Pendekar Naga dan Harimau Jilid 22Karya : Stevanus S.P |
Tong Lam-hou dengan kepandaiannya yang tinggi memang sanggup membendung musuh di satu bagian, tapi hanya di satu bagian saja, sebab tenaga seseorang yang bagaimanapun tinggi ilmunya tentu tidak sanggup untuk mempengaruhi medan yang seluas itu. Maka semangat laskar pemberontak semakin meningkat setelah melihat teman-teman mereka sebagian besar berhasil naik ke tembok dan bahkan turun ke bagian dalam tembok.
Desa yang tadi malam terlepas dari tangan mereka, ada harapan akan direbut kembali. Bukan itu saja, pasukan Hui-liong-kun yang menduduki desa itu agaknya akan tertumpas habis sampai orang-orang terakhir sebab mereka tidak punya jalan mundur, ibarat dilingkari oleh laskar pemberontak. Tapi prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang berjumlah dua ribu lima ratus, jauh lebih sedikit dari laskar pemberontak yang menyerbu itu, juga berkelahi dengan amat gigih, tidak peduli mereka berguguran seorang demi seorang. Tidak percuma mereka disebut Pasukan berani Matinya Kerajaan Manchu, sebab dalam keadaan terjepit itupun setiap prajurit Hui-liong-kun memiliki tekad yang sama. Diri sendiri boleh mampus asal sudah berhasil membunuh beberapa orang musuh. Dengan demikian kematian di pihak laskar pemberontak akan mencapai jumlah berlipat ganda dari duaribu limaratus orang prajurit yang berhati singa itu. Apalagi perwira-perwiranya seperti Ha To-ji atau Tong Lam-hou atau lain-lainnya. Andaikata mereka harus mati, mereka tentu akan membawa korban puluhan orang di pihak lawan, bukan sekedar dua atau tiga orang. Si Harimau Selatan dan Si Beruang Gurun Pasir Mongolia itu benar-benar berkelahi seperti sepasang malaikat maut yang menyebar malapetaka di bumi ini. Bagian dinding desa yang mereka pertahankan adalah bagian yang paling banyak meminta korban laskar pemberontak dibandingkan bagian-bagian dinding desa lainnya. Di pihak laskar pemberontak, ada tiga pasang mata yang tadi terus mengincar Tong lam-hou. Tiga pasang mata milik Giok-seng Tojin palsu yang nama aslinya adalah Han Kiam-to yang berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Setan Gila Bertangan Ganas), dan dua orang Te-liong Hiangcu lainnya yang menyusup dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itu. Merekalah Tong King-bun dan Seng Cu-bok. Ketiga-tiganya mendapat perintah tegas dari Te-liong Hiangcu bahwa Tong Lam-hou harus dibunuh, entah dengan cara bagaimana, karena dia adaiah putera kandung Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang yang dikuatirkan akan membalas dendam, kepada Te-liong Hiangcu itu. "Ini kesempaan kita," kata Giok-seng Tojin gadungan alias Han Kiam-to. "Memang benar ucapan saudara Tong King-bun dulu, dia memang luar biasa. Tadi Ketika aku menangkis panahnya, aku sampai terjatuh dari kuda." Tong King-bun dan Seng Cu-bok tertawa berbareng, dan salah seorang dari mereka menjawab, "Ya, kami juga melihatnya. Sekarang saudara Han percaya bahwa kami tidak membual bukan?" Sebenarnya wajah Han Kiam-to menjadi kemerah-merahan karena malu, tapi karena wajah aslinya itu tertutup oleh wajah palsu Giok-seng Tojin maka warna merah mukanya tidak kelihatan. Sahutnya, "mari kita kerubut dia." Ditengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran, merekapun segera mendesak maju ke arah Tong Lam-hou yang masih berdiri di atas dinding desa dan mengamuk dengan panahnya itu. Jika ada laskar pemberontak yang berhasil memanjat naik, maka Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan merobohkan mereka, lalu disarungkannya pedangnya kembali dan panah-panahnyalah yang beterbangan kembali. Kegagahannya telah membuat musuh pecah nyalinya dan lebih suka menyingkiri dia saja. Namun Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok tidak merasa takut. Satu persatu memang mereka kalah, tapi mereka percaya bahwa dengan maju bertiga mereka akan berhasil membereskan anak Tong Wi-siang, apalagi Seng Cu-bok memiliki senjata yang disebut hwe-tan (peluru api) yang sesuai dengan julukannya sendiri. Dengan peluru-apinya itulah nanti ia berharap bisa membuat Tong Lam-hou terbakar hangus dan ia akan memperoleh pujian dari Te-liong Hiang-cu. Han Kiam-to dan Tong King-bun bersenjata. masing-masing sebatang pedang, sedangkan Seng Cu-bok memegang sebatang golok. Ketiga-tiganya adalah tokoh golongan hitam yang sudah memiliki nama disegani sebelum Tong Lam-hou dilahirkan ke dunia ini, dan kini ketiga tokoh yang masing-masing mempunyai julukan-julukan yang seram-seram itu tidak segan-segan hendak mengeroyok seorang anak muda yang jauh lebih muda umurnya dari mereka sendiri. Tong Lam-hou yang sibuk membendung musuh dengan panah atau pedangnya itu, tidak menyadari bahaya yang mengancam nyawanya. Sekeliling desa itu memang penuh dengan laskar pemberontak yang berjumlah berribu-ribu dan terus bergerak seperti padi ditampi, sehingga gerakan ketiga anak buah Te-liong Hiangcu itupun tidak kentara. Dan barulah Tong Lam-hou terkejut ketika sesosok tubuh melayang secepat kilat ke arahnya sambil menikamkan pedangnya. Tak sempat menghunus pedangnya, maka Tong Lam-hou hanya menggunakan busurnya untuk menangkis sambil meloncat ke samping. Akibatnya, busur yang hanya terbuat dari kayu itu pun terpapas patah oleh pedang musuh. Ketika Tong lam-hou memperhatikan penyerangnya itu? ternyata bukan lain adalah imam yang tadi memanahnya itu. "Bagus, imam busuk!" teriak Tong Lam-hou. "Bukannya kau berdoa dalam kuilmu untuk kedamaian umat manusia, tapi malahan berkompolot dengan kaum pemberontak untuk mengacau negara?" Tong Lam-hou menghunus pedangnya dan hendak menyerang imam itu. Tapi kembali ia dikejutkan sebuah serangan gelap dari samping. Seseorang kembali telah meloncat ke atas tembok dan menyerangkan pedangnya dengan dahsyat. Lalu muncul seorang lagi dengan golok ditangan kanan, namun ia melemparkan sebuah benda hitam bulat sebesar kepalan tangan ke arah Tong Lam-hou. Tong Lam-hou mengayunkan pedangnya hendak memukul jatuh benda bulat hitam itu, namun sebelum pedangnya bersentuhan dengan benda itu, tibat-iba hidungnya mecium bau belerang yang tajam, maka terkejutlah Tong Lam-hou karena ia dapat menebak benda apa yang bulat hitam itu, dan bagaimana akibatnya jika pedangnya membenturnya. Cepat-cepat ia tarik pedangnya agar tidak membentur benda itu, dan tubuhnyapun sekuat tenaga meloncat turun dari dinding, tidak diperhitungkannya bahwa loncatannya itu justru ke arah luar dinding desa. Ia jatuh ke tengah-tengah kerumunan laskar musuh! Sementara benda bulat hitam yang dilemparkan oleh Seng Cu-bok itu bukan lain adalah sebutir hwe-tan (peluru api) yang akan meledak jika membentur benda lain secara keras. Dan karena benda itu tidak mengenai Tong Lam-hou, maka ia jatuh ke tanah dan meledak menjadi api yang berkobar bercampur dengan bau belerang yang tajam. Sementara itu Han Kiam-to, Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga telah meloncat turun kembali dari dinding desa untuk mengepung Tong Lam-hou. Maka dibawah dinding desa itu terjadilah pertempuran seru satu lawan tiga. Tidak ada laskar pemberontak yang berani mencampurinya, sebab mereka melihat betapa tingginya ilmu dari orang-orang yang bertempur itu. Tong Lam-hou yang masih muda dan berdarah panas itu herkPiahi seperti seekor harimau yang sangat buas. Begitu tangkas dan kuat, membuat musuh-musuhnya harus berhati-hati agar tubuh mereka tidak robek oleh pedang yang digerakkan dengan ilmu yang tinggi itu. Ilmu pedang ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan adalah ilmu pedang yang mengutamakan kekuatan, kecepatan, di mana ujung-ujung pedang mengincar sasaran dengan telak. Ilmu pedang itu tidak sedikit pun mempedulikan unsur keindahan atau seni, sebab ia tidak untuk dipertontonkan tapi benar-benar diciptakan untuk berkelahi. Namun ketika lawannyapun bukan anak yang baru kemarin sore belajar memegang senjata. Ketiganya adalah tokoh-tokoh golongan hitam yang berilmu tinggi pula dan berpengalaman, berhati keji tidak tanggung-tanggung dan bahkan dalam hal kelicikan mereka jauh berada di atas Tong Lam-hou yang lugu itu. Dengan demikian Tong Lam-hou menghadapi lawan-lawan yang sangat berbahaya, yang tidak segan-segan memakai cara sekotor apapun untuk memenangkan perkelahian itu. Tong Lam-hou juga ingat bahwa Salah seorang dari mereka punya peluru-peluru api yang setiap saat dapat membahayakannya. Ha To-ji di atas dinding terkejut sekali ketika melihat Tong Lam-hou telah terpancing keluar dinding dan dikerubut tiga orang musuh tangguh. Orang Mongol yang berjulukan si Beruang Gurun itu segera mencabut golok lengkungnya dan siap terjun untuk membantu sahabatnya itu. Tapi Tong Lam-hou telah meneriakinya, "Jangan turun, Ha To-ji! Kau tetap pimpin seluruh pasukan sebab rekan-rekan lainnyapun sudah sibuk dengan lawan mereka masing-masing! Ketiga cecunguk berilmu rendah ini belum bisa menyentuh seujung rambutkupun meskipun mereka mengerahkan ilmu mereka!” Han Kiam-to yang sekian lamanya ditakuti sebagai tokoh golongan hitam yang menonjol itupun marah sekali mendengar ejekan Tong Lam-hou yang sangat memandang rendah dirinya itu. Teriaknya, "Bangsat Manchu bermulut besar! Kesombonganmu patut kau tebus dengan nyawamu!" Tong King Bun juga membentak, "Kau akan menyesali ucapanmu itu, anak Tong Wi-siang! Menyesalinya di akehrat!" Tong Lam-hou agak heran karena lawannya itu langsung mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang, Ketua Hwe-liong pang berpuluh tahun yang lalu. Ia merasa kedua orang yang berpakaian seperti laskar biasa itu agak aneh dan mencurigakan, apalagi setelah Tong Lam-hou mengenali kembali Tong King-bun sebagai salah seorang yang memimpin pencegatan di sungai Yang-ce-kiang beberapa waktu yang lalu, sewaktu Pakkiong Liong dan pasukan kecilnya pulang dari Hun-lam dengan membawa tawanan. Perasaan Tong Lam-hou yang tajam segera merasakan adanya suatu jaringan-jaringan rahasia yang aneh yang tersebar di mana-mana, mengincar nyawanya, dan ia ingat pula kemunculan seorang bertopeng tengkorak di rumahnya di Pak-khia yang tiba-tiba saja ingin membunuhnya dengan alasan bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang. Dan kini, di medan perang yang jauh di sebelah barat kota Pak-khia inipun ia menjumpai tiga orang yang mengenalinya sebagai anak Tong Wi-siang dan ingin membunuhnya. "Siapa kalian?" bentak Tong Lam-hou sambil terus bertempur. Tong King-bun menjawab, "Kami dulu anak buah Hwe-liong Pangcu. Semalam kami mimpi di datangi Hwe-liong Pangcu dan ia minta agar anaknya dijemput dan diantarkan kepadanya supaya ia tidak kesepian di akherat..." Tong King-bun tidak dapat melanjutkan kata-kaanya, sebab Tong Lam-hou sejak lahir belum pernah melihat ayahnya, namun ia sangat hormat dan bangga kepada ayahnya itu, maka ketika mendengar Tong King-bun mempermainkan nama ayahnya sebagai bahan gurauan, diapun marah bukan kepalang. Untung Tong King-bun tidak sendirian, di dalam bahaya ia mendapat bantuan kedua temannya. Saat itulah Tong Lam-hou yang sudah habis kesabarannya itu memutuskan untuk mengerahkan ilmu Hian-im-ciangnya agar musuh cepat mampus. Demikianlah, diawali sebuah bentakan, udara di sekitar tubuh Tong Lam-hou sampai sejauh lima atau enam langkah tiba-tiba menjadi sangat dingin. Jauh lebih dingin dari salju yang beku. Setiap gerak tangannya maupun pedangnyapun membawa angin dingin yang jika kena telak akan sanggup membekukan darah. Bahkan Tong Lam-hou keluarkan pula ilmu tendangan yang disebut Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Beruntun Seratus Kali Pergantian). Ketiga lawannyapun terkejut bukan kepalang ketika merasa udara di tempat itu tiba-tiba turun suhunya dengan tajam, begitu tajamnya sehingga mereka merasa seperti dari bawah sinar matahari yang hangat mendadak dicemplungkan ke sebuah sumur es di musim salju. Rasa dingin yang menusuk kulit menggigit tulang, membuat darah mereka menjadi dingin mendadak dan tidak lancar mengalirnya, dan dengan sendirinya membuat gerakan mereka jadi lambat. Di saat gerakan mereka melambat itulah maka Tong Kim-bun mencelat keluar dari arena karena kena tendangan Tong lam-hou. Masih untung tidak mampus. Kerjasama antara ketiga orang itu sejenak menjadi kalang-kabut, Han Kiam-to dan Seng Cu-bok segera meloncat menjauhi Tong Lam-hou dengan tubuh yang menggigil karena kedinginan. Sesaat mereka harus mengerahkan tenaga dalam mereka untuk mengalirkan udara hangat ke seluruh tubuh mereka agar darah tidak terlanjur menjadi beku. Tong King-bun yang terbanting jatuh itupun cepat-cepat melompat bangun dan meniru jejak kedua temannya itu. Tapi Tong Lam-hou tidak membiarkan ketiganya lolos lagi. Dengan sengit segera dilibatnya mereka kembali dalam pertempuran yang hebat. Seng Cu-bok mencoba membuyarkan hawa maha dingin yang melingkupi tubuh Tong Lam-hou itu dengan melempar-lemparkan beberapa buah peluru apinya ke tubuh lawan dan ternyata Tong Lam-hou menangkisnya tanpa takut-takut dengar pengerahan Han-im-ciangnya. Maka peluru peluru api Seng Cu-bok itu tidak lagi meletus dahsyat dan menyemburkan api yang berkobar-kobar, melainkan hanya mengeluarkan suara letupan lemah. Dan kobarannyapun hanya muncul sebentar lalu sirna tertindih oleh udara maha dingin yang diatas kekuatannya. Demikianlah tiga orang anggota kelompok Kui-kiong (Istana Iblis) pimpinan Te-liong Hiangcu itu mulai merasa bahwe tugas yang dibebankan oleh majikan mereka agaknya bakal gagal terlaksana. Pada saat yang sama, di seluruh medan perang keadaan pasukan Hui-liong-kun benar-benar telah jatuh di bawah tekanan berat. Laskar pemberontak yang terus membanjir bagaikan air bah sudah sulit dibendung lagi. Beberapa tempat pertahanan Hui-liong-kun disekeliling dinding desa sudah berhasil dibobol musuh tanpa dapat ditutup lagi, tidak peduli para perwira dan prajurit bertahan amat gigih dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Dan semangat laskar pemberontak bagaikan melonjak tinggi ketika dari arah selatan muncul pula sebarisan laskar pemberontak lainnya yang tenaganya nasih segar, dipimpin oleh Kongsun Hui yang didampingi oleh Kam-koan, Ketua dari Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) itu. Pertanda mereka dapat dilihat dari kibaran bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar di pucuk barisan. Begitu masuk ke kancah pertempuran, Kongsun Hui dan pasukannya langsung mendesak maju untuk membantu mempercepat bobolnya pertahanan pasukan Hui-liong-kun di dinding desa. Pertahanan Hui-liong-kun itu sendiri sebenarnya sudah robek-robek di sana-sini, dan kini dengan datangnya bala bantuan untuk musuh, maka dapat dipastikan sebentar lagi seluruh desa akan dapat direbut. Kam Koan si ketua Tiat-hi-pang agaknya ingin mendirikan pahala di depan Pangeran Cu Leng-ong, maka iapun memacu kudanya sampai ke dekat dinding desa, dengan sepasang tombak pendeknya sudah tergenggam erat di tangannya. Begitu tiba dekat dinding, ia berteriak, "Anggota-anggota Tiat-hi-pang, ikuti aku! Jangan kalah berjasa dengan orang-orang Ngo-pa-hwe!" Agaknya antara kelompok-kelompok yang bergabung dalam laskar Pangeran Cu Leng-ong itupun masih juga ada persaingan, meskipun mereka telah bertempur di bawah satu bendera. Maka mendengar teriakan sang pemimpin, orang-orang Tiat-hi-pang segera mendesak maju dengan beringas dan berusaha merebut satu bagian dari dinding yang melingkari desa. Kam Koan sendiri memimpin orang-orangnya. Di putarnya sepasang tombak pendek (siang-kek) untuk menghalau anak anak panah dan lembing yang dilontar-iontarkan oleh prajurit-prajurit Hui-liong-kun dari atas dinding. Kemudian, seperti seekor burung saja ia meloncat naik ke atas dinding, dua orang prajurit Hui-liong-kun yang tepat berada di arah lompatannya ternyata tidak sempat meletakkan dan menghunus pedang mereka. Kedua prajurit itu menjadi korban-korban pertama dari sepasang senjata Ketua Tiat-hi-pang itu. Prajurit-prajprit lain sempat mengambil pedang atau tombak, dan mengerubut Kam Koan yang bertarung dengan hebat itu. Dengan demikian mereka tidak sempat lagi untuk memanah atau melemparkan lembing. Kesempatan itu segera digunakan oleh orang-orang Tiat-hi-pang untuk mendekati dinding, memasang tangga, dan mulai memanjat dinding dipelopori oleh orang-orang yang bernyali besar lebih dulu, meskipun yang bernyali besar itupun harus tetap melindungi kepala mereka dengan perisai. Satu lagi titik pertahanan Hui-li-ong-kun jebol. Dan yang kemudian mengalir masuk lewat "lubang" pertahanan yang bobol itu bukan saja orang-orang Tiat-hi-pang, tetapi juga orang-orang Ngo-pa-hwe yang sudah ada di situ lebih dulu, orang-orang Jit-goat-pangnya Cu Leng-ong sendiri, atau laskar lainnya yang berpihak kepada Pangeran Cu Leng-ong. Setiap kelompok ingin memperebutkan jasa bagi dirinya sendiri, sehingga merekapun seakan berebutan lebih dulu siapa yang berhasil menundukkan Hui-iiong-kun. Pihak Hui-liong-kun harus mengerahkan beberapa regunya ke tempat itu untuk membendung musuh. Kam Koan sendiri adalah seorang yang terlalu kuat untuk dilawan oleh prajurit-prajurit biasa. Setiap kali beberapa orang prajurit Hui-liong-kun dengan berani mencoba menghadang Ketua Tiat-hi-pang itu, namun setiap kali pula bebeberapa prajurit terjungkal tewas dan kepunganpun tercerai-berai. Orang-orang Tiat-hi-pang setiap kali bersorak-sorak mengejek musuh apabila melihat kegagahan ketua mereka dai am menghajar musuh. Tapi aknirnya Kam Ko-an bertemu dengan seorang, lawan yang agak seimbang, yaitu seorang perwira Hui liong-kun berpangkat pek-hu-thio yang kepandaiannya agak lumayan, bersenjata perisai di tangan kiri dan golok lengkung di tangan kanan. Meskipun perwira ini masih saja terdesak meiawan Kam Koan, namun setidak-tidaknya ia dapat memancing Kam Koan dalam suatu perkelahian satu lawan satu dan tidak membiarkannya malang-melintang sambil menyebar. Tiba-tiba terdengar laskar pemberontak yang berada di sisi utara dinding itu bersorak-sorai membelah langiit. Ternyata bala bantuan telah datang lagi buat mereka. Kali ini dan dipimpin oleh Ketua Koay-to-bun (Perguruan Golok Cepat) Cu Yok-tek yang mengaku berdarah bangsawan itu, dan berjulukan Say-bin-koay-to (Si Golok Cepat Berwajah Singa) yang memimpin orang-orang Koay-to-bun, didampingi oleh Ketua Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai). Ji Tay-hou yang dari kejauhan sudah memutar-mutar rantai dengan bandul besinya yang sebesar semangka itu. Bahkan, entah untuk bergurau atau untuk maksud lainnya, Ji Tay-hou sengaja mengecat bandul besinya itu dengan warna lurik hijau dan kuning sehingga mirip semangka betul. Hanya saja "semangka" ini dulunya adalah semangka yang paling mematikan di sepanjang suangi Hong-ho. Tak seorangpun menyukai "semangka"nya ini. Ketika mereka tiba di sisi desa sebelah utara, dilihatnya sepasukan laskar pemberontak sedang mendobrak pintu gerbang desa, namun belum juga berhasil. Setiap kali segerombolan laskar pemberontak berlari bersama-sama sambil menggotong sebuah balok besar untuk disodokkan ke pintu gerbang. Namun hujan panah dan lembing yang dilontarkan prajurit-prajurit Hui-liong kun membuat sebagian dari kelompok pendobrak itu berejatuhan, dan daya luncur merekapun berkurang sehingga benturan balok kayu yang mereka bawa tidak berhasil mendobrak pintu gerbang desa yang dipalang kuat di sebelah dalamnya itu. Melihat hal itu, Ji Tay-hou segera berteriak, "Membuang-buang waktu saja! Minggir semuanya!" Laskar pemberontak yang sedang mendobrak pintu gerbang itupun segera minggir berhamburan sambil meletakkan balok kayu mereka. Kini Ji Tay-hou berdiri belasan langkah dari pintu gerbang desa sambil memutar-mutar rantainya yang berujung "semangka" itu, tanpa peduli panah-panah atau lebing-lembing musuh semuanya tersapu oleh putaran rantainya. Terdengar suara menderu kencang ketika bandul besi besar itu diputar, menandakan tenaga Ji Tay-hou yang luar biasa. Kecepatannyapun luar biasa sehingga bandul itu hanya berwujud lingkaran hijau-kuning. Setelah sesaat memutar bandulnya, tiba-tiba Ji Tay-hou membentak keras sambil melangkahkan kakinya selangkah dengan kuda-kuda Yu-cian-ma, lalau bandulnyapun meluncur deras menghajar pintu gerbang itu. Terdengar suara berderak patahnya palang pintu. Dan dengan sekali hajaran lagi, palang pintupun patah dan kedua pintu gerbang itu terbuka lebar. Dengan bandul besinya yang berantai panjang itulah biasanya Ji Tay-haou mengahantam kapal-kapal di sungai Hong-ho yang hendak dirampoknya. Kalau bukan tiang-layarnya ya lambung kapalnya sehingga kapal calon korbannya akan bocor dan mudah disusul. Kini ia meninggalkan Hong-ho dan bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong karena ia sudah ditawari jabatan "Panglima Armada Kerajaan Beng" apabila perjuangannya berhasil kelak. Dengan jebolnya pintu gerbang desa, laskar pemberontakpun menyerbu ke dalam desa dengan derasnya. Hujan panah dan lembing musuh tak lagi dapat membendung mereka. Say-bin-koay-to Cu Yok-tek dan Ketua Kang-llong-pang Ji Tay-hou segera pimpin laskarnya untuk menyerbu masuk ke desa. Ketika palang pintu gerbang berderak retak tadi, prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang bertahan di balik pintu itu sudah menyangka bahwa pintu gerbang sudah tidak bisa dipertahankan lebih lama lagi. Maka saat itu mereka sudah mempersiapkan diri untuk menyambut membanjirnya pasukan musuh lewat pintu gerbang yang jebol itu. Seperti sekawanan burung gereja yang sedang beristirahat, prajurit-prajurit itu menangkring berderet-deret di atap-atap rumah atau di tembok-tembok rumah yang terletak di kiri kanan jalan yang akan diserbu musuh. Begitu laskar musuh nampak, maka hujan panah dan lembingpun meghujani pasukan musuh. Namun kejutan itupun hanya sementara, sebab musuh segera mengangkat tameng-tameng mereka, lalu pertempuranpun jarak dekatpun berkobar dengan sengitnya. Pertempuran segera menyebar ke lorong-lorong, ke segala sudut desa. Bahkan jika ada seseorang yang lari masuk ke halaman sebuah rumah karena dikejar oleh musuhnya, maka pertempuranpun terjadi di halaman-halaman rumah, lalu masuk ke rumah-rumah, dari kamar ke kamar. Di dapur, di ruangan tamu, di kebun belakang, di kandang ternak. Di mana saja, tidak ada lagi garis yang memisahkan antara orang-orang kedua belah pihak.... |
Selanjutnya;
|