Pendekar Naga dan Harimau Jilid 03Karya : Stevanus S.P |
Ma Hiong menjadi bimbang mendengar usul Pangeran itu, dalam hatinya timbullah pertentangan antara harga dirinya dan juga harga diri kelompoknya, bertentangan dengan kenyataan yang dihadapinya. Antara dirinya dengan Li Tiang-hong tidak pernah rukun, meskipun kedua pihak sama-sama musuh bangsa Manchu. Li Tiang-hong dan pasukannya adalah pengikut-pengikut setia Kerajaan Bang, sedang Ma Hiong dulunya adalah pendukung perjuangan Li Cu-seng ketika menumbangkan pemerintahan Beng.
Keduanya memiliki desa-desa pengaruh mereka sendiri-sendiri, sebagai sumber perbekalan mereka. Meskipun kedua kelompok belum pernah bentrok senjata, tapi saling bermusuhan dan saling menjelekkan. Kini jika Ma Hiong menerima uluran tangan Li Tiang-hong, ke mana lagi mukanya hendak disembunyikan? Tapi tanpa dibantu Li Tiang-hong maka nyawa anak buahnya yang sekian ratus orang itupun akan tergulung habis oleh musuh. Akhirnya, Ma Hiong memutuskan bahwa nyawa ratusan anak buahnya lebih penting dari pada ketakutan sekedar kehilangan muka. Jawab Ma Hiong kepada Pangeran, "Baiklah, saudara Cu, agaknya untuk melawan tentara Manchu yang jauh lebih kuat itu setiap kelompok harus menyingkirkan perbedaaan pendapatnya dan bersatu padu." Wajah Pangeran menjadi cerah. Ini adalah suatu isyarat yang menggembirakan ke arah persatuan semua kelompr pejuang yang tadinya berjuang sendiri-sendiri itu. "Keputusan yang bijaksana, keputusan seorang pemimpin yang lebih memikirkan keselamatan nyawa-nyawa anak buahnya daripada sekedar harga dirinya," kata Pangeran. "Ini tidak berarti saudara Ma kehilangan muka di depan, Li Tlang-hong, sebab jika kelak Li Tiang-hong menemui kesulitan maka saudara Ma akan membantunya bukan? Jadi tidak ada masalah siapa berhutang budi kepada siapa, tetapi kerja sama yang sederajat." Lalu Pangeran melepaskan sebuah cincin dijarinya, diberikan kepada Kongsun Hui dan berkata, "Saudara Kongsun, bawa cincin lambang pribadiku ini kepada Li Ciangkun (Panglima Li), katakan bahwa aku memohon kepadanya agar ia sudi menggerakkan pasukannya ke hutan Pek-niau-lim untuk mengusir pasukan musuh yang mengacau di sana." Sahut Kongsun Hui, "Pangeran, hamba belum tahu di mana markas Li ciangkun dan pasukannya." Pangeran menoleh kepada Ma Hiong ambil berkata, "Saudara Ma, bolehkah salah seorang anak buahmu yang sudah tahu tempat Li Ciangkun itu kupinjam untuk mengantarkan saudara Kongsun ini?" "Baik. Lo Beng, kau antar tuan Kongsun ini ke tempat Li Tiang-hong. Kau kenal jalannya bukan?" "Sebaiknya membawa bendera putih agar tidak menimbulkan salah paham degan orang-orangnya Li Ciangkun," usul Kongsun Hui. Namun Ma Hiong telah berkata dengan tegas, "Tidak. Orang Hwe-liong-pang dilarang keras untuk membawa bendera putih di manapun juga dan dalam keadaan bagaimanapun juga." Agaknya Ma Hiong kuatir kalau bendera putih itu oleh Li Tiang-hong dianggap sebagai tanda menyerah dari Hwe-liong-pang. Pangeran menarik napas, sementara Kongsun Hui menggerutu dalam hati. Kata pangeran kemudian, "Baiklah, tidak usah dengan bendera putih segala, Li Tiang-hong tentu akan memaklumi. Lekas berangkat sebelum terlambat." Demikianlah Kongsun Hui dengan diantarkan oleh salah seorang anak buah Hwe-liong-pang memisah dari rombongan untuk pergi minta bantuan ke markas Li Tiang-hong. Sebelum pergi, Kongsun Hui masih sempat berpesan kepada junjungannya, "Pangeran, berhati-hatilah. bagaimanapun juga mereka..." Sahut Pangeran, "Jangan kuatirkan diriku. Orang Hwe-liong-pang sejak dulu terkenal sebagai orang-orang yang teguh memegang Janji. Aku aman di tengah-tengah mereka!" Kongsun Hui menarik napas dalam-dalam, namun ia berjanji dalam hati apabila Pangeran sampai terluka seujung rambutpun oleh orang Hwe-liong-pang, maka Jit-goat-pang akan menjadi musuh Hwe-liong-pang untuk selama-lamanya. Lalu didampingi oleh anak buah Ma Hiong yang bernama Lo Beng itu, Kongsun Hui berangkat ke tempat Li Tiang hong. "Orangmu itu masih mencurigai kami," desis Ma Hiong. "Hanya pengaruh masa lalu, tak perlu digubris," jawab Pangeran sambil tersenyum. "Ayo kita berangkat sekarang." Ma Hiong dan anak buahnyapun segera berderap menginggalkan tempat itu. Suara hentakan-hentakan kaki kuda yang gemuruh itu bagaikan bunyi genderang perang yang ditabuh mengantarkan pahlawan ke medan perang. Sementara warna langit telah semakin muda, menandakan tak lama lagi fajar akan tiba. Tidak lama kemudian, di kejauhan, sudah terdengar sorak-sorai orang berperang. Beratus-ratus orang bersenjata tengah saling membunuh dengan bersemangat, tak ubahnya sekawanan hewan buas tak berakal budi. Bendera-bendera dari kedua belah pihak berkibar-kibar megah, memberi tanda pihak-pihak mana sajakah yang tengah beradu kekuatan di padang ilalang itu. Pasukan Manchu mengibarkan bendera Ngo-jiat-kim-liong-ki (Panji Naga Berkuku Lima), didampingi sehelai bendera yang lebih kecil berwarna merah dengan bulatan kuning ditengah-tengahnya, menandakan bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukannya Peng-se-ong Bu San-kui, Rajamuda di wilayah Se-cuan. Sedangkan laskar Hwe-Liong-pang juga mengibarkan bendera-bendera yang disebut Hwe-liong-ki (Bendera Naga Api), bendera berwarna dasar hitam dengan lukisan naga berwarna merah yang menyemburkan api-Belasan tahun yang lalu, bendera itulah yang paling ditakuti oleh kaum rimba persilatan, bahkan juga oleh penguasa-penguasa dinasti Beng kala itu. Lalu masi ada bendera kecil berwarna coklat dengan huruf “Ma” di tengah-tengahnya, menandakan bahwa kedudukan Ma Hiong dalam Hwe-long-pang adalah pemimping Jai-ki-tong (Kelompok Bendera Coklat), salah satu dari delapan kelompok dalam Hwe-liong-pang. Bendera Manchu dengan bendera Hwe-liong-pang hampir sama, sama-sama berwarna dasar hitam dan berlukiskan Naga. Namun naga di bendera Manchu sersisik emas, sedang naga di bendera Hwe-liong-pang berwarna merah menyala. Bendera Manchu berbentuk segitiga besar, bendera Hwe-liong-pang berbentuk segiempat. Naga memang binatang pujaan rakyat di Cina, sehingga banyak orang yang menggunakan sebagai lambang. Perang tengah berlangsung dengan hebatnya. Garis pertempuran membentang panjang, dan disepanjang garis itu ribuan manusia bertarung dengar buasnya. Anak buah Ma Hiong dapat dikenali dari seragam mereka yang berwarna coklat, dan dengan gigihnya mereka bertahan dari musuh yang Jauh lebih banyak. Namun tak dapat dihindari bahwa setiap kali laskar Hwe-liong-pang harus terdesak surut dan membuat garis pertahanan baru di belakang garis yang ditinggalkan. Tentara Manchu yang unggul dari segi Jumlah, menggempur bagaikan gelombang samudera. Mereka bertempur bukan hanya dengan senjata-senjata seperti pedang dan tombak, tapi juga senjata jarak jauh yang dilontarkan dari barisan seperti panah, lembing dan bahkan batu-batu sebesar kepala orang yang dilontarkan dengan pelenting dari bambu. Pihak laskar Hwe-liong-pang Bertahan di bawah pimpinan wakil Ma Hiong yang bernama Cho Bun-liong. Ia adalah seorang lelaki berusia empat-puluh tahun, bertubuh tegap besar. Berpakaian coklat seperti orang Hwe-liong-pang lainnya, namun dilapisi dengan rompi kulit harimau tutul. Senjatanya ialah sehelai perisai besi di tangan kiri dan trisula pendek di tangan kanan. Dengan kemahiran memainkan senjatanya itulah biasanya Cho Bun-liong menjadi seorang tokoh yang sulit ketemu tandingannya di daerah Hun-lam itu. Tapi kali ini Cho Bun-liong telah bertemu dengan seorang lawan yangg setimpal. Panglima bawahan Bu San Kui yang bernama Yang Kang itu juga seorang yang berperawakan tinggi tegap dengan senjatanya sebatang golok kon-to yang berat. Dengan tenaganya yang luar biasa Itu Yang Kang sanggup memutar senjatanya yang berat itu begitu kencangnya seolah hanya seringan bambu kering saja. Begitulah kedua "raksasa" itu bertarung dengar, sengitnya, saling menggempur dan mendesak, benturan-benturan senjata-senjata mereka yang sama-sama terbuat dari baja pilihan itu selalu menimbulkan dentang yang memekakkan telinga. Baik tentara Manchu maupun laskar Hwe-liong-pang tidak ada yang berani mencampuri perang tanding kedua orang itu, salah-salah kepala bisa copot. Tapi meskipun secara pribadi Cho Bun-liong tidak kalah dari Yang Kang, mau tidak mau ia harus selalu bergerak mundur, sebab mengikuti gerakar. laskarnya yang terus terdesak oleh tentara Manchu. Jika tidak ikut mundur, Cho Bun-liong akan terpisah dari laskarnya dan saat itu ia akan terkurung di dalam pasukan musuh. Sementara itu, Ma Hiong dan rombongannya telah mendekati medan perang, dan mereka melihat bahwa laskar Hwe-liong-pang terus menerus terdesak surut. Bendera Hwe-liong-pang yang berkibar-kibar Itu kini kelihatannya seperti lambaian tangan seeorang yang hampir tenggelam di tengah laut. Sementara pasukan Manchu mulai menebar ke samping kiri dan kanan, membentuk semacam jepit raksasa yang akan menjepit lascar Hwe-liong-pang dari seagala arah. Jika nantinya ujung-ujung pasukan Manchu itu bertaut dan membentuk sebuat gelang besar, maka takkan ada kesempatan lolos lagi bagi orang-orang Hwe-Liong-pang. Mereka akan tertumpas, meskipun di pihak pasukan Manchu tentu jatuh korban cukup banyak pula. Dengan darah yang mendidih Ma Hiong melihat bagaimana laskarnya semakin terjepit. Maka teriaknya. “Ini tidak boleh terjadi. Kita segara terjun ke arena! Mati hidup kita tanggung bersama saudara-saudara kita.” “Aku punya sedikit pertimbangan saudara Ma...!” Kata Pangeran. “Pertimbangan apa, saudara Cu?” "Jika kita berjumlah sedikit ini nekad masuk ke dalam jaring pasukan musuh, sama dengan kupu-kupu menubruk api. Kita semua mati, laskarmu pun tidak bakal tertolong. Sedang kita sebetulnya memiliki suatu kesempatan untuk mempengaruhi medan bagi keuntungan kita." "Kesempatan bagaimana?" "Tentara Manchu berjalan kaki semuanya, sedang kita biarpun sedikit tetapi berkuda. Berarti kita bisa bergerak lebih cepat dari mereka. Kita akan menyerang musuh tapi justru dari bagian luar lingkaran kepungan mereka alias dari belakang, namun sasaran kita harus berpindah-pindah. Diharapkan gangguan pada bagian belakang pasukan musuh akan membantu mengurangi tekanan kepada laskarmu." "Bagaimana jika musuh memanah kuda kita?" "Jika kita diam tak bergerak, kita dipanah. Tapi Jika kita bergerak cepat, kemungkinan terkena panah akan sulit sekali." Dalam hal ilmu silat memang Ma Hiong lebih unggul dari Pangeran, namun urusan siasat perang semacam itu Pangeranlah yang lebih tinggi ilmunya dari Ma Hiong. Maka dengan tulus Ma Hiong mengacungkan jempolnya kepada Pangeran sambil memuji, "Siasat yang hebat. Saudara, hari ini aku banyak belajar daripadamul" "Pujian itu jangan ditujukan kepadaku, sebab akupun cuma menyetirnya dari kitab-kitab kuno ilmu perang. Siasat yang sangat mendasar itu hanya dirumuskan dalam satu kalimat, yang lebih kecil harus lebih lincah bergerak. Sederhana bukan?" "Baik, kita jalankan sekarang." Ma Hiong segera mengganti senjata jit-goat-siang-lunnya yang dirasakan terlalu pendek untuk hertempuran berkuda, diganti dengan sebatang golok tan-to. "Kalian sudah siap?" tanya Ma Hiong kepada anak buahnya. "Kami siap!" sambut anak buahnya serempak. Namun Ma Hiong masih merasa perlu perpesan sekali lagi, "Ingat. Kita akan berganti-ganti sasaran dan tidak terpancang kepada satu titik saja. Jika kita hendak berpindah tempat dan masih ada di antara kita yang masih terikat lawannya, temannya yang lain harus membantu membebaskannya agar gerakan kita tidak terhambat. Kita akan bertempur mati-matian, tetapi bukan bunuh diri beramai-ramai, Jelas?" Ketika anak buahnya menyataka paham, Ma Hiong segera memutar goloknya dan berteriak, "Serang sekarang!" Maka berderaplah kuda-kuda tegar itu dengan lelaki-lelaki garang di atas punggungnya masing-masing, menyerbu ke barisan belakang tentara Manchu. Ma Hiong dan Pangeran Cu Hin-yang menempatkan diri paling depan sebagai ujung tombak dari serangan kejutan itu. Sementara itu kedua orang kepercayaan Ma Hiong telah membagi diri. Oh Kim Cian yang bersenjata toya baja ce-bi-kun itu akan tetap mendampingi Ma Hiong, sementara yap Kim-heng yang bersenjata golok koan-to itu akan mendamping Pangerang, Meskipun orang-orang dinasti Beng pernah menjadi musuh mereka, tapi kali ini mereka menganggap Pangerang sebagai tamu dan sahabat Hwe-liong-pang yang keselamatannya pantas diperhatikan. Serangan Ma Hiong dan kawar-kawannya itu memang terlalu mengejutkan tentara Manchu yang tak menduga akan diserang dari belakang itu. Prajurit-prajurit yang ada di bagian belakang menoleh ketika mendengar derap kak-kuda, dan alangkah terkejutnya mereka sejumlah orang berkuda menerjang mereka. Beberapa prajurti segera melemparkan lembing dan anak panah mereka, namun arahnya ngawur sehingga lembing-lembing dan panah-panah itu cuma berjatuhan di rerumputan, dan sama sekali tidak mengurangi laju sejumlah kecil orang-orang berkuda yang menerjang dengan beraninya itu. Ma Hiong yang paling dulu tiba di barisan musuh, segera berteriak garang sambil memutar goloknya seperti baling-baling di atas kudanya, kemudian Pangeran Cu Hin-yang juga berbuat serupa. Maka kacau-balaulah pasukan di bagian itu. Tak ada prajurit musuh yang cukup siap untuk menghadapi amukan kuda-kuda dan penunggang-penunggangnya yang bagaikan kesurupan setan itu. Perwira-perwira musuh yang berkepandaian cukup tinggi agaknya telah dikerahkan semua ke bagian depan, sehingga yang di bagian belakang tinggal prajurit-prajurit biasa saja. Namun sebagai tentara yang terlatih, pasukan Manchu itupun segera mengatur diri. Beberapa perwira rendahan mencoba mengatur teman-temannya dengan berteriak-teriak, "Tetap tenang! Musuh hanya sedikit! Kait kaki-kaki kuda mereka dengan senjata bertangkai panjang, lainnya lepaskan lembing dan anak panah! Terus kepung mereka!" Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya sebab lehernya tersambar oleh pedang Pangeran Cu Hin-yang yang bertempur dengan gagahnya di atas punggung kuda.... |
Selanjutnya;
|