Pendekar Naga dan Harimau Jilid 29Karya : Stevanus S.P |
Hari itu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Sebun Him sekali melangkah masuk ke kamarnya sudah tidak pernah melangkah keluar lagi, bahkan makan sore dengan upah beberapa keping uang. Dari mulut pelayan pula ia mendengar bahwa Ting Bun dan rombongannya memakai dua buah kamar yang terletak dekat kebun bunga. Satu kamar dipakai Ting Bun dan Bu-gong Hweshio, satu kamar lagi dipakai Tong Wi-lian dan puterinya yang bernyali besar, Ting Hun-giok.
Karena di kota Tiang-an sedang "musim" Jai-hoa-cat, maka sikap Sebun Him yang mencari tahu di mana kamar menginapnya rombongan Ting Bun yang ada gadis cantiknya itu telah membuat si pelayan curiga. Diam-diam pelayan itu lalu membisiki Ting Bun agar hati-hati, katanya "si bangsat pemetik bunga juga ada di penginapan itu dan mengincar anak gadismu." Dan untuk bisikannya itu si pelayan mendapat lagi beberapa keping uang. Namun ada pihak tertentu yang memang bukan sekedar main bisik-bisik, tapi telah mempersiapkan sebuah tindakan. Di ruangan rumah makan itu ada dua orang yang mendengarkan percakapan Ting Bun dan rombongannya sejak tadi, juga gerak-gerik Sebun Him. Dan setelah Ting Bun maupun Sebun Him masuk ke belakang ke bagian penginapan, maka kedua orang Itu saling tersenyum. Kata seorang yang bertubuh kurus dan bermuka hitam, "Sekali lempar dengan sebutir batu, dua ekor burung kena sekaligus." "Ya, selain bakalan mendapat seorang gadis cantik dari keluarga terkenal yang pasti akan memuaskan selera minum darah dari Liong Tongcu (Pemimpin Kelompok she Liong), huga dapat melenyapkan bocah Hoa-san-pay itu dengan meminjam tangan para pendekar tolol itu. Kita ini bekerja lebih cerdik, lebih menggunakan otak, dibandingkan si Kiu-bwe-coa atau Sin-bok Hweshio yang tolol dan gagal itu." Keduanyapun tertawa bersama-sama meskipun dengan tertahan-tahan agar tidak menarik perhatian orang lain. "Mari kita minum tiga cawan untuk kecerdasan otak kita." Setelah minum-minum dan membayar harganya, kedua orang itupun meninggalkan rumah makan itu. Ketika malam tiba, maka seluruh kotapun menjadi sunyi. Kalau masih ada yang berkeluyuran di jalanan, maka itu hanyalah prajurit-prajurit yang menjaga keamanan kota, atau pemabuk-pemabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi. Menjelang tengah malam, muncul sesosok tubuh di gang samping dari penginapan "Pek-ln" yang diantara tamu-tamunya terdapat Ting Bun dan rombongannya serta Sebun Him itu. Orang itu berpakaian serba hitam dan hanya matanya yang nampak, ia celingukan kiri kanan, dan setelah dirasanya aman maka diapun meloncat naik ke dinding samping dengan gerakan seringan seekor kucing hitam. Lalu orang itu mencari sebuah tempat yang terlindung dari cahaya lampu maupun cahaya bintang di langit, dan ditemukannya tempat itu dl balik bayangan serumpun pohon yang tumbuh dekat dinding, dari balik bajunya dikeluarkannya sehelai bendera kecil segitiga berwarna hitam yang tengah-tengahnya bergambar pat-kwa. Sesaat la memusatkan perhatian, lalu diacungkannya bendera kecil itu ke delapan penjuru sambil membaca mantera-mantera, lalu dikibarkannya berulang kali di atas kepala. Perlahan-lahan terasa pergantian suasana di tempat itu, terutama disekitar tempat penginapan Itu. Udara yang tadinya sejuk dan tenang, tiba-tiba terasa angin bertiup makin lama makin kencang sehingga menimbulkan suara bersuitan, dan pepohonanpun sampai bersuara gemerasak. Selain itu, angin itu Juga membawa udara dingin menggidikkan tubuh, daicm keadaan seperti itu orang tentu lebih suka berada di dalam rumah daripada berkeliaran dl luar rumah. Apalagi kemudian terasa semacam pengaruh aneh mulai jnellngkupi tempat itu, pengaruh yang membuat orang merasa mengantuk dan ingin tidur. Orang yang duduk bersila dl atas dinding dengan bendera kecil hitam di tangannya itu nampak tersenyum sendiri ketika melihat bahwa pengaruh ilmunya sudah merasuk seluruh penghuni penginapan itu, kecuali orang-orang tertentu yang diketahuinya memang bukan "makanan empuk" buat ilmu hitamnya itu. Namun ia memang sudah tahu bahwa beberapa orang tertentu itu memang tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya itu. Dan untuk mereka sudah ada rencana khusus seperti yang dibicarakan tadi siang sekali lempar dua burung kena. Orang berpakaian serba hitam itu lalu mendekati kamar Sebun Him yang sudah diketahuinya dengan menyogok seorang pelayan sore tadi. Dilemparkannya sebutir batu ke dalam kamar, lalu dia sendiri meloncat ke atas genteng. Benar juga, Sebun Him yang kurang pengalaman itu langsung saja terpancing keluar. Dengan pedang di tangan kiri dia cepat mendorong jendela dan meloncat keluar. Ketika dilihatnya ada seorang berpakaian hitam berdiri menghunus golok di atas genteng, maka tanpa pikir panjang Sebun Him meloncat pula ke atas genteng sambil membentak, "Saudara, siapa kau? Kenapa kau melempari jendela kamarku dengan batu?" Orang berbaju hitam itu tertawa dingin dan langsung saja mengeluarkan kata-kata pancingan agar Sebun Him marah. "Tikus kecil dari Hoa-san-pay, beberapa hari yang lalu kau lolos dari tangan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dan Sin bok Hweshio, tapi malam ini kau tidak akan lepas dari tanganku, dan kau akan berkumpul segera dengan ayahmu di akherat!" Kata-kata itu memang merupakan api yang dilemparkan ke dalam genangan minyak, seketika membuat hati Sebun Him terbakar karena teringat kematian ayahnya. Dan kini ia tahu bahwa orang berbaju hitam yang berdiri di genteng adalah sekomplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya, maka Sebun Him bertekad harus menentukan mati hidup dengan orang itu. Pedang ditangan kirinya diangkat dan ditudingkan ke wajah orang itu, katanya dengan suara gemetar karena luapan perasaannya, "Bagus, kawanan iblis, paling tidak sepuluh orang di antara komplotan kalian harus kupenggal kepalanya sebagai tebusan perbuatan licik kalian di kedai itu, yang membuat ayahku gugur!" "Jangan lagi sepuluh orang, aku seorang diripun belum tentu..." Ejekan orang itu terputus ketika pedang Sebun Him tiba-tiba berkeredep menyambar leher orang itu dengan gerakan In-li-yu-liong (Naga Melayang di Dalam Mega), dan ketika orang itu melangkah mundur maka dengan beringas Sebun Him telah mengejarnya dengan tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan pedang yang digerakkannya dengan penuh dendam dan kemarahan. Tapi orang itu agaknya sudah siap menghadapi kemarahan Sebun Him dengan pedangnya. Meskipun gerakan pedangnya tidak sekuat gerakan pedang Sebun Him yang mengeluarkan angin menderu itu, namun ia nampak lincah sekali. Setiap kali pedang mereka berbenturan, maka orang itu dengan sengaja mementalkan pedangnya sendiri dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah berubah arah serangannya. Kelihatannya tidak mudah bagi Sebun Him untuk mengalahkan orang ini, apalagi karena pikirannya sedang dipenuhi kemarahan sehingga perhitungannyapun kurang cermat. Sementara itu, di dalam kamarnya sendiri, Bu-gong Hweshio yang sekamar dengan Ting Bun itupun terjaga ketika mendengar suara angin ribut di luar. Sebagai orang-orang berilmu tinggi, segera mereka menyadari bahwa suasana itu kurang wajar, apalagi ketika kemudian terasa hawa aneh yang membuat mata semakin mengantuk. Cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga batin mereka untuk melawan perasaan kantuk mereka, dan sesaat mereka sudah terbebas dari pengaruh ilmu hitam itu. "Penjahat penculik gadis itu agaknya mengincar tempat ini," desis Bu-gong Hweshio sambil menyambar senjata hong-pian-jannya yang disandarkan di tembok itu. "Kebetulan sekali, biar aku sikat dia biar rakyat merasa tenteram.” "Taysu, agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu," "Taysu,agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu," kata TinqgBun sambil menyambar goloknya pula. “Mari kita lihat ke luar." "Aku akan memberitahu isteriku dan puteriku lebih dulu agar merekapun dapat berjaga-jaga” kata Ting Bun. Dari kamarnya dia lalu menuju ke kamar sebelahnya di mana isteri dan anaknya tidur sekamar. Ketika pintu diketuk, yang keluar adalah isterinya. Tong Wi-lian nampak sudah berpakaian ringkas, bahkan sabuk sutera yang sering dipakainya sebagal senjata itupun sudah tergulung di taggannya. "Bagaimana A-giok?' tanya Ting Bun kepada isterinya. Tong Wi-lian menunjuk ke pembaringan dan menyahut, "Anak itu agaknya belum memiliki kekuatan dalam yang cukup untuk mengatasi pengaruh ilmu hitam ini. Dia jatuh tertidur begitu pengraruh aneh itu muncul. Tetapi aku akan menjaganya." Ting Bun merasa lega mendengar itu. "Baik, aku dan Suhengmu akan melihat keluar dan kalau perlu menangkap penjahatnya sekalian. Kau jaga anak itu baik-baik, jangan tinggalkan kamar ini apapun yang terjadi. Kalau ada apa-apa, berteriaklah.” "Jangan kuatir, aku siap.” Maka Ting Bun bersama Bu-gong Hwe-shio segera meloncat ke atas genteng untuk mencari dari mana datangnya suara benturan senjata itu. Ting Bun merasa hatinya lega, sebab dia tahu betul sampai di mana kelihaian isterinya, yang ilmu silatnya malahan lebih lihai dari dirinya sendiri itu. Di luar, angin yang dingin menyayat kulit dan menggidikkan tubuh masih bertiup hebat. Angin buatan dengan ilmu hitam. Namun Ting Bun serta Bu-gong Hweshio tidak pedulikan hal itu, dengan menjinjing senjatanya masing-masing mereka berloncatan di atas genteng menuju ke suara pertempuran. Tampak dua sosok tubuh saling sambar dengan pedangnya masing-masing di depan sana, yang seorang bertubuh ramping dengan pakaian hitam, bergerak amat lincah. Seorang lagi berpakaian belacu putih tanda berkabung dengan gerakan yang tidak terlalu lincah tetapi kuat dan garang, mencoba mendesak lawannya, dan ia memainkan pedangnya dengan tangan kiri. Begitu melihat orang yang memainkan pedang dengan cara kidal itu, Bu-gong Hweshio langsung menggeram marah, "Penjahat ini benar-benar bernyali besar. Penjahat-penjahat lainnya selalu berpakaian hitam-hitam apabila akan melakukan kejahatan dl malam hari agar tidak mudah dipergoki, tetapi dia malahan berpakaian serba putih menyolok seperti itu." Ting Bun bertanya, "Darimana tay-su bisa memastikan bahwa si baju putih itu adalah penjahatnya?" "Apakah kau lupa ceritaku siang tadi, bahwa penjahat pemetik bunga itu memiliki dua ciri-ciri khas? Pertama, kehadirannya selalu menggunakan ilmu hitam yang dapat mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk, kedua, la bermain senjata dengan tangan kiri alias kidal..." Ting Bun mengangguk-anggukkan kepalanya, namun dia heran juga ketika melihat "penjahat berbaju putih" itu memainkan pedangnya dengan Hoa-san-kiam hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Tengah mereka menimbang-nimbang untuk turun tangan atau tidak, tiba-tiba terlihat si baju hitam yang bertubuh ramping itu telah mulai terdesak, pundaknya hampir saja tersambar pedang Se-bun Him sehingga la harus menyelamatkan diri dengan bergulingan di atas genteng dan membuat beberapa helai genteng pecah. Orang itu bergulingan sambil berteriak, "Tuan-tuan pendekar, bantulah aku menangkap Jal-hoa-cat ini. Jay-hoa-cat ini benar-benar lihai...!" Sebun Him terkejut mendengar ucapan lawannya yang memfitnahnya itu, buru-buru ia berteriak ke arah Ting Bun dan Bu-gong Hweshlo, "Jangan percaya! Aku...aku..." Karena tidak pintar bicara maka untuk sesaat Sebun Him hanya tergagap-gagap tak keruan, ia juga kebingungan karena tak menemukan bukti untuk membersihkan dirinya, malahan ada bukti yang memberatkannya, yaitu dia seorang kidal yang sama dengan ciri-ciri penjahat pemetik bunga yang mengemparkan kota Tiang-an itu. Dan tengah dia kebingunan, lawannya yang berbaju hitam dan tidak kidal itu telah memberondongnya dengan ucapan-ucapan yang semakin membingungkannya, "Kau suruh tuan-tuan pendekar itu jangan-jangan percaya kepadaku? Hem, aku sendiri melihat kau berkemak-kemik dengan ilmu setanmu untuk mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk ini, lalu kau mengendap-endap mendekati kamar tempat tidurnya gadis tamu yang berkuda bersama ayah Ibunya siang tadi, memangnya bukti-bukti itu kurang cukup?” Bersilat pedang Sebun Him unggul setingkat dari lawannya, tapi bersilat lidah ternyata dialah yang kalah setingkat. Dia benar-benar tidak mampu membantu tuduhan-tuduhan itu. Yang keluar dari mulutnya hanyalah geraman marah, "Bangsat bermulut busuk, kau memfitnah aku! Aku tidak...." Sikap yang gugup itu buat Bu-gong Hweshio yang berwatak pemarah dan kurang cermat itu sudah cukup untuk diartikan bahwa pemuda baju putih bertangan kidal itulah penjahatnya. Apalagi tampang Sebun Him yang dekil dan sudah berhari-hari lupa mencukur janggutnya itu membuat tampangnva memang tampang penjahat, karena sudan umum bahwa manusia memang senang melihat dan menilai seseorang dari ujud luarnya saja. Karena itulah maka tanpa pikir panjang lagi Bu-gong Hweshio meloncat maju mendekati Sebun Him sambil berkata kepada orang berbaju hitam Itu, "Saudara, minggirlah, biar aku yang membereskan Jay-hoa-cat ini!" Orang berbaju hitam itu bersorak dalam hati karena rencananya untuk mengadu domba itu berhasil pada langkah pertama. Namun mukanya tidak menunjukkan kegirangannya, bahkan la memberi hormat kepada Bu-gong Taysu sambil berkata dengan nada prihatin, "Silahkan turun tangan membasmi kejahatan, bapak pendeta, memang kewajiban kita sebagai kaum pendekar untuk mengamalkan ilmu kepandaian kita demi membasmi kejahatan. Sayang ilmuku kurang becus sehingga malahan nyawaku hampir melayang oleh penjaht ini!" Bu-gong Hweshio memang sudah terbakar hatinya, sahutnya sambil menatap Sebun Him dengan mata menyala, "Jangan berkecll hati saudara. Lebih baik begitu daripada memiliki ilmu yang tinggi tetapi digunakan sebagal alat pelampiasan hawa nafsunya terhadap wanita!" Sebun Him mendengar tanya jawab itu dengan gemas tanpa dapat berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia bukan saja memaki si baju hitam yang mulutnya berbisa, tapi juga memaki Bu-gong Hweshio yang dianggapnya bertenaga kuat tetapi berotak kerbau. Ia hanya berdiri gemetar menahan perasaannya yang bergolak, dan dengan suara terputus-putus ia masih mencoba berkata kepada Bu-gong hweshio, "Taysu, jangan percaya orang itu. Justru dia... dia yang memancingku untuk bertempur, dan memangnya yang bertangan kidal itu hanya Jay-hoa-cat itu saja?" Sahut Bu-gong hweshio, "Memang, yang bertangan kidal bukan hanya Jay-hoa-cat itu saja, tapi kalau seseorang bertangan kidal, melepaskan ilmu hitam dan kemudian mengendap-endap hendak menculik seorang gadis, sudah terang dia itu penjahatnya. Nah, bangsat kecil, bersiaplah aku akan meringkusmu!" Sungguh pepat perasaan Sebun Him saat itu. "Bapak pendeta, tunggu! Jangan percaya orang berbaju hitam itu...” Orang berbaju hitam itulah yang menukas, "Kalau tuan-tuan pendekar ini tidak boleh percaya kepadaku, memangnya harus percaya kepada mulutmu? Penjahat ini bukan saja lihai ilmu silat dan ilmu hitamnya, tapi mulutnyapun cukup tajam untuk mengelakkan semua kejahatannya!" "Kau...kau...biar kurobek mulutmu!" teriak Sebun Him melangkan ke arah orang berbaju hitam itu. Namun langkahnya itu dihadang oleh Bu-gong Hweshio yang telah mengankat senjata hong-pian-jannya sambil membentak, "Jay-hoa-cat, karena kedokmu terbongkar lalu kau hendak membunuh saksinya? Huh, rasakan dulu senjataku ini!" Tanpa banyak bicara lagi pendeta yang penaik darah itu menyodokkan ujung senjatanya yang terbentuk bulan sabit itu ke arah muka Sebun Him, dan ketika musuh menangkis maka dengan sekuat tenaga hong-pian-jannya diputar balik, dengan tangkainya la menghantam ke pinggang Sebun Him. Itulah jurus Liong-eng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong Menari.) dari Siau-lim-pay yang dimainkan dengar tenaga amat kuat. Sebum Him tahu dan sudah melihat sendiri kekuatan tenaga pendeta itu ketika melihatnya membunuh kerbau tadi siang dia tidak ingin membenturkan pedangnya karena tidak yakin kekuatannya mengungguli kekuatan Bu-gong Hweshio. Tapi semuanya berlangsung begitu cepat benturan harus terjadi, dan Sebun Him merasakan tangan kirinya yang memegang pedang itu menjadi amat pedih, hampir saja pedang itu terloncat lepas dari genggamannya. Sepercik darah membasahi tangkai pedangnya yang dibalut kain putih itu, telapak tangannya telah pecah kulitnya karena benturan itu. Bu-gong Hweshio sendiri amat terkejut, biasanya dia bangga dengan kekuatannya, dikiranya benturan tadi akan membuat pedang lawannya yang masih mudah terlepas, namun ternyata tidak. Geram Bu-gong Hweshio, "Bagus, jay-hoa-cat, tenagamu boleh juga. Cobalah sekali lagi!" Lalu jurus Oh-liong-pa-bwe (Naga Hitam Menyabetkan Ekornya) dilancarkan dengan deru angin yang dahsyat. Maka bertempurlah kedua orang itu di atas genteng rumah penginapan itu. Baik Sebun Him maupun Bu-gong Hweshio adalah orang-orang yang bertenaga besar, gerakan mereka mantap dan keras, namun ternyata mereka tidak memecahkan sehelai gentingpun dengan langkah-langkah mereka, menandakan bahwa merekapun memiliki ilmu meringankan badan yang cukup meskipun tidak mahir sekali. Bahkan mereka dapat berlincahan di atas genteng seperti dua ekor tupai yang berkejaran di pohon kelapa, tapi apabila senjata mereka berbenturan maka terperciklah bunga-bunga api. Ting Bun tidak turun tangan, sebab baginya maupun bagi Bu-gong Hweshio sebagai orang-orang terkenal dari dunia persilatan tentu merasa malu kalau harus main keroyok terhadap seorang "penjahat muda tak terkenal. Maka Ting Bun hanya berdiri berjaga-jaga di dekat arena dengan golok terhunus, siap mencegah spstila "penjahat" itu berusaha hendak kabur. Sebun Him memang seorang murid berbakat dari Hoa-san-pay, kepandaiannya hampir menyamai tingkatan para paman-paman gurunya dan ayahnya, bahkan Tiat-ge-long (Serigala bertaring Besi) Mo Wan-seng yang terkenal dari Kun-lun-pay itupun dapat dihabisinya dengan dua kali tusukan saja. Mengira dirinya cukup hebat di dunia persilatan, bukan cuma di lingkungan tembok Hoa-san-pay, maka Sebun Him bermaksud mengangkat nama julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) supaya sejajar dengan Pak-liong dan Lam-hou (Naga Utara dan Harimau Selatan). Tapi kini Sebun Him harus menghadapi kenyataan bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja tidak bisa dikalahkannya. Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun pengalaman tempur dan kekayaan gerak. Dalam beberapa kali adu kekuatan lengan Sebun Him sudah merasa amat pegal karena kekuatan lawannya, dan setiap kali ia harus melompat mundur untuk memperbaiki kedudukannya. Sedang musuhnya terus mendesak maju bagaikan angin ribut. Sementara itu, orang berbaju hitam yang merasa berhasil mengadu domba itu merasa yakin bahwa karena kemarahannya maka Bu-gong Hweshio pasti akan membunuh Sebun Him. Maka selagi Ting Bun terpusat perhatiannya kepada jalannya pertempuran itu, diam-diam ia bergerak setapak demi setapak dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Dilorong gelap di samping rumah penginapan itu, dijumpainya dua orang temannya sedang berusaha mencungkil pintu kecil untuk masuk ke dalam penginapan. "Kenapa kalian tidak meloncati tembok saja?" tanya orang berbaju hitam itu. "Itu akan menarik perhatian Ting Bun atau pendeta pembunuh kerbau itu," sahut salah seorang dari yang mencungkil pintu itu. "Terpaksa harus dengan cara ini..." "Terlalu lama. Kalau pertempuran itu keburu selesai dan kedua orang itu sudah kembali ke kamarnya, maka kalian akan kehilangan kesempatan sama sekali, untuk menculik gadis itu." "Tidak lama. Ini hampir berhasil." "Hati-hatilah, ibu dari gadis itu agaknya tidak mau terpancing keluar untuk meninggalkan kamarnya. Dan dia adalah adik Gin-yang-cu Tong Wi-hong yang kepandaiannya setingkat dengan kakaknya, dia adalah macan betina dari Siau-lim-pay..." "Sudahlah. Kami berdua. Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) adalah adik-adik seperguruan dari Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji. Masakah harus takut kepada seorang perempuan saja? Berhentilah menakut-nakuti kami." Lelaki baju hitam yang memancing Sebun Him tadi mendengarkan tertawa dinginnya sambil berkata, “Baiklah. Mudah-mudahan Ya-hui-siang-hok tidak berubah menjadi Wan-si-siang-hok (Sepasang Kelelawar Mati Penasaran)." "Tutup mulutmu," kata kakak yang tertua dari sepasang kelelawar itu. "atau aku Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) yang harus membungkam mulutmu?" "Jangan marah, aku hanya bergurau. Adikmu sudah berhasil mencungkil pintu atau belum?" Si adik yang bernama Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok segera menyahut, "Sudah berhasil. Mari kita masuk." Mereka bertigapun segera menyelinap masuk lewat pintu yang berhasil di-rusak tanpa suara itu, namun mereka berusaha agar tidak terlihat oleh orang orang yang sedang berkelahi di atas genteng itu. "Bagaimana kira-kira jalannya pertempuran itu? Hampir selesai atau masih lama?" desis Tiat-ci-hok Im Yao kepada si baju hitam yang berjalan paling depan. Baju hitam itu sendiri bernama Pui In-bun, dan dialah jay-hoa-cat yang sebenarnya merajalela di kota Tiang-an dalam beberapa hari terakhir ini. Sahut Pui In-Dun, "Kelihatannya Sebun Him terdesak, tapi masih bisa bertahan beberapa jurus lagi. Karena itu waktu kita tidak banyak untuk menculik gadis itu." Sementara itu, di dalam kamarnya ketegangan dan kewaspadaan Tong Wi-lian mulai mengendor karena mendengar suara pertempuran di atas genteng dan bahkan-bentakan suhengnya yang menggelegar itu. Ia menduga si bangsat pemetik bunga tidak lama lagi pasti akan tertangkap oleh suhengnya dan suaminya, meskipun ia merasa heran juga ada orang yang sanggup bertahan cukup lama dari gempuran-gempuran suhengnya itu... |
Selanjutnya;
|