Pendekar Naga dan Harimau Jilid 20Karya : Stevanus S.P |
Pangeran Cu Hin-yang ikut mengangguk puas melihat kekuatan yang berhasil dikumpulkannya itu. Dan ia juga tidak takut andaikata kelompok-kelompok yang tidak berasal dari Jit-goat-pang itu akan merebut kekuasaan kelak di kemudian hari, sebab sebagian besar dari kekuatan yang terkumpul itu adalah tetap orang-orang Jit-goat-pang. Namun tiba-tiba Pangeran Cu Hin-yang merasa ada suatu kekurangan.
"Kakanda," katanya kepada Pangeran Cu Leng-ong. "Dalam perjalananku ke Hun-lam dulu, aku berhasil mendamaikan antara Li Tiang-hong dengan sempalan dari Hwe-liong-pang yang disebut Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) pimpinan Siau-lo-cia ( Si Dewa Lo-cia Kecil) Ma Hiong. Kenapa kita tidak mengundang mereka untuk bergabung demi menambah kekuatan kita?" "Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengikut-pengikut Li Cu-seng si pemberontak itu," sahut Pangeran Cu Leng-ong dengan garangnya. "Adikku, apakah kau tidak ingat sakit hati keluarga kita yang ditumpas oleh laskar Li Cu-seng ketika mereka menyerbu Istana Kerajaan?" Pangeran Cu Hin-yang menarik napas melihat kekerasan hati kakaknya itu, namun ia tidak berputus-asa untuk membujuknya, "Kakanda, dalam masa-masa sulit di mana kita memerlukan persatuan semua kekuatan bangsa Han ini, masihkah kita memikirkan dendam pribadi dan dendam keluarga? Dalam perang, hal yang lumrah kalau ada yang terbunuh, kita tidak bisa terlalu menyalahkan Li Cu-seng. Orang Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong ternyata juga seorang laki-laki sejati yang rela menyingkirkan Kepentingan kelompoknya demi setia kawan sesama bangsa Han meskipun bekas musuhnya di masa lalu. Dialah yang menyelamatkan aku, ketika aku dan beberapa pengawalku sudah terjepit di sebuah kuil terpencil, hampir mampus oleh Pakkiong Liong dan orang-orangnya." Namun, jika berbicara tentang bekas-bekas pengikut pemberontak Li Cu-seng yang menumbangkan dinasti Beng itu, agaknya hati Pangeran Cu Leng-Ong sudah mengeras seperti batu hitam. Segala pertimbangan yang diajukan oleh adiknya selalu ditolaknya. "Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak ada artinya bagiku. Mereka sudah terpecah-belah, dan kelak jika sudah berhasil mengalahkan bangsa Man-chu, akan kita tumpas Hwe-liong-pang sampai seakar-akarnya," demikianlah Pangeran Cu Leng-ong selalu menjawab apabila Pangeran Cu Hin-yang mengajukan usulnya, sehingga akhirnya sang adik tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tapi sesungguhnya kekuatan Pangeran Cu Leng-ong memang mekar terus. Ketika beberapa pihak mendengar bahwa gerakan Jit-goat-pang mulai terang-terangan mengibarkan bendera perlawanan terhadap pemerintah Manchu, maka banyaklah orang yang datang menggabungkan diri, berkelompok-kelompok atau datang sendiri-sendiri, dengan alasan yang berbeda-beda pula. Ada yang tergerak karena melihat bahwa gerakan Pangeran Cu Leng-ong itu ada harapan akan berhasil mengusir bangsa Manchu namun ada pula yang menggabungkan diri karena terbuai oleh janji-janj menggiurkan yang diucapkan oleh Pangeran Cu Leng-ong. Orang-orang yang betul-betul membenci bangsa Manchu, mereka akan berkelahi seperti orang mabuk di medan tempur, tanpa menghiraukan nyawanya, bahkan tanpa upah sepeserpun. Mungkin karena ada anggota keluarga mereka yang terbunuh ole; tentara Manchu atau entah ada aiasa-lainnya. Ketika Pangeran Cu Leng-ong merasa kekuatannya sudah cukup besar, maka diapun mulai bergerak menguasai desa-desa dan kota-kota kecil di sekitarnya. Dalam gerakannya itu, desa-desa yang dikuasainya akan digunakan sebagai benteng-benteng dan sekaligus lumbung-lumbung perbekalan untuk perlawanan jangka panjangnya. Anak-anak muda atau lelaki-lelaki muda yang kelihatan masih kuat, segera ditangkapi dan dipaksa memanggul senjata bagi pihaknya. Dengan ancaman dan sekaligus bujukan, Pangeran Cu Leng-ong berhasil memperbesar jumlah pasukannya. Dan setelah itu, daerahpun diperluas lagi. Karena banyak di antara laskar Pangeran Cu Leng-ong itu yang merupakan bekas orang-orang golongan Hitam yang kasar dan liar, maka tidak jarang dalam "membebaskan" satu desa atau kota kecil dari yang mereka sebut "penjajahan" bangsa Manchu, rakyat kecil menerima akibat-akibat yang mengerikan. Laskar-laskar yang merasa dirinya "pejuang' tentu menganggap bahwa "perjuangan" mereka harus ada imbalannya berupa harta benda atau kenikmatan-kenikmatan lain. Maka perempuan-perempuan yang diperkosa atau rumah-rumah yang dibakar setelah dikuras isinya, bukan hal yang jarang lagi. Pendudukpun untuk sekian kalinya dipaksa merasakan akibat peperangan, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota terdekat, yaitu Tay-tong yang dikelilingi oleh tembok tinggi itu, sehingga kota itu penuh dengan pengungsi. Alangkah marahnya Pangeran Cu Hin-Yang ketika ia menerima laporan dari pengawal-pengawal pribadinya tentang apa yang telah diperbuat oleh laskarnya kepada rakyat kecil. Dengan muka yang merah padam ia menghadap kakak nya, Pangeran Cu Leng-ong. "Kakaknda, kebiadaban-kebiadaban laskar kita tidak boleh dibiarkan terus-menerus, harus segera diberlakukan tata-tertib ketentaraan, barang siapa yang melakukan perbuatan hina terhadap rakyat harus dihukum mati!" kata Pangeran Cu Hin-yang dengan luapan perasaan yang tercermin dari kata-katanya yang keras. "Kita ini pejuang yang ingin membebaskan tanah air kita dari cengkraman bangsa Manchu, kita ini bukan perampok-perampok liar yang berpesta-pora sambil menghancurkan di sebuah desa!" Namun alangkah heran Pangeran Cu Hin-yang ketika mendengar kakaknya itu kelihatan tenang-tenang saja menghadapi laporannya itu. Maka Pangeran Cu Hin-yang berkata lebih lanjut, "Di Hun-lam sana, aku menyesal setengah mati ketika melihat sebuah desa bernama Jit-siong-tin dihancur-leburkan oleh orang-orang yang berpakaian seragam tentara Kerajaan Beng kita! Sungguh memalukan! Dan di sini, bukan hanya satu desa yang menjadi neraka karena ulah laskar kita!" Sambil bersandar di kursinya dengan sikap amat santai, Pangeran Cu Leng-ong menikmati makan minumnya dengan dilayani oleh dua orang gadis muda yang cantik dan diberi pakaian seperti dayang-dayang istana di jaman Kerajaan Beng dulu. Mereka adalah gadis-gadis culikan dari beberapa desa yang dipersembahkan oleh beberapa hulubalang laskar kepada "Kaisar" mereka. Lalu terdengar suara Pangeran Cu Leng-ong di sela-sela suara giginya yang tengah mengunyah seiris buah tho yang segar, "Adikku, tenangkan hatimu dan dinginkan kepalamu. Pada saat kita memupuk kekuatan untuk menghadapi musuh, tidak bijaksana kalau kita bersikap keras terhadap anak buah kita sendiri. Memang kita akan menertibkan mereka, tapi harus setahap demi setahap. Kalau kita langsung bersikap keras dan mengobral hukuman mati, bagaimana kalau mereka lari semua? bukankah kekuatan kita yang sedang berkembang ini akan hilang kembali? Dan kalau tentara Manchu datang, kita akan ditumpas habis!" "Tetapi, apakah rakyat kecil akan tetap kita biarkan tanpa perlindungan sama sekali? Ingat di jaman Li Cu-seng, kakanda, rakyat yang lemah itu jika timbul kemarahannya akan seperti banjir-bandang yang tak terbendung oleh apapun, oleh pasukan sekuat apapun. Siapa yang bisa mengambil hati rakyat, dialah yang kuat!" kata Pangeran Cu Hin-yang berapi-api. “Jangan mengulangi menyakiti hati rakyat seperti di jaman ayahanda Cong dulu, kakanda!" "Aku bukannya mendiamkan saja rakyat menderita, akupun sedih mendengar desa diporak-porandakan oleh laskar kita, tetapi aku benar-benar belum menemukan jalan yang tepat untuk mengatasi hal ini," sahut Pangeran Cu Leng-ong. "Jangan kau kira aku tidak berpikir." "Kelihatannya kakanda tidak sedang bersedih," kata Pangeran Cu Hin-Yang dingin. "Tapi baiklah, aku menemukan satu jalan tengah yang baik. Kita tidak perlu bertindak terlalu keras dengan menjatuhkan hukuman mati, namun cukup hukuman rangket dengan tongkat seratus kali saja. Bagaimana, kakanda?" Dan alangkah kecewanya Pangeran Cu Hin-yang ketika melihat kakaknya menggelengkan kepalanya sambil tertawa tawar. "Tidak mudah, adikku, mereka kelak akan bertempur menyabung nyawa untuk kita, kau dengar? Sementara kita belum mampu membuat imbalan yang pantas untuk mereka dan tahu-tahu kita telah bersikap keras terhadap mereka? Adikku, aku kira sepantasnya kalau mereka memperoleh sedikit imbalan harta dan kegembiraan dari jerih payah mereka..." "Jadi kakanda merestui mereka untuk merampok, memperkosa, membunuh semena-mena?" "Jangan bicara sekeras itu kepadaku. Aku tidak merestui, tetapi memang kita belum bisa berbuat, lain daripada berdiam diri saja. Kita sedang memperjuangkan jutaan rakyat Han, dan dalam memperjuangkan jutaan orang itu cukup wajar kalau ada sedikit korban. Mungkin puluhan orang atau ratusan. Perjuangan jangka panjang kita memerlukan pengorbanan, bahkan pengorbanannya kan lebih berat dari yang sekarang ini kau lihat, adikku." "Tapi yang berkorban itu bukan orang yang tidak tahu apa-apa, dan semampu kita harus membatasi jatuhnya korban itul Apa gunanya kelak kita menang, namun negeri ini sudah hancur lebur di jurang penderitaan karena ulah kita sendiri?" Jika tadinya Pangeran Cu Leng-ong masih keliatan sabar dan tersenyum-senyum, maka makin lama diapun kelihatan makin marah melihat sikap adiknya yang terus-menerus membantah dan menentangnya itu. Ia duduk tegak dan matanyapun bersinar tajam, setajam kata-katanya, "Aku tidak peduli, adikku, pokoknya kemenangan adalah segala-galanya bagiku. Kemenangan keluarga Cu untuk mendirikan kembali dinastinya yang sudah runtuh. Kita keturunan Cu Goan-ciang, kita harus meniru cara-caranya dalam mencapai kemenangan. Tegas, tidak ragu-ragu dalam melangkah, itulah laki-laki sejati." Wajah Pangeran Cu Hin-yang memucat ketika mendengar jawaban itu. Tentu saja ia pernah mendengar cerita tentang leluhurnya yang bernama Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng setelah merobohkan dinasti Goan itu. Seorang yang tidak tanggung-tanggung bertindak dalam mencapai singgasana. Dilangkahinya mayat-mayat sesamanya tanpa ragu-ragu, bukan saja mayat-mayat musuhnya tetapi juga mayat-mayat orang orang yang baik dengannya yang mati oleh tangannya. Tangan Cu Goan-siang berlumuran darah gurunya sendiri, Pheng Eng-giok, saudara angkatnya sendiri Thio Su-seng, dan sahabat-sahabatnya seperjuangan seperti Siang Gi-jun dan Han Lim-ji. Tentu saja kisah leluhurnya itu pernah dibaca oleh Pangeran Cu Hin-yang dan ia tidak menjadi bangga karenanya. Rasa muak dan marah bercampur-aduk dengan benci terpancar dari wajah Pangeran Cu Hin-yang yang tampan itu, namun tiba-tiba mereda dan berubah menjadi kecewa dan sedih yang mendalam sehingga matanya berkaca-kaca. Katanya dengan suara gemetar, "Kalau begitu, kakanda, kemenangan laskar kakanda kelak bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kememanngan kakanda sendiri dan orang-orang yang menjilat kakanda. Kemenangan itu berarti malapetaka untuk rakyat jelata!" "Kurang ajar kau berani bicara seperti itu kepadaku!" teriak Pangeran Cu Leng-ong sambil menggebrak meja, sehingga dayang-dayang cantik di sekitarnya inengkeret ketakutan. "Kalau kau bukan adikku dan juga telah berjasa ikut membina Jit-goat-pang bersamaku selama bertahun-tahun, kau sudah dihukum mati berdasar tata tertib ketentaraan, kita!!" "Mana ada tata-tertib ketentaraan di sini?" balas Pangeran Cu Hin-yang tidak kalah kerasnya. "Ini bukan tentara ini cuma sebuah gerombolan penyamun yang berseragam tentara!" Dan sehabis berkata demikian, tanpa berkata sepatah katapun Pangeran Cu Hin-yang membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Dua orang penjaga pintu yang mengangguk hormat kepadanya tidak dihiraukannya. Sepeninggal adiknya, Pangeran Cu Leng-ong menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengendapkan gejolak hatinya. Ia cukup sayang kepada adiknya itu, namun lebih sayang lagi kepada ambisinya untuk merebut singgasana. Ia sudah mulai dengan langkah pertama yang ia anggap berhasil, dan ia tidak ingin langkah pertamanya itu dijegal oleh siapapun meskipun oleh adiknya sendiri. Demi cita-cita, orang harus keras, demikian tekadnya. "Pengawal!" teriak Pangeran Cu Leng-ong. Seorang pengawal yang seragamnya mirip seragam prajurit Kerajaan Beng jaman dulu segera berlari-lari masuk dan berlutut di depan Pangeran Cu Leng-ong, "Hamba siap menjalankan perintah ong-ya!" "Panggil imam dari Hoa-san-pay itu kemari!" "Baik, ong-ya." Prajurit itu segera pergi dan tak lama kemudian datanglah ia kembali bersama seorang Tojin (imam agama To) berjubah kuning yang pada dadanya ada gambar pat-kwa, sambil berjalan ia selalu menggoyang-goyang sebuah hudtim di tangan kanannya. Mata imam garang seperti mata alap-alap, sedikitpun tidak serasi dengan jubah keagamannya. Melihat imam itu, Pangeran Cu Leng-ong segera memberi hormat lebih dulu sambil memanggil, "Su-siok (paman guru)!" Imam itupun mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Namanya Giok-seng Tojin, dari Hoa-san-pay. Hoa-san-pay adalah sebuah perguruan silat yang tidak secara terang-terangan menentang pemerintahan Manchu, bahkan segala maklumat pemerintah Manchu, misalnya untuk menguncir rambut setiap lelaki seperti orang Manchu, dituruti semua oleh perguruan ini. Namun Hoa-san-pay juga tidak melarang murid-muridnya untuk ikut dalam gerakan menentang bangsa Manchu, hanya saja atas nama pribadi, bukan atas nama Hoa-san-pay. Karena sikapnya inilah maka ada beberapa orang Hoa-san-pay yang ikut dalam pergerakan Pangeran Cu Leng-ong ini. Di jaman dinasti Beng dulu, ketika Pangeran Cu Leng-ong dan Cu Hin-yang masih remaja, mereka memang pernah berguru ilmu silat di Hoa-san-pay, sehingga kedua bekas bangsawan itu memang mempunyai hubungan khusus dengan perguruan terkenal itu. Karena itu tidak mengherankan kalau Giok-seng Tojin tiba-tiba saja bergabung deiigan pergerakan Pangeran Cu Leng-ong untuk menyumbangkan tenaganya, bahkan langsung menduduki jabatan sebagai penasehat Pangeran Cu Leng ong. Dengan siasatnya itu Pangeran Cu Leng-ong berharap akan lebih banyak lagi orang-orang Hoa-san-pay yang bergabung dengan laskarnya yang kini jumlahnya mendekati sepuluh ribu itu. Namun sejak kedatangannya, Pangeran Cu Leng-ong merasakan adanya sesuatu yang lain dengan paman gurunya ini. Paman gurunya ini dulu dikenal sebagai seorang yang periang dan gemar berbicara, tatapan matanyapun tidak garang, tapi sekarang ini ia nampak berubah. Ia bicara sedikit-sedikit saja, tatapan matanyapun mirip seekor alap-alap, entah apa yang membuatnya berubah. Pangeran Cu Leng-ong tidak peduli. Ia memang lebih membutuhkan orang-orang berwatak ganas di dalam laskarnya itu, daripada orang-orang yang "berhati lemah" seperti adiknya tadi. Setelah keduanya duduk berhadapan, Giok-seng Tojin bertanya, "Ada apa Pangeran mengundangku?" Pangeran Cu Leng-ong tidak bicara bertele-tele dan langsung saja ke titik persoalan, "Susiok, adalah su-siok melihat perubahan sikap adikku belakangan ini?" "Aku kurang memperhatikannya, Pangeran." Pangeran menarik napas dalam-dalam, "Tidak jadi soal, susiok. Tapi belakangan ini kulihat adikku itu semakin berani menentang aku, memaksakan agar aku menerima pendapatnya untuk menerapkan tata tertib ketenteraan yang amat keras terhadap laskar kita ini. Dan jika aku jawab bahwa itu belum waktunya, diapun marah-marah. Sikapnya kepadaku semakin lama semakin tidak menghormat." Giok-seng Tojin diam saja mendengar ucapan-ucapan Pangeran itu, bahkan ketika Pangeran itu berhenti berbicara sambil melirik kepadanya, maka imam bermata alap-alap itu masih saja duduk tenang tanpa menjawab sepa-tah katapun Pangeran melanjutkan, "Aku kuatirkan dua hal. Jika dia mengutarakan kemarahannya itu dalam rapat penting para hulubalang laskar, maka aku akan menjadi serba salah. Jika tidak dihukum, kewibawaanku akan merosot di pandangan para hulubalang, tapi jika dihukum maka dia adalah satu-satunya saudaraku yang telah bertahun-tahun berjuang bersamaku sampai kita mencapai keadaan sebagus ini untuk mulai bergerak. Kekuatiranku yang kedua, jika terdorong oleh kekecewaannya kepadaku ia akan mengambil tindakan-tindakan sendiri diluar tahuku, sehingga menyakiti hati para laskar dan dengan demikian bisa membubarkan rencana kita ini." "Sikap Pangeran terhadap adik pangeran sendiri, tergantung kepadamu," sahut imam itu dengan suara datar tanpa perasaan apa-apa. "Pangeran adalah pemimpin seluruh laskar perjuangan di sini, dan meskipun aku paman gurumu, aku harus tunduk kepada Pangeran. Tidak seperti ketika di Hoa-san-pay. Perintahkan apa yang harus aku perbuat atas diri Pangeran Cu Hin-yang." "Aku minta pendapat susiok." "Aku tidak punya pendapat apa-apa." Melihat sikap Giok-seng itu, diam-diam Pangeran Cu Leng-ong melihat semakin jelas perbedaan antara Giok-seng Tojin yang dulu dengan yang di hadapannya saat ini. Tapi bagi Pangeran itu tidak penting, pokoknya tenaganya bisa dimanfaatkan untuk menambah kekuatan laskarnya, habis perkara. Kata Pangeran Cu Leng-ong kemudian, "Pepatah kuno mengatakan, demi menjaga keutuhan cita-cita perjuangan, maka kasih sayang dalam keluarga sendiripun harus dinomor duakan. Susiok, aku minta kepada susiok untuk mengawasi dan membayangi setiap gerak-gerik adikku itu." "Hanya membayangi dan mengawasi saja?" "Ya, tapi jika ia melakukan tindakan-tindakan yang bisa membahayakan kelanjutan perjuangan menegakkan kembali dinasti Beng ini, maka susiok boleh mengambil tindakan-tindakan seperlunya." "Baik, aku mohon pamit, Pangeran." Sambil berkata demikian maka Giok-seng Tojin segera bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan tempat itu. Apalagi cuma mengawasi dan membayangi, andaikata disuruh untuk langsung mencabut nyawa Pangeran Cu Hin-yang pun maka imam itu tidak akan berkedip untuk melakukan tugasnya. Sementara itu, Pangeran Cu Leng-ong masih kurang mantap rasanya kalau hanya menugaskan susioknya sendiri untuk mengawasi adiknya. Ia masih memerintahkan pula beberapa orang dekatnya yang paling dipercaya untuk mengawasi adiknya secara diam-diam. Hanya saja, orang-orang ini wewenangnya tidak dengan "bertindak seperlunya" seperti Giok-seng Tojin. Hanya mengawasi. Giok Seng Tojin berjalan keluar dari gedung tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang dijadikan "Pusat pemerintahan Kerajaan Beng" untuk sementara itu. Gedung besar yang dikawal ketat oleh orang-orang terpercaya Jit-goat-pang itu tadinya adalah rumah seorang kepala desa yang agak besar, namun setelah Pangeran Cu Leng-ong keluar dari persembunyiannya bersama seluruh kekuatannya, maka desa itupun menjadi "ibukota" tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong. Penduduk yang mempunyai sawah ladang tetap harus bekerja, tapi sebagian besar hasil bumi mereka harus disumbangkan untuk "dana perjuangan", bahkan kaum lelaki yang masih kelihatan kuat telah dipaksa untuk memanggul senjata, suka atau tidak suka. Sekeliling desa juga telah dibangun tembok-tembok pertahanan yang meskipun hanya terbuat dari batu, kayu dan tanah liat namun cukup memadai. Apalagi dilengkapi pula dengan alat-alat dan bambu yang bisa melontar-lontarkan batu sebesar kepala, di samping pasukan pemanah dan pelempar lembing yang siap setiap waktu. Desa itu terlalu sempit untuk menampung sepuluh ribu laskar Pangeran Cu Leng-ong, maka desa itu hanya salah satu dari mata rantai kubu-kubu pertahanan yang dibangun oleh Pangeran Cu Leng-ong. Kubu-kubu yang terdiri dari berpuluh-puluh desa yang dibentengi dan dipersenjatai itu satu sama lain dihubungkan dengan jalan-jalan yang lebar, yang senantiasa dirondai oleh pasukan berkuda, sehingga apabila salah satu desa diserang, maka deaa-desa lainnya dapat mengirimkan bantuannya, sehingga musuh malahan terancam akan terjepit dari semua arah. Dengan demikian, daerah pengaruh Cu Leng-ong jauh lebih luas dari "wilayah" yang pernah dikuasai oleh Li Tiang-hong di daerah Hun-lam dulu. Apalagi "wilayah" Pangeran Cu Leng-ong ini tersebar luas ditempat yang bergunung-gunung dan tidak rata, sehingga sulit untuk digempur dengan seketika. Berbeda dengan daerah pengaruh Li Tiang-hong dulu yang daerahnya memang merupakan dataran ilalang yang luas dan rata, sehingga mudah diserang. Hanya adanya hutan-hutan tempat persembunyianlah yang masih menyelamatkan Li Tiang Hong sampai saat ini. Namun sekarang Li Tiang-hong sudah membawa seluruh anak buahnya untuk bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong. Giok-seng Tojin berjalan-jalan di jalan-jalan yang penuh laskar yang hilir mudik itu dengan sikap acuh tak acuh. Beberapa laskar mengangguk hormat Kepadanya meskipun tidak mendapat balasan. Imam itu sama sekali tidak menghina tapi juga tidak kagum melihat semuanya itu, seolah-olah segala apa yang dilakukan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Tiba-tiba Giok-seng Tojin melihat dua orang laskar mendekatinya dan memberi hormat kepadanya. Imam itu tetap tidak mengacuhkannya, sebab berratus-ratus laskar berbuat serupa dengan mereka berdua, namun yang mengejutkan Giok-seng Tojin, adalah ketika ia mendengar salah seorang laskar itu berkata dengan suara yang berbisik, "Ada pesan dari Te-liong Hiangcu. Mari ke tempat sepi.... |
Selanjutnya;
|