Pendekar Naga dan Harimau Jilid 19Karya : Stevanus S.P |
Mata Siangkoan Hong terbelalak. "Anak bodoh, tolol, goblok! Kapan kau akan mendapatkan kesempatan sebaik ini untuk membalaskan dendam ayahmu? Ayo cepat lakukan! Sikap jantan hanya perlu kau tunjukan kepada orang-orang yang bersikap jantan pula, bukan kepada seseorang yang telah tega menyerang kakak seperguruannya sendiri dengan cara yang sangat licik. Jika kau lepaskan dia kali ini, maka lain kali kau akan dicekiknya hingga mampus. Kau kira dia akan berterima kasih karena dia kau ampuni jiwanya?"
Tong Lam-hou tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak peduli dia tidak berterima kasih kepadaku atau bahkan semakin membenciku, tapi aku tidak akan membunuhnya saat ini. Kelak, aku akan membunuhnya jika kami berhadapan secara adil. Mari paman aku bawa ke dalam." Jika saja Siangkoan Hong masih punya tenaga, ingin dia menggampar muka Tong Lam-hou yang dirasanya sangat menjengkelkan itu, lalu dengan tangannya sendiri pula la akan mencekik Te-liong Hiangcu, si biang keladi keruntuhan Hwe-liong-pang yang dulunya la bangga-banggakan itu. Namun apa daya, tubuhnya luka parah, untuk bangkit duduk saja tidak punya tenaga, maka segala kemendongkolannya disimpannya saja dalam hati. Dan ia tidak meronta lagi ketika Tong Lam-hou mengangkat tubuhnya dan membawanya ke dalam rumahnya. Ketika Tong Lam-hou melewati tubuh Te-liong Hiangcu yang juga masih terbaring lemah itu, memang timbul juga sedikit sadar untuk membunuh orang itu. Tidak usah dengan pedang, cukup dengan menginjak lehernya saja maka orang jahat itu akan mati. Namun akhirnya sifat-sifat baiknya yang mengusai dirinya. Yang kemudian dilakukannya bukanlan menginjak leher orang itu, melainkan dengan ujung kakinya ia menyingkap topeng perunggu yang melapisi wajah Te-liong Hiangcu. Ia hanya ingin melihat wajah asli dibalik topeng itu, supaya kelak jika ditemuinya lagi orang itu akan dapat diajaknya bertarung memperhitungkan dendam ayahnya. Ketika topeng perunggu itu tersingkap, muncullah seraut wajah lelaki berusia menjelang setengah abad, wajahnya sebenarnya cukup tampan, dihiasi dengan kumis tipis yang bagus di atas bibirnya. Namun wajah itu kini pucat, sementara matanya yang berkerdip-kerdip menatap ke arah Tong Lam-hou itu memancarkan kemarahan dan nafsu membunuh, kelicikan, namun sekaligus juga kekuatiran kalau Tong Lam-hou membunuhnya. Tadi ia sudah berusaha membunuh Tong Lam-hou, dan sekarang jika Tong Lam-hou ingin membunuhnya maka semudah membunuh seekor kelinci sakit-sakitan. Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin, "Bangsat, tahukah kau bahwa saat ini aku dapat membunuhmu dengan mudah? Tetapi aku tidak selicik kau, meskipun Ilmuku jauh lebih rendah dari ilmumu, namun kelak aku tetap akan berusaha membunuhmu dengan cara seorang lelaki. Cara jantan. Paling tidak aku boleh berbangga dengan sikapku sendiri ini, karena watakku tidak serendah watakmu yang tidak segan-segan menaruh binatang beracun dalam makananku. Itu perbuatan orang-orang hina." Mata Te-liong Hiangcu nampak berkilat mendengar ucapan Tong Lam-hou yang menusuk hati itu. Alangkah benci dan marahnya ia kepada anak Tong Wi-siang itu, namun luka-lukanya akibat benturan ilmu dengan Siangkoan Hong tadi memang benar-benar luka yang berat. Namun Te-liong Hiangcu masih sempat melontarkan kebenciannya dengan sepatah kalimat, "Kau akan menyesal kelak." Tong Lam-hou yang kedua tangannya tengah memondong Siangkoan Hong itu menatap dengan tajamnya ke wajah orang itu. Katanya dingin. "Bangsat...!" Siangkoan Hong yang dipapah oleh Tong Lam-hou itupun masih mencoba mempengaruhi anak muda itu, "Benar, anak muda, kau akan menyesal kelak. Bunuh pengkhianat itu sekarang juga." Namun Tong Lam-hou tidak peduli lagi, dengan hati-hati dibawanya Siangkoan Hong ke dalam rumahnya, dan dibaringkannya di pembaringan miliknya sendiri sambil berkata, "Beristirahatlah, paman, jangan dipikirkan lagi iblis bertopeng yang masih terbaring di luar itu. Jika paman mau, aku akan menghangatkan makanan buat paman." Siangkoan Hong duduk di atas pembaringan dan menatap wajah Tong Lam-hou lekat-lekat. Katanya, "Kau segala-segalanya mirip dengan Toa-suheng Tong Wi-siang, baik wajah, perawakan maupun keberaniamu, hanya ada satu kekuranganmu dibandingkan dengan dia." Tong Lam-hou yang memang selalu merasa dahaga untuk mendengar kisah-kisah hidup ayahnya yang tidak pernah dilihatnya itu, segera bertanya, "Kekurangan apa?" Kata Siangkoan Hong, "Kau terlalu baik hati terhadap orang yang jahat seperti Te-liong Hiangcu sekalipun, dan itu kelak akan membuahkan kesulitan bagimu sendiri, nak. Ayahmu juga seorang yang baik hati, namun ia dengan tegas dapat membedakan siapa yang masih berhak untuk diampuni dan siapa yang sudah tidak berhak untuk dihidupi lagi. Terhadap orang jenis kedua ini, ayahmu tidak ragu-ragu untuk bertindak tegas." Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam, "Aku memang bukan ayah, dan barangkali aku juga tidak akan seperkasa dan sekuat ayahku." Sinar mata Siangkoan Hong nampak agak kecewa ketika mendengar pengakuan Tong Lam-hou itu. la menarik napas berulang kali dan berkata, "Ya, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu untuk suatu hal." "Hal apa?" "Membangun kembali Hwe-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan yang kuat dan perkasa, meneruskan cita-cita ayahmu yang belum sempurna terlaksana." "Apakah itu perlu?" "Apa-apaan ucapanmu ini?" kata Siangkoan Hong dengan suara meninggi karena jengkel melihat sikap Tong Lam-hou. "Ucapanmu yang kebanci-bancian itu tidak pantas diucapkan oleh putera mendiahg Hwe-liong Pangcu yang gagah perkasa!" Segera Tong Lam-hou tahu bahwa sang paman Siangkoan yang baru ditemukannya malam ini adalah seorang yang berwatak keras kepala dan pemberang pula, seorang yang agak sulit diajak bicara dengan kepala dingin. Namun betapapun Tong Lam-hou berterima-kasih karena nyawanya sudah diselamatkan oleh paman Siangkoan ini dari terkaman Te-liong Hiangcu, dan bagaimanapun juga Siangkoan Hong adalah adik seperguruan mendiang ayahnya yang pantas dihormati sebagai orang tua. Kemudian Tong Lam-hou ingat pula seorang paman lainnya, bukan hanya adik seperguruan ayahnya tapi malahan adik sekandung dari ayahnya. Tong Wi-hong. Pendekar dari kota Tay-beng yang selalu berpakaian serba putih dan terkenal dengan julukan Gin-yan-cu (Si Walet Perak) dan ilmu pedangnya yang hebat. Sejak pertama kali Tong Lam-hou bertemu dengan pamannya itu, sudah timbul rasa kagum dan hormatnya ia melihat sikapnya yang agung dan tutur katanya yang penuh kebijaksanaan itu. Tapi sayang, paman dan keponakan itu harus berdiri pada pihak-pihak yang berseberangan karena membela pendiriannya masing-masing. Tong Lam-hou merasa bahwa pamannya itu tidak memahami pendiriannya untuk mengabdi Negara dan Kaisar, menciptakan ketertiban dan kedamaian di seluruh negeri, sebab hal itulah yang tidak pernah dinikmati oleh rakyat banyak sejak Li Cu-seng memberontak dulu. Bertahun-tahun yang ada hanyalah perang, perang dan perang melulu, yang membuahkan Kekacauan, perkosaan, perampasan sewenang-wenang, pembunuhan tanpa diadili dan sebagainya. Namun Tong Lam-hou sadar bahwa paman Tong-nya itu telah menganggapnya sebagai pengkhianat, kaki tangan bangsa Manchu dan sebagainya. Tong Lam-hou menarik napas dalam-dalam kalau memikirkan semua persoalan itu. Dulu ketika ia hidup digunung hanya bersama ibunya, dia mendambakan alangkah senang hidupnya kalau seperti orang lain, bukan hanya punya ibu tetapi juga punya keluarga lainnya, mungkin paman atau bibi, saudara sepupu dan lain-lainnya. Namun setelah didapatkannya seorang paman seperti Tong Wi-hong dan seorang bibi sperti Tong Wi-lian, malahan timbul pertentangan dalam jiwanya. Kini muncul pula seorang paman guru seperti Siangkoan-Hong yang sikapnya sangat keras itu, menambah rumitnya pergolakan jiwanya. Dibandingkan ketika la "hanya punya" seorang ibu di gunung dulu, masa lalu seperti itu ternyata jauh lebih tenteram bagi jiwanya. "He, kenapa kau melamun?" tanya Siangkoan Hong mengejutkan Tong Lam-hou. "Kau tersinggung oleh kata-kataku?" Tong Lam-hou menyeringai canggung, lalu menyahut, "Tidak, paman. Mana berani aku tersinggung oleh nasehat paman yang bermaksud baik kepadaku itu. Paman aku anggap sebagal orang tuaku.” "Benar demikian? Kau anggap nasehatku ada unsur-unsur kebenarannya?" Sekenanya Tong Lam-hou menjawab, "Tentu, paman. Umur paman yang jauh lebih tua daripadaku itu menjadikan paman memiliki lebih banyak pengalaman dan kebijaksanaan daripadaku yang masih hijau ini." Tak terduga Jawaban yang sekenanya membuat Tong Lam-hou tersudut ke dalam kesulitan. Siangkoan Hong nampak tertawa puas, katanya, "Nak kalau kau anggap nasehatku cukup baik, keluarlah ke halaman belakang dan bunuhlah pengkhianat Hwe-liong-pang itu demi arwah ayahmu. Jangan ragu-ragu." Tong Lam-hou mengeluh dalam hatinya, yang terpikir di kepala pamannya ini apakah tidak lebih dari membunuh dan membalas dendam untuk urusan Hwe-liong-pang yang sudah kedaluwarsa itu. Tidak adakah urusan penting lainnya yang lebih penting dari itu? Sesaat Tong Lam-hou jadi kebingungan bagaimana harus menjawab permintaan paman gurunya itu. Sikap ragu-ragu Tong Lam-hou itu membuat SiangKoan Hong naik darah, “Anak tak bergunal! Benar-benar anak tak berguna! Kau akan mengemukakan alasanmu yang sok kesyatria bahwa membunuh orang tak berdaya itu tidak dibenarkan? Padahal inilah satu-satunya kesempatanmu untuk mengimpaskan dendam ayahmu, satu-satunya kesempatan. Kalau si bangsat Te-liong Hiangcu itu sudah sembuh dari lukanya, kau kira kau bisa mengalahkannya? Kaulah yang akan mampus di tangannya!" Panas Juga darah Tong Lam-hou, “Tidak, paman, apapun kata paman Siangkoan, tetapi kelak aku tetap harus membunuhnya dengan cara kesyatria, bukah cara yang licik. Jika kepandaianku tidak mencukupi, aku akan berlatih keras agar ilmuku semakin tinggi, kalau perlu minta bantuan paman Siangkoan untuk membimbing peningkatan ilmuku." Wajah Siangkoan Hong nampak memucat karena jengkelnya, dengan jari gemeretak ia menuding wajah Tong Lam-hou. Dan karena jengkelnya akhirnya bagian dalam tubuhnya yang terasa nyeri karena luka dalamnya itupun kambuh kembali, iapun mengeluh sambil tekan dadanya sendiri dan tubuhnya condong ke depan, hampir jatuh dari pembaringannya. Untunglah Tong Lam-hou cepat-cepat menyangga tubuhnya. "Paman, kau beristirahatlah dengan tenang, tenteramkan pikiranmu." Siangkoan Hong menurut saja ketika Tong Lam-hou meletakkan tubuhnya perlahan-lahan di kasur, bahkan menyelimutinya sampai ke dada. Sesaat napas bekas nomor tiga dalam Hwe-liong-pang itu nampak terengah-engah dan sekali-sekali menyeringai kesakitan, tapi semakin lama semakin tenang. Dibukanya matanya dan berkatalah ia, "Tinggalkan aku sendirian, aku akan mengobati luka dalamku dengan ilmuku sendiri. Pikirkan baik-baik semua ucapanku tadi." Untuk melegakan hati paman gurunya itu, Tong Lam-hou menjawab juga, "Baik, paman Siangkoan. Akan kupikirkan baik-baik." Lalu Tong Lam-houpun meninggalkan kamar itu. Ia berjalan menuju ke dapur dan berharap masih akan bisa menemukan makanan di sana, untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Makanan yang disediakan oleh bibi Ciu di atas meja tadi jelas tidak lagi bisa dimakan, sebab sudah tercemar oleh racun. Ketika ia melewati kebun belakang di mana tadi Te-liong Hiangcu terbaring, maka dilihatnya orang bertopeng itu sudah tidak ada di tempatnya lagi. Nampak segumpal darah kehitam-hitaman tercecer di rerumputan tempatnya berbaring tadi, namun orangnya sendiri sudah tidak terlihat. Agaknya ia sudah cukup punya tenaga untuk membawa dirinya meninggalkan tempat itu. menjauhi rumah Tong Lam-hou itu. Topeng perunggunya dan jubah hitamnya yang mudah menarik perhatian orang itupun telah dilemparkan ke sebuah parit. Meskipun malam cukup sunyi, karena sudah larut, namun di kota besar semacam Pak-khia masih ada saja orang-orang yang berkeliaran di malam sunyi itu. Kalau bukan prajurit-prajurit yang berjalan berkeliling untuk menjaga keamanan, tentunya juga pemabuk atau penjudi yang pulang kemalaman, atau si hidung belang yang sedang pulang dari rumah pelesiran atau justru sedang berangkat ke sana untuk hasratnya yang berkobar. Untuk tidak menarik perhatian, Te-liong Hiangcu yang sedang "memakai" wajah aslinya itupun menyamar sebagai pemabuk. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil berkata-kata sendiri tak keruan, kadang-kadang menyanyi dengan suara yang parau. Beberapa prajurit yang berpapasan memang tidak curiga apapun kepadanya, meskipun ada juga seorang prajurit yang menendang pantat Te-liong Hiangcu ketika berpapasan disebuah gang. Kini Te-liong Hiangcu agak kebingungan hendak menuju ke mana untuk mengistirahatkan tubuhnya yang luka dalam itu? Ke rumah Pakkiong An sebagai sekutunya? Tidak mungkin, sebab Te-liong Hiangcu tahu bahwa kerjasamanya dengan panglima Ui-ih-kun itu bukan kerjasama yang tulus, baik dari pihaknya sendiri maupun dari pihak Pakkiong An, jangan-jangan malah masuk perangkap dan selanjutnya ia hanya akan menjadi sekedar alat untuk memenuhi ambisi panglima tua itu? Ke tempat Hehou Im? Terhadap bekas anak buahnya dalam Hwe-liong-pang itu pun ternyata Te-liong Hiangcu kurang percaya, jangan-jangan Hehou Im seekor ular berkepala dua yang sanggup menggigit siapa saja demi keuntungan dirinya sendiri? Lalu hendak ke rumah siapa? Ke rumah salah seorang anak buahnya yang ada di Ibukota Kerajaan ini? Itupun ternyata tidak berani dilakukan, sebab siapa tahu kalau anak buahnya yang merasa tertindas olehnya selama ini tiba-tiba merasa mendapat kesempatan untuk mencekiknya? Dalam keadaan membutuhkan seseorang yang dipercayanya seperti saat itu, tiba-tiba Te-liong Hiangcu timbul perasaan bahwa dia sebenarnya sendirian di dunia ini. Sendirian, tanpa seorangpun yang dipercayainya. Selama ia tidak terluka seperti itu, ia merasa berkuasa, setiap anak buahnya dapat diperalatnya semau-maunya tanpa berani membantah, namun ternyata tak seorangpun di antara mereka yang dipercayainya. Ia sendiri tanpa kawan. Semua itu akibat tindakkannya sendiri selama ini, memperbudak orang, menyiksa secara kejam, berbuat licik dan sebagainya. Sehingga tak seorangpun yang diperolehnya sebagai kawan. Budak memang banyak, sekutu juga ada, tapi seorang kawan, tak seorangpun. Bahkan dengan saudara-saudara seperguruannya sendiri yang merupakan kawan-kawan sepermainan sejak kecil di kota An-yang-shia, dia telah bermusuhan. Andaikata Te-liong Hiangcu menyadari kesendiriannya itu, mungkin ia akan mengubah jalan hidupnya, sebab apa enaknya hidup tanpa kawan seorangpun seperti itu? Seumpama ia berhasil menjadi Bu-lim Bengcu (Pemimpin Umum Rimba Persilatan) seperti yang diimpikannya, bahkan kemudian menggerakkan pemberontakan untuk merebut singgasana dan menjadi seorang Kaisar, ia akan hidup kesepian di istananya yang megah dan penuh dengan manusia. Kesepian, sebab ia tidak akan mempercayai orang-orang di sekitarnya, selalu bercuriga jangan jangan ia akan dikhianati. Apa enaknya hidup macam itu? Seperti seekor burung rajawali yang bertengger di puncak gunung batu yang tinggi, dilihat dari bawah ia nampak begitu perkasa, namun tahukah bahwa rajawali itu sendirian, kedinginan dan kesepian? Kehangantan pergaulan antar sesama tidak akan pernah dinikmatinya. Namun kesadaran macam itu belum ada dalam hati Te-liong Hiangcu. Hatinya masih saja tertutup oleh gejolak nafsu kekuasaannya yang tak kunjung padam, singkirkan siapa saja yang merintangi, susun sebuah lalan ke masa depan dengan menggunakan ribuan mayat sesama. Tekan dalam-dalam rasa kesepiannya demi Jalan menuju singgasana kekuasaan . Akhirnya Te-liong Hiangcu menemukan juga tempat yang dianggapnya cocok untuk tempat persembunyian sementaranya untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya. Sebuah rumah bekas milik seorang hartawan yang mati membunuh diri dan letak rumah itu berjauhan dari letak rumah-rumah lainnya di gang itu. Kata penduduk, hartawan yang menggantung diri itu masih suka menampakkan dirinya di malam hari. Tapi Te-liong Hiangcu tak peduli. Segala macam setan iblis atau hantu gentayangkan adalah sahabatnya, menguasai hatinya dan bukankah dia dengan bangga juga menamakan komplotan yang dipimpinnya itu sebagai Kui-kiong (Istana Iblis) Ketika ia melangkah masuk ke halaman rumah yang ditumbuhi rerumputan setinggi dada itu, Te-liong Hiangcu tidak peduli sedikitpun ketika merasa ada angin dingin menghembus tengkuknya. Bahkan dengan garang Te-liong Hiangcu menggeram entah ditujukan kepada siapa, "Enyahlah daripadaku, hantu-hantu kerdil, aku bisa menghajar kalian meskipun kalian tidak tampak. Akulah majikan Kui-kiong, tuan kalian, dan penguasa kalian, dan kalian adalah pesuruh-pesuruhku yang paling rendah derajatnya." Untuk sementara, tempat itu menjadi tempat Te-liong Hiangcu bersembunyi sambil menyembuhkan luka-lukanya. Bulan yang hanya sepotong di langit perlahan-lahan menggeser dirinya ke arah barat diikuti bintang-bintang yang lenyap satu persatu dari iangit. Seperti seorang ratu agung yang meninggalkan tempatnya dengan diiringi dayang-dayangnya. Sementara langit di timurpun semakin cerah. Sebelum terang tanah, Tong Lam-hou sudah membuka matanya dan bangun dari tidurnya, itu adalah kebiasaannya yang dibawanya sejak ia masih sebagai anak gunung di Tiam-Jong-san dulu, ia harus bergegas-gegas membawa barang-barang hasil kebunnya ke desa Jit-siong-tin dengan berjalan menembus kabut pagi buta. Bahkan kadang-ka-dang ia tidak tidur semalaman jika ia harus menangkap banyak serigala untuk diambil dagingnya. Tong Lam-hou tersenyum sendiri kalau teringat bahwa perburuan serigala di suatu malam telah mempertemukannya dengan seorang prajurit yang luka parah dan hampir mati dikeroyok serigala, dah ternyata prajurit yang ditolongnya itu adalah seorang Panglima dari Hui-liong-kun yang menjadi sahabatnya, dan membawanya ke Ibukota Kerajaan yang berlaksa-laksa li letaknya dari tempat asalnya itu. Cepat Tong Lam-hou pergi untuk membersihkan badannya, di bagian belakang rumahnya didengarnya suara paman dan bibi Ciu yang agaknya sudah datang sepagi itu. Suami isteri tua itu nampak heran bercampur takut ketika melihat kebun belakang itu porak-poranda seperti habis dilewati angin ribut. Tong Lam-hou segera menjelaskah kepada suami-isteri tua itu bahwa semalam dua orang pamannya yang sakit telah "datang berlatih" di tempat itu, dan kedua orang" tua itu tidak perlu takut. Kata Tong Lam-hou, "Siapkan saja sarapan pagi yang hangat untuk dua orang, sebab salah seorang dari pamanku itu masih berada di rumah ini." Paman dan bibi Ciu setengah percaya setengah tidak akan cerita tuan mereka itu, namun merekapun tidak banyak bertanya lagi dan segera menjalankan tugas-tugas mereka masihg-masing. Mereka percaya kalau Tong Lam hou kedatangan kedua orang paman, tapi rasanya sulit dipercaya kalau dua orang manusia yang "berlatih" itu bisa meninggalkan bekas kehancuran seolah-olah tempat itu baru saja untuk bermain-main selusin ekor gajah. “Kalau benar-benar ada manusia seperti itu, wah, luar biasa," kata bibi Ciu sambil masuk ke dapur dengan membawa sepanci air. Sementara paman Ciu menggerutu, "Mudah-mudahan kedua orang paman Siau-ya (tuan muda) itu tidak sering-sering berlatih, kalau tidak, akulah yang mampus karena harus membenahi tempat yang berantakan ini.” Tong Lam-hou mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa, memakai seragam prajuritnya, sebab hari ini semua perwira harus berkumpul di barak Hui-liong-kun untuk mendengarkan penjelasan Pakkiong Liong tentang hasil sidang di Istana Kerajaan pagi ini. Sudah ada kabar angin bahwa Pasukan Hui-liong-kun akan mendapat tugas berat lagi, yaitu menghancurkan pemusatan kekuatan pasukan pemberontak di tempat yang jauh di sebelah barat kota Tay-teng. Kepastian tentang itu akan didengar oleh Pakkiong Liong dalam sidang istana pagi ini, yang dipimpin langsung oleh Sri Baginda Kaisar Sun-ti.... |
Selanjutnya;
|