Pendekar Naga dan Harimau Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 34

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Diam-diam Ting Bun dan Tong Wi-lian saling bertukar pandangan dengan penuh arti, mereka sama-sama heran bahwa anak gadis mereka tiba-tiba bisa demikian bersemangat membela Im Yao, dan kalau ini dihubungkan dengan sikap Sebun Him yang kelihatannya selalu cemburu tadi, agaknya mulai terbayang hubungan yang bagaimana yang terbentuk antara Ting Hun-giok, Sebun Him dan orang yang bernama Im Yao yang belum pernah mereka lihat tampangnya itu.

Dan kedua orang tua itupun mulai berdebar gelisah, akankah anak gadis mereka terpikat oleh orang yang bernama Im Yao dari Kui-kiong itu? Akankah mereka bermenantukan seorang penjahat, seorang pentolan golongan hitam yang tangannya berlumuran darah, meskipun telah bertobat? Sungguh tak terbayangkan, dan suami isteri setengah baya itu hanya menghibur hati sendiri dengan cara yang paling gampang: ah, belum tentu...

Sementara itu Ting Hun-giok telah berkata lagi, "Masalahnya menyangkut ratusan orang nyawa para pendekar yang akan dibantai oleh Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An. Kita semuanya harus ke Ki-lian-san, termasuk paman-paman dari Hwe-liong-pang itu. Untuk itu, ibu harus berhasil membujuk paman Siangkoan Hong dan paman Lim jika mereka nanti muncul. Bukankah mereka berasal sekampung-halaman dengan ibu dan teman bermain sejak kecil? Mereka tentu akan mendengarkan ibu, dan jika mereka setuju maka mau tak mau seluruh Hwe-liong-pangpun akan tunduk kepada perintah mereka."

Tong Wi-lian tersenyum, "Eh, setan kecil, jalan juga otakmu ya?"

"Ibu sanggup?"

"Baik," kata Tong Wi-lian. Baru saja ia mengatupkan mulutnya maka ia sudah dipeluk erat-erat oleh anak gadisnya itu.

Namun baik Ting Bun maupun Tong Wi-lian sekarang sadar, bahwa mulai detik ini juga mereka sudah tidak bisa lagi memperlakukan anak mereka seperti hari-hari kemarin, seperti memperlakukan kanak-kanak saja. Sekarang anak gadisnya telah mengalami suatu perubahan jiwa, nampaknya mulai menginjak sebuah masa yang indah, mulai mengenal arti yang lebih dalam hubungannya dengan sesama, terlebih lagi lawan jenisnya.

Kini tidak bisa lagi mendidik sekedar hanya dengan perintah dan larangan, dengan kembang gula apabila si anak menurut dan dipukul pantatnya dengan rotan apabila membangkang, tetapi kini diperlukan kebijaksanan dan keluwesan sikap.

Sampai fajar menyingsing, tidak ada gerakan apa-apa dari pihak Kui-kiong, agaknya semalam mereka mengalami pukulan yang cukup berat sehingga mereka memerlukan waktu untuk memulihkan kembali semangat mereka. Beruntunglah bahwa mereka dikelilingi telaga buatan yang dihuni ikan-ikan buas serta tembok tinggi yang mengelilingi mereka dengan hanya satu pintu gerbang maha kuat yang berlapis besi.

Bagi orang-oranq berilmu setingkat dengan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong atau Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin, ketinggian dinding maupun luasnya telaga itu bukan rintangan yang berarti, sebab dengan dua potong kayu mereka akan sanggup melintasi telaga itu tanpa tercebur ke dalamnya.

Namun hanya mereka berdua yang bisa berbuat demikian, lain-lainnya tidak, dan itu berarti mereka hanya menyerbu berdua saja ke dalam Kui-kiong dan itu berarti penyakit, sebab di balik bangunan itu Te-liong Hiangcu tidak sendirian saja melainkan didampingi oleh banyak jago-jagonya yang berilmu tinggi.

Tak lama setelah langit sebelah timur merekah dan keadaan hutan itu tak segelap tadi, dari sisi utara telaga terdengar sebuah suitan nyaring. Suitan itu bukan saja melengking tinggi dan terdengar sampai ke seluruh sisi telaga, tapi juga memanjang seperti seekor naga yang merintih dan orang yang bersuit itu seakan tidak bisa kehabisan napas.

Ting Hun-giok belum pernah bertemu sendiri dengan Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin, namun ia yakin bahwa yang bersuit itu tentu salah seorang dari kedua tokoh pewaris ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu, sebab di sekitar telaga itu tidak ada tokoh lain yang tenaga dalamnya sehebat itu. Te-liong Hiangcu barangkali bisa, namun buat apa ia bersuit-suit di pagi itu?

Sebun Him yang tertidur bersandar pohon itupun terbangun dan diam-diam ia pun terkejut mendengar suara itu. Tadinya ia mengira bahwa orang-orang terlalu melebih-lebihkan cerita tentang tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang, tapi sekarang agaknya ia harus percaya. Dari hal tenaga dalam saja mereka sudah tergolong tokoh yang sulit dicari bandingannya di jaman itu.

Suara suitan itu memang isyarat kedatangan Siangkoan Hong, dan sekaligus isyarat bagi semua Tongcu untuk berkumpul menerima perintah-perintah baru. Sambil mengusap-usap matanya, Ting Hun-giok bertanya kepada ibunya, "Yang datang itu paman Siangkoan atau paman Lim?"

Meskipun belum pernah bertemu dengan kedua pentolan Hwe-liong-pang itu, namun Ting Hun-giok langsung menyebut mereka dengan "paman" sebab ia tahu bahwa kedua pentolan itu berasal dari An-yang-shia pula, bahkan Ketua Hwe-liong-pang yang lalu adalah paman tuanya Ting Hun-giok.

Tong Wi-lian menyahut, "Aku mengenal suara suitannya adalah suara-Siangkoan Hong."

"Cepat ibu temui dia dan jangan lupa pesanku tadi malam," kata Ting Hun-giok dengan nada tergesa-gesa. "Jangan sampai paman siangkoan keburu pergi lagi....."

Tong Wi-lianpun segera meloncat pergi dari tempat itu dengan gerakan selincah seekor kijang. Meskipun ilmunya tidak setinggi Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang mirip malaikat atau iblis itu, namun pendekar wanita keluaran Siau-lim-pay itu dikenal karena ketinggian ilmunya pula.

Sementara itu, Sebun Him yang duduk tidak jauh dari ibu dan anak itu mendengar pula permintaan Ting Hun giok kepada ibunya untuk membujuk Siangkoan Hong agar menarik kepungan atas Kui-kiong dan mengalihkan seluruh perhatian ke Ki-lian-san. Tentu saja ini sangat tidak menyenangkan Sebun Him yang tengah dibakar kecemburuan itu. Yang dikehendakinya adalah kepungan diteruskan di situ sampai Teliong Hiangcu dan semua antek-anteknya, termasuk Im Yao, mati kelaparan semuanya.

Tapi Sebun Him sudah tentu tidak dapat ikut-ikutan membujuk Siangkoan Hong, sebab selain tidak kenal juga ia tahu dirinya belum cukup setimpal untuk berbincang-bincang dengan tokoh nomor tiga dari Hwe-liong-pang yang termasyhur itu. Ia hanya menarik napas, agaknya impiannya untuk duduk di mahligai indah bersama dengan gadis cantik she Ting itu masih akan menemui banyak hambatan.

Tapi ia tidak bermaksud untuk mundur dari arena persaingan. Ia punya banyak kelebihan dari Im Yao. Latar belakang dan asal-usul yang lebih terhormat, wajah yang lebih tampan, usia yang lebih muda, dan setelah ia menemukan Kun-goan-sin-kang di ruangan batu itu iapun merasa ilmu silatnya juga melebihi Im Yao, bahkan ia menyangka dirinya sudah bisa disejajarkan dengan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou dari Pak-khia yang terkenal itu.

Dengan begitu banyak kelebihan di pihaknya, alangkah tololnya kalau mengundurkan diri hanya karena sikap ketus Ting Hun-giok kepadanya. Ia tidak boleh putus-asa dan ia berkata dalam dirinya sendiri, "Suatu saat gadis itu akan dapat membandingkan sendiri siapa Sebun Him dan siapa Im Yao sehingga ia akan mengubah pilihannya."

Sementara itu, dengan meloncati semak-semak belukar dan melintasi diintara pohon-pohon besar yang pepat, Tong Wi-lian menyusuri pinggiran telaga ke arah utara. Dilihatnya beberapa Tongcu dan Hutongcu (wakil Tongcu) juga sedang berlari-larian ke arah yang sama dengan dirinya, agaknya sedang menuju ke tempat Siangkoan Hong pula.

Jika terang tanah, nampaklah bahwa hutan di sekeliling telaga itu benar-benar telah penuh dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus bermacam-macam senjata, boleh dikata di balik setiap batang pohon, di belakang setiap gerumbul semak maupun di atas setiap dahan yang cukup kuat untuk diduduki ada orang Hwe-liong-pang nya.

Tak sejengkal tanahnyapun yang tak terawasi, Te-liong Hiangcu dan komplotan Kui-kiong-nya benar-benar telah dilingkari oleh ujung-ujung senjata yang amat rapat. Namun orang-orang Hwe-liong-pang yang berjaga-jaga mengawasi Kui-kiong itu tidak ada yang merintangi Tong Wi-lian, sebab mereka tahu, siapa perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

Dari tempat asal suitan itu, nampaklah Siangkoan Hong sedang duduk di atas sebatang pohon yang rebah, didampingi seorang hweshio bertubuh kurus yang bermata tajam, itulah bekas orang keempat Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin, yang muncul kembali setelah menyembunyikan diri berpuluh tahun sejak bubarnya Hwe-liong-pang di Tiau-im hong dulu. Tapi kini ia bergabung kembali ketika mendengar bahwa Hwe-liong-pang bangkit kembali.

Selain itu, beberapa Tongcu dan Hutongcu sudah berkumpul dan berdiri dengan tegap, tapi masih menunggu beberapa Tongcu atau Hutongcu lainnya. Mereka yang bertugas di bagian selatan tentu memerlukan waktu untuk sampai ke situ, sebab mereka harus melingkari telaga.

Ketika melihat munculnya Tong Wi-lian, Siangkoan Hong tertawa dan berkata, "Silahkan duduk, A-lian. Suitan isyaratku tadi hanya untuk anak buahku, aku tentu saja tidak berani memanggilmu dengan cara bersuit seperti tadi."

Tanpa sungkan-sungkan Tong Wi-lian duduk dan menjawab, "Kita teman lama di An-yang-shia sejak masih sama-sama ingusan, A-hong, jangan sungkan-sungkan. Jika urusannya bukan tentang urusan rumah tangga Hwe-liong-pang kalian, aku ingin ikut berbicara dalam beberapa masalah.”

"Bukan urusan yang patut dirahasiakan," sahut Siangkoan Hong. "Kau dapat ikut berbicara, dan bagaimana dengan anak perempuanmu?"

"Secara tidak langsung Hwe-liong-pang kalian telah membantu memberi kesempatan kepada anak itu untuk lolos. Terima kasih.”

Sementara itu, ke delapan Tongcu dan delapan Hutongcu telah lengkap berdatangan, jadi semuanya enambelas orang. Mereka berdiri tegap menghadap Siangkoan Hong, dan setelah Siangkoan Hong mempersilahkan mereka untuk duduk, barulah mereka duduk. Ada yang duduk di rumput, di atas batu, di atas akar besar yang menonjol di tanah, atau yang cuma sekedar bersandar di pepohonan.

"Aku ingin mendengar laporan setiap Tongcu satu persatu, mulai dari Pek-ki Tongcu," kata Siangkoan Hong.

Oh Yun-kim sebagai Pek-ki Tongcu segera menjawab, "Tempat penjagaan kelompok Bendera Putih kami aman sepanjang malam, Teliong Hiangcu dan orang-orangnya mengkeret dalam berangannya seperti kura-kura."

Berturut-turut ketujuh orang Tongcu lainnya juga melapor, dan laporan mereka ternyata sama nadanya. Kesimpulannya, kepungan Hwe-liong-pang benar-benar rapat seperti tembok baja dan tidak ada "kebocoran" sedikitpun di segala bagian.

"Bagus, awasi terus. Bagaimanapun juga mereka tidak akan bertahan terus di dalam sebab itu akan membuat mereka mati kelaparan. Untung mereka agaknya punya persediaan makanan di dalam, tapi kita lebih. Untuk sebab kita yang mengepung dan mereka yang terkepung. Bagilah tugas antara anak buah kalian, jika sebagian berjaga maka sebagian lain harus beristirahat."

"Baik,"sahut kedelapan orang Tongcu dengan mantap.

Ketika kemudian salah seorang Tongcu melaporkan tentang berita yang dibawa oleh Ting Hun-giok tentang rencana keji di Ki-lian-san itu maka apa yang terjadi tadi malam terulang kembali, yaitu para Tongcu dan Hutongcu terpecah menjadi dua bagian yang setuju dan yang tidak setuju bahwa kepungan di tempat ini dibubarkan dan dialihkan ke Ki-lian-san, masing-masing dengan alasannya sendiri-sendiri. Tong Wi-lian yang ikut bicara itu berpihak kepada yang setuju memusatkan perhatian ke Ki-lian-san.

"Mencabut rumput harus seakar-akar nya."“kata Tong Wi-lian. "Percuma kita berhasil membumi-hanguskan Kui-kiong bersama seluruh orang di dalamnya, kalau kaki tangan mereka masih bertebaran di mana-mana dan bersembunyi dengan aman di balik kedok-kedok mereka. Mungkin mereka memang akan diam untuk sementara, tapi mereka akan menjadi bisul-bisul mematikan bagi dunia persilatan di masa datang. Seperti duapuluh lima tahun yang lalu kita gagal menumpas Te-liong Hiangcu meskipun kita berhasil menghancurkan sebagian kekuatannya, dan apa yang terjadi sekarang? Muncul Kui-kiong yang membuat huru-hara. Begitu pula kalau sekarang kita tidak tuntas menumpasnya, di kemudian hari entah muncul apa lagi."

"Tapi laporan itu belum tentu dipercaya, Tong Lihiap," sahut Hek-ki Tongcu yang sejak kemarin memang kurang menyetujui rencana itu. "Bukan berarti puteri Lihiap itu berbohong, namun dia sebagai seorang gadis muda yang kurang pengalaman, mudah saja diperalat oleh orang Kui-kiong, artinya sengaja diberi kesempatan untuk lolos dan sekaligus dipinjam mulutnya untuk menyiarkan berita bohong itu."

"Kwa Tongcu, anakku telah mengatakan pengalamannya sejak ia diculik dari kota Tiang-an dengan dikawal oleh orang bernama Im Yao itu diceritakannya pula bagaimana Im Yao sedikit demi sedikit mengalami perubahan jiwa ke arah yang baik. Di sebuah mata air kecil di perjalanan, anakku pernah mempertaruhkan sesuatu yang lebih berharga dari nyawanya, kehormatannya, untuk menguji sampai di mana perubahan jiwa orang Kui-kiong itu, dan ia lulus ujian. Padahal waktu itu kita belum mengepung tempat ini, apakah mungkin sikapnya yang baik itu hanya tipu muslihat seperti prasangka kita bahwa supaya kita membongkar kepungan kita? Tidak mungkin. Anakku mulanya sangat membeci orang itu, namun kemudian sampai berubah menjadi demikian mempercayainya bukankah ini cukup meyakinkan? Anakku tidak gampang berbalik sikap demikian tajam kalau tidak ada sesuatu yang benar-benar membuatnya yakin. Dan akupun tidak akan mempercayai anakku begitu saja, kalau ada setitik saja kelemahan atau kebohongan dalam ceritanya itu."

Orang-orang yang mendengarkannya terdiam. Kalau sudah Tong Wi-lian sendiri bersikap demikian teguh, maka agaknya berita itu memang harus dipertimbangkan. Kwa Tin-siong dan orang-orang yang sependirian dengannyapun mulai goyah pendiriannya.

Di tengah kesunyian itu terdengar suara Lim hong-pin sabar sekali, "Kalau sampai A-lian begitu yakin, pasti ada dasarnya. Biarpun yang bercerita adalah anaknya sendiri, tapi kalau kurang meyakinkan tentu tidak akan diambil alih begitu saja."

Semasa jayanya Hwe-liong-pang dulu, Lim Hong-pin adalah penasehat Hwe-Liong Pangcu Tong Wi-siang karena pandangannya yang luas dan sikapnya yang bijaksana. Meskipun usianya paling muda, namun Tong Wi-siang paling sering mendengarkan pendapatnya daripada mendengarkan Te-liong Hiangcu yang licik dan kemudian berkhianat, ataupun Siangkoan Hong yang meskipun jujur dan setia namun berwatak penaik darah dan keras kepala, sehingga pemikirannya seringkali diwarnai oleh wataknya itu.

Kini Lim Hong-pin sudah angkat bicara, tentu saja semua orang harus mempertimbangkannya. Ia tidak akan sembarangan saja membuka mulut, semuanya pasti telah dipertimbangkannya baik-baik. Kata Lim Hong-pin lebih lanjut, "Meskipun di antara kita ada perbedaan pendapat, tapi tujuan kita satu, ialah bagaimana menghancurkan Te-liong Hiangcu seakar-akarnya. Bukan saja karena sakit hati Hwe-liong-pang kita, tapi juga demi ketenteraman dunia persilatan. Dan aku cenderung memilih jalan yang diusulkan oleh Tong Lihiap tadi, memusatkan perhatian ke Ki-lian-san."

"Kenapa kau berpendapat begitu?"

"Karena beberapa waktu yang lalu, aku memang merasakan sendiri ada semacam kekuatan yang sedang membayangi gunung Ki-lian-san, ada orang-orang dengan gerak-gerik yang aneh seolah-olah sedang mengatur suatu rencana tertentu di Ki-lian-san nanti. Ketika aku mencoba menyelidikinya, mereka mendadak menghilang dan sulit dilacak jejaknya. Aku tidak berani menceritakan kepadamu, sebab aku belum yakin benar. Namun setelah sekarang mendengar cerita A-lian, aku mulai percaya bahwa rencana itu ada. Putera A-lian itu tidak sedang mengingau atau ditipu oleh orang Kui-kiong."

Kalau Lim Hong-pin sudah berkata demikian, maka yang tadinya kurang percayapun sekarang menjadi yakin. Sehingga tidak ada keberatan lagi ketika Siangkoan Hong memutuskan, "Kalau begitu, kita pusatkan kekuatan kita ke Ki-lian-san. Lebih asyik menumpas Te-liong Hiangcu sekaligus dengan seluruh begundalnya, daripada menghancurkannya dalam istana iblisnya di sini tapi begundalnya masih berkeliaran dimana-mana."

"Nanti dulu," kata Lim Hong-pin tiba-tiba.

"Kau ini bagaimana? Tadi menganjurkan dan sekarang mencegah?" tanya Siangkoan Hong dengan kening berkerut.

Lim Hong-pin hanya tersenyum saja sebab ia sudah hapal akan tabiat sahabatnya yang selalu tidak sabaran itu, katanya, “Maksudku, kalau kita memutuskan demikian, maka pelaksanaannya harus rapi agar gerakan kita tidak berantakan. Misalnya, bagaimana kita meninggalkan tempat ini tanpa menimbulkan kecurigaan Te-liong Hiangcu, dan kemudian perjalanan ke Ki-lian-san itupun memerlukan pelaksanaan yang baik pula, sebab jumlah anggota kita seribu orang lebih, Rombongan sebesar itu jika berjalan secara terang-terangan tentu akan menarik perhatian orang, dan kalau menimbulkan kecurigaan pemerintah Manchu maka jangan-jangan di tengah jalan kita sudah mendapat kerepotan lebih dulu?"

"Kau punya akal?"

"Dengarkan baik-baik, kita akan meninggalkan tempat ini tapi dengan memberi kesan seakan-akan sudah bosan menunggu. Te-liong Hiangcu kenal dengan watakmu yang berangasan dan tidak sabaran, sehingga diapun tentu yakin kau menjadi tidak sabar dan menarik seluruh orang kita dari hutan ini, lalu kita berbondong-bondong menuju Tiau-im-hong...."

"Kenapa bukan Ki-lian-san?"

"Jaringan mata-mata Te-liong Hiangcu sangat rapi, dan aku berani taruhan bahwa gerakan mundur kitapun akan diawasinya, karena itu kita tidak boleh langsung menuju Ki-lian-san supaya tidak menimbulkan kecurigaannya. Nah, di tengah jalan, barulah kita berbelok ke Ki-lian-san. Tapi tidak dalam barisan besar, melainkan orang demi orang dengan berbagai samaran dan jangan memakai seragam Hwe-liong-pang."

Tapi mata-mata Te-liong Hiangcu tentu akan curiga kalau melihat barisan kita tiba-tiba lenyap di tengah jalan."

"Sebagian dari kita memang tetap akan ke Tiau-im-hong secara menyolok mata, agar mata-matanya Te-liong Hiangcu mengira kita seluruhnya benar'benar pulang ke Tiau-im-hong, padahal sebagian dari kita menuju ke Ki-lian-san di luar pengawasan mereka. Dengan menyamar."

"Apakah hanya sebagian dari kekuatan kita saja sudah cukup?"

"Cukup. Yang berangkat ke Ki-lian-san itu biarlah delapan Tongcu dan delapan Hutongcu, masing-masing harus membawa seratus orang anggota kelompok mereka masing-masing yang terbaik dan ilmu silatnyapun tidak jelek. Seratus kali delapan sama dengan delapan ratus orang, aku kira cukup. Apalagi di sana kita akan bergabung dengan para pendekar yang membenci Kui-kiong."

Semuanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar rencana Lim Hong-pin yang cermat itu. Tidak percuma orang itu dulu menjadi penasehat dalam Hwe-liong Pangcu.

"Lalu kami sekeluarga harus bagaimana?" tanya Tong Hi-lian.

Kata Lim Hong-pin, "Kalian bukan anggota Hwe-liong-pang sehingga kami tidak berhak mengatur kalian, tapi jika kalian bersedia menyesuaikan langkah-langkah kalian dengan kami sehingga seirama, maka rencana kita untuk menumpas Te-liong Hiangcu itu tentu akan tuntas..."

"Tentu saja kami harus menyesuaikan diri," sahut Tong Wi-lian tegas. "Kami yang mengusulkan dan tentunya kami harus mendukung berhasilnya rencana ini."

Lim Hong-pin mengangguk lalu berkata, "Kau bersama suamimu, puterimu, dan barangkali juga Bu-gong Hweshio dan pemuda Hoa-san-pay itu apabila mereka bersedia, berangkatlah menuju Ki-lian-san secara terang-terangan, tidak usah menyamar segala. Kalian tidak akan dicurigai sebab upacara besar pengangkatan Ketua baru Ki-lian-pay itu memang disebarluaskan beritanya, sehingga orang tidak akan heran kalau melihat para pendekar berbondong-bondong menuju Ki-lian-san. Tapi di tengah jalan kau mendapat semacam tugas."

"Tugas apa?"

"Bukankah kau sudah tahu siapa-siapa orang-orang Kui-kiong yang menyusup masuk ke berbagai perguruan?"

"Anakku sudah menyebutkan beberapa nama kepadaku, tetapi katanya masih banyak yang belum diketahui, bahkan orang Kui-kiong yang memberitahu anakku itupun mengaku bahwa diapun tidak tahu seluruhnya. Te-liong Hiang-cu memang mengatur orang-orangnya dengan cara demikian. Seperti mata rantai yang satu dengan mata rantai yang lainpun tidak saling mengetahui secara jelas."

"Aku kira cukup. Hindari pengawasan ular-ular berkepala dua itu. Dan coba hubungi beberapa Ketua perguruan yang berpengaruh dan beberkan rencana kita ini, tapi hati-hatilah agar kau justru tidak salah menghubungi orang yang ternyata menjadi kaki tangan Kui-kiong. Sebab kalau kau menghubungi mereka akan sama saja membocorkan rencana kita ke telinga mereka tanpa sengaja."

"Aku akan sangat berhati-hati memilih orang yang aku ajak berembug tidak akan terlalu banyak orang-orang yanq benar-benar berpengaruh besar. Beberapa supek (uwa guru) atau susiok (paman guru) dari Siau-lim-pay agaknya akan menjadi kawan berbincang yang dapat dipercaya, sebab aku pernah belajar beberapa tahun di Siau-linpay dan aku kenal watak tabiat mereka satu persatu."

Ucapan Teng Wi-lian itu sangat meyakinkan, sebab siapapun di dunia persilatan, terutama kaum lurus, mengakui kepemimpinan Siau-lim-pay sebagai soko guru dunia persilatan di Tionggo-an.Tokoh-tokohnya pun mendapat tempat terhormat, di mana-mana. ementara itu Tong Wi-lian bertanya, "Tapi apakah Hwe-liong-pang kalian tidak juga menghubungi tokoh-tokon semacam itu?”

Lim Hong-pin menarik napas, "Kecurigaan para pendekar terhadap kami belum juga larut, meskipun resminya permusuhan sudah diakhiri dengan damai berpuluh tahun yanq lalu. Terpaksa kami tidak bisa melakukannya, sebab jika kami yang melakukan, mereka malah akan curiga jangan-jangan kami punya rencana licik macam apa? Biarlah di Ki-lian-san saja kami akan membuktikan ketulusan hati kami, dengan jalan menumpas Te-liong Hiangcu serta seluruh kaki-tangannya, meskipun Te-liong Hiangcu adalah bekas kawan kami."

Siangkoan Hong menyahut dengan geram, "Bekas kawan, tapi dialah yang membuat Hwe-liong-pang kami tercoreng hebat sehingga dicurigai orang-orang golongan putih. Kini dunia akan melihat sekali lagi bahwa kami dan Te-liong Hiangcu berbeda tempat berpijak."

Demikianlah keputusan itu. Namun sebelum para Tongcu dan Hutongcu kembali kekelompoknya masing-masing untuk membubarkan kepungan atas Kui-kiong, Lim Hong-pin sekali lagi memperingatkan para Tongcu dan Hutongcu itu,

"Kalian harus ingat bahwa hanya kalian berenam-belas yang tahu rencana ini. Tidak ada orang ketujuh belas yang tahu, meskipun dia adalah anggota terpecaya kalian, bahkan mungkin sahabat dekat kalian. Bukan karena meragukan kesetiaan mereka, tapi karena mungkin saja mereka lalai dan membocorkan rencana ini, misalkan karena mabuk arak. Dan kalianpun kularang minum arak sampai selesainya penumpasan Te-liong Hiangcu di Ki-lian-san nanti. Mengerti?"

"Paham, Hiangcu," sahut keenam-belas orang itu. Lalu merekapun bubar menjalankan perintah.

Perintah untuk membubarkan kepungan dan kembali pulang ke Tiau-im-hong itu tentu saja disambut dengan tanda tanya besar oleh segenap anak buah. Mereka penasaran kenapa tidak menunggui tempat itu sampai musuh mati kelaparan? Namun sebagai orang-orang yang terikat kepada tata-tertib tinggi, merekapun tunduk kepada perintah itu. Para Tongcu hanya memberi perintah singkat "bubarkan kepungan dan pulang ke Tiau-im-hong," tanpa penjelasan apa-apa lagi.

Yang paling kecewa tentu saja adalah Sebun Him yang ingin melihat Im Yao mati dalam keadaan tidak terhormat sama sekali, tapi agaknya keinginannya itu tidak akan terkabul, sebab kalau orang-orang Hwe-liong-pang meninggalkan hutan itu maka tidak mungkin ia sendiri akan terus menunggui tempat itu. Maka diapun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Ki-lian-san bersama-sama dengan Ting Bun dan keluarganya, serta Bu-gong Hweshio.

Sebun Him menyimpan harapan baru bahwa di Ki-lian-san nanti dia akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepahlawanannya dan mengangkat nama, dan ia juga berharap agar sempat membunuh Im Yao tapi tentu saja dengan tidak diketahui oleh Ting Hun-giok. Di sepanjang perjalanan, ia mencoba mengambil hati Ting Bun dan isterinya dengan kesopan-santunan yang luar biasa. Pikirnya, kalau orangtuanya sudah menaksir sebagai calon menantu, masakah anaknya berani menolak?

Sementara itu, di dalam Kui-kiong ketika Te-liong Hiangcu mendengar berita tentang ditariknya semua orang-orang Hwe-liong-pang dari hutan di sekitar telaga itu, maka diapun tercengang, namun kemudian sambil tertawa dari balik topeng perunggunya ia berkata, "Ha-ha-ha, si kerbau tolol Siang-koan Hong itu sifatnya masih saja seperti dulu. Berangsan dan tidak sabaran, merasa ia tidak mampu melintasi telaga dan membobolkan tembok ini, ia pun pulang begitu saja. Dasar kerbau dogol."

Semua anak buahnya hadir di hadapannya. Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap Darah) Liong Pek-ji, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Thay-san, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hek-Jiong Tiong Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian yang merupakan bekas-bekas bajak sungai Yang-ce-kiang yang rejekinya susut karena meningkatnya perondaan oleh armada pemerintah.

Lalu Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) Im Yao dan Im Kok yang masing-masing berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Sayap Besi) dan Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Arwah), yang pandangan matanya masih nampak dingin menyeramkan, tapi dari dalam hatinya sudah muncul kehangatan kemanusiaan mereka.

Semua anak buahnya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Te-liong Hiangcu tentang Siang-koan Hong itu. Hanya Im Yao dan Im Kok yang hampir pasti dapat menebak kenapa mendadak musuh membuka kepungan mereka, tentu Ting Hun-giok sudah memberitahukan tentang rencana gabungan Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An di Ki-lian-Ban pada hari ke sepuluh bulan depan.

Hati Im Yao terasa semakin hangat ketika mengenang Ting Hun-giok, tapi di hadapan Te-liong Hiangcu dia harus tetap dalam keadaan seperti biasanya. Dingin, seram dan tidak tanggung-tanggung dalam mengucapkan kata-kata yang dapat menggidikkan bulu tengkuk.

Sementara itu, Lionq Pek-ji bersungut-sungut karena minumannya, yaitu gadis-gadis yang diculiknya itu sudah kabur semua pada saat kekacauan terjadi tadi. Tapi ia tidak bisa marah kepada siapa-siapa, sebab Pui In-bun yang ditugaskananya untuk menjaga gadis-gadis itu sudah berubah menjadi arwah penasaran.

"Kita segera akan memusatkan perhatian ke Ki-lian-san," kata Te-liong Hiangcu. "Apakah sudah ada kabar dari si panglima tua itu?”

Yang menjawab adalah Sin-bok Hwesio, si pendeta gadungan yang berpakaian sangat mewah itu, "Kemarin telah diterima merpati pembawa surat dari Pak-khia. Panglima itu sudah siap dengan tigaratus prajurit pilihannya yang akan menyamar sebagai penduduk desa di sekitar Ki-lian-san. Di antaranya adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) Hehou Im, Hwe-niau (Si Burung Api) dari Tibet, Ibun Hong dan beberapa jago andalan mereka, dipimpin langsung oleh putera Pakkiong An sendiri, Pakkiong Hok."

"Bagus, dan orang-orang kita sendiri bagaimana kerjanya?"

“Bahan peledak sudah ditaruh di tempatnya masing-masing, terutama di dekat aula tempat akan dilangsungkannya upacara pengangkatan Ketua Ki-lian pay itu. Dan orang-orang Ki-lian-pay sendiri tidak tahu, kecuali mereka yang berpihak kepada kita."

Meskipun wajah Te-liong Hiangcu tak terlihat karena tertutup topeng perunggunya, tapi dari anggukkan kepalanya dia nampak puas sekali mendengar laporan-laporan itu. Katanya, "Cita-citaku yang sudah kucanangkan berpuluh tahun yang lalu, kini akan menjadi kenyataan. Tanggal sepuluh kita ledakkan Ki-lian-san, dan tanggal sebelasnya aku adalah Bu-lim Bengcu, orang paling berkuasa di dunia persilatan sehingga tak perlu lagi bersembunyi di balik topeng keparat ini. Ha-ha-ha-ha..."

Membayangkan kemenangan yang akan diraihnya, pengendalian diri Te-liong Hiangcu mengendor sehingga belum pernah anakbuahnya melihat ia tertawa sekeras itu. Di sela-sela tertawanya ia berkata lagi, "Setelah itu, cukup dengan satu perintah dan satu alasan yang kususun, maka aku akan menggerakkan dunia persilatan untuk membanjiri Tiau-im-hong dan menumpas Siangkoan Hong bersama barisan tikus busuknya. Mereka akan merasakan kelihaianku sebentar lagi!"

Anak buahnya pun nampaknya terpengaruh dan ikut bergembira pula. Hanya Im Yao yang berkata mengutuk dalam hatinya, "Kau akan menjadi Bu-lim Beng-cu, Hiangcu, tetapi di neraka. Dan itu lebih baik daripada kau mengacau dunia ini seumur hidupmu. Bila kau mampus, aku mampuspun rela."

"Jadi sekarang kita...?" tanya Liong Pek-ji.

"Menuju Ki-lian-san, batu loncatan kejayaan kita!” sahut Te-liong Hiangcu.

* * * * * * *

KI-LIAN-SAN menjelang upacara pengangkatan Ketua yang baru... Ki-lian-pay bukan sebuah perguruan yang besar, ia hanya sebuah perguruan yang sedang-sedang saja diantara sekian banyak perkumpulan atau perguruan yang seukuran dengannya di rimba, persilatan. Namun Ki-lian-pay terkenal sebagai sebuah perguruan aliran lurus yang mengajarkan murid-muridnya untuk selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran.

Hubungan dengan perguruan-perguruan lainpun cukup baik, mulai dari yang raksasa seperti. Siau-lim-pay, Bu-tong-pay atau Go-bi-pay, sampai yang "teri" seperti Ho-lian-pay. Hubungan yang luas itulah yang membuatnya dikenal. Ketua Ho-lian-pay yang lama sudah meninggal dunia sebulan yang lalu dan dengan rapat para sesepuh perguruan, disepakati bahwa murid tertua dari mendiang ketua yang lama akan menggantikannya sebagai Ketua.

Bukan sekedar karena ia murid tertua, tapi juga karena ia adalah seorang yang berbudi pekerti tak tercela serta memiliki ilmu silat yang baik pula. Dialah The Toan-yong yang berjulukan Pek-kui-to (Si Golok Petir), masa mudanya ia pernah merendahkan diri dengan menjadi seorang piau-su (pengantar barang) di perusahaan pengantaran barang Tiong-gi Piauhang pimpinan Gin-yan-cu Tong Wi-hong yang berpusat di kota Tay-beng. Namun dengan pengalaman dunia persilatan, dan itu cukup sebagai bekal dalam menjadi "jurumudi" Ki-lian-pay.

Berita pengangkatannya dengan cepat tersebar, dan beberapa tokoh berbagai perguruan telah menyatakan akan hadir sehingga Ki-lian-pay menjadi sibuk mempersiapkan diri. Gedung pusat perguruan Ki-liana-pay sendiri diperkirakan terlalu sempit untuk menampung tamu yang tentu akan berjumlah ratusan, maka dibangunlah barak-barak di luar bangunan gedung itu.

Meskipun hanya terdiri dari bambu dan kayu, namun cukup rapi dan dianggap cukup layak menerima para tamu untuk menginap semalam dua malam. Lagipula The Toan-yong tahu bahwa para tetamu tentu tidak akan bertingkah dengan menuntut pelayanan yang berlebih-lebihan.

Semakin dekat dengan hari pengkatan, semakin banyak orang-orang mengalir ke Ki-lian-san. Bukan cuma para pendekar tapi juga orang-orang yang hanya sok pendekar. Cukup asal berpakaian ringkas, membawa senjata dan muka dibikin angker, sudah mirip dengan pendekar betulan.

Berbondong-bondong berdatangan utusan-utusan dari Siau-lim-pay, Bu tong-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Heng-san-pay, Kay-pang, Cong-lam-pay dan sebagainya. Ada juga perguruan yang tidak dapat mengirimkan utusannya karena sempitnya waktu dan panjangnya jarak sehingga mereka merasa percuma saja mengirim utusan sebab pasti akan terlambat sampai di gunung Ki-lian-san. Barak-barakpun penuh dengan berbagai macam manusia. Pendeta, imam, pengemis, sastrawan dan orang-orang biasa.

Rombongan Go-bi-pay dipimpin seorang pendeta yang sudah sangat tua sehingga alisnya yang panjang itu sudah putih semuanya, bernama Thian-sek Hweshio dengan beberapa paderi angkatan yang lebih muda, di antaranya yang memiliki nama besar di dunia persilatan adalah Liong-hou Hweshio dan Kim-hoan Hweshio. Mereka menempati salah satu dari deretan barak sebelah timur, berdampingan dengan baraknya orang-orang Siau-lim-pay.

Besok pagi upacara akan diselenggarakan, dan hari ini para tamu masih belum punya acara apa-apa, kecuali saling berbincang dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa dan kini berjumpa di tempat itu. Di antara mereka yang bercakap-cakap satu sama lain itu nampaklah Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay bercakap-cakap dengan akrabnya dengan Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay di sebuah lereng gunung Ki-lian-san yang berpemandangan indah.

Mereka berdua saja, dan karena tampang mereka berdua begitu welas-asih, maka orang yang melihat dari kejauhan tentu menduga bahwa kedua-duanya sedang membicarakan soal-soal agama atau kesejahteraan sesama manusia.

Namun andaikata ada orang yang mendekati mereka dan mendengar percakapan mereka, tentu akan bergidik mendengar perkataan-perkataan mereka Tanya Bu-thian Hweshio, "Apakah semuanya beres?"

Sahut Liong-hou Hweshio, "Rapi semuanya. Besok tengah hari aula itu akan hancur berkeping-keping bersama orang-orang di dalamnya."

"Kudengar sesuatu terjadi di Kui-kiong?"

"Sedikit gangguan dari pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi sudah diatasi oleh Hiangcu dan teman-teman kita. Dua hari yang lalu aku menerima merpati pembawa surat dan di situ dikabarkan bahwa semuanya beres. Rencana tidak berubah."

"Baik. Kita berpisah."

Keduanyapun kemudian berpisahan. Dan ternyata kasak-kusuk macam itu terjadi di antara beberapa orang pula, bukan cuma kedua Hweshio itu. Kaki tangan Te-liong Hiangcu sudah tersebar dimana-mana, bercampur dengan kaum pendekar yang asli. Kawan dan lawan bercampur aduk tanpa dapat mengetahui sebab semuanya sama-sama bermuka ramah, bertutur-kata sopan dan akrab dan bergurau satu sama lain.

Tapi besok tengah hari, menjelang ledakan yang menghancurkan itu, maka mana yang serigala dan mana yang domba akan segera terlihat jelas, dan saat itu barangkali akan terjadi banjir-darah yang tidak kalah mengerikannya dengan yang di Tiau-im-hong berpuluh tahun yang lalu.

Namun di samping antek-antek Te-liong Hiangcu yang berkasak-kusuk, maka beberapa tokoh pendekar atau pemimpin para perguruan yang berpengaruhpun telah berhasil dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun dengan amat hati hati. Setengah percaya setengah tidak mereka mendengarkan pembeberan Tong Wi lian atau suaminya, apalagi ketika suami isteri itu menyebutkan keterlibatan beberapa orang murid dari perguruan terhormat, itu membuat tokoh-tokoh itu jadi termangu-mangu mendengarnya.

"Rasanya sulit dipercaya," kata Hong-seng Hweshio, pemimpin rombongan Siau-lim-pay ketika duduk berhadapan dengan Tong Wi-lian di baraknya. "Bu-thian adalah seorang murid yang tekun, berbakat, pintar dan juga berani. Dalam beberapa bulan terakhir ini, memang memperlihatkan ketidak-puasan atas kepemimpinan Ciangbun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi ketua) dan kadang-kadang mulutnya terlanjur mengeluarkan kata-kata yang keras dan tajam. Tapi sulit dipercaya bahwa dia adalah kaki-tangan Te-liong Hiangcu yang diselundupkan ke tubuh Siau-lim-pay kita."

Tong Wi-lian paham, benar watak su-siok (paman guru) yang satu ini, begitu lugu dan lurus sampai ia tidak percaya bahwa ada orang bisa selicik itu, dikiranya semua orang sama lurusnya dengan dirinya. Maka Tong Wi-lian harus dengan sabar menjelaskannya,

"Susiok, susiok kira akupun mudah menerima berita itu? Aku juga hampir tidak percaya ketika mendengar nama Buthian Suheng termasuk dalam deretan kaki tangan Te-liong Hiangcu, padahal hubunganku dengan Bu-thian Suheng termasuk cukup baik juga. Tapi kita memang harus sedia payung sebelum hujan, andaikata hujan tidak jadi turun ya malah kebetulan bukan?"

Hong-seng Hweshio termangu-mangu, namun ia menganggukkan kepalanya tanda setuju ketika Tong Wi-lian meminta agar paderi tua itu tetap menyimpan berita itu untuk dirinya sendiri lebih dulu. Begitu pula banyak pemimpin lainnya yang dihubungi oleh Tong Wi-lian merasa tidak percaya, tapi mereka menurut ketika pendekar wanita itu minta untuk bungkam lebih dulu dan mengadakan persiapan-persiapan yang tidak menyolok mata.

Kata pendekar perempuan itu. "Tidak ada ruginya kita bersiap-siap daripada menyesal dikemudian hari. Jika kalian minta bukti sekarang, maka terus terang saja aku tidak dapat membuktikannya, tapi aku mohon besok kalian mengawasi suasana selama berlangsungnya upacara di aula. Di situ kalian akan melihat apakah ucapanku benar atau bohong...."

Keesokan harinya, pelataran di depan gedung Ki-lian-pay menjadi meriah sejak pagi. Suara petasan berantai yang memekakkan telinga terdengar terus-menerus tak henti-hentinya, membuat pelataran itu penuh dengan serpihan serpihan kertas bekas petasan. Lalu disusul pertunjukan barongsay dan Liong yang didatangkan dari kota Siang-tan, kabarnya merupakan rombongan kesenian terbaik di kota itu dan sudah tiga kali menjuarai lomba barongsay di kota itu.

Para tetamu Ki-lian-pay masih berpancaran ke sana kemari, menikmati berbagai macam pertunjukan yang diselenggarakan, sebab upacara intinya sendiri baru akan berlangsung nanti tengah hari. Di antara para tetamu itu tentu saja ada segolongan orang yang sebentar-sebentar menengadah menengok matahari, dengan debaran jantung menunggu kapan si penerang jagad itu sampai di puncak langit. Tapi gerak-gerik segolongan orang itu tidak menimbulkan kecurigaan banyak orang, sebab apa anehnya kalau seseorang melihat langit untuk mengetahui waktu?

Dan saat yang mendebarkan itu tibalah, dari dalam aula terdengar suara lonceng besar dipukul berkali dengan irama tertentu. Petasan segera dimatikan dan semua pertunjukanpun berhenti mendadak. Murid-murid Ki-lian pay berbaris khidmat dengan pakaian seragam mereka, dan dengan langkah-langkah tanpa berisik mereka berbaris masuk ke aula dan kemudian berbaris rapi di kedua pinggiran, tak ada seorangpun bercakap-cakap atau membuat gerakan-gerakan yang tidak perlu.

Ditengah-tengah aula ada sebuah meja sembahyang besar beralaskan kain merah lebar dengan sesajian yang meliputi entah berapa puluh macam makanan, namun bau makanan itu masih tertutup oleh bau dupa yang dibakar di segala sudut. Di atas altar ada lambang besar perguruan Ki-lian-pay, di bawah lambang ada gambar seorang lelaki tua bertubuh gagah dan tangannya membawa pedang. Dialah pendiri Ki-lian pay beberapa ratus tahun yang lalu.

Setelah murid-murid Ki-lian-pay sendiri mengambil tempat, maka para tamupun memasuki aula menurut rombongannya masing-masing, juga dengan sikap hormat untuk menghormati pihak tuan rumah, dan tak lama kemudian aula itupun sudah penuh dengan manusia, namun tidak sampai berdesak-desakan. Suasana juga tidak sampai ribut, sebab masing-masing adalah orang-orang dunia persilatan yang sudah terbiasa dengan sikap tertib di perguruannya masing-masing. Begitu pula orang-orang yang tidak termasuk dalam perguruan manapun juga itu juga menyesuaikan diri dengan suasana.

Di antara mereka terdapatlah Tong Wi-lian yang berdiri sekelompok dengan Ting Bun suaminya, Ting Hun-giok puterinya dan Sebun Him yang sudah merasa dirinya sebagai "menantu idaman" keluarga pendekar dari An-yang-shia itu? Apalagi selama beberapa hari terakhir ini Ting Hun-giok sudah tidak bersikap dingin kepadanya. Ini dianggapnya sebagai "lampu hijau" buatnya, itulah sebabnya meskipun di situ juga ada rombongan Hoa-san-pay yang dipimpin langsung oleh Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han dan tokoh-tokoh lainnya termasuk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, tapi Sebun Him lebih "kerasan" berdekatan dengan gadis itu.

Tapi Tong Wi-lian dengan suami dan anaknya tidak sempat menggubris Sebun Him yang agak salah tingkah itu mereka bertiga lebih memusatkan perhatian mereka untuk memperhatikan orang-orang yang perlu dicurigai, dan mereka memang sempat melihat betapa orang-orang saling bertukar pandangan mata dan saling mengedipkan mata sebagai isyarat.

Desis Tong Wi-lian dalam hatinya, "Langit Maha Adil! Langit Maha Adil! Masih dilindungi-Nya umat-Nya yang berada di jalan benar sebanyak ini, sehingga digerakkan-Nya hati seorang Im Yao untuk membuka rahasia rencana ini kepada anakku, sehingga kamipun bersiap-siap untuk menghadapi rencana, itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan sekian banyak pendekar di ruangan ini, tentunya mereka akan meledak berkeping-keping dengan aula yang sudah penuh dengan bahan peledak ini, dan sebagian besar kekuatan dunia persilatan akan lumpuh, digantikan munculnya si durjana Te-liong Hiangcu sebagai penguasa dunia persilatan."

Sementara lonceng besar berbunyi lagi, lalu The Toan-yong sebagai calon ketua muncul dari samping altar diiringi beberapa tokoh Ki-lian-pay angkatan tua. Masing-masing sesepuh itu tangannya memegang benda-benda lambang kekuasaan perguruan atau benda benda upacara lainnya, seperti jubah untuk ketua, kitab yang berisi peraturan-peraturan perguruan, pedang pusaka, hio untuk memberi hormat kepada, lambang perguruan dan gambar pendiri Ki-lian-pay dan sebagainya.

Upacara dimulai dengan urut-urutan seperti yang telah ditentukan dan pada saat itulah maka antek-antek Te-liong Hiangcu mulai bergerak meninggalkan aula sebab mereka tidak ingin menyelinap keluar dan entah alasan apa saja yang mereka kemukakan kepada pemimpin rombongan masing-masing. Sungguh suatu kebetulan yang sangat aneh kalau dalam saat yang bersamaan sekian banyak orang hendak "buang air kecil" semuanya. Dan kenyataan itu membuat hatinya pedih, haruskah di gunung yang indah ini akan terjadi pertumpahan darah?

Ketika Bu-thian Hweshio mendesaknya sekali lagi maka Hong-seng Hweshio tidak menghalanginya lagi, dengan perhitungan tersendiri yaitu tidak ingin "memukul rumput mengejutkan ular". Sebab jika Bu-thian dilarang berkumpul dengan rekan-rekan sekomplotannya, maka rekan-rekan sekomplotan itu tentu akan curiga bahwa gerakan mereka sudah diketahui. Maka lebih baik para serigala berbulu domba itu dibiarkan berkumpul dulu dengan sesamanya, nanti akan lebih mudah menghadapinya. Dan Bu-thian Hweshio begitu mendapat ijinpun segera keluar dengan tergesa-gesa.

"Tahanlah, upacara ini tidak lama. Jangan sampai karena hal-hal kecil maka perguruan kita dicap tidak sopan oleh pihak Ki-lian-pay."

Bu-thian Hweshio benar-benar gelisah, dan ketika ia melirik maka dilihatnya beberapa rekan-rekan sesama anak buah Te-liong Hiangcu juga sudah banyak yang menyelinap keluar, meskipun dengan cara mengendap-endap di belakang punggung-punggung orang lain untuk menghindari perhatian. Jika ia terlambat, maka dirinya bisa ikut mampus di situ, karena dia yakin bahwa saat itu, entah di mana, sumbu sudah dinyalakan dan sumbunya sendiri tidak cukup panjang.

Hong-seng Hweshio memang seorang lugu dan amat jujur, tapi bukan berarti tolol. Kegelisahan Bu-thian Hweshio itu sudah memberi isyarat bahwa apa yang dibeberkan Tong Wi-lian kemarin itu benar, apalagi pandangannya yang tajam juga melihat beberapa orang dari berbagai perguruan juga melakukan hal yang sama bersama lain-lainnya. Namun gerakan mereka berusaha sehalus mungkin supaya tidak kelihatan menyolok.

Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay mendekati. Hong-seng Hweshio dan berbisik. "Susiok, teccu (murid) mohon izin keluar ruangan sebentar karena ada sebuah keperluan yang tak dapat ditunda."

Seketika itu Hong-seng Hweshio teringat apa yang dituturkan Tong Wilian, di baraknya kemarin, kalau kemarin belum percaya maka sekarang mau tidak mau ia harus curiga kepada keponakan muridnya itu. Ia ingin mencobanya dengan bertanya, "Kita sebagai tamu tidak sopan kalau keluar masuk ruangan di tengah-tengah jalannya upacara yang khidmat bagi Ki-lian-pay ini. Hormatilah sedikit supaya kita tidak dicap kurang sopan. Sebenarnya keperluan apa?"

“Aku ingin buang air kecil, benar-benar tidak tertahan."

Ternyata hampir sepertiga dari tamu-tamu yang hadir itu meninggalkan aula pada saat upacara berlangsung dengar khidmat. Hal itu tentu saja membuat beberapa sesepuh Ki-lian-pay sebagai tuan rumah mengerutkan alis dengan perasaan kurang senang. Dan ketidaksenangan mereka memuncak ketika melihat beberapa murid Ki-lian-pay sendiri tiba-tiba bangkit dari berlututnya yang khidmat di hadapan gambar cikal bakal, dan merekapun tergesa-gesa keluar dari aula pula, bahkan ada yang demikian tergesa-gesanya sehingga menginjak punggung temannya sendiri yang sedang berlutut, sehingga suasanapun menjadi agak gaduh.

Seseorang sesepuh Ki-lian-pay yang bernama Kong Bun-ting dan berjuluk Hun-tiong-ho (Bangau di Terigah Awan) tidak dapat menahan diri lagi, teriaknya, "Murid-murid Ki-lian-pay yang melanggar tata tertib dan mengganggu kesucian upacara ini, akan dikenakan hukuman pasal tujuh ayat sebelas peraturan Ki-lian-pay, yaitu dimusnahkan ilmu silatnya, dibuat cacad sepasang tangannya dan dipecat dengan tidak hormat dari perguruan!"

Itulah hukuman yang hanya setingkat beratnya di bawah hukuman mati, namun jika Kong Bun-ting menduga murid-murid yang keluar aula itu akan menjadi ketakutan mendengar ancaman itu maka ia keliru besar. Teriakannya ternyata tidak digubris oleh mereka, sehingga di samping kemarahannya maka sesepuh Ki-lian-pay itupun mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi di ruangan itu.

Kericuhan itu semakin memuncak ketika beberapa tokoh-tokoh yang telah dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk bertindak sebelum aula itu meledak berkeping-keping. Dengan melihat sekian orang yang serentak keluar dari aula, maka tokoh-tokoh itupun sekarang yakin bahwa penuturan Tong Wi-lian yang kemarin bukannya penuturan yang mengada-ada.

Kiau Bun-han yang berambut putih seperti kapuk itu segera berseru kepada orang-orang Ki-lian-pay maupun tetamu lainnya, "Saudara-saudara Ki-lian-pay, maafkan kalau aku mengganggu kesucian upacara kalian! Tetapi kumohon sekarang juga semuanya meninggalkan aula, sebab sebentar lagi aula ini akan meledak!"

Bagi orang-orang yang belum mendengar tentang rencana keji Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An itu tentu saja terkejut mendengar ucapan orang nomor satu di Hoa-san-pay itu. Keadaan menjadi panik, ada yang percaya ada yang tidak. Bahkan sesepuh Ki-lian-pay Kong Bun-ting yang sudah tua namun masih berdarah panas itupun berteriak marah,

"Kiau Ciangbun (Ketua Kiau), selama ini hubungan Ki-lian-pay dengan Hoa-san-pay cukup baik, kenapa sekarang kau mengcaukan upacara suci kami? Apakah mentang-mentang Hoa-san-pay sebuah perguruan besar dan kami sebuah perguruan kecil, lalu kalian berbuat seenaknya kepada kami? Aku Kong Bun-ting siap mengadu nyawa untuk mempertaruhkan kehormatan Ki-lian-pay!"

Kiau Bun-han cepat menyahut, “Jangan salah paham, Kong Tianglo, ucapanku tadi tidak untuk menghina Ki-lian-pay namun benar-benar ada komplotan licik yang ingin memusnahkan kita semua hanya dengan sekali pukul saja! Tak ada waktu untuk menerangkan dan kita harus cepat keluar!"

Waktu itu, hampir bersamaan beberapa tokoh terkemuka lainnya juga bersuara mendukung Kiau Bun-han, sehingga Kong Bun-ting menjadi yakin juga. Tapi ia tidak berhak memegang kekuasaan, maka ia hanya bertanya kepada The Toan-yong sebagai calon ketua baru, "Ciangbun Sutit, bagaimana ?"

Ternyata si calon ketua baru itu berpikir cukup tangkas, sahutnya, "Keselamatan nyawa semua tetamu adalah nomor satu, begitu pula murid-murid kita, semuanya keluar!"

Maka paniklah keadaan, baik murid-murid Ki-lian-pay sendiri maupun para tetamu segera berlari-larian menerjang ke pintu atau melompati jendela. Tidak sedikit yang terinjak-injak dan menjadi luka-luka. Tong Wi-lian, Ting Hun-giok tadinya kurang memperhitungkan bahwa keadaan akan menjadi kacau seperti ini. Namun sekarang sudah terlambat untuk menenangkan mereka.

Mereka berdiri di tengah-tengah ratusan orang yang berlari-lari saling tabrak sambil berteriak-teriak panik itu, malah di satu bagian sudah terdengar gemerincing senjata yang dihunus keuat dan diadu dengan senjata lainnya. Agaknya, demi memperebutkan jalan ke pintu keluar, orang tidak segan-segan menyingkirkan sesamanya dengan senjata.

Tong Wi-lian berkata kepada Bu-gong Hweshio yang juga berada di situ, "suheng, tenaga Jian-kin-cun-kang-tui mu agaknya harus digunakan. Jebollah tembok agar ada jalan keluar tambahan dan tidak berdesakan seperti ini!"

Sementara itu Sebun Him yang berdekatan dengan “keluarga mertuanya” itupun dengan gelisah mendesak, “Cepat! Kitapun harus segera keluar dari sini!”

"Kita sedang mencari jalan agar semuanya keluar dengan selamat," sahut Ting hun-giok jengkel.

"Mereka punya kaki untuk lari sendiri-sendiri, buat apa kita urus mereka, yang penting kita harus selamat lebih dulu!" desak Sebun Him semakin gugup. Dalam keadaan terjepit bahaya itu muncullah watak aslinya.

Ting Hun-giok menyahut ketus, "Selamatkan dirimu sendiri lebih dulu, pahlawan besar!"

Sebun Him yang sudah berjalan beberapa langkah ke arah pintu keluar yang "tersumpal" kerumunan manusia itu, menghentikan langkahnya ketika mendengar kata-kata Ting Hun-giok itu. Jawabnya dengan kebingungan, "Aku..aku...tidak bermaksud demikian, tapi kita harus...me...ah, kau benar-benar tidak mengerti!"

Ketika itu, Bu-gong Hweshio dengan mengerahkan ilmu Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Sikut Baja Beribu Kati) telah, menggempur satu bagian tembok aula itu sehingga runtuh dan terciptalah sebuah "pintu darurat" yang cukup lebar. Dari arah lain terdengar gemuruh runtuhnya tembok pula, karena si rahib tua Siau-lim-pai Hong-seng Hwe-shio, telah berbuat serupa dengan ilmu Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Malaikat Bertenaga Besar). Dan seperti watak pendekar umumnya, Hong-seng Hweshio justru melarang murid-muridnya sendiri untuk berdesak-desakan keluar, dari situ, melainkan mengutamakan orang lain lebih dulu untuk menyelamat diri.

Tepat ketika orang-orang terakhir sudah keluar agak jauh dari aula itu, terdengarlah ledakan yang memekakkan telinga. Sehingga lereng Ki-lian-san itu bagaikan terguncang gempa. Debu mengepul tinggi, potongan-potongan kayu, bata merah, batu, genting dan lain-lainnya berterbangan ke udara dengan kekuatan lontaran yang dapat melukai orang.

Beberapa orang memang terluka kena serpihan bahan bangunan itu, beberapa orang lagi bahkan pingsan. Tapi rencana Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An telah mutlak gagal sebab tidak ada seorangpun yang tewas, orang yang paling rendah ilmu silatnyapun tidak, sangat jauh bedanya dari perhitungan semula.

Bagaikan bermimpi, Kong Bun-ting, The Toan-yong serta tokoh-tokoh Ki-lian-pay lainnya menyaksikan aula yang menjadi pusat kegiatan-kegiatan selama ini dalam sekejap sudah lenyap dan rata dengan tanah. Yang ada hanya bekas-bekasnya. Sedangkan orang-orang yang sejak semula memang belum tahu adanya rencana untuk memusnahkan. Mereka itu, merasakan jantung mereka masih berdebar kencang karena kagetnya. Disamping ngeri, timbul juga kemarahan mereka kepada orang yang menyusun rencana keji itu.

Sementara itu, kaki tangan Teliong Hiangcu yang tadi berselinapan keluar sebelum terjadinya ledakan, agaknya begitu yakin akan kemenangan mereka, sehingga begitu keluar dari aula, merekapun langsung mencopot baju luar masing-masing sehingga kelihatanlah baju dalam mereka yang berwarna hijau daun yang ringkas. Pakaian seragam Kui-kiong.

Bahkan ada sebagian dari mereka yang bukan saja mencopot pakaian luar mereka tetapi juga mencopot "wajah" mereka, karena selama ini mereka memakai wajah palsu untuk menjalankan peranannya dalam tubuh perguruan atau perkumpulan yang disusupinya.

Sebagian lagi memang tetap dengan wajah asli mereka, namun mereka sudah dijerat menjadi anggota komplotan Kui-kiong sejak lama, dengan janji-janji muluk bahwa para pengikut Te-liong Hiangcu kelak akan mendapat kedudukan tinggi, sebab Te-liong Hiangcu bukan saja berhenti sebagai Bulim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan) tetapi juga bercita-cita menjadi Kaisar.

Orang-orang sekomplotan itu kini berkumpul di salah satu lereng Ki-lian-san sambil tertawa-tawa memandang ke arah puncak bukit yang kelihatan ada debu mengepul itu. Kata salah seorang dari mereka,

"Mulai hari ini, kita adalah orang-orang Bulim Bengcu, orang yang paling berkuasa di dunia persilatan. Siapa yang menentang kita sama saja dengan menentang Bu-lim Bengcu dan patut mendapat hukuman berat...!"
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 34

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 34

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Diam-diam Ting Bun dan Tong Wi-lian saling bertukar pandangan dengan penuh arti, mereka sama-sama heran bahwa anak gadis mereka tiba-tiba bisa demikian bersemangat membela Im Yao, dan kalau ini dihubungkan dengan sikap Sebun Him yang kelihatannya selalu cemburu tadi, agaknya mulai terbayang hubungan yang bagaimana yang terbentuk antara Ting Hun-giok, Sebun Him dan orang yang bernama Im Yao yang belum pernah mereka lihat tampangnya itu.

Dan kedua orang tua itupun mulai berdebar gelisah, akankah anak gadis mereka terpikat oleh orang yang bernama Im Yao dari Kui-kiong itu? Akankah mereka bermenantukan seorang penjahat, seorang pentolan golongan hitam yang tangannya berlumuran darah, meskipun telah bertobat? Sungguh tak terbayangkan, dan suami isteri setengah baya itu hanya menghibur hati sendiri dengan cara yang paling gampang: ah, belum tentu...

Sementara itu Ting Hun-giok telah berkata lagi, "Masalahnya menyangkut ratusan orang nyawa para pendekar yang akan dibantai oleh Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An. Kita semuanya harus ke Ki-lian-san, termasuk paman-paman dari Hwe-liong-pang itu. Untuk itu, ibu harus berhasil membujuk paman Siangkoan Hong dan paman Lim jika mereka nanti muncul. Bukankah mereka berasal sekampung-halaman dengan ibu dan teman bermain sejak kecil? Mereka tentu akan mendengarkan ibu, dan jika mereka setuju maka mau tak mau seluruh Hwe-liong-pangpun akan tunduk kepada perintah mereka."

Tong Wi-lian tersenyum, "Eh, setan kecil, jalan juga otakmu ya?"

"Ibu sanggup?"

"Baik," kata Tong Wi-lian. Baru saja ia mengatupkan mulutnya maka ia sudah dipeluk erat-erat oleh anak gadisnya itu.

Namun baik Ting Bun maupun Tong Wi-lian sekarang sadar, bahwa mulai detik ini juga mereka sudah tidak bisa lagi memperlakukan anak mereka seperti hari-hari kemarin, seperti memperlakukan kanak-kanak saja. Sekarang anak gadisnya telah mengalami suatu perubahan jiwa, nampaknya mulai menginjak sebuah masa yang indah, mulai mengenal arti yang lebih dalam hubungannya dengan sesama, terlebih lagi lawan jenisnya.

Kini tidak bisa lagi mendidik sekedar hanya dengan perintah dan larangan, dengan kembang gula apabila si anak menurut dan dipukul pantatnya dengan rotan apabila membangkang, tetapi kini diperlukan kebijaksanan dan keluwesan sikap.

Sampai fajar menyingsing, tidak ada gerakan apa-apa dari pihak Kui-kiong, agaknya semalam mereka mengalami pukulan yang cukup berat sehingga mereka memerlukan waktu untuk memulihkan kembali semangat mereka. Beruntunglah bahwa mereka dikelilingi telaga buatan yang dihuni ikan-ikan buas serta tembok tinggi yang mengelilingi mereka dengan hanya satu pintu gerbang maha kuat yang berlapis besi.

Bagi orang-oranq berilmu setingkat dengan Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong atau Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin, ketinggian dinding maupun luasnya telaga itu bukan rintangan yang berarti, sebab dengan dua potong kayu mereka akan sanggup melintasi telaga itu tanpa tercebur ke dalamnya.

Namun hanya mereka berdua yang bisa berbuat demikian, lain-lainnya tidak, dan itu berarti mereka hanya menyerbu berdua saja ke dalam Kui-kiong dan itu berarti penyakit, sebab di balik bangunan itu Te-liong Hiangcu tidak sendirian saja melainkan didampingi oleh banyak jago-jagonya yang berilmu tinggi.

Tak lama setelah langit sebelah timur merekah dan keadaan hutan itu tak segelap tadi, dari sisi utara telaga terdengar sebuah suitan nyaring. Suitan itu bukan saja melengking tinggi dan terdengar sampai ke seluruh sisi telaga, tapi juga memanjang seperti seekor naga yang merintih dan orang yang bersuit itu seakan tidak bisa kehabisan napas.

Ting Hun-giok belum pernah bertemu sendiri dengan Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin, namun ia yakin bahwa yang bersuit itu tentu salah seorang dari kedua tokoh pewaris ilmu-ilmu Bu-san-jit-kui itu, sebab di sekitar telaga itu tidak ada tokoh lain yang tenaga dalamnya sehebat itu. Te-liong Hiangcu barangkali bisa, namun buat apa ia bersuit-suit di pagi itu?

Sebun Him yang tertidur bersandar pohon itupun terbangun dan diam-diam ia pun terkejut mendengar suara itu. Tadinya ia mengira bahwa orang-orang terlalu melebih-lebihkan cerita tentang tokoh-tokoh puncak Hwe-liong-pang, tapi sekarang agaknya ia harus percaya. Dari hal tenaga dalam saja mereka sudah tergolong tokoh yang sulit dicari bandingannya di jaman itu.

Suara suitan itu memang isyarat kedatangan Siangkoan Hong, dan sekaligus isyarat bagi semua Tongcu untuk berkumpul menerima perintah-perintah baru. Sambil mengusap-usap matanya, Ting Hun-giok bertanya kepada ibunya, "Yang datang itu paman Siangkoan atau paman Lim?"

Meskipun belum pernah bertemu dengan kedua pentolan Hwe-liong-pang itu, namun Ting Hun-giok langsung menyebut mereka dengan "paman" sebab ia tahu bahwa kedua pentolan itu berasal dari An-yang-shia pula, bahkan Ketua Hwe-liong-pang yang lalu adalah paman tuanya Ting Hun-giok.

Tong Wi-lian menyahut, "Aku mengenal suara suitannya adalah suara-Siangkoan Hong."

"Cepat ibu temui dia dan jangan lupa pesanku tadi malam," kata Ting Hun-giok dengan nada tergesa-gesa. "Jangan sampai paman siangkoan keburu pergi lagi....."

Tong Wi-lianpun segera meloncat pergi dari tempat itu dengan gerakan selincah seekor kijang. Meskipun ilmunya tidak setinggi Siangkoan Hong atau Lim Hong-pin yang mirip malaikat atau iblis itu, namun pendekar wanita keluaran Siau-lim-pay itu dikenal karena ketinggian ilmunya pula.

Sementara itu, Sebun Him yang duduk tidak jauh dari ibu dan anak itu mendengar pula permintaan Ting Hun giok kepada ibunya untuk membujuk Siangkoan Hong agar menarik kepungan atas Kui-kiong dan mengalihkan seluruh perhatian ke Ki-lian-san. Tentu saja ini sangat tidak menyenangkan Sebun Him yang tengah dibakar kecemburuan itu. Yang dikehendakinya adalah kepungan diteruskan di situ sampai Teliong Hiangcu dan semua antek-anteknya, termasuk Im Yao, mati kelaparan semuanya.

Tapi Sebun Him sudah tentu tidak dapat ikut-ikutan membujuk Siangkoan Hong, sebab selain tidak kenal juga ia tahu dirinya belum cukup setimpal untuk berbincang-bincang dengan tokoh nomor tiga dari Hwe-liong-pang yang termasyhur itu. Ia hanya menarik napas, agaknya impiannya untuk duduk di mahligai indah bersama dengan gadis cantik she Ting itu masih akan menemui banyak hambatan.

Tapi ia tidak bermaksud untuk mundur dari arena persaingan. Ia punya banyak kelebihan dari Im Yao. Latar belakang dan asal-usul yang lebih terhormat, wajah yang lebih tampan, usia yang lebih muda, dan setelah ia menemukan Kun-goan-sin-kang di ruangan batu itu iapun merasa ilmu silatnya juga melebihi Im Yao, bahkan ia menyangka dirinya sudah bisa disejajarkan dengan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou dari Pak-khia yang terkenal itu.

Dengan begitu banyak kelebihan di pihaknya, alangkah tololnya kalau mengundurkan diri hanya karena sikap ketus Ting Hun-giok kepadanya. Ia tidak boleh putus-asa dan ia berkata dalam dirinya sendiri, "Suatu saat gadis itu akan dapat membandingkan sendiri siapa Sebun Him dan siapa Im Yao sehingga ia akan mengubah pilihannya."

Sementara itu, dengan meloncati semak-semak belukar dan melintasi diintara pohon-pohon besar yang pepat, Tong Wi-lian menyusuri pinggiran telaga ke arah utara. Dilihatnya beberapa Tongcu dan Hutongcu (wakil Tongcu) juga sedang berlari-larian ke arah yang sama dengan dirinya, agaknya sedang menuju ke tempat Siangkoan Hong pula.

Jika terang tanah, nampaklah bahwa hutan di sekeliling telaga itu benar-benar telah penuh dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang menghunus bermacam-macam senjata, boleh dikata di balik setiap batang pohon, di belakang setiap gerumbul semak maupun di atas setiap dahan yang cukup kuat untuk diduduki ada orang Hwe-liong-pang nya.

Tak sejengkal tanahnyapun yang tak terawasi, Te-liong Hiangcu dan komplotan Kui-kiong-nya benar-benar telah dilingkari oleh ujung-ujung senjata yang amat rapat. Namun orang-orang Hwe-liong-pang yang berjaga-jaga mengawasi Kui-kiong itu tidak ada yang merintangi Tong Wi-lian, sebab mereka tahu, siapa perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik itu.

Dari tempat asal suitan itu, nampaklah Siangkoan Hong sedang duduk di atas sebatang pohon yang rebah, didampingi seorang hweshio bertubuh kurus yang bermata tajam, itulah bekas orang keempat Hwe-liong-pang, Lim Hong-pin, yang muncul kembali setelah menyembunyikan diri berpuluh tahun sejak bubarnya Hwe-liong-pang di Tiau-im hong dulu. Tapi kini ia bergabung kembali ketika mendengar bahwa Hwe-liong-pang bangkit kembali.

Selain itu, beberapa Tongcu dan Hutongcu sudah berkumpul dan berdiri dengan tegap, tapi masih menunggu beberapa Tongcu atau Hutongcu lainnya. Mereka yang bertugas di bagian selatan tentu memerlukan waktu untuk sampai ke situ, sebab mereka harus melingkari telaga.

Ketika melihat munculnya Tong Wi-lian, Siangkoan Hong tertawa dan berkata, "Silahkan duduk, A-lian. Suitan isyaratku tadi hanya untuk anak buahku, aku tentu saja tidak berani memanggilmu dengan cara bersuit seperti tadi."

Tanpa sungkan-sungkan Tong Wi-lian duduk dan menjawab, "Kita teman lama di An-yang-shia sejak masih sama-sama ingusan, A-hong, jangan sungkan-sungkan. Jika urusannya bukan tentang urusan rumah tangga Hwe-liong-pang kalian, aku ingin ikut berbicara dalam beberapa masalah.”

"Bukan urusan yang patut dirahasiakan," sahut Siangkoan Hong. "Kau dapat ikut berbicara, dan bagaimana dengan anak perempuanmu?"

"Secara tidak langsung Hwe-liong-pang kalian telah membantu memberi kesempatan kepada anak itu untuk lolos. Terima kasih.”

Sementara itu, ke delapan Tongcu dan delapan Hutongcu telah lengkap berdatangan, jadi semuanya enambelas orang. Mereka berdiri tegap menghadap Siangkoan Hong, dan setelah Siangkoan Hong mempersilahkan mereka untuk duduk, barulah mereka duduk. Ada yang duduk di rumput, di atas batu, di atas akar besar yang menonjol di tanah, atau yang cuma sekedar bersandar di pepohonan.

"Aku ingin mendengar laporan setiap Tongcu satu persatu, mulai dari Pek-ki Tongcu," kata Siangkoan Hong.

Oh Yun-kim sebagai Pek-ki Tongcu segera menjawab, "Tempat penjagaan kelompok Bendera Putih kami aman sepanjang malam, Teliong Hiangcu dan orang-orangnya mengkeret dalam berangannya seperti kura-kura."

Berturut-turut ketujuh orang Tongcu lainnya juga melapor, dan laporan mereka ternyata sama nadanya. Kesimpulannya, kepungan Hwe-liong-pang benar-benar rapat seperti tembok baja dan tidak ada "kebocoran" sedikitpun di segala bagian.

"Bagus, awasi terus. Bagaimanapun juga mereka tidak akan bertahan terus di dalam sebab itu akan membuat mereka mati kelaparan. Untung mereka agaknya punya persediaan makanan di dalam, tapi kita lebih. Untuk sebab kita yang mengepung dan mereka yang terkepung. Bagilah tugas antara anak buah kalian, jika sebagian berjaga maka sebagian lain harus beristirahat."

"Baik,"sahut kedelapan orang Tongcu dengan mantap.

Ketika kemudian salah seorang Tongcu melaporkan tentang berita yang dibawa oleh Ting Hun-giok tentang rencana keji di Ki-lian-san itu maka apa yang terjadi tadi malam terulang kembali, yaitu para Tongcu dan Hutongcu terpecah menjadi dua bagian yang setuju dan yang tidak setuju bahwa kepungan di tempat ini dibubarkan dan dialihkan ke Ki-lian-san, masing-masing dengan alasannya sendiri-sendiri. Tong Wi-lian yang ikut bicara itu berpihak kepada yang setuju memusatkan perhatian ke Ki-lian-san.

"Mencabut rumput harus seakar-akar nya."“kata Tong Wi-lian. "Percuma kita berhasil membumi-hanguskan Kui-kiong bersama seluruh orang di dalamnya, kalau kaki tangan mereka masih bertebaran di mana-mana dan bersembunyi dengan aman di balik kedok-kedok mereka. Mungkin mereka memang akan diam untuk sementara, tapi mereka akan menjadi bisul-bisul mematikan bagi dunia persilatan di masa datang. Seperti duapuluh lima tahun yang lalu kita gagal menumpas Te-liong Hiangcu meskipun kita berhasil menghancurkan sebagian kekuatannya, dan apa yang terjadi sekarang? Muncul Kui-kiong yang membuat huru-hara. Begitu pula kalau sekarang kita tidak tuntas menumpasnya, di kemudian hari entah muncul apa lagi."

"Tapi laporan itu belum tentu dipercaya, Tong Lihiap," sahut Hek-ki Tongcu yang sejak kemarin memang kurang menyetujui rencana itu. "Bukan berarti puteri Lihiap itu berbohong, namun dia sebagai seorang gadis muda yang kurang pengalaman, mudah saja diperalat oleh orang Kui-kiong, artinya sengaja diberi kesempatan untuk lolos dan sekaligus dipinjam mulutnya untuk menyiarkan berita bohong itu."

"Kwa Tongcu, anakku telah mengatakan pengalamannya sejak ia diculik dari kota Tiang-an dengan dikawal oleh orang bernama Im Yao itu diceritakannya pula bagaimana Im Yao sedikit demi sedikit mengalami perubahan jiwa ke arah yang baik. Di sebuah mata air kecil di perjalanan, anakku pernah mempertaruhkan sesuatu yang lebih berharga dari nyawanya, kehormatannya, untuk menguji sampai di mana perubahan jiwa orang Kui-kiong itu, dan ia lulus ujian. Padahal waktu itu kita belum mengepung tempat ini, apakah mungkin sikapnya yang baik itu hanya tipu muslihat seperti prasangka kita bahwa supaya kita membongkar kepungan kita? Tidak mungkin. Anakku mulanya sangat membeci orang itu, namun kemudian sampai berubah menjadi demikian mempercayainya bukankah ini cukup meyakinkan? Anakku tidak gampang berbalik sikap demikian tajam kalau tidak ada sesuatu yang benar-benar membuatnya yakin. Dan akupun tidak akan mempercayai anakku begitu saja, kalau ada setitik saja kelemahan atau kebohongan dalam ceritanya itu."

Orang-orang yang mendengarkannya terdiam. Kalau sudah Tong Wi-lian sendiri bersikap demikian teguh, maka agaknya berita itu memang harus dipertimbangkan. Kwa Tin-siong dan orang-orang yang sependirian dengannyapun mulai goyah pendiriannya.

Di tengah kesunyian itu terdengar suara Lim hong-pin sabar sekali, "Kalau sampai A-lian begitu yakin, pasti ada dasarnya. Biarpun yang bercerita adalah anaknya sendiri, tapi kalau kurang meyakinkan tentu tidak akan diambil alih begitu saja."

Semasa jayanya Hwe-liong-pang dulu, Lim Hong-pin adalah penasehat Hwe-Liong Pangcu Tong Wi-siang karena pandangannya yang luas dan sikapnya yang bijaksana. Meskipun usianya paling muda, namun Tong Wi-siang paling sering mendengarkan pendapatnya daripada mendengarkan Te-liong Hiangcu yang licik dan kemudian berkhianat, ataupun Siangkoan Hong yang meskipun jujur dan setia namun berwatak penaik darah dan keras kepala, sehingga pemikirannya seringkali diwarnai oleh wataknya itu.

Kini Lim Hong-pin sudah angkat bicara, tentu saja semua orang harus mempertimbangkannya. Ia tidak akan sembarangan saja membuka mulut, semuanya pasti telah dipertimbangkannya baik-baik. Kata Lim Hong-pin lebih lanjut, "Meskipun di antara kita ada perbedaan pendapat, tapi tujuan kita satu, ialah bagaimana menghancurkan Te-liong Hiangcu seakar-akarnya. Bukan saja karena sakit hati Hwe-liong-pang kita, tapi juga demi ketenteraman dunia persilatan. Dan aku cenderung memilih jalan yang diusulkan oleh Tong Lihiap tadi, memusatkan perhatian ke Ki-lian-san."

"Kenapa kau berpendapat begitu?"

"Karena beberapa waktu yang lalu, aku memang merasakan sendiri ada semacam kekuatan yang sedang membayangi gunung Ki-lian-san, ada orang-orang dengan gerak-gerik yang aneh seolah-olah sedang mengatur suatu rencana tertentu di Ki-lian-san nanti. Ketika aku mencoba menyelidikinya, mereka mendadak menghilang dan sulit dilacak jejaknya. Aku tidak berani menceritakan kepadamu, sebab aku belum yakin benar. Namun setelah sekarang mendengar cerita A-lian, aku mulai percaya bahwa rencana itu ada. Putera A-lian itu tidak sedang mengingau atau ditipu oleh orang Kui-kiong."

Kalau Lim Hong-pin sudah berkata demikian, maka yang tadinya kurang percayapun sekarang menjadi yakin. Sehingga tidak ada keberatan lagi ketika Siangkoan Hong memutuskan, "Kalau begitu, kita pusatkan kekuatan kita ke Ki-lian-san. Lebih asyik menumpas Te-liong Hiangcu sekaligus dengan seluruh begundalnya, daripada menghancurkannya dalam istana iblisnya di sini tapi begundalnya masih berkeliaran dimana-mana."

"Nanti dulu," kata Lim Hong-pin tiba-tiba.

"Kau ini bagaimana? Tadi menganjurkan dan sekarang mencegah?" tanya Siangkoan Hong dengan kening berkerut.

Lim Hong-pin hanya tersenyum saja sebab ia sudah hapal akan tabiat sahabatnya yang selalu tidak sabaran itu, katanya, “Maksudku, kalau kita memutuskan demikian, maka pelaksanaannya harus rapi agar gerakan kita tidak berantakan. Misalnya, bagaimana kita meninggalkan tempat ini tanpa menimbulkan kecurigaan Te-liong Hiangcu, dan kemudian perjalanan ke Ki-lian-san itupun memerlukan pelaksanaan yang baik pula, sebab jumlah anggota kita seribu orang lebih, Rombongan sebesar itu jika berjalan secara terang-terangan tentu akan menarik perhatian orang, dan kalau menimbulkan kecurigaan pemerintah Manchu maka jangan-jangan di tengah jalan kita sudah mendapat kerepotan lebih dulu?"

"Kau punya akal?"

"Dengarkan baik-baik, kita akan meninggalkan tempat ini tapi dengan memberi kesan seakan-akan sudah bosan menunggu. Te-liong Hiangcu kenal dengan watakmu yang berangasan dan tidak sabaran, sehingga diapun tentu yakin kau menjadi tidak sabar dan menarik seluruh orang kita dari hutan ini, lalu kita berbondong-bondong menuju Tiau-im-hong...."

"Kenapa bukan Ki-lian-san?"

"Jaringan mata-mata Te-liong Hiangcu sangat rapi, dan aku berani taruhan bahwa gerakan mundur kitapun akan diawasinya, karena itu kita tidak boleh langsung menuju Ki-lian-san supaya tidak menimbulkan kecurigaannya. Nah, di tengah jalan, barulah kita berbelok ke Ki-lian-san. Tapi tidak dalam barisan besar, melainkan orang demi orang dengan berbagai samaran dan jangan memakai seragam Hwe-liong-pang."

Tapi mata-mata Te-liong Hiangcu tentu akan curiga kalau melihat barisan kita tiba-tiba lenyap di tengah jalan."

"Sebagian dari kita memang tetap akan ke Tiau-im-hong secara menyolok mata, agar mata-matanya Te-liong Hiangcu mengira kita seluruhnya benar'benar pulang ke Tiau-im-hong, padahal sebagian dari kita menuju ke Ki-lian-san di luar pengawasan mereka. Dengan menyamar."

"Apakah hanya sebagian dari kekuatan kita saja sudah cukup?"

"Cukup. Yang berangkat ke Ki-lian-san itu biarlah delapan Tongcu dan delapan Hutongcu, masing-masing harus membawa seratus orang anggota kelompok mereka masing-masing yang terbaik dan ilmu silatnyapun tidak jelek. Seratus kali delapan sama dengan delapan ratus orang, aku kira cukup. Apalagi di sana kita akan bergabung dengan para pendekar yang membenci Kui-kiong."

Semuanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar rencana Lim Hong-pin yang cermat itu. Tidak percuma orang itu dulu menjadi penasehat dalam Hwe-liong Pangcu.

"Lalu kami sekeluarga harus bagaimana?" tanya Tong Hi-lian.

Kata Lim Hong-pin, "Kalian bukan anggota Hwe-liong-pang sehingga kami tidak berhak mengatur kalian, tapi jika kalian bersedia menyesuaikan langkah-langkah kalian dengan kami sehingga seirama, maka rencana kita untuk menumpas Te-liong Hiangcu itu tentu akan tuntas..."

"Tentu saja kami harus menyesuaikan diri," sahut Tong Wi-lian tegas. "Kami yang mengusulkan dan tentunya kami harus mendukung berhasilnya rencana ini."

Lim Hong-pin mengangguk lalu berkata, "Kau bersama suamimu, puterimu, dan barangkali juga Bu-gong Hweshio dan pemuda Hoa-san-pay itu apabila mereka bersedia, berangkatlah menuju Ki-lian-san secara terang-terangan, tidak usah menyamar segala. Kalian tidak akan dicurigai sebab upacara besar pengangkatan Ketua baru Ki-lian-pay itu memang disebarluaskan beritanya, sehingga orang tidak akan heran kalau melihat para pendekar berbondong-bondong menuju Ki-lian-san. Tapi di tengah jalan kau mendapat semacam tugas."

"Tugas apa?"

"Bukankah kau sudah tahu siapa-siapa orang-orang Kui-kiong yang menyusup masuk ke berbagai perguruan?"

"Anakku sudah menyebutkan beberapa nama kepadaku, tetapi katanya masih banyak yang belum diketahui, bahkan orang Kui-kiong yang memberitahu anakku itupun mengaku bahwa diapun tidak tahu seluruhnya. Te-liong Hiang-cu memang mengatur orang-orangnya dengan cara demikian. Seperti mata rantai yang satu dengan mata rantai yang lainpun tidak saling mengetahui secara jelas."

"Aku kira cukup. Hindari pengawasan ular-ular berkepala dua itu. Dan coba hubungi beberapa Ketua perguruan yang berpengaruh dan beberkan rencana kita ini, tapi hati-hatilah agar kau justru tidak salah menghubungi orang yang ternyata menjadi kaki tangan Kui-kiong. Sebab kalau kau menghubungi mereka akan sama saja membocorkan rencana kita ke telinga mereka tanpa sengaja."

"Aku akan sangat berhati-hati memilih orang yang aku ajak berembug tidak akan terlalu banyak orang-orang yanq benar-benar berpengaruh besar. Beberapa supek (uwa guru) atau susiok (paman guru) dari Siau-lim-pay agaknya akan menjadi kawan berbincang yang dapat dipercaya, sebab aku pernah belajar beberapa tahun di Siau-linpay dan aku kenal watak tabiat mereka satu persatu."

Ucapan Teng Wi-lian itu sangat meyakinkan, sebab siapapun di dunia persilatan, terutama kaum lurus, mengakui kepemimpinan Siau-lim-pay sebagai soko guru dunia persilatan di Tionggo-an.Tokoh-tokohnya pun mendapat tempat terhormat, di mana-mana. ementara itu Tong Wi-lian bertanya, "Tapi apakah Hwe-liong-pang kalian tidak juga menghubungi tokoh-tokon semacam itu?”

Lim Hong-pin menarik napas, "Kecurigaan para pendekar terhadap kami belum juga larut, meskipun resminya permusuhan sudah diakhiri dengan damai berpuluh tahun yanq lalu. Terpaksa kami tidak bisa melakukannya, sebab jika kami yang melakukan, mereka malah akan curiga jangan-jangan kami punya rencana licik macam apa? Biarlah di Ki-lian-san saja kami akan membuktikan ketulusan hati kami, dengan jalan menumpas Te-liong Hiangcu serta seluruh kaki-tangannya, meskipun Te-liong Hiangcu adalah bekas kawan kami."

Siangkoan Hong menyahut dengan geram, "Bekas kawan, tapi dialah yang membuat Hwe-liong-pang kami tercoreng hebat sehingga dicurigai orang-orang golongan putih. Kini dunia akan melihat sekali lagi bahwa kami dan Te-liong Hiangcu berbeda tempat berpijak."

Demikianlah keputusan itu. Namun sebelum para Tongcu dan Hutongcu kembali kekelompoknya masing-masing untuk membubarkan kepungan atas Kui-kiong, Lim Hong-pin sekali lagi memperingatkan para Tongcu dan Hutongcu itu,

"Kalian harus ingat bahwa hanya kalian berenam-belas yang tahu rencana ini. Tidak ada orang ketujuh belas yang tahu, meskipun dia adalah anggota terpecaya kalian, bahkan mungkin sahabat dekat kalian. Bukan karena meragukan kesetiaan mereka, tapi karena mungkin saja mereka lalai dan membocorkan rencana ini, misalkan karena mabuk arak. Dan kalianpun kularang minum arak sampai selesainya penumpasan Te-liong Hiangcu di Ki-lian-san nanti. Mengerti?"

"Paham, Hiangcu," sahut keenam-belas orang itu. Lalu merekapun bubar menjalankan perintah.

Perintah untuk membubarkan kepungan dan kembali pulang ke Tiau-im-hong itu tentu saja disambut dengan tanda tanya besar oleh segenap anak buah. Mereka penasaran kenapa tidak menunggui tempat itu sampai musuh mati kelaparan? Namun sebagai orang-orang yang terikat kepada tata-tertib tinggi, merekapun tunduk kepada perintah itu. Para Tongcu hanya memberi perintah singkat "bubarkan kepungan dan pulang ke Tiau-im-hong," tanpa penjelasan apa-apa lagi.

Yang paling kecewa tentu saja adalah Sebun Him yang ingin melihat Im Yao mati dalam keadaan tidak terhormat sama sekali, tapi agaknya keinginannya itu tidak akan terkabul, sebab kalau orang-orang Hwe-liong-pang meninggalkan hutan itu maka tidak mungkin ia sendiri akan terus menunggui tempat itu. Maka diapun akhirnya memutuskan untuk pergi ke Ki-lian-san bersama-sama dengan Ting Bun dan keluarganya, serta Bu-gong Hweshio.

Sebun Him menyimpan harapan baru bahwa di Ki-lian-san nanti dia akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan kepahlawanannya dan mengangkat nama, dan ia juga berharap agar sempat membunuh Im Yao tapi tentu saja dengan tidak diketahui oleh Ting Hun-giok. Di sepanjang perjalanan, ia mencoba mengambil hati Ting Bun dan isterinya dengan kesopan-santunan yang luar biasa. Pikirnya, kalau orangtuanya sudah menaksir sebagai calon menantu, masakah anaknya berani menolak?

Sementara itu, di dalam Kui-kiong ketika Te-liong Hiangcu mendengar berita tentang ditariknya semua orang-orang Hwe-liong-pang dari hutan di sekitar telaga itu, maka diapun tercengang, namun kemudian sambil tertawa dari balik topeng perunggunya ia berkata, "Ha-ha-ha, si kerbau tolol Siang-koan Hong itu sifatnya masih saja seperti dulu. Berangsan dan tidak sabaran, merasa ia tidak mampu melintasi telaga dan membobolkan tembok ini, ia pun pulang begitu saja. Dasar kerbau dogol."

Semua anak buahnya hadir di hadapannya. Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap Darah) Liong Pek-ji, Ang-mo-coa-ong (Raja Ular Berambut Merah) Tang Kiau-po dari Thay-san, Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hek-Jiong Tiong Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian yang merupakan bekas-bekas bajak sungai Yang-ce-kiang yang rejekinya susut karena meningkatnya perondaan oleh armada pemerintah.

Lalu Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) Im Yao dan Im Kok yang masing-masing berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Sayap Besi) dan Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Arwah), yang pandangan matanya masih nampak dingin menyeramkan, tapi dari dalam hatinya sudah muncul kehangatan kemanusiaan mereka.

Semua anak buahnya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, menyetujui ucapan Te-liong Hiangcu tentang Siang-koan Hong itu. Hanya Im Yao dan Im Kok yang hampir pasti dapat menebak kenapa mendadak musuh membuka kepungan mereka, tentu Ting Hun-giok sudah memberitahukan tentang rencana gabungan Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An di Ki-lian-Ban pada hari ke sepuluh bulan depan.

Hati Im Yao terasa semakin hangat ketika mengenang Ting Hun-giok, tapi di hadapan Te-liong Hiangcu dia harus tetap dalam keadaan seperti biasanya. Dingin, seram dan tidak tanggung-tanggung dalam mengucapkan kata-kata yang dapat menggidikkan bulu tengkuk.

Sementara itu, Lionq Pek-ji bersungut-sungut karena minumannya, yaitu gadis-gadis yang diculiknya itu sudah kabur semua pada saat kekacauan terjadi tadi. Tapi ia tidak bisa marah kepada siapa-siapa, sebab Pui In-bun yang ditugaskananya untuk menjaga gadis-gadis itu sudah berubah menjadi arwah penasaran.

"Kita segera akan memusatkan perhatian ke Ki-lian-san," kata Te-liong Hiangcu. "Apakah sudah ada kabar dari si panglima tua itu?”

Yang menjawab adalah Sin-bok Hwesio, si pendeta gadungan yang berpakaian sangat mewah itu, "Kemarin telah diterima merpati pembawa surat dari Pak-khia. Panglima itu sudah siap dengan tigaratus prajurit pilihannya yang akan menyamar sebagai penduduk desa di sekitar Ki-lian-san. Di antaranya adalah Sat-sin-kui (Si Setan Ganas) Hehou Im, Hwe-niau (Si Burung Api) dari Tibet, Ibun Hong dan beberapa jago andalan mereka, dipimpin langsung oleh putera Pakkiong An sendiri, Pakkiong Hok."

"Bagus, dan orang-orang kita sendiri bagaimana kerjanya?"

“Bahan peledak sudah ditaruh di tempatnya masing-masing, terutama di dekat aula tempat akan dilangsungkannya upacara pengangkatan Ketua Ki-lian pay itu. Dan orang-orang Ki-lian-pay sendiri tidak tahu, kecuali mereka yang berpihak kepada kita."

Meskipun wajah Te-liong Hiangcu tak terlihat karena tertutup topeng perunggunya, tapi dari anggukkan kepalanya dia nampak puas sekali mendengar laporan-laporan itu. Katanya, "Cita-citaku yang sudah kucanangkan berpuluh tahun yang lalu, kini akan menjadi kenyataan. Tanggal sepuluh kita ledakkan Ki-lian-san, dan tanggal sebelasnya aku adalah Bu-lim Bengcu, orang paling berkuasa di dunia persilatan sehingga tak perlu lagi bersembunyi di balik topeng keparat ini. Ha-ha-ha-ha..."

Membayangkan kemenangan yang akan diraihnya, pengendalian diri Te-liong Hiangcu mengendor sehingga belum pernah anakbuahnya melihat ia tertawa sekeras itu. Di sela-sela tertawanya ia berkata lagi, "Setelah itu, cukup dengan satu perintah dan satu alasan yang kususun, maka aku akan menggerakkan dunia persilatan untuk membanjiri Tiau-im-hong dan menumpas Siangkoan Hong bersama barisan tikus busuknya. Mereka akan merasakan kelihaianku sebentar lagi!"

Anak buahnya pun nampaknya terpengaruh dan ikut bergembira pula. Hanya Im Yao yang berkata mengutuk dalam hatinya, "Kau akan menjadi Bu-lim Beng-cu, Hiangcu, tetapi di neraka. Dan itu lebih baik daripada kau mengacau dunia ini seumur hidupmu. Bila kau mampus, aku mampuspun rela."

"Jadi sekarang kita...?" tanya Liong Pek-ji.

"Menuju Ki-lian-san, batu loncatan kejayaan kita!” sahut Te-liong Hiangcu.

* * * * * * *

KI-LIAN-SAN menjelang upacara pengangkatan Ketua yang baru... Ki-lian-pay bukan sebuah perguruan yang besar, ia hanya sebuah perguruan yang sedang-sedang saja diantara sekian banyak perkumpulan atau perguruan yang seukuran dengannya di rimba, persilatan. Namun Ki-lian-pay terkenal sebagai sebuah perguruan aliran lurus yang mengajarkan murid-muridnya untuk selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran.

Hubungan dengan perguruan-perguruan lainpun cukup baik, mulai dari yang raksasa seperti. Siau-lim-pay, Bu-tong-pay atau Go-bi-pay, sampai yang "teri" seperti Ho-lian-pay. Hubungan yang luas itulah yang membuatnya dikenal. Ketua Ho-lian-pay yang lama sudah meninggal dunia sebulan yang lalu dan dengan rapat para sesepuh perguruan, disepakati bahwa murid tertua dari mendiang ketua yang lama akan menggantikannya sebagai Ketua.

Bukan sekedar karena ia murid tertua, tapi juga karena ia adalah seorang yang berbudi pekerti tak tercela serta memiliki ilmu silat yang baik pula. Dialah The Toan-yong yang berjulukan Pek-kui-to (Si Golok Petir), masa mudanya ia pernah merendahkan diri dengan menjadi seorang piau-su (pengantar barang) di perusahaan pengantaran barang Tiong-gi Piauhang pimpinan Gin-yan-cu Tong Wi-hong yang berpusat di kota Tay-beng. Namun dengan pengalaman dunia persilatan, dan itu cukup sebagai bekal dalam menjadi "jurumudi" Ki-lian-pay.

Berita pengangkatannya dengan cepat tersebar, dan beberapa tokoh berbagai perguruan telah menyatakan akan hadir sehingga Ki-lian-pay menjadi sibuk mempersiapkan diri. Gedung pusat perguruan Ki-liana-pay sendiri diperkirakan terlalu sempit untuk menampung tamu yang tentu akan berjumlah ratusan, maka dibangunlah barak-barak di luar bangunan gedung itu.

Meskipun hanya terdiri dari bambu dan kayu, namun cukup rapi dan dianggap cukup layak menerima para tamu untuk menginap semalam dua malam. Lagipula The Toan-yong tahu bahwa para tetamu tentu tidak akan bertingkah dengan menuntut pelayanan yang berlebih-lebihan.

Semakin dekat dengan hari pengkatan, semakin banyak orang-orang mengalir ke Ki-lian-san. Bukan cuma para pendekar tapi juga orang-orang yang hanya sok pendekar. Cukup asal berpakaian ringkas, membawa senjata dan muka dibikin angker, sudah mirip dengan pendekar betulan.

Berbondong-bondong berdatangan utusan-utusan dari Siau-lim-pay, Bu tong-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Heng-san-pay, Kay-pang, Cong-lam-pay dan sebagainya. Ada juga perguruan yang tidak dapat mengirimkan utusannya karena sempitnya waktu dan panjangnya jarak sehingga mereka merasa percuma saja mengirim utusan sebab pasti akan terlambat sampai di gunung Ki-lian-san. Barak-barakpun penuh dengan berbagai macam manusia. Pendeta, imam, pengemis, sastrawan dan orang-orang biasa.

Rombongan Go-bi-pay dipimpin seorang pendeta yang sudah sangat tua sehingga alisnya yang panjang itu sudah putih semuanya, bernama Thian-sek Hweshio dengan beberapa paderi angkatan yang lebih muda, di antaranya yang memiliki nama besar di dunia persilatan adalah Liong-hou Hweshio dan Kim-hoan Hweshio. Mereka menempati salah satu dari deretan barak sebelah timur, berdampingan dengan baraknya orang-orang Siau-lim-pay.

Besok pagi upacara akan diselenggarakan, dan hari ini para tamu masih belum punya acara apa-apa, kecuali saling berbincang dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa dan kini berjumpa di tempat itu. Di antara mereka yang bercakap-cakap satu sama lain itu nampaklah Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay bercakap-cakap dengan akrabnya dengan Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay di sebuah lereng gunung Ki-lian-san yang berpemandangan indah.

Mereka berdua saja, dan karena tampang mereka berdua begitu welas-asih, maka orang yang melihat dari kejauhan tentu menduga bahwa kedua-duanya sedang membicarakan soal-soal agama atau kesejahteraan sesama manusia.

Namun andaikata ada orang yang mendekati mereka dan mendengar percakapan mereka, tentu akan bergidik mendengar perkataan-perkataan mereka Tanya Bu-thian Hweshio, "Apakah semuanya beres?"

Sahut Liong-hou Hweshio, "Rapi semuanya. Besok tengah hari aula itu akan hancur berkeping-keping bersama orang-orang di dalamnya."

"Kudengar sesuatu terjadi di Kui-kiong?"

"Sedikit gangguan dari pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi sudah diatasi oleh Hiangcu dan teman-teman kita. Dua hari yang lalu aku menerima merpati pembawa surat dan di situ dikabarkan bahwa semuanya beres. Rencana tidak berubah."

"Baik. Kita berpisah."

Keduanyapun kemudian berpisahan. Dan ternyata kasak-kusuk macam itu terjadi di antara beberapa orang pula, bukan cuma kedua Hweshio itu. Kaki tangan Te-liong Hiangcu sudah tersebar dimana-mana, bercampur dengan kaum pendekar yang asli. Kawan dan lawan bercampur aduk tanpa dapat mengetahui sebab semuanya sama-sama bermuka ramah, bertutur-kata sopan dan akrab dan bergurau satu sama lain.

Tapi besok tengah hari, menjelang ledakan yang menghancurkan itu, maka mana yang serigala dan mana yang domba akan segera terlihat jelas, dan saat itu barangkali akan terjadi banjir-darah yang tidak kalah mengerikannya dengan yang di Tiau-im-hong berpuluh tahun yang lalu.

Namun di samping antek-antek Te-liong Hiangcu yang berkasak-kusuk, maka beberapa tokoh pendekar atau pemimpin para perguruan yang berpengaruhpun telah berhasil dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun dengan amat hati hati. Setengah percaya setengah tidak mereka mendengarkan pembeberan Tong Wi lian atau suaminya, apalagi ketika suami isteri itu menyebutkan keterlibatan beberapa orang murid dari perguruan terhormat, itu membuat tokoh-tokoh itu jadi termangu-mangu mendengarnya.

"Rasanya sulit dipercaya," kata Hong-seng Hweshio, pemimpin rombongan Siau-lim-pay ketika duduk berhadapan dengan Tong Wi-lian di baraknya. "Bu-thian adalah seorang murid yang tekun, berbakat, pintar dan juga berani. Dalam beberapa bulan terakhir ini, memang memperlihatkan ketidak-puasan atas kepemimpinan Ciangbun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi ketua) dan kadang-kadang mulutnya terlanjur mengeluarkan kata-kata yang keras dan tajam. Tapi sulit dipercaya bahwa dia adalah kaki-tangan Te-liong Hiangcu yang diselundupkan ke tubuh Siau-lim-pay kita."

Tong Wi-lian paham, benar watak su-siok (paman guru) yang satu ini, begitu lugu dan lurus sampai ia tidak percaya bahwa ada orang bisa selicik itu, dikiranya semua orang sama lurusnya dengan dirinya. Maka Tong Wi-lian harus dengan sabar menjelaskannya,

"Susiok, susiok kira akupun mudah menerima berita itu? Aku juga hampir tidak percaya ketika mendengar nama Buthian Suheng termasuk dalam deretan kaki tangan Te-liong Hiangcu, padahal hubunganku dengan Bu-thian Suheng termasuk cukup baik juga. Tapi kita memang harus sedia payung sebelum hujan, andaikata hujan tidak jadi turun ya malah kebetulan bukan?"

Hong-seng Hweshio termangu-mangu, namun ia menganggukkan kepalanya tanda setuju ketika Tong Wi-lian meminta agar paderi tua itu tetap menyimpan berita itu untuk dirinya sendiri lebih dulu. Begitu pula banyak pemimpin lainnya yang dihubungi oleh Tong Wi-lian merasa tidak percaya, tapi mereka menurut ketika pendekar wanita itu minta untuk bungkam lebih dulu dan mengadakan persiapan-persiapan yang tidak menyolok mata.

Kata pendekar perempuan itu. "Tidak ada ruginya kita bersiap-siap daripada menyesal dikemudian hari. Jika kalian minta bukti sekarang, maka terus terang saja aku tidak dapat membuktikannya, tapi aku mohon besok kalian mengawasi suasana selama berlangsungnya upacara di aula. Di situ kalian akan melihat apakah ucapanku benar atau bohong...."

Keesokan harinya, pelataran di depan gedung Ki-lian-pay menjadi meriah sejak pagi. Suara petasan berantai yang memekakkan telinga terdengar terus-menerus tak henti-hentinya, membuat pelataran itu penuh dengan serpihan serpihan kertas bekas petasan. Lalu disusul pertunjukan barongsay dan Liong yang didatangkan dari kota Siang-tan, kabarnya merupakan rombongan kesenian terbaik di kota itu dan sudah tiga kali menjuarai lomba barongsay di kota itu.

Para tetamu Ki-lian-pay masih berpancaran ke sana kemari, menikmati berbagai macam pertunjukan yang diselenggarakan, sebab upacara intinya sendiri baru akan berlangsung nanti tengah hari. Di antara para tetamu itu tentu saja ada segolongan orang yang sebentar-sebentar menengadah menengok matahari, dengan debaran jantung menunggu kapan si penerang jagad itu sampai di puncak langit. Tapi gerak-gerik segolongan orang itu tidak menimbulkan kecurigaan banyak orang, sebab apa anehnya kalau seseorang melihat langit untuk mengetahui waktu?

Dan saat yang mendebarkan itu tibalah, dari dalam aula terdengar suara lonceng besar dipukul berkali dengan irama tertentu. Petasan segera dimatikan dan semua pertunjukanpun berhenti mendadak. Murid-murid Ki-lian pay berbaris khidmat dengan pakaian seragam mereka, dan dengan langkah-langkah tanpa berisik mereka berbaris masuk ke aula dan kemudian berbaris rapi di kedua pinggiran, tak ada seorangpun bercakap-cakap atau membuat gerakan-gerakan yang tidak perlu.

Ditengah-tengah aula ada sebuah meja sembahyang besar beralaskan kain merah lebar dengan sesajian yang meliputi entah berapa puluh macam makanan, namun bau makanan itu masih tertutup oleh bau dupa yang dibakar di segala sudut. Di atas altar ada lambang besar perguruan Ki-lian-pay, di bawah lambang ada gambar seorang lelaki tua bertubuh gagah dan tangannya membawa pedang. Dialah pendiri Ki-lian pay beberapa ratus tahun yang lalu.

Setelah murid-murid Ki-lian-pay sendiri mengambil tempat, maka para tamupun memasuki aula menurut rombongannya masing-masing, juga dengan sikap hormat untuk menghormati pihak tuan rumah, dan tak lama kemudian aula itupun sudah penuh dengan manusia, namun tidak sampai berdesak-desakan. Suasana juga tidak sampai ribut, sebab masing-masing adalah orang-orang dunia persilatan yang sudah terbiasa dengan sikap tertib di perguruannya masing-masing. Begitu pula orang-orang yang tidak termasuk dalam perguruan manapun juga itu juga menyesuaikan diri dengan suasana.

Di antara mereka terdapatlah Tong Wi-lian yang berdiri sekelompok dengan Ting Bun suaminya, Ting Hun-giok puterinya dan Sebun Him yang sudah merasa dirinya sebagai "menantu idaman" keluarga pendekar dari An-yang-shia itu? Apalagi selama beberapa hari terakhir ini Ting Hun-giok sudah tidak bersikap dingin kepadanya. Ini dianggapnya sebagai "lampu hijau" buatnya, itulah sebabnya meskipun di situ juga ada rombongan Hoa-san-pay yang dipimpin langsung oleh Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han dan tokoh-tokoh lainnya termasuk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, tapi Sebun Him lebih "kerasan" berdekatan dengan gadis itu.

Tapi Tong Wi-lian dengan suami dan anaknya tidak sempat menggubris Sebun Him yang agak salah tingkah itu mereka bertiga lebih memusatkan perhatian mereka untuk memperhatikan orang-orang yang perlu dicurigai, dan mereka memang sempat melihat betapa orang-orang saling bertukar pandangan mata dan saling mengedipkan mata sebagai isyarat.

Desis Tong Wi-lian dalam hatinya, "Langit Maha Adil! Langit Maha Adil! Masih dilindungi-Nya umat-Nya yang berada di jalan benar sebanyak ini, sehingga digerakkan-Nya hati seorang Im Yao untuk membuka rahasia rencana ini kepada anakku, sehingga kamipun bersiap-siap untuk menghadapi rencana, itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan sekian banyak pendekar di ruangan ini, tentunya mereka akan meledak berkeping-keping dengan aula yang sudah penuh dengan bahan peledak ini, dan sebagian besar kekuatan dunia persilatan akan lumpuh, digantikan munculnya si durjana Te-liong Hiangcu sebagai penguasa dunia persilatan."

Sementara lonceng besar berbunyi lagi, lalu The Toan-yong sebagai calon ketua muncul dari samping altar diiringi beberapa tokoh Ki-lian-pay angkatan tua. Masing-masing sesepuh itu tangannya memegang benda-benda lambang kekuasaan perguruan atau benda benda upacara lainnya, seperti jubah untuk ketua, kitab yang berisi peraturan-peraturan perguruan, pedang pusaka, hio untuk memberi hormat kepada, lambang perguruan dan gambar pendiri Ki-lian-pay dan sebagainya.

Upacara dimulai dengan urut-urutan seperti yang telah ditentukan dan pada saat itulah maka antek-antek Te-liong Hiangcu mulai bergerak meninggalkan aula sebab mereka tidak ingin menyelinap keluar dan entah alasan apa saja yang mereka kemukakan kepada pemimpin rombongan masing-masing. Sungguh suatu kebetulan yang sangat aneh kalau dalam saat yang bersamaan sekian banyak orang hendak "buang air kecil" semuanya. Dan kenyataan itu membuat hatinya pedih, haruskah di gunung yang indah ini akan terjadi pertumpahan darah?

Ketika Bu-thian Hweshio mendesaknya sekali lagi maka Hong-seng Hweshio tidak menghalanginya lagi, dengan perhitungan tersendiri yaitu tidak ingin "memukul rumput mengejutkan ular". Sebab jika Bu-thian dilarang berkumpul dengan rekan-rekan sekomplotannya, maka rekan-rekan sekomplotan itu tentu akan curiga bahwa gerakan mereka sudah diketahui. Maka lebih baik para serigala berbulu domba itu dibiarkan berkumpul dulu dengan sesamanya, nanti akan lebih mudah menghadapinya. Dan Bu-thian Hweshio begitu mendapat ijinpun segera keluar dengan tergesa-gesa.

"Tahanlah, upacara ini tidak lama. Jangan sampai karena hal-hal kecil maka perguruan kita dicap tidak sopan oleh pihak Ki-lian-pay."

Bu-thian Hweshio benar-benar gelisah, dan ketika ia melirik maka dilihatnya beberapa rekan-rekan sesama anak buah Te-liong Hiangcu juga sudah banyak yang menyelinap keluar, meskipun dengan cara mengendap-endap di belakang punggung-punggung orang lain untuk menghindari perhatian. Jika ia terlambat, maka dirinya bisa ikut mampus di situ, karena dia yakin bahwa saat itu, entah di mana, sumbu sudah dinyalakan dan sumbunya sendiri tidak cukup panjang.

Hong-seng Hweshio memang seorang lugu dan amat jujur, tapi bukan berarti tolol. Kegelisahan Bu-thian Hweshio itu sudah memberi isyarat bahwa apa yang dibeberkan Tong Wi-lian kemarin itu benar, apalagi pandangannya yang tajam juga melihat beberapa orang dari berbagai perguruan juga melakukan hal yang sama bersama lain-lainnya. Namun gerakan mereka berusaha sehalus mungkin supaya tidak kelihatan menyolok.

Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay mendekati. Hong-seng Hweshio dan berbisik. "Susiok, teccu (murid) mohon izin keluar ruangan sebentar karena ada sebuah keperluan yang tak dapat ditunda."

Seketika itu Hong-seng Hweshio teringat apa yang dituturkan Tong Wilian, di baraknya kemarin, kalau kemarin belum percaya maka sekarang mau tidak mau ia harus curiga kepada keponakan muridnya itu. Ia ingin mencobanya dengan bertanya, "Kita sebagai tamu tidak sopan kalau keluar masuk ruangan di tengah-tengah jalannya upacara yang khidmat bagi Ki-lian-pay ini. Hormatilah sedikit supaya kita tidak dicap kurang sopan. Sebenarnya keperluan apa?"

“Aku ingin buang air kecil, benar-benar tidak tertahan."

Ternyata hampir sepertiga dari tamu-tamu yang hadir itu meninggalkan aula pada saat upacara berlangsung dengar khidmat. Hal itu tentu saja membuat beberapa sesepuh Ki-lian-pay sebagai tuan rumah mengerutkan alis dengan perasaan kurang senang. Dan ketidaksenangan mereka memuncak ketika melihat beberapa murid Ki-lian-pay sendiri tiba-tiba bangkit dari berlututnya yang khidmat di hadapan gambar cikal bakal, dan merekapun tergesa-gesa keluar dari aula pula, bahkan ada yang demikian tergesa-gesanya sehingga menginjak punggung temannya sendiri yang sedang berlutut, sehingga suasanapun menjadi agak gaduh.

Seseorang sesepuh Ki-lian-pay yang bernama Kong Bun-ting dan berjuluk Hun-tiong-ho (Bangau di Terigah Awan) tidak dapat menahan diri lagi, teriaknya, "Murid-murid Ki-lian-pay yang melanggar tata tertib dan mengganggu kesucian upacara ini, akan dikenakan hukuman pasal tujuh ayat sebelas peraturan Ki-lian-pay, yaitu dimusnahkan ilmu silatnya, dibuat cacad sepasang tangannya dan dipecat dengan tidak hormat dari perguruan!"

Itulah hukuman yang hanya setingkat beratnya di bawah hukuman mati, namun jika Kong Bun-ting menduga murid-murid yang keluar aula itu akan menjadi ketakutan mendengar ancaman itu maka ia keliru besar. Teriakannya ternyata tidak digubris oleh mereka, sehingga di samping kemarahannya maka sesepuh Ki-lian-pay itupun mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi di ruangan itu.

Kericuhan itu semakin memuncak ketika beberapa tokoh-tokoh yang telah dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk bertindak sebelum aula itu meledak berkeping-keping. Dengan melihat sekian orang yang serentak keluar dari aula, maka tokoh-tokoh itupun sekarang yakin bahwa penuturan Tong Wi-lian yang kemarin bukannya penuturan yang mengada-ada.

Kiau Bun-han yang berambut putih seperti kapuk itu segera berseru kepada orang-orang Ki-lian-pay maupun tetamu lainnya, "Saudara-saudara Ki-lian-pay, maafkan kalau aku mengganggu kesucian upacara kalian! Tetapi kumohon sekarang juga semuanya meninggalkan aula, sebab sebentar lagi aula ini akan meledak!"

Bagi orang-orang yang belum mendengar tentang rencana keji Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An itu tentu saja terkejut mendengar ucapan orang nomor satu di Hoa-san-pay itu. Keadaan menjadi panik, ada yang percaya ada yang tidak. Bahkan sesepuh Ki-lian-pay Kong Bun-ting yang sudah tua namun masih berdarah panas itupun berteriak marah,

"Kiau Ciangbun (Ketua Kiau), selama ini hubungan Ki-lian-pay dengan Hoa-san-pay cukup baik, kenapa sekarang kau mengcaukan upacara suci kami? Apakah mentang-mentang Hoa-san-pay sebuah perguruan besar dan kami sebuah perguruan kecil, lalu kalian berbuat seenaknya kepada kami? Aku Kong Bun-ting siap mengadu nyawa untuk mempertaruhkan kehormatan Ki-lian-pay!"

Kiau Bun-han cepat menyahut, “Jangan salah paham, Kong Tianglo, ucapanku tadi tidak untuk menghina Ki-lian-pay namun benar-benar ada komplotan licik yang ingin memusnahkan kita semua hanya dengan sekali pukul saja! Tak ada waktu untuk menerangkan dan kita harus cepat keluar!"

Waktu itu, hampir bersamaan beberapa tokoh terkemuka lainnya juga bersuara mendukung Kiau Bun-han, sehingga Kong Bun-ting menjadi yakin juga. Tapi ia tidak berhak memegang kekuasaan, maka ia hanya bertanya kepada The Toan-yong sebagai calon ketua baru, "Ciangbun Sutit, bagaimana ?"

Ternyata si calon ketua baru itu berpikir cukup tangkas, sahutnya, "Keselamatan nyawa semua tetamu adalah nomor satu, begitu pula murid-murid kita, semuanya keluar!"

Maka paniklah keadaan, baik murid-murid Ki-lian-pay sendiri maupun para tetamu segera berlari-larian menerjang ke pintu atau melompati jendela. Tidak sedikit yang terinjak-injak dan menjadi luka-luka. Tong Wi-lian, Ting Hun-giok tadinya kurang memperhitungkan bahwa keadaan akan menjadi kacau seperti ini. Namun sekarang sudah terlambat untuk menenangkan mereka.

Mereka berdiri di tengah-tengah ratusan orang yang berlari-lari saling tabrak sambil berteriak-teriak panik itu, malah di satu bagian sudah terdengar gemerincing senjata yang dihunus keuat dan diadu dengan senjata lainnya. Agaknya, demi memperebutkan jalan ke pintu keluar, orang tidak segan-segan menyingkirkan sesamanya dengan senjata.

Tong Wi-lian berkata kepada Bu-gong Hweshio yang juga berada di situ, "suheng, tenaga Jian-kin-cun-kang-tui mu agaknya harus digunakan. Jebollah tembok agar ada jalan keluar tambahan dan tidak berdesakan seperti ini!"

Sementara itu Sebun Him yang berdekatan dengan “keluarga mertuanya” itupun dengan gelisah mendesak, “Cepat! Kitapun harus segera keluar dari sini!”

"Kita sedang mencari jalan agar semuanya keluar dengan selamat," sahut Ting hun-giok jengkel.

"Mereka punya kaki untuk lari sendiri-sendiri, buat apa kita urus mereka, yang penting kita harus selamat lebih dulu!" desak Sebun Him semakin gugup. Dalam keadaan terjepit bahaya itu muncullah watak aslinya.

Ting Hun-giok menyahut ketus, "Selamatkan dirimu sendiri lebih dulu, pahlawan besar!"

Sebun Him yang sudah berjalan beberapa langkah ke arah pintu keluar yang "tersumpal" kerumunan manusia itu, menghentikan langkahnya ketika mendengar kata-kata Ting Hun-giok itu. Jawabnya dengan kebingungan, "Aku..aku...tidak bermaksud demikian, tapi kita harus...me...ah, kau benar-benar tidak mengerti!"

Ketika itu, Bu-gong Hweshio dengan mengerahkan ilmu Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Sikut Baja Beribu Kati) telah, menggempur satu bagian tembok aula itu sehingga runtuh dan terciptalah sebuah "pintu darurat" yang cukup lebar. Dari arah lain terdengar gemuruh runtuhnya tembok pula, karena si rahib tua Siau-lim-pai Hong-seng Hwe-shio, telah berbuat serupa dengan ilmu Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Malaikat Bertenaga Besar). Dan seperti watak pendekar umumnya, Hong-seng Hweshio justru melarang murid-muridnya sendiri untuk berdesak-desakan keluar, dari situ, melainkan mengutamakan orang lain lebih dulu untuk menyelamat diri.

Tepat ketika orang-orang terakhir sudah keluar agak jauh dari aula itu, terdengarlah ledakan yang memekakkan telinga. Sehingga lereng Ki-lian-san itu bagaikan terguncang gempa. Debu mengepul tinggi, potongan-potongan kayu, bata merah, batu, genting dan lain-lainnya berterbangan ke udara dengan kekuatan lontaran yang dapat melukai orang.

Beberapa orang memang terluka kena serpihan bahan bangunan itu, beberapa orang lagi bahkan pingsan. Tapi rencana Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An telah mutlak gagal sebab tidak ada seorangpun yang tewas, orang yang paling rendah ilmu silatnyapun tidak, sangat jauh bedanya dari perhitungan semula.

Bagaikan bermimpi, Kong Bun-ting, The Toan-yong serta tokoh-tokoh Ki-lian-pay lainnya menyaksikan aula yang menjadi pusat kegiatan-kegiatan selama ini dalam sekejap sudah lenyap dan rata dengan tanah. Yang ada hanya bekas-bekasnya. Sedangkan orang-orang yang sejak semula memang belum tahu adanya rencana untuk memusnahkan. Mereka itu, merasakan jantung mereka masih berdebar kencang karena kagetnya. Disamping ngeri, timbul juga kemarahan mereka kepada orang yang menyusun rencana keji itu.

Sementara itu, kaki tangan Teliong Hiangcu yang tadi berselinapan keluar sebelum terjadinya ledakan, agaknya begitu yakin akan kemenangan mereka, sehingga begitu keluar dari aula, merekapun langsung mencopot baju luar masing-masing sehingga kelihatanlah baju dalam mereka yang berwarna hijau daun yang ringkas. Pakaian seragam Kui-kiong.

Bahkan ada sebagian dari mereka yang bukan saja mencopot pakaian luar mereka tetapi juga mencopot "wajah" mereka, karena selama ini mereka memakai wajah palsu untuk menjalankan peranannya dalam tubuh perguruan atau perkumpulan yang disusupinya.

Sebagian lagi memang tetap dengan wajah asli mereka, namun mereka sudah dijerat menjadi anggota komplotan Kui-kiong sejak lama, dengan janji-janji muluk bahwa para pengikut Te-liong Hiangcu kelak akan mendapat kedudukan tinggi, sebab Te-liong Hiangcu bukan saja berhenti sebagai Bulim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan) tetapi juga bercita-cita menjadi Kaisar.

Orang-orang sekomplotan itu kini berkumpul di salah satu lereng Ki-lian-san sambil tertawa-tawa memandang ke arah puncak bukit yang kelihatan ada debu mengepul itu. Kata salah seorang dari mereka,

"Mulai hari ini, kita adalah orang-orang Bulim Bengcu, orang yang paling berkuasa di dunia persilatan. Siapa yang menentang kita sama saja dengan menentang Bu-lim Bengcu dan patut mendapat hukuman berat...!"
Selanjutnya;