Pendekar Naga dan Harimau Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 16

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Sesungguhnya gadis Manchu itu telah menemukan seseorang yang selama ini diimpikannya. Kembangnya kaum bangsawan di kota Pak-khia itu sebenarnya sudah diincar oleh banyak orang, putera-putera para panglima dan bahkan para pangeran, perwira-perwira muda yang punya nama besar di medan-medan perang, anak-anak hartawan yang membuang emas seperti membuang pasir saja, dan banyak lagi.

Namun tak pernah berkenan di hati gadis yang sejak kecil senang berburu sehingga memiliki beberapa sifat-sifat seperti laki-laki itu. Satu-satunya laki-laki di Pak-khia yang dikagumi oleh To Li-hua adalah kakak misannya sendiri, Pakkiong Liong, namun hubungan keluarga mereka terlalu dekat sehingga sikapnya terhadap Pakkiong Liong tidak bisa lebih daripada sikap seorang adik terhadap kakaknya. Dan setelah Tong lam-hou datang hati gadis itu terbuka.

Dari mulut Ha To-ji dan lain-lainnya ia sudah mendenar betapa perkasanya anak-muda dari Tiam-Jong-san itu, dan di medan perburuan di sekitar kota Pak-khia, To Li-hua pernah melihat sendiri bagaimana Tong lam-hou melontar-lontarkan anak-panahnya tanpa busur untuk menembusi tubuh serigala-serigala sasaranya yang sedang berlari kencang, dfan kini, di lapangan ujian pendadaran calon-calon prajurit itu, nama Tong Lam hou telah mencuat ke atas seperti sebuah bintang cemerlang yang terbit di langit kota Pak-khia.

Namun sebenarnya, jauh sebelum itu To Li-hua sudah mengagumi anakmuda she Tong rtu. Memang Tong Lam-hou tidak terlalu tampan, tidak setampan anak bangsawan yang; berpakaian bagus-bagus dan gemar bersolek itu, namun alangkah terpesonanya gadis itu melihat tatapan matanya yang seperti seekor harimau yang garang, namun kemudian si mata harimau itu melembut jika menatap ke arahnya.

Tarikan bibirnya, gerak rahangnya ketika mengucapkan setiap kata-katanya, seolah mengandung kepastian akan kemenangan yang bakal diraihnya. Pasti, bukan cuma mungkin. Lelaki sungguh perkasa, satu dari sejuta. Kini To Li-hua dengan banggga mendampinginya di bawah tatapan mata ribuan penonton yang sedang meninggalkan lapangan itu. Gadis mana yang tidak bangga kalau berdampingan dengan seorang jagoan dan dilihat banyak orang?

Namun sepasang mata yang berapi-api menatap Tong Lam-hou dan To Li-hua itu dengan geram. Tong Wi-hong yang berjalan berdampingan dengan In Yong di antara arus penonton yang sedang pulang itu, menatap dengan tidak senang. Bisiknya, "Saudara In, lihatlah, betapa akrabnya mereka. Ah, kakakku begitu perkasa, tetapi kenapa mempunyai keturunan yang tak kenal malu seperti itu? Gila, rase cantik Manchu itu semakin genit saja! Huh, dasar keturunan bangsa liar dari luar perbatasan!"

In Yong tidak menyahut sepatah-katapun. Iapun berjalan di samping Tong Wi-hong sambil mengendong tangannya. Ia tidak tahu harus berbuat atau berkata bagaimana untuk meredakan kemarahan sahabatnya itu. Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba diantara para penonton itu ada seorang yang menumbuk mereka dengan keras. Jalan itu memang penuh orang, tidak jarang seseorang bertubrukan dengan lainnya, namun kali ini agaknya sengaja.

Ketika Tong Wi-hong menoleh ke arah orang yang menubruknya itu, ternyata adalah seorang pengemis bertubuh gemuk yang tangannya memegang tongkat dan kepalanya memakai topi butut, sama bututnya dengan pakaian yang dikenakannya. Ketika Tong Wi-hong menoleh, pengemis itupun menyeringai sambil berbisik,

"Malam ini di kuil Te-hok-bio dekat Pagoda. Tolong hubungi rekan-rekan dari Jit-goat-pang.'' Hanya mengucapkan beberapa patah kata itu, si pengemis kemudian cepat-cepat menyusup kembali ke kerumunan orang dan menghilang.

In Yong menyikut tangan Tong Wi-hong dan bertanya, "Bukankah dia saudara Sun yang bertugas sebagai penghubung antar kelompok dalam gerakan kita ini? Apakah yang dikatakannya?"

"Nanti malam kita harus berkumpul di kuil Te-hok-bio di dekat Pagoda. Agaknya ada sesuatu yang penting yang perlu dibicarakan, sehingga Bu-sian Hweshio merasa perlu untuk mengumpulkan dengan cara seperti ini. Kalau begitu, saudara In, kita akan berpisah sampai di sini saja. Aku harus segera menyiapkan kelompokku dan sekalian mencari hubungan dengan orang-orang Jit-goat-pang yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. Saudara In, kaupun harus menyiapkan kelompokmu dengan segera, hari sudah gelap dan pertemuan itu tidak lama lagi berlangsung."

"Jangan kuatir, kami orang-orang Hwe-liong-pang sudah berpengalaman dalam hal-hal seperti ini sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam sekejap kelompokku pasti akan Segera bersiap," sahut In Hong sambil tertawa. "Selamat berpisah, saudara Tong. Sampai jumpa nanti di kuil Te-hok-bio."

Keduanya menyusup ke dalam arus orang banyak dan pergi kearahnya masing-masing. Kadang-kadang mereka bertemu dengan satu atau dua orang yang juga akan ikut dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan itu, namun mereka tidak saling bercakap-cakap, sebab kuatir di antara orang yang berdesak-desak itu akan ada mata-mata pemerintah Manchu yang mendengarkan pembicaraan mereka.

Tong Wi-hong menuju ke sebuah rumah penginapan yang agak sederhana. Di situlah ia menginap bersama rombongannya. Pelayan rumah penginapan itu mengangguk hormat kepada Tong Wi-hong ketika berpapasan dipintu. Tong Wi-hong bertanya, "Apakah teman-teman seperjalananku itu sedang keluar?"

"Tidak, tuan. Aku baru saja mengantarkan arak buat mereka. Mereka berempat sedang minum-minum di taman belakang," kata pelayan itu.

Tong Wi-hong lega mendengar itu, berarti ia tidak usah susah-susah harus menunggu sampai mereka berkumpul. Maka iapun menuju ke ruangan belakang dan menjumpai ke empat orang itu memang sedang mengelilingi sebuah meja sambil minum arak. Mereka adalah adik Tong Wi-hong sendiri, yaitu Tong Wi-lian dan suaminya yang bernama Ting Bun. Sedang yang dua lagi adalah jago-jago andalan dari Tiong-gi Piauhang yang diajak oleh Tong Wi-hong untuk ikut membantu gerakan itu. Kedua orang itu kakak beradik yang bernama So Hui dan So Pa, terkenal dengan julukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung).

"Bagus, kalian sudah berkumpul di sini rupanya," kata Tong Wi-hong begitu melihat mereka. "Bersiaplah, sebentar lagi kita akan berkumpul dengan semua rekan-rekan di kuil Te-hok-bio. Bu-sian Hweshio sebadai pemimpin dari rencana kita telan memberikan perintah kepadaku lewat saudara Sun dari Kay-pang."

Keempat orang itupun segera bangkit dan membenahi diri, sementara Tong Wi-lian serapat bertanya kepada kakaknya, "A-hong, bagaimana dengan anak A-siang dalam ujian pendadaran prajurit itu?"

Tong Wi-hong menarik napas dan menjawab dengan berat hati, "Bukan berita baik yang patut diceritakan. Hal-hal yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan kepribadian adalah kekuasaan, sanjungan berlebihan dan wanita cantik. Nah, anak A-siang itu mendapat ketiga-tiganya. Kalau aku tidak sedang terlibat dalam urusan yang lebih penting, rasanya aku ingin menemui anak itu dan mendampratnya."

Tong Wi-lian menundukkan kepalanya mendengar itu. Dulu, di antara tiga bersaudara, hubungannya dengan kakak sulungnya yang bernama Tong Wi-siang itu adalah yang paling akrab. Bahkan sebelah Tong Wi-siang berubah menjadi seorang tokoh yang menakutkan dalam ujudnya sebagai Hwe-liong Pang-cu, hubungan itu tetap akrab. Dan kini alangkah pedih hatinya mendengar keturunan satu-satunya dari kakaknya yang disayanginya itu malanan menjadi kaki tangan bangs0a Manchu.

"Kalau aku tahu begini jadinya, lebih baik dulu aku tidak usah mengetahui bahwa dia adalah anak kakakku, supaya aku tidak ragu-ragu membunuhnya di medan perang. Nainun kenyataannya. aku tahu hal itu, dan ini sangat membebani perasaanku apabila kelak bertemu dengannya di medan perang," kata Tong Wi-lian dengan sedin dalam hatinya.

Namun suasana saat itu bukan saat yang tepat untuk memanjakan perasaan saja. Semuanya sedang bergerak dalam sebuah rencana besar yang rapi, rencana yang penuh dengan taruhan nyawa demi cita-cita bersama, dan tidak ada tempat untuk urusan-urusan pribadi. Maka merekapun segera mempersiapkan diri. "Mungkinkah Bu-sian Hwe-shio akan memerintahkan gerakan malam ini juga?" demikian mereka bertanya-tanya dalam hati. "'Namun orang-orang belum terkumpul semuanya, apakah kekuatan yang ada saat ini cukup untuk tugas berat itu?"

"Apakah ada di antara kalian yang sudah melihat kedatangan orang-orang Jit-goat-pang?" tanya Tong Wi-hong kepada empat rekannya.

Hampir bersamaan keempatnya menggelengkan kepala. "Sungguh aneh, pelaksanaan rencana ini tinggal beberapa hari lagi, tapi mereka belum juga kelihatan batang hidungnya?" demikian Ting Bun menyatakan keheranannya.

"Mari kita berangkat sekarang ke Te-hok-bio, di sepanjang perjalanan akan kita coba tinggalkan tanda-tanda untuk mereka. Kalau mereka benar-benar di kota ini tentu akan melihat tanda-tanda yang kita tinggalkan, maupun yang ditinggalkan oleh rekan-rekan lainnya."

Maka keempat orang itupun segera mengikuti Tong Wi-hong meninggalkan rumah penginapan itu. Sepanjang jalan mereka mencoba meninggalkan tanda-tanda yang sudah disepakati bersama, agar terlihat oleh orang-orang Jit-goat-pang.

Kuil Te-hok-bio adalah sebuah kuil yang letaknya tidak jauh dari Istana Kerajaan sendiri. Tempat itu sengaja dipilih sebagai tempat pertemuan kaum bawah tanah yang akan menggulingkan pemerintahan Manchu, sebab justru di tempat yang dekat Istana itulah maka pihak musuh tidak akan menduga kalau di situ ada pertemuan gelap menentang kerajaan.

Ketika mendekati kuil yang nampak megah, terang benderang namun sunyi itu, maka Tong Wi-hong memecah rombongannya menjadi tiga bagian, sebab kalau lima orang masuk sekaligus tentu akan kelihatan menyolok sekali. Tidak mustahil ada mata-mata Manchu yang melihatnya dan rencanapun bisa berantakan. Mula-mula Tong Wi-hong sendiri yang melangkah masuk dengan lagak seperti seorang yang hendak bersembahyang, lalu Ting Bun dan isterinya muncul berikutnya, disusul dua saudara So Hou dan So Pa.

Jika dari luarnya kuil itu kelihatan sunyi, ternyata di bagian belakangnya ternyata sudah penuh dengan orang. Di sebuah ruangan, ternyata telah duduk dengan agak berjejal-jejal tigapuluh lima orang. Semuanya bertampang orang-orang di dunia persilatan, dan semuanya berwajah tegang. Macamnyapun bercampur-aduk. Ada orang biasa, ada iman, ada pendeta, ada pula pengemis.

Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya. "Silahkan duduk saudara Tong dan saudara lainnya, kita tinggal menunggu orang-orang Jit-goat pang saja," kata rahib itu. "Maaf, tempatnya agak berjejalan, namun hanya seperti inilah yang bisa kita selenggarakan ini."

Tong Wi-hong dan orang-orangnya membalas hormat itu sambil menyahut, "Jangan sungkan-sungkan, taysu."

Maka kembali ruangan itu menjadi sunyi. Meskipun begitu banyak orang berkumpul di situ, namun jarang yang bercakap-cakap satu Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya.

Tidak lama kemudian, seorang pendeta muda dari kuil Te-hok-bio itu masuk ke ruangan itu sambil melapor kepada Bu-sian Hweshio, "Supek, rombongan dari Jjt-goat-pang sudah tiba."

"Bawa mereka masuk!" perintah Bu-sian Hweshio singkat.

Maka rombongan Jit-goat-pang yang berjumlah kira-kira limabelas o-rang itupun memasuki ruangan. Mereka dipimpin oleh sorang lelaki yang memakai tudung kepala, dan ketika tudungnya dibuka, nampaklah wajah seorang berusia kira-kira empatpuluh tahun dengan berewok tipis di sekitar rahangnya. Hidungnya besar dan bibirnya tebal, jika ia memandang seseorang maka diciutkannya sepasang matanya seakan-akan ingin menyembunyikan sepasang biji matanya yang penuh rahasia itu.

Orang itu adalah pemimpin Jit-gaot-pang (Serikat Matahari dan Rembulan) yang bernama Cu Leng-ong. Ia sebenarnya adalah keturunan Raja terakhir dinasti Beng yang jatuh oleh pemberontakan Li Cu-seng, yaitu Kaisar Cong-ceng, meskipun hanya dilahirkan dari serorang selir yang berasal dari rakyat jelata. Karena itu, orang itu selalu dipanggil dengan sebutan "Pangeran" oleh pengikut-pengikutnya. Dengan demikian Pangeran Cu Leng-ong ini adalah saudara seayah tapi lain ibu dengan Pangeran Cu Hin-yang yang saat ini berada di penjara kerajaan bersama Li Tiang-hong.

Di antara pengawal-pengawalnya, nampak Kongsun Hui yang pernah ikut Pangeran Cu Hin-yang yang menjelajah daerah selatan dan hampir mati oleh Pakkiong Liong itu. Selain itu semua pengikut-pengikutnya tampaknya orang-orang pilihan yang cukup tangkas. Meskipun dinasti Beng sudah terhapus dari muka bumi sejak belasan tahun yang lalu, namun penampilan Pangeran Cu Leng-ong dan pengikut-pengikutnya masih berusaha untuk menunjukkan bahwa merekalah ahli waris sah dari negeri ini.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong menduduki kursinya, maka anakbuahnya pun serentak memecah diri di kanan dan kiri kursi itu dan bersikap tegap, seakan-akan mengawal seorang raja. Sikap seperti itu memang sengaja diatur untuk memberi kesan kepada pengikut-pengikut mereka sendiri maupun kepada orang luar bahwa dinasti Beng "masih ada" meskipun sudah tidak berada di Ibukota Kerajaan.

Bahkan panggilan-panggilan kebangsawanan maupun kenegaraan lainnya masih diperkenalkan dalam tubuh Jit-goat pang, karena memang mereka berusaha menimbulkan kesan demikian. Tanpa adanya kesan bahwa dinasti Bang, maka dukungan rakyat atau golongan-golongan lain pasti sulit diperoleh. Sebaliknya dengan adanya kesan bahwa dinasti Beng masih ada dan "kuat" maka orang tidak ragu-ragu untuk menggabungkan diri.

Di dalam ruangan itu juga ada musuh-musuh dinasti Beng, yaitu bekas pengikut-pengikut Coan-ong Li Cu-seng yang sebagian besar terdiri dari orang orang Hwe-liong-pang. Jumlah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang ada di ruangan itu sama dengan jumlah pengikut-pengikut Cu Leng-ong, di antaranya adalah orang-orang berwatak keras seperti delapan orang tong-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang malam itu berkumpul semua.

Ketika melihat lagak lagu orang-orang Jit-goat-pang itu, diam-diam orang-orang Hwe-liong-pang saling bertukar senyuman, mentertawakan lagak bekas musuh-musuh mereka itu. Siau-lo-cia Ma Hiong berbisik kepada orang disebelahnya yang berpakaian seperti penduduk daerah Su-coan dan di pinggangnya menyandang sebatang golok pendek yang melengkung seperti bulan sabit,

"Saudara Auyang, hebat benar lagak begundal-begundal keluarga Cu itu."

Orang yang berpakaian daerah Su-coan, lengkap dengan ikat kepalanya yang berwarna putih dan baju rangkapan dari kulit domba, bernama Auyang Siau-pa, dalam Hwe-liong-pang dulu kedudukannya sejajar dengan Ma Hiong. Kalau Ma Hiong Jai-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Coklat), maka Auyang Siau-pa ini adalah Jing-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Hijau) limu goloknya terkenal dengan gerakan-gerakannya yang amat sederhana, bahkan ia tidak kenal apa artinya "jurus atau kembangan", namun kecepatannya sungguh tidak dapat dipandang ringan oleh tokoh persilatan yang manapun juga.

Jika ia ditanya apakah ia belajar ilmu silat, ia hanya menjawab, "Aku tidak belajar ilmu atau jurus apapun, aku hanya belajar membacok orang."

Selain kedua Tongcu di jaman Hwe-liong-pang itu, nampak pula Tongcu-tongcu lainnya seperti Pek-ki Tong-cu (Pempimpin Kelompok. Bendera Putih) Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk-kan Bu-ing-tui (Si Tendangan Tanpa Bayangan), lalu Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) yang bernama Kwa Heng dan bergelar Tiat-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir).

Hek-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Kwa Ting-siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Mal ain), Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang terkenal kehebatan pukulannya sehingga mendapat gelar Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Beribu Kati) dan Ang-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat dengan gelarnya sebagai Siang-po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah gunung).

Selain itu masih ada beberapa orang hu-tongcu (Wakil Pemimpin Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu. Dan juga bekas panglima-panglima bawahan Li Cu-seng ketika mengobarkan pemberontakan "Pelangi Kuning" untuk melawan dinasti Beng. Antara pengikut-pengikut Li Cu seng dengan pengikut-peingikut dinasti Beng memang pernah terbentang permusuhan selama belasan tahun di jaman perang saudara dulu.

Meskipun kini mereka berada dalam satu, gerakan untuk tujuan bersama, namun sebagai manusia biasa tentu belum bisa melupakan kematian ratusan dan bahkan ribuan teman-teman mereka di medan perang karena senjata pihak musuh. Ibaratnya, senjata musuh belum kering dari darah teman-teman mereka.

Kedua pihak saling menyalahkan orang-orang dinasti Beng yang tidak becus mengendalikan negara sehingga keadaan menjadi morat-marit, sebaliknya pihak orang-orang dinasti Beng menyalahkan Li Cu-seng yang berhasil merebut Pak-khia dari tangan dinastinya tetapi tidak dapat mempertahankannya, dari serbuan bangsa Manchu. Itulah manusia, kesalahan diri sendiri tidak nampak, yang nampak selalu kesalahan orang lain.

Kini kedua pihak yang dulu bermusuhan itu duduk dalam satu ruangan. Masing-masing saling melotot, saling berbisik-bisik dengan temannya masing-masing untuk memanaskan pihak lawan, lalu melirik sambil melemparkan senyuman mengejek. Untunglah di ruangan itu pula ada pihak ketiga yang sama-sama mereka segani. Yaitu para pendekar rimba persilatan yang meskipun tidak mempunyai laskar yang berjumlah banyak, namun karena ilmu mereka yang rata-rata cukup tinggi Itu membuat mereka merupakan kekuatan tersendiri yang patut diperhitungkan.

Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay yang merupakan pemimpin dari keseluruhan rencana itu, diam-diam menarik napas juga melihat bahwa orang-orang Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang itu agaknya belum melupakan "utang-piutang" lama mereka. Namun untunglah bahwa kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa baku hantam di bawah hidung musuh tidak akan menguntungkan mereka sendiri, sehingga masing-masing pihakpun berusaha untuk menahan diri.

"Saudara-saudara sekalian," Bu-sian Hweshio membuka pertemuan itu. "Terima kasih atas kehadiran kalian. Dan agaknya kita berjumlah lengkap limapuluh orang, cocok seperti nama-nama yang kita susun untuk kita ikutkan dalam rencana ini seperti beberapa bulan yang lalu."

Sesaat ruangan jadi hening, lalu terdengar rahib Siau-lim-pay itu berkata lagi, "Aku tidak akan bicara berputar-putar saja, melainkan akan langsung ke pokok persoalan. Menurut laporan saudara Sun Ciok-peng dari kay-pang, gerakan yang kita rencanakan untuk menyerang Penjara Kerajaan dan membebaskan sahabat-sahabat kita yang terpenjara oleh musuh, ternyata telah tercium oleh mata-mata musuh...!!”

Berita itu memang cukup mengejutkan, namun mereka cukup mempercayai Bu-sian Hweshio. Betapapun juga, mereka telah lengah karena menganggap pihak musuh terlalu tolol, padahal pemerintah Manchu juga punya jaringan mata-mata yang dapat diandalkan kebolehannya. Hilir mudiknya sekian banyak orang bersenjata yang sebelumnya tidak pernah kelihatan di Pak-Khia bagaimanapun juga ada kemungkinan dicurigai oleh musuh, dan agaknya kemungkinan itu kini menjadi kenyataan. Seketika itu di ruangan itu. penuh dengan gumaman, seperti ada berratus-ratus lebah yang mendengung bersama.

Salah seorang pendekar yang berrambut putih dan berjenggot putih segera mengajukan pertanyaan, "Bu-sian Hweshio, apakah berita yang kau terima itu mempunyai bukti yang kuat, atau hanya kira-kira saja?"

Orang yang bertanya itu bernama He Keng-lian, ketua dari perguruan silat Ho-lian-pay. Ia datang ke tempat itu bersama dengan dua orang adik seperguruannya yang ilmu silatnya dianggap cukup tangguh untuk memikul tugas berat itu. Ketiga tokoh Ho-lian-pay itu memang sudah menyiapkan diri mereka secara khusus sejak nama mereka dimasukkan mereka dalam daftar limapuluh orang yang akan menyerbu penjara kerajaan itu.

Bu-sian Hweshio tidak menjawab langsung pertanyaan Ho Keng-Jian itu, melainkan melontarkannya kepada seorang pengemis bertubuh gemuk dan bertopi butut, Saudara Sun, coba kau jelaskan kepada Ketua Ho dan juga saudara-saudara yang lain yang belum mendengar laporanmu."

Pengemis yang bernama Sun Ciok-teng itupun berwatak mirip Bu-sian Hweshio yang tidak suka bicara bertele-tele. Maka begitu ia berdiri dari tempat duduknya, ia langsung menyentuh pokok masalahnya,

"Saudara-saudara kaum pejuang, dalam rencana ini, aku dan saudara-saudara pengemis di Pak-khia mendapat tugas sebagai penghubung antar kelompok di antara kalian. Tapi tanpa sadar kami mencium bahwa Panglima dari pasukan Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), yaitu pasukan yang bertanggung-jawab dipenjara kerajaan, Pakkiong An, telah mencium gerakan ini. Secara luar biasa Pakkiong An telah memperkuat penjagaan di penjara, Jumlah prajuritnya hampir lipat empat dari biasanya.

"Lalu anak Pakkiong An yang bernama Pakkiong Hok juga menggunakan uangnya untuk menarik banyak jago-jago silat berkumpul di rumahnya sebagai pembantu-pembantu kepercayaannya. Dan secara teratur ia menempatkan jago-jago upahannya itu untuk membantu penjagaan di penjara. Sampai sekarang masih banyak jago-jago undangan Pakkiong Hok yang berdatangan demi uang, menanyakan kenapa ada peningkatan kekuatan besar-besaran macam itu, dan perwira itu menjawab sambil bertepuk dada bahwa pihaknya sudah tahu akan ada rencana penyerangan penjara kerajaan.

"Setelah hari pelantikan prajurit-prajurit dan perwira baru, katanya, pihaknya sudah siap menjaring semua pengacau yang akan memasuki penjara kerajaan pada saat itu, seperti nelayan menjaring ikan. Nah, kesimpulannya adalah bahwa rencana kita telah bocor ke telinga musuh. Musuh bahkan tahu dengan tepat kapan kita akan menyerang menurut rencana."

Kembali ruangan itu menjadi rebut dengan bisik-bisik. Namun salah seorang pejuang yang berada di ruangan itu diam-diam mengumpat-umpat dalam hati, "Bangsat, ternyata Pakkiong An bekerja dengan sangat ceroboh sehingga hingga peningkatan kekuatannya tercium oleh pemberontak-pemberontak ini. Bahkan ia juga kurang rapat menjaga rahasianya, sehingga perwira-perwira rendahannya pun tahu akan rencana kami untuk menjaring kakap-kakap ini. Percuma saja aku membantunya dengan menyerahkan daftar nama orang-orang yang akan menyerbu penjara. Ia begitu tolol dan tidak dapat memanfaatkan bantuanku. Aku harus menegurnya kelak jika bertemu denganku lagi. Jika ia marah karena teguranku, aku dengan mudah akan mengambil batok kepalanya meskipun la dikelilingi sepasukan pengawal. Kecerobohannya membuat semua rencanaku jadi sia-sia."

Demikianlah, berita tentang bocornya rencana penyerangan itu membuat macam-macam gejolak perasaan di dada orang itu. Seperti biasanya, pihak bekas pengikut Li Cu-seng dan dinasti Beng saling melirik dengan cu-riga, masing-masing pihak mencurigai jangan-jangan pihak lainnyalah yang membocorkan hal Itu. Kembali ruangan itu penuh suara gemeremang orang-orang yang berbisik-bisik.

"Tenanglah, saudara-saudaraku," kata Bu-sian Hweshio. Ruangan menjadi sunyi seketika, dan suara Bu-sian Hweshio terdengar jelas diruangan itu, "Dalam rencana serangan kita, kita harus mengakui bahwa kita tidak mungkin menandingi pasukan musuh secara terbuka, sebab mereka berjumlah banyak dan kita sedikit. Namun kita mempunyai kelebihan, yaitu serangan itu bersifat sangat mendadak sehingga musuh tidak akan sempat mengatur kekuatannya. Tapi dengan bocornya rencana kita ini, maka unsur pendadakan yang kita miliki itupun hilang. Serangan kita tidak lebih dari serangan bunuh diri seperti serangan menerjang api. Jumlah yang akan tewas di antara kita akan melebihi jumlah orang yang akan kita bebaskan dari penjara..."

Sesaat orang-orang di dalam ruangan itu teraangu-mangu, ucapan Bu-sian Hweshio itu memang masuk akal. Tapi mereka datang ke kota Pak-khia ini dengan semangat berkobar, mungkinkah akan dipadamkan begitu saja justru setelah berada di depan hidung musuh?

Di tengah kesunyian itu tiba-tiba terdengarlah suara seorang imam Bu-Tong-pay, yaitu Te-sian Tojin, "Kita belum kehilangan kesempatan sama sekali. Bukahkah pihak musuh sudah memperhitungkan bahwa kita akan menyerang penjara kira-kira tiga hari lagi? Nah, kita masih bisa membuat kejutan, yaitu menyerang sekarang juga. Kita sudah lengkap bukan?"

Imam itu selalu bicara dengan nada tenang-tenang saja, namun usulnya itu ternyata ibarat minyak yang disiramkan ke api yang hampir padam. Semangat para pejuang segera terbangkit kembali beberapa orang segera menyahut, "Ya, setuju!"

Sebagai pemimpin Bu-sian Hweshio juga memberikan kesempatan kepada orang-orangnya untuk memperdengarkan pendapatnya. "Bagaimana, saudara-saudara dari Hwe-liong-pang tanyanya.

Hampir bersamaan delapan orang Tongcu menjawab, “setuju!" dan disambung oleh suara Lu Siong yang menggeledek itu, "Sudah di Pak-khia, memangnya kita hanya akan bertamasya disini? Lebih baik kita coba dulu usul Te-sian To-jin itu daripada pulang dengan tangan kosong!"

Orang-orang Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong agaknya tidak ingin kalah semangat dari bekas musuh-musuh mereka itu. Sebelum mereka ditanya, Kongsun Hui sudah berkata kepada Pangeran, "Ongya, hamba kira kita tidak keberatan dengan usul Te-sian tojin bukan? Sebab semakin lama Cu Hin-yang Ongya dalam sekapan musuh, semakin berbahayalah keadaannya. Begitu pula Li Ciangkun (Li Tiang-hong)..."

"Ya, kita tidak keberatan. Justru kita sebagai pewaris-pewaris negeri yang sah harus berjuang yang paling depan."

Perkataan "pewaris-pewaris negeri yang sah" itu seketika mengundang dengusan mengejek atau senyuman sinis dari pihak Hwe-liong-pang. Namun Bu-sian Hweshio tidak membiarkan suasana meningkat semakin panas, sehingga cepat-cepat memotong "Bagaimana pendapat saudara-saudara dari Bu-tong-pay Soat-san-pay, Khong-tong-pay, Ho-lian-pay dan Hoa-san-pay?"

"Sikap kami Bu-tong-pay sudah jelas!" kata Te-sian Tojin tegas mewakili orang-orang dari perguruannya. "Sudah sampai di Pak-khia, segala jalan harus dicoba, jangan menyerah begitu saja."

"Aku mendukung!" kata Tong Wi-hong yang dalam pertemuan itu bukan mewakili Tiong-gi Piauhang, sebab Tiong-gi Piauhang itu bukan suatu perguruan atau aliran silat melainkan hanya sebuah perusahaan dagang di bidang pengangkutan, namun ia mewakili perguruannya, yaitu Soat-san-pay.

Hampir bersamaan, pihak Khong-thong-pay yang dipimpin oleh Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, juga menyatakan persetujuannya. Namun sikap Ketua Ho-lian-pay He Keng-liang ternyata agak berbeda. Orang tua itu nampak ragu-ragu, matanya berputar-putar menyambar tiap wajah di ruangan itu. Lalu katanya,

"Aku mohon saudara-saudara berkepala dingin, masalahnya bukan sekedar berani atau takut, tapi menyangkut pula nyawa manusia. Tapi rencana yang sebetulnya sudah setengah gagal ini jika diteruskan akan membahayakan kita sendiri..."

Mendengar ucapan itu, ruangan bagian belakang kuil itu seketika berdengung, menyatakan ketidak-senangan mereka kepada Ketua Ho-lian-pay itu. Tapi He Keng-liang tidak peduli dan terus berucap, "Menurut aku, kita justru harus mengundurkan hari penyerangan kita, bukan justru memajukannya. Supaya kita dapat membuat persiapan lebih baik..."

"...dan musuh juga sempat mempersiapkan lebih baik?" potong Auyang Siau-pa dari Hwe-liong-pang dengan suara dingin. Jing-ki Tongcu dari Hwe-liong-pang ini memang seorang pendiam, jarang berbicara, namun ucap-ucapannya tegas dan singkat sehingga orang yang belum paham wataknya akan gampang tersinggung mendengar nada suaranya.

He Keng-liang menatap ke arah Auyang Siau-pa. Dan tiba-tiba Auyang Siau-pa merasa perasaan aneh dan seram ketika melihat mata He Keng-liang menyambarnya, tatapan mata seperti itu seolah pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu. Tatapan mata yang memancarkan wibawa gaib yang menggidikkan hati. Dan diam-diam Auyang Siau-pa ini menjadi heran, bukankah He Keng-liang ini cuma ketua sebuah perguruan yang tidak terlalu besar, dan ia sendiri ilmunya sedang-sedang saja, tinggi tidak rendah juga tidak. Darimana orang tua ketua Ho-lian-pay itu bisa memiliki pandangan mata yang begitu menyeramkan?

Namun sesaat kemudian, He Keng-liang kembali kelihatan seperti Seorang tua yang ramah, sehingga Auyang Siau-pa merasa heran. Mungkinkah ia hanya berangan-angan tentang seseorang di masa lalu, dan angan-angannya itu mempengaruhi pandangannya terhadap He Keng-liang? Auyang Siau-pa mengibaskan kepalanya seakan melontarkan semua kenangan pahitnya di masa lalu.

He Keng-liang yang tua itu nampak terdesak oleh suara-suara dari kiri kanan, ada yang menuduhnya penakut, membuang-buang waktu dan sebagainya. Akhirnya ia berkata, "Baiklah, saudara-saudara, aku hanya bermaksud baik. Tapi agaknya saudara-saudara salah paham semuanya akan maksud baikku, karena itu biarlah aku ikut dalam rencana ini sebagai tanda setia kawan kepada perjuangan kita."

Ucapan itu disambut dengan tepuk tangan beberapa orang. Bu-sian Hweshio sebagai pemimpin segera berbicara, "Nah, ternyata kalian sepakat bahwa serangan akan kita lakukan malam ini juga. Aku memang sudah menduga bahwa saudara-suadara akan memutuskan seperti ini sehingga akupun sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kita mulai dengan melihat keadaan penjara kerajaan yang akan menjadi sasaran kita."

Lalu dua orang pendeta Siau-lim-pay yang mengikuti Bu-sian Hweshio segera menggelar sebuah kertas besar di lantai, sehingga semua orang bisa melihatnya. Itulah denah penjara Kerajaan, yang berhasil dibuat oleh orang-orang Kay-pang dengan cara menyuap salah seorang pegawai penjara. Dan agaknya pegawai penjarapun tidak keberatan menggambarkan denahnya, toh penjagaan di penjara sangat kuat, kalau musuh hanya sekedar mengetahui denahnya tidak jadi soal.

Toh penjagaan di dalam penjara itu sangat kuat dengan jumlah prajurit yang berlipat-lipat dari biasanya, masih ditambah dengan beberapa jagoan silat bayaran yang diundang oleh Pakkiong An dan Pak-kiong Hok. Demikianlah asalnya sampai orang-orang Kay-pang berhasil mendapatkan denah penjara itu.

Setelah denah digelar di lantai dan semua orang bisa melihatnya, bertanyalah Bu-sian Hweshio kepada si pengemis Sun Ciok-peng, "Saudara Sun, apakah kau juga berhasil mendapat keterangan di ruangan yang mana para tokoh pejuang itu dikurung?"

"Aku mohon maaf kepada Tay-su dan saudara-saudara sekalian, bahwa keterangan yang sangat penting itu tidak berhasil kami peroleh, betapapun kami berusaha untuk memperolehnya. Bahkan hampir saja kami dicurigai oleh perwira itu, untung kami berhasil membungkamnya dengan sekantong uang, tetapi seterusnya kami tidak terlalu menyolok dalam bertanya."

Banyak orang-orang di dalam ruangan itu yang menarik napas panjang, bahkan He Keng-liang dari Ho-lian-pay kembali mengeluarkan suaranya, "Ruangan dalam penjara kerajaan itu berjumlah ratusan, kalau kita tidak mendapat keterangan yang pasti tentang disekapnya rekan-rekan pejuang itu, bukankah itu berarti kita harus menggeledah ruangan demi ruangan satu persatu? Dan pekerjaan ini bisa berlangsung sampai pagi kalau pasukan musuh tidak keburu membanjiri penjara kerajaan dan mencincang kita!"

"Jadi bagaimana usul saudara He?"

"Kita undurkan sehari sambil berusaha mencari keterangan tentang ruangan penyekapan itu. Agar dengan sekali gebrak kita berhasil."

Bu-sian Hweshio menyapukan pandangan matanya. Bukan karena ia tidak punya pendirian, namun Bu-sian Hwe-shio sebagai pemimpin harus mendengarkan suara anak buahnya. Ketika terpandang wajan Pangeran Cu Leng-ong, ia bertanya, ''Bagaimana pendapat Pangeran?”

Pangeran itu mengecilkan matanya sebagaimana kebiasaannya jika sedang berpikir, namun kali ini ia tidak berpikir panjang untuk menjawab, "Terserah kepada Tay-su dan saudara sekalian. Kami orang Jit-goat-pang hanya bagian dari rencana ini dan tentu saja tidak dapat bertindak sendiri!"

Jawabannya kedengaran dingin sekali, seolah-olah nasib adik tirinya Pangeran Cu Hin-yang serta Li Tiang-hong yang bekas Panglima ayahnya itu-pun tidak dikuatirkannya sedikitpun juga. Bu-sian Hweshio mengalihkan pandangannya kepada orang-orang Hwe-liong pang dan kaum pendekar lainnya. "Ada pendapat saudara-saudara?" tanyanya.

"Kita sudah bertekad untuk maju, kita maju terus!" kata seorang rahib berewokan, adik seperguruan Bu-sian Hweshio sendiri yang bernama Bu-gong Hweshio. "Suheng, sehari kita mengulur waktu, berarti sehari pula musuh sempat menambah kekuatannya. Karena itu, saat ini tidak ada jalan lain kecuali terjang sekarang juga."

Sebelum Bu-sian Hweshio menyahut, He Keng-liang telah berkata, "Tetapi kita akan seperti orang buta di dalam penjara itu, tanpa tahu ke ruangan mana kita harus menuju. Masalah ini bukan sekedar masalah berani atau takut, namun juga masalah kita akan berhasil atau tidak membebaskan kawan-kawan kita yang dipenjara oleh bangsa Manchu itu."

Bu-gong Hweshio menjawab dengan suaranya yang keras, "Itu gampang kita pecahkan. Begitu masuk, kita ringkus seorang perwira dan siksa dia sampai mengaku di mana ruangan penyekapan rekan-rekan kita itu. Jika kita totok jalan darah ki-koat-hiatnya (Jalan darah yang yang menimbulkan rasa kesakitan hebat), masakah ia akan tetap bungkam?"

"Omitohud!" Bu-sian Hweshio menyebut kebesaran Sang Buddha ketika mendengar usul adik seperguruannya yang tingkah lakunya kurang mencerminkan tingkah laku seorang pendeta itu. Kasar dan senang mengambil jalan pintas saja dalam segala hal, meskipun dengan kekerasan.

Sementara itu beberapa pendekar diam-diam tersenyum dalam hati melihat cara bicara Bu-gong Hweshio yang berangasan itu. namun diam-diam merekapun merasa usul Bu-gong Hweshio itu, paling cocok dengan "selera" mereka, ketimbang usul He Keng-liang yang terlalu berhati-hati itu.

Dan Bu-sian Hweshio sendiripun ternyata menyetujui usul itu, maka sebelum ada orang lain yang berkata, ia telah memperdengarkan suaranya lebih dulu, "Cukup masuk akal. Saudara-saudara, bagaimana kalau kita pakai cara Sute-ku ini?"

"Cocok dengan aku!" geram Jian-cin-sin-kun Lu Siong sambil mengepalkan tinjunya sehingga berkeretekan.

Antara Bu-gong Hweshio dengan Lu Siong memang memiliki beberapa kesamaan dalam hal tampang, perawakan tubuh, maupun sifat tabiatnya. Bahkan julukan merekapun hampir sama. Lu Siong adalah Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seberat Seribu Kati), sedangkan Bu-gong Hweshio dikenal pula sebagai Jian kin-cun-kong-tui (Palu Godam Sikut Baja Seribu Kati), sesuai dengan jurus andalannya yang bernama sama dengan julukannya. Jika Lu Siong bangga dengan kekuatan kepalan tangannya, maka Bu-gong Hweshio amat bangga dengan sikut tangannya yang dapat memecahkan kepala seekor kerbau besar karena latihannya yang bertahun-tahun.

"Aku juga setuju!" terdengar beberapa suara dari belakang. "Yang takut ikut dalam gerakan ini, minggir saja dan pulang kembali ke pangkuan neneknya!"

Entah siapa yang mengucapkana kata-kaa kasar itu, yang terang telah menimbulkan gelak tertawa beberapa orang yang masih agak sungkan kepada He Keng-liang tidak tertawa, meskipun merasa geli pula dalam hatinya.

Bu-sian Hweshio mencoba menjaga agar He Kang-liang tidak kehilangan muka, maka ia cepat-cepat menenangkan keadaan, "Cukup, saudara-saudara, hal yang amat biasa kalau di antara kita terdapat perbedaan pendapat atau pandangan, harap jangan langsung saling mengejek atau menyudutkan. Usul saudara He tadi juga bukan karena beliau takut bertempur, melainkan karena sikap hati-hatinya, sebab kalau ia takut bukankah ia tidak ikut mendaftarkan diri dalam rencana kita yang penuh bahaya ini? Meskipun usulnya tidak kita paksi, tetapi kita hargai juga karena ia telah menyumbangkan pikiran untuk rencana kita ini!”

Orang-orang terdiam seketika. Sementara Bu-san Hweshio telah berkata lagi, "Nah, mari kita bagi diri kita dalam lima kelompok. Tiap kelompok akan terdiri dari sepuluh orang, yang akan mendapatkan tugasnya masing-masing."

Pembagian kelompok pun dimulai. Kelompok satu dipimpin Bu-sian Hwe-shio sendiri akan memikul tugas yang paling berat, yaitu membebaskan tawanan-tawanan, yang berarti harus bertempur dengan bagian yang paling kuat dari penjara itu dan membongkar penjara. Kelompok kedua dipimpin oleh Gin-yang-cu Tong Wi-hong akan bertugas melindungi kelompok satu, artinya memotong setiap bala bantuan yang berada dari luar selama Bu-sian Hweshio dan teman-temannya menjalankan tugasnya.

Kelompok tiga di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong akan mengacau di sebelah timur, dengan cara membakar istal kuda dan melepaskan kuda-kuda yang berjumlah ratusan itu. Kelompok empat dipimpin Tongcu yang paling tua dan paling dihormati dari Hwe-liong-pang, ialah Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng yang bertubuh kurus dan bungkuk itu. Penampilannya tidak mirip sedikitpun dengan seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi dan disegani semua pihak.

Tapi ia tidak akan mendapatkan julukannya sebagai Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) kalau tidak memiliki keistimewaan dalam ilmunya, terutama kekuatan jari-jarinya. Bu-sian hweshio juga tidak akan mengangkat orang tua bungkuk ini sebagai pemimpin dari kelompok itu jika Bu-sian Hweshio tidak tahu sampai dimana bobot kewibawaan orang ini, sebab seorang pemimpin kelompok harus sanggup mengikat anak buahnya untuk tidak sendiri-sendiri. Juga kelompok pimpinan Kwa Heng ini adalah untuk "membuka jalan mundur" bagi seluruh penyerang, lewat pintu selatan.

Karena tugasnya yang agak berat, maka kelompok ini tergolong cukup kuat, karena terdiri dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berkepandaian rata-rata cukup tinggi, di samping itu masih ditambah dengan seorang pendekar dari Hoa-san-pay bernama Auyang Seng dan berjulukan Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak), dan seorang lagi adalah seorang Hu-tongcu (Wakil Kepala Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu, yang bernama Yu Ling-hoa.

Orang ini dulunya adalah seorang murid Khong-tong-pay, kemudian karena mendukung perjuangan sampai berhasil menduduki jabatan Hu-tongcu. Senjatanya adalah sepasang perisai berbentuk persegi yang tajam di sekeliling tepinya, biasa disebut sebagai Gun-goan-pai. Senjata ini berat, memerlukan tenaga besar dan menghabiskan napas, namun semuanya tidak Jadi soal buat Yu Ling-hoa yang bertubuh tegap kekar dan bernapas kuda itu.

Demikianlah gambaran kelompok ke empat itu. Sementara kelompok kelima adalah sisa dari kelompok-kelompok lainnya, dipimpin oleh imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin. Tugasnya menjaga pintu gerbang penjara agar tetap terpalang dari dalam sementara kelompok-kelompok lainnya menjalankan tugas. Tujuannya adalah menjaga agar bala bantuan musuh tidak dapat masuk ke dalam penjara selama berlangsungnya pembebasan tawanan.

Bu-sian Hweshio memandang kelompok-kelompok yang terbentuk itu dengan puas, dan mereka nampaknya sudah memahami tugas-tugasnya masing-masing dengan memperhatikan denah. Namun Bu-sian Hweshio masih berpesan,

"Pembagian tugas ini hanya garis besarnya saja. Jika satu kelompok sudah selesai dengan tugasnya ia tidak berarti harus menganggur saja tapi juga harus membantu kelompok lain yang dalam kesulitan. Tanpa tolong menolong di tengah bahaya, kita seperti sekumpulan kupu-kupu yang menerjang api unggun, karena itu hilangkan rasa permusuhan. Kita akan saling menggantungkan keselamatan kita satu sama lain. Jelas?"

Ketika bicara kalimat yang terakhir itu la menoleh ke arah orang-orang Jit-goat-pang dan orang-orang Hwe-li-ong-pang yang merupakan bekas musuh bebuyutan itu. Dan Bu-sian Hweshio cukup lega ketika melihat pihak-pihak yang dulu bermusuhan itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Satu hal lagi, setiap tindakan harus diperhitungkan secermat-cermat nya," kata rahib Siau-lim-pay itu lagi. "Jika terdengar suitan tiga kali berturut-turut, kita harus mundur ke arah selatan, sebab di bagian itulah tempat yang paling cocok untuk menghilang dari kejaran musuh. Di selatan tembok penjara adalah pemukiman kaum gelandangan yang padat sehingga musuh akan sulit mengerahkan pasukannya ke arah sana."

Sekali lagi orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, selamat berjuang," kata Bu-sian Hweshio dengan semangat sambil memberi hormat berkeliling kepada rekan-rekan seperjuangannya itu. "Tinggalkan tempat ini segera menurut cara kelompoknya masing-masing, jangan menarik perhatian!"

Beberpa orang sahabat kental yang kebetulan terpisah kelompoknya, saling berpelukan berpisah. Mungkin juga mereka masih akan bertemu lagi, namun mungkin pula pertemuan ini adalah yang terakhir buat mereka, jika salah satu mati tertembus pedang prajurit Manchu.

Ketika kelompok-kelompok itu sudah meninggalkan ruangan itu semuanya, maka tinggal kelompok Bu-sian Hweshio dan kelompok Tong Wi-hong yang masih tinggal di ruangan itu. Karena tugas mereka dalam serangan itu, maka kedua kelompok itu akan berangkat bersama-sama.

"Saudara Tong, bagaimana caranya kita meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian?" tanya Bu-sian Hweshio kepada Tong Wi-hong. "Rombongan kita terlalu banyak jumlahnya..."

Tong Wi-hong yang belum hapal akan jalan-jalan di Kotaraja Pak-khia itu tidak dapat menjawab. Namun Sun Ciok-peng si pengemis yang kerjanya sehari-hari menyusuri jalan-jalan di Ibukota Kerajaan, telah hapal lorong-lorong paling kecil di kota itu seperti ia hapal akan jari-jari tangannya sendiri. Dialah yang menjawab,

"Di belakang kuil ini ada sebuah lorong kecil yang tidak pernah dilewati prajurit peronda samasekali. Kita bisa melalui lorong itu sampai mencapai tembok penjara. Beberapa kali lorong itu harus menyeberangi jalan besar yang ramai dengan orang. Tapi kita dapat menyeberangi jalan-jalan itu seorang demi seorang sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan."

"Akal yang bagus, saudara Sun. Mari kita berangkat."

Maka kedua rombongan yang memikul tugas paling berat dan paling berbahaya itupun segera berangkat dengan lewat pintu belakang kuil Te-hok-bio itu. Benar juga, di belakang kuil itu memang ada sebuah lorong kecil yang gelap, diapit oleh tembok-tembok tinggi yang agaknya merupakan tembok-tembok belakang yang memagari rumah-rumah indah yang menghadap ke jalan raya. Di kiri jalan ada selokan-selokan berair hitam yang baunya bukan kepalang dan agaknya menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk.

Sementara di beberapa bagian ada gubuk kecil yang bersandar pada tembok-tembok yang tinggi itu, gubuk-gubuk yang demikian reotnya sehingga andaikata ada seekor kucing menabraknya maka gubuk itu pasti akan roboh. Namun toh gubuk itu didiami manusia, bahkan kadang-kadang sekeluarga lengkap.

Itulah sisi lain dari Kotaraja Pak-khia yang gemerlapan dan mempesona di satu sisi, tapi tidak bagi orang orang yang terlempar dari arena kerasnya perjuangan Manusia memang aneh. Lebih suka hidup berdesak-desakan di kota besar daripada membanting tulang dan memeras keringat di daerah-daerah yang belum dibuka. Padahal masih begitu luasnya tanah yang memerlukan uluran tangan dan menjanjikan kemakmuran serta ketenteraman.

Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun yang dilalui adalah lorong-lorong yang sepi, namun mereka masih tetap menjaga kemungkinan untuk tidak dicurigai oleh musuhi sehingga merekapun tidak berjalan dalam satu kelompok, melainkan agak berpencaran. Dua atau tiga orang, kemudian belasan langkah lagi dua atau tiga orang lagi, dan seterusnya. Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun gang dilalui adalah lorong-lorong sepi.

Setelah berliku-liku di lorong-lorong gelap berbau busuk dan kadang-kadang menyeberangi jalan besar yang berlapis batu-batu persegi, akhirnya tembok penjara yang kehitam-hitaman itu nampak di depan mata. Di atas tembok kelihatan ada gardu penjagaan di tiap-tiap sudutnya, dan ada sinar lampu, berkelap-kelip dari dalam gardu itu. Prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas tembok juga terlihat, dengan senjata-senjata yang terhunus. Bu-sian Hweshio dan teman-temannya berkumpul dl kaki tembok, terlindung bayangan hitam dari sebuah bangunan kayu yang asal jadi saja.

"Tidak semua dari kita bisa melewati tembok yang tingginya kira-kira enam tombak ini,” kata Bu-sian Hweshio dengan suara setengah berbisik. "Hanya yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup baik, atau ilmu Pia-hou-yu jio (Ilmu Cecak Merayap di Tembok) yang bisa melalui tembok ini. Nah, siapa diantara saudara-saudara yang merasa sanggup melintasi tembok ini bersama-sama dengan aku."

Dua orang adik seperguruan Bu-sian Hweshio yang bernama Bu-gong dan Bu-teng Hweshio segera menyatakan sanggup. Bu-sian Hwesio menganggukkan kepala gundulnya karena tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu memang sudah menguasai ilmu Pia-hou-yu-jio dengan baik. Lalu berturut-turut Tong Wi hong Imam Hui-liam-cu dari Khong-tong-pay juga menyatakan sanggup. Tong Wi-hong berjulukan Gin-yang-cu (Si Walet Perak) sehingga ilmu meringankan tubuhnya tidak perlu disangsikan lagi.

Sedangkan imam Hui-liam-cu yang bertubuh kurus kering seperti bambu itupun terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nomor satu di Khong-tong-pay, meskipun belum selihai Tong Wi-hong. Kemudian yang menyatakan sanggup masih ada satu orang lagi, yaitu Sun Ciok-peng, si pengemis dari Kay-pang yang bertubuh pendek bui. Karena tubuhnya yang gemuk dan kulitnya yang putih halus itu maka Sun Ciok-peng sering diolok-olok bahwa dia tidak cocok menjadi anggota Serikat Pengemis, mestinya Serikat Jutawan.

Semua orang memandang dengan heran kepada pengemis itu. Tanya Bu-sian Hweshio, "saudara Sun, apakah kau bisa Pia-hou-yu-jio?"

Pengemis she Sun itu menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga pipinya yang kemerah-merahan seperti bayi sehat itu berguncang-guncang. Tampangnya lucu bukan main. "Kalau tidak menggunakan Piau-hou-yu-jio, tentunya saudara akan menggunakan gin-kang untuk meloncati tembok bersama saudara Tong dan Imam Hui-liam-cu?"

Kembali pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apakah saudara Sun akan menggangsir tasmu lewat bawah tembok?"

Sahut Sun Ciok-peng, "Juga tidak. Tembok ini tertanam dalam sampai jauh ke dalam tanah, dibuat pada jaman dinasti Goan (Mongol) ratusan tahun yang lalu. Jika aku menggangsirnya, barangkali sampai tiga hari tiga malam baru tembus ke seberang tembok."

"Lalu dengan apa?"

"Dengan ini," sahut Sun Ciok-peng mantap sambil mengangkat kedua tangannya yang menggenggam. Ternyata sepasang tangannya telah memegang masing-masing sebatang paku besar yang digenggamannya terbalik seperti orang memegang pisau belati. Lalu pengemis gemuk itu berkata sambil tertawa, "Dengan ini, ketinggian yang lima kali lipat dari tembok penjara inipun bisa kupanjat. Itulah sebabnya tubuhku gemuk dan sehat."

"He, apa hubungannya memanjat tembok dengan gemuk sehat?" tanya Hui-liam-cu heran. "Dengan sepasang paku ini aku sering memanjat tembok dapur rumah orang orang kaya dan mencuri makansn disana. Biarpun aku cuma pengemis, tapi tidak satu haripun mulutku yang manja ini tidak kemasukan makanan enak yang dimakan para orang kaya. Nah, itulah yang membuat tubuhku gemuk dan sehat."

Jika tidak ingat bahwa mereka sudah berada di dekat musuh, ingin rasanya mereka berkelakar dengan Sun Ciok-peng. Tapi kini mereka hanya bisa ketawa dengan suara yang ditahan-tahan supaya tidak terdengar oleh prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas dinding penjara. Tapi Hui-liam-cu sempat juga bercanda,

"Saudara Sun, kalau kau ingin lebih gemuk lagi, kau sekali sekali boleh menyelundup ke dapur Istana Kaisar. Kabarnya Kaisar itu dalam sekali makan saja dihidangi dengan puluhan masakan yang mendengar nama-nyapun barangkali kau belum pernah. Masakan istimewa dari berbagai daerah yang dimasak oleh jurumasak-jurumasak terbaik pula dari masing-masing daerah. Tidakkah kau ingin mencobanya?"

Sun Ciok-peng menjulurkan lidahnya kesekeliling mulutnya seolah-olah benar-benar terbangkit seleranya oleh cerita itu. Sahutnya, "Memang betul. Tapi bagaimana kalau kepalaku hilang?"

Kembali orang-orang itu menahan tertawanya. Mereka tahu Istana Kaisar memang bukan taman bunga yang dapat dikunjungi setiap orang dengan semaunya saja. Di sana ada Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), Gi-cian-si-wi (Jago-jago Pengawal Kaisar), dan lain-lainnya, yang semuanya berkepandaian tinggi. Tentu kurang bijaksana kalau mempertaruhkan batok kepala hanya untuk sepotong paha ayam yang bagaimanapun lezatnya.

"Sudahlah," kata Bu-sian Hweshio. "Sekarang sudah hampir tengah malam dan kitapun harus segera bertindak. Yang akan naik, naiklah, bawalah tali panjang yang akan kita ulurkan dari atas dinding."

Maka Bu-siang Hweshio disertai kedua adik seperguruannyapun menyiapkan diri untuk naik ke atas. Sesaat mereka berdiri di kaki tembok sambil mengerahkan tenaga dalam mereka, lalu merekapun mulai memanjat ke atas bagaikan tiga ekor cecak raksasa yang-merambat naik di dinding yang hitam kelam itu. Ilmu Pia-hou-yu-jio memang sejenis ilmu yang menggunakan tenaga dalam di telapak tangan sehingga telapak tangan itu mempunyai daya hisap seperti kaki cecak.

Siau-lim-pay memang bukan perguruan yang mengutamakan Ilmu meringankan tubuh, meskipun mereka juga punya ilmu meringankan tubuh seperti Co-siang-hui (Terbang di Atas Rumput), melainkan sebuah perguruan yang dikenal karena keunggulan tenaga dalamnya dan keaneka-ragaman ilmu silatnya, permainan senjata maupun tangan kosong. Karena itu tidak mengherankan kalau ketiga rahib itu semuanya mahir Pia-hou-yu-jio, sedangkan di perguruan lain untuk mencari seorang yang mahir ilmu itu adalah sulit sekali.

Sun Ciok-peng menggeleng-gelengkan kepala melihat hal itu. Gumamnya, "Lain orang memperlihatkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuhnya, aku hanya bisa memperlihatkan ilmu malingku. Tapi ilmu maling inipun berguna juga bagiku."

Ketika Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu juga sudah meloncat keatas bagaikan sepasang burung saja, maka Sun Tiok-peng pun mulai menggerakkan sepasang paku di tangannya untuk memanjat tembok. Ternyata ia tangkas sekali dengan sepasang alat "mata pencaharian"nya itu, bagaikan merayap di tanah datar saja ia melaju ke atas dengar cepatnya, hampir sama cepatnya dengan Bu-sian Hweshio dan kedua orang Sute-nya.

Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu yang paling dulu tiba di atas tembok telah bertemu dengan empat orang prajurit penjaga yang sedang berkeliling. Tetapi ke empat prajurit itu memang sial, sebelum mereka sempat berteriak, mereka telah dibungkam oleh totokan-totokan kilat kedua tokoh Soat-san-pay dan Kong-tong-pay itu.

Mereka telah mendapat pesan dari Bu-sian Hweshio agar dalam serangan itu korban jiwa ditekan sekecil-kecilnya, tidak peduli jiwa musuh seklaipun. Hanya dalam keadaan yang benar-benar memaksa maka mereka diperkenankan menggunakan tajamnya senjata.

Setelah keempat prajurit itu roboh tertotok hampir tanpa suara, maka hampir bersamaan Bu-sian Hweshio bersama kedua adik seperguruannya serta Sun Ciok-peng juga sudah tiba diatas dinding. Ketika melihat tubuh keempat prajurit yang bergeletakan itu Bu-sian Hweshio mengerutkan alisnya sambil bertanya, "Mati?"

Tong Wi-hong menggeleng, "Hanya tertotok. Fajar nanti mereka akan bebas dengan sendirinya tanpa kurang suatu apa."

Bu-sian Hweshio mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bagus. Memang seharusnya kita tidak menghilangkan nyawa orang lain secara sembarangan, biarpun orang itu musuh. Nah, ulurkan tali ke bawah."

Kenam orang yang sudah di atas dinding itupun kemudian melepaskan gulungan tali panjang yang mereka gendong di punggung masing-masing, dan mengulurkannya ke bawah untuk menarik kawan-kawan mereka. Orang-orang yang terpilih untuk ikut serangan itu memang adalah orang-orang yang tangkas, maka begitu tali terulur, bagaikan monyet-monyet di hutan saja mereka segera memanjat dengan tangkasnya. Tidak ada yang bergerak lamban. Dalam waktu singkat duapuluh orang telah berada di atas dinding itu.

"Entah saudara-saudara dari Hwe-liong-pang sudah ‘membersihkan’ bagian selatan ini atau belum.?” kata Bu-sian Hweshio. "Bu-gong dan Bu-teng Sute...!”
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 16

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 16

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Sesungguhnya gadis Manchu itu telah menemukan seseorang yang selama ini diimpikannya. Kembangnya kaum bangsawan di kota Pak-khia itu sebenarnya sudah diincar oleh banyak orang, putera-putera para panglima dan bahkan para pangeran, perwira-perwira muda yang punya nama besar di medan-medan perang, anak-anak hartawan yang membuang emas seperti membuang pasir saja, dan banyak lagi.

Namun tak pernah berkenan di hati gadis yang sejak kecil senang berburu sehingga memiliki beberapa sifat-sifat seperti laki-laki itu. Satu-satunya laki-laki di Pak-khia yang dikagumi oleh To Li-hua adalah kakak misannya sendiri, Pakkiong Liong, namun hubungan keluarga mereka terlalu dekat sehingga sikapnya terhadap Pakkiong Liong tidak bisa lebih daripada sikap seorang adik terhadap kakaknya. Dan setelah Tong lam-hou datang hati gadis itu terbuka.

Dari mulut Ha To-ji dan lain-lainnya ia sudah mendenar betapa perkasanya anak-muda dari Tiam-Jong-san itu, dan di medan perburuan di sekitar kota Pak-khia, To Li-hua pernah melihat sendiri bagaimana Tong lam-hou melontar-lontarkan anak-panahnya tanpa busur untuk menembusi tubuh serigala-serigala sasaranya yang sedang berlari kencang, dfan kini, di lapangan ujian pendadaran calon-calon prajurit itu, nama Tong Lam hou telah mencuat ke atas seperti sebuah bintang cemerlang yang terbit di langit kota Pak-khia.

Namun sebenarnya, jauh sebelum itu To Li-hua sudah mengagumi anakmuda she Tong rtu. Memang Tong Lam-hou tidak terlalu tampan, tidak setampan anak bangsawan yang; berpakaian bagus-bagus dan gemar bersolek itu, namun alangkah terpesonanya gadis itu melihat tatapan matanya yang seperti seekor harimau yang garang, namun kemudian si mata harimau itu melembut jika menatap ke arahnya.

Tarikan bibirnya, gerak rahangnya ketika mengucapkan setiap kata-katanya, seolah mengandung kepastian akan kemenangan yang bakal diraihnya. Pasti, bukan cuma mungkin. Lelaki sungguh perkasa, satu dari sejuta. Kini To Li-hua dengan banggga mendampinginya di bawah tatapan mata ribuan penonton yang sedang meninggalkan lapangan itu. Gadis mana yang tidak bangga kalau berdampingan dengan seorang jagoan dan dilihat banyak orang?

Namun sepasang mata yang berapi-api menatap Tong Lam-hou dan To Li-hua itu dengan geram. Tong Wi-hong yang berjalan berdampingan dengan In Yong di antara arus penonton yang sedang pulang itu, menatap dengan tidak senang. Bisiknya, "Saudara In, lihatlah, betapa akrabnya mereka. Ah, kakakku begitu perkasa, tetapi kenapa mempunyai keturunan yang tak kenal malu seperti itu? Gila, rase cantik Manchu itu semakin genit saja! Huh, dasar keturunan bangsa liar dari luar perbatasan!"

In Yong tidak menyahut sepatah-katapun. Iapun berjalan di samping Tong Wi-hong sambil mengendong tangannya. Ia tidak tahu harus berbuat atau berkata bagaimana untuk meredakan kemarahan sahabatnya itu. Tengah mereka berdua berjalan, tiba-tiba diantara para penonton itu ada seorang yang menumbuk mereka dengan keras. Jalan itu memang penuh orang, tidak jarang seseorang bertubrukan dengan lainnya, namun kali ini agaknya sengaja.

Ketika Tong Wi-hong menoleh ke arah orang yang menubruknya itu, ternyata adalah seorang pengemis bertubuh gemuk yang tangannya memegang tongkat dan kepalanya memakai topi butut, sama bututnya dengan pakaian yang dikenakannya. Ketika Tong Wi-hong menoleh, pengemis itupun menyeringai sambil berbisik,

"Malam ini di kuil Te-hok-bio dekat Pagoda. Tolong hubungi rekan-rekan dari Jit-goat-pang.'' Hanya mengucapkan beberapa patah kata itu, si pengemis kemudian cepat-cepat menyusup kembali ke kerumunan orang dan menghilang.

In Yong menyikut tangan Tong Wi-hong dan bertanya, "Bukankah dia saudara Sun yang bertugas sebagai penghubung antar kelompok dalam gerakan kita ini? Apakah yang dikatakannya?"

"Nanti malam kita harus berkumpul di kuil Te-hok-bio di dekat Pagoda. Agaknya ada sesuatu yang penting yang perlu dibicarakan, sehingga Bu-sian Hweshio merasa perlu untuk mengumpulkan dengan cara seperti ini. Kalau begitu, saudara In, kita akan berpisah sampai di sini saja. Aku harus segera menyiapkan kelompokku dan sekalian mencari hubungan dengan orang-orang Jit-goat-pang yang sampai saat ini belum kelihatan batang hidungnya. Saudara In, kaupun harus menyiapkan kelompokmu dengan segera, hari sudah gelap dan pertemuan itu tidak lama lagi berlangsung."

"Jangan kuatir, kami orang-orang Hwe-liong-pang sudah berpengalaman dalam hal-hal seperti ini sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam sekejap kelompokku pasti akan Segera bersiap," sahut In Hong sambil tertawa. "Selamat berpisah, saudara Tong. Sampai jumpa nanti di kuil Te-hok-bio."

Keduanya menyusup ke dalam arus orang banyak dan pergi kearahnya masing-masing. Kadang-kadang mereka bertemu dengan satu atau dua orang yang juga akan ikut dalam rencana penyerangan Penjara Kerajaan itu, namun mereka tidak saling bercakap-cakap, sebab kuatir di antara orang yang berdesak-desak itu akan ada mata-mata pemerintah Manchu yang mendengarkan pembicaraan mereka.

Tong Wi-hong menuju ke sebuah rumah penginapan yang agak sederhana. Di situlah ia menginap bersama rombongannya. Pelayan rumah penginapan itu mengangguk hormat kepada Tong Wi-hong ketika berpapasan dipintu. Tong Wi-hong bertanya, "Apakah teman-teman seperjalananku itu sedang keluar?"

"Tidak, tuan. Aku baru saja mengantarkan arak buat mereka. Mereka berempat sedang minum-minum di taman belakang," kata pelayan itu.

Tong Wi-hong lega mendengar itu, berarti ia tidak usah susah-susah harus menunggu sampai mereka berkumpul. Maka iapun menuju ke ruangan belakang dan menjumpai ke empat orang itu memang sedang mengelilingi sebuah meja sambil minum arak. Mereka adalah adik Tong Wi-hong sendiri, yaitu Tong Wi-lian dan suaminya yang bernama Ting Bun. Sedang yang dua lagi adalah jago-jago andalan dari Tiong-gi Piauhang yang diajak oleh Tong Wi-hong untuk ikut membantu gerakan itu. Kedua orang itu kakak beradik yang bernama So Hui dan So Pa, terkenal dengan julukan Tiong-san-siang-hou (Sepasang Harimau Gunung).

"Bagus, kalian sudah berkumpul di sini rupanya," kata Tong Wi-hong begitu melihat mereka. "Bersiaplah, sebentar lagi kita akan berkumpul dengan semua rekan-rekan di kuil Te-hok-bio. Bu-sian Hweshio sebadai pemimpin dari rencana kita telan memberikan perintah kepadaku lewat saudara Sun dari Kay-pang."

Keempat orang itupun segera bangkit dan membenahi diri, sementara Tong Wi-lian serapat bertanya kepada kakaknya, "A-hong, bagaimana dengan anak A-siang dalam ujian pendadaran prajurit itu?"

Tong Wi-hong menarik napas dan menjawab dengan berat hati, "Bukan berita baik yang patut diceritakan. Hal-hal yang bisa membuat seorang lelaki kehilangan kepribadian adalah kekuasaan, sanjungan berlebihan dan wanita cantik. Nah, anak A-siang itu mendapat ketiga-tiganya. Kalau aku tidak sedang terlibat dalam urusan yang lebih penting, rasanya aku ingin menemui anak itu dan mendampratnya."

Tong Wi-lian menundukkan kepalanya mendengar itu. Dulu, di antara tiga bersaudara, hubungannya dengan kakak sulungnya yang bernama Tong Wi-siang itu adalah yang paling akrab. Bahkan sebelah Tong Wi-siang berubah menjadi seorang tokoh yang menakutkan dalam ujudnya sebagai Hwe-liong Pang-cu, hubungan itu tetap akrab. Dan kini alangkah pedih hatinya mendengar keturunan satu-satunya dari kakaknya yang disayanginya itu malanan menjadi kaki tangan bangs0a Manchu.

"Kalau aku tahu begini jadinya, lebih baik dulu aku tidak usah mengetahui bahwa dia adalah anak kakakku, supaya aku tidak ragu-ragu membunuhnya di medan perang. Nainun kenyataannya. aku tahu hal itu, dan ini sangat membebani perasaanku apabila kelak bertemu dengannya di medan perang," kata Tong Wi-lian dengan sedin dalam hatinya.

Namun suasana saat itu bukan saat yang tepat untuk memanjakan perasaan saja. Semuanya sedang bergerak dalam sebuah rencana besar yang rapi, rencana yang penuh dengan taruhan nyawa demi cita-cita bersama, dan tidak ada tempat untuk urusan-urusan pribadi. Maka merekapun segera mempersiapkan diri. "Mungkinkah Bu-sian Hwe-shio akan memerintahkan gerakan malam ini juga?" demikian mereka bertanya-tanya dalam hati. "'Namun orang-orang belum terkumpul semuanya, apakah kekuatan yang ada saat ini cukup untuk tugas berat itu?"

"Apakah ada di antara kalian yang sudah melihat kedatangan orang-orang Jit-goat-pang?" tanya Tong Wi-hong kepada empat rekannya.

Hampir bersamaan keempatnya menggelengkan kepala. "Sungguh aneh, pelaksanaan rencana ini tinggal beberapa hari lagi, tapi mereka belum juga kelihatan batang hidungnya?" demikian Ting Bun menyatakan keheranannya.

"Mari kita berangkat sekarang ke Te-hok-bio, di sepanjang perjalanan akan kita coba tinggalkan tanda-tanda untuk mereka. Kalau mereka benar-benar di kota ini tentu akan melihat tanda-tanda yang kita tinggalkan, maupun yang ditinggalkan oleh rekan-rekan lainnya."

Maka keempat orang itupun segera mengikuti Tong Wi-hong meninggalkan rumah penginapan itu. Sepanjang jalan mereka mencoba meninggalkan tanda-tanda yang sudah disepakati bersama, agar terlihat oleh orang-orang Jit-goat-pang.

Kuil Te-hok-bio adalah sebuah kuil yang letaknya tidak jauh dari Istana Kerajaan sendiri. Tempat itu sengaja dipilih sebagai tempat pertemuan kaum bawah tanah yang akan menggulingkan pemerintahan Manchu, sebab justru di tempat yang dekat Istana itulah maka pihak musuh tidak akan menduga kalau di situ ada pertemuan gelap menentang kerajaan.

Ketika mendekati kuil yang nampak megah, terang benderang namun sunyi itu, maka Tong Wi-hong memecah rombongannya menjadi tiga bagian, sebab kalau lima orang masuk sekaligus tentu akan kelihatan menyolok sekali. Tidak mustahil ada mata-mata Manchu yang melihatnya dan rencanapun bisa berantakan. Mula-mula Tong Wi-hong sendiri yang melangkah masuk dengan lagak seperti seorang yang hendak bersembahyang, lalu Ting Bun dan isterinya muncul berikutnya, disusul dua saudara So Hou dan So Pa.

Jika dari luarnya kuil itu kelihatan sunyi, ternyata di bagian belakangnya ternyata sudah penuh dengan orang. Di sebuah ruangan, ternyata telah duduk dengan agak berjejal-jejal tigapuluh lima orang. Semuanya bertampang orang-orang di dunia persilatan, dan semuanya berwajah tegang. Macamnyapun bercampur-aduk. Ada orang biasa, ada iman, ada pendeta, ada pula pengemis.

Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya. "Silahkan duduk saudara Tong dan saudara lainnya, kita tinggal menunggu orang-orang Jit-goat pang saja," kata rahib itu. "Maaf, tempatnya agak berjejalan, namun hanya seperti inilah yang bisa kita selenggarakan ini."

Tong Wi-hong dan orang-orangnya membalas hormat itu sambil menyahut, "Jangan sungkan-sungkan, taysu."

Maka kembali ruangan itu menjadi sunyi. Meskipun begitu banyak orang berkumpul di situ, namun jarang yang bercakap-cakap satu Ketika Tong Wi-hong dan rombongannya datang, seorang rahib Buddha berbadan tegap dan berjubah abu-abu segera menyongsongnya.

Tidak lama kemudian, seorang pendeta muda dari kuil Te-hok-bio itu masuk ke ruangan itu sambil melapor kepada Bu-sian Hweshio, "Supek, rombongan dari Jjt-goat-pang sudah tiba."

"Bawa mereka masuk!" perintah Bu-sian Hweshio singkat.

Maka rombongan Jit-goat-pang yang berjumlah kira-kira limabelas o-rang itupun memasuki ruangan. Mereka dipimpin oleh sorang lelaki yang memakai tudung kepala, dan ketika tudungnya dibuka, nampaklah wajah seorang berusia kira-kira empatpuluh tahun dengan berewok tipis di sekitar rahangnya. Hidungnya besar dan bibirnya tebal, jika ia memandang seseorang maka diciutkannya sepasang matanya seakan-akan ingin menyembunyikan sepasang biji matanya yang penuh rahasia itu.

Orang itu adalah pemimpin Jit-gaot-pang (Serikat Matahari dan Rembulan) yang bernama Cu Leng-ong. Ia sebenarnya adalah keturunan Raja terakhir dinasti Beng yang jatuh oleh pemberontakan Li Cu-seng, yaitu Kaisar Cong-ceng, meskipun hanya dilahirkan dari serorang selir yang berasal dari rakyat jelata. Karena itu, orang itu selalu dipanggil dengan sebutan "Pangeran" oleh pengikut-pengikutnya. Dengan demikian Pangeran Cu Leng-ong ini adalah saudara seayah tapi lain ibu dengan Pangeran Cu Hin-yang yang saat ini berada di penjara kerajaan bersama Li Tiang-hong.

Di antara pengawal-pengawalnya, nampak Kongsun Hui yang pernah ikut Pangeran Cu Hin-yang yang menjelajah daerah selatan dan hampir mati oleh Pakkiong Liong itu. Selain itu semua pengikut-pengikutnya tampaknya orang-orang pilihan yang cukup tangkas. Meskipun dinasti Beng sudah terhapus dari muka bumi sejak belasan tahun yang lalu, namun penampilan Pangeran Cu Leng-ong dan pengikut-pengikutnya masih berusaha untuk menunjukkan bahwa merekalah ahli waris sah dari negeri ini.

Ketika Pangeran Cu Leng-ong menduduki kursinya, maka anakbuahnya pun serentak memecah diri di kanan dan kiri kursi itu dan bersikap tegap, seakan-akan mengawal seorang raja. Sikap seperti itu memang sengaja diatur untuk memberi kesan kepada pengikut-pengikut mereka sendiri maupun kepada orang luar bahwa dinasti Beng "masih ada" meskipun sudah tidak berada di Ibukota Kerajaan.

Bahkan panggilan-panggilan kebangsawanan maupun kenegaraan lainnya masih diperkenalkan dalam tubuh Jit-goat pang, karena memang mereka berusaha menimbulkan kesan demikian. Tanpa adanya kesan bahwa dinasti Bang, maka dukungan rakyat atau golongan-golongan lain pasti sulit diperoleh. Sebaliknya dengan adanya kesan bahwa dinasti Beng masih ada dan "kuat" maka orang tidak ragu-ragu untuk menggabungkan diri.

Di dalam ruangan itu juga ada musuh-musuh dinasti Beng, yaitu bekas pengikut-pengikut Coan-ong Li Cu-seng yang sebagian besar terdiri dari orang orang Hwe-liong-pang. Jumlah pengikut-pengikut Li Cu-seng yang ada di ruangan itu sama dengan jumlah pengikut-pengikut Cu Leng-ong, di antaranya adalah orang-orang berwatak keras seperti delapan orang tong-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang malam itu berkumpul semua.

Ketika melihat lagak lagu orang-orang Jit-goat-pang itu, diam-diam orang-orang Hwe-liong-pang saling bertukar senyuman, mentertawakan lagak bekas musuh-musuh mereka itu. Siau-lo-cia Ma Hiong berbisik kepada orang disebelahnya yang berpakaian seperti penduduk daerah Su-coan dan di pinggangnya menyandang sebatang golok pendek yang melengkung seperti bulan sabit,

"Saudara Auyang, hebat benar lagak begundal-begundal keluarga Cu itu."

Orang yang berpakaian daerah Su-coan, lengkap dengan ikat kepalanya yang berwarna putih dan baju rangkapan dari kulit domba, bernama Auyang Siau-pa, dalam Hwe-liong-pang dulu kedudukannya sejajar dengan Ma Hiong. Kalau Ma Hiong Jai-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Coklat), maka Auyang Siau-pa ini adalah Jing-ki Tongcu (Pemimpin Kelompok Bendera Hijau) limu goloknya terkenal dengan gerakan-gerakannya yang amat sederhana, bahkan ia tidak kenal apa artinya "jurus atau kembangan", namun kecepatannya sungguh tidak dapat dipandang ringan oleh tokoh persilatan yang manapun juga.

Jika ia ditanya apakah ia belajar ilmu silat, ia hanya menjawab, "Aku tidak belajar ilmu atau jurus apapun, aku hanya belajar membacok orang."

Selain kedua Tongcu di jaman Hwe-liong-pang itu, nampak pula Tongcu-tongcu lainnya seperti Pek-ki Tong-cu (Pempimpin Kelompok. Bendera Putih) Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk-kan Bu-ing-tui (Si Tendangan Tanpa Bayangan), lalu Ui-ki Tongcu (Tongcu Bendera Kuning) yang bernama Kwa Heng dan bergelar Tiat-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi), Lam-ki Tongcu (Tongcu Bendera Biru) In Yong yang berjulukan Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir).

Hek-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Kwa Ting-siong yang berjulukan Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang Mal ain), Ci-ki Tongcu (Tongcu Bendera Ungu) Lu Siong yang terkenal kehebatan pukulannya sehingga mendapat gelar Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Beribu Kati) dan Ang-ki Tong-cu (Tongcu Bendera Merah) Ji Tiat dengan gelarnya sebagai Siang-po-kai-san (Sepasang Kampak Pembelah gunung).

Selain itu masih ada beberapa orang hu-tongcu (Wakil Pemimpin Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu. Dan juga bekas panglima-panglima bawahan Li Cu-seng ketika mengobarkan pemberontakan "Pelangi Kuning" untuk melawan dinasti Beng. Antara pengikut-pengikut Li Cu seng dengan pengikut-peingikut dinasti Beng memang pernah terbentang permusuhan selama belasan tahun di jaman perang saudara dulu.

Meskipun kini mereka berada dalam satu, gerakan untuk tujuan bersama, namun sebagai manusia biasa tentu belum bisa melupakan kematian ratusan dan bahkan ribuan teman-teman mereka di medan perang karena senjata pihak musuh. Ibaratnya, senjata musuh belum kering dari darah teman-teman mereka.

Kedua pihak saling menyalahkan orang-orang dinasti Beng yang tidak becus mengendalikan negara sehingga keadaan menjadi morat-marit, sebaliknya pihak orang-orang dinasti Beng menyalahkan Li Cu-seng yang berhasil merebut Pak-khia dari tangan dinastinya tetapi tidak dapat mempertahankannya, dari serbuan bangsa Manchu. Itulah manusia, kesalahan diri sendiri tidak nampak, yang nampak selalu kesalahan orang lain.

Kini kedua pihak yang dulu bermusuhan itu duduk dalam satu ruangan. Masing-masing saling melotot, saling berbisik-bisik dengan temannya masing-masing untuk memanaskan pihak lawan, lalu melirik sambil melemparkan senyuman mengejek. Untunglah di ruangan itu pula ada pihak ketiga yang sama-sama mereka segani. Yaitu para pendekar rimba persilatan yang meskipun tidak mempunyai laskar yang berjumlah banyak, namun karena ilmu mereka yang rata-rata cukup tinggi Itu membuat mereka merupakan kekuatan tersendiri yang patut diperhitungkan.

Bu-sian Hweshio dari Siau-lim-pay yang merupakan pemimpin dari keseluruhan rencana itu, diam-diam menarik napas juga melihat bahwa orang-orang Jit-goat-pang dan Hwe-liong-pang itu agaknya belum melupakan "utang-piutang" lama mereka. Namun untunglah bahwa kedua belah pihak sama-sama menyadari bahwa baku hantam di bawah hidung musuh tidak akan menguntungkan mereka sendiri, sehingga masing-masing pihakpun berusaha untuk menahan diri.

"Saudara-saudara sekalian," Bu-sian Hweshio membuka pertemuan itu. "Terima kasih atas kehadiran kalian. Dan agaknya kita berjumlah lengkap limapuluh orang, cocok seperti nama-nama yang kita susun untuk kita ikutkan dalam rencana ini seperti beberapa bulan yang lalu."

Sesaat ruangan jadi hening, lalu terdengar rahib Siau-lim-pay itu berkata lagi, "Aku tidak akan bicara berputar-putar saja, melainkan akan langsung ke pokok persoalan. Menurut laporan saudara Sun Ciok-peng dari kay-pang, gerakan yang kita rencanakan untuk menyerang Penjara Kerajaan dan membebaskan sahabat-sahabat kita yang terpenjara oleh musuh, ternyata telah tercium oleh mata-mata musuh...!!”

Berita itu memang cukup mengejutkan, namun mereka cukup mempercayai Bu-sian Hweshio. Betapapun juga, mereka telah lengah karena menganggap pihak musuh terlalu tolol, padahal pemerintah Manchu juga punya jaringan mata-mata yang dapat diandalkan kebolehannya. Hilir mudiknya sekian banyak orang bersenjata yang sebelumnya tidak pernah kelihatan di Pak-Khia bagaimanapun juga ada kemungkinan dicurigai oleh musuh, dan agaknya kemungkinan itu kini menjadi kenyataan. Seketika itu di ruangan itu. penuh dengan gumaman, seperti ada berratus-ratus lebah yang mendengung bersama.

Salah seorang pendekar yang berrambut putih dan berjenggot putih segera mengajukan pertanyaan, "Bu-sian Hweshio, apakah berita yang kau terima itu mempunyai bukti yang kuat, atau hanya kira-kira saja?"

Orang yang bertanya itu bernama He Keng-lian, ketua dari perguruan silat Ho-lian-pay. Ia datang ke tempat itu bersama dengan dua orang adik seperguruannya yang ilmu silatnya dianggap cukup tangguh untuk memikul tugas berat itu. Ketiga tokoh Ho-lian-pay itu memang sudah menyiapkan diri mereka secara khusus sejak nama mereka dimasukkan mereka dalam daftar limapuluh orang yang akan menyerbu penjara kerajaan itu.

Bu-sian Hweshio tidak menjawab langsung pertanyaan Ho Keng-Jian itu, melainkan melontarkannya kepada seorang pengemis bertubuh gemuk dan bertopi butut, Saudara Sun, coba kau jelaskan kepada Ketua Ho dan juga saudara-saudara yang lain yang belum mendengar laporanmu."

Pengemis yang bernama Sun Ciok-teng itupun berwatak mirip Bu-sian Hweshio yang tidak suka bicara bertele-tele. Maka begitu ia berdiri dari tempat duduknya, ia langsung menyentuh pokok masalahnya,

"Saudara-saudara kaum pejuang, dalam rencana ini, aku dan saudara-saudara pengemis di Pak-khia mendapat tugas sebagai penghubung antar kelompok di antara kalian. Tapi tanpa sadar kami mencium bahwa Panglima dari pasukan Ui-ih-kun (Pasukan Baju Kuning), yaitu pasukan yang bertanggung-jawab dipenjara kerajaan, Pakkiong An, telah mencium gerakan ini. Secara luar biasa Pakkiong An telah memperkuat penjagaan di penjara, Jumlah prajuritnya hampir lipat empat dari biasanya.

"Lalu anak Pakkiong An yang bernama Pakkiong Hok juga menggunakan uangnya untuk menarik banyak jago-jago silat berkumpul di rumahnya sebagai pembantu-pembantu kepercayaannya. Dan secara teratur ia menempatkan jago-jago upahannya itu untuk membantu penjagaan di penjara. Sampai sekarang masih banyak jago-jago undangan Pakkiong Hok yang berdatangan demi uang, menanyakan kenapa ada peningkatan kekuatan besar-besaran macam itu, dan perwira itu menjawab sambil bertepuk dada bahwa pihaknya sudah tahu akan ada rencana penyerangan penjara kerajaan.

"Setelah hari pelantikan prajurit-prajurit dan perwira baru, katanya, pihaknya sudah siap menjaring semua pengacau yang akan memasuki penjara kerajaan pada saat itu, seperti nelayan menjaring ikan. Nah, kesimpulannya adalah bahwa rencana kita telah bocor ke telinga musuh. Musuh bahkan tahu dengan tepat kapan kita akan menyerang menurut rencana."

Kembali ruangan itu menjadi rebut dengan bisik-bisik. Namun salah seorang pejuang yang berada di ruangan itu diam-diam mengumpat-umpat dalam hati, "Bangsat, ternyata Pakkiong An bekerja dengan sangat ceroboh sehingga hingga peningkatan kekuatannya tercium oleh pemberontak-pemberontak ini. Bahkan ia juga kurang rapat menjaga rahasianya, sehingga perwira-perwira rendahannya pun tahu akan rencana kami untuk menjaring kakap-kakap ini. Percuma saja aku membantunya dengan menyerahkan daftar nama orang-orang yang akan menyerbu penjara. Ia begitu tolol dan tidak dapat memanfaatkan bantuanku. Aku harus menegurnya kelak jika bertemu denganku lagi. Jika ia marah karena teguranku, aku dengan mudah akan mengambil batok kepalanya meskipun la dikelilingi sepasukan pengawal. Kecerobohannya membuat semua rencanaku jadi sia-sia."

Demikianlah, berita tentang bocornya rencana penyerangan itu membuat macam-macam gejolak perasaan di dada orang itu. Seperti biasanya, pihak bekas pengikut Li Cu-seng dan dinasti Beng saling melirik dengan cu-riga, masing-masing pihak mencurigai jangan-jangan pihak lainnyalah yang membocorkan hal Itu. Kembali ruangan itu penuh suara gemeremang orang-orang yang berbisik-bisik.

"Tenanglah, saudara-saudaraku," kata Bu-sian Hweshio. Ruangan menjadi sunyi seketika, dan suara Bu-sian Hweshio terdengar jelas diruangan itu, "Dalam rencana serangan kita, kita harus mengakui bahwa kita tidak mungkin menandingi pasukan musuh secara terbuka, sebab mereka berjumlah banyak dan kita sedikit. Namun kita mempunyai kelebihan, yaitu serangan itu bersifat sangat mendadak sehingga musuh tidak akan sempat mengatur kekuatannya. Tapi dengan bocornya rencana kita ini, maka unsur pendadakan yang kita miliki itupun hilang. Serangan kita tidak lebih dari serangan bunuh diri seperti serangan menerjang api. Jumlah yang akan tewas di antara kita akan melebihi jumlah orang yang akan kita bebaskan dari penjara..."

Sesaat orang-orang di dalam ruangan itu teraangu-mangu, ucapan Bu-sian Hweshio itu memang masuk akal. Tapi mereka datang ke kota Pak-khia ini dengan semangat berkobar, mungkinkah akan dipadamkan begitu saja justru setelah berada di depan hidung musuh?

Di tengah kesunyian itu tiba-tiba terdengarlah suara seorang imam Bu-Tong-pay, yaitu Te-sian Tojin, "Kita belum kehilangan kesempatan sama sekali. Bukahkah pihak musuh sudah memperhitungkan bahwa kita akan menyerang penjara kira-kira tiga hari lagi? Nah, kita masih bisa membuat kejutan, yaitu menyerang sekarang juga. Kita sudah lengkap bukan?"

Imam itu selalu bicara dengan nada tenang-tenang saja, namun usulnya itu ternyata ibarat minyak yang disiramkan ke api yang hampir padam. Semangat para pejuang segera terbangkit kembali beberapa orang segera menyahut, "Ya, setuju!"

Sebagai pemimpin Bu-sian Hweshio juga memberikan kesempatan kepada orang-orangnya untuk memperdengarkan pendapatnya. "Bagaimana, saudara-saudara dari Hwe-liong-pang tanyanya.

Hampir bersamaan delapan orang Tongcu menjawab, “setuju!" dan disambung oleh suara Lu Siong yang menggeledek itu, "Sudah di Pak-khia, memangnya kita hanya akan bertamasya disini? Lebih baik kita coba dulu usul Te-sian To-jin itu daripada pulang dengan tangan kosong!"

Orang-orang Jit-goat-pang di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong agaknya tidak ingin kalah semangat dari bekas musuh-musuh mereka itu. Sebelum mereka ditanya, Kongsun Hui sudah berkata kepada Pangeran, "Ongya, hamba kira kita tidak keberatan dengan usul Te-sian tojin bukan? Sebab semakin lama Cu Hin-yang Ongya dalam sekapan musuh, semakin berbahayalah keadaannya. Begitu pula Li Ciangkun (Li Tiang-hong)..."

"Ya, kita tidak keberatan. Justru kita sebagai pewaris-pewaris negeri yang sah harus berjuang yang paling depan."

Perkataan "pewaris-pewaris negeri yang sah" itu seketika mengundang dengusan mengejek atau senyuman sinis dari pihak Hwe-liong-pang. Namun Bu-sian Hweshio tidak membiarkan suasana meningkat semakin panas, sehingga cepat-cepat memotong "Bagaimana pendapat saudara-saudara dari Bu-tong-pay Soat-san-pay, Khong-tong-pay, Ho-lian-pay dan Hoa-san-pay?"

"Sikap kami Bu-tong-pay sudah jelas!" kata Te-sian Tojin tegas mewakili orang-orang dari perguruannya. "Sudah sampai di Pak-khia, segala jalan harus dicoba, jangan menyerah begitu saja."

"Aku mendukung!" kata Tong Wi-hong yang dalam pertemuan itu bukan mewakili Tiong-gi Piauhang, sebab Tiong-gi Piauhang itu bukan suatu perguruan atau aliran silat melainkan hanya sebuah perusahaan dagang di bidang pengangkutan, namun ia mewakili perguruannya, yaitu Soat-san-pay.

Hampir bersamaan, pihak Khong-thong-pay yang dipimpin oleh Gin-hoa-kiam (Pedang Bunga Perak) Auyang Seng, juga menyatakan persetujuannya. Namun sikap Ketua Ho-lian-pay He Keng-liang ternyata agak berbeda. Orang tua itu nampak ragu-ragu, matanya berputar-putar menyambar tiap wajah di ruangan itu. Lalu katanya,

"Aku mohon saudara-saudara berkepala dingin, masalahnya bukan sekedar berani atau takut, tapi menyangkut pula nyawa manusia. Tapi rencana yang sebetulnya sudah setengah gagal ini jika diteruskan akan membahayakan kita sendiri..."

Mendengar ucapan itu, ruangan bagian belakang kuil itu seketika berdengung, menyatakan ketidak-senangan mereka kepada Ketua Ho-lian-pay itu. Tapi He Keng-liang tidak peduli dan terus berucap, "Menurut aku, kita justru harus mengundurkan hari penyerangan kita, bukan justru memajukannya. Supaya kita dapat membuat persiapan lebih baik..."

"...dan musuh juga sempat mempersiapkan lebih baik?" potong Auyang Siau-pa dari Hwe-liong-pang dengan suara dingin. Jing-ki Tongcu dari Hwe-liong-pang ini memang seorang pendiam, jarang berbicara, namun ucap-ucapannya tegas dan singkat sehingga orang yang belum paham wataknya akan gampang tersinggung mendengar nada suaranya.

He Keng-liang menatap ke arah Auyang Siau-pa. Dan tiba-tiba Auyang Siau-pa merasa perasaan aneh dan seram ketika melihat mata He Keng-liang menyambarnya, tatapan mata seperti itu seolah pernah dilihatnya belasan tahun yang lalu. Tatapan mata yang memancarkan wibawa gaib yang menggidikkan hati. Dan diam-diam Auyang Siau-pa ini menjadi heran, bukankah He Keng-liang ini cuma ketua sebuah perguruan yang tidak terlalu besar, dan ia sendiri ilmunya sedang-sedang saja, tinggi tidak rendah juga tidak. Darimana orang tua ketua Ho-lian-pay itu bisa memiliki pandangan mata yang begitu menyeramkan?

Namun sesaat kemudian, He Keng-liang kembali kelihatan seperti Seorang tua yang ramah, sehingga Auyang Siau-pa merasa heran. Mungkinkah ia hanya berangan-angan tentang seseorang di masa lalu, dan angan-angannya itu mempengaruhi pandangannya terhadap He Keng-liang? Auyang Siau-pa mengibaskan kepalanya seakan melontarkan semua kenangan pahitnya di masa lalu.

He Keng-liang yang tua itu nampak terdesak oleh suara-suara dari kiri kanan, ada yang menuduhnya penakut, membuang-buang waktu dan sebagainya. Akhirnya ia berkata, "Baiklah, saudara-saudara, aku hanya bermaksud baik. Tapi agaknya saudara-saudara salah paham semuanya akan maksud baikku, karena itu biarlah aku ikut dalam rencana ini sebagai tanda setia kawan kepada perjuangan kita."

Ucapan itu disambut dengan tepuk tangan beberapa orang. Bu-sian Hweshio sebagai pemimpin segera berbicara, "Nah, ternyata kalian sepakat bahwa serangan akan kita lakukan malam ini juga. Aku memang sudah menduga bahwa saudara-suadara akan memutuskan seperti ini sehingga akupun sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Kita mulai dengan melihat keadaan penjara kerajaan yang akan menjadi sasaran kita."

Lalu dua orang pendeta Siau-lim-pay yang mengikuti Bu-sian Hweshio segera menggelar sebuah kertas besar di lantai, sehingga semua orang bisa melihatnya. Itulah denah penjara Kerajaan, yang berhasil dibuat oleh orang-orang Kay-pang dengan cara menyuap salah seorang pegawai penjara. Dan agaknya pegawai penjarapun tidak keberatan menggambarkan denahnya, toh penjagaan di penjara sangat kuat, kalau musuh hanya sekedar mengetahui denahnya tidak jadi soal.

Toh penjagaan di dalam penjara itu sangat kuat dengan jumlah prajurit yang berlipat-lipat dari biasanya, masih ditambah dengan beberapa jagoan silat bayaran yang diundang oleh Pakkiong An dan Pak-kiong Hok. Demikianlah asalnya sampai orang-orang Kay-pang berhasil mendapatkan denah penjara itu.

Setelah denah digelar di lantai dan semua orang bisa melihatnya, bertanyalah Bu-sian Hweshio kepada si pengemis Sun Ciok-peng, "Saudara Sun, apakah kau juga berhasil mendapat keterangan di ruangan yang mana para tokoh pejuang itu dikurung?"

"Aku mohon maaf kepada Tay-su dan saudara-saudara sekalian, bahwa keterangan yang sangat penting itu tidak berhasil kami peroleh, betapapun kami berusaha untuk memperolehnya. Bahkan hampir saja kami dicurigai oleh perwira itu, untung kami berhasil membungkamnya dengan sekantong uang, tetapi seterusnya kami tidak terlalu menyolok dalam bertanya."

Banyak orang-orang di dalam ruangan itu yang menarik napas panjang, bahkan He Keng-liang dari Ho-lian-pay kembali mengeluarkan suaranya, "Ruangan dalam penjara kerajaan itu berjumlah ratusan, kalau kita tidak mendapat keterangan yang pasti tentang disekapnya rekan-rekan pejuang itu, bukankah itu berarti kita harus menggeledah ruangan demi ruangan satu persatu? Dan pekerjaan ini bisa berlangsung sampai pagi kalau pasukan musuh tidak keburu membanjiri penjara kerajaan dan mencincang kita!"

"Jadi bagaimana usul saudara He?"

"Kita undurkan sehari sambil berusaha mencari keterangan tentang ruangan penyekapan itu. Agar dengan sekali gebrak kita berhasil."

Bu-sian Hweshio menyapukan pandangan matanya. Bukan karena ia tidak punya pendirian, namun Bu-sian Hwe-shio sebagai pemimpin harus mendengarkan suara anak buahnya. Ketika terpandang wajan Pangeran Cu Leng-ong, ia bertanya, ''Bagaimana pendapat Pangeran?”

Pangeran itu mengecilkan matanya sebagaimana kebiasaannya jika sedang berpikir, namun kali ini ia tidak berpikir panjang untuk menjawab, "Terserah kepada Tay-su dan saudara sekalian. Kami orang Jit-goat-pang hanya bagian dari rencana ini dan tentu saja tidak dapat bertindak sendiri!"

Jawabannya kedengaran dingin sekali, seolah-olah nasib adik tirinya Pangeran Cu Hin-yang serta Li Tiang-hong yang bekas Panglima ayahnya itu-pun tidak dikuatirkannya sedikitpun juga. Bu-sian Hweshio mengalihkan pandangannya kepada orang-orang Hwe-liong pang dan kaum pendekar lainnya. "Ada pendapat saudara-saudara?" tanyanya.

"Kita sudah bertekad untuk maju, kita maju terus!" kata seorang rahib berewokan, adik seperguruan Bu-sian Hweshio sendiri yang bernama Bu-gong Hweshio. "Suheng, sehari kita mengulur waktu, berarti sehari pula musuh sempat menambah kekuatannya. Karena itu, saat ini tidak ada jalan lain kecuali terjang sekarang juga."

Sebelum Bu-sian Hweshio menyahut, He Keng-liang telah berkata, "Tetapi kita akan seperti orang buta di dalam penjara itu, tanpa tahu ke ruangan mana kita harus menuju. Masalah ini bukan sekedar masalah berani atau takut, namun juga masalah kita akan berhasil atau tidak membebaskan kawan-kawan kita yang dipenjara oleh bangsa Manchu itu."

Bu-gong Hweshio menjawab dengan suaranya yang keras, "Itu gampang kita pecahkan. Begitu masuk, kita ringkus seorang perwira dan siksa dia sampai mengaku di mana ruangan penyekapan rekan-rekan kita itu. Jika kita totok jalan darah ki-koat-hiatnya (Jalan darah yang yang menimbulkan rasa kesakitan hebat), masakah ia akan tetap bungkam?"

"Omitohud!" Bu-sian Hweshio menyebut kebesaran Sang Buddha ketika mendengar usul adik seperguruannya yang tingkah lakunya kurang mencerminkan tingkah laku seorang pendeta itu. Kasar dan senang mengambil jalan pintas saja dalam segala hal, meskipun dengan kekerasan.

Sementara itu beberapa pendekar diam-diam tersenyum dalam hati melihat cara bicara Bu-gong Hweshio yang berangasan itu. namun diam-diam merekapun merasa usul Bu-gong Hweshio itu, paling cocok dengan "selera" mereka, ketimbang usul He Keng-liang yang terlalu berhati-hati itu.

Dan Bu-sian Hweshio sendiripun ternyata menyetujui usul itu, maka sebelum ada orang lain yang berkata, ia telah memperdengarkan suaranya lebih dulu, "Cukup masuk akal. Saudara-saudara, bagaimana kalau kita pakai cara Sute-ku ini?"

"Cocok dengan aku!" geram Jian-cin-sin-kun Lu Siong sambil mengepalkan tinjunya sehingga berkeretekan.

Antara Bu-gong Hweshio dengan Lu Siong memang memiliki beberapa kesamaan dalam hal tampang, perawakan tubuh, maupun sifat tabiatnya. Bahkan julukan merekapun hampir sama. Lu Siong adalah Jian-kin-sin-kun (Tinju Malaikat Seberat Seribu Kati), sedangkan Bu-gong Hweshio dikenal pula sebagai Jian kin-cun-kong-tui (Palu Godam Sikut Baja Seribu Kati), sesuai dengan jurus andalannya yang bernama sama dengan julukannya. Jika Lu Siong bangga dengan kekuatan kepalan tangannya, maka Bu-gong Hweshio amat bangga dengan sikut tangannya yang dapat memecahkan kepala seekor kerbau besar karena latihannya yang bertahun-tahun.

"Aku juga setuju!" terdengar beberapa suara dari belakang. "Yang takut ikut dalam gerakan ini, minggir saja dan pulang kembali ke pangkuan neneknya!"

Entah siapa yang mengucapkana kata-kaa kasar itu, yang terang telah menimbulkan gelak tertawa beberapa orang yang masih agak sungkan kepada He Keng-liang tidak tertawa, meskipun merasa geli pula dalam hatinya.

Bu-sian Hweshio mencoba menjaga agar He Kang-liang tidak kehilangan muka, maka ia cepat-cepat menenangkan keadaan, "Cukup, saudara-saudara, hal yang amat biasa kalau di antara kita terdapat perbedaan pendapat atau pandangan, harap jangan langsung saling mengejek atau menyudutkan. Usul saudara He tadi juga bukan karena beliau takut bertempur, melainkan karena sikap hati-hatinya, sebab kalau ia takut bukankah ia tidak ikut mendaftarkan diri dalam rencana kita yang penuh bahaya ini? Meskipun usulnya tidak kita paksi, tetapi kita hargai juga karena ia telah menyumbangkan pikiran untuk rencana kita ini!”

Orang-orang terdiam seketika. Sementara Bu-san Hweshio telah berkata lagi, "Nah, mari kita bagi diri kita dalam lima kelompok. Tiap kelompok akan terdiri dari sepuluh orang, yang akan mendapatkan tugasnya masing-masing."

Pembagian kelompok pun dimulai. Kelompok satu dipimpin Bu-sian Hwe-shio sendiri akan memikul tugas yang paling berat, yaitu membebaskan tawanan-tawanan, yang berarti harus bertempur dengan bagian yang paling kuat dari penjara itu dan membongkar penjara. Kelompok kedua dipimpin oleh Gin-yang-cu Tong Wi-hong akan bertugas melindungi kelompok satu, artinya memotong setiap bala bantuan yang berada dari luar selama Bu-sian Hweshio dan teman-temannya menjalankan tugasnya.

Kelompok tiga di bawah pimpinan Pangeran Cu Leng-ong akan mengacau di sebelah timur, dengan cara membakar istal kuda dan melepaskan kuda-kuda yang berjumlah ratusan itu. Kelompok empat dipimpin Tongcu yang paling tua dan paling dihormati dari Hwe-liong-pang, ialah Tiat-Jiau-tho-wan Kwa Heng yang bertubuh kurus dan bungkuk itu. Penampilannya tidak mirip sedikitpun dengan seorang tokoh persilatan yang berilmu tinggi dan disegani semua pihak.

Tapi ia tidak akan mendapatkan julukannya sebagai Tiat-jiau-tho-wan (Lutung Bungkuk Berkuku Besi) kalau tidak memiliki keistimewaan dalam ilmunya, terutama kekuatan jari-jarinya. Bu-sian hweshio juga tidak akan mengangkat orang tua bungkuk ini sebagai pemimpin dari kelompok itu jika Bu-sian Hweshio tidak tahu sampai dimana bobot kewibawaan orang ini, sebab seorang pemimpin kelompok harus sanggup mengikat anak buahnya untuk tidak sendiri-sendiri. Juga kelompok pimpinan Kwa Heng ini adalah untuk "membuka jalan mundur" bagi seluruh penyerang, lewat pintu selatan.

Karena tugasnya yang agak berat, maka kelompok ini tergolong cukup kuat, karena terdiri dari delapan orang Tong-cu Hwe-liong-pang yang berkepandaian rata-rata cukup tinggi, di samping itu masih ditambah dengan seorang pendekar dari Hoa-san-pay bernama Auyang Seng dan berjulukan Gin-hoa-ki-am (Pedang Bunga Perak), dan seorang lagi adalah seorang Hu-tongcu (Wakil Kepala Kelompok) di jaman Hwe-liong-pang dulu, yang bernama Yu Ling-hoa.

Orang ini dulunya adalah seorang murid Khong-tong-pay, kemudian karena mendukung perjuangan sampai berhasil menduduki jabatan Hu-tongcu. Senjatanya adalah sepasang perisai berbentuk persegi yang tajam di sekeliling tepinya, biasa disebut sebagai Gun-goan-pai. Senjata ini berat, memerlukan tenaga besar dan menghabiskan napas, namun semuanya tidak Jadi soal buat Yu Ling-hoa yang bertubuh tegap kekar dan bernapas kuda itu.

Demikianlah gambaran kelompok ke empat itu. Sementara kelompok kelima adalah sisa dari kelompok-kelompok lainnya, dipimpin oleh imam Bu-tong-pay Te-sian Tojin. Tugasnya menjaga pintu gerbang penjara agar tetap terpalang dari dalam sementara kelompok-kelompok lainnya menjalankan tugas. Tujuannya adalah menjaga agar bala bantuan musuh tidak dapat masuk ke dalam penjara selama berlangsungnya pembebasan tawanan.

Bu-sian Hweshio memandang kelompok-kelompok yang terbentuk itu dengan puas, dan mereka nampaknya sudah memahami tugas-tugasnya masing-masing dengan memperhatikan denah. Namun Bu-sian Hweshio masih berpesan,

"Pembagian tugas ini hanya garis besarnya saja. Jika satu kelompok sudah selesai dengan tugasnya ia tidak berarti harus menganggur saja tapi juga harus membantu kelompok lain yang dalam kesulitan. Tanpa tolong menolong di tengah bahaya, kita seperti sekumpulan kupu-kupu yang menerjang api unggun, karena itu hilangkan rasa permusuhan. Kita akan saling menggantungkan keselamatan kita satu sama lain. Jelas?"

Ketika bicara kalimat yang terakhir itu la menoleh ke arah orang-orang Jit-goat-pang dan orang-orang Hwe-li-ong-pang yang merupakan bekas musuh bebuyutan itu. Dan Bu-sian Hweshio cukup lega ketika melihat pihak-pihak yang dulu bermusuhan itu sama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Satu hal lagi, setiap tindakan harus diperhitungkan secermat-cermat nya," kata rahib Siau-lim-pay itu lagi. "Jika terdengar suitan tiga kali berturut-turut, kita harus mundur ke arah selatan, sebab di bagian itulah tempat yang paling cocok untuk menghilang dari kejaran musuh. Di selatan tembok penjara adalah pemukiman kaum gelandangan yang padat sehingga musuh akan sulit mengerahkan pasukannya ke arah sana."

Sekali lagi orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Nah, selamat berjuang," kata Bu-sian Hweshio dengan semangat sambil memberi hormat berkeliling kepada rekan-rekan seperjuangannya itu. "Tinggalkan tempat ini segera menurut cara kelompoknya masing-masing, jangan menarik perhatian!"

Beberpa orang sahabat kental yang kebetulan terpisah kelompoknya, saling berpelukan berpisah. Mungkin juga mereka masih akan bertemu lagi, namun mungkin pula pertemuan ini adalah yang terakhir buat mereka, jika salah satu mati tertembus pedang prajurit Manchu.

Ketika kelompok-kelompok itu sudah meninggalkan ruangan itu semuanya, maka tinggal kelompok Bu-sian Hweshio dan kelompok Tong Wi-hong yang masih tinggal di ruangan itu. Karena tugas mereka dalam serangan itu, maka kedua kelompok itu akan berangkat bersama-sama.

"Saudara Tong, bagaimana caranya kita meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian?" tanya Bu-sian Hweshio kepada Tong Wi-hong. "Rombongan kita terlalu banyak jumlahnya..."

Tong Wi-hong yang belum hapal akan jalan-jalan di Kotaraja Pak-khia itu tidak dapat menjawab. Namun Sun Ciok-peng si pengemis yang kerjanya sehari-hari menyusuri jalan-jalan di Ibukota Kerajaan, telah hapal lorong-lorong paling kecil di kota itu seperti ia hapal akan jari-jari tangannya sendiri. Dialah yang menjawab,

"Di belakang kuil ini ada sebuah lorong kecil yang tidak pernah dilewati prajurit peronda samasekali. Kita bisa melalui lorong itu sampai mencapai tembok penjara. Beberapa kali lorong itu harus menyeberangi jalan besar yang ramai dengan orang. Tapi kita dapat menyeberangi jalan-jalan itu seorang demi seorang sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan."

"Akal yang bagus, saudara Sun. Mari kita berangkat."

Maka kedua rombongan yang memikul tugas paling berat dan paling berbahaya itupun segera berangkat dengan lewat pintu belakang kuil Te-hok-bio itu. Benar juga, di belakang kuil itu memang ada sebuah lorong kecil yang gelap, diapit oleh tembok-tembok tinggi yang agaknya merupakan tembok-tembok belakang yang memagari rumah-rumah indah yang menghadap ke jalan raya. Di kiri jalan ada selokan-selokan berair hitam yang baunya bukan kepalang dan agaknya menjadi kerajaan nyamuk-nyamuk.

Sementara di beberapa bagian ada gubuk kecil yang bersandar pada tembok-tembok yang tinggi itu, gubuk-gubuk yang demikian reotnya sehingga andaikata ada seekor kucing menabraknya maka gubuk itu pasti akan roboh. Namun toh gubuk itu didiami manusia, bahkan kadang-kadang sekeluarga lengkap.

Itulah sisi lain dari Kotaraja Pak-khia yang gemerlapan dan mempesona di satu sisi, tapi tidak bagi orang orang yang terlempar dari arena kerasnya perjuangan Manusia memang aneh. Lebih suka hidup berdesak-desakan di kota besar daripada membanting tulang dan memeras keringat di daerah-daerah yang belum dibuka. Padahal masih begitu luasnya tanah yang memerlukan uluran tangan dan menjanjikan kemakmuran serta ketenteraman.

Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun yang dilalui adalah lorong-lorong yang sepi, namun mereka masih tetap menjaga kemungkinan untuk tidak dicurigai oleh musuhi sehingga merekapun tidak berjalan dalam satu kelompok, melainkan agak berpencaran. Dua atau tiga orang, kemudian belasan langkah lagi dua atau tiga orang lagi, dan seterusnya. Rombongan Bu-sian Hweshio itu berjalan terus. Meskipun gang dilalui adalah lorong-lorong sepi.

Setelah berliku-liku di lorong-lorong gelap berbau busuk dan kadang-kadang menyeberangi jalan besar yang berlapis batu-batu persegi, akhirnya tembok penjara yang kehitam-hitaman itu nampak di depan mata. Di atas tembok kelihatan ada gardu penjagaan di tiap-tiap sudutnya, dan ada sinar lampu, berkelap-kelip dari dalam gardu itu. Prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas tembok juga terlihat, dengan senjata-senjata yang terhunus. Bu-sian Hweshio dan teman-temannya berkumpul dl kaki tembok, terlindung bayangan hitam dari sebuah bangunan kayu yang asal jadi saja.

"Tidak semua dari kita bisa melewati tembok yang tingginya kira-kira enam tombak ini,” kata Bu-sian Hweshio dengan suara setengah berbisik. "Hanya yang memiliki ilmu meringankan tubuh cukup baik, atau ilmu Pia-hou-yu jio (Ilmu Cecak Merayap di Tembok) yang bisa melalui tembok ini. Nah, siapa diantara saudara-saudara yang merasa sanggup melintasi tembok ini bersama-sama dengan aku."

Dua orang adik seperguruan Bu-sian Hweshio yang bernama Bu-gong dan Bu-teng Hweshio segera menyatakan sanggup. Bu-sian Hwesio menganggukkan kepala gundulnya karena tahu bahwa kedua adik seperguruannya itu memang sudah menguasai ilmu Pia-hou-yu-jio dengan baik. Lalu berturut-turut Tong Wi hong Imam Hui-liam-cu dari Khong-tong-pay juga menyatakan sanggup. Tong Wi-hong berjulukan Gin-yang-cu (Si Walet Perak) sehingga ilmu meringankan tubuhnya tidak perlu disangsikan lagi.

Sedangkan imam Hui-liam-cu yang bertubuh kurus kering seperti bambu itupun terkenal dengan ilmu meringankan tubuhnya yang nomor satu di Khong-tong-pay, meskipun belum selihai Tong Wi-hong. Kemudian yang menyatakan sanggup masih ada satu orang lagi, yaitu Sun Ciok-peng, si pengemis dari Kay-pang yang bertubuh pendek bui. Karena tubuhnya yang gemuk dan kulitnya yang putih halus itu maka Sun Ciok-peng sering diolok-olok bahwa dia tidak cocok menjadi anggota Serikat Pengemis, mestinya Serikat Jutawan.

Semua orang memandang dengan heran kepada pengemis itu. Tanya Bu-sian Hweshio, "saudara Sun, apakah kau bisa Pia-hou-yu-jio?"

Pengemis she Sun itu menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga pipinya yang kemerah-merahan seperti bayi sehat itu berguncang-guncang. Tampangnya lucu bukan main. "Kalau tidak menggunakan Piau-hou-yu-jio, tentunya saudara akan menggunakan gin-kang untuk meloncati tembok bersama saudara Tong dan Imam Hui-liam-cu?"

Kembali pengemis itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apakah saudara Sun akan menggangsir tasmu lewat bawah tembok?"

Sahut Sun Ciok-peng, "Juga tidak. Tembok ini tertanam dalam sampai jauh ke dalam tanah, dibuat pada jaman dinasti Goan (Mongol) ratusan tahun yang lalu. Jika aku menggangsirnya, barangkali sampai tiga hari tiga malam baru tembus ke seberang tembok."

"Lalu dengan apa?"

"Dengan ini," sahut Sun Ciok-peng mantap sambil mengangkat kedua tangannya yang menggenggam. Ternyata sepasang tangannya telah memegang masing-masing sebatang paku besar yang digenggamannya terbalik seperti orang memegang pisau belati. Lalu pengemis gemuk itu berkata sambil tertawa, "Dengan ini, ketinggian yang lima kali lipat dari tembok penjara inipun bisa kupanjat. Itulah sebabnya tubuhku gemuk dan sehat."

"He, apa hubungannya memanjat tembok dengan gemuk sehat?" tanya Hui-liam-cu heran. "Dengan sepasang paku ini aku sering memanjat tembok dapur rumah orang orang kaya dan mencuri makansn disana. Biarpun aku cuma pengemis, tapi tidak satu haripun mulutku yang manja ini tidak kemasukan makanan enak yang dimakan para orang kaya. Nah, itulah yang membuat tubuhku gemuk dan sehat."

Jika tidak ingat bahwa mereka sudah berada di dekat musuh, ingin rasanya mereka berkelakar dengan Sun Ciok-peng. Tapi kini mereka hanya bisa ketawa dengan suara yang ditahan-tahan supaya tidak terdengar oleh prajurit-prajurit yang hilir-mudik di atas dinding penjara. Tapi Hui-liam-cu sempat juga bercanda,

"Saudara Sun, kalau kau ingin lebih gemuk lagi, kau sekali sekali boleh menyelundup ke dapur Istana Kaisar. Kabarnya Kaisar itu dalam sekali makan saja dihidangi dengan puluhan masakan yang mendengar nama-nyapun barangkali kau belum pernah. Masakan istimewa dari berbagai daerah yang dimasak oleh jurumasak-jurumasak terbaik pula dari masing-masing daerah. Tidakkah kau ingin mencobanya?"

Sun Ciok-peng menjulurkan lidahnya kesekeliling mulutnya seolah-olah benar-benar terbangkit seleranya oleh cerita itu. Sahutnya, "Memang betul. Tapi bagaimana kalau kepalaku hilang?"

Kembali orang-orang itu menahan tertawanya. Mereka tahu Istana Kaisar memang bukan taman bunga yang dapat dikunjungi setiap orang dengan semaunya saja. Di sana ada Lwe-teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana), Gi-cian-si-wi (Jago-jago Pengawal Kaisar), dan lain-lainnya, yang semuanya berkepandaian tinggi. Tentu kurang bijaksana kalau mempertaruhkan batok kepala hanya untuk sepotong paha ayam yang bagaimanapun lezatnya.

"Sudahlah," kata Bu-sian Hweshio. "Sekarang sudah hampir tengah malam dan kitapun harus segera bertindak. Yang akan naik, naiklah, bawalah tali panjang yang akan kita ulurkan dari atas dinding."

Maka Bu-siang Hweshio disertai kedua adik seperguruannyapun menyiapkan diri untuk naik ke atas. Sesaat mereka berdiri di kaki tembok sambil mengerahkan tenaga dalam mereka, lalu merekapun mulai memanjat ke atas bagaikan tiga ekor cecak raksasa yang-merambat naik di dinding yang hitam kelam itu. Ilmu Pia-hou-yu-jio memang sejenis ilmu yang menggunakan tenaga dalam di telapak tangan sehingga telapak tangan itu mempunyai daya hisap seperti kaki cecak.

Siau-lim-pay memang bukan perguruan yang mengutamakan Ilmu meringankan tubuh, meskipun mereka juga punya ilmu meringankan tubuh seperti Co-siang-hui (Terbang di Atas Rumput), melainkan sebuah perguruan yang dikenal karena keunggulan tenaga dalamnya dan keaneka-ragaman ilmu silatnya, permainan senjata maupun tangan kosong. Karena itu tidak mengherankan kalau ketiga rahib itu semuanya mahir Pia-hou-yu-jio, sedangkan di perguruan lain untuk mencari seorang yang mahir ilmu itu adalah sulit sekali.

Sun Ciok-peng menggeleng-gelengkan kepala melihat hal itu. Gumamnya, "Lain orang memperlihatkan tenaga dalamnya dan ilmu meringankan tubuhnya, aku hanya bisa memperlihatkan ilmu malingku. Tapi ilmu maling inipun berguna juga bagiku."

Ketika Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu juga sudah meloncat keatas bagaikan sepasang burung saja, maka Sun Tiok-peng pun mulai menggerakkan sepasang paku di tangannya untuk memanjat tembok. Ternyata ia tangkas sekali dengan sepasang alat "mata pencaharian"nya itu, bagaikan merayap di tanah datar saja ia melaju ke atas dengar cepatnya, hampir sama cepatnya dengan Bu-sian Hweshio dan kedua orang Sute-nya.

Tong Wi-hong dan Hui-liam-cu yang paling dulu tiba di atas tembok telah bertemu dengan empat orang prajurit penjaga yang sedang berkeliling. Tetapi ke empat prajurit itu memang sial, sebelum mereka sempat berteriak, mereka telah dibungkam oleh totokan-totokan kilat kedua tokoh Soat-san-pay dan Kong-tong-pay itu.

Mereka telah mendapat pesan dari Bu-sian Hweshio agar dalam serangan itu korban jiwa ditekan sekecil-kecilnya, tidak peduli jiwa musuh seklaipun. Hanya dalam keadaan yang benar-benar memaksa maka mereka diperkenankan menggunakan tajamnya senjata.

Setelah keempat prajurit itu roboh tertotok hampir tanpa suara, maka hampir bersamaan Bu-sian Hweshio bersama kedua adik seperguruannya serta Sun Ciok-peng juga sudah tiba diatas dinding. Ketika melihat tubuh keempat prajurit yang bergeletakan itu Bu-sian Hweshio mengerutkan alisnya sambil bertanya, "Mati?"

Tong Wi-hong menggeleng, "Hanya tertotok. Fajar nanti mereka akan bebas dengan sendirinya tanpa kurang suatu apa."

Bu-sian Hweshio mengangguk-anggukkan kepalanya, "Bagus. Memang seharusnya kita tidak menghilangkan nyawa orang lain secara sembarangan, biarpun orang itu musuh. Nah, ulurkan tali ke bawah."

Kenam orang yang sudah di atas dinding itupun kemudian melepaskan gulungan tali panjang yang mereka gendong di punggung masing-masing, dan mengulurkannya ke bawah untuk menarik kawan-kawan mereka. Orang-orang yang terpilih untuk ikut serangan itu memang adalah orang-orang yang tangkas, maka begitu tali terulur, bagaikan monyet-monyet di hutan saja mereka segera memanjat dengan tangkasnya. Tidak ada yang bergerak lamban. Dalam waktu singkat duapuluh orang telah berada di atas dinding itu.

"Entah saudara-saudara dari Hwe-liong-pang sudah ‘membersihkan’ bagian selatan ini atau belum.?” kata Bu-sian Hweshio. "Bu-gong dan Bu-teng Sute...!”
Selanjutnya;