Pendekar Naga dan Harimau Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 23

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
PENDUDUK-PENDUDUK desa mendekam di rumahnya masing-masing, berkumpul sekeluarga di dalam satu kamar sambil menggigil ketakutan. Ada yang mengunci pintu rumah mereka, namun lebih banyak yang membiarkannya terbuka saja. Percuma pintunya dikunci, toh dengan sekali tendang oleh prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak maka pintu itupun akan terdobrak.

Masih beruntung kalau yang masuk ke rumah itu adalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang oleh Pakkiong Liong diikat dengan taca-tertib ketentaraan yang kuat itu, namun jika yang masuk ke rumah adalah segerombolan anak buah Pangeran Cu Leng-ong yang tengah buas-buasnya karena merasa akan merebut kemenangan, maka malanglah nasib orang-orang di rumah itu.

Jika ada perempuan muda berwajah menarik, mereka akan langsung menjadi sasaran pesta pora laskar pemberontak, yang lain-lainnya menguras harta benda, anggota rumah yang melawan langsung dibabat dengan senjata. Bahkan tidak melawanpun kadang kadang dibabat juga.

Di salah satu rumah yang keadaannya agak baik dari rumah-rumah lainnya, seisi rumah berkumpul di ruangan belakang dengan menggigil ketakutan. Sang suami adalah seorang lelaki berumur limapuluh tahun, jauh lebih tua dari isterinya yang baru berusia tujuh-belas tahun dan menggendong seorang anak berusia satu tahun itu. Yang berkumpul di situ juga seorang mertua perempuan dan dua orang pembantu rumah tangga mereka. Sang suami nampak pucat wajahnya, namun tiba-tiba sikap takutnya berubah sama sekali. Ia mulai tertawa-tawa sendirian, dan mengoceh sendiri,

"Bagus-pernah bosan berperang. Hayo berperang-lah terus, biar harta bendaku yang kukumpulkan selama duabelas tahun ini ludes sekalian! Ludes untuk ketiga kalinya! Ha-ha-ha... dan bantailah pula seluruh keluargaku ini, supaya untuk ketiga kalinya pula aku kehilangan keluarga; ha-ha-ha..." dan makin lama tertawanya berubah menjadi suara tangisan yang menyeramkan.

Isterinya dan mertuanya mencoba menenangkan lelaki itu. Tapi lelaki yang sudah sampai pada puncak ketakutan dan keputusasaan itu agaknya sudah kehilangan pikiran warasnya. Setengah tertawa setengah menangis ia terus berceloteh,

"Dulu ketika Li Cu-seng berontak kepada dinasti Beng, maka si keparat-keparat busuk prajurit-prajurit Beng itu memperkosa isteriku lalu membunuhnya, membakar rumahku, meludeskan hartaku yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, karena aku dituduh menyokong Li Cu-seng. Aku jatuh miskin dan mengumpulkan lagi kekayaan sesen demi sesen, sampai mendapat lagi seorang isteri dan sebuah keluarga yang manis. Tapi setan-setan keparat anak buah Li Cu-seng itu dalam gerakan mundur menghindari tentara Manchu, kembali memporak-porandakan kebahagiaanku. Harta ludes, keluarga ludes pula. Sekarang... agaknya keluargaku akan ludes pula. Ha-ha-ha-ha... ludes... ludes semuanya!"

Lalu lelaki itu menjadi liar matanya, kelihatan sekali kekurang-warasan otaknya saat itu, bahkan air liurnya-pun menetes-netes. Katanya sambil tertawa-tawa. "Perang... perang terus... entah membebaskan tanah air... entah apa lagi. Aku juga akan ikut perang, ah!"

Lalu disambarnya sebatang palang pintu, dan ia berlari-lari ke jalanan di mana perkelahian sedang berkecamuk hebat antara laskar pemberontak dan pasukan Hui-liong-kun. Namun perkelahiannya tidak mirip antara dua buah pasukan lagi, tapi lebih mirip antara orang per orang, dengan jumlah yang lebih banyak lagi di pihak pemberontak. Lelaki yang kehilangan akal sehatnya itupun berloncatan-loncatan di jalan raya sambil mengayun-ayunkan palang pintunya, sambil berteriak-teriak,

"Hayo siapa berani berperang dengan aku! Cihui..."

Ketika seseorang lewat di dekatnya, maka diayunkanlah palang pintunya untuk menghantam kepala orang itu. Tapi malang nasibnya, sebab orang yang diserangnya itu adalah Cu Yok-tek. Serangannya dihindari dengan mudah sambil menyabetkan goloknya, dan kali ini-pun bukan cuma hartanya atau keluarganya yang ludes, tapi bahkan sebutir kepalapun ia tidak memilikinya Lagi.

Dari sela-sela pintu, isterinya dengan menangis menyaksikan semuanya itu, dan jika tidak dicegah oleh ibunya yang tua tentu akan lari untuk menangisi tubuh suaminya yang dicintainya itu, meskipun umurnya berselisih banyak dengan dirinya sendiri.

Kata ibunya setengah membujuk setengah menyeret, "Jangan keluar, A-mei, ingat bayimu. Ingat nasib A-im tetangga kita yang diperkosa beramai-ramai oleh pemberontak-pemberontak itu beberapa saat yang lalu ketika desa ini masih diduduki oleh mereka. Sekarang dalam suasana perang, teptu mereka jauh lebih buas dari dulu-dulu."

Itulah perang. Tiap pihak mengarang alasan alasan yang muluk-muluk untuk tujuan perangnya, namun setiap kali rakyatlah yang terinjak tanpa daya. Ribuan orang kehilangan keluarga, kehilangan harta bertda, kehilangan masa depan bahkan kehilangan nyawa, tapi apa peduli para pencipta perang? Perjuangan membutuhkan pengorbanan, demikian selalu alasan yang dikemukakan para diri berkorban apa? Mereka yang bercita-cita, mereka yang bernafsu akan kemenangan dan kejayaan, kenapa orang lain yang tidak tahu apa-apa yang harus berkorban?

Demi rakyat kecillah kami mengangkat senjata, begitu teriak mereka. Kenapa tidak diganti saja semboyan itu dengan demi rakyat kecillah kami rela meletakkan senjata. Kedengarannya sangat tolol buat orang-orang yang haus kekuasaan bukan? Meletakkan senjata? Bukan saja tolol, malahan gila.

Perang berkecamuk terus di desa itu. Nyawa-nyawa dari kedua belah pihak beterbangan meninggalkan raga-raga yang luka oleh senjata. Desa semakin penuh dengan laskar pemberontak, namun pasukan Hui-liong-kun tetap bertahan dengan amat gigih. Jumlah musuh yang jauh lebih banyak membuat mereka semakin terdesak ke tengah desa, namun mereka pertahankan lorong demi lorong, halaman demi halaman, pintu rumah dengan pintu rumah, dengan semangat berani mati yang mau tidak mau membuat musuh-musuh mereka bergidik ngeri.

Tetapi pada saat pasukan Hui-liong kun yang dipimpin oleh Ha To-ji itu sudah di ambang kehancuran, maka tiba-tiba terasa tekanan laskar pemberontak agak mengendor. Dari sebelah selatan dan utara, jauh di luar desa itu, ada debu mengepul tinggi dan bendera yang berkibar-kibar. Pasukan-pasukan yang baru datang itu langsung membuat gerakan menebar dan menggencet laskar pemberontak dari arah lambung.

Pasukan penyerbu itu bukan saja terdiri dari pasukan berjalan kaki yang amat tangkas dan berani, tetapi juga sebagian kecil dari mereka adalah prajurit-prajurit berkuda yang dengan beraninya menusuk jauh sampai ke tengah-tengah laskar pemberontak, dan dengan garangnya mereka mengamuk, membuat bagian belakang laskar pemberontak kacau balau.

Le Tong-bun yang bersama sepasukan kecil anakbuahnya masih bertempur di atas dinding sebelah selatan itu dapat melihat datangnya pasukan bantuan itu. Ketika melihat bendera bergambar seekor naga putih yang sedang menginjak mega yang berwarna putih pula tahulah dia bahwa itulah Pakkiong Liong sendiri yang memimpin pasukannya untuk terjun ke medan laga.

"Pakkiong Ciangkun turun ke gelanggang!” pekik Le Tong-bun gembira "Mampuslah pemberontak!"

Teriakan itu segera menjalar dari mulut ke mulut sampai seluruh prajurit Hui-liong-kun yang bertahan gigih di desa itupun mendengarnya. Mereka bagaikan menelan sebutir obat kuat yang membuat keputus-asaan mereka tersapu sirna, dan semangat berkobar kembali.

Ternyata yang turun ke medan laga bukan hanya Pakkiong Liong dan pasukan Hui-liong-kun yang ada di pesanggrahannya, tetapi juga Panglima Tay-tong Kwe Sin-liong-kun dan sebagian pasukannya. Pasukan Tay-tong memang tidak sebaik pasukan Hui-liong-kun, tapi kalau dibandingkan laskar pemberontak yang kurang terlatih itu, jelas bahwa pasukan Tay-tong setingkat lebih baik. Baik dalam hal membentuk barisan maupun kemampuan perseorangan rata-ratanya.

Selama ini pasukan Tay-tong terkungkung di dalam kota sambil menunggu datangnya bala bantuan dari Pak-khia. Tidak jarang prajurit Tay-tong harus menahan hati apabila mereka sedang bertugas di atas dinding kota, dan mereka melihat laskar pemberontak lewat di luar dinding kota sambil menantang-nantang dan mengejek. Tapi waktu itu mereka harus menahan diri untuk tidak melayani tantangan itu, meskipun hati panas, namun mereka sadar bahwa kekuatan mereka jauh di bawah laskar pemberontak, sehingga keluar benteng sama saja dengan bunuh diri.

Kini, Kwe Sin-liong sendiri memimpin pasukannya untuk mengempur dari utara, sehingga berbenturan langsung dengan pasukannya Cu Yok-tek. Dan prajurit Tay-tong yang selama ini merasa diejek dan dihina oleh laskar pemberontak bagaikan mendapat pelampiasan untuk melepaskan kemarahan mereka. Maka pada benturan pertama saja pihak pemberontak di sisi utara sudah terdesak mundur puluhan langkah oleh pasukan kota Tay-tong yang bertempur dengan barisan menebar itu.

Di tengah ada Kwe Sin-liong, di sayap kanan ada Hoa Wi-jong dengan ruyung bajanya yang mengerikan, dan di sayap kiri ada si kerdil Leng Bun yang bertempur segagah Toh It-hou di jaman dinasti Tong ketika menyerang ke barat itu.

Ternyata Li Tiang-hong yang memimpin serangan ke desa itu, telah salah langkah. Ia mengerahkan pasukannya seluruhnya untuk menggempur desa itu karena mengira bahwa pasukan yang tadi malam mengusirnya adalah seluruh pasukan musuh. Tak ia sangka bahwa yang ada di desa itu hanya separuh dari seluruh kekuatan Hui-liong-kun, sedang yang separuh lagi tetap di luar pesanggrahan malahan sudah ditambah dengan seribu limaratus orang prajurit Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong sendiri.

Karena itu, Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang terkejut bukan main ketika dua orang laskar mereka melaporkan bahwa dari utara dan selatan muncul dua pasukan besar yang langsung menekan dan nyaris mematahkan kedua sayap laskar Li tiang-hong.

“Kita telah salah hitung!" teriak Li Tiang-hong kebingungan.

"Lekas ambil tindakan!" sahut Pangeran Cu Hin-yang.

Sementara itu di sayap selatan, laskar pemberontak bukan saja terdesak oleh Hui-liong-kun yang dipimpin langsung oleh Pakkiong Liong, namun juga nyaris tercerai-berai. Kongsun Hui yang memimpin laskar pemberontak di sayap itu tidak menduga akan serangan yang datang dari lambung dan melanda seperti banjir-bandang itu. Hulubalang-hulubalang laskar pemberontak yang dapat diandalkan semuanya telah dikerahkan ke depan untuk merebut desa, sehingga yang ada di bagian itu tinggal Kongsun Hui seorang.

Sebaliknya dipihak Hui-liong-kun ada Pakkiong Liong serta empat perwiranya, Ko Lung-to Tokko Seng, Tamtai Hok dan Wanyen Hu yang keempat-empatnya terlalu tangguh untuk dilawan prajurit-prajurit biasa.

Apa boleh buat, seorang diri Kong sun Hui mencoba mengendalikan laskarnya agar tidak tercerai-berai, meskipun mundur tetapi tetap harus teratur. Tapi apa mau dikata, yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan keinginannya. Laskarnya yang campur-aduk dari berbagai golongan itu ternyata tidak bisa kompak dalam menuruti aba-abanya. Orang-orang Jit-goat-pang atau prajurit prajurit Beng dari Hun-lam yang dulunya anak buah Li Tiang-hong, memang bertahan dengan gigih sebab merekalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Beng.

Tapi orang-orang Tiat-hi-pang atau Ngo-pa-hwe yang bertempur dengan mengharap keuntungan itu tentu saja tidak sudi membuang nyawa di tempat itu. Jika laskar sedang di atas angin, mereka membantu dengan bersemangat, jika laskar terdesak, maka merekalah yang mundur paling dulu meninggalkan garis depan. Cara mundurnyapun tidak seperti prajurit yang terlatih, melainkan lari serabutan seperti orang-orang di pasar jika pasarnya terbakar.

Kongsun Hui melihat tingkah laku orang-orang Tiat-hi-pang dan Ngo-pa-hwe itu dengan perasaan geram campur sedih. Batinnya, "Laskar kami ini biarpun nampaknya berjumlah besar sekali, namun separuh lebih terdiri dari pengecut-pengecut tak berguna semacam ini, yang beraninya hanya membentak-bentak rakyat yang tak berdosa namun begitu dihadapkan lawan yang sesungguhnya mereka kabur lintang-pukang seperti ini."

Sedangkan orang-orang Jit-goat-pang dan bekas-bekas prajurit Hwe-liong-pang yang menyerbu laksana sekawanan serigala kelaparan itu. Pasukan Berani Mati Kerajaan Manchu itu benar-benar lawan yang sulit dihadapi, tidak cukup dengar teriakan-teriakan bersemangat saja.

Kongsun Hui segera memerintahkan laskarnya untuk mundur teratur tanpi menunggu persetujuan Li Tiang-hong yang berada di di barisan tengah. Kalau harus menunggu persetujuan rekannya itu, bisa jadi laskarnya di sayap selatan itu sudah hancur lebih dulu. Maka laskar itupun mulai mundur dengan teratur, sebab bagaimanapun juga Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng cukup punya pengalaman dan pengetahuan untuk mengendalikan tentara di medan perang.

Gerakan mundur juga terjadi di sayap utara, di mana laskar pemberontak digempur bertubi-tubi oleh Pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong. Namun cara mundurnya laskar pemberontak di bagian ini dengan mundurnya laskar yang dipimpin Kongsun Hui. Cu Yok-tek sebagai pimpinan sayap utara malahan sudah masuk ke dalam desa, sehingga laskarnya yang sebagian masih di luar itu bertempur tanpa pimpinan. Maka kacaulah diamuk oleh Kwe Sin-liong dan pasukannya.

Saat itu laskar pemberontak yang sudah berada di dalam desa dan bertempur sengit melawan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang mempertahankan desa itu sebenarnya hampir menang. Jika kawan-kawan mereka terus mengalir dari luar desa lewat pintu-pintu gerbang yang bobol ataupun memanjat lewat tembok tembok, maka tidak sampai sore prajurit prajurit Hui-liong-kun akan mereka habiskan. Tapi tiba-tiba laskar mereka yang ada di luar desa ditarik mundur, maka yang sudah terlanjur memasuki desa itu jadi seolah-olah terpencil di tengah-tengah musuh.

"Gila! Gila!" Cu Yok-tek yang memimpin orang-orang Koay-to-bun dar Kang-liong-pang itu berteriak-teriak, "Apa yang terjadi di luar dinding sana. Cepat lihat!"

Seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar segera menerobos medan pertempuran kacau-balau di lorong-lorong desa itu, dan mencoba melihat keluar dinding desa. Tidak lama kemudian ia telah kembali ke samping Cu Yok-tek dalam keadaan luka-luka, namun masih bisa melapor, "Ong-ya, seluruh pasukan kita sedang ditarik mundur. Li Ciangkun juga memerintahkan kita untuk bergerak mundur secepatnya!"

"Apa? Mundur? Cu Yok-tek terbelalak kaget dan marah. "Apakah Panglim tololmu itu sudah miring otaknya? Kita hampir menang, kenapa harus mundur?"

Pengawal Cu Yok-tek itu menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlalu tolol untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di seluruh medan perang, maka ia menjawab sekenanya saja, "Barangkali... barangkali Li Ciang-kun menganggap inilah waktunya untuk istirahat makan, nanti sehabis makan kita teruskan menggempur lagi."

"Makan kepala nenekmu?" bentak Cu Yok-tek yang kehabisan kata-kata untuk memaki pengawal tololnya itu. Namun sebagai orang berpengalaman diapun segera merasakan gelagat buruk. Sayup-sayup ia mendengar pula prajurit-prajurit musuh berteriak-teriak "Pakkiong Ciangkun terjun ke medan perang" dengan penuh semangat. Tidak ada gunanya memaki-maki pengawalnya atau memaki siapapun juga, dia sendiri harus segera menarik mundur pasukannya. Kalau tidak, alamat bahwa umurnya hanya sampai hari ini.

"Mundur!” teriak Cu Yok-tek. Teriakannya segera ditirukan secara bersambung dari mulut ke mulut.

Setengah percaya setengah tak percaya laskar pemberontak yang sudah memenuhi desa itu ketika mendengar perintah Cu Yok-tek itu. Namun mereka tidak berani membantah perintah itu. Sementara itu, karena gerakan mundur seluruh laskar pemberontak, maka tiga orang anakbuah Te-liong Hiangcu yang hendak membunuh Tong Lam-hou itupun terpaksa ikut mundur.

Mereka tidak ingin ditinggal bertiga saja ditengah-tengah musuh, lagipula mereka merasa tidak sanggup lagi melawan Tong Lam-hou yang berkelahi seperti luka sambil menyebarkan udara maha dingin yang membekukan darah itu. Maka tidak ada pilihan lain buat mereka bertiga kecuali bergerak mundur bersama seluruh laskar.

Tong Lam-hou yang kehilangan lawan itupun segera masuk ke desa untuk membantu membereskan sisa-sisa laskar pemberontak yang masih berada di desa. Ketika Tong Lam-hou mengejar dua orang laskar pemberontak sampai ke dalam sebuah rumah, terkejutlah ia ketika melihat seisi rumah itu sudah menjadi mayat. Pemilik rumah itu dikenalnya baik, dan baru tadi pagi mereka menawari Tong Lam-hou untuk makan pagi bersama. Kini seluruh rumah telah menjadi mayat.

Bahkan gadis kecil berkuncir dua yang baru berusia empatbelas tahun dan selalu memanggil Tong lam-hou dengan sebutan "kakak" itu, kini tergeletak di sebuah meja, terlentang tanpa selembar benangpun ditubuhnya, tanpa nyawa dan matanya terbeliak lebar. Jelas dia mengalami perkosaan sebelum akhirnya dibunuh pula bersama seisi rumahnya. Di tangan kanannya tergenggam erat sehelai ikat kepala berwarna kuning, ikat kepala laskar pemberontak!

Gigi Tong Lam-hou gemeretak menahan amarah, bayangan orang-orang Jit-siong-tin yang dibantai tanpa belas kasihan telah membuatnya kehilangan pengendalian diri. Di sini ternyata berlaku pula kebiadaban yang sama dan oleh pihak yang sama pula, yaitu orang-orang yang mengaku akan membebaskan tanah air dan mendirikan kembali Kerajaan Beng yang adil dan sejahtera. Dengan tangan gemetar Tong Lam-hou mengatupkan mata mayat gadis kecil itu, di renggutnya sehelai taplak meja dan ditutupkannya ke tubuh gadis itu.

Lalu iapun mengitari rumah untuk mencari kedua laskar pemberontak yang lari ke situ tadi. Mereka berdua ditemukan di ruangan belakang sedang berjongkok bersembunyi, dan Tong Lam-hou tidak menggubris ketika mereka meratap-ratap minta ampun. Pedangnya berkelebat dua kali dan habislah nyawa kedua orang laskar Cu Leng-ong itu. Ketika telinganya menangkap suara pertempuran yang masih berlangsung di lorong-lorong desa itu, maka mata Tong Lam-hou menjadi merah liar seperti mata seorang gila.

"Pemberontak-pemberontak itu harus ditumpas habis tanpa ampun," desisnya dengan bibir gemetar. "Di manapun mereka datang, mereka melakukan hal-hal biadab terhadap rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. Aku tidak pantas mengenakan seragam ini kalau tidak bisa menghabiskan mereka."

Lalu iapun berlari keluar. Dan malangkah setiap laskar pemberontak yang bertemu dengan putera Hwe-liong Pangcu ini. Sifat-sifat yang keras dan sedikit kejam dari ayahnya, ternyata menurun ke dalam pribadi Tong Lam-hou. Sekejap saja pedangnya sudah merah, namun ia masih mengayunkannya kesana kemari sambil berteriak-teriak kepada sesama prajurit Hui-liong-kun,

"Habiskan saja! Mereka telah berbuat biadab kepada rakyat! Habiskan-habiskan!”

Seruan Tong lam-hou itu mendapat sambutan dari prajurit-prajaurit Hui-liong-kun, yang darahnya masih saja hangat. Baru saja mereka lepas dari kematian, andaikata pasukan Pakkiong Liong terlambat, maka mereka semua akan mati di situ. Karena itu, ketika mereka berbalik mendapat kesempatan di atas angin, maka merekapun membinasakan laskar pemberontak yang tidak sempat mengundurkan diri itu, tanpa ampun.

Ha To-ji terkejut melihat pasukannya menjadi liar tak terkendali itu, bahkan tata-tertib peperangan terhadap lawan-lawan yang sudah menyerah di peperanganpun tidak dihiraukan lagi oleh mereka. Laskar pemberontak yang sudah meletakkah senjatanyapurn dibabat tanpa ampun.

"Hentikan!" teriak Ha To-ji kepada prajurit-prajuritnya. "Hentikan! Lawan yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh!"

Namun pada mulanya seruan itu seolah-olah orang berteriak di tengah padang pasir saja, tidak ada yang menanggapinya. Prajurit-prajuritnya masih saja memburu lawan-lawan mereka dengan buasnya, sementara Tong Lam-hou masih berteriak-teriak di kejauhan, "Manusia-manusia biadab ini hanya mengotori dunia dan menyengsarakan sesamanya saja! Sikat sampai habis!"

Ketika Ha To-ji melihat seorang laskar pemberontak di dekatnya ditusuk perutnya dengan tombak oleh seorang prajuritnva, meskipun laskar pemberontak itu sudah membuang pedangnya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, maka kesabaran Ha To-jipun habislah. Disarungkannya pedangnya, lalu dengan kedua tangannya la mencengkeram baju prajuritnya sendiri itu, dan diguncang-guncangkannya tubuh prajuritnya itu sambil berteriak marah,

"Prajurit gila, apa matamu tidak melihat kalau lawanmu itu sudah meletakkan senjata dan bersikap menyerah?! He?! butakah matamu?"

Ketika Ha To-ji melihat wajah prajurit yang dicengkeramnya itu, iapun terkejut, ternyata prajurit itu matanya berkaca-kaca. Jadi prajurit itu tadi berkelahi sambil menangis!

"Kau menangis, he?" suara Ha To-ji agak melunak.

"Bangsat-bangsat pemberontak itu membunuh adikku, Ciangkun, di lorong itu, meskipun adikku sudah tergeletak luka tetapi bangsat-bangsat itu tetap saja membacok dadanya dengan kampak!' sahut prajurit itu sambil tetap menangis. "Mereka orang-orang biadab! Tak patut diberi ampun..."

"Diam! Prajuritkah adikmu itu?!" tanya Ha To-ji.

Dan dijawab dengan anggukan kepala. "Ya, ia baru diterima tahun lalu dan ditempatkan satu regu denganku," sahut prajurit itu dengan air mata bercucuran.

"Kalau dia prajurit, dia harus siap mati di peperanan demi tugasnya. Kalau menyesal jadi prajurit dan takut mati di peperangan, jadi saja muncikari atau tukang membungakan uang yang kerjanya enak dan cepat kaya! Seorang prajurit bukan saja siap mati demi negara, tapi juga harus mengendalikan diri dalam semua keadaan, bahkan dalam perang yang paling buas sekalipun! Kau tahu kesalahanmu?" bentak Ha To-ji tajam.

"Ya... tahu, Ciangkun!"

"Apa?"

"Membunuh seorang lawan yang sudah meletakkan senjata dan menyerah."

"Kalau kau tahu, kenapa tadi kau lakukan juga?"

"A... aku mata gelap, Caingkun. Aku lupa segala-galanya..."

"Orang itukah yang mengampak dada adikmu?" tanya Ha To-ji sambil menunjuk mayat laskar pemberontak yang masih bersandar tembok dengan tombak di perutnya itu.

"Aku tidak tahu. Peperangan begitu ribut, dan aku tidak jelas melihat wajah orang yang mengampak adikku."

“Nama dan regumu?"

"Ui Beng. Pasukan ke tujuh dan regu ke tujuh belas."

"Bagus, Ui Beng, nanti kau akan mempertanggung-jawabkan kelakuanmu yang melanggar aturan peperangan itu. Sekarang, cegah kawan-kawanmu yang kesurupan setan semuanya itu."

"Baik, Ciangkun."

Meskipun perlahan-lahan, tapi Ha To-ji berhasil juga menenangkan pasukannya yang dengan kalap membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu. Ketika semuanya berhasil ditenangkan, termasuk Tong Lam-hou, maka laskar pemberontak yang terjebak di desa itu sudah terlanjur tinggal sebagian kecil saja. Yang sebagian kecil itu dikumpulkan di sebuah halaman rumah yang cukup luas, dan wajah mereka nampak pucat ketakutan dengan kaki yang menggigil ketakutan.

Tak tersisa lagi sikap garang mereka tadi ketika mereka berhasil menjebol pertahanan Hui-liong-kun dan berteriak-teriak "bunuh Manchu" dengan pedang terhunus. Kini mereka seperti tikus-tikus tak berdaya yang berada di tengah kucing kelaparan yang menatap mereka dengan air liur menetes-netes.

Sebagai manusia biasa, sebenarnya Ha To-ji sendiri merasa geram melihat tampang orang-orang yang tertawan itu. Merekalah yang tadi berpesta-pora dengan nyawa penduduk desa yang mereka masuki rumahnya, dan juga membunuh-bunuhi prajurit-prajuritnya tanpa ampun. Namun Ha To-ji tidak dapat menuruti perasaan dendamnya semata-mata, dia harus memberikan contoh bagi anak buahnya.

Tapi Ha To-ji tidak dapat menahan mulutnya untuk melepaskan sebagian dari kepepatan hatinya, "Kalian sudah merasakan sendiri ketakutan akan kematian bukan? Tapi apakah kalian tidak pernah berpikir, ketika kalian menghancurkan sebuah desa, bahwa orang-orang desa itupun ketakutan seperti kalian saat ini? Pernahkah ketakutan dan ratap tangis mereka kalian pedulikan? Ku rasa tidak pernah. Karena kalian adalah bandit-bandit bertampang anjing tetapi bernyali tikus! Kalian pengecut-pengecut besar, yang menutup-nutupi kekerdilan kalian sendiri dengan perbuatan-perbuatan kejam di luar batas, seolah-olah dengan berbuat demikian kalian menjadi pahlawan."

Masih banyak lagi caci-maki Ha To-ji kepada mereka sebelum mereka semuanya diikat di halaman itu juga, dan dijaga. Sebelum pergi, Ha To-ji masih ingin menyiksa perasaan mereka yang tertawan itu, "Kalau kalian sanggup berpesta-pora di atas penderitaan orang orang yang tak dapat melawan mereka, kenapa kami tidak boleh? Siapa tahu nanti malam kami membutuhkan hiburan, dan kalian akan kami ambil satu persatu untuk kami bakar hidup-hidup, atau dikuliti perlahan-lahan, atau seribu satu macam permaianan mengasyikkan lainnya."

Meskipun para prajurit Hui-liong-kun sadar bahwa mereka tidak mungkin melakukan siksaan keji seperti yang disebutkan Ha To-ji itu, namun mereka puas juga ketika melihat wajah para tawanan itu semakin pucat, bahkan ada beberapa orang tawanan yang pandangan matanya sudah kosong hampa, seolah raganya sudah ditinggalkan oleh sukmanya.

Sementara prajurit-prajurit Hui-liong-kun di desa itu sibuk memisah-misahkan mayat-mayat teman-teman mereka sendiri maupun mayat-mayat lawan, maka pasukan Pakkiong Liong serta Kwe Sin-liong berturut-turut memasuki desa itu. Ternyata setelah mereka mematahkan perlawanan musuh, mereka tidak langsung mengejarnya sebab mereka lebih menganggap penting untuk menilik keadaan Ha To-ji dan pasukannya lebih dulu.

Gemeretaklah gigi Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pasukan Ha To-ji yang agak parah itu. Namun ia dapat menyetujui tindakan Ha Toji yang mencegah anak buahnya untuk membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu.

"Kami hampir terlambat," kata Pakkiong Liong di hadapan Ha To-ji, Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Han Yong-kim yang tampangnya dekil-dekil karena darah dan debu itu. "Mana Na Hong dan Le Tong-bun?"

Waktu itu di sekitar mereka sedang hilir mudik para prajurit yang menggotong tubuh terluka atau yang sudah jadi mayat, bahkan prajurit yang baru datangpun segera diperintahkan untuk membantu agar cepat selesai dan desa itu dapat segera dibenahi sebagai pangkalan yang nyaman untuk ditempati, meskipun hanya untuk sementara, dan bukannya desa dimana ada mayat malang-melintang di semua lorong dan sudutnya.

Dua orang prajurit datang membawa usungan dan di atas usungan itulah tubuh Le Tong-bun terbaring. Hanya tubuhnya saja, nyawanya tidak. Kemudian di bagian lain ditemukan pula tubuh Na Hong yang juga sudah tidak bernyawa. Pakkiong Liong menundukkan kepalanya ketika mendengar kabar kematian kedua perwiranya itu. Sesaat ia nampak menahan gelora hatinya, lalu kemudian ia mengangkat mukanya dan katanya dengan tegas tetapi dingin,

"Malam ini seluruh pasukan akan beristirahat kecuali yang bertugas menguburkan mayat-mayat. Gunakan tenaga para tawanan untuk mengubur mayat. Besok pagi kita akan keluar dari sini dan menggempur pertahanan terakhir dari Cu Leng-ong. Menang atau kalah kita tentukan secepatnya."

"Bagus!" sahut Tong Lam-hou dengan tangan terkepal, sementara matanya masih saja menyalakan kemarahan. "Besok kita gempur mereka!"

"Pakkiong Ciangkun, apakah aku perlu mengambil pasukan yang masih ada dalam kota Tay-tong untuk digabungkan sama sekali?" tanya Kwe Sin-liong. Panglima Tay-tong itu nampak bersemangat sekali, hari ini goloknya sudah membinasakan lebih dari tigapuluh orang laskar pemberontak.

"Tidak perlu, Kwe Ciangkun, sebab meskipun pasukan kita sudah berkurang tetapi pihak laskar musuhpun berkurang jauh lebih banyak dari kita," sahut Pakkiong Liong, "Aku dapat memperhitungkan perbandingan kekuatan kita dan musuh. Lagipula kota Tay-tong tidak boleh dibiarkan tanpa prajurit sama sekali bukan?"

Apa yang diucapkan Pakkiong Liong itu ada benarnya. Hui-liong-kun Kehilangan hampir 500 prajurit serta dua orang perwira, Le Tong-bun dan Na hong, tetapi laskar pemberontak kehilangan lebih banyak lagi, bahkan hampir empat kali lipat akibat kesalahan perhitungan mereka.

Sedang pentolan-pentolan dipihak pemberontak yang terjebak di dalam desa, boleh dikata hanya Say-bin-koay-to Cu Yok-tek yang berhasil lolos dari maut. Yang lain-lainnya seperti Kam Koan, Ji Tay-hou seta Ngo-pa-heng-te telah tewas penasaran. Dikatakan penasaran, sebab mereka tewas pada saat didalam hati sudah sangat yakin bahwa pihak mereka akan mencapai kemenangan.

Alangkah marah dan terkejutnya Pangeran Cu Leng-ong ketika sore itu Li Tiang-hong membawa laskarnya yang rusak parah dan patah semangat itu masuk ke desa pertahanannya.

"Apa yang terjadi? apa yang terjadi? He, kalian yang mengaku diri kalian sebagai panglima-panglima yang pandai dan berpengalaman?!" Pangeran Cu Leng-ong berteriak-teriak sambil memukul meja ketika Li Tiang-hong, Kongsun Hui dan lain-lainnya menghadapnya untuk melaporkan jalannya peperangan. "Li Tiang-hong! Kongsun Hui! Cu Yok tek! Kalian ini hanyalah k:antong-kantong nasi yang hanya pandai membual saja.”

Merah padamlah wajah orang-orang yang disebut namanya itu. Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng, seingat mereka Kaisar Cong-ceng sendiri belum pernah bicara sekasar itu terhadap mereka, namun sekarang Pangeran Cu Leng-ong yang hanya dilahirkan oleh seorang selir itu telah berani mengeluarkan kata-kata sekasar itu?

Belum jadi Kaisar sudah berwatak seperti itu, bagaimana kelak kalau benar-benar menjadi seorang Kaisar yang kekuasaannya meliputi negeri yang besar ini? Agaknya Pangeran Cu Leng-ong mewarisi sifat-sifat dari nenek-moyangnya, Cu Goan-ciang yang mendirikan dinasti Beng itu.

"He, kantong-kantong nasi goblok! Apa katamu?!" teriak Pangeran Cu Leng-ong yang kehilangan pengendalian diri itu.

Pangeran Cu Hin-yang yang juga hadir ditempat itu dengan pakaian perangnya yang masih penuh debu dan darah itu, menyela, mencoba menenangkan kakaknya yang lain ibu itu, "Kakanda, coba tenangkan pikiranmu dulu. Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat Li Ciang-kun, Kongsun Ciangkun dan lain-lainnya benar-benar telah berjuang mempertaruhkan nyawa. Desa itu berhasil kami rebut dan pintu gerbangnya telah kami pecahkan ke empat-empatnya, namun kami agak salah hitung. Yang ada di desa itu ternyata bukannya seluruh pasukan Pakkiong Liong, tapi hanya separuhnya saja. Dan di saat yang tak terduga, yang separuh lagi menyergap dari selatan, dan pasukan Tay-tong sendiri juga ikut menyerang dari utara."

“Persetan dengan alasan-alasan yang selalu diulang-ulang itu! Dari dulu selalu saja tidak becus!" kata Pangeran Cu Leng-ong dengan kemarahan yang meluap-luap. Tiba-tiba disambarnya sebuah jambangan bunga yang terletak di mejanya, dan dilemparkannya sekuat tenaga ke wajah Pangeran Cu Hin-yang yang hanya berjarak beberapa langkah darinya itu.

Pangeran Cu Hin-yang terkejut dan berusaha menghindar, tapi luncuran jambangan itu begitu cepat sehingga masih sempat membentur pelipisnya sehingga kulitnya robek dan berdarah. Pangeran Cu Hin-yang sendiri terhuyung-huyung sambil berdesis, "Kakanda..."

"Persetan dengan banci-banci yang mengaku sebagai laki-laki seperti kalian ini!" teriak Pangeran Cu Leng-ong lagi "Minggat semua dari depanku! Aku muak melihat tampang kalian!"

Bagaimanapun sabarnya Li Tiang-hong dan lain-lainnya, tapi terbakar juga melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong yang tak terkendali dan juga tidak mempedulikan harga diri orang lain itu. Li Tiang-hong tiba-tiba membuka topi perangnya yang sudah retak karena terpanah Tong Lam-hou tadi, dan ditunjukkannya kepada Pangeran Cu Leng-ong sambil berkata dengan suara meluap luap pula,

"Pangeran yang hamba junjung tinggi, barangkali hamba memang amat tolol, namun, kesetiaanku kepada Kerajaan Beng tidak akan luntur sedikitpun sampai ajalku tiba. Tidak juga meskipun Pangeran telah mencaci-maki aku sepedas ini. Lihat, Pangeran, kepalaku hampir ditembus panah musuh! Ketika pangeran sedang makan enak dikelilingi dayang dayang cantik di gedung ini, maka aku sedang menyantap debu dan panas matahari di medan perang sana, mempertaruhkan nyawa tanpa pamrih kecuali untuk tegaknya kembali kerajaan Beng. Ketika tadi malam Pangeran dibawah selimut yang hangat, aku sedang berpacu bersama adinda Pangeran sendiri, menembus dinginnya malam untuk mengatur rencana penyerangan. Aku tidak tidur semalam suntuk, aku hampir mampus dipeperangan! Tapi agaknya keberadaanku di sini hanya membuat pangeran merasa muak! Baik! aku akan membawa laskarku kembali ke Hun-lam sana untuk meneruskan perjuangan kami yang dulu! Dulu tidak di bawah perintah Pangeran pun aku sanggup berjuang bersama pasukanku, sanggup pula menderita kekurangan sandang-pangan untuk waktu yang tak terbatas, demi tercapainya cita-citaku!"

Lalu Li Tiane-hong membanting topi perangnya di hadapan Pangeran Cu Leng-ong dan membalik tubuh dan melangkah pergi tanpa memberi hormat lagi.

Tindakan itu diikuti oleh Cu Yok-tek yang juga amat tersinggung oleh ucapan-ucapan Pangeran Cu Leng-ong tadi. Dengan suaranya yang kasar dan besar ia berkata singkat namun tegas, "Kau bermimpi untuk menjadi Kaisar Kerajaan Beng! Silahkan terus dengan mimpimu itu! Aku tetap lebih suka sebagai Ketua Koy-to-bun yang menguasai wilayahku sendiri, daripada dijanjikan pangkat muluk-muluk tetapi hanya dijadikan permainanmu saja!"

Wajah pangeran Cu Leng-ong memucat melihat Sikap Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek itu. Ia tahu bahwa kekuatan mereka cukup besar, jika sampai mereka memisahkan diri maka yang tinggal di sini hanya separuh lebih, bagaimana sanggup menghadap gabungan antara Hui-liong-kun dengan pasukan kota Tay-tong? Ia hendak berteriak memanggil kedua orang yang sudah hampir mencapai pintu itu, namun harga dirinya telah mencegahnya.

Apa kata kedua orang itu kalau ia memanggilnya kembali? Tentu dirinya akan dikatakan takut ditinggalkan oleh mereka, tidak sanggup meneruskan perjuangan tanpa mereka berdua dan sebagainya. Akhirnya Pangeran Cu Leng-ong menatap saja langkah-langkah kedua orang itu dengan mata menyesal tapi juga angkuh.

Kongsun Hui yang mencoba mencegah kedua rekannya itu, "Saudara Li dan saudara Cu, harap menahan diri dan mengingat perjuangan kita..."

Cu Yok-tek mengibaskan tangan Kongsun Hui yang memegang pundaknya itu sambil berkata keras, "Perjuangan itu perjuangan kalian sendiri! Jelek-jelek aku juga seorang she Cu, meskipun darah bangsawanku tidak sekental darah bangsawannya, tapi aku tidak sudi diinjak-injak seperti seorang budak seperti tadi!"

Lalu Kongsun Hui beralih kepada Li Tiang-hong, "Saudara Li, harap kau ingat akan..."

Sahut Li Tiang-hong tegas, "Saudara Kongsun, jangan kuatir. Bersama Pangeran atau tidak, aku tetap setia kepada Kerajaan Beng. Hanya jika nyawaku sudah lepaslah maka perjuangan berhenti. Kita akan berjuang di tempat yang berbeda-beda satu sama lain, tapi tujuan kita sama. Membebaskan tanah air."

Agaknya Kongsun Hui sudah tidak dapat mencegah lagi kedua orang itu untuk meninggalkan laskar Cu Leng-ong, bersama bers dengan pengikut mereka masing-masing. Namun sebelum mereka mencapai ambang pintu, tiba-tiba melayanglah sesosok bayangan yang langsung menghadang jalan mereka berdua, kedua orang itu menghentikan langkah mereka dan melihat siapa yang menghadang mereka, ternyata adalah Pangeran Cu Hin-yang.

Cu Yok-tek langsung menghunus goloknya karena mengira kepergiannya akan dirintangi, sedangkan Li Tiang-hong juga mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah yang akan dilakukan Pangeran itu?

Wajah pangeran Cu Hin-yang ternyata tidak garang, bahkan nampak memelas sekali dengan mata yang basah berkaca-kaca. Lalu tanpa menghiraukan tangga gedung yang kotor oleh debu, ia berlutut di hadapan kedua orang itu dan menempelkan keningnya ke tanah berulang kali. Katanya dengan nada lembut, "Li Ciangkun dan Cu Ciangbunjin (Ketua she Cu), aku Cu Hin-yang menyembah kepada kalian untuk memohon agar kalian tidak meninggalkan laskar. Kasihanilah dinasti Beng yang sengsara, tetaplah bergabung dan berjuang bersama kami. Jangan sampai perpecahan yang diakibatkan oleh kemarahan kita membuat perjuangan harapan seluruh rakyat Han ini hancur berkeping-keping. Aku mohon... aku mohon... jika kalian melangkah keluar juga maka kalian akan melangkahi mayatku..."

Dan tahu-tahu di tangan Pangeran Cu Hin-yang telah tergenggam sebilah pisau belati yang ujungnya ditempelkan ke ulu hatinya sendiri, sementara tubuhnya masih dalam sikap berlutut. Andaikata dihalang-halangi dengan mata melotot dan golok terhunus, barangkali Li Tiang-hong akan nekad menerjangnya. Namun dihalangi dengan ratap tangis pangeran Cu Hin-yang yang wataknya sudah dikenal baik olehnya itu, maka runtuhlah kekerasan hati Li Tiang-hong.

Cepat-cepat iapun melangkah maju dan dengan sikap terharu ia menarik Pangeran Cu Hin-yang agar bangun dari berlututnya, sambil membujuk, "Jangan berlutut begitu, Pangeran. Calon Kaisar Kerajaan Beng yang agung tidak boleh berlutut kepada siapapun."

"Penuhilah permintaanku."

"Baik, aku tidak akan membawa pergi laskarku, aku tetap di sini dan mendukung Pangeran Cu Hin-yang sebagai calon Kaisar Beng!" kata Li Tiang-hong tegas.

Demikianlah dengan bujukan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong akhirnya membatalkan untuk memisahkan diri dari laskar itu. Namun oleh dorongan kekecewaannya kepada tabiat Pangeran Cu Leng-ong, maka telah terucap secara tegas, bahkan diucapkan dua kali, bahwa Pangeran Cu Hin-yang-lah yang didukung oleh Li Tiang-hong sebagai Kaisar apabila besok perjuangan mereka menang. Bukan Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran Cu Leng-ong lebih tua.

Pangeran Cu Leng-ong dan juga semua orang yang ada di tempat itupun mendengar jelas-jelas ucapan Li Tiang-hong itu, dan hati merekapun bergolak, paling aman adalah bungkam lebih dulu, mengikuti arah angin saja. Sedangkan Pangeran Cu Hin-yang sendiripun terkesiap, ucapan Li Tiang-hong yang terlalu terang-terangan itu membuatnya merasa tidak enak terhadap kakandanya sendiri, apalagi ketika diliriknya wajah sang kakak menjadi gelap penuh dendam mendengar hal itu. Namun ia cukup lega bahwa ia berhasil mencegah Li Tiang-hong memisahkan diri, soal kakandanya salah paham, bisa dijelaskan kemudian.

Kepada Cu Yok-tek-pun Pangeran Cu Hin-yang menghimbau, "Kakanda Yok-tek, aku harap kakanda memikirkan kembali keputusan kakanda..."

Memangnya di sinilah letak kelemahan Cu Yok-tek. Kepada siapapun ia selalu mengaku-aku sebagai kerabat Istana Kerajaan Beng karena ia juga she Cu, dan ia paling jengkel kalau ada orang yang tidak percaya atau mentertawakan silsilah keluarganya yang sebenarnya ia karang sendiri itu. Maka ketika mendengar seorang Pangeran seperti Cu Hin-yang ini memanggilnya dengan sebutan "kakanda" yang berbau kebangsawanan.

Maka separuh dari kemarahannyapun sudah hilang, hidungnyapun mulai kembang-kempis karena bangga. Ia berharap agar Pangeran Cu Hin-yang mengulangi panggilannya tadi agar semua telinga di ruangan ini mendengarnya... "mohon kakanda Pangeran ingat darah Kerajaan Beng yang mengalir di tubuh kakanda. Relakah kakanda Pangeran melihat negeri kita diinjak-injak bangsa Manchu karena kita kurang bersatu? apakah kakanda Pangeran hanya mementingkan Koay-to-bun saja?"

Sekali ini kena. Bukan hanya "kakanda" bahkan "kakanda Pangeran", sebutan yang sudah lama ia dambakan. Maka Cu Yok-tek pun segera menyahut meskipun masih dengan pura-pura menggerutu jengkel, "Baik, mengingat kita sekeluarga maka aku akan tetap disini bersama laskarku. Tapi nasehati baik-baik kakakmu itu, bukan dia saja yang she Cu! Aku sudah memeras keringat dan kehilangan banyak anakbuahku, di sini masih dimaki-maki juga seperti aku ini orang yang tak berharga sama sekali, huh!"

Pangeran Cu Hin-yang berseri gembira mendengar kesanggupan itu, setelah mengucapkan terima kasih kepada Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek, maka iapun minggir dan tidak menghalangi lagi kedua orang itu meninggalkan ruangan. Setelah kedua orang itu pergi, Pangeran Cu Hin-yang mendekati kakaknya dengan wajah yang berseri, katanya, "Kakanda, akhirnya semuanya berjalan dengan baik dan...."

Namun dengan wajah gelap dan mata yang memancarkan kedengkian, Pangeran Cu Leng-ong berkata sinis, "Baik buatmu sendiri, calon Kaisar."

Pangeran Cu Hin-yang terkejut, "Kakanda, tunggu dulu, jangan salah paham. Dalam keprihatinan perjuangan kita yang masih lama ini, kurang pada tempat nya kalau kita belum-belum sudah memperebutkan tahta..."

Karena Pangeran Cu Leng-ong berjalan ke arah ruang dalam, maka adiknya berbicara sambil mengikutinya dari belakang, namun sikap Pangeran Cu Leng-ong sama sekali tidak mendengarkan apapun yang diucapkan adiknya itu. Bahkan daun pintu dibantingkannya keras-keras sehingga hampir saja membentur hidung adiknya.

Pangeran Cu Hin-yang memandang pintu yang tertutup rapat di depannya itu sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Pintu yang rapat itu seakan melambangkan pula pintu hati kakaknya yang juga rapat dan tertutup dari penjelasan apapun juga. Ia menoleh ketika merasa sebuah telapak tangan menepuk pundaknya dari belakang, ternyata Kongsun Hui.

"Kakanda tidak mau mendengar penjelasan apapun dariku," keluh Pangeran Cu Hin-yang dengan hati yang pedih, "kata-kata Li Ciangkun tentang calon Kaisar tadi agaknya telah melukai hati kakanda dan ia marah kepadaku."

"Tenanglah, pangeran. Nanti lama-kelamaan kemarahannya akan reda juga dan kalian dapat berbicara sebagai sepasang kakak beradik yang selama ini rukun-rukun saja bukan?"

"Mudah-mudahan begitu, Kongsun Ciangkun."

Ketika malam tiba, maka di desa tempat pertahanan terakhir laskar Cu Leng-ong itu telah terjadi sesuatu. Orang-orang dari gerombolan-gerombolan Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-li-ong-pang yang sudah patah semangat karena kehilangan pemimpin-pemimpin mereka, mulai merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lanjut di pihak Pangeran Cu Leng-ong. Dulu mereka memang terpikat janji-janji muluk Pangeran Cu Leng-ong yang menjanjikan kedudukan enak dan kekuasaan besar apabila perjuangan berhasil.

Tapi setelah mereka mengalami sendiri jalannya pertempuran tadi siang, semangat merekapun patah. Bagaimana mungkin sebuah laskar yang berjumlah jauh lebih banyak dari musuh dan tinggal selangkah lagi di ambang kemenangan, tiba-tiba malah berbalik terpukul mundur dalam kekalahan? Kehebatan Pasukan Naga Terbang Kerajaan Man-chu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka.

Dan mereka tidak punya sisa keberanian sedikitpun untuk menerusKan perlawanan. Melawan Hui-liong-kun sama saja dengan membenturkan kepala sendiri ke batu karang, demikian rata-rata mereka berpendapat. Maka merekapun berbisik-bisik satu sama lain, mencoba mengetahui pendapat teman-temannya.

"Apakah masih ada gunanya kita mempertaruhkan nyawa buat Pangeran itu?" Seorang anggota Ngo-pa-hwe yang bertubuh tegap dan berberewok kaku berbisik kepada temannya yang diketahuinya sebagai anggota Tiat-ji-pang. Beberapa orang itu tengah duduk melingkari sebuah api unggun di sebuah kebun kosong yang dijadikan tempat istirahat mereka dalam desa.

Orang Ngo-pa-hwe yang bertanya itu tahu pula bahwa orang-orang Tiat-hi pang yang ditanayi itu tengah sibuk mengunyah daging bakar, namun disempat-kannya juga mulutnya untuk menyahut, "Tidak ada gunanya lagi. Kalian orang-orang Ngo-pa-hwe dan kami orang-orang Tiat-hi-pang bernasib sama saja. Tanpa pemimpin kita, maka suara kita tidak terwakili dalam setiap perundingan, maka kita tidak lebih dari potongan-potongan kayu bakar yang akan dilempar-lemparkan sebagai umpan ke tengah-tengah api peperangan. Lalu golongan-goldngan lain dalam laskar inilan yang akan memetik keuntungan."

Pembicaraan antara orang Ngo-pa-hwe dan orang Tiat-hi-pang itu ternyata menarik perhatian beberapa teman-teman mereka untuk duduk berkerumun dan ikut mendengarkan maupun menanggapi. Ketika Orang Ngo-pa-hwe itu melihat bahwa yang mengerumuniinya itu adalah orang-orang senasib dengan mereka, maka dia berani melanjutkan pembicaraan,

"Kita tidak ingin dijadikan umpan. Kita harus" melarikan diri malam ini juga, kalau menunggu sampai pagi kita akan keburu diserbu oleh tentara kerajaan."

"Lari meninggalkan laskar" itulah yang berbisisk-bisik dari telinga ketelinga dikalangan laskar yang putus asa itu. Dan bukan cuma dibisikkan, tapi dilaksanakan juga. Satu dua orang menyelundup keluar desa, ada yang memanjat dinding. Namun ada pula yang terang-terangan dengan membunuh teman mereka sendiri yang sedang menjaga pintu gerbang, lalu kemudian membuka pintu gerbang dan merekapun kabur dalam kelompok yang berjumlah besar.

Demikianlah berlangsung sampai pagi. Bahkan yang ikut minggat bukan cuma orang-orang Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-liong-pang yang putus-asa, tapi juga sebagian rang-orangnya Li Tiang-hong dari Hun-lam karena mereka telah bosan menjalani perang selama belasan tahun, dan juga sebagian dari orang-orang Jit-goat-pang yang takut mati.

Keesokan harinya, ketika Pangeran Cu Leng-ong menyuruh memberikan seluruh laskar di sebuah lapangan di pinggir desa, terkejutlah ia ketika melihat laskarnya susut hampir separoh lebih. "Apakah yang lain-lainnya belum bangun tidur?" ia bertanya kepada Kong-sun Hui yang berdiri mendampinginya.

"Bangunkan mereka dan beri peringatan keras kepada mereka!"

"Baik, Pangeran."

Tapi sejenak kemudian Kongsun Hui sudah datang kembali dengan air muka yang aneh. Lapornya, "Mereka bukannya belum bangun, Pangeran, tetapi semalam agaknya mereka telah minggat. Meninggalkan laskar demi keselamatan diri sendiri."

"Apa?! Pangeran Cu Leng-ong melonjak karena kagetnya. Hampir saja kata-kata makian menghambur lagi dari mulutnya. Namun ketika terpandang olehnya wajah Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek yang tegang itu, maka Pangeranpun menelan kembali maki-makian yang sudah "siap" disemburkan itu. Ia kuatir Li Tiang-hong akan marah seperti kemarin sore, dan jika sampai ia ikut-ikutan meninggalkan laskar pula, maka laskarnya benar-benar akan berantakan.

Sesaat Pangeran Cu Leng-ong kebingungan harus berbuat apa menghadapi kekacauan dalam laskarnya itu. Tanyanya kepada semua yang hadir, "Kalian punya pendapat?"

Li Tiang Hong segera maju ke depan dan memberi hormat. Katanya, "Hamba punya pendapat, Pangeran. Agaknya kekuatan kita telah menjadi sangat lemah sehingga tidak mungkin membendung pasukan lawan. Kita harus bijaksana, dalam mengukur kekuatan diri sendiri dan kekuatan lawan. Lebih baik kita mundur ke gunung lebih dulu, sambil bertahan dan menyusun kekuatan. Di gunung kita akan sulit untuk diserang."

Pangeran Cu Leng-ong mengerutkan alis, "Aku kira pendapatmu kurang tepat Li Ciangkun. Lari terbirit-birit seperti anjing kena gebuk yang demikian itu hanya akan membuat laskar kita bertambah merosot semangatnya. Dan jika kita balik ke persembunyian kita yang pengab itu, entah kapan lagi kita mendapat kesempatan seperti ini, untuk bangkit menegakkan kepala kita dan mengibarkan bendera perlawanan secara terang-terangan...?"

Li Tiang-hong pun mengundurkan diri. Kupingnya agak merah karena dikatakan "seperti ajing kena gebuk". Andaikata ia tidak terikat janji dengan Pangeran Cu Hin-yang, ia lebih senang memisahkan diri saja dan berjuang sendirian di Hun-lam sana. Di sini ia berjuang bersama dengan seorang yang keras kepala, harga dirinya berlebih-lebihan, namun bodoh dalam hal siasat perang.

Maka Li Tiang-hong merasa lebih baik diam saja. Jika bertengkar malahan akan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh laskar sendiri, sebab Pangeran Cu Leng-ong pun punya pengikut-pengikutnya yang setia, yang siap menjalankan semua perintahnya tidak peduli benar atau salah.

Sebenarnya, yang masih ada dalam perasaan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak lain adalah perasaan sakit hati yang belum hilang sejak perdebatan kemarin sore. Ketika Li Tiang-hong mengatakan bahwa dirinya hanya enak-enak di dalam rumah sementara Li Tiang-hong dan lain-lainnya berada di medan perang, juga ucapan Li Tiang-hong bahwa Pangeran Cu Hin-yanglah "calon Kaisar Kerajaan Beng", bukan dirinya.

Karena itu, setelah berpikir semalaman segera Pangeran Cu Leng-ong merasa bahwa pengaruhnya atas laskar telah disaingi oleh pengaruh adiknya sendiri. Ia memutuskan bahwa ia harus berani bertindak agar pengaruhnya tidak terdesak oleh pengaruh adiknya.

Katanya, "Kalau kita setia kepada Kerajaan Beng, kita akan menunjukkan kepada musuh bahwa kita masih sanggup memberi pukulan mematikan buat mereka. Siapkan seluruh laskar. Aku sendiri akan memimpin prajurit-prajuritku di depan pasukan. Yang bernyali kecil dan tidak bersedia berkorban, silahkan minggir dari barisanku!"

Orang-orang yang ahli dalam peperangan seperti Li Tiang-hong dan Kong-sun Hui diam-diam mengeluh dalam hati. Cara bertempur Pangeran Cu Leng-ong yang hanya didasari kemarahan tak terkendali, "keberanian" atau "kesetiaan" dan kata-kata muluk yang tidak berpijak pada kenyatan itu, jelas bukan cara bertempur yang baik. Hanya akan menghambur-hamburkan nyawa manusia saja.

Tapi menilik sikap Pangeran Cu Leng-ong saat itu, agaknya perintahnya itu sudah tidak dapat ditarik lagi. Pangeran Cu Leng-ong sendiri ingin menjadi pahlawan di medan perang dan semua pengikutnya harus mengiringinya.

"Bagaimana ini?" bisik Kongsun Hui kepada Li Tiang-hong.

"Nanti diam-diam kita atur sendiri barisan kita setelah ada di medan perang," sahut Li Tiang-hong sambil berbisik pula. "Bukan karena kita tidak taat kepada Pangeran, tetapi sekedar bertindak menurut ilmu perang agar tidak hancur sama sekali oleh musuh. Kalau maunya Pangeran sih langsung menyerbu saja, tidak dengan pertimbangan-pertimbangan lain."

Tapi di saat orang-orang itu mempersiapkan diri, tiba-tiba seorang laskar berlari-lari masuk dengan gugupnya menghadap Pangeran Cu Leng-ong. Lapornya, "Ampun, Pangeran, hamba menghadap tanpa dipanggil. Pasukan musuh sudah terlihat di sekeliling desa dan mengepung desa ini dari empat arah!"

Pangeran Cu Leng-ong dan panglima-panglimanya terkejut. Dan belum lenyap rasa kejut mereka, di luar sana sayup-sayup telah terdengar sorak-sorai orang bertempur, agaknya pasukan musuh sudah mulai merangsak ke dinding sekitar desa, dan laskar pemberontak sedang mempertahankannya.

Dalam keadaan seperti itu, nampaklah bahwa Pangeran Cu Leng-ong bukan seorang Panglima Perang yang baik. Tadi ia bicara dengan gagah katanya akan menyerbu pasukan musuh, namun setelah mendengar bahwa musuh sudah menggempur lebih dulu, maka iapun menjadi gemetar dan jatuh terduduk di kursinya yang berukir indah itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Untunglah Pangeran Cu Hin-yang lebih tenang dari kakandanya itu, segera dialah yang mengatur pertahanan meskipun harus minta persetujuan kakandanya, "Li Ciangkun, Kongsun Ciangkun dan Kakanda Cu Yok-tek, cepat pimpin pasukan kalian masing-masing untuk mempertahankan tembok kota sebelah barat, utara dan timur. Aku mempertahankan selatan. Bagaimana kakanda, setuju?"

Meskipun dalam beberapa hari terakhir ini Pangeran Cu Leng-ong sangat dengki dan bahkan benci kepada adiknya yang dianggap akan menyaingi kekuasaannya itu, namun dalam kebingungannya maka usul adiknya itu tanpa pikir panjang disetujuinya dengan sebuah anggukan kepala.Tapi ia masih bertanya, "Kalau semuanya menjaga benteng, siapa yang melindungi aku di sini?"

Suaranya itu diucapkan tanpa malu-malu lagi. Andaikata suasana tidak sedang tegang dan tidak kuatir pangeran Cu Hin-yang tersinggung, ingin rasanya Li Tiang-hong tertawa terbahak-bahak melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong itu.

Sesunguhnya Pangeran itu bukan seorang yang tidak becus sama sekali. Ilmu pedangnya didikan Hoa-san-pay, dan dalam penyerbuan penjara kerajaan tempo hari bersama para pendekar, dia ikut serta pula. Namun kali ini keberaniannya sudah terlanjur menjadi susut setelah mengalami kekalahan bertubi-tubi bagi laskarnya itu.

Pangeran Cu Hin-yang segera menjawab, "Biarlah Ciu Ciangkun bersama seratus anakbuahnya menjaga kakanda disini."

Yang disebut Ciu Ciangkun adalah seorang perwira Kerajaan Beng bernama Ciu Heng yang bertampang kambing bandot. Ia anggota Jit-goat-pang yang kedudukannya lebih rendah sedikit dari Kongsun Hui, dan ilmu silatnyapun lumayan juga.

Setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangguk, maka barulah para pentolan laskar pemberontak itu bubar untuk mengatur barisannya masing-masing. Sementara sorak-sorai di sekeliling desa makin riuh, menandakan semakin sengitnya pertempuran. Biarpun laskar pemberontak semangatnya tidak setinggi hari-hari kemarin.

Namun karena mereka dalam kedudukan yang lebih baik, yaitu bertahan di atas dinding-dinding yang terbuat dari batu dan tanah liat itu, maka mereka dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Tidak mudah bagi pasukan Hui-liong-kun untuk merebut dinding, meskipun mereka menyerang dari segala penjuru dengan panah dan lembing, bahkan dengan bandil-bandil batu.

Ketika itulah Ha To-ji muncul dari sebelah timur. Di tangannya ia membawa sebuah sebuah bandul besi sebesar semangka yang digantungkan seutas rantai panjang. Bola besi itu dicat warna bergaris-garis hijau dan kuning sehingga mirip sebuah semangka yang segar. Itulah senjata milik ketua Kang-liong-pang, Ji Tay-hou, yang kemarin tewas. Kemarin Ha To-ji melihat bagaimana Ja Tay-hou menggempur pintu gerbang desi hanya dengan dua kali hantam saja.

Maka timbul pikiran Ha To-ji untuk menggempur pintu gerbang pertahanan terakhir Cu Leng-ong itu dengan cara yang sama pula. Ha To-ji yang bertenaga besar dan berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itupun merasa ia sanggup berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Ji Tay-hou kemarin. Itu lebih cepat daripada menyuruh para prajurit untuk menggotong sebatang balok besar dan memukulkannya berulang-ulang ke daun pintu....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 23

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 23

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
PENDUDUK-PENDUDUK desa mendekam di rumahnya masing-masing, berkumpul sekeluarga di dalam satu kamar sambil menggigil ketakutan. Ada yang mengunci pintu rumah mereka, namun lebih banyak yang membiarkannya terbuka saja. Percuma pintunya dikunci, toh dengan sekali tendang oleh prajurit Hui-liong-kun atau laskar pemberontak maka pintu itupun akan terdobrak.

Masih beruntung kalau yang masuk ke rumah itu adalah prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang oleh Pakkiong Liong diikat dengan taca-tertib ketentaraan yang kuat itu, namun jika yang masuk ke rumah adalah segerombolan anak buah Pangeran Cu Leng-ong yang tengah buas-buasnya karena merasa akan merebut kemenangan, maka malanglah nasib orang-orang di rumah itu.

Jika ada perempuan muda berwajah menarik, mereka akan langsung menjadi sasaran pesta pora laskar pemberontak, yang lain-lainnya menguras harta benda, anggota rumah yang melawan langsung dibabat dengan senjata. Bahkan tidak melawanpun kadang kadang dibabat juga.

Di salah satu rumah yang keadaannya agak baik dari rumah-rumah lainnya, seisi rumah berkumpul di ruangan belakang dengan menggigil ketakutan. Sang suami adalah seorang lelaki berumur limapuluh tahun, jauh lebih tua dari isterinya yang baru berusia tujuh-belas tahun dan menggendong seorang anak berusia satu tahun itu. Yang berkumpul di situ juga seorang mertua perempuan dan dua orang pembantu rumah tangga mereka. Sang suami nampak pucat wajahnya, namun tiba-tiba sikap takutnya berubah sama sekali. Ia mulai tertawa-tawa sendirian, dan mengoceh sendiri,

"Bagus-pernah bosan berperang. Hayo berperang-lah terus, biar harta bendaku yang kukumpulkan selama duabelas tahun ini ludes sekalian! Ludes untuk ketiga kalinya! Ha-ha-ha... dan bantailah pula seluruh keluargaku ini, supaya untuk ketiga kalinya pula aku kehilangan keluarga; ha-ha-ha..." dan makin lama tertawanya berubah menjadi suara tangisan yang menyeramkan.

Isterinya dan mertuanya mencoba menenangkan lelaki itu. Tapi lelaki yang sudah sampai pada puncak ketakutan dan keputusasaan itu agaknya sudah kehilangan pikiran warasnya. Setengah tertawa setengah menangis ia terus berceloteh,

"Dulu ketika Li Cu-seng berontak kepada dinasti Beng, maka si keparat-keparat busuk prajurit-prajurit Beng itu memperkosa isteriku lalu membunuhnya, membakar rumahku, meludeskan hartaku yang kukumpulkan sedikit demi sedikit, karena aku dituduh menyokong Li Cu-seng. Aku jatuh miskin dan mengumpulkan lagi kekayaan sesen demi sesen, sampai mendapat lagi seorang isteri dan sebuah keluarga yang manis. Tapi setan-setan keparat anak buah Li Cu-seng itu dalam gerakan mundur menghindari tentara Manchu, kembali memporak-porandakan kebahagiaanku. Harta ludes, keluarga ludes pula. Sekarang... agaknya keluargaku akan ludes pula. Ha-ha-ha-ha... ludes... ludes semuanya!"

Lalu lelaki itu menjadi liar matanya, kelihatan sekali kekurang-warasan otaknya saat itu, bahkan air liurnya-pun menetes-netes. Katanya sambil tertawa-tawa. "Perang... perang terus... entah membebaskan tanah air... entah apa lagi. Aku juga akan ikut perang, ah!"

Lalu disambarnya sebatang palang pintu, dan ia berlari-lari ke jalanan di mana perkelahian sedang berkecamuk hebat antara laskar pemberontak dan pasukan Hui-liong-kun. Namun perkelahiannya tidak mirip antara dua buah pasukan lagi, tapi lebih mirip antara orang per orang, dengan jumlah yang lebih banyak lagi di pihak pemberontak. Lelaki yang kehilangan akal sehatnya itupun berloncatan-loncatan di jalan raya sambil mengayun-ayunkan palang pintunya, sambil berteriak-teriak,

"Hayo siapa berani berperang dengan aku! Cihui..."

Ketika seseorang lewat di dekatnya, maka diayunkanlah palang pintunya untuk menghantam kepala orang itu. Tapi malang nasibnya, sebab orang yang diserangnya itu adalah Cu Yok-tek. Serangannya dihindari dengan mudah sambil menyabetkan goloknya, dan kali ini-pun bukan cuma hartanya atau keluarganya yang ludes, tapi bahkan sebutir kepalapun ia tidak memilikinya Lagi.

Dari sela-sela pintu, isterinya dengan menangis menyaksikan semuanya itu, dan jika tidak dicegah oleh ibunya yang tua tentu akan lari untuk menangisi tubuh suaminya yang dicintainya itu, meskipun umurnya berselisih banyak dengan dirinya sendiri.

Kata ibunya setengah membujuk setengah menyeret, "Jangan keluar, A-mei, ingat bayimu. Ingat nasib A-im tetangga kita yang diperkosa beramai-ramai oleh pemberontak-pemberontak itu beberapa saat yang lalu ketika desa ini masih diduduki oleh mereka. Sekarang dalam suasana perang, teptu mereka jauh lebih buas dari dulu-dulu."

Itulah perang. Tiap pihak mengarang alasan alasan yang muluk-muluk untuk tujuan perangnya, namun setiap kali rakyatlah yang terinjak tanpa daya. Ribuan orang kehilangan keluarga, kehilangan harta bertda, kehilangan masa depan bahkan kehilangan nyawa, tapi apa peduli para pencipta perang? Perjuangan membutuhkan pengorbanan, demikian selalu alasan yang dikemukakan para diri berkorban apa? Mereka yang bercita-cita, mereka yang bernafsu akan kemenangan dan kejayaan, kenapa orang lain yang tidak tahu apa-apa yang harus berkorban?

Demi rakyat kecillah kami mengangkat senjata, begitu teriak mereka. Kenapa tidak diganti saja semboyan itu dengan demi rakyat kecillah kami rela meletakkan senjata. Kedengarannya sangat tolol buat orang-orang yang haus kekuasaan bukan? Meletakkan senjata? Bukan saja tolol, malahan gila.

Perang berkecamuk terus di desa itu. Nyawa-nyawa dari kedua belah pihak beterbangan meninggalkan raga-raga yang luka oleh senjata. Desa semakin penuh dengan laskar pemberontak, namun pasukan Hui-liong-kun tetap bertahan dengan amat gigih. Jumlah musuh yang jauh lebih banyak membuat mereka semakin terdesak ke tengah desa, namun mereka pertahankan lorong demi lorong, halaman demi halaman, pintu rumah dengan pintu rumah, dengan semangat berani mati yang mau tidak mau membuat musuh-musuh mereka bergidik ngeri.

Tetapi pada saat pasukan Hui-liong kun yang dipimpin oleh Ha To-ji itu sudah di ambang kehancuran, maka tiba-tiba terasa tekanan laskar pemberontak agak mengendor. Dari sebelah selatan dan utara, jauh di luar desa itu, ada debu mengepul tinggi dan bendera yang berkibar-kibar. Pasukan-pasukan yang baru datang itu langsung membuat gerakan menebar dan menggencet laskar pemberontak dari arah lambung.

Pasukan penyerbu itu bukan saja terdiri dari pasukan berjalan kaki yang amat tangkas dan berani, tetapi juga sebagian kecil dari mereka adalah prajurit-prajurit berkuda yang dengan beraninya menusuk jauh sampai ke tengah-tengah laskar pemberontak, dan dengan garangnya mereka mengamuk, membuat bagian belakang laskar pemberontak kacau balau.

Le Tong-bun yang bersama sepasukan kecil anakbuahnya masih bertempur di atas dinding sebelah selatan itu dapat melihat datangnya pasukan bantuan itu. Ketika melihat bendera bergambar seekor naga putih yang sedang menginjak mega yang berwarna putih pula tahulah dia bahwa itulah Pakkiong Liong sendiri yang memimpin pasukannya untuk terjun ke medan laga.

"Pakkiong Ciangkun turun ke gelanggang!” pekik Le Tong-bun gembira "Mampuslah pemberontak!"

Teriakan itu segera menjalar dari mulut ke mulut sampai seluruh prajurit Hui-liong-kun yang bertahan gigih di desa itupun mendengarnya. Mereka bagaikan menelan sebutir obat kuat yang membuat keputus-asaan mereka tersapu sirna, dan semangat berkobar kembali.

Ternyata yang turun ke medan laga bukan hanya Pakkiong Liong dan pasukan Hui-liong-kun yang ada di pesanggrahannya, tetapi juga Panglima Tay-tong Kwe Sin-liong-kun dan sebagian pasukannya. Pasukan Tay-tong memang tidak sebaik pasukan Hui-liong-kun, tapi kalau dibandingkan laskar pemberontak yang kurang terlatih itu, jelas bahwa pasukan Tay-tong setingkat lebih baik. Baik dalam hal membentuk barisan maupun kemampuan perseorangan rata-ratanya.

Selama ini pasukan Tay-tong terkungkung di dalam kota sambil menunggu datangnya bala bantuan dari Pak-khia. Tidak jarang prajurit Tay-tong harus menahan hati apabila mereka sedang bertugas di atas dinding kota, dan mereka melihat laskar pemberontak lewat di luar dinding kota sambil menantang-nantang dan mengejek. Tapi waktu itu mereka harus menahan diri untuk tidak melayani tantangan itu, meskipun hati panas, namun mereka sadar bahwa kekuatan mereka jauh di bawah laskar pemberontak, sehingga keluar benteng sama saja dengan bunuh diri.

Kini, Kwe Sin-liong sendiri memimpin pasukannya untuk mengempur dari utara, sehingga berbenturan langsung dengan pasukannya Cu Yok-tek. Dan prajurit Tay-tong yang selama ini merasa diejek dan dihina oleh laskar pemberontak bagaikan mendapat pelampiasan untuk melepaskan kemarahan mereka. Maka pada benturan pertama saja pihak pemberontak di sisi utara sudah terdesak mundur puluhan langkah oleh pasukan kota Tay-tong yang bertempur dengan barisan menebar itu.

Di tengah ada Kwe Sin-liong, di sayap kanan ada Hoa Wi-jong dengan ruyung bajanya yang mengerikan, dan di sayap kiri ada si kerdil Leng Bun yang bertempur segagah Toh It-hou di jaman dinasti Tong ketika menyerang ke barat itu.

Ternyata Li Tiang-hong yang memimpin serangan ke desa itu, telah salah langkah. Ia mengerahkan pasukannya seluruhnya untuk menggempur desa itu karena mengira bahwa pasukan yang tadi malam mengusirnya adalah seluruh pasukan musuh. Tak ia sangka bahwa yang ada di desa itu hanya separuh dari seluruh kekuatan Hui-liong-kun, sedang yang separuh lagi tetap di luar pesanggrahan malahan sudah ditambah dengan seribu limaratus orang prajurit Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong sendiri.

Karena itu, Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang terkejut bukan main ketika dua orang laskar mereka melaporkan bahwa dari utara dan selatan muncul dua pasukan besar yang langsung menekan dan nyaris mematahkan kedua sayap laskar Li tiang-hong.

“Kita telah salah hitung!" teriak Li Tiang-hong kebingungan.

"Lekas ambil tindakan!" sahut Pangeran Cu Hin-yang.

Sementara itu di sayap selatan, laskar pemberontak bukan saja terdesak oleh Hui-liong-kun yang dipimpin langsung oleh Pakkiong Liong, namun juga nyaris tercerai-berai. Kongsun Hui yang memimpin laskar pemberontak di sayap itu tidak menduga akan serangan yang datang dari lambung dan melanda seperti banjir-bandang itu. Hulubalang-hulubalang laskar pemberontak yang dapat diandalkan semuanya telah dikerahkan ke depan untuk merebut desa, sehingga yang ada di bagian itu tinggal Kongsun Hui seorang.

Sebaliknya dipihak Hui-liong-kun ada Pakkiong Liong serta empat perwiranya, Ko Lung-to Tokko Seng, Tamtai Hok dan Wanyen Hu yang keempat-empatnya terlalu tangguh untuk dilawan prajurit-prajurit biasa.

Apa boleh buat, seorang diri Kong sun Hui mencoba mengendalikan laskarnya agar tidak tercerai-berai, meskipun mundur tetapi tetap harus teratur. Tapi apa mau dikata, yang terjadi ternyata tidak sesuai dengan keinginannya. Laskarnya yang campur-aduk dari berbagai golongan itu ternyata tidak bisa kompak dalam menuruti aba-abanya. Orang-orang Jit-goat-pang atau prajurit prajurit Beng dari Hun-lam yang dulunya anak buah Li Tiang-hong, memang bertahan dengan gigih sebab merekalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Beng.

Tapi orang-orang Tiat-hi-pang atau Ngo-pa-hwe yang bertempur dengan mengharap keuntungan itu tentu saja tidak sudi membuang nyawa di tempat itu. Jika laskar sedang di atas angin, mereka membantu dengan bersemangat, jika laskar terdesak, maka merekalah yang mundur paling dulu meninggalkan garis depan. Cara mundurnyapun tidak seperti prajurit yang terlatih, melainkan lari serabutan seperti orang-orang di pasar jika pasarnya terbakar.

Kongsun Hui melihat tingkah laku orang-orang Tiat-hi-pang dan Ngo-pa-hwe itu dengan perasaan geram campur sedih. Batinnya, "Laskar kami ini biarpun nampaknya berjumlah besar sekali, namun separuh lebih terdiri dari pengecut-pengecut tak berguna semacam ini, yang beraninya hanya membentak-bentak rakyat yang tak berdosa namun begitu dihadapkan lawan yang sesungguhnya mereka kabur lintang-pukang seperti ini."

Sedangkan orang-orang Jit-goat-pang dan bekas-bekas prajurit Hwe-liong-pang yang menyerbu laksana sekawanan serigala kelaparan itu. Pasukan Berani Mati Kerajaan Manchu itu benar-benar lawan yang sulit dihadapi, tidak cukup dengar teriakan-teriakan bersemangat saja.

Kongsun Hui segera memerintahkan laskarnya untuk mundur teratur tanpi menunggu persetujuan Li Tiang-hong yang berada di di barisan tengah. Kalau harus menunggu persetujuan rekannya itu, bisa jadi laskarnya di sayap selatan itu sudah hancur lebih dulu. Maka laskar itupun mulai mundur dengan teratur, sebab bagaimanapun juga Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng cukup punya pengalaman dan pengetahuan untuk mengendalikan tentara di medan perang.

Gerakan mundur juga terjadi di sayap utara, di mana laskar pemberontak digempur bertubi-tubi oleh Pasukan Tay-tong di bawah pimpinan Kwe Sin-liong. Namun cara mundurnya laskar pemberontak di bagian ini dengan mundurnya laskar yang dipimpin Kongsun Hui. Cu Yok-tek sebagai pimpinan sayap utara malahan sudah masuk ke dalam desa, sehingga laskarnya yang sebagian masih di luar itu bertempur tanpa pimpinan. Maka kacaulah diamuk oleh Kwe Sin-liong dan pasukannya.

Saat itu laskar pemberontak yang sudah berada di dalam desa dan bertempur sengit melawan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang mempertahankan desa itu sebenarnya hampir menang. Jika kawan-kawan mereka terus mengalir dari luar desa lewat pintu-pintu gerbang yang bobol ataupun memanjat lewat tembok tembok, maka tidak sampai sore prajurit prajurit Hui-liong-kun akan mereka habiskan. Tapi tiba-tiba laskar mereka yang ada di luar desa ditarik mundur, maka yang sudah terlanjur memasuki desa itu jadi seolah-olah terpencil di tengah-tengah musuh.

"Gila! Gila!" Cu Yok-tek yang memimpin orang-orang Koay-to-bun dar Kang-liong-pang itu berteriak-teriak, "Apa yang terjadi di luar dinding sana. Cepat lihat!"

Seorang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar segera menerobos medan pertempuran kacau-balau di lorong-lorong desa itu, dan mencoba melihat keluar dinding desa. Tidak lama kemudian ia telah kembali ke samping Cu Yok-tek dalam keadaan luka-luka, namun masih bisa melapor, "Ong-ya, seluruh pasukan kita sedang ditarik mundur. Li Ciangkun juga memerintahkan kita untuk bergerak mundur secepatnya!"

"Apa? Mundur? Cu Yok-tek terbelalak kaget dan marah. "Apakah Panglim tololmu itu sudah miring otaknya? Kita hampir menang, kenapa harus mundur?"

Pengawal Cu Yok-tek itu menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlalu tolol untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di seluruh medan perang, maka ia menjawab sekenanya saja, "Barangkali... barangkali Li Ciang-kun menganggap inilah waktunya untuk istirahat makan, nanti sehabis makan kita teruskan menggempur lagi."

"Makan kepala nenekmu?" bentak Cu Yok-tek yang kehabisan kata-kata untuk memaki pengawal tololnya itu. Namun sebagai orang berpengalaman diapun segera merasakan gelagat buruk. Sayup-sayup ia mendengar pula prajurit-prajurit musuh berteriak-teriak "Pakkiong Ciangkun terjun ke medan perang" dengan penuh semangat. Tidak ada gunanya memaki-maki pengawalnya atau memaki siapapun juga, dia sendiri harus segera menarik mundur pasukannya. Kalau tidak, alamat bahwa umurnya hanya sampai hari ini.

"Mundur!” teriak Cu Yok-tek. Teriakannya segera ditirukan secara bersambung dari mulut ke mulut.

Setengah percaya setengah tak percaya laskar pemberontak yang sudah memenuhi desa itu ketika mendengar perintah Cu Yok-tek itu. Namun mereka tidak berani membantah perintah itu. Sementara itu, karena gerakan mundur seluruh laskar pemberontak, maka tiga orang anakbuah Te-liong Hiangcu yang hendak membunuh Tong Lam-hou itupun terpaksa ikut mundur.

Mereka tidak ingin ditinggal bertiga saja ditengah-tengah musuh, lagipula mereka merasa tidak sanggup lagi melawan Tong Lam-hou yang berkelahi seperti luka sambil menyebarkan udara maha dingin yang membekukan darah itu. Maka tidak ada pilihan lain buat mereka bertiga kecuali bergerak mundur bersama seluruh laskar.

Tong Lam-hou yang kehilangan lawan itupun segera masuk ke desa untuk membantu membereskan sisa-sisa laskar pemberontak yang masih berada di desa. Ketika Tong Lam-hou mengejar dua orang laskar pemberontak sampai ke dalam sebuah rumah, terkejutlah ia ketika melihat seisi rumah itu sudah menjadi mayat. Pemilik rumah itu dikenalnya baik, dan baru tadi pagi mereka menawari Tong Lam-hou untuk makan pagi bersama. Kini seluruh rumah telah menjadi mayat.

Bahkan gadis kecil berkuncir dua yang baru berusia empatbelas tahun dan selalu memanggil Tong lam-hou dengan sebutan "kakak" itu, kini tergeletak di sebuah meja, terlentang tanpa selembar benangpun ditubuhnya, tanpa nyawa dan matanya terbeliak lebar. Jelas dia mengalami perkosaan sebelum akhirnya dibunuh pula bersama seisi rumahnya. Di tangan kanannya tergenggam erat sehelai ikat kepala berwarna kuning, ikat kepala laskar pemberontak!

Gigi Tong Lam-hou gemeretak menahan amarah, bayangan orang-orang Jit-siong-tin yang dibantai tanpa belas kasihan telah membuatnya kehilangan pengendalian diri. Di sini ternyata berlaku pula kebiadaban yang sama dan oleh pihak yang sama pula, yaitu orang-orang yang mengaku akan membebaskan tanah air dan mendirikan kembali Kerajaan Beng yang adil dan sejahtera. Dengan tangan gemetar Tong Lam-hou mengatupkan mata mayat gadis kecil itu, di renggutnya sehelai taplak meja dan ditutupkannya ke tubuh gadis itu.

Lalu iapun mengitari rumah untuk mencari kedua laskar pemberontak yang lari ke situ tadi. Mereka berdua ditemukan di ruangan belakang sedang berjongkok bersembunyi, dan Tong Lam-hou tidak menggubris ketika mereka meratap-ratap minta ampun. Pedangnya berkelebat dua kali dan habislah nyawa kedua orang laskar Cu Leng-ong itu. Ketika telinganya menangkap suara pertempuran yang masih berlangsung di lorong-lorong desa itu, maka mata Tong Lam-hou menjadi merah liar seperti mata seorang gila.

"Pemberontak-pemberontak itu harus ditumpas habis tanpa ampun," desisnya dengan bibir gemetar. "Di manapun mereka datang, mereka melakukan hal-hal biadab terhadap rakyat kecil yang tak tahu apa-apa. Aku tidak pantas mengenakan seragam ini kalau tidak bisa menghabiskan mereka."

Lalu iapun berlari keluar. Dan malangkah setiap laskar pemberontak yang bertemu dengan putera Hwe-liong Pangcu ini. Sifat-sifat yang keras dan sedikit kejam dari ayahnya, ternyata menurun ke dalam pribadi Tong Lam-hou. Sekejap saja pedangnya sudah merah, namun ia masih mengayunkannya kesana kemari sambil berteriak-teriak kepada sesama prajurit Hui-liong-kun,

"Habiskan saja! Mereka telah berbuat biadab kepada rakyat! Habiskan-habiskan!”

Seruan Tong lam-hou itu mendapat sambutan dari prajurit-prajaurit Hui-liong-kun, yang darahnya masih saja hangat. Baru saja mereka lepas dari kematian, andaikata pasukan Pakkiong Liong terlambat, maka mereka semua akan mati di situ. Karena itu, ketika mereka berbalik mendapat kesempatan di atas angin, maka merekapun membinasakan laskar pemberontak yang tidak sempat mengundurkan diri itu, tanpa ampun.

Ha To-ji terkejut melihat pasukannya menjadi liar tak terkendali itu, bahkan tata-tertib peperangan terhadap lawan-lawan yang sudah menyerah di peperanganpun tidak dihiraukan lagi oleh mereka. Laskar pemberontak yang sudah meletakkah senjatanyapurn dibabat tanpa ampun.

"Hentikan!" teriak Ha To-ji kepada prajurit-prajuritnya. "Hentikan! Lawan yang sudah menyerah tidak boleh dibunuh!"

Namun pada mulanya seruan itu seolah-olah orang berteriak di tengah padang pasir saja, tidak ada yang menanggapinya. Prajurit-prajuritnya masih saja memburu lawan-lawan mereka dengan buasnya, sementara Tong Lam-hou masih berteriak-teriak di kejauhan, "Manusia-manusia biadab ini hanya mengotori dunia dan menyengsarakan sesamanya saja! Sikat sampai habis!"

Ketika Ha To-ji melihat seorang laskar pemberontak di dekatnya ditusuk perutnya dengan tombak oleh seorang prajuritnva, meskipun laskar pemberontak itu sudah membuang pedangnya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, maka kesabaran Ha To-jipun habislah. Disarungkannya pedangnya, lalu dengan kedua tangannya la mencengkeram baju prajuritnya sendiri itu, dan diguncang-guncangkannya tubuh prajuritnya itu sambil berteriak marah,

"Prajurit gila, apa matamu tidak melihat kalau lawanmu itu sudah meletakkan senjata dan bersikap menyerah?! He?! butakah matamu?"

Ketika Ha To-ji melihat wajah prajurit yang dicengkeramnya itu, iapun terkejut, ternyata prajurit itu matanya berkaca-kaca. Jadi prajurit itu tadi berkelahi sambil menangis!

"Kau menangis, he?" suara Ha To-ji agak melunak.

"Bangsat-bangsat pemberontak itu membunuh adikku, Ciangkun, di lorong itu, meskipun adikku sudah tergeletak luka tetapi bangsat-bangsat itu tetap saja membacok dadanya dengan kampak!' sahut prajurit itu sambil tetap menangis. "Mereka orang-orang biadab! Tak patut diberi ampun..."

"Diam! Prajuritkah adikmu itu?!" tanya Ha To-ji.

Dan dijawab dengan anggukan kepala. "Ya, ia baru diterima tahun lalu dan ditempatkan satu regu denganku," sahut prajurit itu dengan air mata bercucuran.

"Kalau dia prajurit, dia harus siap mati di peperanan demi tugasnya. Kalau menyesal jadi prajurit dan takut mati di peperangan, jadi saja muncikari atau tukang membungakan uang yang kerjanya enak dan cepat kaya! Seorang prajurit bukan saja siap mati demi negara, tapi juga harus mengendalikan diri dalam semua keadaan, bahkan dalam perang yang paling buas sekalipun! Kau tahu kesalahanmu?" bentak Ha To-ji tajam.

"Ya... tahu, Ciangkun!"

"Apa?"

"Membunuh seorang lawan yang sudah meletakkan senjata dan menyerah."

"Kalau kau tahu, kenapa tadi kau lakukan juga?"

"A... aku mata gelap, Caingkun. Aku lupa segala-galanya..."

"Orang itukah yang mengampak dada adikmu?" tanya Ha To-ji sambil menunjuk mayat laskar pemberontak yang masih bersandar tembok dengan tombak di perutnya itu.

"Aku tidak tahu. Peperangan begitu ribut, dan aku tidak jelas melihat wajah orang yang mengampak adikku."

“Nama dan regumu?"

"Ui Beng. Pasukan ke tujuh dan regu ke tujuh belas."

"Bagus, Ui Beng, nanti kau akan mempertanggung-jawabkan kelakuanmu yang melanggar aturan peperangan itu. Sekarang, cegah kawan-kawanmu yang kesurupan setan semuanya itu."

"Baik, Ciangkun."

Meskipun perlahan-lahan, tapi Ha To-ji berhasil juga menenangkan pasukannya yang dengan kalap membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu. Ketika semuanya berhasil ditenangkan, termasuk Tong Lam-hou, maka laskar pemberontak yang terjebak di desa itu sudah terlanjur tinggal sebagian kecil saja. Yang sebagian kecil itu dikumpulkan di sebuah halaman rumah yang cukup luas, dan wajah mereka nampak pucat ketakutan dengan kaki yang menggigil ketakutan.

Tak tersisa lagi sikap garang mereka tadi ketika mereka berhasil menjebol pertahanan Hui-liong-kun dan berteriak-teriak "bunuh Manchu" dengan pedang terhunus. Kini mereka seperti tikus-tikus tak berdaya yang berada di tengah kucing kelaparan yang menatap mereka dengan air liur menetes-netes.

Sebagai manusia biasa, sebenarnya Ha To-ji sendiri merasa geram melihat tampang orang-orang yang tertawan itu. Merekalah yang tadi berpesta-pora dengan nyawa penduduk desa yang mereka masuki rumahnya, dan juga membunuh-bunuhi prajurit-prajuritnya tanpa ampun. Namun Ha To-ji tidak dapat menuruti perasaan dendamnya semata-mata, dia harus memberikan contoh bagi anak buahnya.

Tapi Ha To-ji tidak dapat menahan mulutnya untuk melepaskan sebagian dari kepepatan hatinya, "Kalian sudah merasakan sendiri ketakutan akan kematian bukan? Tapi apakah kalian tidak pernah berpikir, ketika kalian menghancurkan sebuah desa, bahwa orang-orang desa itupun ketakutan seperti kalian saat ini? Pernahkah ketakutan dan ratap tangis mereka kalian pedulikan? Ku rasa tidak pernah. Karena kalian adalah bandit-bandit bertampang anjing tetapi bernyali tikus! Kalian pengecut-pengecut besar, yang menutup-nutupi kekerdilan kalian sendiri dengan perbuatan-perbuatan kejam di luar batas, seolah-olah dengan berbuat demikian kalian menjadi pahlawan."

Masih banyak lagi caci-maki Ha To-ji kepada mereka sebelum mereka semuanya diikat di halaman itu juga, dan dijaga. Sebelum pergi, Ha To-ji masih ingin menyiksa perasaan mereka yang tertawan itu, "Kalau kalian sanggup berpesta-pora di atas penderitaan orang orang yang tak dapat melawan mereka, kenapa kami tidak boleh? Siapa tahu nanti malam kami membutuhkan hiburan, dan kalian akan kami ambil satu persatu untuk kami bakar hidup-hidup, atau dikuliti perlahan-lahan, atau seribu satu macam permaianan mengasyikkan lainnya."

Meskipun para prajurit Hui-liong-kun sadar bahwa mereka tidak mungkin melakukan siksaan keji seperti yang disebutkan Ha To-ji itu, namun mereka puas juga ketika melihat wajah para tawanan itu semakin pucat, bahkan ada beberapa orang tawanan yang pandangan matanya sudah kosong hampa, seolah raganya sudah ditinggalkan oleh sukmanya.

Sementara prajurit-prajurit Hui-liong-kun di desa itu sibuk memisah-misahkan mayat-mayat teman-teman mereka sendiri maupun mayat-mayat lawan, maka pasukan Pakkiong Liong serta Kwe Sin-liong berturut-turut memasuki desa itu. Ternyata setelah mereka mematahkan perlawanan musuh, mereka tidak langsung mengejarnya sebab mereka lebih menganggap penting untuk menilik keadaan Ha To-ji dan pasukannya lebih dulu.

Gemeretaklah gigi Pakkiong Liong ketika melihat keadaan pasukan Ha To-ji yang agak parah itu. Namun ia dapat menyetujui tindakan Ha Toji yang mencegah anak buahnya untuk membunuhi lawan-lawan yang sudah menyerah itu.

"Kami hampir terlambat," kata Pakkiong Liong di hadapan Ha To-ji, Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Han Yong-kim yang tampangnya dekil-dekil karena darah dan debu itu. "Mana Na Hong dan Le Tong-bun?"

Waktu itu di sekitar mereka sedang hilir mudik para prajurit yang menggotong tubuh terluka atau yang sudah jadi mayat, bahkan prajurit yang baru datangpun segera diperintahkan untuk membantu agar cepat selesai dan desa itu dapat segera dibenahi sebagai pangkalan yang nyaman untuk ditempati, meskipun hanya untuk sementara, dan bukannya desa dimana ada mayat malang-melintang di semua lorong dan sudutnya.

Dua orang prajurit datang membawa usungan dan di atas usungan itulah tubuh Le Tong-bun terbaring. Hanya tubuhnya saja, nyawanya tidak. Kemudian di bagian lain ditemukan pula tubuh Na Hong yang juga sudah tidak bernyawa. Pakkiong Liong menundukkan kepalanya ketika mendengar kabar kematian kedua perwiranya itu. Sesaat ia nampak menahan gelora hatinya, lalu kemudian ia mengangkat mukanya dan katanya dengan tegas tetapi dingin,

"Malam ini seluruh pasukan akan beristirahat kecuali yang bertugas menguburkan mayat-mayat. Gunakan tenaga para tawanan untuk mengubur mayat. Besok pagi kita akan keluar dari sini dan menggempur pertahanan terakhir dari Cu Leng-ong. Menang atau kalah kita tentukan secepatnya."

"Bagus!" sahut Tong Lam-hou dengan tangan terkepal, sementara matanya masih saja menyalakan kemarahan. "Besok kita gempur mereka!"

"Pakkiong Ciangkun, apakah aku perlu mengambil pasukan yang masih ada dalam kota Tay-tong untuk digabungkan sama sekali?" tanya Kwe Sin-liong. Panglima Tay-tong itu nampak bersemangat sekali, hari ini goloknya sudah membinasakan lebih dari tigapuluh orang laskar pemberontak.

"Tidak perlu, Kwe Ciangkun, sebab meskipun pasukan kita sudah berkurang tetapi pihak laskar musuhpun berkurang jauh lebih banyak dari kita," sahut Pakkiong Liong, "Aku dapat memperhitungkan perbandingan kekuatan kita dan musuh. Lagipula kota Tay-tong tidak boleh dibiarkan tanpa prajurit sama sekali bukan?"

Apa yang diucapkan Pakkiong Liong itu ada benarnya. Hui-liong-kun Kehilangan hampir 500 prajurit serta dua orang perwira, Le Tong-bun dan Na hong, tetapi laskar pemberontak kehilangan lebih banyak lagi, bahkan hampir empat kali lipat akibat kesalahan perhitungan mereka.

Sedang pentolan-pentolan dipihak pemberontak yang terjebak di dalam desa, boleh dikata hanya Say-bin-koay-to Cu Yok-tek yang berhasil lolos dari maut. Yang lain-lainnya seperti Kam Koan, Ji Tay-hou seta Ngo-pa-heng-te telah tewas penasaran. Dikatakan penasaran, sebab mereka tewas pada saat didalam hati sudah sangat yakin bahwa pihak mereka akan mencapai kemenangan.

Alangkah marah dan terkejutnya Pangeran Cu Leng-ong ketika sore itu Li Tiang-hong membawa laskarnya yang rusak parah dan patah semangat itu masuk ke desa pertahanannya.

"Apa yang terjadi? apa yang terjadi? He, kalian yang mengaku diri kalian sebagai panglima-panglima yang pandai dan berpengalaman?!" Pangeran Cu Leng-ong berteriak-teriak sambil memukul meja ketika Li Tiang-hong, Kongsun Hui dan lain-lainnya menghadapnya untuk melaporkan jalannya peperangan. "Li Tiang-hong! Kongsun Hui! Cu Yok tek! Kalian ini hanyalah k:antong-kantong nasi yang hanya pandai membual saja.”

Merah padamlah wajah orang-orang yang disebut namanya itu. Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima Kerajaan Beng, seingat mereka Kaisar Cong-ceng sendiri belum pernah bicara sekasar itu terhadap mereka, namun sekarang Pangeran Cu Leng-ong yang hanya dilahirkan oleh seorang selir itu telah berani mengeluarkan kata-kata sekasar itu?

Belum jadi Kaisar sudah berwatak seperti itu, bagaimana kelak kalau benar-benar menjadi seorang Kaisar yang kekuasaannya meliputi negeri yang besar ini? Agaknya Pangeran Cu Leng-ong mewarisi sifat-sifat dari nenek-moyangnya, Cu Goan-ciang yang mendirikan dinasti Beng itu.

"He, kantong-kantong nasi goblok! Apa katamu?!" teriak Pangeran Cu Leng-ong yang kehilangan pengendalian diri itu.

Pangeran Cu Hin-yang yang juga hadir ditempat itu dengan pakaian perangnya yang masih penuh debu dan darah itu, menyela, mencoba menenangkan kakaknya yang lain ibu itu, "Kakanda, coba tenangkan pikiranmu dulu. Dengan mata kepalaku sendiri aku lihat Li Ciang-kun, Kongsun Ciangkun dan lain-lainnya benar-benar telah berjuang mempertaruhkan nyawa. Desa itu berhasil kami rebut dan pintu gerbangnya telah kami pecahkan ke empat-empatnya, namun kami agak salah hitung. Yang ada di desa itu ternyata bukannya seluruh pasukan Pakkiong Liong, tapi hanya separuhnya saja. Dan di saat yang tak terduga, yang separuh lagi menyergap dari selatan, dan pasukan Tay-tong sendiri juga ikut menyerang dari utara."

“Persetan dengan alasan-alasan yang selalu diulang-ulang itu! Dari dulu selalu saja tidak becus!" kata Pangeran Cu Leng-ong dengan kemarahan yang meluap-luap. Tiba-tiba disambarnya sebuah jambangan bunga yang terletak di mejanya, dan dilemparkannya sekuat tenaga ke wajah Pangeran Cu Hin-yang yang hanya berjarak beberapa langkah darinya itu.

Pangeran Cu Hin-yang terkejut dan berusaha menghindar, tapi luncuran jambangan itu begitu cepat sehingga masih sempat membentur pelipisnya sehingga kulitnya robek dan berdarah. Pangeran Cu Hin-yang sendiri terhuyung-huyung sambil berdesis, "Kakanda..."

"Persetan dengan banci-banci yang mengaku sebagai laki-laki seperti kalian ini!" teriak Pangeran Cu Leng-ong lagi "Minggat semua dari depanku! Aku muak melihat tampang kalian!"

Bagaimanapun sabarnya Li Tiang-hong dan lain-lainnya, tapi terbakar juga melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong yang tak terkendali dan juga tidak mempedulikan harga diri orang lain itu. Li Tiang-hong tiba-tiba membuka topi perangnya yang sudah retak karena terpanah Tong Lam-hou tadi, dan ditunjukkannya kepada Pangeran Cu Leng-ong sambil berkata dengan suara meluap luap pula,

"Pangeran yang hamba junjung tinggi, barangkali hamba memang amat tolol, namun, kesetiaanku kepada Kerajaan Beng tidak akan luntur sedikitpun sampai ajalku tiba. Tidak juga meskipun Pangeran telah mencaci-maki aku sepedas ini. Lihat, Pangeran, kepalaku hampir ditembus panah musuh! Ketika pangeran sedang makan enak dikelilingi dayang dayang cantik di gedung ini, maka aku sedang menyantap debu dan panas matahari di medan perang sana, mempertaruhkan nyawa tanpa pamrih kecuali untuk tegaknya kembali kerajaan Beng. Ketika tadi malam Pangeran dibawah selimut yang hangat, aku sedang berpacu bersama adinda Pangeran sendiri, menembus dinginnya malam untuk mengatur rencana penyerangan. Aku tidak tidur semalam suntuk, aku hampir mampus dipeperangan! Tapi agaknya keberadaanku di sini hanya membuat pangeran merasa muak! Baik! aku akan membawa laskarku kembali ke Hun-lam sana untuk meneruskan perjuangan kami yang dulu! Dulu tidak di bawah perintah Pangeran pun aku sanggup berjuang bersama pasukanku, sanggup pula menderita kekurangan sandang-pangan untuk waktu yang tak terbatas, demi tercapainya cita-citaku!"

Lalu Li Tiane-hong membanting topi perangnya di hadapan Pangeran Cu Leng-ong dan membalik tubuh dan melangkah pergi tanpa memberi hormat lagi.

Tindakan itu diikuti oleh Cu Yok-tek yang juga amat tersinggung oleh ucapan-ucapan Pangeran Cu Leng-ong tadi. Dengan suaranya yang kasar dan besar ia berkata singkat namun tegas, "Kau bermimpi untuk menjadi Kaisar Kerajaan Beng! Silahkan terus dengan mimpimu itu! Aku tetap lebih suka sebagai Ketua Koy-to-bun yang menguasai wilayahku sendiri, daripada dijanjikan pangkat muluk-muluk tetapi hanya dijadikan permainanmu saja!"

Wajah pangeran Cu Leng-ong memucat melihat Sikap Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek itu. Ia tahu bahwa kekuatan mereka cukup besar, jika sampai mereka memisahkan diri maka yang tinggal di sini hanya separuh lebih, bagaimana sanggup menghadap gabungan antara Hui-liong-kun dengan pasukan kota Tay-tong? Ia hendak berteriak memanggil kedua orang yang sudah hampir mencapai pintu itu, namun harga dirinya telah mencegahnya.

Apa kata kedua orang itu kalau ia memanggilnya kembali? Tentu dirinya akan dikatakan takut ditinggalkan oleh mereka, tidak sanggup meneruskan perjuangan tanpa mereka berdua dan sebagainya. Akhirnya Pangeran Cu Leng-ong menatap saja langkah-langkah kedua orang itu dengan mata menyesal tapi juga angkuh.

Kongsun Hui yang mencoba mencegah kedua rekannya itu, "Saudara Li dan saudara Cu, harap menahan diri dan mengingat perjuangan kita..."

Cu Yok-tek mengibaskan tangan Kongsun Hui yang memegang pundaknya itu sambil berkata keras, "Perjuangan itu perjuangan kalian sendiri! Jelek-jelek aku juga seorang she Cu, meskipun darah bangsawanku tidak sekental darah bangsawannya, tapi aku tidak sudi diinjak-injak seperti seorang budak seperti tadi!"

Lalu Kongsun Hui beralih kepada Li Tiang-hong, "Saudara Li, harap kau ingat akan..."

Sahut Li Tiang-hong tegas, "Saudara Kongsun, jangan kuatir. Bersama Pangeran atau tidak, aku tetap setia kepada Kerajaan Beng. Hanya jika nyawaku sudah lepaslah maka perjuangan berhenti. Kita akan berjuang di tempat yang berbeda-beda satu sama lain, tapi tujuan kita sama. Membebaskan tanah air."

Agaknya Kongsun Hui sudah tidak dapat mencegah lagi kedua orang itu untuk meninggalkan laskar Cu Leng-ong, bersama bers dengan pengikut mereka masing-masing. Namun sebelum mereka mencapai ambang pintu, tiba-tiba melayanglah sesosok bayangan yang langsung menghadang jalan mereka berdua, kedua orang itu menghentikan langkah mereka dan melihat siapa yang menghadang mereka, ternyata adalah Pangeran Cu Hin-yang.

Cu Yok-tek langsung menghunus goloknya karena mengira kepergiannya akan dirintangi, sedangkan Li Tiang-hong juga mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah yang akan dilakukan Pangeran itu?

Wajah pangeran Cu Hin-yang ternyata tidak garang, bahkan nampak memelas sekali dengan mata yang basah berkaca-kaca. Lalu tanpa menghiraukan tangga gedung yang kotor oleh debu, ia berlutut di hadapan kedua orang itu dan menempelkan keningnya ke tanah berulang kali. Katanya dengan nada lembut, "Li Ciangkun dan Cu Ciangbunjin (Ketua she Cu), aku Cu Hin-yang menyembah kepada kalian untuk memohon agar kalian tidak meninggalkan laskar. Kasihanilah dinasti Beng yang sengsara, tetaplah bergabung dan berjuang bersama kami. Jangan sampai perpecahan yang diakibatkan oleh kemarahan kita membuat perjuangan harapan seluruh rakyat Han ini hancur berkeping-keping. Aku mohon... aku mohon... jika kalian melangkah keluar juga maka kalian akan melangkahi mayatku..."

Dan tahu-tahu di tangan Pangeran Cu Hin-yang telah tergenggam sebilah pisau belati yang ujungnya ditempelkan ke ulu hatinya sendiri, sementara tubuhnya masih dalam sikap berlutut. Andaikata dihalang-halangi dengan mata melotot dan golok terhunus, barangkali Li Tiang-hong akan nekad menerjangnya. Namun dihalangi dengan ratap tangis pangeran Cu Hin-yang yang wataknya sudah dikenal baik olehnya itu, maka runtuhlah kekerasan hati Li Tiang-hong.

Cepat-cepat iapun melangkah maju dan dengan sikap terharu ia menarik Pangeran Cu Hin-yang agar bangun dari berlututnya, sambil membujuk, "Jangan berlutut begitu, Pangeran. Calon Kaisar Kerajaan Beng yang agung tidak boleh berlutut kepada siapapun."

"Penuhilah permintaanku."

"Baik, aku tidak akan membawa pergi laskarku, aku tetap di sini dan mendukung Pangeran Cu Hin-yang sebagai calon Kaisar Beng!" kata Li Tiang-hong tegas.

Demikianlah dengan bujukan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong akhirnya membatalkan untuk memisahkan diri dari laskar itu. Namun oleh dorongan kekecewaannya kepada tabiat Pangeran Cu Leng-ong, maka telah terucap secara tegas, bahkan diucapkan dua kali, bahwa Pangeran Cu Hin-yang-lah yang didukung oleh Li Tiang-hong sebagai Kaisar apabila besok perjuangan mereka menang. Bukan Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran Cu Leng-ong lebih tua.

Pangeran Cu Leng-ong dan juga semua orang yang ada di tempat itupun mendengar jelas-jelas ucapan Li Tiang-hong itu, dan hati merekapun bergolak, paling aman adalah bungkam lebih dulu, mengikuti arah angin saja. Sedangkan Pangeran Cu Hin-yang sendiripun terkesiap, ucapan Li Tiang-hong yang terlalu terang-terangan itu membuatnya merasa tidak enak terhadap kakandanya sendiri, apalagi ketika diliriknya wajah sang kakak menjadi gelap penuh dendam mendengar hal itu. Namun ia cukup lega bahwa ia berhasil mencegah Li Tiang-hong memisahkan diri, soal kakandanya salah paham, bisa dijelaskan kemudian.

Kepada Cu Yok-tek-pun Pangeran Cu Hin-yang menghimbau, "Kakanda Yok-tek, aku harap kakanda memikirkan kembali keputusan kakanda..."

Memangnya di sinilah letak kelemahan Cu Yok-tek. Kepada siapapun ia selalu mengaku-aku sebagai kerabat Istana Kerajaan Beng karena ia juga she Cu, dan ia paling jengkel kalau ada orang yang tidak percaya atau mentertawakan silsilah keluarganya yang sebenarnya ia karang sendiri itu. Maka ketika mendengar seorang Pangeran seperti Cu Hin-yang ini memanggilnya dengan sebutan "kakanda" yang berbau kebangsawanan.

Maka separuh dari kemarahannyapun sudah hilang, hidungnyapun mulai kembang-kempis karena bangga. Ia berharap agar Pangeran Cu Hin-yang mengulangi panggilannya tadi agar semua telinga di ruangan ini mendengarnya... "mohon kakanda Pangeran ingat darah Kerajaan Beng yang mengalir di tubuh kakanda. Relakah kakanda Pangeran melihat negeri kita diinjak-injak bangsa Manchu karena kita kurang bersatu? apakah kakanda Pangeran hanya mementingkan Koay-to-bun saja?"

Sekali ini kena. Bukan hanya "kakanda" bahkan "kakanda Pangeran", sebutan yang sudah lama ia dambakan. Maka Cu Yok-tek pun segera menyahut meskipun masih dengan pura-pura menggerutu jengkel, "Baik, mengingat kita sekeluarga maka aku akan tetap disini bersama laskarku. Tapi nasehati baik-baik kakakmu itu, bukan dia saja yang she Cu! Aku sudah memeras keringat dan kehilangan banyak anakbuahku, di sini masih dimaki-maki juga seperti aku ini orang yang tak berharga sama sekali, huh!"

Pangeran Cu Hin-yang berseri gembira mendengar kesanggupan itu, setelah mengucapkan terima kasih kepada Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek, maka iapun minggir dan tidak menghalangi lagi kedua orang itu meninggalkan ruangan. Setelah kedua orang itu pergi, Pangeran Cu Hin-yang mendekati kakaknya dengan wajah yang berseri, katanya, "Kakanda, akhirnya semuanya berjalan dengan baik dan...."

Namun dengan wajah gelap dan mata yang memancarkan kedengkian, Pangeran Cu Leng-ong berkata sinis, "Baik buatmu sendiri, calon Kaisar."

Pangeran Cu Hin-yang terkejut, "Kakanda, tunggu dulu, jangan salah paham. Dalam keprihatinan perjuangan kita yang masih lama ini, kurang pada tempat nya kalau kita belum-belum sudah memperebutkan tahta..."

Karena Pangeran Cu Leng-ong berjalan ke arah ruang dalam, maka adiknya berbicara sambil mengikutinya dari belakang, namun sikap Pangeran Cu Leng-ong sama sekali tidak mendengarkan apapun yang diucapkan adiknya itu. Bahkan daun pintu dibantingkannya keras-keras sehingga hampir saja membentur hidung adiknya.

Pangeran Cu Hin-yang memandang pintu yang tertutup rapat di depannya itu sambil menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Pintu yang rapat itu seakan melambangkan pula pintu hati kakaknya yang juga rapat dan tertutup dari penjelasan apapun juga. Ia menoleh ketika merasa sebuah telapak tangan menepuk pundaknya dari belakang, ternyata Kongsun Hui.

"Kakanda tidak mau mendengar penjelasan apapun dariku," keluh Pangeran Cu Hin-yang dengan hati yang pedih, "kata-kata Li Ciangkun tentang calon Kaisar tadi agaknya telah melukai hati kakanda dan ia marah kepadaku."

"Tenanglah, pangeran. Nanti lama-kelamaan kemarahannya akan reda juga dan kalian dapat berbicara sebagai sepasang kakak beradik yang selama ini rukun-rukun saja bukan?"

"Mudah-mudahan begitu, Kongsun Ciangkun."

Ketika malam tiba, maka di desa tempat pertahanan terakhir laskar Cu Leng-ong itu telah terjadi sesuatu. Orang-orang dari gerombolan-gerombolan Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-li-ong-pang yang sudah patah semangat karena kehilangan pemimpin-pemimpin mereka, mulai merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lanjut di pihak Pangeran Cu Leng-ong. Dulu mereka memang terpikat janji-janji muluk Pangeran Cu Leng-ong yang menjanjikan kedudukan enak dan kekuasaan besar apabila perjuangan berhasil.

Tapi setelah mereka mengalami sendiri jalannya pertempuran tadi siang, semangat merekapun patah. Bagaimana mungkin sebuah laskar yang berjumlah jauh lebih banyak dari musuh dan tinggal selangkah lagi di ambang kemenangan, tiba-tiba malah berbalik terpukul mundur dalam kekalahan? Kehebatan Pasukan Naga Terbang Kerajaan Man-chu benar-benar telah mengguncangkan jantung mereka.

Dan mereka tidak punya sisa keberanian sedikitpun untuk menerusKan perlawanan. Melawan Hui-liong-kun sama saja dengan membenturkan kepala sendiri ke batu karang, demikian rata-rata mereka berpendapat. Maka merekapun berbisik-bisik satu sama lain, mencoba mengetahui pendapat teman-temannya.

"Apakah masih ada gunanya kita mempertaruhkan nyawa buat Pangeran itu?" Seorang anggota Ngo-pa-hwe yang bertubuh tegap dan berberewok kaku berbisik kepada temannya yang diketahuinya sebagai anggota Tiat-ji-pang. Beberapa orang itu tengah duduk melingkari sebuah api unggun di sebuah kebun kosong yang dijadikan tempat istirahat mereka dalam desa.

Orang Ngo-pa-hwe yang bertanya itu tahu pula bahwa orang-orang Tiat-hi pang yang ditanayi itu tengah sibuk mengunyah daging bakar, namun disempat-kannya juga mulutnya untuk menyahut, "Tidak ada gunanya lagi. Kalian orang-orang Ngo-pa-hwe dan kami orang-orang Tiat-hi-pang bernasib sama saja. Tanpa pemimpin kita, maka suara kita tidak terwakili dalam setiap perundingan, maka kita tidak lebih dari potongan-potongan kayu bakar yang akan dilempar-lemparkan sebagai umpan ke tengah-tengah api peperangan. Lalu golongan-goldngan lain dalam laskar inilan yang akan memetik keuntungan."

Pembicaraan antara orang Ngo-pa-hwe dan orang Tiat-hi-pang itu ternyata menarik perhatian beberapa teman-teman mereka untuk duduk berkerumun dan ikut mendengarkan maupun menanggapi. Ketika Orang Ngo-pa-hwe itu melihat bahwa yang mengerumuniinya itu adalah orang-orang senasib dengan mereka, maka dia berani melanjutkan pembicaraan,

"Kita tidak ingin dijadikan umpan. Kita harus" melarikan diri malam ini juga, kalau menunggu sampai pagi kita akan keburu diserbu oleh tentara kerajaan."

"Lari meninggalkan laskar" itulah yang berbisisk-bisik dari telinga ketelinga dikalangan laskar yang putus asa itu. Dan bukan cuma dibisikkan, tapi dilaksanakan juga. Satu dua orang menyelundup keluar desa, ada yang memanjat dinding. Namun ada pula yang terang-terangan dengan membunuh teman mereka sendiri yang sedang menjaga pintu gerbang, lalu kemudian membuka pintu gerbang dan merekapun kabur dalam kelompok yang berjumlah besar.

Demikianlah berlangsung sampai pagi. Bahkan yang ikut minggat bukan cuma orang-orang Ngo-pa-hwe, Tiat-hi-pang dan Kang-liong-pang yang putus-asa, tapi juga sebagian rang-orangnya Li Tiang-hong dari Hun-lam karena mereka telah bosan menjalani perang selama belasan tahun, dan juga sebagian dari orang-orang Jit-goat-pang yang takut mati.

Keesokan harinya, ketika Pangeran Cu Leng-ong menyuruh memberikan seluruh laskar di sebuah lapangan di pinggir desa, terkejutlah ia ketika melihat laskarnya susut hampir separoh lebih. "Apakah yang lain-lainnya belum bangun tidur?" ia bertanya kepada Kong-sun Hui yang berdiri mendampinginya.

"Bangunkan mereka dan beri peringatan keras kepada mereka!"

"Baik, Pangeran."

Tapi sejenak kemudian Kongsun Hui sudah datang kembali dengan air muka yang aneh. Lapornya, "Mereka bukannya belum bangun, Pangeran, tetapi semalam agaknya mereka telah minggat. Meninggalkan laskar demi keselamatan diri sendiri."

"Apa?! Pangeran Cu Leng-ong melonjak karena kagetnya. Hampir saja kata-kata makian menghambur lagi dari mulutnya. Namun ketika terpandang olehnya wajah Li Tiang-hong dan Cu Yok-tek yang tegang itu, maka Pangeranpun menelan kembali maki-makian yang sudah "siap" disemburkan itu. Ia kuatir Li Tiang-hong akan marah seperti kemarin sore, dan jika sampai ia ikut-ikutan meninggalkan laskar pula, maka laskarnya benar-benar akan berantakan.

Sesaat Pangeran Cu Leng-ong kebingungan harus berbuat apa menghadapi kekacauan dalam laskarnya itu. Tanyanya kepada semua yang hadir, "Kalian punya pendapat?"

Li Tiang Hong segera maju ke depan dan memberi hormat. Katanya, "Hamba punya pendapat, Pangeran. Agaknya kekuatan kita telah menjadi sangat lemah sehingga tidak mungkin membendung pasukan lawan. Kita harus bijaksana, dalam mengukur kekuatan diri sendiri dan kekuatan lawan. Lebih baik kita mundur ke gunung lebih dulu, sambil bertahan dan menyusun kekuatan. Di gunung kita akan sulit untuk diserang."

Pangeran Cu Leng-ong mengerutkan alis, "Aku kira pendapatmu kurang tepat Li Ciangkun. Lari terbirit-birit seperti anjing kena gebuk yang demikian itu hanya akan membuat laskar kita bertambah merosot semangatnya. Dan jika kita balik ke persembunyian kita yang pengab itu, entah kapan lagi kita mendapat kesempatan seperti ini, untuk bangkit menegakkan kepala kita dan mengibarkan bendera perlawanan secara terang-terangan...?"

Li Tiang-hong pun mengundurkan diri. Kupingnya agak merah karena dikatakan "seperti ajing kena gebuk". Andaikata ia tidak terikat janji dengan Pangeran Cu Hin-yang, ia lebih senang memisahkan diri saja dan berjuang sendirian di Hun-lam sana. Di sini ia berjuang bersama dengan seorang yang keras kepala, harga dirinya berlebih-lebihan, namun bodoh dalam hal siasat perang.

Maka Li Tiang-hong merasa lebih baik diam saja. Jika bertengkar malahan akan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh laskar sendiri, sebab Pangeran Cu Leng-ong pun punya pengikut-pengikutnya yang setia, yang siap menjalankan semua perintahnya tidak peduli benar atau salah.

Sebenarnya, yang masih ada dalam perasaan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak lain adalah perasaan sakit hati yang belum hilang sejak perdebatan kemarin sore. Ketika Li Tiang-hong mengatakan bahwa dirinya hanya enak-enak di dalam rumah sementara Li Tiang-hong dan lain-lainnya berada di medan perang, juga ucapan Li Tiang-hong bahwa Pangeran Cu Hin-yanglah "calon Kaisar Kerajaan Beng", bukan dirinya.

Karena itu, setelah berpikir semalaman segera Pangeran Cu Leng-ong merasa bahwa pengaruhnya atas laskar telah disaingi oleh pengaruh adiknya sendiri. Ia memutuskan bahwa ia harus berani bertindak agar pengaruhnya tidak terdesak oleh pengaruh adiknya.

Katanya, "Kalau kita setia kepada Kerajaan Beng, kita akan menunjukkan kepada musuh bahwa kita masih sanggup memberi pukulan mematikan buat mereka. Siapkan seluruh laskar. Aku sendiri akan memimpin prajurit-prajuritku di depan pasukan. Yang bernyali kecil dan tidak bersedia berkorban, silahkan minggir dari barisanku!"

Orang-orang yang ahli dalam peperangan seperti Li Tiang-hong dan Kong-sun Hui diam-diam mengeluh dalam hati. Cara bertempur Pangeran Cu Leng-ong yang hanya didasari kemarahan tak terkendali, "keberanian" atau "kesetiaan" dan kata-kata muluk yang tidak berpijak pada kenyatan itu, jelas bukan cara bertempur yang baik. Hanya akan menghambur-hamburkan nyawa manusia saja.

Tapi menilik sikap Pangeran Cu Leng-ong saat itu, agaknya perintahnya itu sudah tidak dapat ditarik lagi. Pangeran Cu Leng-ong sendiri ingin menjadi pahlawan di medan perang dan semua pengikutnya harus mengiringinya.

"Bagaimana ini?" bisik Kongsun Hui kepada Li Tiang-hong.

"Nanti diam-diam kita atur sendiri barisan kita setelah ada di medan perang," sahut Li Tiang-hong sambil berbisik pula. "Bukan karena kita tidak taat kepada Pangeran, tetapi sekedar bertindak menurut ilmu perang agar tidak hancur sama sekali oleh musuh. Kalau maunya Pangeran sih langsung menyerbu saja, tidak dengan pertimbangan-pertimbangan lain."

Tapi di saat orang-orang itu mempersiapkan diri, tiba-tiba seorang laskar berlari-lari masuk dengan gugupnya menghadap Pangeran Cu Leng-ong. Lapornya, "Ampun, Pangeran, hamba menghadap tanpa dipanggil. Pasukan musuh sudah terlihat di sekeliling desa dan mengepung desa ini dari empat arah!"

Pangeran Cu Leng-ong dan panglima-panglimanya terkejut. Dan belum lenyap rasa kejut mereka, di luar sana sayup-sayup telah terdengar sorak-sorai orang bertempur, agaknya pasukan musuh sudah mulai merangsak ke dinding sekitar desa, dan laskar pemberontak sedang mempertahankannya.

Dalam keadaan seperti itu, nampaklah bahwa Pangeran Cu Leng-ong bukan seorang Panglima Perang yang baik. Tadi ia bicara dengan gagah katanya akan menyerbu pasukan musuh, namun setelah mendengar bahwa musuh sudah menggempur lebih dulu, maka iapun menjadi gemetar dan jatuh terduduk di kursinya yang berukir indah itu. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Untunglah Pangeran Cu Hin-yang lebih tenang dari kakandanya itu, segera dialah yang mengatur pertahanan meskipun harus minta persetujuan kakandanya, "Li Ciangkun, Kongsun Ciangkun dan Kakanda Cu Yok-tek, cepat pimpin pasukan kalian masing-masing untuk mempertahankan tembok kota sebelah barat, utara dan timur. Aku mempertahankan selatan. Bagaimana kakanda, setuju?"

Meskipun dalam beberapa hari terakhir ini Pangeran Cu Leng-ong sangat dengki dan bahkan benci kepada adiknya yang dianggap akan menyaingi kekuasaannya itu, namun dalam kebingungannya maka usul adiknya itu tanpa pikir panjang disetujuinya dengan sebuah anggukan kepala.Tapi ia masih bertanya, "Kalau semuanya menjaga benteng, siapa yang melindungi aku di sini?"

Suaranya itu diucapkan tanpa malu-malu lagi. Andaikata suasana tidak sedang tegang dan tidak kuatir pangeran Cu Hin-yang tersinggung, ingin rasanya Li Tiang-hong tertawa terbahak-bahak melihat sikap Pangeran Cu Leng-ong itu.

Sesunguhnya Pangeran itu bukan seorang yang tidak becus sama sekali. Ilmu pedangnya didikan Hoa-san-pay, dan dalam penyerbuan penjara kerajaan tempo hari bersama para pendekar, dia ikut serta pula. Namun kali ini keberaniannya sudah terlanjur menjadi susut setelah mengalami kekalahan bertubi-tubi bagi laskarnya itu.

Pangeran Cu Hin-yang segera menjawab, "Biarlah Ciu Ciangkun bersama seratus anakbuahnya menjaga kakanda disini."

Yang disebut Ciu Ciangkun adalah seorang perwira Kerajaan Beng bernama Ciu Heng yang bertampang kambing bandot. Ia anggota Jit-goat-pang yang kedudukannya lebih rendah sedikit dari Kongsun Hui, dan ilmu silatnyapun lumayan juga.

Setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangguk, maka barulah para pentolan laskar pemberontak itu bubar untuk mengatur barisannya masing-masing. Sementara sorak-sorai di sekeliling desa makin riuh, menandakan semakin sengitnya pertempuran. Biarpun laskar pemberontak semangatnya tidak setinggi hari-hari kemarin.

Namun karena mereka dalam kedudukan yang lebih baik, yaitu bertahan di atas dinding-dinding yang terbuat dari batu dan tanah liat itu, maka mereka dapat memberikan perlawanan yang cukup baik. Tidak mudah bagi pasukan Hui-liong-kun untuk merebut dinding, meskipun mereka menyerang dari segala penjuru dengan panah dan lembing, bahkan dengan bandil-bandil batu.

Ketika itulah Ha To-ji muncul dari sebelah timur. Di tangannya ia membawa sebuah sebuah bandul besi sebesar semangka yang digantungkan seutas rantai panjang. Bola besi itu dicat warna bergaris-garis hijau dan kuning sehingga mirip sebuah semangka yang segar. Itulah senjata milik ketua Kang-liong-pang, Ji Tay-hou, yang kemarin tewas. Kemarin Ha To-ji melihat bagaimana Ja Tay-hou menggempur pintu gerbang desi hanya dengan dua kali hantam saja.

Maka timbul pikiran Ha To-ji untuk menggempur pintu gerbang pertahanan terakhir Cu Leng-ong itu dengan cara yang sama pula. Ha To-ji yang bertenaga besar dan berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itupun merasa ia sanggup berbuat seperti apa yang diperbuat oleh Ji Tay-hou kemarin. Itu lebih cepat daripada menyuruh para prajurit untuk menggotong sebatang balok besar dan memukulkannya berulang-ulang ke daun pintu....
Selanjutnya;