Pendekar Naga dan Harimau Jilid 28
PARA sesepuh mulai berunding, dan akhirnya diputuskan bahwa Hoa-san-pay tidak boleh tinggal diam saja. Selama ini Hoa-san-pay hanya mengamoil sikap "bertahan", tapi karena masalahnya semakin lama semakin ruwet, maka harus diambil tindakan keluar. Urusan harus dibikin terang.
"Saudara-saudaraku dan murid-murid sekalian," demikian kata Kiau Bun-han dalam suatu pertemuan yang dihadiri semua sesepuh dan murid-murid angkatan kedua, yaitu angkatannya Auyang Seng. "Akhirnya kita putuskan bersama bahwa kita akan menganggap persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok itu ternyata telah meluas di luar dugaan kita. Tadinya kita sangka hanya antara kita dengan Ho-lian-pay, ternyata malam itu bermunculan pula tokoh-tokoh puncak golongan hitam seperti Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang sudah lama menghilang, jelas ini bukan lagi masalah kecil. He Keng-liang bisa dianggap ringan, tapi Te-liong Haingcu dan Ang-mo-coa-ong tidak. Maka, kita akan mengirim utusan ke Ho-lian-pay untuk minta penjelasan sekalian mengadakan penyelidikan. Sudah aku tetapkan keponakan murid Sebun Siang dan puteranya Sebun Him yang akan menuju ke Ho-lian-pay."
Sebun Siang dan anaknya cepat-cepat berlutut dan menyatakan sanggup. Lalu Kiau Bun-han berkata lagi, "Selain itu, keponakan murid Auyang Seng akan menuju ke Jing-sia-san untuk menjumpai Ciangbunjin Jing-sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, mencari penjelasan tentang Ki Peng-sian yang tiba-tiba saja menyatroni tempat kita. Padahal selama ini hubungan antara Hoa-san-pay dan Jiang-sia-pay sangat baik. Setelah meninggalkan Jing-sia-san, kau langsung ke Siong-san untuk minta bantuan Siau-lim-pay sebagai sesepuh rimba persilatan. Kau paham apa yang harus kau katakan di sana?"
"Paham, susiok," sahut Ayang Seng dengan hormat.
Maka di satu pagi yang hangat, orang-orang yang ditugaskan itupun meninggalkan gunung menuju arah perjalanannya masing-masing. Ayah dan anak Sebun Siang dan Sebun Him yang sama-sama bertubuh tinggi besar itu menuju ke arah timur. Sang ayah menggantungkan pedangnya di pinggang kiri seperti umumnya para pemain pedang, sedangkan anaknya mengantungkan pedang di pinggang kanan karena dia kidal. Sedang Au-yang Seng menuju ke arah selatan.
Menjelang Sebun Siang dan Sebun Him mencapai kaki gunung, tiba-tiba seseorang muncul menghadang langkah mereka. Seorang tua yang berwajah berwibawa dengan jubah kuning gading yang menjadi ciri-ciri Hoa-san-pay, berdiri tegap di depan mereka. Sebun Siang dan anaknya terkejut karena melihat orangtua itu adalah Yo Ciong-wan sendiri, salah seorang dari Hoa-san-su-lo yang berkedudukan tertinggi dalam Hoa-san-pay jaman itu. Karena itu, serempak ayah dan anak itu-pun menekuk lutut mereka untuk memberi hormat.
Sikap Yo Ciong-wan sangat ramah, katanya, "Anak-anakku, tugas yang kalian pikul sangat berat, karena itu aku sebagai seorang tua ingin memberi pesan kepada kalian. Mudah-mudahan kalian suka mendengarnya."
Agak heran juga Sebun Siang berdua, tadi diaula Yo Ciong-wan ini sudah ikut memberi nasehat panjang lebar bersama dengan sesepuh-sesepuh lainnya, sekarang nasehat apa lagi yang akan diberikan? Namun sebagai angkatan yang lebih muda, mereka berdua bersikap hormat juga dan menyatakan siap mendengar.
Ternyata nasehat Yo Ciong-wan singkat saja dan terdengar agak aneh, "Berhubung yang kalian hadapi adalah sebuah komplotan yang berbahaya, bahkan dalam komplotan itu terlibat pula orang-orang semacam Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang ilmunya lebih tinggi dari kalian, maka aku ingin berkata satu hal kepada kalian. Jika kalian menemui bahaya, lebih baik kalian tidak usah memaksakan diri untuk menerjang bahaya, supaya nasib kalian tidak usah menjadi seperti Giok-seng To-jin dan Kiongwan Hok. Lebih baik cepat-cepat pulang ke Hoa-san dan kita akan bersama-sama mencari jalan lain yang lebih aman. Paham?"
Sebun Him dan ayahnya tercengang mendengar nasehat itu. Nasehat apa-apaan ini? Bukankah tadi di aula itu Yo Ciong-wan juga bicara panjang lebar agar "maju terus pantang mundur" atau "siap korbankan nyawa untuk kehormatan Hoa-san-pay'!? Kenapa sekarang malah menganjurkan sikap yang begitu lembek dan mengecilkan semangat? "Kalau ketemu bahaya terus pulang saja ka Hoa-san"?
Yo Ciong-wan agaknya dapat menangkap rasa heran yang terpancar dari wajah ayah dan anak itu, maka sambil tertawa kikuk ia buru-buru memperbaiki ucapannya tadi, "Maksudku.. maksudku bukan mengajari kalian menjadi pengecut-pengecut yang tidak berani menghadapi kesulitan betapapun kecilnya, tapi hanya menyuruh kalian bertindak amat berhati-hati, sebab aku menguatirkan kalian. Aku merasa bahwa komplotan yang melenyapkan Giok-seng dan membuat gila Kiongwan Hok itu kini pasti akan mengincar kepada kalian...”
Demikianlah, bukannya membuat semangat Sebun Siang dan Sebun Him bertambah berkobar, tapi Yo Ciong-wan malah berusaha menakut-nakuti atau membuat ciut hati ayah dan anak itu. Ayah dan anak itu memang tergetar juga hatinya kalau mengingat nasib Giok-serig Tojin yang hilang tak tentu rimbanya itu, namun mereka sudah bertekad untuk menjalankan tugas dipundak mereka sebaik-baiknya demi kejayaan Hoa-san-pay. Maka Sebun Siang menjawab, "Terima-kasih atas segala petunjuk-petunjuk susiok. Kami akan bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak mengalami nasib seburuk itu."
"Jadi kalian bertekad untuk maju terus?" tanya Yo Ciong-wan.
"Benar, susiok, tugas perguruan tidak dapat dielakkan dan kamipun rela menerima semua akibatnya demi keharuman nama Hoa-san-pay."
Yo Ciong-wan pura-pura menarik napas panjang. "Ah, keharuman nama? Berapa banyak nyawa berkorban sia-sia hanya untuk yang disebut keharuman nama? Kalau seseorang hilang lenyap tanpa jejak, dan seorang lagi menjadi gila, apakah itu mengharumkan nama Hoa-san-pay? Sungguh sayang. Sebun Siang, kau dan puteramu adalah orang-orang berbakat dalam perguruan kita, kini rasanya aku tidak akan bertemu dengan kalian lagi, seolah kalian sedang masuk ke dalam kegelapan yang tanpa batas dan kita sama-sama tidak tahu ada apa di balik kegelapan itu. Firasat orang tua seperti aku ini sering cengeng kedengarannya, tapi sering juga menjadi kenyataan...."
Sebun Siang dan Sebun Him semakin tidak sabar mendengar ocehan Yo Ciong-wan yang bukannya membangkitkan semangat tapi malahan meruntuhkannya itu. Sebun Him yang masih muda dan berwatak keras itu segera berkata, "Susiok, andaikata kami pikul tugas dari Ciang-bunjin ini. Tindakan Ciangbunjin itu kami anggap tepat, sebab tanpa kita berusaha membikin jelas persoalannya, maka kita memang hanya akan berputar-putar dalam kebingungan sementara orang lain mempermainkan kita dengan permainan hantu-hantuan dan sebagainya. Hoa-san-pay akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia, bukan lagi sebuah perguruan yang berwibawa dan dihormati orang. Inginkah susiok melihat Hoa-san-pay seperti itu?"
Wajah Yo Ciong-wan berubah sekejap, daiam hatinya ia memaki-maki anak muda itu. Tahulah ia bahwa usahanya untuk menggertak dan menakut-nakuti ayah dan anak itu agaknya kurang berhasil. Maka Yo Ciong-wan-pun tidak berusaha merintanginya lagi, setelah diucapkannya beberapa kata-kata perpisahan yang nadanya seperti hendak berpisah selama-lamanya, maka iapun naik kembali ke gunung.
Dari atas gunung, orangtua sesepuh Hoa-san-pay itu sempat menengok ke arah tubuh kedua ayah dan anak yang semakin lama terlihat semakin kecil itu. Yo Ciong-wan tertawa dingin dan bergumam sendirian, "Huh, tidak tahu diri. Ada bahaya maut di depan mata kalian terjang saja, bukan salahku kalau kalian kelak kehilangan kepala kalian. Kalian kira dengan ilmu kalian itu sudah cukup untuk mencoba menentang dan menyelidiki Kui-kiong? Kalian tidak lebih hanya mencari mati saja. Semangat yang tinggi saja tidak cukup untuk menyelamatkan kalian."
Waktu itu, semangat Sebun Him memang sedang berkobar sehebat-hebatnya, ia merasa tugas yang terbaban dipundaknya kali itu adalah kesempatan baginya untuk mengangkat nama, membuat nama besar sebagai kebanggaan pribadinya. selama ini, rekan-rekan seperguruan dan orang-orang dl sekitar Hoa-san telah memberi Julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) kepadanya. Meskipun Julukan itu diucapakan setengah bergurau.
Namun lama-kelamaan Sebun Him bangga juga dengan Julukan itu, dan ia bertekad akan mentenarkan Julukannya sendiri itu, sampai sejajar dengan Julukan-julukan yang sudah terkenal dirimba persilatan lainnya. Ia mendengar kabar angin bahwa di kalangan anakmuda telah muncul sepasang anak muda yang menggetarkan dengan sebutan "Pak-liong" (Naga dari Utara).
Dan "Lam-hou" (Harimau dari Selatan), dan Sebun Him amat berharap suatu saat nanya akan disebut sejajar dengan nama-nama besar itu. Kehausan akan nama besar dan ketenaran itulah yang mendorong Sebun Him melangkah meninggalkan gunung Hoa-san dengan semangat menyala.
Ketika matahari turun ke cakrawala barat, maka ayah dan anak itu sudah berjalan cukup Jauh meninggalkan gunung Hoa-san. Kini mereka berada di sebuah jalan panjang yang amat sepi. Di kiri kanan jalan hanya ada hutan-hutan atau tebing-tebing batu. Hampir saja Sebun Him bertanya kepada ayahnya dimana ia akan menginap, namun kemudian dibatalkannya pertanyaannya itu karena malu sendiri. Seorang petualang dapat tidur di mana saja, ia tidak memanjakan tubuhnya, begitu ia pernah mendengar cerita orang. Karena itu Sebun Him bertekad sanggup tidur di manapun juga malam itu.
Namun di saat ayah dan anak itu hampir saja untuk memutuskan tidur di atas pohon, tiba-tiba di kejauhan kelihatan sehelai kain dicantelkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di tanah. Di atas helai kain itu tergores huruf-huruf tebal sederhana yang menarik para pejalan kaki, ketiga huruf itu berbunyi Makan, Minum dan Penginapan.
"Ayah, lihat!" seru Sebun Him kegirangan sambil menunjuk ke tulisan itu. Meskipun ia tidak gentar tidur di pohon sambil menahan lapar semalam suntuk, namun kalau ada makanan yang hangat dan tempat tidur yang empuk, apa salahnya?
Ayahnya tersenyum saja, karena sebenarnya diapun sudah ingin beristirahat menghilangkan dahaga. Maka langkahnyapun ditujukan ke tempat itu. Tempat itu agaknya didirikan terlalu tergesa-gesa, mungkin belum sampai satu hari. Bambu-bambu yang ditancapkan ke tanah kelihatan masih baru, bangku-bangku dan mejanya juga masih baru, dan yang disebut "penginapan" itu hanyalah sederetan gubuk-gubuk yang agaknya masih baru pula. Memang jauh dari memadai, namun cukup kalau hanya untuk berteduh semalam bagi para pengelana, paling tidak bisa menahan angin dan hujan sehingga tidak kedinginan.
Ketika melihat ayah dan anak itu melangkah mendekat, si pengusaha warung itu menyambut sambil menyeringai seramah mungkin. Mulutnya segera menyerocos menyebutkan sederetan nama makanan-makanan yang ada di warungnya. Dikatakannya juga bahwa warungnya itu menyediakan penginapan pula dengan tarip yang amat murah. Kebetulan warung itu memang sedang sepi ketika Sebun Siang dan puteranya masuk ke situ, hanya ada mereka sendiri, yang langsung menduduki dua buah bangku kayu kasar.
"Makan apa, tuan-tuan?" tanya si pengusaha warung dan lagi-lagi ia menyeringai mempertontonkan giginya yang coklat.
"Untuk sementara ini dulu cukup," kata Sebun Siang sambil mengambil sebuah roti bundar berwarna kekuning-kuningan yang terletak di atas sebuah piring di meja. "Sediakan saja minuman. Teh."
"Baik, tuan," sahut sl pengusaha warung sambil bergegas pergi. Sebun Siang dan anaknya tidak melihat ketika tiba di bagian belakang warung itu maka si pengusaha warung melepaskan kain lap yang selalu tersampir di pundaknya, dan kemudian mengibarkannya tiga kali ke suatu arah. Barangkali hanya dia sendiri yarig mengerti arti dari perbuatannya itu.
Setelah berbuat demikian, pengusaha itupun balik ke depan dengan membawa nampan dengan poci dan cawan-cawan teh di atasnya. Wajahnya tetap saja ramah-tamah, bahkan ia menawarkan untuk menginap di "penginapan"nya dengan sewa yang sangat murah.
"Lebih baik tidur di gubukku malam ini, tuan, daripada kemalaman di tengah Jalan dan tidur di atas pohon," kata pemilik warung itu.
Sebun Siang akhirnya menyetujuinya juga, apalagi karena anaknya ikut mendesak pula. Si pengusaha warung itu nampak gembira dan berkata ia akan membersihkan satu kamar untuk ayah dan anak itu. Tengah ayah dan anak itu dengan lahapnya menggigit roti bundar yang cukup harum itu, diselingi dengan teh hangat yang membuat perut terasa nyaman, maka di warung itu kedatangan pula dua orang tamu.
Keduanya adalah seorang tua dan seorang muda pula, sebaya dengan Sebun Siang dan Sebun Him, dan membawa senjata pula yang tua membawa pedang, yang muda membawa senjata yang disebut Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala), sejenis toya yang salah satu ujungnya dihias dengan gerigi-gerigi tajam yang mirip dengan taring serigala, sehingga senjata itu disebut demikian. Yang membawa pedang itu ternyata memiliki sepasang mata yang mengerikan, merah menyala seolah memancarkan api.
Baik Sebun Siang maupun anak laki-lakinya dalam pandangan pertama saja langsung menyadari bahwa orangtua itu bukan orang sembarangan. Namun mereka tidak merasa heran, sebab di dunia ini toh banyak orang berilmu tinggi yang berkeliaran di mana-mana, apa anehnya kalau salah seorang dari mereka kebetulan lewat dan mampir di warung kecil ini?
Kedua orang itu mengambil tempat di sebelah barat dari Sebun Siang dan Sebun Him, lalu keduanyapun makan minum tanpa berkata-kata sepatahpun. Tak lama kemudian, datang lagi seorang tamu. Kali ini seorang pendeta Buddha bertubuh tegap dan tangannya menjinjing sebatang toya dari besi yang di tangannya nampak ringan sekali. Langkah-langkahnya mantap, dan lagi-lagi Sebun Siang menebak bahwa pendeta inipun seorang yang berilmu tinggi.
Yang aneh adalah pakaian pendeta ini. Biasanya rahib-rahib Buddha berpakaian sederhana, namun pendeta yang ini justru berpakaian amat mewah. Jubah kuningnya adalah kain satin persis yang tidak terbeli oleh sembarangan orang, tasbih yang melingkari lehernya butiran-butiran hitam yang harga setiap bijinya saja amat mahal, apalagi dalam jumlah banyak yang dirangkai menjadi seuntai tasbeh macam itu.
Sedangkan kedua tangannya, terutama jari-jarinya, dipenuhi dengan cincin-cincin beraneka ragam bentuknya dengan intan berlian sebagai mata-cincinnya. Sungguh apa yang ada di tubuh hweshio itu menjadikan para perampok menelan liur, namun toya besi serta sikap garang hweshio itu membuat para perampok hanya berani sekedar menelan air liurnya. Hweshio ini duduk di sebelah timur dari Sebun Siang dan puteranya.
"Suatu kebetulan yang kedua," desis Sebun Slang dalam hati, namun ia sedikitpun belum mempunyai kecurigaan apa-apa terhadap kehadiran orang-orang itu yang berturut-turut. Warung itu adalah sebuah tempat umum, dan suatu hal yang wajar kalau warung itu banyak dikunjungi orang, apalagi saat itu sudah hampir malam sehingga para pengembara tentu membutuhkan tempat penginapan.
Ketika selesai makan minum, Sebun Siang segera memasuki kamar yang akan digunakannya untuk menginap. Ruangan itu terletak dibagian belakang dari warung Itu, terpisah sebidang tanah yang tadinya kelihatannya berilalang namun dibersihkan dengan tergesa-gesa. Kamar itu sendiri terbuat dari papan-papan kayu yang kuat, dengan pintu yang kuat pula, dan dua buah pembaringan kayu yang kasar.
Begitu masuk, terdorong oleh rasa lelahnya setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, maka ayah dan anak itu pun segera membaringkan tubuhnya masing masing dengan santainya. Meskipun usia Sebun Siang hampir setengah abad, namun ia jarang sekali meninggalkan Hoa-san-pay, sehingga dalam hal pengalaman dunia petualangan ia mirip dengan seorang yang masih hijau sama sekali. Apalagi Sebun Him yang turun gunungpun baru kali ini.
Andaikata saja mereka sedikit cermat, mereka tentu akan merasakan banyak kejanggalan di warung yang terpencil itu. Semua bangunannya yang serba baru dan nampaknya dibangun secara tergesa-gesa, dan jika bangunan itu terpencil lalu dariraana warung itu mendapatkan bahan-bahan mentahnya?
Sesunguhnya ayah dan anak itu sudah masuk dalam sebuah perangkap, sebab ada pihak tertentu yang merasa tidak senang apabila Hoa-san-pay mengirimkan orang-orangnya untuk menyelidiki ke sana kemari. Dan pihak yang tidak senang itu sudah memutuskan bahwa setiap usaha penyelidikan untuk membongkar rahasia komplotan mereka harus ditumpas habis.
Ketika malam mulai turun dan dari kamar ayah dan anak itu sudah terdengar dengkuran keras, maka pemilik warung itupun mendekati tamu-tamunya yang masih duduk di warungnya itu, dan berkata sambil tertawa, "Rasanya kita tidak perlu mengeluarkan keringat setetespun. Kedua kelinci gemuk itu sudah berada dalam perangkap dan kita tinggal membantainya."
Orang tua yang matanya bercahaya seperti bara api itu menoleh kepada si hweshio berpakaian mewah, dan bertanya, "Bagaimana' pendapat Sin-bok Hweshio?"
Hweshio berpakaian mewah yang bernama Sin-bok Hweshio itu menyahut, "Kalau semuanya berlangsung tanpa susah-payah, kenapa harus membuang tenaga untuk bertempur segala? Kita bakar saja kamarnya dari luar, biar mereka menjadi daging bakar, dan kalau mereka berhasil menerobos keluar, nah, baru kita bersusah payah sedikit untuk menggorok mereka. Bukankah begitu saudara Lamkiong?"
Para tetamu di warung itu memang bukan lain adalah orang-orang berhati hitam yang pernah dikalahkan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di gunung Tiam-Jong-san dulu. Si Hweshio adalah rahib murtad dari kuil Jing-liang-si di Ngo-tay-san, bernama Sin-bok Hweshio, meskipun masih memakai nama agama dan masih berpakaian seperti Hweshio, tapi kelakuannya sudah tidak mencerminkan agamanya sedikitpun.
Bahkan belakangan ini la sudah bergabung dengan Kui-kiong di bawah pimpinan Te-liong Hiangcu, sebuah komplotan rahasia dunia persilatan yang berambisi menguasai dunia persilatan, dan Te-liong Hlangcu sendiri selalu bermimpi untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Umum Dunia Persilatan) yang kekuasaannya meliputi ribuan jago-Jago silat seluruh Tionggoan. Suatu kekuasaan yang amat besar, yang jika dibelokkan sedikit saja akan sanggup mengguncangkan pemerintah Kerajaan.
Sedangkan orangtua yang matanya seperti bara api itu adalah sahabat karib si hweshio gadungan, yaitu Lamkiong Siang yang lebih dikenal dengan Julukannya sebagai Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api). Ia punya tiga murid yang disebut Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala dari Kun-lun), tapi dua di antara murid-muridnya sudah tewas di tangan Tong Lam-hou dan yang sekarang berjalan bersamanya itu adalah satu-satunya muridnya yang masih hidup.
Namanya Mo Wan-seng dan Julukannya cukup seram, Tat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), namun nyalinya sekecil nyali tikus sehingga julukan seramnya itu hanya berguna untuk menakut-nakuti kaum keroco. Guru dan murid itupun sudah bergabuhg dengan Kui-kiongnya Te-liong Hiangcu.
Sedang si pemilik warung itupun bukan orang sembarangan. Dia orang Kui-kiong juga, namun dulunya bekas orang golongan hitam bernama Leng Hok-hou dan berjulukan Kiu-bwe-coa (Si Ular Berekor Sembilan). Baik ilmu silatnya maupun kedudukannya dalam Kui-kiong, dia lebih tinggi dari Sin-bok Hweshio maupun Lamkiong Siang, meskipun tampangnya sama sekali tidak berarti dan tidak seram sedikitpun.
Begitulah, keempat orang anak buah Te-liong Hiangcu itu sudah siap menjalankan tugasnya, membantai Sebun Siang ayah beranak. Kata Kiu-bwe-coa Leng Hok hou, "Kalian jaga sekeliling kamarnya, aku akan membakar kamarnya. Mudah-mudahan itu sudah cukup memampuskan mereka. Tapi kalau belum mampus juga, adalah tugas kalian untuk membereskan mereka. Paham?"
"Sangat paham," sahut Lamkiong Siang sambil menghunus pedangnya.
Sementara itu, Sebun Siang dan anaknya yang tengah terlelap itu tiba-tiba merasa ruangan itu menjadi sesak dengan asap, dan hawa udara dalam kamar pun terasa semakin lama semakin panas. Dengan kaget Sebun Siang meloncat bangur dari pembaringannya sambil berteriak, "Celaka, A-him, kamar kita terbakar!"
Memang tidur Sebun Him juga sudah gelisah, maka ketika mendengar teriakan itu diapun meloncat bangun sambil menyambar pedangnya. Ruangan sudah penuh dengan asap sehingga mereka merasa mata menjadi pedas dan pernapa-sanpun sesak. Dinding sudah menyala di empat penjuru, dan menilik begitu mudahnya dinding kayu yang tebal-tebal itu menyala, agaknya ruangan itu memang sudah dipersiapkan untuk dibakar.
Sesaat ayah dan anak itu hanya terbatuk-batuk sambil kebingungan dalam kamar yang makin sesak itu, baru kemudian Sebun Siang berteriak, "A-him, terjang keluar!"
"Pintunya dipalang dari luar, ayah. Dengan palang yang cukup besar dan aku tidak sangup mematahkannya!"
"Jebol dindingnya!"
"Dinding itupun amat kuat, meskipun hanya terbuat dari kayu-kayu kasar!"
“Gila!" teriak Sebun Siang hampir putus-asa. "Apakah kita berdua harus menjadi daging panggang pada saat permulaan dari tugas penyelidikan kita?!"
Saat itulah tiba-tiba Sebun Him menemukan jalan keluar. Dilihatnya atap ruangan itu hanya terbuat dari ijuk dan papan yang tidak seberapa kuat agaknya di sinilah kelemahannya, maka Sebun Him memutuskan untuk menerjang keluar lewat atap itu meskipun atap itupun sudah menyala pula.
"Ayah, kita loncat ke atas untuk menjebol atap! Biar aku meloncat lebih dulu untuk menjaga di luar " teriak Sebun Him.
"Jangan, A-him, atap itu sudah menyala..."
"Tidak ada jalan lain, ayah, daripada kita terbakar hidup-hidup dalam ruangan keparat ini!"
Lalu tanpa menunggu persetujuan ayahnya lagi, tubuh Sebun Him yang besar dan tegap itu telah melayang ke atas sambil membolang-balingkan pedangnya dengan tangan kirinya. Atap gubuk itu ternyata memang tidak cukup kuat untuk menahan terjangan pemuda Hoa-san-pay itu, sehingga tubuh Sebun Him berhasil menerobos keluar meskipun ujung-ujung pakaiannya terbakar. Pecahan papan kayu maupun ijuk yang terbakar itupun beterbangan ke segala arah seperti kembang api.
Di luar gubuk, sudah menunggu orang-orangnya Te-liong Hiangcu yang siap untuk turun tangan. Begitu melihat Sebun Him muncul, yang lebih dulu menyambut adalah Tiat-ge-long Mo Wan-seng yang ingin berjasa bagi Kui-kiong itu. Toya long-ge-pangnya segera diayun ke pinggang Sebun Him dengan gerakan Ceng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan). Dengan gegabah Mo Wan-seng menganggap bahwa Sebun Him yang tampak masih muda itu tentu ilmunya tidak seberapa tinggi dan dengan mudah pinggangnya akan dapat dihantam patah.
Tak terduga Sebun Him tengah marah karena kelicikan orang-orang yang berusaha membakar ia dan ayahnya itu, maka dengan pedangnya yang berukuran lebih besar dan lebih tebal dari pedang-pedang biasa itu ia menangkis long-ge-pang musuhnya dengan keras lawan keras. Suatu gaya tangkisan yang andaikata dilihat oleh paman gurunya Auyang Seng pasti akan dikecam pedas. Tapi saat itu Sebun Him sedang marah besar dan la lupa "bagaimana seorang seniman pedang harus menangkis" seperti ajaran paman gurunya.
Pedang dan toya long-ge-pang berbenturan keras lawan keras, dan Mo Wan-seng terkejut ketika merasa tangannya tergetar hebat oleh tenaga lawan yang luar biasa. Tidak percuma Sebun Him dijuluki "Se-him" (Beruang dari Barat) oleh teman-teman seperguruannya, meskipun sudah barang tentu ia belum dapat disejajarkan dengan Pak-liong ataupun Lam-hou.
Terdengar Sebun Him membentak menggelegar, "Bangsat licik yang suka main bakar, inilah hari ajalmu" Tanpa menarik pedangnya dan sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada Tiat-ge-long Mo Wan-seng untuk menguatkan kedudukannya, maka Sebun Him langsung menggerakkan pedangnya dengan gerakan Sun-sui-tui-cou (menolak perahu mengikut aliran sungai). Pedangnya begitu membentur toya lawan langsung saja "menyusur" sepanjang toya lawan dan menikam ke depan.
Terdengar si Serigala Bertaring Besi itu menjerit kesakitan karena kesepuluh Jari-Jari tangannya yang menggenggam toya long-ge-pang itu telah terpapas putus oleh pedang Sebun Him. Dan sesaat kemudian jerit kesakitan itu berubah jadi jerit kematian karena ujung pedang Sebun Him tanpa ampun meluncur terus ke depan dan amblas telak di ulu hati Mo Wan-seng. Begitulah, dalam kemarahannya ternyata Sebun Him telah berhasil membunuh sisa terakhir dari Kun-lun-sam-iong itu hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Sementara itu, dari atap gubuk yang terbakar itu kembali muncul seseorang yang di beberapa bagian pakaiannya ada nyala apinya. Dialah Sebun Siang yang telah meloncat keluar pula karena menguatirkan keselamatan anak laki-lakinya yng sudah keluar lebih dulu. Dengan sekali berguling di embun malam yang melekat di rerumputan, padanlah api yang membakar pakaiannya itu. Untunglah api itu belum sampai mengenai kulitnya sehingga melepuh.
Begitu menginjakkan kaki di luar gubuk ia segera berteriak, "A-him, tidak apa-apakah kau?"
Sebun Him yang tengah menikmati kemenangan pertamanya atas musuh-musuhnya itupun segera menjawab lantang, "Aku tidak apa-apa, ayah. Malahan baru saja kubereskan seorang cecungkuk, dan cecunguk-cecunguk lainnya pun akan segera kita bereskan, ayah!"
Yang paling marah melihat keadaan itu adalah Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang. Muridnya yang tinggal satu itu terbunuh mampus di depan hidungnya, dan terbunuhnyapun tanpa melalui sebuah pertempuran yang seru melainkan hanya dalam beberapa gebrakan, oleh seorang muda yang umurnya agaknya lebih muda dari muridnya. Maka dihunusnya pedangnya dan iapun menerjang ke arah Sebun Him sambil berteriak,
"Membunuh murid di hadapan gurunya secara terang-terangan adalah suatu penghinaan yang harus ditebus dengan nyawa pula. Bangsat kecil, aku ingin nyawamu!"
Sebun Him yang tengah berbesar hati dan bersemangat tinggi karena kemenangan pertamanya tadi, menyongsong Lamkiong Siang dengan beraninya, sambil menyahut, "Dan aku juga ingin nyawa keroposmu, bangsat tua, sebab kau dan teman-temanmu telah berusaha membunuh aku dan ayahku dengan cara yang amat licik!"
Ketika ujung pedang Lamkiong Siang mengancam tenggorokannya, maka dengan tangkas Sebun Him melangkah kesamping sambil membabatkan pedangnya ke lambung musuh. Dan ketika Lamkiong Siang mengubah serangannya dengan gerakan tangkisan Tay-peng-tian-ci (Garuda Mem buka Sayap), maka Sebun Him menambahkan tenaga kepada lengannya dengan harapan pedang lawan akan terbentur sehingga lepas dari tangannya.
Meskipun Sebun Him sudah menerima banyak petunjuk dari paman-gurunya, Auyang Seng, agar dalam permainanan pedang tidak terlalu mengandalkan tenaganya seperti dalam permaianan golok, tapi kadang-kadang Sebun Him masih terbawa oleh ke biasaan lamanya. Begitu pula kali ini kedua batang pedang berbenturan keras sehingga memercikkan bunga api Tangan Lamkiong Siang tergetar dan di terkejut akan kekuatan musuhnya yang masih muda itu.
Namun yang lebih terkejut lagi adalah Sebun Him. Telapak tangan kirinya yang menggenggam pedang itu tersengat oleh rasa pedih yang hampir saja membuat pedangnya terlempar lepas dari genggaman, sadarlah la bahwa si Serigala Tua Bermata Api ini tidak bisa disamakan dengan muridnya yang tidak becus tadi. Cepat Sebun Hlm meloncat mundur untuk mendapat kesempatan memperbaiki pegangannya atas tangkai pedangnya. Diam-diam ia memperingatkan diri sendiri bahwa menghadapi orangtua bermata seperti bara ini ia harus lebih berhati-hati.
Tak lama kemudian berkobarlah kembali pertarungan antara Lamkiong Siang yang marah karena kehilangan murid, melawan Sebun Him yang tengah mabuk kemenangan dan sedang haus akan nama besar sejajar dengan Naga Utara dan Harimau Selatan itu. Pertarungan antara seorang pembunuh bayaran yang pernah bekerja untuk pihak manapun juga asal taripnya cocok, melawan seorang tunas muda berbakat dari Hoa-san-pay yang dikemudian hari diharapkan bisa menjunjung tinggi nama perguruannya.
Lam-klong Siang dengan pengalaman dan ilmunyapun lebih tinggi beberapa lapis, namun ia harus tetap berhati-hati menghadapi musuhnya yang jauh lebih muda dan memainkan pedang dengan tangan kiri itu. Seorang kidal memang membutuhkan perhitungan tersendiri, sebab banyak gerakannya yang merupakan kebalikan dari gerak orang-orang bukan kidal.
Sebun Siang tidak tinggal diam membiarkan anaknya bertempur sendiri. Diapun telah terlibat pertempuran melawan dua orang sekaligus, yaitu Sin-bpk Hweshio dari Ngo-tay-san yang mengamuk dengan toya besinya bagaikan dewa Locia mengaduk samudera, yang dibantu oleh Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dengan pecutnya yang berjuntai sembilan helai itu. Senjata pecut berjuntai sembilan itu agaknya yang membuatnya mendapat julukkan Ular Berekor Sembilan. Dan ternyata juntai pecutnya yang banyak itu bukan sekedar untuk gagah-gagahan melainkan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kini Sebun Siang harus menghadapi dua orang lawan yang bertolak-belakang dalam gaya permalanan silatnya. Sin-bok Hweshio dengan toya besinya bergaya keras, cepat dan langsung, tongkat panjangnya menderu-deru seperti gelombang menghantam pantai. Sedang Leng Hok-hou dengan pecut berekor sembilannya bermain dengan lemas tapi sangat berbahaya. Ujung-ujung cambuknya seperti sembilan ekor ular berbisa yang menari-nari dan mematuk dengan patukan-patukan mautnya.
Sebun Slang menilai bahwa si "pemilik warung" itu lebih berbahaya daripada Sin-bok Hweshio, dan sesungguhnya memang demikian. Gerakan toya besi Sin-bok Hweshio yang bagaimanapun kencangnya masih bisa terlihat dan diduga arahnya, namun kesembilan Juntai cambuk yang meliuk-liuk dan menyambar dari segala arah itu benar-benar sulit dijaga ataupun ditangkis.
Menangkispun harus hati-hati, sebab kadang-kadang juntai-juntai cambuk itu malahan membelit ke batang pedang yang tentunya akan mengganggu gerakan pedang selanjutnya. Maka kemudian Sebun Siang memutuskan untuk bertahan lebih dulu sambil menghemat tenaganya, dan untuk membalas menyerang ia harus menunggu sampai lawan-lawannya membuat kesalahan-kesalahan langkah. Untunglah sendiri bahwa Sebun Siang adalah murid angkatan kedua dari Hoa-san-pay yang ilmu pedangnya maupun tenaga dalamnya tidak rendah.
Meskipun la tidak setenar adik seperguruannya, Gin-hoa-kiam Auyang Seng, namun ia merupakan seorang pendekar tangguh pula. Dengan sikap bertahan yang serapat-rapatnya, maka pertahanannya benar-benar sulit ditembus oleh kedua lawannya meskipun Sebun Siang sendiripun jarang menyerang. Hal Itu membuat Sin-bok Hwe-shio dan Leng Hok-hou mengumpat-umpat tak habis-habisnya, mereka mempergencar serangan mereka namun Sebun Siang mengimbanginya dengan memperkokoh pertahanannya.
"Gila! Gila! Beginikah mutu para pendekar dari Hoa-san-pay?" teriak Sln-bok Hweshio penasaran. "Hanya berani menyembunyikan kepalanya seperti kura kura?!"
Tapi Sebun Siang tidak terbakar hatinya dan ia tetap bertempur dengan caranya sendiri. Barangkali perhitungan Sebun Siang akan memenangkan pertempuran itu adalah perhitungan yang tepat apabila di situ tidak ada Sebun Him, anaknya. Sebun Siang sendiri akan dapat bertahan rapat-rapat dan kemudi akan balik memukul pada saat yang tepat, namun adanya Sebun Him di tempat itu telah mengganggu semua rencana yang tersusun itu.
Sebun Him yang masih muda itu ternyata tidak sangup mengimbangi Lamkiong Siang yang berilmu tinggi dan lebih banyak pengalamannya itu. Melulu mengandalkan tenaganya saja, ternyata Sebun Him tidak bisa berbuat banyak, ia terdesak terus-menerus, dipaksa untuk seialu menangkis, mengelak, meloncat atau berguling-guling di bawah sambaran-sambaran pedang lawannya yang marah. Ada juga kesempatan balas menyerang beberapa kali, tapi serangannya selalu dapat dipunahkan oleh Lamkiong Siang dan ia balik ditekan untuk bertahan saja.
Namun sebagai anak muda berwatak angkuh, Sebun Him tidak berusaha untuk berteriak minta tolong kepada ayahnya, la malu jika itu didengar oleh musuh-musuhnya. Ia juga malu kepada diri sendiri. Bukankah ia dengan bangga sudah menerima Julukan "se him" dari teman-temannya? Dari malu berubah menjadi nekad, maka Sebun Him tidak peduli lagi keselamatan dirinya dan ia pun bertekad untuk berkelahi mengadu nyawa. Kenekadannya inilah yang memaksa Lamkiong Siang harus lebih berhati-hati.
Keadaan Sebun Him yang sulit itulah yang membuat ayahnya merasa tidak tenteram, dan ketika perhatiannya sedikit bercabang itulah maka cambuk Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou berhasil menghajar punggungnya. Membuat pakaiannya robek dan bahkan di kulit punggungnya muncul sembilan jalur merah biru yang terasa pedih dan panas.
"Setan!" teriak Sebun Siang marah.
Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou tertawa mengejek berbareng. Kata Sin-bok Hweshio, "Ha-ha-ha, kau sudah seperti tikus kecemplung air, sebentar lagi bukan hanya cambuk saudara Leng yang bakal kau nikmati, tapi toya besiku inipun akan berkenalan dengan tengkorak kepalamu!"
Berantakanlah pertahanan rapat Sebun Siang karena kemarahannya mulai terpancing. Dengan pedangnya ia menyerang semakin hebat, namun serangannya itu hanya membuka peluang bagi musuh-musuhnya saja. Kalau ia menyerang Sin-bok Hweshio, maka Kiu-bwe-coa Leng Hok hou berhasil melukai dengan cambuknya, sebaliknya kalau ia menerjang ke arah Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou, maka toya besi Sin-bok Hweshio menyambar dengan dahsyatnya dan jika kena bisa membuat rontok tulang-belulangnya.
Demikianlah keadaan ayah dan anak itu bagaikan telur di ujung tanduk. Firasat Yo Ciong-wan yang diutarakannya sebelum ayah dan anak itu meninggalkan Hoa-san, agaknya kini akan menjadi kenyataan.
"A-him, larilah!" teriak Sebun Siang yang sudah luka-luka itu kepada anaknya. Bajunya sudah robek-robek dan kulitnya dipenuhi jalur-jalur biru akibat cambukan Ki-bwe-coa Leng Hok-nou, sementara langkahnyapun sudah pincang karena pahanya tersambar telak oleh toya besi Sin-bok Hweshio dan agaknya tulangnya sudah retak. Namun Sebun Siang masih saja bertempur seperti kesurupan setan dan ia masih saja berteriak,
"A-him, selamatkan dirimu! Demi Hoa-san-pay aku ingin kau selamat! Kita tidak boleh mati semua, salah satu harus hidup untuk membalas dendam!"
Namun Sebun Him yang juga sama kalapnya dengan ayahnya itu mana mau mendengarkan seman untuk menyelamatkan diri sendiri itu. Bahkan dengan mengentakkan gigi ia memperhebat seranganya kepada Lamkiong Siang, dan la pun balas berteriak, "Ayah saja yang pergi! Biar aku yang bertahan di sini!"
Waktu itu boleh dikata tak ada bagian kulit Sebun Siang yang masih utuh, namun pendekar Hoa-san-pay itu masih berkelahi dengan garangnya, membuat kedua lawannya merasa agak ngeri juga. Teriak Sebun Siang, "Aku tidak bisa lari cepat, kakiku sudah luka. Kau saja yang lari, A-him!"
"Ayah saja yang lari. Aku harus bertahan di sini!"
Sebun Siang menjadi habis kesabarannya, "Bangsat kecil, kau berani membangkang perintah ayahmu?! Kalau kau menolak untuk menyelamatkan dirimu sekali lagi, aku akan menggorok leherku di depanmu, tidak peduli apa yang terjadi! Kau ingin menjadi anak durhaka yang membuat marga Sebun kita habis keturunannya?"
Dalam alam pikiran orang-orang Han di daratan Cina, memang tidak ada dosa terhadap leluhur yang lebih besar daripada membikin putus keturunan sehingga tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Karena itulah ancaman ayahnya itu cukup membuat sebun Him mau tidak mau harus mempertimbangkannya. Ia tidak mau dikutuk arwah leluhurnya sebagai anak yang tidak dapat melanjutkan keturunan.
"Cepat lari, tunggu apa lagi?!" teriak Sebun Siang sambil terhuyung, sebab sekali lagi sebuah cambukan keras dar! Kiu-bwe-coa Leng Hok-bou menghajar dadanya. "Cepat lari! Kau ingin membuat ayahmu mati sia-sia di sini?!"
Apa boleh buat, Sebun Him terpaksa menuruti kata ayahnya itu. Tapi matanya menjadi basah juga, ia tahu bahwa sekali ia melangkah pergi dari tempat, itu maka berarti itulah saat terakhir ia melihat ayahnya dalam keadaan hidup. Namun sisa-sisa kesadarannya masih memperingatkan juga bahwa itu adalah jalan satu-satunya yang meskipun terasa amat pahit tapi merupakan jalan yang terbaik. Lebih baik ada satu orang lolos daripada dua-duanya tertumpas ditempat itu.
Karena itu, sebelum meloncat pergi, Sebun Him masih sempat berteriak dengan suara.parau, "Ayah, kalau kelak aku tidak mencincang bangsat-bangsat ini, aku adalah binatang yang paling rendah."
"Bagus, anakku, pergilah!" teriak Sebun Siang dengan suara terharu pula, karena apa yang dirasakannya adalah sama dengan apa yang dirasakan oleh anaknya. Lalu dilampiaskannya perasaannya dengan gerakan-gerakan pedangnya yang semakin gencar dan nekad.
Tapi bagi Sebun Him sendiri sesungguhnya tidak gampang untuk melarikan diri seperti anjuran ayahnya itu, sebab Lamkiong Siang sudah bertekad untuk membunuh anakmuda itu. Bukan saja karena tugas dari Te-liong Hiangcu memerintahkan demikian, tapi Juga karena ia ingin membalaskan sakit hati muridnya, karena itu ia tidak akan membiarkan Sebun Him lolos begitu saja, katanya mengejek,
"Kalian ayah dan anak tidak usah kuatir, kami akan terbaik hati untuk menolong kalian agar kalian bisa berkumpul bersama di akherat!"
Baru saja mulutnya terkatup, tiba-tiba Sebun Siang telah meloncat ke arahnya dengan meninggalkan kedua orang musuhnya. Tidak peduli bagian belakang punggungnya tersabet cambuk Leng Hok-hou, tapi Sebun Siang sudah bertekad membunuh atau setidak-tidaknya melukai lawan dari anaknya itu agar anaknya mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Lamkiong Siang terkejut ketika melihat sebatang pedang berkilauan ke arah lehernya, padahal la sedang sibuk meladeni amukan Sebun Him. Maka cepat-cepat ia membantingkan tubuhnya dengan gerak Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan), namun tak urung pedang Sebun Siang menyerempet pundaknya sehingga Lamkiong Siang berteriak kesakitan.
Hampir bersamaan waktunya, Sebun Siang sendiripun berteriak kesakitan karena toya Sin-bok Hweshio juga berhasil menghantam punggungnya secara telak, sehingga pendekar Hoa-san-pay memuntahkan segumpal darah sambil terhuyung-huyung ke depan. Namun dengan mengeraskan kepala Sebun Siang telah berdiri tegak kembali dengan pedang melintang didepan dada, sambil berseru, "Cepat, A-him!"
Sebun Him tahu bahwa kesempatan sebaik itu tak mungkin berulang lagi, apa boleh buat, dengan mengeraskan hati dan menahan keluarnya air matanya ia meloncat pergi ke rumpun pepohonan yang gelap karena cahaya api dari gubuk yang terbakar tidak mencapai tempat itu. Ia masih berteriak sekali lagi, "Kelak aku akan membuat perhitungan untuk semuanya ini, ayah!"
Melihat anaknya berhasil meloloskan diri, semangat Sebun Siang berkobar hebat. Keselamatan dirinya sendiri sudah tidak dikuatirkan lagi. Ketika melihat Lamkiong Siang hendak mengejar anaknya, maka Sebun Siang pun mengejar Lamkiong Siang dengan kalapnya, memaksa orangtua dari Kun-lun-san yang berjulukan Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) itu harus membalik tubuh dan terpaksa bertahan dari amukan si pendekar Hoa-san-pay itu.
Pada suatu ketika Lamkiong Siang menyerang dengan sebuah sabetan pedang ke arah pundak kiri Sebun Siang, dan ternyata lawan sama sekali tidak menghiraukan sabetan itu, bahkan membarenginya dengan sebuah tusukan ke ulu hati Lamkiong Siang.
Alangkah terkejutnya Lamkiong Siang, biarpun dia bernyali besar dan sudah sering melakukan perbuatan-perbuatan kejam, namun diajak adu nyawa seperti itu ia merasa ngeri juga. Sayang keterkejutannya itu membuat segala-galanya terlambat. Ia terlambat menarik pedangnya sehingga pedang itu tetap saja menabas pundak Sebun Siang dengan telak, tapi ulu hatinya sendiripun menembus pedang Sebun Siang.
Demikianlah, Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, itu bukannya berhasil membalaskan sakit hati murid-muridnya, malahan jiwanya sendiri ikut amblas malam itu juga. Berakhirlah riwayat seorang pembunuh bayaran yang sudah banyak mencabut nyawa orang hanya karena upah setahil dua tahil itu.
Sebun Siang membiarkan saja pedang lawan amblas di pundaknya dan tetap terjepit di situ ketika si pemilik pedang sendiri sudah roboh mampus. Lalu Kebun Siang meloncat menghadang Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hon yang hendak mengejar anaknya itu, sambil membentak, "Sebelum kau kejar anakku, langkahi dulu mayatku!"
Sin-bok Hweshio sudah bertahun-tahun berteman dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, dan la melihat betapa temannya itu mati di tangan Sebun Siang. Karena itu Sin-bok Hweshio menjadi ciut nyalinya. Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri tidak lebih tinggi dari kepandaian temannya itu. Jika temannya itu dapat dibunuh oleh Sebun Siang meskipun dengan jurus nekad-nekadan seperti tadi, maka Sin-bok Hweshio pun tidak yakin dirinya bisa lolos dari maut apabila diajak bertempur cara itu oleh Sebun Siang.
Karena itu, begitu melihat Sebun Siang yang berlumuran darah dan matanya mencorong mengerikan itu menghadang langkahnya, Sin-bok Hweahio dengan licik berkata, "Saudara Leng, kau bereskan dulu orang ini, biar aku ang mengejar anjing cilik satunya itu. Kita bagi-bagi tugas!"
Tak terduga Kiu-bwe-coa Leng Hok-bu juga gentar kepada Sebun Siang yang bertempur tanpa menghiraukan nyawa sendiri itu, maka Leng Hok-hou cepat menjawab, "Tidak. Kau saja yang hadapi yang ini, biar aku yang mengejar. Orang ini sudah luka-luka dan kau tentukan mudah untuk membereskannya!"
Demikianlah keduanya berebutan mencari bagian yang paling aman, sementara bagian yang berbahaya hendak mereka timpakan ke kepala orang lain, padahal bila mereka mau menggunakan otak sedikit saja, tentu tahu bahwa melawan Sebun Siang yang sudah luka-luka seluruh tubuhnya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan kalau melawan Sebun Him yang masih muda, dan sedang dimabuk dendam itu. Memang benar kata pepatah bahwa orang yang paling kejam, biasanya juga orang yang berwatak pengecut!
Baru saja keduanya saling tuding siapa yang akan membereskan Sebun Siang, maka Sebun Siang sendiri tiba-tiba roboh ke tanah. Bagaimanapun keras hatinya dan besar tekadnya, namun luka-luka luar dan dalam yang telah muncul di tubuhnya membuat la tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Apalagi karena ia menduga bahwa anaknya tentu sudah lari jauh dan berhasil menyelamatkan diri, maka semangat tempurnyapun luntur dan ambruklah badannya.
Melihat itu, Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou saling bertukar pandangan sambil menyeringai kecut. Orang yang mereka takuti itu ternyata telah roboh sendiri karena luka-lukanya, membuat mereka agak malu juga karena tadi telah menunjukkan rasa gentar mereka satu sama lain.
"Apakah kita masih sempat mengejar anjing cilik satunya lagi?" Tanya Sin-bok Hweshio.
Klu-bwe-coa Leng Hok-hou nampak bimbang, lalu menyahut, "Sudah agak terlambat. Kita tertahan agak lama di sini oleh Sebun Siang, sehingga bangsat cilik itu tentu sudah lari cukup jauh. Tapi baiklah kita coba cari di sekitar sini, barangkali dapat kita temukan dia."
"Kita jalan bersama-sama atau berpencar?"
Sesaat Leng Hok-hou tidak menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Rasa malunya karena ketakutan kepada Sebun Siang tadi masih belum hilang, dan kini ia menjadi serba susah untuk menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Jika ia menjawab "bersama-sama" maka ia kuatir ditertawakan Sin-bok Hweshio karena dianggap penakut, tapi kalau menjawab "berpencaran" sebenarnya diapun agak takut. Mereka tadi sudah melihat kehebatan Sebun Him, dan untuk menghadapi anak muda seperti itu tentu lebih aman jika berdua daripada seorang diri.
Sin-bok Hweshio yang memang ingin membuat rekannya kehilangan muka dengan pertanyaannya itu, diam-diam mentertawakan dalam hati ketika melihat kebimbangan rekannya itu. Tapi paderi gadungan itu terkejut bukan kepalang ketika mendengar jawaban Leng Hok-hou yang tegas,
"Kita berpencar. Kau ke utara, aku ke selatan. Nanti berkumpul di tempat ini."
Sesaat Sin-bok Hweshio kebingungan harus menjawab bagaimana, sebab sebenarnya dia sendiripun takut kalau disuruh berpencaran. Dalam segala hal dia harus memilih kemungkinan yang paling aman, dan mengejar musuh sendirian dalam hutan yang gelap itu adalah hal yang sangat tidak disukainya. Tapi diapun malu mengutarakan perasaannya, maka akhirnya ia mengeraskan kepala dan berkata,
"Baik, berpencaran-pun baik, memangnya aku takut? Tapi kalau salah satu dari kita menjumpai musuh, kita harus saling memperdengarkan suitan untuk saling membantu." Suaranya dibuat agar kedengaran cukup garang, namun tidak dapat menutupi kegelisahannya.
Dan Leng Hok-hou justru merasa mendapat kesempatan untuk mempermainkan rekan gundulnya itu, "Ah, buat apa saling bersuit segala? Toh buruan kita cuma tikus kecil dari Hoa-san-pay yang tak berarti. Salah seorang dari kita sudah cukup berlebihan untuk menghabisi nyawanya."
Sin-bok Hweshio menyeringai canggung. "Baik, kalau ketemu langsung kita bereskan saja. Tapi bagaimana kalau masih ada orang Hoa-san-pay lainnya yang seangkatan dengan Sebun Siang ini? Tentu kita harus saling bantu."
"Tidak ada. Kalau orang itu ada, tentu sudah muncul dari tadi dan tidak akan membiarkan Sebun Siang terbunuh."
Sin-bok Hweshio mengumpat dalam hatinya. Tapi apa boleh buat, daripada dicap sebagai penakut, akhirnya dengan langkah gagah diapun memanggul toya besinya dan menjalankan tugasnya. Begitu pula Leng Hok-hou.
Sementara itu, dengan perasaan yang hancur bagaikan disayat-sayat, Sebun Him terus berlari kencang meninggalkan gelanggang. Ia membayangkan tubuh ayahnya yang sudah berlumuran darah ketika ditinggalkannya tadi, dan ia berharap mudah-mudahan ayahnya dapat menyelamatkan dirinya, meskipun ia sadar bahwa harapannya itu terlalu berlebihan. Mana bisa ayahnya yang luka-luka itu menghadapi musuh-musuh yang berjumlah lebih dari satu dan masih segar semuanya?
Tiba di sebuah bukit batu yang sepi, Sebun Him berlari ke atas bukit batu seperti orang kesetanan, dan di atas bukit itulah dia menangis meraung-raung sepuasnya. Semuanya kesesakan hatinya tertumpah lwat air matanya, dikutuknya musuh-musuhnya, dikutuknya dirinya sendiri yang tidak becus dan berilmu rendah sehingga tidak dapat menyelamatkan ayahnya.
Setelah berbuat demikian, barulah perasaannya terasa agak lega, dan iapun tergeletak begitu saja di atas bukit kecil itu, setengah terlelap, namun setiap kali ia bangkit kembali dan menjerit kaget apabila terbayang kembali ayahnya yang berlumuran darah. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk kembali ke arena tadi dan mengadu jiwa dengan musuh-musuhnya tidak peduli apapun yang akan terjadi, tapi kesadarannya memperingatkan bahwa jika dirinya sampai mati pula di situ, maka sia-sialah pengorbanannya ayahnya itu.
Ayah dan anak akan sama-sama terkubur di tempat terpencil itu, tidak ada yang bakal membalas dendam, dan tidak ada pula yang akan memberitahukan ke Hoa-san-pay tentang apa yang terjadi, sehingga paling-paling orang Hoa-san-pay hanya akan menganggapnya hilang begitu saja seperti Giok-seng Tojin.
Sebun Him tersadar kembali dari tidurnya ketika cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh tubuhnya, dan kicau burung yang merdu bagaikan membangunkannya. Namun kemudian la pun menjadi tenang, meskipun kesan sedih belum terhapus dari hatinya sama sekali.
"Aku akan melihat kembali bekas gelanggang pertempuran tadi malam," kata anak muda itu seorang diri. "Jika aku tidak bisa melarikan diri bersama-sama dengan ayah, paling tidak aku bisa merawat tubuhnya..."
Kembali perasaan sedih bergolak di dadanya, namun ditekankannya dalam-dalam, dan la pun melangkah tegap menuruni bukit itu. Seorang pendekar meneteskan air matanya lebih mahal daripada darahnya, demikian ucapan ayahnya atau paman-paman gurunya di Hoa-san-pay. Karena itu la pun mengeraskan hati untuk tidak menangis.
Ketika tiba di tempat kejadian semalam, diapun tetap tidak menangis dan hanya mengertakkan giginya. Dilihatnya bangunan-bangunan bambu yang kemarin masih berujud warung itu kini sudah menjadi arang karena dilahap si jago merah. Di rerumputan yang berembun, masih bergeletakanlah tiga sosok mayat beku. Mayat Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang dan muridnya, Tiat-ge-long Mo Wan seng, serta mayat ayah Sebun Him sendiri. Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan mayat teman-teman mereka sendiripun mereka tidak sempat untuk mengurusnya.
Dengan menguatkan hatinya, Sebun Him menggali sebuah lubang untuk memakamkan tubuh ayahnya. Di atas makam itu diletakkannya sebungkah batu besar dan diukir dengan pedangnya: Sebun Siang pendekar besar Hoa-san-pay. Setelah bersujud di hadapan nisan itu beberapa kali, Sebun Him lalu meninggalkan tempat itu dengan mata menyala penuh dendam. Makin berkobar semangatnya untuk membongkar komplotan yang selama ini membayangi dunia persilatan, terutama Hoa-san-pay.
Kalau tadinya ia ikut dalam gerakan itu hanya karena ingin berbakti untuk Hoa-san-pay selain untuk mencari nama besar bagi dirinya sendiri, ataka kini pendorong Sabun Him bertambah satu lagi. Dendam. Ayahnya justru telah jatuh sebagai korban pada hari pertama la melangkah meninggalkan Hoa-san. Ya, hari pertama dari perjalananya dia sudah kehilangan seseorang yang paling berarti dalam hidupnya.
Sekilas muncul juga ingatan untuk balik ke Hoa-san dan minta bantuan, sebab Hoa-san belum terlalu jauh ditinggalkannya. Tapi dibuangnya jauh-jauh ingatan seperti Itu. Ia akan maju terus, dan hanya maut yang bisa menghentikan langkahnya, demikian tekadnya.
Disebuah desa yang dilewatinya, Sabun Him mengganti pakaian yang dipakainya dengan pakaian yang seluruhnya terbuat dari kain belacu putih yang dijahit terbalik, yang kasar di luar dan yang halus di dalam, sebagai tanda berkabung dan untuk selalu mengenang ayahnya. Dikenakannya pula secarik kain putih dikepalanya.
Bahkan sarung pedang dan tangkai pedangnyapun di bebat dengan kain putih. Dengan wajah yang cekung karena berduka, mata yang dalam dan tajam, bibir yang terkatup rapat penuh dendam, tubuh yang tinggi tegap, dan pakaian serba putihnya yang memancarkan suasana berkabung, maka Sebun Him memang nampak agak seram.
Beberapa hari kemudian, tetap dengan penampilan berkabungnya itu, Sebun Him memasuki kota Tiang-an yang ramai dari arah barat. Penampilannya menarik perhatian orang, dan barangkali diantara orang-orang itu ada musuh-musuhnya, namun Sebun Him sendiri tak keberatan menghadapi apapun juga. Bahkan di dadanya di goreskannya sebuah huruf merah dari darahnya "Siu" atau "dendam". Anakmuda itu jiwanya sudah Keracunan dendam.
Ketika perut Sebun Him mulai keroncongan dan la melangkah masuk ke sebuah iumah makan yang ramal dl pinggir jalan, maka pelayan rumah itu menyambutnya dengan hormat campur takut melihat penampilan Sebun Him. Apalagi karena beberapa hari ini Sebun Him tidak sempat bercukur sehingga sekitar bibirnya dan rahangnya ditumbuhi cambang pendek kaku.
"Hendak bersantap apa, tuan?" tanya pelayan.
"Sediakan saja arak lebih dulu," kata Sebun Him dingin. "Masakannya boleh kau pilihkan sendiri...."
Kata pelayan itu, "Meskipun kota ini jauh dari laut, tetapi makanan mi kepiting kami terkenal lezat sehingga orang-orang..."
"Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya.
Tak lama kemudian, apa yang dipesan oleh Sebun Him itu sudah tersedia di atas meja. Setelah menenggak beberapa cawan arak yang cukup harum baunya, Sebun Him dapat juga sedikit melupakan kesedihannya. Dan asap mie kepiting yang mengepul menerobos lubang hidungnya itu membuat perutnya lapar juga. Ketika habis semangkok, bahkan ia memanggil pelayan untuk ditambah semangkuk besar lagi.
Tengah anak muda yang sedang bersedih itu melupakan kesedihannya barang sejenak, tiba-tiba di luar rumah makan itu terdengar derap kaki tiga ekor kuda, dan ketiga ekor kuda itupun ternyata berhenti di depan rumah makan itu. "Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya.
Mereka adalah seorang lelaki setengah baya yang berbaaan tegap dan menggantungkan sebatang golok besar di pinggang kirinya, dengan tampang yang angker. Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya berpakaian ringkas dan pundaknya tertutup mantel dari bulu yang agaknya cukup mahal namun wanita itu sendiri sederhana dan riasan wajahnya tidak berlebihan.
Yang terakhir seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun, berpakaian ringkas pula dan juga mantel penutup pundak dan punggungnya, membawa golok yang lebih tipis dan lebih kecil ukurannya dari lelaki itu di pinggangnya. Rambutnya dikuncir menjadi dua, sepasang matanya bulat besinar seperti bintang dilangit, sehingga meskipun Sebun Him sedang bersedih tapi matanya tertarik juga oleh gadis itu.
Dan agaknya gadis itupun cukup lincah mengendalikan kudanya. Begitu tiba di depan rumah makan itu ia menarik keras-keras kendali kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, namun gadis itu sendiri dapat menguasai keseimbangannya dan bahkan dengan lincahnya la meloncat turun seringan seekor kucing saja.
Kata gadis itu kepada lelaki dan perempuan setengah baya itu, "Ayah, ibu, rumah makan ini agaknya cukup bersih dan bau masakannyapun sedap. Ayo kita isi perut di sini! Sejak dari rumah paman Wihong di Tay-beng kita hanya makan bakpau melulu!"
Perempuan dan lelaki setengah baya itu agaknya orang tua dari gadis yang lincah itu. Si perempuan setengah baya itupun meloncat turun deri kudanya namun samtfii pura-pura menggerutu ia tertawa Juga, "kau anak perempuan tetapi yang kau pikirkan hanya makan saja, apa kau tidak takut tubuhmu menjadi bundar seperti babi?"
Gadis itu nampaknya biasa dimanja, di seretnya tangan ibunya masuk ke rumah makan itu, dan tidak peduli ayahnya sudah setuju atau tidak, ia langsung melambaikan tangan kepada seorang pelayan dan bertanya, "Apa makanan paling enak di tempatmu ini...?"
"Saudara-saudaraku dan murid-murid sekalian," demikian kata Kiau Bun-han dalam suatu pertemuan yang dihadiri semua sesepuh dan murid-murid angkatan kedua, yaitu angkatannya Auyang Seng. "Akhirnya kita putuskan bersama bahwa kita akan menganggap persoalan hilangnya Giok-seng Tojin dan gilanya Kiong-wan Hok itu ternyata telah meluas di luar dugaan kita. Tadinya kita sangka hanya antara kita dengan Ho-lian-pay, ternyata malam itu bermunculan pula tokoh-tokoh puncak golongan hitam seperti Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang sudah lama menghilang, jelas ini bukan lagi masalah kecil. He Keng-liang bisa dianggap ringan, tapi Te-liong Haingcu dan Ang-mo-coa-ong tidak. Maka, kita akan mengirim utusan ke Ho-lian-pay untuk minta penjelasan sekalian mengadakan penyelidikan. Sudah aku tetapkan keponakan murid Sebun Siang dan puteranya Sebun Him yang akan menuju ke Ho-lian-pay."
Sebun Siang dan anaknya cepat-cepat berlutut dan menyatakan sanggup. Lalu Kiau Bun-han berkata lagi, "Selain itu, keponakan murid Auyang Seng akan menuju ke Jing-sia-san untuk menjumpai Ciangbunjin Jing-sia-pay, Hong-lui-kiam-khek (Pendekar Pedang Angin dan Petir) Kongsun Tiau, mencari penjelasan tentang Ki Peng-sian yang tiba-tiba saja menyatroni tempat kita. Padahal selama ini hubungan antara Hoa-san-pay dan Jiang-sia-pay sangat baik. Setelah meninggalkan Jing-sia-san, kau langsung ke Siong-san untuk minta bantuan Siau-lim-pay sebagai sesepuh rimba persilatan. Kau paham apa yang harus kau katakan di sana?"
"Paham, susiok," sahut Ayang Seng dengan hormat.
Maka di satu pagi yang hangat, orang-orang yang ditugaskan itupun meninggalkan gunung menuju arah perjalanannya masing-masing. Ayah dan anak Sebun Siang dan Sebun Him yang sama-sama bertubuh tinggi besar itu menuju ke arah timur. Sang ayah menggantungkan pedangnya di pinggang kiri seperti umumnya para pemain pedang, sedangkan anaknya mengantungkan pedang di pinggang kanan karena dia kidal. Sedang Au-yang Seng menuju ke arah selatan.
Menjelang Sebun Siang dan Sebun Him mencapai kaki gunung, tiba-tiba seseorang muncul menghadang langkah mereka. Seorang tua yang berwajah berwibawa dengan jubah kuning gading yang menjadi ciri-ciri Hoa-san-pay, berdiri tegap di depan mereka. Sebun Siang dan anaknya terkejut karena melihat orangtua itu adalah Yo Ciong-wan sendiri, salah seorang dari Hoa-san-su-lo yang berkedudukan tertinggi dalam Hoa-san-pay jaman itu. Karena itu, serempak ayah dan anak itu-pun menekuk lutut mereka untuk memberi hormat.
Sikap Yo Ciong-wan sangat ramah, katanya, "Anak-anakku, tugas yang kalian pikul sangat berat, karena itu aku sebagai seorang tua ingin memberi pesan kepada kalian. Mudah-mudahan kalian suka mendengarnya."
Agak heran juga Sebun Siang berdua, tadi diaula Yo Ciong-wan ini sudah ikut memberi nasehat panjang lebar bersama dengan sesepuh-sesepuh lainnya, sekarang nasehat apa lagi yang akan diberikan? Namun sebagai angkatan yang lebih muda, mereka berdua bersikap hormat juga dan menyatakan siap mendengar.
Ternyata nasehat Yo Ciong-wan singkat saja dan terdengar agak aneh, "Berhubung yang kalian hadapi adalah sebuah komplotan yang berbahaya, bahkan dalam komplotan itu terlibat pula orang-orang semacam Te-liong Hiangcu dan Ang-mo-coa-ong yang ilmunya lebih tinggi dari kalian, maka aku ingin berkata satu hal kepada kalian. Jika kalian menemui bahaya, lebih baik kalian tidak usah memaksakan diri untuk menerjang bahaya, supaya nasib kalian tidak usah menjadi seperti Giok-seng To-jin dan Kiongwan Hok. Lebih baik cepat-cepat pulang ke Hoa-san dan kita akan bersama-sama mencari jalan lain yang lebih aman. Paham?"
Sebun Him dan ayahnya tercengang mendengar nasehat itu. Nasehat apa-apaan ini? Bukankah tadi di aula itu Yo Ciong-wan juga bicara panjang lebar agar "maju terus pantang mundur" atau "siap korbankan nyawa untuk kehormatan Hoa-san-pay'!? Kenapa sekarang malah menganjurkan sikap yang begitu lembek dan mengecilkan semangat? "Kalau ketemu bahaya terus pulang saja ka Hoa-san"?
Yo Ciong-wan agaknya dapat menangkap rasa heran yang terpancar dari wajah ayah dan anak itu, maka sambil tertawa kikuk ia buru-buru memperbaiki ucapannya tadi, "Maksudku.. maksudku bukan mengajari kalian menjadi pengecut-pengecut yang tidak berani menghadapi kesulitan betapapun kecilnya, tapi hanya menyuruh kalian bertindak amat berhati-hati, sebab aku menguatirkan kalian. Aku merasa bahwa komplotan yang melenyapkan Giok-seng dan membuat gila Kiongwan Hok itu kini pasti akan mengincar kepada kalian...”
Demikianlah, bukannya membuat semangat Sebun Siang dan Sebun Him bertambah berkobar, tapi Yo Ciong-wan malah berusaha menakut-nakuti atau membuat ciut hati ayah dan anak itu. Ayah dan anak itu memang tergetar juga hatinya kalau mengingat nasib Giok-serig Tojin yang hilang tak tentu rimbanya itu, namun mereka sudah bertekad untuk menjalankan tugas dipundak mereka sebaik-baiknya demi kejayaan Hoa-san-pay. Maka Sebun Siang menjawab, "Terima-kasih atas segala petunjuk-petunjuk susiok. Kami akan bertindak dengan sangat hati-hati agar tidak mengalami nasib seburuk itu."
"Jadi kalian bertekad untuk maju terus?" tanya Yo Ciong-wan.
"Benar, susiok, tugas perguruan tidak dapat dielakkan dan kamipun rela menerima semua akibatnya demi keharuman nama Hoa-san-pay."
Yo Ciong-wan pura-pura menarik napas panjang. "Ah, keharuman nama? Berapa banyak nyawa berkorban sia-sia hanya untuk yang disebut keharuman nama? Kalau seseorang hilang lenyap tanpa jejak, dan seorang lagi menjadi gila, apakah itu mengharumkan nama Hoa-san-pay? Sungguh sayang. Sebun Siang, kau dan puteramu adalah orang-orang berbakat dalam perguruan kita, kini rasanya aku tidak akan bertemu dengan kalian lagi, seolah kalian sedang masuk ke dalam kegelapan yang tanpa batas dan kita sama-sama tidak tahu ada apa di balik kegelapan itu. Firasat orang tua seperti aku ini sering cengeng kedengarannya, tapi sering juga menjadi kenyataan...."
Sebun Siang dan Sebun Him semakin tidak sabar mendengar ocehan Yo Ciong-wan yang bukannya membangkitkan semangat tapi malahan meruntuhkannya itu. Sebun Him yang masih muda dan berwatak keras itu segera berkata, "Susiok, andaikata kami pikul tugas dari Ciang-bunjin ini. Tindakan Ciangbunjin itu kami anggap tepat, sebab tanpa kita berusaha membikin jelas persoalannya, maka kita memang hanya akan berputar-putar dalam kebingungan sementara orang lain mempermainkan kita dengan permainan hantu-hantuan dan sebagainya. Hoa-san-pay akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia, bukan lagi sebuah perguruan yang berwibawa dan dihormati orang. Inginkah susiok melihat Hoa-san-pay seperti itu?"
Wajah Yo Ciong-wan berubah sekejap, daiam hatinya ia memaki-maki anak muda itu. Tahulah ia bahwa usahanya untuk menggertak dan menakut-nakuti ayah dan anak itu agaknya kurang berhasil. Maka Yo Ciong-wan-pun tidak berusaha merintanginya lagi, setelah diucapkannya beberapa kata-kata perpisahan yang nadanya seperti hendak berpisah selama-lamanya, maka iapun naik kembali ke gunung.
Dari atas gunung, orangtua sesepuh Hoa-san-pay itu sempat menengok ke arah tubuh kedua ayah dan anak yang semakin lama terlihat semakin kecil itu. Yo Ciong-wan tertawa dingin dan bergumam sendirian, "Huh, tidak tahu diri. Ada bahaya maut di depan mata kalian terjang saja, bukan salahku kalau kalian kelak kehilangan kepala kalian. Kalian kira dengan ilmu kalian itu sudah cukup untuk mencoba menentang dan menyelidiki Kui-kiong? Kalian tidak lebih hanya mencari mati saja. Semangat yang tinggi saja tidak cukup untuk menyelamatkan kalian."
Waktu itu, semangat Sebun Him memang sedang berkobar sehebat-hebatnya, ia merasa tugas yang terbaban dipundaknya kali itu adalah kesempatan baginya untuk mengangkat nama, membuat nama besar sebagai kebanggaan pribadinya. selama ini, rekan-rekan seperguruan dan orang-orang dl sekitar Hoa-san telah memberi Julukan "Se-him" (Beruang dari Barat) kepadanya. Meskipun Julukan itu diucapakan setengah bergurau.
Namun lama-kelamaan Sebun Him bangga juga dengan Julukan itu, dan ia bertekad akan mentenarkan Julukannya sendiri itu, sampai sejajar dengan Julukan-julukan yang sudah terkenal dirimba persilatan lainnya. Ia mendengar kabar angin bahwa di kalangan anakmuda telah muncul sepasang anak muda yang menggetarkan dengan sebutan "Pak-liong" (Naga dari Utara).
Dan "Lam-hou" (Harimau dari Selatan), dan Sebun Him amat berharap suatu saat nanya akan disebut sejajar dengan nama-nama besar itu. Kehausan akan nama besar dan ketenaran itulah yang mendorong Sebun Him melangkah meninggalkan gunung Hoa-san dengan semangat menyala.
Ketika matahari turun ke cakrawala barat, maka ayah dan anak itu sudah berjalan cukup Jauh meninggalkan gunung Hoa-san. Kini mereka berada di sebuah jalan panjang yang amat sepi. Di kiri kanan jalan hanya ada hutan-hutan atau tebing-tebing batu. Hampir saja Sebun Him bertanya kepada ayahnya dimana ia akan menginap, namun kemudian dibatalkannya pertanyaannya itu karena malu sendiri. Seorang petualang dapat tidur di mana saja, ia tidak memanjakan tubuhnya, begitu ia pernah mendengar cerita orang. Karena itu Sebun Him bertekad sanggup tidur di manapun juga malam itu.
Namun di saat ayah dan anak itu hampir saja untuk memutuskan tidur di atas pohon, tiba-tiba di kejauhan kelihatan sehelai kain dicantelkan pada sebatang bambu yang ditancapkan di tanah. Di atas helai kain itu tergores huruf-huruf tebal sederhana yang menarik para pejalan kaki, ketiga huruf itu berbunyi Makan, Minum dan Penginapan.
"Ayah, lihat!" seru Sebun Him kegirangan sambil menunjuk ke tulisan itu. Meskipun ia tidak gentar tidur di pohon sambil menahan lapar semalam suntuk, namun kalau ada makanan yang hangat dan tempat tidur yang empuk, apa salahnya?
Ayahnya tersenyum saja, karena sebenarnya diapun sudah ingin beristirahat menghilangkan dahaga. Maka langkahnyapun ditujukan ke tempat itu. Tempat itu agaknya didirikan terlalu tergesa-gesa, mungkin belum sampai satu hari. Bambu-bambu yang ditancapkan ke tanah kelihatan masih baru, bangku-bangku dan mejanya juga masih baru, dan yang disebut "penginapan" itu hanyalah sederetan gubuk-gubuk yang agaknya masih baru pula. Memang jauh dari memadai, namun cukup kalau hanya untuk berteduh semalam bagi para pengelana, paling tidak bisa menahan angin dan hujan sehingga tidak kedinginan.
Ketika melihat ayah dan anak itu melangkah mendekat, si pengusaha warung itu menyambut sambil menyeringai seramah mungkin. Mulutnya segera menyerocos menyebutkan sederetan nama makanan-makanan yang ada di warungnya. Dikatakannya juga bahwa warungnya itu menyediakan penginapan pula dengan tarip yang amat murah. Kebetulan warung itu memang sedang sepi ketika Sebun Siang dan puteranya masuk ke situ, hanya ada mereka sendiri, yang langsung menduduki dua buah bangku kayu kasar.
"Makan apa, tuan-tuan?" tanya si pengusaha warung dan lagi-lagi ia menyeringai mempertontonkan giginya yang coklat.
"Untuk sementara ini dulu cukup," kata Sebun Siang sambil mengambil sebuah roti bundar berwarna kekuning-kuningan yang terletak di atas sebuah piring di meja. "Sediakan saja minuman. Teh."
"Baik, tuan," sahut sl pengusaha warung sambil bergegas pergi. Sebun Siang dan anaknya tidak melihat ketika tiba di bagian belakang warung itu maka si pengusaha warung melepaskan kain lap yang selalu tersampir di pundaknya, dan kemudian mengibarkannya tiga kali ke suatu arah. Barangkali hanya dia sendiri yarig mengerti arti dari perbuatannya itu.
Setelah berbuat demikian, pengusaha itupun balik ke depan dengan membawa nampan dengan poci dan cawan-cawan teh di atasnya. Wajahnya tetap saja ramah-tamah, bahkan ia menawarkan untuk menginap di "penginapan"nya dengan sewa yang sangat murah.
"Lebih baik tidur di gubukku malam ini, tuan, daripada kemalaman di tengah Jalan dan tidur di atas pohon," kata pemilik warung itu.
Sebun Siang akhirnya menyetujuinya juga, apalagi karena anaknya ikut mendesak pula. Si pengusaha warung itu nampak gembira dan berkata ia akan membersihkan satu kamar untuk ayah dan anak itu. Tengah ayah dan anak itu dengan lahapnya menggigit roti bundar yang cukup harum itu, diselingi dengan teh hangat yang membuat perut terasa nyaman, maka di warung itu kedatangan pula dua orang tamu.
Keduanya adalah seorang tua dan seorang muda pula, sebaya dengan Sebun Siang dan Sebun Him, dan membawa senjata pula yang tua membawa pedang, yang muda membawa senjata yang disebut Long-ge-pang (Toya Gigi Serigala), sejenis toya yang salah satu ujungnya dihias dengan gerigi-gerigi tajam yang mirip dengan taring serigala, sehingga senjata itu disebut demikian. Yang membawa pedang itu ternyata memiliki sepasang mata yang mengerikan, merah menyala seolah memancarkan api.
Baik Sebun Siang maupun anak laki-lakinya dalam pandangan pertama saja langsung menyadari bahwa orangtua itu bukan orang sembarangan. Namun mereka tidak merasa heran, sebab di dunia ini toh banyak orang berilmu tinggi yang berkeliaran di mana-mana, apa anehnya kalau salah seorang dari mereka kebetulan lewat dan mampir di warung kecil ini?
Kedua orang itu mengambil tempat di sebelah barat dari Sebun Siang dan Sebun Him, lalu keduanyapun makan minum tanpa berkata-kata sepatahpun. Tak lama kemudian, datang lagi seorang tamu. Kali ini seorang pendeta Buddha bertubuh tegap dan tangannya menjinjing sebatang toya dari besi yang di tangannya nampak ringan sekali. Langkah-langkahnya mantap, dan lagi-lagi Sebun Siang menebak bahwa pendeta inipun seorang yang berilmu tinggi.
Yang aneh adalah pakaian pendeta ini. Biasanya rahib-rahib Buddha berpakaian sederhana, namun pendeta yang ini justru berpakaian amat mewah. Jubah kuningnya adalah kain satin persis yang tidak terbeli oleh sembarangan orang, tasbih yang melingkari lehernya butiran-butiran hitam yang harga setiap bijinya saja amat mahal, apalagi dalam jumlah banyak yang dirangkai menjadi seuntai tasbeh macam itu.
Sedangkan kedua tangannya, terutama jari-jarinya, dipenuhi dengan cincin-cincin beraneka ragam bentuknya dengan intan berlian sebagai mata-cincinnya. Sungguh apa yang ada di tubuh hweshio itu menjadikan para perampok menelan liur, namun toya besi serta sikap garang hweshio itu membuat para perampok hanya berani sekedar menelan air liurnya. Hweshio ini duduk di sebelah timur dari Sebun Siang dan puteranya.
"Suatu kebetulan yang kedua," desis Sebun Slang dalam hati, namun ia sedikitpun belum mempunyai kecurigaan apa-apa terhadap kehadiran orang-orang itu yang berturut-turut. Warung itu adalah sebuah tempat umum, dan suatu hal yang wajar kalau warung itu banyak dikunjungi orang, apalagi saat itu sudah hampir malam sehingga para pengembara tentu membutuhkan tempat penginapan.
Ketika selesai makan minum, Sebun Siang segera memasuki kamar yang akan digunakannya untuk menginap. Ruangan itu terletak dibagian belakang dari warung Itu, terpisah sebidang tanah yang tadinya kelihatannya berilalang namun dibersihkan dengan tergesa-gesa. Kamar itu sendiri terbuat dari papan-papan kayu yang kuat, dengan pintu yang kuat pula, dan dua buah pembaringan kayu yang kasar.
Begitu masuk, terdorong oleh rasa lelahnya setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, maka ayah dan anak itu pun segera membaringkan tubuhnya masing masing dengan santainya. Meskipun usia Sebun Siang hampir setengah abad, namun ia jarang sekali meninggalkan Hoa-san-pay, sehingga dalam hal pengalaman dunia petualangan ia mirip dengan seorang yang masih hijau sama sekali. Apalagi Sebun Him yang turun gunungpun baru kali ini.
Andaikata saja mereka sedikit cermat, mereka tentu akan merasakan banyak kejanggalan di warung yang terpencil itu. Semua bangunannya yang serba baru dan nampaknya dibangun secara tergesa-gesa, dan jika bangunan itu terpencil lalu dariraana warung itu mendapatkan bahan-bahan mentahnya?
Sesunguhnya ayah dan anak itu sudah masuk dalam sebuah perangkap, sebab ada pihak tertentu yang merasa tidak senang apabila Hoa-san-pay mengirimkan orang-orangnya untuk menyelidiki ke sana kemari. Dan pihak yang tidak senang itu sudah memutuskan bahwa setiap usaha penyelidikan untuk membongkar rahasia komplotan mereka harus ditumpas habis.
Ketika malam mulai turun dan dari kamar ayah dan anak itu sudah terdengar dengkuran keras, maka pemilik warung itupun mendekati tamu-tamunya yang masih duduk di warungnya itu, dan berkata sambil tertawa, "Rasanya kita tidak perlu mengeluarkan keringat setetespun. Kedua kelinci gemuk itu sudah berada dalam perangkap dan kita tinggal membantainya."
Orang tua yang matanya bercahaya seperti bara api itu menoleh kepada si hweshio berpakaian mewah, dan bertanya, "Bagaimana' pendapat Sin-bok Hweshio?"
Hweshio berpakaian mewah yang bernama Sin-bok Hweshio itu menyahut, "Kalau semuanya berlangsung tanpa susah-payah, kenapa harus membuang tenaga untuk bertempur segala? Kita bakar saja kamarnya dari luar, biar mereka menjadi daging bakar, dan kalau mereka berhasil menerobos keluar, nah, baru kita bersusah payah sedikit untuk menggorok mereka. Bukankah begitu saudara Lamkiong?"
Para tetamu di warung itu memang bukan lain adalah orang-orang berhati hitam yang pernah dikalahkan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di gunung Tiam-Jong-san dulu. Si Hweshio adalah rahib murtad dari kuil Jing-liang-si di Ngo-tay-san, bernama Sin-bok Hweshio, meskipun masih memakai nama agama dan masih berpakaian seperti Hweshio, tapi kelakuannya sudah tidak mencerminkan agamanya sedikitpun.
Bahkan belakangan ini la sudah bergabung dengan Kui-kiong di bawah pimpinan Te-liong Hiangcu, sebuah komplotan rahasia dunia persilatan yang berambisi menguasai dunia persilatan, dan Te-liong Hlangcu sendiri selalu bermimpi untuk menjadi Bu-lim Bengcu (Ketua Umum Dunia Persilatan) yang kekuasaannya meliputi ribuan jago-Jago silat seluruh Tionggoan. Suatu kekuasaan yang amat besar, yang jika dibelokkan sedikit saja akan sanggup mengguncangkan pemerintah Kerajaan.
Sedangkan orangtua yang matanya seperti bara api itu adalah sahabat karib si hweshio gadungan, yaitu Lamkiong Siang yang lebih dikenal dengan Julukannya sebagai Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api). Ia punya tiga murid yang disebut Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala dari Kun-lun), tapi dua di antara murid-muridnya sudah tewas di tangan Tong Lam-hou dan yang sekarang berjalan bersamanya itu adalah satu-satunya muridnya yang masih hidup.
Namanya Mo Wan-seng dan Julukannya cukup seram, Tat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), namun nyalinya sekecil nyali tikus sehingga julukan seramnya itu hanya berguna untuk menakut-nakuti kaum keroco. Guru dan murid itupun sudah bergabuhg dengan Kui-kiongnya Te-liong Hiangcu.
Sedang si pemilik warung itupun bukan orang sembarangan. Dia orang Kui-kiong juga, namun dulunya bekas orang golongan hitam bernama Leng Hok-hou dan berjulukan Kiu-bwe-coa (Si Ular Berekor Sembilan). Baik ilmu silatnya maupun kedudukannya dalam Kui-kiong, dia lebih tinggi dari Sin-bok Hweshio maupun Lamkiong Siang, meskipun tampangnya sama sekali tidak berarti dan tidak seram sedikitpun.
Begitulah, keempat orang anak buah Te-liong Hiangcu itu sudah siap menjalankan tugasnya, membantai Sebun Siang ayah beranak. Kata Kiu-bwe-coa Leng Hok hou, "Kalian jaga sekeliling kamarnya, aku akan membakar kamarnya. Mudah-mudahan itu sudah cukup memampuskan mereka. Tapi kalau belum mampus juga, adalah tugas kalian untuk membereskan mereka. Paham?"
"Sangat paham," sahut Lamkiong Siang sambil menghunus pedangnya.
Sementara itu, Sebun Siang dan anaknya yang tengah terlelap itu tiba-tiba merasa ruangan itu menjadi sesak dengan asap, dan hawa udara dalam kamar pun terasa semakin lama semakin panas. Dengan kaget Sebun Siang meloncat bangur dari pembaringannya sambil berteriak, "Celaka, A-him, kamar kita terbakar!"
Memang tidur Sebun Him juga sudah gelisah, maka ketika mendengar teriakan itu diapun meloncat bangun sambil menyambar pedangnya. Ruangan sudah penuh dengan asap sehingga mereka merasa mata menjadi pedas dan pernapa-sanpun sesak. Dinding sudah menyala di empat penjuru, dan menilik begitu mudahnya dinding kayu yang tebal-tebal itu menyala, agaknya ruangan itu memang sudah dipersiapkan untuk dibakar.
Sesaat ayah dan anak itu hanya terbatuk-batuk sambil kebingungan dalam kamar yang makin sesak itu, baru kemudian Sebun Siang berteriak, "A-him, terjang keluar!"
"Pintunya dipalang dari luar, ayah. Dengan palang yang cukup besar dan aku tidak sangup mematahkannya!"
"Jebol dindingnya!"
"Dinding itupun amat kuat, meskipun hanya terbuat dari kayu-kayu kasar!"
“Gila!" teriak Sebun Siang hampir putus-asa. "Apakah kita berdua harus menjadi daging panggang pada saat permulaan dari tugas penyelidikan kita?!"
Saat itulah tiba-tiba Sebun Him menemukan jalan keluar. Dilihatnya atap ruangan itu hanya terbuat dari ijuk dan papan yang tidak seberapa kuat agaknya di sinilah kelemahannya, maka Sebun Him memutuskan untuk menerjang keluar lewat atap itu meskipun atap itupun sudah menyala pula.
"Ayah, kita loncat ke atas untuk menjebol atap! Biar aku meloncat lebih dulu untuk menjaga di luar " teriak Sebun Him.
"Jangan, A-him, atap itu sudah menyala..."
"Tidak ada jalan lain, ayah, daripada kita terbakar hidup-hidup dalam ruangan keparat ini!"
Lalu tanpa menunggu persetujuan ayahnya lagi, tubuh Sebun Him yang besar dan tegap itu telah melayang ke atas sambil membolang-balingkan pedangnya dengan tangan kirinya. Atap gubuk itu ternyata memang tidak cukup kuat untuk menahan terjangan pemuda Hoa-san-pay itu, sehingga tubuh Sebun Him berhasil menerobos keluar meskipun ujung-ujung pakaiannya terbakar. Pecahan papan kayu maupun ijuk yang terbakar itupun beterbangan ke segala arah seperti kembang api.
Di luar gubuk, sudah menunggu orang-orangnya Te-liong Hiangcu yang siap untuk turun tangan. Begitu melihat Sebun Him muncul, yang lebih dulu menyambut adalah Tiat-ge-long Mo Wan-seng yang ingin berjasa bagi Kui-kiong itu. Toya long-ge-pangnya segera diayun ke pinggang Sebun Him dengan gerakan Ceng-sau-jian-kun (Menyapu Seribu Pasukan). Dengan gegabah Mo Wan-seng menganggap bahwa Sebun Him yang tampak masih muda itu tentu ilmunya tidak seberapa tinggi dan dengan mudah pinggangnya akan dapat dihantam patah.
Tak terduga Sebun Him tengah marah karena kelicikan orang-orang yang berusaha membakar ia dan ayahnya itu, maka dengan pedangnya yang berukuran lebih besar dan lebih tebal dari pedang-pedang biasa itu ia menangkis long-ge-pang musuhnya dengan keras lawan keras. Suatu gaya tangkisan yang andaikata dilihat oleh paman gurunya Auyang Seng pasti akan dikecam pedas. Tapi saat itu Sebun Him sedang marah besar dan la lupa "bagaimana seorang seniman pedang harus menangkis" seperti ajaran paman gurunya.
Pedang dan toya long-ge-pang berbenturan keras lawan keras, dan Mo Wan-seng terkejut ketika merasa tangannya tergetar hebat oleh tenaga lawan yang luar biasa. Tidak percuma Sebun Him dijuluki "Se-him" (Beruang dari Barat) oleh teman-teman seperguruannya, meskipun sudah barang tentu ia belum dapat disejajarkan dengan Pak-liong ataupun Lam-hou.
Terdengar Sebun Him membentak menggelegar, "Bangsat licik yang suka main bakar, inilah hari ajalmu" Tanpa menarik pedangnya dan sedikitpun tidak memberi kesempatan kepada Tiat-ge-long Mo Wan-seng untuk menguatkan kedudukannya, maka Sebun Him langsung menggerakkan pedangnya dengan gerakan Sun-sui-tui-cou (menolak perahu mengikut aliran sungai). Pedangnya begitu membentur toya lawan langsung saja "menyusur" sepanjang toya lawan dan menikam ke depan.
Terdengar si Serigala Bertaring Besi itu menjerit kesakitan karena kesepuluh Jari-Jari tangannya yang menggenggam toya long-ge-pang itu telah terpapas putus oleh pedang Sebun Him. Dan sesaat kemudian jerit kesakitan itu berubah jadi jerit kematian karena ujung pedang Sebun Him tanpa ampun meluncur terus ke depan dan amblas telak di ulu hati Mo Wan-seng. Begitulah, dalam kemarahannya ternyata Sebun Him telah berhasil membunuh sisa terakhir dari Kun-lun-sam-iong itu hanya dalam beberapa gebrakan saja.
Sementara itu, dari atap gubuk yang terbakar itu kembali muncul seseorang yang di beberapa bagian pakaiannya ada nyala apinya. Dialah Sebun Siang yang telah meloncat keluar pula karena menguatirkan keselamatan anak laki-lakinya yng sudah keluar lebih dulu. Dengan sekali berguling di embun malam yang melekat di rerumputan, padanlah api yang membakar pakaiannya itu. Untunglah api itu belum sampai mengenai kulitnya sehingga melepuh.
Begitu menginjakkan kaki di luar gubuk ia segera berteriak, "A-him, tidak apa-apakah kau?"
Sebun Him yang tengah menikmati kemenangan pertamanya atas musuh-musuhnya itupun segera menjawab lantang, "Aku tidak apa-apa, ayah. Malahan baru saja kubereskan seorang cecungkuk, dan cecunguk-cecunguk lainnya pun akan segera kita bereskan, ayah!"
Yang paling marah melihat keadaan itu adalah Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang. Muridnya yang tinggal satu itu terbunuh mampus di depan hidungnya, dan terbunuhnyapun tanpa melalui sebuah pertempuran yang seru melainkan hanya dalam beberapa gebrakan, oleh seorang muda yang umurnya agaknya lebih muda dari muridnya. Maka dihunusnya pedangnya dan iapun menerjang ke arah Sebun Him sambil berteriak,
"Membunuh murid di hadapan gurunya secara terang-terangan adalah suatu penghinaan yang harus ditebus dengan nyawa pula. Bangsat kecil, aku ingin nyawamu!"
Sebun Him yang tengah berbesar hati dan bersemangat tinggi karena kemenangan pertamanya tadi, menyongsong Lamkiong Siang dengan beraninya, sambil menyahut, "Dan aku juga ingin nyawa keroposmu, bangsat tua, sebab kau dan teman-temanmu telah berusaha membunuh aku dan ayahku dengan cara yang amat licik!"
Ketika ujung pedang Lamkiong Siang mengancam tenggorokannya, maka dengan tangkas Sebun Him melangkah kesamping sambil membabatkan pedangnya ke lambung musuh. Dan ketika Lamkiong Siang mengubah serangannya dengan gerakan tangkisan Tay-peng-tian-ci (Garuda Mem buka Sayap), maka Sebun Him menambahkan tenaga kepada lengannya dengan harapan pedang lawan akan terbentur sehingga lepas dari tangannya.
Meskipun Sebun Him sudah menerima banyak petunjuk dari paman-gurunya, Auyang Seng, agar dalam permainanan pedang tidak terlalu mengandalkan tenaganya seperti dalam permaianan golok, tapi kadang-kadang Sebun Him masih terbawa oleh ke biasaan lamanya. Begitu pula kali ini kedua batang pedang berbenturan keras sehingga memercikkan bunga api Tangan Lamkiong Siang tergetar dan di terkejut akan kekuatan musuhnya yang masih muda itu.
Namun yang lebih terkejut lagi adalah Sebun Him. Telapak tangan kirinya yang menggenggam pedang itu tersengat oleh rasa pedih yang hampir saja membuat pedangnya terlempar lepas dari genggaman, sadarlah la bahwa si Serigala Tua Bermata Api ini tidak bisa disamakan dengan muridnya yang tidak becus tadi. Cepat Sebun Hlm meloncat mundur untuk mendapat kesempatan memperbaiki pegangannya atas tangkai pedangnya. Diam-diam ia memperingatkan diri sendiri bahwa menghadapi orangtua bermata seperti bara ini ia harus lebih berhati-hati.
Tak lama kemudian berkobarlah kembali pertarungan antara Lamkiong Siang yang marah karena kehilangan murid, melawan Sebun Him yang tengah mabuk kemenangan dan sedang haus akan nama besar sejajar dengan Naga Utara dan Harimau Selatan itu. Pertarungan antara seorang pembunuh bayaran yang pernah bekerja untuk pihak manapun juga asal taripnya cocok, melawan seorang tunas muda berbakat dari Hoa-san-pay yang dikemudian hari diharapkan bisa menjunjung tinggi nama perguruannya.
Lam-klong Siang dengan pengalaman dan ilmunyapun lebih tinggi beberapa lapis, namun ia harus tetap berhati-hati menghadapi musuhnya yang jauh lebih muda dan memainkan pedang dengan tangan kiri itu. Seorang kidal memang membutuhkan perhitungan tersendiri, sebab banyak gerakannya yang merupakan kebalikan dari gerak orang-orang bukan kidal.
Sebun Siang tidak tinggal diam membiarkan anaknya bertempur sendiri. Diapun telah terlibat pertempuran melawan dua orang sekaligus, yaitu Sin-bpk Hweshio dari Ngo-tay-san yang mengamuk dengan toya besinya bagaikan dewa Locia mengaduk samudera, yang dibantu oleh Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou dengan pecutnya yang berjuntai sembilan helai itu. Senjata pecut berjuntai sembilan itu agaknya yang membuatnya mendapat julukkan Ular Berekor Sembilan. Dan ternyata juntai pecutnya yang banyak itu bukan sekedar untuk gagah-gagahan melainkan dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Kini Sebun Siang harus menghadapi dua orang lawan yang bertolak-belakang dalam gaya permalanan silatnya. Sin-bok Hweshio dengan toya besinya bergaya keras, cepat dan langsung, tongkat panjangnya menderu-deru seperti gelombang menghantam pantai. Sedang Leng Hok-hou dengan pecut berekor sembilannya bermain dengan lemas tapi sangat berbahaya. Ujung-ujung cambuknya seperti sembilan ekor ular berbisa yang menari-nari dan mematuk dengan patukan-patukan mautnya.
Sebun Slang menilai bahwa si "pemilik warung" itu lebih berbahaya daripada Sin-bok Hweshio, dan sesungguhnya memang demikian. Gerakan toya besi Sin-bok Hweshio yang bagaimanapun kencangnya masih bisa terlihat dan diduga arahnya, namun kesembilan Juntai cambuk yang meliuk-liuk dan menyambar dari segala arah itu benar-benar sulit dijaga ataupun ditangkis.
Menangkispun harus hati-hati, sebab kadang-kadang juntai-juntai cambuk itu malahan membelit ke batang pedang yang tentunya akan mengganggu gerakan pedang selanjutnya. Maka kemudian Sebun Siang memutuskan untuk bertahan lebih dulu sambil menghemat tenaganya, dan untuk membalas menyerang ia harus menunggu sampai lawan-lawannya membuat kesalahan-kesalahan langkah. Untunglah sendiri bahwa Sebun Siang adalah murid angkatan kedua dari Hoa-san-pay yang ilmu pedangnya maupun tenaga dalamnya tidak rendah.
Meskipun la tidak setenar adik seperguruannya, Gin-hoa-kiam Auyang Seng, namun ia merupakan seorang pendekar tangguh pula. Dengan sikap bertahan yang serapat-rapatnya, maka pertahanannya benar-benar sulit ditembus oleh kedua lawannya meskipun Sebun Siang sendiripun jarang menyerang. Hal Itu membuat Sin-bok Hwe-shio dan Leng Hok-hou mengumpat-umpat tak habis-habisnya, mereka mempergencar serangan mereka namun Sebun Siang mengimbanginya dengan memperkokoh pertahanannya.
"Gila! Gila! Beginikah mutu para pendekar dari Hoa-san-pay?" teriak Sln-bok Hweshio penasaran. "Hanya berani menyembunyikan kepalanya seperti kura kura?!"
Tapi Sebun Siang tidak terbakar hatinya dan ia tetap bertempur dengan caranya sendiri. Barangkali perhitungan Sebun Siang akan memenangkan pertempuran itu adalah perhitungan yang tepat apabila di situ tidak ada Sebun Him, anaknya. Sebun Siang sendiri akan dapat bertahan rapat-rapat dan kemudi akan balik memukul pada saat yang tepat, namun adanya Sebun Him di tempat itu telah mengganggu semua rencana yang tersusun itu.
Sebun Him yang masih muda itu ternyata tidak sangup mengimbangi Lamkiong Siang yang berilmu tinggi dan lebih banyak pengalamannya itu. Melulu mengandalkan tenaganya saja, ternyata Sebun Him tidak bisa berbuat banyak, ia terdesak terus-menerus, dipaksa untuk seialu menangkis, mengelak, meloncat atau berguling-guling di bawah sambaran-sambaran pedang lawannya yang marah. Ada juga kesempatan balas menyerang beberapa kali, tapi serangannya selalu dapat dipunahkan oleh Lamkiong Siang dan ia balik ditekan untuk bertahan saja.
Namun sebagai anak muda berwatak angkuh, Sebun Him tidak berusaha untuk berteriak minta tolong kepada ayahnya, la malu jika itu didengar oleh musuh-musuhnya. Ia juga malu kepada diri sendiri. Bukankah ia dengan bangga sudah menerima Julukan "se him" dari teman-temannya? Dari malu berubah menjadi nekad, maka Sebun Him tidak peduli lagi keselamatan dirinya dan ia pun bertekad untuk berkelahi mengadu nyawa. Kenekadannya inilah yang memaksa Lamkiong Siang harus lebih berhati-hati.
Keadaan Sebun Him yang sulit itulah yang membuat ayahnya merasa tidak tenteram, dan ketika perhatiannya sedikit bercabang itulah maka cambuk Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou berhasil menghajar punggungnya. Membuat pakaiannya robek dan bahkan di kulit punggungnya muncul sembilan jalur merah biru yang terasa pedih dan panas.
"Setan!" teriak Sebun Siang marah.
Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou tertawa mengejek berbareng. Kata Sin-bok Hweshio, "Ha-ha-ha, kau sudah seperti tikus kecemplung air, sebentar lagi bukan hanya cambuk saudara Leng yang bakal kau nikmati, tapi toya besiku inipun akan berkenalan dengan tengkorak kepalamu!"
Berantakanlah pertahanan rapat Sebun Siang karena kemarahannya mulai terpancing. Dengan pedangnya ia menyerang semakin hebat, namun serangannya itu hanya membuka peluang bagi musuh-musuhnya saja. Kalau ia menyerang Sin-bok Hweshio, maka Kiu-bwe-coa Leng Hok hou berhasil melukai dengan cambuknya, sebaliknya kalau ia menerjang ke arah Kiu-bwe-coa Leng Hok-hou, maka toya besi Sin-bok Hweshio menyambar dengan dahsyatnya dan jika kena bisa membuat rontok tulang-belulangnya.
Demikianlah keadaan ayah dan anak itu bagaikan telur di ujung tanduk. Firasat Yo Ciong-wan yang diutarakannya sebelum ayah dan anak itu meninggalkan Hoa-san, agaknya kini akan menjadi kenyataan.
"A-him, larilah!" teriak Sebun Siang yang sudah luka-luka itu kepada anaknya. Bajunya sudah robek-robek dan kulitnya dipenuhi jalur-jalur biru akibat cambukan Ki-bwe-coa Leng Hok-nou, sementara langkahnyapun sudah pincang karena pahanya tersambar telak oleh toya besi Sin-bok Hweshio dan agaknya tulangnya sudah retak. Namun Sebun Siang masih saja bertempur seperti kesurupan setan dan ia masih saja berteriak,
"A-him, selamatkan dirimu! Demi Hoa-san-pay aku ingin kau selamat! Kita tidak boleh mati semua, salah satu harus hidup untuk membalas dendam!"
Namun Sebun Him yang juga sama kalapnya dengan ayahnya itu mana mau mendengarkan seman untuk menyelamatkan diri sendiri itu. Bahkan dengan mengentakkan gigi ia memperhebat seranganya kepada Lamkiong Siang, dan la pun balas berteriak, "Ayah saja yang pergi! Biar aku yang bertahan di sini!"
Waktu itu boleh dikata tak ada bagian kulit Sebun Siang yang masih utuh, namun pendekar Hoa-san-pay itu masih berkelahi dengan garangnya, membuat kedua lawannya merasa agak ngeri juga. Teriak Sebun Siang, "Aku tidak bisa lari cepat, kakiku sudah luka. Kau saja yang lari, A-him!"
"Ayah saja yang lari. Aku harus bertahan di sini!"
Sebun Siang menjadi habis kesabarannya, "Bangsat kecil, kau berani membangkang perintah ayahmu?! Kalau kau menolak untuk menyelamatkan dirimu sekali lagi, aku akan menggorok leherku di depanmu, tidak peduli apa yang terjadi! Kau ingin menjadi anak durhaka yang membuat marga Sebun kita habis keturunannya?"
Dalam alam pikiran orang-orang Han di daratan Cina, memang tidak ada dosa terhadap leluhur yang lebih besar daripada membikin putus keturunan sehingga tidak ada yang melanjutkan nama keluarga. Karena itulah ancaman ayahnya itu cukup membuat sebun Him mau tidak mau harus mempertimbangkannya. Ia tidak mau dikutuk arwah leluhurnya sebagai anak yang tidak dapat melanjutkan keturunan.
"Cepat lari, tunggu apa lagi?!" teriak Sebun Siang sambil terhuyung, sebab sekali lagi sebuah cambukan keras dar! Kiu-bwe-coa Leng Hok-bou menghajar dadanya. "Cepat lari! Kau ingin membuat ayahmu mati sia-sia di sini?!"
Apa boleh buat, Sebun Him terpaksa menuruti kata ayahnya itu. Tapi matanya menjadi basah juga, ia tahu bahwa sekali ia melangkah pergi dari tempat, itu maka berarti itulah saat terakhir ia melihat ayahnya dalam keadaan hidup. Namun sisa-sisa kesadarannya masih memperingatkan juga bahwa itu adalah jalan satu-satunya yang meskipun terasa amat pahit tapi merupakan jalan yang terbaik. Lebih baik ada satu orang lolos daripada dua-duanya tertumpas ditempat itu.
Karena itu, sebelum meloncat pergi, Sebun Him masih sempat berteriak dengan suara.parau, "Ayah, kalau kelak aku tidak mencincang bangsat-bangsat ini, aku adalah binatang yang paling rendah."
"Bagus, anakku, pergilah!" teriak Sebun Siang dengan suara terharu pula, karena apa yang dirasakannya adalah sama dengan apa yang dirasakan oleh anaknya. Lalu dilampiaskannya perasaannya dengan gerakan-gerakan pedangnya yang semakin gencar dan nekad.
Tapi bagi Sebun Him sendiri sesungguhnya tidak gampang untuk melarikan diri seperti anjuran ayahnya itu, sebab Lamkiong Siang sudah bertekad untuk membunuh anakmuda itu. Bukan saja karena tugas dari Te-liong Hiangcu memerintahkan demikian, tapi Juga karena ia ingin membalaskan sakit hati muridnya, karena itu ia tidak akan membiarkan Sebun Him lolos begitu saja, katanya mengejek,
"Kalian ayah dan anak tidak usah kuatir, kami akan terbaik hati untuk menolong kalian agar kalian bisa berkumpul bersama di akherat!"
Baru saja mulutnya terkatup, tiba-tiba Sebun Siang telah meloncat ke arahnya dengan meninggalkan kedua orang musuhnya. Tidak peduli bagian belakang punggungnya tersabet cambuk Leng Hok-hou, tapi Sebun Siang sudah bertekad membunuh atau setidak-tidaknya melukai lawan dari anaknya itu agar anaknya mendapat kesempatan untuk melarikan diri.
Lamkiong Siang terkejut ketika melihat sebatang pedang berkilauan ke arah lehernya, padahal la sedang sibuk meladeni amukan Sebun Him. Maka cepat-cepat ia membantingkan tubuhnya dengan gerak Koan-long-ta-kun (Serigala Bergulingan), namun tak urung pedang Sebun Siang menyerempet pundaknya sehingga Lamkiong Siang berteriak kesakitan.
Hampir bersamaan waktunya, Sebun Siang sendiripun berteriak kesakitan karena toya Sin-bok Hweshio juga berhasil menghantam punggungnya secara telak, sehingga pendekar Hoa-san-pay memuntahkan segumpal darah sambil terhuyung-huyung ke depan. Namun dengan mengeraskan kepala Sebun Siang telah berdiri tegak kembali dengan pedang melintang didepan dada, sambil berseru, "Cepat, A-him!"
Sebun Him tahu bahwa kesempatan sebaik itu tak mungkin berulang lagi, apa boleh buat, dengan mengeraskan hati dan menahan keluarnya air matanya ia meloncat pergi ke rumpun pepohonan yang gelap karena cahaya api dari gubuk yang terbakar tidak mencapai tempat itu. Ia masih berteriak sekali lagi, "Kelak aku akan membuat perhitungan untuk semuanya ini, ayah!"
Melihat anaknya berhasil meloloskan diri, semangat Sebun Siang berkobar hebat. Keselamatan dirinya sendiri sudah tidak dikuatirkan lagi. Ketika melihat Lamkiong Siang hendak mengejar anaknya, maka Sebun Siang pun mengejar Lamkiong Siang dengan kalapnya, memaksa orangtua dari Kun-lun-san yang berjulukan Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) itu harus membalik tubuh dan terpaksa bertahan dari amukan si pendekar Hoa-san-pay itu.
Pada suatu ketika Lamkiong Siang menyerang dengan sebuah sabetan pedang ke arah pundak kiri Sebun Siang, dan ternyata lawan sama sekali tidak menghiraukan sabetan itu, bahkan membarenginya dengan sebuah tusukan ke ulu hati Lamkiong Siang.
Alangkah terkejutnya Lamkiong Siang, biarpun dia bernyali besar dan sudah sering melakukan perbuatan-perbuatan kejam, namun diajak adu nyawa seperti itu ia merasa ngeri juga. Sayang keterkejutannya itu membuat segala-galanya terlambat. Ia terlambat menarik pedangnya sehingga pedang itu tetap saja menabas pundak Sebun Siang dengan telak, tapi ulu hatinya sendiripun menembus pedang Sebun Siang.
Demikianlah, Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, itu bukannya berhasil membalaskan sakit hati murid-muridnya, malahan jiwanya sendiri ikut amblas malam itu juga. Berakhirlah riwayat seorang pembunuh bayaran yang sudah banyak mencabut nyawa orang hanya karena upah setahil dua tahil itu.
Sebun Siang membiarkan saja pedang lawan amblas di pundaknya dan tetap terjepit di situ ketika si pemilik pedang sendiri sudah roboh mampus. Lalu Kebun Siang meloncat menghadang Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa Leng Hok-hon yang hendak mengejar anaknya itu, sambil membentak, "Sebelum kau kejar anakku, langkahi dulu mayatku!"
Sin-bok Hweshio sudah bertahun-tahun berteman dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang, dan la melihat betapa temannya itu mati di tangan Sebun Siang. Karena itu Sin-bok Hweshio menjadi ciut nyalinya. Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri tidak lebih tinggi dari kepandaian temannya itu. Jika temannya itu dapat dibunuh oleh Sebun Siang meskipun dengan jurus nekad-nekadan seperti tadi, maka Sin-bok Hweshio pun tidak yakin dirinya bisa lolos dari maut apabila diajak bertempur cara itu oleh Sebun Siang.
Karena itu, begitu melihat Sebun Siang yang berlumuran darah dan matanya mencorong mengerikan itu menghadang langkahnya, Sin-bok Hweahio dengan licik berkata, "Saudara Leng, kau bereskan dulu orang ini, biar aku ang mengejar anjing cilik satunya itu. Kita bagi-bagi tugas!"
Tak terduga Kiu-bwe-coa Leng Hok-bu juga gentar kepada Sebun Siang yang bertempur tanpa menghiraukan nyawa sendiri itu, maka Leng Hok-hou cepat menjawab, "Tidak. Kau saja yang hadapi yang ini, biar aku yang mengejar. Orang ini sudah luka-luka dan kau tentukan mudah untuk membereskannya!"
Demikianlah keduanya berebutan mencari bagian yang paling aman, sementara bagian yang berbahaya hendak mereka timpakan ke kepala orang lain, padahal bila mereka mau menggunakan otak sedikit saja, tentu tahu bahwa melawan Sebun Siang yang sudah luka-luka seluruh tubuhnya itu tentu jauh lebih ringan dibandingkan kalau melawan Sebun Him yang masih muda, dan sedang dimabuk dendam itu. Memang benar kata pepatah bahwa orang yang paling kejam, biasanya juga orang yang berwatak pengecut!
Baru saja keduanya saling tuding siapa yang akan membereskan Sebun Siang, maka Sebun Siang sendiri tiba-tiba roboh ke tanah. Bagaimanapun keras hatinya dan besar tekadnya, namun luka-luka luar dan dalam yang telah muncul di tubuhnya membuat la tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Apalagi karena ia menduga bahwa anaknya tentu sudah lari jauh dan berhasil menyelamatkan diri, maka semangat tempurnyapun luntur dan ambruklah badannya.
Melihat itu, Sin-bok Hweshio dan Leng Hok-hou saling bertukar pandangan sambil menyeringai kecut. Orang yang mereka takuti itu ternyata telah roboh sendiri karena luka-lukanya, membuat mereka agak malu juga karena tadi telah menunjukkan rasa gentar mereka satu sama lain.
"Apakah kita masih sempat mengejar anjing cilik satunya lagi?" Tanya Sin-bok Hweshio.
Klu-bwe-coa Leng Hok-hou nampak bimbang, lalu menyahut, "Sudah agak terlambat. Kita tertahan agak lama di sini oleh Sebun Siang, sehingga bangsat cilik itu tentu sudah lari cukup jauh. Tapi baiklah kita coba cari di sekitar sini, barangkali dapat kita temukan dia."
"Kita jalan bersama-sama atau berpencar?"
Sesaat Leng Hok-hou tidak menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Rasa malunya karena ketakutan kepada Sebun Siang tadi masih belum hilang, dan kini ia menjadi serba susah untuk menjawab pertanyaan Sin-bok Hweshio itu. Jika ia menjawab "bersama-sama" maka ia kuatir ditertawakan Sin-bok Hweshio karena dianggap penakut, tapi kalau menjawab "berpencaran" sebenarnya diapun agak takut. Mereka tadi sudah melihat kehebatan Sebun Him, dan untuk menghadapi anak muda seperti itu tentu lebih aman jika berdua daripada seorang diri.
Sin-bok Hweshio yang memang ingin membuat rekannya kehilangan muka dengan pertanyaannya itu, diam-diam mentertawakan dalam hati ketika melihat kebimbangan rekannya itu. Tapi paderi gadungan itu terkejut bukan kepalang ketika mendengar jawaban Leng Hok-hou yang tegas,
"Kita berpencar. Kau ke utara, aku ke selatan. Nanti berkumpul di tempat ini."
Sesaat Sin-bok Hweshio kebingungan harus menjawab bagaimana, sebab sebenarnya dia sendiripun takut kalau disuruh berpencaran. Dalam segala hal dia harus memilih kemungkinan yang paling aman, dan mengejar musuh sendirian dalam hutan yang gelap itu adalah hal yang sangat tidak disukainya. Tapi diapun malu mengutarakan perasaannya, maka akhirnya ia mengeraskan kepala dan berkata,
"Baik, berpencaran-pun baik, memangnya aku takut? Tapi kalau salah satu dari kita menjumpai musuh, kita harus saling memperdengarkan suitan untuk saling membantu." Suaranya dibuat agar kedengaran cukup garang, namun tidak dapat menutupi kegelisahannya.
Dan Leng Hok-hou justru merasa mendapat kesempatan untuk mempermainkan rekan gundulnya itu, "Ah, buat apa saling bersuit segala? Toh buruan kita cuma tikus kecil dari Hoa-san-pay yang tak berarti. Salah seorang dari kita sudah cukup berlebihan untuk menghabisi nyawanya."
Sin-bok Hweshio menyeringai canggung. "Baik, kalau ketemu langsung kita bereskan saja. Tapi bagaimana kalau masih ada orang Hoa-san-pay lainnya yang seangkatan dengan Sebun Siang ini? Tentu kita harus saling bantu."
"Tidak ada. Kalau orang itu ada, tentu sudah muncul dari tadi dan tidak akan membiarkan Sebun Siang terbunuh."
Sin-bok Hweshio mengumpat dalam hatinya. Tapi apa boleh buat, daripada dicap sebagai penakut, akhirnya dengan langkah gagah diapun memanggul toya besinya dan menjalankan tugasnya. Begitu pula Leng Hok-hou.
Sementara itu, dengan perasaan yang hancur bagaikan disayat-sayat, Sebun Him terus berlari kencang meninggalkan gelanggang. Ia membayangkan tubuh ayahnya yang sudah berlumuran darah ketika ditinggalkannya tadi, dan ia berharap mudah-mudahan ayahnya dapat menyelamatkan dirinya, meskipun ia sadar bahwa harapannya itu terlalu berlebihan. Mana bisa ayahnya yang luka-luka itu menghadapi musuh-musuh yang berjumlah lebih dari satu dan masih segar semuanya?
Tiba di sebuah bukit batu yang sepi, Sebun Him berlari ke atas bukit batu seperti orang kesetanan, dan di atas bukit itulah dia menangis meraung-raung sepuasnya. Semuanya kesesakan hatinya tertumpah lwat air matanya, dikutuknya musuh-musuhnya, dikutuknya dirinya sendiri yang tidak becus dan berilmu rendah sehingga tidak dapat menyelamatkan ayahnya.
Setelah berbuat demikian, barulah perasaannya terasa agak lega, dan iapun tergeletak begitu saja di atas bukit kecil itu, setengah terlelap, namun setiap kali ia bangkit kembali dan menjerit kaget apabila terbayang kembali ayahnya yang berlumuran darah. Kadang-kadang timbul juga niatnya untuk kembali ke arena tadi dan mengadu jiwa dengan musuh-musuhnya tidak peduli apapun yang akan terjadi, tapi kesadarannya memperingatkan bahwa jika dirinya sampai mati pula di situ, maka sia-sialah pengorbanannya ayahnya itu.
Ayah dan anak akan sama-sama terkubur di tempat terpencil itu, tidak ada yang bakal membalas dendam, dan tidak ada pula yang akan memberitahukan ke Hoa-san-pay tentang apa yang terjadi, sehingga paling-paling orang Hoa-san-pay hanya akan menganggapnya hilang begitu saja seperti Giok-seng Tojin.
Sebun Him tersadar kembali dari tidurnya ketika cahaya matahari pagi yang hangat menyentuh tubuhnya, dan kicau burung yang merdu bagaikan membangunkannya. Namun kemudian la pun menjadi tenang, meskipun kesan sedih belum terhapus dari hatinya sama sekali.
"Aku akan melihat kembali bekas gelanggang pertempuran tadi malam," kata anak muda itu seorang diri. "Jika aku tidak bisa melarikan diri bersama-sama dengan ayah, paling tidak aku bisa merawat tubuhnya..."
Kembali perasaan sedih bergolak di dadanya, namun ditekankannya dalam-dalam, dan la pun melangkah tegap menuruni bukit itu. Seorang pendekar meneteskan air matanya lebih mahal daripada darahnya, demikian ucapan ayahnya atau paman-paman gurunya di Hoa-san-pay. Karena itu la pun mengeraskan hati untuk tidak menangis.
Ketika tiba di tempat kejadian semalam, diapun tetap tidak menangis dan hanya mengertakkan giginya. Dilihatnya bangunan-bangunan bambu yang kemarin masih berujud warung itu kini sudah menjadi arang karena dilahap si jago merah. Di rerumputan yang berembun, masih bergeletakanlah tiga sosok mayat beku. Mayat Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang dan muridnya, Tiat-ge-long Mo Wan seng, serta mayat ayah Sebun Him sendiri. Sin-bok Hweshio dan Kiu-bwe-coa sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya, bahkan mayat teman-teman mereka sendiripun mereka tidak sempat untuk mengurusnya.
Dengan menguatkan hatinya, Sebun Him menggali sebuah lubang untuk memakamkan tubuh ayahnya. Di atas makam itu diletakkannya sebungkah batu besar dan diukir dengan pedangnya: Sebun Siang pendekar besar Hoa-san-pay. Setelah bersujud di hadapan nisan itu beberapa kali, Sebun Him lalu meninggalkan tempat itu dengan mata menyala penuh dendam. Makin berkobar semangatnya untuk membongkar komplotan yang selama ini membayangi dunia persilatan, terutama Hoa-san-pay.
Kalau tadinya ia ikut dalam gerakan itu hanya karena ingin berbakti untuk Hoa-san-pay selain untuk mencari nama besar bagi dirinya sendiri, ataka kini pendorong Sabun Him bertambah satu lagi. Dendam. Ayahnya justru telah jatuh sebagai korban pada hari pertama la melangkah meninggalkan Hoa-san. Ya, hari pertama dari perjalananya dia sudah kehilangan seseorang yang paling berarti dalam hidupnya.
Sekilas muncul juga ingatan untuk balik ke Hoa-san dan minta bantuan, sebab Hoa-san belum terlalu jauh ditinggalkannya. Tapi dibuangnya jauh-jauh ingatan seperti Itu. Ia akan maju terus, dan hanya maut yang bisa menghentikan langkahnya, demikian tekadnya.
Disebuah desa yang dilewatinya, Sabun Him mengganti pakaian yang dipakainya dengan pakaian yang seluruhnya terbuat dari kain belacu putih yang dijahit terbalik, yang kasar di luar dan yang halus di dalam, sebagai tanda berkabung dan untuk selalu mengenang ayahnya. Dikenakannya pula secarik kain putih dikepalanya.
Bahkan sarung pedang dan tangkai pedangnyapun di bebat dengan kain putih. Dengan wajah yang cekung karena berduka, mata yang dalam dan tajam, bibir yang terkatup rapat penuh dendam, tubuh yang tinggi tegap, dan pakaian serba putihnya yang memancarkan suasana berkabung, maka Sebun Him memang nampak agak seram.
Beberapa hari kemudian, tetap dengan penampilan berkabungnya itu, Sebun Him memasuki kota Tiang-an yang ramai dari arah barat. Penampilannya menarik perhatian orang, dan barangkali diantara orang-orang itu ada musuh-musuhnya, namun Sebun Him sendiri tak keberatan menghadapi apapun juga. Bahkan di dadanya di goreskannya sebuah huruf merah dari darahnya "Siu" atau "dendam". Anakmuda itu jiwanya sudah Keracunan dendam.
Ketika perut Sebun Him mulai keroncongan dan la melangkah masuk ke sebuah iumah makan yang ramal dl pinggir jalan, maka pelayan rumah itu menyambutnya dengan hormat campur takut melihat penampilan Sebun Him. Apalagi karena beberapa hari ini Sebun Him tidak sempat bercukur sehingga sekitar bibirnya dan rahangnya ditumbuhi cambang pendek kaku.
"Hendak bersantap apa, tuan?" tanya pelayan.
"Sediakan saja arak lebih dulu," kata Sebun Him dingin. "Masakannya boleh kau pilihkan sendiri...."
Kata pelayan itu, "Meskipun kota ini jauh dari laut, tetapi makanan mi kepiting kami terkenal lezat sehingga orang-orang..."
"Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya.
Tak lama kemudian, apa yang dipesan oleh Sebun Him itu sudah tersedia di atas meja. Setelah menenggak beberapa cawan arak yang cukup harum baunya, Sebun Him dapat juga sedikit melupakan kesedihannya. Dan asap mie kepiting yang mengepul menerobos lubang hidungnya itu membuat perutnya lapar juga. Ketika habis semangkok, bahkan ia memanggil pelayan untuk ditambah semangkuk besar lagi.
Tengah anak muda yang sedang bersedih itu melupakan kesedihannya barang sejenak, tiba-tiba di luar rumah makan itu terdengar derap kaki tiga ekor kuda, dan ketiga ekor kuda itupun ternyata berhenti di depan rumah makan itu. "Ambilkan semangkuk buatku," potong Sebun Him dingin sambil mengibaskan tangannya.
Mereka adalah seorang lelaki setengah baya yang berbaaan tegap dan menggantungkan sebatang golok besar di pinggang kirinya, dengan tampang yang angker. Seorang lagi adalah seorang wanita setengah baya berpakaian ringkas dan pundaknya tertutup mantel dari bulu yang agaknya cukup mahal namun wanita itu sendiri sederhana dan riasan wajahnya tidak berlebihan.
Yang terakhir seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun, berpakaian ringkas pula dan juga mantel penutup pundak dan punggungnya, membawa golok yang lebih tipis dan lebih kecil ukurannya dari lelaki itu di pinggangnya. Rambutnya dikuncir menjadi dua, sepasang matanya bulat besinar seperti bintang dilangit, sehingga meskipun Sebun Him sedang bersedih tapi matanya tertarik juga oleh gadis itu.
Dan agaknya gadis itupun cukup lincah mengendalikan kudanya. Begitu tiba di depan rumah makan itu ia menarik keras-keras kendali kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, namun gadis itu sendiri dapat menguasai keseimbangannya dan bahkan dengan lincahnya la meloncat turun seringan seekor kucing saja.
Kata gadis itu kepada lelaki dan perempuan setengah baya itu, "Ayah, ibu, rumah makan ini agaknya cukup bersih dan bau masakannyapun sedap. Ayo kita isi perut di sini! Sejak dari rumah paman Wihong di Tay-beng kita hanya makan bakpau melulu!"
Perempuan dan lelaki setengah baya itu agaknya orang tua dari gadis yang lincah itu. Si perempuan setengah baya itupun meloncat turun deri kudanya namun samtfii pura-pura menggerutu ia tertawa Juga, "kau anak perempuan tetapi yang kau pikirkan hanya makan saja, apa kau tidak takut tubuhmu menjadi bundar seperti babi?"
Gadis itu nampaknya biasa dimanja, di seretnya tangan ibunya masuk ke rumah makan itu, dan tidak peduli ayahnya sudah setuju atau tidak, ia langsung melambaikan tangan kepada seorang pelayan dan bertanya, "Apa makanan paling enak di tempatmu ini...?"
Selanjutnya;