Pendekar Naga dan Harimau Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 17

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
“ADA apa, suheng?" hampir bersamaan kedua adik seperguruannya itu menyahut.

"Kalian berdua periksa sepanjang dinding selatan ini, apakah penjaga-penjaganya sudah dibungkam oleh saudara-saudara Hwe-liong-pang?" perintah Bu-Sian Hweshio. "Kalau belum, lumpuhkan dengan korban jiwa sesedikit mungkin, lalu kembali ke sini."

"Baik, suheng!" jawab kedua rahib itu sambil melayang pergi bagaikan dua sosok bayangan hantu saja.

"Sudara Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu” kembali Bu-sian Hweshio memanggil dua orang imam seperguruan dari Khong-tong-pay itu.

Lalu perintahnya, "Kaliian berdua harap periksa hal yang sama ke sebelah lain. Kalau sudah selesai kembali ke sini secepatnya."

"Baik," sahut kedua imam itu. Merekapun segera menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang lihai.

"Semuanya tiarap di atas dinding, jangan sampai terlihat dari bawah," perintah Bu-sian Hweshio, yang segera dituruti oleh segenap anggota rombongan.

Tidak lama kemudian, Bu-gong dan Bu-teng Hweshio serta kedua imam Khong tong-pay telah melayang tiba dari pemeriksaan mereka dalam saat yang hampir bersamaan, namun dari arah yang berlawanan. Bu-gong dan Bu-teng segera melapor lebih dulu bahwa tak seorang-pun penjaga di dinding selatan yang belum dilumpuhkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang.

"Apakah ada korban jiwa?" tanya Bu-sian Hweshio.

"Memang kulihat ada dua orang prajurit yang bukan cuma tertotok tetapi tewas," sahut Bu-gong Hweshio.

Bu-sian Hweshio menarik napas dalam-dalam ketika mendengar itu, namun ia kemudian berkata, "Dalam keadaan seperti ini memang sulit sekali untuk sama sekali menghindari jatuhnya korban. Tetapi aku cukup mengenal watak dan tabiat saudara-saudara dari Hwe-liong-pang itu, mereka bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam meskipun dalam peperangan terehadap musuh. Kalau mereka sampai membunuh, tentu mereka telah dihadapkan pada satu satunya pilihan yang tak dapat dihindari itu."

"Ya, akupun kenal tabiat mereka. Meskipun sikap, dan ucapan mereka kadang-kadang nampak kasar, namun hati mereka bersih," kata Tong Wi-hong tentang bekas anakbuah kakaknya itu. "Mungkin ada di antara prajurit Man-chu itu yang mencoba melawan atau mencoba membunyikan tanda bahaya, sehingga para saudara Hwe-liong-pang itu dalam mencegahnya tidak sempat mengendalikan gerakan mereka lagi."

"Ya, inilah peperangan, meskipun sudah berusaha agar tidak jatuh korban tetapi masih jatuh juga," kata Bu-slan Hweshio dengan sedih, "...dan aku sudah ikut terjun dalam pertentangan sehingga suatu saat akupun akan menjadi binatang buas buat sesamaku sendiri."

Kemudian kedua imam dari Khong-tong-pay itu juga melaporkan hasil pemeriksaannya, "Kami berdua melihat hal yang agak berbeda dari yang ditemukan oleh saudara Bu-gong berdua. Semua prajurit penjaga di tembok utara telah terbunuh habis oleh kelompok Cu Leng-ong dan orang-orangnya. Hampir semua prajurit kami dapati dengan kepala yang hampir putus..."

"OmitoHud..." Bu-sian Hweshio menundukkan kepalanya sambil merangkap kedua telapak tangannya di depan dada. "Alangkah ganasnya. Pangeran-Cu-Leng-ong dan anakbuahnya. Agaknya ia lupa kalau prajurit-prajurit itupun mempunyai anak isteri atau anggota keluarga yang harus dihidupinya dengan upahnya sebagai prajurit. Aku kelak harus memberi teguran keras kepada Pangeran itu, kekejaman semacam itu hanya akan membuat rakyat semakin segan mendukung perjuangannya."

Sementara mereka berjongkok di atas tembok sambil menanti isyarat. Tiba-tiba dari sebelah timur terlihat cahaya merahnya api bagaikan menggapai-gapai langit, disusul dengan suara ringkik kuda yang sangat ribut, sebab yang meringkik itu bukan cuma satu atau dua ekor kuda melainkan ratusan ekor kuda.

Derap kaki kuda yang berlari larian keluar dari kandang, bercampur-baur dengan suara prajurti-prajurit yang berteriak-teriak "ada kebakaran” atau memperingatkan ada kuda-kuda yaug lepas bahkan tidak lama kemudian teriakan itu bertambah satu macam lagi "ada pemberontak menyusup".

Bagaikan gabah ditampi, prajurit-prajurit bersenjata itu berlari-larian ke satu arah dengan senjata dengar gemerincing senjata berbenturan yang sangat ramai di kejauhan sana. Jelas sudah mulai ada bentrokan senjata.

"Pangeran Cu Leng-ong dan Te-sian Tojin agaknya juga sudah menjalankan tugasnya masing-masing," desis Bu-sian Hweshlo. Ketika ia menoleh ke arah teman-teman yang dipimpinnya, maka dilihatnya rata-rata dari mereka sudah tidak sabar lagi, ingin segera terjun ke medan laga.

Dan ternyata Bu-sian Hweshio sendiri memang tidak ingin berlama-lama di tempat itu. "Bersiaplah, kita harus segera terjun ke arena supaya teman-teman kita tidak mengalami tekanan yang terlalu dari jumlah musuh yang berlebihan. Sekali lagi aku mengingatkan saudara-saudara, kita langsung menuju ke sasaran dan jangan mau terikat kepada pertempuran yang mandeg. Saudara Tong dan kelompoknya akan melindungi kita dari belakang bukan?"

"Kami siap, Taysu," sahut Tong Wi-hong sambil menggenggam pedangnya erat-erat. Yang termasuk dalam kelompoknya antara lain adalah adik perempuannya sendiri, Tong Wi-lian, serta suaminya, Ting Bun yang ahli silat golok. Lalu dua pembantunya yang berjulukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) So Hou dan So Pa yang sudah siap dengan lembing pendeknya masing-masing. Ditambah dengan lima orang pejuang lainnya dari berbagai perguruan atau perserikatan, yang rata-rata cukup tangguh pula.

"Kelompokku akan turun lebih dulu," kata Bu-sian Hweshio. "Nanti kelompok saudara Tong jangan lupa membawa tali-tali panjang itu untuk diletakkan di tempat yang sudah ditentukan, agar gerakan mundur kita nanti tidak terhambat."

"Pesan tay-su aku perhatikan," kata Tong Wi-hong.

"Selamat berjuang, saudara-saudaraku."

"Selamat berjuang."

Maka kelompok Bu-sian Tay-su yang terdiri dari sepuluh orang termasuk Bu-sian Hweshio sendiri itupun segera meluncur turun dengan tali-tali yang dijulurkan dari atas itu. Yang merasa ginkangnya cukup dapat diandalkan, meloncat begitu saja dari atas tembok, meskipun Bu-sian Hweshio sudah menganjurkan agar berhati-hati, jangan sampai kakinya patah sebelum bertempur.

Munculnya Bu-sian Hweshio dan kelompoknya yang menerjang langsung ke sasarannya itu telah membuat para prajurit Ui-ih-kun semakin kebingungan. Pasukan itu memang bukan pasukan yang terlatih sebaik Hwe-liong-kunnya Pak-kiong Liong misalnya. Jarang berlatih dan jarang pula terjun di medan yang sebenarnya, sehingga kini mereka agak kacau ketika melihat musuh muncul dari segala penjuru.

Selain itu, ratusan ekor kuda yang terlepas dari kandangnya telah berlari-larian dengan liarnya ke segala penjuru, karena ketakutan melihat api yang berkobar, membuat semakin bingungnya para prajurit.

"Bunyikan tanda bahaya!" teriak seorang perwira.

Tapi seorang prajurit menjawab, "Lonceng tanda bahaya tidak bisa dipukul, sebab gardunya sudah dikuasai oleh sekelompok musuh yang dipimpin oleh seorang imam bersenjata pedang!"

"Kalau begitu, buka pintu gerbang agar salah seorang bisa keluar untuk minta bantuan ke tangsi!" teriak perwira itu lagi.

"Juga tidak bisa. Pintu gerbang dijaga sekelompok musuh pula!"

"Gila! Gila! Berapa orang yang menjaga lonceng bahaya dan yang menjaga pintu gerbang?!"

"Lima orang menjaga lonceng lima orang menjaga gerbang!"

"Apa? Tidak salahkah pendengaranku bahwa kalian yang berjumlah berpuluh-puluh ini tidak mampu menguasai hanya sepuluh orang? Kalian ini berotak udang atau kerbau atau apa?"

Teranyata dalam bingungnya perwira itu juga tidak dapat segera memutuskan apa yang harus diperbuat. Yang keluar dari mulutnya bukan perintah-perintah yang terarah, melainkan cuma caci-maki yang tak keruan tujuannya, membuat perwira-perwira bawahan yang menunggu perintahnya itupun ikut kebingungan.

Demikianlah keadaan kacau-balau, perkelahian terjadi di segala sudut dan andaikata Bu-sian Hweshio tahu apa yang terjadi di sudut-sudut gelap itu maka hatinya pasti akan sedih sekali. Manusia membantai manusia. Para pendekar tidak lagi berusaha untuk mengekang senjatanya agar tidak membunuh prajurit musuh, melainkan sudah kehilangan kesabaran. Jika pedang terayun, maka tujuannya bukan cuma membuat musuh kehilangan senjata dan tak berdaya, melainkan dengan sekuat tenaga dengan harapan musuh akan terbelah dagingnya atau patah tulangnya.

Namun pihak pejuang memang tidak mempunyai pilihan lain, jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi prajurit musuh yang berjumlah ratusan orang itu, dan setolol-tololnya prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu namun merekapun prajurit yang pernah mengalami pendadaran pula. Berbaik hati kepada prajurit-prajurit itu sama saja dengan membunuh diri.

Dan beban yang harus dipikul oleh para penentang Manchu itu bertambah berat ketika para jago-jago silat sewaan Pakkiong An mulai bertebaran keluar dari sarangnya. Mereka ini tidak berseragam prajurit, namun kepandaian silatnya rata-rata di atas para prajurit, bahkan tidak sedikit yang lebih unggul dari para perwiranya.

Banyak di antara mereka berasal dari golongan hitam, golongan yang tidak mau tahu soal apapun kecuali kepentingan diri mereka sendiri. Jika mereka bertempur di pihak prajurit Manchu, bukan karena mereka setia kepada pemerintah Manchu, melainkan karena sudah dibayar oleh Pakklong An.

Untunglah para pejuang yang menyerbu penjara itupun merupakan orang-orang terbaik dari perbagai perguruan ataupun kelompok perjuangan. Bukan saja semuanya berilmu tinggi, namun juga sudah siap mengorbankan diri apabila perlu, demi penjuangan mereka.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk itu Bu-sian Hweshio memimpin kelompoknya untuk menuju ke bagian tengah penjara. Di situ ada sebuah bangunan besar berpintu hitam, yang dalam denah disebut dengan Ruangan Hitam. Beberapa kali kelompok kecil sepuluh orang itu berpapasan dengan kelompok prajurit yang sedang berlarian kebingungan, dan terlibat pertempuran.

Dan dalam perang seperti itu Bu-sian Hweshio yang tidak suka membunuh itupun terpaksa tidak dapat mengendalikan toya besinya yang berputar bagaikan baling-baling tertiup angin ribut itu. Ia masih berusaha untuk tidak mencabut nyawa musuh-musuhnya, cukup dilumpuhkan dengan dipingsankan atau dipatahkan kakinya, saja.

Tapi tak terhindar bahwa beberapa prajurit musuh tersambar kepalanya sehingga retak, atau tersodok tulang rusuknya sehingga tulang-tulangnya berpatahan ke dalam. Jika ini terjadi, Bu-sian Hweshio merasa menyesal tetapi tidak dapat berbuat lain daripada itu.

Di samping Bu-sian Hweshio, dua orang adik seperguruannya itupun membabat setiap musuh yang merintangi mereka. Bu-gong Hweshio adalah seorang thau-to (pendeta yang tidak menggunduli rambutnya), melainkan dibiarkannya panjang sampai ke punggung, dan kepalanya dilingkari sebuah gelang tembaga. Senjatanya adalah sebatang toya yang disebut hong-pian-jan, semacam toya para rahib yang salah satu ujungnya berbentuk bulan sabit menghadap ke depan.

Dengan penampilannya itu Bu-gong Hweshio mirip seorang malaikat atau dewa seperti yang sering dilukis di gambar-gambar atau dipatungkan di kuil-kuil. Setiap kali senjatanya menderu dengan hebatnya dan membuat tiga atau empat orang musuh kehilangan senjata dari tangan mereka, lalu disusul dengan tendangan-tendangannya yang membuat prajurit-prajtiri musuh terpental bertebaran.

Masih ada Bu-teng Hweshio yang juga bersenjata toya besi, sepasang imam dari Khong-tong-pay, Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu, yang memegang senjata serupa, yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim (kebut pertapa) di tangan kiri. Setiap kali hud-tim berhasil melibat senjata musuh, disusul dengan tabasan pedang yang telak. Si pengemis bertampang jutawan Sun Ciok-peng yang gemuk itupun sekarang tidak nampak kejenakaannya.

Sebatang tongkat yang tadinya digendong di punggungnya, kini dipegangnya dan digunakan untuk mengamuk kawanan prajurit. Pengemis yang sehari-harinya kelihatannya hanya makan dan tidur itu, ternyata dapat juga berkelahi segarang banteng terluka. Memang jarang yang tahu bahwa sehari sekali pengemis yang nampak pemalas itu tentu mencari sebuah tempat yang sepi untuk melatih ilmu tongkatnya.

Begitulah, rombongan Bu-sian Hwe-shio yang terdiri dari sepuluh orang itu benar-benar tidak tertahan oleh para prajurit, meskipun di antara prajurit itu terdapat pula Sat-sin-kui (si Setan Ganas) Hehou Im yang berpakaian seragam lengkap perwira itu. Juga ada dua orang jagoan sewaan lainnya yang tidak cukup tenaganya untuk membendung laju Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya.

Apalagi ketika beberapa puluh langkah di belakang kelompok Bu-sian Hweshio, kelompok Gin-yan-cu Tong Wi-hong mulai terjun ke gelanggang pula. Tugas kelompok ini memang harus membayangi kelampok Bu-sian Hweshio agar dapat menyelesaikan tugasnya untuk membongkar penjara. Dengan pedangnya yang berkilauan, Tong Wi-hong sendiri memimpin teman-temannya untuk mendesak ke depan dan ia sendirilah "ujung tombak" dari gerakan itu.

Pendekar dari kota Tay-beng yang suka berpakaian serba putih bersih itu, malam ini agaknya harus sedikit mengubah kebiasaannya dengan berpakaian serba hitam agar tidak menyolok dalam gerakan di malam hari itu. Di sampingnya adalah adik perempuannya dan iparnya. Tong Wi-lian, si macan betina dari Siau-lim-pay itu adalah seorang ahli ilmu silat tangan kosong, terutama ilmu yang mengutamakan kekuatan jari-jari seperti Coa-Kun (Silat Ular) dan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan dilengkapi dengan Wan-yo-tui (Ilmu Tendangan Bebek) yang lincah.

Namun dalam pertempuran yang kisruh itu Tong Wi-lian tidak mau menangung akibat apabila ada senjata musuh yang menyasar ke tubuhnya, maka lapun mengeluarkan senjata yang sebetulnya bukan senjata, yaitu sehelai selendang panjang yang sehari-harinya selalu dilibatkan di pinggangnya. dengan kain sutera, sepanjang sedepa itulah ia membuat musuh-musuhnya tercengang.

Kain itu dapat menari-nari dengan lemasnya seperti seekor burung hong menari di udara, tapi di lain saat mematuk seperti seekor ular yang ganas ke jalan-jalan darah yang melumpuhkan musuh, dan jika diputar kencang disertai penyaluran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi lurus seperti sebatang toya besi yang dapat mengemplang pingsan korbannya.

Sedang suami Tong Wi-lian yang bernama Ting Bun itu telah membuktikan dirinya sebagai ahli gwa-kang (Tenaga Luar) yang patut disegani dl jaman itu. Lelaki berusia empatpuluh tahun yang berbadan ramping tegap dengan tangan-tangan yang besar berotot itu adalah jago dalam Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Mencegat Pintu).

Sedang dalam tangan kosong ia adalah ahli dalam dua macam ilmu keras Ngo-heng-ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Eng-Jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang). Goloknya yang diputar kencang seperti baling-baling itu membuat prajurit-prajurit musuh tersibak mundur, dan yang terlambat mundur akan termakan oleh goloknya.

Di samping itu masih ada Tiong-san-siang-hou yang bertempur benar-benar seperti macan-macan kelaparan di tengah kambing-kambing. So Hou dan So Pa merupakan lawan-lawan yang harus diperhitungkan pula sehingga dua orang perwira telah turun ke medan untuk menghadang kedua saudara itu agar tidak menimbulkan korban berlalu banyak.

Begitu pula jago-jago lainnya yang termasuk kelompok Tong Wi-hong telah berkelahi dengan semangat tinggi, sehingga kerumunan prajurit yang tadinya hanya mengepung Bu-sian Hwe-shio dan kelompoknya itupun sekarang terbagi. Bu-sian Hweshio tidak mau kehilangan waktu. Setiap kelompok sudah punya tugasnya sendiri-sendiri. Maka la segera memberi aba-aba kepada kelompoknya,

"Jangan tertahan di sini terjang ke pintu hitam itu Bu-gong Sute, kau di depan dan kau sudah mengerti apa tugasmu!"

"Beres, suheng" teriak Bu-gong Hweshio menyahut perintah kakak seperguruannnya itu. Teriakannya menggelegar seperti guntur sehingga beberapa orang di sekitar dirinya merasa telinganya pekak, dan ketika itulah Bu-gong mengayun senjata hong-pian-jan-nya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Tentara), membuat tiga orang prajurit musuh terlempar seketika dari gelanggang dengan luka parah.

Melihat keperkasaan pendeta berambut seperti singa ini, prajurit-prajurit musuh yang bernyali agak kecil segera menjadi gentar dan memilih lawan lain. Kemudian Bu-gong Hweshio membolang-balingkan tongkatnya sambil berteriak kepada anggota kelompok lainnya, "Ikuti aku menerjang ke pintu hitam!"

Teman-temannyapun bagaikan mendapat tambahan semangat ketika melihat keperkasaan Bu-gong Hweshio. Serentak bagaikan serigala-serigala kelaparan mereka maju mendesak musuh-musuhnya yang jauh lebih banyak namun bernyali lebih kecil. Pasukan Ui-ih-kun memang bukan pasukan berani mati seperti Hui-liong-kunnya Pakkiong Liong, sebaliknya lawan-lawan mereka adalah pemberontak-pemberontak penentang pemerintahan. Machu yang sudah siap untuk gugur di medan laga. Tandang bagaikan singa terluka.

Hehou Im yang berpakaian perwira itu berteriak-teriak memberi semangat ke anak buahnya, "Tahan agar pemberontak-pemberontak ini tidak mendekati pintu. Bertahan terus! Sebentar lagi bala bantuan tiba!"

Lawan Hehou Im adalah si pengemis Sun Ciok-peng yang bersenjata tongkat seukuran pedang. Ketika mendengar Hehou Im menyebut bala bantuan segera tiba, maka Sun Ciok-peng tertawa sambil mengejek, "Bala bantuan dari mana? Pintu gerbang sudah dikuasai oleh kawan-kawanku, apakah bala bantuanmu itu akan lewat langit?"

Belum sempat Hehou Im menjawab ejekan itu, tiba-tiba dari antara prajurit-prajurit musuh itu terdengar suara geraman dingin, "Benar, bantuan datang dari langit untuk mengambil nyawamu, pengemis busuk!"

Lalu sesosok bayangan merah benar benar meluncur dari langit dan menyambar ke arah Sun Ciok-peng. Dalam sambarannya terasa bahwa serangan itu bukan main-main, kecepatannya maupun kekuatannya.

Sun Clok-peng yang tengah memusatkan perhatiannya kepada Hehou Im itu terkejut bukan main mendapatkan serangan yang agak licik itu. Namun pengemis bertubuh gemuk itu ternyata sangat tangkas, bagaikan sebuah bola baja saja ia menggelinding tubuhnya ke samping. Namun tak urung topi bututnya tersambar juga oleh senjata lawan, bersama dengan segumpal kecil rambutnya.

Ketika la meloncat bangun, Hehou Im telah menyergap dengan tiat-koan-hya yang tajam itu sehingga pundak Sun Clok-peng terluka. Lenyaplah wajah berseri-seri dari pengemis itu, berganti dengan wajah merah padam penuh kemarahan. Berganti-ganti dipandangnya si bayangan merah yang hampir saja memutuskan batok kepalanya tadi. Ternyata adalah seorang lelaki berpakaian serba merah, baju lengan pendek dan celananyapun lengan pendek, memakai ikat kepala kuning dan ikat pinggangnya juga kuning, sedang sepatu kulitnya berbentuk aneh.

Dialah salah seorang jago sewaan yang paling tangguh dari Tibet, karena namanya yang susah diucapkan maka ia lebih dikenal dengan julukannya sebagai Hwe-niau (si Burung Api). Senjatanya adalah sebilah golok yang panjangnya kira-kira hanya dua jengkal, namun berbadan lebar dan melengkung. Pisau itu adalah pisau khusus para pendekar dl Nepal yang sering disebut Kukri. Ilmu orang Nepal dan Tibet serumpun, dengan pisau kukri mereka mahir memenggal leher musuh.

Sun Ciok-peng yang baru saja kepalanya hampir terpenggal itu hampir saja maju untuk melabrak kedua musuhnya itu. Namun sebelum tindakan gegabahnya itu dijalankan, Bu-teng Hwe-shio dengan toyanya telah meloncat ke samping itu sambil berkata, "Saudara Sun, kita bagi satu-satu, jangan kau ambil semua!"

Hwe-niau dengan pisau kukrinya telah malang melintang beberapa tahun tanpa tandingan di Tibet, Nepal, Bhutan, Birma bahkan ke semenanjung Malaka. Kali ini la muncul di Pak-khia atas undangan Pakkiong An, dikiranya jago-jago bangsa Han, Manchu dan Mongol sama saja dengan orang-orang yang telah dikalahkannya. Namun kali ini ia tercengang. Seorang pengemispun tidak dapat ia bunuh dengan kukrinya, meskipun la sudah menyergapnya dengan cara yang licik selagi si pengemis menghadapi Hehou Im.

Kini sadarlah bahwa nama besar para pendekar di daratan tengah yang terdengar sampai ke Tibet itu ternyata bukan omong kosong belaka. Baru Sun Ciok-peng hanya "kelas menengah" saja sudah tidak dapat ia atasi, apalagi tokoh-tokoh puncaknya.

Sesaat kemudian terjadilah perkelahian dua lingkaran di tempat itu. Hwe-niau dengan pisau kukri-nya bertarung sangat lincah menghadapi Bu-teng Hweshio dengan toya bajanya. Namun ternyata Hwe-niau telah membentur tembok baja kali ini. Bu-teng Hweshio memang tidak selincah dia, namun kokoh bagaikan angin ribut yang menggulung lawannya. Toyanya seolah sebuah pusaran angin maut yang siap menghisap dan menggilas lumat korbannya tanpa ampun.

Dengan pisau ku-krinya yang pendek itu, tadinya Hwe-niau berharap akan dapat memaksakan sebuah perkelahian jarak dekat. Tapi setelah melihat cara bertempur lawannya, ia bersyukur bahwa ia belum terlanjur masuk ke dalam lingkaran dalam dari putaran toya lawannya, sebab jika la sudah masuk ia tidak yakin apakah dirinya akan dapat keluar atau tidak.

"Setan, orang-orang daratan tengah ini benar-benar banyak yang tangguh," geramnya dalam hati.

Sebaliknya Bu-teng Hweshio juga tidak berani lengah terhadap pisau lawan yang tajam berkilat-kilat dan dimainkan dengan amat mahir itu. Gerakan-gerakannya jauh berbeda dengan silat Tiong-goan, ganas, cepat dan langsung ke sasaran. Namun Bu-teng Hweshio juga waspada karena ia masih ingin berkepala.

Sementara itu seluruh kelompok Bu-sian Hweshio dapat mendesak maju semakin dekat ke pintu hitam itu. Pihak musuh dengan gigih mencoba menahan gerak laju itu, tetapi Bu-sian dan Bu-gong Hweshio adalah sepasang ujung tombak yang tak terbendung siapapun. Bahkan oleh perwira-perwira yang berilmu cukup tinggi maupun oleh jagoan-jagoan sewaan.

Sementara itu, pertempuran telah merata diseluruh penjara yang luas, terdiri dari banyak halaman-halaman dan lorong-lorong berliku-liku itu. Hampir semua kelompok sudah terlibat pertarungan. Bahkan orang-orang Hwe-liong-pang di bagian lain yang tugasnya sebenarnya termasuk tugas tahap terakhir, yaitu menyiapkan jalan mundur bagi seluruh kelompok nantinya, agaknya selama menunggu itupun tidak mau berpangku tangan saja. Mereka memecah diri menjadi dua bagian dan mengadakan pengacauan di arah yang berbeda, sehingga pasukan musuh semakin terpecah-pecah perhatiannya.

Dalam gerakan maju kelompok Bu-sian Hweshio mendekati ke pintu hitam itu, Sun Ciok-peng serta Bu-teng Hweshio yang telah bertemu dengan lawan imbangannya masing-masing Itu hampir-hampir tidak beranjak dari tempatnya, sehingga mereka bisa terpisah dari kelopok mereka yang sedang maju itu. Betapapun gelisahnya mereka, tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa sebab lawan mereka masing-masing mencegah mereka dengan gigihnya.

Hwe-niau nampak bertarung semakin ganas seakan kesurupan. Sedangkan Hehou Im tidak percuma berjulukan Sat-sin-kui atau si Setan Ganas. Tongkat melengkungnya yang tajam itu menyambar-nyambar semakin hebat, dan betapapun tangguhnya Sun Ciok-peng si pengemis, namun kini ia kebentur suatu kenyataan bahwa ilmu Hehou Im selapis lebih tinggi daripadanya, sehingga Sun Ciok-peng mulai terdesak mundur selangkah demi selangkah.

Untunglah keadaan yang mencemaskan dari kedua anggota kelompok Bu-sian Hweshio itu terlihat oleh Tong Wi-hong yang bertempur belasan langkah dari tempat itu. Meskipun penerangan di tempat itu tidak cukup untuk mengusir sama sekail gelapnya malam, tapi ketajaman mata Tong Wi-hong dapat melihat kesulitan yang diderita Bu-teng Hweshio dan Sun Ciok-peng itu. Kesulitan mereka berarti kesulitan bagi seluruh kelompok Bu-sian Hweshio, dan kesulitan kelompok Bu-sian Hweshio menimbulkan ancaman gagalnya seluruh rencana.

Karena itulah Tong Wi-hong ingat bahwa tugas kelompoknya adalah melindungi kelompok Bu-sian Hweshio dari belakang agar dapat mencapai pintu hitam. Maka sambil mengayunkan pedang untuk merobohkan seorang perwira, dia berteriak kepada adik perempuannya, "A-lian, ikuti akui"

Lalu tubuh Tong Wi-hong bagaikan seekor burung walet saja telah melambung ke angkasa, meloncati kepala para prajurit. Gelarnya sebagai si Walet Perak karena kemahirannya dalam ilmu meringankan tubuh ternyata terbukti sekarang. Kepala berpuluh-puluh prajurit musuh diloncatinya begitu saja, dan di udara la masih sempat berteriak kepada Ting Bun, iparnya itu, “Ting Bun, kau pimpin semua saudara-saudara untuk mendesak maju sedikit lagi agar kelompok Bu-sian Hweshio dapat ditolong dari belakang!"

"Baik, A-hongl" sahut Ting Bun singkat. Ia tahu bahwa Ilmu meringankan tubuhnya sendiri memang tidak dapat dibandingkan dengan iparnya maupun lsterinya, tapi ia tidak merasa terhina, sebab iapun punya kebanggaan tersendiri. Kekuatannya besar sehingga senjata musuh yang beradu berbenturan dengan goloknya pasti akan terlepas dari tangan musuh.

Susul menyusul tubuh Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian "terbang" di atas kepala prajurit-prajurit musuh. Begitu menakjubkan pemandangan itu sehingga tak terasa ada juga prajurit-prajurit musuh yang bersorak memuji, lupa kalau yang diuji itu adalah lawan.

Tong Wi-hong langsung menuju ke arah Hwe-niau. Tapi sebagai pendekar terhormat la tidak sudi dikatakan menyergap orang secara licik, maka la tidak langsung menyerang Hwe-niau dengan pedangnya, melainkan dengan tangan kirinya la mendorong tubuh Bu-teng Hweshio untuk menyingkir dari arena, sambil berseru, "Tinggalkan tempat ini dan susul kelompok tay-su. Mengurusi cecunguk-cecunguk di luar ini adalah tugas kelompokku."

Hwe-niau berteriak, "Biarkan aku memotong kepala gundul si rahib busuk itu. Jangan kau selamatkan dia!"

Tong Wi-hong tertawa dingin, "Jangan besar mulut. Dengan menyuruh Bu-teng Hweshio menyingkir sebenarnya aku sedang menyelamatkan kau dari toya besinya yang bisa membuat benakmu berantakan!"

Hwe-niau menggeram marah, tanpa berkata-apa-apa lagi ia segera menyerang Tong Wi-hong. Kedua orang itu segera terlibat dalam pertarungan seru, sementara Bu-teng Hweshio buru-buru bergabung dengan kelompoknya yang sudah maju beberapa langkah itu.

Sementara itu, Tong Wi-lian meloncat turun tepat di depan Hehou Im, sambil tertawa ia berkata, "Kita bertemu lagi, setan busuk. Puluhan tahun yang lalu pernah bertempur dekat kota Bun-siau, dan aku juga melihat tampangmu ketika kau dan gerombolan Te-liong Hiangcu menyerbu Siong-san namun kau tertangkap. Guruku telah melepaskanmu kembali dengan harapan agar kau menyadari kesalahan-kesalahanmu dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi kau makin lama makin sesat. Dulu kau menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu untuk mengacaukan dunia persilatan, dan sekarang kau menjadi budak bangsa Manchu untuk menindas rakyat! Hari ini kubereskan nyawamu sekalian!"

Hehou Im juga pernah mengenal Tong Wi-lian puluhan tahun yang lalu, maka sebenarnya ia agak gentar kepada perempuan murid mendiang Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay yang sejak muda dulu telah dikenal keperkasaannya itu. Banyak rekan-rekan seangkatan He-hou Im yang pernah mengalami hajaran Tong Wi-lian. Namun kali ini Hehou Im sedang memakai seragam perwira Ui-ih-kun, tentu saja ia malu menunjukkan rasa takutnya di hadapan sekian banyak anak buahnya. Maka tanpa banyak bicara lagi ia segera menyerang dengan tiat-koannya.

Kelompok Bu-sian Hweshio yang semakin dekat ke pintu hitam itu ternyata menghadapi perlawanan yang semakin sengit dan berat. Prajurit-prajurit musuh bagaikan mengalir tak habis-habisnya, yang depan roboh akan segera disusul dengan majunya orang di bagian belakangnya. Dalam pertempuran maha sengit itu terpaksa kelompok Bu-sian Hweshio kehilangan dua orang yang gugur, sementara hampir seluruh anggota kelompok telah menderita luka-luka.

Namun gerak maju dari regu itu juga telah menimbulkan korban yang berlipat jumlahnya dipihak musuh. Betapapun hati Bu-sian Hweshlo tergores pedih setiap kali melihat sesamanya kehilangan nyawa, baik itu kawan atau lawan, tapi semuanya terus berlangsung tanpa menghiraukan hatinya sedih atau tidak. Bahkan Bu-sian Hweshio sendiri kadang-kadang sudah menjadi seorang pembunuh, biarpun la tidak melakukannya dengan senang hati.

Tentara musuh yang berjumlah banyak itu ternyata tidak dapat menahan gerak maju dari regu yang kecil itu, dan akhirnya pertahanan musuh yang terakhir di depan pintu hitam itupun bobol. Prajurit-prajurit musuh berlarian pontang-panting ke kiri dan kanan ketika Bu-gong Hweshio memutar tongkatnya dengan kencang sambil menggeram dengan menggunakan ilmu Sai-cu-hou-kang (Ilmu Singa Menggeram) yang memekakkan telinga.

Yang disebut Pintu Hitam itu adalah pintu penjara yang terbuat dari kayu jati Lam-yang yang kerasnya bukan main, tebalnya hampir satu setengah jengkal dan di antara sela-sela kayu dilapisi dengan lempengan-lempengan besi setebal hampir sejari. Kekokohannya sudah terkenal sejak jaman dinasti Goan dulu. Dan menurut denah, di belakang pintu itu masih ada palang pintu dari kayu yang hampir sebesar paha, dan ada ruangan yang diisi prajurit penjaga pula.

Setelah regunya tiba di depan pintu hitam yang tertutup rapat itu, Bu-sian Hweshio segera memerintahkan regunya untuk membuat setengah lingkaran menghadap keluar, untuk melindungi dirinya dan adik seperguruannya yang akan berusaha untuk menjebol pintu itu dengan pukulannya. Namun Bu-sian Hweshio sadar bahwa pintu itu terlalu kuat untuk dihancurkan dengan sekali pukul-saja, itulah sebabnya ia mengajak adik seperguruannya yang juga bertenaga raksasa, Bu-gong Hweshio, untuk bersama-sama menjebolnya.

Sedangkan Bu teng Hweshio tidak diajaknya, sebab adik seperguruannya itu bukan seorang yang menonjol tenaga dalamnya, meskipun ia memiliki keistimewaan lain pula, yaitu kelincahan yang tak tertandingi oleh kakak-kakak seperguruannya. Kata Bu-sian Hweshio kepada Bu-gong, "Sute, kau pukul lebih dulu dengan Jian-kin-cun-tui (Palu Godam Sikut Seribu Kati), aku akan segera menyusulinya dengan Tay-lik-kim-kong-ci-ang. Meskipun pintu ini kuat, tapi kita berharap pukulan yang ketiga tidak usah kita lakukan..."

"Baik, suheng." Bu-gong Hweshio lalu meletakkan senjata Hong-pan-jan-nya ke tanah, lalu di bawah perlindungan teman-temannya dia mulai mempersiapkan diri. Ia berdiri dengan kuda-kuda Pat-ji-ma sambil merentangkan tangan ke samping dan mengatur napasnya, lalu tiba-tiba dengan gerak cepat la silangkan kedua tangannya di atas kepala dan tubuhnya meluncur maju dua langkah dengan kuda-kuda Co-cian-ma, disertai bentakan menggelegar maka ilmu Jian-kin-cun-tui kebanggaannya itupun dihantamkan ke daun pintu dengan penuh kekuatan.

Hantaman sikut tangan Bu-gong Hweshio memang luar biasa. Pintu yaing tebal itu bagaikan diguncang gempa yang keras dan bergetar hebat, beberapa lapisan tembok rontok ketanah, dan sepasang daun pintu yang dibanggakan sejak jaman dinasti Goan itupun mulai retak.

Belum reda kejut dan kagum dari orang-orang yang menyaksikan "pertunjukan" itu, kembali mereka melihat sesosok bayangan lain meluncur sambil menghantam ke pintu pula. Kali ini adalah Bu-sian Hweshio yang memukul dengan Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Tangan Malaikat Bertenaga Besar). Bu-gong memukul dengan sikut tangan, Bu-kian dengan telapak tangan, kembali pintu tebal dan kuat itu bergetar keras dan bahkan terdengar pula suara berderak dari palang pintu yang patah.

Salah satu dari sepasang daun pintu maha Kuat itu benar-benar telah pecah berikut palang pintunya sekalian! Agaknya tenaga Bu-sian Hweshio malahan berlebihan, sehingga daun pintu itu bukan cuma pecah tetapi juga lepas dari engselnya dan terlempar ke dalam. Suatu kekuatan yang sulit dibayangkan akan bisa dimiliki oleh manusia yang berdarah daging. Di bagian dalam pintu itupun ada duapuluh lima orang prajurit yang dipimpin seorang perwira, muka mereka menampilkan rasa gentar dan kaget melihat pameran kekuatan yang mengerikan itu.

Ketika Bu-sian dan Bu-gong Hweshio melangkah masuk dengan senjata-senjata di tangan, maka prajurit-prajurit itupun melangkah mundur selangkah dengan tangan agak gemetar. "Letakkan senjata kalian dan kami tidak akan menciderai kalian," kata Bu-gong Hweshio. "Tapi jika kalian keras kepala, kami tidak sulit untuk membabat kalian sampai habis, sebab kawan-kawan kalian yang berada di luar dan berjumlah beratus-ratus itupun tidak dapat mencegah kami sampai ke sini."

Prajurit-prajurit itu tidak menjawab tetapi melirik ke arah pemimpin mereka, seolah membujuk agar perwira itu menerima saja tawaran untuk menyerah itu agar nyawa selamat. Tapi harapan mereka sia-sia, sebab perwira itu rupanya seorang yang keras kepala, teriaknya garang, "Tangkap pengacau-pengacau ini!"

Maka di dalam ruangan yang tidak begitu luas itupun terjadi pertempuran hebat. Bu-gong Hweshio melawan puluhan prajurit. Sementara pertempuran di bagian luar, terutama di sekitar pintu hitam yang sudah roboh itu, semakin panas. Anggota-anggota regu Bu-sian Hweshio merasa tekanan yang semakin berat dan merekapun terdesak ke ambang pintu.

Biarpun di antara regu itu terdapat Bu-teng Hweshio serta Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu, namun prajurit musuh yang seolah mengalir tak habis-habisnya itu membuat mereka kewalahan juga, apalagi ada juga perwira-perwira atau jago-jago sewaan Pakkiong An yang rata-rata bertempur lebih baik dari para prajurit biasa. Lagi-lagi seorang anggota regu gugur.

Untunglah bahwa regu Tong Wi-hong telah berhasil mendesak maju sampai ke dekat pintu hitam itu, dan kemudian bergabung dengan sisa regu Bu-sian Hweshio. Tong Wi-hong sudah berhasil mengusir Hwe-niau sehingga orang ‘Tibet, yang tadinya merasa tak terkalahkan itu kabur dengan membawa luka-lukanya.

Sedangkan setinggi-tingginya ilmu Sat-sin-kui Hehou Im, ia masih kalah beberapa lapis dari si pendekar wanita Tong Wi-lian. Senjata tiat-ko-annya yang telah digunakan untuk membunuh berpuluh-puluh musuh itu, kini tidak berdaya menghadapi selendang sutera yang menari-nari lincah seperti burung hong itu, dan di lain saat berubah menjadi lurus keras seperti toya baja yang kekuatannya tak terbendung.

Ketika punggung Hehou Im terkena sebuah gebukan keras sehingga matanya berkunang-kunang, maka rontok pulalah sisa-sisa keberanian perwira yang bekas tokoh golongan hitam itu, dah ia memilih untuk memperpanjang nyawanya dengan kabur tunggang-langgang.

Namun sambil meninggalkan gelanggang, ia masih sempat juga memberi alasan kepada prajurit-prajuritnya untuk menjaga jangan sampai kehilangan muka, “Aku akan memeriksa ke bagian lain yang barangkali memerlukan bantuanku. Kalian terus bertahan di sini!''

Tong Wi-lian tidak mengejar musuhnya itu. Bahkan ia berharap agar nanti Hehou Im bertemu dengan bekas rekan-rekannya, yaitu para Tongcu Hwe-liong-pang. Dulunya Hehou Im ini bekas Tongcu Hwe-liong-pang pula, namun Tongcu yang diangkat oleh Te-liong Hi-angcu untuk menandingi kelompok tandingan yang bermaksud menyaingi, bahkan menyingkirkan, Ketua Hwe-liong-pang yang sah.

Jika malam ini Hehou Im bertemu para Tongcu yang setia kepada Ketua syah Hwe-liong-pang, maka berarti malam ini akan menjadi ujung perjalanan hidup Hehou Im. Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tentu akan menghukum Hehou Im bukan sekedar sebagai pengkhianat terhadap Ketua Hwe-liong-pang, melainkan juga sebagai kaki tangan Manchu. Kesalahan ganda.

Sementara itu, sambil terbirit-birit menjauhi Tong Wi-lian, Hehou Im juga mengumpat-umpat dalam hatinya, "Apakah Te-liong Hiangcu sengaja memberi keterangan yang salah? Katanya serangan kaum pemberontak ini baru akan dilakukan tiga hari lagi, kenapa sekarang pemberontak-pemberontak jahanam ini sudah bergerak?"

Demikianlah, dengan kaburnya Hwe-niau serta Hehou Im sebagai jago-jago yang paling diandalkan, maka bertambah lemahlah perlawanan para prajurit di tempat itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak. beberapa perwira, terutama yang berkebangsaan Manchu asli, bertempur dengan gigihnya dengan ilmu yang lumayan, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menyamai ketangguhan Hehou Im maupun Hwe-niau. Jika perwira-perwira itu kebentur Tong Wi-hong, Tong Wi-lian ataupun Ting Bun, maka perwira-perwira itu tidak akan dapat melawan mereka lebih dari sepuluh jurus.

Tong Wi-hong segera memerintahkan regunya untuk segera mengambil tempat di depan di depan pintu hitam itu, bergabung dengan regu Bu-sian Hweshio yang sudah bertahan di tempat itu sejak tadi.

"Bagus, saudara Tong, kau sudah menempati tempat yang tepat," kata Bu-sian Hweshio di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran. "Ada anggota regu saudara yang gugur?"

"Dua orang," sahut Tong Wi-hong sambil menangkis tombak seorang prajurit yang hampir melubangi dadanya. Lalu dengan sebuah putaran cepat, ia melemparkan tombak prajurit itu ke udara disusul sebuah sabetan yang melemparkan nyawa prajurit itu untuk bersujud kepada nenek-moyangnya.

Setelah merasa bahwa pertahanan di pintu hitam itu cukup kuat untuk menahan para prajurit supaya tidak menyerbu ke dalam, maka pekerjaan Bu-sian sekarang adalah membantu Bu-gong untuk menaklukkan prajurit-prajurit yang di dalam ruangan itu. Perwira yang memimpin mereka sudah roboh, dan prajurit-prajurit itupun bertempur dengan setengah hati.

Maka ketika Bu-gong Hweshio membentak sekali lagi dengan suara bagaikan guntur, menyuruh prajurit-prajurit itu untuk menyerah, maka entah siapa yang mendahului meletakkan senjata, sisa-sisa prajurit di ruangan dalam yang hanya sedikit itupun berturut-turut meletakkan senjata sebagai tanda menyerah.

"Bagus!" seru Bu-gong Hweshio. "Sekarang semuanya masuk ke situ!" perintahnya sambil menunjuk sebuah ruangan berterali besi yang masih kosong.

Tanpa berani membantah lagi, prajurit-prajurit itu masuk ke kerangkeng itu yang kemudian dikunci dari luar oleh Bi-gong Hweshio, dan kuncinya dilemparkan jauh-jauh sehingga tidak akan terjangkau oleh tangan prajurit-prajurit itu seandainya mereka ingin melepaskan diri dari kerangkeng itu.

Bu-sian Hweshio tersenyum melihat tindakan adik seperguruannya itu, namun ia puas bahwa pertempuran di bagian dalam bangunan itu tidak memakan korban jiwa terlalu banyak. Hanya si perwira yang keras kepala tadi dan beberapa prajurit yang mengikuti jejaknya.

Maka dengan leluasa kecua orang pendeta Siau-lim-si itu melepaskan tawanan-tawanan yang memang patut untuk dibebaskan, yaitu para pejuang penentang pemerintahan Manchu yang dipenjarakan. Tetapi kedua pendeta itu tidak membebaskan semua orang. Mereka tahu bahwa di penjara itu pula terdapat para perampok, pembunuh, pemerkosa dan lain-lainnya yang memang sudah sepantasnya mendekam di balik terali besi itu. Penjahat-penjahat itupun berteriak-teriak minta dibebaskan, namun teriakan mereka berubah menjadi caci-maki kotor ketika kedua pendeta itu tidak menggubris mereka.

Begitu bebas, para tahanan itu segera memungut senjata-senjata para prajurit yang bergeletakan di tanah, lalu ikut bertempur melawan musuh. Di antara tahanan-tahanan yang dibebaskan itu ada dua orang tokoh yang ilmunya malahan lebih tinggi dari Bu-sian maupun Bu-gong Hweshio. Kedua tokoh itu di masa lalu termasuk tokoh puncak dalam Hwe-liong-pang, kedudukannya lebih tinggi setingkat dari para Tongcu.

Yang satu bernama Ling Thian-ki yang wajahnya penuh bulu seperti monyet, sehingga ia dijuluki Jian-jiu-sin-wan (Monyet Sakti Berlengan Seribu), dan lainnya adalah seorang Hweshio bertubuh pendek gempal, janggutnya keriting dan berwarna pirang, matanya biru dan hidungnya mancung, tampang orang suku Hui asli. Hweshio itu adalah bekas seorang pendeta Siau-lim-si, namun kemudian bergabung dalam pergerakan Hwe-liong-pang ketika menentang dinasti Beng, bahkan di Hwe-liong-pang ia mendapat tempat yang terhormat.

Karena itu, ketika berhadapan dengan Hweshio bertubuh pendek gempal itu, Bu-sian dan Bu-gong Hweshio serentak memberi hormat, "Salam untuk susiok (paman guru)!"

Hong-goan Hweshio tertawa dan menyahut, "Bagus kalian datang. Kalau kalian terlambat beberapa hari lagi, kalian hanya akan menjumpai tubuh su-siokmu dan saudara Ling ini tanpa kepala, sebab keputusan hukuman mati untuk kami sudah ditetapkan dan tinggal menunggu pelaksanaannya saja."

"Mari kita keluar dari sini. Di sebelah luar, beberapa teman sedang melawan musuh dengan sibuknya," ajak Bu-sian Hweshio. "Dan kami masih harus membongkar penjara ini di bagian lain untuk membebaskan beberapa orang lagi."

"Baik, he, keledai gundul, mari kita terjang keluar," kata Ling Thian-ki kepada Hong-goan Hweshio sambil memungut sebatang pedang prajurit di tanah.

Hong-goan Hweshio memungut sebatang tombak dan berkata, "Benar, selama ini kita dirantai seperti binatang saja, tak dapat bergerak sehingga tubuh kita pegal semuanya. Sekarang saatnya untuk menggebuk pantat orang-orang Manchu itu."

Bu-sian Hweshio agak cemas melihat keberingasan paman gurunya dan sahabatnya itu, maka iapun memberi hormat dan berkata, "Susiok dan Ling Lo-enghiong, kami mohon agar kalian tidak membunuh semena-mena. Prajurit-prajurit musuh itupun sesama manusia yang punya keluarga dan punya anak-isteri, jangan membuat melayangnya nyawa sesama jika tidak terpaksa sekali."

Agaknya pendeta suku Hui itu memang bukan pembunuh berdarah dingin. Nasihat keponakan muridnya itu diterimanya dengan senang hati, dengan kekuatan jari-jarinya yang pendek-pendek itupun ia mematahkan kepala tombak yang terbuat dari besi itu, sehingga tombak berubah menjadi toya. Katanya, "Jangan kalian kuatir, biarpun aku malas bersembahyang tapi aku ingin jadi murid Sang Buddha yang baik. Sekedar menghajarkan tidak berarti membunuh?"

Sementara itu, Tong Wi-hong dan lain-lainnya yang bertahan di pintu masuk itu, telah mulai kelelahan juga. Musuh benar-benar terlalu banyak. Gugur satu muncul dua orang, dua dibabat muncul empat orang, dan ternyata tidak semua prajurit musuh bernyali kecil. Yang bernyali kecilpun karena banyak kawannya menjadi timbul keberaniannya. Beberapa anggota regu Tong Wi-hong maupun regu Bu-sian hweshio mulai berguguran pula.

Saat itulah dari dalam, bantuan para bekas tahanan itu datang, langsung terjun ke garis depan dengan senjata di tangannya masing-masing dibantu oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, maka dalam waktu singkat kepungan musuh jebol. Bu-sian Hweshio segera memimpin sisa-sisa regunya untuk menyerbu bangunan penjara yang satunya lagi.

Keadaan amat berat yang dialami oleh semua regu pejuang itu dialami di semua tempat. Regu pimpinan Pangeran Cu Leng-ong yang tadinya berhasil membuat musuh Ketakutan, kini mengalami kesulitan. Kepanikan musuh tidak lama, sebab bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit terlatih, dan setelah musuh tidak panik lagi maka merekapun dapat mengatur diri sehingga mampu memberikan perlawanan yang kuat. Kini Pangeran Cu Leng-ong dan regunyalah yang terjepit.

Pangeran Cu Leng-ong yang bersenjata tombak Hong-thian-kek (tumbak bercagak seperti senjata dari tokoh sejarah jaman dinasti Tong Si Jin-kui) telah membasahi senjatanya itu dengan darah musuh-musuhnya. Namun musuh mengerumuninya seperti semut mengerumuni ulat, seolah tak habis-habisnya, sehingga lengan Pangeran Cu Leng-ong mulai terasa pegal.

Begitu pula yang dialami oleh Kongsun Hui. Dengan sepasang ruyung bajanya ia sudah memecahkan beberapa kepala musuh, dan merobohkan banyak orang, tapi sebuah tombak musuh sempat menyelonong menerobos pertahanannya dan melukai lambungnya.

"Bangsat keparat Manchu! Majulah semuanya untuk menerima hajaranku!" teriak Kongsun Hui yang pikirannya mulai kacau karena kelelahan itu. "Hayo hadapilah Kongsun Hui, Panglima Pasukan ke sebelas dari Kerajaan Beng yang agung!"

Seorang perwira Manchu yang memimpin pertempuran dl bagian itu tertawa dingin ketika mendengar teriakan Kongsun Hui itu. Kata perwira itu dengan mengejek, "He, Panglima kerajaan agung yang setia, mari aku bantu dengan senjataku ini supaya bisa menyusul Kaisar Cong-ceng mu itu di akherat!"

Dengan marah Kongsun Hui menerjang perwira itu, namun perwira itupun dengan garangnya menyambut serangannya tanpa takut. Senjatanya adalah sebatang tombak besi yang berat namun dapat dimainkan dengan ringan dan cepat karena tangannya yang besar.

Satu demi satu anggota-anggota Jit-goat-pang yang mengikuti Pangeran Cu Leng-ong itu mulai berguguran. Dan sebelum mereka roboh ke tanah, dengan fanatik mereka meneriakkan semboyan perjuangan kaum Jit-goat-pang "Seng-wi beng-jin Si-wi-beng-kui (hidup menjadi rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng") Namun ada yang baru mengucapkan separuh dari kalimat yang membakar semangat, dan tubuhnya sudah keburu roboh dengan nyawa melayang.

Disaat regu Pangeran Cu Leng-ong bagaikan telur dl ujung tanduk, tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Itulah isyarat dari Bu-sian Hweshio bahwa semua tawanan telah berhasil di bebaskan, dan semua regu segera mundur ke arah selatan untuk melepaskan diri dari musuh. Mendengar itu, Pangeran segera memimpin anak buahnya yang tinggal beberapa gelintir untuk menerjang ke selatan.

Ketika melihat Kongsun Hui masih saja bertempur berkutetan melawan perwira Manchu bersenjata tombak itu tanpa ketahuan siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, Pangeran segera berteriak, "Kongsun Ciangkun, bergerak sesuai dengan rencana. Isyarat dari Bu-sian Hweshio sudah terdengar!"

Namun Kongsun Hui menjawab dengan teriakan kalap, "Biarpun tubuhku tercincang, aku harus merobek anjing Manchu bermulut kotor ini, karena ia telah, berani menghina mendiang Sri Baginda!"

Dalam keadaan mendesak, Pangeran Cu Leng-ong menjadi kehabisan kesabaran, "Kongsun Ciangkun, kau bisa merusak seluruh rencana dan menjadi penyebab bencana bagi regu-regu lainnya. Ikuti perintahku atau kau harus dipecat sebagai seorang prajurit yang tidak taat kepada junjungannya?"

Bagi seorang prajurit yang setia membabi-buta kepada dinasti Beng semacam Kongsun Hui ini, maka yang lebih menakutkan dari kematian adalah jika ia dipecat tidak hormat dari Jit-goat-pang yang selama ini dianggapnya sebagai "susunan pemerintahan Kerajaan-Beng di luar Ibukota" itu. Gertakan Pangeran itu telah membuatnya bertempur sambil mundur, meskipun kebenciannya membuatnya la ingin menghantam kepala musuhnya sampai remuk.

Perwira Manchu bersenjata tombak itu tidak mau membiarkan musuh mundur begitu saja setelah melakukan pembakaran dan pengacauan. Ia pimpin anak buahnya untuk terus mengejar sambil menekan regu Pangeran Cu Leng-ong yang tinggal empat orang itu.

"Tumpas habis semuanya, jangan sisakan seorangpunj' perintahnya.

Selain Pangeran Cu Leng-ong dan Kongsun Hui, yang dua lainnya adalah dua orang bekas perwira Beng berpangkat cong-peng, masing-masing bernama Song Sin-kiam dan Wan Liu-cong. Meskipun mereka berdua juga bertempur dengan dibekali semangat berani mati yang berkobar-kobar, tetapi karena kepandaian merekapun tidak lebih dari Kongsun Hui yang juga biasa-biasa saja itu, maka amukan mereka tak banyak berarti.

Regu Pangeran Cu Leng-ong dan pengikutnya tetap saja terpancang di tempat itu. Jangan lagi untuk bergabung dengan Bu-sian Hweshio untuk mundur serempak, sedangkan untuk bergeser sejengkal begitu sulit. Agaknya regu itu benar-benar akan tertumpas habis, dan sebuah gerakan bawah tanah yang menamakan diri Serikat Matahari’ dan rembulan akan kocar-kacir, sebab Jit-goat-pang tanpa Pangeran Cu Leng-ong akan seperti ular tanpa kepala.

Saat itu, dari sebuah lorong gelap muncul serombongan orang yang berlari-lari ke arah kuda yang terbakar itu. Dalam gelapnya malam belum terlihat mereka itu siapa, namun setelah cahaya api menimpa wajah mereka,. terlihatlah yang paling depan itu adalah pangeran Cu Hin-yang bersama dengan Li Tiang-hong, diikuti beberapa bekas tahanan yang semuanya adalah tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang tertangkap lebih dulu dari Pangeran Cu Hin-yang.

Namun kini mereka semua sudah bebas begitu melihat Pangeran Cu Leng-ong dan sisa regunya yang tinggal tiga orang itu terkepung musuh tanpa berkutik, maka Pangeran Cu Hin-yang segera menyerbu sambil berteriak, "Kakanda Cu Leng-ong, aku datang! Segera mundur ke selatan agar tidak terlambat!"

Alangkah gembiranya Pangeran Cu Leng-ong melihat adiknya dalam keadaan selamat dan sudah bebas, meskipun tampang adiknya itu menjadi cekung dan kotor karena berhari-hari tersekap di penjara dan pakaiannyapun compang-camping. Maka semangat tempur Pangeran Cu Leng-ongpun menghebat.

Dan kedatangan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong dan lain-lainnya itu membuat pertempuran di dekat kandang kuda itu berubah keseimbangannya. Prajurit-prajurit musuh tidak dapat lagi merintangi gerak mundur sisa-sisa dinasti Beng itu, meskipun tidak berarti pasukan Manchu berhenti mengejar mereka.

Saat itu semua regu memang sudah bergerak ke dinding selatan, seperti telah disepakati dalam rencana. Dan regu orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng sudah bekerja dengan baik untuk menyiapkan jalan mundur bagi semua regu itu. Tali-tali sudah terpasang berjuntaian dari atas dinding, nantinya untuk memanjat bagi para pejuang yang ilmu meringankan tubuhnya cukupan saja, tidak lihai.

Delapan orang Hwe-liong-pang Tongcu seorang Hutong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) ditambah dengan Gin-hoa-kiam Auyang Seng dari Hoa-san-pay telah berjaga-jaga di bawah dan di atas dinding untuk menjaga agar tali yang telah terpasang itu tidak diputuskan oleh musuh.

Hehou Im yang memimpin prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu hampir meledak dadanya ketika melihat penyerang-penyerang itu berhasil membobol penjara dan membebaskan banyak tawanan bahkan kini malah mereka hampir berhasil melarikan diri pula. Namun Hehou Im tahu bahwa ia dan prajurit-prajuritnya tidak akan dapat menahan gerak mundur lawan, sementara bala bantuan yang diharapkannyapun belum kunjung tiba.

Dilihatnya regu Bu-sian Hweshio dan regu Tong Wi-hong sudah lebih dulu berhasil mencapai kaki dinding, dan bergabung dengan regu Hwe-liong-pang untuk menghadapi musuh dari segala penjuru. Orang-orang bekas tahanan yang terdiri dari macam-macam golongan itupun bertempur dengan sangat gigih, berdampingan dengan orang-orang yang telah membebaskan mereka. Ada di antara mereka berasal dari golongan-golongan yang saling bermusuhan di masa lalu, tapi di medan tempur itu mereka telah melupakan persengketaan mereka dan berjuang bahu-membahu melawan pasukan Manchu.

Bu-sian Hweshio sempat mendekati Kwa Heng dan bertanya, “Saudara Kwa regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong sudah berkumpul atau belum?"

"Belum," sahut Kwa Heng singkat. Orang tua bungkuk yang mahir Kau-Kun (Silat Kera) dan biasanya hanya mengandalkan kekuatan jari-jarinya untuk bertempur itu, kini terpaksa memegang senjata dalam pertempuran yang ribut itu. Dengan sepasang pedang pendek di tangannya, la berkelahi selincah seekor kera, sehingga prajurit-prajurit musuh sulit mengenalnya, sebaliknya sepasang pedang pendeknya berkali-kali meminta korban.

Di dekat Kwa Heng, bertempurlah Tongcu Hwe-liong-pang lainnya, yaitu Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Dalam kisruhnya pertempuran itu, ia tetap mantap tanpa sepotong senjatapun. di tangannya, hanya mengandalkan sepasang kakinya yang merupakan; senjata yang dahsyat itu.

Ketika seorang prajurit musuh menyerang dengan tombaknya, Oh Yun-kim berkelit memiringkan tubuh sambil mengempit tombak musuh, lalu tendangannya melayang secepat kilat ke iga prajurit musuh itu. Musuh terjungkal dengan tulang-tulang iga yang berpatahan.

Ditengah hiruk-pikuk itu, Auyang Seng yang berjaga-jaga di atas tembok rupanya dapat melihat ke kejauhan, dan ia berteriak dari atas tembok "Bu-sian Taysu, rombongan Te-sian Tojin sedang menuju ke mari, tapi musuh terus mengejar dan menghalangi sehingga gerakannya agak lambat...!!”
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 17

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 17

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
“ADA apa, suheng?" hampir bersamaan kedua adik seperguruannya itu menyahut.

"Kalian berdua periksa sepanjang dinding selatan ini, apakah penjaga-penjaganya sudah dibungkam oleh saudara-saudara Hwe-liong-pang?" perintah Bu-Sian Hweshio. "Kalau belum, lumpuhkan dengan korban jiwa sesedikit mungkin, lalu kembali ke sini."

"Baik, suheng!" jawab kedua rahib itu sambil melayang pergi bagaikan dua sosok bayangan hantu saja.

"Sudara Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu” kembali Bu-sian Hweshio memanggil dua orang imam seperguruan dari Khong-tong-pay itu.

Lalu perintahnya, "Kaliian berdua harap periksa hal yang sama ke sebelah lain. Kalau sudah selesai kembali ke sini secepatnya."

"Baik," sahut kedua imam itu. Merekapun segera menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang lihai.

"Semuanya tiarap di atas dinding, jangan sampai terlihat dari bawah," perintah Bu-sian Hweshio, yang segera dituruti oleh segenap anggota rombongan.

Tidak lama kemudian, Bu-gong dan Bu-teng Hweshio serta kedua imam Khong tong-pay telah melayang tiba dari pemeriksaan mereka dalam saat yang hampir bersamaan, namun dari arah yang berlawanan. Bu-gong dan Bu-teng segera melapor lebih dulu bahwa tak seorang-pun penjaga di dinding selatan yang belum dilumpuhkan oleh orang-orang Hwe-liong-pang.

"Apakah ada korban jiwa?" tanya Bu-sian Hweshio.

"Memang kulihat ada dua orang prajurit yang bukan cuma tertotok tetapi tewas," sahut Bu-gong Hweshio.

Bu-sian Hweshio menarik napas dalam-dalam ketika mendengar itu, namun ia kemudian berkata, "Dalam keadaan seperti ini memang sulit sekali untuk sama sekali menghindari jatuhnya korban. Tetapi aku cukup mengenal watak dan tabiat saudara-saudara dari Hwe-liong-pang itu, mereka bukannya pembunuh-pembunuh yang kejam meskipun dalam peperangan terehadap musuh. Kalau mereka sampai membunuh, tentu mereka telah dihadapkan pada satu satunya pilihan yang tak dapat dihindari itu."

"Ya, akupun kenal tabiat mereka. Meskipun sikap, dan ucapan mereka kadang-kadang nampak kasar, namun hati mereka bersih," kata Tong Wi-hong tentang bekas anakbuah kakaknya itu. "Mungkin ada di antara prajurit Man-chu itu yang mencoba melawan atau mencoba membunyikan tanda bahaya, sehingga para saudara Hwe-liong-pang itu dalam mencegahnya tidak sempat mengendalikan gerakan mereka lagi."

"Ya, inilah peperangan, meskipun sudah berusaha agar tidak jatuh korban tetapi masih jatuh juga," kata Bu-slan Hweshio dengan sedih, "...dan aku sudah ikut terjun dalam pertentangan sehingga suatu saat akupun akan menjadi binatang buas buat sesamaku sendiri."

Kemudian kedua imam dari Khong-tong-pay itu juga melaporkan hasil pemeriksaannya, "Kami berdua melihat hal yang agak berbeda dari yang ditemukan oleh saudara Bu-gong berdua. Semua prajurit penjaga di tembok utara telah terbunuh habis oleh kelompok Cu Leng-ong dan orang-orangnya. Hampir semua prajurit kami dapati dengan kepala yang hampir putus..."

"OmitoHud..." Bu-sian Hweshio menundukkan kepalanya sambil merangkap kedua telapak tangannya di depan dada. "Alangkah ganasnya. Pangeran-Cu-Leng-ong dan anakbuahnya. Agaknya ia lupa kalau prajurit-prajurit itupun mempunyai anak isteri atau anggota keluarga yang harus dihidupinya dengan upahnya sebagai prajurit. Aku kelak harus memberi teguran keras kepada Pangeran itu, kekejaman semacam itu hanya akan membuat rakyat semakin segan mendukung perjuangannya."

Sementara mereka berjongkok di atas tembok sambil menanti isyarat. Tiba-tiba dari sebelah timur terlihat cahaya merahnya api bagaikan menggapai-gapai langit, disusul dengan suara ringkik kuda yang sangat ribut, sebab yang meringkik itu bukan cuma satu atau dua ekor kuda melainkan ratusan ekor kuda.

Derap kaki kuda yang berlari larian keluar dari kandang, bercampur-baur dengan suara prajurti-prajurit yang berteriak-teriak "ada kebakaran” atau memperingatkan ada kuda-kuda yaug lepas bahkan tidak lama kemudian teriakan itu bertambah satu macam lagi "ada pemberontak menyusup".

Bagaikan gabah ditampi, prajurit-prajurit bersenjata itu berlari-larian ke satu arah dengan senjata dengar gemerincing senjata berbenturan yang sangat ramai di kejauhan sana. Jelas sudah mulai ada bentrokan senjata.

"Pangeran Cu Leng-ong dan Te-sian Tojin agaknya juga sudah menjalankan tugasnya masing-masing," desis Bu-sian Hweshlo. Ketika ia menoleh ke arah teman-teman yang dipimpinnya, maka dilihatnya rata-rata dari mereka sudah tidak sabar lagi, ingin segera terjun ke medan laga.

Dan ternyata Bu-sian Hweshio sendiri memang tidak ingin berlama-lama di tempat itu. "Bersiaplah, kita harus segera terjun ke arena supaya teman-teman kita tidak mengalami tekanan yang terlalu dari jumlah musuh yang berlebihan. Sekali lagi aku mengingatkan saudara-saudara, kita langsung menuju ke sasaran dan jangan mau terikat kepada pertempuran yang mandeg. Saudara Tong dan kelompoknya akan melindungi kita dari belakang bukan?"

"Kami siap, Taysu," sahut Tong Wi-hong sambil menggenggam pedangnya erat-erat. Yang termasuk dalam kelompoknya antara lain adalah adik perempuannya sendiri, Tong Wi-lian, serta suaminya, Ting Bun yang ahli silat golok. Lalu dua pembantunya yang berjulukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung) So Hou dan So Pa yang sudah siap dengan lembing pendeknya masing-masing. Ditambah dengan lima orang pejuang lainnya dari berbagai perguruan atau perserikatan, yang rata-rata cukup tangguh pula.

"Kelompokku akan turun lebih dulu," kata Bu-sian Hweshio. "Nanti kelompok saudara Tong jangan lupa membawa tali-tali panjang itu untuk diletakkan di tempat yang sudah ditentukan, agar gerakan mundur kita nanti tidak terhambat."

"Pesan tay-su aku perhatikan," kata Tong Wi-hong.

"Selamat berjuang, saudara-saudaraku."

"Selamat berjuang."

Maka kelompok Bu-sian Tay-su yang terdiri dari sepuluh orang termasuk Bu-sian Hweshio sendiri itupun segera meluncur turun dengan tali-tali yang dijulurkan dari atas itu. Yang merasa ginkangnya cukup dapat diandalkan, meloncat begitu saja dari atas tembok, meskipun Bu-sian Hweshio sudah menganjurkan agar berhati-hati, jangan sampai kakinya patah sebelum bertempur.

Munculnya Bu-sian Hweshio dan kelompoknya yang menerjang langsung ke sasarannya itu telah membuat para prajurit Ui-ih-kun semakin kebingungan. Pasukan itu memang bukan pasukan yang terlatih sebaik Hwe-liong-kunnya Pak-kiong Liong misalnya. Jarang berlatih dan jarang pula terjun di medan yang sebenarnya, sehingga kini mereka agak kacau ketika melihat musuh muncul dari segala penjuru.

Selain itu, ratusan ekor kuda yang terlepas dari kandangnya telah berlari-larian dengan liarnya ke segala penjuru, karena ketakutan melihat api yang berkobar, membuat semakin bingungnya para prajurit.

"Bunyikan tanda bahaya!" teriak seorang perwira.

Tapi seorang prajurit menjawab, "Lonceng tanda bahaya tidak bisa dipukul, sebab gardunya sudah dikuasai oleh sekelompok musuh yang dipimpin oleh seorang imam bersenjata pedang!"

"Kalau begitu, buka pintu gerbang agar salah seorang bisa keluar untuk minta bantuan ke tangsi!" teriak perwira itu lagi.

"Juga tidak bisa. Pintu gerbang dijaga sekelompok musuh pula!"

"Gila! Gila! Berapa orang yang menjaga lonceng bahaya dan yang menjaga pintu gerbang?!"

"Lima orang menjaga lonceng lima orang menjaga gerbang!"

"Apa? Tidak salahkah pendengaranku bahwa kalian yang berjumlah berpuluh-puluh ini tidak mampu menguasai hanya sepuluh orang? Kalian ini berotak udang atau kerbau atau apa?"

Teranyata dalam bingungnya perwira itu juga tidak dapat segera memutuskan apa yang harus diperbuat. Yang keluar dari mulutnya bukan perintah-perintah yang terarah, melainkan cuma caci-maki yang tak keruan tujuannya, membuat perwira-perwira bawahan yang menunggu perintahnya itupun ikut kebingungan.

Demikianlah keadaan kacau-balau, perkelahian terjadi di segala sudut dan andaikata Bu-sian Hweshio tahu apa yang terjadi di sudut-sudut gelap itu maka hatinya pasti akan sedih sekali. Manusia membantai manusia. Para pendekar tidak lagi berusaha untuk mengekang senjatanya agar tidak membunuh prajurit musuh, melainkan sudah kehilangan kesabaran. Jika pedang terayun, maka tujuannya bukan cuma membuat musuh kehilangan senjata dan tak berdaya, melainkan dengan sekuat tenaga dengan harapan musuh akan terbelah dagingnya atau patah tulangnya.

Namun pihak pejuang memang tidak mempunyai pilihan lain, jumlah mereka terlalu sedikit untuk menghadapi prajurit musuh yang berjumlah ratusan orang itu, dan setolol-tololnya prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu namun merekapun prajurit yang pernah mengalami pendadaran pula. Berbaik hati kepada prajurit-prajurit itu sama saja dengan membunuh diri.

Dan beban yang harus dipikul oleh para penentang Manchu itu bertambah berat ketika para jago-jago silat sewaan Pakkiong An mulai bertebaran keluar dari sarangnya. Mereka ini tidak berseragam prajurit, namun kepandaian silatnya rata-rata di atas para prajurit, bahkan tidak sedikit yang lebih unggul dari para perwiranya.

Banyak di antara mereka berasal dari golongan hitam, golongan yang tidak mau tahu soal apapun kecuali kepentingan diri mereka sendiri. Jika mereka bertempur di pihak prajurit Manchu, bukan karena mereka setia kepada pemerintah Manchu, melainkan karena sudah dibayar oleh Pakklong An.

Untunglah para pejuang yang menyerbu penjara itupun merupakan orang-orang terbaik dari perbagai perguruan ataupun kelompok perjuangan. Bukan saja semuanya berilmu tinggi, namun juga sudah siap mengorbankan diri apabila perlu, demi penjuangan mereka.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk itu Bu-sian Hweshio memimpin kelompoknya untuk menuju ke bagian tengah penjara. Di situ ada sebuah bangunan besar berpintu hitam, yang dalam denah disebut dengan Ruangan Hitam. Beberapa kali kelompok kecil sepuluh orang itu berpapasan dengan kelompok prajurit yang sedang berlarian kebingungan, dan terlibat pertempuran.

Dan dalam perang seperti itu Bu-sian Hweshio yang tidak suka membunuh itupun terpaksa tidak dapat mengendalikan toya besinya yang berputar bagaikan baling-baling tertiup angin ribut itu. Ia masih berusaha untuk tidak mencabut nyawa musuh-musuhnya, cukup dilumpuhkan dengan dipingsankan atau dipatahkan kakinya, saja.

Tapi tak terhindar bahwa beberapa prajurit musuh tersambar kepalanya sehingga retak, atau tersodok tulang rusuknya sehingga tulang-tulangnya berpatahan ke dalam. Jika ini terjadi, Bu-sian Hweshio merasa menyesal tetapi tidak dapat berbuat lain daripada itu.

Di samping Bu-sian Hweshio, dua orang adik seperguruannya itupun membabat setiap musuh yang merintangi mereka. Bu-gong Hweshio adalah seorang thau-to (pendeta yang tidak menggunduli rambutnya), melainkan dibiarkannya panjang sampai ke punggung, dan kepalanya dilingkari sebuah gelang tembaga. Senjatanya adalah sebatang toya yang disebut hong-pian-jan, semacam toya para rahib yang salah satu ujungnya berbentuk bulan sabit menghadap ke depan.

Dengan penampilannya itu Bu-gong Hweshio mirip seorang malaikat atau dewa seperti yang sering dilukis di gambar-gambar atau dipatungkan di kuil-kuil. Setiap kali senjatanya menderu dengan hebatnya dan membuat tiga atau empat orang musuh kehilangan senjata dari tangan mereka, lalu disusul dengan tendangan-tendangannya yang membuat prajurit-prajtiri musuh terpental bertebaran.

Masih ada Bu-teng Hweshio yang juga bersenjata toya besi, sepasang imam dari Khong-tong-pay, Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu, yang memegang senjata serupa, yaitu pedang di tangan kanan dan hud-tim (kebut pertapa) di tangan kiri. Setiap kali hud-tim berhasil melibat senjata musuh, disusul dengan tabasan pedang yang telak. Si pengemis bertampang jutawan Sun Ciok-peng yang gemuk itupun sekarang tidak nampak kejenakaannya.

Sebatang tongkat yang tadinya digendong di punggungnya, kini dipegangnya dan digunakan untuk mengamuk kawanan prajurit. Pengemis yang sehari-harinya kelihatannya hanya makan dan tidur itu, ternyata dapat juga berkelahi segarang banteng terluka. Memang jarang yang tahu bahwa sehari sekali pengemis yang nampak pemalas itu tentu mencari sebuah tempat yang sepi untuk melatih ilmu tongkatnya.

Begitulah, rombongan Bu-sian Hwe-shio yang terdiri dari sepuluh orang itu benar-benar tidak tertahan oleh para prajurit, meskipun di antara prajurit itu terdapat pula Sat-sin-kui (si Setan Ganas) Hehou Im yang berpakaian seragam lengkap perwira itu. Juga ada dua orang jagoan sewaan lainnya yang tidak cukup tenaganya untuk membendung laju Bu-sian Hweshio dan kawan-kawannya.

Apalagi ketika beberapa puluh langkah di belakang kelompok Bu-sian Hweshio, kelompok Gin-yan-cu Tong Wi-hong mulai terjun ke gelanggang pula. Tugas kelompok ini memang harus membayangi kelampok Bu-sian Hweshio agar dapat menyelesaikan tugasnya untuk membongkar penjara. Dengan pedangnya yang berkilauan, Tong Wi-hong sendiri memimpin teman-temannya untuk mendesak ke depan dan ia sendirilah "ujung tombak" dari gerakan itu.

Pendekar dari kota Tay-beng yang suka berpakaian serba putih bersih itu, malam ini agaknya harus sedikit mengubah kebiasaannya dengan berpakaian serba hitam agar tidak menyolok dalam gerakan di malam hari itu. Di sampingnya adalah adik perempuannya dan iparnya. Tong Wi-lian, si macan betina dari Siau-lim-pay itu adalah seorang ahli ilmu silat tangan kosong, terutama ilmu yang mengutamakan kekuatan jari-jari seperti Coa-Kun (Silat Ular) dan Pek-ho-kun (Silat Bangau Putih) dan dilengkapi dengan Wan-yo-tui (Ilmu Tendangan Bebek) yang lincah.

Namun dalam pertempuran yang kisruh itu Tong Wi-lian tidak mau menangung akibat apabila ada senjata musuh yang menyasar ke tubuhnya, maka lapun mengeluarkan senjata yang sebetulnya bukan senjata, yaitu sehelai selendang panjang yang sehari-harinya selalu dilibatkan di pinggangnya. dengan kain sutera, sepanjang sedepa itulah ia membuat musuh-musuhnya tercengang.

Kain itu dapat menari-nari dengan lemasnya seperti seekor burung hong menari di udara, tapi di lain saat mematuk seperti seekor ular yang ganas ke jalan-jalan darah yang melumpuhkan musuh, dan jika diputar kencang disertai penyaluran tenaga dalamnya, maka selendang itu menjadi lurus seperti sebatang toya besi yang dapat mengemplang pingsan korbannya.

Sedang suami Tong Wi-lian yang bernama Ting Bun itu telah membuktikan dirinya sebagai ahli gwa-kang (Tenaga Luar) yang patut disegani dl jaman itu. Lelaki berusia empatpuluh tahun yang berbadan ramping tegap dengan tangan-tangan yang besar berotot itu adalah jago dalam Ngo-hou-toan-bun-to-hoat (Ilmu Golok Lima Harimau Mencegat Pintu).

Sedang dalam tangan kosong ia adalah ahli dalam dua macam ilmu keras Ngo-heng-ciang (Telapak Tangan Lima Unsur) dan Eng-Jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang). Goloknya yang diputar kencang seperti baling-baling itu membuat prajurit-prajurit musuh tersibak mundur, dan yang terlambat mundur akan termakan oleh goloknya.

Di samping itu masih ada Tiong-san-siang-hou yang bertempur benar-benar seperti macan-macan kelaparan di tengah kambing-kambing. So Hou dan So Pa merupakan lawan-lawan yang harus diperhitungkan pula sehingga dua orang perwira telah turun ke medan untuk menghadang kedua saudara itu agar tidak menimbulkan korban berlalu banyak.

Begitu pula jago-jago lainnya yang termasuk kelompok Tong Wi-hong telah berkelahi dengan semangat tinggi, sehingga kerumunan prajurit yang tadinya hanya mengepung Bu-sian Hwe-shio dan kelompoknya itupun sekarang terbagi. Bu-sian Hweshio tidak mau kehilangan waktu. Setiap kelompok sudah punya tugasnya sendiri-sendiri. Maka la segera memberi aba-aba kepada kelompoknya,

"Jangan tertahan di sini terjang ke pintu hitam itu Bu-gong Sute, kau di depan dan kau sudah mengerti apa tugasmu!"

"Beres, suheng" teriak Bu-gong Hweshio menyahut perintah kakak seperguruannnya itu. Teriakannya menggelegar seperti guntur sehingga beberapa orang di sekitar dirinya merasa telinganya pekak, dan ketika itulah Bu-gong mengayun senjata hong-pian-jan-nya dengan jurus Heng-sau-jian-kun (Menyapu Ribuan Tentara), membuat tiga orang prajurit musuh terlempar seketika dari gelanggang dengan luka parah.

Melihat keperkasaan pendeta berambut seperti singa ini, prajurit-prajurit musuh yang bernyali agak kecil segera menjadi gentar dan memilih lawan lain. Kemudian Bu-gong Hweshio membolang-balingkan tongkatnya sambil berteriak kepada anggota kelompok lainnya, "Ikuti aku menerjang ke pintu hitam!"

Teman-temannyapun bagaikan mendapat tambahan semangat ketika melihat keperkasaan Bu-gong Hweshio. Serentak bagaikan serigala-serigala kelaparan mereka maju mendesak musuh-musuhnya yang jauh lebih banyak namun bernyali lebih kecil. Pasukan Ui-ih-kun memang bukan pasukan berani mati seperti Hui-liong-kunnya Pakkiong Liong, sebaliknya lawan-lawan mereka adalah pemberontak-pemberontak penentang pemerintahan. Machu yang sudah siap untuk gugur di medan laga. Tandang bagaikan singa terluka.

Hehou Im yang berpakaian perwira itu berteriak-teriak memberi semangat ke anak buahnya, "Tahan agar pemberontak-pemberontak ini tidak mendekati pintu. Bertahan terus! Sebentar lagi bala bantuan tiba!"

Lawan Hehou Im adalah si pengemis Sun Ciok-peng yang bersenjata tongkat seukuran pedang. Ketika mendengar Hehou Im menyebut bala bantuan segera tiba, maka Sun Ciok-peng tertawa sambil mengejek, "Bala bantuan dari mana? Pintu gerbang sudah dikuasai oleh kawan-kawanku, apakah bala bantuanmu itu akan lewat langit?"

Belum sempat Hehou Im menjawab ejekan itu, tiba-tiba dari antara prajurit-prajurit musuh itu terdengar suara geraman dingin, "Benar, bantuan datang dari langit untuk mengambil nyawamu, pengemis busuk!"

Lalu sesosok bayangan merah benar benar meluncur dari langit dan menyambar ke arah Sun Ciok-peng. Dalam sambarannya terasa bahwa serangan itu bukan main-main, kecepatannya maupun kekuatannya.

Sun Clok-peng yang tengah memusatkan perhatiannya kepada Hehou Im itu terkejut bukan main mendapatkan serangan yang agak licik itu. Namun pengemis bertubuh gemuk itu ternyata sangat tangkas, bagaikan sebuah bola baja saja ia menggelinding tubuhnya ke samping. Namun tak urung topi bututnya tersambar juga oleh senjata lawan, bersama dengan segumpal kecil rambutnya.

Ketika la meloncat bangun, Hehou Im telah menyergap dengan tiat-koan-hya yang tajam itu sehingga pundak Sun Clok-peng terluka. Lenyaplah wajah berseri-seri dari pengemis itu, berganti dengan wajah merah padam penuh kemarahan. Berganti-ganti dipandangnya si bayangan merah yang hampir saja memutuskan batok kepalanya tadi. Ternyata adalah seorang lelaki berpakaian serba merah, baju lengan pendek dan celananyapun lengan pendek, memakai ikat kepala kuning dan ikat pinggangnya juga kuning, sedang sepatu kulitnya berbentuk aneh.

Dialah salah seorang jago sewaan yang paling tangguh dari Tibet, karena namanya yang susah diucapkan maka ia lebih dikenal dengan julukannya sebagai Hwe-niau (si Burung Api). Senjatanya adalah sebilah golok yang panjangnya kira-kira hanya dua jengkal, namun berbadan lebar dan melengkung. Pisau itu adalah pisau khusus para pendekar dl Nepal yang sering disebut Kukri. Ilmu orang Nepal dan Tibet serumpun, dengan pisau kukri mereka mahir memenggal leher musuh.

Sun Ciok-peng yang baru saja kepalanya hampir terpenggal itu hampir saja maju untuk melabrak kedua musuhnya itu. Namun sebelum tindakan gegabahnya itu dijalankan, Bu-teng Hwe-shio dengan toyanya telah meloncat ke samping itu sambil berkata, "Saudara Sun, kita bagi satu-satu, jangan kau ambil semua!"

Hwe-niau dengan pisau kukrinya telah malang melintang beberapa tahun tanpa tandingan di Tibet, Nepal, Bhutan, Birma bahkan ke semenanjung Malaka. Kali ini la muncul di Pak-khia atas undangan Pakkiong An, dikiranya jago-jago bangsa Han, Manchu dan Mongol sama saja dengan orang-orang yang telah dikalahkannya. Namun kali ini ia tercengang. Seorang pengemispun tidak dapat ia bunuh dengan kukrinya, meskipun la sudah menyergapnya dengan cara yang licik selagi si pengemis menghadapi Hehou Im.

Kini sadarlah bahwa nama besar para pendekar di daratan tengah yang terdengar sampai ke Tibet itu ternyata bukan omong kosong belaka. Baru Sun Ciok-peng hanya "kelas menengah" saja sudah tidak dapat ia atasi, apalagi tokoh-tokoh puncaknya.

Sesaat kemudian terjadilah perkelahian dua lingkaran di tempat itu. Hwe-niau dengan pisau kukri-nya bertarung sangat lincah menghadapi Bu-teng Hweshio dengan toya bajanya. Namun ternyata Hwe-niau telah membentur tembok baja kali ini. Bu-teng Hweshio memang tidak selincah dia, namun kokoh bagaikan angin ribut yang menggulung lawannya. Toyanya seolah sebuah pusaran angin maut yang siap menghisap dan menggilas lumat korbannya tanpa ampun.

Dengan pisau ku-krinya yang pendek itu, tadinya Hwe-niau berharap akan dapat memaksakan sebuah perkelahian jarak dekat. Tapi setelah melihat cara bertempur lawannya, ia bersyukur bahwa ia belum terlanjur masuk ke dalam lingkaran dalam dari putaran toya lawannya, sebab jika la sudah masuk ia tidak yakin apakah dirinya akan dapat keluar atau tidak.

"Setan, orang-orang daratan tengah ini benar-benar banyak yang tangguh," geramnya dalam hati.

Sebaliknya Bu-teng Hweshio juga tidak berani lengah terhadap pisau lawan yang tajam berkilat-kilat dan dimainkan dengan amat mahir itu. Gerakan-gerakannya jauh berbeda dengan silat Tiong-goan, ganas, cepat dan langsung ke sasaran. Namun Bu-teng Hweshio juga waspada karena ia masih ingin berkepala.

Sementara itu seluruh kelompok Bu-sian Hweshio dapat mendesak maju semakin dekat ke pintu hitam itu. Pihak musuh dengan gigih mencoba menahan gerak laju itu, tetapi Bu-sian dan Bu-gong Hweshio adalah sepasang ujung tombak yang tak terbendung siapapun. Bahkan oleh perwira-perwira yang berilmu cukup tinggi maupun oleh jagoan-jagoan sewaan.

Sementara itu, pertempuran telah merata diseluruh penjara yang luas, terdiri dari banyak halaman-halaman dan lorong-lorong berliku-liku itu. Hampir semua kelompok sudah terlibat pertarungan. Bahkan orang-orang Hwe-liong-pang di bagian lain yang tugasnya sebenarnya termasuk tugas tahap terakhir, yaitu menyiapkan jalan mundur bagi seluruh kelompok nantinya, agaknya selama menunggu itupun tidak mau berpangku tangan saja. Mereka memecah diri menjadi dua bagian dan mengadakan pengacauan di arah yang berbeda, sehingga pasukan musuh semakin terpecah-pecah perhatiannya.

Dalam gerakan maju kelompok Bu-sian Hweshio mendekati ke pintu hitam itu, Sun Ciok-peng serta Bu-teng Hweshio yang telah bertemu dengan lawan imbangannya masing-masing Itu hampir-hampir tidak beranjak dari tempatnya, sehingga mereka bisa terpisah dari kelopok mereka yang sedang maju itu. Betapapun gelisahnya mereka, tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa sebab lawan mereka masing-masing mencegah mereka dengan gigihnya.

Hwe-niau nampak bertarung semakin ganas seakan kesurupan. Sedangkan Hehou Im tidak percuma berjulukan Sat-sin-kui atau si Setan Ganas. Tongkat melengkungnya yang tajam itu menyambar-nyambar semakin hebat, dan betapapun tangguhnya Sun Ciok-peng si pengemis, namun kini ia kebentur suatu kenyataan bahwa ilmu Hehou Im selapis lebih tinggi daripadanya, sehingga Sun Ciok-peng mulai terdesak mundur selangkah demi selangkah.

Untunglah keadaan yang mencemaskan dari kedua anggota kelompok Bu-sian Hweshio itu terlihat oleh Tong Wi-hong yang bertempur belasan langkah dari tempat itu. Meskipun penerangan di tempat itu tidak cukup untuk mengusir sama sekail gelapnya malam, tapi ketajaman mata Tong Wi-hong dapat melihat kesulitan yang diderita Bu-teng Hweshio dan Sun Ciok-peng itu. Kesulitan mereka berarti kesulitan bagi seluruh kelompok Bu-sian Hweshio, dan kesulitan kelompok Bu-sian Hweshio menimbulkan ancaman gagalnya seluruh rencana.

Karena itulah Tong Wi-hong ingat bahwa tugas kelompoknya adalah melindungi kelompok Bu-sian Hweshio dari belakang agar dapat mencapai pintu hitam. Maka sambil mengayunkan pedang untuk merobohkan seorang perwira, dia berteriak kepada adik perempuannya, "A-lian, ikuti akui"

Lalu tubuh Tong Wi-hong bagaikan seekor burung walet saja telah melambung ke angkasa, meloncati kepala para prajurit. Gelarnya sebagai si Walet Perak karena kemahirannya dalam ilmu meringankan tubuh ternyata terbukti sekarang. Kepala berpuluh-puluh prajurit musuh diloncatinya begitu saja, dan di udara la masih sempat berteriak kepada Ting Bun, iparnya itu, “Ting Bun, kau pimpin semua saudara-saudara untuk mendesak maju sedikit lagi agar kelompok Bu-sian Hweshio dapat ditolong dari belakang!"

"Baik, A-hongl" sahut Ting Bun singkat. Ia tahu bahwa Ilmu meringankan tubuhnya sendiri memang tidak dapat dibandingkan dengan iparnya maupun lsterinya, tapi ia tidak merasa terhina, sebab iapun punya kebanggaan tersendiri. Kekuatannya besar sehingga senjata musuh yang beradu berbenturan dengan goloknya pasti akan terlepas dari tangan musuh.

Susul menyusul tubuh Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian "terbang" di atas kepala prajurit-prajurit musuh. Begitu menakjubkan pemandangan itu sehingga tak terasa ada juga prajurit-prajurit musuh yang bersorak memuji, lupa kalau yang diuji itu adalah lawan.

Tong Wi-hong langsung menuju ke arah Hwe-niau. Tapi sebagai pendekar terhormat la tidak sudi dikatakan menyergap orang secara licik, maka la tidak langsung menyerang Hwe-niau dengan pedangnya, melainkan dengan tangan kirinya la mendorong tubuh Bu-teng Hweshio untuk menyingkir dari arena, sambil berseru, "Tinggalkan tempat ini dan susul kelompok tay-su. Mengurusi cecunguk-cecunguk di luar ini adalah tugas kelompokku."

Hwe-niau berteriak, "Biarkan aku memotong kepala gundul si rahib busuk itu. Jangan kau selamatkan dia!"

Tong Wi-hong tertawa dingin, "Jangan besar mulut. Dengan menyuruh Bu-teng Hweshio menyingkir sebenarnya aku sedang menyelamatkan kau dari toya besinya yang bisa membuat benakmu berantakan!"

Hwe-niau menggeram marah, tanpa berkata-apa-apa lagi ia segera menyerang Tong Wi-hong. Kedua orang itu segera terlibat dalam pertarungan seru, sementara Bu-teng Hweshio buru-buru bergabung dengan kelompoknya yang sudah maju beberapa langkah itu.

Sementara itu, Tong Wi-lian meloncat turun tepat di depan Hehou Im, sambil tertawa ia berkata, "Kita bertemu lagi, setan busuk. Puluhan tahun yang lalu pernah bertempur dekat kota Bun-siau, dan aku juga melihat tampangmu ketika kau dan gerombolan Te-liong Hiangcu menyerbu Siong-san namun kau tertangkap. Guruku telah melepaskanmu kembali dengan harapan agar kau menyadari kesalahan-kesalahanmu dan kembali ke jalan yang benar. Tetapi kau makin lama makin sesat. Dulu kau menjadi kaki tangan Te-liong Hiangcu untuk mengacaukan dunia persilatan, dan sekarang kau menjadi budak bangsa Manchu untuk menindas rakyat! Hari ini kubereskan nyawamu sekalian!"

Hehou Im juga pernah mengenal Tong Wi-lian puluhan tahun yang lalu, maka sebenarnya ia agak gentar kepada perempuan murid mendiang Hong-tay Hweshio dari Siau-lim-pay yang sejak muda dulu telah dikenal keperkasaannya itu. Banyak rekan-rekan seangkatan He-hou Im yang pernah mengalami hajaran Tong Wi-lian. Namun kali ini Hehou Im sedang memakai seragam perwira Ui-ih-kun, tentu saja ia malu menunjukkan rasa takutnya di hadapan sekian banyak anak buahnya. Maka tanpa banyak bicara lagi ia segera menyerang dengan tiat-koannya.

Kelompok Bu-sian Hweshio yang semakin dekat ke pintu hitam itu ternyata menghadapi perlawanan yang semakin sengit dan berat. Prajurit-prajurit musuh bagaikan mengalir tak habis-habisnya, yang depan roboh akan segera disusul dengan majunya orang di bagian belakangnya. Dalam pertempuran maha sengit itu terpaksa kelompok Bu-sian Hweshio kehilangan dua orang yang gugur, sementara hampir seluruh anggota kelompok telah menderita luka-luka.

Namun gerak maju dari regu itu juga telah menimbulkan korban yang berlipat jumlahnya dipihak musuh. Betapapun hati Bu-sian Hweshlo tergores pedih setiap kali melihat sesamanya kehilangan nyawa, baik itu kawan atau lawan, tapi semuanya terus berlangsung tanpa menghiraukan hatinya sedih atau tidak. Bahkan Bu-sian Hweshio sendiri kadang-kadang sudah menjadi seorang pembunuh, biarpun la tidak melakukannya dengan senang hati.

Tentara musuh yang berjumlah banyak itu ternyata tidak dapat menahan gerak maju dari regu yang kecil itu, dan akhirnya pertahanan musuh yang terakhir di depan pintu hitam itupun bobol. Prajurit-prajurit musuh berlarian pontang-panting ke kiri dan kanan ketika Bu-gong Hweshio memutar tongkatnya dengan kencang sambil menggeram dengan menggunakan ilmu Sai-cu-hou-kang (Ilmu Singa Menggeram) yang memekakkan telinga.

Yang disebut Pintu Hitam itu adalah pintu penjara yang terbuat dari kayu jati Lam-yang yang kerasnya bukan main, tebalnya hampir satu setengah jengkal dan di antara sela-sela kayu dilapisi dengan lempengan-lempengan besi setebal hampir sejari. Kekokohannya sudah terkenal sejak jaman dinasti Goan dulu. Dan menurut denah, di belakang pintu itu masih ada palang pintu dari kayu yang hampir sebesar paha, dan ada ruangan yang diisi prajurit penjaga pula.

Setelah regunya tiba di depan pintu hitam yang tertutup rapat itu, Bu-sian Hweshio segera memerintahkan regunya untuk membuat setengah lingkaran menghadap keluar, untuk melindungi dirinya dan adik seperguruannya yang akan berusaha untuk menjebol pintu itu dengan pukulannya. Namun Bu-sian Hweshio sadar bahwa pintu itu terlalu kuat untuk dihancurkan dengan sekali pukul-saja, itulah sebabnya ia mengajak adik seperguruannya yang juga bertenaga raksasa, Bu-gong Hweshio, untuk bersama-sama menjebolnya.

Sedangkan Bu teng Hweshio tidak diajaknya, sebab adik seperguruannya itu bukan seorang yang menonjol tenaga dalamnya, meskipun ia memiliki keistimewaan lain pula, yaitu kelincahan yang tak tertandingi oleh kakak-kakak seperguruannya. Kata Bu-sian Hweshio kepada Bu-gong, "Sute, kau pukul lebih dulu dengan Jian-kin-cun-tui (Palu Godam Sikut Seribu Kati), aku akan segera menyusulinya dengan Tay-lik-kim-kong-ci-ang. Meskipun pintu ini kuat, tapi kita berharap pukulan yang ketiga tidak usah kita lakukan..."

"Baik, suheng." Bu-gong Hweshio lalu meletakkan senjata Hong-pan-jan-nya ke tanah, lalu di bawah perlindungan teman-temannya dia mulai mempersiapkan diri. Ia berdiri dengan kuda-kuda Pat-ji-ma sambil merentangkan tangan ke samping dan mengatur napasnya, lalu tiba-tiba dengan gerak cepat la silangkan kedua tangannya di atas kepala dan tubuhnya meluncur maju dua langkah dengan kuda-kuda Co-cian-ma, disertai bentakan menggelegar maka ilmu Jian-kin-cun-tui kebanggaannya itupun dihantamkan ke daun pintu dengan penuh kekuatan.

Hantaman sikut tangan Bu-gong Hweshio memang luar biasa. Pintu yaing tebal itu bagaikan diguncang gempa yang keras dan bergetar hebat, beberapa lapisan tembok rontok ketanah, dan sepasang daun pintu yang dibanggakan sejak jaman dinasti Goan itupun mulai retak.

Belum reda kejut dan kagum dari orang-orang yang menyaksikan "pertunjukan" itu, kembali mereka melihat sesosok bayangan lain meluncur sambil menghantam ke pintu pula. Kali ini adalah Bu-sian Hweshio yang memukul dengan Tay-lik-kim-kong-ciang (Telapak Tangan Malaikat Bertenaga Besar). Bu-gong memukul dengan sikut tangan, Bu-kian dengan telapak tangan, kembali pintu tebal dan kuat itu bergetar keras dan bahkan terdengar pula suara berderak dari palang pintu yang patah.

Salah satu dari sepasang daun pintu maha Kuat itu benar-benar telah pecah berikut palang pintunya sekalian! Agaknya tenaga Bu-sian Hweshio malahan berlebihan, sehingga daun pintu itu bukan cuma pecah tetapi juga lepas dari engselnya dan terlempar ke dalam. Suatu kekuatan yang sulit dibayangkan akan bisa dimiliki oleh manusia yang berdarah daging. Di bagian dalam pintu itupun ada duapuluh lima orang prajurit yang dipimpin seorang perwira, muka mereka menampilkan rasa gentar dan kaget melihat pameran kekuatan yang mengerikan itu.

Ketika Bu-sian dan Bu-gong Hweshio melangkah masuk dengan senjata-senjata di tangan, maka prajurit-prajurit itupun melangkah mundur selangkah dengan tangan agak gemetar. "Letakkan senjata kalian dan kami tidak akan menciderai kalian," kata Bu-gong Hweshio. "Tapi jika kalian keras kepala, kami tidak sulit untuk membabat kalian sampai habis, sebab kawan-kawan kalian yang berada di luar dan berjumlah beratus-ratus itupun tidak dapat mencegah kami sampai ke sini."

Prajurit-prajurit itu tidak menjawab tetapi melirik ke arah pemimpin mereka, seolah membujuk agar perwira itu menerima saja tawaran untuk menyerah itu agar nyawa selamat. Tapi harapan mereka sia-sia, sebab perwira itu rupanya seorang yang keras kepala, teriaknya garang, "Tangkap pengacau-pengacau ini!"

Maka di dalam ruangan yang tidak begitu luas itupun terjadi pertempuran hebat. Bu-gong Hweshio melawan puluhan prajurit. Sementara pertempuran di bagian luar, terutama di sekitar pintu hitam yang sudah roboh itu, semakin panas. Anggota-anggota regu Bu-sian Hweshio merasa tekanan yang semakin berat dan merekapun terdesak ke ambang pintu.

Biarpun di antara regu itu terdapat Bu-teng Hweshio serta Hui-liam-cu dan Hui-seng-cu, namun prajurit musuh yang seolah mengalir tak habis-habisnya itu membuat mereka kewalahan juga, apalagi ada juga perwira-perwira atau jago-jago sewaan Pakkiong An yang rata-rata bertempur lebih baik dari para prajurit biasa. Lagi-lagi seorang anggota regu gugur.

Untunglah bahwa regu Tong Wi-hong telah berhasil mendesak maju sampai ke dekat pintu hitam itu, dan kemudian bergabung dengan sisa regu Bu-sian Hweshio. Tong Wi-hong sudah berhasil mengusir Hwe-niau sehingga orang ‘Tibet, yang tadinya merasa tak terkalahkan itu kabur dengan membawa luka-lukanya.

Sedangkan setinggi-tingginya ilmu Sat-sin-kui Hehou Im, ia masih kalah beberapa lapis dari si pendekar wanita Tong Wi-lian. Senjata tiat-ko-annya yang telah digunakan untuk membunuh berpuluh-puluh musuh itu, kini tidak berdaya menghadapi selendang sutera yang menari-nari lincah seperti burung hong itu, dan di lain saat berubah menjadi lurus keras seperti toya baja yang kekuatannya tak terbendung.

Ketika punggung Hehou Im terkena sebuah gebukan keras sehingga matanya berkunang-kunang, maka rontok pulalah sisa-sisa keberanian perwira yang bekas tokoh golongan hitam itu, dah ia memilih untuk memperpanjang nyawanya dengan kabur tunggang-langgang.

Namun sambil meninggalkan gelanggang, ia masih sempat juga memberi alasan kepada prajurit-prajuritnya untuk menjaga jangan sampai kehilangan muka, “Aku akan memeriksa ke bagian lain yang barangkali memerlukan bantuanku. Kalian terus bertahan di sini!''

Tong Wi-lian tidak mengejar musuhnya itu. Bahkan ia berharap agar nanti Hehou Im bertemu dengan bekas rekan-rekannya, yaitu para Tongcu Hwe-liong-pang. Dulunya Hehou Im ini bekas Tongcu Hwe-liong-pang pula, namun Tongcu yang diangkat oleh Te-liong Hi-angcu untuk menandingi kelompok tandingan yang bermaksud menyaingi, bahkan menyingkirkan, Ketua Hwe-liong-pang yang sah.

Jika malam ini Hehou Im bertemu para Tongcu yang setia kepada Ketua syah Hwe-liong-pang, maka berarti malam ini akan menjadi ujung perjalanan hidup Hehou Im. Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tentu akan menghukum Hehou Im bukan sekedar sebagai pengkhianat terhadap Ketua Hwe-liong-pang, melainkan juga sebagai kaki tangan Manchu. Kesalahan ganda.

Sementara itu, sambil terbirit-birit menjauhi Tong Wi-lian, Hehou Im juga mengumpat-umpat dalam hatinya, "Apakah Te-liong Hiangcu sengaja memberi keterangan yang salah? Katanya serangan kaum pemberontak ini baru akan dilakukan tiga hari lagi, kenapa sekarang pemberontak-pemberontak jahanam ini sudah bergerak?"

Demikianlah, dengan kaburnya Hwe-niau serta Hehou Im sebagai jago-jago yang paling diandalkan, maka bertambah lemahlah perlawanan para prajurit di tempat itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak. beberapa perwira, terutama yang berkebangsaan Manchu asli, bertempur dengan gigihnya dengan ilmu yang lumayan, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menyamai ketangguhan Hehou Im maupun Hwe-niau. Jika perwira-perwira itu kebentur Tong Wi-hong, Tong Wi-lian ataupun Ting Bun, maka perwira-perwira itu tidak akan dapat melawan mereka lebih dari sepuluh jurus.

Tong Wi-hong segera memerintahkan regunya untuk segera mengambil tempat di depan di depan pintu hitam itu, bergabung dengan regu Bu-sian Hweshio yang sudah bertahan di tempat itu sejak tadi.

"Bagus, saudara Tong, kau sudah menempati tempat yang tepat," kata Bu-sian Hweshio di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran. "Ada anggota regu saudara yang gugur?"

"Dua orang," sahut Tong Wi-hong sambil menangkis tombak seorang prajurit yang hampir melubangi dadanya. Lalu dengan sebuah putaran cepat, ia melemparkan tombak prajurit itu ke udara disusul sebuah sabetan yang melemparkan nyawa prajurit itu untuk bersujud kepada nenek-moyangnya.

Setelah merasa bahwa pertahanan di pintu hitam itu cukup kuat untuk menahan para prajurit supaya tidak menyerbu ke dalam, maka pekerjaan Bu-sian sekarang adalah membantu Bu-gong untuk menaklukkan prajurit-prajurit yang di dalam ruangan itu. Perwira yang memimpin mereka sudah roboh, dan prajurit-prajurit itupun bertempur dengan setengah hati.

Maka ketika Bu-gong Hweshio membentak sekali lagi dengan suara bagaikan guntur, menyuruh prajurit-prajurit itu untuk menyerah, maka entah siapa yang mendahului meletakkan senjata, sisa-sisa prajurit di ruangan dalam yang hanya sedikit itupun berturut-turut meletakkan senjata sebagai tanda menyerah.

"Bagus!" seru Bu-gong Hweshio. "Sekarang semuanya masuk ke situ!" perintahnya sambil menunjuk sebuah ruangan berterali besi yang masih kosong.

Tanpa berani membantah lagi, prajurit-prajurit itu masuk ke kerangkeng itu yang kemudian dikunci dari luar oleh Bi-gong Hweshio, dan kuncinya dilemparkan jauh-jauh sehingga tidak akan terjangkau oleh tangan prajurit-prajurit itu seandainya mereka ingin melepaskan diri dari kerangkeng itu.

Bu-sian Hweshio tersenyum melihat tindakan adik seperguruannya itu, namun ia puas bahwa pertempuran di bagian dalam bangunan itu tidak memakan korban jiwa terlalu banyak. Hanya si perwira yang keras kepala tadi dan beberapa prajurit yang mengikuti jejaknya.

Maka dengan leluasa kecua orang pendeta Siau-lim-si itu melepaskan tawanan-tawanan yang memang patut untuk dibebaskan, yaitu para pejuang penentang pemerintahan Manchu yang dipenjarakan. Tetapi kedua pendeta itu tidak membebaskan semua orang. Mereka tahu bahwa di penjara itu pula terdapat para perampok, pembunuh, pemerkosa dan lain-lainnya yang memang sudah sepantasnya mendekam di balik terali besi itu. Penjahat-penjahat itupun berteriak-teriak minta dibebaskan, namun teriakan mereka berubah menjadi caci-maki kotor ketika kedua pendeta itu tidak menggubris mereka.

Begitu bebas, para tahanan itu segera memungut senjata-senjata para prajurit yang bergeletakan di tanah, lalu ikut bertempur melawan musuh. Di antara tahanan-tahanan yang dibebaskan itu ada dua orang tokoh yang ilmunya malahan lebih tinggi dari Bu-sian maupun Bu-gong Hweshio. Kedua tokoh itu di masa lalu termasuk tokoh puncak dalam Hwe-liong-pang, kedudukannya lebih tinggi setingkat dari para Tongcu.

Yang satu bernama Ling Thian-ki yang wajahnya penuh bulu seperti monyet, sehingga ia dijuluki Jian-jiu-sin-wan (Monyet Sakti Berlengan Seribu), dan lainnya adalah seorang Hweshio bertubuh pendek gempal, janggutnya keriting dan berwarna pirang, matanya biru dan hidungnya mancung, tampang orang suku Hui asli. Hweshio itu adalah bekas seorang pendeta Siau-lim-si, namun kemudian bergabung dalam pergerakan Hwe-liong-pang ketika menentang dinasti Beng, bahkan di Hwe-liong-pang ia mendapat tempat yang terhormat.

Karena itu, ketika berhadapan dengan Hweshio bertubuh pendek gempal itu, Bu-sian dan Bu-gong Hweshio serentak memberi hormat, "Salam untuk susiok (paman guru)!"

Hong-goan Hweshio tertawa dan menyahut, "Bagus kalian datang. Kalau kalian terlambat beberapa hari lagi, kalian hanya akan menjumpai tubuh su-siokmu dan saudara Ling ini tanpa kepala, sebab keputusan hukuman mati untuk kami sudah ditetapkan dan tinggal menunggu pelaksanaannya saja."

"Mari kita keluar dari sini. Di sebelah luar, beberapa teman sedang melawan musuh dengan sibuknya," ajak Bu-sian Hweshio. "Dan kami masih harus membongkar penjara ini di bagian lain untuk membebaskan beberapa orang lagi."

"Baik, he, keledai gundul, mari kita terjang keluar," kata Ling Thian-ki kepada Hong-goan Hweshio sambil memungut sebatang pedang prajurit di tanah.

Hong-goan Hweshio memungut sebatang tombak dan berkata, "Benar, selama ini kita dirantai seperti binatang saja, tak dapat bergerak sehingga tubuh kita pegal semuanya. Sekarang saatnya untuk menggebuk pantat orang-orang Manchu itu."

Bu-sian Hweshio agak cemas melihat keberingasan paman gurunya dan sahabatnya itu, maka iapun memberi hormat dan berkata, "Susiok dan Ling Lo-enghiong, kami mohon agar kalian tidak membunuh semena-mena. Prajurit-prajurit musuh itupun sesama manusia yang punya keluarga dan punya anak-isteri, jangan membuat melayangnya nyawa sesama jika tidak terpaksa sekali."

Agaknya pendeta suku Hui itu memang bukan pembunuh berdarah dingin. Nasihat keponakan muridnya itu diterimanya dengan senang hati, dengan kekuatan jari-jarinya yang pendek-pendek itupun ia mematahkan kepala tombak yang terbuat dari besi itu, sehingga tombak berubah menjadi toya. Katanya, "Jangan kalian kuatir, biarpun aku malas bersembahyang tapi aku ingin jadi murid Sang Buddha yang baik. Sekedar menghajarkan tidak berarti membunuh?"

Sementara itu, Tong Wi-hong dan lain-lainnya yang bertahan di pintu masuk itu, telah mulai kelelahan juga. Musuh benar-benar terlalu banyak. Gugur satu muncul dua orang, dua dibabat muncul empat orang, dan ternyata tidak semua prajurit musuh bernyali kecil. Yang bernyali kecilpun karena banyak kawannya menjadi timbul keberaniannya. Beberapa anggota regu Tong Wi-hong maupun regu Bu-sian hweshio mulai berguguran pula.

Saat itulah dari dalam, bantuan para bekas tahanan itu datang, langsung terjun ke garis depan dengan senjata di tangannya masing-masing dibantu oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, maka dalam waktu singkat kepungan musuh jebol. Bu-sian Hweshio segera memimpin sisa-sisa regunya untuk menyerbu bangunan penjara yang satunya lagi.

Keadaan amat berat yang dialami oleh semua regu pejuang itu dialami di semua tempat. Regu pimpinan Pangeran Cu Leng-ong yang tadinya berhasil membuat musuh Ketakutan, kini mengalami kesulitan. Kepanikan musuh tidak lama, sebab bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit terlatih, dan setelah musuh tidak panik lagi maka merekapun dapat mengatur diri sehingga mampu memberikan perlawanan yang kuat. Kini Pangeran Cu Leng-ong dan regunyalah yang terjepit.

Pangeran Cu Leng-ong yang bersenjata tombak Hong-thian-kek (tumbak bercagak seperti senjata dari tokoh sejarah jaman dinasti Tong Si Jin-kui) telah membasahi senjatanya itu dengan darah musuh-musuhnya. Namun musuh mengerumuninya seperti semut mengerumuni ulat, seolah tak habis-habisnya, sehingga lengan Pangeran Cu Leng-ong mulai terasa pegal.

Begitu pula yang dialami oleh Kongsun Hui. Dengan sepasang ruyung bajanya ia sudah memecahkan beberapa kepala musuh, dan merobohkan banyak orang, tapi sebuah tombak musuh sempat menyelonong menerobos pertahanannya dan melukai lambungnya.

"Bangsat keparat Manchu! Majulah semuanya untuk menerima hajaranku!" teriak Kongsun Hui yang pikirannya mulai kacau karena kelelahan itu. "Hayo hadapilah Kongsun Hui, Panglima Pasukan ke sebelas dari Kerajaan Beng yang agung!"

Seorang perwira Manchu yang memimpin pertempuran dl bagian itu tertawa dingin ketika mendengar teriakan Kongsun Hui itu. Kata perwira itu dengan mengejek, "He, Panglima kerajaan agung yang setia, mari aku bantu dengan senjataku ini supaya bisa menyusul Kaisar Cong-ceng mu itu di akherat!"

Dengan marah Kongsun Hui menerjang perwira itu, namun perwira itupun dengan garangnya menyambut serangannya tanpa takut. Senjatanya adalah sebatang tombak besi yang berat namun dapat dimainkan dengan ringan dan cepat karena tangannya yang besar.

Satu demi satu anggota-anggota Jit-goat-pang yang mengikuti Pangeran Cu Leng-ong itu mulai berguguran. Dan sebelum mereka roboh ke tanah, dengan fanatik mereka meneriakkan semboyan perjuangan kaum Jit-goat-pang "Seng-wi beng-jin Si-wi-beng-kui (hidup menjadi rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng") Namun ada yang baru mengucapkan separuh dari kalimat yang membakar semangat, dan tubuhnya sudah keburu roboh dengan nyawa melayang.

Disaat regu Pangeran Cu Leng-ong bagaikan telur dl ujung tanduk, tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Itulah isyarat dari Bu-sian Hweshio bahwa semua tawanan telah berhasil di bebaskan, dan semua regu segera mundur ke arah selatan untuk melepaskan diri dari musuh. Mendengar itu, Pangeran segera memimpin anak buahnya yang tinggal beberapa gelintir untuk menerjang ke selatan.

Ketika melihat Kongsun Hui masih saja bertempur berkutetan melawan perwira Manchu bersenjata tombak itu tanpa ketahuan siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, Pangeran segera berteriak, "Kongsun Ciangkun, bergerak sesuai dengan rencana. Isyarat dari Bu-sian Hweshio sudah terdengar!"

Namun Kongsun Hui menjawab dengan teriakan kalap, "Biarpun tubuhku tercincang, aku harus merobek anjing Manchu bermulut kotor ini, karena ia telah, berani menghina mendiang Sri Baginda!"

Dalam keadaan mendesak, Pangeran Cu Leng-ong menjadi kehabisan kesabaran, "Kongsun Ciangkun, kau bisa merusak seluruh rencana dan menjadi penyebab bencana bagi regu-regu lainnya. Ikuti perintahku atau kau harus dipecat sebagai seorang prajurit yang tidak taat kepada junjungannya?"

Bagi seorang prajurit yang setia membabi-buta kepada dinasti Beng semacam Kongsun Hui ini, maka yang lebih menakutkan dari kematian adalah jika ia dipecat tidak hormat dari Jit-goat-pang yang selama ini dianggapnya sebagai "susunan pemerintahan Kerajaan-Beng di luar Ibukota" itu. Gertakan Pangeran itu telah membuatnya bertempur sambil mundur, meskipun kebenciannya membuatnya la ingin menghantam kepala musuhnya sampai remuk.

Perwira Manchu bersenjata tombak itu tidak mau membiarkan musuh mundur begitu saja setelah melakukan pembakaran dan pengacauan. Ia pimpin anak buahnya untuk terus mengejar sambil menekan regu Pangeran Cu Leng-ong yang tinggal empat orang itu.

"Tumpas habis semuanya, jangan sisakan seorangpunj' perintahnya.

Selain Pangeran Cu Leng-ong dan Kongsun Hui, yang dua lainnya adalah dua orang bekas perwira Beng berpangkat cong-peng, masing-masing bernama Song Sin-kiam dan Wan Liu-cong. Meskipun mereka berdua juga bertempur dengan dibekali semangat berani mati yang berkobar-kobar, tetapi karena kepandaian merekapun tidak lebih dari Kongsun Hui yang juga biasa-biasa saja itu, maka amukan mereka tak banyak berarti.

Regu Pangeran Cu Leng-ong dan pengikutnya tetap saja terpancang di tempat itu. Jangan lagi untuk bergabung dengan Bu-sian Hweshio untuk mundur serempak, sedangkan untuk bergeser sejengkal begitu sulit. Agaknya regu itu benar-benar akan tertumpas habis, dan sebuah gerakan bawah tanah yang menamakan diri Serikat Matahari’ dan rembulan akan kocar-kacir, sebab Jit-goat-pang tanpa Pangeran Cu Leng-ong akan seperti ular tanpa kepala.

Saat itu, dari sebuah lorong gelap muncul serombongan orang yang berlari-lari ke arah kuda yang terbakar itu. Dalam gelapnya malam belum terlihat mereka itu siapa, namun setelah cahaya api menimpa wajah mereka,. terlihatlah yang paling depan itu adalah pangeran Cu Hin-yang bersama dengan Li Tiang-hong, diikuti beberapa bekas tahanan yang semuanya adalah tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang tertangkap lebih dulu dari Pangeran Cu Hin-yang.

Namun kini mereka semua sudah bebas begitu melihat Pangeran Cu Leng-ong dan sisa regunya yang tinggal tiga orang itu terkepung musuh tanpa berkutik, maka Pangeran Cu Hin-yang segera menyerbu sambil berteriak, "Kakanda Cu Leng-ong, aku datang! Segera mundur ke selatan agar tidak terlambat!"

Alangkah gembiranya Pangeran Cu Leng-ong melihat adiknya dalam keadaan selamat dan sudah bebas, meskipun tampang adiknya itu menjadi cekung dan kotor karena berhari-hari tersekap di penjara dan pakaiannyapun compang-camping. Maka semangat tempur Pangeran Cu Leng-ongpun menghebat.

Dan kedatangan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong dan lain-lainnya itu membuat pertempuran di dekat kandang kuda itu berubah keseimbangannya. Prajurit-prajurit musuh tidak dapat lagi merintangi gerak mundur sisa-sisa dinasti Beng itu, meskipun tidak berarti pasukan Manchu berhenti mengejar mereka.

Saat itu semua regu memang sudah bergerak ke dinding selatan, seperti telah disepakati dalam rencana. Dan regu orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng sudah bekerja dengan baik untuk menyiapkan jalan mundur bagi semua regu itu. Tali-tali sudah terpasang berjuntaian dari atas dinding, nantinya untuk memanjat bagi para pejuang yang ilmu meringankan tubuhnya cukupan saja, tidak lihai.

Delapan orang Hwe-liong-pang Tongcu seorang Hutong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) ditambah dengan Gin-hoa-kiam Auyang Seng dari Hoa-san-pay telah berjaga-jaga di bawah dan di atas dinding untuk menjaga agar tali yang telah terpasang itu tidak diputuskan oleh musuh.

Hehou Im yang memimpin prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu hampir meledak dadanya ketika melihat penyerang-penyerang itu berhasil membobol penjara dan membebaskan banyak tawanan bahkan kini malah mereka hampir berhasil melarikan diri pula. Namun Hehou Im tahu bahwa ia dan prajurit-prajuritnya tidak akan dapat menahan gerak mundur lawan, sementara bala bantuan yang diharapkannyapun belum kunjung tiba.

Dilihatnya regu Bu-sian Hweshio dan regu Tong Wi-hong sudah lebih dulu berhasil mencapai kaki dinding, dan bergabung dengan regu Hwe-liong-pang untuk menghadapi musuh dari segala penjuru. Orang-orang bekas tahanan yang terdiri dari macam-macam golongan itupun bertempur dengan sangat gigih, berdampingan dengan orang-orang yang telah membebaskan mereka. Ada di antara mereka berasal dari golongan-golongan yang saling bermusuhan di masa lalu, tapi di medan tempur itu mereka telah melupakan persengketaan mereka dan berjuang bahu-membahu melawan pasukan Manchu.

Bu-sian Hweshio sempat mendekati Kwa Heng dan bertanya, “Saudara Kwa regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong sudah berkumpul atau belum?"

"Belum," sahut Kwa Heng singkat. Orang tua bungkuk yang mahir Kau-Kun (Silat Kera) dan biasanya hanya mengandalkan kekuatan jari-jarinya untuk bertempur itu, kini terpaksa memegang senjata dalam pertempuran yang ribut itu. Dengan sepasang pedang pendek di tangannya, la berkelahi selincah seekor kera, sehingga prajurit-prajurit musuh sulit mengenalnya, sebaliknya sepasang pedang pendeknya berkali-kali meminta korban.

Di dekat Kwa Heng, bertempurlah Tongcu Hwe-liong-pang lainnya, yaitu Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Dalam kisruhnya pertempuran itu, ia tetap mantap tanpa sepotong senjatapun. di tangannya, hanya mengandalkan sepasang kakinya yang merupakan; senjata yang dahsyat itu.

Ketika seorang prajurit musuh menyerang dengan tombaknya, Oh Yun-kim berkelit memiringkan tubuh sambil mengempit tombak musuh, lalu tendangannya melayang secepat kilat ke iga prajurit musuh itu. Musuh terjungkal dengan tulang-tulang iga yang berpatahan.

Ditengah hiruk-pikuk itu, Auyang Seng yang berjaga-jaga di atas tembok rupanya dapat melihat ke kejauhan, dan ia berteriak dari atas tembok "Bu-sian Taysu, rombongan Te-sian Tojin sedang menuju ke mari, tapi musuh terus mengejar dan menghalangi sehingga gerakannya agak lambat...!!”
Selanjutnya;