Pendekar Naga dan Harimau Jilid 31Karya : Stevanus S.P |
Di pohon tempat persembunyiannya, Sebun Him diam-diam merasa bergetar jantungnya. Yang ada di hadapannya itu benar-benar sebuah sarang komplotan yang penuh dengan orang-orang berilmu tinggi. Dari cara mereka berbicara, agaknya Tio kong-bwe dan Song Hian itu sederajat dengan Liong Pek-ji, sedangkan Liong Pek-ji sendiri menurut penilaian Sebun Him adalah berkepandaian lebih tinggi dari dirinya sendiri, dilihat dari caranya meloncat keluar ketika menemui rombongan bajak sungai Yang-ce-kiang tadi.
Tapi Sebun Him juga merasa beruntung bahwa tepat pada saat la menemukan sarang komplotan yang membayangi dunia persilatan itu, komplotan itu agaknya sedang mengadakan pertemuan dengan orang-orangnya yang tersebar di beberapa tempat. Maka Sebun Him berpikir, "Cukup dengan menunggui ujung jembatan ini, aku akan bisa melihat siapa saja yang datang ke tempat ini. Dengan demikian bisa kuketahui kelak siapa saja orang-orang dunia persilatan yang termasuk dalam anggota komplotan ini. Ha-ha, jika hal ini bisa kubongkar di depan umum kelak, entah akan bagaimana terkenalnya namaku." Memang dari situ Sebun Him dapat melihat betapa satu demi satu unsur-unsur pendukung kekuatan Te-liong Hiangcu berdatangan dengan menunjukkan lencana besi supaya diperbolehkan masuk ke bangunan besar itu. Darah Sebun Him serasa mendidih ketika melihat dua orang musuh pembunuh ayahnya muncul pula, yaitu Kiu-bwe-soa Leng Hok-hou dan si paderi berpakaian mewah Sin-bok Tojin bersama beberapa teman mereka yang nampaknya juga garang-garang. Tapi Sebun Him harus mengendalikan dirinya. Ia tahu bahwa muncul di saat itu sama saja dengan membunuh diri, karena itu ditahankannya kemarahannya kuat-kuat, toh dilain waktu la masih bisa mengejar kedua orang itu. Berturut-turut muncul Tang Kiau-po yang berjulukan Ang-mo-coa-ong yang pernah dilihat Sebun Him di Hoa-san-pay lalu Jian-ki-am-hui-ci (Si Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian, dan yang paling mengejutkan adalah ketika Sebun Him melihat Susiok-cou nya sendiri Yo Ciong-wan, salah seorang sesepuh yang sangat dihormati di Hoa-san-pay dan digelari sebagai Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) itu ternyata juga muncul di situ, rasanya seperti mimpi saja tapi itu adalah kenyataan. Dengan gigi gemeretak menahan rasa geram, Sebun Him melihat bagaimana sesepuh Hoa-san-pay itu mendekati para pengawal jembatan sambil mengangkat tinggi-tinggi lencana besinya dan berseru, "Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san datang memenuhi undangan Te-liong Hiangcu!" "Pantas segala gerak-gerik orang-orang Hoa-san-pay kami selalu dapat ditebak oleh musuh, kiranya ada musuh dalam selimut dalam perguruan kami," geram Sebun Him di dalam hatinya dengan kemarahan yang meluap. "Kalau begitu perjalanan Auyang Susiok (maksudnya Auyang Seng) menuju ke timur Hoa-san pun itupun agaknya bukan jalan yang mulus licin tanpa rintangan." Melihat Yo Ciong-wan, Sebun Him sama marahnya dengan ketika melihat Kiu bwe-coa Leng Hok-hou serta Sin-bok Hwe-shio tadi, sebab boleh dikatakan Yo Ciong-wan menjadi penyebab kematian ayahnya pula biarpun tidak secara langsung. Dan Sebun Him kini mengerti pula kenapa sebelum la dan ayahnya meninggalkan Hoa-san-pay dulu, Yo Siong-wan menemuinya di pinggang gunung dan menakut-nakutinya. Setelah Yo Ciong-wan, masih berdatangan pula tokoh-tokoh lainnya. Dan setiap kali pula jantung Sebun Him bergetar karena setiap kali mereka menyebutkan nama sendiri maka yang disebutkan itu bukannya nama kaum keroco melainkan nama tokoh-tokoh terkenal, dari golongan lurus maupun golongan sesat. Sungguh sulit dipercaya bahwa banyak tokoh yang bernama harum itu ternyata sudah menjadi anggota komplotan Iblis pimpinan Te-liong Hiangcu ini. Pikir Sebun Him, "Dunia persilatan benar-benar dalam bahaya tanpa mereka sadari. Kekuatan komplotan Ini ternyata harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh, bahkan oleh perguruan-perguruan yang kuat dan beranggota banyak seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sekalipun." Ketika matahari terbenam, orang-orang yang mengalir berdatangan mulai susut, dan bahkan tidak ada lagi. Kini yang dipikirkan oleh Sebun Him ialah cara bagaimana ia menemukan cara untuk menyelundup masuk ke dalam bangunan di tengah telaga itu. Berenang adalan tidak mungkin sebab dagingnya akan habis digerogoti ikan buas itu menerjang langsung lewat jembatan itu juga tidak mungkin sebab pengawal jembatan itu ada hampir limapuluh orang. Jumlah yang tidak terlawan olehnya sendiri, apalagi jika dari dalam bangunan muncul bala bantuan. Timbul pikiran Sebun Him untuk membuat rakit dari batang-batang pohon di tepian itu, namun pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Selama ia menebang pohon dan mengayam rakit itu maka jejaknya pasti akan diketahui lebih dulu, sebab di hutan itupun berkeliaran orang orang dari pihak musuh. Bahkan dalam gelapnya malam maka panah ataupun sumpit mereka akan lebih susah dijaga daripada kalau siang hari. Mau tidak mau Sebun Him jadi pusing juga memikirkan bagaimana caranaya masuk. Tengah Sebun Him mencari akal dan malam pun semakin gelap, tiba-tiba di sisi lain dari telaga itu terdengar suitan tiga kali berturut-turut yang nampaknya merupakan suatu isyarat, kemudian terdengar pula suara tertawa yang menggelegar terbahak-bahak serta suara teriakan kesakitan entah kematian berturut-turut. Keruan keadaan jadi gempar, orang-orang berlari-larian ke sana kemari dengan senjata terhunus. Pintu gerbang dari bangunan di tengah telaga itupun nampak terpentang lebar dan dari dalamnya membanjir keluar orang-orang yang berbaju hijau daun. "Apa yang terjadi?!" teriak seorang pengawal yang agaknya kedudukannya agak tinggi. "Siapa yang berani mati untuk mengadakan pengacauan di Kui-kiong (Istana Iblis) ini?!" Namun yang ditanya tidak bisa menjawab, sementara suitan-suitan permohonan bantuan masih terdengar di sana-sini. Agaknya istana di tengah telaga buatan yang disebut Kui-kiong itu mengalami serangan dari musuh. "Berpencar!" teriak seorang yang berewokan kepada pengawal-pengawal lain nya. "Tumpas siapa saja yang berani mengacau Kui-kiong!" Saat itulah seorang berbaju hijau daun muncul mendekati ujung jembatan itu dengan langkah terhuyung-huyung dan tangan kirinya mendekap dadanya yang berdarah. Tangan kanannya membawa tombak namun hanya diseretnya saja, seakan tenaga untuk mengangkatnyapun sudah tidak ada lagi. "Siapa kau?" bentak pengawal berewokan itu. "Ciu Sam dari kelompok sebelas," sahut orang yang luka itu. "Cepat bantu teman-teman di sisi utara, musuh amat tangguh!" Biasanya orang-orang dari Kui-kiong malang-melintang dan main bunuh semaunya tanpa ada yang kuasa mencegahnya, maka marahlah pemimpin berewokan itu mendengar ada pihak lain yang berani menyerbu sarangnya. Geramnya, "Ada orang-orang bosan hidup agaknya, berapa ribu jumlah mereka sehingga kailan sampai minta bala bantuan?" "Hanya seorang..." sahut orang yang bernama Ciu Sam itu. Keruan orang-orang Kui-kiong yang berkerumun di mulut jembatan itu terkejut bukan kepalang mendengar jawaban di luar dugaan itu. "Hanya seorang dan mampu memaksa kalian yang puluhan orang ini untuk bersuit-suit minta bantuan? Dia itu iblis atau malaikat? Atau manusia bertangan enam dan berkepala tiga?" "Bukan, dia hanya manusia yahg berkepala satu dan bertangan dua, tapi kebetulan manusia itu bernama Siangkoan Hong..." Nama itu memang bagaikan seratus halilintar yang meledak bersama di pinggir kuping orang-orang Kui-kiong itu. Biasanya mereka membuat gentar orang lain dengan kegarangan mereka, tapi kini merekalah yang menggigil mendengar disebutnya nama Siangkoan Hong itu. itulah sebuah nama yang jauh lebih menakutkan daripada iblis manapun juga. Adik seperguruan ketiga dari mendiang Hwe-liong Pangcu yang menjadi musuh bebuyutan Te-liong Hiangcu dan karenanya juga menjadi musuh Kui-kiong. Sesaat orang itu kebingungan harus berbuat bagaimana menghadapi Siangkoan Hong, akhirnya la mengambil kepu-tusan, "Semuanya ikut aku. Betapapun saktinya Siangkoan Hong, jumlah kita yang amat banyak akan mempengaruhinya pula, dan kau Ciu Sam, masuk untuk memanggil para Tongcu, kalau perlu Hiangcu sendiri untuk menghadapi Siangkoan Hong." "Baik...!" sahut Ciu Sam. Sementara itu orang berewok dan anak buahnya segera berlari-lari menuju ke arah suara pertempuran itu. Biarpun hati gentar harus menghadapi Siangkoan Hong, tapi jika tidak melawan malah akan lebih payah lagi sebab mereka akan menghadapi hukuman yang mengerikan yang bakal dijatuhkan oleh Te-liong Hiangcu. Melawan Siangkoan Hong mungkin akan mati tapi secara langsung dan hanya dengan sedikit penderitaan, sedang mati karena dihukum oleh Te-liong Hiangcu akan lebih dulu mengalami penderitaan yang belum pernah terbayangkan. Sementara itu, Sebun Him melihat orang yang terhuyung-huyung itu menuju ke pintu gerbang, maka ia pun mendapat akal. Cepat-cepat ia meloncat turun dan mendekati orang itu, karena baju Sebun Him masih baju yang diambilnya dari salah seorang korbannya tadi, yaitu baju berwarna hijau daun yang merupakan seragam Kui-kiong, maka ia tidak dicurigai. Sambil tertawa Sebun Him mendekati Ciu-sam sambil menyapa, "Ciu Toako, kau terluka? Mari aku antar ke dalam...!" "Aku bisa berjalan sendiri!" bentak Ciu Sam angkuh. Melihat Sebun Him maka Ciu Sam mengira bahwa anak muda itu adalah seorang anggota rendahan yang belum dikenalnya agar cepat meningkat kedudukannya. Karena itu Ciu Sam bersikap seangkuh mungkin. Kalau tidak ingat dirinya ingin masuk ke sarang komplotan itu, ingin rasanya Sebun Him mendorong penjahat rendahan itu masuk ke telaga, supaya menjadi umpan ikan-ikan buas itu. Tapi Sebun Him tidak melakukannya, dia membutuhkan orang itu sebagai "kendaraan” untuk masuk ke Kui-kiong. Kata Sebun Him sambil menyengir lagi, "Kalau begitu, maafkan aku, aku hanya ingin menemani Ciu Toako sebenarnya eh, sebenarnya bagaimana asal mulanya kejadiannya?” Sahut Ciu Sam membual, "Meskipun iblis yang bernama Siangkoan Hong itu sakti luar biasa, sebenarnya aku tidak gentar. Tapi dia menyerangku dari belakang dengan licik, tentu saja aku tidak sempat bersiap. Padahal kau tahu siapa diriku?" "Aku belum pernah mendengar riwayat Ciu Toako, tetapi tentu hebat sekali juga Toako mau menceritakannya kepadaku," Sebun Him berusaha menyenangkan hati orang itu sambil berjalan di sampingnya untuk menuju ke pintu gerbang. Senang hati Ciu Sam mendengarnya, dan sambil berjalan diapun mulai bercerita bagaimana seekor harimau yang sebesar kerbau ia pegang ekornya dan ia putar-putarkan lalu dibenturkan ke sebuah pohon sehingga pohonnya roboh dan sekaligus harimau itu pecah kepalanya. Lalu bagaimana ia pernah menerjang hujan panah musuh dengan memutar goloknya sampai kesiur anginnya saja sanggup menghalau datangnya panah. Sebun Him mendengarkannya sambil berjalan dan sekali-sekali berseru penuh kekaguman, meskipun dalam hatinya la tidak percaya sedikitpun. Mereka tiba di pintu gerbang, ketika Sebun Him menengadah, tampaklah dua huruf besar berwarna merah darah terukir di atas pintu gerbang yang tebal itu, bertuliskan Kui-kiong. Karena Ciu Sam memang kenal dengan salah seorang penjaga pintu gerbang itu, maka diapun diijinkan masuk dan Sebun Him yang berseragam sama dengan orang-orang Kui-kiong itupun ikut masuk saja dengan gaya yang wajar. "Bagaimana dengan pengacau itu?" tanya salah seorang penjaga gerbang, "Sudah dapat diatasi atau belum?" “Pengacau itu benar-benar lihai," sahut Ciu-Sam. "Ia sanggup menahan sepuluh jurus ilmu tombakku dan bahkan karena kelengahanku sendiri maka aku kena dilukai olehnya. Saat ini Beng Toako sedang memimpin orang untuk mengusir pengacau itu. Aku sendiri akan menemui tabib Hin untuk minta obat luka." "Baik, cepatlah." "Biar aku antar Ciu Toako," kata Sebun Him, ketika melihat Ciu Sam hampir saja mengucapkan keberatannya maka Sebun Him pun buru-buru mengungkit kelemahan Ciu Sam yang gila pujian itu. "Memang Ciu Toako telah bertempur dengan gagah perkasa, la patut menjadi contoh bagi kita semua...!" Setelah berada di balik pintu gerbang itu, maka Sebun Him pun tercengang melihat betapa indah dan besarnya sarang komplotan Kui-kiong itu. Tadinya la mengira sebagai sarang komplotan tentu akan kotor dan acak-acakan, namun ternyata sebaliknya. Hanya saja, suasana seram terasa di bangunan yang besar itu. Mereka menuju ke tempat tabib yang dipanggil Hin Sinshe itu. Sebuah pojokkan yang tak berarti terjepit dikemegahan bangunan itu. Ketika pintu diketuk dan dibukakakn oleh seorang tua yang agak bungkuk, maka Sebun Him tak dapat lagi menahan luapan kebenciannya kepada orang-orang Kui-kiong yang membunuh ayahnya itu. Tubuh Ciu Sam tiba-tiba didorongnya dengan keras sampai jatuh terjerembab di dalam ruangan itu, dan Sebun Him sendiri, segera meloncat masuk, menutupkan kembali pintunya dan menghunus pedang. Keruan Ciu Sam terkejut sedang tabib tua itu menggigil ketakutan. "Sia...siapa kau?" tanya Ciu Sam. Sahut Sebun Him dingin, "Sebun Him putera Sebun Siang dari Hoa-san-pay. Aku diutus Giam-lo-ong (Raja Akherat) untuk mencabut nyawa orang Kui-kiong sebanyak-banyaknya." Ciu Sam terkejut dan sadar bahwa orang yang menyamar sebagai anak buah itu ternyata adalah musuh yang menyelinap masuk. Dengan gerakan yang cukup cepat la mengangkat tombaknya dan hendak menyerang, tapi gerakan itu terlalu lambat bagi Sebun Him yang tengah murka itu. Ujung pedangnya bergerak lebih cepat dan mengakhiri hidup Ciu Sam. Tabib tua itu gemetar, dan menilik sikapnya dia agak tidak mengerti ilmu silat sedikitpun. Ketika Sebun Him melangkah mendekatinya, maka ia cepat-cepat berlutut sambil meratap, "Jangan bunuh aku... meskipun aku berada di Kui-kiong tetapi aku hanya dipaksa... dipaksa bekerja untuk mereka. Aku bukan bagian dari mereka..." "Baik. Aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus menjawab apa saja yang kutanya!" gertak Sebun Him. "Baik... baik... tapi bagaimana kalau yang tuan tanyakan itu tidak kuketahui?" "Asal kau memang benar-benar tidak tahu, aku tidak akan memaksamu bertanggung jawab, apakah pemimpin Kui-kiong yang dipanggil dengan sebutan Teliong Hiangcu itu ada di sini dan dimana tempatnya?” "Aku tidak tahu kapan Te-liong Hiangcu di sini atau tidak, semua anak buahpun tidak tahu, bahkan Liong Tongcu yang paling dekat dengan Te-liong Hiangcu itu. Ia muncul kapan ingin muncul dan menghilang kapan ingin menghilang, entah bagaimana caranya." Sebun Him mengangguk percaya, tabib tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh. Tanyanya lagi, "Kenapa Te-liong Hiangcu mengumpulkan tokoh-tokoh tangguh sebanyak itu apakah akan mengadakan gerakan besar?" "Tidak tahu, benar-benar tidak tahu." Masih banyak lagi pertanyaan yang dijawab dengan "tidak tahu” oleh tabib itu. Yang dijawab dengan memuaskan paling-paling hanyalah letak tempat-tempat tertentu di lingkungan Kui-kiong itu. Agaknya tabib itu tidak pernah melangkah keluar dari Kui-kiong dan urusan di luaran la tidak tahu sama sekali. Betapapun tidak puasnya Sebun Him, tapi ia tidak bisa memaksa tabib itu untuk memberi keterangan lebih lanjut. Akhirnya ia menotok tabib itu sehingga tak bergerak dan menyembunyikan mayat Ciu Sam, lalu keluar dari ruangan itu. Ia memperhitungkan, andaikata nanti ada orang yang menemukannya dan tahu bahwa Kui-kiong sudah kesusupan musuh, ia dengan mudah akan dapat menyelamatkan diri dengan membaurkan diri di antara anakbuah Kui-kiong. Sebab anak-buah Kui-kiong yang berjumlah ratusan orang itu datang dari berbagai tempat dan tidak semuanya saling mengenal. Kini Sebun Him berjalan dengan santainya sambil memanggul pedangnya, kalau bertemu dengan beberapa orang Kui-kiong lainnya maka dia hanya menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata tak ada yang mencurigainya. Tapi ketika la sedang melangkah di sebuah halaman untuk mencari di mana ditawannya Ting Hun-giok, iapun terkesiap ketika melihat dari arah depan berjalanlah dua orang ke arahnya. Mereka adalah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan yang menjadi sesepuh Hoa-san-pay itu, dan yang seorang lagi adalah Jian-kiam-hui-ci atau Tikus Terbang Seribu Pedang Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay. Mereka adalah tokoh-tokoh golongan lurus yang entah bagaimana telah terikat masuk ke dalam Kui-kiong dan menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu. Sebun him merasa geram, tapi ia tahu diri bahwa la bukan tandingan salah satu dari mereka, apalagi kedua-duanya, maka ia lebih suka menyingkiri mereka yang sudah mengenali dirinya. Jalan itu tidak bercabang, hanya ada sebuah pintu yang di atasnya sempat terbaca tulisan indah "Ruang Seni", tanpa pikir panjang lagi Sebun Him mendorong pintu itu dan masuk ke dalamnya. Di balik pintu didengarnya langkah Yo Ciong-wan dan Ki Peng-sian semakin dekat, dan celakanya mereka berhenti di depan ruangan itu, dan malah duduk di bangku batu yang terdapat di situ dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Dengan demikian Sebun Him telah "terkunci" di tempatnya itu tanpa bisa keluar, sebab kalau keluar berarti akan kepergok dan itu berarti kematian-lah bagiannya. Kui-kiong yang menjaga ketat rahasia komplotannya itu tentu tidak akan membiarkan hidup seseorang yang berani berkeluyuran seenaknya saja di sarang mereka. Dalam bingungnya, Sebun Him melihat di situ masih ada dua pintu lagi yang masing-masing diberi tanda "ruang seni lukis" dan "ruang seni patung" dan daripada berdiam di situ saja tanpa bisa berkutik sampai orang-orang yang bercakap-cakap itu pergi sendiri, maka dengan nekad Sebun Him menerobos ke pintu yang bertuliskan "ruang seni patung" itu. Begitu pintu terbuka, bau yang tajam dari sejenis obat pengawet mayat segera menerjang hidung Sebun Him dan membuatnya terkejut. Ruangan itu cukup luas dengan beratus-ratus patung di dalamnya, namun hanya diterangi beberapa batang lilin yang sama sekali tidak sebanding dengan luasnya ruangan, sehingga suasana di situ hanya remang-remang saja. Entah kenapa, bulu kuduk Sebun Him langsung merinding ketika berada dalam ruangan itu, dan la mulai memperhatikan patung-patung itu satu demi satu. Ratusan patung itu terdiri dari macam-macam manusia dan macam-macam kegiatannya pula, semuanya seukuran manusia tepat. Ada imam atau pendeta yang sedang berdoa, bersilat dengan macam-macam senjata, dan juga petani yang sedang mencangkul atau menanam padi, seregu kecil prajurit yang sedang berbaris dan sebagainya. Di bagian lain Sebun Him menemukan serentetan patung yang membuat wajahnya menjadi merah, sebab rentetan patung itu menggambarkan urut-urutan sepasang mempelai mulai dari bersembahyang di depan meja sembahyang, memberi hormat dan menyuguhkan teh kepada orang tua, sampai apa yang dilakukan pengantin baru di kamar tertutup, semuanya dipatungkan dengan nyaris sempurna. Di deretan lain Sebun Him menemukan patung-patung para tokoh rimba persilatan terkemuka, dengan gayanaya masing-masing, dan di antara mereka terdapat patung Giok-seng Tojin dari Hoa-san-pay dan He Keng-iiang dari Ho-llan-pay. "Rupanya pemilik ruangan seni itu mengagumi juga paman-guru Giok-seng sehingga membuatkan sebuah patung untuknya, tapi entah kenapa la selalu mengganggu Hoa-san-pay dengan memperalat He Keng-liang untuk mengambil Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu?" demikian Sebun Him. Selama berkeliling di ruangan itu dan melihat patung-patung yang mirip manusia-manusia asli itu, Sebun Him heran bahwa hidungnya selalu diganggu oleh bau yang mirip ramuan pengawet daging seperti di rumah para pemburu, dan di beberapa bagian ia bahkan mencium bau yang agak busuk. Suatu ketika, karena rasa ingin tahunya maka ia memegang salah sebuah patung untuk mengetahui dari apa dibuatnya, dari keramik atau lilin atau badan lain. Dan alangkah terkejutnya ia ketika tahu bahwa patung-patung itu sendiri sebenarnya adalah manusia-manusia asli yang telah diawetkan, di beberapa bagian bahkan obat pengawetnya mulai luntur dimakan waktu sehingga patungnya mulai membusuk. Setabah-tabahnya hati Sebun Him, mual juga rasanya menemui kenyataan itu, ini bukan ruangan seni patung tetapi ruangan mayat. Ratusan "patung"disitu adalan mayat-mayat semuanya! Hanya orang gila atau orang berjantung iblis saja yang sanggup menciptakan hasil karya sebiadab itu, dan dari sini pula Sebun Him tahu bahwa Te-liong Hiangcu si majikan Kui-kiong ini benar-benar penjelmaan asli dari sang iblis sendiri. Dengan bulu seluruh tubuh yang bergidik dan pertu menahan rasa mual, Sebun Him setengah sadar berlari menuju ke pintu untuk meninggalkan ruangan penuh mayat itu. Rasanya ia lebih suka dibantai oleh pedang Yo Siong-wan atau Ki Peng-sian daripada dalam ruangan seram dengan ratusan mayat-mayat yang tentu mati penasaran itu. Pantas saja sejak tadi ia mencium bau obat pengawet bercampur bau busuknya mayat. Tapi begitu la mencapai pintu, hatinya seakan-akan disiram seguci air es karena kagetnya, pintu itu terkunci dari luar dan tak dapat dibukanya. Bahkan ia telah mendobraknya sekuat tenaga, tapi pintu terbuat dari kayu tebal yang pinggiran-pinggirannya dilapis besi. Terjangan-terjangan Sebun Him yang bertenaga raksasa sampai dijuluki "Beruang dari Barat" itupun tidak membuat pintu bergeming. Anak muda itu semakin panik ketika satu persatu lilin dalam ruangan itu tiba-tiba meredup sendiri sehingga ruangan itu makin gelap, dan akhirnya gelap sama sekali sehingga yang ada di depan matanya cuma warna hitam pekat tanpa setitik cahayapun. Dengan gugup Sebun Him meraba-raba ke samping kiri, namun telapak tangannya mengenai sebentuk wajah yang dingin dari salah satu patung itu. Ia menjerit tertahan dengan menarik tangannya. Lalu terdengar tertawa seram di ruangan itu, dan Sebun Him merasa di sekelilingnya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang yang hilir mudik, dekat sekali, dengan tangan yang basah oleh keringat dingin la mencabut pedangnya dan menyabet-nyabetkan kesana kemari. Tapi pedangnya tak menyentuh apapun di kegelapan itu, dan derap kaki itupun masih juga terdengar dekat sekali, berpadu dengan suara tertawa seram yang tak henti-hentinya. Dalam takutnya Sebun Him menjadi nekad, teriaknya, "Setan alas! Setan gentayangan! Kau kira aku takut kepadamu? Hayo tampakkan dirimu supaya bisa kubabat lehermu...!" |
Selanjutnya;
|