Pendekar Naga dan Harimau Jilid 31 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 31

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
MENJELANG tengah malam, Im Yao muncul di keretanya dan memberikan beberapa buah totokan yang membuat Ting Hun-giok lemas dan tak dapat menggerakkan tubuhnya. Tapi jalan darah ah-hiat nya tidak ditotok sehingga gadis itu masih tetap bisa berbicara.

"Kau masih belum percaya kepadaku?" tanya gadis itu.

Sahut Im Yao dingin, "Tidak akan pernah. Kau tawanan kami dan harus kami jaga sebaik-baiknya, sebab sudah terbukti maksud jahatmu di mata air tadi. Kau berusaha melemahkan hatiku, untuk mencari kesempatan kabur."

"Dan hatimu benar-benar menjadi lemah?"

"Sudah lama aku tidak mempunyai hati." Ting Hun-glok tertawa mendengar jawaban yang aneh dan dibuat-buat itu, yang ingin kedengaran seseram mungkin tapi malahan mirip lawakan. Suara tertawanya berhenti ketika Im Yao membentak, "Jangan tertawa seperti kuntilanak! Kupenggal lehermu nanti!"

Ting Hun-giok kemudian memejamkan matanya untuk tidur, dan sesaat lamanya Im Yao masih memandangi wajah yang terlelap itu dengan daya pesona yang tak terlukiskan. Namun kemudian ia menggoyangkan kepalanya keras-keras untuk mengusir semua angan-angan cengeng itu dari pikirannya.

Ketika Ting Hun-giok terlelap dalam mimpi dan tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur, tiba-tiba la merasa ada seseorang yang menindih tubuhnya. Dan ada hembusan napas seperti napas kerbau yang sedang menarik bajak di sawah menghembus-hembus di wajahnya, dan sepasang tangan menggerayangi pakaiannya untuk berusaha melepaskan pakaiannya. tentu saja Ting Hun-giok terkejut bukan kepalang, la hendak meronta tapi tubuhnya masih tak dapat bergerak karena tertotok.

Sementara terdengar bayangan hitam yang menindihnya itu berkata di sela-sela deru napasnya, "Jangan melawan, kau hanyalah sok alim. Kalau kau mau dengan Im Lotoa di tepi mata-air itu, tentu kau juga harus mau denganku. Jangan berteriak supaya tidak kucekik mampus kau."

Ting Hun-glok mengenal suara itu, suara Pui In-bun, orang yang paling dibencinya diantara anggota rombongan orang-orang Kui-kiong itu. Maka tak peduli ancaman Pui In-bun, Ting Hun-giok-menjerit sekeras-kerasnya. Pui In-bun terkejut. Jarinya baru saja bergerak hendak menotok Jalan darah ah-hiat di tubuh gadis itu, tahu-tahu mulut si gadis sudah lebih dulu terbuka dan mengeluarkan teriakan keras itu. Dan kesialan buat Pui In-bun yang berikutnyapun muncul.

Sesosok tubuh hitam bagaikan bayangan setan tiba-tiba muncul di pintu kereta, dan dengan sekali ulur maka tubuh Pui In-bun itu pun tercengkeram tengkuknya seperti seekor anak kucing saja. Detik berikutnya tubuh Pui In-bun sudah terbanting keras di tanah yang berbatu-batu sehingga la menyeringai kesakitan karena punggungnya sakit.

Lalu dengan muka merah padam la meloncat bangun sambil mengnunus pedangnya, namun wajahnya itu berubah menjadi pucat ketika terdengar suara dingin, "Bagus, kau sudah menghunus pedangmu dan dengan demikian kita akan bertarung sampai mati."

Ternyata Im Yao lah yang membanting Pui In-bun tadi, dan kini orang bermuka dingin ltupun sudah siap dengan pedang ditangannya. Bagaimanapun marahnya Pui In-bun, namun, la tidak berani melayani tantangan duel Im Yao itu. Ia tahu dirinya akan mati dan ia terlalu takut untuk itu, masih banyak kesenangan duniawi yang belum puas dirasakannya dan ia tidak mau mati sekarang.

Karena itu diapun cepat-cepat Menyarungkan pedangnya, sehingga Im Yao berteriak, "Kenapa kau simpan pedangmu? Bukankah kau sudah berani melanggar pesan toasuheng agar tidak mengganggu gadis itu. sehingga kaupun tentunya berani menangung segala akibatnya? Ayo cabut pedangmu dan berkelahi dengan aku!"

"Tidak" sahut Pul In-bun dengan menebalkan mukanya. "Kau pengecut!"

Wajah Pui In-bun semburat merah, namun dijawabnya dengan bandel, "Aku lebih suka menjadi pengecut yang hidup daripada pemberani yang mampus."

"Bangsat keturunan kura-kura!"

Demi melanjutkan umurnya apa boleh buat, Pui In-bun harus menahan caci maki itu. Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera membalikkan badan akan meninggalkan kereta itu, tapi Im Yao tidak membiarkannya. Lebih dulu disarungkannya pedangnya dan dengan tangan kiri la menyentakkan pundak Pui In-bun dari belakang sehingga tubuh si Jay-hoa-cat itu terputar, lalu tangan kanan Im Yao terayun berulang kali dengan cepatnya untuk menggampar muka Pui In-bun sampai muka itu setengah hancur. Pui In-bun sama sekali tidak berani membalas.

"Itu sebagai hukumanmu karena kau telah melanggar perintahku” kata Im Yao sambil mendorong tubuh Pui In-bun sehingga terhuyung-huyung dengan kepala pusing. "Juga peringatan untuk yang lain-lainnya. Lain kali hukumannya adalah penggal kepala!"

Semua anggota rombongan sudah terbangun pula karena terjadinya ribut-ribut itu. Namun tak seorangpun berani campur supaya kepala mereka tetap aman bertengger di leher mereka. Bahkan Im Kok yang adik kandung Im Yao itupuh memilih lebih baik bungkam saja.

Tapi Pui In-bun yang sudah kehabisan kesabaran itu berteriak marah, "Kau keterlaluan, Im Lotoa, kau kangkangi sendiri perempuan itu tanpa mempedulikan teman-temanmu! Dengan alasan bahwa Suhengmu membutuhkan perempuan itu maka kau larang siapa saja mendekatinya tapi kau sendiri dimata air telah memangsanya dan..."

Pui In terpental ketika sebuah jotosan Im Yao yang penuh kemarahan menghantam wajahnya dan meremukkan hidungnya. Dan dalam puncak kemarahannya maka tak terkendali lagi Im Yao mengungkapkan isi hatinya sendiri,

"Sekail lagi mulutmu berani menista gadis itu, kupenggal kepalamu, juga siapa saja yang melakukannya hal yang sama!”

Di dalam kereta, meskipun dalam keadaan tak bisa bergerak, Tlng Hun-giok menjadi sangat terharu mendengar ucapan Im Yao itu. Kali ini la tidak lagi berusaha menekan rasa harunya, dan merasa tidak perlu lagi menyembunyikan gejolak perasaannya. Dibiarkannya air matanya meleleh deras di wajahnya. Seorang penjahat besar seperti Im Yao ternyata semakin dekat dengan hatinya.

Ia seperti seorang anak yang hampir tenggelam di lautan, hampir putus-asa namun tiba-tiba melihat setitik harapan untuk kembali mencapai daratan dan lapun menggapai dengan perasaan penuh harapan bercampur takut kalau-kalau daratan yang dilihatnya itu hanya bayangan semu belaka, dan terkutuklah siapapun yang mematikan harapannya dengan alasan yang berlandaskan ayat-ayat agamawi sekalipun.

Ketika itu ketegangan di luar kereta itu sudah agak mengendor. Pui In-bun tidak berani membantah sepatah-katapun lagi, apalagi ketika Im Yao mengancam dengan suara yang bersungguh-sungguh, bukan saja kepada Pui In-bun tetapi kepada semua anggota rombongan,

"ingat, lain kali tidak ada peringatan lagi. Langsung kubunuh, melawan atau tidak melawan, bersenjata atau tidak bersenjata!"

Beberapa kepala mengangguk-angguk, dan keadaanpun mereda. Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan. Pui In-bun memakai sebuah caping yang tepinya diberi tudung kain tipis untuk menyembunyikan wajahnya yang babak-belur itu. Ia tidak berani lagi melirik kepada Ting Hun-giok, sebab kalau ia melihat kecantikan gadis itu tanpa bisa memilikinya, malah membuat penasaran saja.

Selama perjalanan beberapa hari menuju ke Kui-kiong itu, Ting Hun-gok benar-benar tidak berkesempatan sedikitpun untuk melarikan diri. Dan pasrah saja akan nasibnya yang kabarnya diminum darahnya mentah-mentah oleh Suheng Im Yao yang bernama Liong Pek-ji untuk memperkuat ilmunya itu. Semakin dekat ke Kui-kiong, semakin murunglah Ting Hun-giok, begitu pula Im Yao sendiri. Perasaan sedih Im Yao ini tidak pernah dirasakannya ketika dia dulu mengantarkan berpuluh-puluh gadis kepada Suhengnya untuk dihisap darahnya.

Selama perjalanan itu pula Ting Hun-giok semakin memahami Im Yao, dan semakin bersimpati, meskipun Im Yap sendiri selalu menyembunyikan perasaannya sendiri dengan cara bersikap segarang mungkin, membentak-bentak dan bahkan bersikap seakan-akan benar-benar hendak berbuat jahat kepada Ting Hun-Giok.

Namun nyatanya seujung rambutpun la tidak mengganggu gadis itu, menjerat dengan tali-tali batin yang halus dan mula-mula tak terasa tetapi semakin lama semakin tebal sehingga sulit untuk diputuskan. Ia penjahat yang dikutuk masyarakat, tapi hanya gadis itulah yang bersikap kepadanya sebagaimana terhadap sesama manusia yang sederajat.

Suatu sikap dan perhatian yang sebenarnya amat didambakannya, sejak la masih kecil, sejak la selalu ditinggal main judi oleh ayahnya dan ditinggal bekerja oleh ibunya. Kini ia sudah mendapatkannya, tapi aneh bahwa dia juga berusaha mati-matian untuk mengingkarinya sendiri.

Ketika perjalanan mendekati kota Leng-he, maka rombongan itu berbelok masuk ke sebuah jalan sempit yang diapit hutan, meninggalkan jalan raya yang menju kota Leng-he. Tanpa disadari oleh rombongan itu, sejak mereka keluar dari kota sebelumnya maka mereka sudah dikuntit oleh seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan memakai tudung bambu yang lebar.

Dialah Sebun Him, anakmuda dari Hoa-san-pay yang selama beberapa hari ini dengan susah-payah mencoba melacak jejak gadis yang diculik di kota Tiang-san itu. Selain ingin membersihkan namanya sendiri dari tuduhan sebagai penjahat pemetik bunga, rupanya Sebun Him juga tidak bisa melupakan gadis itu sehingga ia bertekad untuk menemukannya, mendahulukan dari membalaskan sakit hati ayahnya. Ia berharap jika penculik gadis itu bisa ditemukan maka sakit hati ayahnyapun bisa dibalas, sebab mereka berasal dari komplotan yang sama.

Tadi ketika Sebun Him duduk minum di sebuah kedai pinggir jalan yang tanpa dinding, dia melihat ada serombongan orang berkuda mengawal sebuah kereta tertutup. Tadinya ia tidak tertarik melihat rombongan itu, namun ketika melihat sebuah kepala menjenguk dari dalam kereta tertutup ltu berdesirlah hati Sebun Him, sebab kepala itu adalah kepala Ting Hun-giok si gadis yang diculik dan sedang dilacak jejaknya itu.

Sesaat berkobar semangat Sebun Him ingin menunjukkan kepahlawanannya dengan membabat habis rombongan orang-orang itu dan membebaskan si gadis. Bukankah itu perbuatan gegabah semacam itu bisa membuat nyawanya amblas percuma. Dia ingat kejadian di Tiang-an dimana kepandaiannya yang dianggapnya sudah tinggi untuk mengangkat nama itu, ternyata masih banyak saingannya dirimba persilatan yang keras.

Seorang Bu gong Hweshio yang bukan termasuk jago tertinggipun ternyata hampir saja mengalahkannya, dan kini la belum tahu sampai dimana kepandaian dari rombongan penculik yang mengawal kereta itu. Dan untunglah Sebun Him mengambil keputusan itu, sebab andaikata la nekad menerjang, maka sesungguhnya Tui-hun-hok Im Kok saja paling-paling baru dapat diimbanginya, belum lain-lainnya. Memang baru sebegitulah taraf kepandaiannya.

Dari kejauhan Sebun Him melihat rombongan itu berbelok masuk ke sebuah hutan, maka Sebun Himpun turut menyelinap ke hutan tapi dari sebelah lain. Dan baru saja ia maju beberapa langkah menerobos pepohonan, sebuah senjata rahasia tiba-tiba menyambarnya dengan kecepatan tinggi. Untung Sebun Him cukup tangkas menggunakan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) untuk menunduk sehingga senjata rahasia itu hanya menghantam sebuah pohon di dekatnya.

Ketika melirik, maka dilihatnya senjata rahasia itu adalah jenis toh-kut-ting (paku penembus tulang) yang nampaknya bobotnya cukup mantap dan terbuat dari baja asii. itulah senjata rahasia yang harus dilempar kan oleh seseorang yang bertenaga cukup besar.

Sesaat lamanya Sebun Him tetap berjongkok di dalam semak-semak sambil matanya disapukan, ke sekelilingnya untuk melihat darimana datangnya sergapan gelap tadi. Sunyi. Yang nampak hanyalah pepohonan-pepohonan besar yang begitu rapat daunnya sehingga mampu menutupi sinar sang surya di tengah hari bolong itu.

Untuk memancing keluarnya si pembokong itu, Sebun Him pura-pura menampakkan sebagian tubuhnya namun dengan kewaspadaan yang tinggi sambil menajamkan pendengarannya setajam-tajamnya, betul juga, dengan suara berdesing kembali sebatang toh-kut-ting menyambarnya.

Kali ini Sebun Him berhasil menggerakkan tangannya begitu cepat sehingga tahu-tahu paku baja itu sudah terjepit di antara dua jari tangan kirinya, tapi kali ini Sebun him mengeluarkan teriakan tertahan seakan-akan ia benar-benar terkena oleh paku itu, dan la membanting tubuhnya ke semak-semak sehingga menimbulkan suara gemeresak. Pancingan Sebun Him kali ini berhasil. Si pelempar toh-kut-ting itu rupanya menduga bahwa lemparannya yang kedua itu telah mengenai sasaran, maka diapun melayang turun dari atas sebatang pohon berdaun rimbun.

Ia adalah seorang lelaki bertubuh pendek dan berbadan gempal, nampak kuat sekali, dan pakaiannya yang berwarna hijau daun itu membuat dia tidak nampak jika bersembunyi di atas pohon berdaun lebat. Tangannya memegang sebatang gada bergerigi, sementara dipinggangnya ada kantong kulit yang agaknya merupakan wadah paku-paku bajanya tadi.

Dengan langkah yang santai ia mendekati ke arah tubuh Sebun Him yang terbaring itu, ia sudah yakin sebagian besar bahwa korbannya itu tentu mati terkena pakunya, paling tidak luka parah. Namun begitu tinggal selangkah dari tubuh Sebun Him, ia merasa ada sesuatu yang kurang beres karena tidak melihat setetes darahpun tercecer di situ ataupun di tubuh Sebun Him. Ia sadar akan bahaya tapi terlambat. Sebun Him telah bangkit secepat kilat dan pedangnya tahu-tahu sudah terbenam di dada kiri orang itu tepat di jantungnya.

Orang itu membelalak, pandangan matanya semakin redup dan akhirnya padam sama aekali, tubuhnyapun terkulai dengan sebuah luka telak di jantungnya. itulah cara kerja Sebun Him yang diamuk dendam akan kematian ayahnya, keras dan tak kenal ampun, bahkan ia tidak tahu orang yang baru saja dibunuhnya itu dari pihak mana, pokoknya karena orang itu sudah menyerang lebih dulu maka ia merasa berhak untuk membalasnya.

"Apa boleh buat," desis Sebun Him sambil membersihkan pedangnya dengan dedaunan dan menyarungkan kembali. "Hutan ini agaknya menyimpan suatu rahasia yang mungkin ada kaitannya dengan komplotan pembunuh ayahku, dan aku harus berhasil menyelidikinya tanpa banyak keributan. Karena itu orang itu terpaksa harus aku bereskan."

Untuk langkah-langkah selanjutnya, Sebun Him sadar bahwa hutan itu ternyata dijaga, sehingga dia tidak bisa berjalan seenaknya saja. Hutan biasanya merupakan tempat yang bebas, tempat orang-orang boleh keluar masuk semaunya, namun jika sebuah hutan dijaga maka agaknya memang ada sesuatu yang patut disembunyikan di hutan ini. Inilah yang membuat perhatian Sebun Him tertarik.

"Sangat kebetulan kalau aku bisa menjumpai sarang gerombolan itu," desis Sebun Him dalam hati.

Maka diapun merayap dengan amat hati-hati setapak demi setapak sambil mempertajam pendengarannya. Di atas beberapa pohon memang terdengar suara napas manusia, menandakan di atas dahan-dahan itu ada orang yang bertengger mengawasi keadaan. Hal itu membuat Sebun Him makin berhati-hati, untunglah hutan itu cukup gelap karena rimbunnya dedaunan di atasnya, sehingga Sebun Him dapat merayap maju setapak demi setapak.

Penjagaan yang paling kuat ternyata adalah di sepanjang jalur di tengah hutan yang dilewati rombongan kereta tertutup itu. Di sepanjang jalur itu, di kiri kanannya, setiap beberapa langkah tentu ada orang yang menongkrong di atas pohon, yang kalau tidak dilihat dengan cermat tidak akan terlihat karena warna pakaian mereka sewarna dengan daun-daunan.

Bahkan ada pula yang bersembunyi di balik pepohonan. Rata-rata mereka selain membawa senjata-senjata biasa, juga membawa senjata jarak jauh seperti panah, sumpit, atau senjata-senjata rahasia dari berbagal jenis. Im Yao berkuda paling depan dengan tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi sebuah lencana kecil-yang terbuat, dari besi, sehingga ia dan rombongannya lewat tanpa banyak ganguan.

Sebun Him menarik napas dalam-dalam melihat semuanya itu. la tahu kini dia sudah ada di tengah-tengah sarang serigala, besar kemungkinannya tidak dapat keluar lagi dengan hidup-hidup. Tapi dengan keras kepala Sebun Him terus merayap maju dengan hati-hati, kalau la bisa keluar lagi dengan, hidup, maka namanya akan jadi terkenal, sesuatu yang didambakannya sejak dulu.

Ternyata penjagaan yang ketat hanya di sepanjang jalur itu, sedangkan semakin jauh dari jalur semakin renggang penjagaannya. Maka Sebun Him memilih untuk menjauhi jalur itu beberapa puluh tombak, lalu merayap maju dengan lebih dulu menetapkan arah, searah dengan kereta tertutup tadi. Ia masih sempat bertemu dengan beberapa penjaga yang dibabatnya tanpa ampun, dan untungnya para penjaga itu tidak begitu tinggi ilmunya sehingga Sebun Him dapat membereskannya tanpa ribut-ribut. Bahkan Sebun Him kemudian menukar bajunya dengan baju salah seorang musuh yang dibunuhnya, sehingga ia berharap akan dapat bergerak lebih leluasa.

Suatu ketika Sebun Him tidak bisa maju lagi, sebab kini di depannya adalah sebuah telaga, kelihatannya telaga buatan, yang lebarnya ratusan tombak. Di tengah-tengah telaga ada sebuah pulau kecil yang di atasnya ada bangunan besarnya. Bangunan yang kelihatan luas, amat kokoh dan bentuknya bagus pula.

Antara pintu gerbang bangunan itu dengan tepian sini, dihubungkan sebuah jembatan batu yang dua tombak lebarnya, dan itulah satu-satunya jalan dari tepian ke pulau itu. Jembatan itupun dijaga amat ketat, setiap beberapa langkah ada orang-orang berbaju hijau daun yang bertampang seram-seram dengan senjata-senjata terhunus.

Ketika Sebun Him bersembunyi di sebuah semak-semak di tepi telaga buatan itu, dilihatnya kereta tertutup yang membawa Ting Hun-giok dan orang-orang berkuda itu sudah sampai di tengah tengah Jembatan dan sedang menuju ke arah bangunan di tengah telaga kecil itu. Orang-orang yang menjaga hutan itu banyak yang mengangguk hormat kepada orang berkuda yang paling depan, yaitu Tiat-ci-hok Im Yao, agaknya kedudukannya cukup terhormat dalam komplotan yang bersarang di tengah telaga di tengah hutan itu.

Sebun Him diam-diam memperhitungkan keadaan. Untuk masuk ke bangunan besar, itu hanya jembatan itulah satu-satunya jalan, atau berenang, tapi kalau berenang tentu akan terlihat oleh orang-orang yang berjaga di Jembatan itu, meskipun Sebun Him merasa mampu merenangi jarak selebar itu. Tiba-tiba timbul pikiran Sebun Him untuk memutari telaga itu, siapa tahu di sebelah lain tidak ada penjaga-penjaganya dan la dengan mudah dapat merenangi telaga buatan itu.

Dengan berlindung pada pepohonan yang rapat, la memutar ke arah sampingi Betul juga, pikirnya, kalau aku berenang dari sini maka tidak akan terlihat oleh orang-orang di jembatan itu. Tapi di seberang sana yang ada hanyalah bangunan tembok yang tinggi tanpa pintu, sebab pintunya hanya ada satu yaitu yang menghadap ke jembatan tadi, dan tinggi tembok itu nampaknya amat sulit diloncati oleh orang-orang yang ilmu meringankan tubuhnya lihai sekalipun. Kecuali kalau pandai ilmu Pia-hou-yu-Jio (Cecak Merayap di Tembok), tapi Sebun Him tidak bisa ilmu itu.

"Yang penting ke seberang dulu!" tekad Sebun Him sambil membuka baju dan sepatunya yang dibungkusnya jadi satu dan diikatkan di pinggangnya. "Soal menyusup masuk, siapa tahu di bagian bawah tembok itu ada lubang saluran air atau bahkan saluran kotoran sekalipun aku sangup menempuhnya asal bisa membongkar komplotan itu."

Namun baru saja kaki Sebun Him masuk ke air, tiba-tiba diangkatnya kembali kaki itu dengan rasa terkejut. Terasa ada sesuatu yang menggigitnya dan bahkan betisnya berdarah. Ketika Sebun Him memperhatikan ke dalam air, maka keringat dinginpun seketika mengalir di tubuhnya, karena kini la tahu kenapa di sisi itu tidak diawasi, sebab di air telaga itu sendiri sudah ada "pengawal" tersendiri.

"Untung aku memasukkan kakiku lebih dulu dan tidak langsung mencebur ke air," pikir Sebun Him dengan Jantung yang masih berdegupan. "Kalau aku langsung mencebur tadi, maka yang akan sampai ke seberang hanyalah tulang belulangku."

Di dalam air telaga itu ternyata hidup sejenis ikan berwarna putih keperak-perakan yang besarnya tidak lebih dari ibu jari namun bergigi tajam seperti gigi gergaji, dan hidup bergerombol-gerombol dimana setiap gerombolnya mencapai jumlah ribuan ekor. Merekalah ikan buas pemakan daging makhluk hidup yang tak kenal belas kasihan, seekor kerbaupun dapat mereka habiskan dalam sekejap mata sampai tinggal tulang-belulangnya.

Jika air telaga sengaja dilepasi jenis ikan itu, rasanya memang berlebihan kalau penghuni bangunan di tengah telaga itu masih mempercayakan penjagaan di sisi ini kepada manusia. Ikan-kan kecil itu adalah pengawal yang jauh lebih tangguh dari orang-orang bersenjata di jembatan batu itu.

Sabun Him terpaksa membatalkan niatnya utnuk menyeberang dengan berenang, dan la pun merasa percuma saja untuk menyelidiki dari sisi yang lain. Telaga buatan itu pasti dibuat melingkari bangunan itu, dan ikan-ikan rakus bergigi tajam itu pasti ada di bagian yang manapun juga, dan mereka tidak bisa dilawan dengan Ilmu silat.

Sebun Him ingat bahwa ada tokoh-tokoh dunia persilatan yang begitu mahir Ilmu meringankan tubuhnya (gin-kang) sehingga dapat "melangkah" di air seperti di tanah yang keras saja hanya dengan memasang dua potong papan di telapak kakinya. Tapi Sebun Him belum mencapai taraf itu.

Jadi, jalan satu-satunya untuk mencapai bangunan itu memang hanyalah Jembatan batu yang dijaga itu. Dengan mengendap-endap Sebun Him kembali mendekati jembatan itu untuk membuat perhitungan sambil mengawasi keadaan. Sementara itu, Sebun Him melihat orang-orang yang datang ke bangunan di tengah telaga itu ternyata semakin lama semakin banyak.

Baru saja la bertengger diatas sebatang pohon berdaun rimbun, maka dari jalur di tengah hutan itu kembali muncul sebuah rombongan yang berjumlah kira-kira sepuluh orang rata-rata berbadan tegap. Pemimpin mereka terdiri dua orang yang naik kuda paling depan, yang seorang bertubuh besar tegap dengan tangan membawa sebuah gada berpenampang segi delapan yang terbuat dari besi. Seorang lagi bertubuh ramping agak kurus dengan tangan membawa tombak berkait.

Ketika mereka dihadang oleh penjaga-penjaga di ujung jembatan itu, maka orang yang membawa gada itu mengeluarkan lencana besi yang ditunjukkan kepada penjaga-penjaga itu sambil berkata, "Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian dan Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe dari sungai Yang-se kiang datang memenuhi panggilan Te-liong Hlangcu."

Pemimpin para penjaga itu mengeluarkan secarik kertas dari bajunya dan membaca daftar nama-nama yang tertera di situ, setelah menemukan bahwa nama kedua orang, bajak sungai Yang-ce-kiang itu tercantum dalam daftar orang-orang yang diundang, maka merekapun minggir dan mempersilahkan masuk.

Tiat-pwe-siang Song Hian dan Hek-liong Tio Hong-bwe segera menggerakkan kudanya masing-masing untuk memasuki Jembatan, diiringi anakbuah mereka, namun pada saat mereka baru bergerak selangkah, tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking di tempat itu. Dan terdengar suara seseorang sebelum kelihatan wujudnya, "Ha-ha-ha, gajah busuk dan naga busuk, senang juga menjumpai kalian berdua dengan batok kepala yang masih utuh"

Para bajak sungai Yang-ce-kiang anak buah Song Hian dan Tio Hong-bwe itu serentak menghunus senjata mereka karena mendengar kata-kata yang seolah-olah menghina pemimpin mereka itu. Tapi kedua pemimpin bajak itu kelihatannya malah tidak marah, malah kelihatan senang seperti mendengar suara seorang sahabat lama, kata Tio Hong-bwe sambil tertawa, "He, kelelawar busuk, hayo tunjukkan batang hidungmu dan jangan bersembunyi saja seperti kura-kura.”

Baru habis ucapan Tio Hong-bwe itu sesosok tubuh berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu di hadapan kedua pemimpin bajak itu sudah muncul sesosok tubuh kurus berwajah pucat, bermata merah darah dan bibir yang tipis itu berwarna merah darah pula, yang mengerikan ialah adanya sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya.

Bukan sekedar buatan untuk menakut-nakuti orang tapi benar-benar taring asli yang tumbuh dari gusinya, la memakai topi lancip berwarna hitam dan jubah hitam pula. Andaikata dia muncul di malam hari, orang berpenyakit jantung pasti akan mampus seketika karena terkejut mengira dia adalah setan gentayangan. Dialah Liong Pek-ji yang berjulukan Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap Darah).

Antara Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian segera terjadi percakapan yang ramai karena mereka teryata adalah kenalan-kenalan lama. Kata Liong Pek-Ji, "Syukurlah kalian mau datang memenuhi undangan Te-liong Hiang-cu. Memang lebih baik bergabung dengan kami dan menjadi sebuah kekuatan besar daripada kalian menjadi bajak di sungai Yang-ce-kiang yang hasilnya tidak seberapa namun setiap kali kalian harus berhadapan dengan armada sungainya Rajamuda wilayah Su-coan, Peng-se-ong Bu San-kui."

Tio Hong-bwe menarik napas dan berkata, "Ya, hari-hari terakhir ini kapal-kapal perang Peng-se-ong Bu-san-kui semakin gencar meronda daerah perairan tempat rejeki kami, sehingga rejeki kami pun seret dan banyak anakbuah kami yang keluar dari gerombolan untuk mencari mata pencaharian lainnya. Maka ketika kami terima ajakan Te-liong Hiangcu, kami pun memutuskan untuk bergabung."

"Keputusan yang pintar," sambut Pek-ji. "Dulu kita juga bersama-sama bekerja di bawah Te-liong Hiangcu dan kemudian terbukti bahwa kekuatan kita saat itu amat ampuh untuk menandingi kekuatan Tong Wi-siang dan begundal-begundalnya seperti Ma Hiong, Oh Yun-kira, In Yong dan sebagainya. Karena itu kita sekarang baiknya bergabung lagi agar dapat mengulangi kejayaan masa lalu kita. Dan kita punya beberapa kawan baru yang tangguh."

"Benar juga ucapan itu, kelelawar busuk," kata Song Hian. "Eh, kudengar1 dua orang teman kita lainnya juga sudah bergabung denganmu lebih dulu. Hwc-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok dan Say-ya-Jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun. Kemana kedua bangsat itu, kenapa tidak muncul untuk menyambut sahabat-sahabat mereka ini?"

Liong Pek-Ji mengerutkan alis dan menjawab, "Mereka kurang beruntung. Beberapa waktu yang lalu Hiangcu menugaskan mereka menyusup ke dalam laskar pemberontak Pangeran Cu Leng-ong dengan menyamar sebagai laskar biasa, tugas mereka ialah di medan perang harus membunuh seorang perwira Manchu bernama Tong Lam-hou. Tak terduga, bukan saja tugas mereka gagal, malahan nyawa mereka ikut kabur meninggalkan raga...”

"Tong Lam-hou?" tegas Tio Hong-bwe heran. "Anak itu memang hebat. Di sungai Yang-ce-kiang, kami berdua dengan dibantu Tong King-bun dan si setan ganas Hehou Im pernah mengeroyoknya berempat, toh kami tidak berhasil mengalahkan bocah itu. Ia memiliki pukulan hawa dingin yang sanggup membekukan darah, yang tak terlawan."

Mendengar tentang "pukulan hawa dingin" itu, tiba-tiba teringatlah Liong Pek-Ji akan sebuah pengalamannya di sebuah desa, dimana ia berhasil menakut-nakuti penduduk untuk setiap waktu tertentu menyerahkan korban seorang perawan untuk diisap darahnya sampai kering dan mati. Namun kemudian penguasaannya atas diri penduduk desa itu berentakan dengari munculnya seorang anakmuda yang berilmu tinggi.

Hanya dengan bertangan kosong saja maka pemuda itu sanggup melawannya dan mendesaknya, padahal ilmu Liong Pek-Ji sudah termasuk tingkat tinggi di dunia persilatan, beberapa tingkat lebih tinggi dari rekan-rekannya sesama bekas Tong-cu bawahan Te-liong Hiangcu seperti Tio Hong-bwe, Song Hian atau Hehou Im di Pak-khia. Namun saat itu ia dan anak-buahnya tidak berdaya melawan anak muda yang pukulannya membawa hawa amat dingin sehingga banyak anak buahnya yang mati beku, dan la seridiri terpaksa kabur demi keselamatannya.

"Jadi yang kulawan di dekat kuburan kuno itu adalah anak muda bernama Tong Lam-hou, yang belakangan ini namanya menanjak cepat mensejajari nama besar Pakklong Liong Panglima Pasukan Naga Terbang itu?" tanya Liong Pek-Ji seakan-akan kepada dirinya sendiri. "Jadi orang itu pulalah yang beberapa kali ingin dibunuh oleh Te-liong Hiangcu namun gagal itu? Pantas aku..."

Hampir saja si Kelelawar Penghisap Parah itu mengucapkan "pantas aku dikalahkannya" namun kalimat itu cepat ditelannya kembali sebab ia agak malu juga di hadapan teman-teman lamanya maupun di hadapan para penjaga jembatan batu itu. Cuma Tio Hong-bwe dan Song Hian sudah maklum sehingga mereka hanya bertukar senyuman saja.

"Jadi teman-teman kita Tong King-bun dan Seng Cu-bok itu tewas oleh anak muda bernama Tong Lam-hou itu pula?" tanya Song Hian mengalihkan percakapan.

"Bukan" sahut Liong Pek-Ji. "Meskipun merekapun pernah hampir mati karena tangan Tong Lam-hou, namun menilik mayat-mayat mereka yang tinggal tulang-tulang itu, besar kemungkinan mereka mati karena dipaksa menelan Racun Penghancur Tubuh, padahal Tong Lam-hou tidak mungkin memiliki ramuan itu meskipun la adalah anak Tong Wi-siang."

"Racun Penghancur Tubuh?" tanya Tio Hong-bwe dan Song Hian serempak dengan wajah agak memucat.

Untuk merangkul agar Tio Hong-bwe dan Song Hian agar lebih setia kepada komplotannya, maka Liong Pek-ji sengaja menakut-nakuti kedua orang itu, "Besar dugaannya yang melakukan hal itu atas diri Tong King-bun dan Seng Cu-bok adalah Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin, salah satu dari mereka atau kedua-duanya. Kau dengar tidak bahwa kedua saudara seperguruan Te-liong Hiangcu itu sudah muncul kembali dari persembunyian mereka selama berpuluh tahun, dan mereka mulai berkeliaran untuk mencari pengikut-pengikut Te-liong Hiangcu yang mereka anggap berkhianat kepada Hwe-liong Pangcu Tong Wi siang itu, termasuk kita adalah sasaran mereka. Bahkan Thian-liong Hiangcu sudah berhasil menghimpun kekuatan yang setia kepada Hwe-liong Pangcu dan mengadakan upacara besar kebangkitan kembali Hwe-liong-pang di puncak Tiau-im-hong, meskipun upacara itu gagal memilih Ketua baru karena si calon Ketua baru tidak hadir, namun kekuatan yang setia kepada Tong Wi-siang itu sudah terhimpun rapi. Dan untuk menghadapinya kitapun harus berhimpun, bukan berdiri sendiri-sendiri untuk mudah dipatahkan."

Tio Hong-bwe dan Song Hian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ngeri juga perasaan mereka kalau mengingat bahwa nyawa mereka sedang diincar oleh pengikut-pengikut setia Hwe-liong Pangcu yang ingin membalas dendam atas keruntuhan Hwe-liong-pang dulu.

"Marilah segera masuk ke dalam untuk menemui Huangcu,” ajak Liong Pek-Ji kepada teman-teman lamanya itu.

Rupanya kedudukan Liong Pek-Ji memang istimewa, bahkan la sering disebut-sebut sebagai tangan kanannya Te-liong Hiangcu, penguasa komplotan itu, maka ia dapat masuk begitu saja tanpa menunjukkan lencana besi itu. Bahkan para pengawal jembatan batu itu memberi hormat sambil menganggukkan kepala mereka.

"Apakah adik-adik seperguruanku sudah datang?" tanya Liong Pek-ji kepada seorang pengawal Jembatan.

Sahut pengawal jembatan itu, "Sudah, Liong Tongcu."

"Mereka membawa tawanan perempuan itu?”

"Benar, Tongcu, dibawa dalam kereta tertutup."

Liong Pek-ji tertawa seram, "Bagus. Dulu semasa mudanya Tong Wi-lian selalu merintangi langkah-langkahku dan bahkan membunuh beberapa temanku. Kini ia harus merasakan bagaimana pedihnya seorang ibu yang kehilangan puteri satu satunya itu..."

Lalu Liong Pek-Ji, Tio Hong-bwe, Song Hian dan rombongannya ltupun melintasi jembatan batu itu dan menghilang ke dalam bangunan besar di tengah telaga itu.

Di pohon tempat persembunyiannya, Sebun Him diam-diam merasa bergetar jantungnya. Yang ada di hadapannya itu benar-benar sebuah sarang komplotan yang penuh dengan orang-orang berilmu tinggi. Dari cara mereka berbicara, agaknya Tio kong-bwe dan Song Hian itu sederajat dengan Liong Pek-ji, sedangkan Liong Pek-ji sendiri menurut penilaian Sebun Him adalah berkepandaian lebih tinggi dari dirinya sendiri, dilihat dari caranya meloncat keluar ketika menemui rombongan bajak sungai Yang-ce-kiang tadi.

Tapi Sebun Him juga merasa beruntung bahwa tepat pada saat la menemukan sarang komplotan yang membayangi dunia persilatan itu, komplotan itu agaknya sedang mengadakan pertemuan dengan orang-orangnya yang tersebar di beberapa tempat. Maka Sebun Him berpikir,

"Cukup dengan menunggui ujung jembatan ini, aku akan bisa melihat siapa saja yang datang ke tempat ini. Dengan demikian bisa kuketahui kelak siapa saja orang-orang dunia persilatan yang termasuk dalam anggota komplotan ini. Ha-ha, jika hal ini bisa kubongkar di depan umum kelak, entah akan bagaimana terkenalnya namaku."

Memang dari situ Sebun Him dapat melihat betapa satu demi satu unsur-unsur pendukung kekuatan Te-liong Hiangcu berdatangan dengan menunjukkan lencana besi supaya diperbolehkan masuk ke bangunan besar itu. Darah Sebun Him serasa mendidih ketika melihat dua orang musuh pembunuh ayahnya muncul pula, yaitu Kiu-bwe-soa Leng Hok-hou dan si paderi berpakaian mewah Sin-bok Tojin bersama beberapa teman mereka yang nampaknya juga garang-garang.

Tapi Sebun Him harus mengendalikan dirinya. Ia tahu bahwa muncul di saat itu sama saja dengan membunuh diri, karena itu ditahankannya kemarahannya kuat-kuat, toh dilain waktu la masih bisa mengejar kedua orang itu. Berturut-turut muncul Tang Kiau-po yang berjulukan Ang-mo-coa-ong yang pernah dilihat Sebun Him di Hoa-san-pay lalu Jian-ki-am-hui-ci (Si Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian, dan yang paling mengejutkan adalah ketika Sebun Him melihat Susiok-cou nya sendiri Yo Ciong-wan, salah seorang sesepuh yang sangat dihormati di Hoa-san-pay dan digelari sebagai Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) itu ternyata juga muncul di situ, rasanya seperti mimpi saja tapi itu adalah kenyataan.

Dengan gigi gemeretak menahan rasa geram, Sebun Him melihat bagaimana sesepuh Hoa-san-pay itu mendekati para pengawal jembatan sambil mengangkat tinggi-tinggi lencana besinya dan berseru, "Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san datang memenuhi undangan Te-liong Hiangcu!"

"Pantas segala gerak-gerik orang-orang Hoa-san-pay kami selalu dapat ditebak oleh musuh, kiranya ada musuh dalam selimut dalam perguruan kami," geram Sebun Him di dalam hatinya dengan kemarahan yang meluap. "Kalau begitu perjalanan Auyang Susiok (maksudnya Auyang Seng) menuju ke timur Hoa-san pun itupun agaknya bukan jalan yang mulus licin tanpa rintangan."

Melihat Yo Ciong-wan, Sebun Him sama marahnya dengan ketika melihat Kiu bwe-coa Leng Hok-hou serta Sin-bok Hwe-shio tadi, sebab boleh dikatakan Yo Ciong-wan menjadi penyebab kematian ayahnya pula biarpun tidak secara langsung. Dan Sebun Him kini mengerti pula kenapa sebelum la dan ayahnya meninggalkan Hoa-san-pay dulu, Yo Siong-wan menemuinya di pinggang gunung dan menakut-nakutinya.

Setelah Yo Ciong-wan, masih berdatangan pula tokoh-tokoh lainnya. Dan setiap kali pula jantung Sebun Him bergetar karena setiap kali mereka menyebutkan nama sendiri maka yang disebutkan itu bukannya nama kaum keroco melainkan nama tokoh-tokoh terkenal, dari golongan lurus maupun golongan sesat. Sungguh sulit dipercaya bahwa banyak tokoh yang bernama harum itu ternyata sudah menjadi anggota komplotan Iblis pimpinan Te-liong Hiangcu ini. Pikir Sebun Him,

"Dunia persilatan benar-benar dalam bahaya tanpa mereka sadari. Kekuatan komplotan Ini ternyata harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh, bahkan oleh perguruan-perguruan yang kuat dan beranggota banyak seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sekalipun."

Ketika matahari terbenam, orang-orang yang mengalir berdatangan mulai susut, dan bahkan tidak ada lagi. Kini yang dipikirkan oleh Sebun Him ialah cara bagaimana ia menemukan cara untuk menyelundup masuk ke dalam bangunan di tengah telaga itu. Berenang adalan tidak mungkin sebab dagingnya akan habis digerogoti ikan buas itu menerjang langsung lewat jembatan itu juga tidak mungkin sebab pengawal jembatan itu ada hampir limapuluh orang. Jumlah yang tidak terlawan olehnya sendiri, apalagi jika dari dalam bangunan muncul bala bantuan.

Timbul pikiran Sebun Him untuk membuat rakit dari batang-batang pohon di tepian itu, namun pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Selama ia menebang pohon dan mengayam rakit itu maka jejaknya pasti akan diketahui lebih dulu, sebab di hutan itupun berkeliaran orang orang dari pihak musuh. Bahkan dalam gelapnya malam maka panah ataupun sumpit mereka akan lebih susah dijaga daripada kalau siang hari. Mau tidak mau Sebun Him jadi pusing juga memikirkan bagaimana caranaya masuk.

Tengah Sebun Him mencari akal dan malam pun semakin gelap, tiba-tiba di sisi lain dari telaga itu terdengar suitan tiga kali berturut-turut yang nampaknya merupakan suatu isyarat, kemudian terdengar pula suara tertawa yang menggelegar terbahak-bahak serta suara teriakan kesakitan entah kematian berturut-turut.

Keruan keadaan jadi gempar, orang-orang berlari-larian ke sana kemari dengan senjata terhunus. Pintu gerbang dari bangunan di tengah telaga itupun nampak terpentang lebar dan dari dalamnya membanjir keluar orang-orang yang berbaju hijau daun.

"Apa yang terjadi?!" teriak seorang pengawal yang agaknya kedudukannya agak tinggi. "Siapa yang berani mati untuk mengadakan pengacauan di Kui-kiong (Istana Iblis) ini?!"

Namun yang ditanya tidak bisa menjawab, sementara suitan-suitan permohonan bantuan masih terdengar di sana-sini. Agaknya istana di tengah telaga buatan yang disebut Kui-kiong itu mengalami serangan dari musuh.

"Berpencar!" teriak seorang yang berewokan kepada pengawal-pengawal lain nya. "Tumpas siapa saja yang berani mengacau Kui-kiong!"

Saat itulah seorang berbaju hijau daun muncul mendekati ujung jembatan itu dengan langkah terhuyung-huyung dan tangan kirinya mendekap dadanya yang berdarah. Tangan kanannya membawa tombak namun hanya diseretnya saja, seakan tenaga untuk mengangkatnyapun sudah tidak ada lagi.

"Siapa kau?" bentak pengawal berewokan itu.

"Ciu Sam dari kelompok sebelas," sahut orang yang luka itu. "Cepat bantu teman-teman di sisi utara, musuh amat tangguh!"

Biasanya orang-orang dari Kui-kiong malang-melintang dan main bunuh semaunya tanpa ada yang kuasa mencegahnya, maka marahlah pemimpin berewokan itu mendengar ada pihak lain yang berani menyerbu sarangnya. Geramnya, "Ada orang-orang bosan hidup agaknya, berapa ribu jumlah mereka sehingga kailan sampai minta bala bantuan?"

"Hanya seorang..." sahut orang yang bernama Ciu Sam itu.

Keruan orang-orang Kui-kiong yang berkerumun di mulut jembatan itu terkejut bukan kepalang mendengar jawaban di luar dugaan itu. "Hanya seorang dan mampu memaksa kalian yang puluhan orang ini untuk bersuit-suit minta bantuan? Dia itu iblis atau malaikat? Atau manusia bertangan enam dan berkepala tiga?"

"Bukan, dia hanya manusia yahg berkepala satu dan bertangan dua, tapi kebetulan manusia itu bernama Siangkoan Hong..."

Nama itu memang bagaikan seratus halilintar yang meledak bersama di pinggir kuping orang-orang Kui-kiong itu. Biasanya mereka membuat gentar orang lain dengan kegarangan mereka, tapi kini merekalah yang menggigil mendengar disebutnya nama Siangkoan Hong itu. itulah sebuah nama yang jauh lebih menakutkan daripada iblis manapun juga. Adik seperguruan ketiga dari mendiang Hwe-liong Pangcu yang menjadi musuh bebuyutan Te-liong Hiangcu dan karenanya juga menjadi musuh Kui-kiong.

Sesaat orang itu kebingungan harus berbuat bagaimana menghadapi Siangkoan Hong, akhirnya la mengambil kepu-tusan, "Semuanya ikut aku. Betapapun saktinya Siangkoan Hong, jumlah kita yang amat banyak akan mempengaruhinya pula, dan kau Ciu Sam, masuk untuk memanggil para Tongcu, kalau perlu Hiangcu sendiri untuk menghadapi Siangkoan Hong."

"Baik...!" sahut Ciu Sam.

Sementara itu orang berewok dan anak buahnya segera berlari-lari menuju ke arah suara pertempuran itu. Biarpun hati gentar harus menghadapi Siangkoan Hong, tapi jika tidak melawan malah akan lebih payah lagi sebab mereka akan menghadapi hukuman yang mengerikan yang bakal dijatuhkan oleh Te-liong Hiangcu. Melawan Siangkoan Hong mungkin akan mati tapi secara langsung dan hanya dengan sedikit penderitaan, sedang mati karena dihukum oleh Te-liong Hiangcu akan lebih dulu mengalami penderitaan yang belum pernah terbayangkan.

Sementara itu, Sebun Him melihat orang yang terhuyung-huyung itu menuju ke pintu gerbang, maka ia pun mendapat akal. Cepat-cepat ia meloncat turun dan mendekati orang itu, karena baju Sebun Him masih baju yang diambilnya dari salah seorang korbannya tadi, yaitu baju berwarna hijau daun yang merupakan seragam Kui-kiong, maka ia tidak dicurigai.

Sambil tertawa Sebun Him mendekati Ciu-sam sambil menyapa, "Ciu Toako, kau terluka? Mari aku antar ke dalam...!"

"Aku bisa berjalan sendiri!" bentak Ciu Sam angkuh. Melihat Sebun Him maka Ciu Sam mengira bahwa anak muda itu adalah seorang anggota rendahan yang belum dikenalnya agar cepat meningkat kedudukannya. Karena itu Ciu Sam bersikap seangkuh mungkin. Kalau tidak ingat dirinya ingin masuk ke sarang komplotan itu, ingin rasanya Sebun Him mendorong penjahat rendahan itu masuk ke telaga, supaya menjadi umpan ikan-ikan buas itu. Tapi Sebun Him tidak melakukannya, dia membutuhkan orang itu sebagai "kendaraan” untuk masuk ke Kui-kiong.

Kata Sebun Him sambil menyengir lagi, "Kalau begitu, maafkan aku, aku hanya ingin menemani Ciu Toako sebenarnya eh, sebenarnya bagaimana asal mulanya kejadiannya?”

Sahut Ciu Sam membual, "Meskipun iblis yang bernama Siangkoan Hong itu sakti luar biasa, sebenarnya aku tidak gentar. Tapi dia menyerangku dari belakang dengan licik, tentu saja aku tidak sempat bersiap. Padahal kau tahu siapa diriku?"

"Aku belum pernah mendengar riwayat Ciu Toako, tetapi tentu hebat sekali juga Toako mau menceritakannya kepadaku," Sebun Him berusaha menyenangkan hati orang itu sambil berjalan di sampingnya untuk menuju ke pintu gerbang.

Senang hati Ciu Sam mendengarnya, dan sambil berjalan diapun mulai bercerita bagaimana seekor harimau yang sebesar kerbau ia pegang ekornya dan ia putar-putarkan lalu dibenturkan ke sebuah pohon sehingga pohonnya roboh dan sekaligus harimau itu pecah kepalanya. Lalu bagaimana ia pernah menerjang hujan panah musuh dengan memutar goloknya sampai kesiur anginnya saja sanggup menghalau datangnya panah.

Sebun Him mendengarkannya sambil berjalan dan sekali-sekali berseru penuh kekaguman, meskipun dalam hatinya la tidak percaya sedikitpun. Mereka tiba di pintu gerbang, ketika Sebun Him menengadah, tampaklah dua huruf besar berwarna merah darah terukir di atas pintu gerbang yang tebal itu, bertuliskan Kui-kiong. Karena Ciu Sam memang kenal dengan salah seorang penjaga pintu gerbang itu, maka diapun diijinkan masuk dan Sebun Him yang berseragam sama dengan orang-orang Kui-kiong itupun ikut masuk saja dengan gaya yang wajar.

"Bagaimana dengan pengacau itu?" tanya salah seorang penjaga gerbang, "Sudah dapat diatasi atau belum?"

“Pengacau itu benar-benar lihai," sahut Ciu-Sam. "Ia sanggup menahan sepuluh jurus ilmu tombakku dan bahkan karena kelengahanku sendiri maka aku kena dilukai olehnya. Saat ini Beng Toako sedang memimpin orang untuk mengusir pengacau itu. Aku sendiri akan menemui tabib Hin untuk minta obat luka."

"Baik, cepatlah."

"Biar aku antar Ciu Toako," kata Sebun Him, ketika melihat Ciu Sam hampir saja mengucapkan keberatannya maka Sebun Him pun buru-buru mengungkit kelemahan Ciu Sam yang gila pujian itu. "Memang Ciu Toako telah bertempur dengan gagah perkasa, la patut menjadi contoh bagi kita semua...!"

Setelah berada di balik pintu gerbang itu, maka Sebun Him pun tercengang melihat betapa indah dan besarnya sarang komplotan Kui-kiong itu. Tadinya la mengira sebagai sarang komplotan tentu akan kotor dan acak-acakan, namun ternyata sebaliknya. Hanya saja, suasana seram terasa di bangunan yang besar itu.

Mereka menuju ke tempat tabib yang dipanggil Hin Sinshe itu. Sebuah pojokkan yang tak berarti terjepit dikemegahan bangunan itu. Ketika pintu diketuk dan dibukakakn oleh seorang tua yang agak bungkuk, maka Sebun Him tak dapat lagi menahan luapan kebenciannya kepada orang-orang Kui-kiong yang membunuh ayahnya itu. Tubuh Ciu Sam tiba-tiba didorongnya dengan keras sampai jatuh terjerembab di dalam ruangan itu, dan Sebun Him sendiri, segera meloncat masuk, menutupkan kembali pintunya dan menghunus pedang.

Keruan Ciu Sam terkejut sedang tabib tua itu menggigil ketakutan. "Sia...siapa kau?" tanya Ciu Sam.

Sahut Sebun Him dingin, "Sebun Him putera Sebun Siang dari Hoa-san-pay. Aku diutus Giam-lo-ong (Raja Akherat) untuk mencabut nyawa orang Kui-kiong sebanyak-banyaknya."

Ciu Sam terkejut dan sadar bahwa orang yang menyamar sebagai anak buah itu ternyata adalah musuh yang menyelinap masuk. Dengan gerakan yang cukup cepat la mengangkat tombaknya dan hendak menyerang, tapi gerakan itu terlalu lambat bagi Sebun Him yang tengah murka itu. Ujung pedangnya bergerak lebih cepat dan mengakhiri hidup Ciu Sam.

Tabib tua itu gemetar, dan menilik sikapnya dia agak tidak mengerti ilmu silat sedikitpun. Ketika Sebun Him melangkah mendekatinya, maka ia cepat-cepat berlutut sambil meratap, "Jangan bunuh aku... meskipun aku berada di Kui-kiong tetapi aku hanya dipaksa... dipaksa bekerja untuk mereka. Aku bukan bagian dari mereka..."

"Baik. Aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus menjawab apa saja yang kutanya!" gertak Sebun Him.

"Baik... baik... tapi bagaimana kalau yang tuan tanyakan itu tidak kuketahui?"

"Asal kau memang benar-benar tidak tahu, aku tidak akan memaksamu bertanggung jawab, apakah pemimpin Kui-kiong yang dipanggil dengan sebutan Teliong Hiangcu itu ada di sini dan dimana tempatnya?”

"Aku tidak tahu kapan Te-liong Hiangcu di sini atau tidak, semua anak buahpun tidak tahu, bahkan Liong Tongcu yang paling dekat dengan Te-liong Hiangcu itu. Ia muncul kapan ingin muncul dan menghilang kapan ingin menghilang, entah bagaimana caranya."

Sebun Him mengangguk percaya, tabib tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh. Tanyanya lagi, "Kenapa Te-liong Hiangcu mengumpulkan tokoh-tokoh tangguh sebanyak itu apakah akan mengadakan gerakan besar?"

"Tidak tahu, benar-benar tidak tahu."

Masih banyak lagi pertanyaan yang dijawab dengan "tidak tahu” oleh tabib itu. Yang dijawab dengan memuaskan paling-paling hanyalah letak tempat-tempat tertentu di lingkungan Kui-kiong itu. Agaknya tabib itu tidak pernah melangkah keluar dari Kui-kiong dan urusan di luaran la tidak tahu sama sekali.

Betapapun tidak puasnya Sebun Him, tapi ia tidak bisa memaksa tabib itu untuk memberi keterangan lebih lanjut. Akhirnya ia menotok tabib itu sehingga tak bergerak dan menyembunyikan mayat Ciu Sam, lalu keluar dari ruangan itu. Ia memperhitungkan, andaikata nanti ada orang yang menemukannya dan tahu bahwa Kui-kiong sudah kesusupan musuh, ia dengan mudah akan dapat menyelamatkan diri dengan membaurkan diri di antara anakbuah Kui-kiong. Sebab anak-buah Kui-kiong yang berjumlah ratusan orang itu datang dari berbagai tempat dan tidak semuanya saling mengenal.

Kini Sebun Him berjalan dengan santainya sambil memanggul pedangnya, kalau bertemu dengan beberapa orang Kui-kiong lainnya maka dia hanya menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata tak ada yang mencurigainya.

Tapi ketika la sedang melangkah di sebuah halaman untuk mencari di mana ditawannya Ting Hun-giok, iapun terkesiap ketika melihat dari arah depan berjalanlah dua orang ke arahnya. Mereka adalah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan yang menjadi sesepuh Hoa-san-pay itu, dan yang seorang lagi adalah Jian-kiam-hui-ci atau Tikus Terbang Seribu Pedang Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay.

Mereka adalah tokoh-tokoh golongan lurus yang entah bagaimana telah terikat masuk ke dalam Kui-kiong dan menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu. Sebun him merasa geram, tapi ia tahu diri bahwa la bukan tandingan salah satu dari mereka, apalagi kedua-duanya, maka ia lebih suka menyingkiri mereka yang sudah mengenali dirinya.

Jalan itu tidak bercabang, hanya ada sebuah pintu yang di atasnya sempat terbaca tulisan indah "Ruang Seni", tanpa pikir panjang lagi Sebun Him mendorong pintu itu dan masuk ke dalamnya. Di balik pintu didengarnya langkah Yo Ciong-wan dan Ki Peng-sian semakin dekat, dan celakanya mereka berhenti di depan ruangan itu, dan malah duduk di bangku batu yang terdapat di situ dan bercakap-cakap dengan asyiknya.

Dengan demikian Sebun Him telah "terkunci" di tempatnya itu tanpa bisa keluar, sebab kalau keluar berarti akan kepergok dan itu berarti kematian-lah bagiannya. Kui-kiong yang menjaga ketat rahasia komplotannya itu tentu tidak akan membiarkan hidup seseorang yang berani berkeluyuran seenaknya saja di sarang mereka.

Dalam bingungnya, Sebun Him melihat di situ masih ada dua pintu lagi yang masing-masing diberi tanda "ruang seni lukis" dan "ruang seni patung" dan daripada berdiam di situ saja tanpa bisa berkutik sampai orang-orang yang bercakap-cakap itu pergi sendiri, maka dengan nekad Sebun Him menerobos ke pintu yang bertuliskan "ruang seni patung" itu.

Begitu pintu terbuka, bau yang tajam dari sejenis obat pengawet mayat segera menerjang hidung Sebun Him dan membuatnya terkejut. Ruangan itu cukup luas dengan beratus-ratus patung di dalamnya, namun hanya diterangi beberapa batang lilin yang sama sekali tidak sebanding dengan luasnya ruangan, sehingga suasana di situ hanya remang-remang saja. Entah kenapa, bulu kuduk Sebun Him langsung merinding ketika berada dalam ruangan itu, dan la mulai memperhatikan patung-patung itu satu demi satu.

Ratusan patung itu terdiri dari macam-macam manusia dan macam-macam kegiatannya pula, semuanya seukuran manusia tepat. Ada imam atau pendeta yang sedang berdoa, bersilat dengan macam-macam senjata, dan juga petani yang sedang mencangkul atau menanam padi, seregu kecil prajurit yang sedang berbaris dan sebagainya.

Di bagian lain Sebun Him menemukan serentetan patung yang membuat wajahnya menjadi merah, sebab rentetan patung itu menggambarkan urut-urutan sepasang mempelai mulai dari bersembahyang di depan meja sembahyang, memberi hormat dan menyuguhkan teh kepada orang tua, sampai apa yang dilakukan pengantin baru di kamar tertutup, semuanya dipatungkan dengan nyaris sempurna.

Di deretan lain Sebun Him menemukan patung-patung para tokoh rimba persilatan terkemuka, dengan gayanaya masing-masing, dan di antara mereka terdapat patung Giok-seng Tojin dari Hoa-san-pay dan He Keng-iiang dari Ho-llan-pay.

"Rupanya pemilik ruangan seni itu mengagumi juga paman-guru Giok-seng sehingga membuatkan sebuah patung untuknya, tapi entah kenapa la selalu mengganggu Hoa-san-pay dengan memperalat He Keng-liang untuk mengambil Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu?" demikian Sebun Him.

Selama berkeliling di ruangan itu dan melihat patung-patung yang mirip manusia-manusia asli itu, Sebun Him heran bahwa hidungnya selalu diganggu oleh bau yang mirip ramuan pengawet daging seperti di rumah para pemburu, dan di beberapa bagian ia bahkan mencium bau yang agak busuk. Suatu ketika, karena rasa ingin tahunya maka ia memegang salah sebuah patung untuk mengetahui dari apa dibuatnya, dari keramik atau lilin atau badan lain.

Dan alangkah terkejutnya ia ketika tahu bahwa patung-patung itu sendiri sebenarnya adalah manusia-manusia asli yang telah diawetkan, di beberapa bagian bahkan obat pengawetnya mulai luntur dimakan waktu sehingga patungnya mulai membusuk.

Setabah-tabahnya hati Sebun Him, mual juga rasanya menemui kenyataan itu, ini bukan ruangan seni patung tetapi ruangan mayat. Ratusan "patung"disitu adalan mayat-mayat semuanya! Hanya orang gila atau orang berjantung iblis saja yang sanggup menciptakan hasil karya sebiadab itu, dan dari sini pula Sebun Him tahu bahwa Te-liong Hiangcu si majikan Kui-kiong ini benar-benar penjelmaan asli dari sang iblis sendiri.

Dengan bulu seluruh tubuh yang bergidik dan pertu menahan rasa mual, Sebun Him setengah sadar berlari menuju ke pintu untuk meninggalkan ruangan penuh mayat itu. Rasanya ia lebih suka dibantai oleh pedang Yo Siong-wan atau Ki Peng-sian daripada dalam ruangan seram dengan ratusan mayat-mayat yang tentu mati penasaran itu. Pantas saja sejak tadi ia mencium bau obat pengawet bercampur bau busuknya mayat.

Tapi begitu la mencapai pintu, hatinya seakan-akan disiram seguci air es karena kagetnya, pintu itu terkunci dari luar dan tak dapat dibukanya. Bahkan ia telah mendobraknya sekuat tenaga, tapi pintu terbuat dari kayu tebal yang pinggiran-pinggirannya dilapis besi. Terjangan-terjangan Sebun Him yang bertenaga raksasa sampai dijuluki "Beruang dari Barat" itupun tidak membuat pintu bergeming.

Anak muda itu semakin panik ketika satu persatu lilin dalam ruangan itu tiba-tiba meredup sendiri sehingga ruangan itu makin gelap, dan akhirnya gelap sama sekali sehingga yang ada di depan matanya cuma warna hitam pekat tanpa setitik cahayapun. Dengan gugup Sebun Him meraba-raba ke samping kiri, namun telapak tangannya mengenai sebentuk wajah yang dingin dari salah satu patung itu. Ia menjerit tertahan dengan menarik tangannya.

Lalu terdengar tertawa seram di ruangan itu, dan Sebun Him merasa di sekelilingnya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang yang hilir mudik, dekat sekali, dengan tangan yang basah oleh keringat dingin la mencabut pedangnya dan menyabet-nyabetkan kesana kemari. Tapi pedangnya tak menyentuh apapun di kegelapan itu, dan derap kaki itupun masih juga terdengar dekat sekali, berpadu dengan suara tertawa seram yang tak henti-hentinya.

Dalam takutnya Sebun Him menjadi nekad, teriaknya, "Setan alas! Setan gentayangan! Kau kira aku takut kepadamu? Hayo tampakkan dirimu supaya bisa kubabat lehermu...!"
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 31

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 31

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
MENJELANG tengah malam, Im Yao muncul di keretanya dan memberikan beberapa buah totokan yang membuat Ting Hun-giok lemas dan tak dapat menggerakkan tubuhnya. Tapi jalan darah ah-hiat nya tidak ditotok sehingga gadis itu masih tetap bisa berbicara.

"Kau masih belum percaya kepadaku?" tanya gadis itu.

Sahut Im Yao dingin, "Tidak akan pernah. Kau tawanan kami dan harus kami jaga sebaik-baiknya, sebab sudah terbukti maksud jahatmu di mata air tadi. Kau berusaha melemahkan hatiku, untuk mencari kesempatan kabur."

"Dan hatimu benar-benar menjadi lemah?"

"Sudah lama aku tidak mempunyai hati." Ting Hun-glok tertawa mendengar jawaban yang aneh dan dibuat-buat itu, yang ingin kedengaran seseram mungkin tapi malahan mirip lawakan. Suara tertawanya berhenti ketika Im Yao membentak, "Jangan tertawa seperti kuntilanak! Kupenggal lehermu nanti!"

Ting Hun-giok kemudian memejamkan matanya untuk tidur, dan sesaat lamanya Im Yao masih memandangi wajah yang terlelap itu dengan daya pesona yang tak terlukiskan. Namun kemudian ia menggoyangkan kepalanya keras-keras untuk mengusir semua angan-angan cengeng itu dari pikirannya.

Ketika Ting Hun-giok terlelap dalam mimpi dan tidak tahu berapa lama ia sudah tertidur, tiba-tiba la merasa ada seseorang yang menindih tubuhnya. Dan ada hembusan napas seperti napas kerbau yang sedang menarik bajak di sawah menghembus-hembus di wajahnya, dan sepasang tangan menggerayangi pakaiannya untuk berusaha melepaskan pakaiannya. tentu saja Ting Hun-giok terkejut bukan kepalang, la hendak meronta tapi tubuhnya masih tak dapat bergerak karena tertotok.

Sementara terdengar bayangan hitam yang menindihnya itu berkata di sela-sela deru napasnya, "Jangan melawan, kau hanyalah sok alim. Kalau kau mau dengan Im Lotoa di tepi mata-air itu, tentu kau juga harus mau denganku. Jangan berteriak supaya tidak kucekik mampus kau."

Ting Hun-glok mengenal suara itu, suara Pui In-bun, orang yang paling dibencinya diantara anggota rombongan orang-orang Kui-kiong itu. Maka tak peduli ancaman Pui In-bun, Ting Hun-giok-menjerit sekeras-kerasnya. Pui In-bun terkejut. Jarinya baru saja bergerak hendak menotok Jalan darah ah-hiat di tubuh gadis itu, tahu-tahu mulut si gadis sudah lebih dulu terbuka dan mengeluarkan teriakan keras itu. Dan kesialan buat Pui In-bun yang berikutnyapun muncul.

Sesosok tubuh hitam bagaikan bayangan setan tiba-tiba muncul di pintu kereta, dan dengan sekali ulur maka tubuh Pui In-bun itu pun tercengkeram tengkuknya seperti seekor anak kucing saja. Detik berikutnya tubuh Pui In-bun sudah terbanting keras di tanah yang berbatu-batu sehingga la menyeringai kesakitan karena punggungnya sakit.

Lalu dengan muka merah padam la meloncat bangun sambil mengnunus pedangnya, namun wajahnya itu berubah menjadi pucat ketika terdengar suara dingin, "Bagus, kau sudah menghunus pedangmu dan dengan demikian kita akan bertarung sampai mati."

Ternyata Im Yao lah yang membanting Pui In-bun tadi, dan kini orang bermuka dingin ltupun sudah siap dengan pedang ditangannya. Bagaimanapun marahnya Pui In-bun, namun, la tidak berani melayani tantangan duel Im Yao itu. Ia tahu dirinya akan mati dan ia terlalu takut untuk itu, masih banyak kesenangan duniawi yang belum puas dirasakannya dan ia tidak mau mati sekarang.

Karena itu diapun cepat-cepat Menyarungkan pedangnya, sehingga Im Yao berteriak, "Kenapa kau simpan pedangmu? Bukankah kau sudah berani melanggar pesan toasuheng agar tidak mengganggu gadis itu. sehingga kaupun tentunya berani menangung segala akibatnya? Ayo cabut pedangmu dan berkelahi dengan aku!"

"Tidak" sahut Pul In-bun dengan menebalkan mukanya. "Kau pengecut!"

Wajah Pui In-bun semburat merah, namun dijawabnya dengan bandel, "Aku lebih suka menjadi pengecut yang hidup daripada pemberani yang mampus."

"Bangsat keturunan kura-kura!"

Demi melanjutkan umurnya apa boleh buat, Pui In-bun harus menahan caci maki itu. Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera membalikkan badan akan meninggalkan kereta itu, tapi Im Yao tidak membiarkannya. Lebih dulu disarungkannya pedangnya dan dengan tangan kiri la menyentakkan pundak Pui In-bun dari belakang sehingga tubuh si Jay-hoa-cat itu terputar, lalu tangan kanan Im Yao terayun berulang kali dengan cepatnya untuk menggampar muka Pui In-bun sampai muka itu setengah hancur. Pui In-bun sama sekali tidak berani membalas.

"Itu sebagai hukumanmu karena kau telah melanggar perintahku” kata Im Yao sambil mendorong tubuh Pui In-bun sehingga terhuyung-huyung dengan kepala pusing. "Juga peringatan untuk yang lain-lainnya. Lain kali hukumannya adalah penggal kepala!"

Semua anggota rombongan sudah terbangun pula karena terjadinya ribut-ribut itu. Namun tak seorangpun berani campur supaya kepala mereka tetap aman bertengger di leher mereka. Bahkan Im Kok yang adik kandung Im Yao itupuh memilih lebih baik bungkam saja.

Tapi Pui In-bun yang sudah kehabisan kesabaran itu berteriak marah, "Kau keterlaluan, Im Lotoa, kau kangkangi sendiri perempuan itu tanpa mempedulikan teman-temanmu! Dengan alasan bahwa Suhengmu membutuhkan perempuan itu maka kau larang siapa saja mendekatinya tapi kau sendiri dimata air telah memangsanya dan..."

Pui In terpental ketika sebuah jotosan Im Yao yang penuh kemarahan menghantam wajahnya dan meremukkan hidungnya. Dan dalam puncak kemarahannya maka tak terkendali lagi Im Yao mengungkapkan isi hatinya sendiri,

"Sekail lagi mulutmu berani menista gadis itu, kupenggal kepalamu, juga siapa saja yang melakukannya hal yang sama!”

Di dalam kereta, meskipun dalam keadaan tak bisa bergerak, Tlng Hun-giok menjadi sangat terharu mendengar ucapan Im Yao itu. Kali ini la tidak lagi berusaha menekan rasa harunya, dan merasa tidak perlu lagi menyembunyikan gejolak perasaannya. Dibiarkannya air matanya meleleh deras di wajahnya. Seorang penjahat besar seperti Im Yao ternyata semakin dekat dengan hatinya.

Ia seperti seorang anak yang hampir tenggelam di lautan, hampir putus-asa namun tiba-tiba melihat setitik harapan untuk kembali mencapai daratan dan lapun menggapai dengan perasaan penuh harapan bercampur takut kalau-kalau daratan yang dilihatnya itu hanya bayangan semu belaka, dan terkutuklah siapapun yang mematikan harapannya dengan alasan yang berlandaskan ayat-ayat agamawi sekalipun.

Ketika itu ketegangan di luar kereta itu sudah agak mengendor. Pui In-bun tidak berani membantah sepatah-katapun lagi, apalagi ketika Im Yao mengancam dengan suara yang bersungguh-sungguh, bukan saja kepada Pui In-bun tetapi kepada semua anggota rombongan,

"ingat, lain kali tidak ada peringatan lagi. Langsung kubunuh, melawan atau tidak melawan, bersenjata atau tidak bersenjata!"

Beberapa kepala mengangguk-angguk, dan keadaanpun mereda. Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan. Pui In-bun memakai sebuah caping yang tepinya diberi tudung kain tipis untuk menyembunyikan wajahnya yang babak-belur itu. Ia tidak berani lagi melirik kepada Ting Hun-giok, sebab kalau ia melihat kecantikan gadis itu tanpa bisa memilikinya, malah membuat penasaran saja.

Selama perjalanan beberapa hari menuju ke Kui-kiong itu, Ting Hun-gok benar-benar tidak berkesempatan sedikitpun untuk melarikan diri. Dan pasrah saja akan nasibnya yang kabarnya diminum darahnya mentah-mentah oleh Suheng Im Yao yang bernama Liong Pek-ji untuk memperkuat ilmunya itu. Semakin dekat ke Kui-kiong, semakin murunglah Ting Hun-giok, begitu pula Im Yao sendiri. Perasaan sedih Im Yao ini tidak pernah dirasakannya ketika dia dulu mengantarkan berpuluh-puluh gadis kepada Suhengnya untuk dihisap darahnya.

Selama perjalanan itu pula Ting Hun-giok semakin memahami Im Yao, dan semakin bersimpati, meskipun Im Yap sendiri selalu menyembunyikan perasaannya sendiri dengan cara bersikap segarang mungkin, membentak-bentak dan bahkan bersikap seakan-akan benar-benar hendak berbuat jahat kepada Ting Hun-Giok.

Namun nyatanya seujung rambutpun la tidak mengganggu gadis itu, menjerat dengan tali-tali batin yang halus dan mula-mula tak terasa tetapi semakin lama semakin tebal sehingga sulit untuk diputuskan. Ia penjahat yang dikutuk masyarakat, tapi hanya gadis itulah yang bersikap kepadanya sebagaimana terhadap sesama manusia yang sederajat.

Suatu sikap dan perhatian yang sebenarnya amat didambakannya, sejak la masih kecil, sejak la selalu ditinggal main judi oleh ayahnya dan ditinggal bekerja oleh ibunya. Kini ia sudah mendapatkannya, tapi aneh bahwa dia juga berusaha mati-matian untuk mengingkarinya sendiri.

Ketika perjalanan mendekati kota Leng-he, maka rombongan itu berbelok masuk ke sebuah jalan sempit yang diapit hutan, meninggalkan jalan raya yang menju kota Leng-he. Tanpa disadari oleh rombongan itu, sejak mereka keluar dari kota sebelumnya maka mereka sudah dikuntit oleh seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan memakai tudung bambu yang lebar.

Dialah Sebun Him, anakmuda dari Hoa-san-pay yang selama beberapa hari ini dengan susah-payah mencoba melacak jejak gadis yang diculik di kota Tiang-san itu. Selain ingin membersihkan namanya sendiri dari tuduhan sebagai penjahat pemetik bunga, rupanya Sebun Him juga tidak bisa melupakan gadis itu sehingga ia bertekad untuk menemukannya, mendahulukan dari membalaskan sakit hati ayahnya. Ia berharap jika penculik gadis itu bisa ditemukan maka sakit hati ayahnyapun bisa dibalas, sebab mereka berasal dari komplotan yang sama.

Tadi ketika Sebun Him duduk minum di sebuah kedai pinggir jalan yang tanpa dinding, dia melihat ada serombongan orang berkuda mengawal sebuah kereta tertutup. Tadinya ia tidak tertarik melihat rombongan itu, namun ketika melihat sebuah kepala menjenguk dari dalam kereta tertutup ltu berdesirlah hati Sebun Him, sebab kepala itu adalah kepala Ting Hun-giok si gadis yang diculik dan sedang dilacak jejaknya itu.

Sesaat berkobar semangat Sebun Him ingin menunjukkan kepahlawanannya dengan membabat habis rombongan orang-orang itu dan membebaskan si gadis. Bukankah itu perbuatan gegabah semacam itu bisa membuat nyawanya amblas percuma. Dia ingat kejadian di Tiang-an dimana kepandaiannya yang dianggapnya sudah tinggi untuk mengangkat nama itu, ternyata masih banyak saingannya dirimba persilatan yang keras.

Seorang Bu gong Hweshio yang bukan termasuk jago tertinggipun ternyata hampir saja mengalahkannya, dan kini la belum tahu sampai dimana kepandaian dari rombongan penculik yang mengawal kereta itu. Dan untunglah Sebun Him mengambil keputusan itu, sebab andaikata la nekad menerjang, maka sesungguhnya Tui-hun-hok Im Kok saja paling-paling baru dapat diimbanginya, belum lain-lainnya. Memang baru sebegitulah taraf kepandaiannya.

Dari kejauhan Sebun Him melihat rombongan itu berbelok masuk ke sebuah hutan, maka Sebun Himpun turut menyelinap ke hutan tapi dari sebelah lain. Dan baru saja ia maju beberapa langkah menerobos pepohonan, sebuah senjata rahasia tiba-tiba menyambarnya dengan kecepatan tinggi. Untung Sebun Him cukup tangkas menggunakan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Menganggukkan Kepala) untuk menunduk sehingga senjata rahasia itu hanya menghantam sebuah pohon di dekatnya.

Ketika melirik, maka dilihatnya senjata rahasia itu adalah jenis toh-kut-ting (paku penembus tulang) yang nampaknya bobotnya cukup mantap dan terbuat dari baja asii. itulah senjata rahasia yang harus dilempar kan oleh seseorang yang bertenaga cukup besar.

Sesaat lamanya Sebun Him tetap berjongkok di dalam semak-semak sambil matanya disapukan, ke sekelilingnya untuk melihat darimana datangnya sergapan gelap tadi. Sunyi. Yang nampak hanyalah pepohonan-pepohonan besar yang begitu rapat daunnya sehingga mampu menutupi sinar sang surya di tengah hari bolong itu.

Untuk memancing keluarnya si pembokong itu, Sebun Him pura-pura menampakkan sebagian tubuhnya namun dengan kewaspadaan yang tinggi sambil menajamkan pendengarannya setajam-tajamnya, betul juga, dengan suara berdesing kembali sebatang toh-kut-ting menyambarnya.

Kali ini Sebun Him berhasil menggerakkan tangannya begitu cepat sehingga tahu-tahu paku baja itu sudah terjepit di antara dua jari tangan kirinya, tapi kali ini Sebun him mengeluarkan teriakan tertahan seakan-akan ia benar-benar terkena oleh paku itu, dan la membanting tubuhnya ke semak-semak sehingga menimbulkan suara gemeresak. Pancingan Sebun Him kali ini berhasil. Si pelempar toh-kut-ting itu rupanya menduga bahwa lemparannya yang kedua itu telah mengenai sasaran, maka diapun melayang turun dari atas sebatang pohon berdaun rimbun.

Ia adalah seorang lelaki bertubuh pendek dan berbadan gempal, nampak kuat sekali, dan pakaiannya yang berwarna hijau daun itu membuat dia tidak nampak jika bersembunyi di atas pohon berdaun lebat. Tangannya memegang sebatang gada bergerigi, sementara dipinggangnya ada kantong kulit yang agaknya merupakan wadah paku-paku bajanya tadi.

Dengan langkah yang santai ia mendekati ke arah tubuh Sebun Him yang terbaring itu, ia sudah yakin sebagian besar bahwa korbannya itu tentu mati terkena pakunya, paling tidak luka parah. Namun begitu tinggal selangkah dari tubuh Sebun Him, ia merasa ada sesuatu yang kurang beres karena tidak melihat setetes darahpun tercecer di situ ataupun di tubuh Sebun Him. Ia sadar akan bahaya tapi terlambat. Sebun Him telah bangkit secepat kilat dan pedangnya tahu-tahu sudah terbenam di dada kiri orang itu tepat di jantungnya.

Orang itu membelalak, pandangan matanya semakin redup dan akhirnya padam sama aekali, tubuhnyapun terkulai dengan sebuah luka telak di jantungnya. itulah cara kerja Sebun Him yang diamuk dendam akan kematian ayahnya, keras dan tak kenal ampun, bahkan ia tidak tahu orang yang baru saja dibunuhnya itu dari pihak mana, pokoknya karena orang itu sudah menyerang lebih dulu maka ia merasa berhak untuk membalasnya.

"Apa boleh buat," desis Sebun Him sambil membersihkan pedangnya dengan dedaunan dan menyarungkan kembali. "Hutan ini agaknya menyimpan suatu rahasia yang mungkin ada kaitannya dengan komplotan pembunuh ayahku, dan aku harus berhasil menyelidikinya tanpa banyak keributan. Karena itu orang itu terpaksa harus aku bereskan."

Untuk langkah-langkah selanjutnya, Sebun Him sadar bahwa hutan itu ternyata dijaga, sehingga dia tidak bisa berjalan seenaknya saja. Hutan biasanya merupakan tempat yang bebas, tempat orang-orang boleh keluar masuk semaunya, namun jika sebuah hutan dijaga maka agaknya memang ada sesuatu yang patut disembunyikan di hutan ini. Inilah yang membuat perhatian Sebun Him tertarik.

"Sangat kebetulan kalau aku bisa menjumpai sarang gerombolan itu," desis Sebun Him dalam hati.

Maka diapun merayap dengan amat hati-hati setapak demi setapak sambil mempertajam pendengarannya. Di atas beberapa pohon memang terdengar suara napas manusia, menandakan di atas dahan-dahan itu ada orang yang bertengger mengawasi keadaan. Hal itu membuat Sebun Him makin berhati-hati, untunglah hutan itu cukup gelap karena rimbunnya dedaunan di atasnya, sehingga Sebun Him dapat merayap maju setapak demi setapak.

Penjagaan yang paling kuat ternyata adalah di sepanjang jalur di tengah hutan yang dilewati rombongan kereta tertutup itu. Di sepanjang jalur itu, di kiri kanannya, setiap beberapa langkah tentu ada orang yang menongkrong di atas pohon, yang kalau tidak dilihat dengan cermat tidak akan terlihat karena warna pakaian mereka sewarna dengan daun-daunan.

Bahkan ada pula yang bersembunyi di balik pepohonan. Rata-rata mereka selain membawa senjata-senjata biasa, juga membawa senjata jarak jauh seperti panah, sumpit, atau senjata-senjata rahasia dari berbagal jenis. Im Yao berkuda paling depan dengan tangan kanannya mengangkat tinggi-tinggi sebuah lencana kecil-yang terbuat, dari besi, sehingga ia dan rombongannya lewat tanpa banyak ganguan.

Sebun Him menarik napas dalam-dalam melihat semuanya itu. la tahu kini dia sudah ada di tengah-tengah sarang serigala, besar kemungkinannya tidak dapat keluar lagi dengan hidup-hidup. Tapi dengan keras kepala Sebun Him terus merayap maju dengan hati-hati, kalau la bisa keluar lagi dengan, hidup, maka namanya akan jadi terkenal, sesuatu yang didambakannya sejak dulu.

Ternyata penjagaan yang ketat hanya di sepanjang jalur itu, sedangkan semakin jauh dari jalur semakin renggang penjagaannya. Maka Sebun Him memilih untuk menjauhi jalur itu beberapa puluh tombak, lalu merayap maju dengan lebih dulu menetapkan arah, searah dengan kereta tertutup tadi. Ia masih sempat bertemu dengan beberapa penjaga yang dibabatnya tanpa ampun, dan untungnya para penjaga itu tidak begitu tinggi ilmunya sehingga Sebun Him dapat membereskannya tanpa ribut-ribut. Bahkan Sebun Him kemudian menukar bajunya dengan baju salah seorang musuh yang dibunuhnya, sehingga ia berharap akan dapat bergerak lebih leluasa.

Suatu ketika Sebun Him tidak bisa maju lagi, sebab kini di depannya adalah sebuah telaga, kelihatannya telaga buatan, yang lebarnya ratusan tombak. Di tengah-tengah telaga ada sebuah pulau kecil yang di atasnya ada bangunan besarnya. Bangunan yang kelihatan luas, amat kokoh dan bentuknya bagus pula.

Antara pintu gerbang bangunan itu dengan tepian sini, dihubungkan sebuah jembatan batu yang dua tombak lebarnya, dan itulah satu-satunya jalan dari tepian ke pulau itu. Jembatan itupun dijaga amat ketat, setiap beberapa langkah ada orang-orang berbaju hijau daun yang bertampang seram-seram dengan senjata-senjata terhunus.

Ketika Sebun Him bersembunyi di sebuah semak-semak di tepi telaga buatan itu, dilihatnya kereta tertutup yang membawa Ting Hun-giok dan orang-orang berkuda itu sudah sampai di tengah tengah Jembatan dan sedang menuju ke arah bangunan di tengah telaga kecil itu. Orang-orang yang menjaga hutan itu banyak yang mengangguk hormat kepada orang berkuda yang paling depan, yaitu Tiat-ci-hok Im Yao, agaknya kedudukannya cukup terhormat dalam komplotan yang bersarang di tengah telaga di tengah hutan itu.

Sebun Him diam-diam memperhitungkan keadaan. Untuk masuk ke bangunan besar, itu hanya jembatan itulah satu-satunya jalan, atau berenang, tapi kalau berenang tentu akan terlihat oleh orang-orang yang berjaga di Jembatan itu, meskipun Sebun Him merasa mampu merenangi jarak selebar itu. Tiba-tiba timbul pikiran Sebun Him untuk memutari telaga itu, siapa tahu di sebelah lain tidak ada penjaga-penjaganya dan la dengan mudah dapat merenangi telaga buatan itu.

Dengan berlindung pada pepohonan yang rapat, la memutar ke arah sampingi Betul juga, pikirnya, kalau aku berenang dari sini maka tidak akan terlihat oleh orang-orang di jembatan itu. Tapi di seberang sana yang ada hanyalah bangunan tembok yang tinggi tanpa pintu, sebab pintunya hanya ada satu yaitu yang menghadap ke jembatan tadi, dan tinggi tembok itu nampaknya amat sulit diloncati oleh orang-orang yang ilmu meringankan tubuhnya lihai sekalipun. Kecuali kalau pandai ilmu Pia-hou-yu-Jio (Cecak Merayap di Tembok), tapi Sebun Him tidak bisa ilmu itu.

"Yang penting ke seberang dulu!" tekad Sebun Him sambil membuka baju dan sepatunya yang dibungkusnya jadi satu dan diikatkan di pinggangnya. "Soal menyusup masuk, siapa tahu di bagian bawah tembok itu ada lubang saluran air atau bahkan saluran kotoran sekalipun aku sangup menempuhnya asal bisa membongkar komplotan itu."

Namun baru saja kaki Sebun Him masuk ke air, tiba-tiba diangkatnya kembali kaki itu dengan rasa terkejut. Terasa ada sesuatu yang menggigitnya dan bahkan betisnya berdarah. Ketika Sebun Him memperhatikan ke dalam air, maka keringat dinginpun seketika mengalir di tubuhnya, karena kini la tahu kenapa di sisi itu tidak diawasi, sebab di air telaga itu sendiri sudah ada "pengawal" tersendiri.

"Untung aku memasukkan kakiku lebih dulu dan tidak langsung mencebur ke air," pikir Sebun Him dengan Jantung yang masih berdegupan. "Kalau aku langsung mencebur tadi, maka yang akan sampai ke seberang hanyalah tulang belulangku."

Di dalam air telaga itu ternyata hidup sejenis ikan berwarna putih keperak-perakan yang besarnya tidak lebih dari ibu jari namun bergigi tajam seperti gigi gergaji, dan hidup bergerombol-gerombol dimana setiap gerombolnya mencapai jumlah ribuan ekor. Merekalah ikan buas pemakan daging makhluk hidup yang tak kenal belas kasihan, seekor kerbaupun dapat mereka habiskan dalam sekejap mata sampai tinggal tulang-belulangnya.

Jika air telaga sengaja dilepasi jenis ikan itu, rasanya memang berlebihan kalau penghuni bangunan di tengah telaga itu masih mempercayakan penjagaan di sisi ini kepada manusia. Ikan-kan kecil itu adalah pengawal yang jauh lebih tangguh dari orang-orang bersenjata di jembatan batu itu.

Sabun Him terpaksa membatalkan niatnya utnuk menyeberang dengan berenang, dan la pun merasa percuma saja untuk menyelidiki dari sisi yang lain. Telaga buatan itu pasti dibuat melingkari bangunan itu, dan ikan-ikan rakus bergigi tajam itu pasti ada di bagian yang manapun juga, dan mereka tidak bisa dilawan dengan Ilmu silat.

Sebun Him ingat bahwa ada tokoh-tokoh dunia persilatan yang begitu mahir Ilmu meringankan tubuhnya (gin-kang) sehingga dapat "melangkah" di air seperti di tanah yang keras saja hanya dengan memasang dua potong papan di telapak kakinya. Tapi Sebun Him belum mencapai taraf itu.

Jadi, jalan satu-satunya untuk mencapai bangunan itu memang hanyalah Jembatan batu yang dijaga itu. Dengan mengendap-endap Sebun Him kembali mendekati jembatan itu untuk membuat perhitungan sambil mengawasi keadaan. Sementara itu, Sebun Him melihat orang-orang yang datang ke bangunan di tengah telaga itu ternyata semakin lama semakin banyak.

Baru saja la bertengger diatas sebatang pohon berdaun rimbun, maka dari jalur di tengah hutan itu kembali muncul sebuah rombongan yang berjumlah kira-kira sepuluh orang rata-rata berbadan tegap. Pemimpin mereka terdiri dua orang yang naik kuda paling depan, yang seorang bertubuh besar tegap dengan tangan membawa sebuah gada berpenampang segi delapan yang terbuat dari besi. Seorang lagi bertubuh ramping agak kurus dengan tangan membawa tombak berkait.

Ketika mereka dihadang oleh penjaga-penjaga di ujung jembatan itu, maka orang yang membawa gada itu mengeluarkan lencana besi yang ditunjukkan kepada penjaga-penjaga itu sambil berkata, "Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi) Song Hian dan Hek-liong (Si Naga Hitam) Tio Hong-bwe dari sungai Yang-se kiang datang memenuhi panggilan Te-liong Hlangcu."

Pemimpin para penjaga itu mengeluarkan secarik kertas dari bajunya dan membaca daftar nama-nama yang tertera di situ, setelah menemukan bahwa nama kedua orang, bajak sungai Yang-ce-kiang itu tercantum dalam daftar orang-orang yang diundang, maka merekapun minggir dan mempersilahkan masuk.

Tiat-pwe-siang Song Hian dan Hek-liong Tio Hong-bwe segera menggerakkan kudanya masing-masing untuk memasuki Jembatan, diiringi anakbuah mereka, namun pada saat mereka baru bergerak selangkah, tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking di tempat itu. Dan terdengar suara seseorang sebelum kelihatan wujudnya, "Ha-ha-ha, gajah busuk dan naga busuk, senang juga menjumpai kalian berdua dengan batok kepala yang masih utuh"

Para bajak sungai Yang-ce-kiang anak buah Song Hian dan Tio Hong-bwe itu serentak menghunus senjata mereka karena mendengar kata-kata yang seolah-olah menghina pemimpin mereka itu. Tapi kedua pemimpin bajak itu kelihatannya malah tidak marah, malah kelihatan senang seperti mendengar suara seorang sahabat lama, kata Tio Hong-bwe sambil tertawa, "He, kelelawar busuk, hayo tunjukkan batang hidungmu dan jangan bersembunyi saja seperti kura-kura.”

Baru habis ucapan Tio Hong-bwe itu sesosok tubuh berkelebat secepat kilat dan tahu-tahu di hadapan kedua pemimpin bajak itu sudah muncul sesosok tubuh kurus berwajah pucat, bermata merah darah dan bibir yang tipis itu berwarna merah darah pula, yang mengerikan ialah adanya sepasang taring kecil di sudut-sudut bibirnya.

Bukan sekedar buatan untuk menakut-nakuti orang tapi benar-benar taring asli yang tumbuh dari gusinya, la memakai topi lancip berwarna hitam dan jubah hitam pula. Andaikata dia muncul di malam hari, orang berpenyakit jantung pasti akan mampus seketika karena terkejut mengira dia adalah setan gentayangan. Dialah Liong Pek-ji yang berjulukan Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Hantu Penghisap Darah).

Antara Liong Pek-ji, Tio Hong-bwe dan Song Hian segera terjadi percakapan yang ramai karena mereka teryata adalah kenalan-kenalan lama. Kata Liong Pek-Ji, "Syukurlah kalian mau datang memenuhi undangan Te-liong Hiang-cu. Memang lebih baik bergabung dengan kami dan menjadi sebuah kekuatan besar daripada kalian menjadi bajak di sungai Yang-ce-kiang yang hasilnya tidak seberapa namun setiap kali kalian harus berhadapan dengan armada sungainya Rajamuda wilayah Su-coan, Peng-se-ong Bu San-kui."

Tio Hong-bwe menarik napas dan berkata, "Ya, hari-hari terakhir ini kapal-kapal perang Peng-se-ong Bu-san-kui semakin gencar meronda daerah perairan tempat rejeki kami, sehingga rejeki kami pun seret dan banyak anakbuah kami yang keluar dari gerombolan untuk mencari mata pencaharian lainnya. Maka ketika kami terima ajakan Te-liong Hiangcu, kami pun memutuskan untuk bergabung."

"Keputusan yang pintar," sambut Pek-ji. "Dulu kita juga bersama-sama bekerja di bawah Te-liong Hiangcu dan kemudian terbukti bahwa kekuatan kita saat itu amat ampuh untuk menandingi kekuatan Tong Wi-siang dan begundal-begundalnya seperti Ma Hiong, Oh Yun-kira, In Yong dan sebagainya. Karena itu kita sekarang baiknya bergabung lagi agar dapat mengulangi kejayaan masa lalu kita. Dan kita punya beberapa kawan baru yang tangguh."

"Benar juga ucapan itu, kelelawar busuk," kata Song Hian. "Eh, kudengar1 dua orang teman kita lainnya juga sudah bergabung denganmu lebih dulu. Hwc-tan (Si Peluru Api) Seng Cu-bok dan Say-ya-Jat (Si Hantu Malam) Tong King-bun. Kemana kedua bangsat itu, kenapa tidak muncul untuk menyambut sahabat-sahabat mereka ini?"

Liong Pek-Ji mengerutkan alis dan menjawab, "Mereka kurang beruntung. Beberapa waktu yang lalu Hiangcu menugaskan mereka menyusup ke dalam laskar pemberontak Pangeran Cu Leng-ong dengan menyamar sebagai laskar biasa, tugas mereka ialah di medan perang harus membunuh seorang perwira Manchu bernama Tong Lam-hou. Tak terduga, bukan saja tugas mereka gagal, malahan nyawa mereka ikut kabur meninggalkan raga...”

"Tong Lam-hou?" tegas Tio Hong-bwe heran. "Anak itu memang hebat. Di sungai Yang-ce-kiang, kami berdua dengan dibantu Tong King-bun dan si setan ganas Hehou Im pernah mengeroyoknya berempat, toh kami tidak berhasil mengalahkan bocah itu. Ia memiliki pukulan hawa dingin yang sanggup membekukan darah, yang tak terlawan."

Mendengar tentang "pukulan hawa dingin" itu, tiba-tiba teringatlah Liong Pek-Ji akan sebuah pengalamannya di sebuah desa, dimana ia berhasil menakut-nakuti penduduk untuk setiap waktu tertentu menyerahkan korban seorang perawan untuk diisap darahnya sampai kering dan mati. Namun kemudian penguasaannya atas diri penduduk desa itu berentakan dengari munculnya seorang anakmuda yang berilmu tinggi.

Hanya dengan bertangan kosong saja maka pemuda itu sanggup melawannya dan mendesaknya, padahal ilmu Liong Pek-Ji sudah termasuk tingkat tinggi di dunia persilatan, beberapa tingkat lebih tinggi dari rekan-rekannya sesama bekas Tong-cu bawahan Te-liong Hiangcu seperti Tio Hong-bwe, Song Hian atau Hehou Im di Pak-khia. Namun saat itu ia dan anak-buahnya tidak berdaya melawan anak muda yang pukulannya membawa hawa amat dingin sehingga banyak anak buahnya yang mati beku, dan la seridiri terpaksa kabur demi keselamatannya.

"Jadi yang kulawan di dekat kuburan kuno itu adalah anak muda bernama Tong Lam-hou, yang belakangan ini namanya menanjak cepat mensejajari nama besar Pakklong Liong Panglima Pasukan Naga Terbang itu?" tanya Liong Pek-Ji seakan-akan kepada dirinya sendiri. "Jadi orang itu pulalah yang beberapa kali ingin dibunuh oleh Te-liong Hiangcu namun gagal itu? Pantas aku..."

Hampir saja si Kelelawar Penghisap Parah itu mengucapkan "pantas aku dikalahkannya" namun kalimat itu cepat ditelannya kembali sebab ia agak malu juga di hadapan teman-teman lamanya maupun di hadapan para penjaga jembatan batu itu. Cuma Tio Hong-bwe dan Song Hian sudah maklum sehingga mereka hanya bertukar senyuman saja.

"Jadi teman-teman kita Tong King-bun dan Seng Cu-bok itu tewas oleh anak muda bernama Tong Lam-hou itu pula?" tanya Song Hian mengalihkan percakapan.

"Bukan" sahut Liong Pek-Ji. "Meskipun merekapun pernah hampir mati karena tangan Tong Lam-hou, namun menilik mayat-mayat mereka yang tinggal tulang-tulang itu, besar kemungkinan mereka mati karena dipaksa menelan Racun Penghancur Tubuh, padahal Tong Lam-hou tidak mungkin memiliki ramuan itu meskipun la adalah anak Tong Wi-siang."

"Racun Penghancur Tubuh?" tanya Tio Hong-bwe dan Song Hian serempak dengan wajah agak memucat.

Untuk merangkul agar Tio Hong-bwe dan Song Hian agar lebih setia kepada komplotannya, maka Liong Pek-ji sengaja menakut-nakuti kedua orang itu, "Besar dugaannya yang melakukan hal itu atas diri Tong King-bun dan Seng Cu-bok adalah Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong dan Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin, salah satu dari mereka atau kedua-duanya. Kau dengar tidak bahwa kedua saudara seperguruan Te-liong Hiangcu itu sudah muncul kembali dari persembunyian mereka selama berpuluh tahun, dan mereka mulai berkeliaran untuk mencari pengikut-pengikut Te-liong Hiangcu yang mereka anggap berkhianat kepada Hwe-liong Pangcu Tong Wi siang itu, termasuk kita adalah sasaran mereka. Bahkan Thian-liong Hiangcu sudah berhasil menghimpun kekuatan yang setia kepada Hwe-liong Pangcu dan mengadakan upacara besar kebangkitan kembali Hwe-liong-pang di puncak Tiau-im-hong, meskipun upacara itu gagal memilih Ketua baru karena si calon Ketua baru tidak hadir, namun kekuatan yang setia kepada Tong Wi-siang itu sudah terhimpun rapi. Dan untuk menghadapinya kitapun harus berhimpun, bukan berdiri sendiri-sendiri untuk mudah dipatahkan."

Tio Hong-bwe dan Song Hian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ngeri juga perasaan mereka kalau mengingat bahwa nyawa mereka sedang diincar oleh pengikut-pengikut setia Hwe-liong Pangcu yang ingin membalas dendam atas keruntuhan Hwe-liong-pang dulu.

"Marilah segera masuk ke dalam untuk menemui Huangcu,” ajak Liong Pek-Ji kepada teman-teman lamanya itu.

Rupanya kedudukan Liong Pek-Ji memang istimewa, bahkan la sering disebut-sebut sebagai tangan kanannya Te-liong Hiangcu, penguasa komplotan itu, maka ia dapat masuk begitu saja tanpa menunjukkan lencana besi itu. Bahkan para pengawal jembatan batu itu memberi hormat sambil menganggukkan kepala mereka.

"Apakah adik-adik seperguruanku sudah datang?" tanya Liong Pek-ji kepada seorang pengawal Jembatan.

Sahut pengawal jembatan itu, "Sudah, Liong Tongcu."

"Mereka membawa tawanan perempuan itu?”

"Benar, Tongcu, dibawa dalam kereta tertutup."

Liong Pek-ji tertawa seram, "Bagus. Dulu semasa mudanya Tong Wi-lian selalu merintangi langkah-langkahku dan bahkan membunuh beberapa temanku. Kini ia harus merasakan bagaimana pedihnya seorang ibu yang kehilangan puteri satu satunya itu..."

Lalu Liong Pek-Ji, Tio Hong-bwe, Song Hian dan rombongannya ltupun melintasi jembatan batu itu dan menghilang ke dalam bangunan besar di tengah telaga itu.

Di pohon tempat persembunyiannya, Sebun Him diam-diam merasa bergetar jantungnya. Yang ada di hadapannya itu benar-benar sebuah sarang komplotan yang penuh dengan orang-orang berilmu tinggi. Dari cara mereka berbicara, agaknya Tio kong-bwe dan Song Hian itu sederajat dengan Liong Pek-ji, sedangkan Liong Pek-ji sendiri menurut penilaian Sebun Him adalah berkepandaian lebih tinggi dari dirinya sendiri, dilihat dari caranya meloncat keluar ketika menemui rombongan bajak sungai Yang-ce-kiang tadi.

Tapi Sebun Him juga merasa beruntung bahwa tepat pada saat la menemukan sarang komplotan yang membayangi dunia persilatan itu, komplotan itu agaknya sedang mengadakan pertemuan dengan orang-orangnya yang tersebar di beberapa tempat. Maka Sebun Him berpikir,

"Cukup dengan menunggui ujung jembatan ini, aku akan bisa melihat siapa saja yang datang ke tempat ini. Dengan demikian bisa kuketahui kelak siapa saja orang-orang dunia persilatan yang termasuk dalam anggota komplotan ini. Ha-ha, jika hal ini bisa kubongkar di depan umum kelak, entah akan bagaimana terkenalnya namaku."

Memang dari situ Sebun Him dapat melihat betapa satu demi satu unsur-unsur pendukung kekuatan Te-liong Hiangcu berdatangan dengan menunjukkan lencana besi supaya diperbolehkan masuk ke bangunan besar itu. Darah Sebun Him serasa mendidih ketika melihat dua orang musuh pembunuh ayahnya muncul pula, yaitu Kiu-bwe-soa Leng Hok-hou dan si paderi berpakaian mewah Sin-bok Tojin bersama beberapa teman mereka yang nampaknya juga garang-garang.

Tapi Sebun Him harus mengendalikan dirinya. Ia tahu bahwa muncul di saat itu sama saja dengan membunuh diri, karena itu ditahankannya kemarahannya kuat-kuat, toh dilain waktu la masih bisa mengejar kedua orang itu. Berturut-turut muncul Tang Kiau-po yang berjulukan Ang-mo-coa-ong yang pernah dilihat Sebun Him di Hoa-san-pay lalu Jian-ki-am-hui-ci (Si Tikus Terbang Seribu Pedang) Ki Peng-sian, dan yang paling mengejutkan adalah ketika Sebun Him melihat Susiok-cou nya sendiri Yo Ciong-wan, salah seorang sesepuh yang sangat dihormati di Hoa-san-pay dan digelari sebagai Tui-seng-kiam (Pedang Pemburu Bintang) itu ternyata juga muncul di situ, rasanya seperti mimpi saja tapi itu adalah kenyataan.

Dengan gigi gemeretak menahan rasa geram, Sebun Him melihat bagaimana sesepuh Hoa-san-pay itu mendekati para pengawal jembatan sambil mengangkat tinggi-tinggi lencana besinya dan berseru, "Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan dari Hoa-san datang memenuhi undangan Te-liong Hiangcu!"

"Pantas segala gerak-gerik orang-orang Hoa-san-pay kami selalu dapat ditebak oleh musuh, kiranya ada musuh dalam selimut dalam perguruan kami," geram Sebun Him di dalam hatinya dengan kemarahan yang meluap. "Kalau begitu perjalanan Auyang Susiok (maksudnya Auyang Seng) menuju ke timur Hoa-san pun itupun agaknya bukan jalan yang mulus licin tanpa rintangan."

Melihat Yo Ciong-wan, Sebun Him sama marahnya dengan ketika melihat Kiu bwe-coa Leng Hok-hou serta Sin-bok Hwe-shio tadi, sebab boleh dikatakan Yo Ciong-wan menjadi penyebab kematian ayahnya pula biarpun tidak secara langsung. Dan Sebun Him kini mengerti pula kenapa sebelum la dan ayahnya meninggalkan Hoa-san-pay dulu, Yo Siong-wan menemuinya di pinggang gunung dan menakut-nakutinya.

Setelah Yo Ciong-wan, masih berdatangan pula tokoh-tokoh lainnya. Dan setiap kali pula jantung Sebun Him bergetar karena setiap kali mereka menyebutkan nama sendiri maka yang disebutkan itu bukannya nama kaum keroco melainkan nama tokoh-tokoh terkenal, dari golongan lurus maupun golongan sesat. Sungguh sulit dipercaya bahwa banyak tokoh yang bernama harum itu ternyata sudah menjadi anggota komplotan Iblis pimpinan Te-liong Hiangcu ini. Pikir Sebun Him,

"Dunia persilatan benar-benar dalam bahaya tanpa mereka sadari. Kekuatan komplotan Ini ternyata harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh, bahkan oleh perguruan-perguruan yang kuat dan beranggota banyak seperti Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sekalipun."

Ketika matahari terbenam, orang-orang yang mengalir berdatangan mulai susut, dan bahkan tidak ada lagi. Kini yang dipikirkan oleh Sebun Him ialah cara bagaimana ia menemukan cara untuk menyelundup masuk ke dalam bangunan di tengah telaga itu. Berenang adalan tidak mungkin sebab dagingnya akan habis digerogoti ikan buas itu menerjang langsung lewat jembatan itu juga tidak mungkin sebab pengawal jembatan itu ada hampir limapuluh orang. Jumlah yang tidak terlawan olehnya sendiri, apalagi jika dari dalam bangunan muncul bala bantuan.

Timbul pikiran Sebun Him untuk membuat rakit dari batang-batang pohon di tepian itu, namun pikiran itu dibuangnya jauh-jauh. Selama ia menebang pohon dan mengayam rakit itu maka jejaknya pasti akan diketahui lebih dulu, sebab di hutan itupun berkeliaran orang orang dari pihak musuh. Bahkan dalam gelapnya malam maka panah ataupun sumpit mereka akan lebih susah dijaga daripada kalau siang hari. Mau tidak mau Sebun Him jadi pusing juga memikirkan bagaimana caranaya masuk.

Tengah Sebun Him mencari akal dan malam pun semakin gelap, tiba-tiba di sisi lain dari telaga itu terdengar suitan tiga kali berturut-turut yang nampaknya merupakan suatu isyarat, kemudian terdengar pula suara tertawa yang menggelegar terbahak-bahak serta suara teriakan kesakitan entah kematian berturut-turut.

Keruan keadaan jadi gempar, orang-orang berlari-larian ke sana kemari dengan senjata terhunus. Pintu gerbang dari bangunan di tengah telaga itupun nampak terpentang lebar dan dari dalamnya membanjir keluar orang-orang yang berbaju hijau daun.

"Apa yang terjadi?!" teriak seorang pengawal yang agaknya kedudukannya agak tinggi. "Siapa yang berani mati untuk mengadakan pengacauan di Kui-kiong (Istana Iblis) ini?!"

Namun yang ditanya tidak bisa menjawab, sementara suitan-suitan permohonan bantuan masih terdengar di sana-sini. Agaknya istana di tengah telaga buatan yang disebut Kui-kiong itu mengalami serangan dari musuh.

"Berpencar!" teriak seorang yang berewokan kepada pengawal-pengawal lain nya. "Tumpas siapa saja yang berani mengacau Kui-kiong!"

Saat itulah seorang berbaju hijau daun muncul mendekati ujung jembatan itu dengan langkah terhuyung-huyung dan tangan kirinya mendekap dadanya yang berdarah. Tangan kanannya membawa tombak namun hanya diseretnya saja, seakan tenaga untuk mengangkatnyapun sudah tidak ada lagi.

"Siapa kau?" bentak pengawal berewokan itu.

"Ciu Sam dari kelompok sebelas," sahut orang yang luka itu. "Cepat bantu teman-teman di sisi utara, musuh amat tangguh!"

Biasanya orang-orang dari Kui-kiong malang-melintang dan main bunuh semaunya tanpa ada yang kuasa mencegahnya, maka marahlah pemimpin berewokan itu mendengar ada pihak lain yang berani menyerbu sarangnya. Geramnya, "Ada orang-orang bosan hidup agaknya, berapa ribu jumlah mereka sehingga kailan sampai minta bala bantuan?"

"Hanya seorang..." sahut orang yang bernama Ciu Sam itu.

Keruan orang-orang Kui-kiong yang berkerumun di mulut jembatan itu terkejut bukan kepalang mendengar jawaban di luar dugaan itu. "Hanya seorang dan mampu memaksa kalian yang puluhan orang ini untuk bersuit-suit minta bantuan? Dia itu iblis atau malaikat? Atau manusia bertangan enam dan berkepala tiga?"

"Bukan, dia hanya manusia yahg berkepala satu dan bertangan dua, tapi kebetulan manusia itu bernama Siangkoan Hong..."

Nama itu memang bagaikan seratus halilintar yang meledak bersama di pinggir kuping orang-orang Kui-kiong itu. Biasanya mereka membuat gentar orang lain dengan kegarangan mereka, tapi kini merekalah yang menggigil mendengar disebutnya nama Siangkoan Hong itu. itulah sebuah nama yang jauh lebih menakutkan daripada iblis manapun juga. Adik seperguruan ketiga dari mendiang Hwe-liong Pangcu yang menjadi musuh bebuyutan Te-liong Hiangcu dan karenanya juga menjadi musuh Kui-kiong.

Sesaat orang itu kebingungan harus berbuat bagaimana menghadapi Siangkoan Hong, akhirnya la mengambil kepu-tusan, "Semuanya ikut aku. Betapapun saktinya Siangkoan Hong, jumlah kita yang amat banyak akan mempengaruhinya pula, dan kau Ciu Sam, masuk untuk memanggil para Tongcu, kalau perlu Hiangcu sendiri untuk menghadapi Siangkoan Hong."

"Baik...!" sahut Ciu Sam.

Sementara itu orang berewok dan anak buahnya segera berlari-lari menuju ke arah suara pertempuran itu. Biarpun hati gentar harus menghadapi Siangkoan Hong, tapi jika tidak melawan malah akan lebih payah lagi sebab mereka akan menghadapi hukuman yang mengerikan yang bakal dijatuhkan oleh Te-liong Hiangcu. Melawan Siangkoan Hong mungkin akan mati tapi secara langsung dan hanya dengan sedikit penderitaan, sedang mati karena dihukum oleh Te-liong Hiangcu akan lebih dulu mengalami penderitaan yang belum pernah terbayangkan.

Sementara itu, Sebun Him melihat orang yang terhuyung-huyung itu menuju ke pintu gerbang, maka ia pun mendapat akal. Cepat-cepat ia meloncat turun dan mendekati orang itu, karena baju Sebun Him masih baju yang diambilnya dari salah seorang korbannya tadi, yaitu baju berwarna hijau daun yang merupakan seragam Kui-kiong, maka ia tidak dicurigai.

Sambil tertawa Sebun Him mendekati Ciu-sam sambil menyapa, "Ciu Toako, kau terluka? Mari aku antar ke dalam...!"

"Aku bisa berjalan sendiri!" bentak Ciu Sam angkuh. Melihat Sebun Him maka Ciu Sam mengira bahwa anak muda itu adalah seorang anggota rendahan yang belum dikenalnya agar cepat meningkat kedudukannya. Karena itu Ciu Sam bersikap seangkuh mungkin. Kalau tidak ingat dirinya ingin masuk ke sarang komplotan itu, ingin rasanya Sebun Him mendorong penjahat rendahan itu masuk ke telaga, supaya menjadi umpan ikan-ikan buas itu. Tapi Sebun Him tidak melakukannya, dia membutuhkan orang itu sebagai "kendaraan” untuk masuk ke Kui-kiong.

Kata Sebun Him sambil menyengir lagi, "Kalau begitu, maafkan aku, aku hanya ingin menemani Ciu Toako sebenarnya eh, sebenarnya bagaimana asal mulanya kejadiannya?”

Sahut Ciu Sam membual, "Meskipun iblis yang bernama Siangkoan Hong itu sakti luar biasa, sebenarnya aku tidak gentar. Tapi dia menyerangku dari belakang dengan licik, tentu saja aku tidak sempat bersiap. Padahal kau tahu siapa diriku?"

"Aku belum pernah mendengar riwayat Ciu Toako, tetapi tentu hebat sekali juga Toako mau menceritakannya kepadaku," Sebun Him berusaha menyenangkan hati orang itu sambil berjalan di sampingnya untuk menuju ke pintu gerbang.

Senang hati Ciu Sam mendengarnya, dan sambil berjalan diapun mulai bercerita bagaimana seekor harimau yang sebesar kerbau ia pegang ekornya dan ia putar-putarkan lalu dibenturkan ke sebuah pohon sehingga pohonnya roboh dan sekaligus harimau itu pecah kepalanya. Lalu bagaimana ia pernah menerjang hujan panah musuh dengan memutar goloknya sampai kesiur anginnya saja sanggup menghalau datangnya panah.

Sebun Him mendengarkannya sambil berjalan dan sekali-sekali berseru penuh kekaguman, meskipun dalam hatinya la tidak percaya sedikitpun. Mereka tiba di pintu gerbang, ketika Sebun Him menengadah, tampaklah dua huruf besar berwarna merah darah terukir di atas pintu gerbang yang tebal itu, bertuliskan Kui-kiong. Karena Ciu Sam memang kenal dengan salah seorang penjaga pintu gerbang itu, maka diapun diijinkan masuk dan Sebun Him yang berseragam sama dengan orang-orang Kui-kiong itupun ikut masuk saja dengan gaya yang wajar.

"Bagaimana dengan pengacau itu?" tanya salah seorang penjaga gerbang, "Sudah dapat diatasi atau belum?"

“Pengacau itu benar-benar lihai," sahut Ciu-Sam. "Ia sanggup menahan sepuluh jurus ilmu tombakku dan bahkan karena kelengahanku sendiri maka aku kena dilukai olehnya. Saat ini Beng Toako sedang memimpin orang untuk mengusir pengacau itu. Aku sendiri akan menemui tabib Hin untuk minta obat luka."

"Baik, cepatlah."

"Biar aku antar Ciu Toako," kata Sebun Him, ketika melihat Ciu Sam hampir saja mengucapkan keberatannya maka Sebun Him pun buru-buru mengungkit kelemahan Ciu Sam yang gila pujian itu. "Memang Ciu Toako telah bertempur dengan gagah perkasa, la patut menjadi contoh bagi kita semua...!"

Setelah berada di balik pintu gerbang itu, maka Sebun Him pun tercengang melihat betapa indah dan besarnya sarang komplotan Kui-kiong itu. Tadinya la mengira sebagai sarang komplotan tentu akan kotor dan acak-acakan, namun ternyata sebaliknya. Hanya saja, suasana seram terasa di bangunan yang besar itu.

Mereka menuju ke tempat tabib yang dipanggil Hin Sinshe itu. Sebuah pojokkan yang tak berarti terjepit dikemegahan bangunan itu. Ketika pintu diketuk dan dibukakakn oleh seorang tua yang agak bungkuk, maka Sebun Him tak dapat lagi menahan luapan kebenciannya kepada orang-orang Kui-kiong yang membunuh ayahnya itu. Tubuh Ciu Sam tiba-tiba didorongnya dengan keras sampai jatuh terjerembab di dalam ruangan itu, dan Sebun Him sendiri, segera meloncat masuk, menutupkan kembali pintunya dan menghunus pedang.

Keruan Ciu Sam terkejut sedang tabib tua itu menggigil ketakutan. "Sia...siapa kau?" tanya Ciu Sam.

Sahut Sebun Him dingin, "Sebun Him putera Sebun Siang dari Hoa-san-pay. Aku diutus Giam-lo-ong (Raja Akherat) untuk mencabut nyawa orang Kui-kiong sebanyak-banyaknya."

Ciu Sam terkejut dan sadar bahwa orang yang menyamar sebagai anak buah itu ternyata adalah musuh yang menyelinap masuk. Dengan gerakan yang cukup cepat la mengangkat tombaknya dan hendak menyerang, tapi gerakan itu terlalu lambat bagi Sebun Him yang tengah murka itu. Ujung pedangnya bergerak lebih cepat dan mengakhiri hidup Ciu Sam.

Tabib tua itu gemetar, dan menilik sikapnya dia agak tidak mengerti ilmu silat sedikitpun. Ketika Sebun Him melangkah mendekatinya, maka ia cepat-cepat berlutut sambil meratap, "Jangan bunuh aku... meskipun aku berada di Kui-kiong tetapi aku hanya dipaksa... dipaksa bekerja untuk mereka. Aku bukan bagian dari mereka..."

"Baik. Aku tidak akan membunuhmu, tapi kau harus menjawab apa saja yang kutanya!" gertak Sebun Him.

"Baik... baik... tapi bagaimana kalau yang tuan tanyakan itu tidak kuketahui?"

"Asal kau memang benar-benar tidak tahu, aku tidak akan memaksamu bertanggung jawab, apakah pemimpin Kui-kiong yang dipanggil dengan sebutan Teliong Hiangcu itu ada di sini dan dimana tempatnya?”

"Aku tidak tahu kapan Te-liong Hiangcu di sini atau tidak, semua anak buahpun tidak tahu, bahkan Liong Tongcu yang paling dekat dengan Te-liong Hiangcu itu. Ia muncul kapan ingin muncul dan menghilang kapan ingin menghilang, entah bagaimana caranya."

Sebun Him mengangguk percaya, tabib tua itu kelihatannya bersungguh-sungguh. Tanyanya lagi, "Kenapa Te-liong Hiangcu mengumpulkan tokoh-tokoh tangguh sebanyak itu apakah akan mengadakan gerakan besar?"

"Tidak tahu, benar-benar tidak tahu."

Masih banyak lagi pertanyaan yang dijawab dengan "tidak tahu” oleh tabib itu. Yang dijawab dengan memuaskan paling-paling hanyalah letak tempat-tempat tertentu di lingkungan Kui-kiong itu. Agaknya tabib itu tidak pernah melangkah keluar dari Kui-kiong dan urusan di luaran la tidak tahu sama sekali.

Betapapun tidak puasnya Sebun Him, tapi ia tidak bisa memaksa tabib itu untuk memberi keterangan lebih lanjut. Akhirnya ia menotok tabib itu sehingga tak bergerak dan menyembunyikan mayat Ciu Sam, lalu keluar dari ruangan itu. Ia memperhitungkan, andaikata nanti ada orang yang menemukannya dan tahu bahwa Kui-kiong sudah kesusupan musuh, ia dengan mudah akan dapat menyelamatkan diri dengan membaurkan diri di antara anakbuah Kui-kiong. Sebab anak-buah Kui-kiong yang berjumlah ratusan orang itu datang dari berbagai tempat dan tidak semuanya saling mengenal.

Kini Sebun Him berjalan dengan santainya sambil memanggul pedangnya, kalau bertemu dengan beberapa orang Kui-kiong lainnya maka dia hanya menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata menyapa sembarangan saja atau sekedar menganggukkan kepala dan ternyata tak ada yang mencurigainya.

Tapi ketika la sedang melangkah di sebuah halaman untuk mencari di mana ditawannya Ting Hun-giok, iapun terkesiap ketika melihat dari arah depan berjalanlah dua orang ke arahnya. Mereka adalah Tui-seng-kiam Yo Ciong-wan yang menjadi sesepuh Hoa-san-pay itu, dan yang seorang lagi adalah Jian-kiam-hui-ci atau Tikus Terbang Seribu Pedang Ki Peng-sian dari Jing-sia-pay.

Mereka adalah tokoh-tokoh golongan lurus yang entah bagaimana telah terikat masuk ke dalam Kui-kiong dan menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu. Sebun him merasa geram, tapi ia tahu diri bahwa la bukan tandingan salah satu dari mereka, apalagi kedua-duanya, maka ia lebih suka menyingkiri mereka yang sudah mengenali dirinya.

Jalan itu tidak bercabang, hanya ada sebuah pintu yang di atasnya sempat terbaca tulisan indah "Ruang Seni", tanpa pikir panjang lagi Sebun Him mendorong pintu itu dan masuk ke dalamnya. Di balik pintu didengarnya langkah Yo Ciong-wan dan Ki Peng-sian semakin dekat, dan celakanya mereka berhenti di depan ruangan itu, dan malah duduk di bangku batu yang terdapat di situ dan bercakap-cakap dengan asyiknya.

Dengan demikian Sebun Him telah "terkunci" di tempatnya itu tanpa bisa keluar, sebab kalau keluar berarti akan kepergok dan itu berarti kematian-lah bagiannya. Kui-kiong yang menjaga ketat rahasia komplotannya itu tentu tidak akan membiarkan hidup seseorang yang berani berkeluyuran seenaknya saja di sarang mereka.

Dalam bingungnya, Sebun Him melihat di situ masih ada dua pintu lagi yang masing-masing diberi tanda "ruang seni lukis" dan "ruang seni patung" dan daripada berdiam di situ saja tanpa bisa berkutik sampai orang-orang yang bercakap-cakap itu pergi sendiri, maka dengan nekad Sebun Him menerobos ke pintu yang bertuliskan "ruang seni patung" itu.

Begitu pintu terbuka, bau yang tajam dari sejenis obat pengawet mayat segera menerjang hidung Sebun Him dan membuatnya terkejut. Ruangan itu cukup luas dengan beratus-ratus patung di dalamnya, namun hanya diterangi beberapa batang lilin yang sama sekali tidak sebanding dengan luasnya ruangan, sehingga suasana di situ hanya remang-remang saja. Entah kenapa, bulu kuduk Sebun Him langsung merinding ketika berada dalam ruangan itu, dan la mulai memperhatikan patung-patung itu satu demi satu.

Ratusan patung itu terdiri dari macam-macam manusia dan macam-macam kegiatannya pula, semuanya seukuran manusia tepat. Ada imam atau pendeta yang sedang berdoa, bersilat dengan macam-macam senjata, dan juga petani yang sedang mencangkul atau menanam padi, seregu kecil prajurit yang sedang berbaris dan sebagainya.

Di bagian lain Sebun Him menemukan serentetan patung yang membuat wajahnya menjadi merah, sebab rentetan patung itu menggambarkan urut-urutan sepasang mempelai mulai dari bersembahyang di depan meja sembahyang, memberi hormat dan menyuguhkan teh kepada orang tua, sampai apa yang dilakukan pengantin baru di kamar tertutup, semuanya dipatungkan dengan nyaris sempurna.

Di deretan lain Sebun Him menemukan patung-patung para tokoh rimba persilatan terkemuka, dengan gayanaya masing-masing, dan di antara mereka terdapat patung Giok-seng Tojin dari Hoa-san-pay dan He Keng-iiang dari Ho-llan-pay.

"Rupanya pemilik ruangan seni itu mengagumi juga paman-guru Giok-seng sehingga membuatkan sebuah patung untuknya, tapi entah kenapa la selalu mengganggu Hoa-san-pay dengan memperalat He Keng-liang untuk mengambil Kiongwan Hok yang sakit jiwa itu?" demikian Sebun Him.

Selama berkeliling di ruangan itu dan melihat patung-patung yang mirip manusia-manusia asli itu, Sebun Him heran bahwa hidungnya selalu diganggu oleh bau yang mirip ramuan pengawet daging seperti di rumah para pemburu, dan di beberapa bagian ia bahkan mencium bau yang agak busuk. Suatu ketika, karena rasa ingin tahunya maka ia memegang salah sebuah patung untuk mengetahui dari apa dibuatnya, dari keramik atau lilin atau badan lain.

Dan alangkah terkejutnya ia ketika tahu bahwa patung-patung itu sendiri sebenarnya adalah manusia-manusia asli yang telah diawetkan, di beberapa bagian bahkan obat pengawetnya mulai luntur dimakan waktu sehingga patungnya mulai membusuk.

Setabah-tabahnya hati Sebun Him, mual juga rasanya menemui kenyataan itu, ini bukan ruangan seni patung tetapi ruangan mayat. Ratusan "patung"disitu adalan mayat-mayat semuanya! Hanya orang gila atau orang berjantung iblis saja yang sanggup menciptakan hasil karya sebiadab itu, dan dari sini pula Sebun Him tahu bahwa Te-liong Hiangcu si majikan Kui-kiong ini benar-benar penjelmaan asli dari sang iblis sendiri.

Dengan bulu seluruh tubuh yang bergidik dan pertu menahan rasa mual, Sebun Him setengah sadar berlari menuju ke pintu untuk meninggalkan ruangan penuh mayat itu. Rasanya ia lebih suka dibantai oleh pedang Yo Siong-wan atau Ki Peng-sian daripada dalam ruangan seram dengan ratusan mayat-mayat yang tentu mati penasaran itu. Pantas saja sejak tadi ia mencium bau obat pengawet bercampur bau busuknya mayat.

Tapi begitu la mencapai pintu, hatinya seakan-akan disiram seguci air es karena kagetnya, pintu itu terkunci dari luar dan tak dapat dibukanya. Bahkan ia telah mendobraknya sekuat tenaga, tapi pintu terbuat dari kayu tebal yang pinggiran-pinggirannya dilapis besi. Terjangan-terjangan Sebun Him yang bertenaga raksasa sampai dijuluki "Beruang dari Barat" itupun tidak membuat pintu bergeming.

Anak muda itu semakin panik ketika satu persatu lilin dalam ruangan itu tiba-tiba meredup sendiri sehingga ruangan itu makin gelap, dan akhirnya gelap sama sekali sehingga yang ada di depan matanya cuma warna hitam pekat tanpa setitik cahayapun. Dengan gugup Sebun Him meraba-raba ke samping kiri, namun telapak tangannya mengenai sebentuk wajah yang dingin dari salah satu patung itu. Ia menjerit tertahan dengan menarik tangannya.

Lalu terdengar tertawa seram di ruangan itu, dan Sebun Him merasa di sekelilingnya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki orang yang hilir mudik, dekat sekali, dengan tangan yang basah oleh keringat dingin la mencabut pedangnya dan menyabet-nyabetkan kesana kemari. Tapi pedangnya tak menyentuh apapun di kegelapan itu, dan derap kaki itupun masih juga terdengar dekat sekali, berpadu dengan suara tertawa seram yang tak henti-hentinya.

Dalam takutnya Sebun Him menjadi nekad, teriaknya, "Setan alas! Setan gentayangan! Kau kira aku takut kepadamu? Hayo tampakkan dirimu supaya bisa kubabat lehermu...!"
Selanjutnya;