Pendekar Naga dan Harimau Jilid 11Karya : Stevanus S.P |
Pakkiong Liong menepuk pundak perwira Kun-beng itu. "Kau berjiwa besar, saudara Toan. Tetapi tidak bisa tidak aku harus menegur perwiraku itu. Sikap seperti itu jika tidak dihukum akan menular kepada perwira-perwira lainnya bahkan kepada prajurit-prajurit bawahannya. Apa jadinya negeri ini kalau prajurit-prajuritnya saling, membenci dan saling berbaku-hantam satu sama lain?"
Setelah berkata begitu, Pakkiong Liong lalu kembali ke atas panggung, dan berkata kepada Ang Bun-long yang masih menungngu dengan sikap siap itu, "Ang Bun-long, kau harus mengaku kesalahanmu kepada semua yang hadir dan meminta maaf...." "Tapi, Ciangkun, aku tidak bersalah, dalam pertandingan silat adalah hal biasa kalau seseorang mendapat luka sedikit..." "Lakukan saja perintahku." "Tapi nama baik pasukan kita...." "Justru demi nama baik pasukan kita. Seorang jantan bukan sekedar seorang yang berani berkelahi dengun siapapun, tapi harus berani melihat kesalahan ke dalam diri sendiri dan mengakuinya." "Tetapi..." "Lakukan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membentak dengan muka merah padam. "Atau aku harus memberi hukuman yang lebih berat lagi di panggung ini agar kau menjadi tontonan orang banyak?" Alangkah sakitnya hati Ang Bun-long dibentak-bentak seperti itu di hadapan umum. Namun orang-orang seperti Ang Bun-long lebih mudah menjadi sakit, hati daripada menyadari kesalahannya. Tapi kali ini dengan terpaksa sekali ia menjalankan perintah Panglimanya, sebab bagaimanapun juga ia adalah seorang prajurit yang terikat tata-tertib keprajuritan. Semua perintah harus dijalankan atau dihukum berat. Maka Ang Bun-longpun memberi hormat ke arah penonton di sekitar panggung, lalu dengan terbata-bata ia mengucapkan penyesalannya, yang sebenarnya tidak keluar dari hatinya secara tulus. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat, karena bagi orang berjiwa sempit seperti dia, minta maaf adalah perbuatan yang sangat, memalukan. Jika dengan kekerasan bisa menindas atau menghajar orang lain, itu barulah jantan, demikian jalan pikiran orang-orang semacam Ang Bun-long itu. Selesai mengucapkan kata-kata "penyesalan"nya, cepat-cepat ia meloncat turun dari panggung dengan muka merah padam, lalu menghilang ke bagian belakang gedung. Setelah memakai bajunya, ia lalu menyelinap keluar dari gedung dengan melewati pintu samping, tidak peduli lagi ramai-ramai yang masih berlangsung di halaman depan. Hari itu la merasa sangat kehilangan muka, dan ia sungguh merasa heran bahwa Panglimanya tidak membelanya, melainkan malahan ia "dipermalukan" dengan disuruh minta maaf. Apa-apaan ini? Apakah Panglima lebih memperhatikan si anak gunung itu daripada dirinya? Akhirnya dengan geram Ang Bun-long keluar dari gedung itu, la harus menemukan sebuah warung arak dan akan dimabukkannya dirinya seridiri untuk melupakan kejengkelannya. Sementara itu, dari antara kerumunan penonton yang terdiri dari para prajurit dan rakyat jelata itu, Juga keluarlah seseorang yang langsung mengikuti langkah Ang Bun-long. Orang itu bukan prajurit. Ia seorang lelaki kira-kira berumur empat puluh tahun, bertubuh kurus, memakai jubah panjang dan kepalanya yang kecil itu memakai topi berbentuk belahan semangka, sambil berjalan menguntit Ang Bun-Long, sebentar-sebentar ia mengisap pipa cangklongnya dan dihembuskannya asapnya ke udara. Wajahnya yang berkulit kuning pucat itu memiliki sepasang mata yang menggambarkan kelicikannya. Ketika Ang Bun-long masuk ke sebuah rumah makan dan hendak berteriak memesan arak kepada pelayan, maka orang itu segera duduk di seberang meja, berhadapan dengan Ang Bun-long. sambil tertawa terkekeh la berkata, "Hari ini, biar aku yang traktir kau minum arak, saudara Ang...” Tangan Ang Bun-long yang sudah terangkat hampir menggebrak meja itu-pun diturunkan kembali perlahan-lahan. Lalu masih dengan wajah yang gelap ia berkata kepada orang itu, "Kau? Bagaimana kau sampai bisa berada dikota Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini?" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh, dlkepulkannya asap pipa cangklongnya lebih dulu ke udara, baru menjawab, "Dan kalian orang-orang Hui-liong-kun kenapa juga berada di Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini? Memangnya hanya kalian yang boleh pergi jauh dan kami prajurit-prajurit Ui-ih-kur, (Pasukan Baju Kuning) tidak boleh?" Ang bun-long sungkan berdebat dengan orang yang sudah dikenalnya di Pak-khia dulu. Orang itu adalah seorang perwira tentara juga, tetapi dari pasukan yang disebut Ui-ih-kun, sebuah pasukan yang cukup kuat di ibukota Kerajaan dan dipimpin oleh seorang paman dari Pakkiong Liong yang bernama Pakkiong An. Orang itu sendiri bernama Hehou Im, dan sebelum menjadi prajurit ia terkenal di dunia hitam dengan julukan Sat-sin-kui (Si Setan Ganas). Meskipun bentuk tubuhnya kerempeng dan sinar matanya selalu redup seperti seorang yang mengantuk, namun sesungguhnya kepandaian silatnya dan juga kekejamannya dalam menghadapi musuh sudah cukup dikenal orang. Kalau tidak kejam, tidak bakalan ia mendapat julukan Sat-sin-kui. Ia juga cerdik dan banyak akalnya, sehingga dalam waktu singkat ia telah menjadi seorang perwira yang dekat dengan Pakkiong An untuk mengurus berbagai urusan. Ang Bun-long tahu bahwa jika seorang perwira bawahan Pakkiong An sampai berada di Ibukota wilayah Hun-lam ini, apalagi dengan menyamar, tentu bukannya tanpa maksud apa-apa. Tetapi Ang Bun-long sedang malas untuk berpikir, ketika seorang pelayan mengantarkan sepoci arak dan mangkuknya, maka Ang Bun-long cepat menyambar poci arak itu dan langsung dituangkan ke mulutnya tanpa menggunakan mangkuknya. Ia ingin mabuk untuk melupakan kepahitannya di panggung pertandingan tadi. Hehou Im tersenyum-senyum saja melihat cara Ang Bun-long meminum araknya, bahkan kemudian Hehou im memberi isyarat kepada pelayan rumah makan itu agar menambah lagi araknya. Sedang dia sendiri tenang-tenang saja menyedot asap tembakaunya dari pipanya, dan menghembus dengan nikmatnya. Seolah-olah acuh tak-acuh, ia berkata, "Meriang arak dapat melupakan kepedihan hati dan rasa penasaran karena diperlakukan tidak adil. Minumlah sepuasnya." Ang Bun-long agak terbeliak mendengar ucapan Hehou Im itu, sesaat ia menatap perwira dari pasukan Ui-ih-kun itu, namun kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia meneruskan menenggak araknya. Sementara itu Hehou Im berkata lagi, "Aku tahu kau penasaran, saudara Ang. Kau mengabdi bertahun-tahun dalam Hui-liong-kun tanpa kenal lelah, banyak membuat jasa untuk Negara dan Kaisar, namun kau tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya untuk semua jerih payahmu itu. Panglimamu benar-benar seorang yang gila pujian dan sekaligus kurang dapat menghargai bawahan yang berbakat..." Hehou Im menghentikan sejenak perkataannya dan diliriknya bagaimana wajah Ang Bun-long ketika mendengar ucapannya itu. Dilihatnya muka perwira Hui-lion-kun sudah agak memerah karena arak, namun agaknya masih sadar, dan matanya yang mendadak bercahaya itu menandakan bahwa ucapan Hehou Im tadi telah mengena pada sasarannya. Memang hal itulah yang selama ini dirisaukan oleh Ang Bun-long, dan kini ada orang lain yang dapat mengungkapkan perasaannya secara tepat. Lalu Hehou Im melanjutkan kata-katanya, "Aku bicara terus terang saja, Pakkiong Liong itu gila pujian, sebab semua jasa-jasa yang diperbuat oleh anak buahnya disembunyikannya, dan diakuinya sebagai jasanya sendiri. Itulah sebabnya nama Pakkiong Liong sendiri semakin cemerlang, sedang nama perwira-perwira bawahannya tidak akan mencuat naik ke atas, sebab mereka hanya sekedar alat untuk menjalankan perintah-perintah Pakkiong Liong.” "Jangan bicara tele-tele," tukas Ang Bun-long sambil meletakkan poci araknya yang sudah kosong. "Katakan apa maumu." "Baik. Terang-terangan saja, Pakkiong Ciangkun, eh, maksudku adalah Panglima atasanku, Pakkiong An, merasa sayang sekali jika ada perwira-perwira yang sebenarnya pandai semacam kau ini, tidak dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena rasa dengki dari Pakkiong Liong. Menurut Pakkiong Ciangkun, orang seperti kau ini paling tidak sudah harus berpangkat Congpeng atau serendah-rendahnya Bu-ciang, tapi lihat saja kau ini, dari dulu pangkatmu hanya perwira menengah terus-terusan saja. Dan mungkin sampai kau kelak mati ditembus pedang musuh kau tetap seorang perwira menengah saja...." "Bicara langsung ke tujuan." "Baik. Pakkiong Ciangkun menawarkan kerjasama denganmu, jika kau bersedia maka kelak kenaikan pangkat maupun ganjaran kekayaan yang cukup banyak akan berlimpah dalam hidupmu." "Maksudmu, aku keluar dari Pasukan Hui-liong-kun dan masuk ke pasukan Ui-ih-kun kalian? Kau kira prajurit bisa berpindah-pindah kesatuan dengan seenaknya saja tanpa surat penetapan dari Peng-po-ceng-tong?" Hehou Im menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Bukan begitu. Kau tetap berada dalam Pasukan Hui-liong-kunmu, tetapi untuk selanjutnya kita bisa bekerja-sama, sebab sesungguhnya Pakkiong Ciangkun sendiri kurang senang kepada keponakannya yang sombong itu." "Kenapa si tua Pakkiong An iri tidak senang kepada keponakannya?" Hehou Im tidak segera menjawabi ditatapnya mata Ang Bun-long lurus-lurus sehingga bergidiklah Ang Bun-long dibuatnya. Dalam sikap seperti itu Hehou Im terlihat begitu menyeramkan! Berbeda dengan sikap sehari-harinya yang tertawa-tawa dan kurang bersungguh-sungguh itu. Ketika melihat Ang Bun-long agaknya tercekam oleh sikapnnya itu, maka tiba-tiba Hehou Im tertawa kembali dan berkata, "Baiklah! karena aku merasa bahwa kerjasama kita ini bakal berlangsung, maka aku akan berterus terang kepadamu. Pakkiong An tidak suka bahwa pamor keponakannya itu semakin lama semakin cemerlang.! sehingga mengalahkan pamornya sendiri di hadapan Sri Baginda. Ia merasa keponakananya itu semakin lama semakin besar kepala terhadapnya." Ang Bun-long mengangkat kepalanya dengan tercengang. Tak terduga bahwa antara paman dan keponakan yang di Kotaraja Pak-khia nampak akrab itu ternyata ada masalah semacam itu. "Kau berani berkata demikian terus-terang kepadaku, kau tidak kuatir kalau kulaporkan semuanya ini kepada Pakkiong Liong?" Hehou Im kelihatan tenang-tenang saja mendengar gertakan Ang Bun-long itu, sahutnya sambil cengar-cengir, "Silahkan. Kau kira dengan demikian kau akan mendapat muka dari Pakkiong Liong? Andaikata Pakkiong Liong mempercayai laporanmu, bisa berbuat apa ia di hadapan Pakkiong Ciangkun? Pamannya itu punya pengaruh yang lebih besar di Peng-po-ceng-tong maupun di Istana sendiri, kau tentu tahu bahwa Pakkiong Ciangkun itu teman baik Peng-po-siang-si (Menteri Peperangan) dan hubungannya dengan Sri Baginda lebih dekat, sebab Pakkiong Ciangkun adalah saudara sepupu Hong-hou (permaisuri). Jika nasibmu buruk, salah-salah kau malah akan dianggap mengadu-domba antara paman dan keponakan tanpa bukti-bukti kuat dan kau tahu sendiri kelanjutan nasibmu." Ang Bun-long menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya menggertak Hehou Im, dan sesungguhnya ia juga tidak bermaksud menggertak benar-benar, hanya ingin tahu kesungguhan Hehou Im saja. Sementara Hehou Im telah melanjutkan, "Dan kau harus menggunakan otakmu. Jika kau ingin cepat naik pangkat dan cepat terkenal, bekerja-samalah dengan Pakkiong Ciangkun. Tapi jika ingin jadi perwira rendahan sampai kau mati, setialah terus kepada Pakkiong Liong. Aku tak dapat mencegahmu." Ang Bun-long masih belum menjawab, namun hatinya sudah mulai tergerak oleh tawaran yang menarik itu. Naik pangkat, kekayaan, ketenaran. Apa lagi? Bukankah dulu ketika ia terima dalam Pasukan Hui-liong-kun yang menjadi tujuananya juga ketiga hal itu? Tetapi apa yang didapatnya? Yang didapatnya hanyalah tugas berat yang tak henti-hentinya, dan setiap kali yang didengarkan hanyalah kata-kata "demi Negara dan Kaisar". Apa yang didapatnya dengan semboyan semboyan "demi Negara dan Kaisar" itu? Salah-salah bisa mampus dibunuh musuh. Hehou Im seolah dapat membaca pikiran orang, sehingga kata-katanya semakin lama semakin mantap, "Kau tentu harus memilih dengan bijaksana. Jika kau setuju, segera kuberitahukan kerjasama kita yang pertama." "Aku harus berpikir-pikir dulu, soalnya..." kata Ang Bun-long, namun kata-katanya terputus dan matanya terbelalak ketika melihat Hehou Im membuka sebuah kantong kecil dan mengeluarkan lima potong emas yang masing-masing beratnya kira-kira dua tahil lebih. "Buat apa berpikir-pikir untuk soal segampang ini?" kata Hehou Im sambil mendorong potongan-potongan emas itu ke hadapan Ang Bun-long. "Tanpa bahaya sedikitpun, sementara pangkat, kekayaan dan ketenaran sudah menantimu." Ang Bun-long menelan ludahnya sementara matanya tak lepas-lepas dari batangan-batangan emas kecil itu. Jika emas itu diuangkan, ia akan dapat membeli sebuah rumah yang cukup bagus di Pak-khia, dan tidak lagi tinggal berdesak-desakan di barak tentara seperti sekarang ini. Apalagi hadiah ini baru "pembukaan" saja, jika kerja-samanya dengan Pakkiong An berjalan mulus, bukankah batangan-batangan emas semacam ini akan mengalir ke kantongnya. Jadi tunggu apa lagi? Akhirnya Ang Bun-long meraih benda-benda kemilau dan memasukkan ke kantong dalam bajunya, mukanya yang tadi gelap itu sekarang menjadi cerah, dan sahutnya, "Kalau sudah begini, aku bisa berkata apa lagi?" Hehou Im menyeringai, katanya. "Bagus! Kerjasama kita yang pertama adalah soal kedua tawanan itu." "Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong?" "Tepat. Pakkiong Liong berhasil menangkap kedua orang tawanan penting itu, tawanan yang tidak sembarangan orang bisa menangkapnya. Jika Pakkiong Liong berhasil membawa kedua tawanan itu sampai ke Pak-khia dengan selamat, maka pamornya akan bertambah terang di hadapan Sri Baginda. Ini tidak disukai oleh Pakkiong An. Jadi ada satu cara untuk membuat Pakkiong Liong kehilangan muka dalam Sidang Kerajaan yang akan datang, yaitu, tawanan-tawanan itu harus hilang di tengah jalan. Maksudku, lepas dari tangan Pakkiong Liong. Nah, untuk inilah kerjasama kita harus bekerja-sama..." Ang Bun-long menggebrak meja dan berkata keras. "Hehou lm kau ini bekerja untuk Kerajaan atau untuk pemberontakan? Susah-payah kami dari Hui-liong-kun mengejar tawanan itu berhari-hari dan berribu-ribu mil jauhnya, dan kalian ingin tawanan itu lolos kembali?" "Tenang-tenang sajalah, saudara Ang, dengarkan dulu penjelasanku. Yang kami maksudkan lepas dari Pakkiong Ciangkun-mu itu bukan berarti kedua tawanan itu menjadi bebas kembali dan berbuat kekacauan lagi di mana-mana. Kami tahu mereka adalah musuh-musuh pemerintah yang tidak boleh lepas lagi. Maksud kami gampang saja, yaitu lepas dari tangan Pakkiong Liong namun jatuh ke tangan Pakkiong An, bukankah sama saja dan Kerajaanpun tidak rugi?" "Oh, begitu. Kalau begitu aku bisa terima. Lalu aku harus bagaimana?" "Sekarang belum kuberi tahukan kepadamu, sebab rencana yang kami susun inipun baru garis besarnya saja, kelak jika rencana sudah tersusun rapi dan akan dilaksanakan. Kau tentu akan kami hubungi lagi untuk menentukan tugas-tugasmu dalam rangka rencana itu. Paham?” "Bagaimana garis besarnya?" Namun agaknya Hehou Im belum percaya sepenuhnya kepada Ang Bun-Long itu, sehingga belum mau memberitahukan keseluruhan rencananya. Hehou Im kenal watak orang semacam Ang Bun Long yang seperti ular berkepala dua. Jika lerlu bisa menggigit kesana dan menggigit kesini, untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Karena itulah bukannya Hehou Im menjawab dengan baik, malahan ia mengeluarkan ancaman halus, “Garis besarnyapun belum bias kuberi tahukan keapdamu. Aku hanya mengeluarkan sebuah peringatan kepadamu, bahwa setelah kau setuju untuk bekerja-sama dengan kami maka berarti kau sudah terikat dengan kami. Jangan mencoba-coba untuk menjadi ular berkepala dua, sebab itu berarti kau bermain-main dengan nyawamu sendiri. Pakkiong An punya sejuta telinga dan sejuta mata yang akan mengawasi gerak-gerikmu tanpa kau ketahui.” "Kau mengancamku, he?" geram Ang Bun-long. "Mau dibilang begitu ya terserah saja. Hanya sekedar peringatan, sebab Pakkiong An dapat meniadakan orang-orang yang tidak disukainya dengan tangan tetap bersih, seolah-olah ia tidak bertanggung-jawab sedikitpun atas kematian-kematian yang terjadi. Aku benar-benar tidak hanya menakut-nakuti. Kau masih ingat akan kematian Boan Seng-hu yang berpangkat Hou-po-siang-si itu?" Hou-po-siang-si adalah Menteri Keuangan. Tentu saja kematian seorang berpangkat tinggi seperti itu masih diingat oleh Ang Bun-long, sehingga iapun mengangguk. "Masih ingat. Ia mati ditikam oleh orang mabuk di tengah jalan bukan?" "Ia seorang menteri, tentu pergi ke manapun dikawal ketat, bagaimana seorang pemabuk bisa mendekati tandunya dan menikamnya sehingga mati? Kau merasa hal ini aneh atau tidak?" tanya Hehou Im seolah-olah menguji. "Ya, memang aneh." "Kau tentu masih ingat bahwa kemudian pemabuk itupun tidak dapat ditangkap oleh pengawal-pengawal Hou-po-siang-si, nah, bagaimana seorang pemabuk dapat lari secepat itu?" "Apa hubungannya dengan Pakkiong An?" Dengan tenangnya Hehou Im meneguk araknya sedikit, lalu sambil tersenyum-senyum ia menjawab, "Hubungannya? Dua hari sebelum kematiannya itu, Boan Seng-hu telah mengecam habis-habisan Pakkiong An di dalam Sidang Kerajaan. Boan Seng-hu menganggap Pakkiong An terlalu mencampuri urusan Hou-po-siang-si di bidang kebijaksanaan keuangan negara, nah, mampuslah dia." "Ah, tentu hanya kebetulan saja. Lalu kau gunakan kebetulan itu untuk menakut-nakuti aku." "Hanya kebetulan kau bilang? Baik. Satu contoh lagi. Sekarang tentang kematian Pi Yau-im yang menjabat Tui-thio (Kepala Pasukan) dari Tay-to-si-wi (Pasukan Bayangkari). Kau ingat matinya dia?" "Menggantung diri di rumahnya. Apa anehnya?" "Tentu saja tidak aneh kalau yang mati menggantung diri itu seorang yang hidupnya selalu susah, banyak hutangnya atau dalam keadaan tertekan dan sebagainya. Tetapi Panglima Tay-to si-wi Pi Yau-im itu kurang apa? Rumah bagus, pangkat tinggi, masih muda dan kuat, isterinya cantik dan hidup rumah tangganya juga rukun. Orang semacam itu kenapa gantung diri? Dan tidaklah kau ingat akan keanehan-keanehan yang terjadi pada peristiwa gantung diri itu?" Ang Bun-long terdiam, namun di dalam hatinya ia menjawab, "Ya, kejadian itu memang aneh. Orang gantung diri harusnya matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar, namun tanda-tanda seperti itu tidak didapati pada tubuh Pi Yau-im. Bahkan bekas jeratan tali di lehernya itupun tidak meyakinkan. Dan ada seorang pelayannya yang mengatakan bahwa pada malam terjadinya peristiwa itu, si pelayan melihat ada sesosok bayangan hitam seolah-olah terbang keluar dari karnar tidur majikannya, namun beberapa hari kemudian pelayan itupun mati karena penyakit aneh yang tidak dikenali oleh seorang tabib yang ahli sekalipun." Meskipun Ang Bun-long tidak mengatakan satu patah katapun, namun dari perubahan air mukanya maupun sorot matanya saja Hehou Im sudah tahu bahwa "rekan baru"nya itu mulai tergoncang hatinya. Dan Hehou Im merasa perlu untuk menuntaskan ceritanya, Berapa hari sebelum dia gantung diri, Piau Yau-im telah berani menyindir Pakkiong An dalam sebuah pesta ulang tahun di rumah Lo Ciangkun. Kabarnya waktu itu Pakkiong An sangat kehilangan muka tapi tidak sempat membalas sindiran Pi Yau-im, maka...yah, selanjutnya kau tahu sendiri." Ang Bun-long merasa jantungnya berdegup keras. Kesimpulannya: Siapa yang berani menentang Pakkiong An, dia akan segera mati. Namun Pakkiong An sendiri tidak akan dapat dituduh, sebab tidak akan ada bukti-buktinya. "Kenapa kau buka rahasia ini kepadaku?" tanya Ang Bun-long dengan suara yang setengah tertelan karena takutnya. "Pertama, karena kau sudah menjadi orang kami sendiri, dan jangan harap bisa melepaskan diri dari kerjasama ini. Kedua, karena aku hendak memperingatkan kau agar jangan punya pikiran untuk berkhianat kepada Pakkiong Ciangkun, sebab Ciangkun punya jaringan kekuasaan yang sangat halus dan rapi, yang aku sendiri bahkan tidak tahu seberapa luasnya." "Bagaimana misalnya, eh, hanya misalnya lho, aku tiba-tiba ingin membongkar rahasia kematian Boan Seng-hu dan Pi Yau-im dengan menyelidiki kembali peristiwa kematian-kematian aneh itu? Atau aku laporkan saja kepada siapapun yang cukup punya kekuasaan untuk menandingi Pakkiong An?" "Jika demikian, maka kau telah memutuskan batas umurmu sendiri. Sebelum kau sempat berbuat sesuatu yang berarti, orang sudah akan menemukan mayatmu lebih dulu. Mungkin kau ditikam orang di tempat pelacuran, atau mayatmu tergantung di pohon seolah-olah bunuh diri, atau kau hilang dan tahu-tahu orang mendapati mayatmu sudah terapung-apung di sungai." "Gila! Gila! Kau menakut-nakuti aku dan berusaha membuatku tunduk sepenuhnya kepada tua bangka Pakkiong An itu!" Lalu dengan kedua tangannya Ang Bun-long mencengkeram baju Hehou Im dan mengguncang-guncangkannya, sehingga orang-orang yang sedang berada di rumah makan itupun menjadi ketakutan karena mengira Ang Bun-long mabuk dan mengamuk. Namun akhirnya Ang Bun-long menjadi reda kembali, dan dihempaskannya tubuh Hehou Im kembali ke bangkunya. Wajah Hehou Im tidak berubah sedikitpun, dengan tenangnya ia mengusap usap bajunya yang menjadi agak kusut karena dicengkeram oleh Ang Bun-long tadi. Lalu berkata, "Buat apa aku menakut-nakutimu, sebab nasibku sendiri persis seperti nasibmu. Berani berkhianat, berarti orang yang bernama Hehou Im akan berakhir hidupnya. Sat-sin-kui (si Setan Ganas) akan menjadi Wang-ong kui (si Setan Penasaran)." "Jadi kau mencoba menjerat teman sebanyak-banyaknya dalam nasib burukmu itu?" "Memang menakutkan, tapi aku tidak menganggapnya sebagai nasib buruk. Aku justru merasakan sebagai keberuntungan, akan menjadi seorang yang berpangkat tinggi, berharta, bernama besar, meskipun harus tetap dalam jerat Pakkiong An. Nanti kau akan terbiasa juga." "Aku masih punya sebuah jalan keluar untuk lepas dari komplotan ini. Aku membunuhmu dengan alasan mabuk, bukankah yang mengetahui persepakatan kita saat ini hanya kau dan aku? Jika aku bunuh kau, aku akan aman dan lepas dari persepakatan gila ini." "Jika kau bunuh aku, maka kaupun akan segera mati. Kau kira yang tahu akan percakapan kita ini hanya kita berdua?" Ang Bun-long terkesiap. Disapukannya pandangannya kepada orang-orang yang berada di rumah makan itu. Pelayan-pelayan yang hilir mudik dengan nampan di tangannya, kasir yang sibuk mempermainkan sipoa untuk menghitung uang, dua orang berpakaian saudagar yang nampaknya sedang merundingkan perdagangan besar, sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpacaran. Semuanya bertingkah laku wajar, mana ada yang aneh? Namun Ang Bun-long menduga bahwa di antara orang-orang itu tentu ada orang yang sekomplotan dengan He-hou Im yang mengawasi jalannya "perundingan" itu. Tapi orang yang mana, Ang Bun-long tak dapat menebaknya, mungkin Hehou Im sendiri juga tidak tahu. Tiba-tiba keringat dingin mengalir di punggung Ang Bun-long. Ia menyesal sudah terjerat dalam komplotan itu. Meskipun kantungnya penuh berisi emas, tapi apa gunanya kalau untuk selanjutnya ia merasa dirinya selalu diawasi oleh sejuta mata dan setiap kata-katanya yang paling pribadi sekalipun seolah diawasi sejuta telinga? Apa enaknya hidup tanpa kebebasan pribadi sedikitpun seperti itu? Namun sudah terlanjur. Kini lehernya seolah-olah sudah dijerat oleh Pakkiong An dengan seutas tali tak berwujud yang tak mungkin dilepaskannya lagi. Tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah langkah-langkah ke depan di bawah kendali Pakkiong An. Dengan pandangan yang dingin tanpa kenal belas kasihan, Hehou Im menatap Ang Bun-long, dan berkata, "Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kita berpisah dulu, dan nanti sepanjang perjalanan dari sini sampai ke Pak-khia kau akan menerima perintah-perintah selanjutnya." "Bagaimana caranya aku menghubungi kalian?" tanya Ang Bun-long. "Untuk sementara ini, biar kami sajalah yang menghubungimu." Maka kedua orang Itu berpisah, Ang Bun-long segera keluar dari rumah makan itu dan kembali ke gedung penginapannya. Sambil melangkah, kadang-kadang hatinya tergoda juga untuk menceritakan segala sesuatu yang didengarnya itu kepada Pakkiong Liong, namun niat yang timbul di hatinya itu adalah niat yang terlalu lemah. Setiap kali teringat ancaman Hehou Im tentang "mati secara tak terduga" maka Ang Bun-long menjadi berdiri bulu kuduknya. Dan ia menghibur diri sendiri, "Lagi pula, apa salahnya memperjuangkan kedudukan yang lebih tinggi dengan sedikit menyerempet bahaya? Yang tidak berani menyerempet bahaya seumur hidupnya akan menjadi bawahan orang terus-terusan." Sementara itu, setelah Ang Bun-long pergi, maka Hehou Im membayar semua harga minuman dan makanan kepada kasir rumah makan itu, lalu iapun melangkah keluar dengan langkah-langkah santai. Jaringan komplotannya kini telah bertambah luas dengan didapatkannya lagi satu orang di dalam tubuh Hui-liong-kun. Hal ini cukup untuk membuat Pakkiong Liong An bergembira dan hadiahpun akan mengalir kepadanya. Dengan langkah perlahan-lahan la melangkah di pinggir jalan, ketika dilihatnya seorang pengemis berjongkok dipinggir jalan dekat rumah makan itu sambil menadahkan sebuah tempurung ditangannya, maka Hehou Im mendekatinya sambil mengeluarkan sekeping uang receh di kantongnya. "Sedekah, tuan, kasihan aku sehari belum makan..." rintih pengemis itu. Hehou Im melemparkan kepingan uangnya ke dalam tempurung pengemis itu, katanya sambil tertawa, "Belum makan dengkulmu, seekor ayam panggang utuh yang kau makan tadi pagi itu memangnya apa...?" |
Selanjutnya;
|