Pendekar Naga dan Harimau Jilid 08Karya : Stevanus S.P |
Tong lam-hou tidak mau kehilangan waktu, terhadap pengikut Pangeran ini ia tidak perlu sungkan-sungkan lagi, cepat ia menghentikan luncuran tubuhnya sambil memiringkan tubuhnya, jari-jari tangannya dengan gerakan mematuk telah menyerang leher Kongsun Hui dan sekali lagi udara maha dingin menyambar dengan dahsyatnya.
Kongsun Hui merasa kedua tangannya mulai menggigil dan gerakan kedua senjatanya tidak bisa lancar lagi, betapapun la mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi semangat membaja yang tak kenal menyerah kadang-kadang memang merupakan sumber tenaga yang tersendiri pula. Begitu juga dengan Kongsun Hui, kekuatirannya akan keselamatan junjungannya telah membuat ia secara nekad tetap tidak mau minggir dari hadapan Tong Lam-hou, tidak peduli tubuhnya bakal membeku sekalipun. Tusukan jari-Jari Tong Lam-hou ke lehernya tidak dihiraukannya, melainkan dibarenginya dengan gerakan Tay-san-an-teng (Gunung Besar Roboh Menimpa Kepala) dengan ruyung kanannya. Ia siap mati bersama dengan musuhnya demi keyakinan akan perjuangannya. Tong Lam-hou yang tidak mau mati bersama. Selincah kupu-kupu dan selicin belut la telah menghindar ke samping dan ujung kaki kanannya berhasil menendang Kongsun Hui sehingga terlempar membentur dinding. Tanpa peduli kepada Kongsun Hui lagi, Tong Lam-hou memburu ke arah Pangeran yang waktu itu sudah turun lewat tangga kayu. Pangeran Cu Hin-yang mencoba melawan, namun hanya dalam lima jurus saja la telah berhasil dilumpuhkan oleh Tong Lam-hou. Selain dengan pukulan hawa dinginnya juga dengan beberapa totokannya. Lalu dengan memanggul tubuh Pangeran, Tong Lam-hou menuruni tangga Itu. Beberapa prajuritnya Li Tiang-hong yang mencoba menghalanginya telah disapu runtuh dengan tendangan berantainya yang mahir, ditambah pukulan hawa dinginnya yang membuat para prajurit itu tidak mendekat, kecuali yang ingin mati beku. Sementara itu, Kongsun Hui yang terbanting di dinding itu perlahan-lahan merasa darahnya mulai lancar kembali, udara dingin dalam ruangan itu sedikit demi sedikit telah mengalir keluar dari ruangan itu bersamaan dengan perginya "sumber" dari hawa dingin itu. Diam-diam Kongsun Hui menarik napas, "Pantas pemerintahan Manchu dapat bertahan kokoh dari gempuran-gempuran para pejuang, ternyata karena mereka memiliki banyak orang-orang berilmu tinggi. Dulu aku dan kawan-kawanku hampir mati kepanasan dikuil kecil itu gara-gara Pakkiong Liong, dan sekarang hampir mati beku oleh Anak muda yang luar biasa tadi. Melihat kepandaiannya,.anak muda tadi tidak bawah ilmu Pakkiong Liong. Dan cukup dengan dua orang semacam Pakkiong Liong dan anakmuda tadi saja, pemerintah Manchu sudah merupakan sesuatu yang sulit dihadapi. Sekarang aku harus memikirkan bagaimana caranya menyelamatkan Pangeran..." Sementara itu Tong Lam-hou yang memanggul Pangeran dan mengobrak-abrik prajurit-prajurit yang menghadangnya, maka dari bangunan besar di tengah barak itupun terdengar suara ribut-ribut yang ramai. Lalu muncullah Pakkiong Liong sambil memanggul tubuh Li Tiang Hong yang juga tertotok lumpuh. Dalam hal siasat ilmu perang, Li Tiang-hong memang termasuk jagonya, namun dalam ilmu silat secara pribadi, la jauh bukan tandingannya Pakkiong Liong si Panglima pasukan Naga Terbang dari Kerajaan Manchu itu. Maka tidak mengherankan kalau Li Tiang-hong dalam sekejap saja telah dapat ditangkap oleh Pakkiong Liong. Kini nasib Li Tiang-hong tidak lebih dari seorang tawanan, prajurit-prajurit yang mengejarnyapun bernasib sama dengan prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou. bedanya, prajurit-prajurit yang mengejar Tong Lam-hou tertahan oleh lingkaran hawa dingin yang membekukan darah, maka prajurit-prajurit yang mengejar Pakkiong Liong telah tertahan oleh udara maha panas yang rasa-rasanya membakar kulit. Baik Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou memang tak tercegah lagi meninggalkan barak prajurit Li Tiang-hong itu. Andaikata kedua orang itu tidak sedang membawa Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang, tentu prajurit-prajurit Itu akan melepaskan panah atau lembing-lembing mereka, namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan sebab prajurit-prajurit itu kuatir akan mengenai pemimpin-pemimpin mereka sendiri. Bahkan setelah tamu-tamu yang berilmu tinggi seperti Lam-kiong Siang serta Sin-bok Hweshio keluar dari kamar mereka dan ikut mengejar, merekapun tidak berdaya apa-apa. Apalagi karena kedua orang tokoh itu sudah rontok keberanian mereka lebih dulu jika mendengar nama Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou yang pernah mengalahkan mereka itu. Ketika tiba di dinding barak, hampir bersamaan Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou lebih dulu melemparkan tubuh tawanan-tawanan mereka ke atas, begitu tingginya sehingga melewati dinding kayu itu, lalu Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou sendiri meloncati, dinding itu dan kemudian menerima kembali jatuhnya tubuh Li Tiang-hong dan Pangeran di luar dinding itu. Dengan demikian mereka menganggap kedua tawanan itu seperti bola saja. Ketika mereka bertemu di luar dinding barak dan sudah bebas dari kejaran prajurit-prajurit itu, Tong Lam-hou bertanya, "Kita ke bukit itu dulu?" "Tidak perlu, langsung saja pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini. Kedua tawanan ini sangat penting dan harus segera tiba di ibukota Kerajaan." Wajah Tong Lam-hou nampak agak kecewa, sehingga Pakkiong Liong menjadi heran, "Kenapa, A-hou?" "Aku belum berhasil menemukan Hong Lotoa, sl biang keladi pembantaian di Jit-siong-tin itu." Bagi Pakkiong Liong, sebenarnya urusan Hong Lotoa Itu adalah urusan amat kecil dalam keseluruhan tugasnya sebagai seorang Panglima, namun la tidak ingin menyakiti hati Tong Lam-hou, sebab ia tahu bahwa bagi sahabatnya itu urusan Hong Lotoa adalah urusan dendam seluruh penduduk Jit-siang-tin. Jawab Pakkiong Liong dengan hati-hati, "Dalam barak itu ada ribuan ruangan dan ribuan pula prajurit-prajurit musuh yang tinggal di dalamnya, bagaimana kita bisa menemukan seorang Hong Lotoa di antara mereka? Ibarat mencari sebatang jarum dalam tumpukan sekam. Tapi yang penting pemimpin-pemimpin pengacau ini sudah di tangan kita, sehingga penjahat-penjahat rendahan seperti Hong Lotoa itu cepat atau lambat akan mati kutu dengan sendirinya." Tong Lam-hou kurang puas mendengar jawaban itu, "Apa yang kau maksudkan dengan mati kutu, A-liong? Sekedar tidak dapat memeras orang lagi? Sedangkan kejahatannya yang bertumpuk-tumpuk itu tidak terbalas sama sekali?" Pakkiong Liong menarik napas, "Tentu bukan begitu yang aku maksudkan. Seorang yang berbuat kejahatan besar maupun kecil, sebisa-bisanya harus ditangkap untuk dihukum sesuai berat-ringannya perbuatannya. Tapi saat ini kita belum bisa menangkap Hong Lotoa karena kita harus lebih dulu mengamankan kedua tawanan ini. Kawan-kawan dari kedua tawanan ini tentu tidak akan tinggal diam dan berusaha membebas kan mereka." "Kemana kita akan mengamankan kedua tawanan ini?" "Ke kota Kun-beng. Di sanalah pasukanku yang kubawa dari ibukota Kerajaan berpangkalan untuk sementara sebelum kembali ke Pakkhia. Di kota Kun beng, kemungkinannya kecil sekali kedua tawanan ini akan direbut kembali oleh temman-teman mereka, sebab di sana ada pasukan pemerintah yang kuat." Tong Lam-hou akhirnya dapat juga menerima penjelasan Pakkiong Liong itu, meskipun dengan hati yang panas. Dan ketika yang digandengnya itu adalah Pangeran Cu Hin-yang yang dianggap pemimpin dari orang-orang yang membakar Jit-siong-tin itu, maka Tong lam-hou melampiaskan rasa panas hatinya kepada Pangeran itu. Diturunkannya tubuh Pangeran itu dari gendongan, lalu digamparnya muka Pangeran itu beberapa kali sehingga mukanya babak-belur. Li Tiang-hong yang melihat Pangerannya diperlakukan seperti itu, hampir muntah darah karena marahnya. Namun la tidak dapat berbuat apa-apa, sebab jalan darah pelumpuh dan pembisunya tetap tertotok. Sedang Pangeran Cu Hin-yang yang jalan darah pembisunya tidak tertotok itu melotot ke arah Tong Lam-hou sambil membentak, "Kau orang Han atau orang Manchu?!" Tong Lam-hou menambahkan lagi beberapa gamparan ke muka Pangeran, baru menjawab, "Aku setengah Han setengah Hui!" "Hemm, paling tidak kau masih memiliki darah bangsa Han di tubuhmu, kenapa kau malah memihak bangsa Manchu, musuh kita? Dan aku ini adalah bekas Pangeran Kerajaan Beng, jelek-jelek juga bekas keluarga istana yang pernah memerintah negeri ini, kenapa sikapmu begitu tidak tahu adat?” Sahut Tong Lam-hou dingin, "Masih lumayan kalau kau bekas Pangeran Beng, tetapi justru karena kau bekas Pangeran Beng itulah maka setiap hari paling tidak aku harus menggamparmu dua puluh lima kail!” "Kenapa?" tanya Pangeran Cu Hin-yang dengan penasaran. "Kalian orang-orang dinasti Beng sering menuduh bangsa lain sebagal bangsa liar, bangsa biadab, tapi kelakuan anak buahmu sendiri adalah tidak kalah biadabnya dengan gerombolan serigala yang paling liar sekalipun! Serigala membunuh mangsanya hanya karena-dorongan rasa lapar. Tetapi anak buahmu yang berseragam prajurit-prajurit Beng itu, yang mengaku sebagai pembela rakyat Han, telah membumi-hanguskan sebuah desa dan membunuh seluruh penduduknya hanya untuk memuaskan nafsu kemarahan mereka. Apakah rakyat Jit-siong-tin itu bukan rakyat Han?" Wajah Pangeran itu seketika pucat dan merah berganti-ganti ketika mendengar tuduhan Tong Lam-hou itu. Sesaat la tidak dapat berbicara karena gejolak perasaannya, dan setelah agak tenang barulah la menoleh ke arah Li Tiang-hong yang juga sudah diletakkan dl tanah, tanyanya, "Ll Ciang-kun, benarkah kejadian seperti Itu?!” Li Tiang-hong yang masih tertotok jalan darah bisunya itu tentu saja tidak dapat menjawab. Ketika Pakkiong Liong membebaskan totokannya, barulah la dapat menjawab dengan suara gemetar karena marahnya, "Anjing Manchu itu berbohong, Pangeran. Aku selalu mengawasi gerak-gerik semua anak buahku dengan tertib. Memang benar mereka sering menarik sumbangan dari penduduk desa-desa sekitar sini berupa bahan-bahan makanan, tetapi tidak pernah melakukan pembunuhan! Barangkali pembunuhan itu dilakukan oleh orang-orang Manchu sendiri untuk memfitnah kita!" Kali ini Pakkiong Liong yang menjawab, "Keingkaran kalian akan tingkah laku bawahan kalian itu adalah gambaran dari kebusukan dinasti Beng dulu. Kalianlah tokoh-tokohnya. Kalau ada hal yang baik, semuanya berebutan mengaku bahwa itulah perbuatannya. Kalau ada hal yang tidak beres, kalian saling melemparkan kesalahan, atau mencari kambing-hitam. Dan belakangan ini kambing-hitam yang paling laris adalah kami, bangsa Manchu!" Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang saling bertukar pandangan dengan keheran-heranan. Benarkah ada sekelompok anak-buah mereka yang telah menyeleweng dari tata-tertib yang telah mereka gariskan, yaitu tidak boleh mengganggu rakyat? Mungkinkah Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou menuduh mereka secara sembarangan saja? Tong Lam-hou tertawa dingin, kali ini ia menggampar muka Li Tiang-hong beberapa kali, lalu berkata kepada Pakkiong Liong, "Inilah calon-calon pemimpin dari dinasti yang akan mereka dirikan kembali itu? Tidak bisa menguasai anak-buahnya sendiri, dan setelah itu berpura-pura bodoh dan tidak tahu seperti sikap kalian ini? Huh, betul-betul memuakkan. A-liong, baiknya kita bawa mereka ke Jit-siong-tin lebih dulu, supaya mereka dapat melihat sendiri betapa hebatnya hasil karya anak buah mereka!" "Baik!" sahut Pakkiong Liong sambil menotok kembali jalan darah pembisu Li Tiang-hong, hampir bersamaan waktunya dengan jari-jari Tong Lam-hou juga menotok jalan darah pembisu di tubuh Pangeran Cu Hin-yang. Maka kedua orang itupun kemudian memanggul tawanannya masing-masing menerobos gelapnya malam. Mereka sengaja tidak melewati jalan yang tadi, sebab dengan terjadinya keributan di barak itu maka jalan itu tentu telah dijaga ketat. Kini mereka menyusup-nyusup di antara padang ilalang dan hutan hutan yang tidak begitu lebat, dan dengan ketajaman mata mereka maka tidak sulit untuk meneruskan perjalanan meskipun malam sangat gelap. Mereka tidak takut seandainya harus bertemu dengan binatang buas jenis apapun. Tapi yang membuat Tong Lam-hou menggerutu terus-menerus bukannya karena harus menyusup-nyusup seperti itu, melainkan karena harus memondong Pangeran yang dibencinya karena dianggapnya bertanggung-Jawab atas pembantaian di Jit-siong-tin itu. "Andaikata kau tidak dibutuhkan hidup-hidup oleh pemerintah kerajaan, rasanya aku ingin menyeretmu saja daripada memanggulnya seperti ini," gerutu Tong Lam-hou. "A-liong, apakah kita akan terus memanggul kedua bangsat ini sampai ke kota Kun-beng?" Pakkiong Liong menahan senyumnya mendengar sahabatnya yang menggerutu saja itu. Sahutnya, "Tidak. Nanti begitu terang tanah kita akan mencari sebuah gerobak atau kereta, tentu ada orang desa yang mau menjualnya jika kita beli dengan harga yang agak tinggi. Nah, kita angkut mereka berdua dengan gerobak itu." “Dan kalau bisa cari dua perangkat pakaian orang biasa. Aku sudah muak mengenakan seragam pembunuh dan perampok ini," kata Tong Lam-hou sambil menunjuk pakaian prajurit Beng yang, masih dipakainya itu. Alangkah sakit hati Li Tiang-hong dan Pangeran Cu Hin-yang mendengar ucapan-ucapan Tong Lam-hou itu. Namun mereka berdua sekaligus juga mendapatkan satu kesimpulan, bahwa orang-orang yang berpihak kepada pemerintah Manchu bukan cuma orang-orang yang gila harta atau gila pangkat, namun juga ada yang sepenuh hati mendukung pemerintahan Manchu karena tidak ingin melihat bangkitnya kembali dinasti Beng. Orang-orang jenis ini tentu tidak segan-segan mempertaruhkan nyawanya untuk membela tegaknya pemerlntahan Manchu, bukan sekedar karena upah atau menjalankan perintah. Bagi mereka, bangkitnya kembali dinasti Beng sama saja dengan bangkitnya lagi tirani maha kejam yang telah belasan tahun menyengsarakan rakyat di masa Kaisar Cong-ceng. Dan jika ada asap tentu ada apinya, jika ada orang membenci dinasti Beng tentu ada penyebabnya, bukan benci begitu saja. Hal itu mungkin disebabkan oleh tindakan-tindakan buruk orang-orang dinasti Beng sendiri, baik semasa masih berkuasa dulu maupun sekarang yang berkedok gerakan pembebasan tanah-air. Hanya dengan semboyan muluk-muluk seperti "bebaskan tanah air" atau "tumbangkan bangsa Manchu" ternyata belum cukup untuk menarik banyak orang ke pihak kaum pergerakan, sebab semboyan muluk-muluk harus dibarengi dengan tlngkah-laku yang baik pula dari orang orang pergerakan sendiri, barulah rakyat akan percaya bahwa mereka benar-benar membela rakyat. Dan di masa pemerintahan Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu itu, justru pihak pemerintah Manchu yang lebih berhasil merebut hati rakyat, meskipun kadang-kadang tentara Manchu juga menunjukkan tangan besinya dalam menghadapi golongan-golongan yang hendak memberontak. Ketika menyadari hal itu, pangeran Cu Hin-yang merasa prihatin. Ternyata tingkah-laku orang-orangnyalah sendiri yang menjauhkan mereka dari hati rakyat, bukan karena sepenuhnya di adu domba oleh pemerintah Manchu seperti yang diduga semula. "Jika suatu saat rakyat Han sudah terbuai oleh kebaikan pemerintah Manchu, maka semakin sulitlah untuk membangkitkan kesadaran rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan orang Manchu," demikian pikir Pangeran. "Dan harapan untuk membangkitkan kembali dinasti Beng jadi semakin kabur." Namun jauh di dasar hati Pangeran itu juga ada suara lain, "Kenapa harus dinasti Beng? Apakah hanya keturunan keluarga Cu yang berhak satu-satunya untuk duduk di singgasana? Apa jeleknya Manchu? Apa salahnya jika orang Han dan Manchu berbaur menjalin persatuan yang kuat? Bukankah yang namanya bangsa Han itu ratusan tahun yang lalu juga terdiri dari berbagai negeri sebelum disatukan oleh Cin-si-ong dan dilanjutkan, oleh Han-ko-kou Lau Fang? Kenapa harus membeda-bedakan keturunan?" Namun setiap kali Pangeran selalu membungkam suara hatinya yang paling dalam itu. Setiap kali ditekankannya sendiri dalam hati bahwa Manchu adalah musuh yang harus ditumpas, kalau perlu kobarkan perang. Dan dalam perang, yang jadi korban biasanya malah orang-orang yang tak tahu apa-apa, sedang perencana-perencana perang itu sendiri tetap aman di belakang mejanya, jauh dari garis depan, biar orang lain yang mempertaruhkan nyawa untuk nafsu berkuasanya. Ketika fajar menyingsing, Pak-kiong Liong, Tong Lam-hou dan tawanan-tawanan mereka telah mendekati sebuah desa yang di gapuranya masih juga berkibar bendera Jit-goat-ki. Mereka meletakkan tawanan-tawanan di tanah dan mengikat tangan mereka dengan ikat pinggangnya masing-masing, kata Pakki-ong Liong, "A-hou, tunggui sebentar tawanan-tawanan ini. Aku akan masuk ke desa untuk mencoba mencari orang desa yang mau menjual gerobak dan binatang-binatang penariknya sekalian. Mungkin juga pakaian dan sedikit makanan." "Tapi pakaianmu itu akan membuat orang desa ketakutan." "Apa boleh buat, memangnya aku harus menanggalkan seragam prajurit Beng ini dan masuk ke desa dengan telanjang bulat? Pokoknya aku kan tidak merugikan penduduk, akan ada ganti rugi yang pantas..." |
Selanjutnya;
|