Pendekar Naga dan Harimau Jilid 16Karya : Stevanus S.P |
Bu-gong Hweshio menjawab dengan suaranya yang keras, "Itu gampang kita pecahkan. Begitu masuk, kita ringkus seorang perwira dan siksa dia sampai mengaku di mana ruangan penyekapan rekan-rekan kita itu. Jika kita totok jalan darah ki-koat-hiatnya (Jalan darah yang yang menimbulkan rasa kesakitan hebat), masakah ia akan tetap bungkam?"
"Omitohud!" Bu-sian Hweshio menyebut kebesaran Sang Buddha ketika mendengar usul adik seperguruannya yang tingkah lakunya kurang mencerminkan tingkah laku seorang pendeta itu. Kasar dan senang mengambil jalan pintas saja dalam segala hal, meskipun dengan kekerasan. Sementara itu beberapa pendekar diam-diam tersenyum dalam hati melihat cara bicara Bu-gong Hweshio yang berangasan itu. namun diam-diam merekapun merasa usul Bu-gong Hweshio itu, paling cocok dengan "selera" mereka, ketimbang usul He Keng-liang yang terlalu berhati-hati itu. Dan Bu-sian Hweshio sendiripun ternyata menyetujui usul itu, maka sebelum ada orang lain yang berkata, ia telah memperdengarkan suaranya lebih dulu, "Cukup masuk akal. Saudara-saudara, bagaimana kalau kita pakai cara Sute-ku ini?" "Cocok dengan aku!" geram Jian-cin-sin-kun Lu Siong sambil mengepalkan tinjunya sehingga berkeretekan. Antara Bu-gong Hweshio dengan Lu Siong memang memiliki beberapa kesamaan dalam hal tampang, perawakan tubuh, maupun sifat tabiatnya. Bahkan julukan merekapun hampir sama. Lu Siong adalah Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seberat Seribu Kati), sedangkan Bu-gong Hweshio dikenal pula sebagai Jian kin-cun-kong-tui (Palu Godam Sikut Baja Seribu Kati), sesuai dengan jurus andalannya yang bernama sama dengan julukannya. Jika Lu Siong bangga dengan kekuatan kepalan tangannya, maka Bu-gong Hweshio amat bangga dengan sikut tangannya yang dapat memecahkan kepala seekor kerbau besar karena latihannya yang bertahun-tahun. "Aku juga setuju!" terdengar beberapa suara dari belakang. "Yang takut ikut dalam gerakan ini, minggir saja dan pulang kembali ke pangkuan neneknya!" Entah siapa yang mengucapkana kata-kaa kasar itu, yang terang telah menimbulkan gelak tertawa beberapa orang yang masih agak sungkan kepada He Keng-liang tidak tertawa, meskipun merasa geli pula dalam hatinya. Bu-sian Hweshio mencoba menjaga agar He Kang-liang tidak kehilangan muka, maka ia cepat-cepat menenangkan keadaan, "Cukup, saudara-saudara, hal yang amat biasa kalau di antara kita terdapat perbedaan pendapat atau pandangan, harap jangan langsung saling mengejek atau menyudutkan. Usul saudara He tadi juga bukan karena beliau takut bertempur, melainkan karena sikap hati-hatinya, sebab kalau ia takut bukankah ia tidak ikut mendaftarkan diri dalam rencana kita yang penuh bahaya ini? Meskipun usulnya tidak kita paksi, tetapi kita hargai juga karena ia telah menyumbangkan pikiran untuk rencana kita ini!” Orang-orang terdiam seketika. Sementara Bu-san Hweshio telah berkata lagi, "Nah, mari kita bagi diri kita dalam lima kelompok. Tiap kelompok akan terdiri dari sepuluh orang, yang akan mendapatkan tugasnya masing-masing." Pembagian kelompok pun dimulai. Kelompok satu dipimpin Bu-sian Hwe-shio sendiri akan memikul tugas yang paling berat, yaitu membebaskan tawanan-tawanan, yang berarti harus bertempur dengan bagian yang paling kuat dari penjara itu dan membongkar penjara. Kelompok kedua dipimpin oleh Gin-yang-cu Tong Wi-hong akan bertugas melindungi kelompok satu, artinya memotong setiap bala bantuan yang berada dari luar selama Bu-sian Hweshio dan teman-temannya menjalankan tugasnya. Kelompok tiga di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong akan mengacau di sebelah timur, dengan cara membakar istal kuda dan melepaskan kuda-kuda yang berjumlah ratusan itu. Kelompok empat dipimpin Tongcu yang paling tua dan paling dihormati dari Hwe-liong-pang, ialah Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng yang bertubuh kurus dan bungkuk itu. Penampilannya tidak mirip sedikitpun dengan seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi dan disegani semua pihak. Tapi ia tidak akan mendapatkan julukannya sebagai Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) kalau tidak memiliki keistimewaan dalam ilmunya, terutama kekuatan jari-jarinya. Bu-sian hweshio juga tidak akan mengangkat orang tua bungkuk ini sebagai pemimpin dari kelompok itu jika Bu-sian Hweshio tidak tahu sampai dimana bobot kewibawaan orang ini, sebab seorang pemimpin kelompok harus sanggup mengikat anak buahnya untuk tidak sendiri-sendiri. Juga kelompok pimpinan Kwa Heng ini adalah untuk "membuka jalan mundur" bagi seluruh penyerang, lewat pintu selatan. Karena tugasnya yang agak berat, maka kelompok ini tergolong cukup kuat, karena terdiri dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berkepandaian rata-rata cukup tinggi, di samping itu masih ditambah dengan seorang pendekar dari Hoa-san-pay bernama Auyang Seng dan berjulukan Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak), dan seorang lagi adalah seorang Hu-tongcu (Wakil Kepala Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu, yang bernama Yu Ling-hoa. Orang ini dulunya adalah seorang murid Khong-tong-pay, kemudian karena mendukung perjuangan sampai berhasil menduduki jabatan Hu-tongcu. Senjatanya adalah sepasang perisai berbentuk persegi yang tajam di sekeliling tepinya, biasa disebut sebagai Gun-goan-pai. Senjata ini berat, memerlukan tenaga besar dan menghabiskan napas, namun semuanya tidak Jadi soal buat Yu Ling-hoa yang bertubuh tegap kekar dan bernapas kuda itu. Demikianlah gambaran kelompok ke empat itu. Sementara kelompok kelima adalah sisa dari kelompok-kelompok lainnya, dipimpin oleh imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin. Tugasnya menjaga pintu gerbang penjara agar tetap terpalang dari dalam sementara kelompok-kelompok lainnya menjalankan tugas. Tujuannya adalah menjaga agar bala bantuan musuh tidak dapat masuk ke dalam penjara selama berlangsungnya pembebasan tawanan. Bu-sian Hweshio memandang kelompok-kelompok yang terbentuk itu dengan puas, dan mereka nampaknya sudah memahami tugas-tugasnya masing-masing dengan memperhatikan denah. Namun Bu-sian Hweshio masih berpesan, "Pembagian tugas ini hanya garis besarnya saja. Jika satu kelompok sudah selesai dengan tugasnya ia tidak berarti harus menganggur saja tapi juga harus membantu kelompok lain yang dalam kesulitan. Tanpa tolong menolong di tengah bahaya, kita seperti sekumpulan kupu-kupu yang menerjang api unggun, karena itu hilangkan rasa permusuhan. Kita akan saling menggantungkan keselamatan kita satu sama lain. Jelas?" Ketika bicara kalimat yang terakhir itu la menoleh ke arah orang-orang Jit-goat-pang dan orang-orang Hwe-li-ong-pang yang merupakan bekas musuh bebuyutan itu. Dan Bu-sian Hweshio cukup lega ketika melihat pihak-pihak yang dulu bermusuhan itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. "Satu hal lagi, setiap tindakan harus diperhitungkan secermat-cermat nya," kata rahib Siau-lim-pay itu lagi. "Jika terdengar suitan tiga kali berturut-turut, kita harus mundur ke arah selatan, sebab di bagian itulah tempat yang paling cocok untuk menghilang dari kejaran musuh. Di selatan tembok penjara adalah pemukiman kaum gelandangan yang padat sehingga musuh akan sulit mengerahkan pasukannya ke arah sana." Sekali lagi orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, selamat berjuang," kata Bu-sian Hweshio dengan semangat sambil memberi hormat berkeliling kepada rekan-rekan seperjuangannya itu. "Tinggalkan tempat ini segera menurut cara kelompoknya masing-masing, jangan menarik perhatian!" Beberpa orang sahabat kental yang kebetulan terpisah kelompoknya, saling berpelukan berpisah. Mungkin juga mereka masih akan bertemu lagi, namun mungkin pula pertemuan ini adalah yang terakhir buat mereka, jika salah satu mati tertembus pedang prajurit Manchu. Ketika kelompok-kelompok itu sudah meninggalkan ruangan itu semuanya, maka tinggal kelompok Bu-sian Hweshio dan kelompok Tong Wi-hong yang masih tinggal di ruangan itu. Karena tugas mereka dalam serangan itu, maka kedua kelompok itu akan berangkat bersama-sama. "Saudara Tong, bagaimana caranya kita meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian?" tanya Bu-sian Hweshio kepada Tong Wi-hong. "Rombongan kita terlalu banyak jumlahnya..." Tong Wi-hong yang belum hapal akan jalan-jalan di Kotaraja Pak-khia itu tidak dapat menjawab. Namun Sun Ciok-peng si pengemis yang kerjanya sehari-hari menyusuri jalan-jalan di Ibukota Kerajaan, telah hapal lorong-lorong paling kecil di kota itu seperti ia hapal akan jari-jari tangannya sendiri. Dialah yang menjawab, "Di belakang kuil ini ada sebuah lorong kecil yang tidak pernah dilewati prajurit peronda samasekali. Kita bisa melalui lorong itu sampai mencapai tembok penjara. Beberapa kali lorong itu harus menyeberangi jalan besar yang ramai dengan orang. Tapi kita dapat menyeberangi jalan-jalan itu seorang demi seorang sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan." "Akal yang bagus, saudara Sun. Mari kita berangkat." Maka kedua rombongan yang memikul tugas paling berat dan paling berbahaya itupun segera berangkat dengan lewat pintu belakang kuil Te-hok-bio itu. Benar juga, di belakang kuil itu memang ada sebuah lorong kecil yang gelap, diapit oleh tembok-tembok tinggi yang agaknya merupakan tembok-tembok belakang yang memagari rumah-rumah indah yang menghadap ke jalan raya. Di kiri jalan ada selokan-selokan berair hitam yang baunya bukan kepalang dan agaknya menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk. Sementara di beberapa bagian ada gubuk kecil yang bersandar pada tembok-tembok yang tinggi itu, gubuk-gubuk yang demikian reotnya sehingga andaikata ada seekor kucing menabraknya maka gubuk itu pasti akan roboh. Namun toh gubuk itu didiami manusia, bahkan kadang-kadang sekeluarga lengkap. Itulah sisi lain dari Kotaraja Pak-khia yang gemerlapan dan mempesona di satu sisi, tapi tidak bagi orang orang yang terlempar dari arena kerasnya perjuangan Manusia memang aneh. Lebih suka hidup berdesak-desakan di kota besar daripada membanting tulang dan memeras keringat di daerah-daerah yang belum dibuka. Padahal masih begitu luasnya tanah yang memerlukan uluran tangan dan menjanjikan kemakmuran serta ketenteraman. Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun yang dilalui adalah lorong-lorong yang sepi, namun mereka masih tetap menjaga kemungkinan untuk tidak dicurigai oleh musuhi sehingga merekapun tidak berjalan dalam satu kelompok, melainkan agak berpencaran. Dua atau tiga orang, kemudian belasan langkah lagi dua atau tiga orang lagi, dan seterusnya. Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun gang dilalui adalah lorong-lorong sepi. Setelah berliku-liku di lorong-lorong gelap berbau busuk dan kadang-kadang menyeberangi jalan besar yang berlapis batu-batu persegi, akhirnya tembok penjara yang kehitam-hitaman itu nampak di depan mata. Di atas tembok kelihatan ada gardu penjagaan di tiap-tiap sudutnya, dan ada sinar lampu, berkelap-kelip dari dalam gardu itu. Prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas tembok juga terlihat, dengan senjata-senjata yang terhunus. Bu-sian Hweshio dan teman-temannya berkumpul dl kaki tembok, terlindung bayangan hitam dari sebuah bangunan kayu yang asal jadi saja. "Tidak semua dari kita bisa melewati tembok yang tingginya kira-kira enam tombak ini,” kata Bu-sian Hweshio dengan suara setengah berbisik. "Hanya yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup baik, atau ilmu Pia-hou-yu jio (Ilmu Cecak Merayap di Tembok) yang bisa melalui tembok ini. Nah, siapa diantara saudara-saudara yang merasa sanggup melintasi tembok ini bersama-sama dengan aku." Dua orang adik seperguruan Bu-sian Hweshio yang bernama Bu-gong dan Bu-teng Hweshio segera menyatakan sanggup. Bu-sian Hwesio menganggukkan kepala gundulnya karena tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu memang sudah menguasai ilmu Pia-hou-yu-jio dengan baik. Lalu berturut-turut Tong Wi hong Imam Hui-liam-cu dari Khong-tong-pay juga menyatakan sanggup. Tong Wi-hong berjulukan Gin-yang-cu (Si Walet Perak) sehingga ilmu meringankan tubuhnya tidak perlu disangsikan lagi. Sedangkan imam Hui-liam-cu yang bertubuh kurus kering seperti bambu itupun terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nomor satu di Khong-tong-pay, meskipun belum selihai Tong Wi-hong. Kemudian yang menyatakan sanggup masih ada satu orang lagi, yaitu Sun Ciok-peng, si pengemis dari Kay-pang yang bertubuh pendek bui. Karena tubuhnya yang gemuk dan kulitnya yang putih halus itu maka Sun Ciok-peng sering diolok-olok bahwa dia tidak cocok menjadi anggota Serikat Pengemis, mestinya Serikat Jutawan. Semua orang memandang dengan heran kepada pengemis itu. Tanya Bu-sian Hweshio, "saudara Sun, apakah kau bisa Pia-hou-yu-jio?" Pengemis she Sun itu menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga pipinya yang kemerah-merahan seperti bayi sehat itu berguncang-guncang. Tampangnya lucu bukan main. "Kalau tidak menggunakan Piau-hou-yu-jio, tentunya saudara akan menggunakan gin-kang untuk meloncati tembok bersama saudara Tong dan Imam Hui-liam-cu?" Kembali pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apakah saudara Sun akan menggangsir tasmu lewat bawah tembok?" Sahut Sun Ciok-peng, "Juga tidak. Tembok ini tertanam dalam sampai jauh ke dalam tanah, dibuat pada jaman dinasti Goan (Mongol) ratusan tahun yang lalu. Jika aku menggangsirnya, barangkali sampai tiga hari tiga malam baru tembus ke seberang tembok." "Lalu dengan apa?" "Dengan ini," sahut Sun Ciok-peng mantap sambil mengangkat kedua tangannya yang menggenggam. Ternyata sepasang tangannya telah memegang masing-masing sebatang paku besar yang digenggamannya terbalik seperti orang memegang pisau belati. Lalu pengemis gemuk itu berkata sambil tertawa, "Dengan ini, ketinggian yang lima kali lipat dari tembok penjara inipun bisa kupanjat. Itulah sebabnya tubuhku gemuk dan sehat." "He, apa hubungannya memanjat tembok dengan gemuk sehat?" tanya Hui-liam-cu heran. "Dengan sepasang paku ini aku sering memanjat tembok dapur rumah orang orang kaya dan mencuri makansn disana. Biarpun aku cuma pengemis, tapi tidak satu haripun mulutku yang manja ini tidak kemasukan makanan enak yang dimakan para orang kaya. Nah, itulah yang membuat tubuhku gemuk dan sehat." Jika tidak ingat bahwa mereka sudah berada di dekat musuh, ingin rasanya mereka berkelakar dengan Sun Ciok-peng. Tapi kini mereka hanya bisa ketawa dengan suara yang ditahan-tahan supaya tidak terdengar oleh prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas dinding penjara. Tapi Hui-liam-cu sempat juga bercanda, "Saudara Sun, kalau kau ingin lebih gemuk lagi, kau sekali sekali boleh menyelundup ke dapur Istana Kaisar. Kabarnya Kaisar itu dalam sekali makan saja dihidangi dengan puluhan masakan yang mendengar nama-nyapun barangkali kau belum pernah. Masakan istimewa dari berbagai daerah yang dimasak oleh jurumasak-jurumasak terbaik pula dari masing-masing daerah. Tidakkah kau ingin mencobanya?" Sun Ciok-peng menjulurkan lidahnya kesekeliling mulutnya seolah-olah benar-benar terbangkit seleranya oleh cerita itu. Sahutnya, "Memang betul. Tapi bagaimana kalau kepalaku hilang?" Kembali orang-orang itu menahan tertawanya. Mereka tahu Istana Kaisar memang bukan taman bunga yang dapat dikunjungi setiap orang dengan semaunya saja. Di sana ada Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), Gi-cian-si-wi (Jago-jago Pengawal Kaisar), dan lain-lainnya, yang semuanya berkepandaian tinggi. Tentu kurang bijaksana kalau mempertaruhkan batok kepala hanya untuk sepotong paha ayam yang bagaimanapun lezatnya. "Sudahlah," kata Bu-sian Hweshio. "Sekarang sudah hampir tengah malam dan kitapun harus segera bertindak. Yang akan naik, naiklah, bawalah tali panjang yang akan kita ulurkan dari atas dinding." Maka Bu-siang Hweshio disertai kedua adik seperguruannyapun menyiapkan diri untuk naik ke atas. Sesaat mereka berdiri di kaki tembok sambil mengerahkan tenaga dalam mereka, lalu merekapun mulai memanjat ke atas bagaikan tiga ekor cecak raksasa yang-merambat naik di dinding yang hitam kelam itu. Ilmu Pia-hou-yu-jio memang sejenis ilmu yang menggunakan tenaga dalam di telapak tangan sehingga telapak tangan itu mempunyai daya hisap seperti kaki cecak. Siau-lim-pay memang bukan perguruan yang mengutamakan Ilmu meringankan tubuh, meskipun mereka juga punya ilmu meringankan tubuh seperti Co-siang-hui (Terbang di Atas Rumput), melainkan sebuah perguruan yang dikenal karena keunggulan tenaga dalamnya dan keaneka-ragaman ilmu silatnya, permainan senjata maupun tangan kosong. Karena itu tidak mengherankan kalau ketiga rahib itu semuanya mahir Pia-hou-yu-jio, sedangkan di perguruan lain untuk mencari seorang yang mahir ilmu itu adalah sulit sekali. Sun Ciok-peng menggeleng-gelengkan kepala melihat hal itu. Gumamnya, "Lain orang memperlihatkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuhnya, aku hanya bisa memperlihatkan ilmu malingku. Tapi ilmu maling inipun berguna juga bagiku." Ketika Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu juga sudah meloncat keatas bagaikan sepasang burung saja, maka Sun Tiok-peng pun mulai menggerakkan sepasang paku di tangannya untuk memanjat tembok. Ternyata ia tangkas sekali dengan sepasang alat "mata pencaharian"nya itu, bagaikan merayap di tanah datar saja ia melaju ke atas dengar cepatnya, hampir sama cepatnya dengan Bu-sian Hweshio dan kedua orang Sute-nya. Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu yang paling dulu tiba di atas tembok telah bertemu dengan empat orang prajurit penjaga yang sedang berkeliling. Tetapi ke empat prajurit itu memang sial, sebelum mereka sempat berteriak, mereka telah dibungkam oleh totokan-totokan kilat kedua tokoh Soat-san-pay dan Kong-tong-pay itu. Mereka telah mendapat pesan dari Bu-sian Hweshio agar dalam serangan itu korban jiwa ditekan sekecil-kecilnya, tidak peduli jiwa musuh seklaipun. Hanya dalam keadaan yang benar-benar memaksa maka mereka diperkenankan menggunakan tajamnya senjata. Setelah keempat prajurit itu roboh tertotok hampir tanpa suara, maka hampir bersamaan Bu-sian Hweshio bersama kedua adik seperguruannya serta Sun Ciok-peng juga sudah tiba diatas dinding. Ketika melihat tubuh keempat prajurit yang bergeletakan itu Bu-sian Hweshio mengerutkan alisnya sambil bertanya, "Mati?" Tong Wi-hong menggeleng, "Hanya tertotok. Fajar nanti mereka akan bebas dengan sendirinya tanpa kurang suatu apa." Bu-sian Hweshio mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bagus. Memang seharusnya kita tidak menghilangkan nyawa orang lain secara sembarangan, biarpun orang itu musuh. Nah, ulurkan tali ke bawah." Kenam orang yang sudah di atas dinding itupun kemudian melepaskan gulungan tali panjang yang mereka gendong di punggung masing-masing, dan mengulurkannya ke bawah untuk menarik kawan-kawan mereka. Orang-orang yang terpilih untuk ikut serangan itu memang adalah orang-orang yang tangkas, maka begitu tali terulur, bagaikan monyet-monyet di hutan saja mereka segera memanjat dengan tangkasnya. Tidak ada yang bergerak lamban. Dalam waktu singkat duapuluh orang telah berada di atas dinding itu. "Entah saudara-saudara dari Hwe-liong-pang sudah ‘membersihkan’ bagian selatan ini atau belum.?” kata Bu-sian Hweshio. "Bu-gong dan Bu-teng Sute...!” |
Selanjutnya;
|