hakku dan itu bukan karena hadiah dari siapa-siapa," bantah gadis itu. "Tapi hanya karena ketangkasanku melepaskan panah..."

Saat itu teman-teman dari gadis itu sudah menyusul tiba di tempat, itu? dan salah seorang dari mereka berseru, “Li-hua jangan bersikap kurang ajar terhadap Hong-siang (Kaisar)!"

Menyusul itu, semua teman-teman gadis itupun berlompatan turun dari kudaanya masing-masing dan berlutut ke arah pemburu muda itu sambil berseru, "Ban-swe! Ban-swe!"

Gadis yang dipanggil "Li-hua" itupun terkejut dan mukanya memucat, sungguh ia tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu ternyata adalah Kaisar sendiri, pantas saja sejak tadi ia merasa perbawa yang terpancar dari diri pemburu muda itu. Cepat iapun meloncat turun dan berlutut sambil berkata, "Hamba pantas dihukum mati karena kelancangan hamba. Hamba mohon belas kasihan paduka karena tidak tahu sedang berhadapan dengan paduka."

Kaisar Khong-hi, raja kedua dari dinasti Manchu, memang naik tahta ketika usianya masih muda belia, menggantikan ayahandanya Sun-ti yang telah mencukur gundul kepalanya dan menjadi seorang pendeta-pertapa di kuil Jing-liag-si di Ngo-tay-san. Meskipun muda, namun ia memiliki kepribadian yang kuat dalam mengendalikan pemerintahan negara yang maha luas itu. Nasehat-nasehat para menteri dan sesepuh didengarkan, tapi bukan berarti ia tidak punya pendirian sendiri.

Itulah yang menjadikan Khong-hi menjadi seorang Kaisar besar dari sepuluh Kaisar dinastinya, membawa negeri itu kemasa kejayaanya sampa disegani orang-orang dunia barat. Di satu pihak ia memajukan kebudayaan dan memikirkan kesejahteraan rakyat untuk mengokohkan negeri, sebab ia berpendapat, negeri yang kuat bukan negeri yang angkatan perangnya besar, melainkan negeri yang rakyatnya kenyang.

Di lain pihak ia bertangan besi dalam menangani pihak-pihak yang belum mau menerima kehadiran dinasti Manchu, entah bekas pengikut Li Cu-seng, entah sisa-sisa dinasti Beng. Sehingga Khong-hi ibarat pribadi yang punya dua wajah, wajah seorang dewi yang welas asih, sekaligus wajah sesosok malaikat penyebar maut yang tak kenal ampun, kebesaran pemerintahannya hanya tersaingi oleh cucunya sendiri di kemudian hari, Kian-liong.

Siang itu tidak ada Sidang Kerajaan, maka Khong-hi dengan diiringi oleh jago-jago Gi-cian-si-wi (Pengawal Pribadi Kaisar) serta beberapa Panglima dan keluarga istana, pergi berburu untuk menjaga kesegaran jasmaninya. Meskipun ia seorang Kaisar, namun ia membatasi nafsu bersenang-senangnya dengan selir-selirnya sebab ia tahu bahwa mengumbar nafsu akan membuat kesehatannya menurun dan malas memikirkan urusan negara. Kalau sudah begini, kendali pemerintahan tentu akan diambil alih oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, dan Khong-hi tidak menghendaki hal ini.

Kepada orang yang berlutut di hadapannya itu Kaisar berkata, "Kalian bangkitlah. Tidak usah merasa bersalah, di dalam hutan ini kita sama-sama pemburu dan siapa yang lebih tangkas dialah yang mendapat buruan lebih banyak. Tidak ada perbedaan Kaisar atau rakyat biasa."

"Terima kasih, paduka," sahut orang-orang yang berlutut itu sambil bangkit dari berlututnya. Mereka bukan lain adalah Pakkiong Liong dan beberapa perwira dekatnya, Tong Lam-hou, Han Yong-kim dan Ha To-Ji. Sedang gadis tadi adalah adik sepupu Pakkiong Liong, To Li-hua.

Terdengar pula kata Kaisar yang masin muda itu kepada To Li-hua, "Rusa itu memang hakmu, dan kalian boleh melanjutkan perburuan kalian. Akupun sedang mengikuti jejak harimau ke arah barat."

Setelah memberi hormat lagi, Pakkiong Liong dan teman-temannyapun meloncat keatas kuda masing-masing dan melanjutkan perburuan ke arah lain dari Sri Baginda dan rombongannya. Setelah mereka pergi Kaisar berkata kepada seorang tua bermata tajam yang duduk di atas punggung kuda di sebelahnya,

"Aku senang melihat kelompok kecil itu. Mereka seakan menggambarkan persatuan negeri ini, meskipun terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Pakkiong Liong adalah seorang yang pandai mengatur dan melatih pasukannya yang terdiri macam-macam suku itu, sehingga mereka bersatu-padu di medan perang dan selalu memperoleh kemenangan. Bukankah begitu, paman?"

Orang tua bermata tajam itu juga seorang Panglima, dari kesatuan yang disebut Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), dan bukan lain adalah paman dari Pakkiong Liong sendiri, Pakkiong An yang berhati dengki, terhadap keponakannya sendiri yang selalu berhasil dalam tugas-tugasnya itu.

la mengerutkan alisnya ketika mendengar Kaisar memuji-mujki keponakannya itu. Sahutnya dengan hati-hati, "Benar, Sri Baginda, Pakkiong Liong ingin menunjukkan kesan betapa bersatunya negeri yang terdiri dari berbagai golongan ini terhadap lawan-lawan kita, baik lawan-lawan dalam negeri berupa pengikut Li Cu-seng atau sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran, ataupun lawan luar negeri berujud si Tokugawa yang denqan air liur menetes mengincar semenanjung Korea untuk merebutnya dari kita. Tetapi sungguhnya keponakaku Pakkiong liong itu telah melakukan tindakan yang gegabah."

"Gegabah bagaimana, paman? Bukankah Hui-liong-kun selama ini adalah tiang utama Kerajaan Agung kita sehingga musuh-musuh kita gentar menatap kiia?"

"Benar, paduka, kalau dilihat sepintas lalu saja. Tapi sesungguhnya bukan mustahil suatu ketika kelak Hui-liong-kun akan menjadi musuh dalam selimut yang lebih berbahaya dari musuh yang terang-terangan. Di dalamnya banyak bernaung orang-orang pandai yang bukan berdarah Manchu, bukan tidak mungkin bahwa orang-orang bukan Manchu itu suatu saat kelak akan menikam pungung kita dari belakang."

Kaisar tertawa mendengar ucapan Pakkiong An itu, "Kau terlalu berprasangka, paman. Bukankah dalam pertempuran menumpas Pangeran Cu Leng-ong beberapa saat yang lalu, perwira-perwira yang tidak berdarah Manchu itu bertempur sama gigihnya dengan perwira perwira berdarah Manchu? Jangan suka membeda-bedakan kesetiaan orang berdasarkan keturunannya, paman, seorang yang berdarah Manchu asli belum tentu kesetiannya lebih tebal dari Tong Lam-hou, Ha To-ji atau Han Yong-kim. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

"Hamba tidak berani membeda-bedakan sikap berdasarkan keturunan, paduka, apa yang hamba ucapkan tadi hanyalah bersumber dan kekuatiran hamba akan kelanggengan dinasti kita yang agung ini, paduka. Paduka sendiri adalah seorang berdada lapang dan berpikiran mulia, dengan dada lapang pula paduka memajukan kebudayaan bangsa Han, mensejahterakan rakyat Han, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Belum tentu bersikap sama seperti sikap paduka itu, bukankah buktinya di antara mereka masih ada saga gerakan-gerakan ketidak-puasan atas pemerintahan kita?“

"Prasangka paman itu sangat berbahaya jika menular kepada orang lain paman, kita sedang menggalang persatuan negeri dan paman jangan meracuni kami dengan prasangka buruk terhadap orang Han itu. Barangkali di antara mereka memang ada pembangkang-pembangkang, tapi itu hanya sebagian kecil dari mereka dan bukan semuanya. Kalau kita salah langkah, kita malahan akan menimbulkan perang saudara di negeri ini, lalu kita menjadi lemah dan Tokugawa yang bersekutu dengan orang-orang asing bermata biru berambut kuning itu akan menjarah negeri ini tanpa kita dapat, bangkit lagi."

"Ampun paduka, sesungguhnya pendapat hamba yang tadi bukan sekedar didasari prasangka atau iri hati kepada keponakan hamba yang berhasil menghimpun jago-jago berbagai suku bangsa ke dalam pasukannya yang hebat, itu, paduka, melainkan karena hamba punya kecurigaan kuat bahwa masuknya orang-orang bukan Manchu itu, terutama orang-orang Han, ke dalam pasukan kerajaan punya tujuan-tujuan jahat tertentu. Mereka mungkin bertujuan merebut kedudukan-kedudukan penting dalam keprajuritan kita dan kemudian memanfaatkan itu untuk mengacau negeri dan merobohkan pemerintahan kita. Pakkiong Liong adalah seorang yang terlalu mudah percaya kepada orang lain, sehingga suatu saat nanti keponakan hamba itu akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan pasukannya yang sebagian terdiri dari orang-orang bukan Manchu itu. Orang-orang Mongol yang kejam, orang-orang Han yang licik dan orang-orang yang kepala batu..."
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 36

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 36

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
SEDANGKAN Hehou Im sendiri sudah seperti seekor anak kambing yang dimasukkan ke kandang macan. Biarpun julukannya cukup menyeramkan, Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), namun saat itu keganasannya sudah tak terlihat sedikitpun di hadapan Lim Hong-pin, Kim-liong Hiangcu Hwe-liong-pang yang sama ditakutinya dengan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong itu.

Hehou Im sudah bertahun-tahun mengenal Pakkiong Hok sehingga iapun tahu benar watak Pakkiong Hok yang hanya mau untung tapi tidak mau rugi, apalagi berkorban untuk orang lain, jangan harap, meskipun orang itu sudah banyak berjasa kepadanya. Karena itu Hehou Im kini benar-benar tidak punya perlindungan apa-apa lagi, saking takutnya maka sepatah katapun sudah tidak mampu dikeluarkannya lagi.

Pakkiong Hok segera berkata kepada Hehou Im, "Jasamu kepadaku dan kepada ayahku cukup banyak, tetapi aku menyesal bahwa kepandaianku begitu rendah sehingga tidak dapat melindungimu lagi. Di Pak-khia nanti akan kuatur sebuah meja abu untuk menyembahyangi arwahmu."

Lalu Pakkiong Hok dan seluruh anakbuahnya pun segera berbaris pergi dari tempat itu. Sikapnya sudah jelas menyelamatkan diri sendiri bersama sisa-sisa pasukannya lebih dulu. Kalau Hehou Im yang merupakan kaki-tangannya yang setia itu saja tega dia korbankan, apalagi hanya orang-orang Kui-kiong yang hanya sekutu namun dalam persekutuan yang tidak tulus. Bahkan dalam hatinya ia bersyukur orang-orang Kui-kiong itu akan ditumpas oleh orang orang Hwe-liong-pang, sebab dengan demikian kekuatan Te-liong Hiangcu akan susut banyak.

Ketika mereka berbaris menuruni Ki-lian-san, maka orang-orang Kui-kiong mencaci-maki mereka, namun dengan kalemnya Pakkiong Hok terus berjalan tanpa menoleh lagi. Tidak ada salahnya menerima sedikit caci-maki dari orang-oang yang sebentar lagi bakal mampus, pikirnya.

Kemudian Lim Hong-pin menghadapi kerumunan orang-orang Kui-kiong alias orang-orang Hwe-liong-pang tapi yang berkhianat kepada Ketua yang sah berpuluh-puluh tahun yang lalu itu, katanya dingin, "Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian, kalian berdiri di dekat Hehou Im sana!"

Nama-nama yang dipanggil itu membuat pemiliknya menggigil, namun kemudian menjadi nekad seperti umumnya orang kalau orang sudah terjepit. Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po menghantamkan tongkat besinya ke tanah sambil berteriak, "Lim Hong-pin, di jaman Hwe-liong-pang dulu kau berhak memerintah aku sebab kedudukanmu lebih tinggi dari kedudukanku. Tapi sekarang? Aku bukan anak buahmu lagi, aku tidak sudi menuruti perintahmu!"

Wajah Lim Hong-pin yang tidak seseram wajah Siangkoan Hong, bahkan dalam keadaannya sehari-hari ia sungguh seorang teman bergurau yang menyenangkan bagi anakbuah Hwe-liong-pang yang kedudukannya paling rendah sekalipun. Tapi kali ini kemarahannya bangkit sehingga mukanya sangat menakutkan, "Bagus ular tua, agaknya kau menolak hukuman dengan minum Racun Penghancur Tubuh. Bagus...bagus...aku sediakan hukuman yang lebih enak lagi.”

Muka Ang-mo-coa-ong memucat. Ingin menolak hukuman tidak bisa, ingin melawan juga tidak bisa, akhirnya ia menjadi putus-asa. Tiba-tiba ia mengambil tindakan yang tak terduga oleh siapapun, secepat kilat diayunkannya tongkat besinya ke arah kepalanya sendiri, tak ada yang sempat mencegahnya, terdengar suara tulang tengkorak yang gemeretak pecah dan tokoh hitam dari Thay-san yang punya nama besar berpuluh-puluh tahun itupun mengakhiri hidupnya dengan cara itu.

Suasana sunyi senyap, semuanya dengan tegang menyaksikan Pengadilan Hwe-liong-pang atas tokoh-tokohnya sendiri yang berkhianat itu. Terdakwa berikutnya adalah bekas Tongcu, yaitu Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji, Sat-sin-kui Hehou Im, Hek-liong Tio Heng-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian. Kini orang-orang itu benar-benar menyadari betapa kerdil sebenarnya mereka itu, namun sudah terlambat. Menolak hukuman tidak bisa, laripun tidak bisa.

Maka jalan seperti yang diambil oleh Ang-mo-coa-ong itu agaknya yang terbaik daripada menelan Racun Penghancur Tubuh yang akan membuat tubuh mereka meleleh dan lenyap terserap tanah, atau hukuman siksaan lainnya yang pasti tidak akan tertanggungkan. Maka ketika terlihat Lim Hong-pin mengeluarkan botol keramik berwarna hitam dari balik jubahnya, tahulah mereka bahwa mereka akan disuruh menelan masing-masing sebutir racun Penghancur Tubuh. Mereka akan lenyap dan tinggal tengkoraknya saja seperti yang dialami oleh dua orang rekan mereka, Hwe-tan Seng Cu-bok dan Say-ya-jat Tong King-bun.

Dalam takutnya tiba-tiba Hehou Im menjerit dan lari sekencang-kencangnya dari tempat itu, namun sesosok bayangan putih tahu-tahu melesat menghadang langkahnya dan tahu-tahu si orang Korea Oh Yun-kim yang berkedudukan sebagai Pek-ki Tongcu (Tongcu Bendera Putih) itu telah menghadangnya sambil membentak, "Pengkhianat, jangan lari!"

Hehou Im menjadi nekad, senjata tiat-koannya diayun deras ke wajah Oh Yun-kim, tapi serangannya yang kacau dan tak diperhitungkan baik-baik itu dengan mudah dielakkan oleh Oh Yun-kim. Di lain kejap kaki Oh Yun-kim melayang secepat kilat mengenai pinggangnya dan membuat Hehou Im terpental balik ke tempatnya. Tidak percuma Oh Yun-kim berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan), gerakannya begitu cepat hampir tak terlihat.

Hehou Im tidak malu-malu berlutut kepada Lim Honq-pin dan juga kepada Oh Yun-kim sambil meratap-ratap, "Lim Hiangcu, ampunilah aku! Aku dulu...dulu tertipu oleh...oh!" Rupanya ketika dia meratap-ratap itu maka Lim Hong-pin telah menyentilkan sebutir pil hitam yang tepat masuk ke mulutnya yang tengah terbuka dan langsung tertelan.

Wajah Hehou Im menjadi seputih mayat, ketakutan yang luar biasa tergambar di wajahnya. Tapi itu tidak lama, sebab kemudian ia bergulingan kesakitan, kulitnya mulai melepuh hitam dan kemudian pecah mengalirkan air hitam berbau busuk. Sementara dagingnya seperti llilin yang kena api, mencair dengan cepat dan akhirnya Hehou Im tinggallah sebentuk kerangka putih tanpa daging secuwil pun.

Banyak orang-orang Ki-lian-pay atau tamunya yang memalingkan wajah ketika menyaksikan keganasan racun buatan Hwe-liong-pang menurut petunjuk ramuan yang tertulis dalam kitab Bu-san-jit-kui itu. Di mana mudanya, Tong Wi-lian juga pernah beberapa kali menyaksikan orang Hwe-liong-pang dihukum dengan cara itu. Karena itu ia menjadi tidak tega ketika ia tahu bahwa Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian adalah korban-korban berikutnya dari hukuman yang dahsyat itu.

Cepat Tong Wi-lian maju dan memberi hormat kepada Lim Hong-pin serta berkata dengan nada yang resmi, tidak seperti biasanya yang hanya saling memanggil dengan nama kecil saja, "Hiangcu, jika mereka harus dihukum mati, biarlah aku mohonkan ampun agar mereka dihukum mati dengan cara lain saja, jangan disuruh menelan Racun Penghancur Tubuh yang sungguh mengerikan itu."

Lim Hong-pin juga bersikap sama resminya, "Maafkan, Tong Lihiap, ini adalah peraturan Hwe-liong-pang yang dibuat oleh mendiang kakakmu sendiri. Kami harus mentaatinya sampai ada seorang Ketua baru yang merubah peraturan ini, dan sampai saat ini kami belum mempunyai Ketua baru lagi."

Tengah kedua orang itu bercakap-cakap, terdengar keluhan tertahan. Ternyata Liong Pek-ji telah menikam sepasang belatinya ke dadanya sendiri, agaknya ia memilih mati dengan tubuh utuh daripada dagingnya meleleh seperti yang dialami He hou Im. Jika berusaha kabur dan tertangkap kembali maka nasibnya malahan akan lebih buruk lagi, sebab ia kenal betul Lim Hong-pin yang sekalipun termasuk orang yang paling "lembut." di antara orang-orang puncak Hwe-liong-pang.

Namun tetap saja mewarisi kesesatan Bu-san-jit-kui. Seribu satu cara-cara siksaan dikenai olehnya. Dan lagipula tempat itu telah dilingkari oleh bekas rekan-rekannya sendiri yang tetap setia kepada Hwe-liong-pang, yaitu ke delapan orang Tongcu dan delapan Hu-tongcu yang tingkat ilmunya sudah cukup ia kenal, jadi basa kabur ke mana lagi kalau bukan ke tempat nenek-moyangnya?

Tio Hong-bwe dan Song Hian juga tidak melihat cara lebih baik dari itu, sehingga orang-orang sesat tak kenal agama itupun beramai-ramai menggunakan senjata mereka kepada diri mereka sendiri. Demikianlah, bergeletakanlah tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang dulu memberontak kepada Ketua yang sah dan menjadi pengikut Te-liong Hiangcu. Empat dari lima orang tokoh itu mati membunuh diri, kecuali Hehou Im yang tinggal tulang belulang itu.

Keteganganpun mengendor, kecuali bagi kaki-tangan Te-liong Hiangcu lainnya yang termasuk orang-orang dari berbagai perguruan yang telah terbujuk untuk mengkhianati perguruannya sendiri itu.

"Kalian akan kami tangkap dan kami adili dengan peraturan Hwe-liong-pang," kata Lim Hong-pin. "Letakkan senjata!"

Saat itulah Hong-seng Hweshio dari Siau-lim-pay maju memberi hormat kepada Lim Hong--pin sambil berkata, "Lim Hiangcu, bukannya aku ingin mencampuri urusan dalam rumah tangga Hwe-liong-pang kalian, tetapi kami pihak Siau-lim juga ingin menegakkan peraturan-peraturan kami terhadap murid yang murtad, yang tega hendak membunuh paman gurunya dan saudara-saudara seperguruannya sendiri dengan bahan peledak. Aku hanya mohon diijinkan mengurus murid murtad itu," katanya sambil menuding ke arah Bu-thian Hweshio itu.

Murid murtad yang merasa terjepit itu tiba-tiba menjadi nekad. Daripada mati konyol lebih baik mati dengan melawan lebih dulu. Sebelum Lim Hong-pin menjawab, maka Bu-thian Hweshio telah bergerak lebih dulu, dengan sekuat tenaga dan secepat kilat ia melompat ke arah Hong-seng Hweshio dengan mengayun goloknya dalam serangan Thay-san-ap-teng (Gunung Thay-san roboh ke kepala). Begitu hebatnya sehingga di bawah matahari sore yang kemerahan itu nampak goloknya hanya berujud selapis cahaya memanjang yang sangat cepatnya.

"Susiok, awas!" hampir bersamaan Bu-gong Hweshio dan Bu-teng Hweshsio juga telah berteriak memperingatkan paman gurunya akan serangan mendadak itu. Bahkan Bu-gong Hweshio bukan cuma berteriak tapi juga telah melompat maju dengan siku tangan kanan menghantam dengan pukulan kebanggaannya, Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Sikut Baja Seribu Kati), kepunggung Suheng-nya yang berkhianat.

Tapi Hong-seng Hweshio sendiri bukannya menjadi lengah meskipun kelihatannya ia tidak sedang memperhatikan keponakan muridnya itu. Dengan kecepatan tinggi, kedua telapak tangannya tiba-tiba menepuk ke atas seperti menepuk seekor nyamuk yang terbang di atas kepalanya, dan sabetan golok Bu-thian Hweshio yang keras dan kuat itu tiba-tiba saja mandeg karena goloknya terjepit sepasang telapak tangan yang berlipat ganda kekuatannya dari kekuatannya sendiri. Dikerahkannya segenap kekuatannya tapi goloknya tidak dapat lagi maju ke sasarannya biarpun hanya seujung rambut.

Saat itulah Bu-gong Hweshio yang datang dari belakang itu juga tidak dapat menarik kembali serangannya yang tadi digerakkan oleh kecemasannya akan keselamatan paman gurunya itu. Hantaman sikut Jian-kin-cun-kang-tui itu meluncur deras ke punggung Bu-thian Hweshio.

Hong-seng Hweshio yang ingin menangkap hidup-hidup Bu-thian hweshio untuk dihukum di kuil Siau-lim itu, terkejut melihat itu dan berseru, "Bugong, tahan..."

Seruan itu terlambat sebab siku tangan kanan Bu-gong Hweshio yang di dunia persilatan terkenal kedahsyatannya itu dengan telak menghantam punggung bagian bawah Bu-thian Hweshio yang masih memeganggi goloknya yang terjepit itu. Tidak ada keluhan yang keluar dari Bu-thian Hweshio yang khianat itu, terdengar tulang punggungnya gemeretak patah demikian jelas suaranya sehingga orang-orang di sekitar arena itu dapat mendengarnya, tubuhnya seolah tertekuk tajam ke belakang dan mulutnya menyemburkan darah. Ia mati oleh saudara-seperguruannya sendiri.

Bu-gong hweshio sendiri termangu-mangu melihat hasil tindakannya sendiri itu. Tiba-tiba ia berlutut kepada Hong-seng Hweshio sambil berkata-y “Karena terdorong kecemasan dan kemarahan, Tecu (murid) telah tidak mendengarkan seruan Susiok tadi dan sekarang siap menerima hukuman."

Sambil menarik napas dalam-dalam, Hong-seng Hweshio menatap tubuh Bu-thian Hweshio yang sudah tewas dalam keadaan tubuh tertekuk ke belakang seperti sepotong kayu kering yang dipatahkan itu. lalu katanya kepada Bu-gong Hweshio, "Bangkitlah dari berlututmu, anakku, aku tahu maksudmu baik karena ingin menyelamatkan aku dari sergapannya. Barangkali saja suratan takdir sudah seperti itu bagi kakak seperguruanmu itu."

Mengikuti jejak Siau-lim-pay yang "membersihkan pintu perguruan", maka perguruan-perguruan yang hadir di Ki-lian-san itupun melakukan hal yang sama, yaitu menangkap murid-murid mereka yang terlibat komplotan Te-liong Hiangcu. Di antara mereka ada yang menyerah begitu saja tanpa melawan, ada yang nekad membunuh diri dan ada pula yang dengan nekad menghunus senjata untuk melawan. Maka terjadi pertempuran lagi, tetapi pertempuran yang singkat sama sekali tidak seru, dalam sekejap saja pertempuran itu sudah berakhir.

Ketua Jing-sia-pay Kongsun Tiau, tanpa ampun telah membabat adik seperguruannya sendiri Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang) yang terlibat Te-liong Hiangcu dan sampai hati hendak meledakkan sekian banyak orang tak bersalah hanya demi meratakan jalan bagi ambisi Te-liong Hiangcu Karena Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian menolak tawaran menyerahnya, maka dengan berat hati Kongsun Tiau harus memusnahkannya agar tidak menjadi bibit bencana di dunia persilatan buat kemudian hari, khususnya juga untuk membersihkan Jing sia-pay.

Hal sama dilakukan pula oleh Ketua Hoas-an-pay, Kiau Bun-han atas diri anggota perguruannya yang berkhianat, Yo Ciong-wan, meskipun biasanya si adik seperguruan ini merupakan orang dekatnya yang selalu diajaknya bertukar pikiran dalam berbagai masalah. Namun kenyataannya adik seperguruannya itu adalah musuh dalam selimut yang bukan saja membahayakan Hoa-san-pay tapi juga seluruh umat manusia, sebab kemenangan Te-liong Hiangcu akan berarti malapetaka bagi dunia. Entah apa jadinya kalau manusia berjantung iblis itu memiliki kekuasaan Bulim Bengcu yang dapat memerintahkan ribuan jago-jago berilmu silat tinggi?

Semuanya berlangsung cepat, rencana keji itu digagalkan mutlak, namun orang-orang di tempat itu merasa masih ada sesuatu yang kurang. Kenapa Te-liong Hiangcu sendiri belum nampak? Ketika hal itu ditanyakan kepada Lim Hong-pin, maka ia menjawab,

"Saat ini Ji-suheng (kakak seperguruan kedua) Te-liong Hiangcu sedang diurus oleh Sam-suheng (kakak seperguruan ketiga) Thian-liong Hiangcu."

Ringan saja Lim Hong-pin mengucapkan kata-kata “sedang diurus" itu, namun menimbulkan gambaran yang dahsyat dalam benak orang-orang yang mendengarnya, sebab mereka membayangkan tokoh nomor dua dan nomor tiga dari Hwe-liong-pang itu tentu sedang saling gempur dengan sengitnya. Dua orang adik seperguruan Hwe-liong Pang-cu yang sama-sama berilmu tinggi karena mewarisi ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui.

"Kita lihat pertempuran merekal" kata Lim Hong-pin sambil beranjak pergi, diikuti oleh para Tongcu dan para anggota lainnya. Meskipun ajakan itu hanya ditujukan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, namun kekuatannya seperti besi berani menarik jarum-jarum kecil, semua orangpun. segera ikut beranjak pergi mengikuti mereka tanpa mempedulikan hari sudah menjadi gelap. Siapa orangnya yang tidak ingin menyaksikan pertarungan antara kedua tokoh yang menggemparkan itu?

Namun ada juga yang terpaksa tidak bisa ikut menonton, sebab mendapat tugas menguburkan yang gugur dan merawat yang luka-luka, tidak peduli kawan atau lawan. Sebagian orang-orang Hwe-liong-pang juga mendapat tugas menjaga tawanan-tawanan yang menyerah.

Maka iring-iringan itupun menuju ke belakang gunung yang jarang diinjak oleh orang-orang Ki-lian-pay sendiri. Dan di belakang gunung itu, dalam keremangan senja, kelihatanlah dua sosok bayangan hitam saling menyambar dengan dahsyatnya seperti dua ekor burung garuda yang berlaga di langit. Tempat sejauh beberapa tombak tempat mereka bertempur, sudah hancur lebur terlanda kedahsyatan tangan dan kaki mereka, sementara udara berpusar dengan hebatnya seperti ada angin lesus yang sanggup menerbangkan sebuah rumah sekalipun.

Itulah titik pertempuran antara sepasang saudara seperguruan yang saling membenci sejak muda dulu, Te-lionq Hiangcu yang bernama a-sliTan Goan-ciau dengan Thian-liong Hiangcu Siangkcan Hong. Yang satu telah berkhianat kepada kakak seperguruannya sendiri demi merebut kedudukan Ketua Hwe-liong-oang, yang lainnya dengan beringas berusaha untuk membalaskan sakit hati kakak seperguruannya.

Kehebatan pertarungan itu membuat orang-orang yang berilmu rendah tidak berani mendekati kurang dari lima tombak, sebab dalam jarak itu tekanan angin dari kedua orang yang berkelahi itu begitu terasa seolah mengiris kulit, belum lagi pecahan-pecahan batu atau kayu yang beterbangan terhantam oleh tangan mereka atau tanah yang diaduk dan bermuncratan ke udara bagaikan semburan peluru-peluru kecil itu. Bahkan orang-orang yang setingkat dengan Hong-seng Hweshio itu juga melongo menyaksikan perkelahian seperti itu.

Bagi orang-orang yang berpandangan tajam karena ketinggian ilmunya akan terasa bahwa perkelahian itu bukan sekedar mengadu otot, mengadu jurus atau ilmu silat saja tapi juga mengadu ilmu ilmu gaib warisan Bu-san Jit-kui yang sudah langka itu. Ilmu-ilmu warisan Bu san Jit-kui adulah ramuan dari silat, sihir dan ilmu racun.

Tidak mengherankan kalau dari tengah arena berlaganya kedua erang itu terdengar suara gumaman-gumaman manterta dalam bahasa yang aneh. Dengan nada yang begitu rendahnya hingga hampir tak terdengar, sedang di arena pertempuran itu juga terjadi hal-hal aneh yang sukar dicerna dengan akal sehat, tidak peduli oleh orang-orang macam Hong-seng Hweshio sekalipun.

Kadang-kadang terlihat salah satu dari Siang-koan Hong atau Te-liong Hiangcu tubuhnya "terpecah" menjadi tujuh wujud yang satu sama lain melakukan gerakan yang berbeda-beda, di lain saat ketujuh wujud itu "bersatu" kembali dan melancarkan pukulan atau tendangar yang menderu bagaikan badai. Lalu mata kedua orang yang bertanding itu mencorong kehijauan seperti mata kucing di malam hari, dan dalam gelapnya senja hari maka hal itu terlihat makin nyata.

Diam-diam Hong-seng Hweshio, Biau Bun-han dan tokoh-tokoh persilatan lainnya bergidik melihat ketinggian ilmu orang-orang tertinggi Hwe-liong-pang itu. Mereka sudah merasakan bagaimana seorang Te-liong Hiangcu saja sudah membuat dunia persilatan nyaris jatuh ke dalam genggamannya, apalagi kalau seumpama Te-liong Hiangcu,Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong bergabung, dan tentu sulit sekali mengatasinya.

Tapi untunglah bahwa itu hanya andaikata, sedang dalam kenyataannya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin ternyata masih sanggup berpikir jernih meskipun ilmu yang mereka pelajari adalah ilmu yang tergolong sesat. Di sini terasa bahwa kehadiran Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong itu sebagai suatu berkah bagi rimba persilatan.

Sementara mereka yang bertempur semakin seru, kedua orang saudara seperguruan itu memiliki kepandaian yang hampir tidak berselisih. Jenis ilmu yang dimiliki oleh salah satu pihak, dimiliki pula oleh lainnya dengan tingkatan yang sama. Namun semakin lama kelihatan juga bahwa Te-liong Hiangcu mulai agak terdesak. Berpuluh tahun vang lalu andaikata mereka berkelahi, mungkin hasilnya hanya sama kuat tanpa ada yang menang atau kalah, namun sekarang lain.

Selama hampir duapuluh lima tahun Te-liong Hiangcu sibuk mengatur jaringan Kui-kiongnya, menyusupkan orang-orang kepercayaannya kedudukan-kedudukan penting di perguruan-perguruan besar mencari hubungan kesana kemari, sehingga waktunya untuk berlatih ilmunya tinggal sedikit.

Sebaliknya Siangkoan Hong selama mengasingkan diri di kota Jiat-ho yang jauh di tenggara di luar Tembok Besar sana, kampung halamannya orang Manchu, mendapat kesempatan yang luas untuk melatih dirinya terus-menerus. Apalagi dengan terdorong oleh dendam yang membara atas keruntuhan Toa-suhengnya yang dikhianati oleh Ji-suhengnya.

Kini Te-liong Hiangcu yang memiliki ambisi luar biasa itu telah terbentur kepada kenyataan bahwa detik-detik kehancurannya sudah semakin dekat. Siangkoan Hong sendirian saja tidak bisa diatasinya, apalagi ketika ia melihat di sekeliling arena itu ada berpuluh-puluh bayangan yang berderet-deret seakan menutup jalan mundurnya. Dalam kegelapan malam ia tidak dapat melihat wajah mereka, tetapi ia tahu bahwa mereka adalah para Ketua atau sesepuh berbagai perguruan, para pendekar terkenal dan tidak ketinggalan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu.

Te-liong Hiangcu tahu, jika mereka sudah meninggalkan arena tentu itu suatu pertanda bahwa anak buahnya sudah berhasil dikalahkan. Mungkin tertumpas habis malah. Mengingat semuanya itu, maka Te-liong Hiangcu rasanya hampir gila memikirkannya, tidak ada yang lebih menyakitkan hati kecuali merasakan bahwa cita-citanya yang gemilang itu gagal mutlak jusru pada langkah langkah terakhir, pada saat sudah diambang pintu kemenangan, saat yang sudah diimpikan dan diperjuangkan sejak berpuluh tahun yang lalu. Hilang musnah cita-citanya untuk menjadi Bu-lim Bengcu dan bahkan menjadi Kaisar di negeri itu.

Dan ia menumpahkan kemarahan dan kekesalannya itu kepada Siangkoan Hong, Ingin rasanya mencincang hancur tubuh bekas adik seperguruannya itu, tidak peduli setelah itu dia sendiripun mungkin bakal dicincang beramai-ramai oleh Lim Hong-pin dan lain-lainnya, oleh kemarahannya yang berkobar-kobar itulah tandang Te-liong Hiangcu jadi semakin berbahaya, ia sudah tidak memikirkan lagi untuk keluar hidup-hidup dari tempat itu.

"Siangkoan Hong, kau telah menghancurkan cita-citaku," geram Te-liong Hiangcu bagaikan geraman sesosok iblis. "Hari, ini salah satu dari kita, atau kedua-duanya sekalian, harus mampus dari muka bumi!"

Sambil meladeni terjangan-terjangan Te-liong Hiangcu yang kalap itu, Siangkoan Kong masih sempat juga menyahut "Kau merasa sakit hati? Bagus. Dengan demikian kau juga merasakan pedihnya hati Toa-suheng ketika cita-cianya hancur berantakan karena ditikam dari belakang oleh seorang sahabatnya yang sangat dipercayainya sejak sama-sama masih remaja. Bagus kalau sekarang kau juga merasakan kepedihannya pada saat kau khianati itu.”

Te-liong Hiangcu tidak menyahut, hanya, sambil menggeram ia meningkatkan serangan-serangan sehingga seperti angin ribut, tetapi Siangkoan Hong tidak mau tergilas hancur sehingga diapun meningkatkan ilmunya untuk bertahan sekokoh sebuah gunung karang, yang tak bergeming sedikitpun oleh derasnya taufan yang melandanya. Siangkoan Hong tidak mau tergilas hancur sehingga diapun meningkatkan ilmunya untuk bertahan sekokoh sebuah gunung karang, yang tak bergeming sedikitpun oleh derasnya taufan yang melandanya.

Di sela-sela serangan Ji-suhengnya yang membadai itu, Siangkoan Hong masih sempat mengeluarkan ejekan, "sama-sama menemui kegagalan cita-cita, tapi ada bedanya antara Toa-suheng dengan dirimu. Setelah Toa-suheng mati, masih banyak orang yang, bertekad meneruskan cita-citanya, membalaskan dendamnya, mengenang namanya yang harum, itu berarti dia tetap hidup dalam jiwa dan semangat orang banyak. Sedangkan kau? Hari ini juga kau akan mati di tanganku, kematian seperti seekor cacing tanah yang begitu mati maka lenyap pula dari segala ingatan orang. Tak akan ada lagi yang mempedulikanmu, tak ada yang membalaskan sakit hatimu, bahkan namamu akan diinjak sama rendahnya dengan debu tanah untuk itukah kau membanting tulang selama berpuluh-puluh tahun ini?”

Setiap patah kata Siangkoan Hong itu bagaikan lembaran-lembaran sembilu yang menyayat hati Te-liong Hiangcu, justru karena terasa kebenaranya. Ya, dirinya yang masih hidup ternyata tetap tidak bisa menandingi Tong Wi-siang yang sudah mati. Tong Wi-siang masih punya begitu banyak sahabat setia, pengikut, orang yang meneruskan cita-citanya, bahkan seorang putra yang dihadapinya di Pak-khia sana.

Tapi dirinya benar-benar sendirian, tak ada teman, tak ada orang mempercayai karena ulahnya sendiri. Andaikata ya Cuma andaikata, ia berhasi menggapai semua cita-citanya, ya akan dikemanakan hasil kemenangannya itu kalau ia masuk liang kubur atau masuk ke api perabuan? Diwariskan? Diwariskan kepada siapa karena tak seorangpun yang dipercaya oleh dirinya? Tiba-tiba Te-liong hiangcu merasakan bahwa yang selama ini dikejarnya memang hampa belaka, apa yang di depannya dan apa yang ada dibelakangnya kosong semuanya.

Semangat hidupnya tiba-tiba merosot hebat justru di saat-saat pertempuran masih berlangsung ini. Setiap kali hati kecilnya yang selama ini ditindasnya tiba-tiba kini bangkit dan menudingkan jarinya sambil bertanya, “Nah, kau yang selama ini mempergunakan segala cara untuk mencapai tujuanmu, sekarang di ujung hidupmu ini apa yang kau punya?!”

Arena pertempuran itupun bagaikan digetarkan oleh suara Te-liong Hiangcu yang melengking tajam, “Benar! Kau benar! Aku tidak punya apa-apa lagi sekrang.! Bahkan hidupku inipun sudah bukan punyaku lagi….ha-ha-ha-ha!”

Itulah jeritan yang sangat menyeramkan dari seorang yang sudah kehilangan harapan sama sekali, kehilangan semangat hidup sama sekali, jauh lebih menyeramkan dari jerit kematian seorang terhukum yang mejalankan hukuman mati, sebab jeritan itu menandakan si terhukum masih mencoba meronta melawan maut, artinya masih punya keinginan untuk hidup. Tapi lengkingan Te-liong Hiangcu itu adalah campuran dari kemarahan, kesedihan, kekecewaan, kehampaan dan keputus-asa-an, menjadi semacam "ramuan” suara yang sulit dilupakan oleh orang-orang di lereng Ki-lian-san itu.

Siangkoan Hong sendiri terkejut ketika melihat Te-liong Hiangcu tiba-tiba berhenti gerakannya, menghentikan perlawanan sama sekali dan ia cuma berdiri diam seolah pasrah mempersilahkan Siangkoan Hong menyerang sesuka hatinya, menghancurkan tubuhnya. Siangkoan Hongpun menghentikan gerakannya dan membentak, "Bangsat pengkhianat, kenapa kau berhenti melawan? Hayo angkat kembali tanganmu yang berlumuran darah orang tak berdosa itu untuk melawanku, kita tuntaskan semua perhitungan kita!"

Te-liong Hiangcu menggelengkan kepalanya dengan lemah, dan dengan lemah pula direnggutnya topeng perunggu dari wajahnya yang sebenarnya cukup tampan meskipun sudah setengah abad lebih itu. Dibuangkan topeng yang selama ini menjadi pembatas antara dirinya dengan sesama manusia, topeng yang membuat dirinya di sujudi dan ditakuti orang lain, namun sekaligus juga merampas hubungan akrab antar sesama dari hidupnya.

Kekosongan hatinya dicobanya diisi dengan kegemaran,yang aneh-aneh, membuat ratusan patung dari sesama manusia yang dikeringkan, atau "menikmati" siksaan-siksaan luar biasa kejamnya di ruangan siksaan di Kui-kiong sana. Semuanya itu belum juga memberi kepuasan batinnya, selalu ada yang terasa kosong dalam jiwanya. Kadang-kadang kekosongan itu terasa menggioit. namun ia berhasil mengalihkan perhatiannya dengan merancang cita-citanya vanq tidak tanggung-tanggung itu.

Tapi kini di lereng Ki-lian-san itu ia merasa bahwa kekosongan jiwa yang selama ini dirasakannya adalah musuh nomor satu yang tak dapat dikalahkannya, dan kini merampas semua tenaganya. Perlahan-lahan Te-liong Hiangcu duduk bersila di tanah, lalu katanya dengan nada yang rendah, jauh lebih rendah dari suaranya yang garang tadi,

"Samsute (adik seperguruan ketiga) atau Sisute (adik seperguruan keempat), kalau salah seorang dari kalian masih memiliki Racun Penghancur Tubuh, coba berikan sebutir kepadaku."

Siangkoan Hong terkejut mendengar permintaan itu, tangannya yang sudah terkepal siap untuk melanjutkan perkelahian itu kini tidak tahu mau dipukulkan ke mana. Betapapun bencinya ia kepada Te-liong Hiangcu yang ulahnya telah membuat Hwe-liong-pang kocar-kacir itu, namun sebagai seorang lelaki yang memiliki harga diri, sudah tentu ia tidak akan memukul lawannya yang dalam keadaan duduk tanpa tanda-tanda perlawanan itu. Ia hanya dapat menjejak-jejakkan kakinya tanah dengan gemas, dan akhirnya berteriak kepada Lim Hong-pin, "Sisute, berikan sebutir kepadanya!"

Namun ternyata Lim Hong-pin menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Tidak ada yang lebih bahagia kalau kita masih sanggup mengampuni musuh yang sudah kembali ke jalan yang benar."

Te-liong Hiangcu yang duduk bersila dengan kepala tunduk itu mengangkat kepalanya ketika mendengar ucapan itu, lalu iapun berkata, "Terima kasih, Sisute, kalian tidak ingin menghukumku, baiklah aku menghukum diriku sendiri."

Terlihat gembong iblis yang puluhan tahun malang melintang menggemparkan dunia itu kini duduk bersila sambil menyilangkan tangan di dadanya, lalu terdengarlah dari dalam tubuhnya terdengar suara gemeretak lirih dan nampak wajah Te-liong Hiangcu berkerut kesakitan, bahkan basah dengan keringat dingin. Sesaat kemudian kerut kesakitan itu mereda dan Te-liong Hiangcu membuka kembali matanya, wajahnya nampak pucat namun matanya justru berseri.

Siapapun tahu bahwa yang yang dilakukan Te-liong Hiangcu tadi adalah cara untuk memusnahkan kepandaiannya sendiri dengan cara mengerahkan tenaga dalamnya untuk melukai otot-otot penting di tubuhnya sendiri. Dengan demikian maka Te-liong Hiangcu kini hanya dapat melakukan gerakan-gerakan silat sebagai gerak badan saja, namun Sudah tidak mungkin untak berkelahi lagi sebab kehilangan kekuatan dan kecepatannya. Berkelahi dengan seorang pesilat pemula saja barangkali tidak akan menang.

Sambil menatap kaum pendekar serta orang-orang Hwe-liong-pang yang mengitarinya, Te-liong Hiangcu berkata, tetap dengan nada angkuh tatapi sudah tidak menimbulkan kebencian lagi, "Seumur hidupku aku sudah membunuh ribuan orang, di antaranya mungkin terdapat keluarga kalian, sahabat kalian, orang-orang seperguruan kalian dan sebagainya, dan mereka kubunuh kadang-kadang tanpa alasan yang jelas, hanya sekedar menuruti gejolak hatiku saja. Ku cincang mereka menurut seleraku, kujadikan patung, kusiksa sampai mati atau kucemplungkan ke telaga di sekitar Kui-kiong dan dengan gembira aku menyaksikannya meronta-ronta di dalam air karena dagingnya sedikit demi sedikit digerogoti ikan-ikan buas itu. Nah, siapa saja yang merasa kehilangan, sekarang ayunkan senjata kalian ke tubuhku!"

Para pendekar itu termangu-mangu tidak tahu harus berbuat apa-apa, termasuk Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin satu demi satu mereka berbalik meninggalkan tempat itu kembali ke gedung Ki-lian-pay yang sudah rusak sebagian itu.

Sementara Te-liong Hiangcu melihatnya sambil berteriak-teriak, "He, kenapa kalian pergi! Cepat, bacok atau nukul aku sepuas kalian! Ataukah tubuhku sudah demikian kotornya sehingga senjata kalianpun tidak sudi terkena darahku setitikpun.”

Ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang belum meninggalkan tempat itu, Te-liong Hiangcu berteriak, "In Yong, Ma Hiong, Oh Yun-kim dan lainnya, inilah saatnya untuk menunjukkan kesetiaan kalian kepada Ketua kalian yang kukhianati! In Yong, angkat golokmu dan jatuhkan ke leherku! Ma Hiong, kenapa tidak segera kau gunakan sepasang Jit-goat-siang-lunmu untuk menghantam pecah kepalaku? Hayo lekas lakukan!"

Tapi tak seorangpun beranjak dari tempatnya, yang terdengar adalah suara Lim hong-pin, "Kau menemukan dirimu sendiri bersalah, itu bagus, jika kau pegang terus itu dalam hidupmu maka kau tidak akan kosong lagi. Kau akan bisa bermanfaat bagi sesama manusia, karena bidang kehidupan ini bukan hanya ilmu silat saja. Bertani, bertukang, beternak dan sebagainya. Kau harus pegang terus ini dalam hidupmu."

Seperti diketahui, selama mengasingkan diri ini Lim Hong-pin menyamar sebagai pendeta di sebuah kuil terpencil. Sebagai "pendeta" tentu saja ia sering dimintai nasihat tentang masalah-masalah kehidupan oleh penduduk di sekitarnya, sehingga untuk dapat menjawab dengan baik ia "terpaksa" harus membaca-baca kitab agama, meskipun dengan setengah hati. Tapi lama kelamaan bacaannya yang serba setengah-setengah itu ada juga yang meresap dalam hatinya sehingga bukan saja menjadi tuntunan bagi orang lain tetapi juga untuk diri sendiri, bahkan kini ia dapat memberi nasehat kepada Te-liong Hiangcu.

Ketika orang-orang Hwe-liong-pang itu kelompok demi kelompok mulai bergerak meninggalkan tempat itu, maka Te-liong Hiangcu duduk bersila dan terpekur lama sekali, melamun sambil berkali-kali menarik napas panjang, tanpa peduli semut atau serangga-serangga lainnya yang menggigiti pantat dan kakinya. Sampai hampir tengah malam ia berbuat demikian, kemudian ia bangkit dan melangkah tertatih-tatih dari tempat itu tanpa dilihat seorangpun.

Ia tidak bisa lagi berlompatan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya sebab ilmu silatnya telah musnah. Kini ia tidak lebih dari seorang lelaki pertengahan abad seperti umumnya orang-orang seusianya, dan barangkali beberapa tahun lagi ia akan memerlukan sebatang tongkat untuk membantunya berjalan. Ia kehilangan impiannya dan cita-citanya, namun menemukan titik terang dalam hatinya yang bertekad akan digenggamnya erat-erat, menjelang hari esok.

Tapi agaknya tidak ada hari esok baginya, ketika dari balik semak-semak tiba-tiba muncul sesosok bayangan tinggi besar yang wajahnya tidak kelihatan jelas, namun jelas bahwa orang itu menggenggam pedangnya yang terhunus itu dengan tangan kirinya. Seorang kidal. Terdengar bayangan bertangan kidal itu menggeram sengit,

"Orang-orang cengeng Hwe-liong-pang atau orang-orang sok welas asih dari Siau-lim-pay dan lain-lainnya itu boleh saja mengampunimu seperti mereka mendapat sebutan sebagai orang-orang berhati mulia dan sebagainya. Tapi aku tidak. Ayahku sudah kalian bunuh, aku juga pernah kalian kurung dan hampir saja kau jadikan patung di ruangan patungmu yang terkutuk itu, dan sungguh enak betul kalau orang dengan kejahatan menumpuk seperti kau ini lalu dibebaskan begitu saja!"

Te-liong Hiangcu tahu bahwa dengan kemusnahan ilmu silatnya itu maka seorang bakul obat di pinggir jalan yang sering mempertunjukkan sejurus dua jurus silat cakar ayampun akan dapat mengalahkannya. Munculnya bayangan bertangan kidal itu jelas mengancam keselamatan nyawa Te-liong Hiangcu. Tapi Te-liong Hiangcu yang setengah pasrah setengah nekad dan tidak lagi pikir mati hidupnya sendiri itu, tenang-tenang saja menghadapinya bayangan hitam itu. Tanyanya, "Siapa kau?"

"Supaya arwahmu tidak penasaran karena tidak tahu siapa yang membunuhmu, baik, dengarkanlah, aku Sebun Him dari Hoa-san-pay yang bergelar sebagai Se-him (Beruang Barat)," sahut bayangan hitam kidal yang memang bukan lain dari Sebun Him itu.

Te-liong Hiangcu terkekeh. "Beruang Barat? Eh, kau mensejajarkan dirimu dengan Naga Utara atau Harimau Selatan yang terkenal itu? Sekedar meniru-niru atau sekalian membonceng nama besar mereka?"

Sebun Him menjadi amat tersinggung kebanggaan dirinya. "Tutup mulutmu iblis tua. Apa bangganya membonceng nama mereka karena aku sendiri tidak kalah dari mereka? Sayang kau tidak berada di lereng timur Ki-lian-san dalam pertempuran tadi siang, sehingga kau tidak bisa menyaksikan bagaimana aku menandingi orangmu yang paling terpercaya, Ang-mo-coa-ong yang konon pernah termasuk dalam deretan sepuluh orang sakti puluhan tahun yang lalu itu!"

Tak terduga Te-liong Hiangcu semakin keras tertawa, "Anak muda, seumur hidupku aku adalah seorang penjahat yang tidak pernah berbuat kebaikan, tapi biarlah sebelum pedangmu membabat leherku, aku akan berbuat kebaikan kepadamu dengan memberi sebuah nasehat yang berguna!"

"Aku tak butuh nasehatmu!" bentak Sebun Him, tapi karena dorongan rasa tertarik dalam hatinya maka dengan suara lebih rendah iapun berkata, "Supaya kau mati lega, boleh juga kau ucapkan nasehat. busukmu itu meskipun aku tahu aku tak akan memakainya."

"Inilah nasehatku, seorang yang ingin nyawanya awet jika berkelana dalam dunia persilatan, dia harus mengetahui tingkat ilmunya yang sebenarnya dan jangan terlalu tinggi menilai diri sendiri. Banyak anak-anak muda yang berbakat, tapi sedikit yang berhasil melewati saringan sehingga berhasil mendapatkan nama besar dalam dunia persilatan. Sebagian besar mampus muda karena ingin buru-buru mengangkat nama dengan menghadapi lawan-lawan yang terlalu kuat, akibatnya bukan mendapat nama tetapi mendapat kematian."

Sebun Him mendengus congkak, "Maksudmu, akupun harus tahu diri bahwa ilmuku masih rendah, begitu? Dan kesanggupanku melawan Ang-mo-coa-ong itu bukan takaran ketinggian ilmuku?"

"Anak muda, ilmu itu berkembang kencang sesuai ketekunan masing-masing pemiliknya dalam melakukan latihan. Puluhan tahun yang lalu orang-orang menyusun urutan-urutan siapa saja tokoh paling lihay, dari nomor satu sampai nomor sepuluh, namun dalam masa-masa sesudahnya toh urutan itu tidak dapat dijadikan pegangan, belum tentu seorang yang urutannya lebih tinggi itu bisa menang berkelahi dengan orang yang lebih rendah urutannya, bahkan yang tidak termasuk dalam urutan itu. Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po memang lihai duapuluh enam atau duapuluh tujuh tahun yang lalu, tapi tiap hari-hari terakhir ini kepandaiannya sudah tersusul dan bahkan terlampaui oleh Liong Pek-ji."

Memang kurang menyenangkan mendengar bahwa sesuatu yang dibangga-banggakan itu diutik-utik oleh orang lain, begitu pula Sebun Him. ia segera membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kita tidak sedang membicarakan urut-urutan siapa yang paling lihai dalam dunia persilatan, namun sedang akan menyelesaikan utang-piutang darah di antara kita. Tapi jika kau mau menjawab dengan jujur sebuah pertanyaanku, aku akan membiarkan hidup dan mati sejndiri."

"Pertanyaan apa?" tanya Te-liong Hiangcu. Terasa juga sesuatu yang getir di hatinya sebab digertak-gertak oleh seorang arak kemarin sore yang beberapa hari yang lalu masih hendak dijadikan patung itu. Biasanya dialah yang menggertak dan mengancam orang bukan sebaliknya, dan kini baru dirasakannya bagaimana ia dibentak-bentak dan dihina tanpa dapat melawan karena kepandaiannya sudah lenyap dari tubuhnya.

Tanya Sebun Him, "Ada seorang anak buahmu bernama Im Yao dan berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) nah, di mana dia?"

Tiba-tiba dalam diri Te-liong Hiangcu terbersit keinginan aneh, ingin melindungi anak buahnya itu meskipun dengan taruhan nyawanya sendiri. Sesuatu yang jarang dilakukannya di masa lalu, bahkan tidak pernah, sebaliknya ia sanggup mengorbankan puluhan nyawa orang lain hanya untuk kesenangan atau keselamatan diri sendiri. Mendengar nada pertanyaan Sebun Him itu, Te-Liong Hiangcu tahu bahwa tidak mungkin anakmuda yarg kidal itu bermaksud baik terhadap Im Yao, maka dijawabnya sambil menggelengkan kepalanya,

"Aku yang mengatur penyerangan ke Ki-lian-san, dan diapun mendapat bagian untuk menyerang dari arah tertentu, entah kenapa dia tidak muncul."

Sebun Him menggeram tidak sabar, pedangnya ditempelkan ke leher. Te-li-ong Hiangcu sambil mengancam, "Jangan main-main dengan seorang yang sedang mendendam dan kehabisan kesabaran. Itu tidak bijaksana, mengerti?"

“Aku benar-benar tidak tahu..."

"Mustahil kau tidak tahu. Atau barangkali kau sudah tahu pihakmu bakal kalah dan kau suruh dia pergi untuk melanjutkan pengacauan di kemudian hari, begitu?"

"Aku benar-benar tidak tahu..."

Kesabaran Sebun Him sampai ke batasnya dan pedangnyapun terayun mendatar. Kepala Te-liong Hiangcu menggelinding copot dari tubuhnya, bahkan Sebun Him masih ingin melampiaskan angkara murkanya sehingga diayunkannya pedangnya beberapa kali untuk membuat tubuh yang sudah tak berdaya itu terpotong menjadi beberapa bagian. Seorang murid Hoa-san-pay, perguruan aliran lurus yang mengajarkan budi pekerti dan peri-kemanusiaan kepada siswa-siswanya.

Ternyata sanggup juga berbuat demikian keji dalam kemarahannya. Dan untuk itu Sebun Him tetap bisa membenarkan tindakannya sendiri itu dengan mengatakan bahwa kekejaman Te-liong Hiangcu di Kui-kiong berkali lipat dari hanya sekedar memotong-motong tubuh lawan. Jadi kekejaman dibalas dengan kekejaman, tak ada lagi pengampunan.

Setelah membersihkan pedangnya dengan menancap-nancapkannya ke tanah beberapa kali Sebun Him melangkah ke gedung Ki-lian-pay di puncak gunung yang dari kejauhan nampak terang benderang itu. Hatinya baru setengah puas setelah mencacah-cacah tubuh Te-liong Hiangcu, tapi belum membunuh Im Yao yang dianggapnya merintangi hubungannya dengan Tina Hun-giok itu.

Gerutu Sebun Him seorang diri, "Bangsat she Im, kau boleh bergembira malam ini karena aku tidak menemukanmu. Tapi kalau sampai aku menemukanmu, detik itu pulalah akhir hidupmu. Sekali penjahat kau tidak boleh berubah menjadi pahlawan yang putih bersih, tidak ada jalan untuk itu. Kau harus mati dalam keadaan yang paling kotor sehingga A-giok akan kecewa dan kemudian berpaling kepadaku."

Ketika Sebun Him tiba di aula yang runtuh itu, nampak di situ sudah berderet-deret berpuluh peti mati yang semuanya dikeluarkan dari persediaan gudang Ki-lian-pay. Suasana amat sederhana tapi khidmat. Semua yang hadir tidak ada yang bercakap-cakap, yang terdengar hanyalah gumaman doa Hong-seng Hweshio yang memimpin upacara sembahyang secara agama Buddha, dan Kim-beng Tojin dari Bu-tong-pay secara agama To. Sebun Him segera mencari tempat berdiri di samping Ting Hun-giok lalu mulutnyapun berkemak-kemik membaca doa, tidak usah sampai ke dasar hati, cukup dilihat oleh orang banyak bahwa dia ikut berdoa.

* * * * * * *

HARI masih agak pagi, matahari baru sejengkal di atas punggung Bwe-san, bukit yang bersejarah karena menjadi tempat bunuh dirinya Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng itu. Suatu tindakan sesat yang sekaligus menamatkan riwayat dinasti Kerajaan Beng, sebuah pemerintahan turun temurun keluarga Cu yang menjadi cikal-bakal oleh Cu Goan-ciang, si Kaisar pertama dinasti Beng yang tangannya berlumuran darah teman-temannya sendiri itu.

Hutan perburuan di luar kota Pak-khia itu masih sepi, namun tiba-tiba muncul seekor kijang yang berlari kencang, dikejar oleh beberapa ekor kuda dengan penunggang-penunggangnya yang berpakaian ringkas dan memakai baiu rangkapan dari bulu binatang, serta topi bulu binatang pula untuk menahan udara dingin. Nampaknya mereka seperti pemburu-pemburu, namun bukan pemburu musiman yang sekedar menghibur diri. Apalagi tampang mereka bukan tampang kasar seperti umumnya pemburu, melainkan terawat baik seperti orang-orang kota yang hidup kecukupan.

Penunggang kuda yang paling depan adalah seorang gadis bertubuh ramping dengan pakaian ringkas berlapis baju kulit pula, pakaian pemburu laki-laki namun rambutnya yang hitam bagus itu tersembul dari balik topi bulunya yang berwarna putih. Dengan kuda yang tetap berlari kencang, gadis itu mementang busurnya dan sebatang anak panah melesat ke arah rusa besar itu. Namun anakpanah hanya menyambar di atas kepala rusa itu, bahkan dalam terkejutnya binatang itu malah memperkencang larinya.

"Rusa keparat! Aku ingin lihat kemana kau bisa kabur!" teriak gadis itu dengan jengkel. Dijepitnya perut kudanya dan dengan bernafsu ia terus memburu rusa itu.

Empat orang lelaki yang mengikuti gadis itu, masih muda-muda semuanya dan nampaknya adalah teman-teman gadis itu. Mereka hanya mengikuti saja ke mana gadis itu mengejar buruannya, dan mereka kadang-kadang bertukar senyuman kalau mendengar gadis itu memaki-maki rusa buruannya yang selalu terhindar dari panahnya itu. Tapi gadis yang nampaknya keras hati itu tidak berhenti mengejar buruannya.

Akhirnya keinginannya tercapai juga, ketika suatu ketika rusa itu melambatkan larinya karena melalui sebuah semak perdu berdahan rendah, maka anak panah gadis pemburu itupun meluncur pesat tanpa membuang waktu dan menancap di tubuh rusa itu. Tapi sebelum anakpanahnya yang menancap di tubuh rusa itu. Sebatang anakpanah yang meluncur begitu cepat dan kuatnya sehingga hampir setengah dari batang anakpanahnya amblas ke tubuh rusa yang cukup alot itu. Satu rusa dengan dua anak panah.

Dari arah lain muncul pula seorang pemburu yang masih muda, bahkan baru belasan tahun agaknya, bertubuh ramping dan berpundak tegap dengan lengan-lengan yang kokoh teroungkus dalam baju pemburunya yang terbuat dari kulit macan tutul. Topinya dari kulit beruang yang menutup sampai ke telinganya.

Meskipun masih muda, namun pemburu ini memiliki wajah yang memancarkan keagungan dan kewibawaan yang tidak lumrah orang biasa. Ia juga membawa beberapa pengiring yang semuanya berpakaian pemburu. dan di pelana kuda orang-orang itu bergantunganlah macam-macam binatang buruan seperti kelinci, rubah, rusa bahkan seekor ular yang besarnya hampir sepaha. Gadis pemburu yang pertama kali melepaskan anak panahnya itupun menunjuk ke bangkai rusa sambil bertanya, "Kau yang memanahnya?"

"Benar," sahut pemburu muda itu singkat. "Tapi panahku lebih dulu mengenainya dan panahmu belakangan datangnya, jadi rusa itu menjadi hak ku," kata gadis itu.

Mulanya gadis itu mengira si pemburu muda itu akan membantah, dan untuk itu ia sudah siap bertengkar, namun ternyata pemburu muda itu begitu saja mengiyakan, "Baik. Kalau nona ingin rusa itu, ambil sajalah. Hanya anak panahku harus kucabut lebih dulu..."

"Huh, kau ini berlagak seolah-olah mengalah kepadaku, padahal rusa itu memang hakku dan itu bukan karena hadiah dari siapa-siapa," bantah gadis itu. "Tapi hanya karena ketangkasanku melepaskan panah..."

Saat itu teman-teman dari gadis itu sudah menyusul tiba di tempat, itu? dan salah seorang dari mereka berseru, “Li-hua jangan bersikap kurang ajar terhadap Hong-siang (Kaisar)!"

Menyusul itu, semua teman-teman gadis itupun berlompatan turun dari kudaanya masing-masing dan berlutut ke arah pemburu muda itu sambil berseru, "Ban-swe! Ban-swe!"

Gadis yang dipanggil "Li-hua" itupun terkejut dan mukanya memucat, sungguh ia tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu ternyata adalah Kaisar sendiri, pantas saja sejak tadi ia merasa perbawa yang terpancar dari diri pemburu muda itu. Cepat iapun meloncat turun dan berlutut sambil berkata, "Hamba pantas dihukum mati karena kelancangan hamba. Hamba mohon belas kasihan paduka karena tidak tahu sedang berhadapan dengan paduka."

Kaisar Khong-hi, raja kedua dari dinasti Manchu, memang naik tahta ketika usianya masih muda belia, menggantikan ayahandanya Sun-ti yang telah mencukur gundul kepalanya dan menjadi seorang pendeta-pertapa di kuil Jing-liag-si di Ngo-tay-san. Meskipun muda, namun ia memiliki kepribadian yang kuat dalam mengendalikan pemerintahan negara yang maha luas itu. Nasehat-nasehat para menteri dan sesepuh didengarkan, tapi bukan berarti ia tidak punya pendirian sendiri.

Itulah yang menjadikan Khong-hi menjadi seorang Kaisar besar dari sepuluh Kaisar dinastinya, membawa negeri itu kemasa kejayaanya sampa disegani orang-orang dunia barat. Di satu pihak ia memajukan kebudayaan dan memikirkan kesejahteraan rakyat untuk mengokohkan negeri, sebab ia berpendapat, negeri yang kuat bukan negeri yang angkatan perangnya besar, melainkan negeri yang rakyatnya kenyang.

Di lain pihak ia bertangan besi dalam menangani pihak-pihak yang belum mau menerima kehadiran dinasti Manchu, entah bekas pengikut Li Cu-seng, entah sisa-sisa dinasti Beng. Sehingga Khong-hi ibarat pribadi yang punya dua wajah, wajah seorang dewi yang welas asih, sekaligus wajah sesosok malaikat penyebar maut yang tak kenal ampun, kebesaran pemerintahannya hanya tersaingi oleh cucunya sendiri di kemudian hari, Kian-liong.

Siang itu tidak ada Sidang Kerajaan, maka Khong-hi dengan diiringi oleh jago-jago Gi-cian-si-wi (Pengawal Pribadi Kaisar) serta beberapa Panglima dan keluarga istana, pergi berburu untuk menjaga kesegaran jasmaninya. Meskipun ia seorang Kaisar, namun ia membatasi nafsu bersenang-senangnya dengan selir-selirnya sebab ia tahu bahwa mengumbar nafsu akan membuat kesehatannya menurun dan malas memikirkan urusan negara. Kalau sudah begini, kendali pemerintahan tentu akan diambil alih oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, dan Khong-hi tidak menghendaki hal ini.

Kepada orang yang berlutut di hadapannya itu Kaisar berkata, "Kalian bangkitlah. Tidak usah merasa bersalah, di dalam hutan ini kita sama-sama pemburu dan siapa yang lebih tangkas dialah yang mendapat buruan lebih banyak. Tidak ada perbedaan Kaisar atau rakyat biasa."

"Terima kasih, paduka," sahut orang-orang yang berlutut itu sambil bangkit dari berlututnya. Mereka bukan lain adalah Pakkiong Liong dan beberapa perwira dekatnya, Tong Lam-hou, Han Yong-kim dan Ha To-Ji. Sedang gadis tadi adalah adik sepupu Pakkiong Liong, To Li-hua.

Terdengar pula kata Kaisar yang masin muda itu kepada To Li-hua, "Rusa itu memang hakmu, dan kalian boleh melanjutkan perburuan kalian. Akupun sedang mengikuti jejak harimau ke arah barat."

Setelah memberi hormat lagi, Pakkiong Liong dan teman-temannyapun meloncat keatas kuda masing-masing dan melanjutkan perburuan ke arah lain dari Sri Baginda dan rombongannya. Setelah mereka pergi Kaisar berkata kepada seorang tua bermata tajam yang duduk di atas punggung kuda di sebelahnya,

"Aku senang melihat kelompok kecil itu. Mereka seakan menggambarkan persatuan negeri ini, meskipun terdiri dari bermacam-macam suku bangsa. Pakkiong Liong adalah seorang yang pandai mengatur dan melatih pasukannya yang terdiri macam-macam suku itu, sehingga mereka bersatu-padu di medan perang dan selalu memperoleh kemenangan. Bukankah begitu, paman?"

Orang tua bermata tajam itu juga seorang Panglima, dari kesatuan yang disebut Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), dan bukan lain adalah paman dari Pakkiong Liong sendiri, Pakkiong An yang berhati dengki, terhadap keponakannya sendiri yang selalu berhasil dalam tugas-tugasnya itu.

la mengerutkan alisnya ketika mendengar Kaisar memuji-mujki keponakannya itu. Sahutnya dengan hati-hati, "Benar, Sri Baginda, Pakkiong Liong ingin menunjukkan kesan betapa bersatunya negeri yang terdiri dari berbagai golongan ini terhadap lawan-lawan kita, baik lawan-lawan dalam negeri berupa pengikut Li Cu-seng atau sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran, ataupun lawan luar negeri berujud si Tokugawa yang denqan air liur menetes mengincar semenanjung Korea untuk merebutnya dari kita. Tetapi sungguhnya keponakaku Pakkiong liong itu telah melakukan tindakan yang gegabah."

"Gegabah bagaimana, paman? Bukankah Hui-liong-kun selama ini adalah tiang utama Kerajaan Agung kita sehingga musuh-musuh kita gentar menatap kiia?"

"Benar, paduka, kalau dilihat sepintas lalu saja. Tapi sesungguhnya bukan mustahil suatu ketika kelak Hui-liong-kun akan menjadi musuh dalam selimut yang lebih berbahaya dari musuh yang terang-terangan. Di dalamnya banyak bernaung orang-orang pandai yang bukan berdarah Manchu, bukan tidak mungkin bahwa orang-orang bukan Manchu itu suatu saat kelak akan menikam pungung kita dari belakang."

Kaisar tertawa mendengar ucapan Pakkiong An itu, "Kau terlalu berprasangka, paman. Bukankah dalam pertempuran menumpas Pangeran Cu Leng-ong beberapa saat yang lalu, perwira-perwira yang tidak berdarah Manchu itu bertempur sama gigihnya dengan perwira perwira berdarah Manchu? Jangan suka membeda-bedakan kesetiaan orang berdasarkan keturunannya, paman, seorang yang berdarah Manchu asli belum tentu kesetiannya lebih tebal dari Tong Lam-hou, Ha To-ji atau Han Yong-kim. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

"Hamba tidak berani membeda-bedakan sikap berdasarkan keturunan, paduka, apa yang hamba ucapkan tadi hanyalah bersumber dan kekuatiran hamba akan kelanggengan dinasti kita yang agung ini, paduka. Paduka sendiri adalah seorang berdada lapang dan berpikiran mulia, dengan dada lapang pula paduka memajukan kebudayaan bangsa Han, mensejahterakan rakyat Han, tetapi mereka adalah orang-orang yang tidak tahu berterima kasih. Belum tentu bersikap sama seperti sikap paduka itu, bukankah buktinya di antara mereka masih ada saga gerakan-gerakan ketidak-puasan atas pemerintahan kita?“

"Prasangka paman itu sangat berbahaya jika menular kepada orang lain paman, kita sedang menggalang persatuan negeri dan paman jangan meracuni kami dengan prasangka buruk terhadap orang Han itu. Barangkali di antara mereka memang ada pembangkang-pembangkang, tapi itu hanya sebagian kecil dari mereka dan bukan semuanya. Kalau kita salah langkah, kita malahan akan menimbulkan perang saudara di negeri ini, lalu kita menjadi lemah dan Tokugawa yang bersekutu dengan orang-orang asing bermata biru berambut kuning itu akan menjarah negeri ini tanpa kita dapat, bangkit lagi."

"Ampun paduka, sesungguhnya pendapat hamba yang tadi bukan sekedar didasari prasangka atau iri hati kepada keponakan hamba yang berhasil menghimpun jago-jago berbagai suku bangsa ke dalam pasukannya yang hebat, itu, paduka, melainkan karena hamba punya kecurigaan kuat bahwa masuknya orang-orang bukan Manchu itu, terutama orang-orang Han, ke dalam pasukan kerajaan punya tujuan-tujuan jahat tertentu. Mereka mungkin bertujuan merebut kedudukan-kedudukan penting dalam keprajuritan kita dan kemudian memanfaatkan itu untuk mengacau negeri dan merobohkan pemerintahan kita. Pakkiong Liong adalah seorang yang terlalu mudah percaya kepada orang lain, sehingga suatu saat nanti keponakan hamba itu akan mengalami kesulitan untuk mengendalikan pasukannya yang sebagian terdiri dari orang-orang bukan Manchu itu. Orang-orang Mongol yang kejam, orang-orang Han yang licik dan orang-orang yang kepala batu..."
Selanjutnya;