Pendekar Naga dan Harimau Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 29

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
"SAHUT si pelayan, "Mie kepiting kami luar…”

"Uh," potong gadis itu. "Masakan binatang air sudah aku nikmati setiap hari selama aku berada di An-yang-shia yang terletak di danau Po-yang-ou. Coba kau sebutkan masakan lainnya."

Sementara itu, Sebun Him yang mendengarkan percakapan orang sekeluarga itu diam-diam mulai dapat menebak siapakah suami isterl itu berdasarkar ciri-ciri mereka dan ucapan gadis yang mengatakan bahwa ia berasal dari An-yang-shia di tepi danau Po-yang-ou.

"Mungkinkah mereka keluarga pendekar terkenal itu?" demikian Sebun Him mencoba menebak-nebak dalam hati. Diliriknya mereka sekali lagi dan hatinya tergoncang keras ketika melihat wajai gadis yang amat cantik itu. Buru-buru Sebun Him mengangkat cawannya dan menenggak araknya untuk memulas sikapnya yang agak gugup itu. Diam-diam la memaki dirinya sendiri, "Sungguh keterlaluan aku ini. Belum beberapa hari ayah meninggal dunia dan jejak pembunuhnyapun belum diketemukan, aku sudah hendak, tergoda kecantikan seorang perempuan?"

Keluarga itu memang keluarga terkenal. Yang lelaki dengan golok di pinggang nya itu adalah Ting Bun, si pendekar dari An-yang-shia yang terkenal dengan tiga jenis ilmu yang mengutamakan kekuatan gwa-kang (kekuatan luar) itu. Yaitu Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), Ngo-heng-ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Ing-Jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) sedang isterinyapun bukan tokoh sembarangan, malah Ilmunya lebih lihai dari suaminya, dialah Tong Wi-lian, adik dari pendekar kota Tay-beng Tong Wi-hong yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) itu.

Di masa mudanya, Tong Wi-lian pernah digembleng beberapa tokoh tua dari Siau-lim-pay, sehingga ia disegani di dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya tangan kosong, antara lain Pek-ho-kun (Silat Bangu Putih), Coa-kun (Silat Ular) dan Wan-yo-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Burung Wan-yo). Ilmunya tidak kalah dari kakak laki-lakinya yang terkenal dengan julukan Gin-yang-cu itu.

Sedang gadis itu adalah anak tunggal dari suami-isteri pendekaritu bernama Ting Hun-giok, meskipun belum sempurna sekali tetapi telah menguasai ilmu golok ajaran ayahnya dan ilmu tangan kosong maupun tendangan ajaran ibunya. Karena merupakan anak tunggal yang disayang oleh orang tuanya sejak kecil, maka tingkah lakunya memang agak manja, Meskipun demikian tidak berarti kedua orang tuanya membiarkan anak gadisnya menjadi liar tanpa kendali.

"Kenapa paman dan bibi Ui-hong belum juga kembali dari Tiau-im-hong?" terdengar gadis itu bertanya kepada ibunya. "Ayah dan ibu, kudengar di puncak Tiau-im-hong itu sedang ada keramaian, katanya ada upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, kenapa kita tidak ke sana saja untuk melihat keramaian?"

Setelah meneguk minumannya, Ting Bun tertawa dan menyahut, "A-giok, kau ini benar-benar anak perempuan yang suka cari perkara. Keramaian di Tiau-im-hong itu bukannya keramaian seperti pasar malam atau pesta perahu di danau Po-yang-ou dekat rumah kita, melainkan keramaiannya rimba persilatan yang jika panas sedikit saja akan berubah menjadi banjir-darah."

"Kenapa begitu?"

"Sebab di antara para tamu yang berjumlah ribuan itu tentu ada yang senang dengan kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, tapi tentu tidak sedikit pula yang berusaha mencegahnya. Nah, jika kedua belah pihak berselisih paham dan tidak menemukan jalan keluar, bukankah pedang dan golok yang akan berbicara?"

"Kalau golok dan pedang berbicara, lalu kenapa? Memangnya kita takut? Bukankah kita ini sebenarnya juga termasuk keluarga dari ketua Hwe-liong-pang yang dulu kitapun wajib membela Hwe-liong-pang apabila diperlukan? Paman dan bibi Wi-hong bersama kedua orang piau-ko (Kakak misan) sudah pergi ke Tiau-im hong, baiknya kitapun menyusul ke sana untuk bergabung dengan mereka. Aku rasa ilmu golok Ngo-jiou-toan-bun-to-hoat ku sudah cukup untuk menghadapi segala kesulitan."

"Hus," kata Tong Wi-lian menukas ucapan puterinya itu. "Kau jangan terlalu bangga dengan ilmumu yang baru setengah matang itu. Beberapa orang jago silat rendahan memang berhasil kau robohkan, tapi kau kira jago-jago yang hadir di Tiau-im-hong itu juga semacam orang-orang yang sudah kau kalahkan itu? Lagipula, kalau saat ini kita menuju ke Tiau-im-hong, mungkin kita akan kecewa?"

"Kenapa, ibu? Apakah sudah terlambat?"

"Ya. Aku dengar upacara pengangkatan Ketua baru Hwe-liong-pang itu batal, karena si calon Ketua yang bernama Tong Lam-hou malah melarikan diri di tengah jalan."

"Apakah Tong Lam-hou yang dijuluki si Harimau dari Selatan yang belakangan ini disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang berjulukan Naga dari Utara itu, ibu?"

"Benar. Sebenarnya Tong Lam-hou itu termasuk piau-ko mu (kakak misanmu) juga, sebab dia adalah putera mendiang paman tuamu Tong Wi-siang yang dulu ingin menguasai dunia dengan mengandalkan Hwe-liong-pang itu."

Sepasang mata Ting Hun-giok bersinar cerah dan bangga, agaknya baru kali ini ia mendengar kalau Si Harimau Selatan yang terkenal itu ternyata adalah saudara sepupunya. Tapi ia menjadi heran ketika melihat ayah ibunya nampaknya tidak bangga dan tidak gembira akan hal itu, malahan nampak kening mereka berkerut dan mereka menarik napas berulang kali.

Tanya Ting Hun-giok kemudian, "Ayah, Ibu, kenapa Si Harimau Selatan itu melarikan diri dari kedudukannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang?"

Terhadap anak gadisnya ini agaknya Ting Bun dan Tong Wi-lian ingin berterus-terang agar kelak tidak kecewa menghadapi kenyataan. Kata Ting Bun, "Sayang sekali, anak muda dengan kepandaian setingi dia ternyata lebih suka menjadi kaki tangan penjajah Manchu daripada memimpin Hwe-liong-pang warisan ayahnya. Saat ini paman Wi-hong mu kemungkinan sedang menyusulnya ke Kota-raja Pak-khia untuk mencoba membujuknya agar pendiriannya berubah..."

"Kalau tidak mau?" tanya Ting Hun-giok dengan agak kecewa pula.

"Apa boleh buat, demi pembebasan tanah-air maka siapapun yang berpihak kepada Kerajaan Manchu harus dianggap musuh, tidak perduli keluarga sendiri sekalipun."

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban ayahnya yang tegas itu. Namun ia tahu ayahnya benar. Perbedaan pendirian dalam urusan negara memang kadang-kadang membuat kawan jadi lawan, sanak keluargapun saling berdiri berseberangan dengan senjata terhunus di tangan masing-masing. Itulah jaman perang, di mana setiap orang dituntut untuk menentukan di mana tempatnya berdiri. Yang ragu-ragu akan tergilas dari kedua pihak.

Sementara itu, dari tempat duduknya Sebun Him dapat menangkap semua pembicaraan yang memang tidak dilakukan dengan bisik-bisik itu. Diam-diam ia kagum dan hormat mendengar sikap tegas yang terucapkan oleh Ting Bun itu, tidak malu ia sebagai pendekar yang dihormati orang. Seorang pendekar dihormati bukan saja karena mahir memutar golok atau pedang, tetapi juga karena sikapnya dalam berbagai persoalan. Kalau hanya mahir main senjata saja namun sikapnya tidak terpuji, itu tidak lebih tidak kurang dari penjahat besar saja.

Selain itu Sebun Him juga mulai memahami kenapa "rumah makan" menjadi satu hal yang penting dalam dunia persilatan. Di tempat itulah orang dapat menyebarkan kabar berita, mendengar berita atau bertukar berita. Tidak aneh kalau Kay-pang (Serikat Pengemis) sebagai serikat terbesar di dunia persilatan yang terkenal akan ketajamannya dalam menangkap berita-berita baru, menempatkan banyak anggotanya yang berujud pengemis-pengemis di rumah-rumah makan.

Agaknya bukan hanya karena di tempat itu banyak sisa makanan atau banyak orang yang dapat dimintai sedekah, tapi juga karena rumah-rumah makan menempati kedudukan khusus dalam dunia persilatan. Di situlah berita-berita disebar luaskan atau dipertukarkan.

Tiba-tiba ketenangan rumah makan itu terganggu oleh suara ribut-ribut di jalan raya di luar rumah makan itu. Banyak orang yang menerobos masuk ke rumah makan itu bukan untuk makan, melainkan untuk berlindung dari sesuatu yang menakutkan.

"Ada kerbau gila" kata seseorang.

"Kerbau mengamuk!" teriak seseorang lainnya di jalan raya.

Memang betul, seekor kerbau yang bertubuh besar dan kasar mengamuk di jalan raya. Dan orang-orang berlari-larian ketakutan untuk menghindari serudukan tanduk-tanduknya yang tajam, anak-anak kecil dan perempuan menjerit-jerit. Beberapa pedagang kecil di pinggir jalan tak sempat lagi menyelamatkan barang dagangan mereka yang berantakan karena dihajar binatang yang kalap itu.

Melihat kepanikan orang banyak itu, timbullah niat Sebun Him untuk mencoba menundukkan kerbau gila itu. Jauh di dasar hatinya masih juga muncul untuk menjadi terkenal.. Julukan "Se-him" harus menjadi sejajar, kalau perlu melebihi "Pak-liong dan "Lam-hou."

Namun pada saat itu di jalan raya itu sudah muncul belasan orang prajurit Manchu yang membawa pengait-pengait dan tali-tali jerat untuk mencoba menjerat dan menaklukkan binatang yang kuat itu. Beberapa prajurit mencoba mengait kaki kerbau untuk merobohkannya. Tapi kait-kait itu patah begitu saja karena diterjang oleh kaki-kaki kerbau yang kuat itu. Bahkan kaki kerbau yang tergores oleh ujung-ujung kaitan yang tajam itu malahan membuat si kerbau semakin marah dan mengamuk klan hebat.

Jerat diputar di atas kepala dan dilontarkan. Berhasil. Lalu para prajurit mencoba menarik tali-tali itu secara bergotong royong, tapi sia-sia. Kerbau yang besarnya melebihi kerbau biasa itu ternyata juga memllki kekuatan yang luar biasa pula, sehingga bukannya kerbau itu yang tertarik jatuh, malahan para prajurit itu yang pontang-panting terseret oleh kerbau itu. Seorang prajurit tidak sempat menghindar ketika tanduk-tanduk kerbau itu menghunjam ke perutnya dan kemudian melemparkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa lalu terbanting tak berkutik.

Sebun Him menjadi ragu-ragu untuk turun tangan. Haruskah ia membantu prajurit-prajurit Manchu yang dianggap sebagai penjajah oleh sebagian besar kaum pendekar itu? Tapi kalau dibiarkan saja, bukankah prajurit-prajurit Manchu itu sebenarnya juga sedang mengatasi kekacauan, yang berarti sedang melindungi rakyat dari kerusakan akibat amukan kerbau gila itu? Sesaat Sebun Him jadi ragu-ragu..

Di saat la ragu-ragu itulah maka ada seorang prajurit lagi yang diseruduk mampus oleh kerbau itu. Namun prajurit-prajurit lainnya terus berusaha mengatasi amukan binatang itu tanpa kenal takut. Lembing-lembing yang dilemparkan ternyata hanya melukai kulit kerbau dan tidak mampu membunuhnya bahkan membuat kerbau itu semakin beringas.

Jalan raya itu sekarang menjadi arena kerbau melawan manusia, dengan penonton di sekitarnya. Seekor kerbau melawan empat orang prajurit Manchu yang mati-matian mencoba menundukkannya, meskipun usaha mereka itu kelihatannya akan sia-sia.

Pada saat itulah dari antara penonton itu terdengar bentakan menggelegar, "Kaum kuku garuda (ejekan untuk prajurit-prajurit kerajaan), kalau tidak mampu minggirlah! Biar aku bereskan binatang ini!!"

Lalu sepasang tangan yang kekar dan berbulu menyibakkan penonton ke kedua samping, dan muncullah seorang hweshio berambut panjang (thau-to) yang bertubuh kekar, kepalanya memakai gelang besi yang di bagian depannya dihias sekeping logam berbentuk bulan sabit kecil. Jubahnya abu-abu dan pinggangnya diikat dengan tali rami yang amat sederhana, ketika muncul, Hweshio ini menenteng sebatang senjata kaum paderi yang disebut hong-pian-jan, yaitu toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit yang menganga kedepan, seperti senjata tokoh-dongeng Se Ceng dalam dongeng Se Yu.

Begitu memasuki gelanggang, orang-orang menduga tentunya si thau-to akan melawan kerbau gila itu dengan senjata hong-pian-jannya, tapi kemudian orang-orang itu menjadi heran ketika melihat rahib itu malahan meletakkan senjatanya di tanah. Lalu dengan tangan kosong ia mendekati kerbau yang tengah mengamuk itu, sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, dan dan penontonpun melihatnya dengan tegang.

"Pendeta gila, apakah kau kepingin mampus?" teriak seorang prajurit Man-chu.

Balas si tahau-to, "kau sendiri yang tidak becus, jangan lalu menganggap semua orang sama tidak becusnya seperti kau. Lebih baik ajak kawan-kawanmu untuk menyingkir semua daripada mampus ditanduk kerbau!"

Di dalam rumah makan, karena tempat duduk Ting Bun dan keluarganya ada dekat pintu, maka mereka dapat melihat semua yang tengah terjadi di tengah jalan raya yang kini telah menjadi arena kerbau lawan manusia itu. Begitu pula Sebun Him telah meninggalkan mejanya sejenak dan berdiri berdesakan dekat pintu untuk menyaksikan "pertandingan" itu.

Ketika Sebun Him tak tertahan melirik ke arah gadis she Ting yang menarik hatinya itu, terlihatlah wajah si gadis agak tegang, dan sepasang matanya yang indah itu membelalak membuat Sebun Him ingin memandangnya lebih lama lagi. Tapi supaya tidak dianggap lelaki kurang ajar, maka Sebun Him memaksa kepalanya untuk menoleh ke tengah jalan raya.

Kerbau gila itu menghantam siapa saja yang berada di dekatnya, dan ketika binatang itu melihat si thau-to mendekatinya, maka binatang itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah sambil menunduukkan kepalanya, Sesaat kemudian berderaplah binatang itu dengan tanduk yang ditundukkan lurus ke perut calon korbannya yang ketiga itu.

Para penonton, termasuk para prajurit yang telah minggir sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang mati menatap dengan tegang ketika melihat pendeta berambut panjang Itu sama sekali tidak menghindari serudukan dahsyat yang beratnya beratus-ratus kati itu. Bahkan si pendeta itu memasang kuda-kuda dengan sepasang lutut ditekuk rendah, dan kedua tangannya yang kekar itu diulurkan ke depan dengan tabahnya.

Ketika si kerbau menunduk, tepat sekali sepasang tanduk itu kena ditangkap oleh sepasang tangan yang kekar itu. Betapa hebatnya tenaga si pendeta itu terlihat dari bagaimana ia berhasil mengehentikan laju serudukan kerbau yang berlari kencang itu, tanpa terlempar hanya tubuhnya tergeser sedikit kebelakang namun dengan sepasang kaki yang tetap menempel di tanah dengan kokohnya. Tepuk tangan dari antara orang-orang yang mengelilingi arena itu.

Sesaat terjadi adu tenaga antara manusia dan kerbau. Dengan mendengus-dengus si kerbau mengerahkan tenaganya untuk melempar lawan agar tanduknya bisa segera bekerja untuk menghantam lawan, namun yang diseruduknya kali ini seolah-olah adalah sebatang pohon tua yang akar-akarnya tertancap jauh-jauh ke dalam tanah dengan kokohnya. Bergeming sedikitpun tidak. Si thau-to sendiri agaknya harus mengerahkan tenaganya pula agar tidak terdorong mundur lagi, sampai mukanya merah dan otot-otot di pelipisnya menonjol.

Di dalam rumah makan itu, diam-diam Sebun Him kagum kehebatan tenaga dari pendeta berambut panjang itu. Dan ia berharap mudah-mudahan pendeta ini bukan termasuk dalam komplotan yang membunuh ayahnya, sebab kalau pendeta ini anggota komplotan, maka agaknya Hoa-san-pay akan mendapat lawan berat.

Beberapa hari yang lalu cukup dengan tiga orang Te-liong Hiang-cu, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po serta Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian sudah nembuat Hoa-san-pay kewalahan sampai para sesepuhnya dipaksa untuk turun ke gelanggang. Dan kini, menilik sikapnya yang gagah meskipun agak kasar, agaknya thau-to ini bukan anggota komplotan.

Terdengar thau-to itu tiba-tiba membentak sambil menghentakkan kekuatannya, terdengar gemeretak dari sepasang tangannya yang kokoh kekar itu, dan kerbau gila itu kena didorongnya mundur dua langkah. Kembali penonton bersorak-sorai, sementara Ting Bun dan isterinya saling bertukar pandangan sambil tersenyum, sebab mereka kenal siapa pendeta yang perkasa itu.

Kembali si pendeta membentak sambil mengerahkan tenaganya lebih besar lagi, dan kali ini kerbau itu bukan cuma terdorong selangkah dua langkah, tapi terhuyung-huyung mundur dan bahkan kemudian jatuh terguling. Sorak-sorai terdengar meledak hebat. Bahkan para prajurit yang berdiri di tepi arena itupun menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya. Tadi mereka beramai-ramai tidak dapat mengatasi kekuatan kerbau itu, dan kini mereka melihat ada seseorang yang dapat mengatasinya seorang diri.

Kerbau yang terjatuh itu semakin marah, ia bangkit kembali dan mengais-ngaiskan kakinya siap untuk menerjang lagi. Namun agaknya si rahib berrambut panjang itupun sudah bosan berkelahi dan ingin segera mengakhiri pertarungan itu. Ia berdiri dengan kaki renggang, tangan kanannya ditekuk di depan tubuh dan seluruh tubuhnya kelihatan bergetar karena ia mengerahkan tenaganya.

Ketika kerbau itu menyerbu ke depan, si pendetapun meloncat ke depan melambung tinggi dan kemudian diiringi bentakan menggelepar ia meluncur turun sambil menghantamkan siku tangan kanannya sekuat tenaga ke kepala kerbau itu. Semua penonton menahan napas, dan kemudian bersorak ketika melihat kepala kerbau itu pecah terkena siku tangan pendeta itu. Si kerbau roboh menggelepar dengan cairan merah dan putih dari tempurung kepalanya yang pecah, sesaat kemudian terdiamlah binatang itu untuk selama-lamanya.

Di tengah sorak-sorai orang-orang yang memujanya bagaikah malaikat yang turun ke bumi itu, si pendeta dengan kalem, memungut senjatanya yang diletakkan di tanah, lalu menjinjingnya masuk ke dalam rumah makan itu. Agaknya si pendeta itu memang sudah tadi berniat beristirahat di tempat itu, hanya adanya kerbau yang mengamuk itu yang menunda niatnya. Begitu masuk si pendeta tercengang ketika melihat Ting Bun sekeluarga ada di tempat itu pula.

Tong Wi-lian mengacungkan ibu jarinya sambil berkata, "Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Siku Baja Seribu Kati) yang hebat, Suheng !”

Ternyata isteri Ting Bun itu memanggil si pendeta dengan sebutan "suheng" (kakak seperguruan), karena mereka berdua sama-sama murid-murid dari perguruan terkenal Siau-lim-pay. Pendeta itu adalah Bu-gong Hwesno yang dulu pernah ikut dalam usaha membobol Penjara Kerajaan di kota Pak-khia. Ia memang sangat terkenal dengari jurus Ji-an-kin-cun-kang-tuinya itu, sehingga jurus andalannya itu menjadi nama julukannya pula. Dan kini di hadapan sekian ratus pasang mata ia sudah membuktikan kehebatannya.

Di mejanya, Sebun Him terkejut pula mendengar disebutnya Jian-kin-cun-kang-tui itu, sebab nama itu tidak kalah terkenalnya dengan nama pendekar kebanggaan Hoa-san-pay, Gin-hoa-kiam Auyang Seng. Dan orang itu juga sahabat baik paman gurunya, sehingga timbul kesan baik Sebun Him terhadap pendeta itu. Namun Sebun Him belum berniat memperkenalkan dirinya.

Sejak kejadian di kedai terpencil yang mengakibatkan kematian ayahnya itu, entah kenapa sifat Sebun Him jadi agak berubah, suka menyendiri, dan jauh di dasar hatinya juga ada sikap rendah diri akan ketidak-mampuan ilmunya. Itulah yang menahan langkahnya untuk tidak memperkenalkan diri kepada keluarga pendekar terkenal itu.

Apalagi kalau mengingat bahwa gadis cantik itu adalah saudara sepupu dari Tong Lam-hou yang terkenal ketinggian ilmunya, sedangkan dirinya sendiri meskipun pernah menepuk dada sebagai si Beruang dari Barat ternyata di kedai terpencil itu tidak bisa menyelamatkan ayahnya. Ia takut jika gadis she Ting itu nanti membandingkan dirinya dengan sang kakak sepupu yang perkasa itu.

Namun Sebun Him tetap duduk dl tempatnya dan dengan menajamkan pendengarannya dia berusaha untuk tetap mengikuti pembicaraan dari meja para pendekar itu. Tidak sulit untuk mendengarkan mereka, sebab mereka berbicara biasa saja dan tidak berbisik-bisik, meskipun kadang-kadang terganggu oleh teriakan si pelayan rumah makan yang menyambut tamu atau meneriakkan pesanan-pesanan.

Saat itu Bu-gong Hweshio sudah duduk semeja dengan tenangnya ditenggaknya dua cawan arak. Setelah itu barulah ia merentangkan tangan ke samping untuk melemaskan otot sambil berkata, "Huh, pekerjaan dan perjalanan yang melelahkan tetapi sia-sia, untung bertemu dengan kalian yang mentraktirku di sini. Dasar memang sedang bernasib bagus."

Ting Hun-giok tertawa sehingga muncul sepasang lesung pipit di pipinya, ia memang sudah kenal dengan kakak seperguruan dari ibunya yang pernah beberapa kali mengunjungi rumahnya di An-yang-shia itu, sehingga sikapnyapun agak bebas. Katanya, "Tapi jangan dikira arak dan makanan yang di minum Su-pek itu cuma-cuma, Supek."

Bu-gong Hweshio membelalakkan matanya, "Hah, jadi aku harus membayar dengan uangku sendiri?"

Sahut Ting Hun-giok sambil tertawa, "Supek harus ingat, bahwa dari seratus delapan Jurus Lo-han-kun yang Supek janjikan, baru Supek ajarkan sampai jurus ke duapuluh kepadaku. Ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat juga baru sampai jurus ke tujuh belas...."

Bu-gong Hweshio pura-pura menggerutu mendengar "todongan" itu, katanya sambil menepuk keningnya sendiri, "Eh, setan cilik kapan kau mau berhenti memeras aku? Bukankah dari paman dan bibimu di Tay-beng kau juga sudah mendapat ajaran Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Salju Terbang), ilmu meringankan tubuh, ilmu memainkan sepasang kaitan Hau-thau-kau dan lainnya?"

Sebun Him yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa dirinya semakin kecil di hadapan orang-orang itu.,Gadis itu nampaknya sudah mempelajari banyak ilmu dari banyak pendekar terkenal yang menjadi teman-teman keluarganya. Semua ilmu-ilmu yang disebutkan tadi bukanlah ilmu-ilmu pasaran melainkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang menjadi pegangan para pendekar terkenal seperti Gin-yan-cu Tong Wi-hong dan Jian-kin-cun-kang-tui Bu-gong Hweshio.

Sebenarnya Ting Hun-giok masih hendak "memeras" Supeknya itu lebih jauh, namun keburu dicegah oleh ibunya, "Sudahlah, A-giok, dari tadi yang kau bicarakan hanya urusanmu sendiri saja."

Lalu kepada Bu-gong Hweshio, Tong Wi-lian bertanya, "Suheng, bukankah kau baru saja pulang dari Tiau-im-hong dipegunungan Bu-san? Bagaimana kabarnya pertemuan di sana?”

Bu-gong Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik napas. "Kacau... kacau. Para undangan sudah berdatangan, tahu-tahu si Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong muncul dan minta maaf kepada para tamu, katanya segala acara dibatalkan semua karena sang calon Ketuanya menghilang di tengah jalan. Bahkan pesta kebangkitan kembali Hwe-liong-pang itu hampir saja menjadi pesta pembantaian berdarah, untung belum terjadi..."

"He, kenapa bisa demikian?" tanya Ting Bun dan isterinya dengan terkejut. Lalu kata Ting Bun lebih lanjut, "Berita tentang batalnya upacara itu memang sudah kudengar di sepanjang jalan, tapi tentang hampir terjadinya pertumpahan darah itu baru kali ini kami mendengarnya. Kenapa? Antara siapa melawan siapa?"

Sahut Bu-gong Hweshio, "Kalau dipikir-pikir, memang manusia itu suka mengulangi ketoloan-ketololan masa lalu tanpa jera juga. Permusuhan ini berakar dari peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika Hwe-liong-pang masih bermusuhan dengan kaum pendekar dari berbagai aliran. Agaknya sampai sekarangpun masih ada orang-orang yang mendendam secara membabi-buta kepada Hwe-liong-pang, tanpa mau tahu bahwa kejadian puluhan tahun yang lalu itu hanya karena kesalah-pahaman belaka. Ketika upacara baru saja dibatalkan tahu-tahu muncul sebarisan pendekar yang dipimpin oleh Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay dan Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay dan sebagainya yang menuntut agar Hwe-liong-pang dibubarkan saat itu juga karena dianggap sebagai gerombolan iblis yang tidak layak hidup di dunia. Tentu saja orang-orang Hwe-liong-pang menjadi tersinggung, delapan orang Tongcu dengan anak buahnya masing-masing sudah menghunus senjata dan siap menghajar Liong-hou Hweshio dan kawan-kawannya. Begitu pula Liong-hou Hweshio dan kawan-kawannya juga sudah siap dengan senjata dan siap pula untuk bertempur mati-matian...."

Cerita Bu-gong Hweshio itu bukan saja membuat tegang Ting Bun dan anak-isterinya yang duduk semeja dengannya, tapi juga menarik perhatian Sebun Him. Bahkan juga tamu-tamu lain yang getol mendengar berita-berita dunia persilatan ikut memasang kuping pula, nanti jika bertemu dengan teman-teman mereka maka berita itu akan diceritakannya seolah-olah dirinya sendiri ikut mengalami ketegangan di Tiau-im-hong itu. Bohong sedikit toh temannya tidak akan tahu.

Lalu terdengar Bu-gong Hweshio melanjutkan, "Untung ada pihak ketiga yang cukup bijaksana dan cukup disegani pula oleh kedua belah pihak, yaitu para undangan yang merupakan tokoh-tokoh terhormat dunia persilatan. Diantaranya adalah para sesepuh perguruanku sendiri Siau-lim-pay, para sesepuh Bu-tong-pay, Soat-san-pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya yang hubungannya dengan Hwe-liong-pang cukup baik. Merekalah yang berhasil melerai sehingga tidak setetes darahpun yang tertumpah. Namun, meskipun Liong-hou Hweshio dan rombongannya berhasil dibujuk untuk pergi dari Tiau-im-hong mereka kelihatannya masih penasaran dan mendendam. Gelagatnya, antara Hwe-liong-pang dengan orang-orang itu di kemudian hari bakal sulit menemukan kerukunan. Inilah bibit bencana buat masa depan."

Wajah Tong Wi-lian nampak murung mendengar berita itu. Katanya, "Mengerikan sekali akibatnya kalau kedua belah pihak tidak dapat menahan diri. Banjir darah seperti yang terjadi di Jaman kakakku Tong Wi-siang masih sebagai Ketua Hwe-liong-pang dulu agaknya bakal terulang lagi. Dan persoalannya bertambah rumit karena di antara kita sendiri sebenarnya sedang diperlukan persatuan untuk mengusir bangsa Manchu dari negeri kita. Kalau kita saling baku hantam sendiri, kekuatan kita akan melemah dan bangsa Manchu lah yang memetik keuntungan dan akan semakin kuat mencengkeramkan kuku penjajahnya ke negeri kita."

Bu-gong Hweshie sendiri kelihatan murung. Meskipun ia seorang pendeta yang berwatak agak angin-anginan, namun dia tergolong dalam pihak yang tidak menyukai kehadiran bangsa Manchu di Tionggoan. Baru saja ia mendengar bahwa perlawanan Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu-leng-ong telah dihancurkan oleh Pakkiong Liong dengan pasukan Hui-liong-kunnya yang terkenal, meskipun kabarnya Pangeran Cu Leng-ong sudah berhasil menghimpun kekuatan yang amat besar.

Dengan hancurnya Jit-goat-pang, pembebasan negeri orang Han dari cengkeraman Manchu akan banyak bergantung kepada perlawanan para pendekar rimba persilatan, namun kini tubuh para pendekarpun seolah-olah terbelah menjadi golongan yang mendukung dan yang menentang Hwe-liong-pang. Perbedaan pendirian yang nampaknya tidak akan dapat diselesaikan secara dewasa, melainkan lebih mengandalkan penyelesaian berdasar tajamnya pedang dan runcingnya golok. Inilah awan mendung bagi gerakan yang ingin mengusir bangsa Manchu.

"Ya, agaknya cita-cita untuk membebaskan negeri masih jauh dari kenyataan," kata Ting Bun. "Karena di tubuh kita sendiri masih banyak pertentangan tajam yang sulit menemukan titik temu."

"Sudahlah, kita memusingkan hal inipun tidak ada gunanya. Yang penting kita berbuat kebaikan bagi rakyat, meskipun tindakan-tindakan yang kelihatan kecil tetapi nyata," kata Bu-gong Hwe-shio sambil menyambar mangkuk mie kepiting jatahnya. "Kita tinggal menunggu berita dari Tong Tayhiap (pendekar she Tong) yang saat ini sedang menuju Pak-khia uuntuk mencoba menemui dan membujuk Tong Lam-hou agar mau merubah pikirannya."

"Andaikata Tong Lam-hou menolak?" tanya Tong Wi-lian harap-harap cemas. "Apakah yang akan diperbuat oleh kakakku itu...?”

"Tong Tayhiap sudah berkata kepadaku, bahwa meskipun jiwanya sendiri bakal amblas, ia tetap akan berusaha membunuh Tong Lam-hou dengan segala cara. Selain untuk memberantas bibit penyakit bagi kaum pembebas tanah air, juga untuk membersihkan keluarga Tong dari noda yang memalukan, begitulah tekadnya."

"Dengan siapa kakakku itu pergi ke Pak-khia?"

"Seorang diri saja. Isterinya dan kedua puteranya yang diajaknya ikut ke Tiau-im-hong itu langsung disuruhnya pulang ke Tay-beng begitu upacara di Tiau-im-hong batal."

Tong Wi-lian menarik napas mendengar itu. Ia tahu betul betapa keras watak kakaknya, Tong Wi-hong itu, apabila ia pergi sendirian ke Pak-khia tanpa mau ditemui seorang anggota keluarganyapun, itu berarti sang kakak sudah siap untuk mengorbankan dirinya. Agaknya kakaknya itu menganggap bahwa noda yang melekat pada keluarga Tong karena sikap Tong Lam-hou yang berpihak kepada bangsa Manchu itu adalah noda yang sangat memalukan, sehingga untuk membersihkan diperlukan pengorbanan nyawa. Nyawa kakaknya sendiri atau nyawa Tong Lam-hou.

Kembali Tong Wi-lian menarik napas, seolah-olah tidak melihat jalan lain apabila kedua lelaki she Tong yang sama-sama keras hati itu berhadapan. Hampir mustahil rasanya untuk mengubah pendirian mereka, dan akhirnya mereka akan saling berhadapan dengan pedang di tangan.

"Sekarang kalian hendak ke mana?" tanya Bu-gong Hweshio.

Sahut Ting Bun, "Kami baru saja pulang dari Tay-beng karena tidak berhasil menjumpai A-hong, lalu kami akan pulang ke An-yang-shia namun sengaja berputar lewat kota ini untuk melihat-lihat peninggalan sejarah masa lalu."

Kota Tiang-an itu memang sebuah kota kuno yang terletak di wilayah barat. Di jaman dinasti Tong dulu, Tiang-an adalah ibukota negeri, dan dari kota ini pula dilahirkan pahlawan-pahlawan besar yang menggoreskan namanya dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Bangunan-bangunan kuno peninggalan dinasti Tong masih banyak yang utuh di kota ini, dan menjadi incaran kunjungan para pelancong.

Kata Bu-geng Hweshio sambil melirik kepada Ting Hun-giok, "Bagus juga kalau bisa melihat-lihat tempat yang indah yang bisa membuka keruwetan pikiran. Banyak negarawan terkenal yang menemukan gagasan-gagasan cemerlang ketika mereka sedang menikmati pemadangan indah. Tetapi kalian harus hati-hati menjaga setan cilik ini, sebab kabarnya di kota ini sedang merajalela seorang penjahat penculik gadis-gadis yang lihai. Hampir tiap malam ada gadis yang dilaporkan hilang, tidak peduli penduduk Tiang-an sendiri atau hanya pelancong yang kebetulan sedang di kota ini."

Mendengar itu, ternyata Ting Hun-giok tidak menunjukkan sikap takut. Sambil menepuk-nepuk sarung di pinggangnya, ia berkata, "Kalau Jai-hoa-cat itu berani muncul di depanku, teman baikku inilah yang akan membereskannya."

"Jangan takabur, A-giok," kata Ting Bun. "Ada baiknya berhati-hati. Eh, Taysu apakah belum ada yang bisa mengatasi Jai-ho-cat itu?"

"Belum. Untuk itulah aku datang ke sini dan sudah menunggu munculnya bangsat itu selama beberapa hari di kota ini, tapi dia belum muncul juga. Hanya berdasarkan cerita orang-orang, nampaknya ada dua ciri-ciri Jai-hoa-cat itu."

"Apa ciri-ciri itu?"

"Pertama, Jai-hoa-cat itu agaknya adalah seorang yang memiliki ilmu hitam, sejenis ilmu yang mampu mendatangkan cuaca dingin, gelap, berangin keras di''tempat" yang akan menjadi sasarannya, dan juga rasa kantuk yang luar biasa terhadap orang-orang di tempat itu sehingga dia bisa bekerja dengan leluasa. Ciri yang kedua adalah bahwa Jai-hoa-cat itu seorang yang kidal ia memegang pedangnya dengan tangan kiri ketika bertempur dengan beberapa prajurit penjaga tembok kota..."

Keterangan bahwa si jai-hoa-cat itu seorang kidal telah mengejutkan Se-bun Him, sebab di sendiripun seorang kidal. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi salah-paham antara dirinya dengan para pendekar itu. Namun Sebun Him belum menentukan akan bersikap bagaimana, ia hanya terus memasang telinganya untuk mendengarkan.

"Ilmu hitam sejenis itu memang biasanya dimiliki oleh orang-orang yang suka bekerja dalam kegelapan,” kata Ting Bun menanggapi. "Bagaimanapun juga ada baiknya kita berhati-hati. Tay-su, malam ini kau tidur di mana?"

Jawab Bu-gong Hweshio, "Selama empat hari dikota ini, aku tidur disembarang tempat."

"Suheng tidur di penginapan ini saja bersama kami. Akupun ingin ikut menangkap Jai-ho-cat itu," kata Tong Wi lian.

Setelah makan minum, keempat orang itu masih bercakap-cakap membicarakan banyak hal, namun tidak ada yang penting untuk didengar lagi. Sebun Him juga segan mendengarkan lebih lanjut, sehingga ia pun memanggil pelayannya untuk melunasi harga makanan dan minuman, sekalian bertanya apakah di bagian belakang masih ada kamar penginapan buatnya. Dan pelayan itu menjawab ada, Sebun Him dipersilahkannya untuk mengikuti ke belakang. Ketika berjalan meninggalkan tempat duduknya, sengaja Sebun Him menjinjing pedangnya dengan tangan kiri, sikap yang umum untuk para pemain pedang yang tidak kidal.

Para pemain pedang yang tidak kidal biasanya memang demikian, membawa pedang dengan tangan kiri agar apabila membutuhkan pedangnya maka tangan kanannya bisa cepat mencabut pedangnya. Sedang para pemain pedang kidal berbuat sebaliknya, membawa pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinyalah yang akan digunakan untuk mencabut pedang. Dengan sikapnyaa itu, Sebun Him berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang-orang yang tengah membicarakan tentang Jai-hoa-cat bertangan kidal itu.

Hari itu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Sebun Him sekali melangkah masuk ke kamarnya sudah tidak pernah melangkah keluar lagi, bahkan makan sore dengan upah beberapa keping uang. Dari mulut pelayan pula ia mendengar bahwa Ting Bun dan rombongannya memakai dua buah kamar yang terletak dekat kebun bunga. Satu kamar dipakai Ting Bun dan Bu-gong Hweshio, satu kamar lagi dipakai Tong Wi-lian dan puterinya yang bernyali besar, Ting Hun-giok.

Karena di kota Tiang-an sedang "musim" Jai-hoa-cat, maka sikap Sebun Him yang mencari tahu di mana kamar menginapnya rombongan Ting Bun yang ada gadis cantiknya itu telah membuat si pelayan curiga. Diam-diam pelayan itu lalu membisiki Ting Bun agar hati-hati, katanya "si bangsat pemetik bunga juga ada di penginapan itu dan mengincar anak gadismu." Dan untuk bisikannya itu si pelayan mendapat lagi beberapa keping uang.

Namun ada pihak tertentu yang memang bukan sekedar main bisik-bisik, tapi telah mempersiapkan sebuah tindakan. Di ruangan rumah makan itu ada dua orang yang mendengarkan percakapan Ting Bun dan rombongannya sejak tadi, juga gerak-gerik Sebun Him. Dan setelah Ting Bun maupun Sebun Him masuk ke belakang ke bagian penginapan, maka kedua orang Itu saling tersenyum. Kata seorang yang bertubuh kurus dan bermuka hitam,

"Sekali lempar dengan sebutir batu, dua ekor burung kena sekaligus."

"Ya, selain bakalan mendapat seorang gadis cantik dari keluarga terkenal yang pasti akan memuaskan selera minum darah dari Liong Tongcu (Pemimpin Kelompok she Liong), huga dapat melenyapkan bocah Hoa-san-pay itu dengan meminjam tangan para pendekar tolol itu. Kita ini bekerja lebih cerdik, lebih menggunakan otak, dibandingkan si Kiu-bwe-coa atau Sin-bok Hweshio yang tolol dan gagal itu."

Keduanyapun tertawa bersama-sama meskipun dengan tertahan-tahan agar tidak menarik perhatian orang lain. "Mari kita minum tiga cawan untuk kecerdasan otak kita."

Setelah minum-minum dan membayar harganya, kedua orang itupun meninggalkan rumah makan itu. Ketika malam tiba, maka seluruh kotapun menjadi sunyi. Kalau masih ada yang berkeluyuran di jalanan, maka itu hanyalah prajurit-prajurit yang menjaga keamanan kota, atau pemabuk-pemabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi.

Menjelang tengah malam, muncul sesosok tubuh di gang samping dari penginapan "Pek-ln" yang diantara tamu-tamunya terdapat Ting Bun dan rombongannya serta Sebun Him itu. Orang itu berpakaian serba hitam dan hanya matanya yang nampak, ia celingukan kiri kanan, dan setelah dirasanya aman maka diapun meloncat naik ke dinding samping dengan gerakan seringan seekor kucing hitam.

Lalu orang itu mencari sebuah tempat yang terlindung dari cahaya lampu maupun cahaya bintang di langit, dan ditemukannya tempat itu dl balik bayangan serumpun pohon yang tumbuh dekat dinding, dari balik bajunya dikeluarkannya sehelai bendera kecil segitiga berwarna hitam yang tengah-tengahnya bergambar pat-kwa. Sesaat la memusatkan perhatian, lalu diacungkannya bendera kecil itu ke delapan penjuru sambil membaca mantera-mantera, lalu dikibarkannya berulang kali di atas kepala.

Perlahan-lahan terasa pergantian suasana di tempat itu, terutama disekitar tempat penginapan Itu. Udara yang tadinya sejuk dan tenang, tiba-tiba terasa angin bertiup makin lama makin kencang sehingga menimbulkan suara bersuitan, dan pepohonanpun sampai bersuara gemerasak. Selain itu, angin itu Juga membawa udara dingin menggidikkan tubuh, daicm keadaan seperti itu orang tentu lebih suka berada di dalam rumah daripada berkeliaran dl luar rumah. Apalagi kemudian terasa semacam pengaruh aneh mulai jnellngkupi tempat itu, pengaruh yang membuat orang merasa mengantuk dan ingin tidur.

Orang yang duduk bersila dl atas dinding dengan bendera kecil hitam di tangannya itu nampak tersenyum sendiri ketika melihat bahwa pengaruh ilmunya sudah merasuk seluruh penghuni penginapan itu, kecuali orang-orang tertentu yang diketahuinya memang bukan "makanan empuk" buat ilmu hitamnya itu. Namun ia memang sudah tahu bahwa beberapa orang tertentu itu memang tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya itu.

Dan untuk mereka sudah ada rencana khusus seperti yang dibicarakan tadi siang sekali lempar dua burung kena. Orang berpakaian serba hitam itu lalu mendekati kamar Sebun Him yang sudah diketahuinya dengan menyogok seorang pelayan sore tadi. Dilemparkannya sebutir batu ke dalam kamar, lalu dia sendiri meloncat ke atas genteng.

Benar juga, Sebun Him yang kurang pengalaman itu langsung saja terpancing keluar. Dengan pedang di tangan kiri dia cepat mendorong jendela dan meloncat keluar. Ketika dilihatnya ada seorang berpakaian hitam berdiri menghunus golok di atas genteng, maka tanpa pikir panjang Sebun Him meloncat pula ke atas genteng sambil membentak, "Saudara, siapa kau? Kenapa kau melempari jendela kamarku dengan batu?"

Orang berbaju hitam itu tertawa dingin dan langsung saja mengeluarkan kata-kata pancingan agar Sebun Him marah. "Tikus kecil dari Hoa-san-pay, beberapa hari yang lalu kau lolos dari tangan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dan Sin bok Hweshio, tapi malam ini kau tidak akan lepas dari tanganku, dan kau akan berkumpul segera dengan ayahmu di akherat!"

Kata-kata itu memang merupakan api yang dilemparkan ke dalam genangan minyak, seketika membuat hati Sebun Him terbakar karena teringat kematian ayahnya. Dan kini ia tahu bahwa orang berbaju hitam yang berdiri di genteng adalah sekomplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya, maka Sebun Him bertekad harus menentukan mati hidup dengan orang itu.

Pedang ditangan kirinya diangkat dan ditudingkan ke wajah orang itu, katanya dengan suara gemetar karena luapan perasaannya, "Bagus, kawanan iblis, paling tidak sepuluh orang di antara komplotan kalian harus kupenggal kepalanya sebagai tebusan perbuatan licik kalian di kedai itu, yang membuat ayahku gugur!"

"Jangan lagi sepuluh orang, aku seorang diripun belum tentu..."

Ejekan orang itu terputus ketika pedang Sebun Him tiba-tiba berkeredep menyambar leher orang itu dengan gerakan In-li-yu-liong (Naga Melayang di Dalam Mega), dan ketika orang itu melangkah mundur maka dengan beringas Sebun Him telah mengejarnya dengan tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan pedang yang digerakkannya dengan penuh dendam dan kemarahan.

Tapi orang itu agaknya sudah siap menghadapi kemarahan Sebun Him dengan pedangnya. Meskipun gerakan pedangnya tidak sekuat gerakan pedang Sebun Him yang mengeluarkan angin menderu itu, namun ia nampak lincah sekali. Setiap kali pedang mereka berbenturan, maka orang itu dengan sengaja mementalkan pedangnya sendiri dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah berubah arah serangannya. Kelihatannya tidak mudah bagi Sebun Him untuk mengalahkan orang ini, apalagi karena pikirannya sedang dipenuhi kemarahan sehingga perhitungannyapun kurang cermat.

Sementara itu, di dalam kamarnya sendiri, Bu-gong Hweshio yang sekamar dengan Ting Bun itupun terjaga ketika mendengar suara angin ribut di luar. Sebagai orang-orang berilmu tinggi, segera mereka menyadari bahwa suasana itu kurang wajar, apalagi ketika kemudian terasa hawa aneh yang membuat mata semakin mengantuk. Cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga batin mereka untuk melawan perasaan kantuk mereka, dan sesaat mereka sudah terbebas dari pengaruh ilmu hitam itu.

"Penjahat penculik gadis itu agaknya mengincar tempat ini," desis Bu-gong Hweshio sambil menyambar senjata hong-pian-jannya yang disandarkan di tembok itu. "Kebetulan sekali, biar aku sikat dia biar rakyat merasa tenteram.”

"Taysu, agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu,"

"Taysu,agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu," kata TinqgBun sambil menyambar goloknya pula.

“Mari kita lihat ke luar."

"Aku akan memberitahu isteriku dan puteriku lebih dulu agar merekapun dapat berjaga-jaga” kata Ting Bun. Dari kamarnya dia lalu menuju ke kamar sebelahnya di mana isteri dan anaknya tidur sekamar. Ketika pintu diketuk, yang keluar adalah isterinya. Tong Wi-lian nampak sudah berpakaian ringkas, bahkan sabuk sutera yang sering dipakainya sebagal senjata itupun sudah tergulung di taggannya.

"Bagaimana A-giok?' tanya Ting Bun kepada isterinya.

Tong Wi-lian menunjuk ke pembaringan dan menyahut, "Anak itu agaknya belum memiliki kekuatan dalam yang cukup untuk mengatasi pengaruh ilmu hitam ini. Dia jatuh tertidur begitu pengraruh aneh itu muncul. Tetapi aku akan menjaganya."

Ting Bun merasa lega mendengar itu. "Baik, aku dan Suhengmu akan melihat keluar dan kalau perlu menangkap penjahatnya sekalian. Kau jaga anak itu baik-baik, jangan tinggalkan kamar ini apapun yang terjadi. Kalau ada apa-apa, berteriaklah.”

"Jangan kuatir, aku siap.”

Maka Ting Bun bersama Bu-gong Hwe-shio segera meloncat ke atas genteng untuk mencari dari mana datangnya suara benturan senjata itu. Ting Bun merasa hatinya lega, sebab dia tahu betul sampai di mana kelihaian isterinya, yang ilmu silatnya malahan lebih lihai dari dirinya sendiri itu.

Di luar, angin yang dingin menyayat kulit dan menggidikkan tubuh masih bertiup hebat. Angin buatan dengan ilmu hitam. Namun Ting Bun serta Bu-gong Hweshio tidak pedulikan hal itu, dengan menjinjing senjatanya masing-masing mereka berloncatan di atas genteng menuju ke suara pertempuran.
Tampak dua sosok tubuh saling sambar dengan pedangnya masing-masing di depan sana, yang seorang bertubuh ramping dengan pakaian hitam, bergerak amat lincah. Seorang lagi berpakaian belacu putih tanda berkabung dengan gerakan yang tidak terlalu lincah tetapi kuat dan garang, mencoba mendesak lawannya, dan ia memainkan pedangnya dengan tangan kiri.

Begitu melihat orang yang memainkan pedang dengan cara kidal itu, Bu-gong Hweshio langsung menggeram marah, "Penjahat ini benar-benar bernyali besar. Penjahat-penjahat lainnya selalu berpakaian hitam-hitam apabila akan melakukan kejahatan dl malam hari agar tidak mudah dipergoki, tetapi dia malahan berpakaian serba putih menyolok seperti itu."

Ting Bun bertanya, "Darimana tay-su bisa memastikan bahwa si baju putih itu adalah penjahatnya?"

"Apakah kau lupa ceritaku siang tadi, bahwa penjahat pemetik bunga itu memiliki dua ciri-ciri khas? Pertama, kehadirannya selalu menggunakan ilmu hitam yang dapat mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk, kedua, la bermain senjata dengan tangan kiri alias kidal..."

Ting Bun mengangguk-anggukkan kepalanya, namun dia heran juga ketika melihat "penjahat berbaju putih" itu memainkan pedangnya dengan Hoa-san-kiam hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Tengah mereka menimbang-nimbang untuk turun tangan atau tidak, tiba-tiba terlihat si baju hitam yang bertubuh ramping itu telah mulai terdesak, pundaknya hampir saja tersambar pedang Se-bun Him sehingga la harus menyelamatkan diri dengan bergulingan di atas genteng dan membuat beberapa helai genteng pecah. Orang itu bergulingan sambil berteriak,

"Tuan-tuan pendekar, bantulah aku menangkap Jal-hoa-cat ini. Jay-hoa-cat ini benar-benar lihai...!"

Sebun Him terkejut mendengar ucapan lawannya yang memfitnahnya itu, buru-buru ia berteriak ke arah Ting Bun dan Bu-gong Hweshlo, "Jangan percaya! Aku...aku..." Karena tidak pintar bicara maka untuk sesaat Sebun Him hanya tergagap-gagap tak keruan, ia juga kebingungan karena tak menemukan bukti untuk membersihkan dirinya, malahan ada bukti yang memberatkannya, yaitu dia seorang kidal yang sama dengan ciri-ciri penjahat pemetik bunga yang mengemparkan kota Tiang-an itu.

Dan tengah dia kebingunan, lawannya yang berbaju hitam dan tidak kidal itu telah memberondongnya dengan ucapan-ucapan yang semakin membingungkannya, "Kau suruh tuan-tuan pendekar itu jangan-jangan percaya kepadaku? Hem, aku sendiri melihat kau berkemak-kemik dengan ilmu setanmu untuk mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk ini, lalu kau mengendap-endap mendekati kamar tempat tidurnya gadis tamu yang berkuda bersama ayah Ibunya siang tadi, memangnya bukti-bukti itu kurang cukup?”

Bersilat pedang Sebun Him unggul setingkat dari lawannya, tapi bersilat lidah ternyata dialah yang kalah setingkat. Dia benar-benar tidak mampu membantu tuduhan-tuduhan itu. Yang keluar dari mulutnya hanyalah geraman marah, "Bangsat bermulut busuk, kau memfitnah aku! Aku tidak...."

Sikap yang gugup itu buat Bu-gong Hweshio yang berwatak pemarah dan kurang cermat itu sudah cukup untuk diartikan bahwa pemuda baju putih bertangan kidal itulah penjahatnya. Apalagi tampang Sebun Him yang dekil dan sudah berhari-hari lupa mencukur janggutnya itu membuat tampangnva memang tampang penjahat, karena sudan umum bahwa manusia memang senang melihat dan menilai seseorang dari ujud luarnya saja.

Karena itulah maka tanpa pikir panjang lagi Bu-gong Hweshio meloncat maju mendekati Sebun Him sambil berkata kepada orang berbaju hitam Itu, "Saudara, minggirlah, biar aku yang membereskan Jay-hoa-cat ini!"

Orang berbaju hitam itu bersorak dalam hati karena rencananya untuk mengadu domba itu berhasil pada langkah pertama. Namun mukanya tidak menunjukkan kegirangannya, bahkan la memberi hormat kepada Bu-gong Taysu sambil berkata dengan nada prihatin, "Silahkan turun tangan membasmi kejahatan, bapak pendeta, memang kewajiban kita sebagai kaum pendekar untuk mengamalkan ilmu kepandaian kita demi membasmi kejahatan. Sayang ilmuku kurang becus sehingga malahan nyawaku hampir melayang oleh penjaht ini!"

Bu-gong Hweshio memang sudah terbakar hatinya, sahutnya sambil menatap Sebun Him dengan mata menyala, "Jangan berkecll hati saudara. Lebih baik begitu daripada memiliki ilmu yang tinggi tetapi digunakan sebagal alat pelampiasan hawa nafsunya terhadap wanita!"

Sebun Him mendengar tanya jawab itu dengan gemas tanpa dapat berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia bukan saja memaki si baju hitam yang mulutnya berbisa, tapi juga memaki Bu-gong Hweshio yang dianggapnya bertenaga kuat tetapi berotak kerbau. Ia hanya berdiri gemetar menahan perasaannya yang bergolak, dan dengan suara terputus-putus ia masih mencoba berkata kepada Bu-gong hweshio, "Taysu, jangan percaya orang itu. Justru dia... dia yang memancingku untuk bertempur, dan memangnya yang bertangan kidal itu hanya Jay-hoa-cat itu saja?"

Sahut Bu-gong hweshio, "Memang, yang bertangan kidal bukan hanya Jay-hoa-cat itu saja, tapi kalau seseorang bertangan kidal, melepaskan ilmu hitam dan kemudian mengendap-endap hendak menculik seorang gadis, sudah terang dia itu penjahatnya. Nah, bangsat kecil, bersiaplah aku akan meringkusmu!"

Sungguh pepat perasaan Sebun Him saat itu. "Bapak pendeta, tunggu! Jangan percaya orang berbaju hitam itu...”

Orang berbaju hitam itulah yang menukas, "Kalau tuan-tuan pendekar ini tidak boleh percaya kepadaku, memangnya harus percaya kepada mulutmu? Penjahat ini bukan saja lihai ilmu silat dan ilmu hitamnya, tapi mulutnyapun cukup tajam untuk mengelakkan semua kejahatannya!"

"Kau...kau...biar kurobek mulutmu!" teriak Sebun Him melangkan ke arah orang berbaju hitam itu. Namun langkahnya itu dihadang oleh Bu-gong Hweshio yang telah mengankat senjata hong-pian-jannya sambil membentak, "Jay-hoa-cat, karena kedokmu terbongkar lalu kau hendak membunuh saksinya? Huh, rasakan dulu senjataku ini!"

Tanpa banyak bicara lagi pendeta yang penaik darah itu menyodokkan ujung senjatanya yang terbentuk bulan sabit itu ke arah muka Sebun Him, dan ketika musuh menangkis maka dengan sekuat tenaga hong-pian-jannya diputar balik, dengan tangkainya la menghantam ke pinggang Sebun Him. Itulah jurus Liong-eng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong Menari.) dari Siau-lim-pay yang dimainkan dengar tenaga amat kuat.

Sebum Him tahu dan sudah melihat sendiri kekuatan tenaga pendeta itu ketika melihatnya membunuh kerbau tadi siang dia tidak ingin membenturkan pedangnya karena tidak yakin kekuatannya mengungguli kekuatan Bu-gong Hweshio. Tapi semuanya berlangsung begitu cepat benturan harus terjadi, dan Sebun Him merasakan tangan kirinya yang memegang pedang itu menjadi amat pedih, hampir saja pedang itu terloncat lepas dari genggamannya. Sepercik darah membasahi tangkai pedangnya yang dibalut kain putih itu, telapak tangannya telah pecah kulitnya karena benturan itu.

Bu-gong Hweshio sendiri amat terkejut, biasanya dia bangga dengan kekuatannya, dikiranya benturan tadi akan membuat pedang lawannya yang masih mudah terlepas, namun ternyata tidak. Geram Bu-gong Hweshio, "Bagus, jay-hoa-cat, tenagamu boleh juga. Cobalah sekali lagi!"

Lalu jurus Oh-liong-pa-bwe (Naga Hitam Menyabetkan Ekornya) dilancarkan dengan deru angin yang dahsyat.

Maka bertempurlah kedua orang itu di atas genteng rumah penginapan itu. Baik Sebun Him maupun Bu-gong Hweshio adalah orang-orang yang bertenaga besar, gerakan mereka mantap dan keras, namun ternyata mereka tidak memecahkan sehelai gentingpun dengan langkah-langkah mereka, menandakan bahwa merekapun memiliki ilmu meringankan badan yang cukup meskipun tidak mahir sekali. Bahkan mereka dapat berlincahan di atas genteng seperti dua ekor tupai yang berkejaran di pohon kelapa, tapi apabila senjata mereka berbenturan maka terperciklah bunga-bunga api.

Ting Bun tidak turun tangan, sebab baginya maupun bagi Bu-gong Hweshio sebagai orang-orang terkenal dari dunia persilatan tentu merasa malu kalau harus main keroyok terhadap seorang "penjahat muda tak terkenal. Maka Ting Bun hanya berdiri berjaga-jaga di dekat arena dengan golok terhunus, siap mencegah spstila "penjahat" itu berusaha hendak kabur.

Sebun Him memang seorang murid berbakat dari Hoa-san-pay, kepandaiannya hampir menyamai tingkatan para paman-paman gurunya dan ayahnya, bahkan Tiat-ge-long (Serigala bertaring Besi) Mo Wan-seng yang terkenal dari Kun-lun-pay itupun dapat dihabisinya dengan dua kali tusukan saja. Mengira dirinya cukup hebat di dunia persilatan, bukan cuma di lingkungan tembok Hoa-san-pay, maka Sebun Him bermaksud mengangkat nama julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) supaya sejajar dengan Pak-liong dan Lam-hou (Naga Utara dan Harimau Selatan).

Tapi kini Sebun Him harus menghadapi kenyataan bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja tidak bisa dikalahkannya. Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun pengalaman tempur dan kekayaan gerak. Dalam beberapa kali adu kekuatan lengan Sebun Him sudah merasa amat pegal karena kekuatan lawannya, dan setiap kali ia harus melompat mundur untuk memperbaiki kedudukannya. Sedang musuhnya terus mendesak maju bagaikan angin ribut.

Sementara itu, orang berbaju hitam yang merasa berhasil mengadu domba itu merasa yakin bahwa karena kemarahannya maka Bu-gong Hweshio pasti akan membunuh Sebun Him. Maka selagi Ting Bun terpusat perhatiannya kepada jalannya pertempuran itu, diam-diam ia bergerak setapak demi setapak dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Dilorong gelap di samping rumah penginapan itu, dijumpainya dua orang temannya sedang berusaha mencungkil pintu kecil untuk masuk ke dalam penginapan.

"Kenapa kalian tidak meloncati tembok saja?" tanya orang berbaju hitam itu.

"Itu akan menarik perhatian Ting Bun atau pendeta pembunuh kerbau itu," sahut salah seorang dari yang mencungkil pintu itu. "Terpaksa harus dengan cara ini..."

"Terlalu lama. Kalau pertempuran itu keburu selesai dan kedua orang itu sudah kembali ke kamarnya, maka kalian akan kehilangan kesempatan sama sekali, untuk menculik gadis itu."

"Tidak lama. Ini hampir berhasil."

"Hati-hatilah, ibu dari gadis itu agaknya tidak mau terpancing keluar untuk meninggalkan kamarnya. Dan dia adalah adik Gin-yang-cu Tong Wi-hong yang kepandaiannya setingkat dengan kakaknya, dia adalah macan betina dari Siau-lim-pay..."

"Sudahlah. Kami berdua. Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) adalah adik-adik seperguruan dari Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji. Masakah harus takut kepada seorang perempuan saja? Berhentilah menakut-nakuti kami."

Lelaki baju hitam yang memancing Sebun Him tadi mendengarkan tertawa dinginnya sambil berkata, “Baiklah. Mudah-mudahan Ya-hui-siang-hok tidak berubah menjadi Wan-si-siang-hok (Sepasang Kelelawar Mati Penasaran)."

"Tutup mulutmu," kata kakak yang tertua dari sepasang kelelawar itu. "atau aku Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) yang harus membungkam mulutmu?"

"Jangan marah, aku hanya bergurau. Adikmu sudah berhasil mencungkil pintu atau belum?"

Si adik yang bernama Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok segera menyahut, "Sudah berhasil. Mari kita masuk."

Mereka bertigapun segera menyelinap masuk lewat pintu yang berhasil di-rusak tanpa suara itu, namun mereka berusaha agar tidak terlihat oleh orang orang yang sedang berkelahi di atas genteng itu.

"Bagaimana kira-kira jalannya pertempuran itu? Hampir selesai atau masih lama?" desis Tiat-ci-hok Im Yao kepada si baju hitam yang berjalan paling depan. Baju hitam itu sendiri bernama Pui In-bun, dan dialah jay-hoa-cat yang sebenarnya merajalela di kota Tiang-an dalam beberapa hari terakhir ini.

Sahut Pui In-Dun, "Kelihatannya Sebun Him terdesak, tapi masih bisa bertahan beberapa jurus lagi. Karena itu waktu kita tidak banyak untuk menculik gadis itu."

Sementara itu, di dalam kamarnya ketegangan dan kewaspadaan Tong Wi-lian mulai mengendor karena mendengar suara pertempuran di atas genteng dan bahkan-bentakan suhengnya yang menggelegar itu. Ia menduga si bangsat pemetik bunga tidak lama lagi pasti akan tertangkap oleh suhengnya dan suaminya, meskipun ia merasa heran juga ada orang yang sanggup bertahan cukup lama dari gempuran-gempuran suhengnya itu...
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 29

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 29

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
"SAHUT si pelayan, "Mie kepiting kami luar…”

"Uh," potong gadis itu. "Masakan binatang air sudah aku nikmati setiap hari selama aku berada di An-yang-shia yang terletak di danau Po-yang-ou. Coba kau sebutkan masakan lainnya."

Sementara itu, Sebun Him yang mendengarkan percakapan orang sekeluarga itu diam-diam mulai dapat menebak siapakah suami isterl itu berdasarkar ciri-ciri mereka dan ucapan gadis yang mengatakan bahwa ia berasal dari An-yang-shia di tepi danau Po-yang-ou.

"Mungkinkah mereka keluarga pendekar terkenal itu?" demikian Sebun Him mencoba menebak-nebak dalam hati. Diliriknya mereka sekali lagi dan hatinya tergoncang keras ketika melihat wajai gadis yang amat cantik itu. Buru-buru Sebun Him mengangkat cawannya dan menenggak araknya untuk memulas sikapnya yang agak gugup itu. Diam-diam la memaki dirinya sendiri, "Sungguh keterlaluan aku ini. Belum beberapa hari ayah meninggal dunia dan jejak pembunuhnyapun belum diketemukan, aku sudah hendak, tergoda kecantikan seorang perempuan?"

Keluarga itu memang keluarga terkenal. Yang lelaki dengan golok di pinggang nya itu adalah Ting Bun, si pendekar dari An-yang-shia yang terkenal dengan tiga jenis ilmu yang mengutamakan kekuatan gwa-kang (kekuatan luar) itu. Yaitu Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), Ngo-heng-ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Ing-Jiau-kang (Tenaga Kuku Elang) sedang isterinyapun bukan tokoh sembarangan, malah Ilmunya lebih lihai dari suaminya, dialah Tong Wi-lian, adik dari pendekar kota Tay-beng Tong Wi-hong yang berjulukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) itu.

Di masa mudanya, Tong Wi-lian pernah digembleng beberapa tokoh tua dari Siau-lim-pay, sehingga ia disegani di dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya tangan kosong, antara lain Pek-ho-kun (Silat Bangu Putih), Coa-kun (Silat Ular) dan Wan-yo-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Burung Wan-yo). Ilmunya tidak kalah dari kakak laki-lakinya yang terkenal dengan julukan Gin-yang-cu itu.

Sedang gadis itu adalah anak tunggal dari suami-isteri pendekaritu bernama Ting Hun-giok, meskipun belum sempurna sekali tetapi telah menguasai ilmu golok ajaran ayahnya dan ilmu tangan kosong maupun tendangan ajaran ibunya. Karena merupakan anak tunggal yang disayang oleh orang tuanya sejak kecil, maka tingkah lakunya memang agak manja, Meskipun demikian tidak berarti kedua orang tuanya membiarkan anak gadisnya menjadi liar tanpa kendali.

"Kenapa paman dan bibi Ui-hong belum juga kembali dari Tiau-im-hong?" terdengar gadis itu bertanya kepada ibunya. "Ayah dan ibu, kudengar di puncak Tiau-im-hong itu sedang ada keramaian, katanya ada upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, kenapa kita tidak ke sana saja untuk melihat keramaian?"

Setelah meneguk minumannya, Ting Bun tertawa dan menyahut, "A-giok, kau ini benar-benar anak perempuan yang suka cari perkara. Keramaian di Tiau-im-hong itu bukannya keramaian seperti pasar malam atau pesta perahu di danau Po-yang-ou dekat rumah kita, melainkan keramaiannya rimba persilatan yang jika panas sedikit saja akan berubah menjadi banjir-darah."

"Kenapa begitu?"

"Sebab di antara para tamu yang berjumlah ribuan itu tentu ada yang senang dengan kebangkitan kembali Hwe-liong-pang, tapi tentu tidak sedikit pula yang berusaha mencegahnya. Nah, jika kedua belah pihak berselisih paham dan tidak menemukan jalan keluar, bukankah pedang dan golok yang akan berbicara?"

"Kalau golok dan pedang berbicara, lalu kenapa? Memangnya kita takut? Bukankah kita ini sebenarnya juga termasuk keluarga dari ketua Hwe-liong-pang yang dulu kitapun wajib membela Hwe-liong-pang apabila diperlukan? Paman dan bibi Wi-hong bersama kedua orang piau-ko (Kakak misan) sudah pergi ke Tiau-im hong, baiknya kitapun menyusul ke sana untuk bergabung dengan mereka. Aku rasa ilmu golok Ngo-jiou-toan-bun-to-hoat ku sudah cukup untuk menghadapi segala kesulitan."

"Hus," kata Tong Wi-lian menukas ucapan puterinya itu. "Kau jangan terlalu bangga dengan ilmumu yang baru setengah matang itu. Beberapa orang jago silat rendahan memang berhasil kau robohkan, tapi kau kira jago-jago yang hadir di Tiau-im-hong itu juga semacam orang-orang yang sudah kau kalahkan itu? Lagipula, kalau saat ini kita menuju ke Tiau-im-hong, mungkin kita akan kecewa?"

"Kenapa, ibu? Apakah sudah terlambat?"

"Ya. Aku dengar upacara pengangkatan Ketua baru Hwe-liong-pang itu batal, karena si calon Ketua yang bernama Tong Lam-hou malah melarikan diri di tengah jalan."

"Apakah Tong Lam-hou yang dijuluki si Harimau dari Selatan yang belakangan ini disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang berjulukan Naga dari Utara itu, ibu?"

"Benar. Sebenarnya Tong Lam-hou itu termasuk piau-ko mu (kakak misanmu) juga, sebab dia adalah putera mendiang paman tuamu Tong Wi-siang yang dulu ingin menguasai dunia dengan mengandalkan Hwe-liong-pang itu."

Sepasang mata Ting Hun-giok bersinar cerah dan bangga, agaknya baru kali ini ia mendengar kalau Si Harimau Selatan yang terkenal itu ternyata adalah saudara sepupunya. Tapi ia menjadi heran ketika melihat ayah ibunya nampaknya tidak bangga dan tidak gembira akan hal itu, malahan nampak kening mereka berkerut dan mereka menarik napas berulang kali.

Tanya Ting Hun-giok kemudian, "Ayah, Ibu, kenapa Si Harimau Selatan itu melarikan diri dari kedudukannya sebagai Ketua Hwe-liong-pang?"

Terhadap anak gadisnya ini agaknya Ting Bun dan Tong Wi-lian ingin berterus-terang agar kelak tidak kecewa menghadapi kenyataan. Kata Ting Bun, "Sayang sekali, anak muda dengan kepandaian setingi dia ternyata lebih suka menjadi kaki tangan penjajah Manchu daripada memimpin Hwe-liong-pang warisan ayahnya. Saat ini paman Wi-hong mu kemungkinan sedang menyusulnya ke Kota-raja Pak-khia untuk mencoba membujuknya agar pendiriannya berubah..."

"Kalau tidak mau?" tanya Ting Hun-giok dengan agak kecewa pula.

"Apa boleh buat, demi pembebasan tanah-air maka siapapun yang berpihak kepada Kerajaan Manchu harus dianggap musuh, tidak perduli keluarga sendiri sekalipun."

Ting Hun-giok menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban ayahnya yang tegas itu. Namun ia tahu ayahnya benar. Perbedaan pendirian dalam urusan negara memang kadang-kadang membuat kawan jadi lawan, sanak keluargapun saling berdiri berseberangan dengan senjata terhunus di tangan masing-masing. Itulah jaman perang, di mana setiap orang dituntut untuk menentukan di mana tempatnya berdiri. Yang ragu-ragu akan tergilas dari kedua pihak.

Sementara itu, dari tempat duduknya Sebun Him dapat menangkap semua pembicaraan yang memang tidak dilakukan dengan bisik-bisik itu. Diam-diam ia kagum dan hormat mendengar sikap tegas yang terucapkan oleh Ting Bun itu, tidak malu ia sebagai pendekar yang dihormati orang. Seorang pendekar dihormati bukan saja karena mahir memutar golok atau pedang, tetapi juga karena sikapnya dalam berbagai persoalan. Kalau hanya mahir main senjata saja namun sikapnya tidak terpuji, itu tidak lebih tidak kurang dari penjahat besar saja.

Selain itu Sebun Him juga mulai memahami kenapa "rumah makan" menjadi satu hal yang penting dalam dunia persilatan. Di tempat itulah orang dapat menyebarkan kabar berita, mendengar berita atau bertukar berita. Tidak aneh kalau Kay-pang (Serikat Pengemis) sebagai serikat terbesar di dunia persilatan yang terkenal akan ketajamannya dalam menangkap berita-berita baru, menempatkan banyak anggotanya yang berujud pengemis-pengemis di rumah-rumah makan.

Agaknya bukan hanya karena di tempat itu banyak sisa makanan atau banyak orang yang dapat dimintai sedekah, tapi juga karena rumah-rumah makan menempati kedudukan khusus dalam dunia persilatan. Di situlah berita-berita disebar luaskan atau dipertukarkan.

Tiba-tiba ketenangan rumah makan itu terganggu oleh suara ribut-ribut di jalan raya di luar rumah makan itu. Banyak orang yang menerobos masuk ke rumah makan itu bukan untuk makan, melainkan untuk berlindung dari sesuatu yang menakutkan.

"Ada kerbau gila" kata seseorang.

"Kerbau mengamuk!" teriak seseorang lainnya di jalan raya.

Memang betul, seekor kerbau yang bertubuh besar dan kasar mengamuk di jalan raya. Dan orang-orang berlari-larian ketakutan untuk menghindari serudukan tanduk-tanduknya yang tajam, anak-anak kecil dan perempuan menjerit-jerit. Beberapa pedagang kecil di pinggir jalan tak sempat lagi menyelamatkan barang dagangan mereka yang berantakan karena dihajar binatang yang kalap itu.

Melihat kepanikan orang banyak itu, timbullah niat Sebun Him untuk mencoba menundukkan kerbau gila itu. Jauh di dasar hatinya masih juga muncul untuk menjadi terkenal.. Julukan "Se-him" harus menjadi sejajar, kalau perlu melebihi "Pak-liong dan "Lam-hou."

Namun pada saat itu di jalan raya itu sudah muncul belasan orang prajurit Manchu yang membawa pengait-pengait dan tali-tali jerat untuk mencoba menjerat dan menaklukkan binatang yang kuat itu. Beberapa prajurit mencoba mengait kaki kerbau untuk merobohkannya. Tapi kait-kait itu patah begitu saja karena diterjang oleh kaki-kaki kerbau yang kuat itu. Bahkan kaki kerbau yang tergores oleh ujung-ujung kaitan yang tajam itu malahan membuat si kerbau semakin marah dan mengamuk klan hebat.

Jerat diputar di atas kepala dan dilontarkan. Berhasil. Lalu para prajurit mencoba menarik tali-tali itu secara bergotong royong, tapi sia-sia. Kerbau yang besarnya melebihi kerbau biasa itu ternyata juga memllki kekuatan yang luar biasa pula, sehingga bukannya kerbau itu yang tertarik jatuh, malahan para prajurit itu yang pontang-panting terseret oleh kerbau itu. Seorang prajurit tidak sempat menghindar ketika tanduk-tanduk kerbau itu menghunjam ke perutnya dan kemudian melemparkan tubuhnya tinggi-tinggi ke angkasa lalu terbanting tak berkutik.

Sebun Him menjadi ragu-ragu untuk turun tangan. Haruskah ia membantu prajurit-prajurit Manchu yang dianggap sebagai penjajah oleh sebagian besar kaum pendekar itu? Tapi kalau dibiarkan saja, bukankah prajurit-prajurit Manchu itu sebenarnya juga sedang mengatasi kekacauan, yang berarti sedang melindungi rakyat dari kerusakan akibat amukan kerbau gila itu? Sesaat Sebun Him jadi ragu-ragu..

Di saat la ragu-ragu itulah maka ada seorang prajurit lagi yang diseruduk mampus oleh kerbau itu. Namun prajurit-prajurit lainnya terus berusaha mengatasi amukan binatang itu tanpa kenal takut. Lembing-lembing yang dilemparkan ternyata hanya melukai kulit kerbau dan tidak mampu membunuhnya bahkan membuat kerbau itu semakin beringas.

Jalan raya itu sekarang menjadi arena kerbau melawan manusia, dengan penonton di sekitarnya. Seekor kerbau melawan empat orang prajurit Manchu yang mati-matian mencoba menundukkannya, meskipun usaha mereka itu kelihatannya akan sia-sia.

Pada saat itulah dari antara penonton itu terdengar bentakan menggelegar, "Kaum kuku garuda (ejekan untuk prajurit-prajurit kerajaan), kalau tidak mampu minggirlah! Biar aku bereskan binatang ini!!"

Lalu sepasang tangan yang kekar dan berbulu menyibakkan penonton ke kedua samping, dan muncullah seorang hweshio berambut panjang (thau-to) yang bertubuh kekar, kepalanya memakai gelang besi yang di bagian depannya dihias sekeping logam berbentuk bulan sabit kecil. Jubahnya abu-abu dan pinggangnya diikat dengan tali rami yang amat sederhana, ketika muncul, Hweshio ini menenteng sebatang senjata kaum paderi yang disebut hong-pian-jan, yaitu toya yang ujungnya berbentuk bulan sabit yang menganga kedepan, seperti senjata tokoh-dongeng Se Ceng dalam dongeng Se Yu.

Begitu memasuki gelanggang, orang-orang menduga tentunya si thau-to akan melawan kerbau gila itu dengan senjata hong-pian-jannya, tapi kemudian orang-orang itu menjadi heran ketika melihat rahib itu malahan meletakkan senjatanya di tanah. Lalu dengan tangan kosong ia mendekati kerbau yang tengah mengamuk itu, sambil menggosok-gosokkan sepasang telapak tangannya, dan dan penontonpun melihatnya dengan tegang.

"Pendeta gila, apakah kau kepingin mampus?" teriak seorang prajurit Man-chu.

Balas si tahau-to, "kau sendiri yang tidak becus, jangan lalu menganggap semua orang sama tidak becusnya seperti kau. Lebih baik ajak kawan-kawanmu untuk menyingkir semua daripada mampus ditanduk kerbau!"

Di dalam rumah makan, karena tempat duduk Ting Bun dan keluarganya ada dekat pintu, maka mereka dapat melihat semua yang tengah terjadi di tengah jalan raya yang kini telah menjadi arena kerbau lawan manusia itu. Begitu pula Sebun Him telah meninggalkan mejanya sejenak dan berdiri berdesakan dekat pintu untuk menyaksikan "pertandingan" itu.

Ketika Sebun Him tak tertahan melirik ke arah gadis she Ting yang menarik hatinya itu, terlihatlah wajah si gadis agak tegang, dan sepasang matanya yang indah itu membelalak membuat Sebun Him ingin memandangnya lebih lama lagi. Tapi supaya tidak dianggap lelaki kurang ajar, maka Sebun Him memaksa kepalanya untuk menoleh ke tengah jalan raya.

Kerbau gila itu menghantam siapa saja yang berada di dekatnya, dan ketika binatang itu melihat si thau-to mendekatinya, maka binatang itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah sambil menunduukkan kepalanya, Sesaat kemudian berderaplah binatang itu dengan tanduk yang ditundukkan lurus ke perut calon korbannya yang ketiga itu.

Para penonton, termasuk para prajurit yang telah minggir sambil menyeret tubuh teman-teman mereka yang mati menatap dengan tegang ketika melihat pendeta berambut panjang Itu sama sekali tidak menghindari serudukan dahsyat yang beratnya beratus-ratus kati itu. Bahkan si pendeta itu memasang kuda-kuda dengan sepasang lutut ditekuk rendah, dan kedua tangannya yang kekar itu diulurkan ke depan dengan tabahnya.

Ketika si kerbau menunduk, tepat sekali sepasang tanduk itu kena ditangkap oleh sepasang tangan yang kekar itu. Betapa hebatnya tenaga si pendeta itu terlihat dari bagaimana ia berhasil mengehentikan laju serudukan kerbau yang berlari kencang itu, tanpa terlempar hanya tubuhnya tergeser sedikit kebelakang namun dengan sepasang kaki yang tetap menempel di tanah dengan kokohnya. Tepuk tangan dari antara orang-orang yang mengelilingi arena itu.

Sesaat terjadi adu tenaga antara manusia dan kerbau. Dengan mendengus-dengus si kerbau mengerahkan tenaganya untuk melempar lawan agar tanduknya bisa segera bekerja untuk menghantam lawan, namun yang diseruduknya kali ini seolah-olah adalah sebatang pohon tua yang akar-akarnya tertancap jauh-jauh ke dalam tanah dengan kokohnya. Bergeming sedikitpun tidak. Si thau-to sendiri agaknya harus mengerahkan tenaganya pula agar tidak terdorong mundur lagi, sampai mukanya merah dan otot-otot di pelipisnya menonjol.

Di dalam rumah makan itu, diam-diam Sebun Him kagum kehebatan tenaga dari pendeta berambut panjang itu. Dan ia berharap mudah-mudahan pendeta ini bukan termasuk dalam komplotan yang membunuh ayahnya, sebab kalau pendeta ini anggota komplotan, maka agaknya Hoa-san-pay akan mendapat lawan berat.

Beberapa hari yang lalu cukup dengan tiga orang Te-liong Hiang-cu, Ang-mo-coa-ong Tang Kiau-po serta Jian-kiam-hui-ci Ki Peng-sian sudah nembuat Hoa-san-pay kewalahan sampai para sesepuhnya dipaksa untuk turun ke gelanggang. Dan kini, menilik sikapnya yang gagah meskipun agak kasar, agaknya thau-to ini bukan anggota komplotan.

Terdengar thau-to itu tiba-tiba membentak sambil menghentakkan kekuatannya, terdengar gemeretak dari sepasang tangannya yang kokoh kekar itu, dan kerbau gila itu kena didorongnya mundur dua langkah. Kembali penonton bersorak-sorai, sementara Ting Bun dan isterinya saling bertukar pandangan sambil tersenyum, sebab mereka kenal siapa pendeta yang perkasa itu.

Kembali si pendeta membentak sambil mengerahkan tenaganya lebih besar lagi, dan kali ini kerbau itu bukan cuma terdorong selangkah dua langkah, tapi terhuyung-huyung mundur dan bahkan kemudian jatuh terguling. Sorak-sorai terdengar meledak hebat. Bahkan para prajurit yang berdiri di tepi arena itupun menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya. Tadi mereka beramai-ramai tidak dapat mengatasi kekuatan kerbau itu, dan kini mereka melihat ada seseorang yang dapat mengatasinya seorang diri.

Kerbau yang terjatuh itu semakin marah, ia bangkit kembali dan mengais-ngaiskan kakinya siap untuk menerjang lagi. Namun agaknya si rahib berrambut panjang itupun sudah bosan berkelahi dan ingin segera mengakhiri pertarungan itu. Ia berdiri dengan kaki renggang, tangan kanannya ditekuk di depan tubuh dan seluruh tubuhnya kelihatan bergetar karena ia mengerahkan tenaganya.

Ketika kerbau itu menyerbu ke depan, si pendetapun meloncat ke depan melambung tinggi dan kemudian diiringi bentakan menggelepar ia meluncur turun sambil menghantamkan siku tangan kanannya sekuat tenaga ke kepala kerbau itu. Semua penonton menahan napas, dan kemudian bersorak ketika melihat kepala kerbau itu pecah terkena siku tangan pendeta itu. Si kerbau roboh menggelepar dengan cairan merah dan putih dari tempurung kepalanya yang pecah, sesaat kemudian terdiamlah binatang itu untuk selama-lamanya.

Di tengah sorak-sorai orang-orang yang memujanya bagaikah malaikat yang turun ke bumi itu, si pendeta dengan kalem, memungut senjatanya yang diletakkan di tanah, lalu menjinjingnya masuk ke dalam rumah makan itu. Agaknya si pendeta itu memang sudah tadi berniat beristirahat di tempat itu, hanya adanya kerbau yang mengamuk itu yang menunda niatnya. Begitu masuk si pendeta tercengang ketika melihat Ting Bun sekeluarga ada di tempat itu pula.

Tong Wi-lian mengacungkan ibu jarinya sambil berkata, "Jian-kin-cun-kang-tui (Palu Siku Baja Seribu Kati) yang hebat, Suheng !”

Ternyata isteri Ting Bun itu memanggil si pendeta dengan sebutan "suheng" (kakak seperguruan), karena mereka berdua sama-sama murid-murid dari perguruan terkenal Siau-lim-pay. Pendeta itu adalah Bu-gong Hwesno yang dulu pernah ikut dalam usaha membobol Penjara Kerajaan di kota Pak-khia. Ia memang sangat terkenal dengari jurus Ji-an-kin-cun-kang-tuinya itu, sehingga jurus andalannya itu menjadi nama julukannya pula. Dan kini di hadapan sekian ratus pasang mata ia sudah membuktikan kehebatannya.

Di mejanya, Sebun Him terkejut pula mendengar disebutnya Jian-kin-cun-kang-tui itu, sebab nama itu tidak kalah terkenalnya dengan nama pendekar kebanggaan Hoa-san-pay, Gin-hoa-kiam Auyang Seng. Dan orang itu juga sahabat baik paman gurunya, sehingga timbul kesan baik Sebun Him terhadap pendeta itu. Namun Sebun Him belum berniat memperkenalkan dirinya.

Sejak kejadian di kedai terpencil yang mengakibatkan kematian ayahnya itu, entah kenapa sifat Sebun Him jadi agak berubah, suka menyendiri, dan jauh di dasar hatinya juga ada sikap rendah diri akan ketidak-mampuan ilmunya. Itulah yang menahan langkahnya untuk tidak memperkenalkan diri kepada keluarga pendekar terkenal itu.

Apalagi kalau mengingat bahwa gadis cantik itu adalah saudara sepupu dari Tong Lam-hou yang terkenal ketinggian ilmunya, sedangkan dirinya sendiri meskipun pernah menepuk dada sebagai si Beruang dari Barat ternyata di kedai terpencil itu tidak bisa menyelamatkan ayahnya. Ia takut jika gadis she Ting itu nanti membandingkan dirinya dengan sang kakak sepupu yang perkasa itu.

Namun Sebun Him tetap duduk dl tempatnya dan dengan menajamkan pendengarannya dia berusaha untuk tetap mengikuti pembicaraan dari meja para pendekar itu. Tidak sulit untuk mendengarkan mereka, sebab mereka berbicara biasa saja dan tidak berbisik-bisik, meskipun kadang-kadang terganggu oleh teriakan si pelayan rumah makan yang menyambut tamu atau meneriakkan pesanan-pesanan.

Saat itu Bu-gong Hweshio sudah duduk semeja dengan tenangnya ditenggaknya dua cawan arak. Setelah itu barulah ia merentangkan tangan ke samping untuk melemaskan otot sambil berkata, "Huh, pekerjaan dan perjalanan yang melelahkan tetapi sia-sia, untung bertemu dengan kalian yang mentraktirku di sini. Dasar memang sedang bernasib bagus."

Ting Hun-giok tertawa sehingga muncul sepasang lesung pipit di pipinya, ia memang sudah kenal dengan kakak seperguruan dari ibunya yang pernah beberapa kali mengunjungi rumahnya di An-yang-shia itu, sehingga sikapnyapun agak bebas. Katanya, "Tapi jangan dikira arak dan makanan yang di minum Su-pek itu cuma-cuma, Supek."

Bu-gong Hweshio membelalakkan matanya, "Hah, jadi aku harus membayar dengan uangku sendiri?"

Sahut Ting Hun-giok sambil tertawa, "Supek harus ingat, bahwa dari seratus delapan Jurus Lo-han-kun yang Supek janjikan, baru Supek ajarkan sampai jurus ke duapuluh kepadaku. Ilmu pedang Tat-mo-kiam-hoat juga baru sampai jurus ke tujuh belas...."

Bu-gong Hweshio pura-pura menggerutu mendengar "todongan" itu, katanya sambil menepuk keningnya sendiri, "Eh, setan cilik kapan kau mau berhenti memeras aku? Bukankah dari paman dan bibimu di Tay-beng kau juga sudah mendapat ajaran Hui-soat-sin-ciang (Pukulan Salju Terbang), ilmu meringankan tubuh, ilmu memainkan sepasang kaitan Hau-thau-kau dan lainnya?"

Sebun Him yang mendengarkan percakapan itu diam-diam merasa dirinya semakin kecil di hadapan orang-orang itu.,Gadis itu nampaknya sudah mempelajari banyak ilmu dari banyak pendekar terkenal yang menjadi teman-teman keluarganya. Semua ilmu-ilmu yang disebutkan tadi bukanlah ilmu-ilmu pasaran melainkan ilmu-ilmu tingkat tinggi yang menjadi pegangan para pendekar terkenal seperti Gin-yan-cu Tong Wi-hong dan Jian-kin-cun-kang-tui Bu-gong Hweshio.

Sebenarnya Ting Hun-giok masih hendak "memeras" Supeknya itu lebih jauh, namun keburu dicegah oleh ibunya, "Sudahlah, A-giok, dari tadi yang kau bicarakan hanya urusanmu sendiri saja."

Lalu kepada Bu-gong Hweshio, Tong Wi-lian bertanya, "Suheng, bukankah kau baru saja pulang dari Tiau-im-hong dipegunungan Bu-san? Bagaimana kabarnya pertemuan di sana?”

Bu-gong Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik napas. "Kacau... kacau. Para undangan sudah berdatangan, tahu-tahu si Thian-liong Hiangcu Siangkoan Hong muncul dan minta maaf kepada para tamu, katanya segala acara dibatalkan semua karena sang calon Ketuanya menghilang di tengah jalan. Bahkan pesta kebangkitan kembali Hwe-liong-pang itu hampir saja menjadi pesta pembantaian berdarah, untung belum terjadi..."

"He, kenapa bisa demikian?" tanya Ting Bun dan isterinya dengan terkejut. Lalu kata Ting Bun lebih lanjut, "Berita tentang batalnya upacara itu memang sudah kudengar di sepanjang jalan, tapi tentang hampir terjadinya pertumpahan darah itu baru kali ini kami mendengarnya. Kenapa? Antara siapa melawan siapa?"

Sahut Bu-gong Hweshio, "Kalau dipikir-pikir, memang manusia itu suka mengulangi ketoloan-ketololan masa lalu tanpa jera juga. Permusuhan ini berakar dari peristiwa puluhan tahun yang lalu ketika Hwe-liong-pang masih bermusuhan dengan kaum pendekar dari berbagai aliran. Agaknya sampai sekarangpun masih ada orang-orang yang mendendam secara membabi-buta kepada Hwe-liong-pang, tanpa mau tahu bahwa kejadian puluhan tahun yang lalu itu hanya karena kesalah-pahaman belaka. Ketika upacara baru saja dibatalkan tahu-tahu muncul sebarisan pendekar yang dipimpin oleh Liong-hou Hweshio dari Go-bi-pay dan Hui-beng Tojin dari Kun-lun-pay dan sebagainya yang menuntut agar Hwe-liong-pang dibubarkan saat itu juga karena dianggap sebagai gerombolan iblis yang tidak layak hidup di dunia. Tentu saja orang-orang Hwe-liong-pang menjadi tersinggung, delapan orang Tongcu dengan anak buahnya masing-masing sudah menghunus senjata dan siap menghajar Liong-hou Hweshio dan kawan-kawannya. Begitu pula Liong-hou Hweshio dan kawan-kawannya juga sudah siap dengan senjata dan siap pula untuk bertempur mati-matian...."

Cerita Bu-gong Hweshio itu bukan saja membuat tegang Ting Bun dan anak-isterinya yang duduk semeja dengannya, tapi juga menarik perhatian Sebun Him. Bahkan juga tamu-tamu lain yang getol mendengar berita-berita dunia persilatan ikut memasang kuping pula, nanti jika bertemu dengan teman-teman mereka maka berita itu akan diceritakannya seolah-olah dirinya sendiri ikut mengalami ketegangan di Tiau-im-hong itu. Bohong sedikit toh temannya tidak akan tahu.

Lalu terdengar Bu-gong Hweshio melanjutkan, "Untung ada pihak ketiga yang cukup bijaksana dan cukup disegani pula oleh kedua belah pihak, yaitu para undangan yang merupakan tokoh-tokoh terhormat dunia persilatan. Diantaranya adalah para sesepuh perguruanku sendiri Siau-lim-pay, para sesepuh Bu-tong-pay, Soat-san-pay, Khong-tong-pay, Jing-sia-pay dan sebagainya yang hubungannya dengan Hwe-liong-pang cukup baik. Merekalah yang berhasil melerai sehingga tidak setetes darahpun yang tertumpah. Namun, meskipun Liong-hou Hweshio dan rombongannya berhasil dibujuk untuk pergi dari Tiau-im-hong mereka kelihatannya masih penasaran dan mendendam. Gelagatnya, antara Hwe-liong-pang dengan orang-orang itu di kemudian hari bakal sulit menemukan kerukunan. Inilah bibit bencana buat masa depan."

Wajah Tong Wi-lian nampak murung mendengar berita itu. Katanya, "Mengerikan sekali akibatnya kalau kedua belah pihak tidak dapat menahan diri. Banjir darah seperti yang terjadi di Jaman kakakku Tong Wi-siang masih sebagai Ketua Hwe-liong-pang dulu agaknya bakal terulang lagi. Dan persoalannya bertambah rumit karena di antara kita sendiri sebenarnya sedang diperlukan persatuan untuk mengusir bangsa Manchu dari negeri kita. Kalau kita saling baku hantam sendiri, kekuatan kita akan melemah dan bangsa Manchu lah yang memetik keuntungan dan akan semakin kuat mencengkeramkan kuku penjajahnya ke negeri kita."

Bu-gong Hweshie sendiri kelihatan murung. Meskipun ia seorang pendeta yang berwatak agak angin-anginan, namun dia tergolong dalam pihak yang tidak menyukai kehadiran bangsa Manchu di Tionggoan. Baru saja ia mendengar bahwa perlawanan Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu-leng-ong telah dihancurkan oleh Pakkiong Liong dengan pasukan Hui-liong-kunnya yang terkenal, meskipun kabarnya Pangeran Cu Leng-ong sudah berhasil menghimpun kekuatan yang amat besar.

Dengan hancurnya Jit-goat-pang, pembebasan negeri orang Han dari cengkeraman Manchu akan banyak bergantung kepada perlawanan para pendekar rimba persilatan, namun kini tubuh para pendekarpun seolah-olah terbelah menjadi golongan yang mendukung dan yang menentang Hwe-liong-pang. Perbedaan pendirian yang nampaknya tidak akan dapat diselesaikan secara dewasa, melainkan lebih mengandalkan penyelesaian berdasar tajamnya pedang dan runcingnya golok. Inilah awan mendung bagi gerakan yang ingin mengusir bangsa Manchu.

"Ya, agaknya cita-cita untuk membebaskan negeri masih jauh dari kenyataan," kata Ting Bun. "Karena di tubuh kita sendiri masih banyak pertentangan tajam yang sulit menemukan titik temu."

"Sudahlah, kita memusingkan hal inipun tidak ada gunanya. Yang penting kita berbuat kebaikan bagi rakyat, meskipun tindakan-tindakan yang kelihatan kecil tetapi nyata," kata Bu-gong Hwe-shio sambil menyambar mangkuk mie kepiting jatahnya. "Kita tinggal menunggu berita dari Tong Tayhiap (pendekar she Tong) yang saat ini sedang menuju Pak-khia uuntuk mencoba menemui dan membujuk Tong Lam-hou agar mau merubah pikirannya."

"Andaikata Tong Lam-hou menolak?" tanya Tong Wi-lian harap-harap cemas. "Apakah yang akan diperbuat oleh kakakku itu...?”

"Tong Tayhiap sudah berkata kepadaku, bahwa meskipun jiwanya sendiri bakal amblas, ia tetap akan berusaha membunuh Tong Lam-hou dengan segala cara. Selain untuk memberantas bibit penyakit bagi kaum pembebas tanah air, juga untuk membersihkan keluarga Tong dari noda yang memalukan, begitulah tekadnya."

"Dengan siapa kakakku itu pergi ke Pak-khia?"

"Seorang diri saja. Isterinya dan kedua puteranya yang diajaknya ikut ke Tiau-im-hong itu langsung disuruhnya pulang ke Tay-beng begitu upacara di Tiau-im-hong batal."

Tong Wi-lian menarik napas mendengar itu. Ia tahu betul betapa keras watak kakaknya, Tong Wi-hong itu, apabila ia pergi sendirian ke Pak-khia tanpa mau ditemui seorang anggota keluarganyapun, itu berarti sang kakak sudah siap untuk mengorbankan dirinya. Agaknya kakaknya itu menganggap bahwa noda yang melekat pada keluarga Tong karena sikap Tong Lam-hou yang berpihak kepada bangsa Manchu itu adalah noda yang sangat memalukan, sehingga untuk membersihkan diperlukan pengorbanan nyawa. Nyawa kakaknya sendiri atau nyawa Tong Lam-hou.

Kembali Tong Wi-lian menarik napas, seolah-olah tidak melihat jalan lain apabila kedua lelaki she Tong yang sama-sama keras hati itu berhadapan. Hampir mustahil rasanya untuk mengubah pendirian mereka, dan akhirnya mereka akan saling berhadapan dengan pedang di tangan.

"Sekarang kalian hendak ke mana?" tanya Bu-gong Hweshio.

Sahut Ting Bun, "Kami baru saja pulang dari Tay-beng karena tidak berhasil menjumpai A-hong, lalu kami akan pulang ke An-yang-shia namun sengaja berputar lewat kota ini untuk melihat-lihat peninggalan sejarah masa lalu."

Kota Tiang-an itu memang sebuah kota kuno yang terletak di wilayah barat. Di jaman dinasti Tong dulu, Tiang-an adalah ibukota negeri, dan dari kota ini pula dilahirkan pahlawan-pahlawan besar yang menggoreskan namanya dengan tinta emas dalam lembaran sejarah. Bangunan-bangunan kuno peninggalan dinasti Tong masih banyak yang utuh di kota ini, dan menjadi incaran kunjungan para pelancong.

Kata Bu-geng Hweshio sambil melirik kepada Ting Hun-giok, "Bagus juga kalau bisa melihat-lihat tempat yang indah yang bisa membuka keruwetan pikiran. Banyak negarawan terkenal yang menemukan gagasan-gagasan cemerlang ketika mereka sedang menikmati pemadangan indah. Tetapi kalian harus hati-hati menjaga setan cilik ini, sebab kabarnya di kota ini sedang merajalela seorang penjahat penculik gadis-gadis yang lihai. Hampir tiap malam ada gadis yang dilaporkan hilang, tidak peduli penduduk Tiang-an sendiri atau hanya pelancong yang kebetulan sedang di kota ini."

Mendengar itu, ternyata Ting Hun-giok tidak menunjukkan sikap takut. Sambil menepuk-nepuk sarung di pinggangnya, ia berkata, "Kalau Jai-hoa-cat itu berani muncul di depanku, teman baikku inilah yang akan membereskannya."

"Jangan takabur, A-giok," kata Ting Bun. "Ada baiknya berhati-hati. Eh, Taysu apakah belum ada yang bisa mengatasi Jai-ho-cat itu?"

"Belum. Untuk itulah aku datang ke sini dan sudah menunggu munculnya bangsat itu selama beberapa hari di kota ini, tapi dia belum muncul juga. Hanya berdasarkan cerita orang-orang, nampaknya ada dua ciri-ciri Jai-hoa-cat itu."

"Apa ciri-ciri itu?"

"Pertama, Jai-hoa-cat itu agaknya adalah seorang yang memiliki ilmu hitam, sejenis ilmu yang mampu mendatangkan cuaca dingin, gelap, berangin keras di''tempat" yang akan menjadi sasarannya, dan juga rasa kantuk yang luar biasa terhadap orang-orang di tempat itu sehingga dia bisa bekerja dengan leluasa. Ciri yang kedua adalah bahwa Jai-hoa-cat itu seorang yang kidal ia memegang pedangnya dengan tangan kiri ketika bertempur dengan beberapa prajurit penjaga tembok kota..."

Keterangan bahwa si jai-hoa-cat itu seorang kidal telah mengejutkan Se-bun Him, sebab di sendiripun seorang kidal. Dengan demikian ada kemungkinan terjadi salah-paham antara dirinya dengan para pendekar itu. Namun Sebun Him belum menentukan akan bersikap bagaimana, ia hanya terus memasang telinganya untuk mendengarkan.

"Ilmu hitam sejenis itu memang biasanya dimiliki oleh orang-orang yang suka bekerja dalam kegelapan,” kata Ting Bun menanggapi. "Bagaimanapun juga ada baiknya kita berhati-hati. Tay-su, malam ini kau tidur di mana?"

Jawab Bu-gong Hweshio, "Selama empat hari dikota ini, aku tidur disembarang tempat."

"Suheng tidur di penginapan ini saja bersama kami. Akupun ingin ikut menangkap Jai-ho-cat itu," kata Tong Wi lian.

Setelah makan minum, keempat orang itu masih bercakap-cakap membicarakan banyak hal, namun tidak ada yang penting untuk didengar lagi. Sebun Him juga segan mendengarkan lebih lanjut, sehingga ia pun memanggil pelayannya untuk melunasi harga makanan dan minuman, sekalian bertanya apakah di bagian belakang masih ada kamar penginapan buatnya. Dan pelayan itu menjawab ada, Sebun Him dipersilahkannya untuk mengikuti ke belakang. Ketika berjalan meninggalkan tempat duduknya, sengaja Sebun Him menjinjing pedangnya dengan tangan kiri, sikap yang umum untuk para pemain pedang yang tidak kidal.

Para pemain pedang yang tidak kidal biasanya memang demikian, membawa pedang dengan tangan kiri agar apabila membutuhkan pedangnya maka tangan kanannya bisa cepat mencabut pedangnya. Sedang para pemain pedang kidal berbuat sebaliknya, membawa pedang dengan tangan kanan dan tangan kirinyalah yang akan digunakan untuk mencabut pedang. Dengan sikapnyaa itu, Sebun Him berusaha agar tidak menimbulkan kecurigaan dari orang-orang yang tengah membicarakan tentang Jai-hoa-cat bertangan kidal itu.

Hari itu berlalu tanpa kejadian apa-apa. Sebun Him sekali melangkah masuk ke kamarnya sudah tidak pernah melangkah keluar lagi, bahkan makan sore dengan upah beberapa keping uang. Dari mulut pelayan pula ia mendengar bahwa Ting Bun dan rombongannya memakai dua buah kamar yang terletak dekat kebun bunga. Satu kamar dipakai Ting Bun dan Bu-gong Hweshio, satu kamar lagi dipakai Tong Wi-lian dan puterinya yang bernyali besar, Ting Hun-giok.

Karena di kota Tiang-an sedang "musim" Jai-hoa-cat, maka sikap Sebun Him yang mencari tahu di mana kamar menginapnya rombongan Ting Bun yang ada gadis cantiknya itu telah membuat si pelayan curiga. Diam-diam pelayan itu lalu membisiki Ting Bun agar hati-hati, katanya "si bangsat pemetik bunga juga ada di penginapan itu dan mengincar anak gadismu." Dan untuk bisikannya itu si pelayan mendapat lagi beberapa keping uang.

Namun ada pihak tertentu yang memang bukan sekedar main bisik-bisik, tapi telah mempersiapkan sebuah tindakan. Di ruangan rumah makan itu ada dua orang yang mendengarkan percakapan Ting Bun dan rombongannya sejak tadi, juga gerak-gerik Sebun Him. Dan setelah Ting Bun maupun Sebun Him masuk ke belakang ke bagian penginapan, maka kedua orang Itu saling tersenyum. Kata seorang yang bertubuh kurus dan bermuka hitam,

"Sekali lempar dengan sebutir batu, dua ekor burung kena sekaligus."

"Ya, selain bakalan mendapat seorang gadis cantik dari keluarga terkenal yang pasti akan memuaskan selera minum darah dari Liong Tongcu (Pemimpin Kelompok she Liong), huga dapat melenyapkan bocah Hoa-san-pay itu dengan meminjam tangan para pendekar tolol itu. Kita ini bekerja lebih cerdik, lebih menggunakan otak, dibandingkan si Kiu-bwe-coa atau Sin-bok Hweshio yang tolol dan gagal itu."

Keduanyapun tertawa bersama-sama meskipun dengan tertahan-tahan agar tidak menarik perhatian orang lain. "Mari kita minum tiga cawan untuk kecerdasan otak kita."

Setelah minum-minum dan membayar harganya, kedua orang itupun meninggalkan rumah makan itu. Ketika malam tiba, maka seluruh kotapun menjadi sunyi. Kalau masih ada yang berkeluyuran di jalanan, maka itu hanyalah prajurit-prajurit yang menjaga keamanan kota, atau pemabuk-pemabuk yang sedang bernyanyi-nyanyi.

Menjelang tengah malam, muncul sesosok tubuh di gang samping dari penginapan "Pek-ln" yang diantara tamu-tamunya terdapat Ting Bun dan rombongannya serta Sebun Him itu. Orang itu berpakaian serba hitam dan hanya matanya yang nampak, ia celingukan kiri kanan, dan setelah dirasanya aman maka diapun meloncat naik ke dinding samping dengan gerakan seringan seekor kucing hitam.

Lalu orang itu mencari sebuah tempat yang terlindung dari cahaya lampu maupun cahaya bintang di langit, dan ditemukannya tempat itu dl balik bayangan serumpun pohon yang tumbuh dekat dinding, dari balik bajunya dikeluarkannya sehelai bendera kecil segitiga berwarna hitam yang tengah-tengahnya bergambar pat-kwa. Sesaat la memusatkan perhatian, lalu diacungkannya bendera kecil itu ke delapan penjuru sambil membaca mantera-mantera, lalu dikibarkannya berulang kali di atas kepala.

Perlahan-lahan terasa pergantian suasana di tempat itu, terutama disekitar tempat penginapan Itu. Udara yang tadinya sejuk dan tenang, tiba-tiba terasa angin bertiup makin lama makin kencang sehingga menimbulkan suara bersuitan, dan pepohonanpun sampai bersuara gemerasak. Selain itu, angin itu Juga membawa udara dingin menggidikkan tubuh, daicm keadaan seperti itu orang tentu lebih suka berada di dalam rumah daripada berkeliaran dl luar rumah. Apalagi kemudian terasa semacam pengaruh aneh mulai jnellngkupi tempat itu, pengaruh yang membuat orang merasa mengantuk dan ingin tidur.

Orang yang duduk bersila dl atas dinding dengan bendera kecil hitam di tangannya itu nampak tersenyum sendiri ketika melihat bahwa pengaruh ilmunya sudah merasuk seluruh penghuni penginapan itu, kecuali orang-orang tertentu yang diketahuinya memang bukan "makanan empuk" buat ilmu hitamnya itu. Namun ia memang sudah tahu bahwa beberapa orang tertentu itu memang tidak akan terpengaruh oleh ilmu hitamnya itu.

Dan untuk mereka sudah ada rencana khusus seperti yang dibicarakan tadi siang sekali lempar dua burung kena. Orang berpakaian serba hitam itu lalu mendekati kamar Sebun Him yang sudah diketahuinya dengan menyogok seorang pelayan sore tadi. Dilemparkannya sebutir batu ke dalam kamar, lalu dia sendiri meloncat ke atas genteng.

Benar juga, Sebun Him yang kurang pengalaman itu langsung saja terpancing keluar. Dengan pedang di tangan kiri dia cepat mendorong jendela dan meloncat keluar. Ketika dilihatnya ada seorang berpakaian hitam berdiri menghunus golok di atas genteng, maka tanpa pikir panjang Sebun Him meloncat pula ke atas genteng sambil membentak, "Saudara, siapa kau? Kenapa kau melempari jendela kamarku dengan batu?"

Orang berbaju hitam itu tertawa dingin dan langsung saja mengeluarkan kata-kata pancingan agar Sebun Him marah. "Tikus kecil dari Hoa-san-pay, beberapa hari yang lalu kau lolos dari tangan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dan Sin bok Hweshio, tapi malam ini kau tidak akan lepas dari tanganku, dan kau akan berkumpul segera dengan ayahmu di akherat!"

Kata-kata itu memang merupakan api yang dilemparkan ke dalam genangan minyak, seketika membuat hati Sebun Him terbakar karena teringat kematian ayahnya. Dan kini ia tahu bahwa orang berbaju hitam yang berdiri di genteng adalah sekomplotan dengan pembunuh-pembunuh ayahnya, maka Sebun Him bertekad harus menentukan mati hidup dengan orang itu.

Pedang ditangan kirinya diangkat dan ditudingkan ke wajah orang itu, katanya dengan suara gemetar karena luapan perasaannya, "Bagus, kawanan iblis, paling tidak sepuluh orang di antara komplotan kalian harus kupenggal kepalanya sebagai tebusan perbuatan licik kalian di kedai itu, yang membuat ayahku gugur!"

"Jangan lagi sepuluh orang, aku seorang diripun belum tentu..."

Ejekan orang itu terputus ketika pedang Sebun Him tiba-tiba berkeredep menyambar leher orang itu dengan gerakan In-li-yu-liong (Naga Melayang di Dalam Mega), dan ketika orang itu melangkah mundur maka dengan beringas Sebun Him telah mengejarnya dengan tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan pedang yang digerakkannya dengan penuh dendam dan kemarahan.

Tapi orang itu agaknya sudah siap menghadapi kemarahan Sebun Him dengan pedangnya. Meskipun gerakan pedangnya tidak sekuat gerakan pedang Sebun Him yang mengeluarkan angin menderu itu, namun ia nampak lincah sekali. Setiap kali pedang mereka berbenturan, maka orang itu dengan sengaja mementalkan pedangnya sendiri dan tahu-tahu ujung pedangnya sudah berubah arah serangannya. Kelihatannya tidak mudah bagi Sebun Him untuk mengalahkan orang ini, apalagi karena pikirannya sedang dipenuhi kemarahan sehingga perhitungannyapun kurang cermat.

Sementara itu, di dalam kamarnya sendiri, Bu-gong Hweshio yang sekamar dengan Ting Bun itupun terjaga ketika mendengar suara angin ribut di luar. Sebagai orang-orang berilmu tinggi, segera mereka menyadari bahwa suasana itu kurang wajar, apalagi ketika kemudian terasa hawa aneh yang membuat mata semakin mengantuk. Cepat-cepat mereka mengerahkan tenaga batin mereka untuk melawan perasaan kantuk mereka, dan sesaat mereka sudah terbebas dari pengaruh ilmu hitam itu.

"Penjahat penculik gadis itu agaknya mengincar tempat ini," desis Bu-gong Hweshio sambil menyambar senjata hong-pian-jannya yang disandarkan di tembok itu. "Kebetulan sekali, biar aku sikat dia biar rakyat merasa tenteram.”

"Taysu, agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu,"

"Taysu,agaknya penjahat itu sudah mendapatkan seorang lawan. Dengarlah benturan senjata di atas genteng itu," kata TinqgBun sambil menyambar goloknya pula.

“Mari kita lihat ke luar."

"Aku akan memberitahu isteriku dan puteriku lebih dulu agar merekapun dapat berjaga-jaga” kata Ting Bun. Dari kamarnya dia lalu menuju ke kamar sebelahnya di mana isteri dan anaknya tidur sekamar. Ketika pintu diketuk, yang keluar adalah isterinya. Tong Wi-lian nampak sudah berpakaian ringkas, bahkan sabuk sutera yang sering dipakainya sebagal senjata itupun sudah tergulung di taggannya.

"Bagaimana A-giok?' tanya Ting Bun kepada isterinya.

Tong Wi-lian menunjuk ke pembaringan dan menyahut, "Anak itu agaknya belum memiliki kekuatan dalam yang cukup untuk mengatasi pengaruh ilmu hitam ini. Dia jatuh tertidur begitu pengraruh aneh itu muncul. Tetapi aku akan menjaganya."

Ting Bun merasa lega mendengar itu. "Baik, aku dan Suhengmu akan melihat keluar dan kalau perlu menangkap penjahatnya sekalian. Kau jaga anak itu baik-baik, jangan tinggalkan kamar ini apapun yang terjadi. Kalau ada apa-apa, berteriaklah.”

"Jangan kuatir, aku siap.”

Maka Ting Bun bersama Bu-gong Hwe-shio segera meloncat ke atas genteng untuk mencari dari mana datangnya suara benturan senjata itu. Ting Bun merasa hatinya lega, sebab dia tahu betul sampai di mana kelihaian isterinya, yang ilmu silatnya malahan lebih lihai dari dirinya sendiri itu.

Di luar, angin yang dingin menyayat kulit dan menggidikkan tubuh masih bertiup hebat. Angin buatan dengan ilmu hitam. Namun Ting Bun serta Bu-gong Hweshio tidak pedulikan hal itu, dengan menjinjing senjatanya masing-masing mereka berloncatan di atas genteng menuju ke suara pertempuran.
Tampak dua sosok tubuh saling sambar dengan pedangnya masing-masing di depan sana, yang seorang bertubuh ramping dengan pakaian hitam, bergerak amat lincah. Seorang lagi berpakaian belacu putih tanda berkabung dengan gerakan yang tidak terlalu lincah tetapi kuat dan garang, mencoba mendesak lawannya, dan ia memainkan pedangnya dengan tangan kiri.

Begitu melihat orang yang memainkan pedang dengan cara kidal itu, Bu-gong Hweshio langsung menggeram marah, "Penjahat ini benar-benar bernyali besar. Penjahat-penjahat lainnya selalu berpakaian hitam-hitam apabila akan melakukan kejahatan dl malam hari agar tidak mudah dipergoki, tetapi dia malahan berpakaian serba putih menyolok seperti itu."

Ting Bun bertanya, "Darimana tay-su bisa memastikan bahwa si baju putih itu adalah penjahatnya?"

"Apakah kau lupa ceritaku siang tadi, bahwa penjahat pemetik bunga itu memiliki dua ciri-ciri khas? Pertama, kehadirannya selalu menggunakan ilmu hitam yang dapat mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk, kedua, la bermain senjata dengan tangan kiri alias kidal..."

Ting Bun mengangguk-anggukkan kepalanya, namun dia heran juga ketika melihat "penjahat berbaju putih" itu memainkan pedangnya dengan Hoa-san-kiam hoat (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Tengah mereka menimbang-nimbang untuk turun tangan atau tidak, tiba-tiba terlihat si baju hitam yang bertubuh ramping itu telah mulai terdesak, pundaknya hampir saja tersambar pedang Se-bun Him sehingga la harus menyelamatkan diri dengan bergulingan di atas genteng dan membuat beberapa helai genteng pecah. Orang itu bergulingan sambil berteriak,

"Tuan-tuan pendekar, bantulah aku menangkap Jal-hoa-cat ini. Jay-hoa-cat ini benar-benar lihai...!"

Sebun Him terkejut mendengar ucapan lawannya yang memfitnahnya itu, buru-buru ia berteriak ke arah Ting Bun dan Bu-gong Hweshlo, "Jangan percaya! Aku...aku..." Karena tidak pintar bicara maka untuk sesaat Sebun Him hanya tergagap-gagap tak keruan, ia juga kebingungan karena tak menemukan bukti untuk membersihkan dirinya, malahan ada bukti yang memberatkannya, yaitu dia seorang kidal yang sama dengan ciri-ciri penjahat pemetik bunga yang mengemparkan kota Tiang-an itu.

Dan tengah dia kebingunan, lawannya yang berbaju hitam dan tidak kidal itu telah memberondongnya dengan ucapan-ucapan yang semakin membingungkannya, "Kau suruh tuan-tuan pendekar itu jangan-jangan percaya kepadaku? Hem, aku sendiri melihat kau berkemak-kemik dengan ilmu setanmu untuk mendatangkan angin keras dan hawa mengantuk ini, lalu kau mengendap-endap mendekati kamar tempat tidurnya gadis tamu yang berkuda bersama ayah Ibunya siang tadi, memangnya bukti-bukti itu kurang cukup?”

Bersilat pedang Sebun Him unggul setingkat dari lawannya, tapi bersilat lidah ternyata dialah yang kalah setingkat. Dia benar-benar tidak mampu membantu tuduhan-tuduhan itu. Yang keluar dari mulutnya hanyalah geraman marah, "Bangsat bermulut busuk, kau memfitnah aku! Aku tidak...."

Sikap yang gugup itu buat Bu-gong Hweshio yang berwatak pemarah dan kurang cermat itu sudah cukup untuk diartikan bahwa pemuda baju putih bertangan kidal itulah penjahatnya. Apalagi tampang Sebun Him yang dekil dan sudah berhari-hari lupa mencukur janggutnya itu membuat tampangnva memang tampang penjahat, karena sudan umum bahwa manusia memang senang melihat dan menilai seseorang dari ujud luarnya saja.

Karena itulah maka tanpa pikir panjang lagi Bu-gong Hweshio meloncat maju mendekati Sebun Him sambil berkata kepada orang berbaju hitam Itu, "Saudara, minggirlah, biar aku yang membereskan Jay-hoa-cat ini!"

Orang berbaju hitam itu bersorak dalam hati karena rencananya untuk mengadu domba itu berhasil pada langkah pertama. Namun mukanya tidak menunjukkan kegirangannya, bahkan la memberi hormat kepada Bu-gong Taysu sambil berkata dengan nada prihatin, "Silahkan turun tangan membasmi kejahatan, bapak pendeta, memang kewajiban kita sebagai kaum pendekar untuk mengamalkan ilmu kepandaian kita demi membasmi kejahatan. Sayang ilmuku kurang becus sehingga malahan nyawaku hampir melayang oleh penjaht ini!"

Bu-gong Hweshio memang sudah terbakar hatinya, sahutnya sambil menatap Sebun Him dengan mata menyala, "Jangan berkecll hati saudara. Lebih baik begitu daripada memiliki ilmu yang tinggi tetapi digunakan sebagal alat pelampiasan hawa nafsunya terhadap wanita!"

Sebun Him mendengar tanya jawab itu dengan gemas tanpa dapat berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia bukan saja memaki si baju hitam yang mulutnya berbisa, tapi juga memaki Bu-gong Hweshio yang dianggapnya bertenaga kuat tetapi berotak kerbau. Ia hanya berdiri gemetar menahan perasaannya yang bergolak, dan dengan suara terputus-putus ia masih mencoba berkata kepada Bu-gong hweshio, "Taysu, jangan percaya orang itu. Justru dia... dia yang memancingku untuk bertempur, dan memangnya yang bertangan kidal itu hanya Jay-hoa-cat itu saja?"

Sahut Bu-gong hweshio, "Memang, yang bertangan kidal bukan hanya Jay-hoa-cat itu saja, tapi kalau seseorang bertangan kidal, melepaskan ilmu hitam dan kemudian mengendap-endap hendak menculik seorang gadis, sudah terang dia itu penjahatnya. Nah, bangsat kecil, bersiaplah aku akan meringkusmu!"

Sungguh pepat perasaan Sebun Him saat itu. "Bapak pendeta, tunggu! Jangan percaya orang berbaju hitam itu...”

Orang berbaju hitam itulah yang menukas, "Kalau tuan-tuan pendekar ini tidak boleh percaya kepadaku, memangnya harus percaya kepada mulutmu? Penjahat ini bukan saja lihai ilmu silat dan ilmu hitamnya, tapi mulutnyapun cukup tajam untuk mengelakkan semua kejahatannya!"

"Kau...kau...biar kurobek mulutmu!" teriak Sebun Him melangkan ke arah orang berbaju hitam itu. Namun langkahnya itu dihadang oleh Bu-gong Hweshio yang telah mengankat senjata hong-pian-jannya sambil membentak, "Jay-hoa-cat, karena kedokmu terbongkar lalu kau hendak membunuh saksinya? Huh, rasakan dulu senjataku ini!"

Tanpa banyak bicara lagi pendeta yang penaik darah itu menyodokkan ujung senjatanya yang terbentuk bulan sabit itu ke arah muka Sebun Him, dan ketika musuh menangkis maka dengan sekuat tenaga hong-pian-jannya diputar balik, dengan tangkainya la menghantam ke pinggang Sebun Him. Itulah jurus Liong-eng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong Menari.) dari Siau-lim-pay yang dimainkan dengar tenaga amat kuat.

Sebum Him tahu dan sudah melihat sendiri kekuatan tenaga pendeta itu ketika melihatnya membunuh kerbau tadi siang dia tidak ingin membenturkan pedangnya karena tidak yakin kekuatannya mengungguli kekuatan Bu-gong Hweshio. Tapi semuanya berlangsung begitu cepat benturan harus terjadi, dan Sebun Him merasakan tangan kirinya yang memegang pedang itu menjadi amat pedih, hampir saja pedang itu terloncat lepas dari genggamannya. Sepercik darah membasahi tangkai pedangnya yang dibalut kain putih itu, telapak tangannya telah pecah kulitnya karena benturan itu.

Bu-gong Hweshio sendiri amat terkejut, biasanya dia bangga dengan kekuatannya, dikiranya benturan tadi akan membuat pedang lawannya yang masih mudah terlepas, namun ternyata tidak. Geram Bu-gong Hweshio, "Bagus, jay-hoa-cat, tenagamu boleh juga. Cobalah sekali lagi!"

Lalu jurus Oh-liong-pa-bwe (Naga Hitam Menyabetkan Ekornya) dilancarkan dengan deru angin yang dahsyat.

Maka bertempurlah kedua orang itu di atas genteng rumah penginapan itu. Baik Sebun Him maupun Bu-gong Hweshio adalah orang-orang yang bertenaga besar, gerakan mereka mantap dan keras, namun ternyata mereka tidak memecahkan sehelai gentingpun dengan langkah-langkah mereka, menandakan bahwa merekapun memiliki ilmu meringankan badan yang cukup meskipun tidak mahir sekali. Bahkan mereka dapat berlincahan di atas genteng seperti dua ekor tupai yang berkejaran di pohon kelapa, tapi apabila senjata mereka berbenturan maka terperciklah bunga-bunga api.

Ting Bun tidak turun tangan, sebab baginya maupun bagi Bu-gong Hweshio sebagai orang-orang terkenal dari dunia persilatan tentu merasa malu kalau harus main keroyok terhadap seorang "penjahat muda tak terkenal. Maka Ting Bun hanya berdiri berjaga-jaga di dekat arena dengan golok terhunus, siap mencegah spstila "penjahat" itu berusaha hendak kabur.

Sebun Him memang seorang murid berbakat dari Hoa-san-pay, kepandaiannya hampir menyamai tingkatan para paman-paman gurunya dan ayahnya, bahkan Tiat-ge-long (Serigala bertaring Besi) Mo Wan-seng yang terkenal dari Kun-lun-pay itupun dapat dihabisinya dengan dua kali tusukan saja. Mengira dirinya cukup hebat di dunia persilatan, bukan cuma di lingkungan tembok Hoa-san-pay, maka Sebun Him bermaksud mengangkat nama julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) supaya sejajar dengan Pak-liong dan Lam-hou (Naga Utara dan Harimau Selatan).

Tapi kini Sebun Him harus menghadapi kenyataan bahwa seorang Bu-gong Hweshio saja tidak bisa dikalahkannya. Baik dalam hal kekuatan, kecepatan maupun pengalaman tempur dan kekayaan gerak. Dalam beberapa kali adu kekuatan lengan Sebun Him sudah merasa amat pegal karena kekuatan lawannya, dan setiap kali ia harus melompat mundur untuk memperbaiki kedudukannya. Sedang musuhnya terus mendesak maju bagaikan angin ribut.

Sementara itu, orang berbaju hitam yang merasa berhasil mengadu domba itu merasa yakin bahwa karena kemarahannya maka Bu-gong Hweshio pasti akan membunuh Sebun Him. Maka selagi Ting Bun terpusat perhatiannya kepada jalannya pertempuran itu, diam-diam ia bergerak setapak demi setapak dan kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Dilorong gelap di samping rumah penginapan itu, dijumpainya dua orang temannya sedang berusaha mencungkil pintu kecil untuk masuk ke dalam penginapan.

"Kenapa kalian tidak meloncati tembok saja?" tanya orang berbaju hitam itu.

"Itu akan menarik perhatian Ting Bun atau pendeta pembunuh kerbau itu," sahut salah seorang dari yang mencungkil pintu itu. "Terpaksa harus dengan cara ini..."

"Terlalu lama. Kalau pertempuran itu keburu selesai dan kedua orang itu sudah kembali ke kamarnya, maka kalian akan kehilangan kesempatan sama sekali, untuk menculik gadis itu."

"Tidak lama. Ini hampir berhasil."

"Hati-hatilah, ibu dari gadis itu agaknya tidak mau terpancing keluar untuk meninggalkan kamarnya. Dan dia adalah adik Gin-yang-cu Tong Wi-hong yang kepandaiannya setingkat dengan kakaknya, dia adalah macan betina dari Siau-lim-pay..."

"Sudahlah. Kami berdua. Ya-hui-siang-hok (Sepasang Kelelawar Terbang Malam) adalah adik-adik seperguruan dari Sip-hiat-mo-hok (Kelelawar Iblis Penghisap Darah) Liong Pek-ji. Masakah harus takut kepada seorang perempuan saja? Berhentilah menakut-nakuti kami."

Lelaki baju hitam yang memancing Sebun Him tadi mendengarkan tertawa dinginnya sambil berkata, “Baiklah. Mudah-mudahan Ya-hui-siang-hok tidak berubah menjadi Wan-si-siang-hok (Sepasang Kelelawar Mati Penasaran)."

"Tutup mulutmu," kata kakak yang tertua dari sepasang kelelawar itu. "atau aku Tiat-ci-hok (Kelelawar Bersayap Besi) yang harus membungkam mulutmu?"

"Jangan marah, aku hanya bergurau. Adikmu sudah berhasil mencungkil pintu atau belum?"

Si adik yang bernama Tui-hun-hok (Kelelawar Pemburu Nyawa) Im Kok segera menyahut, "Sudah berhasil. Mari kita masuk."

Mereka bertigapun segera menyelinap masuk lewat pintu yang berhasil di-rusak tanpa suara itu, namun mereka berusaha agar tidak terlihat oleh orang orang yang sedang berkelahi di atas genteng itu.

"Bagaimana kira-kira jalannya pertempuran itu? Hampir selesai atau masih lama?" desis Tiat-ci-hok Im Yao kepada si baju hitam yang berjalan paling depan. Baju hitam itu sendiri bernama Pui In-bun, dan dialah jay-hoa-cat yang sebenarnya merajalela di kota Tiang-an dalam beberapa hari terakhir ini.

Sahut Pui In-Dun, "Kelihatannya Sebun Him terdesak, tapi masih bisa bertahan beberapa jurus lagi. Karena itu waktu kita tidak banyak untuk menculik gadis itu."

Sementara itu, di dalam kamarnya ketegangan dan kewaspadaan Tong Wi-lian mulai mengendor karena mendengar suara pertempuran di atas genteng dan bahkan-bentakan suhengnya yang menggelegar itu. Ia menduga si bangsat pemetik bunga tidak lama lagi pasti akan tertangkap oleh suhengnya dan suaminya, meskipun ia merasa heran juga ada orang yang sanggup bertahan cukup lama dari gempuran-gempuran suhengnya itu...
Selanjutnya;