Pendekar Naga dan Harimau Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 26

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
TAPI ternyata jalan mundurpun tidak selicin yang ia duga, sebab dari balik semak-semak berloncatanlah lima orang yang berpakaian hitam-hitam serba ringkas, menghadang jalan larinya. Bahkan salah seorang dari mereka langsung menghunus sepasang belati sambil membentak,

"Kelelawar busuk, setelah sekian tahun kau hidup bebas tanpa mendapat hukuman atas pengkhianatanmu kepada Hwe-liong-pang, kau kira malam ini nyawa busukmu bisa selamat lagi?"

Liong Pek-ji menghentikan luncuran tubuhnya, dan matanya yang tajam karena terbiasa menembus gelapnya malam itu. dapat mengenali siapa yang berbicara itu, seorang musuh lamanya yang wajahnya masih tetap dikenalnya meskipun sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Teriaknya terkejut, "Kucing malam busuk, kiranya kau! Hinggir atau aku harus merobek-robek tubuhmu?"

Si penghadang yang bukan lain adalah Ya-hui-miao Kwa Teng-sing itu tidak mau minggir. Bahkan tanpa banyak cakap lagi sepasang belatinya segera bergerak-gerak menyerang dalam jurus-jurus Ya-miao-sip-pat-sik (Delapan belas Jurus Kucing Liar). Tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan sepasang belatinya segera menghambur bagaikan hujan lebat yang menyiram bumi, mengeluarkan desisan angin yang menandakan kemantapan gerakannya.

Andaikata di tempat itu tidak sedang ada Tong Lam-hou, ingin rasanya Liong Pek-ji membereskan permusuhan lamanya dengan Kwa Teng-siong. Namun saat itu Liong Pek-ji tidak berminat untuk bertempur lebih lama lagi, ia harus kabur secepat-cepatnya dari tempat itu. Serangan Kwa Teng-siong itu sama sekali tidak diladeninya, namun hanya dihindari selangkah ke belakang dan kemudian tubuhnya melambung jauh bagaikan seekor kelelawar raksasa kabur dari situ. Sambil berteriak,

"Kucing busuk, kau boleh memperpanjang umurmu sekejap lagi, sebab aku sedang tidak berniat beramain-main denganmu!"

Tapi Kwa Teng-siong tidak mau melepaskannya. Lawan berjulukan "mo-hok" (Kelelawar Siluman) karena ilmu meringankan tubuhnya, tetapi dirinya sendiri juga ahli meringankan tubuh sehingga julukannya adalah Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam). Maka dengan sebuah bentakan keras iapun meloncat gesit dan memburu Liong Pek-Ji, keduanya seolah-olah dua ekor burung elang yang tengah berkejaran di udara.

Liong Pek-ji diam-diam mengeluh dalam hatinya karena Ya-hui-miao terus memburunya dengan sengit seperti itu. Untuk membebaskan diri, di tengah udara ia membuat gerakan Hui-eng-sia-hui (Elang Terbang Menyamping), tubuhnya yang tengah meluncur itu tiba-tiba bisa berbelok tajam, bersamaan dengan ke sepuluh kukunya yang menerkam pundak dan tengkuk Ya-hui-miao Kwa Teng-siong.

Kwa Teng-slong agak terkejut, satu-satunya cara menyelamatkan diri ialah dengan gerak Sip-hiong-kiau-hoan-hun (Mengempiskan Dada dan Berputar di Udara), tubuhnya melakukan jungkir balik yang manis dan kemudian mendarat ringan di tanah. Ia selamat, namun dengan demikian telah memberi kesempatan kepada buruannya untuk menghilang di hutan yang gelap sana.

Sementara itu sebagian dari manusia-mannusia kelelawar itupun sempat menyelematkan diri dengan meninggalkan kawan-kawan mereka yang tewas. Seperti cara datangnya, maka cara pergi mereka-pun seperti sekumpulan kelelawar yang terbang bergerombolan, sekejap kemudian sudah lenyap di hutan.

Setelah perginya musuh-musuh mereka, Tong Lam-hou hendak langsung meninggalkan tempat itu, sebab perjumpaannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang itu dikuatirkan akan memberi jejak penuntun kepada paman Siangkoan-nya yang tentu belum mau sudah sebelum berhasil meringkusnya kembali dan memaksanya menjadi Ketua Hwe-liong-pang.

Namun sebelum la beranjak pergi, orang tua yang menjadi pemimpin rombongan penduduk desa itu telah memanggilnya, "Anak muda, tunggulah! Kami amat berterimakasih atas pertolonganmu dalam mengusir siluman-siluman yang sudah beberapa bulan ini menyiksa kami dalam ketakutan dan keputus-asaan, bahkan beberapa gadis sudah dikorbankan untuk dihirup darahnya. Jika kau tidak keberatan, anakmuda, singgahlah sejenak di desa kami untuk menerima ucapan terima kasih kami. Juga tuan-tuan yang berbaju hitam itu."

Waktu itu Kwa Teng-siong dan keempat orang anak buahnya memang sudah mendekati Tong Lam-hou, dan memberi hormat sambil memperkenalkan diri, "Aku Kwa Teng-siong, Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) dari Hwe-liong-pang sangat kagum melihat kelihaian saudara tadi dalam mengusir iblis-lblis itu. Kalau saudara tidak keberatan, sudikah saudara membuka wajah saudara dan berkenalan dengan kami?"

Kesan Tong Lam-hou kepada orang-orang Hwe-liong-pang memang kesan baik, meskipun mereka adalah penentang-penentang Kerajaan Manchu pula, tapi sikap mereka yang selalu turun tangan untuk membela rakyat kecil itu membuat Tong Lam-hou hormat kepada mereka. Dalam pandangannya, orang-orang Hwe-liong pang tak ubahnya seperti prajurti-prajurit yang berusaha menciptakan ketertiban dimana-mana.

Ia sebenarnya tidak berkeberatan berkenalan dengan orang-orang Hwe-liong-pang ini, namun yang dikuatirkannya adalah jika jejaknya diketahui oleh paman gurunya, Siangkoan Hong. Maka Tong Lam-hou membalas hormat Kwa Teng-siong dan ia juga membuka penutup wajahnya, namun soal nama, la lebih suka memakai nama palsu saja.

Kwa Teng-siong memang agak tercengang bahwa orang berkepandaian setinggi itu ternyata belum pernah terdengar namanya pula dalam dunia persilatan. Tapi kemudian la menghapus keheranannya sendiri. Bukankah Ketua Hwe-liong-pang dulunya cuma seorang anak muda berandalan dari kota kecil An-yang-shia yang sama sekali tak terkenal, namun setelah menjadi Ketua Hwe-liong-pang ia mampu mengguncangkan dunia persilatan yang penuh dengan orang-orang sakti.

Setelah merasa cukup memperkenalkan diri dengan nama palsunya, Tong Lam-hou memohon diri, betapapun ia dicegah oleh orang tua pemimpin orang-orang desa itu.

"Hari sudah hampir tengah malam, kemana kau hendak berjalan?" tanya orang tua itu dengan heran.

Sahut Tong Lam-hou sekenanya saja, "Justru perjalanan di tengah malam lebih sejuk dan lebih tidak melelahkan dibandingkan di siang hari." Tak tertahan lagi Tong Lam-hou segera meninggalkan tempat itu.

Orang-orang Hwe-liong-pang pun segera pergi, tujuan mereka adalah puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san, wilayah Se-cuan! Rupanya mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Siangkoan Hong untuk menghadiri upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang dan sekaligus pengangkatan Ketua baru. Entah bagaimana perasaan mereka kalau mereka tahu bahwa yang baru saja mereka ajak bercakap-cakap itu sebenarnya adalah orang yang dicalonkan sebagai Ketua Hwe-liong-pang yang baru.

Sementara itu Tong Lam-hou sudah cukup jauh berjalan menembus gelapnya malam. Menjelang tengah malam, ia melihat ada sebuah kelap-kelip lampu di tempat sepi, dan setelah didekatinya ternyata adalah sebuah rumah sembahyang yang kecil namun bersih. Pintunya sudah tertutup rapat sebab saat itu sudah mendekati tengah malam.

Namun Tong Lam-hou tetap ingin mengetuknya untuk menumpang bermalam semalam. Ia berharap pendeta penunggu kuil itu akan cukup berbaik hati untuk mengijinkan numpang bermalam, sebab bagaimanapun lebih enak bernaung di bawah atap yang bebas dari gangguan embun malam atau gigitan semut.

Baru saja Tong Lam-hou mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, tiba tiba dirasanya ulu hatinya sangat nyeri. Mula-mula rasa nyeri itu dapat ditahannya dengan menggertak gigi, tapi makin lama makin menghebat sehingga Tong Lam-hou tidak tahan untuk tidak berguling-guling di tanah di depan pintu kuil itu. Keringat dingin mengalir deras dari seluruh pori-pori tubuhnya membuat tubuhnya basah kuyup.

Waktu itulah Tong Lam-hou ingat akan peringatan paman Siangkoan-nya agar jangan coba-coba lari dari pamannya itu, sebab jalan-darah kui-jong-hiat-nya telah tertotok secara aneh dengan ilmu totok warisan Bu-san-jit-kui. Selama totokan belum dibuka, maka setiap tengah malam ia akan mengalami derita semacam itu selama setengah sulutan hio.

Waktu siksaan yang cukup untuk membuat seseorang jadi gila atau bunuh diri. Dan itu akan berlangsung terus tiap malam sampai ada seseorang yang mampu membebaskan totokan itu. Tadinya Tong Lam-hou tidak percaya kalau dunia ada ilmu totokan sekejam itu, namun sekarang barulah ia percaya bahwa padannya tidak cuma membual.

Pada saat Tong lam-hou menggeleser-geleser ditanah seperti cacing kepanasan dan mulutnya sampai berbuih karena menahan nyeri dalam tubuhnya, maka pintu kuil terbuka dan sebuah kepala gundul dengan sepasang alis tebal kelabu dan mata yang bersinar lembut. Namun mata itu jadi memancarkan rasa iba dan terkejut ketika melihat keadaan Tong lam-hou. Cepat didekatinya tubuh anak muda dan ia berjongkok di dekatnya.

Melihat ada orang berjongkok di dekatnya, Tong Lam-hou tak tahan untuk tidak merintih, "Taysu (bapak pendeta), tolong aku...."

Mata pendeta bertubuh kurus itu bercahaya, mulutnya bergumam seorang diri, "Kasihan anak muda ini, entah A-ciau atau A-hong yang berbuat ini kepadanya..," lalu jari-jari tangannya secepat kilat menotok beberapa jalan darah di tubuh Tong Lam-hou, dan rasa sakitnya perlahan-lahan reda. Lalu sepasang tangan yang kurus itu mengangkat tubuh Tong Lam-hou yang tinggi dan tegap itu dengan ringannya seolah-olah mengangkat boneka dari jerami saja, dan melangkah masuk ke dalam kuil.

Andaikata otak Tong Lam-hou sedang dalam keadaan cukup jernih untuk memikirkan segala sesuatunya, tentu diapun akan merasakan beberapa kejanggalan yang ada pada diri si hweshio kurus di kuil terpencil itu. Namun saat itu Tong Lam-hou sedang malas memikirkan apapun. Bahkan ketika ia dipondong masuk, maka tanpa sungkan-sungkan Tong Lam-hou meramkan matanya untuk tidur dalam gendongan pendeta kurus itu. Ia masih merasa ketika dibukanya matanya sedikit ketika langkah-langkah hweshio itu meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu.

Tong Lam-hou baru saja hendak pulas ketika tiba-tiba sebuah pikiran melintas di otaknya dan iapun terkejut sendirinya. Terngiang ucapan Paman Siangkoan-nya bahwa di dunia ini selain paman Siangkoan sendiri hanya ada dua orang yang bisa membebaskan rasa sakit akibat totokannya, yaitu Te-liong Hiangcu yang nama aslinya Lim Hong-pin? Hweshio kurus tadi ternyata dengan beberapa totokannya telah berhasil melenyapkan rasa nyerinya, jadi dia...dia adalah...

"Celaka duabelas!" teriak Tong Lam-hou dalam hati. "Hweshio kurus tadi mungkin sekali adalah saudara-seperguruan ayahku yang paling bungsu, yaitu Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin! Kalau begitu aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebab kalau dia tahu aku kabur dari paman Siangkoan maka dia pasti akan meringkus aku dan menyerahkan aku kembali kepada paman Siangkoan. Dan aku tidak akan dapat melawan, jika dia bermaksud demikian, sebab ilmunya pasti setingkat dengan Te-liong Hiangcu dan paman Siangkoan!"

Mendapat pikiran yang demikian itu, cepat-cepat Tong Lam-hou menendang selimutnya lalu meloncat turun dari tempat tidur dan dengan terburu-buru dikenakannya sepatunya yang terletak di bawah tempat tidur. Namun begitu ia membuka pintu, denyut jantungnya terasa berhenti bekerja, karena di depan pintu itu sudah menghadang si hweshio kurus penghuni kuil kecil itu. Meskipun hweshio itu tersenyum lembut, tapi dalam pandangan Tong Lam-hou senyumannya itu mengingatkannya kepada sang paman Siangkoan yang selalu memaksanya untuk menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu.

Apalagi ketika hweshio kurus itu dengan nada yang sabar, "Sejak aku menggendongmu masuk kemari dan melihat kalung batu giok hijau yang berukir nama Tong Wi-siang di lehermu itu, aku sudah dapat menebak siapa dirimu. Anak-muda, siapa namamu?"

Tong lam-hou menggeram, "Taysu, aku berterima kasih atas pertolongan taysu yang telah membukakan jalan darah kui-jong-hiat yang menyiksaku itu, tapi jika taysu hendak menjadikan aku seperti boneka hidup, jangan harap!"

Hweshio kurus itu tercengang dan nampak terheran-heran melihat keberangan Tong Lam-hou. Katanya, "He, anak muda, kau ini mengingau atau bagaimana? Siapa yang hendak menjadikanmu boneka? Aku hanya akan bertanya beberapa hal kepadamu, setelah itu kau bebas akan menginap di sini atau meneruskan perjalananmu di tengah malam buta seperti ini."

"Bertanya tentang apa?" tanya Tong Lam-hou dengan sikap tetap waspada, meskipun ia tahu bahwa sikap siap melawan itu akan percuma saja jika yang dihadapannya itu benar-benar Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin yang ilmunya setingkat dengan Te-liong Hiangcu maupun Thian-liong Hiangcu itu.

Hweshio kurus itu tenang-tenang saja melihat sikap Tong Lam-hou itu, bahkan ia melangkah masuk dan duduk di sebuah kursi dalam ruangan itu dan berkata, "Aku ingin bertanya tentang siapa orangnya yang menotok jalan darah kui-jong-hiat mu itu."

Perlahan-lahan Tong lam-hou mulai percaya bahwa hwesshio kurus itu nampaknya bukan seorang yang gemar memaksa orang seperti paman Siangkoan-nya itu. Maka dijawabnya, "Seorang bernama Siangkoan Hong, berasal dari kota Jiat-ho."

Mata hweshio kurus itu bersinar ketika mendengar disebutnya nama itu. "Pantas saja bertahun-tahun aku tidak menemuinya, kiranya dia berada di Jiat-ho yang terletak jauh di timur laut sana."

"Kenapa dia menotokmu, apakah ia bermusuhan dengamu?" tanya si hweshio lagi.

"Bolehkan aku tidak usah menjawab pertanyaan ini?"

Hweshio itu menarik napas."Aku tidak memaksa jika kau keberatan."

"Hanya itu saja pertanyaan-pertanyaan dari tay-su?"

"Masih ada lagi. Aku tahu pasti kau anak Tong Wi-siang, sebab kalung batu hijaumu itu kukenal sebagai milik Tong Wi-siang, dan raut wajahmu juga mirip raut wajah Tong Wi-siang. di waktu muda. Nah siapa namamu?"

Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak, namun rasa percayanya kepada hweshio kurus itu telah semakin menebal, sehingga ia pun menjawab berterus-terang, "Namaku Tong Lam-hou."

"Nama yang bagus. Tapi aneh, kalau kau anak Tong Wi-siang, kenapa sampai Siangkoan Hong memberimu totokan yang menyiksa itu? Apakah dia tidak tahu bahwa kau anak Tong Wi-siang?"

"Justru dia kuatir aku kabur dari padanya maka dia menotok jalan darah Kui-jong-hiatku," sahut Tong Lam-hou sambil menatap tajam hweshio kurus itu untuk mencoba menyelidiki bagaimana sikapnya, lalu melanjutkan, "Dia ingin memaksaku untuk menjadi Ketua Hwe-liong-pang, tapi aku kabur karena aku tidak suka."

Hweshio kurus itu ternyata tenang-tenang saja mendengar jawaban itu, paling-paling ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas, "Ah, bertahun-tanun aku mengurung diri di tempat sunyi ini, tidak tahu kalau di dunia luar sudah sibuk kembali dengan Hwe-liong-pang...."

Saat itulah Tong Lam-hou merasa semakin yakin akan hwesshio tua di hadapannya itu, bahkan ia juga yakin hweshio tua yang nampak lembut dan sabar itu tentu bukan seorang yang kasar dan keras kepala seperti Siangkoan Hong. Maka dengan memberanikan dirinya Tong Lam-hou memanggil, "Paman Lim..."

Benar juga, hweshio itu terlonjak kaget ketika mendengar nama aslinya yang sudah hampir dilupankannya itu tiba-tiba disebut kembali, wajahnya kelihatan dan sekaligus terharu. Dengan mata bersinar-sinar ia berkata “Tong Lam-hou, otakmu cukup tajam, Lam-hou, hanya dari beberapa patah kalimat saja sudah dapat kau tebak siapa diriku. Aku memang Lim Hong-pin, orang keempat dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang dulu, dan gelarku adalah Kim-liong Hiangcu."

Sejak turun gunung, Tong lam-hou sudah bertemu dengan seorang bibi dan beberapa paman, entah paman kandung entah paman guru, namun baru kali ini ia merasa mendapat "paman" yang sebenarnya karena sikap Lim Hong-pin yang sangat baik itu. Cepat-cepat ia menekuk lutut untuk memberi hormat sambil berucap, "Aku memberi hormat kepada paman, maafkan sikapku yang agak kasar tadi, karena akupun mengira bahwa paman Lim akan bersikap seperti paman Siangkoan yang meringkusku dan memaksaku menuruti segala rencananya."

Dengan kedua tangannya Lim Hong-pin membangunkan Tong Lam-hou dari berlututnya, "Anak baik, berdirilah. Bertahun-tahun paman Siangkoan-mu itu tidak bertemu denganku, ternyata sikap-sikapnya yang kasar dan mau menangnya sendiri itu belum berubah juga. Tapi kau harus tahu bahwa dia orang baik."

Tong Lam-hou segera duduk di kursi di hadapan hweshio kurus itu. "Aku tahu bahwa paman Siangkoan sangat baik kepadaku. Dua kali ia menyelamatkan nyawaku, yaitu ketika di Pak-khia dari incaran Te-liong Hiangcu, dan kedua kalinya di sebuah desa sebelah barat kota Tay-tong dari tiga orang anak buah Te-liong Hiangcu yang licik."

Wajah Lim Hong-pin yang selalu sabar dan nampak berseri itu tiba-tiba mengeras dan pandangan matanyapun menyala ketika mendengar nama Te-liong Hiangcu disebut. Telapak tangannya yang terletak di meja itu tiba-tiba mengepal mencengkeram meja, sehingga di pemukaan meja yang terbuat dari kayu keras itu muncul sebuah lubang besar, dan kayu yang dicengkeramnya itu menjadi bubuk halus dalam genggaman hweshio yang nampaknya kurus dan pucat itu.

"Te-liong Hiangcu...Te-liong Hiangcu..." geram Lim Hong-pin dengan gigi gemeretak. "Jadi, bajingan pengkhinat itu masih saja berkeliaran dengan bebas dan belum ada yang mengatasinya selama ini?"

Tong Lam-hou diam-diam melirik ke meja yang berlubang itu dan hatinya bergidik ngeri melihat kepandaian hwe-shio kurus itu.

Sementara itu Lim Hong-pin telah berkata lagi, "Kalau begitu, nampak sekali bahwa selama ini agaknya aku hanya mementingkan diriku sendiri. Selama aku hidup tenteram di tempat ini, ternyata si pengkhianat besar itu masih bebas berkeliaran dan bahkan mungkin membunuh-bunuhi teman-temanku yang setia kepada Toa-suheng Hwe-liong Pang-cu. Aku harus turun tangan segera.”

Tong Lam-hou berseru gembira, "Bagus, paman, kalau paman Lim bersedia turun tangan bersama-sama dengan paman Siangkoan, maka si iblis Te-liong Hiangcu itupun akan dapat segera ditumpas dan masyarakat menjadi tenang kembali."

Begitulah kedua orang itu jadi malah asyik bercakap-cakap sampai pagi, Tong Lam-hou yang harusnya beristirahat itu malahan melupakan rasa lelahnya dan keasyikan bercakap-cakap. Terhadap Lim Hong-pin yang berpikiran luas itu Tong Lam-hou tidak menyembunyikan apapun tentang dirinya, bahkan juga tidak tentang perihalnya ia menjadi seorang perwira Kerajaan manchu.

Mendengar bahwa Tong lam-hou adalah seorang perwira Manchu, ternyata Lim Hong-pin tidak marah dan tidak mengamuk, hanya berkata dengan kalemnya, "Tidak jadi soal seseorang itu berada dipihak manapun, asal ia membela yang lemah dari tindasan yang kuat, dia sudah betul. Kau menjadi perwira kerajaan itu hal yang tepat, tapi ada tempat yang lebih tepat lagi bagimu sebenarnya."

"Sebagai apa?" tanya Tong Lam-hou. "Sebagai Ketua Hwe-liong-pang."

Tong Lam-hou terkesiap. Apakah paman Lim-nya ini akan bersikap seperti paman Siangkoan-nya yang tidak segan segan memaksa? Lim Hong-pin tertawa ketika melihat rasa kejut di wajah Tong lam-hou. Katanya, "Jangan kaget, aku hanya mengusulkan dan kau dapat menerima atau menolaknya. Jika kau menolak, aku tidak apa-apa, tapi aku minta kau pertimbangkan pendapatku tadi."

"Kenapa paman berpendapat bahwa aku lebih cocok sebagai Ketua Hwe-liong pang daripada sebagai perwira Tentara Kerajaan Manchu?"

"Tadi kau bilang bahwa orang-orang Hwe-liong-pang masih mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Manchu, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Jika kau menjadi Ketua mereka, maka kata-katamu tentu akan didengar oleh mereka dan barangkali perlawanan orang-orang Hwe-liong-pang bisa dihentikan. Kekuatan mereka yang besar akan bisa diarahkan untuk perbuatan-perbuatan yang lebih berguna daripada sekedar setia membabi-buta kepada perjuangan Li Cu-seng dulu, sementara Li Cu-seng sendiri sudah tidak diketahui lagi mati hidupnya."

Tong Lam-hou termangu-mangu. Dalam hatinya timbul pertentangan pendapat, dan akhirnya ia cuma bisa menjawab secara samar-samar, "Akan aku pertimbangkan paman, yang paling kuutamakan dalam hidupku ini adalah mengusahakan perdamaian untuk seluruh rakyat, biar mereka dapat bekerja di ladang dengan hati yang tenang. Bukan seperti sekarang ini, di mana pertentangan-pertentangan yang terjadi di beberapa daerah telah membuahkan kesengsaraan bagi orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa."

Lim Hong-pin cukup bijaksana untuk menyadari bahwa anak muda itu tidak mungkin memutuskan hal yang amat penting itu hanya dalam waktu sekejap mata saja, tentu masih harus dipikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Tapi kepala gundul Lim Hong-pin pun terangguk-angguk mendengar perkataan Tong Lam-hou yang terakhir tadi, dan kekagumannya pun tumbuh kepada anak muda yang berpikiran luas dan tidak mementingkan dirinya sendiri itu.

Biasanya kalau seorang anak muda ditanya apakah tujuan hidupnya, maka jawabannya adalah jawaban dangkal yang itu-itu saja. Mencari kedudukan yang baik yang biasa memberi penghasilan yang baik pula, mencari isteri yang cantik dan baik budi untuk melahirkan anak-anaknya, lalu membentuk sebuah mahligai rumah tangga yang tenteram dan bahagia, kelaparan, Kekuatan dan ketidak-pastian masa depan? Ya terserah nasib mereka saja, aku toh bukan malaikat yang bisa mengubah nasib mereka?

Namun kini Lim Hong-pin mendengar seorang anak muda yang dengan mantap mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah mengusahakan perdamaian bagi orang-orang tertindas. Dan urusan diri pribadinya di nomor-duakan. Sikap yang bukan saja diucapkan tetapi juga telah diterjemahkan dalam tindakan, meskipun tindakan itu tidak selalu benar di mata orang lain, namun seseorang memang harus berani melangkah menggapai impiannya. Diam-diam Lim Hong-pin menilai bahwa pandangan anak-muda ini lebih luas dan lebih bijaksana dari ayah anak muda ini ketika dulu mendirikan Hwe-liong-pang.

Tong Lam-hou yang rencananya hanya akan semalam di kuil kecil itu, kemudian malah berada di sana sampai beberapa hari lamanya. Selama beberapa hari itu antara dia dan Lim Hong-pin banyak saling bertukar-pikiran mengenai bermacam-macam masalah. Dalam hal ilmu silat ia juga mendapat banyak perbaikan dari adik seperguruan mendiang ayahnya itu.

Ketika ia kemudian mengucapkan selamat berpisah dengan Lim Hong-pin maka dalam dirinya sudah terbit pemikiran-pemikiran yang lebih luas karena terpengaruh ucapan-ucapan paman-gurunya itu. Tentara Kerajaan bertugas mengamankan negara, orang-orang Hwe-liong-pang membela rakyat kecil yang menjadi isi dari negara itu, kedua tujuan yang sebenarnya bisa berjalan sejajar tetapi kenapa setiap kali Hwe-liong-pang mesti bentrok dengan tentara Kerajaan? Demikianlah, sambil melangkah kembali menuju ke Pak-khia, Tong Lam-hou bergelut dengan pikirannya sendiri.

* * * * * * *

Di Tiongkok ada lima buah gunung besar yang dianggap keramat oleh rakyat, yang disebut Ngo-gak (Lima Gunung Suci), di antaranya adalah gunung Hoa-san yang dijuluki sebagai "Se-gak (gunung suci di wilayah barat). Pemandangan di gunung itu amat indahnya, dengan puncaknya yang tertutup kabut dan lereng-lerengnya yang segar. Dan di salah satu bagian yang sepi dari kaum pelancong, berdirilah bangunan yang megah berderet-deret. Itulah pusat dari perguruan silat Hoa-san-pay yang telah berusia ratusan tahun dan terkenal dengan ilmu pedangnya.

Pagi itu, ketika matahari belum terlalu menyengat dan hawa udara masih terasa hangat-hangat sejuk, ada seseorang yang tengah mendaki Hoa-san ke arah gedung pusat perguruan Hoa-san-pay itu. Orang itu melangkah dengan santai sambil menghirup udara yang segar, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri ketika melihat burung-burung kecil yang bergerombol di dahan-dahan pepohonan, atau kelinci-kelinci yang berloncatan lucu.

Semakin dekat ia ke pusat perguruan Hoa-san-pay, semakin banyak ditemuinya murid-murid Hoa-san-pay yang sedang melakukan latihan. Kebanyakan mereka tengah berlari-lari mendaki lereng-lereng yang terjal dengan sepasang kaki yang dibebani gelang-gelang besi atau kantong-kantong pasir. Namun ada juga yang sedang berlatih dengan pedang. Berlatih di tempat terbuka rasanya memang lebih menyegarkan daripada di dalam di dalam ruangan tertutup dalam suasana yang mencekam karena ditunggui oleh para guru besar yang berjenggot panjang dan berwajah angker.

Lelaki yang mendaki gunung itu sendiri adalah seorang lelaki berusia lebih kurang empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dengan kumis hitam rapi di atas bibirnya, berdada tegap dan bidang dan berpinggang ramping. Kepalanya sudah berhias dengan beberapa helai uban di bagian pelipisnya, namun justru menambah kewibawaan dan kematangannya. Kepalanya memakai topi biru berbentuk belahan semangka dan rambutnya dikuncir seperti kebanyakan lelaki di jaman Manchu itu, jubahnya berwarna kuning gading.

Apabila ia melangkah dan belahan samping jubahnya itu tersingkap, nampaklah sarung pedang yang berwarna perak tergantung di pinggangnya. Pedang peraknya itulah yang menjadi andalannya, dan membuat ia dikenal dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) di dunia persilatan. Namanya sendiri-adalah Auyang Seng, jago pedang yang paling menonjol di kawasan barat. Beberapa murid-murid muda Hoa-san-pay yang sedang berlari-lari di lereng gunung itu berhenti memberi hormat ketika berpapasan dengan Ayyang Seng sambil menyapa,

"Susiok (paman guru)" atau "Supek (uwa guru).”

Kedatangan Auyang Seng ke Hoa-san-pay disambut gembira oleh seisi perguruan itu, baik angkatan tuanya, angkatan yang sejajar dengannya maupun angkatan di bawahnya. Karena nama besar Gin-hoa-kiam Auyang Seng lah maka Hoa-san-pay memiliki kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan.

Lebih dulu Auyang Seng menemui Ketua Hoa-san-pay dan para sesepuh lainnya untuk menyampaikan salam hormatnya, setelah itu barulah ia sempat berbincang-bindang panjang lebar dengan saudara-saudara seperguruannya atau keponakan-keponakan muridnya yang banyak bertanya tentang pengalamannya di dunia luar.

Tengah pertemuan antara Auyang Seng dengan saudara-saudara seperguruannya berlangsung dengan hangat, tiba-tiba sorang murid angkatan muda masuk ke dalam ruangan itu, memberi hormat dan berkata, "Ciangkun Sucou (kakek guru Ketua) mengharapkan para Supek dan Susiok sekalian keluar ke aula."

"Ada apa? Biasanya Ciangbunjin selalu memanggil ke ruangan belakang dekat kolam teratai itu, kenapa sekarang malah menyuruh ke aula?”

Sahut murid-murid yang melapor itu, "Sebab kita mendapat beberapa orang tamu dari Ho-lian-pay, dan Ciangkun Sucou bersama beberapa sesepuh sedang menemui tamu-tamu itu di aula."

Salah seorang saudara seperguruan Auyang Seng yang bermuka berewok dan bernama Beng Ko-yan nampak mengerutkan alis mendengar laporan itu. Geramnya dengan nada kurang senang, "Lagi-lagi orang Ho-lian-pay itu, inilah kedatangan mereka yang ketiga dalam bulan ini. Dan masihkah mereka mengajukan tuntutan mereka yang tidak masuk akal itu?"

"Sudahlah, Beng Sute, kalau Ciang-bunjin memanggil kita maka kita harus segera pergi ke aula," kata Auyang Seng menenangkan saudara seperguruannya itu. “Tapi apakah tuntutan mereka itu?"

"Nanti kau akan mendengarnya sendiri di aula. Si tua He Keng-liang itu benar-benar menjemukan, ingin rasanya aku mencabut habis semua kumisnya biar tampangnya yang mirip tikus itu jadi kelimis."

Hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa mendengar gerutu Beng Ko-yan itu. "Ayo segera ke aula, jangan membiarkan Ciangbunjin menunggu terlalu lama!" kata Auyang Seng. "Jika He Keng-liang sendiri yang datang, mungkin aku bisa berbicara melunakkan hatinya, sebab aku dan dia pernah seperjuangan ketika menyerbu penjara kerajaan di Pak-khia."

Setelah merapikan pakaian mereka, maka merekapun berjalan menuju ke aula. Karena pusat perguruan Hoa-san-pay itu cukup luas, maka untuk mencapai aula saja mereka harus berjalan cukup jauh, melewati beberapa halaman-halaman yang luas, deretan-deretan rumah yang memanjang tempat tinggal para anggota Hoa-san-pay, kebun-kebun bunga dengan kolam-kolamnya yang indah, ruangan-ruangan latihan yang lengkap dengan alat-alat berlatih silat dan sebagainya.

Ketika mereka tiba di aula, maka suasana di dalam aula itu sedang tegang karena terjadi perselisihan pendapat yang tajam antara rombongan Ho-lian pay sebagai tamu dengan pihak Hoa-san-pay sebagai tuan rumah. Pihak Hoa-san-pay telah diwakili oleh empat orang sesepuh yang semuanya berumur rata-rata di atas enampuluh tahun, berjenggot putih dan berwajah penuh wibawa. Tiga orang di antara mereka adalah orang biasa dan yang seorang adalah imam agama To.

Merekalah tokoh tokoh yang disebut Hoa-san-su-lo (Empat Orang-tua Dari Hoa-san) yang nama baiknya maupun kewibawaannya dapat mempengaruhi persoalan apapun dalam dunia persilatan. Ketika Auyang Seng dan rekan-rekan seangkatannya yang berjumlah delapan orang itu masuk ke aula, maka merekapun lebih dulu memberi hormat kepada sesepuh-sesepuh mereka dan kepada para tetamu, barulah menduduki kursinya masing-masing.

Sedangkan pihak Ho-lian-pay memang dipimpin langsung oleh Ketua mereka, yaitu He Keng-liang, didampingi beberapa tokoh-tokoh utama lainnya. Jumlah mereka juga cukup besar, kira-kira empatpuluh orang yang semuanya bersikap tidak bersahabat, mata melotot dan tangan selalu menempel di gagang senjata. Sikap seorang yang mencari gara-gara.

"Jadi Ciangbunjin tidak bersedia menyerahkan orang itu kepada kami?" tanya He Keng-liang dengan suaranya yang nyaring menyakitkan telinga.

Ketua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han yang berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) karena kemahiran ilmu pedangnya, menarik napas dalam-dalam dan mengelus jenggotnya yang memanjang seperti benang-benang perak itu. Katanya sesabar mungkin, "Harap saudara He jangan cepat marah. Urusan ini tidak mudah dibuktikan dan aku tidak bisa sembarangan menyerahkah salah seorang anggota kami untuk dihukum oleh pihakmu. Andaikata terbukti sekalipun, kami sendirilah yang akan menghukum anggota kami itu dan orang lain tidak berhak untuk ikut campur."

Jawaban itu membuat orang-orang pihak Ho-lian-pay gelisah dan ingin segera turun tangan, tapi agaknya He Keng-liang masih belum menyuruh anak buahnya untuk turun tangan. "Saudara Kiau, kau tidak mau menyerahkan muridmu yang berkomplot dengan kaum kuku garuda Manchu dan melukai serta menewaskan beberapa orang anggota kami itu? Sikapmu ini bukankah menunjukkan bahwa kalian sebenarnya cenderung berpihak kepada bangsa Manchu?" kata He Keng-liang pedas.

Sebelum Klau Bun-han menjawab, maka seorang tua lainnya yang duduk disampingnya itulah yang menjawab dengan suara keras, "Omong kosong! Mana bisa kami berkomplot dengan bangsa Manchu? Justru banyak murid-murid kami yang melawan bangsa Manchu dimana-mana, entah bergabung dengan dinasti Beng, entah bergabung dengan sisa-sisa pengikut Li Cu-seng ataupun bertindak sendiri-sendiri! Hati-hati dengan mulutmu, He Ciangbunjin!"

Orang-orang yang bersuara keras itu adalah adik seperguruan Kiau Bun-han yang paling keras wataknya, bernama Lim Sin. Watak kerasnya itu sudah dibawanya sejak usia muda dan setelah ia menjadi seorang kakek ternyata wataknya tetap saja seperti itu. Tapi orang-orang rimba persilatan menghargainya, sebab ia dipandang sebagai seorang tokoh yang jujur dan berterus terang.

Sikap He Keng-liang nampaknya juga mulai mengeras dan tidak segan-segan memancing pertengkaran, "Kalau kalian tidak mau dituduh berkomplot dengan bangsa Manchu, kenapa kalian ngotot melindungi murid kalian yang bernama Kiongwan Hok itu? Serahkan Kiongwan Hok kepada kami dan kami pun akan pergi dari sini dengan damai!"

Lim Sin sudah hendak membantah lagi, namun ia menahan kata-katanya ketika melihat isyarat dari Kiau Bun-han, lalu Kiau Bun-han lah yang bicara, "Mohon beribu-ribu maaf, saudara He, dengan berat hati kami menolak permintaanmu untuk menyerahkan Kingwan Hok. Pertama, karena tuduhanmu itu belum ada buktinya dan tidak lebih cuma dikemukakan oleh orang-orang pihakmu saja, tidak ada seorangpun saksi dari pihak ketiga. Kedua, karena saat ini Kiongwan Hok sendiri sedang sakit jiwa."

Yang terkejut ketika mendengarkan hal itu adalah Auyang Seng. Sudah bertahun-tahun ia meninggalkan Hoa-San-pay untuk berkelana menunaikan darma bakti kependekarannya dan baru ini pulang, kembali ke perguruannya, tak terduga di perguruana ini telah terjadi banyak hal yang luar biasa. Ia masih ingat keponakan muridnya yang bernama Kiongwan Hok itu, seorang anak muda yang bukan saja berbakat baik untuk ilmu silat, namun juga memiliki kerajinan dan keuletan dalam berlatih sehingga ilmunya meningkat pesat, dan sifat-sifatnyapun tidak mengecewakan.

Dialah murid angkatan muda Hoa-san-pay yang terbaik menurut penilaian Auyang Seng waktu itu, dan diharap dapat menjunjung tinggi nama perguruannya di kemudian hari. Tapi kini Auyang Seng tiba-tiba mendengar bahwa anak muda itu menderita penyakit jiwa, dan oleh He Keng-liang juga dituduh berkomplot dengan bangsa Manchu, meskipun tuduhan itu belum tentu benar. Namun Auyang Seng menahan saja gejolak hatinya, ia merasa segan untuk menimbrung pembicaraan para sesepuh perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya."

Sesaat ruangan aula yang besar itu menjadi sunyi mendebarkan, agaknya Ho-lian-pay merasa agak sungkan juga kalau mereka harus bersikeras membawa orang yang sedang menderita sakit jiwa, sebab tindakan itu bisa dianggap keterlaluan oleh kaum dunia persilatan. Namun untuk menyerah begitu saja, agaknya orang-orang Ho-lian-pay itu sungkan juga, He Keng-liang segera bangkit dari duduknya dan berkata,

"Mudah-mudahan sakitnya Kiongwan Hok itu bukan alasan yang kalian buat-buat untuk menutup-nutupi kejahatannya. Kami akan kemari lagi tiga bulan kemudian dan berharap penjahat cilik itu sudah bisa kami bawa untuk dihukum di depan meja abu anggota-anggota kami yang tewas karena ulahnya. Kalau tiga bulan kemudian kalian masih belum mau menyerahkannya, hem, lihat saja bagaimana jadinya dengan Hoa-san-pay kalian ini!"

Adik seperguruan Kiau Bun-han yang berangasan itu meluap darahnya mendengar ucapan He Keng-liang bernada mengancam itu. Sahutnya, "Kalian orang-orang Ho-lian-pay harus cukup tahu diri dengan siapa kalian berhadapan. Dengan mampu mengukur kemampuan diri sendiri barulah kalian akan panjang umur."

Agaknya Lim Sin marah karena ia merasa bahwa Hoa-san-pay sebagai sebuah perguruan yang jauh lebih besar dari Ho-lian-pay telah bersikap terlalu, mengalah kepada perguruan yang kecil dan tidak terkenal itu. Beberapa anggota Ho-lian-pay nampak tersinggung dan melirik tajam kearah Lim Sin, namun karena Ketua mereka sudah berjalan menuju ke pintu keluar, maka merekapun mengikutinya. Tidak ada ucapan pamit atau mohon diri segala, yang ada cuma saling melotot dengan penuh kemarahan.

Salah seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan mendekati kakak seperguruannya yang menjadi Ketua Hoa-san-pay itu dan berkata, "Suheng, biar aku antarkan mereka sampai ke kaki gunung. Biarpun mereka bersikap tidak tahu adat, namun tidak perlu sikap tak tahu adat itu kita imbangi dengar sikap yang sama, supaya jangan sampai Hoa-san-pay kita dicela sebagai perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya."

Karena alasan yarg dikemukakan itu cukup masuk akal, maka Kiau Bun-han menganggukkan kepalanya. Yo Ciong-wan segera melangkah cepat menyusul rombongan orang-orang Ho-lian-pay yang sudah sampai diluar pintu itu, dan berkata kepada He Keng-liang, "He Ciangbun, marilah kuantarkan sampai ke kaki gunung."

He Keng-liang tidak menjawab dan hanya mengangguk angkuh, namun kedua orang itu diam-diam telah bertukar isyarat dengan kedipan mata mereka, yang artinya hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Kemudian Yo Ciong-wan berjalan berdampingan dengan He Keng-liang menuju ke kaki gunung.

Keduanya berjalan berdampingan beberapa langkah terpisah dari orang-orang Ho-lian-pay yang menyertai He Keng-liang. Dan dalam keadaan seperti itu keduanya bercakap-cakap meskipun harus dengan suara lirih untuk mengelabuhi orang lain.

"Kau belum berhasil menyelesaikan Kiongwan Hok?" tanya He Kang-liang tanpa memandang ke arah Yo Ciong-wan yang ditanyainya.

Sahut Yo Ciong-wan dengan sikap yang sama, "Sejak kedatangan pertamamu ke sini sebulan yang lalu, si gila itu seolah-olah menjadi benda mustikanya Hoa-san-pay. Penjagaan atas dirinya begitu kuat, sulit untuk turun tangan tanpa diketahui siapapun. Kecuali kalau aku rela kedokku terbuka dan kedudukanku dalam Hoa-san-pay hilang."

"Kalau begitu, ini sungguh berbahaya. Kiongwan Hok sesungguhnya tidak gila, hanya syarafnya yang kurang kuat telah mengalami kejutan hebat sehingga jiwanya tergoncang. Suatu saat ia akan berangsur-angsur pulih, dan dia akan membahayakan kita karena dia bisa menceritakan semua keadaan tentang tempat kita. Sejak Kui-kiong (Istana Iblis) kita berdiri, baru dialah satu-satunya orang yang kita tawan tetapi berhasil meloloskan diri."

"Benar. Kebocoran sekecil apapun harus segera ditambal sebelum menjadi semakin besar dan kita tak sempat lagi menutupnya."

"Kau punya pendapat?"

"Harus Hiangcu sendiri yang turun tangan, sebab dengan kepandaiannya yang tinggi itu tentu tidak sulit untuk menerobos penjagaan di sekitar tempat dipasungnya Kiongwan Hok. Di manakah Hiangcu sekarang?"

Mata He Keng-liang gemeredep sejenak, sambil tertawa dingin ia menjawab secara samar-samar, "Hiangcu ada di mana-mana."

Yo Ciong-wan terkesiap. Selama ini memang dia tahu bahwa orang yang berjalan bersama-sama dengannya itu bukan He Keng-liang yang asli. Tapi baru detik ini Yo Ciong-wan punya dugaan bahwa orang ini adalah samaran dari majikan Kui-kiong yang menyebut dirinya Te-liong Hiangcu, manusia dengan sejuta wajah. Tapi Yo Ciong-wan merasa lebih ia pura-pura bodoh saja daripada nyawanya melayang sia-sia.

Di kaki gunung, kedua orang itu saling memberi hormat dan berbasa-basi seperti layaknya seorang tuan rumah yang mengantarkan serombongan tamunya yang hendak pulang. Lalu Yo Ciong-wan-pun naik kembali ke atas gunung dengan wajah yang tetap dingin tanpa kesan apapun.

Sementaraa itu, di perguruan Hoa-san-pay sendiri, Auyang Seng telah tidak sabar ingin mendengar penjelasan tentang Kiongwan Hok. Begitu melangkah keluar dari aula, ia langsung mempercepat langkahnya untuk menjajari seorang saudara seperguruannya yang bertubuh tinggi besar dan bernama Sebun Siang.

"Sebun Suheng, aku benar-benar penasaran mendengar berita tentang Kiong-wan Hok, sebab dialah murid terbaik Hoa-san-pay untuk masa kini. Apa yang telah dialami sehingga ia sakit jiwa? Maukah Suheng bercerita secara lengkap kepadaku?"

Sebun Siang menarik napas dan menyahut, "Sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa pahit yang menimpa Hoa-san-pay kita, sebab dengan sakitnya Kiongwan Hok maka Hoa-san-pay kita telah kehilangan satu bibit yang bagus untuk masa depan. Kami Supek, Suhu dan para sesepuh lainnyapun sama-sama merasa prihatin dengan kejadian ini."

"Ya...ya...ceritakan cepat!" kata Auyang Seng tidak sabar.

Mau tidak mau Sebun Siang tersenyum, dan ia malah sengaja membuat Auyang Seng semakin tidak sabaran. Katanya, "Jangan tergesa-gesa, Sute, mari ke tempatku supaya bisa berbicara dengan tenang."

Perumahan orang-orang Hoa-san-pay itu memang luas, dan Sebun Siang sebagai seorang anggota yang agak tinggi kedudukannya menempati sebuah rumah di lingkungan tengah yang dilengkapi halaman dan kebun bunga segala. Ketika sebun Siang dan Auyang Seng melangkah masuk ke halaman itu, mereka melihat seorang anak muda yang tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya kekar, sedang bersilat dengan Hoa-san-kiam-hoai. (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Namun gerakan-gerakannya dilakukan secara terbalik semua, sebab anak muda tinggi besar itu memainkan pedang dengan tangan kiri alias kidal.

Melihat anak muda itu, Auyang Seng mengehntikan langkahnya, dan dengan kagum ia menyaksikan bagaimana tangkas dan mantapnya gerakan-gerakannya, setiap jurus dihayati setepat-tepatnya sesuai dengan watak jurus itu sendiri. Kadang-kadang gerakan pedangnya begitu lembut seperti seorang bidadari yang menari, di lain saat menjadi hebat seperti angin prahara yang menghantam bumi.

Dan untuk sesaat Auyang Seng tanpa sadar melupakan rasa ingin tahunya terhadap urusan Kiongwan Hok. Apabila anakmuda ini tidak gila, maka anak muda yang ada dihalaman ini agaknya hanya dapat dikalahkan oleh Kiongwan Hok di kalangan angkatan muda Hoa-san-pay.

Melihat Auyang Seng sedang memperhatikan anak muda yang berlatih silat itu, maka Sebun Siang juga menghentikan langkahnya dan berdiri di samping adik seperguruannya itu.

"Siapa anak muda ini?" Tanya Auyang Seng. "Muridku dan sekaligus puteraku, Sebun Him," sahut Sebun Siang.

Anakmuda yang disebut bernama Sebun Him itu agaknya tahu juga kalau dirinya sedang diperhatikan, maka ia-pun segera menghentikan latihannya dan memberi hormat kepada Sebun Siang berdua, "Ayah..." lalu ia ragu-ragu bagaimana harus menyebut orang yang bersama ayahnya itu.

Sebun Siang berkata, "A-him, kau pernah dengar seorang paman gurumu yang dirimba persilatan sangat terkenal dengan julukan Gin-hoa-kiam? Nah, itu dia yang berdiri di hadapanmu."

Sebun Him memang sudah lama mengagumi nama itu, maka alangkah gembira nya kfetika dirinya berhadapan muka dengan orang yang dikaguminya. Iapun membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Kiranya aku berhadapan dengan Auyang Susiok. Susiok, terimalah salamku dan ajarilah aku."

Auyang Seng tersenyum melihat sikap anakmuda itu, diam-diam ia berpikir meskipun Hoa-san-pay kehilangan Kiongwan Hok tapi boleh juga digantikan oleh Sebun Him ini. Tetapi alangkah baiknya kalau Kiongwan Hok juga dapat disembuhkan sehingga Hoa-san-pay akan memiliki sepasang jagoan muda yang dapat diandalkan untuk masa depan.

Kata Auyang Seng sambil menepuk-nepuk Sebun Him yang tegap kokoh itu, "Bagus, asal kau berlatih terus, kau akan menjadi ahli pedang yang lebih hebat dari padaku sendiri. Badanmu begitu kokoh dan tenagamu besar, dengan apa kau melatih kekuatanmu?"

"Dengan itu," kata Sebun Him sambil menunjuk ke pinggir halaman kecil itu. Di sana bergeletakanlah macam-macam alat latihan kekuatan seperti ciok-so (kunci batu) yang besarnya hampir dia kali lipat dari ciok-so yang dipakai orang lain.

Auyang Seng nampak sedikit mengerut alisnya ketika melihat alat latihan itu. Tanyanya lagi, "Bagaimana berlatih dengan alat itu dan seberapa beratnya?"

Dengan wajah bersinar-sinar karena bangga Sebun Him menyahut, "Aku melakukan tiap pagi dan sore. Setiap kali aku ayunkan ke arah mendatar dan menegak masing-masing duaribu limaratus kali, dengan tangan kanan maupun kiri."

Sambil menjawab maka Sebun Him memandang wajah paman gurunya dan menunggu keluarnya kata-kata pujian dari mulut sang paman-guru. Tapi Auyang Seng nampak tidak terkejut sedikitpun, malahan bertanya, "Kau mau tahu berapa gerakanku melakukan latihan yang sama setiap pagi?"

Sahut Sebun Him mantap, "Susiok seorang pendekar yang terkenal, barangkali susiok melakukan limaribu atau sepuluh ribu kali? Akupun akan berusaha meningkatkan terus sampai hitungan itu.”

Tapi jawaban Auyang Seng benar-benar mengejutkan, "Tidak, jika ingin ilmu pedangmu mencapai kesempurnaan, kau justru harus menguranginya. Aku hanya melakukan dua ratus kali, dan itupun dengan ciok-so yang ukurannya hanya separoh dari kepunyaanmu itu."

Sebun Him termangu-mangu mendengar jawaban itu, sementara ayahnya diam saja di pinggir gelanggang karena mengetahui bahwa hasil tanya jawab itu akan membuahkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu anaknya.

"Kenapa...kenapa susiok melakukan sesedikit itu?" tanya Sebun Him.

Dijawab oleh paman gurunya, "Sebab seorang ahli ilmu pedang harus berlatih menurut cara seorang ahli pedang pula, sedangkan kau berlatih seperti seorang ahli ilmu golok. Kau paham teori golok berjalan seperti harimau dan pedang berjalan seperti ular?"

"Aku pernah mendengarnya. Artinya, gerakah golok adalah cepat, kuat dan langsung, sedangkan gerakan pedang adalah cepat, lembut dan tidak langsung. Begitu bukan, susiok?"

"Benar. Dan karena teori itu maka mempengaruhi pula cara berlatih dari masing-masing pihak. Seorang ahli ilmu golok selalu berlatih untuk menguatkan lengannya, agar dalam mengayunkan goloknya ada tenaga yang besar yang kalau dapat membuat senjata musuh terpental. Tapi ilmu pedang mengutamakan latihan ketepatan, pemusatan pikiran kearah sasaran, dan penggunaan tenaga sekecil mungkin. Latihan mengangkat benda berat yang berlebihan bagi seorang pendekar pedang bukan meningkatkan ilmunya, tapi malahan akan membuat tenaganya berkeliaran tak terkendali di seluruh tubuh, dan bukannya terpusat ke ujung pedang. Latihan kekuatan memang perlu, tapi harus berhenti sampai batas tertentu, lalu dilanjutkan dengan latihan-latihan yang kelihatannya kurang berat tetapi lebih sulit, yaitu pemusatan pikiran ke sasaran yang kecil, kelenturan pergelangan tangan dan sebagainya. Itulah sebabnya seorang ahli ilmu pedang bisa menusuk seekor nyamuk yang sedang melayang di udara, sedang ahli ilmu golok tidak bisa. Kau paham tidak?"

Kepala Sebun Him terangguk-angguk, tetapi ia belum bisa menerima sepenuhnya, sebab ada perasaan tidak rela dalam hatinya kalau latihan beratnya yang dilakukan dengan tekun setiap pagi dan sore itu ternyata dianggap 'tidak' berguna oleh paman gurunya. Tanyanya, "Latihan kelenturan pergelangan tangan yang bagaimana, susiok?"

"Pergelangan tangan untuk seorang pemain pedang adalah penting, sebab banyak gerak tipu yang bersumber dari kelincahan pergelangan tangan. Bagi pemain golok tentu saja dirasa kurang penting, sebab mereka lebih memusatkan pada kekuatan pundak dan lengan."

Sambil berkata demikian Auyang Seng mengambil sebatang toya besi yang tersandar di dinding halaman, toya besi yang oleh Sebun Him bisa diputar-putarnya seringan lidi. Tapi Auyang Seng tidak ingin memutar-mutarnya, ia hanya berkata, '’Kita akan belajar menulis di udara."

Baik Sebun Siang maupun anaknya tercengang mendengar ucapan itu. Latihan apa-apaan itu? Bahkan dari guru-guru merekapun belum pernah mendengar adanya latihan "menulis di udara" itu.

Auyang Seng tersenyum melihat suhengnya dan putera suhengnya itu melongo heran. Katanya, "Memang latihanku ini adalah penemuanku sendiri, dan mudah-mudahan berguna buat perkembangan ilmu pedang Hoa-san-pay kita."

Toya besi itu sebenarnya tidak cukup berat apabila dipegang dengan cara biasa, panjangnya kira-kira satu setengah depa dan besar bulatannya atau garis tengahnya sebesar mangkuk kecil yang biasa digunakan di meja sembahyang. Namun ayah dan anak itu terkejut ketika melihat Auyang Seng memegang toya besi itu bukan di tengah-tengahnya melainkan diujungnya, bahkan ujung yang paling pinggir, hanya dengan satu tangan.

Lalu Auyang Seng menggunakan toya besi itu seperti sebatang pena untuk 'menulisi’ udara, sambil berkata, "Lakukanlah ini setiap pagi, dengan kekuatan pergelangan tangan, bukan dengan kekuatan seluruh lengan atau pundak."

Tanpa bergetar atau oleng sedikitpun, ujung toya besi itu mencoret-coret udara dengan gerakan menurut beberapa huruf, dari huruf-huruf yang sederhana sampai huruf-huruf yang rumit, dari gerakan yang perlahan sampai gerakan yang cepat seolah sedang menulis "Co-Ji" (huruf rumput) di atas kertas. Dan ketika dua orang ayah beranak itu melihat ke tangan Auyang Seng, benar juga, yang bergerak-gerak ternyata hanya pergelangan tangannya, lincah dan mantap, sedang siku dan pundak tidak bergerak sedikitpun.

"Hebat, sute!" tak terasa Sebun Siang berseru.

Sebun Him juga merasa kagum, tetapi la masih belum bisa menerima sepenuhnya "angin baru" yang dibawa oleh paman gurunya itu. Bukankah selama ini la berlatih dengan caranya itu dan ternyata ia menjadi paling unggul di antara rekan-rekan seangkatannya? Bukankah para paman guru maupun uwa guru yang lain juga belum pernah menegur cara latihannya?

Ketika Auyang Seng selesai dengan "pertunjukan"nya, sang paman guru itu berkata, "Jadilah seniman pedang, bukan sekedar tukang bacok."

"Paman, dalam memainkan jurus-jurus yang sebenarnya, maukah paman menunjukkan kegunaan dari latihan semacam itu?" desak Sebun Him penasaran.

Auyang Seng tertawa dalam hati karena tahu isi hati anak muda itu, namun Auyang Seng sendiri sudah bertekad bahwa demi perkembangan anak muda itu sendiri di kemudian hari, ia memang akan merombak semua cara latihan kuno di perguruannya itu. Ia ingin Hoa-san-pay dikemudian hari akan penuh bertaburan dengan pendekar-pendekar muda yang dapat diandalkan, yang lebih hebat dari angkatan tua mereka.

"Sutit (keponakan murid), gerakan Pek-wan-tau-pay-thian-teng (Si Monyet Putih Mencuri Buah dan Menyembah langit) tadi terdiri dari unsur mengiris, menekan senjata musuh ke bawah, lalu menikam. Gerakan pedang mengiris kau lakukan terlalu melebar sehingga pertahananmu terbuka dan mengganggu gerakan berikutnya, sebab gerakan itu seharusnya hanya kau lakukan dengan kibasan pergelanganmu tapi kau telah melakukannya dengan ayunan seluruh lengan. Kalau suatu gerakan disebut 'mengiris' ya harus kau lakukan dengan baik dan bukannya kau rubah sendiri dengan 'menebas' mengerti? Menabas ada caranya sendiri."

"Bisakah paman memberi contoh?"

"Ambil pedangmu dan bersiaplah," kata Auyang Seng, dan ia sendiripun menarik keluar pedangnya.

Wajah Sebun Him berseri gembira, katanya di dalam hati, "Nah, sekarang akan aku tunjukkan kepada susiok bahwa meskipun aku memerlukan banyak perbaikan tetapi tidak sebodoh yang diduga oleh paman."

Keduanyapun tersiap berhadapan, lalu terdengar Auyang Seng berkata, "Aku akan menyerang dengan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-teng tadi. Awas!"

"Aku siap, susiok," sementara dalam hatinya berkata, "Aku akan gunakan Pek-lou-heng-kang (Embun Putih Menyeberangi Sungai) untuk membentur pedang susiok, lalu kulanjutkan dengan Liu-hun tui-gan (Awan Meluncur Mengejar Belibis), tentu pedang susiok akan terkunci dan sulit melanjutkan gerakan apapun."

Ketika ujung pedang Auyang Seng benar-benar bergerak dalam sebuah sabetan pendek ke lehernya, maka Sebun Him benar-benar membenturnya dengan gerakan yang direncanakan. Ia mengharap pedang paman gurunya terpental ke atas, tapi pedang perak itu justru menekan ke bawah dan dengan sebuah putaran dengan pergelangan tangannya, tahu-tahu pedang Sebun Him telah "terbelit" dan kemudian dicungkil jatuh dari tangannya. Di lain detik ujung pedang Auyang Seng sudah menempel di dada keponakan muridnya itu.

Merahlah muka Sebun Him, maka dia sadar akan kelihaian paman gurunya itu. Tidak malu-malu lagi Sebun Him berkata, "Aku mohon susiok jangan cepat cepat pergi dari Hoa-san ini, aku mohon banyak petunjuk dari paman."

Auyang Seng menyarungkan pedangnya dan menepuk pundak Sebun Him sambil berkata, "Hanya sebagian dari latihanmu yang salah, tapi sebagian besar latihan lainnya sudah betul. Belajarlah terus. Sekarang aku akan berbicara dengan ayahmu lebih dulu."

Sebun Siang pun melangkah mendampingi adik seperguruan yang lebih pandai daripadanya itu, masuk ke ruangan tempat tinggalnya. Setelah mereka duduk berhadapan sambil menikmati teh, bertanyalah Au-yang Seng, "Nah, aku ingin segera mengetahui tentang Kiongwan Hok."

Wajah Sebun Siang nampak muram ketika ia memulai ceritanya, "Setahun yang lalu, atau kurang dari itu, yaitu setelah kau meninggalkan Hoa-san untuk berkelana di dunia persilatan. Hoa-san-pay kita menerima laporan dari penduduk desa tidak jauh dari kaki gunung, bahwa mereka mendapat gangguan dari segerombolan orang jahat. Tentara Kerajaan yang didatangkan dari kota terdekat tidak dapat menolong, bahkan banyak prajurit yang mati karena rombongan penjahat itu ada seorang yang lihai ilmu silatnya. Ciangbunjin lalu menyuruh Suheng Giok-seng Tojin untuk turun gunung membantu mengatasi tandang kaum penjahat. Giok-seng Suhengpun berangkat bersama dua orang murid yang paling diandalkannya, yaitu Kiongwan Hok dan searang lagi adalah Tan Yu-hian...."

Auyang Seng mendengarkan sampai sini sambil menganggukkan kepalanya. Ia kenal semua nama-nama yang disebutkan itu, hanya saja perasaannya merasa agak janggal ketika mendengar disebutnya nama Giok-seng Tojin, entah hal apa yang membuatnya merasa demikian, ia tidak tahu.

Sementara itu Sebun Siang melanjutkan kisahnya, "Ketiga orang itu meninggalkan Hoa-san-pay, dan tak terduga itulah awal dari malapetaka. Dusun yang harus dibebaskan dari gangguan penjahat itu letaknya tidak jauh dari kaki gunung, tentunya begitu Giok-sen Suheng bertiga selesai menjalankan tugas akan kembali ke gunung dalam tempo beberapa hari saja. Namun hampir satu bulan mereka tidak kembali. Ciang-bunjin mencemaskan bahwa ketiganya telah mengalami bencana, lalu disuruhnya beberapa dari antara kami menyelidik ke desa tempat kerusuhan itu, tapi desa itu sudah tenteram kembali sementara Giok-seng Suheng dan kedua muridnya tak dapat dicium jejaknya sedikitpun juga."

"Barangkali Giok-seng langsung membawa kedua muridnya itu untuk berkelana sebulan dua bulan di dunia persilatan untuk sekedar pengalaman kepada anak-anak muda itu?" Auyang Seng mencoba menebak...
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 26

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 26

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
TAPI ternyata jalan mundurpun tidak selicin yang ia duga, sebab dari balik semak-semak berloncatanlah lima orang yang berpakaian hitam-hitam serba ringkas, menghadang jalan larinya. Bahkan salah seorang dari mereka langsung menghunus sepasang belati sambil membentak,

"Kelelawar busuk, setelah sekian tahun kau hidup bebas tanpa mendapat hukuman atas pengkhianatanmu kepada Hwe-liong-pang, kau kira malam ini nyawa busukmu bisa selamat lagi?"

Liong Pek-ji menghentikan luncuran tubuhnya, dan matanya yang tajam karena terbiasa menembus gelapnya malam itu. dapat mengenali siapa yang berbicara itu, seorang musuh lamanya yang wajahnya masih tetap dikenalnya meskipun sudah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Teriaknya terkejut, "Kucing malam busuk, kiranya kau! Hinggir atau aku harus merobek-robek tubuhmu?"

Si penghadang yang bukan lain adalah Ya-hui-miao Kwa Teng-sing itu tidak mau minggir. Bahkan tanpa banyak cakap lagi sepasang belatinya segera bergerak-gerak menyerang dalam jurus-jurus Ya-miao-sip-pat-sik (Delapan belas Jurus Kucing Liar). Tikaman-tikaman dan sabetan-sabetan sepasang belatinya segera menghambur bagaikan hujan lebat yang menyiram bumi, mengeluarkan desisan angin yang menandakan kemantapan gerakannya.

Andaikata di tempat itu tidak sedang ada Tong Lam-hou, ingin rasanya Liong Pek-ji membereskan permusuhan lamanya dengan Kwa Teng-siong. Namun saat itu Liong Pek-ji tidak berminat untuk bertempur lebih lama lagi, ia harus kabur secepat-cepatnya dari tempat itu. Serangan Kwa Teng-siong itu sama sekali tidak diladeninya, namun hanya dihindari selangkah ke belakang dan kemudian tubuhnya melambung jauh bagaikan seekor kelelawar raksasa kabur dari situ. Sambil berteriak,

"Kucing busuk, kau boleh memperpanjang umurmu sekejap lagi, sebab aku sedang tidak berniat beramain-main denganmu!"

Tapi Kwa Teng-siong tidak mau melepaskannya. Lawan berjulukan "mo-hok" (Kelelawar Siluman) karena ilmu meringankan tubuhnya, tetapi dirinya sendiri juga ahli meringankan tubuh sehingga julukannya adalah Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Malam). Maka dengan sebuah bentakan keras iapun meloncat gesit dan memburu Liong Pek-Ji, keduanya seolah-olah dua ekor burung elang yang tengah berkejaran di udara.

Liong Pek-ji diam-diam mengeluh dalam hatinya karena Ya-hui-miao terus memburunya dengan sengit seperti itu. Untuk membebaskan diri, di tengah udara ia membuat gerakan Hui-eng-sia-hui (Elang Terbang Menyamping), tubuhnya yang tengah meluncur itu tiba-tiba bisa berbelok tajam, bersamaan dengan ke sepuluh kukunya yang menerkam pundak dan tengkuk Ya-hui-miao Kwa Teng-siong.

Kwa Teng-slong agak terkejut, satu-satunya cara menyelamatkan diri ialah dengan gerak Sip-hiong-kiau-hoan-hun (Mengempiskan Dada dan Berputar di Udara), tubuhnya melakukan jungkir balik yang manis dan kemudian mendarat ringan di tanah. Ia selamat, namun dengan demikian telah memberi kesempatan kepada buruannya untuk menghilang di hutan yang gelap sana.

Sementara itu sebagian dari manusia-mannusia kelelawar itupun sempat menyelematkan diri dengan meninggalkan kawan-kawan mereka yang tewas. Seperti cara datangnya, maka cara pergi mereka-pun seperti sekumpulan kelelawar yang terbang bergerombolan, sekejap kemudian sudah lenyap di hutan.

Setelah perginya musuh-musuh mereka, Tong Lam-hou hendak langsung meninggalkan tempat itu, sebab perjumpaannya dengan orang-orang Hwe-liong-pang itu dikuatirkan akan memberi jejak penuntun kepada paman Siangkoan-nya yang tentu belum mau sudah sebelum berhasil meringkusnya kembali dan memaksanya menjadi Ketua Hwe-liong-pang.

Namun sebelum la beranjak pergi, orang tua yang menjadi pemimpin rombongan penduduk desa itu telah memanggilnya, "Anak muda, tunggulah! Kami amat berterimakasih atas pertolonganmu dalam mengusir siluman-siluman yang sudah beberapa bulan ini menyiksa kami dalam ketakutan dan keputus-asaan, bahkan beberapa gadis sudah dikorbankan untuk dihirup darahnya. Jika kau tidak keberatan, anakmuda, singgahlah sejenak di desa kami untuk menerima ucapan terima kasih kami. Juga tuan-tuan yang berbaju hitam itu."

Waktu itu Kwa Teng-siong dan keempat orang anak buahnya memang sudah mendekati Tong Lam-hou, dan memberi hormat sambil memperkenalkan diri, "Aku Kwa Teng-siong, Hek-ki-tong-cu (Pemimpin Kelompok Bendera Hitam) dari Hwe-liong-pang sangat kagum melihat kelihaian saudara tadi dalam mengusir iblis-lblis itu. Kalau saudara tidak keberatan, sudikah saudara membuka wajah saudara dan berkenalan dengan kami?"

Kesan Tong Lam-hou kepada orang-orang Hwe-liong-pang memang kesan baik, meskipun mereka adalah penentang-penentang Kerajaan Manchu pula, tapi sikap mereka yang selalu turun tangan untuk membela rakyat kecil itu membuat Tong Lam-hou hormat kepada mereka. Dalam pandangannya, orang-orang Hwe-liong pang tak ubahnya seperti prajurti-prajurit yang berusaha menciptakan ketertiban dimana-mana.

Ia sebenarnya tidak berkeberatan berkenalan dengan orang-orang Hwe-liong-pang ini, namun yang dikuatirkannya adalah jika jejaknya diketahui oleh paman gurunya, Siangkoan Hong. Maka Tong Lam-hou membalas hormat Kwa Teng-siong dan ia juga membuka penutup wajahnya, namun soal nama, la lebih suka memakai nama palsu saja.

Kwa Teng-siong memang agak tercengang bahwa orang berkepandaian setinggi itu ternyata belum pernah terdengar namanya pula dalam dunia persilatan. Tapi kemudian la menghapus keheranannya sendiri. Bukankah Ketua Hwe-liong-pang dulunya cuma seorang anak muda berandalan dari kota kecil An-yang-shia yang sama sekali tak terkenal, namun setelah menjadi Ketua Hwe-liong-pang ia mampu mengguncangkan dunia persilatan yang penuh dengan orang-orang sakti.

Setelah merasa cukup memperkenalkan diri dengan nama palsunya, Tong Lam-hou memohon diri, betapapun ia dicegah oleh orang tua pemimpin orang-orang desa itu.

"Hari sudah hampir tengah malam, kemana kau hendak berjalan?" tanya orang tua itu dengan heran.

Sahut Tong Lam-hou sekenanya saja, "Justru perjalanan di tengah malam lebih sejuk dan lebih tidak melelahkan dibandingkan di siang hari." Tak tertahan lagi Tong Lam-hou segera meninggalkan tempat itu.

Orang-orang Hwe-liong-pang pun segera pergi, tujuan mereka adalah puncak Tiau-im-hong di pegunungan Bu-san, wilayah Se-cuan! Rupanya mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Siangkoan Hong untuk menghadiri upacara kebangkitan kembali Hwe-liong-pang dan sekaligus pengangkatan Ketua baru. Entah bagaimana perasaan mereka kalau mereka tahu bahwa yang baru saja mereka ajak bercakap-cakap itu sebenarnya adalah orang yang dicalonkan sebagai Ketua Hwe-liong-pang yang baru.

Sementara itu Tong Lam-hou sudah cukup jauh berjalan menembus gelapnya malam. Menjelang tengah malam, ia melihat ada sebuah kelap-kelip lampu di tempat sepi, dan setelah didekatinya ternyata adalah sebuah rumah sembahyang yang kecil namun bersih. Pintunya sudah tertutup rapat sebab saat itu sudah mendekati tengah malam.

Namun Tong Lam-hou tetap ingin mengetuknya untuk menumpang bermalam semalam. Ia berharap pendeta penunggu kuil itu akan cukup berbaik hati untuk mengijinkan numpang bermalam, sebab bagaimanapun lebih enak bernaung di bawah atap yang bebas dari gangguan embun malam atau gigitan semut.

Baru saja Tong Lam-hou mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, tiba tiba dirasanya ulu hatinya sangat nyeri. Mula-mula rasa nyeri itu dapat ditahannya dengan menggertak gigi, tapi makin lama makin menghebat sehingga Tong Lam-hou tidak tahan untuk tidak berguling-guling di tanah di depan pintu kuil itu. Keringat dingin mengalir deras dari seluruh pori-pori tubuhnya membuat tubuhnya basah kuyup.

Waktu itulah Tong Lam-hou ingat akan peringatan paman Siangkoan-nya agar jangan coba-coba lari dari pamannya itu, sebab jalan-darah kui-jong-hiat-nya telah tertotok secara aneh dengan ilmu totok warisan Bu-san-jit-kui. Selama totokan belum dibuka, maka setiap tengah malam ia akan mengalami derita semacam itu selama setengah sulutan hio.

Waktu siksaan yang cukup untuk membuat seseorang jadi gila atau bunuh diri. Dan itu akan berlangsung terus tiap malam sampai ada seseorang yang mampu membebaskan totokan itu. Tadinya Tong Lam-hou tidak percaya kalau dunia ada ilmu totokan sekejam itu, namun sekarang barulah ia percaya bahwa padannya tidak cuma membual.

Pada saat Tong lam-hou menggeleser-geleser ditanah seperti cacing kepanasan dan mulutnya sampai berbuih karena menahan nyeri dalam tubuhnya, maka pintu kuil terbuka dan sebuah kepala gundul dengan sepasang alis tebal kelabu dan mata yang bersinar lembut. Namun mata itu jadi memancarkan rasa iba dan terkejut ketika melihat keadaan Tong lam-hou. Cepat didekatinya tubuh anak muda dan ia berjongkok di dekatnya.

Melihat ada orang berjongkok di dekatnya, Tong Lam-hou tak tahan untuk tidak merintih, "Taysu (bapak pendeta), tolong aku...."

Mata pendeta bertubuh kurus itu bercahaya, mulutnya bergumam seorang diri, "Kasihan anak muda ini, entah A-ciau atau A-hong yang berbuat ini kepadanya..," lalu jari-jari tangannya secepat kilat menotok beberapa jalan darah di tubuh Tong Lam-hou, dan rasa sakitnya perlahan-lahan reda. Lalu sepasang tangan yang kurus itu mengangkat tubuh Tong Lam-hou yang tinggi dan tegap itu dengan ringannya seolah-olah mengangkat boneka dari jerami saja, dan melangkah masuk ke dalam kuil.

Andaikata otak Tong Lam-hou sedang dalam keadaan cukup jernih untuk memikirkan segala sesuatunya, tentu diapun akan merasakan beberapa kejanggalan yang ada pada diri si hweshio kurus di kuil terpencil itu. Namun saat itu Tong Lam-hou sedang malas memikirkan apapun. Bahkan ketika ia dipondong masuk, maka tanpa sungkan-sungkan Tong Lam-hou meramkan matanya untuk tidur dalam gendongan pendeta kurus itu. Ia masih merasa ketika dibukanya matanya sedikit ketika langkah-langkah hweshio itu meninggalkan ruangan itu dan menutup pintu.

Tong Lam-hou baru saja hendak pulas ketika tiba-tiba sebuah pikiran melintas di otaknya dan iapun terkejut sendirinya. Terngiang ucapan Paman Siangkoan-nya bahwa di dunia ini selain paman Siangkoan sendiri hanya ada dua orang yang bisa membebaskan rasa sakit akibat totokannya, yaitu Te-liong Hiangcu yang nama aslinya Lim Hong-pin? Hweshio kurus tadi ternyata dengan beberapa totokannya telah berhasil melenyapkan rasa nyerinya, jadi dia...dia adalah...

"Celaka duabelas!" teriak Tong Lam-hou dalam hati. "Hweshio kurus tadi mungkin sekali adalah saudara-seperguruan ayahku yang paling bungsu, yaitu Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin! Kalau begitu aku harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebab kalau dia tahu aku kabur dari paman Siangkoan maka dia pasti akan meringkus aku dan menyerahkan aku kembali kepada paman Siangkoan. Dan aku tidak akan dapat melawan, jika dia bermaksud demikian, sebab ilmunya pasti setingkat dengan Te-liong Hiangcu dan paman Siangkoan!"

Mendapat pikiran yang demikian itu, cepat-cepat Tong Lam-hou menendang selimutnya lalu meloncat turun dari tempat tidur dan dengan terburu-buru dikenakannya sepatunya yang terletak di bawah tempat tidur. Namun begitu ia membuka pintu, denyut jantungnya terasa berhenti bekerja, karena di depan pintu itu sudah menghadang si hweshio kurus penghuni kuil kecil itu. Meskipun hweshio itu tersenyum lembut, tapi dalam pandangan Tong Lam-hou senyumannya itu mengingatkannya kepada sang paman Siangkoan yang selalu memaksanya untuk menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu.

Apalagi ketika hweshio kurus itu dengan nada yang sabar, "Sejak aku menggendongmu masuk kemari dan melihat kalung batu giok hijau yang berukir nama Tong Wi-siang di lehermu itu, aku sudah dapat menebak siapa dirimu. Anak-muda, siapa namamu?"

Tong lam-hou menggeram, "Taysu, aku berterima kasih atas pertolongan taysu yang telah membukakan jalan darah kui-jong-hiat yang menyiksaku itu, tapi jika taysu hendak menjadikan aku seperti boneka hidup, jangan harap!"

Hweshio kurus itu tercengang dan nampak terheran-heran melihat keberangan Tong Lam-hou. Katanya, "He, anak muda, kau ini mengingau atau bagaimana? Siapa yang hendak menjadikanmu boneka? Aku hanya akan bertanya beberapa hal kepadamu, setelah itu kau bebas akan menginap di sini atau meneruskan perjalananmu di tengah malam buta seperti ini."

"Bertanya tentang apa?" tanya Tong Lam-hou dengan sikap tetap waspada, meskipun ia tahu bahwa sikap siap melawan itu akan percuma saja jika yang dihadapannya itu benar-benar Kim-liong Hiangcu Lim Hong-pin yang ilmunya setingkat dengan Te-liong Hiangcu maupun Thian-liong Hiangcu itu.

Hweshio kurus itu tenang-tenang saja melihat sikap Tong Lam-hou itu, bahkan ia melangkah masuk dan duduk di sebuah kursi dalam ruangan itu dan berkata, "Aku ingin bertanya tentang siapa orangnya yang menotok jalan darah kui-jong-hiat mu itu."

Perlahan-lahan Tong lam-hou mulai percaya bahwa hwesshio kurus itu nampaknya bukan seorang yang gemar memaksa orang seperti paman Siangkoan-nya itu. Maka dijawabnya, "Seorang bernama Siangkoan Hong, berasal dari kota Jiat-ho."

Mata hweshio kurus itu bersinar ketika mendengar disebutnya nama itu. "Pantas saja bertahun-tahun aku tidak menemuinya, kiranya dia berada di Jiat-ho yang terletak jauh di timur laut sana."

"Kenapa dia menotokmu, apakah ia bermusuhan dengamu?" tanya si hweshio lagi.

"Bolehkan aku tidak usah menjawab pertanyaan ini?"

Hweshio itu menarik napas."Aku tidak memaksa jika kau keberatan."

"Hanya itu saja pertanyaan-pertanyaan dari tay-su?"

"Masih ada lagi. Aku tahu pasti kau anak Tong Wi-siang, sebab kalung batu hijaumu itu kukenal sebagai milik Tong Wi-siang, dan raut wajahmu juga mirip raut wajah Tong Wi-siang. di waktu muda. Nah siapa namamu?"

Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak, namun rasa percayanya kepada hweshio kurus itu telah semakin menebal, sehingga ia pun menjawab berterus-terang, "Namaku Tong Lam-hou."

"Nama yang bagus. Tapi aneh, kalau kau anak Tong Wi-siang, kenapa sampai Siangkoan Hong memberimu totokan yang menyiksa itu? Apakah dia tidak tahu bahwa kau anak Tong Wi-siang?"

"Justru dia kuatir aku kabur dari padanya maka dia menotok jalan darah Kui-jong-hiatku," sahut Tong Lam-hou sambil menatap tajam hweshio kurus itu untuk mencoba menyelidiki bagaimana sikapnya, lalu melanjutkan, "Dia ingin memaksaku untuk menjadi Ketua Hwe-liong-pang, tapi aku kabur karena aku tidak suka."

Hweshio kurus itu ternyata tenang-tenang saja mendengar jawaban itu, paling-paling ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menarik napas, "Ah, bertahun-tanun aku mengurung diri di tempat sunyi ini, tidak tahu kalau di dunia luar sudah sibuk kembali dengan Hwe-liong-pang...."

Saat itulah Tong Lam-hou merasa semakin yakin akan hwesshio tua di hadapannya itu, bahkan ia juga yakin hweshio tua yang nampak lembut dan sabar itu tentu bukan seorang yang kasar dan keras kepala seperti Siangkoan Hong. Maka dengan memberanikan dirinya Tong Lam-hou memanggil, "Paman Lim..."

Benar juga, hweshio itu terlonjak kaget ketika mendengar nama aslinya yang sudah hampir dilupankannya itu tiba-tiba disebut kembali, wajahnya kelihatan dan sekaligus terharu. Dengan mata bersinar-sinar ia berkata “Tong Lam-hou, otakmu cukup tajam, Lam-hou, hanya dari beberapa patah kalimat saja sudah dapat kau tebak siapa diriku. Aku memang Lim Hong-pin, orang keempat dalam pucuk pimpinan Hwe-liong-pang dulu, dan gelarku adalah Kim-liong Hiangcu."

Sejak turun gunung, Tong lam-hou sudah bertemu dengan seorang bibi dan beberapa paman, entah paman kandung entah paman guru, namun baru kali ini ia merasa mendapat "paman" yang sebenarnya karena sikap Lim Hong-pin yang sangat baik itu. Cepat-cepat ia menekuk lutut untuk memberi hormat sambil berucap, "Aku memberi hormat kepada paman, maafkan sikapku yang agak kasar tadi, karena akupun mengira bahwa paman Lim akan bersikap seperti paman Siangkoan yang meringkusku dan memaksaku menuruti segala rencananya."

Dengan kedua tangannya Lim Hong-pin membangunkan Tong Lam-hou dari berlututnya, "Anak baik, berdirilah. Bertahun-tahun paman Siangkoan-mu itu tidak bertemu denganku, ternyata sikap-sikapnya yang kasar dan mau menangnya sendiri itu belum berubah juga. Tapi kau harus tahu bahwa dia orang baik."

Tong Lam-hou segera duduk di kursi di hadapan hweshio kurus itu. "Aku tahu bahwa paman Siangkoan sangat baik kepadaku. Dua kali ia menyelamatkan nyawaku, yaitu ketika di Pak-khia dari incaran Te-liong Hiangcu, dan kedua kalinya di sebuah desa sebelah barat kota Tay-tong dari tiga orang anak buah Te-liong Hiangcu yang licik."

Wajah Lim Hong-pin yang selalu sabar dan nampak berseri itu tiba-tiba mengeras dan pandangan matanyapun menyala ketika mendengar nama Te-liong Hiangcu disebut. Telapak tangannya yang terletak di meja itu tiba-tiba mengepal mencengkeram meja, sehingga di pemukaan meja yang terbuat dari kayu keras itu muncul sebuah lubang besar, dan kayu yang dicengkeramnya itu menjadi bubuk halus dalam genggaman hweshio yang nampaknya kurus dan pucat itu.

"Te-liong Hiangcu...Te-liong Hiangcu..." geram Lim Hong-pin dengan gigi gemeretak. "Jadi, bajingan pengkhinat itu masih saja berkeliaran dengan bebas dan belum ada yang mengatasinya selama ini?"

Tong Lam-hou diam-diam melirik ke meja yang berlubang itu dan hatinya bergidik ngeri melihat kepandaian hwe-shio kurus itu.

Sementara itu Lim Hong-pin telah berkata lagi, "Kalau begitu, nampak sekali bahwa selama ini agaknya aku hanya mementingkan diriku sendiri. Selama aku hidup tenteram di tempat ini, ternyata si pengkhianat besar itu masih bebas berkeliaran dan bahkan mungkin membunuh-bunuhi teman-temanku yang setia kepada Toa-suheng Hwe-liong Pang-cu. Aku harus turun tangan segera.”

Tong Lam-hou berseru gembira, "Bagus, paman, kalau paman Lim bersedia turun tangan bersama-sama dengan paman Siangkoan, maka si iblis Te-liong Hiangcu itupun akan dapat segera ditumpas dan masyarakat menjadi tenang kembali."

Begitulah kedua orang itu jadi malah asyik bercakap-cakap sampai pagi, Tong Lam-hou yang harusnya beristirahat itu malahan melupakan rasa lelahnya dan keasyikan bercakap-cakap. Terhadap Lim Hong-pin yang berpikiran luas itu Tong Lam-hou tidak menyembunyikan apapun tentang dirinya, bahkan juga tidak tentang perihalnya ia menjadi seorang perwira Kerajaan manchu.

Mendengar bahwa Tong lam-hou adalah seorang perwira Manchu, ternyata Lim Hong-pin tidak marah dan tidak mengamuk, hanya berkata dengan kalemnya, "Tidak jadi soal seseorang itu berada dipihak manapun, asal ia membela yang lemah dari tindasan yang kuat, dia sudah betul. Kau menjadi perwira kerajaan itu hal yang tepat, tapi ada tempat yang lebih tepat lagi bagimu sebenarnya."

"Sebagai apa?" tanya Tong Lam-hou. "Sebagai Ketua Hwe-liong-pang."

Tong Lam-hou terkesiap. Apakah paman Lim-nya ini akan bersikap seperti paman Siangkoan-nya yang tidak segan segan memaksa? Lim Hong-pin tertawa ketika melihat rasa kejut di wajah Tong lam-hou. Katanya, "Jangan kaget, aku hanya mengusulkan dan kau dapat menerima atau menolaknya. Jika kau menolak, aku tidak apa-apa, tapi aku minta kau pertimbangkan pendapatku tadi."

"Kenapa paman berpendapat bahwa aku lebih cocok sebagai Ketua Hwe-liong pang daripada sebagai perwira Tentara Kerajaan Manchu?"

"Tadi kau bilang bahwa orang-orang Hwe-liong-pang masih mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Manchu, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Jika kau menjadi Ketua mereka, maka kata-katamu tentu akan didengar oleh mereka dan barangkali perlawanan orang-orang Hwe-liong-pang bisa dihentikan. Kekuatan mereka yang besar akan bisa diarahkan untuk perbuatan-perbuatan yang lebih berguna daripada sekedar setia membabi-buta kepada perjuangan Li Cu-seng dulu, sementara Li Cu-seng sendiri sudah tidak diketahui lagi mati hidupnya."

Tong Lam-hou termangu-mangu. Dalam hatinya timbul pertentangan pendapat, dan akhirnya ia cuma bisa menjawab secara samar-samar, "Akan aku pertimbangkan paman, yang paling kuutamakan dalam hidupku ini adalah mengusahakan perdamaian untuk seluruh rakyat, biar mereka dapat bekerja di ladang dengan hati yang tenang. Bukan seperti sekarang ini, di mana pertentangan-pertentangan yang terjadi di beberapa daerah telah membuahkan kesengsaraan bagi orang-orang kecil yang tidak tahu apa-apa."

Lim Hong-pin cukup bijaksana untuk menyadari bahwa anak muda itu tidak mungkin memutuskan hal yang amat penting itu hanya dalam waktu sekejap mata saja, tentu masih harus dipikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan. Tapi kepala gundul Lim Hong-pin pun terangguk-angguk mendengar perkataan Tong Lam-hou yang terakhir tadi, dan kekagumannya pun tumbuh kepada anak muda yang berpikiran luas dan tidak mementingkan dirinya sendiri itu.

Biasanya kalau seorang anak muda ditanya apakah tujuan hidupnya, maka jawabannya adalah jawaban dangkal yang itu-itu saja. Mencari kedudukan yang baik yang biasa memberi penghasilan yang baik pula, mencari isteri yang cantik dan baik budi untuk melahirkan anak-anaknya, lalu membentuk sebuah mahligai rumah tangga yang tenteram dan bahagia, kelaparan, Kekuatan dan ketidak-pastian masa depan? Ya terserah nasib mereka saja, aku toh bukan malaikat yang bisa mengubah nasib mereka?

Namun kini Lim Hong-pin mendengar seorang anak muda yang dengan mantap mengatakan bahwa tujuan hidupnya adalah mengusahakan perdamaian bagi orang-orang tertindas. Dan urusan diri pribadinya di nomor-duakan. Sikap yang bukan saja diucapkan tetapi juga telah diterjemahkan dalam tindakan, meskipun tindakan itu tidak selalu benar di mata orang lain, namun seseorang memang harus berani melangkah menggapai impiannya. Diam-diam Lim Hong-pin menilai bahwa pandangan anak-muda ini lebih luas dan lebih bijaksana dari ayah anak muda ini ketika dulu mendirikan Hwe-liong-pang.

Tong Lam-hou yang rencananya hanya akan semalam di kuil kecil itu, kemudian malah berada di sana sampai beberapa hari lamanya. Selama beberapa hari itu antara dia dan Lim Hong-pin banyak saling bertukar-pikiran mengenai bermacam-macam masalah. Dalam hal ilmu silat ia juga mendapat banyak perbaikan dari adik seperguruan mendiang ayahnya itu.

Ketika ia kemudian mengucapkan selamat berpisah dengan Lim Hong-pin maka dalam dirinya sudah terbit pemikiran-pemikiran yang lebih luas karena terpengaruh ucapan-ucapan paman-gurunya itu. Tentara Kerajaan bertugas mengamankan negara, orang-orang Hwe-liong-pang membela rakyat kecil yang menjadi isi dari negara itu, kedua tujuan yang sebenarnya bisa berjalan sejajar tetapi kenapa setiap kali Hwe-liong-pang mesti bentrok dengan tentara Kerajaan? Demikianlah, sambil melangkah kembali menuju ke Pak-khia, Tong Lam-hou bergelut dengan pikirannya sendiri.

* * * * * * *

Di Tiongkok ada lima buah gunung besar yang dianggap keramat oleh rakyat, yang disebut Ngo-gak (Lima Gunung Suci), di antaranya adalah gunung Hoa-san yang dijuluki sebagai "Se-gak (gunung suci di wilayah barat). Pemandangan di gunung itu amat indahnya, dengan puncaknya yang tertutup kabut dan lereng-lerengnya yang segar. Dan di salah satu bagian yang sepi dari kaum pelancong, berdirilah bangunan yang megah berderet-deret. Itulah pusat dari perguruan silat Hoa-san-pay yang telah berusia ratusan tahun dan terkenal dengan ilmu pedangnya.

Pagi itu, ketika matahari belum terlalu menyengat dan hawa udara masih terasa hangat-hangat sejuk, ada seseorang yang tengah mendaki Hoa-san ke arah gedung pusat perguruan Hoa-san-pay itu. Orang itu melangkah dengan santai sambil menghirup udara yang segar, dan kadang-kadang ia tersenyum sendiri ketika melihat burung-burung kecil yang bergerombol di dahan-dahan pepohonan, atau kelinci-kelinci yang berloncatan lucu.

Semakin dekat ia ke pusat perguruan Hoa-san-pay, semakin banyak ditemuinya murid-murid Hoa-san-pay yang sedang melakukan latihan. Kebanyakan mereka tengah berlari-lari mendaki lereng-lereng yang terjal dengan sepasang kaki yang dibebani gelang-gelang besi atau kantong-kantong pasir. Namun ada juga yang sedang berlatih dengan pedang. Berlatih di tempat terbuka rasanya memang lebih menyegarkan daripada di dalam di dalam ruangan tertutup dalam suasana yang mencekam karena ditunggui oleh para guru besar yang berjenggot panjang dan berwajah angker.

Lelaki yang mendaki gunung itu sendiri adalah seorang lelaki berusia lebih kurang empatpuluh lima tahun, berwajah tampan dengan kumis hitam rapi di atas bibirnya, berdada tegap dan bidang dan berpinggang ramping. Kepalanya sudah berhias dengan beberapa helai uban di bagian pelipisnya, namun justru menambah kewibawaan dan kematangannya. Kepalanya memakai topi biru berbentuk belahan semangka dan rambutnya dikuncir seperti kebanyakan lelaki di jaman Manchu itu, jubahnya berwarna kuning gading.

Apabila ia melangkah dan belahan samping jubahnya itu tersingkap, nampaklah sarung pedang yang berwarna perak tergantung di pinggangnya. Pedang peraknya itulah yang menjadi andalannya, dan membuat ia dikenal dengan julukan Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) di dunia persilatan. Namanya sendiri-adalah Auyang Seng, jago pedang yang paling menonjol di kawasan barat. Beberapa murid-murid muda Hoa-san-pay yang sedang berlari-lari di lereng gunung itu berhenti memberi hormat ketika berpapasan dengan Ayyang Seng sambil menyapa,

"Susiok (paman guru)" atau "Supek (uwa guru).”

Kedatangan Auyang Seng ke Hoa-san-pay disambut gembira oleh seisi perguruan itu, baik angkatan tuanya, angkatan yang sejajar dengannya maupun angkatan di bawahnya. Karena nama besar Gin-hoa-kiam Auyang Seng lah maka Hoa-san-pay memiliki kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan.

Lebih dulu Auyang Seng menemui Ketua Hoa-san-pay dan para sesepuh lainnya untuk menyampaikan salam hormatnya, setelah itu barulah ia sempat berbincang-bindang panjang lebar dengan saudara-saudara seperguruannya atau keponakan-keponakan muridnya yang banyak bertanya tentang pengalamannya di dunia luar.

Tengah pertemuan antara Auyang Seng dengan saudara-saudara seperguruannya berlangsung dengan hangat, tiba-tiba sorang murid angkatan muda masuk ke dalam ruangan itu, memberi hormat dan berkata, "Ciangkun Sucou (kakek guru Ketua) mengharapkan para Supek dan Susiok sekalian keluar ke aula."

"Ada apa? Biasanya Ciangbunjin selalu memanggil ke ruangan belakang dekat kolam teratai itu, kenapa sekarang malah menyuruh ke aula?”

Sahut murid-murid yang melapor itu, "Sebab kita mendapat beberapa orang tamu dari Ho-lian-pay, dan Ciangkun Sucou bersama beberapa sesepuh sedang menemui tamu-tamu itu di aula."

Salah seorang saudara seperguruan Auyang Seng yang bermuka berewok dan bernama Beng Ko-yan nampak mengerutkan alis mendengar laporan itu. Geramnya dengan nada kurang senang, "Lagi-lagi orang Ho-lian-pay itu, inilah kedatangan mereka yang ketiga dalam bulan ini. Dan masihkah mereka mengajukan tuntutan mereka yang tidak masuk akal itu?"

"Sudahlah, Beng Sute, kalau Ciang-bunjin memanggil kita maka kita harus segera pergi ke aula," kata Auyang Seng menenangkan saudara seperguruannya itu. “Tapi apakah tuntutan mereka itu?"

"Nanti kau akan mendengarnya sendiri di aula. Si tua He Keng-liang itu benar-benar menjemukan, ingin rasanya aku mencabut habis semua kumisnya biar tampangnya yang mirip tikus itu jadi kelimis."

Hampir semua orang yang ada di ruangan itu tertawa mendengar gerutu Beng Ko-yan itu. "Ayo segera ke aula, jangan membiarkan Ciangbunjin menunggu terlalu lama!" kata Auyang Seng. "Jika He Keng-liang sendiri yang datang, mungkin aku bisa berbicara melunakkan hatinya, sebab aku dan dia pernah seperjuangan ketika menyerbu penjara kerajaan di Pak-khia."

Setelah merapikan pakaian mereka, maka merekapun berjalan menuju ke aula. Karena pusat perguruan Hoa-san-pay itu cukup luas, maka untuk mencapai aula saja mereka harus berjalan cukup jauh, melewati beberapa halaman-halaman yang luas, deretan-deretan rumah yang memanjang tempat tinggal para anggota Hoa-san-pay, kebun-kebun bunga dengan kolam-kolamnya yang indah, ruangan-ruangan latihan yang lengkap dengan alat-alat berlatih silat dan sebagainya.

Ketika mereka tiba di aula, maka suasana di dalam aula itu sedang tegang karena terjadi perselisihan pendapat yang tajam antara rombongan Ho-lian pay sebagai tamu dengan pihak Hoa-san-pay sebagai tuan rumah. Pihak Hoa-san-pay telah diwakili oleh empat orang sesepuh yang semuanya berumur rata-rata di atas enampuluh tahun, berjenggot putih dan berwajah penuh wibawa. Tiga orang di antara mereka adalah orang biasa dan yang seorang adalah imam agama To.

Merekalah tokoh tokoh yang disebut Hoa-san-su-lo (Empat Orang-tua Dari Hoa-san) yang nama baiknya maupun kewibawaannya dapat mempengaruhi persoalan apapun dalam dunia persilatan. Ketika Auyang Seng dan rekan-rekan seangkatannya yang berjumlah delapan orang itu masuk ke aula, maka merekapun lebih dulu memberi hormat kepada sesepuh-sesepuh mereka dan kepada para tetamu, barulah menduduki kursinya masing-masing.

Sedangkan pihak Ho-lian-pay memang dipimpin langsung oleh Ketua mereka, yaitu He Keng-liang, didampingi beberapa tokoh-tokoh utama lainnya. Jumlah mereka juga cukup besar, kira-kira empatpuluh orang yang semuanya bersikap tidak bersahabat, mata melotot dan tangan selalu menempel di gagang senjata. Sikap seorang yang mencari gara-gara.

"Jadi Ciangbunjin tidak bersedia menyerahkan orang itu kepada kami?" tanya He Keng-liang dengan suaranya yang nyaring menyakitkan telinga.

Ketua Hoa-san-pay, Kiau Bun-han yang berjulukan Pat-hong-kiam-kong (Cahaya Pedang Delapan Penjuru) karena kemahiran ilmu pedangnya, menarik napas dalam-dalam dan mengelus jenggotnya yang memanjang seperti benang-benang perak itu. Katanya sesabar mungkin, "Harap saudara He jangan cepat marah. Urusan ini tidak mudah dibuktikan dan aku tidak bisa sembarangan menyerahkah salah seorang anggota kami untuk dihukum oleh pihakmu. Andaikata terbukti sekalipun, kami sendirilah yang akan menghukum anggota kami itu dan orang lain tidak berhak untuk ikut campur."

Jawaban itu membuat orang-orang pihak Ho-lian-pay gelisah dan ingin segera turun tangan, tapi agaknya He Keng-liang masih belum menyuruh anak buahnya untuk turun tangan. "Saudara Kiau, kau tidak mau menyerahkan muridmu yang berkomplot dengan kaum kuku garuda Manchu dan melukai serta menewaskan beberapa orang anggota kami itu? Sikapmu ini bukankah menunjukkan bahwa kalian sebenarnya cenderung berpihak kepada bangsa Manchu?" kata He Keng-liang pedas.

Sebelum Klau Bun-han menjawab, maka seorang tua lainnya yang duduk disampingnya itulah yang menjawab dengan suara keras, "Omong kosong! Mana bisa kami berkomplot dengan bangsa Manchu? Justru banyak murid-murid kami yang melawan bangsa Manchu dimana-mana, entah bergabung dengan dinasti Beng, entah bergabung dengan sisa-sisa pengikut Li Cu-seng ataupun bertindak sendiri-sendiri! Hati-hati dengan mulutmu, He Ciangbunjin!"

Orang-orang yang bersuara keras itu adalah adik seperguruan Kiau Bun-han yang paling keras wataknya, bernama Lim Sin. Watak kerasnya itu sudah dibawanya sejak usia muda dan setelah ia menjadi seorang kakek ternyata wataknya tetap saja seperti itu. Tapi orang-orang rimba persilatan menghargainya, sebab ia dipandang sebagai seorang tokoh yang jujur dan berterus terang.

Sikap He Keng-liang nampaknya juga mulai mengeras dan tidak segan-segan memancing pertengkaran, "Kalau kalian tidak mau dituduh berkomplot dengan bangsa Manchu, kenapa kalian ngotot melindungi murid kalian yang bernama Kiongwan Hok itu? Serahkan Kiongwan Hok kepada kami dan kami pun akan pergi dari sini dengan damai!"

Lim Sin sudah hendak membantah lagi, namun ia menahan kata-katanya ketika melihat isyarat dari Kiau Bun-han, lalu Kiau Bun-han lah yang bicara, "Mohon beribu-ribu maaf, saudara He, dengan berat hati kami menolak permintaanmu untuk menyerahkan Kingwan Hok. Pertama, karena tuduhanmu itu belum ada buktinya dan tidak lebih cuma dikemukakan oleh orang-orang pihakmu saja, tidak ada seorangpun saksi dari pihak ketiga. Kedua, karena saat ini Kiongwan Hok sendiri sedang sakit jiwa."

Yang terkejut ketika mendengarkan hal itu adalah Auyang Seng. Sudah bertahun-tahun ia meninggalkan Hoa-San-pay untuk berkelana menunaikan darma bakti kependekarannya dan baru ini pulang, kembali ke perguruannya, tak terduga di perguruana ini telah terjadi banyak hal yang luar biasa. Ia masih ingat keponakan muridnya yang bernama Kiongwan Hok itu, seorang anak muda yang bukan saja berbakat baik untuk ilmu silat, namun juga memiliki kerajinan dan keuletan dalam berlatih sehingga ilmunya meningkat pesat, dan sifat-sifatnyapun tidak mengecewakan.

Dialah murid angkatan muda Hoa-san-pay yang terbaik menurut penilaian Auyang Seng waktu itu, dan diharap dapat menjunjung tinggi nama perguruannya di kemudian hari. Tapi kini Auyang Seng tiba-tiba mendengar bahwa anak muda itu menderita penyakit jiwa, dan oleh He Keng-liang juga dituduh berkomplot dengan bangsa Manchu, meskipun tuduhan itu belum tentu benar. Namun Auyang Seng menahan saja gejolak hatinya, ia merasa segan untuk menimbrung pembicaraan para sesepuh perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya."

Sesaat ruangan aula yang besar itu menjadi sunyi mendebarkan, agaknya Ho-lian-pay merasa agak sungkan juga kalau mereka harus bersikeras membawa orang yang sedang menderita sakit jiwa, sebab tindakan itu bisa dianggap keterlaluan oleh kaum dunia persilatan. Namun untuk menyerah begitu saja, agaknya orang-orang Ho-lian-pay itu sungkan juga, He Keng-liang segera bangkit dari duduknya dan berkata,

"Mudah-mudahan sakitnya Kiongwan Hok itu bukan alasan yang kalian buat-buat untuk menutup-nutupi kejahatannya. Kami akan kemari lagi tiga bulan kemudian dan berharap penjahat cilik itu sudah bisa kami bawa untuk dihukum di depan meja abu anggota-anggota kami yang tewas karena ulahnya. Kalau tiga bulan kemudian kalian masih belum mau menyerahkannya, hem, lihat saja bagaimana jadinya dengan Hoa-san-pay kalian ini!"

Adik seperguruan Kiau Bun-han yang berangasan itu meluap darahnya mendengar ucapan He Keng-liang bernada mengancam itu. Sahutnya, "Kalian orang-orang Ho-lian-pay harus cukup tahu diri dengan siapa kalian berhadapan. Dengan mampu mengukur kemampuan diri sendiri barulah kalian akan panjang umur."

Agaknya Lim Sin marah karena ia merasa bahwa Hoa-san-pay sebagai sebuah perguruan yang jauh lebih besar dari Ho-lian-pay telah bersikap terlalu, mengalah kepada perguruan yang kecil dan tidak terkenal itu. Beberapa anggota Ho-lian-pay nampak tersinggung dan melirik tajam kearah Lim Sin, namun karena Ketua mereka sudah berjalan menuju ke pintu keluar, maka merekapun mengikutinya. Tidak ada ucapan pamit atau mohon diri segala, yang ada cuma saling melotot dengan penuh kemarahan.

Salah seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan mendekati kakak seperguruannya yang menjadi Ketua Hoa-san-pay itu dan berkata, "Suheng, biar aku antarkan mereka sampai ke kaki gunung. Biarpun mereka bersikap tidak tahu adat, namun tidak perlu sikap tak tahu adat itu kita imbangi dengar sikap yang sama, supaya jangan sampai Hoa-san-pay kita dicela sebagai perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya."

Karena alasan yarg dikemukakan itu cukup masuk akal, maka Kiau Bun-han menganggukkan kepalanya. Yo Ciong-wan segera melangkah cepat menyusul rombongan orang-orang Ho-lian-pay yang sudah sampai diluar pintu itu, dan berkata kepada He Keng-liang, "He Ciangbun, marilah kuantarkan sampai ke kaki gunung."

He Keng-liang tidak menjawab dan hanya mengangguk angkuh, namun kedua orang itu diam-diam telah bertukar isyarat dengan kedipan mata mereka, yang artinya hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Kemudian Yo Ciong-wan berjalan berdampingan dengan He Keng-liang menuju ke kaki gunung.

Keduanya berjalan berdampingan beberapa langkah terpisah dari orang-orang Ho-lian-pay yang menyertai He Keng-liang. Dan dalam keadaan seperti itu keduanya bercakap-cakap meskipun harus dengan suara lirih untuk mengelabuhi orang lain.

"Kau belum berhasil menyelesaikan Kiongwan Hok?" tanya He Kang-liang tanpa memandang ke arah Yo Ciong-wan yang ditanyainya.

Sahut Yo Ciong-wan dengan sikap yang sama, "Sejak kedatangan pertamamu ke sini sebulan yang lalu, si gila itu seolah-olah menjadi benda mustikanya Hoa-san-pay. Penjagaan atas dirinya begitu kuat, sulit untuk turun tangan tanpa diketahui siapapun. Kecuali kalau aku rela kedokku terbuka dan kedudukanku dalam Hoa-san-pay hilang."

"Kalau begitu, ini sungguh berbahaya. Kiongwan Hok sesungguhnya tidak gila, hanya syarafnya yang kurang kuat telah mengalami kejutan hebat sehingga jiwanya tergoncang. Suatu saat ia akan berangsur-angsur pulih, dan dia akan membahayakan kita karena dia bisa menceritakan semua keadaan tentang tempat kita. Sejak Kui-kiong (Istana Iblis) kita berdiri, baru dialah satu-satunya orang yang kita tawan tetapi berhasil meloloskan diri."

"Benar. Kebocoran sekecil apapun harus segera ditambal sebelum menjadi semakin besar dan kita tak sempat lagi menutupnya."

"Kau punya pendapat?"

"Harus Hiangcu sendiri yang turun tangan, sebab dengan kepandaiannya yang tinggi itu tentu tidak sulit untuk menerobos penjagaan di sekitar tempat dipasungnya Kiongwan Hok. Di manakah Hiangcu sekarang?"

Mata He Keng-liang gemeredep sejenak, sambil tertawa dingin ia menjawab secara samar-samar, "Hiangcu ada di mana-mana."

Yo Ciong-wan terkesiap. Selama ini memang dia tahu bahwa orang yang berjalan bersama-sama dengannya itu bukan He Keng-liang yang asli. Tapi baru detik ini Yo Ciong-wan punya dugaan bahwa orang ini adalah samaran dari majikan Kui-kiong yang menyebut dirinya Te-liong Hiangcu, manusia dengan sejuta wajah. Tapi Yo Ciong-wan merasa lebih ia pura-pura bodoh saja daripada nyawanya melayang sia-sia.

Di kaki gunung, kedua orang itu saling memberi hormat dan berbasa-basi seperti layaknya seorang tuan rumah yang mengantarkan serombongan tamunya yang hendak pulang. Lalu Yo Ciong-wan-pun naik kembali ke atas gunung dengan wajah yang tetap dingin tanpa kesan apapun.

Sementaraa itu, di perguruan Hoa-san-pay sendiri, Auyang Seng telah tidak sabar ingin mendengar penjelasan tentang Kiongwan Hok. Begitu melangkah keluar dari aula, ia langsung mempercepat langkahnya untuk menjajari seorang saudara seperguruannya yang bertubuh tinggi besar dan bernama Sebun Siang.

"Sebun Suheng, aku benar-benar penasaran mendengar berita tentang Kiong-wan Hok, sebab dialah murid terbaik Hoa-san-pay untuk masa kini. Apa yang telah dialami sehingga ia sakit jiwa? Maukah Suheng bercerita secara lengkap kepadaku?"

Sebun Siang menarik napas dan menyahut, "Sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa pahit yang menimpa Hoa-san-pay kita, sebab dengan sakitnya Kiongwan Hok maka Hoa-san-pay kita telah kehilangan satu bibit yang bagus untuk masa depan. Kami Supek, Suhu dan para sesepuh lainnyapun sama-sama merasa prihatin dengan kejadian ini."

"Ya...ya...ceritakan cepat!" kata Auyang Seng tidak sabar.

Mau tidak mau Sebun Siang tersenyum, dan ia malah sengaja membuat Auyang Seng semakin tidak sabaran. Katanya, "Jangan tergesa-gesa, Sute, mari ke tempatku supaya bisa berbicara dengan tenang."

Perumahan orang-orang Hoa-san-pay itu memang luas, dan Sebun Siang sebagai seorang anggota yang agak tinggi kedudukannya menempati sebuah rumah di lingkungan tengah yang dilengkapi halaman dan kebun bunga segala. Ketika sebun Siang dan Auyang Seng melangkah masuk ke halaman itu, mereka melihat seorang anak muda yang tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya kekar, sedang bersilat dengan Hoa-san-kiam-hoai. (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Namun gerakan-gerakannya dilakukan secara terbalik semua, sebab anak muda tinggi besar itu memainkan pedang dengan tangan kiri alias kidal.

Melihat anak muda itu, Auyang Seng mengehntikan langkahnya, dan dengan kagum ia menyaksikan bagaimana tangkas dan mantapnya gerakan-gerakannya, setiap jurus dihayati setepat-tepatnya sesuai dengan watak jurus itu sendiri. Kadang-kadang gerakan pedangnya begitu lembut seperti seorang bidadari yang menari, di lain saat menjadi hebat seperti angin prahara yang menghantam bumi.

Dan untuk sesaat Auyang Seng tanpa sadar melupakan rasa ingin tahunya terhadap urusan Kiongwan Hok. Apabila anakmuda ini tidak gila, maka anak muda yang ada dihalaman ini agaknya hanya dapat dikalahkan oleh Kiongwan Hok di kalangan angkatan muda Hoa-san-pay.

Melihat Auyang Seng sedang memperhatikan anak muda yang berlatih silat itu, maka Sebun Siang juga menghentikan langkahnya dan berdiri di samping adik seperguruannya itu.

"Siapa anak muda ini?" Tanya Auyang Seng. "Muridku dan sekaligus puteraku, Sebun Him," sahut Sebun Siang.

Anakmuda yang disebut bernama Sebun Him itu agaknya tahu juga kalau dirinya sedang diperhatikan, maka ia-pun segera menghentikan latihannya dan memberi hormat kepada Sebun Siang berdua, "Ayah..." lalu ia ragu-ragu bagaimana harus menyebut orang yang bersama ayahnya itu.

Sebun Siang berkata, "A-him, kau pernah dengar seorang paman gurumu yang dirimba persilatan sangat terkenal dengan julukan Gin-hoa-kiam? Nah, itu dia yang berdiri di hadapanmu."

Sebun Him memang sudah lama mengagumi nama itu, maka alangkah gembira nya kfetika dirinya berhadapan muka dengan orang yang dikaguminya. Iapun membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Kiranya aku berhadapan dengan Auyang Susiok. Susiok, terimalah salamku dan ajarilah aku."

Auyang Seng tersenyum melihat sikap anakmuda itu, diam-diam ia berpikir meskipun Hoa-san-pay kehilangan Kiongwan Hok tapi boleh juga digantikan oleh Sebun Him ini. Tetapi alangkah baiknya kalau Kiongwan Hok juga dapat disembuhkan sehingga Hoa-san-pay akan memiliki sepasang jagoan muda yang dapat diandalkan untuk masa depan.

Kata Auyang Seng sambil menepuk-nepuk Sebun Him yang tegap kokoh itu, "Bagus, asal kau berlatih terus, kau akan menjadi ahli pedang yang lebih hebat dari padaku sendiri. Badanmu begitu kokoh dan tenagamu besar, dengan apa kau melatih kekuatanmu?"

"Dengan itu," kata Sebun Him sambil menunjuk ke pinggir halaman kecil itu. Di sana bergeletakanlah macam-macam alat latihan kekuatan seperti ciok-so (kunci batu) yang besarnya hampir dia kali lipat dari ciok-so yang dipakai orang lain.

Auyang Seng nampak sedikit mengerut alisnya ketika melihat alat latihan itu. Tanyanya lagi, "Bagaimana berlatih dengan alat itu dan seberapa beratnya?"

Dengan wajah bersinar-sinar karena bangga Sebun Him menyahut, "Aku melakukan tiap pagi dan sore. Setiap kali aku ayunkan ke arah mendatar dan menegak masing-masing duaribu limaratus kali, dengan tangan kanan maupun kiri."

Sambil menjawab maka Sebun Him memandang wajah paman gurunya dan menunggu keluarnya kata-kata pujian dari mulut sang paman-guru. Tapi Auyang Seng nampak tidak terkejut sedikitpun, malahan bertanya, "Kau mau tahu berapa gerakanku melakukan latihan yang sama setiap pagi?"

Sahut Sebun Him mantap, "Susiok seorang pendekar yang terkenal, barangkali susiok melakukan limaribu atau sepuluh ribu kali? Akupun akan berusaha meningkatkan terus sampai hitungan itu.”

Tapi jawaban Auyang Seng benar-benar mengejutkan, "Tidak, jika ingin ilmu pedangmu mencapai kesempurnaan, kau justru harus menguranginya. Aku hanya melakukan dua ratus kali, dan itupun dengan ciok-so yang ukurannya hanya separoh dari kepunyaanmu itu."

Sebun Him termangu-mangu mendengar jawaban itu, sementara ayahnya diam saja di pinggir gelanggang karena mengetahui bahwa hasil tanya jawab itu akan membuahkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu anaknya.

"Kenapa...kenapa susiok melakukan sesedikit itu?" tanya Sebun Him.

Dijawab oleh paman gurunya, "Sebab seorang ahli ilmu pedang harus berlatih menurut cara seorang ahli pedang pula, sedangkan kau berlatih seperti seorang ahli ilmu golok. Kau paham teori golok berjalan seperti harimau dan pedang berjalan seperti ular?"

"Aku pernah mendengarnya. Artinya, gerakah golok adalah cepat, kuat dan langsung, sedangkan gerakan pedang adalah cepat, lembut dan tidak langsung. Begitu bukan, susiok?"

"Benar. Dan karena teori itu maka mempengaruhi pula cara berlatih dari masing-masing pihak. Seorang ahli ilmu golok selalu berlatih untuk menguatkan lengannya, agar dalam mengayunkan goloknya ada tenaga yang besar yang kalau dapat membuat senjata musuh terpental. Tapi ilmu pedang mengutamakan latihan ketepatan, pemusatan pikiran kearah sasaran, dan penggunaan tenaga sekecil mungkin. Latihan mengangkat benda berat yang berlebihan bagi seorang pendekar pedang bukan meningkatkan ilmunya, tapi malahan akan membuat tenaganya berkeliaran tak terkendali di seluruh tubuh, dan bukannya terpusat ke ujung pedang. Latihan kekuatan memang perlu, tapi harus berhenti sampai batas tertentu, lalu dilanjutkan dengan latihan-latihan yang kelihatannya kurang berat tetapi lebih sulit, yaitu pemusatan pikiran ke sasaran yang kecil, kelenturan pergelangan tangan dan sebagainya. Itulah sebabnya seorang ahli ilmu pedang bisa menusuk seekor nyamuk yang sedang melayang di udara, sedang ahli ilmu golok tidak bisa. Kau paham tidak?"

Kepala Sebun Him terangguk-angguk, tetapi ia belum bisa menerima sepenuhnya, sebab ada perasaan tidak rela dalam hatinya kalau latihan beratnya yang dilakukan dengan tekun setiap pagi dan sore itu ternyata dianggap 'tidak' berguna oleh paman gurunya. Tanyanya, "Latihan kelenturan pergelangan tangan yang bagaimana, susiok?"

"Pergelangan tangan untuk seorang pemain pedang adalah penting, sebab banyak gerak tipu yang bersumber dari kelincahan pergelangan tangan. Bagi pemain golok tentu saja dirasa kurang penting, sebab mereka lebih memusatkan pada kekuatan pundak dan lengan."

Sambil berkata demikian Auyang Seng mengambil sebatang toya besi yang tersandar di dinding halaman, toya besi yang oleh Sebun Him bisa diputar-putarnya seringan lidi. Tapi Auyang Seng tidak ingin memutar-mutarnya, ia hanya berkata, '’Kita akan belajar menulis di udara."

Baik Sebun Siang maupun anaknya tercengang mendengar ucapan itu. Latihan apa-apaan itu? Bahkan dari guru-guru merekapun belum pernah mendengar adanya latihan "menulis di udara" itu.

Auyang Seng tersenyum melihat suhengnya dan putera suhengnya itu melongo heran. Katanya, "Memang latihanku ini adalah penemuanku sendiri, dan mudah-mudahan berguna buat perkembangan ilmu pedang Hoa-san-pay kita."

Toya besi itu sebenarnya tidak cukup berat apabila dipegang dengan cara biasa, panjangnya kira-kira satu setengah depa dan besar bulatannya atau garis tengahnya sebesar mangkuk kecil yang biasa digunakan di meja sembahyang. Namun ayah dan anak itu terkejut ketika melihat Auyang Seng memegang toya besi itu bukan di tengah-tengahnya melainkan diujungnya, bahkan ujung yang paling pinggir, hanya dengan satu tangan.

Lalu Auyang Seng menggunakan toya besi itu seperti sebatang pena untuk 'menulisi’ udara, sambil berkata, "Lakukanlah ini setiap pagi, dengan kekuatan pergelangan tangan, bukan dengan kekuatan seluruh lengan atau pundak."

Tanpa bergetar atau oleng sedikitpun, ujung toya besi itu mencoret-coret udara dengan gerakan menurut beberapa huruf, dari huruf-huruf yang sederhana sampai huruf-huruf yang rumit, dari gerakan yang perlahan sampai gerakan yang cepat seolah sedang menulis "Co-Ji" (huruf rumput) di atas kertas. Dan ketika dua orang ayah beranak itu melihat ke tangan Auyang Seng, benar juga, yang bergerak-gerak ternyata hanya pergelangan tangannya, lincah dan mantap, sedang siku dan pundak tidak bergerak sedikitpun.

"Hebat, sute!" tak terasa Sebun Siang berseru.

Sebun Him juga merasa kagum, tetapi la masih belum bisa menerima sepenuhnya "angin baru" yang dibawa oleh paman gurunya itu. Bukankah selama ini la berlatih dengan caranya itu dan ternyata ia menjadi paling unggul di antara rekan-rekan seangkatannya? Bukankah para paman guru maupun uwa guru yang lain juga belum pernah menegur cara latihannya?

Ketika Auyang Seng selesai dengan "pertunjukan"nya, sang paman guru itu berkata, "Jadilah seniman pedang, bukan sekedar tukang bacok."

"Paman, dalam memainkan jurus-jurus yang sebenarnya, maukah paman menunjukkan kegunaan dari latihan semacam itu?" desak Sebun Him penasaran.

Auyang Seng tertawa dalam hati karena tahu isi hati anak muda itu, namun Auyang Seng sendiri sudah bertekad bahwa demi perkembangan anak muda itu sendiri di kemudian hari, ia memang akan merombak semua cara latihan kuno di perguruannya itu. Ia ingin Hoa-san-pay dikemudian hari akan penuh bertaburan dengan pendekar-pendekar muda yang dapat diandalkan, yang lebih hebat dari angkatan tua mereka.

"Sutit (keponakan murid), gerakan Pek-wan-tau-pay-thian-teng (Si Monyet Putih Mencuri Buah dan Menyembah langit) tadi terdiri dari unsur mengiris, menekan senjata musuh ke bawah, lalu menikam. Gerakan pedang mengiris kau lakukan terlalu melebar sehingga pertahananmu terbuka dan mengganggu gerakan berikutnya, sebab gerakan itu seharusnya hanya kau lakukan dengan kibasan pergelanganmu tapi kau telah melakukannya dengan ayunan seluruh lengan. Kalau suatu gerakan disebut 'mengiris' ya harus kau lakukan dengan baik dan bukannya kau rubah sendiri dengan 'menebas' mengerti? Menabas ada caranya sendiri."

"Bisakah paman memberi contoh?"

"Ambil pedangmu dan bersiaplah," kata Auyang Seng, dan ia sendiripun menarik keluar pedangnya.

Wajah Sebun Him berseri gembira, katanya di dalam hati, "Nah, sekarang akan aku tunjukkan kepada susiok bahwa meskipun aku memerlukan banyak perbaikan tetapi tidak sebodoh yang diduga oleh paman."

Keduanyapun tersiap berhadapan, lalu terdengar Auyang Seng berkata, "Aku akan menyerang dengan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-teng tadi. Awas!"

"Aku siap, susiok," sementara dalam hatinya berkata, "Aku akan gunakan Pek-lou-heng-kang (Embun Putih Menyeberangi Sungai) untuk membentur pedang susiok, lalu kulanjutkan dengan Liu-hun tui-gan (Awan Meluncur Mengejar Belibis), tentu pedang susiok akan terkunci dan sulit melanjutkan gerakan apapun."

Ketika ujung pedang Auyang Seng benar-benar bergerak dalam sebuah sabetan pendek ke lehernya, maka Sebun Him benar-benar membenturnya dengan gerakan yang direncanakan. Ia mengharap pedang paman gurunya terpental ke atas, tapi pedang perak itu justru menekan ke bawah dan dengan sebuah putaran dengan pergelangan tangannya, tahu-tahu pedang Sebun Him telah "terbelit" dan kemudian dicungkil jatuh dari tangannya. Di lain detik ujung pedang Auyang Seng sudah menempel di dada keponakan muridnya itu.

Merahlah muka Sebun Him, maka dia sadar akan kelihaian paman gurunya itu. Tidak malu-malu lagi Sebun Him berkata, "Aku mohon susiok jangan cepat cepat pergi dari Hoa-san ini, aku mohon banyak petunjuk dari paman."

Auyang Seng menyarungkan pedangnya dan menepuk pundak Sebun Him sambil berkata, "Hanya sebagian dari latihanmu yang salah, tapi sebagian besar latihan lainnya sudah betul. Belajarlah terus. Sekarang aku akan berbicara dengan ayahmu lebih dulu."

Sebun Siang pun melangkah mendampingi adik seperguruan yang lebih pandai daripadanya itu, masuk ke ruangan tempat tinggalnya. Setelah mereka duduk berhadapan sambil menikmati teh, bertanyalah Au-yang Seng, "Nah, aku ingin segera mengetahui tentang Kiongwan Hok."

Wajah Sebun Siang nampak muram ketika ia memulai ceritanya, "Setahun yang lalu, atau kurang dari itu, yaitu setelah kau meninggalkan Hoa-san untuk berkelana di dunia persilatan. Hoa-san-pay kita menerima laporan dari penduduk desa tidak jauh dari kaki gunung, bahwa mereka mendapat gangguan dari segerombolan orang jahat. Tentara Kerajaan yang didatangkan dari kota terdekat tidak dapat menolong, bahkan banyak prajurit yang mati karena rombongan penjahat itu ada seorang yang lihai ilmu silatnya. Ciangbunjin lalu menyuruh Suheng Giok-seng Tojin untuk turun gunung membantu mengatasi tandang kaum penjahat. Giok-seng Suhengpun berangkat bersama dua orang murid yang paling diandalkannya, yaitu Kiongwan Hok dan searang lagi adalah Tan Yu-hian...."

Auyang Seng mendengarkan sampai sini sambil menganggukkan kepalanya. Ia kenal semua nama-nama yang disebutkan itu, hanya saja perasaannya merasa agak janggal ketika mendengar disebutnya nama Giok-seng Tojin, entah hal apa yang membuatnya merasa demikian, ia tidak tahu.

Sementara itu Sebun Siang melanjutkan kisahnya, "Ketiga orang itu meninggalkan Hoa-san-pay, dan tak terduga itulah awal dari malapetaka. Dusun yang harus dibebaskan dari gangguan penjahat itu letaknya tidak jauh dari kaki gunung, tentunya begitu Giok-sen Suheng bertiga selesai menjalankan tugas akan kembali ke gunung dalam tempo beberapa hari saja. Namun hampir satu bulan mereka tidak kembali. Ciang-bunjin mencemaskan bahwa ketiganya telah mengalami bencana, lalu disuruhnya beberapa dari antara kami menyelidik ke desa tempat kerusuhan itu, tapi desa itu sudah tenteram kembali sementara Giok-seng Suheng dan kedua muridnya tak dapat dicium jejaknya sedikitpun juga."

"Barangkali Giok-seng langsung membawa kedua muridnya itu untuk berkelana sebulan dua bulan di dunia persilatan untuk sekedar pengalaman kepada anak-anak muda itu?" Auyang Seng mencoba menebak...
Selanjutnya;