Pendekar Naga dan Harimau Jilid 09Karya : Stevanus S.P |
Ma Hiong yang merasa sungkan bertempur dengan Tong Lam-hou itu segera meloncat menyingkir, sambil berkata, "Anak muda, jika kau benar-benar putera Hwe-liong Pang-cu, kau tentu tidak akan sudi menjadi budak Manchu. Ayahmu adalah seorang yang bercita-cita tinggi dan luhur, kau sebagai putera nya harus mewarisi semangatnya itu!"
"Aku mewarisinya. Aku bercita-cita-menjadikan negeri ini besar dan sejahtera dan jika kau benar-benar bekas anggauta Hwe-liong-pang yang setia, kau tentu tidak akan menolong bangsat-bangsat begundal Cong-ceng ini, sebab kau tentu tahu sendiri bagaimana keadaan pemerintahan di jaman Cong-ceng dulu!" balas Tong Lam-hou dengan tajam. "Dan bukankah dulu yang dilawan oleh Hwe-liong-pang itu adalah pemerintahan Cong-ceng? Kenapa sekarang kau malah membantu mereka?" "Aku tidak membantu mereka. Secara kebetulan aku dan mereka hanya sama sama mentang penjajahan bangsa Manchu atas negeri ini." "Aku berpendapat bahwa Manchu tidak menjajah tetapi mempersatukan yang terpecah-belah supaya menjadi satu yang kuat. Tapi minggirlah, aku tidak ada waktu untuk berdebat denganmu!" Ma Hiong menarik napas dalam-dalam. Apa boleh buat. Dengan berat hati ia berkata, "Anak muda, kau sungguh berbeda jauh dengan ayahmu. Ayahmu adalah pemimpinku dulu, dan aku sangat menghormati dan menghargai cita-cita besarnya. Tetapi aku agaknya tidak dapat bersikap sama terhadap kau." Tong Lam-hou juga menarik napas. Sahutnya, "aku juga menyesal bahwa kita berdiri berseberangan. Tetapi aku punya cita-cita sendiri dan kalian tidak memahaminya. Tapi apa boleh buat. Dipahami oleh orang lain atau tidak, aku akan berjalan terus dengan cita-citaku." Dengan berat hati pula Ma Hiong telah melepaskan sepasang senjata andalannya dari pinggangnya. Sepasang roda yang disebut Jit-goat-sing-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan). Jika senjata itu dinamakan "Jit-goat" yang merupakan lambang Kerajaan Beng, bukan berarti Ma Hiong mendukung Kerajaan Beng, melainkan karena senjata jenis itu memang begitulah namanya. Bahkan jauh sebelum berdirinya dinasti Beng yang didirikan oleh Beng-thay-cou Cu Goan-ciang ratusan tahun yang lalu, senjata semacam kepunyaan Ma Hiong itu memang disebut Jit-goat-siang-lun. Kemudian secara kebetulan saja Cu Goan-ciang menamakan dinasti yang didirikannya dengan nama dinasti Beng. "Beng" yang berarti "cahaya" adalah aksara yang terdiri dari gabungan dua akasara "jit" (matahari) dan "goat" (rembulan) yang diletakkan berdampingan. Itulah sebabnya lambang "matahari" dan rembulan" menjadi lambang Kerajaan Beng. Namun bagi Ma Hiong, nama senjatanya itu tidak ada hubungannya sedikitpun dengan sikap dan pendiriannya. Maka Tong Lam-hou dan Ma Hiong segera terlibat dalam saling gempur yang sengit. Meskipun mula-mula mereka saling merasa segan-segan, tetapi setelah serangan berbahaya saling dilontarkan dan hati juga semakin panas, maka rasa sungkanpun perlahan-lahan menghilang. Masing-masing menyadari bahwa mereka harus mempertahankan pendirian mereka masing-masing dengan tidak tanggung-tanggung, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sementara itu ketiga lawan Tong Lam-hou yang tadi, yaitu Bu-sian Hwe-shio, Te-sian Tojin dan Kongsun Hui juga tidak tinggal diam dan membiarkan Ma Hiong bertempur seorang diri. Maka Tong Lam-houpun segera menghadapi empat orang musuh tangguh dengan kemahirannya sendiri-sendiri. Ma Hiong dengan sepasang roda Jit-goat-siang-lunnya adalah seorang ahli berkelahi jarak pendek, langkah-langkahnya gesit dan selalu mencoba mengunci pedang Tong Lam-hou dengan merapatkan tubuhnya. Namun Tong Lam-hou terlalu lincah, dengan loncatan-loncatan pendek ia selalu menjaga jarak dengan Ma Hiong agar tidak terlalu pendek sehingga pedangnya bisa dijepit oleh sepasang roda musuh. Sebaliknya terhadap Bu-sian Hwe-shio yang memainkan Lo-han-tung-hoat (Toya Sang Malaikat) dengan mahirnya itu, Tong Lam-hou justru tidak ingin terlalu jauh dari lawannya yang bersenjata toya panjang itu. Toya panjang Bu-sian Hweshio bagaikan seekor naga yang mengaduk lautan, namun Tong Lam-hou selincah seekor camar yang bermain-main di atas gelombang. Bagaimanapun ganasnya gelombang laut, sang camar tidak akan pernah dapat ditenggelamkannya. Tapi masih ada bahaya-bahaya lainnya untuk Tong Lam-hou. Pedang Tesian Tojin yang mematuk dan melilit seperti, seekor ular berkulit perak itu juga tidak dapat diabaikan begitu saja, betapapun juga Te-sian Tojin adalah murid yang menonjol dari Bu-tong pay, sebuah perguruan yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Selain itu masih ada Kongsun Hui, yang meskipun orang terlemah dari antara empat orang itu, namun sepasang ruyung bajanya tetap berbahaya dan dapat meremukkan lawan. Makin lama terasa makin berat juga bagi Tong Lam-hou untuk menghadapi empat orang lawan yang tangguh itu. Jika mereka maju satu demi satu, atau bahkan dua demi dua, mereka tetap bukan lawan bagi murid kesayangan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu. Namun karena mereka maju berempat sekaligus, terasa alangkah beratnya bagi Tong Lam hou, apalagi keempat orang lawannya itu rata-rata memiliki pengalaman tempur yang jauh lebih banyak dari Tong Lam-hou yang baru saja turun gunung itu. Kalau Tong Lam-hou yang hanya menghadapi empat orang saja sudah terasa berat bukan main, apalagi Pakkiong Liong yang menghadapi lima orang lawan. Dan di antara lawan-lawannya itu terdapat Gin-yan-cu Tong Wi-hong, si pemimpin Tiong-gi-piau-hang di Taybeng yang terkenal ilmu pedangnya, serta si pendekar wanita Tong Wi-lian dari An-yang-shia yang terkenal, dengan patukan jari-jarinya yang tidak kalah dengan sepucuk pedang tajam itu. Sebagai seorang yang sudah kenyang pengalaman di berbagai macam medan kekerasan, Pakkiong Liong segera merasa bahwa cara bertempur sendiri-sendiri yang dilakukan olehnya dan oleh Tong Lam-hou itu kurang cocok dengan keadaan. Karena itu tiba-tiba Pakkiong Liong melakukan serangan beruntun sambil menyalurkan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya ke telapak tangan kiri. Hembusan hawa panas yang luar biasa dan mendadak itu memang mengejutkan lawan-lawannya, terutama bagi lawan-lawan yang kurang mendalami tenaga dalam seperti kedua bekas Tong-cu Hwe-liong-pang serta Ting Bun yang mengutamakan gwa-kang (tenaga luar) itu. Mereka segera berloncatan mundur, sedangkan Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian yang tenaga dalamnya cukup matang saja juga agak terhambat gerakannya oleh hawa panas itu. Kesempatan itu segera digunakan oleh Pakkiong Liong untuk meloncat bagaikan seekor elang menyambar di udara, masuk ke arena pertempuran Tong Lam-hou dan empat lawannya. Dengan putaran pedangnya yang menimbulkan angin menderu dahsyat itu ia memaksa keempat lawan Tong Lam-hou berpencaran melebar, lalu teriaknya, "A-hou, kita beradu punggung!" Tong Lam-hou memahami maksud Pakkiong Liong itu. Dengan cara beradu punggung, maka seseorang tidak usah lagi menguatirkan serangan dari belakang, cukup memperhatikan lawan yang dari depan atau samping saja. Tak lama kemudian keduanya sudah saling membelakangi dalam menghadapi lawan-lawan yang menyerang mereka dari segala arah itu. Tong Wi-hong beserta adik dan iparnya, serta Lu Siong dan Oh Yun-kim juga sudah bergabung dengan bekas-bekas lawan Tong Lam-hou untuk mengepung musuh dan sebuah lingkaran yang lebar, dengan dua orang musuh muda tangguh di tengah-tengahnya. Dengan demikian, kini beban, yang ditanggung olei Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou lebih merata. Dengan gigihnya mereka memutar pedang mereka bukan saja untuk bertahan, tetapi juga untuk menyerang, kegagahan kedua anak muda itu benar-benar seperti pasangan Naga dan Harimau yang perkasa. Lawan-lawannya yang berjumlah sembilan orang itu diam-diam kagum juga kepada mereka. Nama besar Pakkiong Liong sebagai Naga Utara yang belum pernah bertemu tandingannya itu ternyata tidak bernama kosong belaka, dan sekarang belum lagi sang Naga Utara berhasil ditumpas, telah muncul si Harimau Selatan yang tidak kalah tangguhnya. Namun kemudian orang tidak terlalu heran akan ketangguhan Tong Lam-hou setelah mengetahui bahwa dia adalah anak Tong Wi-siang, ketua Hwe-liong-pang yang puluhan tahun yang lalu telah membuat dunia persilatan menggigil ketakutan. Bahkan kemudian Hwe-liong-pang di jaman itu ikut menentukan kemenangan laskar Li Cu-seng atas Tentara Kerajaan Beng. Kini mereka melihat seolah Tong Wi-siang menjelma kembali ke dunia, dan untuk kedua kalinya dunia persilatan bakal digoncangkan lagi. Sementara itu, ketika Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou merasa tekanan mereka semakin berat, maka Tong Lam-hou berseru kepada sahabatnya itu, "A-liong kita buat mereka panas dingin, setuju?" "Setuju!" sahut Pakkiong Liong. "Mulai sekarang!" Yang terkejut bukan main ketika mendengar perkataan kedua sahabat itu adalah Kongsun Hui. Ia tahu benar apa yang dimaksudkan dengan "panas dingih? Itu. Ia sudah "mencicipi" kedua-duanya. Di kuil terpencil itu ia sudah melihat sendiri bagaimana hebatnya ilmu Hwe-liong-sin-kang milik Pakkiong Liong, sehingga Tio Tong-hai yang tangguh itupun tewas bagaikan segumpal daging hangus saja. Dan di barak Li Tiang-hong beberapa hari yang lalu, ia hampir mati kedinginan oleh pukulan Tong Lam-hou yang maha dingin itu. Untunglah saat itu Tong Lam-hou tidak berniat pembunuhnya, dan hanya ingin menculik Pangeran saja, sehingga Kongsun Hui tidak membeku, darahnya karenanya. Kini setelah mendengar bahwa Pakkiong Liong hendak menggunakan ilmu "panas dingin" mereka, maka Kongsun Hui memperingati kawana-kawannya, "Hati-hati! Kedua bangsat Manchu ini hendak menggunakan ilmu hawa panas dan dingin mereka!" Baru saja seruan itu selesai diteriakkan, maka udara panas dan dingin itu telah tersembur keluar dengan dahysatnya. Separuh dari lingkaran pengepungan itu mendadak udaranya menjadi begitu panas seperti dalam tanur pembakaran, sementara separuh dari lingkaran itu udara menjadi dingin seperti dalam sumur es di kutub. Sebagian lawan megap-megap karena uadara yang mereka hisap seakan hendak menghanguskan isi dada mereka, sebagian lainnya mendadak merasa darahnya hampir berhenti mengalir karena dingin membeku. Beberapa orang yang tingkatan tenaga dalamnya belum memadai untuk melawan ilmu Hwe-liong-sin-kang dan Han-im-ciang itu segera meloncat mundur dengan terpaksa. Mereka adalah suami Tong Wi-lian, ketiga orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang dan Kongsun Hui. Dengan demikian lingkaran pengepungan itu seolah-olah terbagi menjadi dua, yaitu bagian dalam dan bagian luar. Bagian dalam terdiri dari Tong Wi-hong, Tong Wi-lian, Bu-sian Hwe-shio dan Te-siang tojin yang tenaga dalamnya cukup kuat untuk menahan udara panas dan dingin itu, dan di bagian luar adalah lima orang lainnya yang kehilangan sebagian besar peranan mereka dalam pertempuran yang berlangsung itu. Orang-orang yang bertempur di bagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan. Sambil memainkan jurus-jurus mereka, maka wajah merekapun terlihat sebentar merah padam dan di lain saat pucat membiru, keringat membasahi wajah mereka, sementara dari ubun-ubun merekapun terlihat mengepul uap tipis yang menandakan mereka telah bertempur dengan taraf ilmu mereka yang tertinggi. Udara panas dingin itu bagaikan berputar karena gerakan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang berpusaran itu, dan jangan dikira udara panas dan dingin itu jika digabung menjadi udara yang hangat-hangat sejuk dan nyaman, melainkan tetap berdiri sendiri-sendiri tanpa bercampur. Yang panas tetap panas dan yang dingin tetap dingin. Keadaan seperti itu lama kelamaan bisa membuat tubuh menjadi sakit berat karena udara yang berganti-ganti dengan tajamnya itu. "Luar biasa! Luar biasa!" tak terasa Tong Wi-hong menggumam dalam hatinya, "Anak-anak yang luar biasa! Mengingatkan aku akan empat serangkai anak muda dari An-yang-shia." Orang-orang yang bertempur dibagian dalam itupun harus mengerahkan segenap ilmu mereka untuk bertahan agar tidak mampus kepanasan atau kedinginan yang menjadi pentolan-pentolan Hwe-liong-pang itu. Kelima orang yang berdiri di lingkaran luar itupun kemudian tidak ingin menjadi penonton saja. Meskipun tidak ikut serta sepenuhnya dalam pertempuran, tapi mereka mencoba untuk mempengaruhi jalannya pertempuran sebisa-bisa mereka. Kadang-kadang Ting Bun meloncat masuk ke arena dan melakukan sebuah jurus serangan dengan goloknya untuk mengganggu lawan, namun kemudian buru-buru meloncat keluar kembali ketika pukulan Hwe-liong-sin-kang atau Han-im-ciang menyambarnya. Cara yang dilakukan oleh Ting Bun itu kemudian ditiru pula oleh Ma Hiong, Yun-kim, Lu Siong dan Kongsun Hui. Sementara itu, biarpun musuh telah terbagi menjadi lingkaran luar dan lingkaran dalam, namun tidak berarti pekerjaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menjadi ringan. Pengerahan ilmu mereka itu betapapun juga telah menguras tenaga mereka lebih cepat, sementara keempat orang lawan di lingkaran dalam itupun ternyata mampu bertahan dari ilmu mereka meskipun dengan susah-payah pula. Dengan demikian pertempuran itu telah memasuki tahap mati hidup bagi kedua belah pihak. Tahap di mana pengerahan ilmu-ilmu tertinggi dari masing-masing pihak sudah merupakan hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi, dan siapa yang gagal bertahan sampai jurus terakhir maka ia akan binasa di arena. Gerakan Bu-sian Hweshio dari Siau lim-pay nampak semakin berat. Toya panjangnya yang tadinya menderu-deru dengan lincah bagaikan naga di samudera bebas itu, kini gerakannya semakin lambat seakan-akan di ujung toya panjang itu dibanduli beban tak terlihat yang semakin lama semakin berat. Dengan wajah yang merah padam dan uap tipis mengepul dari kepala gundulnya, ia nampak seram sekali. Setiap langkahnya yang menggeser tanah tentu meninggalkan jejak-jejak kakinya yang amblas di tanah yang keras itu, amblas hampir-lima jari dalamnya. Dan jika ia melangkah, maka kakinya seakan-akan menciptakan parit-parit kecil di arena itu. Dan ketika pertempuran semakin meningkat seru, maka Bu-sian Hwesio pun mengeluarkan ilmu andalan Siau-lim-pay yang terkenal, yaitu Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Besar) dengan tangannya, setelah toyanya dilempar ke luar arena. Maka arena pertempuran yang sudah cukup bising itu bagaikah bertambah dengan sebuah badai prahara yang berasal dari sepasang telapak tangan sang pendeta yang mengeluarkan angin pukulan yang bergulung-gulung kuat itu. Bagi kedua lawannya, tak ada jalan lain kecuali bertahan dengan gigihnya. Apalagi ketika kemudian Tong Wi-lian juga mengeluarkan segenap kemampuannya dalam ilmu silat Pek-ho-kun dan Coa-kun. Sehingga lengannya seakan berubah menjadi banyak sekali yang bergerak serempak dalam mematuk, mencengkeram, membabat, menotok, menyodok dan menyiku dan sebagainya, sementara sepasang kaki pendekar wanita itupun, mulai memainkan Wan-yo-tui (Tendangan Bebek) yang merupakan tendangan berantai khusus untuk menghantam bagian bawah musuh, meskipun kadang-kadang tendangan itu juga menyambar ke kepala atau-rahang. Oh Yun-kim si orang Korea yang ahli dalam Ilmu silat tendangan itu, diam-diam kagum juga melihat kelincahan sepasang kaki dari pendekar wanita itu. Pikirnya, "Untuk tendangan-tendangan tinggi ke arah ulu hati atau kepala, agaknya akulah jagoannya. Namun, dalam tendangan berantai rendah ke lutut atau persendian-persendian bawah lainnya, agaknya aku masih harus belajar dari Tong Lihiap." Namun kemudian Oh Yun-kim terbelalak ketika melihat lawan mereka. Tong Lam-hou tiba-tiba juga mengeluarkan tendangan-tendangan mautnya. Tendangan maut yang bukan saja lincah dalam mengincar sasaran-sasaran bagian bawah, tetapi juga sasaran-sasaran tinggi seperti ulu hati dan kepala. Tong Lam-hou seakan-akan menunjukkan bahwa ia memiliki kemahiran. Tong Wi-lian dan Oh Yun-kim yang digabung menjadi satu. Ilmu tendangan ajaran Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan itu disebutnya sebagai Pek-pian-lian-hoan-tui (Tendangan Berantai Dengan Seribu Pergantiann). Sepasang kaki Tong Lam-hou kemudian berubah jadi seperti baling-baling yang tertiup taufan, berputar tinggi dan rendah seirama dengan gerak tubuhnya, sementara tangan kirinya tetap berbahaya dengan pukulan hawa dinginnya dan tangan kanannya tetap merupakan bahaya lain lagi dengan ilmu pedangnya yang cepat dan ganas. Ilmu pedang itu adalah ciri khas Tiam-jong-pay, tidak terlalu bagus untuk dilihat, karena memang yang diutamakannya bukanlah keindahan, namun memiliki kecepatan dan ketepatan yang tinggi, telak menuju ke sasarannya. Pertempuran itu jadi makin riuh, ilmu-ilmu andalan tak ada yang ketinggalan dikeluarkan semuanya. Tong Wi-hong kemudian juga menggunakan tangan kirinya yang sejak tadi menganggur, untuk memainkan ilmu pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay. Ilmu silat Salju Melayang. Bayangan telapak tangannya berlapis-lapis melayang denan ringan seolah tak bertenaga. Namun siapapun tahu bahwa tepukan telapak tangan itu akan sanggup meng-hancur-leburkan setumpuk batu bata. Memang begitulah ciri ilmu dari perguruan Soat-san-pay, nampaknya saja kurang mantap, namun mengandung tenaga tersembunyi yang dapat membinasakan musuh. Dengan demikian bercampur aduklah ilmu-ilmu tingkat tinggi di arena itu. Ilmu pedang Thian-liong-kiam hoat serta ilmu pukulan Hwe-liong-sin-kang dari Thian-liong-si di Tibet yang jauh, Ilmu pedang Tiam-jong-kiam-haot, pukulan maha dingin Han-im-ciang serta tendangan Pek-pian-lian-hoan-tui yang, membingungkan, Tay-lik-kim-kong-ciang dari Siau-lim-pay yang bagaikan angin prahara, patukan-patukan jari-jari tangan dari Pek-ho-kun dan Coa-kun, tendangan Wan-yo-tui, ilmu pedang Soat-san-kiam-hoat dan Bu-tong-kiam-hoat, pukulan Hui-soat-sin-ciang yang berterbangan mencari mangsa, membuat arena itu benar-benar adu nyawa yang dahsyat. Para prajurit pengikut Li Tiang-hong dan laskar Hwe-liong-pang yang berilmu rendah itu hanya melihat dengan terlongong-longong bagaimana mungkin manusia yang terdiri dari darah daging, sama dengan mereka sendiri, dapat berbuat demikian hebatnya? Namun adu pamor ilmu di arena yang keras itu sekaligus juga merupakan pengurasan tenaga habis-habisan di kedua belah pihak. Sabetan-sabetan pedang dan pukulan-pukulan mereka tidak lagi sederas semula, loncatan-loncatan mereka tidak lagi selincah dan setinggi tadi, sementara keringat sudah membasahi pakaian mereka yang tengah bertempur itu. Jika kedua belah pihak kehabisan tenaga, maka yang celaka adalah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou. Mereka hanya berdua saja dan tidak memiliki tenaga cadangan lagi. Jika musuh kehabisan tenaga, masih ada Ting Bun, Oh Yun-kim dan lain-iainnya yang meskipun ilmunya tidak terlalu tinggi namun dapat membahayakan juga, apalagi masih ada pengikut-pengikut yang bertebaran di luar arena itu. Biarpun mereka hanya tenaga-tenaga kasar, namun dengan jumlah yang banyak akan merupakan bahaya besar pula. Namun rejeki dari Thian agaknya masih melimpahi Kerajaan Manchu yang tengah berjaya itu, sehingga dinasti baru itu belum ditakdirkan untuk kehilangan seorang Panglimanya yang paling diandalkan di segala medan. Di saat kedua belah pihak sudah mulai kelelahan, maka dari arah timur tiba-tiba kelihatan debu mengepul tinggi disertai derap kaki kuda yang bagaikan menghentak-hentak bumi. Muncul sepasukan kecil orang-orang berkuda, semuanya berseragam hitam dengan bagian dadanya tersulam gambar naga sedang menginjak mega, bagian lengan baju mereka bergaris-garis putih melintang, kepala mereka memakai topi bulu berhias benang-benang merah. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun, Pasukan Naga Terbang, anak buah Pakkiong Liong. Jumlah yang datang itu hampir lima-puluh orang banyaknya, suatu jumlah yang dapat mempengaruhi keseimbangan kekuatan di arena itu. Melihat kedatangan musuh, maka tanpa diperintah lagi prajurit-prajurit pengikut Li Tiang-hong maupun orang-orang Hwe-liong-pang segera menghunus pedang-pedang mereka dan memutar kuda-kuda mereka ke arah musuh. Dan langsung membentuk sebuah garis pertahanan yang lurus. Yang paling depan dari Tentara Manchu itu adalah si jagoan dari gurun pasir Mongol, yaitu Ha To-ji yang berjuluk Tay-mo-him (si Beruang Gurun) yang kali ini tidak bertangan kosong melainkan membawa sebatang golok melengkung berbentuk bulan sabit. Golok khas orang-orang Mongol. Selain itu, nampak pula Han Yong-kira si jago pedang dari Korea, Le Tong bun dari Heng-san-pay yang berjulukan Tiat-cui-eng (Elang Berparuh Besi) dan beberapa perwira tangguh lainnya. Begitu melihat Pakkiong Liong tengah terkepung oleh lawan, maka Ha To-ji segera berteriak kepada pasukannya, "Serbu!" Diiringi dengan sorak gemuruh prajurit-prajurit Manchu itu, berderaplah limapuluh ekor kuda itu menghantam pertahanan lawan. Pihak pengikut Li Tian-hong dan orang-orang Hwe-liong-pang meskipun kalah jumlah, namun tidak mau terdorong mundur begitu saja. Merekapun segera memacu kuda-kuda mereka maju menyongsong musuh sambil memutar-mutar senjata mereka dan bersorak-sorai pula. Maka berbenturanlah kedua pasukan itu di tengah-tengah jalan yang sepi itu. Karena jalan itu terlalu sempit untuk sebuah perkelahian menunggang kuda yang memerlukan tempat ke padang-padang ilalang di kiri kanan jalan. Dengan demikian pertempuran berkudapun segera berkobar di tempat itu. Kuda-kuda tegar dengan penunggang penunggangnya yang tangkas berlari-larian silang menyilang di arena yang luas, dengan senjata yang berputaran berusaha untuk menjatuhkan lawan dari kudanya dan kalau bisa langsung mencabut nyawanya. Derap dan ringkik kuda, bercampur dengan sorak-sorai kedua pihak, dentang senjata dan pekik kesakitan, debu yang mengepul tinggi dan tubuh yang terbanting jatuh dari kudanya karena terhunjam oleh senjata lawan, membuat padang ilalang itu sangat panas dengan api kebencian. Pada benturan pertama, segera terasalah bahwa pengikut-pengikut Li Tiang-hong kurang dapat mengimbangi ketangkasan lawan-lawan mereka dengan permainan senjata di atas punggung kuda. Maklumlah bahwa lawan-lawan mereka kali ini adalah prajurit-prajurit dari kesatuan Hui-liong-kun, kesatuan yang paling diandalkan oleh pemerintah Manchu dalam tupas-tugas berat... |
Selanjutnya;
|