Pendekar Naga dan Harimau Jilid 35Karya : Stevanus S.P |
Pada saat yang sama di sebelah lain para perwira Pakkiong Hok sudah menemukan lawan tanding masing. Hwe-niau dari Tibet memegang sebua pisau yang pendek melengkung yang oleh orang-orang Tibet atau Nepal disebut pisau Kukri, yang menurut ilmu silat mereka dikhususkan untuk menyambar putus leher musuh.
Maka begitu Hwe-niau turun ke gelanggartg, dua orang murid Ki-lian-pay dan seorang Go-bi-pay tersambar putus lehernya olehnya, gerakannya demikian cepat sehingga dengan pakaiannya yang serba merah itu ia benar-benar mirip seekor burung api yang tengah beterbangan, seperti julukannya. Namun pada saat ia mengincar korbannya yang keempat, maka seorang tua berjubah biru telah merintanginya. Seorang tua yang umurnya kelihatannya sudah hampir tujuh puluh tahun namun masih kelihatan tegap dan berwajah merah sehat, sepasang matanya yang ternaungi sepasang alis putih seperti kapuk itu menyorot tajam, sehingga jagoan Tibet itu terkesiap. Tapi sebagai pembunuh bayaran yang menganggap nyawa manusia seperti nyawa lalat saja, maka Hwe-niau tidak takut. Bentaknya, "Orang tua busuk, kenapa kau rintangi aku? Kalau kau ingin mampus, maka dalam beberapa hari lagi kau akan mampus sendiri karena usiamu yang sudah tua itu, kenapa aku harus mengotori pisau kukri-ku untuk mengiris lehermu yang keriput itu?" Orangtua itu menyahut tenang, "Menyesal sekali, anak muda, bertahun-tahun aku selalu membersihkan pedangku dengan kain dan minyak, tapi sekarang agaknya akulah yang harus mengotori senjataku sendiri dengan darahmu. Sebab orang berwatak kejam seperti kau ini tidak pantas hidup lebih lama lagi di dunia, hanya mengganggu saja." Gigi Hwe-niau gemertak karena marahnya. "Bangsat tua, sebutkan namamu sebelum kepalamu kupenggal dengan pisau kukri ini!" "Cia Hok-tong, Ketua Cong-lam-pay!" sahut kakek berjubah biru itu dengan tegas dan singkat. Hati Hwe-niau sebenarnya agak tergetar mendengarnya, namun ia berusaha untuk tidak menampakkannya. Bahkan sambil mengelus-elus pisaunya ia berkata, "Bagus, selama ini pisau kukriku hanya membunuh bangsat-bangsat tak bernama, tapi hari ini ia akan mendapat kehormatan untuk mengantarkan seorang Ketua aliran silat ke akherat." Habis kata-katanya, Hwe-niau pun mulai bergerak, seperti seekor harimau lapar ia menerkam lawannya dengan pisaunya yang disabetkan langsung ke leher Cia Hok-tong. Ketika Cia Hok-tong meloncat ke samping untuk mengelak maka Hwe-niau memburunya, tetap dengan sabetan ke leher dan sasa-rannyapun hampir seluruhnya mengarah leher. Namun dengan gerakan sederhana ini entah berapa banyak musuh yang dicopot kepalanya. Bahkan dalam petualangannya disemenanjung Malaka, ujung tenggara dari benua maha luas ini, Hwe-niau pernah memenggal kepala seorang Datuk yang mengaku ahli ulat nomor wahid di seluruh semenanjung. Kini yang dihadapinya adalah seorang Ketua sebuah aliran, namun Hwe-niau tidak kehilangan harapan untuk memenangkan pertarungan itu. Sebaliknya Cia Hok-tong yang umurnya hampir tujuh puluh tahun itu tahu dirinya tidak mungkin menandingi anakmuda Tibet itu dalam hal kegesitan atau panjangnya napas. Ia memutuskan untuk menghemat tenaga tuanya dengan bertahan rapat sambil menunggu kesempatan menyerang. Dengan pengalaman tempur yang bertumpuk dalam dirinya, Cia hok-tong menjadi lawan yang sulit diatasi oleh Hwe-niau. Meskipun orang tua itu tidak berloncat-loncatan seperti kijang untuk mengimbangi lawannya, dan ia hanya bersilat dengan langkah-langkah pendek sambil menggeser tubuhnya kesana kemari, namun alangkah sulitnya bagi Hwe-niau untuk menembus pertahanan si kakek itu. Begitulah pertempuran berkobar hebat di lereng-lereng gunung Ki-lian-nan yang indah permai itu. Berpuluh-puluh korban di kedua pihak sudah jatuh, namun yang masih hidup belum jera juga dan masih haus menambah jumlah orang yang terbunuh, dan kadang-kadang ia menambah jumlah itu dengan dirinya sendiri. Sementara matahari telah mulai condong ke barat, sinarnya tidak sepanas tadi lagi, tapi hati orang-orang di lereng Ki-lian-san yang sedang tawuran itu justru semakin panas. Dengan kedatangan prajurit-prajurit kerjaan Manchu yang dipimpin oleh Pakkiong Hok itu, pihak Ki-lian-pay dan teman-temannya jadi terdesak ke atas gunung. Hong-seng Hweshio dari Siau-lim-si yang dengan geram ingin menghukum keponakan muridnya yang murtad, Bu-thian Hweshio, terpaksa juga harus ikut bergeser ke puncak gunung karena desakan lawan. Rahib tua itu bukan kalah melawan keponakan muridnya yang dibantu oleh kedua teman sekomplotanannya, melainkan karena teman-temannyapun bergerak mundur dalam satu garis karena tekanan pasukan kerajaan Manchu, sehingga jika ia tidak mundur maka ia akan ketinggalan dan "tenggelam" dalam pasukan musuh yang jelas akan berbahaya sekali. Dalam hal ilmu silat perseorangan, barangkali prajurit-prajurit kerajaan itu tidak lebih dari murid-murid Ki-lian-pay yang di tingkat rendah. Namun sebagai tentara kerajaan mereka tidak hanya dilatih berkelahi secara perseorangan namun juga bertempur dalam barisan sesuai dengan ilmu perang. Di sinilah kelebihan pasukan yang dibawa Pakkiong Hok ini. Mereka tidak berpencaran satu persatu, melainkan terpecah dalam regu-regu kecil yang membentuk semacam kerjasama rapi di seluruh pasukan, tidak ada yang keluar dari barisan, dan itu membuat lawan mereka kewalahan. Dengan semangat yang tinggi prajurit-prajurit Pakkiong Hok itu terus menggencet lawan mereka dengan dibantu oleh orang-orang Kui-kiong yang ternyata bertempur dengan amat kejam. Pada saat keadaan berbahaya di mana pihak Ki-lian-pay dan orang-orang yang berpihak kepadanya itu sudah terjepit dan hampir tertumpas habis, tiba-tiba dari kaki gunung kembali muncul serombongan besar orang. Kali ini berpakaian hitam-hitam dan bahkan ada bendera berkibar-kibar pula, hanya saja dari kejauhan tidak jelas bendera apa itu. Kemunculan rombongan baru itu benar-benar membuat Ki-lian-pay dan teman-temannya putus asa. Beberapa orang dari mereka berteriak seolah meratap, "Mereka berpakaian hitam-hitam, mereka pasti prajurit Manchu dari kesatuan Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) yang dipimpin oleh Pakkiong Liong!" Isyarat itu ibarat lonceng kematian bagi orang-orang Ki-lian-pay dan yang berpihak kepada mereka. Sedangkan orang-orang Kui-kiong bersama dengan prajurit-prajurit Ui-ih-kun saja sudah merupakan lawan tangguh yang mendesak mereka tanpa terbendung, maka kalau ditambah lagi dengan Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu, kemungkinan apa lagi selain kehancuran didepan mata? Apalagi kalau pasukan itu dipimpin sendiri oleh dua orang anakmuda yang namanya berpasangan menggetarkan jagad, Pakkiong Liong si Naga Utara dan Tong Lam-hou si Harimau selatan. Dalam putus-asanya, terdengar The Toan-yong sambil bertempur melawan Pakkiong Hok, "Maju terus, pahlawan-pahlawan bangsa Han!” Sedangkan pakkiong Hok sendiri kelihatannya tidak senang ketika melihat datangnya pasukan berpakaian hitam dari kaki gunung itu, meskipun andaikata mereka benar-benar Pakkiong Liong maka pekerjaannya akan lebih cepat selesai. Namun persaingan antara dua pasukan, Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun, membuat Pakkiong Hok tidak senang kalau harus membagi pahala dengan Hui-liong-kun sebab ia yakin pasukannya sendiri sudah cukup untuk memenangkan perang itu. Namun setelah orang-orang berbaju hitam yang jumlahnya ratusan orang itu semakin mendekat dan terlihat siapa mereka, maka nampaklah bahwa orang-orang itu semuanya memakai ikat kepala yang terdiri dari delapan warna putih, kuning, hijau, biru, coklat, ungu, hitam dan merah. Tiap-tiap kelompok dengan kepalanya sendiri-sendiri berbaris secara teratur di bawah pimpinan orang yang tidak berseragam, di bawah bendera yang sewarna dengan ikat kepala mereka. Yang memimpin semuanya itu adalah seorang bertubuh kurus, usianya kira-kira setengah abad dan kepalanya ditumbuhi rambut-rambut pendek yang kaku. Agaknya orang itu tadinya gundul dan kini rambutnya sedang akan tumbuh. Dialah Lim Hong-pin yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Kim-liong Hiangcu, tokoh berkedudukan nomor empat di bawah Ketuanya sendiri. Dan orang-orang Hwe-liong-pang. Nampak delapan orang Tongcu dengan didampingi Hu-tongcu-nya masing-masing memimpin pasukannya di bawah bendera masing-masing kelompoknya. Kedatangan mereka tentu saja mengejutkan orang-orang Kui-kiong, sebab bukankah menurut laporan mata-mata mereka bahwa orang-orang Hwe-liong-pang sudah kembali ke Tiau-im-hong? Kenapa sekarang mendadak muncul di Ki-lian-san dalam jumlah sebanyak ini? Mereka tidak tahu bahwa dalam hal kecerdikan, Te-liong Hiangcu masih di bawahnya Lim Hong-pin sehingga kali inipun pihak Kui-kiong sudah termakan oleh tipu daya yang diatur oleh Lim Hong-pin. Begitu mendekati arena, terdengarlah suara Lim Hong-pin, "Saudara-saudara Ki-lian-pay dan yang berpihak kepadanya, kami berpihak kepada kalian!" Suara itu dilontarkan dengan mengerahkan tenaga dalamnya sehingga bunyinya seperti seribu guruh meledak bersama di langit. Di seluruh arena pertempuran yang luas terbentang di lereng-lereng gunung itu, setiap telinga dari pihak manapun dapat mendengarnya dan bahkan hati mereka tergetar hebat. Di situlah Lim Hong-pin menunjukkan kehebatannya sebagai ahli waris Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan Pegunungan Bu-san) yang terkenal itu. Di lereng Ki-lian-san yang penuh tokoh tokoh sakti dari berbagai pihak itu, rasanya tak seorangpun yang mampu menyejajari kehebatan tenaga dalamnya itu, bahkan rahib-rahib angkatan "Hong" dari Siau-lim-pay itupun paling paling hanya dapat mendekati tingkatnya. Dan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, Lim Hong-pin berseru, "Tidak ada ampun buat semua pengkhianat Hwe-liong-pang yang mendukunq Te-liong Hiangcu!” Ucapan itu bagaikan aba-aba yang disambut dengan sorakan seluruh anggota Hwe-liong-pang itu. Segera mereka hendak menyerbu ke gelanggang, tapi Lim Hong-pin telah berteriak lagi, "Tunggu!" Lalu kepada Pakkiong Hok dan pasukannya, Lim Hong-pin berkata dingin, "Kalian orang-orang Manchu, kali ini kuijinkan kalian pergi dari sini dengan selamat, sebab Hwe-liong-pang kami belum berniat membuka permusuhan dengan kalian. Cepat pergi!" Keputusan itu memang mengejutkan semua orang. Waktu itu pertempuran sudah berhenti karena mendengar gelegar suara Lim Hong-pin tadi masing-masing pihak menghadapi kedatangan Hwe-liong-pang itu dengan sikap ragu-ragu, penuh perhitungan buat kemenangan pihaknya. Keputusan Lim Hong-pin untuk membebaskan Pakkiong Hok dan pasukannya itu memang di luar dugaan, tak terkecuali orang-orang Hwe-liong-pang sendiri terkejut mendengarnya. Bukankah orang-orang Hwe-liong-pang itu dulu adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang pernah menjadi musuh bebuyutan orang-orang Manchu sesaat setelah Kerajaan Beng runtuh? Kenapa sekarang harus melepaskan mereka selagi diri sendiri punya kesempatan untuk menumpas mereka lebih baik? "Hiangcu, benarkah kita harus melepaskan orang-orang Manchu yang merebut kita itu?" tanya Lam-ki Tongcu In Yong dengan penasaran. Sahut Lim Hong-pin, "Nanti akan kujelaskan kepada kalian, jika kalian percaya kepadaku. Sekarang turuti dulu perintahku." Para Tongcu Hwe-liong-pang itu ternyata menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap Lim Hong-pin, sehingga merekapun percaya bahwa tindakan Lim Hong-pin membiarkan pergi prajurit prajurit Manchu itu tentu ada alasan kuatnya. Maka mereka tidak membantah lagi. Sementara di pihak Ki-lian-pay dan tamu-tamu lainnya masih timbul keragu-raguan bagaimana harus menghadapi sikap Hwe-liong-pang itu, namun belum terdengar seorangpun yang membantah keputusan Lim Hong-pin tadi. Ketika melihat Pakkiong Hok dan pasukannya masih saja berdiri di situ dengan sikap bingung dan tak percaya, maka Lim Hong-pin berkata lagi, "Kalian tunggu apa lagi? Cepat pergi sebelum kesabaran kami habis, tetapi tinggalkan satu orang...." "Siapa?" tanya Pakkiong Hok ragu-ragu. Mata Lim Hong-pin yang tajam itu menyambar ke arah Hehou Im yang berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Dan rasa-rasanya Hehou inu mendengar suara panggilan dari nerakaf ketika mendengar suara Lim Hong-nin yang tegas, "Orang yang bernama Hehou Im itu. Dia dulu adalah Tongcu bawahan Te-liong Hiangcu dan harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya kepada kami." Meskipun Pakkiong Hok tahu bahwa musuhnya jauh lebih kuat dalam hal jumlah maupun ilmu silat, namun sebagai putera seorang Panglima yang berkuasa di Pak-khia, tentu saja ia tidak sudi digertak mentah-mentah seperti itu. Katanya kepada Lim Hong-pin, "Kau lihat pakaian yang dipakai oleh Hehou Im? itulah pakaian seragam perwira tentara Kerajaan Manchu Yang Agung. Siapa yang berani melukainya ketika dia memakai seragam itu, berarti orang yang melukainya itu sama saja dengan melukai Hukum Kerajaan!" Sahut Lim Hong-pin, "Jika Hukum Kerajaan ingin memaksakan kekuatannya kepada kami, maka ia harus memiliki pedang yang lebih tajam dari pedang kami. Kau boleh saja mempertahankan orang itu, tapi kami sudah bertekad untuk merebutnya dengan cara apapun. Dia orang Hwe-liong-pang dan akan diadili dengan peraturan Hwe-liong-pang pula!" Pakkiong Hok mengertakkan giginya, sungguh kehilangan muka kalau ia tunduk ancaman Lim Hong-pin itu. Namun ia juga cukup menyadari kenyataan bahwa kekuatannya saat itu jauh di bawah kekuatan Hwe-liong-pang, apalagi kalau Hwe-liong-pang bersekutu dengan orang-orang Ki-lian-pay dan tamu-tamunya. Ia tidak ingin mengorbankan nyawa ratusan anak buahnya hanya untuk membela nyawa seorang Hehou Im... |
Selanjutnya;
|