Pendekar Naga dan Harimau Jilid 23Karya : Stevanus S.P |
Pangeran Cu Hin-yang terkejut dan berusaha menghindar, tapi luncuran jambangan itu begitu cepat sehingga masih sempat membentur pelipisnya sehingga kulitnya robek dan berdarah. Pangeran Cu Hin-yang sendiri terhuyung-huyung sambil berdesis, "Kakanda..."
"Persetan dengan banci-banci yang mengaku sebagai laki-laki seperti kalian ini!" teriak Pangeran Cu Leng-ong lagi "Minggat semua dari depanku! Aku muak melihat tampang kalian!" Bagaimanapun sabarnya Li Tiang-hong dan lain-lainnya, tapi terbakar juga melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong yang tak terkendali dan juga tidak mempedulikan harga diri orang lain itu. Li Tiang-hong tiba-tiba membuka topi perangnya yang sudah retak karena terpanah Tong Lam-hou tadi, dan ditunjukkannya kepada Pangeran Cu Leng-ong sambil berkata dengan suara meluap luap pula, "Pangeran yang hamba junjung tinggi, barangkali hamba memang amat tolol, namun, kesetiaanku kepada Kerajaan Beng tidak akan luntur sedikitpun sampai ajalku tiba. Tidak juga meskipun Pangeran telah mencaci-maki aku sepedas ini. Lihat, Pangeran, kepalaku hampir ditembus panah musuh! Ketika pangeran sedang makan enak dikelilingi dayang dayang cantik di gedung ini, maka aku sedang menyantap debu dan panas matahari di medan perang sana, mempertaruhkan nyawa tanpa pamrih kecuali untuk tegaknya kembali kerajaan Beng. Ketika tadi malam Pangeran dibawah selimut yang hangat, aku sedang berpacu bersama adinda Pangeran sendiri, menembus dinginnya malam untuk mengatur rencana penyerangan. Aku tidak tidur semalam suntuk, aku hampir mampus dipeperangan! Tapi agaknya keberadaanku di sini hanya membuat pangeran merasa muak! Baik! aku akan membawa laskarku kembali ke Hun-lam sana untuk meneruskan perjuangan kami yang dulu! Dulu tidak di bawah perintah Pangeran pun aku sanggup berjuang bersama pasukanku, sanggup pula menderita kekurangan sandang-pangan untuk waktu yang tak terbatas, demi tercapainya cita-citaku!" Lalu Li Tiane-hong membanting topi perangnya di hadapan Pangeran Cu Leng-ong dan membalik tubuh dan melangkah pergi tanpa memberi hormat lagi. Tindakan itu diikuti oleh Cu Yok-tek yang juga amat tersinggung oleh ucapan-ucapan Pangeran Cu Leng-ong tadi. Dengan suaranya yang kasar dan besar ia berkata singkat namun tegas, "Kau bermimpi untuk menjadi Kaisar Kerajaan Beng! Silahkan terus dengan mimpimu itu! Aku tetap lebih suka sebagai Ketua Koy-to-bun yang menguasai wilayahku sendiri, daripada dijanjikan pangkat muluk-muluk tetapi hanya dijadikan permainanmu saja!" Wajah pangeran Cu Leng-ong memucat melihat Sikap Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek itu. Ia tahu bahwa kekuatan mereka cukup besar, jika sampai mereka memisahkan diri maka yang tinggal di sini hanya separuh lebih, bagaimana sanggup menghadap gabungan antara Hui-liong-kun dengan pasukan kota Tay-tong? Ia hendak berteriak memanggil kedua orang yang sudah hampir mencapai pintu itu, namun harga dirinya telah mencegahnya. Apa kata kedua orang itu kalau ia memanggilnya kembali? Tentu dirinya akan dikatakan takut ditinggalkan oleh mereka, tidak sanggup meneruskan perjuangan tanpa mereka berdua dan sebagainya. Akhirnya Pangeran Cu Leng-ong menatap saja langkah-langkah kedua orang itu dengan mata menyesal tapi juga angkuh. Kongsun Hui yang mencoba mencegah kedua rekannya itu, "Saudara Li dan saudara Cu, harap menahan diri dan mengingat perjuangan kita..." Cu Yok-tek mengibaskan tangan Kongsun Hui yang memegang pundaknya itu sambil berkata keras, "Perjuangan itu perjuangan kalian sendiri! Jelek-jelek aku juga seorang she Cu, meskipun darah bangsawanku tidak sekental darah bangsawannya, tapi aku tidak sudi diinjak-injak seperti seorang budak seperti tadi!" Lalu Kongsun Hui beralih kepada Li Tiang-hong, "Saudara Li, harap kau ingat akan..." Sahut Li Tiang-hong tegas, "Saudara Kongsun, jangan kuatir. Bersama Pangeran atau tidak, aku tetap setia kepada Kerajaan Beng. Hanya jika nyawaku sudah lepaslah maka perjuangan berhenti. Kita akan berjuang di tempat yang berbeda-beda satu sama lain, tapi tujuan kita sama. Membebaskan tanah air." Agaknya Kongsun Hui sudah tidak dapat mencegah lagi kedua orang itu untuk meninggalkan laskar Cu Leng-ong, bersama bers dengan pengikut mereka masing-masing. Namun sebelum mereka mencapai ambang pintu, tiba-tiba melayanglah sesosok bayangan yang langsung menghadang jalan mereka berdua, kedua orang itu menghentikan langkah mereka dan melihat siapa yang menghadang mereka, ternyata adalah Pangeran Cu Hin-yang. Cu Yok-tek langsung menghunus goloknya karena mengira kepergiannya akan dirintangi, sedangkan Li Tiang-hong juga mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah yang akan dilakukan Pangeran itu? Wajah pangeran Cu Hin-yang ternyata tidak garang, bahkan nampak memelas sekali dengan mata yang basah berkaca-kaca. Lalu tanpa menghiraukan tangga gedung yang kotor oleh debu, ia berlutut di hadapan kedua orang itu dan menempelkan keningnya ke tanah berulang kali. Katanya dengan nada lembut, "Li Ciangkun dan Cu Ciangbunjin (Ketua she Cu), aku Cu Hin-yang menyembah kepada kalian untuk memohon agar kalian tidak meninggalkan laskar. Kasihanilah dinasti Beng yang sengsara, tetaplah bergabung dan berjuang bersama kami. Jangan sampai perpecahan yang diakibatkan oleh kemarahan kita membuat perjuangan harapan seluruh rakyat Han ini hancur berkeping-keping. Aku mohon... aku mohon... jika kalian melangkah keluar juga maka kalian akan melangkahi mayatku..." Dan tahu-tahu di tangan Pangeran Cu Hin-yang telah tergenggam sebilah pisau belati yang ujungnya ditempelkan ke ulu hatinya sendiri, sementara tubuhnya masih dalam sikap berlutut. Andaikata dihalang-halangi dengan mata melotot dan golok terhunus, barangkali Li Tiang-hong akan nekad menerjangnya. Namun dihalangi dengan ratap tangis pangeran Cu Hin-yang yang wataknya sudah dikenal baik olehnya itu, maka runtuhlah kekerasan hati Li Tiang-hong. Cepat-cepat iapun melangkah maju dan dengan sikap terharu ia menarik Pangeran Cu Hin-yang agar bangun dari berlututnya, sambil membujuk, "Jangan berlutut begitu, Pangeran. Calon Kaisar Kerajaan Beng yang agung tidak boleh berlutut kepada siapapun." "Penuhilah permintaanku." "Baik, aku tidak akan membawa pergi laskarku, aku tetap di sini dan mendukung Pangeran Cu Hin-yang sebagai calon Kaisar Beng!" kata Li Tiang-hong tegas. Demikianlah dengan bujukan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong akhirnya membatalkan untuk memisahkan diri dari laskar itu. Namun oleh dorongan kekecewaannya kepada tabiat Pangeran Cu Leng-ong, maka telah terucap secara tegas, bahkan diucapkan dua kali, bahwa Pangeran Cu Hin-yang-lah yang didukung oleh Li Tiang-hong sebagai Kaisar apabila besok perjuangan mereka menang. Bukan Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran Cu Leng-ong lebih tua. Pangeran Cu Leng-ong dan juga semua orang yang ada di tempat itupun mendengar jelas-jelas ucapan Li Tiang-hong itu, dan hati merekapun bergolak, paling aman adalah bungkam lebih dulu, mengikuti arah angin saja. Sedangkan Pangeran Cu Hin-yang sendiripun terkesiap, ucapan Li Tiang-hong yang terlalu terang-terangan itu membuatnya merasa tidak enak terhadap kakandanya sendiri, apalagi ketika diliriknya wajah sang kakak menjadi gelap penuh dendam mendengar hal itu. Namun ia cukup lega bahwa ia berhasil mencegah Li Tiang-hong memisahkan diri, soal kakandanya salah paham, bisa dijelaskan kemudian. Kepada Cu Yok-tek-pun Pangeran Cu Hin-yang menghimbau, "Kakanda Yok-tek, aku harap kakanda memikirkan kembali keputusan kakanda..." Memangnya di sinilah letak kelemahan Cu Yok-tek. Kepada siapapun ia selalu mengaku-aku sebagai kerabat Istana Kerajaan Beng karena ia juga she Cu, dan ia paling jengkel kalau ada orang yang tidak percaya atau mentertawakan silsilah keluarganya yang sebenarnya ia karang sendiri itu. Maka ketika mendengar seorang Pangeran seperti Cu Hin-yang ini memanggilnya dengan sebutan "kakanda" yang berbau kebangsawanan. Maka separuh dari kemarahannyapun sudah hilang, hidungnyapun mulai kembang-kempis karena bangga. Ia berharap agar Pangeran Cu Hin-yang mengulangi panggilannya tadi agar semua telinga di ruangan ini mendengarnya... "mohon kakanda Pangeran ingat darah Kerajaan Beng yang mengalir di tubuh kakanda. Relakah kakanda Pangeran melihat negeri kita diinjak-injak bangsa Manchu karena kita kurang bersatu? apakah kakanda Pangeran hanya mementingkan Koay-to-bun saja?" Sekali ini kena. Bukan hanya "kakanda" bahkan "kakanda Pangeran", sebutan yang sudah lama ia dambakan. Maka Cu Yok-tek pun segera menyahut meskipun masih dengan pura-pura menggerutu jengkel, "Baik, mengingat kita sekeluarga maka aku akan tetap disini bersama laskarku. Tapi nasehati baik-baik kakakmu itu, bukan dia saja yang she Cu! Aku sudah memeras keringat dan kehilangan banyak anakbuahku, di sini masih dimaki-maki juga seperti aku ini orang yang tak berharga sama sekali, huh!" Pangeran Cu Hin-yang berseri gembira mendengar kesanggupan itu, setelah mengucapkan terima kasih kepada Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek, maka iapun minggir dan tidak menghalangi lagi kedua orang itu meninggalkan ruangan. Setelah kedua orang itu pergi, Pangeran Cu Hin-yang mendekati kakaknya dengan wajah yang berseri, katanya, "Kakanda, akhirnya semuanya berjalan dengan baik dan...." Namun dengan wajah gelap dan mata yang memancarkan kedengkian, Pangeran Cu Leng-ong berkata sinis, "Baik buatmu sendiri, calon Kaisar." Pangeran Cu Hin-yang terkejut, "Kakanda, tunggu dulu, jangan salah paham. Dalam keprihatinan perjuangan kita yang masih lama ini, kurang pada tempat nya kalau kita belum-belum sudah memperebutkan tahta..." Karena Pangeran Cu Leng-ong berjalan ke arah ruang dalam, maka adiknya berbicara sambil mengikutinya dari belakang, namun sikap Pangeran Cu Leng-ong sama sekali tidak mendengarkan apapun yang diucapkan adiknya itu. Bahkan daun pintu dibantingkannya keras-keras sehingga hampir saja membentur hidung adiknya. Pangeran Cu Hin-yang memandang pintu yang tertutup rapat di depannya itu sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Pintu yang rapat itu seakan melambangkan pula pintu hati kakaknya yang juga rapat dan tertutup dari penjelasan apapun juga. Ia menoleh ketika merasa sebuah telapak tangan menepuk pundaknya dari belakang, ternyata Kongsun Hui. "Kakanda tidak mau mendengar penjelasan apapun dariku," keluh Pangeran Cu Hin-yang dengan hati yang pedih, "kata-kata Li Ciangkun tentang calon Kaisar tadi agaknya telah melukai hati kakanda dan ia marah kepadaku." "Tenanglah, pangeran. Nanti lama-kelamaan kemarahannya akan reda juga dan kalian dapat berbicara sebagai sepasang kakak beradik yang selama ini rukun-rukun saja bukan?" "Mudah-mudahan begitu, Kongsun Ciangkun." Ketika malam tiba, maka di desa tempat pertahanan terakhir laskar Cu Leng-ong itu telah terjadi sesuatu. Orang-orang dari gerombolan-gerombolan Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-li-ong-pang yang sudah patah semangat karena kehilangan pemimpin-pemimpin mereka, mulai merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lanjut di pihak Pangeran Cu Leng-ong. Dulu mereka memang terpikat janji-janji muluk Pangeran Cu Leng-ong yang menjanjikan kedudukan enak dan kekuasaan besar apabila perjuangan berhasil. Tapi setelah mereka mengalami sendiri jalannya pertempuran tadi siang, semangat merekapun patah. Bagaimana mungkin sebuah laskar yang berjumlah jauh lebih banyak dari musuh dan tinggal selangkah lagi di ambang kemenangan, tiba-tiba malah berbalik terpukul mundur dalam kekalahan? Kehebatan Pasukan Naga Terbang Kerajaan Man-chu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka. Dan mereka tidak punya sisa keberanian sedikitpun untuk menerusKan perlawanan. Melawan Hui-liong-kun sama saja dengan membenturkan kepala sendiri ke batu karang, demikian rata-rata mereka berpendapat. Maka merekapun berbisik-bisik satu sama lain, mencoba mengetahui pendapat teman-temannya. "Apakah masih ada gunanya kita mempertaruhkan nyawa buat Pangeran itu?" Seorang anggota Ngo-pa-hwe yang bertubuh tegap dan berberewok kaku berbisik kepada temannya yang diketahuinya sebagai anggota Tiat-ji-pang. Beberapa orang itu tengah duduk melingkari sebuah api unggun di sebuah kebun kosong yang dijadikan tempat istirahat mereka dalam desa. Orang Ngo-pa-hwe yang bertanya itu tahu pula bahwa orang-orang Tiat-hi pang yang ditanayi itu tengah sibuk mengunyah daging bakar, namun disempat-kannya juga mulutnya untuk menyahut, "Tidak ada gunanya lagi. Kalian orang-orang Ngo-pa-hwe dan kami orang-orang Tiat-hi-pang bernasib sama saja. Tanpa pemimpin kita, maka suara kita tidak terwakili dalam setiap perundingan, maka kita tidak lebih dari potongan-potongan kayu bakar yang akan dilempar-lemparkan sebagai umpan ke tengah-tengah api peperangan. Lalu golongan-goldngan lain dalam laskar inilan yang akan memetik keuntungan." Pembicaraan antara orang Ngo-pa-hwe dan orang Tiat-hi-pang itu ternyata menarik perhatian beberapa teman-teman mereka untuk duduk berkerumun dan ikut mendengarkan maupun menanggapi. Ketika Orang Ngo-pa-hwe itu melihat bahwa yang mengerumuniinya itu adalah orang-orang senasib dengan mereka, maka dia berani melanjutkan pembicaraan, "Kita tidak ingin dijadikan umpan. Kita harus" melarikan diri malam ini juga, kalau menunggu sampai pagi kita akan keburu diserbu oleh tentara kerajaan." "Lari meninggalkan laskar" itulah yang berbisisk-bisik dari telinga ketelinga dikalangan laskar yang putus asa itu. Dan bukan cuma dibisikkan, tapi dilaksanakan juga. Satu dua orang menyelundup keluar desa, ada yang memanjat dinding. Namun ada pula yang terang-terangan dengan membunuh teman mereka sendiri yang sedang menjaga pintu gerbang, lalu kemudian membuka pintu gerbang dan merekapun kabur dalam kelompok yang berjumlah besar. Demikianlah berlangsung sampai pagi. Bahkan yang ikut minggat bukan cuma orang-orang Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-liong-pang yang putus-asa, tapi juga sebagian rang-orangnya Li Tiang-hong dari Hun-lam karena mereka telah bosan menjalani perang selama belasan tahun, dan juga sebagian dari orang-orang Jit-goat-pang yang takut mati. Keesokan harinya, ketika Pangeran Cu Leng-ong menyuruh memberikan seluruh laskar di sebuah lapangan di pinggir desa, terkejutlah ia ketika melihat laskarnya susut hampir separoh lebih. "Apakah yang lain-lainnya belum bangun tidur?" ia bertanya kepada Kong-sun Hui yang berdiri mendampinginya. "Bangunkan mereka dan beri peringatan keras kepada mereka!" "Baik, Pangeran." Tapi sejenak kemudian Kongsun Hui sudah datang kembali dengan air muka yang aneh. Lapornya, "Mereka bukannya belum bangun, Pangeran, tetapi semalam agaknya mereka telah minggat. Meninggalkan laskar demi keselamatan diri sendiri." "Apa?! Pangeran Cu Leng-ong melonjak karena kagetnya. Hampir saja kata-kata makian menghambur lagi dari mulutnya. Namun ketika terpandang olehnya wajah Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek yang tegang itu, maka Pangeranpun menelan kembali maki-makian yang sudah "siap" disemburkan itu. Ia kuatir Li Tiang-hong akan marah seperti kemarin sore, dan jika sampai ia ikut-ikutan meninggalkan laskar pula, maka laskarnya benar-benar akan berantakan. Sesaat Pangeran Cu Leng-ong kebingungan harus berbuat apa menghadapi kekacauan dalam laskarnya itu. Tanyanya kepada semua yang hadir, "Kalian punya pendapat?" Li Tiang Hong segera maju ke depan dan memberi hormat. Katanya, "Hamba punya pendapat, Pangeran. Agaknya kekuatan kita telah menjadi sangat lemah sehingga tidak mungkin membendung pasukan lawan. Kita harus bijaksana, dalam mengukur kekuatan diri sendiri dan kekuatan lawan. Lebih baik kita mundur ke gunung lebih dulu, sambil bertahan dan menyusun kekuatan. Di gunung kita akan sulit untuk diserang." Pangeran Cu Leng-ong mengerutkan alis, "Aku kira pendapatmu kurang tepat Li Ciangkun. Lari terbirit-birit seperti anjing kena gebuk yang demikian itu hanya akan membuat laskar kita bertambah merosot semangatnya. Dan jika kita balik ke persembunyian kita yang pengab itu, entah kapan lagi kita mendapat kesempatan seperti ini, untuk bangkit menegakkan kepala kita dan mengibarkan bendera perlawanan secara terang-terangan...?" Li Tiang-hong pun mengundurkan diri. Kupingnya agak merah karena dikatakan "seperti ajing kena gebuk". Andaikata ia tidak terikat janji dengan Pangeran Cu Hin-yang, ia lebih senang memisahkan diri saja dan berjuang sendirian di Hun-lam sana. Di sini ia berjuang bersama dengan seorang yang keras kepala, harga dirinya berlebih-lebihan, namun bodoh dalam hal siasat perang. Maka Li Tiang-hong merasa lebih baik diam saja. Jika bertengkar malahan akan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh laskar sendiri, sebab Pangeran Cu Leng-ong pun punya pengikut-pengikutnya yang setia, yang siap menjalankan semua perintahnya tidak peduli benar atau salah. Sebenarnya, yang masih ada dalam perasaan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak lain adalah perasaan sakit hati yang belum hilang sejak perdebatan kemarin sore. Ketika Li Tiang-hong mengatakan bahwa dirinya hanya enak-enak di dalam rumah sementara Li Tiang-hong dan lain-lainnya berada di medan perang, juga ucapan Li Tiang-hong bahwa Pangeran Cu Hin-yanglah "calon Kaisar Kerajaan Beng", bukan dirinya. Karena itu, setelah berpikir semalaman segera Pangeran Cu Leng-ong merasa bahwa pengaruhnya atas laskar telah disaingi oleh pengaruh adiknya sendiri. Ia memutuskan bahwa ia harus berani bertindak agar pengaruhnya tidak terdesak oleh pengaruh adiknya. Katanya, "Kalau kita setia kepada Kerajaan Beng, kita akan menunjukkan kepada musuh bahwa kita masih sanggup memberi pukulan mematikan buat mereka. Siapkan seluruh laskar. Aku sendiri akan memimpin prajurit-prajuritku di depan pasukan. Yang bernyali kecil dan tidak bersedia berkorban, silahkan minggir dari barisanku!" Orang-orang yang ahli dalam peperangan seperti Li Tiang-hong dan Kong-sun Hui diam-diam mengeluh dalam hati. Cara bertempur Pangeran Cu Leng-ong yang hanya didasari kemarahan tak terkendali, "keberanian" atau "kesetiaan" dan kata-kata muluk yang tidak berpijak pada kenyatan itu, jelas bukan cara bertempur yang baik. Hanya akan menghambur-hamburkan nyawa manusia saja. Tapi menilik sikap Pangeran Cu Leng-ong saat itu, agaknya perintahnya itu sudah tidak dapat ditarik lagi. Pangeran Cu Leng-ong sendiri ingin menjadi pahlawan di medan perang dan semua pengikutnya harus mengiringinya. "Bagaimana ini?" bisik Kongsun Hui kepada Li Tiang-hong. "Nanti diam-diam kita atur sendiri barisan kita setelah ada di medan perang," sahut Li Tiang-hong sambil berbisik pula. "Bukan karena kita tidak taat kepada Pangeran, tetapi sekedar bertindak menurut ilmu perang agar tidak hancur sama sekali oleh musuh. Kalau maunya Pangeran sih langsung menyerbu saja, tidak dengan pertimbangan-pertimbangan lain." Tapi di saat orang-orang itu mempersiapkan diri, tiba-tiba seorang laskar berlari-lari masuk dengan gugupnya menghadap Pangeran Cu Leng-ong. Lapornya, "Ampun, Pangeran, hamba menghadap tanpa dipanggil. Pasukan musuh sudah terlihat di sekeliling desa dan mengepung desa ini dari empat arah!" Pangeran Cu Leng-ong dan panglima-panglimanya terkejut. Dan belum lenyap rasa kejut mereka, di luar sana sayup-sayup telah terdengar sorak-sorai orang bertempur, agaknya pasukan musuh sudah mulai merangsak ke dinding sekitar desa, dan laskar pemberontak sedang mempertahankannya. Dalam keadaan seperti itu, nampaklah bahwa Pangeran Cu Leng-ong bukan seorang Panglima Perang yang baik. Tadi ia bicara dengan gagah katanya akan menyerbu pasukan musuh, namun setelah mendengar bahwa musuh sudah menggempur lebih dulu, maka iapun menjadi gemetar dan jatuh terduduk di kursinya yang berukir indah itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Untunglah Pangeran Cu Hin-yang lebih tenang dari kakandanya itu, segera dialah yang mengatur pertahanan meskipun harus minta persetujuan kakandanya, "Li Ciangkun, Kongsun Ciangkun dan Kakanda Cu Yok-tek, cepat pimpin pasukan kalian masing-masing untuk mempertahankan tembok kota sebelah barat, utara dan timur. Aku mempertahankan selatan. Bagaimana kakanda, setuju?" Meskipun dalam beberapa hari terakhir ini Pangeran Cu Leng-ong sangat dengki dan bahkan benci kepada adiknya yang dianggap akan menyaingi kekuasaannya itu, namun dalam kebingungannya maka usul adiknya itu tanpa pikir panjang disetujuinya dengan sebuah anggukan kepala.Tapi ia masih bertanya, "Kalau semuanya menjaga benteng, siapa yang melindungi aku di sini?" Suaranya itu diucapkan tanpa malu-malu lagi. Andaikata suasana tidak sedang tegang dan tidak kuatir pangeran Cu Hin-yang tersinggung, ingin rasanya Li Tiang-hong tertawa terbahak-bahak melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong itu. Sesunguhnya Pangeran itu bukan seorang yang tidak becus sama sekali. Ilmu pedangnya didikan Hoa-san-pay, dan dalam penyerbuan penjara kerajaan tempo hari bersama para pendekar, dia ikut serta pula. Namun kali ini keberaniannya sudah terlanjur menjadi susut setelah mengalami kekalahan bertubi-tubi bagi laskarnya itu. Pangeran Cu Hin-yang segera menjawab, "Biarlah Ciu Ciangkun bersama seratus anakbuahnya menjaga kakanda disini." Yang disebut Ciu Ciangkun adalah seorang perwira Kerajaan Beng bernama Ciu Heng yang bertampang kambing bandot. Ia anggota Jit-goat-pang yang kedudukannya lebih rendah sedikit dari Kongsun Hui, dan ilmu silatnyapun lumayan juga. Setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangguk, maka barulah para pentolan laskar pemberontak itu bubar untuk mengatur barisannya masing-masing. Sementara sorak-sorai di sekeliling desa makin riuh, menandakan semakin sengitnya pertempuran. Biarpun laskar pemberontak semangatnya tidak setinggi hari-hari kemarin. Namun karena mereka dalam kedudukan yang lebih baik, yaitu bertahan di atas dinding-dinding yang terbuat dari batu dan tanah liat itu, maka mereka dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Tidak mudah bagi pasukan Hui-liong-kun untuk merebut dinding, meskipun mereka menyerang dari segala penjuru dengan panah dan lembing, bahkan dengan bandil-bandil batu. Ketika itulah Ha To-ji muncul dari sebelah timur. Di tangannya ia membawa sebuah sebuah bandul besi sebesar semangka yang digantungkan seutas rantai panjang. Bola besi itu dicat warna bergaris-garis hijau dan kuning sehingga mirip sebuah semangka yang segar. Itulah senjata milik ketua Kang-liong-pang, Ji Tay-hou, yang kemarin tewas. Kemarin Ha To-ji melihat bagaimana Ja Tay-hou menggempur pintu gerbang desi hanya dengan dua kali hantam saja. Maka timbul pikiran Ha To-ji untuk menggempur pintu gerbang pertahanan terakhir Cu Leng-ong itu dengan cara yang sama pula. Ha To-ji yang bertenaga besar dan berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itupun merasa ia sanggup berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Ji Tay-hou kemarin. Itu lebih cepat daripada menyuruh para prajurit untuk menggotong sebatang balok besar dan memukulkannya berulang-ulang ke daun pintu.... |
Selanjutnya;
|