Pendekar Naga dan Harimau Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 08

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
KETIKA Pakkiong Liong mulai bercerita tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, kejadian-kejadiannya dan ilmu-ilmu yang aneh, perguruan-perguruan yang terkenal, maka Tong Lam-hou pun tertarik perhatiannya. Ia banyak bertanya ini dan itu, dan Pakkiong Liong menjawab sebisa-bisanya. Tanpa sadar, Pakkiong Liong telah ikut mempengaruhi masa depan Tong Lam-hou, sebab setelah mendengar cerita tentang dunia luar yang ramai itu, dalam hati Tong Lam-hou timbul rasa terarik untuk melangkah ke sana.

Tiba-tiba ia merasa hidupnya akan terlalu sepi jika terus-menerus berada di gunung hanya bersama ibunya dan gurunya, sedang orang-orang Jit-siong-tin yang biasanya bergurau dengannya itu kini sudah jadi mayat semua. Setelah berbicara berputar-putar, tiba-tiba Tong Lam-hou mengalihkan pokok pembicaraan kepada orang-orang berkuda tadi,

"A-liong, kau kenal orang-orang berkuda tadi satu persatu, apakah kau tahu juga bagaimana sikap mereka terhadap pemerintahan Manchu yang sekarang?"

"Yang dua orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang itu, jelas-jelas memusuhi pemerintah Manchu, sudah ku katakan tadi hanya karena kesalah-pahaman. Yang lain-lainnya bersikap kurang jelas, tapi agaknya lebih condong untuk memusuhi kami pula. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan dagang, tentu tidak berani memusuhi pemerintah secara terang-terangan supaya usaha mereka tidak ditutup. Namun pemimpin mereka Gin-yang-cu Tong Wi-hong, bergaul dengan orang-orang Hwe-liong-pang dengan akrabnya. Sedang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sebagai perguruan yang berlandaskan agama Buddha dan To juga tidak menunjukkan sikap bermusuhan secara terang-terangan kepada pemerintah, namun banyak murid-murid dari kedua perguruan itu yang menjadi anggauta gerakan bawah-tanah. Ini sungguh memprihatinkan. A-hou, nanti jika kau bertemu dengan teman-teman ayahmu itu, maukah kau menjelaskan kepada mereka agar mereka menghentikan perlawanan mereka dan tidak lagi menganggap kami bangsa Manchu sebagai musuh?"

"Tentu saja, A-liong. Aku akan berbicara dengan mereka. Seperti katamu dulu, negeri ini butuh persatuan, bukan kekacauan, sebab ancaman orang-orang bule berambut kuning itu semakin terasa juga."

"Terima kasih, A-hou. Jika semua orang dapat memahami cita-cita Sri Baginda Sun-ti, maka semua pembangkang akan meletakkan senjata mereka dan negeri ini jadi aman. Sri Baginda Sun-ti ingin mempersatukan, bukan menjajah, sebab bagaimana mungkin bangsa Manchu yang hanya sedikit itu mampu menjajah bangsa Han yang berjumlah puluhan juta itu? Belum ditambah dengan bangsa-bangsa lain seperti Mongol, Korea, Tibet, Hui dan sebagainya? Tapi masih ada juga yang tidak segan-segan membuat kerusuhan hanya untuk memperjuangkan tahta bagi segelintir orang yang kebetulan dilahirkan dengan nama marga Cu."

Tong Lam-hou menggenggam tangan Pakkiong Liong, seakan ingin menyalurkan keberanian dan ketabahan ke dalam tubuh sahabatnya itu. Katanya, "Jangan kuatir, A-liong, aku berdiri di pihakmu dan juga di pihak Sri Baginda Sun-ti. Bukan karena aku tidak punya pendirian dan terpengaruh oleh kata-katamu, namun karena aku sudah melihat dengan mataku sendiri bagaimana kejamnya sisa-sisa dinasti Beng itu kepada orang-orang yang tak berdaya, seperti rakyat Jit-siong-tin itu. Jika mereka berhasil berkuasa kelak, entah berapa kali lipat lagi kekejaman mereka. Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini."

"Bagus, aku menjadi besar hati mendengar tekadmu ini. Kita bersama-sama. Bergurau bersama, berlatih bersama, menghadapi dunia bersama-sama.”

"... dan bersama-sama menggulung dunia seperti Jengish Khan dulu?" tanya Tong Lam-hou sambil tertawa. "Membuat bangsa bule di benua barat sana menggigil ketakutan sambil menyebut Jengish Khan sebagai Badai Kuning dari Asia?"

Pakkiong Liong tersenyum. "Apa salahnya?"

Ketika malam semakin larut, merekapun merebahkan diri di rerumputan yang tebal, dan kemudian tertidur nyenyak. Malam itu Tong Lam-hou tidak gelisah lagi, sebab seolah sudah menemukan tujuan hidupnya yang mantap. Mengabdi Negara dan Kaisar, ikut berjuang mempersatukan seluruh negeri.

Sinar matahari yang hangat menerobos lewat sela-sela dedaunan, jatuh menimpa tubuh kedua anakmuda yang pulas Itu, dan membangunkan mereka hampir bersamaan waktunya. Sambil bangkit dan menggeliat, Pakkiong Liong bertanya, "Tidak mimpi buruk lagi bukan?"

"Tidak. Kita akan segera berangkat sekarang?"

"Mandi dulu untuk menyegarkan badan, lalu makan dulu sekedarnya."

"Tidak membersihkan gigi?"

"Kita lupa membawa alat-alatnya. Tapi tidak apalah, cukup berkumur saja selama beberapa hari ini. Bau mulut kita akan merupakan senjata ampuh tersendiri untuk menghadapi musuh, bukan ilmu silat saja."

Tong Lam-hou tertawa. "Uh, menjijikkan sekali. Kau sering menggunakan senjatamu yang ampuh itu?"

"Sekali waktu bolehlah."

Demikianlah mereka membuka pakaian dan menceburkan diri ke sungai kecil yang berair jernih itu. Air pegunungan yang bercampur dengan embun pagi itu serasa menyusup ke seluruh permukaan kulit mereka, menghilangkan rasa kantuk dan menyegarkan tubuh. Apalagi setelah mereka berpakaian dan kemudian mengisi perut mereka, meskipun hanya dengan ubi bakar dingin sisa tadi malam.

Lalu mereka melangkah meninggalkan Jit-siong-tin yang tinggal puing itu, di bawah cahaya matahari pagi yang hangat. Ketika mereka melewati gapura sebelah barat, di mana di gapura itu juga masih ada bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar melambai, tiba-tiba terungkatlah kebencian Tong lam-hou. Sambil menggeram marah, ia meloncat tinggi untuk menggapai bendera yang tingginya hampir lima tombak dari tanah itu, dan dengan sekali jambret saja robeklah bendera itu menjadi dua potong, yang sepotong yang berada di tangan Tong Lam-hou itu lalu diinjaknya sampai bercampur dengan debu.

Pakkiong Liong menarik napas melihat itu, namun dibiarkannya saja sahabatnya itu melampiaskan kemarahannya. Mereka berjalan ke arah barat, menuruti jejak kaki kuda yang masih jelas tertera di tanah. Sehari suntuk mereka berjalan tanpa kenal lelah, bahkan makan dan minumpun dilakukan sambil berjalan. Sebuah padang ilalang yang cukup luas telah mereka lampaui, lalu sebuah desa kecil dengan ladang-ladangnya dan sawah-sawahnya yang menghijau.

Di desa itu juga berkibar bendera Jit-goat-ki, namun ketika Tong Lam-hou hendak merobeknya, Pakkiong Liong mencegahnya, "Jangan! Jika tindakanmu itu dilihat oleh musuh, maka mereka akan segera tahu bahwa kita sedang mengincar mereka, sehingga merekapun akan mempersiakan diri atau menghindar. Itu namanya memukul rumput mengejutkan ular."

"Tapi aku benci sekali kepada bendera itu. Mengikatkan kepada orang-orang Jit-siong-tin yang terbantai tanpa 'dosa.'"

"Belajarlah menahan gejolak perasaanmu demi berhasilnya urusan yang lebih penting. Kelak jika kau menjadi seorang prajurit, apalagi perwira atau panglima yang memegang pimpinan dalam suatu peperangan tindakan sembrono seperti itu sangat tidak menguntungkan. Semuanya harus dipikir dengan kepala dingin."

"Baiklah, A-liong," sahut Tong Lam-hou dengan singkat.

Mereka tidak berhenti di desa itu, kecuali untuk berhenti sebentar di sebuah kedai di pinggir desa untuk makan beberapa biji bakpao dan secawan teh. Yang disebut kedai di desa kecil itu hanyalah berujud empat batang kayu yang ditancapkan segi empat, lalu sehelai kain lebar dibentangkan dengan diikatkan pada kayu-kayu itu, sekedar untuk menahan panas matahari.

Di bawahnya diletakkan beberapa meja dan bangku kayu yang kasar untuk duduk tamu-tamunya. Namun istirahat yang hanya sebentar itu sudah cukup menyegarkan lagi tubuh Pakkiong Liong serta Tong Lam-hou, dan merekapun meneruskan perjalanan setelah membayar makanan dan minuman di kedai itu.

Semakin mereka menuju ke barat, semakin sering mereka berjumpa dengan kelompok orang-orang yang berpakaian seragam prajurit Beng, meskipun sudah lusuh dan tidak lengkap lagi. Kadang-kadang lima orang, kadang-kadang sampai belasan orang, ada yang berkuda dan ada yang cuma berjalan kaki.

Selain prajurit-prajurit itu, juga ada anak-anak muda yang tidak berpakaian seragam tetapi menyandang senjata dan sering berjalan bersama prajurit-prajurit Beng. Merekalah agaknya anak-anak muda dari desa-desa kecil sekitar tempat itu yang dibina oleh Li Tiang-hong untuk memperkuat pasukannya, dengan diberi latihan keprajuritan yang sekedarnya saja.

Melihat itu, Pakkiong Liong menggerutu, "Luar biasa. Li Tiang-hong tidak segan-segan mengorbankan masa depan anak-anak muda ini demi nafsunya untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng. Anak-anak muda itu boleh saja garang terhadap penduduk desa, namun jika mereka diterjunkan di perang yang sebenarnya, mereka tidak lebih makanan empuk yang paling dulu terbunuh oleh tajamnya senjata."

"Tapi anak-anak muda itu tentu mendapat latihan," kata Tong Lam-hou.

"Tentu saja. Tetapi menjadi prajurit yang baik tidak cukup dengan latihan sehari dua hari, atau seminggu dua minggu. Pasukanku di Ibukota Kerajaan, kupersiapkan sendiri selama setahun dengan latihan-latihan berat hampir tiap hari. Sampai sekarangpun tetap berlatih, meskipun tidak sedang bertugas. Namun Li Tiang-hong agaknya kurang peduli jika anak-anak muda ini nantinya menjadi korban sia-sia di medan laga."

"Seperti juga ia tidak peduli anak-buahnya melakukan pembunuhan di Jit-siong-tin. Berdirinya kembali Kerajaan Beng agaknya merupakan masalah yang paling penting bagi Li Tiang-hong, di atas segala-galanya, bahkan di atas nilai-nilai kemanusiaan," geram Tong Lam-hou sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Pakkiong Liong tahu darah Tong Lam-hou mulai memanas lagi, maka buru-buru dibisikkannya ke telinga sahabat-nya itu, "Tahan dirimu, A-hou Menilik semakin banyaknya orang-orang berseragam prajurit Beng yang hilir-mudik di sini, agaknya kita sudah semakin dekat ke sarang Li Tiang-hong."

"Ya, ya, aku menahan diri sebisa-bisanya, meskipun mungkin di antara oang-orang berseragam itu terdapat salah seorang yang malam itu membacok paman Lo, atau memenggal leher paman Sun, atau melemparkan paman Chang ke dalam rumahnya yang terbakar, atau..."

"Sudahlah, jangan diingat-ingat terus. Kita akan menghukum mereka, tetapi pemimpin-pemimpinnya lebih dulu, dan tindakan kita harus cermat."

Mereka berjalan terus, dan ketika matahari terbenam, mereka memasuki lagi sebuah desa yang kali ini. agak besar, mirip sebuah kota kecil. Bendera Jit-goat-ki bukan saja berkibar di pintu gerbang, tetapi juga di tempat-tempat yang ramai lainnya. Dan suasana kota benar-benar mirip sebuah kota di jaman dinasti Beng, baik pakaian orang-orangnya, hilir-mudiknya prajurit-prajurit Beng dan sebagainya. Pakkiong Liong terpaksa melibatkan kuncir rambutnya dan mengikatnya dengan sebuah ikat kepala, sebab kuncirnya yang bergaya Manchu itu bisa menimbulkan persoalan tersendiri di desa itu.

"Kalau daerah ini termasuk wewenang Bu San-kui, maka benar-benar suatu keteledoran besar buatnya, bahwa di dalam wilayahnya masih ada desa-desa yang terang-terangan memihak perintahan lama," geram Pakkiong Liong. "Nanti setibanya dl Ibukota, aku akan melaporkan hal Ini kepada Sri Baginda."

"Mungkin nasib rakyat dl sini tak ubahnya seperti rakyat Jit-siong-tin. Hanya sebagai sumber perbekalan makanan bagi pasukan Li Tiang-hong, dan dipaksa untuk tetap mengakui pemerintahan dinasti Beng. Rakyat tentu tidak berani melawan, takut dihukum berat."

"Aku juga menduga begitu."

Kedua anak muda itu terus berjalan memasuki desa besar itu, ketika mereka menjumpai sebuah rumah makan kecil yang agaknya juga menyediakan penginapan, maka Pakklong Liong mengajak temannya untuk berbelok masuk ke situ. Bisiknya, "Barangkali dari desa inilah kita bisa mulai bekerja mtuk menyelidiki di mana letak sarang Li Tiang-hong."

Ketika mereka melangkah masuk, seorang pelayan hampir saja mengusir mereka karena melihat pakaian orang yang dekil itu. Namun ketika Pakkiong Liong membuka kantong uangnya dan menunjukkan kemilauannya uang emas yang dibawanya, maka si pelayan segera berubah sikap menjadi sangat ramah.

Tong Lam-hou mengerutkan keningnya melihat adegan itu, selama ia bergaul dengan orang Jit-siong-tin belum pernah ditemuinya pelayan kedai yang begitu sikapnya. Sikap seperti itu seperti sikap Hong Lotoa dan teman-temannya saja.

Mereka mendapat sebuah kamar agak ke belakang, yang bagi Pakkiong Liong malah kebetulan, sebab dengan mudah nanti malam ia dapat membuka jendela untuk meloncat keluar tembok pekarangan. Dari dalam kamar Pakkiong Liong memanggil pelayan, minta disediakan beberapa macam makanan dan minuman, dan juga dua tahang air hangat untuk mandi.

Pelayan itu mengiakan, tetapi sambil berjalan pergi ia menggerutu, "Kurang ajar kedua orang itu. Tampang orang desa tetapi main perintah seperti seorang kaya saja." Namun pelayan itu lalu tersenyum kalau mengingat bahwa orang desa itu membawa banyak uang, dan agaknya akan mudah untuk diakali.

Sore itu, setelah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou selesai mandi air hangat sehingga terasa segar, meskipun pakaian yang dipakainya masih juga pakaian yang kotor oleh keringat dan debu tadi, maka keduanya makan sekenyang-kenyangnya dan membayar harganya. Lalu Pakkiong Liong berkata, "Sore ini kita akan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, kalau bisa tidur ya tidurlah. Nanti malam kita akan mulai bekerja."

"Kau yakin bahwa tempat ini sudah dekat dengan sarang Li Tiang-hong?"

"Aku yakin, berdasarkan ketajaman naluriku. Suasana kota kecil ini terang-terangan bersuasana seperti jaman Kerajaan beng dulu, tidak mungkin bisa begini kalau di dekat sini tidak ada pangkalan pasukan Beng yang merasa kuat, sehingga dengan kekuatan mereka dapat memaksa kota kecil ini untuk tetap mempertahankan suasana jaman Kerajaan Beng dulu."

"Bagaimana kita bisa mencari keterangan?"

"Mudah. Tangkap saja seorang dari prajurit-prajurit Beng yang berkeliaran itu, dan dengan sedikit siksaan mereka akan memberi keterangan kepada kita!" kata Pakklong Liong.

Kedua orang anak muda itupun kemudian berbaring di tempatnya masing-masing. Betapapun terlatihnya daya tahan tubuh mereka, tetapi setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, dari matahari terbit sampai matahari tenggelam, maka terasa membutuhkan isttrahat juga. Ternyata rumah penginapan kecil itu termasuk ramai, sebentar-sebentar ada suara langkah kaki hilir mudik di luar pintu, ada suara tamu yang berteriak minta sesuatu kepada pelayan dan sebagainya. Namun Karena kepenatan mereka, maka Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou dapat juga tertidur sejenak.

Ketika gembreng tengah malam terdengar dari kejauhan, maka Pakkiong Liong segera bangun, dan dengan sebuah sentuhan kecil, la pun membangunkan Tong Lam-hou. Tidur yang sekejap itu sudah cukup membuat tubuh mereka segar kembali.

"Sekarang?" tanya Tong Lam-hou kepada Pakkiong Liong yang tengah mencuci muka.

"Ya," sahut pakkiong Liong singkat, sambil mengelap mukanya.

Keduanyapun bersiap dalam waktu singkat. Dalam gerakan malam hari seperti Itu, seharusnya mereka memakai ya-heng-i (pakaian untuk berjalan malam yang umumnya dimiliki oleh orang orang rimba persilatan, berwarna serba hitam). Namun karena pakaian yang mereka kenakan juga berwarna biru gelap, mereka menganggapnya cukup memadai. Dan bahkan mereka tidak membawa senjata sepotongpun, mereka terlalu percaya kepada kekuatan tangan mereka sendiri.

Pakkiong Liong meletakkan beberapa keping uang di meja dalam kamar itu, sebagal sewa menginapnya, sebab kemungkinan besar setelah berhasil menangkap pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong, mereka tidak dapat lagi mampir ke penginapan itu. Lebih dulu Pakkiong Liong membuka jendela sedikit dan melongok keluar, dilihatnya seluruh pekarangan belakang penginapan itu telah sepi, beberapa kamar masih menyala lilinnya, bahkan terdengar suara tertawa cekikikan dari perempuan panggilan.

"Aman," desis Pakkiong Liong sambil meloncat keluar. Diikuti oleh sahabatnya itu. Lalu keduanyapun bergerak bagaikan hantu-hantu gentayangan, meloncat dari satu atap atau ke atap ainnya, tanpa suara dan begitu cepatnya seperti asap berhembus saja. Mereka mencari di mana ada orang yang berpakaian seperti prajurit Beng.

Ketika Teng lam-hou melihat ada dua orang prajurit Beng tengah berjalan di sebuah loreng gelap sambil memanggul tombak mereka, ia segera menggamit pundak Pakkiong Liong sambil menunjuk ke arah kedua prajurit itu. Pakkiong Liong membalasnya dengan anggukkan kepala tanda mengerti, namun ketika Tong Lam-hou sudah hendak meloncat ke bawah, ia menggamit tangan Tong Lam-hou sambil berbisik, "Jangan melakukan pembunuhan yang tidak perlu, A-hou, cukup dipingsankan, saja."

"Tapi mereka membunuhi orang Jit-siong-tin...”

"Kita tidak tahu kedua prajurit itu ikut dalam pembunuhan atau tidak, kalau tidak maka kita akan membunuh nyawa yang tak berdosa meskipun mereka musuh. Kalau kita membunuh nyawa tak berdosa, kita tak ada bedanya dengan oang-orangnya Li Tiang-hong itu."

Tong Lam-hou mengangguk. "Aku mengerti. Akan kupukul saja tengkuknya agar pingsan."

"Tapi Jangan keras-keras supaya kepalanya tidak copot."

Maka hampir bersamaan kedua orang itupun meloncat turun dari atas genteng dan menyergap kedua prajurit Beng yang sedang meronda desa itu. Mereka terkejut ketika melihat bayangan hitam bagaikan meluncur dari langit, namun sebelum mereka sempat berteriak atau melawan, keduanya sudah lumpuh menghadapi sergapan si Naga Utara dan Harimau Selatan itu.

Yang disergap oleh Tong Lam-hou Langsung dibuat pingsan dengan sebuah pukulan ringan pada tengkuknya, sementara prajurit yang satu lagi langsung dltotok jalan darah pembisunya, lalu dengan tangan ditelikung telah diseret oleh Pakkiong Liong ke sebuah tempat yang gelap. Sambil berbisik di telinga orang itu, "Jangan coba-coba berteriak, atau aku copot kepalamu, mengerti?"

Prajurit Itu menggerakkan kepalanya untuk mengangguk. Sementara itu Tong Lam-hou juga telah menyeret prajurit yang pingsan itu ke sebuah kebun yang gelap. Pakkiong Liong membuka totokan pembisunya, lalu tanyanya dengan nada sebengis mungkin,

"Jawab semua pertanyaanku baik-baik, sebab kau ragu-ragu sedikit saja aku tidak segan-segan membunuhmu!" Kembali prajurit itu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Dimana sarangmu? Maksudku sarang pasukanmu?" tanya Pakklong Liong.

"Di balik bukit di sebelah barat desa ini."

"Apa kata sandi untuk malam ini? Awas, jangan bohong!"

"Pertanyaan ke mana elang terbang dijawab dengan ke arah matahari terbit” jawab prajurit itu dengan wajah ketakutan. Dan menilik wajahnya yang ketakutan itu, nampaknya la tidak berbohong.

Diam-diam Pakkiong Liong mentertawakan keberanian prajurit-prajuritnya Li Tiang-hong ini, belum sampai disiksa, baru diancam sedikit saja mereka sudah mengaku semua rahasia pasukannya. Prajurit-prajurit dengan semangat lembek seperti itu sudah jelas tidak akan memenangkan pertempuran, biarpun jumlahnya beberapa kali dari musuhnya.

Dan diam-diam Pakklong Liong bangga kepada pasukannya sendiri, Pasukan Naga Terbang, yang terkenal akan keberanian dan kekerasan hatinya, sehingga sering juga disebut Pasukan Berani Matinya Kerajaan Manchu. dari segi keberanian saja, sudah jelas bahwa pasukannya jauh lebih unggul dari pasukannya Li Tiang-hong.

Sementara Pakkiong Liong telah bertanya lagi, "Benarkah di markasmu sedang ada seorang Pangeran Kerajaan Beng yang bernama Cu Hin-yang?"

Sekali lagi prajurit itu mengangguk. Pakkiong Liong merasa cukup dengan keterangan itu. Maka prajurit itu di totoknya kembali sehingga pingsan. Lalu kepada Tong Lam-hou la berkata, "Lucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Kita akan meminjam pakaian mereka untuk menyusup ke sarang musuh."

Tak lama kemudian Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou telah berpakaian seperti prajuritnya Li Tiang-hong. Sambil memanggul tombak mereka berjalan ke arah utara, ke pintu gerbang desa itu, kemudian berbelok ke barat. Beberapa kali mereka berpapasan dengan anak buah Li Tiang-hong lainnya, dan setiap kali mereka selalu dapat menjawab pertanyaan sandi dengan jawaban sandi yang sudah ditentukan.

Di sebelah barat desa itu menang ada sebuah bukit yang dalam kegelapan malam hanya nampak seperti gundukan hitam. Ke sanalah Pakkiong Liong dan temannya melangkahkah kaki. Di sepanjang jalan itu, penjagaan memang ketat sekali, bukan hanya oleh prajurit-prajurit Beng yang berkumpul di gardu-gardu tetapi juga yang bersembunyi di pohon atau mengintai di balik alang-alang. Namun dengan berlenggang-kangkung Pakklong Liong berdua dapat melewati penjagaan-penjagaan itu dengan menjawab 'ke arah matahari terbit' setiap kali ada pertanyaan 'ke mana elang terbang'.

"Kalian sudah selesai meronda?" pada sebuah gardu Pakklong Liong ditanya oleh seorang prajurit yang agaknya pangkatnya agak tinggi.

"Sudah selesai, tong-leng," sahut Pakkiong Liong untung-untungan sebab ia tidak tahu apa pangkat orang itu. "Tugas reguku digantikan oleh regu Ong Toako tadi ketika tengah malam tepat."

Jawaban untung-untungan itu ternyata dipercaya oleh perwira di gardu itu, sehingga Pakkiong Liong berdua-pun tidak dicurigai lagi dan diijinkan lewat.

Setelah agak jauh dari gardu itu Pakkiong Liong tertawa dingin, "A-hou kau lihat prajurit-prajurit di gardu tadi? Minum arak, bergurau, duduk-duduk sambil mengantuk. Huh, pasukannya macam itu dengan satu regu dari pasukanku saja akan dapat disapu habis. Bagaimana pasukan itu bisa mendukung berdirinya kembali dinasti Beng? omong kosong belaka."

Tong Lam-hou tidak menjawab karena la memang tidak tahu sedikitpun tentang seluk-beluk ketentaraan. Namun diapun secara awam dapat menilai bahwa prajurit-prajurit bawahan Li Tiang-hong itu nampaknya memang kurang disiplin, gampang ditipu dan entah bagaimana daya tempur mereka.

Setelah melewati belasan gardu lagi, dan membelok di kaki bukit, akhirnya terlihatlah sarang pasukan Li Tiang-hong di depan mata. Bangunan itu diapit oleh dua buah tebing, dipagari dengan pagar kayu yang terbuat dari balok-balok kayu gelondongan lima tombak lebih. Di atas benteng kayu itu ada gardu jaga, dan lubang-lubang pengintai yang agaknya digunakan untuk melepaskan anak panah apabila musuh datang. Pintu gerbang terbuka lebar, diterangi dua batang obor di kanan kirinya dan dijaga beberapa prajurit yang kedengaran sedang bersendau-gurau.

Melihat sarang Li Tiang-hong itu, diam-diam Pakkiong Liong menggerutu dalam hati, "Keterlaluan, hanya sarang pengacau macam ini saja tidak dapat segera ditumpas oleh Bu Sam-kui. Percuma saja Sri Baginda menganugerahkan wilayah Se-cuan yang begitu luas kepadanya, dan memberi gelar Peng-se-ong segala. Atau barangkali Bu Sam-kui masih sungkan kepada Li Tiang-hong sebagai sama-sama bekas Panglima Kerajaan Beng? Kalau begitu, haknya sebagai Rajamuda di Se-cuan baiknya dicabut saja."

Mereka masuk ke dalam sarang Li Tiang-hong itu tanpa kesulitan. Di dalam sarang ternyata sangat luas, rumah-rumah para prajurit berderet-deret entah berapa lapis, dan ada pula lapangan untuk berlatih yang cukup luas.

"Di mana kira-kira sembunyinya Li Tiang-hong dan orang yang kau sebut bekas Pangeran itu?" tanya Tong Lam-hou.

"Mudah ditebak. Tentu berada di bangunan yang paling besar, paling bagus dan dijaga ketat. Nah, cari saja bangunan macam itu."

Bicara memang mudah, namun setelah berada dalam barak itu, alangkah sulitnya mencari bangunan yang dimaksudkan. Bagian luar dari barak itu memang kelihatan sempit, terapit dua buah tebing karang yang terjal, agaknya sengaja dibuat demikian agar mudah dipertahankan apabila diserang musuh.

Tapi bagian dalamnya ternyata luas bukan main, barak-baraknya berderet-deret mirip sebuah kota kecil, Pakkiong Liong memperkirakan penghuni barak itu ada seribu limaratus atau dua ribu orang. Jika tadinya ia agak memandang rendah Li Tiang-hong, sekarang mau tak mau ia harus mengakui bahwa Li Tiang-hong tak selemah yang ia duga tadinya.

Di tengah barak itu ada sebuah jalan yang agaknya merupakan jalan utama dalam barak, maka Pakkiong Liong lalu memutuskan, "Barak ini dibangun dengan gaya sebuah kota di jaman Beng jalan utama seperti ini biasanya langsung menuju ke lapangan utama. Dan di dekat lapangan utama itu biasanya tinggal si pemimpin. Jadi kita coba saja susuri jalan besar ini sejauh-jauhnya."

"Baiklah," sahut Tong Lam-hou.

Keduanya segera berjalan berdampingan sambil memanggul tombak, gaya mereka persis dengan prajurit-prajurit Beng yang berkeliaran di dalam barak itu, sehingga mereka tidak dicurigai. Kata-kata sandi itu ternyata tidak dipakai lagi setelah mereka berada di dalam barak. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya nampak juga sebuah bangunan besar yang bentuknya paling bagus, meskipun hanya terbuat dari kayu seluruhnya. Disekeliling bangunan kayu itu juga kelihatan puluhan orang penjaga yang berwajah garang dan bersungguh-sungguh, tidak bersenda-gurau seperti yang di pintu gerbang tadi.

"Kita temukan tempatnya," bisik Pakkiong Liong.

"Apakah kita akan masuk dengan kata-kata sandi lagi?"

"Tidak. Aku rasa sulit, malah bisa menimbulkan kecurigaan mereka. Kita cari titik yang paling lemah penjagaannya dan kita meloncat masuk."

Maka dengan lagak sewajar mungkin, mereka mencoba mengelilingi bangunan besar itu, mencari tempat yang paling lemah penjagaannya. Ternyata sekeliling gedung itu terjaga kuat semuanya, menambah dugaan Pakkiong Liong bahwa Pangeran Cu Hin-yang memang sedang berada di barak itu. Namun dengan ilmu mereka yang tinggi, maka betapapun rapatnya penjagaan di sekitar bangunan itu, mereka berhasil juga menembus salah satu titik, dan meloncat ke dalam dinding.

Dari situ mereka meloncat keatas atap, karena merasa bahwa dengan berjalan diatas atap akan lebih aman dan lebih mudah mencari tempat Pangeran dan Li Tiang-hong. Di balik dinding itu ada beberapa buah bangunan yang besar dan kecil, taman-taman dan kolam-kolam, bahkan pelayan-pelayan hilir mudik dengan berbagai keperluannya.

Melihat itu diam-diam Pakkiong Liong menggeleng-gelengkan kepala, "Li Tiang-hong ini meskipun sedang di tengah keprihatinan perjuangannya, toh tidak melupakan gaya hidupnya yang dulu sebagai seorang pembesar Kerajaan Beng. Menggaji sekian banyak pelayan dan membangun tempat tinggalnya sebagus ini."

Namun Pakkiong Liong tidak pedulikan itu. Ia dan Tong Lam-hou bersembunyi di balik sebuah tumpukan batu-batu yang dibuat sebagai gunung-gunungan di dalam taman. Ketika seorang pelayan pria lewat dekat-dekat tempat itu, cepat pakkiong Liong menotok pinggangnya dan menyeretnya ke balik gunung-gunungan itu. Sebelum membebaskan totokannya, lebih dulu Pakkiong Liong mengancam pelayan itu,

"Kalau kau menjawab dengan jujur, kau akan selamat. Tapi kalau kau bersikap tidak bersahabat, jari-jariku ini sanggup melubangi batok kepalamu seperti ini..." dan Pakkiong Liong mengerahkan tenaga dalamnya ke ujung jari-jarinya, lalu mencengkeram segumpal batu gunung-gunungan itu, sehingga batu itupun menjadi hancur karena kelima jari Pakkiong Liong amblas ke dalamnya.

Wajah pelayan itupun menjadi pucat, meskipun timbul juga sepercik keheranan sebab yang menyergapnya itu ternyata dua orang "prajurit Beng". Namun demi keselamatan nyawanya, ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagus!" kata Pakkiong Liong sambil menggerakkan jarinya untuk membuka totokan pelayan itu. Lalu tanyanya, "Di antara sekian banyak bangunan ini, di mana tempat tinggal Li Ciangkun dan tamunya yang kabarnya adalah Pangeran Kerajaan Beng itu?"

Sahut pelayan itu sambil menunjuk ke sebuah rumah kayu bertingkat dua, "Di tingkat atas itu adalah tempat tingggal Pangeran. Li Ciangkun tinggal di gedung besar itu, di ruangan sebelah kanan yang di depannya ada kebun bunganya dan kolam ikan."

"Ketatkah penjagaan di kedua tempat itu?"

Tiba-tiba dalam hati pelayan itu timbul niatnya untuk menakut-nakuti kedua penyelundup itu. Katanya, "Masing-masing dijaga satu regu prajurit pilihan, selain itu juga ada tiga orang tamu berilmu tinggi yang tengah menginap di sini."

"Tamu-tamu berilmu tinggi? Siapa mereka?"

Sahut si pelayan dengan nada bangga, seolah-olah yang berilmu tinggi itu adalah dirinya sendiri, "Mereka adalah pendekar kenamaan dari Kun-lun-san, Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) Lam-kiong Siang dan muridnya Mo Wan-seng yang berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), dan seorang pendeta maha sakti dari Ngo-tay-san bernama Sin-bok Hweshio..."

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou hampir tertawa ketika mendengar keterangan pelayan itu. Sambil menotok kembali pelayan itu agar lumpuh dan bisu untuk semalam suntuk, Pakkiong Liong berkata kepada pelayan itu, "Oh, ketiga butir telur busuk itu masih juga berani mengaku sebagai pendekar-pendekar kenamaan di tempat ini? Mereka sudah kami pecundangi. Nah, saudara pelayan yang baik, terima kasih atas keteranganmu dan kau boleh tidur di sini sampai besok pagi. Di sini hawanya cukup sejuk..."

"...meskipun semalam suntuk kau bakal digigiti nyamuk dan semut," sambung Tong Lam-hou sambil tertawa.

Maka merekapun kemudian membiarkan pelayan itu terbaring kaku di tempat yang gelap itu, sementara mereka telah membagi tugas. "A-hou, kau tangkap Pangeran, dan aku akan menangkap Li Tiang-hong, kita akan berkumpul kembali di luar barak ini di arah bukit itu!" kata Pakkiong Liong. "Tetapi hati-hatilah, selain ketiga telur busuk yang mengaku pendekar itu, Pangeran sendiri juga seorang yang agak mahir silatnya, juga seorang pengiringnya yang bernama Kongsun Hui. Ada baiknya kau langsung menggunakan Hian-Im-ciang (Pukulan Dingin) agar cepat selesai tanpa keributan."

"Tangkap hidup atau mati?" tanya Tong-Lam-hou.

"Hidup-hidup saja. Pangeran itu adalah tokoh sebuah gerakan bawah tanah anti pemerintah, dari mulutnya banyak dibutuhkan keterangan tentang gerakannya itu.”

"Baiklah. Aku pergi."

Bersamaan dengan habisnya kalimatnya, tubuh Tong Lam-hou telah melesat bagaikan seekor burung saja, sekejap saja sudah "hinggap" di bubungan atap yang terletak beberapa tombak dari gunung-gunungan itu. Dari sana ia masih sempat melambaikan tangan kepada Pakkiong Liong. Kemudian Pakkiong Liong-pun melesat pergi ke arah rumah besar tempat tinggal Li Tiang-hong. Sedang pelayan yang tertotok itu ketika melihat kedua "prajurit Beng" itu "beterbangan" seolah-olah tubuh mereka tidak berbobot sama sekali, menjadi gemetar ketakutan. Yang ditemuinya itu manusia atau cuma manusia jadi-jadian?

Sementara itu, untuk sesaat lamanya Tong Lam-hou berjongkok di bubungan atap itu untuk melihat keadaan loteng yang disebutnya oleh pelayan tadi. Di loteng itu masih ada cahaya lilin, dan samar-samar nampak bayangan. "Tentu Pangeran itu dan pengawalnya yang bernama Kongsun Hui,” demikian pikir Tong Lam-hou, "Aku harus menyerang mendadak agar cepat selesai."

Demikianlah Tong Lam-hou yang bernyali besar itu tidak terlalu banyak perhitungan dalam melakukan segala sesuatunya. Maka setelah mengukur jarak antara bumbungan atap dan jendela loteng itu, la menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan semangat dan kekuatannya, lalu bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya, tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah Jendela loteng itu. Kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menggunakan ilmu Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu.

Yang sedang duduk di dalam ruangan loteng itu memang betul adalah Pangeran Cu Hin-yang dan pengawal setianya yang masih tersisa dalam perjalanan ke selatan itu, Kongsun Hui. Mereka tengah bermain tio-ki (catur Cina) sambil menikmati arak, dan bercakap-cakap tentang berbagai urusan.

Dan alangkah terkejutnya mereka ketika tiba-tiba jendela itu pecah berkeping-keping disusul dengan masuknya sesosok tubuh yang berpakaian seperti anak buahnya Li Tiang-hong. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika hawa di dalam ruangan itu mendadak menjadi sangat dingin sampai menggigilkan tubuh. Kulit Pangeran dan Kongsun Hui seketika membeku kebiru-biruan, dan hanya dengan mengerahkan tenaga dalam secara paksa sajalah maka mereka masih bisa menahan untuk tidak mati kedinginan.

Sementara itu Tong lam-hou ketika melihat ada dua orang didalam ruangan itu, segera membentak "Yang manakah yang bernama Cu hin-yang?!"

Kongsun Hui yang hampir mati beku itu ternyata masih sempat membuat macam-macam pertimbangan dalam otaknya. Dilihatnya tampang Tong Lam-hou yang tidak mirip orang Han karena Tong Lam-hou memang lebih banyak mewarisi tampang ibunya yang berasal dari suku Hui itu, maka Kongsun Hui mempunyai dugaan bahwa orang yang menerobos jendela ini tentu bermaksud jahat.

Apalagi caranya menyebut nama Pangeran yang sangat kasar itu, maka Kongsun Hui segera mendorong tubuh Pangeran ke arah pintu supaya segera melarikan diri, sedangkan Kongsun Hui sendiri langsung berseru, "Akulah Pangeran Cu Hin-yang. Mau apa kau mencariku?"

Namun sikap Kongsun Hui yang menyuruh Pangeran untuk lari itu ternyata dilihat dengan cepat oleh Tong Lam-hou yang bukan orang tolol itu. Katanya sambil tertawa mengejek, "Aneh biasanya seorang pengawal yang menyuruh majikannya untuk lari lebih dulu, bukan sebaliknya. Jadi Pangeran Cu Hin-yang tentu yang kau suruh lari itu, dan tampangmu yang mirip maling jemuran ini tidak cocok menjadi seorang Pangeran!"

Kongsun Hui mengeluh dalam hatinya. Agaknya dalam keadaan terkejut tadi ia telah membuat kesalahan tindakan dengan mendorong Pangeran, sehingga musuh malahan dapat menebak siapa Pangeran yang sebenarnya. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali melawan orang itu mati-matian demi menyelamatkan junjungannya. Dengan melawan hawa dingin yang seolah-olah mencengkam urat-urat darahnya, Kongsun Hui menyambar sepasang ruyung baja yang tersandar dekat meja, sambil berteriak,

"Pangeran, cepat lari dan panggil pengawal! Biar hamba bertahan di sini!"

Namun Tong Lam-hou tidak tinggal diam, seperti seekor elang menerkam anak ayam, ia telah melambungkan tubuhnya untuk mencengkeram ke tengkuk Pangeran yang hampir saja melangkahi ambang pintu itu, hawa dingin yang luar biasa kembali memenuhi ruangan itu sehingga Pangeran merasa sepasang kakinya jadi kaku dan langkahnya terhambat. Tampaknya sebentar lagi ia akan kena diringkus oleh Tong Lam-hou.

Tetapi Kongsun Hui si panglima setia Itu tidak akan membiarkan Junjungannya ditawan musuh, nyawapun akan sanggup ia korbankan asal Junjungannya selamat. Cepat la meloncat menghadang Tong Lam-hou, sepasang ruyung baja yang menjadi senjata andalannya itu bergerak dalam jurus Hong-coan-pek lek (Angin Pusaran dan Petir Menyambar).

Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat la putar sepasang ruyungnya secara bertubi-tubi untuk menahan gerak maju Tong Lam-hou. Pengerahan tenaga Kongsun Hui yang berlebihan itu bukan saja bermaksud untuk menahan musuh, tapi sekaligus juga untuk menghangatkan darahnya yang serasa hampir beku oleh udara dingin yang tidak lumrah itu.

Tong lam-hou tidak mau kehilangan waktu, terhadap pengikut Pangeran ini ia tidak perlu sungkan-sungkan lagi, cepat ia menghentikan luncuran tubuhnya sambil memiringkan tubuhnya, jari-jari tangannya dengan gerakan mematuk telah menyerang leher Kongsun Hui dan sekali lagi udara maha dingin menyambar dengan dahsyatnya.

Kongsun Hui merasa kedua tangannya mulai menggigil dan gerakan kedua senjatanya tidak bisa lancar lagi, betapapun la mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi semangat membaja yang tak kenal menyerah kadang-kadang memang merupakan sumber tenaga yang tersendiri pula. Begitu juga dengan Kongsun Hui, kekuatirannya akan keselamatan junjungannya telah membuat ia secara nekad tetap tidak mau minggir dari hadapan Tong Lam-hou, tidak peduli tubuhnya bakal membeku sekalipun.

Tusukan jari-Jari Tong Lam-hou ke lehernya tidak dihiraukannya, melainkan dibarenginya dengan gerakan Tay-san-an-teng (Gunung Besar Roboh Menimpa Kepala) dengan ruyung kanannya. Ia siap mati bersama dengan musuhnya demi keyakinan akan perjuangannya.

Tong Lam-hou yang tidak mau mati bersama. Selincah kupu-kupu dan selicin belut la telah menghindar ke samping dan ujung kaki kanannya berhasil menendang Kongsun Hui sehingga terlempar membentur dinding. Tanpa peduli kepada Kongsun Hui lagi, Tong Lam-hou memburu ke arah Pangeran yang waktu itu sudah turun lewat tangga kayu.

Pangeran Cu Hin-yang mencoba melawan, namun hanya dalam lima jurus saja la telah berhasil dilumpuhkan oleh Tong Lam-hou. Selain dengan pukulan hawa dinginnya juga dengan beberapa totokannya. Lalu dengan memanggul tubuh Pangeran, Tong Lam-hou menuruni tangga Itu. Beberapa prajuritnya Li Tiang-hong yang mencoba menghalanginya telah disapu runtuh dengan tendangan berantainya yang mahir, ditambah pukulan hawa dinginnya yang membuat para prajurit itu tidak mendekat, kecuali yang ingin mati beku.

Sementara itu, Kongsun Hui yang terbanting di dinding itu perlahan-lahan merasa darahnya mulai lancar kembali, udara dingin dalam ruangan itu sedikit demi sedikit telah mengalir keluar dari ruangan itu bersamaan dengan perginya "sumber" dari hawa dingin itu. Diam-diam Kongsun Hui menarik napas,

"Pantas pemerintahan Manchu dapat bertahan kokoh dari gempuran-gempuran para pejuang, ternyata karena mereka memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi. Dulu aku dan kawan-kawanku hampir mati kepanasan dikuil kecil itu gara-gara Pakkiong Liong, dan sekarang hampir mati beku oleh Anak muda yang luar biasa tadi. Melihat kepandaiannya,.anak muda tadi tidak bawah ilmu Pakkiong Liong. Dan cukup dengan dua orang semacam Pakkiong Liong dan anakmuda tadi saja, pemerintah Manchu sudah merupakan sesuatu yang sulit dihadapi. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan Pangeran..."

Sementara itu Tong Lam-hou yang memanggul Pangeran dan mengobrak-abrik prajurit-prajurit yang menghadangnya, maka dari bangunan besar di tengah barak itupun terdengar suara ribut-ribut yang ramai. Lalu muncullah Pakkiong Liong sambil memanggul tubuh Li Tiang Hong yang juga tertotok lumpuh. Dalam hal siasat ilmu perang, Li Tiang-hong memang termasuk jagonya, namun dalam ilmu silat secara pribadi, la jauh bukan tandingannya Pakkiong Liong si Panglima pasukan Naga Terbang dari Kerajaan Manchu itu.

Maka tidak mengherankan kalau Li Tiang-hong dalam sekejap saja telah dapat ditangkap oleh Pakkiong Liong. Kini nasib Li Tiang-hong tidak lebih dari seorang tawanan, prajurit-prajurit yang mengejarnyapun bernasib sama dengan prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou. bedanya, prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou tertahan oleh lingkaran hawa dingin yang membekukan darah, maka prajurit-prajurit yang mengejar Pakkiong Liong telah tertahan oleh udara maha panas yang rasa-rasanya membakar kulit.

Baik Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou memang tak tercegah lagi meninggalkan barak prajurit Li Tiang-hong itu. Andaikata kedua orang itu tidak sedang membawa Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, tentu prajurit-prajurit Itu akan melepaskan panah atau lembing-lembing mereka, namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan sebab prajurit-prajurit itu kuatir akan mengenai pemimpin-pemimpin mereka sendiri.

Bahkan setelah tamu-tamu yang berilmu tinggi seperti Lam-kiong Siang serta Sin-bok Hweshio keluar dari kamar mereka dan ikut mengejar, merekapun tidak berdaya apa-apa. Apalagi karena kedua orang tokoh itu sudah rontok keberanian mereka lebih dulu jika mendengar nama Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang pernah mengalahkan mereka itu.

Ketika tiba di dinding barak, hampir bersamaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou lebih dulu melemparkan tubuh tawanan-tawanan mereka ke atas, begitu tingginya sehingga melewati dinding kayu itu, lalu Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sendiri meloncati, dinding itu dan kemudian menerima kembali jatuhnya tubuh Li Tiang-hong dan Pangeran di luar dinding itu. Dengan demikian mereka menganggap kedua tawanan itu seperti bola saja.

Ketika mereka bertemu di luar dinding barak dan sudah bebas dari kejaran prajurit-prajurit itu, Tong Lam-hou bertanya, "Kita ke bukit itu dulu?"

"Tidak perlu, langsung saja pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Kedua tawanan ini sangat penting dan harus segera tiba di ibukota Kerajaan."

Wajah Tong Lam-hou nampak agak kecewa, sehingga Pakkiong Liong menjadi heran, "Kenapa, A-hou?"

"Aku belum berhasil menemukan Hong Lotoa, sl biang keladi pembantaian di Jit-siong-tin itu."

Bagi Pakkiong Liong, sebenarnya urusan Hong Lotoa Itu adalah urusan amat kecil dalam keseluruhan tugasnya sebagai seorang Panglima, namun la tidak ingin menyakiti hati Tong Lam-hou, sebab ia tahu bahwa bagi sahabatnya itu urusan Hong Lotoa adalah urusan dendam seluruh penduduk Jit-siang-tin. Jawab Pakkiong Liong dengan hati-hati,

"Dalam barak itu ada ribuan ruangan dan ribuan pula prajurit-prajurit musuh yang tinggal di dalamnya, bagaimana kita bisa menemukan seorang Hong Lotoa di antara mereka? Ibarat mencari sebatang jarum dalam tumpukan sekam. Tapi yang penting pemimpin-pemimpin pengacau ini sudah di tangan kita, sehingga penjahat-penjahat rendahan seperti Hong Lotoa itu cepat atau lambat akan mati kutu dengan sendirinya."

Tong Lam-hou kurang puas mendengar jawaban itu, "Apa yang kau maksudkan dengan mati kutu, A-liong? Sekedar tidak dapat memeras orang lagi? Sedangkan kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk itu tidak terbalas sama sekali?"

Pakkiong Liong menarik napas, "Tentu bukan begitu yang aku maksudkan. Seorang yang berbuat kejahatan besar maupun kecil, sebisa-bisanya harus ditangkap untuk dihukum sesuai berat-ringannya perbuatannya. Tapi saat ini kita belum bisa menangkap Hong Lotoa karena kita harus lebih dulu mengamankan kedua tawanan ini. Kawan-kawan dari kedua tawanan ini tentu tidak akan tinggal diam dan berusaha membebas kan mereka."

"Kemana kita akan mengamankan kedua tawanan ini?"

"Ke kota Kun-beng. Di sanalah pasukanku yang kubawa dari ibukota Kerajaan berpangkalan untuk sementara sebelum kembali ke Pakkhia. Di kota Kun beng, kemungkinannya kecil sekali kedua tawanan ini akan direbut kembali oleh temman-teman mereka, sebab di sana ada pasukan pemerintah yang kuat."

Tong Lam-hou akhirnya dapat juga menerima penjelasan Pakkiong Liong itu, meskipun dengan hati yang panas. Dan ketika yang digandengnya itu adalah Pangeran Cu Hin-yang yang dianggap pemimpin dari orang-orang yang membakar Jit-siong-tin itu, maka Tong lam-hou melampiaskan rasa panas hatinya kepada Pangeran itu. Diturunkannya tubuh Pangeran itu dari gendongan, lalu digamparnya muka Pangeran itu beberapa kali sehingga mukanya babak-belur.

Li Tiang-hong yang melihat Pangerannya diperlakukan seperti itu, hampir muntah darah karena marahnya. Namun la tidak dapat berbuat apa-apa, sebab jalan darah pelumpuh dan pembisunya tetap tertotok.

Sedang Pangeran Cu Hin-yang yang jalan darah pembisunya tidak tertotok itu melotot ke arah Tong Lam-hou sambil membentak, "Kau orang Han atau orang Manchu?!"

Tong Lam-hou menambahkan lagi beberapa gamparan ke muka Pangeran, baru menjawab, "Aku setengah Han setengah Hui!"

"Hemm, paling tidak kau masih memiliki darah bangsa Han di tubuhmu, kenapa kau malah memihak bangsa Manchu, musuh kita? Dan aku ini adalah bekas Pangeran Kerajaan Beng, jelek-jelek juga bekas keluarga istana yang pernah memerintah negeri ini, kenapa sikapmu begitu tidak tahu adat?”

Sahut Tong Lam-hou dingin, "Masih lumayan kalau kau bekas Pangeran Beng, tetapi justru karena kau bekas Pangeran Beng itulah maka setiap hari paling tidak aku harus menggamparmu dua puluh lima kail!”

"Kenapa?" tanya Pangeran Cu Hin-yang dengan penasaran.

"Kalian orang-orang dinasti Beng sering menuduh bangsa lain sebagal bangsa liar, bangsa biadab, tapi kelakuan anak buahmu sendiri adalah tidak kalah biadabnya dengan gerombolan serigala yang paling liar sekalipun! Serigala membunuh mangsanya hanya karena-dorongan rasa lapar. Tetapi anak buahmu yang berseragam prajurit-prajurit Beng itu, yang mengaku sebagai pembela rakyat Han, telah membumi-hanguskan sebuah desa dan membunuh seluruh penduduknya hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan mereka. Apakah rakyat Jit-siong-tin itu bukan rakyat Han?"

Wajah Pangeran itu seketika pucat dan merah berganti-ganti ketika mendengar tuduhan Tong Lam-hou itu. Sesaat la tidak dapat berbicara karena gejolak perasaannya, dan setelah agak tenang barulah la menoleh ke arah Li Tiang-hong yang juga sudah diletakkan dl tanah, tanyanya, "Ll Ciang-kun, benarkah kejadian seperti Itu?!”

Li Tiang-hong yang masih tertotok jalan darah bisunya itu tentu saja tidak dapat menjawab. Ketika Pakkiong Liong membebaskan totokannya, barulah la dapat menjawab dengan suara gemetar karena marahnya, "Anjing Manchu itu berbohong, Pangeran. Aku selalu mengawasi gerak-gerik semua anak buahku dengan tertib. Memang benar mereka sering menarik sumbangan dari penduduk desa-desa sekitar sini berupa bahan-bahan makanan, tetapi tidak pernah melakukan pembunuhan! Barangkali pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang Manchu sendiri untuk memfitnah kita!"

Kali ini Pakkiong Liong yang menjawab, "Keingkaran kalian akan tingkah laku bawahan kalian itu adalah gambaran dari kebusukan dinasti Beng dulu. Kalianlah tokoh-tokohnya. Kalau ada hal yang baik, semuanya berebutan mengaku bahwa itulah perbuatannya. Kalau ada hal yang tidak beres, kalian saling melemparkan kesalahan, atau mencari kambing-hitam. Dan belakangan ini kambing-hitam yang paling laris adalah kami, bangsa Manchu!"

Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang saling bertukar pandangan dengan keheran-heranan. Benarkah ada sekelompok anak-buah mereka yang telah menyeleweng dari tata-tertib yang telah mereka gariskan, yaitu tidak boleh mengganggu rakyat? Mungkinkah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menuduh mereka secara sembarangan saja?

Tong Lam-hou tertawa dingin, kali ini ia menggampar muka Li Tiang-hong beberapa kali, lalu berkata kepada Pakkiong Liong, "Inilah calon-calon pemimpin dari dinasti yang akan mereka dirikan kembali itu? Tidak bisa menguasai anak-buahnya sendiri, dan setelah itu berpura-pura bodoh dan tidak tahu seperti sikap kalian ini? Huh, betul-betul memuakkan. A-liong, baiknya kita bawa mereka ke Jit-siong-tin lebih dulu, supaya mereka dapat melihat sendiri betapa hebatnya hasil karya anak buah mereka!"

"Baik!" sahut Pakkiong Liong sambil menotok kembali jalan darah pembisu Li Tiang-hong, hampir bersamaan waktunya dengan jari-jari Tong Lam-hou juga menotok jalan darah pembisu di tubuh Pangeran Cu Hin-yang.

Maka kedua orang itupun kemudian memanggul tawanannya masing-masing menerobos gelapnya malam. Mereka sengaja tidak melewati jalan yang tadi, sebab dengan terjadinya keributan di barak itu maka jalan itu tentu telah dijaga ketat. Kini mereka menyusup-nyusup di antara padang ilalang dan hutan hutan yang tidak begitu lebat, dan dengan ketajaman mata mereka maka tidak sulit untuk meneruskan perjalanan meskipun malam sangat gelap. Mereka tidak takut seandainya harus bertemu dengan binatang buas jenis apapun.

Tapi yang membuat Tong Lam-hou menggerutu terus-menerus bukannya karena harus menyusup-nyusup seperti itu, melainkan karena harus memondong Pangeran yang dibencinya karena dianggapnya bertanggung-Jawab atas pembantaian di Jit-siong-tin itu.

"Andaikata kau tidak dibutuhkan hidup-hidup oleh pemerintah kerajaan, rasanya aku ingin menyeretmu saja daripada memanggulnya seperti ini," gerutu Tong Lam-hou. "A-liong, apakah kita akan terus memanggul kedua bangsat ini sampai ke kota Kun-beng?"

Pakkiong Liong menahan senyumnya mendengar sahabatnya yang menggerutu saja itu. Sahutnya, "Tidak. Nanti begitu terang tanah kita akan mencari sebuah gerobak atau kereta, tentu ada orang desa yang mau menjualnya jika kita beli dengan harga yang agak tinggi. Nah, kita angkut mereka berdua dengan gerobak itu."

“Dan kalau bisa cari dua perangkat pakaian orang biasa. Aku sudah muak mengenakan seragam pembunuh dan perampok ini," kata Tong Lam-hou sambil menunjuk pakaian prajurit Beng yang, masih dipakainya itu.

Alangkah sakit hati Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang mendengar ucapan-ucapan Tong Lam-hou itu. Namun mereka berdua sekaligus juga mendapatkan satu kesimpulan, bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu bukan cuma orang-orang yang gila harta atau gila pangkat, namun juga ada yang sepenuh hati mendukung pemerintahan Manchu karena tidak ingin melihat bangkitnya kembali dinasti Beng.

Orang-orang jenis ini tentu tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya untuk membela tegaknya pemerlntahan Manchu, bukan sekedar karena upah atau menjalankan perintah. Bagi mereka, bangkitnya kembali dinasti Beng sama saja dengan bangkitnya lagi tirani maha kejam yang telah belasan tahun menyengsarakan rakyat di masa Kaisar Cong-ceng. Dan jika ada asap tentu ada apinya, jika ada orang membenci dinasti Beng tentu ada penyebabnya, bukan benci begitu saja.

Hal itu mungkin disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk orang-orang dinasti Beng sendiri, baik semasa masih berkuasa dulu maupun sekarang yang berkedok gerakan pembebasan tanah-air. Hanya dengan semboyan muluk-muluk seperti "bebaskan tanah air" atau "tumbangkan bangsa Manchu" ternyata belum cukup untuk menarik banyak orang ke pihak kaum pergerakan, sebab semboyan muluk-muluk harus dibarengi dengan tlngkah-laku yang baik pula dari orang orang pergerakan sendiri, barulah rakyat akan percaya bahwa mereka benar-benar membela rakyat.

Dan di masa pemerintahan Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu itu, justru pihak pemerintah Manchu yang lebih berhasil merebut hati rakyat, meskipun kadang-kadang tentara Manchu juga menunjukkan tangan besinya dalam menghadapi golongan-golongan yang hendak memberontak. Ketika menyadari hal itu, pangeran Cu Hin-yang merasa prihatin. Ternyata tingkah-laku orang-orangnyalah sendiri yang menjauhkan mereka dari hati rakyat, bukan karena sepenuhnya di adu domba oleh pemerintah Manchu seperti yang diduga semula.

"Jika suatu saat rakyat Han sudah terbuai oleh kebaikan pemerintah Manchu, maka semakin sulitlah untuk membangkitkan kesadaran rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan orang Manchu," demikian pikir Pangeran. "Dan harapan untuk membangkitkan kembali dinasti Beng jadi semakin kabur." Namun jauh di dasar hati Pangeran itu juga ada suara lain, "Kenapa harus dinasti Beng? Apakah hanya keturunan keluarga Cu yang berhak satu-satunya untuk duduk di singgasana? Apa jeleknya Manchu? Apa salahnya jika orang Han dan Manchu berbaur menjalin persatuan yang kuat? Bukankah yang namanya bangsa Han itu ratusan tahun yang lalu juga terdiri dari berbagai negeri sebelum disatukan oleh Cin-si-ong dan dilanjutkan, oleh Han-ko-kou Lau Fang? Kenapa harus membeda-bedakan keturunan?"

Namun setiap kali Pangeran selalu membungkam suara hatinya yang paling dalam itu. Setiap kali ditekankannya sendiri dalam hati bahwa Manchu adalah musuh yang harus ditumpas, kalau perlu kobarkan perang. Dan dalam perang, yang jadi korban biasanya malah orang-orang yang tak tahu apa-apa, sedang perencana-perencana perang itu sendiri tetap aman di belakang mejanya, jauh dari garis depan, biar orang lain yang mempertaruhkan nyawa untuk nafsu berkuasanya.

Ketika fajar menyingsing, Pak-kiong Liong, Tong Lam-hou dan tawanan-tawanan mereka telah mendekati sebuah desa yang di gapuranya masih juga berkibar bendera Jit-goat-ki. Mereka meletakkan tawanan-tawanan di tanah dan mengikat tangan mereka dengan ikat pinggangnya masing-masing, kata Pakki-ong Liong,

"A-hou, tunggui sebentar tawanan-tawanan ini. Aku akan masuk ke desa untuk mencoba mencari orang desa yang mau menjual gerobak dan binatang-binatang penariknya sekalian. Mungkin juga pakaian dan sedikit makanan."

"Tapi pakaianmu itu akan membuat orang desa ketakutan."

"Apa boleh buat, memangnya aku harus menanggalkan seragam prajurit Beng ini dan masuk ke desa dengan telanjang bulat? Pokoknya aku kan tidak merugikan penduduk, akan ada ganti rugi yang pantas..."
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 08

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 08

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
KETIKA Pakkiong Liong mulai bercerita tentang tokoh-tokoh dunia persilatan, kejadian-kejadiannya dan ilmu-ilmu yang aneh, perguruan-perguruan yang terkenal, maka Tong Lam-hou pun tertarik perhatiannya. Ia banyak bertanya ini dan itu, dan Pakkiong Liong menjawab sebisa-bisanya. Tanpa sadar, Pakkiong Liong telah ikut mempengaruhi masa depan Tong Lam-hou, sebab setelah mendengar cerita tentang dunia luar yang ramai itu, dalam hati Tong Lam-hou timbul rasa terarik untuk melangkah ke sana.

Tiba-tiba ia merasa hidupnya akan terlalu sepi jika terus-menerus berada di gunung hanya bersama ibunya dan gurunya, sedang orang-orang Jit-siong-tin yang biasanya bergurau dengannya itu kini sudah jadi mayat semua. Setelah berbicara berputar-putar, tiba-tiba Tong Lam-hou mengalihkan pokok pembicaraan kepada orang-orang berkuda tadi,

"A-liong, kau kenal orang-orang berkuda tadi satu persatu, apakah kau tahu juga bagaimana sikap mereka terhadap pemerintahan Manchu yang sekarang?"

"Yang dua orang bekas Tong-cu Hwe-liong-pang itu, jelas-jelas memusuhi pemerintah Manchu, sudah ku katakan tadi hanya karena kesalah-pahaman. Yang lain-lainnya bersikap kurang jelas, tapi agaknya lebih condong untuk memusuhi kami pula. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan dagang, tentu tidak berani memusuhi pemerintah secara terang-terangan supaya usaha mereka tidak ditutup. Namun pemimpin mereka Gin-yang-cu Tong Wi-hong, bergaul dengan orang-orang Hwe-liong-pang dengan akrabnya. Sedang Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay sebagai perguruan yang berlandaskan agama Buddha dan To juga tidak menunjukkan sikap bermusuhan secara terang-terangan kepada pemerintah, namun banyak murid-murid dari kedua perguruan itu yang menjadi anggauta gerakan bawah-tanah. Ini sungguh memprihatinkan. A-hou, nanti jika kau bertemu dengan teman-teman ayahmu itu, maukah kau menjelaskan kepada mereka agar mereka menghentikan perlawanan mereka dan tidak lagi menganggap kami bangsa Manchu sebagai musuh?"

"Tentu saja, A-liong. Aku akan berbicara dengan mereka. Seperti katamu dulu, negeri ini butuh persatuan, bukan kekacauan, sebab ancaman orang-orang bule berambut kuning itu semakin terasa juga."

"Terima kasih, A-hou. Jika semua orang dapat memahami cita-cita Sri Baginda Sun-ti, maka semua pembangkang akan meletakkan senjata mereka dan negeri ini jadi aman. Sri Baginda Sun-ti ingin mempersatukan, bukan menjajah, sebab bagaimana mungkin bangsa Manchu yang hanya sedikit itu mampu menjajah bangsa Han yang berjumlah puluhan juta itu? Belum ditambah dengan bangsa-bangsa lain seperti Mongol, Korea, Tibet, Hui dan sebagainya? Tapi masih ada juga yang tidak segan-segan membuat kerusuhan hanya untuk memperjuangkan tahta bagi segelintir orang yang kebetulan dilahirkan dengan nama marga Cu."

Tong Lam-hou menggenggam tangan Pakkiong Liong, seakan ingin menyalurkan keberanian dan ketabahan ke dalam tubuh sahabatnya itu. Katanya, "Jangan kuatir, A-liong, aku berdiri di pihakmu dan juga di pihak Sri Baginda Sun-ti. Bukan karena aku tidak punya pendirian dan terpengaruh oleh kata-katamu, namun karena aku sudah melihat dengan mataku sendiri bagaimana kejamnya sisa-sisa dinasti Beng itu kepada orang-orang yang tak berdaya, seperti rakyat Jit-siong-tin itu. Jika mereka berhasil berkuasa kelak, entah berapa kali lipat lagi kekejaman mereka. Mereka harus dilenyapkan dari muka bumi ini."

"Bagus, aku menjadi besar hati mendengar tekadmu ini. Kita bersama-sama. Bergurau bersama, berlatih bersama, menghadapi dunia bersama-sama.”

"... dan bersama-sama menggulung dunia seperti Jengish Khan dulu?" tanya Tong Lam-hou sambil tertawa. "Membuat bangsa bule di benua barat sana menggigil ketakutan sambil menyebut Jengish Khan sebagai Badai Kuning dari Asia?"

Pakkiong Liong tersenyum. "Apa salahnya?"

Ketika malam semakin larut, merekapun merebahkan diri di rerumputan yang tebal, dan kemudian tertidur nyenyak. Malam itu Tong Lam-hou tidak gelisah lagi, sebab seolah sudah menemukan tujuan hidupnya yang mantap. Mengabdi Negara dan Kaisar, ikut berjuang mempersatukan seluruh negeri.

Sinar matahari yang hangat menerobos lewat sela-sela dedaunan, jatuh menimpa tubuh kedua anakmuda yang pulas Itu, dan membangunkan mereka hampir bersamaan waktunya. Sambil bangkit dan menggeliat, Pakkiong Liong bertanya, "Tidak mimpi buruk lagi bukan?"

"Tidak. Kita akan segera berangkat sekarang?"

"Mandi dulu untuk menyegarkan badan, lalu makan dulu sekedarnya."

"Tidak membersihkan gigi?"

"Kita lupa membawa alat-alatnya. Tapi tidak apalah, cukup berkumur saja selama beberapa hari ini. Bau mulut kita akan merupakan senjata ampuh tersendiri untuk menghadapi musuh, bukan ilmu silat saja."

Tong Lam-hou tertawa. "Uh, menjijikkan sekali. Kau sering menggunakan senjatamu yang ampuh itu?"

"Sekali waktu bolehlah."

Demikianlah mereka membuka pakaian dan menceburkan diri ke sungai kecil yang berair jernih itu. Air pegunungan yang bercampur dengan embun pagi itu serasa menyusup ke seluruh permukaan kulit mereka, menghilangkan rasa kantuk dan menyegarkan tubuh. Apalagi setelah mereka berpakaian dan kemudian mengisi perut mereka, meskipun hanya dengan ubi bakar dingin sisa tadi malam.

Lalu mereka melangkah meninggalkan Jit-siong-tin yang tinggal puing itu, di bawah cahaya matahari pagi yang hangat. Ketika mereka melewati gapura sebelah barat, di mana di gapura itu juga masih ada bendera Jit-goat-ki yang berkibar-kibar melambai, tiba-tiba terungkatlah kebencian Tong lam-hou. Sambil menggeram marah, ia meloncat tinggi untuk menggapai bendera yang tingginya hampir lima tombak dari tanah itu, dan dengan sekali jambret saja robeklah bendera itu menjadi dua potong, yang sepotong yang berada di tangan Tong Lam-hou itu lalu diinjaknya sampai bercampur dengan debu.

Pakkiong Liong menarik napas melihat itu, namun dibiarkannya saja sahabatnya itu melampiaskan kemarahannya. Mereka berjalan ke arah barat, menuruti jejak kaki kuda yang masih jelas tertera di tanah. Sehari suntuk mereka berjalan tanpa kenal lelah, bahkan makan dan minumpun dilakukan sambil berjalan. Sebuah padang ilalang yang cukup luas telah mereka lampaui, lalu sebuah desa kecil dengan ladang-ladangnya dan sawah-sawahnya yang menghijau.

Di desa itu juga berkibar bendera Jit-goat-ki, namun ketika Tong Lam-hou hendak merobeknya, Pakkiong Liong mencegahnya, "Jangan! Jika tindakanmu itu dilihat oleh musuh, maka mereka akan segera tahu bahwa kita sedang mengincar mereka, sehingga merekapun akan mempersiakan diri atau menghindar. Itu namanya memukul rumput mengejutkan ular."

"Tapi aku benci sekali kepada bendera itu. Mengikatkan kepada orang-orang Jit-siong-tin yang terbantai tanpa 'dosa.'"

"Belajarlah menahan gejolak perasaanmu demi berhasilnya urusan yang lebih penting. Kelak jika kau menjadi seorang prajurit, apalagi perwira atau panglima yang memegang pimpinan dalam suatu peperangan tindakan sembrono seperti itu sangat tidak menguntungkan. Semuanya harus dipikir dengan kepala dingin."

"Baiklah, A-liong," sahut Tong Lam-hou dengan singkat.

Mereka tidak berhenti di desa itu, kecuali untuk berhenti sebentar di sebuah kedai di pinggir desa untuk makan beberapa biji bakpao dan secawan teh. Yang disebut kedai di desa kecil itu hanyalah berujud empat batang kayu yang ditancapkan segi empat, lalu sehelai kain lebar dibentangkan dengan diikatkan pada kayu-kayu itu, sekedar untuk menahan panas matahari.

Di bawahnya diletakkan beberapa meja dan bangku kayu yang kasar untuk duduk tamu-tamunya. Namun istirahat yang hanya sebentar itu sudah cukup menyegarkan lagi tubuh Pakkiong Liong serta Tong Lam-hou, dan merekapun meneruskan perjalanan setelah membayar makanan dan minuman di kedai itu.

Semakin mereka menuju ke barat, semakin sering mereka berjumpa dengan kelompok orang-orang yang berpakaian seragam prajurit Beng, meskipun sudah lusuh dan tidak lengkap lagi. Kadang-kadang lima orang, kadang-kadang sampai belasan orang, ada yang berkuda dan ada yang cuma berjalan kaki.

Selain prajurit-prajurit itu, juga ada anak-anak muda yang tidak berpakaian seragam tetapi menyandang senjata dan sering berjalan bersama prajurit-prajurit Beng. Merekalah agaknya anak-anak muda dari desa-desa kecil sekitar tempat itu yang dibina oleh Li Tiang-hong untuk memperkuat pasukannya, dengan diberi latihan keprajuritan yang sekedarnya saja.

Melihat itu, Pakkiong Liong menggerutu, "Luar biasa. Li Tiang-hong tidak segan-segan mengorbankan masa depan anak-anak muda ini demi nafsunya untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng. Anak-anak muda itu boleh saja garang terhadap penduduk desa, namun jika mereka diterjunkan di perang yang sebenarnya, mereka tidak lebih makanan empuk yang paling dulu terbunuh oleh tajamnya senjata."

"Tapi anak-anak muda itu tentu mendapat latihan," kata Tong Lam-hou.

"Tentu saja. Tetapi menjadi prajurit yang baik tidak cukup dengan latihan sehari dua hari, atau seminggu dua minggu. Pasukanku di Ibukota Kerajaan, kupersiapkan sendiri selama setahun dengan latihan-latihan berat hampir tiap hari. Sampai sekarangpun tetap berlatih, meskipun tidak sedang bertugas. Namun Li Tiang-hong agaknya kurang peduli jika anak-anak muda ini nantinya menjadi korban sia-sia di medan laga."

"Seperti juga ia tidak peduli anak-buahnya melakukan pembunuhan di Jit-siong-tin. Berdirinya kembali Kerajaan Beng agaknya merupakan masalah yang paling penting bagi Li Tiang-hong, di atas segala-galanya, bahkan di atas nilai-nilai kemanusiaan," geram Tong Lam-hou sambil mengepalkan tangannya erat-erat.

Pakkiong Liong tahu darah Tong Lam-hou mulai memanas lagi, maka buru-buru dibisikkannya ke telinga sahabat-nya itu, "Tahan dirimu, A-hou Menilik semakin banyaknya orang-orang berseragam prajurit Beng yang hilir-mudik di sini, agaknya kita sudah semakin dekat ke sarang Li Tiang-hong."

"Ya, ya, aku menahan diri sebisa-bisanya, meskipun mungkin di antara oang-orang berseragam itu terdapat salah seorang yang malam itu membacok paman Lo, atau memenggal leher paman Sun, atau melemparkan paman Chang ke dalam rumahnya yang terbakar, atau..."

"Sudahlah, jangan diingat-ingat terus. Kita akan menghukum mereka, tetapi pemimpin-pemimpinnya lebih dulu, dan tindakan kita harus cermat."

Mereka berjalan terus, dan ketika matahari terbenam, mereka memasuki lagi sebuah desa yang kali ini. agak besar, mirip sebuah kota kecil. Bendera Jit-goat-ki bukan saja berkibar di pintu gerbang, tetapi juga di tempat-tempat yang ramai lainnya. Dan suasana kota benar-benar mirip sebuah kota di jaman dinasti Beng, baik pakaian orang-orangnya, hilir-mudiknya prajurit-prajurit Beng dan sebagainya. Pakkiong Liong terpaksa melibatkan kuncir rambutnya dan mengikatnya dengan sebuah ikat kepala, sebab kuncirnya yang bergaya Manchu itu bisa menimbulkan persoalan tersendiri di desa itu.

"Kalau daerah ini termasuk wewenang Bu San-kui, maka benar-benar suatu keteledoran besar buatnya, bahwa di dalam wilayahnya masih ada desa-desa yang terang-terangan memihak perintahan lama," geram Pakkiong Liong. "Nanti setibanya dl Ibukota, aku akan melaporkan hal Ini kepada Sri Baginda."

"Mungkin nasib rakyat dl sini tak ubahnya seperti rakyat Jit-siong-tin. Hanya sebagai sumber perbekalan makanan bagi pasukan Li Tiang-hong, dan dipaksa untuk tetap mengakui pemerintahan dinasti Beng. Rakyat tentu tidak berani melawan, takut dihukum berat."

"Aku juga menduga begitu."

Kedua anak muda itu terus berjalan memasuki desa besar itu, ketika mereka menjumpai sebuah rumah makan kecil yang agaknya juga menyediakan penginapan, maka Pakklong Liong mengajak temannya untuk berbelok masuk ke situ. Bisiknya, "Barangkali dari desa inilah kita bisa mulai bekerja mtuk menyelidiki di mana letak sarang Li Tiang-hong."

Ketika mereka melangkah masuk, seorang pelayan hampir saja mengusir mereka karena melihat pakaian orang yang dekil itu. Namun ketika Pakkiong Liong membuka kantong uangnya dan menunjukkan kemilauannya uang emas yang dibawanya, maka si pelayan segera berubah sikap menjadi sangat ramah.

Tong Lam-hou mengerutkan keningnya melihat adegan itu, selama ia bergaul dengan orang Jit-siong-tin belum pernah ditemuinya pelayan kedai yang begitu sikapnya. Sikap seperti itu seperti sikap Hong Lotoa dan teman-temannya saja.

Mereka mendapat sebuah kamar agak ke belakang, yang bagi Pakkiong Liong malah kebetulan, sebab dengan mudah nanti malam ia dapat membuka jendela untuk meloncat keluar tembok pekarangan. Dari dalam kamar Pakkiong Liong memanggil pelayan, minta disediakan beberapa macam makanan dan minuman, dan juga dua tahang air hangat untuk mandi.

Pelayan itu mengiakan, tetapi sambil berjalan pergi ia menggerutu, "Kurang ajar kedua orang itu. Tampang orang desa tetapi main perintah seperti seorang kaya saja." Namun pelayan itu lalu tersenyum kalau mengingat bahwa orang desa itu membawa banyak uang, dan agaknya akan mudah untuk diakali.

Sore itu, setelah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou selesai mandi air hangat sehingga terasa segar, meskipun pakaian yang dipakainya masih juga pakaian yang kotor oleh keringat dan debu tadi, maka keduanya makan sekenyang-kenyangnya dan membayar harganya. Lalu Pakkiong Liong berkata, "Sore ini kita akan beristirahat untuk mengumpulkan tenaga, kalau bisa tidur ya tidurlah. Nanti malam kita akan mulai bekerja."

"Kau yakin bahwa tempat ini sudah dekat dengan sarang Li Tiang-hong?"

"Aku yakin, berdasarkan ketajaman naluriku. Suasana kota kecil ini terang-terangan bersuasana seperti jaman Kerajaan beng dulu, tidak mungkin bisa begini kalau di dekat sini tidak ada pangkalan pasukan Beng yang merasa kuat, sehingga dengan kekuatan mereka dapat memaksa kota kecil ini untuk tetap mempertahankan suasana jaman Kerajaan Beng dulu."

"Bagaimana kita bisa mencari keterangan?"

"Mudah. Tangkap saja seorang dari prajurit-prajurit Beng yang berkeliaran itu, dan dengan sedikit siksaan mereka akan memberi keterangan kepada kita!" kata Pakklong Liong.

Kedua orang anak muda itupun kemudian berbaring di tempatnya masing-masing. Betapapun terlatihnya daya tahan tubuh mereka, tetapi setelah melakukan perjalanan sehari suntuk, dari matahari terbit sampai matahari tenggelam, maka terasa membutuhkan isttrahat juga. Ternyata rumah penginapan kecil itu termasuk ramai, sebentar-sebentar ada suara langkah kaki hilir mudik di luar pintu, ada suara tamu yang berteriak minta sesuatu kepada pelayan dan sebagainya. Namun Karena kepenatan mereka, maka Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou dapat juga tertidur sejenak.

Ketika gembreng tengah malam terdengar dari kejauhan, maka Pakkiong Liong segera bangun, dan dengan sebuah sentuhan kecil, la pun membangunkan Tong Lam-hou. Tidur yang sekejap itu sudah cukup membuat tubuh mereka segar kembali.

"Sekarang?" tanya Tong Lam-hou kepada Pakkiong Liong yang tengah mencuci muka.

"Ya," sahut pakkiong Liong singkat, sambil mengelap mukanya.

Keduanyapun bersiap dalam waktu singkat. Dalam gerakan malam hari seperti Itu, seharusnya mereka memakai ya-heng-i (pakaian untuk berjalan malam yang umumnya dimiliki oleh orang orang rimba persilatan, berwarna serba hitam). Namun karena pakaian yang mereka kenakan juga berwarna biru gelap, mereka menganggapnya cukup memadai. Dan bahkan mereka tidak membawa senjata sepotongpun, mereka terlalu percaya kepada kekuatan tangan mereka sendiri.

Pakkiong Liong meletakkan beberapa keping uang di meja dalam kamar itu, sebagal sewa menginapnya, sebab kemungkinan besar setelah berhasil menangkap pangeran Cu Hin-yang dan Li Tiang-hong, mereka tidak dapat lagi mampir ke penginapan itu. Lebih dulu Pakkiong Liong membuka jendela sedikit dan melongok keluar, dilihatnya seluruh pekarangan belakang penginapan itu telah sepi, beberapa kamar masih menyala lilinnya, bahkan terdengar suara tertawa cekikikan dari perempuan panggilan.

"Aman," desis Pakkiong Liong sambil meloncat keluar. Diikuti oleh sahabatnya itu. Lalu keduanyapun bergerak bagaikan hantu-hantu gentayangan, meloncat dari satu atap atau ke atap ainnya, tanpa suara dan begitu cepatnya seperti asap berhembus saja. Mereka mencari di mana ada orang yang berpakaian seperti prajurit Beng.

Ketika Teng lam-hou melihat ada dua orang prajurit Beng tengah berjalan di sebuah loreng gelap sambil memanggul tombak mereka, ia segera menggamit pundak Pakkiong Liong sambil menunjuk ke arah kedua prajurit itu. Pakkiong Liong membalasnya dengan anggukkan kepala tanda mengerti, namun ketika Tong Lam-hou sudah hendak meloncat ke bawah, ia menggamit tangan Tong Lam-hou sambil berbisik, "Jangan melakukan pembunuhan yang tidak perlu, A-hou, cukup dipingsankan, saja."

"Tapi mereka membunuhi orang Jit-siong-tin...”

"Kita tidak tahu kedua prajurit itu ikut dalam pembunuhan atau tidak, kalau tidak maka kita akan membunuh nyawa yang tak berdosa meskipun mereka musuh. Kalau kita membunuh nyawa tak berdosa, kita tak ada bedanya dengan oang-orangnya Li Tiang-hong itu."

Tong Lam-hou mengangguk. "Aku mengerti. Akan kupukul saja tengkuknya agar pingsan."

"Tapi Jangan keras-keras supaya kepalanya tidak copot."

Maka hampir bersamaan kedua orang itupun meloncat turun dari atas genteng dan menyergap kedua prajurit Beng yang sedang meronda desa itu. Mereka terkejut ketika melihat bayangan hitam bagaikan meluncur dari langit, namun sebelum mereka sempat berteriak atau melawan, keduanya sudah lumpuh menghadapi sergapan si Naga Utara dan Harimau Selatan itu.

Yang disergap oleh Tong Lam-hou Langsung dibuat pingsan dengan sebuah pukulan ringan pada tengkuknya, sementara prajurit yang satu lagi langsung dltotok jalan darah pembisunya, lalu dengan tangan ditelikung telah diseret oleh Pakkiong Liong ke sebuah tempat yang gelap. Sambil berbisik di telinga orang itu, "Jangan coba-coba berteriak, atau aku copot kepalamu, mengerti?"

Prajurit Itu menggerakkan kepalanya untuk mengangguk. Sementara itu Tong Lam-hou juga telah menyeret prajurit yang pingsan itu ke sebuah kebun yang gelap. Pakkiong Liong membuka totokan pembisunya, lalu tanyanya dengan nada sebengis mungkin,

"Jawab semua pertanyaanku baik-baik, sebab kau ragu-ragu sedikit saja aku tidak segan-segan membunuhmu!" Kembali prajurit itu mengangguk-anggukan kepalanya.

"Dimana sarangmu? Maksudku sarang pasukanmu?" tanya Pakklong Liong.

"Di balik bukit di sebelah barat desa ini."

"Apa kata sandi untuk malam ini? Awas, jangan bohong!"

"Pertanyaan ke mana elang terbang dijawab dengan ke arah matahari terbit” jawab prajurit itu dengan wajah ketakutan. Dan menilik wajahnya yang ketakutan itu, nampaknya la tidak berbohong.

Diam-diam Pakkiong Liong mentertawakan keberanian prajurit-prajuritnya Li Tiang-hong ini, belum sampai disiksa, baru diancam sedikit saja mereka sudah mengaku semua rahasia pasukannya. Prajurit-prajurit dengan semangat lembek seperti itu sudah jelas tidak akan memenangkan pertempuran, biarpun jumlahnya beberapa kali dari musuhnya.

Dan diam-diam Pakklong Liong bangga kepada pasukannya sendiri, Pasukan Naga Terbang, yang terkenal akan keberanian dan kekerasan hatinya, sehingga sering juga disebut Pasukan Berani Matinya Kerajaan Manchu. dari segi keberanian saja, sudah jelas bahwa pasukannya jauh lebih unggul dari pasukannya Li Tiang-hong.

Sementara Pakkiong Liong telah bertanya lagi, "Benarkah di markasmu sedang ada seorang Pangeran Kerajaan Beng yang bernama Cu Hin-yang?"

Sekali lagi prajurit itu mengangguk. Pakkiong Liong merasa cukup dengan keterangan itu. Maka prajurit itu di totoknya kembali sehingga pingsan. Lalu kepada Tong Lam-hou la berkata, "Lucuti pakaiannya sampai telanjang bulat. Kita akan meminjam pakaian mereka untuk menyusup ke sarang musuh."

Tak lama kemudian Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou telah berpakaian seperti prajuritnya Li Tiang-hong. Sambil memanggul tombak mereka berjalan ke arah utara, ke pintu gerbang desa itu, kemudian berbelok ke barat. Beberapa kali mereka berpapasan dengan anak buah Li Tiang-hong lainnya, dan setiap kali mereka selalu dapat menjawab pertanyaan sandi dengan jawaban sandi yang sudah ditentukan.

Di sebelah barat desa itu menang ada sebuah bukit yang dalam kegelapan malam hanya nampak seperti gundukan hitam. Ke sanalah Pakkiong Liong dan temannya melangkahkah kaki. Di sepanjang jalan itu, penjagaan memang ketat sekali, bukan hanya oleh prajurit-prajurit Beng yang berkumpul di gardu-gardu tetapi juga yang bersembunyi di pohon atau mengintai di balik alang-alang. Namun dengan berlenggang-kangkung Pakklong Liong berdua dapat melewati penjagaan-penjagaan itu dengan menjawab 'ke arah matahari terbit' setiap kali ada pertanyaan 'ke mana elang terbang'.

"Kalian sudah selesai meronda?" pada sebuah gardu Pakklong Liong ditanya oleh seorang prajurit yang agaknya pangkatnya agak tinggi.

"Sudah selesai, tong-leng," sahut Pakkiong Liong untung-untungan sebab ia tidak tahu apa pangkat orang itu. "Tugas reguku digantikan oleh regu Ong Toako tadi ketika tengah malam tepat."

Jawaban untung-untungan itu ternyata dipercaya oleh perwira di gardu itu, sehingga Pakkiong Liong berdua-pun tidak dicurigai lagi dan diijinkan lewat.

Setelah agak jauh dari gardu itu Pakkiong Liong tertawa dingin, "A-hou kau lihat prajurit-prajurit di gardu tadi? Minum arak, bergurau, duduk-duduk sambil mengantuk. Huh, pasukannya macam itu dengan satu regu dari pasukanku saja akan dapat disapu habis. Bagaimana pasukan itu bisa mendukung berdirinya kembali dinasti Beng? omong kosong belaka."

Tong Lam-hou tidak menjawab karena la memang tidak tahu sedikitpun tentang seluk-beluk ketentaraan. Namun diapun secara awam dapat menilai bahwa prajurit-prajurit bawahan Li Tiang-hong itu nampaknya memang kurang disiplin, gampang ditipu dan entah bagaimana daya tempur mereka.

Setelah melewati belasan gardu lagi, dan membelok di kaki bukit, akhirnya terlihatlah sarang pasukan Li Tiang-hong di depan mata. Bangunan itu diapit oleh dua buah tebing, dipagari dengan pagar kayu yang terbuat dari balok-balok kayu gelondongan lima tombak lebih. Di atas benteng kayu itu ada gardu jaga, dan lubang-lubang pengintai yang agaknya digunakan untuk melepaskan anak panah apabila musuh datang. Pintu gerbang terbuka lebar, diterangi dua batang obor di kanan kirinya dan dijaga beberapa prajurit yang kedengaran sedang bersendau-gurau.

Melihat sarang Li Tiang-hong itu, diam-diam Pakkiong Liong menggerutu dalam hati, "Keterlaluan, hanya sarang pengacau macam ini saja tidak dapat segera ditumpas oleh Bu Sam-kui. Percuma saja Sri Baginda menganugerahkan wilayah Se-cuan yang begitu luas kepadanya, dan memberi gelar Peng-se-ong segala. Atau barangkali Bu Sam-kui masih sungkan kepada Li Tiang-hong sebagai sama-sama bekas Panglima Kerajaan Beng? Kalau begitu, haknya sebagai Rajamuda di Se-cuan baiknya dicabut saja."

Mereka masuk ke dalam sarang Li Tiang-hong itu tanpa kesulitan. Di dalam sarang ternyata sangat luas, rumah-rumah para prajurit berderet-deret entah berapa lapis, dan ada pula lapangan untuk berlatih yang cukup luas.

"Di mana kira-kira sembunyinya Li Tiang-hong dan orang yang kau sebut bekas Pangeran itu?" tanya Tong Lam-hou.

"Mudah ditebak. Tentu berada di bangunan yang paling besar, paling bagus dan dijaga ketat. Nah, cari saja bangunan macam itu."

Bicara memang mudah, namun setelah berada dalam barak itu, alangkah sulitnya mencari bangunan yang dimaksudkan. Bagian luar dari barak itu memang kelihatan sempit, terapit dua buah tebing karang yang terjal, agaknya sengaja dibuat demikian agar mudah dipertahankan apabila diserang musuh.

Tapi bagian dalamnya ternyata luas bukan main, barak-baraknya berderet-deret mirip sebuah kota kecil, Pakkiong Liong memperkirakan penghuni barak itu ada seribu limaratus atau dua ribu orang. Jika tadinya ia agak memandang rendah Li Tiang-hong, sekarang mau tak mau ia harus mengakui bahwa Li Tiang-hong tak selemah yang ia duga tadinya.

Di tengah barak itu ada sebuah jalan yang agaknya merupakan jalan utama dalam barak, maka Pakkiong Liong lalu memutuskan, "Barak ini dibangun dengan gaya sebuah kota di jaman Beng jalan utama seperti ini biasanya langsung menuju ke lapangan utama. Dan di dekat lapangan utama itu biasanya tinggal si pemimpin. Jadi kita coba saja susuri jalan besar ini sejauh-jauhnya."

"Baiklah," sahut Tong Lam-hou.

Keduanya segera berjalan berdampingan sambil memanggul tombak, gaya mereka persis dengan prajurit-prajurit Beng yang berkeliaran di dalam barak itu, sehingga mereka tidak dicurigai. Kata-kata sandi itu ternyata tidak dipakai lagi setelah mereka berada di dalam barak. Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya nampak juga sebuah bangunan besar yang bentuknya paling bagus, meskipun hanya terbuat dari kayu seluruhnya. Disekeliling bangunan kayu itu juga kelihatan puluhan orang penjaga yang berwajah garang dan bersungguh-sungguh, tidak bersenda-gurau seperti yang di pintu gerbang tadi.

"Kita temukan tempatnya," bisik Pakkiong Liong.

"Apakah kita akan masuk dengan kata-kata sandi lagi?"

"Tidak. Aku rasa sulit, malah bisa menimbulkan kecurigaan mereka. Kita cari titik yang paling lemah penjagaannya dan kita meloncat masuk."

Maka dengan lagak sewajar mungkin, mereka mencoba mengelilingi bangunan besar itu, mencari tempat yang paling lemah penjagaannya. Ternyata sekeliling gedung itu terjaga kuat semuanya, menambah dugaan Pakkiong Liong bahwa Pangeran Cu Hin-yang memang sedang berada di barak itu. Namun dengan ilmu mereka yang tinggi, maka betapapun rapatnya penjagaan di sekitar bangunan itu, mereka berhasil juga menembus salah satu titik, dan meloncat ke dalam dinding.

Dari situ mereka meloncat keatas atap, karena merasa bahwa dengan berjalan diatas atap akan lebih aman dan lebih mudah mencari tempat Pangeran dan Li Tiang-hong. Di balik dinding itu ada beberapa buah bangunan yang besar dan kecil, taman-taman dan kolam-kolam, bahkan pelayan-pelayan hilir mudik dengan berbagai keperluannya.

Melihat itu diam-diam Pakkiong Liong menggeleng-gelengkan kepala, "Li Tiang-hong ini meskipun sedang di tengah keprihatinan perjuangannya, toh tidak melupakan gaya hidupnya yang dulu sebagai seorang pembesar Kerajaan Beng. Menggaji sekian banyak pelayan dan membangun tempat tinggalnya sebagus ini."

Namun Pakkiong Liong tidak pedulikan itu. Ia dan Tong Lam-hou bersembunyi di balik sebuah tumpukan batu-batu yang dibuat sebagai gunung-gunungan di dalam taman. Ketika seorang pelayan pria lewat dekat-dekat tempat itu, cepat pakkiong Liong menotok pinggangnya dan menyeretnya ke balik gunung-gunungan itu. Sebelum membebaskan totokannya, lebih dulu Pakkiong Liong mengancam pelayan itu,

"Kalau kau menjawab dengan jujur, kau akan selamat. Tapi kalau kau bersikap tidak bersahabat, jari-jariku ini sanggup melubangi batok kepalamu seperti ini..." dan Pakkiong Liong mengerahkan tenaga dalamnya ke ujung jari-jarinya, lalu mencengkeram segumpal batu gunung-gunungan itu, sehingga batu itupun menjadi hancur karena kelima jari Pakkiong Liong amblas ke dalamnya.

Wajah pelayan itupun menjadi pucat, meskipun timbul juga sepercik keheranan sebab yang menyergapnya itu ternyata dua orang "prajurit Beng". Namun demi keselamatan nyawanya, ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Bagus!" kata Pakkiong Liong sambil menggerakkan jarinya untuk membuka totokan pelayan itu. Lalu tanyanya, "Di antara sekian banyak bangunan ini, di mana tempat tinggal Li Ciangkun dan tamunya yang kabarnya adalah Pangeran Kerajaan Beng itu?"

Sahut pelayan itu sambil menunjuk ke sebuah rumah kayu bertingkat dua, "Di tingkat atas itu adalah tempat tingggal Pangeran. Li Ciangkun tinggal di gedung besar itu, di ruangan sebelah kanan yang di depannya ada kebun bunganya dan kolam ikan."

"Ketatkah penjagaan di kedua tempat itu?"

Tiba-tiba dalam hati pelayan itu timbul niatnya untuk menakut-nakuti kedua penyelundup itu. Katanya, "Masing-masing dijaga satu regu prajurit pilihan, selain itu juga ada tiga orang tamu berilmu tinggi yang tengah menginap di sini."

"Tamu-tamu berilmu tinggi? Siapa mereka?"

Sahut si pelayan dengan nada bangga, seolah-olah yang berilmu tinggi itu adalah dirinya sendiri, "Mereka adalah pendekar kenamaan dari Kun-lun-san, Hwe-gan-lo-long (Serigala Tua Bermata Api) Lam-kiong Siang dan muridnya Mo Wan-seng yang berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), dan seorang pendeta maha sakti dari Ngo-tay-san bernama Sin-bok Hweshio..."

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou hampir tertawa ketika mendengar keterangan pelayan itu. Sambil menotok kembali pelayan itu agar lumpuh dan bisu untuk semalam suntuk, Pakkiong Liong berkata kepada pelayan itu, "Oh, ketiga butir telur busuk itu masih juga berani mengaku sebagai pendekar-pendekar kenamaan di tempat ini? Mereka sudah kami pecundangi. Nah, saudara pelayan yang baik, terima kasih atas keteranganmu dan kau boleh tidur di sini sampai besok pagi. Di sini hawanya cukup sejuk..."

"...meskipun semalam suntuk kau bakal digigiti nyamuk dan semut," sambung Tong Lam-hou sambil tertawa.

Maka merekapun kemudian membiarkan pelayan itu terbaring kaku di tempat yang gelap itu, sementara mereka telah membagi tugas. "A-hou, kau tangkap Pangeran, dan aku akan menangkap Li Tiang-hong, kita akan berkumpul kembali di luar barak ini di arah bukit itu!" kata Pakkiong Liong. "Tetapi hati-hatilah, selain ketiga telur busuk yang mengaku pendekar itu, Pangeran sendiri juga seorang yang agak mahir silatnya, juga seorang pengiringnya yang bernama Kongsun Hui. Ada baiknya kau langsung menggunakan Hian-Im-ciang (Pukulan Dingin) agar cepat selesai tanpa keributan."

"Tangkap hidup atau mati?" tanya Tong-Lam-hou.

"Hidup-hidup saja. Pangeran itu adalah tokoh sebuah gerakan bawah tanah anti pemerintah, dari mulutnya banyak dibutuhkan keterangan tentang gerakannya itu.”

"Baiklah. Aku pergi."

Bersamaan dengan habisnya kalimatnya, tubuh Tong Lam-hou telah melesat bagaikan seekor burung saja, sekejap saja sudah "hinggap" di bubungan atap yang terletak beberapa tombak dari gunung-gunungan itu. Dari sana ia masih sempat melambaikan tangan kepada Pakkiong Liong. Kemudian Pakkiong Liong-pun melesat pergi ke arah rumah besar tempat tinggal Li Tiang-hong. Sedang pelayan yang tertotok itu ketika melihat kedua "prajurit Beng" itu "beterbangan" seolah-olah tubuh mereka tidak berbobot sama sekali, menjadi gemetar ketakutan. Yang ditemuinya itu manusia atau cuma manusia jadi-jadian?

Sementara itu, untuk sesaat lamanya Tong Lam-hou berjongkok di bubungan atap itu untuk melihat keadaan loteng yang disebutnya oleh pelayan tadi. Di loteng itu masih ada cahaya lilin, dan samar-samar nampak bayangan. "Tentu Pangeran itu dan pengawalnya yang bernama Kongsun Hui,” demikian pikir Tong Lam-hou, "Aku harus menyerang mendadak agar cepat selesai."

Demikianlah Tong Lam-hou yang bernyali besar itu tidak terlalu banyak perhitungan dalam melakukan segala sesuatunya. Maka setelah mengukur jarak antara bumbungan atap dan jendela loteng itu, la menarik napas dalam-dalam untuk mengerahkan semangat dan kekuatannya, lalu bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya, tubuh Tong Lam-hou meluncur deras ke arah Jendela loteng itu. Kedua telapak tangannya dihantamkan ke depan menggunakan ilmu Hian-im-ciangnya yang maha dingin itu.

Yang sedang duduk di dalam ruangan loteng itu memang betul adalah Pangeran Cu Hin-yang dan pengawal setianya yang masih tersisa dalam perjalanan ke selatan itu, Kongsun Hui. Mereka tengah bermain tio-ki (catur Cina) sambil menikmati arak, dan bercakap-cakap tentang berbagai urusan.

Dan alangkah terkejutnya mereka ketika tiba-tiba jendela itu pecah berkeping-keping disusul dengan masuknya sesosok tubuh yang berpakaian seperti anak buahnya Li Tiang-hong. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika hawa di dalam ruangan itu mendadak menjadi sangat dingin sampai menggigilkan tubuh. Kulit Pangeran dan Kongsun Hui seketika membeku kebiru-biruan, dan hanya dengan mengerahkan tenaga dalam secara paksa sajalah maka mereka masih bisa menahan untuk tidak mati kedinginan.

Sementara itu Tong lam-hou ketika melihat ada dua orang didalam ruangan itu, segera membentak "Yang manakah yang bernama Cu hin-yang?!"

Kongsun Hui yang hampir mati beku itu ternyata masih sempat membuat macam-macam pertimbangan dalam otaknya. Dilihatnya tampang Tong Lam-hou yang tidak mirip orang Han karena Tong Lam-hou memang lebih banyak mewarisi tampang ibunya yang berasal dari suku Hui itu, maka Kongsun Hui mempunyai dugaan bahwa orang yang menerobos jendela ini tentu bermaksud jahat.

Apalagi caranya menyebut nama Pangeran yang sangat kasar itu, maka Kongsun Hui segera mendorong tubuh Pangeran ke arah pintu supaya segera melarikan diri, sedangkan Kongsun Hui sendiri langsung berseru, "Akulah Pangeran Cu Hin-yang. Mau apa kau mencariku?"

Namun sikap Kongsun Hui yang menyuruh Pangeran untuk lari itu ternyata dilihat dengan cepat oleh Tong Lam-hou yang bukan orang tolol itu. Katanya sambil tertawa mengejek, "Aneh biasanya seorang pengawal yang menyuruh majikannya untuk lari lebih dulu, bukan sebaliknya. Jadi Pangeran Cu Hin-yang tentu yang kau suruh lari itu, dan tampangmu yang mirip maling jemuran ini tidak cocok menjadi seorang Pangeran!"

Kongsun Hui mengeluh dalam hatinya. Agaknya dalam keadaan terkejut tadi ia telah membuat kesalahan tindakan dengan mendorong Pangeran, sehingga musuh malahan dapat menebak siapa Pangeran yang sebenarnya. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali melawan orang itu mati-matian demi menyelamatkan junjungannya. Dengan melawan hawa dingin yang seolah-olah mencengkam urat-urat darahnya, Kongsun Hui menyambar sepasang ruyung baja yang tersandar dekat meja, sambil berteriak,

"Pangeran, cepat lari dan panggil pengawal! Biar hamba bertahan di sini!"

Namun Tong Lam-hou tidak tinggal diam, seperti seekor elang menerkam anak ayam, ia telah melambungkan tubuhnya untuk mencengkeram ke tengkuk Pangeran yang hampir saja melangkahi ambang pintu itu, hawa dingin yang luar biasa kembali memenuhi ruangan itu sehingga Pangeran merasa sepasang kakinya jadi kaku dan langkahnya terhambat. Tampaknya sebentar lagi ia akan kena diringkus oleh Tong Lam-hou.

Tetapi Kongsun Hui si panglima setia Itu tidak akan membiarkan Junjungannya ditawan musuh, nyawapun akan sanggup ia korbankan asal Junjungannya selamat. Cepat la meloncat menghadang Tong Lam-hou, sepasang ruyung baja yang menjadi senjata andalannya itu bergerak dalam jurus Hong-coan-pek lek (Angin Pusaran dan Petir Menyambar).

Dengan kuda-kuda yang kokoh kuat la putar sepasang ruyungnya secara bertubi-tubi untuk menahan gerak maju Tong Lam-hou. Pengerahan tenaga Kongsun Hui yang berlebihan itu bukan saja bermaksud untuk menahan musuh, tapi sekaligus juga untuk menghangatkan darahnya yang serasa hampir beku oleh udara dingin yang tidak lumrah itu.

Tong lam-hou tidak mau kehilangan waktu, terhadap pengikut Pangeran ini ia tidak perlu sungkan-sungkan lagi, cepat ia menghentikan luncuran tubuhnya sambil memiringkan tubuhnya, jari-jari tangannya dengan gerakan mematuk telah menyerang leher Kongsun Hui dan sekali lagi udara maha dingin menyambar dengan dahsyatnya.

Kongsun Hui merasa kedua tangannya mulai menggigil dan gerakan kedua senjatanya tidak bisa lancar lagi, betapapun la mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi semangat membaja yang tak kenal menyerah kadang-kadang memang merupakan sumber tenaga yang tersendiri pula. Begitu juga dengan Kongsun Hui, kekuatirannya akan keselamatan junjungannya telah membuat ia secara nekad tetap tidak mau minggir dari hadapan Tong Lam-hou, tidak peduli tubuhnya bakal membeku sekalipun.

Tusukan jari-Jari Tong Lam-hou ke lehernya tidak dihiraukannya, melainkan dibarenginya dengan gerakan Tay-san-an-teng (Gunung Besar Roboh Menimpa Kepala) dengan ruyung kanannya. Ia siap mati bersama dengan musuhnya demi keyakinan akan perjuangannya.

Tong Lam-hou yang tidak mau mati bersama. Selincah kupu-kupu dan selicin belut la telah menghindar ke samping dan ujung kaki kanannya berhasil menendang Kongsun Hui sehingga terlempar membentur dinding. Tanpa peduli kepada Kongsun Hui lagi, Tong Lam-hou memburu ke arah Pangeran yang waktu itu sudah turun lewat tangga kayu.

Pangeran Cu Hin-yang mencoba melawan, namun hanya dalam lima jurus saja la telah berhasil dilumpuhkan oleh Tong Lam-hou. Selain dengan pukulan hawa dinginnya juga dengan beberapa totokannya. Lalu dengan memanggul tubuh Pangeran, Tong Lam-hou menuruni tangga Itu. Beberapa prajuritnya Li Tiang-hong yang mencoba menghalanginya telah disapu runtuh dengan tendangan berantainya yang mahir, ditambah pukulan hawa dinginnya yang membuat para prajurit itu tidak mendekat, kecuali yang ingin mati beku.

Sementara itu, Kongsun Hui yang terbanting di dinding itu perlahan-lahan merasa darahnya mulai lancar kembali, udara dingin dalam ruangan itu sedikit demi sedikit telah mengalir keluar dari ruangan itu bersamaan dengan perginya "sumber" dari hawa dingin itu. Diam-diam Kongsun Hui menarik napas,

"Pantas pemerintahan Manchu dapat bertahan kokoh dari gempuran-gempuran para pejuang, ternyata karena mereka memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi. Dulu aku dan kawan-kawanku hampir mati kepanasan dikuil kecil itu gara-gara Pakkiong Liong, dan sekarang hampir mati beku oleh Anak muda yang luar biasa tadi. Melihat kepandaiannya,.anak muda tadi tidak bawah ilmu Pakkiong Liong. Dan cukup dengan dua orang semacam Pakkiong Liong dan anakmuda tadi saja, pemerintah Manchu sudah merupakan sesuatu yang sulit dihadapi. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan Pangeran..."

Sementara itu Tong Lam-hou yang memanggul Pangeran dan mengobrak-abrik prajurit-prajurit yang menghadangnya, maka dari bangunan besar di tengah barak itupun terdengar suara ribut-ribut yang ramai. Lalu muncullah Pakkiong Liong sambil memanggul tubuh Li Tiang Hong yang juga tertotok lumpuh. Dalam hal siasat ilmu perang, Li Tiang-hong memang termasuk jagonya, namun dalam ilmu silat secara pribadi, la jauh bukan tandingannya Pakkiong Liong si Panglima pasukan Naga Terbang dari Kerajaan Manchu itu.

Maka tidak mengherankan kalau Li Tiang-hong dalam sekejap saja telah dapat ditangkap oleh Pakkiong Liong. Kini nasib Li Tiang-hong tidak lebih dari seorang tawanan, prajurit-prajurit yang mengejarnyapun bernasib sama dengan prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou. bedanya, prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou tertahan oleh lingkaran hawa dingin yang membekukan darah, maka prajurit-prajurit yang mengejar Pakkiong Liong telah tertahan oleh udara maha panas yang rasa-rasanya membakar kulit.

Baik Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou memang tak tercegah lagi meninggalkan barak prajurit Li Tiang-hong itu. Andaikata kedua orang itu tidak sedang membawa Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, tentu prajurit-prajurit Itu akan melepaskan panah atau lembing-lembing mereka, namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan sebab prajurit-prajurit itu kuatir akan mengenai pemimpin-pemimpin mereka sendiri.

Bahkan setelah tamu-tamu yang berilmu tinggi seperti Lam-kiong Siang serta Sin-bok Hweshio keluar dari kamar mereka dan ikut mengejar, merekapun tidak berdaya apa-apa. Apalagi karena kedua orang tokoh itu sudah rontok keberanian mereka lebih dulu jika mendengar nama Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang pernah mengalahkan mereka itu.

Ketika tiba di dinding barak, hampir bersamaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou lebih dulu melemparkan tubuh tawanan-tawanan mereka ke atas, begitu tingginya sehingga melewati dinding kayu itu, lalu Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sendiri meloncati, dinding itu dan kemudian menerima kembali jatuhnya tubuh Li Tiang-hong dan Pangeran di luar dinding itu. Dengan demikian mereka menganggap kedua tawanan itu seperti bola saja.

Ketika mereka bertemu di luar dinding barak dan sudah bebas dari kejaran prajurit-prajurit itu, Tong Lam-hou bertanya, "Kita ke bukit itu dulu?"

"Tidak perlu, langsung saja pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Kedua tawanan ini sangat penting dan harus segera tiba di ibukota Kerajaan."

Wajah Tong Lam-hou nampak agak kecewa, sehingga Pakkiong Liong menjadi heran, "Kenapa, A-hou?"

"Aku belum berhasil menemukan Hong Lotoa, sl biang keladi pembantaian di Jit-siong-tin itu."

Bagi Pakkiong Liong, sebenarnya urusan Hong Lotoa Itu adalah urusan amat kecil dalam keseluruhan tugasnya sebagai seorang Panglima, namun la tidak ingin menyakiti hati Tong Lam-hou, sebab ia tahu bahwa bagi sahabatnya itu urusan Hong Lotoa adalah urusan dendam seluruh penduduk Jit-siang-tin. Jawab Pakkiong Liong dengan hati-hati,

"Dalam barak itu ada ribuan ruangan dan ribuan pula prajurit-prajurit musuh yang tinggal di dalamnya, bagaimana kita bisa menemukan seorang Hong Lotoa di antara mereka? Ibarat mencari sebatang jarum dalam tumpukan sekam. Tapi yang penting pemimpin-pemimpin pengacau ini sudah di tangan kita, sehingga penjahat-penjahat rendahan seperti Hong Lotoa itu cepat atau lambat akan mati kutu dengan sendirinya."

Tong Lam-hou kurang puas mendengar jawaban itu, "Apa yang kau maksudkan dengan mati kutu, A-liong? Sekedar tidak dapat memeras orang lagi? Sedangkan kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk itu tidak terbalas sama sekali?"

Pakkiong Liong menarik napas, "Tentu bukan begitu yang aku maksudkan. Seorang yang berbuat kejahatan besar maupun kecil, sebisa-bisanya harus ditangkap untuk dihukum sesuai berat-ringannya perbuatannya. Tapi saat ini kita belum bisa menangkap Hong Lotoa karena kita harus lebih dulu mengamankan kedua tawanan ini. Kawan-kawan dari kedua tawanan ini tentu tidak akan tinggal diam dan berusaha membebas kan mereka."

"Kemana kita akan mengamankan kedua tawanan ini?"

"Ke kota Kun-beng. Di sanalah pasukanku yang kubawa dari ibukota Kerajaan berpangkalan untuk sementara sebelum kembali ke Pakkhia. Di kota Kun beng, kemungkinannya kecil sekali kedua tawanan ini akan direbut kembali oleh temman-teman mereka, sebab di sana ada pasukan pemerintah yang kuat."

Tong Lam-hou akhirnya dapat juga menerima penjelasan Pakkiong Liong itu, meskipun dengan hati yang panas. Dan ketika yang digandengnya itu adalah Pangeran Cu Hin-yang yang dianggap pemimpin dari orang-orang yang membakar Jit-siong-tin itu, maka Tong lam-hou melampiaskan rasa panas hatinya kepada Pangeran itu. Diturunkannya tubuh Pangeran itu dari gendongan, lalu digamparnya muka Pangeran itu beberapa kali sehingga mukanya babak-belur.

Li Tiang-hong yang melihat Pangerannya diperlakukan seperti itu, hampir muntah darah karena marahnya. Namun la tidak dapat berbuat apa-apa, sebab jalan darah pelumpuh dan pembisunya tetap tertotok.

Sedang Pangeran Cu Hin-yang yang jalan darah pembisunya tidak tertotok itu melotot ke arah Tong Lam-hou sambil membentak, "Kau orang Han atau orang Manchu?!"

Tong Lam-hou menambahkan lagi beberapa gamparan ke muka Pangeran, baru menjawab, "Aku setengah Han setengah Hui!"

"Hemm, paling tidak kau masih memiliki darah bangsa Han di tubuhmu, kenapa kau malah memihak bangsa Manchu, musuh kita? Dan aku ini adalah bekas Pangeran Kerajaan Beng, jelek-jelek juga bekas keluarga istana yang pernah memerintah negeri ini, kenapa sikapmu begitu tidak tahu adat?”

Sahut Tong Lam-hou dingin, "Masih lumayan kalau kau bekas Pangeran Beng, tetapi justru karena kau bekas Pangeran Beng itulah maka setiap hari paling tidak aku harus menggamparmu dua puluh lima kail!”

"Kenapa?" tanya Pangeran Cu Hin-yang dengan penasaran.

"Kalian orang-orang dinasti Beng sering menuduh bangsa lain sebagal bangsa liar, bangsa biadab, tapi kelakuan anak buahmu sendiri adalah tidak kalah biadabnya dengan gerombolan serigala yang paling liar sekalipun! Serigala membunuh mangsanya hanya karena-dorongan rasa lapar. Tetapi anak buahmu yang berseragam prajurit-prajurit Beng itu, yang mengaku sebagai pembela rakyat Han, telah membumi-hanguskan sebuah desa dan membunuh seluruh penduduknya hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan mereka. Apakah rakyat Jit-siong-tin itu bukan rakyat Han?"

Wajah Pangeran itu seketika pucat dan merah berganti-ganti ketika mendengar tuduhan Tong Lam-hou itu. Sesaat la tidak dapat berbicara karena gejolak perasaannya, dan setelah agak tenang barulah la menoleh ke arah Li Tiang-hong yang juga sudah diletakkan dl tanah, tanyanya, "Ll Ciang-kun, benarkah kejadian seperti Itu?!”

Li Tiang-hong yang masih tertotok jalan darah bisunya itu tentu saja tidak dapat menjawab. Ketika Pakkiong Liong membebaskan totokannya, barulah la dapat menjawab dengan suara gemetar karena marahnya, "Anjing Manchu itu berbohong, Pangeran. Aku selalu mengawasi gerak-gerik semua anak buahku dengan tertib. Memang benar mereka sering menarik sumbangan dari penduduk desa-desa sekitar sini berupa bahan-bahan makanan, tetapi tidak pernah melakukan pembunuhan! Barangkali pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang Manchu sendiri untuk memfitnah kita!"

Kali ini Pakkiong Liong yang menjawab, "Keingkaran kalian akan tingkah laku bawahan kalian itu adalah gambaran dari kebusukan dinasti Beng dulu. Kalianlah tokoh-tokohnya. Kalau ada hal yang baik, semuanya berebutan mengaku bahwa itulah perbuatannya. Kalau ada hal yang tidak beres, kalian saling melemparkan kesalahan, atau mencari kambing-hitam. Dan belakangan ini kambing-hitam yang paling laris adalah kami, bangsa Manchu!"

Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang saling bertukar pandangan dengan keheran-heranan. Benarkah ada sekelompok anak-buah mereka yang telah menyeleweng dari tata-tertib yang telah mereka gariskan, yaitu tidak boleh mengganggu rakyat? Mungkinkah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menuduh mereka secara sembarangan saja?

Tong Lam-hou tertawa dingin, kali ini ia menggampar muka Li Tiang-hong beberapa kali, lalu berkata kepada Pakkiong Liong, "Inilah calon-calon pemimpin dari dinasti yang akan mereka dirikan kembali itu? Tidak bisa menguasai anak-buahnya sendiri, dan setelah itu berpura-pura bodoh dan tidak tahu seperti sikap kalian ini? Huh, betul-betul memuakkan. A-liong, baiknya kita bawa mereka ke Jit-siong-tin lebih dulu, supaya mereka dapat melihat sendiri betapa hebatnya hasil karya anak buah mereka!"

"Baik!" sahut Pakkiong Liong sambil menotok kembali jalan darah pembisu Li Tiang-hong, hampir bersamaan waktunya dengan jari-jari Tong Lam-hou juga menotok jalan darah pembisu di tubuh Pangeran Cu Hin-yang.

Maka kedua orang itupun kemudian memanggul tawanannya masing-masing menerobos gelapnya malam. Mereka sengaja tidak melewati jalan yang tadi, sebab dengan terjadinya keributan di barak itu maka jalan itu tentu telah dijaga ketat. Kini mereka menyusup-nyusup di antara padang ilalang dan hutan hutan yang tidak begitu lebat, dan dengan ketajaman mata mereka maka tidak sulit untuk meneruskan perjalanan meskipun malam sangat gelap. Mereka tidak takut seandainya harus bertemu dengan binatang buas jenis apapun.

Tapi yang membuat Tong Lam-hou menggerutu terus-menerus bukannya karena harus menyusup-nyusup seperti itu, melainkan karena harus memondong Pangeran yang dibencinya karena dianggapnya bertanggung-Jawab atas pembantaian di Jit-siong-tin itu.

"Andaikata kau tidak dibutuhkan hidup-hidup oleh pemerintah kerajaan, rasanya aku ingin menyeretmu saja daripada memanggulnya seperti ini," gerutu Tong Lam-hou. "A-liong, apakah kita akan terus memanggul kedua bangsat ini sampai ke kota Kun-beng?"

Pakkiong Liong menahan senyumnya mendengar sahabatnya yang menggerutu saja itu. Sahutnya, "Tidak. Nanti begitu terang tanah kita akan mencari sebuah gerobak atau kereta, tentu ada orang desa yang mau menjualnya jika kita beli dengan harga yang agak tinggi. Nah, kita angkut mereka berdua dengan gerobak itu."

“Dan kalau bisa cari dua perangkat pakaian orang biasa. Aku sudah muak mengenakan seragam pembunuh dan perampok ini," kata Tong Lam-hou sambil menunjuk pakaian prajurit Beng yang, masih dipakainya itu.

Alangkah sakit hati Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang mendengar ucapan-ucapan Tong Lam-hou itu. Namun mereka berdua sekaligus juga mendapatkan satu kesimpulan, bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu bukan cuma orang-orang yang gila harta atau gila pangkat, namun juga ada yang sepenuh hati mendukung pemerintahan Manchu karena tidak ingin melihat bangkitnya kembali dinasti Beng.

Orang-orang jenis ini tentu tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya untuk membela tegaknya pemerlntahan Manchu, bukan sekedar karena upah atau menjalankan perintah. Bagi mereka, bangkitnya kembali dinasti Beng sama saja dengan bangkitnya lagi tirani maha kejam yang telah belasan tahun menyengsarakan rakyat di masa Kaisar Cong-ceng. Dan jika ada asap tentu ada apinya, jika ada orang membenci dinasti Beng tentu ada penyebabnya, bukan benci begitu saja.

Hal itu mungkin disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk orang-orang dinasti Beng sendiri, baik semasa masih berkuasa dulu maupun sekarang yang berkedok gerakan pembebasan tanah-air. Hanya dengan semboyan muluk-muluk seperti "bebaskan tanah air" atau "tumbangkan bangsa Manchu" ternyata belum cukup untuk menarik banyak orang ke pihak kaum pergerakan, sebab semboyan muluk-muluk harus dibarengi dengan tlngkah-laku yang baik pula dari orang orang pergerakan sendiri, barulah rakyat akan percaya bahwa mereka benar-benar membela rakyat.

Dan di masa pemerintahan Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu itu, justru pihak pemerintah Manchu yang lebih berhasil merebut hati rakyat, meskipun kadang-kadang tentara Manchu juga menunjukkan tangan besinya dalam menghadapi golongan-golongan yang hendak memberontak. Ketika menyadari hal itu, pangeran Cu Hin-yang merasa prihatin. Ternyata tingkah-laku orang-orangnyalah sendiri yang menjauhkan mereka dari hati rakyat, bukan karena sepenuhnya di adu domba oleh pemerintah Manchu seperti yang diduga semula.

"Jika suatu saat rakyat Han sudah terbuai oleh kebaikan pemerintah Manchu, maka semakin sulitlah untuk membangkitkan kesadaran rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan orang Manchu," demikian pikir Pangeran. "Dan harapan untuk membangkitkan kembali dinasti Beng jadi semakin kabur." Namun jauh di dasar hati Pangeran itu juga ada suara lain, "Kenapa harus dinasti Beng? Apakah hanya keturunan keluarga Cu yang berhak satu-satunya untuk duduk di singgasana? Apa jeleknya Manchu? Apa salahnya jika orang Han dan Manchu berbaur menjalin persatuan yang kuat? Bukankah yang namanya bangsa Han itu ratusan tahun yang lalu juga terdiri dari berbagai negeri sebelum disatukan oleh Cin-si-ong dan dilanjutkan, oleh Han-ko-kou Lau Fang? Kenapa harus membeda-bedakan keturunan?"

Namun setiap kali Pangeran selalu membungkam suara hatinya yang paling dalam itu. Setiap kali ditekankannya sendiri dalam hati bahwa Manchu adalah musuh yang harus ditumpas, kalau perlu kobarkan perang. Dan dalam perang, yang jadi korban biasanya malah orang-orang yang tak tahu apa-apa, sedang perencana-perencana perang itu sendiri tetap aman di belakang mejanya, jauh dari garis depan, biar orang lain yang mempertaruhkan nyawa untuk nafsu berkuasanya.

Ketika fajar menyingsing, Pak-kiong Liong, Tong Lam-hou dan tawanan-tawanan mereka telah mendekati sebuah desa yang di gapuranya masih juga berkibar bendera Jit-goat-ki. Mereka meletakkan tawanan-tawanan di tanah dan mengikat tangan mereka dengan ikat pinggangnya masing-masing, kata Pakki-ong Liong,

"A-hou, tunggui sebentar tawanan-tawanan ini. Aku akan masuk ke desa untuk mencoba mencari orang desa yang mau menjual gerobak dan binatang-binatang penariknya sekalian. Mungkin juga pakaian dan sedikit makanan."

"Tapi pakaianmu itu akan membuat orang desa ketakutan."

"Apa boleh buat, memangnya aku harus menanggalkan seragam prajurit Beng ini dan masuk ke desa dengan telanjang bulat? Pokoknya aku kan tidak merugikan penduduk, akan ada ganti rugi yang pantas..."
Selanjutnya;