Pendekar Naga dan Harimau Jilid 30 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 30

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
KETIKA ia menoleh ke pembaringan, maka pendekar wanita itu tersenyum sendiri melihat anak gadisnya masih tertidur pulas karena terpengaruh hawa aneh yang disebarkan oleh jay-hoa-cat itu. Kata Tong Wi-lian dalam hatinya,

"A-giok memang cantik, pantas jay-hoa-cat itu mengincarnya. Di An-yang-shia sendiri sudah ada beberapa, orang tua dari beberapa anak muda yang menyatakan maksudnya untuk melamar A-giok, dengan terang-terangan atau secara samar-samar, tapi anak bengal itu agaknya masih suka hidup bebas. Mudah-mudahan kelak ia mendapat jodoh yang sepadan dengan pilihannya sendiri."

Kembali Tong Wi-lian tersenyum sendiri mengerangkan semuanya itu. Rasanya waktu berjalan begitu cepat sehingga ia sudah punya anak sebesar itu, dan jika anaknya itu kawin maka ia tidak lama lagi akan menjadi seorang nenek. Padahal rasanya belum lama lagi akan menjadi seorang gadis yang berkelana sendirian di dunia persilatan berbekal ilmunya yang tinggi. Menempuh gelombang kesulitan, mendada badai berdarah di jaman itu, jaman di mana Hwe-liong-pang bangkit sebagai sebuah kekuatan raksasa yang mengguncangkan dunia.

Tong Wi-lian pada saat pertama terjun ke dunia persilatan adalah seorang yang gigih menentang Hwe-liong-pang yang amat kejam, namun kemudian diketahuinya bahwa orang-orang yang kejam itu hanya sebagian dari Hwe-liong-pang, sedang sebagian lainnya justru adalah para pendekar yang bercita-cita luhur ingin membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat kebobrokan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng pada waktu itu.

Dan sikap Tong Wi-lian terhadap Hwe-liong-pang berbalik tajam setelah tahu bahwa pemimpin Hwe-liong-pang sebenarnya adalah kakak tertuanya sendiri, Tong Wi-siang, yang meskipun memiliki ambisi pribadi yang sangat tinggi namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa perjuangannya adalah perjuangan yang luhur.

Sayang bahwa Hwe-liong-pang itu kemudian pecah berkeping-keping karena pertentangan yang timbul dalam tubuh sendiri, ditambah dengan pengkhianatan dari adik seperguruan Tong Wi-siang sendiri, yaitu orang yang kini bersembunyi di balik nama Te-liong Hiangcu.

Tong Wi-siang yang bercita-cita luhur sudah tiada, sebaliknya Te-liong Hiangcu yang kejam dan memiliki nafsu akan kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun juga untuk mencapainya, kini malah hidup dan memimpin gerombolan Kui-kiong (Istana Iblis) yang membayangi dunia persilatan dengan kekuatan rahasianya yang menyusup di mana-mana.

Tong Wi-lian menarik napas ketika mengenang masa itu, masa dia masih remaja dan masa di mana dunia persilatan bergolak dengan dahsyatnya gara-gara Hwe-liong-pang. Ia tersenyum sendiri kalau teringat bahwa di kota Kay-hong ia pernah bertempur melawan Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng yang waktu itu berkedudukan sebal Ui-ki-tcng-cu (Tongcu Bendera Kuning) dalam Hwe-liong-pang.

Tak terduga kalau sekarang ia malahan bersahabat karib dengan orang tua bertubuh bungkuk itu. Kalau dipikir, pergolakan masa sekarang lebih berat dari pergolakan masa lalu. Pergolakan masa sekarang adalah pergolakan untuk merobohkan pemerintahan Manchu di bawah Kaisar Sun-ti, sebuah pemerintahan yang jauh lebih kuat dan lebih mantap dibandingkan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng dulu dan menghadapi ini.

Ternyata persatuan para pendekar bangsa Han masih menjadi semacam barang mewah yang tidak mudah didapatkan, sementara diantara bangsa Han sendiri masih belum ada calon kuat yang diharapkan bisa memimpin negeri apabila perjuangan ini berhasil mengusir bangsa Manchu kelak.

Tengah Tong Wi-lian melamun mengikuti angan-angannya yang jauh mengembara, dan kewaspadaannya mengendor karena merasa keadaan sudah mantap, tiba tiba pintu didobrak dan tiga orang berpakaian hitam berloncatan masuk. Salah seorang dari mereka langsung membantingkan sebuah benda bulat ke lantai, benda itu meletup dan menghasilkan adap"berbau harum yang memenuhi seluruh ruangan. Asap yang memabukkan dan membuat kepala pusing serta tenaga lenyap.

Begitulah, seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Tong Wi-lian ternyata telah kalah kedudukan pada langkah pertama itu. Ketika seorang penerobos berbaju hitam menyerangnya dengan pisau, Tong Wi-lian mencoba menendang pergelangan tangan pemegang pisau itu dengan tendangan Pay-lian-ka, tapi ia sudah terlanjur menghirup asap pemabuk itu beberapa hirupan, sehingga keseimbangannya goyah dan waktu ia melakukan tendangan hampir saja tubuhnya roboh sendiri.

Ingat akan keselamtan puterinya, cepat ia meloncat ke arah pembaringan, namun alangkah terkejutnya ketika melihat tubuh Ting Hun-giok sudah berada dalam panggulan pundak dari salah seorang penerobos berbaju hitam itu, dan akan segera dibawa lari. Sedang dua orang lainnya berusaha merintangi Tong Wi-lian dengan pisau belati dl tangan mereka masing-masing.

Seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, Tong Wi-lian menerjang dengan setengah kalap, kepala pusingnya akibat asap pemabuk itu tidak dihiraukan, dan dengan sepasang tangan dan kakinya ia mencoba menyingkirkan kedua perintangnya. Tapi kedua orang itu bertahan gigih, sementara rasa pusing Tong Wi-lian semakin menghebat, dan kedua lawannya itu tidak merasakan apa-apa sebab mereka sudah lebih dulu menelan obat pemunahnya.

Suatu saat Tong Wi-lian terhuyung-huyung hampir roboh, dan kaki dari salah seorang penyerangnya itu telah menendang seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, pinggangnya dengan tepat mengenai jalan darah Ki-keng-hiat. Membuat pendekar wanita yang terkenal itu kali ini benar-benar roboh di tangan cecunguk-cecunguk tak dikenal.

"Istirahatlah baik-baik, li-hiap," kata salah seorang dari penculik itu sambil tertawa mengejek. "Jangan kuatirkan puterimu. Jika ia sudah tidak terpakai lagi maka tubuhnya akan menjadi penghias ruangan seni dari Hiangcu kami, dengan demikian akan terawat baik sepanjang umurnya..."

Tong Wi-lian meronta bangun sambil mengertak giginya, teriaknya, "Bangsat, kembalikan puteriku atau aku akan mencincang kalian kelak!"

Ketiga orang penculik itu nanya tertawa berbareng, dan dengan gerakan yang gesit merekapun menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan Tong Wi-lian yang tergeletak tanpa daya. Namun perempuan berhati baja itu tidak ingin menyerah kepada rasa pusingnya begitu saja. Ia tahu banwa begitu ia membiarkan puterinya dibawa kabur oleh penjahat-penjahat itu, maka nasib paling pahitlah yang akan dialami oleh anak satu-satunya itu.

Maka dengan mengerahkan tenaganya dia berdiri dan berjalan menuju ke pintu, dari situ la tanpa peduli orang lain lalu berteriak-teriak, "Bun-kol Bun-ko!"

Ting Bun yang tengah asyik menunggui pertarungan antara Bu-gong Hweshio melawan Sebun Him, yang perlahan-lahan tetapi pasti akan dimenangkan oleh Bu-gong Hweshio itu, menjadi terkejut ketika mendengar teriakan-teriakan isterinya itu. Cepat ia turun dari atas genteng dan dengan tergesa-gesa ia menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika melihat isterinya bermuka pucat dan berwajah gugup, sambil sekali-sekali memegangi keningnya yang masih pusing.

"A-lian, kenapa kau?!"

Sahut isterinya, "Jangan hiraukan aku A-giok diculik tiga orang berbaju hitam dan lari ke arah timur...."

Ting Hun-giok bagi ayahnya adalah barang mustika yang amat mahal, tak dapat ditukar dengan benda apapun juga, karena itu, tidak menunggu sampai kalimat itu selesai, Ting Bun telah meloncat kembali ke atas genteng dan tubuhnya bagaikan bayangan yang melesat ke arah timur. Goloknya telah tergenggam berkilat-kilat, sama berkllatnya seperti sepasang mata yang memancarkan kemarahan hebat itu.

Tingkah laku Ting Bun itu terlihat pula oleh Bu-gong Hweshio yang tengah menyelesaikan langkah-langkah terakhirnya untuk menangkap Sebun Hlm yang dikiranya bangsat pemetik bunga itu. Tanya Bu-gong Hweshio dengan berteriak dari tempatnya, "A-bun! Ada apa?!"

Sambil tetap berloncatan kencang dari genteng ke genteng, Ting Bun hanya sempat menjawab singkat, "Penculik A-giok...! Ke timur!"

"Bangsat!" bentak Bu-gong Hweshio sambil melancarkan sebuah serangan kepada Sebun Him. "Kiranya kau membawa pula teman-teman bajinganmu, dan menggunakan siasat untuk memancing kami..."

Sebun Him meloncat mundur dan sekali lagi berteriak, "Taysu, aku bukan Jai-hoa-cat. Orang baju hitam itu tadilah penjahatnya. Aku adalah Sebun Him, cucu murid Pat-hong-kiam-kong (Sinar Pedang Delapan Penjuru) Auyang Seng..."

Dengan menyebut nama yang terkenal dalam Hoa-san-pay itu, betul juga, serangan Bu-gong Hweshio mulai mengendor. Katanya, "Kalau kau benar-benar murid Hoa-san-pay, agaknya aku telah tertipu oleh bangsat baju hitam tadi. Tapi aku belum bisa mempercayaimu begitu saja. Tunggulah di sini, akan kukejar orang-orang yang menculik A-giok itu, nanti kita bisa bicara lagi panjang lebar untuk membuktikan pengakuanmu itu benar atau tidak!"

Dan tanpa menunggu jawaban Sebun Him lagi, Bu-gong Hweshio dengan menjinjing senjatanya telah melayangkan tubuhnya searah dengan TIng Bun tadi. Hweshio yang bertubuh besar dan nampak kasar itu ternyata hebat juga dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh), sehingga tubuhnyapun dapat bergerak dengan ringannya di atas genting-genting rumah yang tidak rata itu.

Sedangkan Sebun Hlm sendiri merasa harga dirinya tersinggung karena ia diharuskan menunggu seperti seorang pesakitan yang menunggu datangnya hakim yang akan mengadilinya. Bukan saja harga dirinya, tapi dianggapnya harga diri Hoa-san-pay ikut tersentuh jika dia melakukan apa yang dipesankan Bu-gong Hweshio tadi. Maka tanpa peduli pesan itu, ia meloncat turun, masuk ke dalam kamarnya, diletakkannya uang sewa kamar di atas meja, dan kemudian ia pun kabur lewat pintu belakang.

Saat itu tengah malam sudah lewat, tentu saja sudah tidak ada lagi rumah penginapan lain yang membuka pintunya. Maka Sebun Him terpaksa malam itu tidur di sebuah pagoda kosong, yang lama tidak terpakai, bercampur dengan kaum tunawisma. Semalam suntuk pula Sebun Him harus menghisap udara yang pengab bercampur dengan bau kotoran manusia.

Para penghuni pagoda kosong itu terlalu malas untuk mencari tempat diluar pagoda untuk kencing atau buang hajat, maka bila perut sakit dan terasa mendesak, seenaknya saja mereka kencing atau buang hajat di pojok-pojok tembok. Bagi mereka itu hal biasa.

Ketika fajar menyingsing dan ayam berkokok, Sebun Him merasa lega sebab la terbebas dari "neraka" itu. Semalam ia dapat juga tidur meskipun sebentar-sebentar ada bau tidak sedap tertiup angin dan menyelonong masuk ke hidungnya.

Setelah makan pagi di sebuah kedai, Sebun Him mencari toko pakaian untuk mencari ganti pakaiannya yang serba putih itu. Ia kini tahu bahwa pakaiannya yang menyolok mata itu mudah menarik perhatian orang. Sebagai tanda masih berkabung untuk kematian ayahnya, dia hanya melibatkan secarik kain di lengan kanannya, sementara di seluruh pakaiannya tidak ada warna merah sedikitpun.

Ia melangkah keluar dari pintu timur kota Tiang-an dengan tubuh yang segar, namun perasaan yang dibebani oleh beberapa persoalan. Dendam ayahnya belum terbalas, dan tiba-tiba muncul pula persoalan aneh yang membelit hatinya. Ia belum berkenalan dengan gadis yang diculik, saling berbicara sepatah katapun belum, la hanya baru bisa melihat matanya yang cerah dan lesung pipitnya yang menawan. Tapi ketika mendengar gadis itu hilang diculik oleh penjahat, maka Sebun Him merasa seakan ada yang hilang dari hatinya.

Tiba-tiba saja ia meletakkan kewajiban dalam hatinya sendiri, bahwa ia harus menemukan dan menyelamatkan gadis itu. Tidak sulit, sebab komplotan yang menculik gadis itu diduganya sama dengan komplotan yang selama ini membayangi Hoa-san-pay dan bahkan telah membunuh ayahnya. Oleh tekadnya itulah maka semangat Sebun Him berkobar hebat. Lupa la akan peristiwa semalam di mana ia hampir mampus oleh senjata hong-pian-jan dari Bu-gong Hweshio.

* * * * * * *

MALAM itu Ting Hun-giok yang pulas karena pengaruh aneh dari ilmu hitamnya Pui In-bun itu telah berhasil diculik oleh Pui in-bun. Ketika gadis itu sadar karena wajahnya terhembus oleh angin malam yang dingin, maka didapatinya dirinya tengah dipanggul oleh seseorang dan dibawa berlari-lari ke suatu arah.

Ia terkejut dan berusaha mengerahkan tenaganya untuk melepaskan diri, namun tenaganya lenyap semuanya, untuk menggerakkan kaki dan tangannya saja ia tidak punya tenaga lagi. Sadarlah bahwa penculiknya itu tentu telah menotok jalan-darah pelemasnya, dan totokan itu tentu akan "diperpanjang pelakunya" setiap beberapa waktu, sehingga kini ia benar-benar telah menjadi seorang tawanan yang tanpa daya.

Rasanya ia ingin menangis saja, apalagi karena siangnya ia dan ayah ibunya serta supeknya baru saja membicarakan soal Jay-hoa-cat yang merajalela di Tiang-an, maka ini la menduga bahwa penculiknya itu tentu penjahat yang dibicarakan itu. Ingin rasanya Ting Hun giok menangis memikirkan nasibnya. Seorang gadis yang tergolong cantik seperti dirinya, jatuh ke tangan seorang penjahat pemetik bunga, maka apa yang akan terjadi atas dirinya dapatlah dibayangkan.

Tapi agaknya gadis itupun mewarisi watak ayah dan Ibunya yang berhati keras, darah keluarga yang melahirkan manusia-manusia semacam Hwe-liong-Pangcu Tong Wi-siang, Gin-yan-cu Tong Wi-hong serta Tong Lam-hou, mengalir juga dalam tubuh gadis itu. Dalam kesulitan seperti itu ia tahu bahwa merengek dan menangis tidak ada gunanya malahan akan membuat musuhnya bersorak kegirangan. Yang penting adalah memutar otak untuk mencari akal, meskipun akal itu belum juga dlketemukannya.

Ketika Tlng Hun-giok membuka matanya dan mencoba melirik ke sekitarnya, maka ia tahu bahwa dirinya tengah dibawa berlari-lari lewat tempat yang banyak pepohonannya dan gelap. Jelas itu adalah luar kota, bukan dalam kota Tiang-an. Dan hati Tlng Hun-giok mendongkol bercampur takut ketika merasa bahwa tangan dari orang yang memondongnya Itu mulai menggerayangi bagian-bagian tubuhnya sambil tetap berlari. Andaikata tubuhnya tidak tertotok, ingin rasanya Ting Hun-giok menghantam wajah jay-hoa-cat itu sampai habis semua giginya.

Tak lama kemudian, Pui In-bun yang memondong Ting Hun-giok itu tiba di depan sebuah gubuk yang letaknya terpencil di tengah-tengah kebun sayuran. Dari dalam gubuk masih terlihat sinar pelita berkelap-kelip, dan Pui In-bun segera membukakan pintu dengan tendangan kakinya, sambil berteriak, "Han Popo (nenek Han), aku datang!"

Di dalam gubuk itu ada seorang nenek-nenek berwajah seram yang agaknya tidak terkejut menghadapi tingkah laku Pui In-bun yang kasar itu. Tanyanya, "Kau dapatkan gadis yang diingini Liong Tongcu itu?"

"Kerjaku selalu beres," kata Pui In-bun sambil tertawa. "Kali ini Liong Tong-cu (si Tongcu she Liong) akan puas mengisap darah puteri dari musuh besarnya itu. Tetapi akupun akan mendapat kepuasan, sebab belum pernah kutemukan gadis secantik ini!"

Si nenek Han kelihatan terkejut mendengar kalimat Pui In-bun yang terakhir ini. Katanya, "Hah, kau jangan bermain-main dengan nyawamu sendiri. Kalau Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji sampai tahu bahwa gadis ini kau serahkan kepadanya dalam keadaan sudah tidak perawan lagi, maka kepalamu akan dibabatnya sampai menggelinding ke tanah. Ilmu Siu-bok-tiang-seng-kangnya senantiasa membutuhkan darah segar dari seorang gadis suci."

Namun Pui In-bun agaknya sudah berkobar, nafsunya sejak ia melihat Ting Hun-giok tadi siang, apalagi setelah ia merasakan gesekan tubuhnya dengan tubuh gadis yang padat itu selama ia memondongnya dari kota Tiang-an sampai ke gubuk Han Popo ini. Katanya,

"Ilmu yang tidak masuk akal. Apa bedanya darah gadis yang masih perawan dan yang sudah tidak perawan? Toh yang dibutuhkan oleh kelelawar gila itu hanya darahnya untuk diminum, bukan lain-lainnya. Dan aku hanya membutuhkan kehangatan tubuhnya untuk malam ini saja sebelum besok gadis ini kita bawa ke Kui-kiong" Sahut Han Popo, "Aku hanya memperingatkanmu, Liong Pek-ji tidak akan tanggung-tanggung bertindak kepadamu Jika kau melakukan hal ini. Dia adalah orang kesayangannya Te-liong Hiangcu, dan jika dia ingin mengambil batok kepalamu maka tak seorangpun di Kui-kiong yang dapat melindungimu. Te-liong Hiangcu sendiri pasti akan merestui kemauan Liong Pek-ji..."

Sekilas nampak perasaan gentar muncul di wajah Pui In-bun. Cukup berhargakah riyawatnya apabila ditukar dengan kehangatan dan kenikmatan selama satu malam bersama gadis yang masih dalam pondongannya itu. Sesaat la kelihatan ragu-ragu, namun akhirnya dengan nekad ia berkata, "Han Popo, kita harus bekerja sama. Dirumah ini hanya ada kau dan aku, sikelelawar busuk itu tidak tahu apa yang kuperbuat malam ini jika kau tidak membocorkannya, nah, tutup mulutmu dengan ini, setuju?"

Sambil berkata demikian, dengan, satu tangannya Pul In-bun merogoh ke dalam sakunya dan dikeluarkannya seuntai kalung mutiara yang berkilauan tertimpa cahaya pelita. Sebenarnya Pui In-bun sendiri sangat sayang kepada benda yang dicurinya dengan mempertaruhkan nyawa dari gedung kediaman Sunbu (gubernur) wilayah Ou-lam itu.

Namun apa-boleh buat, Ting Hun-giok sudah terlanjur membangkitkan seleranya sehingga sukar dipadamkan lagi. Andaikata yang dihadapinya bukan Han Popo, Pui In-bun rasanya lebih suka menikamkan pedangnya ke tubuh orang yang menjadi saksi perbuatannya itu daripada menyerahkan kalung mutiara itu.

Namun ia tidak dapat berbuat demikian kepada nenek nenek yang kelihatannya lemah itu, sebab dia tahu bahwa Han Popo adalah sesosok Iblis betina yang kepandaiannya setingkat dengan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji atau pembantu-pembantu utama Te-liong Hiangcu lainnya. Berusaha membunuh Han-Popo dengan tingkat ilmu silatnya yang seperti sekarang ini sama saja dengan membenturkan sebutir telur ke batu alias bunuh diri.

Sementara itu Ting Hun-giok yang masih dipanggul oleh Pui In-bun itu meskipun tubuhnya tak berdaya karena totokan, namun panca-indera pendengarannya masih bekerja dengan baik, dan bergidiklah la ketika mendengar percakapan antara Pui In-bun dengan nenek yang dipanggil Han Popo itu. la mendengar dirinya akan diperkosa kehormatannya atau dibiarkan tetap suci namun diminum darahnya mentah-mentah, dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Ia mengeluh dalam hatinya.

Kini ia tidak hanya menduga-duga saja tetapi sudah pasti bahawa dirinya telah terjatuh ketangan sebuah gerombolan Iblis menakutkan. Kalau bukan gerombolan Iblis, gerombolan apa namanya yang didalamnya terdapat orang-orang yang suka memperkosa dan lainnya lagi suka meminum darah sesama manusia? Dalam hatinya Ting Hun-giok berharap mudah-mudahan Han Popo tetap bersikeras untuk menahan niat Pui In-bun itu.

Jika demikian, mungkin ia akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri selama ia berada dalam perjalanan menuju Kui-kiong (Istana Iblis) itu. Tapi jika ia diperkosa malam itu juga, maka ia merasa hidup menanggung noda seperti itu tidak ada gunanya, ada kesempatan untuk laripun percuma. Aib itu bukan hanya aib dirinya pribadi tetapi juga aib keluarganya, sebuah keluarga para pendekar yang terhormat dl dunia persilatan.

Namun Ting Hun-giok menjadi berdebar-debar ketika didengarnya suara gemericik karena Han Popo agaknya mulai menimang-nimang kalung mutiara itu, lalu nenek itu terkekeh-kekeh dan berkata, "Eh, agaknya kau sangat getol memiliki gadis cantik itu malam ini juga, sehingga tidak segan-segan menyuap nenekmu dengan benda semahal ini.”

Kata Pui In-bun sambil menyeringai, "Kalung itu cocok sekali untuk nenek, meskipun nenek sudah tua tapi masih antik dan kelihatan duapuluh lima tahun lebih muda dari umur yang sebenarnya."

Kembali Han Popo terkikik-kikik dan Ting Hun-giok mulai memaki-maki dalam hatinya. Terdengar suara Han Popo, “Pintar juga kau merayu nenekmu. Baik, berbuatlah sesukamu dan aku akan menganggap diriku ini tuli dan buta akan apa yang terjadi malam ini di gubuk ini. Kalau kelelawar busuk itu marah, biar aku menghadapinya. Biar keriput begini aku ini bekas pacar Te-liong Hiangcu semasa kami masih sama-sama muda... hi-hi-hi. Oh, bagus benar kalung ini, dari mana kau menyabetnya?"

Pui In-bun tertawa kegirangan, "Terima kasih, Han Popo, kelak akan kubawakan yang lebih bagus lagi biar kecantikanmu pulih dan Te-liong Hiangcu sering mengunjungimu lagi. Nah, di kamar mana aku akan bermalam pengantin?"

"Di belakang sana, seperti biasanya."

Bagi Ting Hun-giok, ucapan itu seperti keputusan seorang hakim yang menjatuhkan hukuman paling mengerikan bagi terhukum, ia seperti seorang yang bergantung di pinggir jurang dan tiba-tiba satu-satunya pegangannya itu runtuh. Dan kini tubuhnya sedang meluncur turun ke sebuah jurang yang menganga, jurang kehinaan dan kenistaan yang bagi seorang wanita terhormat lebih menakutkan dari kematian.

Pui In-bun membawa tawanannya ke sebuah kamar yang terletak di bagian dalam dari gubuk Han Popo itu. Di dalamnya ternyata cukup rapi, bahkan dilengkapi dengan dupa harum pula, agaknya di tempat inilah Pui In-bun biasa "memangsa" korban-korbannya yang diculiknya dari kota Tiang-an. Dengan hati-hati seolah-olah membawa boneka porselin yang gampang pecah, la meletakkan tubuh Ting Hun-giok ke atas pembaringan berkelambu warna merah jambu, sambil menyeringai la berkata kepada Ting Hun-giok yang tertotok tak berdaya itu,

"Jangan kuatir, adikku manis, memang terasa menakutkan pertama kalinya, tapi lama-kelamaan kau akan menikmatinya dan bahkan ketagihan."

Ting Hun-giok menatap Pui In-bun dengan pandangan yang merupakan campuran antara dendam sakit hati dengan keputus-asaan. Tapi ia benar-benar tidak berdaya, sebab bukan cuma jalan darah pelemasannya yang tertotok tetapi juga jalan darah ah-hiat (jalan darah pembisu)nya, jadi ingin berteriakpun tidak bisa. Ia memejamkan matanya ketika Pui in-bun naik ke pembaringan pula di sebelah tubuhnya dan tangannya mulai berkeliaran, napasnya mulai terdengar terengah-engah dekat sekali di pipi Ting Hun-giok.

"Belum pernah kudapatkan gadis secantik kau," kata Pui In-giok sambil jari-jarinya mulai melepaskan kancing baju gadis itu. "Rasanya cukup setimpal jika aku sedikit mempertaruhkan nyawaku dengan menentang kemauan Liong Tongcu..."

Ting Hun-giok sudah merasa jari-jari orang itu menyentuh kulit dadanya. Tapi pada saat gairah Pui In-bun semakin memuncak melihat kulit dada yang putih halus itu, tiba-tiba dirasanya sebuah benda dingin tajam menempel di tengkuknya, dan terdengar pula sebuah suara yang sama dingin dan tajamnya,

"Turun dari, pembaringan itu, bangsat. Suhengku menghendaki darah gadis itu dan kau tidak berhak menyentuhnya!"

Alangkah mendongkolnya Pui In-bun, ia kenal suara itu adalah suara rekannya sendiri. Im Yao yang berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi), si kakak dari pasangan penjahat kakak beradik yang disebut Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam), dan juga adik seperguruan dari Liong Pek-ji yang berjulukan Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah).

Dengan muka merah padam Pui In-bun membalikkan badan dan berteriak, "Im Yao, sejak kapan kau jadi senang mengganggu kesenanganku? Kau kira karena kau adalah adlk-seperguruan Liong Tongcu maka kau bisa berbuat seenaknya kepadaku?"

Sikap Im Yao ternyata tetap dingin saja, "Dalam segala tindakanku, aku tidak mengandalkan siapa-siapa, hanya mengandalkan pedangku ini. Kalau kau merasa penasaran karena tindakamu kucegah, hunus pedangmu dan kita tentukan siapa yang berhak melihat matahari esok pagi."

Betapapun marahnya Pui In-bun karena hasratnya yang sudah berkobar-kobar itu tiba-tiba patah di tengah jalan, namun la keder juga melihat sikap kelelawar sayap besi itu, sebab tingkatan ilmu Im Yao hanya selapis tipis di bawah tingkatan kakak seperguruannya, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji. Maka sikap Pui In-bun melunak,

"Im Lotoa, kalau kau inginkan pula gadis itu, silahkan menunggu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita bahwa apa yang kita dapatkan bersama-sama akan kita nikmati bersama-sama pula? Tapi jangan bersikap kurang bersahabat seperti ini."

Yang tidak senang mendengar percakapan itu adalah Ting Hun-giok. Jadi ia akan dijadikan "prasmanan" oleh bandit-bandit ini? Namun ia lega ketika mendengar jawaban Im Yao yang tegas, "Tidak. Untuk gadis yang harus kita serahkan kepada Liong Suheng ini kita harus memperlakukan istimewa. Keluar kau!"

"Im Lotoa, dengarlah dulu..."

"Keluar kau!"

Alangkah sakitnya hati Pui In-bun mengalami peristiwa itu, sudah nafsunya tidak tersalur di tengah jalan, masih dibentak-bentak seperti anjing pula. Tapi apa daya, keselamatan nyawanya harus diutamakan, maka terpaksa ia harus mengalah. Sekali lagi ia melirik ke arah Ting Hun-giok yang terbaring dipembaringan dengan baju yang sudah setengah terbuka itu, tetapi makanan empuk di depan mata itu harus dilepaskannya. Ia pun melangkah keluar dari ruangan itu, dalam hatinya mengutuk Im Yao, mengutuk Han Popo dan mengutuk pula dirinya sendiri yang dianggapnya bernasib kurang baik.

Ketika dirinya tinggal berdua saja dalam kamar dengan Im Yao, maka rasa takut Ting Hun-giok masih belum hilang. Apakah dirinya ini Ibarat lepas dari mulut harimau tetapi masuk ke mulut buaya?

Im Yao memang menatap tubuh Ting Hun-giok dengan pandangan mata yang menakutkan. Sudah puluhan perempuan yang diperkosanya, namun belum pernah ditemuinya yang secantik ini, apalagi dengan baju yang setengah terbuka memperlihatkan kulit yang bersih menantang itu, hasil kerja Pui In-bun tadi. Dan ketika melihat mata gadis itu, hati Im Yao pun tergetar. Mata yang sangat bagus, namun mata itu kini seperti mata seekor kelinci yang ketakutan menatap seekor harimau yang akan menerkamnya.

Selama menjadi penjahat, belum pernah perasaan Im Yao tergerak sedikitpun oleh perasaan belas kasihan, meskipun korbannya meratap-ratap di kakinya, bahkan jerit tangis mereka akan merupakan "musik" merdu bagi telinganya. Tapi kali ini Im Yao merasa tertusuk oleh pandangan Ting Hun-giok, pandangan mata yang seolah memohon belas kasihan tetapi seolah juga sangat membenci itu. Tiba-tiba Im Yao membuang pandangannya ke samping, dan menggeram dalam hatinya sendiri,

"Edan, kenapa sekarang aku menjadi sepengecut ini? Tidak pantas aku menjadi anggota Kui-kiong dan adik seperguruan Liong Suheng."

Dengan menguatkan hatinya ia menatap kembali wajah Tlng Hun-giok dan dilihatnya mulut gadis itu bergerak-gerak seolah akan berbicara, tapi tak ada suara keluar dari mulutnya sebab hiat-to pembisunya masih tertotok. Entah digerakkan oleh pengaruh apa, tiba-tiba saja jari Im Yao terulur untuk membebaskan totokan jalan-darah pembisu gadis itu.

Dan seakan di luar kesadarannya sendiri maka Im Yao mengambil mantel gadis itu yang tergeletak di lantai dan menyelimutkannya ke tubuh gadis itu. Perbuatan yang jarang sekali dilakukan dalam hidupnya. Yang sering dilakukannya, bahkan puluhan kali, adalah merobek-robek pakaian korbannya sampai habis, lalau ia menerkamnya tanmpa ampun.

"Terima kasih," sebuah suara merdu menyusup masuk ke telinganya.

Hati Im Yao kembali bergolak. Yang masuk ke telinganya biasanya kalau bukan jeritan kesakitan dan ketakutan tentunya caci-maki atau kutukan korban-korbannya. Mana pernah ia mendengar ucapan yang bernada begitu hangat, ucapan yang seharusnya menjadi pengerat antar manusia? Sesaat lamanya Im Yao merasakan dirinya sebagai sesosok iblis yang dibenci dan ditakuti, dan pandangan matanya yang tajam menakutkan itu mulai pudar. Kepalanyapun terangguk kecil membalas ucapan terima kasih itu.

Namun ia sudah terlalu lama hidup dalam dunia yang gelap, dingin dan jauh dari perasaan antar manusia umumnya. Te-liong Hiangcu selalu menekankan kepada anakbuahnya bahwa perasaan belas kasihan, cinta, terharu dan sebagalnya adalah perasaan-perasaan yang cengeng yang tidak boleh ada dalam diri setiap angogta Kui-kiong.

Setiap anggota Kui-kiong harus garang, patuh kepada perintah, tak berperasaan dan berdarah dingin, dan dalam usianya yang hampir tigapuluh tahun itu Im Yao sudah dididik demikian dalam jangka waktu hampir tiga-perempat dari umurnya sendiri. Ia terkejut ketika ia menyadari dalam dirinya telah timbul setitik "kelemahan".

Tiba-tiba sikap Im Yao berubah, ia menyesal telah mengangguk membalas ucapan terima kasih tadi, dan kini la harus menunjukkan kegarangannya. Pandangan matanya menjadi tajam kembali dan wajahnya mengeras, katanya, "Jangan berterima kasih kepadaku. Aku sama jahatnya dengan anjing yang baru ku-tendang keluar tadi, dan kelak kau akan tahu itu."

Lalu tanpa berani menatap mata Ting Hun-giok lagi, orang berwajah dingin itupun berlalu dari ruangan itu. Meninggalkan Ting Hun-giok yang tertotok lemas di pembaringan itu. Gadis itu agak tenang malam itu dan dicobanya untuk tidur meskipun ia tidak tahu nasib yang bakal menimpa dirinya besok pagi. Asal sehari masih bisa hidup dengan tetap menjaga kehormatannya, maka sehari pula masih ada kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis-lblis itu. Dan malam itu memang tidak ada gangguan dari Pui In-bun sehingga Ting Hun-giok dapat tidur dengan pulasnya.

Rupanya, betapapun besar hasrat Pui In-bun atas diri gadis itu, namun tidak akan berani untuk mempertaruhkan batang lehernya untuk melawan adik-adik seperguruan Liong Pek ji yang kemampuannya tidak jauh berbeda dengan Liong Pek-Ji sendiri itu. Bahkan Han Popo sendiripun tidak berarti terhadap Im Yao dan Im Kok, meskipun sudah menerima kalung mutiara dari Pul In-bun.

Ting Hun-giok bangun ketika mendengar suara ayam berkokok keras sekali, ia baru saja bermimpi bertemb dengan ayah-ibunya dan berada dalam perlindungan mereka yang hangat, namun sayang hanya mimpi. Dan ketika ia bangun dari tidurnya, maka la masih berada di ruangan yang hampir saja membuahkan malapetaka bagi dirinya itu. Ia menahan diri agar tidak mengeluarkan air matanya, sebab sebentar lagi ia tahu musuh-musuhnya akan masuk ke situ untuk "memperbarui" totokannya itu.

Benar juga, pintu berderit dan didorong dari luar, lalu masuklah seorang nenek-nenek bermuka seram tetapi lehernya memakai kalung mutiara yang indah sekali. Begitu masuk, nenek-nenek itu tanpa perasaan sedikitpun menotok pinggang Ting Hun-giok, lalu dicopotinya semua pakaian gadis itu dan diganti dengan pakaian yang buruk. Katanya dingin,

"Kau tidak perlu kelihatan cantik jika ingin menemui si kelelawar busuk she Liong itu. Yang penting darahmu segar dan masih murni, sebab si kelelawar busuk itu hanya doyan darah dan tidak doyan paras cantik. Itulah agaknya yang membuat ilmunya terpupuk dengan baik dan dari waktu ke waktu terus meningkat pesat. Berbeda dengan si kura-kura Pui In-bun itu...."

Begitulah, sambil mengganti pakaian Ting Hun-giok, nenek itu tidak henti-hentinya, menggerutu. Dan meskipun Ting Hun-giok bisa berbicara, ia merasa lebih baik bungkam saja. Beberapa saat kemudian Han Popo berteriak ke luar pintu, "Im Lotoa masuklah, aku sudah selesai...!"

Lalu pintu terbuka lagi dan Im Yao melangkah masuk. Kali ini didampingi seseorang yang mukanya mirip dengannya, dan agaknya sama jahatnya, hanya saja usianya lebih muda. Begitu masuk, yang lebih muda itu langsung menyeringai dan berkata, "Wah, tanpa pakaian baguspun ternyata tetap cantik. Pantas Pui In-bun semalam hampir gila dibuatnya."

Sahut kakaknya, "Tutup mulutmu. Justru karena dia cantik maka sepanjang perjalanan tugas kita bertambah berat. Melindungi dia dari incaran Pui In-bun...."

"Dan juga menahan diri kita sendiri bukan?" sambung Tui-hun-hok Im Kok sambil cengingisan.

"Jangan main-main. Kau berani berhadapan dengan Toa-suheng?" gertak kakaknya. "Jangan menjadi gila karena seorang gadis."

Im Kok diam tidak membantah lagi, namun diam-diam la pun menjadi heran melihat perubahan sikap kakaknya. Perubahan sikap terhadap gadis bernama Ting Hun-giok itu nampaknya agak mendasar, bukan karena sekedar takut kepada Toa-suhengnya Liong Pek-ji. Biasanya kakaknya kalau melihat tawanan secantik itu akan melotot seperti kucing melihat dendeng; kini malahan bersikap begitu alim.

Bahkan ketika Han Popo hendak mengganti pakaian gadis itupun maka sang kakak memilih untuk tetap berdiri di luar pintu tertutup sampai Han Popo selesai dengan tugasnya, dan ia juga melarang semua orang laki-laki untuk masuk ke kamar, tidak terkecuali adiknya sendiri yang ingin "meninjau" cara kerja Han Popo.

"Jangan-jangan kakakku ini jatuh cinta kepada gadis ini, seperti yang dikisahkan oleh para kutu-buku dalam syair-syair cengeng mereka?" pikir Im Kok. Lalu ia tersenyum geli sendirinya. Istilah "jatuh cinta" untuk orang-orang Kui-kiong tidak dikenal, malahan kedengarannya aneh dan tolol.

Di luar gubuk Han Popo itu ada sebuah kereta dan beberapa ekor kuda. Selain Pui In-bun yang wajahnya masih kelihatan penasaran, juga nampak beberapa orang yang berpakaian ringkas dan menyandang senjata.

Ketika Ting Hun-giok digiring keluar dari dalam gubuk dan dimasukkan kereta setelah ditotok jalan darahnya, maka salah seorang dari lelaki berpakaian ringkas itu berkata kepada Im Yao dengan hormatnya, "Aku baru saja dari kota Tiang-an dan melihat orangtua gadis itu serta si pendeta pembunuh kerbau itu sudah meninggalkan Tiang-an menuju ke arah timur."

"Bagus, dan kita akan menuju tenggara, langsung ke Kui-kiong", kata Im Yao dingin.

"Kau lihat tidak pemuda Hoa-san-pay yang kidal dan berpakaian serba putih itu?"

"Setelah perkelahian dengan pendeta pembunuh kerbau itu selesai, pemuda itu menghilang dari penginapan dan entah ke mana."

"Jadi kalian kehilangan jejak pemuda baju putih itu?"

Wajah anak buah Im Yao itu nampak takut, suaranyapun tergagap, "Ya...ya... kalau tuan perintahkan maka kami segera akan mencoba melacak jejaknya.”

Dalam hatinya si anak buah itu sudah membatin, kalau bukan hukuman mati paling tidak beberapa gablokan akan mendarat di wajahnya dan ia akan kehilangan beberapa giginya. Tapi alangkah terkejutnya si anak buah itu ketika melihat Im Yao malah tersenyum ramah, sesuatu yang tak pernah dilihatnya selama ia menjadi anak buahnya, dan lebih-lebih lagi kemudian Im Yao menepuk pundak anak buahnya itu dengan sikap akrab. Sambil berkata,

"Tidak usah, tugas membunuh pemuda baju putih itu bukan bagian kelompok kita. Kemarin aku memerintahkan demikian hanya sebagai sambilan saja, siapa tahu mendapat pahala dari Teliong Hiangcu. Yang utama sekarang adalah menuju Kui-kiong dengan mengawal tawanan ini, sedang tugas membunuh Sebun Him akan tetap menjadi bagian kelompoknya Kiu-bwe-coa Leng Bok-hou. Kita tak usah merebut pahalanya."

"Baik", sahut para anak buahnya dengan perasaan masih kurang percaya.

Ketika Im Yao tanpa sadar menoleh ke arah Ting Hiin-giok, maka gadis itu pun kebetulan sedang melihat kearahnya, bahkan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Im Yao terkesiap, cepat-cepat dikuasainya goncangan hatinya, dan dengan sikap sangat garang ia membentak, "Kenapa kau cengar-cengir kepadaku? Kau kira bisa melunakkan hati kami dengan sikapmu itu? Cepat masuk ke kereta!”

Seumur hidupnya sebagai anak tunggal sebuah keluarga pendekar, belum pernah Tin Hun-giok dibentak-bentak seperti itu oleh orang lain, kecuali oleh ayah-ibunya sendiri. Alangkah sakit hatinya, namun ia merasa lebih baik diam saja, daripada salah ucap dan menimbulkan kemarahan penjahat-penjahat itu.

Namun bagi orang-orang yang sudah biasa menyaksikan kegarangan Im Yao, sikap Im Yao itu jauh lebih lunak dari biasanya. Harusnya Im Yao menarik rambut gadis itu dan membantingkannya ke dalam kereta. Malah pernah Im Yao memenggal langsung kepala dari seorang tawanan yang menjengkelkannya, tanpa peringatan apapun lebih dulu.

"Berangkat!" kata Im Yao dengan sikap dibuat segarang mungkin.

Maka rombongan itupun berangkat. Sebuah kereta tertutup dengan seorang sais yang menjalankan keretaa dan seorang lagi berada di dalam untuk menjaga tawanan. Sementara Im Yao, Im Kok, Pui In-bun dan beberapa anggota Kui-kiong lainnya yang bertampang buas-buas, lebih suka menunggang kuda daripada duduk dalam kereta yang gelap dan tidak bisa melihat pemandangan indah di luaran. Rombongan itu menuju ke tenggara, diantar dengan pandangan mata oleh Han Popo yang tetap tinggal di gubuk itu.

Mereka menuju ke arah utara, mula-mula melalui jalan yang lebar, tapi jalan itu semakin sempit dan semakin sepi. Dan ketika matahari terbenam, mereka beristirahat di sebuah padang rumput yang dikelilingi hutan. Di situ mereka duduk berkeliling di perapian, sambil memanggang beberapa binatang hutan yang berhasil mereka buru. Ting Hun-giok atas ijin Im Yao diijinkan keluar dari kereta tertutup itu dengan totokan yang dibuka, dan melemaskan otot.

Serasa segar juga setelah seharian tersekap dalam kereta tertutup dan tidak bisa melihat lain kecuali tenda kereta yang berwarna kusam. Bahkan kemudian Ting Hun-giok minta ijin kepada Im Yao untuk membersihkan diri di sebuah mata air tidak jauh dari situ, sebab keringat yang melekat seharian di tubuhnya terasa tidak enak juga.

Begitu mendengar Ting Hun-giok akan mandi, Pui In-bun cepat-cepat berdiri dan berkata kepada Im Yao, "Supaya gadis itu tidak melarikan diri, biar aku yang mengawasinya, Im Lotoa!"

"Biar aku saja, mana pantas tuan Putri mengerjakan pekerjaan rendahan itu?" kata seorang anak buah Kui-kiong yang sebelah matanya ditambal kain hitam.

Lalu Tui-hun-hok Im Kok ikut bersuara pula, "Bangsat-bangsat itu kurang bisa dipercaya, toako, kalau aku sih lebih meyakinkan...”

Begitu mereka berebutan hendak mengantar Ting Hun-giok ke mata air itu. Sementara Ting Hun-giok sendiri menyesal telah mengucapkan kata-katanya itu di tengah-tengah lelaki-lelaki garang itu, kata-kata yang memang bisa menimbulkan angan-angan tak keruan di otak mereka yang jorok.

"Aku...aku tidak jadi ke mata air saja..." kata Ting Hun-giok dengan suara gemetar.

Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Kau tetap harus ke sana. Aku sendiri akan mengantarmu!"

Muka Ting Hun-giok menjadi pucat, ia tidak tahu apakah pemimpin dari rombongan ini benar-benar ingin melindunginya dari kebuasan anakbuahnya, ataukah malahan orang ini lebih buas dari anakbuahnya? Dan sebelum Ting Hun-giok berkata lagi, Im Yao telah membentak, "Cepat!"

"A...aku tidak jadi saja..."

"Cepat! Atau kau harus kuperlakukan kasar di sini?!" teriak Im Yao.

Dalam keadaan terjepit, maka keberanian Ting Hun-giok pun timbul, dengan nekad ia menantang mata Im Yao dengan matanya sendiri yang memancarkan kema rahan. Katanya tegas, "Tidak! Aku membatalkannya, kalau kau memaksa aku memang lebih baik aku mati di sini!"

Im Yao membuang mukanya karena tidak tahan menentang mata gadis itu, Namun ia tetap memaksakan diri untuk bersikap garang, "Tidak semudah itu kau menentukan mati-hidupmu sendiri, Kamilah yang menentukan!"

Bersamaan dengan kata-katanya itu tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah gadis itu, dan dengan sebuah totokan kilat ia telah menotok pinggang gadis itu. Sebelum ting Hun-giok jatuh ke tanah, Im Yao telah menyambut tubuhnya dan langsung memanggulnya di pundaknya sambil berkata, "Tidak seorangpun boleh bicara mencla-mencle di depanku. Kau bilang ingin mandi, kau benar-benar harus mandi...!"

Lalu dengan memanggul tubuh gadis itu, Im Yao melangkah lebar ke mata air yang terletak di balik segerumbul pepohonan lebat. Anak buahnya serempak berdiri dan hampir berbareng mereka menyatakan kesediaan untuk mengawal pemimpin mereka, tapi suara mereka bungkam seketika ketika mendengar Im Yao berkata dengan tegas, "Semua tinggal di sini. Siapa yang menentang perintahku, penggal kepala hukumannya! Lo-ji, kau awasi mereka!"

"Baik, Lotoa!" sahut adiknya sambil menelan ludahnya, sebab diapun sebenarnya ingin ikut ke mata air itu. Tapi ia tahu betapa keras watak kakaknya dan ia tidak berani membantah pesannya.

Ketika Im Yao menghilang di balik gerumbul pepohonan itu, maka Pui In-bun membanting kakinya dengan jengkel sambil berkata kepada Im Kok, "Kakakmu itu benar-benar keterlaluan. Kenikmatan yang sebenarnya bisa dicicipi bersama malahan hendak dilalapnya sendirian. Huh!”

Tui-hun-hok Im Kok mencoba menghibur rekannya itu, "Sudahlah. Aku pun kecewa, tapi kelak aku akan menemanimu mencari yang lebih hebat dari gadis itu. Tapi saat ini jangan melanggar pesan-pesan kakakku."

Sementara itu, begitu tiba di mata air itu Im Yao menurunkan tubuh Ting Hun-giok dan berkata dingin, "Nah, bersihkan tubuhmu!"

Ting Hun-giok melotot Kepada im Yao dan berkata sambil menahan tangis, "Kau keterlaluan sewenang-wenang kepadaku. Cabut pedangmu dan bunuh saja aku. Itu lebih baik daripada kau hina aku seperti ini!"

"Kau ingin mandi sendiri atau aku yang memandikanmu?"

"Bunuh aku! Kumohon, bunuh aku!"

"Tidak! Suhengku membutuhkan kau karena kau adalah puteri musuh besarnya yang dibencinya. Mandilah, aku tidak akan melihatmu!"

Ting Hun-giok terkejut ketika mendengar suara yang melunak itu. Ia agak teran melihat kelakuan pemimpin kawanan penjahat yang menawannya itu. Saat itu matahari belum tenggelam sepenuhnya dan masih ada sisa-sisa cahaya di langit, Ting Hun-giok menatap orang itu seorang yang bertubuh agak kurus, dengan mata yang tajam dan dari mata itu terpancar kehampaan jiwa yang dicobanya ditutup-tutupi dengan sikap yang kejam dan bahkan kadang-kadang tidak segan-segan mengorbankan nyawa orang lain.

Di dekat alis mata kanannya ada sebuah luka memanjang, mungkin bekas terkena senjata, dan Ting Hun-gok harus mengakui bahwa andaikata janggut dan rahangnya dicukur bersih, orang ini agaknya cukup tampan juga.

Im Yao mendengus melihat sikap gadis itu, katanya dingin, "Jika aku ingin memperkosamu, aku tidak akan membebaskankan totokanmu tadi. Meskipun aku adalah penjahat yang paling busuk, aku pantang menjilat ludahku sendiri, kalau aku bilang tidak akan melihatmu mandi maka aku benar-benar tidak akan melihatmu, kau tidak percaya?"

Ting Hun-giok tidak menjawab namun bersisikap ragu-ragu. Sementara Im Yao berkata lagi, tetap dengan suaranya yang dingin dan ketus, "Aku tidak berselera memperkosamu, barangkali lain kali aku berselera!"

Meskipun sikap orang itu selalu begitu dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang menyakitkan hati, namun tiba-tiba Ting Hun-giok merasa bahwa orang itu tidak jahat. Barangkali hanya karena pengaruh lingkungan, atau kekurangan perhatian dari sesamanya, atau mungkin juga rendah diri. Tapi, untuk mandi dengan ditunggui orang itu, Ting Hun-giok merasa risi juga.

"Kau mempermainkan aku, he? Kau sudah kuantar ke mari dengan menangung kecurigaan teman-temanku, dan sekarang kau hanya termangu-mangu seperti kesambet setan? Ingat, aku bisa berbuat kasar sekali kepadamu... suatu kehinaan yang tidak bakal bisa kau lupakan meskipun kau sudah menjadi roh halus sekalipun!"

Perasaan yang peka dari Ting Hun-giok merasa bahwa Im Yao tidak menjiwai kata-kata menakutkan yang diucapkannya itu. Tiba-tiba timbul kenekadan Ting Hun-giok untuk menguji sampai di mana kesungguhan sikap orang ini. Dengan muka merah ia berkata, "Baik. Kau menghadap ke sana...!"

Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Im Yao membalikkan tubuhnya untuk membelakangi mata air itu. Jantungnya berdegup keras ketika kupingnya mendengar desir dari orang yang melepas pakaian, diikuti dengan suara menceburnya tubuh seseorang kedalam air. Nafsu setan yang selama ini selalu dilampiaskannya tanpa dikekang, menimbulkan dorongan dalam hatinya untuk menengokkan kepalanya ke belakang dan kalau perlu menerkam korbannya yang sangat cantik itu. Tapi kepalanya ternyata tidak juga menoleh, ada kekuatan lain di dalam jiwanya yang menahannya untuk tidak melakukan itu, kekuatan yang melebihi nafsu iblisnya.

Sementara itu, Ting Hun-giok sendiri bukannya tidak hampir copot jantungnya. Sambil membersihkan badannya dia selalu melihat dengan waspada ke arah Im Yao yang duduk membelakanginya seperti sesosok patung itu. Di tepian itu, hanya selangkah dari tempatnya berendam di air jernih, ada sebuah batu hitam yang amat keras dan berpinggiran tajam. Jika Im Yao menunjukkan gerakan yang mencurigakan, maka Ting Hun-giok tinggal melangkah selangkah dan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya ke batu itu, dan akan mampuslah ia daripada menangugng aib.

Sekali-sekali timbul keinginan untuk melarikan diri, tapi akal sehatnya memperingatkan bahwa saat itu belum saatnya. Ia bakalan tertangkap lagi dan kalau ia sampai menimbulkan kemarahan bandit-bandit itu, maka agaknya nasibnya bakal menjadi paling buruk di antara perempuan-perempuan sedunia.

Sampai ia selesai membersihkan badannya sehingga segar kembali dan memakai pakaiannya kembali, ternyata Im Yao masih saja duduk membelakangi. Dan ini sebenarnya agak mengherankan Ting Hun-giok.

"Aku sudah selesai," kata Ting Hun giok setelah pakaiannya dipakai dengan lengkap dan benar.

Im Yao membalikkan tubuh dan sesaat ia seakan silau melihat bidadari yang berdiri di hadapannya. Seperti sekuntum mawar jingga yang basah oleh embun, begitu pula gadis di hadapannya yang rambutnya masih basah dan diikat dengan sehelai saputangan itu. Dandanan sederhana yang diberikan oleh Han Popo itu tidak sanggup menutupi kecantikan yang gemilang itu.

Hanya dengan susah payah dan mengerahkan segenap kekuatan jiwanyalah maka Im Yao tidak sampai salah tingkah, dan meskipun agak canggung ia berhasil juga mempertahankan sikap garang dan dinginnya, "Kita kembali ke perkemahan!"

"Terima kasih atas sikapmu selama aku membersihkan diri tadi."

"Simpan dulu terima kasihmu. Barangkali nanti malam atau besok pagi aku kesurupan iblis dan nasibmu akan menjadi amat buruk di tanganku."

"Tidak. Aku percaya kau tidak jahat."

"Semua orang memakiku sebagai orang jahat, dan aku memang jahat. Dengar baik-baik, aku sudah membunuh banyak perempuan tua dan anak-anak yang tak berdaya, aku sudah memperkosa banyak gadis baik-baik, aku sudah..."

"Tidak. Kau tidak jahat. Kau baik."

''Tidak, kau keliru. Aku busuk sampai ke tulang sungsumku. Akulah maha penjahat sejak kecil dan akan tetap menjadi penjahat sampai mati!"

"Begitu membanggakankah sebagai orang jahat sehingga kau mati-matian ingin disebut demikian?" pertanyaan Ting Hun-giok yang tiba-tiba itu membuat Im Yao terbungkam.

Akhirnya Im Yao membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kau harus percaya bahwa akulah penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi, jika kau tidak percaya, akan kubuktikan kejahatanku a-tas dirimu sekarang juga!"

"Kenapa kau menanamkan pikiran dalam dirimu sendiri bahwa kau seorang jahat? Kenapa kau berpendapat bahwa kau tidak bisa menjadi orang baik lagi?"

"Sebab sekali seseorang dilahirkan sebagai penjahat, atau keturunan penjahat, ia akan menjadi penjahat juga seumur hidupnya. Itu adalah takdir," berbicara sampai, di sini, mata Im Yao menerawang jauh ke alam khayalan, lalu melanjutkan, "Contohnya adalah ayahku sendiri, la penjahat, pemabuk, penjudi, tidak pernah memperhatikan Ibu dan kami kakak beradik yang tiap hari membanting tulang sebagai budak seorang kaya dengan upah yang rendah. Malahan suatu hari ibuku dicekik mampus oleh ayahku, ha-ha-ha-ha... sungguh indah wajah ibuku saat tangan-tangan ayah mencengkam lehernya. Lalu kami pun mengikuti jejak ayah, dan tidak mungkin menjadi orang baik sebab masyarakat tidak bisa menerima sampah-sampah seperti kami. Dunia ini rimba belantara, binatang-binatang mendapatkan makanan dengan menerkam biantang lainnya. Kau paham?"

Hati Ting Hun-giok terguncang. Hanya dengan beberapa kalimat yang diucapkan oleh Im Yao itu, terhapuslah rasa bencinya kepada orang ini. Berganti dengan rasa simpati. "Kau tidak ingin menjadi orang baik?”

"Tidak. Dunia orang baik-baik bukan duniaku, aku bermimpi kalau aku ingin masuk ke dalamnya. Lebih baik aku tetap berada dalam duniaku, kepuasan dan kenikmatan dapat aku reguk setiap saat tanpa peduli pandangan orang lain. Hidup secara demikian itu hebat bukan?"

"Jauh di dalam hatimu, kau pasti masih ingin menjadi orang baik yang hidup tenteram..."

"Tidak! Aku tidak kepingin!"'

"Selama kau manusia, kau pasti masih inginkan itu!"

"Aku memang bukan manusia. Aku iblis, dari dasar neraka!”

“Kau yang menamakan-dirimu sendiri iblis, tapi aku tetap menganggapmu manusia!" sahut Ting Hun-giok berani.

"Kau orang gila. Gadis gila. Orang lain menganggapku iblis yang paling dibenci dan ditakuti, sedang kau sebaliknya!"

"Kau harus menjadi orang baik-baik..."

Tiba-tiba Im Yao menghunus pedangnya dan ditodongkan ke leher Ting Hun-giok, sambil berkata, "Gadis gila, kalau kau bicara yang bukan-bukan untuk melemahkan hatiku, sebentar lagi kepalamu akan menggelundung di tepi mata air ini...!”

Ting Hun-giok memang tidak berbicara lagi, namun dengan matanya yang jernih ia menatap langsung ke pusat mata Im Yao. Dan tangan Im Yao yang memegang pedang itu mulai goyah dan todongannya tidak mantap lagi. Tapi ia masih membentak, "Jalan di depan! Jangan coba-coba melarikan diri supaya aku tidak mencincangmu !"

Dalam pada itu, Pui Im-bun dan lain-lainnya tercengang ketika melihat Im Yao dan Ting Hun-giok berjalan bersama dari mata air itu dengan sikap seolah-olah tidak ada apa-apa. Tadinya mereka mengira tentunya Ting Hun-giok tentu akan muncul dari sana dengan pakaian yang robek-robek dan diseret oleh Im Yao, sambil menangis minta dibunuh atau mencaci-maki. Ternyata tidak. Malahan wajah Ting Hun-giok tenang-tenang saja dan bahkan matanya bersinar-sinar. Meskipun Im Yao menghunus pedang, tapi nampaknya tidak ada ketegangan sedikit-pun di antara mereka.

Dengan perasaan heran Pui In-bun membatin, "Edan, tadinya gadis itu meronta-ronta, kenapa sekarang kelihatan, tenang-tenang saja dan tidak bersedih? Apakah Im Yao telah berhasil membujuknya sehingga mereka melakukannya dengan suka sama suka? Kalau begitu gadis itu hanya sok alim saja, kelihatannya menolak tetapi akhirnya mau juga. Jadi nanti malam aku ada harapan hmm..."

Lalu Pui In-bun menyikut Im Kok yang duduk di sebelahnya sambil berbisik, "Nampaknya kakakmu itu menikmati betul-betul bulan madunya. Mereka cukup lama, berada di mata air itu, terlalu lama untuk sekedar mandi saja."

Sebaliknya wajah Im Kok menjadi tegang bukan main. Jika benar dugaan Pui In-bun itu maka berarti kakaknya telah nekad melanggar pesan toa-suheng mereKa, Liong Pek-Ji, yang pasti akan marah-marah bila mendengarnya. Jika sang toa-suheng marah, harus ada nyawa yang melayang dan entah nyawa siapa nanti?

Ting Hun-giok sendiri tanpa peduli pandangan mata dari orang-orang buas itu, segera ikut duduk mengelilingi perapian dan tanpa sungkan-sungkan ikut makan daging rusa bakar bersama-sama dengan Im Yao. Mula-mula ia merasa bergidik juga ketika melihat mata para anak buah Kui-kiong itu menatap dirinya dengan tatapan seekor serigala kelaparan menghadapi seekor kelinci yang tak berdaya. Namun sungguh aneh, ketika Ting Hun-giok merasa Im Yao dldekatnya, maka takutnyapun hilang. Ia merasa bahwa orang itu mampu dan mau melindungi dirinya.

Im Yao sendiripun tiba-tiba merasa tidak senang ketika melihat kawan-kawannya memandang Ting Hun-giok dengan cara mengerikan seperti itu. Maka ketika Ting Hun-giok masih ingin menyelesaikan sepotong daging rusa bakarnya, tiba-tiba Im Yao menggeram, "Masuk ke dalam kereta!"

"Aku masih ingin duduk di sini..."

"Masuk ke dalam kereta kataku! Kau tawanan dan jangan membuatku jengkel supaya aku tidak berbuat kasar kepadamu!"

Ting Hun-giok terpaksa menurutinya. Ia tidak ingin membantah sehingga Im Yao kehilangan muka di hadapan anak-buahnya. Di dalam kereta itu la bisa merebahkan diri seenaknya diatas lantai kereta yang beralaskan setumpuk gerami kering dan sehelai tikar butut. Kadang-kadang telinganya menjadi merah juga ketika mendengar ucapan-ucapan jorok dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu, apalagi kadang-kadang orang itu menyebut-nyebut dirinya pula.

Tapi di antara mereka yang bercakap-cakap itu tidak terdengar suara Im Yao. Ketika Ting Hun-giok mengintip dengan menyingkapkan tenda kereta, dilihatnya Im Yao duduk seperti patung dengan muka yang dingin seperti muka patung pula, sama sekali tidak mengacuhkan senda-gurau teman-temannya.

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam dan membaringkan tubuhnya kembali tubuhnya di lantai kereta. Orang she Im itu adalah korban dari sebuah keluarga yang berantakan sejak usianya masih kecil, ketiadaaan kasih-sayang dan perhatian akhirnya membuat hatinya sekeras batu. Ia kehilangan kepercayaan kepada cinta kasih dan kepada sesama, namun ia masih membutuhkan perhatian juga sehingga dilakukannya pekerjaan-pekerjaan yang menggemparkan.

Bahkan kekejaman-kekejaman yang luar biasa, sebagai upaya menarik perhatian orang terhadap dirinya dan sekaligus membalas dendam entah kepada siapa. Semakin ia berbuat demikian, ternyata semakin pula ia terasing dari sesama manusia sehingga ia mirip seorang yang diseret ombak ke tengah lautan semakin jauh dari daratan sampai suatu saat kelak dia benar-benar tidak akan melihat daratan lagi. Tenggelam di lautan dendam dan sakit hati.

Mendadak mata Ting Hun-giok menjadi basah. Ia terkejut, cepat-cepat dihapuskannya air matanya dan digerutuinya dirinya sendiri, "Gila, buat apa aku memangis buat penjahat itu. Dia yang menculik aku, dan berkali-kali mengancam untuk menyakiti aku, dan sekarangpun aku sedang dibawanya ke tempat pembantaian..."
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 30

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 30

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
KETIKA ia menoleh ke pembaringan, maka pendekar wanita itu tersenyum sendiri melihat anak gadisnya masih tertidur pulas karena terpengaruh hawa aneh yang disebarkan oleh jay-hoa-cat itu. Kata Tong Wi-lian dalam hatinya,

"A-giok memang cantik, pantas jay-hoa-cat itu mengincarnya. Di An-yang-shia sendiri sudah ada beberapa, orang tua dari beberapa anak muda yang menyatakan maksudnya untuk melamar A-giok, dengan terang-terangan atau secara samar-samar, tapi anak bengal itu agaknya masih suka hidup bebas. Mudah-mudahan kelak ia mendapat jodoh yang sepadan dengan pilihannya sendiri."

Kembali Tong Wi-lian tersenyum sendiri mengerangkan semuanya itu. Rasanya waktu berjalan begitu cepat sehingga ia sudah punya anak sebesar itu, dan jika anaknya itu kawin maka ia tidak lama lagi akan menjadi seorang nenek. Padahal rasanya belum lama lagi akan menjadi seorang gadis yang berkelana sendirian di dunia persilatan berbekal ilmunya yang tinggi. Menempuh gelombang kesulitan, mendada badai berdarah di jaman itu, jaman di mana Hwe-liong-pang bangkit sebagai sebuah kekuatan raksasa yang mengguncangkan dunia.

Tong Wi-lian pada saat pertama terjun ke dunia persilatan adalah seorang yang gigih menentang Hwe-liong-pang yang amat kejam, namun kemudian diketahuinya bahwa orang-orang yang kejam itu hanya sebagian dari Hwe-liong-pang, sedang sebagian lainnya justru adalah para pendekar yang bercita-cita luhur ingin membebaskan rakyat dari kesengsaraan akibat kebobrokan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng pada waktu itu.

Dan sikap Tong Wi-lian terhadap Hwe-liong-pang berbalik tajam setelah tahu bahwa pemimpin Hwe-liong-pang sebenarnya adalah kakak tertuanya sendiri, Tong Wi-siang, yang meskipun memiliki ambisi pribadi yang sangat tinggi namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa perjuangannya adalah perjuangan yang luhur.

Sayang bahwa Hwe-liong-pang itu kemudian pecah berkeping-keping karena pertentangan yang timbul dalam tubuh sendiri, ditambah dengan pengkhianatan dari adik seperguruan Tong Wi-siang sendiri, yaitu orang yang kini bersembunyi di balik nama Te-liong Hiangcu.

Tong Wi-siang yang bercita-cita luhur sudah tiada, sebaliknya Te-liong Hiangcu yang kejam dan memiliki nafsu akan kekuasaan tanpa menghiraukan cara apapun juga untuk mencapainya, kini malah hidup dan memimpin gerombolan Kui-kiong (Istana Iblis) yang membayangi dunia persilatan dengan kekuatan rahasianya yang menyusup di mana-mana.

Tong Wi-lian menarik napas ketika mengenang masa itu, masa dia masih remaja dan masa di mana dunia persilatan bergolak dengan dahsyatnya gara-gara Hwe-liong-pang. Ia tersenyum sendiri kalau teringat bahwa di kota Kay-hong ia pernah bertempur melawan Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng yang waktu itu berkedudukan sebal Ui-ki-tcng-cu (Tongcu Bendera Kuning) dalam Hwe-liong-pang.

Tak terduga kalau sekarang ia malahan bersahabat karib dengan orang tua bertubuh bungkuk itu. Kalau dipikir, pergolakan masa sekarang lebih berat dari pergolakan masa lalu. Pergolakan masa sekarang adalah pergolakan untuk merobohkan pemerintahan Manchu di bawah Kaisar Sun-ti, sebuah pemerintahan yang jauh lebih kuat dan lebih mantap dibandingkan pemerintahan Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng dulu dan menghadapi ini.

Ternyata persatuan para pendekar bangsa Han masih menjadi semacam barang mewah yang tidak mudah didapatkan, sementara diantara bangsa Han sendiri masih belum ada calon kuat yang diharapkan bisa memimpin negeri apabila perjuangan ini berhasil mengusir bangsa Manchu kelak.

Tengah Tong Wi-lian melamun mengikuti angan-angannya yang jauh mengembara, dan kewaspadaannya mengendor karena merasa keadaan sudah mantap, tiba tiba pintu didobrak dan tiga orang berpakaian hitam berloncatan masuk. Salah seorang dari mereka langsung membantingkan sebuah benda bulat ke lantai, benda itu meletup dan menghasilkan adap"berbau harum yang memenuhi seluruh ruangan. Asap yang memabukkan dan membuat kepala pusing serta tenaga lenyap.

Begitulah, seorang pendekar wanita yang terkenal seperti Tong Wi-lian ternyata telah kalah kedudukan pada langkah pertama itu. Ketika seorang penerobos berbaju hitam menyerangnya dengan pisau, Tong Wi-lian mencoba menendang pergelangan tangan pemegang pisau itu dengan tendangan Pay-lian-ka, tapi ia sudah terlanjur menghirup asap pemabuk itu beberapa hirupan, sehingga keseimbangannya goyah dan waktu ia melakukan tendangan hampir saja tubuhnya roboh sendiri.

Ingat akan keselamtan puterinya, cepat ia meloncat ke arah pembaringan, namun alangkah terkejutnya ketika melihat tubuh Ting Hun-giok sudah berada dalam panggulan pundak dari salah seorang penerobos berbaju hitam itu, dan akan segera dibawa lari. Sedang dua orang lainnya berusaha merintangi Tong Wi-lian dengan pisau belati dl tangan mereka masing-masing.

Seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, Tong Wi-lian menerjang dengan setengah kalap, kepala pusingnya akibat asap pemabuk itu tidak dihiraukan, dan dengan sepasang tangan dan kakinya ia mencoba menyingkirkan kedua perintangnya. Tapi kedua orang itu bertahan gigih, sementara rasa pusing Tong Wi-lian semakin menghebat, dan kedua lawannya itu tidak merasakan apa-apa sebab mereka sudah lebih dulu menelan obat pemunahnya.

Suatu saat Tong Wi-lian terhuyung-huyung hampir roboh, dan kaki dari salah seorang penyerangnya itu telah menendang seperti seekor harimau betina yang kehilangan anaknya, pinggangnya dengan tepat mengenai jalan darah Ki-keng-hiat. Membuat pendekar wanita yang terkenal itu kali ini benar-benar roboh di tangan cecunguk-cecunguk tak dikenal.

"Istirahatlah baik-baik, li-hiap," kata salah seorang dari penculik itu sambil tertawa mengejek. "Jangan kuatirkan puterimu. Jika ia sudah tidak terpakai lagi maka tubuhnya akan menjadi penghias ruangan seni dari Hiangcu kami, dengan demikian akan terawat baik sepanjang umurnya..."

Tong Wi-lian meronta bangun sambil mengertak giginya, teriaknya, "Bangsat, kembalikan puteriku atau aku akan mencincang kalian kelak!"

Ketiga orang penculik itu nanya tertawa berbareng, dan dengan gerakan yang gesit merekapun menghilang dalam kegelapan malam, meninggalkan Tong Wi-lian yang tergeletak tanpa daya. Namun perempuan berhati baja itu tidak ingin menyerah kepada rasa pusingnya begitu saja. Ia tahu banwa begitu ia membiarkan puterinya dibawa kabur oleh penjahat-penjahat itu, maka nasib paling pahitlah yang akan dialami oleh anak satu-satunya itu.

Maka dengan mengerahkan tenaganya dia berdiri dan berjalan menuju ke pintu, dari situ la tanpa peduli orang lain lalu berteriak-teriak, "Bun-kol Bun-ko!"

Ting Bun yang tengah asyik menunggui pertarungan antara Bu-gong Hweshio melawan Sebun Him, yang perlahan-lahan tetapi pasti akan dimenangkan oleh Bu-gong Hweshio itu, menjadi terkejut ketika mendengar teriakan-teriakan isterinya itu. Cepat ia turun dari atas genteng dan dengan tergesa-gesa ia menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika melihat isterinya bermuka pucat dan berwajah gugup, sambil sekali-sekali memegangi keningnya yang masih pusing.

"A-lian, kenapa kau?!"

Sahut isterinya, "Jangan hiraukan aku A-giok diculik tiga orang berbaju hitam dan lari ke arah timur...."

Ting Hun-giok bagi ayahnya adalah barang mustika yang amat mahal, tak dapat ditukar dengan benda apapun juga, karena itu, tidak menunggu sampai kalimat itu selesai, Ting Bun telah meloncat kembali ke atas genteng dan tubuhnya bagaikan bayangan yang melesat ke arah timur. Goloknya telah tergenggam berkilat-kilat, sama berkllatnya seperti sepasang mata yang memancarkan kemarahan hebat itu.

Tingkah laku Ting Bun itu terlihat pula oleh Bu-gong Hweshio yang tengah menyelesaikan langkah-langkah terakhirnya untuk menangkap Sebun Hlm yang dikiranya bangsat pemetik bunga itu. Tanya Bu-gong Hweshio dengan berteriak dari tempatnya, "A-bun! Ada apa?!"

Sambil tetap berloncatan kencang dari genteng ke genteng, Ting Bun hanya sempat menjawab singkat, "Penculik A-giok...! Ke timur!"

"Bangsat!" bentak Bu-gong Hweshio sambil melancarkan sebuah serangan kepada Sebun Him. "Kiranya kau membawa pula teman-teman bajinganmu, dan menggunakan siasat untuk memancing kami..."

Sebun Him meloncat mundur dan sekali lagi berteriak, "Taysu, aku bukan Jai-hoa-cat. Orang baju hitam itu tadilah penjahatnya. Aku adalah Sebun Him, cucu murid Pat-hong-kiam-kong (Sinar Pedang Delapan Penjuru) Auyang Seng..."

Dengan menyebut nama yang terkenal dalam Hoa-san-pay itu, betul juga, serangan Bu-gong Hweshio mulai mengendor. Katanya, "Kalau kau benar-benar murid Hoa-san-pay, agaknya aku telah tertipu oleh bangsat baju hitam tadi. Tapi aku belum bisa mempercayaimu begitu saja. Tunggulah di sini, akan kukejar orang-orang yang menculik A-giok itu, nanti kita bisa bicara lagi panjang lebar untuk membuktikan pengakuanmu itu benar atau tidak!"

Dan tanpa menunggu jawaban Sebun Him lagi, Bu-gong Hweshio dengan menjinjing senjatanya telah melayangkan tubuhnya searah dengan TIng Bun tadi. Hweshio yang bertubuh besar dan nampak kasar itu ternyata hebat juga dalam hal gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh), sehingga tubuhnyapun dapat bergerak dengan ringannya di atas genting-genting rumah yang tidak rata itu.

Sedangkan Sebun Hlm sendiri merasa harga dirinya tersinggung karena ia diharuskan menunggu seperti seorang pesakitan yang menunggu datangnya hakim yang akan mengadilinya. Bukan saja harga dirinya, tapi dianggapnya harga diri Hoa-san-pay ikut tersentuh jika dia melakukan apa yang dipesankan Bu-gong Hweshio tadi. Maka tanpa peduli pesan itu, ia meloncat turun, masuk ke dalam kamarnya, diletakkannya uang sewa kamar di atas meja, dan kemudian ia pun kabur lewat pintu belakang.

Saat itu tengah malam sudah lewat, tentu saja sudah tidak ada lagi rumah penginapan lain yang membuka pintunya. Maka Sebun Him terpaksa malam itu tidur di sebuah pagoda kosong, yang lama tidak terpakai, bercampur dengan kaum tunawisma. Semalam suntuk pula Sebun Him harus menghisap udara yang pengab bercampur dengan bau kotoran manusia.

Para penghuni pagoda kosong itu terlalu malas untuk mencari tempat diluar pagoda untuk kencing atau buang hajat, maka bila perut sakit dan terasa mendesak, seenaknya saja mereka kencing atau buang hajat di pojok-pojok tembok. Bagi mereka itu hal biasa.

Ketika fajar menyingsing dan ayam berkokok, Sebun Him merasa lega sebab la terbebas dari "neraka" itu. Semalam ia dapat juga tidur meskipun sebentar-sebentar ada bau tidak sedap tertiup angin dan menyelonong masuk ke hidungnya.

Setelah makan pagi di sebuah kedai, Sebun Him mencari toko pakaian untuk mencari ganti pakaiannya yang serba putih itu. Ia kini tahu bahwa pakaiannya yang menyolok mata itu mudah menarik perhatian orang. Sebagai tanda masih berkabung untuk kematian ayahnya, dia hanya melibatkan secarik kain di lengan kanannya, sementara di seluruh pakaiannya tidak ada warna merah sedikitpun.

Ia melangkah keluar dari pintu timur kota Tiang-an dengan tubuh yang segar, namun perasaan yang dibebani oleh beberapa persoalan. Dendam ayahnya belum terbalas, dan tiba-tiba muncul pula persoalan aneh yang membelit hatinya. Ia belum berkenalan dengan gadis yang diculik, saling berbicara sepatah katapun belum, la hanya baru bisa melihat matanya yang cerah dan lesung pipitnya yang menawan. Tapi ketika mendengar gadis itu hilang diculik oleh penjahat, maka Sebun Him merasa seakan ada yang hilang dari hatinya.

Tiba-tiba saja ia meletakkan kewajiban dalam hatinya sendiri, bahwa ia harus menemukan dan menyelamatkan gadis itu. Tidak sulit, sebab komplotan yang menculik gadis itu diduganya sama dengan komplotan yang selama ini membayangi Hoa-san-pay dan bahkan telah membunuh ayahnya. Oleh tekadnya itulah maka semangat Sebun Him berkobar hebat. Lupa la akan peristiwa semalam di mana ia hampir mampus oleh senjata hong-pian-jan dari Bu-gong Hweshio.

* * * * * * *

MALAM itu Ting Hun-giok yang pulas karena pengaruh aneh dari ilmu hitamnya Pui In-bun itu telah berhasil diculik oleh Pui in-bun. Ketika gadis itu sadar karena wajahnya terhembus oleh angin malam yang dingin, maka didapatinya dirinya tengah dipanggul oleh seseorang dan dibawa berlari-lari ke suatu arah.

Ia terkejut dan berusaha mengerahkan tenaganya untuk melepaskan diri, namun tenaganya lenyap semuanya, untuk menggerakkan kaki dan tangannya saja ia tidak punya tenaga lagi. Sadarlah bahwa penculiknya itu tentu telah menotok jalan-darah pelemasnya, dan totokan itu tentu akan "diperpanjang pelakunya" setiap beberapa waktu, sehingga kini ia benar-benar telah menjadi seorang tawanan yang tanpa daya.

Rasanya ia ingin menangis saja, apalagi karena siangnya ia dan ayah ibunya serta supeknya baru saja membicarakan soal Jay-hoa-cat yang merajalela di Tiang-an, maka ini la menduga bahwa penculiknya itu tentu penjahat yang dibicarakan itu. Ingin rasanya Ting Hun giok menangis memikirkan nasibnya. Seorang gadis yang tergolong cantik seperti dirinya, jatuh ke tangan seorang penjahat pemetik bunga, maka apa yang akan terjadi atas dirinya dapatlah dibayangkan.

Tapi agaknya gadis itupun mewarisi watak ayah dan Ibunya yang berhati keras, darah keluarga yang melahirkan manusia-manusia semacam Hwe-liong-Pangcu Tong Wi-siang, Gin-yan-cu Tong Wi-hong serta Tong Lam-hou, mengalir juga dalam tubuh gadis itu. Dalam kesulitan seperti itu ia tahu bahwa merengek dan menangis tidak ada gunanya malahan akan membuat musuhnya bersorak kegirangan. Yang penting adalah memutar otak untuk mencari akal, meskipun akal itu belum juga dlketemukannya.

Ketika Tlng Hun-giok membuka matanya dan mencoba melirik ke sekitarnya, maka ia tahu bahwa dirinya tengah dibawa berlari-lari lewat tempat yang banyak pepohonannya dan gelap. Jelas itu adalah luar kota, bukan dalam kota Tiang-an. Dan hati Tlng Hun-giok mendongkol bercampur takut ketika merasa bahwa tangan dari orang yang memondongnya Itu mulai menggerayangi bagian-bagian tubuhnya sambil tetap berlari. Andaikata tubuhnya tidak tertotok, ingin rasanya Ting Hun-giok menghantam wajah jay-hoa-cat itu sampai habis semua giginya.

Tak lama kemudian, Pui In-bun yang memondong Ting Hun-giok itu tiba di depan sebuah gubuk yang letaknya terpencil di tengah-tengah kebun sayuran. Dari dalam gubuk masih terlihat sinar pelita berkelap-kelip, dan Pui In-bun segera membukakan pintu dengan tendangan kakinya, sambil berteriak, "Han Popo (nenek Han), aku datang!"

Di dalam gubuk itu ada seorang nenek-nenek berwajah seram yang agaknya tidak terkejut menghadapi tingkah laku Pui In-bun yang kasar itu. Tanyanya, "Kau dapatkan gadis yang diingini Liong Tongcu itu?"

"Kerjaku selalu beres," kata Pui In-bun sambil tertawa. "Kali ini Liong Tong-cu (si Tongcu she Liong) akan puas mengisap darah puteri dari musuh besarnya itu. Tetapi akupun akan mendapat kepuasan, sebab belum pernah kutemukan gadis secantik ini!"

Si nenek Han kelihatan terkejut mendengar kalimat Pui In-bun yang terakhir ini. Katanya, "Hah, kau jangan bermain-main dengan nyawamu sendiri. Kalau Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji sampai tahu bahwa gadis ini kau serahkan kepadanya dalam keadaan sudah tidak perawan lagi, maka kepalamu akan dibabatnya sampai menggelinding ke tanah. Ilmu Siu-bok-tiang-seng-kangnya senantiasa membutuhkan darah segar dari seorang gadis suci."

Namun Pui In-bun agaknya sudah berkobar, nafsunya sejak ia melihat Ting Hun-giok tadi siang, apalagi setelah ia merasakan gesekan tubuhnya dengan tubuh gadis yang padat itu selama ia memondongnya dari kota Tiang-an sampai ke gubuk Han Popo ini. Katanya,

"Ilmu yang tidak masuk akal. Apa bedanya darah gadis yang masih perawan dan yang sudah tidak perawan? Toh yang dibutuhkan oleh kelelawar gila itu hanya darahnya untuk diminum, bukan lain-lainnya. Dan aku hanya membutuhkan kehangatan tubuhnya untuk malam ini saja sebelum besok gadis ini kita bawa ke Kui-kiong" Sahut Han Popo, "Aku hanya memperingatkanmu, Liong Pek-ji tidak akan tanggung-tanggung bertindak kepadamu Jika kau melakukan hal ini. Dia adalah orang kesayangannya Te-liong Hiangcu, dan jika dia ingin mengambil batok kepalamu maka tak seorangpun di Kui-kiong yang dapat melindungimu. Te-liong Hiangcu sendiri pasti akan merestui kemauan Liong Pek-ji..."

Sekilas nampak perasaan gentar muncul di wajah Pui In-bun. Cukup berhargakah riyawatnya apabila ditukar dengan kehangatan dan kenikmatan selama satu malam bersama gadis yang masih dalam pondongannya itu. Sesaat la kelihatan ragu-ragu, namun akhirnya dengan nekad ia berkata, "Han Popo, kita harus bekerja sama. Dirumah ini hanya ada kau dan aku, sikelelawar busuk itu tidak tahu apa yang kuperbuat malam ini jika kau tidak membocorkannya, nah, tutup mulutmu dengan ini, setuju?"

Sambil berkata demikian, dengan, satu tangannya Pul In-bun merogoh ke dalam sakunya dan dikeluarkannya seuntai kalung mutiara yang berkilauan tertimpa cahaya pelita. Sebenarnya Pui In-bun sendiri sangat sayang kepada benda yang dicurinya dengan mempertaruhkan nyawa dari gedung kediaman Sunbu (gubernur) wilayah Ou-lam itu.

Namun apa-boleh buat, Ting Hun-giok sudah terlanjur membangkitkan seleranya sehingga sukar dipadamkan lagi. Andaikata yang dihadapinya bukan Han Popo, Pui In-bun rasanya lebih suka menikamkan pedangnya ke tubuh orang yang menjadi saksi perbuatannya itu daripada menyerahkan kalung mutiara itu.

Namun ia tidak dapat berbuat demikian kepada nenek nenek yang kelihatannya lemah itu, sebab dia tahu bahwa Han Popo adalah sesosok Iblis betina yang kepandaiannya setingkat dengan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-Ji atau pembantu-pembantu utama Te-liong Hiangcu lainnya. Berusaha membunuh Han-Popo dengan tingkat ilmu silatnya yang seperti sekarang ini sama saja dengan membenturkan sebutir telur ke batu alias bunuh diri.

Sementara itu Ting Hun-giok yang masih dipanggul oleh Pui In-bun itu meskipun tubuhnya tak berdaya karena totokan, namun panca-indera pendengarannya masih bekerja dengan baik, dan bergidiklah la ketika mendengar percakapan antara Pui In-bun dengan nenek yang dipanggil Han Popo itu. la mendengar dirinya akan diperkosa kehormatannya atau dibiarkan tetap suci namun diminum darahnya mentah-mentah, dua pilihan yang sama-sama tidak enak. Ia mengeluh dalam hatinya.

Kini ia tidak hanya menduga-duga saja tetapi sudah pasti bahawa dirinya telah terjatuh ketangan sebuah gerombolan Iblis menakutkan. Kalau bukan gerombolan Iblis, gerombolan apa namanya yang didalamnya terdapat orang-orang yang suka memperkosa dan lainnya lagi suka meminum darah sesama manusia? Dalam hatinya Ting Hun-giok berharap mudah-mudahan Han Popo tetap bersikeras untuk menahan niat Pui In-bun itu.

Jika demikian, mungkin ia akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri selama ia berada dalam perjalanan menuju Kui-kiong (Istana Iblis) itu. Tapi jika ia diperkosa malam itu juga, maka ia merasa hidup menanggung noda seperti itu tidak ada gunanya, ada kesempatan untuk laripun percuma. Aib itu bukan hanya aib dirinya pribadi tetapi juga aib keluarganya, sebuah keluarga para pendekar yang terhormat dl dunia persilatan.

Namun Ting Hun-giok menjadi berdebar-debar ketika didengarnya suara gemericik karena Han Popo agaknya mulai menimang-nimang kalung mutiara itu, lalu nenek itu terkekeh-kekeh dan berkata, "Eh, agaknya kau sangat getol memiliki gadis cantik itu malam ini juga, sehingga tidak segan-segan menyuap nenekmu dengan benda semahal ini.”

Kata Pui In-bun sambil menyeringai, "Kalung itu cocok sekali untuk nenek, meskipun nenek sudah tua tapi masih antik dan kelihatan duapuluh lima tahun lebih muda dari umur yang sebenarnya."

Kembali Han Popo terkikik-kikik dan Ting Hun-giok mulai memaki-maki dalam hatinya. Terdengar suara Han Popo, “Pintar juga kau merayu nenekmu. Baik, berbuatlah sesukamu dan aku akan menganggap diriku ini tuli dan buta akan apa yang terjadi malam ini di gubuk ini. Kalau kelelawar busuk itu marah, biar aku menghadapinya. Biar keriput begini aku ini bekas pacar Te-liong Hiangcu semasa kami masih sama-sama muda... hi-hi-hi. Oh, bagus benar kalung ini, dari mana kau menyabetnya?"

Pui In-bun tertawa kegirangan, "Terima kasih, Han Popo, kelak akan kubawakan yang lebih bagus lagi biar kecantikanmu pulih dan Te-liong Hiangcu sering mengunjungimu lagi. Nah, di kamar mana aku akan bermalam pengantin?"

"Di belakang sana, seperti biasanya."

Bagi Ting Hun-giok, ucapan itu seperti keputusan seorang hakim yang menjatuhkan hukuman paling mengerikan bagi terhukum, ia seperti seorang yang bergantung di pinggir jurang dan tiba-tiba satu-satunya pegangannya itu runtuh. Dan kini tubuhnya sedang meluncur turun ke sebuah jurang yang menganga, jurang kehinaan dan kenistaan yang bagi seorang wanita terhormat lebih menakutkan dari kematian.

Pui In-bun membawa tawanannya ke sebuah kamar yang terletak di bagian dalam dari gubuk Han Popo itu. Di dalamnya ternyata cukup rapi, bahkan dilengkapi dengan dupa harum pula, agaknya di tempat inilah Pui In-bun biasa "memangsa" korban-korbannya yang diculiknya dari kota Tiang-an. Dengan hati-hati seolah-olah membawa boneka porselin yang gampang pecah, la meletakkan tubuh Ting Hun-giok ke atas pembaringan berkelambu warna merah jambu, sambil menyeringai la berkata kepada Ting Hun-giok yang tertotok tak berdaya itu,

"Jangan kuatir, adikku manis, memang terasa menakutkan pertama kalinya, tapi lama-kelamaan kau akan menikmatinya dan bahkan ketagihan."

Ting Hun-giok menatap Pui In-bun dengan pandangan yang merupakan campuran antara dendam sakit hati dengan keputus-asaan. Tapi ia benar-benar tidak berdaya, sebab bukan cuma jalan darah pelemasannya yang tertotok tetapi juga jalan darah ah-hiat (jalan darah pembisu)nya, jadi ingin berteriakpun tidak bisa. Ia memejamkan matanya ketika Pui in-bun naik ke pembaringan pula di sebelah tubuhnya dan tangannya mulai berkeliaran, napasnya mulai terdengar terengah-engah dekat sekali di pipi Ting Hun-giok.

"Belum pernah kudapatkan gadis secantik kau," kata Pui In-giok sambil jari-jarinya mulai melepaskan kancing baju gadis itu. "Rasanya cukup setimpal jika aku sedikit mempertaruhkan nyawaku dengan menentang kemauan Liong Tongcu..."

Ting Hun-giok sudah merasa jari-jari orang itu menyentuh kulit dadanya. Tapi pada saat gairah Pui In-bun semakin memuncak melihat kulit dada yang putih halus itu, tiba-tiba dirasanya sebuah benda dingin tajam menempel di tengkuknya, dan terdengar pula sebuah suara yang sama dingin dan tajamnya,

"Turun dari, pembaringan itu, bangsat. Suhengku menghendaki darah gadis itu dan kau tidak berhak menyentuhnya!"

Alangkah mendongkolnya Pui In-bun, ia kenal suara itu adalah suara rekannya sendiri. Im Yao yang berjulukan Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi), si kakak dari pasangan penjahat kakak beradik yang disebut Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam), dan juga adik seperguruan dari Liong Pek-ji yang berjulukan Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah).

Dengan muka merah padam Pui In-bun membalikkan badan dan berteriak, "Im Yao, sejak kapan kau jadi senang mengganggu kesenanganku? Kau kira karena kau adalah adlk-seperguruan Liong Tongcu maka kau bisa berbuat seenaknya kepadaku?"

Sikap Im Yao ternyata tetap dingin saja, "Dalam segala tindakanku, aku tidak mengandalkan siapa-siapa, hanya mengandalkan pedangku ini. Kalau kau merasa penasaran karena tindakamu kucegah, hunus pedangmu dan kita tentukan siapa yang berhak melihat matahari esok pagi."

Betapapun marahnya Pui In-bun karena hasratnya yang sudah berkobar-kobar itu tiba-tiba patah di tengah jalan, namun la keder juga melihat sikap kelelawar sayap besi itu, sebab tingkatan ilmu Im Yao hanya selapis tipis di bawah tingkatan kakak seperguruannya, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji. Maka sikap Pui In-bun melunak,

"Im Lotoa, kalau kau inginkan pula gadis itu, silahkan menunggu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan kita bahwa apa yang kita dapatkan bersama-sama akan kita nikmati bersama-sama pula? Tapi jangan bersikap kurang bersahabat seperti ini."

Yang tidak senang mendengar percakapan itu adalah Ting Hun-giok. Jadi ia akan dijadikan "prasmanan" oleh bandit-bandit ini? Namun ia lega ketika mendengar jawaban Im Yao yang tegas, "Tidak. Untuk gadis yang harus kita serahkan kepada Liong Suheng ini kita harus memperlakukan istimewa. Keluar kau!"

"Im Lotoa, dengarlah dulu..."

"Keluar kau!"

Alangkah sakitnya hati Pui In-bun mengalami peristiwa itu, sudah nafsunya tidak tersalur di tengah jalan, masih dibentak-bentak seperti anjing pula. Tapi apa daya, keselamatan nyawanya harus diutamakan, maka terpaksa ia harus mengalah. Sekali lagi ia melirik ke arah Ting Hun-giok yang terbaring dipembaringan dengan baju yang sudah setengah terbuka itu, tetapi makanan empuk di depan mata itu harus dilepaskannya. Ia pun melangkah keluar dari ruangan itu, dalam hatinya mengutuk Im Yao, mengutuk Han Popo dan mengutuk pula dirinya sendiri yang dianggapnya bernasib kurang baik.

Ketika dirinya tinggal berdua saja dalam kamar dengan Im Yao, maka rasa takut Ting Hun-giok masih belum hilang. Apakah dirinya ini Ibarat lepas dari mulut harimau tetapi masuk ke mulut buaya?

Im Yao memang menatap tubuh Ting Hun-giok dengan pandangan mata yang menakutkan. Sudah puluhan perempuan yang diperkosanya, namun belum pernah ditemuinya yang secantik ini, apalagi dengan baju yang setengah terbuka memperlihatkan kulit yang bersih menantang itu, hasil kerja Pui In-bun tadi. Dan ketika melihat mata gadis itu, hati Im Yao pun tergetar. Mata yang sangat bagus, namun mata itu kini seperti mata seekor kelinci yang ketakutan menatap seekor harimau yang akan menerkamnya.

Selama menjadi penjahat, belum pernah perasaan Im Yao tergerak sedikitpun oleh perasaan belas kasihan, meskipun korbannya meratap-ratap di kakinya, bahkan jerit tangis mereka akan merupakan "musik" merdu bagi telinganya. Tapi kali ini Im Yao merasa tertusuk oleh pandangan Ting Hun-giok, pandangan mata yang seolah memohon belas kasihan tetapi seolah juga sangat membenci itu. Tiba-tiba Im Yao membuang pandangannya ke samping, dan menggeram dalam hatinya sendiri,

"Edan, kenapa sekarang aku menjadi sepengecut ini? Tidak pantas aku menjadi anggota Kui-kiong dan adik seperguruan Liong Suheng."

Dengan menguatkan hatinya ia menatap kembali wajah Tlng Hun-giok dan dilihatnya mulut gadis itu bergerak-gerak seolah akan berbicara, tapi tak ada suara keluar dari mulutnya sebab hiat-to pembisunya masih tertotok. Entah digerakkan oleh pengaruh apa, tiba-tiba saja jari Im Yao terulur untuk membebaskan totokan jalan-darah pembisu gadis itu.

Dan seakan di luar kesadarannya sendiri maka Im Yao mengambil mantel gadis itu yang tergeletak di lantai dan menyelimutkannya ke tubuh gadis itu. Perbuatan yang jarang sekali dilakukan dalam hidupnya. Yang sering dilakukannya, bahkan puluhan kali, adalah merobek-robek pakaian korbannya sampai habis, lalau ia menerkamnya tanmpa ampun.

"Terima kasih," sebuah suara merdu menyusup masuk ke telinganya.

Hati Im Yao kembali bergolak. Yang masuk ke telinganya biasanya kalau bukan jeritan kesakitan dan ketakutan tentunya caci-maki atau kutukan korban-korbannya. Mana pernah ia mendengar ucapan yang bernada begitu hangat, ucapan yang seharusnya menjadi pengerat antar manusia? Sesaat lamanya Im Yao merasakan dirinya sebagai sesosok iblis yang dibenci dan ditakuti, dan pandangan matanya yang tajam menakutkan itu mulai pudar. Kepalanyapun terangguk kecil membalas ucapan terima kasih itu.

Namun ia sudah terlalu lama hidup dalam dunia yang gelap, dingin dan jauh dari perasaan antar manusia umumnya. Te-liong Hiangcu selalu menekankan kepada anakbuahnya bahwa perasaan belas kasihan, cinta, terharu dan sebagalnya adalah perasaan-perasaan yang cengeng yang tidak boleh ada dalam diri setiap angogta Kui-kiong.

Setiap anggota Kui-kiong harus garang, patuh kepada perintah, tak berperasaan dan berdarah dingin, dan dalam usianya yang hampir tigapuluh tahun itu Im Yao sudah dididik demikian dalam jangka waktu hampir tiga-perempat dari umurnya sendiri. Ia terkejut ketika ia menyadari dalam dirinya telah timbul setitik "kelemahan".

Tiba-tiba sikap Im Yao berubah, ia menyesal telah mengangguk membalas ucapan terima kasih tadi, dan kini la harus menunjukkan kegarangannya. Pandangan matanya menjadi tajam kembali dan wajahnya mengeras, katanya, "Jangan berterima kasih kepadaku. Aku sama jahatnya dengan anjing yang baru ku-tendang keluar tadi, dan kelak kau akan tahu itu."

Lalu tanpa berani menatap mata Ting Hun-giok lagi, orang berwajah dingin itupun berlalu dari ruangan itu. Meninggalkan Ting Hun-giok yang tertotok lemas di pembaringan itu. Gadis itu agak tenang malam itu dan dicobanya untuk tidur meskipun ia tidak tahu nasib yang bakal menimpa dirinya besok pagi. Asal sehari masih bisa hidup dengan tetap menjaga kehormatannya, maka sehari pula masih ada kesempatan untuk melarikan diri dari tangan iblis-lblis itu. Dan malam itu memang tidak ada gangguan dari Pui In-bun sehingga Ting Hun-giok dapat tidur dengan pulasnya.

Rupanya, betapapun besar hasrat Pui In-bun atas diri gadis itu, namun tidak akan berani untuk mempertaruhkan batang lehernya untuk melawan adik-adik seperguruan Liong Pek ji yang kemampuannya tidak jauh berbeda dengan Liong Pek-Ji sendiri itu. Bahkan Han Popo sendiripun tidak berarti terhadap Im Yao dan Im Kok, meskipun sudah menerima kalung mutiara dari Pul In-bun.

Ting Hun-giok bangun ketika mendengar suara ayam berkokok keras sekali, ia baru saja bermimpi bertemb dengan ayah-ibunya dan berada dalam perlindungan mereka yang hangat, namun sayang hanya mimpi. Dan ketika ia bangun dari tidurnya, maka la masih berada di ruangan yang hampir saja membuahkan malapetaka bagi dirinya itu. Ia menahan diri agar tidak mengeluarkan air matanya, sebab sebentar lagi ia tahu musuh-musuhnya akan masuk ke situ untuk "memperbarui" totokannya itu.

Benar juga, pintu berderit dan didorong dari luar, lalu masuklah seorang nenek-nenek bermuka seram tetapi lehernya memakai kalung mutiara yang indah sekali. Begitu masuk, nenek-nenek itu tanpa perasaan sedikitpun menotok pinggang Ting Hun-giok, lalu dicopotinya semua pakaian gadis itu dan diganti dengan pakaian yang buruk. Katanya dingin,

"Kau tidak perlu kelihatan cantik jika ingin menemui si kelelawar busuk she Liong itu. Yang penting darahmu segar dan masih murni, sebab si kelelawar busuk itu hanya doyan darah dan tidak doyan paras cantik. Itulah agaknya yang membuat ilmunya terpupuk dengan baik dan dari waktu ke waktu terus meningkat pesat. Berbeda dengan si kura-kura Pui In-bun itu...."

Begitulah, sambil mengganti pakaian Ting Hun-giok, nenek itu tidak henti-hentinya, menggerutu. Dan meskipun Ting Hun-giok bisa berbicara, ia merasa lebih baik bungkam saja. Beberapa saat kemudian Han Popo berteriak ke luar pintu, "Im Lotoa masuklah, aku sudah selesai...!"

Lalu pintu terbuka lagi dan Im Yao melangkah masuk. Kali ini didampingi seseorang yang mukanya mirip dengannya, dan agaknya sama jahatnya, hanya saja usianya lebih muda. Begitu masuk, yang lebih muda itu langsung menyeringai dan berkata, "Wah, tanpa pakaian baguspun ternyata tetap cantik. Pantas Pui In-bun semalam hampir gila dibuatnya."

Sahut kakaknya, "Tutup mulutmu. Justru karena dia cantik maka sepanjang perjalanan tugas kita bertambah berat. Melindungi dia dari incaran Pui In-bun...."

"Dan juga menahan diri kita sendiri bukan?" sambung Tui-hun-hok Im Kok sambil cengingisan.

"Jangan main-main. Kau berani berhadapan dengan Toa-suheng?" gertak kakaknya. "Jangan menjadi gila karena seorang gadis."

Im Kok diam tidak membantah lagi, namun diam-diam la pun menjadi heran melihat perubahan sikap kakaknya. Perubahan sikap terhadap gadis bernama Ting Hun-giok itu nampaknya agak mendasar, bukan karena sekedar takut kepada Toa-suhengnya Liong Pek-ji. Biasanya kakaknya kalau melihat tawanan secantik itu akan melotot seperti kucing melihat dendeng; kini malahan bersikap begitu alim.

Bahkan ketika Han Popo hendak mengganti pakaian gadis itupun maka sang kakak memilih untuk tetap berdiri di luar pintu tertutup sampai Han Popo selesai dengan tugasnya, dan ia juga melarang semua orang laki-laki untuk masuk ke kamar, tidak terkecuali adiknya sendiri yang ingin "meninjau" cara kerja Han Popo.

"Jangan-jangan kakakku ini jatuh cinta kepada gadis ini, seperti yang dikisahkan oleh para kutu-buku dalam syair-syair cengeng mereka?" pikir Im Kok. Lalu ia tersenyum geli sendirinya. Istilah "jatuh cinta" untuk orang-orang Kui-kiong tidak dikenal, malahan kedengarannya aneh dan tolol.

Di luar gubuk Han Popo itu ada sebuah kereta dan beberapa ekor kuda. Selain Pui In-bun yang wajahnya masih kelihatan penasaran, juga nampak beberapa orang yang berpakaian ringkas dan menyandang senjata.

Ketika Ting Hun-giok digiring keluar dari dalam gubuk dan dimasukkan kereta setelah ditotok jalan darahnya, maka salah seorang dari lelaki berpakaian ringkas itu berkata kepada Im Yao dengan hormatnya, "Aku baru saja dari kota Tiang-an dan melihat orangtua gadis itu serta si pendeta pembunuh kerbau itu sudah meninggalkan Tiang-an menuju ke arah timur."

"Bagus, dan kita akan menuju tenggara, langsung ke Kui-kiong", kata Im Yao dingin.

"Kau lihat tidak pemuda Hoa-san-pay yang kidal dan berpakaian serba putih itu?"

"Setelah perkelahian dengan pendeta pembunuh kerbau itu selesai, pemuda itu menghilang dari penginapan dan entah ke mana."

"Jadi kalian kehilangan jejak pemuda baju putih itu?"

Wajah anak buah Im Yao itu nampak takut, suaranyapun tergagap, "Ya...ya... kalau tuan perintahkan maka kami segera akan mencoba melacak jejaknya.”

Dalam hatinya si anak buah itu sudah membatin, kalau bukan hukuman mati paling tidak beberapa gablokan akan mendarat di wajahnya dan ia akan kehilangan beberapa giginya. Tapi alangkah terkejutnya si anak buah itu ketika melihat Im Yao malah tersenyum ramah, sesuatu yang tak pernah dilihatnya selama ia menjadi anak buahnya, dan lebih-lebih lagi kemudian Im Yao menepuk pundak anak buahnya itu dengan sikap akrab. Sambil berkata,

"Tidak usah, tugas membunuh pemuda baju putih itu bukan bagian kelompok kita. Kemarin aku memerintahkan demikian hanya sebagai sambilan saja, siapa tahu mendapat pahala dari Teliong Hiangcu. Yang utama sekarang adalah menuju Kui-kiong dengan mengawal tawanan ini, sedang tugas membunuh Sebun Him akan tetap menjadi bagian kelompoknya Kiu-bwe-coa Leng Bok-hou. Kita tak usah merebut pahalanya."

"Baik", sahut para anak buahnya dengan perasaan masih kurang percaya.

Ketika Im Yao tanpa sadar menoleh ke arah Ting Hiin-giok, maka gadis itu pun kebetulan sedang melihat kearahnya, bahkan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Im Yao terkesiap, cepat-cepat dikuasainya goncangan hatinya, dan dengan sikap sangat garang ia membentak, "Kenapa kau cengar-cengir kepadaku? Kau kira bisa melunakkan hati kami dengan sikapmu itu? Cepat masuk ke kereta!”

Seumur hidupnya sebagai anak tunggal sebuah keluarga pendekar, belum pernah Tin Hun-giok dibentak-bentak seperti itu oleh orang lain, kecuali oleh ayah-ibunya sendiri. Alangkah sakit hatinya, namun ia merasa lebih baik diam saja, daripada salah ucap dan menimbulkan kemarahan penjahat-penjahat itu.

Namun bagi orang-orang yang sudah biasa menyaksikan kegarangan Im Yao, sikap Im Yao itu jauh lebih lunak dari biasanya. Harusnya Im Yao menarik rambut gadis itu dan membantingkannya ke dalam kereta. Malah pernah Im Yao memenggal langsung kepala dari seorang tawanan yang menjengkelkannya, tanpa peringatan apapun lebih dulu.

"Berangkat!" kata Im Yao dengan sikap dibuat segarang mungkin.

Maka rombongan itupun berangkat. Sebuah kereta tertutup dengan seorang sais yang menjalankan keretaa dan seorang lagi berada di dalam untuk menjaga tawanan. Sementara Im Yao, Im Kok, Pui In-bun dan beberapa anggota Kui-kiong lainnya yang bertampang buas-buas, lebih suka menunggang kuda daripada duduk dalam kereta yang gelap dan tidak bisa melihat pemandangan indah di luaran. Rombongan itu menuju ke tenggara, diantar dengan pandangan mata oleh Han Popo yang tetap tinggal di gubuk itu.

Mereka menuju ke arah utara, mula-mula melalui jalan yang lebar, tapi jalan itu semakin sempit dan semakin sepi. Dan ketika matahari terbenam, mereka beristirahat di sebuah padang rumput yang dikelilingi hutan. Di situ mereka duduk berkeliling di perapian, sambil memanggang beberapa binatang hutan yang berhasil mereka buru. Ting Hun-giok atas ijin Im Yao diijinkan keluar dari kereta tertutup itu dengan totokan yang dibuka, dan melemaskan otot.

Serasa segar juga setelah seharian tersekap dalam kereta tertutup dan tidak bisa melihat lain kecuali tenda kereta yang berwarna kusam. Bahkan kemudian Ting Hun-giok minta ijin kepada Im Yao untuk membersihkan diri di sebuah mata air tidak jauh dari situ, sebab keringat yang melekat seharian di tubuhnya terasa tidak enak juga.

Begitu mendengar Ting Hun-giok akan mandi, Pui In-bun cepat-cepat berdiri dan berkata kepada Im Yao, "Supaya gadis itu tidak melarikan diri, biar aku yang mengawasinya, Im Lotoa!"

"Biar aku saja, mana pantas tuan Putri mengerjakan pekerjaan rendahan itu?" kata seorang anak buah Kui-kiong yang sebelah matanya ditambal kain hitam.

Lalu Tui-hun-hok Im Kok ikut bersuara pula, "Bangsat-bangsat itu kurang bisa dipercaya, toako, kalau aku sih lebih meyakinkan...”

Begitu mereka berebutan hendak mengantar Ting Hun-giok ke mata air itu. Sementara Ting Hun-giok sendiri menyesal telah mengucapkan kata-katanya itu di tengah-tengah lelaki-lelaki garang itu, kata-kata yang memang bisa menimbulkan angan-angan tak keruan di otak mereka yang jorok.

"Aku...aku tidak jadi ke mata air saja..." kata Ting Hun-giok dengan suara gemetar.

Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Kau tetap harus ke sana. Aku sendiri akan mengantarmu!"

Muka Ting Hun-giok menjadi pucat, ia tidak tahu apakah pemimpin dari rombongan ini benar-benar ingin melindunginya dari kebuasan anakbuahnya, ataukah malahan orang ini lebih buas dari anakbuahnya? Dan sebelum Ting Hun-giok berkata lagi, Im Yao telah membentak, "Cepat!"

"A...aku tidak jadi saja..."

"Cepat! Atau kau harus kuperlakukan kasar di sini?!" teriak Im Yao.

Dalam keadaan terjepit, maka keberanian Ting Hun-giok pun timbul, dengan nekad ia menantang mata Im Yao dengan matanya sendiri yang memancarkan kema rahan. Katanya tegas, "Tidak! Aku membatalkannya, kalau kau memaksa aku memang lebih baik aku mati di sini!"

Im Yao membuang mukanya karena tidak tahan menentang mata gadis itu, Namun ia tetap memaksakan diri untuk bersikap garang, "Tidak semudah itu kau menentukan mati-hidupmu sendiri, Kamilah yang menentukan!"

Bersamaan dengan kata-katanya itu tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah gadis itu, dan dengan sebuah totokan kilat ia telah menotok pinggang gadis itu. Sebelum ting Hun-giok jatuh ke tanah, Im Yao telah menyambut tubuhnya dan langsung memanggulnya di pundaknya sambil berkata, "Tidak seorangpun boleh bicara mencla-mencle di depanku. Kau bilang ingin mandi, kau benar-benar harus mandi...!"

Lalu dengan memanggul tubuh gadis itu, Im Yao melangkah lebar ke mata air yang terletak di balik segerumbul pepohonan lebat. Anak buahnya serempak berdiri dan hampir berbareng mereka menyatakan kesediaan untuk mengawal pemimpin mereka, tapi suara mereka bungkam seketika ketika mendengar Im Yao berkata dengan tegas, "Semua tinggal di sini. Siapa yang menentang perintahku, penggal kepala hukumannya! Lo-ji, kau awasi mereka!"

"Baik, Lotoa!" sahut adiknya sambil menelan ludahnya, sebab diapun sebenarnya ingin ikut ke mata air itu. Tapi ia tahu betapa keras watak kakaknya dan ia tidak berani membantah pesannya.

Ketika Im Yao menghilang di balik gerumbul pepohonan itu, maka Pui In-bun membanting kakinya dengan jengkel sambil berkata kepada Im Kok, "Kakakmu itu benar-benar keterlaluan. Kenikmatan yang sebenarnya bisa dicicipi bersama malahan hendak dilalapnya sendirian. Huh!”

Tui-hun-hok Im Kok mencoba menghibur rekannya itu, "Sudahlah. Aku pun kecewa, tapi kelak aku akan menemanimu mencari yang lebih hebat dari gadis itu. Tapi saat ini jangan melanggar pesan-pesan kakakku."

Sementara itu, begitu tiba di mata air itu Im Yao menurunkan tubuh Ting Hun-giok dan berkata dingin, "Nah, bersihkan tubuhmu!"

Ting Hun-giok melotot Kepada im Yao dan berkata sambil menahan tangis, "Kau keterlaluan sewenang-wenang kepadaku. Cabut pedangmu dan bunuh saja aku. Itu lebih baik daripada kau hina aku seperti ini!"

"Kau ingin mandi sendiri atau aku yang memandikanmu?"

"Bunuh aku! Kumohon, bunuh aku!"

"Tidak! Suhengku membutuhkan kau karena kau adalah puteri musuh besarnya yang dibencinya. Mandilah, aku tidak akan melihatmu!"

Ting Hun-giok terkejut ketika mendengar suara yang melunak itu. Ia agak teran melihat kelakuan pemimpin kawanan penjahat yang menawannya itu. Saat itu matahari belum tenggelam sepenuhnya dan masih ada sisa-sisa cahaya di langit, Ting Hun-giok menatap orang itu seorang yang bertubuh agak kurus, dengan mata yang tajam dan dari mata itu terpancar kehampaan jiwa yang dicobanya ditutup-tutupi dengan sikap yang kejam dan bahkan kadang-kadang tidak segan-segan mengorbankan nyawa orang lain.

Di dekat alis mata kanannya ada sebuah luka memanjang, mungkin bekas terkena senjata, dan Ting Hun-gok harus mengakui bahwa andaikata janggut dan rahangnya dicukur bersih, orang ini agaknya cukup tampan juga.

Im Yao mendengus melihat sikap gadis itu, katanya dingin, "Jika aku ingin memperkosamu, aku tidak akan membebaskankan totokanmu tadi. Meskipun aku adalah penjahat yang paling busuk, aku pantang menjilat ludahku sendiri, kalau aku bilang tidak akan melihatmu mandi maka aku benar-benar tidak akan melihatmu, kau tidak percaya?"

Ting Hun-giok tidak menjawab namun bersisikap ragu-ragu. Sementara Im Yao berkata lagi, tetap dengan suaranya yang dingin dan ketus, "Aku tidak berselera memperkosamu, barangkali lain kali aku berselera!"

Meskipun sikap orang itu selalu begitu dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang menyakitkan hati, namun tiba-tiba Ting Hun-giok merasa bahwa orang itu tidak jahat. Barangkali hanya karena pengaruh lingkungan, atau kekurangan perhatian dari sesamanya, atau mungkin juga rendah diri. Tapi, untuk mandi dengan ditunggui orang itu, Ting Hun-giok merasa risi juga.

"Kau mempermainkan aku, he? Kau sudah kuantar ke mari dengan menangung kecurigaan teman-temanku, dan sekarang kau hanya termangu-mangu seperti kesambet setan? Ingat, aku bisa berbuat kasar sekali kepadamu... suatu kehinaan yang tidak bakal bisa kau lupakan meskipun kau sudah menjadi roh halus sekalipun!"

Perasaan yang peka dari Ting Hun-giok merasa bahwa Im Yao tidak menjiwai kata-kata menakutkan yang diucapkannya itu. Tiba-tiba timbul kenekadan Ting Hun-giok untuk menguji sampai di mana kesungguhan sikap orang ini. Dengan muka merah ia berkata, "Baik. Kau menghadap ke sana...!"

Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Im Yao membalikkan tubuhnya untuk membelakangi mata air itu. Jantungnya berdegup keras ketika kupingnya mendengar desir dari orang yang melepas pakaian, diikuti dengan suara menceburnya tubuh seseorang kedalam air. Nafsu setan yang selama ini selalu dilampiaskannya tanpa dikekang, menimbulkan dorongan dalam hatinya untuk menengokkan kepalanya ke belakang dan kalau perlu menerkam korbannya yang sangat cantik itu. Tapi kepalanya ternyata tidak juga menoleh, ada kekuatan lain di dalam jiwanya yang menahannya untuk tidak melakukan itu, kekuatan yang melebihi nafsu iblisnya.

Sementara itu, Ting Hun-giok sendiri bukannya tidak hampir copot jantungnya. Sambil membersihkan badannya dia selalu melihat dengan waspada ke arah Im Yao yang duduk membelakanginya seperti sesosok patung itu. Di tepian itu, hanya selangkah dari tempatnya berendam di air jernih, ada sebuah batu hitam yang amat keras dan berpinggiran tajam. Jika Im Yao menunjukkan gerakan yang mencurigakan, maka Ting Hun-giok tinggal melangkah selangkah dan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya ke batu itu, dan akan mampuslah ia daripada menangugng aib.

Sekali-sekali timbul keinginan untuk melarikan diri, tapi akal sehatnya memperingatkan bahwa saat itu belum saatnya. Ia bakalan tertangkap lagi dan kalau ia sampai menimbulkan kemarahan bandit-bandit itu, maka agaknya nasibnya bakal menjadi paling buruk di antara perempuan-perempuan sedunia.

Sampai ia selesai membersihkan badannya sehingga segar kembali dan memakai pakaiannya kembali, ternyata Im Yao masih saja duduk membelakangi. Dan ini sebenarnya agak mengherankan Ting Hun-giok.

"Aku sudah selesai," kata Ting Hun giok setelah pakaiannya dipakai dengan lengkap dan benar.

Im Yao membalikkan tubuh dan sesaat ia seakan silau melihat bidadari yang berdiri di hadapannya. Seperti sekuntum mawar jingga yang basah oleh embun, begitu pula gadis di hadapannya yang rambutnya masih basah dan diikat dengan sehelai saputangan itu. Dandanan sederhana yang diberikan oleh Han Popo itu tidak sanggup menutupi kecantikan yang gemilang itu.

Hanya dengan susah payah dan mengerahkan segenap kekuatan jiwanyalah maka Im Yao tidak sampai salah tingkah, dan meskipun agak canggung ia berhasil juga mempertahankan sikap garang dan dinginnya, "Kita kembali ke perkemahan!"

"Terima kasih atas sikapmu selama aku membersihkan diri tadi."

"Simpan dulu terima kasihmu. Barangkali nanti malam atau besok pagi aku kesurupan iblis dan nasibmu akan menjadi amat buruk di tanganku."

"Tidak. Aku percaya kau tidak jahat."

"Semua orang memakiku sebagai orang jahat, dan aku memang jahat. Dengar baik-baik, aku sudah membunuh banyak perempuan tua dan anak-anak yang tak berdaya, aku sudah memperkosa banyak gadis baik-baik, aku sudah..."

"Tidak. Kau tidak jahat. Kau baik."

''Tidak, kau keliru. Aku busuk sampai ke tulang sungsumku. Akulah maha penjahat sejak kecil dan akan tetap menjadi penjahat sampai mati!"

"Begitu membanggakankah sebagai orang jahat sehingga kau mati-matian ingin disebut demikian?" pertanyaan Ting Hun-giok yang tiba-tiba itu membuat Im Yao terbungkam.

Akhirnya Im Yao membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kau harus percaya bahwa akulah penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi, jika kau tidak percaya, akan kubuktikan kejahatanku a-tas dirimu sekarang juga!"

"Kenapa kau menanamkan pikiran dalam dirimu sendiri bahwa kau seorang jahat? Kenapa kau berpendapat bahwa kau tidak bisa menjadi orang baik lagi?"

"Sebab sekali seseorang dilahirkan sebagai penjahat, atau keturunan penjahat, ia akan menjadi penjahat juga seumur hidupnya. Itu adalah takdir," berbicara sampai, di sini, mata Im Yao menerawang jauh ke alam khayalan, lalu melanjutkan, "Contohnya adalah ayahku sendiri, la penjahat, pemabuk, penjudi, tidak pernah memperhatikan Ibu dan kami kakak beradik yang tiap hari membanting tulang sebagai budak seorang kaya dengan upah yang rendah. Malahan suatu hari ibuku dicekik mampus oleh ayahku, ha-ha-ha-ha... sungguh indah wajah ibuku saat tangan-tangan ayah mencengkam lehernya. Lalu kami pun mengikuti jejak ayah, dan tidak mungkin menjadi orang baik sebab masyarakat tidak bisa menerima sampah-sampah seperti kami. Dunia ini rimba belantara, binatang-binatang mendapatkan makanan dengan menerkam biantang lainnya. Kau paham?"

Hati Ting Hun-giok terguncang. Hanya dengan beberapa kalimat yang diucapkan oleh Im Yao itu, terhapuslah rasa bencinya kepada orang ini. Berganti dengan rasa simpati. "Kau tidak ingin menjadi orang baik?”

"Tidak. Dunia orang baik-baik bukan duniaku, aku bermimpi kalau aku ingin masuk ke dalamnya. Lebih baik aku tetap berada dalam duniaku, kepuasan dan kenikmatan dapat aku reguk setiap saat tanpa peduli pandangan orang lain. Hidup secara demikian itu hebat bukan?"

"Jauh di dalam hatimu, kau pasti masih ingin menjadi orang baik yang hidup tenteram..."

"Tidak! Aku tidak kepingin!"'

"Selama kau manusia, kau pasti masih inginkan itu!"

"Aku memang bukan manusia. Aku iblis, dari dasar neraka!”

“Kau yang menamakan-dirimu sendiri iblis, tapi aku tetap menganggapmu manusia!" sahut Ting Hun-giok berani.

"Kau orang gila. Gadis gila. Orang lain menganggapku iblis yang paling dibenci dan ditakuti, sedang kau sebaliknya!"

"Kau harus menjadi orang baik-baik..."

Tiba-tiba Im Yao menghunus pedangnya dan ditodongkan ke leher Ting Hun-giok, sambil berkata, "Gadis gila, kalau kau bicara yang bukan-bukan untuk melemahkan hatiku, sebentar lagi kepalamu akan menggelundung di tepi mata air ini...!”

Ting Hun-giok memang tidak berbicara lagi, namun dengan matanya yang jernih ia menatap langsung ke pusat mata Im Yao. Dan tangan Im Yao yang memegang pedang itu mulai goyah dan todongannya tidak mantap lagi. Tapi ia masih membentak, "Jalan di depan! Jangan coba-coba melarikan diri supaya aku tidak mencincangmu !"

Dalam pada itu, Pui Im-bun dan lain-lainnya tercengang ketika melihat Im Yao dan Ting Hun-giok berjalan bersama dari mata air itu dengan sikap seolah-olah tidak ada apa-apa. Tadinya mereka mengira tentunya Ting Hun-giok tentu akan muncul dari sana dengan pakaian yang robek-robek dan diseret oleh Im Yao, sambil menangis minta dibunuh atau mencaci-maki. Ternyata tidak. Malahan wajah Ting Hun-giok tenang-tenang saja dan bahkan matanya bersinar-sinar. Meskipun Im Yao menghunus pedang, tapi nampaknya tidak ada ketegangan sedikit-pun di antara mereka.

Dengan perasaan heran Pui In-bun membatin, "Edan, tadinya gadis itu meronta-ronta, kenapa sekarang kelihatan, tenang-tenang saja dan tidak bersedih? Apakah Im Yao telah berhasil membujuknya sehingga mereka melakukannya dengan suka sama suka? Kalau begitu gadis itu hanya sok alim saja, kelihatannya menolak tetapi akhirnya mau juga. Jadi nanti malam aku ada harapan hmm..."

Lalu Pui In-bun menyikut Im Kok yang duduk di sebelahnya sambil berbisik, "Nampaknya kakakmu itu menikmati betul-betul bulan madunya. Mereka cukup lama, berada di mata air itu, terlalu lama untuk sekedar mandi saja."

Sebaliknya wajah Im Kok menjadi tegang bukan main. Jika benar dugaan Pui In-bun itu maka berarti kakaknya telah nekad melanggar pesan toa-suheng mereKa, Liong Pek-Ji, yang pasti akan marah-marah bila mendengarnya. Jika sang toa-suheng marah, harus ada nyawa yang melayang dan entah nyawa siapa nanti?

Ting Hun-giok sendiri tanpa peduli pandangan mata dari orang-orang buas itu, segera ikut duduk mengelilingi perapian dan tanpa sungkan-sungkan ikut makan daging rusa bakar bersama-sama dengan Im Yao. Mula-mula ia merasa bergidik juga ketika melihat mata para anak buah Kui-kiong itu menatap dirinya dengan tatapan seekor serigala kelaparan menghadapi seekor kelinci yang tak berdaya. Namun sungguh aneh, ketika Ting Hun-giok merasa Im Yao dldekatnya, maka takutnyapun hilang. Ia merasa bahwa orang itu mampu dan mau melindungi dirinya.

Im Yao sendiripun tiba-tiba merasa tidak senang ketika melihat kawan-kawannya memandang Ting Hun-giok dengan cara mengerikan seperti itu. Maka ketika Ting Hun-giok masih ingin menyelesaikan sepotong daging rusa bakarnya, tiba-tiba Im Yao menggeram, "Masuk ke dalam kereta!"

"Aku masih ingin duduk di sini..."

"Masuk ke dalam kereta kataku! Kau tawanan dan jangan membuatku jengkel supaya aku tidak berbuat kasar kepadamu!"

Ting Hun-giok terpaksa menurutinya. Ia tidak ingin membantah sehingga Im Yao kehilangan muka di hadapan anak-buahnya. Di dalam kereta itu la bisa merebahkan diri seenaknya diatas lantai kereta yang beralaskan setumpuk gerami kering dan sehelai tikar butut. Kadang-kadang telinganya menjadi merah juga ketika mendengar ucapan-ucapan jorok dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu, apalagi kadang-kadang orang itu menyebut-nyebut dirinya pula.

Tapi di antara mereka yang bercakap-cakap itu tidak terdengar suara Im Yao. Ketika Ting Hun-giok mengintip dengan menyingkapkan tenda kereta, dilihatnya Im Yao duduk seperti patung dengan muka yang dingin seperti muka patung pula, sama sekali tidak mengacuhkan senda-gurau teman-temannya.

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam dan membaringkan tubuhnya kembali tubuhnya di lantai kereta. Orang she Im itu adalah korban dari sebuah keluarga yang berantakan sejak usianya masih kecil, ketiadaaan kasih-sayang dan perhatian akhirnya membuat hatinya sekeras batu. Ia kehilangan kepercayaan kepada cinta kasih dan kepada sesama, namun ia masih membutuhkan perhatian juga sehingga dilakukannya pekerjaan-pekerjaan yang menggemparkan.

Bahkan kekejaman-kekejaman yang luar biasa, sebagai upaya menarik perhatian orang terhadap dirinya dan sekaligus membalas dendam entah kepada siapa. Semakin ia berbuat demikian, ternyata semakin pula ia terasing dari sesama manusia sehingga ia mirip seorang yang diseret ombak ke tengah lautan semakin jauh dari daratan sampai suatu saat kelak dia benar-benar tidak akan melihat daratan lagi. Tenggelam di lautan dendam dan sakit hati.

Mendadak mata Ting Hun-giok menjadi basah. Ia terkejut, cepat-cepat dihapuskannya air matanya dan digerutuinya dirinya sendiri, "Gila, buat apa aku memangis buat penjahat itu. Dia yang menculik aku, dan berkali-kali mengancam untuk menyakiti aku, dan sekarangpun aku sedang dibawanya ke tempat pembantaian..."
Selanjutnya;