Pendekar Naga dan Harimau Jilid 34Karya : Stevanus S.P |
KI-LIAN-SAN menjelang upacara pengangkatan Ketua yang baru... Ki-lian-pay bukan sebuah perguruan yang besar, ia hanya sebuah perguruan yang sedang-sedang saja diantara sekian banyak perkumpulan atau perguruan yang seukuran dengannya di rimba, persilatan. Namun Ki-lian-pay terkenal sebagai sebuah perguruan aliran lurus yang mengajarkan murid-muridnya untuk selalu berpihak kepada keadilan dan kebenaran.
Hubungan dengan perguruan-perguruan lainpun cukup baik, mulai dari yang raksasa seperti. Siau-lim-pay, Bu-tong-pay atau Go-bi-pay, sampai yang "teri" seperti Ho-lian-pay. Hubungan yang luas itulah yang membuatnya dikenal. Ketua Ho-lian-pay yang lama sudah meninggal dunia sebulan yang lalu dan dengan rapat para sesepuh perguruan, disepakati bahwa murid tertua dari mendiang ketua yang lama akan menggantikannya sebagai Ketua. Bukan sekedar karena ia murid tertua, tapi juga karena ia adalah seorang yang berbudi pekerti tak tercela serta memiliki ilmu silat yang baik pula. Dialah The Toan-yong yang berjulukan Pek-kui-to (Si Golok Petir), masa mudanya ia pernah merendahkan diri dengan menjadi seorang piau-su (pengantar barang) di perusahaan pengantaran barang Tiong-gi Piauhang pimpinan Gin-yan-cu Tong Wi-hong yang berpusat di kota Tay-beng. Namun dengan pengalaman dunia persilatan, dan itu cukup sebagai bekal dalam menjadi "jurumudi" Ki-lian-pay. Berita pengangkatannya dengan cepat tersebar, dan beberapa tokoh berbagai perguruan telah menyatakan akan hadir sehingga Ki-lian-pay menjadi sibuk mempersiapkan diri. Gedung pusat perguruan Ki-liana-pay sendiri diperkirakan terlalu sempit untuk menampung tamu yang tentu akan berjumlah ratusan, maka dibangunlah barak-barak di luar bangunan gedung itu. Meskipun hanya terdiri dari bambu dan kayu, namun cukup rapi dan dianggap cukup layak menerima para tamu untuk menginap semalam dua malam. Lagipula The Toan-yong tahu bahwa para tetamu tentu tidak akan bertingkah dengan menuntut pelayanan yang berlebih-lebihan. Semakin dekat dengan hari pengkatan, semakin banyak orang-orang mengalir ke Ki-lian-san. Bukan cuma para pendekar tapi juga orang-orang yang hanya sok pendekar. Cukup asal berpakaian ringkas, membawa senjata dan muka dibikin angker, sudah mirip dengan pendekar betulan. Berbondong-bondong berdatangan utusan-utusan dari Siau-lim-pay, Bu tong-pay, Khong-tong-pay, Go-bi-pay, Heng-san-pay, Kay-pang, Cong-lam-pay dan sebagainya. Ada juga perguruan yang tidak dapat mengirimkan utusannya karena sempitnya waktu dan panjangnya jarak sehingga mereka merasa percuma saja mengirim utusan sebab pasti akan terlambat sampai di gunung Ki-lian-san. Barak-barakpun penuh dengan berbagai macam manusia. Pendeta, imam, pengemis, sastrawan dan orang-orang biasa. Rombongan Go-bi-pay dipimpin seorang pendeta yang sudah sangat tua sehingga alisnya yang panjang itu sudah putih semuanya, bernama Thian-sek Hweshio dengan beberapa paderi angkatan yang lebih muda, di antaranya yang memiliki nama besar di dunia persilatan adalah Liong-hou Hweshio dan Kim-hoan Hweshio. Mereka menempati salah satu dari deretan barak sebelah timur, berdampingan dengan baraknya orang-orang Siau-lim-pay. Besok pagi upacara akan diselenggarakan, dan hari ini para tamu masih belum punya acara apa-apa, kecuali saling berbincang dengan teman-teman lama yang sudah lama tidak berjumpa dan kini berjumpa di tempat itu. Di antara mereka yang bercakap-cakap satu sama lain itu nampaklah Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay bercakap-cakap dengan akrabnya dengan Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay di sebuah lereng gunung Ki-lian-san yang berpemandangan indah. Mereka berdua saja, dan karena tampang mereka berdua begitu welas-asih, maka orang yang melihat dari kejauhan tentu menduga bahwa kedua-duanya sedang membicarakan soal-soal agama atau kesejahteraan sesama manusia. Namun andaikata ada orang yang mendekati mereka dan mendengar percakapan mereka, tentu akan bergidik mendengar perkataan-perkataan mereka Tanya Bu-thian Hweshio, "Apakah semuanya beres?" Sahut Liong-hou Hweshio, "Rapi semuanya. Besok tengah hari aula itu akan hancur berkeping-keping bersama orang-orang di dalamnya." "Kudengar sesuatu terjadi di Kui-kiong?" "Sedikit gangguan dari pengikut-pengikut Tong Wi-siang, tapi sudah diatasi oleh Hiangcu dan teman-teman kita. Dua hari yang lalu aku menerima merpati pembawa surat dan di situ dikabarkan bahwa semuanya beres. Rencana tidak berubah." "Baik. Kita berpisah." Keduanyapun kemudian berpisahan. Dan ternyata kasak-kusuk macam itu terjadi di antara beberapa orang pula, bukan cuma kedua Hweshio itu. Kaki tangan Te-liong Hiangcu sudah tersebar dimana-mana, bercampur dengan kaum pendekar yang asli. Kawan dan lawan bercampur aduk tanpa dapat mengetahui sebab semuanya sama-sama bermuka ramah, bertutur-kata sopan dan akrab dan bergurau satu sama lain. Tapi besok tengah hari, menjelang ledakan yang menghancurkan itu, maka mana yang serigala dan mana yang domba akan segera terlihat jelas, dan saat itu barangkali akan terjadi banjir-darah yang tidak kalah mengerikannya dengan yang di Tiau-im-hong berpuluh tahun yang lalu. Namun di samping antek-antek Te-liong Hiangcu yang berkasak-kusuk, maka beberapa tokoh pendekar atau pemimpin para perguruan yang berpengaruhpun telah berhasil dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun dengan amat hati hati. Setengah percaya setengah tidak mereka mendengarkan pembeberan Tong Wi lian atau suaminya, apalagi ketika suami isteri itu menyebutkan keterlibatan beberapa orang murid dari perguruan terhormat, itu membuat tokoh-tokoh itu jadi termangu-mangu mendengarnya. "Rasanya sulit dipercaya," kata Hong-seng Hweshio, pemimpin rombongan Siau-lim-pay ketika duduk berhadapan dengan Tong Wi-lian di baraknya. "Bu-thian adalah seorang murid yang tekun, berbakat, pintar dan juga berani. Dalam beberapa bulan terakhir ini, memang memperlihatkan ketidak-puasan atas kepemimpinan Ciangbun Suheng (kakak seperguruan yang menjadi ketua) dan kadang-kadang mulutnya terlanjur mengeluarkan kata-kata yang keras dan tajam. Tapi sulit dipercaya bahwa dia adalah kaki-tangan Te-liong Hiangcu yang diselundupkan ke tubuh Siau-lim-pay kita." Tong Wi-lian paham, benar watak su-siok (paman guru) yang satu ini, begitu lugu dan lurus sampai ia tidak percaya bahwa ada orang bisa selicik itu, dikiranya semua orang sama lurusnya dengan dirinya. Maka Tong Wi-lian harus dengan sabar menjelaskannya, "Susiok, susiok kira akupun mudah menerima berita itu? Aku juga hampir tidak percaya ketika mendengar nama Buthian Suheng termasuk dalam deretan kaki tangan Te-liong Hiangcu, padahal hubunganku dengan Bu-thian Suheng termasuk cukup baik juga. Tapi kita memang harus sedia payung sebelum hujan, andaikata hujan tidak jadi turun ya malah kebetulan bukan?" Hong-seng Hweshio termangu-mangu, namun ia menganggukkan kepalanya tanda setuju ketika Tong Wi-lian meminta agar paderi tua itu tetap menyimpan berita itu untuk dirinya sendiri lebih dulu. Begitu pula banyak pemimpin lainnya yang dihubungi oleh Tong Wi-lian merasa tidak percaya, tapi mereka menurut ketika pendekar wanita itu minta untuk bungkam lebih dulu dan mengadakan persiapan-persiapan yang tidak menyolok mata. Kata pendekar perempuan itu. "Tidak ada ruginya kita bersiap-siap daripada menyesal dikemudian hari. Jika kalian minta bukti sekarang, maka terus terang saja aku tidak dapat membuktikannya, tapi aku mohon besok kalian mengawasi suasana selama berlangsungnya upacara di aula. Di situ kalian akan melihat apakah ucapanku benar atau bohong...." Keesokan harinya, pelataran di depan gedung Ki-lian-pay menjadi meriah sejak pagi. Suara petasan berantai yang memekakkan telinga terdengar terus-menerus tak henti-hentinya, membuat pelataran itu penuh dengan serpihan serpihan kertas bekas petasan. Lalu disusul pertunjukan barongsay dan Liong yang didatangkan dari kota Siang-tan, kabarnya merupakan rombongan kesenian terbaik di kota itu dan sudah tiga kali menjuarai lomba barongsay di kota itu. Para tetamu Ki-lian-pay masih berpancaran ke sana kemari, menikmati berbagai macam pertunjukan yang diselenggarakan, sebab upacara intinya sendiri baru akan berlangsung nanti tengah hari. Di antara para tetamu itu tentu saja ada segolongan orang yang sebentar-sebentar menengadah menengok matahari, dengan debaran jantung menunggu kapan si penerang jagad itu sampai di puncak langit. Tapi gerak-gerik segolongan orang itu tidak menimbulkan kecurigaan banyak orang, sebab apa anehnya kalau seseorang melihat langit untuk mengetahui waktu? Dan saat yang mendebarkan itu tibalah, dari dalam aula terdengar suara lonceng besar dipukul berkali dengan irama tertentu. Petasan segera dimatikan dan semua pertunjukanpun berhenti mendadak. Murid-murid Ki-lian pay berbaris khidmat dengan pakaian seragam mereka, dan dengan langkah-langkah tanpa berisik mereka berbaris masuk ke aula dan kemudian berbaris rapi di kedua pinggiran, tak ada seorangpun bercakap-cakap atau membuat gerakan-gerakan yang tidak perlu. Ditengah-tengah aula ada sebuah meja sembahyang besar beralaskan kain merah lebar dengan sesajian yang meliputi entah berapa puluh macam makanan, namun bau makanan itu masih tertutup oleh bau dupa yang dibakar di segala sudut. Di atas altar ada lambang besar perguruan Ki-lian-pay, di bawah lambang ada gambar seorang lelaki tua bertubuh gagah dan tangannya membawa pedang. Dialah pendiri Ki-lian pay beberapa ratus tahun yang lalu. Setelah murid-murid Ki-lian-pay sendiri mengambil tempat, maka para tamupun memasuki aula menurut rombongannya masing-masing, juga dengan sikap hormat untuk menghormati pihak tuan rumah, dan tak lama kemudian aula itupun sudah penuh dengan manusia, namun tidak sampai berdesak-desakan. Suasana juga tidak sampai ribut, sebab masing-masing adalah orang-orang dunia persilatan yang sudah terbiasa dengan sikap tertib di perguruannya masing-masing. Begitu pula orang-orang yang tidak termasuk dalam perguruan manapun juga itu juga menyesuaikan diri dengan suasana. Di antara mereka terdapatlah Tong Wi-lian yang berdiri sekelompok dengan Ting Bun suaminya, Ting Hun-giok puterinya dan Sebun Him yang sudah merasa dirinya sebagai "menantu idaman" keluarga pendekar dari An-yang-shia itu? Apalagi selama beberapa hari terakhir ini Ting Hun-giok sudah tidak bersikap dingin kepadanya. Ini dianggapnya sebagai "lampu hijau" buatnya, itulah sebabnya meskipun di situ juga ada rombongan Hoa-san-pay yang dipimpin langsung oleh Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) Kiau Bun-han dan tokoh-tokoh lainnya termasuk Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, tapi Sebun Him lebih "kerasan" berdekatan dengan gadis itu. Tapi Tong Wi-lian dengan suami dan anaknya tidak sempat menggubris Sebun Him yang agak salah tingkah itu mereka bertiga lebih memusatkan perhatian mereka untuk memperhatikan orang-orang yang perlu dicurigai, dan mereka memang sempat melihat betapa orang-orang saling bertukar pandangan mata dan saling mengedipkan mata sebagai isyarat. Desis Tong Wi-lian dalam hatinya, "Langit Maha Adil! Langit Maha Adil! Masih dilindungi-Nya umat-Nya yang berada di jalan benar sebanyak ini, sehingga digerakkan-Nya hati seorang Im Yao untuk membuka rahasia rencana ini kepada anakku, sehingga kamipun bersiap-siap untuk menghadapi rencana, itu. Kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan sekian banyak pendekar di ruangan ini, tentunya mereka akan meledak berkeping-keping dengan aula yang sudah penuh dengan bahan peledak ini, dan sebagian besar kekuatan dunia persilatan akan lumpuh, digantikan munculnya si durjana Te-liong Hiangcu sebagai penguasa dunia persilatan." Sementara lonceng besar berbunyi lagi, lalu The Toan-yong sebagai calon ketua muncul dari samping altar diiringi beberapa tokoh Ki-lian-pay angkatan tua. Masing-masing sesepuh itu tangannya memegang benda-benda lambang kekuasaan perguruan atau benda benda upacara lainnya, seperti jubah untuk ketua, kitab yang berisi peraturan-peraturan perguruan, pedang pusaka, hio untuk memberi hormat kepada, lambang perguruan dan gambar pendiri Ki-lian-pay dan sebagainya. Upacara dimulai dengan urut-urutan seperti yang telah ditentukan dan pada saat itulah maka antek-antek Te-liong Hiangcu mulai bergerak meninggalkan aula sebab mereka tidak ingin menyelinap keluar dan entah alasan apa saja yang mereka kemukakan kepada pemimpin rombongan masing-masing. Sungguh suatu kebetulan yang sangat aneh kalau dalam saat yang bersamaan sekian banyak orang hendak "buang air kecil" semuanya. Dan kenyataan itu membuat hatinya pedih, haruskah di gunung yang indah ini akan terjadi pertumpahan darah? Ketika Bu-thian Hweshio mendesaknya sekali lagi maka Hong-seng Hweshio tidak menghalanginya lagi, dengan perhitungan tersendiri yaitu tidak ingin "memukul rumput mengejutkan ular". Sebab jika Bu-thian dilarang berkumpul dengan rekan-rekan sekomplotannya, maka rekan-rekan sekomplotan itu tentu akan curiga bahwa gerakan mereka sudah diketahui. Maka lebih baik para serigala berbulu domba itu dibiarkan berkumpul dulu dengan sesamanya, nanti akan lebih mudah menghadapinya. Dan Bu-thian Hweshio begitu mendapat ijinpun segera keluar dengan tergesa-gesa. "Tahanlah, upacara ini tidak lama. Jangan sampai karena hal-hal kecil maka perguruan kita dicap tidak sopan oleh pihak Ki-lian-pay." Bu-thian Hweshio benar-benar gelisah, dan ketika ia melirik maka dilihatnya beberapa rekan-rekan sesama anak buah Te-liong Hiangcu juga sudah banyak yang menyelinap keluar, meskipun dengan cara mengendap-endap di belakang punggung-punggung orang lain untuk menghindari perhatian. Jika ia terlambat, maka dirinya bisa ikut mampus di situ, karena dia yakin bahwa saat itu, entah di mana, sumbu sudah dinyalakan dan sumbunya sendiri tidak cukup panjang. Hong-seng Hweshio memang seorang lugu dan amat jujur, tapi bukan berarti tolol. Kegelisahan Bu-thian Hweshio itu sudah memberi isyarat bahwa apa yang dibeberkan Tong Wi-lian kemarin itu benar, apalagi pandangannya yang tajam juga melihat beberapa orang dari berbagai perguruan juga melakukan hal yang sama bersama lain-lainnya. Namun gerakan mereka berusaha sehalus mungkin supaya tidak kelihatan menyolok. Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay mendekati. Hong-seng Hweshio dan berbisik. "Susiok, teccu (murid) mohon izin keluar ruangan sebentar karena ada sebuah keperluan yang tak dapat ditunda." Seketika itu Hong-seng Hweshio teringat apa yang dituturkan Tong Wilian, di baraknya kemarin, kalau kemarin belum percaya maka sekarang mau tidak mau ia harus curiga kepada keponakan muridnya itu. Ia ingin mencobanya dengan bertanya, "Kita sebagai tamu tidak sopan kalau keluar masuk ruangan di tengah-tengah jalannya upacara yang khidmat bagi Ki-lian-pay ini. Hormatilah sedikit supaya kita tidak dicap kurang sopan. Sebenarnya keperluan apa?" “Aku ingin buang air kecil, benar-benar tidak tertahan." Ternyata hampir sepertiga dari tamu-tamu yang hadir itu meninggalkan aula pada saat upacara berlangsung dengar khidmat. Hal itu tentu saja membuat beberapa sesepuh Ki-lian-pay sebagai tuan rumah mengerutkan alis dengan perasaan kurang senang. Dan ketidaksenangan mereka memuncak ketika melihat beberapa murid Ki-lian-pay sendiri tiba-tiba bangkit dari berlututnya yang khidmat di hadapan gambar cikal bakal, dan merekapun tergesa-gesa keluar dari aula pula, bahkan ada yang demikian tergesa-gesanya sehingga menginjak punggung temannya sendiri yang sedang berlutut, sehingga suasanapun menjadi agak gaduh. Seseorang sesepuh Ki-lian-pay yang bernama Kong Bun-ting dan berjuluk Hun-tiong-ho (Bangau di Terigah Awan) tidak dapat menahan diri lagi, teriaknya, "Murid-murid Ki-lian-pay yang melanggar tata tertib dan mengganggu kesucian upacara ini, akan dikenakan hukuman pasal tujuh ayat sebelas peraturan Ki-lian-pay, yaitu dimusnahkan ilmu silatnya, dibuat cacad sepasang tangannya dan dipecat dengan tidak hormat dari perguruan!" Itulah hukuman yang hanya setingkat beratnya di bawah hukuman mati, namun jika Kong Bun-ting menduga murid-murid yang keluar aula itu akan menjadi ketakutan mendengar ancaman itu maka ia keliru besar. Teriakannya ternyata tidak digubris oleh mereka, sehingga di samping kemarahannya maka sesepuh Ki-lian-pay itupun mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi di ruangan itu. Kericuhan itu semakin memuncak ketika beberapa tokoh-tokoh yang telah dihubungi oleh Tong Wi-lian atau Ting Bun merasa bahwa sudah tiba saatnya untuk bertindak sebelum aula itu meledak berkeping-keping. Dengan melihat sekian orang yang serentak keluar dari aula, maka tokoh-tokoh itupun sekarang yakin bahwa penuturan Tong Wi-lian yang kemarin bukannya penuturan yang mengada-ada. Kiau Bun-han yang berambut putih seperti kapuk itu segera berseru kepada orang-orang Ki-lian-pay maupun tetamu lainnya, "Saudara-saudara Ki-lian-pay, maafkan kalau aku mengganggu kesucian upacara kalian! Tetapi kumohon sekarang juga semuanya meninggalkan aula, sebab sebentar lagi aula ini akan meledak!" Bagi orang-orang yang belum mendengar tentang rencana keji Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An itu tentu saja terkejut mendengar ucapan orang nomor satu di Hoa-san-pay itu. Keadaan menjadi panik, ada yang percaya ada yang tidak. Bahkan sesepuh Ki-lian-pay Kong Bun-ting yang sudah tua namun masih berdarah panas itupun berteriak marah, "Kiau Ciangbun (Ketua Kiau), selama ini hubungan Ki-lian-pay dengan Hoa-san-pay cukup baik, kenapa sekarang kau mengcaukan upacara suci kami? Apakah mentang-mentang Hoa-san-pay sebuah perguruan besar dan kami sebuah perguruan kecil, lalu kalian berbuat seenaknya kepada kami? Aku Kong Bun-ting siap mengadu nyawa untuk mempertaruhkan kehormatan Ki-lian-pay!" Kiau Bun-han cepat menyahut, “Jangan salah paham, Kong Tianglo, ucapanku tadi tidak untuk menghina Ki-lian-pay namun benar-benar ada komplotan licik yang ingin memusnahkan kita semua hanya dengan sekali pukul saja! Tak ada waktu untuk menerangkan dan kita harus cepat keluar!" Waktu itu, hampir bersamaan beberapa tokoh terkemuka lainnya juga bersuara mendukung Kiau Bun-han, sehingga Kong Bun-ting menjadi yakin juga. Tapi ia tidak berhak memegang kekuasaan, maka ia hanya bertanya kepada The Toan-yong sebagai calon ketua baru, "Ciangbun Sutit, bagaimana ?" Ternyata si calon ketua baru itu berpikir cukup tangkas, sahutnya, "Keselamatan nyawa semua tetamu adalah nomor satu, begitu pula murid-murid kita, semuanya keluar!" Maka paniklah keadaan, baik murid-murid Ki-lian-pay sendiri maupun para tetamu segera berlari-larian menerjang ke pintu atau melompati jendela. Tidak sedikit yang terinjak-injak dan menjadi luka-luka. Tong Wi-lian, Ting Hun-giok tadinya kurang memperhitungkan bahwa keadaan akan menjadi kacau seperti ini. Namun sekarang sudah terlambat untuk menenangkan mereka. Mereka berdiri di tengah-tengah ratusan orang yang berlari-lari saling tabrak sambil berteriak-teriak panik itu, malah di satu bagian sudah terdengar gemerincing senjata yang dihunus keuat dan diadu dengan senjata lainnya. Agaknya, demi memperebutkan jalan ke pintu keluar, orang tidak segan-segan menyingkirkan sesamanya dengan senjata. Tong Wi-lian berkata kepada Bu-gong Hweshio yang juga berada di situ, "suheng, tenaga Jian-kin-cun-kang-tui mu agaknya harus digunakan. Jebollah tembok agar ada jalan keluar tambahan dan tidak berdesakan seperti ini!" Sementara itu Sebun Him yang berdekatan dengan “keluarga mertuanya” itupun dengan gelisah mendesak, “Cepat! Kitapun harus segera keluar dari sini!” "Kita sedang mencari jalan agar semuanya keluar dengan selamat," sahut Ting hun-giok jengkel. "Mereka punya kaki untuk lari sendiri-sendiri, buat apa kita urus mereka, yang penting kita harus selamat lebih dulu!" desak Sebun Him semakin gugup. Dalam keadaan terjepit bahaya itu muncullah watak aslinya. Ting Hun-giok menyahut ketus, "Selamatkan dirimu sendiri lebih dulu, pahlawan besar!" Sebun Him yang sudah berjalan beberapa langkah ke arah pintu keluar yang "tersumpal" kerumunan manusia itu, menghentikan langkahnya ketika mendengar kata-kata Ting Hun-giok itu. Jawabnya dengan kebingungan, "Aku..aku...tidak bermaksud demikian, tapi kita harus...me...ah, kau benar-benar tidak mengerti!" Ketika itu, Bu-gong Hweshio dengan mengerahkan ilmu Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Sikut Baja Beribu Kati) telah, menggempur satu bagian tembok aula itu sehingga runtuh dan terciptalah sebuah "pintu darurat" yang cukup lebar. Dari arah lain terdengar gemuruh runtuhnya tembok pula, karena si rahib tua Siau-lim-pai Hong-seng Hwe-shio, telah berbuat serupa dengan ilmu Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Malaikat Bertenaga Besar). Dan seperti watak pendekar umumnya, Hong-seng Hweshio justru melarang murid-muridnya sendiri untuk berdesak-desakan keluar, dari situ, melainkan mengutamakan orang lain lebih dulu untuk menyelamat diri. Tepat ketika orang-orang terakhir sudah keluar agak jauh dari aula itu, terdengarlah ledakan yang memekakkan telinga. Sehingga lereng Ki-lian-san itu bagaikan terguncang gempa. Debu mengepul tinggi, potongan-potongan kayu, bata merah, batu, genting dan lain-lainnya berterbangan ke udara dengan kekuatan lontaran yang dapat melukai orang. Beberapa orang memang terluka kena serpihan bahan bangunan itu, beberapa orang lagi bahkan pingsan. Tapi rencana Te-liong Hiangcu dan Pakkiong An telah mutlak gagal sebab tidak ada seorangpun yang tewas, orang yang paling rendah ilmu silatnyapun tidak, sangat jauh bedanya dari perhitungan semula. Bagaikan bermimpi, Kong Bun-ting, The Toan-yong serta tokoh-tokoh Ki-lian-pay lainnya menyaksikan aula yang menjadi pusat kegiatan-kegiatan selama ini dalam sekejap sudah lenyap dan rata dengan tanah. Yang ada hanya bekas-bekasnya. Sedangkan orang-orang yang sejak semula memang belum tahu adanya rencana untuk memusnahkan. Mereka itu, merasakan jantung mereka masih berdebar kencang karena kagetnya. Disamping ngeri, timbul juga kemarahan mereka kepada orang yang menyusun rencana keji itu. Sementara itu, kaki tangan Teliong Hiangcu yang tadi berselinapan keluar sebelum terjadinya ledakan, agaknya begitu yakin akan kemenangan mereka, sehingga begitu keluar dari aula, merekapun langsung mencopot baju luar masing-masing sehingga kelihatanlah baju dalam mereka yang berwarna hijau daun yang ringkas. Pakaian seragam Kui-kiong. Bahkan ada sebagian dari mereka yang bukan saja mencopot pakaian luar mereka tetapi juga mencopot "wajah" mereka, karena selama ini mereka memakai wajah palsu untuk menjalankan peranannya dalam tubuh perguruan atau perkumpulan yang disusupinya. Sebagian lagi memang tetap dengan wajah asli mereka, namun mereka sudah dijerat menjadi anggota komplotan Kui-kiong sejak lama, dengan janji-janji muluk bahwa para pengikut Te-liong Hiangcu kelak akan mendapat kedudukan tinggi, sebab Te-liong Hiangcu bukan saja berhenti sebagai Bulim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan) tetapi juga bercita-cita menjadi Kaisar. Orang-orang sekomplotan itu kini berkumpul di salah satu lereng Ki-lian-san sambil tertawa-tawa memandang ke arah puncak bukit yang kelihatan ada debu mengepul itu. Kata salah seorang dari mereka, "Mulai hari ini, kita adalah orang-orang Bulim Bengcu, orang yang paling berkuasa di dunia persilatan. Siapa yang menentang kita sama saja dengan menentang Bu-lim Bengcu dan patut mendapat hukuman berat...!" |
Selanjutnya;
|