Pendekar Naga dan Harimau Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 11

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
SAAT itu Ang Bun pun, juga ada di antara perwira-perwira yang menonton latihan perang-perangan dilapangan itu. Namun perhatiannya sama sekali tidak lagi tertuju kepada jalannya latihan, melainkan kepada Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berdampingan di atas kudanya masing-masing dan berbicara dengan akrabnya.

Karena tak dapat menahan rasa panas hatinya, ia berbisik kepada Ko Lung-to di sebelahnya, "Saudara Ko, benarkah kabarnya bahwa anak desa yang bernama Tong Lam-hou itu merupakan penolong Pakkiong Ciangkun ketika Pakkiong Ciangkun terancam bahaya maut!"

Ko Lung-to tidak tahu maksud tujuan pertanyaan rekannya itu, maka la menjawab saja, "Aku dengar begitu."

"Siapakah di antara rekan-rekan kita yang pernah melihatnya sendiri? Jika ia dikabarkan pernah menolong Pakkiong Ciangkun dan bahkan membantu Pakkiong Ciangkun untuk menerobos sarang pemberontak dan menangkap kedua pentolan pemberontak itu, maka ilmunya tentu tinggi sekali."

"Aku tidak tahu. Ketika aku dan Ha To-ji serta lain-lainnya menjumpai Pakkiong Ciangkun di tengah padang ilalang sana, aku memang melihat Tong Lam-hou bertempur berdampingan dengan Pakkiong Ciangkun melawan empat orang. Tetapi hanya dari kejauhan sehingga kurang jelas, lagipula saat itu aku sendiri juga sedang bertempur melawan sisa-sisa prajurit Kerajaan Beng yang bergabung dengan orang-orang Hwe-liong pang."

"Jadi tak seorangpun di antara kita yang pernah melihat sendiri sampai di mana ketinggian ilmunya?"

"Ya. Tak seorangpun pernah, begitu agaknya. Tapi Pakkiong Ciangkun sendiri telah memujinya."

Ang Bun-long tertawa melalui hidung, "Hemmh, pujian Pakkiong Ciangkun saja tidak cukup untuk dijadikan pegangan. Kalian tahu sendiri bahwa Pakkiong Ciangkun adalah seorang yang bijaksana dan selalu tidak ingin menyakiti hati siapapun, maka untuk memberi muka terang kepada anak desa itu ia lalu menyebutnya sebagai penolong-nya yang berilmu tinggi. Tujuan Pakkiong Ciangkun dengan menyebut demikian adalah agar kita dapat menerimanya di tengah kita."

"Kalau kita rukun dengannya, apa salahnya?" tanya Tokko Seng yang juga ada di situ. Diam-diam Tokko Seng itu mentertawakan Ang Bun-long di dalam hatinya, sebab ia sebenarnya tahu betul apa yang menjadi kandungan hati Ang Bun-long, yaitu sekedar iri kepada Tong Lam-hou. Karena itu Tokko Seng timbul niatnya untuk memanas-manasi hati rekannya itu.

Benar juga, Ang Bun-long segera terpancing menjadi panas. "Rukun? Boleh-boleh saja, tetapi harus dilihat, dia itu siapa dan kita ini siapa? He, teman-teman, tidaklah kalian sadari bahwa kita ini adalah perwira-perwira prajurit Hui-liong-kun? Prajurit-prajurit yang paling baik yang dimiliki oleh Kerajaan Manchu? Kita punya kebanggaan! Kita punya nama besar! Bagaimana kalau tiba-tiba Hui-liong-kun kita dimasuki seorang yang tolol, hingga akan merusak nama baik pasukan kita dan mencorengkan aib pada kebanggaan kita? Relakah kita?"

"Ang Bun-long, kau pikir dia tidak pantas berada di antara kita?" tanya Ko lung-to.

"Masih harus dibuktikan." dengus Ang Bun-long.

"Kau ingin membuktikannya?"

Ang Bun-long menjawab sambil menggosok-gosok tinjunya, "Ya, akan kucoba seberapa besar kemampuan anak gunung itu. Tetapi tentu saja harus diijinkan oleh Pakkiong Ciangkun."

"Kalau Pakkiong Ciangkun tidak mengijinkan?"

"Kita buat suatu alasan. Misalnya katakan kepada ciangkun bahwa untuk menghilangkan kejemuan selama menunggu keberangkatan kita ke Pak-khia, kita akan mengadakan pertandingan silat antar perwira, juga boleh diikuti oleh yang bukan perwira seperti Tong Lam-hou itu. Nah, Ciangkun adalah seorang pengemar ilmu silat, aku kira tidak akan keberatan dengan acara seperti itu."

Ko Lung-to dan Tokko Seng kebetulan adalah orang-orang berdarah Manchu asli, orang-orang yang suka dengan segala macam lomba ketangkasan macam itu, maka lepas dari maksud-maksud Ang Bun-long yang sebenarnya, kedua orang perwira itu segera merasa bahwa acara itu tentu akan cukup menarik untuk sekedar menghilangkan kejemuan di hari-hari yang terasa panjang itu, Juga untuk melemaskan otot menghadapi tugas berat sepanjang perjalanan dari Kun-beng ke Pak-khia.

"Setuju!" hampir bersamaan mereka menjawab.

Wajah Ang Bun-long langsung berseri-seri, sudah terbayang kemenangan yang bakalan didapatnya dan dibayangkannya pula bagaimana wajah Tong Lam-hou menjadi pucat karena malunya. Katanya, "Nah, kalau begitu kalian berdua saja yang berbicara kepada Pakkiong Ciangkun untuk mengusulkan hal ini."

"Kenapa harus kami berdua?" tanya Tokko Seng.

"Sebab kalian berdua adalah orang Manchu seperti Pakkiong Ciangkun sendiri, tentu sesama orang sekampung akan mudah untuk berbicara."

Ko Lung-to mengerutkan keningnya, "Jaga mulutmu baik-baik. Pakkiong Ciangkun sudah berulang-kali menekankan dalam pasukan kita ini tidak boleh ada perbedaan antara Manchu dan bukan Manchu. Semua harus bersatu-padu untuk membela kebesaran bendera Ngo-Jiau-kim-liong-ki Kerajaan Manchu!"

Ang Bun-long yang merasa bahwa mulutnya telah kelepasan bicara itu jadi salah tingkah sejenak, lalu dengan tertawa yang dibuat-buat la memperbaiki ucapannya tadi, "Maksudku bukan demikian, memang Manchu atau bukan Manchu sama saja, tetapi jika kalian yang berbicara kepada Pakklong Ciangkun barangkali akan lebih mudah. Bukankah kalian lebih dekat kepada Ciangkun daripadaku?"

"Ya, memang, tetapi itu bukan karena Ciangkun membeda-bedakan kami yang Manchu ini dengan kau yang Han. Buktinya, bukankah Ha To-Ji dan Han Yong-kim leblh dekat kepada Ciangkun dibandingkan kami berdua? Padahal mereka berdua itu bukan orang Manchu. Di kemudian hari kau jangan sembarangan omong lagi, itu bisa memecah belah pasukan kita yang terdiri dari berbagai suku ini."

"Ya, ya, mulutku tadi memang pantas dihajar," kata Ang Bun-long. "Tetapi kalian mau mengusulkan hal ini kepada Ciangkun bukan?"

"Baiklah. Sekedar pertandingan persahabatan, apa salahnya?"

"Betul. Ilmu silat ibarat pisau yang harus selalu diasah agar tidak tumpul."

Ketika kemudian Tokko Seng dan Ko Lung-to menghadap Pakkiong Liong untuk mengusulkan hal itu, ternyata Pakkiong Liong lansung menyambutnya dengan gembira. Ia tahu prajurit-prajuritnya membutuhkan hiburan sebelum memikul tugas berat yang penuh bahaya. Maka berita tentang pertandingan silat itupun segera tersebar di kalangan para prajurit, dan mendapat sambutan gembira.

Bahkan kemudian diperluas keikut-sertaannya, yaitu dibagi untuk prajurit dan untuk perwira. Yang ikut juga bukan hanya prajurit-prajurit; dan perwira-perwira Hui-liong-kun saja, tetapi juga prajurit-prajurit dan perwira-perwira di kota Kun-beng atas ijin Song Jin-ho.

"Jika anak buahku dihadapkan dengan anak buah Ciangkun tentu akan memalukan saja," kata Song Jin-ho sambil tertawa, ketika mendengar berita itu. "Tapi biarlah kuijinkan anakbuahku ikut serta, sekedar mempererat persahabatan saja."

"Congpeng tidak usah sungkan-sungkan," sahut Pakkiong Liong. "Di antara anak buah Congpeng tentu terdapat perwira-perwira yang tangguh, biarlah perwira-perwiraku juga membuka mata mereka mereka agar tidak terlalu takabur."

"Ah, siapa yang tidak kenal pasukan Hui-liong-kun?"

Demikianlah, di halaman gedung yang dipakai menginap prajurit-prajurit Hui-liong-kun itupun didirikan sebuah panggung lui-tay (panggung pertandingan silat) yang cukup lebar dan tingginya setombak lebih, agar penonton yang berada di bagian belakang dapat ikut menonton pula. Baik perwira-perwira maupun prajurit-prajurit yang akan ikut bertanding telah melakukan berbagai latihan dengan cara mereka masing-masing.

Pertandingan akan berjalan dengan tangan kosong dan tanpa senjata, dan dilarang mencelakakan lawan dengan menyerang bagian-bagian terlarang. Tapi melemparkan lawan ke luar panggung tidak dilarang dan yang terlempar akan dianggap sudah kalah. Di atas tangga gedung itu diletakkan beberapa kursi yang akan diduduki oleh Pakkiong Liong, Song Jin-ho dan beberapa pejabat tinggi keprajuritan lainnya. Namun Pakkiong Liong tidak lupa memesankan sebuah tempat duduk untuk Tong Lam-hou di sampingnya sendiri. Ia selalu menyebut Tong Lam-hou sebagai penolongnya dan sahabat baiknya.

Ketika hari pertandingan tiba, makn halaman gedung itupun menjadi ramai sekali. Para peserta pertandingan, baik prajurit maupun perwira telah siap dengan pakaian ringkasnya, malah ada yang bertelanjang dada untuk memamerkan otot-ototnya yang kekar. Namun para peserta tidak dibenarkan memakai seragam pasukan Hui-liong-kun maupun pasukan pengawal kota Kun-Beng, sebab hal itu dapat menimbulkan rasa iri satu sama lain di antara kedua pasukan.

Pakkiong Liong telah duduk di kursi kehormatan, didampingi Song Jin-ho dan di sebelah lainnya adalah Tong Lam-hou. Ang Bun-long yang memakai pakaian silat ringkas berwarna biru itu melirik ke arah Tong Lam-hou dengan perasaan irinya.

Batinnya, "Anak gunung yang tidak tahu diri. Kau kira dengan duduk bersampingan dengan Pakkiong Ciangkun dan Song Congpeng itu lalu kedudukanmu menjadi terhormat? Merasa sejajar dengan Pakkiong Ciangkun? Heran, nanti aku akan menantangnya dan menjungkalkannya dari atas panggung, supaya orang tahu bahwa sebenarnya dia tidak berarti apa-apa dalam Hui-liong-kun kami."

Sementara itu, gong telah dibunyikan dan pertandinganpun dimulai. Yang pertama dipertandingkan adalah khusus untuk para prajurit. Penonton yang telah memenuhi halaman gedung itu segera bersorak-sorai ketika dua orang prajurit tampil di arena. Yang satu bertubuh pendek gempal, yang lainnya kurus tetapi langkah-langkahnya nampak lincah.

Begitu isyarat dibunyikan, keduanyapun saling baku hantam, dan akhirnya dimenangkan oleh si kurus, meskipun banyak penonton yang lebih menjagoi si pendek gempal. Pertandingan dilakukan sepasang-sepasang, dan nanti pemenang akan menghadapi pemenang lainnya, begitu seterusnya sehingga peserta akan semakin sedikit sampai diketeinukan pemenang yang terakhir.

Begitulah, karena para prajurit umumnya berilmu silat biasa-biasa saja, maka pertandingan umumnya berjalan dengan kasar dan tidak jarang malah menimbulkan gelak tertawa penonton. Gaya berkelahi yang ditampilkan mereka juga berbeda-beda. Ada yang bersilat dengan macam-macam aliran, atau bergulat seperti orang Mongol, atau menyerang sambil melompat-lompat seperti orang-orang Siam, karena wilayah Hun-lam ini sudah dekat letaknya dengan Siam.

Tapi umumnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun dapat memenangkan pertarungan dengan baik, menandakan bahwa anak buah Pakkiong Liong itu memang terlatih dengan lebih baik dibandingkan prajurit-prajuritnya Song Jin-ho. Pemenang terakhir adalah seorang prajurit Hui-liong-kun yang berhasil melempar lawannya ke bawah panggung dengan lemparan gaya gulat Mongol. Lawannya yang dilempar keluar itu juga seorang prajurit Hui-liong-kun, namun akhirnya keduanya berpelukan sambil tertawa-tawa di bawah panggung.

Pertandingan antar perwira mulai. Pihak Hul-liong-kun hanya menurunkan tiga orang, yaitu Ko Lung-to, Tokko Seng dan Ang Bun-long sendiri yang mencetuskan gagasan tentang pertandingan itu. Perwira-perwira lainnnya seperti Ha To-Ji, Han Yong-kim atau Le Tong-bun, lebih suka tetap jadi penonton saja.

Jika pertandingan itu dimaksudkan untuk memanaskan otot menjelang tugas berat, maka Ha To-Ji dan lain-lainnya merasa tidak perlu melakukannya, sebab mereka sudah melakukan "pemanasan" itu dalam pertempuran-pertempuran yang sesungguhnya di padang ilalang itu.

Jumlah pertandingan antara perwira ada enam belas orang, maka dibagi menjadi delapan pasangan diambil delapan orang pemenangnya. Lalu delapan orang itu diadu lagi dua-dua untuk diambil empat pemenang, diambil lagi dua pemanang dan akhirnya akan tinggal satu pemenang.

Sejak babak pemulaan, sudah nampak kelebihan Ang Bun-long dari peserta-peserta lainnya. Seorang perwira bawahan Song Jin-ho telah dirobohkannya hanya dengan empat pukulan saja. Sementara Tokko Seng dan Ko Lung-to Juga berhasil mengalahkan lawannya masing-masing namun melalui pertandingan yang agak seru.

Dibabak kedua, kembali Ang Bun-long memancing tepuk tangan penonton ketika la juga berhasil mengalahkan lawannya yang kedua, yaitu seorang anakbuah Song Jin-ho yang bertubuh tinggi besar. Dengan sebuah tendangan keras ke betis orang itu, maka si raksasa itupun jatuh ke bawah panggung dan dinyatakan kalah.

Tokko Seng juga berhasil maju ke babak selanjutnya setelah mengalahkan lawannya, namun Tokko seng mendapat mendapat cedera pada pergelangan tangannya, karena lawan yang baru saja dikalahkannya itu agaknya seorang ahli dalam Kim-na-Jiu-hoat (ahli menangkap dan memelintir tangan).

Sedangkan Ko Lung-to malahan telah dikalahkan oleh seorang perwira dari Kun-beng, memancing sorak gemuruh dari prajurit-prajurit bawahan Song Jin-ho. Mereka bangga karena seorang perwira mereka telah berhasil mengalahkan seorang perwira Hui-liong-kun, pasukan paling terkenal di negeri itu.

Kemudian, perwira Kun-beng yang mengalahkan Ko Lung-to juga mengalahkan Tokko Seng di babak ketiga. Kembali sorak-sorai para prajurit Kun-beng menggetarkan halaman gedung itu. Sementara Ang Bun-long juga telah mengalahkan perwira Kun-beng lainnya.

Kini adalah pertandingan puncak. Tinggal dua orang peserta, yaitu Ang Bun-long melawan perwira Kun-beng yang mengaku bernama Toan Cin-yang itu. Mereka akan bertarung menentukan siapa pemenangnya.

Ang Bun-long bertubuh ramping dengan pundak yang tegap, kedua tangannya kokoh dengan otot-ototnya yang menonjol keluar, karena Ang Bun-long sengaja mengenakan baju silat buntur yang mempertontonkan lengannya. Sedangkan Toan Cin-yarig bertubuh ramping pula, dengan otot tak sebesar Ang Bun-long, namun ia memiliki sepasang kaki yang berbahaya dengan tendangannya yang deras.

Kedua orang itu naik ke panggung dengan diiringi sorakan-sorakan dukungan dari pasukannya masing-masing. Jika dalam pertandingan antara prajurit-prajurit Kun-beng berharap bahwa Toan Cin-yang akan menembus kekalahan itu dengan mengalahkan Ang Bun-long yang tampil dengan lagak sombong itu.

Keduanya saling memberi hormat, kemudian mempersiapkan diri sambil menunggu isyarat dibunyikan. Toan Cin-yang memasang kuda-kuda yang agak pendek dan ringan, mempermudah sepasang kakinya untuk melakukan tendangan, sementara kedua tangannya yang terkepal tersusun di depan badannya. Sedangkan Ang Bun-long bersikap sangat memandang rendah lawannya, la hanya berdiri dengan kaki renggang sejajar, sementara kedua tangannya bertolak pinggang. Tidak ada kuda-kuda apapun.

Sikap Ang Bun-long itu bukan saja memancing kejengkelan prajurit-prajurit Kun-beng, tetapi juga menimbulkan ketidak-senangan di kalangan orang Hui-liong-kun sendiri.

"Ang Bun-long terlalu memandang enteng lawannya," bisik Ha To-ji kepada Le Tong-bun yang duduk di sebelahnya.

"Sombong sekali. Jika ia sampai kalah maka seluruh Hui-liong-kun kita akan ikut tercemar pula," sahut Le Tong-bun dengan berbisik juga. "Bukan saja tercemar sebagai pasukan yang tidak becus tetapi juga sebagal prajurit-prajurit yang sombong."

Sementara itu, gong sudah dipukul, dan kedua orang yang berada dl atas panggung itupun mulai bergeser untuk mencari peluang melancarkkan serangan, Toan Cin-yang mengitar panggung untuk mencari sudut kelemahan lawan, sementara Ang Bun-longg masi teteettap dengan bertolak pinggang juga berputar mengikuti gerakan lawannya itu, mulutnya masi menyungging senyum mengejek.

Tiba-tiba saja Toan Cin-yang membentak, gesik sekali ia melangkah maju sambil memukul dengan jurus Kiong-po-pek-tan (melangkah sambil menyodorkan tinju). Jurus yang sangat sederhana, namun karena Toan Cin-yang melatihnya ratusan kali setiap harinya, maka jurus sederhana itupun menjadi sebuah serangan yang amat berbahaya.

Kecepatannya maupun kekuatannya telah mengejutkan Ang Bun-long. Cepat Ang Bun-long menarik sebelah kakinya ke belakang, sementara hidungnya hampir saja pecah kena Jotosan lawan. Hanya terpisah seujung rambut. Belum habis kejut Ang Bun-long, kembali lawan telah menunjukkan kesebatannya dengan melakukan sapuan Kim-kong-sau-san (Sang Malaikat Menyapu gunung) ke mata kaki Ang Bun-long.

Buru-buru perwira Hui-liong-kun yang sombong itu menarik kakinya ke belakang, namun ternyata tendangan Toan Cin Toan Cin-yang itu adalah tendangan berantai. Kaki kanan gagal menyapu, langsung kaki kirinya menendang sambil memutarkan tubuh dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor) dengan derasnya ke ulu hati lawan.

Ang Bun-long benar-benar tak sempat memasang kuda-kuda lagi, dalam gugupnya ia menyilangkan kedua tangan di depan ulu hatinya untuk mencoba menahan tendangan lawan yang lincah itu. Kaki dan tangan berbenturan, Ang Bun-long terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh ke bawah panggung. Sementara itu sorakan-sorakan mengejek dari prajurit-pajurlt Kun-beng telah memanaskan hatinya.

Yang lebih membakar hati Ang Bun-long adalah ketika melihat Toan Cin-yang tidak melanjutkan serangannya, melainkan berdiri bertolak pinggang aambll membiarkan saja ia memperbaiki keseimbangannya. Seakan-akan Toan Cin-yang sedang menyindir sikap sombong Ang Bun-long tadi. Setelah berdiri tegak kembali, dengan mata berkilat-kilat marah, Ang Bun-long menyiapkan serangannya.

Maka bertempurlah kedua orang itu dengan serunya. Ang Bun-long yang bertubuh lebih tegap berusaha untuk menyergap dan menghentikan kelincahan Toan Cin-yang, namun musuhnya bagaikan seekor tawon yang beterbangan dengan lincah dan sulit untuk ditangkap. Sementara tendangan-tendangannya yang keras tidak dapat diabaikan begitu saja.

Demikianlah, untuk berpuluh-puluh jurus pertempuran itu berjalan cukup seimbang, kadang-kadang serangan dari salah satu pihak mengenai tubuh lawan tetapi tidak terlalu telak. Namun serangan yang tidak telak itu telah membakar hati kedua belah pihak, apalagi dipanaskan dengan sorak-sorai prajurit-prajurit Hui-liong-kun dan Kun-beng yang mendukung jagonya masing masing. Bahkan penonton yang terdiri dari rakyat biasa itupun mulai ikut bersorak-sorak dan tidak ketinggalan bertaruh! Dari taruhan kecil-kecilan sampai taruhan yang mencapai puluhan tahil emas.

Jika tadinya Ang Bun-long menduga akan dapat "menyelesaikan" lawan dalam waktu kurang dari duapuluh jurus, maka kini ia kecewa sekali. Perkelahian sudah hampir memasuki jurus ke seratus namun masih seimbang saja. Agaknya ia lupa bahwa sejelek-jeleknya Toan Cin-yang, namun pernah dikalahkannya dua orang perwira Hui-liong-kun yang merupakan orang-orang tangguh itu.

Dengan demikian seharusnya Ang Bun-long dapat memperhitungkan sampai di mana bobot kepandaian lawannya itu. namun agaknya Ang Bun-long tertutup matanya oleh kesombongannya sehingga pada gebrakan pertama tadi ia malahan hampir saja terjungkal oleh lawannya. Kini Ang Bun-long bertempur dengan nafsu kemarahan yang meluap-luap.

Ia lupa bahwa pertandingan itu hanya pertandingan persahabatan belaka, melainkan sudah dianggapnya sebagal pertarungan mati hidup melawan seorang musuh yang harus dibinasakannya. Bertarungnya mirip dengan seekor kerbau gila yang membabi-buta menerjang apapun yang di hadapannya.

Pakkiong Liong yang tadinya tersenyum-senyum itu kini mulai mengerutkan alisnya melihat tingkah laku Ang Bun-long itu. Haruskah ia meloncat ke atas panggung untuk menghentikan pertandingan sebelum jatuh korban di antara kedua orang yang bertanding itu? Kalau pertandingan dihentikan; siapa pemenangnya dan apa alasannya? Sesaat Pakkiong Liong belum menemukan jalan keluarnya.

Sementara itu pertandingan di panggung telah menjadi semakin panas, kedua pihak saling menggebuk atau menendang dengan kerasnya. Muka Toan Cin-yang sudah tak keruan bentuknya, hidung berdarah, bibir bengkak dan giginya sudah rontok dua biji. Sedang Ang Bun-long matanya sudah kebiru-biruan, keningnya robek dan kakinya pincang.

Namun kedua pihak belum mau menyudahi pertandingan itu. Toan Cin-yang merasa bahwa dirinya sedang memikul nama baik pasukananya, sedangkan Ang Bun-long ingin menambah pamornya secara pribadi dalam pasukannya.

Namun semakin pertarungan berlanjut, semakin kelihatan bahwa Toan Cin-yang memang masih setingkat di bawah kepandaian perwira Hui-liong-kun itu. Kini la mulai terdesak terus, namun dengan gigihnya terus melawan. Suatu saat ketika Toan Cin-yang melancarkan sebuah pukulan lurus, Ang Bun-long tiba-tiba berhasil menyergap tangan lawannya dengan kedua tangannya.

Sambil memiringkan badannya, tangan kanan Ang Bun-long berhasil mencengkeram pergelangan tangan lawan, dan tangan kirinya menghantam ke arah siku tangan. Semua yang melihat gerakan itu menjadi terkejut, itulah gerakan untuk mematahkan tangan! Gerakan yang tidak pantas diterapkan dalam suatu pertandingan persahabatan.

Toan Cin-yang terperanjat, cepat ia mengikuti saja arah puntiran lawannya sampai tubuhnya memoelakangi tawan dan ia berusaha menyentakkan tangannya agar lepas dari telikungan lawan. Itulah gerakan melepaskan diri dari puntiran yang disebut Ling-yo-kui kak (Kambing Gembel Melepaskan Tanduknya), kemudian dengan tangkas disusul dengan gerakan Kau-tui-hoan-tui (Menekuk Lutut Menendang ke Belakang) untuk menendang lutut Ang Bun-long dengan gerakan membelakang.

Tetapi Ang Bun-long cukup tangkas menyadap perubahan lawannya. Ketika tubuh lawan berputar-maka cengkramannya memang hampior lepas, tapi dengan gesit Ang Bun-long merapatkan tubuh ke punggung lawannya sambil menyusulkan gerakan Tin-jiu-kim-na (Menurunkan Tangan dan Menangkap), sehingga tangan lawan tetap tercengkeram olehnya dan sia-sialah gerakannya untuk melepaskan diri tadi.

Tanpa kenal ampun Ang Bun-long menekuk tangan lawannya sekuat tenaga hingga Toan Cin-yang melolong kesakitan, sayup-sayup terdengar suara berderaknya persendian yang lepas.

"Ang Bun-long, hentikan!" teriak Pakkiong Liong.

Tapi Ang Bun-long bagaikan kesurupan setan malahan tertawa terbahak-bahak. Puas mematahkan tangan kanan, ia sergap tangan kiri musuhnya untuk dipatahkan pula. Sementara dari bawah panggung para prajurit kota Kun-beng berteriak-teriak memprotes. Suasana menjadi panas, beberapa perwira bawahan Song Jin-ho Juga ikut, marah melihat rekan mereka diperlakukan seperti itu.

Ang Bun-long tidak peduli, kembali tangannya diangkat tinggi-tinggi dan siap mematahkan tangan lawannya yang sudah tak berdaya itu. Namun pada saat tangannya terayun turun, maka sesosok bayangan meluncur ke atas panggung dengan cepatnya, dan tangan Ang Bun-long tadi bagaikan terjepit sebuah tang-baja disusul tubuhnya-pun terdorong mundur beberapa langkah.

Ternyata yang melompat ke atas panggung tadi adalah Pakklong Liong sendiri untuk mencegah perbuatan kejam lebih lanjut dari anak-buahnya itu. Sebagai seorang Panglima yang berkepentingan untuk melihat kesatuan antar semua prajurit kerajaan, maka ia tidak dapat membenarkan sikap Ang Bun-long yang mencari menangnya sendiri dengan tidak segan-segan menciderai Toan Cin-yang itu.

Sikap macam itu bisa menimbulkan rasa permusuhan antara prajurit Hui-liong-kun dengan prajurit, prajurit pengawal kota Kun-beng, padahal kedua kesatuan itu adalah sama-sama prajurit Kerajaan Manchu yang harusnya kompak. Ang Bun-long menjadi gemetar dan kepalanya tertunduk ketika Pakkiong Liong menatapnya dengan tajam, seperti seekor naga yang murka. Terdengar suara Pakkiong Liong yang dingin,

"Ang Bun-long, ketika tadi aku berteriak untuk menghentikanmu apakah kau tidak mendengarnya? Atau barangkali kau sudah tidak menghiraukan lagi aku?!"

"Ma... maaf, Ciangkun, aku... waktu itu hannya bermaksud menyelesaikan pertandingan ini secara tuntas, demi nama baik Pasukan Hui-liong-kun kita..." sahut Ang Bun-long dengan kepala tunduk.

"Huh, enak betul, nama baik Pasukan Hui-liong-kun kau jadikan kedok untuk menyelubungi perbuatanmu yang sewenang-wenang?" dengus Pakkiong Liong. "Kau tetap berdiri di situ, sampai aku perintahkan lainnya!"

"Baik, Ciangkun!" sahut Ang Bun-long dengan sikap seorang prajurit. Namun di dalam hatinya ia mengumpat-umpat karena merasa malu berdiri seperti patung di atas panggung itu, sementara ejekan-ejekan para penonton di bawah panggung memanaskan kuping Ang Bun-long. Namun ia tidak berani melanggar perintah Panglimanya.

Sedangkan Pakkiong Liong berjalan mendekati ke arah Toan Cin-yang yang sudah digotong turun dari panggung oleh beberapa perwira rekannya. Melihat muka Toan Cin-yang yang pucat dan menahan kesakitan Itu, Pakkiong Liong berkata dengan menyesal, "Saudara Toan, beratkah lukamu?"

Toan Cin-yang berusaha melakukan penghormatan kepada Pakkiong Liong, namun sempoyongan hampir jatuh, sehingga Pakkiong Liong buru-buru menangkap tubuhnya sambil berkata, "Sampingkan dulu segala tata-tertib keprajuritan untuk sementara waktu. Bagaimana lukamu?"

"Tangan kananku terlepas dari persendian, Ciangkun. Tapi dalam beberapa minggu akan puluh kembali. Terima kasih atas perhatian Ciangkun."

Pakkiong Liong menarik napas, dipandangnya wajah-wajah tegang dari perwira-perwira rekan-rekan Toan Cin-yang yang berdiri mengitari Toan Cin-yang. Lalu kata Pakkiong Liong, "Aku minta maaf kepada saudara Toan bahwa aku terlambat mencegah bawahanku untuk berbuat sekasar itu. Juga minta maaf kepada semua prajurit kota Kun-beng, sambil berharap hendaknya persatuan antara sesama prajurit Kerajaan Manchu tidak menjadi retak karena kejadian ini."

Betapapun panasnya hati teman-teman Toan Cin-yang itu, namun sikat Pakkiong Liong sebagai seorang Panglima besar yang terkenal itu ternyata tidak segan-segan untuk minta maaf lebih dulu kepada perwira-perwira rendahan seperti mereka, betapapun juga membuat mereka merasa tidak enak sendiri.

Cepat merekapun membalas penghormatarn Pakkiong Liong dan menyatakan tidak apa-apa, meskipun kemarahan mereka terhadap Ang Bun-long belum lenyap sama sekali. Tapi mereka harus membedakan antara Ang Bun-long dengan Pakkiong Liong.

Kata Pakkiong Liong kemudian, "Aku akan memberi teguran keras kepada perwiraku itu, dan kalau perlu hukuman yang akan membuatnya jera."

"Terima kasih, Ciangkun," sahut Toan Cin-yang sambil menyeringai kesakitan. "Tetapi biarlah persolannya selesai sampai di sini saja. Anggap saja suatu kecelakaan, atau karena ke-tidak-becusan sendiri. Hal ini justru akan menjadi cambuk bagiku untuk berlatih keras di hari-hari mendatang."

Pakkiong Liong menepuk pundak perwira Kun-beng itu. "Kau berjiwa besar, saudara Toan. Tetapi tidak bisa tidak aku harus menegur perwiraku itu. Sikap seperti itu jika tidak dihukum akan menular kepada perwira-perwira lainnya bahkan kepada prajurit-prajurit bawahannya. Apa jadinya negeri ini kalau prajurit-prajuritnya saling, membenci dan saling berbaku-hantam satu sama lain?"

Setelah berkata begitu, Pakkiong Liong lalu kembali ke atas panggung, dan berkata kepada Ang Bun-long yang masih menungngu dengan sikap siap itu, "Ang Bun-long, kau harus mengaku kesalahanmu kepada semua yang hadir dan meminta maaf...."

"Tapi, Ciangkun, aku tidak bersalah, dalam pertandingan silat adalah hal biasa kalau seseorang mendapat luka sedikit..."

"Lakukan saja perintahku."

"Tapi nama baik pasukan kita...."

"Justru demi nama baik pasukan kita. Seorang jantan bukan sekedar seorang yang berani berkelahi dengun siapapun, tapi harus berani melihat kesalahan ke dalam diri sendiri dan mengakuinya."

"Tetapi..."

"Lakukan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membentak dengan muka merah padam. "Atau aku harus memberi hukuman yang lebih berat lagi di panggung ini agar kau menjadi tontonan orang banyak?"

Alangkah sakitnya hati Ang Bun-long dibentak-bentak seperti itu di hadapan umum. Namun orang-orang seperti Ang Bun-long lebih mudah menjadi sakit, hati daripada menyadari kesalahannya. Tapi kali ini dengan terpaksa sekali ia menjalankan perintah Panglimanya, sebab bagaimanapun juga ia adalah seorang prajurit yang terikat tata-tertib keprajuritan. Semua perintah harus dijalankan atau dihukum berat.

Maka Ang Bun-longpun memberi hormat ke arah penonton di sekitar panggung, lalu dengan terbata-bata ia mengucapkan penyesalannya, yang sebenarnya tidak keluar dari hatinya secara tulus. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat, karena bagi orang berjiwa sempit seperti dia, minta maaf adalah perbuatan yang sangat, memalukan. Jika dengan kekerasan bisa menindas atau menghajar orang lain, itu barulah jantan, demikian jalan pikiran orang-orang semacam Ang Bun-long itu.

Selesai mengucapkan kata-kata "penyesalan"nya, cepat-cepat ia meloncat turun dari panggung dengan muka merah padam, lalu menghilang ke bagian belakang gedung. Setelah memakai bajunya, ia lalu menyelinap keluar dari gedung dengan melewati pintu samping, tidak peduli lagi ramai-ramai yang masih berlangsung di halaman depan. Hari itu la merasa sangat kehilangan muka, dan ia sungguh merasa heran bahwa Panglimanya tidak membelanya, melainkan malahan ia "dipermalukan" dengan disuruh minta maaf.

Apa-apaan ini? Apakah Panglima lebih memperhatikan si anak gunung itu daripada dirinya? Akhirnya dengan geram Ang Bun-long keluar dari gedung itu, la harus menemukan sebuah warung arak dan akan dimabukkannya dirinya seridiri untuk melupakan kejengkelannya.

Sementara itu, dari antara kerumunan penonton yang terdiri dari para prajurit dan rakyat jelata itu, Juga keluarlah seseorang yang langsung mengikuti langkah Ang Bun-long. Orang itu bukan prajurit. Ia seorang lelaki kira-kira berumur empat puluh tahun, bertubuh kurus, memakai jubah panjang dan kepalanya yang kecil itu memakai topi berbentuk belahan semangka, sambil berjalan menguntit Ang Bun-Long, sebentar-sebentar ia mengisap pipa cangklongnya dan dihembuskannya asapnya ke udara. Wajahnya yang berkulit kuning pucat itu memiliki sepasang mata yang menggambarkan kelicikannya.

Ketika Ang Bun-long masuk ke sebuah rumah makan dan hendak berteriak memesan arak kepada pelayan, maka orang itu segera duduk di seberang meja, berhadapan dengan Ang Bun-long. sambil tertawa terkekeh la berkata, "Hari ini, biar aku yang traktir kau minum arak, saudara Ang...”

Tangan Ang Bun-long yang sudah terangkat hampir menggebrak meja itu-pun diturunkan kembali perlahan-lahan. Lalu masih dengan wajah yang gelap ia berkata kepada orang itu, "Kau? Bagaimana kau sampai bisa berada dikota Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini?"

Orang itu tertawa terkekeh-kekeh, dlkepulkannya asap pipa cangklongnya lebih dulu ke udara, baru menjawab, "Dan kalian orang-orang Hui-liong-kun kenapa juga berada di Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini? Memangnya hanya kalian yang boleh pergi jauh dan kami prajurit-prajurit Ui-ih-kur, (Pasukan Baju Kuning) tidak boleh?"

Ang bun-long sungkan berdebat dengan orang yang sudah dikenalnya di Pak-khia dulu. Orang itu adalah seorang perwira tentara juga, tetapi dari pasukan yang disebut Ui-ih-kun, sebuah pasukan yang cukup kuat di ibukota Kerajaan dan dipimpin oleh seorang paman dari Pakkiong Liong yang bernama Pakkiong An. Orang itu sendiri bernama Hehou Im, dan sebelum menjadi prajurit ia terkenal di dunia hitam dengan julukan Sat-sin-kui (Si Setan Ganas).

Meskipun bentuk tubuhnya kerempeng dan sinar matanya selalu redup seperti seorang yang mengantuk, namun sesungguhnya kepandaian silatnya dan juga kekejamannya dalam menghadapi musuh sudah cukup dikenal orang. Kalau tidak kejam, tidak bakalan ia mendapat julukan Sat-sin-kui. Ia juga cerdik dan banyak akalnya, sehingga dalam waktu singkat ia telah menjadi seorang perwira yang dekat dengan Pakkiong An untuk mengurus berbagai urusan.

Ang Bun-long tahu bahwa jika seorang perwira bawahan Pakkiong An sampai berada di Ibukota wilayah Hun-lam ini, apalagi dengan menyamar, tentu bukannya tanpa maksud apa-apa. Tetapi Ang Bun-long sedang malas untuk berpikir, ketika seorang pelayan mengantarkan sepoci arak dan mangkuknya, maka Ang Bun-long cepat menyambar poci arak itu dan langsung dituangkan ke mulutnya tanpa menggunakan mangkuknya. Ia ingin mabuk untuk melupakan kepahitannya di panggung pertandingan tadi.

Hehou Im tersenyum-senyum saja melihat cara Ang Bun-long meminum araknya, bahkan kemudian Hehou im memberi isyarat kepada pelayan rumah makan itu agar menambah lagi araknya. Sedang dia sendiri tenang-tenang saja menyedot asap tembakaunya dari pipanya, dan menghembus dengan nikmatnya. Seolah-olah acuh tak-acuh, ia berkata,

"Meriang arak dapat melupakan kepedihan hati dan rasa penasaran karena diperlakukan tidak adil. Minumlah sepuasnya."

Ang Bun-long agak terbeliak mendengar ucapan Hehou Im itu, sesaat ia menatap perwira dari pasukan Ui-ih-kun itu, namun kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia meneruskan menenggak araknya.

Sementara itu Hehou Im berkata lagi, "Aku tahu kau penasaran, saudara Ang. Kau mengabdi bertahun-tahun dalam Hui-liong-kun tanpa kenal lelah, banyak membuat jasa untuk Negara dan Kaisar, namun kau tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya untuk semua jerih payahmu itu. Panglimamu benar-benar seorang yang gila pujian dan sekaligus kurang dapat menghargai bawahan yang berbakat..."

Hehou Im menghentikan sejenak perkataannya dan diliriknya bagaimana wajah Ang Bun-long ketika mendengar ucapannya itu. Dilihatnya muka perwira Hui-lion-kun sudah agak memerah karena arak, namun agaknya masih sadar, dan matanya yang mendadak bercahaya itu menandakan bahwa ucapan Hehou Im tadi telah mengena pada sasarannya. Memang hal itulah yang selama ini dirisaukan oleh Ang Bun-long, dan kini ada orang lain yang dapat mengungkapkan perasaannya secara tepat.

Lalu Hehou Im melanjutkan kata-katanya, "Aku bicara terus terang saja, Pakkiong Liong itu gila pujian, sebab semua jasa-jasa yang diperbuat oleh anak buahnya disembunyikannya, dan diakuinya sebagai jasanya sendiri. Itulah sebabnya nama Pakkiong Liong sendiri semakin cemerlang, sedang nama perwira-perwira bawahannya tidak akan mencuat naik ke atas, sebab mereka hanya sekedar alat untuk menjalankan perintah-perintah Pakkiong Liong.”

"Jangan bicara tele-tele," tukas Ang Bun-long sambil meletakkan poci araknya yang sudah kosong. "Katakan apa maumu."

"Baik. Terang-terangan saja, Pakkiong Ciangkun, eh, maksudku adalah Panglima atasanku, Pakkiong An, merasa sayang sekali jika ada perwira-perwira yang sebenarnya pandai semacam kau ini, tidak dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena rasa dengki dari Pakkiong Liong. Menurut Pakkiong Ciangkun, orang seperti kau ini paling tidak sudah harus berpangkat Congpeng atau serendah-rendahnya Bu-ciang, tapi lihat saja kau ini, dari dulu pangkatmu hanya perwira menengah terus-terusan saja. Dan mungkin sampai kau kelak mati ditembus pedang musuh kau tetap seorang perwira menengah saja...."

"Bicara langsung ke tujuan."

"Baik. Pakkiong Ciangkun menawarkan kerjasama denganmu, jika kau bersedia maka kelak kenaikan pangkat maupun ganjaran kekayaan yang cukup banyak akan berlimpah dalam hidupmu."

"Maksudmu, aku keluar dari Pasukan Hui-liong-kun dan masuk ke pasukan Ui-ih-kun kalian? Kau kira prajurit bisa berpindah-pindah kesatuan dengan seenaknya saja tanpa surat penetapan dari Peng-po-ceng-tong?"

Hehou Im menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Bukan begitu. Kau tetap berada dalam Pasukan Hui-liong-kunmu, tetapi untuk selanjutnya kita bisa bekerja-sama, sebab sesungguhnya Pakkiong Ciangkun sendiri kurang senang kepada keponakannya yang sombong itu."

"Kenapa si tua Pakkiong An iri tidak senang kepada keponakannya?"

Hehou Im tidak segera menjawabi ditatapnya mata Ang Bun-long lurus-lurus sehingga bergidiklah Ang Bun-long dibuatnya. Dalam sikap seperti itu Hehou Im terlihat begitu menyeramkan! Berbeda dengan sikap sehari-harinya yang tertawa-tawa dan kurang bersungguh-sungguh itu. Ketika melihat Ang Bun-long agaknya tercekam oleh sikapnnya itu, maka tiba-tiba Hehou Im tertawa kembali dan berkata,

"Baiklah! karena aku merasa bahwa kerjasama kita ini bakal berlangsung, maka aku akan berterus terang kepadamu. Pakkiong An tidak suka bahwa pamor keponakannya itu semakin lama semakin cemerlang.! sehingga mengalahkan pamornya sendiri di hadapan Sri Baginda. Ia merasa keponakananya itu semakin lama semakin besar kepala terhadapnya."

Ang Bun-long mengangkat kepalanya dengan tercengang. Tak terduga bahwa antara paman dan keponakan yang di Kotaraja Pak-khia nampak akrab itu ternyata ada masalah semacam itu. "Kau berani berkata demikian terus-terang kepadaku, kau tidak kuatir kalau kulaporkan semuanya ini kepada Pakkiong Liong?"

Hehou Im kelihatan tenang-tenang saja mendengar gertakan Ang Bun-long itu, sahutnya sambil cengar-cengir, "Silahkan. Kau kira dengan demikian kau akan mendapat muka dari Pakkiong Liong? Andaikata Pakkiong Liong mempercayai laporanmu, bisa berbuat apa ia di hadapan Pakkiong Ciangkun? Pamannya itu punya pengaruh yang lebih besar di Peng-po-ceng-tong maupun di Istana sendiri, kau tentu tahu bahwa Pakkiong Ciangkun itu teman baik Peng-po-siang-si (Menteri Peperangan) dan hubungannya dengan Sri Baginda lebih dekat, sebab Pakkiong Ciangkun adalah saudara sepupu Hong-hou (permaisuri). Jika nasibmu buruk, salah-salah kau malah akan dianggap mengadu-domba antara paman dan keponakan tanpa bukti-bukti kuat dan kau tahu sendiri kelanjutan nasibmu."

Ang Bun-long menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya menggertak Hehou Im, dan sesungguhnya ia juga tidak bermaksud menggertak benar-benar, hanya ingin tahu kesungguhan Hehou Im saja.

Sementara Hehou Im telah melanjutkan, "Dan kau harus menggunakan otakmu. Jika kau ingin cepat naik pangkat dan cepat terkenal, bekerja-samalah dengan Pakkiong Ciangkun. Tapi jika ingin jadi perwira rendahan sampai kau mati, setialah terus kepada Pakkiong Liong. Aku tak dapat mencegahmu."

Ang Bun-long masih belum menjawab, namun hatinya sudah mulai tergerak oleh tawaran yang menarik itu. Naik pangkat, kekayaan, ketenaran. Apa lagi? Bukankah dulu ketika ia terima dalam Pasukan Hui-liong-kun yang menjadi tujuananya juga ketiga hal itu? Tetapi apa yang didapatnya? Yang didapatnya hanyalah tugas berat yang tak henti-hentinya, dan setiap kali yang didengarkan hanyalah kata-kata "demi Negara dan Kaisar". Apa yang didapatnya dengan semboyan semboyan "demi Negara dan Kaisar" itu? Salah-salah bisa mampus dibunuh musuh.

Hehou Im seolah dapat membaca pikiran orang, sehingga kata-katanya semakin lama semakin mantap, "Kau tentu harus memilih dengan bijaksana. Jika kau setuju, segera kuberitahukan kerjasama kita yang pertama."

"Aku harus berpikir-pikir dulu, soalnya..." kata Ang Bun-long, namun kata-katanya terputus dan matanya terbelalak ketika melihat Hehou Im membuka sebuah kantong kecil dan mengeluarkan lima potong emas yang masing-masing beratnya kira-kira dua tahil lebih.

"Buat apa berpikir-pikir untuk soal segampang ini?" kata Hehou Im sambil mendorong potongan-potongan emas itu ke hadapan Ang Bun-long. "Tanpa bahaya sedikitpun, sementara pangkat, kekayaan dan ketenaran sudah menantimu."

Ang Bun-long menelan ludahnya sementara matanya tak lepas-lepas dari batangan-batangan emas kecil itu. Jika emas itu diuangkan, ia akan dapat membeli sebuah rumah yang cukup bagus di Pak-khia, dan tidak lagi tinggal berdesak-desakan di barak tentara seperti sekarang ini. Apalagi hadiah ini baru "pembukaan" saja, jika kerja-samanya dengan Pakkiong An berjalan mulus, bukankah batangan-batangan emas semacam ini akan mengalir ke kantongnya. Jadi tunggu apa lagi?

Akhirnya Ang Bun-long meraih benda-benda kemilau dan memasukkan ke kantong dalam bajunya, mukanya yang tadi gelap itu sekarang menjadi cerah, dan sahutnya, "Kalau sudah begini, aku bisa berkata apa lagi?"

Hehou Im menyeringai, katanya. "Bagus! Kerjasama kita yang pertama adalah soal kedua tawanan itu."

"Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong?"

"Tepat. Pakkiong Liong berhasil menangkap kedua orang tawanan penting itu, tawanan yang tidak sembarangan orang bisa menangkapnya. Jika Pakkiong Liong berhasil membawa kedua tawanan itu sampai ke Pak-khia dengan selamat, maka pamornya akan bertambah terang di hadapan Sri Baginda. Ini tidak disukai oleh Pakkiong An. Jadi ada satu cara untuk membuat Pakkiong Liong kehilangan muka dalam Sidang Kerajaan yang akan datang, yaitu, tawanan-tawanan itu harus hilang di tengah jalan. Maksudku, lepas dari tangan Pakkiong Liong. Nah, untuk inilah kerjasama kita harus bekerja-sama..."

Ang Bun-long menggebrak meja dan berkata keras. "Hehou lm kau ini bekerja untuk Kerajaan atau untuk pemberontakan? Susah-payah kami dari Hui-liong-kun mengejar tawanan itu berhari-hari dan berribu-ribu mil jauhnya, dan kalian ingin tawanan itu lolos kembali?"

"Tenang-tenang sajalah, saudara Ang, dengarkan dulu penjelasanku. Yang kami maksudkan lepas dari Pakkiong Ciangkun-mu itu bukan berarti kedua tawanan itu menjadi bebas kembali dan berbuat kekacauan lagi di mana-mana. Kami tahu mereka adalah musuh-musuh pemerintah yang tidak boleh lepas lagi. Maksud kami gampang saja, yaitu lepas dari tangan Pakkiong Liong namun jatuh ke tangan Pakkiong An, bukankah sama saja dan Kerajaanpun tidak rugi?"

"Oh, begitu. Kalau begitu aku bisa terima. Lalu aku harus bagaimana?"

"Sekarang belum kuberi tahukan kepadamu, sebab rencana yang kami susun inipun baru garis besarnya saja, kelak jika rencana sudah tersusun rapi dan akan dilaksanakan. Kau tentu akan kami hubungi lagi untuk menentukan tugas-tugasmu dalam rangka rencana itu. Paham?”

"Bagaimana garis besarnya?"

Namun agaknya Hehou Im belum percaya sepenuhnya kepada Ang Bun-Long itu, sehingga belum mau memberitahukan keseluruhan rencananya. Hehou Im kenal watak orang semacam Ang Bun Long yang seperti ular berkepala dua. Jika lerlu bisa menggigit kesana dan menggigit kesini, untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Karena itulah bukannya Hehou Im menjawab dengan baik, malahan ia mengeluarkan ancaman halus,

“Garis besarnyapun belum bias kuberi tahukan keapdamu. Aku hanya mengeluarkan sebuah peringatan kepadamu, bahwa setelah kau setuju untuk bekerja-sama dengan kami maka berarti kau sudah terikat dengan kami. Jangan mencoba-coba untuk menjadi ular berkepala dua, sebab itu berarti kau bermain-main dengan nyawamu sendiri. Pakkiong An punya sejuta telinga dan sejuta mata yang akan mengawasi gerak-gerikmu tanpa kau ketahui.”

"Kau mengancamku, he?" geram Ang Bun-long.

"Mau dibilang begitu ya terserah saja. Hanya sekedar peringatan, sebab Pakkiong An dapat meniadakan orang-orang yang tidak disukainya dengan tangan tetap bersih, seolah-olah ia tidak bertanggung-jawab sedikitpun atas kematian-kematian yang terjadi. Aku benar-benar tidak hanya menakut-nakuti. Kau masih ingat akan kematian Boan Seng-hu yang berpangkat Hou-po-siang-si itu?"

Hou-po-siang-si adalah Menteri Keuangan. Tentu saja kematian seorang berpangkat tinggi seperti itu masih diingat oleh Ang Bun-long, sehingga iapun mengangguk. "Masih ingat. Ia mati ditikam oleh orang mabuk di tengah jalan bukan?"

"Ia seorang menteri, tentu pergi ke manapun dikawal ketat, bagaimana seorang pemabuk bisa mendekati tandunya dan menikamnya sehingga mati? Kau merasa hal ini aneh atau tidak?" tanya Hehou Im seolah-olah menguji.

"Ya, memang aneh."

"Kau tentu masih ingat bahwa kemudian pemabuk itupun tidak dapat ditangkap oleh pengawal-pengawal Hou-po-siang-si, nah, bagaimana seorang pemabuk dapat lari secepat itu?"

"Apa hubungannya dengan Pakkiong An?"

Dengan tenangnya Hehou Im meneguk araknya sedikit, lalu sambil tersenyum-senyum ia menjawab, "Hubungannya? Dua hari sebelum kematiannya itu, Boan Seng-hu telah mengecam habis-habisan Pakkiong An di dalam Sidang Kerajaan. Boan Seng-hu menganggap Pakkiong An terlalu mencampuri urusan Hou-po-siang-si di bidang kebijaksanaan keuangan negara, nah, mampuslah dia."

"Ah, tentu hanya kebetulan saja. Lalu kau gunakan kebetulan itu untuk menakut-nakuti aku."

"Hanya kebetulan kau bilang? Baik. Satu contoh lagi. Sekarang tentang kematian Pi Yau-im yang menjabat Tui-thio (Kepala Pasukan) dari Tay-to-si-wi (Pasukan Bayangkari). Kau ingat matinya dia?"

"Menggantung diri di rumahnya. Apa anehnya?"

"Tentu saja tidak aneh kalau yang mati menggantung diri itu seorang yang hidupnya selalu susah, banyak hutangnya atau dalam keadaan tertekan dan sebagainya. Tetapi Panglima Tay-to si-wi Pi Yau-im itu kurang apa? Rumah bagus, pangkat tinggi, masih muda dan kuat, isterinya cantik dan hidup rumah tangganya juga rukun. Orang semacam itu kenapa gantung diri? Dan tidaklah kau ingat akan keanehan-keanehan yang terjadi pada peristiwa gantung diri itu?"

Ang Bun-long terdiam, namun di dalam hatinya ia menjawab, "Ya, kejadian itu memang aneh. Orang gantung diri harusnya matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar, namun tanda-tanda seperti itu tidak didapati pada tubuh Pi Yau-im. Bahkan bekas jeratan tali di lehernya itupun tidak meyakinkan. Dan ada seorang pelayannya yang mengatakan bahwa pada malam terjadinya peristiwa itu, si pelayan melihat ada sesosok bayangan hitam seolah-olah terbang keluar dari karnar tidur majikannya, namun beberapa hari kemudian pelayan itupun mati karena penyakit aneh yang tidak dikenali oleh seorang tabib yang ahli sekalipun."

Meskipun Ang Bun-long tidak mengatakan satu patah katapun, namun dari perubahan air mukanya maupun sorot matanya saja Hehou Im sudah tahu bahwa "rekan baru"nya itu mulai tergoncang hatinya. Dan Hehou Im merasa perlu untuk menuntaskan ceritanya, Berapa hari sebelum dia gantung diri, Piau Yau-im telah berani menyindir Pakkiong An dalam sebuah pesta ulang tahun di rumah Lo Ciangkun. Kabarnya waktu itu Pakkiong An sangat kehilangan muka tapi tidak sempat membalas sindiran Pi Yau-im, maka...yah, selanjutnya kau tahu sendiri."

Ang Bun-long merasa jantungnya berdegup keras. Kesimpulannya: Siapa yang berani menentang Pakkiong An, dia akan segera mati. Namun Pakkiong An sendiri tidak akan dapat dituduh, sebab tidak akan ada bukti-buktinya. "Kenapa kau buka rahasia ini kepadaku?" tanya Ang Bun-long dengan suara yang setengah tertelan karena takutnya.

"Pertama, karena kau sudah menjadi orang kami sendiri, dan jangan harap bisa melepaskan diri dari kerjasama ini. Kedua, karena aku hendak memperingatkan kau agar jangan punya pikiran untuk berkhianat kepada Pakkiong Ciangkun, sebab Ciangkun punya jaringan kekuasaan yang sangat halus dan rapi, yang aku sendiri bahkan tidak tahu seberapa luasnya."

"Bagaimana misalnya, eh, hanya misalnya lho, aku tiba-tiba ingin membongkar rahasia kematian Boan Seng-hu dan Pi Yau-im dengan menyelidiki kembali peristiwa kematian-kematian aneh itu? Atau aku laporkan saja kepada siapapun yang cukup punya kekuasaan untuk menandingi Pakkiong An?"

"Jika demikian, maka kau telah memutuskan batas umurmu sendiri. Sebelum kau sempat berbuat sesuatu yang berarti, orang sudah akan menemukan mayatmu lebih dulu. Mungkin kau ditikam orang di tempat pelacuran, atau mayatmu tergantung di pohon seolah-olah bunuh diri, atau kau hilang dan tahu-tahu orang mendapati mayatmu sudah terapung-apung di sungai."

"Gila! Gila! Kau menakut-nakuti aku dan berusaha membuatku tunduk sepenuhnya kepada tua bangka Pakkiong An itu!"

Lalu dengan kedua tangannya Ang Bun-long mencengkeram baju Hehou Im dan mengguncang-guncangkannya, sehingga orang-orang yang sedang berada di rumah makan itupun menjadi ketakutan karena mengira Ang Bun-long mabuk dan mengamuk. Namun akhirnya Ang Bun-long menjadi reda kembali, dan dihempaskannya tubuh Hehou Im kembali ke bangkunya.

Wajah Hehou Im tidak berubah sedikitpun, dengan tenangnya ia mengusap usap bajunya yang menjadi agak kusut karena dicengkeram oleh Ang Bun-long tadi. Lalu berkata, "Buat apa aku menakut-nakutimu, sebab nasibku sendiri persis seperti nasibmu. Berani berkhianat, berarti orang yang bernama Hehou Im akan berakhir hidupnya. Sat-sin-kui (si Setan Ganas) akan menjadi Wang-ong kui (si Setan Penasaran)."

"Jadi kau mencoba menjerat teman sebanyak-banyaknya dalam nasib burukmu itu?"

"Memang menakutkan, tapi aku tidak menganggapnya sebagai nasib buruk. Aku justru merasakan sebagai keberuntungan, akan menjadi seorang yang berpangkat tinggi, berharta, bernama besar, meskipun harus tetap dalam jerat Pakkiong An. Nanti kau akan terbiasa juga."

"Aku masih punya sebuah jalan keluar untuk lepas dari komplotan ini. Aku membunuhmu dengan alasan mabuk, bukankah yang mengetahui persepakatan kita saat ini hanya kau dan aku? Jika aku bunuh kau, aku akan aman dan lepas dari persepakatan gila ini."

"Jika kau bunuh aku, maka kaupun akan segera mati. Kau kira yang tahu akan percakapan kita ini hanya kita berdua?"

Ang Bun-long terkesiap. Disapukannya pandangannya kepada orang-orang yang berada di rumah makan itu. Pelayan-pelayan yang hilir mudik dengan nampan di tangannya, kasir yang sibuk mempermainkan sipoa untuk menghitung uang, dua orang berpakaian saudagar yang nampaknya sedang merundingkan perdagangan besar, sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpacaran.

Semuanya bertingkah laku wajar, mana ada yang aneh? Namun Ang Bun-long menduga bahwa di antara orang-orang itu tentu ada orang yang sekomplotan dengan He-hou Im yang mengawasi jalannya "perundingan" itu. Tapi orang yang mana, Ang Bun-long tak dapat menebaknya, mungkin Hehou Im sendiri juga tidak tahu.

Tiba-tiba keringat dingin mengalir di punggung Ang Bun-long. Ia menyesal sudah terjerat dalam komplotan itu. Meskipun kantungnya penuh berisi emas, tapi apa gunanya kalau untuk selanjutnya ia merasa dirinya selalu diawasi oleh sejuta mata dan setiap kata-katanya yang paling pribadi sekalipun seolah diawasi sejuta telinga?

Apa enaknya hidup tanpa kebebasan pribadi sedikitpun seperti itu? Namun sudah terlanjur. Kini lehernya seolah-olah sudah dijerat oleh Pakkiong An dengan seutas tali tak berwujud yang tak mungkin dilepaskannya lagi. Tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah langkah-langkah ke depan di bawah kendali Pakkiong An.

Dengan pandangan yang dingin tanpa kenal belas kasihan, Hehou Im menatap Ang Bun-long, dan berkata, "Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kita berpisah dulu, dan nanti sepanjang perjalanan dari sini sampai ke Pak-khia kau akan menerima perintah-perintah selanjutnya."

"Bagaimana caranya aku menghubungi kalian?" tanya Ang Bun-long.

"Untuk sementara ini, biar kami sajalah yang menghubungimu."

Maka kedua orang Itu berpisah, Ang Bun-long segera keluar dari rumah makan itu dan kembali ke gedung penginapannya. Sambil melangkah, kadang-kadang hatinya tergoda juga untuk menceritakan segala sesuatu yang didengarnya itu kepada Pakkiong Liong, namun niat yang timbul di hatinya itu adalah niat yang terlalu lemah. Setiap kali teringat ancaman Hehou Im tentang "mati secara tak terduga" maka Ang Bun-long menjadi berdiri bulu kuduknya. Dan ia menghibur diri sendiri,

"Lagi pula, apa salahnya memperjuangkan kedudukan yang lebih tinggi dengan sedikit menyerempet bahaya? Yang tidak berani menyerempet bahaya seumur hidupnya akan menjadi bawahan orang terus-terusan."

Sementara itu, setelah Ang Bun-long pergi, maka Hehou Im membayar semua harga minuman dan makanan kepada kasir rumah makan itu, lalu iapun melangkah keluar dengan langkah-langkah santai. Jaringan komplotannya kini telah bertambah luas dengan didapatkannya lagi satu orang di dalam tubuh Hui-liong-kun. Hal ini cukup untuk membuat Pakkiong Liong An bergembira dan hadiahpun akan mengalir kepadanya.

Dengan langkah perlahan-lahan la melangkah di pinggir jalan, ketika dilihatnya seorang pengemis berjongkok dipinggir jalan dekat rumah makan itu sambil menadahkan sebuah tempurung ditangannya, maka Hehou Im mendekatinya sambil mengeluarkan sekeping uang receh di kantongnya.

"Sedekah, tuan, kasihan aku sehari belum makan..." rintih pengemis itu.

Hehou Im melemparkan kepingan uangnya ke dalam tempurung pengemis itu, katanya sambil tertawa, "Belum makan dengkulmu, seekor ayam panggang utuh yang kau makan tadi pagi itu memangnya apa...?"
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 11

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 11

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
SAAT itu Ang Bun pun, juga ada di antara perwira-perwira yang menonton latihan perang-perangan dilapangan itu. Namun perhatiannya sama sekali tidak lagi tertuju kepada jalannya latihan, melainkan kepada Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berdampingan di atas kudanya masing-masing dan berbicara dengan akrabnya.

Karena tak dapat menahan rasa panas hatinya, ia berbisik kepada Ko Lung-to di sebelahnya, "Saudara Ko, benarkah kabarnya bahwa anak desa yang bernama Tong Lam-hou itu merupakan penolong Pakkiong Ciangkun ketika Pakkiong Ciangkun terancam bahaya maut!"

Ko Lung-to tidak tahu maksud tujuan pertanyaan rekannya itu, maka la menjawab saja, "Aku dengar begitu."

"Siapakah di antara rekan-rekan kita yang pernah melihatnya sendiri? Jika ia dikabarkan pernah menolong Pakkiong Ciangkun dan bahkan membantu Pakkiong Ciangkun untuk menerobos sarang pemberontak dan menangkap kedua pentolan pemberontak itu, maka ilmunya tentu tinggi sekali."

"Aku tidak tahu. Ketika aku dan Ha To-ji serta lain-lainnya menjumpai Pakkiong Ciangkun di tengah padang ilalang sana, aku memang melihat Tong Lam-hou bertempur berdampingan dengan Pakkiong Ciangkun melawan empat orang. Tetapi hanya dari kejauhan sehingga kurang jelas, lagipula saat itu aku sendiri juga sedang bertempur melawan sisa-sisa prajurit Kerajaan Beng yang bergabung dengan orang-orang Hwe-liong pang."

"Jadi tak seorangpun di antara kita yang pernah melihat sendiri sampai di mana ketinggian ilmunya?"

"Ya. Tak seorangpun pernah, begitu agaknya. Tapi Pakkiong Ciangkun sendiri telah memujinya."

Ang Bun-long tertawa melalui hidung, "Hemmh, pujian Pakkiong Ciangkun saja tidak cukup untuk dijadikan pegangan. Kalian tahu sendiri bahwa Pakkiong Ciangkun adalah seorang yang bijaksana dan selalu tidak ingin menyakiti hati siapapun, maka untuk memberi muka terang kepada anak desa itu ia lalu menyebutnya sebagai penolong-nya yang berilmu tinggi. Tujuan Pakkiong Ciangkun dengan menyebut demikian adalah agar kita dapat menerimanya di tengah kita."

"Kalau kita rukun dengannya, apa salahnya?" tanya Tokko Seng yang juga ada di situ. Diam-diam Tokko Seng itu mentertawakan Ang Bun-long di dalam hatinya, sebab ia sebenarnya tahu betul apa yang menjadi kandungan hati Ang Bun-long, yaitu sekedar iri kepada Tong Lam-hou. Karena itu Tokko Seng timbul niatnya untuk memanas-manasi hati rekannya itu.

Benar juga, Ang Bun-long segera terpancing menjadi panas. "Rukun? Boleh-boleh saja, tetapi harus dilihat, dia itu siapa dan kita ini siapa? He, teman-teman, tidaklah kalian sadari bahwa kita ini adalah perwira-perwira prajurit Hui-liong-kun? Prajurit-prajurit yang paling baik yang dimiliki oleh Kerajaan Manchu? Kita punya kebanggaan! Kita punya nama besar! Bagaimana kalau tiba-tiba Hui-liong-kun kita dimasuki seorang yang tolol, hingga akan merusak nama baik pasukan kita dan mencorengkan aib pada kebanggaan kita? Relakah kita?"

"Ang Bun-long, kau pikir dia tidak pantas berada di antara kita?" tanya Ko lung-to.

"Masih harus dibuktikan." dengus Ang Bun-long.

"Kau ingin membuktikannya?"

Ang Bun-long menjawab sambil menggosok-gosok tinjunya, "Ya, akan kucoba seberapa besar kemampuan anak gunung itu. Tetapi tentu saja harus diijinkan oleh Pakkiong Ciangkun."

"Kalau Pakkiong Ciangkun tidak mengijinkan?"

"Kita buat suatu alasan. Misalnya katakan kepada ciangkun bahwa untuk menghilangkan kejemuan selama menunggu keberangkatan kita ke Pak-khia, kita akan mengadakan pertandingan silat antar perwira, juga boleh diikuti oleh yang bukan perwira seperti Tong Lam-hou itu. Nah, Ciangkun adalah seorang pengemar ilmu silat, aku kira tidak akan keberatan dengan acara seperti itu."

Ko Lung-to dan Tokko Seng kebetulan adalah orang-orang berdarah Manchu asli, orang-orang yang suka dengan segala macam lomba ketangkasan macam itu, maka lepas dari maksud-maksud Ang Bun-long yang sebenarnya, kedua orang perwira itu segera merasa bahwa acara itu tentu akan cukup menarik untuk sekedar menghilangkan kejemuan di hari-hari yang terasa panjang itu, Juga untuk melemaskan otot menghadapi tugas berat sepanjang perjalanan dari Kun-beng ke Pak-khia.

"Setuju!" hampir bersamaan mereka menjawab.

Wajah Ang Bun-long langsung berseri-seri, sudah terbayang kemenangan yang bakalan didapatnya dan dibayangkannya pula bagaimana wajah Tong Lam-hou menjadi pucat karena malunya. Katanya, "Nah, kalau begitu kalian berdua saja yang berbicara kepada Pakkiong Ciangkun untuk mengusulkan hal ini."

"Kenapa harus kami berdua?" tanya Tokko Seng.

"Sebab kalian berdua adalah orang Manchu seperti Pakkiong Ciangkun sendiri, tentu sesama orang sekampung akan mudah untuk berbicara."

Ko Lung-to mengerutkan keningnya, "Jaga mulutmu baik-baik. Pakkiong Ciangkun sudah berulang-kali menekankan dalam pasukan kita ini tidak boleh ada perbedaan antara Manchu dan bukan Manchu. Semua harus bersatu-padu untuk membela kebesaran bendera Ngo-Jiau-kim-liong-ki Kerajaan Manchu!"

Ang Bun-long yang merasa bahwa mulutnya telah kelepasan bicara itu jadi salah tingkah sejenak, lalu dengan tertawa yang dibuat-buat la memperbaiki ucapannya tadi, "Maksudku bukan demikian, memang Manchu atau bukan Manchu sama saja, tetapi jika kalian yang berbicara kepada Pakklong Ciangkun barangkali akan lebih mudah. Bukankah kalian lebih dekat kepada Ciangkun daripadaku?"

"Ya, memang, tetapi itu bukan karena Ciangkun membeda-bedakan kami yang Manchu ini dengan kau yang Han. Buktinya, bukankah Ha To-Ji dan Han Yong-kim leblh dekat kepada Ciangkun dibandingkan kami berdua? Padahal mereka berdua itu bukan orang Manchu. Di kemudian hari kau jangan sembarangan omong lagi, itu bisa memecah belah pasukan kita yang terdiri dari berbagai suku ini."

"Ya, ya, mulutku tadi memang pantas dihajar," kata Ang Bun-long. "Tetapi kalian mau mengusulkan hal ini kepada Ciangkun bukan?"

"Baiklah. Sekedar pertandingan persahabatan, apa salahnya?"

"Betul. Ilmu silat ibarat pisau yang harus selalu diasah agar tidak tumpul."

Ketika kemudian Tokko Seng dan Ko Lung-to menghadap Pakkiong Liong untuk mengusulkan hal itu, ternyata Pakkiong Liong lansung menyambutnya dengan gembira. Ia tahu prajurit-prajuritnya membutuhkan hiburan sebelum memikul tugas berat yang penuh bahaya. Maka berita tentang pertandingan silat itupun segera tersebar di kalangan para prajurit, dan mendapat sambutan gembira.

Bahkan kemudian diperluas keikut-sertaannya, yaitu dibagi untuk prajurit dan untuk perwira. Yang ikut juga bukan hanya prajurit-prajurit; dan perwira-perwira Hui-liong-kun saja, tetapi juga prajurit-prajurit dan perwira-perwira di kota Kun-beng atas ijin Song Jin-ho.

"Jika anak buahku dihadapkan dengan anak buah Ciangkun tentu akan memalukan saja," kata Song Jin-ho sambil tertawa, ketika mendengar berita itu. "Tapi biarlah kuijinkan anakbuahku ikut serta, sekedar mempererat persahabatan saja."

"Congpeng tidak usah sungkan-sungkan," sahut Pakkiong Liong. "Di antara anak buah Congpeng tentu terdapat perwira-perwira yang tangguh, biarlah perwira-perwiraku juga membuka mata mereka mereka agar tidak terlalu takabur."

"Ah, siapa yang tidak kenal pasukan Hui-liong-kun?"

Demikianlah, di halaman gedung yang dipakai menginap prajurit-prajurit Hui-liong-kun itupun didirikan sebuah panggung lui-tay (panggung pertandingan silat) yang cukup lebar dan tingginya setombak lebih, agar penonton yang berada di bagian belakang dapat ikut menonton pula. Baik perwira-perwira maupun prajurit-prajurit yang akan ikut bertanding telah melakukan berbagai latihan dengan cara mereka masing-masing.

Pertandingan akan berjalan dengan tangan kosong dan tanpa senjata, dan dilarang mencelakakan lawan dengan menyerang bagian-bagian terlarang. Tapi melemparkan lawan ke luar panggung tidak dilarang dan yang terlempar akan dianggap sudah kalah. Di atas tangga gedung itu diletakkan beberapa kursi yang akan diduduki oleh Pakkiong Liong, Song Jin-ho dan beberapa pejabat tinggi keprajuritan lainnya. Namun Pakkiong Liong tidak lupa memesankan sebuah tempat duduk untuk Tong Lam-hou di sampingnya sendiri. Ia selalu menyebut Tong Lam-hou sebagai penolongnya dan sahabat baiknya.

Ketika hari pertandingan tiba, makn halaman gedung itupun menjadi ramai sekali. Para peserta pertandingan, baik prajurit maupun perwira telah siap dengan pakaian ringkasnya, malah ada yang bertelanjang dada untuk memamerkan otot-ototnya yang kekar. Namun para peserta tidak dibenarkan memakai seragam pasukan Hui-liong-kun maupun pasukan pengawal kota Kun-Beng, sebab hal itu dapat menimbulkan rasa iri satu sama lain di antara kedua pasukan.

Pakkiong Liong telah duduk di kursi kehormatan, didampingi Song Jin-ho dan di sebelah lainnya adalah Tong Lam-hou. Ang Bun-long yang memakai pakaian silat ringkas berwarna biru itu melirik ke arah Tong Lam-hou dengan perasaan irinya.

Batinnya, "Anak gunung yang tidak tahu diri. Kau kira dengan duduk bersampingan dengan Pakkiong Ciangkun dan Song Congpeng itu lalu kedudukanmu menjadi terhormat? Merasa sejajar dengan Pakkiong Ciangkun? Heran, nanti aku akan menantangnya dan menjungkalkannya dari atas panggung, supaya orang tahu bahwa sebenarnya dia tidak berarti apa-apa dalam Hui-liong-kun kami."

Sementara itu, gong telah dibunyikan dan pertandinganpun dimulai. Yang pertama dipertandingkan adalah khusus untuk para prajurit. Penonton yang telah memenuhi halaman gedung itu segera bersorak-sorai ketika dua orang prajurit tampil di arena. Yang satu bertubuh pendek gempal, yang lainnya kurus tetapi langkah-langkahnya nampak lincah.

Begitu isyarat dibunyikan, keduanyapun saling baku hantam, dan akhirnya dimenangkan oleh si kurus, meskipun banyak penonton yang lebih menjagoi si pendek gempal. Pertandingan dilakukan sepasang-sepasang, dan nanti pemenang akan menghadapi pemenang lainnya, begitu seterusnya sehingga peserta akan semakin sedikit sampai diketeinukan pemenang yang terakhir.

Begitulah, karena para prajurit umumnya berilmu silat biasa-biasa saja, maka pertandingan umumnya berjalan dengan kasar dan tidak jarang malah menimbulkan gelak tertawa penonton. Gaya berkelahi yang ditampilkan mereka juga berbeda-beda. Ada yang bersilat dengan macam-macam aliran, atau bergulat seperti orang Mongol, atau menyerang sambil melompat-lompat seperti orang-orang Siam, karena wilayah Hun-lam ini sudah dekat letaknya dengan Siam.

Tapi umumnya prajurit-prajurit Hui-liong-kun dapat memenangkan pertarungan dengan baik, menandakan bahwa anak buah Pakkiong Liong itu memang terlatih dengan lebih baik dibandingkan prajurit-prajuritnya Song Jin-ho. Pemenang terakhir adalah seorang prajurit Hui-liong-kun yang berhasil melempar lawannya ke bawah panggung dengan lemparan gaya gulat Mongol. Lawannya yang dilempar keluar itu juga seorang prajurit Hui-liong-kun, namun akhirnya keduanya berpelukan sambil tertawa-tawa di bawah panggung.

Pertandingan antar perwira mulai. Pihak Hul-liong-kun hanya menurunkan tiga orang, yaitu Ko Lung-to, Tokko Seng dan Ang Bun-long sendiri yang mencetuskan gagasan tentang pertandingan itu. Perwira-perwira lainnnya seperti Ha To-Ji, Han Yong-kim atau Le Tong-bun, lebih suka tetap jadi penonton saja.

Jika pertandingan itu dimaksudkan untuk memanaskan otot menjelang tugas berat, maka Ha To-Ji dan lain-lainnya merasa tidak perlu melakukannya, sebab mereka sudah melakukan "pemanasan" itu dalam pertempuran-pertempuran yang sesungguhnya di padang ilalang itu.

Jumlah pertandingan antara perwira ada enam belas orang, maka dibagi menjadi delapan pasangan diambil delapan orang pemenangnya. Lalu delapan orang itu diadu lagi dua-dua untuk diambil empat pemenang, diambil lagi dua pemanang dan akhirnya akan tinggal satu pemenang.

Sejak babak pemulaan, sudah nampak kelebihan Ang Bun-long dari peserta-peserta lainnya. Seorang perwira bawahan Song Jin-ho telah dirobohkannya hanya dengan empat pukulan saja. Sementara Tokko Seng dan Ko Lung-to Juga berhasil mengalahkan lawannya masing-masing namun melalui pertandingan yang agak seru.

Dibabak kedua, kembali Ang Bun-long memancing tepuk tangan penonton ketika la juga berhasil mengalahkan lawannya yang kedua, yaitu seorang anakbuah Song Jin-ho yang bertubuh tinggi besar. Dengan sebuah tendangan keras ke betis orang itu, maka si raksasa itupun jatuh ke bawah panggung dan dinyatakan kalah.

Tokko Seng juga berhasil maju ke babak selanjutnya setelah mengalahkan lawannya, namun Tokko seng mendapat mendapat cedera pada pergelangan tangannya, karena lawan yang baru saja dikalahkannya itu agaknya seorang ahli dalam Kim-na-Jiu-hoat (ahli menangkap dan memelintir tangan).

Sedangkan Ko Lung-to malahan telah dikalahkan oleh seorang perwira dari Kun-beng, memancing sorak gemuruh dari prajurit-prajurit bawahan Song Jin-ho. Mereka bangga karena seorang perwira mereka telah berhasil mengalahkan seorang perwira Hui-liong-kun, pasukan paling terkenal di negeri itu.

Kemudian, perwira Kun-beng yang mengalahkan Ko Lung-to juga mengalahkan Tokko Seng di babak ketiga. Kembali sorak-sorai para prajurit Kun-beng menggetarkan halaman gedung itu. Sementara Ang Bun-long juga telah mengalahkan perwira Kun-beng lainnya.

Kini adalah pertandingan puncak. Tinggal dua orang peserta, yaitu Ang Bun-long melawan perwira Kun-beng yang mengaku bernama Toan Cin-yang itu. Mereka akan bertarung menentukan siapa pemenangnya.

Ang Bun-long bertubuh ramping dengan pundak yang tegap, kedua tangannya kokoh dengan otot-ototnya yang menonjol keluar, karena Ang Bun-long sengaja mengenakan baju silat buntur yang mempertontonkan lengannya. Sedangkan Toan Cin-yarig bertubuh ramping pula, dengan otot tak sebesar Ang Bun-long, namun ia memiliki sepasang kaki yang berbahaya dengan tendangannya yang deras.

Kedua orang itu naik ke panggung dengan diiringi sorakan-sorakan dukungan dari pasukannya masing-masing. Jika dalam pertandingan antara prajurit-prajurit Kun-beng berharap bahwa Toan Cin-yang akan menembus kekalahan itu dengan mengalahkan Ang Bun-long yang tampil dengan lagak sombong itu.

Keduanya saling memberi hormat, kemudian mempersiapkan diri sambil menunggu isyarat dibunyikan. Toan Cin-yang memasang kuda-kuda yang agak pendek dan ringan, mempermudah sepasang kakinya untuk melakukan tendangan, sementara kedua tangannya yang terkepal tersusun di depan badannya. Sedangkan Ang Bun-long bersikap sangat memandang rendah lawannya, la hanya berdiri dengan kaki renggang sejajar, sementara kedua tangannya bertolak pinggang. Tidak ada kuda-kuda apapun.

Sikap Ang Bun-long itu bukan saja memancing kejengkelan prajurit-prajurit Kun-beng, tetapi juga menimbulkan ketidak-senangan di kalangan orang Hui-liong-kun sendiri.

"Ang Bun-long terlalu memandang enteng lawannya," bisik Ha To-ji kepada Le Tong-bun yang duduk di sebelahnya.

"Sombong sekali. Jika ia sampai kalah maka seluruh Hui-liong-kun kita akan ikut tercemar pula," sahut Le Tong-bun dengan berbisik juga. "Bukan saja tercemar sebagai pasukan yang tidak becus tetapi juga sebagal prajurit-prajurit yang sombong."

Sementara itu, gong sudah dipukul, dan kedua orang yang berada dl atas panggung itupun mulai bergeser untuk mencari peluang melancarkkan serangan, Toan Cin-yang mengitar panggung untuk mencari sudut kelemahan lawan, sementara Ang Bun-longg masi teteettap dengan bertolak pinggang juga berputar mengikuti gerakan lawannya itu, mulutnya masi menyungging senyum mengejek.

Tiba-tiba saja Toan Cin-yang membentak, gesik sekali ia melangkah maju sambil memukul dengan jurus Kiong-po-pek-tan (melangkah sambil menyodorkan tinju). Jurus yang sangat sederhana, namun karena Toan Cin-yang melatihnya ratusan kali setiap harinya, maka jurus sederhana itupun menjadi sebuah serangan yang amat berbahaya.

Kecepatannya maupun kekuatannya telah mengejutkan Ang Bun-long. Cepat Ang Bun-long menarik sebelah kakinya ke belakang, sementara hidungnya hampir saja pecah kena Jotosan lawan. Hanya terpisah seujung rambut. Belum habis kejut Ang Bun-long, kembali lawan telah menunjukkan kesebatannya dengan melakukan sapuan Kim-kong-sau-san (Sang Malaikat Menyapu gunung) ke mata kaki Ang Bun-long.

Buru-buru perwira Hui-liong-kun yang sombong itu menarik kakinya ke belakang, namun ternyata tendangan Toan Cin Toan Cin-yang itu adalah tendangan berantai. Kaki kanan gagal menyapu, langsung kaki kirinya menendang sambil memutarkan tubuh dengan gerakan Sin-liong-pa-bwe (Naga Sakti Mengibaskan Ekor) dengan derasnya ke ulu hati lawan.

Ang Bun-long benar-benar tak sempat memasang kuda-kuda lagi, dalam gugupnya ia menyilangkan kedua tangan di depan ulu hatinya untuk mencoba menahan tendangan lawan yang lincah itu. Kaki dan tangan berbenturan, Ang Bun-long terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh ke bawah panggung. Sementara itu sorakan-sorakan mengejek dari prajurit-pajurlt Kun-beng telah memanaskan hatinya.

Yang lebih membakar hati Ang Bun-long adalah ketika melihat Toan Cin-yang tidak melanjutkan serangannya, melainkan berdiri bertolak pinggang aambll membiarkan saja ia memperbaiki keseimbangannya. Seakan-akan Toan Cin-yang sedang menyindir sikap sombong Ang Bun-long tadi. Setelah berdiri tegak kembali, dengan mata berkilat-kilat marah, Ang Bun-long menyiapkan serangannya.

Maka bertempurlah kedua orang itu dengan serunya. Ang Bun-long yang bertubuh lebih tegap berusaha untuk menyergap dan menghentikan kelincahan Toan Cin-yang, namun musuhnya bagaikan seekor tawon yang beterbangan dengan lincah dan sulit untuk ditangkap. Sementara tendangan-tendangannya yang keras tidak dapat diabaikan begitu saja.

Demikianlah, untuk berpuluh-puluh jurus pertempuran itu berjalan cukup seimbang, kadang-kadang serangan dari salah satu pihak mengenai tubuh lawan tetapi tidak terlalu telak. Namun serangan yang tidak telak itu telah membakar hati kedua belah pihak, apalagi dipanaskan dengan sorak-sorai prajurit-prajurit Hui-liong-kun dan Kun-beng yang mendukung jagonya masing masing. Bahkan penonton yang terdiri dari rakyat biasa itupun mulai ikut bersorak-sorak dan tidak ketinggalan bertaruh! Dari taruhan kecil-kecilan sampai taruhan yang mencapai puluhan tahil emas.

Jika tadinya Ang Bun-long menduga akan dapat "menyelesaikan" lawan dalam waktu kurang dari duapuluh jurus, maka kini ia kecewa sekali. Perkelahian sudah hampir memasuki jurus ke seratus namun masih seimbang saja. Agaknya ia lupa bahwa sejelek-jeleknya Toan Cin-yang, namun pernah dikalahkannya dua orang perwira Hui-liong-kun yang merupakan orang-orang tangguh itu.

Dengan demikian seharusnya Ang Bun-long dapat memperhitungkan sampai di mana bobot kepandaian lawannya itu. namun agaknya Ang Bun-long tertutup matanya oleh kesombongannya sehingga pada gebrakan pertama tadi ia malahan hampir saja terjungkal oleh lawannya. Kini Ang Bun-long bertempur dengan nafsu kemarahan yang meluap-luap.

Ia lupa bahwa pertandingan itu hanya pertandingan persahabatan belaka, melainkan sudah dianggapnya sebagal pertarungan mati hidup melawan seorang musuh yang harus dibinasakannya. Bertarungnya mirip dengan seekor kerbau gila yang membabi-buta menerjang apapun yang di hadapannya.

Pakkiong Liong yang tadinya tersenyum-senyum itu kini mulai mengerutkan alisnya melihat tingkah laku Ang Bun-long itu. Haruskah ia meloncat ke atas panggung untuk menghentikan pertandingan sebelum jatuh korban di antara kedua orang yang bertanding itu? Kalau pertandingan dihentikan; siapa pemenangnya dan apa alasannya? Sesaat Pakkiong Liong belum menemukan jalan keluarnya.

Sementara itu pertandingan di panggung telah menjadi semakin panas, kedua pihak saling menggebuk atau menendang dengan kerasnya. Muka Toan Cin-yang sudah tak keruan bentuknya, hidung berdarah, bibir bengkak dan giginya sudah rontok dua biji. Sedang Ang Bun-long matanya sudah kebiru-biruan, keningnya robek dan kakinya pincang.

Namun kedua pihak belum mau menyudahi pertandingan itu. Toan Cin-yang merasa bahwa dirinya sedang memikul nama baik pasukananya, sedangkan Ang Bun-long ingin menambah pamornya secara pribadi dalam pasukannya.

Namun semakin pertarungan berlanjut, semakin kelihatan bahwa Toan Cin-yang memang masih setingkat di bawah kepandaian perwira Hui-liong-kun itu. Kini la mulai terdesak terus, namun dengan gigihnya terus melawan. Suatu saat ketika Toan Cin-yang melancarkan sebuah pukulan lurus, Ang Bun-long tiba-tiba berhasil menyergap tangan lawannya dengan kedua tangannya.

Sambil memiringkan badannya, tangan kanan Ang Bun-long berhasil mencengkeram pergelangan tangan lawan, dan tangan kirinya menghantam ke arah siku tangan. Semua yang melihat gerakan itu menjadi terkejut, itulah gerakan untuk mematahkan tangan! Gerakan yang tidak pantas diterapkan dalam suatu pertandingan persahabatan.

Toan Cin-yang terperanjat, cepat ia mengikuti saja arah puntiran lawannya sampai tubuhnya memoelakangi tawan dan ia berusaha menyentakkan tangannya agar lepas dari telikungan lawan. Itulah gerakan melepaskan diri dari puntiran yang disebut Ling-yo-kui kak (Kambing Gembel Melepaskan Tanduknya), kemudian dengan tangkas disusul dengan gerakan Kau-tui-hoan-tui (Menekuk Lutut Menendang ke Belakang) untuk menendang lutut Ang Bun-long dengan gerakan membelakang.

Tetapi Ang Bun-long cukup tangkas menyadap perubahan lawannya. Ketika tubuh lawan berputar-maka cengkramannya memang hampior lepas, tapi dengan gesit Ang Bun-long merapatkan tubuh ke punggung lawannya sambil menyusulkan gerakan Tin-jiu-kim-na (Menurunkan Tangan dan Menangkap), sehingga tangan lawan tetap tercengkeram olehnya dan sia-sialah gerakannya untuk melepaskan diri tadi.

Tanpa kenal ampun Ang Bun-long menekuk tangan lawannya sekuat tenaga hingga Toan Cin-yang melolong kesakitan, sayup-sayup terdengar suara berderaknya persendian yang lepas.

"Ang Bun-long, hentikan!" teriak Pakkiong Liong.

Tapi Ang Bun-long bagaikan kesurupan setan malahan tertawa terbahak-bahak. Puas mematahkan tangan kanan, ia sergap tangan kiri musuhnya untuk dipatahkan pula. Sementara dari bawah panggung para prajurit kota Kun-beng berteriak-teriak memprotes. Suasana menjadi panas, beberapa perwira bawahan Song Jin-ho Juga ikut, marah melihat rekan mereka diperlakukan seperti itu.

Ang Bun-long tidak peduli, kembali tangannya diangkat tinggi-tinggi dan siap mematahkan tangan lawannya yang sudah tak berdaya itu. Namun pada saat tangannya terayun turun, maka sesosok bayangan meluncur ke atas panggung dengan cepatnya, dan tangan Ang Bun-long tadi bagaikan terjepit sebuah tang-baja disusul tubuhnya-pun terdorong mundur beberapa langkah.

Ternyata yang melompat ke atas panggung tadi adalah Pakklong Liong sendiri untuk mencegah perbuatan kejam lebih lanjut dari anak-buahnya itu. Sebagai seorang Panglima yang berkepentingan untuk melihat kesatuan antar semua prajurit kerajaan, maka ia tidak dapat membenarkan sikap Ang Bun-long yang mencari menangnya sendiri dengan tidak segan-segan menciderai Toan Cin-yang itu.

Sikap macam itu bisa menimbulkan rasa permusuhan antara prajurit Hui-liong-kun dengan prajurit, prajurit pengawal kota Kun-beng, padahal kedua kesatuan itu adalah sama-sama prajurit Kerajaan Manchu yang harusnya kompak. Ang Bun-long menjadi gemetar dan kepalanya tertunduk ketika Pakkiong Liong menatapnya dengan tajam, seperti seekor naga yang murka. Terdengar suara Pakkiong Liong yang dingin,

"Ang Bun-long, ketika tadi aku berteriak untuk menghentikanmu apakah kau tidak mendengarnya? Atau barangkali kau sudah tidak menghiraukan lagi aku?!"

"Ma... maaf, Ciangkun, aku... waktu itu hannya bermaksud menyelesaikan pertandingan ini secara tuntas, demi nama baik Pasukan Hui-liong-kun kita..." sahut Ang Bun-long dengan kepala tunduk.

"Huh, enak betul, nama baik Pasukan Hui-liong-kun kau jadikan kedok untuk menyelubungi perbuatanmu yang sewenang-wenang?" dengus Pakkiong Liong. "Kau tetap berdiri di situ, sampai aku perintahkan lainnya!"

"Baik, Ciangkun!" sahut Ang Bun-long dengan sikap seorang prajurit. Namun di dalam hatinya ia mengumpat-umpat karena merasa malu berdiri seperti patung di atas panggung itu, sementara ejekan-ejekan para penonton di bawah panggung memanaskan kuping Ang Bun-long. Namun ia tidak berani melanggar perintah Panglimanya.

Sedangkan Pakkiong Liong berjalan mendekati ke arah Toan Cin-yang yang sudah digotong turun dari panggung oleh beberapa perwira rekannya. Melihat muka Toan Cin-yang yang pucat dan menahan kesakitan Itu, Pakkiong Liong berkata dengan menyesal, "Saudara Toan, beratkah lukamu?"

Toan Cin-yang berusaha melakukan penghormatan kepada Pakkiong Liong, namun sempoyongan hampir jatuh, sehingga Pakkiong Liong buru-buru menangkap tubuhnya sambil berkata, "Sampingkan dulu segala tata-tertib keprajuritan untuk sementara waktu. Bagaimana lukamu?"

"Tangan kananku terlepas dari persendian, Ciangkun. Tapi dalam beberapa minggu akan puluh kembali. Terima kasih atas perhatian Ciangkun."

Pakkiong Liong menarik napas, dipandangnya wajah-wajah tegang dari perwira-perwira rekan-rekan Toan Cin-yang yang berdiri mengitari Toan Cin-yang. Lalu kata Pakkiong Liong, "Aku minta maaf kepada saudara Toan bahwa aku terlambat mencegah bawahanku untuk berbuat sekasar itu. Juga minta maaf kepada semua prajurit kota Kun-beng, sambil berharap hendaknya persatuan antara sesama prajurit Kerajaan Manchu tidak menjadi retak karena kejadian ini."

Betapapun panasnya hati teman-teman Toan Cin-yang itu, namun sikat Pakkiong Liong sebagai seorang Panglima besar yang terkenal itu ternyata tidak segan-segan untuk minta maaf lebih dulu kepada perwira-perwira rendahan seperti mereka, betapapun juga membuat mereka merasa tidak enak sendiri.

Cepat merekapun membalas penghormatarn Pakkiong Liong dan menyatakan tidak apa-apa, meskipun kemarahan mereka terhadap Ang Bun-long belum lenyap sama sekali. Tapi mereka harus membedakan antara Ang Bun-long dengan Pakkiong Liong.

Kata Pakkiong Liong kemudian, "Aku akan memberi teguran keras kepada perwiraku itu, dan kalau perlu hukuman yang akan membuatnya jera."

"Terima kasih, Ciangkun," sahut Toan Cin-yang sambil menyeringai kesakitan. "Tetapi biarlah persolannya selesai sampai di sini saja. Anggap saja suatu kecelakaan, atau karena ke-tidak-becusan sendiri. Hal ini justru akan menjadi cambuk bagiku untuk berlatih keras di hari-hari mendatang."

Pakkiong Liong menepuk pundak perwira Kun-beng itu. "Kau berjiwa besar, saudara Toan. Tetapi tidak bisa tidak aku harus menegur perwiraku itu. Sikap seperti itu jika tidak dihukum akan menular kepada perwira-perwira lainnya bahkan kepada prajurit-prajurit bawahannya. Apa jadinya negeri ini kalau prajurit-prajuritnya saling, membenci dan saling berbaku-hantam satu sama lain?"

Setelah berkata begitu, Pakkiong Liong lalu kembali ke atas panggung, dan berkata kepada Ang Bun-long yang masih menungngu dengan sikap siap itu, "Ang Bun-long, kau harus mengaku kesalahanmu kepada semua yang hadir dan meminta maaf...."

"Tapi, Ciangkun, aku tidak bersalah, dalam pertandingan silat adalah hal biasa kalau seseorang mendapat luka sedikit..."

"Lakukan saja perintahku."

"Tapi nama baik pasukan kita...."

"Justru demi nama baik pasukan kita. Seorang jantan bukan sekedar seorang yang berani berkelahi dengun siapapun, tapi harus berani melihat kesalahan ke dalam diri sendiri dan mengakuinya."

"Tetapi..."

"Lakukan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membentak dengan muka merah padam. "Atau aku harus memberi hukuman yang lebih berat lagi di panggung ini agar kau menjadi tontonan orang banyak?"

Alangkah sakitnya hati Ang Bun-long dibentak-bentak seperti itu di hadapan umum. Namun orang-orang seperti Ang Bun-long lebih mudah menjadi sakit, hati daripada menyadari kesalahannya. Tapi kali ini dengan terpaksa sekali ia menjalankan perintah Panglimanya, sebab bagaimanapun juga ia adalah seorang prajurit yang terikat tata-tertib keprajuritan. Semua perintah harus dijalankan atau dihukum berat.

Maka Ang Bun-longpun memberi hormat ke arah penonton di sekitar panggung, lalu dengan terbata-bata ia mengucapkan penyesalannya, yang sebenarnya tidak keluar dari hatinya secara tulus. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat, karena bagi orang berjiwa sempit seperti dia, minta maaf adalah perbuatan yang sangat, memalukan. Jika dengan kekerasan bisa menindas atau menghajar orang lain, itu barulah jantan, demikian jalan pikiran orang-orang semacam Ang Bun-long itu.

Selesai mengucapkan kata-kata "penyesalan"nya, cepat-cepat ia meloncat turun dari panggung dengan muka merah padam, lalu menghilang ke bagian belakang gedung. Setelah memakai bajunya, ia lalu menyelinap keluar dari gedung dengan melewati pintu samping, tidak peduli lagi ramai-ramai yang masih berlangsung di halaman depan. Hari itu la merasa sangat kehilangan muka, dan ia sungguh merasa heran bahwa Panglimanya tidak membelanya, melainkan malahan ia "dipermalukan" dengan disuruh minta maaf.

Apa-apaan ini? Apakah Panglima lebih memperhatikan si anak gunung itu daripada dirinya? Akhirnya dengan geram Ang Bun-long keluar dari gedung itu, la harus menemukan sebuah warung arak dan akan dimabukkannya dirinya seridiri untuk melupakan kejengkelannya.

Sementara itu, dari antara kerumunan penonton yang terdiri dari para prajurit dan rakyat jelata itu, Juga keluarlah seseorang yang langsung mengikuti langkah Ang Bun-long. Orang itu bukan prajurit. Ia seorang lelaki kira-kira berumur empat puluh tahun, bertubuh kurus, memakai jubah panjang dan kepalanya yang kecil itu memakai topi berbentuk belahan semangka, sambil berjalan menguntit Ang Bun-Long, sebentar-sebentar ia mengisap pipa cangklongnya dan dihembuskannya asapnya ke udara. Wajahnya yang berkulit kuning pucat itu memiliki sepasang mata yang menggambarkan kelicikannya.

Ketika Ang Bun-long masuk ke sebuah rumah makan dan hendak berteriak memesan arak kepada pelayan, maka orang itu segera duduk di seberang meja, berhadapan dengan Ang Bun-long. sambil tertawa terkekeh la berkata, "Hari ini, biar aku yang traktir kau minum arak, saudara Ang...”

Tangan Ang Bun-long yang sudah terangkat hampir menggebrak meja itu-pun diturunkan kembali perlahan-lahan. Lalu masih dengan wajah yang gelap ia berkata kepada orang itu, "Kau? Bagaimana kau sampai bisa berada dikota Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini?"

Orang itu tertawa terkekeh-kekeh, dlkepulkannya asap pipa cangklongnya lebih dulu ke udara, baru menjawab, "Dan kalian orang-orang Hui-liong-kun kenapa juga berada di Kun-beng yang amat jauh dari Pak-khia ini? Memangnya hanya kalian yang boleh pergi jauh dan kami prajurit-prajurit Ui-ih-kur, (Pasukan Baju Kuning) tidak boleh?"

Ang bun-long sungkan berdebat dengan orang yang sudah dikenalnya di Pak-khia dulu. Orang itu adalah seorang perwira tentara juga, tetapi dari pasukan yang disebut Ui-ih-kun, sebuah pasukan yang cukup kuat di ibukota Kerajaan dan dipimpin oleh seorang paman dari Pakkiong Liong yang bernama Pakkiong An. Orang itu sendiri bernama Hehou Im, dan sebelum menjadi prajurit ia terkenal di dunia hitam dengan julukan Sat-sin-kui (Si Setan Ganas).

Meskipun bentuk tubuhnya kerempeng dan sinar matanya selalu redup seperti seorang yang mengantuk, namun sesungguhnya kepandaian silatnya dan juga kekejamannya dalam menghadapi musuh sudah cukup dikenal orang. Kalau tidak kejam, tidak bakalan ia mendapat julukan Sat-sin-kui. Ia juga cerdik dan banyak akalnya, sehingga dalam waktu singkat ia telah menjadi seorang perwira yang dekat dengan Pakkiong An untuk mengurus berbagai urusan.

Ang Bun-long tahu bahwa jika seorang perwira bawahan Pakkiong An sampai berada di Ibukota wilayah Hun-lam ini, apalagi dengan menyamar, tentu bukannya tanpa maksud apa-apa. Tetapi Ang Bun-long sedang malas untuk berpikir, ketika seorang pelayan mengantarkan sepoci arak dan mangkuknya, maka Ang Bun-long cepat menyambar poci arak itu dan langsung dituangkan ke mulutnya tanpa menggunakan mangkuknya. Ia ingin mabuk untuk melupakan kepahitannya di panggung pertandingan tadi.

Hehou Im tersenyum-senyum saja melihat cara Ang Bun-long meminum araknya, bahkan kemudian Hehou im memberi isyarat kepada pelayan rumah makan itu agar menambah lagi araknya. Sedang dia sendiri tenang-tenang saja menyedot asap tembakaunya dari pipanya, dan menghembus dengan nikmatnya. Seolah-olah acuh tak-acuh, ia berkata,

"Meriang arak dapat melupakan kepedihan hati dan rasa penasaran karena diperlakukan tidak adil. Minumlah sepuasnya."

Ang Bun-long agak terbeliak mendengar ucapan Hehou Im itu, sesaat ia menatap perwira dari pasukan Ui-ih-kun itu, namun kemudian tanpa berkata sepatah katapun ia meneruskan menenggak araknya.

Sementara itu Hehou Im berkata lagi, "Aku tahu kau penasaran, saudara Ang. Kau mengabdi bertahun-tahun dalam Hui-liong-kun tanpa kenal lelah, banyak membuat jasa untuk Negara dan Kaisar, namun kau tidak mendapatkan penghargaan yang semestinya untuk semua jerih payahmu itu. Panglimamu benar-benar seorang yang gila pujian dan sekaligus kurang dapat menghargai bawahan yang berbakat..."

Hehou Im menghentikan sejenak perkataannya dan diliriknya bagaimana wajah Ang Bun-long ketika mendengar ucapannya itu. Dilihatnya muka perwira Hui-lion-kun sudah agak memerah karena arak, namun agaknya masih sadar, dan matanya yang mendadak bercahaya itu menandakan bahwa ucapan Hehou Im tadi telah mengena pada sasarannya. Memang hal itulah yang selama ini dirisaukan oleh Ang Bun-long, dan kini ada orang lain yang dapat mengungkapkan perasaannya secara tepat.

Lalu Hehou Im melanjutkan kata-katanya, "Aku bicara terus terang saja, Pakkiong Liong itu gila pujian, sebab semua jasa-jasa yang diperbuat oleh anak buahnya disembunyikannya, dan diakuinya sebagai jasanya sendiri. Itulah sebabnya nama Pakkiong Liong sendiri semakin cemerlang, sedang nama perwira-perwira bawahannya tidak akan mencuat naik ke atas, sebab mereka hanya sekedar alat untuk menjalankan perintah-perintah Pakkiong Liong.”

"Jangan bicara tele-tele," tukas Ang Bun-long sambil meletakkan poci araknya yang sudah kosong. "Katakan apa maumu."

"Baik. Terang-terangan saja, Pakkiong Ciangkun, eh, maksudku adalah Panglima atasanku, Pakkiong An, merasa sayang sekali jika ada perwira-perwira yang sebenarnya pandai semacam kau ini, tidak dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi hanya karena rasa dengki dari Pakkiong Liong. Menurut Pakkiong Ciangkun, orang seperti kau ini paling tidak sudah harus berpangkat Congpeng atau serendah-rendahnya Bu-ciang, tapi lihat saja kau ini, dari dulu pangkatmu hanya perwira menengah terus-terusan saja. Dan mungkin sampai kau kelak mati ditembus pedang musuh kau tetap seorang perwira menengah saja...."

"Bicara langsung ke tujuan."

"Baik. Pakkiong Ciangkun menawarkan kerjasama denganmu, jika kau bersedia maka kelak kenaikan pangkat maupun ganjaran kekayaan yang cukup banyak akan berlimpah dalam hidupmu."

"Maksudmu, aku keluar dari Pasukan Hui-liong-kun dan masuk ke pasukan Ui-ih-kun kalian? Kau kira prajurit bisa berpindah-pindah kesatuan dengan seenaknya saja tanpa surat penetapan dari Peng-po-ceng-tong?"

Hehou Im menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Bukan begitu. Kau tetap berada dalam Pasukan Hui-liong-kunmu, tetapi untuk selanjutnya kita bisa bekerja-sama, sebab sesungguhnya Pakkiong Ciangkun sendiri kurang senang kepada keponakannya yang sombong itu."

"Kenapa si tua Pakkiong An iri tidak senang kepada keponakannya?"

Hehou Im tidak segera menjawabi ditatapnya mata Ang Bun-long lurus-lurus sehingga bergidiklah Ang Bun-long dibuatnya. Dalam sikap seperti itu Hehou Im terlihat begitu menyeramkan! Berbeda dengan sikap sehari-harinya yang tertawa-tawa dan kurang bersungguh-sungguh itu. Ketika melihat Ang Bun-long agaknya tercekam oleh sikapnnya itu, maka tiba-tiba Hehou Im tertawa kembali dan berkata,

"Baiklah! karena aku merasa bahwa kerjasama kita ini bakal berlangsung, maka aku akan berterus terang kepadamu. Pakkiong An tidak suka bahwa pamor keponakannya itu semakin lama semakin cemerlang.! sehingga mengalahkan pamornya sendiri di hadapan Sri Baginda. Ia merasa keponakananya itu semakin lama semakin besar kepala terhadapnya."

Ang Bun-long mengangkat kepalanya dengan tercengang. Tak terduga bahwa antara paman dan keponakan yang di Kotaraja Pak-khia nampak akrab itu ternyata ada masalah semacam itu. "Kau berani berkata demikian terus-terang kepadaku, kau tidak kuatir kalau kulaporkan semuanya ini kepada Pakkiong Liong?"

Hehou Im kelihatan tenang-tenang saja mendengar gertakan Ang Bun-long itu, sahutnya sambil cengar-cengir, "Silahkan. Kau kira dengan demikian kau akan mendapat muka dari Pakkiong Liong? Andaikata Pakkiong Liong mempercayai laporanmu, bisa berbuat apa ia di hadapan Pakkiong Ciangkun? Pamannya itu punya pengaruh yang lebih besar di Peng-po-ceng-tong maupun di Istana sendiri, kau tentu tahu bahwa Pakkiong Ciangkun itu teman baik Peng-po-siang-si (Menteri Peperangan) dan hubungannya dengan Sri Baginda lebih dekat, sebab Pakkiong Ciangkun adalah saudara sepupu Hong-hou (permaisuri). Jika nasibmu buruk, salah-salah kau malah akan dianggap mengadu-domba antara paman dan keponakan tanpa bukti-bukti kuat dan kau tahu sendiri kelanjutan nasibmu."

Ang Bun-long menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya menggertak Hehou Im, dan sesungguhnya ia juga tidak bermaksud menggertak benar-benar, hanya ingin tahu kesungguhan Hehou Im saja.

Sementara Hehou Im telah melanjutkan, "Dan kau harus menggunakan otakmu. Jika kau ingin cepat naik pangkat dan cepat terkenal, bekerja-samalah dengan Pakkiong Ciangkun. Tapi jika ingin jadi perwira rendahan sampai kau mati, setialah terus kepada Pakkiong Liong. Aku tak dapat mencegahmu."

Ang Bun-long masih belum menjawab, namun hatinya sudah mulai tergerak oleh tawaran yang menarik itu. Naik pangkat, kekayaan, ketenaran. Apa lagi? Bukankah dulu ketika ia terima dalam Pasukan Hui-liong-kun yang menjadi tujuananya juga ketiga hal itu? Tetapi apa yang didapatnya? Yang didapatnya hanyalah tugas berat yang tak henti-hentinya, dan setiap kali yang didengarkan hanyalah kata-kata "demi Negara dan Kaisar". Apa yang didapatnya dengan semboyan semboyan "demi Negara dan Kaisar" itu? Salah-salah bisa mampus dibunuh musuh.

Hehou Im seolah dapat membaca pikiran orang, sehingga kata-katanya semakin lama semakin mantap, "Kau tentu harus memilih dengan bijaksana. Jika kau setuju, segera kuberitahukan kerjasama kita yang pertama."

"Aku harus berpikir-pikir dulu, soalnya..." kata Ang Bun-long, namun kata-katanya terputus dan matanya terbelalak ketika melihat Hehou Im membuka sebuah kantong kecil dan mengeluarkan lima potong emas yang masing-masing beratnya kira-kira dua tahil lebih.

"Buat apa berpikir-pikir untuk soal segampang ini?" kata Hehou Im sambil mendorong potongan-potongan emas itu ke hadapan Ang Bun-long. "Tanpa bahaya sedikitpun, sementara pangkat, kekayaan dan ketenaran sudah menantimu."

Ang Bun-long menelan ludahnya sementara matanya tak lepas-lepas dari batangan-batangan emas kecil itu. Jika emas itu diuangkan, ia akan dapat membeli sebuah rumah yang cukup bagus di Pak-khia, dan tidak lagi tinggal berdesak-desakan di barak tentara seperti sekarang ini. Apalagi hadiah ini baru "pembukaan" saja, jika kerja-samanya dengan Pakkiong An berjalan mulus, bukankah batangan-batangan emas semacam ini akan mengalir ke kantongnya. Jadi tunggu apa lagi?

Akhirnya Ang Bun-long meraih benda-benda kemilau dan memasukkan ke kantong dalam bajunya, mukanya yang tadi gelap itu sekarang menjadi cerah, dan sahutnya, "Kalau sudah begini, aku bisa berkata apa lagi?"

Hehou Im menyeringai, katanya. "Bagus! Kerjasama kita yang pertama adalah soal kedua tawanan itu."

"Pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong?"

"Tepat. Pakkiong Liong berhasil menangkap kedua orang tawanan penting itu, tawanan yang tidak sembarangan orang bisa menangkapnya. Jika Pakkiong Liong berhasil membawa kedua tawanan itu sampai ke Pak-khia dengan selamat, maka pamornya akan bertambah terang di hadapan Sri Baginda. Ini tidak disukai oleh Pakkiong An. Jadi ada satu cara untuk membuat Pakkiong Liong kehilangan muka dalam Sidang Kerajaan yang akan datang, yaitu, tawanan-tawanan itu harus hilang di tengah jalan. Maksudku, lepas dari tangan Pakkiong Liong. Nah, untuk inilah kerjasama kita harus bekerja-sama..."

Ang Bun-long menggebrak meja dan berkata keras. "Hehou lm kau ini bekerja untuk Kerajaan atau untuk pemberontakan? Susah-payah kami dari Hui-liong-kun mengejar tawanan itu berhari-hari dan berribu-ribu mil jauhnya, dan kalian ingin tawanan itu lolos kembali?"

"Tenang-tenang sajalah, saudara Ang, dengarkan dulu penjelasanku. Yang kami maksudkan lepas dari Pakkiong Ciangkun-mu itu bukan berarti kedua tawanan itu menjadi bebas kembali dan berbuat kekacauan lagi di mana-mana. Kami tahu mereka adalah musuh-musuh pemerintah yang tidak boleh lepas lagi. Maksud kami gampang saja, yaitu lepas dari tangan Pakkiong Liong namun jatuh ke tangan Pakkiong An, bukankah sama saja dan Kerajaanpun tidak rugi?"

"Oh, begitu. Kalau begitu aku bisa terima. Lalu aku harus bagaimana?"

"Sekarang belum kuberi tahukan kepadamu, sebab rencana yang kami susun inipun baru garis besarnya saja, kelak jika rencana sudah tersusun rapi dan akan dilaksanakan. Kau tentu akan kami hubungi lagi untuk menentukan tugas-tugasmu dalam rangka rencana itu. Paham?”

"Bagaimana garis besarnya?"

Namun agaknya Hehou Im belum percaya sepenuhnya kepada Ang Bun-Long itu, sehingga belum mau memberitahukan keseluruhan rencananya. Hehou Im kenal watak orang semacam Ang Bun Long yang seperti ular berkepala dua. Jika lerlu bisa menggigit kesana dan menggigit kesini, untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri. Karena itulah bukannya Hehou Im menjawab dengan baik, malahan ia mengeluarkan ancaman halus,

“Garis besarnyapun belum bias kuberi tahukan keapdamu. Aku hanya mengeluarkan sebuah peringatan kepadamu, bahwa setelah kau setuju untuk bekerja-sama dengan kami maka berarti kau sudah terikat dengan kami. Jangan mencoba-coba untuk menjadi ular berkepala dua, sebab itu berarti kau bermain-main dengan nyawamu sendiri. Pakkiong An punya sejuta telinga dan sejuta mata yang akan mengawasi gerak-gerikmu tanpa kau ketahui.”

"Kau mengancamku, he?" geram Ang Bun-long.

"Mau dibilang begitu ya terserah saja. Hanya sekedar peringatan, sebab Pakkiong An dapat meniadakan orang-orang yang tidak disukainya dengan tangan tetap bersih, seolah-olah ia tidak bertanggung-jawab sedikitpun atas kematian-kematian yang terjadi. Aku benar-benar tidak hanya menakut-nakuti. Kau masih ingat akan kematian Boan Seng-hu yang berpangkat Hou-po-siang-si itu?"

Hou-po-siang-si adalah Menteri Keuangan. Tentu saja kematian seorang berpangkat tinggi seperti itu masih diingat oleh Ang Bun-long, sehingga iapun mengangguk. "Masih ingat. Ia mati ditikam oleh orang mabuk di tengah jalan bukan?"

"Ia seorang menteri, tentu pergi ke manapun dikawal ketat, bagaimana seorang pemabuk bisa mendekati tandunya dan menikamnya sehingga mati? Kau merasa hal ini aneh atau tidak?" tanya Hehou Im seolah-olah menguji.

"Ya, memang aneh."

"Kau tentu masih ingat bahwa kemudian pemabuk itupun tidak dapat ditangkap oleh pengawal-pengawal Hou-po-siang-si, nah, bagaimana seorang pemabuk dapat lari secepat itu?"

"Apa hubungannya dengan Pakkiong An?"

Dengan tenangnya Hehou Im meneguk araknya sedikit, lalu sambil tersenyum-senyum ia menjawab, "Hubungannya? Dua hari sebelum kematiannya itu, Boan Seng-hu telah mengecam habis-habisan Pakkiong An di dalam Sidang Kerajaan. Boan Seng-hu menganggap Pakkiong An terlalu mencampuri urusan Hou-po-siang-si di bidang kebijaksanaan keuangan negara, nah, mampuslah dia."

"Ah, tentu hanya kebetulan saja. Lalu kau gunakan kebetulan itu untuk menakut-nakuti aku."

"Hanya kebetulan kau bilang? Baik. Satu contoh lagi. Sekarang tentang kematian Pi Yau-im yang menjabat Tui-thio (Kepala Pasukan) dari Tay-to-si-wi (Pasukan Bayangkari). Kau ingat matinya dia?"

"Menggantung diri di rumahnya. Apa anehnya?"

"Tentu saja tidak aneh kalau yang mati menggantung diri itu seorang yang hidupnya selalu susah, banyak hutangnya atau dalam keadaan tertekan dan sebagainya. Tetapi Panglima Tay-to si-wi Pi Yau-im itu kurang apa? Rumah bagus, pangkat tinggi, masih muda dan kuat, isterinya cantik dan hidup rumah tangganya juga rukun. Orang semacam itu kenapa gantung diri? Dan tidaklah kau ingat akan keanehan-keanehan yang terjadi pada peristiwa gantung diri itu?"

Ang Bun-long terdiam, namun di dalam hatinya ia menjawab, "Ya, kejadian itu memang aneh. Orang gantung diri harusnya matanya melotot dan lidahnya terjulur keluar, namun tanda-tanda seperti itu tidak didapati pada tubuh Pi Yau-im. Bahkan bekas jeratan tali di lehernya itupun tidak meyakinkan. Dan ada seorang pelayannya yang mengatakan bahwa pada malam terjadinya peristiwa itu, si pelayan melihat ada sesosok bayangan hitam seolah-olah terbang keluar dari karnar tidur majikannya, namun beberapa hari kemudian pelayan itupun mati karena penyakit aneh yang tidak dikenali oleh seorang tabib yang ahli sekalipun."

Meskipun Ang Bun-long tidak mengatakan satu patah katapun, namun dari perubahan air mukanya maupun sorot matanya saja Hehou Im sudah tahu bahwa "rekan baru"nya itu mulai tergoncang hatinya. Dan Hehou Im merasa perlu untuk menuntaskan ceritanya, Berapa hari sebelum dia gantung diri, Piau Yau-im telah berani menyindir Pakkiong An dalam sebuah pesta ulang tahun di rumah Lo Ciangkun. Kabarnya waktu itu Pakkiong An sangat kehilangan muka tapi tidak sempat membalas sindiran Pi Yau-im, maka...yah, selanjutnya kau tahu sendiri."

Ang Bun-long merasa jantungnya berdegup keras. Kesimpulannya: Siapa yang berani menentang Pakkiong An, dia akan segera mati. Namun Pakkiong An sendiri tidak akan dapat dituduh, sebab tidak akan ada bukti-buktinya. "Kenapa kau buka rahasia ini kepadaku?" tanya Ang Bun-long dengan suara yang setengah tertelan karena takutnya.

"Pertama, karena kau sudah menjadi orang kami sendiri, dan jangan harap bisa melepaskan diri dari kerjasama ini. Kedua, karena aku hendak memperingatkan kau agar jangan punya pikiran untuk berkhianat kepada Pakkiong Ciangkun, sebab Ciangkun punya jaringan kekuasaan yang sangat halus dan rapi, yang aku sendiri bahkan tidak tahu seberapa luasnya."

"Bagaimana misalnya, eh, hanya misalnya lho, aku tiba-tiba ingin membongkar rahasia kematian Boan Seng-hu dan Pi Yau-im dengan menyelidiki kembali peristiwa kematian-kematian aneh itu? Atau aku laporkan saja kepada siapapun yang cukup punya kekuasaan untuk menandingi Pakkiong An?"

"Jika demikian, maka kau telah memutuskan batas umurmu sendiri. Sebelum kau sempat berbuat sesuatu yang berarti, orang sudah akan menemukan mayatmu lebih dulu. Mungkin kau ditikam orang di tempat pelacuran, atau mayatmu tergantung di pohon seolah-olah bunuh diri, atau kau hilang dan tahu-tahu orang mendapati mayatmu sudah terapung-apung di sungai."

"Gila! Gila! Kau menakut-nakuti aku dan berusaha membuatku tunduk sepenuhnya kepada tua bangka Pakkiong An itu!"

Lalu dengan kedua tangannya Ang Bun-long mencengkeram baju Hehou Im dan mengguncang-guncangkannya, sehingga orang-orang yang sedang berada di rumah makan itupun menjadi ketakutan karena mengira Ang Bun-long mabuk dan mengamuk. Namun akhirnya Ang Bun-long menjadi reda kembali, dan dihempaskannya tubuh Hehou Im kembali ke bangkunya.

Wajah Hehou Im tidak berubah sedikitpun, dengan tenangnya ia mengusap usap bajunya yang menjadi agak kusut karena dicengkeram oleh Ang Bun-long tadi. Lalu berkata, "Buat apa aku menakut-nakutimu, sebab nasibku sendiri persis seperti nasibmu. Berani berkhianat, berarti orang yang bernama Hehou Im akan berakhir hidupnya. Sat-sin-kui (si Setan Ganas) akan menjadi Wang-ong kui (si Setan Penasaran)."

"Jadi kau mencoba menjerat teman sebanyak-banyaknya dalam nasib burukmu itu?"

"Memang menakutkan, tapi aku tidak menganggapnya sebagai nasib buruk. Aku justru merasakan sebagai keberuntungan, akan menjadi seorang yang berpangkat tinggi, berharta, bernama besar, meskipun harus tetap dalam jerat Pakkiong An. Nanti kau akan terbiasa juga."

"Aku masih punya sebuah jalan keluar untuk lepas dari komplotan ini. Aku membunuhmu dengan alasan mabuk, bukankah yang mengetahui persepakatan kita saat ini hanya kau dan aku? Jika aku bunuh kau, aku akan aman dan lepas dari persepakatan gila ini."

"Jika kau bunuh aku, maka kaupun akan segera mati. Kau kira yang tahu akan percakapan kita ini hanya kita berdua?"

Ang Bun-long terkesiap. Disapukannya pandangannya kepada orang-orang yang berada di rumah makan itu. Pelayan-pelayan yang hilir mudik dengan nampan di tangannya, kasir yang sibuk mempermainkan sipoa untuk menghitung uang, dua orang berpakaian saudagar yang nampaknya sedang merundingkan perdagangan besar, sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpacaran.

Semuanya bertingkah laku wajar, mana ada yang aneh? Namun Ang Bun-long menduga bahwa di antara orang-orang itu tentu ada orang yang sekomplotan dengan He-hou Im yang mengawasi jalannya "perundingan" itu. Tapi orang yang mana, Ang Bun-long tak dapat menebaknya, mungkin Hehou Im sendiri juga tidak tahu.

Tiba-tiba keringat dingin mengalir di punggung Ang Bun-long. Ia menyesal sudah terjerat dalam komplotan itu. Meskipun kantungnya penuh berisi emas, tapi apa gunanya kalau untuk selanjutnya ia merasa dirinya selalu diawasi oleh sejuta mata dan setiap kata-katanya yang paling pribadi sekalipun seolah diawasi sejuta telinga?

Apa enaknya hidup tanpa kebebasan pribadi sedikitpun seperti itu? Namun sudah terlanjur. Kini lehernya seolah-olah sudah dijerat oleh Pakkiong An dengan seutas tali tak berwujud yang tak mungkin dilepaskannya lagi. Tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah langkah-langkah ke depan di bawah kendali Pakkiong An.

Dengan pandangan yang dingin tanpa kenal belas kasihan, Hehou Im menatap Ang Bun-long, dan berkata, "Nah, aku kira pembicaraan sudah selesai. Kita berpisah dulu, dan nanti sepanjang perjalanan dari sini sampai ke Pak-khia kau akan menerima perintah-perintah selanjutnya."

"Bagaimana caranya aku menghubungi kalian?" tanya Ang Bun-long.

"Untuk sementara ini, biar kami sajalah yang menghubungimu."

Maka kedua orang Itu berpisah, Ang Bun-long segera keluar dari rumah makan itu dan kembali ke gedung penginapannya. Sambil melangkah, kadang-kadang hatinya tergoda juga untuk menceritakan segala sesuatu yang didengarnya itu kepada Pakkiong Liong, namun niat yang timbul di hatinya itu adalah niat yang terlalu lemah. Setiap kali teringat ancaman Hehou Im tentang "mati secara tak terduga" maka Ang Bun-long menjadi berdiri bulu kuduknya. Dan ia menghibur diri sendiri,

"Lagi pula, apa salahnya memperjuangkan kedudukan yang lebih tinggi dengan sedikit menyerempet bahaya? Yang tidak berani menyerempet bahaya seumur hidupnya akan menjadi bawahan orang terus-terusan."

Sementara itu, setelah Ang Bun-long pergi, maka Hehou Im membayar semua harga minuman dan makanan kepada kasir rumah makan itu, lalu iapun melangkah keluar dengan langkah-langkah santai. Jaringan komplotannya kini telah bertambah luas dengan didapatkannya lagi satu orang di dalam tubuh Hui-liong-kun. Hal ini cukup untuk membuat Pakkiong Liong An bergembira dan hadiahpun akan mengalir kepadanya.

Dengan langkah perlahan-lahan la melangkah di pinggir jalan, ketika dilihatnya seorang pengemis berjongkok dipinggir jalan dekat rumah makan itu sambil menadahkan sebuah tempurung ditangannya, maka Hehou Im mendekatinya sambil mengeluarkan sekeping uang receh di kantongnya.

"Sedekah, tuan, kasihan aku sehari belum makan..." rintih pengemis itu.

Hehou Im melemparkan kepingan uangnya ke dalam tempurung pengemis itu, katanya sambil tertawa, "Belum makan dengkulmu, seekor ayam panggang utuh yang kau makan tadi pagi itu memangnya apa...?"
Selanjutnya;