Pendekar Naga dan Harimau Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 19

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
NAMUN lagi-lagi Te-liong Hiangcu dapat menghindarinya dengan kelitan-kelitannya yang lincah, bahkan tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang tubuh Tong Lam-hou yang terhuyung-huyung ke depan, dan terdengar bentakannya, "Inilah Wan-hun-kok-so (Si Arwah Penasaran Mengadukan Nasib)!"

Tong Lam-hou tahu bahwa ia tidak mungkin mengelak lagi, ia membatin dirinya akan terlempar lebih keras dari tadi bahkan mungkin beberapa helai tulangnya akan patah. Mungkin memang orang bertopeng itu belum bermaksud membunuh, namun ia akan dipermainkan seperti seekor tikus kecil dalam genggaman seekor kucing yang garang, itu sudah pasti.

Di saat genting itu tiba-tiba ia mengalami hal aneh, seseorang terdengar membisiki dirinya dengan suara selirih desing nyamuk namun setiap kata-katanya terdengar begitu jelas dan tajam, "Jangan pedulikan serangannya. Tusukkan pedangmu ke belakang setinggi pinggang lewat bawah ketiak, sambil jatuhkan dirimu ke depan."

Dalam keadaan tanpa pegangan, petunjuk itu ibarat sepotong papan bagi seorang yang hampir tenggelam di tengah laut. Maka tanpa pikir panjang ia segera melakukan "petunjuk aneh" itu. Gerakannya dilakukan dengan serabutan dan sama sekali tidak indah, namun tepat seperti bisikan itu.

Te-liong Hiangcu memang terkejut sekali, kedua tangannya tengah terulur ke pundak Tong Lam-hou untuk mencengkeram dan membanting lawannya, sesuai dengan gerakan jurus yang disebutkannya tadi. Namun karena tubuh Tong Lam-hou tiba-tiba jatuh ke depan, maka hanya baju di bagian pundak Tong Lam-hou saja yang bisa dirobeknya.

Sebaliknya pedang tong Lam-hou tanpa terduga menyelonong begitu saja dari bawah ketiak dan hampir menikam tembus perutnya, tempat di mana terdapat kelemahan jurusnya itu. Keruan Te-li-ong Hiangcu meloncat mundur dengan terkejut, toh bajunya di bagian perut sempat robek juga. "Gila!" teriak Te-liong Hiangcu tanpa sadar.

Sementara Tong Lam-hou sendiri telah memperbaiki keseimbangannya dan menghadap kembali ke arah musuhnya. Katanya mengejek, "Jurusku tadi disebut 'menolak pengaduan sang arwah'!"

Te-liong Hiangcu menjadi marah bukan kepalang, tak terduga jurus andalannya itu kandas begitu saja di depan Tong Lam-hou yang tadinya dianggap ingusan itu. Segera ia menggeram untuk menyiapkan jurus barunya. Tiba-tiba terdengar gumam mantera aneh dari balik topengnya, lalu sepasang matanya berubah bersinar kehijau-hijauan dan membawa pengaruh aneh. Katanya, "Anak setan, terimalah Thian-mo-tui hun-kang-hoat (Ilmu Sakti Iblis Langit Memburu Sukma)."

Tong Lam-hou yang secara langsung menatap mata lawan yang kehijau-hijauan seperti mata kucing itu, tiba-tiba merasa kepribadiannya goyah, semangat lunturnya menghilang begitu saja dan suatu pengaruh gaib menyusup dalam dirinya. Susah-payah Tong Lam-hou mencoba menyadari dirinya agar tidak runtuh ke dalam pengaruh ilmu jahat itu, tapi rasanya seperti mempertahankan rumah-rumahan pasir di pantai dari sapuan gelombang.

Te-liong Hiangcu tertawa seram bernada kemenangan, lalu perintahnya, "Turuti perintahku, gunakan pedangmu itu untuk menggorok lehermu sendiri!"

Perlahan-lahan tangan Tong-lam-hou terangkat dengan mata pedang yang siap memotong lehernya sendiri. Sisa-sisa kesadaran dalam dirinya masih berjuang mati-matian untuk merebut kembali kepribadiannya dari cengkeraman ilmu Thian-mo-tui-hun-kang-hoat itu, namun gerakan tangannya yang memegang pedang itu sudah tidak terkendali lagi. Di saat itulah bisikan lembut seperti suara nyamuk tadi terdengar ke telinganya,

"Hindari tatapan matanya. Gigit lidahmu sampai luka dan semburkan darahnya ke tubuhnya!”

Tong Lam-hou segera berusaha menuruti anjuran itu, namun alangkah sulitnya, matanya seolah tidak mau beralih dari sepasang mata kehijauan itu. Bahkan Te-liong Hiangcu yang telah mengetahui niat Tong Lam-hou itu, memperkuat cengkaman pengaruhnya dengan membentak, "Jangan melihat ke arah lain. Tetap lihat kepadaku dan turuti perintahku!"

Tanpa daya Tong Lam-hou terseret perlahan-lahan ke dalam cengkraman pengaruh ilmu jahat Te-liong Hiangcu itu, sisa-sisa kesadarannyapun hilang. Tapi di saat itulah di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu tiba-tiba muncul suara berkumandang, seolah olah tanpa arah dan turun dari langit,

“Selamat bertemu kembali, Jisuheng (kakak seperguruan kedua), bagaimana setelah berpuluh tahun kita berpisah? Ilmumu masih serendah itu juga?"

Te-liong Hiangcu terkejut dan pemusatan ilmunya agak terganggu. Ketika ia menoleh ke satu arah, dilihatnya di tengah-tengah rumpun bunga itu ada seorang lelaki berumur kira-kira empat puluh tiga tahun, bertubuh kekar, berjubah panjang dari kain sederhana, dan rambutnya yang bercampuran warna hitam dan putih itu dikuncir ke belakang seperti kelaziman di jaman Manchu itu.

Ada kumis dan jenggot pendek berwarna kelabu yang terawat rapi di atas bibirnya dan di janggutnya, namun sepasang matanya tajam sekali, tidak kalah tajam dan seramnya dengan mata Te-liong Hiangcu. Bahkan, di rumpun bunga lainnya muncul pula seorang lelaki lainnya yang agak lebih muda bermuka kelimis seperti orang-orang muda yang pesolek, dengan tubuh yang agak kurus.

Dalam kejutnya, Te-liong Hiangcu melepaskan cengkaman ilmunya atas diri Tong Lam-hou, sehingga Tong Lam-hou perlahan-lahan mendapat kembali kesadarannya sendiri. Namun anak muda itu hanya sanggup berdiri dengan lemasnya, bahkan pedangnyapun ditancapkan ke tanah untuk menopang tubuhnya agar tidak roboh. Sementara itu dengan heran ia melihat dua orang lelaki setengah baya muncul di halaman belakang rumahnya itu seperti dua sosok hantu saja. Tidak diketahuinya kapan datangnya dan tahu-tahu sudah ada di situ begitu saja.

Bagi Te-liong Hiangcu sendiri, munculnya dua sosok tubuh yang dikenalnya sebagai adik-adik seperguruannya sendiri yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu, membuatnya gugup. Satu lawan satu ia masih sanggup melawan kedua adik seperguruannya itu bergantian, tapi bagaimana mereka maju berbareng.

Namun kemudian mata Te-liong Hiangcu yang tajam dan dilandasi dengan ilmu yang tinggi itu telah melihat suatu kejanggalan pada diri tubuh-tubuh Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu. Mereka nampaknnya bukan terdiri dari manusia yang terdiri dari darah dan daging, melainkan seperti sebuah bayangan yang berbentuk manusia. Bahkan jika pandangannya dipertajam sedikit saja, akan terlihat bahwa "Siangkoan Hong" dan "Lim Hong,-ping” itu memiliki tubuh yang tembus pandang.

Benda-benda yang ada di belakang punggung mereka dapat dilihat melalui tubuh mereka yang seolah-olah terbuat dari kaca itu. Dan kaki-kaki mereka yang menginjak rumpun-rumpun bunga itu ternyata tidak membuat tangkai-tangkai bunga atau rerumputan itu roboh, melainkan seolah-olah tak ada yang menginjaknya dan tetap tegak.

Melihat hal itu, tertawalah Te-liong Hiangcu. Katanya, "Hemm, yang datang ini Samsute (adik seperguruan ketiga) atau Sisute (adik seperguruan ke empat)? Tidak usah bermain-main dengan ilmu sulap kalian yang tidak berarti apa-apa itu. Cepat keluar dari persembunyianmu!"

Tong Lam-hou menjadi heran mendengar ucapan Te-liong Hiangcu itu. Bukankah kedua orang itu sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di rumpun bunga? Siapa lagi yang disuruh keluar dari persembunyian?

Lalu pertunjukkan berikutnya membuat Tong Lam-hou pusing tujuh keliling. Bayangan kedua lelaki setengah baya yang berdiri di rumpun-rumpun bunga itu tiba-tiba semakinn menipis dan menipis, seperti asap saja, dan akhirnya lenyap perlahan-lahan seperti asap terhembus angin sepoi. Tong Lam-hou bergidik sendirian. Apakah rumah yang dihadiahkan oleh Peng-po-ceng-tong kepadanya itu adalah rumah yang dihuni hantu-hantu?

Tiba-tiba terdengar rumpun bambu kuning di sebelah belakang gemerisik seperti ada orang melangkah. Ketika membalik badan untuk melihat siapa yang datang itu, ternyata dia adalah lelaki setengah baya yang nampak di rumpun bunga sebelah kanan tadi. Yang bertubuh kekar dan berjenggot pendek. Tapi ia bukan hantu, sebab sepasang kakinya menapak rapat di atas tanah, dan tubuhnyapun ada bayangannya ketika tertimpa sinar bulan sabit di langit.

Ketika lewat di dekat Tong Lam-hou, orang itu menepuk pundaknya sambil berkata dengan nada kagum, "Anak-muda, kau adalah benar-benar perwujudan Toa-suheng (kakak seperguruan pertama) Tong Wi-siang di masa lampau, baik sikapmu maupun keberanianmu. Dan akupun percaya bahwa kau benar-benar tetesan darah dagingnya. Pantas kalau si topeng tengkorak itu begitu getol ingin membunuhmu." Sekali orang itu berucap.

Tong Lam-hou segera tahu bahwa orang inilah yang tadi beberapa kali membisikinya untuk melakukan ini atau itu. Mungkin dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) atau Jian-li-coan-im (Mengirim Suara Seribu Li) atau ilmu-ilmu sejenis lainnya. Dan ternyata ia juga bisa bermain-main dengan menciptakan ujud-ujud tubuhnya sendiri atau ujud orang lain di tempat yang berbeda. Jelas orang ini berilmu tinggi, dan ternyata juga adik seperguruan dari ayahnya yang bermaksud baik, ingin menyelamatkannya dari kekejaman Te-li-ong Hiangcu.

Maka Tong Lam-hou segera memberi hormat kepada orang itu, "Salamku kepada sam-susiok (paman guru ketiga)!" Rupanya karena belum mengetahui nama orang itu, maka Tong Lam-hou menyebutnya saja dengan "sam-susiok".

Orang itu nampak gembira melihat sikap Tong Lam-hou, katanya, "Aku bernama Siangkoan Hong, dan kau panggil saja Paman Siangkoan."

"Baik, paman Siangkoan."

Sementara itu Te-liong Hiangcu merasa agak lega ketika melihat yang muncul hanya Siangkoan Hong seorang. Ia Juga memperhitungkan bahwa adik seperguruan lainnya yang bernama Lim Hong-ping tentu tidak berada di situ, sebab kalau ada di situ tentu sudah muncul pula, dan Siangkoan Hong tidak perlu menggertaknya dengan menampilkan "gambar" Lim Hong-ping di rumpun bunga tadi.

Ilmu mengelabuhi pandangan mata orang lain seperti itu Te-liong Hiangcu sendiri juga bisa melakukannya, sebab itu termasuk dari bagian ilmu-ilmu warisan Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan Bu-san) yang menggetarkan rimba persilatan kira-kira seratus limapuluh tahun yang lalu. Ilmu mereka adalah adukan dari ilmu silat, ilmu tentang racun dan ilmu hitam.

Setelah merasa bahwa keadaan dirinya tidak terlalu berbahaya, maka Te-liong, Hiangcu timbul pula sikap takaburnya. Terhadap Siangkoan Hong yang dimasa Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, ia berkata, "Siangkoan Hong, tabiatmu yang usil dan suka mengganggu pekerjaan orang lain itu agaknya belum hilang dari dirimu. Malam ini kau berani pula menghambat pekerjaanku, apakah kau bosan hidup?"

Tanpa gentar sedikitpun Siangkoan Hong berdiri berhadapan dengan Te-liong Hiangcu dan bertolak pinggang. Bahkan tanpa takut-takut ditatapnya biji mata Te-liong Hiangcu, tidak peduli andaikata bekas kakak seperguruannya itu menggunakan ilmunya Thian-mo tui-hun-kang-hoat. Dengan sikap yang sama garangnya Siangkoan Hong menuding ke wajah Te-liong Hiangcu sambil menjawab,

"Pengkhianat, mengapa aku harus bosan mencarimu? Kau kabur ke ujung langitpun aku akan tetap memburumu untuk menuntut pertanggung-jawabanmu atas runtuhnya Hwe-liong-pang gara-gara pengkhianatanmu! Arwah Toa suheng hari ini agaknya menuntunku untuk menemuimu di sini, untuk membasmi iblis berhati hitam seperti kau, dan sekaligus secara kebetulan menyelamatkan keturunan Toa-suheng Tong Wi-siang yang hanya satu-satunya itu!"

Te-liong Hiangcu tertawa, "Hemm. Orang-orang seperti kau ini tidak lain diperbudak oleh Tong Wi-siang saja, bahkan dia sudah mati puluhan tahunpun kau masih berlagak setia kepadanya?"

"Aku tidak setia kepada Tong Wi-siang pribadi, tetapi kepada cita-cita luhurnya yang digariskannya ketika dia mendirikan Hwe-liong-pang di bukit Tiau-im-hong pegunungan Bu-san berpuluh tahun yang lalu. Tapi kaulah yang menghancurkan segala-galanya! Kau harus bertanggung-Jawab, iblis berhati hitam yang tega menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan!”

Sulit diketahui bagaimana wajah Te-liong Hiangcu menerima caci-maki yang pedas itu, sebab wajahnya tertutup topeng berbentuk tengkoraknya. Namun dilihat dari ujung jubahnya yang bergetar itu, agaknya tubuhnyapun sedang gemetar hebat menahan kemarahannya. Tapi ia tidak berani bertindak sembarangan.

Menghadapi Siangkoan Hong yang pernah bergelar Thian-liong Hiangcu itu tentu jauh berbeda dengan menghadapi Tong Lam-hou yang meskipun mewarisi ilmu Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan namun masih hijau dalam pengalaman, dan ilmunyapun belum mencapai batas kemungkinan.

Maka Te-liong Hiangcu lebih suka menggunakan siasat debat kusir sambil mencoba menunggu kelengahan lawan untuk disergap dan dibinasakan sekali. Soal licik atau tidak licik, itu tidak pernah dianggap penting oleh Te-liong Hiangcu, yang penting tujuannya tercapai lebih dahulu.

"Kau memaki aku sebagai iblis berhati hitam memangnya kau sendiri itu siapa? Siapa pula Tong Wi-siang dan Lim Hong-ping? Kita semuanya adalah iblis, tak ada bedanya, kita adalah pewaris-pewaris Bu-san-jit-kui yang oleh pendekar-pendekar dari perguruan-perguruan sok suci dimaki sebagai kaum sesat, kaum iblis, namun orang-orang yang memaki kita itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada kita. Sebab kita jauh lebih kuat dari mereka. ilmu kita jauh lebih tinggi dari mereka, dan kita dapat membunuh mereka kapan saja kita mau!"

Tong Lam-hou yang mendengarkan perdebatan kedua kakak beradik seperguruan itu diam-diam mulai memahami bagaimana pribadi Te-liong Hiangcu yang sebenarnya. Orang di balik topeng tengkorak itu benar-benar seorang iblis tulen sampai ke bulu-bulunya. Adalah malapetaka bagi umat manusia bahwa seorang manusia semacam Te-liong Hiangcu ini hidup di tengah-tengah mereka.

Namun Tong Lam-hou juga menyesal bahwa ilmunya masih belum cukup untuk memberantas iblis bertopeng itu, bahkan andaikata ia menggabungkan diri dengan Pakkiong Liong sekalipun, belum tentu bisa mengalahkan Te-liong Hiangcu. Di dalam rimba persilatan, agaknya hanya ada beberapa gelintir orang yang bisa sanggup menghadapi Te-liong Hiangcu.

Di antaranya termasuk Siangkoan Hong dan saudara seperguruannya yang lain yang bernama Lim Hong-ping itu, mungkin juga guru Tong Lam-hou sendiri, Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, atau guru Pakkiong Liong, Hoat-Beng Lhama dari kuil Thian-liong-si di Tibet yang letaknya jauh di barat sana.

Terdengar Siangkoan Hong membantah, "Jalan pikiranmu yang keblinger itulah yang membuat Hwe-liong-pang kita dulu sampai dimusuhi berbagai perguruan. Padahal Toa-suheng Tong Wi-siang bercita-cita, biarpun ilmu yang dimilikinya itu disebut sebagai ilmu sesat, namun ia ingin mengamalkannya untuk kemanfaatan sesama manusia. Membela yang lemah dari tindakan sewenang-wenang yang kuat. Itulah cita-cita Toa-suheng, dan cita-cita seluruh anggota Hwe-liong-pang yang murni, bukan yang berkhianat seperti kau dan begundal-begundalmu itu!"

Dalam pada itu, Te-liong Hiangcu memaki-maki dalam hatinya. Siangkoan Hong sudah diajaknya bicara berputar-putar dengan harapan agar lengah sedetik saja, namun peluang yang ditunggu-tunggu itu belum muncul juga. Bekas adik seperguruannya itu tetap berada dalam kesiagaannya yang tertinggi.

Sesungguhnya Siangkoan Hong memang tidak berani lengah sekejap matapun. Ia sudah hapal benar tabiat Te-liong Hiangcu yang maha licik itu. Dengan kelicikannya itu pula ia pernah berhasil melukai Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang yang ilmunya sebetulnya jauh lebih tinggi daripadanya. Dan luka-luka yang diderita oleh Hwe-liong Pangcu itulah awal dari keruntuhannya selangkah demi selangkah. Keruntuhan pribadinya maupun keruntuhan Hwe-liong pang.

Bahkan kemudian Siangkoan Hong-lah yang menunjukkan ketidak-sabarannya untuk segera bertempur, "Sekarang jangan banyak bicara. Menyerahlah untuk kutangkap!"

"Setelah aku kau tangkap, lalu akan kau apakan?"

"Aku seret ke puncak Tiau-im-hong tempat reruntuhan markas Hwe-liong-pang dulu, lalu aku undang semua bekas anggota Hwe-liong-pang yang masih setia kepada Toa-suheng untuk berkumpul di puncak itu. Dan aku sembelih kau untuk dikorek jantungmu, untuk menyembahyangi bendera Hwe-liong-pang, dan sejak detik itu Hwe-liong-pang akan bangkit kembali!" geram Siangkoan Hong penuh dendam. Dan ketika kemarahan menguasai hatinya, maka cahaya mata-nyapun tiba-tiba berubah menjadi kehijau-hijauan, mirip benar dengan cahaya mata Te-liong Hiangcu tadi.

Bahkan Tong Lam-hou sendiri bergidik mendengar rencana paman Siangkoannya untuk menyembelih orang dan mengorek jantungnya segala itu. Orang-orang yang mempelajari ilmu sesat, meskipun dia bisa juga menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan bagi sesama manusia, namun pengaruh itu tak terhindari sama sekali. Menyembelih orang dan mengorek jantungnya itu biasanya didapati pada aliran-aliran kaum sesat dalam upacara-upacara mereka.

Te-liong Hiangcu tidak terkejut sedikitpun mendengar ancaman yang bagi orang lain menyeramkan itu. "Hemm, kau pikir aku ini kambing yang bisa diseret ke sana ke mari tanpa melawan? Siangkoan Hong, mimpimu untuk membangun kembali Hwe-liong-pang itu adalah mimpi anak kecil di siang hari bolong. Aku, majikan dari Kui-kiong (Istana Iblis), akan menggagalkanmu. Saat ini, Hwe-liong-pang mu hanya berujud impian, sementara Kui-kiong yang kupimpin sudah berujud! Sudah mempunyai jaringan luas di mana-mana, mempunyai banyak pengikut yang setia kepada perintahku meskipun aku suruh terjun ke ujung golok! Nah, bisakah kau mengalahkan kami?"

Hati Siangkoan Hong sudah terbakar, maka jawabnya sambil berteriak, "Bisa! Asal aku bunuh kau sebagai pemimpinnya, maka semua iblis-iblis kecil di bawah pimpinanmu pasti akan berantakan semua!"

Te-liong Hiangcu masih hendak mengejek lagi. Namun Siangkoan Hong sudah tidak memberinya kesempatan lagi, diiringi sebuah bentakan menggemuruh Siangkoan Hong telah memutar sepasang telapak tangannya dan kemudian menghantamkannya ke depan. Seketika itu di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu seolah-olah dilanda badai dahsyat. Jarak antara Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu ada belasan langkah, namun tekanan pukulan yang dahsyat segera melanda Te-liong Hiangcu.

Rumpun-rumpun bunga yang dilewati oleh tenaga pukulan Siangkoan Hong itu sampai tercabut dari akarnya dan beterbangan porak-poranda. Taman yang indah permai itupun hancur berantakan. Te-liong Hiangcu tidak tinggal diam saja. Ia mundur selangkah sambil memasang kuda-kuda dan menyilangkan kedua tangannya, kemudian sambil membentak dengan tidak kalah kerasnya ia pun hantamkan sepasang telapak tangan ke depan untuk menyongsong tenaga pukulan Siangkoan Hong.

Dua tangan pukulan maha dahsyat yang tak berwujud itu berbenturan di udara, menimbulkan angin pusaran yang membuat kerusakan lebih parah lagi di halaman belakang itu. Beberapa hiasan kebun yang terbuat dari batu dan kayu, telah terlempar ke atas karena terangkat oleh angin berpusar yang dahsyat itu, lalu kedua orang yang beradu kekuatan dari jarak belasan langkah itu sama-sama tergetar mundur selangkah.

Melihat pertarungan dua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu, diam-diam Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam. Terasa alangkah kecil dirinya dibandingkan kedua orang paman gurunya yang saling bermusuhan itu. Ia menjadi malu sendiri. Ketika ia menjalani ujian pendadaran penerimaan prajurit di lapangan di luar kota Pak-khia itu, ia pernah merasa sangat bangga, apalagi ketika ribuan penonton bersorak-sorai untuk kehebatannya.

Rasanya saat itu ia adalah orang paling hebat di dunia ini. Namun malam ini, di halaman belakang rumahnya sendiri dan tak ada seorang penontonpun selain dirinya sendiri, ia menyaksikan suatu pertarungan antara tokoh-tokoh cabang atas. Pertarungan yang tidak dapat diurai dengan nalar.

Tong Lam-hou juga merasa bahwa udara dihalaman belakang itu semakin dicengkam oleh suasana gaib, hawa dingin yang sama sekali berbeda dengan hawa dingin yang dikeluarkan apabila ia menggunakan ilmu pukulan Han-im-ci-ang, melainkan hawa dingin ini tidak membuat tubuh menggigil, hanya membuat perasaan bergidik seolah-olah berada di suatu tempat yang dihuni sekumpulan setan.

Sayup-sayup Tong Lam-hou mulai mendengar ada gumaman aneh dalam bahasa yang aneh mengumandang di udara, bahkan rasanya ada mahluk-mahluk tak terlihat yang ikut bertempur bersama kedua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu. Bulu kuduk Tong Lam-hou kini berdiri tegak semuanya. Inilah kiranya ilmu-ilmu warisan Bu-san-Jit-kui yang juga pernah diceritakan oleh Suhunya itu.

Sementara itu, Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu telah berkelahi semakin sengit. Kini mereka bukan hanya saling memukul dari jarak belasan langkah, melainkan telah saling berloncatan menerjang dengan jurus-jurus mereka yang sama kejamnya. Mereka bukan cuma ingin saling mendorong dengan tenaga pukulan mereka, atau merobek-robek tubuh lawan dengan jari-jari mereka.

Gerakan mereka mula-mula bisa diikuti oleh mata Tong Lam-hou, namun semakin lama semakin cepat sehingga akhirnya mereka bagaikan dua bayangan yang bergulung menjadi satu tanpa terlihat lagi wujudnya.

Suasana seram dan dingin yang melingkupi arena pertempuran itu terasa semakin tebal, bahkan selapis tipis kabut kehijau-hijauan entah darimana datangnya, telah melingkari arena itu. Suara-suara aneh yang mirip mantera-mantera bahasa asing dari aliran kepercayaan sesat itupun semakin nyata terdengar, bahkan sekali-sekali terdengar suara letupan-letupan.

Tong Lam-hou mundur beberapa langkah untuk menjauhi arena. Diam-diam ia membatin, "Ini bukan lagi perkelahian antara tokoh-tokoh persilatan, melainkan perkelahian antar iblis!"

Setelah Te-liong Hiangcu berkutetan sekian lama melawan adik seperguruannya tanpa perubahan keseimbangan, maka ia pun habis sabarnya. Ia meloncat mundur dari lawannya untuk mengambil jarak beberapa langkah, mulutnya menggumamkan mantera karena untuk mengeluarkan ilmunya yarg disebut Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan.

Tong Lam-hou memperhatikan dengan seksama gerak-gerik iblis bertopeng itu, dan rasa-rasanya ia berada di dalam mimpi ketika melihat Te-liong Hiangcu meloncat, dan pada saat meloncat itulah seakan-akan tubuhnya berpisah dengan tubuh lainnya, sehingga tiba-tiba di tempat itu ada dua orang Te-liong Hiangcu dengan wujud yang sama Kedua-duanya lengkap dengan jubah hitamnya dan topeng tengkoraknya, dan keduanya begitu persis dan hidup sehingga sulit dibedakan mana Te-liong Hiangcu yang bertubuh kasar dan yang hanya bayangan ciptaan saja.

Bukan hanya sampai di situ, kedua wujud Te-liong Hiangcu itupun serempak bergerak dengan gerakan berbeda, dan ketika bergerak kembali, mereka meninggalkan bayangan mereka di tempat semula, sehingga kini ada empat orang Te-liong Hiangcu. Keempat-empatnya berlari-larian silang menyilang membingungkan, dan ketika tiga orang wujud tiga orang Te-liong Hiangcu lagi.

Sehingga kini genaplah jumlahnya menjadi tujuh wujud Te-liong Hiangcu, sudah tentu yang asli hanya satu dan enam lainnya sekedar bayangan semu yang seolah-olah hidup. Namun amat sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, apalagi jika ketujuhnya bergerak secara serempak dengan gerakan yang berbeda-beda.

"Jit-mo-tiau-goat-sin-kang!"desis Siangkoan Hong dengan bergetar. Tapi bekas orang ketiga dalam Hwe liong-pang itupun tidak mau kalah langkah, dalam waktu sekejap iapun telah mengeluarkan ilmu yang sama. Dan di kebun itu muncul pula berturut-turut enam orang Siangkoan Hong lainnya, jadi tujuh orang dengan yang asli.

Maka bertempurlah kakak beradik seperguruan itu dengan dibantu bayangan-bayangan mereka sendiri. Kini seolah-olah ada tujuh pasang orang yang sedang berkelahi, namun ke tujuh pasangan itu tidak berkelahi dengan lawan yang tetap, melainkan loncat sana loncat sini berganti-ganti lawan.

Tong Lam-hou benar-benar merasa pening kepalanya melihat adu ilmu yang luar biasa itu. Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, barangkali iapun sulit mempercayainya. Namun ia tidak mau melewatkan kesempatan yang luar biasa itu, ditenangkannya hatinya dan iapun mencoba memperhatikan jalannya pertempuran dengan cermatnya.

Di antara wujud-wujud Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong yang sama-sama berjumlah tujuh orang dan bersambaran itu, sebenarnya yang bisa benar-benar melukai hanyalah satu orang saja, yaitu wujud aslinya. Yang enam orang hanya bertugas untuk membingungkan lawan agar membuat gerakan yang salah, sedangkan apabila wujud palsu itu memukul dan kena, yang dikenainya tidak akan merasakan apa-apa, sebab yang "memukul"nya itupun hanya bayangan.

Dengan semakin gencarnya gerakan-geakan bayangan-bayangan itu, maka baik wujud asli Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama belum menemukan sasaran mereka yang sebenarnya. Beberapa kali mereka berhasil memukul telak wujud yang dikiranya lawan mereka, namun mereka seperti memukul asap saja. Dan tidak jarang bila Te-liong Hiangcu mengecoh Siangkoan Hong dengan gerakan pancingan dari salah satu "diri"nya, ternyata yang seolah-olah terkecoh itupun cuma Siangkoan Hong palsu.

Tidak jarang jika wujud palsu saling terjang dengan wujud palsu lainnya, maka keduanya seakan bertabrakan namun dapat saling melewati tubuh "lawan" masing-masing begitu saja, seperti dua gumpal asap yang berpapasan tentu tidak menimbulkan bentur an sekecil apapun.

Perlahan-lahan Tong Lam-hou mulai memahami "pola-kerja" ilmu yang aneh itu. Ternyata kecerdikan otak untuk memainkan bayangan-bayangannya sendiri untuk menjebak musuh, juga memainkan peranan di sini, sambil berusaha mengetahui siapa musuh yang sebenarnya, agar pukulannya tidak sekedar menghantam bayangan kosong.

Dalam hal kecerdikan, ternyata Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong cukup seimbang pula. Supaya mereka tidak dapat ditebak oleh lawannya, maka mereka tidak menggunakan pukulan jarak jauh mereka yang menimbulkan deru angin keras itu, sebab jika sampai mereka berbuat demikian, itu sama saja dengan memberitahukan kepada lawan siapa yang asli di antara ketujuh wujud itu. Masing-masing berusaha menyamarkan diri sebaik mungkin di antara wujud-wujud palsu mereka sendiri.

Tong Lam-hou memperhatikan jalannya perkelahian dengan tegang bercampur kagum. "Kalau seseorang yang kurang tabah hatinya berkelahi melawan ilmu ini, maka dalam waktu singkat dia akan menjadi gila sendiri," pikirnya.

Setelah pertempuran itu berjalan cukup lama tanpa ada yang bisa menarik keuntungan, agaknya Siangkoan Hong mulai bosan. Di otaknya mulai terpikir untuk menggunakan ilmu lainnya, yang boleh dikatakan sebagai ilmu puncak atau yang paling hebat dari ilmu-ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui. Ilmu itu disebut Thian-mo-kay-teh-kang (Iblis Langit Melukai Badan). Dengan cara melukai diri sendiri, yaitu menggigit lidah sehingga berdarah, maka tenaga di dalam tubuh akan dapat dikobarkan sampai beberapa kali lipat dari tenaga aslinya.

Namun penggunaan ilmu itu ada juga bahayanya bagi diri sendiri, yaitu bahwa timbulnya tenaga yang berlipat ganda itu hanya dalam waktu yang singkat saja, setelah itu kekuatannya justru akan merosot tajam. Apabila pada saat kekuatannya merosot itu musuh belum berhasil dibereskan, maka alamat dirinya sendirilah yang akan dibereskan oleh musuh.

Sehabis penggunaan ilmu itu, biasanya orangnya juga akan menderita luka berat untuk beberapa waktu lamanya. Jenis ilmu sesat ini sangat dikutuk oleh kaum lurus, bahkan di kalangan kaum sesat sendiripun penggunaannya terbatas hanya jika tenar-benar sudah tidak ada jalan lain dan harus memenangkan pertempuran.

Maka tiba-tiba Siangkoan Hong asli segera meloncat mundur dari gelanggang pertempuran, dan langsung meninggalkan Ilmu-Ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-kang yang lebih mirip dengan ilmu sihir daripada ilmu silat itu. Keenam wujud palsu dirinyapun tiba-tiba hilang menguap begitu saja, tinggal wujud aslinya yang berdiri tegak dengan kedua tangan direntang ke samping, dengan sorot mata yang semakin tajam dan tubuh yang bergetar karena pengerahan ilmu lainnya. Thian-mo-kay-teh-kang.

Te-liong Hiangcu agak terlambat mengurai situasi, wujud-wujud-palsunya masih saja berloncatan mencoba membingungkan lawan, namun tidak dipedulikan oleh Siangkoan Hong. Bahkan andaikata yang mendekatinya itu wujud Te liong Hiangcu yang asli, justru itulah yang ditunggunya, hantaman akan disambutnya dengan hantaman pula agar orang yang dibencinya itu terlempar mampus.

Melihat sikap Siangkoan Hong itu, justru dada Te-liong Hiangcu berdesir hebat. Diapun pewaris dari ilmu-ilmu dalam kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, dan ia tahu ilmu apa yang sedang akan dilontarkan oleh Siangkoan Hong itu. Terpaksa ia harus mengimbanginya dengan ilmu yang sama, sebab kalau tidak maka dirinya akan hancur berkeping keping tergilas ilmu yang dahsyat itu.

Bayangan-bayangan palsu Te-liong Hiangcu serempak menghilang dari tengah arena, menyusul nampak orang bertopeng tengkorak itu berdiri dalam sikap sama dengan Siangkoan Hong, karena diapun terpaksa harus menggunakan ilmu yang sama, meskipun hatinya sama sekali tidak suka hal itu.

Waktu itu, getaran tubuh Siangkoan Hong semakin keras, dari sela-sela bibirnya meneteskan darah yang menandakan bahwa ia sudah mulai menggigit lidahnya, lalu diiringi dengan teriakan keras ia melompat ke depan dengan sepasang telapak tangan dihantamkan sekuat tenaga. Deru angin dahsyat bercampur suara seperti dengung aneh segera melanda ke depan, jangan lagi tubuh manusia, sedang batu sebesar kerbaupun akan hancur lebur tertimpa pukulan itu.

Namun Te-liong Hiang-cu tidak membiarkan tubuhnya hancur berkeping-keping. Dengan tergesa-gesa ia menggigit lidahnya sehingga luka dan mengerahkan tenaga dalam tubuhnya sehingga mirip perut gunung berapi yang hampir meledak, lalu dengan keras lawan keras disongsongnya langsung pukulan Siangkoan Hong dengan pukulan pula, bahkan juga sambil meloncat.

Benturan dahsyat dari ilmu yang sama dari kakak beradik seperguruan itu segera menggetarkan tempat itu. Udara yang terbelah dan mengatup kembali itu menimbulkan suara bagaikan guntur meledak di langit. Tekanan tenaga pukulan dari kedua pihak yang berbenturan itupun menimbulkan angin berputar berkekuatan hebat.

Sehingga kebun bunga seluas dua tiga tombak di sekitar benturan itu menjadi bersih karena tanaman-tanamannya tercabut dari tanah dan terlempar ke udara untuk kemudian jatuh kembali beberapa tombak di sekitarnya. Sementara lengan-lengan yang beradu kekuatan itu seperti lempengan-lempengan besi yang dibenturkan.

Kedua orang itu sama-sama terlempar jatuh dan bergulingan beberapa langkah, dan kemudian sama-sama terbaring terlentang di halaman belakang yang sudah porak-poranda tak keruan itu. Baik Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama memperdengarkan pernapasan yang berat dan tersengal-sengal, menandakan bahwa benturan tadi benar-benar telah menguras habis tenaga kedua telah pihak.

Dengan terlongong kagum campur ngeri Tong Lam-hou melihat kesudahan dari perkelahian sepasang saudara seperguruan yang menjadi musuh bebuyutan itu. Ketika melihat tubuh Siangkoan Hong masih bergerak-gejrak, cepat-cepat Tong Lam-hou berlari mendekatinya sambil memanggil, "Paman Siangkoan, apakah kau baik-baik saja?"

Dengan muka yang pucat dan jenggot yang berubah warna menjadi merah karena basah oleh darah, Siangkoan Hong berkata dengan terbata-bata, "Cepat lihat iblis itu masih hidup atau tidak. Kalau masih hidup, tikam saja jantungnya dengan pedangmu. Dia adalah biang keladi runtuhnya Hwe-liong-pang, Dan biang keladi kematian ayahmu pula."

Jika menuruti saja jiwa yang panas bergolak oleh dendam, rasa-rasanya Tong Lam-hou ingin berbuat seperti yang dianjurkan oleh Siangkoan Hong itu, namun pertimbangan lain mencegahnya. Bagaimanapun juga wataknya sebagai seorang jantan telah mencegahnya untuk menghunjamkan pedang ke tubuh seorang yang kempas-kempis tanpa daya sedikitpun, meskipun itu adalah musuhnya.

Maka dibiarkannya saja ucapan paman Siangkoan-nya itu, pura-pura tidak didengarnya. Bahkan pedangnya diletakkannya di tanah dan dengan kedua tangannya ia hendak mengangkat tubuh Siangkoan Hong, sambil berkata "Udara malam yang lembab kurang baik untuk kesehatan paman, apalagi paman sudah luka, mari aku angkat ke dalam rumah untuk mendapat pengobatan."

Namun Siangkoan Hong menolak tangan Tong Lam-hou itu meskipun dengan tenaga yang lemah, dengan mata mendelik ia berkata kepada Tong Lam-hou, "Anak bodoh, kenapa kau sibukkan dirimu dengar, lukaku yang tidak bakal mematikan aku ini? Cepat bunuh Te-liong Hiangcu sebelum dia mendapat sedikit kekuatannya untuk melarikan diri. Cepat!"

"Tidak, paman," sahut Tong Lam-hou sambil menggelengkan kepalanya. "Orang itu berbaring tak berdaya, hampir mampus. Tidak jantan kalau aku menusuk seseorang yang tidak sanggup melawan lagi."

Mata Siangkoan Hong terbelalak. "Anak bodoh, tolol, goblok! Kapan kau akan mendapatkan kesempatan sebaik ini untuk membalaskan dendam ayahmu? Ayo cepat lakukan! Sikap jantan hanya perlu kau tunjukan kepada orang-orang yang bersikap jantan pula, bukan kepada seseorang yang telah tega menyerang kakak seperguruannya sendiri dengan cara yang sangat licik. Jika kau lepaskan dia kali ini, maka lain kali kau akan dicekiknya hingga mampus. Kau kira dia akan berterima kasih karena dia kau ampuni jiwanya?"

Tong Lam-hou tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak peduli dia tidak berterima kasih kepadaku atau bahkan semakin membenciku, tapi aku tidak akan membunuhnya saat ini. Kelak, aku akan membunuhnya jika kami berhadapan secara adil. Mari paman aku bawa ke dalam."

Jika saja Siangkoan Hong masih punya tenaga, ingin dia menggampar muka Tong Lam-hou yang dirasanya sangat menjengkelkan itu, lalu dengan tangannya sendiri pula la akan mencekik Te-liong Hiangcu, si biang keladi keruntuhan Hwe-liong-pang yang dulunya la bangga-banggakan itu. Namun apa daya, tubuhnya luka parah, untuk bangkit duduk saja tidak punya tenaga, maka segala kemendongkolannya disimpannya saja dalam hati. Dan ia tidak meronta lagi ketika Tong Lam-hou mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.

Ketika Tong Lam-hou melewati tubuh Te-liong Hiangcu yang juga masih terbaring lemah itu, memang timbul juga sedikit sadar untuk membunuh orang itu. Tidak usah dengan pedang, cukup dengan menginjak lehernya saja maka orang jahat itu akan mati. Namun akhirnya sifat-sifat baiknya yang mengusai dirinya.

Yang kemudian dilakukannya bukanlan menginjak leher orang itu, melainkan dengan ujung kakinya ia menyingkap topeng perunggu yang melapisi wajah Te-liong Hiangcu. Ia hanya ingin melihat wajah asli dibalik topeng itu, supaya kelak jika ditemuinya lagi orang itu akan dapat diajaknya bertarung memperhitungkan dendam ayahnya. Ketika topeng perunggu itu tersingkap, muncullah seraut wajah lelaki berusia menjelang setengah abad, wajahnya sebenarnya cukup tampan, dihiasi dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya.

Namun wajah itu kini pucat, sementara matanya yang berkerdip-kerdip menatap ke arah Tong Lam-hou itu memancarkan kemarahan dan nafsu membunuh, kelicikan, namun sekaligus juga kekuatiran kalau Tong Lam-hou membunuhnya. Tadi ia sudah berusaha membunuh Tong Lam-hou, dan sekarang jika Tong Lam-hou ingin membunuhnya maka semudah membunuh seekor kelinci sakit-sakitan.

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin, "Bangsat, tahukah kau bahwa saat ini aku dapat membunuhmu dengan mudah? Tetapi aku tidak selicik kau, meskipun Ilmuku jauh lebih rendah dari ilmumu, namun kelak aku tetap akan berusaha membunuhmu dengan cara seorang lelaki. Cara jantan. Paling tidak aku boleh berbangga dengan sikapku sendiri ini, karena watakku tidak serendah watakmu yang tidak segan-segan menaruh binatang beracun dalam makananku. Itu perbuatan orang-orang hina."

Mata Te-liong Hiangcu nampak berkilat mendengar ucapan Tong Lam-hou yang menusuk hati itu. Alangkah benci dan marahnya ia kepada anak Tong Wi-siang itu, namun luka-lukanya akibat benturan ilmu dengan Siangkoan Hong tadi memang benar-benar luka yang berat. Namun Te-liong Hiangcu masih sempat melontarkan kebenciannya dengan sepatah kalimat, "Kau akan menyesal kelak."

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin. "Bangsat...!" Siangkoan Hong yang dipapah oleh Tong Lam-hou itupun masih mencoba mempengaruhi anak muda itu, "Benar, anak muda, kau akan menyesal kelak. Bunuh pengkhianat itu sekarang juga."

Namun Tong Lam-hou tidak peduli lagi, dengan hati-hati dibawanya Siangkoan Hong ke dalam rumahnya, dan dibaringkannya di pembaringan miliknya sendiri sambil berkata, "Beristirahatlah, paman, jangan dipikirkan lagi iblis bertopeng yang masih terbaring di luar itu. Jika paman mau, aku akan menghangatkan makanan buat paman."

Siangkoan Hong duduk di atas pembaringan dan menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat. Katanya, "Kau segala-segalanya mirip dengan Toa-suheng Tong Wi-siang, baik wajah, perawakan maupun keberaniamu, hanya ada satu kekuranganmu dibandingkan dengan dia."

Tong Lam-hou yang memang selalu merasa dahaga untuk mendengar kisah-kisah hidup ayahnya yang tidak pernah dilihatnya itu, segera bertanya, "Kekurangan apa?"

Kata Siangkoan Hong, "Kau terlalu baik hati terhadap orang yang jahat seperti Te-liong Hiangcu sekalipun, dan itu kelak akan membuahkan kesulitan bagimu sendiri, nak. Ayahmu juga seorang yang baik hati, namun ia dengan tegas dapat membedakan siapa yang masih berhak untuk diampuni dan siapa yang sudah tidak berhak untuk dihidupi lagi. Terhadap orang jenis kedua ini, ayahmu tidak ragu-ragu untuk bertindak tegas."

Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam, "Aku memang bukan ayah, dan barangkali aku juga tidak akan seperkasa dan sekuat ayahku."

Sinar mata Siangkoan Hong nampak agak kecewa ketika mendengar pengakuan Tong Lam-hou itu. la menarik napas berulang kali dan berkata, "Ya, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu untuk suatu hal."

"Hal apa?"

"Membangun kembali Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang kuat dan perkasa, meneruskan cita-cita ayahmu yang belum sempurna terlaksana."

"Apakah itu perlu?"

"Apa-apaan ucapanmu ini?" kata Siangkoan Hong dengan suara meninggi karena jengkel melihat sikap Tong Lam-hou. "Ucapanmu yang kebanci-bancian itu tidak pantas diucapkan oleh putera mendiahg Hwe-liong Pangcu yang gagah perkasa!"

Segera Tong Lam-hou tahu bahwa sang paman Siangkoan yang baru ditemukannya malam ini adalah seorang yang berwatak keras kepala dan pemberang pula, seorang yang agak sulit diajak bicara dengan kepala dingin. Namun betapapun Tong Lam-hou berterima-kasih karena nyawanya sudah diselamatkan oleh paman Siangkoan ini dari terkaman Te-liong Hiangcu, dan bagaimanapun juga Siangkoan Hong adalah adik seperguruan mendiang ayahnya yang pantas dihormati sebagai orang tua.

Kemudian Tong Lam-hou ingat pula seorang paman lainnya, bukan hanya adik seperguruan ayahnya tapi malahan adik sekandung dari ayahnya. Tong Wi-hong. Pendekar dari kota Tay-beng yang selalu berpakaian serba putih dan terkenal dengan julukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) dan ilmu pedangnya yang hebat. Sejak pertama kali Tong Lam-hou bertemu dengan pamannya itu, sudah timbul rasa kagum dan hormatnya ia melihat sikapnya yang agung dan tutur katanya yang penuh kebijaksanaan itu.

Tapi sayang, paman dan keponakan itu harus berdiri pada pihak-pihak yang berseberangan karena membela pendiriannya masing-masing. Tong Lam-hou merasa bahwa pamannya itu tidak memahami pendiriannya untuk mengabdi Negara dan Kaisar, menciptakan ketertiban dan kedamaian di seluruh negeri, sebab hal itulah yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat banyak sejak Li Cu-seng memberontak dulu.

Bertahun-tahun yang ada hanyalah perang, perang dan perang melulu, yang membuahkan Kekacauan, perkosaan, perampasan sewenang-wenang, pembunuhan tanpa diadili dan sebagainya. Namun Tong Lam-hou sadar bahwa paman Tong-nya itu telah menganggapnya sebagai pengkhianat, kaki tangan bangsa Manchu dan sebagainya. Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam kalau memikirkan semua persoalan itu.

Dulu ketika ia hidup digunung hanya bersama ibunya, dia mendambakan alangkah senang hidupnya kalau seperti orang lain, bukan hanya punya ibu tetapi juga punya keluarga lainnya, mungkin paman atau bibi, saudara sepupu dan lain-lainnya. Namun setelah didapatkannya seorang paman seperti Tong Wi-hong dan seorang bibi sperti Tong Wi-lian, malahan timbul pertentangan dalam jiwanya.

Kini muncul pula seorang paman guru seperti Siangkoan-Hong yang sikapnya sangat keras itu, menambah rumitnya pergolakan jiwanya. Dibandingkan ketika la "hanya punya" seorang ibu di gunung dulu, masa lalu seperti itu ternyata jauh lebih tenteram bagi jiwanya.

"He, kenapa kau melamun?" tanya Siangkoan Hong mengejutkan Tong Lam-hou. "Kau tersinggung oleh kata-kataku?"

Tong Lam-hou menyeringai canggung, lalu menyahut, "Tidak, paman. Mana berani aku tersinggung oleh nasehat paman yang bermaksud baik kepadaku itu. Paman aku anggap sebagal orang tuaku.”

"Benar demikian? Kau anggap nasehatku ada unsur-unsur kebenarannya?"

Sekenanya Tong Lam-hou menjawab, "Tentu, paman. Umur paman yang jauh lebih tua daripadaku itu menjadikan paman memiliki lebih banyak pengalaman dan kebijaksanaan daripadaku yang masih hijau ini."

Tak terduga Jawaban yang sekenanya membuat Tong Lam-hou tersudut ke dalam kesulitan. Siangkoan Hong nampak tertawa puas, katanya, "Nak kalau kau anggap nasehatku cukup baik, keluarlah ke halaman belakang dan bunuhlah pengkhianat Hwe-liong-pang itu demi arwah ayahmu. Jangan ragu-ragu."

Tong Lam-hou mengeluh dalam hatinya, yang terpikir di kepala pamannya ini apakah tidak lebih dari membunuh dan membalas dendam untuk urusan Hwe-liong-pang yang sudah kedaluwarsa itu. Tidak adakah urusan penting lainnya yang lebih penting dari itu? Sesaat Tong Lam-hou jadi kebingungan bagaimana harus menjawab permintaan paman gurunya itu.

Sikap ragu-ragu Tong Lam-hou itu membuat SiangKoan Hong naik darah, “Anak tak bergunal! Benar-benar anak tak berguna! Kau akan mengemukakan alasanmu yang sok kesyatria bahwa membunuh orang tak berdaya itu tidak dibenarkan? Padahal inilah satu-satunya kesempatanmu untuk mengimpaskan dendam ayahmu, satu-satunya kesempatan. Kalau si bangsat Te-liong Hiangcu itu sudah sembuh dari lukanya, kau kira kau bisa mengalahkannya? Kaulah yang akan mampus di tangannya!"

Panas Juga darah Tong Lam-hou, “Tidak, paman, apapun kata paman Siangkoan, tetapi kelak aku tetap harus membunuhnya dengan cara kesyatria, bukah cara yang licik. Jika kepandaianku tidak mencukupi, aku akan berlatih keras agar ilmuku semakin tinggi, kalau perlu minta bantuan paman Siangkoan untuk membimbing peningkatan ilmuku."

Wajah Siangkoan Hong nampak memucat karena jengkelnya, dengan jari gemeretak ia menuding wajah Tong Lam-hou. Dan karena jengkelnya akhirnya bagian dalam tubuhnya yang terasa nyeri karena luka dalamnya itupun kambuh kembali, iapun mengeluh sambil tekan dadanya sendiri dan tubuhnya condong ke depan, hampir jatuh dari pembaringannya. Untunglah Tong Lam-hou cepat-cepat menyangga tubuhnya.

"Paman, kau beristirahatlah dengan tenang, tenteramkan pikiranmu."

Siangkoan Hong menurut saja ketika Tong Lam-hou meletakkan tubuhnya perlahan-lahan di kasur, bahkan menyelimutinya sampai ke dada. Sesaat napas bekas nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu nampak terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai kesakitan, tapi semakin lama semakin tenang. Dibukanya matanya dan berkatalah ia, "Tinggalkan aku sendirian, aku akan mengobati luka dalamku dengan ilmuku sendiri. Pikirkan baik-baik semua ucapanku tadi."

Untuk melegakan hati paman gurunya itu, Tong Lam-hou menjawab juga, "Baik, paman Siangkoan. Akan kupikirkan baik-baik." Lalu Tong Lam-houpun meninggalkan kamar itu. Ia berjalan menuju ke dapur dan berharap masih akan bisa menemukan makanan di sana, untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Makanan yang disediakan oleh bibi Ciu di atas meja tadi jelas tidak lagi bisa dimakan, sebab sudah tercemar oleh racun.

Ketika ia melewati kebun belakang di mana tadi Te-liong Hiangcu terbaring, maka dilihatnya orang bertopeng itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Nampak segumpal darah kehitam-hitaman tercecer di rerumputan tempatnya berbaring tadi, namun orangnya sendiri sudah tidak terlihat. Agaknya ia sudah cukup punya tenaga untuk membawa dirinya meninggalkan tempat itu. menjauhi rumah Tong Lam-hou itu. Topeng perunggunya dan jubah hitamnya yang mudah menarik perhatian orang itupun telah dilemparkan ke sebuah parit.

Meskipun malam cukup sunyi, karena sudah larut, namun di kota besar semacam Pak-khia masih ada saja orang-orang yang berkeliaran di malam sunyi itu. Kalau bukan prajurit-prajurit yang berjalan berkeliling untuk menjaga keamanan, tentunya juga pemabuk atau penjudi yang pulang kemalaman, atau si hidung belang yang sedang pulang dari rumah pelesiran atau justru sedang berangkat ke sana untuk hasratnya yang berkobar.

Untuk tidak menarik perhatian, Te-liong Hiangcu yang sedang "memakai" wajah aslinya itupun menyamar sebagai pemabuk. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berkata-kata sendiri tak keruan, kadang-kadang menyanyi dengan suara yang parau. Beberapa prajurit yang berpapasan memang tidak curiga apapun kepadanya, meskipun ada juga seorang prajurit yang menendang pantat Te-liong Hiangcu ketika berpapasan disebuah gang.

Kini Te-liong Hiangcu agak kebingungan hendak menuju ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya yang luka dalam itu? Ke rumah Pakkiong An sebagai sekutunya? Tidak mungkin, sebab Te-liong Hiangcu tahu bahwa kerjasamanya dengan panglima Ui-ih-kun itu bukan kerjasama yang tulus, baik dari pihaknya sendiri maupun dari pihak Pakkiong An, jangan-jangan malah masuk perangkap dan selanjutnya ia hanya akan menjadi sekedar alat untuk memenuhi ambisi panglima tua itu?

Ke tempat Hehou Im? Terhadap bekas anak buahnya dalam Hwe-liong-pang itu pun ternyata Te-liong Hiangcu kurang percaya, jangan-jangan Hehou Im seekor ular berkepala dua yang sanggup menggigit siapa saja demi keuntungan dirinya sendiri? Lalu hendak ke rumah siapa? Ke rumah salah seorang anak buahnya yang ada di Ibukota Kerajaan ini? Itupun ternyata tidak berani dilakukan, sebab siapa tahu kalau anak buahnya yang merasa tertindas olehnya selama ini tiba-tiba merasa mendapat kesempatan untuk mencekiknya?

Dalam keadaan membutuhkan seseorang yang dipercayanya seperti saat itu, tiba-tiba Te-liong Hiangcu timbul perasaan bahwa dia sebenarnya sendirian di dunia ini. Sendirian, tanpa seorangpun yang dipercayainya. Selama ia tidak terluka seperti itu, ia merasa berkuasa, setiap anak buahnya dapat diperalatnya semau-maunya tanpa berani membantah, namun ternyata tak seorangpun di antara mereka yang dipercayainya. Ia sendiri tanpa kawan.

Semua itu akibat tindakkannya sendiri selama ini, memperbudak orang, menyiksa secara kejam, berbuat licik dan sebagainya. Sehingga tak seorangpun yang diperolehnya sebagai kawan. Budak memang banyak, sekutu juga ada, tapi seorang kawan, tak seorangpun. Bahkan dengan saudara-saudara seperguruannya sendiri yang merupakan kawan-kawan sepermainan sejak kecil di kota An-yang-shia, dia telah bermusuhan.

Andaikata Te-liong Hiangcu menyadari kesendiriannya itu, mungkin ia akan mengubah jalan hidupnya, sebab apa enaknya hidup tanpa kawan seorangpun seperti itu? Seumpama ia berhasil menjadi Bu-lim Bengcu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan) seperti yang diimpikannya, bahkan kemudian menggerakkan pemberontakan untuk merebut singgasana dan menjadi seorang Kaisar, ia akan hidup kesepian di istananya yang megah dan penuh dengan manusia.

Kesepian, sebab ia tidak akan mempercayai orang-orang di sekitarnya, selalu bercuriga jangan jangan ia akan dikhianati. Apa enaknya hidup macam itu? Seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak gunung batu yang tinggi, dilihat dari bawah ia nampak begitu perkasa, namun tahukah bahwa rajawali itu sendirian, kedinginan dan kesepian? Kehangantan pergaulan antar sesama tidak akan pernah dinikmatinya.

Namun kesadaran macam itu belum ada dalam hati Te-liong Hiangcu. Hatinya masih saja tertutup oleh gejolak nafsu kekuasaannya yang tak kunjung padam, singkirkan siapa saja yang merintangi, susun sebuah lalan ke masa depan dengan menggunakan ribuan mayat sesama. Tekan dalam-dalam rasa kesepiannya demi Jalan menuju singgasana kekuasaan .

Akhirnya Te-liong Hiangcu menemukan juga tempat yang dianggapnya cocok untuk tempat persembunyian sementaranya untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya. Sebuah rumah bekas milik seorang hartawan yang mati membunuh diri dan letak rumah itu berjauhan dari letak rumah-rumah lainnya di gang itu. Kata penduduk, hartawan yang menggantung diri itu masih suka menampakkan dirinya di malam hari.

Tapi Te-liong Hiangcu tak peduli. Segala macam setan iblis atau hantu gentayangkan adalah sahabatnya, menguasai hatinya dan bukankah dia dengan bangga juga menamakan komplotan yang dipimpinnya itu sebagai Kui-kiong (Istana Iblis) Ketika ia melangkah masuk ke halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan setinggi dada itu, Te-liong Hiangcu tidak peduli sedikitpun ketika merasa ada angin dingin menghembus tengkuknya.

Bahkan dengan garang Te-liong Hiangcu menggeram entah ditujukan kepada siapa, "Enyahlah daripadaku, hantu-hantu kerdil, aku bisa menghajar kalian meskipun kalian tidak tampak. Akulah majikan Kui-kiong, tuan kalian, dan penguasa kalian, dan kalian adalah pesuruh-pesuruhku yang paling rendah derajatnya."

Untuk sementara, tempat itu menjadi tempat Te-liong Hiangcu bersembunyi sambil menyembuhkan luka-lukanya. Bulan yang hanya sepotong di langit perlahan-lahan menggeser dirinya ke arah barat diikuti bintang-bintang yang lenyap satu persatu dari iangit. Seperti seorang ratu agung yang meninggalkan tempatnya dengan diiringi dayang-dayangnya. Sementara langit di timurpun semakin cerah.

Sebelum terang tanah, Tong Lam-hou sudah membuka matanya dan bangun dari tidurnya, itu adalah kebiasaannya yang dibawanya sejak ia masih sebagai anak gunung di Tiam-Jong-san dulu, ia harus bergegas-gegas membawa barang-barang hasil kebunnya ke desa Jit-siong-tin dengan berjalan menembus kabut pagi buta. Bahkan kadang-ka-dang ia tidak tidur semalaman jika ia harus menangkap banyak serigala untuk diambil dagingnya.

Tong Lam-hou tersenyum sendiri kalau teringat bahwa perburuan serigala di suatu malam telah mempertemukannya dengan seorang prajurit yang luka parah dan hampir mati dikeroyok serigala, dah ternyata prajurit yang ditolongnya itu adalah seorang Panglima dari Hui-liong-kun yang menjadi sahabatnya, dan membawanya ke Ibukota Kerajaan yang berlaksa-laksa li letaknya dari tempat asalnya itu.

Cepat Tong Lam-hou pergi untuk membersihkan badannya, di bagian belakang rumahnya didengarnya suara paman dan bibi Ciu yang agaknya sudah datang sepagi itu. Suami isteri tua itu nampak heran bercampur takut ketika melihat kebun belakang itu porak-poranda seperti habis dilewati angin ribut. Tong Lam-hou segera menjelaskah kepada suami-isteri tua itu bahwa semalam dua orang pamannya yang sakit telah "datang berlatih" di tempat itu, dan kedua orang" tua itu tidak perlu takut.

Kata Tong Lam-hou, "Siapkan saja sarapan pagi yang hangat untuk dua orang, sebab salah seorang dari pamanku itu masih berada di rumah ini."

Paman dan bibi Ciu setengah percaya setengah tidak akan cerita tuan mereka itu, namun merekapun tidak banyak bertanya lagi dan segera menjalankan tugas-tugas mereka masihg-masing. Mereka percaya kalau Tong Lam hou kedatangan kedua orang paman, tapi rasanya sulit dipercaya kalau dua orang manusia yang "berlatih" itu bisa meninggalkan bekas kehancuran seolah-olah tempat itu baru saja untuk bermain-main selusin ekor gajah.

“Kalau benar-benar ada manusia seperti itu, wah, luar biasa," kata bibi Ciu sambil masuk ke dapur dengan membawa sepanci air.

Sementara paman Ciu menggerutu, "Mudah-mudahan kedua orang paman Siau-ya (tuan muda) itu tidak sering-sering berlatih, kalau tidak, akulah yang mampus karena harus membenahi tempat yang berantakan ini.”

Tong Lam-hou mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa, memakai seragam prajuritnya, sebab hari ini semua perwira harus berkumpul di barak Hui-liong-kun untuk mendengarkan penjelasan Pakkiong Liong tentang hasil sidang di Istana Kerajaan pagi ini.

Sudah ada kabar angin bahwa Pasukan Hui-liong-kun akan mendapat tugas berat lagi, yaitu menghancurkan pemusatan kekuatan pasukan pemberontak di tempat yang jauh di sebelah barat kota Tay-teng. Kepastian tentang itu akan didengar oleh Pakkiong Liong dalam sidang istana pagi ini, yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kaisar Sun-ti....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 19

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 19

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
NAMUN lagi-lagi Te-liong Hiangcu dapat menghindarinya dengan kelitan-kelitannya yang lincah, bahkan tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang tubuh Tong Lam-hou yang terhuyung-huyung ke depan, dan terdengar bentakannya, "Inilah Wan-hun-kok-so (Si Arwah Penasaran Mengadukan Nasib)!"

Tong Lam-hou tahu bahwa ia tidak mungkin mengelak lagi, ia membatin dirinya akan terlempar lebih keras dari tadi bahkan mungkin beberapa helai tulangnya akan patah. Mungkin memang orang bertopeng itu belum bermaksud membunuh, namun ia akan dipermainkan seperti seekor tikus kecil dalam genggaman seekor kucing yang garang, itu sudah pasti.

Di saat genting itu tiba-tiba ia mengalami hal aneh, seseorang terdengar membisiki dirinya dengan suara selirih desing nyamuk namun setiap kata-katanya terdengar begitu jelas dan tajam, "Jangan pedulikan serangannya. Tusukkan pedangmu ke belakang setinggi pinggang lewat bawah ketiak, sambil jatuhkan dirimu ke depan."

Dalam keadaan tanpa pegangan, petunjuk itu ibarat sepotong papan bagi seorang yang hampir tenggelam di tengah laut. Maka tanpa pikir panjang ia segera melakukan "petunjuk aneh" itu. Gerakannya dilakukan dengan serabutan dan sama sekali tidak indah, namun tepat seperti bisikan itu.

Te-liong Hiangcu memang terkejut sekali, kedua tangannya tengah terulur ke pundak Tong Lam-hou untuk mencengkeram dan membanting lawannya, sesuai dengan gerakan jurus yang disebutkannya tadi. Namun karena tubuh Tong Lam-hou tiba-tiba jatuh ke depan, maka hanya baju di bagian pundak Tong Lam-hou saja yang bisa dirobeknya.

Sebaliknya pedang tong Lam-hou tanpa terduga menyelonong begitu saja dari bawah ketiak dan hampir menikam tembus perutnya, tempat di mana terdapat kelemahan jurusnya itu. Keruan Te-li-ong Hiangcu meloncat mundur dengan terkejut, toh bajunya di bagian perut sempat robek juga. "Gila!" teriak Te-liong Hiangcu tanpa sadar.

Sementara Tong Lam-hou sendiri telah memperbaiki keseimbangannya dan menghadap kembali ke arah musuhnya. Katanya mengejek, "Jurusku tadi disebut 'menolak pengaduan sang arwah'!"

Te-liong Hiangcu menjadi marah bukan kepalang, tak terduga jurus andalannya itu kandas begitu saja di depan Tong Lam-hou yang tadinya dianggap ingusan itu. Segera ia menggeram untuk menyiapkan jurus barunya. Tiba-tiba terdengar gumam mantera aneh dari balik topengnya, lalu sepasang matanya berubah bersinar kehijau-hijauan dan membawa pengaruh aneh. Katanya, "Anak setan, terimalah Thian-mo-tui hun-kang-hoat (Ilmu Sakti Iblis Langit Memburu Sukma)."

Tong Lam-hou yang secara langsung menatap mata lawan yang kehijau-hijauan seperti mata kucing itu, tiba-tiba merasa kepribadiannya goyah, semangat lunturnya menghilang begitu saja dan suatu pengaruh gaib menyusup dalam dirinya. Susah-payah Tong Lam-hou mencoba menyadari dirinya agar tidak runtuh ke dalam pengaruh ilmu jahat itu, tapi rasanya seperti mempertahankan rumah-rumahan pasir di pantai dari sapuan gelombang.

Te-liong Hiangcu tertawa seram bernada kemenangan, lalu perintahnya, "Turuti perintahku, gunakan pedangmu itu untuk menggorok lehermu sendiri!"

Perlahan-lahan tangan Tong-lam-hou terangkat dengan mata pedang yang siap memotong lehernya sendiri. Sisa-sisa kesadaran dalam dirinya masih berjuang mati-matian untuk merebut kembali kepribadiannya dari cengkeraman ilmu Thian-mo-tui-hun-kang-hoat itu, namun gerakan tangannya yang memegang pedang itu sudah tidak terkendali lagi. Di saat itulah bisikan lembut seperti suara nyamuk tadi terdengar ke telinganya,

"Hindari tatapan matanya. Gigit lidahmu sampai luka dan semburkan darahnya ke tubuhnya!”

Tong Lam-hou segera berusaha menuruti anjuran itu, namun alangkah sulitnya, matanya seolah tidak mau beralih dari sepasang mata kehijauan itu. Bahkan Te-liong Hiangcu yang telah mengetahui niat Tong Lam-hou itu, memperkuat cengkaman pengaruhnya dengan membentak, "Jangan melihat ke arah lain. Tetap lihat kepadaku dan turuti perintahku!"

Tanpa daya Tong Lam-hou terseret perlahan-lahan ke dalam cengkraman pengaruh ilmu jahat Te-liong Hiangcu itu, sisa-sisa kesadarannyapun hilang. Tapi di saat itulah di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu tiba-tiba muncul suara berkumandang, seolah olah tanpa arah dan turun dari langit,

“Selamat bertemu kembali, Jisuheng (kakak seperguruan kedua), bagaimana setelah berpuluh tahun kita berpisah? Ilmumu masih serendah itu juga?"

Te-liong Hiangcu terkejut dan pemusatan ilmunya agak terganggu. Ketika ia menoleh ke satu arah, dilihatnya di tengah-tengah rumpun bunga itu ada seorang lelaki berumur kira-kira empat puluh tiga tahun, bertubuh kekar, berjubah panjang dari kain sederhana, dan rambutnya yang bercampuran warna hitam dan putih itu dikuncir ke belakang seperti kelaziman di jaman Manchu itu.

Ada kumis dan jenggot pendek berwarna kelabu yang terawat rapi di atas bibirnya dan di janggutnya, namun sepasang matanya tajam sekali, tidak kalah tajam dan seramnya dengan mata Te-liong Hiangcu. Bahkan, di rumpun bunga lainnya muncul pula seorang lelaki lainnya yang agak lebih muda bermuka kelimis seperti orang-orang muda yang pesolek, dengan tubuh yang agak kurus.

Dalam kejutnya, Te-liong Hiangcu melepaskan cengkaman ilmunya atas diri Tong Lam-hou, sehingga Tong Lam-hou perlahan-lahan mendapat kembali kesadarannya sendiri. Namun anak muda itu hanya sanggup berdiri dengan lemasnya, bahkan pedangnyapun ditancapkan ke tanah untuk menopang tubuhnya agar tidak roboh. Sementara itu dengan heran ia melihat dua orang lelaki setengah baya muncul di halaman belakang rumahnya itu seperti dua sosok hantu saja. Tidak diketahuinya kapan datangnya dan tahu-tahu sudah ada di situ begitu saja.

Bagi Te-liong Hiangcu sendiri, munculnya dua sosok tubuh yang dikenalnya sebagai adik-adik seperguruannya sendiri yang bernama Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu, membuatnya gugup. Satu lawan satu ia masih sanggup melawan kedua adik seperguruannya itu bergantian, tapi bagaimana mereka maju berbareng.

Namun kemudian mata Te-liong Hiangcu yang tajam dan dilandasi dengan ilmu yang tinggi itu telah melihat suatu kejanggalan pada diri tubuh-tubuh Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping itu. Mereka nampaknnya bukan terdiri dari manusia yang terdiri dari darah dan daging, melainkan seperti sebuah bayangan yang berbentuk manusia. Bahkan jika pandangannya dipertajam sedikit saja, akan terlihat bahwa "Siangkoan Hong" dan "Lim Hong,-ping” itu memiliki tubuh yang tembus pandang.

Benda-benda yang ada di belakang punggung mereka dapat dilihat melalui tubuh mereka yang seolah-olah terbuat dari kaca itu. Dan kaki-kaki mereka yang menginjak rumpun-rumpun bunga itu ternyata tidak membuat tangkai-tangkai bunga atau rerumputan itu roboh, melainkan seolah-olah tak ada yang menginjaknya dan tetap tegak.

Melihat hal itu, tertawalah Te-liong Hiangcu. Katanya, "Hemm, yang datang ini Samsute (adik seperguruan ketiga) atau Sisute (adik seperguruan ke empat)? Tidak usah bermain-main dengan ilmu sulap kalian yang tidak berarti apa-apa itu. Cepat keluar dari persembunyianmu!"

Tong Lam-hou menjadi heran mendengar ucapan Te-liong Hiangcu itu. Bukankah kedua orang itu sudah keluar dari persembunyiannya dan berdiri di rumpun bunga? Siapa lagi yang disuruh keluar dari persembunyian?

Lalu pertunjukkan berikutnya membuat Tong Lam-hou pusing tujuh keliling. Bayangan kedua lelaki setengah baya yang berdiri di rumpun-rumpun bunga itu tiba-tiba semakinn menipis dan menipis, seperti asap saja, dan akhirnya lenyap perlahan-lahan seperti asap terhembus angin sepoi. Tong Lam-hou bergidik sendirian. Apakah rumah yang dihadiahkan oleh Peng-po-ceng-tong kepadanya itu adalah rumah yang dihuni hantu-hantu?

Tiba-tiba terdengar rumpun bambu kuning di sebelah belakang gemerisik seperti ada orang melangkah. Ketika membalik badan untuk melihat siapa yang datang itu, ternyata dia adalah lelaki setengah baya yang nampak di rumpun bunga sebelah kanan tadi. Yang bertubuh kekar dan berjenggot pendek. Tapi ia bukan hantu, sebab sepasang kakinya menapak rapat di atas tanah, dan tubuhnyapun ada bayangannya ketika tertimpa sinar bulan sabit di langit.

Ketika lewat di dekat Tong Lam-hou, orang itu menepuk pundaknya sambil berkata dengan nada kagum, "Anak-muda, kau adalah benar-benar perwujudan Toa-suheng (kakak seperguruan pertama) Tong Wi-siang di masa lampau, baik sikapmu maupun keberanianmu. Dan akupun percaya bahwa kau benar-benar tetesan darah dagingnya. Pantas kalau si topeng tengkorak itu begitu getol ingin membunuhmu." Sekali orang itu berucap.

Tong Lam-hou segera tahu bahwa orang inilah yang tadi beberapa kali membisikinya untuk melakukan ini atau itu. Mungkin dengan ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Gelombang Suara) atau Jian-li-coan-im (Mengirim Suara Seribu Li) atau ilmu-ilmu sejenis lainnya. Dan ternyata ia juga bisa bermain-main dengan menciptakan ujud-ujud tubuhnya sendiri atau ujud orang lain di tempat yang berbeda. Jelas orang ini berilmu tinggi, dan ternyata juga adik seperguruan dari ayahnya yang bermaksud baik, ingin menyelamatkannya dari kekejaman Te-li-ong Hiangcu.

Maka Tong Lam-hou segera memberi hormat kepada orang itu, "Salamku kepada sam-susiok (paman guru ketiga)!" Rupanya karena belum mengetahui nama orang itu, maka Tong Lam-hou menyebutnya saja dengan "sam-susiok".

Orang itu nampak gembira melihat sikap Tong Lam-hou, katanya, "Aku bernama Siangkoan Hong, dan kau panggil saja Paman Siangkoan."

"Baik, paman Siangkoan."

Sementara itu Te-liong Hiangcu merasa agak lega ketika melihat yang muncul hanya Siangkoan Hong seorang. Ia Juga memperhitungkan bahwa adik seperguruan lainnya yang bernama Lim Hong-ping tentu tidak berada di situ, sebab kalau ada di situ tentu sudah muncul pula, dan Siangkoan Hong tidak perlu menggertaknya dengan menampilkan "gambar" Lim Hong-ping di rumpun bunga tadi.

Ilmu mengelabuhi pandangan mata orang lain seperti itu Te-liong Hiangcu sendiri juga bisa melakukannya, sebab itu termasuk dari bagian ilmu-ilmu warisan Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan Bu-san) yang menggetarkan rimba persilatan kira-kira seratus limapuluh tahun yang lalu. Ilmu mereka adalah adukan dari ilmu silat, ilmu tentang racun dan ilmu hitam.

Setelah merasa bahwa keadaan dirinya tidak terlalu berbahaya, maka Te-liong, Hiangcu timbul pula sikap takaburnya. Terhadap Siangkoan Hong yang dimasa Hwe-liong-pang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu, ia berkata, "Siangkoan Hong, tabiatmu yang usil dan suka mengganggu pekerjaan orang lain itu agaknya belum hilang dari dirimu. Malam ini kau berani pula menghambat pekerjaanku, apakah kau bosan hidup?"

Tanpa gentar sedikitpun Siangkoan Hong berdiri berhadapan dengan Te-liong Hiangcu dan bertolak pinggang. Bahkan tanpa takut-takut ditatapnya biji mata Te-liong Hiangcu, tidak peduli andaikata bekas kakak seperguruannya itu menggunakan ilmunya Thian-mo tui-hun-kang-hoat. Dengan sikap yang sama garangnya Siangkoan Hong menuding ke wajah Te-liong Hiangcu sambil menjawab,

"Pengkhianat, mengapa aku harus bosan mencarimu? Kau kabur ke ujung langitpun aku akan tetap memburumu untuk menuntut pertanggung-jawabanmu atas runtuhnya Hwe-liong-pang gara-gara pengkhianatanmu! Arwah Toa suheng hari ini agaknya menuntunku untuk menemuimu di sini, untuk membasmi iblis berhati hitam seperti kau, dan sekaligus secara kebetulan menyelamatkan keturunan Toa-suheng Tong Wi-siang yang hanya satu-satunya itu!"

Te-liong Hiangcu tertawa, "Hemm. Orang-orang seperti kau ini tidak lain diperbudak oleh Tong Wi-siang saja, bahkan dia sudah mati puluhan tahunpun kau masih berlagak setia kepadanya?"

"Aku tidak setia kepada Tong Wi-siang pribadi, tetapi kepada cita-cita luhurnya yang digariskannya ketika dia mendirikan Hwe-liong-pang di bukit Tiau-im-hong pegunungan Bu-san berpuluh tahun yang lalu. Tapi kaulah yang menghancurkan segala-galanya! Kau harus bertanggung-Jawab, iblis berhati hitam yang tega menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan!”

Sulit diketahui bagaimana wajah Te-liong Hiangcu menerima caci-maki yang pedas itu, sebab wajahnya tertutup topeng berbentuk tengkoraknya. Namun dilihat dari ujung jubahnya yang bergetar itu, agaknya tubuhnyapun sedang gemetar hebat menahan kemarahannya. Tapi ia tidak berani bertindak sembarangan.

Menghadapi Siangkoan Hong yang pernah bergelar Thian-liong Hiangcu itu tentu jauh berbeda dengan menghadapi Tong Lam-hou yang meskipun mewarisi ilmu Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan namun masih hijau dalam pengalaman, dan ilmunyapun belum mencapai batas kemungkinan.

Maka Te-liong Hiangcu lebih suka menggunakan siasat debat kusir sambil mencoba menunggu kelengahan lawan untuk disergap dan dibinasakan sekali. Soal licik atau tidak licik, itu tidak pernah dianggap penting oleh Te-liong Hiangcu, yang penting tujuannya tercapai lebih dahulu.

"Kau memaki aku sebagai iblis berhati hitam memangnya kau sendiri itu siapa? Siapa pula Tong Wi-siang dan Lim Hong-ping? Kita semuanya adalah iblis, tak ada bedanya, kita adalah pewaris-pewaris Bu-san-jit-kui yang oleh pendekar-pendekar dari perguruan-perguruan sok suci dimaki sebagai kaum sesat, kaum iblis, namun orang-orang yang memaki kita itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada kita. Sebab kita jauh lebih kuat dari mereka. ilmu kita jauh lebih tinggi dari mereka, dan kita dapat membunuh mereka kapan saja kita mau!"

Tong Lam-hou yang mendengarkan perdebatan kedua kakak beradik seperguruan itu diam-diam mulai memahami bagaimana pribadi Te-liong Hiangcu yang sebenarnya. Orang di balik topeng tengkorak itu benar-benar seorang iblis tulen sampai ke bulu-bulunya. Adalah malapetaka bagi umat manusia bahwa seorang manusia semacam Te-liong Hiangcu ini hidup di tengah-tengah mereka.

Namun Tong Lam-hou juga menyesal bahwa ilmunya masih belum cukup untuk memberantas iblis bertopeng itu, bahkan andaikata ia menggabungkan diri dengan Pakkiong Liong sekalipun, belum tentu bisa mengalahkan Te-liong Hiangcu. Di dalam rimba persilatan, agaknya hanya ada beberapa gelintir orang yang bisa sanggup menghadapi Te-liong Hiangcu.

Di antaranya termasuk Siangkoan Hong dan saudara seperguruannya yang lain yang bernama Lim Hong-ping itu, mungkin juga guru Tong Lam-hou sendiri, Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan, atau guru Pakkiong Liong, Hoat-Beng Lhama dari kuil Thian-liong-si di Tibet yang letaknya jauh di barat sana.

Terdengar Siangkoan Hong membantah, "Jalan pikiranmu yang keblinger itulah yang membuat Hwe-liong-pang kita dulu sampai dimusuhi berbagai perguruan. Padahal Toa-suheng Tong Wi-siang bercita-cita, biarpun ilmu yang dimilikinya itu disebut sebagai ilmu sesat, namun ia ingin mengamalkannya untuk kemanfaatan sesama manusia. Membela yang lemah dari tindakan sewenang-wenang yang kuat. Itulah cita-cita Toa-suheng, dan cita-cita seluruh anggota Hwe-liong-pang yang murni, bukan yang berkhianat seperti kau dan begundal-begundalmu itu!"

Dalam pada itu, Te-liong Hiangcu memaki-maki dalam hatinya. Siangkoan Hong sudah diajaknya bicara berputar-putar dengan harapan agar lengah sedetik saja, namun peluang yang ditunggu-tunggu itu belum muncul juga. Bekas adik seperguruannya itu tetap berada dalam kesiagaannya yang tertinggi.

Sesungguhnya Siangkoan Hong memang tidak berani lengah sekejap matapun. Ia sudah hapal benar tabiat Te-liong Hiangcu yang maha licik itu. Dengan kelicikannya itu pula ia pernah berhasil melukai Hwe-liong Pangcu Tong Wi-siang yang ilmunya sebetulnya jauh lebih tinggi daripadanya. Dan luka-luka yang diderita oleh Hwe-liong Pangcu itulah awal dari keruntuhannya selangkah demi selangkah. Keruntuhan pribadinya maupun keruntuhan Hwe-liong pang.

Bahkan kemudian Siangkoan Hong-lah yang menunjukkan ketidak-sabarannya untuk segera bertempur, "Sekarang jangan banyak bicara. Menyerahlah untuk kutangkap!"

"Setelah aku kau tangkap, lalu akan kau apakan?"

"Aku seret ke puncak Tiau-im-hong tempat reruntuhan markas Hwe-liong-pang dulu, lalu aku undang semua bekas anggota Hwe-liong-pang yang masih setia kepada Toa-suheng untuk berkumpul di puncak itu. Dan aku sembelih kau untuk dikorek jantungmu, untuk menyembahyangi bendera Hwe-liong-pang, dan sejak detik itu Hwe-liong-pang akan bangkit kembali!" geram Siangkoan Hong penuh dendam. Dan ketika kemarahan menguasai hatinya, maka cahaya mata-nyapun tiba-tiba berubah menjadi kehijau-hijauan, mirip benar dengan cahaya mata Te-liong Hiangcu tadi.

Bahkan Tong Lam-hou sendiri bergidik mendengar rencana paman Siangkoannya untuk menyembelih orang dan mengorek jantungnya segala itu. Orang-orang yang mempelajari ilmu sesat, meskipun dia bisa juga menggunakan ilmunya itu untuk kebaikan bagi sesama manusia, namun pengaruh itu tak terhindari sama sekali. Menyembelih orang dan mengorek jantungnya itu biasanya didapati pada aliran-aliran kaum sesat dalam upacara-upacara mereka.

Te-liong Hiangcu tidak terkejut sedikitpun mendengar ancaman yang bagi orang lain menyeramkan itu. "Hemm, kau pikir aku ini kambing yang bisa diseret ke sana ke mari tanpa melawan? Siangkoan Hong, mimpimu untuk membangun kembali Hwe-liong-pang itu adalah mimpi anak kecil di siang hari bolong. Aku, majikan dari Kui-kiong (Istana Iblis), akan menggagalkanmu. Saat ini, Hwe-liong-pang mu hanya berujud impian, sementara Kui-kiong yang kupimpin sudah berujud! Sudah mempunyai jaringan luas di mana-mana, mempunyai banyak pengikut yang setia kepada perintahku meskipun aku suruh terjun ke ujung golok! Nah, bisakah kau mengalahkan kami?"

Hati Siangkoan Hong sudah terbakar, maka jawabnya sambil berteriak, "Bisa! Asal aku bunuh kau sebagai pemimpinnya, maka semua iblis-iblis kecil di bawah pimpinanmu pasti akan berantakan semua!"

Te-liong Hiangcu masih hendak mengejek lagi. Namun Siangkoan Hong sudah tidak memberinya kesempatan lagi, diiringi sebuah bentakan menggemuruh Siangkoan Hong telah memutar sepasang telapak tangannya dan kemudian menghantamkannya ke depan. Seketika itu di halaman belakang rumah Tong Lam-hou itu seolah-olah dilanda badai dahsyat. Jarak antara Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu ada belasan langkah, namun tekanan pukulan yang dahsyat segera melanda Te-liong Hiangcu.

Rumpun-rumpun bunga yang dilewati oleh tenaga pukulan Siangkoan Hong itu sampai tercabut dari akarnya dan beterbangan porak-poranda. Taman yang indah permai itupun hancur berantakan. Te-liong Hiangcu tidak tinggal diam saja. Ia mundur selangkah sambil memasang kuda-kuda dan menyilangkan kedua tangannya, kemudian sambil membentak dengan tidak kalah kerasnya ia pun hantamkan sepasang telapak tangan ke depan untuk menyongsong tenaga pukulan Siangkoan Hong.

Dua tangan pukulan maha dahsyat yang tak berwujud itu berbenturan di udara, menimbulkan angin pusaran yang membuat kerusakan lebih parah lagi di halaman belakang itu. Beberapa hiasan kebun yang terbuat dari batu dan kayu, telah terlempar ke atas karena terangkat oleh angin berpusar yang dahsyat itu, lalu kedua orang yang beradu kekuatan dari jarak belasan langkah itu sama-sama tergetar mundur selangkah.

Melihat pertarungan dua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu, diam-diam Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam. Terasa alangkah kecil dirinya dibandingkan kedua orang paman gurunya yang saling bermusuhan itu. Ia menjadi malu sendiri. Ketika ia menjalani ujian pendadaran penerimaan prajurit di lapangan di luar kota Pak-khia itu, ia pernah merasa sangat bangga, apalagi ketika ribuan penonton bersorak-sorai untuk kehebatannya.

Rasanya saat itu ia adalah orang paling hebat di dunia ini. Namun malam ini, di halaman belakang rumahnya sendiri dan tak ada seorang penontonpun selain dirinya sendiri, ia menyaksikan suatu pertarungan antara tokoh-tokoh cabang atas. Pertarungan yang tidak dapat diurai dengan nalar.

Tong Lam-hou juga merasa bahwa udara dihalaman belakang itu semakin dicengkam oleh suasana gaib, hawa dingin yang sama sekali berbeda dengan hawa dingin yang dikeluarkan apabila ia menggunakan ilmu pukulan Han-im-ci-ang, melainkan hawa dingin ini tidak membuat tubuh menggigil, hanya membuat perasaan bergidik seolah-olah berada di suatu tempat yang dihuni sekumpulan setan.

Sayup-sayup Tong Lam-hou mulai mendengar ada gumaman aneh dalam bahasa yang aneh mengumandang di udara, bahkan rasanya ada mahluk-mahluk tak terlihat yang ikut bertempur bersama kedua orang tokoh puncak Hwe-liong-pang itu. Bulu kuduk Tong Lam-hou kini berdiri tegak semuanya. Inilah kiranya ilmu-ilmu warisan Bu-san-Jit-kui yang juga pernah diceritakan oleh Suhunya itu.

Sementara itu, Siangkoan Hong dan Te-liong Hiangcu telah berkelahi semakin sengit. Kini mereka bukan hanya saling memukul dari jarak belasan langkah, melainkan telah saling berloncatan menerjang dengan jurus-jurus mereka yang sama kejamnya. Mereka bukan cuma ingin saling mendorong dengan tenaga pukulan mereka, atau merobek-robek tubuh lawan dengan jari-jari mereka.

Gerakan mereka mula-mula bisa diikuti oleh mata Tong Lam-hou, namun semakin lama semakin cepat sehingga akhirnya mereka bagaikan dua bayangan yang bergulung menjadi satu tanpa terlihat lagi wujudnya.

Suasana seram dan dingin yang melingkupi arena pertempuran itu terasa semakin tebal, bahkan selapis tipis kabut kehijau-hijauan entah darimana datangnya, telah melingkari arena itu. Suara-suara aneh yang mirip mantera-mantera bahasa asing dari aliran kepercayaan sesat itupun semakin nyata terdengar, bahkan sekali-sekali terdengar suara letupan-letupan.

Tong Lam-hou mundur beberapa langkah untuk menjauhi arena. Diam-diam ia membatin, "Ini bukan lagi perkelahian antara tokoh-tokoh persilatan, melainkan perkelahian antar iblis!"

Setelah Te-liong Hiangcu berkutetan sekian lama melawan adik seperguruannya tanpa perubahan keseimbangan, maka ia pun habis sabarnya. Ia meloncat mundur dari lawannya untuk mengambil jarak beberapa langkah, mulutnya menggumamkan mantera karena untuk mengeluarkan ilmunya yarg disebut Jit-mo-tiau-goat-sin-hoat Ilmu Sakti Tujuh Iblis Menyembah Rembulan.

Tong Lam-hou memperhatikan dengan seksama gerak-gerik iblis bertopeng itu, dan rasa-rasanya ia berada di dalam mimpi ketika melihat Te-liong Hiangcu meloncat, dan pada saat meloncat itulah seakan-akan tubuhnya berpisah dengan tubuh lainnya, sehingga tiba-tiba di tempat itu ada dua orang Te-liong Hiangcu dengan wujud yang sama Kedua-duanya lengkap dengan jubah hitamnya dan topeng tengkoraknya, dan keduanya begitu persis dan hidup sehingga sulit dibedakan mana Te-liong Hiangcu yang bertubuh kasar dan yang hanya bayangan ciptaan saja.

Bukan hanya sampai di situ, kedua wujud Te-liong Hiangcu itupun serempak bergerak dengan gerakan berbeda, dan ketika bergerak kembali, mereka meninggalkan bayangan mereka di tempat semula, sehingga kini ada empat orang Te-liong Hiangcu. Keempat-empatnya berlari-larian silang menyilang membingungkan, dan ketika tiga orang wujud tiga orang Te-liong Hiangcu lagi.

Sehingga kini genaplah jumlahnya menjadi tujuh wujud Te-liong Hiangcu, sudah tentu yang asli hanya satu dan enam lainnya sekedar bayangan semu yang seolah-olah hidup. Namun amat sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu, apalagi jika ketujuhnya bergerak secara serempak dengan gerakan yang berbeda-beda.

"Jit-mo-tiau-goat-sin-kang!"desis Siangkoan Hong dengan bergetar. Tapi bekas orang ketiga dalam Hwe liong-pang itupun tidak mau kalah langkah, dalam waktu sekejap iapun telah mengeluarkan ilmu yang sama. Dan di kebun itu muncul pula berturut-turut enam orang Siangkoan Hong lainnya, jadi tujuh orang dengan yang asli.

Maka bertempurlah kakak beradik seperguruan itu dengan dibantu bayangan-bayangan mereka sendiri. Kini seolah-olah ada tujuh pasang orang yang sedang berkelahi, namun ke tujuh pasangan itu tidak berkelahi dengan lawan yang tetap, melainkan loncat sana loncat sini berganti-ganti lawan.

Tong Lam-hou benar-benar merasa pening kepalanya melihat adu ilmu yang luar biasa itu. Kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, barangkali iapun sulit mempercayainya. Namun ia tidak mau melewatkan kesempatan yang luar biasa itu, ditenangkannya hatinya dan iapun mencoba memperhatikan jalannya pertempuran dengan cermatnya.

Di antara wujud-wujud Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong yang sama-sama berjumlah tujuh orang dan bersambaran itu, sebenarnya yang bisa benar-benar melukai hanyalah satu orang saja, yaitu wujud aslinya. Yang enam orang hanya bertugas untuk membingungkan lawan agar membuat gerakan yang salah, sedangkan apabila wujud palsu itu memukul dan kena, yang dikenainya tidak akan merasakan apa-apa, sebab yang "memukul"nya itupun hanya bayangan.

Dengan semakin gencarnya gerakan-geakan bayangan-bayangan itu, maka baik wujud asli Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama belum menemukan sasaran mereka yang sebenarnya. Beberapa kali mereka berhasil memukul telak wujud yang dikiranya lawan mereka, namun mereka seperti memukul asap saja. Dan tidak jarang bila Te-liong Hiangcu mengecoh Siangkoan Hong dengan gerakan pancingan dari salah satu "diri"nya, ternyata yang seolah-olah terkecoh itupun cuma Siangkoan Hong palsu.

Tidak jarang jika wujud palsu saling terjang dengan wujud palsu lainnya, maka keduanya seakan bertabrakan namun dapat saling melewati tubuh "lawan" masing-masing begitu saja, seperti dua gumpal asap yang berpapasan tentu tidak menimbulkan bentur an sekecil apapun.

Perlahan-lahan Tong Lam-hou mulai memahami "pola-kerja" ilmu yang aneh itu. Ternyata kecerdikan otak untuk memainkan bayangan-bayangannya sendiri untuk menjebak musuh, juga memainkan peranan di sini, sambil berusaha mengetahui siapa musuh yang sebenarnya, agar pukulannya tidak sekedar menghantam bayangan kosong.

Dalam hal kecerdikan, ternyata Te-liong Hiangcu dan Siangkoan Hong cukup seimbang pula. Supaya mereka tidak dapat ditebak oleh lawannya, maka mereka tidak menggunakan pukulan jarak jauh mereka yang menimbulkan deru angin keras itu, sebab jika sampai mereka berbuat demikian, itu sama saja dengan memberitahukan kepada lawan siapa yang asli di antara ketujuh wujud itu. Masing-masing berusaha menyamarkan diri sebaik mungkin di antara wujud-wujud palsu mereka sendiri.

Tong Lam-hou memperhatikan jalannya perkelahian dengan tegang bercampur kagum. "Kalau seseorang yang kurang tabah hatinya berkelahi melawan ilmu ini, maka dalam waktu singkat dia akan menjadi gila sendiri," pikirnya.

Setelah pertempuran itu berjalan cukup lama tanpa ada yang bisa menarik keuntungan, agaknya Siangkoan Hong mulai bosan. Di otaknya mulai terpikir untuk menggunakan ilmu lainnya, yang boleh dikatakan sebagai ilmu puncak atau yang paling hebat dari ilmu-ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui. Ilmu itu disebut Thian-mo-kay-teh-kang (Iblis Langit Melukai Badan). Dengan cara melukai diri sendiri, yaitu menggigit lidah sehingga berdarah, maka tenaga di dalam tubuh akan dapat dikobarkan sampai beberapa kali lipat dari tenaga aslinya.

Namun penggunaan ilmu itu ada juga bahayanya bagi diri sendiri, yaitu bahwa timbulnya tenaga yang berlipat ganda itu hanya dalam waktu yang singkat saja, setelah itu kekuatannya justru akan merosot tajam. Apabila pada saat kekuatannya merosot itu musuh belum berhasil dibereskan, maka alamat dirinya sendirilah yang akan dibereskan oleh musuh.

Sehabis penggunaan ilmu itu, biasanya orangnya juga akan menderita luka berat untuk beberapa waktu lamanya. Jenis ilmu sesat ini sangat dikutuk oleh kaum lurus, bahkan di kalangan kaum sesat sendiripun penggunaannya terbatas hanya jika tenar-benar sudah tidak ada jalan lain dan harus memenangkan pertempuran.

Maka tiba-tiba Siangkoan Hong asli segera meloncat mundur dari gelanggang pertempuran, dan langsung meninggalkan Ilmu-Ilmu Jit-mo-tiau-goat-sin-kang yang lebih mirip dengan ilmu sihir daripada ilmu silat itu. Keenam wujud palsu dirinyapun tiba-tiba hilang menguap begitu saja, tinggal wujud aslinya yang berdiri tegak dengan kedua tangan direntang ke samping, dengan sorot mata yang semakin tajam dan tubuh yang bergetar karena pengerahan ilmu lainnya. Thian-mo-kay-teh-kang.

Te-liong Hiangcu agak terlambat mengurai situasi, wujud-wujud-palsunya masih saja berloncatan mencoba membingungkan lawan, namun tidak dipedulikan oleh Siangkoan Hong. Bahkan andaikata yang mendekatinya itu wujud Te liong Hiangcu yang asli, justru itulah yang ditunggunya, hantaman akan disambutnya dengan hantaman pula agar orang yang dibencinya itu terlempar mampus.

Melihat sikap Siangkoan Hong itu, justru dada Te-liong Hiangcu berdesir hebat. Diapun pewaris dari ilmu-ilmu dalam kitab peninggalan Bu-san-jit-kui, dan ia tahu ilmu apa yang sedang akan dilontarkan oleh Siangkoan Hong itu. Terpaksa ia harus mengimbanginya dengan ilmu yang sama, sebab kalau tidak maka dirinya akan hancur berkeping keping tergilas ilmu yang dahsyat itu.

Bayangan-bayangan palsu Te-liong Hiangcu serempak menghilang dari tengah arena, menyusul nampak orang bertopeng tengkorak itu berdiri dalam sikap sama dengan Siangkoan Hong, karena diapun terpaksa harus menggunakan ilmu yang sama, meskipun hatinya sama sekali tidak suka hal itu.

Waktu itu, getaran tubuh Siangkoan Hong semakin keras, dari sela-sela bibirnya meneteskan darah yang menandakan bahwa ia sudah mulai menggigit lidahnya, lalu diiringi dengan teriakan keras ia melompat ke depan dengan sepasang telapak tangan dihantamkan sekuat tenaga. Deru angin dahsyat bercampur suara seperti dengung aneh segera melanda ke depan, jangan lagi tubuh manusia, sedang batu sebesar kerbaupun akan hancur lebur tertimpa pukulan itu.

Namun Te-liong Hiang-cu tidak membiarkan tubuhnya hancur berkeping-keping. Dengan tergesa-gesa ia menggigit lidahnya sehingga luka dan mengerahkan tenaga dalam tubuhnya sehingga mirip perut gunung berapi yang hampir meledak, lalu dengan keras lawan keras disongsongnya langsung pukulan Siangkoan Hong dengan pukulan pula, bahkan juga sambil meloncat.

Benturan dahsyat dari ilmu yang sama dari kakak beradik seperguruan itu segera menggetarkan tempat itu. Udara yang terbelah dan mengatup kembali itu menimbulkan suara bagaikan guntur meledak di langit. Tekanan tenaga pukulan dari kedua pihak yang berbenturan itupun menimbulkan angin berputar berkekuatan hebat.

Sehingga kebun bunga seluas dua tiga tombak di sekitar benturan itu menjadi bersih karena tanaman-tanamannya tercabut dari tanah dan terlempar ke udara untuk kemudian jatuh kembali beberapa tombak di sekitarnya. Sementara lengan-lengan yang beradu kekuatan itu seperti lempengan-lempengan besi yang dibenturkan.

Kedua orang itu sama-sama terlempar jatuh dan bergulingan beberapa langkah, dan kemudian sama-sama terbaring terlentang di halaman belakang yang sudah porak-poranda tak keruan itu. Baik Te-liong Hiangcu maupun Siangkoan Hong sama-sama memperdengarkan pernapasan yang berat dan tersengal-sengal, menandakan bahwa benturan tadi benar-benar telah menguras habis tenaga kedua telah pihak.

Dengan terlongong kagum campur ngeri Tong Lam-hou melihat kesudahan dari perkelahian sepasang saudara seperguruan yang menjadi musuh bebuyutan itu. Ketika melihat tubuh Siangkoan Hong masih bergerak-gejrak, cepat-cepat Tong Lam-hou berlari mendekatinya sambil memanggil, "Paman Siangkoan, apakah kau baik-baik saja?"

Dengan muka yang pucat dan jenggot yang berubah warna menjadi merah karena basah oleh darah, Siangkoan Hong berkata dengan terbata-bata, "Cepat lihat iblis itu masih hidup atau tidak. Kalau masih hidup, tikam saja jantungnya dengan pedangmu. Dia adalah biang keladi runtuhnya Hwe-liong-pang, Dan biang keladi kematian ayahmu pula."

Jika menuruti saja jiwa yang panas bergolak oleh dendam, rasa-rasanya Tong Lam-hou ingin berbuat seperti yang dianjurkan oleh Siangkoan Hong itu, namun pertimbangan lain mencegahnya. Bagaimanapun juga wataknya sebagai seorang jantan telah mencegahnya untuk menghunjamkan pedang ke tubuh seorang yang kempas-kempis tanpa daya sedikitpun, meskipun itu adalah musuhnya.

Maka dibiarkannya saja ucapan paman Siangkoan-nya itu, pura-pura tidak didengarnya. Bahkan pedangnya diletakkannya di tanah dan dengan kedua tangannya ia hendak mengangkat tubuh Siangkoan Hong, sambil berkata "Udara malam yang lembab kurang baik untuk kesehatan paman, apalagi paman sudah luka, mari aku angkat ke dalam rumah untuk mendapat pengobatan."

Namun Siangkoan Hong menolak tangan Tong Lam-hou itu meskipun dengan tenaga yang lemah, dengan mata mendelik ia berkata kepada Tong Lam-hou, "Anak bodoh, kenapa kau sibukkan dirimu dengar, lukaku yang tidak bakal mematikan aku ini? Cepat bunuh Te-liong Hiangcu sebelum dia mendapat sedikit kekuatannya untuk melarikan diri. Cepat!"

"Tidak, paman," sahut Tong Lam-hou sambil menggelengkan kepalanya. "Orang itu berbaring tak berdaya, hampir mampus. Tidak jantan kalau aku menusuk seseorang yang tidak sanggup melawan lagi."

Mata Siangkoan Hong terbelalak. "Anak bodoh, tolol, goblok! Kapan kau akan mendapatkan kesempatan sebaik ini untuk membalaskan dendam ayahmu? Ayo cepat lakukan! Sikap jantan hanya perlu kau tunjukan kepada orang-orang yang bersikap jantan pula, bukan kepada seseorang yang telah tega menyerang kakak seperguruannya sendiri dengan cara yang sangat licik. Jika kau lepaskan dia kali ini, maka lain kali kau akan dicekiknya hingga mampus. Kau kira dia akan berterima kasih karena dia kau ampuni jiwanya?"

Tong Lam-hou tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak peduli dia tidak berterima kasih kepadaku atau bahkan semakin membenciku, tapi aku tidak akan membunuhnya saat ini. Kelak, aku akan membunuhnya jika kami berhadapan secara adil. Mari paman aku bawa ke dalam."

Jika saja Siangkoan Hong masih punya tenaga, ingin dia menggampar muka Tong Lam-hou yang dirasanya sangat menjengkelkan itu, lalu dengan tangannya sendiri pula la akan mencekik Te-liong Hiangcu, si biang keladi keruntuhan Hwe-liong-pang yang dulunya la bangga-banggakan itu. Namun apa daya, tubuhnya luka parah, untuk bangkit duduk saja tidak punya tenaga, maka segala kemendongkolannya disimpannya saja dalam hati. Dan ia tidak meronta lagi ketika Tong Lam-hou mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam rumahnya.

Ketika Tong Lam-hou melewati tubuh Te-liong Hiangcu yang juga masih terbaring lemah itu, memang timbul juga sedikit sadar untuk membunuh orang itu. Tidak usah dengan pedang, cukup dengan menginjak lehernya saja maka orang jahat itu akan mati. Namun akhirnya sifat-sifat baiknya yang mengusai dirinya.

Yang kemudian dilakukannya bukanlan menginjak leher orang itu, melainkan dengan ujung kakinya ia menyingkap topeng perunggu yang melapisi wajah Te-liong Hiangcu. Ia hanya ingin melihat wajah asli dibalik topeng itu, supaya kelak jika ditemuinya lagi orang itu akan dapat diajaknya bertarung memperhitungkan dendam ayahnya. Ketika topeng perunggu itu tersingkap, muncullah seraut wajah lelaki berusia menjelang setengah abad, wajahnya sebenarnya cukup tampan, dihiasi dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya.

Namun wajah itu kini pucat, sementara matanya yang berkerdip-kerdip menatap ke arah Tong Lam-hou itu memancarkan kemarahan dan nafsu membunuh, kelicikan, namun sekaligus juga kekuatiran kalau Tong Lam-hou membunuhnya. Tadi ia sudah berusaha membunuh Tong Lam-hou, dan sekarang jika Tong Lam-hou ingin membunuhnya maka semudah membunuh seekor kelinci sakit-sakitan.

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin, "Bangsat, tahukah kau bahwa saat ini aku dapat membunuhmu dengan mudah? Tetapi aku tidak selicik kau, meskipun Ilmuku jauh lebih rendah dari ilmumu, namun kelak aku tetap akan berusaha membunuhmu dengan cara seorang lelaki. Cara jantan. Paling tidak aku boleh berbangga dengan sikapku sendiri ini, karena watakku tidak serendah watakmu yang tidak segan-segan menaruh binatang beracun dalam makananku. Itu perbuatan orang-orang hina."

Mata Te-liong Hiangcu nampak berkilat mendengar ucapan Tong Lam-hou yang menusuk hati itu. Alangkah benci dan marahnya ia kepada anak Tong Wi-siang itu, namun luka-lukanya akibat benturan ilmu dengan Siangkoan Hong tadi memang benar-benar luka yang berat. Namun Te-liong Hiangcu masih sempat melontarkan kebenciannya dengan sepatah kalimat, "Kau akan menyesal kelak."

Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin. "Bangsat...!" Siangkoan Hong yang dipapah oleh Tong Lam-hou itupun masih mencoba mempengaruhi anak muda itu, "Benar, anak muda, kau akan menyesal kelak. Bunuh pengkhianat itu sekarang juga."

Namun Tong Lam-hou tidak peduli lagi, dengan hati-hati dibawanya Siangkoan Hong ke dalam rumahnya, dan dibaringkannya di pembaringan miliknya sendiri sambil berkata, "Beristirahatlah, paman, jangan dipikirkan lagi iblis bertopeng yang masih terbaring di luar itu. Jika paman mau, aku akan menghangatkan makanan buat paman."

Siangkoan Hong duduk di atas pembaringan dan menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat. Katanya, "Kau segala-segalanya mirip dengan Toa-suheng Tong Wi-siang, baik wajah, perawakan maupun keberaniamu, hanya ada satu kekuranganmu dibandingkan dengan dia."

Tong Lam-hou yang memang selalu merasa dahaga untuk mendengar kisah-kisah hidup ayahnya yang tidak pernah dilihatnya itu, segera bertanya, "Kekurangan apa?"

Kata Siangkoan Hong, "Kau terlalu baik hati terhadap orang yang jahat seperti Te-liong Hiangcu sekalipun, dan itu kelak akan membuahkan kesulitan bagimu sendiri, nak. Ayahmu juga seorang yang baik hati, namun ia dengan tegas dapat membedakan siapa yang masih berhak untuk diampuni dan siapa yang sudah tidak berhak untuk dihidupi lagi. Terhadap orang jenis kedua ini, ayahmu tidak ragu-ragu untuk bertindak tegas."

Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam, "Aku memang bukan ayah, dan barangkali aku juga tidak akan seperkasa dan sekuat ayahku."

Sinar mata Siangkoan Hong nampak agak kecewa ketika mendengar pengakuan Tong Lam-hou itu. la menarik napas berulang kali dan berkata, "Ya, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu untuk suatu hal."

"Hal apa?"

"Membangun kembali Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang kuat dan perkasa, meneruskan cita-cita ayahmu yang belum sempurna terlaksana."

"Apakah itu perlu?"

"Apa-apaan ucapanmu ini?" kata Siangkoan Hong dengan suara meninggi karena jengkel melihat sikap Tong Lam-hou. "Ucapanmu yang kebanci-bancian itu tidak pantas diucapkan oleh putera mendiahg Hwe-liong Pangcu yang gagah perkasa!"

Segera Tong Lam-hou tahu bahwa sang paman Siangkoan yang baru ditemukannya malam ini adalah seorang yang berwatak keras kepala dan pemberang pula, seorang yang agak sulit diajak bicara dengan kepala dingin. Namun betapapun Tong Lam-hou berterima-kasih karena nyawanya sudah diselamatkan oleh paman Siangkoan ini dari terkaman Te-liong Hiangcu, dan bagaimanapun juga Siangkoan Hong adalah adik seperguruan mendiang ayahnya yang pantas dihormati sebagai orang tua.

Kemudian Tong Lam-hou ingat pula seorang paman lainnya, bukan hanya adik seperguruan ayahnya tapi malahan adik sekandung dari ayahnya. Tong Wi-hong. Pendekar dari kota Tay-beng yang selalu berpakaian serba putih dan terkenal dengan julukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) dan ilmu pedangnya yang hebat. Sejak pertama kali Tong Lam-hou bertemu dengan pamannya itu, sudah timbul rasa kagum dan hormatnya ia melihat sikapnya yang agung dan tutur katanya yang penuh kebijaksanaan itu.

Tapi sayang, paman dan keponakan itu harus berdiri pada pihak-pihak yang berseberangan karena membela pendiriannya masing-masing. Tong Lam-hou merasa bahwa pamannya itu tidak memahami pendiriannya untuk mengabdi Negara dan Kaisar, menciptakan ketertiban dan kedamaian di seluruh negeri, sebab hal itulah yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat banyak sejak Li Cu-seng memberontak dulu.

Bertahun-tahun yang ada hanyalah perang, perang dan perang melulu, yang membuahkan Kekacauan, perkosaan, perampasan sewenang-wenang, pembunuhan tanpa diadili dan sebagainya. Namun Tong Lam-hou sadar bahwa paman Tong-nya itu telah menganggapnya sebagai pengkhianat, kaki tangan bangsa Manchu dan sebagainya. Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam kalau memikirkan semua persoalan itu.

Dulu ketika ia hidup digunung hanya bersama ibunya, dia mendambakan alangkah senang hidupnya kalau seperti orang lain, bukan hanya punya ibu tetapi juga punya keluarga lainnya, mungkin paman atau bibi, saudara sepupu dan lain-lainnya. Namun setelah didapatkannya seorang paman seperti Tong Wi-hong dan seorang bibi sperti Tong Wi-lian, malahan timbul pertentangan dalam jiwanya.

Kini muncul pula seorang paman guru seperti Siangkoan-Hong yang sikapnya sangat keras itu, menambah rumitnya pergolakan jiwanya. Dibandingkan ketika la "hanya punya" seorang ibu di gunung dulu, masa lalu seperti itu ternyata jauh lebih tenteram bagi jiwanya.

"He, kenapa kau melamun?" tanya Siangkoan Hong mengejutkan Tong Lam-hou. "Kau tersinggung oleh kata-kataku?"

Tong Lam-hou menyeringai canggung, lalu menyahut, "Tidak, paman. Mana berani aku tersinggung oleh nasehat paman yang bermaksud baik kepadaku itu. Paman aku anggap sebagal orang tuaku.”

"Benar demikian? Kau anggap nasehatku ada unsur-unsur kebenarannya?"

Sekenanya Tong Lam-hou menjawab, "Tentu, paman. Umur paman yang jauh lebih tua daripadaku itu menjadikan paman memiliki lebih banyak pengalaman dan kebijaksanaan daripadaku yang masih hijau ini."

Tak terduga Jawaban yang sekenanya membuat Tong Lam-hou tersudut ke dalam kesulitan. Siangkoan Hong nampak tertawa puas, katanya, "Nak kalau kau anggap nasehatku cukup baik, keluarlah ke halaman belakang dan bunuhlah pengkhianat Hwe-liong-pang itu demi arwah ayahmu. Jangan ragu-ragu."

Tong Lam-hou mengeluh dalam hatinya, yang terpikir di kepala pamannya ini apakah tidak lebih dari membunuh dan membalas dendam untuk urusan Hwe-liong-pang yang sudah kedaluwarsa itu. Tidak adakah urusan penting lainnya yang lebih penting dari itu? Sesaat Tong Lam-hou jadi kebingungan bagaimana harus menjawab permintaan paman gurunya itu.

Sikap ragu-ragu Tong Lam-hou itu membuat SiangKoan Hong naik darah, “Anak tak bergunal! Benar-benar anak tak berguna! Kau akan mengemukakan alasanmu yang sok kesyatria bahwa membunuh orang tak berdaya itu tidak dibenarkan? Padahal inilah satu-satunya kesempatanmu untuk mengimpaskan dendam ayahmu, satu-satunya kesempatan. Kalau si bangsat Te-liong Hiangcu itu sudah sembuh dari lukanya, kau kira kau bisa mengalahkannya? Kaulah yang akan mampus di tangannya!"

Panas Juga darah Tong Lam-hou, “Tidak, paman, apapun kata paman Siangkoan, tetapi kelak aku tetap harus membunuhnya dengan cara kesyatria, bukah cara yang licik. Jika kepandaianku tidak mencukupi, aku akan berlatih keras agar ilmuku semakin tinggi, kalau perlu minta bantuan paman Siangkoan untuk membimbing peningkatan ilmuku."

Wajah Siangkoan Hong nampak memucat karena jengkelnya, dengan jari gemeretak ia menuding wajah Tong Lam-hou. Dan karena jengkelnya akhirnya bagian dalam tubuhnya yang terasa nyeri karena luka dalamnya itupun kambuh kembali, iapun mengeluh sambil tekan dadanya sendiri dan tubuhnya condong ke depan, hampir jatuh dari pembaringannya. Untunglah Tong Lam-hou cepat-cepat menyangga tubuhnya.

"Paman, kau beristirahatlah dengan tenang, tenteramkan pikiranmu."

Siangkoan Hong menurut saja ketika Tong Lam-hou meletakkan tubuhnya perlahan-lahan di kasur, bahkan menyelimutinya sampai ke dada. Sesaat napas bekas nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu nampak terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai kesakitan, tapi semakin lama semakin tenang. Dibukanya matanya dan berkatalah ia, "Tinggalkan aku sendirian, aku akan mengobati luka dalamku dengan ilmuku sendiri. Pikirkan baik-baik semua ucapanku tadi."

Untuk melegakan hati paman gurunya itu, Tong Lam-hou menjawab juga, "Baik, paman Siangkoan. Akan kupikirkan baik-baik." Lalu Tong Lam-houpun meninggalkan kamar itu. Ia berjalan menuju ke dapur dan berharap masih akan bisa menemukan makanan di sana, untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Makanan yang disediakan oleh bibi Ciu di atas meja tadi jelas tidak lagi bisa dimakan, sebab sudah tercemar oleh racun.

Ketika ia melewati kebun belakang di mana tadi Te-liong Hiangcu terbaring, maka dilihatnya orang bertopeng itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Nampak segumpal darah kehitam-hitaman tercecer di rerumputan tempatnya berbaring tadi, namun orangnya sendiri sudah tidak terlihat. Agaknya ia sudah cukup punya tenaga untuk membawa dirinya meninggalkan tempat itu. menjauhi rumah Tong Lam-hou itu. Topeng perunggunya dan jubah hitamnya yang mudah menarik perhatian orang itupun telah dilemparkan ke sebuah parit.

Meskipun malam cukup sunyi, karena sudah larut, namun di kota besar semacam Pak-khia masih ada saja orang-orang yang berkeliaran di malam sunyi itu. Kalau bukan prajurit-prajurit yang berjalan berkeliling untuk menjaga keamanan, tentunya juga pemabuk atau penjudi yang pulang kemalaman, atau si hidung belang yang sedang pulang dari rumah pelesiran atau justru sedang berangkat ke sana untuk hasratnya yang berkobar.

Untuk tidak menarik perhatian, Te-liong Hiangcu yang sedang "memakai" wajah aslinya itupun menyamar sebagai pemabuk. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berkata-kata sendiri tak keruan, kadang-kadang menyanyi dengan suara yang parau. Beberapa prajurit yang berpapasan memang tidak curiga apapun kepadanya, meskipun ada juga seorang prajurit yang menendang pantat Te-liong Hiangcu ketika berpapasan disebuah gang.

Kini Te-liong Hiangcu agak kebingungan hendak menuju ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya yang luka dalam itu? Ke rumah Pakkiong An sebagai sekutunya? Tidak mungkin, sebab Te-liong Hiangcu tahu bahwa kerjasamanya dengan panglima Ui-ih-kun itu bukan kerjasama yang tulus, baik dari pihaknya sendiri maupun dari pihak Pakkiong An, jangan-jangan malah masuk perangkap dan selanjutnya ia hanya akan menjadi sekedar alat untuk memenuhi ambisi panglima tua itu?

Ke tempat Hehou Im? Terhadap bekas anak buahnya dalam Hwe-liong-pang itu pun ternyata Te-liong Hiangcu kurang percaya, jangan-jangan Hehou Im seekor ular berkepala dua yang sanggup menggigit siapa saja demi keuntungan dirinya sendiri? Lalu hendak ke rumah siapa? Ke rumah salah seorang anak buahnya yang ada di Ibukota Kerajaan ini? Itupun ternyata tidak berani dilakukan, sebab siapa tahu kalau anak buahnya yang merasa tertindas olehnya selama ini tiba-tiba merasa mendapat kesempatan untuk mencekiknya?

Dalam keadaan membutuhkan seseorang yang dipercayanya seperti saat itu, tiba-tiba Te-liong Hiangcu timbul perasaan bahwa dia sebenarnya sendirian di dunia ini. Sendirian, tanpa seorangpun yang dipercayainya. Selama ia tidak terluka seperti itu, ia merasa berkuasa, setiap anak buahnya dapat diperalatnya semau-maunya tanpa berani membantah, namun ternyata tak seorangpun di antara mereka yang dipercayainya. Ia sendiri tanpa kawan.

Semua itu akibat tindakkannya sendiri selama ini, memperbudak orang, menyiksa secara kejam, berbuat licik dan sebagainya. Sehingga tak seorangpun yang diperolehnya sebagai kawan. Budak memang banyak, sekutu juga ada, tapi seorang kawan, tak seorangpun. Bahkan dengan saudara-saudara seperguruannya sendiri yang merupakan kawan-kawan sepermainan sejak kecil di kota An-yang-shia, dia telah bermusuhan.

Andaikata Te-liong Hiangcu menyadari kesendiriannya itu, mungkin ia akan mengubah jalan hidupnya, sebab apa enaknya hidup tanpa kawan seorangpun seperti itu? Seumpama ia berhasil menjadi Bu-lim Bengcu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan) seperti yang diimpikannya, bahkan kemudian menggerakkan pemberontakan untuk merebut singgasana dan menjadi seorang Kaisar, ia akan hidup kesepian di istananya yang megah dan penuh dengan manusia.

Kesepian, sebab ia tidak akan mempercayai orang-orang di sekitarnya, selalu bercuriga jangan jangan ia akan dikhianati. Apa enaknya hidup macam itu? Seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak gunung batu yang tinggi, dilihat dari bawah ia nampak begitu perkasa, namun tahukah bahwa rajawali itu sendirian, kedinginan dan kesepian? Kehangantan pergaulan antar sesama tidak akan pernah dinikmatinya.

Namun kesadaran macam itu belum ada dalam hati Te-liong Hiangcu. Hatinya masih saja tertutup oleh gejolak nafsu kekuasaannya yang tak kunjung padam, singkirkan siapa saja yang merintangi, susun sebuah lalan ke masa depan dengan menggunakan ribuan mayat sesama. Tekan dalam-dalam rasa kesepiannya demi Jalan menuju singgasana kekuasaan .

Akhirnya Te-liong Hiangcu menemukan juga tempat yang dianggapnya cocok untuk tempat persembunyian sementaranya untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya. Sebuah rumah bekas milik seorang hartawan yang mati membunuh diri dan letak rumah itu berjauhan dari letak rumah-rumah lainnya di gang itu. Kata penduduk, hartawan yang menggantung diri itu masih suka menampakkan dirinya di malam hari.

Tapi Te-liong Hiangcu tak peduli. Segala macam setan iblis atau hantu gentayangkan adalah sahabatnya, menguasai hatinya dan bukankah dia dengan bangga juga menamakan komplotan yang dipimpinnya itu sebagai Kui-kiong (Istana Iblis) Ketika ia melangkah masuk ke halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan setinggi dada itu, Te-liong Hiangcu tidak peduli sedikitpun ketika merasa ada angin dingin menghembus tengkuknya.

Bahkan dengan garang Te-liong Hiangcu menggeram entah ditujukan kepada siapa, "Enyahlah daripadaku, hantu-hantu kerdil, aku bisa menghajar kalian meskipun kalian tidak tampak. Akulah majikan Kui-kiong, tuan kalian, dan penguasa kalian, dan kalian adalah pesuruh-pesuruhku yang paling rendah derajatnya."

Untuk sementara, tempat itu menjadi tempat Te-liong Hiangcu bersembunyi sambil menyembuhkan luka-lukanya. Bulan yang hanya sepotong di langit perlahan-lahan menggeser dirinya ke arah barat diikuti bintang-bintang yang lenyap satu persatu dari iangit. Seperti seorang ratu agung yang meninggalkan tempatnya dengan diiringi dayang-dayangnya. Sementara langit di timurpun semakin cerah.

Sebelum terang tanah, Tong Lam-hou sudah membuka matanya dan bangun dari tidurnya, itu adalah kebiasaannya yang dibawanya sejak ia masih sebagai anak gunung di Tiam-Jong-san dulu, ia harus bergegas-gegas membawa barang-barang hasil kebunnya ke desa Jit-siong-tin dengan berjalan menembus kabut pagi buta. Bahkan kadang-ka-dang ia tidak tidur semalaman jika ia harus menangkap banyak serigala untuk diambil dagingnya.

Tong Lam-hou tersenyum sendiri kalau teringat bahwa perburuan serigala di suatu malam telah mempertemukannya dengan seorang prajurit yang luka parah dan hampir mati dikeroyok serigala, dah ternyata prajurit yang ditolongnya itu adalah seorang Panglima dari Hui-liong-kun yang menjadi sahabatnya, dan membawanya ke Ibukota Kerajaan yang berlaksa-laksa li letaknya dari tempat asalnya itu.

Cepat Tong Lam-hou pergi untuk membersihkan badannya, di bagian belakang rumahnya didengarnya suara paman dan bibi Ciu yang agaknya sudah datang sepagi itu. Suami isteri tua itu nampak heran bercampur takut ketika melihat kebun belakang itu porak-poranda seperti habis dilewati angin ribut. Tong Lam-hou segera menjelaskah kepada suami-isteri tua itu bahwa semalam dua orang pamannya yang sakit telah "datang berlatih" di tempat itu, dan kedua orang" tua itu tidak perlu takut.

Kata Tong Lam-hou, "Siapkan saja sarapan pagi yang hangat untuk dua orang, sebab salah seorang dari pamanku itu masih berada di rumah ini."

Paman dan bibi Ciu setengah percaya setengah tidak akan cerita tuan mereka itu, namun merekapun tidak banyak bertanya lagi dan segera menjalankan tugas-tugas mereka masihg-masing. Mereka percaya kalau Tong Lam hou kedatangan kedua orang paman, tapi rasanya sulit dipercaya kalau dua orang manusia yang "berlatih" itu bisa meninggalkan bekas kehancuran seolah-olah tempat itu baru saja untuk bermain-main selusin ekor gajah.

“Kalau benar-benar ada manusia seperti itu, wah, luar biasa," kata bibi Ciu sambil masuk ke dapur dengan membawa sepanci air.

Sementara paman Ciu menggerutu, "Mudah-mudahan kedua orang paman Siau-ya (tuan muda) itu tidak sering-sering berlatih, kalau tidak, akulah yang mampus karena harus membenahi tempat yang berantakan ini.”

Tong Lam-hou mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa, memakai seragam prajuritnya, sebab hari ini semua perwira harus berkumpul di barak Hui-liong-kun untuk mendengarkan penjelasan Pakkiong Liong tentang hasil sidang di Istana Kerajaan pagi ini.

Sudah ada kabar angin bahwa Pasukan Hui-liong-kun akan mendapat tugas berat lagi, yaitu menghancurkan pemusatan kekuatan pasukan pemberontak di tempat yang jauh di sebelah barat kota Tay-teng. Kepastian tentang itu akan didengar oleh Pakkiong Liong dalam sidang istana pagi ini, yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kaisar Sun-ti....
Selanjutnya;