Pendekar Naga dan Harimau Jilid 32Karya : Stevanus S.P |
Sebun Him mengerutkan alisnya dan menjawab, "Bukannya aku tidak memperhatikan nasib mereka, tetapi mungkinkah aku membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan membawa mereka semua keluar dari sini? Padahal kemungkinan kita akan bertemu dengan musuh dan bertempur, sedangkan diri kita sendiri saja belum tentu berhasil kita urus, apalagi mengurus perempuan sebanyak ini yang sama sekail tidak mahir bersilat?"
Ting Hun-giok kebingungan. Ucapan Sebun Him benar juga, tapi hati kecilnya rasa-rasanya tidak rela juga kalau hanya dirinya sendiri yang selamat sementara teman-teman senasibnya itu tetap berada di kerangkengan yang mirip kerangkeng binatang itu. Berganti-ganti matanya menatap Sebun Him dan gadis-gadis di kerangkengan itu. Sementara Sebun Him berkata, "Menyelamatkan diri sendiri lebih penting, ayo cepat, nona A-giok.” Sementara itu, seorang gadis di kerangkengan itu telah berkata dengan nada memohon, "Tayhiap, bebaskanlah aku, andaikata aku tewas dalam pelarianku aku tidak akan menyalahkan kalian berdua. Dan aku bisa pula bersilat serba sedikit sebab pernah belajar tiga tahun pada seorang guru silat di desaku." Gadis-gadis lainnyapun berkata, "Akupun lebih baik mencoba melarikan diri daripada menunggu datangnya bencana di tempat ini." "Aku juga!" "Aku juga!" Namun teriakan-teriakan gadis-gadis itu terbungkam ketika Sebun Him membentak, "Siapa sudi peduli kepada kalian, perempuan-perempuan jelek! Tugasku hanya menolong nona A-giok!" Yang terkejut mendengar ucapan Sebun Him itu adalah Ting Hun-giok. Tadinya la merasa kagum dan berterima kasih kepada anak muda Hoa-san-pay itu namun sikap Sebun Him kemudian membuatnya tidak senang. Sikap yang kasar kepada kaum wanita yang tengah membutuhkan pertolongan, dan juga mementingkan diri sendiri. "Ayo nona A-giok! Nanti penjaga keburu datang kalau mereka mendengar teriakan perempuan-perempuan ini!" kata Sebun Him tergesa-gesa. "Nasib mereka bukan tanggung jawab kita, toh bukan aku yang mengirim mereka sampai masuk ke kerangkeng ini." Namun Ting Hun-giok dengan wajah yang menampilkan kekecewaan ternyata tidak beranjak seujung rambutpun dari tempat berdirinya. Sahutnya, "Sebun Siauhiap (pendekar muda Sebun) yang maha perkasa, andaikata kau tidak mampu menolong mereka, tidak perlu kau keluarkan kata-kata yang menyakitkan hati mereka, sebab mereka sudah cukup menderita selama berada di sini!" "Ya, ya, aku tidak akan menyakiti lagi hati mereka, ayo cepat pergi! Aku tidak mengajak mereka hanya karena alasan mereka akan membahayakan diri kita? bukan karena mengabaikan mereka" kata Sebun Him tak sabar. Diluar dugaan tiba-tiba Ting Hun-giok malah masuk kembali ke dalam kerangkengnya, dan berkata dingin kepada Sebun Him, “Kalau begitu akupun hanya akan mengganggu gerak-gerikmu, Sebun Siauhiap yang maha perkasa. Larilah kau sendiri, jangan hiraukan aku. Maka aku tanggung nasib baik atau buruk bersama kawan-kawanku ini. Selamatkan dirimu sendiri, bukankah dirimu itu yang lebih penting dari segala-galanya?" Sebun Him membanting-banting kakinya karena jengkel melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Nona A-giok, tahukah kau bahwa aku mengikuti jejakmu sejak dari kota Tiang-an sampai ke sini, dan sekarang kau tidak menghiraukan susah-payahku itu? Kau memberati nasib mereka tapi tidak memikirkan nyawamu sendiri?” "Terima kasih atas susah-payahmu, akupun tidak minta itu kepadamu. Tapi aku berhak mempertahankan pendirianku sendiri bahwa aku tetap ingin menanggung nasib baik atau buruk bersama mereka.” sahut Ting Hun-giok tegas. Sementara itu, salah seorang gadis yang tadi minta dibebaskan itupun agaknya melihat sikap Ting Hun-giok itu. Katanya, "Teman-temanku, hari ini kita lihat di depan mata kita seorang pria yang kalah kejantanannya dengan seorang wanita seperti Ting Kohnio ini. Biasanya kaum pria membanggakan diri bisa berbuat lebih berani dan lebih hebat dari kaum hawa yang dianggap lemah, tapi kini terbukti sebaliknya. Ting Kohnio, kau pergilah bersama pendekar hebat itu dan tidak usah pikirkan kami lagi..." "Tidak. Aku sudah memutuskan." Merghadapai perempuan-perempuan ini Sebun Him benar-benar kebingungan, dan sikapnya itu malah membuat Ting Hun-giok semakin muak. Ketika Sebun Him tengah kebingunan hendak berbuat bagaimana, tiba-tiba apa yang dikuatirkanpun terjadi. Suara percakapan mereka yang semakin lama semakin keras itupun telah terdengar oleh para penjaga. Terlihat beberapa buah bayangan meluncur dari atas dinding, dan di tempat itu telah berdiri lima orang pengawal Kui-kiong, dipimpin seorang lelaki yang berpakaian hitam dan berwajah agak tampan, dan memegang pedang dengan tangan kiri tanda dia kidal. itulah Pul In-bun, si penjahat pemetik bunga yang beberapa waktu yang lalu mengganas di kota Tiang-an. Melihat Sebun Him, Pui In-bun tertawa dan berkata, "Aku senang bertemu denganmu lagi sahabat, setelah pertemuan kita yang pertama di Tiang-an di atas genteng penginapan Pek-niau-el-am itu. Kabarnya kau dikurung di gua batu itu, kenapa kau sekarang berkeliaran di sini?" Sebun Him ingat bahwa orang itulah yang pernah menuduhnya sebagai penjahat pemetik bunga sehingga Sabun Hlm harus bertarung melawan Bu-gong Hweshio dulu, maka kemarahannyapun terungkat. Kejengkelannya dalam menghadapi Ting Hun-giok dan gadis-gadis lainnya kini hendak disalurkannya kepada orang-orang Kui-kiong itu. Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera meloncat menyongsong mereka, pedangnya bergerak dua jurus beruntun Hoan-thian-hok-te (Membalik Langit dan Bumi) serta Liong-teng-toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga) yang cepat bagaikan angin puyuh, maka dua orang pengawal Kui-kiong roboh seketika. Yang seorang tersabet perutnya dan lainnya lagi tertusuk lehernya. Pui In-bun terkejut ketika melihat Sebun Him sekarang ternyata jauh berbeda tingkatan ilmunya ketika berada di Tiang-an dulu. Sadar dirinya dalam keadaan bahaya belum bertempur Pui In-bun sudah bersuit keras minta bantuan. Kemudian Pui In-bun sendiri mendahului menyergap Sebun Him dengan gerakan Ngo-eng-bok-tho (Elang Lapar Menyambar Kelinci)! Ia kidal juga seperti Sebun Him, sehingga terjadilah pertarungan antara dua orang yang kidal. Namun, meskipun sudah bertempur dibantu tiga orang anak buahnya yang rata-rata cukup tangguh juga. Pui In-bun dan teman-temannya tetap saja jatuh di bawah tekanan berat Sebun Him yang kini telah memiliki Kun-goan-sin-kang itu. Sambaran pedang pemuda Hoa-san-pay itu menjadi begitu berat seolah sebongkah batu besar yang digelundungkan dari puncak gunung, sehingga Pui In-bun dan pengawal-pengawalnya tidak berani adu tenaga. Ting Hun-giok melihat jalannya pertempuran itu dengan kebimbangan dalam hati, haruskah la membantu Sebun Him yang dikeroyok itu atau tidak? Meskipun ucapan-ucapan Sebun Him yang kelihatannya mementingkan diri sendiri tadi tidak disukainya, namun betapapun juga anak muda itu sudah berusaha menolongnya keluar dari situ dengan mempertaruhkan nyawa. Akhirnya Ting Hun-giok mengambil keputusan, dan ia meloncat keluar kembali dari kerangkeng itu serta memungut sebatang pedang dari pengawal Kui-kiong yang sudah mati itu. Meskipun senjata andalan Ting Hun-giok adalah golok seperti ayahnya, namun la bisa juga memainkan ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat gaya Siau-lim-pay, ajaran Ibunya. "Sebun Siauhiap, biar aku bantu kau!" kata Ting Hun-giok. Sahut Sebun Him sambil tetap bertempur, "Tidak perlu, aku si Beruang Barat akan sanggup menghancurkan mereka! " Di dalam hatinya, Sebun Him merasa kurang senang sebab Ting Hun-giok yang, tadinya sudah memanggilnya dengan sebutan akrab "Toako" kini telah mengubahnya dengan "Siauhiap" yang lebih mentereng namun terlalu resmi dan tidak akrab. Semua kekesalan hatinya itu ditumpahkan kepada lawan-lawannya. Ketika seorang pengawal Kui-kiong yang menggunakan Jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san Roboh Ke Kepala), dengan goloknya untuk membelah kepala Sebun Him dari atas ke bawah, maka Sebun Him melintangkan pedangnya ke atas sambil mengangkat kakinya untuk menendang dada orang itu. Orang itu terpental beberapa langkah ke belakang dan terdengar gemeretak tulang dadanya yang berpatahan. Iapun terbanting ke tanah dan tak bergerak lagi. Saat itulah suitan Pui In-bun tadi agaknya telah mendatangkan hasil, terlihat sesosok bayangan hitam meloncat masuk dengan gerakan yang sangat ringan. Dialah Tiat-ci-hok. (Kelelawar Bersayap Besi) Im Yao yang datang bersama adiknya, Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok. Mereka berdua adalah pasangan di kalangan hitam yang sering disebut sebagai Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam)." Ketika Im Yao tiba di tempat itu, melihat Ting Hun-giok sudah berada di luar kerangkengan dan berdiri dengan pedang terhunus, serta melihat terali kerangkeng yang sudah bengkok, Im Yao dapat menebak apa yang telah terjadi. Sesaat pentolan Kui-kiong yang tak pernah ragu-ragu dalam bertindak itupun kini menjadi bimbang tak tahu harus berbuat apa. Terhadap perempuan lain la tidak peduli, namun Ting Hun-giok baginya adalah terlalu istimewa. Satu-satunya orang di dunia yang memperlakukannya sebagai sesama manusia yang sederajat, bukan sebagai penjahat yang direndahkan dan dikutuk, satu-satunya orang yang telah menerbitkan setitik cahaya terang dalam jiwanya yang selalu dalam kegeiapan. Haruskah kini la menangkap kembali gadis itu untuk dikurung kembali menunggu gilirannya untuk diminum darahnya sampai kering dan kemudian dilemparkan ke telaga? "Im Lotoa, bantu aku cepat!" teriak Pui In-bun yang keadaannya semakin gawat di bawah tekanan Sebun Him itu. Tui-hun-hok Im Kok sudah menghunus pedangnya dan hendak terjun ke arena untuk membantu Pui-In-bun, namun la heran ketika kakaknya mencegahnya dengan memalangkah tangannya. "Lotoa, kita harus segera membantu si hidung belang itu, kalau tidak ia akan mampus di ujung senjata lawannya." Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Loji, seumur hidup kita mengabdi kepada Kui-kiong, pernahkah kita berbuat bebas menurut suara hati kita sendiri?" Im Kok terkejut mendengar pertanyaan kakaknya, justru dalam saat seperti itu, namun ia mencobanya untuk memikirkannya. Rasanya yang disebut "kebebasan menurut suara hati" itu memang belum pernah mereka rasakan, mereka hanya kenyang dengan perintah-perintah Te-liong Hiangcu untuk berbuat begini atau begitu, disertai ancaman-ancaman hukuman yang mengerikan apabila tugas itu gagal. Kadang-kadang "kebebasan" itu datang juga apabila mereka merayakan keberhasilan suatu pekerjaan, dengan pesta-pora dengan makan minum yang berlimpah dan perempuan-perempuan culikan yang dijadikan pelampiasan nafsu mereka. Tapi itu adalah kebebasan hewani dan juga kebebasan semu, sebab itu semuanya hanyalah "upah" kalau mereka berhasil menjalankan tugas berat. Kadang-kadang hati kecil Im Kok tergetar juga mendengar jerit tangis orang-orang yang menjadi korbannya atau korban teman-temannya itu. Namun la tidak boleh menunjukkan "kecengengan"nya terhadap Jerit tangis memilukan itu. Ia harus menutupinya dengan tertawa terbahak-bahak dan kalau perlu berbuat lebih ganas lagi supaya dilihat teman-temannya bahwa ia "gagah-beranl". Menekan hati sendiri, itukah kebebasan"? Akhirnya Im Kok hanya menggeleng lemah sambil menjwab, "Entahlah, Lotoa, aku hanya tahu bahwa sejak kecil kita kekurangan sandang dan pangan, sejak ayah mencekik mati ibu kita, dan kemudian setahun kemudian ayah sendiripun menggantung dirinya di pohon di belakang rumah. Waktu itu kita kedinginan dan kelaparan, kita hanya ingin pakaian yang hangat tidak perlu bagus dan makanan yang dapat mengenyangkan perut kita seperti anak-anak lain sehingga kita menjadi pengemis cilik, toh kita lebih sering mendapatkan caci-maki dan gebugan atau gonggongan anjing di depan pintu daripada secarik pakaian atau sepotong makanan. Lalu Toa-suheng menemukan kita, mengajari ilmu silat kepada kita, menghangatkan badan dan mengenyangkan perut kita, sampai kita bergabung dengan Kui-kiong. Apalagi?" Sahut kakaknya, "Ya, kita mendapatkan apa yang kita impikan ketika kita kecil, pakaian dan makanan berlimpah, bahkan kekuasaan karena Kui-kiong kita ditakuti di mana-mana. Tapi kita kehilangan kegembiraan sejati kita sebagai manusia, karena kita harus menindas suara hati kita sendiri. Sekarang aku akan melepaskan belenggu itu, aku akan berbuat dengan kehendakku sendiri." Adiknya terkejut, ia bahkan tidak peduli ketika mendengar jeritan kematian dari seorang anak buah Kui-kiong yang terbabat pedang Sebun Him. Tanyanya, "Lotoa, apa yang akan kau perbuat?" "Aku harus membantu gadis itu untuk lolos. Suara hatiku menyuruhku berbuat demikian." "Gadis itu dikehendaki oleh Toasuheng. Apakah kita akan berkhianat kepada Toa-suheng yang telah mengangkat kita dari kemelaratan? Memberi kita pakaian dan makanan ketika kita masih menjadi pengemis-pengemis yang tidur di depan pintu rumah orang berselimut salju?" "Hutang budi kita kepada Toa-suheng sudah kita bayar dengan mengabdi kepadanya selama bertahun-tahun dengan menekan kehendak kita sendiri, dan terlalu mahal kalau harus kita bayar dengan seluruh hidup kita...." "Lotoa, apakah kau jatuh cinta kepada gadis itu?" Kalau hal itu ditanyakan beberapa saat yang lalu, barangkali Im Yao akan menjawab dengan berteriak keras-keras-bahwa ia tidak jatuh cinta, jatuh cinta adalah hal yang sangat memalukan dan menjadi bahan tertawaan orang-orang Kui-kiong. Tapi selama beberapa hari ini, sejak pertemuan dan percakapan dengan Ting Hun-giok, Im Yao mulai merenungkan keberadaannya di dunia ini, dirasakannya percuma kalau hidupnya hanya selalu di bawah tekanan dan perintah orang lain tanpa memberi arti kepada diri sendiri dan sesama yang butuh pertolongan. Maka terkejutlah Im Kok., ketika la melihat ketika melihat kakaknya mengangguk dengan mantap dan jawabannya sama mantapnya, "Ya. Untuk dia, biarlah aku sedia menanggung hukuman yang paling berat dari Hiangcu, bahkan sebutan-sebutan pengkhianat atau lain-lainnya, dan mungkin tubuhku akan dicemplungkan ke telaga itu. Rasanya bahagia sekali bisa berbuat sesuatu baginya." Lalu Im Yao menatap adiknya lekat-lekat, menanti adiknya itu akan tertawa terpingkal-pingkal mentertawakannya dan mengejeknya sebagai orang cengeng, atau adiknya itu akan dengan beringasnya mencabut pedangnya dan berusaha membunuhnya karena dianggap sebagai pengkhianat Kui-kiong? Tapi sikap adiknya yang dinanti-nanti itu tidak kunjung tampak, bahkan sang adik yang kelakuannya selama ini tidak kalah jahatnya dengan kakaknya, tiba-tiba berkata dengan suara agak parau karena terharu, "Selamat kakakku, kuucapkan selamat kepadamu. Kau temukan kebahagiaanmu sama saja akupun ikut berbahagia. Kau sanggup menahan segala derita untuk gadis itu akupun sanggup menahan derita apapun untukmu, Lotoa..." Percakapan agak terganggu sebentar karena ada sebutir kepala yang menggelinding dekat kaki mereka, kepala yang putus tersambar pedang Sebun Him yang tengah mengamuk itu. Tapi Im Kok melanjutkan dengan suaranya yang mewakili perasaannya yang bergejolak, "...sejak orangtua kita tiada, kaulah satu-satunya sanakku di dunia sebelum Toa-suheng. Aku ingat, ketika aku kedinginan di musim salju maka kau lepas bajumu sendiri yang hanya selembar itu dan dikerudungkan ke badanku, ketika aku lapar kau berikan rotimu yang hanya sepotong untukku sedangkan kau sendiri merasakelh perutmu kosong sepanjang malam..." Tangan dari kakak-beradik yang sama jahatnya itu tiba-tiba saling menggenggam dengan eratnya, tangan-tangan yang dengan darah dingin sering mengayuhkan pedang untuk menumpahkan darah orang lain itu, kini menjadi hangat karena mereka sudah pulih menjadi manusia biasa yang berdarah hangat dan bukan lagi hantu-hantu yang dingin. "Terima kasih, adikku....” "Sejak kecil kita bersama-sama dan akan selalu bersama-sama, dalam kegembiraan atau kepedihan. Kau kakakku dan bagiku lebih dari segala-galanya, dari Toasuehng sendiri maupun Te-liong Hiangcu." Keakraban kakak beradik yang bertahun-tahun tak lagi mereka rasakan, kini telah mereka dapatkan kembali. Terdengar Pul In bun berteriak, "lm Lotoa dan Im Loji, kalian ini sedang berlatih main sandiwara atau bagaimana?! Lekas bantu aku!" Bersamaan dengan terkatupnya mulut Pui In-bun, pedang Sebun Him tepat mengenal lambungnya dan mengakhiri hidupnya. Tapi sebelum mati, Pui In-bun sempat berteriak, "Kelelawar-kelelawar busuk..." Orang-orang Kui-kiong itu habis sudah. Tinggal Im Yao dan Im Kok yang berdiri berdampingan, namun sikap mereka tidak mirip sikap orang yang hendak bertempur, meskipun tangan-tangan mereka menggenggam pedang. Wajah Ting Hun-giok menjadi cerah ketika melihat bagaimana kakak-beradik itu ternyata tidak membantu Pui In-bun tadi, itulah perubahan sikap yang amat tajam. Maka Ting Hun-gi-ok pun menganggukkan kepala sambil tersenyum hangat, "Terima kasih, Im Toako." Im Yao menjadi agak canggung, sampai adiknya yang menyentuhnya dan berkata, "Gadis itu berterima kasih kepadamu, Lotoa, dan kau harus menjawabnya..." "Ba...baik...lah, kalian harus cepat pergi dari sini sebelum penjaga-penjaga lainnya berdatangan..." Sebun Him menjadi panas hatinya melihat Ting Hun-giok ternyata malahan mengucapkan terima kasih kepada orang Kui-kiong yang wajahnya seperti hantu itu; sedangkan dirinya sendiri yang sudah berkelahi mati-matian agaknya malah didiamkan saja. Ketika Ting Hun-giok melangkah, mendekati Im Yao, Sebun Him meloncat menghalanginya dan berkata keras, "Nona A-giok, jangan berdekatan dengan iblis kotor itu!" Ting Hun-giok menjawab, "Aku berhak mengatur diriku sendiri, tidak usah Sebun Siauhiap ikut campur dalam segala urusanku!" Darah Sebun Him semakin mendidih mendengar jawaban itu, "Nona, jangan lupa bahwa akulah yang bisa menolongmu, mati hidup nona tergantung kepadaku!" Sikap Sebun Him itu semakin lama terasa semakin menjemukan bagi Ting Hun-giok, sedikit-sedikit mengingatkan orang akan jasa dirinya sendiri, menganggap dirinya pahlawan yang kehadirannya harus disyukuri oleh orang lain. Karena itu, Ting Hun-giok bertanya, "Sebun Siauhiap, kau ingin menolong aku, baik. Tapi kau bisa membawa serta gadis-gadis lain itu atau tidak?" "lni...ini benar-benar sulit...." "Aku senasib dengan mereka, dan tidak akan keluar dari sini kecuali bersama dengan mereka!" Syarat yang diajukan itu memang membuat Sebun him kebingungan, dalam hatinya la jengkel juga akan sikap keras kepala dari gadis itu, yang dianggapnya sudah ditolong tidak berterima kasih tapi malahan membuatnya kebingungan. Apalagi ketika Ting Hun-giok masuk kembali ke dalam kerangkeng dan berkata “Silahkan selamatkan dirimu sendiri. Sebun Siauhiap, itu tentu lebih mudah daripada kau membawa-bawa aku.” Saat semuanya kebingungan itulah tiba-tiba terdengar suara Im Yao, tetap Bernada dingin seperti biasanya namun jelas bermaksud baik, "Aku bisa menolongmu dan semua perempuan-perempuan ini, nona Ting..." "Aku tidak berbicara kepadamu!" bentak Sebun Him panas. Sahut Im Yao, "Dan akupun tidak bicara kepadamu, aku bicara kepada Ting Kohnio." Hampir saja Sebun Him melabrak si Kelelawar Bersayap besi itu, kalau tidak terdengar suara Tin Hun-giok, "Apa akalmu, Im Toako?" Tanpa melirik sedikitpun kepada Sebun Him, Im Yao berkata. "Aku memegang kunci untuk semua kerankeng-kerangkeng itu, dan aku tahu sebuah jalan keluar bawah tanah tanpa melalui pintu gerbang yang dijaga ketat..." Sebun Him tertawa "Heran, kau ini hanya membual untuk menarik perhatian...." Namun ucapan Sebun Him kemudian terbungkam ketika melihat Im Yao mengeluarkan serenceng kunci dan pintu-pintu kerangkengan itu dibebaskan semuanya. Lalu kata Im Yao, "Ikuti aku. Saat ini delapan dari sepuluh kekuatan Kui-kiong sedang dikerahkan keluar tembok untuk menghadapi dua penyerang yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin, entah kapan pertempuran selesai, dan kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya..." |
Selanjutnya;
|