Pendekar Naga dan Harimau Jilid 18Karya : Stevanus S.P |
Te-liong Hiangcu yang menyamar sebagai He Keng-liang itupur tertawa. "Benar, demi cita-citaku yang besar, aku tidak boleh terpancing keluar oleh orang-orang gila macam mereka berdua itu. Seng Cu-bok, ada berapa orang-orang kita yang sedang ada di Pak-khia ini?"
"Ada sebelas orang termasuk aku sendiri dan Say-ya-jat (si hantu Malam) Tong King-bun," sahut Seng Cu-bok. "Bagus, hubungi mereka dan suruh mereka meninggalkan kota Pak-khia secepatnya, jangan sampai kepergok oleh Siangkoan Hong atau Lim Hong Ping jika iapun ada di kota ini. Setelah itu kaupun harus pergi. Ingat, jangan dengan cara yang menyolok..." "Baik, Hiang-cu." "Dan dengan munculnya si setan Siangkoan Hong itu, hentikan dulu semua kegiatan orang-orang, kita, agar tidak sampai tercium oleh Siangkoan Hong. Selanjutnya, tunggu perintahku." "Baik, Hiangcu. Tetapi kalau aku harus keluar kota, bagaimana dengan tugasku untuk memancing Tong Lam-hou itu?" "Kucabut dulu untuk sementara. Urusan Tong Lam-hou biar kupikirkan perlahan-lahan, aku memang harus membunuhnya agar tidak menjadi duri dalam daging, namun tidak perlu terburu-buru. Eh, dima mana kau lihat Siangko-an Hong tadi?" "Dekat Tiau-yang-kiong sebelah timur Istana Kerajaan...." "Dan di mana rumah prajurit baru yang bernama Tong Lam-hou?" "Di dekat perkampungan orang-orang asing dekat pintu selatan." Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya, sebuah rencana yang jahat muncul dibenaknya. "Letak kedua tempat itu berjauhan satu sama lain. Jika aku datangi Tong Lam-hou dan aku cekik dia di rumahnya sendiri, maka hanya satu kemungkinan berbanding seratus ribu aku kepergok Siang-koan Hong. Satu keuntunganku, aku sudah tahu dimana Siangkoan Hong, sebaliknya ia belum tahu kalau aku ada di kota ini, jadi aku lebih berhati-hati. Lagi pula wujudku sebagai He Keng-liang pasti sulit dikenal olehnya," demikian pikir bekas orang nomor dua di Hwe-iiong-pang itu. "Aku sudah boleh pergi, Hiangcu?" tanya Seng Cu-bok. "Mari kita pergi bersama-sama." "Hiangcu tetap ingin membunuh Tong Lam-hou?" "Ya, tetapi tidak perlu lagi dengan memancingnya keluar segala, akan aku datangi saja rumahnya nanti malam, dan aku bunuh ia di dalam rumahnya. Kalau kupancing ke luar rumah malahan besar kemungkinannya akan bertemu dengan Siangkoan Hong dan urusanku bakal terganggu." "Hati-hatilah, Hiangcu. Dia hampir selalu bersama-sama dengan Pakkiong Liong dan beberapa perwira lainnya." "Hemm, anak-anak ingusan itu tidak kupandang sebelah mata. Lima Pak-kiong Liong dan lima Tong Lam-hou masih belum apa-apa buatku." Demikianlah kedua orang itu keluar dari penginapan itu. Bahkan Seng Cu-bok langsung membawa seluruh bekalnya karena ia akan segera meninggalkan kota Pak-khia bersama rekan-rekan sekomplotannya. "Ah, tuan besar Seng kenapa kau terburu-buru pergi dari penginapanku? Bukankah katamu kau akan di kota ini beberapa hari lagi?" kata si pemilik penginapan, "apakah karena pelayanan kami kurang memuaskan?" "Ya, sangat tidak memuaskan," kata Seng Cu-bok sambil menggunakan telapak tangannya untuk mencengkeram wajah pemilik penginapan itu dan mendorongnya kuat-kuat sehingga jatuh ke lantai. Pemilik penginapan itu dengan wajah pucat menatap kebingungan, entah apa kesalahannya? Ketika sudah agak jauh dari rumah penginapan itu Te-liong Hiangcu bertanya, "Apakah kau selalu bersikap demikian kasar kepada setiap orang?" Seng Cu-bok menyeringai bangga untuk mencari muka dari Te-liong Hiangcu, katanya, "Ya, aku meniru Hiangcu. Tegas, tidak ragu-ragu dan..." "Tolol!" tiba-tiba suara Te-liong Hiangcu menjadi dingin menyeramkan. "Kau sangat tolol. Dengan berbuat kasar dan aneh-aneh di tempat umum seperti itu, kau akan mudah menarik perhatian, dan kerahasiaan komplotan kita akan terancam oleh ulahmu yang memuakkan itu. Aku juga bersikap keras, tapi jika sedang menyamar sebagai He Keng-liang, maka akupun menjadi persis sama seperti si tua tolol Ketua Ho-lian-pay itu. Begitu pula jika aku sedang menyamar sebagai orang lain." Seng Cu-bok menjadi gemetar ketika melihat usahanya untuk menjilat Te-liong Hiangcu itu malahan membuatnya marah. Apakah ia akan dibunuh? Ternyata tidak, Te-liong Hiangcu yang berwujud He Keng-liang itu hanya memberinya teguran keras, "Ingat, ini peringatanku yang terakhir. Jika kelak kau menyamar sebagai apapun, lakukan sebaik-baiknya. Jika kau menjadi penyebab kebocoran rahasia komplotan kita, hati-hatilah dengan batok kepalamu." "Ya... ya... terimakasih, Hiangcu. Aku memang bersalah...." "Nah, kita berpisah di sini. Ingat semua perintahku dan pesanku," "Baik, Hiangcu." Keduanyapun berpisah di tengah jalan, dan Seng Cu-bok boleh menarik napas lega setelah berpisah dengan majikannya yang menakutkan itu. Bukan hanya menakutkan, bahkan juga mempunyai seribu satu macam wajah yang berbeda beda, membuat ia tidak berani berknianat sedikitpun. Selama ini ia hanya tahu bahwa He Keng-liang yang memimpin Ho-lian-pay adalah He Keng-liang palsu, sementara yang asli disingkirkan. Namun wajah He Keng-liang itu hanya satu dari seribu satu wajah Te-liong Hiangcu. Sedang wajah-wajah lainnya tidak diketahuinya. Jika ia berbicara dengan teman-teman sekomplotannya untuk mencocokkan penglihatan mereka tentang Te-liong Hiangcu, maka simpang-siurlah pendapat di antara mereka sendiri. Ada yang bilang Te-liong Hiangcu itu selalu muncul dengan wajah seorang tua yang kurus, lainnya bilang Te-liong Hiangcu itu seorang pemuda yang tampan, lainnya lagi menyebut seorang lelaki berewokan bermuka jelek. Malahan ada yang pernah bertemu Te-liong Hiangcu dalam ujud seorang perempuan ayu. Dengan demikian semua anakbuah merasa terkekang dan tidak berani punya pikiran untuk berkhianat, bahkan merekapun saling mencurigai di antara sesama mereka sendiri, jangan-jangan di antara mereka itu terdapat samaran Te-liong Hiangcu sendiri? Sambil melangkah pergi, Seng Cu-bok menggerutu dalam hatinya, "Inilah harga yang harus kubayar untuk sebuah cita-cita besar yang belum terwujud. Seluruh kebebasanku telah lenyap, seolah-olah Te-liong Hiangcu mengintai dan mendengar segala gerak-gerikku di segala tempat dan keadaan." Sementaraa itu, hari telah malam ketika Tong Lam-hou kembali ke rumahnya yang dihadiahi oleh Peng-po-ceng-tong. Rumah itu tidak besar tidak kecil, sedang-sedang saja, dikelilingi kebun bunga yang teratur rapi dengan rumpun-rumpun bambu kerdil bertebaran di halaman depan dan samping. Agaknya Tong Lam-hou terpengaruh oleh kesederhanaan pengaturan rumah Pakkiong Liong, sehingga rumahnya yang tidak besar itupun diatur dengan gaya yang mirip rumah sahabatnya dan panglimanya itu. Perabotannya sederhana saja, dan banyak yang terbuat dari bambu bertutul-tutul sehingga menimbulkan suasana sejuk di dalam rumah. Ketika Tong Lam-hou datang ke rumahnya dan melihat semua lampu sudah menyala, perabotan teratur rapi dan lantai dalam tersapu bersih, maka tahulah Tong Lam-hou bahwa suami isteri Ciu Toasiok (paman Ciu) yang menjadi pembantu-pembantunya itu sudah mengerjakan tugasnya dengan baik selama ia pergi. Mereka adalah suami isteri setengah baya yang bertempat tinggal selisih dua rumah dari rumah Tong Lam-hou. Dengan upah sekedarnya, mereka akan membantu Tong Lam-hou dalam mengurus rumahnya, dan bibi Ciu menyediakan masakan buatnya. Bukan karena Tong Lam-hou malas, melainkan karena sebagai seorang perwira tugasnya banyak, waktunya tidak seluang dulu lagi, dan Tong Lam-hou ingin agar tugas-tugas perwiranya tidak terganggu oleh urusan tetek bengek seperti menyapu halaman, mencuci piring atau memasak nasi. Semuanya diserahkan kepada paman Ciu dan isterinya, hitung-hitung memberi tambahan penghasilan kepada suami-isteri itu. Sore itu Tong Lam-hou baru saja ikut melatih pasukan di luar kota Pak-khia, tubuhnya masih berlapis debu dan keringat, pakaian seragam perwiranya yang masih baru itupun nampak kotor oleh debu. Ketika ia melangkahi ambang pintu, ia tersenyum sendiri ketika melihat lilin-lilin sudah menyala, dan di ruangan dalam sudah tersedia hidangan yang tergelar di atas meja. Semuanya masih tertutup di bawah tudung bambu, namun sayup-sayup hidung Tong Lam-hou dapat mencium bau sayur lobak kesukaannya di antara bau-bau lainnya. "Bibi Ciu tidak melupakan pesannanku," kata Tong Lam-hou seorang diri sambil tertawa. "Tetapi masakan sayur lobaknya tentu tidak dapat menandingi hasil karya ibu." Sekilas ia teringat kepada ibunya yang terpisah berpuluh-puluh ribu li di Tiam-jong-san sana. Di dalam sebuah gubuk terpencil di lereng gunung, tidur meringkuk di bawah selimutnya yang kumal dan robek-robek, dan Tong Lama-hou Juga tahu bahwa ibunya pasti sangat kangen kepadanya. Hampir-hampir Tong Lam-hou meneteskan air matanya, namun dikuat-kuatkannya hatinya. “Begitu aku mendapat cuti pertamaku, aku segera menjemput ibu ke rumah ini," demikian rencananya dalam hati. "Saat-saat dekat ini kita belum bisa berkumpul ibu, sebab aku sudah mendengar kabar angin bahwa pasukan kami akan mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan di daeah Tay-teng. Dan aku sebagai prajurit baru akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan baktiku kepada Negara dan Kaisar. Aku akan membuat pahala yang besar! sehingga namaku harum, dan kelak ibu akan bangga kepadaku." Ketika ia mendengar suara daun pintu berderak tertiup angin, maka Tong Lam-hou tersentak dari lamunannya. Lalu ia tertawa sendiri dan dirasakannya perutnya yang lapar. Dilepaskannya ikat pinggang kulitnya di mana pedangnya tergantung dalam rangkanya, dan digantungkannya di dinding ruangan tengah. Kemudian ia pun melangkah untuk membersihkan diri. Ia benar-benar tinggal seorang diri di rumah itu. Paman dan bibi Ciu yang membantunya itu hanya berada di rumah itu dari pagi sampai sore, dan malamnya mereka pulang ke rumahnya masing-masing karena merekapun punya beberapa anak yang harus mereka urus. Selesai mandi, dan memakai pakaian ringan, Tong Lam-hou mulai membuka tudung bambu itu. Mangkuknya sudah terisi nasi yang sudah agak dingin, namun ia tak peduli dan langsung meraih mangkuk berisi sayur lobak kesayangannya. Namun begitu ia mengaduk sayur itu dengan sumpitnya, terkejutlah Tong Lam-hou. Di dalam kuah itu, di dasar mangkuk, ternyata ada seekor kalajengking berwarna hijau tua yang sangat beracun. Jika kalajengking itu sudah "Berendam" di dalam kuah sayur lobak itu sejak tadi, maka racunnya tentu sudah mencemari makanan kesayangan Tong Lam-hou itu, dan tentu saja tidak bisa dimakan lagi kecuali kalau kepingin mampus. Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepala sambil mendorong mangkuk itu menyingkir dari hadapannya. Desahnya, "Ah, bibi Ciu berbuat ceroboh hari ini. Bagaimana mungkin seekor kalajengking bisa masuk ke dalam sayurannya?" Lalu diraihnya mangkuk lauk lainnya, namun sekali lagi Tong Lam-hou dikejutkan dengan penemuan seekor kalajengking pula di kuah tahu itu. Dari jenis yang sama. Lalu dibukanya mangkuk-mangkuk lainnya, semuanya ternyata telah diracuni! Bahkan nasi yang hanya sebakul kecil itupun sudah beracun semua. Tong Lain-hou menjadi curiga, ini pasti bukan sekedar keteledoran bibi Ciu. Ini adalah suatu kesengajaan untuk membunuhnya. Tapi siapa? Apakah bibi Ciu yang kelihatan baik dan ramah itu ingin membunuhnya? Tengah Tong Lam-hou kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa seram bergema di ruangan itu. Dengan terkejut Tong Lam-hou memutar tubuh dan bersikap siaga, ia terkejut karena ada orang dapat masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya, menandakan bahwa ilmu orang itu amat tinggi. Tong Lam-hou yang sejak meninggalkan Tiam-jong-san belum pernah kalah berkelahi itu, kini diam-diam merasa waswas. Pada pintu yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah, nampaklah orang tertawa seram itu, dan ujudnyapun ternyata seseram suara tertawanya tadi. Ia berpakaian serba hitam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, namun wajahnya tertutup selembar topeng dari perunggu yang ber-bentuk tengkorak yang mengerikan, berkilat kehijau-hijauan. Sementara sepasang mata dari balik topeng itu lebih pantas disebut sebagai mata iblis dari pada mata manusia. Dan dengan sikap seenaknya orang itu berdiri bersandar ambang pintu sambil berpeluk tangan. “Sialan kau, bangsat kecil, kenapa tidak kau telan saja makanan beracun itu agar aku tidak usah mengeluarkan keringat untuk mencekikmu hingga mampus?" geram orang bertopeng tengkorak itu. "Siapa kau? Apakah di antara kita ada permusuhan sehingga kau bermaksud membunuhku?" bentak Tong-lam-hou yang tetap dalam sikap siaga. Orang itu tidak merubah sikapnya yang santai, dan jawabnya dingin, "antara aku dan kau memang benar tidak bermusuhan. Ketika aku malang-melintang di rimba persilatan, barangkali kau masih mendekam dalam perut ibumu." "Lalu kenapa kau ingin membunuhku?" "Karena kau adalah anak Tong-wi-siang. Jadi kematianmu malam ini, anak manis, bukan karena kesal karenamu tetapi karena orang tuamu." Bergetarlah dada Tong Lam-hou mendengar orang bertopeng tengkorak itu sudah menyebut-nyebut tentang ayahnya. Namun sebagai seorang anak muda berwatak jantan, ia pantang mengingkari ayahnya sendiri hanya untuk mencari keselamatan diri, malahan ia menyahut dengan bangga, "Memang, akulah Tong Lam-hou anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa. Kau sendiri siapa?" "Menjelang ajalmu biar aku berterus-terang kepadamu supaya kelak arwahmu tidak menjadi setan penasaran yang berkeliaran mengganggu penduduk di sekitar sini. Dengar baik-baik. Dulu aku adalah saudara seperguruan ayahmu, gelarku dalam Hwe-liong-pang adalah Te-liong Hiang-cu." Tiba-tiba dada Tong Lam-hou terguncang keras sekali, darahnya mendidih dan kemarahan mulai membakar jiwanya. Ia pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya punya tiga orang saudara seperguruan, namun salah seorang dari mereka telah berkhianat bersama pengikut-pengikutnya, sehingga Hwe-liong-pang yang dengan susah-payah didirikan oleh ayahnya itu hancur berantakan karena perpecahan. Bahkan Te-liong Hiangcu pernah berkomplot dengan penguasa dinasti Beng untuk menggempur markas perkumpulannya sendiri. Secara tidak langsung, bolehlah dianggap bahwa Te-liong Hiangcu inilah yang membunuh ayahnya. Maka dalam diri Tong Lam-hou tiba-tiba berkobar dendam hebat untuk membalas sakit hati ayahnya yang sejak kecil belum pernah dilihatnya itu. "Jadi kau adalah saudara seperguruannya yang berhati khianat itu?" kata Tong Lam-hou marah sambil menudingkan jarinya. Terlalu yakin akan dirinya, maka Te-liong Hiangcu sama sekali tidak ingkar semua perbuatan masa lalunya, "Benar, karena ayahmu terlalu lunak memegang pimpinan Hwe-liong-pang, maka aku mencoba merebut kekuasaannya untuk menjadikan Hwe-liong-pang sebuah perkumpulan yang kuat. Itulah sebabnya aku bermusuhan dengan ayahmu, dengan pengikut kami masing-masing." "Aku... aku harus membunuhmu!" teriak Tong Lam-hou. Dijawab oleh Te-liong Hiangcu dengan dingin, "Akupun harus membunuhmu. Marilah kita lihat, siapa yang akan terbunuh oleh siapa." Dengan darah yang mendidih. Tong Lam-hou mulai menyerang. Bahkan dalam gebrakan pertama ia langsung telah mengerahkan Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu, untuk membuat lawan mati membeku. Jurus yang digunakan adalah Tek-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san), kepalannya dengan keras menghantam ke kepala lawan. Te-liong Hiangcu yang tadinya memandang remeh lawannya itu, terkejut bukan main ketika melihat gerakan Tong lam-hou yang begitu kuat dan cepat, bahkan pukulannya membuat udara seisi ruangan itu jadi beku menggigilkan tulang. Namun bekas orang nomor dua di Hwe-liong-pang itu masih sanggup berkelit ke samping dan lolos dari pukulan. Tong Lam-hou yang telah dibakar kemarahan itu menerjang terus, tanpa memutar tubuh ia langsung memakai gerakan Sia-hui-si i Jurus Terbang Miring), kepalannya berubah menjadi sabetan telapak tangan ke pundak lawannya. Kembali angin maha dingin bagaikan berpusar dalam ruangan itu. Kalau bukan Te-liong Hiangcu, barangkali dalam pukulan pertama saja sudah akan mati beku. Namun Te-liong Hiangcu adalah saudara seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa, ilmunyapun hampir setingkat dengan Tong Wi-siang dan bahkan dalam tahun-tahun terakhir ini Te-liong Hiangcu rajin menyempurnakan ilmunya demi ambisinya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Ketua Rimba Persilatan). Maka serangan serangan dahsyat bertubi-tubi dari Tong Lam-hou itu tidak dapat memojokkannya, bagaikan bayangan hantu saja ia dapat berkelit ke sana kemari, bahkan masih sempat mengejek, "Sebagai balas budiku kepada ayahmu yang dulu pernah membimbingku dalam ilmu silat, baiklah aku akan mengalah tiga pukulan kepadamu. Tetapi setelah itu, mati hidupmu tergantung belas kasihanku!" “Tutup mulutmu!" teriak Tong Lam-hou geram karena pukulan-pukulannya dapat dihindari dengan mudah. Ketika melihat musuhnya tersudut di pojok ruangan, maka Tong Lam-hou segera menggempurnya dengan Wan-yo-hoan-tui (Tendangan Beruntun Burung Wan-yo) ke arah lutut, perut dan dagu orang bertopeng tengkorak itu. Tapi lagi-lagi serangan itu luput, malah terdengar Te-liong Hiangcu membentak, "Aku sudah mengalah tiga jurus. Sekarang terima seranganku!" Bagaikan segumpal awan hitam pekat yang berhembus dengan kecepatan tinggi, Te-liong Hiangcu tiba-tiba menubruk dengan dahsyatnya. Tong Lam-hou yang berilmu tinggi itupun sampai tidak dapat melihat bagaimana gerakan kaki atau tangan Te-liong Hiangcu. Hanya dirasakannya bahwa udara bertekanan berat telah menyesakkan dadanya. Sejak turun gunung dan berkelahi dengan beberapa orang lawan, inilah untuk pertama kalinya Tong Lam-hou merasa gugup, lawan bergerak terlampau cepat dan melebihi kecepatannya sendiri. Untung-untungan Tong Lam-hou menjatuhkan dirinya terlentang sambil menjejakkan kedua kakinya ke arah tubuh lawan yang berkelebat di atas tubuhnya. Ia berhasil lolos namun jejakan kakinyapun tak membawa hasil dan hanya mengenai angin. Tubuh lawan meluncur dan menabrak tembok sehingga jebol, namun lawannya seolah tidak merasa kesakitan sedikit pun, dan dengan dua gerakan manis di udara Te-liong Hiangcu telah mendarat di halaman. Tak kurang satu apa, hanya pakaian hitamnya yang agak kotor kejatuhan tembok. Tong Lam-hou menarik napas dingin, sadarlah ia bahwa ia telah kebentur seorang musuh tangguh yang entah bisa dikalahkannya entah tidak. Tetapi anak Tong Wi-siang itupun berwatak pantang menyerah seperti bapaknya dulu, meskipun harus mati, paling tidak ya harus bertempur sekuat tenaga lebih dulu. Cepat ia meloncat bangun dan menghunus pedangnya yang tergantung di dinding, lalu iapun memburu ke halaman belakang. Di tengah-tengah halaman belakang tempat biasanya Tong Lam-hou berlatih silat setiap pagi itu, Te-liong Hiangcu berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Matanya yang bersinar seram itu berkeredap dari balik topeng perunggunya yang hijau kekuning kuningan. Ketika melihat Tong Lam-hou memburunya keluar dengan pedang di tangan, ia tertawa dingin, "Bagus, kau benar-benar anak yang berani. Kau tidak memalukan ayahmu dan juga gurumu si tua kluntang-klantung Tiam-jong-lo-sia itu. Akupun sebagai paman gurumu seharusnya bangga juga kepadamu, tapi sayang, aku tetap harus membunuhmu." Bicara sampai di sini, Te-liong Hiangcu menatap wajah Tong Lam-hou dari balik topengnya, la mengharap akan melihat anakmuda she Tong Itu menggigil ketakutan. Namun Te-liong Hiangcu kecewa. Tong Lam-hou tidak kelihatan gentar sedikitpun, dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya, wajah yang terangkat dan mata yang tajam menatap langsung ke pusat mata lawannya tanpa keder seujung rambutpun. Diam-diam Te-liong Hiangcu kagum juga, sikap itu mengingatkannya kepada sikap kakak seperguruannya yang sudah dikhianatinya, Tong Wi-siang, dan sikap Tong Wi-siang dan sikap Tong Lam-hou yang mirip sikap mendiang ayahnya itu telah membuat Te-liong Hiangcu semakin bernafsu untuk membunuhnya. Katanya lagi, "Tetapi aku seorang paman guru yang baik, aku tidak akan nembunuhmu dengan sekali pukul. Sebelum kau mati, kau boleh menyaksikan Jurus-jurus ampuhku, warisan dari Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan-Bu-san), hitung-hitung sebagai bekalmu dalam perjalanan ke akherat." Tong Lam-hou sudah tidak sanggup berkata sepatah katapun karena marahnya, disertai bentakan keras ujung pedangnya berkelebat bagaikan kilat dengan Jurus Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Api Membakar Langit), dan ketika lawan melangkah mundur maka ia cepat putar tubuhnya dan menyusulkan serangan Hoa-sin-hian-kiam (Memutar Tubuh Mempersembahkan Pedang) yang dilakukan amat cepat. Namun serangan-serangannya yang begitu cepat itu gagal semua karena ketangkasan lawannya. "Bagus!" teriak Te-liong Hiangcu mengejek. "Anak yang berbakat, sekarang coba lihat jurusku yang bernama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Terbang Bergentayangan)!" Begitu habis kata-katanya, maka mata Tong Lara-hou pun seolah-olah jadi kabur karena lawan bergerak cepat sekali. Tubuhnya melayang bagaikan sesosok arwah benar-benar, dan mengelilingi tubuh Tong Lam-hou sehingga anak muda itu kebingungan karena tidak tahu arah serangan lawan. Tahu-tahu terasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya terlempar bergulingan beberapa langkah, tanpa daya sedikitpun seperti seorang yang tidak mahir bersilat sedikitpun. Ketika Tong Lam-hou melompat bangun kembali, maka pedangnya sudah tidak ada di tangannya lagi, namun tergeletak beberapa langkah daripadanya. Cepat-cepat disambarnya pedangnya untuk menghadapi lawannya yang berdiri santai sambil bertolak pinggang itu. "Nah, kau sudah melihat satu jurus hebatku. Kau masih ada kesempatan untuk melihat dua jurus lagi, setelah itu kau akan menyusul ayahmu." Tong lam-hou menjadi geram, kakinya melangkah maju dengan cepat sambil gerakkan pedangnya dengan Lian-noan-an-kiam (Tiga Kali Sabetan Pedang) yang gencar, lalu tubuhnya tiba-tiba meloncat ke atas dan menyerang dengar gerakan Sin-liong-jip-hai (Naga Malaikat Terjun Ke Laut), pedangnya membabat dari atas ke bawah.... |
Selanjutnya;
|