Pendekar Naga dan Harimau Jilid 06Karya : Stevanus S.P |
Dugaan Pakkiong Liong tentang kelihaian ibu Tong Lam-hou semakin kuat ketika melihat perempuan tua itu ternyata tenang-tenang saja berkata sambil tetap memegang mangkuk buburnya, "Wah, agaknya cecunguk-cecunguk yang mengaku pejuang itu telah datang ke gubuk kita, A-hou, coba kau tengok keluar. Tapi hati-hatilah, menilik suara langkah-langkah mereka maka agaknya ada dua orang yang lihai di antara mereka, dan yang seorang berilmu rendah saja."
Ketika Tong Lam-hou melangkah keluar, maka Pakkiong Liong juga meletakkan mangkuk buburnya dan bangkit dari duduknya, sambil berkata, "Bibi, biar aku temani A-hou menjenguk keluar." "Hati-hati A-liong, badanmu belum kuat benar." "Baiklah, bibi." Sementara itu dari luar gubuk telah terdengar suara bentakan yang bengis, "Bangsat kecil yang bernama Tong Lam-hou, cepat keluar sebelum kubakar gubukmu ini!" Ketika Pakkiong Liong menoleh ke arah ibu Tong Lam-hou, maka dilihatnya perempuan setengah tua itu sama sekali tidak menggigil ketakutan. Dengan tenang ia menanggak minumannya, lalu berkata sambil tertawa, "Wah, tamu kita malam ini agaknya seorang yang kasar." Sementara itu Tong Lam-hou telah melangkah keluar pintu, kemudian disusul oleh Pakkiong Liong. Sesuai dengan suara langkah kaki tadi, yang datang, itu itu benar-benar tiga orang. Di bawah cahaya bulan sepotong yang cukup terang, Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong dapat dapat mengenal bahwa salah seorang dari ketiga "tamu" itu adalah Mo Wan-seng. Orang tertua dari Kun-lun-sam-long yang julukannya seram, Serigala Taring Besi, namun tadi siang terbirit-birit meninggalkan gelanggang dengan cara yang tidak kenal malu, yaitu dengan mengorbankan adik seperguruannya sendiri. Sedang yang dua orang lagi adalah, orang-orang tua berusia setengah baya. Yang seorang berjubah panjang, berjenggot putih, sepasang matanya memancarkan cahaya kemerah-merahan seperti serigala asli, dan di punggungnya ia menggendong sebatang pedang yang seorang lagi juga berusia sebaya, tubuhnya tegap berotot. Namun berpakaian seperti seorang pendeta Buddhis lengkap dengan tasbeh dilehernya dan tongkat sian-thung di tangannya. Hanya saja matanya yang bersinar buas itu sama sekali tidak sesuai dengan penampilannya sebagai seorang pendeta yang harusnya bersikap ramah dan lembut. Begitu melihat Tong Lam-hou telah keluar, Ma Wan-seng segera menudingnya sambil berkata kepada orang tua yang menggendong pedang itu, "Suhu, itulah orangnya yang berani membunuh jisute (adik seperguruan ke dua) dan samsute (adik seperguruan ke tiga)!" Tong Lam-hou bertolak pinggang di depan ketiga orang itu, katanya sambil tertawa, "He-he-he... serigala bertaring besi yang tadi siang terbirit-birit kini muncul lagi dengan mengajak induknya. Seperti anak kecil yang menangis karena permainannya direbut oleh kawannya, lalu melaporkan kepada ibunya." "Tutup mulutmu!" bentak orang tua yang menggendong pedang itu. "Kau si bocah busuk ini sudah berani membunuh dua orang muridku, berarti sama saja dengan menantang aku. Kau tahu siapa-aku?” "Kita belum berkenalan, tentu saja aku tidak kenal kau." Orang tua yang menggendong pedang itu menggeram. "Kau belum mengenal aku, itulah tanda kepicikan pengetahuanmu. Jika kau tahu siapa aku, kau akan menggigil ketakutan dan menyembah-nyembah mohon ampun kepadaku. Akulah yang bernama Lamkiong Siang, orang menjuluki aku secagai Hwe-san-lo-long (Serigala Tua Bermata Api)." Mendengar itu Tong Lam-hou tak dapat menahan tertawanya. Katanya, "Lagi-lagi serigala. Tadi siang sudah kuusir tiga serigala, sekarang malah datang induknya serigala yang bermata api segala. Tapi maaf, aku tidak bisa menerima serigala tua, sebab dagingnya alot untuk dibuat dendeng dan tidak laku di jual...." Alangkah marahnya Lamkiong Siang mendengar ucapan Tong Lam-hou itu. Matanya yang kemerah-merahan seperti api itu nampak lebih menyala, namun Tong Lam-hou menatapnya tanpa takut. "Kau marah agaknya? Tapi kau harus tahu alasannya kenapa kubunuh dua orang muridmu. Mereka bertindak sewenang-wenang hendak membunuh orang. Jika kau tidak bisa mengajar murid-muridmu sendiri, jangan marah kalau orang lain yang mengajarnya." Lamkiong Siang tidak menjawab sepatah katapun. Dengan sikap yang menyeramkan ia melangkah maju mendekati Tong Lam-hou. Tiba-tiba ujung jarinya menusuk ke tenggorokan Tong Lam-hou, geraknya memang cepat sekali, jauh lebih cepat dari Kun-lun-sam-long yang dihadapi Tong Lam-hou tadi siang. Tong Lam-hou terkejut melihat serangan itu, namun ia sempat menarik mundur kakinya setengah langkah sambil memiringkan tubuhnya. Lamkiong Siang agaknya terkesiap juga melihat ketangkasan lawannya yang masih rriuda itu. Namun sebagai tokoh tua berpengalaman ia tidak mudah melepaskan tekanan atas diri lawannya. Begitu tangan kanan luput, secepat kilat tangan kirinya menyusul menyambar ke depan dengan gerakan Hek-liong-pa-bwe (Naga Hitam Memutar Ekor) dengan jari jarinya yang kuat bagaikan besi itu hendak menyambar ke iga lawan. Sekali lagi Tong Lam-hou berhasil dipaksanya mundur selangkah. Namun Tong Lam-nou juga tidak sudi didesak mundur terus-terusan. Ketika lawan menyerang lagi, tiba-tiba Tong Lam-hou memiringkan tubuhnya dan secepat kilat, menendang dengan Coan-sin-teng-kak (Memutar Badan Sambil Menendang) yang hampir saja mengenai jidat Lamkiong Siang kalau saja orang tua itu tidak buru-buru menundukkan kepalanya. Ternyata tendangan Tong Lam hou datang beruntun begitu, cepat, sia-sia saja Lamkiong Siang berusaha menangkap betis lawannya untuk dibanting jatuh, sebab kaki Tong Lam-hou bergerak bagaikan baling-baling terhembus badai. Jika tadi Lamkiong Siang berhasil mendesak Tong Lam-hou dua langkah, maka kini Tong Lam-hou malahan dapat memaksa Lamkiong Siang surut lima langkah tanpa membalas. Ketika Tong Lam-hou berganti napas, kesempatan itu segera digunakan oleh Lamkiong Slang untuk meloncat mundur. Hatinya masih saja bergetar mengingat bagaimana ia hampir saja dirobohkan oleh seorang anak gunung yang sama sekali belum dikenal di dunia persilatan. Sesaat Lamkiong Siang dan Tong Lam-hou saling memandang, lalu keduanyapun saling tubruk dan terlibatlah mereka dalam suatu perkelahian tangan kosong yang sengit sekali. Lamkiong Siang masih belum mau mencabut pedangnya sebab sebagai seorang tokoh angkat an tua ia malu kalau melawan seorang anak gunung saja harus memakai senjata. Ia yakin dengan tangan kosongnya akan dapat menaklukkan Tong Lam-hou. Namun kemudian harapan Lamkiong Siang itu adalah harapan yang terlalu berlebihan. Dia yang bertempur dengan ganas dan lincahnya dengan kecepatan tangannya yang seolah menjadi berpuluh-puluh tangan karena cepatnya itu, ternyata terbentur dengan seorang anak muda yang dapat mengimbangi baik kekuatan maupun kecepatannya. Tong Lam-hou telah berkelahi seperti seekor harimau luka, tanpa gentar sedikitpun dihadapinya lawannya yang sudah punya nama besar di dunia persilatan itu. Serangan dibalas dengan serangan, makin lama makin cepat, akhirnya bayangan tubuh kedua orang itu tidak terlihat lagi. Keduanya bagaikan menjadi segumpal bayangan yang bergulung menjadi satu dengan hebatnya, mata seorang jagoan seperti Mo Wan-seng itu-pun sulit membedakan mana yang gurunya dan mana yang lawannya. Kadang-kadang terdengar bentakan Lamkiong Siang, atau geraman Tong Lam-hou yang seperti harimau lapar apabila kekuatan mereka berbenturan dan merekapun meloncat berpencaran. Namun sesaat kemudian merekapun sudah saling terjang kembali. Sementara kedua orang itu sudah terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin sengitnya, maka Pakkiong Liong dan si pendeta yang datang bersama dengan Hwe-gan-lo-long Lamkiong Siang itu telah saling memandang, dan agaknya mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Tiba-tiba terdengar Pakkiong Liong tertawa dingin sambil berkata, "Selamat malam, Sin-bok Hweshio, tak kuduga bahwa aku akan bertemu kembali denganmu jauh di wilayah selatan ini." Pendeta yang disebut Sin-bok Hwe-shio itupun tahu siapa yang sedang dihadapinya itu, sehingga sikapnyapun tidak berani sembarangan, “Selamat malam, Pakkiong Ciangkun. Aku tidak memusuhi Pakkiong Ciangkun, apalagi memusuhi kerajaan, aku hanya akan membantu seorang sahabatku untuk menangkap orang yang telah membunuh dua orang muridnya. Harap Ciangkun maklum." Pakkiong Liong paham betul akan watak orang berjubah pendeta yang berdiri di hadapannya itu. Sin-bok Hwe-shio adalah seorang pendeta murtad yang sudah diusir dari perguruan Nge-tay-pay di Gunung Ngo-tay-san, seorang jago dalam ilmu Nge-kang (Tenaga Keras) dan memiliki ilmu Tit-siang-kin (Tenaga Melemparkan Gajah) yang cukup tinggi tingkatannya. Namun orang sepandai ini ternyata tidak memiliki pendirian yang tetap dalam pergolakan di jaman itu. Ia berpihak kepada siapa saja yang dapat membayar tenaganya. Dulu Pakkiong Liong tahu bahwa sin-bok Hweshio pernah berpihak kepada pemerintah Manchu ketika la menyumbangkan tenaganya untuk menumpas sebuah gerakan bawah tanah di San-se, dengan upah beberapa taill emas. Kini Pakkiong Liong menduga bahwa Sin-bok Hweshio agaknya sedang bekerja bagi Li Tiang-hong untuk menangkapnya, tentu saja dengan upah yang disepakati pula. Orang semacam Sin-bok Hweshio tidak pernah peduli pergolakan yang terjadi, bahkan semakin bergolak akan semakin besarlah kesempatannya untuk mencari uang dengan jalan menyewakan tenaganya. Kini Pakkiong Liong menyahut, "Kau membantu sahabatmu, sayang bahwa akupun harus membantu sahabatku. Meskipun kita pernah bekerja-sama di San-se, tapi agaknya sekarang kira harus berhadapan. Kecuali kalau taysu (bapak pendeta) sudi meninggalkan gelanggang ini dengan sukarela, sehingga hubungan baik kita tidak terganggu." Namun Sin-bok Hweshio menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu pura-pura menarik napas dengan menyesal. Jawabnya, "Yaaaah, sayang sekali. Tetapi Ciangkun tentu maklum bahwa aku ini seorang pendeta miskin yang mencari nafkah dari belas-kasihan orang lain, jadi terpaksa aku harus menjalankan tugas yang dibebankan Li Ciangkun kepadaku supaya mendapat sedikit uang untuk sekedar memperbaiki biaraku...." Pakkiong Liong tertawa mendengar ucapan Sin-bok Hweshic itu, sesaat dipandanginya pendeta yang mengaku sebagai pendeta miskin itu. Jubah kuningnya yang terbuat dari kain mahal, tasbehnya yang butiran-butirannya adalah mutiara hitam yang mahal pula karena kabarnya hanya didatangkan oleh pedagang-pedagang Persia, lalu jari-jarinya yang bertaburan dengan cincin emas bermata berlian yang tidak cukup satu, melainkan hampir seluruh jari-jarinya mengenakan cincin. Sahut Pakkiong Liong, "Ya, aku tahu taysu benar-benar pendeta miskin. Aku jadi kasihan karenanya. Tapi taysu bukan miskin harta benda melainkan miskin jiwa, tidak segan-segan menjual pendiriannya untuk uang setahil dua tahil, apalagi memakai jubah pendeta pula. Benar-benar memuakkan." Wajah Sin-bok Hweshio memerah sejenak, dipukulkannya tangkai tongkatnya ke tanah. Namun kemudian ia justru tertawa dan nada perkataannyapun dibuat sesabar mungkin, "Sudahlah, Ciangkun, tidak perlu kau mengungkit-ungkit apa yang aku lakukan. Kita hidup dengan cara kita sendiri-sendiri. Tetapi aku masih menawarkan suatu kesempatan kepada Ciangkun, kalau Ciangkun sanggup membayar lebih tinggi dari Li Tiang-hong, nanti aku akan berpihak kepadamu untuk menyerahkan Li Tiang-hong kepadamu. Bagaimana?" "Kalau aku tidak mau?" tanya Pakkiong Liong dengan menahan rasa muaknya. Sin-bok. Hweshio menjawab sambil terkekeh-kekeh, "Ya terpaksa aku akan bertindak sedikit kurang ajar kepada Ciangkun. Aku akan meminjam kepala Ciangkun sebentar saja untuk ditunjukkan kepada Li Tiang-hong agar aku mendapat upah. Setelah itu nanti aku kuburkan Ciangkun baik-baik dan dengan rajin menyembahyangi kuburan Ciangkun setiap tahun sekali. Aku berjanji." "Apakah kau mampu?” Tanya Pak-kiong Liong dingin. "Heh-heh-he meskipun orang lain boleh gentar mendengar nama si Naga Utara, tapi aku si pendeta miskin ini tak tergetar seujung rambutpun. Sudah cukup banyak orang-orang yang memiliki nama terkenal dan julukan yang hebat-hebat telah kupetik kepalanya untuk kutukar dengan uang, dan kau tidak terkecuali, Ciangkun." Habis perkataannya, maka Sin-bok Hweshio segera turun tangan. Dibarengi sebuah bentakan nyaring tongkat panjangnya segera menyerang dengan jurus Liong-leng-hong-bu (Naga Berputar dan Burung Hong menari), ujung tongkatnya berputar menyerampang kaki dan kemudian menyambar Ke kepala musuh. Tongkat yang terbuat dari perunggu dan sangat berat itu ternyata di dalam genggaman Sin-bok Hweshio jadi seringan sepotong rotan saja. Dapat digerakkan begitu cepat sehingga menimbulkan angin yang menderu dahsyat. Pakkiong Liong sadar bahwa lawannya kali ini cukup berat, bahkan lebih berat dari Pek-lek-jiu Tio Tong-hai yang pernah dibunuhnya di kuil terpencil beberapa hari yang lalu. Maka sejak semula ia harus sangat berhati-hati. Namun si Naga Utara itu bukan manusia bernyali tikus, ia tidak menghindar saja tapi kedua telapak tangannyapun mencengkeram dengan In-liong-sam-hian (Naga Muncul Tiga Kali di awan) untuk memaksakan sebuah pertarungan jarak pendek, lalu disusul dengan gerak Ji-liong-jio-cu (Dua Naga Merebut Mutiara) untuk menusuk sepasang mata musuh dengan dua jarinya. Sin-bok Hweshio terpaksa mundur sambil memutar kencang tongkat panjangnya. "Kau sombong sekali, Pakkiong Liong!" teriak Sin-bok Hweshio dari balik putaran tongkat panjangnya. "Kau hendak melawan tongkat perungguku ini hanya dengan tangan kosongmu? Mana senjatamu?" Pakkiong Liong terus mendesak maju dengan serangan tangan dan kakinya yang bertubi-tubi. Menusuk dengan ujung jari, mencengkram, menjotos, menendang dan menyapu secara berantai, sehingga tubuhnya menjadi bayangan yang bergerak amat cepat dengan aneka ragam serangan. Tak lupa ia membalas teriakan Sin-bok Hweshio tadi, "Sebentar lagi kau akan membuktikan apakah aku hanya sekedar pandai menyombongkan diri atau tidak. Tapi hati-hatilah, jangan menyesal nanti!" Begitulah, kedua orang itupun segera terlibat dalam pertempuran sengit. Dengan demikian di depan gubuk terpencil di lereng Gunung Tiam-jong-san itu telah terjadi dua. lingkaran pertempuran. Lamkiong Siang melawan Tong Lam-hou dan Sin-bok Hweshio melawan Pakkiong Liong. Dua orang tokoh tua golongan sesat telah kebentur dua orang anak muda yang tangguh. Sin-bok Hweshio tidak begitu penasaran, sebab lawannya adalah Panglima Hui-liong-kun yang terkenal. Yang penasaran adalah Lamkiong Siang yang lawannya cuma seorang anak gunung yang menurut orang-orang Jit-siong-tin pekerjaannya adalah berjualan sayur di pasar. Dalam penasarannya, akhirnya Lamkiong Siang menghunus pedangnya yang tergendong di punggungnya itu, ia tidak peduli lagi bahwa seorang tokoh angkatan tua harus menggunakan senjatanya untuk melawan seorang anak gunung yang tidak bersenjata sama sekali, yang penting ia harus bias memancing lawannya yang muda itu. Mo Wan-seng dengan terlongong-longong menyaksikan perkelahian antara empat orang itu. Semakin melihat ia merasa semakin kecil dirinya di hadapan orang-orang yang bertempur itu, terutama Tong Lam-hou dan Pakkiong Liong yang usianya jauh lebih muda dari dirinya sendiri itu, namun ilmunya telah mampu mengimbangi tokoh-tokoh seperti Gurunya dan Sin-bok Hweshio. Ingin rasanya Mo Wan-seng terjun ke gelanggang untuk membantu gurunya, namun untunglah bahwa akal sehatnya masih berjalan dengan baik. Jika ia terjun dalam perkelahian tingkat tinggi itu, maka perbuatannya itu tidak lebih dari bunuh diri belaka. Gerakan-gerakan gurunya dan lawannya itupun tak dapat dilihatnya karena cepatnya, bagaimana ia bisa ikut membantu? Namun tiba-tiba muncul akal licik Mo Wan-seng. Bukankah menurut kata orang-orang Jit-siong-tin yang ditanyainya tadi di rumah Tong Lam-hou juga ada ibunya? Pikir Mo Wan-seng, "Kalau berhasil kutangkap ibu si bocah edan tentu pikirannya akan bercabang dan Guru dengan mudah akan membereskannya." Berpikir demikian, ia segera melaksanakannya. Di hunusnya pedangnya, dan sambil berjalan memutari gelanggang, la lalu meloncat masuk ke pintu gubuk yang terbuka lebar itu. Perbuatan Mo Wan-seng itu diketahui jelas oleh Pakkiong Liong maupun Tong Lam-hou. Pakkiong Liong menjadi agak gugup karena menguatirkan keselamatan ibu Tong Lam-hou yang dianggapnya seperti ibunya sendiri itu. Karena perhatiannya terpecah, hampir saja kepalanya retak tersambar oleh tongkat panjang Sin-bok Hweshio, untung ia cepat-cepat menundukkan kepala sambil meloncat mundur. Namun ketika Pakklong Liong melirik Tong Lam-hou, ia menjadi heran ketika melihat sahabatnya itu tenang-tenang saja meskipun sudah melihat Mo Wan-seng masuk ke gubuk dengan pedang terhunus. "Agaknya kekuatirankulah yang tidak beralasan," pikir Pakklong Liong. Dan hatinyapun menjadi tenang kembali untuk melayani musuhnya dengan penuh kewaspadaan. Sementara itu dalam gubuk telah terdengar suara ribut-ribut, bercampur suara ibu Tong Lam-hou yang memaki maki, kemudian terlihatlah Mo Wan-seng meloncat keluar dengan tergesa-gesa sehingga hampir saja terjungkal karena kakinya terantuk ambang pintu. Jika masuknya tadi si Serigala Taring Besi ini masih gagah perkasa, maka keluarnya sudah tidak keruan lagi tampangnya. Matanya biru sebelah, hidung berdarah, bibir bengkak dan kakinya terpincang-pincang. Sedang wajahnya menampilkan perasaan kaget luar biasa. Dari dalam gubuk itu menyusul keluar ibu Tong Lam-hou. Perempuan itu tangannya memegang sepotong kayu panjang berujung runcing, yang biasanya dipakai untuk melubangi tanah yang akan ditanami bibit tumbuh-tumbuhan. Dengan kayu sepanjang satu depa itulah rupanya ibu Tong Lam-hou itu telah menghajar Mo Wan-seng yang menyelonong masuk ke gubuknya. "Maling kecil, mari rasakan tongkatku lagi!" bentak ibu Tong Lam-hou sambil memburu Mo Wan-seng dengan marahnya. Maka bertempurlah kedua orang itu, menanti, ramainya halaman gubuk itu. Diam-diam pakkiong Liong tersenyum di dalam hatinya ketika melihat seorang yang memiliki julukan begitu garang, Tiat-ge-long (Serigala Bertaring Besi), ternyata tidak berdaya apa-apa menghadapi seorang perempuan setengah tua yang cuma bersenjata sebatang kayu pencocok tanah itu. Terlihat betapa tangkasnya ibu Tong Lam-hou memainkan kayunya itu sehingga Mo Wan-seng yang bersenjata pedang itu tidak berhasil meratas putus kayu itu, bahkan dirinyalah yang selalu terancam oleh ujung kayu yang runcing itu. Pakkiong Liong setelah yakin bahwa keselamatan ibu Tong Lam-hou tidak terancam, kini dapat memusatkan perhatiannya kepada musuhnya. Ia tidak saja berkelahi dengan tangan dan kakinya, tapi juga dengan otaknya. Meskipun ia tanu bahwa Sin-bok hwesio bertenaga besar, namun Pakkiong Liong tidak takut. Tapi ia lebih suka berkelahi dengan mengandalkan kelincahan dan kelenturan tubuhnya untuk menghadapi Sin-bok Hweshio yang kaku seperti badak itu. Dengan silat gaya naganya Pakkiong Liong memperlihatkan gerakan aneh-aneh yang membuat Sin-bok Hweshio kebingungan. Kadang-kadang berguling di tanah, atau merendahkan badannya sampai hampir rata dengan tanah, lalu meletik bangun dan berputar di udara, meliuk dan menyambar dari atas dan di lain saat kembali menyergap dari bawah. Maka tongkat panjang Sin-bok Hweshio yang sebenarnya mampu menghancur-leburkan sebongkah batu karang itu jadi kehilangan daya gunanya. Meskipun tongkat itu berputar-putar dengan kekuatan penghancur yang besar, namun yang dikenalnya selalu angin belaka, sedang Pakkiong Liong seperti segumpal asap saja, yang buyar setiap kali tersentuh. Sin-bok Hweshio sampai mandi keringat sehingga jubahnya lengket dengan, kulitnya, namun tak dapat mengenai lawannya yang lincah itu. Setelah merasa berhasil mendesak lawannya setapak demi setapak, Pakkiong Liong yang sudah tidak sabar itu memutuskan untuk segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan ilmu pamungkasnya, Hwe-liong-sin-kang (Tenaga Sakti Naga Api) yang diandalkannya itu. Dan si pendeta gadungan Sin-bok Hweshio itu segera merasakan akibatnya. Mula-mula ia hanya merasa agak heran ketika merasa di udara di sekitarnya terasa agak hangat, namun kemudian meningkat makin lama makin panas sampai rasanya berada dalam tanur pembakaran. Dan dilihatnya sepasang telapak tangan Pakkiong liong telah menjadi merah membara bagaikan besi dibakar, itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang tingkat ke delapan, tingkat yang paling tinggi yang dikuasai oleh Pakakiong Liong. Sin-bok Hweshio segera merasa napasnya menjadi sesak karena udara yang terlalu panas di sekitarnya, keringatnya seakan terperas habis dan kulitnya hangus, sehingga dengan sendirinya gerakan senjatanyapun semakin kendor. Tapi ia tidak beraya melepaskan diri dari libatan udara maha panas itu, sebab Pakkiong Liong terus mendesaknya dalam pertempuran jarak dekat, sehingga Sin-bok Hweshio benar-benar setengah mati. Untung tenaga dalamnya cukup tangguh sehingga untuk sementara masih bisa bertahan, sambil mencoba mengulur waktu untuk menunggu bantuan Lamkiong Siang setelah Lamkiong Siang menyelesaikan lawannya. Terdengar Pakkiong Liong mengejek, "Sayang sekali, upah yang bakalan kau terima dari Li Tiang-hong itu bukan berupa uang emas atau perak, tetapi cuma kertas kuning." Kertas kuning adalah "uang" untuk orang yang mati, menurut adat Cina, dengan demikian Pakkiong Liong mengejek lawannya sudah pastl akan mati. "Persetan! Aku belum kalah!" teriak Sin-bok Hweshio dengan marah sambil mengerahkan seluruh ilmunya untuk bertahan. Bertahan bukan saja melawan sepasang telapak tangan yang merah membara itu, tetapi juga hawa panas yang terus melibatnya tanpa kenal ampun. Dan sia-sia pula jika Sin-bok Hwesio mengharapkan bantuan Lamkiong Siang, sebab sahabatnya itupun sedang kerepotan menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun ia telah memutar pedangnya sekencang angin, namun ternyata Tong Lam-hou memiliki gerakan yang lebih cepat daripadanya, sehingga serangan-serangannya tetap saja bisa mengenai tubuh Lamkiong Siang betapapun rapatnya ia bertahan. Beberapa bagian tubuh Lamkiong Siang memar rasanya terkena pukulan atau tendangan Tong Lam-hou yang keras seperti palu baja itu. Sedangkan pedangnya bergerak dengan sia-sia saja tanpa bisa mengenai tubuh lawan, sebab lawannya seperti sesosok hantu saja yang tak tersentuh badan kasar. Seolah-olah Tong Lam-hou sudah berjanji dengan Pakkiong Liong, begitu Pakkiong Liong menggunakan ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang panas luar biasa itu, tiba-tiba Tong Lamhou juga ingat bahwa ia memiliki yang serupa, meskipun akibatnya berlawanan. Ilmu ajaran gurunya yang disebut Hian-in-ciang (Pukulan Maha Dingin). Maka seolah bersaing dengan Pakkiong Liong, Tong Lam-hou juga mengeluarkan ilmunya itu untuk mempercepat selesainya pertempuran.... |
Selanjutnya;
|