Pendekar Naga dan Harimau Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 20

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
BAGI Tong Lam-hou, tugas pertamanya itu telah membuat semangatnya berkobar, inilah kesempatan untuk mengangkat nama besar, sekaligus membaktikan diri kepada ketertiban di negeri ini. Ia tahu bahwa tidak seluruh pasukan akan dibawa, namun ia sangat berharap bahwa dirinya akan termasuk yang dipilih untuk berangkat ke medan laga.

Apalagi ia mendengar bahwa penggerak dari perlawanan di bagian barat itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut diri mereka Jit-goat-pang (Serikat Matahri dan Rembulan) yang setia kepada cita-cita berdirinya kembali Kerajaan Beng. Dari nama perserikatan itu saja, yang mengandung huruf "jit" (Matahari) dan "goat (Rembulan) yang jika kedua huruf itu direndengkan akan membentuk huruf "beng" (ming artinya "cahaya terang"), sudah dapat ditebak kerana kiblat perjuangan mereka.

Dan mereka memang dipimpin oleh beberapa bekas bangsawan atau bekas panglima dinasti Beng yang tetap tidak mengakui kenyataan berkuasanya pemerintahan dinasti yang baru. Untuk Tong Lam-hou, setiap kata yang mengandung pengertian "jit-goat" atau "dinasti Beng" telah membuatnya teringat akan pembantaian keji di Jit-siong-tin, dan membuat kegeraman Tong Lam-hou terhadap golongan Jit-goat-pang itu semakin mendalam. Buat Tong Lam-hou, untuk menegakkan ketertiban di seluruh negeri, tidak ada pilihan lain kecuali menumpas Jit-goat-pang sampai ke akar-akarnya.

Ketika Tong Lam-hou mengetuk pintu kamar di mana Siangkoan Hong beristirahat, ia mendapat jawaban dari dalam, "Masuklah!"

Dengan tangan membawa nampan yang berisi beberapa mangkuk makanan dan sepoci teh hangat, Tong Lam-hou melangkah masuk. Katanya, "Paman Siangkoan, bagaimana luka-luka dalammu?"

Siangkoan Hong nampak duduk bersila sambil bertelanjang dada di atas pembaringan, tubuhnya masih bersimbah Keringat, agaknya ia baru saja selesai melakukan semedi untuk menyembuhkan dirinya. Ketika melihat Tong Lam-hou telah berpakaian lengkap, Siangkoan Hong bertanya, "Kau hendak ke mana?"

"Aku harus ke tangsi hari ini. Tapi di sini ada paman dan bibi Ciu yang akan melayani segala keperluan paman."

Sahut Siangkoan Hong, "Tidak jadi soal, selama aku tinggal di Jiat-ho selama bertahun-tahun, aku sudah biasa meladeni diriku sendiri."

"Selama ini paman tinggal di daerah Jiat-ho?" tanya Tong Lam-hou agak tercengang.

"Kalau Jiat-ho kenapa?"

"Bukankah Jiat-ho itu adalah tempat asal bangsa Manchu?"

"Benar. Berpuluh tahun aku tinggal di sana, bahkan sebelum bangsa Manchu melintasi San-hai-koan dan menguasai Tiong-goan, rasa-rasanya aku menjadi orang Manchu asli karena berkumpul terlalu lama dengan mereka. Tetapi kau nampaknya heran mendengar aku pernah tinggal di Jiat-ho?"

"Memang agak diluar dugaanku, paman," kata Tong Lam-hou berterus-terang. "Maaf, paman, bukankah setelah Hwe-liong-pang mengalami hari naasnya di puncak Tiau-im-hong itu maka banyak anggotanya yang bergabung dengan pergerakan Li Cu-seng untuk dinasti Beng, dan kemudian pergerakan itu dilanjutkan dengan melawan pemerintah Manchu? Jadi... bagaimana dengan paman?"

Siangkoan Hong memakai kembali bajunya, lalu turun dari pembaringan dan mencomot sebuah bakpau yang langsung digigitnya. Dengan mulut penuh makanan ia berkata, "Aku tidak termasuk orang yang bergabung dengan Li Cu-seng. Ternyata Li Cu-seng sama saja dengan dinasti sebelumnya. Li Cu-seng sendiri orangnya baik, aku tahu itu, namun banyak orang-orang bawahannya yang berhati busuk, sehingga rakyat yang terbebas dari dinasti Beng sama saja dengan lepas dari mulut macan masuk ke mulut buaya. Kalau sudah demikian, kenapa orang Manchu tidak boleh menjadi pemerintah yang baik pula? Bagiku, mereka bukan orang asing yang menjajah, mereka juga orang kita juga, andaikata ada perbedaan dalam cara berpakaian maupun kebudayaan, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan kekacauan yang terus menerus seperti sekarang ini. Akhirnya rakyat juga yang menderita, sementara si pengacau dengan enaknya mengeluarkan teori ini teori itu untuk membenarkan tindakan mereka sendiri tapi rakyat butuh kedamaian, bukan teori."

Tong Lam-hou tertawa gembira mendengar pendapat paman Siangkoan-nya itu, "Jadi paman sependapat denganku rupanya."

"Ya, aku tidak peduli yang duduk di singgasana itu seorang Han atau seorang Manchu atau apapun, asal dia dapat memajukan negara, apa salahnya? Tapi jangan lupa bahwa kau adalah putera Hwe-liong Pangcu dan menjadi tugasmu untuk mendirikan kembali serikat yang membela rakyat kecil itu. Bahkan jika kelak kau lihat pemerintahan Manchu mulai menyengsarakan rakyat, kau harus menanggalkan seragammu itu dan berdiri di pihak rakyat. Paham?"

"Bukankah paman mengatakan sendiri tidak membeda-bedakan..."

"Memang benar, yang membedakan apakah suatu pemerintahan itu baik atau buruk adalah berhasil atau tidaknya mengendalikan negara dan menciptakan keamanan bagi rakyatnya."

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti, dan bahkan la sependapat dengan paman gurunya itu. "Nah, paman, aku pergi dulu. Aku sudah menyuruh bibi Ciu menyiapkan air hangat untuk mandi paman. Apa-apa yang paman butuhkan tinggal minta saja kepada mereka."

"Baik. Pergilah."

Tong Lam-hou melangkah keluar dari rumahnya menuju ke tangsi yang jaraknya hanya beberapa ratus langkah. Dengan tubuh yang segar dengan perut yang kenyang dan pakaian bersih menempel di badannya, maka ia merasa amat segar pagi itu. Ia membalas hormat dari beberapa orang prajurit peronda yang berpapasan dengannya. Jika prajurit-prajurit itu tidak menyapanya dengan hormat, Tong Lam-hou kadang-kadang masih lupa bahwa sekarang dia adalah seorang congpeng, seorang perwira tinggi yang hampir sejajar dengan seorang Panglima.

Bahkan di Hui-liong-kun dia berkedudukan sebagai seorang Jian-hu-thio (pemimpin untuk seribu orang prajurit), suatu kedudukan yang cukup baik, sebab dalam pasukan Hui-liong-kun yang memiliki prajurit limabelas ribu orang itu hanya ada limabelas orang Jian-hu-thio, yang langsung berada di bawah Panglima mereka, Pakkiong Liong.

Rasa-rasanya Tong Lam-hou masih ingin tertawa, bergurau, melompat dan berteriak dengan bebas seperti ketika masih digunung dulu. Namun kini tidak dapat, seragamnya itulah yang mengekangnya. Apa kata orang kalau melihat seorang perwira tinggi bergurau dan tertawa tawa di luar batas?

Di tangsi, para Jian-hu-thio sudah berkumpul semuanya. Semuanya sudah dikenal oleh Tong Lam-hou. Ada yang hubungannya dengannya cukup baik, seperti beberapa lagi hanya kenal-kenal biasa saja, tidak terlalu akrab, malahan ada yang bersikap kurang menyenangkan terhadap Tong Lam-hou tidak peduli, jiwanya sudah siap sejak dulu dalam menghadapi sikap-sikap seperti itu.

Sambil menunggu Pakkiong Liong tiba, Tong Lam-hou sempat bercakap-cakap dengan perwira-perwira yang sudah dikenalnya dengan baik. Di lapangan tengah dari tangsi itu, nampak ratusan prajurit Hui-liong-kun dengan bertelanjang dada tengah melakukan latihan-latihan berat di bawah pimpinan beberapa orang Pek-hu-thio (Pemimpin seratus orang prajurit). Latihan yang jauh lebih berat dari pendadaran penerimaan prajurit beberapa saat yang lalu.

Hui-liong-kun adalah pasukan yang selalu berlatih secara teratur, tidak peduli ada perang atau tidak, dan itulah yang menyebabkan pasukan itu begitu tangguh di medan laga, meskipun jumlahnya boleh dikata paling kecil di antara pasukan-pasukan di Pak-khia lainnya. Selalu saja Pakkiong Liong setiap ada kesempatan memberinya peringatan kepada prajurit-prajuritnya, "Lebih baik sekarang kalian mandi keringat dalam latihan, daripada nanti mandi darah di pertempuran."

Percakapan para perwira itupun terhenti ketika seorang prajurit masuk dari melaporkan, "Tuan-tuan, Pakkiong Ciangkun telah tiba."

Para perwira itupun segera merapikan pakaian mereka dan berbaris rapi di dekat pintu. Tidak terkecuali Tong Lam-hou. Tanpa seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah sahabat karib yang tidak dibatasi ikatan apapun. Tapi dengan seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah bawahan dan atasan yang diikat oleh tata tertib ketenteraman yang ketat dan keras. Tidak boleh seorang mentang-mentang bersahabat dengan Panglimanya lalu menjungkir balikkan tata tertib semaunya, sebab itu akan merusak seluruh pasukan.

Belum lagi prajurit yang melapor itu keluar dari ruangan itu, Pakkiong Liong telah melangkah masuk keruangan itu dengan diiringi dua orang pengawalnya. Para perwira menjadi heran juga bahwa Sidang Istana sudah selesai dalam waktu singkat, sebab biasanya sidang-sidang seperti itu akan berlangsung setengah hari lebih.

Setelah menerima penghormatan perwira-perwiranya, Pakkiong Liong segera menduduki kursinya di belakang sebuah meja besar. Di atas meja besar banyak terdapat benda-benda ketentaraan seperti bendera-bendera kecil berwarna-warni yang sering dijadikan isyarat dalam peperangan, lempengan-lempengan logam yang merupakan leng-ci (tanda perintah) dan sebagainya.

Begitu ia duduk dan semua perwira Jian-hu-thionya telah duduk pula di kursinya masing-masing, maka dengan wajah cerah Pakkiong Liong berkata, "Saudara-saudara, sekali lagi kita mendapat kepercayaan dari kaisar untuk menunjukkan kemampuan kita. Kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah bahwa kita akan berangkat dua hari lagi."

Sesaat Pakkiong Liong berhenti berucap, dan ketika dilihatnya wajah perwira-perwiranya itu sama-sama menyala penuh gairah perjuangan, maka iapun melanjutkan, "Saudara Bok Teng-san, terimalah perintah!"

Perwira bernama Bok Teng-san itu bukan Jian-hu-thio melainkan perwira di bagian perbekalan dari pasukan Hui-liong-kun. Tubuhnya kurus dan kulitnya kuning seperti orang penyakitan, namun dia lihay dalam permainan toya, dan terhitung perwira yang tangguh meskipun tugasnya selalu di garis belakang, yaitu bagian perbekalan atau ransum. Namun tugas itu penting, sebab prajurit tanpa ransum akan kelaparan, dan tidak ada prajurit kelaparan yang bisa bertempur dengan baik.

Ketika mendengar namanya dipanggil, ia segera maju berlutut sambil menyembah "Siap menerima perintah, Ciangkun!"

Pakkiong Liong menyerahkan sebuah leng-ci sambil berkata, "Dalam dua hari, siapkan perbekalan untuk limaribu orang prajurit. Perjalanan akan cukup jauh dan kita mungkin akan sebulan lebih berada di medan tempur."

Dengan kedua tangannya Bok Teng-san menerima tanda perintah itu, dan kemudian kembali ke tempat duduknya. Lalu suara Pakkiong Liong terdengar lagi, "Kita akan membawa lima ribu prajurit, berarti lima kelompok dari pasukan kita. Pasukan yang beberapa saat yang lalu sudah kita persiapkan akan berangkat. Lima kelompok dari pasukan kita yang akan berangkat adalah kelompok satu pimpinan saudara Ha To-ji, kelompok tiga pimpinan saudara Han Yong-kim, kelompok lima pimpinan saudara Le Tong-bun, dan kelompok tujuh pimpinan saudara Tokko Seng serta kelompok sembilan saudara Tong Lam-hou. Harap para Jian-hu-thio yang terpilih menerima leng-ci!"

Kelima orang perwira itupun nampak berseri ketika mendengar nama mereka disebut, terutama Tong Lam-hou yang baru pertama kali ini akan terjun dalam peperangan besar, kesempatan mengabdi kepada Negara dan Kaisar seperti yang diimpikannya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san, dan sekaligus juga untuk mencari nama cemerlang. segera berlutut dan menerima leng-ci dengan kedua tangan masing-masing.

Kata Pakkiong Liong lagi, "Meskipun prajurit-prajurit yang akan kita terjunkan ke medan hanya dari lima kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari seribu orang, namun hampir semua perwira Jian-hu-thio akan ikut dalam pasukan, sebab di dalam pasukan pemberontak itu banyak orang yang berilmu tinggi, dan penanganan terhadap mereka tentu tidak bisa kita serahkan kepada para prajurit saja. Karena itu aku memutuskan bahwa saudara-saudara Ko Lung-to, Na Hong, Tam-tai Hok, Hulantou dan Wanyen Hui akan memperkuat pasukan meskipun tanpa kelompok mereka!"

Kelima perwira itupun segera menerima leng-ci. Dari ke sepuluh orang Jian-hu-thio yang akan terjun ke medan perang, mereka terdiri dari macam-macam suku. Yang orang Manchu sendiri malahan hanya empat orang, lainnya adalah orang Han, Mongol, Korea, Sehe, atau bahkan campuran Han dan Uigar seperti Tong Lam-hou. Namun perbedaaan itu tidak jadi soal dalam pasukan Hui-liong-kun, semuanya berseragam sama, akan bertempur di bawah bendera yang sama, dan yang penting aalah memiliki kesetiannya yang sama pula.

Demikianlah, dalam dua hari itu pasukan Hui-liong-kun menjadi sibuk sekali. Prajurit-prajurit dari kelompok-kelompok yang terpilih menggunakan kesempatan dua hari itu untuk berkumpul bersama sekeluarga mereka, namun sekaligus juga mengingkatkan latihan-latihan mereka. Siapapun tentu ingin pulang dari medan perang dalam keadaan hidup, bukan hanya nama. Para perwira juga menyempatkan diri untuk menguji sampai di mana tingkat ilmu silat mereka sebelum ilmu itu bakal "diasah" lagi di medan tempur.

Dalam dua hari pula Tong Lam-hou mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Sejak ia mengalami peristiwa maut hampir terbunuh oleh Te-liong Hiangcu, maka Tong Lam-hou merasa bahwa ilmunya bukan nomor satu di dunia, masih ada orang-orang yang ilmunya lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak boleh lengah lagi. Meskipun waktu dua hari adalah waktu yang terlalu sempit untuk meningkatkan suatu ilmu, namun ia tidak membuangnya begitu saja.

Pagi dari siang hari ia berlatih bersama dengan rekan-rekan perwiranya atau bahkan dengan Pakkiong Liong sendiri. Sore dan malam harinya, ia berlatih di rumahnya sendiri di bawah bimbingan Siangkoan Hong yang luka-lukanya mulai membaik. Bekas Thian-liong Hiangcu dalam Hwe-liong-pang itu tidak menambahi Tong Lam-hou dengan ilmu baru, melainkan hanya meningkatkan dan memperbaiki ilmu yang sudah ada dalam diri Tong Lam-hou sendiri.

Akhirnya hari keberangkatan pasukan itupun tiba. Lapangan Thian-an-bun yang terletak di depan Istana Kekaisaran itupun mendadak berubah warna menjadi hitam, sebab limaribu orang prajurit Hui-liong-kun yang ber-seragam hitam-hitam itu memenuhi lapangan itu. Berbaris bersap-sap dengan susunan yang rapi dan tertib, sementara ujung senjata yang mencuat ke langit seperti pucuk-pucuk daun ilalang lebatnya, berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi yang hangat.

Para Perwira berbaris di depan pasukan. Yang membedakan para perwira dengan para prajurit hanyalah pada topi mereka, sedang lain-lainnya sama semua. Pada topi para perwira di atasnya terdapat hiasan kecil dari logam yang berbentuk ujung tombak kecil, dan benang-benang merah di sekitarnya.

Hari itu adalah upacara yang disebut "sembahyang bendera", biasanya dilakukan sebelum sebuah pasukan berangkat berperang, untuk memohon berkah kemenangan dari Thian. Di depan barisan itu sudah ada sebuah bendera besar Ngo-jiau-kim-liong-ki, bendera Kerajaan Manchu yang berwarna dasar hitam dengan sulaman seekor naga berwarna emas di tengah-tengahnya.

Di bawah bendera puluhan buah meja yang disambung-sambung menjadi satu bagaikan sebuah altar raksasa yang penuh dengan sesajian dan dupa yang dibakar. Upacara itu akan dipimpin sendiri oleh Kun-su (guru negara), namun karena Kaisar menyatakan akan hadir dan ikut bersembahyang, maka upacara belum dimulai sebelum Kaisar Sun-ti keluar dari istananya.

Tiba-tiba terdengar lonceng di menara istana berbunyi keras, lalu pintu Istana yang berwarna merah itupun terbuka lebar. Sepasukan Gi-cian-si-wi (Jago-Jago Pengawal Kaisar) segera berbaris keluar, seragam mereka nampak gemerlapan tertimpa cahaya mentari pagi. Sikap para Pengawal Kaisar itu begitu kereng dan gagah, menimbulkan suasana mencengkam, dan sesungguhnya mereka bukan hanya mentereng dalam pakaian seragam dan dalam hal nama saja, tapi juga dalam ketangguhan.

Merekalah orang-orang terpilih, satu dari selaksa prajurit, siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Kaisar junjungan mereka. Jika di Kerajaan Mancu ada pasukan yang lebih tangguh dari Pasukan Hui-liong-kunnya Pakkiong Liong Itulah Gi-cian-sl-wi dan Lwe-teng-wi-su (Pengawal Istana), lain tidak.

Begitu tiba di luar pintu gerbang Istana, jago-jago Gi-cian-si-wi itu sebera berpencaran ke segala aral, untuk mengamankan semua sudut lapangan, terutama di sekitar altar besar tempat Kaisar nanti akan mengikuti upacara sembahyang bendera. Lapisan dalam dari pengawalan itu terdiri dari jago-jago Gi-cian-si-wi yang berseragam kuning kemilau.

Sedangkan bagian luarnya adalah jago-jago Lwe-teng-wi-su yang berseragam biru laut dari kain satin, dan pinggirnya bergaris-garis putih dan kuning. Dengan demikian pengawalan terhadap Kaisar terdiri dari dua lapis jago-jago tangguh semuanya, siapapun yang akan berbuat Jahat tentu harus berpikir beberapa kali lebih dulu.

Setelah pengamanan siap, kembali genta di menara istana dipukul sekali lagi, dan semua orang yang berada di lapangan Thian-an-bun itu serempak berlutut dengan sebelah kaki ditekuk, kecuali jago-jago Gi-cian-si-wi dan Lwe-teng-wi-su yang tidak berlutut, sebab mereka tetap mengawasi segala penjuru dengan mata yang tajam.

Dari pintu gerbang Istana Kekaisaran itu muncullah Kaisar Sun-ti diiringi para menteri dan panglima. Meskipun rambut dan jenggotnya sudah berwarna kelabu, namun Kaisar masih nampak ramping terbungkus jubah kuningnya yang bersulam naga, jubah keagungan seorang kaisar dari jaman ke jaman, dan kepalanya tertutup topi yang berwarna kuning pula dengan hiasan sehelai bulu burung merak. Ia melangkah tegap didampingi seorang anak remaja yang berpakaian indah dan nampak lincah serta cerdas.

Itulah Pangeran Hian-hua, putera mahkota calon ahli waris tahta kekaisaran, yang kelak setelah naik tahta bergelar Kaisar Khong-ti dan merupakan penguasa terbesar dari dinasti Manchu, sebab ia akan memerintah enam puluh satu tahun lamanya. Masa pemerintahan terlama dengan pengendalian negara yang terbaik dibanding raja-raja sebelumnya atau sesudahnya.

Begitu Kaisar melangkah keluar, maka semua prajurit Hui-liong-kun dan siapa saja yang hadir di lapangan itu serempak berseru, "Ban-swe! Ban-swe!", sehingga suaranya bergemuruh mengguncangkan sukma. "Bam-swe" berarti secara harafiah "selaksa tahun", namun dalam tata cara kekaisaran, seruan itu diartikan sebagai doa seluruh rakyat untuk memujikan agar Kaisar panjang umur.

Genta di menara istana berbunyi lagi dan semua prajuritpun bangkit dari berlututnya. Maka upacarapun lancar dipimpin oleh Kun-su. Sri Baginda ikut menyalakan hio dan menancapkannya di depan bendera besar, sebagai permohonan kepada Langit dan Bumi agar pasukannya dianugerahi kemenangan.

Kemudian Kaisar menyerahkan sebatang pedang emas kepada Pakkiong Liong yang diterima sambil berlutut, dengan kedua tangannya pedang itu dijunjung tinggi di atas kepalanya. Selesai upacara, kaisar masuk kembali ke Istana dengan diiringi seruan para prajurit. Pintu gerbang yang tebal dan bercat merah itupun tertutup rapat kembali.

Setelah Kaisar dan para pejabat tinggi tak terlihat lagi, Pakkiong Liong mengangkat tinggi-tinggi pedang emas anugerah Kaisar itu, disambut sorak-sorai seluruh pasukan. "Saudara-saudara," seru Pakkiong Liong. "Sekarang kita berangkat menunaikan tugas!"

Tidak lama kemudian, barisan besar itupun sudah nampak keluar dari pintu gerbang sebelah barat kota Pak-khia. Diantara pasukan nampaklah bendera-benddra berkibar-kibar megah, sementara suara satu regu penabuh genderang perang menambah semangat para prajurit.

Ha To-Ji didampingi oleh Tong Lam hou berkuda paling depan dan memimpin seribu orang prajurit. Orang Mongol yang berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itu bertiga sebagai Sian-hong Ciangkun (panglima Perintis jalan), dan Tong Lam-hou adalah wakilnya. Meskipun dalam hal ilmu silat mengatur barisan dan siasat peperangan, Ha To-Ji-lah yang lebih lihai, sehingga kedudukan Sian-hong Ciangkun itu dipegang olehnya. Dan Tong lam-hou menerima keputusan itu secara wajar saja, tanpa iri toh berbakti untuk negara tidak peduli menjadi panglima atau prajurit yang paling rendah sama saja.

Dibagian ekor barisan, nampak puluhan buah gerobak yang ditarik dengan kuda-kuda sepasang-sepasang. Pengawalan di bagian itu dipercayakan kepada Ko Lung-to dan Na Hong dengan seribu orang prajuritnya, disamping anak buah sendiri pula, yang meskipun kemampuannya tidak setangguh prajurit-prajurit lainnya, namun terlatih untuk berperang pula.

Ketika rombongan itu sudah keluar dari Pak-khia, tiba-tiba nampak seorang penunggang kuda menyusul barisan itu. Kudanya yang tegar itu dilarikan dengan kencang, dan yang ada di atas punggung kuda itu ternyata adalah seorang gadis cantik yang berpakaian Manchu, lengkap dengan topi bulunya yang berwarna putih itu dan pakaiannya yang ringkas menampakkan tubuhnya yang berbentuk ramping itu. Di belakangnya berkuda pula dua orang perempuan yang berpakaian Manchu pula, yang agaknya adalah dayang-dayang dari gadis yang di depan itu.

Agaknya, gadis itu adalah puterl seorang terhormat atau orang kaya, sehingga harus diiringi dua orang pesuruh kemanapun perginya. Dia memang To li-hua, puteri dari si Panglima tua To An-ai yang sudah tidak memegang jabatannya itu. Namun keluarga To di pucuk pemerintahan dinasti Manchu memang keluarga terhormat.

Pakkiong Liong yang berada d tengah-tengah pasukan itu terkejut ketika melihat adik misannya itu menyusulnya, namun ternyata gadis itu tidak ingin menemuinya, sebab ketika melewati Pakkiong Liong, gadis itu tidak menghentikan kudanya melainkan hanya melambatakannya saja sambil melambaikan tangan.

"Mau ke mana, piau-moay?" tanya Pakkiong Hong pura-pura tidak tahu, meskipun ia tahu apa yang ada dihati adik misannya yang cantik itu.

To Li-hua tergagap sejenak dan pipinya menjadi merah, ia malu untuk berterus terang kepada kakak misannya itu karena kuatir kalau disampaikan kepada ayahnya. Maka dijawabnya sekenanya saja, "Hendak berburu!"

"Berburu apa? Kenapa tidak membawa panah?"

"Eh, aku...aku hendak berburu rubah. Panahnya kutitipkan dirumah seorang penduduk di kaki bukit."

"Rubah?? Rubah atau harimau?"

To Li-hua yang sebenarnya ingin menyusul Tong Lam-hou itu menjadi tidak sabar mendengar pertanyaan kakak misannya yang bertubi-tubi itu. Jawabnya, "Rubah boleh, harimau juga boleh!"

Ternyata Pakkiong Liong masih sempat juga menggoda adik misannya itu, tanyanya, "Harimau? Harimau dari Tia-Jong-san?"

Keruah wajah To Li-hua menjadi merah padam, ketika Pakkiong Liong tertawa terbahak-bahak maka diayunkannya pecut kudanya untuk menyabet punggung kakak misannya itu sehingga Pak-kiong Liong pura-pura menjerit kesakitan. "Aduh!"

Han Yong-kim yang juga bersahabat baik dengan To Li-hua itupun ikut "menggarap" sambil tertawa, "Kalau berburu Harimau dari Selatan sih memang tidak perlu dengan panah segala. Cukup dengan kerlingan dan senyuman, dan si harimau akan mendekat dengan jinaknya."

Ternyata punggung Han Yong-kim juga telah disabet oleh To Li-hua, sementara itu To Li-hua berpura-pura bersungut-sungut meskipun dalam hatinya sebenarnya ia merasa senang juga, "Kalian memang bermulut jahil. Awas, kalau kelak kalian kembali ke Pak-khia, aku suguhi kalian dengan makanan beracun agar kalian menjadi bisu untuk selama-lamanya."

"Si harimau juga akan kau buat bisu?" tanya Han Yong-kim sambil tertawa, namun ia buru-buru menghentikan tertawanya dan mengkerutkan kepalanya ketika melihat To Li-hua telah mengangkat pecutnya tinggi-tinggi.

Tanpa peduli lagi kepada mereka, gadis Manchu itu segera melarikan kudanya ke ujung barisan, di mana terdapat Tong Lam-hou dan Ha To-Ji. Bagi seorang gadis Manchu atau suku-suku lain di luar Tembok Besar, maka menyatakan perhatian secara terang-terangan kepada seorang lelaki memang dianggap hal yang wajar, meskipun ada juga batas-batasnya. Bagi perempuan-perempuan bangsa Han, itu dianggap tidak tahu malu dan merendahkan derajat sendiri. Tapi To Li-hua memang bukan orang Han, ia gadis berdarah Manchu asli.

"A-hou!" teriaknya ketika melihat Tong Lam-hou berkuda di depan barisan bersama Ha To-ji yang juga dikenal baik olehnya.

Ha To-ji dan Tong Lam-hou serentak menoleh ketika mendengar panggilan gadis itu, dan kemudian Ha To-ji tersenyum penuh arti kepada Tong Lam-hou, sambil berkata, "kau temani dia dulu, biar hatinya agak tenang."

Tong Lam-hou merasa agak kikuk melihat senyuman Ha To-ji itu, namun sesungguhnya diapun ingin mengucapkan kata-kata perpisahan kepada gadis Manchu itu, sehingga ia pun cepat-cepat memutar kudanya dan keluar dari barisan untuk menjumpainya.

Ketika mendengar pasukan Hui-liong-kun telah berangkat, To Li-hua buru-buru menyusulnya, namun setelah berhadapan dengan Tong Lam-hou, ternyata ia kebingungan sendiri apa yang akan diucapkannya. Akhirnya ia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam dan kata-katanyapun sangat singkat, "Kau harus kembali dengan selamat."

Sikap dan ucapan gadis Manchu itu membuat hati Tong Lam-hou tergetar hebat, suatu kehangatan yang aneh menyusup jauh sampai ke relung-relung hatinya. Jika To Li-hua masih bias mengucapkan kata-kata singkat, maka Tong Lam-hou justru tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang amat besar sebab kini ia sadar ikatan batin apa yang ada antara dirinya dan gadis itu. Tanpa berkata sepatah katapun ia menggenggam sepasang telapak tangan gadis itu erat-erat.

To Li-hua membiarkan tangannya digenggam erat, dan matanya yang coklat itu diangkat untuk membalas menatap mata Tong Lam-hou yang juga kiat. Dengan demikian mereka tidak memerlukan sepatah katapun untuk mencurahkan isi hati mereka, sebab ser sang mata masing-masing sudah berbicara sejuta kalimat. Lalu To Li-hua merenggut tangannya dari genggaman Tong Lam-hou ketika ia mendengar Han Yong kim bersuit nakal. Sesaat kemudian gaddis itu sudah menghilang kembali dalam kota Pak-khia dengan kedua hambanya.

"Begitu singkat?" tanya Ha Toji ketika Tong Lam-hou bergabung kembali ke dalam barisan.

Tong Lam-hou tidak menjawabnya kecuali dengan sebuah senyuman. Semangat tempur Tong Lam-hou kini berkobar-kobar. Jika seluruh pasukan bersemboyan "untuk Negara dan Kaisar" dalam maju ke medan laga, maka Tong lam-hou menambahnya sendiri menjadi "untuk Negara, Kaisar dan si dia!"

* * * * * * *

RIBUAN LI di sebelah barat Kotaraja Pak-khia, suasana sudah mulai panas karena Pangeran Cu Len-ong dan sisa-sisa dinasti Beng sudah mulai bergerak secara terang-terang dalam mengumpulkan kekuatan. Anggota Jit-goat-pang sendiri mencapai ribuan orang dan dipersenjatai serta terlatih cukup baik Pangeran Cu Hin-yang dan Pangeran Cu Leng-ong, yang pernah melakukan perjalanan ke selatan untuk merangkul golongan-golongan yang menentang pemerintahan Manchu itu, telah menggunakan pengaruhnya yang dulu untuk mengundang golongan-golongan itu untuk bergabung agar dapat bersatu.

Maka berdatanganlah orang-orang dari Koay-to-bun (perguruan golok kilat) yang dipimpin oleh Cu Yok-tek yang berjulukan Say-bin-koay-to (si Golok Cepat Wajah harimau). Entah benar entah tidak, Cu Yok-tek mengaku-aku masih ada hubungan dengan keluarga Cu yang menguasai dinasti Beng dulu. Dengan ngotot ia mengajukan silsilahnya kepada Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran itu sendiri pusing melihat silsilah itu karena tidak ada nama-nama yang dikenalnya.

Namun demi merangkul orang-orang Koay-to-bun yang jualannya cukup berarti, hampir 700 orang, maka Pangeran Cu Leng-ong mengakui juga silsilah itu untuk menyenangkan Cu Yok-tek bahkan memanggilnya "toako". Sedangkan Kongsun Hui, Li Tiang-hong dan lain-lainnyapun dengan setengah mendongkol setengah geli memanggil Cu Yok-tek dengan sebutan "ong-ya" (paduka pangeran) atasi permintaan pangeran Cu Leng-ong.

"Orang gila," demikian Kongsun Hui menggerutu diam-diam bersama Li Tiang-hong.

"Tapi lumayanlah, biarpun gila dia masih dapat menambah kekuatan kita."

Li Tiang-hong tersenyum. Lalu ia-pun kemudian berangkat ke Hun-lam untuk mengambil anak buahnya yang tertinggal di sana untuk digabungkan sekali kemari. Perjalanan dari Shoa-cay ke Hun-lam bolak-balik bukan perjalanan yang dekat, namun Li Tiang hong sudah bertekad untuk melakukannya. Lalu berturut-turut berdatangan pula kelompok-kelompok anti Manchu yang dulu pernah dihubungi oleh pangeran Cu Hin-yang.

Kelompok Ngo-pa-hwe (Serikat Lima Harimau yang merupakan kelompok berpengaruh di kalangan hek-te (Jalan hitam) di wilayah Hok-kian. Dengan anggota-angotanya yang terdiri dari lelaki-lelaki garang berjumlah 500 orang dipimpin lima orang saudara seperguruan yang menyebut diri mereka Ngo-pa-heng-te (lima Harimau Bersaudara).

Menyusul dua buah kelompok yang dulu sama-sama menguasai sungai Hong-ho dan saling bermusuhan, namun kemudian mereka berhasil didamaikan oleh Pangeran Cu Hin-yang sehingga merasa berhutang budi. Merekalah Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) di bawah pimpinan Kam-Koan yang terkenal mahir dengan sepasang siang-kek (tombak pendek yang dimainkan sepasang). Kemudian yang lainnya adalah Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai) dipimpin Ji Tay-hou yang membawa rantai berujung bandul besi yang dalam pekerjaannya sebagai bajak sungai Hong-ho biasa digunakannya untuk menghantam patah tiang layar kapal korban.

Setelah semuanya berkumpul dan dibariskan berderet-deret di sebuah tempat yang luas, maka terbahaklan Pangeran Cu Leng-ong sampai air matanya keluar. Setengah bangga setengah menangis, melihat bahwa ia telah mempunyai kekuatan tujuh ribu orang lebih, dengan sekian banyak "panglima" yang berilmu tinggi. Sambil tertawa ia berkata dengan bangga,

“Inilah saatnya kebangkitan kembali Kerajaan Beng yang agung! Hu-hong (ayahanda Kaisar) yang ada di langit, lihatlah anakmu ini akan menegakkan kembali kejayaan keluarga kita dengan mengusir keparat-keparat Manchu itu sampai keluar kembali ke tempat asal mereka di Jiat-ho sana!"

Kemudian ditepuk-tepuknya pundak adiknya, katanya, "Adik Hin Yang, ini adalah hasil jerih payahmu dalam perjalananmu ke selatan dulu, meskipun kau sendiri ikut menderita karena tertangkap oleh Pakkiong Liong. Namun arwah dari saudara-saudara kita yang gugur ketika mengiringimu dalam perjalanan ke selatan dulu, tentu akan tenteram sekarang. Dengan pasukan kita akan sanggup merebut kota Tay-tong yang di depan mata, dan kemudian daerah demi daerah akan kita taklukkan sebagai batu loncatan kita sambil terus memperbesar kekuatan kita. Dan tidak lama lagi pak-khia akan jatuh ke tangan kita."

Pangeran Cu Hin-yang ikut mengangguk puas melihat kekuatan yang berhasil dikumpulkannya itu. Dan ia juga tidak takut andaikata kelompok-kelompok yang tidak berasal dari Jit-goat-pang itu akan merebut kekuasaan kelak di kemudian hari, sebab sebagian besar dari kekuatan yang terkumpul itu adalah tetap orang-orang Jit-goat-pang. Namun tiba-tiba Pangeran Cu Hin-yang merasa ada suatu kekurangan.

"Kakanda," katanya kepada Pangeran Cu Leng-ong. "Dalam perjalananku ke Hun-lam dulu, aku berhasil mendamaikan antara Li Tiang-hong dengan sempalan dari Hwe-liong-pang yang disebut Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) pimpinan Siau-lo-cia ( Si Dewa Lo-cia Kecil) Ma Hiong. Kenapa kita tidak mengundang mereka untuk bergabung demi menambah kekuatan kita?"

"Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengikut-pengikut Li Cu-seng si pemberontak itu," sahut Pangeran Cu Leng-ong dengan garangnya. "Adikku, apakah kau tidak ingat sakit hati keluarga kita yang ditumpas oleh laskar Li Cu-seng ketika mereka menyerbu Istana Kerajaan?"

Pangeran Cu Hin-yang menarik napas melihat kekerasan hati kakaknya itu, namun ia tidak berputus-asa untuk membujuknya, "Kakanda, dalam masa-masa sulit di mana kita memerlukan persatuan semua kekuatan bangsa Han ini, masihkah kita memikirkan dendam pribadi dan dendam keluarga? Dalam perang, hal yang lumrah kalau ada yang terbunuh, kita tidak bisa terlalu menyalahkan Li Cu-seng. Orang Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong ternyata juga seorang laki-laki sejati yang rela menyingkirkan Kepentingan kelompoknya demi setia kawan sesama bangsa Han meskipun bekas musuhnya di masa lalu. Dialah yang menyelamatkan aku, ketika aku dan beberapa pengawalku sudah terjepit di sebuah kuil terpencil, hampir mampus oleh Pakkiong Liong dan orang-orangnya."

Namun, jika berbicara tentang bekas-bekas pengikut pemberontak Li Cu-seng yang menumbangkan dinasti Beng itu, agaknya hati Pangeran Cu Leng-Ong sudah mengeras seperti batu hitam. Segala pertimbangan yang diajukan oleh adiknya selalu ditolaknya.

"Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak ada artinya bagiku. Mereka sudah terpecah-belah, dan kelak jika sudah berhasil mengalahkan bangsa Man-chu, akan kita tumpas Hwe-liong-pang sampai seakar-akarnya," demikianlah Pangeran Cu Leng-ong selalu menjawab apabila Pangeran Cu Hin-yang mengajukan usulnya, sehingga akhirnya sang adik tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Tapi sesungguhnya kekuatan Pangeran Cu Leng-ong memang mekar terus. Ketika beberapa pihak mendengar bahwa gerakan Jit-goat-pang mulai terang-terangan mengibarkan bendera perlawanan terhadap pemerintah Manchu, maka banyaklah orang yang datang menggabungkan diri, berkelompok-kelompok atau datang sendiri-sendiri, dengan alasan yang berbeda-beda pula.

Ada yang tergerak karena melihat bahwa gerakan Pangeran Cu Leng-ong itu ada harapan akan berhasil mengusir bangsa Manchu namun ada pula yang menggabungkan diri karena terbuai oleh janji-janj menggiurkan yang diucapkan oleh Pangeran Cu Leng-ong.

Orang-orang yang betul-betul membenci bangsa Manchu, mereka akan berkelahi seperti orang mabuk di medan tempur, tanpa menghiraukan nyawanya, bahkan tanpa upah sepeserpun. Mungkin karena ada anggota keluarga mereka yang terbunuh ole; tentara Manchu atau entah ada aiasa-lainnya.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong merasa kekuatannya sudah cukup besar, maka diapun mulai bergerak menguasai desa-desa dan kota-kota kecil di sekitarnya. Dalam gerakannya itu, desa-desa yang dikuasainya akan digunakan sebagai benteng-benteng dan sekaligus lumbung-lumbung perbekalan untuk perlawanan jangka panjangnya.

Anak-anak muda atau lelaki-lelaki muda yang kelihatan masih kuat, segera ditangkapi dan dipaksa memanggul senjata bagi pihaknya. Dengan ancaman dan sekaligus bujukan, Pangeran Cu Leng-ong berhasil memperbesar jumlah pasukannya. Dan setelah itu, daerahpun diperluas lagi.

Karena banyak di antara laskar Pangeran Cu Leng-ong itu yang merupakan bekas orang-orang golongan Hitam yang kasar dan liar, maka tidak jarang dalam "membebaskan" satu desa atau kota kecil dari yang mereka sebut "penjajahan" bangsa Manchu, rakyat kecil menerima akibat-akibat yang mengerikan. Laskar-laskar yang merasa dirinya "pejuang' tentu menganggap bahwa "perjuangan" mereka harus ada imbalannya berupa harta benda atau kenikmatan-kenikmatan lain.

Maka perempuan-perempuan yang diperkosa atau rumah-rumah yang dibakar setelah dikuras isinya, bukan hal yang jarang lagi. Pendudukpun untuk sekian kalinya dipaksa merasakan akibat peperangan, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota terdekat, yaitu Tay-tong yang dikelilingi oleh tembok tinggi itu, sehingga kota itu penuh dengan pengungsi.

Alangkah marahnya Pangeran Cu Hin-Yang ketika ia menerima laporan dari pengawal-pengawal pribadinya tentang apa yang telah diperbuat oleh laskarnya kepada rakyat kecil. Dengan muka yang merah padam ia menghadap kakak nya, Pangeran Cu Leng-ong.

"Kakaknda, kebiadaban-kebiadaban laskar kita tidak boleh dibiarkan terus-menerus, harus segera diberlakukan tata-tertib ketentaraan, barang siapa yang melakukan perbuatan hina terhadap rakyat harus dihukum mati!" kata Pangeran Cu Hin-yang dengan luapan perasaan yang tercermin dari kata-katanya yang keras. "Kita ini pejuang yang ingin membebaskan tanah air kita dari cengkraman bangsa Manchu, kita ini bukan perampok-perampok liar yang berpesta-pora sambil menghancurkan di sebuah desa!"

Namun alangkah heran Pangeran Cu Hin-yang ketika mendengar kakaknya itu kelihatan tenang-tenang saja menghadapi laporannya itu. Maka Pangeran Cu Hin-yang berkata lebih lanjut, "Di Hun-lam sana, aku menyesal setengah mati ketika melihat sebuah desa bernama Jit-siong-tin dihancur-leburkan oleh orang-orang yang berpakaian seragam tentara Kerajaan Beng kita! Sungguh memalukan! Dan di sini, bukan hanya satu desa yang menjadi neraka karena ulah laskar kita!"

Sambil bersandar di kursinya dengan sikap amat santai, Pangeran Cu Leng-ong menikmati makan minumnya dengan dilayani oleh dua orang gadis muda yang cantik dan diberi pakaian seperti dayang-dayang istana di jaman Kerajaan Beng dulu. Mereka adalah gadis-gadis culikan dari beberapa desa yang dipersembahkan oleh beberapa hulubalang laskar kepada "Kaisar" mereka. Lalu terdengar suara Pangeran Cu Leng-ong di sela-sela suara giginya yang tengah mengunyah seiris buah tho yang segar,

"Adikku, tenangkan hatimu dan dinginkan kepalamu. Pada saat kita memupuk kekuatan untuk menghadapi musuh, tidak bijaksana kalau kita bersikap keras terhadap anak buah kita sendiri. Memang kita akan menertibkan mereka, tapi harus setahap demi setahap. Kalau kita langsung bersikap keras dan mengobral hukuman mati, bagaimana kalau mereka lari semua? bukankah kekuatan kita yang sedang berkembang ini akan hilang kembali? Dan kalau tentara Manchu datang, kita akan ditumpas habis!"

"Tetapi, apakah rakyat kecil akan tetap kita biarkan tanpa perlindungan sama sekali? Ingat di jaman Li Cu-seng, kakanda, rakyat yang lemah itu jika timbul kemarahannya akan seperti banjir-bandang yang tak terbendung oleh apapun, oleh pasukan sekuat apapun. Siapa yang bisa mengambil hati rakyat, dialah yang kuat!" kata Pangeran Cu Hin-yang berapi-api.

“Jangan mengulangi menyakiti hati rakyat seperti di jaman ayahanda Cong dulu, kakanda!"

"Aku bukannya mendiamkan saja rakyat menderita, akupun sedih mendengar desa diporak-porandakan oleh laskar kita, tetapi aku benar-benar belum menemukan jalan yang tepat untuk mengatasi hal ini," sahut Pangeran Cu Leng-ong. "Jangan kau kira aku tidak berpikir."

"Kelihatannya kakanda tidak sedang bersedih," kata Pangeran Cu Hin-Yang dingin. "Tapi baiklah, aku menemukan satu jalan tengah yang baik. Kita tidak perlu bertindak terlalu keras dengan menjatuhkan hukuman mati, namun cukup hukuman rangket dengan tongkat seratus kali saja. Bagaimana, kakanda?"

Dan alangkah kecewanya Pangeran Cu Hin-yang ketika melihat kakaknya menggelengkan kepalanya sambil tertawa tawar. "Tidak mudah, adikku, mereka kelak akan bertempur menyabung nyawa untuk kita, kau dengar? Sementara kita belum mampu membuat imbalan yang pantas untuk mereka dan tahu-tahu kita telah bersikap keras terhadap mereka? Adikku, aku kira sepantasnya kalau mereka memperoleh sedikit imbalan harta dan kegembiraan dari jerih payah mereka..."

"Jadi kakanda merestui mereka untuk merampok, memperkosa, membunuh semena-mena?"

"Jangan bicara sekeras itu kepadaku. Aku tidak merestui, tetapi memang kita belum bisa berbuat, lain daripada berdiam diri saja. Kita sedang memperjuangkan jutaan rakyat Han, dan dalam memperjuangkan jutaan orang itu cukup wajar kalau ada sedikit korban. Mungkin puluhan orang atau ratusan. Perjuangan jangka panjang kita memerlukan pengorbanan, bahkan pengorbanannya kan lebih berat dari yang sekarang ini kau lihat, adikku."

"Tapi yang berkorban itu bukan orang yang tidak tahu apa-apa, dan semampu kita harus membatasi jatuhnya korban itul Apa gunanya kelak kita menang, namun negeri ini sudah hancur lebur di jurang penderitaan karena ulah kita sendiri?"

Jika tadinya Pangeran Cu Leng-ong masih keliatan sabar dan tersenyum-senyum, maka makin lama diapun kelihatan makin marah melihat sikap adiknya yang terus-menerus membantah dan menentangnya itu. Ia duduk tegak dan matanyapun bersinar tajam, setajam kata-katanya,

"Aku tidak peduli, adikku, pokoknya kemenangan adalah segala-galanya bagiku. Kemenangan keluarga Cu untuk mendirikan kembali dinastinya yang sudah runtuh. Kita keturunan Cu Goan-ciang, kita harus meniru cara-caranya dalam mencapai kemenangan. Tegas, tidak ragu-ragu dalam melangkah, itulah laki-laki sejati."

Wajah Pangeran Cu Hin-yang memucat ketika mendengar jawaban itu. Tentu saja ia pernah mendengar cerita tentang leluhurnya yang bernama Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng setelah merobohkan dinasti Goan itu. Seorang yang tidak tanggung-tanggung bertindak dalam mencapai singgasana. Dilangkahinya mayat-mayat sesamanya tanpa ragu-ragu, bukan saja mayat-mayat musuhnya tetapi juga mayat-mayat orang orang yang baik dengannya yang mati oleh tangannya.

Tangan Cu Goan-siang berlumuran darah gurunya sendiri, Pheng Eng-giok, saudara angkatnya sendiri Thio Su-seng, dan sahabat-sahabatnya seperjuangan seperti Siang Gi-jun dan Han Lim-ji. Tentu saja kisah leluhurnya itu pernah dibaca oleh Pangeran Cu Hin-yang dan ia tidak menjadi bangga karenanya. Rasa muak dan marah bercampur-aduk dengan benci terpancar dari wajah Pangeran Cu Hin-yang yang tampan itu, namun tiba-tiba mereda dan berubah menjadi kecewa dan sedih yang mendalam sehingga matanya berkaca-kaca. Katanya dengan suara gemetar,

"Kalau begitu, kakanda, kemenangan laskar kakanda kelak bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kememanngan kakanda sendiri dan orang-orang yang menjilat kakanda. Kemenangan itu berarti malapetaka untuk rakyat jelata!"

"Kurang ajar kau berani bicara seperti itu kepadaku!" teriak Pangeran Cu Leng-ong sambil menggebrak meja, sehingga dayang-dayang cantik di sekitarnya inengkeret ketakutan. "Kalau kau bukan adikku dan juga telah berjasa ikut membina Jit-goat-pang bersamaku selama bertahun-tahun, kau sudah dihukum mati berdasar tata tertib ketentaraan, kita!!"

"Mana ada tata-tertib ketentaraan di sini?" balas Pangeran Cu Hin-yang tidak kalah kerasnya. "Ini bukan tentara ini cuma sebuah gerombolan penyamun yang berseragam tentara!"

Dan sehabis berkata demikian, tanpa berkata sepatah katapun Pangeran Cu Hin-yang membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Dua orang penjaga pintu yang mengangguk hormat kepadanya tidak dihiraukannya.

Sepeninggal adiknya, Pangeran Cu Leng-ong menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengendapkan gejolak hatinya. Ia cukup sayang kepada adiknya itu, namun lebih sayang lagi kepada ambisinya untuk merebut singgasana. Ia sudah mulai dengan langkah pertama yang ia anggap berhasil, dan ia tidak ingin langkah pertamanya itu dijegal oleh siapapun meskipun oleh adiknya sendiri. Demi cita-cita, orang harus keras, demikian tekadnya.

"Pengawal!" teriak Pangeran Cu Leng-ong.

Seorang pengawal yang seragamnya mirip seragam prajurit Kerajaan Beng jaman dulu segera berlari-lari masuk dan berlutut di depan Pangeran Cu Leng-ong, "Hamba siap menjalankan perintah ong-ya!"

"Panggil imam dari Hoa-san-pay itu kemari!"

"Baik, ong-ya."

Prajurit itu segera pergi dan tak lama kemudian datanglah ia kembali bersama seorang Tojin (imam agama To) berjubah kuning yang pada dadanya ada gambar pat-kwa, sambil berjalan ia selalu menggoyang-goyang sebuah hudtim di tangan kanannya. Mata imam garang seperti mata alap-alap, sedikitpun tidak serasi dengan jubah keagamannya.

Melihat imam itu, Pangeran Cu Leng-ong segera memberi hormat lebih dulu sambil memanggil, "Su-siok (paman guru)!"

Imam itupun mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Namanya Giok-seng Tojin, dari Hoa-san-pay. Hoa-san-pay adalah sebuah perguruan silat yang tidak secara terang-terangan menentang pemerintahan Manchu, bahkan segala maklumat pemerintah Manchu, misalnya untuk menguncir rambut setiap lelaki seperti orang Manchu, dituruti semua oleh perguruan ini. Namun Hoa-san-pay juga tidak melarang murid-muridnya untuk ikut dalam gerakan menentang bangsa Manchu, hanya saja atas nama pribadi, bukan atas nama Hoa-san-pay.

Karena sikapnya inilah maka ada beberapa orang Hoa-san-pay yang ikut dalam pergerakan Pangeran Cu Leng-ong ini. Di jaman dinasti Beng dulu, ketika Pangeran Cu Leng-ong dan Cu Hin-yang masih remaja, mereka memang pernah berguru ilmu silat di Hoa-san-pay, sehingga kedua bekas bangsawan itu memang mempunyai hubungan khusus dengan perguruan terkenal itu.

Karena itu tidak mengherankan kalau Giok-seng Tojin tiba-tiba saja bergabung deiigan pergerakan Pangeran Cu Leng-ong untuk menyumbangkan tenaganya, bahkan langsung menduduki jabatan sebagai penasehat Pangeran Cu Leng ong. Dengan siasatnya itu Pangeran Cu Leng-ong berharap akan lebih banyak lagi orang-orang Hoa-san-pay yang bergabung dengan laskarnya yang kini jumlahnya mendekati sepuluh ribu itu. Namun sejak kedatangannya, Pangeran Cu Leng-ong merasakan adanya sesuatu yang lain dengan paman gurunya ini.

Paman gurunya ini dulu dikenal sebagai seorang yang periang dan gemar berbicara, tatapan matanyapun tidak garang, tapi sekarang ini ia nampak berubah. Ia bicara sedikit-sedikit saja, tatapan matanyapun mirip seekor alap-alap, entah apa yang membuatnya berubah. Pangeran Cu Leng-ong tidak peduli. Ia memang lebih membutuhkan orang-orang berwatak ganas di dalam laskarnya itu, daripada orang-orang yang "berhati lemah" seperti adiknya tadi.

Setelah keduanya duduk berhadapan, Giok-seng Tojin bertanya, "Ada apa Pangeran mengundangku?"

Pangeran Cu Leng-ong tidak bicara bertele-tele dan langsung saja ke titik persoalan, "Susiok, adalah su-siok melihat perubahan sikap adikku belakangan ini?"

"Aku kurang memperhatikannya, Pangeran."

Pangeran menarik napas dalam-dalam, "Tidak jadi soal, susiok. Tapi belakangan ini kulihat adikku itu semakin berani menentang aku, memaksakan agar aku menerima pendapatnya untuk menerapkan tata tertib ketenteraan yang amat keras terhadap laskar kita ini. Dan jika aku jawab bahwa itu belum waktunya, diapun marah-marah. Sikapnya kepadaku semakin lama semakin tidak menghormat."

Giok-seng Tojin diam saja mendengar ucapan-ucapan Pangeran itu, bahkan ketika Pangeran itu berhenti berbicara sambil melirik kepadanya, maka imam bermata alap-alap itu masih saja duduk tenang tanpa menjawab sepa-tah katapun Pangeran melanjutkan,

"Aku kuatirkan dua hal. Jika dia mengutarakan kemarahannya itu dalam rapat penting para hulubalang laskar, maka aku akan menjadi serba salah. Jika tidak dihukum, kewibawaanku akan merosot di pandangan para hulubalang, tapi jika dihukum maka dia adalah satu-satunya saudaraku yang telah bertahun-tahun berjuang bersamaku sampai kita mencapai keadaan sebagus ini untuk mulai bergerak. Kekuatiranku yang kedua, jika terdorong oleh kekecewaannya kepadaku ia akan mengambil tindakan-tindakan sendiri diluar tahuku, sehingga menyakiti hati para laskar dan dengan demikian bisa membubarkan rencana kita ini."

"Sikap Pangeran terhadap adik pangeran sendiri, tergantung kepadamu," sahut imam itu dengan suara datar tanpa perasaan apa-apa. "Pangeran adalah pemimpin seluruh laskar perjuangan di sini, dan meskipun aku paman gurumu, aku harus tunduk kepada Pangeran. Tidak seperti ketika di Hoa-san-pay. Perintahkan apa yang harus aku perbuat atas diri Pangeran Cu Hin-yang."

"Aku minta pendapat susiok."

"Aku tidak punya pendapat apa-apa."

Melihat sikap Giok-seng itu, diam-diam Pangeran Cu Leng-ong melihat semakin jelas perbedaan antara Giok-seng Tojin yang dulu dengan yang di hadapannya saat ini. Tapi bagi Pangeran itu tidak penting, pokoknya tenaganya bisa dimanfaatkan untuk menambah kekuatan laskarnya, habis perkara. Kata Pangeran Cu Leng-ong kemudian,

"Pepatah kuno mengatakan, demi menjaga keutuhan cita-cita perjuangan, maka kasih sayang dalam keluarga sendiripun harus dinomor duakan. Susiok, aku minta kepada susiok untuk mengawasi dan membayangi setiap gerak-gerik adikku itu."

"Hanya membayangi dan mengawasi saja?"

"Ya, tapi jika ia melakukan tindakan-tindakan yang bisa membahayakan kelanjutan perjuangan menegakkan kembali dinasti Beng ini, maka susiok boleh mengambil tindakan-tindakan seperlunya."

"Baik, aku mohon pamit, Pangeran." Sambil berkata demikian maka Giok-seng Tojin segera bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan tempat itu. Apalagi cuma mengawasi dan membayangi, andaikata disuruh untuk langsung mencabut nyawa Pangeran Cu Hin-yang pun maka imam itu tidak akan berkedip untuk melakukan tugasnya.

Sementara itu, Pangeran Cu Leng-ong masih kurang mantap rasanya kalau hanya menugaskan susioknya sendiri untuk mengawasi adiknya. Ia masih memerintahkan pula beberapa orang dekatnya yang paling dipercaya untuk mengawasi adiknya secara diam-diam. Hanya saja, orang-orang ini wewenangnya tidak dengan "bertindak seperlunya" seperti Giok-seng Tojin. Hanya mengawasi.

Giok Seng Tojin berjalan keluar dari gedung tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang dijadikan "Pusat pemerintahan Kerajaan Beng" untuk sementara itu. Gedung besar yang dikawal ketat oleh orang-orang terpercaya Jit-goat-pang itu tadinya adalah rumah seorang kepala desa yang agak besar, namun setelah Pangeran Cu Leng-ong keluar dari persembunyiannya bersama seluruh kekuatannya, maka desa itupun menjadi "ibukota" tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Penduduk yang mempunyai sawah ladang tetap harus bekerja, tapi sebagian besar hasil bumi mereka harus disumbangkan untuk "dana perjuangan", bahkan kaum lelaki yang masih kelihatan kuat telah dipaksa untuk memanggul senjata, suka atau tidak suka.

Sekeliling desa juga telah dibangun tembok-tembok pertahanan yang meskipun hanya terbuat dari batu, kayu dan tanah liat namun cukup memadai. Apalagi dilengkapi pula dengan alat-alat dan bambu yang bisa melontar-lontarkan batu sebesar kepala, di samping pasukan pemanah dan pelempar lembing yang siap setiap waktu.

Desa itu terlalu sempit untuk menampung sepuluh ribu laskar Pangeran Cu Leng-ong, maka desa itu hanya salah satu dari mata rantai kubu-kubu pertahanan yang dibangun oleh Pangeran Cu Leng-ong. Kubu-kubu yang terdiri dari berpuluh-puluh desa yang dibentengi dan dipersenjatai itu satu sama lain dihubungkan dengan jalan-jalan yang lebar, yang senantiasa dirondai oleh pasukan berkuda, sehingga apabila salah satu desa diserang, maka deaa-desa lainnya dapat mengirimkan bantuannya, sehingga musuh malahan terancam akan terjepit dari semua arah.

Dengan demikian, daerah pengaruh Cu Leng-ong jauh lebih luas dari "wilayah" yang pernah dikuasai oleh Li Tiang-hong di daerah Hun-lam dulu. Apalagi "wilayah" Pangeran Cu Leng-ong ini tersebar luas ditempat yang bergunung-gunung dan tidak rata, sehingga sulit untuk digempur dengan seketika.

Berbeda dengan daerah pengaruh Li Tiang-hong dulu yang daerahnya memang merupakan dataran ilalang yang luas dan rata, sehingga mudah diserang. Hanya adanya hutan-hutan tempat persembunyianlah yang masih menyelamatkan Li Tiang Hong sampai saat ini. Namun sekarang Li Tiang-hong sudah membawa seluruh anak buahnya untuk bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong.

Giok-seng Tojin berjalan-jalan di jalan-jalan yang penuh laskar yang hilir mudik itu dengan sikap acuh tak acuh. Beberapa laskar mengangguk hormat Kepadanya meskipun tidak mendapat balasan. Imam itu sama sekali tidak menghina tapi juga tidak kagum melihat semuanya itu, seolah-olah segala apa yang dilakukan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Tiba-tiba Giok-seng Tojin melihat dua orang laskar mendekatinya dan memberi hormat kepadanya. Imam itu tetap tidak mengacuhkannya, sebab berratus-ratus laskar berbuat serupa dengan mereka berdua, namun yang mengejutkan Giok-seng Tojin, adalah ketika ia mendengar salah seorang laskar itu berkata dengan suara yang berbisik, "Ada pesan dari Te-liong Hiangcu. Mari ke tempat sepi....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 20

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 20

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
BAGI Tong Lam-hou, tugas pertamanya itu telah membuat semangatnya berkobar, inilah kesempatan untuk mengangkat nama besar, sekaligus membaktikan diri kepada ketertiban di negeri ini. Ia tahu bahwa tidak seluruh pasukan akan dibawa, namun ia sangat berharap bahwa dirinya akan termasuk yang dipilih untuk berangkat ke medan laga.

Apalagi ia mendengar bahwa penggerak dari perlawanan di bagian barat itu adalah gerakan bawah tanah yang menyebut diri mereka Jit-goat-pang (Serikat Matahri dan Rembulan) yang setia kepada cita-cita berdirinya kembali Kerajaan Beng. Dari nama perserikatan itu saja, yang mengandung huruf "jit" (Matahari) dan "goat (Rembulan) yang jika kedua huruf itu direndengkan akan membentuk huruf "beng" (ming artinya "cahaya terang"), sudah dapat ditebak kerana kiblat perjuangan mereka.

Dan mereka memang dipimpin oleh beberapa bekas bangsawan atau bekas panglima dinasti Beng yang tetap tidak mengakui kenyataan berkuasanya pemerintahan dinasti yang baru. Untuk Tong Lam-hou, setiap kata yang mengandung pengertian "jit-goat" atau "dinasti Beng" telah membuatnya teringat akan pembantaian keji di Jit-siong-tin, dan membuat kegeraman Tong Lam-hou terhadap golongan Jit-goat-pang itu semakin mendalam. Buat Tong Lam-hou, untuk menegakkan ketertiban di seluruh negeri, tidak ada pilihan lain kecuali menumpas Jit-goat-pang sampai ke akar-akarnya.

Ketika Tong Lam-hou mengetuk pintu kamar di mana Siangkoan Hong beristirahat, ia mendapat jawaban dari dalam, "Masuklah!"

Dengan tangan membawa nampan yang berisi beberapa mangkuk makanan dan sepoci teh hangat, Tong Lam-hou melangkah masuk. Katanya, "Paman Siangkoan, bagaimana luka-luka dalammu?"

Siangkoan Hong nampak duduk bersila sambil bertelanjang dada di atas pembaringan, tubuhnya masih bersimbah Keringat, agaknya ia baru saja selesai melakukan semedi untuk menyembuhkan dirinya. Ketika melihat Tong Lam-hou telah berpakaian lengkap, Siangkoan Hong bertanya, "Kau hendak ke mana?"

"Aku harus ke tangsi hari ini. Tapi di sini ada paman dan bibi Ciu yang akan melayani segala keperluan paman."

Sahut Siangkoan Hong, "Tidak jadi soal, selama aku tinggal di Jiat-ho selama bertahun-tahun, aku sudah biasa meladeni diriku sendiri."

"Selama ini paman tinggal di daerah Jiat-ho?" tanya Tong Lam-hou agak tercengang.

"Kalau Jiat-ho kenapa?"

"Bukankah Jiat-ho itu adalah tempat asal bangsa Manchu?"

"Benar. Berpuluh tahun aku tinggal di sana, bahkan sebelum bangsa Manchu melintasi San-hai-koan dan menguasai Tiong-goan, rasa-rasanya aku menjadi orang Manchu asli karena berkumpul terlalu lama dengan mereka. Tetapi kau nampaknya heran mendengar aku pernah tinggal di Jiat-ho?"

"Memang agak diluar dugaanku, paman," kata Tong Lam-hou berterus-terang. "Maaf, paman, bukankah setelah Hwe-liong-pang mengalami hari naasnya di puncak Tiau-im-hong itu maka banyak anggotanya yang bergabung dengan pergerakan Li Cu-seng untuk dinasti Beng, dan kemudian pergerakan itu dilanjutkan dengan melawan pemerintah Manchu? Jadi... bagaimana dengan paman?"

Siangkoan Hong memakai kembali bajunya, lalu turun dari pembaringan dan mencomot sebuah bakpau yang langsung digigitnya. Dengan mulut penuh makanan ia berkata, "Aku tidak termasuk orang yang bergabung dengan Li Cu-seng. Ternyata Li Cu-seng sama saja dengan dinasti sebelumnya. Li Cu-seng sendiri orangnya baik, aku tahu itu, namun banyak orang-orang bawahannya yang berhati busuk, sehingga rakyat yang terbebas dari dinasti Beng sama saja dengan lepas dari mulut macan masuk ke mulut buaya. Kalau sudah demikian, kenapa orang Manchu tidak boleh menjadi pemerintah yang baik pula? Bagiku, mereka bukan orang asing yang menjajah, mereka juga orang kita juga, andaikata ada perbedaan dalam cara berpakaian maupun kebudayaan, itu bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan kekacauan yang terus menerus seperti sekarang ini. Akhirnya rakyat juga yang menderita, sementara si pengacau dengan enaknya mengeluarkan teori ini teori itu untuk membenarkan tindakan mereka sendiri tapi rakyat butuh kedamaian, bukan teori."

Tong Lam-hou tertawa gembira mendengar pendapat paman Siangkoan-nya itu, "Jadi paman sependapat denganku rupanya."

"Ya, aku tidak peduli yang duduk di singgasana itu seorang Han atau seorang Manchu atau apapun, asal dia dapat memajukan negara, apa salahnya? Tapi jangan lupa bahwa kau adalah putera Hwe-liong Pangcu dan menjadi tugasmu untuk mendirikan kembali serikat yang membela rakyat kecil itu. Bahkan jika kelak kau lihat pemerintahan Manchu mulai menyengsarakan rakyat, kau harus menanggalkan seragammu itu dan berdiri di pihak rakyat. Paham?"

"Bukankah paman mengatakan sendiri tidak membeda-bedakan..."

"Memang benar, yang membedakan apakah suatu pemerintahan itu baik atau buruk adalah berhasil atau tidaknya mengendalikan negara dan menciptakan keamanan bagi rakyatnya."

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti, dan bahkan la sependapat dengan paman gurunya itu. "Nah, paman, aku pergi dulu. Aku sudah menyuruh bibi Ciu menyiapkan air hangat untuk mandi paman. Apa-apa yang paman butuhkan tinggal minta saja kepada mereka."

"Baik. Pergilah."

Tong Lam-hou melangkah keluar dari rumahnya menuju ke tangsi yang jaraknya hanya beberapa ratus langkah. Dengan tubuh yang segar dengan perut yang kenyang dan pakaian bersih menempel di badannya, maka ia merasa amat segar pagi itu. Ia membalas hormat dari beberapa orang prajurit peronda yang berpapasan dengannya. Jika prajurit-prajurit itu tidak menyapanya dengan hormat, Tong Lam-hou kadang-kadang masih lupa bahwa sekarang dia adalah seorang congpeng, seorang perwira tinggi yang hampir sejajar dengan seorang Panglima.

Bahkan di Hui-liong-kun dia berkedudukan sebagai seorang Jian-hu-thio (pemimpin untuk seribu orang prajurit), suatu kedudukan yang cukup baik, sebab dalam pasukan Hui-liong-kun yang memiliki prajurit limabelas ribu orang itu hanya ada limabelas orang Jian-hu-thio, yang langsung berada di bawah Panglima mereka, Pakkiong Liong.

Rasa-rasanya Tong Lam-hou masih ingin tertawa, bergurau, melompat dan berteriak dengan bebas seperti ketika masih digunung dulu. Namun kini tidak dapat, seragamnya itulah yang mengekangnya. Apa kata orang kalau melihat seorang perwira tinggi bergurau dan tertawa tawa di luar batas?

Di tangsi, para Jian-hu-thio sudah berkumpul semuanya. Semuanya sudah dikenal oleh Tong Lam-hou. Ada yang hubungannya dengannya cukup baik, seperti beberapa lagi hanya kenal-kenal biasa saja, tidak terlalu akrab, malahan ada yang bersikap kurang menyenangkan terhadap Tong Lam-hou tidak peduli, jiwanya sudah siap sejak dulu dalam menghadapi sikap-sikap seperti itu.

Sambil menunggu Pakkiong Liong tiba, Tong Lam-hou sempat bercakap-cakap dengan perwira-perwira yang sudah dikenalnya dengan baik. Di lapangan tengah dari tangsi itu, nampak ratusan prajurit Hui-liong-kun dengan bertelanjang dada tengah melakukan latihan-latihan berat di bawah pimpinan beberapa orang Pek-hu-thio (Pemimpin seratus orang prajurit). Latihan yang jauh lebih berat dari pendadaran penerimaan prajurit beberapa saat yang lalu.

Hui-liong-kun adalah pasukan yang selalu berlatih secara teratur, tidak peduli ada perang atau tidak, dan itulah yang menyebabkan pasukan itu begitu tangguh di medan laga, meskipun jumlahnya boleh dikata paling kecil di antara pasukan-pasukan di Pak-khia lainnya. Selalu saja Pakkiong Liong setiap ada kesempatan memberinya peringatan kepada prajurit-prajuritnya, "Lebih baik sekarang kalian mandi keringat dalam latihan, daripada nanti mandi darah di pertempuran."

Percakapan para perwira itupun terhenti ketika seorang prajurit masuk dari melaporkan, "Tuan-tuan, Pakkiong Ciangkun telah tiba."

Para perwira itupun segera merapikan pakaian mereka dan berbaris rapi di dekat pintu. Tidak terkecuali Tong Lam-hou. Tanpa seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah sahabat karib yang tidak dibatasi ikatan apapun. Tapi dengan seragam, ia dan Pakkiong Liong adalah bawahan dan atasan yang diikat oleh tata tertib ketenteraman yang ketat dan keras. Tidak boleh seorang mentang-mentang bersahabat dengan Panglimanya lalu menjungkir balikkan tata tertib semaunya, sebab itu akan merusak seluruh pasukan.

Belum lagi prajurit yang melapor itu keluar dari ruangan itu, Pakkiong Liong telah melangkah masuk keruangan itu dengan diiringi dua orang pengawalnya. Para perwira menjadi heran juga bahwa Sidang Istana sudah selesai dalam waktu singkat, sebab biasanya sidang-sidang seperti itu akan berlangsung setengah hari lebih.

Setelah menerima penghormatan perwira-perwiranya, Pakkiong Liong segera menduduki kursinya di belakang sebuah meja besar. Di atas meja besar banyak terdapat benda-benda ketentaraan seperti bendera-bendera kecil berwarna-warni yang sering dijadikan isyarat dalam peperangan, lempengan-lempengan logam yang merupakan leng-ci (tanda perintah) dan sebagainya.

Begitu ia duduk dan semua perwira Jian-hu-thionya telah duduk pula di kursinya masing-masing, maka dengan wajah cerah Pakkiong Liong berkata, "Saudara-saudara, sekali lagi kita mendapat kepercayaan dari kaisar untuk menunjukkan kemampuan kita. Kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah bahwa kita akan berangkat dua hari lagi."

Sesaat Pakkiong Liong berhenti berucap, dan ketika dilihatnya wajah perwira-perwiranya itu sama-sama menyala penuh gairah perjuangan, maka iapun melanjutkan, "Saudara Bok Teng-san, terimalah perintah!"

Perwira bernama Bok Teng-san itu bukan Jian-hu-thio melainkan perwira di bagian perbekalan dari pasukan Hui-liong-kun. Tubuhnya kurus dan kulitnya kuning seperti orang penyakitan, namun dia lihay dalam permainan toya, dan terhitung perwira yang tangguh meskipun tugasnya selalu di garis belakang, yaitu bagian perbekalan atau ransum. Namun tugas itu penting, sebab prajurit tanpa ransum akan kelaparan, dan tidak ada prajurit kelaparan yang bisa bertempur dengan baik.

Ketika mendengar namanya dipanggil, ia segera maju berlutut sambil menyembah "Siap menerima perintah, Ciangkun!"

Pakkiong Liong menyerahkan sebuah leng-ci sambil berkata, "Dalam dua hari, siapkan perbekalan untuk limaribu orang prajurit. Perjalanan akan cukup jauh dan kita mungkin akan sebulan lebih berada di medan tempur."

Dengan kedua tangannya Bok Teng-san menerima tanda perintah itu, dan kemudian kembali ke tempat duduknya. Lalu suara Pakkiong Liong terdengar lagi, "Kita akan membawa lima ribu prajurit, berarti lima kelompok dari pasukan kita. Pasukan yang beberapa saat yang lalu sudah kita persiapkan akan berangkat. Lima kelompok dari pasukan kita yang akan berangkat adalah kelompok satu pimpinan saudara Ha To-ji, kelompok tiga pimpinan saudara Han Yong-kim, kelompok lima pimpinan saudara Le Tong-bun, dan kelompok tujuh pimpinan saudara Tokko Seng serta kelompok sembilan saudara Tong Lam-hou. Harap para Jian-hu-thio yang terpilih menerima leng-ci!"

Kelima orang perwira itupun nampak berseri ketika mendengar nama mereka disebut, terutama Tong Lam-hou yang baru pertama kali ini akan terjun dalam peperangan besar, kesempatan mengabdi kepada Negara dan Kaisar seperti yang diimpikannya sejak ia meninggalkan gunung Tiam-jong-san, dan sekaligus juga untuk mencari nama cemerlang. segera berlutut dan menerima leng-ci dengan kedua tangan masing-masing.

Kata Pakkiong Liong lagi, "Meskipun prajurit-prajurit yang akan kita terjunkan ke medan hanya dari lima kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari seribu orang, namun hampir semua perwira Jian-hu-thio akan ikut dalam pasukan, sebab di dalam pasukan pemberontak itu banyak orang yang berilmu tinggi, dan penanganan terhadap mereka tentu tidak bisa kita serahkan kepada para prajurit saja. Karena itu aku memutuskan bahwa saudara-saudara Ko Lung-to, Na Hong, Tam-tai Hok, Hulantou dan Wanyen Hui akan memperkuat pasukan meskipun tanpa kelompok mereka!"

Kelima perwira itupun segera menerima leng-ci. Dari ke sepuluh orang Jian-hu-thio yang akan terjun ke medan perang, mereka terdiri dari macam-macam suku. Yang orang Manchu sendiri malahan hanya empat orang, lainnya adalah orang Han, Mongol, Korea, Sehe, atau bahkan campuran Han dan Uigar seperti Tong Lam-hou. Namun perbedaaan itu tidak jadi soal dalam pasukan Hui-liong-kun, semuanya berseragam sama, akan bertempur di bawah bendera yang sama, dan yang penting aalah memiliki kesetiannya yang sama pula.

Demikianlah, dalam dua hari itu pasukan Hui-liong-kun menjadi sibuk sekali. Prajurit-prajurit dari kelompok-kelompok yang terpilih menggunakan kesempatan dua hari itu untuk berkumpul bersama sekeluarga mereka, namun sekaligus juga mengingkatkan latihan-latihan mereka. Siapapun tentu ingin pulang dari medan perang dalam keadaan hidup, bukan hanya nama. Para perwira juga menyempatkan diri untuk menguji sampai di mana tingkat ilmu silat mereka sebelum ilmu itu bakal "diasah" lagi di medan tempur.

Dalam dua hari pula Tong Lam-hou mempersiapkan dirinya lahir dan batin. Sejak ia mengalami peristiwa maut hampir terbunuh oleh Te-liong Hiangcu, maka Tong Lam-hou merasa bahwa ilmunya bukan nomor satu di dunia, masih ada orang-orang yang ilmunya lebih tinggi daripadanya, sehingga ia tidak boleh lengah lagi. Meskipun waktu dua hari adalah waktu yang terlalu sempit untuk meningkatkan suatu ilmu, namun ia tidak membuangnya begitu saja.

Pagi dari siang hari ia berlatih bersama dengan rekan-rekan perwiranya atau bahkan dengan Pakkiong Liong sendiri. Sore dan malam harinya, ia berlatih di rumahnya sendiri di bawah bimbingan Siangkoan Hong yang luka-lukanya mulai membaik. Bekas Thian-liong Hiangcu dalam Hwe-liong-pang itu tidak menambahi Tong Lam-hou dengan ilmu baru, melainkan hanya meningkatkan dan memperbaiki ilmu yang sudah ada dalam diri Tong Lam-hou sendiri.

Akhirnya hari keberangkatan pasukan itupun tiba. Lapangan Thian-an-bun yang terletak di depan Istana Kekaisaran itupun mendadak berubah warna menjadi hitam, sebab limaribu orang prajurit Hui-liong-kun yang ber-seragam hitam-hitam itu memenuhi lapangan itu. Berbaris bersap-sap dengan susunan yang rapi dan tertib, sementara ujung senjata yang mencuat ke langit seperti pucuk-pucuk daun ilalang lebatnya, berkilat-kilat tertimpa sinar matahari pagi yang hangat.

Para Perwira berbaris di depan pasukan. Yang membedakan para perwira dengan para prajurit hanyalah pada topi mereka, sedang lain-lainnya sama semua. Pada topi para perwira di atasnya terdapat hiasan kecil dari logam yang berbentuk ujung tombak kecil, dan benang-benang merah di sekitarnya.

Hari itu adalah upacara yang disebut "sembahyang bendera", biasanya dilakukan sebelum sebuah pasukan berangkat berperang, untuk memohon berkah kemenangan dari Thian. Di depan barisan itu sudah ada sebuah bendera besar Ngo-jiau-kim-liong-ki, bendera Kerajaan Manchu yang berwarna dasar hitam dengan sulaman seekor naga berwarna emas di tengah-tengahnya.

Di bawah bendera puluhan buah meja yang disambung-sambung menjadi satu bagaikan sebuah altar raksasa yang penuh dengan sesajian dan dupa yang dibakar. Upacara itu akan dipimpin sendiri oleh Kun-su (guru negara), namun karena Kaisar menyatakan akan hadir dan ikut bersembahyang, maka upacara belum dimulai sebelum Kaisar Sun-ti keluar dari istananya.

Tiba-tiba terdengar lonceng di menara istana berbunyi keras, lalu pintu Istana yang berwarna merah itupun terbuka lebar. Sepasukan Gi-cian-si-wi (Jago-Jago Pengawal Kaisar) segera berbaris keluar, seragam mereka nampak gemerlapan tertimpa cahaya mentari pagi. Sikap para Pengawal Kaisar itu begitu kereng dan gagah, menimbulkan suasana mencengkam, dan sesungguhnya mereka bukan hanya mentereng dalam pakaian seragam dan dalam hal nama saja, tapi juga dalam ketangguhan.

Merekalah orang-orang terpilih, satu dari selaksa prajurit, siap mengorbankan nyawa demi keselamatan Kaisar junjungan mereka. Jika di Kerajaan Mancu ada pasukan yang lebih tangguh dari Pasukan Hui-liong-kunnya Pakkiong Liong Itulah Gi-cian-sl-wi dan Lwe-teng-wi-su (Pengawal Istana), lain tidak.

Begitu tiba di luar pintu gerbang Istana, jago-jago Gi-cian-si-wi itu sebera berpencaran ke segala aral, untuk mengamankan semua sudut lapangan, terutama di sekitar altar besar tempat Kaisar nanti akan mengikuti upacara sembahyang bendera. Lapisan dalam dari pengawalan itu terdiri dari jago-jago Gi-cian-si-wi yang berseragam kuning kemilau.

Sedangkan bagian luarnya adalah jago-jago Lwe-teng-wi-su yang berseragam biru laut dari kain satin, dan pinggirnya bergaris-garis putih dan kuning. Dengan demikian pengawalan terhadap Kaisar terdiri dari dua lapis jago-jago tangguh semuanya, siapapun yang akan berbuat Jahat tentu harus berpikir beberapa kali lebih dulu.

Setelah pengamanan siap, kembali genta di menara istana dipukul sekali lagi, dan semua orang yang berada di lapangan Thian-an-bun itu serempak berlutut dengan sebelah kaki ditekuk, kecuali jago-jago Gi-cian-si-wi dan Lwe-teng-wi-su yang tidak berlutut, sebab mereka tetap mengawasi segala penjuru dengan mata yang tajam.

Dari pintu gerbang Istana Kekaisaran itu muncullah Kaisar Sun-ti diiringi para menteri dan panglima. Meskipun rambut dan jenggotnya sudah berwarna kelabu, namun Kaisar masih nampak ramping terbungkus jubah kuningnya yang bersulam naga, jubah keagungan seorang kaisar dari jaman ke jaman, dan kepalanya tertutup topi yang berwarna kuning pula dengan hiasan sehelai bulu burung merak. Ia melangkah tegap didampingi seorang anak remaja yang berpakaian indah dan nampak lincah serta cerdas.

Itulah Pangeran Hian-hua, putera mahkota calon ahli waris tahta kekaisaran, yang kelak setelah naik tahta bergelar Kaisar Khong-ti dan merupakan penguasa terbesar dari dinasti Manchu, sebab ia akan memerintah enam puluh satu tahun lamanya. Masa pemerintahan terlama dengan pengendalian negara yang terbaik dibanding raja-raja sebelumnya atau sesudahnya.

Begitu Kaisar melangkah keluar, maka semua prajurit Hui-liong-kun dan siapa saja yang hadir di lapangan itu serempak berseru, "Ban-swe! Ban-swe!", sehingga suaranya bergemuruh mengguncangkan sukma. "Bam-swe" berarti secara harafiah "selaksa tahun", namun dalam tata cara kekaisaran, seruan itu diartikan sebagai doa seluruh rakyat untuk memujikan agar Kaisar panjang umur.

Genta di menara istana berbunyi lagi dan semua prajuritpun bangkit dari berlututnya. Maka upacarapun lancar dipimpin oleh Kun-su. Sri Baginda ikut menyalakan hio dan menancapkannya di depan bendera besar, sebagai permohonan kepada Langit dan Bumi agar pasukannya dianugerahi kemenangan.

Kemudian Kaisar menyerahkan sebatang pedang emas kepada Pakkiong Liong yang diterima sambil berlutut, dengan kedua tangannya pedang itu dijunjung tinggi di atas kepalanya. Selesai upacara, kaisar masuk kembali ke Istana dengan diiringi seruan para prajurit. Pintu gerbang yang tebal dan bercat merah itupun tertutup rapat kembali.

Setelah Kaisar dan para pejabat tinggi tak terlihat lagi, Pakkiong Liong mengangkat tinggi-tinggi pedang emas anugerah Kaisar itu, disambut sorak-sorai seluruh pasukan. "Saudara-saudara," seru Pakkiong Liong. "Sekarang kita berangkat menunaikan tugas!"

Tidak lama kemudian, barisan besar itupun sudah nampak keluar dari pintu gerbang sebelah barat kota Pak-khia. Diantara pasukan nampaklah bendera-benddra berkibar-kibar megah, sementara suara satu regu penabuh genderang perang menambah semangat para prajurit.

Ha To-Ji didampingi oleh Tong Lam hou berkuda paling depan dan memimpin seribu orang prajurit. Orang Mongol yang berjulukan Tay-mo-him (Beruang Gurun) itu bertiga sebagai Sian-hong Ciangkun (panglima Perintis jalan), dan Tong Lam-hou adalah wakilnya. Meskipun dalam hal ilmu silat mengatur barisan dan siasat peperangan, Ha To-Ji-lah yang lebih lihai, sehingga kedudukan Sian-hong Ciangkun itu dipegang olehnya. Dan Tong lam-hou menerima keputusan itu secara wajar saja, tanpa iri toh berbakti untuk negara tidak peduli menjadi panglima atau prajurit yang paling rendah sama saja.

Dibagian ekor barisan, nampak puluhan buah gerobak yang ditarik dengan kuda-kuda sepasang-sepasang. Pengawalan di bagian itu dipercayakan kepada Ko Lung-to dan Na Hong dengan seribu orang prajuritnya, disamping anak buah sendiri pula, yang meskipun kemampuannya tidak setangguh prajurit-prajurit lainnya, namun terlatih untuk berperang pula.

Ketika rombongan itu sudah keluar dari Pak-khia, tiba-tiba nampak seorang penunggang kuda menyusul barisan itu. Kudanya yang tegar itu dilarikan dengan kencang, dan yang ada di atas punggung kuda itu ternyata adalah seorang gadis cantik yang berpakaian Manchu, lengkap dengan topi bulunya yang berwarna putih itu dan pakaiannya yang ringkas menampakkan tubuhnya yang berbentuk ramping itu. Di belakangnya berkuda pula dua orang perempuan yang berpakaian Manchu pula, yang agaknya adalah dayang-dayang dari gadis yang di depan itu.

Agaknya, gadis itu adalah puterl seorang terhormat atau orang kaya, sehingga harus diiringi dua orang pesuruh kemanapun perginya. Dia memang To li-hua, puteri dari si Panglima tua To An-ai yang sudah tidak memegang jabatannya itu. Namun keluarga To di pucuk pemerintahan dinasti Manchu memang keluarga terhormat.

Pakkiong Liong yang berada d tengah-tengah pasukan itu terkejut ketika melihat adik misannya itu menyusulnya, namun ternyata gadis itu tidak ingin menemuinya, sebab ketika melewati Pakkiong Liong, gadis itu tidak menghentikan kudanya melainkan hanya melambatakannya saja sambil melambaikan tangan.

"Mau ke mana, piau-moay?" tanya Pakkiong Hong pura-pura tidak tahu, meskipun ia tahu apa yang ada dihati adik misannya yang cantik itu.

To Li-hua tergagap sejenak dan pipinya menjadi merah, ia malu untuk berterus terang kepada kakak misannya itu karena kuatir kalau disampaikan kepada ayahnya. Maka dijawabnya sekenanya saja, "Hendak berburu!"

"Berburu apa? Kenapa tidak membawa panah?"

"Eh, aku...aku hendak berburu rubah. Panahnya kutitipkan dirumah seorang penduduk di kaki bukit."

"Rubah?? Rubah atau harimau?"

To Li-hua yang sebenarnya ingin menyusul Tong Lam-hou itu menjadi tidak sabar mendengar pertanyaan kakak misannya yang bertubi-tubi itu. Jawabnya, "Rubah boleh, harimau juga boleh!"

Ternyata Pakkiong Liong masih sempat juga menggoda adik misannya itu, tanyanya, "Harimau? Harimau dari Tia-Jong-san?"

Keruah wajah To Li-hua menjadi merah padam, ketika Pakkiong Liong tertawa terbahak-bahak maka diayunkannya pecut kudanya untuk menyabet punggung kakak misannya itu sehingga Pak-kiong Liong pura-pura menjerit kesakitan. "Aduh!"

Han Yong-kim yang juga bersahabat baik dengan To Li-hua itupun ikut "menggarap" sambil tertawa, "Kalau berburu Harimau dari Selatan sih memang tidak perlu dengan panah segala. Cukup dengan kerlingan dan senyuman, dan si harimau akan mendekat dengan jinaknya."

Ternyata punggung Han Yong-kim juga telah disabet oleh To Li-hua, sementara itu To Li-hua berpura-pura bersungut-sungut meskipun dalam hatinya sebenarnya ia merasa senang juga, "Kalian memang bermulut jahil. Awas, kalau kelak kalian kembali ke Pak-khia, aku suguhi kalian dengan makanan beracun agar kalian menjadi bisu untuk selama-lamanya."

"Si harimau juga akan kau buat bisu?" tanya Han Yong-kim sambil tertawa, namun ia buru-buru menghentikan tertawanya dan mengkerutkan kepalanya ketika melihat To Li-hua telah mengangkat pecutnya tinggi-tinggi.

Tanpa peduli lagi kepada mereka, gadis Manchu itu segera melarikan kudanya ke ujung barisan, di mana terdapat Tong Lam-hou dan Ha To-Ji. Bagi seorang gadis Manchu atau suku-suku lain di luar Tembok Besar, maka menyatakan perhatian secara terang-terangan kepada seorang lelaki memang dianggap hal yang wajar, meskipun ada juga batas-batasnya. Bagi perempuan-perempuan bangsa Han, itu dianggap tidak tahu malu dan merendahkan derajat sendiri. Tapi To Li-hua memang bukan orang Han, ia gadis berdarah Manchu asli.

"A-hou!" teriaknya ketika melihat Tong Lam-hou berkuda di depan barisan bersama Ha To-ji yang juga dikenal baik olehnya.

Ha To-ji dan Tong Lam-hou serentak menoleh ketika mendengar panggilan gadis itu, dan kemudian Ha To-ji tersenyum penuh arti kepada Tong Lam-hou, sambil berkata, "kau temani dia dulu, biar hatinya agak tenang."

Tong Lam-hou merasa agak kikuk melihat senyuman Ha To-ji itu, namun sesungguhnya diapun ingin mengucapkan kata-kata perpisahan kepada gadis Manchu itu, sehingga ia pun cepat-cepat memutar kudanya dan keluar dari barisan untuk menjumpainya.

Ketika mendengar pasukan Hui-liong-kun telah berangkat, To Li-hua buru-buru menyusulnya, namun setelah berhadapan dengan Tong Lam-hou, ternyata ia kebingungan sendiri apa yang akan diucapkannya. Akhirnya ia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam dan kata-katanyapun sangat singkat, "Kau harus kembali dengan selamat."

Sikap dan ucapan gadis Manchu itu membuat hati Tong Lam-hou tergetar hebat, suatu kehangatan yang aneh menyusup jauh sampai ke relung-relung hatinya. Jika To Li-hua masih bias mengucapkan kata-kata singkat, maka Tong Lam-hou justru tidak sanggup mengucapkan sepatah katapun, namun matanya memancarkan kebahagiaan yang amat besar sebab kini ia sadar ikatan batin apa yang ada antara dirinya dan gadis itu. Tanpa berkata sepatah katapun ia menggenggam sepasang telapak tangan gadis itu erat-erat.

To Li-hua membiarkan tangannya digenggam erat, dan matanya yang coklat itu diangkat untuk membalas menatap mata Tong Lam-hou yang juga kiat. Dengan demikian mereka tidak memerlukan sepatah katapun untuk mencurahkan isi hati mereka, sebab ser sang mata masing-masing sudah berbicara sejuta kalimat. Lalu To Li-hua merenggut tangannya dari genggaman Tong Lam-hou ketika ia mendengar Han Yong kim bersuit nakal. Sesaat kemudian gaddis itu sudah menghilang kembali dalam kota Pak-khia dengan kedua hambanya.

"Begitu singkat?" tanya Ha Toji ketika Tong Lam-hou bergabung kembali ke dalam barisan.

Tong Lam-hou tidak menjawabnya kecuali dengan sebuah senyuman. Semangat tempur Tong Lam-hou kini berkobar-kobar. Jika seluruh pasukan bersemboyan "untuk Negara dan Kaisar" dalam maju ke medan laga, maka Tong lam-hou menambahnya sendiri menjadi "untuk Negara, Kaisar dan si dia!"

* * * * * * *

RIBUAN LI di sebelah barat Kotaraja Pak-khia, suasana sudah mulai panas karena Pangeran Cu Len-ong dan sisa-sisa dinasti Beng sudah mulai bergerak secara terang-terang dalam mengumpulkan kekuatan. Anggota Jit-goat-pang sendiri mencapai ribuan orang dan dipersenjatai serta terlatih cukup baik Pangeran Cu Hin-yang dan Pangeran Cu Leng-ong, yang pernah melakukan perjalanan ke selatan untuk merangkul golongan-golongan yang menentang pemerintahan Manchu itu, telah menggunakan pengaruhnya yang dulu untuk mengundang golongan-golongan itu untuk bergabung agar dapat bersatu.

Maka berdatanganlah orang-orang dari Koay-to-bun (perguruan golok kilat) yang dipimpin oleh Cu Yok-tek yang berjulukan Say-bin-koay-to (si Golok Cepat Wajah harimau). Entah benar entah tidak, Cu Yok-tek mengaku-aku masih ada hubungan dengan keluarga Cu yang menguasai dinasti Beng dulu. Dengan ngotot ia mengajukan silsilahnya kepada Pangeran Cu Leng-ong, meskipun Pangeran itu sendiri pusing melihat silsilah itu karena tidak ada nama-nama yang dikenalnya.

Namun demi merangkul orang-orang Koay-to-bun yang jualannya cukup berarti, hampir 700 orang, maka Pangeran Cu Leng-ong mengakui juga silsilah itu untuk menyenangkan Cu Yok-tek bahkan memanggilnya "toako". Sedangkan Kongsun Hui, Li Tiang-hong dan lain-lainnyapun dengan setengah mendongkol setengah geli memanggil Cu Yok-tek dengan sebutan "ong-ya" (paduka pangeran) atasi permintaan pangeran Cu Leng-ong.

"Orang gila," demikian Kongsun Hui menggerutu diam-diam bersama Li Tiang-hong.

"Tapi lumayanlah, biarpun gila dia masih dapat menambah kekuatan kita."

Li Tiang-hong tersenyum. Lalu ia-pun kemudian berangkat ke Hun-lam untuk mengambil anak buahnya yang tertinggal di sana untuk digabungkan sekali kemari. Perjalanan dari Shoa-cay ke Hun-lam bolak-balik bukan perjalanan yang dekat, namun Li Tiang hong sudah bertekad untuk melakukannya. Lalu berturut-turut berdatangan pula kelompok-kelompok anti Manchu yang dulu pernah dihubungi oleh pangeran Cu Hin-yang.

Kelompok Ngo-pa-hwe (Serikat Lima Harimau yang merupakan kelompok berpengaruh di kalangan hek-te (Jalan hitam) di wilayah Hok-kian. Dengan anggota-angotanya yang terdiri dari lelaki-lelaki garang berjumlah 500 orang dipimpin lima orang saudara seperguruan yang menyebut diri mereka Ngo-pa-heng-te (lima Harimau Bersaudara).

Menyusul dua buah kelompok yang dulu sama-sama menguasai sungai Hong-ho dan saling bermusuhan, namun kemudian mereka berhasil didamaikan oleh Pangeran Cu Hin-yang sehingga merasa berhutang budi. Merekalah Tiat-hi-pang (Serikat Ikan Besi) di bawah pimpinan Kam-Koan yang terkenal mahir dengan sepasang siang-kek (tombak pendek yang dimainkan sepasang). Kemudian yang lainnya adalah Kang-liong-pang (Serikat Naga Sungai) dipimpin Ji Tay-hou yang membawa rantai berujung bandul besi yang dalam pekerjaannya sebagai bajak sungai Hong-ho biasa digunakannya untuk menghantam patah tiang layar kapal korban.

Setelah semuanya berkumpul dan dibariskan berderet-deret di sebuah tempat yang luas, maka terbahaklan Pangeran Cu Leng-ong sampai air matanya keluar. Setengah bangga setengah menangis, melihat bahwa ia telah mempunyai kekuatan tujuh ribu orang lebih, dengan sekian banyak "panglima" yang berilmu tinggi. Sambil tertawa ia berkata dengan bangga,

“Inilah saatnya kebangkitan kembali Kerajaan Beng yang agung! Hu-hong (ayahanda Kaisar) yang ada di langit, lihatlah anakmu ini akan menegakkan kembali kejayaan keluarga kita dengan mengusir keparat-keparat Manchu itu sampai keluar kembali ke tempat asal mereka di Jiat-ho sana!"

Kemudian ditepuk-tepuknya pundak adiknya, katanya, "Adik Hin Yang, ini adalah hasil jerih payahmu dalam perjalananmu ke selatan dulu, meskipun kau sendiri ikut menderita karena tertangkap oleh Pakkiong Liong. Namun arwah dari saudara-saudara kita yang gugur ketika mengiringimu dalam perjalanan ke selatan dulu, tentu akan tenteram sekarang. Dengan pasukan kita akan sanggup merebut kota Tay-tong yang di depan mata, dan kemudian daerah demi daerah akan kita taklukkan sebagai batu loncatan kita sambil terus memperbesar kekuatan kita. Dan tidak lama lagi pak-khia akan jatuh ke tangan kita."

Pangeran Cu Hin-yang ikut mengangguk puas melihat kekuatan yang berhasil dikumpulkannya itu. Dan ia juga tidak takut andaikata kelompok-kelompok yang tidak berasal dari Jit-goat-pang itu akan merebut kekuasaan kelak di kemudian hari, sebab sebagian besar dari kekuatan yang terkumpul itu adalah tetap orang-orang Jit-goat-pang. Namun tiba-tiba Pangeran Cu Hin-yang merasa ada suatu kekurangan.

"Kakanda," katanya kepada Pangeran Cu Leng-ong. "Dalam perjalananku ke Hun-lam dulu, aku berhasil mendamaikan antara Li Tiang-hong dengan sempalan dari Hwe-liong-pang yang disebut Jai-ki-tong (Kelompok Panji Coklat) pimpinan Siau-lo-cia ( Si Dewa Lo-cia Kecil) Ma Hiong. Kenapa kita tidak mengundang mereka untuk bergabung demi menambah kekuatan kita?"

"Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengikut-pengikut Li Cu-seng si pemberontak itu," sahut Pangeran Cu Leng-ong dengan garangnya. "Adikku, apakah kau tidak ingat sakit hati keluarga kita yang ditumpas oleh laskar Li Cu-seng ketika mereka menyerbu Istana Kerajaan?"

Pangeran Cu Hin-yang menarik napas melihat kekerasan hati kakaknya itu, namun ia tidak berputus-asa untuk membujuknya, "Kakanda, dalam masa-masa sulit di mana kita memerlukan persatuan semua kekuatan bangsa Han ini, masihkah kita memikirkan dendam pribadi dan dendam keluarga? Dalam perang, hal yang lumrah kalau ada yang terbunuh, kita tidak bisa terlalu menyalahkan Li Cu-seng. Orang Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong ternyata juga seorang laki-laki sejati yang rela menyingkirkan Kepentingan kelompoknya demi setia kawan sesama bangsa Han meskipun bekas musuhnya di masa lalu. Dialah yang menyelamatkan aku, ketika aku dan beberapa pengawalku sudah terjepit di sebuah kuil terpencil, hampir mampus oleh Pakkiong Liong dan orang-orangnya."

Namun, jika berbicara tentang bekas-bekas pengikut pemberontak Li Cu-seng yang menumbangkan dinasti Beng itu, agaknya hati Pangeran Cu Leng-Ong sudah mengeras seperti batu hitam. Segala pertimbangan yang diajukan oleh adiknya selalu ditolaknya.

"Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak ada artinya bagiku. Mereka sudah terpecah-belah, dan kelak jika sudah berhasil mengalahkan bangsa Man-chu, akan kita tumpas Hwe-liong-pang sampai seakar-akarnya," demikianlah Pangeran Cu Leng-ong selalu menjawab apabila Pangeran Cu Hin-yang mengajukan usulnya, sehingga akhirnya sang adik tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

Tapi sesungguhnya kekuatan Pangeran Cu Leng-ong memang mekar terus. Ketika beberapa pihak mendengar bahwa gerakan Jit-goat-pang mulai terang-terangan mengibarkan bendera perlawanan terhadap pemerintah Manchu, maka banyaklah orang yang datang menggabungkan diri, berkelompok-kelompok atau datang sendiri-sendiri, dengan alasan yang berbeda-beda pula.

Ada yang tergerak karena melihat bahwa gerakan Pangeran Cu Leng-ong itu ada harapan akan berhasil mengusir bangsa Manchu namun ada pula yang menggabungkan diri karena terbuai oleh janji-janj menggiurkan yang diucapkan oleh Pangeran Cu Leng-ong.

Orang-orang yang betul-betul membenci bangsa Manchu, mereka akan berkelahi seperti orang mabuk di medan tempur, tanpa menghiraukan nyawanya, bahkan tanpa upah sepeserpun. Mungkin karena ada anggota keluarga mereka yang terbunuh ole; tentara Manchu atau entah ada aiasa-lainnya.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong merasa kekuatannya sudah cukup besar, maka diapun mulai bergerak menguasai desa-desa dan kota-kota kecil di sekitarnya. Dalam gerakannya itu, desa-desa yang dikuasainya akan digunakan sebagai benteng-benteng dan sekaligus lumbung-lumbung perbekalan untuk perlawanan jangka panjangnya.

Anak-anak muda atau lelaki-lelaki muda yang kelihatan masih kuat, segera ditangkapi dan dipaksa memanggul senjata bagi pihaknya. Dengan ancaman dan sekaligus bujukan, Pangeran Cu Leng-ong berhasil memperbesar jumlah pasukannya. Dan setelah itu, daerahpun diperluas lagi.

Karena banyak di antara laskar Pangeran Cu Leng-ong itu yang merupakan bekas orang-orang golongan Hitam yang kasar dan liar, maka tidak jarang dalam "membebaskan" satu desa atau kota kecil dari yang mereka sebut "penjajahan" bangsa Manchu, rakyat kecil menerima akibat-akibat yang mengerikan. Laskar-laskar yang merasa dirinya "pejuang' tentu menganggap bahwa "perjuangan" mereka harus ada imbalannya berupa harta benda atau kenikmatan-kenikmatan lain.

Maka perempuan-perempuan yang diperkosa atau rumah-rumah yang dibakar setelah dikuras isinya, bukan hal yang jarang lagi. Pendudukpun untuk sekian kalinya dipaksa merasakan akibat peperangan, berbondong-bondong mereka mengungsi ke kota terdekat, yaitu Tay-tong yang dikelilingi oleh tembok tinggi itu, sehingga kota itu penuh dengan pengungsi.

Alangkah marahnya Pangeran Cu Hin-Yang ketika ia menerima laporan dari pengawal-pengawal pribadinya tentang apa yang telah diperbuat oleh laskarnya kepada rakyat kecil. Dengan muka yang merah padam ia menghadap kakak nya, Pangeran Cu Leng-ong.

"Kakaknda, kebiadaban-kebiadaban laskar kita tidak boleh dibiarkan terus-menerus, harus segera diberlakukan tata-tertib ketentaraan, barang siapa yang melakukan perbuatan hina terhadap rakyat harus dihukum mati!" kata Pangeran Cu Hin-yang dengan luapan perasaan yang tercermin dari kata-katanya yang keras. "Kita ini pejuang yang ingin membebaskan tanah air kita dari cengkraman bangsa Manchu, kita ini bukan perampok-perampok liar yang berpesta-pora sambil menghancurkan di sebuah desa!"

Namun alangkah heran Pangeran Cu Hin-yang ketika mendengar kakaknya itu kelihatan tenang-tenang saja menghadapi laporannya itu. Maka Pangeran Cu Hin-yang berkata lebih lanjut, "Di Hun-lam sana, aku menyesal setengah mati ketika melihat sebuah desa bernama Jit-siong-tin dihancur-leburkan oleh orang-orang yang berpakaian seragam tentara Kerajaan Beng kita! Sungguh memalukan! Dan di sini, bukan hanya satu desa yang menjadi neraka karena ulah laskar kita!"

Sambil bersandar di kursinya dengan sikap amat santai, Pangeran Cu Leng-ong menikmati makan minumnya dengan dilayani oleh dua orang gadis muda yang cantik dan diberi pakaian seperti dayang-dayang istana di jaman Kerajaan Beng dulu. Mereka adalah gadis-gadis culikan dari beberapa desa yang dipersembahkan oleh beberapa hulubalang laskar kepada "Kaisar" mereka. Lalu terdengar suara Pangeran Cu Leng-ong di sela-sela suara giginya yang tengah mengunyah seiris buah tho yang segar,

"Adikku, tenangkan hatimu dan dinginkan kepalamu. Pada saat kita memupuk kekuatan untuk menghadapi musuh, tidak bijaksana kalau kita bersikap keras terhadap anak buah kita sendiri. Memang kita akan menertibkan mereka, tapi harus setahap demi setahap. Kalau kita langsung bersikap keras dan mengobral hukuman mati, bagaimana kalau mereka lari semua? bukankah kekuatan kita yang sedang berkembang ini akan hilang kembali? Dan kalau tentara Manchu datang, kita akan ditumpas habis!"

"Tetapi, apakah rakyat kecil akan tetap kita biarkan tanpa perlindungan sama sekali? Ingat di jaman Li Cu-seng, kakanda, rakyat yang lemah itu jika timbul kemarahannya akan seperti banjir-bandang yang tak terbendung oleh apapun, oleh pasukan sekuat apapun. Siapa yang bisa mengambil hati rakyat, dialah yang kuat!" kata Pangeran Cu Hin-yang berapi-api.

“Jangan mengulangi menyakiti hati rakyat seperti di jaman ayahanda Cong dulu, kakanda!"

"Aku bukannya mendiamkan saja rakyat menderita, akupun sedih mendengar desa diporak-porandakan oleh laskar kita, tetapi aku benar-benar belum menemukan jalan yang tepat untuk mengatasi hal ini," sahut Pangeran Cu Leng-ong. "Jangan kau kira aku tidak berpikir."

"Kelihatannya kakanda tidak sedang bersedih," kata Pangeran Cu Hin-Yang dingin. "Tapi baiklah, aku menemukan satu jalan tengah yang baik. Kita tidak perlu bertindak terlalu keras dengan menjatuhkan hukuman mati, namun cukup hukuman rangket dengan tongkat seratus kali saja. Bagaimana, kakanda?"

Dan alangkah kecewanya Pangeran Cu Hin-yang ketika melihat kakaknya menggelengkan kepalanya sambil tertawa tawar. "Tidak mudah, adikku, mereka kelak akan bertempur menyabung nyawa untuk kita, kau dengar? Sementara kita belum mampu membuat imbalan yang pantas untuk mereka dan tahu-tahu kita telah bersikap keras terhadap mereka? Adikku, aku kira sepantasnya kalau mereka memperoleh sedikit imbalan harta dan kegembiraan dari jerih payah mereka..."

"Jadi kakanda merestui mereka untuk merampok, memperkosa, membunuh semena-mena?"

"Jangan bicara sekeras itu kepadaku. Aku tidak merestui, tetapi memang kita belum bisa berbuat, lain daripada berdiam diri saja. Kita sedang memperjuangkan jutaan rakyat Han, dan dalam memperjuangkan jutaan orang itu cukup wajar kalau ada sedikit korban. Mungkin puluhan orang atau ratusan. Perjuangan jangka panjang kita memerlukan pengorbanan, bahkan pengorbanannya kan lebih berat dari yang sekarang ini kau lihat, adikku."

"Tapi yang berkorban itu bukan orang yang tidak tahu apa-apa, dan semampu kita harus membatasi jatuhnya korban itul Apa gunanya kelak kita menang, namun negeri ini sudah hancur lebur di jurang penderitaan karena ulah kita sendiri?"

Jika tadinya Pangeran Cu Leng-ong masih keliatan sabar dan tersenyum-senyum, maka makin lama diapun kelihatan makin marah melihat sikap adiknya yang terus-menerus membantah dan menentangnya itu. Ia duduk tegak dan matanyapun bersinar tajam, setajam kata-katanya,

"Aku tidak peduli, adikku, pokoknya kemenangan adalah segala-galanya bagiku. Kemenangan keluarga Cu untuk mendirikan kembali dinastinya yang sudah runtuh. Kita keturunan Cu Goan-ciang, kita harus meniru cara-caranya dalam mencapai kemenangan. Tegas, tidak ragu-ragu dalam melangkah, itulah laki-laki sejati."

Wajah Pangeran Cu Hin-yang memucat ketika mendengar jawaban itu. Tentu saja ia pernah mendengar cerita tentang leluhurnya yang bernama Cu Goan-ciang, pendiri dinasti Beng setelah merobohkan dinasti Goan itu. Seorang yang tidak tanggung-tanggung bertindak dalam mencapai singgasana. Dilangkahinya mayat-mayat sesamanya tanpa ragu-ragu, bukan saja mayat-mayat musuhnya tetapi juga mayat-mayat orang orang yang baik dengannya yang mati oleh tangannya.

Tangan Cu Goan-siang berlumuran darah gurunya sendiri, Pheng Eng-giok, saudara angkatnya sendiri Thio Su-seng, dan sahabat-sahabatnya seperjuangan seperti Siang Gi-jun dan Han Lim-ji. Tentu saja kisah leluhurnya itu pernah dibaca oleh Pangeran Cu Hin-yang dan ia tidak menjadi bangga karenanya. Rasa muak dan marah bercampur-aduk dengan benci terpancar dari wajah Pangeran Cu Hin-yang yang tampan itu, namun tiba-tiba mereda dan berubah menjadi kecewa dan sedih yang mendalam sehingga matanya berkaca-kaca. Katanya dengan suara gemetar,

"Kalau begitu, kakanda, kemenangan laskar kakanda kelak bukanlah kemenangan rakyat, melainkan kememanngan kakanda sendiri dan orang-orang yang menjilat kakanda. Kemenangan itu berarti malapetaka untuk rakyat jelata!"

"Kurang ajar kau berani bicara seperti itu kepadaku!" teriak Pangeran Cu Leng-ong sambil menggebrak meja, sehingga dayang-dayang cantik di sekitarnya inengkeret ketakutan. "Kalau kau bukan adikku dan juga telah berjasa ikut membina Jit-goat-pang bersamaku selama bertahun-tahun, kau sudah dihukum mati berdasar tata tertib ketentaraan, kita!!"

"Mana ada tata-tertib ketentaraan di sini?" balas Pangeran Cu Hin-yang tidak kalah kerasnya. "Ini bukan tentara ini cuma sebuah gerombolan penyamun yang berseragam tentara!"

Dan sehabis berkata demikian, tanpa berkata sepatah katapun Pangeran Cu Hin-yang membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Dua orang penjaga pintu yang mengangguk hormat kepadanya tidak dihiraukannya.

Sepeninggal adiknya, Pangeran Cu Leng-ong menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengendapkan gejolak hatinya. Ia cukup sayang kepada adiknya itu, namun lebih sayang lagi kepada ambisinya untuk merebut singgasana. Ia sudah mulai dengan langkah pertama yang ia anggap berhasil, dan ia tidak ingin langkah pertamanya itu dijegal oleh siapapun meskipun oleh adiknya sendiri. Demi cita-cita, orang harus keras, demikian tekadnya.

"Pengawal!" teriak Pangeran Cu Leng-ong.

Seorang pengawal yang seragamnya mirip seragam prajurit Kerajaan Beng jaman dulu segera berlari-lari masuk dan berlutut di depan Pangeran Cu Leng-ong, "Hamba siap menjalankan perintah ong-ya!"

"Panggil imam dari Hoa-san-pay itu kemari!"

"Baik, ong-ya."

Prajurit itu segera pergi dan tak lama kemudian datanglah ia kembali bersama seorang Tojin (imam agama To) berjubah kuning yang pada dadanya ada gambar pat-kwa, sambil berjalan ia selalu menggoyang-goyang sebuah hudtim di tangan kanannya. Mata imam garang seperti mata alap-alap, sedikitpun tidak serasi dengan jubah keagamannya.

Melihat imam itu, Pangeran Cu Leng-ong segera memberi hormat lebih dulu sambil memanggil, "Su-siok (paman guru)!"

Imam itupun mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Namanya Giok-seng Tojin, dari Hoa-san-pay. Hoa-san-pay adalah sebuah perguruan silat yang tidak secara terang-terangan menentang pemerintahan Manchu, bahkan segala maklumat pemerintah Manchu, misalnya untuk menguncir rambut setiap lelaki seperti orang Manchu, dituruti semua oleh perguruan ini. Namun Hoa-san-pay juga tidak melarang murid-muridnya untuk ikut dalam gerakan menentang bangsa Manchu, hanya saja atas nama pribadi, bukan atas nama Hoa-san-pay.

Karena sikapnya inilah maka ada beberapa orang Hoa-san-pay yang ikut dalam pergerakan Pangeran Cu Leng-ong ini. Di jaman dinasti Beng dulu, ketika Pangeran Cu Leng-ong dan Cu Hin-yang masih remaja, mereka memang pernah berguru ilmu silat di Hoa-san-pay, sehingga kedua bekas bangsawan itu memang mempunyai hubungan khusus dengan perguruan terkenal itu.

Karena itu tidak mengherankan kalau Giok-seng Tojin tiba-tiba saja bergabung deiigan pergerakan Pangeran Cu Leng-ong untuk menyumbangkan tenaganya, bahkan langsung menduduki jabatan sebagai penasehat Pangeran Cu Leng ong. Dengan siasatnya itu Pangeran Cu Leng-ong berharap akan lebih banyak lagi orang-orang Hoa-san-pay yang bergabung dengan laskarnya yang kini jumlahnya mendekati sepuluh ribu itu. Namun sejak kedatangannya, Pangeran Cu Leng-ong merasakan adanya sesuatu yang lain dengan paman gurunya ini.

Paman gurunya ini dulu dikenal sebagai seorang yang periang dan gemar berbicara, tatapan matanyapun tidak garang, tapi sekarang ini ia nampak berubah. Ia bicara sedikit-sedikit saja, tatapan matanyapun mirip seekor alap-alap, entah apa yang membuatnya berubah. Pangeran Cu Leng-ong tidak peduli. Ia memang lebih membutuhkan orang-orang berwatak ganas di dalam laskarnya itu, daripada orang-orang yang "berhati lemah" seperti adiknya tadi.

Setelah keduanya duduk berhadapan, Giok-seng Tojin bertanya, "Ada apa Pangeran mengundangku?"

Pangeran Cu Leng-ong tidak bicara bertele-tele dan langsung saja ke titik persoalan, "Susiok, adalah su-siok melihat perubahan sikap adikku belakangan ini?"

"Aku kurang memperhatikannya, Pangeran."

Pangeran menarik napas dalam-dalam, "Tidak jadi soal, susiok. Tapi belakangan ini kulihat adikku itu semakin berani menentang aku, memaksakan agar aku menerima pendapatnya untuk menerapkan tata tertib ketenteraan yang amat keras terhadap laskar kita ini. Dan jika aku jawab bahwa itu belum waktunya, diapun marah-marah. Sikapnya kepadaku semakin lama semakin tidak menghormat."

Giok-seng Tojin diam saja mendengar ucapan-ucapan Pangeran itu, bahkan ketika Pangeran itu berhenti berbicara sambil melirik kepadanya, maka imam bermata alap-alap itu masih saja duduk tenang tanpa menjawab sepa-tah katapun Pangeran melanjutkan,

"Aku kuatirkan dua hal. Jika dia mengutarakan kemarahannya itu dalam rapat penting para hulubalang laskar, maka aku akan menjadi serba salah. Jika tidak dihukum, kewibawaanku akan merosot di pandangan para hulubalang, tapi jika dihukum maka dia adalah satu-satunya saudaraku yang telah bertahun-tahun berjuang bersamaku sampai kita mencapai keadaan sebagus ini untuk mulai bergerak. Kekuatiranku yang kedua, jika terdorong oleh kekecewaannya kepadaku ia akan mengambil tindakan-tindakan sendiri diluar tahuku, sehingga menyakiti hati para laskar dan dengan demikian bisa membubarkan rencana kita ini."

"Sikap Pangeran terhadap adik pangeran sendiri, tergantung kepadamu," sahut imam itu dengan suara datar tanpa perasaan apa-apa. "Pangeran adalah pemimpin seluruh laskar perjuangan di sini, dan meskipun aku paman gurumu, aku harus tunduk kepada Pangeran. Tidak seperti ketika di Hoa-san-pay. Perintahkan apa yang harus aku perbuat atas diri Pangeran Cu Hin-yang."

"Aku minta pendapat susiok."

"Aku tidak punya pendapat apa-apa."

Melihat sikap Giok-seng itu, diam-diam Pangeran Cu Leng-ong melihat semakin jelas perbedaan antara Giok-seng Tojin yang dulu dengan yang di hadapannya saat ini. Tapi bagi Pangeran itu tidak penting, pokoknya tenaganya bisa dimanfaatkan untuk menambah kekuatan laskarnya, habis perkara. Kata Pangeran Cu Leng-ong kemudian,

"Pepatah kuno mengatakan, demi menjaga keutuhan cita-cita perjuangan, maka kasih sayang dalam keluarga sendiripun harus dinomor duakan. Susiok, aku minta kepada susiok untuk mengawasi dan membayangi setiap gerak-gerik adikku itu."

"Hanya membayangi dan mengawasi saja?"

"Ya, tapi jika ia melakukan tindakan-tindakan yang bisa membahayakan kelanjutan perjuangan menegakkan kembali dinasti Beng ini, maka susiok boleh mengambil tindakan-tindakan seperlunya."

"Baik, aku mohon pamit, Pangeran." Sambil berkata demikian maka Giok-seng Tojin segera bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan tempat itu. Apalagi cuma mengawasi dan membayangi, andaikata disuruh untuk langsung mencabut nyawa Pangeran Cu Hin-yang pun maka imam itu tidak akan berkedip untuk melakukan tugasnya.

Sementara itu, Pangeran Cu Leng-ong masih kurang mantap rasanya kalau hanya menugaskan susioknya sendiri untuk mengawasi adiknya. Ia masih memerintahkan pula beberapa orang dekatnya yang paling dipercaya untuk mengawasi adiknya secara diam-diam. Hanya saja, orang-orang ini wewenangnya tidak dengan "bertindak seperlunya" seperti Giok-seng Tojin. Hanya mengawasi.

Giok Seng Tojin berjalan keluar dari gedung tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong yang dijadikan "Pusat pemerintahan Kerajaan Beng" untuk sementara itu. Gedung besar yang dikawal ketat oleh orang-orang terpercaya Jit-goat-pang itu tadinya adalah rumah seorang kepala desa yang agak besar, namun setelah Pangeran Cu Leng-ong keluar dari persembunyiannya bersama seluruh kekuatannya, maka desa itupun menjadi "ibukota" tempat tinggal Pangeran Cu Leng-ong.

Penduduk yang mempunyai sawah ladang tetap harus bekerja, tapi sebagian besar hasil bumi mereka harus disumbangkan untuk "dana perjuangan", bahkan kaum lelaki yang masih kelihatan kuat telah dipaksa untuk memanggul senjata, suka atau tidak suka.

Sekeliling desa juga telah dibangun tembok-tembok pertahanan yang meskipun hanya terbuat dari batu, kayu dan tanah liat namun cukup memadai. Apalagi dilengkapi pula dengan alat-alat dan bambu yang bisa melontar-lontarkan batu sebesar kepala, di samping pasukan pemanah dan pelempar lembing yang siap setiap waktu.

Desa itu terlalu sempit untuk menampung sepuluh ribu laskar Pangeran Cu Leng-ong, maka desa itu hanya salah satu dari mata rantai kubu-kubu pertahanan yang dibangun oleh Pangeran Cu Leng-ong. Kubu-kubu yang terdiri dari berpuluh-puluh desa yang dibentengi dan dipersenjatai itu satu sama lain dihubungkan dengan jalan-jalan yang lebar, yang senantiasa dirondai oleh pasukan berkuda, sehingga apabila salah satu desa diserang, maka deaa-desa lainnya dapat mengirimkan bantuannya, sehingga musuh malahan terancam akan terjepit dari semua arah.

Dengan demikian, daerah pengaruh Cu Leng-ong jauh lebih luas dari "wilayah" yang pernah dikuasai oleh Li Tiang-hong di daerah Hun-lam dulu. Apalagi "wilayah" Pangeran Cu Leng-ong ini tersebar luas ditempat yang bergunung-gunung dan tidak rata, sehingga sulit untuk digempur dengan seketika.

Berbeda dengan daerah pengaruh Li Tiang-hong dulu yang daerahnya memang merupakan dataran ilalang yang luas dan rata, sehingga mudah diserang. Hanya adanya hutan-hutan tempat persembunyianlah yang masih menyelamatkan Li Tiang Hong sampai saat ini. Namun sekarang Li Tiang-hong sudah membawa seluruh anak buahnya untuk bergabung dengan Pangeran Cu Leng-ong.

Giok-seng Tojin berjalan-jalan di jalan-jalan yang penuh laskar yang hilir mudik itu dengan sikap acuh tak acuh. Beberapa laskar mengangguk hormat Kepadanya meskipun tidak mendapat balasan. Imam itu sama sekali tidak menghina tapi juga tidak kagum melihat semuanya itu, seolah-olah segala apa yang dilakukan Pangeran Cu Leng-ong itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Tiba-tiba Giok-seng Tojin melihat dua orang laskar mendekatinya dan memberi hormat kepadanya. Imam itu tetap tidak mengacuhkannya, sebab berratus-ratus laskar berbuat serupa dengan mereka berdua, namun yang mengejutkan Giok-seng Tojin, adalah ketika ia mendengar salah seorang laskar itu berkata dengan suara yang berbisik, "Ada pesan dari Te-liong Hiangcu. Mari ke tempat sepi....
Selanjutnya;