Pendekar Naga dan Harimau Jilid 17Karya : Stevanus S.P |
Tong Wi-lian tidak mengejar musuhnya itu. Bahkan ia berharap agar nanti Hehou Im bertemu dengan bekas rekan-rekannya, yaitu para Tongcu Hwe-liong-pang. Dulunya Hehou Im ini bekas Tongcu Hwe-liong-pang pula, namun Tongcu yang diangkat oleh Te-liong Hi-angcu untuk menandingi kelompok tandingan yang bermaksud menyaingi, bahkan menyingkirkan, Ketua Hwe-liong-pang yang sah.
Jika malam ini Hehou Im bertemu para Tongcu yang setia kepada Ketua syah Hwe-liong-pang, maka berarti malam ini akan menjadi ujung perjalanan hidup Hehou Im. Para Tong-cu Hwe-liong-pang itu tentu akan menghukum Hehou Im bukan sekedar sebagai pengkhianat terhadap Ketua Hwe-liong-pang, melainkan juga sebagai kaki tangan Manchu. Kesalahan ganda. Sementara itu, sambil terbirit-birit menjauhi Tong Wi-lian, Hehou Im juga mengumpat-umpat dalam hatinya, "Apakah Te-liong Hiangcu sengaja memberi keterangan yang salah? Katanya serangan kaum pemberontak ini baru akan dilakukan tiga hari lagi, kenapa sekarang pemberontak-pemberontak jahanam ini sudah bergerak?" Demikianlah, dengan kaburnya Hwe-niau serta Hehou Im sebagai jago-jago yang paling diandalkan, maka bertambah lemahlah perlawanan para prajurit di tempat itu, meskipun jumlah mereka lebih banyak. beberapa perwira, terutama yang berkebangsaan Manchu asli, bertempur dengan gigihnya dengan ilmu yang lumayan, tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang dapat menyamai ketangguhan Hehou Im maupun Hwe-niau. Jika perwira-perwira itu kebentur Tong Wi-hong, Tong Wi-lian ataupun Ting Bun, maka perwira-perwira itu tidak akan dapat melawan mereka lebih dari sepuluh jurus. Tong Wi-hong segera memerintahkan regunya untuk segera mengambil tempat di depan di depan pintu hitam itu, bergabung dengan regu Bu-sian Hweshio yang sudah bertahan di tempat itu sejak tadi. "Bagus, saudara Tong, kau sudah menempati tempat yang tepat," kata Bu-sian Hweshio di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertempuran. "Ada anggota regu saudara yang gugur?" "Dua orang," sahut Tong Wi-hong sambil menangkis tombak seorang prajurit yang hampir melubangi dadanya. Lalu dengan sebuah putaran cepat, ia melemparkan tombak prajurit itu ke udara disusul sebuah sabetan yang melemparkan nyawa prajurit itu untuk bersujud kepada nenek-moyangnya. Setelah merasa bahwa pertahanan di pintu hitam itu cukup kuat untuk menahan para prajurit supaya tidak menyerbu ke dalam, maka pekerjaan Bu-sian sekarang adalah membantu Bu-gong untuk menaklukkan prajurit-prajurit yang di dalam ruangan itu. Perwira yang memimpin mereka sudah roboh, dan prajurit-prajurit itupun bertempur dengan setengah hati. Maka ketika Bu-gong Hweshio membentak sekali lagi dengan suara bagaikan guntur, menyuruh prajurit-prajurit itu untuk menyerah, maka entah siapa yang mendahului meletakkan senjata, sisa-sisa prajurit di ruangan dalam yang hanya sedikit itupun berturut-turut meletakkan senjata sebagai tanda menyerah. "Bagus!" seru Bu-gong Hweshio. "Sekarang semuanya masuk ke situ!" perintahnya sambil menunjuk sebuah ruangan berterali besi yang masih kosong. Tanpa berani membantah lagi, prajurit-prajurit itu masuk ke kerangkeng itu yang kemudian dikunci dari luar oleh Bi-gong Hweshio, dan kuncinya dilemparkan jauh-jauh sehingga tidak akan terjangkau oleh tangan prajurit-prajurit itu seandainya mereka ingin melepaskan diri dari kerangkeng itu. Bu-sian Hweshio tersenyum melihat tindakan adik seperguruannya itu, namun ia puas bahwa pertempuran di bagian dalam bangunan itu tidak memakan korban jiwa terlalu banyak. Hanya si perwira yang keras kepala tadi dan beberapa prajurit yang mengikuti jejaknya. Maka dengan leluasa kecua orang pendeta Siau-lim-si itu melepaskan tawanan-tawanan yang memang patut untuk dibebaskan, yaitu para pejuang penentang pemerintahan Manchu yang dipenjarakan. Tetapi kedua pendeta itu tidak membebaskan semua orang. Mereka tahu bahwa di penjara itu pula terdapat para perampok, pembunuh, pemerkosa dan lain-lainnya yang memang sudah sepantasnya mendekam di balik terali besi itu. Penjahat-penjahat itupun berteriak-teriak minta dibebaskan, namun teriakan mereka berubah menjadi caci-maki kotor ketika kedua pendeta itu tidak menggubris mereka. Begitu bebas, para tahanan itu segera memungut senjata-senjata para prajurit yang bergeletakan di tanah, lalu ikut bertempur melawan musuh. Di antara tahanan-tahanan yang dibebaskan itu ada dua orang tokoh yang ilmunya malahan lebih tinggi dari Bu-sian maupun Bu-gong Hweshio. Kedua tokoh itu di masa lalu termasuk tokoh puncak dalam Hwe-liong-pang, kedudukannya lebih tinggi setingkat dari para Tongcu. Yang satu bernama Ling Thian-ki yang wajahnya penuh bulu seperti monyet, sehingga ia dijuluki Jian-jiu-sin-wan (Monyet Sakti Berlengan Seribu), dan lainnya adalah seorang Hweshio bertubuh pendek gempal, janggutnya keriting dan berwarna pirang, matanya biru dan hidungnya mancung, tampang orang suku Hui asli. Hweshio itu adalah bekas seorang pendeta Siau-lim-si, namun kemudian bergabung dalam pergerakan Hwe-liong-pang ketika menentang dinasti Beng, bahkan di Hwe-liong-pang ia mendapat tempat yang terhormat. Karena itu, ketika berhadapan dengan Hweshio bertubuh pendek gempal itu, Bu-sian dan Bu-gong Hweshio serentak memberi hormat, "Salam untuk susiok (paman guru)!" Hong-goan Hweshio tertawa dan menyahut, "Bagus kalian datang. Kalau kalian terlambat beberapa hari lagi, kalian hanya akan menjumpai tubuh su-siokmu dan saudara Ling ini tanpa kepala, sebab keputusan hukuman mati untuk kami sudah ditetapkan dan tinggal menunggu pelaksanaannya saja." "Mari kita keluar dari sini. Di sebelah luar, beberapa teman sedang melawan musuh dengan sibuknya," ajak Bu-sian Hweshio. "Dan kami masih harus membongkar penjara ini di bagian lain untuk membebaskan beberapa orang lagi." "Baik, he, keledai gundul, mari kita terjang keluar," kata Ling Thian-ki kepada Hong-goan Hweshio sambil memungut sebatang pedang prajurit di tanah. Hong-goan Hweshio memungut sebatang tombak dan berkata, "Benar, selama ini kita dirantai seperti binatang saja, tak dapat bergerak sehingga tubuh kita pegal semuanya. Sekarang saatnya untuk menggebuk pantat orang-orang Manchu itu." Bu-sian Hweshio agak cemas melihat keberingasan paman gurunya dan sahabatnya itu, maka iapun memberi hormat dan berkata, "Susiok dan Ling Lo-enghiong, kami mohon agar kalian tidak membunuh semena-mena. Prajurit-prajurit musuh itupun sesama manusia yang punya keluarga dan punya anak-isteri, jangan membuat melayangnya nyawa sesama jika tidak terpaksa sekali." Agaknya pendeta suku Hui itu memang bukan pembunuh berdarah dingin. Nasihat keponakan muridnya itu diterimanya dengan senang hati, dengan kekuatan jari-jarinya yang pendek-pendek itupun ia mematahkan kepala tombak yang terbuat dari besi itu, sehingga tombak berubah menjadi toya. Katanya, "Jangan kalian kuatir, biarpun aku malas bersembahyang tapi aku ingin jadi murid Sang Buddha yang baik. Sekedar menghajarkan tidak berarti membunuh?" Sementara itu, Tong Wi-hong dan lain-lainnya yang bertahan di pintu masuk itu, telah mulai kelelahan juga. Musuh benar-benar terlalu banyak. Gugur satu muncul dua orang, dua dibabat muncul empat orang, dan ternyata tidak semua prajurit musuh bernyali kecil. Yang bernyali kecilpun karena banyak kawannya menjadi timbul keberaniannya. Beberapa anggota regu Tong Wi-hong maupun regu Bu-sian hweshio mulai berguguran pula. Saat itulah dari dalam, bantuan para bekas tahanan itu datang, langsung terjun ke garis depan dengan senjata di tangannya masing-masing dibantu oleh tokoh-tokoh berilmu tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, maka dalam waktu singkat kepungan musuh jebol. Bu-sian Hweshio segera memimpin sisa-sisa regunya untuk menyerbu bangunan penjara yang satunya lagi. Keadaan amat berat yang dialami oleh semua regu pejuang itu dialami di semua tempat. Regu pimpinan Pangeran Cu Leng-ong yang tadinya berhasil membuat musuh Ketakutan, kini mengalami kesulitan. Kepanikan musuh tidak lama, sebab bagaimanapun juga mereka adalah prajurit-prajurit terlatih, dan setelah musuh tidak panik lagi maka merekapun dapat mengatur diri sehingga mampu memberikan perlawanan yang kuat. Kini Pangeran Cu Leng-ong dan regunyalah yang terjepit. Pangeran Cu Leng-ong yang bersenjata tombak Hong-thian-kek (tumbak bercagak seperti senjata dari tokoh sejarah jaman dinasti Tong Si Jin-kui) telah membasahi senjatanya itu dengan darah musuh-musuhnya. Namun musuh mengerumuninya seperti semut mengerumuni ulat, seolah tak habis-habisnya, sehingga lengan Pangeran Cu Leng-ong mulai terasa pegal. Begitu pula yang dialami oleh Kongsun Hui. Dengan sepasang ruyung bajanya ia sudah memecahkan beberapa kepala musuh, dan merobohkan banyak orang, tapi sebuah tombak musuh sempat menyelonong menerobos pertahanannya dan melukai lambungnya. "Bangsat keparat Manchu! Majulah semuanya untuk menerima hajaranku!" teriak Kongsun Hui yang pikirannya mulai kacau karena kelelahan itu. "Hayo hadapilah Kongsun Hui, Panglima Pasukan ke sebelas dari Kerajaan Beng yang agung!" Seorang perwira Manchu yang memimpin pertempuran dl bagian itu tertawa dingin ketika mendengar teriakan Kongsun Hui itu. Kata perwira itu dengan mengejek, "He, Panglima kerajaan agung yang setia, mari aku bantu dengan senjataku ini supaya bisa menyusul Kaisar Cong-ceng mu itu di akherat!" Dengan marah Kongsun Hui menerjang perwira itu, namun perwira itupun dengan garangnya menyambut serangannya tanpa takut. Senjatanya adalah sebatang tombak besi yang berat namun dapat dimainkan dengan ringan dan cepat karena tangannya yang besar. Satu demi satu anggota-anggota Jit-goat-pang yang mengikuti Pangeran Cu Leng-ong itu mulai berguguran. Dan sebelum mereka roboh ke tanah, dengan fanatik mereka meneriakkan semboyan perjuangan kaum Jit-goat-pang "Seng-wi beng-jin Si-wi-beng-kui (hidup menjadi rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng") Namun ada yang baru mengucapkan separuh dari kalimat yang membakar semangat, dan tubuhnya sudah keburu roboh dengan nyawa melayang. Disaat regu Pangeran Cu Leng-ong bagaikan telur dl ujung tanduk, tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara suitan tiga kali berturut-turut. Itulah isyarat dari Bu-sian Hweshio bahwa semua tawanan telah berhasil di bebaskan, dan semua regu segera mundur ke arah selatan untuk melepaskan diri dari musuh. Mendengar itu, Pangeran segera memimpin anak buahnya yang tinggal beberapa gelintir untuk menerjang ke selatan. Ketika melihat Kongsun Hui masih saja bertempur berkutetan melawan perwira Manchu bersenjata tombak itu tanpa ketahuan siapa yang bakal menang dan siapa yang bakal kalah, Pangeran segera berteriak, "Kongsun Ciangkun, bergerak sesuai dengan rencana. Isyarat dari Bu-sian Hweshio sudah terdengar!" Namun Kongsun Hui menjawab dengan teriakan kalap, "Biarpun tubuhku tercincang, aku harus merobek anjing Manchu bermulut kotor ini, karena ia telah, berani menghina mendiang Sri Baginda!" Dalam keadaan mendesak, Pangeran Cu Leng-ong menjadi kehabisan kesabaran, "Kongsun Ciangkun, kau bisa merusak seluruh rencana dan menjadi penyebab bencana bagi regu-regu lainnya. Ikuti perintahku atau kau harus dipecat sebagai seorang prajurit yang tidak taat kepada junjungannya?" Bagi seorang prajurit yang setia membabi-buta kepada dinasti Beng semacam Kongsun Hui ini, maka yang lebih menakutkan dari kematian adalah jika ia dipecat tidak hormat dari Jit-goat-pang yang selama ini dianggapnya sebagai "susunan pemerintahan Kerajaan-Beng di luar Ibukota" itu. Gertakan Pangeran itu telah membuatnya bertempur sambil mundur, meskipun kebenciannya membuatnya la ingin menghantam kepala musuhnya sampai remuk. Perwira Manchu bersenjata tombak itu tidak mau membiarkan musuh mundur begitu saja setelah melakukan pembakaran dan pengacauan. Ia pimpin anak buahnya untuk terus mengejar sambil menekan regu Pangeran Cu Leng-ong yang tinggal empat orang itu. "Tumpas habis semuanya, jangan sisakan seorangpunj' perintahnya. Selain Pangeran Cu Leng-ong dan Kongsun Hui, yang dua lainnya adalah dua orang bekas perwira Beng berpangkat cong-peng, masing-masing bernama Song Sin-kiam dan Wan Liu-cong. Meskipun mereka berdua juga bertempur dengan dibekali semangat berani mati yang berkobar-kobar, tetapi karena kepandaian merekapun tidak lebih dari Kongsun Hui yang juga biasa-biasa saja itu, maka amukan mereka tak banyak berarti. Regu Pangeran Cu Leng-ong dan pengikutnya tetap saja terpancang di tempat itu. Jangan lagi untuk bergabung dengan Bu-sian Hweshio untuk mundur serempak, sedangkan untuk bergeser sejengkal begitu sulit. Agaknya regu itu benar-benar akan tertumpas habis, dan sebuah gerakan bawah tanah yang menamakan diri Serikat Matahari’ dan rembulan akan kocar-kacir, sebab Jit-goat-pang tanpa Pangeran Cu Leng-ong akan seperti ular tanpa kepala. Saat itu, dari sebuah lorong gelap muncul serombongan orang yang berlari-lari ke arah kuda yang terbakar itu. Dalam gelapnya malam belum terlihat mereka itu siapa, namun setelah cahaya api menimpa wajah mereka,. terlihatlah yang paling depan itu adalah pangeran Cu Hin-yang bersama dengan Li Tiang-hong, diikuti beberapa bekas tahanan yang semuanya adalah tokoh-tokoh Jit-goat-pang yang tertangkap lebih dulu dari Pangeran Cu Hin-yang. Namun kini mereka semua sudah bebas begitu melihat Pangeran Cu Leng-ong dan sisa regunya yang tinggal tiga orang itu terkepung musuh tanpa berkutik, maka Pangeran Cu Hin-yang segera menyerbu sambil berteriak, "Kakanda Cu Leng-ong, aku datang! Segera mundur ke selatan agar tidak terlambat!" Alangkah gembiranya Pangeran Cu Leng-ong melihat adiknya dalam keadaan selamat dan sudah bebas, meskipun tampang adiknya itu menjadi cekung dan kotor karena berhari-hari tersekap di penjara dan pakaiannyapun compang-camping. Maka semangat tempur Pangeran Cu Leng-ongpun menghebat. Dan kedatangan Pangeran Cu Hin-yang, Li Tiang-hong dan lain-lainnya itu membuat pertempuran di dekat kandang kuda itu berubah keseimbangannya. Prajurit-prajurit musuh tidak dapat lagi merintangi gerak mundur sisa-sisa dinasti Beng itu, meskipun tidak berarti pasukan Manchu berhenti mengejar mereka. Saat itu semua regu memang sudah bergerak ke dinding selatan, seperti telah disepakati dalam rencana. Dan regu orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng sudah bekerja dengan baik untuk menyiapkan jalan mundur bagi semua regu itu. Tali-tali sudah terpasang berjuntaian dari atas dinding, nantinya untuk memanjat bagi para pejuang yang ilmu meringankan tubuhnya cukupan saja, tidak lihai. Delapan orang Hwe-liong-pang Tongcu seorang Hutong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) ditambah dengan Gin-hoa-kiam Auyang Seng dari Hoa-san-pay telah berjaga-jaga di bawah dan di atas dinding untuk menjaga agar tali yang telah terpasang itu tidak diputuskan oleh musuh. Hehou Im yang memimpin prajurit-prajurit Ui-ih-kun itu hampir meledak dadanya ketika melihat penyerang-penyerang itu berhasil membobol penjara dan membebaskan banyak tawanan bahkan kini malah mereka hampir berhasil melarikan diri pula. Namun Hehou Im tahu bahwa ia dan prajurit-prajuritnya tidak akan dapat menahan gerak mundur lawan, sementara bala bantuan yang diharapkannyapun belum kunjung tiba. Dilihatnya regu Bu-sian Hweshio dan regu Tong Wi-hong sudah lebih dulu berhasil mencapai kaki dinding, dan bergabung dengan regu Hwe-liong-pang untuk menghadapi musuh dari segala penjuru. Orang-orang bekas tahanan yang terdiri dari macam-macam golongan itupun bertempur dengan sangat gigih, berdampingan dengan orang-orang yang telah membebaskan mereka. Ada di antara mereka berasal dari golongan-golongan yang saling bermusuhan di masa lalu, tapi di medan tempur itu mereka telah melupakan persengketaan mereka dan berjuang bahu-membahu melawan pasukan Manchu. Bu-sian Hweshio sempat mendekati Kwa Heng dan bertanya, “Saudara Kwa regu Te-sian Tojin dan regu Pangeran Cu Leng-ong sudah berkumpul atau belum?" "Belum," sahut Kwa Heng singkat. Orang tua bungkuk yang mahir Kau-Kun (Silat Kera) dan biasanya hanya mengandalkan kekuatan jari-jarinya untuk bertempur itu, kini terpaksa memegang senjata dalam pertempuran yang ribut itu. Dengan sepasang pedang pendek di tangannya, la berkelahi selincah seekor kera, sehingga prajurit-prajurit musuh sulit mengenalnya, sebaliknya sepasang pedang pendeknya berkali-kali meminta korban. Di dekat Kwa Heng, bertempurlah Tongcu Hwe-liong-pang lainnya, yaitu Oh Yun-kim si orang Korea yang berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Dalam kisruhnya pertempuran itu, ia tetap mantap tanpa sepotong senjatapun. di tangannya, hanya mengandalkan sepasang kakinya yang merupakan; senjata yang dahsyat itu. Ketika seorang prajurit musuh menyerang dengan tombaknya, Oh Yun-kim berkelit memiringkan tubuh sambil mengempit tombak musuh, lalu tendangannya melayang secepat kilat ke iga prajurit musuh itu. Musuh terjungkal dengan tulang-tulang iga yang berpatahan. Ditengah hiruk-pikuk itu, Auyang Seng yang berjaga-jaga di atas tembok rupanya dapat melihat ke kejauhan, dan ia berteriak dari atas tembok "Bu-sian Taysu, rombongan Te-sian Tojin sedang menuju ke mari, tapi musuh terus mengejar dan menghalangi sehingga gerakannya agak lambat...!!” |
Selanjutnya;
|