Pendekar Naga dan Harimau Jilid 15Karya : Stevanus S.P |
Tong Wi-hong mengangguk. "Ya, ia ikut mendaftarkan diri sebagai prajurit Manchu. Selagi ia belum berseragam prajurit saja ia sudah begitu setia kepada Pakkiong Liong, apalagi setelah kelak ia mengenakan seragam prajurit Manchu. Di dunia ini, orang memang sukar melepaskan diri dari ikatan kekayaan, pangkat, kemuliaan, kekuasaan dan sebagainya, apalagi kalau ikatan itu ditambah dengan ikatan yang paling alami dan paling sulit dilepaskan. Yaitu cinta kepada lawan jenisnya."
"Cinta kepada lawan jenis?" "Benar. Aku melihat Tong Lam-hou ikut mendaftarkan diri sebagai calon prajurit Kerajaan Manchu, itu menandakan dia memburu kekuasaan dan pangkat. Dan pulangnya dia berkuda bersama-sama seorang gadis cantik bangsa Manchu. Mereka nampak akrab dan aku kuatir keponakanku itu akan semakin terjerat kecantikan gadis Manchu itu sehingga kelak dapat melawan bangsa Han sendiri. Tong Lam-hou masih muda dan lugu pula, segala liku-liku dunia belum dikenalnya. Jika pemerintah Manchu menggunakan gadis itu untuk menguasainya, maka ia benar-benar akan sulit disadarkan kembali." "Jadi bantuan apa yang akan saudara Tong daripadaku?" Tong Wi-hong ragu-ragu sejenak untuk mengutarakannya, namun akhirnya terucapkan juga keinginannya itu, "Barangkali permintaanku kepada saudara In ini akan kedengaran seolah-olah mementingkan keluarga sendiri dan membelakangi kepentingan tanah-air, namun baiklah aku katakan. Sebagai paman, aku tidak sampai hati melihat keturunan satu-satunya dari kakakku itu kelak akan dikutuk namanya sebagai pengkhianat tanah-air, mungkin namanya akan dikutuk serendah nama Bu San-kui. Apalagi jika tubuhnya tertembus pedang kaum pejuang. Karena itu aku mohon kepada saudara In dan seluruh saudara-saudara Hwe-liong-pang, agar jika bertemu dengan anak itu jangan bersikap keras dulu, lebih baik lebih dulu dicoba untuk menyadarkannya." "Suatu permintaan yang sulit dilaksanakan, saudara Tong," kata In Yong sambil menarik napas. "Menyesal sekali, hal itu akan sulit dikatakan. Bukan karena kami tidak memberi kesempatan kepada putera Hwe-liong-Pang-cu itu untuk bertobat dan memperbaiki kesalahannya, namun bagaimana jika kami bertemu di medan tempur? Dapatkah kami membujuknya dengan kata-kata lembut sedangkan peperangan tengah berlangsung dan mungkin pada saat yang sama banyak pejuang yang sedang terancam nyawanya oleh Tong Lam-hou?" Tong Wi-hong termangu-mangu mendengar jawaban In Yong yang tegas itu. Ia menarik napas berkali-kali untuk melegakan dadanya yang terasa pepat. Akhirnya digenggamnya tangan In Yong dan katanya, "Baiklah, saudara In, aku bisa memakluminya. Tentu kau tidak bisa mengorbankan puluhan, bahkan mungkin ratusan nyawa anggauta Hwe-liong-pang hanya karena Tong-lam-hou. Permintaanku itulah yang keterlaluan. Baiklah, aku cabut kembali pemintaanku tadi." "Saudara Tong, aku juga minta maaf bahwa aku telah membuatmu kecewa. Namun bukan berarti permintaanmu itu tidak kuperhatikan sama sekali. Jika suatu saat aku bertemu sendirian dengan Tong Lam-hou itu di sebuah tempat yang sepi, bukan di tengah-tengah medan perang, maka aku memang akan mencoba melaksanakan permintaan saudara Tong itu. Bahkan saudara-saudara dari Hwe-liong-pang lainnya juga akan kuanjurkan untuk berbuat sama, dan aku yakin saudara-saudara Hwe-liong-pang akan mudah mengerti. Jika Tong Lam-hou itu benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, maka saudara-saudara lainnya tentu dengan senang hati menjalankan pesan saudara Tong, karena kesetiaan saudara-saudara Hwe-liong-pang itu terhadap Pangcu masih belum luntur, meskipun Pangcu sudah tidak ada di dunia ini duapuluh tahun lebih." "Terima kasih... terima kasih..." kata Tong Wi-hong dengan mata yang agak berkaca-kaca karena teringat akan kakaknya yang dulu menjadi Ketua Hwe-liong-pang itu, namun kemudian mati dalam usia muda sebelum cita-citanya terwujud. Untuk sesaat Tong Wi-hong tidak dapat mengucapkan kata-kata selain "terima kasih" itu karena rasa harunya yang menyesak di dada. "Saudara In, terima kasih sekali jika kalian berusaha untuk melakukan itu. Tapi jangan sampai ada seorangpun anak buah Hwe-liong-pang, tidak peduli yang kedudukannya paling rendah sekalipun, yang sampai berkorban nyawa gara-gara permintaanku ini. Jika Tong Lam-hou mati di medan perang, apa boleh buat, dan aku pun tidak akan dapat membelanya apabila namanya dikutuk orang sebagai pengkhianat. Bahkan, jika ia tidak juga mau mendengar nasehatku, pedangku sendirilah yang akan kuhunjamkan ke dadanya, meskipun aku akan melakukan hal itu dengan sangat sedih sebab dia adalah keturunan kakakku satu-satunya." "Aku hanya bisa berharap mudah-mudahan anak muda itu bisa mengamalkan ilmunya yang tinggi untuk membela tanah-airnya." Kedua orang itupun kemudian makan minum sekenyangnya di warung kecil itu, lalu berpisah ke penginapannya masing-masing. "Saudara Tong, apakah ujian tahap kedua itu juga akan kau tonton?" tanya In Yong sebelum berpisah. "Aku ingin melihatnya. Barangkali saudara In juga?" "Ya. Aku dapat mengukur ketrampilan prajurit-prajurit Manchu untuk dibandingkan dengan anak buahku. Jika mereka lebih unggul dari anak buahku, maka aku memang tidak akan segan-segan menirunya untuk menerapkan cara-cara latihan mereka kepada anak buahku. Dari musuh pun kadang-kadang kita bisa menarik suatu pelajaran penting yang bisa kita tiru." "Bagus, saudara In, kau berpikiran luas." "Selamat berpisah, saudara Tong." "Sampai jumpa besok pagi di lapangan prajurit, saudara In." Keduanyapun saling berpisah dan memberi hormat. Malam semakin dalam, namun akhirnya fajarpun merekah di ufuk timur dan hari baru telah terbit. Lapangan di luar kota Pak-khia yang digunakan sebagai tempat penyaringan calon-calon prajurit itupun telah menjadi ramai kembali. Berbondong-bondong orang ingin menyaksikan jalannya ujian tahap kedua itu. Prajurit-prajurit yang akan menjaga keamanan selama berlangsungnya pendadaran nanti, juga telah menempati tempatnya masing-masing dengan senjata terhunus, tapi panggung kehormatan untuk orang-orang berjabatan tinggi masih kosong. Ketika matahari sudah agak naik barulah tandu-tandu atau kereta-kereta berdatangan, mengangkut orang-orang yang berpakaian bagus-bagus. Para menteri dan panglima. Di pinggir lapangan telah disiapkan puluhan ekor kuda, anak panah serta busur-busurnva, lembing dan sebagainya yang akan digunakan untuk menguji para calon prajurit. Di tengah lapangan sudah tersedia belasan orang-orangan yang terbuat dari jerami dan kain, yang digantungkan pada sepotong bambu panjang yang ditancapkan di tanah. Itulah yang akan menjadi sasaran para pemanah. Tepat pada "ulu hati" orang-orangan jerami itu ada sebuah lingkaran berwarna merah. Ketika para calon prajurit yang akan ikut pendadaran tahap kedua itu mulai memasuki lapangan dengan berbaris dipimpin seorang perwira yang menunggang seekor kuda tegar, maka sebagian besar penontonpun bertepuk tangan. Terutama teman-teman atau kerabat dari calon-calon tahap kedua itu, yang jumlahnya sudah susut banyak dibandingkan peserta tahap pertama yang kemarin. Dalam satu barisan yang rapi, calon-calon prajurit itu memberi hormat ke arah panggung kehormatan, lalu menyingkir ke tepi lapangan untuk menunggu nama mereka dipanggil. Ujianpun dimulai. Pertama-tama, para peserta disuruh memanah orang-orangan jerami itu dari jarak kira-kira lima puluh langkah. Lalu panah diganti dengan lembing yang harus dilontarkan. Hampir tidak ada peserta yang gagal dalam ujian ini. Lalu ujian pun dipersulit. Orang-orangan jerami itu tidak dibiarkan diam saja melainkan digoyang-goyangkan, sehingga berayun-ayun ke kiri dan ke kanan, bahkan kadang-kadang berputar-putar tak tentu arah. Tentu saja lebih banyak yang gagal dalam ujian macam ini. Namun sebagian besar peserta masih tetap dapat lulus, sebab sebagian besar itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk melakukan hal-hal itu. Bahkan ada seorang peserta yang mampu menggemuruhkan sorak-sorai penonton. Dengan lima batang lembing dan lima anak panah yang dijatahkan untuknya itu, semuanya menancap tepat di tubuh orang-orangan itu. Tak Satupun yang lolos, padahal jika seorang peserta sudah bisa menancapkan tiga lembing dan tiga anakpanah saja sudah dianggap lulus. Tong Lam-hou sebenarnya tidak terlalu kagum dengan orang itu, dan ia juga tidak ingin terlalu pamer kepandaiannya. Namun ketika tanpa sadar ia menoleh ke panggung dan, melihat To Li-hua yang duduk di samping Pakkiong Liong itu melambai-lambaikan tangannya dengan mata yang bersinar bagaikan bintang kejora, darah Tong Lam-hou bagaikan terbakar rasanya. Gadis Manchu itu cantik sekali memakai topi bulunya yang berwarna putih berhiaskan bulu-bulu rajawali gurun itu. Maka Tong Lam-hou bertekad untuk menunjukkan semua kebiasaannya. Seorang muda di hadapan seorang gadis ingin mendapat pujian, itu hal biasa. Begitu pula Tong Lam-hou tidak dapat lepas dari kodrat alam ini. Namun bagi Tong Wi-hong yang menonton diantara para penonton itu, tingkah laku keponakan itu membuat darahnya panas. Bisiknya kepada In Yong yang berdiri di sebelahnya, "Lihat, anak tak berguna itu sudah demikian terjerat oleh si rase cantik Manchu itu huh...” In Yong juga melihat hal itu dengan alis berkerut. Namun ia mencoba mendinginkan hati Tong Wi-hong yang panas, "Hal itu biasa terjadi antara seorang lelaki muda dengan seorang gadis, bukan berarti Tong Lam-hou tidak bisa diperbaiki sama sekali. Jika suatu saat kita berhasil menemuinya dan berbicara kepadanya, aku yakin semuanya belum terlambat untuk diperbaiki." Tong Wi-hong masih juga menggeram, "Suatu saat akan kubunuh rase betina yang cantik itu, agar keponakanku bebas dari guna-gunanya." In Yong hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Ia dapat memahami betapa gejolak perasaan sahabatnya itu melihat seorang keponakannya telah terpikat oleh musuh. Namun In Yong masih mencoba "mengendalikan" sahabatnya itu agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya. Bukan saja berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi juga berbahaya bagi keseluruhan rencana yang sudah tersusun rapi dan pelaksanaannya sudah di ambang pintu itu. “Jika kau bunuh rase cantik itu, saudara Tong, maka Tong Lam-hou bukannya menjadi sadar melainkan malah akan membenci saudara Tong sampai ke tulang sumsumnya. Tidak ada harapan ia akan kembali ke pangkuan kita." "Dadaku terasa hampir retak memikirkannya." "Tenanglah, saudara Tong. Jalan belum buntu sama sekali." Sementara itu di tengah-tengah lapangan, Tong Lam-hou tengah menunjukkan kemahirannya. Meskipun orang-orangan jerami yang diincarnya itu berayun-ayun dengan cepat dan dengan gerakan yang tak dapat ditebak, namun kelima batang anak-panahnya seakan-akan mempunyai mata diujungnya, dan dengan tepat hinggap pada bulatan merah di "ulu-hati" orang-orangan itu. Bahkan Tong Lam-hou melepaskan panah-panahnya secara acuh tak acuh saja, seakan-akan tidak melihat sama sekali. Tontonan seperti itu tentu saja membuat penonton bagaikan meledak dengan sorak-sorainya. To Li-hua yang duduk di panggung bertepuk-tepuk tangan dengan sikap seperti anak kecil. Gadis-gadis Manchu umumnya memang lebih bebas gerak-geriknya dari gadis-gadis bangsa Han yang terikat dengan adat-istiadat ribuan tahun. Itulah sebabnya orang Han memaki gadis-gadis Manchu sebagai "tidak tahu malu" dan "liar", sebaliknya orang Manchu memaki perempuan-perempuan Han dengan "kolot" dan "munafik". Pemanah yang mahir sebelum Tong Lam-hou tadi melongo melihat kepandaian memanah ternyata dapat diungguli orang, padahal ia sudah merasa dirinya sendiri cukup hebat. Namun dengan tulus ia mengacungkan jempolnya kepada Tong Lam-hou dari kejauhan. Tong Lam-hou membalasnya dengan anggukan yang ramah. Sementara itu, seorang perwira telah menyerahkan lima batang lembing kepada Tong Lam-hou. Kembali orang-orangan jerami yang “Ulu hati" nya masih penuh dengan panah itu diayunkan sekeras-kerasnya. Dan lembing-lembing Tong Lam-hou pun beterbangan, seolah-olah susul-menyusul tanpa jarak dan kelima-limanya menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu, sehingga lima panah dan lima lembing seolah terdesak-desakan di Lingkaran merah yang tidak lebih luas dari mangkuk itu. Malahan lembing-lembing itu bukan sekedar menancap tapi juga menembus sampai ke belakang. Kekaguman penonton benar-benar tak terbendung lagi. Sorak-sorai membahana menggetarkan lapangan itu. Tong Lam-hou benar-benar menjadi "bintang lapangan" pada hari itu. Bahkan orang-orang yang sebenarnya membenci pemerintahan Manchu-pun tak urung mengagguk-anggukkan kepalanya dengan kagumnya. Tong Lam-hou, seorang anak gunung yang sejak kecil hidup dalam kesunyian dan kemiskinan, tiba-tiba merasa dirinya menjadi orang besar. Di sini, di Pak-khia, Ibukota Kerajaan, ribuan orang memujanya, menganggapnya sebagai dewa yang turun dari langit. Tentu saja Tong Lam-hou tidak melewatkan kesempatan yang selama ini diimpikan saja belum pernah. Selama ini ia sudah merasa sangat gembira jika dendeng daging serigala yang dijualnya di Jit-siongg-tin habis dibeli orang, sehingga uang penjualannya bisa dibelikan baju atau barang-barang keperluan lainnya buat ibunya. Tapi di sini, ia tidak mimpi bahwa namanya mendadak akan terkenal dalam waktu satu hari saja. Rasa bangga bagaikan menyesak di dadanya, pikirnya, "Alangkah terkejutnya ibu kelak jika ia kubawa ke kota ini, dan ternyata aku sudah menjadi seorang yang terhormat di kota ini". Pada mata acara ujian-ujian berikutnya, Tong Lam-hou berusaha berbuat sebaik-baiknya bukan sekedar untuk lulus masuk tahap ketiga, melainkan juga untuk memancing tepuk tangan dan kekaguman orang-orang di sekeliling lapangan. Pada mata acara memanah dan melempar lembing dari punggung kuda yang berlari kencang, kembali ia telah menunjukkan keunggulan dari rekan-rekan peserta ujian lainnya. Mata acara yang terakhir, yang paling sulitpun tiba. Acara masih tetap memanah dan melemparkan lembing ke arah orang-orangan jerami yang digerak-gerakkan dengar keras, dan si pemanah tetap berada di punggung kuda yang berlari kencang. Namun kali ini kudanya tidak berlari lurus dari depan, melainkan lebih dulu membelakangi sasaran, dan kemudian dengan satu aba-aba dari seorang perwira yang berdiri di panggung kecil, maka kuda itu harus berbelok tajam dan lembing atau anak-panahpun ditembakkan ke sasaran. Namun sasarannya kali ini pun dipersulit. Ada tujuh buah orang-orangan jerami yang letaknya tak teratur, masing-masing diberi tanda dengan angka satu sampai tujuh, dan para calon pe-rajurit harus mengarahkan panah-panah dan lembing-lembing mereka ke sasaran yang diteriakkan oleh perwira di atas panggung kecil itu. Ternyata ujian ini benar-benar berat, sehingga diadakanlah ketentuan bahwa jika si calon dapat mengenai empat saja dari sepuluh kali kesempatannya, maka akan dianggap lulus. Demikianlah para calon perajurit itu menunjukkan ketrampilan masing-masing dengan semangat yang tinggi. Jika ada yang bisa berhasil lima kali dari sepuluh kesempatan itu saja, orang sudah berteriak-teriak memujinya. Namun Tong Lam-hou yang tengah mabuk sanjungan itu telah membuat penonton bagaikan kesurupan setan ketika ia menyelesaikan sasaran-sasarannya dengan tepat. Boleh dikatakan baru saja bibir perwira di atas panggung itu terkatub menyebut angka salah satu orang-orangan jerami itu, maka detik itu pula panah atau lembing sudah sampai ke sasarannya. Di panggung kehormatan, Panglima tua Pakkiong An melihat yang terjadi di lapangan itu dengan mata yang tidak berkedip. Anak muda itu telah sangat menarik perhatiannya. Kepada seorang perwiranya yang berdiri di belakangnya, Pakkiong An bertanya, "He, kau tahu siapa anak muda itu?" Perwira yang berdiri di belakang tempat duduk Pakkiong An itu bukan lain adalah Hehou Im yang pernah menelan pengalaman pahit dari Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou ketika berada di tengah sungai Yang-ce-kiang bersama teman-temannya itu. Maka tanpa melihat catatanpun Hehou Im sudah hapal akan diri Tong Lam-hou. Sahutnya, "Dia yang bernama Tong Lam-hou, sahabat Pakkiong Liong yang datang dari Tiam-jong-san seperti yang pernah kuceritakan kepada Ciangkun dulu." Alis Pakkiong An yang putih seperti kapuk itupun berkerut kurang senang ketika mendengar keterangan itu. Desisnya, "Celaka dua belas, kalau sampai Pasukan Hui-liong-kun bertambah dengan seorang jagoan lihay semacam ini, maka pamor keponakanku di hadapan Sri Baginda tentu akan semakin terang dan aku semakin tersudut. Ini tidak boleh terjadi." Hehou mendekatkan mulutnya ke telinga Pakkiong An dan berbisik, "Jangan kuatir, Ciangkun. Bukankah Ciangkun sekarang memiliki seorang jagoan yang luar biasa tangguhnya?" "Si siluman hitam yang menamaKan dirinya Te-liong Hiangcu itu? Memang dia tangguh, tapi dia bukan anak buahku yang dapat kusuruh-suruh setiap saat. Ia juga datang dan pergi semaunya saja. Jika sedang ada urusan penting yang harus segera ditangani dan dia tidak muncul, lalu bagaimana?" Hehou Tm menarik napas. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Sementara itu, di deretan kursi yang sama, Pakkiong Liong juga sedang mencemaskan Tong Lam-hou. Bukan mencemaskan raga atau tubuhnya, namun mencemaskan bahwa sanjung puji yang berlebihan kepada sahabatnya itu akan merusak kepribadiannya. Orang bisa menjadi lupa daratan jika terus-menerus dipuja. Selama ini Pakkiong Liong bersahabat dengan Tong Lam-hou karena saling menghormati kepribadian dan pendiriannya masing-masing, meskipun banyak juga titik-titik perbedaaan antara kedua pribadi yang kuat itu, namun keduanya tetap saling menghormati. Kini, jika Tong Lam-hou menjadi kehilangan kepribadian, menjadi seorang yang mabuk kekuasaan dan sanjungan, bagaimana Pakkiong Liong bisa tetap menghormati pribadi macam itu? Ia akan menemukan seorang bawahan yang berilmu tinggi, tetapi akan kehilangan seorang sahabat yang berpribadi kuat. Pakkiong Liong menarik napas dalam-dalam dan berharap mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi. Ia ingin Tong Lam-hou tetap Tong Lam-hou selama berada di Tiam-jong-san dulu, tidak berubah, meski pun barangkali ia akan mengenakan seragam perwira yang bagus dan bukan lagi pakaian seorang pemburu yang lusuh dan jelek. Biarlah pakaian ditukar, suasanapun tertukar, namun Tong Lam-hou tetap dalam kepribadiannya. "Barangkali aku tetap berprasangka kepadanya", kata Pakkiong Liong dalam hati untuk membantah kecemasannya sendiri. "Sikap Tong Lam-hou itu mudah-mudahan hanya kerena kegembiraannya saja, dan suatu kelak ia akan dapat menerima keberhasilannya itu dengan sikap dewasa tanpa kehilangan keseimbangan. Bukankah aku sendiri juga pernah bergembira dan berkelakuan mirip orang sinting ketika pertama kali mendapat sanjungan karena kemenanganku?" Ketika Pakkiong Liong menoleh ke sebelah kirinya dan pandangan matanya membentur seraut wajah berbentuk bulat telur yang berkulit putih, bermata seperti bintang, berhidug mancung kecil dengan bibir yang merekah merah dan sepasang lesung pipit di ujung-ujung bibirnya, sementara dari bawah topi bulunya tersembullah rambutnya yang hitam tebal seperti setera. Tiba-tiba Pakkiong Liong tersenyum sendiri. Selama beberapa hari berada di Ibukota ini, Tong Lam-hou dan To Li-hua rasanya semakin erat saja, meskipun keduanya sering saling mengejek atau saling menggaggu seperti anak kecil saja, namun Pakkiong Liong tahu bahwa sepupu-perempuannya yang tidak pernah tertarik kepada anak muda yang manapun juga itu, kini agaknya sudah menemukan pilihannya. Dan sinar mata Tong Lam-hou yang selalu memandang To Li-hua dengan kekaguman seperti menatap sesosok bidadari dari langit itupun tidak lepas dari pengamatan Pakkiong Liong. "Agaknya piau-moai mempunyai pengaruh kuat atas diri A-hou, ini bisa dimanfaatkan agar A-hou tetap dapat berdiri jalan kepribadiannya yag asli," batin Pakkiong Liong. "Tapi apakah si cerewet ini bisa diajak bicara bersungguh-sungguh? Selama ini jika bicara denganku ia selalu bergurau saja. Mudah-mudahan kalau bicara tentang Tong Lam-hou, la akan bisa lebih sungguh-sungguh, biarpun ia pasti akan mencubitku sekeras-kerasnya kalau isi hatinya kena kutebak." Hampir-hampir Pakkiong Liong tertawa sendiri, namun ditahankannya supaya tidak menimbulkan keheranan orang lain. Sementara itu, seorang perwira dengan suara yang lantang telah menyatakan bahwa ujian itu ditutup. Lalu dibacakan nama-nama para calon yang lolos ujian tahap ke dua itu; dari limaratus calon lebih, hanya tiga ratus yang dianggap layak untuk diterima sebagai prajurit. Jika seseorang diterima pada tahap kedua ini, sesungguhnya ia sudah diterima sebagai prajurit. Ujian tahap ke tiga sudah bukan bersifat penyaringan lagi melainkan untuk sekedar menentukan kemampuan para prajurit itu untuk ditempatkan di tatarannya masing-masing. Ada yang langsung menjadi seorang perwira, namun sebagian besar tentu harus mulai dengan menjadi seorang prajurit yang paling rendah pangkatnya. Ujian tahap ke tiga tidak akan diadakan di tempat terbuka, melainkan di gedung Peng-po-ceng-tong, di sebuah ruangan yang tertutup. Yaitu ujian ilmu silat, melawan para pelatih dari pasukan-pasukan yang ada di ibukota. Inilah ujian yang paling berat, dan kemungkinan untuk tewas dalam ujian harus siap dihadapi oleh para calon. Setelah ujian itu selesai, orang-orangpun berbondong-bondong mengalir meninggalkan lapangan itu. Seperti air di sebuah kolam yang dibuka tanggulnya. Tong Lam-hou yag menjadi pujaan penonton pada hari itu, nampak berkuda bersama-sama dengan Pakkiong Liong lainnya yang menjadi teman baiknya. Tentu saja yang paling dekat dengan Tong Lam-hou adalah si "cerewet" To Li-hua. Dengan tatapan mata yang kagum tanpa disembunyikan, ia berkuda di samping Tong Lam-hou dari matanya selalu menatap ke anak muda di sampingnya.... |
Selanjutnya;
|