Pendekar Naga dan Harimau Jilid 10Karya : Stevanus S.P |
Tong Lam-hou juga hadir dalam upacara. itu, namun ia masih belum mengenakan seragam prajurit Manchu sebab ia memang belum menjadi prajurit. Rambutnya sekarang sudah dikuncir seperti Pakkiong Liong dan orang-orang Manchu, yang dikenakannya adalah jubah panjang berwarna biru tua yang cukup bersih. Dalam penampilannya malam itu, Pakkiong Liong menjadi kagum kepada sahabatnya yang kelihatan lebih tampan dan berwibawa, tidak lagi seperti anak gunung yang ketolol-tololan.
Beberapa pejabat tinggi di Kun-beng juga ikut bersembahyang dan membakar dupa di hadapan peti jenazah. Namun mereka tidak berkabung sungguh-sungguh, hanya untuk mengambil hati Pakkiong Liong saja. Maklumlah Pakkiong Liong adalah seorang Panglima di Ibukota yang punya pengaruh kuat, bahkan kabarnya masih punya hubungan darah dengan Kaisar Sun-ti sendiri. Jika Pakkiong Liong bicara kebaikan-kebaikan mereka di hadapan Kaisar, itu akan menjadi berkah bagi mereka, alamat akan cepat naik pangkat. Tapi kalau sampai Pakkiong Liong membicarakan keburukan mereka, maka siap-siap sajalah untuk dicopot dari jabatan mereka. Itulah sebabnya sikap mereka manis luar biasa kepada Pakkiong Liong. Undangan untuk jamuan makan mengalir dari sana-sini, namun semuanya ditolak dengan halus oleh Pakkiong Liong, kecuali jamuan yang diselenggarakan oleh Song Jin-ho sendiri yang memang sudah disanggupi oleh Pakkiong Liong. Setelah upacara sembahyang untuk arwah prajurit-prajurit yang gugur selesai, maka ruangan besar itupun menjadi sepi kembali. Tamu-tamu pulang ke rumahnya masing-masing, sedangkan prajurit-prajurit Hui-liong-kun masuk ke ruangan belakang. Namun ada juga yang tidak langsung tidur, hanya mengganti pakaian mereka dengan pakaian biasa, lalu merekapun menyelundup keluar untuk mencari warung arak atau rumah pelesiran. Nikmatilah hidup ini, siapa tahu besok lehermu sudah digorok oleh pengikut-pengikut dinasti Beng itu. Beberapa orang rahib masih tetap di ruangan itu, sebab mereka akan membaca doa semalam suntuk. Karena kegelisahan memikirkan ibunya, Tong Lam-hou juga tidak dapat segera tidur. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan-jalan menikmati udara malam di luaran, maka iapun melangkah keluar dari gedung besar itu dengan lewat pintu samping. Seperti kota-kota besar lainnya, maka Kun-beng boleh dikata tidak tidur semalam suntuk. Bahkan ada warung-warung arak yang bukanya malam hari sampai pagi, khusus melayani kaum pemogoran. Mau main perempuan atau main judi, semuanya sudah tersedia. Sambil berjalan lambat-lambat disepanjang jalan, Tong Lam-hou menarik napas panjang-panjang. Apa yang di Jit-siong-tin dianggap perbuatan memalukan seperti berjudi, di sini dianggap hal biasa saja. Hal biasa pula kalau ada orang berkelahi di rumah judi, atau karena berebut perempuan atau mabuk arak. Akhirnya Tong Lam-hou menjadi jemu dan kembali ke gedung besar itu untuk tidur. Ketika melewati kamar Ha To-ji yang terbuka lebar, dilihatnya orang Mongol itu dengan bertelanjang dada tengah berlatih ilmu silatnya sehingga mandi keringat. Tong Lam-hou tersenyum dalam hatinya. "Rajin benar orang Mongol ini. Malam hampir pagi seperti ini ia masih menyempatkan dirinya berlatih silat. Pantas A-liong menyebutnya sebagai seorang perwira yang memiliki masa depan yang cerah karena keuletannya." Akhirnya Tong Lam-hou tertidur juga. Pagi harinya, Tong Lam-hou harus mengikuti upacara pembakaran jenazah para prajurit yang gugur. Song Jin-ho yang tengah berusaha untuk mengambil hati Pakkiong Liong itu telah menyelenggarakan sebuah upacara perabuan jenazah yang megah dan khidmat, sampai upacara selesai di mana abu jenazah dari prajurit-prajurit itu dimasukkan ke dalam guci-guci kecil yang kelak akan diserahkan kepada keluarga masing-masing prajurit di Pak-khia. Tong Lam-hou membatin, "Alangkah sedihnya keluarga prajurit-prajurit itu. Ketika berangkat mereka masih segar-bugar, dan pulangnya hanya berujud segumpal abu dalam guci kecil. Tetapi yang lebih sedih lagi tentu keluarga yang hanya menerima pemberitahuan saja, hanya menerima namanya saja, sebab mayatnya tertinggal di medan laga sana." Selesai upacara yang khidmat itu, Pakkiong Liong mengucapkan terima kasih kepada Song Jin-ho, "Song Congpeng telah berbuat sangat banyak bagi pasukan kami. Aku atas nama seluruh pasukan mengucapkan terima kasih kepada Congpeng. Sri Baginda tentu akan senang sekali mendengar sikap Congpeng ini." "Terima kasih, Pakkiong Ciangkun Yang kulakukan hanya sekedar kewajiban kepada sesama prajurit yang gugur, penghormatan dari kami kepada para pahlawan yang telah berkorban jiwa untuk tegaknya pemerintah kita ini." Kedua Panglima itu masih bercakap-cakap sejenak sebelum mereka kembali ke gedungnya masing-masing. Sejak masuk ke kota Kun-beng, Tong Lam-hou merasa bahwa agak sulit untuk terus bersama-sama dengan A-liong seperti ketika masih berada di Tiam-jong-san dulu. Di Kun-beng ini, Pakkiong Liong adalah seorang Panglima yang dihormati, selalu sibuk dengan ini itu, sehingga Tong Lam-hou lebih sering dibiarkannya seorang diri atau hanya berteman perwira-perwira bawahannya seperti Ha To-ji atau lainnya. Namun Tong Lam-hou berusaha untuk dapat mengerti semuanya itu, ia tahu bahwa bukan karena Pakkiong Liong menjauhinya, namun karena kesibukannya yang tak habis-habisnya itulah yang agak menjauhkannya daripadanya. Menilik keadaan tawanan di penjara, mempersiapkan keberangkatan pasukannya ke Pak-khia, berunding dengan Song Jin-ho tentang sisa-sisa dinasti Beng yang masih berkeliaran di padang ilalang sana, dan lain-lain. Dan Tong Lam-hou tidak ingin menjadi anak yang cengeng dan manja, seperti anak kecil yang terus-menerus berpegangan pada baju ibunya ketikaa berada di tengah pasar malam, dan menangis kalau ia kehilangan pegangannya. Tidak. Tong Lam-hou menyadari dirinya adalah pribadi yang mandiri, sehingga iapun akhirnya berusaha menghadapi segalanya dengan hati yang mantap. "Aku turun gunung untuk membantu meringankan tugas-tugas A-liong sebagai prajurit yang menertibkan negeri ini,” kata Tong Lam-hou dalam hatinya sendiri. "Bukan malah memberatkannya, seolah-olah aku adalah tamu yang manja di tempat ini, yang selalu harus diperhatikan oleh tuan rumahnya. Atau seperti seorang momongan yang rewel." Karena itulah maka Tong Lam-hou tidak ingin mengganggu kesibukan Pakkiong Liong, dan iapun mencari kesibukan sendiri pula. Kadang-kadang ia berlatih silat sehari penuh di halaman gedung itu, atau ia berjalan-jalan bersama-sama dengan Ha To-ji atau Han Yong-kim yang semakin akrab dengannya. Untung di sekitar kota Kun-beng itu ada banyak tempat-tempat indah yang bisa dilihat untuk menghibur hati. Pada suatu pagi yang cerah, ketika Pakkiong Liong sedang menghadiri undangan Song Jin-ho untuk menyaksikan latihan pasukan bawahan Song Jin ho di sebuah lapangan yang luas, maka Tong Lam-hou dan perwira-perwira bawahan Pakkiong Liong juga ikut melihat jalannya latihan. Pada kesempatan itulah baru Pakkiong Liong memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou yang menunggang kuda di sebelahnya, "Ke mana saja kau selama ini?" "Ke mana saja, cukup banyak tempat indah yang bisa didatangi di sekitar kota ini," sahut Tong Lam-hou. "Sendirian?" "Tidak. Kadang-kadang bersama Ha To-ji dan kadang-kadang bersama Han Yong-kim. Kadang-kadang kami bertiga." Pakkiong Liong tersenyum. "Kau merasa cocok dengan orang Mongol dan orang Korea itu?" "Mereka orang-orang baik, kenapa harus tidak cocok dengan mereka?" "Bagus. Kita semua harus bersatu hati, barulah bisa untuk berbuat sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Apakah kau tidak mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan mungkin?" Mulut Tong Lam-hou sudah bergerak hendak mengucapkan sesuatu, namun kemudian digelengaknnya kepalanya sambil menjawab, "Ah, tidak. Semuanya baik dan semuanya menyenangkan." "Nah, kau mulai belajar berbohong kepadaku?" Tong Lam-hou terkejut, namun kemudian ia tertawa, "Bagaimana kau tahu aku menyembunyikan sesuatu? Aku tidak berbohong, aku hanya menyembunyikan sesuatu yang dapat merusak suasana." "A-hou, kita ini bersahabat bukan? Jujurlah kepadaku. Apa yang tidak menyenangkanmu?" "Ah, tidak ada. Barangkali hanya perasaanku saja." "Nah, coba ceritakan perasaanmu itu, biar aku sebagai, temanmu ikut menilai benar atau tidak." Akhirnya Tong Lam-hou harus menjawab juga, namun sebelum menjawab ia menyapukan pandangannya ke sekitarnya, kepada orang-orang yang sedang menonton latihan prajurit itu. Setelah merasa aman, baru dijawabnya, "A-liong, perwira bawahanmu yang berhidung melengkung dan bermata seperti alap-alap itu agaknya tidak senang kepadaku." "Berhidung melengkung dan bermata alap-alap? Maksudmu Ang Bun-long? Apakah ia pernah berbuat sesuatu yang tidak baik kepadamu atau bagaimana?" "Sudah kukatakan hanya perasaanku saja, barangkali akulah yang salah karena terlalu berprasangka. Namun pandangan matanya terhadap diriku membuatku merasa gatal tangan ingin memukul matanya." "Ang Bun-long memang pantas mendapat peringatan keras dariku." "Jangan A-liong. Nanti dikiranya aku yang mengadu kepadamu dan ia akan menganggapku sebagai tukang mengadu." "Bukan kau saja yang mengatakan itu, A-hou, tetapi sebelum kau mengatakannya kepadaku maka beberapa perwira juga telah mengatakan kepadaku. Tingkah lakunya yang sering melewati batas dapat mengakibatkan perpecahan di pasukanku yang selalu kuusahakan persatuannya itu." "Terserah kepadamu, A-liong. Namun sebenarnya ia belum berbuat apa-apa atasku kecuali memandangnya dengan matanya yang seperti alap-alap itu, seolah-olah aku hendak ditelannya." "Baik, serahkan kepadaku saja, nanti aku yang mengatasinya. Sekarang coba kau perhatikan latihan-latihan itu. Apakah gurumu pernah mengajar tentang ilmu perang, maksudku ilmu mengatur barisan seperti itu?" Tong Lam-hou segera mengalihkan pandangannya ke tengah alun-alun itu. Dilihatnya ada dua pasukan yang berjumlah besar, masing-masing berjumlah kira-kira duaribu orang. Kedua pasukan saling menyerang dengan macam-macam siasat, kadang-kadang, membentuk lengkungan untuk menahan musuh, lalu menjepit menebar dan menyempit dan sebagainya, sementara pasukan lawannya mencoba mengimbangi dengan macam-macam gerakan itu. Di atas sebuah panggung kecil, dua orang perwira berdiri sambil menggerak-gerakkan bendera kecil di tangan mereka. Gerakan pasukan mengikuti isyarat yang diberikan oleh bendera-bendera itu, seolah kedua perwira itu sedang bermain catur dan prajurit-prajurit merekalah bidak-bidak catur yang digerakkan dengan isyarat bendera. Untuk sesaat Tong Lam-hou jadi melupakan si perwira berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap itu, karena perhatiannya tertarik ke tengah lapangan dimana sedar.g terlangsung suatu "pertempuran" yang seru. Kata Tong Lam-hou, "Ya, guruku memang hanya mengajarkan ilmu silat kepadaku, tetapi ilmu mengatur barisan semacam ini aku memang tidak tahu sama sekali. Barangkali Guru sendiri juga tidak tahu." Maka tanpa diminta Pakkiong Liong segera menerangkan kepada Tong Lam-hou tentang semua pasukan di tengah lapangan itu, dan apa tujuannya. Dan Tong Lam-hou mendengarkannya dengan penuh minat. Sekarang ia tahu bahwa pasukan besar prajurit yang terjun ke medan perang bukan asal saja berani memutar senjatanya untuk menerjang musuh, namun juga harus dibekali pengetahuan semacam itu agar barisan tidak menjadi kacau dan prajuritnya bertempur sendiri-sendiri. "Tetapi, dalam latihan mereka dapat bergerak begitu teratur, apakah dalam peperangan mereka juga bisa bergerak demikian? Bukankah dalam peperangan itu musuh tidak dapat diatur begini atau begitu menurut kemauan kita?" tanya Tong Lam-hou kemudian. "Tentu saja tidak. Ada banyak hal yang mempengaruhi keseimbangan pertempuran, antara lain: ketangkasan berpikir dari panglima masing-masing pasukan, jumlah pasukannya, bobot dari tiap anggauta pasukan, tinggi rendahnya medan pertempuran, apakah berbukit-bukit atau di lembah atau di tempat yang sempit, semuanya memerlukan perhitungan sendiri. Namun bukan berarti latihan-latihan seperti ini tidak berguna. A-hou, coba kutanya, ketika mula-mula kau belajar silat, apakah yang harus kau lakukan pertama kali?" "Meningkatkan kekuatan, kecepatan dan kelenturan tubuh. Ketiga hal itulah yang apat diringkas dalam satu kata: ketangkasan." "Bagus, lalu?" "Mempelajari gerakan-gerakan dasar seperti kuda-kuda dan pukulan-pukulan atau tendangan-tendangan yang sederhana, sehingga matang.‘‘ "Terus?" "Melakukan tui-jiu (berelatih berpasangan dengan gerakan-gerakan yang sudah ditetapkan urutannya terlebih dulu), agar gerakan-gerakan dasar itu dapat digunakan, diketahui penerapannya." "Nah, itulah. Dalam perkelahian yang sesungguhnya, kita tidak mungkin memakai gerakan-gerakan dari tui-jiu secara utuh, sebab tak mungkin lawan kita tebak urutan gerakannya. Semuanya harus serba cepat dan seketika. Tapi bukan berarti tui-jiu tidak berguna, sebab semakin matang latihan kita, akan semakin terarah gerakan kita. Misalnya sebuah jurus terdiri dari memukul, menendang lalu mengelak, mungkin, dalam perkelahian sesungguhnya kita hanya sempat memukul sekali dan kemudian harus buru-buru mengelak, sebab serangan lawan datang lebih cepat sebelum kita sempat melakukan tendangan." Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Pakkiong Liong melanjutkan, "Nah, pada dasarnya latihan ilmu silat dan latihan menggerakkan pasukan itu pada dasarnya tidak berbeda urut-urutannya atau pentahapannya. Pertama-tama para prajurit harus memiliki kesegaran jasmani yang baik dan semangat yang tinggi, agar memudahkan bagi seluruh pasukan untuk bergerak cepat menguasai medan. Lalu para prajurit diberi pelajaran menyerang dan bertahan dalam satu barisan, tidak terpecah-pecah, dan bentuk-bentuk serangan lainnya. Kemudian prajurit-prajaurit dibagi dalam dua pasukan yang masing-masing ada seorang pemimpinnya, dan melakukan latihan semacam ini, meskipun keadaannya tidak sama dengan di medan perang yang sesungguhnya." "Apakah ilmu silat tidak berguna di medan perang antara dua pasukan besar?" "Tentu saja tetap berguna, bukankah gerakan para prajurit ketika mengayunkan tombak atau pedang mereka itu-pun termasuk ilmu silat? Dan bukankah ilmu silatnya rendah? Jadi ilmu silat tetap berguna, tetapi bukan satu-satunya segi untuk menentukan kemenangan. Seorang Panglima yang bagaimanapun tingginya Ilmu silatnya dan ia dapat membunuh puluhan musuh, tetapi pasukannya sendiri kocar-kacir, ia dapat disebut sebagai Panglima yang kalah." “Aku mengerti...!" Sementara itu, sikap yang sangat akrab antara Pakkiong Liong dengan Tong Lam-hou itu memang telah menumbuhkan ketidak senangan pada diri seorang perwira Hui-liong-kun yang berhidung bengkok dan bermata seperti alap-alap, bernama Ang Bun-long. Ia merasa iri. Sudah lama ia mendambakan kenaikan pangkat, tidak peduli dengan cara menyikut kiri-kanan, menjelek-jelekkan teman-temannya sendiri, namun cita-citanya itu tak kunjung terkabul. Ia telah berusaha untuk mendekati Pakkiong Liong, tak terduga sikapnya yang menjilat itu malah membuat Pakkiong Liong semakin jauh dari padanya. Dan kini melihat Tong Lam-hou sebagai orang baru langsung mendapat tempat begitu dekatnya di hati Pakkiong Liong, maka Ang Bun-lon diamuk rasa dengki luar biasa. Sebenarnya Ang Bun-long memiliki ilmu cukup tinggi, terutama dalam ilmu tombaknya andaikata Pakkiong Liong tidak benci melihat wataknya itu mungkin ia akan cepat naik ke jenjang yang tinggi. Namun sifat-sifat buruknya itulah yang justru mencegah Pakkiong Liong untuk memberi kedudukan penting kepada perwiranya yang satu itu. Bisa hancur pasukannya kalau kedudukan pentingnya dipegang orang semacam Ang Bun-long. Pakkiong Liong lebih suka orang-orang yang agak kasar namun jujur seperti Ha To-ji atau Han Yong-kim... |
Selanjutnya;
|