Pendekar Naga dan Harimau Jilid 13Karya : Stevanus S.P |
Pasukan Hui-liong-kun bertahan dengan gigih dan dengan semangat yang tinggi. Nama besar mereka sebagai sebuah pasukan yang ditakuti, ternyata bukan dongeng kosong belaka, mereka benar-benar bertarung seperti serigala serigala kelaparan. Para bajak menjadi ngeri juga melihat semangat berani mati dari prajurit-prajurit gemblengan Pakkiong Liong itu, namun para bajak percaya bahwa dengan jumlah yang jauh lebih besar mereka akan dapat juga mengalahkan pasukan yang terkenal itu.
Yang paling menggemparkan kawanan bajak itu adalah Pakkiong Liong sendiri. Meskipun ia tidak mengeluarkan Hwe-liong-sin-kangnya, karena geladak kapal tidak terlalu luas sehingga ilmu itu bisa mempengaruhi anak buahnya sendiri, namun tanpa ilmu itu pun Pakkiong Liong nampak begitu menakutkan. Setiap ayunan pedangnya membuat dua tau tiga orang bajak terjungkal sekaligus tanpa dapat menangkis atau mengelak. Para bajak lebih suka menghindari Panglima yang sedang marah itu, namun Pakkiong Liong pun berjalan berkeliling kapal seperti sesosok malaikat penyebar maut yang sedang menjemput korban-korbannya. Perwira-perwira lain tidak kalah sengitnya dalam berkelahi. Ha To-ji, " Han Yong-kim yang pedang samurainya telah berubah menjadi berwarna merah oleh darah para bajak, dan Ko Lung-to yang meskipun telah luka namun masih berkelahi dengan sengitnya tanpa kenal arti menyerah. Di kapal lainnya, Le Tong-bun dan Tokko Seng juga berbuat tidak kalah hebatnya. Hehou Im bertiga juga sudah berhasil memanjat kapal Pakkiong Liong, karena mereka menduga kapal inilah yang membawa tawanan. "Kapal ini lebih besar dan jumlah prajuritnya lebih banyak, tentu kapal inilah yang membawa tawanan," kata Hehou Im kepada kedua rekannya. "Kita terpaksa harus menebak-nebak saja, sebab Ang Bun-long yang harusnya memberi isyarat ternyata tidak muncul di geladak." "Perwira she Ang itu benar-benar telah berkhianat," kata Tong King-bun yang pemarah itu. "Ia sudah memberitahukan tempat berkumpulnya laskar kita kepada bocah gila she Tong itu, dan kini ia tidak memberikan isyarat apapun kepada kita. Ia ingin gerakan ini gagal!" "Itu hanya dugaanmu saja." "Jika dugaan hanya didukung satu bukti, itu dugaan yang lemah. Tetapi jika didukung tiga bukti, itu hampir mendekati kepastian. Ingat, Ang Bun-long juga sudah menyesatkan kita tentang anakmuda yang bernama Tong Lam hou itu. Dikatakannya ilmu silatnya sangat rendah, padahal kita berempat hampir saja dibantai oleh anak ingusan itu, untunglah dia masih sangat hijau dalam pengalaman." "Sudanlah, bukan waktunya untuk berdebat. Ayo kita naik!" kata Song Hian yang sudah tidak sabaran ingin segera bertempur di geladak. Hehou Im segera mengeluarkan secarik kain hitam yang ditutupkan mukanya dari hidung ke bawah, kedua rekannya dengan heran melihat perbuatannya itu. "Buat apa?" tanya Tong King-bun. "Aku adalah seorang perwira Ui-ih kun di Ibukota Kerajaan, jangan sampai ada prajurit-prajurit itu yang mengenali wajahku jika kelak bertemu di Pak-khia," sahutnya. "Tapi anak muda yang bernama Tong Lam-hou itu sudah terlanjur melihat tampangmu tadi," kata Song Hian. "Ya, karena tadi dia menyerang mendadak sehingga kita tidak sempat berbuat lain kecuali langsung bertempur. Tapi yang sudah terlanjur mengenalku biarlah, yang lain harus dicegah melihat wajahku." "Senjatamu yang tidaik lazim itu juga merupakan ciri pengenalmu yang jarang dipunyai orang lain." Sesaat Hehou Im mengamat-amati yang aneh itu, sebilah besi melengkung tajam yang disebut tiat-koan. Maka diletakkannya senjatanya itu dan diambilnya sebilah pedang, katanya, "Aku akan memakai pedang saja." Ketiga orang itu lalu meloncat naik ke geladak kapal Pakkiong Liong, mereka tidak perlu memanjat dengan tali seperti anak buah gerombolan bajak. Begitu mereka menginjak geladak, begitu mereka melihat Pakkiong Liong sedang mengamuk membabati kawanan bajak. Maka ketiga orang itupun segera meloncat mengepung Pakkiong Liong agar tidak menjatuhkan korban lebih banyak lagi. Pertempuran satu lawan tiga segera berkobar di tengah geladak, di tengah-tengah hiruk-pikuknya pertarungan kisruh antara prajurit-prajurit melawan para bajak. Ketika Han Yong-kim hendak meloncat membantu Pakkiong Liong, maka Pakkiong Liong telah berteriak, "Bantu saja para prajurit menyelesaikan lawan-lawan mereka, saudara Han! Ketiga orang ini masih terlalu ringan buatku!" Alangkah marahnya Hehou Im bertiga mendengar ucapan Pakkiong Liong yang sangat meremehkan mereka itu. Sambil menggeram mereka mempergencar serangan-serangan mereka Namun kemudian benar-benar terbukti bahwa mereka bertiga memang belum cukup untuk mengimbangi Panglima yang terkenal itu. Pedang Pakkiong Liong berubah menjadi gulungan sinar keperak-perakan yang tak tertembus oleh senjata lawan-lawannya. Dan di lain saat gulungan cahaya perak itu bagaikan terpecah menjadi ratusan ujung pedang yang membuat ketiga lawannya pontang-panting menyelamatkan diri. Sesaat Han Yong-kim masih berdiri di pinggir arena itu memperhatikan jalannya pertempuran. Ketika dilihatnya keadaan Panglimanya sama sekali tidak berbahaya, malahan yang terdesak adalah lawan-lawannya, maka Han Yong-kim segera meninggalkan tempat itu untuk membantu teman-temannya yang lain. Baru saja ia melangkah dua langkah, dua orang bajak telah menyergapnya sambil berteriak keras dan mengayun senjata mereka keras-keras. Tapi kelebatan ilmu pedang Kenjitsu Han Yong-kim menyambut mereka, dan kedua bajak itupun berangkat menemui nenek moyang mereka. Seorang bajak lainnya mencoba menyergap Han Yong-kim dengan jalan meloncat dari atap rumah-rumahan kapal, dari arah belakang. Namun kembali pedang Han Yong-kim berkelebat dan si bajak itu tidak lain hanya menyerahkan nyawa saja. Pakkiong Liong melirik tandang perwira bawahannya itu sambil tersenyum. Katanya kepada ketiga lawannya, "Lihatlah bawahanku itu. Ilmu pedang Kenjitsu yang dikuasainya sudah hampir sempurna sehingga sebentar lagi anak buah kalian akan terbabat habis oleh pedangnya. Selain itu ada juga perwira-perwira lain yang setingkat dengan dia di atas kapal ini. Meskipun jumlah kalian lebih banyak, kalian tidak lebih hanya bunuh diri saja." "Kau sombong sekali!" teriak Tong King-bun marah, namun teriakan marahnya itu berubah menjadi desis kesakitan ketika pedang Pakkiong Liong berhasil menggores pundaknya. Demikianlah, sementara di atas geladak kedua kapal itu terjadi pertempuran sengit yang berdesak-desakan, maka berjarak ratusan tombak dari tempat itu, Tong Lam-hou juga sedang dikepung di atas perahunya oleh puluhan orang bajak yang dipimpin oleh Tio Hong-bwe. Keringat sudah mengalir membasahi baju Tong Lam-hou yang dipaksa untuk bertahan terus tanpa bisa balas menyerang itu, namun masih belum juga ditemukan akal untuk lepas dari kawanan bajak itu. Tong Lam-hou menjadi semakin gugup ketika luka-luka di tubuhnya bertambah lagi, meskipun bukan luka yang mematikan, tetapi jika terus-terusan mengalirkan darah akan menghabiskan kekuatan juga. Dan ia benar-benar akan mampus di dasar sungai itu. Tio Hong-bwe yang merasa bahwa kemenangan sudah pasti akan diraihnya itu segera tertawa terbahak-bahak. Serunya, "Bocah tengik she Tong, sebaiknya kau menyerah saja! Aku ampuni nyawamu dan paling-paling aku hanya akan meminta kedua belah matamu!" Tong Lam-hou menggeram, tiba-tiba terasa perahunya bergoyang semakin lama semakin keras. Goyangan itu tidak disebabkan oleh ombak sungai, melainkan oleh beberapa orang bajak yang ahli menyelam yang mencoba membalikkan perahunya dari bawah air. Tong Lam-hou menjadi semakin bingung, jika sampai perahunya terbalik dan ia tercebur ke air, maka keadaannya akan bertambah sulit. Meskipun ia juga bisa berenang, namun pertempuran dalam air akan lebih menguntungkan bajak-bajak itu. Ia benar-benar akan menjadi bulan-bulanan tanpa sempat melawan lagi. Sementara itu goncangan makin keras, akhirnya Tong Lam-hou mengambil suatu penyelesaian yang untung-untungan. Ia berjongkok dan tangan kanannya dicelupkan ke dalam air, mengerahkan tenaga Hian-im-ciang yang maha dingin itu ke tangan kanannya, sementara tangan kirinya tetap memutar dayungnya untuk menghalau setiap kaitan yang berusaha mengait tubuhnya. Usaha itu ternyata berhasil. Para penyelam di bawah perahu itu terkejut ketika merasakan bahwa suhu air di sekitar tubuh mereka tiba-tiba turun dengan tajamnya, lebih tajam daripada dinginnya salju di musim dingin. Dua orang sempat berenang menjauh meskipun dengan tangan dan kaki yang terasa kaku, namun yang dua orang lagi tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Segenap urat-urat darah mereka mendadak menjadi, kaku tak dapat digerakkan lagi, ketika tubuh mereka terapung ke permukaan air, maka wajah mereka sudah kebiru-biruan karena dinginnya dan tak bernyawa lagi. Ketika Tong Lam-hou berjongkok itu, tiba-tiba ia melihat bahwa dilantai perahu itu ada seikat anak-panah yang agaknya di siapkan oleh para bajak untuk penyerangan jauh itu. Meskipun tidak ada busurnya, saat itu tiba-tiba terbukalah pikiran Tong Lam-hou. Saat untuk membalas serangan telah tiba. Bukan lagi sekedar memutar-mutar dayung untuk menghalau kaitan-kaitan lawan. Ketika sebuah kaitan hampir menyambar kepalanya, cepat Tong Lam-hou menundukkan kepalanya sambil mengambil sebatang anak panah yang langsung dilemparkan ke arah salah seorang bajak. Panah yang dilontarkan tanpa busur itu mendesing dengan derasnya dan menancap di ulu hati seorang musuh sampai tembus, dan orang itupun masuk ke sungai. Kawanan bajak yang tadinya merasa bahwa mereka tidak mungkin terbalas itu, kini menjadi panik melihat robohnya seroang teman mereka. Apalagi ketika panah-panah itupun kemudian meluncur berturut-turut merobohkan beberapa orang lagi. Tong Lam-hou tidak memperhatikan kaitan-kaitan musuh lagi, asal dilihatnya seorang bajak sedang menggerakkan kaitannya, segera didahuluinya dengan sambitan panahnya yang jauh lebih cepat dari gerakan kaitan panjang lawannya. Maka kepungan itupun menjadi kacau-balau, belasan orang bajak sungai sudah jatuh, lain-lainnya menjadi ketakutan karena kuatir tersambar panah. Saat itulah yang digunakan oleh Tong Lam-hou untuk sekuat tenaga mendayung perahunya sehingga meluncur deras keluar dari kepungan. Perahu seorang bajak yang melintang di depannya ditabraknya begitu saja sehingga terbalik, dari penumpang-penumpangnya berjatuhan ke sungai. Tio Hong-bwe terkejut melihat barisannya jadi kacau. Perintahnya, “Panah dia!" Para bajakpun segera melepaskan panah-panah mereka. Namun kali ini Tong Lam-hou sudah bertambah pintar, panah-panah musuh tak usah dihiraukan, asal perahunya sendiri meluncur dengan cepat maka panah-panah itupun akan luput sendirinya, ternyata benar juga. Para bajak tidak dapat membidik dengan tepat ke arah Tong Lam-hou yang bergerak sangat cepat itu. Apalagi perahu para bajakpun tergoyang-goyang oleh arus sungai sehingga semakin sulit membidik dengan baik. Maka Tong Lam-hou semakin lama semakin jauh, tak tersusul lagi oleh kawanan bajak itu. Tio Hong-bwe marah-marah dan memaki-maki anak buahnya, tetapi apa boleh buat, musuh memang sudah lolos dan mereka tidak mampu merintanginya. Sementara itu, Tong Lam-hou terus mendayung sekuat tenaga. Ia sangat menguatirkan Pakkiong Liong dan pasukannya yang belum berpengalaman dalam pertempuran di sungai Ibu. Dengan kekuatan tenaganya yang hebat, maka perahu Tong Lam-hou meluncur sepesat anak panah yang lepas dari busurnya. Bahkan hidung perahu kecil itu sampai agak terangkat naik karena lajunya. Di kejauahan Tong Lam-hou melihat ada asap mengepul naik, dan dua buah kapal besar yang terbakar layarnya nampak di depan sana. Di atas geladak, bertarunglah ratusan orang yang berdesak-desakan, sebentar-sebentar ada tubuh yang terlempar dari kapal dan mencebur ke sungai. Pertarungan agaknya berjalan dengan sengit dan tak kenal ampun, bahkan karena marahnya maka para prajurit telah bertindak sama liarnya dengan kawanan bajak itu. Di sekitar kedua kapal besar itu masih ada puluhan perahu dan puluhan orang bajak yang belum sempat memanjat naik; sebab geladak kapal masih terlalu penuh dengan orang-orang yang berkelahi. Bajak-bajak yang belum sempat naik itupun tidak tinggal diam, mereka melepaskan panah-panah mereka untuk membidik prajurit-prajurit yang berdiri di tepi geladak. Namun panah mereka sudah tidak gencar lagi, sebab mereka kuatir kalau mengenai teman mereka sendiri yang juga hilir mudik di geladak. Hati Tong Lam-hou terasa mendidih melihat hal itu. "Bajak-bajak gila-ini harus dikurangi sebanyak-banyaknya, tidak peduli mereka mampus atau tenggelam," tekad Tong Lam-hou. "Andaikata mereka terus hidup dan berkeliaran di perairan ini, mereka hanya akan menjadi momok bagi rakyat setempat, sebab terhadap pasukan pemerintah saja berani melawan, apalagi hanya kepada kaum lemah yang tak berdaya." Dengan tekad demikian yang menyala dalam hatinya, ia tidak ragu-ragu lagi dalam segala tindakannya. Begitu perahunya dekat dengan perahu-perahu bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak kapal besar itu, maka kedua tangan Tong Lam-hou berganti-ganti bergerak melempar-lemparkan panah-panahnya sampai habis. Belasan orang bajak sungai segera menjerit dan roboh terkena panah-panah tanpa busur itu. Tidak sebatang panahpun yang meleset. Ketika masih di Tiam-jong-san, serigala-serigala yang bergerak dalam kegelapan saja bisa dibidik dengan tepat oleh Tong Lam-hou, apalagi sekarang bajak-bajak yang lebih mudah dibidik dan dalam keadaan terang benderang pula. Keadaan bajak-bajak itu jadi kacau. Beberapa perahu segera berputar arah untuk mencoba menghalangi Tong Lam-hou, namun Tong Lam-hou yang sudah kesetanan itu tak terbendung lagi. Sebelum para bajak itu sempat membentuk "barisan pengait" seperti tadi, Tong Lam-hou telah melontarkan tubuhnya ke salah satu perahu bajak yang kelihatannya membawa banyak anak panah. Jarak antara kedua perahu yang mencapai belasan tombak itu diloncatinya begitu saja seperti seekor burung rajawali. Beberapa batang panah yang diarahkan ke tubuhnya selagi melayang di udara, telah dikibaskannya dengan tangannya dan anak-anak panah .itupun berjatuhan ke sungai. Tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah perahu yang dikehendakinya dan dua orang bajak yang berada di perahu itu menjadi gentar ketika melihat Tong Lam-hou meluncur ke arah mereka. Tanpa pikir panjang lagi kedua bajak itu segera melompat ke sungai untuk meninggalkan perahu mereka, dan berenang menuju ke perahu kawan-kawan mereka. Di perahu yang ditinggalkan itu memang masih tersisa belasan batang anak panah. Dan begitu kaki Tong Lam-hou menginjak lantai perahu tanpa menimbulkan goncangan sedikitpun, maka anak-anak panah itu diraupnya dan dilempar-lemparkannya, sambil berteriak, "Ayo kita buktikan panah siapa yang lebih hebat!" Kembali belasan orang bajak menjadi korban panah-panah si pemburu serigala dari lereng Tiam-jong-san itu. Hendak mengelak atau menangkispun tidak bisa. Ada jalan yang aman, yaitu terjun ke sungai, namun hanya dua orang yang selamat dengan jalan itu. Begitulah, di samping pertarungan sengit digeladak kedua kapal besar itu, maka antara perahu-perahu kecil di sekitar kedua kapal itupun telah terjadi pertarungan antara Tong Lam-hou melawan bajak-bajak yang belum sempat naik ke geladak. Pakkiong Liong yang sudah berhasil mendesak ketiga orang lawannya, sempat menengok ke sungai dan hatinya melonjak gembira ketika melihat siapakah yang tengah bertempur di atas perahu kecil itu. "A-hou!" desisnya bangga melihat keperkasaan sahabatnya itu. Sebaliknya Hehou Im dan teman-temannya merosot keberaniannya setelah melihat kemunculan Tong Lam-hou di situ. Kalau Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bergabung, siapa yang sanggup membendung? Dan entah bagaimana dengan nasib Tio Hong-bwe yang tadi bertempur melawan Tong Lam-hou? Akhirnya Hehou Im sadar bahwa kehebatan Pasukan Hui-liong-kun di medan laga itu bukan sekedar cuma digembar-gemborkan orang, namun benar-benar suatu kenyataan. Laskar bajak sungai Yang-ce-kiang yang jumlahnya hampir tiga kali lipat pasukan Hui-liong-kun itupun ternyata bukan jaminan dapat merebut kemenangan. Dilihatnya di sekelilingnya di mana prajurit-prajurit Hui-liong-kun tetap bertempur dengan semangat yang tinggi tapi tetap teratur, juga dengan keberanian yang menakjubkan, sedang laskar bajak sudah banyak yang berkelahi dengan setengah hati. Tadinya bajak-bajak itu berhasil dikobarkan semangatnya denan ditipu bahwa di kedua kapal itu ada harta karun milik Kerajaan yang tak ternilai harganya. Tapi ketika mereka melihat betapa banyaknya tubuh teman-teman mereka yang bergelimpangan di geladak kapal itu, belum terhitung yang tenggelam di sungai, maka bajak-bajak itupun merosot semangat tempurnya. Jangan-jangan sebelum sempat menemukan harta karun mereka sudah lebih dulu menejadi setan tanpa kepala? Sementara itu, Tong Lam-hou bertempur dengan bersemangat sekali. Ketika seorang bajak mencoba menjulurkan kaitan panjangnya untuk mengait tubuhnya, maka dengan sigap Tong Lam-hou telah menangkap tangkai kaitan itu dan menyentakkannya sekuat tenaga Bajak yang memegangi pangkal tangkainya itu tidak dapat melawan tenaga besar dari murid Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu, sehingga terpaksa melepaskannya agar ia tidak tertarik keluar dari perahunya. Kini di tangan Tong Lam-hou telah ada sebatang kaitan bergagang amat panjang maka ia bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayapnya. Kaitan itu diputarnya dengan kencang seperti baling-baling yang tertiup angin, sehingga berbentuk seperti bundaran yang menggugurkan semua anak panah yang di tujukan kepadanya. Bahkan beberapa bajak yang di dalam jangkauan senjatanya itu telah dirobohkannya. Dari atas geladak kedua kapal, banyak prajurit-prajurit Hui-liong-kun yang tadinya belum pernah melihat kehebatan Tong Lam-hou, kini telah melihatnya dengan mata mereka sendiri, bukan lagi mendengar cerita dari orang lain. Diam-diam para prajurit itu menjadi kagum sekali, pantas saja kalau anak muda itu menjadi sahabat Panglima mereka, ternyata kedua sahabat itu memang memiliki kesamaan dalam banyak hal. Dalam watak maupun kepandaian yang satu berjulukan Pak-liong atau si Naga Utara, lainnya kebetulan bernama Lam-hou atau si Macan Selatan... |
Selanjutnya;
|