Pendekar Naga dan Harimau Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 02

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Karya Stevanus S.P
Perwira-perwira bawahan Pak-kiong Liong itu seketika menjadi merah padam wajahnya. Dengan gigi gemeretak mereka telah siap menggerakkan senjata mereka, tinggal menunggu aba-aba dari Panglima mereka untuk turun tangan.

Kongsun Hui yang pendiam itu agaknya pernah saling mengenal dengan perwira Han yang bernama Le Tong-bun itu. Ia pun ikut menyindir, "Dan kudengar Heng-san-pay adalah sebuah perguruan yang terhormat, bahkan gunungnya pun dijuluki sebagai Lam-gak (Gunung Suci di Selatan). Tapi sungguh tak terduga bahwa gunung suci di selatan itupun dapat menelurkan sebutir telur busuk semacam Le Tong-bun..."

Wajah Le Tong-bun yang sudah kelam itu berubah menjadi semakin kelam. Sahutnya, "Apa jeleknya menjadi prajurit Kerajaan Manchu? Negara membutuhkan tenaga dan aku mengabdikan tenagaku, itu lebih baik daripada kalian yang hanya bermimpi tentang masa lalu sambil mengacau di sana-sini. Aku berpijak kepada kenyataan, kalian berpijak kepada angan-angan kosong."

Begitulah, suasana menjadi sangat tegang. Sambil mulut mereka saling-mencaci lawan mereka masing-masing, maka tangan mereka yang sudah gatal itupun telah menggenggam senjata semakin erat, siap diayunkan untuk membelah kepala musuh. Tanpa prajurit-prajurit Manchu yang hanya ditugaskan berjaga di luar kuil.

Maka pihak Pak-kiong Liong hanya lima orang termasuk dirinya sendiri, begitu pula pihak Pangeran juga berjumlah lima orang. Dari segi jumlah memang seimbang, entah bagaimana kemampuan manusianya? Masing-masing menyadari betapa beratnya lawan masing-masing.

Pak-kiong Liong sudah memesan para perwiranya agar berhati-hati, sebab yang mereka hadapi itu adalah bekas Panglima-panglima Kerajaan Beng dari pasukan-pasukan terbaiknya. Yang juga harus diperhitungkan adalah juga bahwa mereka itu tentu akan berkelahi seperti orang mabuk, karena fanatik membabi-buta kepada dinasti Beng.

Tapi Pak-kiong Liong pun telah berpesan kepada anak buahnya bahwa malam itu tidak boleh gagal meringkus mereka, sebab jika sampai lolos lagi mereka masih akan bisa menimbulkan kekacauan di mana-mana.

Sebaliknya Pangeran dan pengikut-pengikutnya pun sadar bahwa yang mereka hadapi bukanlah prajurit-prajurit biasa, melainkan Panglima Hui-liong-kun didampingi perwira-perwira pilihannya. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah terkenal bukan saja sebagai prajurit yang bekerja demi mencari upah, melainkan sebagai prajurit-prajurit yang memiliki kesetiaan sangat tinggi kepada Negara dan Kaisar, tanpa kenal gentar terhadap apapun juga. Hui-liong-kun boleh disebut sebagai Pasukan Berani Mati-nya Kerajaan Manchu, kedahsyatannya di medan laga sudah menjadi buah bibir orang banyak.

Kini masing-masing pihak segera menempatkan dirinya masing-masing untuk memilih lawannya masing-masing. Si pendeta gemuk Tio Tong-hai yang sadar bahwa ilmunya adalah yang paling tinggi dalam rombongannya, segera menempatkan dirinya untuk melawan Pak-kiong Liong yang juga orang terkuat di pihak lawan. Dalam keadaan seperti ini tidak dapat digunakan siasat "kuda musuh yang terbaik dilombakan dengan kuda kita yang terjelek" yang tertulis dalam Kitab Perang Sun Pin.

Sebab kepandaian Pak-kiong Liong jauh lebih tinggi dari kawan-kawan Tio Tong-hai lainnya, sehingga dalam waktu singkat lawan Pak-kiong Liong tentu akan kalah dan Pak-kiong Liong akan bisa malang-melintang di arena untuk menjatuhkan korban lain. Yang terkuat di pihak lawan harus dilawan oleh yang terkuat di pihaknya sendiri.

Meskipun Tio Tong-hai tidak yakin dapat mengalahkan lawannya namun ia akan mencoba bertahan sekuat tenaga membantunya untuk mengeroyok Pak-kiong Liong. Demikianlah perhitungan Tio Tong-hai sebagai bekas seorang Panglima yang sudah biasa menghitung kekuatan musuh dan kekuatannya sendiri.

Karena itu, ketika dilihatnya Pangeran sudah berhadapan dengan Pakkiong Liong, maka Tio Tong-hai dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata, "Siau-ong-ya, biarkan aku yang menghadapi Pak-kiong Ciangkun yang perkasa ini, sambil mencicipi ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang hebat itu."

Pangeran yang cukup tahu diri bahwa dirinya bukan tandingan Pak-kiong Liong, segera menyingkir ke samping. Sedangkan Pak-kiong Liong sendiri membiarkan lawannya berpindah-pindah tempat seperti di atas papan catur saja, dan bahkan sempat mengejek,

"Bagus, Tio Ciangkun, rupanya kau kuatir kalau boneka kesayanganmu itu rusak oleh tanganku maka kau suruh dia menyingkir lebih dulu. Kebetulan akupun sudah lama ingin menjajal kehebatan Tangan Petir-mu yang sudah lama terkenal sampai ke luar Tembok Besar itu."

Tio Tong-hai menggeram, "Bukannya Pangeran takut kepadamu, tetapi ia sebagai seorang bangsawan berderajat tinggi adalah tidak pantas untuk bertanding denganmu yang hanya seorang hamba dari Kaisar busukmu itu."

Pakkiong Liong tertawa, "Ya... kau boleh mengarang alasan apapun, tapi jangan kau kira aku tidak tahu isi otakmu. Kau tahu bahwa Pangeran-mu itu sama sekali bukan lawanku, dalam waktu kurang dari sepuluh jurus pun dia akan terjungkal di tanganku."

"Kau sombong sekali," desis Tio Tong-hai.

Sahut Pak-kiong Liong kalem, "Karena aku berilmu tinggi, sombong sedikit boleh juga bukan?"

Sebenarnya Tio Tong-hai merasa agak tegang juga menghadapi Pakkiong Liong yang bernama besar itu. Tapi ia tidak gentar. Dalam hatinya la sudah pasrah nasib, andaikata dirinya harus gugurpun rela asalkan Pangeran dapat lolos dari situ dan melanjutkan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng.

Sementara itu, orang lain sudah mulai berkelahi. Kongsun Hui sudah mulai menyerang dengan tombaknya kepada Si Beruang Gurun Ha To-Ji. Baik Kongsun Hui maupun Ha To-ji merupakan jago-jago dalam hal Gwa-kang (Tenaga Luar), maka keduanya seakan-akan telah menemukan lawan yang setimpal. Dengan bentakan keras Kongsun Hui menggerakkan sepasang ruyung bajanya dengan serempak. Ruyung kiri menghantam ke pinggul musuh, ruyung kanan menghantam ke pundak, semuanya adalah serangan berkekuatan besar yang dapat meremukkan tulang belulang musuh.

Orang yang bertubuh besar biasanya dianggap berkekuatan hebat namun kurang gesit, tapi anggapan ini tidak berlaku untuk Ha To-Ji. Si Beruang Gurun Ini ternyata memiliki kegesitan dan kelenturan badan yang tinggi, cepat sekali ia bergeser ke samping, dan sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka seperti kuku elang telah berusaha mencengkeram ke arah siku dan pergelangan tangan kanan Kongsun Hui.

Jika kedua sasarannya kena, biasanya lalu siku dan pergelangan tangan itu akan diputar dengan arah berlawanan sehinggga tangan musuh patah, bahkan Ha To-Ji pernah membuat lengan musuhnya copot dari pundaknya. Cengkeramannya ini berdasarkan ilmu Eang-jiau-kang yang dilatihnya sejak kecil, dengan cara memuntir-muntir segebung potongan bambu.

Melihat gerakan Eng-Jiau-kang (Ilmu Cakar Elang) musuhnya itu, Kong-sun Hui cepat meloncat mundur dan berkata, "Bagus. He, orang Mongol, kau kelihatannya adalah murid dari Eang-Jiau-bun (Perguruan Cakar Elang). Apakah kau punya hubungan dengan Bok Lau-siang yang berjulukan Tiat-Jiau-sing-eng (Elang Sakti Berkuku Besi) yang menjadi Ketua Eng-Jiau-bun yang sekarang ini?"

Ha-To-Ji menegaskan, "Mau apa kau tanyakan Suhengku itu?"

Kongsun Hui mengerut kening, "Kakak seperguruanmu? Dia adalah seorang pendekar yang gigih menentang bangsa Manchu, kenapa kau sebagai adik seperguruannya malah berpihak kepada bangsa Manchu? Tidakkah ini akan merusak nama baik perguruanmu?"

Sahut Ha To-Ji, "Jalan hidup setiap orang ditentukan oleh pribadinya masing-masing, tidak ada aturannya kalau orang seperguruan harus berpandangan sama pula dalam segala hal. Suhengku menuduh aku gila uang dan kedudukan, aku tidak peduli. Tapi hati kecilku sendiri tahu bahwa aku tidak gila uang dan kedudukan, aku bukan orang serendah itu, aku hanya mengimpikan kejayaan masa lalu seperti di jaman Jengis Khan. Derap kaki kuda pasukan kami akan membikin orang-orang benua barat menggigil ketakutan, dari kapal-kapal kami akan mengarungi laut ke seberang lautan dan membuat kapal-kapal bangsa bule bermata biru itu menjadi penghuni dasar lautan. Itu cita-citaku. Aku mengabdi kebesaran Negara, bukan mengabdi kepada segelintir manusia yang kebetulan merupakan keluarga istana seperti kalian ini.''

"Oh, rupanya kau juga sudah terbius oleh ucapan orang Manchu yang muluk-muluk itu. Namun sebenarnya mereka itu perampok-perampok yang akan memeras orang Han, Mongol, Uigur dan lain-lainnya sampai kering darahnya. Mereka perampok dan kau ini anjingnya perampok, sama sekali tidak pantas mengaku sebagai laki-laki Mongol. Banyak kukenal laki-laki Mongol yang berdarah panas dan berwatak kesatria tapi kau ini benar-benar tak berguna.”

Muka Ha To-ji berkerut geram mendengar cacian yang pedas itu. Selama ini ia yakin bahwa ia menjadi prajurit Kerajaan Manchu karena cita-citanya untuk mengembalikan kebesaran Jengis Khan di benua maha luas ini, bukan karena pangkat atau hadiah. Ucapan Kong Hui itu melukai pendiriannya dan membuat hatinya tersinggung. Maka begitu bibir Kongsun Hui terkatup rapat, Ha Toji telan menyerang dengan gerakan Hui-tui-hoan-ciang (Menekuk Lutut Sambil Menyodok) yang dilakukan dengan sepenuh tenaga. Desir angin yang kuat menyertai gerakannya ini, menandakan betapa hebat tenaganya.

Kongsun Hui yang tidak kehilangan kewaspadaan itu segera melangkah surut selangkah untuk mendapat ruang gerak bagi ruyungnya. Tapi Ha To-ji yang tidak memegang senjata itu tidak ingin terlibat dalam perkelahian jarak panjang yang akan menguntungkan lawannya. Begitu musuh mundur dan sodokannya luput, diapun mendesak dengan cepat sambil menggunakan kedua tangannya untuk merangkul dan menangkap pinggang Kongsun Hui.

Sekali lagi Kongsun Hui surut selangkah, namun kali ini ia berkesempatan untuk mengayunkan ruyungnya untuk menghantam kening Ha To-Ji. Ha To-ji yang tengah meluncur maju itu terkejut, tak sempat mundur lagi iapun hanya memiringkan kepalanya untuk menghindari hantaman ruyung baja itu. Keningnya memang luput, tapi pundaknya kena. Ha To-ji merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit batu sehingga pundaknya pegal bukan main, tak kuasa menahan diri lagi iapun terhuyung mundur selangkah.

Tapi yang tidak kurang terkejutnya adalah Kongsun Hui sendiri. Hantaman ruyung bajanya tadi seharusnya dapat meremukkan pundak lawan dan sekaligus mengakhiri pertempuran, namun ternyata lawan hanya terdorong selangkah, bahkan ruyung baja Kongsun Hui rasanya bagaikan menghantam selapis papan besi dan terpental balik, hampir saja membenjolkan kepalanya sendiri.

Kini Kongsun Hui menyadari betapa tangguh lawannya itu, "Kiranya orang ini bukan cuma mahir dalam cengkeraman Eng Jiau-kang tapi juga cukup matang dalam latihan ilmu kebal Kim-ciong-toh (Perisai Lonceng Emas) dan terkamannya ke arah pinggang tadi juga menandakan keahliannya dalam gulat Mongol. Tiga macam ilmu dikuasainya, kelihatannya ia malah lebih tangguh dari kakak seperguruannya. Jika semua perwira Hui-liong-kun berkepandaian setingkat dengan dia, memang harus diakui betapa dahsyatnya pasukan itu."

Kini semua orang yang berada di dalam kuil itu sudah mendapatkan lawannya masing-masing. Untunglah bahwa Pakkiong Liong tidak mengikut-sertakan prajurit-prajuritnya, dan mereka hanya disuruhnya untuk berjaga-jaga di luar kuil. Agaknya Pakkiong Liong menyadari jika prajurit-prajuritnya diikut-sertakan maka akan jatuh korban di antara prajurit-prajuritnya, meskipun mungkin penangkapan akan berjalan cepat.

Namun Pakkiong Liong selalu berpendirian bahwa sebisa-bisanya jangan ada korban satupun di pihaknya, tidak peduli itu adalah prajurit rendahan. Pakkiong Liong menghargai nyawa orang lain seperti nyawanya sendiri, meskipun dalam tugasnya kadang-kadang tak terhindarkan ia menjadi seorang pembunuh.

Di dalam kuil itu, perkelahian yang paling seru adalah perkelahian antara orang-orang terkuat dari maling masing pihak. Pertarungan antara Pakkiong liong si Panglima Hui-liong-kun, melawan Tio Tong-hai si bekas Panglima Kerajaan Beng yang dalam perjuangan bawah tanahnya kini ia menyamar sebagai seorang rahib itu. Masing-masing memiliki nama julukan yang menggambarkan kehebatan mereka masing-masing. Pakkiong Liong adalah Naga dari Utara dan Tio Tong-hai adalah si Tangan Petir.

Menghadapi golok Tio Tong-hai yang menyambar-nyambar dengan hebatnya itu, ternyata Pakkiong Liong masih belum juga menghunus pedang yang tergendong di punggungnya itu. Ia masih tetap bertangan kosong. Tapi dengan telapak tangannya itu ternyata Pakkiong Liong adalah seorang yang benar-benar berbahaya, sebab dari sepasang telapak tangannya itulah terpancar hawa panas yang semakin lama semakin meningkat sehingga akhirnya hampir-hampir tak tertahan lagi oleh Tio Tong-hai, tidak peduli Tio Tong-hai memiliki tenaga dalam yang cukup tangguh.

Itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang, ilmu kaum Lama Tibet di kuil Thian-liong-si yang hanya diturunkan kepada murid-murid terbaiknya. Pakkiong Liong adalah murid terkasih dari Hoat-beng Lama, rahib tua penghuni kamar belakang Thian-long-si yang kepandaiannya begitu tinggi sehingga dikabarkan konon sudah menjadi setengah dewa. Semua ilmu milik gurunya sudah diserap habis oleh pemuda Manchu ini, maka Pakkiong Liong sering diolok-olok oleh teman-temannya sendiri sebagai "seperempat dewa" karena murid dari si "setengah dewa".

Malam itu udara basah diguyur air hujan, hawa udara sebenarnya dingin menggigit tulang, apalagi karena kuil itu terletak di dataran tinggi dekat pegunungan Tiam-jong-san. Tapi setelah ilmu Hwe-liong-sin-kang dikeluarkan, maka suhu dalam kuil itu mulai meningkat dan akhirnya panas luar biasa seperti dalam tanur peleburan logam.

Dalam jarak lima atau tujuh langkah dari tubuh Panglima itu, udara terasa menghanguskan kulit, sehingga baik kawan maupun lawan lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu. Mereka lebih suka turun ke halaman kuil dan bertempur di bawah siraman hujan lebat.

Jika orang-orang yang berjarak beberapa langkah saja tidak tahan oleh hawa panas itu, apalagi Tio Tong-hai yang menjadi lawan langsung dari Pakkiong Liong. Menjadi sasaran langsung dari ilmu yang luar biasa itu. Tetapi Tio Tong-hai tidak akan mundur, dengan nekad dikerahkannya seluruh daya tahan tubuhnya dan ilmunya untuk bertempur habis-habisan.

Di dalam hatinya Tio Tong-hai sudah punya rencana untuk mengorbankan diri demi keselamatan Pangeran dan rekan-rekan seperjuangannya. Terutama Pangeran Cu Hin-yang sendiri, sebab ia adalah keturunan Kaisar Cong-seng meskipun hanya dilahirkan oleh seorang selir yang tersingkir dari istana. Tio Tong-hai telah berani memilih Pak-kiong Liong sebagai lawannya, berarti ia pun siap menerima akibat apapun dari pilihannya sendiri itu.

Asal ia dapat menjadikan Pakkiong Liong luka parah, Pangeran dan teman-temannya akan punya kesempatan besar untuk lolos. Tanpa pakkiong Liong yang bagaikan malaikat utusan neraka itu, maka perwira-perwira Manchu lainnya bisa ditembus meskipun harus dengan perjuangan berat pula. Dengan tekad berkorban itulah maka Tio Tong-hai menemukan kekuatan dalam jiwanya, sehingga diapun sanggup meladeni Pakkiong Liong bertempur dengan gigih luar biasa.

Golok di tangannya berputar kencang bagaikan baling-baling yang terhembus oleh badai yang maha dahsyat, sementara tanga kirinyapun setiap ada kesempatan selalu melepaskan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang kehebatannya menyaingi guntur yang bersambung di udara. Pakkiong Liong juga tidak berani meremehkan lawannya.

Meskipun Panglima itu yakin bahwa kemenangan tetap akan diraihnya, tapi ia tidak mau terburu-buru dan menimbulkan kekeliruan bertindak. Lawannya bukan lawan empuk. Lawannya berilmu tinggi, gigih dan bahkan nekad, sehingga Pakkiong Liong harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya.

Bila perkelahian di kuil itu dilihat secara keseluruhan, nampaklah bahwa pihak Manchu lebih unggul. Yang kelihatan seimbang hanyalah Kongsun Hui melawan Ha To-ji. Teman-teman Kongsun Hui lainnya, termasuk Pangeran Cu Hin-yang sendiri, agaknya benar-benar terdesak oleh lawannya masing-masing. Keadaan benar-benar gawat bagi para pengikut setia dinasti Beng itu.

Tio Tong-hai sudah mulai terdesak oleh Pakkiong Liong meskipun Pakkiong Liong belum mencabut pedangnya. Pangeran Cu Hin-yang yang memainkan ilmu pedang dari Hoa-san-pay itu juga terdesak oleh Le Tong-bun yang memainkan ilmu pedang Heng-san-pay dengan tangkasnya.

Seorang pengikut Pangeran yang bertubuh tegap dan bersenjata tombak panjang, agaknya mengalami kesulitan ketika menghadapi Tokko Yan, si perwira bangsa Manchu yang bersenjata pedang melengkung yang tajamnya seperti pisau cukur itu. Sedang Tokko Yan sendiri adalah seorang yang lincah, suatu saat ia berlincahan seperti seekor kupu-kupu, di lain saat ia menerkam seperti seekor harimau kelaparan.

Pengikut Pangeran itu sudah luka-luka di seluruh tubuhnya. Tapi orang itu terus berkelahi seperti orang kesurupan setan, tanpa peduli darah yang terus menetes dari tubuhnya. Kesetiaannya kepada junjungannya telah membuat orang itu mata gelap.

Sementara itu perwira Kerajaan Manchu lainnya, Han Yong-kim, memegang pedangnya yang bertangkai panjang itu dengan dua tangan. Ia pernah berguru di Jepang dan cara memainkan pedangnyapun seperti gaya para samurai di kepulauan seberang sana. Jepang memang dekat letaknya dengan Korea, negeri asal Han Yong-kim.

Lawan Han Yong-kim adalah seorang pengikut Pangeran yang bersenjata pedang pula, namun nampaknya tenaganya sudah hampir habis karena kelelahan. Setiap kali ia harus menangkis pedang samurai Han Yong-kim yang digerakkan dengan disertai bentakan-bentakan menggelegar yang menciutkan nyali, dan pengikut Pangeran itu sudah merasa tangannya pegal bukan main sebab tenaga Han Yong-kim ternyata dahsyat sekali.

Suatu ketika Han Yong-kim mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dan menyabetkannya bagaikan gunung runtuh, pengikut Pangeran itu mencoba menangkis dengan sisa-sisa tenaganya, tapi pedangnya segera terpental jatuh karena kalah kuat. Buru-buru pengikut Pangeran itu melompat hendak menjemput pedangnya kembali.

Tapi Han Yong-kim telah menendang pinggangnya sehingga terhuyung-huyung, lalu tanpa kenal ampun pedang samurainya menyabet mendatar dan membelah perut pengikut Pangeran itu. Pengikut Pangeran itu ambruk, darahnya bercampur dengan air hujan, meresap ke bumi yang dibelahnya.

Pangeran Cu Hin-yang dan lain-lainnyapun mendengar jerit kematian rekan mereka itu. Dan jerit kematian itu tak ubahnya lonceng kematian bagi pihak mereka. Kekalahan sudah jelas, cepat atau lambat. Han Yong-kim yang kehilangan lawan itu tentu tidak akan menganggur saja, dengan demikian Pangeran dan pengikut-pengikutnya itu tinggal menunggu untuk dibantai satu persatu.

Han Yong-kim memang tidak mau tinggal diam. Dilihatnya pertarungan antara Pakkiong Liong dan Tio Tong-hai berlangsung seperti naga dan harimau. Tio Tong-hai terdesak namun masih melawan dengan gigih. Han Yong-kim tidak bermaksud mencampuri pertarungan itu, sebab selain merasa ilmunya masih belum pantas untuk ikut dalam pertarungan ilmu tingkat tinggi itu. Ia juga tidak mau Pakkiong Liong menjadi tersinggung karena dibantu.

Lalu Han Yong-kim melihat pertempuran antara Ha To-Ji dan Kongsun Hui masih berlangsung dengan seimbang, tanpa diketahui siapa yang akan menang dan siapa yang akan terkapar sebagai bangkai di kuil terpencil itu. Maka Han Yong-kim lalu mengambil keputusan untuk lebih dulu membantu Ha To-ji membereskan Kongsun Hui.

Kini Kongsun Hui harus melawan dua orang sekaligus, dan ini tentu saja sangat memberatkannya. Melawan Ha To-ji saja ia hanya bisa seimbang, apalagi kini ditambah dengan Han Yong-kim yang kepandaiannya setarap dengan Ha To-ji. Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim begitu deras, cepat dan mengincar tempat-tempat yang mematikan. Itulah ciri-ciri seni pedang Kenjitsu dari Jepang.

Gerakan-gerakannya serba sederhana, cepat kuat dan terarah, didukung dengan langkah-langkah yang pendek-pendek. Kini Kongsun Hui dipaksa untuk bertahan saja dengan rapatnya, sambil menantikan kekeliruannya sekecil apapun di pihak lawan yang bisa dimanfaatkannya.

Di bagian lain, meskipun Tio Tong hai menghadapi keadaan gawat, tapi ia menyempatkan diri untuk melirik dan menilai keadaan seluruh arena. Ia melihat bahwa orang-orang di pihaknya mulai terhimpit kesulitan besar. Hal itu membuat Tio Tong-hai mengertakkan giginya dan semakin bulatlah tekadnya untuk mengorbankan diri. Ia harus bisa membunuh Pakkiong Liong tewas atau paling tidak luka parah, dan diharapkannya jatuhnya Pakkiong Liong akan meruntuhkan semangat anak buahnya, sehingga Pangeran dan pengikut-pengikutnya sempat meloloskan diri.

Ketika itu Pakkiong Liong melancarkan sebuah jurus yang disebut Tui Jong-bong-goat (Mendorong Jendela memandang Rembulan). Kedua, telapak tangannya yang panas itu melakukan gerakan berputar berlawanan arah, lalu "menggunting" lambung Tio Tong-hai dari kiri dan kanan. Segulung hawa panas bergulung kencang ke tubuh Tio Tong-hai dari kiri dan kanan.

Telapak tangan Pakkiong Liong itu bukan saja berbahaya karena udara panasnya, tapi juga mengandung kekuatan yang sanggup membelah batu sebesar anak kerbau. Tubuh Tio Tong-hai bukan hanya terancam hangus tapi juga terancam rontok seluruh tulang-belulangnya. Demikian dahsyat serangan Pakkiong Liong itu.

Hampir saja Tio Tong-hai mundur carena tekanan kekuatan yang seolah dari dasar neraka itu. Tapi tiba-tiba Tio Tong-hai teringat akan tekadnya, lalu di dalam hatinyapun dia berkata, “Saat pengorbanan telah tiba. Pangeran junjunganku dan sahabat-sahabatku selamat tinggal dan selamat berjuang!"

Dengan tekad seperti itu di dalam hatinya, ia mendapat kekuatan untuk tidak mundur setapakpun. Kedua telapak tangan musuh yang memukul lambungnya tidak dipedulikannya lagi, malahan dibarenginya dengan bacokan jurus Te-lai-hong-sing (Gempa Menimbulkan Badai) ke leher Pakkiong Liong, sementara tangan kirinyapun tak ketinggalan menghantam sekuat tenaga ke ulu hati Pakkiong Liong dengan ilmu Pek-lek-jiu. Inilah serangan yang mengajak lawan untuk gugur bersama.

Ternyata Pakkiong Liong sendiri terkejut melihat sikap nekad lawann itu. Bukannya Panglima Manchu takut mati, tapi sebagai pihak yang sudah di ambang pintu kemenangan tentu saja ia enggan diajak mati bersama seperti itu. Itu berarti keuntungan buat lawannya.

Tapi Pakkiong Liong berilmu tinggi dan kaya dengan penga laman, pada detik-detik membahayakan itu ia dengan tangkasnya menyurut mundur sambil mengubah jurusnya menjadi Hun-im-ki-giat (Memisah Mega Merebut Rembulan), sebuah gerakan bertahan kedua telapak tangan berputar kencang saling melindungi, membentuk perisai tubuh yang rapat.

Namun dibalik kerapatan pertahanannya itu tersembunyi jurus serangan balik yang setiap saat bisa dilontarkan keluar. Sekali lagi udara sepanas api neraka bagaikan berpusar kencang, enam atau tujuh langkah di sekitar tubuh kedua orang yang bertempur itu udara panas tak tertahankan lagi, kecuali oleh Tio Tong-hai yang tidak lagi memikir nyawanya itu.

Tio Tong-hai mengentakkan giginya. Jurusnya sama sekali tidak dirubah, malahan kekuatannya ditambah dan dibarengi dengan loncatan ke depan bagaikan harimau lapar. Bagaimanapun Pakkiong Liong berusaha menghindari adu nyawa itu, tapi ia cuma berhasil sebagian saja, lawannya terlalu nekad. Detik-detik terakhir sebelum golok Tio Tong-hai mengenai lehernya, Pakkiong Liong sempat memiringkan tubuh sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, sehingga golok Tio Tong-hai cuma menancap di pundaknya.

Tapi tinju kiri Tio Tong-hai berhasil "menggedor" dada Pakkiong Liong meskipun tidak terlalu telak pula karena gerakan miring Pak-kiong Liong itu. Sebaliknya telapak tangan kanan Pak-kiong Liong yang bagaikan besi merah membara itu berhasil memukul telak dada Tio Tong-hai karena Tio Tong-hai sendiri yang meloncat maju itu.

Terlihat Pakkiong Liong berdesis menahan sakit sambil terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Golok Tio Tong-hai masih terjepit di daging pundaknya, sementara dengan muka pucat pasi ia memuntahkan segumpal darah hitam dari mulutnya. Namun ketangguhan Pakkiong Liong terlihat, ia tidak roboh dan masih tetap berdiri tegak dengan garangnya.

Sebaliknya Tio Tong-hai yang terhantam oleh telapak tangan yang berisi Hwe-liong-sin-kang itu, tubuhnya terpental ke belakang bagaikan dilemparkan oleh sebuah tangan raksasa maha kuat. Tubuhnya terbanting di lantai berlumut dengan derasnya. Ia hanya terlihat menggeliat sedikit, mencoba meronta dari terkaman malaikat maut, namun sia-sia, sebab sang maut benar-benar telah menjemputnya.

Bagian dadanya terlihat hangus seperti terbakar bukan saja pakaiannya telah menjadi abu, bahkan dagingnyapun nyaris menjadi arang dengan tulang-belulang yang hancur lebur. Itulah kehebatan pukulan Hwe-liong-sin-kang yang mengangkat Pakkiong Liong sebagai tokoh puncak dunia persilatan.

Untuk sesaat orang-orang yang berkelahi itu menjadi terhenti, suasana sunyi seperti di kuburan. Baik kawan maupun lawan sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan debaran jantung mereka setelah melihat ada ilmu yang luar biasa itu. Pihak Pangeran Cu Hin-yang kini mulai menilai diri sendiri. Pihaknya sudah berkurang dua orang, bahkan termasuk Tio Tong-hai yang dianggap sebagai tulang punggung kekuatan mereka itu.

Sebaliknya pihak lawan belum seorang seorangpun. Pakkiong Liong luka namun tidak mati, dan agaknya masih dan mampu bertempur meskipun tidak penuh tenaga. Sementara di bagian luar kuil itu masih ada puluhan prajurit Manchu yangg belum digerakkan, jadi Pangeran dan sisa-sisa pengikutnya sudah seperti ikan di dalam bubu, tidak ada lagi kesempatan untuk lolos kecuali terjadi suatu keajaiban.

Dengan mengertakkan giginya Pakkiong Liong mencabut golok Tio Tong-hai yang masih hinggap di pundaknya, lalu dengan sebelah tangan ia menaburkan obat bubuk pemampat luka, dan dibantu oleh Han Yong-kim ia membalut luka-luka itu dengan robekan bajunya sendiri, dan setelah lukanya dibalut, Pakkiong liong masih saja nampak tangguh, meskipun mukanya agak pucat.

Menggunakan kesempatan selagi perkelahian terhenti, pakkiong Liong berkata kepada Pangeran, "Pangeran Cu, terimalah kenyataan bahwa perlawanan kalian tidak akan ada gunanya lagi kecuali untuk bunuh diri. Aku tawarkan lagi satu kesempatan untuk bertindak bijaksana, kalian menyerah dan memberi kesempatan kepada pemerintah kami untuk memikirkan kesejahteraan rakyat bukan cuma disibukkan oleh pembangkang-pembangkang seperti kalian ini. Jika kalian menyerah, kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan martabat kalian sebagai keluarga istana, meskipun dinasti kalian itu sudah tidak ada lagi. Kami bukan orang-orang kejam yang memperlakukan tawanan seenaknya sendiri saja."

Pangeran melirik ke arah mayat Tio Tong-hai yang hangus itu dengan gejolak perasaannya yang hampir tak terkendali. Ia berbisik lirih seolah hanya untuk didengarnya sendiri, "Lagi-lagi seorang prajurit sejati telah gugur membela pendiriannya. Arwahnya pasti akan mencaci-maki aku jika aku menghentikan perjuangan ini, dan hati nuraniku pun akan selalu mendakwa seumur hidupku..."

Meskipun kata-kata itu setengah berbisik, namun karena suasana kuil itu sangat sunyi maka Pakkiong Liong mendengar juga. Sahutnya sambil tertawa dingin, "Ini adalah masalah antara kenyataan yang benar-benar ada dengan angan-angan kosong, tidak ada sangkut pautnya dengan hati nurani segala. Di satu pihak ada kenyataan yang tak dapat diganggu-gugat bahwa kerajaan Manchu sudah berdiri kokoh kuat, tak akan tergoyahkan lagi untuk ratusan tahun. Di lain pihak adalah api kosong belaka untuk mendirikan ajaan Beng yang sudah diruntuhkan rakyatnya sendiri itu. Jalannya arah tidak mungkin diputar balik lagi. Pangeran, coba gunakan akal sehatmu."

Pangeran Cu Hin-yang tidak menjawab perkataan Pakkiong Liong itu, ia hanya mendengus dengan hidungnya. Ia menoleh kepada Kongsun Hui dan seorang sisa pengikutnya yang masih hidup, tanyanya, "Kalian dengar tawaran orang Manchu ini? Kalian ingat sumpah kalian ketika masuk menjadi anggota gerakan bawah tanah kita?"

Kongsun Hui dan seorang teman itu bagaikan terbakar hatinya, mereka serentak mengangkat senjata mereka berteriak serempak mengulangi sumpah mereka dulu, "Seng-wi-beng-jin, Si-wi beng-kui (Hidup sebagai rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng)!"

Wajah Pangeran ikut memerah, serunya, "Bagus. Kita akan bertempur sampai titik darah terakhir demi cita-cita kita!"

Meskipun Pakkiong Liong berwajah dingin-dingin saja melihat sikap orang-orang dinasti Beng itu, namun dalam hatinya timbul rasa hormat akan ketegguhan hati orang-orang itu. Ia merasa sayang akan kematian orang-orang itu namun demi tugasnya ia harus menumpas mereka sebab orang-orang itu jika dibiarkan lolos akan mengacau lagi di tempat lain.

Kata Pakkiong Liong, "Baiklah. Kalian memang keras kepala. Aku sudah menawarkan jalan lain yang lebih baik daripada mati konyol, namun kalian memilih mati konyol. Jika kalian memilih menjadi hantu Beng daripada rakyat Manchu, kami pun akan berbaik hati untuk membunuh kalian, biar arwah-arwah kalian menghuni kuil kosong ini sebagai hantu-hantu penasaran. Kelak penduduk di sekitar sini akan bercerita kepada anak-cucu mereka bahwa di kuil ini ada hantu-hantu konyol Kerajaan Beng."

Para perwira Kerajaan Manchu itu-pun segera mempersiapkan diri untuk menuntaskan tugas mereka. Karena mereka yakin bahwa kemenangan sudah pasti di pihak mereka, maka ketegangan mereka agak mengendor. Bahkan si perwira Manchu Tokko Yan sempat membuat lelucon, "Kawan-kawan, malam ini kita mendapat pekerjaan yang aneh..."

"Pekerjaan apa?!" tanya Han Yong-kim.

"Membuat hantu," sahut Tokko Yan. "Bahan-bahan mentahnya sudah tersedia di depan kita. Ayo cepat-cepat kita kerjakan!"

Perwira-perwira lainnyapun tertawa mendengar senda-gurau rekan mereka itu, namun mereka dengan waspada tetap memperhatikan ketiga orang calon korban mereka itu. Meskipun tinggal tiga orang, jika nekad mengadu nyawa akan cukup berbahaya juga.

Di pihak pengikut dinasti Beng, karena merekapun sudah pasrah nasib untuk mati, maka ketegangan merekapun justru mengendor pula, bahkan Kongsun Hui kemudian membalas ejekan musuhnya, "Barangkali kuil ini akan dihuni beberapa hantu Beng, melainkan juga beberapa hantu Manchu dan penjilat-penjilatnya."

Kemudian kedua belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tapi dengan keseimbangan tiga lawan lima, maka Pangeran dan pengikut pengikutnya rupanya betul-betul akan menjadi hantu-hantu gentayangan. Pak-kiong Liong yang terluka itupun tidak tinggal diam, ia ikut berkelahi juga meskipun harus memainkan pedangnya dengan tangan kiri, sebab pundak kanannya sudah luka oleh bacokan Tio Tong-hai tadi. Gerak-geriknya juga tidak setangkas semula, sebab isi dadanya masih terasa nyeri.

Tengah baku hantam itu meningkat semakin sengit dan kedua belah pihak semakin nekad, tiba-tiba dari luar kuil itu terdengar suara ribut-ribut, teriakan saling memaki dan bahkan juga suara gemerincing senjata berbenturan. Terdengar sebuah bentakan yang menggelegar, "Bangsat-bangsat Manchu, kalian berani berkeliaran di tempat ini berarti menyetorkan nyawa kalian!"

Di dalam kuil, wajah Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya berubah hebat ketika mendengar seruan yang nadanya bermusuhan dengan pihak pemerintah itu. Tentu ada sekelompok penentang pemerintah, entah dari kelompok yang mana, telah datang ke tempat itu dan langsung bentrok dengan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di luar kuil. Pemandu jalan suku Biao sudah menceritakan tentang adanya tiga kelompok penentang pemerintah Manchu yang bersarang di kawasan ini, sekarang yang datang ini entah kelompok yang mana?

Sementara suara pertempuran di bagian luar itu masih kedengaran dan malahan semakin seru. Agaknya jumlah penyerang cukup banyak, tetapi prajurit-prajurit bawahan Pakkiong Liong melawan dengan gigihnya. Teriakan saling memaki terdengar dari kedua belah pihak. Jika satu pihak memaki "Penjajah Manchu" maka pihak lainnya membalas dengan "pengacau liar".

Wajah Pakkiong Liong berkerut menghadapi perkembangan yang sama sekali tidak diharapkannya itu. Geramnya, "Entah gerombolan liar dari mana ini, yang berani menentang hamba-hamba negara yang tengah mengemban tugas? Ha To-ji, coba kau lihat, keluar dan kemudian laporkan secepatnya kepadaku"

"Baik, Ciangkun!" sahut Ha To-ji mantap, lalu ia pun meloncat keluar dari arena dan kemudian melangkah keluar dengan langkah lebar. Namun sebelum orang Mongol itu melangkahi ambang pintu kuil yang tadi dirobohkannya, maka di ambang pintu kuil itu telah muncul tiga orang lelaki yang menghadang jalan. Mereka seolah-olah muncul begitu saja dari kegelapan malam karena pakaian mereka yang berwarna gelap.

Disorot cahaya api unggun yang masih menyala di dalam kuil, nampaklah orang yang berdiri di tengah itu bertubuh agak gemuk dan berkulit putih, wajahnya tidak menakutkan, bahwa pipinya kemerah-merahan seperti bayi. Namun sinar matanya justru tajam menusuk. Pakaiannya serba hitam, di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang langka di dunia persilatan, yaitu sepasang roda yang disebut Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan).

Dua orang lelaki yang berdiri di kiri kanannyapun menunjukkan sikap yang menandakan bahwa merekapun orang yang cukup tangguh dalam ilmu silat. Yang satu menenteng toya Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis) yang agaknya terbuat dari baja karena berwarna kehitam-hitaman. Satunya lagi memanggul sebuah golok bertangkai panjang, sepanjang tangkai tombak, yang dikenal dengan nama golok Koan-to, karena golok itu jaman dulu merupakan senjata dari tokoh sejarah di jaman Sam-kok, yaitu Koan In-tiang alias Koan Kong. Hanya saja, jika golok Koan-to umumnya tebal dan berat, maka golok Koan-to yang dipanggul orang itu agak kecil dan nampaknya ringan, sehingg memungkinkan untuk dimainkan dengar lebih lincah.

Ha To-ji yang tak pernah gentar kepada siapapun itu, kini membentak ketiga orang yang menghadang di pintu kuil itu, "Kami adalah prajurit-prajurit pemerintah yang tengah mengemban tugas, melawan kami berarti melawan Kerajaan dan Kaisar, ancamannya hukuman mati. Minggir kalian!"

Lelaki berwajah "bayi sehat" yang di tengah-tengah itu tertawa lebar dan menjawab, "Jangan menakut-nakuti kami dengan menyebut nama Kaisar berkuncirmu itu. Kami anggauta-angauta Hwe-liong-pang tidak gentar kepada kalian! Jadi kalian sajalah yang menyerah untuk kami adili!"

Ha To-ji mengerutkan alisnya, tiba-tiba ia ingat akan keterangan penunjuk jalan suku Biao tadi tentang kelompok Hwe-liong-pang ini. Katanya, "He, jadi kalian dulu adalah pendukung-pendukung Li Cu-seng dalam pemberontakannya melawan Kerajaan Beng?"

Sahut si lelaki gemuk itu, "Ya, dulu kami mendukung Li Cu-seng karena tindakannya sejalan dengan cita-cita kami yang ingin membebaskan rakyat dari tindasan Kaisar lalim. Dulu rakyat ditindas Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, sekarang ditindas Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu, maka perjuangan kami belum selesai."

Ha To-ji tertawa, "Kalian orang-orang gunung ini memandang perubahan-perubahan tata pemerintahan menurut selera kalian sendiri saja. Kerajaan Manchu justru membebaskan rakyat Han dari kesengsaraan akibat pemerintahan Cong-ceng dan Li Cu-seng yang sama-sama tidak becus memerintah itu. Jika kalian benar-benar pembela rakyat, lihatlah ke dalam kuil, di sana ada pengikut-pengikut Cong-ceng yang sampai sekarangpun masih suka mengacau dan menakut-nakuti rakyat yang sebenarnya sudah tenteram di bawah kekuasaan yang sekarang. Merekalah musuh kalian. Bukannya kami yang justru selalu berusaha menegakkan ketertiban ini."

Tapi orang yang membawa toya baja Ce-bi-kun itu tiba-tiba tertawa geli, sehingga Ha To-ji membentaknya. “Hei, apa yang kau tertawakan?"

Jawab orang itu, "aku mentertawakan kau. Orang bertampang mirip kerbau dogol seperti kau ini ternyata berani bicara panjang lebar tentang urusan negara pula, malah kau juga pintar bersilat lidah untuk mengadu domba orang. Agaknya tadi aku terlalu memandang rendah tampang keledaimu..."

"Kurang ajar!" bentak Ha To-ji marah. Secepat burung elang menyambar dia telah meloncat maju dan dengan sepasang tangannya yang mencengkeram ia hendak membanting roboh orang yang telah mengejeknya itu.

Namun orang-orang yang mengaku sebagai orang-orang Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api) itupun segera melompat berpencaran begitu melihat Ha to-ji bergerak. Masing-masing menampakkan kegesitan gerakannya, menampakkan mereka cukup terlatih baik.

Namun Ha To-ji bukannya kelas kambing, biarpun tubuhnya besar tapi tidak mengganggu kelincahannya begitu serangannya menemui tempat kosong, dengan sigap ia menghentikan luncuran tubuhnya dan sekaligus memutar pinggangnya, berganti arah menyerang lelaki yang di pinggangnya membawa sepasang roda Jit-goat-siang-lun itu. Kedua tangannya mencoba meraih pinggang untuk kemudian dipatah-kannya sesuai dengan jurus gulat Mongolnya.

Tapi lelaki itupun percaya kepada kekuatannya, meskipun badannya tidak sebesar tubuh Ha To-ji. Dengan kuda-kuda yang kuat menancap tanah, ia menyongsong serangan Ha To-ji tanpa sedikitpun berusaha menghindarinya, tanpa ragu-ragu ia mementang kedua tangannya ke kiri dan kanan untuk membentur kedua lengan Ha To-ji secara keras lawan keras.

Diam-diam Ha To-ji bersorak di dalam hati melihat sikap lawannya itu, dianggapnya lawannya telah berbuat kesalahan yang akan memberi peluang kepadanya. Jika dua pasang tangan berbenturan, aku akan mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan langsung memuntirnya patah, demikian rencana Ha To-ji di dalam hatinya.

Namun kesudahannya ternyata di luar perhitungan si Beruang Gurun itu, Tangan-tangan maha kuat dari si Beruang Gurun itu ternyata membentur sepasang tangan yang tidak kalah kuatnya, bahkan Ha To-ji terdorong mundur tiga langkah. Ha To-ji terkesiap, tapi lelaki baju hitam itupun juga terkesiap karena kekuatan lawannya mampu membuat lengannya linu untuk sesaat.

Setelah pulih ketenangannya, Ha to-ji bertanya, "Kau...kau pemimpin pecahan Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia ( Dewa Lo-cia Kecil) itu?"

Lelaki baju hitam itu menyahut, “Bagus kalau anjing-anjing Kaisar seperti kalian mengenal aku. Kelak arwah kalian tidak akan bergentayangan mengganggu manusia jika tahu siapa yang membunuh kalian."

Baik pihak Pakkiong Liong maupun pihak Pangeran Cu Hin-yang segera menyadari bahwa kekuatan baru yang tengah memasuki arena itu adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap remeh. Masing-masing pihak sudah pernah mendengar nama besar Siau-lo-cia Ma Hiong sebagai pentolan Hwe-liong-pang yang ditakuti. Apalagi kini Siau-lo-cia Ma Hiong datang dengan membawa sejumlah anak buahnya yang tangguh pula.

Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya merupakan pendukung-pendukung Li Cu-seng si pemberontak terhadap dinasti Beng itu. Pakkiong Liong selalu berpendapat, bahwa kelompok Hwe-liong-pang, sangat berbahayanya dengan kelompok-kelompok penentang pemerintah Manchu lainnya sehingga suatu saat kelak kelompok ini harus ditumpas pula.

Sebaliknya Pangeran Cu Hin-yang dan pengikti-pengikutnya sebagai orang-orang dinasti Beng tentu sulit melupakan bahwa orang-orang Hwe-Liong-pang adalah musuh besar mereka. Ketika laskar pemberontak Li Cu-seng menyerbu Istana Kerajaan Beng dulu, orang-orang Hwe-liong-pang ini menjadi ujung tombak dari serbuan itu, sehingga seolah senjata orang-orang Hwe-liong-pang belum kering dari darah para prajurit Beng dan keluarga istana Beng yang waktu itu mempertahankan Istana dengan mati-matian.

Tapi pihak Hwe-liong-pang sendiri tidak akan melupakan betapa banyak teman-teman mereka yang mati dipenjara karena disiksa oleh prajurit-prajurit Beng semasa masih berkuasa, dan lebih banyak lagi teman mereka yang gugur di luar kota Pak-khia ketika membendung serbuan balatentara Manchu.

Dengan demikian, di dalam kuil itu sekarang ada tiga pihak yang berlainan berhadapan dengan kekuatannya masing-masing, dan juga dengan pendirian teguhnya masing-masing. Jika masing-masing pihak tetap berdasarkan sejarahnya masing-masing, maka akan terjadi perkelahian segitiga di kuil itu. Tidak ada satu pihakpun yang akan mau bersekutu dengan pihak lainnya untuk memukul sisanya.

Sementara pengawalnya yang bersenjata toya baja Co-bin-kun itu telah mengawal Siau-lo-cia Ma Hiong masuk ke dalam arena yang tegang itu, maka seorang anak buah Ma Hiong yang bergolok koan-to itu telah berkelahi melawan Ha To-ji dengan sengitnya.

Ma Hiong menyapukan pandangannya kepada wajah-wajah di dalam kuil sambil tertawa dingin ia berkata, "Sekali kalian masuk wilayah Hun-lam ini aku sudah tahu siapa kalian, dan napas kalian, dan napas kalian yang busuk penuh ketamakan itu telah membuat udara pegunungan ini jadi busuk pula. Yang satu pihak adalah anjing-anjingnya Kaisar Manchu yang memburu korban dengan rakusnya, yang lain adalah pengikut-pengikut setia si tolol Cong-ceng yang merasa bahwa negeri ini adalah milik mereka, padahal mereka pernah menjerumuskan negeri ini ke jurang kemelaratan. Hemm, memuakkan sekali. Seperti dua ekor anjing berebut tulang. Berebutan tahta, tapi rakyat yang paling berkepentingan justru tidak kalian pedulikan pendapatnya sama sekali.!"

Baik Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang sama-sama menjadi merah padam mukanya ketika mendengar caci-maki Ma Hiong yang pedas itu. Tapi Pangeran yang merasa bahwa pihaknya rang terlemah dalam permusuhan segitiga itu, berusaha untuk menahan diri dan bersikap lebih cerdik, apalagi ia mengemban tugas dari kakaknya, Pangeran Cu Leng-ong, untuk menghubungi semua gerakan yang melawan Manchu, tidak peduli bagaimanapun kiblat mereka di masa lalu.

Entah bekas pengikut Li cu-seng, entah bekas pengikut Pangeran Pangeran Beng lainnya seperti Cu Yu-Long dan Cu Gi-yap, entah gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, semuanya harus dihubungi dan diajak bersatu dalam satu barisan besar. Pokoknya bangsa Manchu harus lebih dulu terusir dari tanah air, begitu pesan Pangeran Cu Leng-ong masih jelas terngiang di telinga Pangeran Cu Hin-yang. Dan kelompok sisa-sisa Hwe-liong-pang yang bertebaran di mana-mana dan menjadi kelompok sendiri-sendiri itu, termasuk dalam daftar yung harus dirangkul untuk dijadikan teman.

Karena tujuan yang lebih besar itulah maka Pangeran tidak membalas caci-maki Ma Hiong itu, ditekannya peraaaannya yang bergejolak. Malah dengan sikap sopan ia memberi hormat kepada Ma Hiong sambil berkata, "Saudara ini tentunya adalah Ma Hiong dari Hwe Liong-pang yang terkenal sebagai pembela rakyat kecil. Memang harus diakui bahwa ayahanda Cong-ceng adalah seorang Kaisar yang lemah, namun kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu sudah ditebusnya dengan kematiannya yang hina, yang tidak sesuai dengan martabat seorang raja, yaitu menggantung diri. Saudara, maukah memaafkannya? Dan tentang orang-orang Manchu ini, berhakkah mereka menyerbu negeri kita dengan senjata dan kemudian mengaturnya sesuai dengan kehendak mereka sendiri?"

Sikap Pangeran itu diluar dugaan Ma Hiong, sesaat ia terpaku tak dapat menjawab, tapi akhirnya iapun menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan Pangeran Cu Hin-yang itu. Sahutnya, "Bagus, kau adalah bangsawaan Kerajaan Beng yang dengan jantan berani melihat keburukan diri sendiri, itu jarang ada. Biasanya para pengikut Kerajaan Beng selalu enggan melihat diri sendiri, tapi lebih suka mencari kambing hitam ke kanan kiri, menganggap diri mereka sendiri paling benar. Ambruknya Kerajaan Beng dibebankan kesalahannya kepada Li Cu-seng, Co Hua-sun, Bu San-kui dan entah siapa lagi, tapi tidak menyadari bahwa yang menyebabkan ambruknya negara adalah mereka sendiri yang menjadi cengeng karena hidup mewah dan tak becus mengurus negara. Tapi kau agaknya lain dari mereka. Nah, untuk sementara kita bisa bertempur bersama-sama untuk mengusir anjing-anjing Manchu ini!"

"Bagus!" sahut Pangeran. "Biarpun kita pernah bermusuhan di masa lalu, tapi sebagai sesama anak negeri ini, kita harus melupakan permusuhan kita dan menghadapi musuh kita bersama!"

Sedang Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya merasa bahwa pekerjaan mereka akan bertambah berat dengan terjadinya persekutuan antara Pangeran dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun mereka tidak takut dan tetap merasa yakin akan dapat menyelesaikan tugas yang betapapun beratnya.

Pakkiong Liong tertawa mengejek, "Hemm, kalian hanya berlagak rukun di hadapan kami, tapi siapa yang tak tahu bahwa kalian masing-masing sama-sama bernafsu untuk merebut tahta bagi kepentingan golongan kalian masing-masing? Dan andaikata kalian benar-benar bersatu, kalian kira kalian akan bisa menumbangkan pemerintahan sah yang sudah berakar kuat di benua ini? Itu hanya mimpi di siang bolong!"

Ma Hiong menjawab, "Jangan membual, orang Manchu. Aku memang pernah mendengar betapa perkasanya Panglima Hui-liong-kun yang berjuluk Naga Utara, yang dengan telapak tangannya saja dapat melumerkan logam. Tapi jangan mimpi akan dapat lolos dari tangan kami, kau sudah hampir mampus karena luka-lukamu, dan anak buahmu yang berada di luar itupun akan mampus oleh anak buahku."

Pakkiong Liong tidak mau kalah gertak, kepada perwira-perwiranya yang masih utuh ia berkata, "Tunjukkan kepada mereka bagaimana seorang perwira Hui-liong-kun bertempur!"

Han Yong-kim dengan pedang samurainya menyambutnya, "Ciangkun, izinkan aku menyumbat mulut orang-orang busuk Hwe-liong-pang ini!"

"Lakukan!" perintah Pakklong Liong.

Baru saja bibir Pakkiong Liong terkatup, Han Yong-kim telah meloncat bagaikan harimau menerkam, pedangnya diangkat tingi-tinggi dengan kedua tangannya lalu dibacokkan turun bagaikan gunung runtuh ke batok kepala Ma Hiong. Gerakan ini mirip dengan jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san ambruk ke kepala) dalam ilmu silat Tiongkok, namun cara memegang pedangnya berbeda. Ilmu pedang Jepang yang disebut Kenjitsu ini sudah terkenal keampuhannya dan keganasannya.

Ma Hiong sendiri tidak berani gegabah melihat serangan sedahsyat itu, tapi Ma Hiong sendiri berilmu tinggi dan tidak mudah menjadi gugup dalam bahaya apapun. Dia pernah menjadi salah seorang dari delapan orang long-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang ditakuti oleh pemerintah Beng dulu, dengan demikian ilmunya pun tidak rendah. Dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu sepasang roda Jit-goat siang-lun yang tadinya tergantung di pinggang telah dipegang dengan kedua tangannya. Roda kiri menangkis ke atar, roda kanan menyodok ke rusuk lawannya.

Han Yong-kim si orang Korea ini agaknya meniru kebiasaan para pendekar Jepang dalam bertempur, ia berteriak keras. Serangan Ma Hiong ke rusuknya hampir tidak dipedulikannya, ia justru mengangkat tubuhnya ke atas sambil menambah tenaga ayunan pedangnya. Dengan demikian ayunan pedangnya bertambah hebat beberapa kali lipat karena ditambah dengan berat badannya sendiri.

"Hebat!" desis Ma Hiong yang rupanya agak terkejut juga me ihat cara bertempur seperti badak dari perwira Kerajaan Manchu ini. Untuk menanggulangi gempuran pedang musuh itu ia tidak dapat mengandalkan tangan kirinya Saja, maka roda di tangan kanannyapun turut diangkat untuk menangkis!

Benturan dahsyat antara dua jenis senjata yang sama-sama terbuat dari baja pilihan dan sama-sama digerakkan oleh kekuatan dahsyat pula. Si orang Korea yang kakinya tak menginjak tanah itu sempat terpental ke belakang, namun kemudian berputar di udara dengan manisnya, dan menjejakkan kaki di tanah seringan seekor kucing.

Ma Hiong tergeliat, pinggangnya dan mundur selangkah. Diam-diam pentolan Hwe-liong-pang itu membatin, "Pantas kalau Hui-liong-kun merupakan pasukan kebanggaan Manchu, bahkan melebihi pasukan Pat-ki (Delapan Bendera) yang dipimpin oleh para Pwe-lek (Pangeran Bangsa Manchu) itu. Perwira yang satu ini saja amat tangguh, padahal entah terdapat berapa puluh orang perwira setingkat ini di dalam pasukan itu!"

Tapi Ma Hiong tidak menjadi kecut hatinya, semakin tangguh lawannya malahan akan semakin mengobarkan semangat tempurnya. Bekas tokoh Hwe-liong-pang ini kemudian mencoba memaksakan suatu pertempuran jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek itu. Begitu Ma Hiong membentak, sambil menggerakkan sepasang tangannya, maka tiba-tiba di sekitar tubuhnya muncullah puluhan pasang roda Jit-goat siang-lun yang bergerak serempak dengan hebatnya. Kini Ma hiong seolah punya puluhan pasang tangan yang bergerak sekaligus, bagaikan hujan deras menghambur ke tubuh Han Yong-kim.

Tapi orang Korea itupun cukup keras kepala untuk mundur begitu saja, pedangnyapun berubah menjadi bayangan yang berpuluh-puluh batang banyaknya. Maka kedua orang itu segera terlibat dalam pertempuran yang sangat seru.

Sementara itu, Pangeran Cu Hin-yang bersama dengan sisa-sisa pengikutnya telah bangkit kembali semangat tempur mereka. Kalau tadi mereka sudah pasrah nasib menunggu kematian saja, kini timbul kembali harapan untuk tetap hidup dan memperjuangkan cita-cita mereka. Biarpun kini harus bekerja nama dengan bekas pendukung-pendukung si pemberontak Li Cu-seng, mereka tidak peduli lagi.

Pangeran Cu Hin-yang bertempur melawan Pakkiong Liong, tapi Pakkiong Liong yang kekuatannya sudah agak susut. Namun demkian Pangeran tetap tidak boleh lengah menghadapinya, sebab meskipun luka, si Naga Utara itu tetap seorang yang berbahaya. Tangan kirinya masih merah membara seperti mulut seekor naga yang menyemburkan api, dan tangan kanannya yang memegang pedang itu memainkan senjatanya dengan lincah. Jika Pangeran lengah sedikit saja, bisa jadi ia akan mengalami nasib seperti Tio Tong-hai, mati dengan tubuh yang habis hangus.

Sementara itu di luar tembok kuil kosong itu telah berlangsung pertempuran sengit antara prajurit-prajurit anak buah Pakkiong liong melawan orang-orang Hwe-liong-pang anak buahnya Ma Hiong. Para prajurit Manchu hasil gemblengan Pakkiong Liong itu merupakan orang-orang pilihan yang terkenal ketangguhan dan keberaniannya. Manusia-manusia yang bertubuh dan bersemangat baja. Maka anak buah Ma Hiong tidak dapat segera mendesak lawannya.

Tapi anak buah Ma Hiong-pun bukannya orang-orang bernyali tikus yang gampang menjadi ketakutan melihat kegarangan lawan mereka. Dulu mereka adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang terkenal gagah berani, biarpun mereka tidak pernah terlatih sebagai prajurit, namun mereka telah tertempa oleh ganasnya peperangan selama bertahun-tahun dan juga ganasnya hutan hutan lebat dan alam pegunungan yang penuh bahaya.

Dengan demikian, baik anak buahnya Pakkiong Liong maupun anak buah Ma Hiong telah ketemu tandingannya masing-masing. Kedua belah pihak sama-sama terbentur lawan keras. Anak buah Ma Hiong yang sering dengan mudahnya dapat menjebak dan mengalahkan prajurit-prajurit bawahan Peng-se-ong Bian-kui tadinya mengira dalam waktu singkat akan segera mengalahkan lawan pereka. Tapi kini mereka terkejut menemui ketangguhan lawan.

Sebaliknya prajurit-prajurit anak buah Pakkiong Liong tidak kalah terkejutnya ketika menghadapi gempuran-gempuran dahsyat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Prajurit-prajurit Pak-kiong Liong itu sadar bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pilihan kebanggaan Kerajaan Manchu, punya keunggulan dibandingkan pasukan-pasukan lainnya. Tiap kali mereka turun ke medan tempur musuh akan dibuat kocar-kacir atau menggigil karena gentar. Tetapi sekarang mereka telah kebentur orang-orang Hwe-liong-pang yang sama tangguhnya dan sama nekadnya dengan mereka sendiri.

Hati kedua pihak yang bertempur semakin lama semakin panas, mengalahkan dinginnya malam. Setelah keringat membasahi baju, masing-masing pun kian beringas. Beberapa orang sudah roboh di tanah yang becek oleh air hujan. Tapi korban-korban yang jatuh tidak membuat mereka yang masih hidup menjadi jera, malahan membuat hati semakin panas dan semakin bulat tekadnya untuk menuntut balas. Tapi lawan juga ingin berbuat serupa...
Selanjutnya;

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 02

Pendekar Naga dan Harimau Jilid 02

Karya : Stevanus S.P
Cerita Silat Mandarin Serial Karya Stevanus S.P
Perwira-perwira bawahan Pak-kiong Liong itu seketika menjadi merah padam wajahnya. Dengan gigi gemeretak mereka telah siap menggerakkan senjata mereka, tinggal menunggu aba-aba dari Panglima mereka untuk turun tangan.

Kongsun Hui yang pendiam itu agaknya pernah saling mengenal dengan perwira Han yang bernama Le Tong-bun itu. Ia pun ikut menyindir, "Dan kudengar Heng-san-pay adalah sebuah perguruan yang terhormat, bahkan gunungnya pun dijuluki sebagai Lam-gak (Gunung Suci di Selatan). Tapi sungguh tak terduga bahwa gunung suci di selatan itupun dapat menelurkan sebutir telur busuk semacam Le Tong-bun..."

Wajah Le Tong-bun yang sudah kelam itu berubah menjadi semakin kelam. Sahutnya, "Apa jeleknya menjadi prajurit Kerajaan Manchu? Negara membutuhkan tenaga dan aku mengabdikan tenagaku, itu lebih baik daripada kalian yang hanya bermimpi tentang masa lalu sambil mengacau di sana-sini. Aku berpijak kepada kenyataan, kalian berpijak kepada angan-angan kosong."

Begitulah, suasana menjadi sangat tegang. Sambil mulut mereka saling-mencaci lawan mereka masing-masing, maka tangan mereka yang sudah gatal itupun telah menggenggam senjata semakin erat, siap diayunkan untuk membelah kepala musuh. Tanpa prajurit-prajurit Manchu yang hanya ditugaskan berjaga di luar kuil.

Maka pihak Pak-kiong Liong hanya lima orang termasuk dirinya sendiri, begitu pula pihak Pangeran juga berjumlah lima orang. Dari segi jumlah memang seimbang, entah bagaimana kemampuan manusianya? Masing-masing menyadari betapa beratnya lawan masing-masing.

Pak-kiong Liong sudah memesan para perwiranya agar berhati-hati, sebab yang mereka hadapi itu adalah bekas Panglima-panglima Kerajaan Beng dari pasukan-pasukan terbaiknya. Yang juga harus diperhitungkan adalah juga bahwa mereka itu tentu akan berkelahi seperti orang mabuk, karena fanatik membabi-buta kepada dinasti Beng.

Tapi Pak-kiong Liong pun telah berpesan kepada anak buahnya bahwa malam itu tidak boleh gagal meringkus mereka, sebab jika sampai lolos lagi mereka masih akan bisa menimbulkan kekacauan di mana-mana.

Sebaliknya Pangeran dan pengikut-pengikutnya pun sadar bahwa yang mereka hadapi bukanlah prajurit-prajurit biasa, melainkan Panglima Hui-liong-kun didampingi perwira-perwira pilihannya. Prajurit-prajurit Hui-liong-kun sudah terkenal bukan saja sebagai prajurit yang bekerja demi mencari upah, melainkan sebagai prajurit-prajurit yang memiliki kesetiaan sangat tinggi kepada Negara dan Kaisar, tanpa kenal gentar terhadap apapun juga. Hui-liong-kun boleh disebut sebagai Pasukan Berani Mati-nya Kerajaan Manchu, kedahsyatannya di medan laga sudah menjadi buah bibir orang banyak.

Kini masing-masing pihak segera menempatkan dirinya masing-masing untuk memilih lawannya masing-masing. Si pendeta gemuk Tio Tong-hai yang sadar bahwa ilmunya adalah yang paling tinggi dalam rombongannya, segera menempatkan dirinya untuk melawan Pak-kiong Liong yang juga orang terkuat di pihak lawan. Dalam keadaan seperti ini tidak dapat digunakan siasat "kuda musuh yang terbaik dilombakan dengan kuda kita yang terjelek" yang tertulis dalam Kitab Perang Sun Pin.

Sebab kepandaian Pak-kiong Liong jauh lebih tinggi dari kawan-kawan Tio Tong-hai lainnya, sehingga dalam waktu singkat lawan Pak-kiong Liong tentu akan kalah dan Pak-kiong Liong akan bisa malang-melintang di arena untuk menjatuhkan korban lain. Yang terkuat di pihak lawan harus dilawan oleh yang terkuat di pihaknya sendiri.

Meskipun Tio Tong-hai tidak yakin dapat mengalahkan lawannya namun ia akan mencoba bertahan sekuat tenaga membantunya untuk mengeroyok Pak-kiong Liong. Demikianlah perhitungan Tio Tong-hai sebagai bekas seorang Panglima yang sudah biasa menghitung kekuatan musuh dan kekuatannya sendiri.

Karena itu, ketika dilihatnya Pangeran sudah berhadapan dengan Pakkiong Liong, maka Tio Tong-hai dengan tergesa-gesa mendekatinya sambil berkata, "Siau-ong-ya, biarkan aku yang menghadapi Pak-kiong Ciangkun yang perkasa ini, sambil mencicipi ilmu Hwe-liong-sin-kangnya yang hebat itu."

Pangeran yang cukup tahu diri bahwa dirinya bukan tandingan Pak-kiong Liong, segera menyingkir ke samping. Sedangkan Pak-kiong Liong sendiri membiarkan lawannya berpindah-pindah tempat seperti di atas papan catur saja, dan bahkan sempat mengejek,

"Bagus, Tio Ciangkun, rupanya kau kuatir kalau boneka kesayanganmu itu rusak oleh tanganku maka kau suruh dia menyingkir lebih dulu. Kebetulan akupun sudah lama ingin menjajal kehebatan Tangan Petir-mu yang sudah lama terkenal sampai ke luar Tembok Besar itu."

Tio Tong-hai menggeram, "Bukannya Pangeran takut kepadamu, tetapi ia sebagai seorang bangsawan berderajat tinggi adalah tidak pantas untuk bertanding denganmu yang hanya seorang hamba dari Kaisar busukmu itu."

Pakkiong Liong tertawa, "Ya... kau boleh mengarang alasan apapun, tapi jangan kau kira aku tidak tahu isi otakmu. Kau tahu bahwa Pangeran-mu itu sama sekali bukan lawanku, dalam waktu kurang dari sepuluh jurus pun dia akan terjungkal di tanganku."

"Kau sombong sekali," desis Tio Tong-hai.

Sahut Pak-kiong Liong kalem, "Karena aku berilmu tinggi, sombong sedikit boleh juga bukan?"

Sebenarnya Tio Tong-hai merasa agak tegang juga menghadapi Pakkiong Liong yang bernama besar itu. Tapi ia tidak gentar. Dalam hatinya la sudah pasrah nasib, andaikata dirinya harus gugurpun rela asalkan Pangeran dapat lolos dari situ dan melanjutkan perjuangan mereka untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng.

Sementara itu, orang lain sudah mulai berkelahi. Kongsun Hui sudah mulai menyerang dengan tombaknya kepada Si Beruang Gurun Ha To-Ji. Baik Kongsun Hui maupun Ha To-ji merupakan jago-jago dalam hal Gwa-kang (Tenaga Luar), maka keduanya seakan-akan telah menemukan lawan yang setimpal. Dengan bentakan keras Kongsun Hui menggerakkan sepasang ruyung bajanya dengan serempak. Ruyung kiri menghantam ke pinggul musuh, ruyung kanan menghantam ke pundak, semuanya adalah serangan berkekuatan besar yang dapat meremukkan tulang belulang musuh.

Orang yang bertubuh besar biasanya dianggap berkekuatan hebat namun kurang gesit, tapi anggapan ini tidak berlaku untuk Ha To-Ji. Si Beruang Gurun Ini ternyata memiliki kegesitan dan kelenturan badan yang tinggi, cepat sekali ia bergeser ke samping, dan sepasang tangannya dengan jari-jari terbuka seperti kuku elang telah berusaha mencengkeram ke arah siku dan pergelangan tangan kanan Kongsun Hui.

Jika kedua sasarannya kena, biasanya lalu siku dan pergelangan tangan itu akan diputar dengan arah berlawanan sehinggga tangan musuh patah, bahkan Ha To-Ji pernah membuat lengan musuhnya copot dari pundaknya. Cengkeramannya ini berdasarkan ilmu Eang-jiau-kang yang dilatihnya sejak kecil, dengan cara memuntir-muntir segebung potongan bambu.

Melihat gerakan Eng-Jiau-kang (Ilmu Cakar Elang) musuhnya itu, Kong-sun Hui cepat meloncat mundur dan berkata, "Bagus. He, orang Mongol, kau kelihatannya adalah murid dari Eang-Jiau-bun (Perguruan Cakar Elang). Apakah kau punya hubungan dengan Bok Lau-siang yang berjulukan Tiat-Jiau-sing-eng (Elang Sakti Berkuku Besi) yang menjadi Ketua Eng-Jiau-bun yang sekarang ini?"

Ha-To-Ji menegaskan, "Mau apa kau tanyakan Suhengku itu?"

Kongsun Hui mengerut kening, "Kakak seperguruanmu? Dia adalah seorang pendekar yang gigih menentang bangsa Manchu, kenapa kau sebagai adik seperguruannya malah berpihak kepada bangsa Manchu? Tidakkah ini akan merusak nama baik perguruanmu?"

Sahut Ha To-Ji, "Jalan hidup setiap orang ditentukan oleh pribadinya masing-masing, tidak ada aturannya kalau orang seperguruan harus berpandangan sama pula dalam segala hal. Suhengku menuduh aku gila uang dan kedudukan, aku tidak peduli. Tapi hati kecilku sendiri tahu bahwa aku tidak gila uang dan kedudukan, aku bukan orang serendah itu, aku hanya mengimpikan kejayaan masa lalu seperti di jaman Jengis Khan. Derap kaki kuda pasukan kami akan membikin orang-orang benua barat menggigil ketakutan, dari kapal-kapal kami akan mengarungi laut ke seberang lautan dan membuat kapal-kapal bangsa bule bermata biru itu menjadi penghuni dasar lautan. Itu cita-citaku. Aku mengabdi kebesaran Negara, bukan mengabdi kepada segelintir manusia yang kebetulan merupakan keluarga istana seperti kalian ini.''

"Oh, rupanya kau juga sudah terbius oleh ucapan orang Manchu yang muluk-muluk itu. Namun sebenarnya mereka itu perampok-perampok yang akan memeras orang Han, Mongol, Uigur dan lain-lainnya sampai kering darahnya. Mereka perampok dan kau ini anjingnya perampok, sama sekali tidak pantas mengaku sebagai laki-laki Mongol. Banyak kukenal laki-laki Mongol yang berdarah panas dan berwatak kesatria tapi kau ini benar-benar tak berguna.”

Muka Ha To-ji berkerut geram mendengar cacian yang pedas itu. Selama ini ia yakin bahwa ia menjadi prajurit Kerajaan Manchu karena cita-citanya untuk mengembalikan kebesaran Jengis Khan di benua maha luas ini, bukan karena pangkat atau hadiah. Ucapan Kong Hui itu melukai pendiriannya dan membuat hatinya tersinggung. Maka begitu bibir Kongsun Hui terkatup rapat, Ha Toji telan menyerang dengan gerakan Hui-tui-hoan-ciang (Menekuk Lutut Sambil Menyodok) yang dilakukan dengan sepenuh tenaga. Desir angin yang kuat menyertai gerakannya ini, menandakan betapa hebat tenaganya.

Kongsun Hui yang tidak kehilangan kewaspadaan itu segera melangkah surut selangkah untuk mendapat ruang gerak bagi ruyungnya. Tapi Ha To-ji yang tidak memegang senjata itu tidak ingin terlibat dalam perkelahian jarak panjang yang akan menguntungkan lawannya. Begitu musuh mundur dan sodokannya luput, diapun mendesak dengan cepat sambil menggunakan kedua tangannya untuk merangkul dan menangkap pinggang Kongsun Hui.

Sekali lagi Kongsun Hui surut selangkah, namun kali ini ia berkesempatan untuk mengayunkan ruyungnya untuk menghantam kening Ha To-Ji. Ha To-ji yang tengah meluncur maju itu terkejut, tak sempat mundur lagi iapun hanya memiringkan kepalanya untuk menghindari hantaman ruyung baja itu. Keningnya memang luput, tapi pundaknya kena. Ha To-ji merasakan pundaknya bagaikan tertimpa reruntuhan bukit batu sehingga pundaknya pegal bukan main, tak kuasa menahan diri lagi iapun terhuyung mundur selangkah.

Tapi yang tidak kurang terkejutnya adalah Kongsun Hui sendiri. Hantaman ruyung bajanya tadi seharusnya dapat meremukkan pundak lawan dan sekaligus mengakhiri pertempuran, namun ternyata lawan hanya terdorong selangkah, bahkan ruyung baja Kongsun Hui rasanya bagaikan menghantam selapis papan besi dan terpental balik, hampir saja membenjolkan kepalanya sendiri.

Kini Kongsun Hui menyadari betapa tangguh lawannya itu, "Kiranya orang ini bukan cuma mahir dalam cengkeraman Eng Jiau-kang tapi juga cukup matang dalam latihan ilmu kebal Kim-ciong-toh (Perisai Lonceng Emas) dan terkamannya ke arah pinggang tadi juga menandakan keahliannya dalam gulat Mongol. Tiga macam ilmu dikuasainya, kelihatannya ia malah lebih tangguh dari kakak seperguruannya. Jika semua perwira Hui-liong-kun berkepandaian setingkat dengan dia, memang harus diakui betapa dahsyatnya pasukan itu."

Kini semua orang yang berada di dalam kuil itu sudah mendapatkan lawannya masing-masing. Untunglah bahwa Pakkiong Liong tidak mengikut-sertakan prajurit-prajuritnya, dan mereka hanya disuruhnya untuk berjaga-jaga di luar kuil. Agaknya Pakkiong Liong menyadari jika prajurit-prajuritnya diikut-sertakan maka akan jatuh korban di antara prajurit-prajuritnya, meskipun mungkin penangkapan akan berjalan cepat.

Namun Pakkiong Liong selalu berpendirian bahwa sebisa-bisanya jangan ada korban satupun di pihaknya, tidak peduli itu adalah prajurit rendahan. Pakkiong Liong menghargai nyawa orang lain seperti nyawanya sendiri, meskipun dalam tugasnya kadang-kadang tak terhindarkan ia menjadi seorang pembunuh.

Di dalam kuil itu, perkelahian yang paling seru adalah perkelahian antara orang-orang terkuat dari maling masing pihak. Pertarungan antara Pakkiong liong si Panglima Hui-liong-kun, melawan Tio Tong-hai si bekas Panglima Kerajaan Beng yang dalam perjuangan bawah tanahnya kini ia menyamar sebagai seorang rahib itu. Masing-masing memiliki nama julukan yang menggambarkan kehebatan mereka masing-masing. Pakkiong Liong adalah Naga dari Utara dan Tio Tong-hai adalah si Tangan Petir.

Menghadapi golok Tio Tong-hai yang menyambar-nyambar dengan hebatnya itu, ternyata Pakkiong Liong masih belum juga menghunus pedang yang tergendong di punggungnya itu. Ia masih tetap bertangan kosong. Tapi dengan telapak tangannya itu ternyata Pakkiong Liong adalah seorang yang benar-benar berbahaya, sebab dari sepasang telapak tangannya itulah terpancar hawa panas yang semakin lama semakin meningkat sehingga akhirnya hampir-hampir tak tertahan lagi oleh Tio Tong-hai, tidak peduli Tio Tong-hai memiliki tenaga dalam yang cukup tangguh.

Itulah ilmu Hwe-liong-sin-kang, ilmu kaum Lama Tibet di kuil Thian-liong-si yang hanya diturunkan kepada murid-murid terbaiknya. Pakkiong Liong adalah murid terkasih dari Hoat-beng Lama, rahib tua penghuni kamar belakang Thian-long-si yang kepandaiannya begitu tinggi sehingga dikabarkan konon sudah menjadi setengah dewa. Semua ilmu milik gurunya sudah diserap habis oleh pemuda Manchu ini, maka Pakkiong Liong sering diolok-olok oleh teman-temannya sendiri sebagai "seperempat dewa" karena murid dari si "setengah dewa".

Malam itu udara basah diguyur air hujan, hawa udara sebenarnya dingin menggigit tulang, apalagi karena kuil itu terletak di dataran tinggi dekat pegunungan Tiam-jong-san. Tapi setelah ilmu Hwe-liong-sin-kang dikeluarkan, maka suhu dalam kuil itu mulai meningkat dan akhirnya panas luar biasa seperti dalam tanur peleburan logam.

Dalam jarak lima atau tujuh langkah dari tubuh Panglima itu, udara terasa menghanguskan kulit, sehingga baik kawan maupun lawan lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari Panglima yang hebat itu. Mereka lebih suka turun ke halaman kuil dan bertempur di bawah siraman hujan lebat.

Jika orang-orang yang berjarak beberapa langkah saja tidak tahan oleh hawa panas itu, apalagi Tio Tong-hai yang menjadi lawan langsung dari Pakkiong Liong. Menjadi sasaran langsung dari ilmu yang luar biasa itu. Tetapi Tio Tong-hai tidak akan mundur, dengan nekad dikerahkannya seluruh daya tahan tubuhnya dan ilmunya untuk bertempur habis-habisan.

Di dalam hatinya Tio Tong-hai sudah punya rencana untuk mengorbankan diri demi keselamatan Pangeran dan rekan-rekan seperjuangannya. Terutama Pangeran Cu Hin-yang sendiri, sebab ia adalah keturunan Kaisar Cong-seng meskipun hanya dilahirkan oleh seorang selir yang tersingkir dari istana. Tio Tong-hai telah berani memilih Pak-kiong Liong sebagai lawannya, berarti ia pun siap menerima akibat apapun dari pilihannya sendiri itu.

Asal ia dapat menjadikan Pakkiong Liong luka parah, Pangeran dan teman-temannya akan punya kesempatan besar untuk lolos. Tanpa pakkiong Liong yang bagaikan malaikat utusan neraka itu, maka perwira-perwira Manchu lainnya bisa ditembus meskipun harus dengan perjuangan berat pula. Dengan tekad berkorban itulah maka Tio Tong-hai menemukan kekuatan dalam jiwanya, sehingga diapun sanggup meladeni Pakkiong Liong bertempur dengan gigih luar biasa.

Golok di tangannya berputar kencang bagaikan baling-baling yang terhembus oleh badai yang maha dahsyat, sementara tanga kirinyapun setiap ada kesempatan selalu melepaskan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang kehebatannya menyaingi guntur yang bersambung di udara. Pakkiong Liong juga tidak berani meremehkan lawannya.

Meskipun Panglima itu yakin bahwa kemenangan tetap akan diraihnya, tapi ia tidak mau terburu-buru dan menimbulkan kekeliruan bertindak. Lawannya bukan lawan empuk. Lawannya berilmu tinggi, gigih dan bahkan nekad, sehingga Pakkiong Liong harus sangat berhati-hati dalam menghadapinya.

Bila perkelahian di kuil itu dilihat secara keseluruhan, nampaklah bahwa pihak Manchu lebih unggul. Yang kelihatan seimbang hanyalah Kongsun Hui melawan Ha To-ji. Teman-teman Kongsun Hui lainnya, termasuk Pangeran Cu Hin-yang sendiri, agaknya benar-benar terdesak oleh lawannya masing-masing. Keadaan benar-benar gawat bagi para pengikut setia dinasti Beng itu.

Tio Tong-hai sudah mulai terdesak oleh Pakkiong Liong meskipun Pakkiong Liong belum mencabut pedangnya. Pangeran Cu Hin-yang yang memainkan ilmu pedang dari Hoa-san-pay itu juga terdesak oleh Le Tong-bun yang memainkan ilmu pedang Heng-san-pay dengan tangkasnya.

Seorang pengikut Pangeran yang bertubuh tegap dan bersenjata tombak panjang, agaknya mengalami kesulitan ketika menghadapi Tokko Yan, si perwira bangsa Manchu yang bersenjata pedang melengkung yang tajamnya seperti pisau cukur itu. Sedang Tokko Yan sendiri adalah seorang yang lincah, suatu saat ia berlincahan seperti seekor kupu-kupu, di lain saat ia menerkam seperti seekor harimau kelaparan.

Pengikut Pangeran itu sudah luka-luka di seluruh tubuhnya. Tapi orang itu terus berkelahi seperti orang kesurupan setan, tanpa peduli darah yang terus menetes dari tubuhnya. Kesetiaannya kepada junjungannya telah membuat orang itu mata gelap.

Sementara itu perwira Kerajaan Manchu lainnya, Han Yong-kim, memegang pedangnya yang bertangkai panjang itu dengan dua tangan. Ia pernah berguru di Jepang dan cara memainkan pedangnyapun seperti gaya para samurai di kepulauan seberang sana. Jepang memang dekat letaknya dengan Korea, negeri asal Han Yong-kim.

Lawan Han Yong-kim adalah seorang pengikut Pangeran yang bersenjata pedang pula, namun nampaknya tenaganya sudah hampir habis karena kelelahan. Setiap kali ia harus menangkis pedang samurai Han Yong-kim yang digerakkan dengan disertai bentakan-bentakan menggelegar yang menciutkan nyali, dan pengikut Pangeran itu sudah merasa tangannya pegal bukan main sebab tenaga Han Yong-kim ternyata dahsyat sekali.

Suatu ketika Han Yong-kim mengangkat tinggi-tinggi pedangnya dan menyabetkannya bagaikan gunung runtuh, pengikut Pangeran itu mencoba menangkis dengan sisa-sisa tenaganya, tapi pedangnya segera terpental jatuh karena kalah kuat. Buru-buru pengikut Pangeran itu melompat hendak menjemput pedangnya kembali.

Tapi Han Yong-kim telah menendang pinggangnya sehingga terhuyung-huyung, lalu tanpa kenal ampun pedang samurainya menyabet mendatar dan membelah perut pengikut Pangeran itu. Pengikut Pangeran itu ambruk, darahnya bercampur dengan air hujan, meresap ke bumi yang dibelahnya.

Pangeran Cu Hin-yang dan lain-lainnyapun mendengar jerit kematian rekan mereka itu. Dan jerit kematian itu tak ubahnya lonceng kematian bagi pihak mereka. Kekalahan sudah jelas, cepat atau lambat. Han Yong-kim yang kehilangan lawan itu tentu tidak akan menganggur saja, dengan demikian Pangeran dan pengikut-pengikutnya itu tinggal menunggu untuk dibantai satu persatu.

Han Yong-kim memang tidak mau tinggal diam. Dilihatnya pertarungan antara Pakkiong Liong dan Tio Tong-hai berlangsung seperti naga dan harimau. Tio Tong-hai terdesak namun masih melawan dengan gigih. Han Yong-kim tidak bermaksud mencampuri pertarungan itu, sebab selain merasa ilmunya masih belum pantas untuk ikut dalam pertarungan ilmu tingkat tinggi itu. Ia juga tidak mau Pakkiong Liong menjadi tersinggung karena dibantu.

Lalu Han Yong-kim melihat pertempuran antara Ha To-Ji dan Kongsun Hui masih berlangsung dengan seimbang, tanpa diketahui siapa yang akan menang dan siapa yang akan terkapar sebagai bangkai di kuil terpencil itu. Maka Han Yong-kim lalu mengambil keputusan untuk lebih dulu membantu Ha To-ji membereskan Kongsun Hui.

Kini Kongsun Hui harus melawan dua orang sekaligus, dan ini tentu saja sangat memberatkannya. Melawan Ha To-ji saja ia hanya bisa seimbang, apalagi kini ditambah dengan Han Yong-kim yang kepandaiannya setarap dengan Ha To-ji. Sabetan-sabetan pedang samurai Han Yong-kim begitu deras, cepat dan mengincar tempat-tempat yang mematikan. Itulah ciri-ciri seni pedang Kenjitsu dari Jepang.

Gerakan-gerakannya serba sederhana, cepat kuat dan terarah, didukung dengan langkah-langkah yang pendek-pendek. Kini Kongsun Hui dipaksa untuk bertahan saja dengan rapatnya, sambil menantikan kekeliruannya sekecil apapun di pihak lawan yang bisa dimanfaatkannya.

Di bagian lain, meskipun Tio Tong hai menghadapi keadaan gawat, tapi ia menyempatkan diri untuk melirik dan menilai keadaan seluruh arena. Ia melihat bahwa orang-orang di pihaknya mulai terhimpit kesulitan besar. Hal itu membuat Tio Tong-hai mengertakkan giginya dan semakin bulatlah tekadnya untuk mengorbankan diri. Ia harus bisa membunuh Pakkiong Liong tewas atau paling tidak luka parah, dan diharapkannya jatuhnya Pakkiong Liong akan meruntuhkan semangat anak buahnya, sehingga Pangeran dan pengikut-pengikutnya sempat meloloskan diri.

Ketika itu Pakkiong Liong melancarkan sebuah jurus yang disebut Tui Jong-bong-goat (Mendorong Jendela memandang Rembulan). Kedua, telapak tangannya yang panas itu melakukan gerakan berputar berlawanan arah, lalu "menggunting" lambung Tio Tong-hai dari kiri dan kanan. Segulung hawa panas bergulung kencang ke tubuh Tio Tong-hai dari kiri dan kanan.

Telapak tangan Pakkiong Liong itu bukan saja berbahaya karena udara panasnya, tapi juga mengandung kekuatan yang sanggup membelah batu sebesar anak kerbau. Tubuh Tio Tong-hai bukan hanya terancam hangus tapi juga terancam rontok seluruh tulang-belulangnya. Demikian dahsyat serangan Pakkiong Liong itu.

Hampir saja Tio Tong-hai mundur carena tekanan kekuatan yang seolah dari dasar neraka itu. Tapi tiba-tiba Tio Tong-hai teringat akan tekadnya, lalu di dalam hatinyapun dia berkata, “Saat pengorbanan telah tiba. Pangeran junjunganku dan sahabat-sahabatku selamat tinggal dan selamat berjuang!"

Dengan tekad seperti itu di dalam hatinya, ia mendapat kekuatan untuk tidak mundur setapakpun. Kedua telapak tangan musuh yang memukul lambungnya tidak dipedulikannya lagi, malahan dibarenginya dengan bacokan jurus Te-lai-hong-sing (Gempa Menimbulkan Badai) ke leher Pakkiong Liong, sementara tangan kirinyapun tak ketinggalan menghantam sekuat tenaga ke ulu hati Pakkiong Liong dengan ilmu Pek-lek-jiu. Inilah serangan yang mengajak lawan untuk gugur bersama.

Ternyata Pakkiong Liong sendiri terkejut melihat sikap nekad lawann itu. Bukannya Panglima Manchu takut mati, tapi sebagai pihak yang sudah di ambang pintu kemenangan tentu saja ia enggan diajak mati bersama seperti itu. Itu berarti keuntungan buat lawannya.

Tapi Pakkiong Liong berilmu tinggi dan kaya dengan penga laman, pada detik-detik membahayakan itu ia dengan tangkasnya menyurut mundur sambil mengubah jurusnya menjadi Hun-im-ki-giat (Memisah Mega Merebut Rembulan), sebuah gerakan bertahan kedua telapak tangan berputar kencang saling melindungi, membentuk perisai tubuh yang rapat.

Namun dibalik kerapatan pertahanannya itu tersembunyi jurus serangan balik yang setiap saat bisa dilontarkan keluar. Sekali lagi udara sepanas api neraka bagaikan berpusar kencang, enam atau tujuh langkah di sekitar tubuh kedua orang yang bertempur itu udara panas tak tertahankan lagi, kecuali oleh Tio Tong-hai yang tidak lagi memikir nyawanya itu.

Tio Tong-hai mengentakkan giginya. Jurusnya sama sekali tidak dirubah, malahan kekuatannya ditambah dan dibarengi dengan loncatan ke depan bagaikan harimau lapar. Bagaimanapun Pakkiong Liong berusaha menghindari adu nyawa itu, tapi ia cuma berhasil sebagian saja, lawannya terlalu nekad. Detik-detik terakhir sebelum golok Tio Tong-hai mengenai lehernya, Pakkiong Liong sempat memiringkan tubuh sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke belakang, sehingga golok Tio Tong-hai cuma menancap di pundaknya.

Tapi tinju kiri Tio Tong-hai berhasil "menggedor" dada Pakkiong Liong meskipun tidak terlalu telak pula karena gerakan miring Pak-kiong Liong itu. Sebaliknya telapak tangan kanan Pak-kiong Liong yang bagaikan besi merah membara itu berhasil memukul telak dada Tio Tong-hai karena Tio Tong-hai sendiri yang meloncat maju itu.

Terlihat Pakkiong Liong berdesis menahan sakit sambil terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang. Golok Tio Tong-hai masih terjepit di daging pundaknya, sementara dengan muka pucat pasi ia memuntahkan segumpal darah hitam dari mulutnya. Namun ketangguhan Pakkiong Liong terlihat, ia tidak roboh dan masih tetap berdiri tegak dengan garangnya.

Sebaliknya Tio Tong-hai yang terhantam oleh telapak tangan yang berisi Hwe-liong-sin-kang itu, tubuhnya terpental ke belakang bagaikan dilemparkan oleh sebuah tangan raksasa maha kuat. Tubuhnya terbanting di lantai berlumut dengan derasnya. Ia hanya terlihat menggeliat sedikit, mencoba meronta dari terkaman malaikat maut, namun sia-sia, sebab sang maut benar-benar telah menjemputnya.

Bagian dadanya terlihat hangus seperti terbakar bukan saja pakaiannya telah menjadi abu, bahkan dagingnyapun nyaris menjadi arang dengan tulang-belulang yang hancur lebur. Itulah kehebatan pukulan Hwe-liong-sin-kang yang mengangkat Pakkiong Liong sebagai tokoh puncak dunia persilatan.

Untuk sesaat orang-orang yang berkelahi itu menjadi terhenti, suasana sunyi seperti di kuburan. Baik kawan maupun lawan sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan debaran jantung mereka setelah melihat ada ilmu yang luar biasa itu. Pihak Pangeran Cu Hin-yang kini mulai menilai diri sendiri. Pihaknya sudah berkurang dua orang, bahkan termasuk Tio Tong-hai yang dianggap sebagai tulang punggung kekuatan mereka itu.

Sebaliknya pihak lawan belum seorang seorangpun. Pakkiong Liong luka namun tidak mati, dan agaknya masih dan mampu bertempur meskipun tidak penuh tenaga. Sementara di bagian luar kuil itu masih ada puluhan prajurit Manchu yangg belum digerakkan, jadi Pangeran dan sisa-sisa pengikutnya sudah seperti ikan di dalam bubu, tidak ada lagi kesempatan untuk lolos kecuali terjadi suatu keajaiban.

Dengan mengertakkan giginya Pakkiong Liong mencabut golok Tio Tong-hai yang masih hinggap di pundaknya, lalu dengan sebelah tangan ia menaburkan obat bubuk pemampat luka, dan dibantu oleh Han Yong-kim ia membalut luka-luka itu dengan robekan bajunya sendiri, dan setelah lukanya dibalut, Pakkiong liong masih saja nampak tangguh, meskipun mukanya agak pucat.

Menggunakan kesempatan selagi perkelahian terhenti, pakkiong Liong berkata kepada Pangeran, "Pangeran Cu, terimalah kenyataan bahwa perlawanan kalian tidak akan ada gunanya lagi kecuali untuk bunuh diri. Aku tawarkan lagi satu kesempatan untuk bertindak bijaksana, kalian menyerah dan memberi kesempatan kepada pemerintah kami untuk memikirkan kesejahteraan rakyat bukan cuma disibukkan oleh pembangkang-pembangkang seperti kalian ini. Jika kalian menyerah, kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan martabat kalian sebagai keluarga istana, meskipun dinasti kalian itu sudah tidak ada lagi. Kami bukan orang-orang kejam yang memperlakukan tawanan seenaknya sendiri saja."

Pangeran melirik ke arah mayat Tio Tong-hai yang hangus itu dengan gejolak perasaannya yang hampir tak terkendali. Ia berbisik lirih seolah hanya untuk didengarnya sendiri, "Lagi-lagi seorang prajurit sejati telah gugur membela pendiriannya. Arwahnya pasti akan mencaci-maki aku jika aku menghentikan perjuangan ini, dan hati nuraniku pun akan selalu mendakwa seumur hidupku..."

Meskipun kata-kata itu setengah berbisik, namun karena suasana kuil itu sangat sunyi maka Pakkiong Liong mendengar juga. Sahutnya sambil tertawa dingin, "Ini adalah masalah antara kenyataan yang benar-benar ada dengan angan-angan kosong, tidak ada sangkut pautnya dengan hati nurani segala. Di satu pihak ada kenyataan yang tak dapat diganggu-gugat bahwa kerajaan Manchu sudah berdiri kokoh kuat, tak akan tergoyahkan lagi untuk ratusan tahun. Di lain pihak adalah api kosong belaka untuk mendirikan ajaan Beng yang sudah diruntuhkan rakyatnya sendiri itu. Jalannya arah tidak mungkin diputar balik lagi. Pangeran, coba gunakan akal sehatmu."

Pangeran Cu Hin-yang tidak menjawab perkataan Pakkiong Liong itu, ia hanya mendengus dengan hidungnya. Ia menoleh kepada Kongsun Hui dan seorang sisa pengikutnya yang masih hidup, tanyanya, "Kalian dengar tawaran orang Manchu ini? Kalian ingat sumpah kalian ketika masuk menjadi anggota gerakan bawah tanah kita?"

Kongsun Hui dan seorang teman itu bagaikan terbakar hatinya, mereka serentak mengangkat senjata mereka berteriak serempak mengulangi sumpah mereka dulu, "Seng-wi-beng-jin, Si-wi beng-kui (Hidup sebagai rakyat Kerajaan Beng, mati menjadi hantu Kerajaan Beng)!"

Wajah Pangeran ikut memerah, serunya, "Bagus. Kita akan bertempur sampai titik darah terakhir demi cita-cita kita!"

Meskipun Pakkiong Liong berwajah dingin-dingin saja melihat sikap orang-orang dinasti Beng itu, namun dalam hatinya timbul rasa hormat akan ketegguhan hati orang-orang itu. Ia merasa sayang akan kematian orang-orang itu namun demi tugasnya ia harus menumpas mereka sebab orang-orang itu jika dibiarkan lolos akan mengacau lagi di tempat lain.

Kata Pakkiong Liong, "Baiklah. Kalian memang keras kepala. Aku sudah menawarkan jalan lain yang lebih baik daripada mati konyol, namun kalian memilih mati konyol. Jika kalian memilih menjadi hantu Beng daripada rakyat Manchu, kami pun akan berbaik hati untuk membunuh kalian, biar arwah-arwah kalian menghuni kuil kosong ini sebagai hantu-hantu penasaran. Kelak penduduk di sekitar sini akan bercerita kepada anak-cucu mereka bahwa di kuil ini ada hantu-hantu konyol Kerajaan Beng."

Para perwira Kerajaan Manchu itu-pun segera mempersiapkan diri untuk menuntaskan tugas mereka. Karena mereka yakin bahwa kemenangan sudah pasti di pihak mereka, maka ketegangan mereka agak mengendor. Bahkan si perwira Manchu Tokko Yan sempat membuat lelucon, "Kawan-kawan, malam ini kita mendapat pekerjaan yang aneh..."

"Pekerjaan apa?!" tanya Han Yong-kim.

"Membuat hantu," sahut Tokko Yan. "Bahan-bahan mentahnya sudah tersedia di depan kita. Ayo cepat-cepat kita kerjakan!"

Perwira-perwira lainnyapun tertawa mendengar senda-gurau rekan mereka itu, namun mereka dengan waspada tetap memperhatikan ketiga orang calon korban mereka itu. Meskipun tinggal tiga orang, jika nekad mengadu nyawa akan cukup berbahaya juga.

Di pihak pengikut dinasti Beng, karena merekapun sudah pasrah nasib untuk mati, maka ketegangan merekapun justru mengendor pula, bahkan Kongsun Hui kemudian membalas ejekan musuhnya, "Barangkali kuil ini akan dihuni beberapa hantu Beng, melainkan juga beberapa hantu Manchu dan penjilat-penjilatnya."

Kemudian kedua belah pihak kembali terlibat dalam pertempuran yang sengit. Tapi dengan keseimbangan tiga lawan lima, maka Pangeran dan pengikut pengikutnya rupanya betul-betul akan menjadi hantu-hantu gentayangan. Pak-kiong Liong yang terluka itupun tidak tinggal diam, ia ikut berkelahi juga meskipun harus memainkan pedangnya dengan tangan kiri, sebab pundak kanannya sudah luka oleh bacokan Tio Tong-hai tadi. Gerak-geriknya juga tidak setangkas semula, sebab isi dadanya masih terasa nyeri.

Tengah baku hantam itu meningkat semakin sengit dan kedua belah pihak semakin nekad, tiba-tiba dari luar kuil itu terdengar suara ribut-ribut, teriakan saling memaki dan bahkan juga suara gemerincing senjata berbenturan. Terdengar sebuah bentakan yang menggelegar, "Bangsat-bangsat Manchu, kalian berani berkeliaran di tempat ini berarti menyetorkan nyawa kalian!"

Di dalam kuil, wajah Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya berubah hebat ketika mendengar seruan yang nadanya bermusuhan dengan pihak pemerintah itu. Tentu ada sekelompok penentang pemerintah, entah dari kelompok yang mana, telah datang ke tempat itu dan langsung bentrok dengan prajurit-prajurit yang bertugas menjaga di luar kuil. Pemandu jalan suku Biao sudah menceritakan tentang adanya tiga kelompok penentang pemerintah Manchu yang bersarang di kawasan ini, sekarang yang datang ini entah kelompok yang mana?

Sementara suara pertempuran di bagian luar itu masih kedengaran dan malahan semakin seru. Agaknya jumlah penyerang cukup banyak, tetapi prajurit-prajurit bawahan Pakkiong Liong melawan dengan gigihnya. Teriakan saling memaki terdengar dari kedua belah pihak. Jika satu pihak memaki "Penjajah Manchu" maka pihak lainnya membalas dengan "pengacau liar".

Wajah Pakkiong Liong berkerut menghadapi perkembangan yang sama sekali tidak diharapkannya itu. Geramnya, "Entah gerombolan liar dari mana ini, yang berani menentang hamba-hamba negara yang tengah mengemban tugas? Ha To-ji, coba kau lihat, keluar dan kemudian laporkan secepatnya kepadaku"

"Baik, Ciangkun!" sahut Ha To-ji mantap, lalu ia pun meloncat keluar dari arena dan kemudian melangkah keluar dengan langkah lebar. Namun sebelum orang Mongol itu melangkahi ambang pintu kuil yang tadi dirobohkannya, maka di ambang pintu kuil itu telah muncul tiga orang lelaki yang menghadang jalan. Mereka seolah-olah muncul begitu saja dari kegelapan malam karena pakaian mereka yang berwarna gelap.

Disorot cahaya api unggun yang masih menyala di dalam kuil, nampaklah orang yang berdiri di tengah itu bertubuh agak gemuk dan berkulit putih, wajahnya tidak menakutkan, bahwa pipinya kemerah-merahan seperti bayi. Namun sinar matanya justru tajam menusuk. Pakaiannya serba hitam, di pinggangnya tergantung sepasang senjata yang langka di dunia persilatan, yaitu sepasang roda yang disebut Jit-goat-siang-lun (Sepasang Roda Matahari dan Rembulan).

Dua orang lelaki yang berdiri di kiri kanannyapun menunjukkan sikap yang menandakan bahwa merekapun orang yang cukup tangguh dalam ilmu silat. Yang satu menenteng toya Ce-bi-kun (Toya Setinggi Alis) yang agaknya terbuat dari baja karena berwarna kehitam-hitaman. Satunya lagi memanggul sebuah golok bertangkai panjang, sepanjang tangkai tombak, yang dikenal dengan nama golok Koan-to, karena golok itu jaman dulu merupakan senjata dari tokoh sejarah di jaman Sam-kok, yaitu Koan In-tiang alias Koan Kong. Hanya saja, jika golok Koan-to umumnya tebal dan berat, maka golok Koan-to yang dipanggul orang itu agak kecil dan nampaknya ringan, sehingg memungkinkan untuk dimainkan dengar lebih lincah.

Ha To-ji yang tak pernah gentar kepada siapapun itu, kini membentak ketiga orang yang menghadang di pintu kuil itu, "Kami adalah prajurit-prajurit pemerintah yang tengah mengemban tugas, melawan kami berarti melawan Kerajaan dan Kaisar, ancamannya hukuman mati. Minggir kalian!"

Lelaki berwajah "bayi sehat" yang di tengah-tengah itu tertawa lebar dan menjawab, "Jangan menakut-nakuti kami dengan menyebut nama Kaisar berkuncirmu itu. Kami anggauta-angauta Hwe-liong-pang tidak gentar kepada kalian! Jadi kalian sajalah yang menyerah untuk kami adili!"

Ha To-ji mengerutkan alisnya, tiba-tiba ia ingat akan keterangan penunjuk jalan suku Biao tadi tentang kelompok Hwe-liong-pang ini. Katanya, "He, jadi kalian dulu adalah pendukung-pendukung Li Cu-seng dalam pemberontakannya melawan Kerajaan Beng?"

Sahut si lelaki gemuk itu, "Ya, dulu kami mendukung Li Cu-seng karena tindakannya sejalan dengan cita-cita kami yang ingin membebaskan rakyat dari tindasan Kaisar lalim. Dulu rakyat ditindas Kaisar Cong-ceng dari dinasti Beng, sekarang ditindas Kaisar Sun-ti dari dinasti Manchu, maka perjuangan kami belum selesai."

Ha To-ji tertawa, "Kalian orang-orang gunung ini memandang perubahan-perubahan tata pemerintahan menurut selera kalian sendiri saja. Kerajaan Manchu justru membebaskan rakyat Han dari kesengsaraan akibat pemerintahan Cong-ceng dan Li Cu-seng yang sama-sama tidak becus memerintah itu. Jika kalian benar-benar pembela rakyat, lihatlah ke dalam kuil, di sana ada pengikut-pengikut Cong-ceng yang sampai sekarangpun masih suka mengacau dan menakut-nakuti rakyat yang sebenarnya sudah tenteram di bawah kekuasaan yang sekarang. Merekalah musuh kalian. Bukannya kami yang justru selalu berusaha menegakkan ketertiban ini."

Tapi orang yang membawa toya baja Ce-bi-kun itu tiba-tiba tertawa geli, sehingga Ha To-ji membentaknya. “Hei, apa yang kau tertawakan?"

Jawab orang itu, "aku mentertawakan kau. Orang bertampang mirip kerbau dogol seperti kau ini ternyata berani bicara panjang lebar tentang urusan negara pula, malah kau juga pintar bersilat lidah untuk mengadu domba orang. Agaknya tadi aku terlalu memandang rendah tampang keledaimu..."

"Kurang ajar!" bentak Ha To-ji marah. Secepat burung elang menyambar dia telah meloncat maju dan dengan sepasang tangannya yang mencengkeram ia hendak membanting roboh orang yang telah mengejeknya itu.

Namun orang-orang yang mengaku sebagai orang-orang Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api) itupun segera melompat berpencaran begitu melihat Ha to-ji bergerak. Masing-masing menampakkan kegesitan gerakannya, menampakkan mereka cukup terlatih baik.

Namun Ha To-ji bukannya kelas kambing, biarpun tubuhnya besar tapi tidak mengganggu kelincahannya begitu serangannya menemui tempat kosong, dengan sigap ia menghentikan luncuran tubuhnya dan sekaligus memutar pinggangnya, berganti arah menyerang lelaki yang di pinggangnya membawa sepasang roda Jit-goat-siang-lun itu. Kedua tangannya mencoba meraih pinggang untuk kemudian dipatah-kannya sesuai dengan jurus gulat Mongolnya.

Tapi lelaki itupun percaya kepada kekuatannya, meskipun badannya tidak sebesar tubuh Ha To-ji. Dengan kuda-kuda yang kuat menancap tanah, ia menyongsong serangan Ha To-ji tanpa sedikitpun berusaha menghindarinya, tanpa ragu-ragu ia mementang kedua tangannya ke kiri dan kanan untuk membentur kedua lengan Ha To-ji secara keras lawan keras.

Diam-diam Ha To-ji bersorak di dalam hati melihat sikap lawannya itu, dianggapnya lawannya telah berbuat kesalahan yang akan memberi peluang kepadanya. Jika dua pasang tangan berbenturan, aku akan mencengkeram kedua pergelangan tangannya dan langsung memuntirnya patah, demikian rencana Ha To-ji di dalam hatinya.

Namun kesudahannya ternyata di luar perhitungan si Beruang Gurun itu, Tangan-tangan maha kuat dari si Beruang Gurun itu ternyata membentur sepasang tangan yang tidak kalah kuatnya, bahkan Ha To-ji terdorong mundur tiga langkah. Ha To-ji terkesiap, tapi lelaki baju hitam itupun juga terkesiap karena kekuatan lawannya mampu membuat lengannya linu untuk sesaat.

Setelah pulih ketenangannya, Ha to-ji bertanya, "Kau...kau pemimpin pecahan Hwe-liong-pang yang bernama Ma Hiong dan berjulukan Siau-lo-cia ( Dewa Lo-cia Kecil) itu?"

Lelaki baju hitam itu menyahut, “Bagus kalau anjing-anjing Kaisar seperti kalian mengenal aku. Kelak arwah kalian tidak akan bergentayangan mengganggu manusia jika tahu siapa yang membunuh kalian."

Baik pihak Pakkiong Liong maupun pihak Pangeran Cu Hin-yang segera menyadari bahwa kekuatan baru yang tengah memasuki arena itu adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap remeh. Masing-masing pihak sudah pernah mendengar nama besar Siau-lo-cia Ma Hiong sebagai pentolan Hwe-liong-pang yang ditakuti. Apalagi kini Siau-lo-cia Ma Hiong datang dengan membawa sejumlah anak buahnya yang tangguh pula.

Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang mempunyai sikap tertentu terhadap orang-orang Hwe-liong-pang yang dulunya merupakan pendukung-pendukung Li Cu-seng si pemberontak terhadap dinasti Beng itu. Pakkiong Liong selalu berpendapat, bahwa kelompok Hwe-liong-pang, sangat berbahayanya dengan kelompok-kelompok penentang pemerintah Manchu lainnya sehingga suatu saat kelak kelompok ini harus ditumpas pula.

Sebaliknya Pangeran Cu Hin-yang dan pengikti-pengikutnya sebagai orang-orang dinasti Beng tentu sulit melupakan bahwa orang-orang Hwe-Liong-pang adalah musuh besar mereka. Ketika laskar pemberontak Li Cu-seng menyerbu Istana Kerajaan Beng dulu, orang-orang Hwe-liong-pang ini menjadi ujung tombak dari serbuan itu, sehingga seolah senjata orang-orang Hwe-liong-pang belum kering dari darah para prajurit Beng dan keluarga istana Beng yang waktu itu mempertahankan Istana dengan mati-matian.

Tapi pihak Hwe-liong-pang sendiri tidak akan melupakan betapa banyak teman-teman mereka yang mati dipenjara karena disiksa oleh prajurit-prajurit Beng semasa masih berkuasa, dan lebih banyak lagi teman mereka yang gugur di luar kota Pak-khia ketika membendung serbuan balatentara Manchu.

Dengan demikian, di dalam kuil itu sekarang ada tiga pihak yang berlainan berhadapan dengan kekuatannya masing-masing, dan juga dengan pendirian teguhnya masing-masing. Jika masing-masing pihak tetap berdasarkan sejarahnya masing-masing, maka akan terjadi perkelahian segitiga di kuil itu. Tidak ada satu pihakpun yang akan mau bersekutu dengan pihak lainnya untuk memukul sisanya.

Sementara pengawalnya yang bersenjata toya baja Co-bin-kun itu telah mengawal Siau-lo-cia Ma Hiong masuk ke dalam arena yang tegang itu, maka seorang anak buah Ma Hiong yang bergolok koan-to itu telah berkelahi melawan Ha To-ji dengan sengitnya.

Ma Hiong menyapukan pandangannya kepada wajah-wajah di dalam kuil sambil tertawa dingin ia berkata, "Sekali kalian masuk wilayah Hun-lam ini aku sudah tahu siapa kalian, dan napas kalian, dan napas kalian yang busuk penuh ketamakan itu telah membuat udara pegunungan ini jadi busuk pula. Yang satu pihak adalah anjing-anjingnya Kaisar Manchu yang memburu korban dengan rakusnya, yang lain adalah pengikut-pengikut setia si tolol Cong-ceng yang merasa bahwa negeri ini adalah milik mereka, padahal mereka pernah menjerumuskan negeri ini ke jurang kemelaratan. Hemm, memuakkan sekali. Seperti dua ekor anjing berebut tulang. Berebutan tahta, tapi rakyat yang paling berkepentingan justru tidak kalian pedulikan pendapatnya sama sekali.!"

Baik Pakkiong Liong maupun Pangeran Cu Hin-yang sama-sama menjadi merah padam mukanya ketika mendengar caci-maki Ma Hiong yang pedas itu. Tapi Pangeran yang merasa bahwa pihaknya rang terlemah dalam permusuhan segitiga itu, berusaha untuk menahan diri dan bersikap lebih cerdik, apalagi ia mengemban tugas dari kakaknya, Pangeran Cu Leng-ong, untuk menghubungi semua gerakan yang melawan Manchu, tidak peduli bagaimanapun kiblat mereka di masa lalu.

Entah bekas pengikut Li cu-seng, entah bekas pengikut Pangeran Pangeran Beng lainnya seperti Cu Yu-Long dan Cu Gi-yap, entah gerakan yang berdiri sendiri-sendiri, semuanya harus dihubungi dan diajak bersatu dalam satu barisan besar. Pokoknya bangsa Manchu harus lebih dulu terusir dari tanah air, begitu pesan Pangeran Cu Leng-ong masih jelas terngiang di telinga Pangeran Cu Hin-yang. Dan kelompok sisa-sisa Hwe-liong-pang yang bertebaran di mana-mana dan menjadi kelompok sendiri-sendiri itu, termasuk dalam daftar yung harus dirangkul untuk dijadikan teman.

Karena tujuan yang lebih besar itulah maka Pangeran tidak membalas caci-maki Ma Hiong itu, ditekannya peraaaannya yang bergejolak. Malah dengan sikap sopan ia memberi hormat kepada Ma Hiong sambil berkata, "Saudara ini tentunya adalah Ma Hiong dari Hwe Liong-pang yang terkenal sebagai pembela rakyat kecil. Memang harus diakui bahwa ayahanda Cong-ceng adalah seorang Kaisar yang lemah, namun kesalahannya yang bertumpuk-tumpuk itu sudah ditebusnya dengan kematiannya yang hina, yang tidak sesuai dengan martabat seorang raja, yaitu menggantung diri. Saudara, maukah memaafkannya? Dan tentang orang-orang Manchu ini, berhakkah mereka menyerbu negeri kita dengan senjata dan kemudian mengaturnya sesuai dengan kehendak mereka sendiri?"

Sikap Pangeran itu diluar dugaan Ma Hiong, sesaat ia terpaku tak dapat menjawab, tapi akhirnya iapun menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan Pangeran Cu Hin-yang itu. Sahutnya, "Bagus, kau adalah bangsawaan Kerajaan Beng yang dengan jantan berani melihat keburukan diri sendiri, itu jarang ada. Biasanya para pengikut Kerajaan Beng selalu enggan melihat diri sendiri, tapi lebih suka mencari kambing hitam ke kanan kiri, menganggap diri mereka sendiri paling benar. Ambruknya Kerajaan Beng dibebankan kesalahannya kepada Li Cu-seng, Co Hua-sun, Bu San-kui dan entah siapa lagi, tapi tidak menyadari bahwa yang menyebabkan ambruknya negara adalah mereka sendiri yang menjadi cengeng karena hidup mewah dan tak becus mengurus negara. Tapi kau agaknya lain dari mereka. Nah, untuk sementara kita bisa bertempur bersama-sama untuk mengusir anjing-anjing Manchu ini!"

"Bagus!" sahut Pangeran. "Biarpun kita pernah bermusuhan di masa lalu, tapi sebagai sesama anak negeri ini, kita harus melupakan permusuhan kita dan menghadapi musuh kita bersama!"

Sedang Pakkiong Liong dan perwira-perwiranya merasa bahwa pekerjaan mereka akan bertambah berat dengan terjadinya persekutuan antara Pangeran dan orang-orang Hwe-liong-pang itu, namun mereka tidak takut dan tetap merasa yakin akan dapat menyelesaikan tugas yang betapapun beratnya.

Pakkiong Liong tertawa mengejek, "Hemm, kalian hanya berlagak rukun di hadapan kami, tapi siapa yang tak tahu bahwa kalian masing-masing sama-sama bernafsu untuk merebut tahta bagi kepentingan golongan kalian masing-masing? Dan andaikata kalian benar-benar bersatu, kalian kira kalian akan bisa menumbangkan pemerintahan sah yang sudah berakar kuat di benua ini? Itu hanya mimpi di siang bolong!"

Ma Hiong menjawab, "Jangan membual, orang Manchu. Aku memang pernah mendengar betapa perkasanya Panglima Hui-liong-kun yang berjuluk Naga Utara, yang dengan telapak tangannya saja dapat melumerkan logam. Tapi jangan mimpi akan dapat lolos dari tangan kami, kau sudah hampir mampus karena luka-lukamu, dan anak buahmu yang berada di luar itupun akan mampus oleh anak buahku."

Pakkiong Liong tidak mau kalah gertak, kepada perwira-perwiranya yang masih utuh ia berkata, "Tunjukkan kepada mereka bagaimana seorang perwira Hui-liong-kun bertempur!"

Han Yong-kim dengan pedang samurainya menyambutnya, "Ciangkun, izinkan aku menyumbat mulut orang-orang busuk Hwe-liong-pang ini!"

"Lakukan!" perintah Pakklong Liong.

Baru saja bibir Pakkiong Liong terkatup, Han Yong-kim telah meloncat bagaikan harimau menerkam, pedangnya diangkat tingi-tinggi dengan kedua tangannya lalu dibacokkan turun bagaikan gunung runtuh ke batok kepala Ma Hiong. Gerakan ini mirip dengan jurus Tay-san-ap-teng (Gunung Tay-san ambruk ke kepala) dalam ilmu silat Tiongkok, namun cara memegang pedangnya berbeda. Ilmu pedang Jepang yang disebut Kenjitsu ini sudah terkenal keampuhannya dan keganasannya.

Ma Hiong sendiri tidak berani gegabah melihat serangan sedahsyat itu, tapi Ma Hiong sendiri berilmu tinggi dan tidak mudah menjadi gugup dalam bahaya apapun. Dia pernah menjadi salah seorang dari delapan orang long-cu (Pemimpin Kelompok) dari Hwe-liong-pang yang ditakuti oleh pemerintah Beng dulu, dengan demikian ilmunya pun tidak rendah. Dengan gerakan yang sangat cepat tahu-tahu sepasang roda Jit-goat siang-lun yang tadinya tergantung di pinggang telah dipegang dengan kedua tangannya. Roda kiri menangkis ke atar, roda kanan menyodok ke rusuk lawannya.

Han Yong-kim si orang Korea ini agaknya meniru kebiasaan para pendekar Jepang dalam bertempur, ia berteriak keras. Serangan Ma Hiong ke rusuknya hampir tidak dipedulikannya, ia justru mengangkat tubuhnya ke atas sambil menambah tenaga ayunan pedangnya. Dengan demikian ayunan pedangnya bertambah hebat beberapa kali lipat karena ditambah dengan berat badannya sendiri.

"Hebat!" desis Ma Hiong yang rupanya agak terkejut juga me ihat cara bertempur seperti badak dari perwira Kerajaan Manchu ini. Untuk menanggulangi gempuran pedang musuh itu ia tidak dapat mengandalkan tangan kirinya Saja, maka roda di tangan kanannyapun turut diangkat untuk menangkis!

Benturan dahsyat antara dua jenis senjata yang sama-sama terbuat dari baja pilihan dan sama-sama digerakkan oleh kekuatan dahsyat pula. Si orang Korea yang kakinya tak menginjak tanah itu sempat terpental ke belakang, namun kemudian berputar di udara dengan manisnya, dan menjejakkan kaki di tanah seringan seekor kucing.

Ma Hiong tergeliat, pinggangnya dan mundur selangkah. Diam-diam pentolan Hwe-liong-pang itu membatin, "Pantas kalau Hui-liong-kun merupakan pasukan kebanggaan Manchu, bahkan melebihi pasukan Pat-ki (Delapan Bendera) yang dipimpin oleh para Pwe-lek (Pangeran Bangsa Manchu) itu. Perwira yang satu ini saja amat tangguh, padahal entah terdapat berapa puluh orang perwira setingkat ini di dalam pasukan itu!"

Tapi Ma Hiong tidak menjadi kecut hatinya, semakin tangguh lawannya malahan akan semakin mengobarkan semangat tempurnya. Bekas tokoh Hwe-liong-pang ini kemudian mencoba memaksakan suatu pertempuran jarak dekat yang menguntungkan buat senjatanya yang pendek itu. Begitu Ma Hiong membentak, sambil menggerakkan sepasang tangannya, maka tiba-tiba di sekitar tubuhnya muncullah puluhan pasang roda Jit-goat siang-lun yang bergerak serempak dengan hebatnya. Kini Ma hiong seolah punya puluhan pasang tangan yang bergerak sekaligus, bagaikan hujan deras menghambur ke tubuh Han Yong-kim.

Tapi orang Korea itupun cukup keras kepala untuk mundur begitu saja, pedangnyapun berubah menjadi bayangan yang berpuluh-puluh batang banyaknya. Maka kedua orang itu segera terlibat dalam pertempuran yang sangat seru.

Sementara itu, Pangeran Cu Hin-yang bersama dengan sisa-sisa pengikutnya telah bangkit kembali semangat tempur mereka. Kalau tadi mereka sudah pasrah nasib menunggu kematian saja, kini timbul kembali harapan untuk tetap hidup dan memperjuangkan cita-cita mereka. Biarpun kini harus bekerja nama dengan bekas pendukung-pendukung si pemberontak Li Cu-seng, mereka tidak peduli lagi.

Pangeran Cu Hin-yang bertempur melawan Pakkiong Liong, tapi Pakkiong Liong yang kekuatannya sudah agak susut. Namun demkian Pangeran tetap tidak boleh lengah menghadapinya, sebab meskipun luka, si Naga Utara itu tetap seorang yang berbahaya. Tangan kirinya masih merah membara seperti mulut seekor naga yang menyemburkan api, dan tangan kanannya yang memegang pedang itu memainkan senjatanya dengan lincah. Jika Pangeran lengah sedikit saja, bisa jadi ia akan mengalami nasib seperti Tio Tong-hai, mati dengan tubuh yang habis hangus.

Sementara itu di luar tembok kuil kosong itu telah berlangsung pertempuran sengit antara prajurit-prajurit anak buah Pakkiong liong melawan orang-orang Hwe-liong-pang anak buahnya Ma Hiong. Para prajurit Manchu hasil gemblengan Pakkiong Liong itu merupakan orang-orang pilihan yang terkenal ketangguhan dan keberaniannya. Manusia-manusia yang bertubuh dan bersemangat baja. Maka anak buah Ma Hiong tidak dapat segera mendesak lawannya.

Tapi anak buah Ma Hiong-pun bukannya orang-orang bernyali tikus yang gampang menjadi ketakutan melihat kegarangan lawan mereka. Dulu mereka adalah anggauta-anggauta Hwe-liong-pang yang terkenal gagah berani, biarpun mereka tidak pernah terlatih sebagai prajurit, namun mereka telah tertempa oleh ganasnya peperangan selama bertahun-tahun dan juga ganasnya hutan hutan lebat dan alam pegunungan yang penuh bahaya.

Dengan demikian, baik anak buahnya Pakkiong Liong maupun anak buah Ma Hiong telah ketemu tandingannya masing-masing. Kedua belah pihak sama-sama terbentur lawan keras. Anak buah Ma Hiong yang sering dengan mudahnya dapat menjebak dan mengalahkan prajurit-prajurit bawahan Peng-se-ong Bian-kui tadinya mengira dalam waktu singkat akan segera mengalahkan lawan pereka. Tapi kini mereka terkejut menemui ketangguhan lawan.

Sebaliknya prajurit-prajurit anak buah Pakkiong Liong tidak kalah terkejutnya ketika menghadapi gempuran-gempuran dahsyat orang-orang Hwe-liong-pang itu. Prajurit-prajurit Pak-kiong Liong itu sadar bahwa mereka adalah prajurit-prajurit pilihan kebanggaan Kerajaan Manchu, punya keunggulan dibandingkan pasukan-pasukan lainnya. Tiap kali mereka turun ke medan tempur musuh akan dibuat kocar-kacir atau menggigil karena gentar. Tetapi sekarang mereka telah kebentur orang-orang Hwe-liong-pang yang sama tangguhnya dan sama nekadnya dengan mereka sendiri.

Hati kedua pihak yang bertempur semakin lama semakin panas, mengalahkan dinginnya malam. Setelah keringat membasahi baju, masing-masing pun kian beringas. Beberapa orang sudah roboh di tanah yang becek oleh air hujan. Tapi korban-korban yang jatuh tidak membuat mereka yang masih hidup menjadi jera, malahan membuat hati semakin panas dan semakin bulat tekadnya untuk menuntut balas. Tapi lawan juga ingin berbuat serupa...
Selanjutnya;