Pendekar Naga dan Harimau Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 35

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Lalu merekapun tertawaa terbahak-bahak dengan gembiranya, di antara mereka nampaklah Bu-thian Hweshio, Liong-hou Hweshio dan lain-lainnya yang dulunya menjadi murid-murid perguruan-perguruan bersih itu. Sudah lama mereka mengimpikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar seorang murid atau anakbuah yang diperintah kesana kemari, dan kini impian mereka itu rasa-rasanya sudah diambang pintu.

Kata seorang lainnya, "Dan beberapa tahun lagi, kita bukan saja merupakan orang-orang terdekatnya Bulim Bengcu, tetapi juga orang-orang terdekat dari Kaisar. Ha-ha-ha... kalau Hiangcu menjadi Kaisar, bukankah kita yang setia mendukungnya ini akan menjadi Panglima, Menteri, Rajamuda atau Gubarnur?"

"Tapi jangan lupa, bahwa sekutu Te-liong Hiangcu saat ini, yaitu Pakkiong An, juga memiliki cita-cita yang sama dengan Te-liong Hiangcu sendiri. Jadi agaknya Hiangcu masih harus menyingkirkan saingannya itu."

"Setelah menjadi Bulim Bengcu, apa susahnya menyingkirkan Panglima tua berpenyakit bengek itu? Dengan satu kalimat perintah saja maka ribuan tokoh rimba persilatan yang berilmu tinggi akan bergerak, siapa yang sanggup membendung kekuatan sebesar itu. Meskipun Pakkiong An memiliki puluhan ribu prajurit?"

Namun di saat mereka berqembira sambil membicarakan kemenangan-kemenangan yang bakal mereka raih, tiba-tiba dari arah puncak gunung itu nampak ada belasan sosok bayangan sedang bergerak cepat ke arah mereka. Belasan orang itu macam-macam, ada hweshio ada imam ada pula orang biasa, tetapi kesamaan dalam diri mereka adalah gerakan mereka yang bagaikan burung saja dalam melintasi lereng gunung yang tidak rata itu.

Bu-thian Hweshio terkejut ketika melihat salah seorang dari orang-orang yang mendatangi itu. Katanya dengan bibir agak gemetar, "Itu paman guruku, Hong-seng Hweshio. Sialan si keledai gundul tua itu tidak mampus dalam ledakan tadi, aku sekarang harus kabur sebab tidak akan sanggup melawannya..."

Sedangkan Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay juga dengan cemas melihat salah seorang dari orang-orang yang menuruni lereng itu, "Dan itu adalah suhengku Thian-sek Hweshio dan Sute-ku Kim-hoan Hweshio, akupun lebih baik kabur karena tidak sangngup melawan mereka berdua!"

Demikianlah beberapa orang dari antek-antek Kui-kiong itu menjadi agak gentar juga ketika melihat orang-orang bekas seperguruan mereka itu memburu ke arah mereka. Namun karena banyak teman, maka merekapun menjadi besar hati, Kata salah seorang Kui-kiong, “Jangan lari, kita sambut mereka. Betapapun lihainya mereka, kita berjumlah banyak dan bukankah tugas kita untuk menumpas siapa saja yang lolos dari ledakan?"

Diingatkan akan tugas yang dibebankan Kui-Kiong ke pundak mereka, maka Bu-thian Hweshio serta Liong-hou Hweshio batal melarikan diri. Merekapun segera mempersiapkan senjata mereka, Bu-thian Hweshio dengan sebatang Kay-to (Golok Suci) dan Liong-hou Hweshio dengan sepasang gelang emas besar yanq masing-masing diukir dengan kepala naga dan harimau. Sepasang gelang itu nampaknya cukup berat, tapi Liong-hou Hweshio dapat memegangnya dengan ringan saja seolah-olah hanya terbuat dari rotan.

Yang tiba paling dulu adalah Hong-seng Hweshio. Pendeta yang biasanya suka tertawa itu kini nampak merah padam wajahnya dan langsung melompat ke hadapan Bu-thian Hweshio. Bentaknya menggelegar, “Murid murtad, tak kusangka kalau selama ini kau ternyata adalah seorang musuh dalam selimut, bukan saja bagi Siau-lim-si tetapi juga bagi dunia persilatan, sampai tega hendak membunuh sekian banyak orang untuk memenuhi cita-cita majikan busukmu dari Kui-kiong itu!"

Bu-thian Hweshio insyaf tak mungkin mungkir atau menghindari lagi, meskipun hatinya bergetar tapi ia balas membentak paman gurunya itu, "Susiok, jangan terlalu mendesak aku sehingga aku bertindak kurang hormat kepada susiok. Yang kulakukan ini sebenarnya demi mengangkat nama Siau-lim-pay yang selama ini kuanggap bergerak terlalu lamban di bawah pimpinan Ciangbun Supek, menjadi sebuah perguruan yang besar dan ditakuti seluruh dunia, tapi semua usul-usulku ditolak oleh ciangbun Supek sehingga tidak ada kemajuan sedikitpun bagi kita...“

"Tutup mulutmu!!" bentak Hong-seng Hweshio marah, "Kau tidak puas kepada cara Ciangbunjin memimpin perguruan kita, itu hakmu, tetapi kau terperosok ke dalam rangkulan Te-liong Hiangcu itu benar-benar memalukan. Tidak ingatkah kau bahwa puluhan hahun yang lalu Te-liong Hiangcu pernah menyerbu Siong-san, gunung suci kita, menginjak-injaknya dan menodainya dengan darah? Dan sekarang kau malah bergabung dengannya?"

Bu-thian Hweshio tertawa dingin, "Ya, karena Te-liong Hiangcu secita-cita denganku, untuk memajukan dunia persilatan. Siapa yang bercita-cita tinggi, dialah seperjuangan denganku. Siapa yang merintangi, harus disingkirkan tanpa peduli hubungan masa lalu!"

Hong-seng Hweshio yang tidak pandai berdebat itu sampai gemetar tubuhnya, ia hanya menuding wajah Bu-thian Hweshio sambil berkata, "Kau...kau...kau iblis berwajah manusia! Mulai hari ini kau bukan murid Siau-lim-pay lagi, dan demi membersihkan perguruan kau harus kubunuh!"

Bu-thian Hweshio tertawa tergelak-gelak dan sikapnyapun semakin kurangajar, "Ha-ha-ha-ha...baik, hubungan putuspun baik! Apa gunanya aku bernaung lebih lama lagi dalam tubuh sekumpulan keledai gundul cengeng. Lebih baik ikut Te-liong Hiangcu untuk meraih kemuliaan!"

"Setan alas, kau benar-benar sudah sesat pikiran! Sekarang kembalikan semua ilmu-ilmu yang kau dapat dari Siau-lim-si!"

Berbareng dengan bentakannya yang terakhir itu maka tubuh si rahib tua itu mulai bergerak lebih dulu. Tangan kiri dengan dua jari terbuka mengarah ke mata keponakan muridnya yang murtad itu dengan gerakan Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara), sementara tangan kanannya dengan kelima jari yang terkembang lebar telah meluncur pesat ke pundak lawan dengan gerak Oh-liong-tam-jiau (Naga Hitam Mengulurkan Kuku). Tujuan Hong-seng Hweshio tidak lain adalah mencengkeram remuk pundak keponakan-muridnya itu untuk memusnahkan ilmu silatnya.

Bu-thian Hweshio sebagai orang Siau-lim mengenal bahwa paman guru yang satu ini menguasai ilmu andalan Liong-jiau-kang (Kekuatan Kuku Naga) yang mengutamakan kekuatan jari-jari tangan itu. Siau-lim-si memiliki banyak sekali jenis ilmu-ilmu sakti, sehingga setiap tokohnya tidak sanggup menguasai semua ilmu itu bagaimanapun tekunnya berlatih.

Maka masing-masing biasanya mengkhususkan diri dalam satu atau dua macam ilmu saja. Itupun kalau dilatih dengan tekun dan benar akan merupakan ilmu yang dapat diandalkan dalam gejolak dunia persilatan. Demikian pula Hong-seng Hweshio ini, meskipun ia bisa memainkan banyak ilmu Siau-lim-si lainnya, tapi Liong-jiau-kang inilah yang paling digemarinya.

Cepat Bu-thian Hweshio melangkah mundur memutar goloknya dalam satu lingkaran besar untuk memapas tangan paman gurunya. Namun betapapun hebat kepandaian Bu-thian Hweshio tentu saja ia belum sanggup menandingi paman gurunya yang termasuk angkatan tua Siau-lim-pay yang jumlahnya tinggal sedikit dan terkenal kesaktiannya itu. Dengan sekali kebasan lengan jubah Hong-seng Hweshio yang longgar itu.

Maka putaran goloknyapun menjadi kacau karena tertekan oleh hawa pukulan yang tak nampak namun terasa kehadirannya dan menyesakkan napas. Dengan gugup Bu-thian Hweshio meloncat mundur, sementara paman gurunya dengan garang terus mendesak. Di saat terjepit itu Bu-thian tidak malu-malu lagi berteriak kepada teman-temannya, "He, tolong aku!"

Seorang anak buah Kui-kiong segera meloncat ke arena dengan membawa golok Ku-gi-to, ia bernama Hoan Sam-sing dan terkenal mahir dengan permainan golok yang punggungnya bergerigi seperti gergaji itu. Teriaknya. "Saudara Bu-thian, kubantu kau mengatasi keledai tua ini!"

Lalu goloknyapun menyambar dengan gerakan Oh-hun-hoan-hui (Awan Hitam Bergulung), menyerang dari samping demikian cepatnya sehingga bentuk golok itu tak terlihat lagi dan hanya mirip segulung asap yang menyambar. Dilihat dari gerakan pertamanya itu, agaknya orang ini tidak kalah dari Bu-thian sendiri.

Demikianlah Hong-seng Hweshio si macan tua dari Siau-lim-pay itu harus menghadapi keroyokan dua orang anak-buah Kui-kiong yang bersenjata golok, hanya dengan sepasang tangan kosong saja. Namun si jago tua itu ternyata masih berbahaya juga, dengan jari-jarinya yang terbuka seperti kuku naga itu ia akan sanggup melubangi kulit daging lawannya atau mematahkan tulang-tulang mereka.

Meskipun tua namun napasnya tidak gampang kehabisan, sebab di Siau-lim-si ia gemar melakukan semedi untuk memupuk tenaga dan membersihkan pikirannya, sedangkan di tiap pagi hari ia berlatih dengan Liong-jiau-kang nya untuk kesehatan tubuhnya. Dengan demikian Bu-thian dan Hoan Sam-sing tidak dapat mengandalkan kemudaan mereka untuk mencari keunggulan.

Bahkan semakin berkeringat maka Hong-seng Hweshio semakin tangkas, dan cengkraman kuku naganya dahsyat menderu di udara. Tidak jarang dengan beraninya pendeta tua itu menggunakan jari-jarinya yang kuat itu untuk menjepit atau mencengkeram golok lawannya. Dua lawan satu dan yang dua itu bersenjata pula, namun tetap yang unggul di atas angin adalah yang satu orang, sehingga akhirnya terjun lagi seorang anak buah Kui-kiong ke arena.

Seorang bertubuh kurus kecil namun sangat tangkas dalam memainkan senjatanya yang berupa liang-ciat-kun (tongkat ganda yang berantai di tengahnya) yang diputar begitu cepat sehingga menimbulkan suara berdesing. Dengan demikian barulah kelihatan agak seimbang.

Sementara itu yang tiba di tempat itu bukan saja Hong-seng Hweshio tapi juga menyusul berturut-turut Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay serta dua orang adik seperguruannya, Kongsun Tiau dari Jing-sia-pay, Kim-hoan dan Thian-sek Hweshio dari Go bi-pay. Serta beberapa tokoh terkemuka lainnya.

Sama seperti yang dilakukan oleh Hong-seng Hweshio tadi, begitu datang mereka langsung mencari murid-muri murtad dari perguruan mereka sendiri-sendiri. Terjadi saling memaki yang gaduh, disusul dengan adu senjata. Namun para murid murtad itu dibantu oleh orang-orang Kui-kiong lainnya sehingga terjadilah pertempuran sengit di tempat itu.

Memang benar tokoh-tokoh terkemuka dan berbagai perguruan itu berilmu tinggi, namun dengan jumlah yang jauh lebih banyak, orang-orang Kui-kiong itu dapat bertahan sambil menantikan daangnya bala bantuan. Baik dari Te-liong Hiangcu sendiri maupun dari Pakkiong An. Sementara Hong-seng Hweshio dan lain-lainnyapun juga tidak dapat berbuat terlalu banyak, sebab orang-orang Kui-kiong itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh pula. Dapat dimengerti kalau Te-liong Hiangcu memilih mereka untuk menyusup ke dalam berbagai perguruan, dan bukannya keroco-keroco yang dipilih untuk pekerjaan itu.

Tidak lama kemudian, dari pinggang gunung muncullah sekelompok orang yang bajunya sama dengan baju para murid-murtad yang sudah menanggalkan seragam perguruan masing-masing itu. Yang paling depan adalah Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe serta Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian, dua orang bekas bajak di sungai Yang-ce-kiang yang belakangan ini bergabung dengan Kui-kiong.

Tapi kemunculan merekapun mendapatkan lawan-lawan berat, sebab dari arah markas Ki-lian-pay di puncak gunung itupun nampak berlari-lari belasan orang bersenjata. Merekalah orang-orang dari berbagai perguruan yang datang menyusul Hong-seng Hweshio dan lain-lainnya.

Kedatangan mereka yang agak lambat itu karena gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang kalah tinggi dari Hong-seng Hweshio dan tokoh-tokoh angkatan tua lainnya. Di antara orang-orang yang muncul gelombang kedua inipun nampaklah Bu-gong Hweshio serta beberapa pendeta yang memakai nama "Bu" dari Siau-lim-pay, di antaranya Bu-sian dan Bu-teng Hweshio yang pernah ikut menyerang Penjara Kerajaan di Ibukota Pak-khia dulu, juga beberapa imam Bu-tong-pay yang rata-rata bersenjata pedang itu, sebab Bu-tong-pay memang terkenal dengan ilmu pedangnya.

Pertempuran di lereng itupun bertambah riuh dengan datangnya rombongan baru dari kedua belah pihak itu. Bu-gong Hweshio segera meloncat ke hadapan Tiat-pwe-siang Song Hian dan membentak, "Bangsat! Aku masih ingat tampangmu, kau dulu ikut menyerbu Siong-san bersama Te-liong Hiangcu keparat itu!"

Song Hian yang bertenaga besar dan besenjata sebuah gada besi berpenampang segi delapan itu tidak gentar melihat si pendeta berambut panjang yang kelihatannya seram itu. Ia balas berteriak, "Itu sudah puluhan tahun yang lalu, dan saat itu begitu banyak keledai gundul yang kubunuh sehingga saat ini tidak ada salahnya kalau kubunuh seekor lagi keledai gondrong..."

Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Bu-gong Hweshio telah mengayunkan senjata Hong-pian-jian nya untuk menyerang dengan menimbulkan deru angin dahsyat. Song Hian terkejut melihat kehebatan tenaga lawan, tapi diapun tidak mau kalah, segera dikerahkannya kekuatannya dan ia pun menyambut senjata lawannya dengan keras lawan keras. Maka pertarungan antara kedua orang itu ramai dengan benturan-benturan senjata yang memekakkan telinga, sebab kedua belah pihak tidak suka menghindari benturan.

Tapi lama kelamaan Song Hian merasakan tangannya pegal dan napasnya memburu sedang Bu-gong Hweshio terus menyerang seperti gelombang laut menerjang pesisir, tak habis-habisnya. Keduanya memang bertenaga besar, namun dasar latihan mereka berbeda. Song Hian mendapatkan tenaga kasarnya dengan membina tubuhnya dengan cara-cara sederhana seperti mengangkat batu-batu besar, kayu-kayu raksasa dan lainnya sehingga yang didapatkannya melulu tenaga luar.

Sedang Bu-gong Hweshio adalah murid Siau-lim-pay, selain melakukan latihan-latihan keras dengan benda benda berat, dia juga melatih pernapasan dan cara-cara menyalurkan dan menyimpan tenaga, sehingga dalam benturan-benturan itu bukan melulu ototnya yang berperanan tetapi juga lwe-kang (tenaga dalam) yang dipupuknya dengan tekun itu.

Dalam permulaannya memang kelihatan seolah-olah Song Hian di bajak dari sungai Yang-ce-kiang itu dapat menandingi tenaga Bu-gong Hweshio tanpa terdesak, tapi ketika benturan terjadi belasan bahkan puluhan kali, maka ketahanannyapun runtuh. Tenaga ototnya tidak sanggup menandingi tenaga otot lawannya yang dilambati dengan latihan pernapasan yang teratur itu.

Sementara itu si Naga Hitam Tio Hong-bwe dengan tombak berkaitnya juga telah membentur seorang lawan yang tidak tanggung-tanggung, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, pendekar terkenal dari Hoa-san-pay yang setingkat dengan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong dari perguruan Soat-san-pay yang kebetulan hari itu tidak hadir di situ. Tentu saja dalam belasan jurus saja Tio Hong-bwe sudah pontang-panting tak keruan, pundaknya luka dan ikat kepalanya terpapas putus, masih untung bukan kulit kepalanya yang terkelupas.

Bagaimanapun ketatnya ia bertahan, ujung pedang perak Auyang Seng yang seolah-olah terpecah menjadi ribuan buah dan menyergap dari segala penjuru itu benar-benar sulit dijaga, dan tetap saja berhasil menyusup masuk pertahanan-nya. Ketika datang dua orang Kui-kiong lainnya untuk membantunya, barulah si bajak Yang-ce-kiang itu pulih kembali kegarangannya.

Pertempuran ternyata tidak terjadi di situ tempat saja. Orang-orang Kui-kiong agaknya menggunakan siasat menyerbu dari segala jurusan untuk mencoba membingungkan lawan mereka. Dari jurusan lain muncul sekelompok orang yang dipimpin oleh Sip-hiat-mo-hok liong Pek-ji, sementara kelompok-kelompok lainnyapun bermunculan dengan dipimpin masing-masing oleh Sin-bok Hweshio si pendeta murtad dari Ngo-tay san, Tang Kiau-po si raja ular berambut merah dari Thay-san, juga Yo Ciong wan dan Ki Peng-sian yang kini terang-terangan mengenakan pakaian seragam orang Kui-kiong, tidak peduli lagi andaikata ditemui oleh orang-orang seperguruan mereka.

Dari arah lain menyerbulah sepasang kakak beradik Im Yao dan Im Kok bersama sepasukan anak-buah mereka. Namun baru dilawan sebentar saja mereka sudah mengundurkan diri, dan dengan alasan yang dibuat-buat Tiat-ci-hok Im Yao menjauhi pertempuran. Anak buahnya heran mendengar perintah pemimpin mereka itu, namun mereka tidak berani membantah, bahkan merasa kebetulan karena "diselamatkan" dari amukan para pendekar yang marah itu.

Di medan laga, orang-orang Kui-kiong yang tadinya dipuja-puja oleh anak buah mereka seperti Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji si kelelawar peminum darah, ternyata tidak dapat malang-melintang seenaknya. Liong Pek-ji bertemu dengan musuh bebuyutanya sejak masih sama-sama muda dulu, yaitu si pendekar wanita Tong Wi-lian. Begitu berjumpa, keduanya langsung saling gempur dengan pukulan-pukulan maut andalan masing-masing.

Dengan ilmu Tiang-seng-siu-bok-kangnya yang selama tahun ini sudah disempurnakan dengan cara-cara ilmu hitam, seperti minum darah anak perawan dan tidur di dalam peti mati untuk dikubur beberapa hari, Liong Pek-ji berharap kini ia dapat membalas kekalahannya dari Tong Wi-lian beberapa puluh tahun yang lalu.

Dan Tong Wi-lian sendiri memang merasakan betapa garangnya tandang lawan lamanya itu, jauh berbeda dengan dahulu, dan lapat-lapat dari tubuh Liong Pek-ji juga terpancar semacam hawa gaib yang bisa melemahkan lawannya, karena selama memperdalam ilmunya itu Liong Pek-ji agaknya juga mendapat bimbingan dari Te-liong Hiangcu yang merupakan "guru besar"nya ilmu hitam di jaman itu.

Karena tidak menduga bahwa Liong Pek-ji telah mengalami peningkatan ilmu sepesat itu, maka Tong Wi-lian agak terkejut pada gebrakan pertama, sehingga ia sempat terdesak mundur beberapa langkah untuk memperbaiki kedudukannya yang agak kacau.

Melihat itu, Liong Pek-ji tertawa seram,, “Bagus, perempuan bangsat, aku akan membalas kekalahanku dulu dan membantaimu di Ki-lian-san ini. Jangan menangis dan jangan menyesal, sebab tidak akan ada yang membantumu di sini! Ki-lian-san sudah terkepung rapat oleh Kui-kiong kami."

Habis berkata, Liong Pek-ji kembali menerkam dengan dahsyat, bahkan kali ini ia langsung mencabut sepasang belati yang dipegang di kedua tangannya, agaknya ia bermaksud menyelesaikan pertempuran secepat-cepatnya. Sepasang belatinya terlihat menjadi beribu-ribu batang yang menikam serentak bagaikan hujan deras.

Tapi kali ini Liong Pek-ji agak gegabah. Memang benar ia berhasil mendesak mundur lawannya tadi karena lawannya terkejut dan kurang siap, namun begitu pendekar wanita dari An-yang-shia mendapatkan kembali kemantapan dirinya, maka ia bukan cuma bertahan tapi juga balas menyerang dengan tangkas. Tong Wi-lian mengelak dengan lincahnya semua serangan Liong Pek-ji dan detik berikutnya sepasang kakinya sudah mulai beraksi dengan tendangan Wan-yo-lian-hoan-tui andalannya.

Sebuah tendangan yang deras menqarah ke lambung Liong Pek-ji, membuat si "kelelawar" itu terkejut. Ia menyilangkan sepasang belatinya untuk "menggunting" pergelangan kaki Tong Wi-lian, namun pendekar wanita itu dengan kelemasan kakinya telah mengubah tendangannya ke arah kepala, begitu cepatnya, sehingga topi runcing yang dipakai Liong Pek-ji itu tersambar jatuh meskipun Liong Pek-ji sudah berusaha secepat-cepatnya untuk menundukkan kepalanya.

Kedua orang itu meloncat saling menjauhi, dan masing-masing menginsyafi bahwa lawan masing-masing telah jauh lebih maju ilmu silatnya dari duapuluh lima tahun yang lalu. Liong Pek-ji menyadari bahwa untuk memenangkan pertempuran itu agaknya mereka berdua harus mengulangi pertempuran maha sengit seperti di Siong-san dan Tiau-im-hong berpuluh tahun yang lalu.

Pada kesempatan itu Tong Wi-lian melepaskan ikat pinggang suteranya yang dijadikan senjata andalannya itu. Pendekar wanita itu merasa bahwa Liong Pek-ji terlalu berbahaya untuk dihadapi dengan tangan kosong saja. Setelah saling menatap dengan penuh kebencian, kedua musuh bebuyutan itupun kemudian terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Liong Pek-ji dengan sepasang pisau belatinya mencoba memaksakan sebuah perkelahian jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek.

Namun sepasang kaki Tong Wi-lian ternyata amat lincah dalam melangkah maupun berloncatan menjaga jarak, dan selendang suteranya itu berkibaran bukan saja kelihatan indah tetapi juga mengandung serangan-serangan maut yang tak terduga. Kadang-kadang begitu lemas meliuk-liuk seperti seekor burung hong yang menari di udara, dan di lain saat apabila Tong Wi-lian menyalurkan tenaga dalamnya maka selendang itu menjadi kaku seperti toya yang berputar bagai prahara menggulung lawannya. Diam-diam-diam Liong Pek-ji menjadi ngeri karenanya, tapi mereka sudah terlanjur berhadapan dalam sebuah arena yang sengit.

Tidak jauh dari situ, suami Tong Wi-lian, yaitu Ting Bun, dengan goloknya juga telah terlibat dalam pertempuran hebat melawan seorang paderi yang berpakaian indah, dengan tasbeh dari mutiara hitam yang mahal, dan jari-jari tangan yang dihias cincin berlian yang berkilau-kilauan Sin-bok Hweshio. Pendeta gadungan anak buah Te-liong Hiangcu itu mati-matian memutar toyanya untuk mempertahankan diri dari golok Ting Bun yang menyambar-nyambar dengan garangnya itu.

Ting Hun-giok berkelahi melawan seorang Kui-kiong yang bersenjata pedang, sementara itu Sebun Him untuk menunjukkan kehebatannya telah memilih lawan yang paling berat. Ketika ia melihat dua orang sesepuh Ki-lian-pay sedang melawan seorang berjubah merah, berambut merah dan bersenjata tongkat panjang dari besi yang diukir berbentuk ular-ularan itu, maka Sebun Him segera meloncat mendekat sambil berteriak,

"Kedua locianpwe dari Ki-lian-pay, silahkan menyingkir sebentar, biar kuhajar ular tua dari Thay-san ini!"

Di Hoa-san-pay dulu Sebun Him sudah melihat kehebatan Ang-mo-coa-ong (Si Raja Ular Berambut Merah) ini, yang bisa menyelamatkan diri meskipun menghadapi keroyokan ayahnya dan dua orang paman gurunya. Namun setelah menemukan ilmu Kun-goan-sin-kang peninggalan Tiat-sim Tojin di ruang bawah tanah Kui-kiong.

Maka Sebun Him agaknya kehilangan pengamatan yang tepat atas tingkatan ilmunya sendiri, dipikirnya siapa saja sudah bisa dilawannya. Maka kini ia ingin menjajal Ang-mo-coa-ong, kalau bisa mengalahkannya tentu namanya akan terangkat naik dan boleh jadi saat itu Ting Hun-giok akan berubah sikap terhadapnya.

Sementara itu kedua sesepuh Ki-lian-pay yang tengah memeras tenaga melawan Ang-mo-coa-ong itu terkejut juga melihat seorang anakmuda tak dikenal begitu takabur ingin melawan Ang-ino-coa-ong seorang diri. Namun sebelum mereka menyahut, terdengar Sebun Him berkata lagi,

"Sebun Him yang berjuluk Se-him (Beruang Barat) dari Hoa-san-pay punya dendam sakit hati sedalam lautan dengan Kui-kiong, harap kedua locianpwe memberi kesempatan!"

Kalau urusannya sudah menyangkut "dendam" maka dunia persilatan ini memang melupakan nai yang pantang dicampuri pihak ketiga. Karena itu, begitu mendengar alasannya, maka kedua tokoh Ki-lian-pay itu serentak berloncatan dari arena. Sementara itu Sebun Him telah meloncat masuk ke gelangganq, ia memegang pedangnya dengan tangan kiri dengan mengerahkan kekuatan Kun-goan-sin-kangnya, jurus Sin-liong-wi-khong-coan (Naga Sakti Bergulingan di Udara) dikeluarkan dan di sekitar tubuhnya bayangan pedang berlapis-lapis menderu ke arah lawannya dengan mengandung tekanan yang hebat.

Tadinya Ang-mo-coa-ong memandang rendah anakmuda kidal ini, tetapi begitu melihat serangan pertamanya, terkejutlah Ang-mo-coa-ong. Jelaslah lawannya yang muda itu lebih berat daripada dua orang Ki-lian-pay itu digabung menjadi satu. Maka cepat ia meloncat mundur, kemudian denqan sama cepatnya tahu-tahu ia mendesak kembala dengan gerakan Koay-bong-hoan-sin (Naga Siluman Berloncatan) ia maju dengan gerakan berbelok-belok membingungkan dan tahu-tahu tongkatnya yang berbentuk ular itu menghantam deras ke pelipis Sebun Him.

Cepat Sebun Him menekuk kedua lututnya serendah mungkin dan bersamaan dengan itu ujung pedangnya meluncur ke dada lawan dengan gerak Pek-coa-toh-sin (Ular Putih Menyemburkan Bisa). Cepat Sebun Him menekuk kedua lututnya serendah mungkin dan bersamaan dengan itu ujung pedangnya meluncur ke dada lawan dengan gerak Pek-coa-toh-sin (Ular Putih Menyemburkan Bisa).

Ketangkasan maupun kekuatan Sebun Him memang mengejutkan Ang-mo-coa-ong, sehingga tokoh tua dari Thay-san itu harus berhati-hati. Tak lama kemudian pertarungan mereka telah meningkat semakin seru.

Kedua tokoh Ki-lian-pay yang menyaksikan pertempuran itu diam-diam menarik napas, dan berpikir dalam hati, "Sungguh hebat anak-anak muda sekarang. Berpuluh tahun yang lalu Ang-mo-coa-ong sudah termasuk dalam deretan sepuluh orang sakti meskipun hanya menduduki urutan terakhir, dan kini tentunya ilmunya sudah makin matang meskipun kesegaran jasmaninya tidak sebaik dulu lagi. Namun kini tiba-tiba saja muncul seorang anakmuda tak terkenal yang langsung dapat menandingi setan tua ini, benar-benar luar biasa."

Sebun Him sendiri semangatnya berkobar setelah merasa bahwa Ang-mo-coa-ong yang terkenal itu ternyata bisa dilawannya dengan baik. Permainan pedangnya yang kidal lebih mempersulit lagi lawannya, sebab semua gerakannya adalah kebalikan dari gerakan-gerakan yang biasa.

Berpuluh jurus kemudian, Ang-mo -coa-ong yang tidak sabar lagi itu mulai mengeluarkan ilmu andalannya yang lain. Perlahan-lahan telapak tangannya mulai berwarna merah, makin lama makin tua warnanya dan merambat ke atas lengan, sampai akhirnya kedua tangannya dari ujung jari sampai sikunya berwarna merah tua. Namun Sebun Him belum menyadari bahaya itu, sebab Ang-mo-coa-ong memakai jubah lengan panjang dan perhatian Sebun Him juga melulu pada tongkat besi lawannya.

Ketika sudah merasa tiba saatnya, Ang-mo-coa-ong pura-pura terdesak meskipun sebenarnya kepandaiannya tidak kalah dari Sebun Him. Tongkatnya hanya digunakan untuk menangkis pedang lawannya sambil berloncatan mundur. Sementara Sebun Him mendesak dengan beringas seperti seekor beruang yang sedang marah.

Bertubi-tubi pedang di tangan kirinya menyerang dengan jurus-jurus Sian-jin-ki-loh (Sang Dewa Menunjukkan Jalan), Thian-hoa-kap-teng(Bunga Langit Menghamhur Kepala), Hun-hoa hut-liu (Menebar Bunga Mengebut Pohon Liu) yang semuanya hanya ditangkis atau dielakkan oleh musuh, sehingga Sebun Him menjadi besar hati, “Ular tua! Inilah hari kematianmu!"

"Apa benar begitu?" Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po tertawa dingin.

Berbareng dengan habisnya kata-katanya, ketika pedang Sebun Him meluncur datang, maka dengan tongkatnya ia menghantam pedang dari samping dengan gerakan berputar untuk memunahkan tenaga lawan, ia hanya menggunakan tangan kirinya untuk memegang tongkat nya. Sebun Him yang terlalu bernafsu melancarkan jurusnya tadi, tiba-tiba merasa pedangnya terputar dan seolah-olah dicelupkan ke dalam sebuah pusaran air yang maha kuat, hampir saja terlepas dan tangannya kalau tidak digenggamnya erat-erat.

Saat Sebun Him kelabakan itulah maka Ang-mo-coa-ong tiba-tiba menggeram keras dan telapak tangannya menghantam ke depan. Telapak tangan yang berwarna merah darah dan mengandung hawa pukulan yang sanggup meremukkan segumpal batu karang sekalipun. Begitu cepat dan begitu mendadak, sampai Sebun Him hanya melongo saja melihat serangan telapak tangan itu meluncur deras ke kepalanya.

Dua orang tokoh Ki-lian-pay yang sejak tadi masih berdiri di samping arena untuk menyaksikan pertarungan itu, terkejut karena mereka tahu bahwa Sebun Him yang masih muda dan kurang pengalaman itu kini telah terjebak dan bahkan nyawanya terancam. Yang seorang berteriak dengan gugup,

"Awas, Sebun Siauhiap!" sedangkan yang lainnya bukan cuma berteriak tapi bahkan dengan beraninya meloncat ke tengah gelanggang sambil menikamkan pedangnya dengan gerak Ngo-eng-bok-cho.

Sebun Him memang terselamatkan oleh tindakan orang Ki-lian-pay itu. Ang-mo-coa-ong yang marah karena hampir terkena pedang orang Ki-lian-pay itu dengan geram mengibaskan tongkatnya untuk menangkis pedang orang Ki-lian-pay itu sampai tersuruk ke samping, dan hampir bersamaan telapak tangannya mendarat amat telak di iga orang itu.

Seperti selembar karung yang tak ada isinya, orang Ki-lian pay itu jatuh ke tanah dengan tubuh terlipat, tanpa mengeluh sedikitpun nyawanya sudah kabur meninggalkan raganya. Ia menjadi korban Ang-se-tok-jiu (Pukulan Beracun Pasir Merah) yang dahsyat dari iblis gunung Thay-san itu.

Sebun Him berkeringat dingin karena tahu bahwa nyawanya baru saja lolos dari lobang jarum meskipun untuk itu harus ada seorang lainnya yang menjadi korban pukulan Ang-se-tok-jiu. Kini ia sadar bahwa orangtua berambut merah itu bukan lawan empuk seperti yang diduganya semula.

Sementara itu seorang Ki-lian-pay yang satu lagi itu amat marah akan kematian saudara seperguruannya itu. Pedangnya yang tadi telah disarungkannya kini dihunusnya kembali, katanya kepada Sebun Him, "Sebun Siauhiap, kini dendam dan sakit hati bukan hanya tertanam antara kau dan iblis tua itu, tapi juga antara kami dengan dia. Mari kita hadapi berdua!"

Sesaat hati Sebun Him meronta karena keangkuhannya tersentuh, kalau ia harus menghadapi Ang-mo-coa-ong berdua, bukankah kalau menang nanti pahalanyapun harus dibagi dua? Rasanya ia ingin merebut semua jasa dan sanjungan untuk dirinya sendiri, tetapi dia tahu bahwa Ang-mo-coa-ong terlalu berbahaya untuk dihadapi sendirian saja. Akhirnyaa Sebun Him menganggukkan kepalanya. Apa boleh buat, untuk pertama kalinya sejak ia turun dari gunung Hoa-san, dia harus main keroyok karena musuhnya memang terlalu kuat.

Sebaliknya Ang-mo-coa-ong yang justru tidak sabar ingin segera membinasakan musuh-musuhnya. Ketika kedua orang itu tengah bercakap-cakap, Ang-mo-coa-oang telah memutar tongkatnya dengan suara menderu, bagaikan segumpal awan merah ia melesat maju. Tongkat di tangan kanan dengan gerak Heng-sau-jian-kun (Menyapu Bersih Seribu patukan) menghantam ke pinggang Sebun Him, sementara telapak kiri yang berwarna merah karena mengandung kekuatan Ang-se-tok-jiu itupun menghantam ke batok kepala orang Ki-lian-pay itu dengan gerakan Cong-thian-bau (Meriam Menembus langit). Dua serangan yang sama-sama membawa kehancuran dilaksanakan sekaligus dalam satu gebrakan.

Sebun Him cepat menangkis sapuan ke pinggangnya dengan Tay-peng-tian-ci (Garuda Membuka Sayap), sementara dengan cepatnya pedang kidalnya membalas menyabet ke leher lawan dengan Pok in-koan-jit (Awan Putih Menutup Matahari). Di lain sisi, orang Ki-lian-pay itupun ternyata cukup tangkas untuk menghindari pukulan ke kepalanya dan bahkan pedangnya berkelebat menusuk ke pinggang Ang-mo-coa-ong.

Demikianlah terjadi pertempuran antara ketiga orang itu. Satu lawan dua ternyata Si Ular Tua dari Thay-san itu masih sanggup menghadapi lawan-lawannya denqan beringas, ra benar-benar lincah dan licin mirip seekor ular dalam menghindari terkaman lawan-lawannya, namun kemudian membalas mematuk atau membelit dengan garangnya.

Sedangkan Sebun Him yang amat bangga dengan julukan Beruang Barat yang diberikan kawan-kawan seperguruannya di Hoa-san, agaknya memang cocok dengan julukan itu. Tubuhnya yang tinggi tegap, tenaganya yang sangat kuat dan gerak-geriknya yang dahsyat itu benar-benar membuat Ang-mo-coa-ong tidak berani lengah sedikitpun.

Bahkan Ang-mo-coa-ong tidak berani berbenturan tenaga tuanya tidak akan sanggup adu panjang napas dengan anak-muda. la lebih mempercayakan perlawanannya kepada kegesitan dan kelicinan tubuhnya yang mirip seekor ular itu, sementara Ang-se-tok-jiunya masih juga mencari kesempatan untuk dihantamkan sebagai pukulan penentuan.

Sedang si orang Ki-lian-pay bukan sekedar pelengkap saja, meskipun ilmunya paling rendah di antara ketiga orang itu, namun bukan berarti ia "pupuk-bawang" dalam pertempuran itu. Dengan pedangnya yang gesit dan mantap, dia cukup dapat mempengaruhi keseimbangan pertempuran itu.

Di sekitar gedung Ki-lian-pay yang sudah roboh itu, di lereng-lereng dan pinggahg gunung, pertempuran berlangsung di mana-mana. Beratus-ratus orang dari pihak Ki-lian-pay dan tamu-tamunya, dan beratus-ratus pula orang dari pihak Kui-kiong dan begundal-begundalnya, namun tak ada seorangpun yang masih menganggur.

Semuanya sudah mendapatkan lawannya masing-masing dan saling melabrak dengan penuh kebencian. Apabila seorang berhasil nembunuh lawannya, maka iapun mencari lawan baru dan akan menemukan lawan barunya yang barangkali juga baru saja melangkahi mayat korbannya.

Korban-korban berjatuhan. Di antara orang-orang yang bertempur itu yang paling marah adalah orang-orang Ki-lian-pay sendiri. Mereka merasa upacara yang merupakan kehormatan mereka itu telah dirusak oleh ulah orang-orang Kui-kiong, dan bahkan mereka hampir saja mati semua karena dikhianati.

Dengan dipimpin oleh sang Ketua yang sebenarnya pelantikannya belum selesai, The Toan-yong, orang-orang Ki-lian-pay berkelahi seperti serigala-serigala kelaparan yang bahkan tidak sayang nyawa sendiri, meskipun lawan-lawan mereka lebih banyak dan secara perseoranganpun lebih tangguh dalam hal ilmu silat.

Dalam keseluruhan, pertempuran itu seimbang, sebab tamu-tamu Ki-lian-pay juga bertempur dengan penuh semangat, karena memusnahkan orang-orang Kui-kiong adalah tanggung-jawab seluruh umat persilatan yang beraliran putih, bukan tanggung-jawab Ki-lian-pay saja. Di mana-mana terdengar senjata yang gemerincing berbenturan, teriakan teriakan keras saling memaki penuh kebencian dan tak ketinggalan jerit kesakitan atau bahkan kematian kalau tubuh mereka disusupi ujung senjata.

Namun keseimbangan antara kedua pihak itu berubah ketika dari kaki gunung tiba-tiba terlihat ratusan orang yang berbaju kuning berlarian mendaki ke atas dengan bersorak-sorai sambil mengacung-acungkan senjata. Setelah mereka cukup dekat, baarulah terlihat bahwa mereka ternyata adalah prajurit-prajurit Kerajaan Manchu dari pasukan yang sering disebut menurut warna pakaian seragam mereka, yaitu Ui-ih-kun atau Pasukan Baju Kuning.

Panglimanya adalah Pakkiong An, namun yang memimpin serbuan kali ini bukan Pakkiong An sendiri melainkan putera kesayangannya dan satu-satunya, Pakkiong Hok. Didampingi oleh perwira-perwira Ui-ih-kun lainnya seperti He-i hou Im yang berjulukan Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), Ibun Hong serta seorang jago dari Tibet yang berpakaian serba merah yang tidak diketahui namanya karena sulit diucapkan, namun hanya dikenal julukannya sebagai Hui-hwe niau (Si Burung Api Terbang).

Pakkiong Hok yang bertubuh ramping, tegap, tampan dan terbungkus) dengan pakaian kuning dengan krah biru serta kepalanya memakai topi berhias benang merah dan sehelai bulu burung merak (topi yang dipakai oleh orang-oranq berpangkat di jaman Manchu itu), nampak berloncatan denqan gesitnya di depan pasukannya.

Langkah-langkahnya mantap dan ringan, menandakan ilmu siatnya yang cukup hebat dan ditangan kanannya tergenggam pedang terhunus yang berkilat-kilat. Adik sepupu dari Pakkiong Liong itu memang memiliki ilmu silat yang baik, meskipun masih kalah dibandingkan Pakkiong Liong yang berjulukan Naga Utara itu.

Di samping anakmuda putera Panglima itu, nampak Hehou Im dengan senjata Tiat-koan (besi melengkung tajam), bekas Tongcu pengikut Te-liong Hiangcu di jaman Hwe-liong-pang dulu. Dan di jaman ini, Hehou Im pula yang berhasil menghubungkan antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiangcu, sehingga dua orang yanq sama-sama berambisi menguasai dunia itu berhasil membentuk kerjasama mereka.

eskipun masing-masing pihak sadar bahwa suatu saat ada kemungkinan mereka akan menjadi musuh besar demi memperebutkan kemenangan yang mereka capai bersama. Penyerbuan di Ki-lian-san inipun adalah rencana bersam antara kedua sekutu itu.

Begitu mendekati arena, Pakkiong Hok berteriak, "Atas nama Kaisar, aku perintahkan semua pemberontak-pemberontak Ki-lian-pay dan teman-temannya untuk meletakkan senjata dan kami tangkap. Yang membangkang akan ditumpas tanpa ampun!"

The Toan-yong marah mendengar seruan itu, teriaknya, "Ki-lian-pay tidak pernah mengusik sesama manusia, tidak pernah melanggar hukum negara, malahan kami yang hampir saja dihancurkan dengan bahan peledak tanpa mengetahui apa kesalahan kami. Kalau Tay-jin (panggilan hormat untuk para pejabat atau orang berpangkat) ingin menangkap penjahat dan pengacau, tangkaplah orang-orang Kui-kiong itu!"

Tentu saja Pakkiong Hok tidak akan menangkap orang-orang Kui-kiong yang merupakan komplotannya sendiri itu, maka tanpa peduli teriakan The Toan-yong itu ia berseru lagi, "Turuti saja semua perintahku! yang kusuruh menyerah adalah orang-orang Ki-lian-pay dan teman-teman mereka, bukan lawan-lawan mereka!"

Sadarlah kini The Toan-yong bahwa memang ada semacam kerjasama yang keji antara Kui-kiong dengan pihak pasukan Manchu berbaju kuning ini. Alasan apapun yang dikemukakan oleh pihaknya tidak bakal digubris oleh pasukan Manchu itu, tidak peduli alasan yang sangat masuk akal sekalipun. Maka merasa tidak ada gunanya bersikap hormat kepada orang-orang Manchu itu, The Toan-yong justru telah berteriak kepada segenap anggotaa Ki-lian-pay,

"Melawan terus sampai titik darah terakhir! Orang-orang Kui-kiong memang telah berkomplot dengan anjing-anjing Manchu itu untuk menyudutkan dan memusnahkan Ki-lian-pay dan kehormatan kita!"

Ucapan itu tentu saja membakar semangat orang-orang Ki-lian-pay, Bahkan juga orang-orang lain yang bukan anggota Ki-lian-pay tetapi bertempur di pihak Ki-lian-pay. Saat itu memang sedang berkembang ketidak-senangan para pendekar bangsa Han kepada pemerintahan bangsa Manchu yang memerintah negeri dibawah Kaisarnya yang muda belia, Khong-hi, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai "Kaisar bertangan besi" itu.

Meskipun tidak ada pemberontakan terang-terangan, namun setiap ada kesempatan tentu terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak pemerintah Manchu. Entah dengan alasan apa, orang Han merasa diri mereka dijajah oleh orang Manchu yang dianggap sebagai "bangsa lain" meskipun sama-sama berkulit kuning dan bermata sipit dan bahasanyapun hampir sama, yang berbeda hanya cara berpakaiannya.

Meskipun Kaisar Khong-hi dengan bijaksana mencoba merangkul bangsa Han, memajukan kebudayaan Han dan sebagainya, namun garis pemisah itu masih terasa juga. Dan kini orang-orang Ki-lian-pay dan tamu-tamunya yang tengah bertempur itu, yang semuanya adalah orang Han, terbakar perasaan kesukuannya ketika mendengar seruan The Toan-yong itu. Teriakan-teriakan "jangan menyerah" atau "bunuh Manchu" terdengar di mana-mana.

Menghadapi keadaan seperti itu, ternyata sikap Pakkiong Hok menjadi keras pula. Dengan kibasan pedangnya ia memberi isyarat kepada pasukannya untuk menyerbu. Maka berloncatanlah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu memasuki gelanggang. Meskipun prajurit-prajurit Ui-ih-kun tidak setangguh prajurit-prajurit Hui-liong-kun pimpinan Pakkiong Liong yang memang terkenal berani mati itu, namun kali ini yang dibawa oleh Pakkiong Hok biarpun sedikit namun orang-orang pilihan semuanya.

Apalagi sejak kejadian pembobolan Penjara Kerajaan dulu, Pakkiong An merasa malu karena ketidak-becusan pasukannya dalam menjaga tawanan, dan sempat mendapatkan teguran yang memerahkan telinga dari Kaisar sendiri, maka sejak itu ia memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengadakan latihan-latihan secara teratur agar kerjanya tidak makan dan tidur saja.

Kini begitu prajurit-prajurit itu memasuki arena dengan barisan menebar seperti busur rasaksa, maka pihak Ki-lian-pay dan teman-temannyapun mulai mendapat kesulitan. Apalagi di antara pasukan kerajaan itu ada jago-jago tangguh seperti Pakkiong Hok sendiri, Hehou Im, Ibun Hong dan Hwe-niau dari Tibet itu.

The Toan-yong mencoba menghadang Pakkiong Hok meskipun untuk itu ia harus memeras tenaganya, sebab adik sepupu Pakkiong Liong itu ternyata mampu bermain pedang dengan amat tangkasnya didukung kecepatan dan kekuatannya yang terpupuk dengan baik. Demikian pertempuran itupun menjadi pertempuran yang seru, sulit diketahui Pakkiong Hok atau The Toan-yong yang akan keluar sebagai pemenang.

Pada saat yang sama di sebelah lain para perwira Pakkiong Hok sudah menemukan lawan tanding masing. Hwe-niau dari Tibet memegang sebua pisau yang pendek melengkung yang oleh orang-orang Tibet atau Nepal disebut pisau Kukri, yang menurut ilmu silat mereka dikhususkan untuk menyambar putus leher musuh.

Maka begitu Hwe-niau turun ke gelanggartg, dua orang murid Ki-lian-pay dan seorang Go-bi-pay tersambar putus lehernya olehnya, gerakannya demikian cepat sehingga dengan pakaiannya yang serba merah itu ia benar-benar mirip seekor burung api yang tengah beterbangan, seperti julukannya.

Namun pada saat ia mengincar korbannya yang keempat, maka seorang tua berjubah biru telah merintanginya. Seorang tua yang umurnya kelihatannya sudah hampir tujuh puluh tahun namun masih kelihatan tegap dan berwajah merah sehat, sepasang matanya yang ternaungi sepasang alis putih seperti kapuk itu menyorot tajam, sehingga jagoan Tibet itu terkesiap.

Tapi sebagai pembunuh bayaran yang menganggap nyawa manusia seperti nyawa lalat saja, maka Hwe-niau tidak takut. Bentaknya, "Orang tua busuk, kenapa kau rintangi aku? Kalau kau ingin mampus, maka dalam beberapa hari lagi kau akan mampus sendiri karena usiamu yang sudah tua itu, kenapa aku harus mengotori pisau kukri-ku untuk mengiris lehermu yang keriput itu?"

Orangtua itu menyahut tenang, "Menyesal sekali, anak muda, bertahun-tahun aku selalu membersihkan pedangku dengan kain dan minyak, tapi sekarang agaknya akulah yang harus mengotori senjataku sendiri dengan darahmu. Sebab orang berwatak kejam seperti kau ini tidak pantas hidup lebih lama lagi di dunia, hanya mengganggu saja."

Gigi Hwe-niau gemertak karena marahnya. "Bangsat tua, sebutkan namamu sebelum kepalamu kupenggal dengan pisau kukri ini!"

"Cia Hok-tong, Ketua Cong-lam-pay!" sahut kakek berjubah biru itu dengan tegas dan singkat.

Hati Hwe-niau sebenarnya agak tergetar mendengarnya, namun ia berusaha untuk tidak menampakkannya. Bahkan sambil mengelus-elus pisaunya ia berkata, "Bagus, selama ini pisau kukriku hanya membunuh bangsat-bangsat tak bernama, tapi hari ini ia akan mendapat kehormatan untuk mengantarkan seorang Ketua aliran silat ke akherat."

Habis kata-katanya, Hwe-niau pun mulai bergerak, seperti seekor harimau lapar ia menerkam lawannya dengan pisaunya yang disabetkan langsung ke leher Cia Hok-tong. Ketika Cia Hok-tong meloncat ke samping untuk mengelak maka Hwe-niau memburunya, tetap dengan sabetan ke leher dan sasa-rannyapun hampir seluruhnya mengarah leher.

Namun dengan gerakan sederhana ini entah berapa banyak musuh yang dicopot kepalanya. Bahkan dalam petualangannya disemenanjung Malaka, ujung tenggara dari benua maha luas ini, Hwe-niau pernah memenggal kepala seorang Datuk yang mengaku ahli ulat nomor wahid di seluruh semenanjung. Kini yang dihadapinya adalah seorang Ketua sebuah aliran, namun Hwe-niau tidak kehilangan harapan untuk memenangkan pertarungan itu.

Sebaliknya Cia Hok-tong yang umurnya hampir tujuh puluh tahun itu tahu dirinya tidak mungkin menandingi anakmuda Tibet itu dalam hal kegesitan atau panjangnya napas. Ia memutuskan untuk menghemat tenaga tuanya dengan bertahan rapat sambil menunggu kesempatan menyerang. Dengan pengalaman tempur yang bertumpuk dalam dirinya, Cia hok-tong menjadi lawan yang sulit diatasi oleh Hwe-niau.

Meskipun orang tua itu tidak berloncat-loncatan seperti kijang untuk mengimbangi lawannya, dan ia hanya bersilat dengan langkah-langkah pendek sambil menggeser tubuhnya kesana kemari, namun alangkah sulitnya bagi Hwe-niau untuk menembus pertahanan si kakek itu.

Begitulah pertempuran berkobar hebat di lereng-lereng gunung Ki-lian-nan yang indah permai itu. Berpuluh-puluh korban di kedua pihak sudah jatuh, namun yang masih hidup belum jera juga dan masih haus menambah jumlah orang yang terbunuh, dan kadang-kadang ia menambah jumlah itu dengan dirinya sendiri. Sementara matahari telah mulai condong ke barat, sinarnya tidak sepanas tadi lagi, tapi hati orang-orang di lereng Ki-lian-san yang sedang tawuran itu justru semakin panas.

Dengan kedatangan prajurit-prajurit kerjaan Manchu yang dipimpin oleh Pakkiong Hok itu, pihak Ki-lian-pay dan teman-temannya jadi terdesak ke atas gunung. Hong-seng Hweshio dari Siau-lim-si yang dengan geram ingin menghukum keponakan muridnya yang murtad, Bu-thian Hweshio, terpaksa juga harus ikut bergeser ke puncak gunung karena desakan lawan.

Rahib tua itu bukan kalah melawan keponakan muridnya yang dibantu oleh kedua teman sekomplotanannya, melainkan karena teman-temannyapun bergerak mundur dalam satu garis karena tekanan pasukan kerajaan Manchu, sehingga jika ia tidak mundur maka ia akan ketinggalan dan "tenggelam" dalam pasukan musuh yang jelas akan berbahaya sekali.

Dalam hal ilmu silat perseorangan, barangkali prajurit-prajurit kerajaan itu tidak lebih dari murid-murid Ki-lian-pay yang di tingkat rendah. Namun sebagai tentara kerajaan mereka tidak hanya dilatih berkelahi secara perseorangan namun juga bertempur dalam barisan sesuai dengan ilmu perang.

Di sinilah kelebihan pasukan yang dibawa Pakkiong Hok ini. Mereka tidak berpencaran satu persatu, melainkan terpecah dalam regu-regu kecil yang membentuk semacam kerjasama rapi di seluruh pasukan, tidak ada yang keluar dari barisan, dan itu membuat lawan mereka kewalahan. Dengan semangat yang tinggi prajurit-prajurit Pakkiong Hok itu terus menggencet lawan mereka dengan dibantu oleh orang-orang Kui-kiong yang ternyata bertempur dengan amat kejam.

Pada saat keadaan berbahaya di mana pihak Ki-lian-pay dan orang-orang yang berpihak kepadanya itu sudah terjepit dan hampir tertumpas habis, tiba-tiba dari kaki gunung kembali muncul serombongan besar orang. Kali ini berpakaian hitam-hitam dan bahkan ada bendera berkibar-kibar pula, hanya saja dari kejauhan tidak jelas bendera apa itu.

Kemunculan rombongan baru itu benar-benar membuat Ki-lian-pay dan teman-temannya putus asa. Beberapa orang dari mereka berteriak seolah meratap, "Mereka berpakaian hitam-hitam, mereka pasti prajurit Manchu dari kesatuan Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) yang dipimpin oleh Pakkiong Liong!"

Isyarat itu ibarat lonceng kematian bagi orang-orang Ki-lian-pay dan yang berpihak kepada mereka. Sedangkan orang-orang Kui-kiong bersama dengan prajurit-prajurit Ui-ih-kun saja sudah merupakan lawan tangguh yang mendesak mereka tanpa terbendung, maka kalau ditambah lagi dengan Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu, kemungkinan apa lagi selain kehancuran didepan mata? Apalagi kalau pasukan itu dipimpin sendiri oleh dua orang anakmuda yang namanya berpasangan menggetarkan jagad, Pakkiong Liong si Naga Utara dan Tong Lam-hou si Harimau selatan.

Dalam putus-asanya, terdengar The Toan-yong sambil bertempur melawan Pakkiong Hok, "Maju terus, pahlawan-pahlawan bangsa Han!”

Sedangkan pakkiong Hok sendiri kelihatannya tidak senang ketika melihat datangnya pasukan berpakaian hitam dari kaki gunung itu, meskipun andaikata mereka benar-benar Pakkiong Liong maka pekerjaannya akan lebih cepat selesai. Namun persaingan antara dua pasukan, Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun, membuat Pakkiong Hok tidak senang kalau harus membagi pahala dengan Hui-liong-kun sebab ia yakin pasukannya sendiri sudah cukup untuk memenangkan perang itu.

Namun setelah orang-orang berbaju hitam yang jumlahnya ratusan orang itu semakin mendekat dan terlihat siapa mereka, maka nampaklah bahwa orang-orang itu semuanya memakai ikat kepala yang terdiri dari delapan warna putih, kuning, hijau, biru, coklat, ungu, hitam dan merah. Tiap-tiap kelompok dengan kepalanya sendiri-sendiri berbaris secara teratur di bawah pimpinan orang yang tidak berseragam, di bawah bendera yang sewarna dengan ikat kepala mereka.

Yang memimpin semuanya itu adalah seorang bertubuh kurus, usianya kira-kira setengah abad dan kepalanya ditumbuhi rambut-rambut pendek yang kaku. Agaknya orang itu tadinya gundul dan kini rambutnya sedang akan tumbuh. Dialah Lim Hong-pin yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Kim-liong Hiangcu, tokoh berkedudukan nomor empat di bawah Ketuanya sendiri. Dan orang-orang Hwe-liong-pang. Nampak delapan orang Tongcu dengan didampingi Hu-tongcu-nya masing-masing memimpin pasukannya di bawah bendera masing-masing kelompoknya.

Kedatangan mereka tentu saja mengejutkan orang-orang Kui-kiong, sebab bukankah menurut laporan mata-mata mereka bahwa orang-orang Hwe-liong-pang sudah kembali ke Tiau-im-hong? Kenapa sekarang mendadak muncul di Ki-lian-san dalam jumlah sebanyak ini? Mereka tidak tahu bahwa dalam hal kecerdikan, Te-liong Hiangcu masih di bawahnya Lim Hong-pin sehingga kali inipun pihak Kui-kiong sudah termakan oleh tipu daya yang diatur oleh Lim Hong-pin.

Begitu mendekati arena, terdengarlah suara Lim Hong-pin, "Saudara-saudara Ki-lian-pay dan yang berpihak kepadanya, kami berpihak kepada kalian!"

Suara itu dilontarkan dengan mengerahkan tenaga dalamnya sehingga bunyinya seperti seribu guruh meledak bersama di langit. Di seluruh arena pertempuran yang luas terbentang di lereng-lereng gunung itu, setiap telinga dari pihak manapun dapat mendengarnya dan bahkan hati mereka tergetar hebat.

Di situlah Lim Hong-pin menunjukkan kehebatannya sebagai ahli waris Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan Pegunungan Bu-san) yang terkenal itu. Di lereng Ki-lian-san yang penuh tokoh tokoh sakti dari berbagai pihak itu, rasanya tak seorangpun yang mampu menyejajari kehebatan tenaga dalamnya itu, bahkan rahib-rahib angkatan "Hong" dari Siau-lim-pay itupun paling paling hanya dapat mendekati tingkatnya.

Dan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, Lim Hong-pin berseru, "Tidak ada ampun buat semua pengkhianat Hwe-liong-pang yang mendukunq Te-liong Hiangcu!”

Ucapan itu bagaikan aba-aba yang disambut dengan sorakan seluruh anggota Hwe-liong-pang itu. Segera mereka hendak menyerbu ke gelanggang, tapi Lim Hong-pin telah berteriak lagi, "Tunggu!"

Lalu kepada Pakkiong Hok dan pasukannya, Lim Hong-pin berkata dingin, "Kalian orang-orang Manchu, kali ini kuijinkan kalian pergi dari sini dengan selamat, sebab Hwe-liong-pang kami belum berniat membuka permusuhan dengan kalian. Cepat pergi!"

Keputusan itu memang mengejutkan semua orang. Waktu itu pertempuran sudah berhenti karena mendengar gelegar suara Lim Hong-pin tadi masing-masing pihak menghadapi kedatangan Hwe-liong-pang itu dengan sikap ragu-ragu, penuh perhitungan buat kemenangan pihaknya.

Keputusan Lim Hong-pin untuk membebaskan Pakkiong Hok dan pasukannya itu memang di luar dugaan, tak terkecuali orang-orang Hwe-liong-pang sendiri terkejut mendengarnya. Bukankah orang-orang Hwe-liong-pang itu dulu adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang pernah menjadi musuh bebuyutan orang-orang Manchu sesaat setelah Kerajaan Beng runtuh? Kenapa sekarang harus melepaskan mereka selagi diri sendiri punya kesempatan untuk menumpas mereka lebih baik?

"Hiangcu, benarkah kita harus melepaskan orang-orang Manchu yang merebut kita itu?" tanya Lam-ki Tongcu In Yong dengan penasaran.

Sahut Lim Hong-pin, "Nanti akan kujelaskan kepada kalian, jika kalian percaya kepadaku. Sekarang turuti dulu perintahku."

Para Tongcu Hwe-liong-pang itu ternyata menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap Lim Hong-pin, sehingga merekapun percaya bahwa tindakan Lim Hong-pin membiarkan pergi prajurit prajurit Manchu itu tentu ada alasan kuatnya. Maka mereka tidak membantah lagi.

Sementara di pihak Ki-lian-pay dan tamu-tamu lainnya masih timbul keragu-raguan bagaimana harus menghadapi sikap Hwe-liong-pang itu, namun belum terdengar seorangpun yang membantah keputusan Lim Hong-pin tadi.

Ketika melihat Pakkiong Hok dan pasukannya masih saja berdiri di situ dengan sikap bingung dan tak percaya, maka Lim Hong-pin berkata lagi, "Kalian tunggu apa lagi? Cepat pergi sebelum kesabaran kami habis, tetapi tinggalkan satu orang...."

"Siapa?" tanya Pakkiong Hok ragu-ragu.

Mata Lim Hong-pin yang tajam itu menyambar ke arah Hehou Im yang berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Dan rasa-rasanya Hehou inu mendengar suara panggilan dari nerakaf ketika mendengar suara Lim Hong-nin yang tegas, "Orang yang bernama Hehou Im itu. Dia dulu adalah Tongcu bawahan Te-liong Hiangcu dan harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya kepada kami."

Meskipun Pakkiong Hok tahu bahwa musuhnya jauh lebih kuat dalam hal jumlah maupun ilmu silat, namun sebagai putera seorang Panglima yang berkuasa di Pak-khia, tentu saja ia tidak sudi digertak mentah-mentah seperti itu. Katanya kepada Lim Hong-pin, "Kau lihat pakaian yang dipakai oleh Hehou Im? itulah pakaian seragam perwira tentara Kerajaan Manchu Yang Agung. Siapa yang berani melukainya ketika dia memakai seragam itu, berarti orang yang melukainya itu sama saja dengan melukai Hukum Kerajaan!"

Sahut Lim Hong-pin, "Jika Hukum Kerajaan ingin memaksakan kekuatannya kepada kami, maka ia harus memiliki pedang yang lebih tajam dari pedang kami. Kau boleh saja mempertahankan orang itu, tapi kami sudah bertekad untuk merebutnya dengan cara apapun. Dia orang Hwe-liong-pang dan akan diadili dengan peraturan Hwe-liong-pang pula!"

Pakkiong Hok mengertakkan giginya, sungguh kehilangan muka kalau ia tunduk ancaman Lim Hong-pin itu. Namun ia juga cukup menyadari kenyataan bahwa kekuatannya saat itu jauh di bawah kekuatan Hwe-liong-pang, apalagi kalau Hwe-liong-pang bersekutu dengan orang-orang Ki-lian-pay dan tamu-tamunya. Ia tidak ingin mengorbankan nyawa ratusan anak buahnya hanya untuk membela nyawa seorang Hehou Im...
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 35

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 35

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Lalu merekapun tertawaa terbahak-bahak dengan gembiranya, di antara mereka nampaklah Bu-thian Hweshio, Liong-hou Hweshio dan lain-lainnya yang dulunya menjadi murid-murid perguruan-perguruan bersih itu. Sudah lama mereka mengimpikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar seorang murid atau anakbuah yang diperintah kesana kemari, dan kini impian mereka itu rasa-rasanya sudah diambang pintu.

Kata seorang lainnya, "Dan beberapa tahun lagi, kita bukan saja merupakan orang-orang terdekatnya Bulim Bengcu, tetapi juga orang-orang terdekat dari Kaisar. Ha-ha-ha... kalau Hiangcu menjadi Kaisar, bukankah kita yang setia mendukungnya ini akan menjadi Panglima, Menteri, Rajamuda atau Gubarnur?"

"Tapi jangan lupa, bahwa sekutu Te-liong Hiangcu saat ini, yaitu Pakkiong An, juga memiliki cita-cita yang sama dengan Te-liong Hiangcu sendiri. Jadi agaknya Hiangcu masih harus menyingkirkan saingannya itu."

"Setelah menjadi Bulim Bengcu, apa susahnya menyingkirkan Panglima tua berpenyakit bengek itu? Dengan satu kalimat perintah saja maka ribuan tokoh rimba persilatan yang berilmu tinggi akan bergerak, siapa yang sanggup membendung kekuatan sebesar itu. Meskipun Pakkiong An memiliki puluhan ribu prajurit?"

Namun di saat mereka berqembira sambil membicarakan kemenangan-kemenangan yang bakal mereka raih, tiba-tiba dari arah puncak gunung itu nampak ada belasan sosok bayangan sedang bergerak cepat ke arah mereka. Belasan orang itu macam-macam, ada hweshio ada imam ada pula orang biasa, tetapi kesamaan dalam diri mereka adalah gerakan mereka yang bagaikan burung saja dalam melintasi lereng gunung yang tidak rata itu.

Bu-thian Hweshio terkejut ketika melihat salah seorang dari orang-orang yang mendatangi itu. Katanya dengan bibir agak gemetar, "Itu paman guruku, Hong-seng Hweshio. Sialan si keledai gundul tua itu tidak mampus dalam ledakan tadi, aku sekarang harus kabur sebab tidak akan sanggup melawannya..."

Sedangkan Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay juga dengan cemas melihat salah seorang dari orang-orang yang menuruni lereng itu, "Dan itu adalah suhengku Thian-sek Hweshio dan Sute-ku Kim-hoan Hweshio, akupun lebih baik kabur karena tidak sangngup melawan mereka berdua!"

Demikianlah beberapa orang dari antek-antek Kui-kiong itu menjadi agak gentar juga ketika melihat orang-orang bekas seperguruan mereka itu memburu ke arah mereka. Namun karena banyak teman, maka merekapun menjadi besar hati, Kata salah seorang Kui-kiong, “Jangan lari, kita sambut mereka. Betapapun lihainya mereka, kita berjumlah banyak dan bukankah tugas kita untuk menumpas siapa saja yang lolos dari ledakan?"

Diingatkan akan tugas yang dibebankan Kui-Kiong ke pundak mereka, maka Bu-thian Hweshio serta Liong-hou Hweshio batal melarikan diri. Merekapun segera mempersiapkan senjata mereka, Bu-thian Hweshio dengan sebatang Kay-to (Golok Suci) dan Liong-hou Hweshio dengan sepasang gelang emas besar yanq masing-masing diukir dengan kepala naga dan harimau. Sepasang gelang itu nampaknya cukup berat, tapi Liong-hou Hweshio dapat memegangnya dengan ringan saja seolah-olah hanya terbuat dari rotan.

Yang tiba paling dulu adalah Hong-seng Hweshio. Pendeta yang biasanya suka tertawa itu kini nampak merah padam wajahnya dan langsung melompat ke hadapan Bu-thian Hweshio. Bentaknya menggelegar, “Murid murtad, tak kusangka kalau selama ini kau ternyata adalah seorang musuh dalam selimut, bukan saja bagi Siau-lim-si tetapi juga bagi dunia persilatan, sampai tega hendak membunuh sekian banyak orang untuk memenuhi cita-cita majikan busukmu dari Kui-kiong itu!"

Bu-thian Hweshio insyaf tak mungkin mungkir atau menghindari lagi, meskipun hatinya bergetar tapi ia balas membentak paman gurunya itu, "Susiok, jangan terlalu mendesak aku sehingga aku bertindak kurang hormat kepada susiok. Yang kulakukan ini sebenarnya demi mengangkat nama Siau-lim-pay yang selama ini kuanggap bergerak terlalu lamban di bawah pimpinan Ciangbun Supek, menjadi sebuah perguruan yang besar dan ditakuti seluruh dunia, tapi semua usul-usulku ditolak oleh ciangbun Supek sehingga tidak ada kemajuan sedikitpun bagi kita...“

"Tutup mulutmu!!" bentak Hong-seng Hweshio marah, "Kau tidak puas kepada cara Ciangbunjin memimpin perguruan kita, itu hakmu, tetapi kau terperosok ke dalam rangkulan Te-liong Hiangcu itu benar-benar memalukan. Tidak ingatkah kau bahwa puluhan hahun yang lalu Te-liong Hiangcu pernah menyerbu Siong-san, gunung suci kita, menginjak-injaknya dan menodainya dengan darah? Dan sekarang kau malah bergabung dengannya?"

Bu-thian Hweshio tertawa dingin, "Ya, karena Te-liong Hiangcu secita-cita denganku, untuk memajukan dunia persilatan. Siapa yang bercita-cita tinggi, dialah seperjuangan denganku. Siapa yang merintangi, harus disingkirkan tanpa peduli hubungan masa lalu!"

Hong-seng Hweshio yang tidak pandai berdebat itu sampai gemetar tubuhnya, ia hanya menuding wajah Bu-thian Hweshio sambil berkata, "Kau...kau...kau iblis berwajah manusia! Mulai hari ini kau bukan murid Siau-lim-pay lagi, dan demi membersihkan perguruan kau harus kubunuh!"

Bu-thian Hweshio tertawa tergelak-gelak dan sikapnyapun semakin kurangajar, "Ha-ha-ha-ha...baik, hubungan putuspun baik! Apa gunanya aku bernaung lebih lama lagi dalam tubuh sekumpulan keledai gundul cengeng. Lebih baik ikut Te-liong Hiangcu untuk meraih kemuliaan!"

"Setan alas, kau benar-benar sudah sesat pikiran! Sekarang kembalikan semua ilmu-ilmu yang kau dapat dari Siau-lim-si!"

Berbareng dengan bentakannya yang terakhir itu maka tubuh si rahib tua itu mulai bergerak lebih dulu. Tangan kiri dengan dua jari terbuka mengarah ke mata keponakan muridnya yang murtad itu dengan gerakan Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara), sementara tangan kanannya dengan kelima jari yang terkembang lebar telah meluncur pesat ke pundak lawan dengan gerak Oh-liong-tam-jiau (Naga Hitam Mengulurkan Kuku). Tujuan Hong-seng Hweshio tidak lain adalah mencengkeram remuk pundak keponakan-muridnya itu untuk memusnahkan ilmu silatnya.

Bu-thian Hweshio sebagai orang Siau-lim mengenal bahwa paman guru yang satu ini menguasai ilmu andalan Liong-jiau-kang (Kekuatan Kuku Naga) yang mengutamakan kekuatan jari-jari tangan itu. Siau-lim-si memiliki banyak sekali jenis ilmu-ilmu sakti, sehingga setiap tokohnya tidak sanggup menguasai semua ilmu itu bagaimanapun tekunnya berlatih.

Maka masing-masing biasanya mengkhususkan diri dalam satu atau dua macam ilmu saja. Itupun kalau dilatih dengan tekun dan benar akan merupakan ilmu yang dapat diandalkan dalam gejolak dunia persilatan. Demikian pula Hong-seng Hweshio ini, meskipun ia bisa memainkan banyak ilmu Siau-lim-si lainnya, tapi Liong-jiau-kang inilah yang paling digemarinya.

Cepat Bu-thian Hweshio melangkah mundur memutar goloknya dalam satu lingkaran besar untuk memapas tangan paman gurunya. Namun betapapun hebat kepandaian Bu-thian Hweshio tentu saja ia belum sanggup menandingi paman gurunya yang termasuk angkatan tua Siau-lim-pay yang jumlahnya tinggal sedikit dan terkenal kesaktiannya itu. Dengan sekali kebasan lengan jubah Hong-seng Hweshio yang longgar itu.

Maka putaran goloknyapun menjadi kacau karena tertekan oleh hawa pukulan yang tak nampak namun terasa kehadirannya dan menyesakkan napas. Dengan gugup Bu-thian Hweshio meloncat mundur, sementara paman gurunya dengan garang terus mendesak. Di saat terjepit itu Bu-thian tidak malu-malu lagi berteriak kepada teman-temannya, "He, tolong aku!"

Seorang anak buah Kui-kiong segera meloncat ke arena dengan membawa golok Ku-gi-to, ia bernama Hoan Sam-sing dan terkenal mahir dengan permainan golok yang punggungnya bergerigi seperti gergaji itu. Teriaknya. "Saudara Bu-thian, kubantu kau mengatasi keledai tua ini!"

Lalu goloknyapun menyambar dengan gerakan Oh-hun-hoan-hui (Awan Hitam Bergulung), menyerang dari samping demikian cepatnya sehingga bentuk golok itu tak terlihat lagi dan hanya mirip segulung asap yang menyambar. Dilihat dari gerakan pertamanya itu, agaknya orang ini tidak kalah dari Bu-thian sendiri.

Demikianlah Hong-seng Hweshio si macan tua dari Siau-lim-pay itu harus menghadapi keroyokan dua orang anak-buah Kui-kiong yang bersenjata golok, hanya dengan sepasang tangan kosong saja. Namun si jago tua itu ternyata masih berbahaya juga, dengan jari-jarinya yang terbuka seperti kuku naga itu ia akan sanggup melubangi kulit daging lawannya atau mematahkan tulang-tulang mereka.

Meskipun tua namun napasnya tidak gampang kehabisan, sebab di Siau-lim-si ia gemar melakukan semedi untuk memupuk tenaga dan membersihkan pikirannya, sedangkan di tiap pagi hari ia berlatih dengan Liong-jiau-kang nya untuk kesehatan tubuhnya. Dengan demikian Bu-thian dan Hoan Sam-sing tidak dapat mengandalkan kemudaan mereka untuk mencari keunggulan.

Bahkan semakin berkeringat maka Hong-seng Hweshio semakin tangkas, dan cengkraman kuku naganya dahsyat menderu di udara. Tidak jarang dengan beraninya pendeta tua itu menggunakan jari-jarinya yang kuat itu untuk menjepit atau mencengkeram golok lawannya. Dua lawan satu dan yang dua itu bersenjata pula, namun tetap yang unggul di atas angin adalah yang satu orang, sehingga akhirnya terjun lagi seorang anak buah Kui-kiong ke arena.

Seorang bertubuh kurus kecil namun sangat tangkas dalam memainkan senjatanya yang berupa liang-ciat-kun (tongkat ganda yang berantai di tengahnya) yang diputar begitu cepat sehingga menimbulkan suara berdesing. Dengan demikian barulah kelihatan agak seimbang.

Sementara itu yang tiba di tempat itu bukan saja Hong-seng Hweshio tapi juga menyusul berturut-turut Pat-hong-kiam-kong Kiau Bun-han dari Hoa-san-pay serta dua orang adik seperguruannya, Kongsun Tiau dari Jing-sia-pay, Kim-hoan dan Thian-sek Hweshio dari Go bi-pay. Serta beberapa tokoh terkemuka lainnya.

Sama seperti yang dilakukan oleh Hong-seng Hweshio tadi, begitu datang mereka langsung mencari murid-muri murtad dari perguruan mereka sendiri-sendiri. Terjadi saling memaki yang gaduh, disusul dengan adu senjata. Namun para murid murtad itu dibantu oleh orang-orang Kui-kiong lainnya sehingga terjadilah pertempuran sengit di tempat itu.

Memang benar tokoh-tokoh terkemuka dan berbagai perguruan itu berilmu tinggi, namun dengan jumlah yang jauh lebih banyak, orang-orang Kui-kiong itu dapat bertahan sambil menantikan daangnya bala bantuan. Baik dari Te-liong Hiangcu sendiri maupun dari Pakkiong An. Sementara Hong-seng Hweshio dan lain-lainnyapun juga tidak dapat berbuat terlalu banyak, sebab orang-orang Kui-kiong itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh pula. Dapat dimengerti kalau Te-liong Hiangcu memilih mereka untuk menyusup ke dalam berbagai perguruan, dan bukannya keroco-keroco yang dipilih untuk pekerjaan itu.

Tidak lama kemudian, dari pinggang gunung muncullah sekelompok orang yang bajunya sama dengan baju para murid-murtad yang sudah menanggalkan seragam perguruan masing-masing itu. Yang paling depan adalah Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe serta Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian, dua orang bekas bajak di sungai Yang-ce-kiang yang belakangan ini bergabung dengan Kui-kiong.

Tapi kemunculan merekapun mendapatkan lawan-lawan berat, sebab dari arah markas Ki-lian-pay di puncak gunung itupun nampak berlari-lari belasan orang bersenjata. Merekalah orang-orang dari berbagai perguruan yang datang menyusul Hong-seng Hweshio dan lain-lainnya.

Kedatangan mereka yang agak lambat itu karena gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang kalah tinggi dari Hong-seng Hweshio dan tokoh-tokoh angkatan tua lainnya. Di antara orang-orang yang muncul gelombang kedua inipun nampaklah Bu-gong Hweshio serta beberapa pendeta yang memakai nama "Bu" dari Siau-lim-pay, di antaranya Bu-sian dan Bu-teng Hweshio yang pernah ikut menyerang Penjara Kerajaan di Ibukota Pak-khia dulu, juga beberapa imam Bu-tong-pay yang rata-rata bersenjata pedang itu, sebab Bu-tong-pay memang terkenal dengan ilmu pedangnya.

Pertempuran di lereng itupun bertambah riuh dengan datangnya rombongan baru dari kedua belah pihak itu. Bu-gong Hweshio segera meloncat ke hadapan Tiat-pwe-siang Song Hian dan membentak, "Bangsat! Aku masih ingat tampangmu, kau dulu ikut menyerbu Siong-san bersama Te-liong Hiangcu keparat itu!"

Song Hian yang bertenaga besar dan besenjata sebuah gada besi berpenampang segi delapan itu tidak gentar melihat si pendeta berambut panjang yang kelihatannya seram itu. Ia balas berteriak, "Itu sudah puluhan tahun yang lalu, dan saat itu begitu banyak keledai gundul yang kubunuh sehingga saat ini tidak ada salahnya kalau kubunuh seekor lagi keledai gondrong..."

Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, sebab Bu-gong Hweshio telah mengayunkan senjata Hong-pian-jian nya untuk menyerang dengan menimbulkan deru angin dahsyat. Song Hian terkejut melihat kehebatan tenaga lawan, tapi diapun tidak mau kalah, segera dikerahkannya kekuatannya dan ia pun menyambut senjata lawannya dengan keras lawan keras. Maka pertarungan antara kedua orang itu ramai dengan benturan-benturan senjata yang memekakkan telinga, sebab kedua belah pihak tidak suka menghindari benturan.

Tapi lama kelamaan Song Hian merasakan tangannya pegal dan napasnya memburu sedang Bu-gong Hweshio terus menyerang seperti gelombang laut menerjang pesisir, tak habis-habisnya. Keduanya memang bertenaga besar, namun dasar latihan mereka berbeda. Song Hian mendapatkan tenaga kasarnya dengan membina tubuhnya dengan cara-cara sederhana seperti mengangkat batu-batu besar, kayu-kayu raksasa dan lainnya sehingga yang didapatkannya melulu tenaga luar.

Sedang Bu-gong Hweshio adalah murid Siau-lim-pay, selain melakukan latihan-latihan keras dengan benda benda berat, dia juga melatih pernapasan dan cara-cara menyalurkan dan menyimpan tenaga, sehingga dalam benturan-benturan itu bukan melulu ototnya yang berperanan tetapi juga lwe-kang (tenaga dalam) yang dipupuknya dengan tekun itu.

Dalam permulaannya memang kelihatan seolah-olah Song Hian di bajak dari sungai Yang-ce-kiang itu dapat menandingi tenaga Bu-gong Hweshio tanpa terdesak, tapi ketika benturan terjadi belasan bahkan puluhan kali, maka ketahanannyapun runtuh. Tenaga ototnya tidak sanggup menandingi tenaga otot lawannya yang dilambati dengan latihan pernapasan yang teratur itu.

Sementara itu si Naga Hitam Tio Hong-bwe dengan tombak berkaitnya juga telah membentur seorang lawan yang tidak tanggung-tanggung, Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, pendekar terkenal dari Hoa-san-pay yang setingkat dengan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) Tong Wi-hong dari perguruan Soat-san-pay yang kebetulan hari itu tidak hadir di situ. Tentu saja dalam belasan jurus saja Tio Hong-bwe sudah pontang-panting tak keruan, pundaknya luka dan ikat kepalanya terpapas putus, masih untung bukan kulit kepalanya yang terkelupas.

Bagaimanapun ketatnya ia bertahan, ujung pedang perak Auyang Seng yang seolah-olah terpecah menjadi ribuan buah dan menyergap dari segala penjuru itu benar-benar sulit dijaga, dan tetap saja berhasil menyusup masuk pertahanan-nya. Ketika datang dua orang Kui-kiong lainnya untuk membantunya, barulah si bajak Yang-ce-kiang itu pulih kembali kegarangannya.

Pertempuran ternyata tidak terjadi di situ tempat saja. Orang-orang Kui-kiong agaknya menggunakan siasat menyerbu dari segala jurusan untuk mencoba membingungkan lawan mereka. Dari jurusan lain muncul sekelompok orang yang dipimpin oleh Sip-hiat-mo-hok liong Pek-ji, sementara kelompok-kelompok lainnyapun bermunculan dengan dipimpin masing-masing oleh Sin-bok Hweshio si pendeta murtad dari Ngo-tay san, Tang Kiau-po si raja ular berambut merah dari Thay-san, juga Yo Ciong wan dan Ki Peng-sian yang kini terang-terangan mengenakan pakaian seragam orang Kui-kiong, tidak peduli lagi andaikata ditemui oleh orang-orang seperguruan mereka.

Dari arah lain menyerbulah sepasang kakak beradik Im Yao dan Im Kok bersama sepasukan anak-buah mereka. Namun baru dilawan sebentar saja mereka sudah mengundurkan diri, dan dengan alasan yang dibuat-buat Tiat-ci-hok Im Yao menjauhi pertempuran. Anak buahnya heran mendengar perintah pemimpin mereka itu, namun mereka tidak berani membantah, bahkan merasa kebetulan karena "diselamatkan" dari amukan para pendekar yang marah itu.

Di medan laga, orang-orang Kui-kiong yang tadinya dipuja-puja oleh anak buah mereka seperti Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji si kelelawar peminum darah, ternyata tidak dapat malang-melintang seenaknya. Liong Pek-ji bertemu dengan musuh bebuyutanya sejak masih sama-sama muda dulu, yaitu si pendekar wanita Tong Wi-lian. Begitu berjumpa, keduanya langsung saling gempur dengan pukulan-pukulan maut andalan masing-masing.

Dengan ilmu Tiang-seng-siu-bok-kangnya yang selama tahun ini sudah disempurnakan dengan cara-cara ilmu hitam, seperti minum darah anak perawan dan tidur di dalam peti mati untuk dikubur beberapa hari, Liong Pek-ji berharap kini ia dapat membalas kekalahannya dari Tong Wi-lian beberapa puluh tahun yang lalu.

Dan Tong Wi-lian sendiri memang merasakan betapa garangnya tandang lawan lamanya itu, jauh berbeda dengan dahulu, dan lapat-lapat dari tubuh Liong Pek-ji juga terpancar semacam hawa gaib yang bisa melemahkan lawannya, karena selama memperdalam ilmunya itu Liong Pek-ji agaknya juga mendapat bimbingan dari Te-liong Hiangcu yang merupakan "guru besar"nya ilmu hitam di jaman itu.

Karena tidak menduga bahwa Liong Pek-ji telah mengalami peningkatan ilmu sepesat itu, maka Tong Wi-lian agak terkejut pada gebrakan pertama, sehingga ia sempat terdesak mundur beberapa langkah untuk memperbaiki kedudukannya yang agak kacau.

Melihat itu, Liong Pek-ji tertawa seram,, “Bagus, perempuan bangsat, aku akan membalas kekalahanku dulu dan membantaimu di Ki-lian-san ini. Jangan menangis dan jangan menyesal, sebab tidak akan ada yang membantumu di sini! Ki-lian-san sudah terkepung rapat oleh Kui-kiong kami."

Habis berkata, Liong Pek-ji kembali menerkam dengan dahsyat, bahkan kali ini ia langsung mencabut sepasang belati yang dipegang di kedua tangannya, agaknya ia bermaksud menyelesaikan pertempuran secepat-cepatnya. Sepasang belatinya terlihat menjadi beribu-ribu batang yang menikam serentak bagaikan hujan deras.

Tapi kali ini Liong Pek-ji agak gegabah. Memang benar ia berhasil mendesak mundur lawannya tadi karena lawannya terkejut dan kurang siap, namun begitu pendekar wanita dari An-yang-shia mendapatkan kembali kemantapan dirinya, maka ia bukan cuma bertahan tapi juga balas menyerang dengan tangkas. Tong Wi-lian mengelak dengan lincahnya semua serangan Liong Pek-ji dan detik berikutnya sepasang kakinya sudah mulai beraksi dengan tendangan Wan-yo-lian-hoan-tui andalannya.

Sebuah tendangan yang deras menqarah ke lambung Liong Pek-ji, membuat si "kelelawar" itu terkejut. Ia menyilangkan sepasang belatinya untuk "menggunting" pergelangan kaki Tong Wi-lian, namun pendekar wanita itu dengan kelemasan kakinya telah mengubah tendangannya ke arah kepala, begitu cepatnya, sehingga topi runcing yang dipakai Liong Pek-ji itu tersambar jatuh meskipun Liong Pek-ji sudah berusaha secepat-cepatnya untuk menundukkan kepalanya.

Kedua orang itu meloncat saling menjauhi, dan masing-masing menginsyafi bahwa lawan masing-masing telah jauh lebih maju ilmu silatnya dari duapuluh lima tahun yang lalu. Liong Pek-ji menyadari bahwa untuk memenangkan pertempuran itu agaknya mereka berdua harus mengulangi pertempuran maha sengit seperti di Siong-san dan Tiau-im-hong berpuluh tahun yang lalu.

Pada kesempatan itu Tong Wi-lian melepaskan ikat pinggang suteranya yang dijadikan senjata andalannya itu. Pendekar wanita itu merasa bahwa Liong Pek-ji terlalu berbahaya untuk dihadapi dengan tangan kosong saja. Setelah saling menatap dengan penuh kebencian, kedua musuh bebuyutan itupun kemudian terlibat dalam suatu perkelahian yang sengit. Liong Pek-ji dengan sepasang pisau belatinya mencoba memaksakan sebuah perkelahian jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek.

Namun sepasang kaki Tong Wi-lian ternyata amat lincah dalam melangkah maupun berloncatan menjaga jarak, dan selendang suteranya itu berkibaran bukan saja kelihatan indah tetapi juga mengandung serangan-serangan maut yang tak terduga. Kadang-kadang begitu lemas meliuk-liuk seperti seekor burung hong yang menari di udara, dan di lain saat apabila Tong Wi-lian menyalurkan tenaga dalamnya maka selendang itu menjadi kaku seperti toya yang berputar bagai prahara menggulung lawannya. Diam-diam-diam Liong Pek-ji menjadi ngeri karenanya, tapi mereka sudah terlanjur berhadapan dalam sebuah arena yang sengit.

Tidak jauh dari situ, suami Tong Wi-lian, yaitu Ting Bun, dengan goloknya juga telah terlibat dalam pertempuran hebat melawan seorang paderi yang berpakaian indah, dengan tasbeh dari mutiara hitam yang mahal, dan jari-jari tangan yang dihias cincin berlian yang berkilau-kilauan Sin-bok Hweshio. Pendeta gadungan anak buah Te-liong Hiangcu itu mati-matian memutar toyanya untuk mempertahankan diri dari golok Ting Bun yang menyambar-nyambar dengan garangnya itu.

Ting Hun-giok berkelahi melawan seorang Kui-kiong yang bersenjata pedang, sementara itu Sebun Him untuk menunjukkan kehebatannya telah memilih lawan yang paling berat. Ketika ia melihat dua orang sesepuh Ki-lian-pay sedang melawan seorang berjubah merah, berambut merah dan bersenjata tongkat panjang dari besi yang diukir berbentuk ular-ularan itu, maka Sebun Him segera meloncat mendekat sambil berteriak,

"Kedua locianpwe dari Ki-lian-pay, silahkan menyingkir sebentar, biar kuhajar ular tua dari Thay-san ini!"

Di Hoa-san-pay dulu Sebun Him sudah melihat kehebatan Ang-mo-coa-ong (Si Raja Ular Berambut Merah) ini, yang bisa menyelamatkan diri meskipun menghadapi keroyokan ayahnya dan dua orang paman gurunya. Namun setelah menemukan ilmu Kun-goan-sin-kang peninggalan Tiat-sim Tojin di ruang bawah tanah Kui-kiong.

Maka Sebun Him agaknya kehilangan pengamatan yang tepat atas tingkatan ilmunya sendiri, dipikirnya siapa saja sudah bisa dilawannya. Maka kini ia ingin menjajal Ang-mo-coa-ong, kalau bisa mengalahkannya tentu namanya akan terangkat naik dan boleh jadi saat itu Ting Hun-giok akan berubah sikap terhadapnya.

Sementara itu kedua sesepuh Ki-lian-pay yang tengah memeras tenaga melawan Ang-mo-coa-ong itu terkejut juga melihat seorang anakmuda tak dikenal begitu takabur ingin melawan Ang-ino-coa-ong seorang diri. Namun sebelum mereka menyahut, terdengar Sebun Him berkata lagi,

"Sebun Him yang berjuluk Se-him (Beruang Barat) dari Hoa-san-pay punya dendam sakit hati sedalam lautan dengan Kui-kiong, harap kedua locianpwe memberi kesempatan!"

Kalau urusannya sudah menyangkut "dendam" maka dunia persilatan ini memang melupakan nai yang pantang dicampuri pihak ketiga. Karena itu, begitu mendengar alasannya, maka kedua tokoh Ki-lian-pay itu serentak berloncatan dari arena. Sementara itu Sebun Him telah meloncat masuk ke gelangganq, ia memegang pedangnya dengan tangan kiri dengan mengerahkan kekuatan Kun-goan-sin-kangnya, jurus Sin-liong-wi-khong-coan (Naga Sakti Bergulingan di Udara) dikeluarkan dan di sekitar tubuhnya bayangan pedang berlapis-lapis menderu ke arah lawannya dengan mengandung tekanan yang hebat.

Tadinya Ang-mo-coa-ong memandang rendah anakmuda kidal ini, tetapi begitu melihat serangan pertamanya, terkejutlah Ang-mo-coa-ong. Jelaslah lawannya yang muda itu lebih berat daripada dua orang Ki-lian-pay itu digabung menjadi satu. Maka cepat ia meloncat mundur, kemudian denqan sama cepatnya tahu-tahu ia mendesak kembala dengan gerakan Koay-bong-hoan-sin (Naga Siluman Berloncatan) ia maju dengan gerakan berbelok-belok membingungkan dan tahu-tahu tongkatnya yang berbentuk ular itu menghantam deras ke pelipis Sebun Him.

Cepat Sebun Him menekuk kedua lututnya serendah mungkin dan bersamaan dengan itu ujung pedangnya meluncur ke dada lawan dengan gerak Pek-coa-toh-sin (Ular Putih Menyemburkan Bisa). Cepat Sebun Him menekuk kedua lututnya serendah mungkin dan bersamaan dengan itu ujung pedangnya meluncur ke dada lawan dengan gerak Pek-coa-toh-sin (Ular Putih Menyemburkan Bisa).

Ketangkasan maupun kekuatan Sebun Him memang mengejutkan Ang-mo-coa-ong, sehingga tokoh tua dari Thay-san itu harus berhati-hati. Tak lama kemudian pertarungan mereka telah meningkat semakin seru.

Kedua tokoh Ki-lian-pay yang menyaksikan pertempuran itu diam-diam menarik napas, dan berpikir dalam hati, "Sungguh hebat anak-anak muda sekarang. Berpuluh tahun yang lalu Ang-mo-coa-ong sudah termasuk dalam deretan sepuluh orang sakti meskipun hanya menduduki urutan terakhir, dan kini tentunya ilmunya sudah makin matang meskipun kesegaran jasmaninya tidak sebaik dulu lagi. Namun kini tiba-tiba saja muncul seorang anakmuda tak terkenal yang langsung dapat menandingi setan tua ini, benar-benar luar biasa."

Sebun Him sendiri semangatnya berkobar setelah merasa bahwa Ang-mo-coa-ong yang terkenal itu ternyata bisa dilawannya dengan baik. Permainan pedangnya yang kidal lebih mempersulit lagi lawannya, sebab semua gerakannya adalah kebalikan dari gerakan-gerakan yang biasa.

Berpuluh jurus kemudian, Ang-mo -coa-ong yang tidak sabar lagi itu mulai mengeluarkan ilmu andalannya yang lain. Perlahan-lahan telapak tangannya mulai berwarna merah, makin lama makin tua warnanya dan merambat ke atas lengan, sampai akhirnya kedua tangannya dari ujung jari sampai sikunya berwarna merah tua. Namun Sebun Him belum menyadari bahaya itu, sebab Ang-mo-coa-ong memakai jubah lengan panjang dan perhatian Sebun Him juga melulu pada tongkat besi lawannya.

Ketika sudah merasa tiba saatnya, Ang-mo-coa-ong pura-pura terdesak meskipun sebenarnya kepandaiannya tidak kalah dari Sebun Him. Tongkatnya hanya digunakan untuk menangkis pedang lawannya sambil berloncatan mundur. Sementara Sebun Him mendesak dengan beringas seperti seekor beruang yang sedang marah.

Bertubi-tubi pedang di tangan kirinya menyerang dengan jurus-jurus Sian-jin-ki-loh (Sang Dewa Menunjukkan Jalan), Thian-hoa-kap-teng(Bunga Langit Menghamhur Kepala), Hun-hoa hut-liu (Menebar Bunga Mengebut Pohon Liu) yang semuanya hanya ditangkis atau dielakkan oleh musuh, sehingga Sebun Him menjadi besar hati, “Ular tua! Inilah hari kematianmu!"

"Apa benar begitu?" Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po tertawa dingin.

Berbareng dengan habisnya kata-katanya, ketika pedang Sebun Him meluncur datang, maka dengan tongkatnya ia menghantam pedang dari samping dengan gerakan berputar untuk memunahkan tenaga lawan, ia hanya menggunakan tangan kirinya untuk memegang tongkat nya. Sebun Him yang terlalu bernafsu melancarkan jurusnya tadi, tiba-tiba merasa pedangnya terputar dan seolah-olah dicelupkan ke dalam sebuah pusaran air yang maha kuat, hampir saja terlepas dan tangannya kalau tidak digenggamnya erat-erat.

Saat Sebun Him kelabakan itulah maka Ang-mo-coa-ong tiba-tiba menggeram keras dan telapak tangannya menghantam ke depan. Telapak tangan yang berwarna merah darah dan mengandung hawa pukulan yang sanggup meremukkan segumpal batu karang sekalipun. Begitu cepat dan begitu mendadak, sampai Sebun Him hanya melongo saja melihat serangan telapak tangan itu meluncur deras ke kepalanya.

Dua orang tokoh Ki-lian-pay yang sejak tadi masih berdiri di samping arena untuk menyaksikan pertarungan itu, terkejut karena mereka tahu bahwa Sebun Him yang masih muda dan kurang pengalaman itu kini telah terjebak dan bahkan nyawanya terancam. Yang seorang berteriak dengan gugup,

"Awas, Sebun Siauhiap!" sedangkan yang lainnya bukan cuma berteriak tapi bahkan dengan beraninya meloncat ke tengah gelanggang sambil menikamkan pedangnya dengan gerak Ngo-eng-bok-cho.

Sebun Him memang terselamatkan oleh tindakan orang Ki-lian-pay itu. Ang-mo-coa-ong yang marah karena hampir terkena pedang orang Ki-lian-pay itu dengan geram mengibaskan tongkatnya untuk menangkis pedang orang Ki-lian-pay itu sampai tersuruk ke samping, dan hampir bersamaan telapak tangannya mendarat amat telak di iga orang itu.

Seperti selembar karung yang tak ada isinya, orang Ki-lian pay itu jatuh ke tanah dengan tubuh terlipat, tanpa mengeluh sedikitpun nyawanya sudah kabur meninggalkan raganya. Ia menjadi korban Ang-se-tok-jiu (Pukulan Beracun Pasir Merah) yang dahsyat dari iblis gunung Thay-san itu.

Sebun Him berkeringat dingin karena tahu bahwa nyawanya baru saja lolos dari lobang jarum meskipun untuk itu harus ada seorang lainnya yang menjadi korban pukulan Ang-se-tok-jiu. Kini ia sadar bahwa orangtua berambut merah itu bukan lawan empuk seperti yang diduganya semula.

Sementara itu seorang Ki-lian-pay yang satu lagi itu amat marah akan kematian saudara seperguruannya itu. Pedangnya yang tadi telah disarungkannya kini dihunusnya kembali, katanya kepada Sebun Him, "Sebun Siauhiap, kini dendam dan sakit hati bukan hanya tertanam antara kau dan iblis tua itu, tapi juga antara kami dengan dia. Mari kita hadapi berdua!"

Sesaat hati Sebun Him meronta karena keangkuhannya tersentuh, kalau ia harus menghadapi Ang-mo-coa-ong berdua, bukankah kalau menang nanti pahalanyapun harus dibagi dua? Rasanya ia ingin merebut semua jasa dan sanjungan untuk dirinya sendiri, tetapi dia tahu bahwa Ang-mo-coa-ong terlalu berbahaya untuk dihadapi sendirian saja. Akhirnyaa Sebun Him menganggukkan kepalanya. Apa boleh buat, untuk pertama kalinya sejak ia turun dari gunung Hoa-san, dia harus main keroyok karena musuhnya memang terlalu kuat.

Sebaliknya Ang-mo-coa-ong yang justru tidak sabar ingin segera membinasakan musuh-musuhnya. Ketika kedua orang itu tengah bercakap-cakap, Ang-mo-coa-oang telah memutar tongkatnya dengan suara menderu, bagaikan segumpal awan merah ia melesat maju. Tongkat di tangan kanan dengan gerak Heng-sau-jian-kun (Menyapu Bersih Seribu patukan) menghantam ke pinggang Sebun Him, sementara telapak kiri yang berwarna merah karena mengandung kekuatan Ang-se-tok-jiu itupun menghantam ke batok kepala orang Ki-lian-pay itu dengan gerakan Cong-thian-bau (Meriam Menembus langit). Dua serangan yang sama-sama membawa kehancuran dilaksanakan sekaligus dalam satu gebrakan.

Sebun Him cepat menangkis sapuan ke pinggangnya dengan Tay-peng-tian-ci (Garuda Membuka Sayap), sementara dengan cepatnya pedang kidalnya membalas menyabet ke leher lawan dengan Pok in-koan-jit (Awan Putih Menutup Matahari). Di lain sisi, orang Ki-lian-pay itupun ternyata cukup tangkas untuk menghindari pukulan ke kepalanya dan bahkan pedangnya berkelebat menusuk ke pinggang Ang-mo-coa-ong.

Demikianlah terjadi pertempuran antara ketiga orang itu. Satu lawan dua ternyata Si Ular Tua dari Thay-san itu masih sanggup menghadapi lawan-lawannya denqan beringas, ra benar-benar lincah dan licin mirip seekor ular dalam menghindari terkaman lawan-lawannya, namun kemudian membalas mematuk atau membelit dengan garangnya.

Sedangkan Sebun Him yang amat bangga dengan julukan Beruang Barat yang diberikan kawan-kawan seperguruannya di Hoa-san, agaknya memang cocok dengan julukan itu. Tubuhnya yang tinggi tegap, tenaganya yang sangat kuat dan gerak-geriknya yang dahsyat itu benar-benar membuat Ang-mo-coa-ong tidak berani lengah sedikitpun.

Bahkan Ang-mo-coa-ong tidak berani berbenturan tenaga tuanya tidak akan sanggup adu panjang napas dengan anak-muda. la lebih mempercayakan perlawanannya kepada kegesitan dan kelicinan tubuhnya yang mirip seekor ular itu, sementara Ang-se-tok-jiunya masih juga mencari kesempatan untuk dihantamkan sebagai pukulan penentuan.

Sedang si orang Ki-lian-pay bukan sekedar pelengkap saja, meskipun ilmunya paling rendah di antara ketiga orang itu, namun bukan berarti ia "pupuk-bawang" dalam pertempuran itu. Dengan pedangnya yang gesit dan mantap, dia cukup dapat mempengaruhi keseimbangan pertempuran itu.

Di sekitar gedung Ki-lian-pay yang sudah roboh itu, di lereng-lereng dan pinggahg gunung, pertempuran berlangsung di mana-mana. Beratus-ratus orang dari pihak Ki-lian-pay dan tamu-tamunya, dan beratus-ratus pula orang dari pihak Kui-kiong dan begundal-begundalnya, namun tak ada seorangpun yang masih menganggur.

Semuanya sudah mendapatkan lawannya masing-masing dan saling melabrak dengan penuh kebencian. Apabila seorang berhasil nembunuh lawannya, maka iapun mencari lawan baru dan akan menemukan lawan barunya yang barangkali juga baru saja melangkahi mayat korbannya.

Korban-korban berjatuhan. Di antara orang-orang yang bertempur itu yang paling marah adalah orang-orang Ki-lian-pay sendiri. Mereka merasa upacara yang merupakan kehormatan mereka itu telah dirusak oleh ulah orang-orang Kui-kiong, dan bahkan mereka hampir saja mati semua karena dikhianati.

Dengan dipimpin oleh sang Ketua yang sebenarnya pelantikannya belum selesai, The Toan-yong, orang-orang Ki-lian-pay berkelahi seperti serigala-serigala kelaparan yang bahkan tidak sayang nyawa sendiri, meskipun lawan-lawan mereka lebih banyak dan secara perseoranganpun lebih tangguh dalam hal ilmu silat.

Dalam keseluruhan, pertempuran itu seimbang, sebab tamu-tamu Ki-lian-pay juga bertempur dengan penuh semangat, karena memusnahkan orang-orang Kui-kiong adalah tanggung-jawab seluruh umat persilatan yang beraliran putih, bukan tanggung-jawab Ki-lian-pay saja. Di mana-mana terdengar senjata yang gemerincing berbenturan, teriakan teriakan keras saling memaki penuh kebencian dan tak ketinggalan jerit kesakitan atau bahkan kematian kalau tubuh mereka disusupi ujung senjata.

Namun keseimbangan antara kedua pihak itu berubah ketika dari kaki gunung tiba-tiba terlihat ratusan orang yang berbaju kuning berlarian mendaki ke atas dengan bersorak-sorai sambil mengacung-acungkan senjata. Setelah mereka cukup dekat, baarulah terlihat bahwa mereka ternyata adalah prajurit-prajurit Kerajaan Manchu dari pasukan yang sering disebut menurut warna pakaian seragam mereka, yaitu Ui-ih-kun atau Pasukan Baju Kuning.

Panglimanya adalah Pakkiong An, namun yang memimpin serbuan kali ini bukan Pakkiong An sendiri melainkan putera kesayangannya dan satu-satunya, Pakkiong Hok. Didampingi oleh perwira-perwira Ui-ih-kun lainnya seperti He-i hou Im yang berjulukan Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), Ibun Hong serta seorang jago dari Tibet yang berpakaian serba merah yang tidak diketahui namanya karena sulit diucapkan, namun hanya dikenal julukannya sebagai Hui-hwe niau (Si Burung Api Terbang).

Pakkiong Hok yang bertubuh ramping, tegap, tampan dan terbungkus) dengan pakaian kuning dengan krah biru serta kepalanya memakai topi berhias benang merah dan sehelai bulu burung merak (topi yang dipakai oleh orang-oranq berpangkat di jaman Manchu itu), nampak berloncatan denqan gesitnya di depan pasukannya.

Langkah-langkahnya mantap dan ringan, menandakan ilmu siatnya yang cukup hebat dan ditangan kanannya tergenggam pedang terhunus yang berkilat-kilat. Adik sepupu dari Pakkiong Liong itu memang memiliki ilmu silat yang baik, meskipun masih kalah dibandingkan Pakkiong Liong yang berjulukan Naga Utara itu.

Di samping anakmuda putera Panglima itu, nampak Hehou Im dengan senjata Tiat-koan (besi melengkung tajam), bekas Tongcu pengikut Te-liong Hiangcu di jaman Hwe-liong-pang dulu. Dan di jaman ini, Hehou Im pula yang berhasil menghubungkan antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiangcu, sehingga dua orang yanq sama-sama berambisi menguasai dunia itu berhasil membentuk kerjasama mereka.

eskipun masing-masing pihak sadar bahwa suatu saat ada kemungkinan mereka akan menjadi musuh besar demi memperebutkan kemenangan yang mereka capai bersama. Penyerbuan di Ki-lian-san inipun adalah rencana bersam antara kedua sekutu itu.

Begitu mendekati arena, Pakkiong Hok berteriak, "Atas nama Kaisar, aku perintahkan semua pemberontak-pemberontak Ki-lian-pay dan teman-temannya untuk meletakkan senjata dan kami tangkap. Yang membangkang akan ditumpas tanpa ampun!"

The Toan-yong marah mendengar seruan itu, teriaknya, "Ki-lian-pay tidak pernah mengusik sesama manusia, tidak pernah melanggar hukum negara, malahan kami yang hampir saja dihancurkan dengan bahan peledak tanpa mengetahui apa kesalahan kami. Kalau Tay-jin (panggilan hormat untuk para pejabat atau orang berpangkat) ingin menangkap penjahat dan pengacau, tangkaplah orang-orang Kui-kiong itu!"

Tentu saja Pakkiong Hok tidak akan menangkap orang-orang Kui-kiong yang merupakan komplotannya sendiri itu, maka tanpa peduli teriakan The Toan-yong itu ia berseru lagi, "Turuti saja semua perintahku! yang kusuruh menyerah adalah orang-orang Ki-lian-pay dan teman-teman mereka, bukan lawan-lawan mereka!"

Sadarlah kini The Toan-yong bahwa memang ada semacam kerjasama yang keji antara Kui-kiong dengan pihak pasukan Manchu berbaju kuning ini. Alasan apapun yang dikemukakan oleh pihaknya tidak bakal digubris oleh pasukan Manchu itu, tidak peduli alasan yang sangat masuk akal sekalipun. Maka merasa tidak ada gunanya bersikap hormat kepada orang-orang Manchu itu, The Toan-yong justru telah berteriak kepada segenap anggotaa Ki-lian-pay,

"Melawan terus sampai titik darah terakhir! Orang-orang Kui-kiong memang telah berkomplot dengan anjing-anjing Manchu itu untuk menyudutkan dan memusnahkan Ki-lian-pay dan kehormatan kita!"

Ucapan itu tentu saja membakar semangat orang-orang Ki-lian-pay, Bahkan juga orang-orang lain yang bukan anggota Ki-lian-pay tetapi bertempur di pihak Ki-lian-pay. Saat itu memang sedang berkembang ketidak-senangan para pendekar bangsa Han kepada pemerintahan bangsa Manchu yang memerintah negeri dibawah Kaisarnya yang muda belia, Khong-hi, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai "Kaisar bertangan besi" itu.

Meskipun tidak ada pemberontakan terang-terangan, namun setiap ada kesempatan tentu terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak pemerintah Manchu. Entah dengan alasan apa, orang Han merasa diri mereka dijajah oleh orang Manchu yang dianggap sebagai "bangsa lain" meskipun sama-sama berkulit kuning dan bermata sipit dan bahasanyapun hampir sama, yang berbeda hanya cara berpakaiannya.

Meskipun Kaisar Khong-hi dengan bijaksana mencoba merangkul bangsa Han, memajukan kebudayaan Han dan sebagainya, namun garis pemisah itu masih terasa juga. Dan kini orang-orang Ki-lian-pay dan tamu-tamunya yang tengah bertempur itu, yang semuanya adalah orang Han, terbakar perasaan kesukuannya ketika mendengar seruan The Toan-yong itu. Teriakan-teriakan "jangan menyerah" atau "bunuh Manchu" terdengar di mana-mana.

Menghadapi keadaan seperti itu, ternyata sikap Pakkiong Hok menjadi keras pula. Dengan kibasan pedangnya ia memberi isyarat kepada pasukannya untuk menyerbu. Maka berloncatanlah prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu memasuki gelanggang. Meskipun prajurit-prajurit Ui-ih-kun tidak setangguh prajurit-prajurit Hui-liong-kun pimpinan Pakkiong Liong yang memang terkenal berani mati itu, namun kali ini yang dibawa oleh Pakkiong Hok biarpun sedikit namun orang-orang pilihan semuanya.

Apalagi sejak kejadian pembobolan Penjara Kerajaan dulu, Pakkiong An merasa malu karena ketidak-becusan pasukannya dalam menjaga tawanan, dan sempat mendapatkan teguran yang memerahkan telinga dari Kaisar sendiri, maka sejak itu ia memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengadakan latihan-latihan secara teratur agar kerjanya tidak makan dan tidur saja.

Kini begitu prajurit-prajurit itu memasuki arena dengan barisan menebar seperti busur rasaksa, maka pihak Ki-lian-pay dan teman-temannyapun mulai mendapat kesulitan. Apalagi di antara pasukan kerajaan itu ada jago-jago tangguh seperti Pakkiong Hok sendiri, Hehou Im, Ibun Hong dan Hwe-niau dari Tibet itu.

The Toan-yong mencoba menghadang Pakkiong Hok meskipun untuk itu ia harus memeras tenaganya, sebab adik sepupu Pakkiong Liong itu ternyata mampu bermain pedang dengan amat tangkasnya didukung kecepatan dan kekuatannya yang terpupuk dengan baik. Demikian pertempuran itupun menjadi pertempuran yang seru, sulit diketahui Pakkiong Hok atau The Toan-yong yang akan keluar sebagai pemenang.

Pada saat yang sama di sebelah lain para perwira Pakkiong Hok sudah menemukan lawan tanding masing. Hwe-niau dari Tibet memegang sebua pisau yang pendek melengkung yang oleh orang-orang Tibet atau Nepal disebut pisau Kukri, yang menurut ilmu silat mereka dikhususkan untuk menyambar putus leher musuh.

Maka begitu Hwe-niau turun ke gelanggartg, dua orang murid Ki-lian-pay dan seorang Go-bi-pay tersambar putus lehernya olehnya, gerakannya demikian cepat sehingga dengan pakaiannya yang serba merah itu ia benar-benar mirip seekor burung api yang tengah beterbangan, seperti julukannya.

Namun pada saat ia mengincar korbannya yang keempat, maka seorang tua berjubah biru telah merintanginya. Seorang tua yang umurnya kelihatannya sudah hampir tujuh puluh tahun namun masih kelihatan tegap dan berwajah merah sehat, sepasang matanya yang ternaungi sepasang alis putih seperti kapuk itu menyorot tajam, sehingga jagoan Tibet itu terkesiap.

Tapi sebagai pembunuh bayaran yang menganggap nyawa manusia seperti nyawa lalat saja, maka Hwe-niau tidak takut. Bentaknya, "Orang tua busuk, kenapa kau rintangi aku? Kalau kau ingin mampus, maka dalam beberapa hari lagi kau akan mampus sendiri karena usiamu yang sudah tua itu, kenapa aku harus mengotori pisau kukri-ku untuk mengiris lehermu yang keriput itu?"

Orangtua itu menyahut tenang, "Menyesal sekali, anak muda, bertahun-tahun aku selalu membersihkan pedangku dengan kain dan minyak, tapi sekarang agaknya akulah yang harus mengotori senjataku sendiri dengan darahmu. Sebab orang berwatak kejam seperti kau ini tidak pantas hidup lebih lama lagi di dunia, hanya mengganggu saja."

Gigi Hwe-niau gemertak karena marahnya. "Bangsat tua, sebutkan namamu sebelum kepalamu kupenggal dengan pisau kukri ini!"

"Cia Hok-tong, Ketua Cong-lam-pay!" sahut kakek berjubah biru itu dengan tegas dan singkat.

Hati Hwe-niau sebenarnya agak tergetar mendengarnya, namun ia berusaha untuk tidak menampakkannya. Bahkan sambil mengelus-elus pisaunya ia berkata, "Bagus, selama ini pisau kukriku hanya membunuh bangsat-bangsat tak bernama, tapi hari ini ia akan mendapat kehormatan untuk mengantarkan seorang Ketua aliran silat ke akherat."

Habis kata-katanya, Hwe-niau pun mulai bergerak, seperti seekor harimau lapar ia menerkam lawannya dengan pisaunya yang disabetkan langsung ke leher Cia Hok-tong. Ketika Cia Hok-tong meloncat ke samping untuk mengelak maka Hwe-niau memburunya, tetap dengan sabetan ke leher dan sasa-rannyapun hampir seluruhnya mengarah leher.

Namun dengan gerakan sederhana ini entah berapa banyak musuh yang dicopot kepalanya. Bahkan dalam petualangannya disemenanjung Malaka, ujung tenggara dari benua maha luas ini, Hwe-niau pernah memenggal kepala seorang Datuk yang mengaku ahli ulat nomor wahid di seluruh semenanjung. Kini yang dihadapinya adalah seorang Ketua sebuah aliran, namun Hwe-niau tidak kehilangan harapan untuk memenangkan pertarungan itu.

Sebaliknya Cia Hok-tong yang umurnya hampir tujuh puluh tahun itu tahu dirinya tidak mungkin menandingi anakmuda Tibet itu dalam hal kegesitan atau panjangnya napas. Ia memutuskan untuk menghemat tenaga tuanya dengan bertahan rapat sambil menunggu kesempatan menyerang. Dengan pengalaman tempur yang bertumpuk dalam dirinya, Cia hok-tong menjadi lawan yang sulit diatasi oleh Hwe-niau.

Meskipun orang tua itu tidak berloncat-loncatan seperti kijang untuk mengimbangi lawannya, dan ia hanya bersilat dengan langkah-langkah pendek sambil menggeser tubuhnya kesana kemari, namun alangkah sulitnya bagi Hwe-niau untuk menembus pertahanan si kakek itu.

Begitulah pertempuran berkobar hebat di lereng-lereng gunung Ki-lian-nan yang indah permai itu. Berpuluh-puluh korban di kedua pihak sudah jatuh, namun yang masih hidup belum jera juga dan masih haus menambah jumlah orang yang terbunuh, dan kadang-kadang ia menambah jumlah itu dengan dirinya sendiri. Sementara matahari telah mulai condong ke barat, sinarnya tidak sepanas tadi lagi, tapi hati orang-orang di lereng Ki-lian-san yang sedang tawuran itu justru semakin panas.

Dengan kedatangan prajurit-prajurit kerjaan Manchu yang dipimpin oleh Pakkiong Hok itu, pihak Ki-lian-pay dan teman-temannya jadi terdesak ke atas gunung. Hong-seng Hweshio dari Siau-lim-si yang dengan geram ingin menghukum keponakan muridnya yang murtad, Bu-thian Hweshio, terpaksa juga harus ikut bergeser ke puncak gunung karena desakan lawan.

Rahib tua itu bukan kalah melawan keponakan muridnya yang dibantu oleh kedua teman sekomplotanannya, melainkan karena teman-temannyapun bergerak mundur dalam satu garis karena tekanan pasukan kerajaan Manchu, sehingga jika ia tidak mundur maka ia akan ketinggalan dan "tenggelam" dalam pasukan musuh yang jelas akan berbahaya sekali.

Dalam hal ilmu silat perseorangan, barangkali prajurit-prajurit kerajaan itu tidak lebih dari murid-murid Ki-lian-pay yang di tingkat rendah. Namun sebagai tentara kerajaan mereka tidak hanya dilatih berkelahi secara perseorangan namun juga bertempur dalam barisan sesuai dengan ilmu perang.

Di sinilah kelebihan pasukan yang dibawa Pakkiong Hok ini. Mereka tidak berpencaran satu persatu, melainkan terpecah dalam regu-regu kecil yang membentuk semacam kerjasama rapi di seluruh pasukan, tidak ada yang keluar dari barisan, dan itu membuat lawan mereka kewalahan. Dengan semangat yang tinggi prajurit-prajurit Pakkiong Hok itu terus menggencet lawan mereka dengan dibantu oleh orang-orang Kui-kiong yang ternyata bertempur dengan amat kejam.

Pada saat keadaan berbahaya di mana pihak Ki-lian-pay dan orang-orang yang berpihak kepadanya itu sudah terjepit dan hampir tertumpas habis, tiba-tiba dari kaki gunung kembali muncul serombongan besar orang. Kali ini berpakaian hitam-hitam dan bahkan ada bendera berkibar-kibar pula, hanya saja dari kejauhan tidak jelas bendera apa itu.

Kemunculan rombongan baru itu benar-benar membuat Ki-lian-pay dan teman-temannya putus asa. Beberapa orang dari mereka berteriak seolah meratap, "Mereka berpakaian hitam-hitam, mereka pasti prajurit Manchu dari kesatuan Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) yang dipimpin oleh Pakkiong Liong!"

Isyarat itu ibarat lonceng kematian bagi orang-orang Ki-lian-pay dan yang berpihak kepada mereka. Sedangkan orang-orang Kui-kiong bersama dengan prajurit-prajurit Ui-ih-kun saja sudah merupakan lawan tangguh yang mendesak mereka tanpa terbendung, maka kalau ditambah lagi dengan Pasukan Naga Terbang yang terkenal itu, kemungkinan apa lagi selain kehancuran didepan mata? Apalagi kalau pasukan itu dipimpin sendiri oleh dua orang anakmuda yang namanya berpasangan menggetarkan jagad, Pakkiong Liong si Naga Utara dan Tong Lam-hou si Harimau selatan.

Dalam putus-asanya, terdengar The Toan-yong sambil bertempur melawan Pakkiong Hok, "Maju terus, pahlawan-pahlawan bangsa Han!”

Sedangkan pakkiong Hok sendiri kelihatannya tidak senang ketika melihat datangnya pasukan berpakaian hitam dari kaki gunung itu, meskipun andaikata mereka benar-benar Pakkiong Liong maka pekerjaannya akan lebih cepat selesai. Namun persaingan antara dua pasukan, Ui-ih-kun dan Hui-liong-kun, membuat Pakkiong Hok tidak senang kalau harus membagi pahala dengan Hui-liong-kun sebab ia yakin pasukannya sendiri sudah cukup untuk memenangkan perang itu.

Namun setelah orang-orang berbaju hitam yang jumlahnya ratusan orang itu semakin mendekat dan terlihat siapa mereka, maka nampaklah bahwa orang-orang itu semuanya memakai ikat kepala yang terdiri dari delapan warna putih, kuning, hijau, biru, coklat, ungu, hitam dan merah. Tiap-tiap kelompok dengan kepalanya sendiri-sendiri berbaris secara teratur di bawah pimpinan orang yang tidak berseragam, di bawah bendera yang sewarna dengan ikat kepala mereka.

Yang memimpin semuanya itu adalah seorang bertubuh kurus, usianya kira-kira setengah abad dan kepalanya ditumbuhi rambut-rambut pendek yang kaku. Agaknya orang itu tadinya gundul dan kini rambutnya sedang akan tumbuh. Dialah Lim Hong-pin yang dalam Hwe-liong-pang dulu bergelar Kim-liong Hiangcu, tokoh berkedudukan nomor empat di bawah Ketuanya sendiri. Dan orang-orang Hwe-liong-pang. Nampak delapan orang Tongcu dengan didampingi Hu-tongcu-nya masing-masing memimpin pasukannya di bawah bendera masing-masing kelompoknya.

Kedatangan mereka tentu saja mengejutkan orang-orang Kui-kiong, sebab bukankah menurut laporan mata-mata mereka bahwa orang-orang Hwe-liong-pang sudah kembali ke Tiau-im-hong? Kenapa sekarang mendadak muncul di Ki-lian-san dalam jumlah sebanyak ini? Mereka tidak tahu bahwa dalam hal kecerdikan, Te-liong Hiangcu masih di bawahnya Lim Hong-pin sehingga kali inipun pihak Kui-kiong sudah termakan oleh tipu daya yang diatur oleh Lim Hong-pin.

Begitu mendekati arena, terdengarlah suara Lim Hong-pin, "Saudara-saudara Ki-lian-pay dan yang berpihak kepadanya, kami berpihak kepada kalian!"

Suara itu dilontarkan dengan mengerahkan tenaga dalamnya sehingga bunyinya seperti seribu guruh meledak bersama di langit. Di seluruh arena pertempuran yang luas terbentang di lereng-lereng gunung itu, setiap telinga dari pihak manapun dapat mendengarnya dan bahkan hati mereka tergetar hebat.

Di situlah Lim Hong-pin menunjukkan kehebatannya sebagai ahli waris Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan Pegunungan Bu-san) yang terkenal itu. Di lereng Ki-lian-san yang penuh tokoh tokoh sakti dari berbagai pihak itu, rasanya tak seorangpun yang mampu menyejajari kehebatan tenaga dalamnya itu, bahkan rahib-rahib angkatan "Hong" dari Siau-lim-pay itupun paling paling hanya dapat mendekati tingkatnya.

Dan kepada orang-orang Hwe-liong-pang sendiri, Lim Hong-pin berseru, "Tidak ada ampun buat semua pengkhianat Hwe-liong-pang yang mendukunq Te-liong Hiangcu!”

Ucapan itu bagaikan aba-aba yang disambut dengan sorakan seluruh anggota Hwe-liong-pang itu. Segera mereka hendak menyerbu ke gelanggang, tapi Lim Hong-pin telah berteriak lagi, "Tunggu!"

Lalu kepada Pakkiong Hok dan pasukannya, Lim Hong-pin berkata dingin, "Kalian orang-orang Manchu, kali ini kuijinkan kalian pergi dari sini dengan selamat, sebab Hwe-liong-pang kami belum berniat membuka permusuhan dengan kalian. Cepat pergi!"

Keputusan itu memang mengejutkan semua orang. Waktu itu pertempuran sudah berhenti karena mendengar gelegar suara Lim Hong-pin tadi masing-masing pihak menghadapi kedatangan Hwe-liong-pang itu dengan sikap ragu-ragu, penuh perhitungan buat kemenangan pihaknya.

Keputusan Lim Hong-pin untuk membebaskan Pakkiong Hok dan pasukannya itu memang di luar dugaan, tak terkecuali orang-orang Hwe-liong-pang sendiri terkejut mendengarnya. Bukankah orang-orang Hwe-liong-pang itu dulu adalah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang pernah menjadi musuh bebuyutan orang-orang Manchu sesaat setelah Kerajaan Beng runtuh? Kenapa sekarang harus melepaskan mereka selagi diri sendiri punya kesempatan untuk menumpas mereka lebih baik?

"Hiangcu, benarkah kita harus melepaskan orang-orang Manchu yang merebut kita itu?" tanya Lam-ki Tongcu In Yong dengan penasaran.

Sahut Lim Hong-pin, "Nanti akan kujelaskan kepada kalian, jika kalian percaya kepadaku. Sekarang turuti dulu perintahku."

Para Tongcu Hwe-liong-pang itu ternyata menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap Lim Hong-pin, sehingga merekapun percaya bahwa tindakan Lim Hong-pin membiarkan pergi prajurit prajurit Manchu itu tentu ada alasan kuatnya. Maka mereka tidak membantah lagi.

Sementara di pihak Ki-lian-pay dan tamu-tamu lainnya masih timbul keragu-raguan bagaimana harus menghadapi sikap Hwe-liong-pang itu, namun belum terdengar seorangpun yang membantah keputusan Lim Hong-pin tadi.

Ketika melihat Pakkiong Hok dan pasukannya masih saja berdiri di situ dengan sikap bingung dan tak percaya, maka Lim Hong-pin berkata lagi, "Kalian tunggu apa lagi? Cepat pergi sebelum kesabaran kami habis, tetapi tinggalkan satu orang...."

"Siapa?" tanya Pakkiong Hok ragu-ragu.

Mata Lim Hong-pin yang tajam itu menyambar ke arah Hehou Im yang berdiri dengan muka pucat dan tubuh menggigil. Dan rasa-rasanya Hehou inu mendengar suara panggilan dari nerakaf ketika mendengar suara Lim Hong-nin yang tegas, "Orang yang bernama Hehou Im itu. Dia dulu adalah Tongcu bawahan Te-liong Hiangcu dan harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya kepada kami."

Meskipun Pakkiong Hok tahu bahwa musuhnya jauh lebih kuat dalam hal jumlah maupun ilmu silat, namun sebagai putera seorang Panglima yang berkuasa di Pak-khia, tentu saja ia tidak sudi digertak mentah-mentah seperti itu. Katanya kepada Lim Hong-pin, "Kau lihat pakaian yang dipakai oleh Hehou Im? itulah pakaian seragam perwira tentara Kerajaan Manchu Yang Agung. Siapa yang berani melukainya ketika dia memakai seragam itu, berarti orang yang melukainya itu sama saja dengan melukai Hukum Kerajaan!"

Sahut Lim Hong-pin, "Jika Hukum Kerajaan ingin memaksakan kekuatannya kepada kami, maka ia harus memiliki pedang yang lebih tajam dari pedang kami. Kau boleh saja mempertahankan orang itu, tapi kami sudah bertekad untuk merebutnya dengan cara apapun. Dia orang Hwe-liong-pang dan akan diadili dengan peraturan Hwe-liong-pang pula!"

Pakkiong Hok mengertakkan giginya, sungguh kehilangan muka kalau ia tunduk ancaman Lim Hong-pin itu. Namun ia juga cukup menyadari kenyataan bahwa kekuatannya saat itu jauh di bawah kekuatan Hwe-liong-pang, apalagi kalau Hwe-liong-pang bersekutu dengan orang-orang Ki-lian-pay dan tamu-tamunya. Ia tidak ingin mengorbankan nyawa ratusan anak buahnya hanya untuk membela nyawa seorang Hehou Im...
Selanjutnya;