Pendekar Naga dan Harimau Jilid 33Karya : Stevanus S.P |
Tong Wi-lian cepat-cepat memberi hormat kepada Sebun Him sambil berkata "Terima kasih, Sebun Siauhiap, kalau tidak ada Siauhiap entah bagaimana nasib puteriku ini.”
Sementara itu, orang bersenjata sepasang kampak pendek yang beradu senjata dengan Sebun Him tadipun ikut bicara, "Gelombang sungai yang di belakang mendorong yang di depannya, kepandaian Sebun Siauhiap ini sungguh hebat sehingga dalam benturan tadi Siauhiap telah mengingatkan akan ketuaan dan kelemahanku.” Bangga juga Sebun Him, apalagi karena ucapan itu didengar langsung oleh Ting Hun-giok. Maka pura-pura Sebun Him juga merendah, "Ah, tuan jangan berkata begitu, aku sendiri terkejut bahwa tuan sanggup menahan seranganku yang telah memakan sepertiga kekuatanku tadi." Andaikata keadaan di tempat itu terang-benderang, tentu akan terlihat bahwa orang yang bersenjata sepasang kampak pendek itu menyeringai kecut mendengar jawaban Sebun Him yang "rendah hati” tadi. Ia merasa bahwa Sebun Him tadi bukan hanya menggunakan sepertiga kekuatannya tetapi sudah sepenuhnya, ia dapat merasakan getarannya, namun ia tidak mau berbantah dengan anak muda Hoa-san-pay yang dengan segala cara sedang mencari ketenaran di dunia persilatan itu. Sementara itu, Tong Wi-lian telah saling memperkenalkan kedua belah pihak. Orang-orang yang datang bersama dengan Tong Wi-lian itu antara lain adalah Bu-gong Hweshio, dan empat orang Tongcu Hwe-liong-pang yang tetap setia kepada mendiang Hwe-liong Pangcu Tong wi-siang. Yang beradu senjata dengan Sebun Him tadi adalah Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat yang berjulukan Siang-po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), dan tidak mengherankan kalau ia bergelar demikian sebab Sebun Him sendiri sudah merasakan kehebatan tenaganya. Masih ada lagi Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) Auyang Siau-pa yang terkenal dengan goloknya yang sangat cepat, Jai-ki Tongcu (Tongcu Bendera Coklat) Ma Hiong dengan senjata sepasang Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dan berjulukan sebagai Siau-Lo-cia (Dewa Lo-cia Kecil), serta Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang berjulukan Tian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati). Selain itu masih ada beberapa anggota Hwe-liong-pang yang cukup tangguh namun tidak berkedudukan sebagai Tongcu. Hati Sebun Him bergetar mendengar nama-nama dari jago-jago Hwe-liong-pang yang sudah terkenal namanya itu. Andaikata tadi benar-benar terjadi pertempuran karena kesalah-pahaman, maka dirinya agaknya akan mengalami kesulitan dan bahkan mungkin menderita kekalahan dan kehilangan muka. Kepandaiannya dengan kepandaian Siang-po-kai-san Ji Tiat tadi nampaknya cuma berselisih sedikit, sedang menang kalahnya pertarungan bukan cuma ditentukan oleh ilmu silat tetapi juga pengalaman dan kecerdasan otak. Belum lagi Tongou-tongcu lainnya yang pasti setingkat dengan Ji Tiat. "Pantas saja kalau Te-liong Hiangcu dan anak buahnya terbirit-birit masuk kembali ke balik dinding dan menutup pintu rapat-rapat. Kiranya barisan penggempur terdiri dari orang-orang setangguh ini kata Sebuin Him dalam hatinya. "Ibu, apakah ayah juga datsng?" tanya Ting Hun-giok. "Ya, ayahmu beserta empat orang Tongcu lainnya menyerang dari sebelah lain," sahut ibunya. "Sekarang apa rencana ibu, supek dan paman-paman dari Hwe-liong-pang ini?" tanya Ting Hun-giok. "Kita sudah menemukan tempat persembunyian si bangsat Te-liong Hiangcu itu, kenapa harus melepaskannya?" sahut ibunya dengan sengit. "Hwe-liong Pangcu yang pernah dikhianati olehnya adalah kakak kandungku, aku harus membalaskan sakit hati ini, bersama-sama dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang yang ingin membalaskan pula sakit hati Ketua mereka." "Jadi?" "Ratusan saudara-saudara Hwe-liong-pang sudah mengepung tempat ini, kalau Te-liong Hiangcu dan antek-anteknya tidak mau keluar dari sarang busuknya itu, biar mereka mati kelaparan di dalam sana," sahut. Tong Wi-lian. "Hutan ini sudah penuh dengan orang-orang kita, tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak terawasi, jangan harap dia bisa lolos." Lalu Auyang Siau-pa menyambung, "Ya, apalagi Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin ikut mengawasi pula, ilmu silat kedua Hiangcu ini sama sekali tidak berada di bawah Te-liong Hiangcu, meskipun tingkatan dalam perguruan kalah tinggi. Ketiga-tiganya sama-sama menerima bimbingan dari mendiang Pangcu sendiri." Ting Hun-giok mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berkata, "Memang cukup rapi, jika persediaan bahan makanan dalam Kui-kiong menipis, maka mau tidak mau mereka akan keluar juga. Tapi, Kui-kiong yang ditumpas hanya yang berada di tempat ini saja, sementara kaki tangan Te-liong Hiangcu yang menyusup dan bersembunyi dalam tubuh berbagai perguruan tetap tidak akan tersingkap. Dengan demikian penumpasan kalian terhadap Kui-kiong bukannya penumpasan yang sempurna." Tong Wi-lian, Bu-gong Hweshio, Sebun Him serta keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu terkejut mendengar ucapan Ting Hun-giok semacam itu, agak janggal kedengarannya kalau seorang gadis semuda dia mengucapkan hal-hal yang pantas diucapkan oleh seorang tokoh Bulim yang harusnya berjenggot putih dan bernama besar. Apalagi buat Tong Wi-lian atau Bu-gong Hweshio yang biasanya hanya mendengar Ting Hun-giok merengek manja atau hanya membicarakan hal-hal yang masih berbau kekanak-kanakan. "Maksudmu bagaimana, A-giok?" tanya ibunya. Ting Hun-giok yang mendadak menjadi orang penting itu agak jual mahal sedikit. Katanya sambil menunjuk bekas gadis-gadis tawanan yang dari tadi belum sempat mendapat perhatian itu, "Ibu dan paman-paman sekalian, sekarang sebaiknya kita pikirkan bagaimana sebaiknya dengan mereka." Auyang Siau-hui lalu mengutus seorang anggota kelompoknya untuk menanyai dari mana saja asal gadis-gadis itu, dan ternyata mereka menjawab bahwa rumah mereka tidak jauh dari tempat itu, sebab mereka memang orang-orang culikan yang ditawan oleh anak buah Kui-kiong dari tempat-tempat dekat, sekedar untuk memenuhi selera minum darah manusia dari Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji. Bahkan ada lima orang gddis yang berasal dari sedesa sehingga mengantarkan mereka pulang jadi lebih mudah. Mendengar itu Tong Wi-lian minta kepada beberapa anak buah Hwe-liong-pang untuk mengantarkan gadis-gadis itu pulang kerumahnya masing-masing-malam itu juga. Meskipun Tong Wi-lian sendiri bukan tokoh Hwe-liong-pang, tapi ia adalah adik-kandung mendiang Ketua Hwe-liong-pang sehingga kedudukannya itupun cukup dihargai. Mula-mula gadis-gadis itu takut juga karena mereka akan berjalan di malam hari dengan laki-laki yang belum dikenalnya, namun Ji Tiat menenteramkan hati mereka dengan setengah bergurau, "Jangan takut, anak-anak manis, orang-orang Hwe-liong-pang senantiasa berjuang melindungi rakyat kecil dan tidak akan melakukan hal yang tercela. Lagipula di antara anggota ada yang masih bujangan, siapa tahu kalian menemukan jodoh...” Sejak sore bertempur melawan orang orang Kui-kiong, ketegangan meliputi orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga Ji Tiat agaknya merasa perlu untuk berseloroh mengendorkan ketegangan. Serentak seloroh itupun disambut dengan tertawa oleh semuanya, dan Lu Siong yang bermulut usil itupun ikut menimbrung untuk menggoda, "Tapi jika kalian enggan pulang ke rumah, di sinipun ada bujangan yang masih menganggur..." katanya sambil menunjuk kepada Bu-gong Hweshio. Serempak semuanya tertawa lebih keras dan gadis-gadis itupun menjadi tersipu-sipu, sedangkan Bu-gong Hweshio memukul pundak Lu Siong sambil memaki, "Keparat, aku ini seorang pendeta dan kau mau merusak amal ibadahku selama ini...?" Ting Hun-giok berkata, "Amal ibadah apa, Supek? Belum pernah kulihat Supek bersembahyang sambil memukul bok-hi, yang kulihat hanyalah ketika Supek minum arak, makan daging anjing atau berkelahi!" "Huss, jangan buka rahasia!" bentak Bu-gong Hweshio. Kembali mereka tertawa. Lalu anak buah Hwe-liong-pang yang bertugas mengantarkan gadis-gadis itupun meninggalkan tempat itu untuk menjalankan tugasnya, diiringi pandangan mata iri dari rekan-rekan mereka. "Gila, kau mendapat tugas mengawal anak perawan sedang kami di sini hanya berkencan dengan nyamuk-nyamuk belaka," gerutu seorang anak buah Hwe-liong-pang yang tidak kebagian mengantarkan itu. Namun seorang anggota Hwe-liong-pang lainnya yang kebagian tugas mengantarkan, malahan menggerutu, sebab yang harus diantarkannya itu bukan saja gembrot dan wajahnya mirip laki-laki, tapi juga cerewetnya bukan kepalang. Setelah semuanya pergi, Tong Wi-lian bertanya, "A-giok, kau belum sepenuhnya tentang ucapanmu tadi." "Ibu, aku ingin kedelapan orang Tongcu dikumpulkan lebih dulu, juga ayah, dan juga kalau Thian-liong Hiangcu serta Kim-liong Hiangcu ada pula di sini, alangkah baiknya kalau mereka pun mendengar berita penting ini." Gaya gadis itu sekarang benar-benar mirip seorang Panglima besar yang sedang merundingkan siasat penyerangan dengan dikerumuni oleh perwira-perwiranya tidak Lagi seperti seorang anak manja. Auyang Siau-hui sendiri yang beranjak pergi untuk memenuhi permintaan itu, memanggil keempat Tongcu lainnya serta Ting Bun yang juga berada di sekitar Kui-kiong itu namun di bagian lain. Tidak lama kemudian, semuanya sudah berkumpul, tapi Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak dapat dijumpai, sebab kedua orang itu hanya muncul di saat-saat pertempuran berkobar, sedang jika pertempuran selesai merekapun menghilang kembali. Kini kedelapan Tongcu serta lain-lainnyapun duduk berkerumun menanti penjelasan Ting Hun-giok. Sebun Him ikut serta sebab dianggapnya dirinya sudah menjadi tokoh penting yang berhak mendengar percakapan itu. Api unggun dinyalakan tanpa takut kelihatan oleh orang-orang Kui-kiong, supaya tempat dalam hutan di mana mereka duduk berkerumun di tanah itu menjadi agak terang, sementara anakbuah Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak itu berjaga dengan rapatnya di dalam jari-jari beberapa tombak dari kerumunan para pemimpinan. Ada yang bersandar pohon, dan ada pula yang menongkrong di atas dahan seperti seekor kera besar. Setelah semuanya berkumpul, Ting Hun-giok mulai membeberkan apa yang diketahuinya dari Tiat-ci-hok Im Yao tentang rencana keji gabungan antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An untuk menumpas seluruh tokoh-tokoh pendekar penentang bangsa manchu ketika mereka sedang berkumpul di puncak Ki-lian-san tanggal sepuluh nanti. Dijelaskan pula untung ruginya jika menyerang Kui-kiong sekarang dengan menyerang Kui-kiong di Ki-lian-san nanti. Menyerang sekarang memang akan berhasil menumpas kakap-kakapnya, namun kaki tangan mereka yang menyusup ke berbagai perguruan akan tetap tidak terjaring. Sedang jika menyerang di Ki-lian-san nanti, akan terjaring seluruhnya, dari Te-liong Hiangcu sampai orang-orangnya yang menyelundup di perguruan-perguruan itu, sebab semuanya akan hadir di sana. Kui-kiong akan mengerahkan seluruh kekuatannya di Ki-lian-san nanti demi tujuan, "sekali pukul semuanya selesai" untuk meratakan jalan bagi Te-liong Hiangcu menjadi Bulim Bengcu. Semuanya tercengang mendengar penuturan Ting Hun-giok itu, Sebun Him juga agak menyesal kenapa bukan dirinya yang menceritakan hal itu. Andaikata dirinya yang mengatakan hal itu bukankah ia akan menjadi semakin penting di hadapan orang-orang itu? Namun Sebun Him menghibur dirinya sendiri, "Asalkan di Ki-lian-san nanti perananku menonjol, tentu semua mata akan berpaling kepadaku dan namakupun semakin terkenal. Saat itulah yang penting." Sementara itu terdengar si pendeta rambut panjang Bu-gong Hweshio bertanya, "Aku mendengar bisikan ini dari seorang anggota Kui-kiong sendiri, yang bermaksud berbuat kebaikan untuk menebus kejahatan-kejahatan masa lalunya. Tiat-ci-hok Im Yao." Beberapa kening berkerut, dan terdengar Auyang Siau-pa berkata, "Aku pernah mendengar nama itu, ia adalah adik seperguruan dari sin-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap darah) Liong Pek-ji. Kudengar dia memang paling sedikit berbuat keonaran di antara orang-orang Kui-kiong lainnya." Ting Hun-giok mengangguk membenarkan, "Ya, dia penjahat besar, namun ternyata dia masih punya hati nurani dan dalam beberapa hari terakhir ini dia semakin berpaling ke jalan yang terang. Dialah yang paling besar jasanya dalam melepaskan aku dan gadis-gadis tadi dari kurungan Kui-kiong." Kalimat "paling besar jasanya" inilah yang diam-diam tidak bisa diterima oleh Sebun Him, dan ia tidak dapat menahan mulutnya untuk berkata, "Ya, jasanya memang lumayan juga dalam membantu aku mengeluarkan nona Ting dan teman-temannya dari Kui-kiong." Ting Hun-giok mendengus jengkel mendengar perkataan Sebun Him itu, tapi ia tidak menanggapi anak muda yang agak gila pujian itu. Terdengar Bu-gong Hweshio bertanya, "Apakah orang Kui-kiong itu dapat dipercaya sepenuhnya, atau ia hanya ingin kita membuka kepungan kita ini hanya dengan meminjam mulut nona kecil ini? Sedang kita dengan tergesa-gesa akan menuju ke Ki-lian-san untuk menangkap angin?" Sebun Him senang mendengar nada ucapan yang menyudutkan Im Yao itu, sebelum Ting Hun-giok menjawab maka diapun ikut berkata untuk mendukung ucapan si pendeta yang pernah berkelahi dengannya di kota Tiang-an itu, "Ucapan Bugong Hweshio cukup masuk akal dan perlu dipertimbangkan oleh kita semuanya. Meskipun ada kemungkinan seorang jahat kembali ke jalan yang benar, tapi kemungkinan itu sama besarnya dengan tertipunya kita oleh orang she Im itu." Sahut Ting Hun-giok, "Yang membawa aku sejak dari kota Tiang-an sampai di Kui-kiong adalah orang she Im itu, dan selama beberapa hari aku mengamati pergolakan jiwanya. Sikapnya kepadaku juga sangat baik. Aku yakin bahwa mataku tidak lamur bahwa dia benar-benar seperti seorang yang hampir tenggelam di tengah lautan dan sedang menggapai-gapai sepotong papan agar tidak tenggelam, akankah kita merampas papan yang menjadi satu-satunya harapannya dan membiarkan dia terus tenggelam tidak muncul kembali? Dia seorang jahat tapi bukan manusiakah dia?" Debat Sebun Him, "Masalahnya bukan sekedar tega atau tidak tega kepada pribadi seseorang, tetapi apakah seluruh ksyatria sejagad ini akan tertipu olehnya atau tidak? Kalau sampai tertipu, bukankah akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan anak cucu kita sampai belasan keturunan?" “Aku yakin dia tidak menipu, aku bisa membaca matanya!" kita Ting Hun-giok bersikeras. Lalu sambil menatap Sebun Him tajam-tajam maka Ting Hun-giok melanjutkan. "Mana yang lebih berharga, antara seorang jahat yang menyadari kesalahannya dan ingin berbuat kebaikan, dengar, seorang baik dari perguruan terhormat pula, namun tega memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain demi memuaskan rasa cemburunya? Bahkan dengan mengabaikan keselamatan orang banyak yang sedang terancam oleh sebuah rencana keji?" Kata-kataa Ting Hun-giok yang terakhir itu benar-benar seperti jarum-jarum tajam yang menancap di hati Sebun Him, apalagi sinar mata Ting Hun-giok yang memancarkan kemarahan itu benar-benar tidak sanggup ditentang aleh Sebun Him. Dan anak muda Hoa-san-pay itu sadar bahwa Ting Hun-giok masih belum mau mempermalukannya, sebab gadis itu belum menyebut namanya secara langsung, tetapi jika keadaan memanas maka bukan mustahil gadis itu akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang lebih tajam lagi dan Sebun Him-pun akan kehilangan muka. Sementara itu Ting Hun-giok sendiri agaknya tidak sepenuhnya berhasil mengendalikan diri, sebab dengan bibir yang agak gemetar dan mata yang berkaca-kaca ia melanjutkan, "Seseorang ingin menjadi pahlawan yang dikagumi, itu boleh saja, tapi haruskah dengan menginjak dan mengorbankan orang lain. Seorang pahlawan yang berpakaian putih bersih haruskah berdiri di atas mayat seorang yang berpakaian hitam kotor agar keputihan dan kesuciannya semakin nampak menyolok?" Sebun Him menundukkan kepalanya dan bungkam seribu bahasa. Sementara orang-orang yang mengerumuni api unggun itu menjadi heran melihat perdebatan sengit antara Ting Hun-giok dan Sebun Him itu. Tadinya ketika mereka melihat pasangan muda mudi itu keluar bersama-sama dari Kui-kiong, mereka sudah menduga bahwa mereka akan menjadi pasangan yang cocok. Bahkan Tong Wi-lian, dan kemudian Ting Bun yang datang bergabung, juga sudah membayangkan bahwa mereka akan segera menjadi mertua dari pemuda Hoa-san-pay yang tinggi besar dan tampan itu. Tapi kini mereka tahu bahwa hubungan kedua muda-mudi itu tidak seperti yang mereka bayangkan, agaknya masih ada pihak ketiga dan pihak ketiga itu adalah anggota Kui-kiong alias anak buah Te-liong Hiangcu. Sekilas Tong Wi-lian melirik wajah suaminya dan nampak sepasang alis suaminya itu berkerut. Tempat itu menjadi sunyi sejenak, sementara Ting Hun-giok dengan gerakan yang diusahakan untuk tidak kentara, mengusap matanya yang basah. Sekejap kemudian barulah kesunyian itu dipecahkan oleh suara Lam-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar) itu, "Jadi bagaimana sekarang kesimpulannya? Apakah kita harus mempercayai berita itu atau tidak?" Tidak ada yang langsung menjawab dan melihat wajah-wajah dari sekalian orang itu, nampaknya mereka terbagi dua bagian. Ada yang mempercayainya dan ada yang tidak, kemudian terdengar suara Bu-gong Hweshio tegas menentukan sikapnya, "Aku kenal betul akan pribadi setan kecil itu (maksudnya Ting Hun-giok) sebab sejak kecil aku sudah ikut mengemongnya. Ia cukup cerdas dan tidak sembarangan menilai orang, maka jika dia sampai begitu yakin akan niat baik orang she Im dari Kui-kiong itu, sembilan dari sepuluh pasti tidak meleset.“ "Jadi masih ada kemungkinan meleset satu bagian?" tanya Sebun Him tanpa berani menatap Ting Hun-giok. "Ya, segala sesuatu dalam hidup ini adalah perjudian. Kemungkinan salah langkah itu memang ada, tapi bukankah itu lebih baik daripada berdiri kebingungan?" sahut Bu-gong Hwe-shio. "Aku memilih ke Ki-lian-san, di sana kita lebih yakin dapat menumpas Kui-kiong seakar-akarnya!" "Aku juga akan ke Ki-lian-sanl" hampir bersamaan Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong menjawab. Namun yang lainnya masih kelihatan ragu-ragu, sampai Kwa Heng sebagai Tongcu yang usianya paling tua berkata dengan nada yang sabar, "kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebab akibatnya akan berbuntut panjang di kemudian hari. Kalau kita bubarkan kepungan ini dan menuju ke Ki-lian-san semua, bagaimana kalau ternyata tidak ada apa-apa di sana. Sedangkan Te-liong Hiangcu dan kaki tangannya yang saat ini sudah kita kepung di sini malahan lolos kembali dan memindahkan sarangnya ke lain tempat yang untuk mencarinyapun harus mulai dari permulaan lagi?" "Aku punya akal," kata Ting Bun tiba-tiba. "Kita ambil jalan tengah saja. Kalian saudara-saudara Hwe-Liong-pang tetap mengepung tempat ini, sementara itu biar aku dan isteriku, puteriku serta Bu-gong Hweshio menuju ke Ki-lian-san untuk menggagalkan rencana keji itu." "Tidak bisa jadi, ayah," tiba-tiba Ting Bun menyanggah. "Kalau akan berangkat ke Ki-lian-san ya harus berangkat semuanya, sebab kalau sebagian masih di sini, maka berarti Te-liong Hiangcu tidak dapat menuju ke sana. Dan tanpa hadirnya Te-liong hiangcu di Ki-lian-san maka kaki tangannyapun tidak akan bergerak, mereka tentu akan merasakan bahwa rencana mereka sudah bocor dan memilih diam tak bergerak." "Jadi maksud Ting Kohnio, kita harus melepaskan Te-liong Hiangcu yang saat ini sudah jelas-jelas kita kepung ini?" tanya Hek-ki-tougcu (Tonng-cu Bendera Hitam) Kwa Tin-siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu. "Apakah ini bukan berarti ingin menangkap burung yang terbang tinggi dan burung yang sudah di tangan dilepaskan?" Sahut Ting Hun-giok, "Masalahnya memang seperti perjudian, bisa menang bisa kalah. Tinggal kalian mempercayai berita itu atau tidak. Tetapi kalau menurut aku, aku mempercayai orang itu sepenuhnya, dan untuk percaya sepenuhnya ini aku sudah membuat banyak sekali pertimbangan. Bukan percaya asal percaya saja." Sikap Ting Hun-giok memang sangat meyakinkan, sayang sekali bahwa ia cuma seorang gadis remaja yang hijau pengalaman. Andaikata yang bersikap demikian itu seorang pendekar seperti Tong wi-hong dari Tay-beng, sambutan mereka tentu tidak ragu-ragu lagi. Sebaliknya Ting Hun-giok sendiri mengeluh dalam hatinya, ternyata tidak mudah juga meyakinkan orang-orang itu. Namun tidak menyalahkan mereka, sebab masalahnya memang bukan masalah ringan yang boleh diputuskan dengan serampangan saja. "Kami orang-orang Hwe-liong-pang, Pemimpin kami yang tertinggi saat ini adalah Siangkoan Hiangcu, sebelum Ketua yang baru terpilih," kata In Yong mencoba menyingkirkan keragu-raguan teman-temannya. "Karena itu keputusan terakhir biarlah diucapkan oleh Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, tentunya setelah beliau mendengar pertimbangan-pertimbangan kita." Keputusan yang mengambang seperti itu agaknya, yang paling bisa diterima oleh semua pihak dalam perundingan itu, sehingga diputuskan demikian dulu. Ting Hun-giok agak kecewa juga, karena ia sebenarnya mengharap agar orang-orang itu mempercayai berita yang dibawanya dan segera berbondong-bondong ke Ki-lian-san untuk menumpas habis Te-liong Hiangcu dan komplotannya sampai seakar-akarnya, namun yang didapatnya hanyalah keputusan yang sebenarnya belum benar-benar pasti itu. Tapi ia memang tidak bisa memaksa semua orang untuk mempercayai Im Yao seperti ia sendiri juga mempercayainya. Maka sambil menunggu datangnya fajar sambil menunggu datangnya Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, Ting Hun giok mengambil waktu untuk beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya. Sementara para Tong-cu kembali ke tempatnya masing-masing bersama dengan anakbuahnya, mengawasi Kui-kiong dari segala penjuru, menjaga agar tidak ada yang lolos. Ketika sendirian bersama ayah-ibunya, Ting Hun-giok bertanya, "Apakah ayah dan ibu juga tidak percaya kepadaku?" Tong Wi-lian meraih kepala anak gadisnya dan mendekapkannya ke pundaknya, sambil berkata, "kau jarang sekali sengotot ini, A-giok, maka agaknya aku benar-benar percaya kepadamu." "Dan ayah bagaimana?" Sahut Ting Bun yang duduk bersandar pohon sambil memangku goloknya itu, "Memang seorang yang bagaimanapun jahatnya ada kalanya tiba-tiba menemukan setitik sinar terang dalam hatinya dan diapun ingin kembali ke jalan yang benar. Begitu pula orang Kui-kiong yang bernama Im Yao itu agaknya demikian pula.” Sikap ayah ibunya itu membesarkan hati Ting Hun-giok. "Aku gembira ayah dan ibu mempercayai aku. Ketahuilah, orang yang bernama lm Yao itu semula ia sangat aku benci karena dialah yang menculik aku. Tetapi seorang penjahat adalah seorang manusia juga, jika kita bersikap keras kepada mereka maka mereka akan tetap jahat, namun ada yang hatinya menjadi lunak karena mereka diperlakukan sebagai sesama manusia dan merekapun merasa diri mereka sebagai manusia. Meskipun aku juga sadar bahwa tidak berarti mereka lalu bebas dari hukum yang berlaku. Im Yao terperosok ke dalam Kui-kiong karena keadaan masa kanak-kanaknya yang memaksa demikian, masa yang sangat pedih dan tak terlupakan baginya. Terhadap orang seperti ini, akankah kita bersikap tegar tanpa ampun...?" |
Selanjutnya;
|