Pendekar Naga dan Harimau Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 07

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Mula-mula Lamkiong Siang tidak merasakannya, seolah hanya ada angin lembut yang mengusap kulitnya, yang dikiranya angin pegunungan belaka. Tetapi "angin pegunungan" itu makin lama makin tajam mengiris kulit, bahkan darahnya yang tadinya hangat karena banyak bergerak itu seakan-akan semakin beku dan dengan sendirinya gerakannya-pun semakin tidak lancar.

Meskipun begitu, hawa dingin itu terus meningkat sampai, akhirnya Lamkiong Siang mengigil seperti terjerumus dalam sumur es, keringat yang keluar dari tubuhnyapun langsung membeku menjadi selapis es tipis yang melekat dikulitnya. Tentu saja gerakannya Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat dari padanya.

semakin kaku, dan mukanya sudah mulai ke-biru-biruan. Hanya berkat tenaga dalamnya yang tinggi sajalah maka ia tidak langsung mati membeku oleh pukulan Tong Lam-hou. Meskipun begitu giginya sudah gemerutuk karena dinginnya dan jurus-jurusnyapun semakin kaku karena darahnya yang tidak mengalir lancar.

"Hian-lm-ciang!" desis Lamkiong Siang dengan nada gemetar. "Ada hubungan apakah antara kau dengan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan?"

"Aku muridnya," sahut Tong-lam-hou tanpa mengurangi serangannya. "Sebentar lagi darahmu akan membeku dan kau akan terbungkus selapis es sehingga mirip boneka salju. Sedangkan temanmu yang gundul itu akan menjadi segumpal arang oleh pukulan sahabatku itu."

Kenyataan memang tak dapat ditolak. Sin-bok Hweshio dan Lamkiong Siang yang sama-sama sering menyombongkan kepandaiannya itu, kini yang satu hampir mati kepanasan, yang lainnya hampir mati kedinginan. Mereka tidak berani lagi mengharap hadiah dari Li Tiang-hong, asal tidak mampus saja sudah patut bersyukur.

Maka tanpa berjanji satu sama lain, baik Sin-bok Hweshio maupun Lam-kiong Siang yang merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran mereka, segera berloncatan mundur dan kabur sipat kuping ke kaki gunung. Menolehpun tidak berani lagi. Dan keselamatan Mo Wan-seng yang masih berada di halaman gubuk itupun bahkan tidak digubris lagi.

Alangkah terkejutnya si Serigala Taring Besi itu melihat dirinya ditinggal kabur begitu saja oleh gurunya dan sahabatnya itu. Maka tanpa pikir panjang lagi Mo Wan-seng juga meloncat keluar gelanggang, dan karena takutnya ia langsung menggulingkan dirinya begitu saja ke bawah gunung, seperti sebutir batu. Rupanya ia sadar tidak mungkin menyamai kecepatan lari gurunya dan Sin-bok Hweshio.

Maka jalan yang terbaik ialah menggulingkan dirinya saja. Meskipun tubuhnya kemudian babak-belur karena terkena batu-batu dan semak-semak berduri, namun ia berhasil tiba di kaki gunung dengan nyawa utuh. Tapi matanya berkunang-kunang dan perutnya mual bukan main, karena harus bergulingan sekian lama.

Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong sebenarnya hendak mengejar untuk membekuk kedua orang yang mereka anggap sebagai pentolan pengacau itu, namun mereka batal mengejar ketika tiba-tiba saja di tempat itu muncul seorang tua. Seorang tua bertubuh sedang, rambut dan jenggotnya yang panjang itu sudah putih semuanya, namun mukanya masih kemerah-merahan, dan cara munculnyapun sangat mengejutkan. Muncul begitu saja seperti sesosok hantu, entah dari mana tahu-tahu sudah berada di situ.

"Aku mendengar ada ribut-ribut, ada apa?" tanya orang tua itu.

Begitu melihat orang tua itu, Tong Lam-hou segera membungkuk dengan hormatnya sambil menjawab, "Suhu, maafkan keributan ini telah mengganggu istirahat Suhu. Orang tua yang berpedang tadi datang karena ingin membalas kan kematian kedua orang muridnya. Beruntung aku dapat mengusirnya."

Sementara itu, ketika Pakkiong Liong mendengar Tong Lam-hou memanggil orang tua itu sebagai Suhu, maka tahulah Pakkiong Liong bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu. Ang Hoan yang berjulukan Tiam-jong-lo-sia (Sesat Tua dari Tiam-jong-san). Maka Pakkiong Liong-pun memberi hormat sambil menyapa, "Salamku untuk Ang Lo-eng-hiong (Pendekar Tua she Ang)."

Ang Hoan hanya menganggukkan kepalanya sedikit, sambil mengisap pipa cangklongnya dalam-dalam. "Kau murid dari kuil Thian-liong-si di Tibet?" tanyanya kepada Pakkiong Liong.

"Benar Lo-eng-hiong," sahut Pakkiong-liong dengan sopan. "guruku adalah Hoat-beng Lama."

Kembali kepala Ang Hoan terangguk angguk, "Pantas. Hwe-liong-sin-kang yang kau tunjukkan tadi sudah sampai tingkat delapan, tinggal setingkat lagi untuk mencapai tingkat tertinggi. Jika pulang nanti ke Tibet, sampaikan salamku untuk Hoat-beng Lama. Meskipun tempat tinggalku jauh letaknya dari Tibet, namun aku sudah mendengar namanya yang besar dan kukagumi."

"Akan kusampaikan salam Lo-eng-hiong. Ia sering bercerita kepadaku siapa tokoh nomor satu di Tiong-goan untuk tigapuluh tahun terakhir ini."

Ang Hoan tertawa lebar sehingga terlihat giginya yang masih utuh sebagian besar, namun berwarna kehitam-hitaman karena sering mengisap tembakau itu. Katanya, "Baiklah aku akan kembali tidur setelah tadi kepulasan tidurku terganggu oleh orang-orang tak tahu adat itu. Aku senang bahwa kalian anak-anak muda saling bersahabat tanpa membedakan suku bangsa, kalian akan mendapat banyak kemajuan kelak. Terutama untuk muridku si A-hou. Jika kau terus berdiam di gunung ini maka kau akan menjadi katak dalam tempurung, dan ilmu yang kau pelajari selama inipun tidak berguna sedikitpun bagi umat manusia. Paham?"

"Aku mengerti, Suhu," sahut Tong lam-hou. Diam-diam ia menafsirkan ucapan gurunya itu sebagai "isyarat lampu hijau" bahwa gurunya tidak keberatan ia bersahabat dengan orang Manchu, asalkan segala perbuatannya itu membawa manfaat bagi orang banyak.

"Bagus kalau kau mengerti. Orang-orang picik pandangan berpendapat bahwa yang memimpin negara haruslah keturunan Cu Goan-ciang, tetapi biarpun darah keturunannya sah, kalau tidak becus lantas mau apa? Ayahmu sendiri, A-hou, dulu adalah seorang yang menentang kesewenang-wenangan Kaisar Cong-ceng sehingga dia mendirikan Hwe-liong-pang..."

Dada Pakkiong Liong berdesir mendengar ucapan Ang Hoan tentang siapa ayah Tong Lam-hou itu. Pikirnya, "Jadi Tong Lam-hou ini adalah anak si pendiri Hwe-liong-pang yang terkenal itu. Saat ini orang-orang Hwe-liong-pang masih menentang pemerintahan Manchu, jika aku berhasil menarik Tong Lam-hou ke pihakku, mungkin bisa melunakkan sikap orang-orang Hwe-liong-pang terhadap pihak pemerintah..."

Namun Pakkiong Liong hanya memendam saja rencananya itu dalam-dalam dan di pasangnya kupingnya baik-baik untuk mendengarkan ucapan Guru Tong Lam-Hou lebih jauh.

"...dan kau sebagai anaknya harus meneruskan perjuangan ayahmu. Rakyat tidak akan menjadi lebih baik nasibnya apabila keluarga Cu kembali ke singgasana, paling-paling hanya mengulangi jaman kebobrokkan seperti masa pemerintahan Cong-ceng dulu.”

"Jadi, siapakah yang harus aku dukung, Suhu?"

"Yang harus kau dukung adalah pemerintahan yang sanggup mengendalikan negeri ini dengan baik, dan menjaga persatuan sehingga menjadi negeri yang besar. Aku mendengar bahwa mahluk-mahluk aneh berkulit putih dan berambut kuning sudah mulai bergentayangan di lautan wilayah kita dengan kapal-kapal mereka yang bermeriam.

"Mereka sudah punya pangkalan di semenanjung di sebelah selatan Campa untuk kapal-kapal mereka, dan sudah bentrok dengan raja di kepulauan selatan yang ingin mempertahankan wilayahnya. Tidak lama lagi mereka tentu akan mendarat ke pantai kita dengan muka manis seorang pedagang, namun sambil menodongkan senjata-senjata mereka. Maka negeri ini harus kuat dulu, tidak usah mempersoalkan orang mana yang memegang pemerintahan.”

Tong Lam-hou tahu, meskipun usia gurunya itu sudah hampir seratus tahun, tapi masih sering berkelana, kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Sekali-sekali ia mengelilingi daratan Cina, di lain saat ia berjalan ke selatan untuk melihat-lihat negeri Campa dan Malaka sampai ke ujungnya yang dibatasi oleh lautan. Lalu pernah pula berjalan terus ke barat sampai ke India dan Persia. Gurunya juga punya pengetahuan sangat luas karena dapat berbicara beberapa bahasa dan pernah melihat gaya ilmu silat dari bangsa-bangsa asing yang dikunjunginya.

Setelah memberi beberapa petunjuk kepada muridnya dan Pakkiong Liong, maka Ang Hoan berkata, "Sudahlah. Aku mau meneruskan tidurku yang tadi terganggu oleh keributan ini. Dan jika kau pergi, A-hou, tidak usah kau kuatirkan ibumu. Aku akan selalu muncul jika ada keributan, bukankah gubukku tidak jauh dari sini?"

"Terima kasih, Suhu," sahut Tong Lam-hou dengan hati lega.

Setelah Ang Hoan pergi, maka mereka bertigapun bercakap-cakap sebentar membicarakan pertempuran tadi, dan juga membicarakan perjalanan mereka besok yang akan menyerbu sarang Li Tiang-hong berdua. Pakkiong Liong masih tetap ingat tugas yang dibebankan oleh Peng-po-siang-si (Menteri Perang ketika ia berangkat dari Ibukota Kerajaan tangkap Pangeran Cu Hin-yang hidup atau mati. Kebetulan sekarang ia mendapat bantuan tenaga seorang Tong Lam-hou yang ilmunya tidak kalah dari Pakkiong Liong sendiri.

Sedang tujuan Tong Lam-hou ialah ingin membebaskan rakyat Jit-siong-tin sama sekali dari pemerasan orang-orang anggauta "pembebasan tanah air", untuk itu harus pemimpin-pemimpinnya yang ditangkap, bukan cura kaki tangan rendahan macam Hong Lotoa dan teman-temannya. Dengan demiKian, meskipun pedorongnya agak berbeda, namun kebetulan bisa berjalan bersama.

"Sudah, jangan ngobrol saja," kata ibu Tong Lam-hou ketika hari telah larut malam. "Kalian harus tidur agar besok pagi bangun dengan tenaga yang segar. Tapi di dapur masih ada minuman hangat untuk kalian."

"Baiklah, bibi, kami akan segera tidur. Pembicaraanku dengan A-hou hampir selesai," kata Pakkiong Liong. Lalu tanyanya kepada Tong Lam-hou, "Jadi kita belum punya petunjuk sama sekali di manakah letak sarang Li Tiang-hong itu?"

"Belum," sahut Tong Lam-hou. "Mungkin Hong Lotoa tahu tetapi ia sudah diusir dari Jit-siong-tin dan kita tidak tahu di mana dia sekarang. Tetapi barangkali kita dapat mencari keterangan dari orang-orang Jit-siong-tin, mungkin ada yang tahu."

"Jadi besok kita harus ke Jit-siong-tin lebih dulu?"

"Begitulah."

Setelah menetapkan rencana, maka merekapun naik ke pembaringan untuk tidur. Tong Lam-hou agak gelisah tidurnya, maklumlah ia besok akan melakukan sesuatu perbuatan yarg dianggapnya cukup luar biasa. Selama ini ia tidak pernah berkelahi, dari tidak pernah pergi lebih jauh dari Jit-siong-tin, namun pertengkarannya dengan Kun-lun-sam-liong ternyata telah menyeretnya ke dalam suatu persolan yang akan memberikan pengalaman-pengalaman baru kepadanya.

Ia bukan saja akan, pergi ke suatu tempat yang belum diketahuinya, ia bahkan juga akan berkelahi dengan para pemimpin dari "gerakan pembebasan tanah air" yang belum diketahui entah seberapa tinggi ilmunya. Tapi Tong Lam-hou tidak takut. Kemenangannnya atas Kun-lun-sam-long dan bahkan atas guru mereka, Lam-kiong Siang, telah menambah tebal rasa percaya diri sendirinya.

Dalam umurnya yang hampir duapuluh tiga tahun itu ia belum pernah berkelahi satu kalipun, kecuali berlatih bersama gurunya, namun hari ini ia telah dua kali berkelahi dan dua kali menang. Tentu saja hal itu membanggakan bagi jiwa mudanya, apalagi kalau mengingat orang-orang yang dikalahkannya itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan.

Hampir setengah malam Tong Lam-hou tak dapat memejamkan matanya karena pikirannya yang bekerja terus, namun akhirnya ia pulas juga. Dan dalam tidurnyapun ia berganti-ganti mendapat mimpi baik dan buruk. Kadang-kadang ia mimpi berpakaian seperti seorang panglima perang seperti dalam gambar-gambar buku sejarah, memimpin pasukan yang besar untuk mengalahkan musuhnya, alangkah bangganya melihat bendera yang berkibar-kibar di atas kepalanya. Lalu rasanya ia menaiki seekor kuda yang gagah masuk ke desa Jit-siong-tin, disambut oleh seluruh penduduk dengan sorakan-sorakan kekaguman dan kibaran bendera-bendera.

Tapi kenapa tiba-tiba wajah orang-orang Jit-siong-tin itu menjadi ketakutan, berlari-lari kacau-balau sambil berteriak-teriak panik, rumah-rumah terbakar, orang-orang tak dikenal membabati orang-orang Jit-si-ong-tin seperti membabati rumput saja. Tong Lam-hou hendak berteriak, tapi tak ada suara yang keluar, hendak menyerbu orang-orang jahat itu, namun kakinya seolah melekat d.i tanah dan tak bisa lepas. Ia hanya m-onta-ron-ta, "Jangan! Jangan bunuh mereka! Gila! Gila! Biadab!"

Ia merasa ada yang menegangi tangannya, namun terus meronta, dan sayup-sayup ia mendengar suara yang manggil namanya yang makin lama semakin lama semakin jelas, "A-hou!A-hou!”

Ketika akhirnya ia merasa tenang kembali dan sadar dari tidurnya dengan sebuah sentakan kaget, ia tahu yang memegangi tangannya itu adalah Pakkiong Liong. Dan ibunya rupanya juga sudah terbangun oleh teriakan-teriakan Tong lam-hou ketika bermimpi tadi.

"Kau agaknya bermimpi buruk, A-hou," kata Pakkiong Liong yang berjongkok di dekat tikar tempat tidurnya disodorkannya semangkuk air dingin Kehadapan Tong Lam-hou sambil berkata, "Minumlah air. Akan menghilangkan kekagetanmu."

Tong Lam-hou bangkit duduk, dirasanya bajunya sudah basah oleh keringat dingin karena mimpinya yang menegangkan tadi. Diterimanya mangkuk air dingin dari tangan Pakkiong Liong dan ditenggaknya habis, sehingga ketenangannyapun perlahan-lahan pulih kembali.

Kemudian Tong Lam-hou tertawa sambil berkata, "Maaf, mengejutkan ibu dan A-liong. Tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa lagi, kalian bisa melanjutkan tidur kalian. Aku hanya terlalu tegang saja, terlalu memikirkan perjalananku besok pagi."

Ibu Tong Lam-hou-pun bisa tersenyum setelah melihat ketenangan anaknya pulih kembali. "Ganti bajumu yang basah keringat itu, nanti kau sakit," katanya. "Kalian tidurlah kembali. Fajar masih agak lama datangnya."

Masing-masing kembali ke tempat tidurnya masing-masing, dan suasana gubuk itu menjadi sunyi kental. Hanya terdengar desis napas halus dari ketiga penghuninya. Namun Tong Lam-hou tidak berani lagi tidur terlalu pulas, takut mimpinya yang menakutkan itu akan datang lagi. Meskipun ia menganggapnya hanya sebagai "kembangnya tldur, namun setiap kali mengingat akan Jit-siong-tin maka hatinyapun berdebar aneh, suatu firasatkah itu?

Akhirnya fajar datang juga, kokok ayam hutan bersahut-sahutan di gunung itu, kicau burung terdengar di mana-mana. Seisi rumah segera mempersiapkan dirinya. Ibu Tong Lam-hou sudah menyiapkan makanan bagi anaknya dan sahabatnya yang sebentar lagi akan menunaikan suatu tugas berat. Sebagai seorang ibu, ada juga kecemasannyakan nasib anaknya, namun iapun sadar bahwa anaknya tidak akan dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri apabila tidak pernah mendapat tantangan apapun dalam hidupnya. Tantangan hidup mendewasakan seseorang.

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou membersihkan diri dengan air pegunungan yang segar, lalu mengisi perut mereka sekenyang-kenyangnya. Pakaian yang mereka pakai adalah pakaian anak-desa yang amat sederhana, bahkan tidak membawa senjata sepotongpun, agar tidak menarik perhatian musuh.

Setelah semuanya siap, merekapun berpamitan kepada ibu Tong Lam-hou, lalu melangkah ke arah timur, menyongsong cahaya matahari yang hangat. Seperti seharusnya anak-anak muda juga harus melangkah tegap menyongsong matahari cita-cita mereka. Ibu Tong Lam-hou memandang langkah-langkah anaknya dengan perasaan haru dan bangga, ingatannya melayang kepada seorang anak muda juga kira-kira duapuluh lima tahun yang lalu, ketika ia juga masih seorang gadis.

Seorang laki-laki muda yang menyongsong badai kehidupan dengan dadanya yang kekar, meskipun kemudian ia gugur namun namanya tetap terpateri di hatinya. Dan kini memandang langkah-langkah puteranya itu, rasanya ia melihat kembali wujud dari laki-laki itu yang menjelma kembali dalam raga Tong Lam-hou, karena Tong Lam-hou memang tetesan darah dari laki-laki itu.

"Selamat berjuang, Tong Wi-siang muda," kata ibu Tong Lam-hou dalam hatinya. Doa seorang ibu yang mengantarkan anaknya membuka lembaran baru hidupnya.

* * * * * * *

“SESUAI rencana, kita akan ke Jit-siong-tin lebih dulu untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang di mana letak sarang pengacau” kata Pakkiong Liong memecah kesunyi "Meskipun hasilnya belum tentu memuaskan kita."

"Ya. Dan bagaimana kalau kita gunakan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) supaya cepat sampai ke Jit-siong-tin? Mumpung jalanan masih sepi?" usul Tong Lam-hou. Ternyata anak muda itu belum juga dapat menghilangkan kegelisahannya akibat pengaruh mimpinya tadi malam. Oleh dorongan kegelisahannya itulah maka ia ingin cepat-cepat melihat desa itu, rasanya seperti meninggalkan seorang anak kecil bermain-main di pinggir sumur.

"Baik, kita gunakan ginkang, Hitung-hitung latihan di pagi yang dingin ini."

Maka kedua anakmuda itu pun kemudian berlari-lari menuruni lereng gunung. Makin lama makin cepat, sehingga kaki mereka seolah sudah tidak menapak tanah lagi dan meluncur begitu saja. Dengan cara demikian, maka tidak sampai sesulutan dupa mereka sudah tiba di sebuah bukit yang di baliknya terletak desa yang mereka tuju. Sekali belokan dikaki bukit itu harus mereka lalui, dari pintu gerbang selatan Jit-siong-tin akan nampak di depan mata.

Namun di kaki bukit itu tiba-tiba Tong Lam-hou menghentikan langkahnya dan berdiri kaku sambil menatap ke satu arah. Pakkiong Liong juga menghentikan luncuran tubuhnya, dan tanpa bertanya iapun ikut menatap ke arah yang ditatap oleh Tong Lam-hou itu. Dan iapun ikut melihat dengan tegang ke arah segumpal asap hitam yang tipis mengepul ke udara.

"Asap itu dari arah Jit-siong-tin!" seru Tong Lam-hou dengan gemetar. Dan seperti seekor burung saja tubuhnya tiba-tiba melesat kembali ke depan dengan kecepatan tinggi, Pakkiong Liong ikut saja di belakangnya.

Begitu melewati tikungan di kaki bukit dan melihat gapura selatan Jit-siong-tin yang masih berdiri megah itu, maka lemaslah kaki Tong Lam-hou. Gapura itu masih ada memang, dan bendera Jit-goat-ki yang berkibar kemarin sekarang juga masih berkibar-kibar terhembus angin pagi. Namun Jit-siong-tin sendiri sudah berubah wujudnya, kemarin masih desa yang ramai maka sekarang sudah berujud puing-puing hitam yang masih berasap.

Orang-orang yang kemarin masih bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou, sekarang hanyalah mayat-mayat hangus yang malang-melintang di seluruh desa. Di jalan-jalan, di tengah reruntuhan, di selokan. Terbantai habis tanpa sisa.

Tong Lam-hou berdiri di tengah kehancuran itu seperti seorang yang kehilangan sukma. Mimpinya tadi malam ternyata bukan sekedar "kembangnya tidur" melainkan firasat, menilik bekas-bekasnya, maka agaknya kemusnahan ini dilakukan oleh sepasukan manusia, bukan cuma satu atau beberapa orang saja. Bekas-bekas kaki kuda juga bertebaran di mana-mana, berjumlah puluhan.

Pakkiong Liong yang berdiri mendampingi Tong Lam-hou itu pun diam-diam merasa ikut bersalah juga atas musibah itu. Kemarin ia telah menjanjikan kepada orang-orang Jit-siong-tin bahwa pemerintah Manchu akan melindungi jika para pengikut dinasti Beng membalas dendam. Namun ternyata selagi Pakkiong Liong tidur tadi malam, maka di desa ini telah terjadi pembantaian yang mengerikan. Sekarang, apa lagi yang mau dilindungi?

Sesaat kedua orang itu berdiri terlongong-longong tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tanpa semangat mereka melangkah jalan-jalan di desa itu yang dipenuhi mayat-mayat di segala sudutnya. Masih ada yang bisa dikenali oleh Tong Lam-hou sebagai teman-temannya, kenalan-kenalannya, orang-orang yang sering membeli sayurannya, namun sebagian besar mayat-mayat itu tak dapat dikenali lagi karena sudah hangus terbakar. Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai sudah terbang berkelompok-kelompok, siap berpesta pora, bahkan beberapa ekor sudah hinggap di reruntuhan.

Tiba-tiba Tong Lam-hou melihat sesosok mayat yang jari telunjuknya seolah sedang menggores tanah. Mayat itu adalah mayat paman Lo yang kemarin memesan dendeng daging kepada Tong Lam hou, ia mati dalam keadaan tertelungkup, sementara jari, tangannya menggores tanah menuliskan huruf "Hong Lo..." Di punggung mayat ada luka bekas bacokan yang panjang dan dalam.

"Pasti ia akan menuliskan Hong Lotoa!" teriak Tong Lam-hou dengan geram. Tiba-tiba saja Tong Lam-hou seperti orang kesurupan telah berteriak-teriak dengan kalapnya, "Hong Lotoa! Hong Lotoa! Menyesal aku kemarin tidak membunuhmu sama sekali! Tapi aku bersumpah akan mencincangmu, mengulitimu, mematahkan tulang-tulangmu satu persatu!"

Pakkiong Liong membiarkan saja Tong Lam-hou berteriak-teriak sambil berlari-lari seperti itu, sebab ia memahami bahwa goncangan perasaan sahabatnya itu memerlukan pelampiasan sedikit. Itu lebih baik daripada jika ia memendam saja perasaannya, namun kemudian meledak dalam ujud perbuatan-perbuatan yang tak terkendali. Bagi Tong Lam-hou, orang-orang Jit-siong-tin adalah sahabat-sahabat baiknya sejak ia dilahirkan, dan kini semua sahabat-sahabat baiknya itu dihabiskan dalam waktu semalam saja, sudah wajar kalau Tong Lam-hou sangat terpukul.

Bahkan Pakkiong Liong sebagai seorang Panglima yang sudah berulang-kali melihat akibat keganasan peperangan, juga masih merasa ngeri melihat kehancuran desa Jit-siong-tin itu. Di peperangan, yang terbunuh adalah lelaki-lelaki dewasa bersenjata yang lebih dulu melakukan perlawanan, namun di sini, yang terbunuh adalah orang-orang desa yang tak dapat bermain senjata, perempuan-perempuan yang tak berdaya, bahkan anak-anak kecil yang sama sekali belum tahu apa-apa.

Sementara itu Tong Lam-hou telah menjatuhkan diri duduk di tanah, lalu menangis meraung-raung seperti anak kecil. Bahkan ketika ia masih kecil belum pernah ia menangis sesedih ini. Pakkiong Liong berjongkok di sebelahnya sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu tanpa berkata sepatah kata-pun. Dibiarkannya sampai tangis Tong Lam-hou reda dengan sendirinya, agar dapat mengurangi tekanan perasaannya.

Setelah tangisnya reda, Tong Lam-hou memang merasakan hatinya lebih ringan, tetapi kejadian hebat yang menimpa Jit-siong-tin itu bagaimanapun juga tidak akan dilupakannya. Dengan suara yang masih terisak-isak ia berkata, "A-liong, aku bukan manusia kalau sampai tidak menumpas orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah Air itu. Aku yang bersalah da]am hal ini. Kemarin orang-orang Jit-siong-tin sudah menganjurkan agar Hong Lotoa dibunuh saja, tetapi aku salah melepaskannya, dan inilah akibatnya. Inilah kesalahanku!" Berbicara sampai disini, kembali air mata Tong Lam-hou mengalir lagi, meskipun kali ini tidak meraung-raung seperti tadi lagi.

Pakkiong Liong juga merasakan matanya menjadi basah. Sahutnya, "Kuasai dirimu, A-hou. Kita memang akan menangkap pengacau-pengacau itu untuk dihukum berat."

Semakin lama memang Tong lam-hou semakin tenang, meskipun sikapnya yang tadinya periang itu telah berubah menjadi murung. Matanya yang tadinya bersinar lembut dan hangat penuh persahabatan kepada siapa saja, kini telah menjadi tajam penuh kemarahan dan kegarangan, mencerminkan perubahan jiwanya. Pakkiong Liong diam-diam menarik napas panjang melihat perubahan diri sahabatnya itu, namun ia mengharap mudah-mudahan kelak Tong Lam-hou akan kembali kepada pribadinya yang hangat dan lembut itu lagi.

Pakkiong Liong tidak suka bersahabat dengan seorang pendendam dan pembunuh, meskipun Pakkiong Liong sendiri sering menghilangkan nyawa orang di peperangan, namun semuanya itu dilakukan dengan sangat terpaksa demi tugasnya, dan dengan hati yang pedih. Tidak benarlah desas-desus yang mengatakan semua orang Manchu berhati kejam, berhati binatang, membunuhi orang Han dengan semena-mena. Kini di Jit-siong-tin yang membunuhi penduduk desa malahan orang Han sendiri.

Ketika Tong Lam-hou melihat burung bangkai yang beterbangan di udara, bahkan beberapa kelompok telah mulai turun untuk mendekati mayat-mayat yang betebaran itu. Tiba-tiba Tong Lain hou meloncat bangun sambil berkata, "Burung-burung keparat itu tidak boleh memakan tubuh-tubuh sahabat-sahabatku. Aku akan menguburkan mereka semua!"

Pakkiong Liong mengerutkan alisnya. Menguburkan mayat yang jumlahnya seratus lebih itu tentu akan makan waktu lama, meskipun ia dan Tong Lam-hou bertubuh kuat, namun bila menghabiskan waktu sehari lebih. Tetapi mengingat keadaan Tong Lam-hou yang sedang berpikiran keruh seperti itu, tidak bijaksana mencegah kemauannya. Maka Pakkiong Liong-pun berkata, "Baik. Aku akan membantumu."

"Di rumah paman Cang si tukang besi itu tentu masih ada cangkul dan sekop, biar kuambil dua biji,'' kata Tong Lam-hou sambil melangkah pergi. "A-liong, kalau kau tidak merasa jijik dan ingin membantuku, coba kau hitung ada berapa mayat di seluruh desa ini."

"Baik," sahut pakkiong Liong singkat.

Maka mulailah kedua sahabat itu bekerja. Hasil penghitungan Pakkiong Liong menunjukkan ada seratus tigapuluh empat mayat, berarti kedua anakmuda itu harus membuat seratus tiga puluh empat lubang. Sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu pekerjaan itu tidak akan membuat mereka lelah, bahkan dua kali lipatpun masih sanggup mereka lakukan, namun jelas perjalanan mereka akan tertunda sehari.

“Lubangnya tidak usah terlalu dalam, asal pantas saja," kata Tong Lam-hou sambil mengayunkan cangkulnya. "Asal jangan sampai bisa dikais-kais oleh kawanan serigala dan ditarik keluar dari lubang."

Demikianlah mereka bekerja, sampai matahari terbenam di sebelah barat barulah pekerjaan itu selesai. Kini di tengah-tengah desa Jit-siong-tin itu, di tempat yang tadinya merupakan jalan raya, berderet-deretlah ratusan gundukan tanah berisi mayat-mayat penduduk Jit-siong-tin. Burung-burung pemakan bangkai itupun beterbangan pergi dengan kecewa. Namun satu dua diantara hewan-hewan itu tadi sempat juga menikmati daging secuwil atau dua cuwil.

Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang bermandikan keringat dan pakaian berbau mayat itu, segera membersihkan diri mereka di sebuah sungai yang jernih di dekat desa itu. Dan pakaian yang mereka cuci itu terpaksa mereka tunggu sampai kering supaya dapat dipakai kembali, selama dalam perjalanan itu mereka memang tidak membawa buntalan pakaian yang mereka anggap akan merepotkan saja. Matahari masih akan bersinar sesaat lagi sebelum tenggelam sama sekali, cukup untuk mengeringkan pakaian mereka.

Sambil berendam telanjang dalam air, mereka bercakap-cakap. Jika tadinya Pakkiong Liong yang lebih bersemangat dalam mencari sarang Li Tiang hong, maka sekarang Tong Lam-hou yang lebih bernafsu untuk segera menemukan sarang Li Tiang-hong. Kata Tong Lam-hou, "Tadinya kita punya rencana untuk bertanya kepada orang-orang Jit-siong-tin, tapi mereka sudah terbunuh semua, jadi bagaimana sekarang?"

Sambil menciduk dengan telapak tangannya dan menyiramkan ke kepalanya sendiri, Pakkiong Liong menyahut, "Tapi para penyerbu itu meninggalkan jejak-jejak kaki kuda mereka di tanah, kita dapat mengikutinya dan mudah-mudahan menemukan sarang mereka."

"Tapi bagaimana kalau tiba-tiba turun hujan dan jejak-jejak itu terhapus?" tanya Tong Lam-hou. "Sekarang musim hujan."

"Itupun tidak sulit bagi kita. Ketika kulihat jejak-jejak kaki kuda mereka, kuperkirakan mereka berjumlah tigapuluh sampai empatpuluh orang, sebuah rombongan berkuda yang cukup besar. Jadi kalau kita tanyakan kepada orang-orang di sepanjang jalan tentu mereka akan bisa menunjukkan arahnya. Rombongan orang berkuda berjumlah sebesar itu tentu akan cukup menarik perhatian orang."

Sementara itu, matahari telah tenggelam di sebelah barat, dan pakaian yang mereka jemur di bebatuan di pinggir sungai kecil yang bening itupun sudah kering. Maka kedua orang itu segera keluar dari dalam air dan memakai kembali pakaian mereka.

"Kita akan bermalam di sini, besok baru kita lacak jejak mereka," kata Pakkiong Liong. Untuk makanan mereka, mereka mencabut beberapa tumbuh-tumbuhan umbi-umbian yang memang ditanam oleh orang-orang Jit-siong-tin di sekitar desa mereka.

Tengah mereka makan sambil menunggu datangnya malam, tiba-tiba telinga mereka yang tajam menangkap ada derap kaki kuda dari arah utara menuju ke desa itu. Tong Lam-hou segera meloncat bangun dengan muka merah padam, serunya, "Bagus! Mereka datang lagi untuk mengantarkan nyawa!"

Tapi Pakkiong Liong cepat menyambar tangan Tong Lam-hou sambil berkata, "Jangan terburu-buru, jalan ini bukan jalan milik mereka, siapa saja bisa lewat di sini. Kita lihat dulu, baru kita putuskan tindakan kita."

Tong Lam-hou merasa ucapan sahabatnya itu cukup beralasan, maka ia menurut saja ketika Pakkiong Liong menarik tangannya untuk diajak bersembunyi di pinggir jalan. Penunggang-penunggang kuda yang mendekati daerah itu ternyata berjumlah kira-kira tujuh orang, semuanya menaiki kuda yang tegar dan memakai tudung bambu untuk melindungi kepala mereka dari panas matahari, meskipun saat itu hari telah sore.

Wajah dan pakaian mereka yang terlapis debu menandakan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan yang cukup jauh. Di antara mereka terdapat seorang perempuan yang berusia kira-kira empat puluh tahun namun masih cantik dan bertubuh ramping, bersikap gagah seperti kaum pendekar. Juga ada seorang berjubah pendeta dan seorang lagi berjubah imam agama To.

Ketika mereka melihat keadaan desa Jit-siong-tin yang telah menjadi puing itu, mereka kelihatan terkejut dan serentak menghentikan kuda-kuda mereka. Orang yang paling depan adalah lelaki gagah berpakaian serba putih, usianya kira-kira empatpuluh dua atau empatpuluh tiga tahun, tegap dan menyandang pedang di pinggangnya. Ia memperdengarkan seruan kagetnya,

"Hei Lihat, desa ini telah mengalami bencana! Beberapa bulan yang lalu ketika aku lewat tempat ini, desa ini masih merupakan desa yang makmur..."

Si pendeta Buddha itu merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. sambil berkata dengan nada prihatin, "Omitohud! Pelaku dari pemusnahan desa ini sungguh-sungguh biadab dan tak berperi-kemanusiaan!”

"Pasti tentara Manchu!" kata seorang yang bermuka hitam dan bertubuh kekar, sambil mengepalkan tinjunya erat.

"Siapa lagi yang bisa berbuat sekeji ini selain orang-orang Manchu itu?"

Hati Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di tempat persembunyiannya tergetar mendengar tuduhan terhadap tentara Manchu itu. Tong Lam-hou sudah hendak meloncat keluar untuk menerangkan hal yang sebenarnya kepada orang-orang itu, namun Pakkiong Liong cepat-cepat menekan pundaknya. Bisiknya,

"Tenangkan dirimu. Dan atur napas dan gerak gerikmu baik-baik agar persembunyian kita tidak mereka ketahui. Mereka orang-orang berilmu tinggi yang berpendengaran tajam, aku kenal mereka sebagian besar."

"Tapi mereka menuduh pasukan Manchu yang tidak bersalah," sahut Tong Lam-hou dengan berbisik pula. "Keenakan Li Tiang-hong dan teman-temannya kalau kejahatan mereka tidak diketahui oleh orang banyak."

"Sabarlah, aku sudah menemukan akal. Untuk sementara kita dengarkan dulu pembicaraan mereka."

"Siapakah mereka?"

"Nanti aku terangkan kepadamu."

Sementara itu, orang-orang berkuda itu tengah mencaci-maki dan mengutuk tentara Manchu yang mereka katakan biadab, berjantung hewan dan seba-gainya, yang membuat telinga Pakkiong Liong merah, namun ia tetap menahan diri. Kata si orang gagah yang berpakaian serba putih itu sambil menunjuk ke arah bendera Jit-goat-ki yang masih berkibar di gapura itu,

"Mungkin tentara Manchu menumpas desa ini karena desa ini berani mengibarkan bendera Kerajaan Beng itu!"

Sahut si pendeta Buddha, “Masuk akal juga pendapat Tong Taihiap (Pendekar she Tong) ini. Tapi sungguh keterlaluan, hanya karena sehelai bendera saja tentara Manchu telah sampai hati membasmi sebuah desa tanpa ampuni"

Di tempat persembunyiannya Tong lam-hou membatin, "Kiranya orang gagah berbaju putih itu memiliki she (nama marga) seperti aku,, yaitu marga Tong."

Dan si penunggang kuda yang bermuka hitam itu juga menggeram marah, "Padahal, belum tentu bendera itu dikibarkan oleh penduduk desa ini dengan suka-rela. Dulu pemerintah Kaisar Cong-ceng dibenci oleh rakyat, tidak mungkin sekarang rakyat malah mengibarkan bendera dinasti Beng. Yang mengibarkannya mungkin adalah cecunguk-cecunguk pengikut dinasti Beng yang kabarnya masih banyak berkeliaran di daerah ini, dan tindakan itu telah mencelakai penduduk seluruh desa."

"Ya, banyak orang celaka gara-gara bendera keparat itu!" dengus seorang penunggang kuda lainnya yang pakaiannya mirip orang Korea.

Lalu penunggang kuda yang berpakaian seperti orang Korea itu tiba-tiba meloncat dari pelana kudanya, langsung ke arah tiang bendera Itu. Sekali ia berputar di udara dan kemudian kakinya dengan derasnya menghantam tiang bendera itu sehingga patah menjadi dua, lalu tanpa menginjak tanah sedikitpun la telah berputar lagi di udara dan hinggap.

kembali di punggung kudanya dengan hebatnya. Dalam satu gerakan saja ia telah menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, sekaligus kerasnya tendangannya, yang mampu mematahkan tiang bendera yang terbuat dari kayu sebesar paha itu hanya dengan sekali tendang.

Orang-orang berkuda lainnya serentak berseru kagum. Si imam agama To mengangkat jempolnya sambil berseru, "Tidak percuma saudara Oh ini menyandang julukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Ilmu tendangan Tae-kyun dari Korea yang saudara tunjukkan tadi benar-benar luar biasa!"

Orang itu ternyata memang orang Korea, dan ilmu yang dipertunjukkannya tadi disebut Tae-kyun, seni menendang dari Korea, sejenis ilmu silat yang hampir sama tuanya dengan ilmu silat di Cina sendiri. Orang Cina sendiri menyebut silat Korea itu dengan sebutan Tong-jiu-tao atau seni tempur dari Timur. Di tempat sembunyiannya, Pakkiong Liong jadi teringat seorang perwira bawahannya yang berdarah Korea, Han Yong-kim namun tendangan Han Yong kim tidak semahir itu sebab ia lebih mengutamakan ilmu pedangnya.

Sementara pakkiong Liong sudah memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, namun dengan menyamar. Dijemputnya segenggam tanah untuk mengotori wajahnya dan tangannya sendiri, lalu setelah berpesan kepada Tong Lam-hou agar tetap dalam persembunyiannya maka Pakkiong Liong pun berjalan keluar dari semak-semak persembunyiannya. Sengaja langkahnya dibikin berat seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali, dan penampilannya saat itu memang seperti anak desa asli.

Suara langkah-langkah Pakkiong Liong itu telah menarik perhatian ke tujuh orang, penunggang kuda itu, sehingga mereka menoleh serentak ke arah suara itu. Namun mereka menarik napas lega setelah melihat yang datang itu cuma seorang anak desa yang dekil. Orang berpakaian serba putih yang bertampang gagah itu segera melambaikan tangannya kepada Pakkiong Liong sambil memanggil, "Saudara kecil, mendekatlah ke sini!"

Dengan sikap takut-takut seperti umumnya anak dari desa terpencil yang kedatangan orang asing, Pakkiong Liong mendekati orang itu. Langkahnya dibuat ragu-ragu, dan suaranya terdengar ketakutan, "A... ak... aku tidak bersalah, tuan-tuan. Aku benar-benar tidak bersalah, aku secara kebetulan saja melihat tuan-tuan dan mendekati karena tahu bahwa tuan-tuan orang-orang baik. Bukan orang-orang jahat seperti yang telah membakar desa ini..."

Orang berpakaian putih itu tersenyum. "Jangan takut, saudara kecil, kami memang bukan orang-orang yang membakar desa ini. Apakah kau tinggal di desa ini?"

Sahut Pakkiong Liong sambil menunjuk kearah selatan. "Bukan, tuan. Aku tinggal di desa sebelah selatan sana, namun sering pergi ke sini untuk berbelanja. Tadi pagi ketika aku dan kawan-kawanku datang kemari, ternyata desa ini sudah hancur."

"Yang menguburkan mayat-mayat itu siapa?”

"Aku dan penduduk desa sebelah selatan itu. Kami semua bekerja-sama menguburkan mayat-mayat teman-teman kami ini."

"Kapan terjadinya pembantaian ini?"

"Tadi malam, tuan."

"Kau melihat sendiri?"

Pakkiong Liong menggelengkan kepala. "Tidak, tuan.. Ketika orang-orang di desaku melihat ada api berkobar di desa ini, dan juga suara derap kuda serta teriakan-teriakan bengis, maka tak seorangpun dari desa kami yang berani datang ke sini untuk melihat apa yang terjadi. Bahkan keluar dari pintu rumah saja tidak berani."

Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "...dan keesokan harinya, barulah kami datang kemari beramai-ramai, hampir seluruh desa ikut semua. Dan inilah yang kami jumpai. Seluruh desa tertumpas habis.”

Para penunggang kuda itu mengangguk-anggukkan saja kepalanya mendengar ceritera Pakkiong Liong yang setengah benar setengah bohong itu. Namun kedengarannya ceritera "anak desa" itu memang masuk akal. "Saudara kecil, kau tahu siapa yang melakukan ini?" tanya orang berpakaian putih itu kepada Pakkiong Liong.

"Kami tidak melihat sendiri, tuan, namun kami dapat memperkirakan siapa yang berbuat ini."

"Siapa? Dan bagaimana kau dapat menduganya?"

"Yang melakukan adalah..." Pakkiong-Liong pura-pura ketakutan sebentar sambil memandang orang-orang berkuda itu dengan sikap kuatir.

Dan orang berpakaian putih itu berkata, "Jangan takut, katakan saja, saudara kecil..."

Masih dengan sikap takut-takut, Pakkiong Liong menjawab, "Yang melakukan adalah sekelompok orang-orang dari Gerakan Pembebasan Tanah Air, benderanya berwarna kuning bergambar bulatan merah dan bulan sabit berwarna putih."

"Bendera Jit-goat-ki!" hampir bersamaan ketujuh orang itu menyahut. "Jadi bukan tentara Manchu?"

"Bukan, tuan. Pangkalan tentara Manchu yang terdekat dari sini ialah di kota Kun-beng yang jaraknya duaratus li lebih dari sini, sedang daerah ini termasuk dalam pengaruh gerakan pembebasan itu. Tentara Manchu tidak pernah menginjak daerah ini.”

Penunggang kuda yang berwajah hitam itu nampak gemas sekali. Geramnya, "Bangsat ternyata ini perbuatan tentaranya Cong-ceng si raja busuk itu. Dulu ketika masih berkuasa mereka menindas rakyat, sekarang sudah jatuhpun masih menyengsarakan rakyat! Orang-orang macam itu masih juga tidak malu mengaku berjuang untuk rakyat Han? Huh! Yang benar, mereka itu berjuang hanya untuk kembali merebut singgasana, hanya ingin jadi Kaisar saja!"

Penunggang-penunggang kuda lainnya tidak ada yang menyahut, tetapi mereka nampaknya tidak menolak pendapat orang yang bermuka hitam itu. Mereka semuanya sudah berusia hampir setengah abad, mereka pernah mengalami jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng sehingga merekapun tahu betapa bobroknya orang-orang pemerintahan di jaman itu.

Lalu orang bermuka hitam itu bertanya kepada Pakkiong Liong, "Eh, saudara kecil, bagaimana kau tahu bahwa yang membakar desa ini adalah sisa tentara dinasti Beng, padahal kau tidak melihat sendiri?"

Sahut Pakkiong Liong, "Sehari sebelumnya, desa ini kedatangan beberapa anggauta Gerakan Pembebasan Tanah Air, katanya mereka mencari seorang mata-mata Manchu yang menyusup ke daerah ini. Karena penduduk desa menjawab tidak tahu, orang-orang Gerakan itu merasa tidak puas, dan terjadi perkelahian dengan seseorang pemuda penjual sayur. Dua di antara orang-orang Gerakan itu terbunuh, sisanya lalu diusir oleh penduduk desa ini, maka kemungkinan besar pada malam harinya orang-orang Gerakan Pembebasan Tanah Air itu datang kembali dengan teman-teman yang lebih banyak untuk membalas dendam kepada orang desa atas kematian dua orang teman mereka di desa ini!"

"Biadab!" geram orang bermuka hitam itu. "Terima kasih atas keteranganmu, saudara kecil. Tapi kami masih ada beberapa pertanyaan lagi."

"Pertanyaan apa tuan?"

"Apakah saudara kecil tahu kalau di sekitar daerah ini ada sekelompok orang yang menamakan diri Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api)?"

Pakkiong Liong terkesiap mendengar pertanyaan itu, teringatlah dia akan pertempuran di kuil terpencil itu, ketika orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Siau-lo-cia Ma Hiong telah ikut campur dalam pertempuran sehingga saat itu Pakkiong Liong gagal menangkap Pangeran Cu Hin-yang, meskipun sudah hampir berhasil. Sesaat ia menjadi bimbang harus menjawab bagaimana terhadap pertanyaan itu, namun kemudian ia memutuskan untuk menjawab secara samar-samar saja, sebab kalau ia menjawab "tidak tahu sama sekali" maka orang-orang berkuda itu tentu akan curiga.

Dengan berlagak tolol ia menjawab "Orang-orang Hwe-liong-pang? Orang-orang yang suka berpakaian hitam dan berikat kepala warna coklat itu?"

Wajah si muka hitam itu berseri seketika. "Benar!" sahutnya.

"Kau tahu di mana tempat mereka?"

Gelengan kepala Pakkiong Liong membuat orang-orang berkuda itu agak kecewa. Orang bermuka hitam itu menoleh kepada teman-teman seperjalanannya sambil menarik napas, "Kelihatannya kita harus bersusah-payah dalam menemukan persembunyian saudara Ma. Tetapi aku yakin ia berada di wilayah ini bersama dengan anak buahnya. Seorang anak buahku melaporkannya kepadaku dengan sangat yakin bahwa ia melihat saudara Ma di daerah ini."

Diam-diam Pakkiong Liong mencatat apa yang didengarnya itu. Orang-orang berkuda ini menyebut Siau-lo-cia Ma Hiong dengan sebutan akrab "saudara Ma", berarti sama-sama anggauta Hwe-liong-pang, atau paling tidak sama-sama pendukung perjuangan Li Cu-seng beberapa tahun yang lalu. Menurut pendengarannya Pakkiong Liong, meskipun sisa-sisa Hwe-liong-pang dan sisa-sisa dinasti Beng itu sama-sama menentang pemerintahan bangsa Manchu, namun antara kedua kelompok itu sendiri juga tidak akur.

Meskipun Pakkiong Liong pernah melihat sendiri bagaimana kedua kelompok itu bergabung ketika menentangnya di kuil terpencil itu, namun Pakkiong Liong memperkirakan bahwa tidak mudah menghapuskan permusuhan antara kedua kelompok itu begitu saja. Tiba-tiba timbullah akal Pakkiong Liong untuk lebih mempertajam permusuhan di antara kedua kelompok itu demi memperlemah mereka sendiri dan memperkuat pemerintahan Manchu.

Maka, dengan sikap tetap seperti anak desa yang tolol, ia berkata, "Memang aku tidak tahu persembunyian orang-orang baik budi dari Hwe-liong-pang itu. Tapi aku tahu beberapa hal tentang mereka. Mereka tidak akur dengan orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu. Kalau orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu sering memeras rakyat untuk bahan-bahan makanan, maka orang-orang Hwe-liong-pang itulah yang membela kami!"

Yang menunjukkan senang ketika mendengar Jawaban Pakkiong Liong itu adalah si orang bermuka hitam dan si orang Korea itu. Hampir bersamaan mereka tertawa berkakakan. kata si orang muka hitam itu, "Ha-ha-ha, saudara Ma masih saja setia dengan cita-cita Hwe-liong-pang untuk selalu berpihak kepada rakyat kecil yang lemah! Bagus! Benar-benar saudaraku yang baik! Di samping bangsat-bangsat Manchu, maka bangsat-bangsat pengikut dinasti Beng itupun memang perlu sering-sering saja diberi hajaran."

Orang Korea itupun tertawa, katanya, "Nanti kalau aku sudah bertemu dengan saudara Ma, akan kusuguhkan tiga cawan arak kepadanya."

"Nah, kita agaknya harus buru-buru mencari tempat menginap," kata orang bertampang gagah yang berpakaian serba putih itu, sambil menunjuk langit yang semakin gelap, meskipun ada sisa-sisa cahaya mentari di ufuk barat.

Maka rombongan orang-orang berkuda itupun segera berangkat, setelah mengucapkan selamat berpisah dengan pakkiong Liong yang mereka panggil "saudara kecil". Meskipun sikap mereka itu rata-rata garang, namun terhadap "anak desa" seperti Pakkiong liong mereka dapat bersikap ranah juga.

Setelah orang-orang berkuda itu menjauh, Pakkiong Liong cepat membersihkan wajahnya dari tanah yang tadi sengaja diusapkan kemukanya untuk menyamarkan wajahnya itu. Katanya ke arah persebunyian Tong Lam-hou, "A-hou, kau boleh keluar sekarang!"

Tong Lam-hou meloncat keluar dari persembunyiannya, dan wajahnya yang murung sejak pagi tadi, kini nampak agak cerah. Begitu meloncat keluar, ia langsung berseru, "A-liong, nampaknya orang-orang berkuda tadi adalah teman-teman mendiang ayahku! Ayahku adalah orang Hwe-liong-pang, menurut Guruku dan ibuku, dan merekapun agaknya orang-orang Hwe-liong-pang! Tetapi aku tadi tidak berani keluar dari persembunyian karena kuatir merusak rencanamu!"

Jantung Pakkiong Liong berdegup keras, suatu hal yang ditakutinya ialah jika sahabatnya ini sampai bergabung dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang juga menentang pemerintahan Manchu itu. Jika itu sampai terjadi, berarti ia akan berdiri berseberangan dengan sahabatnya itu sebagai musuh satu sama lain. Itu tidak dikehendaki oleh Pakkiong Liong. Sesaat ia menjadi kebingungan bagaimana harus menanggapi sikap Tong Lam-hou itu tanpa menyakiti hatinya, ia berpikir sejenak dan akahimya menjawab,

"Benar, mereka teman-teman ayahmu. Mereka orang-orang baik semuanya."

"Jika mereka kau anggap orang-orang baik, kenapa tadi kau menemuinya dengan menyamarkan wajahmu, A-liong? Tadi kau juga bilang kenal mereka semuanya, maukah kau menceritakan kepadaku?"

"Tentu. Tapi sambil bercerita, mari kita tunggui jagung bakar kita agar tidak menjadi hangus."

Kedua anakmuda itupun kembali ke tempat istirahat mereka di pinggir sungai kecil tadi. Di situ mereka membuat perapian kecil, selain untuk menerangi kegelapan, juga untuk membakar beberapa jenis ubi dan jagung yang akan mereka makan. Tanpa diminta, Pak-kiong Liong memulai ceritanya.

"Orang-orang Hwe-liong-pang adalah orang-orang yang baik, mereka pembela rakyat sejati, itu aku yakin. Dulu di jaman Kaisar Cong-ceng, mereka dengan berani telah melawan pemerintah bobrok waktu itu, dan bahkan bergabung dengan Li Cu-seng untuk menumbangkan dinasti keluarga Cu itu. Aku sebenarnya tidak pernah bermusuhan dengan mereka, tetapi mereka masih salah paham kepada kami bangsa Manchu, sehingga masih tetap menganggap kami sebagai musuh mereka. Itulah yang menyedihkan hatiku. Itu pulalah yang menyebabkan aku harus menemui mereka dengan wajah disamarkan, sebab di antara mereka ada yang pernah berkelahi dengan aku dan mengenal aku sebagai Pakkiong Liong, si Panglima Manchu."

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggerogoti makanannya. Dan Pakkiong Liong melanjutkan, "Aku berharap suatu saat kesalahpahaman terhadap pemerintahan kami akan terhapus, dan akupun bisa bersahabat dengan orang-orang gagah itu seperti bersahabat denganmu!"

"Oh, begitu kiranya alasanmu. Dan siapa sajakah mereka itu?"

"Kebetulan semua dari tujuh orang itu kukenal semua. Tapi di antara mereka yang bekas anggauta Hwe-liong-pang hanya dua orang, yaitu si muka hitam, dan si orang Korea itu. Si muka hitam bernama Lu Siong, julukannya ialah Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) untuk menandakan betapa hebat kekuatan sepasang tinjunya itu. Di Hwe-liong-pang dulu, ia adalah pemimpin dari Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu). Si orang Korea itu bernama Oh Yun-kim, berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena kemahiran tendangannya. Dia bekas pemimpin Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di Hwe-liong-pang dulu."

"Memang hebat sekali, cocok dengan julukannya sebagai Tendangan Tanpa Bayangan. Aku tadi melihat sendiri bagaimana hebat tendangannya ketika merobohkan tiang bendera di gapura desa itu."

"Ya, kedua bekas Tong-cu (Pemimpin Kelompok) itu ke mana-mana selalu bersama-sama. Yang satu mahir tendangan, yang yang lain mahir pukulan. Jika mereka menggabungkan mereka punya Tinju Seribu Kati dengan Tendangan Tanpa Bayangan, maka tidak seorang tokohpun sanggup membendung mereka."

“Ada!" sahut Tong Lam-hou tiba-tiba.

"Siapa?" tanya Pakkiong Liong dengan heran.

Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa, "Tandingan mereka ya. kita ini. Gabungan antara Naga Utara dan Harimau Selatan yang bisa membuat musuh jadi panas dingin."

Pakkiong Liong tertawa geli, namun kemudian ia meninju pundak Tong Lam-hou sambil pura-pura menggerutui "Uh, sombongmu!"

Kedua anakmuda itu tertawa serentak, dan tanpa sadar kedua telapak nangan mereka yang kekar itu telah saling genggam dengan kokohnya, sekokoh tali persahabatan yang telah mengikat hati mereka berdua, meskipun mereka baru saling berkenalan beberapa hari.

"Nah, A-liong, kau baru menceritakan dua diantara mereka. Yang lainnya itu siapa saja?"

"Yang bertampang gagah dan berpakaian serba putih itu bernama Tong Wi-hong, ia adalah pemimpin dari sebuah perusahaan pengawalan yang besar di kota Tay-beng dengan cabang-cabangnya yang terbesar di mana-mana. Perusahaan pengawalan itu bernama Tiong-gi Piau-hang. Orang yang bernama Tong Wi-hong itu sendiri berjulukan Gin-yan-cu (si Walet Perak). Ilmu pedangnya sangat mahir, karena ia adalah didikan perguruan Soat-san-pay yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Perempuan setengah baya yang juga gagah dan tak bersenjata itu adalah adik Tong Wi hong, namanya Tong Wi-lian, murid perguruan Siau-lim-pay, sangat mahir dengan ilmu tangan kosong Pek-ho-kun dan Coa-kun (Silat Bangau Putih dan Silat Ular), konon kekuatan jari-jari-nya sanggup menembus selembar papan tebal."

Tong Lam-hou nampak merenung mendengar penuturan Pakkiong Liong tentang kedua kakak beradik itu. Gumamnya, "Aneh, nama mereka mirip benar dengan nama ayahku. Ayahku bernama Tong Wi-siang, dan mereka bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Ayahku orang Hwe-liong-pang, dan mereka berdua juga berada bersama-sama dengan orang-orang Hwe liong-pang. Tidakkah ini aneh?"

Pakkiong Liong tertawa, "Apakah ibumu atau gurumu belum pernah menceritakan kepadamu bahwa ayahmu punya dua saudara kandung?"

"Belum pernah. Tapi ibu pernah berkata, katanya ayah punya tiga orang saudara angkat, dan salah satu dari ketiga saudara angkatnya itu, yaitu yang ke dua, telah berkhianat kepada ayah. Namun Jika hanya saudara angkat, tentu namanya tidak akan semirip itu. Tentang saudara kandung, ibu tidak pernah bercerita bahwa ayah mempunyai atau tidak."

"Kalau begitu, kemiripan nama itu tidak perlu kau herankan. Dunia ini begitu luas, banyak orang yang namanya bukan saja mirip tapi bahkan juga sama persis."

"Ya... ya... kau betul juga. Nah, teruskan keteranganmu."

"Baiklah. Orang yang berpakaian ringkas berwarna abu-abu dan di pinggangnya menyandang golok tadi, adalah suami dari Tong Wi-lian yang bernama Ting-Bun, mahir dalam tiga macam ilmu silat. Ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to (Sialt Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), ilmu pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang). Semuanya jenis ilmu keras yang memerlukan kekuatan besar, itulah sebabnya orang tadi nampak bertubuh kekar. Suami isteri Ting Bun dan Tong Wi-lian tinggal di tepi danau Po-yang-pu di kota kecil An-yang-shia."

Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "Si pendeta Buddha itu bernama Bu-sian Hwesshio, pendeta dari kuil Siau-lim-si. Kepandaianya jangan ditanya lagi, kuil Siau-lim-si terkenal sebagai gudangnya orang berilmu, jika seorang pendeta Siau-lim sudah berani berkelana diluaran, maka ilmunya tentu tidak rendah. Dan si imam agama To itu bernama Te-sian Tojin, murid dari kuil Giok-hi kiong di Gunung Bu-tong-san, pusat dari perguruan Bu-tong-pay yang tidak kalah besarnya dengan Siau-lim-pay. Orang sering berkata bahwa Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua tiang penyangga utama dunia persilatan."

"Wah, kalau begitu ketujuh orang penunggang kuda tadi adalah orang-orang hebat semuanya!" seru Tong Lam-hou dengan kagum.

Pakkiong Liong melanjutkan dengan setengah bergurau, "Ya, mereka orang-orang berilmu tinggi. Biarpun gabungan Naga Utara dan Harimau Selatan, kalau harus menghadapi mereka bertujuh maka tidak lebih dari Cacing Utara dan Kucing Selatan...."

Tong Lam-hou bersungut-sungut, "Uh, kalau mereka maju bertujuh, tentu saja kita kalah..."

Demikian mereka bercakap-cakap, dan tujuan Pakkiong Liong yang sebenarnya ialah mencoba menghibur Tong Lam-hou dari kesedihannya akibat kematian teman-temannya di Jit-siong-tin. Nampaknya usaha Pakkiong Liong itu berhasil juga....
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 07

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 07

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Karya Stevanus S.P
Mula-mula Lamkiong Siang tidak merasakannya, seolah hanya ada angin lembut yang mengusap kulitnya, yang dikiranya angin pegunungan belaka. Tetapi "angin pegunungan" itu makin lama makin tajam mengiris kulit, bahkan darahnya yang tadinya hangat karena banyak bergerak itu seakan-akan semakin beku dan dengan sendirinya gerakannya-pun semakin tidak lancar.

Meskipun begitu, hawa dingin itu terus meningkat sampai, akhirnya Lamkiong Siang mengigil seperti terjerumus dalam sumur es, keringat yang keluar dari tubuhnyapun langsung membeku menjadi selapis es tipis yang melekat dikulitnya. Tentu saja gerakannya Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat dari padanya.

semakin kaku, dan mukanya sudah mulai ke-biru-biruan. Hanya berkat tenaga dalamnya yang tinggi sajalah maka ia tidak langsung mati membeku oleh pukulan Tong Lam-hou. Meskipun begitu giginya sudah gemerutuk karena dinginnya dan jurus-jurusnyapun semakin kaku karena darahnya yang tidak mengalir lancar.

"Hian-lm-ciang!" desis Lamkiong Siang dengan nada gemetar. "Ada hubungan apakah antara kau dengan Tiam-jong-lo-sia Ang Hoan?"

"Aku muridnya," sahut Tong-lam-hou tanpa mengurangi serangannya. "Sebentar lagi darahmu akan membeku dan kau akan terbungkus selapis es sehingga mirip boneka salju. Sedangkan temanmu yang gundul itu akan menjadi segumpal arang oleh pukulan sahabatku itu."

Kenyataan memang tak dapat ditolak. Sin-bok Hweshio dan Lamkiong Siang yang sama-sama sering menyombongkan kepandaiannya itu, kini yang satu hampir mati kepanasan, yang lainnya hampir mati kedinginan. Mereka tidak berani lagi mengharap hadiah dari Li Tiang-hong, asal tidak mampus saja sudah patut bersyukur.

Maka tanpa berjanji satu sama lain, baik Sin-bok Hweshio maupun Lam-kiong Siang yang merasa sudah tidak ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran mereka, segera berloncatan mundur dan kabur sipat kuping ke kaki gunung. Menolehpun tidak berani lagi. Dan keselamatan Mo Wan-seng yang masih berada di halaman gubuk itupun bahkan tidak digubris lagi.

Alangkah terkejutnya si Serigala Taring Besi itu melihat dirinya ditinggal kabur begitu saja oleh gurunya dan sahabatnya itu. Maka tanpa pikir panjang lagi Mo Wan-seng juga meloncat keluar gelanggang, dan karena takutnya ia langsung menggulingkan dirinya begitu saja ke bawah gunung, seperti sebutir batu. Rupanya ia sadar tidak mungkin menyamai kecepatan lari gurunya dan Sin-bok Hweshio.

Maka jalan yang terbaik ialah menggulingkan dirinya saja. Meskipun tubuhnya kemudian babak-belur karena terkena batu-batu dan semak-semak berduri, namun ia berhasil tiba di kaki gunung dengan nyawa utuh. Tapi matanya berkunang-kunang dan perutnya mual bukan main, karena harus bergulingan sekian lama.

Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong sebenarnya hendak mengejar untuk membekuk kedua orang yang mereka anggap sebagai pentolan pengacau itu, namun mereka batal mengejar ketika tiba-tiba saja di tempat itu muncul seorang tua. Seorang tua bertubuh sedang, rambut dan jenggotnya yang panjang itu sudah putih semuanya, namun mukanya masih kemerah-merahan, dan cara munculnyapun sangat mengejutkan. Muncul begitu saja seperti sesosok hantu, entah dari mana tahu-tahu sudah berada di situ.

"Aku mendengar ada ribut-ribut, ada apa?" tanya orang tua itu.

Begitu melihat orang tua itu, Tong Lam-hou segera membungkuk dengan hormatnya sambil menjawab, "Suhu, maafkan keributan ini telah mengganggu istirahat Suhu. Orang tua yang berpedang tadi datang karena ingin membalas kan kematian kedua orang muridnya. Beruntung aku dapat mengusirnya."

Sementara itu, ketika Pakkiong Liong mendengar Tong Lam-hou memanggil orang tua itu sebagai Suhu, maka tahulah Pakkiong Liong bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang tokoh yang sudah terkenal sejak puluhan tahun lalu. Ang Hoan yang berjulukan Tiam-jong-lo-sia (Sesat Tua dari Tiam-jong-san). Maka Pakkiong Liong-pun memberi hormat sambil menyapa, "Salamku untuk Ang Lo-eng-hiong (Pendekar Tua she Ang)."

Ang Hoan hanya menganggukkan kepalanya sedikit, sambil mengisap pipa cangklongnya dalam-dalam. "Kau murid dari kuil Thian-liong-si di Tibet?" tanyanya kepada Pakkiong Liong.

"Benar Lo-eng-hiong," sahut Pakkiong-liong dengan sopan. "guruku adalah Hoat-beng Lama."

Kembali kepala Ang Hoan terangguk angguk, "Pantas. Hwe-liong-sin-kang yang kau tunjukkan tadi sudah sampai tingkat delapan, tinggal setingkat lagi untuk mencapai tingkat tertinggi. Jika pulang nanti ke Tibet, sampaikan salamku untuk Hoat-beng Lama. Meskipun tempat tinggalku jauh letaknya dari Tibet, namun aku sudah mendengar namanya yang besar dan kukagumi."

"Akan kusampaikan salam Lo-eng-hiong. Ia sering bercerita kepadaku siapa tokoh nomor satu di Tiong-goan untuk tigapuluh tahun terakhir ini."

Ang Hoan tertawa lebar sehingga terlihat giginya yang masih utuh sebagian besar, namun berwarna kehitam-hitaman karena sering mengisap tembakau itu. Katanya, "Baiklah aku akan kembali tidur setelah tadi kepulasan tidurku terganggu oleh orang-orang tak tahu adat itu. Aku senang bahwa kalian anak-anak muda saling bersahabat tanpa membedakan suku bangsa, kalian akan mendapat banyak kemajuan kelak. Terutama untuk muridku si A-hou. Jika kau terus berdiam di gunung ini maka kau akan menjadi katak dalam tempurung, dan ilmu yang kau pelajari selama inipun tidak berguna sedikitpun bagi umat manusia. Paham?"

"Aku mengerti, Suhu," sahut Tong lam-hou. Diam-diam ia menafsirkan ucapan gurunya itu sebagai "isyarat lampu hijau" bahwa gurunya tidak keberatan ia bersahabat dengan orang Manchu, asalkan segala perbuatannya itu membawa manfaat bagi orang banyak.

"Bagus kalau kau mengerti. Orang-orang picik pandangan berpendapat bahwa yang memimpin negara haruslah keturunan Cu Goan-ciang, tetapi biarpun darah keturunannya sah, kalau tidak becus lantas mau apa? Ayahmu sendiri, A-hou, dulu adalah seorang yang menentang kesewenang-wenangan Kaisar Cong-ceng sehingga dia mendirikan Hwe-liong-pang..."

Dada Pakkiong Liong berdesir mendengar ucapan Ang Hoan tentang siapa ayah Tong Lam-hou itu. Pikirnya, "Jadi Tong Lam-hou ini adalah anak si pendiri Hwe-liong-pang yang terkenal itu. Saat ini orang-orang Hwe-liong-pang masih menentang pemerintahan Manchu, jika aku berhasil menarik Tong Lam-hou ke pihakku, mungkin bisa melunakkan sikap orang-orang Hwe-liong-pang terhadap pihak pemerintah..."

Namun Pakkiong Liong hanya memendam saja rencananya itu dalam-dalam dan di pasangnya kupingnya baik-baik untuk mendengarkan ucapan Guru Tong Lam-Hou lebih jauh.

"...dan kau sebagai anaknya harus meneruskan perjuangan ayahmu. Rakyat tidak akan menjadi lebih baik nasibnya apabila keluarga Cu kembali ke singgasana, paling-paling hanya mengulangi jaman kebobrokkan seperti masa pemerintahan Cong-ceng dulu.”

"Jadi, siapakah yang harus aku dukung, Suhu?"

"Yang harus kau dukung adalah pemerintahan yang sanggup mengendalikan negeri ini dengan baik, dan menjaga persatuan sehingga menjadi negeri yang besar. Aku mendengar bahwa mahluk-mahluk aneh berkulit putih dan berambut kuning sudah mulai bergentayangan di lautan wilayah kita dengan kapal-kapal mereka yang bermeriam.

"Mereka sudah punya pangkalan di semenanjung di sebelah selatan Campa untuk kapal-kapal mereka, dan sudah bentrok dengan raja di kepulauan selatan yang ingin mempertahankan wilayahnya. Tidak lama lagi mereka tentu akan mendarat ke pantai kita dengan muka manis seorang pedagang, namun sambil menodongkan senjata-senjata mereka. Maka negeri ini harus kuat dulu, tidak usah mempersoalkan orang mana yang memegang pemerintahan.”

Tong Lam-hou tahu, meskipun usia gurunya itu sudah hampir seratus tahun, tapi masih sering berkelana, kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Sekali-sekali ia mengelilingi daratan Cina, di lain saat ia berjalan ke selatan untuk melihat-lihat negeri Campa dan Malaka sampai ke ujungnya yang dibatasi oleh lautan. Lalu pernah pula berjalan terus ke barat sampai ke India dan Persia. Gurunya juga punya pengetahuan sangat luas karena dapat berbicara beberapa bahasa dan pernah melihat gaya ilmu silat dari bangsa-bangsa asing yang dikunjunginya.

Setelah memberi beberapa petunjuk kepada muridnya dan Pakkiong Liong, maka Ang Hoan berkata, "Sudahlah. Aku mau meneruskan tidurku yang tadi terganggu oleh keributan ini. Dan jika kau pergi, A-hou, tidak usah kau kuatirkan ibumu. Aku akan selalu muncul jika ada keributan, bukankah gubukku tidak jauh dari sini?"

"Terima kasih, Suhu," sahut Tong Lam-hou dengan hati lega.

Setelah Ang Hoan pergi, maka mereka bertigapun bercakap-cakap sebentar membicarakan pertempuran tadi, dan juga membicarakan perjalanan mereka besok yang akan menyerbu sarang Li Tiang-hong berdua. Pakkiong Liong masih tetap ingat tugas yang dibebankan oleh Peng-po-siang-si (Menteri Perang ketika ia berangkat dari Ibukota Kerajaan tangkap Pangeran Cu Hin-yang hidup atau mati. Kebetulan sekarang ia mendapat bantuan tenaga seorang Tong Lam-hou yang ilmunya tidak kalah dari Pakkiong Liong sendiri.

Sedang tujuan Tong Lam-hou ialah ingin membebaskan rakyat Jit-siong-tin sama sekali dari pemerasan orang-orang anggauta "pembebasan tanah air", untuk itu harus pemimpin-pemimpinnya yang ditangkap, bukan cura kaki tangan rendahan macam Hong Lotoa dan teman-temannya. Dengan demiKian, meskipun pedorongnya agak berbeda, namun kebetulan bisa berjalan bersama.

"Sudah, jangan ngobrol saja," kata ibu Tong Lam-hou ketika hari telah larut malam. "Kalian harus tidur agar besok pagi bangun dengan tenaga yang segar. Tapi di dapur masih ada minuman hangat untuk kalian."

"Baiklah, bibi, kami akan segera tidur. Pembicaraanku dengan A-hou hampir selesai," kata Pakkiong Liong. Lalu tanyanya kepada Tong Lam-hou, "Jadi kita belum punya petunjuk sama sekali di manakah letak sarang Li Tiang-hong itu?"

"Belum," sahut Tong Lam-hou. "Mungkin Hong Lotoa tahu tetapi ia sudah diusir dari Jit-siong-tin dan kita tidak tahu di mana dia sekarang. Tetapi barangkali kita dapat mencari keterangan dari orang-orang Jit-siong-tin, mungkin ada yang tahu."

"Jadi besok kita harus ke Jit-siong-tin lebih dulu?"

"Begitulah."

Setelah menetapkan rencana, maka merekapun naik ke pembaringan untuk tidur. Tong Lam-hou agak gelisah tidurnya, maklumlah ia besok akan melakukan sesuatu perbuatan yarg dianggapnya cukup luar biasa. Selama ini ia tidak pernah berkelahi, dari tidak pernah pergi lebih jauh dari Jit-siong-tin, namun pertengkarannya dengan Kun-lun-sam-liong ternyata telah menyeretnya ke dalam suatu persolan yang akan memberikan pengalaman-pengalaman baru kepadanya.

Ia bukan saja akan, pergi ke suatu tempat yang belum diketahuinya, ia bahkan juga akan berkelahi dengan para pemimpin dari "gerakan pembebasan tanah air" yang belum diketahui entah seberapa tinggi ilmunya. Tapi Tong Lam-hou tidak takut. Kemenangannnya atas Kun-lun-sam-long dan bahkan atas guru mereka, Lam-kiong Siang, telah menambah tebal rasa percaya diri sendirinya.

Dalam umurnya yang hampir duapuluh tiga tahun itu ia belum pernah berkelahi satu kalipun, kecuali berlatih bersama gurunya, namun hari ini ia telah dua kali berkelahi dan dua kali menang. Tentu saja hal itu membanggakan bagi jiwa mudanya, apalagi kalau mengingat orang-orang yang dikalahkannya itu adalah orang-orang yang terkenal di dunia persilatan.

Hampir setengah malam Tong Lam-hou tak dapat memejamkan matanya karena pikirannya yang bekerja terus, namun akhirnya ia pulas juga. Dan dalam tidurnyapun ia berganti-ganti mendapat mimpi baik dan buruk. Kadang-kadang ia mimpi berpakaian seperti seorang panglima perang seperti dalam gambar-gambar buku sejarah, memimpin pasukan yang besar untuk mengalahkan musuhnya, alangkah bangganya melihat bendera yang berkibar-kibar di atas kepalanya. Lalu rasanya ia menaiki seekor kuda yang gagah masuk ke desa Jit-siong-tin, disambut oleh seluruh penduduk dengan sorakan-sorakan kekaguman dan kibaran bendera-bendera.

Tapi kenapa tiba-tiba wajah orang-orang Jit-siong-tin itu menjadi ketakutan, berlari-lari kacau-balau sambil berteriak-teriak panik, rumah-rumah terbakar, orang-orang tak dikenal membabati orang-orang Jit-si-ong-tin seperti membabati rumput saja. Tong Lam-hou hendak berteriak, tapi tak ada suara yang keluar, hendak menyerbu orang-orang jahat itu, namun kakinya seolah melekat d.i tanah dan tak bisa lepas. Ia hanya m-onta-ron-ta, "Jangan! Jangan bunuh mereka! Gila! Gila! Biadab!"

Ia merasa ada yang menegangi tangannya, namun terus meronta, dan sayup-sayup ia mendengar suara yang manggil namanya yang makin lama semakin lama semakin jelas, "A-hou!A-hou!”

Ketika akhirnya ia merasa tenang kembali dan sadar dari tidurnya dengan sebuah sentakan kaget, ia tahu yang memegangi tangannya itu adalah Pakkiong Liong. Dan ibunya rupanya juga sudah terbangun oleh teriakan-teriakan Tong lam-hou ketika bermimpi tadi.

"Kau agaknya bermimpi buruk, A-hou," kata Pakkiong Liong yang berjongkok di dekat tikar tempat tidurnya disodorkannya semangkuk air dingin Kehadapan Tong Lam-hou sambil berkata, "Minumlah air. Akan menghilangkan kekagetanmu."

Tong Lam-hou bangkit duduk, dirasanya bajunya sudah basah oleh keringat dingin karena mimpinya yang menegangkan tadi. Diterimanya mangkuk air dingin dari tangan Pakkiong Liong dan ditenggaknya habis, sehingga ketenangannyapun perlahan-lahan pulih kembali.

Kemudian Tong Lam-hou tertawa sambil berkata, "Maaf, mengejutkan ibu dan A-liong. Tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa lagi, kalian bisa melanjutkan tidur kalian. Aku hanya terlalu tegang saja, terlalu memikirkan perjalananku besok pagi."

Ibu Tong Lam-hou-pun bisa tersenyum setelah melihat ketenangan anaknya pulih kembali. "Ganti bajumu yang basah keringat itu, nanti kau sakit," katanya. "Kalian tidurlah kembali. Fajar masih agak lama datangnya."

Masing-masing kembali ke tempat tidurnya masing-masing, dan suasana gubuk itu menjadi sunyi kental. Hanya terdengar desis napas halus dari ketiga penghuninya. Namun Tong Lam-hou tidak berani lagi tidur terlalu pulas, takut mimpinya yang menakutkan itu akan datang lagi. Meskipun ia menganggapnya hanya sebagai "kembangnya tldur, namun setiap kali mengingat akan Jit-siong-tin maka hatinyapun berdebar aneh, suatu firasatkah itu?

Akhirnya fajar datang juga, kokok ayam hutan bersahut-sahutan di gunung itu, kicau burung terdengar di mana-mana. Seisi rumah segera mempersiapkan dirinya. Ibu Tong Lam-hou sudah menyiapkan makanan bagi anaknya dan sahabatnya yang sebentar lagi akan menunaikan suatu tugas berat. Sebagai seorang ibu, ada juga kecemasannyakan nasib anaknya, namun iapun sadar bahwa anaknya tidak akan dapat berkembang menjadi pribadi yang mandiri apabila tidak pernah mendapat tantangan apapun dalam hidupnya. Tantangan hidup mendewasakan seseorang.

Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou membersihkan diri dengan air pegunungan yang segar, lalu mengisi perut mereka sekenyang-kenyangnya. Pakaian yang mereka pakai adalah pakaian anak-desa yang amat sederhana, bahkan tidak membawa senjata sepotongpun, agar tidak menarik perhatian musuh.

Setelah semuanya siap, merekapun berpamitan kepada ibu Tong Lam-hou, lalu melangkah ke arah timur, menyongsong cahaya matahari yang hangat. Seperti seharusnya anak-anak muda juga harus melangkah tegap menyongsong matahari cita-cita mereka. Ibu Tong Lam-hou memandang langkah-langkah anaknya dengan perasaan haru dan bangga, ingatannya melayang kepada seorang anak muda juga kira-kira duapuluh lima tahun yang lalu, ketika ia juga masih seorang gadis.

Seorang laki-laki muda yang menyongsong badai kehidupan dengan dadanya yang kekar, meskipun kemudian ia gugur namun namanya tetap terpateri di hatinya. Dan kini memandang langkah-langkah puteranya itu, rasanya ia melihat kembali wujud dari laki-laki itu yang menjelma kembali dalam raga Tong Lam-hou, karena Tong Lam-hou memang tetesan darah dari laki-laki itu.

"Selamat berjuang, Tong Wi-siang muda," kata ibu Tong Lam-hou dalam hatinya. Doa seorang ibu yang mengantarkan anaknya membuka lembaran baru hidupnya.

* * * * * * *

“SESUAI rencana, kita akan ke Jit-siong-tin lebih dulu untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang di mana letak sarang pengacau” kata Pakkiong Liong memecah kesunyi "Meskipun hasilnya belum tentu memuaskan kita."

"Ya. Dan bagaimana kalau kita gunakan gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) supaya cepat sampai ke Jit-siong-tin? Mumpung jalanan masih sepi?" usul Tong Lam-hou. Ternyata anak muda itu belum juga dapat menghilangkan kegelisahannya akibat pengaruh mimpinya tadi malam. Oleh dorongan kegelisahannya itulah maka ia ingin cepat-cepat melihat desa itu, rasanya seperti meninggalkan seorang anak kecil bermain-main di pinggir sumur.

"Baik, kita gunakan ginkang, Hitung-hitung latihan di pagi yang dingin ini."

Maka kedua anakmuda itu pun kemudian berlari-lari menuruni lereng gunung. Makin lama makin cepat, sehingga kaki mereka seolah sudah tidak menapak tanah lagi dan meluncur begitu saja. Dengan cara demikian, maka tidak sampai sesulutan dupa mereka sudah tiba di sebuah bukit yang di baliknya terletak desa yang mereka tuju. Sekali belokan dikaki bukit itu harus mereka lalui, dari pintu gerbang selatan Jit-siong-tin akan nampak di depan mata.

Namun di kaki bukit itu tiba-tiba Tong Lam-hou menghentikan langkahnya dan berdiri kaku sambil menatap ke satu arah. Pakkiong Liong juga menghentikan luncuran tubuhnya, dan tanpa bertanya iapun ikut menatap ke arah yang ditatap oleh Tong Lam-hou itu. Dan iapun ikut melihat dengan tegang ke arah segumpal asap hitam yang tipis mengepul ke udara.

"Asap itu dari arah Jit-siong-tin!" seru Tong Lam-hou dengan gemetar. Dan seperti seekor burung saja tubuhnya tiba-tiba melesat kembali ke depan dengan kecepatan tinggi, Pakkiong Liong ikut saja di belakangnya.

Begitu melewati tikungan di kaki bukit dan melihat gapura selatan Jit-siong-tin yang masih berdiri megah itu, maka lemaslah kaki Tong Lam-hou. Gapura itu masih ada memang, dan bendera Jit-goat-ki yang berkibar kemarin sekarang juga masih berkibar-kibar terhembus angin pagi. Namun Jit-siong-tin sendiri sudah berubah wujudnya, kemarin masih desa yang ramai maka sekarang sudah berujud puing-puing hitam yang masih berasap.

Orang-orang yang kemarin masih bercakap-cakap dengan Tong Lam-hou, sekarang hanyalah mayat-mayat hangus yang malang-melintang di seluruh desa. Di jalan-jalan, di tengah reruntuhan, di selokan. Terbantai habis tanpa sisa.

Tong Lam-hou berdiri di tengah kehancuran itu seperti seorang yang kehilangan sukma. Mimpinya tadi malam ternyata bukan sekedar "kembangnya tidur" melainkan firasat, menilik bekas-bekasnya, maka agaknya kemusnahan ini dilakukan oleh sepasukan manusia, bukan cuma satu atau beberapa orang saja. Bekas-bekas kaki kuda juga bertebaran di mana-mana, berjumlah puluhan.

Pakkiong Liong yang berdiri mendampingi Tong Lam-hou itu pun diam-diam merasa ikut bersalah juga atas musibah itu. Kemarin ia telah menjanjikan kepada orang-orang Jit-siong-tin bahwa pemerintah Manchu akan melindungi jika para pengikut dinasti Beng membalas dendam. Namun ternyata selagi Pakkiong Liong tidur tadi malam, maka di desa ini telah terjadi pembantaian yang mengerikan. Sekarang, apa lagi yang mau dilindungi?

Sesaat kedua orang itu berdiri terlongong-longong tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tanpa semangat mereka melangkah jalan-jalan di desa itu yang dipenuhi mayat-mayat di segala sudutnya. Masih ada yang bisa dikenali oleh Tong Lam-hou sebagai teman-temannya, kenalan-kenalannya, orang-orang yang sering membeli sayurannya, namun sebagian besar mayat-mayat itu tak dapat dikenali lagi karena sudah hangus terbakar. Di angkasa, burung-burung pemakan bangkai sudah terbang berkelompok-kelompok, siap berpesta pora, bahkan beberapa ekor sudah hinggap di reruntuhan.

Tiba-tiba Tong Lam-hou melihat sesosok mayat yang jari telunjuknya seolah sedang menggores tanah. Mayat itu adalah mayat paman Lo yang kemarin memesan dendeng daging kepada Tong Lam hou, ia mati dalam keadaan tertelungkup, sementara jari, tangannya menggores tanah menuliskan huruf "Hong Lo..." Di punggung mayat ada luka bekas bacokan yang panjang dan dalam.

"Pasti ia akan menuliskan Hong Lotoa!" teriak Tong Lam-hou dengan geram. Tiba-tiba saja Tong Lam-hou seperti orang kesurupan telah berteriak-teriak dengan kalapnya, "Hong Lotoa! Hong Lotoa! Menyesal aku kemarin tidak membunuhmu sama sekali! Tapi aku bersumpah akan mencincangmu, mengulitimu, mematahkan tulang-tulangmu satu persatu!"

Pakkiong Liong membiarkan saja Tong Lam-hou berteriak-teriak sambil berlari-lari seperti itu, sebab ia memahami bahwa goncangan perasaan sahabatnya itu memerlukan pelampiasan sedikit. Itu lebih baik daripada jika ia memendam saja perasaannya, namun kemudian meledak dalam ujud perbuatan-perbuatan yang tak terkendali. Bagi Tong Lam-hou, orang-orang Jit-siong-tin adalah sahabat-sahabat baiknya sejak ia dilahirkan, dan kini semua sahabat-sahabat baiknya itu dihabiskan dalam waktu semalam saja, sudah wajar kalau Tong Lam-hou sangat terpukul.

Bahkan Pakkiong Liong sebagai seorang Panglima yang sudah berulang-kali melihat akibat keganasan peperangan, juga masih merasa ngeri melihat kehancuran desa Jit-siong-tin itu. Di peperangan, yang terbunuh adalah lelaki-lelaki dewasa bersenjata yang lebih dulu melakukan perlawanan, namun di sini, yang terbunuh adalah orang-orang desa yang tak dapat bermain senjata, perempuan-perempuan yang tak berdaya, bahkan anak-anak kecil yang sama sekali belum tahu apa-apa.

Sementara itu Tong Lam-hou telah menjatuhkan diri duduk di tanah, lalu menangis meraung-raung seperti anak kecil. Bahkan ketika ia masih kecil belum pernah ia menangis sesedih ini. Pakkiong Liong berjongkok di sebelahnya sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu tanpa berkata sepatah kata-pun. Dibiarkannya sampai tangis Tong Lam-hou reda dengan sendirinya, agar dapat mengurangi tekanan perasaannya.

Setelah tangisnya reda, Tong Lam-hou memang merasakan hatinya lebih ringan, tetapi kejadian hebat yang menimpa Jit-siong-tin itu bagaimanapun juga tidak akan dilupakannya. Dengan suara yang masih terisak-isak ia berkata, "A-liong, aku bukan manusia kalau sampai tidak menumpas orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah Air itu. Aku yang bersalah da]am hal ini. Kemarin orang-orang Jit-siong-tin sudah menganjurkan agar Hong Lotoa dibunuh saja, tetapi aku salah melepaskannya, dan inilah akibatnya. Inilah kesalahanku!" Berbicara sampai disini, kembali air mata Tong Lam-hou mengalir lagi, meskipun kali ini tidak meraung-raung seperti tadi lagi.

Pakkiong Liong juga merasakan matanya menjadi basah. Sahutnya, "Kuasai dirimu, A-hou. Kita memang akan menangkap pengacau-pengacau itu untuk dihukum berat."

Semakin lama memang Tong lam-hou semakin tenang, meskipun sikapnya yang tadinya periang itu telah berubah menjadi murung. Matanya yang tadinya bersinar lembut dan hangat penuh persahabatan kepada siapa saja, kini telah menjadi tajam penuh kemarahan dan kegarangan, mencerminkan perubahan jiwanya. Pakkiong Liong diam-diam menarik napas panjang melihat perubahan diri sahabatnya itu, namun ia mengharap mudah-mudahan kelak Tong Lam-hou akan kembali kepada pribadinya yang hangat dan lembut itu lagi.

Pakkiong Liong tidak suka bersahabat dengan seorang pendendam dan pembunuh, meskipun Pakkiong Liong sendiri sering menghilangkan nyawa orang di peperangan, namun semuanya itu dilakukan dengan sangat terpaksa demi tugasnya, dan dengan hati yang pedih. Tidak benarlah desas-desus yang mengatakan semua orang Manchu berhati kejam, berhati binatang, membunuhi orang Han dengan semena-mena. Kini di Jit-siong-tin yang membunuhi penduduk desa malahan orang Han sendiri.

Ketika Tong Lam-hou melihat burung bangkai yang beterbangan di udara, bahkan beberapa kelompok telah mulai turun untuk mendekati mayat-mayat yang betebaran itu. Tiba-tiba Tong Lain hou meloncat bangun sambil berkata, "Burung-burung keparat itu tidak boleh memakan tubuh-tubuh sahabat-sahabatku. Aku akan menguburkan mereka semua!"

Pakkiong Liong mengerutkan alisnya. Menguburkan mayat yang jumlahnya seratus lebih itu tentu akan makan waktu lama, meskipun ia dan Tong Lam-hou bertubuh kuat, namun bila menghabiskan waktu sehari lebih. Tetapi mengingat keadaan Tong Lam-hou yang sedang berpikiran keruh seperti itu, tidak bijaksana mencegah kemauannya. Maka Pakkiong Liong-pun berkata, "Baik. Aku akan membantumu."

"Di rumah paman Cang si tukang besi itu tentu masih ada cangkul dan sekop, biar kuambil dua biji,'' kata Tong Lam-hou sambil melangkah pergi. "A-liong, kalau kau tidak merasa jijik dan ingin membantuku, coba kau hitung ada berapa mayat di seluruh desa ini."

"Baik," sahut pakkiong Liong singkat.

Maka mulailah kedua sahabat itu bekerja. Hasil penghitungan Pakkiong Liong menunjukkan ada seratus tigapuluh empat mayat, berarti kedua anakmuda itu harus membuat seratus tiga puluh empat lubang. Sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu pekerjaan itu tidak akan membuat mereka lelah, bahkan dua kali lipatpun masih sanggup mereka lakukan, namun jelas perjalanan mereka akan tertunda sehari.

“Lubangnya tidak usah terlalu dalam, asal pantas saja," kata Tong Lam-hou sambil mengayunkan cangkulnya. "Asal jangan sampai bisa dikais-kais oleh kawanan serigala dan ditarik keluar dari lubang."

Demikianlah mereka bekerja, sampai matahari terbenam di sebelah barat barulah pekerjaan itu selesai. Kini di tengah-tengah desa Jit-siong-tin itu, di tempat yang tadinya merupakan jalan raya, berderet-deretlah ratusan gundukan tanah berisi mayat-mayat penduduk Jit-siong-tin. Burung-burung pemakan bangkai itupun beterbangan pergi dengan kecewa. Namun satu dua diantara hewan-hewan itu tadi sempat juga menikmati daging secuwil atau dua cuwil.

Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang bermandikan keringat dan pakaian berbau mayat itu, segera membersihkan diri mereka di sebuah sungai yang jernih di dekat desa itu. Dan pakaian yang mereka cuci itu terpaksa mereka tunggu sampai kering supaya dapat dipakai kembali, selama dalam perjalanan itu mereka memang tidak membawa buntalan pakaian yang mereka anggap akan merepotkan saja. Matahari masih akan bersinar sesaat lagi sebelum tenggelam sama sekali, cukup untuk mengeringkan pakaian mereka.

Sambil berendam telanjang dalam air, mereka bercakap-cakap. Jika tadinya Pakkiong Liong yang lebih bersemangat dalam mencari sarang Li Tiang hong, maka sekarang Tong Lam-hou yang lebih bernafsu untuk segera menemukan sarang Li Tiang-hong. Kata Tong Lam-hou, "Tadinya kita punya rencana untuk bertanya kepada orang-orang Jit-siong-tin, tapi mereka sudah terbunuh semua, jadi bagaimana sekarang?"

Sambil menciduk dengan telapak tangannya dan menyiramkan ke kepalanya sendiri, Pakkiong Liong menyahut, "Tapi para penyerbu itu meninggalkan jejak-jejak kaki kuda mereka di tanah, kita dapat mengikutinya dan mudah-mudahan menemukan sarang mereka."

"Tapi bagaimana kalau tiba-tiba turun hujan dan jejak-jejak itu terhapus?" tanya Tong Lam-hou. "Sekarang musim hujan."

"Itupun tidak sulit bagi kita. Ketika kulihat jejak-jejak kaki kuda mereka, kuperkirakan mereka berjumlah tigapuluh sampai empatpuluh orang, sebuah rombongan berkuda yang cukup besar. Jadi kalau kita tanyakan kepada orang-orang di sepanjang jalan tentu mereka akan bisa menunjukkan arahnya. Rombongan orang berkuda berjumlah sebesar itu tentu akan cukup menarik perhatian orang."

Sementara itu, matahari telah tenggelam di sebelah barat, dan pakaian yang mereka jemur di bebatuan di pinggir sungai kecil yang bening itupun sudah kering. Maka kedua orang itu segera keluar dari dalam air dan memakai kembali pakaian mereka.

"Kita akan bermalam di sini, besok baru kita lacak jejak mereka," kata Pakkiong Liong. Untuk makanan mereka, mereka mencabut beberapa tumbuh-tumbuhan umbi-umbian yang memang ditanam oleh orang-orang Jit-siong-tin di sekitar desa mereka.

Tengah mereka makan sambil menunggu datangnya malam, tiba-tiba telinga mereka yang tajam menangkap ada derap kaki kuda dari arah utara menuju ke desa itu. Tong Lam-hou segera meloncat bangun dengan muka merah padam, serunya, "Bagus! Mereka datang lagi untuk mengantarkan nyawa!"

Tapi Pakkiong Liong cepat menyambar tangan Tong Lam-hou sambil berkata, "Jangan terburu-buru, jalan ini bukan jalan milik mereka, siapa saja bisa lewat di sini. Kita lihat dulu, baru kita putuskan tindakan kita."

Tong Lam-hou merasa ucapan sahabatnya itu cukup beralasan, maka ia menurut saja ketika Pakkiong Liong menarik tangannya untuk diajak bersembunyi di pinggir jalan. Penunggang-penunggang kuda yang mendekati daerah itu ternyata berjumlah kira-kira tujuh orang, semuanya menaiki kuda yang tegar dan memakai tudung bambu untuk melindungi kepala mereka dari panas matahari, meskipun saat itu hari telah sore.

Wajah dan pakaian mereka yang terlapis debu menandakan bahwa mereka baru saja melakukan perjalanan yang cukup jauh. Di antara mereka terdapat seorang perempuan yang berusia kira-kira empat puluh tahun namun masih cantik dan bertubuh ramping, bersikap gagah seperti kaum pendekar. Juga ada seorang berjubah pendeta dan seorang lagi berjubah imam agama To.

Ketika mereka melihat keadaan desa Jit-siong-tin yang telah menjadi puing itu, mereka kelihatan terkejut dan serentak menghentikan kuda-kuda mereka. Orang yang paling depan adalah lelaki gagah berpakaian serba putih, usianya kira-kira empatpuluh dua atau empatpuluh tiga tahun, tegap dan menyandang pedang di pinggangnya. Ia memperdengarkan seruan kagetnya,

"Hei Lihat, desa ini telah mengalami bencana! Beberapa bulan yang lalu ketika aku lewat tempat ini, desa ini masih merupakan desa yang makmur..."

Si pendeta Buddha itu merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. sambil berkata dengan nada prihatin, "Omitohud! Pelaku dari pemusnahan desa ini sungguh-sungguh biadab dan tak berperi-kemanusiaan!”

"Pasti tentara Manchu!" kata seorang yang bermuka hitam dan bertubuh kekar, sambil mengepalkan tinjunya erat.

"Siapa lagi yang bisa berbuat sekeji ini selain orang-orang Manchu itu?"

Hati Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou di tempat persembunyiannya tergetar mendengar tuduhan terhadap tentara Manchu itu. Tong Lam-hou sudah hendak meloncat keluar untuk menerangkan hal yang sebenarnya kepada orang-orang itu, namun Pakkiong Liong cepat-cepat menekan pundaknya. Bisiknya,

"Tenangkan dirimu. Dan atur napas dan gerak gerikmu baik-baik agar persembunyian kita tidak mereka ketahui. Mereka orang-orang berilmu tinggi yang berpendengaran tajam, aku kenal mereka sebagian besar."

"Tapi mereka menuduh pasukan Manchu yang tidak bersalah," sahut Tong Lam-hou dengan berbisik pula. "Keenakan Li Tiang-hong dan teman-temannya kalau kejahatan mereka tidak diketahui oleh orang banyak."

"Sabarlah, aku sudah menemukan akal. Untuk sementara kita dengarkan dulu pembicaraan mereka."

"Siapakah mereka?"

"Nanti aku terangkan kepadamu."

Sementara itu, orang-orang berkuda itu tengah mencaci-maki dan mengutuk tentara Manchu yang mereka katakan biadab, berjantung hewan dan seba-gainya, yang membuat telinga Pakkiong Liong merah, namun ia tetap menahan diri. Kata si orang gagah yang berpakaian serba putih itu sambil menunjuk ke arah bendera Jit-goat-ki yang masih berkibar di gapura itu,

"Mungkin tentara Manchu menumpas desa ini karena desa ini berani mengibarkan bendera Kerajaan Beng itu!"

Sahut si pendeta Buddha, “Masuk akal juga pendapat Tong Taihiap (Pendekar she Tong) ini. Tapi sungguh keterlaluan, hanya karena sehelai bendera saja tentara Manchu telah sampai hati membasmi sebuah desa tanpa ampuni"

Di tempat persembunyiannya Tong lam-hou membatin, "Kiranya orang gagah berbaju putih itu memiliki she (nama marga) seperti aku,, yaitu marga Tong."

Dan si penunggang kuda yang bermuka hitam itu juga menggeram marah, "Padahal, belum tentu bendera itu dikibarkan oleh penduduk desa ini dengan suka-rela. Dulu pemerintah Kaisar Cong-ceng dibenci oleh rakyat, tidak mungkin sekarang rakyat malah mengibarkan bendera dinasti Beng. Yang mengibarkannya mungkin adalah cecunguk-cecunguk pengikut dinasti Beng yang kabarnya masih banyak berkeliaran di daerah ini, dan tindakan itu telah mencelakai penduduk seluruh desa."

"Ya, banyak orang celaka gara-gara bendera keparat itu!" dengus seorang penunggang kuda lainnya yang pakaiannya mirip orang Korea.

Lalu penunggang kuda yang berpakaian seperti orang Korea itu tiba-tiba meloncat dari pelana kudanya, langsung ke arah tiang bendera Itu. Sekali ia berputar di udara dan kemudian kakinya dengan derasnya menghantam tiang bendera itu sehingga patah menjadi dua, lalu tanpa menginjak tanah sedikitpun la telah berputar lagi di udara dan hinggap.

kembali di punggung kudanya dengan hebatnya. Dalam satu gerakan saja ia telah menunjukkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, sekaligus kerasnya tendangannya, yang mampu mematahkan tiang bendera yang terbuat dari kayu sebesar paha itu hanya dengan sekali tendang.

Orang-orang berkuda lainnya serentak berseru kagum. Si imam agama To mengangkat jempolnya sambil berseru, "Tidak percuma saudara Oh ini menyandang julukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan). Ilmu tendangan Tae-kyun dari Korea yang saudara tunjukkan tadi benar-benar luar biasa!"

Orang itu ternyata memang orang Korea, dan ilmu yang dipertunjukkannya tadi disebut Tae-kyun, seni menendang dari Korea, sejenis ilmu silat yang hampir sama tuanya dengan ilmu silat di Cina sendiri. Orang Cina sendiri menyebut silat Korea itu dengan sebutan Tong-jiu-tao atau seni tempur dari Timur. Di tempat sembunyiannya, Pakkiong Liong jadi teringat seorang perwira bawahannya yang berdarah Korea, Han Yong-kim namun tendangan Han Yong kim tidak semahir itu sebab ia lebih mengutamakan ilmu pedangnya.

Sementara pakkiong Liong sudah memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, namun dengan menyamar. Dijemputnya segenggam tanah untuk mengotori wajahnya dan tangannya sendiri, lalu setelah berpesan kepada Tong Lam-hou agar tetap dalam persembunyiannya maka Pakkiong Liong pun berjalan keluar dari semak-semak persembunyiannya. Sengaja langkahnya dibikin berat seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali, dan penampilannya saat itu memang seperti anak desa asli.

Suara langkah-langkah Pakkiong Liong itu telah menarik perhatian ke tujuh orang, penunggang kuda itu, sehingga mereka menoleh serentak ke arah suara itu. Namun mereka menarik napas lega setelah melihat yang datang itu cuma seorang anak desa yang dekil. Orang berpakaian serba putih yang bertampang gagah itu segera melambaikan tangannya kepada Pakkiong Liong sambil memanggil, "Saudara kecil, mendekatlah ke sini!"

Dengan sikap takut-takut seperti umumnya anak dari desa terpencil yang kedatangan orang asing, Pakkiong Liong mendekati orang itu. Langkahnya dibuat ragu-ragu, dan suaranya terdengar ketakutan, "A... ak... aku tidak bersalah, tuan-tuan. Aku benar-benar tidak bersalah, aku secara kebetulan saja melihat tuan-tuan dan mendekati karena tahu bahwa tuan-tuan orang-orang baik. Bukan orang-orang jahat seperti yang telah membakar desa ini..."

Orang berpakaian putih itu tersenyum. "Jangan takut, saudara kecil, kami memang bukan orang-orang yang membakar desa ini. Apakah kau tinggal di desa ini?"

Sahut Pakkiong Liong sambil menunjuk kearah selatan. "Bukan, tuan. Aku tinggal di desa sebelah selatan sana, namun sering pergi ke sini untuk berbelanja. Tadi pagi ketika aku dan kawan-kawanku datang kemari, ternyata desa ini sudah hancur."

"Yang menguburkan mayat-mayat itu siapa?”

"Aku dan penduduk desa sebelah selatan itu. Kami semua bekerja-sama menguburkan mayat-mayat teman-teman kami ini."

"Kapan terjadinya pembantaian ini?"

"Tadi malam, tuan."

"Kau melihat sendiri?"

Pakkiong Liong menggelengkan kepala. "Tidak, tuan.. Ketika orang-orang di desaku melihat ada api berkobar di desa ini, dan juga suara derap kuda serta teriakan-teriakan bengis, maka tak seorangpun dari desa kami yang berani datang ke sini untuk melihat apa yang terjadi. Bahkan keluar dari pintu rumah saja tidak berani."

Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "...dan keesokan harinya, barulah kami datang kemari beramai-ramai, hampir seluruh desa ikut semua. Dan inilah yang kami jumpai. Seluruh desa tertumpas habis.”

Para penunggang kuda itu mengangguk-anggukkan saja kepalanya mendengar ceritera Pakkiong Liong yang setengah benar setengah bohong itu. Namun kedengarannya ceritera "anak desa" itu memang masuk akal. "Saudara kecil, kau tahu siapa yang melakukan ini?" tanya orang berpakaian putih itu kepada Pakkiong Liong.

"Kami tidak melihat sendiri, tuan, namun kami dapat memperkirakan siapa yang berbuat ini."

"Siapa? Dan bagaimana kau dapat menduganya?"

"Yang melakukan adalah..." Pakkiong-Liong pura-pura ketakutan sebentar sambil memandang orang-orang berkuda itu dengan sikap kuatir.

Dan orang berpakaian putih itu berkata, "Jangan takut, katakan saja, saudara kecil..."

Masih dengan sikap takut-takut, Pakkiong Liong menjawab, "Yang melakukan adalah sekelompok orang-orang dari Gerakan Pembebasan Tanah Air, benderanya berwarna kuning bergambar bulatan merah dan bulan sabit berwarna putih."

"Bendera Jit-goat-ki!" hampir bersamaan ketujuh orang itu menyahut. "Jadi bukan tentara Manchu?"

"Bukan, tuan. Pangkalan tentara Manchu yang terdekat dari sini ialah di kota Kun-beng yang jaraknya duaratus li lebih dari sini, sedang daerah ini termasuk dalam pengaruh gerakan pembebasan itu. Tentara Manchu tidak pernah menginjak daerah ini.”

Penunggang kuda yang berwajah hitam itu nampak gemas sekali. Geramnya, "Bangsat ternyata ini perbuatan tentaranya Cong-ceng si raja busuk itu. Dulu ketika masih berkuasa mereka menindas rakyat, sekarang sudah jatuhpun masih menyengsarakan rakyat! Orang-orang macam itu masih juga tidak malu mengaku berjuang untuk rakyat Han? Huh! Yang benar, mereka itu berjuang hanya untuk kembali merebut singgasana, hanya ingin jadi Kaisar saja!"

Penunggang-penunggang kuda lainnya tidak ada yang menyahut, tetapi mereka nampaknya tidak menolak pendapat orang yang bermuka hitam itu. Mereka semuanya sudah berusia hampir setengah abad, mereka pernah mengalami jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng sehingga merekapun tahu betapa bobroknya orang-orang pemerintahan di jaman itu.

Lalu orang bermuka hitam itu bertanya kepada Pakkiong Liong, "Eh, saudara kecil, bagaimana kau tahu bahwa yang membakar desa ini adalah sisa tentara dinasti Beng, padahal kau tidak melihat sendiri?"

Sahut Pakkiong Liong, "Sehari sebelumnya, desa ini kedatangan beberapa anggauta Gerakan Pembebasan Tanah Air, katanya mereka mencari seorang mata-mata Manchu yang menyusup ke daerah ini. Karena penduduk desa menjawab tidak tahu, orang-orang Gerakan itu merasa tidak puas, dan terjadi perkelahian dengan seseorang pemuda penjual sayur. Dua di antara orang-orang Gerakan itu terbunuh, sisanya lalu diusir oleh penduduk desa ini, maka kemungkinan besar pada malam harinya orang-orang Gerakan Pembebasan Tanah Air itu datang kembali dengan teman-teman yang lebih banyak untuk membalas dendam kepada orang desa atas kematian dua orang teman mereka di desa ini!"

"Biadab!" geram orang bermuka hitam itu. "Terima kasih atas keteranganmu, saudara kecil. Tapi kami masih ada beberapa pertanyaan lagi."

"Pertanyaan apa tuan?"

"Apakah saudara kecil tahu kalau di sekitar daerah ini ada sekelompok orang yang menamakan diri Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api)?"

Pakkiong Liong terkesiap mendengar pertanyaan itu, teringatlah dia akan pertempuran di kuil terpencil itu, ketika orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Siau-lo-cia Ma Hiong telah ikut campur dalam pertempuran sehingga saat itu Pakkiong Liong gagal menangkap Pangeran Cu Hin-yang, meskipun sudah hampir berhasil. Sesaat ia menjadi bimbang harus menjawab bagaimana terhadap pertanyaan itu, namun kemudian ia memutuskan untuk menjawab secara samar-samar saja, sebab kalau ia menjawab "tidak tahu sama sekali" maka orang-orang berkuda itu tentu akan curiga.

Dengan berlagak tolol ia menjawab "Orang-orang Hwe-liong-pang? Orang-orang yang suka berpakaian hitam dan berikat kepala warna coklat itu?"

Wajah si muka hitam itu berseri seketika. "Benar!" sahutnya.

"Kau tahu di mana tempat mereka?"

Gelengan kepala Pakkiong Liong membuat orang-orang berkuda itu agak kecewa. Orang bermuka hitam itu menoleh kepada teman-teman seperjalanannya sambil menarik napas, "Kelihatannya kita harus bersusah-payah dalam menemukan persembunyian saudara Ma. Tetapi aku yakin ia berada di wilayah ini bersama dengan anak buahnya. Seorang anak buahku melaporkannya kepadaku dengan sangat yakin bahwa ia melihat saudara Ma di daerah ini."

Diam-diam Pakkiong Liong mencatat apa yang didengarnya itu. Orang-orang berkuda ini menyebut Siau-lo-cia Ma Hiong dengan sebutan akrab "saudara Ma", berarti sama-sama anggauta Hwe-liong-pang, atau paling tidak sama-sama pendukung perjuangan Li Cu-seng beberapa tahun yang lalu. Menurut pendengarannya Pakkiong Liong, meskipun sisa-sisa Hwe-liong-pang dan sisa-sisa dinasti Beng itu sama-sama menentang pemerintahan bangsa Manchu, namun antara kedua kelompok itu sendiri juga tidak akur.

Meskipun Pakkiong Liong pernah melihat sendiri bagaimana kedua kelompok itu bergabung ketika menentangnya di kuil terpencil itu, namun Pakkiong Liong memperkirakan bahwa tidak mudah menghapuskan permusuhan antara kedua kelompok itu begitu saja. Tiba-tiba timbullah akal Pakkiong Liong untuk lebih mempertajam permusuhan di antara kedua kelompok itu demi memperlemah mereka sendiri dan memperkuat pemerintahan Manchu.

Maka, dengan sikap tetap seperti anak desa yang tolol, ia berkata, "Memang aku tidak tahu persembunyian orang-orang baik budi dari Hwe-liong-pang itu. Tapi aku tahu beberapa hal tentang mereka. Mereka tidak akur dengan orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu. Kalau orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu sering memeras rakyat untuk bahan-bahan makanan, maka orang-orang Hwe-liong-pang itulah yang membela kami!"

Yang menunjukkan senang ketika mendengar Jawaban Pakkiong Liong itu adalah si orang bermuka hitam dan si orang Korea itu. Hampir bersamaan mereka tertawa berkakakan. kata si orang muka hitam itu, "Ha-ha-ha, saudara Ma masih saja setia dengan cita-cita Hwe-liong-pang untuk selalu berpihak kepada rakyat kecil yang lemah! Bagus! Benar-benar saudaraku yang baik! Di samping bangsat-bangsat Manchu, maka bangsat-bangsat pengikut dinasti Beng itupun memang perlu sering-sering saja diberi hajaran."

Orang Korea itupun tertawa, katanya, "Nanti kalau aku sudah bertemu dengan saudara Ma, akan kusuguhkan tiga cawan arak kepadanya."

"Nah, kita agaknya harus buru-buru mencari tempat menginap," kata orang bertampang gagah yang berpakaian serba putih itu, sambil menunjuk langit yang semakin gelap, meskipun ada sisa-sisa cahaya mentari di ufuk barat.

Maka rombongan orang-orang berkuda itupun segera berangkat, setelah mengucapkan selamat berpisah dengan pakkiong Liong yang mereka panggil "saudara kecil". Meskipun sikap mereka itu rata-rata garang, namun terhadap "anak desa" seperti Pakkiong liong mereka dapat bersikap ranah juga.

Setelah orang-orang berkuda itu menjauh, Pakkiong Liong cepat membersihkan wajahnya dari tanah yang tadi sengaja diusapkan kemukanya untuk menyamarkan wajahnya itu. Katanya ke arah persebunyian Tong Lam-hou, "A-hou, kau boleh keluar sekarang!"

Tong Lam-hou meloncat keluar dari persembunyiannya, dan wajahnya yang murung sejak pagi tadi, kini nampak agak cerah. Begitu meloncat keluar, ia langsung berseru, "A-liong, nampaknya orang-orang berkuda tadi adalah teman-teman mendiang ayahku! Ayahku adalah orang Hwe-liong-pang, menurut Guruku dan ibuku, dan merekapun agaknya orang-orang Hwe-liong-pang! Tetapi aku tadi tidak berani keluar dari persembunyian karena kuatir merusak rencanamu!"

Jantung Pakkiong Liong berdegup keras, suatu hal yang ditakutinya ialah jika sahabatnya ini sampai bergabung dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang juga menentang pemerintahan Manchu itu. Jika itu sampai terjadi, berarti ia akan berdiri berseberangan dengan sahabatnya itu sebagai musuh satu sama lain. Itu tidak dikehendaki oleh Pakkiong Liong. Sesaat ia menjadi kebingungan bagaimana harus menanggapi sikap Tong Lam-hou itu tanpa menyakiti hatinya, ia berpikir sejenak dan akahimya menjawab,

"Benar, mereka teman-teman ayahmu. Mereka orang-orang baik semuanya."

"Jika mereka kau anggap orang-orang baik, kenapa tadi kau menemuinya dengan menyamarkan wajahmu, A-liong? Tadi kau juga bilang kenal mereka semuanya, maukah kau menceritakan kepadaku?"

"Tentu. Tapi sambil bercerita, mari kita tunggui jagung bakar kita agar tidak menjadi hangus."

Kedua anakmuda itupun kembali ke tempat istirahat mereka di pinggir sungai kecil tadi. Di situ mereka membuat perapian kecil, selain untuk menerangi kegelapan, juga untuk membakar beberapa jenis ubi dan jagung yang akan mereka makan. Tanpa diminta, Pak-kiong Liong memulai ceritanya.

"Orang-orang Hwe-liong-pang adalah orang-orang yang baik, mereka pembela rakyat sejati, itu aku yakin. Dulu di jaman Kaisar Cong-ceng, mereka dengan berani telah melawan pemerintah bobrok waktu itu, dan bahkan bergabung dengan Li Cu-seng untuk menumbangkan dinasti keluarga Cu itu. Aku sebenarnya tidak pernah bermusuhan dengan mereka, tetapi mereka masih salah paham kepada kami bangsa Manchu, sehingga masih tetap menganggap kami sebagai musuh mereka. Itulah yang menyedihkan hatiku. Itu pulalah yang menyebabkan aku harus menemui mereka dengan wajah disamarkan, sebab di antara mereka ada yang pernah berkelahi dengan aku dan mengenal aku sebagai Pakkiong Liong, si Panglima Manchu."

Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggerogoti makanannya. Dan Pakkiong Liong melanjutkan, "Aku berharap suatu saat kesalahpahaman terhadap pemerintahan kami akan terhapus, dan akupun bisa bersahabat dengan orang-orang gagah itu seperti bersahabat denganmu!"

"Oh, begitu kiranya alasanmu. Dan siapa sajakah mereka itu?"

"Kebetulan semua dari tujuh orang itu kukenal semua. Tapi di antara mereka yang bekas anggauta Hwe-liong-pang hanya dua orang, yaitu si muka hitam, dan si orang Korea itu. Si muka hitam bernama Lu Siong, julukannya ialah Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) untuk menandakan betapa hebat kekuatan sepasang tinjunya itu. Di Hwe-liong-pang dulu, ia adalah pemimpin dari Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu). Si orang Korea itu bernama Oh Yun-kim, berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena kemahiran tendangannya. Dia bekas pemimpin Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di Hwe-liong-pang dulu."

"Memang hebat sekali, cocok dengan julukannya sebagai Tendangan Tanpa Bayangan. Aku tadi melihat sendiri bagaimana hebat tendangannya ketika merobohkan tiang bendera di gapura desa itu."

"Ya, kedua bekas Tong-cu (Pemimpin Kelompok) itu ke mana-mana selalu bersama-sama. Yang satu mahir tendangan, yang yang lain mahir pukulan. Jika mereka menggabungkan mereka punya Tinju Seribu Kati dengan Tendangan Tanpa Bayangan, maka tidak seorang tokohpun sanggup membendung mereka."

“Ada!" sahut Tong Lam-hou tiba-tiba.

"Siapa?" tanya Pakkiong Liong dengan heran.

Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa, "Tandingan mereka ya. kita ini. Gabungan antara Naga Utara dan Harimau Selatan yang bisa membuat musuh jadi panas dingin."

Pakkiong Liong tertawa geli, namun kemudian ia meninju pundak Tong Lam-hou sambil pura-pura menggerutui "Uh, sombongmu!"

Kedua anakmuda itu tertawa serentak, dan tanpa sadar kedua telapak nangan mereka yang kekar itu telah saling genggam dengan kokohnya, sekokoh tali persahabatan yang telah mengikat hati mereka berdua, meskipun mereka baru saling berkenalan beberapa hari.

"Nah, A-liong, kau baru menceritakan dua diantara mereka. Yang lainnya itu siapa saja?"

"Yang bertampang gagah dan berpakaian serba putih itu bernama Tong Wi-hong, ia adalah pemimpin dari sebuah perusahaan pengawalan yang besar di kota Tay-beng dengan cabang-cabangnya yang terbesar di mana-mana. Perusahaan pengawalan itu bernama Tiong-gi Piau-hang. Orang yang bernama Tong Wi-hong itu sendiri berjulukan Gin-yan-cu (si Walet Perak). Ilmu pedangnya sangat mahir, karena ia adalah didikan perguruan Soat-san-pay yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Perempuan setengah baya yang juga gagah dan tak bersenjata itu adalah adik Tong Wi hong, namanya Tong Wi-lian, murid perguruan Siau-lim-pay, sangat mahir dengan ilmu tangan kosong Pek-ho-kun dan Coa-kun (Silat Bangau Putih dan Silat Ular), konon kekuatan jari-jari-nya sanggup menembus selembar papan tebal."

Tong Lam-hou nampak merenung mendengar penuturan Pakkiong Liong tentang kedua kakak beradik itu. Gumamnya, "Aneh, nama mereka mirip benar dengan nama ayahku. Ayahku bernama Tong Wi-siang, dan mereka bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Ayahku orang Hwe-liong-pang, dan mereka berdua juga berada bersama-sama dengan orang-orang Hwe liong-pang. Tidakkah ini aneh?"

Pakkiong Liong tertawa, "Apakah ibumu atau gurumu belum pernah menceritakan kepadamu bahwa ayahmu punya dua saudara kandung?"

"Belum pernah. Tapi ibu pernah berkata, katanya ayah punya tiga orang saudara angkat, dan salah satu dari ketiga saudara angkatnya itu, yaitu yang ke dua, telah berkhianat kepada ayah. Namun Jika hanya saudara angkat, tentu namanya tidak akan semirip itu. Tentang saudara kandung, ibu tidak pernah bercerita bahwa ayah mempunyai atau tidak."

"Kalau begitu, kemiripan nama itu tidak perlu kau herankan. Dunia ini begitu luas, banyak orang yang namanya bukan saja mirip tapi bahkan juga sama persis."

"Ya... ya... kau betul juga. Nah, teruskan keteranganmu."

"Baiklah. Orang yang berpakaian ringkas berwarna abu-abu dan di pinggangnya menyandang golok tadi, adalah suami dari Tong Wi-lian yang bernama Ting-Bun, mahir dalam tiga macam ilmu silat. Ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to (Sialt Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), ilmu pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang). Semuanya jenis ilmu keras yang memerlukan kekuatan besar, itulah sebabnya orang tadi nampak bertubuh kekar. Suami isteri Ting Bun dan Tong Wi-lian tinggal di tepi danau Po-yang-pu di kota kecil An-yang-shia."

Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "Si pendeta Buddha itu bernama Bu-sian Hwesshio, pendeta dari kuil Siau-lim-si. Kepandaianya jangan ditanya lagi, kuil Siau-lim-si terkenal sebagai gudangnya orang berilmu, jika seorang pendeta Siau-lim sudah berani berkelana diluaran, maka ilmunya tentu tidak rendah. Dan si imam agama To itu bernama Te-sian Tojin, murid dari kuil Giok-hi kiong di Gunung Bu-tong-san, pusat dari perguruan Bu-tong-pay yang tidak kalah besarnya dengan Siau-lim-pay. Orang sering berkata bahwa Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua tiang penyangga utama dunia persilatan."

"Wah, kalau begitu ketujuh orang penunggang kuda tadi adalah orang-orang hebat semuanya!" seru Tong Lam-hou dengan kagum.

Pakkiong Liong melanjutkan dengan setengah bergurau, "Ya, mereka orang-orang berilmu tinggi. Biarpun gabungan Naga Utara dan Harimau Selatan, kalau harus menghadapi mereka bertujuh maka tidak lebih dari Cacing Utara dan Kucing Selatan...."

Tong Lam-hou bersungut-sungut, "Uh, kalau mereka maju bertujuh, tentu saja kita kalah..."

Demikian mereka bercakap-cakap, dan tujuan Pakkiong Liong yang sebenarnya ialah mencoba menghibur Tong Lam-hou dari kesedihannya akibat kematian teman-temannya di Jit-siong-tin. Nampaknya usaha Pakkiong Liong itu berhasil juga....
Selanjutnya;