Pendekar Naga dan Harimau Jilid 07Karya : Stevanus S.P |
Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "...dan keesokan harinya, barulah kami datang kemari beramai-ramai, hampir seluruh desa ikut semua. Dan inilah yang kami jumpai. Seluruh desa tertumpas habis.”
Para penunggang kuda itu mengangguk-anggukkan saja kepalanya mendengar ceritera Pakkiong Liong yang setengah benar setengah bohong itu. Namun kedengarannya ceritera "anak desa" itu memang masuk akal. "Saudara kecil, kau tahu siapa yang melakukan ini?" tanya orang berpakaian putih itu kepada Pakkiong Liong. "Kami tidak melihat sendiri, tuan, namun kami dapat memperkirakan siapa yang berbuat ini." "Siapa? Dan bagaimana kau dapat menduganya?" "Yang melakukan adalah..." Pakkiong-Liong pura-pura ketakutan sebentar sambil memandang orang-orang berkuda itu dengan sikap kuatir. Dan orang berpakaian putih itu berkata, "Jangan takut, katakan saja, saudara kecil..." Masih dengan sikap takut-takut, Pakkiong Liong menjawab, "Yang melakukan adalah sekelompok orang-orang dari Gerakan Pembebasan Tanah Air, benderanya berwarna kuning bergambar bulatan merah dan bulan sabit berwarna putih." "Bendera Jit-goat-ki!" hampir bersamaan ketujuh orang itu menyahut. "Jadi bukan tentara Manchu?" "Bukan, tuan. Pangkalan tentara Manchu yang terdekat dari sini ialah di kota Kun-beng yang jaraknya duaratus li lebih dari sini, sedang daerah ini termasuk dalam pengaruh gerakan pembebasan itu. Tentara Manchu tidak pernah menginjak daerah ini.” Penunggang kuda yang berwajah hitam itu nampak gemas sekali. Geramnya, "Bangsat ternyata ini perbuatan tentaranya Cong-ceng si raja busuk itu. Dulu ketika masih berkuasa mereka menindas rakyat, sekarang sudah jatuhpun masih menyengsarakan rakyat! Orang-orang macam itu masih juga tidak malu mengaku berjuang untuk rakyat Han? Huh! Yang benar, mereka itu berjuang hanya untuk kembali merebut singgasana, hanya ingin jadi Kaisar saja!" Penunggang-penunggang kuda lainnya tidak ada yang menyahut, tetapi mereka nampaknya tidak menolak pendapat orang yang bermuka hitam itu. Mereka semuanya sudah berusia hampir setengah abad, mereka pernah mengalami jaman pemerintahan Kaisar Cong-ceng sehingga merekapun tahu betapa bobroknya orang-orang pemerintahan di jaman itu. Lalu orang bermuka hitam itu bertanya kepada Pakkiong Liong, "Eh, saudara kecil, bagaimana kau tahu bahwa yang membakar desa ini adalah sisa tentara dinasti Beng, padahal kau tidak melihat sendiri?" Sahut Pakkiong Liong, "Sehari sebelumnya, desa ini kedatangan beberapa anggauta Gerakan Pembebasan Tanah Air, katanya mereka mencari seorang mata-mata Manchu yang menyusup ke daerah ini. Karena penduduk desa menjawab tidak tahu, orang-orang Gerakan itu merasa tidak puas, dan terjadi perkelahian dengan seseorang pemuda penjual sayur. Dua di antara orang-orang Gerakan itu terbunuh, sisanya lalu diusir oleh penduduk desa ini, maka kemungkinan besar pada malam harinya orang-orang Gerakan Pembebasan Tanah Air itu datang kembali dengan teman-teman yang lebih banyak untuk membalas dendam kepada orang desa atas kematian dua orang teman mereka di desa ini!" "Biadab!" geram orang bermuka hitam itu. "Terima kasih atas keteranganmu, saudara kecil. Tapi kami masih ada beberapa pertanyaan lagi." "Pertanyaan apa tuan?" "Apakah saudara kecil tahu kalau di sekitar daerah ini ada sekelompok orang yang menamakan diri Hwe-liong-pang (Serikat Naga Api)?" Pakkiong Liong terkesiap mendengar pertanyaan itu, teringatlah dia akan pertempuran di kuil terpencil itu, ketika orang-orang Hwe-liong-pang di bawah pimpinan Siau-lo-cia Ma Hiong telah ikut campur dalam pertempuran sehingga saat itu Pakkiong Liong gagal menangkap Pangeran Cu Hin-yang, meskipun sudah hampir berhasil. Sesaat ia menjadi bimbang harus menjawab bagaimana terhadap pertanyaan itu, namun kemudian ia memutuskan untuk menjawab secara samar-samar saja, sebab kalau ia menjawab "tidak tahu sama sekali" maka orang-orang berkuda itu tentu akan curiga. Dengan berlagak tolol ia menjawab "Orang-orang Hwe-liong-pang? Orang-orang yang suka berpakaian hitam dan berikat kepala warna coklat itu?" Wajah si muka hitam itu berseri seketika. "Benar!" sahutnya. "Kau tahu di mana tempat mereka?" Gelengan kepala Pakkiong Liong membuat orang-orang berkuda itu agak kecewa. Orang bermuka hitam itu menoleh kepada teman-teman seperjalanannya sambil menarik napas, "Kelihatannya kita harus bersusah-payah dalam menemukan persembunyian saudara Ma. Tetapi aku yakin ia berada di wilayah ini bersama dengan anak buahnya. Seorang anak buahku melaporkannya kepadaku dengan sangat yakin bahwa ia melihat saudara Ma di daerah ini." Diam-diam Pakkiong Liong mencatat apa yang didengarnya itu. Orang-orang berkuda ini menyebut Siau-lo-cia Ma Hiong dengan sebutan akrab "saudara Ma", berarti sama-sama anggauta Hwe-liong-pang, atau paling tidak sama-sama pendukung perjuangan Li Cu-seng beberapa tahun yang lalu. Menurut pendengarannya Pakkiong Liong, meskipun sisa-sisa Hwe-liong-pang dan sisa-sisa dinasti Beng itu sama-sama menentang pemerintahan bangsa Manchu, namun antara kedua kelompok itu sendiri juga tidak akur. Meskipun Pakkiong Liong pernah melihat sendiri bagaimana kedua kelompok itu bergabung ketika menentangnya di kuil terpencil itu, namun Pakkiong Liong memperkirakan bahwa tidak mudah menghapuskan permusuhan antara kedua kelompok itu begitu saja. Tiba-tiba timbullah akal Pakkiong Liong untuk lebih mempertajam permusuhan di antara kedua kelompok itu demi memperlemah mereka sendiri dan memperkuat pemerintahan Manchu. Maka, dengan sikap tetap seperti anak desa yang tolol, ia berkata, "Memang aku tidak tahu persembunyian orang-orang baik budi dari Hwe-liong-pang itu. Tapi aku tahu beberapa hal tentang mereka. Mereka tidak akur dengan orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu. Kalau orang-orang berbendera Matahari dan Rembulan itu sering memeras rakyat untuk bahan-bahan makanan, maka orang-orang Hwe-liong-pang itulah yang membela kami!" Yang menunjukkan senang ketika mendengar Jawaban Pakkiong Liong itu adalah si orang bermuka hitam dan si orang Korea itu. Hampir bersamaan mereka tertawa berkakakan. kata si orang muka hitam itu, "Ha-ha-ha, saudara Ma masih saja setia dengan cita-cita Hwe-liong-pang untuk selalu berpihak kepada rakyat kecil yang lemah! Bagus! Benar-benar saudaraku yang baik! Di samping bangsat-bangsat Manchu, maka bangsat-bangsat pengikut dinasti Beng itupun memang perlu sering-sering saja diberi hajaran." Orang Korea itupun tertawa, katanya, "Nanti kalau aku sudah bertemu dengan saudara Ma, akan kusuguhkan tiga cawan arak kepadanya." "Nah, kita agaknya harus buru-buru mencari tempat menginap," kata orang bertampang gagah yang berpakaian serba putih itu, sambil menunjuk langit yang semakin gelap, meskipun ada sisa-sisa cahaya mentari di ufuk barat. Maka rombongan orang-orang berkuda itupun segera berangkat, setelah mengucapkan selamat berpisah dengan pakkiong Liong yang mereka panggil "saudara kecil". Meskipun sikap mereka itu rata-rata garang, namun terhadap "anak desa" seperti Pakkiong liong mereka dapat bersikap ranah juga. Setelah orang-orang berkuda itu menjauh, Pakkiong Liong cepat membersihkan wajahnya dari tanah yang tadi sengaja diusapkan kemukanya untuk menyamarkan wajahnya itu. Katanya ke arah persebunyian Tong Lam-hou, "A-hou, kau boleh keluar sekarang!" Tong Lam-hou meloncat keluar dari persembunyiannya, dan wajahnya yang murung sejak pagi tadi, kini nampak agak cerah. Begitu meloncat keluar, ia langsung berseru, "A-liong, nampaknya orang-orang berkuda tadi adalah teman-teman mendiang ayahku! Ayahku adalah orang Hwe-liong-pang, menurut Guruku dan ibuku, dan merekapun agaknya orang-orang Hwe-liong-pang! Tetapi aku tadi tidak berani keluar dari persembunyian karena kuatir merusak rencanamu!" Jantung Pakkiong Liong berdegup keras, suatu hal yang ditakutinya ialah jika sahabatnya ini sampai bergabung dengan orang-orang Hwe-liong-pang yang juga menentang pemerintahan Manchu itu. Jika itu sampai terjadi, berarti ia akan berdiri berseberangan dengan sahabatnya itu sebagai musuh satu sama lain. Itu tidak dikehendaki oleh Pakkiong Liong. Sesaat ia menjadi kebingungan bagaimana harus menanggapi sikap Tong Lam-hou itu tanpa menyakiti hatinya, ia berpikir sejenak dan akahimya menjawab, "Benar, mereka teman-teman ayahmu. Mereka orang-orang baik semuanya." "Jika mereka kau anggap orang-orang baik, kenapa tadi kau menemuinya dengan menyamarkan wajahmu, A-liong? Tadi kau juga bilang kenal mereka semuanya, maukah kau menceritakan kepadaku?" "Tentu. Tapi sambil bercerita, mari kita tunggui jagung bakar kita agar tidak menjadi hangus." Kedua anakmuda itupun kembali ke tempat istirahat mereka di pinggir sungai kecil tadi. Di situ mereka membuat perapian kecil, selain untuk menerangi kegelapan, juga untuk membakar beberapa jenis ubi dan jagung yang akan mereka makan. Tanpa diminta, Pak-kiong Liong memulai ceritanya. "Orang-orang Hwe-liong-pang adalah orang-orang yang baik, mereka pembela rakyat sejati, itu aku yakin. Dulu di jaman Kaisar Cong-ceng, mereka dengan berani telah melawan pemerintah bobrok waktu itu, dan bahkan bergabung dengan Li Cu-seng untuk menumbangkan dinasti keluarga Cu itu. Aku sebenarnya tidak pernah bermusuhan dengan mereka, tetapi mereka masih salah paham kepada kami bangsa Manchu, sehingga masih tetap menganggap kami sebagai musuh mereka. Itulah yang menyedihkan hatiku. Itu pulalah yang menyebabkan aku harus menemui mereka dengan wajah disamarkan, sebab di antara mereka ada yang pernah berkelahi dengan aku dan mengenal aku sebagai Pakkiong Liong, si Panglima Manchu." Tong Lam-hou mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menggerogoti makanannya. Dan Pakkiong Liong melanjutkan, "Aku berharap suatu saat kesalahpahaman terhadap pemerintahan kami akan terhapus, dan akupun bisa bersahabat dengan orang-orang gagah itu seperti bersahabat denganmu!" "Oh, begitu kiranya alasanmu. Dan siapa sajakah mereka itu?" "Kebetulan semua dari tujuh orang itu kukenal semua. Tapi di antara mereka yang bekas anggauta Hwe-liong-pang hanya dua orang, yaitu si muka hitam, dan si orang Korea itu. Si muka hitam bernama Lu Siong, julukannya ialah Jian-kin-sin-kun (Tinju Sakti Seribu Kati) untuk menandakan betapa hebat kekuatan sepasang tinjunya itu. Di Hwe-liong-pang dulu, ia adalah pemimpin dari Ci-ki-tong (Kelompok Bendera Ungu). Si orang Korea itu bernama Oh Yun-kim, berjulukan Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) karena kemahiran tendangannya. Dia bekas pemimpin Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih) di Hwe-liong-pang dulu." "Memang hebat sekali, cocok dengan julukannya sebagai Tendangan Tanpa Bayangan. Aku tadi melihat sendiri bagaimana hebat tendangannya ketika merobohkan tiang bendera di gapura desa itu." "Ya, kedua bekas Tong-cu (Pemimpin Kelompok) itu ke mana-mana selalu bersama-sama. Yang satu mahir tendangan, yang yang lain mahir pukulan. Jika mereka menggabungkan mereka punya Tinju Seribu Kati dengan Tendangan Tanpa Bayangan, maka tidak seorang tokohpun sanggup membendung mereka." “Ada!" sahut Tong Lam-hou tiba-tiba. "Siapa?" tanya Pakkiong Liong dengan heran. Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa, "Tandingan mereka ya. kita ini. Gabungan antara Naga Utara dan Harimau Selatan yang bisa membuat musuh jadi panas dingin." Pakkiong Liong tertawa geli, namun kemudian ia meninju pundak Tong Lam-hou sambil pura-pura menggerutui "Uh, sombongmu!" Kedua anakmuda itu tertawa serentak, dan tanpa sadar kedua telapak nangan mereka yang kekar itu telah saling genggam dengan kokohnya, sekokoh tali persahabatan yang telah mengikat hati mereka berdua, meskipun mereka baru saling berkenalan beberapa hari. "Nah, A-liong, kau baru menceritakan dua diantara mereka. Yang lainnya itu siapa saja?" "Yang bertampang gagah dan berpakaian serba putih itu bernama Tong Wi-hong, ia adalah pemimpin dari sebuah perusahaan pengawalan yang besar di kota Tay-beng dengan cabang-cabangnya yang terbesar di mana-mana. Perusahaan pengawalan itu bernama Tiong-gi Piau-hang. Orang yang bernama Tong Wi-hong itu sendiri berjulukan Gin-yan-cu (si Walet Perak). Ilmu pedangnya sangat mahir, karena ia adalah didikan perguruan Soat-san-pay yang terkenal dengan ilmu pedangnya. Perempuan setengah baya yang juga gagah dan tak bersenjata itu adalah adik Tong Wi hong, namanya Tong Wi-lian, murid perguruan Siau-lim-pay, sangat mahir dengan ilmu tangan kosong Pek-ho-kun dan Coa-kun (Silat Bangau Putih dan Silat Ular), konon kekuatan jari-jari-nya sanggup menembus selembar papan tebal." Tong Lam-hou nampak merenung mendengar penuturan Pakkiong Liong tentang kedua kakak beradik itu. Gumamnya, "Aneh, nama mereka mirip benar dengan nama ayahku. Ayahku bernama Tong Wi-siang, dan mereka bernama Tong Wi-hong dan Tong Wi-lian. Ayahku orang Hwe-liong-pang, dan mereka berdua juga berada bersama-sama dengan orang-orang Hwe liong-pang. Tidakkah ini aneh?" Pakkiong Liong tertawa, "Apakah ibumu atau gurumu belum pernah menceritakan kepadamu bahwa ayahmu punya dua saudara kandung?" "Belum pernah. Tapi ibu pernah berkata, katanya ayah punya tiga orang saudara angkat, dan salah satu dari ketiga saudara angkatnya itu, yaitu yang ke dua, telah berkhianat kepada ayah. Namun Jika hanya saudara angkat, tentu namanya tidak akan semirip itu. Tentang saudara kandung, ibu tidak pernah bercerita bahwa ayah mempunyai atau tidak." "Kalau begitu, kemiripan nama itu tidak perlu kau herankan. Dunia ini begitu luas, banyak orang yang namanya bukan saja mirip tapi bahkan juga sama persis." "Ya... ya... kau betul juga. Nah, teruskan keteranganmu." "Baiklah. Orang yang berpakaian ringkas berwarna abu-abu dan di pinggangnya menyandang golok tadi, adalah suami dari Tong Wi-lian yang bernama Ting-Bun, mahir dalam tiga macam ilmu silat. Ilmu golok Ngo-hou-toan-bun-to (Sialt Golok Lima Harimau Menghadang Pintu), ilmu pukulan Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan ilmu cengkeraman Eng-jiau-kang (Cengkeraman Kuku Elang). Semuanya jenis ilmu keras yang memerlukan kekuatan besar, itulah sebabnya orang tadi nampak bertubuh kekar. Suami isteri Ting Bun dan Tong Wi-lian tinggal di tepi danau Po-yang-pu di kota kecil An-yang-shia." Pakkiong Liong menelan ludahnya dulu, lalu melanjutkan, "Si pendeta Buddha itu bernama Bu-sian Hwesshio, pendeta dari kuil Siau-lim-si. Kepandaianya jangan ditanya lagi, kuil Siau-lim-si terkenal sebagai gudangnya orang berilmu, jika seorang pendeta Siau-lim sudah berani berkelana diluaran, maka ilmunya tentu tidak rendah. Dan si imam agama To itu bernama Te-sian Tojin, murid dari kuil Giok-hi kiong di Gunung Bu-tong-san, pusat dari perguruan Bu-tong-pay yang tidak kalah besarnya dengan Siau-lim-pay. Orang sering berkata bahwa Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay adalah dua tiang penyangga utama dunia persilatan." "Wah, kalau begitu ketujuh orang penunggang kuda tadi adalah orang-orang hebat semuanya!" seru Tong Lam-hou dengan kagum. Pakkiong Liong melanjutkan dengan setengah bergurau, "Ya, mereka orang-orang berilmu tinggi. Biarpun gabungan Naga Utara dan Harimau Selatan, kalau harus menghadapi mereka bertujuh maka tidak lebih dari Cacing Utara dan Kucing Selatan...." Tong Lam-hou bersungut-sungut, "Uh, kalau mereka maju bertujuh, tentu saja kita kalah..." Demikian mereka bercakap-cakap, dan tujuan Pakkiong Liong yang sebenarnya ialah mencoba menghibur Tong Lam-hou dari kesedihannya akibat kematian teman-temannya di Jit-siong-tin. Nampaknya usaha Pakkiong Liong itu berhasil juga.... |
Selanjutnya;
|