Pendekar Naga dan Harimau Jilid 26Karya : Stevanus S.P |
Adik seperguruan Kiau Bun-han yang berangasan itu meluap darahnya mendengar ucapan He Keng-liang bernada mengancam itu. Sahutnya, "Kalian orang-orang Ho-lian-pay harus cukup tahu diri dengan siapa kalian berhadapan. Dengan mampu mengukur kemampuan diri sendiri barulah kalian akan panjang umur."
Agaknya Lim Sin marah karena ia merasa bahwa Hoa-san-pay sebagai sebuah perguruan yang jauh lebih besar dari Ho-lian-pay telah bersikap terlalu, mengalah kepada perguruan yang kecil dan tidak terkenal itu. Beberapa anggota Ho-lian-pay nampak tersinggung dan melirik tajam kearah Lim Sin, namun karena Ketua mereka sudah berjalan menuju ke pintu keluar, maka merekapun mengikutinya. Tidak ada ucapan pamit atau mohon diri segala, yang ada cuma saling melotot dengan penuh kemarahan. Salah seorang adik seperguruan Kiau Bun-han yang bernama Yo Ciong-wan mendekati kakak seperguruannya yang menjadi Ketua Hoa-san-pay itu dan berkata, "Suheng, biar aku antarkan mereka sampai ke kaki gunung. Biarpun mereka bersikap tidak tahu adat, namun tidak perlu sikap tak tahu adat itu kita imbangi dengar sikap yang sama, supaya jangan sampai Hoa-san-pay kita dicela sebagai perguruan yang tidak dapat menghargai tamu-tamunya." Karena alasan yarg dikemukakan itu cukup masuk akal, maka Kiau Bun-han menganggukkan kepalanya. Yo Ciong-wan segera melangkah cepat menyusul rombongan orang-orang Ho-lian-pay yang sudah sampai diluar pintu itu, dan berkata kepada He Keng-liang, "He Ciangbun, marilah kuantarkan sampai ke kaki gunung." He Keng-liang tidak menjawab dan hanya mengangguk angkuh, namun kedua orang itu diam-diam telah bertukar isyarat dengan kedipan mata mereka, yang artinya hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Kemudian Yo Ciong-wan berjalan berdampingan dengan He Keng-liang menuju ke kaki gunung. Keduanya berjalan berdampingan beberapa langkah terpisah dari orang-orang Ho-lian-pay yang menyertai He Keng-liang. Dan dalam keadaan seperti itu keduanya bercakap-cakap meskipun harus dengan suara lirih untuk mengelabuhi orang lain. "Kau belum berhasil menyelesaikan Kiongwan Hok?" tanya He Kang-liang tanpa memandang ke arah Yo Ciong-wan yang ditanyainya. Sahut Yo Ciong-wan dengan sikap yang sama, "Sejak kedatangan pertamamu ke sini sebulan yang lalu, si gila itu seolah-olah menjadi benda mustikanya Hoa-san-pay. Penjagaan atas dirinya begitu kuat, sulit untuk turun tangan tanpa diketahui siapapun. Kecuali kalau aku rela kedokku terbuka dan kedudukanku dalam Hoa-san-pay hilang." "Kalau begitu, ini sungguh berbahaya. Kiongwan Hok sesungguhnya tidak gila, hanya syarafnya yang kurang kuat telah mengalami kejutan hebat sehingga jiwanya tergoncang. Suatu saat ia akan berangsur-angsur pulih, dan dia akan membahayakan kita karena dia bisa menceritakan semua keadaan tentang tempat kita. Sejak Kui-kiong (Istana Iblis) kita berdiri, baru dialah satu-satunya orang yang kita tawan tetapi berhasil meloloskan diri." "Benar. Kebocoran sekecil apapun harus segera ditambal sebelum menjadi semakin besar dan kita tak sempat lagi menutupnya." "Kau punya pendapat?" "Harus Hiangcu sendiri yang turun tangan, sebab dengan kepandaiannya yang tinggi itu tentu tidak sulit untuk menerobos penjagaan di sekitar tempat dipasungnya Kiongwan Hok. Di manakah Hiangcu sekarang?" Mata He Keng-liang gemeredep sejenak, sambil tertawa dingin ia menjawab secara samar-samar, "Hiangcu ada di mana-mana." Yo Ciong-wan terkesiap. Selama ini memang dia tahu bahwa orang yang berjalan bersama-sama dengannya itu bukan He Keng-liang yang asli. Tapi baru detik ini Yo Ciong-wan punya dugaan bahwa orang ini adalah samaran dari majikan Kui-kiong yang menyebut dirinya Te-liong Hiangcu, manusia dengan sejuta wajah. Tapi Yo Ciong-wan merasa lebih ia pura-pura bodoh saja daripada nyawanya melayang sia-sia. Di kaki gunung, kedua orang itu saling memberi hormat dan berbasa-basi seperti layaknya seorang tuan rumah yang mengantarkan serombongan tamunya yang hendak pulang. Lalu Yo Ciong-wan-pun naik kembali ke atas gunung dengan wajah yang tetap dingin tanpa kesan apapun. Sementaraa itu, di perguruan Hoa-san-pay sendiri, Auyang Seng telah tidak sabar ingin mendengar penjelasan tentang Kiongwan Hok. Begitu melangkah keluar dari aula, ia langsung mempercepat langkahnya untuk menjajari seorang saudara seperguruannya yang bertubuh tinggi besar dan bernama Sebun Siang. "Sebun Suheng, aku benar-benar penasaran mendengar berita tentang Kiong-wan Hok, sebab dialah murid terbaik Hoa-san-pay untuk masa kini. Apa yang telah dialami sehingga ia sakit jiwa? Maukah Suheng bercerita secara lengkap kepadaku?" Sebun Siang menarik napas dan menyahut, "Sesungguhnya peristiwa itu merupakan peristiwa pahit yang menimpa Hoa-san-pay kita, sebab dengan sakitnya Kiongwan Hok maka Hoa-san-pay kita telah kehilangan satu bibit yang bagus untuk masa depan. Kami Supek, Suhu dan para sesepuh lainnyapun sama-sama merasa prihatin dengan kejadian ini." "Ya...ya...ceritakan cepat!" kata Auyang Seng tidak sabar. Mau tidak mau Sebun Siang tersenyum, dan ia malah sengaja membuat Auyang Seng semakin tidak sabaran. Katanya, "Jangan tergesa-gesa, Sute, mari ke tempatku supaya bisa berbicara dengan tenang." Perumahan orang-orang Hoa-san-pay itu memang luas, dan Sebun Siang sebagai seorang anggota yang agak tinggi kedudukannya menempati sebuah rumah di lingkungan tengah yang dilengkapi halaman dan kebun bunga segala. Ketika sebun Siang dan Auyang Seng melangkah masuk ke halaman itu, mereka melihat seorang anak muda yang tubuhnya tinggi besar dan otot-ototnya kekar, sedang bersilat dengan Hoa-san-kiam-hoai. (Ilmu Pedang Hoa-san-pay). Namun gerakan-gerakannya dilakukan secara terbalik semua, sebab anak muda tinggi besar itu memainkan pedang dengan tangan kiri alias kidal. Melihat anak muda itu, Auyang Seng mengehntikan langkahnya, dan dengan kagum ia menyaksikan bagaimana tangkas dan mantapnya gerakan-gerakannya, setiap jurus dihayati setepat-tepatnya sesuai dengan watak jurus itu sendiri. Kadang-kadang gerakan pedangnya begitu lembut seperti seorang bidadari yang menari, di lain saat menjadi hebat seperti angin prahara yang menghantam bumi. Dan untuk sesaat Auyang Seng tanpa sadar melupakan rasa ingin tahunya terhadap urusan Kiongwan Hok. Apabila anakmuda ini tidak gila, maka anak muda yang ada dihalaman ini agaknya hanya dapat dikalahkan oleh Kiongwan Hok di kalangan angkatan muda Hoa-san-pay. Melihat Auyang Seng sedang memperhatikan anak muda yang berlatih silat itu, maka Sebun Siang juga menghentikan langkahnya dan berdiri di samping adik seperguruannya itu. "Siapa anak muda ini?" Tanya Auyang Seng. "Muridku dan sekaligus puteraku, Sebun Him," sahut Sebun Siang. Anakmuda yang disebut bernama Sebun Him itu agaknya tahu juga kalau dirinya sedang diperhatikan, maka ia-pun segera menghentikan latihannya dan memberi hormat kepada Sebun Siang berdua, "Ayah..." lalu ia ragu-ragu bagaimana harus menyebut orang yang bersama ayahnya itu. Sebun Siang berkata, "A-him, kau pernah dengar seorang paman gurumu yang dirimba persilatan sangat terkenal dengan julukan Gin-hoa-kiam? Nah, itu dia yang berdiri di hadapanmu." Sebun Him memang sudah lama mengagumi nama itu, maka alangkah gembira nya kfetika dirinya berhadapan muka dengan orang yang dikaguminya. Iapun membungkuk dalam-dalam sambil berkata, "Kiranya aku berhadapan dengan Auyang Susiok. Susiok, terimalah salamku dan ajarilah aku." Auyang Seng tersenyum melihat sikap anakmuda itu, diam-diam ia berpikir meskipun Hoa-san-pay kehilangan Kiongwan Hok tapi boleh juga digantikan oleh Sebun Him ini. Tetapi alangkah baiknya kalau Kiongwan Hok juga dapat disembuhkan sehingga Hoa-san-pay akan memiliki sepasang jagoan muda yang dapat diandalkan untuk masa depan. Kata Auyang Seng sambil menepuk-nepuk Sebun Him yang tegap kokoh itu, "Bagus, asal kau berlatih terus, kau akan menjadi ahli pedang yang lebih hebat dari padaku sendiri. Badanmu begitu kokoh dan tenagamu besar, dengan apa kau melatih kekuatanmu?" "Dengan itu," kata Sebun Him sambil menunjuk ke pinggir halaman kecil itu. Di sana bergeletakanlah macam-macam alat latihan kekuatan seperti ciok-so (kunci batu) yang besarnya hampir dia kali lipat dari ciok-so yang dipakai orang lain. Auyang Seng nampak sedikit mengerut alisnya ketika melihat alat latihan itu. Tanyanya lagi, "Bagaimana berlatih dengan alat itu dan seberapa beratnya?" Dengan wajah bersinar-sinar karena bangga Sebun Him menyahut, "Aku melakukan tiap pagi dan sore. Setiap kali aku ayunkan ke arah mendatar dan menegak masing-masing duaribu limaratus kali, dengan tangan kanan maupun kiri." Sambil menjawab maka Sebun Him memandang wajah paman gurunya dan menunggu keluarnya kata-kata pujian dari mulut sang paman-guru. Tapi Auyang Seng nampak tidak terkejut sedikitpun, malahan bertanya, "Kau mau tahu berapa gerakanku melakukan latihan yang sama setiap pagi?" Sahut Sebun Him mantap, "Susiok seorang pendekar yang terkenal, barangkali susiok melakukan limaribu atau sepuluh ribu kali? Akupun akan berusaha meningkatkan terus sampai hitungan itu.” Tapi jawaban Auyang Seng benar-benar mengejutkan, "Tidak, jika ingin ilmu pedangmu mencapai kesempurnaan, kau justru harus menguranginya. Aku hanya melakukan dua ratus kali, dan itupun dengan ciok-so yang ukurannya hanya separoh dari kepunyaanmu itu." Sebun Him termangu-mangu mendengar jawaban itu, sementara ayahnya diam saja di pinggir gelanggang karena mengetahui bahwa hasil tanya jawab itu akan membuahkan sesuatu yang berguna bagi perkembangan ilmu anaknya. "Kenapa...kenapa susiok melakukan sesedikit itu?" tanya Sebun Him. Dijawab oleh paman gurunya, "Sebab seorang ahli ilmu pedang harus berlatih menurut cara seorang ahli pedang pula, sedangkan kau berlatih seperti seorang ahli ilmu golok. Kau paham teori golok berjalan seperti harimau dan pedang berjalan seperti ular?" "Aku pernah mendengarnya. Artinya, gerakah golok adalah cepat, kuat dan langsung, sedangkan gerakan pedang adalah cepat, lembut dan tidak langsung. Begitu bukan, susiok?" "Benar. Dan karena teori itu maka mempengaruhi pula cara berlatih dari masing-masing pihak. Seorang ahli ilmu golok selalu berlatih untuk menguatkan lengannya, agar dalam mengayunkan goloknya ada tenaga yang besar yang kalau dapat membuat senjata musuh terpental. Tapi ilmu pedang mengutamakan latihan ketepatan, pemusatan pikiran kearah sasaran, dan penggunaan tenaga sekecil mungkin. Latihan mengangkat benda berat yang berlebihan bagi seorang pendekar pedang bukan meningkatkan ilmunya, tapi malahan akan membuat tenaganya berkeliaran tak terkendali di seluruh tubuh, dan bukannya terpusat ke ujung pedang. Latihan kekuatan memang perlu, tapi harus berhenti sampai batas tertentu, lalu dilanjutkan dengan latihan-latihan yang kelihatannya kurang berat tetapi lebih sulit, yaitu pemusatan pikiran ke sasaran yang kecil, kelenturan pergelangan tangan dan sebagainya. Itulah sebabnya seorang ahli ilmu pedang bisa menusuk seekor nyamuk yang sedang melayang di udara, sedang ahli ilmu golok tidak bisa. Kau paham tidak?" Kepala Sebun Him terangguk-angguk, tetapi ia belum bisa menerima sepenuhnya, sebab ada perasaan tidak rela dalam hatinya kalau latihan beratnya yang dilakukan dengan tekun setiap pagi dan sore itu ternyata dianggap 'tidak' berguna oleh paman gurunya. Tanyanya, "Latihan kelenturan pergelangan tangan yang bagaimana, susiok?" "Pergelangan tangan untuk seorang pemain pedang adalah penting, sebab banyak gerak tipu yang bersumber dari kelincahan pergelangan tangan. Bagi pemain golok tentu saja dirasa kurang penting, sebab mereka lebih memusatkan pada kekuatan pundak dan lengan." Sambil berkata demikian Auyang Seng mengambil sebatang toya besi yang tersandar di dinding halaman, toya besi yang oleh Sebun Him bisa diputar-putarnya seringan lidi. Tapi Auyang Seng tidak ingin memutar-mutarnya, ia hanya berkata, '’Kita akan belajar menulis di udara." Baik Sebun Siang maupun anaknya tercengang mendengar ucapan itu. Latihan apa-apaan itu? Bahkan dari guru-guru merekapun belum pernah mendengar adanya latihan "menulis di udara" itu. Auyang Seng tersenyum melihat suhengnya dan putera suhengnya itu melongo heran. Katanya, "Memang latihanku ini adalah penemuanku sendiri, dan mudah-mudahan berguna buat perkembangan ilmu pedang Hoa-san-pay kita." Toya besi itu sebenarnya tidak cukup berat apabila dipegang dengan cara biasa, panjangnya kira-kira satu setengah depa dan besar bulatannya atau garis tengahnya sebesar mangkuk kecil yang biasa digunakan di meja sembahyang. Namun ayah dan anak itu terkejut ketika melihat Auyang Seng memegang toya besi itu bukan di tengah-tengahnya melainkan diujungnya, bahkan ujung yang paling pinggir, hanya dengan satu tangan. Lalu Auyang Seng menggunakan toya besi itu seperti sebatang pena untuk 'menulisi’ udara, sambil berkata, "Lakukanlah ini setiap pagi, dengan kekuatan pergelangan tangan, bukan dengan kekuatan seluruh lengan atau pundak." Tanpa bergetar atau oleng sedikitpun, ujung toya besi itu mencoret-coret udara dengan gerakan menurut beberapa huruf, dari huruf-huruf yang sederhana sampai huruf-huruf yang rumit, dari gerakan yang perlahan sampai gerakan yang cepat seolah sedang menulis "Co-Ji" (huruf rumput) di atas kertas. Dan ketika dua orang ayah beranak itu melihat ke tangan Auyang Seng, benar juga, yang bergerak-gerak ternyata hanya pergelangan tangannya, lincah dan mantap, sedang siku dan pundak tidak bergerak sedikitpun. "Hebat, sute!" tak terasa Sebun Siang berseru. Sebun Him juga merasa kagum, tetapi la masih belum bisa menerima sepenuhnya "angin baru" yang dibawa oleh paman gurunya itu. Bukankah selama ini la berlatih dengan caranya itu dan ternyata ia menjadi paling unggul di antara rekan-rekan seangkatannya? Bukankah para paman guru maupun uwa guru yang lain juga belum pernah menegur cara latihannya? Ketika Auyang Seng selesai dengan "pertunjukan"nya, sang paman guru itu berkata, "Jadilah seniman pedang, bukan sekedar tukang bacok." "Paman, dalam memainkan jurus-jurus yang sebenarnya, maukah paman menunjukkan kegunaan dari latihan semacam itu?" desak Sebun Him penasaran. Auyang Seng tertawa dalam hati karena tahu isi hati anak muda itu, namun Auyang Seng sendiri sudah bertekad bahwa demi perkembangan anak muda itu sendiri di kemudian hari, ia memang akan merombak semua cara latihan kuno di perguruannya itu. Ia ingin Hoa-san-pay dikemudian hari akan penuh bertaburan dengan pendekar-pendekar muda yang dapat diandalkan, yang lebih hebat dari angkatan tua mereka. "Sutit (keponakan murid), gerakan Pek-wan-tau-pay-thian-teng (Si Monyet Putih Mencuri Buah dan Menyembah langit) tadi terdiri dari unsur mengiris, menekan senjata musuh ke bawah, lalu menikam. Gerakan pedang mengiris kau lakukan terlalu melebar sehingga pertahananmu terbuka dan mengganggu gerakan berikutnya, sebab gerakan itu seharusnya hanya kau lakukan dengan kibasan pergelanganmu tapi kau telah melakukannya dengan ayunan seluruh lengan. Kalau suatu gerakan disebut 'mengiris' ya harus kau lakukan dengan baik dan bukannya kau rubah sendiri dengan 'menebas' mengerti? Menabas ada caranya sendiri." "Bisakah paman memberi contoh?" "Ambil pedangmu dan bersiaplah," kata Auyang Seng, dan ia sendiripun menarik keluar pedangnya. Wajah Sebun Him berseri gembira, katanya di dalam hati, "Nah, sekarang akan aku tunjukkan kepada susiok bahwa meskipun aku memerlukan banyak perbaikan tetapi tidak sebodoh yang diduga oleh paman." Keduanyapun tersiap berhadapan, lalu terdengar Auyang Seng berkata, "Aku akan menyerang dengan Pek-wan-tau-tho-pay-thian-teng tadi. Awas!" "Aku siap, susiok," sementara dalam hatinya berkata, "Aku akan gunakan Pek-lou-heng-kang (Embun Putih Menyeberangi Sungai) untuk membentur pedang susiok, lalu kulanjutkan dengan Liu-hun tui-gan (Awan Meluncur Mengejar Belibis), tentu pedang susiok akan terkunci dan sulit melanjutkan gerakan apapun." Ketika ujung pedang Auyang Seng benar-benar bergerak dalam sebuah sabetan pendek ke lehernya, maka Sebun Him benar-benar membenturnya dengan gerakan yang direncanakan. Ia mengharap pedang paman gurunya terpental ke atas, tapi pedang perak itu justru menekan ke bawah dan dengan sebuah putaran dengan pergelangan tangannya, tahu-tahu pedang Sebun Him telah "terbelit" dan kemudian dicungkil jatuh dari tangannya. Di lain detik ujung pedang Auyang Seng sudah menempel di dada keponakan muridnya itu. Merahlah muka Sebun Him, maka dia sadar akan kelihaian paman gurunya itu. Tidak malu-malu lagi Sebun Him berkata, "Aku mohon susiok jangan cepat cepat pergi dari Hoa-san ini, aku mohon banyak petunjuk dari paman." Auyang Seng menyarungkan pedangnya dan menepuk pundak Sebun Him sambil berkata, "Hanya sebagian dari latihanmu yang salah, tapi sebagian besar latihan lainnya sudah betul. Belajarlah terus. Sekarang aku akan berbicara dengan ayahmu lebih dulu." Sebun Siang pun melangkah mendampingi adik seperguruan yang lebih pandai daripadanya itu, masuk ke ruangan tempat tinggalnya. Setelah mereka duduk berhadapan sambil menikmati teh, bertanyalah Au-yang Seng, "Nah, aku ingin segera mengetahui tentang Kiongwan Hok." Wajah Sebun Siang nampak muram ketika ia memulai ceritanya, "Setahun yang lalu, atau kurang dari itu, yaitu setelah kau meninggalkan Hoa-san untuk berkelana di dunia persilatan. Hoa-san-pay kita menerima laporan dari penduduk desa tidak jauh dari kaki gunung, bahwa mereka mendapat gangguan dari segerombolan orang jahat. Tentara Kerajaan yang didatangkan dari kota terdekat tidak dapat menolong, bahkan banyak prajurit yang mati karena rombongan penjahat itu ada seorang yang lihai ilmu silatnya. Ciangbunjin lalu menyuruh Suheng Giok-seng Tojin untuk turun gunung membantu mengatasi tandang kaum penjahat. Giok-seng Suhengpun berangkat bersama dua orang murid yang paling diandalkannya, yaitu Kiongwan Hok dan searang lagi adalah Tan Yu-hian...." Auyang Seng mendengarkan sampai sini sambil menganggukkan kepalanya. Ia kenal semua nama-nama yang disebutkan itu, hanya saja perasaannya merasa agak janggal ketika mendengar disebutnya nama Giok-seng Tojin, entah hal apa yang membuatnya merasa demikian, ia tidak tahu. Sementara itu Sebun Siang melanjutkan kisahnya, "Ketiga orang itu meninggalkan Hoa-san-pay, dan tak terduga itulah awal dari malapetaka. Dusun yang harus dibebaskan dari gangguan penjahat itu letaknya tidak jauh dari kaki gunung, tentunya begitu Giok-sen Suheng bertiga selesai menjalankan tugas akan kembali ke gunung dalam tempo beberapa hari saja. Namun hampir satu bulan mereka tidak kembali. Ciang-bunjin mencemaskan bahwa ketiganya telah mengalami bencana, lalu disuruhnya beberapa dari antara kami menyelidik ke desa tempat kerusuhan itu, tapi desa itu sudah tenteram kembali sementara Giok-seng Suheng dan kedua muridnya tak dapat dicium jejaknya sedikitpun juga." "Barangkali Giok-seng langsung membawa kedua muridnya itu untuk berkelana sebulan dua bulan di dunia persilatan untuk sekedar pengalaman kepada anak-anak muda itu?" Auyang Seng mencoba menebak... |
Selanjutnya;
|