Pendekar Naga dan Harimau Jilid 05Karya : Stevanus S.P |
Tong Lam-hou ragu-ragu sejenak untuk menjawab, namun akhirnya dijawabnya juga, "Orang yang menolak membayar itu akan diseret ke depan pengadilan yang mereka bentuk, dan mendapat hukuman rangket seratus kali dengan tuduhan tidak menyokong perjuangan pembebasan."
"Keterlaluan!" tiba-tiba Pakkiong Liong membalikkan badan dan hendak menuju ke tempat Hong Lotoa dan kawan-kawannya tadi. Tong Lam-hou terkejut dan cepat-cepat menghalangi langkah temannya itu, sambil bertanya, "He, kau mau ke mana?" "Aku akan menghajar mereka dan mengumumkan bahwa desa ini termasuk wilayah Kerajaan Manchu, bukan Kerajaan Beng yang sudah ambruk itu!" "Jangan! Mereka punya banyak teman!" "Aku tidak takut. Mereka telah menindas rakyat!" "Mereka bukan saja berteman banyak, tapi juga ditulang-punggungi oleh Panglima Li Tiang-hong dengan pasukannya yang besar..." "Berapa besar pasukan Li Tiang-hong itu?" "Kira-kira seribu orang bekas prajurit-prajurit Kerajaan Beng." Tidak dapat menahan diri lagi, Pakkiong Liong segera menjawab, "Tidak berarti banyak untukku. Aku juga seorang Panglima yang memimpin lima belas ribu orang prajurit terbaik di negeri ini, prajurit-prajurit dari Hui-liong-kun. Jika kukerahkan anak buahku kemari, maka Li Tiang-hong akan hancur menjadi debu." Tong Lam-hou terkejut, "Kau. ...kau..." "A-hou, baiklah aku berterus-terang kepadamu, aku adalah Panglima dari pasukan yang disebut Hui-liong-kun (Pasukan Naga Terbang) dari Kerajaan Manchu. Aku juga dijuluki orang sebagai Pak-liong (Naga Utara)." Sesaat Pakkiong Liong menatap wajah Tong Lam-hou yang terlongong-longong itu. Kemudian terdengar suara Tong Lam-hou agak gugup, "Jadi...jadi kaukah orangnya yang sedang dicari-cari oleh kelompok yang menamakan diri pembebas tanah-air itu?" "Kenapa sedang dicari?" "Kemarin, rakyat dari beberapa desa sekitar sini dikumpulkan di lapangan, lalu beberapa orang yang berpakaian prajurit Kerajaan Beng telah mengumumkan bahwa siapa yang dapat menunjukkan persembunyian seorang Manchu yang berjulukan Naga Utara, akan mendapat hadiah. Yang menyembunyikan akan dihukum berat." Wajah pakkiong Liong menegang. "A-hou, kau tidak tergiur oleh hadiah itu bukan?" Tong Lan-hou tertawa geli melihat muka Pakkiong Liong yang kelihatan kuatir dan tegang itu. Katanya sambil tertawa, "A-Liong, kau lihat tampangku ini apakan mirip dengan seorang gila uang dan gemar menjual sahabat? Dan setelah kupikir sebentar, agaknya betul juga pendapatmu." "Pendapat yang mana?" "Kesewenang-wenangan dari orang-orang yang menyebut diri mereka Pembebas Tanah Air itu tidak dapat dibiarkan berlarut-larut. Dulu pemerintahan Beng tidak pernah memperhatikan daerah ini, sekarang setelah mereka terusir dari singgasana maka daerah ini hendak diperasnya habis-habisan untuk membantu perlawanan mereka. Kelak jika mereka menang tentu daerah inipun akan mereka lupakan lagi." "Bagus, A-hou, pikiranmu mulai terbuka. Kutambahkan satu hal lagi. Perjuangan mereka akan sia-sia saja karena mereka tidak memadai. Yang bisa mereka dapatkan hanyalah memperpanjang kekacauan di mana-mana." "Sekarang, A-liong, jika kau mau menghajar Hong Lotoa aku tidak akan mencegahmu lagi. Malah akupun ingin minta kembali uangku tadi, lumayan untuk beli baju." Pakkiong Liong tertawa. "Aku juga sudah berbalik pikiran." "Eh, bagaimana kau ini? Setelah kubiarkan bertindak malah berganti pikiran?" Sahut Pakkiong Liong, "Maksudku, tidak ada gunanya menghajar keroco-keroco rendahan seperti Hong Lotoa dan teman-temannya itu. Tangkap saja pentolan pengacaunya sekalian." "Maksudmu, Li Tiang-hong?" "Benar, dan juga pentolan pengacau lainnya yang bernama Ma Hiong, seorang bekas bangsawan Beng yang bernama Cu Hin-yang. Jika mereka tertangkap, keroco-keroconyapun tidak akan berani mengacau lagi." Tong Lam-hou mengangguk-angguk. "Betul, tangkap ular harus kepalanya dulu. Tapi orang-orang itu tentu bersembunyi dalam sarang mereka yang dijaga ketat, apakah kita sanggup?" Pakkiong Liong menggenggam tangan Tong Lam-hou dan menyahut mantap, "Jika Naga Utara bergabung dengan Harimau Selatan (Lam-hou), apa yang bisa merintangi kita?" "Baik. Demi kesejahteraan rakyat Jit-siong-tin, aku sanggup menerjang ke sarang pengacau-pengacau itu bersamamu." "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" Sahut Tong Lam-hou tertawa, "Tetap seperti rencana tadi malam. Berdagang dulu, ada beberapa langganan yang sudah berjanji kepadaku hari ini." Setelah tiba di pasar yang ramai, merekapun segera menggelar dagangan mereka, lalu Tong Lam-hou mulai berteriak-teriak menawarkan dagangannya. Beberapa orang membeli, beberapa orang lagi tidak jadi membeli malahan mencela barangnya, namun sedikit demi sedikit uangnya memenuhi kantong Tong Lam-hou. Setelah dagangan habis terjual, Tong Lam-hou duduk di bawah sebuah pohon yang rindang sambil menghitung uang hasil jualannya. "Lumayan juga hari ini. Jika digabung dengan tabunganku bulan yang lalu, cukup untuk membeli selimut dan baju hangat buat ibu, agar ibu tidak selalu tidur dengan kedinginan karena selimut tuanya sudah robek-robek." Bagi Pakkiong Liong, uang sejumlah itu tidak berarti sama sekali, namun ia ikut berbahagia melihat sahabatnya berbahagia pula. Diam-diam Pakkiong Liong berkata dalam hatinya, "Kelak jika kau sudah bersamaku di Ibukota, sahabat, kau mau beli seribu selimut dan seribu baju hangatpun dapat kau dapatkan dengan mudah." Waktu itu hampir tengah hari, pasar pun hampir bubar. Pada saat itulah tiba-tiba dari sebuah warung arak kecil di pasar terdengar suara orang membentak-bentak, bahkan suara mangkuk yang dibanting pecah. Lalu nampak lelaki tua pemilik warung itu tubuhnya terlempar keluar sampai berguling-guling, sambil memegangi kepalanya ia berteriak-teriak, "Ampun tuan! Ampun tuan!" Semua orang di pasar menoleh ke suara ribut-ribut itu. Dari dalam warung arak itu melangkah keluar tiga orang lelaki bertampang aneh. Yang pertama bertubuh kurus seperti mayat dan pucat seperti mayat pula, tapi matanya bersinar kejam, dipinggangnya terselip pedang berbadan sempit berujung runcing. Orang kedua pendek kekar dan botak, sebelah telinganya memakai anting-anting, dan pedang yang disandangnyapun bentuknya mirip pemiliknya. Pendek, lebar, tebal. Yang ketiga seorang lelaki yang berbaju kembang-kembang seperti perempuan, malahan mukanya juga dipupuri dan bibirnya digincu. Gerak-gerik dan senyumnya genit, namun tidak menimbulkan rasa tertarik malahan menimbulkan rasa seram. Senjatanya ialah sepasang pisau belati, yang satu diselipkan di ikat pinggangnya dan lainnya dibuat main-main di tangannya. Ketiga orarg aneh itu belum dikenal oleh penduduk Jit-siong-tin, namun sikap mereka yang menakutkan itu membuat penduduk Jit-siong-tin tidak ada yang berani ikut campur dalam keributan itu. Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku, jangan hadapkan aku ke pengadilan pembebas tanah-air..." Tapi si pucat itu malahan menendangkan kakinya sehingga pemilik warung itu kembali terguling-guling sambil menjerit kesakitan. Bentak si muka pucat itu, "Ucapanmu tadi sudah cukup untuk menyeretmu ke tiang gantungan! Kesadaran ber-tanah-airmu benar-benar tipis! Kenapa kau tidak menjawab dengan sungguh-sungguh ketika kami tanya tentang orang Manchu yang hendak kami tangkap itu? Kau melindunginya?" Tuduhan "melindungi orang Manchu" benar-benar tuduhan yang paling berat di desa itu, beratnya melebihi dosa apapun. Tuduhan itu bisa menyeret seseorang ke tiang gantungan. Karena itu, mendengar tuduhan dari si muka pucat itu, pemilik warung itu sampai membentur-benturkan jidatnya ke tanah. Saking takutnya maka apa yang diomongkannya malahan menjadi tidak jelas. Si pendek kekar berkepala botak itu agaknya ikut menunjukkan kegarangannya. Melihat ketiga orang aneh itu melangkah keluar, si pemilik warung arak berlutut sambil memohon, "Ampuni aku yang lancang mulut ini, tuan-tuan! Ampuni aku." Tengkuk si pemilik kedai arak dicengkeramnya, lalu tubuhnya dilempar lemparkannya ke udara seperti sepotong kayu saja, dan si pemilik kedai itu sampai menjerit-jerit ketakutan. Sementara itu, ribut-ribut di depan kedai arak itu telah memancing Hong Lotoa dan anak buahnya untuk datang ke tempat itu pula. Ketika melihat ketangkasan si pendek botak itu, Hong Lotoa sadar bahwa dirinya bukan tandingan ketiga orang itu. Maka seperti biasa ia akan menerapkan jurus "Daun Ilalang Tertiup Angin" alias menjilat. Demikian watak orang-orang macam Hong Lotoa itu. Bertemu dengan orang yang lebih lemah, dia menginjak. Bertemu orang yang lebih kuat, dia menjilat, tidak peduli mengorbankan teman sendiri. Kedatangan Hong Lotoa dan teman-temannya yang bersenjata itu telah menarik perhatian ketiga orang asing itu. Si pendek botak untuk sementara meletakkan "permainan"nya dan membentak Hong Lotoa, "Siapa kalian? Kalian akan membela tua bangka ini?" Cepat-cepat Hong Lotoa mengangkat tangannya untuk memberi hormat, sambil menjawab, "Jangan salah paham, saudara, kami adalah orang-orang yang bertangngung-jawab atas keamanan di desa ini. Kami hanya ingin tahu siapakah saudara bertiga ini, dan apa yang terjadi di sini?" Si pendek botak itu hampir saja membentak Hong Lotoa sekalian, namun si muka mayat telah mendahului berkata dengan nada lebih lunak, "Baiklah kami memperkenalkan diri kami bertiga lebih dulu. Kami bertiga biasa di juluki sebagai Kun-lun-sam-long (Tiga Serigala Kun-lun). Aku bernama Mo Wan seng berjulukan Tiat-ge-long (Serigala Taring Besi), adikku yang kedua ini adalah Auyang Bun berjulukan Cui-long-cu ( Si Serigala Mabuk ) dan adikku yang ke tiga bernama Kiongwan Peng berjulukan Im-yang-long (Si Serigala Banci). "Kami bertiga tengah mengemban tugas dari Li Ciangkun Li Tiang-hong untuk melacak jejak seorang mata-mata Manchu bernama Pakkiong Liong yang kabarnya berkeliaran di tempat ini. Kami mencoba mencari keterangan dengan bertanya kepada si keparat pemilik kedai ini, namun ia menjawabnya acuh tak acuh saja, seakan-akan kami ini pengemis yang berjongkok di depan pintu kedainya. Coba, pantas atau tidak sikapnya itu?" Pemilik kedai itu kembali meratap-ratap, "Ampun, tuan, aku benar-benar tidak tahu..." namun ratapannya terpotong oleh bentakan Hong Lotoa yang bengis, "Diam! Meskipun aku tidak melihat sendiri tapi aku yakin kau tentu telah bersikap menyinggung perasaan ketiga tuan-tuan ini. Aku tahu sejak dulu memang kau kurang setia kepada Kerajaan Beng. Kemarin kau menggerutu meskipun para pejuang itu tidak mengambil banyak dari kedaimu bukan?" Demikianlah Hong Lotoa yang gentar kepada Kun-lun-sam-long itu telah mengikuti arah angin dengan ikut-ikutan memarahi si pemilik kedai itu. Bahkan kemudian apa yang ditindakkan oleh Hong Lotoa telah terlalu jauh, teriaknya, "Orang-orang yang tidak setia 'kepada perjuangan semacam ini tidak kita butuhkan lagi di tengah-tengah kita! Demi kejayaan Kerajaan Beng, ia kuputuskan untuk dihukum gantung!" Semua orang terkejut, kesalahan sekecil itu saja dihukum gantung? Satu satunya yang mendukung tindakan Hong Lotoa itu hanyalah Kun-lun-sam-long. "Bagus, tindakan saudara yang tegas ini kelak jika diketahui oleh Li Ciang kun tentu akan mendapat pujian." Hidung Hong Lotoa kembang-kempis karena bangganya. Kepada anak buahnya ia memerintahkan, "Laksanakan hukum gantung!" Dua orang anak buah Hong Lotoa segera menyeret pemilik kedai yang wajahnya sudah putih seperti kapur itu. Namun wajah yang pucat itu sedikitpun tidak menimbulkan belas kasihan di hati Hong Lotoa. Makin ia melihat orang menderita akibat keputusannya, makin banggalah ia, sebab merasa betapa "berkuasa"nya ia. Dengan wajah tengadah Hong Lotoa memandang berkeliling ke arah penduduk desa yang berkerumun di sekitar kedai arak itu. Bentaknya dengan garang, "Nah, siapa lagi yang berani melawan kekuasaanku?" Sikap itu telah membuat sekalian orang menjadi muak. Hanya dengan menerima pengaduan tiga orang asing yang belum dikenal saja Hong Lotoa telah menjatuhkan hukuman gantung dengan semena-mena. Bahkan si pemilik kedai yang hendak dihukum itupun tidak diberi kesempatan membela diri sepatah katapun. Namun betapapun muaknya, siapa orang Jit-siong-tin yang berani melawan Hong Lota yang kejam itu? Namun ternyata ada. Tong Lam-hou tidak tahan lagi melihat kelakuan Hong Lotoa yang menggunakan nyawa orang lain sebagai sarana mencari muka kepada atasannya itu. Ketika si pemilik kedai yang tubuhnya sudah lemas seperti karung itu diseret ke sebuah pohon, di mana seorang anak buah Hong Lotoa lainnya sedang menyimpulkan tali untuk leher pemilik kedai itu, maka Tong Lam-hou telah berteriak dari antara kerumunan penonton, "Tahan!" Lalu dengan langkah tenang sekali ia masuk ke tengah arena, kepada dua orang pengawal Hong Lotoa yang menyeret si pemilik kedai, Tong Lam-hou berkata dengan suara penuh tekanan, "Lepaskan orang itu!" Orang-orang yang berkerumun di pasar itu seakan-akan tercekam sihir. Benarkah yang berdiri di tengah gelanggang sekarang ini adalah Tong Lam-hou yang tadi? Yang bersikap ramah kepada siapapun, tidak suka berkelahi dan bahkan sering diperas dan dihina oleh Hong Lotoa? Kenapa sekarang menjadi begitu garang? Bahkan Hong Lotoa sendiripun melongo kaget. Kedua arak buah Hong Lotoa itu tiba-tiba saja tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh pandangan mata Tong Lam-hou, lalu dilepaskannya si pemilik Kedai yang hampir digantung itu. Ketika Hong Lotoa sudah sadar dari kagetnya, iapun marah bukan kepalang. Teriaknya, "A-hou sudah gilakah kau?! sadarkah kau siapa yang sedang kau lawan?!" Biasanya jika Hong Lotoa membentak, A-hou akan membungkuk-bungkuk sambil tersenyum-senyum, dan menyusupkan setahil dua tahil ke tangan Hong Lotoa. Namun kali ini lain, bagaikan seekor harimau yang garang Tong Lam-hou balas menatap ke arah Hong Lotoa sehingga Hong Lotoa mengkeret nyalinya. Tong Lam-hou tidak membentak, namun suara yang dikumandangkan dari kepribadiannya yang sebenarnya itu mengandung perbawa yang tak terlawan oleh Hong Lotoa. "Hong Lotoa, kaulah yang gila! Sejelek-jeleknya paman Sun si pemilik kedai ini, ia sudah hidup di desa ini belasan tahun, sudah belasan tahun menjadi sekeluarga besar dengan kita. Hanya karena pengaduan ketiga cecunguk yang tak diketahui asal-usulnya ini, kau lantas begitu saja menjatuhkan hukuman gantung kepada paman Sun? Memangnya nyawa manusia kau anggap apa?" Yang mengalami kegoncangan perasaan ternyata justru adalah Hong-Lotoa sendiri. Ia menjadi gugup dan kehilangan kepribadiannya, seolah Tong Lam-hou yang dihadapinya sekarang ini berbeda dengan Tong Lam-hou di depan pintu gerbang desa tadi. Namun ia tidak mau kehilangan muka begitu saja, segera dia mengeraskan suaranya, "Tutup mulutmu, A-hou! Melawan aku sama saja dengan melawan Li Ciangkun!" Dengan menyebut-nyebut orang kuat yang menjadi tulang punggungnya, Hong Lotoa berharap Tong Lam-hou akan ketakutan dan wibawanya dapat dipulihkan. Tapi sikap Tong Lam-hou benar-benar di luar dugaan, "Ha ha ha, seorang Panglima dari dinasti yang sudah ambruk, apakah artinya? Bahkan andaikata sepuluh orang Li Tiang-hong muncul sekaligus di hadapanku, mereka tidak akan mampu menghukum Tong Lam-hou...!" |
Selanjutnya;
|