Pendekar Naga dan Harimau Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 33

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
Sebun Him yang merasa peranannya agak tersisih dengan kedatangan Im Yao, mencoba menarik pernatian Ting Hun-giok dengan ucapan-ucapannya, “Huh, meskipun mereka datang lagi, masakah aku takut? Mereka boleh merasakan kelihaian pedangku si Beruang Barat."

Tidak ada yang menghiraukan ucapan Sebun Him itu, sebab semuanya sudah bergerak menuju ke satu arah dengan dipimpin oleh Im Yao dan Im Kok. Ting Hun-giok berjalan bersama kedua kakak beradik itu, sementara gadis yang dibebaskan berjalan berhimpitan di belakang mereka. Gadis yang mengaku pernah belajar silat di desa itu menjumput sebatang pedang dan bersikap ikut melindungi.

Waktu itu keadaan Kui-kiong benar benar sepi, jauh di luar tembok masih terdengar suara pertempuran yang ramai. Agaknya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin bukan hanya berdua saja tapi membawa orang-orang Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang. Dan apabila benar demikian, maka Kui-kiong benar-benar menghadapi tekanan berat, sebab jago-jago Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu itu banyak yang berilmu tinggi.

Setelah melalui sebuah kebun, Im Yao membawa rombongannya tiba di sebuah kolam ikan emas yang indah. Di tepi kolam ada sebuah rumah kecil yang keempat sisinya tanpa tembok, agaknya sering untuk beristirahat, dan di situ ada sebuah meja batu berbentuk segi delapan.

"Di bawah meja batu ada lorong rahasia," kata Im Yao singkat.

Kembali Sebun him meloncat ke depan untuk menawarkan jasa, "Minggir, biar aku singkirkan meja ini."

"Meja ini tak dapat bergerak kecuali dengan cara khusus, sebab ia digerakkan dengan..." Sambil berkata demikian Im Yao meraba sesuatu di bawah daun meja dan memutarnya, dan meja ltupun bergerak sendiri ke samping. Di bawahnya nampak sebuah lubang gelap dengan tangga batu yang menurun tajam. Tangga itu penuh debu dan sarang laba-laba bergelantungan di atasnya, menandakan bahwa lorong itu tidak pernah dikunjungi manusia untuk waktu yang lama.

Kata Im Yao, "Lorong ini dibuat oleh Te-liong Hiangcu jika suatu ketika ada bahaya mengancam dan dia harus melarikan diri. Lorong ini tembus ke seberang telaga."

"Jadi lorong ini nantinya melewati dasar telaga?"

"Ya, tapi itu bukan sesuatu yang hebat, sebab telaga itupun hanya telaga buatan yang dalamnya tidak lebih dua tombak. Yang berbahaya pada telaga itu bukan dalamnya melainkan sejenis ikan yang menghuninya."

Sementara itu Sebun Him mengomentari tentang lorong bawah tanah itu, "Heran, ketika Te-liong Hiangcu membuatnya, ia tentu tidak mengira bahwa hari inilah dia akan menggunakannya untuk lari terbirit-birit dari istana iblisnya itu..."

Sahut Im Kok dengan mendongkol, "Andaikata seluruh Kui-kiong lari terbirit-birit pun cukup pantas, sebab lawan yang datang adalah Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan pengikut-pengikut setia Hwe-liong Pangcu yang berilmu tinggi lainnya. Bukan sebangsa cecunguk yang selalu gembar-gembor dan tidak malu-malu menyebut julukannya sendiri."

Sebun Him merah padam wajahnya ketika mendengar sindiran tajam itu. Ia melotot kepada Im Kok, tetapi orang kedua dari Ya-hui-siang-hok itu pura-pura sedang melihat ke arah lain dan bersiul-siul. Sementara itu Im Yao berkata, "Ucapan Sebun Siauhiap ini barangkali benar. Apabila Te-liong Hiangcu tidak sanggup membendung serbuan Siangkoan Hong dan kawan-kawannya, maka ia pasti akan menggunakan terowongan ini untuk menyelamatkan airi. Karena itu kita harus cepat kabur lewat sini lebih dulu."

Lalu Im Yao dari Im Kok berjalan di depan dengan tangan membawa kayu kering yang dinyalakan sebagai obor, diiringi oleh Ting Hun-giok den gadls-gadis lainnya. Sebun Him masuk paling belakang. Tangga itu menurun tajam hampir empat tombak jauhnya dan udaranya pengab lembab, untung obor yang dibawa Im Yao dan Im Kok dapat sedikit menerangi jalan dan membuat perasaan tidak terlalu tertekan.

Tiba di ujung bawah tangga, Im Yao menarik sebuah gelang besi di dinding kanan, dan terdengar suara gemuruh di atas, meja batu itupun bergerak sendiri kembali ketempatnya semula dan menutup pintu masuk ke terowongan itu.

Kini mereka akan melewati sebuah lorong yang mendatar, kiri, kanan dan atasnya terbuat dari batu, namun agaknya batu-batu itu kurang dapat menahan rembesan air, sehingga lantai lorong itu tergenang air hampir dua jengkal dalamnya. Sebelum melangkah maju Im Yao berkata,

terutama kepada para perempuan itu, "Kita akan berjalan di lantai yang digenangi air itu kira-kira dua ratus langkah, dan kuberitahukan kepada kalian bahwa ada beberapa ekor lintah di air itu. Karena itu jangan menjerit kalau kaki kalian dirambati binatang itu, sebab lorong ini tidak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jeritan kalian bisa didengar oleh orang-orang di atas, dan ini berarti malapetaka buat kita semua. Mengerti?"

Perempuan-perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka merinding juga kalau membayangkan kaki mereka bakal dirambati binatang-binatang yang menjijikkan itu. Namun mereka tabahkan hati mereka kalau mengingat alam kebebasan sudah menanti di depan mata, itu lebih baik daripada terkurung di dalam kerangkeng besi tanpa tahu nasib apa yang menanti mereka.

Lorong itupun mereka lalui dan memang ada beberapa perempuan yang hampir saja menjerit keras ketika merasakan benda yang licin dan berlendir merayapi kaki mereka, namun dengan muka pucat mereka berhasil membekap mulut mereka sendiri dalam-dalam. Bahkan Ting Hun-giok yang berilmu silat tinggi itupun menjadi pucat wajahnya ketika merasa betisnya ditempeli sesuatu, tanpa disadari la menggenggam lengan Im Yao erat erat.

Di paling belakang, Sebun Him menggerutu dalam hati, "Apakah aku Sebun Him yang merupakan pendekar muda terkenal dari perguruan terkenal pula, bakalan kalah bersaing dengan bandit Kui-kiong yang riwayat hidupnya sangat kotor itu? Heran, jangan harap bisa mengalahkan Sebun Him di segala bidang."

Di ujung lorong, mereka menaiki tangga batu yang menuju, ke atas. Im Yao segera mematikan obornya dengan cara mencelupkan ujungnya ke air di lantai lorong. Lalu dalam kegelapan ia berkata, "Kita sudah sampai di seberang telaga, di tempat di mana terjadi pertempuran antara Te-liong Hiangcu melawan Siangkoan Hong dengan pengikut-pengikutnya masing-masing. Aku harus melihat keluar lebih dulu, apakah aman atau tidak."

Sebun Him maju ke depan dan berkata, "Biar aku yang keluar lebih dulu, kalau kutemui orang-orang Kui-kiong sungguh kebetulan, karena tanganku pun sudah gatal ingin membantai mereka!"

Ting Hun-giok yang menyahut, "Kau tidak menghiraukan keselamatan gadis-gadis itu, Sebun Siauhiap?"

"Kenapa aku tidak menghiraukan mereka?"

"Kalau kau meloncat keluar dan mengamuk, bukankah kami semua di sini akan diketahui oleh mereka? Kau jadi pahlawan, tapi kami semua jadi bangkai," kata seorang gadis yang dibebaskan itu.

Sebun Him melirik tajam kepada gadis itu dan berkata dingin, "Kau tidak pantas ikut bicara, tahu dirilah sedikit!"

"Setiap orang berhak ikut bicara tentang nasibnya sendiri," bantah Tlng Hun-giok. "Yang memimpin pembebasan ini adalah Im Toako dan dialah yang mengaturnya, yang tidak tunduk berarti dia hanya mengacau dan mementingkan dirinya sendiri, ingin mencari pujian buat diri sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain."

"Hah, apa yang diperbuat bandit Kui-kiong itu sehingga nona A-giok memujinya seperti memuja dewa"?" kata Sebun Him dengan sengit. “Ingat, aku yang bertempur, aku yang mempertaruhkan nyawa, aku yang terus mengikuti jejak nona sejak dari Tiang-an!"

Ting Hun-giok semakin muak menghadapi kepribadian macam Sebun Him itu, namun mengingat bahwa orang itu sudah berbuat banyak untuk berusaha menyelamatkannya, maka Ting Hun-giok tidak ingin menyakiti hatinya. Katanya dengan sabar, "Sebun Siauhiap, jasamu amat besar kepadaku dan yang kau perbuatpun sangat berharga, tapi kau tidak bisa menumpuk semua tanda jasa di pundakmu sendiri kalau ternyata ada orang lain juga yang berjasa kepadaku. Kau baik kepadaku, begitu pula Im Toako, kenapa harus selalu berebut siapa yang paling berjasa? Kalian bisa bekerja-sama bukan?"

"Huh!" Sebun Him hanya mendengus, namun jelas ia tidak bisa menerima ucapan Ting Hun-giok itu. Masakah dirinya yang berasal dari murid perguruan terhormat itu akan disejajarkan jasanya dengan penjahat dari Kui-kiong itu? Dan disuruh bekerja-sama pula? Jijik rasanya.

Sementara itu Im Yao tidak mempedulikan pertengkaran antara Sebun Him dan Ting Hun-giok itu, dengan hati-hati ia melangkah naik sampai anak tangga paling atas dan kemudian mengintip keluar. Berbeda dengan jalan masuknya, maka jalan keluar dari terowongan itu hanyalah berujud sebuah, lubang kecil yang tertutup semak belukar, yang untuk keluar dari situ orang harus merangkak. Agaknya sengaja disamakan begitu rupa agar tidak mudah diketahui oleh musuh.

Ketika Im Yao menyibakkan ilalang yang menutupi mulut gua, maka di luar hanya kelihatan malam yang pekat dengan pohon-pohon yang tinggi hitam bagaikan raksasa. Suara pertempuran terdengar kira-kira lima puluh langkah di sebelah kanan mulut gua, maka Im Yao memperkirakan bahwa keadaan cukup aman untuk rombongannya. Ia balik kembali ke dalam gua dan berkata dengan suara yang ditekan rendah, "Aman, kalian keluar tapi harus dengan hati-hati dan jangan menimbulkan suara berisik."

Mendengar ucapan, Ting Hun-giok bertanya, "Im Toako, apakah Toako sendiri tidak ingin keluar bersama kami? Toako dapat-meninggalkan Kui-kiong yang lebih mirip sarang iblis daripada sarang manusia itu, sedangkan Toako adalah manusia yang betapapun juga masih memiliki kebaikan. Terbukti Toako mau mengantarkan kami semua sampai di sini..."

Im Yao menarik napas, hatinya terasa hangat bahwa seorang gadis dari keluarga terhormat seperti Ting Hun-giok masih sudi memperhatikan dirinya. Inilah perhatian yang diterimanya dengan tulus dari orang lain sejak berpuluh tahun la tidak menerimanya, sejak ibunya meninggal dunia karena dicekik oleh ayahnya dulu. Karena gejolak perasaannya itulah maka im Yao memutuskan untuk berbuat lebih banyak lagi bagi sesama manusia, hitung-hitung sebagai pengurang dosa-dosanya selama ini.

Katanya, "Ting Kohnio, ada sesuatu rahasia yang akan kuberitahukan kepadamu, tapi hanya kau sendiri yang boleh mendengar."

Sebun Him menimbrung, "Tidak usah main rahasia-rahasiaan, bilang saja terus terang sebab akupun sudah menduga niatmu bahwa pertolonganmu ini tentu bukannya tanpa pamrih sama sekali."

Tapi Im Yao tidak mempedulikan Sebun Him, ia menarik tangan Ting Hun-giok beberapa langkah, lalu berbisik "Ting Kohnio, sebenarnya keselamatan para pendekar berhati mulia di dunia persilatan telah terancam oleh suatu bahaya besar pada tanggal sepuluh bulan ini juga, di gunung Ki-lian-san..."

Ting Hun-giok terkejut mendengar hal itu. Ayah dan Ibunya termasuk dalam golongan pendekar juga, begitu pula pamannya, Tong Wi-hong, dan beberapa sahabat orangtuanya. Tanyanya, "Bahaya apa?"

Sahut Im Yao, "Kuharap Ting Kohnio mau merahasiakannya serapat mungkin kecuali terhadap orang-orang yang Kohnio percayai sepenuhnya, dan juga Kohnio anggap cukup berkemampuan untuk menyelamatkan para pendekar itu. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Kui-kiong telah menjalin kerjasama dengan seorang Panglima Manchu yang sangat berambisi, bernama Pakkiong An, Panglima dari Ul-ih-kun (Pasukan Baju Kuning).

"Ada persamaan tujuan antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiangcu. Berita yang bocor ke telingaku lewat mulut Toa-suhengku sebagai orang kepercayaan Te-liong Hiangcu, Pakkiong Ah mengincar singgasana kekaisaran karena dia masih berdarah istana juga, untuk itu ia harus memupuk kekuasaan dan untuk memupuk kekuasaan harus membuat jasa sebanyak-banyaknya, antara lain dengan membasmi kaum pendekar yang akan berkumpul di Ki-lian-san pada tanggal sepuluh nanti.

"Sedang Te-liong Hiangcu juga berambisi untuk menjadi seorang Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan), untuk itu banyak tokoh kuat rimba persilatan yang mesti disingkirkan. Jadi pembasmian para pendekar di Ki-lian-san itu akan menguntungkan baik Pakkiong An maupun Te-liong Hiangcu dengan ambisinya masing-masing. Seperti diketahui, Ketua Ki-lian-pay baru saja meninggal dunia dan pada tanggal sepuluh nanti akan diadakan pengangkatan ketua baru, yaitu Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong.

"Saat itu banyak tamu-tamu tokoh-tokoh puncak dunia persilatan yang hadir untuk memberi selamat, nah, saat mereka berkumpul itulah maka kaki tangan Te-liong Hiangcu akan meledakkan aula Ki-lian-pay sehingga seluruh hadirin akan tertumpas. Andaikata masih ada yang lolos, maka pasukan Ui-ih-kun yang disembunyikan di kaki gunung akan segera keluar untuk menjaring sisanya, bergabung dengan anak buah Kui-kiong itulah rencananya."

Darah Ting Hung-lok bergolak mendengar itu, la membayangkan alangkah ngerinya jika sebagian besar kaum pendekar yang tengah berkumpul itu binasa. Dunia persilatan akan bergolak. Cengekraman bangsa Manchu akan semakin kuat karena para pendekar sebagai tulang punggung perjuangaya telah tiada, golongan hitam terutama Kui kiong akan semakin merajalela sebab kehilangan saingan-saingan mereka.

Meskipun Ting Hun-giok seorang perempuan, tapi ia dibesarkan dalam keluarga pendekar, jiwa dan semangat kependekaran telah ditanamkan oleh kedua orangtuanya, sehingga ketika mendengar rencana gabungan yang amat keji antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu itu, darahnyapun bergolak dan la merasa harus mencegahnya sekuat tenaga.

Katanya dengan suara bergetar, "Kalau tidak karena pemberitahuanmu, Im Toako, sungguh tidak terduga bahwa ada rencana sejahat itu. Im Toako, sebenarnya seluruh kaum pendekar berhutang budi kepadamu!”

Untuk pertama kailnya dalam belasan tahun ini. Im Yao tertawa segar, tertawa yang tidak dibuat-buat untuk menakuti musuhnya. Sahutnya, "Kejahatan yang sudah aku perbuat lebih banyak dari kebaikannya.”

"Toako, apakah Toako punya suatu cara yang baik untuk mencegah kekejian rencana itu?"

Sahut Im Yao, "Itulah kesempatan buat dunia persilatan untuk menumpas Kui-kiong dan sekaligus membersihkan diri dari unsur-unsur Kui-kiong yang menyusup masuk ke dalam berbagai perguruan. Dalam rencana Ki-lian-san itu, orang-orang Kui-kiong yang selama ini menyamar sebagai orang-orang baik akan tersingkap kedoknya, sebab sesaat sebelum ledakan mereka akan memisahkan diri supaya tidak ikut hancur bersama para pendekar, itulah sebabnya aku pesankan kepada Ting Kohnio untuk merahasiakan apa yang kau ketahui itu, sebab sekali bocor keluar maka pihak Kui-kiong akan membatalkan rencananya, dan itu berarti musuh dalam selimut yang menyusup di tubuh perguruan-perguruan akan tetap aman dengan kedoknya masing-masing. Di kemudian hari mereka masih bisa membuat kehancuran yang lebih hebat."

"Tetapi dengan demikian kita membiarkan para pendekar itu memasuki perangkap...."

"Memang agak berbahaya, tapi rasanya belum kutemukan jalan lain. Ledakan terjadi tepat pada tengah hari, yaitu waktu semua undangan berada di depan meja abu leluhur Ki-lian-pay, saat itulah para kaki tangan Kui-kiong secara tidak kentara akan memisahkan diri dari para tamu lainnya, kau harus mengawasi hal itu sebagai tanda-tarida gerakan mereka. Saat itu pula kau harus berseru kepada para pendekar keluar dari ruangan upacara, sekaligus menumpas orang-orang yang memisahkan diri sebelumnya itu."

Ting Hun-giok menarik napas. "Kelihatannya mudah Toako, tapi maukah para pendekar yang berpengalaman itu mendengarkan seruanku, seorang anak perempuan yang masih bau kencur ini? Apalagi ketika aku harus menunjukkan bahwa orang-orang yang memisahkan diri itu adalah musuh dalam selimut, orang tidak akan begitu saja mempercayaiku. Orang-orang yang dituduh itu tentu merupakan tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh pula, sehingga suara mereka akan lebih didengar dari suaraku..."

"Kohnio dapat menghubungi beberapa orang yang benar-benar Kohnio percayai kebersihan tingkah lakunya dan kependekarannya, supaya yang bersuara membuka kedok mereka. Bukankah kedua orang tua Kohnio sendiri adalah pendekar-pendekar terkenal yang orang tidak berani mengabaikan setiap patah kata mereka?"

Ting Hun-giok termangu-mangu. "Aku tidak tahu dimana ayah ibuku sekarang, dan kalau aku harus mencari dulu ke rumahku di An-yang-shia, aku pasti akan terlambat sampai di Ki-lian-san dan itu berarti bencana sudah terlanjur terjadi...”

"Nona pasti kenal beberapa pendekar, hubungi mereka, yakinkan mereka akan adanya rencana ini. Misalnya ketua-ketua perguruan, atau pendekar-pendekar terhormat aliran putih yang berwibawa lainnya. Hanya saja, perlu Kohnio tidak usah hubungi, sebab merekalah sebenarnya antek-antek Kui-kiong yang bertebaran. Ketua Ho-lian-pay He Keng-liang, Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay Te-hong Tojin dari Bu-tong-pay, Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay, itu yang kuketahui..."

Mendengar sampai di situ barulah Ting Hun-giok mengetahui betapa menakutkannya kui-kiong itu. Mereka tidak bekerja secara kasar, tetapi secara amat halus, dan tahu-tahu mereka telah punya antek-antek sebanyak itu di tubuh berbagai perguruan terkenal. Dan ucapan Im Yao selanjutnya jauh lebih menakutkan lagi,

"...tapi lebih banyak yang tidak kuketahui. Jadi, aku bicara terus terang kepada Kohnio sekarang, bahwa dalam menghubungi para pendekar itu ada kemungkinan Kohnio menghubungi orang yang keliru. Artinya, orang yang kau beber rencana jahat ini ternyata juga antek Kui-kiong kami, sehingga Kohnio akan...."

Bicara sampai di sini Im Yao tidak melanjutkan lagi, agaknya tidak sampai hati menyebut sesuatu yang mengerikan, namun Ting Hun-glok dengan suara agak gemetar telah melanjutkannya,, "...artinya aku akan seperti ular yang mencari gebuk, begitu?"

Dalam hatinya Ting Hun-giok sebenarnya merasa takut, tetapi darah pendekar yang berkobar dalam jiwanya telah mengalahkan rasa takutnya. Betapa mengerikannya Kui-kiong yang punya jaringan tersebar dimana-mana, membuat orang tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya, namun Ting Hun-giok telah bertekad untuk mempertaruhkan dirinya demi keselamatan seluruh rimba persilatan, bahkan andaikata dirinya terperosok ke dalam malapetaka yang paling mengerikan sekalipun. Ia tidak ingin menjadi orang yang mementingkan diri sendiri sehingga menghindari tugas itu dan mengabaikan keselamatan para pendekar.

Bertekad demikian, maka semangat-nyapun menyala dan terpancar dari sepasang matanya yang seperti bintang kejora itu. Katanya mantap, "Aku tidak peduli bahaya apapun. Kalau aku hancur karena hal ini, aku puas telah memberikan arti bagi hidupku sendiri. Tapi, Im Toako, tidaklah lebih baik kau meninggalkan Kui-kiong untuk hadir di Ki-lian-san dan membeberkan sendiri rencana Jahat Te-liong Hiang-cu dan Pakklong An dihadapan para pendekar? Mereka tentu akan lebih percaya kepadamu, sebab kau adalah orang Kui-kiong sendiri."

Meski dalam kegelapan tapi Ting hun-giok tahu bahwa Im Yao menggelengkan kepala, dan menyahut, "Te-liong Hiangcu adalah seorang yang licin sekali, kalau ia tahu aku mendadak mengghilang dari Kui-kiong tanpa penjelasan apapun, maka kecurigaannya akan timbul dan dia tahu bahwa rencananya sudah bocor. Karena itu, dia akan mengubah rencananya sama sekali. Maka aku harus tetap kelihatan di Kui-kiong dan berpura-pura tetap setia kepadanya, tetapi aku berjanji, sebisa-bisanya akupun akan ikut menggagalkan rencana ini dari belakang. Mudah-mudahan dosaku belum terlalu besar sehingga Thian masih akan memberi kesempatan kepadaku untuk membuat kebaikan-kebaikan."

Ting Hun-giok menggenggam erat tangan Im Yao, hawa hangat yang memancar dari jiwa gadis itu terasa menghangatkan jiwa Im Yao pula. Tidak ada kata-kata lagi, namun hati kedua orang itu seakan telah bersatu dalam sebuah tekad yang teguh.

"He, kalian sudah selesai berbisik bisik atau belum?" terdengar suara Sebun Him mendongkol dari kegelapan sana.

Beberapa gadis tertawa cekikikkan karena mengira Ting Hun-giok dan Im Yao sedang saling mengucapkan kata-kata perpisahan antara dua kekasih.Tapi sebenarnya merekapun tidak terlalu keliru, sebab pernyataan kasih-sayang bukan hanya dengan ucapan saja.

"Sudah selesai," sahut Ting Hun-giok sambil mendahului merangkak keluar lewat mulut gua yang sempit itu. Diikuti lain-lainnya, sementara Im Yao kembali ke Kui-kiong lewat jalan yang sama. Keadaan hutan di luar Kui-kiong itu sangat gelap di malam hari, tapi mereka tidak berani menyalakan obor sebab takut terlihat oleh musuh. Bahkan Sebun Him yang tadinya berkaok-kaok ingin membasmi orang-orang Kui-kiong itupun kini juga melangkah dengan hati-hati. Ada yang jauh lebih ditakutinya daripada orang orang Kui-kiong, yaitu..Ting Hun-giok.

Suara pertempuran di kejauhan sudah agak mereda, terdengar orang-orang berteriak-teriak, agaknya orang-orang Kui-kiong menarik diri ke dalam dinding karena musuh sudah mengundurkan diri pula. Terdengar suara air telaga berdebur seperti ada barang-baarang berat yang diceburkan ke sana. Dan Sebun Him tahu bahwa yang diceburkan itu adalah tubuh-tubuh korban pertempuran, kawan maupun lawan. Bahkan mungkin tubuh-tubuh yang belum mati, hanya luka-luka sajapun ikut diceburkan pula daripada susah-susah mengobatinya, sebab bagi orang-orang Kui-kiong perbuatan macam itu adalah biasa.

“Jangan...jangan...lukaku hanya ringan saja dan masih bisa diobati... jangan ceburkan aku," terdengar di kejauhan suara seorang anggota Kui-kiong. Namun toh terdengar juga suara berdebur berbarengan dengan jeritan yang mengerikan.

"Menghemat obat dan beras!” kata salah seorang Kui-kiong yang baru saja menceburkan temannya sendiri itu.

Ting Hun-giok ketika mendengar suara-suara itu diam-diam tertawa geli, dari berkata, "Agaknya orang-orang Kui-kiong itu jarang mandi dan takut air, sehingga diceburkan ke dalam telaga saja mereka menjerit-jerit seperti orang hendak disembelih."

Sahut Sebun Him, "Pada hakekatnya malah lebih kejam dari disembelih."

"Kenapa?"

"Apakah Im Toako mu yang kau sayang itu belum bercerita kepadamu tentang isi telaga itu?”

Ting Hun-giok tidak peduli sindiran Sebun Him itu, tanyanya seolah tidak mendengar sindiran tadi, "Apa isi telaga itu?"

Inilah kesempatan bagi Sebun Him untuk menonjolkan kepahlawanannya sendiri, "Isi telaga itu adalah sejenis ikan yang kecil tapi buas, berkelompok-kelompok dalam jumlah ribuan, hanya terdapat di daerah orang-orang suku Biau di Hun-lam. Ketika aku datang kemari demi menyelamatkan nona, hampir saja aku merenangi telaga itu, untung tidak jadi, sebab kalau aku benar-benar merenanginya maka dagingku akan habis dikerubut ikan-ikan buas itu dan tulang belulangku menjadi penghuni dasar telaga...."

Betapapun tabahnya Ting Hun-giok, namun ngeri juga mendengar cerita itu, dan kelihatannya Sebun Him tidak berbohong kalau didengar dari betapa takutnya suara orang Kui-kiong yang akan diceburkan oleh temannya tadi. "Kejam sekali" desisnya.

"Ya, kejam sekali, dan ini membuktikan bahwa Kui-kiong hanyalah sarang iblis belaka. Nona masih muda dan belum berpengalaman, jangan mudah terpengaruh oleh mereka yang bersikap pura-pura baik kepada nona. Barangkali dia punya tujuan jahat tertentu."

"Aku cukup waras untuk menentukan langkah-langkahku sendiri," sahut Ting Hun-giok dingin.

"Semua yang kuperbuat demi nona belaka, bahkan aku mempertaruhkan nyawa juga demi nona, aku kuatir nanti kau malahan menganggapku sebagai musuh dan sebaliknya musuh malah dianggap sebagai sahabat. Nasehatku ini untuk kebaikanmu sendiri..."

"Terima kasih atas nasehatmu. Kini diamlah dan mari kita cari jalan keluar dari hutan ini."

Sebun Him menarik napas mendengar jawaban ketus itu. "Agaknya kau sulit menerima kata-kataku karena tidak cocok dengan selera hatimu, tetapi sebenarnya aku bermaksud baik dan..."

"Aku sudah tahu maksud baikmu dan sudah berterima kasih. Masih mau apa lagi?"

"Sikap nona tidak seharusnya sedingin ini."

Lama kelamaan Ting Hun-giok menjadi jemu juga terhadap anakmuda Hoa-san-pay yang merasa jasanya berlebih-lebihan itu. Kalau tidak mengingat bahwa anak muda itu sudah berbuat banyak untuk menolongnya, rasanya ia ingin mengusirnya saja. Tapi hati Ting Hun-giok terlalu lembut untuk menyakiti hati seseorang yang baik kepadanya.

Maka dibiarkannya saja Sebun Him mengoceh terus, sedang Ting Hun-giok sendiri lebih memusatkan perhatiannya untuk membuka jalan dan memimpin teman-teman senasibnya yang baru lepas dari Kui-kiong itu untuk menerobos keluar dari hutan yang cukup pepat dari gelap itu.

Pada saat itulah tiba-tiba ranting dan rumput yang terinjak kaki terdengar dari depan, lalu muncullah beberapa sosok bayangan hitam yang langsung berlompatan mengurung Ting Hun-giok dan rombongannya. Dalam gelapnya malam, kedua belah pihak saling tidak tahu siapa yang dihadapi, kedua pihak hanya tahu bahwa lawan-lawan mereka bersenjata dan siapa tahu senja itu siap dihunjamkan ke dada mereka.

Sebun Him, Ting Hun-giok serta gadis desa bekas tawanan yang mengaku sedikit-sedikit pernah belajar silat itupun segera mempersiapkan diri untuk melindungi teman-teman mereka di tengah lingkaran yang berdesak-desakan ketakutan itu.

Kala seorang dari para penghadang itu menggeram dengan suaranya yang berat, "Hiangcu, masih ada juga bangsat-bangsat itu yang berani berkeliaran di luar, biar ku tumpas sampai habis sekalian!"

Mengira bahwa orang-orang yang menghadang itu adalah anak buah Kui-kiong, maka Sebun Him yang pikirannya sedang kacau karena menghadapi sikap dingin Ting Hun-giok itu, langsung menanggapinya dengan sikaf keras pula. Bentaknya, "Kalianlah kawanan iblis yang sebenarnya dan kalian pulalah yang patut ditumpas dari muka bumi ini!"

Berbareng dengan bentakannya itu maka pedang Sebun him sudah menderu ke arah lawannya yang berbicara tadi, dengan kekuatan yang hebat, bahkan ia tidak peduli andaikata ia keliru membunuh orang sebab pikirannya sedang-keruh. Tenaga Kun-goan-sin-kang sudah tersalur ke batang pedang sehingga sabetan itu mirip gunung runtuh.

Orang yang diserang itupun terkejut, ia insyaf berbahayanya serangan itu. Di tangannya tergenggam sepasang kampak bertangkai pendek yang merupakan senjatanya, dan sepasang kampaknya itu segera disilangkan ke depan dengan tenaga sepenuhnya pula untuk membendung serangan lawan. Baik serangan maupun tangkisannya sama-sama dilakukan dengan tenaga yang dahsyat, maka terjadilah benturan yang memekakkan telinga dibarengi bunga api yang memercik.

Si pemegang sepasang kampak pendek itu terdorong setengah langkah ke belakang dan sepasang lengannya terasa pegal kaku. Sebaliknya Sebun Him juga merasa tangannya tergetar hebat seolah-olah tenaganya tadi menghantam pelapis dinding besi yang mementalkan tenaganya kembali. Diam-diam ia terkejut. Ia sudah mengerahkan Kun-goan-sin-kang dan ia hanya mampu mendorong lawannya mundur setengah langkah?

Meskipun Ting Hun-giok jemu kepada Sebun Him, namun saat itu mereka berdua adalah teman seperjuangan dan sudah sepantasnya saling memperhatikan. Dalam kegelapan itu hanya mendengar benturan keras dan Sebun Him mendengus tertahan, maka Ting Hun-Giok berteriak, "Sebun Siauhiap, tidak apa-apakah kau?"

Cukup sepatah kalimat yang penuh perhatian dari Ting Hun-giok itu sudah merupakan obat maha mujarab bagi keterkejutan Sebun Him tadi. Maka dengan gagah ia menyahut., "Hemm, tentu saja tidak apa-apa. Apa yang bisa diperbuat bangsat-bangsat Kui-kiong ini kepada si Beruang Barat? Bahkan kepadaTe-liong Hiangcu sendiri aku tidak gentar!"

Sikap itu memang terlalu besar kepala, namun ada gunanya juga, yaitu menghilangkan kesalah-pahaman antara kedua belah pihak. Apalagi ketika dari antara para penghadang itu terdengar suara seorang perempuan, "Apakah A-giok di situ?"

Mendengar suara itu, Ting Hun-giok seperti seorang musafir di tengah gurun pasir yang tiba-riba menemukan mata air yang segar. Sahutnya, "Ya... apakah ibu di situ?”

"Benar, A-giok, hampir putus-asa aku memikirkan dirimu!"

Kedua orang perempuan ibu dan anak itu pun berpelukan dan kedua-duanyapun menangis. Sebun Him dan orang bersenjata sepasang kampak pendek itu yang hampir baku hantam kembali, terpaksa menahan diri karena tahu bahwa kedua belah pihak ternyata bukan musuh, hanya salah paham.

"Siapakah teman-temanmu itu, A-giok?” Dan apakah selama ditawan itu kau tidak mengalami sesuatu dari penjahat-penjahat itu?" tanya Tong Wi-Lian, ibu Ting Hun-giok itu.

"Aku selamat ibu," sahut gadis itu membuat lega hati ibunya. "Mereka juga gadis-qadis yang menjadi tawanan, dan kami melarikan diri bersama-sama dengan bantuan..."

Sebun Him cepat menimbrung, "Dengan doa restu Tong Lihiap maka aku yang berkepandaian rendah ini beruntung bisa menyelamatkan Ting Kohnio dan kawan-kawannya. Aku Sebun Him dari Hoa-san-pay, teman-teman menjuluki aku Si Beruang Barat, tapi aku malu menerima julukan itu karena kepandaian ku masih rendah...."

Betapapun mendongkolnya Ting Hun-giok akan sikap Sebun Him itu, tapi dengan bijaksana ia tidak ingin mempermalukan pemuda itu di hadapan orang sekian banyak. Katanya, "Ya, Sebun Siauhiap ini berbuat banyak bagi kami."

Tong Wi-lian cepat-cepat memberi hormat kepada Sebun Him sambil berkata "Terima kasih, Sebun Siauhiap, kalau tidak ada Siauhiap entah bagaimana nasib puteriku ini.”

Sementara itu, orang bersenjata sepasang kampak pendek yang beradu senjata dengan Sebun Him tadipun ikut bicara, "Gelombang sungai yang di belakang mendorong yang di depannya, kepandaian Sebun Siauhiap ini sungguh hebat sehingga dalam benturan tadi Siauhiap telah mengingatkan akan ketuaan dan kelemahanku.”

Bangga juga Sebun Him, apalagi karena ucapan itu didengar langsung oleh Ting Hun-giok. Maka pura-pura Sebun Him juga merendah, "Ah, tuan jangan berkata begitu, aku sendiri terkejut bahwa tuan sanggup menahan seranganku yang telah memakan sepertiga kekuatanku tadi."

Andaikata keadaan di tempat itu terang-benderang, tentu akan terlihat bahwa orang yang bersenjata sepasang kampak pendek itu menyeringai kecut mendengar jawaban Sebun Him yang "rendah hati” tadi. Ia merasa bahwa Sebun Him tadi bukan hanya menggunakan sepertiga kekuatannya tetapi sudah sepenuhnya, ia dapat merasakan getarannya, namun ia tidak mau berbantah dengan anak muda Hoa-san-pay yang dengan segala cara sedang mencari ketenaran di dunia persilatan itu.

Sementara itu, Tong Wi-lian telah saling memperkenalkan kedua belah pihak. Orang-orang yang datang bersama dengan Tong Wi-lian itu antara lain adalah Bu-gong Hweshio, dan empat orang Tongcu Hwe-liong-pang yang tetap setia kepada mendiang Hwe-liong Pangcu Tong wi-siang. Yang beradu senjata dengan Sebun Him tadi adalah Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat yang berjulukan Siang-po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), dan tidak mengherankan kalau ia bergelar demikian sebab Sebun Him sendiri sudah merasakan kehebatan tenaganya.

Masih ada lagi Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) Auyang Siau-pa yang terkenal dengan goloknya yang sangat cepat, Jai-ki Tongcu (Tongcu Bendera Coklat) Ma Hiong dengan senjata sepasang Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dan berjulukan sebagai Siau-Lo-cia (Dewa Lo-cia Kecil), serta Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang berjulukan Tian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati). Selain itu masih ada beberapa anggota Hwe-liong-pang yang cukup tangguh namun tidak berkedudukan sebagai Tongcu.

Hati Sebun Him bergetar mendengar nama-nama dari jago-jago Hwe-liong-pang yang sudah terkenal namanya itu. Andaikata tadi benar-benar terjadi pertempuran karena kesalah-pahaman, maka dirinya agaknya akan mengalami kesulitan dan bahkan mungkin menderita kekalahan dan kehilangan muka. Kepandaiannya dengan kepandaian Siang-po-kai-san Ji Tiat tadi nampaknya cuma berselisih sedikit, sedang menang kalahnya pertarungan bukan cuma ditentukan oleh ilmu silat tetapi juga pengalaman dan kecerdasan otak. Belum lagi Tongou-tongcu lainnya yang pasti setingkat dengan Ji Tiat.

"Pantas saja kalau Te-liong Hiangcu dan anak buahnya terbirit-birit masuk kembali ke balik dinding dan menutup pintu rapat-rapat. Kiranya barisan penggempur terdiri dari orang-orang setangguh ini kata Sebuin Him dalam hatinya.

"Ibu, apakah ayah juga datsng?" tanya Ting Hun-giok.

"Ya, ayahmu beserta empat orang Tongcu lainnya menyerang dari sebelah lain," sahut ibunya.

"Sekarang apa rencana ibu, supek dan paman-paman dari Hwe-liong-pang ini?" tanya Ting Hun-giok.

"Kita sudah menemukan tempat persembunyian si bangsat Te-liong Hiangcu itu, kenapa harus melepaskannya?" sahut ibunya dengan sengit. "Hwe-liong Pangcu yang pernah dikhianati olehnya adalah kakak kandungku, aku harus membalaskan sakit hati ini, bersama-sama dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang yang ingin membalaskan pula sakit hati Ketua mereka."

"Jadi?"

"Ratusan saudara-saudara Hwe-liong-pang sudah mengepung tempat ini, kalau Te-liong Hiangcu dan antek-anteknya tidak mau keluar dari sarang busuknya itu, biar mereka mati kelaparan di dalam sana," sahut. Tong Wi-lian. "Hutan ini sudah penuh dengan orang-orang kita, tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak terawasi, jangan harap dia bisa lolos."

Lalu Auyang Siau-pa menyambung, "Ya, apalagi Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin ikut mengawasi pula, ilmu silat kedua Hiangcu ini sama sekali tidak berada di bawah Te-liong Hiangcu, meskipun tingkatan dalam perguruan kalah tinggi. Ketiga-tiganya sama-sama menerima bimbingan dari mendiang Pangcu sendiri."

Ting Hun-giok mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berkata, "Memang cukup rapi, jika persediaan bahan makanan dalam Kui-kiong menipis, maka mau tidak mau mereka akan keluar juga. Tapi, Kui-kiong yang ditumpas hanya yang berada di tempat ini saja, sementara kaki tangan Te-liong Hiangcu yang menyusup dan bersembunyi dalam tubuh berbagai perguruan tetap tidak akan tersingkap. Dengan demikian penumpasan kalian terhadap Kui-kiong bukannya penumpasan yang sempurna."

Tong Wi-lian, Bu-gong Hweshio, Sebun Him serta keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu terkejut mendengar ucapan Ting Hun-giok semacam itu, agak janggal kedengarannya kalau seorang gadis semuda dia mengucapkan hal-hal yang pantas diucapkan oleh seorang tokoh Bulim yang harusnya berjenggot putih dan bernama besar. Apalagi buat Tong Wi-lian atau Bu-gong Hweshio yang biasanya hanya mendengar Ting Hun-giok merengek manja atau hanya membicarakan hal-hal yang masih berbau kekanak-kanakan.

"Maksudmu bagaimana, A-giok?" tanya ibunya.

Ting Hun-giok yang mendadak menjadi orang penting itu agak jual mahal sedikit. Katanya sambil menunjuk bekas gadis-gadis tawanan yang dari tadi belum sempat mendapat perhatian itu, "Ibu dan paman-paman sekalian, sekarang sebaiknya kita pikirkan bagaimana sebaiknya dengan mereka."

Auyang Siau-hui lalu mengutus seorang anggota kelompoknya untuk menanyai dari mana saja asal gadis-gadis itu, dan ternyata mereka menjawab bahwa rumah mereka tidak jauh dari tempat itu, sebab mereka memang orang-orang culikan yang ditawan oleh anak buah Kui-kiong dari tempat-tempat dekat, sekedar untuk memenuhi selera minum darah manusia dari Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji. Bahkan ada lima orang gddis yang berasal dari sedesa sehingga mengantarkan mereka pulang jadi lebih mudah.

Mendengar itu Tong Wi-lian minta kepada beberapa anak buah Hwe-liong-pang untuk mengantarkan gadis-gadis itu pulang kerumahnya masing-masing-malam itu juga. Meskipun Tong Wi-lian sendiri bukan tokoh Hwe-liong-pang, tapi ia adalah adik-kandung mendiang Ketua Hwe-liong-pang sehingga kedudukannya itupun cukup dihargai.

Mula-mula gadis-gadis itu takut juga karena mereka akan berjalan di malam hari dengan laki-laki yang belum dikenalnya, namun Ji Tiat menenteramkan hati mereka dengan setengah bergurau, "Jangan takut, anak-anak manis, orang-orang Hwe-liong-pang senantiasa berjuang melindungi rakyat kecil dan tidak akan melakukan hal yang tercela. Lagipula di antara anggota ada yang masih bujangan, siapa tahu kalian menemukan jodoh...”

Sejak sore bertempur melawan orang orang Kui-kiong, ketegangan meliputi orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga Ji Tiat agaknya merasa perlu untuk berseloroh mengendorkan ketegangan. Serentak seloroh itupun disambut dengan tertawa oleh semuanya, dan Lu Siong yang bermulut usil itupun ikut menimbrung untuk menggoda,

"Tapi jika kalian enggan pulang ke rumah, di sinipun ada bujangan yang masih menganggur..." katanya sambil menunjuk kepada Bu-gong Hweshio.

Serempak semuanya tertawa lebih keras dan gadis-gadis itupun menjadi tersipu-sipu, sedangkan Bu-gong Hweshio memukul pundak Lu Siong sambil memaki, "Keparat, aku ini seorang pendeta dan kau mau merusak amal ibadahku selama ini...?"

Ting Hun-giok berkata, "Amal ibadah apa, Supek? Belum pernah kulihat Supek bersembahyang sambil memukul bok-hi, yang kulihat hanyalah ketika Supek minum arak, makan daging anjing atau berkelahi!"

"Huss, jangan buka rahasia!" bentak Bu-gong Hweshio.

Kembali mereka tertawa. Lalu anak buah Hwe-liong-pang yang bertugas mengantarkan gadis-gadis itupun meninggalkan tempat itu untuk menjalankan tugasnya, diiringi pandangan mata iri dari rekan-rekan mereka.

"Gila, kau mendapat tugas mengawal anak perawan sedang kami di sini hanya berkencan dengan nyamuk-nyamuk belaka," gerutu seorang anak buah Hwe-liong-pang yang tidak kebagian mengantarkan itu.

Namun seorang anggota Hwe-liong-pang lainnya yang kebagian tugas mengantarkan, malahan menggerutu, sebab yang harus diantarkannya itu bukan saja gembrot dan wajahnya mirip laki-laki, tapi juga cerewetnya bukan kepalang.

Setelah semuanya pergi, Tong Wi-lian bertanya, "A-giok, kau belum sepenuhnya tentang ucapanmu tadi."

"Ibu, aku ingin kedelapan orang Tongcu dikumpulkan lebih dulu, juga ayah, dan juga kalau Thian-liong Hiangcu serta Kim-liong Hiangcu ada pula di sini, alangkah baiknya kalau mereka pun mendengar berita penting ini."

Gaya gadis itu sekarang benar-benar mirip seorang Panglima besar yang sedang merundingkan siasat penyerangan dengan dikerumuni oleh perwira-perwiranya tidak Lagi seperti seorang anak manja. Auyang Siau-hui sendiri yang beranjak pergi untuk memenuhi permintaan itu, memanggil keempat Tongcu lainnya serta Ting Bun yang juga berada di sekitar Kui-kiong itu namun di bagian lain.

Tidak lama kemudian, semuanya sudah berkumpul, tapi Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak dapat dijumpai, sebab kedua orang itu hanya muncul di saat-saat pertempuran berkobar, sedang jika pertempuran selesai merekapun menghilang kembali. Kini kedelapan Tongcu serta lain-lainnyapun duduk berkerumun menanti penjelasan Ting Hun-giok. Sebun Him ikut serta sebab dianggapnya dirinya sudah menjadi tokoh penting yang berhak mendengar percakapan itu.

Api unggun dinyalakan tanpa takut kelihatan oleh orang-orang Kui-kiong, supaya tempat dalam hutan di mana mereka duduk berkerumun di tanah itu menjadi agak terang, sementara anakbuah Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak itu berjaga dengan rapatnya di dalam jari-jari beberapa tombak dari kerumunan para pemimpinan. Ada yang bersandar pohon, dan ada pula yang menongkrong di atas dahan seperti seekor kera besar.

Setelah semuanya berkumpul, Ting Hun-giok mulai membeberkan apa yang diketahuinya dari Tiat-ci-hok Im Yao tentang rencana keji gabungan antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An untuk menumpas seluruh tokoh-tokoh pendekar penentang bangsa manchu ketika mereka sedang berkumpul di puncak Ki-lian-san tanggal sepuluh nanti. Dijelaskan pula untung ruginya jika menyerang Kui-kiong sekarang dengan menyerang Kui-kiong di Ki-lian-san nanti.

Menyerang sekarang memang akan berhasil menumpas kakap-kakapnya, namun kaki tangan mereka yang menyusup ke berbagai perguruan akan tetap tidak terjaring. Sedang jika menyerang di Ki-lian-san nanti, akan terjaring seluruhnya, dari Te-liong Hiangcu sampai orang-orangnya yang menyelundup di perguruan-perguruan itu, sebab semuanya akan hadir di sana. Kui-kiong akan mengerahkan seluruh kekuatannya di Ki-lian-san nanti demi tujuan, "sekali pukul semuanya selesai" untuk meratakan jalan bagi Te-liong Hiangcu menjadi Bulim Bengcu.

Semuanya tercengang mendengar penuturan Ting Hun-giok itu, Sebun Him juga agak menyesal kenapa bukan dirinya yang menceritakan hal itu. Andaikata dirinya yang mengatakan hal itu bukankah ia akan menjadi semakin penting di hadapan orang-orang itu? Namun Sebun Him menghibur dirinya sendiri, "Asalkan di Ki-lian-san nanti perananku menonjol, tentu semua mata akan berpaling kepadaku dan namakupun semakin terkenal. Saat itulah yang penting."

Sementara itu terdengar si pendeta rambut panjang Bu-gong Hweshio bertanya, "Aku mendengar bisikan ini dari seorang anggota Kui-kiong sendiri, yang bermaksud berbuat kebaikan untuk menebus kejahatan-kejahatan masa lalunya. Tiat-ci-hok Im Yao."

Beberapa kening berkerut, dan terdengar Auyang Siau-pa berkata, "Aku pernah mendengar nama itu, ia adalah adik seperguruan dari sin-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap darah) Liong Pek-ji. Kudengar dia memang paling sedikit berbuat keonaran di antara orang-orang Kui-kiong lainnya."

Ting Hun-giok mengangguk membenarkan, "Ya, dia penjahat besar, namun ternyata dia masih punya hati nurani dan dalam beberapa hari terakhir ini dia semakin berpaling ke jalan yang terang. Dialah yang paling besar jasanya dalam melepaskan aku dan gadis-gadis tadi dari kurungan Kui-kiong."

Kalimat "paling besar jasanya" inilah yang diam-diam tidak bisa diterima oleh Sebun Him, dan ia tidak dapat menahan mulutnya untuk berkata, "Ya, jasanya memang lumayan juga dalam membantu aku mengeluarkan nona Ting dan teman-temannya dari Kui-kiong."

Ting Hun-giok mendengus jengkel mendengar perkataan Sebun Him itu, tapi ia tidak menanggapi anak muda yang agak gila pujian itu. Terdengar Bu-gong Hweshio bertanya, "Apakah orang Kui-kiong itu dapat dipercaya sepenuhnya, atau ia hanya ingin kita membuka kepungan kita ini hanya dengan meminjam mulut nona kecil ini? Sedang kita dengan tergesa-gesa akan menuju ke Ki-lian-san untuk menangkap angin?"

Sebun Him senang mendengar nada ucapan yang menyudutkan Im Yao itu, sebelum Ting Hun-giok menjawab maka diapun ikut berkata untuk mendukung ucapan si pendeta yang pernah berkelahi dengannya di kota Tiang-an itu, "Ucapan Bugong Hweshio cukup masuk akal dan perlu dipertimbangkan oleh kita semuanya. Meskipun ada kemungkinan seorang jahat kembali ke jalan yang benar, tapi kemungkinan itu sama besarnya dengan tertipunya kita oleh orang she Im itu."

Sahut Ting Hun-giok, "Yang membawa aku sejak dari kota Tiang-an sampai di Kui-kiong adalah orang she Im itu, dan selama beberapa hari aku mengamati pergolakan jiwanya. Sikapnya kepadaku juga sangat baik. Aku yakin bahwa mataku tidak lamur bahwa dia benar-benar seperti seorang yang hampir tenggelam di tengah lautan dan sedang menggapai-gapai sepotong papan agar tidak tenggelam, akankah kita merampas papan yang menjadi satu-satunya harapannya dan membiarkan dia terus tenggelam tidak muncul kembali? Dia seorang jahat tapi bukan manusiakah dia?"

Debat Sebun Him, "Masalahnya bukan sekedar tega atau tidak tega kepada pribadi seseorang, tetapi apakah seluruh ksyatria sejagad ini akan tertipu olehnya atau tidak? Kalau sampai tertipu, bukankah akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan anak cucu kita sampai belasan keturunan?"

“Aku yakin dia tidak menipu, aku bisa membaca matanya!" kita Ting Hun-giok bersikeras. Lalu sambil menatap Sebun Him tajam-tajam maka Ting Hun-giok melanjutkan. "Mana yang lebih berharga, antara seorang jahat yang menyadari kesalahannya dan ingin berbuat kebaikan, dengar, seorang baik dari perguruan terhormat pula, namun tega memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain demi memuaskan rasa cemburunya? Bahkan dengan mengabaikan keselamatan orang banyak yang sedang terancam oleh sebuah rencana keji?"

Kata-kataa Ting Hun-giok yang terakhir itu benar-benar seperti jarum-jarum tajam yang menancap di hati Sebun Him, apalagi sinar mata Ting Hun-giok yang memancarkan kemarahan itu benar-benar tidak sanggup ditentang aleh Sebun Him. Dan anak muda Hoa-san-pay itu sadar bahwa Ting Hun-giok masih belum mau mempermalukannya, sebab gadis itu belum menyebut namanya secara langsung, tetapi jika keadaan memanas maka bukan mustahil gadis itu akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang lebih tajam lagi dan Sebun Him-pun akan kehilangan muka.

Sementara itu Ting Hun-giok sendiri agaknya tidak sepenuhnya berhasil mengendalikan diri, sebab dengan bibir yang agak gemetar dan mata yang berkaca-kaca ia melanjutkan, "Seseorang ingin menjadi pahlawan yang dikagumi, itu boleh saja, tapi haruskah dengan menginjak dan mengorbankan orang lain. Seorang pahlawan yang berpakaian putih bersih haruskah berdiri di atas mayat seorang yang berpakaian hitam kotor agar keputihan dan kesuciannya semakin nampak menyolok?"

Sebun Him menundukkan kepalanya dan bungkam seribu bahasa. Sementara orang-orang yang mengerumuni api unggun itu menjadi heran melihat perdebatan sengit antara Ting Hun-giok dan Sebun Him itu. Tadinya ketika mereka melihat pasangan muda mudi itu keluar bersama-sama dari Kui-kiong, mereka sudah menduga bahwa mereka akan menjadi pasangan yang cocok.

Bahkan Tong Wi-lian, dan kemudian Ting Bun yang datang bergabung, juga sudah membayangkan bahwa mereka akan segera menjadi mertua dari pemuda Hoa-san-pay yang tinggi besar dan tampan itu. Tapi kini mereka tahu bahwa hubungan kedua muda-mudi itu tidak seperti yang mereka bayangkan, agaknya masih ada pihak ketiga dan pihak ketiga itu adalah anggota Kui-kiong alias anak buah Te-liong Hiangcu. Sekilas Tong Wi-lian melirik wajah suaminya dan nampak sepasang alis suaminya itu berkerut.

Tempat itu menjadi sunyi sejenak, sementara Ting Hun-giok dengan gerakan yang diusahakan untuk tidak kentara, mengusap matanya yang basah. Sekejap kemudian barulah kesunyian itu dipecahkan oleh suara Lam-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar) itu, "Jadi bagaimana sekarang kesimpulannya? Apakah kita harus mempercayai berita itu atau tidak?"

Tidak ada yang langsung menjawab dan melihat wajah-wajah dari sekalian orang itu, nampaknya mereka terbagi dua bagian. Ada yang mempercayainya dan ada yang tidak, kemudian terdengar suara Bu-gong Hweshio tegas menentukan sikapnya, "Aku kenal betul akan pribadi setan kecil itu (maksudnya Ting Hun-giok) sebab sejak kecil aku sudah ikut mengemongnya. Ia cukup cerdas dan tidak sembarangan menilai orang, maka jika dia sampai begitu yakin akan niat baik orang she Im dari Kui-kiong itu, sembilan dari sepuluh pasti tidak meleset.“

"Jadi masih ada kemungkinan meleset satu bagian?" tanya Sebun Him tanpa berani menatap Ting Hun-giok.

"Ya, segala sesuatu dalam hidup ini adalah perjudian. Kemungkinan salah langkah itu memang ada, tapi bukankah itu lebih baik daripada berdiri kebingungan?" sahut Bu-gong Hwe-shio. "Aku memilih ke Ki-lian-san, di sana kita lebih yakin dapat menumpas Kui-kiong seakar-akarnya!"

"Aku juga akan ke Ki-lian-sanl" hampir bersamaan Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong menjawab.

Namun yang lainnya masih kelihatan ragu-ragu, sampai Kwa Heng sebagai Tongcu yang usianya paling tua berkata dengan nada yang sabar, "kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebab akibatnya akan berbuntut panjang di kemudian hari. Kalau kita bubarkan kepungan ini dan menuju ke Ki-lian-san semua, bagaimana kalau ternyata tidak ada apa-apa di sana. Sedangkan Te-liong Hiangcu dan kaki tangannya yang saat ini sudah kita kepung di sini malahan lolos kembali dan memindahkan sarangnya ke lain tempat yang untuk mencarinyapun harus mulai dari permulaan lagi?"

"Aku punya akal," kata Ting Bun tiba-tiba. "Kita ambil jalan tengah saja. Kalian saudara-saudara Hwe-Liong-pang tetap mengepung tempat ini, sementara itu biar aku dan isteriku, puteriku serta Bu-gong Hweshio menuju ke Ki-lian-san untuk menggagalkan rencana keji itu."

"Tidak bisa jadi, ayah," tiba-tiba Ting Bun menyanggah. "Kalau akan berangkat ke Ki-lian-san ya harus berangkat semuanya, sebab kalau sebagian masih di sini, maka berarti Te-liong Hiangcu tidak dapat menuju ke sana. Dan tanpa hadirnya Te-liong hiangcu di Ki-lian-san maka kaki tangannyapun tidak akan bergerak, mereka tentu akan merasakan bahwa rencana mereka sudah bocor dan memilih diam tak bergerak."

"Jadi maksud Ting Kohnio, kita harus melepaskan Te-liong Hiangcu yang saat ini sudah jelas-jelas kita kepung ini?" tanya Hek-ki-tougcu (Tonng-cu Bendera Hitam) Kwa Tin-siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu. "Apakah ini bukan berarti ingin menangkap burung yang terbang tinggi dan burung yang sudah di tangan dilepaskan?"

Sahut Ting Hun-giok, "Masalahnya memang seperti perjudian, bisa menang bisa kalah. Tinggal kalian mempercayai berita itu atau tidak. Tetapi kalau menurut aku, aku mempercayai orang itu sepenuhnya, dan untuk percaya sepenuhnya ini aku sudah membuat banyak sekali pertimbangan. Bukan percaya asal percaya saja."

Sikap Ting Hun-giok memang sangat meyakinkan, sayang sekali bahwa ia cuma seorang gadis remaja yang hijau pengalaman. Andaikata yang bersikap demikian itu seorang pendekar seperti Tong wi-hong dari Tay-beng, sambutan mereka tentu tidak ragu-ragu lagi. Sebaliknya Ting Hun-giok sendiri mengeluh dalam hatinya, ternyata tidak mudah juga meyakinkan orang-orang itu. Namun tidak menyalahkan mereka, sebab masalahnya memang bukan masalah ringan yang boleh diputuskan dengan serampangan saja.

"Kami orang-orang Hwe-liong-pang, Pemimpin kami yang tertinggi saat ini adalah Siangkoan Hiangcu, sebelum Ketua yang baru terpilih," kata In Yong mencoba menyingkirkan keragu-raguan teman-temannya. "Karena itu keputusan terakhir biarlah diucapkan oleh Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, tentunya setelah beliau mendengar pertimbangan-pertimbangan kita."

Keputusan yang mengambang seperti itu agaknya, yang paling bisa diterima oleh semua pihak dalam perundingan itu, sehingga diputuskan demikian dulu. Ting Hun-giok agak kecewa juga, karena ia sebenarnya mengharap agar orang-orang itu mempercayai berita yang dibawanya dan segera berbondong-bondong ke Ki-lian-san untuk menumpas habis Te-liong Hiangcu dan komplotannya sampai seakar-akarnya, namun yang didapatnya hanyalah keputusan yang sebenarnya belum benar-benar pasti itu. Tapi ia memang tidak bisa memaksa semua orang untuk mempercayai Im Yao seperti ia sendiri juga mempercayainya.

Maka sambil menunggu datangnya fajar sambil menunggu datangnya Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, Ting Hun giok mengambil waktu untuk beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya. Sementara para Tong-cu kembali ke tempatnya masing-masing bersama dengan anakbuahnya, mengawasi Kui-kiong dari segala penjuru, menjaga agar tidak ada yang lolos.

Ketika sendirian bersama ayah-ibunya, Ting Hun-giok bertanya, "Apakah ayah dan ibu juga tidak percaya kepadaku?"

Tong Wi-lian meraih kepala anak gadisnya dan mendekapkannya ke pundaknya, sambil berkata, "kau jarang sekali sengotot ini, A-giok, maka agaknya aku benar-benar percaya kepadamu."

"Dan ayah bagaimana?"

Sahut Ting Bun yang duduk bersandar pohon sambil memangku goloknya itu, "Memang seorang yang bagaimanapun jahatnya ada kalanya tiba-tiba menemukan setitik sinar terang dalam hatinya dan diapun ingin kembali ke jalan yang benar. Begitu pula orang Kui-kiong yang bernama Im Yao itu agaknya demikian pula.”

Sikap ayah ibunya itu membesarkan hati Ting Hun-giok. "Aku gembira ayah dan ibu mempercayai aku. Ketahuilah, orang yang bernama lm Yao itu semula ia sangat aku benci karena dialah yang menculik aku. Tetapi seorang penjahat adalah seorang manusia juga, jika kita bersikap keras kepada mereka maka mereka akan tetap jahat, namun ada yang hatinya menjadi lunak karena mereka diperlakukan sebagai sesama manusia dan merekapun merasa diri mereka sebagai manusia. Meskipun aku juga sadar bahwa tidak berarti mereka lalu bebas dari hukum yang berlaku. Im Yao terperosok ke dalam Kui-kiong karena keadaan masa kanak-kanaknya yang memaksa demikian, masa yang sangat pedih dan tak terlupakan baginya. Terhadap orang seperti ini, akankah kita bersikap tegar tanpa ampun...?"
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 33

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 33

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Perserikatan Naga Api Karya Stevanus S.P
Sebun Him yang merasa peranannya agak tersisih dengan kedatangan Im Yao, mencoba menarik pernatian Ting Hun-giok dengan ucapan-ucapannya, “Huh, meskipun mereka datang lagi, masakah aku takut? Mereka boleh merasakan kelihaian pedangku si Beruang Barat."

Tidak ada yang menghiraukan ucapan Sebun Him itu, sebab semuanya sudah bergerak menuju ke satu arah dengan dipimpin oleh Im Yao dan Im Kok. Ting Hun-giok berjalan bersama kedua kakak beradik itu, sementara gadis yang dibebaskan berjalan berhimpitan di belakang mereka. Gadis yang mengaku pernah belajar silat di desa itu menjumput sebatang pedang dan bersikap ikut melindungi.

Waktu itu keadaan Kui-kiong benar benar sepi, jauh di luar tembok masih terdengar suara pertempuran yang ramai. Agaknya Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin bukan hanya berdua saja tapi membawa orang-orang Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang. Dan apabila benar demikian, maka Kui-kiong benar-benar menghadapi tekanan berat, sebab jago-jago Hwe-liong-pang yang setia kepada Hwe-liong Pangcu itu banyak yang berilmu tinggi.

Setelah melalui sebuah kebun, Im Yao membawa rombongannya tiba di sebuah kolam ikan emas yang indah. Di tepi kolam ada sebuah rumah kecil yang keempat sisinya tanpa tembok, agaknya sering untuk beristirahat, dan di situ ada sebuah meja batu berbentuk segi delapan.

"Di bawah meja batu ada lorong rahasia," kata Im Yao singkat.

Kembali Sebun him meloncat ke depan untuk menawarkan jasa, "Minggir, biar aku singkirkan meja ini."

"Meja ini tak dapat bergerak kecuali dengan cara khusus, sebab ia digerakkan dengan..." Sambil berkata demikian Im Yao meraba sesuatu di bawah daun meja dan memutarnya, dan meja ltupun bergerak sendiri ke samping. Di bawahnya nampak sebuah lubang gelap dengan tangga batu yang menurun tajam. Tangga itu penuh debu dan sarang laba-laba bergelantungan di atasnya, menandakan bahwa lorong itu tidak pernah dikunjungi manusia untuk waktu yang lama.

Kata Im Yao, "Lorong ini dibuat oleh Te-liong Hiangcu jika suatu ketika ada bahaya mengancam dan dia harus melarikan diri. Lorong ini tembus ke seberang telaga."

"Jadi lorong ini nantinya melewati dasar telaga?"

"Ya, tapi itu bukan sesuatu yang hebat, sebab telaga itupun hanya telaga buatan yang dalamnya tidak lebih dua tombak. Yang berbahaya pada telaga itu bukan dalamnya melainkan sejenis ikan yang menghuninya."

Sementara itu Sebun Him mengomentari tentang lorong bawah tanah itu, "Heran, ketika Te-liong Hiangcu membuatnya, ia tentu tidak mengira bahwa hari inilah dia akan menggunakannya untuk lari terbirit-birit dari istana iblisnya itu..."

Sahut Im Kok dengan mendongkol, "Andaikata seluruh Kui-kiong lari terbirit-birit pun cukup pantas, sebab lawan yang datang adalah Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan pengikut-pengikut setia Hwe-liong Pangcu yang berilmu tinggi lainnya. Bukan sebangsa cecunguk yang selalu gembar-gembor dan tidak malu-malu menyebut julukannya sendiri."

Sebun Him merah padam wajahnya ketika mendengar sindiran tajam itu. Ia melotot kepada Im Kok, tetapi orang kedua dari Ya-hui-siang-hok itu pura-pura sedang melihat ke arah lain dan bersiul-siul. Sementara itu Im Yao berkata, "Ucapan Sebun Siauhiap ini barangkali benar. Apabila Te-liong Hiangcu tidak sanggup membendung serbuan Siangkoan Hong dan kawan-kawannya, maka ia pasti akan menggunakan terowongan ini untuk menyelamatkan airi. Karena itu kita harus cepat kabur lewat sini lebih dulu."

Lalu Im Yao dari Im Kok berjalan di depan dengan tangan membawa kayu kering yang dinyalakan sebagai obor, diiringi oleh Ting Hun-giok den gadls-gadis lainnya. Sebun Him masuk paling belakang. Tangga itu menurun tajam hampir empat tombak jauhnya dan udaranya pengab lembab, untung obor yang dibawa Im Yao dan Im Kok dapat sedikit menerangi jalan dan membuat perasaan tidak terlalu tertekan.

Tiba di ujung bawah tangga, Im Yao menarik sebuah gelang besi di dinding kanan, dan terdengar suara gemuruh di atas, meja batu itupun bergerak sendiri kembali ketempatnya semula dan menutup pintu masuk ke terowongan itu.

Kini mereka akan melewati sebuah lorong yang mendatar, kiri, kanan dan atasnya terbuat dari batu, namun agaknya batu-batu itu kurang dapat menahan rembesan air, sehingga lantai lorong itu tergenang air hampir dua jengkal dalamnya. Sebelum melangkah maju Im Yao berkata,

terutama kepada para perempuan itu, "Kita akan berjalan di lantai yang digenangi air itu kira-kira dua ratus langkah, dan kuberitahukan kepada kalian bahwa ada beberapa ekor lintah di air itu. Karena itu jangan menjerit kalau kaki kalian dirambati binatang itu, sebab lorong ini tidak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jeritan kalian bisa didengar oleh orang-orang di atas, dan ini berarti malapetaka buat kita semua. Mengerti?"

Perempuan-perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka merinding juga kalau membayangkan kaki mereka bakal dirambati binatang-binatang yang menjijikkan itu. Namun mereka tabahkan hati mereka kalau mengingat alam kebebasan sudah menanti di depan mata, itu lebih baik daripada terkurung di dalam kerangkeng besi tanpa tahu nasib apa yang menanti mereka.

Lorong itupun mereka lalui dan memang ada beberapa perempuan yang hampir saja menjerit keras ketika merasakan benda yang licin dan berlendir merayapi kaki mereka, namun dengan muka pucat mereka berhasil membekap mulut mereka sendiri dalam-dalam. Bahkan Ting Hun-giok yang berilmu silat tinggi itupun menjadi pucat wajahnya ketika merasa betisnya ditempeli sesuatu, tanpa disadari la menggenggam lengan Im Yao erat erat.

Di paling belakang, Sebun Him menggerutu dalam hati, "Apakah aku Sebun Him yang merupakan pendekar muda terkenal dari perguruan terkenal pula, bakalan kalah bersaing dengan bandit Kui-kiong yang riwayat hidupnya sangat kotor itu? Heran, jangan harap bisa mengalahkan Sebun Him di segala bidang."

Di ujung lorong, mereka menaiki tangga batu yang menuju, ke atas. Im Yao segera mematikan obornya dengan cara mencelupkan ujungnya ke air di lantai lorong. Lalu dalam kegelapan ia berkata, "Kita sudah sampai di seberang telaga, di tempat di mana terjadi pertempuran antara Te-liong Hiangcu melawan Siangkoan Hong dengan pengikut-pengikutnya masing-masing. Aku harus melihat keluar lebih dulu, apakah aman atau tidak."

Sebun Him maju ke depan dan berkata, "Biar aku yang keluar lebih dulu, kalau kutemui orang-orang Kui-kiong sungguh kebetulan, karena tanganku pun sudah gatal ingin membantai mereka!"

Ting Hun-giok yang menyahut, "Kau tidak menghiraukan keselamatan gadis-gadis itu, Sebun Siauhiap?"

"Kenapa aku tidak menghiraukan mereka?"

"Kalau kau meloncat keluar dan mengamuk, bukankah kami semua di sini akan diketahui oleh mereka? Kau jadi pahlawan, tapi kami semua jadi bangkai," kata seorang gadis yang dibebaskan itu.

Sebun Him melirik tajam kepada gadis itu dan berkata dingin, "Kau tidak pantas ikut bicara, tahu dirilah sedikit!"

"Setiap orang berhak ikut bicara tentang nasibnya sendiri," bantah Tlng Hun-giok. "Yang memimpin pembebasan ini adalah Im Toako dan dialah yang mengaturnya, yang tidak tunduk berarti dia hanya mengacau dan mementingkan dirinya sendiri, ingin mencari pujian buat diri sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain."

"Hah, apa yang diperbuat bandit Kui-kiong itu sehingga nona A-giok memujinya seperti memuja dewa"?" kata Sebun Him dengan sengit. “Ingat, aku yang bertempur, aku yang mempertaruhkan nyawa, aku yang terus mengikuti jejak nona sejak dari Tiang-an!"

Ting Hun-giok semakin muak menghadapi kepribadian macam Sebun Him itu, namun mengingat bahwa orang itu sudah berbuat banyak untuk berusaha menyelamatkannya, maka Ting Hun-giok tidak ingin menyakiti hatinya. Katanya dengan sabar, "Sebun Siauhiap, jasamu amat besar kepadaku dan yang kau perbuatpun sangat berharga, tapi kau tidak bisa menumpuk semua tanda jasa di pundakmu sendiri kalau ternyata ada orang lain juga yang berjasa kepadaku. Kau baik kepadaku, begitu pula Im Toako, kenapa harus selalu berebut siapa yang paling berjasa? Kalian bisa bekerja-sama bukan?"

"Huh!" Sebun Him hanya mendengus, namun jelas ia tidak bisa menerima ucapan Ting Hun-giok itu. Masakah dirinya yang berasal dari murid perguruan terhormat itu akan disejajarkan jasanya dengan penjahat dari Kui-kiong itu? Dan disuruh bekerja-sama pula? Jijik rasanya.

Sementara itu Im Yao tidak mempedulikan pertengkaran antara Sebun Him dan Ting Hun-giok itu, dengan hati-hati ia melangkah naik sampai anak tangga paling atas dan kemudian mengintip keluar. Berbeda dengan jalan masuknya, maka jalan keluar dari terowongan itu hanyalah berujud sebuah, lubang kecil yang tertutup semak belukar, yang untuk keluar dari situ orang harus merangkak. Agaknya sengaja disamakan begitu rupa agar tidak mudah diketahui oleh musuh.

Ketika Im Yao menyibakkan ilalang yang menutupi mulut gua, maka di luar hanya kelihatan malam yang pekat dengan pohon-pohon yang tinggi hitam bagaikan raksasa. Suara pertempuran terdengar kira-kira lima puluh langkah di sebelah kanan mulut gua, maka Im Yao memperkirakan bahwa keadaan cukup aman untuk rombongannya. Ia balik kembali ke dalam gua dan berkata dengan suara yang ditekan rendah, "Aman, kalian keluar tapi harus dengan hati-hati dan jangan menimbulkan suara berisik."

Mendengar ucapan, Ting Hun-giok bertanya, "Im Toako, apakah Toako sendiri tidak ingin keluar bersama kami? Toako dapat-meninggalkan Kui-kiong yang lebih mirip sarang iblis daripada sarang manusia itu, sedangkan Toako adalah manusia yang betapapun juga masih memiliki kebaikan. Terbukti Toako mau mengantarkan kami semua sampai di sini..."

Im Yao menarik napas, hatinya terasa hangat bahwa seorang gadis dari keluarga terhormat seperti Ting Hun-giok masih sudi memperhatikan dirinya. Inilah perhatian yang diterimanya dengan tulus dari orang lain sejak berpuluh tahun la tidak menerimanya, sejak ibunya meninggal dunia karena dicekik oleh ayahnya dulu. Karena gejolak perasaannya itulah maka im Yao memutuskan untuk berbuat lebih banyak lagi bagi sesama manusia, hitung-hitung sebagai pengurang dosa-dosanya selama ini.

Katanya, "Ting Kohnio, ada sesuatu rahasia yang akan kuberitahukan kepadamu, tapi hanya kau sendiri yang boleh mendengar."

Sebun Him menimbrung, "Tidak usah main rahasia-rahasiaan, bilang saja terus terang sebab akupun sudah menduga niatmu bahwa pertolonganmu ini tentu bukannya tanpa pamrih sama sekali."

Tapi Im Yao tidak mempedulikan Sebun Him, ia menarik tangan Ting Hun-giok beberapa langkah, lalu berbisik "Ting Kohnio, sebenarnya keselamatan para pendekar berhati mulia di dunia persilatan telah terancam oleh suatu bahaya besar pada tanggal sepuluh bulan ini juga, di gunung Ki-lian-san..."

Ting Hun-giok terkejut mendengar hal itu. Ayah dan Ibunya termasuk dalam golongan pendekar juga, begitu pula pamannya, Tong Wi-hong, dan beberapa sahabat orangtuanya. Tanyanya, "Bahaya apa?"

Sahut Im Yao, "Kuharap Ting Kohnio mau merahasiakannya serapat mungkin kecuali terhadap orang-orang yang Kohnio percayai sepenuhnya, dan juga Kohnio anggap cukup berkemampuan untuk menyelamatkan para pendekar itu. Dalam beberapa bulan terakhir ini, Kui-kiong telah menjalin kerjasama dengan seorang Panglima Manchu yang sangat berambisi, bernama Pakkiong An, Panglima dari Ul-ih-kun (Pasukan Baju Kuning).

"Ada persamaan tujuan antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiangcu. Berita yang bocor ke telingaku lewat mulut Toa-suhengku sebagai orang kepercayaan Te-liong Hiangcu, Pakkiong Ah mengincar singgasana kekaisaran karena dia masih berdarah istana juga, untuk itu ia harus memupuk kekuasaan dan untuk memupuk kekuasaan harus membuat jasa sebanyak-banyaknya, antara lain dengan membasmi kaum pendekar yang akan berkumpul di Ki-lian-san pada tanggal sepuluh nanti.

"Sedang Te-liong Hiangcu juga berambisi untuk menjadi seorang Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan), untuk itu banyak tokoh kuat rimba persilatan yang mesti disingkirkan. Jadi pembasmian para pendekar di Ki-lian-san itu akan menguntungkan baik Pakkiong An maupun Te-liong Hiangcu dengan ambisinya masing-masing. Seperti diketahui, Ketua Ki-lian-pay baru saja meninggal dunia dan pada tanggal sepuluh nanti akan diadakan pengangkatan ketua baru, yaitu Pek-lui-to (Si Golok Halilintar) The Toan-yong.

"Saat itu banyak tamu-tamu tokoh-tokoh puncak dunia persilatan yang hadir untuk memberi selamat, nah, saat mereka berkumpul itulah maka kaki tangan Te-liong Hiangcu akan meledakkan aula Ki-lian-pay sehingga seluruh hadirin akan tertumpas. Andaikata masih ada yang lolos, maka pasukan Ui-ih-kun yang disembunyikan di kaki gunung akan segera keluar untuk menjaring sisanya, bergabung dengan anak buah Kui-kiong itulah rencananya."

Darah Ting Hung-lok bergolak mendengar itu, la membayangkan alangkah ngerinya jika sebagian besar kaum pendekar yang tengah berkumpul itu binasa. Dunia persilatan akan bergolak. Cengekraman bangsa Manchu akan semakin kuat karena para pendekar sebagai tulang punggung perjuangaya telah tiada, golongan hitam terutama Kui kiong akan semakin merajalela sebab kehilangan saingan-saingan mereka.

Meskipun Ting Hun-giok seorang perempuan, tapi ia dibesarkan dalam keluarga pendekar, jiwa dan semangat kependekaran telah ditanamkan oleh kedua orangtuanya, sehingga ketika mendengar rencana gabungan yang amat keji antara Pakkiong An dengan Te-liong Hiang-cu itu, darahnyapun bergolak dan la merasa harus mencegahnya sekuat tenaga.

Katanya dengan suara bergetar, "Kalau tidak karena pemberitahuanmu, Im Toako, sungguh tidak terduga bahwa ada rencana sejahat itu. Im Toako, sebenarnya seluruh kaum pendekar berhutang budi kepadamu!”

Untuk pertama kailnya dalam belasan tahun ini. Im Yao tertawa segar, tertawa yang tidak dibuat-buat untuk menakuti musuhnya. Sahutnya, "Kejahatan yang sudah aku perbuat lebih banyak dari kebaikannya.”

"Toako, apakah Toako punya suatu cara yang baik untuk mencegah kekejian rencana itu?"

Sahut Im Yao, "Itulah kesempatan buat dunia persilatan untuk menumpas Kui-kiong dan sekaligus membersihkan diri dari unsur-unsur Kui-kiong yang menyusup masuk ke dalam berbagai perguruan. Dalam rencana Ki-lian-san itu, orang-orang Kui-kiong yang selama ini menyamar sebagai orang-orang baik akan tersingkap kedoknya, sebab sesaat sebelum ledakan mereka akan memisahkan diri supaya tidak ikut hancur bersama para pendekar, itulah sebabnya aku pesankan kepada Ting Kohnio untuk merahasiakan apa yang kau ketahui itu, sebab sekali bocor keluar maka pihak Kui-kiong akan membatalkan rencananya, dan itu berarti musuh dalam selimut yang menyusup di tubuh perguruan-perguruan akan tetap aman dengan kedoknya masing-masing. Di kemudian hari mereka masih bisa membuat kehancuran yang lebih hebat."

"Tetapi dengan demikian kita membiarkan para pendekar itu memasuki perangkap...."

"Memang agak berbahaya, tapi rasanya belum kutemukan jalan lain. Ledakan terjadi tepat pada tengah hari, yaitu waktu semua undangan berada di depan meja abu leluhur Ki-lian-pay, saat itulah para kaki tangan Kui-kiong secara tidak kentara akan memisahkan diri dari para tamu lainnya, kau harus mengawasi hal itu sebagai tanda-tarida gerakan mereka. Saat itu pula kau harus berseru kepada para pendekar keluar dari ruangan upacara, sekaligus menumpas orang-orang yang memisahkan diri sebelumnya itu."

Ting Hun-giok menarik napas. "Kelihatannya mudah Toako, tapi maukah para pendekar yang berpengalaman itu mendengarkan seruanku, seorang anak perempuan yang masih bau kencur ini? Apalagi ketika aku harus menunjukkan bahwa orang-orang yang memisahkan diri itu adalah musuh dalam selimut, orang tidak akan begitu saja mempercayaiku. Orang-orang yang dituduh itu tentu merupakan tokoh-tokoh yang cukup berpengaruh pula, sehingga suara mereka akan lebih didengar dari suaraku..."

"Kohnio dapat menghubungi beberapa orang yang benar-benar Kohnio percayai kebersihan tingkah lakunya dan kependekarannya, supaya yang bersuara membuka kedok mereka. Bukankah kedua orang tua Kohnio sendiri adalah pendekar-pendekar terkenal yang orang tidak berani mengabaikan setiap patah kata mereka?"

Ting Hun-giok termangu-mangu. "Aku tidak tahu dimana ayah ibuku sekarang, dan kalau aku harus mencari dulu ke rumahku di An-yang-shia, aku pasti akan terlambat sampai di Ki-lian-san dan itu berarti bencana sudah terlanjur terjadi...”

"Nona pasti kenal beberapa pendekar, hubungi mereka, yakinkan mereka akan adanya rencana ini. Misalnya ketua-ketua perguruan, atau pendekar-pendekar terhormat aliran putih yang berwibawa lainnya. Hanya saja, perlu Kohnio tidak usah hubungi, sebab merekalah sebenarnya antek-antek Kui-kiong yang bertebaran. Ketua Ho-lian-pay He Keng-liang, Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) Yo Ciong-wan dari Hoa-san-pay, Jian-kiam-hui-ci (Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay, Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay Te-hong Tojin dari Bu-tong-pay, Bu-thian Hweshio dari Siau-lim-pay, itu yang kuketahui..."

Mendengar sampai di situ barulah Ting Hun-giok mengetahui betapa menakutkannya kui-kiong itu. Mereka tidak bekerja secara kasar, tetapi secara amat halus, dan tahu-tahu mereka telah punya antek-antek sebanyak itu di tubuh berbagai perguruan terkenal. Dan ucapan Im Yao selanjutnya jauh lebih menakutkan lagi,

"...tapi lebih banyak yang tidak kuketahui. Jadi, aku bicara terus terang kepada Kohnio sekarang, bahwa dalam menghubungi para pendekar itu ada kemungkinan Kohnio menghubungi orang yang keliru. Artinya, orang yang kau beber rencana jahat ini ternyata juga antek Kui-kiong kami, sehingga Kohnio akan...."

Bicara sampai di sini Im Yao tidak melanjutkan lagi, agaknya tidak sampai hati menyebut sesuatu yang mengerikan, namun Ting Hun-glok dengan suara agak gemetar telah melanjutkannya,, "...artinya aku akan seperti ular yang mencari gebuk, begitu?"

Dalam hatinya Ting Hun-giok sebenarnya merasa takut, tetapi darah pendekar yang berkobar dalam jiwanya telah mengalahkan rasa takutnya. Betapa mengerikannya Kui-kiong yang punya jaringan tersebar dimana-mana, membuat orang tidak tahu siapa yang sedang dihadapinya, namun Ting Hun-giok telah bertekad untuk mempertaruhkan dirinya demi keselamatan seluruh rimba persilatan, bahkan andaikata dirinya terperosok ke dalam malapetaka yang paling mengerikan sekalipun. Ia tidak ingin menjadi orang yang mementingkan diri sendiri sehingga menghindari tugas itu dan mengabaikan keselamatan para pendekar.

Bertekad demikian, maka semangat-nyapun menyala dan terpancar dari sepasang matanya yang seperti bintang kejora itu. Katanya mantap, "Aku tidak peduli bahaya apapun. Kalau aku hancur karena hal ini, aku puas telah memberikan arti bagi hidupku sendiri. Tapi, Im Toako, tidaklah lebih baik kau meninggalkan Kui-kiong untuk hadir di Ki-lian-san dan membeberkan sendiri rencana Jahat Te-liong Hiang-cu dan Pakklong An dihadapan para pendekar? Mereka tentu akan lebih percaya kepadamu, sebab kau adalah orang Kui-kiong sendiri."

Meski dalam kegelapan tapi Ting hun-giok tahu bahwa Im Yao menggelengkan kepala, dan menyahut, "Te-liong Hiangcu adalah seorang yang licin sekali, kalau ia tahu aku mendadak mengghilang dari Kui-kiong tanpa penjelasan apapun, maka kecurigaannya akan timbul dan dia tahu bahwa rencananya sudah bocor. Karena itu, dia akan mengubah rencananya sama sekali. Maka aku harus tetap kelihatan di Kui-kiong dan berpura-pura tetap setia kepadanya, tetapi aku berjanji, sebisa-bisanya akupun akan ikut menggagalkan rencana ini dari belakang. Mudah-mudahan dosaku belum terlalu besar sehingga Thian masih akan memberi kesempatan kepadaku untuk membuat kebaikan-kebaikan."

Ting Hun-giok menggenggam erat tangan Im Yao, hawa hangat yang memancar dari jiwa gadis itu terasa menghangatkan jiwa Im Yao pula. Tidak ada kata-kata lagi, namun hati kedua orang itu seakan telah bersatu dalam sebuah tekad yang teguh.

"He, kalian sudah selesai berbisik bisik atau belum?" terdengar suara Sebun Him mendongkol dari kegelapan sana.

Beberapa gadis tertawa cekikikkan karena mengira Ting Hun-giok dan Im Yao sedang saling mengucapkan kata-kata perpisahan antara dua kekasih.Tapi sebenarnya merekapun tidak terlalu keliru, sebab pernyataan kasih-sayang bukan hanya dengan ucapan saja.

"Sudah selesai," sahut Ting Hun-giok sambil mendahului merangkak keluar lewat mulut gua yang sempit itu. Diikuti lain-lainnya, sementara Im Yao kembali ke Kui-kiong lewat jalan yang sama. Keadaan hutan di luar Kui-kiong itu sangat gelap di malam hari, tapi mereka tidak berani menyalakan obor sebab takut terlihat oleh musuh. Bahkan Sebun Him yang tadinya berkaok-kaok ingin membasmi orang-orang Kui-kiong itupun kini juga melangkah dengan hati-hati. Ada yang jauh lebih ditakutinya daripada orang orang Kui-kiong, yaitu..Ting Hun-giok.

Suara pertempuran di kejauhan sudah agak mereda, terdengar orang-orang berteriak-teriak, agaknya orang-orang Kui-kiong menarik diri ke dalam dinding karena musuh sudah mengundurkan diri pula. Terdengar suara air telaga berdebur seperti ada barang-baarang berat yang diceburkan ke sana. Dan Sebun Him tahu bahwa yang diceburkan itu adalah tubuh-tubuh korban pertempuran, kawan maupun lawan. Bahkan mungkin tubuh-tubuh yang belum mati, hanya luka-luka sajapun ikut diceburkan pula daripada susah-susah mengobatinya, sebab bagi orang-orang Kui-kiong perbuatan macam itu adalah biasa.

“Jangan...jangan...lukaku hanya ringan saja dan masih bisa diobati... jangan ceburkan aku," terdengar di kejauhan suara seorang anggota Kui-kiong. Namun toh terdengar juga suara berdebur berbarengan dengan jeritan yang mengerikan.

"Menghemat obat dan beras!” kata salah seorang Kui-kiong yang baru saja menceburkan temannya sendiri itu.

Ting Hun-giok ketika mendengar suara-suara itu diam-diam tertawa geli, dari berkata, "Agaknya orang-orang Kui-kiong itu jarang mandi dan takut air, sehingga diceburkan ke dalam telaga saja mereka menjerit-jerit seperti orang hendak disembelih."

Sahut Sebun Him, "Pada hakekatnya malah lebih kejam dari disembelih."

"Kenapa?"

"Apakah Im Toako mu yang kau sayang itu belum bercerita kepadamu tentang isi telaga itu?”

Ting Hun-giok tidak peduli sindiran Sebun Him itu, tanyanya seolah tidak mendengar sindiran tadi, "Apa isi telaga itu?"

Inilah kesempatan bagi Sebun Him untuk menonjolkan kepahlawanannya sendiri, "Isi telaga itu adalah sejenis ikan yang kecil tapi buas, berkelompok-kelompok dalam jumlah ribuan, hanya terdapat di daerah orang-orang suku Biau di Hun-lam. Ketika aku datang kemari demi menyelamatkan nona, hampir saja aku merenangi telaga itu, untung tidak jadi, sebab kalau aku benar-benar merenanginya maka dagingku akan habis dikerubut ikan-ikan buas itu dan tulang belulangku menjadi penghuni dasar telaga...."

Betapapun tabahnya Ting Hun-giok, namun ngeri juga mendengar cerita itu, dan kelihatannya Sebun Him tidak berbohong kalau didengar dari betapa takutnya suara orang Kui-kiong yang akan diceburkan oleh temannya tadi. "Kejam sekali" desisnya.

"Ya, kejam sekali, dan ini membuktikan bahwa Kui-kiong hanyalah sarang iblis belaka. Nona masih muda dan belum berpengalaman, jangan mudah terpengaruh oleh mereka yang bersikap pura-pura baik kepada nona. Barangkali dia punya tujuan jahat tertentu."

"Aku cukup waras untuk menentukan langkah-langkahku sendiri," sahut Ting Hun-giok dingin.

"Semua yang kuperbuat demi nona belaka, bahkan aku mempertaruhkan nyawa juga demi nona, aku kuatir nanti kau malahan menganggapku sebagai musuh dan sebaliknya musuh malah dianggap sebagai sahabat. Nasehatku ini untuk kebaikanmu sendiri..."

"Terima kasih atas nasehatmu. Kini diamlah dan mari kita cari jalan keluar dari hutan ini."

Sebun Him menarik napas mendengar jawaban ketus itu. "Agaknya kau sulit menerima kata-kataku karena tidak cocok dengan selera hatimu, tetapi sebenarnya aku bermaksud baik dan..."

"Aku sudah tahu maksud baikmu dan sudah berterima kasih. Masih mau apa lagi?"

"Sikap nona tidak seharusnya sedingin ini."

Lama kelamaan Ting Hun-giok menjadi jemu juga terhadap anakmuda Hoa-san-pay yang merasa jasanya berlebih-lebihan itu. Kalau tidak mengingat bahwa anak muda itu sudah berbuat banyak untuk menolongnya, rasanya ia ingin mengusirnya saja. Tapi hati Ting Hun-giok terlalu lembut untuk menyakiti hati seseorang yang baik kepadanya.

Maka dibiarkannya saja Sebun Him mengoceh terus, sedang Ting Hun-giok sendiri lebih memusatkan perhatiannya untuk membuka jalan dan memimpin teman-teman senasibnya yang baru lepas dari Kui-kiong itu untuk menerobos keluar dari hutan yang cukup pepat dari gelap itu.

Pada saat itulah tiba-tiba ranting dan rumput yang terinjak kaki terdengar dari depan, lalu muncullah beberapa sosok bayangan hitam yang langsung berlompatan mengurung Ting Hun-giok dan rombongannya. Dalam gelapnya malam, kedua belah pihak saling tidak tahu siapa yang dihadapi, kedua pihak hanya tahu bahwa lawan-lawan mereka bersenjata dan siapa tahu senja itu siap dihunjamkan ke dada mereka.

Sebun Him, Ting Hun-giok serta gadis desa bekas tawanan yang mengaku sedikit-sedikit pernah belajar silat itupun segera mempersiapkan diri untuk melindungi teman-teman mereka di tengah lingkaran yang berdesak-desakan ketakutan itu.

Kala seorang dari para penghadang itu menggeram dengan suaranya yang berat, "Hiangcu, masih ada juga bangsat-bangsat itu yang berani berkeliaran di luar, biar ku tumpas sampai habis sekalian!"

Mengira bahwa orang-orang yang menghadang itu adalah anak buah Kui-kiong, maka Sebun Him yang pikirannya sedang kacau karena menghadapi sikap dingin Ting Hun-giok itu, langsung menanggapinya dengan sikaf keras pula. Bentaknya, "Kalianlah kawanan iblis yang sebenarnya dan kalian pulalah yang patut ditumpas dari muka bumi ini!"

Berbareng dengan bentakannya itu maka pedang Sebun him sudah menderu ke arah lawannya yang berbicara tadi, dengan kekuatan yang hebat, bahkan ia tidak peduli andaikata ia keliru membunuh orang sebab pikirannya sedang-keruh. Tenaga Kun-goan-sin-kang sudah tersalur ke batang pedang sehingga sabetan itu mirip gunung runtuh.

Orang yang diserang itupun terkejut, ia insyaf berbahayanya serangan itu. Di tangannya tergenggam sepasang kampak bertangkai pendek yang merupakan senjatanya, dan sepasang kampaknya itu segera disilangkan ke depan dengan tenaga sepenuhnya pula untuk membendung serangan lawan. Baik serangan maupun tangkisannya sama-sama dilakukan dengan tenaga yang dahsyat, maka terjadilah benturan yang memekakkan telinga dibarengi bunga api yang memercik.

Si pemegang sepasang kampak pendek itu terdorong setengah langkah ke belakang dan sepasang lengannya terasa pegal kaku. Sebaliknya Sebun Him juga merasa tangannya tergetar hebat seolah-olah tenaganya tadi menghantam pelapis dinding besi yang mementalkan tenaganya kembali. Diam-diam ia terkejut. Ia sudah mengerahkan Kun-goan-sin-kang dan ia hanya mampu mendorong lawannya mundur setengah langkah?

Meskipun Ting Hun-giok jemu kepada Sebun Him, namun saat itu mereka berdua adalah teman seperjuangan dan sudah sepantasnya saling memperhatikan. Dalam kegelapan itu hanya mendengar benturan keras dan Sebun Him mendengus tertahan, maka Ting Hun-Giok berteriak, "Sebun Siauhiap, tidak apa-apakah kau?"

Cukup sepatah kalimat yang penuh perhatian dari Ting Hun-giok itu sudah merupakan obat maha mujarab bagi keterkejutan Sebun Him tadi. Maka dengan gagah ia menyahut., "Hemm, tentu saja tidak apa-apa. Apa yang bisa diperbuat bangsat-bangsat Kui-kiong ini kepada si Beruang Barat? Bahkan kepadaTe-liong Hiangcu sendiri aku tidak gentar!"

Sikap itu memang terlalu besar kepala, namun ada gunanya juga, yaitu menghilangkan kesalah-pahaman antara kedua belah pihak. Apalagi ketika dari antara para penghadang itu terdengar suara seorang perempuan, "Apakah A-giok di situ?"

Mendengar suara itu, Ting Hun-giok seperti seorang musafir di tengah gurun pasir yang tiba-riba menemukan mata air yang segar. Sahutnya, "Ya... apakah ibu di situ?”

"Benar, A-giok, hampir putus-asa aku memikirkan dirimu!"

Kedua orang perempuan ibu dan anak itu pun berpelukan dan kedua-duanyapun menangis. Sebun Him dan orang bersenjata sepasang kampak pendek itu yang hampir baku hantam kembali, terpaksa menahan diri karena tahu bahwa kedua belah pihak ternyata bukan musuh, hanya salah paham.

"Siapakah teman-temanmu itu, A-giok?” Dan apakah selama ditawan itu kau tidak mengalami sesuatu dari penjahat-penjahat itu?" tanya Tong Wi-Lian, ibu Ting Hun-giok itu.

"Aku selamat ibu," sahut gadis itu membuat lega hati ibunya. "Mereka juga gadis-qadis yang menjadi tawanan, dan kami melarikan diri bersama-sama dengan bantuan..."

Sebun Him cepat menimbrung, "Dengan doa restu Tong Lihiap maka aku yang berkepandaian rendah ini beruntung bisa menyelamatkan Ting Kohnio dan kawan-kawannya. Aku Sebun Him dari Hoa-san-pay, teman-teman menjuluki aku Si Beruang Barat, tapi aku malu menerima julukan itu karena kepandaian ku masih rendah...."

Betapapun mendongkolnya Ting Hun-giok akan sikap Sebun Him itu, tapi dengan bijaksana ia tidak ingin mempermalukan pemuda itu di hadapan orang sekian banyak. Katanya, "Ya, Sebun Siauhiap ini berbuat banyak bagi kami."

Tong Wi-lian cepat-cepat memberi hormat kepada Sebun Him sambil berkata "Terima kasih, Sebun Siauhiap, kalau tidak ada Siauhiap entah bagaimana nasib puteriku ini.”

Sementara itu, orang bersenjata sepasang kampak pendek yang beradu senjata dengan Sebun Him tadipun ikut bicara, "Gelombang sungai yang di belakang mendorong yang di depannya, kepandaian Sebun Siauhiap ini sungguh hebat sehingga dalam benturan tadi Siauhiap telah mengingatkan akan ketuaan dan kelemahanku.”

Bangga juga Sebun Him, apalagi karena ucapan itu didengar langsung oleh Ting Hun-giok. Maka pura-pura Sebun Him juga merendah, "Ah, tuan jangan berkata begitu, aku sendiri terkejut bahwa tuan sanggup menahan seranganku yang telah memakan sepertiga kekuatanku tadi."

Andaikata keadaan di tempat itu terang-benderang, tentu akan terlihat bahwa orang yang bersenjata sepasang kampak pendek itu menyeringai kecut mendengar jawaban Sebun Him yang "rendah hati” tadi. Ia merasa bahwa Sebun Him tadi bukan hanya menggunakan sepertiga kekuatannya tetapi sudah sepenuhnya, ia dapat merasakan getarannya, namun ia tidak mau berbantah dengan anak muda Hoa-san-pay yang dengan segala cara sedang mencari ketenaran di dunia persilatan itu.

Sementara itu, Tong Wi-lian telah saling memperkenalkan kedua belah pihak. Orang-orang yang datang bersama dengan Tong Wi-lian itu antara lain adalah Bu-gong Hweshio, dan empat orang Tongcu Hwe-liong-pang yang tetap setia kepada mendiang Hwe-liong Pangcu Tong wi-siang. Yang beradu senjata dengan Sebun Him tadi adalah Ang-ki Tongcu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat yang berjulukan Siang-po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung), dan tidak mengherankan kalau ia bergelar demikian sebab Sebun Him sendiri sudah merasakan kehebatan tenaganya.

Masih ada lagi Jing-ki Tongcu (Tongcu Bendera Hijau) Auyang Siau-pa yang terkenal dengan goloknya yang sangat cepat, Jai-ki Tongcu (Tongcu Bendera Coklat) Ma Hiong dengan senjata sepasang Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan) dan berjulukan sebagai Siau-Lo-cia (Dewa Lo-cia Kecil), serta Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang berjulukan Tian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati). Selain itu masih ada beberapa anggota Hwe-liong-pang yang cukup tangguh namun tidak berkedudukan sebagai Tongcu.

Hati Sebun Him bergetar mendengar nama-nama dari jago-jago Hwe-liong-pang yang sudah terkenal namanya itu. Andaikata tadi benar-benar terjadi pertempuran karena kesalah-pahaman, maka dirinya agaknya akan mengalami kesulitan dan bahkan mungkin menderita kekalahan dan kehilangan muka. Kepandaiannya dengan kepandaian Siang-po-kai-san Ji Tiat tadi nampaknya cuma berselisih sedikit, sedang menang kalahnya pertarungan bukan cuma ditentukan oleh ilmu silat tetapi juga pengalaman dan kecerdasan otak. Belum lagi Tongou-tongcu lainnya yang pasti setingkat dengan Ji Tiat.

"Pantas saja kalau Te-liong Hiangcu dan anak buahnya terbirit-birit masuk kembali ke balik dinding dan menutup pintu rapat-rapat. Kiranya barisan penggempur terdiri dari orang-orang setangguh ini kata Sebuin Him dalam hatinya.

"Ibu, apakah ayah juga datsng?" tanya Ting Hun-giok.

"Ya, ayahmu beserta empat orang Tongcu lainnya menyerang dari sebelah lain," sahut ibunya.

"Sekarang apa rencana ibu, supek dan paman-paman dari Hwe-liong-pang ini?" tanya Ting Hun-giok.

"Kita sudah menemukan tempat persembunyian si bangsat Te-liong Hiangcu itu, kenapa harus melepaskannya?" sahut ibunya dengan sengit. "Hwe-liong Pangcu yang pernah dikhianati olehnya adalah kakak kandungku, aku harus membalaskan sakit hati ini, bersama-sama dengan saudara-saudara Hwe-liong-pang yang ingin membalaskan pula sakit hati Ketua mereka."

"Jadi?"

"Ratusan saudara-saudara Hwe-liong-pang sudah mengepung tempat ini, kalau Te-liong Hiangcu dan antek-anteknya tidak mau keluar dari sarang busuknya itu, biar mereka mati kelaparan di dalam sana," sahut. Tong Wi-lian. "Hutan ini sudah penuh dengan orang-orang kita, tidak ada sejengkal tanahpun yang tidak terawasi, jangan harap dia bisa lolos."

Lalu Auyang Siau-pa menyambung, "Ya, apalagi Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin ikut mengawasi pula, ilmu silat kedua Hiangcu ini sama sekali tidak berada di bawah Te-liong Hiangcu, meskipun tingkatan dalam perguruan kalah tinggi. Ketiga-tiganya sama-sama menerima bimbingan dari mendiang Pangcu sendiri."

Ting Hun-giok mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berkata, "Memang cukup rapi, jika persediaan bahan makanan dalam Kui-kiong menipis, maka mau tidak mau mereka akan keluar juga. Tapi, Kui-kiong yang ditumpas hanya yang berada di tempat ini saja, sementara kaki tangan Te-liong Hiangcu yang menyusup dan bersembunyi dalam tubuh berbagai perguruan tetap tidak akan tersingkap. Dengan demikian penumpasan kalian terhadap Kui-kiong bukannya penumpasan yang sempurna."

Tong Wi-lian, Bu-gong Hweshio, Sebun Him serta keempat orang Tong-cu Hwe-liong-pang itu terkejut mendengar ucapan Ting Hun-giok semacam itu, agak janggal kedengarannya kalau seorang gadis semuda dia mengucapkan hal-hal yang pantas diucapkan oleh seorang tokoh Bulim yang harusnya berjenggot putih dan bernama besar. Apalagi buat Tong Wi-lian atau Bu-gong Hweshio yang biasanya hanya mendengar Ting Hun-giok merengek manja atau hanya membicarakan hal-hal yang masih berbau kekanak-kanakan.

"Maksudmu bagaimana, A-giok?" tanya ibunya.

Ting Hun-giok yang mendadak menjadi orang penting itu agak jual mahal sedikit. Katanya sambil menunjuk bekas gadis-gadis tawanan yang dari tadi belum sempat mendapat perhatian itu, "Ibu dan paman-paman sekalian, sekarang sebaiknya kita pikirkan bagaimana sebaiknya dengan mereka."

Auyang Siau-hui lalu mengutus seorang anggota kelompoknya untuk menanyai dari mana saja asal gadis-gadis itu, dan ternyata mereka menjawab bahwa rumah mereka tidak jauh dari tempat itu, sebab mereka memang orang-orang culikan yang ditawan oleh anak buah Kui-kiong dari tempat-tempat dekat, sekedar untuk memenuhi selera minum darah manusia dari Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji. Bahkan ada lima orang gddis yang berasal dari sedesa sehingga mengantarkan mereka pulang jadi lebih mudah.

Mendengar itu Tong Wi-lian minta kepada beberapa anak buah Hwe-liong-pang untuk mengantarkan gadis-gadis itu pulang kerumahnya masing-masing-malam itu juga. Meskipun Tong Wi-lian sendiri bukan tokoh Hwe-liong-pang, tapi ia adalah adik-kandung mendiang Ketua Hwe-liong-pang sehingga kedudukannya itupun cukup dihargai.

Mula-mula gadis-gadis itu takut juga karena mereka akan berjalan di malam hari dengan laki-laki yang belum dikenalnya, namun Ji Tiat menenteramkan hati mereka dengan setengah bergurau, "Jangan takut, anak-anak manis, orang-orang Hwe-liong-pang senantiasa berjuang melindungi rakyat kecil dan tidak akan melakukan hal yang tercela. Lagipula di antara anggota ada yang masih bujangan, siapa tahu kalian menemukan jodoh...”

Sejak sore bertempur melawan orang orang Kui-kiong, ketegangan meliputi orang-orang Hwe-liong-pang itu, sehingga Ji Tiat agaknya merasa perlu untuk berseloroh mengendorkan ketegangan. Serentak seloroh itupun disambut dengan tertawa oleh semuanya, dan Lu Siong yang bermulut usil itupun ikut menimbrung untuk menggoda,

"Tapi jika kalian enggan pulang ke rumah, di sinipun ada bujangan yang masih menganggur..." katanya sambil menunjuk kepada Bu-gong Hweshio.

Serempak semuanya tertawa lebih keras dan gadis-gadis itupun menjadi tersipu-sipu, sedangkan Bu-gong Hweshio memukul pundak Lu Siong sambil memaki, "Keparat, aku ini seorang pendeta dan kau mau merusak amal ibadahku selama ini...?"

Ting Hun-giok berkata, "Amal ibadah apa, Supek? Belum pernah kulihat Supek bersembahyang sambil memukul bok-hi, yang kulihat hanyalah ketika Supek minum arak, makan daging anjing atau berkelahi!"

"Huss, jangan buka rahasia!" bentak Bu-gong Hweshio.

Kembali mereka tertawa. Lalu anak buah Hwe-liong-pang yang bertugas mengantarkan gadis-gadis itupun meninggalkan tempat itu untuk menjalankan tugasnya, diiringi pandangan mata iri dari rekan-rekan mereka.

"Gila, kau mendapat tugas mengawal anak perawan sedang kami di sini hanya berkencan dengan nyamuk-nyamuk belaka," gerutu seorang anak buah Hwe-liong-pang yang tidak kebagian mengantarkan itu.

Namun seorang anggota Hwe-liong-pang lainnya yang kebagian tugas mengantarkan, malahan menggerutu, sebab yang harus diantarkannya itu bukan saja gembrot dan wajahnya mirip laki-laki, tapi juga cerewetnya bukan kepalang.

Setelah semuanya pergi, Tong Wi-lian bertanya, "A-giok, kau belum sepenuhnya tentang ucapanmu tadi."

"Ibu, aku ingin kedelapan orang Tongcu dikumpulkan lebih dulu, juga ayah, dan juga kalau Thian-liong Hiangcu serta Kim-liong Hiangcu ada pula di sini, alangkah baiknya kalau mereka pun mendengar berita penting ini."

Gaya gadis itu sekarang benar-benar mirip seorang Panglima besar yang sedang merundingkan siasat penyerangan dengan dikerumuni oleh perwira-perwiranya tidak Lagi seperti seorang anak manja. Auyang Siau-hui sendiri yang beranjak pergi untuk memenuhi permintaan itu, memanggil keempat Tongcu lainnya serta Ting Bun yang juga berada di sekitar Kui-kiong itu namun di bagian lain.

Tidak lama kemudian, semuanya sudah berkumpul, tapi Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin tidak dapat dijumpai, sebab kedua orang itu hanya muncul di saat-saat pertempuran berkobar, sedang jika pertempuran selesai merekapun menghilang kembali. Kini kedelapan Tongcu serta lain-lainnyapun duduk berkerumun menanti penjelasan Ting Hun-giok. Sebun Him ikut serta sebab dianggapnya dirinya sudah menjadi tokoh penting yang berhak mendengar percakapan itu.

Api unggun dinyalakan tanpa takut kelihatan oleh orang-orang Kui-kiong, supaya tempat dalam hutan di mana mereka duduk berkerumun di tanah itu menjadi agak terang, sementara anakbuah Hwe-liong-pang yang berjumlah banyak itu berjaga dengan rapatnya di dalam jari-jari beberapa tombak dari kerumunan para pemimpinan. Ada yang bersandar pohon, dan ada pula yang menongkrong di atas dahan seperti seekor kera besar.

Setelah semuanya berkumpul, Ting Hun-giok mulai membeberkan apa yang diketahuinya dari Tiat-ci-hok Im Yao tentang rencana keji gabungan antara Te-liong Hiangcu dengan Pakkiong An untuk menumpas seluruh tokoh-tokoh pendekar penentang bangsa manchu ketika mereka sedang berkumpul di puncak Ki-lian-san tanggal sepuluh nanti. Dijelaskan pula untung ruginya jika menyerang Kui-kiong sekarang dengan menyerang Kui-kiong di Ki-lian-san nanti.

Menyerang sekarang memang akan berhasil menumpas kakap-kakapnya, namun kaki tangan mereka yang menyusup ke berbagai perguruan akan tetap tidak terjaring. Sedang jika menyerang di Ki-lian-san nanti, akan terjaring seluruhnya, dari Te-liong Hiangcu sampai orang-orangnya yang menyelundup di perguruan-perguruan itu, sebab semuanya akan hadir di sana. Kui-kiong akan mengerahkan seluruh kekuatannya di Ki-lian-san nanti demi tujuan, "sekali pukul semuanya selesai" untuk meratakan jalan bagi Te-liong Hiangcu menjadi Bulim Bengcu.

Semuanya tercengang mendengar penuturan Ting Hun-giok itu, Sebun Him juga agak menyesal kenapa bukan dirinya yang menceritakan hal itu. Andaikata dirinya yang mengatakan hal itu bukankah ia akan menjadi semakin penting di hadapan orang-orang itu? Namun Sebun Him menghibur dirinya sendiri, "Asalkan di Ki-lian-san nanti perananku menonjol, tentu semua mata akan berpaling kepadaku dan namakupun semakin terkenal. Saat itulah yang penting."

Sementara itu terdengar si pendeta rambut panjang Bu-gong Hweshio bertanya, "Aku mendengar bisikan ini dari seorang anggota Kui-kiong sendiri, yang bermaksud berbuat kebaikan untuk menebus kejahatan-kejahatan masa lalunya. Tiat-ci-hok Im Yao."

Beberapa kening berkerut, dan terdengar Auyang Siau-pa berkata, "Aku pernah mendengar nama itu, ia adalah adik seperguruan dari sin-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap darah) Liong Pek-ji. Kudengar dia memang paling sedikit berbuat keonaran di antara orang-orang Kui-kiong lainnya."

Ting Hun-giok mengangguk membenarkan, "Ya, dia penjahat besar, namun ternyata dia masih punya hati nurani dan dalam beberapa hari terakhir ini dia semakin berpaling ke jalan yang terang. Dialah yang paling besar jasanya dalam melepaskan aku dan gadis-gadis tadi dari kurungan Kui-kiong."

Kalimat "paling besar jasanya" inilah yang diam-diam tidak bisa diterima oleh Sebun Him, dan ia tidak dapat menahan mulutnya untuk berkata, "Ya, jasanya memang lumayan juga dalam membantu aku mengeluarkan nona Ting dan teman-temannya dari Kui-kiong."

Ting Hun-giok mendengus jengkel mendengar perkataan Sebun Him itu, tapi ia tidak menanggapi anak muda yang agak gila pujian itu. Terdengar Bu-gong Hweshio bertanya, "Apakah orang Kui-kiong itu dapat dipercaya sepenuhnya, atau ia hanya ingin kita membuka kepungan kita ini hanya dengan meminjam mulut nona kecil ini? Sedang kita dengan tergesa-gesa akan menuju ke Ki-lian-san untuk menangkap angin?"

Sebun Him senang mendengar nada ucapan yang menyudutkan Im Yao itu, sebelum Ting Hun-giok menjawab maka diapun ikut berkata untuk mendukung ucapan si pendeta yang pernah berkelahi dengannya di kota Tiang-an itu, "Ucapan Bugong Hweshio cukup masuk akal dan perlu dipertimbangkan oleh kita semuanya. Meskipun ada kemungkinan seorang jahat kembali ke jalan yang benar, tapi kemungkinan itu sama besarnya dengan tertipunya kita oleh orang she Im itu."

Sahut Ting Hun-giok, "Yang membawa aku sejak dari kota Tiang-an sampai di Kui-kiong adalah orang she Im itu, dan selama beberapa hari aku mengamati pergolakan jiwanya. Sikapnya kepadaku juga sangat baik. Aku yakin bahwa mataku tidak lamur bahwa dia benar-benar seperti seorang yang hampir tenggelam di tengah lautan dan sedang menggapai-gapai sepotong papan agar tidak tenggelam, akankah kita merampas papan yang menjadi satu-satunya harapannya dan membiarkan dia terus tenggelam tidak muncul kembali? Dia seorang jahat tapi bukan manusiakah dia?"

Debat Sebun Him, "Masalahnya bukan sekedar tega atau tidak tega kepada pribadi seseorang, tetapi apakah seluruh ksyatria sejagad ini akan tertipu olehnya atau tidak? Kalau sampai tertipu, bukankah akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan anak cucu kita sampai belasan keturunan?"

“Aku yakin dia tidak menipu, aku bisa membaca matanya!" kita Ting Hun-giok bersikeras. Lalu sambil menatap Sebun Him tajam-tajam maka Ting Hun-giok melanjutkan. "Mana yang lebih berharga, antara seorang jahat yang menyadari kesalahannya dan ingin berbuat kebaikan, dengar, seorang baik dari perguruan terhormat pula, namun tega memfitnah dan mencari-cari kesalahan orang lain demi memuaskan rasa cemburunya? Bahkan dengan mengabaikan keselamatan orang banyak yang sedang terancam oleh sebuah rencana keji?"

Kata-kataa Ting Hun-giok yang terakhir itu benar-benar seperti jarum-jarum tajam yang menancap di hati Sebun Him, apalagi sinar mata Ting Hun-giok yang memancarkan kemarahan itu benar-benar tidak sanggup ditentang aleh Sebun Him. Dan anak muda Hoa-san-pay itu sadar bahwa Ting Hun-giok masih belum mau mempermalukannya, sebab gadis itu belum menyebut namanya secara langsung, tetapi jika keadaan memanas maka bukan mustahil gadis itu akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang lebih tajam lagi dan Sebun Him-pun akan kehilangan muka.

Sementara itu Ting Hun-giok sendiri agaknya tidak sepenuhnya berhasil mengendalikan diri, sebab dengan bibir yang agak gemetar dan mata yang berkaca-kaca ia melanjutkan, "Seseorang ingin menjadi pahlawan yang dikagumi, itu boleh saja, tapi haruskah dengan menginjak dan mengorbankan orang lain. Seorang pahlawan yang berpakaian putih bersih haruskah berdiri di atas mayat seorang yang berpakaian hitam kotor agar keputihan dan kesuciannya semakin nampak menyolok?"

Sebun Him menundukkan kepalanya dan bungkam seribu bahasa. Sementara orang-orang yang mengerumuni api unggun itu menjadi heran melihat perdebatan sengit antara Ting Hun-giok dan Sebun Him itu. Tadinya ketika mereka melihat pasangan muda mudi itu keluar bersama-sama dari Kui-kiong, mereka sudah menduga bahwa mereka akan menjadi pasangan yang cocok.

Bahkan Tong Wi-lian, dan kemudian Ting Bun yang datang bergabung, juga sudah membayangkan bahwa mereka akan segera menjadi mertua dari pemuda Hoa-san-pay yang tinggi besar dan tampan itu. Tapi kini mereka tahu bahwa hubungan kedua muda-mudi itu tidak seperti yang mereka bayangkan, agaknya masih ada pihak ketiga dan pihak ketiga itu adalah anggota Kui-kiong alias anak buah Te-liong Hiangcu. Sekilas Tong Wi-lian melirik wajah suaminya dan nampak sepasang alis suaminya itu berkerut.

Tempat itu menjadi sunyi sejenak, sementara Ting Hun-giok dengan gerakan yang diusahakan untuk tidak kentara, mengusap matanya yang basah. Sekejap kemudian barulah kesunyian itu dipecahkan oleh suara Lam-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Pek-lui-siang-to (Sepasang Golok Halilintar) itu, "Jadi bagaimana sekarang kesimpulannya? Apakah kita harus mempercayai berita itu atau tidak?"

Tidak ada yang langsung menjawab dan melihat wajah-wajah dari sekalian orang itu, nampaknya mereka terbagi dua bagian. Ada yang mempercayainya dan ada yang tidak, kemudian terdengar suara Bu-gong Hweshio tegas menentukan sikapnya, "Aku kenal betul akan pribadi setan kecil itu (maksudnya Ting Hun-giok) sebab sejak kecil aku sudah ikut mengemongnya. Ia cukup cerdas dan tidak sembarangan menilai orang, maka jika dia sampai begitu yakin akan niat baik orang she Im dari Kui-kiong itu, sembilan dari sepuluh pasti tidak meleset.“

"Jadi masih ada kemungkinan meleset satu bagian?" tanya Sebun Him tanpa berani menatap Ting Hun-giok.

"Ya, segala sesuatu dalam hidup ini adalah perjudian. Kemungkinan salah langkah itu memang ada, tapi bukankah itu lebih baik daripada berdiri kebingungan?" sahut Bu-gong Hwe-shio. "Aku memilih ke Ki-lian-san, di sana kita lebih yakin dapat menumpas Kui-kiong seakar-akarnya!"

"Aku juga akan ke Ki-lian-sanl" hampir bersamaan Lu Siong, Oh Yun-kim dan Ma Hiong menjawab.

Namun yang lainnya masih kelihatan ragu-ragu, sampai Kwa Heng sebagai Tongcu yang usianya paling tua berkata dengan nada yang sabar, "kita tidak boleh gegabah dalam bertindak sebab akibatnya akan berbuntut panjang di kemudian hari. Kalau kita bubarkan kepungan ini dan menuju ke Ki-lian-san semua, bagaimana kalau ternyata tidak ada apa-apa di sana. Sedangkan Te-liong Hiangcu dan kaki tangannya yang saat ini sudah kita kepung di sini malahan lolos kembali dan memindahkan sarangnya ke lain tempat yang untuk mencarinyapun harus mulai dari permulaan lagi?"

"Aku punya akal," kata Ting Bun tiba-tiba. "Kita ambil jalan tengah saja. Kalian saudara-saudara Hwe-Liong-pang tetap mengepung tempat ini, sementara itu biar aku dan isteriku, puteriku serta Bu-gong Hweshio menuju ke Ki-lian-san untuk menggagalkan rencana keji itu."

"Tidak bisa jadi, ayah," tiba-tiba Ting Bun menyanggah. "Kalau akan berangkat ke Ki-lian-san ya harus berangkat semuanya, sebab kalau sebagian masih di sini, maka berarti Te-liong Hiangcu tidak dapat menuju ke sana. Dan tanpa hadirnya Te-liong hiangcu di Ki-lian-san maka kaki tangannyapun tidak akan bergerak, mereka tentu akan merasakan bahwa rencana mereka sudah bocor dan memilih diam tak bergerak."

"Jadi maksud Ting Kohnio, kita harus melepaskan Te-liong Hiangcu yang saat ini sudah jelas-jelas kita kepung ini?" tanya Hek-ki-tougcu (Tonng-cu Bendera Hitam) Kwa Tin-siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Kucing Terbang Malam) itu. "Apakah ini bukan berarti ingin menangkap burung yang terbang tinggi dan burung yang sudah di tangan dilepaskan?"

Sahut Ting Hun-giok, "Masalahnya memang seperti perjudian, bisa menang bisa kalah. Tinggal kalian mempercayai berita itu atau tidak. Tetapi kalau menurut aku, aku mempercayai orang itu sepenuhnya, dan untuk percaya sepenuhnya ini aku sudah membuat banyak sekali pertimbangan. Bukan percaya asal percaya saja."

Sikap Ting Hun-giok memang sangat meyakinkan, sayang sekali bahwa ia cuma seorang gadis remaja yang hijau pengalaman. Andaikata yang bersikap demikian itu seorang pendekar seperti Tong wi-hong dari Tay-beng, sambutan mereka tentu tidak ragu-ragu lagi. Sebaliknya Ting Hun-giok sendiri mengeluh dalam hatinya, ternyata tidak mudah juga meyakinkan orang-orang itu. Namun tidak menyalahkan mereka, sebab masalahnya memang bukan masalah ringan yang boleh diputuskan dengan serampangan saja.

"Kami orang-orang Hwe-liong-pang, Pemimpin kami yang tertinggi saat ini adalah Siangkoan Hiangcu, sebelum Ketua yang baru terpilih," kata In Yong mencoba menyingkirkan keragu-raguan teman-temannya. "Karena itu keputusan terakhir biarlah diucapkan oleh Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, tentunya setelah beliau mendengar pertimbangan-pertimbangan kita."

Keputusan yang mengambang seperti itu agaknya, yang paling bisa diterima oleh semua pihak dalam perundingan itu, sehingga diputuskan demikian dulu. Ting Hun-giok agak kecewa juga, karena ia sebenarnya mengharap agar orang-orang itu mempercayai berita yang dibawanya dan segera berbondong-bondong ke Ki-lian-san untuk menumpas habis Te-liong Hiangcu dan komplotannya sampai seakar-akarnya, namun yang didapatnya hanyalah keputusan yang sebenarnya belum benar-benar pasti itu. Tapi ia memang tidak bisa memaksa semua orang untuk mempercayai Im Yao seperti ia sendiri juga mempercayainya.

Maka sambil menunggu datangnya fajar sambil menunggu datangnya Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong, Ting Hun giok mengambil waktu untuk beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kedua orangtuanya. Sementara para Tong-cu kembali ke tempatnya masing-masing bersama dengan anakbuahnya, mengawasi Kui-kiong dari segala penjuru, menjaga agar tidak ada yang lolos.

Ketika sendirian bersama ayah-ibunya, Ting Hun-giok bertanya, "Apakah ayah dan ibu juga tidak percaya kepadaku?"

Tong Wi-lian meraih kepala anak gadisnya dan mendekapkannya ke pundaknya, sambil berkata, "kau jarang sekali sengotot ini, A-giok, maka agaknya aku benar-benar percaya kepadamu."

"Dan ayah bagaimana?"

Sahut Ting Bun yang duduk bersandar pohon sambil memangku goloknya itu, "Memang seorang yang bagaimanapun jahatnya ada kalanya tiba-tiba menemukan setitik sinar terang dalam hatinya dan diapun ingin kembali ke jalan yang benar. Begitu pula orang Kui-kiong yang bernama Im Yao itu agaknya demikian pula.”

Sikap ayah ibunya itu membesarkan hati Ting Hun-giok. "Aku gembira ayah dan ibu mempercayai aku. Ketahuilah, orang yang bernama lm Yao itu semula ia sangat aku benci karena dialah yang menculik aku. Tetapi seorang penjahat adalah seorang manusia juga, jika kita bersikap keras kepada mereka maka mereka akan tetap jahat, namun ada yang hatinya menjadi lunak karena mereka diperlakukan sebagai sesama manusia dan merekapun merasa diri mereka sebagai manusia. Meskipun aku juga sadar bahwa tidak berarti mereka lalu bebas dari hukum yang berlaku. Im Yao terperosok ke dalam Kui-kiong karena keadaan masa kanak-kanaknya yang memaksa demikian, masa yang sangat pedih dan tak terlupakan baginya. Terhadap orang seperti ini, akankah kita bersikap tegar tanpa ampun...?"
Selanjutnya;