Pendekar Naga dan Harimau Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 21

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
IMAM itu terkejut. Terhadap Pangeran Leng-ong Cu ia boleh saja acuh tak acuh, tetapi terhadap utusan Te-liong Hiangcu ia tidak bisa bersikap demikian sebab Te-liong Hiangcu akan membunuh siapa saja yang mengabaikan perintahnya. Bahkan mungkin sekali salah seorang dari kedua laskar itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri.

Maka Giok-seng Tojin tanpa banyak bicara segera berjalan di depan mencari sebuah tempat yang sepi, diiringi kedua orang laskar saja. Pemandangan yang sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, sebab bukankah Giok-seng Tojin adalah penasehat Pangeran Cu Leng-ong pribadi dan pantas untuk mendapat pengawalan? Tiba di belakang sebuah rumah besar yang dijadikan gudang makanan, tempat yang sunyi, ketiga orang itupun berhenti.

"Apakah pesan Hiangcu selanjutnya?" tanya Giok-seng Tojin kepada kedua laskar itu. "Dan bagaimana keadaan Hiangcu sendiri? Apakah lukanya sudah sembuh dan ia sudah meninggalkan Pak-khia?"

Jika di tempat ramai tadi kedua laskar ini bersikap seolah-olah sangat hormat kepada Giok-seng Tojin, maka di tempat yang sepi ini keduanya tidak lagi bersikap hormat melainkan bersikap seperti terhadap seorang yang sejajar kedudukannya. Dan sesungguhnya ketiga orang itu memang sejajar kedudukannya, sama-sama anakbuah komplotan Te-liong Hiangcu, majikan Kui-kiong atau Istana Iblis.

Salah seorang laskar yang bertubuh kurus dan bermata garang berkata, "Syukur luka Te-liong Hiangcu sudah sembuh, namun ia belum meninggalkan Pak khia karena masih akan mengadakan beberapa pembicaraan dengan sekutu-barunya, panglima Pasukan Ui-ih-kun Pakkiong An. Hiangcu menyuruh aku menemui-mu."

Giok-seng Tojin mengangguk-angguk, lalu, "Kita sama-sama anak buah Te-liong Hiangcu, tapi belum saling mengenal nama kita masing-masing. Bagaimana kalau kita berkenalan dulu, agar aku pun kelak mudah menghubungi kalian jika ada sesuatu yang penting?"

Kedua orang laskar itu berpandangan sejenak, lalu laskar bertubuh kurus bermata garang itu berkata, "Tidak ada salahnya. Bagaimanapun juga memang kita berada di satu pihak dan satu kepentingan pula, meskipun selama ini belum saling mengenal. Aku bernama Tong King-bun dan dulu berjulukan Sai-ya-jat (Si Hantu Malam), temanku ini bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api). Dan kau sendiri tentu tidak akan memperkenalkan dirimu sebagai Giok-seng Tojin bukan?"

Giok-seng Tojin tertawa pendek, “Kau pasti tidak percaya jika aku mengaku sebagai Giok-seng Tojin. Baiklah. Namaku Han Kiam-to, berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Hantu Gila Bertangan Kejam)."

Kedua laskar yang mengaku bernama Tong King-bun dan Seng Cu-bok itu berbareng mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat sambil berkata, "Sudah lama mendengar julukan anda yang menggetarkan di wilayah Kam-siok, sahabat Han."

Giok-seng Tojin yang ternyata hanya gadungan itupun mengangkat tangan di depan dada untuk membalas penghormatan kedua rekannya itu, sahutnya, "Aku tidak berarti dibandingkan saudara Tong dan saudara Seng yang dulu pernah menjadi Pek-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Putih) dan Lam-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu yang berhasil menandingi kekuasaan Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang."

Begitulah, di antara orang-orang yang berdarah dingin dan sanggup membunuh sesama manusia tanpa berkedip, ternyata juga ada basa-basi dan saling merendahkan diri. Kelirulah kalau orang menyangka mereka akan berbicara dengan kata-kata kasar dan kotor atau saling membentak. Namun dengan demikian orang-orang yang sangat berbahaya dalam masyarakat, sebab watak jahat mereka berselubung oleh sikap sopan mereka, dan merekapun seperti serigala-serigala berbulu domba di tengah kumpulan domba-domba yang sebenarnya.

"Nah, apakah pesan dari Hiangcu?" tanya Giok-seng Tojin.

"Pesannya singkat saja. Jika terjadi pertempuran kelak, karena saat ini pasukan Hui-liong-kun dengan kekuatan limaribu orang sedang bergerak kemari, maka saudara Han bersama kami berdua harus berusaha membunuh seorang perwira Hui-liong-kun yang bernama Tong Lam-hou."

"Baik.Dalam pertempuran yang kisruh, tentu agak sulit juga menemukan seorang yang bernama Tong-Lam hou, tetapi aku sanggup melaksanakannya.”

"Kita akan menemukannya. Kita punya orang-orang sekomplotan yang ada di markas Panglima kota Tay-tong, Kwa Sun-li-ong. Jika pertempuran hendak dimulai, semalam sebelumnya mereka akan berusaha memberitahu kita tentang bagaimana bentuk barisan penyerang yang akan digunakan oleh Pakkiong Liong, dan di mana diletakkannya Tong Lam-hou dalam barisan itu, sehingga kitapun dapat menyesuaikan diri."

"Te-liong Hiangcu bekerja dan mengatur semuanya dengan cukup sempurna, meskipun kadang-kadang orang-orangnya di satu bagian rencananya tidak saling kenal dengan orang-orangnya di bagian lain dari rencananya," kata Han Kiam-to alias Giok-seng Tojin gadungan. "Baik. Aku akan membereskan bocah she Tong itu. Tetapi kenapa harus kita bertiga yang menghadapi Tong Lam-hou? Apakah aku sendiri saja tidak cukup? Apakah perlu merepotkan saudara Tong dan saudara Seng? Bertangan enam dan berkepala tigakah perwira ingusan itu?"

Sahut Tong King-bun, "Saudara Han, aku bukan seorang yang gampang memuji-muji seseorang, namun terhadap orang yang bernama Tong Lam-hou itu kita memang tidak boleh memandang enteng. Saudara Han pernah mendengar nama besar Panglima Hui-liong-kun?"

"Pakkiong Liong yang berjulukkan Pak-liong (Naga dari Utara)?"

"Ya. Nah, perwira bernama Tong Lam-hou ini kepandaian setingkat dengan Pakkiong Liong, bahkan telah timbul pemeo yang mengatakan Pak-liong Lam-hou (Naga di Utara, Harimau di Selatan). Kalau Pakkiong Liong punya ilmu Hwe-liong-sin-kang yang bisa memancarkan udara panas yang sanggup melumerkan logam maka Tong Lam-hou punya ilmu pukulan maha dingin yang entah apa namanya yang dapat membekukan darah lawan dari pukulan beberapa langkah."

Namun kelihatannya Giok-seng Tojin gadungan itu masih belum percaya penjelasan Tong King-bun itu. "Saudara Tong apakah pernah merasakan sendiri kelihaian Tong Lam-bou atau hanya mendengar angin saja?" tanyanya.

"Aku tidak perlu malu-malu untuk mengatakan bahwa aku sendiri pernah mengalami sendiri kelihaian bocah she Tong itu, ketika dia belum menjadi perwira Tentara Kerajaan," sahut Tong King bun tegas, "Aku bersama-sama tiga orang temanku yang semuanya berkepandaian setingkat aku, yaitu masing-masing He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), Tio Hong-bwe yang berjuluk Hek-liong (Si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou ketika terjadi perkelahian di sungai Yang-ce-kiang. Padahal Hehou Im, Tio Hong-bwe dan Song Hian, seperti juga kami berdua, dulunya adalah bekas Tongcu-tongcu Hwe-liong-pang bawahan Te-liong Hiangcu. Nah, saudara Han dapat mengira-ngira sendiri sampai dimana bobot perwira muda itu."

Giok-seng Tojin gadungan itu nampak termangu-mangu mendengar penjelasan itu, meskipun ia belum percaya sepenuhnya, tapi ia tidak dapat menganggapnya seperti angin lalu begitu saja. Ia tahu benar kecermatan Te-liong Hiang cu dalam mengatur kerja anak buahnya, dan perintahnya kali inipun tentu telah dipertimbangkan masak-masak. Te-liong Hiangcu telah memerintahkan agar Tong-Lam-hou dilawan bertiga, tidak peduli yang tiga orang itu terdiri dari bekas tokoh-tckoh golongan hitam yang berilmu tinggi, dengan julukan-julukan yang menggidikkan hati.

"Kalau begitu perintah Hiangcu, kita tak dapat menolaknya. Tapi siapa orangnya yang akan menerima pesan dari dalam kota Tay-tong dan kemudian meneruskannya kepada kita?"

"Seorang rekan kita pula, tapi tidak kita kenal."

Giok-seng Tojin tertawa, "Kita semua seakan-akan bekerja di dalam sebuah ruangan yang besar, namun masing-masing dipisah-pisah oleh sekat-sekat yang membuat kita tidak dapat saling melihat, meskipun kita mengerjakan pekerjaan yang sama."

Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga tertawa, "Memang begitulah. Namun semuanya ini diatur oleh Te-liong Hiangcu demi kerapian dan keamanan rencana kita. Ibaratnya jika ada yang bocor, maka kebocoran itu tidak merembet ke lain bagian dan mudah diatasi. Bahkan tipis harapan orang lain untuk melacak jejak seluruh komplotan kita, meskipun andaikata salah seorang dari kita tertangkap, maka si penangkap tak akan memperoleh jejak apapun untuk melacak komplotan kita." Ketiganyapun berpisah.

Sementara itu, pasukan besar Hui-liong-kun telah memasuki gerbang kota Tay-tong dengan upacara kebesaran. Bendera yang berkibar-kibar, ujung-ujung tombak dan pedang yang berkilat-kilat seolah hendak menikam angkasa, derap kaki kuda dan gemerincing baju tembaga, telah menimbulkan suasana yang menggetarkan. Tay-tong adalah sebuah kota besar yang letaknya berhadapan langsung dengan daerah Pangeran Cu Leng-ong, sehingga kota ini adalah garis depan dari pertempuran yang bakal berkobar.

Kedatangan pasukan Hui-liong-kun sangat membesarkan hati prajurit-prajurit di kota Tay-tong yang tadinya sudah ketar-ketir karena jumlah mereka yang hanya duaribu limaratus, sedang laskar Pangeran Cu Leng-ong kabarnya telah mencapai empat kali lipat dari jumlah prajurit di Tay-tong, dan jumlah pengikut Pangeran dinasti Beng itu ternyata masih saja bertambah dengan orang-orang yang menggabungkan diri.

Untunglah Tay-tong belum jatuh ke tangan pemberontak karena memiliki tembok benteng yang melingkari kota. Namun soal kejatuhan Tay tong, bila tak ada bantuan dari luar, tentu merupakan soal waktu saja. Asal Pangeran Cu Leng-ong memerintahkan laskarnya untuk menutup dan mengurung semua jalan keluar masuk Tay-tong, maka tentara di dalam benteng kota tentu akan kehabisan perbekalan dan kelaparan. Dengan demikian Tay-tong akan jatuh, padahal Tay-tong tidak terlalu jauh letaknya dari Kotaraja Pak-khia.

Maka ketika mendengar datangnya balabantuan dari ibukota berupa lima ribu pasukan Hui-liong-kun, pasukan yang sudah terkenal ketangguhannya di segala medan, apalagi kedatangan pasukan itu dipimpin sendiri oleh si Naga Utara yang termasyhur itu.

Maka Panglima Tay-tong yang tadinya sudah ciut hatinya menghadapi laskar pemberontak yang jauh lebih besar, kini kembali mekar hatinya. Diiringi oleh perwira-perwiranya serta sepasukan kecil pasukan pengawalnya, panglima Tay-tong yang bernama Kwe Sin-liong itu menyambut kedatangan pasukan dan Pak-khia itu di luar pintu gerbang timur kota Tay-tong.

Di bawah kibaran bendera Ngo-jiau-kim-liong-ki yang berbentuk segitiga lebar dengan jumbai-jumbai beraneka warna itu, Pakkiong Liong berkuda paling depan, didampingi oleh Sian-hong Ciangkun (Panglima perintis barisan) Ha To-ji dan wakilnya Tong Lam-hou.

Tetap duduk di atas kudanya, Kwe Sin-liong segera mengangkat kedua tangannya di atas dada untuk menghormat. katanya, "Kedatangan Pakkiong Ciangkun ibarat malaikat, penolong pada saat kami sudah hampir mampus dicekik pemberontak keparat itu. Selamat datang di Tay-tong, Pakkiong Ciangkun!"

Pakkiong-liong pun membalas penghormatan Kwe Sin-liong itu dengan sikap yang sama dan menjawab, "Kwe Ciangkun terlalu merendah. Siapa yang tidak kenal permainan golok Tay-hong-to-hoat, (Ilmu Golok Angin Badai) kepunyaan Kwe Ciangkun yang terkenal itu? Jika para pemberontak itu hendak merebut Tay-tong, tentunya mereka harus menyerahkan korban yang sangat besar di pihak mereka.”

Begitulah kedua Panglima itu saling memuji, kemudian berkuda bersampingan memasuk kota Tay-tong. Di pinggir jalan, banyak penduduk yang mengelu-elukan kedatangan pasukan itu. Tadinya penduduk kota Tay-tong sudah gemetar ketika mereka mendengar dari mulut para pengungsi yang menceritakan bagaimana ganasnya laskar pemberontak itu dalam memperlakukan rakyat yang tak berdaya.

Banyak penduduk kota Tay-tong sudah siap untuk mengungsi ke tempat yang Jauh dari garis peperangany namun kini mereka lega ketika melihat lima ribu prajurit Hui-liong-kun itu dengan langkah tegap berderap memasuki kota. Tapi di antara penduduk yang berjubel-jubel di tepi jalan sambil bersorak sorai itu ada pula mata-mata yang bekerja di pihak Pangeran Cu Leng-ong. Mata-mata ini segera keluar kota untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada Pangeran Cu Leng-ong.

"Bagus!" kata Pangeran Cu Leng-ong ketika mendengar kedatangan Pasukan Hui-liong-kun yang dilaporkan oleh mata matanya itu. "Tanganku sudah gatal ingin menjajal sampai di mana kehebatan pasukan yang dikatakan sebagai pasukan terbaik di negeri ini. Jika mereka bisa dihancurkan, maka seluruh orang Manchu akan menggigil kakinya dan rontok semangatnya!"

Pangeran Cu Hin-yang yang berada di ruangan itu pula, lalu memperingatkan kakandanya, "Bukannya kita takut, kakanda, tetapi menghadapi mereka kita harus penuh perhitungan cermat, tidak bisa asal main serbu saja. Ketika dalam perjalanan menuju ke Hun-lam, aku sudah beberapa kali merasakan kelihaian mereka."

Tapi Pangeran Cu Leng-ong menjawab, "Adikku, jika kita berniat merubuhkan Kerajaan Manchu dan membangun kembali dinasti kita, maka cepat atau lambat kita akan berhadapan juga dengan mereka. Dan kapan kau akan berhenti membesar-besarkan kekuatan pihak musuh dan mengecilkan arti laskar kita sendiri?"

Baru saja Pangeran Cu Hin-yang hendak membantah, seorang pengawal telah masuk dan berlutut sambil melapor, "Pangeran, seorang mata-mata lagi hendak menghadap Pangeran."

Belum lagi mata-mata yarg keluar dari ruangan itu, telah datang mata-mata yang kedua, maka Pangeran Cu Leng-ong segera memerintahkannya untuk masuk. Mata-mata itu berlutut dan melapor, "Pangeran, hamba melihat bahwa hari ini juga pasukan Hui-liong-kun sudah berkemah di luar pintu kota sebelan barat. Hanya beberapa li dari kubu pertahanan kita yang paling depan."

Pangeran Cu Leng-ong tercengang mendengar laporan mata-matanya yang kedua, sesaat ia menunjukkan sikap tidak percaya akan laporan itu. Namun kemudian ia sadar bahwa mata-matanya tidak akan berani berbohong terhadapnya, maka ia menggeram, "Seolah Pakkiong Liong menantang kita dengan sikapnya itu. Ia tidak mau berlindung di balik tembok kota Tay-tong, melainkan berkemah tepat di depan pertahanan kita. Baik, akan kita jawab tantangannya secepat mungkin."

Lalu kepada prajurit yang menjaga pintu, ia memerintah, "Panggil semua Panglimaku ke sini...!"

Maka dari desa tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang sudah menjadi perbentengan dan "ibukota" itupun berpencaranlah penunggang-penunggang kuda ke desa-desa sekitarnya yang juga merupakan kubu-kubu laskar yang sama. Yang disebut "Panglima-panglimaku" oleh Pangeran Cu Leng-ong itu tentu saja bukan lain adalah orang-orang kuat dari Jit-goat-pang maupun dari kelompok-kelompok yang menggabungkan diri dengan Jit-goat-pang.

Mereka memang tinggal berpencaran di desa-desa yang satu sama lain merupakan mata rantai pertahanan yang luas. Itulah sebabnya untuk memanggil "Panglima-panglima"nya maka Pangeran mengirimkan laskar berkuda, sebab desa yang terjauh yang dikuasai oleh Pangeran Cu Hin-yang ada yang jaraknya 10 li lebih.

Namun tidak lama kemudian, di gedung Pangeran Cu Leng-ong berkumpullah para pentolan-pentolan dari laskar itu. Mereka adalah Cu Yok-tek yang mentang-mentang she Cu lalu mengaku masih ada hubungan keluarga dengan dinasti Beng, lalu lima saudara seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe yang sama-sama melapisi pakaian mereka dengan selembar kulit macan tutul sebagai tanda, pengenal mereka yang dibanggakan.

Kam Koan si pemimpin Tiat-hi-pang yang menggendong siang kek (sepasang tombak pendek) bersilang di punggungnya. Ji Tay-hou si pemimpin Kang-liong-pang yang sering malang-melintang di sungai Hong-ho, yang membawa rantai berbandul besinya yang dilibatkan di pinggangnya.

Tentu saja yang tidak ketinggalan adalah Kongsun Hui dan Li Tiang-hong yang memang adalah Panglima-panglima sungguhan dijaman Kerajaan Beng dulu. Menyadari suasana perang yang gawat, kedua orang bekas Panglima itu telah mengenakan kembali pakaian kebanggaan mereka sebagai panglima jaman dulu, lengkap dengan topi besinya dan baju tembaganya.

Setelah semuanya berkumpul, pangeran Cu Leng-ong berkata, "Saudara-saudara seperjuangan, setelah sekian lama kita tidak bertempur karena prajurit-prajurit" musuh di kota Tay-tong bersembunyi saja di balik benteng, seperti kura-kura menyembunyikan kepalanya, sambil menggantungkan papan bian-cian-pai (permohonan kepada musuh untuk menunda perang) di pintu gerbang mereka, maka sekarang sudah datang lawan kita yang sebenarnya. Lima ribu prajurit dari pasukan Hui-liong-kun..."

Mendengar itu, mau tidak mau tergetar juga hati para "Panglima" laskar pemberontak itu. Nama besar Pasukan Naga Terbang dengan perwira-perwiranya yang gagah perkasa adalah mirip dengan dongeng tentang dewa-dewa saja. Mereka memang berpikir bahwa suatu saat mereka akan berhadapan juga dengan pasukan terkenal yang merupakan salah satu penyangga berdirinya pemerintahan Manchu itu, namun sungguh tak diduga akan secepat ini, sehingga mau tak mau timbul juga rasa ragu-ragu dalam hati mereka.

Melihat beberapa sikap ragu-ragu di antara Panglima-panglimanya, maka Pangeran Cu Leng-ong secara cerdik menggunakan kata-kata yang memanaskan hati dan sekaligus membangkitkan pula ketamakan mereka, "Saudara-saudara, Pakkiong Liong itu apa? Bukankah dia dan prajurit-prajuritnya juga terdiri dari darah dan daging seperti kita? Apa dikiranya dia dan pasukannya itu adalah pasukan dewa-dewa dari langit yang berkendaraan naga dan bersenjata petir ditangannya? Saudara-saudara, jangan gentar. Dia telah berani mendirikan perkemahan di depan hidung dan berarti dia ingin melihat apakah Say-Bin-koay-to Cu Yok-tek, Ngo-pa-heng te, Kam Koan dan Ji Tay-hou itu akan mengkeret seperti kura-kura atau mengamuk seperti banteng luka sesuai dengan nama besar mereka? Kita kocar-kacirkan Pakkiong Liong dan kemudian kita rebut kota Tay-tong, dan akhirnya Pak-khia, lalu dinasti Beng akan kembali kita bangun dan saudara-saudara adalah menteri-menterinya, Panglima-panglimanya, gubernur-gubernurnya. Hayo, kita jawab tantangan Pakkiong Liong si Manchu gila itu!"

Ucapan Pangeran Cu Leng-ong yang berapi-api itu berhasil juga membakar hati "Panglima-panglimanya yang rata-rata memang berotot seperti kerbau tapi juga berotak kerbau itu. Diingatkan akan, kedudukan tinggi yang bakal mereka nikmati kelak, kekayaan dan kehormatan yang berlimpah serta kenikmatan hidup yang tak terbatas, maka semangat merekapun berkobar kembali. Toh Pasukan musuh hanya berjumlah separuh dari pasukan mereka, dua lawan satu apa lagi yang ditakutkan?

"Ya, kita serang!" tiba-tiba "Pangeran" Cu Yok-tek menyahut sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya.

Seruan itu disambut yang lain-lainnya dengan seruan-seruan bersemangat pula. Hanya Pangeran Cu Hin-yang yang berdiri di samping Pangeran Cu Leng-ong itu diam-diam mengeluh dalam hati ia tahu bahwa sekedar semangat yang berkobar-kobar tidak akan dapat mengalahkan musuh, namun ia tidak dapat membantah keputusan kakandanya dalam pertemuan seperti itu, sebab hal itu akan membuat kakandanya kehilangan muka. Maka ia diam saja dan hanya berharap mudah-mudahan laskarnya mendapat keberuntungan.

Sorakan-sorakan para "Panglima" itupun reda setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangkat tangannya. Lalu Pangeran itu menggelar sehelai peta dari kulit diatas mejanya, dan memanggil pengikutnya untuk mendekat dan melihat ke peta, ia menunjuk ke satu titik sambi berkata, "Pakkiong Liong berkemah di sini…"

Lalu jari-jarinya menari-nari diatas peta sambii membagi-bagi tugas untuk pengikut-pengikutnya, "Dua ribu laskar dipimpin oleh Li Ciangkun (maksudnya Li Tiang-hong) akan keluar dari desa ini, memancing pertempuran kemudian mundur ke dekat dinding desa. Saudara Toa-pa (Si Macan Tertua) Ong Goan-to serta Ji-pa (Macan Kedua) Bun Siang-kok dari Ngo-pa-hwe bersiap disini dengan seribu prajurit, saudara-saudara Sam-pa Kong Hok-bun, Si-pa, Kim Hwe-jing dan Ngo-pa Mo Kian-keng mengadakan barisan pendem (bay-hok) di sini dengan seribu laskar pula. Begitu Li Ciangkun tiba di tempat ini sambil memancing musuh, maka saudara Bun dan saudara Kong dengan pasukan masing-masing harus segera menjepit dari kanan kiri. Saduara Kongsun Hui dengan dua ribu pasukan menggempur dari barat dibantu oleh saudara Kam Koan Saudara Cu Yok-tek dengan jumlah pasukan yang sama dari utara dengan dibantu saudara Ji Tay-hong. Nah, pasukan musuh akan hancur di tengah-tengah, tinggal sisa pasukannya yang ada di perkemahan. Aku dengan dua ribu serdadu pula akan keluar dari desa ini dan menghancur-le-burkan sisa-sisa pasukan di perkemahan. Giok-seng Tojin akan mendampingi aku."

Semua kepala mengangguk-angguk setuju karena menganggap siasat itu cukup bagus. Andaikata saja orang-orang seperti Cu Yok-tek dan lain-lainnya itu punya sedikit otak saja, mereka akan tahu bahwa sebenarnya mereka hanya dikorbankan oleh Pangeran Cu Leng ong yang licin itu.

Semuanya mendapat tugas untuk gempur sana gempur sini, tugas-tugas yang berbahaya, lalu setelah musuh hancur dan tinggal sisa-sisa-nya yang tidak berbahaya, barulah Pangeran tampil ke medan untuk "menghancur-leburkan" musuh di perkemahannya. Suatu tugas yang kelihatannya berat dan berbahaya, namun sebetulnya yang paling ringan. Hanya karena kepandaian Pangeran Cu Leng-ong dalam mengucapankannyalah maka ia bisa memberi kesan yang sebaliknya.

Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima-panglima Kerajaan Beng sebenarnya bukanlah orang-orang tolol. Namun karena kefanatikan mereka yang membabi-butalah membuat mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang tolol. Bagi mereka, setiap patah kata-kata Pangeran Cu Leng-ong adalah-sabda Kaisar Cong-peng sendiri.

"Nah, saudara-saudara, malam ini juga kalian harus membuat persiapan-persiapan sesuai dengan tugas dan arah serangan masing-masing," kata Pangeran. "Besok pada saat ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya, semua serentak bergerak tanpa menunggu aba-aba lagi. Paham?"

"Paham!" jawab orang-orang itu serempak dengan semangat tinggi. Mereka merasa siasat itu cukup sempurna dan rasanya kemenangan akan dapat mereka raih dengan mudah.

"Kalian kembali ke pasukan masing-masing dan jangan lupakan pesanku," demikian Pangeran Cu Leng-ong membubarkan pertemuan itu. Masing-masing segera kembali ke kubunya masing-masing di desa-desa yang terpencar-pencar itu.

Kepada adiknya yang masih berada di ruangan itu, Pangeran berkata, "Adikku, besok kau berada bersama-sama dengan aku di pasukan induk."

"Baik, kakanda," sahut Pangeran Cu Hin-yeng singkat dan datar saja. Pangeran Cu Hin-yang tidak menentang perjuangan kakandanya, bahkan siap mempertaruhkan nyawa untuk mendukungnya, tetapi dalam beberapa hari ini rasa-rasanya hubungannya dengan kakaknya itu semakin renggang dan dingin.

Perbedaan yang tajam antara, jalan pikiran masing-masing telah menggali jurang antara kakak beradik yang sama-sama putera mendiang Kaisar Cong-ceng dari ibu yang berbeda itu. Jurang pemisah itu bukannya semakin sempit, tapi dari hari ke hari rasanya semakin melebar saja.

Sementara itu, di pesanggrahan Pakkiong Liong yang didirikan di luar kota Tay-tong, berhadapan langsung dengan kubu musuh yang terdepan, Pakkiong Liong mengistirahatkan pasukannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaan. Sikapnya untuk berkemah di luar benteng kota, tidak di dalam, merupakan sikap yang oleh beberapa Panglima berpikiran kolot yang terlalu berpegang pada teori-teori ilmu perang kuno, dianggap sebagai sikap yang "ugal-ugalan".

Namun sikap itulah yang justru paling cocok buat Pakkiong Liong dan ternyata didukung oleh semua perwira-perwiranya yang rata-rata masih muda-muda pula, rata-rata dibawah umur tigapuluh tahun, sehingga mereka yang gemar menyerempet-nyerempet bahaya itu "satu selera" dengan Pakkiong Liong.

"Jika musuh mengira kita akan bersembunyi dalam benteng, maka mereka salah hitung, kita justru berada tepat di depan hidung mereka, hanya dalam jarak beberapa puluh lontaran panah," kata Ha To-ji si orang Mongol yang berdarah panas itu. "Paling tidak siasat kita ini bisa membuat sebagian laskar musuh terkejut dan ciut nyalinya."

"Tapi jangan lupakan penjagaan," pesan Pakkiong Liong.

"Tentu."

Sebenarnyalah Pakkiong Liong bukan seorang tolol yang hanya mengandalkan keberanian tanpa memperhitungkan hal-hal lain. Jika Pangeran Cu Leng-ong menganggap Pakkiong Liong tolol dan dirinya sendiri pintar, maka Pangeran itu sebenarnya sudah berjalan selangkah menuju kekalahan. Jika Pangeran Cu Leng-ong punya mata-mata di kota Tay-tong yang senantiasa mengawasi gerak-gerik Pakiong Liong.

Maka sebaliknya Pakkiong Liong juga sudah menyusupkan banyak mata-mata di dalam desa-desa yang dikuasai Pangeran Cu Leng-ong. Pada saat Pangeran Cu Leng-ong menerima banyak orang untuk bergabung dalam laskarnya, pada saat itulah mata-mata Pakkiong Liong menyusup masuk dengan menyamar sebagai orang-orang yang akan ikut berjuang di pihak Pangeran. Bahkan mata-mata yang disusupkan oleh Pakkiong Liong lebih baik kerjanya daripada mata-matanya Pangeran Cu Leng-ong.

Mata-mata Pangeran Cu Leng-ong hanya bermodal keberanian dan ketangkasan jasmani, namun mereka tidak mampu memperhitungkan kekuatan dan kedudukan lawan secara cermat, yang mereka lihat "hanyalah" atau "kedengarannya" saja. Sedangkan mata-mata Pakkiong Liong memang prajurit-prajurit rahasia yang dididik berat untuk pekerjaan semacam itu. Jika mereka melaporkan hasil pengintaiannya, maka latihan-latihan berat mereka membuat mereka sanggup melaporkan secara amat terperinci, bahkan mereka juga mampu mengurai dan menyimpulkan suatu keadaan yang mereka lihat.

Sebelum tengah malam seorang yang berpakaian dekil mendekati pagar pesanggrahan Pasukan Hui-liong-kun dan sengaja menemui prajurit yang berjaga di situ. Ketika prajurit-prajurit itu membentak sambil menodongkan tombaknya, maka orang berpakain dekil mirip dengan pengemis itu itu mengeluarkan sebentuk lencana dari balik bajunya, menandakan bahwa ia adalah anggota pasukan rahasia, salah satu bagian dari Hui-liong-kun juga.

Setelah para prajurit meyakini Keaslian lencana besi itu, maka dua orang prajurit segera mengantarkan orang itu ke kemah Pakkiong Liong, karena mata-mata itu minta menemui Pakkiong Liong malam itu juga. Kebetulan di kemah Pakkiong Liong sedang berkumpul para perwira dalam keadaan lengkap.

Nampak Ha To-ji, Han Yong-kim, Le Tong-bun, Tokko Seng, Tong Lam-hou, Ko Lung-to, Na Hong, Tamtai Hok, Hu Lan-to dan Wanyen Hui serta tidak ketinggalan pula perwira bagian perbekalan Bok Teng-san. Semuanya nampak berwajah sungguh-sungguh ketika mendengar penjelasan-penjelasan Pakkiong Liong.

Mata-mata yang datang menghdap itu segera menjura dan melapor, "Perwira pasukan rahasia Lim Tong-eng menghadap Panglima!"

"Kau bekerja berat, saudara Lim," kata PakKiong Liong sambil mempersilahkan duduk perwira rahasianya itu. "Kau menghadapku malam-malam, tentunya ada hal penting yang hendak kau laporkan."

"Benar, Panglima, aku berhasil menyusup kedalam laskar pemberontak dan ditempatkan di desa yang berhadapan langsung dengan pesanggrahan Ciangkun ini, di bawah pimpinan Li Tiang-hong. Sore tadi, semua pentolan pemberontak dikumpulkan oleh Cu Leng-ong di desa induk, lalu terlihat persiapan-persiapan kedua dan ketiga juga telah mengirimkan laskar mereka untuk ke desa garis depan. Aku menduga akan ada serangan mendadak dari segala arah. Aku berhasil mengorek keterangan dari seorang yang kedudukannya agak penting dari laskar musuh, dan kudapat keterangan mereka akan menyergap esok pagi pada saat ayam jantan berkokok untuk terakhir kali."

"Bagus, saudara Lim, keteranganmu sangat lengkap. Terima kasih. Kau boleh beristirahat."

"Tidak, Ciangkun, aku akan kembali ke desa musuh untuk mengikuti perkembangan di sana."

"Apakah tidak terlalu berbahaya bagi keselamatanmu, saudara Lim?"

"Tidak, Ciangkun. Demi tegaknya Kerajaan agung kita, nyawa seorang Lim Tong-eng tidak ada artinya. Aku mohon pamit, Ciangkun dan saudara-saudara."

"Baik, saudara Lim. Hati-hatilah menjaga diri."

Setelah memberi hormat, prajurit rahasia yang berpangkat perwira itupun kembali menyusup ke desa terdepan yang menjadi kubu laskar pemberontak. Sebelum pergi kembali, tak lupa Lim Tong-peng menjawab bahwa di desa itu sekarang ada kira-kira tujuhratus lima-puluh orang laskar Li Tiang-hong, namun sebelum fajar nanti jumlah laskar di desa itu akan meningkat menjadi dua ribu orang yang memadati desa garis depan itu, karena laskar yang ada di garis belakang dipindahkan ke depan. Pakkiong Liong mencatat keterangan Lim Tong-eng itu baik-baik di dalam hatinya.

Setelah perwira pasukan rahasia itu pergi, Pakkiong Liong bertanya kepada perwira-perwiranya, "Nah, bagaimana pendapat saudara-saudara?"

"Aku punya sebuah pendapat, Ciang-kun," kata Tong Lam-hou yang bersikap resmi kepada Pakakiong Liong.

"Katakan."

"Mereka hendak menyerang kita nanti fajar, kita justru sergap mereka lebih dulu tengah malam nanti. Rebut desa tempat kedudukan Li Tiang-hong sebelum fajar, sehingga selain rencana mereka berantakan, maka kejutan perasaan pada jiwa merekapun akan mempengaruhi jalannya pertempuran-pertempuran selanjutnya," kata Tong Lam-hou.

Pakkiong Liong tahu bahwa Tong Lam-hou memiliki sikap sangat membenci Li Tiang-hong, karena peristiwa pembantaian desa Jit-siong-tin di tanah kelahiran Tong Lam-hou di Hun-lam sana, menurut Tong Lam-hou adalah tanggung-jawab Li Tiang-hong. Hong Lotoa yang melakukan pembantaian itu adalah anak-buah Li Tiang-hong yang ingin di cekik mampus oleh Tong Lam-hou. Jadi sebenarnya usul Tong Lam-hou itu mengandung juga unsur dendam pribadi Tong Lam-hou kepada para pembunuh teman-temannya di Jit-siong-tin. Namun Pakkiong Liong mempertimbangkan usul itu, sebab dianggap cukup cemerlang.

"Bagaimana pendapat saudara-saudara lainnya?" Pakkiong Liong melemparkan masalahnya kepada perwira-perwiranya.

Hu Lan-to, seorang perwira Kerajaan Manchu yang berasal satu suku dengan Ha To-ji, suku Mongol, segera menjawab, "Usul saudara Tong cukup bagus. Pasukan kita sudah beristirahat setengah hari lebih. Buat pasukan lain, istirahat sesingkat itu belum cukup, tapi bagi pasukan kita sudah lebih dari cukup untuk memulihkan tenaga, Aku mendukung usul saudara Tong."

"Cukup masuk akal, ini akan sangat diluar perhitungan Cu Leng-ong dan mematahkan semangat laskarnya," sambung Na Hong yang berdarah Manchu asli dan amat mahir memainkan joan-pian cambuk yang terbuat dari anyaman serat baja itu.

Semua perwirapun menyetujuinya. Ucapan Hu Lan-to tadi memang benar. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun adalah prajurit-prajurit yang telah mendapat tempaan berat bertahun-tahun, sehingga daya tahan dan daya gempur merekapun sangat luar biasa. Apalagi mereka sudah mendapat kesempatan istirahat setengah hari, bahkan andaikata mereka berjalan sehari semalam dan langsung bertempurpun mereka akan melakukannya sama segarnya dengan pasukan-pasukan lain.

Dalam latihan-latihan di Pak-khia, sering Pakkiong Liong menyuruh pasukannya untuk berjalan tanpa berhenti sehari semalam, mengelilingi Kotaraja Pakkia sambil berlari-lari, dan begitu tiba di markas sudah disambut dengan mata acara latihan lain yang tidak kalah beratnya yang kadang-kadang berlangsung sehari suntuk.

Maka PakkiongLiong pun tertawa melihat semangat perwira-perwiranya itu. Katanya, "Bagus! Saudara Ha To-ji didampingi Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Na Hong akan merebut desa kedudukan Li Tiang-hong itu, malam ini juga. Bawa seribu limaratus orang."

"Siap, Ciangkun!" sahut Ha To-ji dengan tegas sambil menerima leng-ci dengan kedua tangannya. Ketiga perwiranyapun menyatakan sanggup membantu Ha To-ji.

"Serangan harus amat mendadak supaya korban di pihak kita jatuh sesedikit mungkin. Caranya terserah kalian. Setelah berhasil beri tanda dengan tiga panah berapi."

"Baik."

Tanpa banyak keributan, seribu limaratus orang Hui-liong-kun yang akan ikut Ha To-ji itu segera bersiap-siap menjelang tengah malam. Semua prajurit nampak bergairah.

"Bagaimana kita bisa mendekati desa tanpa diketahui oleh mereka?" tanya Ha To-ji kepada ketiga perwira rekannya yang akan mendampinginya.

Sahut Na Hong, '’Tidak ada jalan lain kecuali merangkak. Daun-daun ilalang yang lebat akan melindungi semua gerakan kita."

"Merangkak sejauh empat li?"

"Tentu saja tidak. Kita akan menyusur tepi hutan itu sampai ke ujung hutan, dari ujung hutan jaraknya dengan tembok desa itu tidak jauh lagi. Nah, dari ujung hutan itulah kita mulai merangkak."

Semuanya mengangguk. Dari ujung hutan ke desa kedudukannya Li Tiang hong itu ada enampuluh tombak jaraknya, berwujud dataran rumput ilalang berselang-seling dengan pohon-pohon perdu. Bagi prajurit Hui-liong-kun, merangkak sejauh itu bukan hal yang berat, sedangkan dalam latihan mereka merangkak lebih jauh lagi, di medan yang tidak rata pula.

"Dan demi keamanan, kita akan melingkari punggung bukit itu. Tong Lam-hou dan Hu Lan-to berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang bakal kita lalui, siapa tahu ada pengawas-pengawas musuh yang melihat gerakan kita dan mereka harus dibungkam."

"Baik," sahut Tong Lam-hou dan Hu Lan-to berbarengan.

Maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun itupun bergerak meninggalkan perkemahan ditengah malam buta, dengan pakaian mereka yang serba hitam dan gerak gerik mereka yang tanpa suara itu, mereka nampak seperti sebarisan hantu-hantu yang berbondong-bondong naik dari neraka. Sebagai prajurit-prajurit yang terlatih, mereka benar-benar dapat bergerak cepat namun tanpa keributan. Gemeresak kaki mereka yang menginjak rerumputanpun tidak akan membuat curiga lawan, sebab malam itu angin memang bertiup keras dan rembulanpun tertutup awan.

Ternyata Pangeran Cu Leng-ong memang telah membuat suatu kelengahan. Dalam perhitungannya, pasukan Pakkiong Liong tentu akan beristirahat sehari suntuk baru pulih kekuatannya, dianggapnya sama saja dengan pasukan Ui-ih-kun yang pernah diobrak-abrik oleh Pangeran Cu Leng-ong ketika menyerbu Penjara di Ibukota beberapa saat yang lalu.

Pengawas-pengawas memang ditempatkan oleh pihak pemberontak, namun hanya di sepanjang jalur jalan yang menghubungkan kubu terdepan pemberontak dengan pesanggrahan Pakkiong Liong. Karena itu para pengawas dari pihak pemberontak itu sama sekali tidak melihat ketika sebagian pasukan Hui-liong-kun menerobos lewat belakang perkemahan, kemudian berbaris tanpa suara melingkari punggung bukit dan menuju langsung ke kedudukan Li Tiang-hong.

Tong Lam-hou dan Hu Lan-to yang ditugaskan merintis jalan untuk membungkam pengawas-pengawas musuh, ternyata tidak menjumpai seorangpun, sehingga mereka tidak perlu membasahi pisau mereka dengan darah musuh.

"Heran, kenapa tidak ada pengawas seorangpun?" Hu Lan-to menyatakan keheranannya kepada teman seperjalanannya.

"Banyak sekali pengawasnya," sahut Tong Lam-hou. "Tetapi di sepanjang dataran yang memisahkan pesanggrahan kita dengan kubu musuh, sebab musuh hanya mengira di situlah kita akan lewat. Tidak melingkar dan menyergap dari lambung seperti ini."

Tanpa banyak kesulitan, mereka melewati bukit itu dan tiba di ujung hutan, sementara kubu musuh di kejauhan nampak tenang-tenang saja. Bahkan sayup sayup terdengar gelak tertawa mereka.

"Mulai dari sini, kita akan merayap," kata Ha To-ji kepada pasukannya. "Hati-hatilah, jangan sampai gerak ilalang yang terlalu keras membuat musuh curiga, sebab setolol-tololnya musuh namun tentu mereka menempatkan pengawas pengawas di atas dinding-dinding desa yang mereka buat dari tanah dan batu itu. Nah, mulai bergerak. Melebar."

Prajurit-prajurit itu benar-benar mirip serigala-serigala di padang liar yang merunduk hendak menerkam korban mereka, sementara korban mereka belum sadar sedikitpun. Dalam perhitungan laskar Pangeran Cu Leng-ong, pasukan Hui-liong-kun tentu masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Pak-kia, dan paling cepat besok pagi baru bisa mulai penyerangan, namun laskar pemberontak berkeyakinan bahwa besok pagi pihak merekalah yang akan menyerang lebih dulu dan membuat musuh porak-poranda, seperti rencana yang sudah digariskan Pangeran.

Yang menduduki kubu terdepan dari daerah pengaruh Pangeran Cu Leng-ong itu adalah terdiri dari campuran antara pengikut-pengikut Li Tiang-hong yang dibawa dari Hun-lam, dengan orang-orang gerombolan Ngo-pa-hwe. Anak buah Li Tiang-hong adalah bekas-bekas prajurit Beng yang serba sedikit masih kenal tata tertib, tapi orang-orang Ngo-pa-hwe memang orang-orang kasar yang tak kenal tata tertib.

Mereka minum-minum melingkari api unggun, bergurau melebihi batas dengan kata-kata kasar dan kotor, dan menari-nari seperti orang gila. Sebenarnyalah mereka gentar karena membayangkan besok pagi mereka akan menghadapi Pasukan Naga Terbang yang terkenal keampuhannya itu, maka mereka mencoba melupakan rasa takutnya dengan berbuat aneh-aneh.

"Orang-orang Manchu itu, malam ini tentu sedang tidur mendengkur", kata seorang thau-bak (hulubalang) Ngo-pa-hwe yang duduk dipinggir api unggun dengan tangan memegang cawan arak. "Dan besok selagi mereka bangun dan masih mengucek-ucek mata mereka, kita sudah datang dan menikamkan pedang kita ke dada mereka. Ha-ha-ha..."

"Apakah tidak mungkin mereka menyerang mendahului kita?"

"Tidak mungkin! Mereka masih kelelahan. Hanya manusia-manusia dari besi saja yang tidak lelah setelah berjalan ratusan li dari Pak-khia".

Satu hal yang tidak diketahui oleh thau-bak Ngo-pa-hwe itu adalah bahwa manusia-manusia besi seperti itu benar-benar ada, dan bahkan sudah berada di depan hidung mereka tanpa mereka ketahui. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun itulah manusia-manusia besi itu!

Maka alangkah terkejutnya seisi desa yang menjadi kubu itu, ketika laskar-laskar yang berjaga-jaga di dinding desa tiba-tiba berteriak keras dan kemudian roboh dengan dada berlubang. Susul menyusul mereka berjatuhan hampir tanpa perlawanan. Prajurit-prajurit Manchu bagaikan hantu-hantu yang bermunculan dari kegelapan malam, telah menyerbu tak kenal ampun dengan dipelopori 4 (empat) perwira mereka. Ha To-Ji, Tong Lam-hou, Na Hong dan Hu Lan-to.

Dinding dari batu dan tanah yang tingginya hanya satu setengah kali orang-orang, biasa itu dengan mudah diloncati oleh perwiranya Pakkiong Liong itu. Sedangkan bagi para prajurit, dengan berdiri diatas pundak sering dilakukan dalam latihan-latihan di barak mereka di Pak-khia. Di balik dinding desa itu ada banyak anak panah, lembing, bandil, pelanting-pelanting dari bambu yang dapat melontarkan batu-batu, dan senjata-senjata jarak jauh lainnya. Namun benda-benda itu jadi tak berguna setelah musuh tiba di depan hidung mereka dengan pedang-pedang terhunus.

Keadaan seluruh desa jadi panik. Anak buah Li Tiang-hong yang agak terlatih segera mengambil senjata-senjata mereka dan mengadakan perlawanan dimanapun mereka menjumpai musuh. Tapi orang-orang Ngo-pa-hwe menjadi kebingungan dan panik, dan dalam kepanikan itu mereka adalah makanan empuk untuk prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang seolah-olah muncul di segala penjuru itu. Meskipun mereka memegang senjata, tapi mereka hanya berlari-larian tanpa arah di seluruh pelosok desa, bingung tidak tahu serangan musuh dari arah mana.

Pertempuran segera berkobar di tengah malam itu, namun pertempuran yang tidak seimbang. Pihak laskar pemberontak benar-benar tidak menduga kalau ada serangan malam itu, sehingga meskipun mereka yang ada di desa itu berjumlah kira-kira duaribu orang, lebih banyak dari jumlah pasukan Hui-liong-kun yang menyerbu yang cuma seribu limaratus orang.

Namun pasukan Hui-liong-kun justru menguasai keadaan dengan baiknya. Mereka bekerja dalam regu-regu kecil yang rapi, menutup semua jalan-jalan dan lorong desa dan menggiring laskar pemberontak ke tengah desa. Dalam gebrakan pertama saja sudah beratus-ratus orang laskar pemberontak yang tak berdaya. Mati atau luka-luka parah sehingga tidak dapat melanjutkan perlawanan.

Anak buah Li Tiang-hong yang masih hidup terus melawan dengan gigihnya, namun mereka bukanlah tandingan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang jauh lebih terlatih itu. Andaikata kedua pasukan itu berhadapan dalam keadaan sama-sama siap, pasukan Li Tiang-hong tetap kalah dari Hui-liong-kun, apalagi sekarang mereka dalam kedaan kebingungan, mengantuk, panik dan sebagainya, dan lawan menerkam bagaikan serigala-serigala kelaparan.

Malahan banyak laskar Li Tiang-hong yang bertempur dengan pakaian tidak lengkap. Hanya mengenakan pakaian celana dalam saja, atau berpakaian lengkap dengan baju perang dan topi besi tapi hanya bagian atas badannya saja, sedang bawahnya tidak mengenakan apa-apa sehingga ia dengan tangan kanan memegang pedang dan dengan tangan kiri memegang selangkangannya untuk melindungi benda kesayangannya.

Di pihak Hui-liong-kun, Tong Lam-hou mengamuk bagaikan kesurupan. Ketika dilihatnya bendera-bendera Jit-goat-ki Kerajaan Beng berkibar-kibar di segala sudut desa, serta seragam dari laskar Li Tiang-hong, maka kemarahan Tong Lam-hou terungkat kembali. Ia ingat desa Jit-siong-tin yang dibumi hanguskan dan seluruh pendduduknya dibantai tanpa sisa. Kini mata Tong Lam-hou merah seperti api neraka, sementara pedangnyapun telah menjadi merah pula. Ia berkelahi untuk membalaskan dendam orang-orang Jit-siong-tin.

Di mana Tong Lam-hou tiba, di situ pula laskar Li Tiang-hong menyibak dan menyingkiri Tong Lam-hou dengan ngeri. Dulu tanpa kenal kasihan mereka membunuh di Jit-siong-tin, bahkan anak-anak dan perempuan yang menjerit minta ampunan mereka babat sambil tertawa terbahak-bahak, tapi sekarang mereka merasa sendiri betapa ngerinya menghadapi kematian itu.

Li Tiang-hong yang sudah dibangunkan dari tidurnya itupun tergesa-gesa memimpin perlawanan. Namun sebagai seorang bekas Panglima yang berpengalaman ia dapat segera menilai bahwa keadaan sudah sulit diperbaiki lagi. Laskarnya kalah semangat, kalah kedudukan, kalah terlatih, dan jika pertempuran dilanjutkan maka dua ribu laskarnya akan tertumpas habis di desa itu, termasuk dirinya sendiri.

Karena itu Li Tiang-hong segera memerintahkan untuk membuka pintu gerbang desa sebelah barat, dan dari pintu itulah Li Tiang-hong menarik sisa-sisa pasukannya yang tinggal separuh lebih itu, dan kemudian dengan tergesa-gesa mereka menuju ke desa di garis kedua dari pertahanan Pangeran Cu Leng-ong.

Tong Lam-hou yang masih penasaran itu ingin memburu musuh, namun berhasil dicegah oleh Ha To-ji. "Ini perang besar, A-hou, jangan bertindak gegabah supaya tidak mengacaukan seluruh pasukan," kata Ha To-ji. "Toh cepat atau lambat, mereka semua akan kita hancurkan juga."

Tong Lam-hou akhirnya dapat memahami penjelasan itu. Ia sadar bahwa ia tidak seorang diri, namun bagian dari sebuah pasukan yang harus bergerak secara terpadu. Apalagi jika melihat perwira-perwiranya bertindak semanya saja. Kini mereka membenahi desa yang berhasil direbut dalam waktu yang terhitung singkat itu. Yang gugur dan yang luka-luka segera dikumpulkan untuk dihitung.

Ternyata serangan sangat mendadak itu benar-benar membuahkan kemenangan besar untuk Hui-liong-kun, meskipun ada juga beberapa prajurit Hui-liong-kun yang gugur, tapi laskar lawan yang gugur jauh lebih banyak, sampai mayatnya berderet-deret di sepanjang jalan desa. Yang luka-luka segera diobati, tidak peduli laskar musuh, meskipun masih ada juga selapis kebencian antara orang-orang yang baru saja bermusuhan itu, namun kemanusiaan harus dijunjung tinggi biarpun dalam keadaan perang.

Di desa itu masih ada belasan keluarga penduduk yang dulu tidak sempat mengungsi ketika desa itu mendadak diserbu dan diduduki laskar pemberontak. Mereka dengan ketakutan mengunci diri dalam rumah-rumah mereka, dan mereka hampir pingsan ketika mendengar prajurit-prajurit Hui-liong-kun mengetuk pintu rumah mereka.

Namun kemudian orang-orang desa itu mendapat perlakuan yang baik, jauh lebih baik dari ketika desa itu diduduki laskar Li Tiang-hong dan orang-orang Ngo-pi-hwe yang kasar-kasar itu. Penduduk hanya diminta bantuan tenaganya untuk mengurusi yang luka-luka, itupun tidak berarti prajurit-prajurit Hui-liong-kun hanya berpangku tangan saja. Merekapun bekerja keras, malah lebih keras dari penduduk desa itu. Sikap baik itu memang diajarkan oleh Pakkiong Liong.

Di telinga prajurit-prajurit itu masih terngiang pesan Panglima mereka, "Rebutlah simpati rakyat, dan kau akan merebut sebuah negara."

Tengah malam baru lewat sedikit ketika Ha To-ji melepaskan tiga batang panah berapi ke udara, sebagai isyarat kemenangan bagi Pakkiong Liong di pesanggrahannya. Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya yang memang sedang berada di tempat terbuka di depan pesangggrahan, dan memandang ke sebelah barat itu, melihat ketiga anak-panah itu saling susul terlontar ke udara.

"Eh, gila! Pertempurannya begitu singkat!" kata Pakkiong Liong sambil tertawa. "Saudara-saudara, kita akan minum tiga cawan arak untuk kemenangan teman-teman kita!"

Prajurit-prajurit yang juga ikut berdiri berderet-deret di depan pesang-garahan itupun serentak menyambutnya dengan tepuk-tangan meriah. Bahkan ada yang bersuit-suit segala.

Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh Pakkiong Liong, gempuran yang merupakan kejutan pertama itu telah memerosotkan semangat tempur pihak lawan. Jumlah laskar Li Tiang-hong yang gugur tidak seberapa jika dibandingkan seluruh laskar pemberontak yang berjumlah selaksa lebih itu, namun apa gunanya jumlah banyak kalau semangat sudah jatuh?

Ketika malam buta laskar Li Tiang-hong yang sudah rusak itu memasuki desa pertahanan kedua yang letaknya empat li dari desa yang direbut Hui-liong-kun, maka kedatangan mereka itu disambut dengan pertanyaan dan keheranan oleh rekan-rekan mereka di desa kedua itu. Saudara seperguruan tertua dari Ngo-pa-hwe, Ong Goan-to yang juga sering disebut sebagai Tiat-pi-hou (Harimau Berlengan Besi) itu menyambut kedatangan li Tiang-hong dan menanyakan apa yang terjadi.

"Pakkiong Liong memang orang berotak miring!" geram Li Tiang-hong menjawab pertanyaan itu. "Siapa sangka malam-malam seperti ini ia akan menyerang kubu-kubu pertahananku?!"

Ong Goan-to dan keempat adik seperguruannya terkejut. "Jadi... jadi kubu Li Ciangkun sudah... sudah direbut musuh?"

"Ya!" sahut Li Tiang-hong. "Kita tidak berhadapan dengan sepasukan tentara yang gerak-geriknya bisa diperhitungkan menurut ilmu perang, melainkan berhadapan dengan orang-orang gila kesurupan setan yang menjungkir-balikkan teori-teori kuno dalam buku!"

Ngo-pa-heng-te itu memang jago dalam berkelahi, namun tentang segala teori perang mereka buta sama sekali. Maka mereka diam saja dan membiarkan Li Tiang-hong terus-menerus menggerutu menumpahkan kekesalannya.

"Desa ini juga harus selalu siap siaga!" kata Li Tiang-hong. "Siapa tahu malam ini mendadak Pakkiong Liong kambuh lagi sakit syarafnya dan menyuruh orang-orangnya menyerbu kemari! Aku sendiri akan pergi melapor kepada Pangeran, apakah rencana kita akan dilanjutkan atau tidak."

Kelima bersaudara-seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka segera mempersiapkan diri malam itu juga untuk berjaga-jaga apabila Tentara Kerajaan menyerang lagi. Sementara Li Tiang-hong dengan diiringi sepuluh pengawal segera berkuda keluar dari desa itu, menembus malam dingin yang menggigit tulang untuk menuju ke desa lain lagi yang merupakan tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Menjelang dini hari adalah saat paling nyaman untuk tidur, apalagi Pangeran Cu Leng-ong yang tidur ditemani dua orang wanita cantik yang tubuhnya hanya tertutup selimut tebal, dua wanita yang baru saja menguras habis kekuatan Sang Pangeran. Karena itu Mata Pangeran Cu Leng-ong terasa amat berat untuk dibuka ketika telinganya mendengar suara ketukan bertubi-tubi di pintu kamarnya.

Pangeran menggeliatkan tubuhnya dan dengan mata setengah terpejam setengah terbuka, ia bersuara, "Siapa diluar?"

Dari luar terdengar jawaban, "Hamba, pangeran, pengawal!"

Kata Pangeran Cu Leng-ong mendongkol, "Apakah kau gila? Membangunkan aku selarut ini?"

"Ampuni hamba, pangeran. Tapi Li Ciangkun mohon menghadap dengan tergesa-gesa, katanya ada sesuatu yang harus dilaporkan dan tak bisa ditunda sampai nanti pagi.”

Pangeran Cu Leng-ong mengeluarkan suara sangat enggan, namun dipaksanya dirinya untuk bangkit juga dari pembaringan, lalu dipakainya pakaiannya yang berceceran di bawah tempat tidurnya itu. Tak lama kemudian ia sudah membuka pintu dan dilihatnya pengawal yang mengetuk pintu tadi berdiri menundukkan kepalanya dengan sikap ketakutan.

"Di mana Li Ciangkun?" tanya Pangeran.

"Di ruang depan," sahut pengawal itu. Kepalanya tetap tertunduk, namun matanya melirik ke celah-celah pintu dan ia menelan ludahnya ketika melihat dua wanita cantik yang bergelimpangan di ranjang Pangeran. Meskipun tubuh mereka tertutup selimut, namun selimut itu tersingkap di beberapa bagian dan membuat jantung sang pengawal hampir berhenti berdenyut saking tegangnya. Pengawal itu tergagap kaget ketika Pangeran Cu Leng-ong agak keras menutup pintu sambil membentak,

"Kau minta dicungkil kedua matamu?"

"Am... ampun Pangeran, ham... hamba hanya.. eh, hanya..." sahut pengawal itu tergagap-gagap.

Tapi kemudian Pangeran menepuk pundak pengawal itu sambil tertawa, kata, "Jika kau berjuang sungguh-sungguh bersama aku, kelak kau bisa menjadi sun-bu (gubernur) atau paling tidak Bupati. Nah, dengan kedudukanmu itu maka selusin perempuan secantik apapun bisa kau peroleh dengan mudah,"

Wajah pengawal itu berseri-seri, "Terimakasih, pangeran. Hamba akan berjuang sunguh-sungguh mendukung Pangeran sampai ke singgasana naga."

"Nah, kembali ke tempat tugasmu."

"Baik, Pangeran." Langkah laskar rendahan itupun menjadi bersemangat. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa apabila lehernya terpenggal oleh pedang orang Manchu maka sepuluh lusin perempuan cantikpun akan tidak ada gunanya lagi.

Pangeran Cu Leng-ong memang tidak pernah berbicara kepada anak buahnya tentang "jika kita kalah", yang diperdengarkan selalu saja "jika menang", supaya orang-orang itu mau mengadu nyawa baginya.

Li Tiang-hong hampir tidak sabar menunggu di ruang depan karena pangeran belum juga keluar. Namun ia pun lega ketika melihat Pangeran melangkah keluar juga, meskipun dengan mata yang masih kelihatan mengantuk. Maka tanpa peduli Pangeran tidak senang, Li Tiang-hong segera melaporkan apa yang terjadi di desa kedudukannya.

Benar juga, laporan itu membuat mata Pangeran yang sayu karena mengantuk itu menjadi terbelalak lebar karena kaget dan marah. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Pangeran berteriak marah. "Apakah Ciangkun telah lengah?!"

"Memang diluar perhitungan, Pangeran," sahut Li Tiang-hong. "Andaikata Panglima lain yang ditempatkan di situ, keadaannya akan sama. Memang di luar dugaan bahwa pasukan musuh yang baru datang siang tadi dan masih kelelahan itu tiba-tiba malamnya sudah bergerak."

Alangkah jengkelnya Pangeran Cu Leng-ong, sudah dia terganggu tidurnya berita yang datangpun ternyata bukan berita baik. Jika yang dihadapannya bukan Li Tiang-hong, maka jambangan bunga di mejanya itu pasti sudah dilemparkannya ke kepala orang itu. Hamun terhadap Li Tiang-hong ia tidak dapat berbuat begitu tidak sopan selama tenaga bekas panglima itu masih dibutuhkannya.

Selain bekas Panglima Beng itu sangat setia kepada Kaisar yang lama, bahkan di Hun-lam ia sudah membuktikan kesetiaannya kepada Kerajaan Beng dalam pahit getirnya melawan pasukan Manchu yang lebih kuat selama bertahun-tahun, maka Li Tiang-hong juga mempunyai dua ribu orang prajurit yang cukup terlatih. Jika ia disakiti hatinya dan kemudian menarik dari persekutuan itu, kekuatan Pangeran Cu Leng-ong akan berkurang.

Karena itulah Pangeran menyabarkan diri. Katanya, "Baik, Li Ciangkun, agaknya hemang sepenuhnya bukan kesalahanmu. Sekarang bagaimana baiknya?"

"Menurut hamba, semangat tempur dari pasukan kita yang agak merosot karena peristiwa ini, harus dibangkitkan kembali. Caranya adalah dengan merebut kembali kubu terdepan kita itu dengan seluruh kekuatan, jika berhasil maka rasa kepercayaan diri seluruh laskar akan pulih kembali, dan ini besar artinya."

"Jadi ada perubahan rencana?"

"Hanya berubah sedikit, Pangeran. Tapi saudara Kongsun Hui di sayap kanan dan saudara Cu Yok-tek di sayap kiri perlu mendapat pemberitahuan di kubu mereka masing-masing."

Pangeran Cu Leng-ong menguap dengan malasnya, lalu menyahut, "Terserah kepadamu, Li Ciangkun. Aku terlalu lelah dan segala wewenang kuserahkan kepada Li Ciangkun untuk mengaturnya. Li Ciangkun seorang panglima yang berpengalaman, tentu bisa mengatasi hal ini."

Lalu tanpa menunggu Li Tiang-hong menjawab, Pangeran segera melangkah masuk kembali ke biliknya, kembali kepada kedua bidadarinya yang masih tertidur pulas....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 21

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 21

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
IMAM itu terkejut. Terhadap Pangeran Leng-ong Cu ia boleh saja acuh tak acuh, tetapi terhadap utusan Te-liong Hiangcu ia tidak bisa bersikap demikian sebab Te-liong Hiangcu akan membunuh siapa saja yang mengabaikan perintahnya. Bahkan mungkin sekali salah seorang dari kedua laskar itu adalah samaran dari Te-liong Hiangcu sendiri.

Maka Giok-seng Tojin tanpa banyak bicara segera berjalan di depan mencari sebuah tempat yang sepi, diiringi kedua orang laskar saja. Pemandangan yang sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan, sebab bukankah Giok-seng Tojin adalah penasehat Pangeran Cu Leng-ong pribadi dan pantas untuk mendapat pengawalan? Tiba di belakang sebuah rumah besar yang dijadikan gudang makanan, tempat yang sunyi, ketiga orang itupun berhenti.

"Apakah pesan Hiangcu selanjutnya?" tanya Giok-seng Tojin kepada kedua laskar itu. "Dan bagaimana keadaan Hiangcu sendiri? Apakah lukanya sudah sembuh dan ia sudah meninggalkan Pak-khia?"

Jika di tempat ramai tadi kedua laskar ini bersikap seolah-olah sangat hormat kepada Giok-seng Tojin, maka di tempat yang sepi ini keduanya tidak lagi bersikap hormat melainkan bersikap seperti terhadap seorang yang sejajar kedudukannya. Dan sesungguhnya ketiga orang itu memang sejajar kedudukannya, sama-sama anakbuah komplotan Te-liong Hiangcu, majikan Kui-kiong atau Istana Iblis.

Salah seorang laskar yang bertubuh kurus dan bermata garang berkata, "Syukur luka Te-liong Hiangcu sudah sembuh, namun ia belum meninggalkan Pak khia karena masih akan mengadakan beberapa pembicaraan dengan sekutu-barunya, panglima Pasukan Ui-ih-kun Pakkiong An. Hiangcu menyuruh aku menemui-mu."

Giok-seng Tojin mengangguk-angguk, lalu, "Kita sama-sama anak buah Te-liong Hiangcu, tapi belum saling mengenal nama kita masing-masing. Bagaimana kalau kita berkenalan dulu, agar aku pun kelak mudah menghubungi kalian jika ada sesuatu yang penting?"

Kedua orang laskar itu berpandangan sejenak, lalu laskar bertubuh kurus bermata garang itu berkata, "Tidak ada salahnya. Bagaimanapun juga memang kita berada di satu pihak dan satu kepentingan pula, meskipun selama ini belum saling mengenal. Aku bernama Tong King-bun dan dulu berjulukan Sai-ya-jat (Si Hantu Malam), temanku ini bernama Seng Cu-bok dan berjulukan Hwe-tan (Si Peluru Api). Dan kau sendiri tentu tidak akan memperkenalkan dirimu sebagai Giok-seng Tojin bukan?"

Giok-seng Tojin tertawa pendek, “Kau pasti tidak percaya jika aku mengaku sebagai Giok-seng Tojin. Baiklah. Namaku Han Kiam-to, berjuluk Sat-jiu-hong-kui (Hantu Gila Bertangan Kejam)."

Kedua laskar yang mengaku bernama Tong King-bun dan Seng Cu-bok itu berbareng mengangkat kedua tangannya untuk memberi hormat sambil berkata, "Sudah lama mendengar julukan anda yang menggetarkan di wilayah Kam-siok, sahabat Han."

Giok-seng Tojin yang ternyata hanya gadungan itupun mengangkat tangan di depan dada untuk membalas penghormatan kedua rekannya itu, sahutnya, "Aku tidak berarti dibandingkan saudara Tong dan saudara Seng yang dulu pernah menjadi Pek-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Putih) dan Lam-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Biru) di bawah pimpinan Te-liong Hiang-cu yang berhasil menandingi kekuasaan Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang."

Begitulah, di antara orang-orang yang berdarah dingin dan sanggup membunuh sesama manusia tanpa berkedip, ternyata juga ada basa-basi dan saling merendahkan diri. Kelirulah kalau orang menyangka mereka akan berbicara dengan kata-kata kasar dan kotor atau saling membentak. Namun dengan demikian orang-orang yang sangat berbahaya dalam masyarakat, sebab watak jahat mereka berselubung oleh sikap sopan mereka, dan merekapun seperti serigala-serigala berbulu domba di tengah kumpulan domba-domba yang sebenarnya.

"Nah, apakah pesan dari Hiangcu?" tanya Giok-seng Tojin.

"Pesannya singkat saja. Jika terjadi pertempuran kelak, karena saat ini pasukan Hui-liong-kun dengan kekuatan limaribu orang sedang bergerak kemari, maka saudara Han bersama kami berdua harus berusaha membunuh seorang perwira Hui-liong-kun yang bernama Tong Lam-hou."

"Baik.Dalam pertempuran yang kisruh, tentu agak sulit juga menemukan seorang yang bernama Tong-Lam hou, tetapi aku sanggup melaksanakannya.”

"Kita akan menemukannya. Kita punya orang-orang sekomplotan yang ada di markas Panglima kota Tay-tong, Kwa Sun-li-ong. Jika pertempuran hendak dimulai, semalam sebelumnya mereka akan berusaha memberitahu kita tentang bagaimana bentuk barisan penyerang yang akan digunakan oleh Pakkiong Liong, dan di mana diletakkannya Tong Lam-hou dalam barisan itu, sehingga kitapun dapat menyesuaikan diri."

"Te-liong Hiangcu bekerja dan mengatur semuanya dengan cukup sempurna, meskipun kadang-kadang orang-orangnya di satu bagian rencananya tidak saling kenal dengan orang-orangnya di bagian lain dari rencananya," kata Han Kiam-to alias Giok-seng Tojin gadungan. "Baik. Aku akan membereskan bocah she Tong itu. Tetapi kenapa harus kita bertiga yang menghadapi Tong Lam-hou? Apakah aku sendiri saja tidak cukup? Apakah perlu merepotkan saudara Tong dan saudara Seng? Bertangan enam dan berkepala tigakah perwira ingusan itu?"

Sahut Tong King-bun, "Saudara Han, aku bukan seorang yang gampang memuji-muji seseorang, namun terhadap orang yang bernama Tong Lam-hou itu kita memang tidak boleh memandang enteng. Saudara Han pernah mendengar nama besar Panglima Hui-liong-kun?"

"Pakkiong Liong yang berjulukkan Pak-liong (Naga dari Utara)?"

"Ya. Nah, perwira bernama Tong Lam-hou ini kepandaian setingkat dengan Pakkiong Liong, bahkan telah timbul pemeo yang mengatakan Pak-liong Lam-hou (Naga di Utara, Harimau di Selatan). Kalau Pakkiong Liong punya ilmu Hwe-liong-sin-kang yang bisa memancarkan udara panas yang sanggup melumerkan logam maka Tong Lam-hou punya ilmu pukulan maha dingin yang entah apa namanya yang dapat membekukan darah lawan dari pukulan beberapa langkah."

Namun kelihatannya Giok-seng Tojin gadungan itu masih belum percaya penjelasan Tong King-bun itu. "Saudara Tong apakah pernah merasakan sendiri kelihaian Tong Lam-bou atau hanya mendengar angin saja?" tanyanya.

"Aku tidak perlu malu-malu untuk mengatakan bahwa aku sendiri pernah mengalami sendiri kelihaian bocah she Tong itu, ketika dia belum menjadi perwira Tentara Kerajaan," sahut Tong King bun tegas, "Aku bersama-sama tiga orang temanku yang semuanya berkepandaian setingkat aku, yaitu masing-masing He-hou Im yang berjuluk Sat-sin-kui (Si Setan Ganas), Tio Hong-bwe yang berjuluk Hek-liong (Si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjuluk Tiat-pwe-siang (Gajah Berpunggung Besi), tidak sanggup mengalahkan Tong Lam-hou ketika terjadi perkelahian di sungai Yang-ce-kiang. Padahal Hehou Im, Tio Hong-bwe dan Song Hian, seperti juga kami berdua, dulunya adalah bekas Tongcu-tongcu Hwe-liong-pang bawahan Te-liong Hiangcu. Nah, saudara Han dapat mengira-ngira sendiri sampai dimana bobot perwira muda itu."

Giok-seng Tojin gadungan itu nampak termangu-mangu mendengar penjelasan itu, meskipun ia belum percaya sepenuhnya, tapi ia tidak dapat menganggapnya seperti angin lalu begitu saja. Ia tahu benar kecermatan Te-liong Hiang cu dalam mengatur kerja anak buahnya, dan perintahnya kali inipun tentu telah dipertimbangkan masak-masak. Te-liong Hiangcu telah memerintahkan agar Tong-Lam-hou dilawan bertiga, tidak peduli yang tiga orang itu terdiri dari bekas tokoh-tckoh golongan hitam yang berilmu tinggi, dengan julukan-julukan yang menggidikkan hati.

"Kalau begitu perintah Hiangcu, kita tak dapat menolaknya. Tapi siapa orangnya yang akan menerima pesan dari dalam kota Tay-tong dan kemudian meneruskannya kepada kita?"

"Seorang rekan kita pula, tapi tidak kita kenal."

Giok-seng Tojin tertawa, "Kita semua seakan-akan bekerja di dalam sebuah ruangan yang besar, namun masing-masing dipisah-pisah oleh sekat-sekat yang membuat kita tidak dapat saling melihat, meskipun kita mengerjakan pekerjaan yang sama."

Tong King-bun dan Seng Cu-bok juga tertawa, "Memang begitulah. Namun semuanya ini diatur oleh Te-liong Hiangcu demi kerapian dan keamanan rencana kita. Ibaratnya jika ada yang bocor, maka kebocoran itu tidak merembet ke lain bagian dan mudah diatasi. Bahkan tipis harapan orang lain untuk melacak jejak seluruh komplotan kita, meskipun andaikata salah seorang dari kita tertangkap, maka si penangkap tak akan memperoleh jejak apapun untuk melacak komplotan kita." Ketiganyapun berpisah.

Sementara itu, pasukan besar Hui-liong-kun telah memasuki gerbang kota Tay-tong dengan upacara kebesaran. Bendera yang berkibar-kibar, ujung-ujung tombak dan pedang yang berkilat-kilat seolah hendak menikam angkasa, derap kaki kuda dan gemerincing baju tembaga, telah menimbulkan suasana yang menggetarkan. Tay-tong adalah sebuah kota besar yang letaknya berhadapan langsung dengan daerah Pangeran Cu Leng-ong, sehingga kota ini adalah garis depan dari pertempuran yang bakal berkobar.

Kedatangan pasukan Hui-liong-kun sangat membesarkan hati prajurit-prajurit di kota Tay-tong yang tadinya sudah ketar-ketir karena jumlah mereka yang hanya duaribu limaratus, sedang laskar Pangeran Cu Leng-ong kabarnya telah mencapai empat kali lipat dari jumlah prajurit di Tay-tong, dan jumlah pengikut Pangeran dinasti Beng itu ternyata masih saja bertambah dengan orang-orang yang menggabungkan diri.

Untunglah Tay-tong belum jatuh ke tangan pemberontak karena memiliki tembok benteng yang melingkari kota. Namun soal kejatuhan Tay tong, bila tak ada bantuan dari luar, tentu merupakan soal waktu saja. Asal Pangeran Cu Leng-ong memerintahkan laskarnya untuk menutup dan mengurung semua jalan keluar masuk Tay-tong, maka tentara di dalam benteng kota tentu akan kehabisan perbekalan dan kelaparan. Dengan demikian Tay-tong akan jatuh, padahal Tay-tong tidak terlalu jauh letaknya dari Kotaraja Pak-khia.

Maka ketika mendengar datangnya balabantuan dari ibukota berupa lima ribu pasukan Hui-liong-kun, pasukan yang sudah terkenal ketangguhannya di segala medan, apalagi kedatangan pasukan itu dipimpin sendiri oleh si Naga Utara yang termasyhur itu.

Maka Panglima Tay-tong yang tadinya sudah ciut hatinya menghadapi laskar pemberontak yang jauh lebih besar, kini kembali mekar hatinya. Diiringi oleh perwira-perwiranya serta sepasukan kecil pasukan pengawalnya, panglima Tay-tong yang bernama Kwe Sin-liong itu menyambut kedatangan pasukan dan Pak-khia itu di luar pintu gerbang timur kota Tay-tong.

Di bawah kibaran bendera Ngo-jiau-kim-liong-ki yang berbentuk segitiga lebar dengan jumbai-jumbai beraneka warna itu, Pakkiong Liong berkuda paling depan, didampingi oleh Sian-hong Ciangkun (Panglima perintis barisan) Ha To-ji dan wakilnya Tong Lam-hou.

Tetap duduk di atas kudanya, Kwe Sin-liong segera mengangkat kedua tangannya di atas dada untuk menghormat. katanya, "Kedatangan Pakkiong Ciangkun ibarat malaikat, penolong pada saat kami sudah hampir mampus dicekik pemberontak keparat itu. Selamat datang di Tay-tong, Pakkiong Ciangkun!"

Pakkiong-liong pun membalas penghormatan Kwe Sin-liong itu dengan sikap yang sama dan menjawab, "Kwe Ciangkun terlalu merendah. Siapa yang tidak kenal permainan golok Tay-hong-to-hoat, (Ilmu Golok Angin Badai) kepunyaan Kwe Ciangkun yang terkenal itu? Jika para pemberontak itu hendak merebut Tay-tong, tentunya mereka harus menyerahkan korban yang sangat besar di pihak mereka.”

Begitulah kedua Panglima itu saling memuji, kemudian berkuda bersampingan memasuk kota Tay-tong. Di pinggir jalan, banyak penduduk yang mengelu-elukan kedatangan pasukan itu. Tadinya penduduk kota Tay-tong sudah gemetar ketika mereka mendengar dari mulut para pengungsi yang menceritakan bagaimana ganasnya laskar pemberontak itu dalam memperlakukan rakyat yang tak berdaya.

Banyak penduduk kota Tay-tong sudah siap untuk mengungsi ke tempat yang Jauh dari garis peperangany namun kini mereka lega ketika melihat lima ribu prajurit Hui-liong-kun itu dengan langkah tegap berderap memasuki kota. Tapi di antara penduduk yang berjubel-jubel di tepi jalan sambil bersorak sorai itu ada pula mata-mata yang bekerja di pihak Pangeran Cu Leng-ong. Mata-mata ini segera keluar kota untuk melaporkan apa yang dilihatnya kepada Pangeran Cu Leng-ong.

"Bagus!" kata Pangeran Cu Leng-ong ketika mendengar kedatangan Pasukan Hui-liong-kun yang dilaporkan oleh mata matanya itu. "Tanganku sudah gatal ingin menjajal sampai di mana kehebatan pasukan yang dikatakan sebagai pasukan terbaik di negeri ini. Jika mereka bisa dihancurkan, maka seluruh orang Manchu akan menggigil kakinya dan rontok semangatnya!"

Pangeran Cu Hin-yang yang berada di ruangan itu pula, lalu memperingatkan kakandanya, "Bukannya kita takut, kakanda, tetapi menghadapi mereka kita harus penuh perhitungan cermat, tidak bisa asal main serbu saja. Ketika dalam perjalanan menuju ke Hun-lam, aku sudah beberapa kali merasakan kelihaian mereka."

Tapi Pangeran Cu Leng-ong menjawab, "Adikku, jika kita berniat merubuhkan Kerajaan Manchu dan membangun kembali dinasti kita, maka cepat atau lambat kita akan berhadapan juga dengan mereka. Dan kapan kau akan berhenti membesar-besarkan kekuatan pihak musuh dan mengecilkan arti laskar kita sendiri?"

Baru saja Pangeran Cu Hin-yang hendak membantah, seorang pengawal telah masuk dan berlutut sambil melapor, "Pangeran, seorang mata-mata lagi hendak menghadap Pangeran."

Belum lagi mata-mata yarg keluar dari ruangan itu, telah datang mata-mata yang kedua, maka Pangeran Cu Leng-ong segera memerintahkannya untuk masuk. Mata-mata itu berlutut dan melapor, "Pangeran, hamba melihat bahwa hari ini juga pasukan Hui-liong-kun sudah berkemah di luar pintu kota sebelan barat. Hanya beberapa li dari kubu pertahanan kita yang paling depan."

Pangeran Cu Leng-ong tercengang mendengar laporan mata-matanya yang kedua, sesaat ia menunjukkan sikap tidak percaya akan laporan itu. Namun kemudian ia sadar bahwa mata-matanya tidak akan berani berbohong terhadapnya, maka ia menggeram, "Seolah Pakkiong Liong menantang kita dengan sikapnya itu. Ia tidak mau berlindung di balik tembok kota Tay-tong, melainkan berkemah tepat di depan pertahanan kita. Baik, akan kita jawab tantangannya secepat mungkin."

Lalu kepada prajurit yang menjaga pintu, ia memerintah, "Panggil semua Panglimaku ke sini...!"

Maka dari desa tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang sudah menjadi perbentengan dan "ibukota" itupun berpencaranlah penunggang-penunggang kuda ke desa-desa sekitarnya yang juga merupakan kubu-kubu laskar yang sama. Yang disebut "Panglima-panglimaku" oleh Pangeran Cu Leng-ong itu tentu saja bukan lain adalah orang-orang kuat dari Jit-goat-pang maupun dari kelompok-kelompok yang menggabungkan diri dengan Jit-goat-pang.

Mereka memang tinggal berpencaran di desa-desa yang satu sama lain merupakan mata rantai pertahanan yang luas. Itulah sebabnya untuk memanggil "Panglima-panglima"nya maka Pangeran mengirimkan laskar berkuda, sebab desa yang terjauh yang dikuasai oleh Pangeran Cu Hin-yang ada yang jaraknya 10 li lebih.

Namun tidak lama kemudian, di gedung Pangeran Cu Leng-ong berkumpullah para pentolan-pentolan dari laskar itu. Mereka adalah Cu Yok-tek yang mentang-mentang she Cu lalu mengaku masih ada hubungan keluarga dengan dinasti Beng, lalu lima saudara seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe yang sama-sama melapisi pakaian mereka dengan selembar kulit macan tutul sebagai tanda, pengenal mereka yang dibanggakan.

Kam Koan si pemimpin Tiat-hi-pang yang menggendong siang kek (sepasang tombak pendek) bersilang di punggungnya. Ji Tay-hou si pemimpin Kang-liong-pang yang sering malang-melintang di sungai Hong-ho, yang membawa rantai berbandul besinya yang dilibatkan di pinggangnya.

Tentu saja yang tidak ketinggalan adalah Kongsun Hui dan Li Tiang-hong yang memang adalah Panglima-panglima sungguhan dijaman Kerajaan Beng dulu. Menyadari suasana perang yang gawat, kedua orang bekas Panglima itu telah mengenakan kembali pakaian kebanggaan mereka sebagai panglima jaman dulu, lengkap dengan topi besinya dan baju tembaganya.

Setelah semuanya berkumpul, pangeran Cu Leng-ong berkata, "Saudara-saudara seperjuangan, setelah sekian lama kita tidak bertempur karena prajurit-prajurit" musuh di kota Tay-tong bersembunyi saja di balik benteng, seperti kura-kura menyembunyikan kepalanya, sambil menggantungkan papan bian-cian-pai (permohonan kepada musuh untuk menunda perang) di pintu gerbang mereka, maka sekarang sudah datang lawan kita yang sebenarnya. Lima ribu prajurit dari pasukan Hui-liong-kun..."

Mendengar itu, mau tidak mau tergetar juga hati para "Panglima" laskar pemberontak itu. Nama besar Pasukan Naga Terbang dengan perwira-perwiranya yang gagah perkasa adalah mirip dengan dongeng tentang dewa-dewa saja. Mereka memang berpikir bahwa suatu saat mereka akan berhadapan juga dengan pasukan terkenal yang merupakan salah satu penyangga berdirinya pemerintahan Manchu itu, namun sungguh tak diduga akan secepat ini, sehingga mau tak mau timbul juga rasa ragu-ragu dalam hati mereka.

Melihat beberapa sikap ragu-ragu di antara Panglima-panglimanya, maka Pangeran Cu Leng-ong secara cerdik menggunakan kata-kata yang memanaskan hati dan sekaligus membangkitkan pula ketamakan mereka, "Saudara-saudara, Pakkiong Liong itu apa? Bukankah dia dan prajurit-prajuritnya juga terdiri dari darah dan daging seperti kita? Apa dikiranya dia dan pasukannya itu adalah pasukan dewa-dewa dari langit yang berkendaraan naga dan bersenjata petir ditangannya? Saudara-saudara, jangan gentar. Dia telah berani mendirikan perkemahan di depan hidung dan berarti dia ingin melihat apakah Say-Bin-koay-to Cu Yok-tek, Ngo-pa-heng te, Kam Koan dan Ji Tay-hou itu akan mengkeret seperti kura-kura atau mengamuk seperti banteng luka sesuai dengan nama besar mereka? Kita kocar-kacirkan Pakkiong Liong dan kemudian kita rebut kota Tay-tong, dan akhirnya Pak-khia, lalu dinasti Beng akan kembali kita bangun dan saudara-saudara adalah menteri-menterinya, Panglima-panglimanya, gubernur-gubernurnya. Hayo, kita jawab tantangan Pakkiong Liong si Manchu gila itu!"

Ucapan Pangeran Cu Leng-ong yang berapi-api itu berhasil juga membakar hati "Panglima-panglimanya yang rata-rata memang berotot seperti kerbau tapi juga berotak kerbau itu. Diingatkan akan, kedudukan tinggi yang bakal mereka nikmati kelak, kekayaan dan kehormatan yang berlimpah serta kenikmatan hidup yang tak terbatas, maka semangat merekapun berkobar kembali. Toh Pasukan musuh hanya berjumlah separuh dari pasukan mereka, dua lawan satu apa lagi yang ditakutkan?

"Ya, kita serang!" tiba-tiba "Pangeran" Cu Yok-tek menyahut sambil mengangkat tinggi-tinggi goloknya.

Seruan itu disambut yang lain-lainnya dengan seruan-seruan bersemangat pula. Hanya Pangeran Cu Hin-yang yang berdiri di samping Pangeran Cu Leng-ong itu diam-diam mengeluh dalam hati ia tahu bahwa sekedar semangat yang berkobar-kobar tidak akan dapat mengalahkan musuh, namun ia tidak dapat membantah keputusan kakandanya dalam pertemuan seperti itu, sebab hal itu akan membuat kakandanya kehilangan muka. Maka ia diam saja dan hanya berharap mudah-mudahan laskarnya mendapat keberuntungan.

Sorakan-sorakan para "Panglima" itupun reda setelah Pangeran Cu Leng-ong mengangkat tangannya. Lalu Pangeran itu menggelar sehelai peta dari kulit diatas mejanya, dan memanggil pengikutnya untuk mendekat dan melihat ke peta, ia menunjuk ke satu titik sambi berkata, "Pakkiong Liong berkemah di sini…"

Lalu jari-jarinya menari-nari diatas peta sambii membagi-bagi tugas untuk pengikut-pengikutnya, "Dua ribu laskar dipimpin oleh Li Ciangkun (maksudnya Li Tiang-hong) akan keluar dari desa ini, memancing pertempuran kemudian mundur ke dekat dinding desa. Saudara Toa-pa (Si Macan Tertua) Ong Goan-to serta Ji-pa (Macan Kedua) Bun Siang-kok dari Ngo-pa-hwe bersiap disini dengan seribu prajurit, saudara-saudara Sam-pa Kong Hok-bun, Si-pa, Kim Hwe-jing dan Ngo-pa Mo Kian-keng mengadakan barisan pendem (bay-hok) di sini dengan seribu laskar pula. Begitu Li Ciangkun tiba di tempat ini sambil memancing musuh, maka saudara Bun dan saudara Kong dengan pasukan masing-masing harus segera menjepit dari kanan kiri. Saduara Kongsun Hui dengan dua ribu pasukan menggempur dari barat dibantu oleh saudara Kam Koan Saudara Cu Yok-tek dengan jumlah pasukan yang sama dari utara dengan dibantu saudara Ji Tay-hong. Nah, pasukan musuh akan hancur di tengah-tengah, tinggal sisa pasukannya yang ada di perkemahan. Aku dengan dua ribu serdadu pula akan keluar dari desa ini dan menghancur-le-burkan sisa-sisa pasukan di perkemahan. Giok-seng Tojin akan mendampingi aku."

Semua kepala mengangguk-angguk setuju karena menganggap siasat itu cukup bagus. Andaikata saja orang-orang seperti Cu Yok-tek dan lain-lainnya itu punya sedikit otak saja, mereka akan tahu bahwa sebenarnya mereka hanya dikorbankan oleh Pangeran Cu Leng ong yang licin itu.

Semuanya mendapat tugas untuk gempur sana gempur sini, tugas-tugas yang berbahaya, lalu setelah musuh hancur dan tinggal sisa-sisa-nya yang tidak berbahaya, barulah Pangeran tampil ke medan untuk "menghancur-leburkan" musuh di perkemahannya. Suatu tugas yang kelihatannya berat dan berbahaya, namun sebetulnya yang paling ringan. Hanya karena kepandaian Pangeran Cu Leng-ong dalam mengucapankannyalah maka ia bisa memberi kesan yang sebaliknya.

Li Tiang-hong dan Kongsun Hui sebagai bekas Panglima-panglima Kerajaan Beng sebenarnya bukanlah orang-orang tolol. Namun karena kefanatikan mereka yang membabi-butalah membuat mereka tidak ada bedanya dengan orang-orang tolol. Bagi mereka, setiap patah kata-kata Pangeran Cu Leng-ong adalah-sabda Kaisar Cong-peng sendiri.

"Nah, saudara-saudara, malam ini juga kalian harus membuat persiapan-persiapan sesuai dengan tugas dan arah serangan masing-masing," kata Pangeran. "Besok pada saat ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya, semua serentak bergerak tanpa menunggu aba-aba lagi. Paham?"

"Paham!" jawab orang-orang itu serempak dengan semangat tinggi. Mereka merasa siasat itu cukup sempurna dan rasanya kemenangan akan dapat mereka raih dengan mudah.

"Kalian kembali ke pasukan masing-masing dan jangan lupakan pesanku," demikian Pangeran Cu Leng-ong membubarkan pertemuan itu. Masing-masing segera kembali ke kubunya masing-masing di desa-desa yang terpencar-pencar itu.

Kepada adiknya yang masih berada di ruangan itu, Pangeran berkata, "Adikku, besok kau berada bersama-sama dengan aku di pasukan induk."

"Baik, kakanda," sahut Pangeran Cu Hin-yeng singkat dan datar saja. Pangeran Cu Hin-yang tidak menentang perjuangan kakandanya, bahkan siap mempertaruhkan nyawa untuk mendukungnya, tetapi dalam beberapa hari ini rasa-rasanya hubungannya dengan kakaknya itu semakin renggang dan dingin.

Perbedaan yang tajam antara, jalan pikiran masing-masing telah menggali jurang antara kakak beradik yang sama-sama putera mendiang Kaisar Cong-ceng dari ibu yang berbeda itu. Jurang pemisah itu bukannya semakin sempit, tapi dari hari ke hari rasanya semakin melebar saja.

Sementara itu, di pesanggrahan Pakkiong Liong yang didirikan di luar kota Tay-tong, berhadapan langsung dengan kubu musuh yang terdepan, Pakkiong Liong mengistirahatkan pasukannya tetapi tidak kehilangan kewaspadaan. Sikapnya untuk berkemah di luar benteng kota, tidak di dalam, merupakan sikap yang oleh beberapa Panglima berpikiran kolot yang terlalu berpegang pada teori-teori ilmu perang kuno, dianggap sebagai sikap yang "ugal-ugalan".

Namun sikap itulah yang justru paling cocok buat Pakkiong Liong dan ternyata didukung oleh semua perwira-perwiranya yang rata-rata masih muda-muda pula, rata-rata dibawah umur tigapuluh tahun, sehingga mereka yang gemar menyerempet-nyerempet bahaya itu "satu selera" dengan Pakkiong Liong.

"Jika musuh mengira kita akan bersembunyi dalam benteng, maka mereka salah hitung, kita justru berada tepat di depan hidung mereka, hanya dalam jarak beberapa puluh lontaran panah," kata Ha To-ji si orang Mongol yang berdarah panas itu. "Paling tidak siasat kita ini bisa membuat sebagian laskar musuh terkejut dan ciut nyalinya."

"Tapi jangan lupakan penjagaan," pesan Pakkiong Liong.

"Tentu."

Sebenarnyalah Pakkiong Liong bukan seorang tolol yang hanya mengandalkan keberanian tanpa memperhitungkan hal-hal lain. Jika Pangeran Cu Leng-ong menganggap Pakkiong Liong tolol dan dirinya sendiri pintar, maka Pangeran itu sebenarnya sudah berjalan selangkah menuju kekalahan. Jika Pangeran Cu Leng-ong punya mata-mata di kota Tay-tong yang senantiasa mengawasi gerak-gerik Pakiong Liong.

Maka sebaliknya Pakkiong Liong juga sudah menyusupkan banyak mata-mata di dalam desa-desa yang dikuasai Pangeran Cu Leng-ong. Pada saat Pangeran Cu Leng-ong menerima banyak orang untuk bergabung dalam laskarnya, pada saat itulah mata-mata Pakkiong Liong menyusup masuk dengan menyamar sebagai orang-orang yang akan ikut berjuang di pihak Pangeran. Bahkan mata-mata yang disusupkan oleh Pakkiong Liong lebih baik kerjanya daripada mata-matanya Pangeran Cu Leng-ong.

Mata-mata Pangeran Cu Leng-ong hanya bermodal keberanian dan ketangkasan jasmani, namun mereka tidak mampu memperhitungkan kekuatan dan kedudukan lawan secara cermat, yang mereka lihat "hanyalah" atau "kedengarannya" saja. Sedangkan mata-mata Pakkiong Liong memang prajurit-prajurit rahasia yang dididik berat untuk pekerjaan semacam itu. Jika mereka melaporkan hasil pengintaiannya, maka latihan-latihan berat mereka membuat mereka sanggup melaporkan secara amat terperinci, bahkan mereka juga mampu mengurai dan menyimpulkan suatu keadaan yang mereka lihat.

Sebelum tengah malam seorang yang berpakaian dekil mendekati pagar pesanggrahan Pasukan Hui-liong-kun dan sengaja menemui prajurit yang berjaga di situ. Ketika prajurit-prajurit itu membentak sambil menodongkan tombaknya, maka orang berpakain dekil mirip dengan pengemis itu itu mengeluarkan sebentuk lencana dari balik bajunya, menandakan bahwa ia adalah anggota pasukan rahasia, salah satu bagian dari Hui-liong-kun juga.

Setelah para prajurit meyakini Keaslian lencana besi itu, maka dua orang prajurit segera mengantarkan orang itu ke kemah Pakkiong Liong, karena mata-mata itu minta menemui Pakkiong Liong malam itu juga. Kebetulan di kemah Pakkiong Liong sedang berkumpul para perwira dalam keadaan lengkap.

Nampak Ha To-ji, Han Yong-kim, Le Tong-bun, Tokko Seng, Tong Lam-hou, Ko Lung-to, Na Hong, Tamtai Hok, Hu Lan-to dan Wanyen Hui serta tidak ketinggalan pula perwira bagian perbekalan Bok Teng-san. Semuanya nampak berwajah sungguh-sungguh ketika mendengar penjelasan-penjelasan Pakkiong Liong.

Mata-mata yang datang menghdap itu segera menjura dan melapor, "Perwira pasukan rahasia Lim Tong-eng menghadap Panglima!"

"Kau bekerja berat, saudara Lim," kata PakKiong Liong sambil mempersilahkan duduk perwira rahasianya itu. "Kau menghadapku malam-malam, tentunya ada hal penting yang hendak kau laporkan."

"Benar, Panglima, aku berhasil menyusup kedalam laskar pemberontak dan ditempatkan di desa yang berhadapan langsung dengan pesanggrahan Ciangkun ini, di bawah pimpinan Li Tiang-hong. Sore tadi, semua pentolan pemberontak dikumpulkan oleh Cu Leng-ong di desa induk, lalu terlihat persiapan-persiapan kedua dan ketiga juga telah mengirimkan laskar mereka untuk ke desa garis depan. Aku menduga akan ada serangan mendadak dari segala arah. Aku berhasil mengorek keterangan dari seorang yang kedudukannya agak penting dari laskar musuh, dan kudapat keterangan mereka akan menyergap esok pagi pada saat ayam jantan berkokok untuk terakhir kali."

"Bagus, saudara Lim, keteranganmu sangat lengkap. Terima kasih. Kau boleh beristirahat."

"Tidak, Ciangkun, aku akan kembali ke desa musuh untuk mengikuti perkembangan di sana."

"Apakah tidak terlalu berbahaya bagi keselamatanmu, saudara Lim?"

"Tidak, Ciangkun. Demi tegaknya Kerajaan agung kita, nyawa seorang Lim Tong-eng tidak ada artinya. Aku mohon pamit, Ciangkun dan saudara-saudara."

"Baik, saudara Lim. Hati-hatilah menjaga diri."

Setelah memberi hormat, prajurit rahasia yang berpangkat perwira itupun kembali menyusup ke desa terdepan yang menjadi kubu laskar pemberontak. Sebelum pergi kembali, tak lupa Lim Tong-peng menjawab bahwa di desa itu sekarang ada kira-kira tujuhratus lima-puluh orang laskar Li Tiang-hong, namun sebelum fajar nanti jumlah laskar di desa itu akan meningkat menjadi dua ribu orang yang memadati desa garis depan itu, karena laskar yang ada di garis belakang dipindahkan ke depan. Pakkiong Liong mencatat keterangan Lim Tong-eng itu baik-baik di dalam hatinya.

Setelah perwira pasukan rahasia itu pergi, Pakkiong Liong bertanya kepada perwira-perwiranya, "Nah, bagaimana pendapat saudara-saudara?"

"Aku punya sebuah pendapat, Ciang-kun," kata Tong Lam-hou yang bersikap resmi kepada Pakakiong Liong.

"Katakan."

"Mereka hendak menyerang kita nanti fajar, kita justru sergap mereka lebih dulu tengah malam nanti. Rebut desa tempat kedudukan Li Tiang-hong sebelum fajar, sehingga selain rencana mereka berantakan, maka kejutan perasaan pada jiwa merekapun akan mempengaruhi jalannya pertempuran-pertempuran selanjutnya," kata Tong Lam-hou.

Pakkiong Liong tahu bahwa Tong Lam-hou memiliki sikap sangat membenci Li Tiang-hong, karena peristiwa pembantaian desa Jit-siong-tin di tanah kelahiran Tong Lam-hou di Hun-lam sana, menurut Tong Lam-hou adalah tanggung-jawab Li Tiang-hong. Hong Lotoa yang melakukan pembantaian itu adalah anak-buah Li Tiang-hong yang ingin di cekik mampus oleh Tong Lam-hou. Jadi sebenarnya usul Tong Lam-hou itu mengandung juga unsur dendam pribadi Tong Lam-hou kepada para pembunuh teman-temannya di Jit-siong-tin. Namun Pakkiong Liong mempertimbangkan usul itu, sebab dianggap cukup cemerlang.

"Bagaimana pendapat saudara-saudara lainnya?" Pakkiong Liong melemparkan masalahnya kepada perwira-perwiranya.

Hu Lan-to, seorang perwira Kerajaan Manchu yang berasal satu suku dengan Ha To-ji, suku Mongol, segera menjawab, "Usul saudara Tong cukup bagus. Pasukan kita sudah beristirahat setengah hari lebih. Buat pasukan lain, istirahat sesingkat itu belum cukup, tapi bagi pasukan kita sudah lebih dari cukup untuk memulihkan tenaga, Aku mendukung usul saudara Tong."

"Cukup masuk akal, ini akan sangat diluar perhitungan Cu Leng-ong dan mematahkan semangat laskarnya," sambung Na Hong yang berdarah Manchu asli dan amat mahir memainkan joan-pian cambuk yang terbuat dari anyaman serat baja itu.

Semua perwirapun menyetujuinya. Ucapan Hu Lan-to tadi memang benar. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun adalah prajurit-prajurit yang telah mendapat tempaan berat bertahun-tahun, sehingga daya tahan dan daya gempur merekapun sangat luar biasa. Apalagi mereka sudah mendapat kesempatan istirahat setengah hari, bahkan andaikata mereka berjalan sehari semalam dan langsung bertempurpun mereka akan melakukannya sama segarnya dengan pasukan-pasukan lain.

Dalam latihan-latihan di Pak-khia, sering Pakkiong Liong menyuruh pasukannya untuk berjalan tanpa berhenti sehari semalam, mengelilingi Kotaraja Pakkia sambil berlari-lari, dan begitu tiba di markas sudah disambut dengan mata acara latihan lain yang tidak kalah beratnya yang kadang-kadang berlangsung sehari suntuk.

Maka PakkiongLiong pun tertawa melihat semangat perwira-perwiranya itu. Katanya, "Bagus! Saudara Ha To-ji didampingi Tong Lam-hou, Hu Lan-to dan Na Hong akan merebut desa kedudukan Li Tiang-hong itu, malam ini juga. Bawa seribu limaratus orang."

"Siap, Ciangkun!" sahut Ha To-ji dengan tegas sambil menerima leng-ci dengan kedua tangannya. Ketiga perwiranyapun menyatakan sanggup membantu Ha To-ji.

"Serangan harus amat mendadak supaya korban di pihak kita jatuh sesedikit mungkin. Caranya terserah kalian. Setelah berhasil beri tanda dengan tiga panah berapi."

"Baik."

Tanpa banyak keributan, seribu limaratus orang Hui-liong-kun yang akan ikut Ha To-ji itu segera bersiap-siap menjelang tengah malam. Semua prajurit nampak bergairah.

"Bagaimana kita bisa mendekati desa tanpa diketahui oleh mereka?" tanya Ha To-ji kepada ketiga perwira rekannya yang akan mendampinginya.

Sahut Na Hong, '’Tidak ada jalan lain kecuali merangkak. Daun-daun ilalang yang lebat akan melindungi semua gerakan kita."

"Merangkak sejauh empat li?"

"Tentu saja tidak. Kita akan menyusur tepi hutan itu sampai ke ujung hutan, dari ujung hutan jaraknya dengan tembok desa itu tidak jauh lagi. Nah, dari ujung hutan itulah kita mulai merangkak."

Semuanya mengangguk. Dari ujung hutan ke desa kedudukannya Li Tiang hong itu ada enampuluh tombak jaraknya, berwujud dataran rumput ilalang berselang-seling dengan pohon-pohon perdu. Bagi prajurit Hui-liong-kun, merangkak sejauh itu bukan hal yang berat, sedangkan dalam latihan mereka merangkak lebih jauh lagi, di medan yang tidak rata pula.

"Dan demi keamanan, kita akan melingkari punggung bukit itu. Tong Lam-hou dan Hu Lan-to berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang bakal kita lalui, siapa tahu ada pengawas-pengawas musuh yang melihat gerakan kita dan mereka harus dibungkam."

"Baik," sahut Tong Lam-hou dan Hu Lan-to berbarengan.

Maka prajurit-prajurit Hui-liong-kun itupun bergerak meninggalkan perkemahan ditengah malam buta, dengan pakaian mereka yang serba hitam dan gerak gerik mereka yang tanpa suara itu, mereka nampak seperti sebarisan hantu-hantu yang berbondong-bondong naik dari neraka. Sebagai prajurit-prajurit yang terlatih, mereka benar-benar dapat bergerak cepat namun tanpa keributan. Gemeresak kaki mereka yang menginjak rerumputanpun tidak akan membuat curiga lawan, sebab malam itu angin memang bertiup keras dan rembulanpun tertutup awan.

Ternyata Pangeran Cu Leng-ong memang telah membuat suatu kelengahan. Dalam perhitungannya, pasukan Pakkiong Liong tentu akan beristirahat sehari suntuk baru pulih kekuatannya, dianggapnya sama saja dengan pasukan Ui-ih-kun yang pernah diobrak-abrik oleh Pangeran Cu Leng-ong ketika menyerbu Penjara di Ibukota beberapa saat yang lalu.

Pengawas-pengawas memang ditempatkan oleh pihak pemberontak, namun hanya di sepanjang jalur jalan yang menghubungkan kubu terdepan pemberontak dengan pesanggrahan Pakkiong Liong. Karena itu para pengawas dari pihak pemberontak itu sama sekali tidak melihat ketika sebagian pasukan Hui-liong-kun menerobos lewat belakang perkemahan, kemudian berbaris tanpa suara melingkari punggung bukit dan menuju langsung ke kedudukan Li Tiang-hong.

Tong Lam-hou dan Hu Lan-to yang ditugaskan merintis jalan untuk membungkam pengawas-pengawas musuh, ternyata tidak menjumpai seorangpun, sehingga mereka tidak perlu membasahi pisau mereka dengan darah musuh.

"Heran, kenapa tidak ada pengawas seorangpun?" Hu Lan-to menyatakan keheranannya kepada teman seperjalanannya.

"Banyak sekali pengawasnya," sahut Tong Lam-hou. "Tetapi di sepanjang dataran yang memisahkan pesanggrahan kita dengan kubu musuh, sebab musuh hanya mengira di situlah kita akan lewat. Tidak melingkar dan menyergap dari lambung seperti ini."

Tanpa banyak kesulitan, mereka melewati bukit itu dan tiba di ujung hutan, sementara kubu musuh di kejauhan nampak tenang-tenang saja. Bahkan sayup sayup terdengar gelak tertawa mereka.

"Mulai dari sini, kita akan merayap," kata Ha To-ji kepada pasukannya. "Hati-hatilah, jangan sampai gerak ilalang yang terlalu keras membuat musuh curiga, sebab setolol-tololnya musuh namun tentu mereka menempatkan pengawas pengawas di atas dinding-dinding desa yang mereka buat dari tanah dan batu itu. Nah, mulai bergerak. Melebar."

Prajurit-prajurit itu benar-benar mirip serigala-serigala di padang liar yang merunduk hendak menerkam korban mereka, sementara korban mereka belum sadar sedikitpun. Dalam perhitungan laskar Pangeran Cu Leng-ong, pasukan Hui-liong-kun tentu masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari Pak-kia, dan paling cepat besok pagi baru bisa mulai penyerangan, namun laskar pemberontak berkeyakinan bahwa besok pagi pihak merekalah yang akan menyerang lebih dulu dan membuat musuh porak-poranda, seperti rencana yang sudah digariskan Pangeran.

Yang menduduki kubu terdepan dari daerah pengaruh Pangeran Cu Leng-ong itu adalah terdiri dari campuran antara pengikut-pengikut Li Tiang-hong yang dibawa dari Hun-lam, dengan orang-orang gerombolan Ngo-pa-hwe. Anak buah Li Tiang-hong adalah bekas-bekas prajurit Beng yang serba sedikit masih kenal tata tertib, tapi orang-orang Ngo-pa-hwe memang orang-orang kasar yang tak kenal tata tertib.

Mereka minum-minum melingkari api unggun, bergurau melebihi batas dengan kata-kata kasar dan kotor, dan menari-nari seperti orang gila. Sebenarnyalah mereka gentar karena membayangkan besok pagi mereka akan menghadapi Pasukan Naga Terbang yang terkenal keampuhannya itu, maka mereka mencoba melupakan rasa takutnya dengan berbuat aneh-aneh.

"Orang-orang Manchu itu, malam ini tentu sedang tidur mendengkur", kata seorang thau-bak (hulubalang) Ngo-pa-hwe yang duduk dipinggir api unggun dengan tangan memegang cawan arak. "Dan besok selagi mereka bangun dan masih mengucek-ucek mata mereka, kita sudah datang dan menikamkan pedang kita ke dada mereka. Ha-ha-ha..."

"Apakah tidak mungkin mereka menyerang mendahului kita?"

"Tidak mungkin! Mereka masih kelelahan. Hanya manusia-manusia dari besi saja yang tidak lelah setelah berjalan ratusan li dari Pak-khia".

Satu hal yang tidak diketahui oleh thau-bak Ngo-pa-hwe itu adalah bahwa manusia-manusia besi seperti itu benar-benar ada, dan bahkan sudah berada di depan hidung mereka tanpa mereka ketahui. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun itulah manusia-manusia besi itu!

Maka alangkah terkejutnya seisi desa yang menjadi kubu itu, ketika laskar-laskar yang berjaga-jaga di dinding desa tiba-tiba berteriak keras dan kemudian roboh dengan dada berlubang. Susul menyusul mereka berjatuhan hampir tanpa perlawanan. Prajurit-prajurit Manchu bagaikan hantu-hantu yang bermunculan dari kegelapan malam, telah menyerbu tak kenal ampun dengan dipelopori 4 (empat) perwira mereka. Ha To-Ji, Tong Lam-hou, Na Hong dan Hu Lan-to.

Dinding dari batu dan tanah yang tingginya hanya satu setengah kali orang-orang, biasa itu dengan mudah diloncati oleh perwiranya Pakkiong Liong itu. Sedangkan bagi para prajurit, dengan berdiri diatas pundak sering dilakukan dalam latihan-latihan di barak mereka di Pak-khia. Di balik dinding desa itu ada banyak anak panah, lembing, bandil, pelanting-pelanting dari bambu yang dapat melontarkan batu-batu, dan senjata-senjata jarak jauh lainnya. Namun benda-benda itu jadi tak berguna setelah musuh tiba di depan hidung mereka dengan pedang-pedang terhunus.

Keadaan seluruh desa jadi panik. Anak buah Li Tiang-hong yang agak terlatih segera mengambil senjata-senjata mereka dan mengadakan perlawanan dimanapun mereka menjumpai musuh. Tapi orang-orang Ngo-pa-hwe menjadi kebingungan dan panik, dan dalam kepanikan itu mereka adalah makanan empuk untuk prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang seolah-olah muncul di segala penjuru itu. Meskipun mereka memegang senjata, tapi mereka hanya berlari-larian tanpa arah di seluruh pelosok desa, bingung tidak tahu serangan musuh dari arah mana.

Pertempuran segera berkobar di tengah malam itu, namun pertempuran yang tidak seimbang. Pihak laskar pemberontak benar-benar tidak menduga kalau ada serangan malam itu, sehingga meskipun mereka yang ada di desa itu berjumlah kira-kira duaribu orang, lebih banyak dari jumlah pasukan Hui-liong-kun yang menyerbu yang cuma seribu limaratus orang.

Namun pasukan Hui-liong-kun justru menguasai keadaan dengan baiknya. Mereka bekerja dalam regu-regu kecil yang rapi, menutup semua jalan-jalan dan lorong desa dan menggiring laskar pemberontak ke tengah desa. Dalam gebrakan pertama saja sudah beratus-ratus orang laskar pemberontak yang tak berdaya. Mati atau luka-luka parah sehingga tidak dapat melanjutkan perlawanan.

Anak buah Li Tiang-hong yang masih hidup terus melawan dengan gigihnya, namun mereka bukanlah tandingan prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang jauh lebih terlatih itu. Andaikata kedua pasukan itu berhadapan dalam keadaan sama-sama siap, pasukan Li Tiang-hong tetap kalah dari Hui-liong-kun, apalagi sekarang mereka dalam kedaan kebingungan, mengantuk, panik dan sebagainya, dan lawan menerkam bagaikan serigala-serigala kelaparan.

Malahan banyak laskar Li Tiang-hong yang bertempur dengan pakaian tidak lengkap. Hanya mengenakan pakaian celana dalam saja, atau berpakaian lengkap dengan baju perang dan topi besi tapi hanya bagian atas badannya saja, sedang bawahnya tidak mengenakan apa-apa sehingga ia dengan tangan kanan memegang pedang dan dengan tangan kiri memegang selangkangannya untuk melindungi benda kesayangannya.

Di pihak Hui-liong-kun, Tong Lam-hou mengamuk bagaikan kesurupan. Ketika dilihatnya bendera-bendera Jit-goat-ki Kerajaan Beng berkibar-kibar di segala sudut desa, serta seragam dari laskar Li Tiang-hong, maka kemarahan Tong Lam-hou terungkat kembali. Ia ingat desa Jit-siong-tin yang dibumi hanguskan dan seluruh pendduduknya dibantai tanpa sisa. Kini mata Tong Lam-hou merah seperti api neraka, sementara pedangnyapun telah menjadi merah pula. Ia berkelahi untuk membalaskan dendam orang-orang Jit-siong-tin.

Di mana Tong Lam-hou tiba, di situ pula laskar Li Tiang-hong menyibak dan menyingkiri Tong Lam-hou dengan ngeri. Dulu tanpa kenal kasihan mereka membunuh di Jit-siong-tin, bahkan anak-anak dan perempuan yang menjerit minta ampunan mereka babat sambil tertawa terbahak-bahak, tapi sekarang mereka merasa sendiri betapa ngerinya menghadapi kematian itu.

Li Tiang-hong yang sudah dibangunkan dari tidurnya itupun tergesa-gesa memimpin perlawanan. Namun sebagai seorang bekas Panglima yang berpengalaman ia dapat segera menilai bahwa keadaan sudah sulit diperbaiki lagi. Laskarnya kalah semangat, kalah kedudukan, kalah terlatih, dan jika pertempuran dilanjutkan maka dua ribu laskarnya akan tertumpas habis di desa itu, termasuk dirinya sendiri.

Karena itu Li Tiang-hong segera memerintahkan untuk membuka pintu gerbang desa sebelah barat, dan dari pintu itulah Li Tiang-hong menarik sisa-sisa pasukannya yang tinggal separuh lebih itu, dan kemudian dengan tergesa-gesa mereka menuju ke desa di garis kedua dari pertahanan Pangeran Cu Leng-ong.

Tong Lam-hou yang masih penasaran itu ingin memburu musuh, namun berhasil dicegah oleh Ha To-ji. "Ini perang besar, A-hou, jangan bertindak gegabah supaya tidak mengacaukan seluruh pasukan," kata Ha To-ji. "Toh cepat atau lambat, mereka semua akan kita hancurkan juga."

Tong Lam-hou akhirnya dapat memahami penjelasan itu. Ia sadar bahwa ia tidak seorang diri, namun bagian dari sebuah pasukan yang harus bergerak secara terpadu. Apalagi jika melihat perwira-perwiranya bertindak semanya saja. Kini mereka membenahi desa yang berhasil direbut dalam waktu yang terhitung singkat itu. Yang gugur dan yang luka-luka segera dikumpulkan untuk dihitung.

Ternyata serangan sangat mendadak itu benar-benar membuahkan kemenangan besar untuk Hui-liong-kun, meskipun ada juga beberapa prajurit Hui-liong-kun yang gugur, tapi laskar lawan yang gugur jauh lebih banyak, sampai mayatnya berderet-deret di sepanjang jalan desa. Yang luka-luka segera diobati, tidak peduli laskar musuh, meskipun masih ada juga selapis kebencian antara orang-orang yang baru saja bermusuhan itu, namun kemanusiaan harus dijunjung tinggi biarpun dalam keadaan perang.

Di desa itu masih ada belasan keluarga penduduk yang dulu tidak sempat mengungsi ketika desa itu mendadak diserbu dan diduduki laskar pemberontak. Mereka dengan ketakutan mengunci diri dalam rumah-rumah mereka, dan mereka hampir pingsan ketika mendengar prajurit-prajurit Hui-liong-kun mengetuk pintu rumah mereka.

Namun kemudian orang-orang desa itu mendapat perlakuan yang baik, jauh lebih baik dari ketika desa itu diduduki laskar Li Tiang-hong dan orang-orang Ngo-pi-hwe yang kasar-kasar itu. Penduduk hanya diminta bantuan tenaganya untuk mengurusi yang luka-luka, itupun tidak berarti prajurit-prajurit Hui-liong-kun hanya berpangku tangan saja. Merekapun bekerja keras, malah lebih keras dari penduduk desa itu. Sikap baik itu memang diajarkan oleh Pakkiong Liong.

Di telinga prajurit-prajurit itu masih terngiang pesan Panglima mereka, "Rebutlah simpati rakyat, dan kau akan merebut sebuah negara."

Tengah malam baru lewat sedikit ketika Ha To-ji melepaskan tiga batang panah berapi ke udara, sebagai isyarat kemenangan bagi Pakkiong Liong di pesanggrahannya. Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya yang memang sedang berada di tempat terbuka di depan pesangggrahan, dan memandang ke sebelah barat itu, melihat ketiga anak-panah itu saling susul terlontar ke udara.

"Eh, gila! Pertempurannya begitu singkat!" kata Pakkiong Liong sambil tertawa. "Saudara-saudara, kita akan minum tiga cawan arak untuk kemenangan teman-teman kita!"

Prajurit-prajurit yang juga ikut berdiri berderet-deret di depan pesang-garahan itupun serentak menyambutnya dengan tepuk-tangan meriah. Bahkan ada yang bersuit-suit segala.

Sementara itu, seperti yang diperhitungkan oleh Pakkiong Liong, gempuran yang merupakan kejutan pertama itu telah memerosotkan semangat tempur pihak lawan. Jumlah laskar Li Tiang-hong yang gugur tidak seberapa jika dibandingkan seluruh laskar pemberontak yang berjumlah selaksa lebih itu, namun apa gunanya jumlah banyak kalau semangat sudah jatuh?

Ketika malam buta laskar Li Tiang-hong yang sudah rusak itu memasuki desa pertahanan kedua yang letaknya empat li dari desa yang direbut Hui-liong-kun, maka kedatangan mereka itu disambut dengan pertanyaan dan keheranan oleh rekan-rekan mereka di desa kedua itu. Saudara seperguruan tertua dari Ngo-pa-hwe, Ong Goan-to yang juga sering disebut sebagai Tiat-pi-hou (Harimau Berlengan Besi) itu menyambut kedatangan li Tiang-hong dan menanyakan apa yang terjadi.

"Pakkiong Liong memang orang berotak miring!" geram Li Tiang-hong menjawab pertanyaan itu. "Siapa sangka malam-malam seperti ini ia akan menyerang kubu-kubu pertahananku?!"

Ong Goan-to dan keempat adik seperguruannya terkejut. "Jadi... jadi kubu Li Ciangkun sudah... sudah direbut musuh?"

"Ya!" sahut Li Tiang-hong. "Kita tidak berhadapan dengan sepasukan tentara yang gerak-geriknya bisa diperhitungkan menurut ilmu perang, melainkan berhadapan dengan orang-orang gila kesurupan setan yang menjungkir-balikkan teori-teori kuno dalam buku!"

Ngo-pa-heng-te itu memang jago dalam berkelahi, namun tentang segala teori perang mereka buta sama sekali. Maka mereka diam saja dan membiarkan Li Tiang-hong terus-menerus menggerutu menumpahkan kekesalannya.

"Desa ini juga harus selalu siap siaga!" kata Li Tiang-hong. "Siapa tahu malam ini mendadak Pakkiong Liong kambuh lagi sakit syarafnya dan menyuruh orang-orangnya menyerbu kemari! Aku sendiri akan pergi melapor kepada Pangeran, apakah rencana kita akan dilanjutkan atau tidak."

Kelima bersaudara-seperguruan pemimpin Ngo-pa-hwe itu hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka segera mempersiapkan diri malam itu juga untuk berjaga-jaga apabila Tentara Kerajaan menyerang lagi. Sementara Li Tiang-hong dengan diiringi sepuluh pengawal segera berkuda keluar dari desa itu, menembus malam dingin yang menggigit tulang untuk menuju ke desa lain lagi yang merupakan tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Menjelang dini hari adalah saat paling nyaman untuk tidur, apalagi Pangeran Cu Leng-ong yang tidur ditemani dua orang wanita cantik yang tubuhnya hanya tertutup selimut tebal, dua wanita yang baru saja menguras habis kekuatan Sang Pangeran. Karena itu Mata Pangeran Cu Leng-ong terasa amat berat untuk dibuka ketika telinganya mendengar suara ketukan bertubi-tubi di pintu kamarnya.

Pangeran menggeliatkan tubuhnya dan dengan mata setengah terpejam setengah terbuka, ia bersuara, "Siapa diluar?"

Dari luar terdengar jawaban, "Hamba, pangeran, pengawal!"

Kata Pangeran Cu Leng-ong mendongkol, "Apakah kau gila? Membangunkan aku selarut ini?"

"Ampuni hamba, pangeran. Tapi Li Ciangkun mohon menghadap dengan tergesa-gesa, katanya ada sesuatu yang harus dilaporkan dan tak bisa ditunda sampai nanti pagi.”

Pangeran Cu Leng-ong mengeluarkan suara sangat enggan, namun dipaksanya dirinya untuk bangkit juga dari pembaringan, lalu dipakainya pakaiannya yang berceceran di bawah tempat tidurnya itu. Tak lama kemudian ia sudah membuka pintu dan dilihatnya pengawal yang mengetuk pintu tadi berdiri menundukkan kepalanya dengan sikap ketakutan.

"Di mana Li Ciangkun?" tanya Pangeran.

"Di ruang depan," sahut pengawal itu. Kepalanya tetap tertunduk, namun matanya melirik ke celah-celah pintu dan ia menelan ludahnya ketika melihat dua wanita cantik yang bergelimpangan di ranjang Pangeran. Meskipun tubuh mereka tertutup selimut, namun selimut itu tersingkap di beberapa bagian dan membuat jantung sang pengawal hampir berhenti berdenyut saking tegangnya. Pengawal itu tergagap kaget ketika Pangeran Cu Leng-ong agak keras menutup pintu sambil membentak,

"Kau minta dicungkil kedua matamu?"

"Am... ampun Pangeran, ham... hamba hanya.. eh, hanya..." sahut pengawal itu tergagap-gagap.

Tapi kemudian Pangeran menepuk pundak pengawal itu sambil tertawa, kata, "Jika kau berjuang sungguh-sungguh bersama aku, kelak kau bisa menjadi sun-bu (gubernur) atau paling tidak Bupati. Nah, dengan kedudukanmu itu maka selusin perempuan secantik apapun bisa kau peroleh dengan mudah,"

Wajah pengawal itu berseri-seri, "Terimakasih, pangeran. Hamba akan berjuang sunguh-sungguh mendukung Pangeran sampai ke singgasana naga."

"Nah, kembali ke tempat tugasmu."

"Baik, Pangeran." Langkah laskar rendahan itupun menjadi bersemangat. Sama sekali tidak terpikir olehnya bahwa apabila lehernya terpenggal oleh pedang orang Manchu maka sepuluh lusin perempuan cantikpun akan tidak ada gunanya lagi.

Pangeran Cu Leng-ong memang tidak pernah berbicara kepada anak buahnya tentang "jika kita kalah", yang diperdengarkan selalu saja "jika menang", supaya orang-orang itu mau mengadu nyawa baginya.

Li Tiang-hong hampir tidak sabar menunggu di ruang depan karena pangeran belum juga keluar. Namun ia pun lega ketika melihat Pangeran melangkah keluar juga, meskipun dengan mata yang masih kelihatan mengantuk. Maka tanpa peduli Pangeran tidak senang, Li Tiang-hong segera melaporkan apa yang terjadi di desa kedudukannya.

Benar juga, laporan itu membuat mata Pangeran yang sayu karena mengantuk itu menjadi terbelalak lebar karena kaget dan marah. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Pangeran berteriak marah. "Apakah Ciangkun telah lengah?!"

"Memang diluar perhitungan, Pangeran," sahut Li Tiang-hong. "Andaikata Panglima lain yang ditempatkan di situ, keadaannya akan sama. Memang di luar dugaan bahwa pasukan musuh yang baru datang siang tadi dan masih kelelahan itu tiba-tiba malamnya sudah bergerak."

Alangkah jengkelnya Pangeran Cu Leng-ong, sudah dia terganggu tidurnya berita yang datangpun ternyata bukan berita baik. Jika yang dihadapannya bukan Li Tiang-hong, maka jambangan bunga di mejanya itu pasti sudah dilemparkannya ke kepala orang itu. Hamun terhadap Li Tiang-hong ia tidak dapat berbuat begitu tidak sopan selama tenaga bekas panglima itu masih dibutuhkannya.

Selain bekas Panglima Beng itu sangat setia kepada Kaisar yang lama, bahkan di Hun-lam ia sudah membuktikan kesetiaannya kepada Kerajaan Beng dalam pahit getirnya melawan pasukan Manchu yang lebih kuat selama bertahun-tahun, maka Li Tiang-hong juga mempunyai dua ribu orang prajurit yang cukup terlatih. Jika ia disakiti hatinya dan kemudian menarik dari persekutuan itu, kekuatan Pangeran Cu Leng-ong akan berkurang.

Karena itulah Pangeran menyabarkan diri. Katanya, "Baik, Li Ciangkun, agaknya hemang sepenuhnya bukan kesalahanmu. Sekarang bagaimana baiknya?"

"Menurut hamba, semangat tempur dari pasukan kita yang agak merosot karena peristiwa ini, harus dibangkitkan kembali. Caranya adalah dengan merebut kembali kubu terdepan kita itu dengan seluruh kekuatan, jika berhasil maka rasa kepercayaan diri seluruh laskar akan pulih kembali, dan ini besar artinya."

"Jadi ada perubahan rencana?"

"Hanya berubah sedikit, Pangeran. Tapi saudara Kongsun Hui di sayap kanan dan saudara Cu Yok-tek di sayap kiri perlu mendapat pemberitahuan di kubu mereka masing-masing."

Pangeran Cu Leng-ong menguap dengan malasnya, lalu menyahut, "Terserah kepadamu, Li Ciangkun. Aku terlalu lelah dan segala wewenang kuserahkan kepada Li Ciangkun untuk mengaturnya. Li Ciangkun seorang panglima yang berpengalaman, tentu bisa mengatasi hal ini."

Lalu tanpa menunggu Li Tiang-hong menjawab, Pangeran segera melangkah masuk kembali ke biliknya, kembali kepada kedua bidadarinya yang masih tertidur pulas....
Selanjutnya;