Pendekar Naga dan Harimau Jilid 25Karya : Stevanus S.P |
"Puteriku... puteriku... sungguh malang nasibmu", ratap perempuan setengah baya itu. "Setahun yang lalu aku kehilangan ayahmu dan sekarang aku harus kehilanganmu!"
Beberapa penduduk desa merasa iba dan mencoba menenangkan ibu gadis itu, "Sudahlah, toanio, relakan gadismu demi keselamatan seluruh desa. Banyak orang desa kita yang sudah kehilangan anak perempuan, dan agaknya kita memang tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya bisa menyerah kepada nasib saja. Itu lebih baik daripada seluruh desa ditimpa kutukan Manusia Kelelawar itu." Ucapan itu sama sekali tidak mengurangi kesedihan ibu dari gadis yang akan dikorbankan itu, namun terasa juga kebenarannya. Selain pasrah kepada nasib, memangnya orang-orang desa itu bisa apa lagi? Melawan sama dengan bunuh diri. Membangkang dengan cara tidak menyediakan seorang gadis perawan setiap beberapa hari tertentu untuk dihisap darahnya oleh si Manusia Kelelawar, juga sama saja dengan bunuh diri, sebab akan menimbulkan kemarahan Manusia Kelelawar dan anak buahnya. Beberapa saat yang lalu, orang desa mengusahakan cara lain, yaitu dengan mengirimkan dua orang lelaki desa yang paling kuat dan paling berani untuk menuju sebuah kota terdekat yang ada tentara kerajaannya, untuk minta perlindungan dari tentara kerajaan. Tetapi kedua orang itu tidak pernah sampai ke tujuannya, sebab keesokan harinya orang hanya menjumpai dua butir kepala mereka tergeletak di tengah jalan desa, sedang tubuhnya entah ke mana. Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi penduduk untuk melawan siluman kelelawar yang merajalela di desa mereka itu. Satu-satunya jalan adalah menyerah dan mengorbankan gadis demi gadis ke kuburan kuno itu, sesuai dengan permintaan si siluman, sampai suatu saat nanti desa itu bersih dari anak perawan. Orang-orang Hwe-liong-pang yang mengintip di balik rumpun ilalang itu, dan juga Tong Lam-hou yang ikut mengintip di luar tahunya orang-orang Hwe-liong-pang itu, kini mulai mengerti duduk persoalannya. Penduduk desa kecil itu memang sedang dicengkam ketakutan dan keputus-asaan, maka pantaslah kalau sikap mereka begitu aneh kepada Tong Lam-hou tadi. Kini para pengintip itu hanya menunggu kejadian-kejadian berikutnya. Tak lama kemudian, di tengah keheningan malam terdengar suara kibaran-kibaran baju yang membuat wajah para penduduk desa tegang. Merekapun terdiam ketakutan, bahkan yang menangis takut kehilangan anaknya itupun menahan tangisnya sekuat tenaga. Penduduk desa tahu bahwa "pasukan kelelawar" sudah datang, mendahului kedatangan pemimpin mereka. Di kegelapan malam yang dilatar-belakangi oleh bulan sepotong yang bercahaya redup, memang nampak di angkasa tiba-tiba dipenuhi dengan "kelelawar-kelelawar" raksasa yang berloncatan dari pohon ke pohon. Dan kemudian merekapun bergelantungan dengan kepala di bawah dan kaki mengait dahan diatas, persis seperti kelelawar-kelelawar asli. Namun ketajaman mata Tong Lam-hou dapat mengetahui bahwa merekalah manusia-manusia yang berpakaian hitam-hitam seperti kelelawar, dan mengenakan kedok yang mirip muka kelelawar pula. Jubah mereka yang hitam itu juga dijahit sedemikian rupa sehingga apabila mereka tengah meloncat dan jubah mereka berkibar maka akan mirip sayap kelelawar. Tong Lam-hou tertawa dalam hati. Tipuan macam itu memang dapat membuat orang-orang di desa-desa lari ketakutan, namun bagi orang-orang kawakan di rimba persilatan, rasanya gertakan macam itu bersifat kekanak-kanakan. Seperti seorang anak nakal yang menakut-nakuti teman-temannya dengan topeng hantu-hantuan. Orang-orang dunia persilatan yang sesungguhnya akan lebih mempertimbangkan seorang yang ahli bermain senjata atau seseorang yang memiliki pukulan yang keras, daripada orang yang suka mengenakan topeng-topeng seram atau berlagak aneh-aneh macam itu. Karena gatal tangan melihat lagak "kelelawar-kelelawar palsu itu, Tong Lam-hou menjumput sebutir batu, lalu diincarnya salah satu "kelelawar" terdekat yang tengah bergantungan terbalik di dahan sebuah pohon. Disentilnya batu kecil itu ke arah betis dari "kelelawar" itu. Terdengar kelelawar gadungan itu mengaduh dan tubuhnyapun jatuh ke tanah, malangnya jidatnyapun terbentur batu dan langsung benjol. Maka sang "kelelawar"pun mengaduh-aduh tidak ada bedanya dengan orang biasa yang jempok kakinya kejatuhan batu besar, dan dengan agak sempoyongan ia berusaha untuk naik kembali ke pohon. "Kelelawar-kelelawar" lainnya maupun orang-orang desa terkejut mendengar kegaduhan itu. Belum lagi kegaduhan itu reda, tiba-tiba kembali seorang manusia kelelawar tiba-tiba menggigil kedinginan tanpa diketahui sebab-musababnya oleh rekan-rekannya. "Kelelawar" yang menggigil itu hanya merasakan sebutir batu mengenai punggungnya, namun batu itu mengandung hawa yang sangat dingin yang langsung meresap ke dalam tubuhnya, itulah gara-gara ulah Tong Lam-hou yang kali ini menyambitkan batunya dengan disaluri ilmu Han-im-ciangnya yang maha dingin itu. Kelelawar yang bertenggernya di dekat rekannya yang menggigil kedinginan itu berkata dengan suara tertahan "He, kenapa. Kau demam?" "Kelelawar yang kedinginan menyahut, "Ti...ti...tidak...apa-ap...apa... hanya men..da...dak.. aku ke..dinginan..." Suara giginya yang bergemerutuk jelas terdengar. Rekannya itu menjadi mendongkol, bentaknya, "Berperanlah sebaik-baiknya agar penduduk desa ketakutan terehadap kita." baru saja habis ucapannya, terasa sebutir, batu menyentuh pinggangnya tepat pada jalan-darah Siau-yau-hiat. Maka iapun tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal tak terkendali lagi, karena memang jalan darah itulah yang membuat orang tertawa apabila kena totokan. Baik "kelelawar" yang menggigil kedinginan maupun yang tertawa terpingkal-pingkal itupun tak dapat mempertahankan diri untuk bergelantungan lebih lama lagi di dahan. Berturut-turut merekapun jatuh ke tanah. Yang satu masih menggigil kedinginan seperti orang-orang kena malaria, yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal sambil berguling-guilng di tanah bahkan sampai mendekap perutnya sendiri. Dalam kemunculannya yang pertama tadi, kawanan kelelawar gadungan itu mencoba membikin ciut hati penduduk desa dengan berlagak seperti siluman-siluman asli. Berusaha menciptakan suasana yang seram, mencengkam dan menggetarkan agar penduduk selalu taat kepada perintah mereka. Namun setelah Tong Lam-hou turun tangan, bubarlah suasana mencengkam itu. Mana ada suasana seram kalau ada seorang yang tertawa begitu gelinya seolah-olah melihat pertunjukan lawak yang amat lucu? Dengan demikian suasana seram di kuburan kuno itupun sirna. Tongcu Hwe-liong-pang, Ya-hui-miao-Kwa Teng-siong yang ikut mengintai bersama empat orang anak buahnya itupun merasakan perubahan suasana itu. Bisiknya kepada anak buahnya yang ada di sampingnya, "Ada sesuatu yang mengganggu kelelawar-kelelawar gadungan itu. Entah apa." Sahut anak buahnya itu dengan berbisik pula, "Ya. Mungkin ada seorang yang berilmu tinggi telah turun tangan karena tidak suka melihat kesewenang-wenangan Liong Pek-ji kepada penduduk desa." "Mudah-mudahan tebakanmu benar." Sementara itu, Tong Lam-hou sudah tidak mengganggu lagi. Ia merasa gangguannya kali ini sudah cukup untuk meruntuhkan pamor para siluman gadungan itu di hadapan orang-orang desa. Kalau gangguannya berlebihan, Tong Lam-hou malahan kuatir si "Manusia Kelelawar" tidak akan muncul. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, kegaduhan-kegaduhan yang merusak suasana itu agaknya telah mempercepat kemunculan Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji yang terungkat kemarahannya karena merasa dia yang mengganggunya. Kegaduhan dari para "kelelawar" yang terpingkal-pingkal, menggigil kedinginan maupun mengaduh-ngaduh karena kepalanya benjol itu, tiba-tiba ditindih oleh pekikan nyaring yang menyeramkan. Dari balik gundukan kuburan kuno itu melayanglah sesosok tubuh hitam bagaikan kelelawar terbang di langit kelam, lalu mendarat ringan di depan kerumunan penduduk desa itu. Di bawah cahaya obor, orang yang baru muncul itu benar-benar bertampang menyeramkan, dan keseramannya berbeda dengan keseraman manusia-manusia kelelawar terdahulu yang dibuat-buat. Wajahnya asli dan tidak dihias supaya seram, namun wajah asli itupun sudah sangat seram sebab pucat seperti mayat, dengan bibir yang berwarna merah dan mata yang merah pula dan disudut-sudut bibirnya muncullah sepasang taring tajam yang agaknya tumbuh karena kebiasaannya menghisap darah sesama manusia itu. Jubahnya hitam berkibar-kibar tertiup angin malam, dan topi hitamnya yang lancip mirip topi setan Bu-siang dalam dongeng itupun menambah keseramannya. Penduduk desa sudah tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah manusia biasa dan bukan siluman, toh mereka tetap bergidik ketakutan. Di tempat persembunyiannya, Ya-hui-miao Kwa Teng-siong segera mengenal bahwa orang itu memang Sip-hiat-moehok Liong Pek-ji adanya, salah seorang pengikut Te-liong Hiangcu yang paling diandalkan dan juga paling keji. Namun Kwa Teng-siong tetap memberi isyarat kepada anak buahnya agar tetap bersembunyi lebih dulu, menunggu keluarnya si pembuat kegaduhan lebih dulu. Suasana gaduh yang mengacaukan suasana seram itu agaknya membuat Liong Pek-ji tidak senang. Sekaligus ia ingin memamerkan kekejamannya agar suasana seram itu dapat tetap mencengkam hati penduduk desa. Dengan suaranya yang dingin menggidikkan dan disertai pula bau busuk yang keluar dari mulutnya, Liong Pek-ji memanggil ketiga anak buahnya yang gaduh itu, ”Lo-su, Lo-liok dan Lojit, maju kemari!" Ketiga anak buahnya itupun bergerak maju tanpa berani membantah, namun wajah mereka menampakkan ketakutan hebat. Ulah mereka yang tidak mereka kehendaki sendiri itu agaknya telah membuat pemimpin mereka marah. Lo-jit yang bertotok jalan darah yang membuatnya tertawa itupun masih tertawa-tawa tertahan-tahan, tapi matanya menunjukkan sinar ketakutan, sehingga mukanya jadi aneh. Seperti tertawa tetapi juga seperti menangis. Setelah dekat, tiba-tiba Liong Pek-ji bergerak secepat kilat dan ketiga anak buahnya sendiri itupun roboh ke tanah, bahkan tidak sempat menjerit, hanya mengeluarkan suara mendengkur seperti babi disebelih. Di leher mereka muncul dua buah lubang yang diakibatkan oleh tikaman kedua jari Liong Pek-ji yang sekuat pisau baja itu. Keruan orang desa jadi menggigil ketakutan melihat kekejaman itu, apalagi ketika melihat Liong Pek-ji dengan tenangnya menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah itu. Kemudian ia berseru, "Siapa lagi yang ingin mengganggu kekhidmatan upacara minum darahku, mereka akan bernasib seperti ketiga tikus tak tahu diri ini. Nah, siapa lagi?" "Aku!" tiba-tiba dari sebuah rumpun semak terdengar jawaban yang mengejutkan semua orang. Lalu meloncatlah seseorang yang wajahnya tertutup secarik kain yang agaknya adalah robekan dari ujung bajunya sendiri. Dengan langkah yang tetap ia maju ke arah Liong Pek-ji tanpa rasa gentar sedikitpun. Dialah Tong Lam-hou yang tidak tahan melihat tingkah laku kejam dari Liong Pek-ji itu. Liong Pek-ji yang menatap Tong Lam-hou dengan heran bercampur marah. Apakah orang ini belum kenal siapa Sip-niat-mo-hok yang namanya ditakuti kaum rimba persilatan di seluruh Ouh-lam? "Bangsat, siapa kau? Kenapa kau tidak menyayangi nyawamu sendiri dengan mencampuri urusanku?" bentak Liong Pek-ji. Tong Lam-hou tertawa, "Dan kenapa kaupun membahayakan jiwamu sendiri dengan membentak-bentak aku?" Kemarahan Liong Pek-ji tak tertahan lagi, orang berkedok itu sudah keterlaluan menjatuhkan pamornya, apabila dibiarkan saja maka lama kelamaan orang-orang desapun tidak akan takut lagi kepadanya. Karena itu, Liong Pek-ji segera memekik seram dan tubuhnya-pun melesat ke arah Tong Lam-hou, kedua tangannya yang satu menusuk ke mata, lainnya menusuk ke leher. Cepatnya bukan main. Di tempat persembunyiannya, Kwa Teng-siong sendiri terkesiap melihat gerakan Liong Pek-ji yang dinilainya jauh lebih cepat dan mantap dari puluhan tahun yang lalu itu. Diam-diam ia menguatirkan keselamatan orang berkedok yang tidak dikenalnya itu. Tapi yang kemudian dilihatnya adalah sangat mengejutkan, sebab dengan gerakan miring yang sederhana maka orang berkedok itu telah berhasil menghindari serangan Liong Pek-ji itu. "Ha-ha-ha," orang berkedok itu tertawa. "Sesungguhnya bau mulutmu yang busuk itu lebih berbahaya dari tanganmu yang tak seberapa kekuatannya!" Alangkah marahnya Liong Pek-ji mendengar ejekan itu. Sesunguhnya ucapan Tong Lam-hou itu benar, bau mulutnya memang busuk luar biasa karena kegemarannya mengisap darah manusia dari gadis-gadis yang dikorbankan untuknya. Di tengah udara tiba-tiba tubuhnya berputar seperti gasing raksasa yang siap melindas hancur lawannya. Bentuk tubuhnya lenyap dan hanya kelihatan seperti segulung bayangan hitam yang melanda lawan, sepasang tangannya yang berkuku tajam-tajam itu pun mencakar kian kemari dengan cepat sehingga seolah-olah menjadi berpuluh-puluh tangan bergerak sekaligus. Tong Lam-hou mengerutkan alisnya dan ia pun tidak berani bermain-main lagi. Ia pernah bertempur dengan Tong King-bun dan Seng Cu-bok yang menurut kata paman Siangkoan-nya juga bekas Tongcu-tongcu pengikut Te-liong Hiangcu, namun kini Tong Lam-hou merasakan bahwa Liong Pek-ji agaknya beberapa tingkat lebih tangguh dari Tong King-bun maupun Seng Cu-bok. Namun ketangguhan itu masih belum cukup untuk mengalahkan Tong Lam-hou si murid tunggal dan murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan yang sudah mewarisi seluruh ilmu gurunya itu. Dalam deretan "Sepuluh tokoh paling sakti" yang digembar-gemborkan orang sejak beberapa puluh tahun yang lalu, nama Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan menduduki urutan pertama. Tong Lam-hou yang memang bermaksud akan menghajar Liong Pek-ji untuk membangkitkan keberanian penduduk desa, tentu saja tidak ingin dirinya diserang terus menerus tanpa membalas. Pusaran serangan lawan segera ia terjang dengan gerakan Beng-hou-tiau-kan (Harimau Galak Meloncati Parit). Tinjunya memang tidak menjadi berpuluh-puluh bayangan seperti lawannya, tetap kelihatan hanya satu, namun yang hanya satu itu mengandung kekuatan amat besar sehingga buyarlah serangan lawannya. Liong Pek-ji terpental mundur dengan wajah menampilkan rasa kecut dan tak percaya. Tong Lam-hou tertawa sambil mengacungkan tinjunya kepada lawan, tanyanya, "Bagaimana tinjuku tadi, enak?" "Bangsat, kau harus mampus agar semua orang tahu kehebatanku!" Namun baru saja ucapannya berakhir, malah Tong Lam-hou yang sudah menyerang lebih dulu secara beruntun. Jurus-jurus Tok-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san) yang diarahkan ke batok kepala, lalu Koay-bong-hoan-sin (Naga Siluman Memutar Tubuh), ditutup dengan Se-ceng-pay-Hud (Se-ceng Menyembah Buddha). Gerakannya saling susul dengan cepatnya, lebih cepat dari dari serangan Liong Pekji tadi, dan juga membawa deru angin kekuatan yang mengejutkan. Dalam tiga kali serangan saja si Kelelawar Siluman itu sudah didesak mundur enam langkah tanpa berkesempatan membalas serangan, bahkan berganti napaspun sulit. Menyadari bahwa dirinya telah bertemu dengan seorang lawan tangguh, maka Liong Pek-ji meraba kepinggangnya dan mengeluarkan senjatanya berupa sepasang sarung tangan yang terbuat dari benang logam halus dan di ujung jari-jarinya ada sepuluh kuku panjang dari logam yang panjangnya sejengkal lebih. Begitu kedua sarung tangan dipakai, muncullah sepasang tangan yang kebal senjata dan berkuku tajam yang kekuatannya seperti pisau belati baja. Kedua orang itupun segera bertempur dengan disaksikan oleh penduduk desa yang mulai menaruh harapan akan datangnya si malaikat penolong itu. Juga disaksikan oleh beberapa manusia kelelawar yang masih bergelantungan di dahan-dahan itu dengan penuh keheranan, karena mereka tidak menduga kalau ada juga seseorang yang sanggup bertempur seimbang dengan pemimpin yang mereka dewakan itu, bahkan mendesaknya. Tong Lam-hou yang memang benci segala bentuk kejahatan, apalagi kejahatan yang menyangkut nyawa orang yang tak berdaya, memang telah berkelahi seperti angin prahara yang berhembus dari lautan. Kekuatannya membuat pertahanan Liong Pek-ji bagaikan kekuatan raksasa, dan kecepatannya membuat Liong Pek-ji seakan tidak hanya menghadapi seorang lawan tetapi beberapa lawan sekaligus. Tendangan Pek-pian-hian-hoan-tui (Tendangan Berantai Seratus Perubahan) yang dimainkannya ibarat seekor naga sakti yang menyambar-nyambarkan ekornya, meluluh-lantakkan apapun yang menghalanginya. Begitulah kedua orang yang bertempur itu berkelebatan saling menyambar dengan sengitnya dengan jurus-jurus maut andalan mereka. Disaksikan oleh anak buah Liong Pek-ji yang kecewa melihat pemimpinnya tidak dapat segera unggul, penduduk desa yang harap-harap cemas untuk kemenangan Tong Lam-hou, dan orang-orang Hwe-liong-pang yang terpesona di tempat persembunyian mereka. "Luar biasa," desis Kwa Teng-siong. "Siapa orang berkedok itu? Andaikata aku yang harus berkelahi melawan si kelelawar busuk itu, paling banter hanya bisa seimbang saja, namun "orang berkedok telah berhasil mengurung dan menekan Liong Pek-ji seperti itu. Di dunia persilatan, tokoh yang sanggup berbuat demikian terhadap Liong Pek ji tidak banyak jumlahnya." Waktu itu memang Liong Pek-ji sudah terdesak benar-benar. Sepuluh kuku-kuku logamnya tak sanggup menyentuh Tong Lam-hou biarpun hanya ujung jubahnya, seolah-olah ia sedang berkelahi hanya dengan segumpal asap. Sebaliknya pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang menggeledek bertubi-tubi itu semakin berbahaya, jika mengenai pasti akan rontok seluruh tulang-belulang lawannya. Liong Pek-ji menjadi ngeri melihat bagaimana batu-batu besar dan pohon-pohon sebesar paha menjadi hancur atau tumbang bila tersentuh tangan atau kaki Tong lam-hou yang seperti palu godam baja itu. Masih untung buat Liong Pek-ji, bahwa Tong Lam-hou merasa belum perlu mengeluarkan ilmu Han-im-ciangnya yang dapat membekukan darah lawannya itu. Andaikata ilmu itu sampai digunakan, agaknya kematian Liong Pek-ji akan dipercepat waktunya. Kini dalam keadaan terdesak, Liong Pek-ji merasa tidak segan-segan untuk berbuat licik. Kepada anak buahnya yang bergelantungan di dahan-dahan seperti kalong itu ia berteriak, "Hei, kalian, bantu aku membunuh setan kecil ini!" Orang-orang yang bergelantungan di dahan dengan kepala di bawah itupun segera mengeluarkan sepasang pisau belati masing-masing, dan bagaikan sekawanan kelelawar yang diusik sarangnya, merekapun "beterbangan" meninggalkan dahan-dahan tempat mereka bergantungan, dan menerkam ke arah Tong Lam-hou dengan pisau-pisau yang berkilat-kilat di tangan mereka. Manusia-manusia kelelawar itu agaknya telah dilatih cara bertempur tersendiri oleh Liong Pek-ji. Dari satu dahan pohon mereka meloncat menerkam lawan, dan jika serangan luput maka mereka langsung menyambar dahan pohon yang terdekat dengan mengaitkan kaki mereka dan mempersiapkan serangan baru. Demikian berganti-ganti mereka menubruk ke arah Tong Lam-hou dan kemudian meloncat ke pohon, sehingga lama kelamaan Tong Lam-hou jengkel juga, apalagi karena kedudukan Liong Peik-ji yang sebenarnya tadi sudah terpojok jadi dapat bernapas kembali karena bantuan anak buahnya itu, bahkan ia mencoba balik mendesak Tong Lam-hou. Dalam keadaan seperti itu, Tong Lam-hou langsung saja menggunakan ilmu Han-im-ciangnya sambil tertawa, "Kalong-kalong busuk, malam ini kalian akan merasakan kelihaianku!" Ketika seorang manusia kelelawar melayang dari atas sebatang pohon dan hendak menikam dari belakang, Tong Lam-hou cepat menjatuhkan diri kesamping sambil menyambar kedua kaki korbannya dengan kedua tangannya, itulah korban kedua dari Han-im-ciangnya setelah yang pertama dengan sambitan batu tadi. Begitu kedua kakinya kena tercengkeram oleh Tong Lam-hou, si manusia kelelawar itu langsung merasa kakinya seolah-olah terperosok ke dalam sebuah sumur es. Hawa yang amat dingin menjalar dengan cepat dari kedua kakinya ke seluruh tubuhnya, membekukan seluruh aliran darahnya dan bahkan langsung menghentikan detak jantungnya. Ia terbanting dengan tubuh membiru beku dengan tatapan mata yang kosong, tanpa nyawa lagi. Kematian salah seorang teman mereka agaknya masih belum membuat para manusia kelelawar itu menjadi jera, meskipun mereka lebih berhati-hati sekarang. Namun mereka masih saja berloncatan dengan tangkasnya dari dahan ke dahan sambil menyambar-nyambarkan pisau mereka, sementara Liong Pek-ji melawan secara berhadapan. Tapi kini kawanan manusia kelelawar maupun Liong Pek-ji merasa ada udara maha dingin mengalir lambat di sekitar tubuh mereka, makin lama rasa dinginnya makin tajam sehingga pori-pori kulit terasa ditusuk ribuan jarum es. Darah semakin lambat mengalir dan dengan demikian mengganggu pula kelancaran gerak mereka. Lagi dua orang manusia kelelawar mati dengan tubuh beku. Sementara Liong Pek-ji sendiri terpaksa harus meloncat mundur berkali-kali menjauhi Tong Lam-hou karena udara dingin yang terpancar dari pukulan Tong Lam-hou hampir tidak tertahankan lagi. Serangan senjata atau serangan tangan masih bisa ditangkis, tapi kalau serangan itu berwujud aliran udara, mana bisa menangkisnya? Dengan terdesaknya Liong Pek-ji, Tong Lam-hou jadi lebih leluasa untuk "mempreteli" anak buah Liong Pek-ji yang berujud manusia-manusia kelelawar itu. Beberapa orang telah bergelimpangan di tanah. Dan kemudian Tong Lam-hou bukan sekedar menunggu sergapan mereka, namun iapun meloncat-loncat dari dahan ke dahan untuk mengejar mereka, bahkan ternyata Tong Lam-hou lebih tangkas dalam permainan di atas dahan itu. Melihat itu, Sip-hiat-mo-hok Liong Pek-ji menarik napas dengan hati yang terasa tawar, sadarlah ia bahwa kekalahan sudah di depan mata. Sejak tenaga dalam Siu-bok-tiang-seng-kangnya meningkat pesat, ia merasa dalam dunia sudah sulit dicari tandingannya. Tapi kini suatu kenyataan bahwa seorang yang tak dikenal saja telah membuat "pasukan kelelawar" andalannya itu berantakan tanpa arti. Jika ia berkeras kepala tetap di situ, maka itu adalah alamat kehancurannya. Karena itu Liong Pek-ji tidak menunggu sampai anak buahnya tertumpas habis, ia segera meloncat untuk kabur sambil memekik tinggi sebagai isyarat agar "pasukan kelelawar"nya mengundurkan diri... |
Selanjutnya;
|