Pendekar Naga dan Harimau Jilid 05
PEREMPUAN itu menyeret sebuah usungan dari kayu kasar yang diberi tali yang dikalungkan di pundaknya yang kuat. Diatas usungan ada beberapa keranjang besar yang masing-masing berisi kentang, lobak, semangka, labu dan sayur-sayuran segar lainnya, tapi ada dua buah keranjang yang kosong.
Pakkiong Liong langsung memberi hormat kepada ibu Tong Lam-hou itu sambil berkata, "Aku mengucapkan terimakasih atas pertolongan bibi dan putera bibi."
Ibu Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa, "Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi tentang pertolongan itu. Itu kewajiban setiap orang. Tetapi sungguh mengherankan bahwa kau sembuh begitu cepat?"
"Ini berkat perawatan bibi dan saudara Lam-hou yang sangat cermat. Sekarang aku bisa membantu bibi menaruh keranjang-keranjang itu yang ini akan ditaruh di mana?"
"He, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat dulu!" cegah ibu Tong Lam-hou. "Ih, anak bandel! Nanti lukamu kambuh lagi! Biar A-hou saja yang mengangkatnya!"
Tiba-tiba saja kewalahan perempuan ibu Tong Lam-hou itu menimbulkan suatu perasaan aneh dalam diri Pakkiong Liong. Nada suaranya itu seperti seorang ibu yang memarahi anaknya yang kecil ketika bermain-main air hujan, alangkah sejuk rasanya dalam perasaan Pakkiong Liong. Ia sudah tidak mempunyai ibu sejak berumur tiga tahun. Dan alangkah terasa sepinya jika dilihatnya anak-anak lain bermanja-manja kepada ibunya, bahkan jika anak itu diomeli oleh ibunya.
Ketika ia menjadi remaja dan selesai berguru kepada Hoat-beng Lama di Tibet, ia menjadi seorang prajurit, dan mengisi kesepian hatinya dengan kesibukan-kesibukan seorang prajurit dari sebuah negeri yang sedang meluaskan wilayahnya. Ia menjadi prajurit yang disegani kawan dan lawan, kemenangan demi kemenangan diraihnya, dan gadis-gadis Manchu memujanya seperti memuja seorang pahlawan dalam dongengan saja, tetapi kerinduan hatinyanya terhadap seorang ibu tak terisi juga.
Inang pengasuhnya tidak dapat mengisi kekosongan itu, sebab sang inang masih merasakan jarak antara dirinya yang hanya rakyat jelata itu dengan anak asuhannya yang masih punya hubungan darah agak jauh dengan Kaisar Sun-ti. Kini, di depan gubuk reyot di lereng Tiam-jong-san itu tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang selama ini dirindukannya, dan perasaan Pakkiong Liong pun bergolak. Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya agar matanya yang basah tidak terlihat oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sementara itu, ibu Tong Lam-hou masih saja menyerocos terus tanpa mengetahui apa yang sedang bergejolak di hati Pakkiong Liong itu, "Kau harus memperhatikan dirimu, meskipun tubuhmu cukup kuat. Eh, anak muda, kami belum mengetahui namamu..."
"Namaku Pakkiong Liong," sahut Pakkiong Liong. "Tapi jika bibi dan A-hou mau, boleh panggil dengan A-liong begitu saja."
"Pakkiong Liong? Namamu agak aneh kedengarannya. Kau tentu orang dari luar Tembok Besar bukan.?”
"Benar, bibi, aku adalah seorang Manchu," Pakkiong Liong menyahut sambil mencoba memperhatikan perubahan air muka perempuan tua itu. "Aku seorang dari sebuah bangsa yang sering disebut sebagai penjajah, meskipun sebenarnya kami hanya ingin mempersatukan."
Ternyata sikap dan tanggapan ibu Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong, "ah, apa bedanya antara Manchu dan bukan Manchu? Yang sanggup mengayomi negeri, itulah yang berhak duduk di singgasana. Aku pernah mengalami masa pemerintahan orang Han di jaman dinasti Beng, ternyata mereka tidak becus memerintah sampai negeri menjadi kacau-balau. Dulu aku tinggal di.sebuah desa di Se-cuan, tapi gara-gara perang sampai berada di tempat ini, padahal ketika itu aku sedang mengandung A-hou dalam perutku."
"Apakah saat itu ayah masih ada?" tiba-tiba Tong Lam-hou bertanya.
Perempuan itu menarik napas panjang-panjang dan berusaha untuk menutupi kepedihannya, “Tidak. Saat itu ayahmu sudah tidak bersamaku lagi. Tapi jangan salah paham, A-hou. Ayahmu waktu itu tidak bersamaku bukan karena tidak bertanggung-jawab, melainkan karena ia seorang ksyatria sejati yang lebih mementingkan rakyat daripada mementingkan keluarganya sendiri. Saat itu ayahmu dan teman-temannya tengah dalam perjuangan yang gigih untuk menumbangkan pemerintahan bobrok dinasti Beng..."
Pakkiong Liong terkesiap mendengarnya. "Apakah suami bibi dulu berjuang di pihak Li Cu-seng?"
"Entahlah, ia jarang sekali berbicara tentang hal perjuangannya, dan andaikata berbicara juga ia hanya bicara samar-samar. Satu yang kutahu, ia tidak senang di bawah perintah siapapun, sehingga kurang kuatlah anggapan bahwa ia menjadi pengikut Li Cu-seng. Aku pernah melihat ia seorang diri saja telah membuat kocar-kacir sepasukan tentara Beng yang berjumlah hampir seratus orang, yang ketika itu sedang memeras sebuah desa."
Ketika berbicara tentang suaminya itu, maka perempuan Hui itu memancarkan sinar kebanggaannya. "Siapa nama suami bibi 'tu?" tanya Pakkiong Liong lagi.
'''Namanya Tong Wi-siang. Ilmu silat aslinya beraliran Soat-san-pay, tapi ia dan teman-temannya kemudian mendapat suatu penemuan ilmu silat di pegunungan Bu-san di Se-cuan, sehinggai ilmunya melonjak dengan tinggi, bahkan mengungguli tokoh-tokoh tua di jaman itu, meskipun ilmu barunya itu dianggap sebagai ilmu sesat oleh sebagian orang."
Nama itu agaknya memang bukan nama sambil lalu saja. Meskipun Pak-kiong Liong belum pernah mendengarnya karena perbedaan kurun waktu, tapi kesimpulannya ialah bahwa Tong Lam-hou bukan keturunan orang sembarangan. Dan ternyata sudah terbukti pula bahwa Tong Lam-hou sendiri juga bukan pribadi sembarangan, meskipun tampangnya seperti tampang anak gunung yang amat sederhana, lebih-lebih gurunya yang telah mendidiknya menjadi selihai itu tentu manusia yang maha dahsyat pula.
Mungkin tidak kalah dari guru Pakkiong Liong yang bermukim jauh di negeri. Tibet sana. "Guru Tong Lam-hou pasti sejajar dengan guruku, dan tokoh-tokoh setingkat mereka tidak banyak jumlahnya di dunia persilatan ini," pikirnya.
Sementara itu Tong Lam-hou telah mengatur keranjang-keranjang sayur-sayuran itu di samping gubuknya. Ketika melihat ada dua keranjang yang kosong itu, Tong Lam-hou bertanya kepada ibunya, "Kenapa kosong, bu? A-pakah kebun kita diserang monyet lagi?"
Ibu Tong Lam-hou menyeka keringat disahinya. sambil menggerutu, "Kali ini monyet-monyetnya bukan monyet-monyet gunung, tapi monyet-monyet dalam ujud manusia yang menamakan diri 'gerakan pembebas tanah-air' itu. Benar-benar menjemukan, dulu ketika dinasti mereka masih berkuasa, daerah ini dibiarkan saja tanpa kemajuan apa-apa, sekarang setelah mereka terjungkir dari tahta, rakyat daerah ini dipaksanya membantu perlawanan mereka dengan menarik hasil kebun kita seenaknya sendiri saja."
Pakkiong Liong yang berdiri bersandar didekat pintu itu diam saja. Namun diam-diam ia mencatat suatu hal dalam hatinya. Rakyat yang tidak diperhatikan kesejahteraannya tentu kurang kesetiaannya kepada kerajaan, karena itu Pakkiong Liong merencanakan jika dia mampir ke kota Kun-beng sebagai Ibukota wilayah Hun-lam, ia akan menemui Sun-bu (Kepala Daerah) untuk memberikan perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil ini, supaya rakyat di sini lebih setia kepada Kerajaan Manchu dan dengan demikian mempersempit ruang gerak para pemberontak.
Sementara itu, sambil menumpuk-numpuk keranjang sayurannya, Tong Lam-hou juga ikut mengomentari, "Benar, bu. Setiap kali mereka selalu bicara di depan orang-orang desa tentang perjuangan mereka, perjuangan yang tidak bakal banyak berarti bagi rakyat kecil, sebab begitu mereka duduk di singgasana akan lupalah mereka kepada rakyat yang pernah mendukung mereka. Kita hanya butuh ketenangan untuk bertani dan berkebun, tapi mereka setiap kali datang dengan senjata-senjata terhunus, tidak jarang mengancam dan. menakut-nakuti orang-orang yang tidak menuruti kemauan mereka. Kenapa mereka tidak jadi perampok sekalian? Kenapa mesti memakai nama yang mentereng sebagai pembebas tanah air? Pantaslah dulu ayah melawan dinasti bobrok itu, sampai sekarangpun keturunannya tetap bobrok!"
Dalam hatinya Pakkiong Liong merasa senang atas tanggapan ibu dan anak itu kepada keadaan negara saat itu, namun ia tidak mengomentarinya supaya di kemudian hari tidak dituduh sebagai mempengaruhi pendapat orang. Bahkan pertanyaannya kemudian seolah-olah tak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan pemerintahan, "Hasil kebun sebanyak ini dikemanakan saja, bibi?"
"Sebagian dijual ke Jit-siong-tin, desa yang paling besar di sekitar sini, di sana ada sebuah pasar besar di mana pedagang dan pembeli dari desa-desa sekitar berdatangan setiap hari. Keperluan-keperluan lain seperti bahan pakaian atau barang-barang lain juga bisa didapatkan di sana. Sisa dari hasil bumi ini. kami simpan untuk makan sehari-hari."
"Apakah kebun bibi luas?"
"Lereng gunung ini tak ada penghuninya, kita mau menggarap seberapapun luasnya bisa saja asal tenaganya mencukupi. Untung tubuh A-hou sangat kuat hingga tanah yang digarapnya dapat cukup banyak."
"Apakah kehidupan demikian tidak terlalu berat?"
"Berat tidak berat itu bukan urusan kami, sebab tanpa kerja kami tidak makan."
"Kapan hasil kebun hari ini akan dibawa ke pasar Jit-siong-cin?"
"Besok. Agar sayurannya masih segar. A-hou yang biasanya membawanya ke sana dengan berangkat pagi-pagi buta."
"Biarlah besok aku pergi bersama A-hou," kata Pakkiong Liong tiba-tiba.
"Pasar-pasar di kota-kota besar sudah pernah kulihat, tetapi pasar di tempat terpencil seperti ini belum kulihat."
Ibu Tong Lam-hou membelalakkan matanya, "He, kau anak kota, mana bisa kau memikul keranjang sayuran seperti anak-anak gunung? Lagipula meskipun lukamu sudah baik tetapi badanmu masih lemah."
"Sudah kuat, bibi." kata Pakkiong Liong sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, kemudian melakukan beberapa loncatan kecil. "Besok badanku akan kuat kembali seperti biasa, dan jika aku berbaring saja malahan tidak sembuh-sembuh."
"Ah, agaknya kau seorang bandel juga dan suka membantah orangtua," sungut Ibu Tong Lam-hou itu. "Persis seperti A-hou."
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bertukar pandangan, dan merekapun tertawa serempak. Kata Pakkiong Liong, "A-hou, besok pagi-pagi jika kau hendak berangkat ke Jit-siong-tin, bangunkan aku. Biar aku sekali-sekali belajar mengerjakan pekerjaan anak-anak desa."
"Bertani dan berladang juga?"
"Ya, apa salahnya? Itu pengalaman baru bukan?"
Tong Lam-hou tertawa riang. "Memang pengalaman baru untukmu. Kau nanti akan merasa bahwa mengayun cangkul untuk melubangi tanah tidak kalah asyiknya dengan mengayun pedang untuk melubangi dada musuh di medan perang. Mengayun cangkul berarti melestarikan kehidupan, mengayun pedang menyebar kematian dan penderitaan."
Pakkiong Liong menyeringai mendengar perbandingan yang dikemukakan oleh Tong Lam-hou itu. Namun ia mencoba membela pendiriannya, "Mengayun pedang menyebar kematian, itu benar, tapi keliru kalau dikatakan menyebar penderitaan. Justru untuk membasmi para pengacau. Tanpa prajurit yang menjaga keamanan, apakah para petani berani keluar untuk menggarap ladangnya sambil berdendang?"
"Aku? Aku tetap berani...."
"Ya, karena kau seorang petani istimewa. Sekelompok penjahat tidak berarti apa-apa di hadapanmu. Tetapi petani-petani lainnya?"
Tong Lam-hou mengerutkan alisnya sebentar, lalu, "Betul juga kau. Tapi tanpa petani, prajurit-prajurit juga akan kelaparan sebab tidak ada yang menanam padi..."
"Jadi...."
"Jadi bagaimana? Agaknya prajurit dan petani harus melaksanakan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya, supaya negara kuat dan sejahtera."
Keduanya lalu tertawa berbareng. Perasaan saling bersahabat telah saling menebal di hati masing-masing. Ibu Tong Lam-hou yang mendengar perdebatan tentang prajurit dan petani itu menjadi terheran-heran. Tanyanya, "Eh, apa-apaan kalian ini? Kenapa bicara tentang membunuh musuh di medan perang segala?"
Tong Lam-hou yang menyahut, "Tadi sebelum ibu datang, aku sudah bercakap-cakap dengan A-liong. Ia seorang prajurit Kerajaan Manchu, dan tersesat ke daerah ini ketika menjalankan tugasnya. Makanya aku sarankan agar ia belajar menjadi petani saja."
"Ah, A-hou, memangnya kenapa kalau prajurit? Bukankah itupun pekerjaan mulia? Menantang bahaya demi membela rakyat yang lemah? Dan ibu sendiri juga tidak ingin melihat kau terus-terusan berada di lereng terpencil ini, tapi turun ke masyarakat menjadi orang yang gagah perkasa seperti mendiang ayahmu. Punya nama besar dan dikagumi orang..."
"...dan membunuh sesama manusia tanpa berkedip?" potong Tong Lam-hou dengan bersungut.
"Tentu saja tidak. Seorang prajurit kadang-kadang membunuh, tapi yang dibunuh haruslah orang-orang berbahaya yang tidak dapat diperbaiki lagi," Pakkiong Liong yang menjawab. "Orang macam itu kalau tidak dibunuh malahan akan membunuh orang lain lebih banyak lagi. Jadi lebih baik satu nyawa melayang daripada sepuluh nyawa melayang."
"Apakah orang sejahat itu benar-benar ada? Aku kurang percaya."
Kali ini Pakkiong Liong membiarkan ibu Tong Lam-hou yang menjawabnya, "Bukan saja ada, malah jumlahnyapun banyak sekali. Mungkin kau belum pernah melihatnya, anakku, karena sejak lahir kau belum pernah melangkah lebih jauh dari Jit-siong-tin. Dan orang orang Jit-siong-tin adalah orang-orang desa yang umumnya baik. Tapi kelak jangan terkejut jika di dunia ramai kau temui orang-orang semacam itu. Orang yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli sesamanya menderita kesengsaraan."
"Dunia ramai seperti itu sungguh menakutkan bu, aku tidak ingin memasukinya. Lebih baik aku tetap menjadi petani di tempat ini."
"Kau keliru besar, anakku. Semisal sebuah cangkul, andaikata ia disimpan terus ia akan tetap bersih dari lumpur, namun tidak berguna sedikit-pun. Jika ia dipakai mencangkul di ladang, ia akan berguna meskipun lumpur di ladang itu akan melekat kepadanya. A-hou, ibu dan ayahmu dan bahkan juga gurumu tidak mengharap kau menjadi pertapa yang menghabiskan umur ditempat sunyi ini. Kau harus turun gunung sebagai seorang ksyatria, karena banyak orang yang memerlukan pembelaanmu."
Tong Lam-hou hanya menundukkan kepalanya tanpa menjawab ya atau tidak. Sementara itu Pakkiong Liong telah berkata menyambung, "Ucapan ibumu itu tepat sekali, A-hou. Kau akan hidup tenang di tempat ini, tapi berarti kau mementingkan dirimu sendiri, sebab kau sama sekali tidak peduli oleh sesamamu yang tengah hidup terancam orang-orang jahat. Padahal ilmumu yang tinggi kau tentu dapat berbuat sesuatu."
Tong Lam-hou hanya menarik napas saja. Ia merasa ucapan ibunya dan pakkiong Liong itu benar adanya, namun terlalu sulit rasanya untuk memutuskan sekarang juga. Ia masih terikat oleh sejuknya alam pegunungan, kicau burung merdu di pagi hari, gemericiknya air di sela-sela bebatuan, dan tawa ramah dan lugu dari orang-orang desa yang dikenalnya. Akankah ia meninggalkannya dan terjun ke sebuah dunia yang asing, di mana yang nampak di wajah belum tentu sama dengan yang ada di hati, senyuman adalah alat penipuan, dan pedang menjadi begitu sering ditarik keluar dari wadahnya? Keputusan memang belum dapat diambil seketika.
Sementara itu Pakkiong Liong juga cukup bijaksana untuk tidak teralu mendesak Tong Lam-hou. Mungkin bisa saja Tong Lam-hou dibujuknya agar mengambil keputusan saat itu juga, tapi keputusan yang tergesa-gesa dibuat pada saat jiwa belum mengendap adalah keputusan yang tidak matang, dan dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Ini tidak diinginkan oleh Pakkiong Liong. Ia sudah merasakan persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan Tong Lam-hou.
Meskipun dalam waktu yang singkat, dan pakkiong Liong tidak ingin menjadikan Tong Lam-hou sekedar alatnya, namun sebagai sahabatnya. Tetap dalam kepribadiannya. Untuk diajak membagi suka dan duka, kejayaan dan kemuliaan. Persahabatan tulus antar pribadi, bukan untuk saling memperalat demi tercapainya tujuan masing-masing.
Pada kesempatan itu Pakkiong Liong juga melihat sendiri betapa beratnya kehidupan rakyat kecil. Tadinya sebagal seorang Panglima yang berkedudukan di Ibukota, ia tidak pernah memahami hal itu. Di gedungnya yang besar dan indah, ia tinggal menyuruh pelayan untuk menyediakan makan, dan makanan yang lezat-lezat pun terhidang. Tak terbayangkan ada seseorang membanting tulang dari pagi sampai sore nanya untuk menyuapi mulut untuk hari ini, hanya untuk hari ini.
"Kesejahteraan rakyat harus ditingkatkan agar dinasti Manchu ini langgeng, tidak rapuh seperti dinasti Beng," kata Pakkiong Liong di dalam hatinya sambil melihat bagaimana Tong Lam-hou membelah-belah kayu besar di halaman samping gubuknya. "Tetapi sebelum itu, para pengacau yang mengimpikan masa lalu itu harus ditumpas habis lebih dulu."
Hari itu terasa sebagai hari yang mengesankan bagi Pakkiong Liong. Di tempat yang terpencil di lereng Tiam-jong-san. itu, ia menemukan kasih-sayang dan persahabatan yang tulus, hakekat dari keberadaan manusia di jagad raya. Namun ia menarik napas kalau ingat tugas-tugasnya sebagai prajurit belum selesai.
Suatu saat nanti ia akan kembali ke medan perang, ke tempat manusia saling membantai, namun Pakkiong Liong tidak mengingkarinya. Ia memang tidak suka berperang, namun dengan demikian ia harus berperang dengan sungguh-sungguh agar musuh cepat tertumpas dan perangpun cepat berakhir.
Malam harinya, di gubuk kecil yang hanya diterangi lampu minyak kecil itu benar-benar terdapat sebuah kegembiraan. Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan ibunya duduk mengelilingi sebuah meja yang kasar, makan malam bersama, yang dimakan juga masih makanan siang tadi. Bubur, lalu "daging aneh" seperti, dendeng, ditambah dengan kuah lobak yang segar.
"Kau harus makan banyak supaya tubuhmu cepat kuat kembali, A-liong," kata ibu Tong Lam-hou dengan nada keibuan, sambil menyendokkan bubur lebih banyak lagi ke mangkuk Pakkiong Liong.
Pakkiong Liong hanya mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab, sebab mulutnya sedang penuh makanan sampai pipinya menggembung. Panggilan "A-liong" terasa sangat menyegarkan jiwanya, sebab ia sudah bosan dengan panggilan "Ciangkun" atau "tuanku" atau "Yang mulia" yang dilakukan para bawahannya sambil menyerigai untuk menjilat.
Seakan berlomba, bila Pakkiong Liong menghabiskan semangkuk, Tong Lam-hou juga semangkuk. Pakkiong Liong tambah semangkuk, begitu pula Tong Lam hou, sampai akhirnya masing-masing makan tiga mangkuk besar bubur. Sambil mengendorkan ikat pinggangnya dan menepuk perutnya, Pakkiong Liong bertanya, "Bibi semua yang memasak semuanya ini?"
"Tentu saja, masakah A-hou. Pernah ia mencoba memasak dan bubur sepanci hangus semua."
Pakkiong Liong tertawa sambil mengangkat kedua jempolnya, "Hebat sekali makanan bibi ini. A-hou tadi berkata banwa bibi adalah juru masak nomor satu di dunia dan sekarang aku baru percaya."
Ibu Tong Lam-hou pun tertawa dan menyahut, "Memuji atau menyindir? Kau anak kota tentu pernah makan di rumah rumah makan terkenal dengan masakan kebanggaannya masing-masing. Sengaja membuat aku jadi besar kepala?"
Pakkiong Liong tersenyum. "Tidak bibi, aku tidak berbasa-basi tetapi masakan bibi benar-benar luar biasa. Jika bibi membuka rumah makan di Pak-khia, rumah-rumah makan lain pasti bangkrut. Entah dendeng apa ini?"
"Dendeng serigala. A-hou yang mencari serigala dan aku buat dendengnya, cukup laris di Jit-siong-tin," sahut ibu Tong Lam-hou tenang.
Pakkiong Liong membelalakkan matanya mendengar itu katanya, "Tak terduga. Baru beberapa malam yang lalu aku hampir disantap serigala, dan sekarang aku menyantap daging mereka."
Malam itu mereka masih bercakap-cakap ringan-ringan saja, sebelum masing-masing masuk tidur. Dengan dibantu oleh ibunya, Tong Lam-hou masih sempat mengganti obat di mulut luka Pakkiong Liong yang hampir merapat sempurna itu. Lalu membalutnya dengan kain bersih. Pakkiong Liong membiarkan saja apa yang diperbuat ibu dan anak itu dengan perasaan terimakasih dalam hatinya.
"Kau sangat mahir ilmu silat dan ilmu pengobatan. Siapa gurumu?" tanya Pakkiong Liong kepada Tong Lam-hou.
"Guruku seorang tua yang bernama Ang Hoan. Usianya hampir seratus tahun tapi masih sanggup berjalan dari kaki gunung sampai ke gua kediamannya di puncak gunung ini dengan kecepatan seperti terbang saja. Kata guru sendiri, beberapa orang yang kurang suka kepada gerak-gerik guru telah memberinya julukan Tiam-jong-lo-sia (si Sesat Tua dari Tiam-jong-san)."
Hati Pakkiong Liong bergetar mendengar nama itu. Gurunya pernah bercerita kepadanya bahwa puluhan tahun yang lalu orang-orang rimba persilatan di Tiong-gan pernah mencoba membuat urut-urutan siapa orang yang paling lihai di Tiong-gan itu. Lalu tersusunlah sepuluh nama, dan Tiam-jong-losia Ang Hoan ini menduduki urutan pertama. Pakkiong Liong tak menduga kalau tokoh itu masih hidup. Ia terkenal dengan ilmunya yang disebut Hian-im-ciang (Pukulan Maha Dingin) yang sangat berlawanan dengan Hwe-liong-sin-kang nya Pakkiong Liong.
Jika Hwe-liong-sin-kang dapat menghanguskan badan musuh, maka Hian-im-ciang dapat membuat darah musuh membeku dalam sekali pukul, dan jika darah membeku maka jantungnya akan berhenti berdenyut dan lawanpun mampus. Entah Tong Lam-hou sudah memperoleh itu atau belum?
Kata Pakkiong Lione, "Pantas kau hebat, A-hou. Kiranya kau murid pendekar tua yang kenamaan itu. Apakah beliau masih sehat-sehat saja?"
"Itulah hebatnya guruku. Makin tua bukan makin loyo tapi makin sehat, agaknya karena kegemarannya berlatih silat itulah."
Sementara mereka bercakap-cakap itu, luka Pakkiong Liong sudah selesai ditaburi dengan obat baru. Tong Lam-hou lalu menguap sambil berkata, "Nah, sudah beres. Tidurlah. Aku juga harus tidur supaya besok tidak terlambat bangun untuk berangkat ke Jit-siong-tin."
"Apakah Jit-siong-tin itu jauh?"
"Tidak jauh jika sudah biasa ke sana. Tapi jika tidak bangun pagi-pagi benar akan terlambat sampai ke pasar, dan kita tidak kebagian tempat untuk menggelar barang-barang dagangan kita."
"Sekarang, di mana kau akan tidur, A-hou? Bukankah yang kutiduri ini adalah pembaringanmu?"
"Jangan dipikirkan, aku bisa tidur di mana saja. Kau masih belum sehat betul, tidurkah dipembaringanku," sambil berkata demikian Tong Lam-hou telah menggelar sehelai tikar di lantai gubuknya, lalu membaringkan dirinya tanpa canggung sedikitpun. Tak lama kemudian iapun telah terlelap.
Yang tidak dapat segera memejamkan matanya adalah Pakkiong Liong. Sambil menatap gubuk yang terbuat dari ilalang itu, pikiranya menerawang jauh. Gumamnya seorang diri, "Inilah sebuah surga kecil ditengah-tengah neraka dunia yang masih saja bising dengan peperangan."
Tiba-tiba dirasanya alangkah senangnya jika ia bisa mencopot tanda-tanda keprajuritannya dan kemudian berdiam di tempat itu. Namun kemudian ia sadar, bahwa tenaganya masih sangat diperlukan untuk mempersatukan seluruh negeri ini di bawah satu bendera. Terbayang wajah ayahnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya, "Abdikan dirimu untuk Negara dan Kaisar. Satukan seluruh daratan benua di bawah bendera Manchu."
Dan semangat Pakkiong Liong yang hampir saja padam terbuai oleh ketenteraman di gubuk itu, kini berkobar kembali. Disadari memang belum saatnya memikirkan ketenangan diri sendiri, sementara para perongrong pemerintah Manchu masih berkeliaran di mana-mana. Dan Pakkiong Liong sendiripun tidak tahu; sampai kapan titik akhir perjuangannya.
Namun akhirnya Pakkiong Liong terlelap pula dalam tidurnya. Kokok ayam hutan yang terakhir pada dini hari telah membangunkan seisi gubuk kecil itu. Pakkiong Liong membantu Tong Lam-hou dan ibunya mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke pasar.
"Kau benar-benar ingin ikut?" tanya Tong Lam-hou.
"Ya," sahut Pakkiong Liong.
"Tetapi kau tentu tidak dapat pergi ke pasar itu dengan baju seragam prajuritmu itu," kata Tong Lam-hou. "Nanti akan menarik perhatian dan barangkali menimbulkan masalah dengan orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah-air itu."
Saat itu memang Pakkiong Liong masih memakai seragam Hui-liong-kun yang dikenakannya paa saat ia mengejar Pangeran Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya. Baju yang dipakainya ketika tidur sehingga sudah kusut. Sesaat Pakkiong Liong menjadi kebingungan, kalau tidak memakai baju yang ini lalu memakai baju yang mana? Satu-satunya pakaian cadangannya sudah dibawa lari oleh kudanya ketika ketakutan bertemu dengan serigala dulu. Tapi baju yang dibawa lari itupun baju prajurit.
Saat Pakkiong Liong kebingungan itu, ibu Tong Lam-hou telah mengeluarkan sepasang pakaian yang sederhana tetapi bersih. Katanya, "Pakai saja baju A-hou ini, badanmu hampir sama dengan badan A-hou. Tentunya cocok."
Maka Pakkiong Liong-pun berganti pakaian sehingga mirip anak desa, hanya saja kulitnya masih terlalu putih dibandingkan dengan anak-anak desa umumnya. Ia juga mengganti sepatu kulitnya yang tingginya sampai ke betis itu dengan sepatu dari jerami seperti yang biasa dipakai orang-orang desa, kepalanya memakai tudung bambu yang bukan saja berguna melindungi kepalanya dari sinar matahari tetapi juga untuk menyamarkan wajahnya apabila bertemu dengan musuh-musuhnya.
Bukannya Pakkiong Liong takut, tapi ia masih belum mau menyulitkan Tong Lam-hou dan ibunya yang telah berbuat banyak kebaikan untuknya itu. Dan bagaimanapun juga Pakkiong Liong belum, melepaskan naluri keprajuritannya sama sebali. Maka diam-diam dibawanya sepasang pisau belati di balik bajunya, namun tidak ingin hal itu diketahui oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sebelum hari menjadi terang, berangkatlah kedua anakmuda itu memikul keranjang-keranjang berisi macam-macam sayuran. Bahkan salah satu keranjang juga berisi berpuluh-puluh lembar daging kering "dendeng serigala" yang menurut ibu Tong Lam-hou cukup digemari oleh orang-orang Jit-siong-tin. Pakkiong Liong sendiripun sudah merasakan betapa lezatnya daging itu.
Karena menganggap Pakkiong Liong masih lemah, maka Tong Lam-hou berjalan perlahan-lahan saja, tapi ketika melihat Pakkiong Liong dapat mengikuti langkahnya dengan baik, maka Tong Lam-hou mempercepat langkahnya. Ternyata Pakkiong Liong tetap tidak ketinggalan selangkahpun, bahkan deru napas yang terengah-engahpun tak kedengaran.
Tiba-tiba timbul keinginan Tong Lam-hou untuk menguji sampai di mana ilmu teman barunya yang mengaku sebagai prajurit Kerajaan Manchu ini. Maka kini ia tidak berjalan di jalan setapak yang rata, melainkan memilih lereng-lereng yang licin karena hujan. Berliku-liku, meloncat, menyusup, meluncur turun dan kemudian mendaki tebing-tebing yang hampir tegak lurus sambil menjaga agar isi keranjangnya tidak berceceran.
Ternyata pakkiong Liong tetap dapat mengikuti Tong Lam-hou tanpa terpisah jauh. Bahkan, dasar anak-anak muda yang selalu ingin menang, kedua orang itupun kemudian berlomba untuk saling mendahului dengan mengerahkan Ilmu masing-masing. Sampai akhirnya kedua anak muda itu bagaiakan bayangan sepasang hantu yang terbang dari atas gunung tanpa menginjak tanah.
Tiba di kaki gunungg, Tong Lam-hou lebih dulu menghentikan luncuran tubuhnya sambil berseru, "Hebat!"
Pakkiong Liong-pun berhenti meluncur dan menjawab. "Kau juga hebat!"
Kedua anak muda itu bertukar pandangan sambil tertawa, sementara napas mereka masih megap-megap karena baru saja mengerahkan seluruh kekuatan untuk lomba lari yang luar biasa itu. Kedudukan boleh dikatakan seimbang, namun Tong Lam-hou dapat dikatakan memiliki kelebihan sedikit dalam kekuatan jasmani sebab lereng gunung itu memang medan latihannya setiap hari, sehingga otot-otot kakinyapun tumbuh dengan kokohnya. Andai kata lomba lari itu diperpanjang lebih jauh lagi sedikit, maka Pakkiong Liong akan kalah selapis.
"Kau lebih hebat dari aku, A-hou," kata Pakkiong Liong. "Jika orang muda sehebat kau masuk menjadi prajurit, kerajaan, maka perang akan semakin cepat selesai dan rakyat pun bisa segera membangun dergan rasa aman."
"Apakah semua prajurit sehebat kau, A-liong?"
"Tidak semuanya. Tapi cukup banyak yang kekuatannya merata, misalnya para perwira, apalagi para Panglima. Namun negeri ini terlalu luas dan pemerintah masih membutuhkan banyak prajurit-prajurit yang baik."
"Mari kita lanjutkan perjalanan, tapi sudah tidak ada lomba lari lagi."
Pakkiong Liong tersenyum. "Kenapa?"
"Jalan ini sebentar lagi akan ramai dengan orang menuju Jit-siong-tin. Jika kita berlari-lari malah akan disangka maling jemuran."
Kedua anak muda itupun kemudian berjalan berlenggang ke Jit-siong-tin sambil bercakap-cakap santai. Sepanjang jalan, Tong Lam-hou banyak membalas sapaan ramah dari orang-orang yang menuju ke arah yang sama, agaknya memang sudah saling kenal dengan Tong Lam-hou.
"A-hou, kau tidak lupa pesananku bukan?" kata seorang lelaki setengah baya yang berjenggot seperti kambing.
"Tidak lupa, paman Lo. Sepuluh lembar dendeng dengan mutu terbaik?"
"Ah, kau pintar memuji barang dagangan sendiri. Tapi kuambil nanti siang saja setelah aku menagih di rumah Ji Liok-cu. Jangan lupa, sisakan sepuluh untukku."
"Beres, paman."
Di wilayah yang hampir-hampir tak bertuan itu, letak desa-desa agak berjauhan satu sama lain, dan Jit-siong-tin sebagai desa yang paling besar di sekitar situ telah menjadi semacam "ibukota"nya. Jit-siong-tin terdiri dari kira-kira seratus buah rumah, termasuk rumah kepala desanya yang paling besar, dan di empat penjuru punya pula empat pintu gerbang sehingga mirip sebuah kota, hanya bedanya disini tidak ada tembok kota. Bahkan setiap pintu gerbang dijaga oleh anggauta keamanan desa yang menyandang senjata pula.
Ketika Pakkiong Liong mendekati pintu gerbang selatan, tiba-tiba jantungnya berdegup keras. Dilihatnya digapura desa itu berdiri sebatang bendera bertiang tinggi, bendera yang berwarna kuning dengan gambar matahari merah dan rembulan putih. Bendera Kerajaan Beng!
Darah Pakkiong Liong terasa mendidih melihat itu. "Ini benar-benar gila dengan berani mengibarkan Jit-goat-ki di tempat ramai seperti ini berarti desa ini terang-terangan tidak mengakui kekuasaan yang syah pemerintahan sekarang. Pemasangan bendera ini entah berdasar kehendak penduduk sendiri atau dipaksakan oleh gerombolan pengacau?"
Sebagai prajurit yang setia kepada Kerajaan Manchu, memang Pakkiong Liong merasa tersinggung karena masih ada secuwil tanah yang mengibarkan bendera lain selain bendera Manchu. Geramnya, "Ini suatu keteledoran bagi penguasa Manchu di wilayah ini, agaknya daerah ini tak pernah ditinjau sehingga jatuh ke dalam pengaruh para pembangkang. Meskipun daerahnya hanya kecil saja, tetapi akan dapat menjadi batu pijakan dan sekaligus sumber perbekalan bagi pemberontak untuk memperluas gerakan mereka. Biarpun kecil tapi lama-kelamaan bisa berbahaya."
Sementara Pakkiong Liong melangkah dengan hati yang kisruh, maka Tong Lam-hou melangkah di sampingnya dengan tenangnya. Ia tidak peduli di gerbang desa itu akan dipasang bendera apapun atau cuma sepotong celana butut yang dicantelkan. Pokoknya hari ini dagangannya harus terjual habis, dan barangkali akan dibelinya sepotong baju baru buat ibunya.
Ketika mendekati pintu gerbang, dua orang penjaga bersenjata tombak telah memalangkan tombaknya, dan seorang penjaga lainnya membentak, "A-hou, berhenti!"
Pencegatan seperti itu terhadap para pedagang kecil memang hal biasa, maka tanpa banyak membantah Tong Lam-hou-pun berhenti meskipun dalam hatinya mengumpat. Sambil mengangguk ramah ia bertanya, "Selamat pagi, Hong Toa-ko, apa kabar?"
Pemimpin penjaga di pintu gerbang selatan yang biasa dipanggil Hong Toa-ko atau Hong Lo-toa, malahan oleh anak buahnya sering dipanggil "Hong Tong-leng (Komandan Hong), adalah seorang lelaki empat puluh tahun bertubuh kurus kering bermata tikus, dan lagaknya seperti seorang Panglima besar. Lagaknya yang penuh gertakan itu memang dapat mengalirkan uang ke kantongnya.
Setiap kali ia cukup menggertak seseorang dengan tuduhan "mata-mata Manchu" dan mengancam akan menyeret orang itu ke depan "pengadilan pembela tanah-air", maka orang yang dituduh itu tentu lebih suka mengeluarkan uang setahil dua tahil dan urusanpun akan beres.
Kali ini Hong Lo-toa memilih Tong Lam-hou sebagai sapi perahannya, untuk mengisi kantongnya yang tadi malam telah diludaskan di meja judi. Ia tahu daging dendeng Tong Lam-hou cukup laris, dan tentunya Tong Lam hou punya banyak uang.
Sambil bertolak pinggang dengan dikitari beberapa anak buahnya yang bersenjata, Hong Lo-toa berkata, "A-hou, biasanya kau sendirian saja, mengapa sekarang berjalan bersama seorang yang belum dikenal? Siapa dia?"
Tong Lam-hou sudah tahu Hong Lo-toa ini manusia macam apa. Seorang yang mabuk kekuasaan, gila hormat, mengaku pendukung setia dinasti Beng. Tapi sikapnya sebagai pendukung Kerajaan Beng itu bukan karena pendiriannya yang kuat, melainkan karena desa ini di bawah pengaruh pasukan Li Tiang-hong, sehingga Hong Lo-toa ini cuma mengikuti arah angin sekalian cari untung buat dirinya sendiri.
Begitu "gigih"nya ia, sehingga diangkat sebagai kepala keamanan di Jit-siong-tin yang bertanggung-jawab kepada Li Tiang-hong. Dan ia tidak segan-segan memberi hukuman berat kepada orang-orang desa yang menentang kemauannya, tentu saja dengan mengobral tuduhan "kaki tangan Manchu".
Meski Tong Lam-hou merasa muak, tapi ia tidak ingin bertengkar dengar orang berwatak hina seperti ini. Maka supaya urusan cepat selesai cepat-cepat disusupkannya dua tahil ke genggaman Hong Lo-toa sambil berkata, "Ia saudara sepupuku yang datang dari kota Kubeng, Toako."
Setelah tangannya mengenggam uang, tentu saja kegarangan Hong Lotoa berkurang. "Baik, aku percaya kepadamu karena selama ini memang kau berkelakuan cukup bersih, artinya tidak pernah dicurigai sebagai kaki-tangan musuh. Siapapun yang kedapatan berhubungan dengan kaki-tangan Manchu, akan dihukum."
Pakkiong Liong agaknya sudah tidak dapat menahan hati lagi, maka tiba-tiba ia bertanya, "Siapa yang akan menghukum?"
Hong Lotoa menatap heran ke arah "saudara sepupu" Tong Lam-hou itu, lalu bentaknya sambil bertolak pinggang, "Kau bertanya siapa yang menghukum? Tentu saja pemerintah Kerajaan Beng."
Pakkiong Liong tersenyum sinis, "Pemerintah Beng yang mana? Pemerintahan sudah diruntuhkan oleh Li Cu-seng dan rajanya yang terakhir bahkan mati menggantung diri di bukit Bwe-san. Li Cu-seng sendiri kemudian dikalahkan bangsa Manchu, jadi pemerintah yang syah sekarang ini adalah pemerintah Manchu!"
Keruan wajah Hong Lotoa jadi merah padam mendengar bantahan itu. Selama ia menjabat sebagai "gubernur" Jit-siong-tin belum pernah ada yang mendebatnya dengan berani seperti itu. Semuanya tunduk dan takut kepadanya, biarpun ada yang takutnya cuma pura-pura seperti Tong Lam-hou. Maka tangan kanan Hong Lotoa sudah terangkat, siap menggampar Pakkiong Liong.
Tong Lam-hou terkejut, jika sampai Hong Lotoa menampar Pakkiong Liong maka yang celaka bukannya Pakkiong Liong melainkan Hong Lotoa sendiri. Dua puluh orang macam Hong Lotoa akan dapat digulung oleh Pakkiong Liong dalam sekejap mata. Maka cepat-cepat Tong Lam-hou mendorong Pakkiong Liong mundur ke belakang, dan kemudian "memohonkan ampun" kepada Hong Lotoa,
"Maafkan saudaraku ini, Lotoa. Ia tidak sengaja menghina, maklum daerahnya jauh dari sini dan berada di bawah pemerintahan Manchu sehingga ia tidak tahu kalau daerah ini masih dikuasai pemerintahan lama. Maafkan dia, Lotoa."
Hong Lotoa menurunkan kembali tangannya sambil menjawab, "Baik, mengingat saudaramu adalah orang baru di daerah ini, aku ampuni dia. Beritahu kepadanya, bahwa di wilayah Beng orang harus membayar pajak kepada pemerintah Beng untuk biaya perjuangan, Suatu kali kelak Ibukota Pak-khia akan kami rebut kembali dari tangan orang-orang Manchu..."
Alangkah panasnya hati Pakkiong Liong mendengar ucapan-ucapan Hong Lotoa itu, tapi ia menahan diri sebab harus mengingat keselamatan Tong Lam-hou dan ibunya yang tinggal di daerah itu. Maka ia diam saja ketika Tong Lam hou menyeret tangannya untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah agak jauh dari Hong Lotoa dan kawan-kawannya, Pakkiong Liong bertanya, "Apakah pemerasan seperti itu terjadi setiap hari?"
"Ya, itu belum seberapa."
"Jika seseorang tidak mau atau tidak mampu memberikan uang? Misalnya karena tidak punya uang, atau uang itu akan digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, umpamanya mengobati orang sakit parah?"
Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak untuk menjawab, namun akhirnya dijawabnya juga, "Orang yang menolak membayar itu akan diseret ke depan pengadilan yang mereka bentuk, dan mendapat hukuman rangket seratus kali dengan tuduhan tidak menyokong perjuangan pembebasan."
"Keterlaluan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membalikkan badan dan hendak menuju ke tempat Hong Lotoa dan kawan-kawannya tadi.
Tong Lam-hou terkejut dan cepat-cepat menghalangi langkah temannya itu, sambil bertanya, "He, kau mau ke mana?"
"Aku akan menghajar mereka dan mengumumkan bahwa desa ini termasuk wilayah Kerajaan Manchu, bukan Kerajaan Beng yang sudah ambruk itu!"
"Jangan! Mereka punya banyak teman!"
"Aku tidak takut. Mereka telah menindas rakyat!"
"Mereka bukan saja berteman banyak, tapi juga ditulang-punggungi oleh Panglima Li Tiang-hong dengan pasukannya yang besar..."
"Berapa besar pasukan Li Tiang-hong itu?"
"Kira-kira seribu orang bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng."
Tidak dapat menahan diri lagi, Pakkiong Liong segera menjawab, "Tidak berarti banyak untukku. Aku juga seorang Panglima yang memimpin lima belas ribu orang prajurit terbaik di negeri ini, prajurit-prajurit dari Hui-liong-kun. Jika kukerahkan anak buahku kemari, maka Li Tiang-hong akan hancur menjadi debu."
Tong Lam-hou terkejut, "Kau. ...kau..."
"A-hou, baiklah aku berterus-terang kepadamu, aku adalah Panglima dari pasukan yang disebut Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) dari Kerajaan Manchu. Aku juga dijuluki orang sebagai Pak-liong (Naga Utara)."
Sesaat Pakkiong Liong menatap wajah Tong Lam-hou yang terlongong-longong itu. Kemudian terdengar suara Tong Lam-hou agak gugup, "Jadi...jadi kaukah orangnya yang sedang dicari-cari oleh kelompok yang menamakan diri pembebas tanah-air itu?"
"Kenapa sedang dicari?"
"Kemarin, rakyat dari beberapa desa sekitar sini dikumpulkan di lapangan, lalu beberapa orang yang berpakaian prajurit Kerajaan Beng telah mengumumkan bahwa siapa yang dapat menunjukkan persembunyian seorang Manchu yang berjulukan Naga Utara, akan mendapat hadiah. Yang menyembunyikan akan dihukum berat."
Wajah pakkiong Liong menegang. "A-hou, kau tidak tergiur oleh hadiah itu bukan?"
Tong Lan-hou tertawa geli melihat muka Pakkiong Liong yang kelihatan kuatir dan tegang itu. Katanya sambil tertawa, "A-Liong, kau lihat tampangku ini apakan mirip dengan seorang gila uang dan gemar menjual sahabat? Dan setelah kupikir sebentar, agaknya betul juga pendapatmu."
"Pendapat yang mana?"
"Kesewenang-wenangan dari orang-orang yang menyebut diri mereka Pembebas Tanah Air itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dulu pemerintahan Beng tidak pernah memperhatikan daerah ini, sekarang setelah mereka terusir dari singgasana maka daerah ini hendak diperasnya habis-habisan untuk membantu perlawanan mereka. Kelak jika mereka menang tentu daerah inipun akan mereka lupakan lagi."
"Bagus, A-hou, pikiranmu mulai terbuka. Kutambahkan satu hal lagi. Perjuangan mereka akan sia-sia saja karena mereka tidak memadai. Yang bisa mereka dapatkan hanyalah memperpanjang kekacauan di mana-mana."
"Sekarang, A-liong, jika kau mau menghajar Hong Lotoa aku tidak akan mencegahmu lagi. Malah akupun ingin minta kembali uangku tadi, lumayan untuk beli baju."
Pakkiong Liong tertawa. "Aku juga sudah berbalik pikiran."
"Eh, bagaimana kau ini? Setelah kubiarkan bertindak malah berganti pikiran?"
Sahut Pakkiong Liong, "Maksudku, tidak ada gunanya menghajar keroco-keroco rendahan seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Tangkap saja pentolan pengacaunya sekalian."
"Maksudmu, Li Tiang-hong?"
"Benar, dan juga pentolan pengacau lainnya yang bernama Ma Hiong, seorang bekas bangsawan Beng yang bernama Cu Hin-yang. Jika mereka tertangkap, keroco-keroconyapun tidak akan berani mengacau lagi."
Tong Lam-hou mengangguk-angguk. "Betul, tangkap ular harus kepalanya dulu. Tapi orang-orang itu tentu bersembunyi dalam sarang mereka yang dijaga ketat, apakah kita sanggup?"
Pakkiong Liong menggenggam tangan Tong Lam-hou dan menyahut mantap, "Jika Naga Utara bergabung dengan Harimau Selatan (Lam-hou), apa yang bisa merintangi kita?"
"Baik. Demi kesejahteraan rakyat Jit-siong-tin, aku sanggup menerjang ke sarang pengacau-pengacau itu bersamamu."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Sahut Tong Lam-hou tertawa, "Tetap seperti rencana tadi malam. Berdagang dulu, ada beberapa langganan yang sudah berjanji kepadaku hari ini."
Setelah tiba di pasar yang ramai, merekapun segera menggelar dagangan mereka, lalu Tong Lam-hou mulai berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Beberapa orang membeli, beberapa orang lagi tidak jadi membeli malahan mencela barangnya, namun sedikit demi sedikit uangnya memenuhi kantong Tong Lam-hou.
Setelah dagangan habis terjual, Tong Lam-hou duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menghitung uang hasil jualannya. "Lumayan juga hari ini. Jika digabung dengan tabunganku bulan yang lalu, cukup untuk membeli selimut dan baju hangat buat ibu, agar ibu tidak selalu tidur dengan kedinginan karena selimut tuanya sudah robek-robek."
Bagi Pakkiong Liong, uang sejumlah itu tidak berarti sama sekali, namun ia ikut berbahagia melihat sahabatnya berbahagia pula. Diam-diam Pakkiong Liong berkata dalam hatinya, "Kelak jika kau sudah bersamaku di Ibukota, sahabat, kau mau beli seribu selimut dan seribu baju hangatpun dapat kau dapatkan dengan mudah."
Waktu itu hampir tengah hari, pasar pun hampir bubar. Pada saat itulah tiba-tiba dari sebuah warung arak kecil di pasar terdengar suara orang membentak-bentak, bahkan suara mangkuk yang dibanting pecah. Lalu nampak lelaki tua pemilik warung itu tubuhnya terlempar keluar sampai berguling-guling, sambil memegangi kepalanya ia berteriak-teriak, "Ampun tuan! Ampun tuan!"
Semua orang di pasar menoleh ke suara ribut-ribut itu. Dari dalam warung arak itu melangkah keluar tiga orang lelaki bertampang aneh. Yang pertama bertubuh kurus seperti mayat dan pucat seperti mayat pula, tapi matanya bersinar kejam, dipinggangnya terselip pedang berbadan sempit berujung runcing. Orang kedua pendek kekar dan botak, sebelah telinganya memakai anting-anting, dan pedang yang disandangnyapun bentuknya mirip pemiliknya. Pendek, lebar, tebal.
Yang ketiga seorang lelaki yang berbaju kembang-kembang seperti perempuan, malahan mukanya juga dipupuri dan bibirnya digincu. Gerak-gerik dan senyumnya genit, namun tidak menimbulkan rasa tertarik malahan menimbulkan rasa seram. Senjatanya ialah sepasang pisau belati, yang satu diselipkan di ikat pinggangnya dan lainnya dibuat main-main di tangannya. Ketiga orarg aneh itu belum dikenal oleh penduduk Jit-siong-tin, namun sikap mereka yang menakutkan itu membuat penduduk Jit-siong-tin tidak ada yang berani ikut campur dalam keributan itu.
Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku, jangan hadapkan aku ke pengadilan pembebas tanah-air..."
Tapi si pucat itu malahan menendangkan kakinya sehingga pemilik warung itu kembali terguling-guling sambil menjerit kesakitan. Bentak si muka pucat itu, "Ucapanmu tadi sudah cukup untuk menyeretmu ke tiang gantungan! Kesadaran ber-tanah-airmu benar-benar tipis! Kenapa kau tidak menjawab dengan sungguh-sungguh ketika kami tanya tentang orang Manchu yang hendak kami tangkap itu? Kau melindunginya?"
Tuduhan "melindungi orang Manchu" benar-benar tuduhan yang paling berat di desa itu, beratnya melebihi dosa apapun. Tuduhan itu bisa menyeret seseorang ke tiang gantungan. Karena itu, mendengar tuduhan dari si muka pucat itu, pemilik warung itu sampai membentur-benturkan jidatnya ke tanah. Saking takutnya maka apa yang diomongkannya malahan menjadi tidak jelas.
Si pendek kekar berkepala botak itu agaknya ikut menunjukkan kegarangannya. Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku."
Tengkuk si pemilik kedai arak dicengkeramnya, lalu tubuhnya dilempar lemparkannya ke udara seperti sepotong kayu saja, dan si pemilik kedai itu sampai menjerit-jerit ketakutan.
Sementara itu, ribut-ribut di depan kedai arak itu telah memancing Hong Lotoa dan anak buahnya untuk datang ke tempat itu pula. Ketika melihat ketangkasan si pendek botak itu, Hong Lotoa sadar bahwa dirinya bukan tandingan ketiga orang itu. Maka seperti biasa ia akan menerapkan jurus "Daun Ilalang Tertiup Angin" alias menjilat. Demikian watak orang-orang macam Hong Lotoa itu. Bertemu dengan orang yang lebih lemah, dia menginjak. Bertemu orang yang lebih kuat, dia menjilat, tidak peduli mengorbankan teman sendiri.
Kedatangan Hong Lotoa dan teman-temannya yang bersenjata itu telah menarik perhatian ketiga orang asing itu. Si pendek botak untuk sementara meletakkan "permainan"nya dan membentak Hong Lotoa, "Siapa kalian? Kalian akan membela tua bangka ini?"
Cepat-cepat Hong Lotoa mengangkat tangannya untuk memberi hormat, sambil menjawab, "Jangan salah paham, saudara, kami adalah orang-orang yang bertangngung-jawab atas keamanan di desa ini. Kami hanya ingin tahu siapakah saudara bertiga ini, dan apa yang terjadi di sini?"
Si pendek botak itu hampir saja membentak Hong Lotoa sekalian, namun si muka mayat telah mendahului berkata dengan nada lebih lunak, "Baiklah kami memperkenalkan diri kami bertiga lebih dulu. Kami bertiga biasa di juluki sebagai Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala Kun-lun). Aku bernama Mo Wan seng berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Taring Besi), adikku yang kedua ini adalah Auyang Bun berjulukan Cui-long-cu ( Si Serigala Mabuk ) dan adikku yang ke tiga bernama Kiongwan Peng berjulukan Im-yang-long (Si Serigala Banci).
"Kami bertiga tengah mengemban tugas dari Li Ciangkun Li Tiang-hong untuk melacak jejak seorang mata-mata Manchu bernama Pakkiong Liong yang kabarnya berkeliaran di tempat ini. Kami mencoba mencari keterangan dengan bertanya kepada si keparat pemilik kedai ini, namun ia menjawabnya acuh tak acuh saja, seakan-akan kami ini pengemis yang berjongkok di depan pintu kedainya. Coba, pantas atau tidak sikapnya itu?"
Pemilik kedai itu kembali meratap-ratap, "Ampun, tuan, aku benar-benar tidak tahu..." namun ratapannya terpotong oleh bentakan Hong Lotoa yang bengis, "Diam! Meskipun aku tidak melihat sendiri tapi aku yakin kau tentu telah bersikap menyinggung perasaan ketiga tuan-tuan ini. Aku tahu sejak dulu memang kau kurang setia kepada Kerajaan Beng. Kemarin kau menggerutu meskipun para pejuang itu tidak mengambil banyak dari kedaimu bukan?"
Demikianlah Hong Lotoa yang gentar kepada Kun-lun-sam-long itu telah mengikuti arah angin dengan ikut-ikutan memarahi si pemilik kedai itu. Bahkan kemudian apa yang ditindakkan oleh Hong Lotoa telah terlalu jauh, teriaknya, "Orang-orang yang tidak setia 'kepada perjuangan semacam ini tidak kita butuhkan lagi di tengah-tengah kita! Demi kejayaan Kerajaan Beng, ia kuputuskan untuk dihukum gantung!"
Semua orang terkejut, kesalahan sekecil itu saja dihukum gantung? Satu satunya yang mendukung tindakan Hong Lotoa itu hanyalah Kun-lun-sam-long. "Bagus, tindakan saudara yang tegas ini kelak jika diketahui oleh Li Ciang kun tentu akan mendapat pujian."
Hidung Hong Lotoa kembang-kempis karena bangganya. Kepada anak buahnya ia memerintahkan, "Laksanakan hukum gantung!"
Dua orang anak buah Hong Lotoa segera menyeret pemilik kedai yang wajahnya sudah putih seperti kapur itu. Namun wajah yang pucat itu sedikitpun tidak menimbulkan belas kasihan di hati Hong Lotoa. Makin ia melihat orang menderita akibat keputusannya, makin banggalah ia, sebab merasa betapa "berkuasa"nya ia.
Dengan wajah tengadah Hong Lotoa memandang berkeliling ke arah penduduk desa yang berkerumun di sekitar kedai arak itu. Bentaknya dengan garang, "Nah, siapa lagi yang berani melawan kekuasaanku?"
Sikap itu telah membuat sekalian orang menjadi muak. Hanya dengan menerima pengaduan tiga orang asing yang belum dikenal saja Hong Lotoa telah menjatuhkan hukuman gantung dengan semena-mena. Bahkan si pemilik kedai yang hendak dihukum itupun tidak diberi kesempatan membela diri sepatah katapun. Namun betapapun muaknya, siapa orang Jit-siong-tin yang berani melawan Hong Lota yang kejam itu?
Namun ternyata ada. Tong Lam-hou tidak tahan lagi melihat kelakuan Hong Lotoa yang menggunakan nyawa orang lain sebagai sarana mencari muka kepada atasannya itu. Ketika si pemilik kedai yang tubuhnya sudah lemas seperti karung itu diseret ke sebuah pohon, di mana seorang anak buah Hong Lotoa lainnya sedang menyimpulkan tali untuk leher pemilik kedai itu, maka Tong Lam-hou telah berteriak dari antara kerumunan penonton, "Tahan!"
Lalu dengan langkah tenang sekali ia masuk ke tengah arena, kepada dua orang pengawal Hong Lotoa yang menyeret si pemilik kedai, Tong Lam-hou berkata dengan suara penuh tekanan, "Lepaskan orang itu!"
Orang-orang yang berkerumun di pasar itu seakan-akan tercekam sihir. Benarkah yang berdiri di tengah gelanggang sekarang ini adalah Tong Lam-hou yang tadi? Yang bersikap ramah kepada siapapun, tidak suka berkelahi dan bahkan sering diperas dan dihina oleh Hong Lotoa? Kenapa sekarang menjadi begitu garang? Bahkan Hong Lotoa sendiripun melongo kaget.
Kedua arak buah Hong Lotoa itu tiba-tiba saja tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pandangan mata Tong Lam-hou, lalu dilepaskannya si pemilik Kedai yang hampir digantung itu. Ketika Hong Lotoa sudah sadar dari kagetnya, iapun marah bukan kepalang. Teriaknya,
"A-hou sudah gilakah kau?! sadarkah kau siapa yang sedang kau lawan?!"
Biasanya jika Hong Lotoa membentak, A-hou akan membungkuk-bungkuk sambil tersenyum-senyum, dan menyusupkan setahil dua tahil ke tangan Hong Lotoa. Namun kali ini lain, bagaikan seekor harimau yang garang Tong Lam-hou balas menatap ke arah Hong Lotoa sehingga Hong Lotoa mengkeret nyalinya. Tong Lam-hou tidak membentak, namun suara yang dikumandangkan dari kepribadiannya yang sebenarnya itu mengandung perbawa yang tak terlawan oleh Hong Lotoa.
"Hong Lotoa, kaulah yang gila! Sejelek-jeleknya paman Sun si pemilik kedai ini, ia sudah hidup di desa ini belasan tahun, sudah belasan tahun menjadi sekeluarga besar dengan kita. Hanya karena pengaduan ketiga cecunguk yang tak diketahui asal-usulnya ini, kau lantas begitu saja menjatuhkan hukuman gantung kepada paman Sun? Memangnya nyawa manusia kau anggap apa?"
Yang mengalami kegoncangan perasaan ternyata justru adalah Hong-Lotoa sendiri. Ia menjadi gugup dan kehilangan kepribadiannya, seolah Tong Lam-hou yang dihadapinya sekarang ini berbeda dengan Tong Lam-hou di depan pintu gerbang desa tadi. Namun ia tidak mau kehilangan muka begitu saja, segera dia mengeraskan suaranya, "Tutup mulutmu, A-hou! Melawan aku sama saja dengan melawan Li Ciangkun!"
Dengan menyebut-nyebut orang kuat yang menjadi tulang punggungnya, Hong Lotoa berharap Tong Lam-hou akan ketakutan dan wibawanya dapat dipulihkan. Tapi sikap Tong Lam-hou benar-benar di luar dugaan,
"Ha ha ha, seorang Panglima dari dinasti yang sudah ambruk, apakah artinya? Bahkan andaikata sepuluh orang Li Tiang-hong muncul sekaligus di hadapanku, mereka tidak akan mampu menghukum Tong Lam-hou...!"
Pakkiong Liong langsung memberi hormat kepada ibu Tong Lam-hou itu sambil berkata, "Aku mengucapkan terimakasih atas pertolongan bibi dan putera bibi."
Ibu Tong Lam-hou menjawab sambil tertawa, "Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi tentang pertolongan itu. Itu kewajiban setiap orang. Tetapi sungguh mengherankan bahwa kau sembuh begitu cepat?"
"Ini berkat perawatan bibi dan saudara Lam-hou yang sangat cermat. Sekarang aku bisa membantu bibi menaruh keranjang-keranjang itu yang ini akan ditaruh di mana?"
"He, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat dulu!" cegah ibu Tong Lam-hou. "Ih, anak bandel! Nanti lukamu kambuh lagi! Biar A-hou saja yang mengangkatnya!"
Tiba-tiba saja kewalahan perempuan ibu Tong Lam-hou itu menimbulkan suatu perasaan aneh dalam diri Pakkiong Liong. Nada suaranya itu seperti seorang ibu yang memarahi anaknya yang kecil ketika bermain-main air hujan, alangkah sejuk rasanya dalam perasaan Pakkiong Liong. Ia sudah tidak mempunyai ibu sejak berumur tiga tahun. Dan alangkah terasa sepinya jika dilihatnya anak-anak lain bermanja-manja kepada ibunya, bahkan jika anak itu diomeli oleh ibunya.
Ketika ia menjadi remaja dan selesai berguru kepada Hoat-beng Lama di Tibet, ia menjadi seorang prajurit, dan mengisi kesepian hatinya dengan kesibukan-kesibukan seorang prajurit dari sebuah negeri yang sedang meluaskan wilayahnya. Ia menjadi prajurit yang disegani kawan dan lawan, kemenangan demi kemenangan diraihnya, dan gadis-gadis Manchu memujanya seperti memuja seorang pahlawan dalam dongengan saja, tetapi kerinduan hatinyanya terhadap seorang ibu tak terisi juga.
Inang pengasuhnya tidak dapat mengisi kekosongan itu, sebab sang inang masih merasakan jarak antara dirinya yang hanya rakyat jelata itu dengan anak asuhannya yang masih punya hubungan darah agak jauh dengan Kaisar Sun-ti. Kini, di depan gubuk reyot di lereng Tiam-jong-san itu tiba-tiba didengarnya sebuah suara yang selama ini dirindukannya, dan perasaan Pakkiong Liong pun bergolak. Cepat-cepat ia menundukkan wajahnya agar matanya yang basah tidak terlihat oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sementara itu, ibu Tong Lam-hou masih saja menyerocos terus tanpa mengetahui apa yang sedang bergejolak di hati Pakkiong Liong itu, "Kau harus memperhatikan dirimu, meskipun tubuhmu cukup kuat. Eh, anak muda, kami belum mengetahui namamu..."
"Namaku Pakkiong Liong," sahut Pakkiong Liong. "Tapi jika bibi dan A-hou mau, boleh panggil dengan A-liong begitu saja."
"Pakkiong Liong? Namamu agak aneh kedengarannya. Kau tentu orang dari luar Tembok Besar bukan.?”
"Benar, bibi, aku adalah seorang Manchu," Pakkiong Liong menyahut sambil mencoba memperhatikan perubahan air muka perempuan tua itu. "Aku seorang dari sebuah bangsa yang sering disebut sebagai penjajah, meskipun sebenarnya kami hanya ingin mempersatukan."
Ternyata sikap dan tanggapan ibu Tong Lam-hou itu sangat melegakan Pakkiong Liong, "ah, apa bedanya antara Manchu dan bukan Manchu? Yang sanggup mengayomi negeri, itulah yang berhak duduk di singgasana. Aku pernah mengalami masa pemerintahan orang Han di jaman dinasti Beng, ternyata mereka tidak becus memerintah sampai negeri menjadi kacau-balau. Dulu aku tinggal di.sebuah desa di Se-cuan, tapi gara-gara perang sampai berada di tempat ini, padahal ketika itu aku sedang mengandung A-hou dalam perutku."
"Apakah saat itu ayah masih ada?" tiba-tiba Tong Lam-hou bertanya.
Perempuan itu menarik napas panjang-panjang dan berusaha untuk menutupi kepedihannya, “Tidak. Saat itu ayahmu sudah tidak bersamaku lagi. Tapi jangan salah paham, A-hou. Ayahmu waktu itu tidak bersamaku bukan karena tidak bertanggung-jawab, melainkan karena ia seorang ksyatria sejati yang lebih mementingkan rakyat daripada mementingkan keluarganya sendiri. Saat itu ayahmu dan teman-temannya tengah dalam perjuangan yang gigih untuk menumbangkan pemerintahan bobrok dinasti Beng..."
Pakkiong Liong terkesiap mendengarnya. "Apakah suami bibi dulu berjuang di pihak Li Cu-seng?"
"Entahlah, ia jarang sekali berbicara tentang hal perjuangannya, dan andaikata berbicara juga ia hanya bicara samar-samar. Satu yang kutahu, ia tidak senang di bawah perintah siapapun, sehingga kurang kuatlah anggapan bahwa ia menjadi pengikut Li Cu-seng. Aku pernah melihat ia seorang diri saja telah membuat kocar-kacir sepasukan tentara Beng yang berjumlah hampir seratus orang, yang ketika itu sedang memeras sebuah desa."
Ketika berbicara tentang suaminya itu, maka perempuan Hui itu memancarkan sinar kebanggaannya. "Siapa nama suami bibi 'tu?" tanya Pakkiong Liong lagi.
'''Namanya Tong Wi-siang. Ilmu silat aslinya beraliran Soat-san-pay, tapi ia dan teman-temannya kemudian mendapat suatu penemuan ilmu silat di pegunungan Bu-san di Se-cuan, sehinggai ilmunya melonjak dengan tinggi, bahkan mengungguli tokoh-tokoh tua di jaman itu, meskipun ilmu barunya itu dianggap sebagai ilmu sesat oleh sebagian orang."
Nama itu agaknya memang bukan nama sambil lalu saja. Meskipun Pak-kiong Liong belum pernah mendengarnya karena perbedaan kurun waktu, tapi kesimpulannya ialah bahwa Tong Lam-hou bukan keturunan orang sembarangan. Dan ternyata sudah terbukti pula bahwa Tong Lam-hou sendiri juga bukan pribadi sembarangan, meskipun tampangnya seperti tampang anak gunung yang amat sederhana, lebih-lebih gurunya yang telah mendidiknya menjadi selihai itu tentu manusia yang maha dahsyat pula.
Mungkin tidak kalah dari guru Pakkiong Liong yang bermukim jauh di negeri. Tibet sana. "Guru Tong Lam-hou pasti sejajar dengan guruku, dan tokoh-tokoh setingkat mereka tidak banyak jumlahnya di dunia persilatan ini," pikirnya.
Sementara itu Tong Lam-hou telah mengatur keranjang-keranjang sayur-sayuran itu di samping gubuknya. Ketika melihat ada dua keranjang yang kosong itu, Tong Lam-hou bertanya kepada ibunya, "Kenapa kosong, bu? A-pakah kebun kita diserang monyet lagi?"
Ibu Tong Lam-hou menyeka keringat disahinya. sambil menggerutu, "Kali ini monyet-monyetnya bukan monyet-monyet gunung, tapi monyet-monyet dalam ujud manusia yang menamakan diri 'gerakan pembebas tanah-air' itu. Benar-benar menjemukan, dulu ketika dinasti mereka masih berkuasa, daerah ini dibiarkan saja tanpa kemajuan apa-apa, sekarang setelah mereka terjungkir dari tahta, rakyat daerah ini dipaksanya membantu perlawanan mereka dengan menarik hasil kebun kita seenaknya sendiri saja."
Pakkiong Liong yang berdiri bersandar didekat pintu itu diam saja. Namun diam-diam ia mencatat suatu hal dalam hatinya. Rakyat yang tidak diperhatikan kesejahteraannya tentu kurang kesetiaannya kepada kerajaan, karena itu Pakkiong Liong merencanakan jika dia mampir ke kota Kun-beng sebagai Ibukota wilayah Hun-lam, ia akan menemui Sun-bu (Kepala Daerah) untuk memberikan perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil ini, supaya rakyat di sini lebih setia kepada Kerajaan Manchu dan dengan demikian mempersempit ruang gerak para pemberontak.
Sementara itu, sambil menumpuk-numpuk keranjang sayurannya, Tong Lam-hou juga ikut mengomentari, "Benar, bu. Setiap kali mereka selalu bicara di depan orang-orang desa tentang perjuangan mereka, perjuangan yang tidak bakal banyak berarti bagi rakyat kecil, sebab begitu mereka duduk di singgasana akan lupalah mereka kepada rakyat yang pernah mendukung mereka. Kita hanya butuh ketenangan untuk bertani dan berkebun, tapi mereka setiap kali datang dengan senjata-senjata terhunus, tidak jarang mengancam dan. menakut-nakuti orang-orang yang tidak menuruti kemauan mereka. Kenapa mereka tidak jadi perampok sekalian? Kenapa mesti memakai nama yang mentereng sebagai pembebas tanah air? Pantaslah dulu ayah melawan dinasti bobrok itu, sampai sekarangpun keturunannya tetap bobrok!"
Dalam hatinya Pakkiong Liong merasa senang atas tanggapan ibu dan anak itu kepada keadaan negara saat itu, namun ia tidak mengomentarinya supaya di kemudian hari tidak dituduh sebagai mempengaruhi pendapat orang. Bahkan pertanyaannya kemudian seolah-olah tak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan pemerintahan, "Hasil kebun sebanyak ini dikemanakan saja, bibi?"
"Sebagian dijual ke Jit-siong-tin, desa yang paling besar di sekitar sini, di sana ada sebuah pasar besar di mana pedagang dan pembeli dari desa-desa sekitar berdatangan setiap hari. Keperluan-keperluan lain seperti bahan pakaian atau barang-barang lain juga bisa didapatkan di sana. Sisa dari hasil bumi ini. kami simpan untuk makan sehari-hari."
"Apakah kebun bibi luas?"
"Lereng gunung ini tak ada penghuninya, kita mau menggarap seberapapun luasnya bisa saja asal tenaganya mencukupi. Untung tubuh A-hou sangat kuat hingga tanah yang digarapnya dapat cukup banyak."
"Apakah kehidupan demikian tidak terlalu berat?"
"Berat tidak berat itu bukan urusan kami, sebab tanpa kerja kami tidak makan."
"Kapan hasil kebun hari ini akan dibawa ke pasar Jit-siong-cin?"
"Besok. Agar sayurannya masih segar. A-hou yang biasanya membawanya ke sana dengan berangkat pagi-pagi buta."
"Biarlah besok aku pergi bersama A-hou," kata Pakkiong Liong tiba-tiba.
"Pasar-pasar di kota-kota besar sudah pernah kulihat, tetapi pasar di tempat terpencil seperti ini belum kulihat."
Ibu Tong Lam-hou membelalakkan matanya, "He, kau anak kota, mana bisa kau memikul keranjang sayuran seperti anak-anak gunung? Lagipula meskipun lukamu sudah baik tetapi badanmu masih lemah."
"Sudah kuat, bibi." kata Pakkiong Liong sambil menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, kemudian melakukan beberapa loncatan kecil. "Besok badanku akan kuat kembali seperti biasa, dan jika aku berbaring saja malahan tidak sembuh-sembuh."
"Ah, agaknya kau seorang bandel juga dan suka membantah orangtua," sungut Ibu Tong Lam-hou itu. "Persis seperti A-hou."
Pakkiong Liong dan Tong Lam-hou bertukar pandangan, dan merekapun tertawa serempak. Kata Pakkiong Liong, "A-hou, besok pagi-pagi jika kau hendak berangkat ke Jit-siong-tin, bangunkan aku. Biar aku sekali-sekali belajar mengerjakan pekerjaan anak-anak desa."
"Bertani dan berladang juga?"
"Ya, apa salahnya? Itu pengalaman baru bukan?"
Tong Lam-hou tertawa riang. "Memang pengalaman baru untukmu. Kau nanti akan merasa bahwa mengayun cangkul untuk melubangi tanah tidak kalah asyiknya dengan mengayun pedang untuk melubangi dada musuh di medan perang. Mengayun cangkul berarti melestarikan kehidupan, mengayun pedang menyebar kematian dan penderitaan."
Pakkiong Liong menyeringai mendengar perbandingan yang dikemukakan oleh Tong Lam-hou itu. Namun ia mencoba membela pendiriannya, "Mengayun pedang menyebar kematian, itu benar, tapi keliru kalau dikatakan menyebar penderitaan. Justru untuk membasmi para pengacau. Tanpa prajurit yang menjaga keamanan, apakah para petani berani keluar untuk menggarap ladangnya sambil berdendang?"
"Aku? Aku tetap berani...."
"Ya, karena kau seorang petani istimewa. Sekelompok penjahat tidak berarti apa-apa di hadapanmu. Tetapi petani-petani lainnya?"
Tong Lam-hou mengerutkan alisnya sebentar, lalu, "Betul juga kau. Tapi tanpa petani, prajurit-prajurit juga akan kelaparan sebab tidak ada yang menanam padi..."
"Jadi...."
"Jadi bagaimana? Agaknya prajurit dan petani harus melaksanakan tugas masing-masing dengan sebaik-baiknya, supaya negara kuat dan sejahtera."
Keduanya lalu tertawa berbareng. Perasaan saling bersahabat telah saling menebal di hati masing-masing. Ibu Tong Lam-hou yang mendengar perdebatan tentang prajurit dan petani itu menjadi terheran-heran. Tanyanya, "Eh, apa-apaan kalian ini? Kenapa bicara tentang membunuh musuh di medan perang segala?"
Tong Lam-hou yang menyahut, "Tadi sebelum ibu datang, aku sudah bercakap-cakap dengan A-liong. Ia seorang prajurit Kerajaan Manchu, dan tersesat ke daerah ini ketika menjalankan tugasnya. Makanya aku sarankan agar ia belajar menjadi petani saja."
"Ah, A-hou, memangnya kenapa kalau prajurit? Bukankah itupun pekerjaan mulia? Menantang bahaya demi membela rakyat yang lemah? Dan ibu sendiri juga tidak ingin melihat kau terus-terusan berada di lereng terpencil ini, tapi turun ke masyarakat menjadi orang yang gagah perkasa seperti mendiang ayahmu. Punya nama besar dan dikagumi orang..."
"...dan membunuh sesama manusia tanpa berkedip?" potong Tong Lam-hou dengan bersungut.
"Tentu saja tidak. Seorang prajurit kadang-kadang membunuh, tapi yang dibunuh haruslah orang-orang berbahaya yang tidak dapat diperbaiki lagi," Pakkiong Liong yang menjawab. "Orang macam itu kalau tidak dibunuh malahan akan membunuh orang lain lebih banyak lagi. Jadi lebih baik satu nyawa melayang daripada sepuluh nyawa melayang."
"Apakah orang sejahat itu benar-benar ada? Aku kurang percaya."
Kali ini Pakkiong Liong membiarkan ibu Tong Lam-hou yang menjawabnya, "Bukan saja ada, malah jumlahnyapun banyak sekali. Mungkin kau belum pernah melihatnya, anakku, karena sejak lahir kau belum pernah melangkah lebih jauh dari Jit-siong-tin. Dan orang orang Jit-siong-tin adalah orang-orang desa yang umumnya baik. Tapi kelak jangan terkejut jika di dunia ramai kau temui orang-orang semacam itu. Orang yang hanya memikirkan diri sendiri, tidak peduli sesamanya menderita kesengsaraan."
"Dunia ramai seperti itu sungguh menakutkan bu, aku tidak ingin memasukinya. Lebih baik aku tetap menjadi petani di tempat ini."
"Kau keliru besar, anakku. Semisal sebuah cangkul, andaikata ia disimpan terus ia akan tetap bersih dari lumpur, namun tidak berguna sedikit-pun. Jika ia dipakai mencangkul di ladang, ia akan berguna meskipun lumpur di ladang itu akan melekat kepadanya. A-hou, ibu dan ayahmu dan bahkan juga gurumu tidak mengharap kau menjadi pertapa yang menghabiskan umur ditempat sunyi ini. Kau harus turun gunung sebagai seorang ksyatria, karena banyak orang yang memerlukan pembelaanmu."
Tong Lam-hou hanya menundukkan kepalanya tanpa menjawab ya atau tidak. Sementara itu Pakkiong Liong telah berkata menyambung, "Ucapan ibumu itu tepat sekali, A-hou. Kau akan hidup tenang di tempat ini, tapi berarti kau mementingkan dirimu sendiri, sebab kau sama sekali tidak peduli oleh sesamamu yang tengah hidup terancam orang-orang jahat. Padahal ilmumu yang tinggi kau tentu dapat berbuat sesuatu."
Tong Lam-hou hanya menarik napas saja. Ia merasa ucapan ibunya dan pakkiong Liong itu benar adanya, namun terlalu sulit rasanya untuk memutuskan sekarang juga. Ia masih terikat oleh sejuknya alam pegunungan, kicau burung merdu di pagi hari, gemericiknya air di sela-sela bebatuan, dan tawa ramah dan lugu dari orang-orang desa yang dikenalnya. Akankah ia meninggalkannya dan terjun ke sebuah dunia yang asing, di mana yang nampak di wajah belum tentu sama dengan yang ada di hati, senyuman adalah alat penipuan, dan pedang menjadi begitu sering ditarik keluar dari wadahnya? Keputusan memang belum dapat diambil seketika.
Sementara itu Pakkiong Liong juga cukup bijaksana untuk tidak teralu mendesak Tong Lam-hou. Mungkin bisa saja Tong Lam-hou dibujuknya agar mengambil keputusan saat itu juga, tapi keputusan yang tergesa-gesa dibuat pada saat jiwa belum mengendap adalah keputusan yang tidak matang, dan dapat menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Ini tidak diinginkan oleh Pakkiong Liong. Ia sudah merasakan persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan Tong Lam-hou.
Meskipun dalam waktu yang singkat, dan pakkiong Liong tidak ingin menjadikan Tong Lam-hou sekedar alatnya, namun sebagai sahabatnya. Tetap dalam kepribadiannya. Untuk diajak membagi suka dan duka, kejayaan dan kemuliaan. Persahabatan tulus antar pribadi, bukan untuk saling memperalat demi tercapainya tujuan masing-masing.
Pada kesempatan itu Pakkiong Liong juga melihat sendiri betapa beratnya kehidupan rakyat kecil. Tadinya sebagal seorang Panglima yang berkedudukan di Ibukota, ia tidak pernah memahami hal itu. Di gedungnya yang besar dan indah, ia tinggal menyuruh pelayan untuk menyediakan makan, dan makanan yang lezat-lezat pun terhidang. Tak terbayangkan ada seseorang membanting tulang dari pagi sampai sore nanya untuk menyuapi mulut untuk hari ini, hanya untuk hari ini.
"Kesejahteraan rakyat harus ditingkatkan agar dinasti Manchu ini langgeng, tidak rapuh seperti dinasti Beng," kata Pakkiong Liong di dalam hatinya sambil melihat bagaimana Tong Lam-hou membelah-belah kayu besar di halaman samping gubuknya. "Tetapi sebelum itu, para pengacau yang mengimpikan masa lalu itu harus ditumpas habis lebih dulu."
Hari itu terasa sebagai hari yang mengesankan bagi Pakkiong Liong. Di tempat yang terpencil di lereng Tiam-jong-san. itu, ia menemukan kasih-sayang dan persahabatan yang tulus, hakekat dari keberadaan manusia di jagad raya. Namun ia menarik napas kalau ingat tugas-tugasnya sebagai prajurit belum selesai.
Suatu saat nanti ia akan kembali ke medan perang, ke tempat manusia saling membantai, namun Pakkiong Liong tidak mengingkarinya. Ia memang tidak suka berperang, namun dengan demikian ia harus berperang dengan sungguh-sungguh agar musuh cepat tertumpas dan perangpun cepat berakhir.
Malam harinya, di gubuk kecil yang hanya diterangi lampu minyak kecil itu benar-benar terdapat sebuah kegembiraan. Pakkiong Liong, Tong Lam-hou dan ibunya duduk mengelilingi sebuah meja yang kasar, makan malam bersama, yang dimakan juga masih makanan siang tadi. Bubur, lalu "daging aneh" seperti, dendeng, ditambah dengan kuah lobak yang segar.
"Kau harus makan banyak supaya tubuhmu cepat kuat kembali, A-liong," kata ibu Tong Lam-hou dengan nada keibuan, sambil menyendokkan bubur lebih banyak lagi ke mangkuk Pakkiong Liong.
Pakkiong Liong hanya mengangguk-angguk tanpa bisa menjawab, sebab mulutnya sedang penuh makanan sampai pipinya menggembung. Panggilan "A-liong" terasa sangat menyegarkan jiwanya, sebab ia sudah bosan dengan panggilan "Ciangkun" atau "tuanku" atau "Yang mulia" yang dilakukan para bawahannya sambil menyerigai untuk menjilat.
Seakan berlomba, bila Pakkiong Liong menghabiskan semangkuk, Tong Lam-hou juga semangkuk. Pakkiong Liong tambah semangkuk, begitu pula Tong Lam hou, sampai akhirnya masing-masing makan tiga mangkuk besar bubur. Sambil mengendorkan ikat pinggangnya dan menepuk perutnya, Pakkiong Liong bertanya, "Bibi semua yang memasak semuanya ini?"
"Tentu saja, masakah A-hou. Pernah ia mencoba memasak dan bubur sepanci hangus semua."
Pakkiong Liong tertawa sambil mengangkat kedua jempolnya, "Hebat sekali makanan bibi ini. A-hou tadi berkata banwa bibi adalah juru masak nomor satu di dunia dan sekarang aku baru percaya."
Ibu Tong Lam-hou pun tertawa dan menyahut, "Memuji atau menyindir? Kau anak kota tentu pernah makan di rumah rumah makan terkenal dengan masakan kebanggaannya masing-masing. Sengaja membuat aku jadi besar kepala?"
Pakkiong Liong tersenyum. "Tidak bibi, aku tidak berbasa-basi tetapi masakan bibi benar-benar luar biasa. Jika bibi membuka rumah makan di Pak-khia, rumah-rumah makan lain pasti bangkrut. Entah dendeng apa ini?"
"Dendeng serigala. A-hou yang mencari serigala dan aku buat dendengnya, cukup laris di Jit-siong-tin," sahut ibu Tong Lam-hou tenang.
Pakkiong Liong membelalakkan matanya mendengar itu katanya, "Tak terduga. Baru beberapa malam yang lalu aku hampir disantap serigala, dan sekarang aku menyantap daging mereka."
Malam itu mereka masih bercakap-cakap ringan-ringan saja, sebelum masing-masing masuk tidur. Dengan dibantu oleh ibunya, Tong Lam-hou masih sempat mengganti obat di mulut luka Pakkiong Liong yang hampir merapat sempurna itu. Lalu membalutnya dengan kain bersih. Pakkiong Liong membiarkan saja apa yang diperbuat ibu dan anak itu dengan perasaan terimakasih dalam hatinya.
"Kau sangat mahir ilmu silat dan ilmu pengobatan. Siapa gurumu?" tanya Pakkiong Liong kepada Tong Lam-hou.
"Guruku seorang tua yang bernama Ang Hoan. Usianya hampir seratus tahun tapi masih sanggup berjalan dari kaki gunung sampai ke gua kediamannya di puncak gunung ini dengan kecepatan seperti terbang saja. Kata guru sendiri, beberapa orang yang kurang suka kepada gerak-gerik guru telah memberinya julukan Tiam-jong-lo-sia (si Sesat Tua dari Tiam-jong-san)."
Hati Pakkiong Liong bergetar mendengar nama itu. Gurunya pernah bercerita kepadanya bahwa puluhan tahun yang lalu orang-orang rimba persilatan di Tiong-gan pernah mencoba membuat urut-urutan siapa orang yang paling lihai di Tiong-gan itu. Lalu tersusunlah sepuluh nama, dan Tiam-jong-losia Ang Hoan ini menduduki urutan pertama. Pakkiong Liong tak menduga kalau tokoh itu masih hidup. Ia terkenal dengan ilmunya yang disebut Hian-im-ciang (Pukulan Maha Dingin) yang sangat berlawanan dengan Hwe-liong-sin-kang nya Pakkiong Liong.
Jika Hwe-liong-sin-kang dapat menghanguskan badan musuh, maka Hian-im-ciang dapat membuat darah musuh membeku dalam sekali pukul, dan jika darah membeku maka jantungnya akan berhenti berdenyut dan lawanpun mampus. Entah Tong Lam-hou sudah memperoleh itu atau belum?
Kata Pakkiong Lione, "Pantas kau hebat, A-hou. Kiranya kau murid pendekar tua yang kenamaan itu. Apakah beliau masih sehat-sehat saja?"
"Itulah hebatnya guruku. Makin tua bukan makin loyo tapi makin sehat, agaknya karena kegemarannya berlatih silat itulah."
Sementara mereka bercakap-cakap itu, luka Pakkiong Liong sudah selesai ditaburi dengan obat baru. Tong Lam-hou lalu menguap sambil berkata, "Nah, sudah beres. Tidurlah. Aku juga harus tidur supaya besok tidak terlambat bangun untuk berangkat ke Jit-siong-tin."
"Apakah Jit-siong-tin itu jauh?"
"Tidak jauh jika sudah biasa ke sana. Tapi jika tidak bangun pagi-pagi benar akan terlambat sampai ke pasar, dan kita tidak kebagian tempat untuk menggelar barang-barang dagangan kita."
"Sekarang, di mana kau akan tidur, A-hou? Bukankah yang kutiduri ini adalah pembaringanmu?"
"Jangan dipikirkan, aku bisa tidur di mana saja. Kau masih belum sehat betul, tidurkah dipembaringanku," sambil berkata demikian Tong Lam-hou telah menggelar sehelai tikar di lantai gubuknya, lalu membaringkan dirinya tanpa canggung sedikitpun. Tak lama kemudian iapun telah terlelap.
Yang tidak dapat segera memejamkan matanya adalah Pakkiong Liong. Sambil menatap gubuk yang terbuat dari ilalang itu, pikiranya menerawang jauh. Gumamnya seorang diri, "Inilah sebuah surga kecil ditengah-tengah neraka dunia yang masih saja bising dengan peperangan."
Tiba-tiba dirasanya alangkah senangnya jika ia bisa mencopot tanda-tanda keprajuritannya dan kemudian berdiam di tempat itu. Namun kemudian ia sadar, bahwa tenaganya masih sangat diperlukan untuk mempersatukan seluruh negeri ini di bawah satu bendera. Terbayang wajah ayahnya sebelum menghembuskan napas terakhirnya, "Abdikan dirimu untuk Negara dan Kaisar. Satukan seluruh daratan benua di bawah bendera Manchu."
Dan semangat Pakkiong Liong yang hampir saja padam terbuai oleh ketenteraman di gubuk itu, kini berkobar kembali. Disadari memang belum saatnya memikirkan ketenangan diri sendiri, sementara para perongrong pemerintah Manchu masih berkeliaran di mana-mana. Dan Pakkiong Liong sendiripun tidak tahu; sampai kapan titik akhir perjuangannya.
Namun akhirnya Pakkiong Liong terlelap pula dalam tidurnya. Kokok ayam hutan yang terakhir pada dini hari telah membangunkan seisi gubuk kecil itu. Pakkiong Liong membantu Tong Lam-hou dan ibunya mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke pasar.
"Kau benar-benar ingin ikut?" tanya Tong Lam-hou.
"Ya," sahut Pakkiong Liong.
"Tetapi kau tentu tidak dapat pergi ke pasar itu dengan baju seragam prajuritmu itu," kata Tong Lam-hou. "Nanti akan menarik perhatian dan barangkali menimbulkan masalah dengan orang-orang yang menamakan diri pembebas tanah-air itu."
Saat itu memang Pakkiong Liong masih memakai seragam Hui-liong-kun yang dikenakannya paa saat ia mengejar Pangeran Cu Hin-yang dan pengikut-pengikutnya. Baju yang dipakainya ketika tidur sehingga sudah kusut. Sesaat Pakkiong Liong menjadi kebingungan, kalau tidak memakai baju yang ini lalu memakai baju yang mana? Satu-satunya pakaian cadangannya sudah dibawa lari oleh kudanya ketika ketakutan bertemu dengan serigala dulu. Tapi baju yang dibawa lari itupun baju prajurit.
Saat Pakkiong Liong kebingungan itu, ibu Tong Lam-hou telah mengeluarkan sepasang pakaian yang sederhana tetapi bersih. Katanya, "Pakai saja baju A-hou ini, badanmu hampir sama dengan badan A-hou. Tentunya cocok."
Maka Pakkiong Liong-pun berganti pakaian sehingga mirip anak desa, hanya saja kulitnya masih terlalu putih dibandingkan dengan anak-anak desa umumnya. Ia juga mengganti sepatu kulitnya yang tingginya sampai ke betis itu dengan sepatu dari jerami seperti yang biasa dipakai orang-orang desa, kepalanya memakai tudung bambu yang bukan saja berguna melindungi kepalanya dari sinar matahari tetapi juga untuk menyamarkan wajahnya apabila bertemu dengan musuh-musuhnya.
Bukannya Pakkiong Liong takut, tapi ia masih belum mau menyulitkan Tong Lam-hou dan ibunya yang telah berbuat banyak kebaikan untuknya itu. Dan bagaimanapun juga Pakkiong Liong belum, melepaskan naluri keprajuritannya sama sebali. Maka diam-diam dibawanya sepasang pisau belati di balik bajunya, namun tidak ingin hal itu diketahui oleh Tong Lam-hou dan ibunya.
Sebelum hari menjadi terang, berangkatlah kedua anakmuda itu memikul keranjang-keranjang berisi macam-macam sayuran. Bahkan salah satu keranjang juga berisi berpuluh-puluh lembar daging kering "dendeng serigala" yang menurut ibu Tong Lam-hou cukup digemari oleh orang-orang Jit-siong-tin. Pakkiong Liong sendiripun sudah merasakan betapa lezatnya daging itu.
Karena menganggap Pakkiong Liong masih lemah, maka Tong Lam-hou berjalan perlahan-lahan saja, tapi ketika melihat Pakkiong Liong dapat mengikuti langkahnya dengan baik, maka Tong Lam-hou mempercepat langkahnya. Ternyata Pakkiong Liong tetap tidak ketinggalan selangkahpun, bahkan deru napas yang terengah-engahpun tak kedengaran.
Tiba-tiba timbul keinginan Tong Lam-hou untuk menguji sampai di mana ilmu teman barunya yang mengaku sebagai prajurit Kerajaan Manchu ini. Maka kini ia tidak berjalan di jalan setapak yang rata, melainkan memilih lereng-lereng yang licin karena hujan. Berliku-liku, meloncat, menyusup, meluncur turun dan kemudian mendaki tebing-tebing yang hampir tegak lurus sambil menjaga agar isi keranjangnya tidak berceceran.
Ternyata pakkiong Liong tetap dapat mengikuti Tong Lam-hou tanpa terpisah jauh. Bahkan, dasar anak-anak muda yang selalu ingin menang, kedua orang itupun kemudian berlomba untuk saling mendahului dengan mengerahkan Ilmu masing-masing. Sampai akhirnya kedua anak muda itu bagaiakan bayangan sepasang hantu yang terbang dari atas gunung tanpa menginjak tanah.
Tiba di kaki gunungg, Tong Lam-hou lebih dulu menghentikan luncuran tubuhnya sambil berseru, "Hebat!"
Pakkiong Liong-pun berhenti meluncur dan menjawab. "Kau juga hebat!"
Kedua anak muda itu bertukar pandangan sambil tertawa, sementara napas mereka masih megap-megap karena baru saja mengerahkan seluruh kekuatan untuk lomba lari yang luar biasa itu. Kedudukan boleh dikatakan seimbang, namun Tong Lam-hou dapat dikatakan memiliki kelebihan sedikit dalam kekuatan jasmani sebab lereng gunung itu memang medan latihannya setiap hari, sehingga otot-otot kakinyapun tumbuh dengan kokohnya. Andai kata lomba lari itu diperpanjang lebih jauh lagi sedikit, maka Pakkiong Liong akan kalah selapis.
"Kau lebih hebat dari aku, A-hou," kata Pakkiong Liong. "Jika orang muda sehebat kau masuk menjadi prajurit, kerajaan, maka perang akan semakin cepat selesai dan rakyat pun bisa segera membangun dergan rasa aman."
"Apakah semua prajurit sehebat kau, A-liong?"
"Tidak semuanya. Tapi cukup banyak yang kekuatannya merata, misalnya para perwira, apalagi para Panglima. Namun negeri ini terlalu luas dan pemerintah masih membutuhkan banyak prajurit-prajurit yang baik."
"Mari kita lanjutkan perjalanan, tapi sudah tidak ada lomba lari lagi."
Pakkiong Liong tersenyum. "Kenapa?"
"Jalan ini sebentar lagi akan ramai dengan orang menuju Jit-siong-tin. Jika kita berlari-lari malah akan disangka maling jemuran."
Kedua anak muda itupun kemudian berjalan berlenggang ke Jit-siong-tin sambil bercakap-cakap santai. Sepanjang jalan, Tong Lam-hou banyak membalas sapaan ramah dari orang-orang yang menuju ke arah yang sama, agaknya memang sudah saling kenal dengan Tong Lam-hou.
"A-hou, kau tidak lupa pesananku bukan?" kata seorang lelaki setengah baya yang berjenggot seperti kambing.
"Tidak lupa, paman Lo. Sepuluh lembar dendeng dengan mutu terbaik?"
"Ah, kau pintar memuji barang dagangan sendiri. Tapi kuambil nanti siang saja setelah aku menagih di rumah Ji Liok-cu. Jangan lupa, sisakan sepuluh untukku."
"Beres, paman."
Di wilayah yang hampir-hampir tak bertuan itu, letak desa-desa agak berjauhan satu sama lain, dan Jit-siong-tin sebagai desa yang paling besar di sekitar situ telah menjadi semacam "ibukota"nya. Jit-siong-tin terdiri dari kira-kira seratus buah rumah, termasuk rumah kepala desanya yang paling besar, dan di empat penjuru punya pula empat pintu gerbang sehingga mirip sebuah kota, hanya bedanya disini tidak ada tembok kota. Bahkan setiap pintu gerbang dijaga oleh anggauta keamanan desa yang menyandang senjata pula.
Ketika Pakkiong Liong mendekati pintu gerbang selatan, tiba-tiba jantungnya berdegup keras. Dilihatnya digapura desa itu berdiri sebatang bendera bertiang tinggi, bendera yang berwarna kuning dengan gambar matahari merah dan rembulan putih. Bendera Kerajaan Beng!
Darah Pakkiong Liong terasa mendidih melihat itu. "Ini benar-benar gila dengan berani mengibarkan Jit-goat-ki di tempat ramai seperti ini berarti desa ini terang-terangan tidak mengakui kekuasaan yang syah pemerintahan sekarang. Pemasangan bendera ini entah berdasar kehendak penduduk sendiri atau dipaksakan oleh gerombolan pengacau?"
Sebagai prajurit yang setia kepada Kerajaan Manchu, memang Pakkiong Liong merasa tersinggung karena masih ada secuwil tanah yang mengibarkan bendera lain selain bendera Manchu. Geramnya, "Ini suatu keteledoran bagi penguasa Manchu di wilayah ini, agaknya daerah ini tak pernah ditinjau sehingga jatuh ke dalam pengaruh para pembangkang. Meskipun daerahnya hanya kecil saja, tetapi akan dapat menjadi batu pijakan dan sekaligus sumber perbekalan bagi pemberontak untuk memperluas gerakan mereka. Biarpun kecil tapi lama-kelamaan bisa berbahaya."
Sementara Pakkiong Liong melangkah dengan hati yang kisruh, maka Tong Lam-hou melangkah di sampingnya dengan tenangnya. Ia tidak peduli di gerbang desa itu akan dipasang bendera apapun atau cuma sepotong celana butut yang dicantelkan. Pokoknya hari ini dagangannya harus terjual habis, dan barangkali akan dibelinya sepotong baju baru buat ibunya.
Ketika mendekati pintu gerbang, dua orang penjaga bersenjata tombak telah memalangkan tombaknya, dan seorang penjaga lainnya membentak, "A-hou, berhenti!"
Pencegatan seperti itu terhadap para pedagang kecil memang hal biasa, maka tanpa banyak membantah Tong Lam-hou-pun berhenti meskipun dalam hatinya mengumpat. Sambil mengangguk ramah ia bertanya, "Selamat pagi, Hong Toa-ko, apa kabar?"
Pemimpin penjaga di pintu gerbang selatan yang biasa dipanggil Hong Toa-ko atau Hong Lo-toa, malahan oleh anak buahnya sering dipanggil "Hong Tong-leng (Komandan Hong), adalah seorang lelaki empat puluh tahun bertubuh kurus kering bermata tikus, dan lagaknya seperti seorang Panglima besar. Lagaknya yang penuh gertakan itu memang dapat mengalirkan uang ke kantongnya.
Setiap kali ia cukup menggertak seseorang dengan tuduhan "mata-mata Manchu" dan mengancam akan menyeret orang itu ke depan "pengadilan pembela tanah-air", maka orang yang dituduh itu tentu lebih suka mengeluarkan uang setahil dua tahil dan urusanpun akan beres.
Kali ini Hong Lo-toa memilih Tong Lam-hou sebagai sapi perahannya, untuk mengisi kantongnya yang tadi malam telah diludaskan di meja judi. Ia tahu daging dendeng Tong Lam-hou cukup laris, dan tentunya Tong Lam hou punya banyak uang.
Sambil bertolak pinggang dengan dikitari beberapa anak buahnya yang bersenjata, Hong Lo-toa berkata, "A-hou, biasanya kau sendirian saja, mengapa sekarang berjalan bersama seorang yang belum dikenal? Siapa dia?"
Tong Lam-hou sudah tahu Hong Lo-toa ini manusia macam apa. Seorang yang mabuk kekuasaan, gila hormat, mengaku pendukung setia dinasti Beng. Tapi sikapnya sebagai pendukung Kerajaan Beng itu bukan karena pendiriannya yang kuat, melainkan karena desa ini di bawah pengaruh pasukan Li Tiang-hong, sehingga Hong Lo-toa ini cuma mengikuti arah angin sekalian cari untung buat dirinya sendiri.
Begitu "gigih"nya ia, sehingga diangkat sebagai kepala keamanan di Jit-siong-tin yang bertanggung-jawab kepada Li Tiang-hong. Dan ia tidak segan-segan memberi hukuman berat kepada orang-orang desa yang menentang kemauannya, tentu saja dengan mengobral tuduhan "kaki tangan Manchu".
Meski Tong Lam-hou merasa muak, tapi ia tidak ingin bertengkar dengar orang berwatak hina seperti ini. Maka supaya urusan cepat selesai cepat-cepat disusupkannya dua tahil ke genggaman Hong Lo-toa sambil berkata, "Ia saudara sepupuku yang datang dari kota Kubeng, Toako."
Setelah tangannya mengenggam uang, tentu saja kegarangan Hong Lotoa berkurang. "Baik, aku percaya kepadamu karena selama ini memang kau berkelakuan cukup bersih, artinya tidak pernah dicurigai sebagai kaki-tangan musuh. Siapapun yang kedapatan berhubungan dengan kaki-tangan Manchu, akan dihukum."
Pakkiong Liong agaknya sudah tidak dapat menahan hati lagi, maka tiba-tiba ia bertanya, "Siapa yang akan menghukum?"
Hong Lotoa menatap heran ke arah "saudara sepupu" Tong Lam-hou itu, lalu bentaknya sambil bertolak pinggang, "Kau bertanya siapa yang menghukum? Tentu saja pemerintah Kerajaan Beng."
Pakkiong Liong tersenyum sinis, "Pemerintah Beng yang mana? Pemerintahan sudah diruntuhkan oleh Li Cu-seng dan rajanya yang terakhir bahkan mati menggantung diri di bukit Bwe-san. Li Cu-seng sendiri kemudian dikalahkan bangsa Manchu, jadi pemerintah yang syah sekarang ini adalah pemerintah Manchu!"
Keruan wajah Hong Lotoa jadi merah padam mendengar bantahan itu. Selama ia menjabat sebagai "gubernur" Jit-siong-tin belum pernah ada yang mendebatnya dengan berani seperti itu. Semuanya tunduk dan takut kepadanya, biarpun ada yang takutnya cuma pura-pura seperti Tong Lam-hou. Maka tangan kanan Hong Lotoa sudah terangkat, siap menggampar Pakkiong Liong.
Tong Lam-hou terkejut, jika sampai Hong Lotoa menampar Pakkiong Liong maka yang celaka bukannya Pakkiong Liong melainkan Hong Lotoa sendiri. Dua puluh orang macam Hong Lotoa akan dapat digulung oleh Pakkiong Liong dalam sekejap mata. Maka cepat-cepat Tong Lam-hou mendorong Pakkiong Liong mundur ke belakang, dan kemudian "memohonkan ampun" kepada Hong Lotoa,
"Maafkan saudaraku ini, Lotoa. Ia tidak sengaja menghina, maklum daerahnya jauh dari sini dan berada di bawah pemerintahan Manchu sehingga ia tidak tahu kalau daerah ini masih dikuasai pemerintahan lama. Maafkan dia, Lotoa."
Hong Lotoa menurunkan kembali tangannya sambil menjawab, "Baik, mengingat saudaramu adalah orang baru di daerah ini, aku ampuni dia. Beritahu kepadanya, bahwa di wilayah Beng orang harus membayar pajak kepada pemerintah Beng untuk biaya perjuangan, Suatu kali kelak Ibukota Pak-khia akan kami rebut kembali dari tangan orang-orang Manchu..."
Alangkah panasnya hati Pakkiong Liong mendengar ucapan-ucapan Hong Lotoa itu, tapi ia menahan diri sebab harus mengingat keselamatan Tong Lam-hou dan ibunya yang tinggal di daerah itu. Maka ia diam saja ketika Tong Lam hou menyeret tangannya untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah agak jauh dari Hong Lotoa dan kawan-kawannya, Pakkiong Liong bertanya, "Apakah pemerasan seperti itu terjadi setiap hari?"
"Ya, itu belum seberapa."
"Jika seseorang tidak mau atau tidak mampu memberikan uang? Misalnya karena tidak punya uang, atau uang itu akan digunakan untuk keperluan yang lebih mendesak, umpamanya mengobati orang sakit parah?"
Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak untuk menjawab, namun akhirnya dijawabnya juga, "Orang yang menolak membayar itu akan diseret ke depan pengadilan yang mereka bentuk, dan mendapat hukuman rangket seratus kali dengan tuduhan tidak menyokong perjuangan pembebasan."
"Keterlaluan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membalikkan badan dan hendak menuju ke tempat Hong Lotoa dan kawan-kawannya tadi.
Tong Lam-hou terkejut dan cepat-cepat menghalangi langkah temannya itu, sambil bertanya, "He, kau mau ke mana?"
"Aku akan menghajar mereka dan mengumumkan bahwa desa ini termasuk wilayah Kerajaan Manchu, bukan Kerajaan Beng yang sudah ambruk itu!"
"Jangan! Mereka punya banyak teman!"
"Aku tidak takut. Mereka telah menindas rakyat!"
"Mereka bukan saja berteman banyak, tapi juga ditulang-punggungi oleh Panglima Li Tiang-hong dengan pasukannya yang besar..."
"Berapa besar pasukan Li Tiang-hong itu?"
"Kira-kira seribu orang bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng."
Tidak dapat menahan diri lagi, Pakkiong Liong segera menjawab, "Tidak berarti banyak untukku. Aku juga seorang Panglima yang memimpin lima belas ribu orang prajurit terbaik di negeri ini, prajurit-prajurit dari Hui-liong-kun. Jika kukerahkan anak buahku kemari, maka Li Tiang-hong akan hancur menjadi debu."
Tong Lam-hou terkejut, "Kau. ...kau..."
"A-hou, baiklah aku berterus-terang kepadamu, aku adalah Panglima dari pasukan yang disebut Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) dari Kerajaan Manchu. Aku juga dijuluki orang sebagai Pak-liong (Naga Utara)."
Sesaat Pakkiong Liong menatap wajah Tong Lam-hou yang terlongong-longong itu. Kemudian terdengar suara Tong Lam-hou agak gugup, "Jadi...jadi kaukah orangnya yang sedang dicari-cari oleh kelompok yang menamakan diri pembebas tanah-air itu?"
"Kenapa sedang dicari?"
"Kemarin, rakyat dari beberapa desa sekitar sini dikumpulkan di lapangan, lalu beberapa orang yang berpakaian prajurit Kerajaan Beng telah mengumumkan bahwa siapa yang dapat menunjukkan persembunyian seorang Manchu yang berjulukan Naga Utara, akan mendapat hadiah. Yang menyembunyikan akan dihukum berat."
Wajah pakkiong Liong menegang. "A-hou, kau tidak tergiur oleh hadiah itu bukan?"
Tong Lan-hou tertawa geli melihat muka Pakkiong Liong yang kelihatan kuatir dan tegang itu. Katanya sambil tertawa, "A-Liong, kau lihat tampangku ini apakan mirip dengan seorang gila uang dan gemar menjual sahabat? Dan setelah kupikir sebentar, agaknya betul juga pendapatmu."
"Pendapat yang mana?"
"Kesewenang-wenangan dari orang-orang yang menyebut diri mereka Pembebas Tanah Air itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dulu pemerintahan Beng tidak pernah memperhatikan daerah ini, sekarang setelah mereka terusir dari singgasana maka daerah ini hendak diperasnya habis-habisan untuk membantu perlawanan mereka. Kelak jika mereka menang tentu daerah inipun akan mereka lupakan lagi."
"Bagus, A-hou, pikiranmu mulai terbuka. Kutambahkan satu hal lagi. Perjuangan mereka akan sia-sia saja karena mereka tidak memadai. Yang bisa mereka dapatkan hanyalah memperpanjang kekacauan di mana-mana."
"Sekarang, A-liong, jika kau mau menghajar Hong Lotoa aku tidak akan mencegahmu lagi. Malah akupun ingin minta kembali uangku tadi, lumayan untuk beli baju."
Pakkiong Liong tertawa. "Aku juga sudah berbalik pikiran."
"Eh, bagaimana kau ini? Setelah kubiarkan bertindak malah berganti pikiran?"
Sahut Pakkiong Liong, "Maksudku, tidak ada gunanya menghajar keroco-keroco rendahan seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Tangkap saja pentolan pengacaunya sekalian."
"Maksudmu, Li Tiang-hong?"
"Benar, dan juga pentolan pengacau lainnya yang bernama Ma Hiong, seorang bekas bangsawan Beng yang bernama Cu Hin-yang. Jika mereka tertangkap, keroco-keroconyapun tidak akan berani mengacau lagi."
Tong Lam-hou mengangguk-angguk. "Betul, tangkap ular harus kepalanya dulu. Tapi orang-orang itu tentu bersembunyi dalam sarang mereka yang dijaga ketat, apakah kita sanggup?"
Pakkiong Liong menggenggam tangan Tong Lam-hou dan menyahut mantap, "Jika Naga Utara bergabung dengan Harimau Selatan (Lam-hou), apa yang bisa merintangi kita?"
"Baik. Demi kesejahteraan rakyat Jit-siong-tin, aku sanggup menerjang ke sarang pengacau-pengacau itu bersamamu."
"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Sahut Tong Lam-hou tertawa, "Tetap seperti rencana tadi malam. Berdagang dulu, ada beberapa langganan yang sudah berjanji kepadaku hari ini."
Setelah tiba di pasar yang ramai, merekapun segera menggelar dagangan mereka, lalu Tong Lam-hou mulai berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Beberapa orang membeli, beberapa orang lagi tidak jadi membeli malahan mencela barangnya, namun sedikit demi sedikit uangnya memenuhi kantong Tong Lam-hou.
Setelah dagangan habis terjual, Tong Lam-hou duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menghitung uang hasil jualannya. "Lumayan juga hari ini. Jika digabung dengan tabunganku bulan yang lalu, cukup untuk membeli selimut dan baju hangat buat ibu, agar ibu tidak selalu tidur dengan kedinginan karena selimut tuanya sudah robek-robek."
Bagi Pakkiong Liong, uang sejumlah itu tidak berarti sama sekali, namun ia ikut berbahagia melihat sahabatnya berbahagia pula. Diam-diam Pakkiong Liong berkata dalam hatinya, "Kelak jika kau sudah bersamaku di Ibukota, sahabat, kau mau beli seribu selimut dan seribu baju hangatpun dapat kau dapatkan dengan mudah."
Waktu itu hampir tengah hari, pasar pun hampir bubar. Pada saat itulah tiba-tiba dari sebuah warung arak kecil di pasar terdengar suara orang membentak-bentak, bahkan suara mangkuk yang dibanting pecah. Lalu nampak lelaki tua pemilik warung itu tubuhnya terlempar keluar sampai berguling-guling, sambil memegangi kepalanya ia berteriak-teriak, "Ampun tuan! Ampun tuan!"
Semua orang di pasar menoleh ke suara ribut-ribut itu. Dari dalam warung arak itu melangkah keluar tiga orang lelaki bertampang aneh. Yang pertama bertubuh kurus seperti mayat dan pucat seperti mayat pula, tapi matanya bersinar kejam, dipinggangnya terselip pedang berbadan sempit berujung runcing. Orang kedua pendek kekar dan botak, sebelah telinganya memakai anting-anting, dan pedang yang disandangnyapun bentuknya mirip pemiliknya. Pendek, lebar, tebal.
Yang ketiga seorang lelaki yang berbaju kembang-kembang seperti perempuan, malahan mukanya juga dipupuri dan bibirnya digincu. Gerak-gerik dan senyumnya genit, namun tidak menimbulkan rasa tertarik malahan menimbulkan rasa seram. Senjatanya ialah sepasang pisau belati, yang satu diselipkan di ikat pinggangnya dan lainnya dibuat main-main di tangannya. Ketiga orarg aneh itu belum dikenal oleh penduduk Jit-siong-tin, namun sikap mereka yang menakutkan itu membuat penduduk Jit-siong-tin tidak ada yang berani ikut campur dalam keributan itu.
Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku, jangan hadapkan aku ke pengadilan pembebas tanah-air..."
Tapi si pucat itu malahan menendangkan kakinya sehingga pemilik warung itu kembali terguling-guling sambil menjerit kesakitan. Bentak si muka pucat itu, "Ucapanmu tadi sudah cukup untuk menyeretmu ke tiang gantungan! Kesadaran ber-tanah-airmu benar-benar tipis! Kenapa kau tidak menjawab dengan sungguh-sungguh ketika kami tanya tentang orang Manchu yang hendak kami tangkap itu? Kau melindunginya?"
Tuduhan "melindungi orang Manchu" benar-benar tuduhan yang paling berat di desa itu, beratnya melebihi dosa apapun. Tuduhan itu bisa menyeret seseorang ke tiang gantungan. Karena itu, mendengar tuduhan dari si muka pucat itu, pemilik warung itu sampai membentur-benturkan jidatnya ke tanah. Saking takutnya maka apa yang diomongkannya malahan menjadi tidak jelas.
Si pendek kekar berkepala botak itu agaknya ikut menunjukkan kegarangannya. Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku."
Tengkuk si pemilik kedai arak dicengkeramnya, lalu tubuhnya dilempar lemparkannya ke udara seperti sepotong kayu saja, dan si pemilik kedai itu sampai menjerit-jerit ketakutan.
Sementara itu, ribut-ribut di depan kedai arak itu telah memancing Hong Lotoa dan anak buahnya untuk datang ke tempat itu pula. Ketika melihat ketangkasan si pendek botak itu, Hong Lotoa sadar bahwa dirinya bukan tandingan ketiga orang itu. Maka seperti biasa ia akan menerapkan jurus "Daun Ilalang Tertiup Angin" alias menjilat. Demikian watak orang-orang macam Hong Lotoa itu. Bertemu dengan orang yang lebih lemah, dia menginjak. Bertemu orang yang lebih kuat, dia menjilat, tidak peduli mengorbankan teman sendiri.
Kedatangan Hong Lotoa dan teman-temannya yang bersenjata itu telah menarik perhatian ketiga orang asing itu. Si pendek botak untuk sementara meletakkan "permainan"nya dan membentak Hong Lotoa, "Siapa kalian? Kalian akan membela tua bangka ini?"
Cepat-cepat Hong Lotoa mengangkat tangannya untuk memberi hormat, sambil menjawab, "Jangan salah paham, saudara, kami adalah orang-orang yang bertangngung-jawab atas keamanan di desa ini. Kami hanya ingin tahu siapakah saudara bertiga ini, dan apa yang terjadi di sini?"
Si pendek botak itu hampir saja membentak Hong Lotoa sekalian, namun si muka mayat telah mendahului berkata dengan nada lebih lunak, "Baiklah kami memperkenalkan diri kami bertiga lebih dulu. Kami bertiga biasa di juluki sebagai Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala Kun-lun). Aku bernama Mo Wan seng berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Taring Besi), adikku yang kedua ini adalah Auyang Bun berjulukan Cui-long-cu ( Si Serigala Mabuk ) dan adikku yang ke tiga bernama Kiongwan Peng berjulukan Im-yang-long (Si Serigala Banci).
"Kami bertiga tengah mengemban tugas dari Li Ciangkun Li Tiang-hong untuk melacak jejak seorang mata-mata Manchu bernama Pakkiong Liong yang kabarnya berkeliaran di tempat ini. Kami mencoba mencari keterangan dengan bertanya kepada si keparat pemilik kedai ini, namun ia menjawabnya acuh tak acuh saja, seakan-akan kami ini pengemis yang berjongkok di depan pintu kedainya. Coba, pantas atau tidak sikapnya itu?"
Pemilik kedai itu kembali meratap-ratap, "Ampun, tuan, aku benar-benar tidak tahu..." namun ratapannya terpotong oleh bentakan Hong Lotoa yang bengis, "Diam! Meskipun aku tidak melihat sendiri tapi aku yakin kau tentu telah bersikap menyinggung perasaan ketiga tuan-tuan ini. Aku tahu sejak dulu memang kau kurang setia kepada Kerajaan Beng. Kemarin kau menggerutu meskipun para pejuang itu tidak mengambil banyak dari kedaimu bukan?"
Demikianlah Hong Lotoa yang gentar kepada Kun-lun-sam-long itu telah mengikuti arah angin dengan ikut-ikutan memarahi si pemilik kedai itu. Bahkan kemudian apa yang ditindakkan oleh Hong Lotoa telah terlalu jauh, teriaknya, "Orang-orang yang tidak setia 'kepada perjuangan semacam ini tidak kita butuhkan lagi di tengah-tengah kita! Demi kejayaan Kerajaan Beng, ia kuputuskan untuk dihukum gantung!"
Semua orang terkejut, kesalahan sekecil itu saja dihukum gantung? Satu satunya yang mendukung tindakan Hong Lotoa itu hanyalah Kun-lun-sam-long. "Bagus, tindakan saudara yang tegas ini kelak jika diketahui oleh Li Ciang kun tentu akan mendapat pujian."
Hidung Hong Lotoa kembang-kempis karena bangganya. Kepada anak buahnya ia memerintahkan, "Laksanakan hukum gantung!"
Dua orang anak buah Hong Lotoa segera menyeret pemilik kedai yang wajahnya sudah putih seperti kapur itu. Namun wajah yang pucat itu sedikitpun tidak menimbulkan belas kasihan di hati Hong Lotoa. Makin ia melihat orang menderita akibat keputusannya, makin banggalah ia, sebab merasa betapa "berkuasa"nya ia.
Dengan wajah tengadah Hong Lotoa memandang berkeliling ke arah penduduk desa yang berkerumun di sekitar kedai arak itu. Bentaknya dengan garang, "Nah, siapa lagi yang berani melawan kekuasaanku?"
Sikap itu telah membuat sekalian orang menjadi muak. Hanya dengan menerima pengaduan tiga orang asing yang belum dikenal saja Hong Lotoa telah menjatuhkan hukuman gantung dengan semena-mena. Bahkan si pemilik kedai yang hendak dihukum itupun tidak diberi kesempatan membela diri sepatah katapun. Namun betapapun muaknya, siapa orang Jit-siong-tin yang berani melawan Hong Lota yang kejam itu?
Namun ternyata ada. Tong Lam-hou tidak tahan lagi melihat kelakuan Hong Lotoa yang menggunakan nyawa orang lain sebagai sarana mencari muka kepada atasannya itu. Ketika si pemilik kedai yang tubuhnya sudah lemas seperti karung itu diseret ke sebuah pohon, di mana seorang anak buah Hong Lotoa lainnya sedang menyimpulkan tali untuk leher pemilik kedai itu, maka Tong Lam-hou telah berteriak dari antara kerumunan penonton, "Tahan!"
Lalu dengan langkah tenang sekali ia masuk ke tengah arena, kepada dua orang pengawal Hong Lotoa yang menyeret si pemilik kedai, Tong Lam-hou berkata dengan suara penuh tekanan, "Lepaskan orang itu!"
Orang-orang yang berkerumun di pasar itu seakan-akan tercekam sihir. Benarkah yang berdiri di tengah gelanggang sekarang ini adalah Tong Lam-hou yang tadi? Yang bersikap ramah kepada siapapun, tidak suka berkelahi dan bahkan sering diperas dan dihina oleh Hong Lotoa? Kenapa sekarang menjadi begitu garang? Bahkan Hong Lotoa sendiripun melongo kaget.
Kedua arak buah Hong Lotoa itu tiba-tiba saja tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pandangan mata Tong Lam-hou, lalu dilepaskannya si pemilik Kedai yang hampir digantung itu. Ketika Hong Lotoa sudah sadar dari kagetnya, iapun marah bukan kepalang. Teriaknya,
"A-hou sudah gilakah kau?! sadarkah kau siapa yang sedang kau lawan?!"
Biasanya jika Hong Lotoa membentak, A-hou akan membungkuk-bungkuk sambil tersenyum-senyum, dan menyusupkan setahil dua tahil ke tangan Hong Lotoa. Namun kali ini lain, bagaikan seekor harimau yang garang Tong Lam-hou balas menatap ke arah Hong Lotoa sehingga Hong Lotoa mengkeret nyalinya. Tong Lam-hou tidak membentak, namun suara yang dikumandangkan dari kepribadiannya yang sebenarnya itu mengandung perbawa yang tak terlawan oleh Hong Lotoa.
"Hong Lotoa, kaulah yang gila! Sejelek-jeleknya paman Sun si pemilik kedai ini, ia sudah hidup di desa ini belasan tahun, sudah belasan tahun menjadi sekeluarga besar dengan kita. Hanya karena pengaduan ketiga cecunguk yang tak diketahui asal-usulnya ini, kau lantas begitu saja menjatuhkan hukuman gantung kepada paman Sun? Memangnya nyawa manusia kau anggap apa?"
Yang mengalami kegoncangan perasaan ternyata justru adalah Hong-Lotoa sendiri. Ia menjadi gugup dan kehilangan kepribadiannya, seolah Tong Lam-hou yang dihadapinya sekarang ini berbeda dengan Tong Lam-hou di depan pintu gerbang desa tadi. Namun ia tidak mau kehilangan muka begitu saja, segera dia mengeraskan suaranya, "Tutup mulutmu, A-hou! Melawan aku sama saja dengan melawan Li Ciangkun!"
Dengan menyebut-nyebut orang kuat yang menjadi tulang punggungnya, Hong Lotoa berharap Tong Lam-hou akan ketakutan dan wibawanya dapat dipulihkan. Tapi sikap Tong Lam-hou benar-benar di luar dugaan,
"Ha ha ha, seorang Panglima dari dinasti yang sudah ambruk, apakah artinya? Bahkan andaikata sepuluh orang Li Tiang-hong muncul sekaligus di hadapanku, mereka tidak akan mampu menghukum Tong Lam-hou...!"
Selanjutnya;