Pendekar Naga dan Harimau Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 18

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
DI antara bekas tahanan yang dibebaskan itu, ada seorang pendekar dari Bu-tong-pay bernama Thia Ji-hong. Ketika mendengar Te-sian Tojin sebagai sesama murid Bu-tong-pay mengalami kesulitan, maka Thia Ji-hong segera berteriak, "Aku akan bergabung dengan Te-sian Suheng agar ia dapat mempercepat gerakannya kemari! Siapa ikut aku!"

Beberapa orang segera menyatakan ikut, bahkan Bu-teng Hweshio juga ikut. Maka kelompok ini dengan dipelopori oleh Thia Ji-hong segera menyibak kepungan musuh untuk mencapai tempat Te-sian Tojin dan regunya.

Bu-sian Hweshio sebagai pimpinan seluruh regu segera berteriak, "Jangan pergi menolong Te-sian Tojin semuanya? Cukup enam atau tujuh orang! Lainnya pergi ke sebelah timur untuk menolong regu Pangeran Cu Leng-ong!"

Beberapa orang nampak enggan ketika ditunjuk untuk menolong Pangeran Cu Leng-ong dari dinasti Beng yang biasanya nampak angkuh dan berlagak sebagai bangsawan itu, namun perintah Bu-sian Hweshio tidak dapat mereka bantah. Rombongan segera terbagi, sebagian ke barat untuk menolong regu Te-sian Tojin, sebagian lagi ke timur untuk menolong regu Jit-goat-pang yang keadaannya malah lebih parah dari regu Te-sian Tojin.

Karena Te-sian Tojin yang bertugas menjaga agar pintu gerbang penjara tetap tertutup itu telah meninggalkan tempat tugasnya, maka prajurit musuh berhasil membuka pintu gerbang dari segera mengirim orang ke tangsi untuk meminta bantuan.

Tepat ketika regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong berhasil bergabung, dengan melangkahi prajurit-prajurit musuh namun juga dengan kehilangan beberapa anggota regu, maka dari arah pintu gerbangpun terdengar sorak-sorai dari bala bantuan yang datang. Bukan hanya ratusan, tetapi seribu orang prajurit yang dipimpin langsung oleh putera Pakkiong An, yaitu Pakkiong Hok. Disertai pula belasan orang jago-jago silat sewaan Pakkiong An.

Semua pejuang sadar bahwa jika bala bantuan musuh sampai tiba di kaki dinding selatan itu, maka biarpun punya sayap diri mereka akan tertumpas habis tanpa ampun di tempat itu. Setangguh-tangguhnya seorang pendekar silat, mana bisa ia melawan ribuan prajurit?

Maka Bu-sian Hweshio segera meneriakkan perintah, "Regu Te-sian dan regu Pangeran Cu Leng-ong mulai memanjat!"

Kedua regu yang diperintahkan itupun segera memanjat ke dinding. Khusus untuk rencana serangan ini, memang setiap orang sudah berlatih khusus memanjat tali dengan cara yang cepat. Namun bagi orang-orang yang memiliki gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang tinggi, tali-tali itu tidak dibutuhkan, cukup dengan sekali loncat seperti seekor burung saja mereka sudah berhasil mencapai dinding bagian atas.

Namun tidak semua orang yang memanjat itu mencapai dinding atas dengan selamat. Beberapa dari mereka berteriak ngeri ketika punggung mereka terkena lembing-lembing pasukan musuh yang dilontarkan dengan derasnya. Susul-menyusul setiap regu naik ke tembok. Bu-sian Hweshio sendiri naik paling akhir, ia didampingi oleh Tong Wi-hong, Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio untuk bertahan paling bawah dan paling akhir.

Kemudian setelah seluruh teman-teman mereka berada di atas tembok, barulah mereka berempat meloncat ke atas. Diam-diam semua orang mengagumi keberanian keempat orang itu, yang rela membahayakan diri sendiri demi keselamatan seluruh regu. Sementara itu, sebagian dari pasukan musuh yang datang telah diperintahkan oleh Pakkiong Hok untuk naik ke atas tembok dengan melewati tangga batu di dekat pintu gerbang.

Prajurit-prajurit yang naik segera terlibat pertempuran dengan para pejuang yang sudah berjaga-jaga di atas tembok. Namun akal Pakkiong Hok itu tidak berhasil menahan musuh untuk meloloskan diri. Satu persatu para pejuang itu meloncat ke sebelah luar tembok atau turun, dan mereka melenyapkan diri di luar tembok.

Prajurit-prajurit musuh tidak berani mengejar, sebab tidak banyak di antara mereka yang berani meloncat dari dinding setinggi itu. Yang bisa meloncatpun ragu-ragu, jika mereka sampai sibuk mencari tangga untuk turun dari atas, bukankah mereka akan menjadi makanan empuk senjata musuh?

Kini tinggal kehancuranlah yang ditinggalkan oleh para penyerang iitu. Para penyerang itu sendiri meninggalkan belasan teman-teman mereka yang telah menjadi mayat, namun kerugian di pihak pasukan Ui-ih-kun jauh lebih besar karena serangan mendadak yang di luar perhitungan itu. Hampir seratus orang yang tewas, sementara yang luka-luka Jauh lebih banyak lagi.

Kerugian pasukan Ui-ih-kun bukan cuma dalam hal korban prajurit, tetapi juga keruntuhan semangat prajurit-prajurit itu, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Mereka yang berjumlah berratus-ratus telah dikalahkan oleh musuh yang jauh lebih kecil jumlahnya.

Melihat prajurit-prajuritnya patah semangat, Pakkiong Hok bertindak cukup pintar untuk tidak memarahi mereka. Jika dimarahi semangat mereka akan semakin jatuh, maka Pakkiong Hok justru berusaha membangkitkan kembali semangat yang hampir padam itu,

"Jangan patah semangat! Orang-orang yang menyerang kita tadi memang jagoan-jagoan silat tingkat atas, namun keberhasilan serangan mereka bukan karena kita lemah! Ingat, kalian adalah prajurit-prajurit perkasa dari sebuah kerajaan yang agung! Beberapa tahun yang lalu, kita dengan jumlah yang sedikit bukankah berhasil juga mengalahkan pasukan Li Cu-seng yang jauh lebih besar jumlahnya? Dan kita berhasil pula menguasai negeri ini bukan?"

Ucapan Pakkiong Hok itu agak manjur juga. Beberapa perwira yang semangatnya hampir padam telah menegakkan kembali kepala mereka, bahkan mereka langsung memancang tekad dalam hati, "Ya, kekalahan dalam suatu pertempuran adalah hal yang wajar. Selama setahun dua tahun terakhir ini pasukan Ui-ih-kun memang jarang berlatih, kalaupun berlatih hanyalah seperti gerak badan biasa saja dan sekedar mencari keringat, sedangkan Hui-liong-kun berlatih berat dua hari sekali tanpa ada tahun-tahun yang kosong. Pantas mereka selalu berhasil dalam tugas, sedang kami semakin merosot. Besok aku akan usul kepada Pakkiong Ciangkun agar latihan-latihan seperti dulu digalakkan lagi."

Sementara Itu Pakkiong Hok segera memerintahkan, "Hubungi Kiau-bun Te-tok (Panglima yang mengawasi sembilan pintu gerbang Ibukota) agar semua pintu ditutup. Lainnya pulang ke tangsi untuk memberitahu agar seluruh pasukan bersiap, sebelum fajar kita akan mengadakan penggeledahan di seluruh kota."

Sementara Pakklong Hok masih punya harapan untuk menemukan kembali orang-orang yang menyerang penjara itu, meskipun tidak semuanya, maka di rumahnya yang besar dan indah itu Pakklong An menerima laporan kejadian di penjara itu dengan mata hampir melompat keluar dari rongga kepalanya.

Kepada Hehou Im yang melaporkan hal itu, panglima tua itu menuding sambil berteriak, "Kau bilang orang yang bernama Te-liong Hiangcu itu dapat dipercaya untuk diajak bekerja-sama sepenuh hati, tetapi sekarang buktinya bagaimana? Ia mengatakan para pemberontak akan menyerang sehabis hari pelantikan prajurit, namun ternyata sekarang malahan sudah bergerak. Mengobrak-abrik anak buah kita seolah-olah kita ini adalah orang-orang tolol pemakan tahi belaka! Bagaimana aku punya muka untuk menghadap Sri Baginda dalam persidangan pagi nanti? Sri Baginda semestinya sudah mendengar berita ini, dan lebih celaka lagi kalau beliau mendengarnya dari orang-orang yang tidak menyukai kita!"

Demikianlah, meskipun Pakkiong An seorang berdarah bangsawan dan cukup terhormat pula, namun kalau sudah marah tidak ada bedanya dengan orang-orang kalangan rendahan. Kata-kata kotor apapun diucapkannya. Hehou Im sempat menghitung panglima tua itu mengucapkan "pemakan tahi" duapuluh tiga kali, "pantat nenekmu" sebelas kali, "cucu kura-kura" enambelas kali dan macam-macam lagi. Selama itu Hehou Im membungkam seribu bahasa, sebab ia paham benar watak panglima tua itu, jika dibantah maka segala "gelar kehormatan" seperti cucu kura-kura dan sebagainya itu bakal dianugerahkan kepadanya.

* * * * * * *

BERITA pembongkaran penjara itu membuat. Pakkiong Liong masgul sekail. Susah-payah la menangkap Pangeran Cu hin-yang dan Li Tiang-hong sampai harus berkeliaran di padang ilalang di Hun-lam yang jauh sana, dan beberapa anakbuahnya telah gugur dalam tugas maha berat itu, bahkan dirinya sendiri hampir kehilangan nyawa beberapa kali. Dan tahu-tahu kini ia mendengar bahwa tawanan yang ditangkapnya dengan susah-payah itu sudah kabur kembali karena kelengahan pamannya.

Jika ia tidak mengingat bahwa Pakkiong An itu adalah adik ayahnya, ingin rasanya ia mencaci-maki panglima tua itu untuk melampiaskan kekesalannya. Namun kini kekesalannya itu hanya dapat disimpannya dalam hatinya sendiri, paling-paling diutarakan kepada sahabatnya yang paling dekat dengannya, Tong Lam-hou.

"Jadi pemimpin dari orang-orang yang menyembelih seisi desa Jit-siong tin itu lepas kembali?" tanya Tong Lam hou dengan geramnya, ketika mendengar cerita Pakkiong Liong itu.

"Ya.”

Wajah Tong Lam-hou nampak sekali menyembunyikan gejolak kemarahan. Baginya, pembunuh-pembunuh kejam yang bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu harus dihukum tanpa ampun. Baik dia sebagai Tong Lam-hou pribadi maupun sebagai prajurit Kerajaan Manchu yang baru tadi pagi dilantik, kewajiban untuk memburu penjahat-penjahat itu akan tetap dipikulnya.

Namun sekarang dia sudah berkedudukan sebagai prajurit, bahkan seorang perwira berpangkat cong-peng, sehingga sebagai prajurit tidak sebebas dulu lagi. Ia terikat kepada kesatuannya, Hui-liong-kun, dan segala tindakannya tidak boleh lagi semaunya sendiri. Panggilan "A-liong" kepada sahabatnya itu juga hanya bisa diucapkan jika masing2 tidak sedang mengenakan seragamnya. Jika dalam seragam, maka Tong Lam-hou harus memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan "Pakkiong Ciangkun" seperti lain-lainnya, supaya tata tertib ketenteraman tidak dirusak.

"Rasa-rasanya beberapa teman kita yang berkorban di padang ilalang di Hun-lam itu menjadi korban nyawa yang sia-sia," kata Tong Lam-hou sambil menarik napas.

"Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan, yang penting malam nanti kau harus menjamu makan aku dan teman-teman lainnya di rumahmu yang baru," kata Pakkiong Liong mengalihkan pembicaraan. "Sebagai perayaan atas keberhasilanmu menjadi seorang prajurit dari sebuah Kerajaan yang agung. Bahkan dalam ujian hari ketiga kau telah menunjukkan ilmu silatmu dengan baik sekali, sehingga pangkat cong-peng, langsung kau raih."

"Ah, itu hanya keberuntungan saja."

"Tidak, kau memang pantas menyandang pangkat Congpeng yang cukup tinggi itu. Bahkan kau pantas menjadi seorang Panglima, namun memang belum ada kedudukan Panglima yang lowong saat ini."

Tong Lam-hou tertawa. "Aku tidak ingin menjadi panglima segala, A-liong. Kedudukan yang kudapat sekarangpun sudah sangat menyenangkan aku. Yang penting aku dapat mengabdikan diriku kepada negara dan kaisar, sehingga negeri ini secepatnya mencapai ketenteraman untuk memberi kesempatan kepada penduduknya untuk bekerja dengan rasa aman."

"Bagus kalau kau sadari hal itu. Kedudukan kita ini sering disalah-gunakan orang, dianggap memberi kemudahan-kemudahan untuk kepentingan pribadi, namun sesungguhnya ini adalah pengabdian. Bahkan kalau perlu kita gugur di medan laga demi kejayaan negara."

"Benar, A-liong."

"Aku jemu berada di rumah tanpa pekerjaan, bagaimana kalau kita lihat pemandangan indah di luar kota?"

"Aku setuju saja. Bersama Ha To-Ji dan Han Yons-kim pula?"

Pakkiong Liong tersenyum menggoda. "Tentu saja mereka kita ajak, Tapi aku tahu bahwa yang ingin kau tanyakan sebenarnya bukan mereka bukan?"

Muka Tong Lam-hou menjadi agak merah dan ia tertawa kikuk, sementara Pakkiong Liong berkata lagi sambil tertawa, "Tentu saja adik sepupuku yang cerewet dan gemar mencubit itu harus ikut. Kalau ia tahu bahwa kita pergi tetapi tidak mengajaknya, besok pasti kulit lenganku akan mengelupas karena dicubitinya habis-habisan."

Tong Lam-hou merasa lega juga, daya tarik gadis Manchu yang bernama To Li-hua itu terasa makin lama makin kuat sampai ia merasa bahwa dirinya sudah terikat dan tidak bisa berpisah lama dengan gadis itu. Kadang-kadang timbul keinginan Tong Lam-hou untuk menjemput ibunya di Tiam-jong-san sana, untuk diboyong ke Pak-khia untuk ditunjuki rumahnya yang besar, sebab sebagai perwira berpangkat cong-peng ia berhak mendapatkan sebuah rumah yang cukup besar. Namun lebih dari itu. Tong Lam-hou ingin mendekatkan ibunya dengan To Li-hua. Keduanya adalah perempuan-perempuan penting bagi kehidupan Tong Lam-hou.

Demikianlah, sementara Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan lain-lainnya meneyegarkan diri di luar kota Pak-khia maka di ruangan belakang rumah gedung Pakakiong An yang tertutup,tengah berlangsung sebuah pertemuan rahasia.

Pakkiong An duduk didampingi puteranya, Pakkiong Hok, serta beberapa perwiranya yang terpercaya yang diikutsertakan dalam komplotan rahasianya. Hehou Im dan Ibun Hong rampak di antara mereka, dan di hadapannya pula duduklah sekutu barunya yang datang dan pergi seperti siluman tak berbadan kasar saja, Te-liong Hiangcu.

"Semuanya tidak bisa ditimpakan ke pundakku sebagai kesalahanku," kata Te-liong Hiangcu dengan suaranya yang bergulung-gulung dalam perut itu. Matanya, satu-satunya bagian tubuhnya dari kepala sampai kaki yang tidak tertutup kain hitam, nampak mencorong memandang Pakkiong An dengan tajamnya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, "Adalah di luar dugaan bahwa si keledai gundul Bu-sian Hweshio itu tiba tiba mengajukan saat serangan itu....”

"Tetapi bukankah Hiangcu ada di antara mereka dan Hiangcu bisa bersuara untuk menentang pengajuan rencana serangan itu?" tanya Pakkiong Hok dengan suara tajam.

"Dalam tubuh kaum pemberontak itu, aku hanya menyamar sebagai seorang tokoh kecil yang tidak banyak berpengaruh. Aku sudah mengusulkan agar saat penyerangan itu tidak dimajukan, dengan berbagai alasan yang kira-kira bisa diterima mereka. Namun semua usul usul mereka tolak mentah-mentah, dan dalam penyamaranku gerak-gerikku terbatas pula, sehingga aku terpaksa hanya mengikuti arus saja."

"Tapi bukankah Hiangcu sebenarnya dapat memberi isyarat-isyarat kepada kami sehingga kamipun dapat bersiap-siap?" tanya Pakkiong Hok lagi.

"Mana sempat aku memberi isyarat. Malam itu juga mereka langsung membagi bagi seluruh rombongan menjadi regu-regu dengan tugas yang berbeda-beda, dan langsung berangkat pula ke sasaran. Aku termasuk dalam salah satu kelompok, dan sepanjang jalan aku benar-benar tidak punya kesempatan sedikitpun untuk memisahkan diri. Aku tidak ingin mengorbankan penyamaranku yang telah berjalan dengan baik selama bertahun-tahun," sahut Te-liong Hiangcu.

Pakkiong Ar. dan lain-lainnya sebenarnya masih belum puas dengan jawaban Te-liong Hiangcu itu, namun mereka tidak dapat mendesak lebin lanjut. Mereka kuatir membuat marah orang yang gerak-geriknya mirip siluman itu, dan jika sampai ia marah, maka celakalah orang yang membuatnya marah. Hidupnya tidak akan tenang lagi sebab setiap saat batok kepalanya akan diambil. Ibun Hong yang pernah melihat keganasan Te-liong Hiangcu, lebih-lebih tidak berani bersuara sedikitpun. Ia hanya mengikuti pembicaraan, sambil berusaha mencari kedudukan yang paling aman buat dirinya.

Sementara itu, suara Te-liong Hiangcu mulai mengeras, "Kalian kira aku ini apa? Seorang tertuduh di depan pengadilan dan kalian adalah penuntut-penuntutnya? Aku tidak sudi diperlakukan demikian. Aku sudah menjalankan kerjasama dengan baik, tetapi pihak kalianpun tidak bersih dari kesalahan dalam hal kebobolan penjara itu."

"Dapatkah Hiangcu menyebutkan kesalahan kami?”

"Kalian kurang rapat menyimpan rahasia. Mata-mata kaum pemberontak itu bahkan tahu kalian mempersiapkan diri untuk menjaring mereka, itu berarti ada perwira bawahan Pakkiong Ci-angkun yang membocorkan rencana untuk menjaring mereka. Bahkan para pemberontak itu memiliki sebuah peta lengkap yang menggambarkan keadaan penjara, kata pengemis yang bernama Sun Ciok-peng itu, peta itu didapatkan dari seorang perwira bawahan Ciangkun yang telah disuapnya. Nah, bukankah kebocoran ini datang dari pihak kalian? Kenapa sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadaku?"

Di hadapan seorang Panglima Besar seperti Pakkiong An ternyata sikap Te-liong Hiangcu tetap saja beringas, rupanya ia sangat percaya akan ketinggian ilmunya sendiri, sehingga siapapun tidak ditakutinya. Tetapi terhadap Pakkiong An sendiri ia masih berusaha bersikap sungkan, sebab ia tahu bahwa perwira tua itu merupakan alat yang banyak gunanya dalam ambisinya untuk mencapai kedudukan Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan). Pakkiong An juga memiliki pengaruh terhadap beberapa Panglima atau Penguasa-penguasa di daerah-daerah tertentu, sehingga di bawah pengaruhnya ada ratusan ribu prajurit yang tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sedang Pakkiong An yang masih membutuhkan kerjasama dengan "manusia siluman" yang dapat menusup ke segala tempat itu, juga bersikap sungkan kepada Te-liong Hiangcu. Ketika ia melihat anaknya hendak mendebat lagi kepada Te-liong Hiangcu yang berpakaian serba hitam dan berkerudung hitam pula itu, maka Pakkiong An cepat-cepat mengangkat tangannya sebagai isyarat agar anaknya diam dulu. Lalu berkatalah Pakkiong An,

"Yang sudah lalu biarlah lalu, toh andaikata kita berdebat semalam suntuk di tempat ini, keadaan tidak akan berubah. Yang penting, kita harus saling percaya, dan kita tetapkan langkah langkah kita berikutnya."

Kepala Te-liong Hiangcu yang terbungkus kain hitam dan hanya kelihatan matanya itu kelihatan terangguk-angguk. "Itulah sikap yang bijaksana dari Pakkiong Ciangkun. Kita saling membutuhkan, itu harus kita akui."

Yang merasa kurang senang hanyalah Pakkiong Hok. Sejak semula putera Pakkiong An ini memang sudah merasa tidak setuju kenapa ayahnya bersekutu dengan mahkluk serba hitam ini? Bagi Pakkiong Hok, itu sangat merugikan pihaknya, sebab pihaknya ibaratnya berada di tempat terang sedangkan sekutunya ada di tempat gelap. Te-liong Hiangcu tahu rumah Pakkiong An, tahu semua anggota komplotannya dan tahu pula rencana-rencananya. Sebaliknya pihak. Pakkiong An tidak tahu dimana tempat tinggal Te-liong Hiang-cu, bahkan wajahnyapun tidak diketahui.

Namun semuanya sudah terlanjur, persekutuan itu sudah terlanjur terjadi dan untuk memutuskan begitu saja tentu amat berbahaya, sebab Te-liong Hiangcu bisa membongkar rahasia Pakakiong An yang mengincar tahta kerajaan itu. Kini yang dipikirkan oleh Pakkiong Hok yang licin itu adalah cara bagaimana menyeimbangkan kedudukan kedua pihak dalam persekutuan gelap itu.

Tiba-tiba sebuah cahaya terang bagaikan menerangi benak Pakkiong Hok. Jika ia bisa mendapatkan keterangan tentang siapa orangnya yang mengusulkan agar saat penyerangan jangan diajukan, pada waktu penyusunan rencana serangan kaum pemberontak itu, dari dialah barangkali dapat diselidiki siapakah sebenarnya Te-liong Hiangcu ini.

Meskipun andaikata ditemukan, barangkali orang itupun merupakan tokoh palsu atau tokoh samaran, toh lebih baik mengetahui jejaknya daripada tidak sama sekali. Tidak ada samaran yang tanpa kelemahan sama sekali, demikian pikir Pakkiong An dengan sepenuh keyakinannya. Demikianlah untuk sementara dia puas dengan pendapatnya sendiri, dan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ia menghembuskan napas lega.

Semua yang ada di ruangan itu tak ada yang bisa menebak apa yang ada di dalam benak Pakkiong An yang cerdik dan pikirannya berbelit-belit itu. Bahkan Te-liong Hiangcu yang menakutkan itupun tidak sadar bahwa "kebocoran" mulutnya yang tidak disengaja tadi telah memperlihatkan sedikit lubang kelemahan dalam usaha untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Sebenarnya orang berkerundung hitam itu memang bukan orang yang terlalu pintar otaknya. Ia hanya kejam, berilmu silat tinggi, bertindak tidak tanggung-tanggung dan mempunyai jaringan anak buah yang luas yang disusupkan ke berbagai perguruan dan golongan. Namun dalam kecerdasan otak, ia masih beberapa tingkat di bawah Pakkiong Hok.

Setelah berkasak-kusuk sebentar, Te-liong Hiangcu kemudian berpamitan kepada Pakakiong An dan meninggalkan rumah itu. Seperti kedatangannya, maka kepergiannyanyapun dengan cara mirip hantu. Tubuhnya seolah-olah berhembus ringan lewat jendela, dan lenyaplah ia tak terlihat lagi, meskipun di siang hari bolong.

"Orang yang hebat!" desis Ibun Hong dan seorang perwira anggota komplotan lainnya.

Namun Pakkiong Hok tertawa dingin dan menyahut, "Hanya hebat dalam ilmu silat, tetapi tidak hebat dalam hal ini," katanya sambil mengetuk-ngetukkan jari ke keningnva sendiri. "Tidak lama lagi, aku akan tahu siapa dia sebenarnya," kata Pakkiong Hok dengan yakin.

Dan di sini ternyata Pakkiong Hok yang maha pintar itupun membuat kesalahan pula. Diucapkannya kata-kata sombongnya itu dengan penuh keyakinan bahwa perwira-perwira yang mendengarnya itu akan tetap setia kepada ayahnya. Tidak diketahuinya bahwa Hehou Im adalah seorang yang berdiri di atas dua perahu, seekor ular berkepala dua yang tidak ragu-ragu menggigit kemanapun arahnya asal menguntungkan diri sendiri.

Dan diam-diam Hehou Im mencatat baik-baik ucapan takabur Pakkiong Hok itu dalam hatinya. Jika yang mengucapkannya bukan Pakkiong Hok, kata-kata itu boleh dianggap sebagai angin lalu saja, namun karena yang mengucapkannya adalah seorang anakmuda yang cerdik dan penuh akal bulus seperti Pakkiong Hok, maka bobot ucapannya tentu lain.

Sementara itu, orang berkerudung itu masuk ke dalam sebuah rumah reyot yang terletak di sebuah gang yang sepi di belakang gedung-gedung yang tinggi. Yang kemudian keluar dari rumah kecil itu ternyata bukan lagi seorang berpakaian serba hitam yang tatapan matanya menyeramkan, melainkan seorang tua yang tampangnya rada ketolol-tololan, namun berpakaian seperti kalangan dunia persilatan. Dialah He Keng-lian, ketua perguruan silat Ho-lian-pay. Sebuah perguruan silat kecil yang hampir tak ada artinya dalam percaturan kekuatan di dunia persilatan.

Ketika He Keng-lian keluar dari gang dan berada di jalan ramai, ia hampir saja bertabrakan dengan seseorang yang berpakaian seperti seorang saudagar kecil-kecilan. Orang yang berpakaian saudagar itu tertawa, dan bertanya, "Bagaimana perundingannya?"

"Tidak penting kau ketahui. Tapi ada hal yang lebih penting lagi, mari kita cari tempat yang aman untuk berbicara."

Kedua orang ttupun kemudian berjalan berdampingan menuju ke suatu arah. Dalam pandangan orang banyak, mereka seperti dua sahabat yang akrab, sedang berjalan bersama-sama untuk minum teh di suatu kedai. Namun ternyata mereka menuju ke sebuah rumah penginapan murahan yang letaknya agak jauh dari jalan besar.

"Aku menginap di sini," kata orang yang berpakaian seperti saudagar kecil itu.

"Baik, kita berbicara di kamarmu," kata He Keng-lian sambil setengah mendorong orang itu masuk ke dalam. Sapaan ramah dari pemilik penginapan di depan pintu tidak mereka hiraukan.

Tiba di dalam kamar, orang berpakaian saudagar itu cepat-cepat menutup pintu, lalu dengan suara tidak terlalu keras ia memberi hormat, "Salam kepada Hiangcu!"

"Duduklah, apakah kamar di sebelah-menyebelah kamarmu ini ada orangnya?" tanya He Keng-Liang sebelum mulai dengan pembicaraannya.

"Kedua-duanya kosong, kita bisa bicara dengan bebas," sahut orang yang berpakaian saudagar kecil-kecilan itu.

He Keng-liang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu bertainya, "Nah, bagaimana hasil penyelidikanmu terhadap prajurit baru dari Tiam-jong-san itu?"

Orang berpakaian saudagar kecil itu duduk di sebuah kursi, lalu sambil menarik napas ia. berkata, "Dugaan Hiangcu sungguh tepat. Orang itu bernama Tong Lam-hou, dan ternyata memang benar-benar putera Tong Wi-siang. Ia memiliki sebuah kalung batu kumala hijau yang berukirkan nama ayahnya."

Sepasang alis He Keng-liang berkerut, dan matanya yang biasanya bersinar ketolol-tololan itu tiba-tiba bersinar tajam. Menyeramkan dan mengandung nafsu membunuh yang berkobar. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sambil bergumam,

"Sekarang kita sudah pasti siapa anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu, jadi kita tidak boleh ragu-ragu untuk memusnahkannya. Dulu ayahnya sebagai Hwe Hwe-liong Pangcu adalah musuh besarku, meskipun kami seperguruan, dan kini aku tidak boleh membiarkan anaknya hidup dan kelak menikamku dari belakang. Anak harimau harus dibunuh sebelum tumbuh taringnya."

Orang yang berpakaian sebagai saudagar itu bernama Seng Cu-bok. Diam-diam ia berdebar-debar juga kalau-kalau ia yang akan ditugaskan untuk membunuh Tong Lam-hou, sebab ia sadar bahwa kemampuannya jauh di bawah kemampuan Tong Lam-hou. Bahkan sejak Tong Lam-hou menjadi seorang perwira Hui-liong-kun.

Maka di kalangan prajurit telah berkembang istilah "Pak-liong Lam-hou" (Naga di Utara, Harimau di Selatan), menunjukkan betapa keperkasaan Tong Lam-hou dianggap telah dapat disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang punya nama besar jauh sebelum Tong Lam-hou datang ke Pak-khia.

Namun hati Seng Cu-bok menjadi lega setelah mendengar ucapan He Keng-liang, "Dengan tanganku sendiri akan kubereskan si Harimau Selatan itu. Ia tidak berarti apa-apa bagiku. Namun kau harus memancingnya ke tempat yang sepi, paham?"

"Paham," sahut Seng Cu-bok dengan jantung masih agak berdebaran. Pekerjaan memancing Tong Lam-hou ke tempat sepi itulah sebenarnya cukup berbahaya, bagaimana kalau Tong Lam-hou dapat mengejarnya dan menangkapnya? Tapi tidak bisa tidak tugas itu harus diterimanya. He Keng-liang yang bukan lain adalah samaran dari Te-liong Hiang-cu itu, adalah sejenis orang yang tidak ingin dibantah setiap perintahnya. Asal anakbuahnya menunjukkan sikap ragu-ragu sedikit saja, maka kematian adalah bagiannya.

"Satu hal lagi ingin aku laporkan kepada Hiangcu," kata Seng Cu-bok. "Apa?"

"Aku telah melihat Siangkoan Hong juga berkeliaran di kota ini. untung dia tidak mengenali aku. Kalau ia tahu aku di sini, habislah riwayatku."

Di hadapan seorang Panglima seperti. Pakkioong An, He Keng-liang alias Te-liong Hiangcu masih berani marah-marah dan membentak-bentak. Terhadap nama besar Pakkiong Liong dan Tong lan-hou dia juga tidak takut. Tapi aneh, begitu mendengar Siangkoan Hong, tubuhnya tiba-tiba bergetar, mulutnya bergerak-gerak namun tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Hiangcu, kau kenapa?" tanya Seng Cu-bok.

"Jadi... jadi... setan gila Siang-koan Hong itu ternyata belum mati?" tanya He Keng-liang dengan suara agak gemetar. "He, Seng Cu-bok, apakah kau juga melihat bekas tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Lim Hong-ping yang-dulu bergelar Kim-liong Hiangcu?"

"Tidak, Hiancu. Aku lihat Siangkoan Hong yang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu itu terjalan seorang diri saja, tidak bersama-sama dengan Lim Hong-ping. Namun aku tidak dapat memastikan apakah Lim Hong-ping ada di kota ini juga atau tidak..."

Nampaknya He Keng-liang mengalami ketakutan yang di luar kebiasaannya. Dengan lunglai ia duduk kembali ke kursinya, lalu menggumam, "Wah, pekerjaanku sekarang, benar-benar bertambah sulit. Jika orang-orang gila itu bermunculan kembali, tujuan mereka pasti bukan lain untuk mencariku, membalaskan dendam Tong Wi-siang. Si bocah gunung Tong Lam-hou itu aku tidak gentar sedikitpun, tetapi lain halnya dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping. Mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan Tong Wi-siang pula, seperti aku juga, dan segala ilmu yang aku miliki juga mereka miliki pula."

"Mereka belum tentu bisa mengalahkan Hiangcu," kata Seng Cu-bok mencoba menghibur. "Bukankah selama berpuluh tahun ini Hiangcu terus menerus berlatih dan menyempurnakan ilmu?"

"Ya. Tetapi apakah kau kira Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping selama ini juga cuma duduk bertopang dagu? Aku tahu betapa besar semangat latihan mereka, dan betapa besar pula dendam mereka kepadaku. Ketika kami masih sama-sama berada di Tiau-im-hong dulu, aku saksikan sendiri betapa hebat latihan mereka. Aku ini terhitung paling malas di antara kami berempat saudara seperguruan."

Penampilan He Keng-lian alias Te-liong Hiang-cu kali itu memang benar-benar lain daripada yang lain. Biasanya ia hanya menepuk dada membanggakan kepandaiannya, memamerkan kekejamannya tanpa tanggung-tanggung, namun kini ia nampak gentar kepada nama-nama yang disebut tadi. Cuma Seng Cu-bok tidak berani mentertawakannya, sebab kepalanya masih dibutuhkannya di atas tubuhnya, ia sendiri sebagai bekas orang Hwe-liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu juga tahu benar betapa tingginya ilmu saudara-saudara seperguruan Hwe-liang Pangcu yang bernama Siangkoan Hong adan Lim Hong-ping itu.

Te-liong Hiangcu sendiri nampaknya agak tersipu setelah ia sadar bahwa ia sudah menunjukkan sikap gentarnya di hadapan anak buahnya. Sikap yang sangat memalukan. Maka buru-buru ia berucap untuk memperbaiki pandangan anak buahnya terhadap dirinya,

"Eh, kelihatannya aku takut kepada mereka bukan? Sebenarnya aku tidak takut. Aku sanggup mengalahkan Siang-koan Hong dan Lim Hong-ping satu persatu, tapi yang aku kuatirkan adalah jika mereka maju berbarengan, mana bisa dua tangan menghadapi empat tangan?"

"Benar, Hiangcu, mana bisa ilmu Hiangcu yang maha tinggi itu dikalahkan siapapun di dunia ini? Kecuali dengan main keroyok," kata Seng Cu-bok menjilat terang-terangan "Tapi aku rasa mereka sulit menemukan Hiangcu, sebab penyamaran Hiangcu sangat sempurna. Bahkan orang-orang Ho-lian-pay sendiri mengira Hiangcu adalah si tolol He Keng-liang itu. Ha-ha-ha...."

Te-liong Hiangcu yang menyamar sebagai He Keng-liang itupur tertawa. "Benar, demi cita-citaku yang besar, aku tidak boleh terpancing keluar oleh orang-orang gila macam mereka berdua itu. Seng Cu-bok, ada berapa orang-orang kita yang sedang ada di Pak-khia ini?"

"Ada sebelas orang termasuk aku sendiri dan Say-ya-jat (si hantu Malam) Tong King-bun," sahut Seng Cu-bok.

"Bagus, hubungi mereka dan suruh mereka meninggalkan kota Pak-khia secepatnya, jangan sampai kepergok oleh Siangkoan Hong atau Lim Hong Ping jika iapun ada di kota ini. Setelah itu kaupun harus pergi. Ingat, jangan dengan cara yang menyolok..."

"Baik, Hiang-cu."

"Dan dengan munculnya si setan Siangkoan Hong itu, hentikan dulu semua kegiatan orang-orang, kita, agar tidak sampai tercium oleh Siangkoan Hong. Selanjutnya, tunggu perintahku."

"Baik, Hiangcu. Tetapi kalau aku harus keluar kota, bagaimana dengan tugasku untuk memancing Tong Lam-hou itu?"

"Kucabut dulu untuk sementara. Urusan Tong Lam-hou biar kupikirkan perlahan-lahan, aku memang harus membunuhnya agar tidak menjadi duri dalam daging, namun tidak perlu terburu-buru. Eh, dima mana kau lihat Siangko-an Hong tadi?"

"Dekat Tiau-yang-kiong sebelah timur Istana Kerajaan...."

"Dan di mana rumah prajurit baru yang bernama Tong Lam-hou?"

"Di dekat perkampungan orang-orang asing dekat pintu selatan."

Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya, sebuah rencana yang jahat muncul dibenaknya. "Letak kedua tempat itu berjauhan satu sama lain. Jika aku datangi Tong Lam-hou dan aku cekik dia di rumahnya sendiri, maka hanya satu kemungkinan berbanding seratus ribu aku kepergok Siang-koan Hong. Satu keuntunganku, aku sudah tahu dimana Siangkoan Hong, sebaliknya ia belum tahu kalau aku ada di kota ini, jadi aku lebih berhati-hati. Lagi pula wujudku sebagai He Keng-liang pasti sulit dikenal olehnya," demikian pikir bekas orang nomor dua di Hwe-iiong-pang itu.

"Aku sudah boleh pergi, Hiangcu?" tanya Seng Cu-bok.

"Mari kita pergi bersama-sama."

"Hiangcu tetap ingin membunuh Tong Lam-hou?"

"Ya, tetapi tidak perlu lagi dengan memancingnya keluar segala, akan aku datangi saja rumahnya nanti malam, dan aku bunuh ia di dalam rumahnya. Kalau kupancing ke luar rumah malahan besar kemungkinannya akan bertemu dengan Siangkoan Hong dan urusanku bakal terganggu."

"Hati-hatilah, Hiangcu. Dia hampir selalu bersama-sama dengan Pakkiong Liong dan beberapa perwira lainnya."

"Hemm, anak-anak ingusan itu tidak kupandang sebelah mata. Lima Pak-kiong Liong dan lima Tong Lam-hou masih belum apa-apa buatku."

Demikianlah kedua orang itu keluar dari penginapan itu. Bahkan Seng Cu-bok langsung membawa seluruh bekalnya karena ia akan segera meninggalkan kota Pak-khia bersama rekan-rekan sekomplotannya.

"Ah, tuan besar Seng kenapa kau terburu-buru pergi dari penginapanku? Bukankah katamu kau akan di kota ini beberapa hari lagi?" kata si pemilik penginapan, "apakah karena pelayanan kami kurang memuaskan?"

"Ya, sangat tidak memuaskan," kata Seng Cu-bok sambil menggunakan telapak tangannya untuk mencengkeram wajah pemilik penginapan itu dan mendorongnya kuat-kuat sehingga jatuh ke lantai. Pemilik penginapan itu dengan wajah pucat menatap kebingungan, entah apa kesalahannya?

Ketika sudah agak jauh dari rumah penginapan itu Te-liong Hiangcu bertanya, "Apakah kau selalu bersikap demikian kasar kepada setiap orang?"

Seng Cu-bok menyeringai bangga untuk mencari muka dari Te-liong Hiangcu, katanya, "Ya, aku meniru Hiangcu. Tegas, tidak ragu-ragu dan..."

"Tolol!" tiba-tiba suara Te-liong Hiangcu menjadi dingin menyeramkan. "Kau sangat tolol. Dengan berbuat kasar dan aneh-aneh di tempat umum seperti itu, kau akan mudah menarik perhatian, dan kerahasiaan komplotan kita akan terancam oleh ulahmu yang memuakkan itu. Aku juga bersikap keras, tapi jika sedang menyamar sebagai He Keng-liang, maka akupun menjadi persis sama seperti si tua tolol Ketua Ho-lian-pay itu. Begitu pula jika aku sedang menyamar sebagai orang lain."

Seng Cu-bok menjadi gemetar ketika melihat usahanya untuk menjilat Te-liong Hiangcu itu malahan membuatnya marah. Apakah ia akan dibunuh? Ternyata tidak, Te-liong Hiangcu yang berwujud He Keng-liang itu hanya memberinya teguran keras,

"Ingat, ini peringatanku yang terakhir. Jika kelak kau menyamar sebagai apapun, lakukan sebaik-baiknya. Jika kau menjadi penyebab kebocoran rahasia komplotan kita, hati-hatilah dengan batok kepalamu."

"Ya... ya... terimakasih, Hiangcu. Aku memang bersalah...."

"Nah, kita berpisah di sini. Ingat semua perintahku dan pesanku,"

"Baik, Hiangcu."

Keduanyapun berpisah di tengah jalan, dan Seng Cu-bok boleh menarik napas lega setelah berpisah dengan majikannya yang menakutkan itu. Bukan hanya menakutkan, bahkan juga mempunyai seribu satu macam wajah yang berbeda beda, membuat ia tidak berani berknianat sedikitpun. Selama ini ia hanya tahu bahwa He Keng-liang yang memimpin Ho-lian-pay adalah He Keng-liang palsu, sementara yang asli disingkirkan.

Namun wajah He Keng-liang itu hanya satu dari seribu satu wajah Te-liong Hiangcu. Sedang wajah-wajah lainnya tidak diketahuinya. Jika ia berbicara dengan teman-teman sekomplotannya untuk mencocokkan penglihatan mereka tentang Te-liong Hiangcu, maka simpang-siurlah pendapat di antara mereka sendiri. Ada yang bilang Te-liong Hiangcu itu selalu muncul dengan wajah seorang tua yang kurus, lainnya bilang Te-liong Hiangcu itu seorang pemuda yang tampan, lainnya lagi menyebut seorang lelaki berewokan bermuka jelek.

Malahan ada yang pernah bertemu Te-liong Hiangcu dalam ujud seorang perempuan ayu. Dengan demikian semua anakbuah merasa terkekang dan tidak berani punya pikiran untuk berkhianat, bahkan merekapun saling mencurigai di antara sesama mereka sendiri, jangan-jangan di antara mereka itu terdapat samaran Te-liong Hiangcu sendiri?

Sambil melangkah pergi, Seng Cu-bok menggerutu dalam hatinya, "Inilah harga yang harus kubayar untuk sebuah cita-cita besar yang belum terwujud. Seluruh kebebasanku telah lenyap, seolah-olah Te-liong Hiangcu mengintai dan mendengar segala gerak-gerikku di segala tempat dan keadaan."

Sementaraa itu, hari telah malam ketika Tong Lam-hou kembali ke rumahnya yang dihadiahi oleh Peng-po-ceng-tong. Rumah itu tidak besar tidak kecil, sedang-sedang saja, dikelilingi kebun bunga yang teratur rapi dengan rumpun-rumpun bambu kerdil bertebaran di halaman depan dan samping. Agaknya Tong Lam-hou terpengaruh oleh kesederhanaan pengaturan rumah Pakkiong Liong, sehingga rumahnya yang tidak besar itupun diatur dengan gaya yang mirip rumah sahabatnya dan panglimanya itu. Perabotannya sederhana saja, dan banyak yang terbuat dari bambu bertutul-tutul sehingga menimbulkan suasana sejuk di dalam rumah.

Ketika Tong Lam-hou datang ke rumahnya dan melihat semua lampu sudah menyala, perabotan teratur rapi dan lantai dalam tersapu bersih, maka tahulah Tong Lam-hou bahwa suami isteri Ciu Toasiok (paman Ciu) yang menjadi pembantu-pembantunya itu sudah mengerjakan tugasnya dengan baik selama ia pergi. Mereka adalah suami isteri setengah baya yang bertempat tinggal selisih dua rumah dari rumah Tong Lam-hou.

Dengan upah sekedarnya, mereka akan membantu Tong Lam-hou dalam mengurus rumahnya, dan bibi Ciu menyediakan masakan buatnya. Bukan karena Tong Lam-hou malas, melainkan karena sebagai seorang perwira tugasnya banyak, waktunya tidak seluang dulu lagi, dan Tong Lam-hou ingin agar tugas-tugas perwiranya tidak terganggu oleh urusan tetek bengek seperti menyapu halaman, mencuci piring atau memasak nasi. Semuanya diserahkan kepada paman Ciu dan isterinya, hitung-hitung memberi tambahan penghasilan kepada suami-isteri itu.

Sore itu Tong Lam-hou baru saja ikut melatih pasukan di luar kota Pak-khia, tubuhnya masih berlapis debu dan keringat, pakaian seragam perwiranya yang masih baru itupun nampak kotor oleh debu. Ketika ia melangkahi ambang pintu, ia tersenyum sendiri ketika melihat lilin-lilin sudah menyala, dan di ruangan dalam sudah tersedia hidangan yang tergelar di atas meja. Semuanya masih tertutup di bawah tudung bambu, namun sayup-sayup hidung Tong Lam-hou dapat mencium bau sayur lobak kesukaannya di antara bau-bau lainnya.

"Bibi Ciu tidak melupakan pesannanku," kata Tong Lam-hou seorang diri sambil tertawa. "Tetapi masakan sayur lobaknya tentu tidak dapat menandingi hasil karya ibu."

Sekilas ia teringat kepada ibunya yang terpisah berpuluh-puluh ribu li di Tiam-jong-san sana. Di dalam sebuah gubuk terpencil di lereng gunung, tidur meringkuk di bawah selimutnya yang kumal dan robek-robek, dan Tong Lama-hou Juga tahu bahwa ibunya pasti sangat kangen kepadanya. Hampir-hampir Tong Lam-hou meneteskan air matanya, namun dikuat-kuatkannya hatinya.

“Begitu aku mendapat cuti pertamaku, aku segera menjemput ibu ke rumah ini," demikian rencananya dalam hati. "Saat-saat dekat ini kita belum bisa berkumpul ibu, sebab aku sudah mendengar kabar angin bahwa pasukan kami akan mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan di daeah Tay-teng. Dan aku sebagai prajurit baru akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan baktiku kepada Negara dan Kaisar. Aku akan membuat pahala yang besar! sehingga namaku harum, dan kelak ibu akan bangga kepadaku."

Ketika ia mendengar suara daun pintu berderak tertiup angin, maka Tong Lam-hou tersentak dari lamunannya. Lalu ia tertawa sendiri dan dirasakannya perutnya yang lapar. Dilepaskannya ikat pinggang kulitnya di mana pedangnya tergantung dalam rangkanya, dan digantungkannya di dinding ruangan tengah. Kemudian ia pun melangkah untuk membersihkan diri.

Ia benar-benar tinggal seorang diri di rumah itu. Paman dan bibi Ciu yang membantunya itu hanya berada di rumah itu dari pagi sampai sore, dan malamnya mereka pulang ke rumahnya masing-masing karena merekapun punya beberapa anak yang harus mereka urus. Selesai mandi, dan memakai pakaian ringan, Tong Lam-hou mulai membuka tudung bambu itu. Mangkuknya sudah terisi nasi yang sudah agak dingin, namun ia tak peduli dan langsung meraih mangkuk berisi sayur lobak kesayangannya.

Namun begitu ia mengaduk sayur itu dengan sumpitnya, terkejutlah Tong Lam-hou. Di dalam kuah itu, di dasar mangkuk, ternyata ada seekor kalajengking berwarna hijau tua yang sangat beracun. Jika kalajengking itu sudah "Berendam" di dalam kuah sayur lobak itu sejak tadi, maka racunnya tentu sudah mencemari makanan kesayangan Tong Lam-hou itu, dan tentu saja tidak bisa dimakan lagi kecuali kalau kepingin mampus.

Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepala sambil mendorong mangkuk itu menyingkir dari hadapannya. Desahnya, "Ah, bibi Ciu berbuat ceroboh hari ini. Bagaimana mungkin seekor kalajengking bisa masuk ke dalam sayurannya?"

Lalu diraihnya mangkuk lauk lainnya, namun sekali lagi Tong Lam-hou dikejutkan dengan penemuan seekor kalajengking pula di kuah tahu itu. Dari jenis yang sama. Lalu dibukanya mangkuk-mangkuk lainnya, semuanya ternyata telah diracuni! Bahkan nasi yang hanya sebakul kecil itupun sudah beracun semua. Tong Lain-hou menjadi curiga, ini pasti bukan sekedar keteledoran bibi Ciu. Ini adalah suatu kesengajaan untuk membunuhnya. Tapi siapa? Apakah bibi Ciu yang kelihatan baik dan ramah itu ingin membunuhnya?

Tengah Tong Lam-hou kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa seram bergema di ruangan itu. Dengan terkejut Tong Lam-hou memutar tubuh dan bersikap siaga, ia terkejut karena ada orang dapat masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya, menandakan bahwa ilmu orang itu amat tinggi. Tong Lam-hou yang sejak meninggalkan Tiam-jong-san belum pernah kalah berkelahi itu, kini diam-diam merasa waswas.

Pada pintu yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah, nampaklah orang tertawa seram itu, dan ujudnyapun ternyata seseram suara tertawanya tadi. Ia berpakaian serba hitam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, namun wajahnya tertutup selembar topeng dari perunggu yang ber-bentuk tengkorak yang mengerikan, berkilat kehijau-hijauan. Sementara sepasang mata dari balik topeng itu lebih pantas disebut sebagai mata iblis dari pada mata manusia. Dan dengan sikap seenaknya orang itu berdiri bersandar ambang pintu sambil berpeluk tangan.

“Sialan kau, bangsat kecil, kenapa tidak kau telan saja makanan beracun itu agar aku tidak usah mengeluarkan keringat untuk mencekikmu hingga mampus?" geram orang bertopeng tengkorak itu.

"Siapa kau? Apakah di antara kita ada permusuhan sehingga kau bermaksud membunuhku?" bentak Tong-lam-hou yang tetap dalam sikap siaga.

Orang itu tidak merubah sikapnya yang santai, dan jawabnya dingin, "antara aku dan kau memang benar tidak bermusuhan. Ketika aku malang-melintang di rimba persilatan, barangkali kau masih mendekam dalam perut ibumu."

"Lalu kenapa kau ingin membunuhku?"

"Karena kau adalah anak Tong-wi-siang. Jadi kematianmu malam ini, anak manis, bukan karena kesal karenamu tetapi karena orang tuamu."

Bergetarlah dada Tong Lam-hou mendengar orang bertopeng tengkorak itu sudah menyebut-nyebut tentang ayahnya. Namun sebagai seorang anak muda berwatak jantan, ia pantang mengingkari ayahnya sendiri hanya untuk mencari keselamatan diri, malahan ia menyahut dengan bangga, "Memang, akulah Tong Lam-hou anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa. Kau sendiri siapa?"

"Menjelang ajalmu biar aku berterus-terang kepadamu supaya kelak arwahmu tidak menjadi setan penasaran yang berkeliaran mengganggu penduduk di sekitar sini. Dengar baik-baik. Dulu aku adalah saudara seperguruan ayahmu, gelarku dalam Hwe-liong-pang adalah Te-liong Hiang-cu."

Tiba-tiba dada Tong Lam-hou terguncang keras sekali, darahnya mendidih dan kemarahan mulai membakar jiwanya. Ia pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya punya tiga orang saudara seperguruan, namun salah seorang dari mereka telah berkhianat bersama pengikut-pengikutnya, sehingga Hwe-liong-pang yang dengan susah-payah didirikan oleh ayahnya itu hancur berantakan karena perpecahan.

Bahkan Te-liong Hiangcu pernah berkomplot dengan penguasa dinasti Beng untuk menggempur markas perkumpulannya sendiri. Secara tidak langsung, bolehlah dianggap bahwa Te-liong Hiangcu inilah yang membunuh ayahnya. Maka dalam diri Tong Lam-hou tiba-tiba berkobar dendam hebat untuk membalas sakit hati ayahnya yang sejak kecil belum pernah dilihatnya itu.

"Jadi kau adalah saudara seperguruannya yang berhati khianat itu?" kata Tong Lam-hou marah sambil menudingkan jarinya.

Terlalu yakin akan dirinya, maka Te-liong Hiangcu sama sekali tidak ingkar semua perbuatan masa lalunya, "Benar, karena ayahmu terlalu lunak memegang pimpinan Hwe-liong-pang, maka aku mencoba merebut kekuasaannya untuk menjadikan Hwe-liong-pang sebuah perkumpulan yang kuat. Itulah sebabnya aku bermusuhan dengan ayahmu, dengan pengikut kami masing-masing."

"Aku... aku harus membunuhmu!" teriak Tong Lam-hou.

Dijawab oleh Te-liong Hiangcu dengan dingin, "Akupun harus membunuhmu. Marilah kita lihat, siapa yang akan terbunuh oleh siapa."

Dengan darah yang mendidih. Tong Lam-hou mulai menyerang. Bahkan dalam gebrakan pertama ia langsung telah mengerahkan Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu, untuk membuat lawan mati membeku. Jurus yang digunakan adalah Tek-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san), kepalannya dengan keras menghantam ke kepala lawan.

Te-liong Hiangcu yang tadinya memandang remeh lawannya itu, terkejut bukan main ketika melihat gerakan Tong lam-hou yang begitu kuat dan cepat, bahkan pukulannya membuat udara seisi ruangan itu jadi beku menggigilkan tulang. Namun bekas orang nomor dua di Hwe-liong-pang itu masih sanggup berkelit ke samping dan lolos dari pukulan.

Tong Lam-hou yang telah dibakar kemarahan itu menerjang terus, tanpa memutar tubuh ia langsung memakai gerakan Sia-hui-si i Jurus Terbang Miring), kepalannya berubah menjadi sabetan telapak tangan ke pundak lawannya. Kembali angin maha dingin bagaikan berpusar dalam ruangan itu.

Kalau bukan Te-liong Hiangcu, barangkali dalam pukulan pertama saja sudah akan mati beku. Namun Te-liong Hiangcu adalah saudara seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa, ilmunyapun hampir setingkat dengan Tong Wi-siang dan bahkan dalam tahun-tahun terakhir ini Te-liong Hiangcu rajin menyempurnakan ilmunya demi ambisinya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Ketua Rimba Persilatan). Maka serangan serangan dahsyat bertubi-tubi dari Tong Lam-hou itu tidak dapat memojokkannya, bagaikan bayangan hantu saja ia dapat berkelit ke sana kemari, bahkan masih sempat mengejek,

"Sebagai balas budiku kepada ayahmu yang dulu pernah membimbingku dalam ilmu silat, baiklah aku akan mengalah tiga pukulan kepadamu. Tetapi setelah itu, mati hidupmu tergantung belas kasihanku!"

“Tutup mulutmu!" teriak Tong Lam-hou geram karena pukulan-pukulannya dapat dihindari dengan mudah. Ketika melihat musuhnya tersudut di pojok ruangan, maka Tong Lam-hou segera menggempurnya dengan Wan-yo-hoan-tui (Tendangan Beruntun Burung Wan-yo) ke arah lutut, perut dan dagu orang bertopeng tengkorak itu.

Tapi lagi-lagi serangan itu luput, malah terdengar Te-liong Hiangcu membentak, "Aku sudah mengalah tiga jurus. Sekarang terima seranganku!"

Bagaikan segumpal awan hitam pekat yang berhembus dengan kecepatan tinggi, Te-liong Hiangcu tiba-tiba menubruk dengan dahsyatnya. Tong Lam-hou yang berilmu tinggi itupun sampai tidak dapat melihat bagaimana gerakan kaki atau tangan Te-liong Hiangcu. Hanya dirasakannya bahwa udara bertekanan berat telah menyesakkan dadanya.

Sejak turun gunung dan berkelahi dengan beberapa orang lawan, inilah untuk pertama kalinya Tong Lam-hou merasa gugup, lawan bergerak terlampau cepat dan melebihi kecepatannya sendiri. Untung-untungan Tong Lam-hou menjatuhkan dirinya terlentang sambil menjejakkan kedua kakinya ke arah tubuh lawan yang berkelebat di atas tubuhnya. Ia berhasil lolos namun jejakan kakinyapun tak membawa hasil dan hanya mengenai angin.

Tubuh lawan meluncur dan menabrak tembok sehingga jebol, namun lawannya seolah tidak merasa kesakitan sedikit pun, dan dengan dua gerakan manis di udara Te-liong Hiangcu telah mendarat di halaman. Tak kurang satu apa, hanya pakaian hitamnya yang agak kotor kejatuhan tembok.

Tong Lam-hou menarik napas dingin, sadarlah ia bahwa ia telah kebentur seorang musuh tangguh yang entah bisa dikalahkannya entah tidak. Tetapi anak Tong Wi-siang itupun berwatak pantang menyerah seperti bapaknya dulu, meskipun harus mati, paling tidak ya harus bertempur sekuat tenaga lebih dulu. Cepat ia meloncat bangun dan menghunus pedangnya yang tergantung di dinding, lalu iapun memburu ke halaman belakang.

Di tengah-tengah halaman belakang tempat biasanya Tong Lam-hou berlatih silat setiap pagi itu, Te-liong Hiangcu berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Matanya yang bersinar seram itu berkeredap dari balik topeng perunggunya yang hijau kekuning kuningan. Ketika melihat Tong Lam-hou memburunya keluar dengan pedang di tangan, ia tertawa dingin,

"Bagus, kau benar-benar anak yang berani. Kau tidak memalukan ayahmu dan juga gurumu si tua kluntang-klantung Tiam-jong-lo-sia itu. Akupun sebagai paman gurumu seharusnya bangga juga kepadamu, tapi sayang, aku tetap harus membunuhmu."

Bicara sampai di sini, Te-liong Hiangcu menatap wajah Tong Lam-hou dari balik topengnya, la mengharap akan melihat anakmuda she Tong Itu menggigil ketakutan. Namun Te-liong Hiangcu kecewa. Tong Lam-hou tidak kelihatan gentar sedikitpun, dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya, wajah yang terangkat dan mata yang tajam menatap langsung ke pusat mata lawannya tanpa keder seujung rambutpun.

Diam-diam Te-liong Hiangcu kagum juga, sikap itu mengingatkannya kepada sikap kakak seperguruannya yang sudah dikhianatinya, Tong Wi-siang, dan sikap Tong Wi-siang dan sikap Tong Lam-hou yang mirip sikap mendiang ayahnya itu telah membuat Te-liong Hiangcu semakin bernafsu untuk membunuhnya.

Katanya lagi, "Tetapi aku seorang paman guru yang baik, aku tidak akan nembunuhmu dengan sekali pukul. Sebelum kau mati, kau boleh menyaksikan Jurus-jurus ampuhku, warisan dari Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan-Bu-san), hitung-hitung sebagai bekalmu dalam perjalanan ke akherat."

Tong Lam-hou sudah tidak sanggup berkata sepatah katapun karena marahnya, disertai bentakan keras ujung pedangnya berkelebat bagaikan kilat dengan Jurus Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Api Membakar Langit), dan ketika lawan melangkah mundur maka ia cepat putar tubuhnya dan menyusulkan serangan Hoa-sin-hian-kiam (Memutar Tubuh Mempersembahkan Pedang) yang dilakukan amat cepat. Namun serangan-serangannya yang begitu cepat itu gagal semua karena ketangkasan lawannya.

"Bagus!" teriak Te-liong Hiangcu mengejek. "Anak yang berbakat, sekarang coba lihat jurusku yang bernama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Terbang Bergentayangan)!"

Begitu habis kata-katanya, maka mata Tong Lara-hou pun seolah-olah jadi kabur karena lawan bergerak cepat sekali. Tubuhnya melayang bagaikan sesosok arwah benar-benar, dan mengelilingi tubuh Tong Lam-hou sehingga anak muda itu kebingungan karena tidak tahu arah serangan lawan. Tahu-tahu terasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya terlempar bergulingan beberapa langkah, tanpa daya sedikitpun seperti seorang yang tidak mahir bersilat sedikitpun.

Ketika Tong Lam-hou melompat bangun kembali, maka pedangnya sudah tidak ada di tangannya lagi, namun tergeletak beberapa langkah daripadanya. Cepat-cepat disambarnya pedangnya untuk menghadapi lawannya yang berdiri santai sambil bertolak pinggang itu.

"Nah, kau sudah melihat satu jurus hebatku. Kau masih ada kesempatan untuk melihat dua jurus lagi, setelah itu kau akan menyusul ayahmu."

Tong lam-hou menjadi geram, kakinya melangkah maju dengan cepat sambil gerakkan pedangnya dengan Lian-noan-an-kiam (Tiga Kali Sabetan Pedang) yang gencar, lalu tubuhnya tiba-tiba meloncat ke atas dan menyerang dengar gerakan Sin-liong-jip-hai (Naga Malaikat Terjun Ke Laut), pedangnya membabat dari atas ke bawah....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 18

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 18

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
DI antara bekas tahanan yang dibebaskan itu, ada seorang pendekar dari Bu-tong-pay bernama Thia Ji-hong. Ketika mendengar Te-sian Tojin sebagai sesama murid Bu-tong-pay mengalami kesulitan, maka Thia Ji-hong segera berteriak, "Aku akan bergabung dengan Te-sian Suheng agar ia dapat mempercepat gerakannya kemari! Siapa ikut aku!"

Beberapa orang segera menyatakan ikut, bahkan Bu-teng Hweshio juga ikut. Maka kelompok ini dengan dipelopori oleh Thia Ji-hong segera menyibak kepungan musuh untuk mencapai tempat Te-sian Tojin dan regunya.

Bu-sian Hweshio sebagai pimpinan seluruh regu segera berteriak, "Jangan pergi menolong Te-sian Tojin semuanya? Cukup enam atau tujuh orang! Lainnya pergi ke sebelah timur untuk menolong regu Pangeran Cu Leng-ong!"

Beberapa orang nampak enggan ketika ditunjuk untuk menolong Pangeran Cu Leng-ong dari dinasti Beng yang biasanya nampak angkuh dan berlagak sebagai bangsawan itu, namun perintah Bu-sian Hweshio tidak dapat mereka bantah. Rombongan segera terbagi, sebagian ke barat untuk menolong regu Te-sian Tojin, sebagian lagi ke timur untuk menolong regu Jit-goat-pang yang keadaannya malah lebih parah dari regu Te-sian Tojin.

Karena Te-sian Tojin yang bertugas menjaga agar pintu gerbang penjara tetap tertutup itu telah meninggalkan tempat tugasnya, maka prajurit musuh berhasil membuka pintu gerbang dari segera mengirim orang ke tangsi untuk meminta bantuan.

Tepat ketika regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong berhasil bergabung, dengan melangkahi prajurit-prajurit musuh namun juga dengan kehilangan beberapa anggota regu, maka dari arah pintu gerbangpun terdengar sorak-sorai dari bala bantuan yang datang. Bukan hanya ratusan, tetapi seribu orang prajurit yang dipimpin langsung oleh putera Pakkiong An, yaitu Pakkiong Hok. Disertai pula belasan orang jago-jago silat sewaan Pakkiong An.

Semua pejuang sadar bahwa jika bala bantuan musuh sampai tiba di kaki dinding selatan itu, maka biarpun punya sayap diri mereka akan tertumpas habis tanpa ampun di tempat itu. Setangguh-tangguhnya seorang pendekar silat, mana bisa ia melawan ribuan prajurit?

Maka Bu-sian Hweshio segera meneriakkan perintah, "Regu Te-sian dan regu Pangeran Cu Leng-ong mulai memanjat!"

Kedua regu yang diperintahkan itupun segera memanjat ke dinding. Khusus untuk rencana serangan ini, memang setiap orang sudah berlatih khusus memanjat tali dengan cara yang cepat. Namun bagi orang-orang yang memiliki gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) yang tinggi, tali-tali itu tidak dibutuhkan, cukup dengan sekali loncat seperti seekor burung saja mereka sudah berhasil mencapai dinding bagian atas.

Namun tidak semua orang yang memanjat itu mencapai dinding atas dengan selamat. Beberapa dari mereka berteriak ngeri ketika punggung mereka terkena lembing-lembing pasukan musuh yang dilontarkan dengan derasnya. Susul-menyusul setiap regu naik ke tembok. Bu-sian Hweshio sendiri naik paling akhir, ia didampingi oleh Tong Wi-hong, Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio untuk bertahan paling bawah dan paling akhir.

Kemudian setelah seluruh teman-teman mereka berada di atas tembok, barulah mereka berempat meloncat ke atas. Diam-diam semua orang mengagumi keberanian keempat orang itu, yang rela membahayakan diri sendiri demi keselamatan seluruh regu. Sementara itu, sebagian dari pasukan musuh yang datang telah diperintahkan oleh Pakkiong Hok untuk naik ke atas tembok dengan melewati tangga batu di dekat pintu gerbang.

Prajurit-prajurit yang naik segera terlibat pertempuran dengan para pejuang yang sudah berjaga-jaga di atas tembok. Namun akal Pakkiong Hok itu tidak berhasil menahan musuh untuk meloloskan diri. Satu persatu para pejuang itu meloncat ke sebelah luar tembok atau turun, dan mereka melenyapkan diri di luar tembok.

Prajurit-prajurit musuh tidak berani mengejar, sebab tidak banyak di antara mereka yang berani meloncat dari dinding setinggi itu. Yang bisa meloncatpun ragu-ragu, jika mereka sampai sibuk mencari tangga untuk turun dari atas, bukankah mereka akan menjadi makanan empuk senjata musuh?

Kini tinggal kehancuranlah yang ditinggalkan oleh para penyerang iitu. Para penyerang itu sendiri meninggalkan belasan teman-teman mereka yang telah menjadi mayat, namun kerugian di pihak pasukan Ui-ih-kun jauh lebih besar karena serangan mendadak yang di luar perhitungan itu. Hampir seratus orang yang tewas, sementara yang luka-luka Jauh lebih banyak lagi.

Kerugian pasukan Ui-ih-kun bukan cuma dalam hal korban prajurit, tetapi juga keruntuhan semangat prajurit-prajurit itu, kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Mereka yang berjumlah berratus-ratus telah dikalahkan oleh musuh yang jauh lebih kecil jumlahnya.

Melihat prajurit-prajuritnya patah semangat, Pakkiong Hok bertindak cukup pintar untuk tidak memarahi mereka. Jika dimarahi semangat mereka akan semakin jatuh, maka Pakkiong Hok justru berusaha membangkitkan kembali semangat yang hampir padam itu,

"Jangan patah semangat! Orang-orang yang menyerang kita tadi memang jagoan-jagoan silat tingkat atas, namun keberhasilan serangan mereka bukan karena kita lemah! Ingat, kalian adalah prajurit-prajurit perkasa dari sebuah kerajaan yang agung! Beberapa tahun yang lalu, kita dengan jumlah yang sedikit bukankah berhasil juga mengalahkan pasukan Li Cu-seng yang jauh lebih besar jumlahnya? Dan kita berhasil pula menguasai negeri ini bukan?"

Ucapan Pakkiong Hok itu agak manjur juga. Beberapa perwira yang semangatnya hampir padam telah menegakkan kembali kepala mereka, bahkan mereka langsung memancang tekad dalam hati, "Ya, kekalahan dalam suatu pertempuran adalah hal yang wajar. Selama setahun dua tahun terakhir ini pasukan Ui-ih-kun memang jarang berlatih, kalaupun berlatih hanyalah seperti gerak badan biasa saja dan sekedar mencari keringat, sedangkan Hui-liong-kun berlatih berat dua hari sekali tanpa ada tahun-tahun yang kosong. Pantas mereka selalu berhasil dalam tugas, sedang kami semakin merosot. Besok aku akan usul kepada Pakkiong Ciangkun agar latihan-latihan seperti dulu digalakkan lagi."

Sementara Itu Pakkiong Hok segera memerintahkan, "Hubungi Kiau-bun Te-tok (Panglima yang mengawasi sembilan pintu gerbang Ibukota) agar semua pintu ditutup. Lainnya pulang ke tangsi untuk memberitahu agar seluruh pasukan bersiap, sebelum fajar kita akan mengadakan penggeledahan di seluruh kota."

Sementara Pakklong Hok masih punya harapan untuk menemukan kembali orang-orang yang menyerang penjara itu, meskipun tidak semuanya, maka di rumahnya yang besar dan indah itu Pakklong An menerima laporan kejadian di penjara itu dengan mata hampir melompat keluar dari rongga kepalanya.

Kepada Hehou Im yang melaporkan hal itu, panglima tua itu menuding sambil berteriak, "Kau bilang orang yang bernama Te-liong Hiangcu itu dapat dipercaya untuk diajak bekerja-sama sepenuh hati, tetapi sekarang buktinya bagaimana? Ia mengatakan para pemberontak akan menyerang sehabis hari pelantikan prajurit, namun ternyata sekarang malahan sudah bergerak. Mengobrak-abrik anak buah kita seolah-olah kita ini adalah orang-orang tolol pemakan tahi belaka! Bagaimana aku punya muka untuk menghadap Sri Baginda dalam persidangan pagi nanti? Sri Baginda semestinya sudah mendengar berita ini, dan lebih celaka lagi kalau beliau mendengarnya dari orang-orang yang tidak menyukai kita!"

Demikianlah, meskipun Pakkiong An seorang berdarah bangsawan dan cukup terhormat pula, namun kalau sudah marah tidak ada bedanya dengan orang-orang kalangan rendahan. Kata-kata kotor apapun diucapkannya. Hehou Im sempat menghitung panglima tua itu mengucapkan "pemakan tahi" duapuluh tiga kali, "pantat nenekmu" sebelas kali, "cucu kura-kura" enambelas kali dan macam-macam lagi. Selama itu Hehou Im membungkam seribu bahasa, sebab ia paham benar watak panglima tua itu, jika dibantah maka segala "gelar kehormatan" seperti cucu kura-kura dan sebagainya itu bakal dianugerahkan kepadanya.

* * * * * * *

BERITA pembongkaran penjara itu membuat. Pakkiong Liong masgul sekail. Susah-payah la menangkap Pangeran Cu hin-yang dan Li Tiang-hong sampai harus berkeliaran di padang ilalang di Hun-lam yang jauh sana, dan beberapa anakbuahnya telah gugur dalam tugas maha berat itu, bahkan dirinya sendiri hampir kehilangan nyawa beberapa kali. Dan tahu-tahu kini ia mendengar bahwa tawanan yang ditangkapnya dengan susah-payah itu sudah kabur kembali karena kelengahan pamannya.

Jika ia tidak mengingat bahwa Pakkiong An itu adalah adik ayahnya, ingin rasanya ia mencaci-maki panglima tua itu untuk melampiaskan kekesalannya. Namun kini kekesalannya itu hanya dapat disimpannya dalam hatinya sendiri, paling-paling diutarakan kepada sahabatnya yang paling dekat dengannya, Tong Lam-hou.

"Jadi pemimpin dari orang-orang yang menyembelih seisi desa Jit-siong tin itu lepas kembali?" tanya Tong Lam hou dengan geramnya, ketika mendengar cerita Pakkiong Liong itu.

"Ya.”

Wajah Tong Lam-hou nampak sekali menyembunyikan gejolak kemarahan. Baginya, pembunuh-pembunuh kejam yang bertanggung-jawab atas kematian orang-orang Jit-siong-tin itu harus dihukum tanpa ampun. Baik dia sebagai Tong Lam-hou pribadi maupun sebagai prajurit Kerajaan Manchu yang baru tadi pagi dilantik, kewajiban untuk memburu penjahat-penjahat itu akan tetap dipikulnya.

Namun sekarang dia sudah berkedudukan sebagai prajurit, bahkan seorang perwira berpangkat cong-peng, sehingga sebagai prajurit tidak sebebas dulu lagi. Ia terikat kepada kesatuannya, Hui-liong-kun, dan segala tindakannya tidak boleh lagi semaunya sendiri. Panggilan "A-liong" kepada sahabatnya itu juga hanya bisa diucapkan jika masing2 tidak sedang mengenakan seragamnya. Jika dalam seragam, maka Tong Lam-hou harus memanggil Pakkiong Liong dengan sebutan "Pakkiong Ciangkun" seperti lain-lainnya, supaya tata tertib ketenteraman tidak dirusak.

"Rasa-rasanya beberapa teman kita yang berkorban di padang ilalang di Hun-lam itu menjadi korban nyawa yang sia-sia," kata Tong Lam-hou sambil menarik napas.

"Sudahlah, tidak perlu terlalu dipikirkan, yang penting malam nanti kau harus menjamu makan aku dan teman-teman lainnya di rumahmu yang baru," kata Pakkiong Liong mengalihkan pembicaraan. "Sebagai perayaan atas keberhasilanmu menjadi seorang prajurit dari sebuah Kerajaan yang agung. Bahkan dalam ujian hari ketiga kau telah menunjukkan ilmu silatmu dengan baik sekali, sehingga pangkat cong-peng, langsung kau raih."

"Ah, itu hanya keberuntungan saja."

"Tidak, kau memang pantas menyandang pangkat Congpeng yang cukup tinggi itu. Bahkan kau pantas menjadi seorang Panglima, namun memang belum ada kedudukan Panglima yang lowong saat ini."

Tong Lam-hou tertawa. "Aku tidak ingin menjadi panglima segala, A-liong. Kedudukan yang kudapat sekarangpun sudah sangat menyenangkan aku. Yang penting aku dapat mengabdikan diriku kepada negara dan kaisar, sehingga negeri ini secepatnya mencapai ketenteraman untuk memberi kesempatan kepada penduduknya untuk bekerja dengan rasa aman."

"Bagus kalau kau sadari hal itu. Kedudukan kita ini sering disalah-gunakan orang, dianggap memberi kemudahan-kemudahan untuk kepentingan pribadi, namun sesungguhnya ini adalah pengabdian. Bahkan kalau perlu kita gugur di medan laga demi kejayaan negara."

"Benar, A-liong."

"Aku jemu berada di rumah tanpa pekerjaan, bagaimana kalau kita lihat pemandangan indah di luar kota?"

"Aku setuju saja. Bersama Ha To-Ji dan Han Yons-kim pula?"

Pakkiong Liong tersenyum menggoda. "Tentu saja mereka kita ajak, Tapi aku tahu bahwa yang ingin kau tanyakan sebenarnya bukan mereka bukan?"

Muka Tong Lam-hou menjadi agak merah dan ia tertawa kikuk, sementara Pakkiong Liong berkata lagi sambil tertawa, "Tentu saja adik sepupuku yang cerewet dan gemar mencubit itu harus ikut. Kalau ia tahu bahwa kita pergi tetapi tidak mengajaknya, besok pasti kulit lenganku akan mengelupas karena dicubitinya habis-habisan."

Tong Lam-hou merasa lega juga, daya tarik gadis Manchu yang bernama To Li-hua itu terasa makin lama makin kuat sampai ia merasa bahwa dirinya sudah terikat dan tidak bisa berpisah lama dengan gadis itu. Kadang-kadang timbul keinginan Tong Lam-hou untuk menjemput ibunya di Tiam-jong-san sana, untuk diboyong ke Pak-khia untuk ditunjuki rumahnya yang besar, sebab sebagai perwira berpangkat cong-peng ia berhak mendapatkan sebuah rumah yang cukup besar. Namun lebih dari itu. Tong Lam-hou ingin mendekatkan ibunya dengan To Li-hua. Keduanya adalah perempuan-perempuan penting bagi kehidupan Tong Lam-hou.

Demikianlah, sementara Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan lain-lainnya meneyegarkan diri di luar kota Pak-khia maka di ruangan belakang rumah gedung Pakakiong An yang tertutup,tengah berlangsung sebuah pertemuan rahasia.

Pakkiong An duduk didampingi puteranya, Pakkiong Hok, serta beberapa perwiranya yang terpercaya yang diikutsertakan dalam komplotan rahasianya. Hehou Im dan Ibun Hong rampak di antara mereka, dan di hadapannya pula duduklah sekutu barunya yang datang dan pergi seperti siluman tak berbadan kasar saja, Te-liong Hiangcu.

"Semuanya tidak bisa ditimpakan ke pundakku sebagai kesalahanku," kata Te-liong Hiangcu dengan suaranya yang bergulung-gulung dalam perut itu. Matanya, satu-satunya bagian tubuhnya dari kepala sampai kaki yang tidak tertutup kain hitam, nampak mencorong memandang Pakkiong An dengan tajamnya. Lalu ia melanjutkan kata-katanya, "Adalah di luar dugaan bahwa si keledai gundul Bu-sian Hweshio itu tiba tiba mengajukan saat serangan itu....”

"Tetapi bukankah Hiangcu ada di antara mereka dan Hiangcu bisa bersuara untuk menentang pengajuan rencana serangan itu?" tanya Pakkiong Hok dengan suara tajam.

"Dalam tubuh kaum pemberontak itu, aku hanya menyamar sebagai seorang tokoh kecil yang tidak banyak berpengaruh. Aku sudah mengusulkan agar saat penyerangan itu tidak dimajukan, dengan berbagai alasan yang kira-kira bisa diterima mereka. Namun semua usul usul mereka tolak mentah-mentah, dan dalam penyamaranku gerak-gerikku terbatas pula, sehingga aku terpaksa hanya mengikuti arus saja."

"Tapi bukankah Hiangcu sebenarnya dapat memberi isyarat-isyarat kepada kami sehingga kamipun dapat bersiap-siap?" tanya Pakkiong Hok lagi.

"Mana sempat aku memberi isyarat. Malam itu juga mereka langsung membagi bagi seluruh rombongan menjadi regu-regu dengan tugas yang berbeda-beda, dan langsung berangkat pula ke sasaran. Aku termasuk dalam salah satu kelompok, dan sepanjang jalan aku benar-benar tidak punya kesempatan sedikitpun untuk memisahkan diri. Aku tidak ingin mengorbankan penyamaranku yang telah berjalan dengan baik selama bertahun-tahun," sahut Te-liong Hiangcu.

Pakkiong Ar. dan lain-lainnya sebenarnya masih belum puas dengan jawaban Te-liong Hiangcu itu, namun mereka tidak dapat mendesak lebin lanjut. Mereka kuatir membuat marah orang yang gerak-geriknya mirip siluman itu, dan jika sampai ia marah, maka celakalah orang yang membuatnya marah. Hidupnya tidak akan tenang lagi sebab setiap saat batok kepalanya akan diambil. Ibun Hong yang pernah melihat keganasan Te-liong Hiangcu, lebih-lebih tidak berani bersuara sedikitpun. Ia hanya mengikuti pembicaraan, sambil berusaha mencari kedudukan yang paling aman buat dirinya.

Sementara itu, suara Te-liong Hiangcu mulai mengeras, "Kalian kira aku ini apa? Seorang tertuduh di depan pengadilan dan kalian adalah penuntut-penuntutnya? Aku tidak sudi diperlakukan demikian. Aku sudah menjalankan kerjasama dengan baik, tetapi pihak kalianpun tidak bersih dari kesalahan dalam hal kebobolan penjara itu."

"Dapatkah Hiangcu menyebutkan kesalahan kami?”

"Kalian kurang rapat menyimpan rahasia. Mata-mata kaum pemberontak itu bahkan tahu kalian mempersiapkan diri untuk menjaring mereka, itu berarti ada perwira bawahan Pakkiong Ci-angkun yang membocorkan rencana untuk menjaring mereka. Bahkan para pemberontak itu memiliki sebuah peta lengkap yang menggambarkan keadaan penjara, kata pengemis yang bernama Sun Ciok-peng itu, peta itu didapatkan dari seorang perwira bawahan Ciangkun yang telah disuapnya. Nah, bukankah kebocoran ini datang dari pihak kalian? Kenapa sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadaku?"

Di hadapan seorang Panglima Besar seperti Pakkiong An ternyata sikap Te-liong Hiangcu tetap saja beringas, rupanya ia sangat percaya akan ketinggian ilmunya sendiri, sehingga siapapun tidak ditakutinya. Tetapi terhadap Pakkiong An sendiri ia masih berusaha bersikap sungkan, sebab ia tahu bahwa perwira tua itu merupakan alat yang banyak gunanya dalam ambisinya untuk mencapai kedudukan Bu-lim Bengcu (Pemimpin Rimba Persilatan). Pakkiong An juga memiliki pengaruh terhadap beberapa Panglima atau Penguasa-penguasa di daerah-daerah tertentu, sehingga di bawah pengaruhnya ada ratusan ribu prajurit yang tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sedang Pakkiong An yang masih membutuhkan kerjasama dengan "manusia siluman" yang dapat menusup ke segala tempat itu, juga bersikap sungkan kepada Te-liong Hiangcu. Ketika ia melihat anaknya hendak mendebat lagi kepada Te-liong Hiangcu yang berpakaian serba hitam dan berkerudung hitam pula itu, maka Pakkiong An cepat-cepat mengangkat tangannya sebagai isyarat agar anaknya diam dulu. Lalu berkatalah Pakkiong An,

"Yang sudah lalu biarlah lalu, toh andaikata kita berdebat semalam suntuk di tempat ini, keadaan tidak akan berubah. Yang penting, kita harus saling percaya, dan kita tetapkan langkah langkah kita berikutnya."

Kepala Te-liong Hiangcu yang terbungkus kain hitam dan hanya kelihatan matanya itu kelihatan terangguk-angguk. "Itulah sikap yang bijaksana dari Pakkiong Ciangkun. Kita saling membutuhkan, itu harus kita akui."

Yang merasa kurang senang hanyalah Pakkiong Hok. Sejak semula putera Pakkiong An ini memang sudah merasa tidak setuju kenapa ayahnya bersekutu dengan mahkluk serba hitam ini? Bagi Pakkiong Hok, itu sangat merugikan pihaknya, sebab pihaknya ibaratnya berada di tempat terang sedangkan sekutunya ada di tempat gelap. Te-liong Hiangcu tahu rumah Pakkiong An, tahu semua anggota komplotannya dan tahu pula rencana-rencananya. Sebaliknya pihak. Pakkiong An tidak tahu dimana tempat tinggal Te-liong Hiang-cu, bahkan wajahnyapun tidak diketahui.

Namun semuanya sudah terlanjur, persekutuan itu sudah terlanjur terjadi dan untuk memutuskan begitu saja tentu amat berbahaya, sebab Te-liong Hiangcu bisa membongkar rahasia Pakakiong An yang mengincar tahta kerajaan itu. Kini yang dipikirkan oleh Pakkiong Hok yang licin itu adalah cara bagaimana menyeimbangkan kedudukan kedua pihak dalam persekutuan gelap itu.

Tiba-tiba sebuah cahaya terang bagaikan menerangi benak Pakkiong Hok. Jika ia bisa mendapatkan keterangan tentang siapa orangnya yang mengusulkan agar saat penyerangan jangan diajukan, pada waktu penyusunan rencana serangan kaum pemberontak itu, dari dialah barangkali dapat diselidiki siapakah sebenarnya Te-liong Hiangcu ini.

Meskipun andaikata ditemukan, barangkali orang itupun merupakan tokoh palsu atau tokoh samaran, toh lebih baik mengetahui jejaknya daripada tidak sama sekali. Tidak ada samaran yang tanpa kelemahan sama sekali, demikian pikir Pakkiong An dengan sepenuh keyakinannya. Demikianlah untuk sementara dia puas dengan pendapatnya sendiri, dan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, ia menghembuskan napas lega.

Semua yang ada di ruangan itu tak ada yang bisa menebak apa yang ada di dalam benak Pakkiong An yang cerdik dan pikirannya berbelit-belit itu. Bahkan Te-liong Hiangcu yang menakutkan itupun tidak sadar bahwa "kebocoran" mulutnya yang tidak disengaja tadi telah memperlihatkan sedikit lubang kelemahan dalam usaha untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Sebenarnya orang berkerundung hitam itu memang bukan orang yang terlalu pintar otaknya. Ia hanya kejam, berilmu silat tinggi, bertindak tidak tanggung-tanggung dan mempunyai jaringan anak buah yang luas yang disusupkan ke berbagai perguruan dan golongan. Namun dalam kecerdasan otak, ia masih beberapa tingkat di bawah Pakkiong Hok.

Setelah berkasak-kusuk sebentar, Te-liong Hiangcu kemudian berpamitan kepada Pakakiong An dan meninggalkan rumah itu. Seperti kedatangannya, maka kepergiannyanyapun dengan cara mirip hantu. Tubuhnya seolah-olah berhembus ringan lewat jendela, dan lenyaplah ia tak terlihat lagi, meskipun di siang hari bolong.

"Orang yang hebat!" desis Ibun Hong dan seorang perwira anggota komplotan lainnya.

Namun Pakkiong Hok tertawa dingin dan menyahut, "Hanya hebat dalam ilmu silat, tetapi tidak hebat dalam hal ini," katanya sambil mengetuk-ngetukkan jari ke keningnva sendiri. "Tidak lama lagi, aku akan tahu siapa dia sebenarnya," kata Pakkiong Hok dengan yakin.

Dan di sini ternyata Pakkiong Hok yang maha pintar itupun membuat kesalahan pula. Diucapkannya kata-kata sombongnya itu dengan penuh keyakinan bahwa perwira-perwira yang mendengarnya itu akan tetap setia kepada ayahnya. Tidak diketahuinya bahwa Hehou Im adalah seorang yang berdiri di atas dua perahu, seekor ular berkepala dua yang tidak ragu-ragu menggigit kemanapun arahnya asal menguntungkan diri sendiri.

Dan diam-diam Hehou Im mencatat baik-baik ucapan takabur Pakkiong Hok itu dalam hatinya. Jika yang mengucapkannya bukan Pakkiong Hok, kata-kata itu boleh dianggap sebagai angin lalu saja, namun karena yang mengucapkannya adalah seorang anakmuda yang cerdik dan penuh akal bulus seperti Pakkiong Hok, maka bobot ucapannya tentu lain.

Sementara itu, orang berkerudung itu masuk ke dalam sebuah rumah reyot yang terletak di sebuah gang yang sepi di belakang gedung-gedung yang tinggi. Yang kemudian keluar dari rumah kecil itu ternyata bukan lagi seorang berpakaian serba hitam yang tatapan matanya menyeramkan, melainkan seorang tua yang tampangnya rada ketolol-tololan, namun berpakaian seperti kalangan dunia persilatan. Dialah He Keng-lian, ketua perguruan silat Ho-lian-pay. Sebuah perguruan silat kecil yang hampir tak ada artinya dalam percaturan kekuatan di dunia persilatan.

Ketika He Keng-lian keluar dari gang dan berada di jalan ramai, ia hampir saja bertabrakan dengan seseorang yang berpakaian seperti seorang saudagar kecil-kecilan. Orang yang berpakaian saudagar itu tertawa, dan bertanya, "Bagaimana perundingannya?"

"Tidak penting kau ketahui. Tapi ada hal yang lebih penting lagi, mari kita cari tempat yang aman untuk berbicara."

Kedua orang ttupun kemudian berjalan berdampingan menuju ke suatu arah. Dalam pandangan orang banyak, mereka seperti dua sahabat yang akrab, sedang berjalan bersama-sama untuk minum teh di suatu kedai. Namun ternyata mereka menuju ke sebuah rumah penginapan murahan yang letaknya agak jauh dari jalan besar.

"Aku menginap di sini," kata orang yang berpakaian seperti saudagar kecil itu.

"Baik, kita berbicara di kamarmu," kata He Keng-lian sambil setengah mendorong orang itu masuk ke dalam. Sapaan ramah dari pemilik penginapan di depan pintu tidak mereka hiraukan.

Tiba di dalam kamar, orang berpakaian saudagar itu cepat-cepat menutup pintu, lalu dengan suara tidak terlalu keras ia memberi hormat, "Salam kepada Hiangcu!"

"Duduklah, apakah kamar di sebelah-menyebelah kamarmu ini ada orangnya?" tanya He Keng-Liang sebelum mulai dengan pembicaraannya.

"Kedua-duanya kosong, kita bisa bicara dengan bebas," sahut orang yang berpakaian saudagar kecil-kecilan itu.

He Keng-liang mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu bertainya, "Nah, bagaimana hasil penyelidikanmu terhadap prajurit baru dari Tiam-jong-san itu?"

Orang berpakaian saudagar kecil itu duduk di sebuah kursi, lalu sambil menarik napas ia. berkata, "Dugaan Hiangcu sungguh tepat. Orang itu bernama Tong Lam-hou, dan ternyata memang benar-benar putera Tong Wi-siang. Ia memiliki sebuah kalung batu kumala hijau yang berukirkan nama ayahnya."

Sepasang alis He Keng-liang berkerut, dan matanya yang biasanya bersinar ketolol-tololan itu tiba-tiba bersinar tajam. Menyeramkan dan mengandung nafsu membunuh yang berkobar. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sambil bergumam,

"Sekarang kita sudah pasti siapa anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu, jadi kita tidak boleh ragu-ragu untuk memusnahkannya. Dulu ayahnya sebagai Hwe Hwe-liong Pangcu adalah musuh besarku, meskipun kami seperguruan, dan kini aku tidak boleh membiarkan anaknya hidup dan kelak menikamku dari belakang. Anak harimau harus dibunuh sebelum tumbuh taringnya."

Orang yang berpakaian sebagai saudagar itu bernama Seng Cu-bok. Diam-diam ia berdebar-debar juga kalau-kalau ia yang akan ditugaskan untuk membunuh Tong Lam-hou, sebab ia sadar bahwa kemampuannya jauh di bawah kemampuan Tong Lam-hou. Bahkan sejak Tong Lam-hou menjadi seorang perwira Hui-liong-kun.

Maka di kalangan prajurit telah berkembang istilah "Pak-liong Lam-hou" (Naga di Utara, Harimau di Selatan), menunjukkan betapa keperkasaan Tong Lam-hou dianggap telah dapat disejajarkan dengan Pakkiong Liong yang punya nama besar jauh sebelum Tong Lam-hou datang ke Pak-khia.

Namun hati Seng Cu-bok menjadi lega setelah mendengar ucapan He Keng-liang, "Dengan tanganku sendiri akan kubereskan si Harimau Selatan itu. Ia tidak berarti apa-apa bagiku. Namun kau harus memancingnya ke tempat yang sepi, paham?"

"Paham," sahut Seng Cu-bok dengan jantung masih agak berdebaran. Pekerjaan memancing Tong Lam-hou ke tempat sepi itulah sebenarnya cukup berbahaya, bagaimana kalau Tong Lam-hou dapat mengejarnya dan menangkapnya? Tapi tidak bisa tidak tugas itu harus diterimanya. He Keng-liang yang bukan lain adalah samaran dari Te-liong Hiang-cu itu, adalah sejenis orang yang tidak ingin dibantah setiap perintahnya. Asal anakbuahnya menunjukkan sikap ragu-ragu sedikit saja, maka kematian adalah bagiannya.

"Satu hal lagi ingin aku laporkan kepada Hiangcu," kata Seng Cu-bok. "Apa?"

"Aku telah melihat Siangkoan Hong juga berkeliaran di kota ini. untung dia tidak mengenali aku. Kalau ia tahu aku di sini, habislah riwayatku."

Di hadapan seorang Panglima seperti. Pakkioong An, He Keng-liang alias Te-liong Hiangcu masih berani marah-marah dan membentak-bentak. Terhadap nama besar Pakkiong Liong dan Tong lan-hou dia juga tidak takut. Tapi aneh, begitu mendengar Siangkoan Hong, tubuhnya tiba-tiba bergetar, mulutnya bergerak-gerak namun tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Hiangcu, kau kenapa?" tanya Seng Cu-bok.

"Jadi... jadi... setan gila Siang-koan Hong itu ternyata belum mati?" tanya He Keng-liang dengan suara agak gemetar. "He, Seng Cu-bok, apakah kau juga melihat bekas tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya seperti Lim Hong-ping yang-dulu bergelar Kim-liong Hiangcu?"

"Tidak, Hiancu. Aku lihat Siangkoan Hong yang dulu bergelar Thian-liong Hiangcu itu terjalan seorang diri saja, tidak bersama-sama dengan Lim Hong-ping. Namun aku tidak dapat memastikan apakah Lim Hong-ping ada di kota ini juga atau tidak..."

Nampaknya He Keng-liang mengalami ketakutan yang di luar kebiasaannya. Dengan lunglai ia duduk kembali ke kursinya, lalu menggumam, "Wah, pekerjaanku sekarang, benar-benar bertambah sulit. Jika orang-orang gila itu bermunculan kembali, tujuan mereka pasti bukan lain untuk mencariku, membalaskan dendam Tong Wi-siang. Si bocah gunung Tong Lam-hou itu aku tidak gentar sedikitpun, tetapi lain halnya dengan Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping. Mereka berdua adalah saudara-saudara seperguruan Tong Wi-siang pula, seperti aku juga, dan segala ilmu yang aku miliki juga mereka miliki pula."

"Mereka belum tentu bisa mengalahkan Hiangcu," kata Seng Cu-bok mencoba menghibur. "Bukankah selama berpuluh tahun ini Hiangcu terus menerus berlatih dan menyempurnakan ilmu?"

"Ya. Tetapi apakah kau kira Siangkoan Hong dan Lim Hong-ping selama ini juga cuma duduk bertopang dagu? Aku tahu betapa besar semangat latihan mereka, dan betapa besar pula dendam mereka kepadaku. Ketika kami masih sama-sama berada di Tiau-im-hong dulu, aku saksikan sendiri betapa hebat latihan mereka. Aku ini terhitung paling malas di antara kami berempat saudara seperguruan."

Penampilan He Keng-lian alias Te-liong Hiang-cu kali itu memang benar-benar lain daripada yang lain. Biasanya ia hanya menepuk dada membanggakan kepandaiannya, memamerkan kekejamannya tanpa tanggung-tanggung, namun kini ia nampak gentar kepada nama-nama yang disebut tadi. Cuma Seng Cu-bok tidak berani mentertawakannya, sebab kepalanya masih dibutuhkannya di atas tubuhnya, ia sendiri sebagai bekas orang Hwe-liong-pang pengikut Te-liang Hiangcu juga tahu benar betapa tingginya ilmu saudara-saudara seperguruan Hwe-liang Pangcu yang bernama Siangkoan Hong adan Lim Hong-ping itu.

Te-liong Hiangcu sendiri nampaknya agak tersipu setelah ia sadar bahwa ia sudah menunjukkan sikap gentarnya di hadapan anak buahnya. Sikap yang sangat memalukan. Maka buru-buru ia berucap untuk memperbaiki pandangan anak buahnya terhadap dirinya,

"Eh, kelihatannya aku takut kepada mereka bukan? Sebenarnya aku tidak takut. Aku sanggup mengalahkan Siang-koan Hong dan Lim Hong-ping satu persatu, tapi yang aku kuatirkan adalah jika mereka maju berbarengan, mana bisa dua tangan menghadapi empat tangan?"

"Benar, Hiangcu, mana bisa ilmu Hiangcu yang maha tinggi itu dikalahkan siapapun di dunia ini? Kecuali dengan main keroyok," kata Seng Cu-bok menjilat terang-terangan "Tapi aku rasa mereka sulit menemukan Hiangcu, sebab penyamaran Hiangcu sangat sempurna. Bahkan orang-orang Ho-lian-pay sendiri mengira Hiangcu adalah si tolol He Keng-liang itu. Ha-ha-ha...."

Te-liong Hiangcu yang menyamar sebagai He Keng-liang itupur tertawa. "Benar, demi cita-citaku yang besar, aku tidak boleh terpancing keluar oleh orang-orang gila macam mereka berdua itu. Seng Cu-bok, ada berapa orang-orang kita yang sedang ada di Pak-khia ini?"

"Ada sebelas orang termasuk aku sendiri dan Say-ya-jat (si hantu Malam) Tong King-bun," sahut Seng Cu-bok.

"Bagus, hubungi mereka dan suruh mereka meninggalkan kota Pak-khia secepatnya, jangan sampai kepergok oleh Siangkoan Hong atau Lim Hong Ping jika iapun ada di kota ini. Setelah itu kaupun harus pergi. Ingat, jangan dengan cara yang menyolok..."

"Baik, Hiang-cu."

"Dan dengan munculnya si setan Siangkoan Hong itu, hentikan dulu semua kegiatan orang-orang, kita, agar tidak sampai tercium oleh Siangkoan Hong. Selanjutnya, tunggu perintahku."

"Baik, Hiangcu. Tetapi kalau aku harus keluar kota, bagaimana dengan tugasku untuk memancing Tong Lam-hou itu?"

"Kucabut dulu untuk sementara. Urusan Tong Lam-hou biar kupikirkan perlahan-lahan, aku memang harus membunuhnya agar tidak menjadi duri dalam daging, namun tidak perlu terburu-buru. Eh, dima mana kau lihat Siangko-an Hong tadi?"

"Dekat Tiau-yang-kiong sebelah timur Istana Kerajaan...."

"Dan di mana rumah prajurit baru yang bernama Tong Lam-hou?"

"Di dekat perkampungan orang-orang asing dekat pintu selatan."

Te-liong Hiangcu mengangguk-anggukkan kepalanya, sebuah rencana yang jahat muncul dibenaknya. "Letak kedua tempat itu berjauhan satu sama lain. Jika aku datangi Tong Lam-hou dan aku cekik dia di rumahnya sendiri, maka hanya satu kemungkinan berbanding seratus ribu aku kepergok Siang-koan Hong. Satu keuntunganku, aku sudah tahu dimana Siangkoan Hong, sebaliknya ia belum tahu kalau aku ada di kota ini, jadi aku lebih berhati-hati. Lagi pula wujudku sebagai He Keng-liang pasti sulit dikenal olehnya," demikian pikir bekas orang nomor dua di Hwe-iiong-pang itu.

"Aku sudah boleh pergi, Hiangcu?" tanya Seng Cu-bok.

"Mari kita pergi bersama-sama."

"Hiangcu tetap ingin membunuh Tong Lam-hou?"

"Ya, tetapi tidak perlu lagi dengan memancingnya keluar segala, akan aku datangi saja rumahnya nanti malam, dan aku bunuh ia di dalam rumahnya. Kalau kupancing ke luar rumah malahan besar kemungkinannya akan bertemu dengan Siangkoan Hong dan urusanku bakal terganggu."

"Hati-hatilah, Hiangcu. Dia hampir selalu bersama-sama dengan Pakkiong Liong dan beberapa perwira lainnya."

"Hemm, anak-anak ingusan itu tidak kupandang sebelah mata. Lima Pak-kiong Liong dan lima Tong Lam-hou masih belum apa-apa buatku."

Demikianlah kedua orang itu keluar dari penginapan itu. Bahkan Seng Cu-bok langsung membawa seluruh bekalnya karena ia akan segera meninggalkan kota Pak-khia bersama rekan-rekan sekomplotannya.

"Ah, tuan besar Seng kenapa kau terburu-buru pergi dari penginapanku? Bukankah katamu kau akan di kota ini beberapa hari lagi?" kata si pemilik penginapan, "apakah karena pelayanan kami kurang memuaskan?"

"Ya, sangat tidak memuaskan," kata Seng Cu-bok sambil menggunakan telapak tangannya untuk mencengkeram wajah pemilik penginapan itu dan mendorongnya kuat-kuat sehingga jatuh ke lantai. Pemilik penginapan itu dengan wajah pucat menatap kebingungan, entah apa kesalahannya?

Ketika sudah agak jauh dari rumah penginapan itu Te-liong Hiangcu bertanya, "Apakah kau selalu bersikap demikian kasar kepada setiap orang?"

Seng Cu-bok menyeringai bangga untuk mencari muka dari Te-liong Hiangcu, katanya, "Ya, aku meniru Hiangcu. Tegas, tidak ragu-ragu dan..."

"Tolol!" tiba-tiba suara Te-liong Hiangcu menjadi dingin menyeramkan. "Kau sangat tolol. Dengan berbuat kasar dan aneh-aneh di tempat umum seperti itu, kau akan mudah menarik perhatian, dan kerahasiaan komplotan kita akan terancam oleh ulahmu yang memuakkan itu. Aku juga bersikap keras, tapi jika sedang menyamar sebagai He Keng-liang, maka akupun menjadi persis sama seperti si tua tolol Ketua Ho-lian-pay itu. Begitu pula jika aku sedang menyamar sebagai orang lain."

Seng Cu-bok menjadi gemetar ketika melihat usahanya untuk menjilat Te-liong Hiangcu itu malahan membuatnya marah. Apakah ia akan dibunuh? Ternyata tidak, Te-liong Hiangcu yang berwujud He Keng-liang itu hanya memberinya teguran keras,

"Ingat, ini peringatanku yang terakhir. Jika kelak kau menyamar sebagai apapun, lakukan sebaik-baiknya. Jika kau menjadi penyebab kebocoran rahasia komplotan kita, hati-hatilah dengan batok kepalamu."

"Ya... ya... terimakasih, Hiangcu. Aku memang bersalah...."

"Nah, kita berpisah di sini. Ingat semua perintahku dan pesanku,"

"Baik, Hiangcu."

Keduanyapun berpisah di tengah jalan, dan Seng Cu-bok boleh menarik napas lega setelah berpisah dengan majikannya yang menakutkan itu. Bukan hanya menakutkan, bahkan juga mempunyai seribu satu macam wajah yang berbeda beda, membuat ia tidak berani berknianat sedikitpun. Selama ini ia hanya tahu bahwa He Keng-liang yang memimpin Ho-lian-pay adalah He Keng-liang palsu, sementara yang asli disingkirkan.

Namun wajah He Keng-liang itu hanya satu dari seribu satu wajah Te-liong Hiangcu. Sedang wajah-wajah lainnya tidak diketahuinya. Jika ia berbicara dengan teman-teman sekomplotannya untuk mencocokkan penglihatan mereka tentang Te-liong Hiangcu, maka simpang-siurlah pendapat di antara mereka sendiri. Ada yang bilang Te-liong Hiangcu itu selalu muncul dengan wajah seorang tua yang kurus, lainnya bilang Te-liong Hiangcu itu seorang pemuda yang tampan, lainnya lagi menyebut seorang lelaki berewokan bermuka jelek.

Malahan ada yang pernah bertemu Te-liong Hiangcu dalam ujud seorang perempuan ayu. Dengan demikian semua anakbuah merasa terkekang dan tidak berani punya pikiran untuk berkhianat, bahkan merekapun saling mencurigai di antara sesama mereka sendiri, jangan-jangan di antara mereka itu terdapat samaran Te-liong Hiangcu sendiri?

Sambil melangkah pergi, Seng Cu-bok menggerutu dalam hatinya, "Inilah harga yang harus kubayar untuk sebuah cita-cita besar yang belum terwujud. Seluruh kebebasanku telah lenyap, seolah-olah Te-liong Hiangcu mengintai dan mendengar segala gerak-gerikku di segala tempat dan keadaan."

Sementaraa itu, hari telah malam ketika Tong Lam-hou kembali ke rumahnya yang dihadiahi oleh Peng-po-ceng-tong. Rumah itu tidak besar tidak kecil, sedang-sedang saja, dikelilingi kebun bunga yang teratur rapi dengan rumpun-rumpun bambu kerdil bertebaran di halaman depan dan samping. Agaknya Tong Lam-hou terpengaruh oleh kesederhanaan pengaturan rumah Pakkiong Liong, sehingga rumahnya yang tidak besar itupun diatur dengan gaya yang mirip rumah sahabatnya dan panglimanya itu. Perabotannya sederhana saja, dan banyak yang terbuat dari bambu bertutul-tutul sehingga menimbulkan suasana sejuk di dalam rumah.

Ketika Tong Lam-hou datang ke rumahnya dan melihat semua lampu sudah menyala, perabotan teratur rapi dan lantai dalam tersapu bersih, maka tahulah Tong Lam-hou bahwa suami isteri Ciu Toasiok (paman Ciu) yang menjadi pembantu-pembantunya itu sudah mengerjakan tugasnya dengan baik selama ia pergi. Mereka adalah suami isteri setengah baya yang bertempat tinggal selisih dua rumah dari rumah Tong Lam-hou.

Dengan upah sekedarnya, mereka akan membantu Tong Lam-hou dalam mengurus rumahnya, dan bibi Ciu menyediakan masakan buatnya. Bukan karena Tong Lam-hou malas, melainkan karena sebagai seorang perwira tugasnya banyak, waktunya tidak seluang dulu lagi, dan Tong Lam-hou ingin agar tugas-tugas perwiranya tidak terganggu oleh urusan tetek bengek seperti menyapu halaman, mencuci piring atau memasak nasi. Semuanya diserahkan kepada paman Ciu dan isterinya, hitung-hitung memberi tambahan penghasilan kepada suami-isteri itu.

Sore itu Tong Lam-hou baru saja ikut melatih pasukan di luar kota Pak-khia, tubuhnya masih berlapis debu dan keringat, pakaian seragam perwiranya yang masih baru itupun nampak kotor oleh debu. Ketika ia melangkahi ambang pintu, ia tersenyum sendiri ketika melihat lilin-lilin sudah menyala, dan di ruangan dalam sudah tersedia hidangan yang tergelar di atas meja. Semuanya masih tertutup di bawah tudung bambu, namun sayup-sayup hidung Tong Lam-hou dapat mencium bau sayur lobak kesukaannya di antara bau-bau lainnya.

"Bibi Ciu tidak melupakan pesannanku," kata Tong Lam-hou seorang diri sambil tertawa. "Tetapi masakan sayur lobaknya tentu tidak dapat menandingi hasil karya ibu."

Sekilas ia teringat kepada ibunya yang terpisah berpuluh-puluh ribu li di Tiam-jong-san sana. Di dalam sebuah gubuk terpencil di lereng gunung, tidur meringkuk di bawah selimutnya yang kumal dan robek-robek, dan Tong Lama-hou Juga tahu bahwa ibunya pasti sangat kangen kepadanya. Hampir-hampir Tong Lam-hou meneteskan air matanya, namun dikuat-kuatkannya hatinya.

“Begitu aku mendapat cuti pertamaku, aku segera menjemput ibu ke rumah ini," demikian rencananya dalam hati. "Saat-saat dekat ini kita belum bisa berkumpul ibu, sebab aku sudah mendengar kabar angin bahwa pasukan kami akan mendapat tugas untuk menumpas pemberontakan di daeah Tay-teng. Dan aku sebagai prajurit baru akan mendapat kesempatan untuk menunjukkan baktiku kepada Negara dan Kaisar. Aku akan membuat pahala yang besar! sehingga namaku harum, dan kelak ibu akan bangga kepadaku."

Ketika ia mendengar suara daun pintu berderak tertiup angin, maka Tong Lam-hou tersentak dari lamunannya. Lalu ia tertawa sendiri dan dirasakannya perutnya yang lapar. Dilepaskannya ikat pinggang kulitnya di mana pedangnya tergantung dalam rangkanya, dan digantungkannya di dinding ruangan tengah. Kemudian ia pun melangkah untuk membersihkan diri.

Ia benar-benar tinggal seorang diri di rumah itu. Paman dan bibi Ciu yang membantunya itu hanya berada di rumah itu dari pagi sampai sore, dan malamnya mereka pulang ke rumahnya masing-masing karena merekapun punya beberapa anak yang harus mereka urus. Selesai mandi, dan memakai pakaian ringan, Tong Lam-hou mulai membuka tudung bambu itu. Mangkuknya sudah terisi nasi yang sudah agak dingin, namun ia tak peduli dan langsung meraih mangkuk berisi sayur lobak kesayangannya.

Namun begitu ia mengaduk sayur itu dengan sumpitnya, terkejutlah Tong Lam-hou. Di dalam kuah itu, di dasar mangkuk, ternyata ada seekor kalajengking berwarna hijau tua yang sangat beracun. Jika kalajengking itu sudah "Berendam" di dalam kuah sayur lobak itu sejak tadi, maka racunnya tentu sudah mencemari makanan kesayangan Tong Lam-hou itu, dan tentu saja tidak bisa dimakan lagi kecuali kalau kepingin mampus.

Tong Lam-hou menggeleng-gelengkan kepala sambil mendorong mangkuk itu menyingkir dari hadapannya. Desahnya, "Ah, bibi Ciu berbuat ceroboh hari ini. Bagaimana mungkin seekor kalajengking bisa masuk ke dalam sayurannya?"

Lalu diraihnya mangkuk lauk lainnya, namun sekali lagi Tong Lam-hou dikejutkan dengan penemuan seekor kalajengking pula di kuah tahu itu. Dari jenis yang sama. Lalu dibukanya mangkuk-mangkuk lainnya, semuanya ternyata telah diracuni! Bahkan nasi yang hanya sebakul kecil itupun sudah beracun semua. Tong Lain-hou menjadi curiga, ini pasti bukan sekedar keteledoran bibi Ciu. Ini adalah suatu kesengajaan untuk membunuhnya. Tapi siapa? Apakah bibi Ciu yang kelihatan baik dan ramah itu ingin membunuhnya?

Tengah Tong Lam-hou kebingungan, tiba-tiba didengarnya suara tertawa seram bergema di ruangan itu. Dengan terkejut Tong Lam-hou memutar tubuh dan bersikap siaga, ia terkejut karena ada orang dapat masuk ke ruangan itu tanpa diketahuinya, menandakan bahwa ilmu orang itu amat tinggi. Tong Lam-hou yang sejak meninggalkan Tiam-jong-san belum pernah kalah berkelahi itu, kini diam-diam merasa waswas.

Pada pintu yang menghubungkan ruangan depan dengan ruangan tengah, nampaklah orang tertawa seram itu, dan ujudnyapun ternyata seseram suara tertawanya tadi. Ia berpakaian serba hitam dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, namun wajahnya tertutup selembar topeng dari perunggu yang ber-bentuk tengkorak yang mengerikan, berkilat kehijau-hijauan. Sementara sepasang mata dari balik topeng itu lebih pantas disebut sebagai mata iblis dari pada mata manusia. Dan dengan sikap seenaknya orang itu berdiri bersandar ambang pintu sambil berpeluk tangan.

“Sialan kau, bangsat kecil, kenapa tidak kau telan saja makanan beracun itu agar aku tidak usah mengeluarkan keringat untuk mencekikmu hingga mampus?" geram orang bertopeng tengkorak itu.

"Siapa kau? Apakah di antara kita ada permusuhan sehingga kau bermaksud membunuhku?" bentak Tong-lam-hou yang tetap dalam sikap siaga.

Orang itu tidak merubah sikapnya yang santai, dan jawabnya dingin, "antara aku dan kau memang benar tidak bermusuhan. Ketika aku malang-melintang di rimba persilatan, barangkali kau masih mendekam dalam perut ibumu."

"Lalu kenapa kau ingin membunuhku?"

"Karena kau adalah anak Tong-wi-siang. Jadi kematianmu malam ini, anak manis, bukan karena kesal karenamu tetapi karena orang tuamu."

Bergetarlah dada Tong Lam-hou mendengar orang bertopeng tengkorak itu sudah menyebut-nyebut tentang ayahnya. Namun sebagai seorang anak muda berwatak jantan, ia pantang mengingkari ayahnya sendiri hanya untuk mencari keselamatan diri, malahan ia menyahut dengan bangga, "Memang, akulah Tong Lam-hou anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa. Kau sendiri siapa?"

"Menjelang ajalmu biar aku berterus-terang kepadamu supaya kelak arwahmu tidak menjadi setan penasaran yang berkeliaran mengganggu penduduk di sekitar sini. Dengar baik-baik. Dulu aku adalah saudara seperguruan ayahmu, gelarku dalam Hwe-liong-pang adalah Te-liong Hiang-cu."

Tiba-tiba dada Tong Lam-hou terguncang keras sekali, darahnya mendidih dan kemarahan mulai membakar jiwanya. Ia pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya punya tiga orang saudara seperguruan, namun salah seorang dari mereka telah berkhianat bersama pengikut-pengikutnya, sehingga Hwe-liong-pang yang dengan susah-payah didirikan oleh ayahnya itu hancur berantakan karena perpecahan.

Bahkan Te-liong Hiangcu pernah berkomplot dengan penguasa dinasti Beng untuk menggempur markas perkumpulannya sendiri. Secara tidak langsung, bolehlah dianggap bahwa Te-liong Hiangcu inilah yang membunuh ayahnya. Maka dalam diri Tong Lam-hou tiba-tiba berkobar dendam hebat untuk membalas sakit hati ayahnya yang sejak kecil belum pernah dilihatnya itu.

"Jadi kau adalah saudara seperguruannya yang berhati khianat itu?" kata Tong Lam-hou marah sambil menudingkan jarinya.

Terlalu yakin akan dirinya, maka Te-liong Hiangcu sama sekali tidak ingkar semua perbuatan masa lalunya, "Benar, karena ayahmu terlalu lunak memegang pimpinan Hwe-liong-pang, maka aku mencoba merebut kekuasaannya untuk menjadikan Hwe-liong-pang sebuah perkumpulan yang kuat. Itulah sebabnya aku bermusuhan dengan ayahmu, dengan pengikut kami masing-masing."

"Aku... aku harus membunuhmu!" teriak Tong Lam-hou.

Dijawab oleh Te-liong Hiangcu dengan dingin, "Akupun harus membunuhmu. Marilah kita lihat, siapa yang akan terbunuh oleh siapa."

Dengan darah yang mendidih. Tong Lam-hou mulai menyerang. Bahkan dalam gebrakan pertama ia langsung telah mengerahkan Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu, untuk membuat lawan mati membeku. Jurus yang digunakan adalah Tek-pi-hoa-san (Lengan Tunggal Menggempur Hoa-san), kepalannya dengan keras menghantam ke kepala lawan.

Te-liong Hiangcu yang tadinya memandang remeh lawannya itu, terkejut bukan main ketika melihat gerakan Tong lam-hou yang begitu kuat dan cepat, bahkan pukulannya membuat udara seisi ruangan itu jadi beku menggigilkan tulang. Namun bekas orang nomor dua di Hwe-liong-pang itu masih sanggup berkelit ke samping dan lolos dari pukulan.

Tong Lam-hou yang telah dibakar kemarahan itu menerjang terus, tanpa memutar tubuh ia langsung memakai gerakan Sia-hui-si i Jurus Terbang Miring), kepalannya berubah menjadi sabetan telapak tangan ke pundak lawannya. Kembali angin maha dingin bagaikan berpusar dalam ruangan itu.

Kalau bukan Te-liong Hiangcu, barangkali dalam pukulan pertama saja sudah akan mati beku. Namun Te-liong Hiangcu adalah saudara seperguruan dari Ketua Hwe-liong-pang yang gagah perkasa, ilmunyapun hampir setingkat dengan Tong Wi-siang dan bahkan dalam tahun-tahun terakhir ini Te-liong Hiangcu rajin menyempurnakan ilmunya demi ambisinya untuk menduduki jabatan Bu-lim Beng-cu (Ketua Rimba Persilatan). Maka serangan serangan dahsyat bertubi-tubi dari Tong Lam-hou itu tidak dapat memojokkannya, bagaikan bayangan hantu saja ia dapat berkelit ke sana kemari, bahkan masih sempat mengejek,

"Sebagai balas budiku kepada ayahmu yang dulu pernah membimbingku dalam ilmu silat, baiklah aku akan mengalah tiga pukulan kepadamu. Tetapi setelah itu, mati hidupmu tergantung belas kasihanku!"

“Tutup mulutmu!" teriak Tong Lam-hou geram karena pukulan-pukulannya dapat dihindari dengan mudah. Ketika melihat musuhnya tersudut di pojok ruangan, maka Tong Lam-hou segera menggempurnya dengan Wan-yo-hoan-tui (Tendangan Beruntun Burung Wan-yo) ke arah lutut, perut dan dagu orang bertopeng tengkorak itu.

Tapi lagi-lagi serangan itu luput, malah terdengar Te-liong Hiangcu membentak, "Aku sudah mengalah tiga jurus. Sekarang terima seranganku!"

Bagaikan segumpal awan hitam pekat yang berhembus dengan kecepatan tinggi, Te-liong Hiangcu tiba-tiba menubruk dengan dahsyatnya. Tong Lam-hou yang berilmu tinggi itupun sampai tidak dapat melihat bagaimana gerakan kaki atau tangan Te-liong Hiangcu. Hanya dirasakannya bahwa udara bertekanan berat telah menyesakkan dadanya.

Sejak turun gunung dan berkelahi dengan beberapa orang lawan, inilah untuk pertama kalinya Tong Lam-hou merasa gugup, lawan bergerak terlampau cepat dan melebihi kecepatannya sendiri. Untung-untungan Tong Lam-hou menjatuhkan dirinya terlentang sambil menjejakkan kedua kakinya ke arah tubuh lawan yang berkelebat di atas tubuhnya. Ia berhasil lolos namun jejakan kakinyapun tak membawa hasil dan hanya mengenai angin.

Tubuh lawan meluncur dan menabrak tembok sehingga jebol, namun lawannya seolah tidak merasa kesakitan sedikit pun, dan dengan dua gerakan manis di udara Te-liong Hiangcu telah mendarat di halaman. Tak kurang satu apa, hanya pakaian hitamnya yang agak kotor kejatuhan tembok.

Tong Lam-hou menarik napas dingin, sadarlah ia bahwa ia telah kebentur seorang musuh tangguh yang entah bisa dikalahkannya entah tidak. Tetapi anak Tong Wi-siang itupun berwatak pantang menyerah seperti bapaknya dulu, meskipun harus mati, paling tidak ya harus bertempur sekuat tenaga lebih dulu. Cepat ia meloncat bangun dan menghunus pedangnya yang tergantung di dinding, lalu iapun memburu ke halaman belakang.

Di tengah-tengah halaman belakang tempat biasanya Tong Lam-hou berlatih silat setiap pagi itu, Te-liong Hiangcu berdiri bertolak pinggang dengan angkuhnya. Matanya yang bersinar seram itu berkeredap dari balik topeng perunggunya yang hijau kekuning kuningan. Ketika melihat Tong Lam-hou memburunya keluar dengan pedang di tangan, ia tertawa dingin,

"Bagus, kau benar-benar anak yang berani. Kau tidak memalukan ayahmu dan juga gurumu si tua kluntang-klantung Tiam-jong-lo-sia itu. Akupun sebagai paman gurumu seharusnya bangga juga kepadamu, tapi sayang, aku tetap harus membunuhmu."

Bicara sampai di sini, Te-liong Hiangcu menatap wajah Tong Lam-hou dari balik topengnya, la mengharap akan melihat anakmuda she Tong Itu menggigil ketakutan. Namun Te-liong Hiangcu kecewa. Tong Lam-hou tidak kelihatan gentar sedikitpun, dengan pedang yang tergenggam erat di tangannya, wajah yang terangkat dan mata yang tajam menatap langsung ke pusat mata lawannya tanpa keder seujung rambutpun.

Diam-diam Te-liong Hiangcu kagum juga, sikap itu mengingatkannya kepada sikap kakak seperguruannya yang sudah dikhianatinya, Tong Wi-siang, dan sikap Tong Wi-siang dan sikap Tong Lam-hou yang mirip sikap mendiang ayahnya itu telah membuat Te-liong Hiangcu semakin bernafsu untuk membunuhnya.

Katanya lagi, "Tetapi aku seorang paman guru yang baik, aku tidak akan nembunuhmu dengan sekali pukul. Sebelum kau mati, kau boleh menyaksikan Jurus-jurus ampuhku, warisan dari Bu-san-jit-kui (Tujuh Iblis Pegunungan-Bu-san), hitung-hitung sebagai bekalmu dalam perjalanan ke akherat."

Tong Lam-hou sudah tidak sanggup berkata sepatah katapun karena marahnya, disertai bentakan keras ujung pedangnya berkelebat bagaikan kilat dengan Jurus Ki-hwe-liau-thian (Mengangkat Api Membakar Langit), dan ketika lawan melangkah mundur maka ia cepat putar tubuhnya dan menyusulkan serangan Hoa-sin-hian-kiam (Memutar Tubuh Mempersembahkan Pedang) yang dilakukan amat cepat. Namun serangan-serangannya yang begitu cepat itu gagal semua karena ketangkasan lawannya.

"Bagus!" teriak Te-liong Hiangcu mengejek. "Anak yang berbakat, sekarang coba lihat jurusku yang bernama Wan-hun-yu-hui (Arwah Penasaran Terbang Bergentayangan)!"

Begitu habis kata-katanya, maka mata Tong Lara-hou pun seolah-olah jadi kabur karena lawan bergerak cepat sekali. Tubuhnya melayang bagaikan sesosok arwah benar-benar, dan mengelilingi tubuh Tong Lam-hou sehingga anak muda itu kebingungan karena tidak tahu arah serangan lawan. Tahu-tahu terasa tengkuknya dicengkeram dan tubuhnya terlempar bergulingan beberapa langkah, tanpa daya sedikitpun seperti seorang yang tidak mahir bersilat sedikitpun.

Ketika Tong Lam-hou melompat bangun kembali, maka pedangnya sudah tidak ada di tangannya lagi, namun tergeletak beberapa langkah daripadanya. Cepat-cepat disambarnya pedangnya untuk menghadapi lawannya yang berdiri santai sambil bertolak pinggang itu.

"Nah, kau sudah melihat satu jurus hebatku. Kau masih ada kesempatan untuk melihat dua jurus lagi, setelah itu kau akan menyusul ayahmu."

Tong lam-hou menjadi geram, kakinya melangkah maju dengan cepat sambil gerakkan pedangnya dengan Lian-noan-an-kiam (Tiga Kali Sabetan Pedang) yang gencar, lalu tubuhnya tiba-tiba meloncat ke atas dan menyerang dengar gerakan Sin-liong-jip-hai (Naga Malaikat Terjun Ke Laut), pedangnya membabat dari atas ke bawah....
Selanjutnya;