Pendekar Naga dan Harimau Jilid 30Karya : Stevanus S.P |
Ketika Im Yao tanpa sadar menoleh ke arah Ting Hiin-giok, maka gadis itu pun kebetulan sedang melihat kearahnya, bahkan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Im Yao terkesiap, cepat-cepat dikuasainya goncangan hatinya, dan dengan sikap sangat garang ia membentak, "Kenapa kau cengar-cengir kepadaku? Kau kira bisa melunakkan hati kami dengan sikapmu itu? Cepat masuk ke kereta!”
Seumur hidupnya sebagai anak tunggal sebuah keluarga pendekar, belum pernah Tin Hun-giok dibentak-bentak seperti itu oleh orang lain, kecuali oleh ayah-ibunya sendiri. Alangkah sakit hatinya, namun ia merasa lebih baik diam saja, daripada salah ucap dan menimbulkan kemarahan penjahat-penjahat itu. Namun bagi orang-orang yang sudah biasa menyaksikan kegarangan Im Yao, sikap Im Yao itu jauh lebih lunak dari biasanya. Harusnya Im Yao menarik rambut gadis itu dan membantingkannya ke dalam kereta. Malah pernah Im Yao memenggal langsung kepala dari seorang tawanan yang menjengkelkannya, tanpa peringatan apapun lebih dulu. "Berangkat!" kata Im Yao dengan sikap dibuat segarang mungkin. Maka rombongan itupun berangkat. Sebuah kereta tertutup dengan seorang sais yang menjalankan keretaa dan seorang lagi berada di dalam untuk menjaga tawanan. Sementara Im Yao, Im Kok, Pui In-bun dan beberapa anggota Kui-kiong lainnya yang bertampang buas-buas, lebih suka menunggang kuda daripada duduk dalam kereta yang gelap dan tidak bisa melihat pemandangan indah di luaran. Rombongan itu menuju ke tenggara, diantar dengan pandangan mata oleh Han Popo yang tetap tinggal di gubuk itu. Mereka menuju ke arah utara, mula-mula melalui jalan yang lebar, tapi jalan itu semakin sempit dan semakin sepi. Dan ketika matahari terbenam, mereka beristirahat di sebuah padang rumput yang dikelilingi hutan. Di situ mereka duduk berkeliling di perapian, sambil memanggang beberapa binatang hutan yang berhasil mereka buru. Ting Hun-giok atas ijin Im Yao diijinkan keluar dari kereta tertutup itu dengan totokan yang dibuka, dan melemaskan otot. Serasa segar juga setelah seharian tersekap dalam kereta tertutup dan tidak bisa melihat lain kecuali tenda kereta yang berwarna kusam. Bahkan kemudian Ting Hun-giok minta ijin kepada Im Yao untuk membersihkan diri di sebuah mata air tidak jauh dari situ, sebab keringat yang melekat seharian di tubuhnya terasa tidak enak juga. Begitu mendengar Ting Hun-giok akan mandi, Pui In-bun cepat-cepat berdiri dan berkata kepada Im Yao, "Supaya gadis itu tidak melarikan diri, biar aku yang mengawasinya, Im Lotoa!" "Biar aku saja, mana pantas tuan Putri mengerjakan pekerjaan rendahan itu?" kata seorang anak buah Kui-kiong yang sebelah matanya ditambal kain hitam. Lalu Tui-hun-hok Im Kok ikut bersuara pula, "Bangsat-bangsat itu kurang bisa dipercaya, toako, kalau aku sih lebih meyakinkan...” Begitu mereka berebutan hendak mengantar Ting Hun-giok ke mata air itu. Sementara Ting Hun-giok sendiri menyesal telah mengucapkan kata-katanya itu di tengah-tengah lelaki-lelaki garang itu, kata-kata yang memang bisa menimbulkan angan-angan tak keruan di otak mereka yang jorok. "Aku...aku tidak jadi ke mata air saja..." kata Ting Hun-giok dengan suara gemetar. Sahut Tiat-ci-hok Im Yao, "Kau tetap harus ke sana. Aku sendiri akan mengantarmu!" Muka Ting Hun-giok menjadi pucat, ia tidak tahu apakah pemimpin dari rombongan ini benar-benar ingin melindunginya dari kebuasan anakbuahnya, ataukah malahan orang ini lebih buas dari anakbuahnya? Dan sebelum Ting Hun-giok berkata lagi, Im Yao telah membentak, "Cepat!" "A...aku tidak jadi saja..." "Cepat! Atau kau harus kuperlakukan kasar di sini?!" teriak Im Yao. Dalam keadaan terjepit, maka keberanian Ting Hun-giok pun timbul, dengan nekad ia menantang mata Im Yao dengan matanya sendiri yang memancarkan kema rahan. Katanya tegas, "Tidak! Aku membatalkannya, kalau kau memaksa aku memang lebih baik aku mati di sini!" Im Yao membuang mukanya karena tidak tahan menentang mata gadis itu, Namun ia tetap memaksakan diri untuk bersikap garang, "Tidak semudah itu kau menentukan mati-hidupmu sendiri, Kamilah yang menentukan!" Bersamaan dengan kata-katanya itu tiba-tiba tubuhnya melayang ke arah gadis itu, dan dengan sebuah totokan kilat ia telah menotok pinggang gadis itu. Sebelum ting Hun-giok jatuh ke tanah, Im Yao telah menyambut tubuhnya dan langsung memanggulnya di pundaknya sambil berkata, "Tidak seorangpun boleh bicara mencla-mencle di depanku. Kau bilang ingin mandi, kau benar-benar harus mandi...!" Lalu dengan memanggul tubuh gadis itu, Im Yao melangkah lebar ke mata air yang terletak di balik segerumbul pepohonan lebat. Anak buahnya serempak berdiri dan hampir berbareng mereka menyatakan kesediaan untuk mengawal pemimpin mereka, tapi suara mereka bungkam seketika ketika mendengar Im Yao berkata dengan tegas, "Semua tinggal di sini. Siapa yang menentang perintahku, penggal kepala hukumannya! Lo-ji, kau awasi mereka!" "Baik, Lotoa!" sahut adiknya sambil menelan ludahnya, sebab diapun sebenarnya ingin ikut ke mata air itu. Tapi ia tahu betapa keras watak kakaknya dan ia tidak berani membantah pesannya. Ketika Im Yao menghilang di balik gerumbul pepohonan itu, maka Pui In-bun membanting kakinya dengan jengkel sambil berkata kepada Im Kok, "Kakakmu itu benar-benar keterlaluan. Kenikmatan yang sebenarnya bisa dicicipi bersama malahan hendak dilalapnya sendirian. Huh!” Tui-hun-hok Im Kok mencoba menghibur rekannya itu, "Sudahlah. Aku pun kecewa, tapi kelak aku akan menemanimu mencari yang lebih hebat dari gadis itu. Tapi saat ini jangan melanggar pesan-pesan kakakku." Sementara itu, begitu tiba di mata air itu Im Yao menurunkan tubuh Ting Hun-giok dan berkata dingin, "Nah, bersihkan tubuhmu!" Ting Hun-giok melotot Kepada im Yao dan berkata sambil menahan tangis, "Kau keterlaluan sewenang-wenang kepadaku. Cabut pedangmu dan bunuh saja aku. Itu lebih baik daripada kau hina aku seperti ini!" "Kau ingin mandi sendiri atau aku yang memandikanmu?" "Bunuh aku! Kumohon, bunuh aku!" "Tidak! Suhengku membutuhkan kau karena kau adalah puteri musuh besarnya yang dibencinya. Mandilah, aku tidak akan melihatmu!" Ting Hun-giok terkejut ketika mendengar suara yang melunak itu. Ia agak teran melihat kelakuan pemimpin kawanan penjahat yang menawannya itu. Saat itu matahari belum tenggelam sepenuhnya dan masih ada sisa-sisa cahaya di langit, Ting Hun-giok menatap orang itu seorang yang bertubuh agak kurus, dengan mata yang tajam dan dari mata itu terpancar kehampaan jiwa yang dicobanya ditutup-tutupi dengan sikap yang kejam dan bahkan kadang-kadang tidak segan-segan mengorbankan nyawa orang lain. Di dekat alis mata kanannya ada sebuah luka memanjang, mungkin bekas terkena senjata, dan Ting Hun-gok harus mengakui bahwa andaikata janggut dan rahangnya dicukur bersih, orang ini agaknya cukup tampan juga. Im Yao mendengus melihat sikap gadis itu, katanya dingin, "Jika aku ingin memperkosamu, aku tidak akan membebaskankan totokanmu tadi. Meskipun aku adalah penjahat yang paling busuk, aku pantang menjilat ludahku sendiri, kalau aku bilang tidak akan melihatmu mandi maka aku benar-benar tidak akan melihatmu, kau tidak percaya?" Ting Hun-giok tidak menjawab namun bersisikap ragu-ragu. Sementara Im Yao berkata lagi, tetap dengan suaranya yang dingin dan ketus, "Aku tidak berselera memperkosamu, barangkali lain kali aku berselera!" Meskipun sikap orang itu selalu begitu dari mulutnya selalu keluar kata-kata yang menyakitkan hati, namun tiba-tiba Ting Hun-giok merasa bahwa orang itu tidak jahat. Barangkali hanya karena pengaruh lingkungan, atau kekurangan perhatian dari sesamanya, atau mungkin juga rendah diri. Tapi, untuk mandi dengan ditunggui orang itu, Ting Hun-giok merasa risi juga. "Kau mempermainkan aku, he? Kau sudah kuantar ke mari dengan menangung kecurigaan teman-temanku, dan sekarang kau hanya termangu-mangu seperti kesambet setan? Ingat, aku bisa berbuat kasar sekali kepadamu... suatu kehinaan yang tidak bakal bisa kau lupakan meskipun kau sudah menjadi roh halus sekalipun!" Perasaan yang peka dari Ting Hun-giok merasa bahwa Im Yao tidak menjiwai kata-kata menakutkan yang diucapkannya itu. Tiba-tiba timbul kenekadan Ting Hun-giok untuk menguji sampai di mana kesungguhan sikap orang ini. Dengan muka merah ia berkata, "Baik. Kau menghadap ke sana...!" Tanpa diperintah untuk kedua kalinya, Im Yao membalikkan tubuhnya untuk membelakangi mata air itu. Jantungnya berdegup keras ketika kupingnya mendengar desir dari orang yang melepas pakaian, diikuti dengan suara menceburnya tubuh seseorang kedalam air. Nafsu setan yang selama ini selalu dilampiaskannya tanpa dikekang, menimbulkan dorongan dalam hatinya untuk menengokkan kepalanya ke belakang dan kalau perlu menerkam korbannya yang sangat cantik itu. Tapi kepalanya ternyata tidak juga menoleh, ada kekuatan lain di dalam jiwanya yang menahannya untuk tidak melakukan itu, kekuatan yang melebihi nafsu iblisnya. Sementara itu, Ting Hun-giok sendiri bukannya tidak hampir copot jantungnya. Sambil membersihkan badannya dia selalu melihat dengan waspada ke arah Im Yao yang duduk membelakanginya seperti sesosok patung itu. Di tepian itu, hanya selangkah dari tempatnya berendam di air jernih, ada sebuah batu hitam yang amat keras dan berpinggiran tajam. Jika Im Yao menunjukkan gerakan yang mencurigakan, maka Ting Hun-giok tinggal melangkah selangkah dan membenturkan kepalanya sekeras-kerasnya ke batu itu, dan akan mampuslah ia daripada menangugng aib. Sekali-sekali timbul keinginan untuk melarikan diri, tapi akal sehatnya memperingatkan bahwa saat itu belum saatnya. Ia bakalan tertangkap lagi dan kalau ia sampai menimbulkan kemarahan bandit-bandit itu, maka agaknya nasibnya bakal menjadi paling buruk di antara perempuan-perempuan sedunia. Sampai ia selesai membersihkan badannya sehingga segar kembali dan memakai pakaiannya kembali, ternyata Im Yao masih saja duduk membelakangi. Dan ini sebenarnya agak mengherankan Ting Hun-giok. "Aku sudah selesai," kata Ting Hun giok setelah pakaiannya dipakai dengan lengkap dan benar. Im Yao membalikkan tubuh dan sesaat ia seakan silau melihat bidadari yang berdiri di hadapannya. Seperti sekuntum mawar jingga yang basah oleh embun, begitu pula gadis di hadapannya yang rambutnya masih basah dan diikat dengan sehelai saputangan itu. Dandanan sederhana yang diberikan oleh Han Popo itu tidak sanggup menutupi kecantikan yang gemilang itu. Hanya dengan susah payah dan mengerahkan segenap kekuatan jiwanyalah maka Im Yao tidak sampai salah tingkah, dan meskipun agak canggung ia berhasil juga mempertahankan sikap garang dan dinginnya, "Kita kembali ke perkemahan!" "Terima kasih atas sikapmu selama aku membersihkan diri tadi." "Simpan dulu terima kasihmu. Barangkali nanti malam atau besok pagi aku kesurupan iblis dan nasibmu akan menjadi amat buruk di tanganku." "Tidak. Aku percaya kau tidak jahat." "Semua orang memakiku sebagai orang jahat, dan aku memang jahat. Dengar baik-baik, aku sudah membunuh banyak perempuan tua dan anak-anak yang tak berdaya, aku sudah memperkosa banyak gadis baik-baik, aku sudah..." "Tidak. Kau tidak jahat. Kau baik." ''Tidak, kau keliru. Aku busuk sampai ke tulang sungsumku. Akulah maha penjahat sejak kecil dan akan tetap menjadi penjahat sampai mati!" "Begitu membanggakankah sebagai orang jahat sehingga kau mati-matian ingin disebut demikian?" pertanyaan Ting Hun-giok yang tiba-tiba itu membuat Im Yao terbungkam. Akhirnya Im Yao membentak, "Sudah, jangan banyak mulut! Kau harus percaya bahwa akulah penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi, jika kau tidak percaya, akan kubuktikan kejahatanku a-tas dirimu sekarang juga!" "Kenapa kau menanamkan pikiran dalam dirimu sendiri bahwa kau seorang jahat? Kenapa kau berpendapat bahwa kau tidak bisa menjadi orang baik lagi?" "Sebab sekali seseorang dilahirkan sebagai penjahat, atau keturunan penjahat, ia akan menjadi penjahat juga seumur hidupnya. Itu adalah takdir," berbicara sampai, di sini, mata Im Yao menerawang jauh ke alam khayalan, lalu melanjutkan, "Contohnya adalah ayahku sendiri, la penjahat, pemabuk, penjudi, tidak pernah memperhatikan Ibu dan kami kakak beradik yang tiap hari membanting tulang sebagai budak seorang kaya dengan upah yang rendah. Malahan suatu hari ibuku dicekik mampus oleh ayahku, ha-ha-ha-ha... sungguh indah wajah ibuku saat tangan-tangan ayah mencengkam lehernya. Lalu kami pun mengikuti jejak ayah, dan tidak mungkin menjadi orang baik sebab masyarakat tidak bisa menerima sampah-sampah seperti kami. Dunia ini rimba belantara, binatang-binatang mendapatkan makanan dengan menerkam biantang lainnya. Kau paham?" Hati Ting Hun-giok terguncang. Hanya dengan beberapa kalimat yang diucapkan oleh Im Yao itu, terhapuslah rasa bencinya kepada orang ini. Berganti dengan rasa simpati. "Kau tidak ingin menjadi orang baik?” "Tidak. Dunia orang baik-baik bukan duniaku, aku bermimpi kalau aku ingin masuk ke dalamnya. Lebih baik aku tetap berada dalam duniaku, kepuasan dan kenikmatan dapat aku reguk setiap saat tanpa peduli pandangan orang lain. Hidup secara demikian itu hebat bukan?" "Jauh di dalam hatimu, kau pasti masih ingin menjadi orang baik yang hidup tenteram..." "Tidak! Aku tidak kepingin!"' "Selama kau manusia, kau pasti masih inginkan itu!" "Aku memang bukan manusia. Aku iblis, dari dasar neraka!” “Kau yang menamakan-dirimu sendiri iblis, tapi aku tetap menganggapmu manusia!" sahut Ting Hun-giok berani. "Kau orang gila. Gadis gila. Orang lain menganggapku iblis yang paling dibenci dan ditakuti, sedang kau sebaliknya!" "Kau harus menjadi orang baik-baik..." Tiba-tiba Im Yao menghunus pedangnya dan ditodongkan ke leher Ting Hun-giok, sambil berkata, "Gadis gila, kalau kau bicara yang bukan-bukan untuk melemahkan hatiku, sebentar lagi kepalamu akan menggelundung di tepi mata air ini...!” Ting Hun-giok memang tidak berbicara lagi, namun dengan matanya yang jernih ia menatap langsung ke pusat mata Im Yao. Dan tangan Im Yao yang memegang pedang itu mulai goyah dan todongannya tidak mantap lagi. Tapi ia masih membentak, "Jalan di depan! Jangan coba-coba melarikan diri supaya aku tidak mencincangmu !" Dalam pada itu, Pui Im-bun dan lain-lainnya tercengang ketika melihat Im Yao dan Ting Hun-giok berjalan bersama dari mata air itu dengan sikap seolah-olah tidak ada apa-apa. Tadinya mereka mengira tentunya Ting Hun-giok tentu akan muncul dari sana dengan pakaian yang robek-robek dan diseret oleh Im Yao, sambil menangis minta dibunuh atau mencaci-maki. Ternyata tidak. Malahan wajah Ting Hun-giok tenang-tenang saja dan bahkan matanya bersinar-sinar. Meskipun Im Yao menghunus pedang, tapi nampaknya tidak ada ketegangan sedikit-pun di antara mereka. Dengan perasaan heran Pui In-bun membatin, "Edan, tadinya gadis itu meronta-ronta, kenapa sekarang kelihatan, tenang-tenang saja dan tidak bersedih? Apakah Im Yao telah berhasil membujuknya sehingga mereka melakukannya dengan suka sama suka? Kalau begitu gadis itu hanya sok alim saja, kelihatannya menolak tetapi akhirnya mau juga. Jadi nanti malam aku ada harapan hmm..." Lalu Pui In-bun menyikut Im Kok yang duduk di sebelahnya sambil berbisik, "Nampaknya kakakmu itu menikmati betul-betul bulan madunya. Mereka cukup lama, berada di mata air itu, terlalu lama untuk sekedar mandi saja." Sebaliknya wajah Im Kok menjadi tegang bukan main. Jika benar dugaan Pui In-bun itu maka berarti kakaknya telah nekad melanggar pesan toa-suheng mereKa, Liong Pek-Ji, yang pasti akan marah-marah bila mendengarnya. Jika sang toa-suheng marah, harus ada nyawa yang melayang dan entah nyawa siapa nanti? Ting Hun-giok sendiri tanpa peduli pandangan mata dari orang-orang buas itu, segera ikut duduk mengelilingi perapian dan tanpa sungkan-sungkan ikut makan daging rusa bakar bersama-sama dengan Im Yao. Mula-mula ia merasa bergidik juga ketika melihat mata para anak buah Kui-kiong itu menatap dirinya dengan tatapan seekor serigala kelaparan menghadapi seekor kelinci yang tak berdaya. Namun sungguh aneh, ketika Ting Hun-giok merasa Im Yao dldekatnya, maka takutnyapun hilang. Ia merasa bahwa orang itu mampu dan mau melindungi dirinya. Im Yao sendiripun tiba-tiba merasa tidak senang ketika melihat kawan-kawannya memandang Ting Hun-giok dengan cara mengerikan seperti itu. Maka ketika Ting Hun-giok masih ingin menyelesaikan sepotong daging rusa bakarnya, tiba-tiba Im Yao menggeram, "Masuk ke dalam kereta!" "Aku masih ingin duduk di sini..." "Masuk ke dalam kereta kataku! Kau tawanan dan jangan membuatku jengkel supaya aku tidak berbuat kasar kepadamu!" Ting Hun-giok terpaksa menurutinya. Ia tidak ingin membantah sehingga Im Yao kehilangan muka di hadapan anak-buahnya. Di dalam kereta itu la bisa merebahkan diri seenaknya diatas lantai kereta yang beralaskan setumpuk gerami kering dan sehelai tikar butut. Kadang-kadang telinganya menjadi merah juga ketika mendengar ucapan-ucapan jorok dari orang-orang yang mengelilingi perapian itu, apalagi kadang-kadang orang itu menyebut-nyebut dirinya pula. Tapi di antara mereka yang bercakap-cakap itu tidak terdengar suara Im Yao. Ketika Ting Hun-giok mengintip dengan menyingkapkan tenda kereta, dilihatnya Im Yao duduk seperti patung dengan muka yang dingin seperti muka patung pula, sama sekali tidak mengacuhkan senda-gurau teman-temannya. Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam dan membaringkan tubuhnya kembali tubuhnya di lantai kereta. Orang she Im itu adalah korban dari sebuah keluarga yang berantakan sejak usianya masih kecil, ketiadaaan kasih-sayang dan perhatian akhirnya membuat hatinya sekeras batu. Ia kehilangan kepercayaan kepada cinta kasih dan kepada sesama, namun ia masih membutuhkan perhatian juga sehingga dilakukannya pekerjaan-pekerjaan yang menggemparkan. Bahkan kekejaman-kekejaman yang luar biasa, sebagai upaya menarik perhatian orang terhadap dirinya dan sekaligus membalas dendam entah kepada siapa. Semakin ia berbuat demikian, ternyata semakin pula ia terasing dari sesama manusia sehingga ia mirip seorang yang diseret ombak ke tengah lautan semakin jauh dari daratan sampai suatu saat kelak dia benar-benar tidak akan melihat daratan lagi. Tenggelam di lautan dendam dan sakit hati. Mendadak mata Ting Hun-giok menjadi basah. Ia terkejut, cepat-cepat dihapuskannya air matanya dan digerutuinya dirinya sendiri, "Gila, buat apa aku memangis buat penjahat itu. Dia yang menculik aku, dan berkali-kali mengancam untuk menyakiti aku, dan sekarangpun aku sedang dibawanya ke tempat pembantaian..." |
Selanjutnya;
|