Pendekar Naga dan Harimau Jilid 12Karya : Stevanus S.P |
Sesaat memang Pakkiong Liong amat marah, apalagi ketika mendengar bahwa salah seorang perwiranya ada yang telah berani berhubungan dengan pihak pemberontak. Namun sebagai Panglima yang tanggung-jawabnya menyangkut seluruh pasukannya, ia tidak bisa bertindak gegabah dalam menghadapi masalah itu. Setelah dipikir sementara waktu.
Maka ia tidak akan menangkap Ang Bun-long dulu, hanya akan diawasi gerak-geriknya dan kalau perlu dijadikan umpan-balik ke pihak musuh. Sebagai seorang panglima yang cerdik dan berpengalaman, ia sudah punya rencana tersendiri untuk menghadapi keadaan gawat di depan hidungnya itu. "A-hou, jika kau nanti bertemu dengan Ang Bun-long, bersikaplah seolah-olah kau tidak tahu apa-apa. Dan aku ada permohonan kepadamu." "Perintahkan saja, Ciangkun!" "Hus, kau belum menjadi prajurit dan tidak usah memanggilku dengan sebutan itu. Ini permintaan dari sahabat kepada sahabat." "Nah, katakan saja," kata Tong Lam-hou sambil tertawa. "Besok kau bangun pagi-pagi benar, mendahului seluruh pasukan ini untuk melihat-lihat di jalan yang akan kita lalui. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan tolong beritahukan kepadaku." "Baik. Ini pekerjaan ringan." "Biarpun ringan, malam ini kau harus beristirahat sebaik-baiknya." "Apakah Ang Bun-long tidak perlu kau awasi?" "Tidak usah, malam ini biarkan dia berbuat sesukanya. Bukankah mereka tidak mungkin lagi mengubah rencana mereka, dan rencana itu juga yang sudah kita ketahui?" "Ya, betul juga. Nah, aku akan tidur dulu." "Keluarlah dari kemah ini dengan sikap biasa, seolah-olah kita baru saja bermain catur seperti biasanya." "Aku mengerti...!" Malam itu Tong Lam-hou merasa puas. Ia merasa keberadaannya di tengah-tengah pasukan itu ada artinya juga, bukan sekedar menghabiskan ransum seperti yang pernah disindirkan oleh Ang Bun-long kepadanya. Dan tugasnya esok pagi, mendahului seluruh pasukan untuk "melihat-lihat jalan" akan diterimanya dengan penuh semangat. Berbakti untuk Negara dan Kaisar tidak perlu harus menunggu datangnya pakaian seragam lebih dulu, demikian pikirnya. Keesokan harinya, ketika ayam berkokok, Tong Lam-hou sudah bangun lebih dulu. Dibenahi dirinya, diselipkannya sebatang pisau belati di pinggangnya dan ditutupinya dengan bajunya. Ko Lung-to yang tidur sekemah dengan Tong Lam-hou itu menjadi heran ketka melihat Tong Lam-hou sudah bersap-siap seolah-olah hendak berangkat. Sambil membalikkan tubuhnya, Ko Lung-hou berkata dengan nada mengantuk, "Masih terlalu pagi, kau hendak ke mana?" "Tidak ke mana-mana, hanya sekedar bersiap-siap lebih awal saja." Ku Long-to tidak peduli lagi, lebih nyaman baginya untuk meneruskan tidurnya sebelum terompet dibunyikan nanti. Dengan langkah ringan agar tidak menggangu kenyenyakan tidur rekan sekemahnya, Tong Lam-hou meninggalkan kemahnya. Ia ragu-ragu apakah hendak menemui Pakkiong Liong lebih dulu atau tidak, namun, akhirnya diputuskannya untuk langsung pergi meninggalkan perkemahan itu tanpa menemui Pakkiong Liong lagi. Toh Pakkiong Liong sudah tahu kemana perginya Ia. Dengan gerakan yang cepat tanpa diketahui oleh para penjaga, Tong Lam-hou meninggalkan perkemahan itu dan menuju ke arah utara. Pagi masih begitu dingin dan gelap, namun di langit timur sudah nampak garis-garis semburat merah yang menandakan bahwa fajar akan tiba tidak lama lagi. Orang-orang desa biasanya bangun pagi-pagi, maka ketika Tong Lam-hou mulai melangkah menuju ke arah tepi sungai, jalanan sudah menjadi ramai. Orang-orang desa hilir mudik ada yang membawa pikulan, membawa alat-alat pertanian atau membawa jala untuk menangkap ikan. Jika dari perkemahan prajurit Hui liong-kun hendak menuju ke dermaga penyeberangan, jaraknya ada kira-kira tujuh atau delapan li, dan sepanjang jalan itu ada beberapa desa yang penduduknya sebagian besar bermata-pencaharian sebagai nelayan, namun ada juga sebagian kecil yang bertani atau berladang. Selama menyusuri jalan menuju ke dermaga itu, Tong Lam-hou mencoba memperhatikan apakah kira-kira ada yang mencurigakan atau tidak. Dan akhirnya ia menemukannya. Ketika ia hampir sampai ke tepi sungai, tiba-tiba dilihatnya ada sekelompok orang yang tengah berjalan di depannya, juga ke arah tepi sungai. Jika tadi yang dilihat Tong Lam-hou hanyalah para petani atau nelayan yang bertampang dan bersikap sederhana, maka kali ini dijumpainya sekelompok orang dengan pakaian dan tingkah laku yang lain. Sekelompok orang itu semuanya berpakaian ringkas dan menyandang senjata secara terang-terangan, wajah mereka juga nampak garang. Jelaslah bahwa mereka bukan petani atau nelayan. Sesaat Tong Lam-hou menduga-duga, mungkinkah mereka termasuk orang-orang yang akan merebut tawanan atau tidak? Ketika Tong Lam-hou menengadah ke langit, dilihatnya masih agak gelap, ia lalu memperhitungkan bahwa waktunya masih cukup untuk berbuat sesuatu. Ternyata begitu bersemangatnya Tong Lam-hou sehingga ia tidak bermaksud untuk hanya "melihat-lihat jalan di depan" melainkan juga sekaligus harus membersihkannya dari segala rintangan. Bukannya mencari muka kepada Pakkiong Liong, melainkan kebenciannya kepada sisa-sisa dinasti Beng begitu merasuk jiwanya sejak peristiwa pembantaian di Jit-siong-tin itu, sehingga bahkan andaiakata dicegah oleh Pakkiong Liong-pun ia tetap akan menghajar sisa-sisa dinasti Beng itu. Maka diam-diam Tong Lam-hou mengikuti kelompok orang-orang bersenjata itu. Semakin dekat ke tepian, semakin banyak orang-orang semacam itu, sehingga Tong Lam-hou menyimpulkan bahwa sekian banyak orang bersenjata berkumpul di tempat itu tentu bukan suatu kebetulan saja. Apalagi matanya yang tajam sempat melihat bagaimana antara orang-orang bersenjata itu saling bertukar isyarat setiap kali mereka saling berpapasan. Akhirnya Tong Lam-hou sampai pada sebuah kesimpulan yang hampir pasti bahwa kelompok kelompok orang-orang bersenjata itu adalah bagian dari kekuatan yang akan mencoba merampas tawanan di tengah sungai nanti. "Masih ada waktu, aku harus bertindak. Kalau tidak dapat membersihkan mereka, paling tidak juga harus bisa mengurang sebagian dari kekuatan mereka, atau menangkap pemimpin-pemimpinnya sekalian supaya gerakan mereka menjadi kacau," pikirnya. Maka ketika dilihatnya ada lima orang bersenjata yang berbelok dari jalan besar dan menyusuri sebuah jalan kecil di sepanjang tepian sungai, Tong Lam-hou juga berbelok mengikutinya. Tanpa membuang waktu ia segera melompat melewati kepala kelima orang itu dan menghadang di depannya. Bentaknya, "Apakah kalian adalah gerombolan liar yang hendak menghadang kapal pembawa tawanan?!" Kelima orang itu nampak terkejut, namun karena tergesa-gesa maka merekapun tidak ingin banyak bicara lagi. Hampir serempak mereka meloncat bertebaran mengepung Tong Lam-hou, dengan senjata-senjata terhunus. "Orang ini dapat mengganggu pekerjaan kita, cincang tanpa ampuni!” kata salah seorang dari mereka yang bersenjata sebuah golok. Agaknya ia merupakan pemimpin dari kelompok kecil itu. Jika kelima orang itu terburu-buru, maka Tong Lam-hou sendiri juga terburu-buru ingin secepatnya mengurangi jumlah orang-orang itu, maka nasib kelima orang itu agaknya benar-benar sial. Baru saja mereka berloncatan dengan senjata terayun maka Tong Lam-hou juga telah bergerak jauh lebih cepat dari mereka. Seorang yang menyerang dari depan segera roboh pingsan dengan gigi rontok, seorang lagi yang menyerang dari samping juga terpental pingsan karena perutnya terhantam tumit Teng Lam-hou. Tentu saja orang-orang itu terkejut bukan main. Dalam satu gebrakan saja teman-teman mereka sudah berkurang dua orang. Orang yang bersenjata golok besar itu segera berteriak, "Lawan berbahaya! Lari!" Namun gerak mulutnya masih kalah cepat dengan gerak kaki dan tangan Tong Lam-hou. Pada saat ia mengucapkan anjurannya untuk lari itu maka dua orang lagi sudah roboh terkapar, sehingga yang harus lari itu agaknya adalah dirinya sendiri. Cepat ia membalik badan dan mengayun kaki secepat-cepatnya meninggalkan keempat temannya yang bergeletakan itu. Namun baru saja beberapa langkah tiba-tiba dirasakannya tengkuknya lelah dicengekram oleh sebuah tangan maha kuat yang membuat seluruh kekuatannya lenyap sama sekali. Tubuhnya terangkat dan terbanting mentah-mentah, meskipun tidak pingsan namun matanya berkunang-kunang dan punggungnya yang membentur tanah itu terasa sangat sakit. Di keremangan pagi, dilihatnya orang yang menangkapnya dan membantunya itu cuma seorang anak muda yang berpakaian sederhana, tampangnya juga tidak luar biasa, kecuali sepasang matanya yang mencorong tajam seperti seekor harimau yang sedang marah itu. Sambil berdiri bertolak-pinggang, Tong Lam-hou berkata kepada tangkapannya itu, "Jawab semua pertanyaanku dengan betul, sebab jika aku kehabisan kesabaran kau akan menjadi setan penasaran hanya dengan sentuhan jari-jariku. Nah, di mana pemimpin-pemimpin kalian?" Timbul niat orang itu untuk menipu Tong Lam-hou saja, namun perasaan Tong Lam-hou yang tajam itu agaknya dapat menangkap isi hati orang itu, sehingga Tong Lam-hou tertawa dingin, "Kau boleh menipuku. Namun jika aku tertipu, maka aku dengan cepat akan kembali ke tempat ini untuk menggorok leher kalian. Kau percaya tidak bahwa aku bisa berbuat demikian?" Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan ketakutan. Ia sudah melihat sendiri bagaimana lihainya orang ini, maka ia tidak akan bermain-main dengan nyawanya sendiri. Sahutnya cepat, "Pemimpin kami berada kira-kira lima li di arah hulu sungai ini." "Siapa pemimpin kalian? Apakah sisa-sisa dinasti Beng?" "Bukan. Pemimpin kami ada dua orang, yaitu Tio Hong-bwe yang berjulukkan Hek-liong (si Naga Hitam) dan Song Hian yang berjulukan Tiat-pwe-si-ang (si Gajah Berpunggung Besi)," sahut orang itu sambil melirik ke wajah Tong Lam-hou, mengharap wajah anak muda itu menjadi ketakutan setelah mendengar nama kedua bajak sungai Yang-ce-kiang yang ditakuti itu. Tapi wajah anakmuda itu tenang-tenang saja, malahan sambil menggosok-gosok tinjunya ia berkata, "Hemm, jika nanti bertemu denganku, maka si Naga Hitam akan berubah menjadi si Cacing Sungai, dan si Gajah Berpunggung Besi akan berubah jadi si Punggung Kura-kura. Nah, kalian berlima tidur-tiduran dulu di tempat ini, selama aku membereskan pemimpin-pemimpinmu itu." Lalu jari-jari tangan Tong Lam-hou-bergerak secepat kilat untuk menotok pingsan orang itu. Totokan ajaran Ang Hoan yang tidak bisa dibuka oleh siapapun kecuali oleh penotoknya sendiri atau yang sealiran dengannya. Lalu tubuh orang itu dilemparkannya ke dalam rumpun gelagah air yang tumbuh lebat di tepian sungai itu. Keempat orang lainnyapun mengalami nasib yang sama. Tong Lam-hou tertawa dan berkata, "Nanti setelah sore hari, totokanku itu akan punah dengan sendirinya, nah, saat itu kalian boleh bangun dari tempat tidur kalian yang sejuk dan empuk itu." Kemudian dilempar-lemparkannya senjata kelima orang itu ke tengah sungai, lalu dengan tergesa-gesa Tong Lam-hou meninggalkan tempat itu, menuju ke arah hulu sungai untuk mencoba meringkus si pemimpin-pemimpin bajak sungai Yang-ce-kiang yang sebenarnya bekerja hanya karena di upah oleh seorang Panglima di Ibukota Kerajaan yang iri akan keberhasilan Pakkiong Liong itu. Di sepanjang jalan, Tong Lam-hou tidak laginmenggubris orang-orang bersenjata yang terkelompok-kelompok itu, sebab ia berpendapat asal bisa meringkus pemimpin mereka, maka anak-buahnyapun akan berantakan. Ia menyusuri sungai itu semakin ke hulu semakin sepi. Namun di satu tempat justru nampak ada banyak orang berkumpul, jumlahnya hampir seratus orang. Tong Lam-hou cepat-cepat bersembunyi dan merayap ke atas sebuah gundukan tanah yang tinggi supaya lebih mudah memperhatikan kelompok orang orang itu. Tempat berkumpulnya orang-orang itu ternyata adalah sebuah tepian sungai yang agak berkelok sehingga tidak mudah terlihat dari kejauhan, selain itu ada pula tumbuh-tumbuhan gelagah air yang tingginya hampir setinggi manusia dewasa, sehingga semakin menyembunyikan letak tempat itu. Di situ juga tersedia puluhan buah perahu-perahu kecil berbadan sempit berujung runcing, bentuk perahu yang dapat meluncur di air dengan cepat. Sebagian dari dari orang-orang itu nampak berpakaian ringkas dan bertelanjang dada, mereka membawa pahat dan palu, jelaslah bahwa mereka adalah ahli-ahli menyelam yang nantinya harus berusaha untuk melubangi kapal Pakkiong Liong dan pasukannya. Melihat persiapan dan jumlah orang orang itu, diam-diam Tong Lam-hou membatin, "Hebat! Ini benar-benar tidak dapat diabaikan. Jumlah orang-orang yang di sini jika ditambah dengan orang orang yang berpencaran dalam kelompok-kelompok kecil tadi, jumlahnya akan melebihi prajurit-prajurit Hui-liong-kun. Jika pertempuran dilakukan di darat, jumlah musuh yang lebih banyakpun tidak ditakuti oleh Hui-liong-kun, tapi kalau harus bertempur di sungai, jelaslah mereka adalah kalah dari bajak-bajak sungai ini." Berpikir sampai sekian, mendidihlah darah Tong Lam-hou. Banyak di antara prajurit-prajurit Hui-liong-kun itu sudah menjadi sahabatnya. Kini apakah ia akan berpeluk tangan saja melihat sahabat-sahabatnya dibantai oleh bajak-bajak Yang-ce-kiang ini dan ditenggelamkan ke dasar sungai? Tong Lam hou segera menggulung lengan bajunya dan mengencangkan ikat pinggangnya, siap untuk turun tangan. "Akan aku obrak-abrik mereka!" kata Tong Lam-hou dalam hati. Dilihatnya di antara kerumunan bajak-bajak sungai yang sedang bersiap siap untuk turun ke sungai itu, ada empat orang yang mengelompok agak terpisah dari bajak-bajak lainnya. Keempat orang itu berbicara dengan muka yang berseri-seri seakan-akan kemenangan sudah pasti di tangan mereka. Keempat-empatnya bertubuh kokoh dan bermata tajam, nampaknya berilmu tinggi, namun Tong Lam-hou tidak tahu yang manakah yang menjadi pemimpin gerombolan bajak ini. Akhirnya Tong Lam-hou tidak peduli. "Aku tidak boleh menebak-nebak terus dan membuang waktu. Yang penting sergap saja dulu," pikirnya. Maka tubuh Tong Lam-hou pun meluncur dari atas gundukan tanah tinggi itu seperti seekor rajawali yang menyambar dari angkasa, lansung menyerang ke arah empat orang itu. Keempat orang itu memang bukan lain adalah pentolan-pentolan dari gerakan pencegatan untuk merebut tawanan dari tangan Pakkiong Liong itu. Mereka adalah Hehou Im, perwira dari pasukan Ui-ih-kun di ibukota yang dipimpin oleh Pakkiong An yang merupakan paman dari Pakkiong Liong sendiri. Tapi kali itu Hehou Im tidak mengenakan seragam perwiranya, ia hanya berpakaian ringkas seperti ahli silat yang akan bertempur. Sedang yang lain-lainnya adalah Tong King-bun yang berjuluk Say-ya-jat (si Hantu Malam). Dan dua sejoli pimpinan gerombolan bajak di sungai Yang-ce-kiang, yaitu Hek-liong Tio Hong-bwe dan Tiat-pwe-siang Song Hian. Keempat-empatnya memang merupakan bekas teman-teman baik sejak puluhan tahun yang lalu, maka kini merekapun bergembira karena berkumpul bersama, apalagi karena mereka sudah dijanjikan akan mendapat hadiah besar dari Pakkiong An apabila pekerjaan mereka kali ini berhasil. Baru saja keempat orang itu asyik membicarakan "pembagian harta" yang bakal mereka terima, tahu-tahu sesosok bayangan telah meluncur datang. Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang yang berilmu tinggi mereka sempat menyelamatkan diri dengan celanya masing-masing. Ada yang bergulingan, ada yang meloncat, ada pula yang menjatuhkan diri ke tanah. Penyerang yang bukan lain dari Tong Lam-hou itu terkesiap ketika melihat keempat orang itu ternyata dapat menghindar semuanya. Sadarlah dia bahwa ia telah salah perhitungan, meringkus keempat orang itu ternyata tidak semudah yang diduganya, berbeda dengan orang-orang yang dihajarnya dekat dermaga tadi.... |
Selanjutnya;
|