Pendekar Naga dan Harimau Jilid 02Karya : Stevanus S.P |
Ha To-ji mengerutkan alisnya, tiba-tiba ia ingat akan keterangan penunjuk jalan suku Biao tadi tentang kelompok Hwe-liong-pang ini. Katanya, "He, jadi kalian dulu adalah pendukung-pendukung Li Cu-seng dalam pemberontakannya melawan Kerajaan Beng?"
Sahut si lelaki gemuk itu, "Ya, dulu kami mendukung Li Cu-seng karena tindakannya sejalan dengan cita-cita kami yang ingin membebaskan rakyat dari tindasan Kaisar lalim. Dulu rakyat ditindas Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, sekarang ditindas Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu, maka perjuangan kami belum selesai." Ha To-ji tertawa, "Kalian orang-orang gunung ini memandang perubahan-perubahan tata pemerintahan menurut selera kalian sendiri saja. Kerajaan Manchu justru membebaskan rakyat Han dari kesengsaraan akibat pemerintahan Cong-ceng dan Li Cu-seng yang sama-sama tidak becus memerintah itu. Jika kalian benar-benar pembela rakyat, lihatlah ke dalam kuil, di sana ada pengikut-pengikut Cong-ceng yang sampai sekarangpun masih suka mengacau dan menakut-nakuti rakyat yang sebenarnya sudah tenteram di bawah kekuasaan yang sekarang. Merekalah musuh kalian. Bukannya kami yang justru selalu berusaha menegakkan ketertiban ini." Tapi orang yang membawa toya baja Ce-bi-kun itu tiba-tiba tertawa geli, sehingga Ha To-ji membentaknya. “Hei, apa yang kau tertawakan?" Jawab orang itu, "aku mentertawakan kau. Orang bertampang mirip kerbau dogol seperti kau ini ternyata berani bicara panjang lebar tentang urusan negara pula, malah kau juga pintar bersilat lidah untuk mengadu domba orang. Agaknya tadi aku terlalu memandang rendah tampang keledaimu..." "Kurang ajar!" bentak Ha To-ji marah. Secepat burung elang menyambar dia telah meloncat maju dan dengan sepasang tangannya yang mencengkeram ia hendak membanting roboh orang yang telah mengejeknya itu. Namun orang-orang yang mengaku sebagai orang-orang Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api) itupun segera melompat berpencaran begitu melihat Ha to-ji bergerak. Masing-masing menampakkan kegesitan gerakannya, menampakkan mereka cukup terlatih baik. Namun Ha To-ji bukannya kelas kambing, biarpun tubuhnya besar tapi tidak mengganggu kelincahannya begitu serangannya menemui tempat kosong, dengan sigap ia menghentikan luncuran tubuhnya dan sekaligus memutar pinggangnya, berganti arah menyerang lelaki yang di pinggangnya membawa sepasang roda Jit-goat-siang-lun itu. Kedua tangannya mencoba meraih pinggang untuk kemudian dipatah-kannya sesuai dengan jurus gulat Mongolnya. Tapi lelaki itupun percaya kepada kekuatannya, meskipun badannya tidak sebesar tubuh Ha To-ji. Dengan kuda-kuda yang kuat menancap tanah, ia menyongsong serangan Ha To-ji tanpa sedikitpun berusaha menghindarinya, tanpa ragu-ragu ia mementang kedua tangannya ke kiri dan kanan untuk membentur kedua lengan Ha To-ji secara keras lawan keras. Diam-diam Ha To-ji bersorak di dalam hati melihat sikap lawannya itu, dianggapnya lawannya telah berbuat kesalahan yang akan memberi peluang kepadanya. Jika dua pasang tangan berbenturan, aku akan mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan langsung memuntirnya patah, demikian rencana Ha To-ji di dalam hatinya. Namun kesudahannya ternyata di luar perhitungan si Beruang Gurun itu, Tangan-tangan maha kuat dari si Beruang Gurun itu ternyata membentur sepasang tangan yang tidak kalah kuatnya, bahkan Ha To-ji terdorong mundur tiga langkah. Ha To-ji terkesiap, tapi lelaki baju hitam itupun juga terkesiap karena kekuatan lawannya mampu membuat lengannya linu untuk sesaat. Setelah pulih ketenangannya, Ha to-ji bertanya, "Kau...kau pemimpin pecahan Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia ( Dewa Lo-cia Kecil) itu?" Lelaki baju hitam itu menyahut, “Bagus kalau anjing-anjing Kaisar seperti kalian mengenal aku. Kelak arwah kalian tidak akan bergentayangan mengganggu manusia jika tahu siapa yang membunuh kalian." Baik pihak Pakkiong Liong maupun pihak Pangeran Cu Hin-yang segera menyadari bahwa kekuatan baru yang tengah memasuki arena itu adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap remeh. Masing-masing pihak sudah pernah mendengar nama besar Siau-lo-cia Ma Hiong sebagai pentolan Hwe-liong-pang yang ditakuti. Apalagi kini Siau-lo-cia Ma Hiong datang dengan membawa sejumlah anak buahnya yang tangguh pula. Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya merupakan pendukung-pendukung Li Cu-seng si pemberontak terhadap dinasti Beng itu. Pakkiong Liong selalu berpendapat, bahwa kelompok Hwe-liong-pang, sangat berbahayanya dengan kelompok-kelompok penentang pemerintah Manchu lainnya sehingga suatu saat kelak kelompok ini harus ditumpas pula. Sebaliknya Pangeran Cu Hin-yang dan pengikti-pengikutnya sebagai orang-orang dinasti Beng tentu sulit melupakan bahwa orang-orang Hwe-Liong-pang adalah musuh besar mereka. Ketika laskar pemberontak Li Cu-seng menyerbu Istana Kerajaan Beng dulu, orang-orang Hwe-liong-pang ini menjadi ujung tombak dari serbuan itu, sehingga seolah senjata orang-orang Hwe-liong-pang belum kering dari darah para prajurit Beng dan keluarga istana Beng yang waktu itu mempertahankan Istana dengan mati-matian. Tapi pihak Hwe-liong-pang sendiri tidak akan melupakan betapa banyak teman-teman mereka yang mati dipenjara karena disiksa oleh prajurit-prajurit Beng semasa masih berkuasa, dan lebih banyak lagi teman mereka yang gugur di luar kota Pak-khia ketika membendung serbuan balatentara Manchu. Dengan demikian, di dalam kuil itu sekarang ada tiga pihak yang berlainan berhadapan dengan kekuatannya masing-masing, dan juga dengan pendirian teguhnya masing-masing. Jika masing-masing pihak tetap berdasarkan sejarahnya masing-masing, maka akan terjadi perkelahian segitiga di kuil itu. Tidak ada satu pihakpun yang akan mau bersekutu dengan pihak lainnya untuk memukul sisanya. Sementara pengawalnya yang bersenjata toya baja Co-bin-kun itu telah mengawal Siau-lo-cia Ma Hiong masuk ke dalam arena yang tegang itu, maka seorang anak buah Ma Hiong yang bergolok koan-to itu telah berkelahi melawan Ha To-ji dengan sengitnya. Ma Hiong menyapukan pandangannya kepada wajah-wajah di dalam kuil sambil tertawa dingin ia berkata, "Sekali kalian masuk wilayah Hun-lam ini aku sudah tahu siapa kalian, dan napas kalian, dan napas kalian yang busuk penuh ketamakan itu telah membuat udara pegunungan ini jadi busuk pula. Yang satu pihak adalah anjing-anjingnya Kaisar Manchu yang memburu korban dengan rakusnya, yang lain adalah pengikut-pengikut setia si tolol Cong-ceng yang merasa bahwa negeri ini adalah milik mereka, padahal mereka pernah menjerumuskan negeri ini ke jurang kemelaratan. Hemm, memuakkan sekali. Seperti dua ekor anjing berebut tulang. Berebutan tahta, tapi rakyat yang paling berkepentingan justru tidak kalian pedulikan pendapatnya sama sekali.!" Baik Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang sama-sama menjadi merah padam mukanya ketika mendengar caci-maki Ma Hiong yang pedas itu. Tapi Pangeran yang merasa bahwa pihaknya rang terlemah dalam permusuhan segitiga itu, berusaha untuk menahan diri dan bersikap lebih cerdik, apalagi ia mengemban tugas dari kakaknya, Pangeran Cu Leng-ong, untuk menghubungi semua gerakan yang melawan Manchu, tidak peduli bagaimanapun kiblat mereka di masa lalu. Entah bekas pengikut Li cu-seng, entah bekas pengikut Pangeran Pangeran Beng lainnya seperti Cu Yu-Long dan Cu Gi-yap, entah gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, semuanya harus dihubungi dan diajak bersatu dalam satu barisan besar. Pokoknya bangsa Manchu harus lebih dulu terusir dari tanah air, begitu pesan Pangeran Cu Leng-ong masih jelas terngiang di telinga Pangeran Cu Hin-yang. Dan kelompok sisa-sisa Hwe-liong-pang yang bertebaran di mana-mana dan menjadi kelompok sendiri-sendiri itu, termasuk dalam daftar yung harus dirangkul untuk dijadikan teman. Karena tujuan yang lebih besar itulah maka Pangeran tidak membalas caci-maki Ma Hiong itu, ditekannya peraaaannya yang bergejolak. Malah dengan sikap sopan ia memberi hormat kepada Ma Hiong sambil berkata, "Saudara ini tentunya adalah Ma Hiong dari Hwe Liong-pang yang terkenal sebagai pembela rakyat kecil. Memang harus diakui bahwa ayahanda Cong-ceng adalah seorang Kaisar yang lemah, namun kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu sudah ditebusnya dengan kematiannya yang hina, yang tidak sesuai dengan martabat seorang raja, yaitu menggantung diri. Saudara, maukah memaafkannya? Dan tentang orang-orang Manchu ini, berhakkah mereka menyerbu negeri kita dengan senjata dan kemudian mengaturnya sesuai dengan kehendak mereka sendiri?" Sikap Pangeran itu diluar dugaan Ma Hiong, sesaat ia terpaku tak dapat menjawab, tapi akhirnya iapun menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan Pangeran Cu Hin-yang itu. Sahutnya, "Bagus, kau adalah bangsawaan Kerajaan Beng yang dengan jantan berani melihat keburukan diri sendiri, itu jarang ada. Biasanya para pengikut Kerajaan Beng selalu enggan melihat diri sendiri, tapi lebih suka mencari kambing hitam ke kanan kiri, menganggap diri mereka sendiri paling benar. Ambruknya Kerajaan Beng dibebankan kesalahannya kepada Li Cu-seng, Co Hua-sun, Bu San-kui dan entah siapa lagi, tapi tidak menyadari bahwa yang menyebabkan ambruknya negara adalah mereka sendiri yang menjadi cengeng karena hidup mewah dan tak becus mengurus negara. Tapi kau agaknya lain dari mereka. Nah, untuk sementara kita bisa bertempur bersama-sama untuk mengusir anjing-anjing Manchu ini!" "Bagus!" sahut Pangeran. "Biarpun kita pernah bermusuhan di masa lalu, tapi sebagai sesama anak negeri ini, kita harus melupakan permusuhan kita dan menghadapi musuh kita bersama!" Sedang Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya merasa bahwa pekerjaan mereka akan bertambah berat dengan terjadinya persekutuan antara Pangeran dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun mereka tidak takut dan tetap merasa yakin akan dapat menyelesaikan tugas yang betapapun beratnya. Pakkiong Liong tertawa mengejek, "Hemm, kalian hanya berlagak rukun di hadapan kami, tapi siapa yang tak tahu bahwa kalian masing-masing sama-sama bernafsu untuk merebut tahta bagi kepentingan golongan kalian masing-masing? Dan andaikata kalian benar-benar bersatu, kalian kira kalian akan bisa menumbangkan pemerintahan sah yang sudah berakar kuat di benua ini? Itu hanya mimpi di siang bolong!" Ma Hiong menjawab, "Jangan membual, orang Manchu. Aku memang pernah mendengar betapa perkasanya Panglima Hui-liong-kun yang berjuluk Naga Utara, yang dengan telapak tangannya saja dapat melumerkan logam. Tapi jangan mimpi akan dapat lolos dari tangan kami, kau sudah hampir mampus karena luka-lukamu, dan anak buahmu yang berada di luar itupun akan mampus oleh anak buahku." Pakkiong Liong tidak mau kalah gertak, kepada perwira-perwiranya yang masih utuh ia berkata, "Tunjukkan kepada mereka bagaimana seorang perwira Hui-liong-kun bertempur!" Han Yong-kim dengan pedang samurainya menyambutnya, "Ciangkun, izinkan aku menyumbat mulut orang-orang busuk Hwe-liong-pang ini!" "Lakukan!" perintah Pakklong Liong. Baru saja bibir Pakkiong Liong terkatup, Han Yong-kim telah meloncat bagaikan harimau menerkam, pedangnya diangkat tingi-tinggi dengan kedua tangannya lalu dibacokkan turun bagaikan gunung runtuh ke batok kepala Ma Hiong. Gerakan ini mirip dengan jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san ambruk ke kepala) dalam ilmu silat Tiongkok, namun cara memegang pedangnya berbeda. Ilmu pedang Jepang yang disebut Kenjitsu ini sudah terkenal keampuhannya dan keganasannya. Ma Hiong sendiri tidak berani gegabah melihat serangan sedahsyat itu, tapi Ma Hiong sendiri berilmu tinggi dan tidak mudah menjadi gugup dalam bahaya apapun. Dia pernah menjadi salah seorang dari delapan orang long-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang ditakuti oleh pemerintah Beng dulu, dengan demikian ilmunya pun tidak rendah. Dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu sepasang roda Jit-goat siang-lun yang tadinya tergantung di pinggang telah dipegang dengan kedua tangannya. Roda kiri menangkis ke atar, roda kanan menyodok ke rusuk lawannya. Han Yong-kim si orang Korea ini agaknya meniru kebiasaan para pendekar Jepang dalam bertempur, ia berteriak keras. Serangan Ma Hiong ke rusuknya hampir tidak dipedulikannya, ia justru mengangkat tubuhnya ke atas sambil menambah tenaga ayunan pedangnya. Dengan demikian ayunan pedangnya bertambah hebat beberapa kali lipat karena ditambah dengan berat badannya sendiri. "Hebat!" desis Ma Hiong yang rupanya agak terkejut juga me ihat cara bertempur seperti badak dari perwira Kerajaan Manchu ini. Untuk menanggulangi gempuran pedang musuh itu ia tidak dapat mengandalkan tangan kirinya Saja, maka roda di tangan kanannyapun turut diangkat untuk menangkis! Benturan dahsyat antara dua jenis senjata yang sama-sama terbuat dari baja pilihan dan sama-sama digerakkan oleh kekuatan dahsyat pula. Si orang Korea yang kakinya tak menginjak tanah itu sempat terpental ke belakang, namun kemudian berputar di udara dengan manisnya, dan menjejakkan kaki di tanah seringan seekor kucing. Ma Hiong tergeliat, pinggangnya dan mundur selangkah. Diam-diam pentolan Hwe-liong-pang itu membatin, "Pantas kalau Hui-liong-kun merupakan pasukan kebanggaan Manchu, bahkan melebihi pasukan Pat-ki (Delapan Bendera) yang dipimpin oleh para Pwe-lek (Pangeran Bangsa Manchu) itu. Perwira yang satu ini saja amat tangguh, padahal entah terdapat berapa puluh orang perwira setingkat ini di dalam pasukan itu!" Tapi Ma Hiong tidak menjadi kecut hatinya, semakin tangguh lawannya malahan akan semakin mengobarkan semangat tempurnya. Bekas tokoh Hwe-liong-pang ini kemudian mencoba memaksakan suatu pertempuran jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek itu. Begitu Ma Hiong membentak, sambil menggerakkan sepasang tangannya, maka tiba-tiba di sekitar tubuhnya muncullah puluhan pasang roda Jit-goat siang-lun yang bergerak serempak dengan hebatnya. Kini Ma hiong seolah punya puluhan pasang tangan yang bergerak sekaligus, bagaikan hujan deras menghambur ke tubuh Han Yong-kim. Tapi orang Korea itupun cukup keras kepala untuk mundur begitu saja, pedangnyapun berubah menjadi bayangan yang berpuluh-puluh batang banyaknya. Maka kedua orang itu segera terlibat dalam pertempuran yang sangat seru. Sementara itu, Pangeran Cu Hin-yang bersama dengan sisa-sisa pengikutnya telah bangkit kembali semangat tempur mereka. Kalau tadi mereka sudah pasrah nasib menunggu kematian saja, kini timbul kembali harapan untuk tetap hidup dan memperjuangkan cita-cita mereka. Biarpun kini harus bekerja nama dengan bekas pendukung-pendukung si pemberontak Li Cu-seng, mereka tidak peduli lagi. Pangeran Cu Hin-yang bertempur melawan Pakkiong Liong, tapi Pakkiong Liong yang kekuatannya sudah agak susut. Namun demkian Pangeran tetap tidak boleh lengah menghadapinya, sebab meskipun luka, si Naga Utara itu tetap seorang yang berbahaya. Tangan kirinya masih merah membara seperti mulut seekor naga yang menyemburkan api, dan tangan kanannya yang memegang pedang itu memainkan senjatanya dengan lincah. Jika Pangeran lengah sedikit saja, bisa jadi ia akan mengalami nasib seperti Tio Tong-hai, mati dengan tubuh yang habis hangus. Sementara itu di luar tembok kuil kosong itu telah berlangsung pertempuran sengit antara prajurit-prajurit anak buah Pakkiong liong melawan orang-orang Hwe-liong-pang anak buahnya Ma Hiong. Para prajurit Manchu hasil gemblengan Pakkiong Liong itu merupakan orang-orang pilihan yang terkenal ketangguhan dan keberaniannya. Manusia-manusia yang bertubuh dan bersemangat baja. Maka anak buah Ma Hiong tidak dapat segera mendesak lawannya. Tapi anak buah Ma Hiong-pun bukannya orang-orang bernyali tikus yang gampang menjadi ketakutan melihat kegarangan lawan mereka. Dulu mereka adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang terkenal gagah berani, biarpun mereka tidak pernah terlatih sebagai prajurit, namun mereka telah tertempa oleh ganasnya peperangan selama bertahun-tahun dan juga ganasnya hutan hutan lebat dan alam pegunungan yang penuh bahaya. Dengan demikian, baik anak buahnya Pakkiong Liong maupun anak buah Ma Hiong telah ketemu tandingannya masing-masing. Kedua belah pihak sama-sama terbentur lawan keras. Anak buah Ma Hiong yang sering dengan mudahnya dapat menjebak dan mengalahkan prajurit-prajurit bawahan Peng-se-ong Bian-kui tadinya mengira dalam waktu singkat akan segera mengalahkan lawan pereka. Tapi kini mereka terkejut menemui ketangguhan lawan. Sebaliknya prajurit-prajurit anak buah Pakkiong Liong tidak kalah terkejutnya ketika menghadapi gempuran-gempuran dahsyat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Prajurit-prajurit Pak-kiong Liong itu sadar bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pilihan kebanggaan Kerajaan Manchu, punya keunggulan dibandingkan pasukan-pasukan lainnya. Tiap kali mereka turun ke medan tempur musuh akan dibuat kocar-kacir atau menggigil karena gentar. Tetapi sekarang mereka telah kebentur orang-orang Hwe-liong-pang yang sama tangguhnya dan sama nekadnya dengan mereka sendiri. Hati kedua pihak yang bertempur semakin lama semakin panas, mengalahkan dinginnya malam. Setelah keringat membasahi baju, masing-masing pun kian beringas. Beberapa orang sudah roboh di tanah yang becek oleh air hujan. Tapi korban-korban yang jatuh tidak membuat mereka yang masih hidup menjadi jera, malahan membuat hati semakin panas dan semakin bulat tekadnya untuk menuntut balas. Tapi lawan juga ingin berbuat serupa... |
Selanjutnya;
|